Download - 1689-4137-1-SM
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
60
UPAYA MENINGKATKAN KINERJA GURU
MELALUI KULTUR SEKOLAH
Srinatun1
Abstrak: Perbaikan mutu sekolah perlu memahami kultur sekolah yang
bersangkutan. Melalui pemahaman kultur sekolah, berfungsinya sekolah dapat
dipahami, aneka permasalahan dapat diketahui, dan pengalaman-pengalamannya dapat
direfleksikan. Oleh sebab itu, dengan memahami ciri-ciri kultur sekolah akan dapat
diusahakan tindakan nyata untuk peningkatan kualitas sekolah. Adapun masalah
penulisan ini adalah (1) Apa dan bagaimana kultur sekolah yang kondusif? (2) Aspek-
aspek budaya (culture) apa saja yang bersifat positif dan negarif di SMA Negeri 4
Semarang? (3) Bagaimana rancangan tindakan pengembangan kultur sekolah yang
dapat ditempuh oleh sekolah untuk meningkatkan kualitas sekolah? Tujuan
penulisan ini adalah (1) menjelaskan konsep dasar kultur sekolah, komponen kultur
sekolah, karakteristik kultur sekolah yang kondusif dan proses pengembangannya. (2)
mengetahui aspek-aspek budaya (culture) apa saja yang bersifat positif maupun
negatif di SMA Negeri 4 Semarang. (3) mengeneralisasikan aspek-aspek budaya
(culture) SMA Negeri 4 Semarang yang bersifat positif maupun negatif
memungkinkan untuk dikembangkan. (4) menjelaskan bagaimana rancangan tindakan
pengembangan kultur sekolah yang dapat ditempuh oleh warga sekolah bagi
pengembangan sekolah. Kultur sekolah yang kondusif adalah keseluruhan latar fisik,
lingkungan, suasana, rasa, sifat, dan iklim sekolah yang secara produktif mampu
memberikan pengalaman baik bagi tumbuh kembangnya siswa yang diharapkan.
Aspek-aspek budaya (culture) positif dengan skor rata-rata > 3,5 yang dimiliki SMA
Negeri 4 Semarang antara lain adalah aspek akademik yang meliputi prestasi guru,
interaksi kepala sekolah dengan guru untuk aspek sosial, interaksi walikelas atau guru
dengan orang tua siswa, interaksi guru dengan siswa untuk aspek sosial, interaksi
kepala sekolah dengan komite sekolah atau orang tua siswa, dan interaksi kepala
sekolah dengan staf tata usaha untuk aspek akademik. Selain aspek-aspek positif yang
tersebut di atas SMA Negeri 4 Semarang juga mempunyai kultur senyum, salam, sapa,
semangat, sopan santun, dan sportif. Aspek-aspek negatif kultur sekolah di atas SMA
Negeri 4 Semarang masih perlu ditingkatkan antara lain kultur atau budaya membaca,
disiplin dan efisiensi, dan bersih. Dalam pengembangan kultur sekolah, perlu
memperhatikan saran semua pihak dan dibentuk tim pengembang kultur sekolah
dengan harapan kultur yang terbentuk merupakan hasil kerja semua warga sekolah
yang harus ditaati dan dikembangkan oleh semua warga sekolah. Bagi Pengawas dan
Dinas Pendidikan sebagai pengambil kebijakan, sangat diharapkan dalam
mengembangkan kultur sekolah terutama aspek akademik di SMA Negeri 4 Semarang
dengan mengembangkan perpustakaan dan laboratorium. Untuk melakukan
pengembangan kultur sekolah perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut
pertama adalah memotret kultur sekolah sehingga diketahui kecenderungan kultur
sekolah yang bersifat positif dan negatif. Setelah itu, baru menentukan indikator-
indikator yang mempengaruhi kultur tersebut. Langkah berikutnya adalah
memonitoring dan mengevaluasi perubahan yang dilakukan untuk kemudian membuat
laporan dan memberikan tindak lanjut.
Kata kunci: kinerja guru, kultur sekolah
1 Kepala SMAN 4 Semarang
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
61
PENDAHULUAN
Guru merupakan kondisi yang
diposisikan sebagai garda terdepan dan
posisi sentral di dalam pelaksanaan
proses pembelajaran. Berkaitan dengan
itu, guru akan menjadi bahan
pembicaraan banyak orang dan tentunya
tidak lain berkaitan dengan kinerja dan
totalitas dedikasi dan loyalitas
pengabdiannya.
Sorotan tersebut lebih bermuara
kepada ketidakmampuan guru di dalam
pelaksanaan proses pembelajaran
sehingga bermuara kepada menurunnya
mutu pendidikan. Walaupun sorotan itu
lebih mengarah kepada sisi-sisi
kelemahan kepada guru, hal itu tidak
sepenuhnya dibebankan kepada guru
dan mungkin ada sistem yang berlaku
baik sengaja maupun tidak akan
berpengaruh terhadap permasalahan
tadi.
