MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH
(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)
SKRIPSI
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
ARIF UBAIDILLAH
NIM: 11140340000197
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH
(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)
SKRIPSI
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
ARIF UBAIDILLAH
NIM: 11140340000197
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ii
MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM Q.S. AL-MUMTAHANAH
(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)
Skripsi
Diajukan ke Fakultas Ushuluddin
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag)
Oleh:
Arif Ubaidillah
Dosen Pembimbing
Dr. Ahsin Sakho’ M. Asyrofuddin, MA
NIP: 19560821 199603 1 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Muwālāt al-Kuffār Dalam Q.S Al-Mumtahanah (Upaya
Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqasidi, telah diajukan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2019. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama Islam (S.Ag) pada
Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 09 Januari 2019
Sidang Munaqasyah
iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Arif Ubaidillah
NIM : 11140340000197
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan/Prodi : Ilmu al-Qur'an dan Tafsir
Alamat Rumah : Margotuhu Kidul – Margoyoso - Pati
Judul Skripsi : MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM QS. AL-MUMTAHANAH
(Upaya Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
v
PEDOMAN TRASLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
Nomor: 158 Tahun 1987 Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
No Arab Latin
Tidak dilambangkan ا .1
B ب .2
T ت .3
ṡ ث .4
J ج .5
ḥ ح .6
Kh خ .7
D د .8
Ż ذ .9
R ر .10
Z ز .11
S س .12
Sy ش .13
ṣ ص .14
ḍ ض .15
vi
ṭ ط .16
ẓ ظ .17
‘ ع .18
g غ .19
f ف .20
q ق .21
k ك .22
l ل .23
m م .24
n ن .25
w و .26
h ه .27
’ ء .28
y ي .29
2. Vokal Pendek
= a ك ت ب kataba
= i سئ ل su’ila
= u ي ذه ب yażhabu
3. Vokal Panjang
vii
qᾱla ق ال =… ا
= اي ق يل qīla
yaqūla ي قول = او
4. Diftong
kaifa ك يف ai = ا ي
ḥaula ح ول au = ا و
5. Kata Sandang (أل)
Kata sandang dilambangkan dengan ‘al-‘, baik diikuti haruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah.
6. Tasydid (--- ---)
Syiddah atau tasydīd dilambangkan dengan menggandakan huruf yang
diberi syiddah. Namun, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima
tanda syiddah tersebut terletak setelah huruf sandang yang diikuti oleh
huruf-huruf al-syamsyiyyah. Misalnya, الشر ي ع ة tidak ditulis asy-syarī’ah,
tetapi ditulis al-syarī’ah.
7. Tā’ Marbuṭah
a. Bila berdiri sendiri atau dirangkai dengan kata lain yang menjadi na‘t
atau sifat, ditulis h
Contoh:
jizyah: جزية
al-jāmi ‘ah al-islāmiyyah: اجلامعة اإلسالمية
b. Bila diharakati karena berkaitan dengan kata lain, ditulis t
Contoh:
viii
ni ‘mat Allāh : هللا نعمة
الفطر زكاة :zakāt al-fiṭr
ix
ABSTRAK
ARIF UBAIDILLAH
MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM QS. AL-MUMTAHANAH (Upaya
Membangun Toleransi Dengan Pendekatan Maqāṣidī)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam bangunan
toleransi dengan pendekatan maqāṣidī. Berusaha menjawab persoalan hubungan
antar umat beragama yang berangkat dari Q.S al-Mumtahanah, khususnya
menyangkut muwālāt al-kuffār. Dengan menggunakan metode tematik surah,
penulis menggunakan pendekatan Maqāṣidi untuk menganalisis ayat-ayat yang
dikaji. Dengan menggunakan pendekatan maqāṣidī sebagai basis interpertasinya,
peneltian ini juga berusaha mengungkap mana yang menjadi tujuan utama
(maqāṣid awaliyyah) dan mana tujuan sekunder (maqāṣid tābiiyyah) yang
mendasari pesan Tuhan. Juga untuk mengetahui apa illatnya. Penelitian ini
menemukan menemukan bahwa tafsir maqāṣidī memegang tiga prinsip utama,
yakni; prinsip pencarian al-maqṣūd ʻanhu, maksud yang ternarasikan dengan jelas
dalam naṣ. Prinsip kaidah al-ʻIbrah bi al-Maqāṣid dan prinsip kotekstualisasi
nalar teks yang menegaskan pentingnya reaktualisasi poin maqāṣid.
Berdasarkan hasil akhirnya, terkait analisis ayat muwālāt al-kuffār, penelitian ini menemukan: Pertama, nalar maqāṣid dan tujuan utama pelarangan
hubungan dengan non-Muslim itu karena permusuhan yang mereka lakukan pada
umat Islam, juga beberapa sifat buruk yang ada, sehingga dapat memberi dampak
negatif serta merugikan bagi umat Muslim. Kedua, adanya larangan ini guna
untuk menjaga kemaslahatan pribadi, maupun keseluruhan umat dan agama Islam,
juga pembangunan hubungan kemasyarakatan yang harmonis, Oleh karena itu jika
tidak ada indikasi demikian, maka hubungan kerjasama antar umat bergama itu
dipersilahkan, bahkan al-Qur’an menganjurkan persabahatan dengan mereka,
dalam kaitan pembinaan hubungan antar masyarakat. Ketiga, dari nalar ini
kemudian mengarahkan reaktualisasi poin maqāṣid bahwa pentingnya
menciptakan kemesraan antar umat beragama, pentingnya memantapkan
kesadaran pluralitas dan kemajemukan agama, budaya, suka bangsa dll,
melakukan tata kelola lembaga-lembaga keagamaan yang ada di Indonesia,
mengembangkan dialog antar pemeluk agama. Yang kesemuanya ini menjadi
kontruksi yang penting guna membangun paradigma toleransi dan persamaan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan dengan ini semakin menegaskan
bahwa misi utama yang diusung al-Qur’an dalam kehidupan bermasayarakat
adalah persamaan, toleransi, egaliterisme, kemanusiaan serta persaudaraan.
Bahwa perbedaan yang ada tidak boleh mengalahkan prinsip-prinsip ini. Inilah
yang menjadi semboyan NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, yang telah menganugerhkan kepada
manusia potensi-potensi dasar agar mampu bersyukur kepada-Nya, yakni dengan
senantiasa mengasahnya sehingga mampu memahami ayat-ayat Allah demi
kemaslahatan umat. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi
Muhammad Saw., keluarga, para sahabat serta seluruh pengikut setianya sampai
hari kiamat.
Skripsi dengan judul MUWĀLĀT AL-KUFFĀR DALAM QS. AL-
MUMTAHANAH (Upaya Membangun Toleransi dengan Pendekatan
Maqāṣidī) ini dimaksudkan untuk mengungkap pentingnya sikap toleran dalam
kehidupan bermasyarakat, khsusunya mengenai hubungan antar umat beragama,
antar aliran, antar madzhab dll. Penelitian ini bukanlah akhir perjalanan akademis
penulis, justru ini merupakan titik awal untuk melakukan kajian-kajian lain
dibidang keagamaan, khususnya tafsir yang lebih berbobot.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis merasa berhutang budi kepada
semua pihak yang telah mengulurkan bantuan, baik moril maupun materiil,
sehingga penyusunan skripsi ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu,
penulis perlu menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, secara
khusus, kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, H. Sudarto (alm) dan Hj. Masyfuatun yang
senantiasa melimpahkan kasih sayangnya dalam mendidik penulis, yang tidak
pernah lupa mendoakan, memberikan ridho, memotivasi penulis sehingga
xi
bisa sampai titik seperti sekarang ini. Semoga selalu dalam limpahan rahmat
serta magfiroh Allah SWT. Tak lupa untuk adik-adik penulis, Ma’ruf
Syamsul Arifin dan Muhammad Luthfi Hakim yang selalu memberikan
supoortnya, semoga selalu kuat dalam mencari ilmu dimanapun berada.
2. Bapak Dr. Ahsin Sakho’ M Asyroffuddin, MA, sebagai pembimbing penulis,
yang telah memberikan arahan, nasehat, bimbingan, serta koreksian terhadap
skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
3. Seluruh pimpinan fakultas Ushuluddin, bapak Dekan, Prof. Dr. Masri
Mansoer, MA, besera seluruh jajarannya, khusunya kepada Ibu Dr. Lilik
Ummi Kaltsum, MA, selaku ketua program studi ilmu al-Qur’an dan tafsir,
yang telah banyak memberi arahan&nasehat pada penulis, ibu Banun
Binaningrum, M.Pd, selaku sekertaris jurusan ilmu al-Qur’an dan tafsir
4. Seluruh dosen fakultas Ushuluddin, khususnya prodi di ilmu al-Qur’an dan
Tafsir yang telah mengajarkan dan memberikan ilmu serta informasi-
informasi ilmiah yang sangat berharga selama perkuliahan berlangsung.
Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat serta segala kasih sayangnya
kepada beliau-beliau semua, agar selalu sabar dalam memberikan arahan
kepada kami semua.
5. Kepada seluruh para asātīẓ serta para masyāyīkh perguruan Islam Matho’liul
Falah yang telah banyak berjasa kepada penulis, karena kepada beliau-beliau
lah penulis belajar sejak kecil, selalu memberikan do’a serta ridho untuk
semua alumninya (termasuk penulis) untuk selalu mengembangkan khazanah
kelimuan, semoga senantiasa diberikan kesehatan lahir dan batin untuk
mengajar para santri-santrinya. Khusus kepada abah K.H Ahmad Zakki Fuad
xii
Abdillah, selaku murabbi rūh, dimana penulis memulai ngaji dan setoran,
terima kasih tak terhingga atas segala nasihat yang selalu beliau sampaikan
kepada penulis, meski belum semua penulis bisa lakukan. Semoga Allah swt
selalu memberikan kesehatan dan menggangkat derajatnya. Jazākumullāh
ahsanaljazā.
6. Kepada Abah Dr. Ahmad Husnul Hakim MA, serta ibu Fadhilah Masrur MA,
yang nerupakan orang tua sosiologis, murabbi rūh, guru, dimana kepada
beliau berdualah penulis ngangsu kaweruh semenjak mulai sekolah di
Jakarta. Keuletan, kesabaran, uswah, nasihat serta wejangan-wejangan beliau
berdua sangat berarti bagi penulis, menjadikan penulis merasa sangat
beruntung dan tercover selama mondok di Elsiq. Untuk semua bentuk
kontribusi moril maupun materil semoga Allah memuliakan keduanya dan
mengangkat derajatnya. Jazākumullāh ahsanaljazā.
7. Bapak pimpinan Perpustakaan, khususnya di Perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi
al-Qur’an, yang telah memberikan banyak waktu bagi penulis sehinnga bisa
mengakses referensi-referensi yang berkitan dengan penelitian ini secara baik
dan lengkap.
