Download - 54337994 Kasus Bank Lippo Updated
Profil perusahaan
PT Bank Lippo Tbk merupakan perusahaan yang menyediakan produk perbankan umum dan pelayanan
dengan segmen konsumen dan perusahaan di Indonesia. Perusahaan ini menyediakan account pribadi,
kartu debit, kartu distribusi, kartu kredit, produk investasi, bancassurance, safe deposit dan produk dan
layanan pembayaran. PT Bank Lippo Tbk juga menawarkan deposito, giro, pengiriman uang, pembukaan,
rekening tabungan, pembiayaan perdagangan, dan produk bank draft dan jasa. Pada 24 April 2007,
beroperasi 400 cabang dan kantor, dan 693 anjungan tunai mandiri. Sejarah Bank Lippo dimulai pada
tahun 1948 dan didirikan oleh Mochtar Riady bersama grup Lippo hingga sempat menjadi bank
kesembilan terbesar dalam jumlah aktiva yang dimilikinya. Saat Asia mengalami krisis pada tahun 1997,
Indonesia menjual sebagian saham di Bank Lippo yang digunakan untuk menutup defisit anggaran
pemerintah Indonesia yang mencapai 450 triliun rupiah. Penjualan itu akhirnya juga digunakan untuk
menyelamatkan keuangan bank-bank yang mengalami krisis pada saat itu. Kemudian pada tahun 2004
sebuah lembaga asal Swiss yang bernama Swissasia Global, membeli 52,1 persen saham Bank Lippo dari
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya Pada tanggal 26 Agustus 2005, pemegang
saham bank dan Bank Indonesia menyetujui penjualan 52,05% saham mayoritas dimiliki oleh Swissasia
Global ke Santubong Investment BV yang sepenuhnya dimiliki oleh Khazanah Nasional Berhad, sebuah
institusi investasi milik pemerintah federal Malaysia. Penjualan mulai berlaku pada Sejak Khazanah,
memiliki kepentingan langsung dari 93 persen di Bank Lippo melalui Santubong Investment BV dan
Greatville Pte. Ltd, dan juga memiliki 64 persen dari Bank CIMB Niaga melalui Bumiputra-Commerce
Holdings, Bank Niaga dan Bank Lippo harus digabung untuk memenuhi ke "kebijakan kepemilikan
tunggal" bank sentral Indonesia. Pada November 2008, Lippo Bank resmi bergabung dengan Bank CIMB
Niaga dan dikenal sebagai PT Bank CIMB Niaga Tbk anak perusahaan Indonesia dari CIMB Group.
Susunan Direksi dan Komisaris PT Bank Lippo Tbk
Komisaris Direksi
Presiden Komisaris DR Mochrar Riady Presiden Direktur I gusti Made Mantra
Wakil Presiden Komisaris Roy Edu Tirtadji Wakil Presiden Direktur Eddy Harsono Handoko
Komisaris Anggito Abimanyu Wakil Presiden Direktur Rachmawaty
Komisaris Hadiah Harawatis Direktur Ivan Setiawan Budiono
Komisaris Masagoes Ismail Ning Direktur Harry Sasongko
Komisaris Rudi Toha Bachrie Direktur Harnanda Noerlan
Komisaris Markus Parmadi
Komisaris Junianto tri Prijono
Sumber: pengumuman Hasil RUPS Luar biasa PT bank Lippo Tbk- No : JKT- 185/LIST-PENG/BES/XI/2002
Overview Kasus
Seperti diketahui, telah terjadi perbedaan laporan keuangan Bank Lippo per 30
September 2002, antara yang dipublikasikan di media massa dan yang dilaporkan ke BEJ.
Dalam laporan yang dipublikasikan melalui media cetak pada tanggal 28 November 2002
disebutkan total aktiva perusahaan sebesar Rp 24 triliun dengan laba bersih Rp 98
Miliar.Sedangkan dalam laporan ke BEJ tanggal 27 Desember 2002, total aktiva berkurang
menjadi Rp 22,8 triliun dan rugi bersih (yang belum diaudit) menjadi Rp 1,3 triliun.
Manajemen Lippo beralasan, perbedaan itu terutama pada kemerosotan nilai agunan yang
diambil alih (AYDA) dari Rp 2,393 triliun pada laporan publikasi dan Rp 1,42 triliun pada
laporan ke BEJ. Akibatnya keseluruhan neraca dan akun-akun berbeda signifikan, termasuk
penurunan rasio kecukupan modal (CAR) dari 24,77 persen menjadi 4,23 persen.1
Dalam Press release bapepam , ternyata terdapat 3 versi laporan keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 september 200, dari 3 versi ini semuanya dinyatakan telah diaudit, yaitu:
1. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan di surat kabar
pada tanggal 28 November 2002;
2. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada
tanggal 27 Desember 2002;
3. Laporan Keuangan PT Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan oleh
Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko &Sandjaja kepada Manajemen PT Bank Lippo Tbk pada
tanggal 6 Januari 2003. Ketiga versi laporan keuangan tersebut disajkan ditabel dibawah ini:
Versi
Laporan
keuangan
1. Laporan Keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002
2. Laporan Keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002
3. Laporan Keuangan PT Bank
Lippo Tbk per 30 September 2002
yang diiklankan di surat kabar
pada tanggal 28 November 2002;
yang disampaikan ke BEJ pada
tanggal 27 Desember 2002;
yang disampaikan oleh Akuntan
Publik KAP Prasetio, Sarwoko &
Pemuatan iklan tersebut
merupakan pelaksanaan kewajiban
PT Bank Lippo Tbk atas ketentuan
Bank Indonesia.
Penyampaian laporan tersebut
merupakan pemenuhan
kewajiban
Sandjaja kepada Manajemen PT
Bank Lippo Tbk pada tanggal 6
januari 2003
PT Bank Lippo Tbk untuk
menyampaikan Laporan
Keuangan
Triwulan ke-3 tahun 2002
1 http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/01/27/brk,20030127-19,id.html
informasi
dalam
laporan
keuangan
a. pernyataan Manajemen PT
Bank Lippo Tbk bahwa
a. Pernyataan manajemen PT
Bank Lippo Tbk bahwa laporan
a. Laporan Auditor Independen
yang berisi opini Akuntan Publik
laporan keuangan tersebut
disusun berdasarkan Laporan
keuangan
keuangan yang disampaikan
adalah laporan keuangan
“audited” yang tidak disertai
dengan opini akuntan publik
Drs. Ruchjat Kosasih dari KAP
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja
Konsolidasi yang telah diaudit
oleh KAP Prasetio,Sarwoko &
Sandjaya
dengan pendapat WTP Laporan
Auditor
(penanggung jawab Drs. Ruchjat
Kosasih) dengan pendapat wajar
tanpa pengecualian
Independen tersebut tertanggal 20
November 2002, kecuali
untuk Catatan 40a tertanggal 22
November 2002 dan Catatan
40c tertanggal 16 Desember 2002.
b. Penyajian dalam bentuk
komparasi per 30 September 2002
b. Penyajian dalam bentuk
komparasi per 30 September
2002
b. Penyajian dalam bentuk
komparasi per 30 September 2002,
31
(“Diaudit”) dan per 30 September
2001 (“Tidak Diaudit”).
(“audited”) dan 30 September
2001 (“unaudited”).
Desember 2001 dan 31 Desember
2000.