Banyak hal yang perlu menjadi
bahan pertimbangan kita, bagaimana
kinerja guru akan berdampak kepada
pendidikan bermutu. Kita dapat melihat
sisi lemah dari sistem pendidikan
nasional bergantinya kurikulum
pendidikan. Secara langsung atau tidak
akan berdampak kepada guru sehingga
perubahan kurikulum dapat menjadi
beban psikologis dan mungkin dapat
membuat guru frustasi akibat perubahan
tersebut. Hal ini sangat dirasakan oleh
guru yang memiliki kemampuan
minimal dan tidak demikian halnya
guru profesional.
Selain itu, kinerja guru sangat
ditentukan oleh output dari Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) sebagai institusi penghasil
tenaga guru. LPTK memiliki tanggung
jawab dalam menciptakan guru
berkualitas dan berdampak kepada
pembentukan SDM berkualitas pula.
Oleh sebab itu, LPTK memiliki andil
besar di dalam mempersiapkan guru
yang berkualitas, berwawasan, dan
mampu membentuk SDM mandiri,
cerdas, bertanggung jawab, dan
berkepribadian. Harapan ke depan
terbentuk sinergi baru dalam lingkungan
persekolahan dan perlu menjadi
perhatian adalah terjalinnya kinerja
yang efektif dan efisien di setiap
struktur yang ada di sekolah. Kinerja
terbentuk bilamana tiap-tiap struktur
memiliki tanggung jawab dan
memahami akan tugas dan kewajiban
masing-masing.
Era reformasi dan desentralisasi
pendidikan menyebabkan orang bebas
melakukan kritik. Titik lemah
pendidikan akan menjadi bahan dan
sasaran empuk bagi para kritikus.
Adakalanya kritik yang diberikan dapat
menjadi sitawar sidingin di dalam
memperbaiki kinerja guru. Akan tetapi,
tidak tertutup kemungkinan pula akan
dapat membuat merah telinga guru
sebagai akibat dari kritik yang
diberikan. Hal ini dapat memberikan
dampak terhadap kinerja guru yang
bersangkutan.
Apapun kritik yang diberikan,
apakah bernilai positif atau negatif
kiranya akan menjadi masukan yang
berarti bagi kinerja guru. Guru yang
baik tidak akan pernah putus asa dan
menjadi kritikan sebagai pemicu
baginya di dalam melakukan perbaikan
dan pembenahan diri di masa yang akan
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
62
datang. Kritik terhadap kinerja guru
perlu dilakukan, tanpa itu bagaimana
guru mengetahui kinerja yang sudah
dilakukannya selama ini. Dengan
demikian, akan menjadi bahan
renungan bagi guru untuk perbaikan
lebih lanjut.
Indikator suatu bangsa sangat
ditentukan oleh tingkat sumber daya
manusianya dan indikator sumber daya
manusia ditentukan oleh tingkat
pendidikan masyarakatnya. Makin
tinggi sumber daya manusia maka
makin baik tingkat pendidikan dan
demikian pula sebaliknya. Oleh sebab
itu, indikator tersebut sangat ditentukan
oleh kinerja guru.
Bila kita amati di lapangan, guru
sudah menunjukan kinerja maksimal di
dalam menjalan tugas dan fungsinya
sebagai pendidik, pengajar, dan pelatih.
Akan tetapi, ada sebagian guru belum
menunjukkan kinerja baik. Hal ini akan
berpengaruh terhadap kinerja guru
secara makro.
Ukuran kinerja guru terlihat dari
rasa tanggung jawabnya menjalankan
amanah, profesi yang diembannya, dan
rasa tanggung jawab moral
dipundaknya. Semua itu akan terlihat
kepada kepatuhan dan loyalitas di
dalam menjalankan tugas keguruan di
dalam kelas dan tugas kependidikan di
luar kelas. Sikap ini akan diikuti pula
dengan rasa tanggung jawab
mempersiapkan segala perlengkapan
pengajaran sebelum melaksanakan
proses pembelajaran. Selain itu, guru
juga sudah mempertimbangkan akan
metodologi yang akan digunakan
termasuk alat media pendidikan yang
akan dipakai dan alat penilaian apa
yang digunakan di dalam pelaksanaan
evaluasi.
Kinerja guru dari hari ke hari,
minggu ke minggu, dan tahun ke tahun
terus ditingkatkan. Guru mempunyai
komitmen untuk terus dan terus belajar,
tanpa itu guru akan kerdil dalam ilmu
pengetahuan dan akan tetap tertinggal
akan akselerasi zaman yang semakin
tidak menentu. Apalagi pada kondisi
kini, kita dihadapkan pada era global,
semua serba cepat, serba dinamis, dan
serba kompetitif.
