Download - 100406074 - Fanny Khairunnisa (2).pdf
UNDANG-UNDANG PERENCANAAN KOTA
DI INDONESIA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
FANNY KHAIRUNNISA
100406074
BAB 1
PENDAHULUAN
Kota tanpa perencanaan atau tanpa direncanakan dengan benar tentunya adalah suatu hal
yang sangat riskan bagi perkembangan kota tersebut dimasa mendatang, terlebih di Indonesia,
perkembangan penduduk yang relatif tinggi dan tidak dibarengi oleh penyediaan infrastruktur
yang memadai telah menjadikan beberapa kota di negara kita ini menjadi kota yang sangat
semberawut.
Sejarah Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia
Terdapat 5 masa, yaitu masa VOC dan Penjajahan Belanda, Masa Perang Dunia II - Tahun
1950an, Masa 1950 - 1960, Masa 1970 - 2000 dan masa tahun 2000an. Untuk lebih jelasnya
mengenaisejarah perkembangan Perencanaan Wilayah dan Kota di Indonesia sebagai berikut :
1. Masa VOC dan Penjajahan Belanda
Secara teknis, perencanaan fisik di Indonesia sudah dimulai sejak masa VOC di abad 17
yaitu dengan telah adanya De Statuten Van 1642, yaitu ketentuan perencanaan jalan,
jembatan, batas kapling, pertamanan, garis sempadan, tanggul-tanggul, air bersih dan
sanitasi kota;
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda terjadi 2 hal yang dapat dikatakan sebagai
dasar perencanaan kota, yaitu : munculnya Regeringsregelement 1854 (RR 1854), berisi
sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal di daerah residen; dan diundangkannya
Staatblad 1882 Nomor 40 yang memberikan wewenang kepada residen untuk
mengadakan pengaturan lingkungan dan mendirikan bangunan di wilayah (gewent)
kewenangannya.
Sejak tahun 1905 yaitu sejak diundangkannya Decentralisatie Besluit Indische Staatblad
1905/137, maka perencanaan kota lebih eksplisit sehubungan dengan pemberian
kewenangan otonomi bagi stadsgemeente (kota praja) untuk menyusun perencanaan
kotanya;
Usaha tersebut diikuti dengan munculnya kewenangan bagi kabupaten (province
regentschap) untuk mengatur penataan ruang;
Beberapa Peristiwa yang cukup berpengaruh pada masa tersebut yaitu Revolusi industri,
politik kulturstelsel pada masa Van den Bosch, Politik Etis dan terbitnya perangkat
institusi dan konstitusi.
2. Masa Perang Dunia (PD) II - Tahun 1950an
Pada tahun 1948 diterbitkan peraturan perencanaan pembangunan kota sebagai
peraturan pokok perencanaan fisik kota khususnya untuk kota Batavia, wilayah
Kebayoran dan Pasar Minggu, Tanggerang, Bekasi, Tegal, Pekalongan, Cilacap,
Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang dan Banjarmasin;
Muncul gagasan-gagasan tentang pembangunan kota baru, baik kota satelit seperti
wilayah Candi di Semarang maupun Kebayoran Baru di Jakarta, serta kota baru mandiri
seperti Palangkaraya di Kalimantan Tengah dan Banjar Baru di Kalimantan Selatan;
Pembangunan nasional pada saat itu mendapat bantuan dari negara-negara maju.
3. Masa 1950 - 1960
Perkembangan penduduk kota-kota, khususnya di Jawa dan Sumatera berdampak
terhadap berbagai segi, baik fisik, budaya, sosial dan politik;
Konflik regional;
Pembangunan nasional semakin kompleks;
Peningkatan tenaga ahli perencanaan wilayah dan kota.
4. Masa 1970 - 2000
Kompleksitas pembangunan nasional, regional dan lokal semakin meningkat;
Pengaruh metode-metode dan teknologi negara maju;
Peningkatan program transmigrasi untuk membuka lahan-lahan pertanian baru di luar
Jawa;
Pembangunan yang sentralistik;
Industrialisasi mulai digalakkan ditandai dengan munculnya kawasan-kawasan industri;
Munculnya UU Tata Ruang Nomor 24 Tahun 1992;
Standarisasi hirarki perencanaan dari yang umum, detail dan terperinci untuk tiap
daerah tingkat I dan II.
5. Masa Tahun 2000an
Berlakunya Otonomi Daerah;
Kabupaten dan Kota berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD);
Tingginya wacana pertisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat.
