612
KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000 – 2003 OPINI VS FAKTA
1. Pengantar
Kiranya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sektor pertanian adalah sektor
ekonomi yang paling diperhatikan oleh masyarakat umum, yang antara lain dicerminkan
oleh besarnya sorotan media massa. Hal itu dapat dimaklumi karena sektor pertanian
adalah sektor ekonomi yang amat dominan dalam menentukan hajat hidup sebagian besar
rakyat Indonesia.
Perhatian masyarakat dan sorotan media massa hendaklah dipandang sebagai
modal sosial dan modal politik yang berfungsi sebagai infrastruktur lunak penunjang
pembangunan pertanian. Namun demikian, tanpa disadari, informasi dan berita yang serba
negatif dapat menciptakan citra dan cita buruk yang justru berpengaruh buruk bagi
pembangunan pertanian. Akan menjadi amat ironis bila citra dan cita buruk tersebut tercipta
melalui berita opini yang tidak benar. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk
mengklarifikasi beberapa opini negatif yang kerap mencuat dalam pembicaraan publik dan
media massa.
Klarifikasi dilakukan dengan menggunakan fakta statistik yang dikeluarkan oleh
lembaga berwenang (utamanya BPS, BULOG dan FAO) dan dapat diakses masyarakat
luas. Opini yang sehat dan produktif haruslah didasarkan fakta dan analisis positif.
1. Kebijakan Pertanian
Kebijakan pertanian merupakan refleksi dari sikap, perhatian dan dukungan
pemerintah terhadap pembangunan pertanian. Sebagian pihak berpendapat pemerintah
semakin tidak perduli terhadap pembangunan pertanian. Kalaupun ada kebijakan
pemerintah, tidak signifikan atau tidak efektif sehingga tidak menimbulkan dampak positif
yang berarti bagi pembangunan pertanian. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa
pemerintah lebih berperan sebagai penghambat daripada fasilitator dan pendorong
pembangunan pertanian. Kalaupun pembangunan pertanian masih berlangsung, itu semua
adalah berkat kerja keras petani dan masyarakat agribisnis.
Pemerintah semasa orde baru lebih berpihak kepada pertanian daripada
pemerintahan periode tahun 2000-2004. Benarkah demikian ?. Berikut ini diuraikan kenapa
kebijakan pemerintah, opini sumbang berkenaan dengan itu dan fakta statistik
mengklarifikasi opini tersebut.
613
Opini publik : Anggaran pembangunan pertanian amat kecil, dan terus mengalami
penurunan dan lebih banyak digunakan untuk membiayai mesin birok-
rasi pemerintah pusat.
Fakta statitsik: Anggaraan pembangunan memang relatif kecil, namun nilainya terus
meningkat nyata dan sebagian besar diserahkan langsung kepada
pelaku agribisnis di pedesaan.
Tidak dapat dipungkiri, anggaran pembangunan pertanian relatif amat kecil. Pada
periode tahun 2000-2004, anggaran pembangunan pertanian rata-rata Rp. 2,4 triliun per
tahun, yang berarti kurang dari satu persen dari total Anggaran Pembangunan dan Belanja
Negara (APBN). Anggaran pembangunan pertanian tersebut hanyalah sekitar Rp. 10.000
atau satu dollar AS per kapita penduduk Indonesia selama satu tahun.
Pemerintah periode tahun 2000-2004 amat menyadari hal itu dan bertekad untuk
meningkatkannya secara signifikan. Anggaran pembangunan pertanian pada periode tahun
2000-2004 mencapai Rp. 2,4 triliun per tahun, yang berarti sekitar 50 persen lebih tinggi
daripada peridoe tahun 1998-1999 yang hanya Rp. 1,7 triliun per tahun, dan hampir dua kali
lipat dari pada periode tahun 1996-1997 masa pemerintahan orde baru (Gambar 1). Dilihat
dari nilai anggaran pembangunan, jelas sekali pemerintahan periode tahun 2000-2004 amat
peduli terhadap pembangunan pertanian, bahkan dapat dikatakan lebih peduli daripada
pemerintahan periode sebelumnya.
1192.4
1734.0
2411.0
2044.1
1456.8
2349.7
3213.5 2990.8
0.0
500.0
1000.0
1500.0
2000.0
2500.0
3000.0
3500.0
1996-1997 1998-1999 2000-2004 2000 2001 2002 2003 2004
Gambar 1. Perkembangan Anggaran Pembangunan Pertanian di Indonesia (Rp Milyar). Sumber : Biro Perencanaan dan Keuangan, Deptan (2004)
614
Sesuai dengan perundangan dan semangat otonomi daerah, Departemen Pertanian
telah mengubah manajemen anggaran pembangunan pertanian. Sekitar 80 persen dari
anggaran pembangunan pertanian berupa dana dekosentrasi yang dikelola pemerintrah
daerah. Departmemen Pertanian juga menjadi pelopor dalam mengalokasikan anggaran
pembangunan secara langsung kepada petani dan masyarakat agribisnis. Sekitar 60 persen
dari anggaran dekonsentrasi pembangunan pertanian diserahkan langsung kepada petani
dan praktisi agribisnis. Pemanfaatan dan pengolahan dana komitmen langsung tersebut
sepenuhnya diserahkan kepada kelompok masyarakat penerima. Dengan demikian,
pemanfaatan anggaran pembangunan pertanian lebih banyak ditentukan oleh aspirasi dan
partisipasi masyarakat petani dan pemerintah daerah.
Kiranya patut dicatat, anggaran pemerintah untuk pembangunan pertanian tidak
hanya dikelola oleh Departemen Pertanian. Anggaran pemerintah untuk pembangunan
pertanian yang dikelola Departemen Pertanian jauh lebih kecil daripada yang dikelola
Departemen lainnya. Pimpinan Departemen Pertanian selalu berpendapat bahwa tidak apa
kalaupun anggaran pembangunan di Departemen Pertanian (Budget in agricultute) tidak
besar, yang paling penting adalah anggaran untuk pembangunan pertanian (Budge for
agriculture) cukup besar. Salah satu komponen anggaran untuk pembangunan pertanian
yang cukup besar ialah untuk pembangunan inftastruktur irigasi yang dikekola oleh
Departemen Kimpraswil.
