Download - 7 Study Penanganan Penyandang Masalah Sosial Gelandangan Psikotik Di Wilayah Perbatasan Dan Perko
STUDY PENANGANAN MASALAH SOSIAL GELANDANGAN PSIKOTIK DI
WILAYAH PERBATASAN DAN PERKOTAAN
Tim Peneliti Balitbang Prov. Jateng
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah
Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang Telp. 0243540025
RINGKASAN
Pendahuluan
Permasalahan sosial yang semakin kompleks dewasa ini ditandai munculnya
kantong-kantong kemiskinan, konflik-konflik sosial, kesenjangan pemerataan
pendapatan, meningkatnya angka kejahatan, tingginya angka pengangguran, perilaku
kekerasan, pelanggaran hukum, penyalahgunaan narkotika dan lain-lain dengan skala
yang lebih kompleks dan saling terkait. Masalah sosial yang dihadapi masyarakat kita
pada umumnya adalah masalah ekonomi yang berdampak ke masalah lainnya.
Masalah sosial yang tidak ditangani secara dini dapat menimbulkan masalah
sosial yang besar seperti terbentuknya generasi muda yang tidak berkualitas, menajamnya
kesenjangan sosial baik vertikal maupun horizontal, disintegrasi sosial dan sebagainya.
Penanganan masalah sosial yang tidak tuntas dapat memunculkan masalah kesejahteraan
sosial yang semakin kompleks pula, terlihat semakin banyaknya penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Masalah kesejahteraan sosial merupakan bagian dari masalah sosial.
Masalah Kesejahteraan sosial tidak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan dan
pembangunan negara, melalui Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan akan
tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Dalam era
otonomi daerah ini, pembangunan kesejahteraan sosial juga menjadi tanggungjawab
daerah termasuk didalamnya pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Usaha pengelolaan masalah kesejahteraan sosial oleh pemerintah maupun negara,
adalah memelihara fakir miskin dan anak-anak yang terlantar, mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, serta bertanggungjawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial yang layak yang diatur
dengan undang-undang.
Berdasar data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Jawa Tengah tahun 2006
terdapat penyandang masalah kesejahteraan sosial tersebar dalam 27 jenis. Dari 27 jenis
tersebut diantaranya termasuk penyandang psikotik atau penyandang tuna laras. Di
Jawa Tengah tercatat 704.000 orang mengalami ganguan kejiwaan, dan dari jumlah
tersebut sekitar 96.000 diantaranya didiagnosa telah menderita kegilaan, 608.000
orang mengalami stress. Sementara itu merujuk pada data Badan Kesehatan Dunia
(WHO) menyebutkan bahwa 3 per mil dari sekitar 32 juta penduduk di Jawa Tengah
menderita kegilaan dan 19 per mil lainnya menderita stress. Jika dipersentasekan, maka
jumlahnya mencapai sekitar 2,2 persen dari total penduduk Jawa Tengah ( Jawa Pos 24
Pebruari 2007).
Penyandang masalah sosial adalah seseorang, keluarga atau masyarakat yang
karena hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya
dan karena tidak dapat menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya,
sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosialnya secara
memadai dan wajar) (Depsos, 2004:4).
Penyandang Tuna Laras, yaitu orang-orang yang mengalami gangguan jiwa,
merupakan permasalahan yang spesifik. Pada umumnya mereka tidak dapat disembuhkan
seratus persen (100%). Suatu saat mereka dapat kambuh, atau bahkan perilaku mereka
masih menunjukkan tingkah laku “gila” dalam kehidupan sehari-hari.
Mengatasi penyandang tuna laras menjadi penting terutama disaat kondisi krisis
ekonomi, dan kondisi yang semakin tidak menentu. Pengelolaan pembangunan
kesejahteraan sosial memang menjadi tugas, wewenang dan tanggung jawab pemerintah
daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Akan tetapi tidak kalah penting juga
keikutsertaan masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan, Lembaga swadaya,
organisasi lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan
sosial.
