17
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG WAKALAH DALAM JUAL BELI DALAM ISLAM
A. Konsep Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab adalah al-Bai’, al-Tijarah dan al-Muhadalah
yang artinya perdagangan atau perniagaan1. Sedangkan menurul istilah, yang disebut
dengan jual beli adalah sebagai berikut:
1. Menurut Imam Taqiyuddin, jual beli adalah tukar menukar harta, saling menerima,
dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab kabul, dengan cara yang sesuai dengan
syara.2
2. Menurut Sayyid Sabiq, jual beli adalah penukaran benda dengan benda lain saling
merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara
yang diperbolehkan.3
3. Menurut Hasbi ash-Shiddeqy, jual beli adalah akad yang tegak atas dasar
penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.4
4. Menurut Hendi Suhendi, jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar barang
atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak,
1 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 67.2 Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Ahyar, (Indonesia: Daar Ihyak Al-Kutub al-Arabiyah, t.t),
239.3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut : Daar al-Fikr, 1983), 126.4 Hasbi ash-Shiddieqy, Pangantar Fiqh Muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), 360.
17
18
yang satu menerima benda-benda dan pihak lain yang menerimanya sesuai
dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.5
5. Menurut Ayyub Ahmad, jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang
yang lain atau penukaran barang dengan uang dengan cara tertentu. Dari beberapa
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa jual beli pada intinya menukar barang
dengan barang tertentu yang sama jenisnya atau memiliki nilai sama.6
Dengan pengertian muamalah yang telah dijelaskan salah satu rukun
muamalah yaitu jual beli yang diartikan saling tukar menukar suatu barang yang lain
dengan cara yang tertentu ( akad ) dalam hal ini terdapat dalil naqly, sebagai berikut:
“Allah btelah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” ( Al-Baqarah:275)
b. Dasar Hukum Jual Beli
Adapun dasar hukum jual beli dapat dilihat dalam penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut :
)….282 )البقرة
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”7 (Q.S. a1-Baqarah 282)
Ayat ini menjelaskan secara teknis bagaimana melakukan jual beli yang
benar. Sebagaimana diketahui jual beli merupakan transaksi yang dilakukan oleh
kedua belah pihak untuk saling menukarkan barang. Ada baiknya dalam melakukan
5 Handi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 68.6 Aiyub Ahmad, Fiqih Lelang, (Jakarta : Kiswah, 2004), 37.7 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta : Intermassa, 1986), 71.
19
perjanjian jual beli hendaknya perlu menunjuk saksi atau alat bukti lain, dengan
tujuan untuk memberikan saksi atau pembuktian bahwa kedua belah pihak tersebut
betul-betul telah melakukan jual beli. Hal ini sangat penting dalam perbuatan
muamalah lainnya.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan hartasesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yangBerlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. “8( Q. S. An-Nisa:29 )
Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela dalam
mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak melakukan penipuan,
kebohongan, perampasan, pencurian atau perbuatan lain secara batil untuk
mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta dengan cara jual beli
yang baik yaitu didasari atas suka sama suka.
198)البقرة……(ربكم من فضال تـبتـغواأن جناح عليكم ليس
Artinya: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezqi hasilperniagaan) dari Tuhanmu.”9 (Q.S. al-Baqarah: 198).
Penjelasan yang dapat dipetik dari ayat tersebut adalah bahwa, perniagaan
adalah jalan yang paling baik dalam mendapatkan harta, di antara jalan yang lain.
Asalkan jual beli dilakukan sebagaimana Rasulullah melakukan jual beli. Hal itu juga
8 Ibid, 122.9 Ibid, 48.
20
sesuai dengan hadits Rasulullah SAW dalam kitab Musnad Ahmad, pada bab musnad
al-muqayyin, No: 15276, yaitu:
ثـنا شريك عن وائل عن مجيع بن عمري عن خاله قال سئل ثـنا أسود بن عامر قال حد النيب حدرور وعمل الرجل بيده صلى الله عليه وسلم عن أفضل الكسب فـقال بـيع مبـ
Artinya: “…....Dari Jumay’ bin ‘Umayr dari pamannya, Nabi SAW ditanyatentang penghasilan yang paling utama, beliau bersabda: “sebaik-baik penghasilan adalah jual beli yang sah, tidak terdapat unsurpenipuan dan usaha seseorang dengan tangannya.” 10
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha
tipu-menipu dan merugikan orang lain. Hadits lain dalam kitab Sunan Ibnu Majah,
pada bab at-Tijarah, No: 2176 :
ثـنا العباس بن الو ثـنا عبد العزيز بن حممد عن داود حد ثـنا مروان بن حممد حد مشقي حد ليد الدعت أبا سعيد اخلدري يـقول قال رسول الله صلى الله عليه بن صالح المديين عن أبيه قال مس
ا البـيع عن تـراض وسل م إمنArtinya: “……..Dari Dawud bin Salih al-Madini dari bapaknya berkata; aku
mendengar Abu Sa’id ia berkata “Rasulullah SAW bersabda:hanyasannya jual beli berlaku dengan saling ridha”.11
Jual beli juga disepakati oleh beberapa ijma’ ulama’ dengan mengemukakan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang
10Mawsu'ah Hadis| Syarif , CD Hadis|.11Ibid.