Tingginya wacana pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
BAB 2
TEORI
Ada beberapa jenis teori perencanaan yang merupakan landasan berpikir perencana dalam
merencanakan suatu kota dan wilayah antara lain :
1.Comprehensive Planning
Adalah suatu jenis perencanaan yang menyeluruh,semua aspek dianggap penting sehingga
sangat sulit menentukan siapa stakeholder-nya. Perencanaan jenis ini ingin memuaskan semua
pihak sehingga sifat pengelola pembangunan disini bukan sebagai pemimpin tetapi lebih
sebagai fasilitator. Akibatnya sering tujuannya tidak tercapai atau sulit membantu indicator
pengukuran kinerja pencapaian tujuan. Di Indonesia teori ini pada hakekatnya telah dimulai
sejak diberlakukannya SVO tahun 1948 dan SVV tahun 1949.
2.Strategic Planning
Perencanaan strategis yang dikemukakan oleh Einsiendel, 1995 merupakan subset atau bagian
yang lebih kecil dari perencenaan komprehensif yang memiliki stake holder yang jelas dan
terbatas. Pada sisi yang lain (kaufman dan Jacob,1997) menerangkan bahwa perencanaan
strategis menyokong partisipasi yang lebih luas dan lebih bervariasi dalam proses perencanaan.
Lerbih menekankan pengkajian kekuatan dan kelemahan dalam konteks internal dan
menekankan pada pemahaman masyarakat dalam konteks eksternal ( peluang dan ancaman).
Perencanaan strategis dianggap metode yang ampuh untuk mengantisipasi perubahan
lingkungan yang cepat. Metode ini merupakan metode alternative dari metode yang lebih
konvensional dalam perencanaan jangka panjang atau perencanaan yang sangat menekankan
pencapaian tujuan.
3. Blue Print
Segala sesuatunya harus diatur persis seperti apa yang terlihat. Rencana yang demikian sangat
sesuai untuk bagian yang berkaitan dengan bangunan yang harus didirikan, ukuran persil, cara-
cara penanganan dan barangkali bahan-bahan bangunan utama yang akan dipakai untuk
konstruksi.
4. Incremental
Berorientasi pada pemecahan masalah jangka pendek dan tidak ada arahan jangka panjang.
5. Normative
Didasarkan pada aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dan lebih memperhatikan
keseimbangan antar sistem.
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perencanaan Kota
(Peraturan Kementerian Pembangunan No.49 Tanggal 25 Agustus 1969)
Peraturan Kementerian berikut yang merevisi Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Perencanaan Kota (Peraturan Kementerian Pembangunan No.42 Tanggal 25 Agustus 1969)
secara keseluruhan ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang
Perencanaan Kota (Undang-Undang No.100 Tahun 1968) dan Tata Pelaksanaan Undang-Undang
Perencanaan Kota (Ordonansi No.158 Tahun 1969) untuk melaksanakan Undang-Undang yang
dimaksud.
Hal-Hal yang Ditetapkan dalam Rencana Kota Terkait dengan Sarana Perkotaan
Pasal 7 : Rincian tipe dan struktur yang ditetapkan dalam Peraturan Kementerian
Pertanahan, Prasarana dan Transportasi Pasal 6 Ayat 2 Tata Pelaksanaan Perencanaan Kota
harus ditunjukkan dalam hal-hal berikut:
(1) Jenis jalan: jalan kendaraan bermotor, jalan arteri, jalan kawasan atau jalan khusus;
(2) Struktur jalan: jumlah lajur (kecuali jalan khusus dan jalan lainnya tanpa lajur), lebar,
perbedaan antara jenis timbul, jenis bawah tanah, jenis tanah galian atau jenis permukaan
dan perbedaan antara perlintasan penyebrangan bertingkat/ banyak tingkat yang terkait
dengan persimpangan dengan rel kereta api, jalan kendaraan bermotor atau jalan arteri di
bagian permukaan;
(3) Struktur ruang parkir: tingkat di atas tanah dan dibawah tanah;
(4) Tipe terminal kendaraan bermotor: terminal truk atau terminal bus;
(5) Tipe taman: taman blok, taman setempat, taman kawasan, taman umum, taman olahraga,
taman dengan area yang luas atau taman khusus
(6) Struktur jalan cepat perkotaan: perbedaan antara tipe timbul, tipe bawah tanah, tipe tanah
tergali, atau tipe permukaan dan perbedaan perlintasan penyebrangan bertingkat/ banyak
tingkat yang terkait dengan persimpangan dengan rel kereta api, jalan kendaraan bermotor
atau jalan arteri di bagian permukaan; dan
(7) Struktur sarana perkotaan yang ditunjukkan pada Pasal 11 Ayat 1 Butir 4 Undang-Undang
Perencanaan Kota: Perbedaan antara struktur galian dan/ atau timbunan dan perbedaan
antara bagian tunggal atau bagian yang banyak.