8. Semua teman-teman serta saudara penulis yang ada dijakarta, khsusnya bulek
Iswatin, mbak Ainur, teman-teman KMF Jakarta, teman-teman Elsiq, teman-
teman peasntren bayt al-Qur’an, teman-teman IAT angkatan 2014, yang telah
memberikan masukan, ide, menjadi teman curhat, selalu ada saat suka dan
duka bagi penulis. Terima kasih atas segala support dan doanya, dan mohon
maaf atas kesalahan yang ada.
xiii
Akhirnya, sebagai kajian ilmiah, penulis sangat menyadari keterbatasan
kemampuan penulis, oleh karenya penulis sangat berharap adanya kritik yang
kontruktif agar kajian ini tidak melenceng dari nilai-nilai kebenarannya. Dan
kepada semua pihak yang telah membantu penulis, baik moril dan materil, penulis
hanya bisa mendo’akan semoga Allah memberi balasan yang setimpal. Amin
Ciputat, 17 Desember 2018
Arif Ubaidillah
xiv
DAFTAR ISI
COVER .............................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiv
BAB I: PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................ 10
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 12
F. Metodologi Penelitian .................................................................. 20
G. Sistematika Penulisan ....................................................................24
BAB II: TINJAUAN UMUM KONSEP TOLERANSI ................................ 26
A. Definisi Toleransi ........................................................................ 27
B. Term yang Menunjuk pada Toleransi dan Catatan Sejarahnya ..... 29
1. Dalam al-Qur’an .................................................................. 29
2. Dalam Hadis Nabi saw ......................................................... 33
3. Pada Masa Sahabat .............................................................. 39
C. Urgensi Toleransi dalam Kehidupan Sosial Masyarakat ............. 41
D. Ayat-ayat yang Terkait dengan Toleransi ................................... 42
xv
BAB III: PENDEKATAN MAQĀṢῙD DALAM KAJIAN TAFSIR ............ 56
A. Maqāṣid al-Syarīʻah, Maqāṣid al-Qur’ān dan Tafsir Maqāṣīdī ... 56
B. Kajian Maqāṣid dalam Catatan Sejarahnya ................................. 61
C. Urgensi dan Manfaat Pendekatan Maqāṣīd dalam Kajian Tafsir .. 73
D. Alur Interpertasi Tafsir Maqāṣīdī ................................................ 77
E. Contoh AplikasiTafsir Maqāṣīdī ................................................ 85
BAB IV: ANALISIS MAQᾹṢID TERHADAP AYAT MUWĀLĀT AL-
KUFFĀR DALAM Q.S AL-MUMTAHANAH DAN POIN
REAKTUALISASINYA................................................................. 88
A. Analisis terhadap ayat muwālāt al-kuffār .................................... 89
a. Larangan bermuwālāt al-Kuffār ............................................. 89
b. Kebolehan bermuwālāt al-Kuffār ........................................... 98
B. Reaktualisasi poin Maqāṣid dalam konteks Indonesia ................ 105
a. Kebolehan bermuwālāt al-kuffār .......................................... 105
b. Menciptakan Hubungan Baik Antar Pemeluk Agama ........... 106
c. Pemantapan Kesadaran Pluralitas .......................................... 108
d. Tata Kelola lembaga Keagamaan .......................................... 109
e. Dialog Antar Pemeluk Agama ............................................... 110
BAB V: PENUTUP ........................................................................................ 113
A. Kesimpulan ................................................................................ 113
B. Saran-saran ................................................................................ 115
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 116
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam, sejatinya memiliki prinsip dan konsep tentang toleransi yang
kuat dan matang, yakni tentang keadilan (al-‘adᾱlah), keseimbangan (al-
tawᾱzun) dan toleransi (al-tasᾱmuh) adalah beberapa contohnya.1 Konsep
tersebut adalah bagian dari paham ahl al-sunnah wa al-jamᾱ’ah (Aswaja)2
yang dominan dianut oleh umat Islam Indonesia.3
1 Kata al-‘adl dalam al-Qur’an terdapat di beberapa ayat sebagai berikut: Q.S al-Naḥl: 90,
Q.S al-Nisᾱ’: 135, Q.S al-Mᾱidah: 8, dan lain sebagainya.
{90غي يعظكم لعلكم تذكرون }إن هللا يمر بلعدل واإلحسان وإيتآئ ذي القرب وي ن هى عن الفحشآء والمنكر والب
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil
pelajaran” (Q.S al-Naḥl: 90)
األق ربني إن يكن غنيا أو فقريا يأي ها الذين ءامنوا كونوا ق وامني بلقسط شهدآء هلل ولو علىأنفسكم أو الوالدين و {135بعوا الوى أن ت عدلوا وإن ت لوا أو ت عرضوا فإن هللا كان با ت عملون خبريا }فاهلل أول بما فال ت ت
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan
kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-
Nisᾱ’: 135)
أق رب للت قوى وات قوا هللا إن هللا ال ت عدلوا اعدلوا هو يأي ها الذين ءامنوا كونوا ق وامني هلل شهدآء بلقسط وال يرمنكم شن ئان ق وم على أ با ت عملون } {8خبري
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-
kali kebencianmuterhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan.” (Q.S al-
Mᾱidah: 8)
2 Sebuah paham keislaman Sunni yang bersumber dari apa yang dirumuskan oleh Imam
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi di bidang akidah, mengikuti salah satu empat
madzhab di bidang syari’ah dan mengikuti al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi dalam bidang
tawasuf. Kemenag RI, Tafsir Tematik, Moderasi Islam(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-
Qur’an, 2012), h. 20 3 Kemenag RI, Tafsir Tematik, Moderasi Islam, h, 20
2
Melalui konsep tersebut, Islam diharapkan mampu membangun,
memotori sekaligus menghadirkan masyarakat yang berperadaban tinggi dan
luhur, sehingga mampu menciptakan kehidupan yang harmonis dan sesuai
dengan selogannya, yakni rahmat li al-‘alᾱmīn. Untuk inilah, masyarakat
harusnya dapat menjunjung tinggi prinsip persaudaraan dan menghapus segala
bentuk fanatisme golongan, karena tujuan dari masing-masing agama adalah
menciptakan tatanan sosial yang utuh di bawah naungan ketuhanan.4
Tentu menjadi tugas semuas umat muslim, yakni menjelaskan kepada
masyarakat bahwa nilai dan ajaran Islam yang sesungguhya adalah saling
menghormati perbedaan dan keragaman. Dewasa ini, konsep tersebut mulai
pudar di kalangan umat Islam – Indonesia khususnya, disebabakan oleh
berbagai isu dan kepentingan yang ada.5 Dalam tradisi keagamaan, banyak
ditemukan klaim eksklusif yang menyatakan bahwa hanya paham mereka
yang paling benar.6
Pemahaman secara teksualis terhadap ayat-ayat al-Qur’an adalah salah
satu penyebab paling dominan dalam paham ini. Setidaknya, ada 3 ayat al-
Qur’an7 yang sering dijadikan sebagai pendukung paham eksklusif tersebut,
sehingga menyebabkan Islam seakan-akan tidak ramah dengan agama lain.8
4 Moeslim Abdurrahman, Islam Transformstif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h.148 5 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama, (Ciputat:
Ikatan Alumni al-Azhar& Pusat Studi al-Qur’an, 2013), h. 250 6 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme,
(Yogyakarta: Lkis, 2011), h. 324 7 Q.S Al-Imran:19 Misalnya,
ين عند ٱإن ٱلد ل ٱلل سإ تلف ٱوما م لإ ي ٱءهم بعإد ما جا ب إل من لإكت ٱ لذين أوتوا ٱخإ فرإ بـ ا بيإنهمإ لإعلإم بغإ فإن ٱت اي ومن يكإ لل
سريع ٱ لإحساب ٱلل
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-
orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena
3
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi diartikan sebagai
sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.9
Sedangkan dalam Bahasa Arab modern, toleransi disebut dengan kata al-
tasᾱmuḥ atau al-samᾱḥah. Kata al-samᾱḥah, maknanya berkisar pada;
berbaik hati dan memberi secara dermawan dan dengan niat mulia; mudah;
taat dan tunduk; kelapangan hati.10
Al-Tasᾱmuḥ adalah sikap toleran yang selalu menghargai perbedaan
cara pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat.11 Sedangkan
prinsip toleransi, berfungsi untuk memastikan kehidupan yang damai dan
sejahtera. Hal ini merupakan cerminan dari kehendak Allah Swt,untuk
menjadikan Islam sebagai agama yang damai dan mampu mendamaikan;
kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka
sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Q.S Al-Imran: 85
ل ٱومن يبإتغ غيإر سإ ءاخرة من ٱا فلن يقإبل منإه وهو فى م دين لإ سرين لإخ ٱلإ
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di
akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
dan Q.S Al-Maidah: 3
ت عليإكمإ نعإمتى ورضيت لكم ٱ ملإت لكمإ دينكمإ وأتإممإ م أكإ ل ٱلإيوإ سإ مصة غيإر متجانف ٱفمن ا م دين لإ طر فى مخإ ثإم ضإ فإن ل
غفور ٱ حيم لل ر
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 8 Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci, Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap
Agama Lain, Terj. R.Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 84 9 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 1477 10 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama, h,252 11 Soelaiman Fadeli dan Muhammad Subhan, Antologi NU: Sejarah-Istilah-Amaliyah-
Uswah, (Surabaya: Khalista, 2007), h. 13
4
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Saw., ketika mendamaikan
kaum al-Muhᾱjirīn dan al-Anṣᾱr12 dan antara suku Aus13 dan Khazrᾱj.14
Kata al-tasᾱmuḥ atau samaḥah dan segala derivasinya, tidak
ditemukan dalam al-Qur’an. Sedangkan dalam ḥadīṡ, dapat ditemukan dalam
ungkapan,“Ismaḥ yusmaḥ laka” (permudahlah, niscaya anda akan
dipermudah); juga dalam ungkapan “al-samaḥ rabaḥ” (memudahkan dalam
segala sesuatu akan menguntungkan pelakunya).15 Meskipun tidak ditemukan
dalam al-Qur’an, makna toleransi – seperti yang dikemukan sebelumnya, bisa
diidentifikasi dengan kata kunci seperti al-mawaddah, ar-raḥmah, al-‘afw,dan
lain-lain.16
Tidak kurang dari 6236 ayat 17 dan terbagi menjadi 114 surat,18 tidak
ada satupun teks yang secara tegas menyebut tentang toleransi, seperti yang
sudah penulis singgung di atas.Akan tetapi dapat diketahui melalui indikasi-
indikasi tentang toleransi yang biasa dipahami secara inplisit dari ayat-ayat
12 Merupakan sebutan untuk suatu kaum yang menerima hijrah Nabi Muhammad
Saw dari Makkah menuju Madinah. Sesampainya di Madinah, mereka menyambut Nabi dan
kaum Muhajirin dengan baik dan membantu perjuangannya. Hal ini karena sebelumnya telah ada
sebagian penduduk Madinah yang mengunjungi Makkah untuk menjadi pengikut Nabi
Muhammad. Lihat Juga M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan
Hadits-hadits Shahih(Jakarta: Lentera Hati, 2011) 13 Aus Dan Khazraj salah satu kabilah Arab yang tinggal di Madinah pada masa awal
penyebaran agama Islam. Nenek moyang Bani Aus berasal dari daerah Yaman, yang hijrah ke
Yathrib (nama lama Madinah) setelah terjadi bencana pecahnya bendungan Ma'rib. Sebelum
dipersaudarakan melalui piagam Madinah, kedua kabilah ini salinhg berlawanan satu dengan yang
lain, dan setelah masuk Islam keduanya disebut sebagai kaum Anshar. 14 Kemenag RI, Tafsir Tematik:Moderasi Islam, h. 36 15 Ibnu Atsir, al-Nihayah Fii Gharib al-Hadits wa al-atsar, (Beirut: Maktabah al-Ilmiah,
1979), v.2, h. 398 16 Mukhlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama, h. 252 17 Moh Zahid,“Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Jumlah Ayat Al-Qur’an dan
Implikasinya Terhadap Penertiban Mushaf Al-Qur’an di Indonesia,” Nuansa IX no. 1 (Januari-
Juni 2012), h. 27 18 Pendapat lain mengatakan bahwa jumlah surat dalam al-Qur’an berjumlah 113, yakni
dengan menggabungkan surat al-Anfᾱl dan surat al-Barᾱah menjadi satu. Lihat, Imam Jalᾱl al-Dīn
‘Abd al-Rahmᾱn bin Abī Bakr al-Suyūṭī, al-Itqᾱn Fī ‘Ulūm al-Qur’an (Bairut: Dᾱl al-Kuṭb al-
Ilmiyah, 1971), h. 100
5
tertentu dan juga dari pembacaan kata kunci terkait. Umumnya, yang sering
dijadikan rujukan adalah Q.S al-Baqarah:256,19 Q.S al-Hujurᾱt:13,20 dan Q.S.