21
lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu,
harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.12
Dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits di atas maka dapat dilihat bahwa jual
beli mempunyai landasan yang kuat. Sehingga ulama sepakat mengenai kebolehan
jual beli (dagang) sebagai perkara yang telah dipraktekkan sejak zaman Nabi SAW
hingga masa kini.
Jual beli yang mendapat berkah dari Allah adalah jual beli yang jujur, yang
tidak curang, yang tidak mengandung unsur penipuan dan pengkhianatan.13
Sebagaimana dijelaskan dalam Hadists pada kitab Sunan Tirmizi, pada bab buyu’ an
Rasulullah, No: 1130 yaitu :
ثـنا قبيصة عن سفيان عن أيب محزة عن احلسن ع ثـنا هناد حد ن أيب سعيد عن النيب صلى الله حديقني والشهداء عليه وسلم قال التاجر الصدوق األمني مع النبيني والصد
Artinya: “……..Dari Sufyan dari Abu Hamzah dari al-Hasan dari Abu Sa’iddari Nabi SAW, beliau bersabda: “seorang pedagang yang jujur dandipercaya akan bersama dengan para Nabi, Siddiqun dan paraSyuhada’.” 14
c. Rukun dan Syarat Jual Beli
Perjanjian jual beli merupakan perbuatan hukum yang mempunyai
konsekuensi peralihan hak atas sesuatu barang, dan pihak penjual kepada pihak
pembeli, maka dengan sendirinya dalam perbuatan hukum haruslah dipenuhi rukun
12 Rahmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, 75.13 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), 166.14Mawsu'ah Hadis| Syarif , CD Hadis|.
22
dan syarat-syarat sahnya jual beli. Dengan demikian apapun jenis dan obyek jual beli
harus memenuhi rukun syarat menurut syara’.15 Adapun rukun dan syarat-syarat
menurut para ulama ada tiga, yaitu adanya akad, penjual dan pembeli dan barang
yang diperjual belikan :
1. Akad (ijab kabul)
Adalah ikatan kata antara penjual dan pembeli, jual beli dikatakan sah sesudah
ijab dan kabul dilakukan. Ijab dan kabul mempunyai pengertian sebagai petunjuk
adanya saling kerelaan di antara kedua pihak. Meskipun kerelaan tidak dapat dilihat
dengan mata, akan tetapi tanda-tanda kerelaan dapat dilihat dengan adanya ijab dan
kabul atau akad. Hal itu berdasarkan hadits Rasulullah SAW :
تـراض عن االاثـنان يـفتـر ال :قالوسلمعليهاهللاصلالنيبعنعنهاهللارضيهريرةايبعن)عليهمتفقرواه(
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda: Janganlah dua orang
yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhoi.” (HR. Mutafiq Alaih).16
Adapun syarat sahnya ijab dan kabul dalam aturan Islam adalah sebagai
berikut:
a. Dilakukan dalam satu majlis.
b. Kesepakatan dalam melakukan ijab dan kabul atas dasar kerelaan diantara
keduanya.
15 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh, al-Islami wa Adilatuhu, (Beirut Libanon, Daar al-Fikr al-Ma'ashir, t.t), 3309.
16 Ibn Hajar Al-Asqalani, Bulugh al-Maram, (Bandung : PT. Mizan Pustak t.t), 235.
23
c. Sebuah akad dinyatakan sah apabila disertai dengan lafal jual dan beli. Bentuk
kata kerja yang dipakai adalah kata kerja masa lalu (shighatmadhiyah). Misalnya
penjual berkata “Telah kujual padamu” dan pembeli berkata, “Telah kubeli
darimu”.17
2. Penjual dan Pembeli
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penjual dan pembeli adalah:
a. Penjual dan pembeli keduanya berakal. Diharapkan apabila penjual dan
pembeli mempunyai pikiran sehat dapat menimbang kesesuaian permintaan
dan penawaran yang dapat menghasilkan kesamaan pendapat. Kalau akalnya
tidak dapat digunakan secara baik walaupun terjadi kata sepakat, maka jual
belinya tidak sah.
b. Atas kehendak sendiri, tidak dibenarkan apabila salah satu pihak memaksanya
untuk melakukan penukaran hak miliknya dengan hak milik orang lain. Kalau
pemaksaan itu dilakukan walaupun terjadi kata sepakat, maka jual belinya
tidak sah.
c. Bukan pemboros (mubadzir), artinya para penjual dan pembeli dapat menjaga
hak dan kewajibannya untuk dapat melakukan tindakan hukum. Dengan
demikian anak yang masih dibahwa umur, tidak dapat melakukan tindakan
hukum sendiri. Karena harta yang dimiliki ada dalam keadaan mubadzir bagi
dirinya dan berada di tangan walinya.
17 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah jilid, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), 128.