Irigasi merupakan salah satu infrastuktur sektor pertanian yang sangat vital dan
mempunyai kontribusi sangat sginifikan dalam meningkatkan kapabilitas produksi
pertanian. Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan pembiayaan pembangunan
jaringan irigasi (Gambar 2). Pada tahun 2000 anggaran irigasi sebesar Rp 2,22 triliun,
meningkat menjadi Rp 4,27 triliun pada tahun 2001, dan sedikit menurun pada tahun 2002
yaitu menjadi Rp 3,71 triliun, namun kembali meningkat pada tahun 2003 menjadi Rp 4,76
triliun. Bahkan pada tahun 2003 jumlah anggaran pembangunan irigasi adalah terbesar
selama masa pemulihan ekonomi.
615
2219.0
4268.7
3712.5
4762.8
0.0
500.0
1000.0
1500.0
2000.0
2500.0
3000.0
3500.0
4000.0
4500.0
5000.0
2000 2001 2002 2003
Sumber : Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2000-2003.
Opini publik : Program penyediaan kredit bersubsidi bagi petani dan praktisi agri-
bisnis sudah tidak ada, atau kalaupun ada, mestinya hanya kecil
dan hanya berupa rencana alokasi belaka.
Fakta statistik : Pemerintah periode tahun 2000-2004 telah memulihkan program
penyediaan kredit bersubsidi kepada petani yang sempat dihentikan
pada periode sebelumnya. Walau platformnya tetap, nilai realisasinya
terus meningkat tajam.
Persepsi buruk tentang program penyediaan kredit bersubsidi boleh jadi akibat dari
berbagai hambatan dan penyimpangan pelaksanaan Kredit Usahatani (KUT) pada periode
sebelumnya. Kemelut sudah demikian parah sehingga program KUT dihentikan pada tahun
1999. Pemerintah amat menyadari kredit bersubsidi bagi petani mutlak perlu dalam
memacu pembangunan pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh karena
itulah, sejak tahun 2001 pemerintah mencanangkan program Kredit Ketahanan Pangan
(KKP) yang merupakan penyempurnaan KUT. Pemerintah menetapkan plafond penyaluran
yang cukup besar, yakni Rp. 2,08 triliun per tahun dengan subsidi bunga 6 persen per
tahun.
Pada awalnya, realisasi penyaluran KKP memang amat kecil, pada tahun pertama
bahkan kurang dari 50 persen dari nilai plafond. Dengan pembenahan administratif dan
sosialisasi yang intensif dan berkelanjutan, realisasi KKP meningkat drastis dari tahun ke
Gambar 2. Perkembangan Pembiyaan Pembangunan Infrastruktur Irigasi di Indonesia
616
tahun (Gambar 3). Pada bulan Juli 2004, realisasi KKP telah mencapai Rp. 2,057 triliun atau
hampir 100 persen dari plafond setahun. Selain melalui KKP, pemerintah juga membantu
pemodalan petani melalui berbagai program khusus seperti pengembangan Lembaga
Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP), program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K),
Program Pengembangan Kawasan Agribsinis (tanaman pangan, perkebunan, hortikultura,
peternakan), dan sebagainya.
2082.2
468.7
2082.2
936.3
2082.2
1748.8
2082.2 2057.2
0
500
1000
1500
2000
2500
2001 2002 2003 2004
PlafondRealisasi Penyaluran
Gambar 3. Perkembangan Realisasi Penyaluran KKP di Indonesia (Milyar). Sumber : Departemen Pertanian (2004).
Opini publik : Kebijakan harga dasar gabah pembelian pemerintah tidak efektif
Fakta Statistik : Secara umum (rata-rata) harga gabah yang diterima petani lebih tinggi
dari harga dasar pembelian pemerintah
Keberpihakan pemerintah terhadap petani, khususnya petani, diwujudkan melalui
Inpres No. 9 Tahun 2001, tentang Kebijakan Perberasan Nasional, yang kemudian
disempurnakan lagi pada tahun 2002. Dalam Inpres tersebut, pemerintah melindungi petani
dari gejolak harga musiman dan dampak dari gejolak harga beras di pasar dunia, melalui
instrumen Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). Dalam kondisi pasar bebas, untuk
komoditas beras serta keterbatasan dana dan sumberdaya pemerintah, maka kebijakan
Harga Dasar Gabah (HDG) yang ditetapkan oleh pemerintah hingga tahun 2000 jelas sudah
tidak efektif lagi. Apabila hal ini dipaksakan, sama saja pemerintah Indonesia mensubsidi
617
petani beras luar negeri karena dalam kenyataannya, harga paritas impor beras yang
masuk ke Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan HDPP yang ditetapkan oleh
pemerintah. Namun data BPS menunjukkan bahwa kebijakan perberasan yang dituangkan
dalam Inpres No. 9/2001, yang berlaku efektif pada awal tahun 2002, ternyata cukup efektif
untuk meningkatkan
ekonomi perberasan nasional. Berbagai kebijakan pendukung dalam Inpres tersebut,
termasuk tariff impor beras sebesar Rp. 430 per kg, mampu meningkatkan harga gabah di
tingkat petani hingga di atas HDPP (Gambar 4). Walaupun di beberapa lokasi dan waktu
tertentu, harga gabah yang diterima petani lebih rendah dari HDPP, namun secara rata-rata
tiap tahun harga gabah yang diterima petani lebih tinggi dari HDPP. Berbeda dengan
persepsi umum, kebijakan HDPP ternyata cukup efektif.
1,020
965
1,095
1,136
1,095
1,152
1,230
1,248
1,230 1,232
900
950
1,000
1,050
1,100
1,150
1,200
1,250
1,300
(Rp/
kg)
2000 2001 2002 2003 2004*)
Tahun
HDPP (GKP) Harga GKP
Gambar 4. Perkembangan HDPP dan Harga GKP (Rp/kg). Sumber : BULOG (2004). Opini publik : Kebijakan insentif harga tidak efektif sehingga nilai tukar petani
semakin menurun.
Fakta Statistik : Secara agregat Indeks Nilai Tukar telah berbalik dari cenderung
menurun menjadi cenderung meningkat terus dan sejak tahun
2003 telah melampaui puncak tertinggi sepanjang sejarah.
Secara kumulatif, efektifitas kebijakan insentif harga, termasuk dukungan harga
output dan subsidi input usahatani, dapat dicerminkan oleh dinamika indeks nilai tukar
petani. Penyediaan insentif harga merupakan elemen utama dari kebijakan “Proteksi dan
618
Promosi” yang dicanangkan pemerintah. Kebijakan proteksi dimaksudkan untuk melindungi
petani dari ancaman penurunan dan fluktuasi harga di pasar internasional, serta banjir
impor produk pertanian sebagai akibat dari praktek perdagangan dunia yang tidak adil.