Area Tanah yang diKotakan pada Saat Sekarang
Pasal 8 : Area tanah yang ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana
dan Transportasi sesuai dengan tanah yang dikotakan dalam Pasal 8 Butir 1 Tata Pelaksanaan
Undang-Undang Perencanaan Kota merupakan area-area tanah berikut ini dengan tidak
termasuk tanah usaha tani:
(1) Area tanah dimana terdapat kepadatan penduduk kurang lebih 40 orang/ Ha (dihitung kasar
berdasarkan luas area tidak lebih dari 50 Ha), dan dimana populasi di area yang dimaksud
adalah 3.000 atau lebih; dan
(2) Area tanah yang berbatasan dengan area di atas, dimana laporan luas total area tanah untuk
gedung dan bangunan similar untuk sepertiga dari total area (dihitung kasar berdasarkan
luas area tidak lebih dari 50 Ha)
Area Tanah yang Ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana dan
Transportasi menurut Pasal 8 Ayat 2 Butir 2 Tata Pelaksanaan Undang-Undang Perencanaan
Kota
Pasal 8-2 : Area tanah yang ditetapkan dalam Peraturan Kementrian Pertanahan, Prasarana
dan Transportasi menurut Pasal 8 Ayat 2 Butir 2 Tata Pelaksanaan Undang-Undang
Perencanaan Kota seperti berikut ini:
(1) Area hutan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Pelestarian
Lingkungan Alam (Undang-Undang No.85 Tahun 1972), dan daerah khusus seperti yang
ditetapkan dalam Pasal 25 Ayat 1 Undang-Undang yang sama;
(2) Area hutan yang ditetapkan sebagai hutan konservasi dinyatakan sesuai dengan ketetapan
Pasal 30 atau Pasal 30-2 Undang-Undang Kehutanan (Undang-Undang No.249 Tahun
1951); sarana keamanan di daerah tujuan menurut ketetapan Pasal 41 Undang-Undang
yang sama, atau daerah yang ditetapkan sebagai sarana keamanan daerah dinyatakan
menurut ketetapan Pasal 30 yang diberlakukan sama pada Pasal 44 Undang-Undang yang
sama
(3) Area hutan dimana direncanakan sebagai tujuan hutan konservasi dalam rencana
pengembangan konservasi hutan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 2 Butir 1 Peraturan
Sementara Undang-Undang Pengembangan Konservasi Hutan (Undang-Undang No.84
Tahun 1954).
BAB 3
STUDI KASUS
Perencanaan Kota dalam Tata Ruang Wilayah
Di Indonesia, suatu rencana kota tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah, yang tentunya
dimiliki oleh setiap kawasan dari tingkat kecamatan sampai nasional. Berikut prosedur
perencanaan kota di Indonesia berdasarkan UU No. 24 tahun 1992 :
Rencana tata ruang biasanya diperbaharui setiap 5 tahun sekali untuk kawasan setingkat
kecamatan. Semakin luas kawasan yang ditangani, semakin panjang jangka waktu yang
diperlukan untuk menyusun rencana baru, namun tetap diadakan evaluasi dalam jangka waktu
yang ditentukan.
Adapun penggolongan rencana menurut RTRW membagi skala kota menjadi 2 jenis, yaitu
Perencananan Kota Nasional (PKN) dan Perencananan Kota Wilayah (PKW).