Penanganan PMKS Tunalaras seringkali masih bersifat parsial dan belum
terencana secara berkesinambungan sehingga hasilnya kurang efektif dan belum tepat
sasaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Lemahnya koordinasi dan kerjasama
antar wilayah perbatasan provinsi maupaun kabupaten/kota semakin memunculkan sikap
egoisme daerah.
Study Penanganan Maalah Sosial Gelandangan Psikotik Di Wilayah Perbatasan
dan Perkotaan ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh upaya pengelolaan terhadap
penderita tuna laras psikotik agar tidak menjadi gelandangan yang dilaksanakan oleh
dinas teknis maupun masyarakat sendiri, serta memberikan masukan tentang bagaimana
memperbaiki upaya-upaya yang dilakukan oleh dinas teknis terhadap penderita tuna laras
psikotik, maka penelitian ini dilakukan.
Pertanyaan yang akan dijawab dengan study ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah manajemen pengelolaan penyandang masalah sosial Gelandangan
Psikotik di Jawa Tengah ?
2. Bagaimanakah upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi penyandang masalah
sosial Gelandangan Psikotik dan efektivitas upaya tersebut ?
Manfaat Penelitian memberikan masukan alternatif kebijakan dalam upaya
optimalisasi pengelolaan GP di Jawa Tengah. Selain itu temuan lapangan dapat juga
digunakan untuk menyusun rekomendasi tentang alternatif tindakan dan pemikiran
kedepan dalam rangka penyempurnaan kebijakan program berkaitan dengan membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Jawa Tengah.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan
tingkat kedalaman analisis sampai pada tingkat eksplanasi. Populasi penelitian ini adalah
seluruh lembaga/intansi yang menangani masalah sosial Penderita Psikotik yaitu 24
instansi yang terdiri Dinas Sosial, Rumah Sakit Jiwa, Dinas Kesehatan, Panti
Rehabilitasi, Panti Singgah, Kepolisian dan Satpol PP . Namun secara purposive
sampling diambil empatbelas Kabupaten/Kota dengan asumsi merupakan daerah
perbatasan sebagai koridor mobilitas masuk keluar Gelandangan Psikotik, dan pusat-
pusat persebaran rehabilitasi PMKS GP.
Obyek dan responden penelitian ini selain para aparat pemerintah yang terkait
langsung dengan penanganan ini juga sekelompok masyarakat yang terdiri keluarga
penderita psikotik dan masyarakat lingkungannya penderita berasal.
Pengumpulan data selain melalui wawancara, observasi, juga dilakukan Focused
Group Discussion (FGD terbatas) guna menggali informasi secara langsung dengan
pihak-pihak yang mengetahui permasalahan dan upaya-upaya penanganannya dalam satu
forum diskusi kelompok yang terarah. Data dan informasi yang dikumpulkan lewat
teknik ini adalah informasi tentang koordinasi, sistem penanganan, kualitas pelayanan,
dan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi PMKS GP. Peserta FGD unsur Tim
Koordinasi Tingkat Kabupaten Kota, Rumah sakit Jiwa, Panti Tuna Laras Provinsi, Panti
Tuna Laras Kabupaten, Panti Tuna Laras Kota, Biro Kerjasama, Bappeda dan Bakorlin,
Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Data kuantitatif yang berupa angka-angka dilakukan
dengan analisis statistik diskriptif dengan menintepretasikan modus prsentase pada
jawaban-jawaban yang menonjol tinggi/rendah. Sedangkan untuk data kualitatif
dilakukan dengan analisis induktif.
Analisis terhadap penyebab dominan terjadinya Psikotik digunakan analisis
kecenderungan pernyataan terbanyak (modus) dari para stakeholders pada waktu
dilakukan FGD terbatas. Analisis terhadap efektivitas pengelolaan program/kegiatan
penanganan Gelandangan Psikotik, dilakukan dengan melakukan matching antara
kecenderungan terbanyak pernyataan pada stakeholders dalam FGD dengan teori-teori
implementasi program dan teori tentang kemiskinan. Analisis terhadap efektifitas
program-program untuk manajemen pengelolaan Gelandangan Psikotik digunakan teori-
teori implementasi program.