Untuk itu, pemerintah melindungi petani dengan mengenakan tarif impor, pengaturan (jika
perlu pelarangan) impor dan penetapan aturan sanitary dan phytosanitary. Beberapa
contohnya ialah untuk beras, gula, ayam, sapi. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga
menyediakan insentif melalui subsidi (pupuk, benih kredit), dan pembenahan pemasaran
dan perdagangan sarana produksi (pupuk, pestisida). Sejak tahun 2001 pemerintah kembali
menyediakan subsidi pupuk sekitar Rp. 1,3 triliun per tahun yang sebelumnya telah dihapus.
Selain menggunakan tarif impor Rp. 430 per Kg, pada tahun 2004 pemerintah juga
malarang impor beras.
Kebijakan harga dan perdagangan tersebut terbukti efektif dan menyediakan insentif
harga bagi petani Data BPS menunjukkan bahwa setelah mengalami keterpurukan akibat
krisis multidimensi (1998-1999), Nilai Tukar Petani (NTP) secara konsisten mengalami
peningkatan selama periode 2000-2004. Selama periode tersebut, rata-rata NTP mencapai
107,63, lebih tinggi dibandingkan dengan periode krisis (1998-1999) maupun sebelum krisis
(1993-1997) yang masing-masing sebesar 102,59 dan 106,08 (Gambar 5). Bahkan NTP
pada tahun 2003 dan 2004, telah jauh melampaui titik tertinggi pada masa sebelum krisis.
Namun demikian, harus diakui bahwa pertumbuhan NTP tersebut hingga saat ini
belum merata di seluruh Indonesia. NTP di Jawa secara umum masih lebih tinggi
dibandingkan dengan luar Jawa. Rata-rata NTP di Jawa selama periode 2000-2004
mencapai 115,63, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan luar Jawa yang hanya 89,39.
Penyebab utamanya adalah perbedaan struktur produksi. Pertanian di Jawa didiminasi
usahatani tanaman pangan, sementara di luar Jawa didominasi usahatani non-tanaman
pangan. Memang kebijakan insentif pemerintah lebih terfokus pada usahatani tanaman
pangan yang lebih banyak jumlahnya dan amat penting untuk pemantapan ketahanan
pangan nasional.
619
Gambar 5. Perkembangan Nilai Pukar Petani, 2000-2004. *) Data 2004 s/d Maret Sumber : BPS.
2. Kinerja Sektor Pertanian
Opini publik : Sektor pertanian makin terpuruk, terperosok ke dalam perangkap per-
tumbuhan rendah.
Fakta statistik : Sektor pertanian telah mampu melepaskan diri dari perangkap “ spiral
pertumbuhan rendah “ (1999-2002), dan sejak tahun 2003 telah berada
pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) menuju
pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth).
Keragaan sektor Pertanian dan Peternakan selama periode tahun 2000-2003 telah
mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, rata-
rata laju pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor Pertanian dan
Peternakan mencapai 1,83 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis (1998-1999)
yang hanya mencapai 0,88 persen, bahkan dibanding periode tahun 1993-1997 (sebelum
krisis ekonomi) yang mencapai 1,57 persen. Subsektor Tanaman Bahan Makanan
menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terlihat dari laju pertumbuhannya sebesar
0,58 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan selama periode sebelum krisis
ekonomi yang hanya mencapai 0,13 persen. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor
Perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi dari periode sebelum krisis yang
tumbuh sebesar 4,30 persen, sedangkan subsektor Peternakan walaupun telah tumbuh
96.93
99.33
103.38
114.37
124.12
90
95
100
105
110
115
120
125
(199
3 =
100)
2000 2001 2002 2003 2004*)
Tahun
Nilai Tukar Petani
620
positif sebesar 3,13 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode
sebelum krisis yang mencapai 5,01 persen.
Selama masa krisis ekonomi (1998 – 1999) laju pertumbuhan sektor Pertanian
(Tanaman Bahan Makanan, Perkebunan dan Peternakan) sangat rendah dan cenderung
menurun, dari 1,97 persen pada periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) menjadi
hanya 0,44 persen pada periode krisis ekonomi (Gambar 6) Pada periode krisis ekonomi,
pertumbuhan subsektor Peternakan mengalami penurunan menjadi 2,10 persen jauh di
bawah pertumbuhan rata-rata pada masa sebelum krisis ekonomi yang mencapai 4,69
persen. Subsektor perkebunan mengalami kontraksi tumbuh negatip sebesar 3,30 persen
jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama periode 1993-1997 yang mencapai 4,37
persen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa selama krisis ekonomi (1998–1999)
sektor Pertanian telah terperosok ke dalam perangkap “spiral pertumbuhan rendah”.
Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB
sektor Pertanian dan Peternakan telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun
1999. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami kontraksi
luar biasa, tumbuh negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada
tahun 2003. Selain jauh lebih mampu bertahan, sektor Pertanian dan Peternakan juga
mampu pulih jauh lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun demikian,
pertumbuhan sektor Pertanian dan Peternakan pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil.
0.71
4.37 4.69
0.99
-3.3
2.1
1.03
4.954.5
-0.35
-3.64 -1.98
1.52
9.858.36
0.91
5.67 5.63
1.88
6.3
4.32
-4
-2
0
2
4
6
8
10
1993-1997 1998-1999 2000-2003 2000 2001 2002 2003
PanganKebun
Ternak
Gambar 6 . Pertumbuhan PDB Sub Sektor Pertanian (%). Sumber: BPS.
621
Keragaan sektor Pertanian selama periode pemulihan ekonomi (2000-2003) menuju
pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode 2000-2003 rata-rata laju pertumbuhan sektor
Pertanian mencapai 2,30 persen, lebih tinggi dibanding sebelum krisis ekonomi (1993-
1997) yang mencapai rata-rata 1,97 persen. Selain itu, apabila dilihat dari indeks PDB
(Gambar 7), sektor Pertanian menunjukkan peningkatan konsisten sejak tahun 2000, dan
mulai tahun 2003 sektor Pertanian sedang menuju pertumbuhan berkelanjutan.