Perencanaan Kota Nasional berlaku bagi kota yang memiliki ciri sebagai berikut:
Pusat yg mempunyai potensi sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional
dan mempunyai potensi untuk mendorong daerah sekitarnya
Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang melayani nasional atau beberapa
propinsi
Pusat pengolahan/pengumpul barang secara nasional atau meliputi beberapa propinsi
Simpul transportasi secara nasional atau meliputi beberapa propinsi
Pusat jasa pemerintahan untuk nasional atau meliputi beberapa propinsi
Pusat jasa-jasa kemasyarakatan yang lain untuk nasional atau meliputi beberapa
propinsi
Perencananan PKW berlaku bagi kota yang memiliki ciri sebagai berikut:
Pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yg melayani propinsi atau beberapa
kabupaten
Pusat pengolahan/pengumpul barang untuk satu propinsi atau meliputi beberapa
kabupaten
Simpul transportasi untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten
Pusat jasa pemerintahan untuk satu propinsi atau meliputi beberapa kabupaten
Pusat jasa-jasa kemasyarakatan yang lain untuk untuk satu propinsi atau meliputi
beberapa kabupaten
Sebagai contoh perencanaan kota di Jakarta, rencana struktur ruang sendiri terdiri atas,
sistem pusat kegiatan, sistem dan jaringan transportasi, sistem prasarana sumber daya air dan
sistem serta jaringan utilitas perkotaan. Rencana struktur ruang Provinsi DKI Jakarta merupakan
perwujudan dan penjabaran dari rencana struktur ruang kawasan perkotaan.
Perencanaan kota-kota di Indonesia perlu dilakukan secara matang dan terpola. Maka dari itu
diperlukan perencanaan yang memperhatikan kondisi fisik dan kondisi masyarakat yang ada.
Kondisi fisik seperti fasilitas dan utilitas yang memadai, hunian yang sehat, dan sistem
transportasi yang efisien dapat mendukung aktifitas masyarakat sehingga dapat menciptakan
kota yang produktif.
Selain itu, pembangunan kota-kota di Indonesia harus sesuai prosedur yang diatur dalam
RTRW. Diharapkan dengan adanya kejelasan hukum dan tata guna lahan yang ada pada RTRW
dapat diterapkan pelaksanaannya di berbagai daerah di Indonesia sehingga mendukung
pertumbuhan kota-kota yang ada menjadi lebih cepat, tepat, dan optimal.
Fenomena Pesisir Kota Jakarta
Dengan atau tanpa didahului perencanaan, kota akan terus berproses seiring waktu berjalan,
perencana berperan mengantarkan kearah yang lebih baik. Pada awalnya kota adalah pusat
kegiatan masyarakat, yang masih dapat diakomodasi oleh lingkungan (lahan, sumber daya, dls).
Kota mempunyai energi dari pengelolaan hasil pertanian, namun seiring berkembangnya
peradaban, kota berubah menjadi pusat industri pengolahan tidak hanya pertanian. Kota
menjadi lebih luas dan menarik masyarakat, sehingga populasi dalam kawasan kota meningkat,
mengurangi penduduk disekitarnya (sering disebut desa). Penghuni kota terdiri dari 40%
pertumbuhan alami, 60% migrasi, kelebihan ini selain melebar merubah bentuk pinggiran kota,
mereka juga mengisi celah-celah ruang dalam kota secara ilegal.
Inilah juga yang dialami oleh Jakarta, berkembang sejak lama (pemerintahan Hindia-Belanda)
sebagai pusat pemerintahan sekaligus ekonomi. Aktifitas Kota Jakarta tidak dapat lagi
diakomodasi oleh lingkungan, bahkan yang terjadi adalah kerusakan lingkungan akibat tekanan
pertumbuhan penduduk yang tinggi, kerusakan lingkungan tersebut seperti penurunan muka
tanah dan penyempitan lahan tangkapan air.
Penyebab utama kerusakan lingkungan ini adalah pengambilan air tanah yang berlebih, karena
air perpipaan atau PDAM baru menyuplai 60% kebutuhan masyarakat. Laju penurunan muka
tanah di Jakarta mencapai 5-12 sentimeter per tahun pada tiga dekade terakhir, ruang terbuka
hijau (RTH) sebagai lahan tangkapan air tergerus oleh pendirian bangunan, terlebih badan air
ikut dikonversi untuk perumahan.
Fenomena penurunan muka tanah dan penyempitan RTH terjadi di lokasi obyek vital kawasan
pesisir laut utara Jakarta. Informasi terbaru penurunan muka tanah yang terjadi disana telah
mencapai 18 sentimeter per tahun, sementara pasang air laut justru meninggi, kisaran 0,5-1
sentimeter per tahun. Hal ini berarti, tahun depan (akhir 2012) tinggi muka air laut akan
mencapai tubir tanggul.
Dari 14 obyek vital yang terancam pasang air laut/rob, 3 diantaranya sudah pernah tergenang,
yakni jalan akses ke Bandara Soetta pada Desember 2007 dan juni 2011, PLTU Muara Karang
pada Februari 2010, dan Pelabuahan Ikan Nizan Zachman pada November 2008.