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih
(“AYDA”) per 30 September
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih-
bersih (“AYDA”) per 30
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih-
bersih (“AYDA”) per 30
2002 sebesar Rp 2,393 triliun;
September 2002 sebesar Rp 1,42
triliun;
September 2002 sebesar Rp 1,42
triliun;
d. Total aktiva per 30 September
2002 sebesar Rp 24,185 triliun;
d. Total aktiva per 30 September
2002 sebesar Rp 22,8 triliun;
d. Total aktiva per 30 September
2002 sebesar Rp 22,8 triliun;
e. Laba tahun berjalan per 30 e. Rugi bersih per 30 September e. Rugi bersih per 30 September
September 2002 sebesar Rp 98,77 2002 sebesar Rp 1,273 triliun; 2002 sebesar Rp 1,273 triliun;
miliar;
f. Rasio Kewajiban Modal
Minimum Yang Tersedia sebesar
f. Rasio Kecukupan Modal
sebesar 4,23%.
f. Rasio Kecukupan Modal sebesar
4,23%.
24,77%.
(Sumber Press Release BAPEPEM)
Seperti terlihat diatas pada rasio kecukupan modal (CAR) juga terjadi penurunan yang signifikan
dari 24,77% menjadi hanya sebesar 4,23%, dimana Rasio Kecukupan modal yang disyaratkan oleh Bank
Indonesia pada saat itu adalah sebesar 8%.
Tanggapan Manajemen
Atas Perbedaan Laporan keuangan ini, pada tanggal 15 januari 2003,Bank Lippo dipanggil
BEJ dan Bapepam untuk menjelaskan soal laporan ganda, MenurutPresiden Direktur Bank Lippo I
Gusti Made Mantra, seperti dituturkan Direktur Utama BEJ Erry Firmansyah, laporan keuangan kuartal III
tahun 2002 yang dipublikasikan pada 28 November 2002 lalu belum memasukkan hasil penilai terhadap
transaksi yang diketahui kemudian. Laporan keuangan itu dilansir guna memenuhi ketentuan Bank
Indonesia, agar laporan keuangan diumumkan paling lambat 60 hari setelah masa buku ditutup. "Kalau
menurut BEJ tidak harus diumumkan itu," kata Erry. 2
Pihak Lippo berdalih, kerugian itu terjadi menyusul adanya laporan konsultan penilai per 16
Desember terhadap aset yang diambil alih dan sekarang dalam proses penjualan. Menurut penilaian
konsultan mengacu harga pasar, aset properti senilai Rp 2,6 triliun itu telah menurun menjadi Rp 1,6
triliun sehingga Lippo harus menyediakan cadangan sebesar Rp 980 miliar. Selain itu, bank ini juga
mencadangkan untuk aset lain yang kualitasnya memburuk sebesar Rp 400 miliar. Sehingga total dana
2 http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=OTUx
yang dicadangkan sebesar Rp 1,4 triliun. Keuntungan bank ini sebesar Rp 200 miliar tidak memadai
untuk menutupi pencadangan sebesar Rp 1,4 triliun, sehingga Bank Lippo dianggap rugi Rp 1,2 triliun. 3
Menjawab teka-teki dalam maalah laporan keuangan ini tidaklah mudah, terutama karena
manajemen Lippo Bank cenderung tutup mulut. Hal ini dibenarkan oleh Presiden Direktur Lippo Bank, I
Gusti Made Mantra. "Direksi diperintahkan tutup mulut," ujarnya menjawab telepon TEMPO, Sabtu
tanggal 27 januari 2003 "Saya diminta puasa bicara," katanya menambahkan. 4
Dalam sebuah konferensi pers, Presiden Direktur Bank Lippo, I Gusti Made Mantera,
menjelaskan bahwa perbedaan isi laporan disebabkan adanya peristiwa setelah tanggal neraca
(subsequent event), yakni berupa penurunan nilai aset yang diambil alih (AYDA) dari Rp 2,4 triliun
menjadi Rp 1,42 triliun. Menurut seorang pejabat Bank Lippo yang tak mau disebut namanya,
penurunan drastis nilai aset yang kebanyakan berbentuk properti ini terjadi karena saat itu--Juni 2002--
BPPN mengguyur pasar melalui penjualan aset secara besar-besaran dengan harga obral. "Akibatnya,
ketika aset itu dinilai otomatis nilainya turun," kata pejabat itu. Namun, yang menarik, pihak direksi
terkesan berusaha menutupi fakta bahwa aset tersebut berasal dari Grup Lippo, yang diserahkan kepada
Bank Lippo menjelang rekapitalisasi pada 1999.5
Pada tanggal 24 Februari 2003, Presiden Direktur Bank Lippo, I.G.M. Mantera, menyatakan,
Untuk menambal kerugian yang besar itu, Mantera mengatakan, Bank Lippo akan melakukan
penambahan kapital. Besarnya tambahan modal memang belum dipastikan, tapi diperkirakan lebih dari
Rp 1 triliun. Para analis lagi-lagi melongo. Tiga tahun lalu, bank yang didirikan keluarga Riady itu sudah
diinjeksi modal Rp 7,7 triliun dari pemerintah. Kok, mau menambah kapital lagi? Sementara itu, di pasar 3 Ibid
4 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/27/EB/mbm.20030127.EB84454.id.html
5 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217.EB85108.id.html)
modal, harga saham Bank Lippo terus merosot. Dalam tempo tujuh bulan sejak April 2002, harga saham
bank terbesar nomor tujuh Indonesia itu telah melorot turun hingga 75 persen. Padahal, harga saham
bank lain di bursa Jakarta justru sebaliknya, malah terus membaik.6
Tanggapan BEJ
Sehubungan dengan temuan ini, BEJ telah melakukan beberapa tindakan. Tanggal 15
Januari 2003 lalu, BEJ meminta manajemen Lippo melakukan klarifikasi. Karena dua kali
hearing, BEJ menilai klarifikasi yang dilakukan belum jelas, manajemen bank itu diwajibkan
melakukan paparan publik. Paparan publik dilakukan pada tanggal 11 Februari lalu
Sebelumnya, dalam rilis yang dikirimkan, BEJ menilai manajemen Lippo telah melakukan
kelalaian. Yaitu, mencantumkan kata audited pada laporan keuangan yang unaudited,
sehingga mengakibatkan kerancuan informasi pada publik. Sehubungan dengan itu, BEJ
memberikan sanksi berupa peringatan keras kepada manajemen.7
Terkait dengan dilakukannya penilaian kembali atas Aset Yang Diambil Alih (AYDA),
maka BEJ mewajibkan manajemen untuk memberikan progress report yang ada, pada hari
bursa pertama setiap minggunya. Laporan perkembangan ini harus dilakukan manajemen
Lippo mulai tanggal 24 Februari hingga dikeluarkannya laporan keuangan auditan per 31
Desember 2002 kepada publik. 8
Bapepam Periksa Akuntan yang mengaudit Bank Lippo
Badan Pengawas Pasar Modal pada senin 3 februari 2003, memeriksa kantor akuntan publik
Ernst & Young, Sarwoko and Sanjaya, yang mengaudit laporan keuangan PT Bank Lippo Tbk.