Hasil dan Pembahasan
1. Proses Perencanaan Program
Pembahasan terhadap proses perencanaan program meliputi aspek penyebaran
informasi, koordinasi perencanaan penjaringan Gelandangan Psikotik (GP),
bagaimana persepsi terhadap adanya GP, kriteria menentukan GP, mekanisme,
tahapan atau proses penanganan GP, penggalian gagasan/ide penanganan GP,
penyusunan usulan kegiatan penanganan GP, kerjasama antar dinas antar wilayah dan
sistem koordinasi yang dibangun dalam penanganan GP.
Salah satu dimensi utama dalam proses perencanaan program adalah aspek
keterbukaan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek keterbukaan
program sebetulnya masih kurangnya informasi yang harus disampaikan kepada
masyarakat terutama menyangkut pengetahuan masyarakat tentang lembaga yang
mengurusi, mekanisme menangani penderita psikotik atau gelandangan psikotik
terutama pada aras pedesaan maupun kelurahan. Sosialisasi program terbatas pada
program-program yang dianggap prioritas oleh Kabupaten/ Kota cq Dinas Sosial dan
Tim , seperti sosialisasi tuna-tuna sosial sedangkan menyangkut penderita Psikotik
dan Gelandangan Psikotik belum dilakukan secara khusus. Akibat kurangnya
sosialisasi tersebut mengenai mekanisme, prosedur penanganan juga kurang dipahami
oleh masyarakat. Sementara itu media cetak atau elektronik kurang mendapat
perhatian dari masyarakat. Alasan utama oleh pengelola adalah tidak disediakan
anggaran yang cukup untuk kegiatan tersebut.
Penilaian responden/informan terhadap upaya keterbukaan informasi
menunjukkan bahwa sebagian besar atau 51,4% menyatakan bahwa program
Pengentasan Masalah Sosial dinilai kurang terbuka.
Beberapa pandangan yang diberikan bagaimana koordinasi perencanaan
penjaringan Gelandangan Psikotik oleh peserta program menunjukkan bahwa masih
dilakukan secara parsial dalam sistem penganggaran untuk sebuah kegiatan program
yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa belum adanya keterpaduan dalam
koordinasi perencananan, khusus untuk melakukan penjaringan Gelandangan
Psikotik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dasar kegiatan lembaga-
lembaga yang berkompeten dalam penanganan Gelandangan Psikotik maupun
Psikotik ini terdapat dua macam yaitu melaksanakan kegiatan secara fungsional
kelembagaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga yang bersangkutan, dan
yang kedua dalam bentuk tim lintas sektor,melalui tim koordinasi yang terdiri Dinas
Kesos, Satpol PP dan Kepolisian, Dinkes dan Bagian Kesejahteraan Pemda yang
bersangkutan.
Kemudian bagaimana persepsi mereka terhadap Gelandangan Psikotik untuk
daerah tertentu yaitu sesuatu yang perlu ditertibkan dalam arti dilakukan penjaringan
untuk menjaga kebersihan dan keindahan kota, dengan demikian masih terbatas
kepada tugas pokok dan fungsi lembaga yang bersangkutan yaitu melakukan
pengamanan unjuk rasa, penertiban pengemis, gelandangan dan orang terlantar
maupun pedagang kaki lima ini untuk lembaga yang berkecimpung dalam kegiatan
K3 (Keindahan, Kebersihan dan Ketertiban), sementara untuk lembaga yang
berkaitan dengan kesejahteraan sosial maka persepsi mereka terhadap Gelandangan
Psikotik lebih maju selangkah yaitu perlunya penampungan untuk dilakukan
perawatan atau disalurkan pada lembaga-lembaga yang memang mengelola
Gelandangan Psikotik maupun Psikotik. Namun keterbatasan Sumberdaya manusia,
sarana prasarana dan anggaran maka penanganan Gelangan Psikotik tidak menjadikan
sebagai sebuah program prioritas dalam susunan program di lembaga ini maupun di
daerah tersebut.