al-Mumtahanah: 8-9.21 Meskipun ada ayat lain, tapi ayat-ayat inilah yang
sering muncul kepemurkaan jika terkait dengan topik ini.
Terkait penafsiran Q.S al-Mumtahanah, sudah banyak para mufassir
telah membahasnya secara luas dan terperinci.Sebagaimana dikutip oleh M.
Quraish Shihab,“...Sayyid Quṭb menjelaskan bahwa Surat Al-Mumtahanah
merupakan salah satu rangkaian dari pendidikan al-Qur’an–guna membentuk
masyarakat Islam yang diridhai oleh Allah Swt. Dari sini ditemukan bahwa
uraian pertama, tentang bagaimana seharusnya sikap terhadap musuh
19Al-Qur’an menyatakan:
ين ٱراه في إك ل ش ٱد تبين ق لد ل ٱد من لر ٱب فر فمن يك غي فقد ٱب من غوت ويؤ لط ل قى وث ل ٱوة عر ل ٱسك ب تم س ٱلل
سميع عليم ٱو نفصام لها ٱ لل“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui”
20Al-Qur’an menyatakan:
ن ذكرن لناس إنا خلق ٱأيها ي أت ٱعند كم رم إن أك اإ ئل لتعارفو ا وقبا شعوب كم ن وجعل وأنثى كم م ٱإن كم قى لل لل
عليم خبير“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yan g paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
21Al-Qur’an menyatakan:
عن ٱكم هى ل ين ين ولم ٱفي تلوكم يق م لذين ل ٱلل ن دي يخ لد وهم ركم رجوكم م يحب ٱإن هم اإ إلي سطو وتق أن تبر لل
عن ٱكم هى إنما ين ٨سطين مق ل ٱ ين وأخ ٱفي تلوكم لذين ق ٱلل ن دي لد أن راجكم إخ هرواإ على وظ ركم رجوكم م
ومن يتولهم هم تولو ل ٱئك هم فأوإ
٩لمون لظ “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
6
Allah⎯walaupun mereka adalah kerabat. Hal ini sengaja digarisbawahi
karena dalam tradisi Jahiliyah; dimana ikatan kekeluargaan dan kesukuan
sangat kental sampai-sampai dikenal ketika itu ungkapan yang menyatakan:
“Bantulah saudaramu, baik ia menganiaya maupun teraniaya.”22
Sementara itu, M. Quraish Shihab sendiri menyebut bahwa kasus
utama yang diuraikan surah ini adalah soal hubungan kasih sayang. Dalam
menafsirkan Q.S al-Mumtahanah, Shihab menggunkan metode tahlīlī,
memulai kajiannya dengan masuk ayat demi ayat, setiap ayat yang dipenggal,
teks arabnya ditulis lalu diterjemahkan. Di bawah teks terjemah diberikan
eksplorasi secara luas atas ayat yang di kaji, kemudian ayat-ayatnya
dikelompokkan pada beberapa kelompok ayat, di warnai dengan aspek
linguistik yang cukup kental serta munᾱsabah antar ayat.23
Salah satu ayat yang sering dikutip untuk bertindak intoleran terhadap
non-muslim adalah Q.S al-Fatḥ:29 yang berbunyi:
ن هم ت راهم ركعا سجدا ي رسول هللا والذين معه أشدآء على الكفار رحآء ب ي ت غون ف ممد ضال ب
اإلجنيل م ن هللا ورضوان سيماهم ف وجوههم م ن أثر السجود ذلك مث لهم ف الت وراة ومث لهم ف
م الكفار وعد كزرع أخرج شطئه ف ئازره فاست غلظ فاست وى على سوقه ي عجب الزراع ليغيظ ب
هم مغفرة وأجرا عظيما هللا الذين ءامنوا وعملوا الصالات من
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
22 Sayyid Quthb, Fii Dzilal al-Qur’an,(Beirut: Dār al-Syurūq, 1412 H), h.494 h. 570-580 23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, V.13
(Ciputat: Lentera Hati, 2011),, h. 583-587
7
mereka: kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya maka
tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan
tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekorang-orang mu'min).Allah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka
ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S al-Fatḥ: 29)
Q.S al-Fatḥ turun dalam konteks Perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena
itu, memahaminya hanya terbatas pada ayat terkahir saja, sangat tidak cukup.
Hal ini dikarenakan untuk dapat memperoleh pemahaman yang komprehensif,
harus memahami keseluruhan ayatnya, juga tentang perjanjian Hudaibiyah.
Inilah yang dilakukan oleh al-Alusi24 dalam tafsirnya,25 yang harus
menceritakan panjang lebar tentang perjanjian Hudaibiyah sebelum
menjelaskan potongan ayat 29 itu.
Kesalahpahaman akibat gagalnya memahami pesan utuh terhadap ayat
ini, serta terpakunya pada aspek tekstual, seringkali menjadi potensi timbulnya
gesekan sosial dalam masyarakat; khsususnya di Indonesia yang dikenal
dengan keberagamannya. Bahkan, ayat ini sering di salah artikan sebagai
keharusan bertindak keras terhadap orang kafir. Akhir-akhir ini sebuah
fenomena aneh banyak ditemui, bahwa sebagian Muslim memasang wajah
24 Nama lengkapnya adalah Mahmud bin Abdillah bin Muhammad bin Darwisy al-
Husaini al-Alusi Syihab al-Din al-Shana, salah satu mufassir klasik yang mu’tabar dijadikan
rujukan ulama sesudahnya 25 Ruh al-Maani, sebuah kitab tafsir dengan corak isyari (sebu ah pendekatan penfasiran
dengan cara menguak dimensi makna batin ayat al-Qur’an berdasar isyarat atau ilham dan ta’wil
sufi. Lihat juga, Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011), h. 75
8
yang angker kepada non-Muslim atau kepada sesama Muslim yang mereka
anggap sudah keliru bahkan mereka anggap kafir. Tak ada senyum dan sikap
ramah yang menjadi ciri khas orang Indonesia. Singkatnya, tindakan apa saja
yang dilakukan oleh orang kafir dicurigai dan ditolak dan semua hal yang –
yang mesikipun belum tentu benar – dari sesama Muslim diterima begitu
saja.26
Ini terjadi karena belakangan ini,muncul tradisi dalam pengambilan
hukum berupa penyandaran hukum hanya kepada lafal ẓahir al-Qur’an, tanpa
melibatkan substansi dan nalar wahyu, sehingga kesimpulan yang dihasilkan
terbatas dan cenderung kaku. Bahkan kadang bertentangan dengan akal dan
realitas. Model yang demikian ini dikenal dengan paham literalis. Model ini
tak hanya berwajah satu, tetapi bervariasi dan beragam sampai kepada model
yang paling ekstrem yang melahirkan radikalisme dan terorisme.27
Kenyataan inilah yang kemudian menjadi latar belakang para pemikir
Islam kontemporer bergerak dalam rangka me-reaktualisasi ajaran Islam,
dengan menawarkan sebuah metode pendekatan yang baru, salah satuya
dengan pendekatan teori maqᾱṣidī dalam memahami teks agama; sebuah
pendekatan dengan cara pandang pencarian nilai, maksud, dan ke-maṣlaḥat-an
dalam sebuah ayat atau mengalihkan pandangan pada pencarian maqᾱṣīd al-
Qur’an. Sebuah pendekatan penafsiran yang patut diketengahkan saat ini
karena menitikberatkan pada nalar maṣlaḥat daripada nalar teks. Dengan
26 Nadirsyah Hosen, Tafsir Al-Qur’an Di Medsos; Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat
Suci Pada Era Media Sosial,h,115 27 Kemenag RI, Maqasidusy-Syari’ah: Memahami Tujuan Utama Syari’ah, (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2013), h. 301
9
pemikiran yang seperti ini kemudian muncul inisiatif untuk memahami ayat-
ayat al-Qur’an sesuai dengan tujuan ketetapan syari’at (maqᾱṣīd al-syarī’ah).