Kinerja guru akan menjadi
optimal, bilamana diintegrasikan
dengan komponen sekolah, apakah itu
kepala sekolah, guru, karyawan,
maupun anak didik. Kinerja guru akan
bermakna bila diiringi dengan nawaitu
yang bersih dan ikhlas, serta selalu
menyadari akan kekurangan yang ada
pada dirinya dan berupaya untuk dapat
meningkatkan atas kekurangan tersebut
sebagai upaya untuk meningkatkan ke
arah yang lebih baik. Kinerja yang
dilakukan hari ini akan lebih baik dari
kinerja hari kemarin dan tentunya
kinerja masa depan lebih baik dari
kinerja hari ini. Semua itu dapat
tercermin dengan adanya penerapan
kultur sekolah bagi semua warga SMA
Negeri 4 Semarang.
METODE
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi,
wawancara, dan studi pustaka. Teknik
pengumpulan data melalui data
kualitatif yang diperoleh dari observasi,
pengamatan, maupun wawancara.
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
63
Instrumen penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah skala
penilaian, lembar pengamatan, dan
angket. Analisa data yang digunakan
adalah analisa data kualitatif yang
bersumber dari data primer dan empiris.
Melalui analisa data ini, dapat diketahui
ada tidaknya peningkatan kinerja guru
melalui kultur sekolah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinjauan Makna Budaya Sekolah
Menurut Stolp (2003) definisi
budaya sekolah belum diperoleh
kesatuan pandangan. Terminologi
budaya sekolah masih disamakan
dengan iklim atau ethos. Konsep
budaya sekolah masuk ke dalam
pendidikan itu pada dasarnya sebagai
upaya untuk memberikan arah tentang
efisiensi lingkungan pembelajaran,
lingkungan dalam hal ini dapat
dibedakan dalam dua hal (1) lingkungan
yang sifatnya alami sesuai dengan
budaya siswa dan guru, (2) lingkungan
artifisial yang diciptakan oleh guru atau
hasil interaksi antara guru dengan siswa.
Konsep kultur dalam dunia
pendidikan berasal dari kultur tempat
kerja di dunia industri yaitu situasi yang
memberikan landasan dan arah untuk
berlangsungnya suatu proses (baca:
pembelajaran) secara efektif dan efisien
(Zamroni 2000). Dengan demikian,
penerapan istilah kultur atau budaya
pada organisasi dalam hal ini termasuk
lembaga pendidikan dapat dikatakan
relatif baru. Sebelumnya sekitar pada
awal tahun 1960-an digunakan istilah
Organizational Culture yang sinonim
dengan climateatau suasana yang
selanjutnya pada tahun 1970-an istilah
serupa corporate culture mulai
digunakan dan menjadi populer.
Kultur organisasi merupakan istilah
yang mudah untuk diucapkan tetapi
sulit didefinisikan. Dalam
mendefinisikan kultur organisasi
cendrung dimaknai oleh anggota
organisasi sebagai sistem yang dianut
yang membedakan suatu organisasi
dengan organisasi lainnya. Jones (1995)
memberikan definisi kultur organiasi
dan karakteristik budaya organisasi.
Menurut Jones kultur organisasi adalah
seperangkat nilai yang mengontrol
anggota organisasi dalam berinteraksi
baik dengan sesamanya maupun dengan
orang-orang di luar organisasi.
Karakteristik kultur organisasi meliputi
nilai-nilai, kontrol koordinasi dan
motivasi, etika, dan proses disain
organisasi. Nilai dalam hal ini dapat
dikategorikan atas nilai: idielogi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, militer
keamanan dan agama. Dari beberapa
penjelasan di atas dapat ditarik benang
merah bahwa kultur sekolah sebagai
pola nilai-nilai, norma, sikap, mitos
dan kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk
dalam perjalanan panjang suatu sekolah.
Sekolah tersebut dipegang bersama oleh
kepala sekolah, guru, staf, dan siswa
sebagai dasar mereka dalam memahami
dan memecahkan berbagai persoalan
yang muncul di sekolah. Dengan kata
lain, kultur atau budaya sekolah dapat
dikatakan sebagai pikiran, kata-kata,
sikap, perbuatan, dan hati setiap warga
sekolah yang tercermin dalam
semangat, perilaku maupun simbol serta
slogan khas identitas mereka.
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
64
Menyimak pengertian di atas dapat
dipahami bahwa konsep budaya sekolah
sebagai suatu pendekatan lebih
menekankan pada penghayatan segi-
segi simbolik, tradisi, riwayat sekolah
yang kesemuannya akan membentuk
keyakinan, kepercayaan diri dan
kebanggaan akan sekolahnya.