Dalam hal penyusunan usulan program tahunan masalah Gelandangan
Psikotik atau Penderita Psikotik menurut responden tidak diagendakan sendiri namun
merupakan sub kegiatan yang ada di instansi bersangkutan seperti Dinas Kesos
Kabupaten/Kota, Panti Tuna Laras. Sedangkan untuk Rumah Sakit Jiwa secara rutin
mengusulkan, anggaran operasional namun masih terbatas sehingga tidak dapat
melakukan pembinaan ataupun penyuluhan kepada Organisasi Masyarakat atau LSM
yang melakukan penanganan gelandangan psikotik serupa maupun penderita Psikotik
di berbagai wilayah Jawa Tengah.
Dimensi lain dalam penentuan keberhasilan program adalah faktor koordinasi.
Adanya koordinasi akan sangat membantu dalam meminimalisasi tumpang tindih
tugas masing-masing instansi terkait. Bentuk koordinasi yang telah dilakukan dalam
pelaksanaan program penanganan gelandangan psikotik cukup beragam. Pertemuan
berkala merupakan salah satu bentuk yang sering dilakukan oleh stakesholder
(43,3%). Disamping pertemuan rutin terdapat juga pertemuan insidental yang
biasanya dilakukan apabila terdapat masalah-masalah yang mendesak (33,7%).
Bentuk koordinasi lainnya adalah dengan pelaksanaan kunjungan lapangan (23%).
Adanya kunjungan lapangan ini akan bermanfaat untuk melihat kesulitan riil yang
dihadapi masyarakat dalam menjalankan perawatan pasca RSJ ataupun Pasca PTL.
2. Tingkat Keberhasilan
a. Informasi berkaitan dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan penanganan
gelandangan psikotik di Jawa Tengah, tidak semata-mata dilihat dari jumlah
penderita atau kelayan yang sudah bisa pulang ke keluarga, namun demikian juga
kegiatan pelayanan yang diberikan oleh pihak petugas RSJ dan Panti
menunjukkan angka yang menggembirakan. Sebagai contoh pada Rumah Sakit
Jiwa Magelang pada tahun 2006 terdapat 2.546 pasien masuk dan pasien keluar
pada tahun yag sama 2.423 orang yang berasal dari seluruh Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa daerah diluar Jawa Tengah dan DIY.
Pandangan responden terhadap tingkat ketercapaian sasaran akan merefleksikan
apakah program ini bermanfaat atau tidak. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan maka terlihat bahwa 40,0% masyarakat menyatakan bahwa mereka
tidak mengetahui apakah program ini dapat mencapai sasarannya atau tidak.
Meskipun demikian sebagian besar atau 60 % menyatakan bahwa program
penanganan ini dapat mencapai sasarannya atau program ini telah diberikan
kepada masyarakat yang membutuhkan.
b. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam proses pelaksanaan penanganan
serta identifikasi langkah-langkah yang telah ditempuh
Terdapat asumsi bahwa faktor penyebab psikotik adalah faktor keturunan,
stress beruntun dan berat, permasalahan ekonomi, adanya problem keluarga.
Sedangkan penyebab timbulnya gelandangan psikotik adalah (1) penyakit
psikotik sulit disembuhkan (2) biaya pengobatan relatif tinggi (3) penyandang
psikotik dari keluarga tidak mampu sehingga mengalami kesulitan dalam
menanggung biaya pengobatan dan (4) terbatasnya bangsal rawat inap di RSJ bagi
keluarga tidak mampu (5) terbatasnya tempat penampungan di Panti Tuna Laras.
Secara internal adanya stigma masyarakat terhadap eks psikotik yang telah
“sembuh”.
Selain itu masalah yang dihadapi dalam penanganan Gelandangan Psikotik
(GP) adalah : (1) GP sulit untuk dikenali identitasnya (2) GP dari berbagai daerah
dan bahasa, sehingga menyulitkan petugas dalam melaksanakan identifikasi (3)
Kondisi kesehatan GP labih bahkan sulit untuk disembuhkan secara total (4)
adanya stigma masyarakat terhadap “eks psikotik” yang telah “sembuh” (5) obat
khusus untuk gangguan jiwa mahal (psikotropika) (6) penyaluran .