24
d. Dewasa dalam arti baligh, para penjual dan pembeli dapat melakukan tindakan
jual beli kalau dilihat dari tingkat usia telah mencapai 15 tahun. Bagi anak
yang belum baligh tidak boleh menjual beli, kecuali atas tanggung jawab
walinya terhadap barang-barang yang bernilai kecil. Barang-barang yang
bernilai kecil ini adalah alat keperluan sehari-hari seperti bumbu, alat tulis
keperluan sekolah, es atau makanan-makanan kecil lainnya.
e. Menurut Ibnu Rusyd ada persyaratan lain yang sangat penting, bahwa kedua
orang yang melakukan transaksi jual beli sama-sama mempunyai hak milik,
sempurna kepemilikannya atau menjadi wakil kedua-duanya yang sempurna
perwakilannya.18
3. Benda yang Diperjual Belikan
Benda yang diperjual belikan adalah obyek atau benda yang menjadi sebab
terjadinya transaksi jual beli. Adapun benda yang diperjual belikan harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a. Dapat dimanfaatkan, pengertian barang yang dapat dimanfaatkan tentunya
sangat relatif, sebab pada hakekatnya semua barang yang dijadikan obyek jual
beli merupakan barang yang dapat dimanfaatkan. Seperti untuk dikonsumsi
(beras, buah-buahan, ikan, sayur-mayur, dan lain-lain),
18 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (terj). Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, (Jakarta :Pustaka Amani, 1989), 803.
25
dinikmati keindahannya (hiasan rumah, bunga-bunga, dan lain-lain),
dinikmati suaranya (radio, televisi dan, lain-lain) serta dipergunakan untuk
keperluan yang bermanfaat seperti membeli anjing untuk berburu.
b. Dapat diserahkan cepat atau lambat, maka tidak sah menjual daging hewan
yang sedang lain atau tidak dapat ditangkap lagi, barang-barang yang sudah
hilang. Dengan demikian, yang dimaksud barang yang bermanfaat disini
adalah kemanfaatan menurut ketentuan-ketentuan syara’ atau bertentangan
dengan norma-norma agama. Maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak
boleh diambil manfaatnya menurut syara’. Seperti babi, kala, cecak, dan lain
sebagainya.
c. Ibnu Rusyd menambah satu syarat lagi, bahwa barang yang diperjual belikan
harus terhindar dari unsur penipuan dan riba.19
d. Jelas kadar dan wujudnya, barang yang diperjual belikan harus dapat diketahui
banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran lainnya, sehingga tidak
menimbulkan keraguan salah satu pihak.
e. Milik sendiri, orang yang melakukan perjanjian jual beli adalah pemilik sah
barang tersebut atau mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut. Dengan
demikian tidak sah menjual barang milik orang lain dengan tidak seizin
pemiliknya.
19 Ibid, 803
26
f. Suci atau benda yang mungkin disucikan. Artinya bahwa barang yang diperjual
belikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis atau
sebagai benda yang digolongkan sebagai benda haram seperti anjing, babi,
dan celeng tidak sah untuk diperjual belikan.20
g. Tidak ditaklikkan, yaitu dikaitkan dengan atau digantungkan kepada hal-hal
lain. Misal, jika ayahku pergi akan kujual motor ini kepadamu.
h. Tidak terbatas waktu, maka dalam jual beli tidak berlaku tenggang waktu
tertentu. Sebab jual beli adalah salah satu pemilikan secara penuh yang tidak
dibatasi apapun kecuali ketentuan syara'.
d. Jual Beli yang Terlarang dan Tidak Sah
Barang-barang yang dilarang diperjualbelikan serta membatalkan ijab qabul
adalah sebagai berikut :
1. Barang yang dihukumi najis oleh agama. umpamanya anjing, babi, dan
sebagainya. Setiap barang yang dilarang diperjualbelikan dapat membatalkan
ijab qabul.
2. Bibit (mani) binatang ternak, dengan cara meminjamkannya untuk mengambil
keturunannya. Jual beli itu batal karena ukuran barangnya tidak kelihatan. 21
20 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 72.
21 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’I Buku 2, (Bandung : CV PustakaSetia, 2007), 33.
27
3. Anak binatang yang akan dikandung oleh anak yang masih di dalam kandungan
induknya. Dilarang memperjualbelikannya karena barang yang diperjualbelikan
itu belum ada.
Hadits Rasulallah SAW. menyatakan :
لة وكان عن اب هماانض رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم نـهى عن بـيع حبل احلبـ عا ن عمر رضي اهللا عنـ بـيـ.)رواه البخاري . ( يت يف بطنهايـبتاعه اهل اجلاهلية كان الرجل يـبتاع اجلرور اىل ان تـنتج الناقة مث تـنتج ال
Artinya : “Dari Ibnu Umar r.a., bahwasanya Rasulallah SAW. Melarang menjualanak yang akan dikandung oleh anak di dalam kandungan ibunya(induknya). Penjual seperti itu dilakukan oleh orang-orang jahiliyahyang pernah menjual unta hingga melahirkan anak, kemudian lahir padaanak di dalam perutnya itu.” (H.R.Bukhari)22
Bukan saja dilarang memperjualbelikan anak binatang yang akan dikandung
oleh anak yang masih di dalam kandungan induknya, tetapi juga dilarang
memperjualbelikan anak yang masih dalam kandungan sebab barang yang
diperjualbelikan itu tidak kelihatan dan belum tentu ada.
4. Bi Muhaqalah. Tafsir (kata) “muhaqalah” ini banyak sekali. Misalnya, seorang
menjual tanam-tanaman kepada orang lain dengan 100 faraq gandum. Faraq ialah
semacam timbangan yang beratnya 16 kali atau tiga gantang. Hal ini karena
muhaqalah berasal dari haqalah yang berarti tanah, sawah, atau kebun. Ini
dilarang oleh agama karena mengandung unsur riba di dalamnya sebab tidak
diketahui persamaannya.