2. Elemen-Elemen Budaya Sekolah
Sebagaimana telah digambarkan
dalam pengetian di atas bahwa budaya
sekolah terdiri dari sejumlah norma-
norma, ritual, keyakinan, nilai-nilai,
sikap, dan kebiasaan yang terbentuk
dalam sekolah. Bentuk budaya sekolah
secara intrinsik muncul sebagai suatu
fenomena yang unik dan menarik
karena pandangan sikap, perilaku yang
hidup, dan berkembang dalam sekolah
pada dasarnya mencerminkan
kepercayaan dan keyakinan yang
mendalam dan khas dari warga sekolah.
Lebih khusus lagi Hedley Beare
mendeskripsikan unsur-unsur budaya
sekolah dalam dua kategori yakni unsur
kasat mata dan unsur yang tidak kasat
mata. Unsur yang kasat mata
mempunyai makna jika mencerminkan
apa yang tidak kasat mata. Yang tidak
kasat mata itu adalah filsafat atau
pandangan dasar sekolah mengenai
kenyataan yang luas, makna hidup atau
yang di anggap penting dan harus
diperjuangkan oleh sekolah dan itu
harus dinyatakan secara konseptual
dalam rumusan visi, misi, tujuan, dan
sasaran yang lebih konkrit yang akan
dicapai oleh sekolah sedangkan unsur
yang kasat mata dapat termanifestasi
secara konseptual yang meliputi (1)
visi, misi, tujuan dan sasaran, (2)
kurikulum, (3) bahasa komunikasi, (4)
narasi sekolah, (5) narasi tokoh-tokoh,
(6) struktur organisasi, (7) ritual, (8)
upacara, (9) prosedur belajar mengajar,
(10) peraturan sistem ganjaran/
hukuman, (11) layanan psikologi sosial,
(12) pola interaksi sekolah dengan
orang tua, masyarakat dan yang materiil
dapat berupa fasilitas dan peralatan,
artifiak, dan tanda kenangan, serta
pakaian seragam.
Mardapi (2003) membagi unsur-
unsur budaya sekolah jika ditinjau dari
usaha peningkatan kualitas pendidikan
adalah sebagai berikut.
a. Kultur Sekolah Positif
Kultur sekolah positif adalah
kegiatan-kegiatan yang mendukung
peningkatan kualitas pendidikan,
misalnya kerja sama dalam mencapai
prestasi, penghargaan terhadap prestasi,
dan komitmen terhadap belajar.
b. Kultur Sekolah Negatif
Kultur sekolah yang negatif adalah
kultur yang kontra terhadap peningkatan
mutu pendidikan. Artinya, resisten
terhadap perubahan dapat berupa siswa
takut salah, siswa takut bertanya, dan
siswa jarang melakukan kerja sama
dalam memecahkan masalah.
c. Kultur Sekolah Netral
Kultur sekolah netral adalah
kultur yang tidak berfokus pada satu sisi
namun dapat memberikan konstribusi
positif tehadap perkembangan
peningkatan mutu pendidikan. Hal ini
bisa berupa arisan keluarga sekolah,
seragam guru, seragam siswa, dan lain-
lain.
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
65
3. Cara Mengubah Kultur Sekolah
Untuk dapat mengubah budaya
sekolah pertama-tama harus memahami
budaya yang ada. perubahan budaya
yang ada dimaknai sebagai alternatif
variasi interaksi yang seluas-luasnya.
Karena interaksi ini dapat dikatakan
sebagai inti dari stabilitas sekolah,
pembaruan harus didekati melalui
dialog peduli kepada orang lain, dan
lain-lain. Budaya yang telah rutin
dimiliki oleh komunitas sekolah
misalnya seremonial, ritual, tradisi,
mitos dapat digunakan sebagai titik
tolok pembaruan budaya sekolah. Pada
prinsipnya upaya memperpendek waktu
antara penerapan sistem interaksi baru
dengan budaya yang konvensional
dilakukan bila guru telah merasa
kondusif diterapkan sistem interaksi
yang baru itu sehingga sekolah
memperolah nilai yang dikehendaki.
Menurut Deal dan Peterson
(2003), kekuatan yang bisa diraih dari
kultur sekolah adalah membangun
sekolah menjadi lebih hidup, semangat
kooperatif, dan penghayatan akan
identitas sekolah. Interaksi antara siswa,
orang tua, guru, atau anggota komunitas
adalah inti nilai pemberdayaan kultur
sekolah. Adapun kepentingan
menstandarkan perilaku anggota
sekolah merupakan tuntunan akademik.