Kecenderungan dan implikasinya secara sosial bagi program penanganan
GP ke depan dengan penanganan seperti sekarang ini maka akan menjadi sebuah
lingkaran persoalan yang tidak berujung pangkal karena kurangnya kemauan baik
pemerintah daerah baik legislatif dan eksekutif untuk menuntaskan masalah ini.
Forum Kerjasama Antar Wilayah Perbatasan dan Mitra Praja Utama
(MPU) yang terdiri pemerintah provinsi se Jawa – Bali , NTT dan NTB
sebenarnya memiliki peran strategis untuk memformulasikan persoalan-persoalan
sosial sepeti masalah sosial gelandangan psikotik dan bukan gelandangan
psikotik, namun sejauh ini persoalan tersebut belum dibahas secara intensif, dan
jika telah dibahas belum pernah ditindaklanjuti secara proporsional.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Manajemen Pengelolaan Penyandang Masalah Gelandangan Psikotik
Dilihat dari perspektif tujuan yang ingin dicapai, dianggap berhasil apabila : (1)
tertanganinya penyandang PMS Gelandangan Psikotik dan Psikotik secara
proporsional sesuai dengan kebutuhan, pelayanan perawatan kesejahteraan lapisan
masyarakat yang menjadi kelayan meningkat dengan tanpa terbebani biaya yang
diperkirakan mereka tidak mampu menanggungnya; dan (2) peningkatan tersebut
dicapai melalui peningkatan kemampuan kelembagaan, baik negeri maupun swasta
yang ikut serta memiliki kepedulian. (3) Tidak terdapat kematian yang berarti pada
setiap cluster penanganan gelandangan psikotik dan psikotik di Jawa Tengah (4)
terdapat ration yang rasional antara kelayan yang masuk dan keluar dan kembali ke
masyarakat, meskipun terdapat kesulitan yang sangat berarti tentang kembalinya ke
masyarakat karena faktor lingkungan keluarga dan masyarakat yang kurang peduli
dengan kembalinya kelayan.
Selanjutnya secara Kelembagaan, secara keseluruhan dapat dikatakan telah
berhasil mencapai tujuannya merawat orang-orang terlantar dan sedang terganggu
jiwanya, meningkatkan kemampuan kelembagaannya dengan cukup dinamik.
Dibawah motivasi yang sangat kuat untuk menanggapi secara positif terhadap
kondisi yang ada untuk mengembangkan kepedulian, kemampuan penyelenggaraan
cluster-cluster persinggahan, pesantren dan pondok psikotik semakin jelas ditandai
oleh perkembangan kelembagaan berikut : (1) semakin meningkatnya jumlah
lembaga swadaya masyarakat yang berpartispasi dalam penanganan gelandangan
psikotik dan psikotik dan berhasil diselenggarakan pada tingkat tertentu (2) semakin
meningkatnya penanganan awal secara periodik pada masing-masing Kabupaten/Kota
yang dikelola institusi lebih bawah dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat dan
lintas wilayah. Meskipun semua itu tidak dengan sendirinya dapat diartikan sebagai
peningkatan kapasitas kelembagaan RSJ, PTL, dan Tim Koordinasi pada tingkat
kabupaten/kota di dalam menyelenggarakan penertiban K3, paling sedikit mereka
mengisyaratkan keterlibatan semakin banyak personel birokrasi pada hirarki lebih
rendah yang semakin mendalam di dalam proses kegiatannya. Dan didalam
perjalanan waktu, keterlibatan serupa itu tidak ayal lagi akan merupakan landasan
yang sangat positif bagi peningkatan kemampuan kelembagaan birokrasi
pembangunan pemerintah daerah di masa-masa desentralisasi seperti saat ini.