Obyek vital yang terancam terganggu termasuk yang tiga disebutkan diatas, sebagian adalah
sumber energi listrik, dengan kapasitas total 800 megawatt. Jika sumber energi listrik ini mati,
maka akan mengganggu 888 ribu lebih pelanggan, dengan asumsi setiap konsumen dilayani
rata-rata 900 watt.
Selain pesisir ini, kawasan lain yang mengalami penurunan tanah (menurut Jakarta Coastal
Defence Startegy-JCDS) adalah Pluit, Cengkareng Barat, Daan Mogot, Ancol, Cempaka Mas, dan
Cikini, dengan rata-rata lebih dari 2 sentimeter.
Pendekatan Kota Berkelanjutan
Kota Berkelanjutan adalah konsep kota yang memandang kota dan desa sebagai satu kesatuan
ekosistem. Mempunyai kebijaksanaan, setiap kegiatan, komersial atau bukan yang berkaitan
dengan produksi, distribusi, serta konsumsi dari bahan pangan atau hasil pertanian lain,
dilakukan di lingkungan perkotaan. Jadi konsep ini mewadahi kegiatan masyarakat yang
diakomodasi oleh alam/lingkungan. Jika digambarkan dalam diagram, konsep kota
berkelanjutan akan mewadahi 3 aspek penggunaan lahan di perkotaan, yakni:
Gambar 1 Konsepsi Kota Berkelanjutan
Ketiganya secara proporsional merupakkan wujud penggunaan lahan, jika salah satu
membesar, maka dua atau satu yang lain mengecil atau tertekan yang berarti
kerusakan/kekurangan. 1) Ekonomi mengatur segala aktifitas masyarakat yang dapat
memperhatikan keberlanjutan kegiatan ekonomi itu sendiri dengan inovasi pekerjaan,
optimalisasi ekonomi lokal. 2) Sosial pada masyarakat, harus memberdayakan penduduk kota,
mereka sebagai subjek sekaligus objek kebijakan kota, mereka memahami kebutuhan mereka
sendiri, tidak harus merata, namun proporsional. 3) Lingkungan yang mempunyai peranan
proporsional dengan ekonomi dan sosial, maka lingkungan akan menjadi wadah kegiatan-
kegiatan tersebut, yang berarti kegiatan tersebut harus dapat ramah, menggunakan sumber
energi alami yang efisien, dan menggunakan teknologi yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
penggunanya terhadap lingkungan.
Dengan sistem yang berjalan dengan baik, ketiga aspek kota berkelanjutan diatas, mempunyai
tiga keuntungan, dalam keterkaitan ketigannya, yakni dapat meningkatkan produktifitas kota,
sekaligus mengatasi persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan kota, secara rinci manfaat sosial
adalah
1) meningkatkan persediaan pangan
2) meningkatkan nutrisi banyak untuk kaum miskin kota
3) meningkatkan kesehatan masyarakat
4) mengurangi pengangguran
5) meningkatkan solidaritas komunitas dan
6) mengurangi konflik sosial.
Manfaat ekonomi adalah :
1) membuka lapangan kerja,
2) peningkatan penghasilan masyarakat,
3) mengurangi kemiskinan,
4) meningkatkan jumlah wiraswasta, dan
5) meningkatkan produktifitas lingkungan kota
Terakhir dari segi lingkungan adalah :
1) konservasi sumberdaya tanah dan air,
2) daur ulang limbah kota (sampah kompos),
3) membantu menciptakan iklim mikro yang asri, dan
4) meningkatkan keuntungan pertanian kota dari segi lingkungan.
Kenapa harus dengan pendekatan kota berkelanjutan untuk menanggapi fenomena pesisir Kota
Jakarta tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kembali dijalaskan, bahwa penekanan proporsionalisasi
penggunaan lahan/peran kota adalah pada sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan. Maka upaya
meminimalisir dampak secara berkepanjangan selanjutnya selain upaya-upaya radikal
membuat tanggul adalah dengan pendekatan penekanan pertumbuhan Kota Jakarta, dengan
pendekatan Kota Berkelanjutan, mengurangi beban berlebih kota, karena aspek sektor ekonomi
dan sosial menekan kuat sektor lingkungan secara tidak proporsional seperti yang kita saksikan
akibatnya sekarang.