Dapat disimpulkan bahwa sektor Pertanian dan Peternakan telah terlepas dari
“perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998 –
1999. Sektor Pertanian dan Peternakan telah melewati fase pertumbuhan rendah (1998–
1999), dan kini (2003) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating
growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth).
Berdasarkan perkembangan indeks PDB terbukti bahwa sektor Pertanian dan Peternakan
mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan. Walaupun telah
pulih ke level sebelum krisis, laju pertumbuhan subsektor Perkebunan dan subsektor
Peternakan, yang merupakan sumber pertumbuhan tinggi dalam sektor Pertanian, masih
labil dan belum sepenuhnya pulih. Kedua subsektor ini amat tergantung pada kondisi
perekonomian nasional maupun global.
Dengan cepat teratasinya masalah flu burung dan kondisi iklim yang diperkirakan
normal, maka pada tahun 2004 kinerja PDB sektor Pertanian dan Peternakan diperkirakan
akan lebih baik lagi. Optimisme ini antara lain didukung oleh angka ramalan BPS bahwa
pada tahun 2004 produksi padi diperkirakan meningkat 1,26 persen, jagung 4,11 persen,
kedelai 5,19 persen, kacang tanah 5,30 persen dan ubikayu 3,91 persen, sehingga laju
pertumbuhan subsektor Tanaman Bahan Makanan akan meningkat nyata. Semakin
pulihnya perekonomian akan mendorong peningkatan laju pertumbuhan subsektor
Peternakan dan Perkebunan secara nyata.
622
1.97
7.07
0.44
-4.8
2.3
4.31
-1.51
5.39
4.133.83
2.6
4.25
3.18
4.51
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
1993-1997 1998-1999 2000-2003 2000 2001 2002 2003
Pertanian dan Peternakan
Total PDB
Gambar 7 . Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian-Peternakan dan Total (%). Sumber: BPS.
Berdasarkan indeks PDB sektor ekonomi (Gambar 7), dapat dikatakan bahwa sektor
Pertanian dan Peternakan merupakan sektor yang paling ringan terkena dampak krisis dan
cepat pulih ke kondisi sebelum krisis dibandingkan dengan sektor perekonomian secara
umum.
80
90
100
110
120
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun
Per
sen
Total PDB PDB Pertanian dan Peternakan PDB Pertanian
Gambar 8. Indeks PDB sektor Pertanian pada Harga Konstan 2000, 1996 = 100. Sumber : BPS.
623
Opini publik : Produksi komoditas utama menurun terus
Fakta Statistik: Produksi komoditas pangan utama lebih tinggi daripada sebelum
krisis ekonomi 1993-1996
Produksi komoditas pangan utama padi dan jagung baik sebelum krisis ekonomi
(1993-1997), masa krisis ekonomi (1998-1999), maupun pada masa pemulihan ekonomi
(2000-2004) terus meningkat, sebaliknya untuk komoditas kedelai mengalami penurunan.
Sebelum krisis ekonomi rata-rata produksi padi dan jagung di Indonesia masing-masing 49
juta ton dan 7,9 juta ton per tahun, pada masa krisis ekonomi meningkat menjadi 50,1 juta
ton dan 9,7 juta ton per tahun, dan pada masa pemulihan ekonomi juga terus meningkat
menjadi 51,9 juta ton dan 10,1 juta ton per tahun (Gambar 9 dan 10).
49,009
7,931
50,052
9,687
51,317
9,891
51,787
10,125
51,179
9,677
50,461
9,347
51,490
9,654
52,138
10,886
53,666
11,059
0
10,000
20,000
30,000
40,000
50,000
60,000
93-97 98-99 00-03 00-04 2000 2001 2002 2003 2004
Padi Jagung
Gambar 9 . Perkembangan Produksi Padi dan Jagung di Indonesia (000 ton). Sumber: BPS
1,565
1,344
795 774
1,010
827
673 672 688
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
93-97 98-99 00-03 00-04 2000 2001 2002 2003 2004
Gambar 10 . Perkembangan Produksi Kedelai di Indoensia (000 ton). Sumber: BPS.
624
Demikian juga pada kelompok komoditas sayur-sayuran dan buah-buahan utama,
produksi komoditas kentang, tomat, jeruk, magga, salak dan rambutan terus meningkat,
walaupun pada beberapa komoditas produksinya mengalami penurunan pada masa krisis
ekonomi. Namun yang sangat menggembirakan bahwa jumlah produksi semua komoditas
tersebut pada masa pemulihan ekonomi sudah di atas produksi sebelum krisis ekonomi
(Gambar 11).
200.00400.00600.00800.00
1,000.001,200.001,400.001,600.00
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003
Tahun
(000
To
n)
Kentang Tomat Jeruk Mangga Salak Rambutan
Gambar. 11. Perkembangan Produksi Hortikultura, 1993-2003. Sumber : BPS.
Produksi komoditas kelapa sawit, kakao, teh, dan kopi sebagai komoditas
perkebunan utama dalam tiga periode (sebelum dan saat krisis ekonomi, serta masa
pemulihan ekonomi) juga terus meningkat (Gambar 12 dan 13). Sementara produksi
komoditas tebu pada saat krisis ekonomi sempat turun, namun demikian pada masa
pemulihan ekonomi kembali meningkat, bahkan sudah menuju ke produksi normal (sebelum
krisis ekonomi).
Pertumbuhan amat tinggi terutama dialami oleh komoditas kelapa sawit dan kakao
yang pada tahun 1993-1997 tumbuh dengan laju di atas 10 persen per tahun. Produksi
komoditas perkebunan tradisional lainnya, yakni tebu/gula, teh, kopi, dan karet, sudah sejak
lama tumbuh lambat, stagnan atau bahkan menurun (tebu/gula). Krisis ekonomi tahun
1998-1999 tidak berdampak negatif, tetapi ternyata justru berdampak positif terhadap
komoditas perkebunan, kecuali tebu/gula. Alasan utamanya ialah depresiasi rupiah
terhadap dollar Amerika menyebabkan harga komoditas perkebunan melonjak tajam yang
selanjutnya mendorong peningkatan volume ekspor komoditas tersebut.
625
Pada tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh
lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk kakao. Prestasi luar biasa
yang mungkin tidak diperkirakan sebelumnya oleh sebagian pihak ialah untuk tebu/gula
yang mengalami titik balik ekstrim dari pertumbuhan negatif hingga tahun 1999,
menjadi tumbuh positif. Pada tahun 2000-2003, produksi tebu/gula tumbuh dengan
rata-rata laju 7,43 persen per tahun, jauh di atas pertumbuhan permintaannya.