6 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/24/EB/mbm.20030224.EB85320.id.html
7 http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/02/17/brk,20030217-17,id.html
8 http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/02/17/brk,20030217-17,id.html
Pemeriksaan ini untuk mengklarifikasi pernyataan Managing Partners Sarwoko Iman Sarwoko beberapa
waktu lalu, yang mengaku hanya mengaudit laporan keuangan Lippo yang dilaporkan ke Bursa Efek
Jakarta. 9
Menanggapi hal ini, Managing Partners Sarwoko yaitu Iman Sarwoko, bersikukuh menyatakan
bahwa kantornya hanya mengaudit laporan keuangan Lippo yang dilaporkan ke BEJ. "Kita cuma merasa
membuat audit report ke BEJ tuh,". Saat laporan keuangan Lippo pertama kali keluar kepada publik,
yaitu ke Bank Indonesia, kantornya belum selesai mengaudit laporan keuangan itu. "Valuasinya belum
selesai karena belum menyesuaikan agunannya," kata dia, sambil menambahkan ada selisih waktu
sekitar 3 minggu dari laporan ke BI dan selesainya audit oleh kantornya. Jadi, lanjutnya, dia tidak tahu
menahu kenapa ada laporan keuangan yang sebenarnya belum beres diaudit tapi sudah dilaporkan ke
BI. "Harusnya kalau memang mau dilaporkan juga, bilang saja itu bukan laporan belum diaudit,"
imbuhnya. Karena itu, tutur Iman, sulit bagi Sarwoko dan Sanjaya untuk ikut pula
mempertanggungjawabkan laporan keuangan ganda itu.Dia mengaku siap diperiksa dan dimintai
keterangan oleh BEJ, Bapepam, dan BPPN terkait laporan keuangan ini. "Kita punya bukti kok audit
report-nya yang ke BEJ," tandasnya. Tapi Iman belum bisa mengungkapkan hasil pertemuan hari ini
10dengan bapepam. Karena, yang memenuhi panggilan itu adalah penanggung jawab langsung laporan
itu dari Sarwoko dan Sanjaya, Ruhiyat Kosasih. "Anda hubungi dia saja," katanya.
Tanggapan Komisaris
Laksamana Sukardi, Mentri Negara BUMU mengatakan akan segera memangiil
komisaris pemerintah di Bank Lippo. wakil pemerintah di Bank Lippo adalah Anggito
9 http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/02/03/brk,20030203-25,id.html
10 http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2003/02/03/brk,20030203-25,id.html
Abimanyu, Deputi Kepala BPPN Junianto Triprijono dan Asisten Menko Perekonomian Hadiah
Herawati.11
Anggito mengatakan laporan ganda merupakan hal yang biasa. Kata dia, ini biasa
disebut dengan dual dating. “Biasa itu kalau ada sub sequen event lalu ada laporan
berikutnya. Dan tahun lalu juga terjadi demikian,” kata wakil pemerintah di Bank Lippo ini
yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Keuangan. Ia menegaskan pihaknya sudah
mengakui itu sebagai kelalaian. Dan sudah dijelaskan dalam paparan publik beberapa waktu
lalu tidak ada dua laporan melainkan hanya satu. “Mereka lalai mencantunkan kata-kata
audit, lalu apalagi sudah minta maaf sekarang tinggal serahkan ke Bapepam (Badan
Pengawas Pasar Modal),” tegas Anggito.12
Dalam setiap rapat, ungkap dia, jajaran komisaris sudah mengingatkan untuk mencermati kembali setiap
laporan. Tapi, soal paparan publik itu merupakan urusan jajaran direksi. “Yang menyampaikan laporan keuangan
itu kan direksi. Masa komisaris memeriksa kalimat per kalimat,” Karenanya ketika ditanya kalau Bapepam
menyatakan kesalahan di pihak Lippo apakah ia siap mundur? Ia menjawab, “pokoknya semua proses hasil
prosedur kita serahkan ke Bapepam.” Toh, kata dia, kesalahan itu tidak terlalu fatal karena hanya alpa
mencantumkan kata audit pada laporan ke Bursa Efek Jakarta. Anggito mengatakan kinerja banknya tidak ada yang
salah. Pihaknya akan tutup buku dan Anggito menambahakan penjualan aset kredit sudah tidak dilakukan lagi oleh
pihaknya. Bank Lippo memutuskan untuk menunggu sampai kondisi membaik. “Karena dalam RUPS (rapat umum
pemegang saham) juga sudah diputuskan bahwa penjualan itu dengan syarat tidak merugikan jadi tunggu situasi
lebih baik,” jelas dia. 13
DI kalangan wartawan, Roy Tirtadji dikenal dengan sebutan Mr. Off The Record. Tiap kali
diwawancarai, ia selalu buru-buru meminta semua pernyataannya tak dikutip. Tapi pekan lalu, seiring
11 www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/02/20/brk,20030220-09,id.html
12 www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/02/20/brk,20030220-09,id.html
13 www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/02/20/brk,20030220-09,id.html
kian memuncaknya skandal Bank Lippo, "tradisi" ini mendadak ia tinggalkan. "Sudah saatnya saya
bicara," Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo ini memberi alasan saat menerima tim TEMPO, Kamis
kemarin, di sebuah kamar suite di Hotel Aryaduta. Berikut petikannya pada tanggal 3 maret 2003
Kenapa laporan keuangan Bank Lippo yang tak diaudit dikatakan sudah diaudit?
Laporan keuangan yang kita laporkan cuma satu, tapi tanggalnya saja yang ganda: tanggal 20 November,
22 November, dan 16 Desember. Ini normal untuk standar internasional, tapi memang baru di
Indonesia. Jadi, tidak ada dua laporan audit. Hanya satu. Opininya satu, tanda tangannya juga satu.
Berarti BEJ salah memberi peringatan keras kepada Lippo?
Silakan tanya ke BEJ. Ini masalah rumit. Laporan yang kami publikasi pada 28 November memang belum
ditandatangani. Tapi, kalau ditanya apakah itu sudah diaudit, jawabannya sudah.
Soal aset yang diambil alih (AYDA), siapa debitor aslinya?
Ada asas kerahasiaan bank sehingga saya tidak bisa memberi tahu Anda. Saya profesional, dan harus
menuruti peraturan yang berlaku.
Peraturan Bank Indonesia mengatakan yang wajib dirahasiakan hanya nasabah dan simpanannya.
Soal kredit kan tidak.
Saya rasa tidak begitu. Saya tidak tahu ada peraturan yang mengharuskan bank mempublikasi aset yang
diambil alih.
Apakah pengutang itu masih terafiliasi dengan Grup Lippo?
Perlu diingat, ada peraturan di mana perusahaan publik yang minimal 30 persen sahamnya dimiliki
masyarakat tidak dianggap terafiliasi. AYDA itu memang ada yang dari Lippo Karawaci. Terkait atau
tidak? Saya katakan tidak, karena ada peraturan tadi.14
Tanggapan BPPN
Pada tanggal 27 januari 2003,Ketua BPPN Syafruddin Temenggung memastikan untuk tidak
merekap Lippo. "Enak saja," katanya. Deputi Ketua BPPN Bidang Restrukturisasi Perbankan, I Nyoman
Sender, pun sepakat dengan bosnya. Bahkan, katanya, BPPN akan mengganti manajemen Lippo jika
mereka tidak mampu mengelolanya. Sender pun mengakui bahwa pengaruh pemilik lama di Lippo Bank
masih kuat.15
Raymond van Beekum Kepala Divisi Komunikasi BPPN, pada yanggal 24 februari 2003,
memberikan tanggapan terkait kasus ini, antara lain:
1. Pernyataan bahwa penjualan AYDA membuat CAR merosot dari 24,7 persen
menjadi 4,1 persen tidak sepenuhnya benar. Proses penjualan AYDA saat ini
masih berlangsung, sedangkan penurunan CAR dimaksud terjadi karena adanya
pencadangan atas nilai AYDA yang dinilai oleh penilai independen. Dengan
demikian masalah penjualan AYDA dan penilaian aset penjualan merupakan dua
hal yang terpisah.