Harapan guru terhadap respon siswa
menghadapi perlakuan belajarnya agar
menjadi lebih etis misalnya
mengendalikan waktu. Hal tersebut
dapat melihat dari pancaran matanya,
cara bicaranya, cara mengatur parkir
kendaraan guru, siswa, dan tamu, cara
memasang hiasan di dinding-dinding
ruangan, sampai dengan persoalan-
persoalan menentukan seperti
kebersihan kamar kecil, situasi proses
pembelajaran di ruang-ruang kelas.
Demikian pula, cara kepala sekolah
memimpin rapat bersama staf
merupakan bagian integral dari sebuah
kultur sekolah (Depdiknas, 2004).
4. Peran Kultur Sekolah dalam
Pembentukan Kinerja Guru
Dalam terminologi kebudayaan,
pendidikan yang berwujud dalam
bentuk lembaga atau instansi sekolah
dapat dianggap sebagai pranata sosial
yang di dalamnya berlangsung kegiatan
tertentu yaitu interaksi antara pendidik
dan peserta didik sehingga mewujudkan
suatu sistem nilai atau keyakinan,
norma juga kebiasaan yang di pegang
bersama. Pendidikan sendiri adalah
suatu proses budaya. Masalahnya
sekarang adalah nilai-nilai yang mana
yang seharusnya dikembangkan atau
dibudayakan dalam proses pendidikan
yang baerbasis mutu itu. Dengan
demikian, sekolah menjadi tempat
dalam mensosialisasikan nilai-nilai
budaya yang tidak hanya terbatas pada
nilai-nilai keilmuan saja, melainkan
semua nilai-nilai kehidupan yang
memungkinkan mampu mewujudkan
manusia yang berbudaya. Dalam hal ini
masih menurut Djemari (2003)
karekteristik peran kultur sekolah
berdasarkan sifatnya dapat dibedakan
menjadi tiga meliputi:
a. Bernilai Strategis
Bernilai strategis adalah kultur yang
dapat berimbas dalam kehidupan
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
66
sekolah secara dinamis. Misalnya
memberi peluang pada warga sekolah
untuk bekerja secara efisien, disiplin
dan tertib. Kultur sekolah merupakan
milik kolektif bukan milik perorangan,
sehingga budaya sekolah dapat
dikembangkan dan dilakukan oleh
semua warga sekolah.
b. Memiliki Daya Ungkit
Kultur yang memliki daya gerak
akan mendorong semua warga sekolah
untuk berprestasi sehingga kerja guru
dan semangat belajar siswa akan
tumbuh bilamana dipacu dan didorong
dengan dukungan budaya yang
memiliki daya ungkit yang tinggi
misalnya kinerja sekolah dapat
meningkat jika disertai dengan imbalan
yang pantas, penghargaan yang cukup,
dan proporsi tugas yang seimbang.
Demikian pula, siswa akan meningkat
semangat belajarnya bila mereka diberi
penghargaan yang memadai, pelayanan
yang prima, dan didukung dengan
sarana yang memadai.
c. Berpeluang Sukses
Budaya yang berpeluang sukses
adalah budaya yang memiliki daya
ungkit dan memiliki daya gerak yang
tinggi. Hal ini sangat penting untuk
menumbuhkan rasa keberhasilan dan
rasa mampu untuk melaksanakan tugas
dengan baik misalnya budaya gemar
membaca. Budaya membaca di
kalangan siswa akan dapat mendorong
mereka untuk banyak mengetahui
tentang berbagai macam persoalan yang
mereka pelajari di lingkungan sekolah.
Demikian juga bagi guru mereka
semakin banyak pengetahuan yang
diperolah, tingkat pemahaman semakin
luas, semua ini dapat berlangsung jika
disertai dengan kesadaran bahwa mutu/
kualitas yang akan menentukan
keberhasilan seseorang.
Dari uraian di atas dapat kita
simpulkan bahwa pendekatan budaya
sesungguhnya menekankan pada
kedalaman yaitu unsur budaya dari
organisasi itu, yang memberi petunjuk,
warna, dan gaya pada diri setiap
individu sekolah, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kinerja mereka.
Lebih khusus lagi budaya sekolah yang
tercermin dalam bentuk mitos, ritual,
kebiasaan, simbolisme, kepercayaan,
dan sebagainya menjadi pengikat bagi
setiap siswa yang akan menimbulkan
motivasi dan semangat belajar serta
kreativitas mereka.
4. Kinerja Guru
Kebaradaan guru dalam proses
belajar mengajar di sekolah mempunyai
peranan yang tidak kecil dalam
kelangsungan pendidikan di sekolah.
Membangun kekuatan pengajaran dan
pendidikan di sekolah sama halnya
membangun kinerja guru. Upaya-upaya
meningkatkan kinerja guru pada proses
pembelajaran dirinya sangatlah penting
terutama pada hakikatnya merekalah
pemilik sekolah.