Pertumbuhan produk yang amat tinggi tersebut telah berhasil membelokkan trend
volume impor gula dari cenderung meningkat akseleratif menjadi cenderung menurun.
Ini merupakan bukti empiris bahwa Program Akselerasi Produksi Gula Nasional yang kita
laksanakan dalam tiga tahun terakhir telah memberikan hasil yang cukup mengesankan.
Walaupun sempat anjlok, berubah dari tumbuh amat tinggi (rata-rata 17,38
persen per tahun pada periode 1998-1999) menjadi tumbuh negatif (bahkan minus
hampir 10 persen pada tahun 2000), produksi kakao telah mulai pulih kembali. Sejak
tahun 2000, produk kakao telah tumbuh positif dan pada tahun 2003 telah mencapai 4
persen per tahun. Anjloknya laju pertumbuhan produksi kakao tersebut terutama
merupakan akibat dari anjloknya nilai dolar AS dan harga kakao di pasar dunia,
serangan hama penggerek buah, serta pengenaan pajak pertambahan nilai (PPn) dan
pungutan retribusi. Dalam kondisi pasar internasional yang tidak baik dan nilai rupiah
yang terus meningkat belakangan ini, disarankan agar pengenaan pajak dan retribusi
atas proses produksi atau pemasaran kakao ditinjau ulang, paling tidak untuk
sementara.
Ke depan, pertanyaan mendasar ialah apakah pertumbuhan tinggi subsektor
Perkebunan tersebut dapat dipertahankan berkelanjutan ? Sumber utama pertumbuhan
produksi berkelanjutan untuk tanaman perkebunan ialah pertambahan luas panen.
Masalahnya ialah sejak krisis tahun 1998-1999, investasi swasta maupun pemerintah
pada perluasan areal perkebunan belum menunjukkan tanda-tanda pemu-lihan
signifikan. Kiranya patut dicatat, investasi swasta pada usaha perkebunan bersifat
jangka panjang yang umumnya membutuhkan insentif khusus dari pemerintah. Oleh
karena itu, agar pertumbuhan tinggi subsektor Perkebunan dapat dipertahankan
berkelanjutan, pemerintah perlu memulihkan kembali fasilitas kredit khusus untuk
investasi perluasan areal perkebunan.
626
4,438
3072,226
5,823
4581,491
9,306
4791,734
7,581
4211,690
9,048
4281,728
9,911
4331,891
10,683
633 1,628
10,894
6652,338
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003 2004
K. Sawit Kakao Tebu
Gambar.12. Perkembangan Produksi Kelapa Sawit, Kakao dan Tebu di Indonesia. Sumber : BPS.
156
447
164
523
165
598
163
555
164
567
165
569
169
702
170
737
0
100
200
300
400
500
600
700
800
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003 2004
Tea Kopi
Gambar 13. Perkembangan Teh dan Kopi. Sumber : BPS Populasi sapi potong, ayam broiler dan ayam petelur sebelum krisis ekonomi
semuanya mengalami pertumbuhan yang positif, dan pada masa krisis ekonomi
semuanya mengalami pertumbuhan yang negatif, namun demikian pada masa
pemulihan ekonomi kecuali sapi potong, kembali mengalami pertumbuhan yang positif,
bahkan rata-rata populasinya sudah melebihi populasi sebelum krisis ekonomi (gambar
14 dan 15). Dari sisi produksi terlihat juga bahwa produksi daging sapi, susu, daging
ayam broiler dan telur sebelum krisis ekonomi mengalami peningkatan dan menurun
627
pada masa krisis ekonomi, namun demikian kembali meningkat termasuk produksi
daging sapi pada masa pemulihan ekonimi dengan rata-rata produksi lebih tinggi dari
sebelum krisis ekonom (gambar 16 dan 17).
Penurunan populasi ternak sapi potong selama kurun waktu 1998-2001, sejak
tahun 2002 telah teratasi dan pada tahun 2003 telah mencapai jumlah 11,5 juta ekor.
Jumlah terse-but hampir mendekati jumlah populasi tahun 1997 yang mencapai 11,9
juta ekor. Lambannya perkembangan ternak sapi, khususnya sapi potong, disebabkan
oleh masih terbatasnya kemampuan sistem perbibitan dan manajemen pengelolaan
usaha peternakan sapi. Selain itu, semakin meningkatnya pemotongan sapi betina juga
menjadi penghambat lain yang potensial menekan perkembangan populasi ternak sapi
di dalam negeri. Namun permasalahan-permasalahan tersebut sedikit demi sedikit
sudah mulai dapat diatasi sehingga populasi ternak sapi pada tahun 2002 dan 2003
sudah menunjukkan peningkatan kembali. Peningkatan populasi ternak ruminansia
besar yang utama didorong oleh keberhasilan program inseminasi buatan.
Perkembangan jumlah populasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau,
secara langsung juga berpengaruh terhadap perkembangan produksi daging.
Peningkatan populasi ternak sapi potong pada periode 2000-2003, telah mendorong
peningkatan produksi daging sapi pada periode tersebut dengan laju 2,32 persen per
tahun. Seiring dengan peningkatan produksi hasil ternak, konsumsi pangan hewani juga
mengalami peningkatan. Konsumsi daging meningkat dari 5,75 kg/kapita/tahun pada
tahun 2002 menjadi sekitar 6,08 kg/kapita/tahun pada tahun 2003.
Dari fenomena di atas terlihat bahwa usaha ternak sapi potong dan sapi perah
sebelum krisis ekonomi telah menunjukkan kinerja yang cukup baik. Adanya krisis
ekonomi menyebabkan populasi dan produk dari jenis ternak ini mengalami penurunan.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah melalui Departemen Pertanian telah
mampu mengangkat kinerja usaha peternakan ini kembali seperti sebelum krisis
ekonomi.