2. Penjualan AYDA telah diagendakan dalam rapat umum pemegang saham luar
biasa (RUPSLB) pada 22 November 2002. Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) yang mewakili pemerintah telah memberikan persetujuan atas
14 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/03/03/LU/mbm.20030303.LU85698.id.html
15 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/27/EB/mbm.20030127.EB84454.id.html
penjualan AYDA, dengan catatan bahwa penjualan aset tersebut dilaksanakan
secara terbuka, mengacu pada praktek pasar yang sehat sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku dalam rangka menjaga kinerja Bank Lippo. Proses
penjualan AYDA adalah merupakan fenomena umum dan bukan hanya terjadi
pada Bank Lippo. Beberapa bank di bawah pengawasan BPPN juga telah
melaksanakan program penjualan aset dimaksud.
3. Penurunan nilai AYDA baru diketahui oleh BPPN setelah BPPN menyetujui
usulan penjualan AYDA melalui RUPSLB. Sebagai informasi dapat kami
sampaikan bahwa RUPSLB dilaksanakan pada 22 November 2002, sedangkan
informasi hasil penilaian pihak independen atas AYDA ini baru disampaikan
Bank Lippo ke media massa melalui press release pada 17 Desember 2002.
4. Menindaklanjuti pengumuman bersama antara BPPN dan Bank Lippo pada 17
Januari 2003, telah ditunjuk pihak penilai independen untuk melakukan penilaian
kembali atas AYDA yang dimaksud. Saat ini pihak penilai independen tersebut
sedang menjalankan tugasnya.
5. BPPN saat ini masih menunggu hasil dari penilaian AYDA dimaksud, yang akan
tecermin pada laporan keuangan per posisi 31 Desember 2002 sebelum BPPN
menentukan tindakan selanjutnya. Untuk itu BPPN mengharapkan agar semua
pihak untuk dapat bersabar.
6. Perlu kami klarifikasi bahwa Ketua BPPN, Bapak Syafruddin A. Temenggung,
tidak menempati posisi jabatan Komisaris Bank Lippo. Hal tersebut sebagaimana
pernah beliau sampaikan bahwa penunjukan dirinya sebagai komisaris Bank
Lippo dalam RUPS pada 24 Januari 2002 sebenarnya belum pernah efektif, dan
karenanya secara de facto tidak pernah terlibat langsung dalam kepengurusan
Bank Lippo. Beliau telah mengundurkan diri sebagai anggota komisaris secara
resmi dan berlaku efektif sejak 22 April 2002. Pengunduran diri ini dilakukan
sebelum beliau diangkat menjadi Ketua BPPN pada tanggal 23 April 2002. Sejak
tanggal pengunduran dirinya sampai pengangkatannya menjadi Ketua BPPN,
beliau belum mengikuti proses fit and proper test di Bank Indonesia sehingga
belum dinyatakan efektif sebagai anggota komisaris Bank Lippo. Dengan
demikian hingga saat ini beliau tidak pernah melaksanakan fungsi kepengurusan
di Bank Lippo.16
Aset Yang Diambil Alih (AYDA)
Berdasarkan pengumuman bersama antara BPPN dan Bank Lippo pada 17 Januari 2003, telah
ditunjuk pihak penilai independen untuk melakukan penilaian kembali atas AYDA17
Tanggal 27 februari 2003, Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara
,tim penilai independen valuasi aset ini menyatakan bahwa nilai aset yang diambil alih (AYDA) Lippo saat
ini, tak jauh berbeda dengan perhitungan awal, yakni senilai Rp 2,4 triliun. Konsekuensinya, rasio
kecukupan modal (CAR) Bank Lippo masih di atas 20 persen.
Konsekuensinya, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo masih di atas 20 persen. Badan
Penyehatan Perbankan Nasional pun memastikan tak perlu melakukan right issue (penerbitan saham
untuk dijual) untuk meningkatkan modal Bank Lippo. "Hitungan AYDA tak menurun signifikan, tapi hanya
sedikit," kata Kepala BPPN Syafruddin Temenggung di Jakarta, Kamis (27/2).
16 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/24/SRT/mbm.20030224.SRT85446.id.html
17 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/24/SRT/mbm.20030224.SRT85446.id.html
Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara. Menurut Syafruddin,
penilaian ulang aset itu bertujuan untuk menjernihkan kontroversi mengenai penurunan nilai aset Bank
Lippo. Polemik dualisme laporan keuangan itu dipublikasikan pada Desember 2002.
Berdasarkan valuasi, Syafruddin menambahkan, BPPN tidak bakal menjual AYDA pada disstress value
atau harga yang tertekan. "Pokoknya, sedang kita hitung," kata dia. Sebab jika dijual juga, justru akan
menyebabkan CAR Bank Lippo anjlok. Namun akan segera dilakukan rapat umum pemegang saham luar
biasa Lippo dalam waktu dekat.
Menurut Syafruddin, manajemen Lippo menggunakan asumsi, AYDA bakal dijual pada tahun ini
karena kebutuhan likuiditas dan untuk menurunkan biaya dana atas aset yang diambil alih. Tapi, bila
penjualan malah menyebabkan AYDA menurun secara signifikan, BPPN bisa menolak penjualan AYDA
seperti yang ditargetkan Lippo.
Pernyataan Syafruddin memang mengenakkan sesaat. Tengok saja. Pada saat yang sama, Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam) justru menyerahkan penanganan pemeriksaan terhadap lembaga
penilai Bank Lippo kepada Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan. Alasannya,
menurut Ketua Bapepam Herwidayatmo, pemeriksaan lembaga penilai bukan kewenangan lembaganya.
Pemeriksaan versi Bapepam hanya soal skandal laporan keuangan ganda ke dugaan rekayasa harga
saham di pasar modal.
Pemeriksaan terhadap laporan keuangan Bank Lippo memang baru akan diumumkan pada
pertengahan Maret mendatang. Langkah tersebut menyangkut pemeriksaan akuntan publik Bank Lippo,
manajemen, serta lembaga penilai AYDA yang ditunjuk BPPN. Pascapemeriksaan, Herwidayatmo
menambahkan, akan diketahui pihak yang bertanggung jawab terhadap laporan keuangan ganda Bank
Lippo tersebut. "Ini untuk melihat, apakah penilai sudah independen dan melaksanakan tugasnya
dengan baik," kata dia.(BMI/Tim Liputan 6 SCTV)
Perbankan Nasional pun memastikan tak perlu melakukan right issue (penerbitan saham untuk
dijual) untuk meningkatkan modal Bank Lippo. "Hitungan AYDA tak menurun signifikan, tapi hanya
sedikit," kata Kepala BPPN Syafruddin Temenggung di Jakarta, Kamis (27/2).
Valuasi aset Bank Lippo tersebut dilakukan oleh Satyatama Graha Tara. Menurut Syafruddin, penilaian
ulang aset itu bertujuan untuk menjernihkan kontroversi mengenai penurunan nilai aset Bank Lippo.
Polemik dualisme laporan keuangan itu dipublikasikan pada Desember 2002
Berdasarkan valuasi, Syafruddin menambahkan, BPPN tidak bakal menjual AYDA pada disstress value
atau harga yang tertekan. "Pokoknya, sedang kita hitung," kata dia. Sebab jika dijual juga, justru akan
menyebabkan CAR Bank Lippo anjlok .Namun akan segera dilakukan rapat umum pemegang saham luar
biasa Lippo dalam waktu dekat.
