Download - 99495506 Referat Kulit Tinea
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tinea imbrikata adalah dermatofitosis superfisialis yang jarang terjadi,
disebabkan oleh Trichophyton concentricum antropofilik. Dermatofitosis didefinisikan
sebagai penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum
pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita.
Dermatofita dibagi menjadi genera Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Hingga kini dikenal sekitar 40
spesies dermatofita, masing-masing dua spesies Epidermophyton, 17 spesies
Microsporum dan 21 spesies Trichophyton.1
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemis di wilayah tertentu, antara lain
Papua, Sulawesi, Sumatra dan pulau-pulau bagian tengah Indonesia Timur, beberapa
pulau di Pasifik Selatan (Polinesia), Asia Tenggara, Amerika Tengah dan Selatan, dan
Meksiko, dan paling sering terlihat pada individu yang hidup dalam kondisi primitif dan
terisolasi. Kerentanan terhadap penyakit ini diduga diturunkan secara genetik dengan
pola penurunan autosomal resesif. Angka insidensi dermatofitosis pada tahun 1998 yang
tercatat melalui Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran di Indonesia sangat bervariasi,
dimulai dari prosentase terendah sebesar 4,8 % (Surabaya) hingga prosentase tertinggi
sebesar 82,6 % (Surakarta) dari seluruh kasus dermatomikosis.2
2
Pengobatan topikal pada dermatofita menjadi hal penting untuk diketahui oleh
tenaga medis, sehingga memerlukan informasi terapi yang tepat tehadap setiap penyakit
dermatofita. Topikal berasal dari bahasa Yunani topikos yang artinya berkaitan dengan
daerah permukaan tertentu, seperti anti infeksi topikal yang dioleskan pada daerah
tertentu di kulit dan yang hanya mempengaruhi daerah yang dioles tersebut.3
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, insidensi,
etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan, dan prognosis dari penyakit tinea imbrikata.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tinea imbrikata adalah mikosis superfisial kronis yang disebabkan secara
eksklusif oleh Trichophyton concentricum sebuah dermatofit antropofilik. Sumber lain
menyebutkan, bahwa tinea imbrikata adalah infeksi jamur superfisial yang menyerang
kulit dengan gambaran khas berupa skuama kasar yang tersusun konsentris sehingga
tampak seperti atap genting.4,5
2.2 Sinonim
Ring worm, tokelau, kaskado.5
2.3 Etilogi
Tinea imbrikata atau Tokelau adalah mikosis superfisial disebabkan oleh
Trichophyton concentricum, sebuah dermatofit antropofilik. Dermatofita dibagi menjadi
genera Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.6
Pada Trichophyton secara mikroskopik ditemukan hifa bersepta / bersekat,
hifa spiral, ditemukan makrokonidia berbentuk gada berdinding tipis terdiri dari 6 – 12
sel juga ditemukan mikrokonidia yang bentuknya seperti tetes air. Secara makroskopik
ditemukan koloni yang kasar berserbuk / radier pada bagian tengah menonjol. Contoh :
Trichophyton mentagropytes. Trichophyton rubrum. Trichophyton concentricum adalah
jamur antropofilik yang pertumbuhannya lambat dan menyebabkan penyakit kulit
4
kronis, luas, non-inflamasi. Tinea corporis dikenal sebagai tinea imbrikata karena cincin
konsentris dari skuama yang dihasilkannya.7
Tabel 1. Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission8
Category Mode of Transmission Typical Clinical Features
Antropofilik Manusia ke manusia Ringan, tanpa inflamasi, kronik,
kambuh-kambuhan
Zoofilik Hewan ke manusia Inflamasi hebat, akut (mungkin
pustule, dan vesikel), sembuh
jarang kambuh
Geofilik Tanah ke manusia atau hewan Akut, Inflamasi sedang, sembuh
jarang akut
Gambar 1. Trichophyton concentricum
5
2.4 Patogenesis
Transmisi dermatofit ke manusia dapat melalui 3 sumber, masing-masing
memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus
dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit. Lingkungan kulit
yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan klinis dermatofitosis.
Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung spora atau hifa pada permukaan kulit
yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas,
kelembaban dan kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih
dan maserasi juga berpengaruh.9
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat
sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui
kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti
pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dari terjadinya kolonisasi hifa atau
cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim
keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak
keratinosit.10
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan
terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang menginvasi
bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan meningkatkan
proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Banyak individu dalam
populasi yang terinfeksi menunjukkan agen T-cell spesifik yang hiporeaktif dari jamur.
6
Itu juga telah mengasumsikan bahwa kerentanan dalam populasi ini dapat diwariskan
sebagai sifat resesif autosomal.
Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang
disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat
diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur. 10
Gambar 2. Koloni Trichophyton concentricum setelah 4 minggu pada agar kentang
dekstrosa
Disamping cara penularan tersebut diatas, untuk timbulnya kelainan-kelainan di
kulit tergantung dari beberapa faktor : 11
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini tergantung pada afinitas jamur itu, apakah jamur Antropofilik,
Zoofilik atau Geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur ini berbeda pula
satu dengan yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh
7
Misalnya : Trikofiton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermatofiton vlokosum
paling sering menyerang lipat pada bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor-suhu dan kelembaban
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, di mana banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling
sering terserang penyakit jamur ini.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur di mana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah, penyakit ini lebih
sering ditemukan dibanding golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit Tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan
orang dewasa, dan pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari
dibanding pria dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktor-
faktor tadi masih ada faktor-faktor lain seperti faktor perlindungan tubuh (topi, sepatu
dan sebagainya) , faktor transpirasi serta pemakaian pakaian yang serba nilan, dapat
mempermudah penyakit jamur ini.
2.5 Gejala Klinis
Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-
lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan
8
melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga
terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita
meraba dari bagian tengah kea rah luar, akan teraba jelas skuama yang menghadap ke
dalam. Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan
lingkaran-lingkaran di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada
permulaan infeksi pasien dapat merasa sangat gatal, tapi bila menahun tidak ada
keluhan. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit
kepala pasien dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak.12
Sumber lain menyebutkan, tinea imbrikata biasanya menyerang seluruh
permukaan kulit berupa lingkaran-lingkaran yang bersisik kasar dan tampak menyerupai
lingkaran-lingkaran bermata satu (polisiklik). Sisik-sisik melingkar yang satu menutup
yang lain seperti lapisan genting, dapat disertai perasaan gatal. Lokasi yang terserang
biasanya diseluruh tubuh. Efloresensinya berupa makula berwarna seperti kulit normal,
berbentuk lingkaran dan ditutupi sisik kasar, atau beberapa lingkaran dapat menyatu
(polisiklis); skuama saling menindih seperti susunan atap genting. Khasnya polisiklik,
makula papulo skuamous, tersusun cincin yang konsentris, meluas ke seluruh badan,
stratum korneum terlepas dan tepi bebasnya menghadap tengah.10
9
Gambar 3. Bentuk klinis tinea imbrikata pada warga papua
Gambar 4. Bentuk klinis tinea imbrikata
10
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit
sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan tetapi
kadang temuan efloresensinya tidak khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang dan diagnosis menjadi lebih tepat. Pemeriksaan mikroskopik
langsung terhadap bahan pemeriksaan merupakan pemeriksaan yang cukup tepat,
berguna dan efektif untuk mendiagnosis infeksi jamur. Pemeriksaan KOH merupakan
pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara
langsung dibawah mikroskop dimana terlihat hifa diantara material keratin.13
Gambar 5. Percabangan hifa dalam KOH mount, dengan pewarna biru ditambahkan
untuk warna (pembesaran asli, X400).
11
2.7 Diagnosis
Diagnosis ditetapkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan lokasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 10-20%, dipanasi
sebentar tidak sampai mendidih. Dapat ditemukan hifa yaitu double counture (dua garis
lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua) dan bersepta. Antrokonidia yaitu
deretan spora di ujung hifa. KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis
menyokong. Kultur dilakukan dengan media Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA) +
khloramfenikol + sikloheksimid (Actidion) : Mycobiotik, Mycosel, tumbuh rata-rata 10-
14 hari. Biakan skuama pada media Sabouraud’s Dextrose Agar menghasilkan koloni
ragi.14
2.8 Diagnosis Banding
Tinea imbrikata merupakan varian dari tinea korporis. Gejala klinisnya sulit
dibedakan dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya, antara lain dermatitis kontak,
dermatitis seboroik, dan psoriasis. Untuk alasan ini, tes laboratorium sebaiknya
dilakukan. kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea
korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksinya, misalnya dikulit
kepala, lipatan-lipatan kulit yaitu belakang telinga, nasolabial dan sebagainya.15
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit yang mempunyai tempat predileksi
yaitu di daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. Pemeriksaan
laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya.15
2.9 Penatalaksanaan
12
1. Obat topikal
Pengobatan topical merupaan pilihan utama. Efektivitas obat topical dipengaruhi
oleh mekanisme kerja, viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut.
Ketoconazole adalah suatu derivat imidazole-dioxolane sintetis yang memiliki
aktivitas antimikotik yang poten terhadap dermatofit, misalnya Tricophyton sp,
Epidermophyton floccosum, Pityrosporum sp, dan juga terhadap Candida sp.