Pembentukan watak dan
karakter harus dilakukan secara
integratif di semua mata pelajaran. Di
samping isi materi pembelajaran,
metode, dan cara pembelajran sangat
mempengaruhi pembentukan watak dan
karakter seseorang. Cara-cara
pembelajran yang demokratis, menarik
kreatif inovatif akan sangat efektif
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
67
untuk membantuk watak dan karaktek
peserta didik. Perlu juga ditekankan
dalam pembentukan watak dan karakter
ini adalah masalah kecerdasan
emosional. Dengan demikian, pada
setiap palajaran dan proses
pembelajaran tujuan tidak hanya
menguasai emosi diri sendiri dan emosi
orang lain serta mampu
mengendalikannya. Kecerdasan
semacam inilah yang akan terwujud
dalam keuletan, motivasi diri dan
tangguh dalam menghadapi tantangan.
Sekolah yang merupakan tempat
mensosialisasikan nilai-nilai budaya,
tidak hanya terbatas pada nilai-nilai
keilmuan tetapi semua nilai kehidupan
yang memungkinkan mampu
mewujudkan manusia yang berbudaya,
dan ini dapat dilihat dari kinerjanya,
pengetahuan, cara berpikir, sikap,
perilaku dan cara memecahkan masalah
yang timbul. Dalam hal ini sebagaimana
pendapat Djoyonegoro (Suyanto dan
Abbas 2001:148), berbagai perbekalan
yang diberikan di sekolah oleh guru
pada hakikatnya untuk meningkatkan
tiga nilai dasar yaitu: (1) membangun
atau membentuk siswa yang memiliki
orientasi kedepan dengan ciri-ciri antara
lain luwes, tanggap terhadap perubahan,
dan memiliki semangat berinovasi, (2)
senantiasa punya hasrat untuk
mengeksploitasi lingkungan dan
kekuatan-kekuatan alam, artinya tidak
hanya tinduk pada nasib, sebaliknya
senantiasa berusaha memecahkan
masalah dan mengasai IPTEK, (3)
memiliki orientasi terhadap karya yang
bermutu atau punya achievement
orientatian antara lian ditandai oleh
penilaian yang tinggi terhadap hasil
karya. Untuk menuju internalisasi nilai-
nilai dimaksud siswa harus dipacu
motivasinya untuk berprestasi dan
semangat belajarnya demi terwujudnya
kinerja siswa yang dicita-citakan setiap
sekolah.
Di SMA Negeri 4 Semarang,
peningkatan prestasi dari beberapa
sektor jelas terlihat melalui penerapan
kultur sekolah di antaranya:
a. Prestasi Guru
Adanya kultur sekolah yang
diterapkan di SMA Negeri 4 Semarang
menghasilkan guru prestasi mulai dari
tingkat kota sampai tingkat nasional.
Terbukti pada tahun 2006 s.d. 2008 di
satuan pendidikan mulai diberlakukan
guru prestasi di tingkat satuan
pendidikan. Kemudian di tahun 2009,
SMA Negeri 4 Semarang berhasil
menghasilkan guru prestasi juara 2 di
tingkat kota, di tahun 2009 bertambah
bertambah lagi berhasil meraih juara 1
guru prestasi tingkat kota kemudian
melaju lagi menjadi juara 1 guru
prestasi tingkat provinsi. Setelah itu,
tanggal 11 18 agustus 2010 berhasil
lagi menjadi juara 1 guru prestasi
tingkat nasional. Salah satu guru
prestasi yang berhasil mulai dari tingkat
satuan pendidikan sampai melaju ke
tingkat nasional adalah Sri Wahyuni,
M.Pd. selaku guru Bahasa Indonesia.
Di bawah ini merupakan salah satu
dokumentasi penghargaan sebagai guru
prestasi di tingkat nasional.
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
68
Gambar 1. Penerimaan Penghargaan Guru Prestasi Juara 1 Tingkat Nasional (Sri
Wahyuni, M.Pd.) dari Menteri Pendidikan Nasional (Bapak Muh. Nuh)
b. Sertifikasi Guru
Di bidang sertifikasi, guru SMAN 4 Semarang mengalami peningkatan yang
signifikan. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Data Guru SMAN 4 Semarang Tersertifikasi
Berdasarkan tabel 1 tampak bahwa
jumlah guru SMA Negeri 4 Semarang
ada 73 orang. Pada tahun 2006, guru
yang tersertifikasi ada 14 orang dan
yang belum tersertifikasi ada 54 orang.
Pada tahun 2007, guru yang
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
69
tersertifikasi ada 39 orang dan yang
belum tersertifikasi ada 34 orang. Pada
tahun 2008, guru yang tersertifikasi ada
48 orang dan yang belum tersertifikasi
ada 25 orang. Pada tahun 2009, guru
yang tersertifikasi ada 58 orang dan
yang belum tersertifikasi ada 15 orang.