a. Sangat penting di dalam keseluruhan evolusi perkembangan kelembagaan tersebut
adalah muncul dan diselenggarakannya kegiatan-kegiatan yang terfokus pada
penanganan masalah sosial sejenisnya melalui APBD Kabupaten/Kota yang
bersangkutan yang jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat dan
mengabsorbsi proporsi anggaran yang semakin besar. Di dalam format
penyelenggaraan secara terpadu telah diupayakan antara sektoral dan masyarakat
secara terencana, meskipun belum maksimal, dimana perencanaan kegiatan
pembangunan substantif dari bawah dilakukan oleh pemerintah kecamatan
melalui Petugas Sosial Kecamatan (PSK) dan masyarakat melalui Petugas Sosial
Masyarakat(PSM), sementara dinas-dinas /instansi yang terkait dan fasilitator
desa/kelurahan memberikan sosialisasi dan bimbingan meski belum maksimal.
b. Capaian lain dari evolusi kelembagaan dalam konteks perencanaan adalah
dilibatkannya PSM, PSK dan berbagai organisasi masyarakat sebagai ujung
tombak perangkat birokrasi perencanaan dari bawah pada tingkat kelurahan dan
desa.
c. Didalam konteks monitoring kegiatan-kegiatannya ternyata menemukan
kesulitan untuk menyelenggarakan monitoring, oleh karena tidak terdapat jejaring
di semua tingkatan dan masih lemahnya koordinasi di tingkat Kabupaten/Kota
dan pada umumnya tidak secara formal dibentuk struktur organisasi khusus untuk
kegiatan ini, sebagai sebuah kebutuhan kegiatan pemerintahan.
d. Ditilik dari perspektif tujuan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, secara umum dapat dikatakan bahwa penanganan GP dan P melalui
progran ASKESKIN seringkali belum menyentuh keluarga miskin yang
menderita Psikotik, sebagai akibat sistem administrasi pendataan yang kurang
akurat di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Walaupun dampak kesejahteraan
secara absolut hanya kecil, namun bagi para penerima fasilitas tersebut dirasakan
sebagai sesuatu yang sangat menolong.
e. Hampir semua responden/informan masyarakat menyatakan memberikan dampak
positif atau bermanfaat. Dari analisis lebih lanjut mengenai pengertian manfaat
dari kaca mata atau perspektif mereka, manfaat yang dimaksud meliputi aneka
ragam manfaat berikut: perawatan gratis, mengurangi beban psikologis keluarga,
memberikan kesempatan keluarga untuk mencari nafkah, menanmbah motivasi
bahwa penderita psikotik dapat “disembuhkan”.
2. Upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi penyandang masalah Gelandangan
Psikotik.
a. Penanganan Penyandang Masalah Sosial Gelandangan Psikotik di Wilayah
Perbatasan dan Perkotaan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan
perhatian dan kepedulian Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Selain memberikan manfaat
kepada pemerintah, juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat dalam menyikapi kondisi yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
b. Informasi berkaitan dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan penanganan
Gelandangan Psikotik di Jawa Tengah, tidak semata-mata dilihat dari jumlah
penderita atau kelayan yang sudah bisa pulang ke keluarga, akan tetapi juga
kegiatan pelayanan yang diberikan oleh pihak petugas RSJ dan Panti Tuna
Laras., serta berkembangnya kelambagaan yang dikelola pemerintah dan
organisasi masyarakat
c. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam proses pelaksanaan
penanganan serta identifikasi langkah-langkah yang telah ditempuh Provinsi,
Kabupaten/Kota dalam mengatasi permasalahan, diantaranya:
1). Dana yang terbatas/tidak mencukupi untuk menangani penyandang
masalah sosial Gelandangan Psikotik, meskipun sumber pembiayaan
berasal dari beragam sumber dana.
2). Data tentang jenis kelompok Gelandangan Psikotik maupun Psikotik baik
di tingkat desa/kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota banyak yang
kurang akurat.
3). Kepedulian masyarakat yang mampu terhadap para Gelandangan Psikotik
maupun Psikotik masih kurang.