22 Program CD Hadis, mausu’ah al-Hadith al-Sharif. Kategori Sahih al-Bukhari, Kitab al -Buyu’: No Hadis, 1999.
28
5. Bi Mukhadarah, yaitu jual beli buah-buahan sebelum nyata baiknya dipetik, atau
dinamakan jual beli buah biji muda. Hal ini dilarang karena belum jelas hasilnya,
kecuali kalau sudah nyata dan dapat diambil manfaatnya.
6. Bi Mulamasah, yaitu jual beli secara sentuhan. Seorang menyentuh suatu barang,
umpamanya, dengan tangannya di waktu malam atau siang, tanpa membalikkan
atau mengembangkannya. Bila barang itu tersentuh, terjadilah jual beli. Hal ini
dilarang karena mengandung tipuan dan mungkin merugikan salah satu pihak.
7. Bi Munazabah, yaitu jual beli secara lemparan. Seseorang berkata umpamanya,
“Lemparkanlah padaku apa yang ada padamu nanti kulemparkan pula kepadamu
apa yang ada padaku”. Setelah lempar-melempar itu, terjadilah jual beli. Hal ini
dilarang oleh agama karena tidak ada ijab qabul (akad) yang sah dan
memungkinkan terjadinya penipuan.
عتـني املالمسة واملنابذة : عن أيب هريـرة أنه قال هما . نـهى عن بـيـ أما المالمسة فأان يـلمس كل واحد منـهما أىل .بغري تأمل ثـوب صاحبه هما ثـوبه اىل أآلخر ومل يـنظر واحد منـ والمنابذ أن يـنبذ كل واحد منـ)رواه مسلم . ( الثـوب صاحبه
Artinya : “Dari Abi Hurairah ra berkata :” Rasulullah SAW melarang dua macamcara jual beli, yaitu mulasamah dan munabazah. Mulasamah ialahmenjual dengan cara menyentuh barang tanpa diteliti oleh pembeli,munabazah ialah menjual dengan cara melemparkan barang dagangankepada pembeli tanpa meneliti barang itu”.23 (HR. Muslim)
8. Bi Muzanabah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering.24
23 Program CD Hadis, mausu’ah al-Hadith al-Sharif. Kategori Sahih Muslim, Kitab al-Buyu’:No Hadis, 2781.
24 Sayyit Sabiq, Fikih Sunnah jild 12, (Bandung : Al- Ma’arif, t.t), 75-76.
29
9. Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan. Berkata Syafi’i,
“Jual beli semacam ini mengandung dua takwil (arti). Pertama, seseorang berkata,
“Aku jual barangku kepada engkau dengan harga Rp 1.000 secara tunai dan
seharga Rp 2.000 secara beruntung.” Kedua, bahwa seseorang berkata, “Aku jual
barangku ini kepadamu, dengan syarat agar kamu jual pula barangmu kepadaku.”
Hadits Rasulallah SAW. menyatakan :
عة فـله : ه وسلم قال رسول الله صلى الله علي : عن أيب هريـرة رضي اهللا عنه قال عتـني يف بـيـ من باع بـيـ
)رواه ابوداود . ( أوكسهما أو الربا
Artinya : “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, ‘Rasulallah SAW. Telah bersabda.Barang siapa yang menjual dua penjualan dalam satu barang, baginyaada kerugian atau riba.”25 (H.R. Abu Dawud)
Dikatakan riba adalah harga Rp 1.000 tunai dijual dengan harga Rp 2.000
kredit. Hal ini dilarang oleh agama karena menimbulkan riba.
10. Penjualan bersyarat. Pertama, menurut pengarang kitab An-Nihayah umpamanya
bekata seseorang. “Aku jual barang ini kepadamu seharga Rp 1.000 kalau
engkau meminjamkan kepadaku barang-barangmu seharga seribu pula.” Kedua.
Umpamanya seseorang berkata, “Aku jual kain ini kepadamu seharga Rp 1.000
kalau tunai dan seharga 2.000 kalau kredit.” Hal ini dilarang oleh agama karena
harga sebenarnya dari kedua macam barang ini tidak dijelaskan.
Dalam hadits Rasulallah SAW. disebutkan :
25 Program CD Hadis, mausu’ah al-Hadith al-Sharif. Kategori Sunan Abi Daud, Kitab al-
Buyu’: No Hadis, 3002.
30
ه رضي الله عنـهم قال قال رسول الله صلى الله : عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جدسلف وبـيع وال شرطان يف بـيع وال ربح ما مل يضمن وال بـيع ما ليس ال حيل : عليه وسلم
) رواه أبوداود.(عندك Artinya : “Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya, dari neneknya r.a., ia berkata,
Rasulallah SAW. bersabda. ‘Tidak halal pinjaman yang menguntungkanserta menjual, tidak halal dua syarat dalam penjualan, tidak halalmencari keuntungan dalam barang yang tidak dapat dijamin, dan tidakhalal pula menjual barang yang tidak ada di sisimu.” 26 (H.R. AbuDawud).