Pendapat Pengamat Perbankan
Menurut pengamat perbankan dari Bahana Sekuritas Mirza Adityaswara, sebenarnya
perusahaan sudah mengetahui adanya penurunan nilai agunan yang diambil alih (AYDA), sebelum kedua
laporan keuangan itu dikeluarkan. Namun perusahaan tetap memakai dua laporan keuangan yang
berbeda. Karena itu dia menduga, manajemen Lippo berusaha membohongi publik dengan
menyebutkan perusahaannya mendapat untung. Mereka takut, katanya, publik akan merespon negatif
jika mengetahui kinerja bank milik Mochtar Riady jeblok. “Harusnya tidak perlu takut kalau memang
rugi,” tandasnya. 18
18 http://www.tempo.co.id/hg/ekbis/2003/01/27/brk,20030127-19,id.html
Selain takut diketahui menderita rugi, menurut Mirza, hal ini juga terkait dengan adanya usaha
put option yang akan dilakukan pemerintah, dalam hal ini BPPN, untuk menjual saham Bank Lippo yang
dimilikinya kepada Lippo Group. Dia menjelaskan, sebelumnya Menteri Keuangan pada saat itu hanya
mau melepas saham Lippo seharga Rp 300 miliar saham (Rp 300 per saham) kepada Lippo Group.
Namun Lippo sendiri melalui penilai independen mengatakan nilai wajar Bank Lippo sebesar Rp 30 per
saham. Menurut Mirza, dengan adanya nilai Rp 30 per saham menunjukkan mereka sudah akan
melakukan penyusutan nilai agunan yang diambil alih. Hal ini dilakukan agar saham yang dijual
pemerintah bisa dibeli dengan harga murah. “Jadi mereka harusnya sudah tahu lebih dulu. Tidak masuk
akal alasan timing different,” imbuhnya. Meski Lippo telah melakukan revisi atas laporan keuangan
tersebut, Mirza menilai harus tetap ada sanksi yang tegas terhadap bank itu. ada penurunan nilai aset
yang diambil alih, dari Rp 2,39 triliun menjadi hanya Rp 1,42 triliun. Aset ini merupakan jaminan yang
diserahkan Grup Lippo sebagai pembayaran atas utang-utangnya kepada Lippo Bank.19
Mirza juga mengatakan , Lippo Bank seperti tak memberikan banyak pilihan kepada BPPN.
Dengan CAR di bawah delapan persen, mau tidak mau BPPN harus merekap ulang. Jika tidak, BI akan
menutupnya. "Ada upaya fait accompli," kata Mirza. Pilihan lain, divestasi saham, sami mawon. Cara ini
berakibat dua hal: saham pemerintah akan berkurang atau saham pemerintah tetap melalui suntikan
modal. Nah, jika pemerintah tidak mengambil haknya, pemilik lama akan masuk karena mereka masih
punya saham sekitar 8,11 persen melalui Lippo E-Net.20
Analis lainya Lin Che Wei yakin bahwa pemilik lama Lippo, yaitu keluarga Riady, berniat membeli
aset berharga mereka (properti) dengan harga murah,misalnya AYDA, yang Rp 1,42 triliun. Tapi secara
hampir bersamaan mereka juga memborong saham Bank Lippo dengan harga supermurah. Memang ada
indikasi bahwa harga saham Bank Lippo terus ditekan. Dalam enam bulan, harganya jatuh dari Rp 75 per
19 ibid
20 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/01/27/EB/mbm.20030127.EB84454.id.html
lembar menjadi cuma Rp 25. Saat itulah Grup Lippo memborong saham Lippo di bursa. Pialang yang
menggoreng saham ternyata yang itu-itu juga. Satu di antaranya adalah Ciptadana Securities, anak
perusahaan Lippo sendiri, yang pernah memborong 74 juta lembar saham dalam sekali transaksi.21
Kebetulan Oversight Committee Badan Penyehatan Perbankan Nasional (OCBPPN) cepat
bertindak dengan merekomendasikan kepada Kepala BPPN, Syafruddin Temenggung, agar manajemen
Lippo diganti. Akibat kisruh ini, penjualan aset yang berupa properti ditunda. Sementara itu, analisis
konsultan UBS Warbrug menyimpulkan bahwa AYDA senilai Rp 2,4 triliun itu setara dengan 82 persen
modal bank. UBS Warbrug lalu mempermasalahkan kesehatan Bank Lippo dalam hubungannya dengan
AYDA. Ternyata, ketika AYDA dilepas oleh Bank Lippo, rasio kecukupan modalnya (capital adequacy
ratio/CAR) serta-merta anjlok dari 24,77 persen menjadi 4,38 persen. Berarti ini sudah di bawah
ketentuan Bank Indonesia, yang menetapkan CAR setinggi delapan persen. Tentu saja Bank Lippo
memerlukan tambahan modal. Deni Daruri dari Centre for Banking Crisis menilai bahwa manuver Lippo
itu menggulirkan buah simalakama kepada pemerintah. Soalnya, untuk menambah modal, bank harus
menerbitkan saham baru (right issue). Andaikata pemerintah tak mau beli saham itu?karena tak punya
duit?porsi sahamnya di Lippo otomatis menyusut alias dilusi. Tetapi, jika pemerintah nekat membelinya,
jelaslah hal itu akan membebani APBN. Kemungkinan buruk seperti itu bukan tidak diketahui, baik oleh
BPPN, BI, maupun Bapepam. Tapi mereka pasif sampai kini. Menurut Lin Che Wei, mereka saling
melempar tanggung jawab. Hal ini pun tak terlepas dari kelihaian Lippo melobi dan "menempatkan"
orang yang loyal pada pemilik lama di berbagai institusi22
24 februari 2003,Che Wei menjadi orang terdepan yang menyerang keganjilan-keganjilan di
Bank Lippo. Ia membongkar berbagai praktek bengkok di bank yang mendapat suntikan modal Rp 6
triliun dari pemerintah tersebut. Ia menelisik kejanggalan laporan keuangan ganda sampai indikasi
21 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217.EB85108.id.html
22http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217.EB85108.id.html
manipulasi harga saham. Semuanya berujung pada dugaan: pemilik lama Bank Lippo, keluarga Mochtar
Riady, ingin menguasai kembali banknya dengan harga murah. Bagaimana persisnya upaya yang
dilakukan keluarga Riady mencaplok Bank Lippo? Panjang ceritanya. Ini bermula dari laporan keuangan
kuartal ketiga 2002 yang dipublikasikan akhir November lalu. Saat itu Bank Lippo menyatakan total
asetnya mencapai Rp 24 triliun, dengan keuntungan bersih Rp 99 miliar. Tapi hanya sebulan kemudian,
dalam laporan ke Bursa Efek Jakarta, aset Lippo merosot menjadi Rp 22,8 triliun. Keuntungan? Hilang
lenyap, malah berganti dengan kerugian yang jumlahnya mencapai Rp 1,3 triliun. Menurut pengelola
Bank Lippo, penurunan itu terkait dengan anjloknya nilai agunan yang sudah diambil alih (biasa disebut
sebagai AYDA), dari semula Rp 2,4 triliun menjadi Rp 1 triliun. Untuk menutup jebloknya nilai agunan itu,
Bank Lippo menyisihkan dana yang diambil dari pos modal. Tentu saja langkah ini membuat rasio
kecukupan modal (CAR) Bank Lippo melorot dari semula 24,8 persen menjadi 4,2 persen. Anjloknya nilai
agunan yang begitu dahsyat sungguh mencurigakan. Padahal sebagian besar jaminan yang diambil alih
Lippo berupa petak tanah. Menurut data sejumlah agen properti, harga tanah sejak 1998-2002 terus
meningkat. Bagaimana mungkin nilai properti Lippo, yang merupakan 70 persen AYDA, turun sendirian?