Pada tahun 2010, guru yang
tersertifikasi ada 63 orang dan yang
belum tersertifikasi ada 10 orang.
Kesepuluh orang ini terdiri dari 6 orang
yang memang belum saatnya sertifikasi
dan 4 orang masih CPNS. c. Kenaikan
Pangkat
Kenaikan pangkat guru SMA Negeri
4 Semarang setiap tahunnya mengalami
peningkatan yang sangat signifikan.
Tampak pada tabel berikut ini.
Tabel 2: Data Kenaikan Pangkat Guru SMAN 4 Semarang
Pada tabel 2 tampak bahwa kenaikan
guru SMA Negeri 4 Semarang
mengalami kenaikan yang sangat
signifikan terbukti pada tahun 2009-
2010 yang golongannya menjadi IV c
dan IV b ada 1 orang. Selain itu,
paling tertinggi ada pada golongan IVa.
d. Akreditasi Sekolah
Akreditasi sekolah dilaksanakan
setiap 5 tahun sekali. Akreditasi SMA
Negeri 4 Semarang pun mengalami
peningkatan yang sangat signifikan. Hal
ini tampak pada tabel berikut ini.
Tabel 3: Akreditasi SMA Negeri 4
Semarang
Pada tabel 3 tampak bahwa
akreditasi SMA Negeri 4 Semarang
dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Setiap 5 tahun sekali mengalami
peningkatan yang sangat signifikan.
Dari tabel tersebut tampak bahwa pada
tahun 1987-2002 nilai pencapaian
akreditasi sekolah 87 atau kategori B.
Pada tahun 2002-2006, akreditasi
sekolah memiliki nilai 92,97 atau
kategori A. Pada tahun 2006-2010,
akreditasi sekolah memiliki nilai 95
atau kategori A. Dengan demikian,
terdapat perubahan status sekolah yakni
yang tadinya pada tahun 2006-2007
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
70
bersatus KBK, kemudian tahun 2007-
2008 berstatus RSKM, dan tahun 2010
sampai sekarang berstatus RSBI.
5. Pendekatan dalam Kultur
Organisasi Sekolah
Kultur organisasi menggunakan
dua pendekatan: (1) variabel kultur dan
(2) pembentukan rasa. Pendekatan
variabel kultur ialah pendekatan yang
menggunakan atribut-atribut kultur
kunci dari organisasi yang
mempengaruhi hasil organisasi. Atribut
ini antara lain gaya kepemimpinan,
iklim oganisasi, dan konflik.
Pendekatan pembentukan rasa ialah
pendekatan kultur sebagai esensi
organisasi yaitu kultur yang anggotanya
memiliki kebersamaan interprestasi
kolektif terhadap realitas sosial.
Kerangka interprestasi yang ada dalam
kultur organisasi bersama-sama
membentuk tema-tema ini
mempengaruhi sikap dan nilai-nilai
anggotanya.
Perilaku anggota dalam
organisasi tersebut diarahkan oleh
kulturnya, sebagai contoh di dunia
pendidikan, sebagai pusat
pengembangan kultur profesional
dengan membiasakan anggota
organisasinya agar terbentuk perilaku
sekolah yang berkarateristik: (a)
berdisiplin tinggi, (b) melaksanakan
pekerjaan dengan mutu yang testandar
(tidak asal jadi, (c) melaksanakan
kegiatan administrasi secara efektif, (d)
penampilan sekolah yang bersih, rapi,
indah dan menraik (e) setiap siswa
harus bangga dengan sekolahnya, dan
setiap guru bangga dengan profesinya
sebagai guru di sekolah yang
bersangkutan. Prinsip yang akan
dikembangkan untuk mencapai ini
adalah ing ngarso sung tuludo. Siswa
tidak mungkin berdisiplin, kalau
gurunya sendiri tidak disiplin, dan guru
tidak akan berdisiplin kalau kepala
sekolahnya tidak disiplin (Anonim
1994).
Berdasarkan kultur di atas, jelas
bahwa tujuan tiap sekolah bukan hanya
tempat mandapatkan ilmu pengetahuan
belaka tetapi sebagai pusat
pengembangan sikap dan budaya
profesional. Budaya profesional ialah
perilaku yang taqwa dan melaksanakan
mutu yang mampu bersaing, tahu apa
yang harus dikerjakan, tahu mutu
pelayanan, tahu dasar kemampuan
minimal yang harus dimiliki, dan
bagaimana cara mengerjakan dengan
sebaik-baiknya, tahu mengerjakan
dengan mutu terbaik, tahu mengapa
dikerjakan dikerjakan dengan cara
seperti itu, tahu melaksanakan kegiatan
adminstrasi secara efektif dan efisien
(produktif) dan mampu menampilkan
sekolah yang tertib, efektif, luwes,
efisien dan rapi.