11. Bi Gharar (jual beli yang sudah jelas mengandung tipuan), seperti menjual ikan di
dalam air (kolam) atau menjual barang yang dari luarnya kelihatan baik, tetapi di
dalamnya buruk, dan yang sejenisnya27. Hadits Rasulallah SAW. menyatakan :
ماء ل ا يف ك م لس ا ا و ر تـ ش ت ال : م ل س و ه ي ل ه ع ه صلى الل قال رسول الل : ه عنه قال عن ابن مسعود رضي الل )ث موقوف عنده حدي, رواه أمحد. ( ر ر غ ه ن ا ف
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud r.a., ia berkata, ‘Rasulullah bersabda, janganlah kamumembeli ikan di dalam air karena jual beli semacam itu mengandungtipuan.”28(H.R. Ahmad)
Jual beli yang dilarang sangat beragam, tetapi di sini penulis akan
menjelaskan salah satu jual beli yang dilarang yaitu jual beli gharar. Secara etimologi,
gharar merupakan sesuatu yang pada lahirnya disenangi tetapi sebenarnya dibenci.
Para ahli fikih mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan saling
melengkapi. Menurut imam al-Qarafi, garar adalah suatu akad yang tidak diketahui
26 Program CD Hadis, mausu’ah al-Hadith al-Sharif. Kategori Sunan Abi Daud, Kitab al -Buyu’: No Hadis, 3041.
27 Moh. Rifa’I, Moh. Zuhri, Salomo, Kifayatul Akhyar, (Semarang : CV. Toha Putra,1978),191.
28 Program CD Hadis, mausu’ah al-Hadith al-Sharif. Kategori Musnad Ahmad, Kitab Musnadal-Mukaththirin min al-Sahabah: No Hadis, 3494.
31
dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli
terhadap burung yang masih di udara atau ikan yang masih di dalam air. Hal ini
senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam as-Sarakhsi dan Ibnu
Taimiyah yang memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian akibat yang
timbul dari suatu akad. Sementara Ibnu Qayyim al-jauziah mengatakan bahwa gharar
adalah suatu obyek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada ataupun
tidak. Misalnya, menjual hamba sahaya yang melarikan diri atau unta yang sedang
lepas. Adapun Ibnu Hazm memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu
pihak yang berakad tentang apa yang menjadi obyek akad tersebut.
Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah sebagai
berikut.
a. Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu
terjadi akad, baik obyek akad itu sudah ada maupun belum ada (bai’ al-ma’dum).
Misalnya, jual beli janin binatang yang berada di dalam perut induknya, tanpa
induknya itu sendiri.
b. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Bila suatu
berang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahterimakan kepada pembeli,
maka pembeli ini tidak boleh menjualnya kepada pembeli lain. Ketentuan ini
didasarkan pada hadits yang menyatakan bahwa Rasulallah SAW melarang
menjual barang yang sudah dibeli sebelum barang tersebut berada di bawah
penguasaan pembeli pertama (HR. Abu Dawud). Akad ini merupakan gharar,
32
karena terdapat kemungkinan rusak atau hilangnya obyek akad, sehingga akad
jual beli yang pertama dan kedua menjadi batal.
c. Tidak adanya kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
d. Tidak adanya kepastian tentang sifat tertentu dari benda yang dijual. Misalnya,
penjual berkata: “saya jual kepada anda baju yang ada di rumah saya”, tanpa
menentukan ciri-ciri baju tersebut secara tegas.
e. Tidak adanya kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Misalnya,
penjual berkata: “saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga yang berlaku
pada hari ini.”
f. Tidak adanya kepastian tentang waktu penyerahan obyek akad, misalnya setelah
wafatnya seseorang.
g. Tidak adanya ketegasan bentuk transaksi, yaitu adanya dua macam atau lebih
transaksi yang berbeda dalam satu obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi
mana yang dipilih sewaktu terjadinya akad.
h. Tidak adanya kepastian obyek akad, yaitu adanya dua obyek akad yang berbeda
satu transaksi.
i. Kondisi obyek akad tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan
dalam transaksi. Misalnya, menjual seekor kuda pacuan yang sedang sakit. Jual
beli ini termasuk gharar karena di dalamnya terkandung unsur spekulasi bagi
penjual dan pembeli, sehingga disamakan dengan jual beli dengan cara undian.
j. Adanya keterpaksaan, antara lain berbentuk:
33
1) Jual beli lempar batu (bai’ al-hasa), yaitu seseorang melemparkan batu pada
sejumlah barang dan barang yang dikenai batu tersebut wajib dibelinya. Jual
beli ini dilarang berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah: “Rasulallah SAW
melarang jual beli lempar batu dan jual beli yang mengandung tipuan”
(HR.al-Jamaah kecuali al-Bukhari).
2) Jual beli saling melempar (bai’ al-munabazah), yaitu seseorang melempar
bajunya kepada orang lain dan jika orang yang dilempar itu juga
melemparkan baju kepadanya maka antara keduannya wajib terjadi jual beli,
meskipun pembeli tidak tahu kualitas barang yang akan dibelinya itu.