4). Kurang adanya monitoring dan evaluasi guna memantau pelaksanaan
kebijakan/program
5). Kurangnya koordinasi antar instansi dalam perencanaan, pelaksanaan
sehingga banyak kelompok sasaran yang tidak terbantu.
Langkah yang dilakukan guna mengatasi persoalan-persoalan tersebut diatas
antara lain:
Mengalokasikan dana melaui sumber dana Pemerintah Kabupaten/ Kota,
melakukan aktifitas rasia secara terpadu dan pendataan. Disamping itu juga
melibatkan pihak swasta/LSM/Yayasan dan masyarakat. Persoalan yang
menyangkut keterbatasan dana untuk masyarakat tidak mampu diatasi melalui
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS
BBM) atau yang sering dikenal dengan Askeskin, sedangkan untuk
masyarakat mampu melalui swadana, sedangkan di tingkat rehabilitasi
sosial/Panti Tuna Laras masih mengandalkan pendanaan dari Pemerintah
Provinsi saja.
Saran
Semua yang sudah dikemukakan di atas hendaknya dibaca didalam perspektif
ketiga tujuan penanganan gelandangan psikotik, perlu diingat, merupakan tujuan yang
tidak mungkin dapat dicapai dalam waktu yang pendek. Di dalam perspektif waktu
pencapaian tujuan yang panjang itulah prestasi pengelola Penyandang Masalah Sosial
Gelandangan Psikotik di Jawa Tengah dalam upayanya mengembangkan kemampuan
kelembagaan dan meningkatkan kesejahteraan hidup kelayannya sebagaimana
dikemukakan di muka harus dipandang sebagai suatu keberhasilan. Pada saat yang sama
beberapa catatan tentang rekomendasi perlu pula dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota
a.Perlu dipertimbangkan membuka Bangsal Jiwa untuk Rumah Sakit Umum di
masing-masing kabupaten Kota seperti di Kabupaten Banyumas;
b. Masing-masing daerah kabupaten/kota perlu memiliki tempat penampungan
bagi penyandang masalah kesejateraan sosial;
c.Diperlukan dukungan dana pemkab/kot dalam kegiatan penanganan
gelandangan psikotik seperti rapat koordinasi lintas SKPD secara terstruktur
disamping masalah rasia.
d. Perlu melakukan kerjasama dengan daerah perbatasan dalam propinsi dan
perbatasan antar propinsi untuk meminimalisir populasi GP dan P di
wilayah perbatasan dalam koridor kerjasama antar daerah yang
dikoordinasikan oleh pemerintah Provinsi; Kerjasama tersebut dapat
dilakukan antar Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan serta Satpol PP dalam
bentuk kesepakatan bersama atau Peraturan Bersama antar Pemerintah
Provinsi dan antar Pemerintah Kabupaten/Kota; seperti membangunan
fasilitas bersama untuk penanganan penyandang masalah sosial Psikotik,
sehingga tidak terjadi saling melepas penyandang masalah gelandangan
psikotik
e.Perlu memberdayakan lembaga-lembaga swadaya/organisasi masyarakat yang
berkecimpung dalam penanganan GP seperti pondok pesantren dsb
f. Perlunya meningkatkan peran PSM dan PSK dalam penyampaian informasi
tentang berbagai program pengentasan masalah sosial termasuk penanganan
gelandangan psikotik;
g. Penyusunan inventarisasi data PMS GP dilengkapi dengan penyebab
masalah-masalah yang disandangnya. Penyebab masalah kesejahteraan
sosial dihimpun melalui penelitian dan pengamatan di lapangan dalam kurun
waktu tertentu serta keterangan dari pemuka masyarakat dan kepala
desa/lurah setempat.
h. Mengingat banyaknya PMKS, maka diperlukan lembaga/institusi yang
kuat baik struktur maupun Sumber Daya Manusia yang melaksanakan tugas
pokok dan fungsi lembaga tersebut. Berdasarkan Struktur Organisasi dan
Tatalaksana yang baru banyak Kabupaten/Kota yang menempatkan lembaga
penanganan masalah kesejahteraan sosial hanya berupa seksi dalam dinas
yang dibentuknya, hal ini berdampak semakin kecilnya kewenangan dan
potensi yang dimilikinya sehingga berbanding terbalik dengan permasalahan
yang dihadapinya.