SIMPULAN
Kultur sekolah merupakan
tradisi sekolah yang tumbuh dan
berkembang sesuai dengan spirit dan
nilai-nilai yang dianut sekolah. Tradisi
itu mewarnai kualitas kehidupan sebuah
sekolah. Tradisi itu dilakukan dengan
menerapkan kultur sekolah. Kultur
sekolah yang kondusif mensyaratkan
adanya partisipasi seluruh warga
sekolah dan pemangku kepentingan
pendidikan. Secara manajerial, kepala
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
71
sekolah yang bertanggung jawab tetapi
secara operasional menjadi tugas
seluruh warga sekolah termasuk
pemangku kepentingan pendidikan.
Implikasinya, spirit dan nilai-nilai
kebersamaan, keterbukaan, disiplin diri,
dan tanggungjawab, harus senantiasa
mewarnai pembentukan struktur
organisasi sekolah, penyusunan
deskripsi tugas, prosedur kerja,
kebijakan, aturan-aturan, tata tertib
sekolah, hubungan vertikal dan
horisontal antar warga sekolah, acara-
acara ritual dan seremonial sekolah.
Keseluruhannya secara kooperatif akan
menentukan bentuk perilaku sistem
sekolah, perilaku kelompok atau
perorangan warga sekolah, yang
meliputi latar fisik, lingkungan,
suasana, rasa, sifat, dan iklim
(Depdiknas, 2004). Di samping itu,
dalam kegiatan menciptakan kultur
sekolah tidak dapat dipisahkan dengan
upaya menegakkan budaya mutu. Oleh
Depdiknas (MPMBS, 2001) di
ungkapkan bahwa budaya mutu harus
memiliki elemen-elemen sebagai
berikut.
1. informasi kualitas harus digunakan
untuk perbaikan, tidak untuk
menakut-nakuti, menegur, apalagi
mengadili kekurangan atau
kelemahan bawahan
2. kewenangan seseorang harus
sebatas deskripsi tugasnya,
sehingga jelas siapa berposisi apa,
bertanggungjawab kepada siapa,
dan berhak memerintah siapa
3. hasil kinerja harus diikuti rewards
atau punishments, dengan tujuan
demi membangun keseimbangan,
meskipun tidak akan mudah
menetapkannya dengan
berkeadilan.
4. kolaborasi dan sinergi bukan
kompetisi penuh, harus merupakan
basis kebersamaan untuk kinerja
5. setiap warga sekolah merasa aman
terhadap pekerjaannya, tidak was-
was di-PHK dan sejenisnya
6. atmosfer fairness harus dimainkan,
imbal jasa sepadan dengan
kedudukan, nilai, dan kualitas
pekerjaan yang dilakukan oleh
perorangan atau kelompok
7. setiap warga sekolah merasa
memiliki sekolah dengan segenap
komponennya.
Apabila hal tersebut di atas
berhasil diwujudkan oleh kepala
sekolah, sebagian tugas dan tanggung
jawabnya telah terpenuhi dan sebagai
bukti terciptanya budaya mutu dalam
kultur sekolah adalah terbentuknya
warga sekolah yang berperilaku
profesional, bermartabat, dan merasa
puas dengan kesejahteraannya.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 1994. Kultur Sekolah. Jakarta.
Davis, Gary A. and Thomas, Margaret
A. 1989. Effective Schools and
Effective Teacher.
Massachussets: Allyn and
Bacon.
Depdiknas. 2009. Pengembangan
Kultur Sekolah. Jakarta:
Direktorat Jenderal Manajemen
Dasar dan Menengah. Direktorat
-
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
72
Pembinaan Sekolah Menengah
Atas.
Doni, Koesoema A. 2010. Pendidikan
Karakter, Strategi Mendidik
Anak di Zaman Global (Cetakan
kedua, edisi revisi dari 2007).
Jakarta: Grasindo.
Deal, T.R & K.D. Peterson. 2003.
Shaping School Culture.
Artikel Diambil tanggal
25 April 2005.
Djemari, Mardapi. 2003.
Pengembangan Kultur
Sekolah. Makalah disajikan
dalam Seminar Pengembangan
Kultur Sekolah di Universitas
Negeri Yogyakarta.Edwar
Sallis. 1993. Total Quality
Management In Education .
London.
Mulyasa. E. 2004. Manajemen Berbasis
Sekolah (Konsep, Strategi dan
Implementasi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sastrapratedja. 2001. Budaya Sekolah
dan Dinamika Pendidikan. Jakarta.