Urgensi Perencanaan Kota Berkelanjutan untuk Kota Jakarta
Krisis ekonomi adalah kegagalan menejemen yang membuat banyak kerusakan pada aspek-
aspek utama kota (sosial-lingkungan). Pengalaman pahit bangsa ini, ditanggapai dengan terus
meningkatnya populasi masyarakat masuk kota untuk memperoleh kesejahterahan. Kota yang
tidak dapat memproduksi sendiri kebutuhannya, seperti energi dan pangan akan bergantung
pada kawasan disekitarnya. Padahal penduduk kawasan sekitar kota/kawasan penyangga tidak
dapat lagi menyuplai kebutuhan kota, bagaimana tidak, lahan produktif petanian telah berubah
menjadi lahan terbangun akibat pembangunan itu sendiri.
Motif ekonomi inilah yang membuat masyarakat tidak bermodal keterampilan bahkan masuk
kota dengan harapan mendapatkan keuntungan, atau justru mereka diundang karena bisa
digaji dengan murah oleh perusahaan komersial/pribadi-pribadi sebagai pembantu rumah
tangga. Kaum miskin kota pun berkembang, perumahan miskin menjamur, tidak memenuhi
standar kelayakan, karena penghasilan mereka memang tidak layak/tidak memenuhi standar
minimal. Belum lagi aspek kepemimpinan pemerintahan, seakan keinginanya terbagi-bagi,
perhatian pada kaum atas atau kaum bawah, kota atau desa, pemodal atau rakyat, dan
dikotomi-dikotomi lainnya yang sulit terfokuskan. Alokasi penggunaan lahan untuk perkotaan
akibatnya mewadahi semua permasalahan, semua dikotomi diatas.
Inilah bias-bias kebijakan pembangunan kota, pemerintah mencoba memperlambat
pertumbuhan dengan membatasi migrasi, karena dianggap dari migrasi inilah faktor utama
peningkatan populasi kota. Ternyata aplikasinya sangatlah sulit, pengklasifikasian desa dan
kota, dengan perbedaan kuantitas kebikajakan justru memicu pertumbuhan perkotaan.
Barangkali justru lebih efektif mengendalikan kelahiran?
Selain populasi penduduknya yang semakin hari semakin berkembang, ditambah solusi yang
belum terpecahkan, pemerintah harus juga melawan efek pemanasan global, mencari energi
yang terbarukan, mengatasi konflik sosial, politik, ekonomi, dll. Adakah kunci kebijakan yang
dapat pemerintah lakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan pelik kota ini?
Inilah yang dialami Kota Jakarta dan Pemerintahnya, jika hanya langkah radikal meninggikan
tanggul/membuat tanggul raksasa saja nampaknya akan membuat pemerintah bekerja dua kali,
terus dan terus meninggikan, tanpa melihat masalah dibalik masalah tersebut. Lingkungan yang
semakin tertekan akan menyerang balik, merusak semuanya.
Solusi Pertumbuhan Kota
Orientasi pemerintah mungkin sudah sering dirubah, dari orientasi masalah, solusi, bahkan
orientasi tujuan. Namun, kenapa masih saja terjadi permasalahan mendasar dalam kota.
barangkali harus ada antisipasi pertumbuhan populasi perkotaan, pendekatan masalah yang
diperdalam dari masalah sebelum timbul masalah. Maksudnya adalah, karakter perkotaan yang
menyebar melebihi batas-batas administrasi kota, merupakan perilaku masyarakat yang sangat
dinamis, maka apakah kebijakan pembangunan infrastrukturnya harus terintegrasi dari pusat ke
kawasan sekitarnya? Atau ada kebijakan-kebijakan lainya yang serupa? Apa?
Indonesia berada dalam lingkungan Global South/Negara Selatan (baca: katulistiwa),
mempunyai agenda penyelesaian permasalahan negara/kota yang lebih banyak dan mendasar
darpada Negara di Global North. Kebijakan yang dimaksud adalah 1) mempertahankan
kesesuaian lahan untuk lingkungan dan bencana alam, 2) penyediaan pelayanan permukiman
memenuhi standar basic needs (air, jalan, sanitasi, energi, dll), dan 3) penyediaan pelayanan
perumahan untuk kaum miskin, pendidikan, kesehatan dan transportasi umum.
Kebijakan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi dari pusat ke kawasan sekitarnya, harus
memperhatikan alur perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya dengan transpotasi umum
(atau pribadi), alokasi perumahan di pinggiran kota, regulasi lahan kota, alokasi daerah resapan
dengan lahan produktif, serta alokasi suplai energi dan makanan pusat. Kebijakan ini harus
tercover oleh pemerintah yang mempunyai potical will yang kuat.