2. Pemerintah Provinsi
a.Perlu Perumusan kembali dan atau menghidupkan kemblai Pondok Boro
dalam kerangka pelayanan untuk GP dan psikotik
b. Perlu PTL di setiap Eks Karesidenan di Jawa Tengah
c.Perlu dipikirkan menambah bangsal kelas ekonomi untuk merawat pasien
psikotik dari keluarga tidak mampuPerlunya kerjasama antar daerah dalam
penanganan GP
d. Perlunya fasilitasi Panti Tuna Laras seperti penugasan tenaga medis dan non
medis, psikolog dan ahli agama.
e. Menyusun rekapitulasi data PMS dari Kabupaten/Kota yang berasal dari
Kabupaten/Kota lengkap dengan permasalahan dan penyebabnya yang
disesuaikan dengan data dari Kabupaten/Kota setiap tahun.Menyusun model
pola tatalaksana penanganan yang diteliti yaitu Gelandangan psikotik.
Penyusunan model dapat mengacu pada konsep yang dikemukakan oleh
Borg & Gal (dalam Dwi Heru Sukoco 2003), yaitu :1). Survei awal ,
2).Pengembangan Konsep Model 3).Uji coba model 4).Validasi model
5).Pelaporan dan Diseminasi
f. Memberdayakan Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial yang ada
di tingkat provinsi dan Forum Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial
yang ada di Kabupaten/Kota untuk menangani Semua program/kegiatan
untuk membantu pengentasan kelompok PMKS, baik yang berasal dari
APBN/APBD, Swasta, LSM Pengusaha/Perorangan.
g. Menerbitkan Surat Edaran Gubernur untuk Dinas/Instrnasi/Lembaga di
tingkat propinsi yang terkait dan Kabupaten/Kota untuk menyediakan
anggaran untuk membiayai kegiatan peningkatan kesejahteraan PMS
khususnya penanganan GP baik dari APBN, APBD maupun sumber-sumber
lain yang sah secara berkesinambungan. Disamping itu menghimbau kepada
pihak Swasta, LSM, Pengusaha/Perorangan yang mampu dan mau menjadi
donatur tetap bagi pengentasan PMS Gelandangan Psikotik dengan
menggunakan satu sistem yang telah disahkan oleh Gubernur
3. Pemerintah Pusat
a. Program ASKESKIN perlu dilanjutkan dengan formula khusus bagi
penyandang GP
b. Perlu penegasan keberadaan Penyandang Masalah Sosial GP dalam
komposisi 27 PMKS
c. Perlu membangun sebuah model desa Psikotik
4. Lembaga Swadaya Masyarakat/Swasta/Perorangan
Perlu menumbuhkembangkan peran masyarakat baik orang perorangan,
lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media masa, dalam
pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan, pemantauan
dan evaluasi dalam kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial khususnya PMS
Gelandangan Psikotik.
5. Meningkatkan Sumber Ddaya Manusia di bidang Profesionalisme, kinerja
aparatur dan pelaku pembangunan kesejateraan sosial. Meningkatkan kemitraan
kerjasama, kepedulian, kesetaraan, kebersamaan, kolaborasi dan pelaksanaan
jaringan kerjasama diantara pelaku pembangunan kesejahteraan sosial serta
meningkatkan partisipasi, prakarsa, peranan dan keterlibatan semua pelaku
pembangunan dan penerima pelayanan, lingkungan sosial dan penyedia
pelayanan dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan
kegiatan dan pemantauan pelaksanaan serta melakukan pilihan terbaik untuk
peningkatan kesejahteraan sosial.
Hak Cipta © 2007 Balitbang Prov. JatengJl. Imam Bonjol No. 190 Semarang
50132Telp : (024) 3540025,
Fax : (024) 3560505Email : [email protected]