3) Jual beli dengan cara menyentuh (bai’ al-mulamasah), yaitu jika seseorang
menyentuh suatu barang maka barang itu wajib dibelinya, meskipun ia belum
mengetahui dengan jelas barang apa yang akan dibelinya itu.29
e. Hikmah Jual Beli
Allah mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan ataupun
keleluasaan darinya bagi umat islam, karena semua manusia secara pribadi
mempunyai kebutuhan berupa sandang pangan dan lainnya yang selalu dibutuhkan
manusia untuk menyambung hidupnya, tak seorangpun dapat memenuhi hajat
hidupnya dari dirinya sendiri, karena itu ia dituntut berhubungan dengan orang lain,
dalam hubungan ini tak ada hal yang lebih sempurna dari pertukaran untuk memenuhi
29 Sirojuddin Ar, Ensiklopedi Hukum Islam, 2 FIK-IMA, (Jakarta : PT Ichtiar Baru VanHoeve, 2006), 399-400.
34
kebutuhan mereka dimana seseorang memberikan apa yang ia miliki kemudian
memperoleh hal yang berguna dari orang lain sesuai kebutuhan masing-masing.30
B. Konsep Wakalah
a. Pengertian Wakalah
Kata wakalah atau wikalah bermakna tafwidh ‘ penyerahan’atau pelimpahan
kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain,31 hal seperti ini terjadi karena
keterbatasan manusia yang selalu melekat pada dirinya. Sedangkan menurul istilah,
yang disebut dengan wakalah adalah sebagai berikut:
1. Menurut Madzhab Maliki, wakalah adalah perjanjian mewakilkan yaitu seorang
menggantikan kepada orang lain dalam suatu hak yang dimilikinya dimana orang
lain ini melakukan daya dan upaya orang yang mewakilkannya dengan tanpa
batasan pada penggantian itu dengan sesuatu setelah dia mati.
2. Menurut Madzhab Hanafi, wakalah adalah suatu praktek seseorang menugaskan
orang lain untuk bertindak pada posisinya dalam melakukan daya upaya yang
boleh dilakukan yang diketahui, dan orang yang menugaskan itu termasuk orang
yang memiliki daya upaya.
3. Menurut Madzhab Syafi’i, wakalah adalah suatu pernyataan tentang seseorang
menyerahkan suatu tugas kepada orang lain agar orang lain itu melakukannya
dikala seorang tadi masih hidup, apabila orang yang menyerahkan tugas tadi
30 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 12, ( Bandung : Al-Ma’arif, 1988), 48.31 Abd.Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : CV.Putra Media Nusantara,
2010), 181-182.
35
memang mempunyai hak untuk melakukannya dan merupakan tugas yang bisa
digantikan kepada orang lain.
4. Menurut Madzhab Hambali, pernyataan menggantikan yang diwakilkan
seseorang yang boleh melakukan daya upaya kepada orang lain.32
5. Menurut Imam Taqiuddin, wakalah adalah menyerahkan suatu pekerjaan yang
dapat digantikan oleh seseorang kepada orang lain sebagai gantinya untuk
bertindak.33
6. Menurut Hasbi Ash – Shiddiqi, wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan
dimana pada akad itu seorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk
bertindak. 34
7. Menurut Sayyid Sabiq, wakalah adalah sebagai penyerahan urusan seseorang
kepada orang lain atas sesuatu hal yang dapat diwakilkan.35
8. Menurut Sulaiman Rasjid, wakalah adalah menyerahkan pekerjaan kepada yang
lain, agar dikerjakan ( wakil ) semasa hidupnya (yang mewakilkan).36
b. Dasar Hukum Wakalah
32 Moh.Zahri, Fiqih Empat Madzhab jilid IV, (Semarang : CV. Asy Syifa’ 1994), 283-285.33 Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Ahyar, (Indonesia: Daar Ihyak Al-Kutub al-Arabiyah, t.t),
283.34 Hasbi ash-Shiddieqy, Pangantar Fiqh Muamalah, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), 91.35 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz V, (Beirut : Daar al-Fikr, 1983), 235.36 Sulaiman Rasjid, Fiqih islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1994), 320.
36
Adapun dasar hukum jual beli dapat dilihat dalam penjelasan ayat-ayat al-Qur’an
sebagai berikut:
Artinya : “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dantakwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa danpelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, SesungguhnyaAllah amat berat siksa-Nya.”37(QS:5 ayat 2)
Ayat tersebut menjelaskan saling tolong menolonglah terhadap setiap manusia
dan merupakan prinsip dasar dalam menjalin kerjasama dengan siapapun selama
tujuannya adalah kebajikan dan ketakwaan.38
Artinya: Dan demikianlah kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya diantara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudahberapa lamakah kamu berada (disini?)". mereka menjawab: "Kita berada(disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamulebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlahsalah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uangperakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik,Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia
37 Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, (Bandung : CV Penerbit Diponegoro,2009), 106.