Dari sini selanjutnya berkembang pemikiran perlunya tafsir yang sesuai
dengan maqᾱṣīd al-syarī’ah atau maqᾱṣīd al-Qur’an, yang kemudian disebut
tafsīr al-maqᾱṣīdī.28
Setidaknya ada tiga landasan penting dalam pendekatan maqᾱṣīdī,
Pertama, landasan keniscayaan teks. Setiap ayat atau doktrin teks selalu
memuat poin ‘illat-maqᾱṣīd. Poin ini hadir untuk mewadahi hukum tuhan dan
konsep moral, sehingga keduanya bisa dijembatani dengan baik. Pendekatan
maqᾱṣīd ini hadir dengan ruang kemanusiaan atau kemaslahatan hamba
sebagai acuannya. Kedua, landasan keniscayaan realitas. Tafsir maqᾱṣīdī
dilandasi pada kesadaran atas realitas yang majemuk dengan segala
kompleksitasnya yang menginginkan kebaruan hukum. Tiga, landasan
keniscayaan hukum alam. Landasan ini menekankan pada kesadaran atas
kesenjangan konteks dan perkembangan zaman dalam kajian al-Qur’an.29
Dari tiga landasan ini kemudian melahirkan prinsip tafsir maqᾱṣīdī
yang tercakup dalam beberapa poin berikut: Pertama, prinsip penafsiran. Bagi
tafsir maqᾱṣīdī, memahami al-Qur’an adalah mencari maksud Tuhan yang tak
terkatakan (al-maqṣud ‘anhu), yang tidak ternarasikan dengan jelas dalam
sebuah ayat. Kedua, prinsip kaidah tafsir. Sebagaimana terbangun dalam nalar
fiqh klasik, tafsir maqᾱṣīdī memegang teguh kaidah al-ibrah bi al-maqᾱṣīd lᾱ
bi al-alfᾱẓ. Ketiga, prinsip kontekstualisasi nalar teks. Prinsip ini menegaskan
28 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, Jurnal Suhuf, vol 9 No 2,
Desember 2016, h. 297 29 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, h. 297-301
10
fungsi tafsir maqᾱṣīdī dalam merekontekstualisasi dan reaktualisasi ajaran al-
Qur’an. Prinsip ini dimulai dengan dekontekstualisasi30 terlebih dahulu,
setelah itu baru melakukan rekontekstualisai dengan melabuhkan prinsip-
prinsip dasar Islam ditempat dan kurun tertentu mufassir. Dengan prinsip
seperti ini tafsir dengan metode maqᾱṣīdī sebagai pendekatannya merupakan
pisau analisis untuk mengembangkan nilai-nilai naṣ yang terbatas, dan sebagai
doktrin, akan mewujudkan ajaran Islam yang memberi kedamaian bagi
pemeluknya.31
Dari landasan dan prinsip inilah penulis mencoba meneliti dan
menganalisis tema-tema hubungan antar umat bergama yang ada dalam Q.S
al-Mumtahanah yang berkahir pada tujuan pencapaian sikap toleran yang
harus dipegang teguh dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, kajian yang penulis lakuakan terhadap ayat-ayat
muwālāt al-kuffār dalam Q.S al-Mumtanah dengan menggunakan pendekatan
maqāṣid melalui beberapa alur yang dibangun, diharapkan menghasilkan
sebuah penafsiran yang bisa mencerminkan Islam yang santun dan membawa
pada pemahaman yang inklusif.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang terlalu melebar, penulis hanya
membatasi kajian ini pada toleransi dalam Q.S al-Mumtahanah. Sehingga
rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
30 Yaitu sebuah langkah yang melepaskan teks dari konteks kearabanya pada masa awal. 31 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, h. 300-301
11
1. Bagaimana analisis maqāṣid terhadap ayat-ayat muwalālat al-
kuffār dalam Q.S al-Mumtahanah
2. Bagaiamana reaktualisasi poin maqᾱṣīdnya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini, di antaranya:
1. Mengetahui maksud utama, tujuan dari ayat yang terkandung dalam
Q.S. al-Mumtahanah dan nalar maqᾱṣīd -nya.
2. Mereaktualisasikan poin maqᾱṣīd yang terkandung dalam Q.S. al-
Mumtahanah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan mampu untuk menggali konsepsi toleransi dalam Q.S. al-
Mumtahanah
b. Menelusuri dan menggali nalar maqᾱṣīd dalam kajian tafsir,
khususnya pada tema muwalālat al-kuffār dalam Q.S. al-Mumtahanah.
2. Manfaat Praktis
Adapun secara praktik penelitian ini diharapkan mampu untuk
memberikan wawasan dan penngetahuan ilmiah kepada para akademisi
tentang kosepsi toleransi dalam Q.S. al-Mumtahanah. Diharapkan juga
skripsi ini bisa menjadi acuan dalam kajian tafsir dengan pendekatan
maqᾱṣīdī atau yang lebih dikenal dengan tafsir maqᾱṣīdī.
12
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai konsep toleransi dalam kajian ini bukanlah hal
yang baru. Beberapa karya ilmiah baik berupa buku, jurnal, disertasi, tesis
telah memabahas toleransi sebagai kontribusi terciptanya sikap saling
memahami, mengenal, saling menghargai untuk mencapai cita-cita bersama
dalam lingkup kenegaraan. Kaitannya dengan pendekatan maqᾱsīdī memang
masih belum banyak ditemukan, tapi beberapa penelitian yang penulis
cantumkan berikut bisa dikatakan berkaitan dengan itu, di antaranya:
1. Skripsi Nur Lu’luil Maknunah, Konsep Toleransi Beragama dalam
al-Qur’an (Studi Komparatif Atas Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-
Nur) (2016).32 Skripsi ini berangkat dari maraknya ketimpangan
dalam hubungan umat bergama di Indonesia, yang mencakup
ketimpangan intra-agama dan antar-agama, sehingga menciptakan
citra buruk umat Islam Indonesia. Dari kenyataan seperti itu, ia
agaknya ingin memformulasikan ulang ajaran-ajaran toleransi
beragama melalui khazanah keilmuan Tafsir Nusantara. Dengan
pemilihan tafsir nusantara ini, diharapkan mampu menjawab
problem-problem yang ada di Indonesia dan relevansinya dengan
keberagamaan. Dalam penelitian ini, ia mengungkapkan semua
ayat-ayat tentang toleransi dalam al-Qur’an dari berbagi
aspeknya.Dengan menggunakan metode komparasi dua mufassir
nusantara, ia berhasil mengungkapkan bahwa konsep yang
32 Nur Lu’lu’il Maknunah, Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur), Skripsi S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2016
13
ditawarkan oleh Buya Hamka dalam tafsirnya, lebih didasarkan
pada perilkau keseharian (mu’ᾱmalah). Toleransi yang dibangun
Hamka, tidak mencampuradukkan antar keyakinan keagamaan.
Menurutnya, Keyakinan dalam beragama; berbeda esensinya,
sehingga ia menekankan toleransi hanya ada dalam praktik
mu’ᾱmalah, seperti tolong menolong, menghargai pemeluk agama
lain, mengasihi sesama, dan lain-lain. Di sisi lain, Hasbi al-Ṣiddiqī
dalam tafsirnya mengemukakan bahwa toleransi meliputi etika
bergaul, hukum sosial serta ber-mu’ᾱmalah sesuai keyakinan
agama yang dianutnya. Nur mengungkapkan bahwa dalam
memutuskan konsep toleransi ini, Hasbi lebih detail karena sampai
pada tahap apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang dalam
toleransi itu. Sehingga apa yang tercermin dari Hasbi, cenderung
lebih ketat dalam memutuskan konsep toleransi.
2. Rahmad Nurdin dalam tesisnya, Hubungan Antar Umat Beragama
Dalam Q.S. Al-Mumtahanah (2016).33 Raḥmat dari awal
menyadari bahwa Islam sebagai agama yang mayoritas dianut di
Indonesia, seharusnya mampu menjadi pemersatu, membangun
perdamaian,dan kerja sama antar masyarakat. Namun faktanya,
justru menunjukkan sebaliknya. Sikap itu menurutnya, muncul
karena masih ada umat Islam yang memahami teks al-Qur’an
hanya mencukupkan pada sisi tekstual, tanpa masuk lebih jauh ke
dalam makna dan maksud teks tersebut. Kajian ini mencoba untuk
33 Rahmat Nurdin, Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Q.S Al-Mumtahanah, Tesis
S2, UIN Kalijaga Yogyakarta, 2016
14
memahami masalah yang muncul dari hubungan antar umat
beragama, dengan menjadikan Q.S al-Mumtahanah sebagai
objeknya. Ia membahas secara tematik terkait surah ini, kemudian
menggunakan analisis kontekstual yang dikenalkan oleh Abdullah
Saeed, yang mempunyai empat dimensi, yakni analisis linguistik,
konteks sosio-historis, masa pewahyuan dan makna otentik ayat.
Kemudian dibahas juga relevansi makna otentik ayat dalam
konteks Indonesia. Dari sini ia menemukan bahwa pertama, dari
analisis linguistik atas beberapa ayat Q.S al-Mumtahanah,
mengarahkan dalam mengungkap makna otentik dari masing-
masing kata kunci, ditemukan bahwa ada makna otentik yang
menjadi spirit al-Qur’an terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam
hubungan antar umat beragama. Kedua, makna otentik ayat Q.S.
al-Mumtahanah, meliputi perkawinan beda agama, persahabatan
dengan non muslim dan toleransi, menunjukkan adanya larangan
nikah beda agama – guna menjaga kemaslahatan agama dan
membangunkeluarga yang harmonis dan penegasan bahwa tidak
ada larangan menjalin persahabatan dengan non muslim yang tidak
memusuhi Islam. Adanya hak kebebasan dalam memilih keyakinan
agama, serta kerja sama antar umat beragama merupakan sesuatu
yang diperbolehkan.
3. Buku Fikih Hubungan Anta ragama, karya Sayyid Agil Husain al-
Munawwar.34 Buku ini membahas beberapa hal pokok mengenai
34 Said Agil Husain al-Munawwar, Fikih Hubungan Antaragama, (Jakarta: Ciputat Press,
2003)
15
bagaimana wacana kerukunan umat beragama dapat tersebar pada
semua lapisan masyarakat, dan bagaimana menciptakan kemesraan
agama. Buku ini menjadi salah satu acuan penting penulis
bagaimana mengungkap dan mewujudkan nilai toleransi dalam
kehidupan kemasayarakatan dan kenegaraan yang kaya akan
kebhinekaan dan keragaman budaya, agama, etnis, suku dll.
4. Buku Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi
Berbasis al-Qur’an. Buku karya Abd. Moqsith Ghozali ini
mulanya adalah disertasi dengan judul Perspektif al-Qur’an
Tentang Pluralitas Umat Beragama tahun 2007. Dengan
pendekatan mauḍūī, dipadu dengan kajian ꞌuṣūl al-fiqh dan
hermeneutika, ia menjelaskan bagaimana menyikapi hal-hal yang
terkait dengan pluralitas agama, seperti kebebasan agama,
toleransi, perintah mencari titik temu, larangan mencela
sesembahan pemeluk agama lain, hubungan antar umat beragama
dll.
5. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme. Buku karya Zuhairi Misrawi ini berisi tentang
pesan agung ak-Qur’an guna terwujudnya peradaban toleransi yang
berlandasakan al-Qur’an. Sangat relevan dalam konteks ke-
Indonesia-an, khususnya dalam memperkokoh dan memantapkan
spirit kebangsaan dan kenegaraan, serta memperkuat pandangan
bahwa Islam adalah agama yang hadir untuk memberi rahamt bagi
semesta.
16
6. Disertasi dengan judul, Hubungan Antaragama dalam Tafsir al-
Qur’an (Studi Tafsir al-Misbah) oleh Karman.35 Dalam uraiannya
dia memaparkan bahwa, ada enam tema hubungan antarumat
beragama yang ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab, yakni
berkaitan dengan hakikat agama, keimanan, kebebasan beragama,
dialog dan kerjasama antarumat, serta perkawinan beda agama.
Dalam kesimpulan analisinya, ia menjelaskan bahwa penafsiran M.
Quraish Shihab belum sepenuhnya dapat mentransformasikan
kehidupan keagaman di Indonesia.