Ketoconazole bekerja dengan menghambat enzim sitokrom P450 jamur, dengan
mengganggu sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dari membran sel
jamur. 18
Indikasi ketoconazol adalah untuk penggunaan topikal pada pengobatan infeksi
dermatofit pada kulit, seperti tinea korporis, tinea kruris, tinea manus, dan tinea pedis
yang disebabkan oleh Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagrophytes, Mycosporum
canis, Epidermophyton floccosum, juga pengobatan pada kandidosis kutis dan tinea
versikolor. Kontra Indikasi adalah penderita yang hipersensitif terhadap ketoconazole
atau salah satu komponen obat ini, wanita hamil, dan anak usia di bawah 2 tahun. 18
Dioleskan 1x sehari pada daerah yang terinfeksi dan sekitarnya. Pengobatan
harus dilanjutkan untuk beberapa waktu, sedikitnya sampai beberapa hari setelah gejala-
gejala hilang. Lama pengobatan 3-4 minggu. Diagnosis harus dipertimbangkan kembali
jika tidak ada perbaikan setelah 4 minggu pengobatan. 18
Efek samping pada pemakaian ketoconazole ini adalah sedikit iritasi dan rasa
panas. Atau alergi kulit lokal, dermatitis kontak karena ketoconazole cream atau salah
13
satu komponen obat seperti natrium sulfit atau propilene glikol (jarang). Kemasan
ketoconazole cream 2%, tube 5 gram dan 10 gram. 18
2. Terapi Oral
Terapi oral seperti yang disebut pada table dibawah ini :
Tabel 2. Pilihan terapi oral untuk infeksi jamur kutaneus 16
Infeksi Rekomendasi Alternatif
Tinea korporis Griseofulvin 500 mg/hari
sampai sembuh (4-6
minggu), sering kali
dikombinasi dengan agen
imidazoletopikal
Terbinafine 250 mg/hari selama
2-4minggu.
Itraconazole 100 mg/hari selama
15 hari atau 200 mg/hari selama
1minggu
Fluconazole 150-300mg/minggu
selama 4 minggu
2.10 Pencegahan
14
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Jika faktor-
faktor lingkungan ini tidak diobati, kemungkinan penyembuhan akan lambat.
2. Pasien dengan hiperhidrosis dianjurkan agar memakai kaos dari bahan katun
yang menyerap keringat, jangan memakai bahan yang terbuat dari wool atau
bahan sintetis.
3. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dengan air
panas.11
DAFTAR PUSTAKA
15
1. Budimulja, U., 2005, Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds),
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta : 89 – 105.
2. Adiguna, M.S., 2001, Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia, dalam
Budimulja, U., Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan Widaty,
S. (eds), Dermatomikosis Superfisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa
Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 1-6.
3. Dorland, 2007, Kamus Kedokteran Dorland, dalam Harjono, R.M., Oswari, J.,
Ronardy, D.H., Santoso, K., Setio, M., Soenarno, Widianto, G., Wijaya, C. dan
Winata, I. (eds), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1937
4. R. Non , Lemuel Benedict, 2009, Tinea Imbricata: Case Series on Three Patients in
Sarangani, Philippines, The National Health Science Journal.
5. Siregar, R.S.2005.Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua.
EGC.Jakarta.
6. Madani, F., 2000, Infeksi Jamur Kulit, dalam Harahap, M. (ed), Ilmu Penyakit Kulit,
Penerbit Hipokrates, Jakarta : 73 – 87.
7. Dismukes, William E., 2003, Clinical Mycologi, Published by Oxford University
Press, Inc.198 Madison Avenue, New York, New York 10016 http://www.oup-
usa.org : 371
8. Suyoso, Sunarso. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi ketiga. Airlangga University Press.Surabaya
16
9. Sobera JO, Elewski BE. Fungal Disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini
RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.
10. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2006 June 29; available from:
http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm
11. Boel, Trelia, Drg. M.kes, 2003, Mikosis Superfisial, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara, Digitized by USU Digital Library.
12. Mansjoer, arif. et al.2007. Kapita Selekta jilid 2, edisi ketiga.Media Aesculapius
FKUI.Jakarta
13. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U,
Kuswadji,Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermato
mikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4
14. Barakbah, Jusuf. et al.2007. Atlas Penyakit Kulit Dan Kelamin.Airlangga University
Press.Surabaya
15. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2002.p.92-3
16. Micology Online . [2004] Dermatophytosis [Online]. Tersedia :
http : // www .mycology .adelaide.edu.au/ [Diakses 4 Mei 2005]
17. Crissey, John Thorne, MD. 1955. Medical Mycology. By Blackwell Science. Library
of Congress Cataloging-in-Publication Data
18. www.farmasiku.com