Mempertimbangkan bias-bias kebijakan pengurangan pertumbuhan populasi dalam
mengurangi kemiskinan tersebut diatas, maka pendekatan masalah sebelum timbul masalah
barangkali cocok. Kota harus dapat menjadi pusat pertumbuhan ekonomi sekaligus tempat
pelayanan barang dan jasa yang murah, menyinergikan antar sektor, memberikan akses murah
pada infrastruktur, dan transfer kesejahterahan terhadap desa dalam pengurangan kemiskinan.
Apakah kota ‘kompak’ atau kota ‘disentralisasi’ yang akan dipilih, tentunya masih dalam fokus
utama mengurangi populasi penduduk kota. Kedua kota tersebut akan terwujud jika dengan
sistem city-region yang apik, kebijakan menyesuaikan permasalahan, bahkan dapat
memprediksi permasalahan yang akan timbul, konsep city region ini mempunyai 6 fokus utama
dalam perencanaan/pengembangan kota, yakni:
1.Pembangunan manusia/skil etos kerja dalam paradigma kesejahterahan,
2.Transfer kesejahterahan dari kota ke desa maupun sebaliknya,
3.Kebijakan sarana-prasarana perumahan,
4.Peraturan pasar lahan kota-perkotaan,
5.Arah perkembangan fisik kota untuk pengendalian,
6.Sarana prasarananya transportasi publik untuk akses ke semua wilayah.
Pengurangan beban Kota adalah dengan menetapkan ambang batas perkembangan kota
dengan pendekatan pertumbuhan kota-pendekatan masalah sebelum masalah timbul.
Gambar 2 konsepsi kota berkelanjutan menanggapi pertumbuhan kota
Ancaman pasang air laut/rob pesisir utara Kota Jakarta ini ternyata juga digunakan sebagai
solusi pengembangan wilayah kelas menengah-atas dan internasional (Superblok dls) di area
reklamasi pantai, yang sudah menjadi agenda RTRW DKI Jakarta 2011-2020.
Inilah macam-macam tujuan atas satu kawasan yang juga mempunyai masalah tidak hanya
satu. Peran pemerintah sebagai penentu kebijakan, haruslah benar-benar bijak, tidak hanya
untuk ekonomi dan sosial (barangkali: baca), tetapi juga lingkungan.
Fenomena penurunan muka tanah harus masuk dalam aspek analisis perencanaan Kota Jakarta,
supaya tidak berlanjut merusak fasilitas yang telah ada, dan barangkali bisa disesuaikan. Karena
proses kompaksi alluvial atau pemadatan tanah diprediksi baru akan berhenti pada tahun 2100,
yang berarti 95% tanah Jakarta akan terendam pasang air laut pada tahun 2050 (menurut Heri
Andreas-Anggota Konsorsium JCDS).
Langkah Perencanaan Pesisir Kota Jakarta
Langkah radikal pembuatan Tanggul Raksasa (Giant Sea Wall), adalah langkah paling efektif
menurut Wakadin PU DKI Jakarta, Novirizal. Proyek ini adalah antisipasi rencana reklamasi
pantai yang dibagi dalam 3 tahapan, 1) Jangka Pendek untuk pengamanan pantai sampai 2020,
2) Pembangunan terintegrasi dengan reklamasi, pengamanan pantai sampai 2030, dan 3)
Konstruksi tanggul multiguna di Teluk Jakarta, pengamanan pantai sampai 2030. Teknis
pembuatan tanggul ini terinspirasi/mengacu pada kasus Pelabuahan Roterdam, Belanda dan
New Orleans AS. Safwan Hadi (Ahli Osenografi ITB), mengatakan reklamasi di Belanda dan
bahkan Singapura, dibarengi dengan penyehatan lingkungan sungai dan kualitas air tanah, 13
sungai di Jakarta berpotensi meluap saat hujan dan pasang air laut.
Rencana teknis tersebut mempunyai fungsi selain konservasi adalah untuk membuat jalan tol,
tetapi bukannya hal ini justru akan menambah kompak kota Jakarta. Secara tidak langsung
mengundang penduduk masuk, sekalipun penduduk menengah kebawah.
Jalan Tol ini dimaksudkan pemerintah sebagai umpan kepada investor, selain juga lahan
reklamasi. Pendanaan yang sangat tinggi membuat pemerintah harus berpartner dengan
swasta yang mempunyai orientasi komersial, makanya dengan system PPP (Public Private
Partnership) ini diharapkan proyek besar ini dapat segera dilaksanakan kata Wamen PU
Hermanto Dardak.