7. Skripsi Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Suatu Kajian
Tahlili Terhadap Q.S. al-Mumtahanah:8-9), karya Arlan.36 Dari
penuturannya, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah,
pertama, menjelaskan esensi kerukunan beragama. Kedua,
menjelaskan wujud kerukunan beragama dalam ayat 8-9 Q.S al-
Mumtahanah. Ketiga, menjelaskan syarat dan urgensi kerukunan
beragama dalam surah itu. Ia kemudian memperoleh data bahwa
kerukunan meruapakan keadaan yang baik, yang damai, tentram,
saling toleransi antara masyarakat se-agama maupun berbeda
agama yang diwujudkan pada sikap saling menghargai,
menghormati, bersedia menerima perbedaan keyakinan orang dan
kelompok lain. Dengan konsen tahlīlī pada ayat 8-9, dalam
35 Karman, Hubungan Antaragama dalam Tafsir al-Qur’an (Studi Tafsir al-Misbah),
Disertasi, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012 36 Arlan, Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama (Suatu Kajian Tahlili Terhadap Q.S.
al-Mumtahanah:8-9), Skripsi, UIN Alauddin Makassar, 2017
17
penelitian ini kurang hirau pada ayat lain dalam surah yang sama
yang mempunyai indikasi masalah yang sama.
8. Sementara terkait dengan pendekatan maqᾱsīdī penulis temukan
beberapa, diantaranya adalah, penelitian yang dilakukan oleh
seorang mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakata bernama
Azmil Mufidah, dia menulis skripsi dengan judul: Tafsir
Maqᾱṣīdī: Pendekatan Maqᾱsīd Syarī’ah Thahir Ibn ‘Asyur dan
Aplikasinya Dalam al-Taḥrīr wa al-Tanwīr.37 Dalam tulisan ini,
Azmil berusaha mengaplikasikan pendekatan maqasid dalam tafsir
Ibnu Asyur. Dia menemukan bahwa dalam tafsirnya, Ibnu Asyur
menafsirkan ayat memalui analisis teks hingga dapat diambil nilai-
nilai universalnya sebagai tujuan hukum, karena tak mungkin allah
mensyariatkan suatu hukum tanpa mengandung tujuan (maṣlaḥat).
Azmil kemudian menyatakan bahwa pendekatan maqᾱsīd
memberikan pengetahuan baru tentang metodologi pendektan
dalam kajian tafsir, sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya
sebagai jalan tengah pruduk tafsir yang selama ini tampak
ideologis menurutnya.
9. Jurnal Mutawatir vol 6, edisi Juli-Desember 2016, dengan judul
Epistimologi Tafsir maqāṣidī, karya Kusmana. Dalam tulisan ini ia
menjelaskan perkembangan Tafsir maqāṣidī yang mengikuti tradisi
hukum Islam sebagai induknya. Menurutnya maqāṣid dan Tafsir
memiliki perhatian yang sama, oleh karena itu ia ingin
37Azmil Mufidah, Tafsir Maqasidi (Pendekatan Maqasid Syari’ah Tahir Ibnu Asyur dan
Aplikasinya dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2013
18
mengintegrasi keduanya dalam metodologi dan aplikasi tafsir
sehingga bisa Nampak bangunan epistimologinya. Ia juga
memaparkan pemikiran empat orang sarjana kontemporer,
Muhammad Abduh, Rasyid Riḍā, Thāhir Ibn ʻAsyūr dan Jasser
Auda dalam upaya mereka melalukan konspetualisasi dan aplikasi
maqāṣid dalam ranah tafsir. Ia juga mengatakan bahwa pergerakan
pemikiran maqāṣid al-Syarīʻah yang termasuk didalamnya tafsir
maqāṣidī merupakan upaya kontruksi islamisasi ilmu pengetahuan.
Secara sumber menurutnya, tafsîr maqāṣidī dapat dikelompokkan
ke dalm kategori corak tafsîr bi al-ra’y yang berupaya untuk
mencari dasar dan mencari keleluasaan yang diperlukan untuk
kemandirian akal dalam konstruksi pemahaman sumber
keagamaan.38
10. Kemudian apa yang ditulis oleh Syamsul Wathani dalam jurnal
Suhuf kemenag RI yang terbit pada bulan Desember 2016 yang
berjudul “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqᾱṣīdī: Pendekatan Sistem
Interpertasi”, dalam penelitian ia memfokuskan bagaimana
bentuk, kerangka, struktur, dan paradigma tafsir maqāṣidī sehingga
bisa menajdi sebuah pisau analisis yang tajam. Penelitian ini
memberikan simpulan pada tiga garis pemahaman besar, salah
satunya adalah tentang: paradigma tafsir maqasidi merupakan cara
pandang terhadap al-Qur’an dan penafsirannya dengan konsep
maqāṣid al-Syarīʻah dengan titik berangkatnya. Tulisan menjadi
38 Kusmana, Epistimologi Tafsir maqāṣidī, Mutawātir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,
Volume 6, nomor 2, Desember 2016
19
acuan utama dan penting bagi penulis karena alur interpertasi
maqāṣidī yang ditawarkan dalam tulisan ini penulis jadikan pijakan
utama untuk mengumgkap maqasid yang ada dalam Q.S al-
Mumtahanah.39
11. Buku Metodologi Studi al-Qur’an, buku yang ditulis oleh tiga
cendekiawan muslim kontemporer Indonesia, Abd. Moqsith
Ghozali, Luthfi Assyaukanie dan Ulil Abshar Abdalla. Buku ini
memuat beberpa pandangan baru dalam berinteraksi dengan kitab
suci, khusus dibagian akhir buku ini memuat tawaran baru tentang
metodologi penafsiran al-Qur’an, yakni bagaimana menjadikan
Maqᾱsīd Syarī’ah sebagai rujukan utama, juga bagaiamana
membumikan sebuah kaidah alternatif yakni, al-ʻIbrah bi al-
Maqāṣid lā bi al-Alfaẓ.40
12. Tesis dengan judul Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan (Suatu
Pendekatan Maqāṣid al-Syarīʻah). Karya Mamluatun Nafisah ini
membahas tentang konservasi lingkungan dalam perspektif al-
Qur’an. Dari penelitian ini ia ingin mengukuhkan bahwa
konservasi lingkungan merupakan bagian dari uṣūl al-syarīʻah
yang harus perhatikan dengan sungguh-sungguh bagi manuisa
sebagai mandataris Tuhan di Bumi ini. Dengan pendekatan yang ia
pakai ia ingin menatakan bahwa perusakan lingkungan merupakan
sama saja pengerusakan pada prinsip-prinsip Maqāṣid al-Syarīʻah,
39 Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqāṣidī” Jurnal Suhuf, vol. 9 No.2,
Desember 2016 40 Abd. Moqsith Ghozali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009)
20
apalagi dewasa ini hifẓ al-bī’ah sudah dimasukkan dalam
perkembangan Maqāṣid al-Syarīʻah kontemporer.
13. Disertasi yang ditulis oleh Arwani Syaerozi, di Universitas
Mohammed V Maroko tentang “al-Jᾱnib al-Maqᾱsīdī fī Istinbᾱṭ
al-Fiqh ‘inda Ilkiyᾱ al-Ḥarasi” (Maqᾱsīdal-Syarī’ah dalam proses
pengambilan hukum fikih: perspektif Ilkiya al-Ḥarasial-Syᾱfī’ī).
Secara detail, Syaerozi menguraikan pandangan Ali bin
Muhammad Ilkiya al-Ḥarasidalam maqᾱsīd al-syarī’ah, sejauh
mana ia menaruh menaruh perhatian pada sisi maqᾱsīd al-syarī’ah
saat menafsirkan al-Qur’an.
Dari beberapa keterangan diatas, sejauh ini belum banyak ditemui
sebuah kajian tentang toleransi yang berangkat dari penelitian dengan metode
tematik surah ini, apalagi penulis juga melakukan analisis ayat dengan
pendekatan maqᾱṣīd – yang dewasa ini mulai ramai diperbincangkan – yang
diharapkan mampu untuk memberikan penafsiran yang utuh dan menampilkan
paradigma baru yang sesuai dengan kemaslahatan universal yang jadi konsen
utama ajaran Islam itu sendiri.
F. Metodologi Penelitian
Ada enam aspek metodologi penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi
ini, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Dalam jenis penelitian dikenal dengan dua macam, yakni kuantitatif
dan kualitatif. Penelitian ini adalah termasuk yang terakhir disebut, yakni
21
kualitatif, yakni sebuah paham dalam ilmu pengetahuan dan filsafat yang
berasumsi bahwa penegtahuan yang benar adalah pengetahuan yang
didasarkan pada fakta-fakta positif yang diperoleh melalui penginderaan.41
2. Sumber data
Adapun data-data yang hendak diteliti terdiri atas data primer dan
sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini mencakup informasi-
informasi terkait dengan permasalahan yang penulis kaji, yakni penafsiran
terhdapap terkait muwālāt al-kuffār dalam kitab-kitab tafsir, misalnya
Tafsīr Ibn Āsyūr, Tafsir al-Syaʻrāwī, Tafsīr Ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Misbah
dan lain-lain.
Selain itu penulis juga menggunakan beberapa kitab bertema maqāṣid
sebagai sumber data primer. Seperti maqāṣid al-Syarīʻah al-Islāmiyyah
karya Ibn Āsyūr, Fiqh al-Maqāṣid karya Jasser Auda, Metodologi Studi al-
Qur’an karya Abd. Moqsith Ghozali dkk.
Selanjutnya, sumber data sekundernya adalah semua kitab, buku,
jurnal, disertasi, tesis, artikel yang dapat dijadikan penunjang dalam
penelitian ini untuk membantu menganalisa permasalahan yang dikaji.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Data yang tersaji dalam peneltian ini dikumpulkan berdasarkan tehnik
kepustakaan (library research), yakni sebuah tehnik pengumpulan data
dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literartur-
41 Eliys Lestari Pambayun, One Stop Qualitative Research Methodology In
Communication, (Jakarta: Lentera Ilmu Cendekia, 2013), h. 5
22
literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya
dengan masalah yang dietliti.42 Karena yang menjadi sumber penelitian
adalah bahan pustaka, tanpa melakukan survei maupun observasi. Maka
data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data-data yang
telah tersedia di ruangan perpustakaan.