38 Quraish Shihab, Tafsir Al - Mishbah, (Jakarta: lentera hati, 2002), 9-10.
37
berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmukepada seorangpun39. ( Q.S.Al-Kahfi : 19 )
.ه ي خ أ ن و ع يف د ب لع ا ان ك ا م د ب لع ا ن و ع يف ه الل و
Artinya: “Allah senantiasa menolong hambanya selama hamba itu menolongsaudaranya.”(HR.Muslim)
Al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, Berkata:
اء ج ف ل ب ال ا ن م ن س م ل س و ه ي ل ع ه ى الل ل ص ىب ى الن ل ع ل ج ر ل ان ك : ل ق ة ر يـ ر ه ىب ا ن ع ى ا ر خ ب ل ى ا و ر ه الل ىف و ا ىن ت ي فـ و ا : ل اق فـ ه و ط ع ا : ل اق فـ .اه قـ و ا فـ س ال اا و د جي م ل فـ ه ن س ااهل و بـ ل ط ،ف ه و ط ع ا : ل اق فـ ه اض اق تـ يـ )ء اض ق م ك ن س ح ا م ك ر يـ خ ن ا .(م ل س و ه ي ل ع ه ى الل ل ص ىب الن ل اق ك ل
Artinya:Seorang laki-laki membawa seekor unta muda kepada Nabi SAW., iakemudian datang untuk minta dibayarkan. Beliau lalu berseru:” Berilah(bayarlah) orang ini”. Mereka lalu meminta kepadanya unta muda, makamereka tidak mendapatkannya kecuali yang lebih tua. Beliau (Rasulullah)kemudian bersabda: “ berikanlah kepadanya”. Orang itu lantas berkata:“bayarlah aku semoga Allah membayarmu”. Rasulullah (lalu) bersabda“sesungguhnya orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yangpaling baik dalam membayar”. 40
Al Qurthubi mengatakan: Hadats ini menunjukkan sahnya perwakilan orang
yang hadir dan sehat fisik, sesungguhnya Nabi SAW, memerintahkan sahabat-sahabat
agar mereka membayar unta muda yang menjadi kewajibannya, ini tak lain sebagai
perwakilan (madat) dari beliau kepada mereka, sekalipun pada waktu itu Nabi SAW
tidak sakit dan tidak dalam perjalanan,
م ل س و ه ي ل ع ه ى الل ل ص يب ى الن ط ع أ و ان ض م ر اة ك ز ظ ف ح يف م ل س و ه ي ل ع ه ى الل ل ص يب الن ين ل ك و ة ر يـ ر ه و بـ أ ال ق )رواه البخاري .( ه اب ح ص أ ني ا بـ ه م س ق ا يـ م ن غ ر ام ع ن اب ة ب ق ع
39 Departemen Agama RI, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, ( Bandung : CV PenerbitDiponegoro, 2009), 295.
40 Sayyid Sabiq, Fikih sunnah, jilid 13, (Bandung : Al-Ma’arif, 1988), 61.
38
“Berkata Abu Hurairah: Telah baerwakil Nabi saw kepada saya untuk
memelihara zakat fitrah, dan beliau telah memberi ‘uqbah seekor kambing agardibagikan kepada sahabat-sahabat beliau.” 41(Riwayat Bukhari)
)رواه أبوداود . ( اق س و ر ش ع ة س مخ ه ن م ذ خ ف ر بـ ي ي خب ل ي ك و ت ي تـ ا أ ذ ا
Artinya: “Bila kamu bertemu dengan wakilku di khobar, ambillah darinya 15wasak.”42
c. Rukun dan Syarat Wakalah
Wakalah adalah merupakan salah satu bentuk akad. Karena itu, wakalah tidak sah
tanpa memenuhi rukun-rukun akad berupa ijab dan qabul, dalam ijab dan qabul tidak
disyaratkan adanya lafadz tertentu, bahkan dibolehkan menggunakan apa pun yang
menunjukan hal tersebut, baik berupa ucapan maupun perbuatan.
Dibolehkan bagi salah satu dari kedua belah pihak pelaku akad untuk menarik
kembali wakalah dan membatalkan akad dalam kondisi apa pun, karena wakalah
termasuk akad yang boleh dibatalkan, bukan akad yang bersifat tetap dan lazim.43
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam wakalah.
1. Orang yang mewakilkan (muwakkil) syaratnya dia berstatus sebagai pemilik
urusan atau benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta
tersebut dengan dirinya sendiri. Jika muwakkil itu bukan pemiliknya atau
bukan orang yang ahli maka batal. Dalam hal ini maka anak kecil dan orang
41 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1976), 306.42 Moh.Anwar, Fiqih Islam : mu’amalah,munakahat, faro’id dan jinayah, (Bandung : PT. Al-
Ma’arif, 1979), 53.43 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz V, (Beirut : Daar al-Fikr, 1983), 236.
39
gila tidak sah menjadi seorang muwakkil karena tidak termasuk orang yang
bertindak.
2. Wakil (orang yang mewakili) syaratnya ialah orang berakal jika ia idiot, gila,
atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiah anak kecil yang cerdas
(dapat membedakan mana yang baik dan buruk) sah menjadi wakil yang
didasarkan pada Amr bin Sayyidah Ummn Salamah mengawinkan ibunya
kepada Rasulullah, saat itu Amr masih kecil dan belum baligh. Orang yang
sudah berstatus sebagai wakil ia tidak boleh berwakil kepada orang lain dan si
wakil tidak wajib untuk menanggung kerusakan barang yang diwakilkan
kecuali disengaja atau cara diluar batas.44
3. Muwakkal fih ( sesuatu yang diwakilkan ) syaratnya:
a. Pekerjaan atau urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang
lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan
ibadah seperti sholat ,puasa, dan membaca al-Qur’an.
b. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena
itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
c. Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu
yang masih samar “aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini
salah satu anakku.”45
44 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Kencana Predata Media Grop, t.t), 189.45 Moh.Anwar, Fiqih Islam : mu’amalah,munakahat, faro’id dan jinayah, (Bandung : PT.