Fenomena Pesisir Jakarta; Kelemahan Merespon Pertumbuhan Kota
Secara umum rencana radikal pemerintah tersebut sudah sesuai, namun analisis diluar
masalah, atau pendekatan masalah sebelum timbul masalah belum nampak. Hal ini tersirat dari
rencana-rencana pemerintah untuk menambah infrastruktur, hanya dalam kawasan kota saja.
Pengklasifikasian kota-desa oleh pemerintah, membuta fokus kebijakan pemerintah menjadi
80-20, 80% untuk kota, 20% untuk desa. Kebijakan tersebut dilatarbelekangi oleh pemasukan
pendapatan yang berbeda. Walaupun demikian, pemerintah nampaknya belum akan
berpandangan kedua pusat penduduk tersebut (kota-desa) setara untuk mendapatkan
pelayanan.
BAB 4
KESIMPULAN
Kegiatan penyediaan prasarana kota apabila ditinjau dari tahapan perencanaan termasuk ke
dalam tahapan aplikasi rencana. Masalah pokok aplikasi perencanaan tata ruang kota dalam
penyediaan prasarana adalah sebagai berikut :
1. Rencana tata ruang belum berfungsi secara efektif sebagai dasar pengembangan
prasarana kota. Artinya, banyak kegiatan pembangunan prasarana kota yang tidak
mengacu rencana tata ruang yang ada.
2. Pertambahan prasarana kota yang dibangun terlalu sedikit sehingga tidak memadai
dengan pertumbuhan kota. Biasanya akibat keterbatasan dana pembangunan, antara
permintaan (supply) dan penawaran (demand) prasarana yang tidak seimbang.
3. Perkembangan jaringan prasarana terpaksa mengikuti pertumbuhan kota yang terlanjur
ada yang mungkin tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
Permasalahan yang terjadi tersebut di sebabkan oleh beberapa hal yaitu sebagai berikut :
1. Koordinasi antar program dari setiap sektor yang belum berjalan dengan baik;
2. Pemahaman terhadap rencana tata ruang di kalangan aparat pemerintah dan
masyarakat masih sangat kurang;
3. Dana yang tersedia masih terbatas atau tidak tepat waktu;
4. Kewenangan penyediaan prasarana di batasi oleh batas administrasi daerah. Apabila di
daerah perbatasan kabupaten/kota tidak terjadi koordinasi atau kerjasama maka daerah
perbatasan tersebut bermasalah di dalam penyediaan prasarana.
Masalah lanjutan yang disebabkan oleh buruknya penyediaan prasarana, khususnya prasarana
jalan, adalah terjadinya kondisi transportasi kota yang jelek. Masalah transportasi tersebut
meliputi :
Kemacetan lalu lintas;
Kesemrawutan lalu lintas, campur aduk antara :
Transportasi lokal dan transportasi antar regional;
Kendaraan yang memiliki tingkat kecepatan rendah dengan kendaraan yang
dapat melaju cepat;
Kendaraan tradisional / tidak bermesin dengan kendaraan bermesin;
Pejalan kaki (pedestrian) dengan PKL (pedagang kaki lima) di trotoar
(perampasan hak pejalan kaki oleh pedagang kaki lima).
Polusi udara dari knalpot kendaraan - kendaraan berusia uzur;
Kendaraan umum (angkutan kota, bus serta kereta api) yang tidak nyaman dan tidak
tepat waktu;
Perencanaan transportasi yang tidak dapat mencapai sasaran.
Akibat itu semua menimbulkan biaya sosial yang tinggi bagi masyarakat sehingga merupakan
pemborosan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Untuk memecahkan masalah ini diperlukan
teknik komprehensif antara sistem transportasi dan penggunaan lahan. Salah satu tekniknya
disebut dengan sebutan Transportation Demand Management (TDM).
DAFTAR PUSTAKA
http://xa.yimg.com/kq/groups/13372012/1169784868/name/3
http://dokter-kota.blogspot.com/2012/08/teori-teori-spasial-pengembangan-wilayah.html
http://dokter-kota.blogspot.com/2012/10/masalah-tata-ruang-penyediaan-prasarana-
kota.html
http://property.vibiznews.com/column/perencanaan-kota-di-indonesia/3536
http://adindabelia.wordpress.com/tag/perencanaan-kota-di-indonesia/
http://hattaefendi.blogspot.com/2012/01/perencanaan-kota-jakarta-berkelanjutan.html