4. Tehnik Analisis Data dan Langkah-langkah Penelitian
Untuk menganalisis data penelitian ini menggunakan metode tafsir
mauḍū’ī bi al-Surah (tematik surah), yakni model kajian tematik dengan
menjelaskan surah-surah tertentu, dengan menjelaskan penafsiran ayat-
ayat Q.S. al-Mumtahanah, dalam konteks apa, ayat tersebut turun, dan apa
pokok-pokok pikiran dalam Q.S. al-Mumtahanah, serta apa pesan
moralnya.43
Selain itu, penulis juga menggunakan pendekatan maqᾱsīd, yaitu
penelitian yang berusaha mendeskripsikan dengan jelas gambaran
maqᾱsīd al-Qur’an atau nalar maṣlaḥat yang menjadi prinsip dan
landasan bagi tafsir dengan pendekatan maqᾱsīd. Dari penjelasan landasan
dan prinsip tafsir maqᾱsīdī yang penulis jelaskan diatas, maka akan
didapati beberapa alur interpertasi al-Qur’an perpekstif maqᾱsīdī sebagai
berikut:44
a. Analisis kebahasaan. Dimulai dengan fokus pada kajian bahasa,
seperti: qath’i-dzanni, mujmal-mufassar dan lainnya. Ini penting
42 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), h.27 43 Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir, (Yogyakarta: Idea Press,
2014) h.61 44 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, h.307-310
23
untuk melihat maqasid secara sekilas dan melihat bagaimana ayat
al-Qur’an menempatkan maksudnya.
b. Analisis tematik-holistik. Istilah ini berangkat dari pandangan
bahwa al-Qur’an merupakan satu kesatuansehingga memerlukan
semuanya untuk dianalisis. Analisis tenatik-holistik sangat
diperlukan guna untuk menemukan tema, prinsip bahkan values al-
Qur’an yang mendasari semua pesan-Nya.
c. Kaidah al-ʻIbrah bi al-Maqᾱsīd. Inilah yang menjadi ciri khas
tafsir maqasidi untuk menjembatani beberapa pandangan pencarian
makna dalam tafsir.
d. Kekuatan nalar. Dengan ini, penalaran dalam episteme tafsir
maqᾱsīdī tidak hanya diletakkan sebagai alat tafsir, tapi juga
sebagai instrumen telaah kritis dengan mempertimbangkan aspek-
aspek sosio-kultural, peristiwa yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat dan dengan mengedepankan tujuan teks tersirat.
e. Reorientasi nᾱsīkh-mansūkh. Dengan menafikan nᾱsīkh-mansūkh,
tafsir maqᾱsīdī menawarkan pandangan bahwa ayat al-Qur’an
sebagai respon Allah kepada hamba-Nya dalam keadaan tertentu.
f. Kontekstual-filosofis. Dalam kerangka ini sebenarnya sama dengan
alur tafsir kontekstual. Namun penekanannya sedikit menusuk pada
pengamatan secara spesifik realitas syari’at pada masa awal,
kemudian merumuskan pengaplikasiannya dimana sekarang.
5. Tehnik Penulisan
24
Dalam penulisan penelitian ini, tehnik penulisannya mengacu pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
G. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai pembahasan yang sistematis maka penulisan terhadap
masalah yang disebutkan di atas, dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari:
Bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah,
rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, kajian pustaka serta sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tinjauan tentang toleransi, term yang merujuk pada
toleransi, catatan sejarahnya serta ayat-ayat yang terkait tema ini.
Bab III berisi tentang penjelasan pendekatan maqᾱsīd dalam kajian
tafsir, yang terdiri dari lima sub-bab, pertama, pengertian tafsir maqᾱsīdī.
Kedua, Kajian maqasid dalam catatan sejarah, Ketiga, urgensi dan manfaat
pendektan maqᾱsīd dalam kajian tafsir, Keempat, Alur interpertasi Tafsir
pendekatan maqasid, Kelima, contoh apliksinya.
Bab IV berisi tentang analisis maqᾱsīd terhadap ayat-ayat Q.S al-
Mumtahanah beserta poin rekatualisasinya. Dalam bab ini terbagi menjadi dua
sub-bab, yakni pertama, , analisis maqāṣid yang tehadap ayat bermuwalāt al-
kuffār.. Kedua, poin rekontekstualisasi dan reaktualisasi nilai maqᾱsīd dengan
tiga poin penting, kontekstualisai, dekontekstualisai dan rekontekstualisasi.
25
Bab V berisi penutup yang mencakup pokok-pokok penelitian yang
sekaligus menjadi jawaban bagi permasalahan yang menjadi inti dari kajian
ini. Bagian ini juga akan mengemukakan beberapa saran unutk penelitian
selanjutnya, serta daftar pustaka yang disusun secara alfabetis.
26
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TOLERANSI
Toleransi merupakan visi dari akidah Islam, yang harus disadari dengan
penuh dan di aplikasikan dalam kehidupan beragama. Hal ini guna terciptanya
kerukunan, keamanan, kenyamanan, dan kedamaian antar umat beragama.1
Bagi sebagian orang, saat ini bukanlah saat yang tepat untuk
mendiskusikan tentang toleransi. Sebab, untuk menghadapi berbagai gempuran
yang ada, penggunaan kekuatan dipandang lebih tepat, sedangkan sikap toleran
dianggap lemah dan tanda bahwa berkibarnya bendera putih (menyerah). Padahal
sebaliknya, toleransi merupkan salah satu hal yang paling penting dalam sejarah
agama Islam.2 Seperti firman Allah dalam Q.S Fuṣṣilᾱt: 343 yang menjelaskan
bagaimana sikap toleran itu dapat mengubah musuh kita menjadi kawan.
Berikut ini akan diungkap sedikit tentang makna toleransi dengan merujuk
sejumlah informasi dari al-Qur’an, hadis, serta fakta sejarah yang terjadi,
khususnya pada masa Rasulullah saw., dan para sahabatnya.
1 Muhammad Yasir, “Makna Toleransi Dalam al-Qur’an,” Jurnal Ushuluddin, vol. xxii
No.2 Juli, 2014 2 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, (Ciputat:
Ikatan Alumni al-Azhar& Pusat Studi al-Qur’an, 2013) h.249 3QS. Fuṣṣīlᾱt: [41]: 34
نه عداوة يم كأنه ول ح ول تستوي السنة ول السي ئة ادفع بلت هي أحسن فإذا الذي ب ي نك وب ي
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang
lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman
yang setia.”
27
A. Definisi Toleransi
Istilah ini berasal dari bahasa inggris “tolerance” yang berarti
membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa
memerlukan persetujuan.4 Sedang dalam KBBI, toleransi merupakan kata
yang mempunyai beberapa pengertian, yaitu: 1). Sikap atau sifat toleran,
2). Batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan, 3). Penyimpangan yang masih dapat diterima dalam
pengukuran kerja. Dalam bentuk yang tidak yang baku (toleran) bahkan
mempunyai makna yang lebih beragam, yaitu: bersikap atau bersifat
menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya
yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.5
Sedangkan dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, toleransi
disebut dengan al-tasᾱmuḥ (التسامح) atau al-samᾱḥah )السماحة(. Berasal dari
kata سمح ‘samaḥa’ yang maknanya meliputi: berbaik hati, memberi secara
dermawan, dan dengan niat mulia, mudah, taat, tunduk, kelapangan dada,
legitimasi.6
Secara terminologi, toleransi diartikan sebagai sebuah tindakan
pemberian kebebasan sesama manusia atau kepada masyarakat umum
untuk menjalankan keyakinan, mengatur hidup dan mengatur nasibnya
4 Said Agil Husein al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Agama, (Ciputat: Ciputat
Press, 2005) h.13 5 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016), h. 1477 6 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Cet. I;
Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996) h. 1083-1086.
28
masing-masing, selama dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu
tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan asas-asas terciptanya
ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat.7
Ahmad Zaki Badawi mendefinisikan toleransi sebagai sikap yang
menunjukan kesiapan untuk menerima berbagai pandangan dan perilaku
tanpa harus menyetujuinya. Kesiapan itu bisa berupa komitmen dan
penghormatan terhadap keyakinan, tradisi dan perasaan orang lain,
terlepas dari perbedaan warna kulit, ras, suku dan agama dan sebagainya.8
Dalam konteks pergaulan hidup antar umat beragama, toleransi
didasarkan pada kenyataan bahwa, setiap agama menjadi tanggung jawab
pemeluk agama itu sendiri dan mempunyai bentuk ibadah tersendiri yang
dibebankan serta menajdi tanggung jawab orang yang memeluknya. Atas
dasar itulah, maka toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama
bukanlah dalam masalah-masalah keagamaan, melainkan perwujudan
sikap keberagamaan pemeluk suatu agama dalam pergaulan hidup antara
orang yang tidak se-agama, baik dalam masalah-masalah kemasyarakatan
atau kemaslahatan umum.9
Alwi Shihab menyebutkan bahwa toleransi adalah sebuah upaya
untuk menahan diri agar tak terjadi konflik. Ia menekankan perlunya
membudayakan sikap keterbukaan, menghormati keberagaman agama dan
7 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai dasar
Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama (Surabaya: Bina Ilmu, 1979) h. 22. 8 Ahmad Zaki Badawi, Mu’jam Musthalahat al-Ulum al-Ijtima’iyyah (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1982) h. 22 9 Said Aqil Husin al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Beragama, h. 14
29
menerima adanya berbagai perbedaan, yang dibarengi dengan loyalitas dan
komitmen terhadap agama masing-masing.10
Sedangkan seorang pemikir progersif muslim Timur Tengah,
Abeed Al-Jabiri berkata bahwa toleransi adalah sikap pemikiran dan
perilaku yang berlandaskan pada penerimaan terhadap pemikiran dan
perilaku orang lain, baik dalam keadaan bersepakat atau berbeda dengan
kita. Intinya toleransi adalah menghormati orang lain yang berbeda.11
Dalam salah satu ḥadīṡ Rasulullah Saw, sikap kebergaman yang
baik disebut dengan al-ḥanifiyyah al-samḥah, karena memberikan
kemudahan dan tidak mempersulit. Jadi jelas bahwa toleransi terjadi dan
berlaku karena adanya perbedaan prinsip dan menghormati perbedaan atau
prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.12 Dengan berbagai
definisi di atas, maka toleransi menunjuk pada sikap atau sifat kerelaan
dan mudah menerima perbedaan.
B. Term yang Merujuk pada Toleransi dan Catatan Sejarahya
1. Dalam al-Qur’an
Kata al-tasᾱmuḥ atau al-samᾱḥah beserta derivasinya, memang
tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Sedangkan dalam hadis terdapat
ungkapan “ismaḥ yusmaḥ laka” (Permudahlah, niscaya anda akan
dipermudah), “al-samaḥ rabah (memudahkan dalam segala urusan akan
10 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung:
Mizan, 1999) h.67 11 Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran: teologi Kerukunan Umat Beragama
(Bandung: Mizan, 2001), h. 60 12 Said Agil Husein Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Agama, h.13
30
menguntungkan pelakunya). Meski tidak ditemukan dalam al-Qur’an,
makna toleransi yang mencakup makna-makna yang telah disebutkan di
atas, bisa dilacak melalui kata kunci atau term yang terkait seperti al-
raḥmah, al-‘afw, al-ṣafhu dan lain-lain.13 Berikut di antaranya:
i. Al-Raḥmah
Kata al-raḥmah terambil dari akar kata ra, ha dan mim yang
bermakna kelemahlembutan, kasih sayang dan kehalusan. Kasih
sayang (raḥmah) jika berasal dari manusia biasanya didahului oleh
rasa kasihan, iba, atau mungkin karena ingin mendapatkan sesuatu dari
yang dikasihinya. Berbeda jika itu berasal dari Allah, karena rahmat-
Nya diturunkan tanpa pandang bulu, kafir atau mukmin sama-sama
mendapat rahmat Allah. Kenabian itu pada hakikatnya adalah rahmat,
sebab misinya adalah membawakan ajaran langit yang penuh dengan
rahmat Allah untuk seluruh manusia.14 Allah berfirman: Dan Kami
tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi seluruh alam.15
ii. Al-‘Afw
Kata al-‘afw memiliki banyak makna dalam bahasa Arab, antara
lain: mengahapuskan atau menggugurkan yang berarti juga memberi
maaf, karena memaafkan berarti menghapus luka yang ada dalam hati.