Al-Ma’arif, 1979), 189.
40
d. Shigat: shigat hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti
“mewakilkan” yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti “saya
wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan
pekerjaan ini” kemudian diterima oleh wakil. Dalam sihgat kabul ini si
wakil tidak mensyaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan
kabul tetap dianggap sah.46
d. Orang Yang Mewakili Harus Jujur
Orang yang mewakili harus jujur terhadap apapun yang diwakilkan. Apabila
yang diwakilkan itu rusak dengan sendirinya, bukan karena kelalaian atau usahanya
(orang yang mewakili), ia tidak menanggungnya, akan tetapi kalau kerusakan itu
karenanya maka ia harus bertanggung jawab atas kerusakannya.
Orang yang mewakili tidak boleh mengambil manfaat dari yang diwakilkan
untuk dirinya ataupun untuk orang tuanya dan yang lain.47
e. Pekerjaan Yang Dapat Diwakilkan
Pekerjaan yang dapat diwakilkan adalah semua pekerjaan yang dapat diakadkan
oleh dirinya sendiri, artinya secara hukum pekerjaan ini dapat gugur jika digantikan.
Contoh, mewakilkan orang lain untuk menjual barang atau membeli, dan menjadi
wakil pernikahan. Adapun sesuatu yang tidak dapat diwakilkan adalah pekerjaan
yang tidak ada campur tangan perwakilan artinya hukum ini tidak gugur dengan
46 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algrasindo, 1994), 321.47 Moh.Rifa’I, Moh. Salomo, Terjemah Khulasah : Kifayatul Akhyar, (Semarang : CV Toha
Pustaka, 1978), 278.
41
dicampuri orang lain seperti ibadah badaniyah karena dalam ibadah tersebut
bertujuan untuk menguji ketaatan hambanya.48
f. Mewakilkan Untuk Jual Beli
Seseorang yang mewakilkan orang lain menjual sesuatu dengan memutlakkan
wakalah, tanpa adanya ikatan harga tertentu, dan pula tidak ada ikatan. Maka ia tidak
berhak menjualnya kecuali dengan harga yang sama dan tidak boleh menjual dengan
pembayaran berjangka (angsuran). Kalau ia menjualnya dengan barang yang dimana
manusia tidak dapat berbuat curang dengan semisalnya atau menjualnya dengan
angsuran, jual beli ini tidak boleh kecuali dengan persetujuan orang yang
mewakilkan. Karena hal ini bertentangan dengan kemaslahatannya, dan ini berarti
kembali lagi kepadanya.
Pengertian memutlakkan bukan berarti bahwa si wakil boleh berbuat
sekehendak hatinya tetapi maknanya; dia berbuat untuk melakukan jual beli yang
dikenal dikalangan para pedagang, dan untuk hal yang lebih berguna bagi orang yang
mewakilkan.
Ibnu Hanifa berpendapat: ia boleh menjual sebagaimana yang ia kehendaki,
kontan maupun angsura, dengan atau tampa harga seimbang, dan dengan barang yang
tidak mungkin ada ghubulnya ( tidak dapat dicurangi), baik itu dengan uang setempat
atau uang selainnya.
48 Ibid.
42
Jika ia terikat, maka siwakil berkewajiban mengikuti apa saja yang telah
ditentukan oleh yang mewakilkan. Ia boleh menyalahi, kecuali kepada yang lebih
baik buat orang yang mewakilkan, jika ia ditentukan dengan harga tertentu, kemudian
ia menjual dengan harga yang lebih dari ketentuan maka jual beli ini dianggap sah.49
g. Berakhirnya Wakalah
Transaksi wakaklah dinyatakan berakhir atau tidak dapat dilanjutkan
dikarenakan oleh salah satu sebab diantaranya:
1. Matinya salah seorang dari yang berakad.
2. Bila salah satunya gila.
3. Pekerjaan yang dimaksud dihentikan.
4. Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil meskipun wakil tidak mengetahui
( menurut syafi’i dan Hambali ) tetapi menurut Hanafi wakil wajib tahu
sebelum ia tahu maka tindakannya seperti sebelum ada putusan.
5. Wakil memutuskan sendiri. Menurut Hanafi tidak perlu muwakkil yang
mengetahuinya.
6. Keluarnya orang yang mewakilkan ( muwakkil dari status kepemilikan).50
h. Hikmah Wakalah
Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat.
Oleh karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang
mewakili) yang telah melakukan kerjasama atau kontrak wajib bagi keduanya untuk
49 Sayyid Sabiq, Fikih sunnah jilid 13, (Bandung : Al-ma’arif, 1988), 63-64.50 Moh.Anwar, Fiqih Islam : mu’amalah, munakahat, faro’id dan jinayah, (Bandung : PT. Al-
Ma’arif, 1979), 190.
43
menjalankan hak dan kewajiban, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan
buruk sangka. Dari sisi lain, dalam wakalah terdapat pembagian tugas, karena tidak
semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan pekerjaannya dengan dirinya
sendiri. Dengan mewakilkan kepada orang lain, maka muncullah sikap tolong
menolong dan memberikan pekerjaan bagi orang lain yang sedang menganggur,
dengan demikian, si muwakkil akan terbantu dengan menjalankan pekerjaannya dan
si wakil tidak kehilangan pekerjaannya.51
51 Ibid.