Che Wei mempertanyakan lelang yang kurang transparan dan berlangsung cepat. Lippo mengumumkan
penjualan aset itu beberapa hari menjelang akhir tahun 2002, melalui iklan di surat kabar yang begitu
kecil. Beberapa investor yang mencoba menawar seperti dihalangi dengan pelbagai syarat. Misalnya,
mereka harus menyerahkan deposit dalam jumlah besar, padahal informasi tentang asetnya sangat tak
memadai. Dari sinilah muncul kecurigaan adanya niat dari pengelola Bank Lippo menjual AYDA-antara
lain terdiri atas rumah dan tanah di Lippo Cikarang-kepada kelompok sendiri. Lantaran kecurigaan itu
pula Komite Pemantau BPPN minta agar proses lelang itu dihentikan. Bersamaan dengan itu, terjadi aksi
"menggoreng" saham Bank Lippo di pasar modal. Beberapa broker secara bergantian berusaha
menyeret turun harga saham bank papan tengah itu. Salah satu broker itu sebagian sahamnya dimiliki
Kelompok Lippo. Che Wei bahkan mencatat adanya transaksi ganjil: menjelang pasar ditutup, beberapa
pialang menjual saham Bank Lippo di bawah harga pasar. Gerakan pelorotan itu dilakukan selama 40
hari berturut-turut sejak 4 November 2002 hingga 10 Januari 2003. Jatuhnya nilai buku dan
penggorengan saham berhasil memojokkan harga saham Bank Lippo. Dari Rp 450 di awal November
menjadi cuma Rp 210, atau turun sekitar 50 persen. Merosotnya harga saham Bank Lippo terasa ganjil
karena harga saham perbankan relatif stabil, bahkan menanjak (lihat grafik Liku-liku Sebuah Gerilya).
Karena modalnya mepet, Bank Lippo tak punya pilihan lain kecuali melakukan suntikan kapital. Ini perlu
agar Bank Lippo tetap masuk standar bank sehat menurut ketentuan Bank Indonesia, yang
mengharuskan rasio kecukupan modal 8 persen. Kalau tak bisa menambah modal, pilihan lain Bank
Lippo adalah likuidasi. Tapi jurus ini kurang masuk akal mengingat Bank Lippo tergolong sistemic bank.
Artinya, kalau ditutup, puluhan perusahaan yang terkait dengannya akan ikut terseret ambruk. Langkah
penambahan modal bisa dilakukan dengan penerbitan saham baru. Tapi ini tak mudah-terutama bagi
pemerintah yang menguasai mayoritas (hampir 60 persen) saham Bank Lippo. Untuk mempertahankan
kepemilikannya, pemerintah harus ikut menyuntikkan modal sesuai dengan jatah. Jika Bank Lippo harus
menambah modal Rp 1,4 triliun (sesuai dengan nilai agunan yang "hilang"), misalnya, pemerintah harus
menyetor sedikitnya Rp 840 miliar. Itu bukan jumlah yang ringan untuk sebuah negeri yang sedang
kesulitan uang. Pemerintah tak punya pos anggaran untuk menambah modal bank. Justru sebaliknya,
pemerintah akan menjual kepemilikan sahamnya di perbankan (termasuk di Bank Lippo) untuk
membiayai anggaran. Jika pemerintah tak bisa menyuntikkan modal, jatahnya bisa dimanfaatkan pemilik
saham Lippo yang lain (termasuk Riady), sekaligus mengambil alih posisi mayoritas dari tangan
pemerintah. Keluarga Riady bahkan bisa berlagak bak pahlawan karena bisa "membantu" pemerintah
menyehatkan Bank Lippo dengan menyuntikkan seluruh modal yang dibutuhkan. Sampai di sini, pemilik
lama bisa datang menagih janji lama pemerintah yang tertuang dalam Perjanjian Kinerja, Manajemen,
dan Investasi (IMPA). Perjanjian itu menyatakan pemilik lama (keluarga Riady) boleh membeli kembali
bagian sahamnya dengan harga pasar. Saat ini harga saham Lippo hanya Rp 30. Nyaris sepersepuluh dari
harga saham waktu direkap pemerintah dulu, yaitu Rp 260 per saham. Sebuah skenario yang hampir
sempurna, nyaris tanpa cacat. Dengan sejumlah jurus yang licin, Lippo akan segera kembali ke pemilik
lamanya. Persoalannya, mengapa pemerintah seperti tak menyadari jurus-jurus kungfu Lippo yang
sebetulnya masih "standar" itu. Mengapa mereka tak bertindak? Bank Indonesia, misalnya, selama ini
menempatkan lima pengawas di Bank Lippo. Mungkinkah mereka tak mencium kejanggalan dalam
penilaian AYDA yang menjatuhkan modal Bank Lippo? Adnan Juanda, Kepala Bagian Direktorat
Pengawasan Perbankan Bank Indonesia yang mengawasi Bank Lippo, menjawab secara diplomatis.
"Barangkali itu di luar job rekan-rekan yang melakukan pengawasan," katanya. Jawaban lebih jujur
diungkapkan seorang bankir. Bank sentral, katanya, telah mencurigai keanehan penilaian agunan oleh
lembaga penilai yang ditunjuk Bank Lippo. Tapi BI tak punya otoritas minta penilaian ulang. "Itu
wewenang BPPN sebagai pemilik, kita cuma pengawas," kata sumber tadi menirukan pejabat BI. Saling
lempar tanggung jawab diperlihatkan pula oleh otoritas Bursa Efek Jakarta (BEJ). Mereka mendiamkan
manipulasi harga saham Bank Lippo selama 40 hari. Baru setelah kontroversi berkembang, BEJ
mengeluarkan peringatan keras kepada pengelola Bank Lippo soal laporan keuangan ganda. "Hanya
sebatas itu wewenang kami," kata Direktur Utama BEJ, Erry Firmansyah. Soal manipulasi harga saham,
Erry mengaku masih menyelidiki soal itu. Menurut penelitian awal BEJ, harga saham Bank Lippo
dibentuk oleh beberapa transaksi besar di awal perdagangan. "Transaksi satu menit menjelang
penutupan pasar itu cuma mengikuti," kata Erry. Artinya, BEJ tak melihat adanya kecurangan, apalagi
manipulasi. Erry menampik kecurigaan dirinya bertindak lamban dan tak fokus dalam kasus ini, karena
pernah bekerja delapan tahun di Lippo. "Saya ini profesional. Lagi pula saya sudah memberikan
peringatan keras," katanya. Dosa Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) tak kalah besar. Lembaga ini
terkesan tak berinisiatif memeriksa adanya laporan keuangan ganda. Mereka juga mengabaikan surat
peringatan adanya manipulasi saham yang dikirim oleh Scott Ashton, seorang investor institusional.
Lebih celaka lagi, Bapepam tak mengendus rekayasa membeli kembali saham Bank Lippo oleh pemilik
lama dengan harga murah. Padahal semua itu menjadi tugas Bapepam, yang berada di garda depan
pengawasan perdagangan saham. Ketua Bapepam Herwidayatmo mengaku tengah meneliti laporan
keuangan ganda itu. Hasilnya akan diumumkan akhir bulan ini. Bila ada pelanggaran, ia berjanji akan
mengambil tindakan. Tapi pagi-pagi Herwid sudah lebih dulu menduga, laporan ganda itu terjadi "karena
kelalaian". Herwid juga berjanji akan memeriksa dugaan manipulasi harga saham. Tapi Bapepam tak
mau berurusan dengan dugaan adanya rekayasa keluarga Riady untuk membeli kembali Bank Lippo. "Itu
urusan BPPN," katanya. Herwid menepis kecurigaan ia kurang aktif lantaran dekat dengan Lippo. Ia
merasa tidak naik pangkat karena Lippo. "Kalau benar saya orang Lippo, kenapa Bambang Sudibyo
mengangkat saya menjadi Ketua Bapepam? Sampai sekarang saya tidak pernah dikutik-kutik, tuh,"
tuturnya. Dari semua instansi pemerintah, yang paling konyol dalam urusan Bank Lippo tak lain adalah
BPPN. Komisaris yang ditunjuk mewakili pemerintah di sana ternyata tak berfungsi dengan benar. Ini
tampak dari keputusannya menyetujui penjualan AYDA pada harga murah dan menyepakati rencana
penambahan modal. Padahal ini memudahkan pemilik lama membeli kembali sahamnya dengan harga
murah. Anggito Abimanyu, salah satu komisaris Bank Lippo dari BPPN, tetap ngotot tak melakukan
blunder. "Kinerja Lippo baik, tak yang salah," katanya. Ia membantah kabar Bank Lippo merencanakan
penambahan modal. Untuk itu Anggito siap mempertanggungjawabkan posisinya sebagai komisaris.