Makna juga bisa berarti banyak dan berlebihan. Kata ini sendiri dengan
13 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.249 14 Al-Asfahani, Al-Mufradᾱt fī Gharib al-Qur’an (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2012), h.212 لمين15 ل لع رحمة كإلا Q.S Al-Anbiya’ [21]:107 .وما أرسلن
31
berbagai derivasinya terulang sebanayak 34 kali dalam al-Qur’an. Dari
sekian banyak derivasi itu tidak ditemukan satupun ayat yang
menganjurkan unutk meminta maaf, yang ada justru perintah untuk
memberi maaf.16 Seperti dalam firman Allah berikut:
أ ٱو بى قرأ لأ ٱا أول ت و لسعة أن ي ؤأ ٱو ل منكمأ فضأ لأ ٱتل أولوا ول ي
ه ٱجرين ف سبيل مهى لأ ٱكني و مسى لأ لل
فحو يصأ فوا ولأ ي عأ ولأ لكمأ ٱفر ون أن ي غأ أل تب ا غفورٱو لل ٢٢رحيم لل
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan
orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka
memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” Q.S Al-Nur [24]: 22
iii. Al-Ṣafh
Kata al-ṣafh dalam berbagai derivasinya, terulang sebanyak
delapan kali dalam al-Qur’an yang pada mulanya bermakna lapang,
kemudian berkembang menjadi kelapangan dada. Sehingga, berjabat
tangan disebut dengan muṣafaḥah karena dengan melakukannya
menjadi simbol keduanya berlapang dada. Dari delapan kali
penyebutannya itu, empat di antaranya didahului dengan perintah
memberi maaf.17
16 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.253
Q.S al-nūr [24]:22
فحو يص ول فوايع ول ٱفريغ أنتحبونألا ٱولكم للا حيم غفور للا ٢٢را
“dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin
bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
32
Al-Asfahani mengatakan bahwa, al-ṣafh kedudukannya lebih
tinggi daripada al-‘afw. Jika al-‘afw berarti mengahapus kesalahan
yang ada dalam lembaran, maka al-ṣafh berarti membuka lembaran
baru.18 Tentu saja berbeda antara lembaran kertas yang ada bekas
hapusan dengan lembaran yang baru. Kenapa lembaran kertas disebut
ṣafaḥah atau ṣaḥifah, itu karena keluasan dan kelapangannya.
Dalam salah satu firman-Nya, Allah menyebut kata al-ṣafh
berdampingan dengan salam.
هم وقل سلى ٱف م صفح عن
“Maka berpalinglah dari mereka dan katakanlah: Salam (selamat
tinggal)” Q.S al-Zukhrūf [43]: 89
Ayat ini adalah sebagai respon doa Nabi Muhammad yang
mengeluhkan kaumnya yang tidak beriman, “berlapang dadalah
mengadapi mereka, dan hindari segala sesuatu yang meyakitkan dari
mereka, serta katakan kepada mereka salam kedamaian unutk kalian.”
Ayat juga mengisyaratkan dengan jelas bahwa sikap lapang dada akan
Q.S al-Zukhrūf [43]: 89
م سل وقل هم عن فح ص ٱف ٨٩لمونيع ففسو “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: "Salam (selamat
tinggal)". Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).”
Q.S al-baqarah [2]: 109
ٱتييأ حتاى فحواص ٱوفواع ٱف ٱإناۦ رهبأم للا ١٠٩قدير ء شي ل كعلى للا“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Q.S al-hijr [14]: 85
ل لسااعةٱوإناف ٱفحص ٱفتية ٨٥جميلل ٱحلصا
“Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka)
dengan cara yang baik.”
17 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h. 254 18 Al-Asfahani, Al-Mufradᾱt fī Gharib al-Qur’an (Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2012), h.311
33
kedamaian, terutama bagi pelakunya, sebab telah hilang darinya
perasaan dendam serta keinginan untuk membalas.19
Dengan berbagai fakta di atas, sejauh ini harus diamini bahwa, al-
Qur’an adalah kitab suci yang mengampanyekan, mendorong, serta
mendukung penuh toleransi. Al-Qur’an hadir sebagai petunjuk dan
cahaya bagi umat manusia, yang dimaksud petunjuk dan cahaya itu
adalah toleransi, kerukunan dan kedamaian. Dengan demikian juga,
paradigma toleransi mempunyai normatif yang kuat dari al-Qur’an.
Dan yang lebih penting dari itu adalah, al-Qur’an merupakan sebuah
kitab suci yang senantiasa terbuka dengan pemikiran dan paham
kontemporer, khususnya jika itu menyangkut kemaslahatan manusia.20
2. Dalam Hadis
Berbeda dalam al-Qur’an yang tak ditemui kata yang secara tegas
menunjuk makna toleransi, dalam hadis ada kata yang secara eksplisit
menjelaskan dan menunjuk pada toleransi. Tak bisa dipungkiri bahwa
kehidupan Nabi Muhammad saw., merupakan contoh paling nyata dari
ajaran al-Qur’an itu sendiri, terkait dengan toleransi. Beliau mengajarkan
umatnya untuk selalu bersikap dalam segala hal, baik kepada Muslim atau
Non-Muslim. Di antara hadis menegani toleransi adalah:
19 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam :Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.255 20Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikukturalisme, (Jakarta Selatan :Penerbit Fitrah, 2007) h. 218
34
الصني عن حدثنا عبد هللا حدثين أيب ثنا يزيد قال أان حممد بن إسحاق عن داود بنعكرمة عن بن عباس قال قيل لرسول هللا صلى هللا عليه و سلم : أي األداين أحب إىل هللا
21قال النيفية السمحة.
Lihatlah bagaimana jawaban Nabi melalui hadis diatas ketika
beliau ditanyai tentang sikap keberagaman yang paling dicinta Allah,
beliau menjawab “agama yang memudahkan dan tidak menyulitkan.”
Hadis di atas merupakan salah satu landasan utama toleransi dalam Islam.
Disebutkan bahwa toleransi adalah fundamen dan esensi Islam, seluruh
umat manusia, terutama umat Islam mengingikan agar menjadi kelompok
yang dicintai Tuhan, maka Tuhan menjawab agar toleransi itu dijadikan
sebagai bagian utama dalam keberagamaan.22
Dalam konteks hadis lain disebutkan dengan lafal yang berbeda,
namun memiliki makna yang sama. Rasulullah saw. bersabda:
حدثنا عبد هللا حدثين أب ثنا سليمان بن داود أان بن أب الزاند عن أب الزاند قال قال ل عروة ان عائشة قالت قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم : يومئذ لتعلم يهود ان ف ديننا
فسحة اىن أرسلت حبنيفية مسحة23
Melalui Nabi Muhammad Saw., Islam datang untuk menjadi
agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan. Lihatlah Nabi
Muhammad saw., saat menyikapi seorang Badui yang terkenal keras
wataknya dan terkadang ketika tiba di masjid ia kencing di situ. Ketika
21Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassisah Qurtubah, TT), juz
1, h.236 22Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikukturalisme, h. 177 23 Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 1, h.233
35
semua orang memarahi dan menegurnya, Nabi Muhammad saw., justru
membiarkannya dan berkata pada sahabatnya, “fa innama bu’iṡtum
muyassirīn walam tub’aṡu mu’assirīn” (sesungguhnya kalian diutus untuk
memberi kemudahan, bukan untuk menyulitkan).24
Sikap toleran Nabi Muhammad terhadap mereka yang berbeda
agama terlihat dari pengakuan Nabi akan ajaran sebelumnya. Dalam
pandangan beliau, para Nabi utusan Allah itu seperti saudara satu bapak
lain ibu, agamanya satu tapi beragam syari’at. Pernyataan ini beliau
ungkapkan melanjutkan pernyataan sebelumnya bahwa beliau adalah
orang yang berhak menghormati Nabi Isa di dunia dan di akhirat.25
Rasulullah saw., bersabda:
ث نا حم ث نا سعيد بن ميناء عن جابر بن عبد الل رضي حد ث نا سليم بن حيان حد مد بن سنان حد الل عليه وسلم مثلي ومثل األنبياء كرجل بن دارا هما قال قال النب صلى الل فأكملها وأحسن ها إل موضع لبنة عن
فجعل الناس يدخلونا وي ت عجبون وي قولون لول موضع اللبنة
“perumpamaanku dan perumpamaan nabi-nabi terdahulu, yaitu
seperti seorang yang membangun rumah lalu menyempurnakan
dan memperindahnya, kecuali sebuah batu dipojok rumah.
Kemudian orang-orang mengelilingi temapt tersebut. Mereka
bertanya: kenapa batu ini diletakkan? Rasululllah saw menjawab:
saya adalah batunya dan saya adalah penutup para Nabi.”26
Hadis diatas menjadi pijakan penting toleransi dalam konteks
agama-agama, yang menarik dicermati adalah bagaimana sikap teologis
Nabi Muhammad saw., dalam menyikapi agama-agama sebelum Islam,
khususnya Kristen dan Yahudi, disebutkan bahwa agama-agama ibarat
24 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.274 25 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.275 26 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (TK: Maktabah ilm
al-hadīṡ, 2005), h.776
36
sebuah rumah, rumah tersebut sudah dibangun dan bahkan megah dan
mentereng. Ajaran Islam yang dibawa Nabi bukan untuk mengahncurkan
rumah tersebut sebagaimana yang dipersepsikan kalangan Islam puritan,
Nabi meneguhkan kembali bahwa Islam hadir ke muka bumi untuk
menyempurnakan dan memperindah agama-agama sebelumnya, terutama
Yahudi dan Kristen yang diumpamakan dengan rumah yang megah, Nabi
datang dengan membawa sebuah batu yang diletakkan dibagian pojok
rumah. Nabi hadir untuk meneguhkan pesan tentang keesaan Tuhan dan
kemanusiaan.27
Di Madinah, Nabi Muhammad saw., telah mempraktikkan toleransi
dalam sikap keberagamaannya. Dikisahkan bahwa suatu hari ketika datang
delegasi Kristen Najran mengahadap Nabi saw, beliau menerima mereka
di Masjid Nabawi, saat itu Nabi saw sedang melakukan solat asar. Mereka
kemudian meminta izin untuk melakukan peribatan di Masjid. Nabi saw
pun membolehkannya, mereka pun melakukan kebaktian dalam Masjid
Nabawi sambil menghadap ke arah timur.28 Setelah menyatakan tunduk
pada kekuasan Islam, bersama mereka Nabi saw., membuat sebuah
perjanjian yang berisi tentang komitmen Islam menjaga keamanan
pemeluk agama lain. 29
27 Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikukturalisme, h. 219-220 28 Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi: Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikukturalisme, h. 220 29 Yang isinya sebagai berikut: Najran dan sekitarnya adalah tetangga Allah. Jiwa,
agama, tanah air, harta, seluruh penduduknya, keluarga, dan rumah-rumah ibadah mereka
berada dibawah tanggung jawab Nabi Muhammad saw. Mereka tidak boleh di ubah dari keadaan
mereka semula. Demikian pula hak dan agama mereka tak boleh diganti. Para pendetanya tak
boleh dicabut kependetaannya. Negeri mereka tak boleh dibiarkan diserang oleh pasukan tentara.