Dari berbagai jenis ternak yang ada, cukup sahih untuk dikatakan bahwa
perkembangan ternak ayam ras merupakan yang paling spektakuler. Perkembangan
ternak ayam ras yang sangat pesat sejak tahun 1980-an mampu mendorong kinerja
sektor Peternakan menjadi lebih baik lagi. Sampai menjelang krisis ekonomi,
pertumbuhan populasi ayam ras pedaging dan ras petelur sangat konsisten pada
kisaran 8,14 dan 7,15 persen per tahun. Pada periode krisis (1998-1999) laju
628
pertumbuhan populasi ternak ayam ras pedaging dan ras petelur turun tajam hingga
mencapai -34,09 dan -21,95 persen per tahun. Namun selama periode 2000-2003,
populasi ternak ayam ras pedaging dan ayam ras petelur kembali meningkat dengan
tajam, bahkan pada tahun 2003, populasinya jauh melebihi sebelum periode krisis
(Tabel 14). Pada awal tahun 2004 ini, kinerja produksi ayam ras kembali menghadapi
ujian dengan munculnya wabah flu burung. Namun dengan cepat teratasinya wabah
tersebut diperkirakan tidak terlalu mengganggu kinerja produksi ayam ras pada tahun
2004 ini.
Seiring dengan membaiknya keragaan populasi ternak ayam ras, maka produksi daging
ayam ras dan telur pada periode 2000-2003 juga mengalami perbaikan. Selama periode
tersebut, produksi daging ayam pedaging meningkat dengan laju sekitar 24,30 persen
per tahun, sementara produksi telur meningkat dengan laju 9,34 persen per tahun.
Selama periode tersebut, peningkatan produksi daging ayam ras yang paling tinggi
terjadi pada tahun 2000 dan 2002, yaitu masing-masing sebesar 75,77 dan 40,02
persen. Sementara untuk telur, lonjakan produksi paling tinggi terjadi pada tahun 2000
yang mencapai 22,38 persen.
Epidemi flu burung yang di Indonesia mulai berjangkit pada akhir tahun 2003
dapat menjadi ancaman serius bagi kinerja subsektor Peter-nakan. Industri peternakan
ayam yang sudah mulai pulih terancam terpuruk lagi jika epidemi flu burung tersebut
berkelanjutan. Namun demikian, pada akhir Februari 2004 nampaknya epidemi flu
burung sudah dapat dikendali-kan dan diberantas tuntas. Departemen Pertanian sudah
melaksanakan program komprehensif untuk mengendalikan dan memberantas epidemi
flu burung tersebut dan kini tengah melaksanakan program pemulihan dampak
negatifnya terhadap industri peternakan.
Kita optimistis, subsektor Peternakan yang telah pulih dari terpaan krisis tahun
1998-1999 akan terus mengalami akselerasi pertumbuhan. Kata kuncinya ialah kondisi
kesehatan perekonomian makro dan ancaman epide-mi penyakit menular. Belajar dari
bencana sebelumnya, Departemen Perta-nian akan membangun sistem pencegahan
dan penanggulangan penyakit ternak menular secara nasional. Pemulihan kesehatan
perekonomian nasional merupakan tugas kita bersama.
629
11,497 11,455
10,771
11,008
10,275
11,298
10,504
9,600
9,800
10,000
10,200
10,400
10,600
10,800
11,000
11,200
11,400
11,600
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003
Gambar 14. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia (000 ekor). Sumber: BPS.
647,584
67,259
339,175
42,196
734,582
74,205
530,874
69,366
621,834
70,210
865,075
78,039
920,544
79,206
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
1,000,000
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003
Ayam broilerAyam petelur
Gambar 15. Perkembangan Populasi Ayam Broiler dan Petelur di Indonesia (000 ekor). Sumber: BPS
630
339
519
326289
345
644
340
515
339
537
330
752
370
771
0
100
200
300
400
500
600
700
800
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003
Sapi Ayam Broiler
Gambar 16. Perkembangan Produksi Daging Sapi dan Ayam Broiler di Indonesia.
(000 ton). Sumber: BPS.
708,480
422,503
584,947
405,690
888,163
505,616
783,316
495,647
850,000
480,000
945,746
493,374
973,589
553,442
0
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
900,000
1,000,000
93-97 98-99 00-03 2000 2001 2002 2003
Telur Susu
Gambar 17. Perkembangan Produksi Telur dan Susu di Indonesia (000 ton). Sumber: BPS.
Fakta statistik di atas membuktikan bahwa secara umum produksi pertanian
terus meningkat dan kondisinya pada masa pemulihan ekonomi sudah lebih baik dari
masa sebelum krisis ekonomi, sehingga opini yang mengatakan bahwa produksi
pertanian menurun sangat keliru.
631
Opini publik : Persentase penduduk miskin di pedesaan makin bertambah
Fakta Statistik : Persentase penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan sejak
masa pemulihan ekonomi
Tujuan akhir utama pembangunan pertanian ialah untuk meningkat-kan
kesejahteraan petani dan penduduk pedesaan secara khusus serta seluruh rakyat
Indonesia secara umum. Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah
prevalensi jumlah penduduk miskin. Kemampuan suatu pemerintahan di negara
berkembang seperti Indonesia untuk menu-runkan jumlah penduduk miskin, utamanya
di pedesaan, secara konsisten merupakan suatu prestasi yang patut dibanggakan
karena kemiskinan, utamanya di wilayah pedesaan, merupakan salah satu kendala
utama dalam pengembangan sektor Pertanian. Penduduk miskin di pedesaan terutama
yang hidup di sektor Pertanian mempunyai kemampuan yang amat terbatas dalam
permodalan dan pengetahuan teknologi pertanian, sehingga kemam-puan mereka
dalam meningkatkan kapasitas produksi pertaniannya pun melalui pengembangan
teknologi juga terbatas. Oleh karena itu, tingkat kemiskinan, utamannya di wilayah
pedesaan, merupakan indikator utama keberhasilan pembangunan nasional yang
dilaksanakan oleh suatu pemerintahan.
Secara absolut jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan hampir dua kali
lipat dibanding jumlah penduduk di wilayah perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan
fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan
bergantung pada sektor Pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan
sangat terkait dengan sektor Pertanian. Dengan kata lain, sektor Pertanian merupakan
sektor yang amat strategis untuk dijadikan instrumen dalam pengentasan kemiskinan.
Kemajuan sektor Pertanian, paling tidak, akan banyak memberikan kontribusi pada
penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan.