Ketua BPPN Syafruddin Temenggung sudah berkali-kali berjanji akan mengganti manajemen Bank Lippo.
Tapi sampai saat ini janji itu tak terpenuhi. "Setelah asetnya dinilai kembali, saya akan melakukan
sesuatu, jangan khawatir," katanya kembali melempar janji. Untuk mencegah terulangnya jurus-jurus
kungfu Bank Lippo, Che Wei mendesak penggantian manajemen. Upaya lain: membatalkan pelelangan
aset atau penilaian kembali AYDA. "Biar saja aset itu tetap di Bank Lippo," katanya, "nanti dinilai sekalian
ketika pemerintah mau menjual sahamnya." Dengan cara ini, aset Lippo tak merosot, begitu pula
modalnya. Meskipun demikian, peluang keluarga Riady menguasai kembali Bank Lippo bukannya
tertutup. Mereka masih bisa beraksi ketika pemerintah menjual sahamnya. Untuk itu, kata Mirza
Adityaswara, mereka mesti dimasukkan daftar orang tercela karena terlibat pelanggaran batas maksimal
pemberian kredit. Sayang, pelbagai tudingan ini tak ditanggapi keluarga Riady. Roy Tirtadji, yang biasa
menjadi juru bicara, cuma sedikit memberikan komentar. Itu pun ia minta off the record. Aneh, soal ini
menyangkut reputasi. Roy mestinya paham betul, dalam industri keuangan, reputasi adalah segala-
galanya. 23
Kasus Bank Lippo Masuk Pengadilan
Kasus yang mencuat dari laporan keuangan ganda itu kini melebar ke pengadilan. Komisaris
Bank Lippo Rudi Toha Bachrie menggugat analis bursa Lin Che Wei secara perdata ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Rabu (26/2). Che Wei dinilai mencemarkan nama baik manajemen Bank Lippo. Presiden
Direktur PT SG Securities itu dituntut membayar ganti rugi sebesar Rp 103 miliar. Dalam tulisannya di
sebuah surat kabar harian, Che Wei menduga telah terjadi praktik perampokan kekayaan negara dalam
jumlah besar. Orang yang pertama mencurigai laporan keuangan ganda itu menuding manajemen Bank
Lippo merekayasa harga saham dengan tujuan pemilik lama bisa membeli saham dengan harga murah.
Saat ini, saham Bank Lippo di lantai bursa hanya Rp 30 per lembar. Padahal, ketika menyuntik Lippo,
pemerintah harus membayar Rp 260 untuk tiap lembarnya. Analisis Che Wei juga didukung pihak lain.
Laporan Koalisi Masyarakat Antiskandal Bank Lippo kepada Kejaksaan Agung menyebutkan kasus itu
berpotensi merugikan negara senilai Rp 6 triliun atau setara dengan saham yang pernah disetorkan
pemerintah. Karena harga saham yang terus melorot, saham pemerintah hanya tersisa Rp 600 miliar.
BEJ yang menyelidiki masalah ini menemukan Bank Lippo memberikan informasi yang dapat
menyesatkan public Dalam pandangan Che Wei, laporan keuangan bertujuan memberikan informasi
yang benar kepada publik. Tapi yang dilakukan Bank Lippo dengan laporan ganda adalah suatu
rekayasa untuk menurunkan nilai buku dari perusahaan. "Itu sama dengan pemalsuan kepada publik,
23 http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/24/EB/mbm.20030224.EB85319.id.html
bahkan BEJ telah memberi peringatan keras," kata dia melalui video telekonferens dari Bali.
Sedangkan Roy Tirtadji berpendapat laporan keuangan yang berbeda itu dimungkinkan untuk
kepentingan berbeda sehingga angkanya juga bisa berlainan. Paskah berharap peristiwa ini tak
menganggu kepemilikan saham pemerintah dan merusak harga saham.Menurut dia, Lippo adalah bank
swasta nasional terbesar ketiga setelah Bank Central Asia dan Bank Danamon. Bank Lippo yang kini
memiliki 367 cabang dan 6.000 karyawan itu melayani sekitar 3,5 juta nasabah. Rasio kecukupan modal
(CAR) Bank Lippo sejak direkapitalisasi terus meningkat, bahkan mencapai 31 persen pada 2001. Angka
ini melebihi ketentuan Bank Indonesia yang hanya 12 persen. Kepemilikan saham Bank Lippo tersebar
pada tiga pihak: 59,26 persen pemerintah, 32,57 persen publik, dan delapan persen pengelola. Namun
pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat, ada kejanggalan dalam perwakilan komisaris di Bank
Lippo. Meski pemegang saham mayoritas, pemerintah hanya diwakili empat orang yakni dua pejabat
BPPN, petinggi Kantor Menteri Koordinator Perekonomian, dan pejabat Departemen Keuangan. Jumlah
itu sama dengan komisaris dari Bank Lippo. Che Wei juga menyoroti tentang sumber penjualan aset-aset
Bank Lippo, Desember 2002. Roy Tirtadji menjawab ada hal-hal yang tak bisa dijelaskan kecuali atas
permintaan BI. "Kami mempunyai kode etik dan rahasia perbankan," kata dia. Menurut Roy, jika terjadi
kejanggalan penjualan aset tentunya diketahui tiga pejabat BI yang setiap hari mengawasi. Menurut
Wakil Ketua Komisi IX DPR Paskah Suzetta, berdasarkan perjanjian dengan pemerintah, Bank Lippo
diperbolehkan menjual lima persen dari aset yang diambil alih. Dia menuturkan, laporan keuangan
periode 1999-2001 menyebutkan laba dan CAR Bank Lippo juga meningkat. "Ini artinya kepercayaan
masyarakat bertambah, bahkan total dana pihak ketiga mencapai Rp 21 triliun," ujar dia. Fakta yang
diperoleh Che Wei menunjukkan harga saham Bank Lippo turun secara sistematis. Selama tujuh bulan
sejak April 2002, harga saham bank terbesar nomor tujuh Indonesia itu merosot tajam hingga 75 persen.
Padahal, harga saham bank lain justru terus membaik. "Dalam jangka waktu tersebut, Bank Lippo the
worst performer di antara saham perbankan," kata dia. Roy Tirtadji mempertanyakan kecenderungan
serupa pada keseluruhan harga saham di pasar modal. "Apakah hanya saham Bank Lippo saja yang
turun," tanya dia. Anehnya, kata Che Wei, kecurigaan itu diperkuat saat BEJ menghentikan transaksi
penjualan saham ketika seorang investor melaporkan kejanggalan itu ke Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia. "Itu membuktikan ada konspirasi kok kebetulan banget. Saya punya bukti," ujar
dia menegaskan. Roy Tirtadji menyanggah manajemen merekayasa harga saham di bursa karena mereka
tidak mengurus hal tersebut. Menurut Roy, para pendiri dan manajemen Bank Lippo berkomitmen
mengelola bank tersebut. Hal ini terlihat ketika mereka menyerahkan dana pribadinya sebesar Rp 4
triliun untuk dana rekapitulasi. "Dari sekian bank yang direkap, pemerintah hanya memiliki 60 persen
saham di Bank Lippo," kata dia. Roy juga mengungkapkan, Bank Lippo akan menjual aset-asetnya pada
pada 2003. Di sesi terakhir, Che Wei menegaskan, kecurigaan yang diungkapnya itu bukan persoalan
pribadi dirinya dengan jajaran komisaris dan direksi Bank Lippo. "Ini usaha saya mempertahankan
independensi sebagai analis yang tidak bisa diancam oleh pengadilan manapun," kata dia. Che Wei juga
berharap pejabat pemerintah tidak saling melempar tanggung jawab dan menjaga investasi uang rakyat.
Sedangkan Roy Tirtadji mengingatkan Che Wei agar berhati-hati menuding telah terjadi praktik
perampokan dan penjarahan di Bank Lippo. Berbeda dengan Rudi Toha Bachrie, Roy tidak tertarik
menggugat Che Wei ke meja hijau. "Saya berkonsentrasi mengelola bank karena mempunyai tanggung
jawab secara hukum," kata dia.24
24 http://berita.liputan6.com/progsus/200302/50266/class=%27vidico%27
Liputan6.com
Siapa di Balik Akal-akalan Lippo?
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2003/02/17/EB/mbm.20030217
.EB85110.id.html
Sesaat sebelum proses rekapitalisasi bank dimulai pada 1999, dengan gesit Bank Lippo
menarik sejumlah aset Grup Lippo senilai Rp 2,45 triliun. Hal ini dilakukan untuk
menekan jumlah kredit macet di grup usaha Lippo itu. Alhasil, Bank Lippo lolos fit and
proper test yang digelar BI saat itu. Tetapi aset grup yang dialihkan ke bank Lippo lama-
lama jadi bom waktu. Awal tahun ini, Grup Lippo berniat membeli kembali aset tersebut.
Rencana ini buyar ketika pers mencium keganjilan di balik laporan keuangan ganda yang
dibuat Bank Lippo akhir tahun 2002 lalu. Berikut adalah pihak-pihak yang diperkirakan
ikut memiliki kontribusi dalam skandal Lippo kali ini. Dr. Mochtar Riady Sebagai
pendiri sekaligus Presiden Komisaris Bank Lippo, dialah yang merestui langkah direksi
Bank Lippo yang berniat menjual aset yang dialihkan (AYDA) senilai Rp 2,45 triliun.
Dalam laporan tahunan Bank Lippo tahun 2001, Mochtar mengatakan masa krisis adalah
masa transisi untuk berubah. Jadi, Lippo berniat meninggalkan kebiasaan lama dalam
berbisnis. Untuk meraih kepercayaan publik, Bank Lippo sangat mengandalkan SDM
yang berkualitas, bahkan sampai menciptakan moto baru, yakni The Power of Change.
Ternyata moto tidak serta-merta mengubah watak perusahaan ini, begitu pula tekad untuk
berubah yang dicanangkan pendirinya, Mochtar Riady. James Tjahaja Riady Ketika
James diangkat sebagai CEO Grup Lippo pada pertengahan 1990-an, majalah Business
Week menobatkannya sebagai raja pasar uang Indonesia. Salah satu modal James adalah
keluwesannya bergaul. Mulai dari mantan presiden Soeharto, Habibie, hingga Bill
Clinton. Bahkan Habibie dan James saling mengagumi. "He call me 'uncle'," kata
Habibie, sekadar menggambarkan keakraban mereka. James memang dikenal piawai
mengutak-atik keuangan perusahaan agar nilainya bertambah. Di mata analis ekonomi
Lin Che Wei, James-lah yang menjadi otak berbagai rekayasa keuangan Grup Lippo.
Salah satu buktinya adalah penggorengan saham Bank Lippo yang dilakukan Ciptadana
Securities sejak akhir 2002. Pernah dalam sekali transaksi, Ciptadana, yang juga anak
perusahaan Lippo, memborong 74 juta lembar saham Bank Lippo. Tetapi, dalam
wawancara dengan TEMPO di tahun 1999, James membantah bahwa dirinya
dipersiapkan menjadi raja imperium Lippo. Katanya, "Jika memandang Lippo hanya dari
figur Mochtar dan James, berarti orang melihat Lippo dari luarnya saja." Padahal,
ditambahkannya, dalam pengambilan keputusan Grup Lippo, semua ikut ambil bagian.
Syafruddin Temenggung, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Tanpa
persetujuan BPPN, mustahil aset milik Bank Lippo bisa dijual. Soalnya, BPPN mewakili
pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di Bank Lippo (59,25 persen). Dalam hal
ini dipertanyakan sikap Syafruddin, yang membiarkan penjualan AYDA sehingga
berakibat rasio kecukupan modal (CAR) Bank Lippo merosot dari 24,7 persen menjadi
4,1 persen. Bank Lippo tentu perlu modal tambahan, tapi dampaknya bisa menyudutkan
pemerintah. Sayang, keterangan Syafruddin tentang masalah ini tak bisa diperoleh karena
ia sedang melawat ke luar negeri. Herwidayatmo, Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Kasus laporan keuangan ganda Lippo bukanlah "akrobat" Lippo yang pertama di
bursa saham. Pada 2000 lalu, Lippo Life "disulap" menjadi Lippo E-Net. Akibatnya,
Bapepam mendenda Lippo E-Net "cuma" Rp 500 juta. Selain itu, direksi dan komisaris
Lippo E-Net didenda Rp 5 miliar. Tetapi, menghadapi aksi Ciptadana saat memborong
saham Bank Lippo dan juga laporan gandanya, Bapepam seolah kebingungan. Seorang
eks pejabat Bapepam tak kaget atas sikap lembek Herwid kepada Lippo. Saat masih
bertugas di Bapepam bersama Herwid?demikian Herwidayatmo biasa disapa?ia tahu
bahwa keluarga Riady dekat dengan Herwid sejak tahun 1996. Waktu itu Herwid
menjabat Kepala Biro Penilaian Keuangan Perusahaan I di Bapepam. Tanpa buang
waktu, pihak Lippo langsung menempel Herwid, tentu agar diberi kemudahan "bermain"
di pasar saham. Pada 1998, James membawa Herwid kepada Menteri BUMN waktu itu,
Tanri Abeng. Tujuannya agar Herwid diangkat menjadi asisten Tanri, dan upayanya
membuahkan hasil. Sejak saat itu karier Herwid terus meroket hingga diangkat menjadi
Ketua Bapepam tahun 2000 lalu. Martin Panggabean, seorang ekonom, mengaku tak
kaget atas kasus laporan ganda Lippo ini. "Banyak kasus di bursa selama Herwid menjadi
Ketua Bapepam. Misalnya, kasus Semen Gresik dan Lippo E-Net." Katanya. Namun,
semua cerita miring itu dibantah Herwid. "Orang yang ngomong seperti itu karena iri.
Saya tak mau menanggapi," katanya. Ia juga membantah ketika dikatakan bahwa
Bapepam tidak menjatuhkan sanksi apa-apa atas Bank Lippo. "Kita lihat Maret nanti,
saya akan tindak tegas jika memang bersalah," ujarnya, menantang. IS