Krisis multidimensi yang terjadi pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan
jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi 26 persen atau sekitar 32
juta orang di pedesaan dan 22 persen atau hampir 18 juta orang. Namun pada tahun
2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi 21,1 persen atau 25 juta
orang di pedesaan dan 14,5 persen atau 13 juta orang di perkotaan. Walaupun secara
absolut maupun persentase jumlah penduduk miskin masih lebih tinggi pada tahun 2002
632
dibanding tahun 1996 (sebelum krisis multidimensi), namun fakta penurunan insiden
kemiskinan tersebut secara konsisten merupakan salah satu prestasi luar biasa
pembangunan Indonesia pada periode pemu-lihan ekonomi. Penurunan jumlah
penduduk miskin di wilayah pedesaan pada periode pemulihan ekonomi, tidak terlepas
dari pertumbuhan sektor Pertanian yang cukup tinggi, utamanya subsektor Tanaman
Bahan Makanan selama periode tersebut.
Berdasarkan data prevalensi kemiskinan, dapat disimpulkan bahwa pada periode
tahun 2000-2002 kesejahteraan penduduk pedesaan maupun perkotaan jauh lebih baik
dari pada periode tahun 1998-1999 (masa krisis), dan sudah mendekati keadaan tahun
1996. Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten
menyimpulkan bahwa yang paling berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk
miskin, baik di desa maupun di kota ialah pertumbuhan sektor Pertanian. Salah satu
studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan sektor Pertanian dalam menu-runkan
total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di
pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penu-runan signifikan jumlah
penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode tahun 1998-
2002 terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor Pertanian.
Gambar 18. Persentase Penduduk Miskin di Pedesaan, 1996 – 2004. Sumber : BPS.
19.9
25.726.1
22.3
24.8
21.1
20.2
19.5
15
17
19
21
23
25
27
( % )
1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Tahun
Persentase Penduduk Miskin
633
Selain itu, bukti yang lebih kuat tentang peningkatan kesejahteraan petani adalah
menurunnya jumlah absolut anggota rumah tangga tani yang masih hidup dalam
kemiskinan yakni, dari 26 juta orang pada tahun 1999 menjadi 20,6 juta orang pada
tahun 2002. Walaupun tidak dapat ditunjukkan dengan angka spesifik, dengan
meningkatnya secara signifikan laju pertumbuhan sektor Pertanian pada tahun 2003,
maka dapat dipastikan jumlah anggota rumah tangga tani yang masih miskin pada tahun
2003 jauh lebih kecil dari pada tahun 2002. Dengan demikian, tidak dapat diragukan
lagi, pembangunan yang dilaksanakan selama periode tahun 2000-2003 telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan.
Opini publik : Kemandirian pangan Indonesia semakin menurun dan telah terperang-
kap impor pangan (food trap).
Fakta Statistik : Kapasitas produksi pangan domestik untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi domestik makin meningkat.
Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu
bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang
cukup, mutu yang layak, aman dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi
pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Oleh karena itu,
salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah ketergantungan
ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Data Neraca Bahan Makanan yang
diterbitkan FAO menunjukkan bahwa selama periode 2000-2002, kemampuan
penyediaan pangan Indonesia dalam kalori per kapita per hari mencapai 3.313, jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan periode krisis (1998-1999) yang sebesar 2.832
maupun sebelum krisis (1993-1997) yang sebesar 2.849. Bahkan kemampuan ekspor
pangan Indonesia selama periode 2000-2002 juga meningkat dibandingkan dengan dua
periode sebelumnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nilai net ekspor pangan yang
mencapai 1.223 Kkal/kapita/hari (Gambar 19). Rata-rata pangsa produksi pangan dalam
negeri terhadap total kebutuhan pangan dalam negeri, selama periode 2000-2002
mencapai 111 persen, sementara impor dan ekspornya masing-masing sebesar 13 dan
24 persen, sehingga secara keseluruhan net ekspor pangan Indonesia mencapai 11
persen (Gambar 20 dan 21) Kondisi ini jauh lebih baik dari dua periode sebelumnya,
dimana pangsa produksi pangan dalam negeri di bawah 100 persen dan net ekspornya
negatif sekitar 1-3 persen.
634
Gambaran ketersediaan bahan pangan untuk dikonsumsi, menurut Neraca
Bahan Makanan (NBM), dihitung berdasarkan penjumlahan produksi domestik, impor
netto, stok dikurangi dengan kebutuhan nonkonsumsi (benih, industri nonpangan, dan
penggunaan lain). Ketersediaan pangan per kapita per hari dalam bentuk kalori dan
protein per kapita selama lima tahun terakhir rata-rata kuantitasnya relatif lebih dari
cukup, yakni di atas 3.000 kilo kalori dan di atas 74 gram dibandingkan rekomendasi
ketersediaan 2.550 kilo kalori dan 55 protein per kapita per hari. Kemampuan
penyediaan pangan per kapita yang relatif masih cukup tinggi, dikarenakan produksi
pangan meningkat dan didorong oleh kebijakan impor yang lebih terbuka.
Namun demikian, perkembangan ketersediaan energi dan protein selama lima
tahun terakhir cenderung turun, karena pertumbuhan produksi yang relatif lambat, dan
impor yang se-makin menurun. Menarik untuk dicer-mati bahwa: (a) pertumbuhan
produksi domestik meningkat relatif lambat, ter-utama beras hanya 0,50 persen per
tahun, bahkan kedelai turun 15 persen per tahun; (b) jumlah penduduk terus meningkat
dengan laju 1,5 persen per tahun, sementara, impor pangan cen-derung turun. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan impor yang sangat besar pada awal reformasi
merupakan dampak dari dibukanya pasar domestik (efek psikologis), sehingga volume
yang diimpor sesungguhnya lebih ba-nyak dari kebutuhan. Penurunan impor pada
tahun-tahun berikutnya merupa-kan rasionalisasi dari tindakan excessive import pada
tahun-tahun awal. Penurunan volume impor pangan ini menjelaskan penurunan tingkat
keter-sediaan energi selama lima tahun terakhir. Untuk itu, dibalik angka rata-rata
nasional per kapita yang relatif tinggi tersebut masih perlu dicermati lebih dalam aspek
kestabilan jangka panjang penyediaan dari segi volume dan harga antarwaktu serta
antarlokasi. Faktor kestabilan tersebut merupakan prakondisi bagi aksesibilitas rumah
tangga terhadap pangan yang cukup sebagai sisi terpenting dalam ketahanan pangan.
Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu
bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang
cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi
pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Oleh karena itu,
salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah ketergantungan
ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Hasil pemantauan mengenai rasio impor
beberapa bahan pangan penting terhadap total penyediaan pangan dalam
kalori/kapita/hari menunjukkan, bahwa ketergantungan impor, dalam bentuk kalori per
jenis bahan pangan terhadap total penyediaan kalori, secara umum relatif kecil
635
Gambar 19. Produksi dan Ekspor Pangan Indonesia, 1993 – 2002. Sumber : FAO.
Gambar 20. Pangsa Ekspor dan Impor Pangan Terhadap Ketersediaan Total Dalam Negeri,1993 – 2002. Sumber : FAO.
Data BPS juga menunjukkan bahwa impor beberapa bahan pangan pokok,
seperti beras, jagung, kedelai dan gula, terhadap total kebutuhan dalam negeri selama
periode 2000-2003 relatif kecil. Impor beras masih di bawah 3 persen, sementara impor
kedelai dan gula sekitar 2 persen dan impor jagung di bawah 2 persen. Dengan
2849.34
854.34
2831.78
833.28
3224.67
1223.67
3082.63
1082.63
3278.65
1277.65
3312.72
1310.72
0.00
500.00
1000.00
1500.00
2000.00
2500.00
3000.00
3500.00
KK
al/K
apit
a/H
ari
1993-1997 1998-1999 2000-2002 2000 2001 2002
Tahun
Produksi Net Ekspor
10.08 10.5911.23
14.11
23.8
12.72
19.71
13.49
23.4
10.49
28.28
14.17
0
5
10
15
20
25
30
Pan
gsa
(%
)
1993-1997 1998-1999 2000-2002 2000 2001 2002
Tahun
Ekspor Impor
636
demikian, kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia semakin terancam terperosok
ke dalam perangkap ketergantungan impor pangan tidak didukung oleh data yang ada.
Gambar 21. Pangsa Produksi dan Net Ekspor Terhadap Ketersediaan Total Dalam Negeri, 1993 – 2002. Sumber : FAO. .
4. Penutup
Kinerja sektor Pertanian selama periode tahun 2000-2003 akan lebih obyektif bila
dilaksanakan dengan memperhatikan dua gejolak eksternal beruntun dan luar biasa
yaitu : (a) anomali iklim El Nino berkepanjangan (1997-1998); dan yang berulang dalam
tenggang waktu singkat (2001) ; (b) krisis multi dimensi ekonomi-sosial politik
berkepanjangan (1997-1999). Kedua kondisi abnormal tersebut tidak saja membuat
kinerja sektor Pertanian pada tahun 2000-2003 beranjak dari tahap awal yang terpuruk,
tetapi juga dengan lingkungan strategis yang tidak menguntungkan, serta perpaduan
keduanya menciptakan pesimisme dan resiko ketidakpastian berusaha sehingga sektor
Pertanian berada dalam ancaman stagnasi berkelanjutan. Dengan demikian, kinerja
sektor Pertanian pada tahun 2000-2003 haruslah dievaluasi dengan tiga perspektif yaitu
: (a) kemampuan berbalik dari ancaman kontraksi lebih buruk (rescue) ; (b) kemampuan
pulih dari stagnasi berkepanjangan (recovery) ; dan (c) kemampuan tumbuh akseleratif
(accelerating) menuju pertumbuhan tinggi berkelanjutan (sustaining growth).
Secara umum, sektor Pertanian mampu melepaskan diri dari ancaman terpuruk
secara berkepanjangan. Sektor Pertanian terbukti lebih tangguh dan mampu pulih lebih
99.49
-0.51
97.13
-2.87
111.08
11.08
106.22
6.22
112.92
12.92
114.11
14.11
-10
10
30
50
70
90
110
130
Pan
gsa
(%
)
1993-1997 1998-1999 2000-2002 2000 2001 2002
Tahun
Produksi Net Ekspor
637
cepat dibanding sektor-sektor lain. Walaupun periode awalnya bervariasi antar
subsektor apalagi antar komoditas, secara umum sektor Pertanian telah berhasil
berbalik dari ancaman kontraksi berkelanjutan (1997-1998), melepaskan diri dari
perangkap “ spiral pertumbuhan rendah “ (1999-2002), dan sejak tahun 2003 telah
berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) menuju pertumbuhan
berkelanjutan (sustaining growth). Selain sektor pertanian mampu pilih, fakta statistik
juga menunjukkan bahwa kinerja sekor pertanian 2000-2003 ternyata lebih baik
dibanding periode sebelum krisis (1993-1996). Fakta statistik tersebut
menggugurkan opini publik di media massa yang mengatakan bahwa kinerja
sektor pertanian selama periode 2000-2003 makin terpuruk. Walaupun demikian
harus diakui bahwa kinerja sektor pertanian tersebut belum sepenuhnya mampu
mengatasi permasalahan yang dihadapi sektor pertanian utamanya peningkatan
kesejahteraan petani.
Agenda jangka menengah-pendek (sekitar lima tahun ke depan) yang perlu segera
kita rumuskan ialah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kinerja yang cukup
menggembirakan tersebut. Disadari, potensi pertumbuhan yang ada saat ini sudah
hampir termanfaatkan secara optimal. Setidaknya lima upaya yang harus dan segera
dilakukan agar momentum akselerasi pertumbuhan sektor Pertanian dapat terus
dipertahankan secara berkelanjutan yaitu : (a) merenovasi dan memperluas infra
struktur fisik (hard infrastructure), utamanya sistem irigasi, sistem transportasi, sistem
telekomunikasi dan kelistrikan pedesaan; (b) revitalisasi sistem inovasi pertanian
(penelitian dan pengembangan, diseminasi teknologi pertanian) ; (c) Pengembangan
kelembagaan agribisnis (tata pemerintahan, organisasi pengusaha dan jejaring usaha) ;
(d) rekonstruksi sistem insentif berproduksi dan investasi ; (e) pengelolaan pasar input
dan output. Semua ini hendaklah diracang secara komprehensif dan terpadu.
Ke depan, pengalaman krisis pahit multi-dimensi 1997-1998 memberikan pelajaran
berharga betapa strategisnya sektor Pertanian sebagai jangkar, peredam gejolak, dan
penyelamat bagi sistem perekonomian nasional. Sektor Pertanian merupakan kunci
untuk pengentasan kemiskinan dan pemantapan ketahanan pangan nasional. Oleh
karena itu, pembangunan sektor Pertanian haruslah tetap dijadikan sebagai prioritas
pembangunan nasional. Inilah konsensus politik yang masih perlu diperjuangkan
bersama.