37
Sikap dan perilaku yang toleran tidak hanya berlaku pada orang
lain, tapi juga berlaku pada diri sendiri, dan mestinya dimulai dari diri
sendiri. Ada satu cerita ketika Nabi Muhammad saw mengetahui salah satu
sahabatnya yang mantap untuk berpuasa di siang hari dan beribadah di
malam tanpa henti. Nabi Muhammad pun langsung mengingatkan agar ia
memperhatikan dirinya dan hendak memberi hak yang proposional pada
dirinya.30
Pun begitu terhadap orang yang murtad atau keluar dari Islam,
Nabi tak pernah menghukum orang yang seperti ini. Sekalipun ada hadis
yang menyuruh untuk membunuh orang yang pindah agama, sejarah
mencatat bahwa Nabi saw tak pernah mempraktekan hadis tersebut.
Menurut Abdul Moqsith Ghozali “…Ada tiga kemungkinan terkait hal ini,
pertama, mungkin pada zaman Nabi, persisinya di Madinah, tak ada orang
Islam yang pindah ke agama lain, sehingga hukum bunuh itu tak perlu
diberlakukan. Kedua, mungkin saja pada zaman Nabi ada orang Islam
yang pindah agama, tapi Nabi tak hendak menerapkan hukum itu karena
Allah dalam al-Qur’an tak menyatakan demikian. Hadis yang berkaitan
dengan perintah membunuh orang yang pindah agama itu kemungkinan
turun sebelum dua ayat al-Qur’an.31 Ketiga, mungkin pada zaman Nabi
Jika masih ada praktik riba yang sebelumny telah berlangsung saya (Nabi Muhammad) tidak
bertanggung jawab atas itu. Perjanjian ini berlaku selamanya, selama mereka masih berkomiten
dan masih memiliki niat baik. (lihat Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi
Berbasi Agama, h.278),lihat juga Al-Bayhaqi, Dalail al-Nubuwah juz 6, h.154 untuk teks aslinya. 30 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.268 31Q.S al-Mā’idah [5]:54 dan Q.S al-baqarah [2]: 217
افرين ياهدون ف عن دينه فسوف يت الل بقوم يب هم ويب ونه أذلة على المؤمنني أعزة على الك اي أي ها الذين آمنوا من ي رتد منكم ومن ي رتدد منكم عن دينه ف يمت وهو كافر (1واسع عليم ) سبيل الل ول يافون لومة لئم ذلك فضل الل ي ؤتيه من يشاء والل
ن يا والخرة وأولئك أصحاب النار هم فيها خالدون ) (2فأولئك حبطت أعمالم ف الد
38
memang ada beberapa orang yang pindah agama, tapi hadis itu tak
diterapkan karena ia dimaksudkan unutk menjaga ketentraman dan
stabilitas umat Islam yang baru beberapa tahun memeluk agama Islam,
jadi hadis tersebut memiliki tujuan politik.”32
Senada dengan Abdul Moqsith, Muchlis Hanafi juga berpendapat
sama, hukum bunuh untuk orang yang pindah agama tak mungkin
direalisasikan kecuali dalam kasus yang disertai hirabah/gangguan
terhadap stabilitas keamanan dengan menggunakan senjata/kekerasan,
seperti yang terjadi dengan sekelompok orang yang merampas unta yang
diperuntukkan unutk sedekah (harta milik negara), dan membunuh anak-
anak penggembala unta (aparat negara). Mukhlis melanjutkan, jika riddah
itu menjadi pilihan pribadi maka itu bagian dari kebebasan beragama, dan
cara untuk “menyembuhkannya” adalah dengan ḥiwār (dialog), bukan
dengan menghukumnya.33
Demikian beberapa contoh keteladanan sikap toleran yang
ditunjukkan Nabi Muhammad saw pada sesama Muslim, juga kepada non-
Muslim; Yahudi, Kristen, musyrik, munafik dan murtad. Sebuah praktek
toleransi yang hampir tidak bisa dijumpai pada masyarakat modern
sekarang ini. Maka dari itu fenomena dewasa ini yang terjadi perihal
kecurigaan terhadap Muslim maupun non-Muslim tentu bertentangan
dengan keteladanan Nabi saw sendiri. Fenomena itu tentu harus mendapat
perhatian yang serius dalam rangka mengahadirkan kembali toleransi
32Abdul Moqsith Ghozali, Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama
(Disertasi UIN Jakarta, 2007), h.185-187 33 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.280
39
dalam khazanah Islam sebagaimana yang diteladankan Nabi Muhammad
saw.
3. Pada Masa Sahabat
Sebagai seorang yang sangat dekat dengan Nabi Saw., para sahabat
tentu menjadi garda terdepan unutk meneladani sikap juga perilaku Nabi
saw menyangkut segala sesuatu, termasuk toleransi itu sendiri. Berikut
beberapa contoh toleransi yang dipraktekan oleh para sabahat Nabi.
Sebuah wasiat ditulis oleh Abū Bakr kepada Usᾱmah bin Zaid,
panglima yang dikirim ke Syam: “…Kamu akan mendapatkan sekelompok
orang yang mendarmabaktikan dirinya untuk beribadah kepada Allah
sesuai keyakinannya. Biarkan mereka dan jangan ganggu keyakinan
mereka. Jangan bunuh perempuan, anak-anak dan orang yang lanjut usia.
Jangan rusak pepohonan dan bangunan. Jangan kau bunuh kambing dan
unta kecuali untuk dimakan. Jangan bakar pohon kurma dan jangan
tenggelamkan. Jangan bersikap curang terhadap harta rampasan dan
jangan pengecut.”34
Demikian juga apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattᾱb, ketika
berhasil merebut dan membebaskan Yerussalem dari pengusaan Romawi
pada tahun 15 H/635 M. Umar membuat perjanjian dengan penduduk
setempat yang berisikan jaminan keamanan untuk mereka. Jiwa, harta,
agama, salib dan semua agama yang ada di situ akan mendapat
perlindungan dari Umar. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki dan
34 Malik bin Anas, Muwaththa’ Imam Malik (dalam Maktabah Syamilah), h. 636
40
dihancurkan. Mereka juga tidak boleh dipaksa untuk meninggalkan agama
mereka. Kekhawatiran gereja akan dirubah menjadi Masjid sepeninggal
Umar nantilah yang mendasari Umar tidak melakukan sholat di dalam
gereja di Yerussalem saat itu, meski waktu shalat telah tiba, dan juga
meski pendeta memperkenankan hal itu. Umar khawatir sepeninggalnya
orang-orang akan menjadikan gereja itu sebagai Masjid hanya karena
Umar pernah solat disitu.35
Perlakuan serupa juga berlaku pada penganut Majusi, penyembah
api yang banyak tinggal di daerah Persia. Berdasarakan masukan tim 70,
Umar memberikan kepada penganut Majusi hak-hak seperti yang diterima
oleh Ahli Kitab. Ini sesuai sabda Nabi saw yang menyatakan,
“…Perlakukan mereka (majusi) seperti perlakuan terhadap Ahli kitab.”36
Di bawah kekuasaan Islam, para penganut non-Islam mendapat
kenyamaman, keamanan, kedamaian. Banyak di antara mereka yang
menduduki jabatan strategis pada masa dinasti Umayyah dan Abasiyyah.
Sir Thomas Arnold pernah mendata nama-nama menteri, gubernur, dan
dokter kepercayaan para khalifah dan berkesimpulan “Orang-orang
Kristen mendapat kekayaan yang luar biasa dan menggapai kesuksesan
pada masa awal Islam berkat kebebasan beragama dan kebebasan
kepemilikian yang dijamin oleh Islam. Sampai-sampai banyak di antara
mereka menduduki jabatan penting di istana para Khalifah.”37
35 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.282 36 Malik bin Anas, Muwaththa’ Imam Malik, (dalam Maktabah Syamilah) h. 395 37 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.284
41
C. Urgensi Toleransi dalam kehidupan Sosial Masyarakat
Agama ini berpesan bahwa hubungan antarmanusia adalah
hubungan persaudaraan, bukan hubungan take and give. Perlakukanlah
orang lain sebagai saudara. Persaudaraan ini menuntut hubungan yang
serasi dan jalinan kasih sayang.38
Keragaman makhluk, agama, budaya dan peradaban merupakan
illat (sebab) penciptaan, dalam artian manusia diciptakan untuk berbeda.
Oleh karenanya, tanpa adanya toleransi tidak akan tercipta keharmonisan
dalam keragaman. Atas dasar itulah keragaman dan perbedaan merupakan
sebuah ketetapan Allah di alam semesta yang selamanya tak akan pernah
berubah. Keragaman tersebut menuntut adanya sikap harmonis antara
pihak-pihak yang berbeda. Disinilah menjadi sangat penting dalam
membangun antara kelompok manusia, budaya, peradaban,
aliran/madzhab, agama, syari’at, ras, suku, bangsa, warna kulit, bahasa,
kebangsaan dan sebagainya. Tanpa itu tentu hidup akan di penuhi dengan
kebencian, permusuhan dan menafikan satu dengan yang lain.39
Dalam konteks sosial-budaya, menurut Asyraf Abdul Wahab,
toleransi merupaka sebuah keniscayaan. Pada hakikatnya masyarakat yang
plural membutuhkan kedamaian dan perdamaian. Toleransi merupakan
ajaran semua agama, juga merupakan kehendak semua makhluk Tuhan
untuk hidup damai dan saling menghargai. Disini harus di pahami dengan
baik bahwa hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan
38 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Bandung:
Mizan, 2008) h. 367 39 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.265
42
saling menghargai dalam keragaman. Karena salah satu tujuan toleransi
adalah membangun hidup damai antara pelbagai kelompok masyarakat
dan pelbagai latar belakang kebudayaan, dan identitas, maka toleransi
harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain;
sikap untuk menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi
keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain
dan mendukung secara antusias berbagai perbedaan dan keragaman yang
diciptakan Tuhan.40
D. Ayat-ayat Terkait dengan Toleransi
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang berbicara tentang sikap toleran,
Zuhairi Misrawi bahkan menyebut ada 300-an ayat yang secara eksplisit
menyebutkan tentang toleransi dalam keaneragaman bahasan dan topiknya,
jalan menuju toleransi dalam al-Qur’an adalah jalan yang tertata rapi. berikut
akan disebutkan beberapa ayat tersebut:
1. Q.S al-Anbiyᾱʻ: [21]:107
ومآ أرسلناك إلرحة ل لعالمني
“Dan tiadalah kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad),
kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta.” (Q.S. Al-Anbiyāʻ;
[21] :107)
Ayat ini menceritakan tentang tugas kerasulan Nabi Muhammad
saw., yang diutus untuk semua manusia dan untuk setiap zaman
sampai datangnya hari kiamat. Berbeda dengan risālah para Nabi
40Zuhairi Misrawi, Al-qur’an Kitab Toleransi:Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikukturalisme, h. 182
43
terdahulu yang terbatas untuk masa tertentu dan kaum tertentu, risālah
Nabi saw., datang sebagai rahmat bagi alam semesta, oleh karena itu
ajarannya harus menyentuh menyentuh dan meluas bagi setiap
permaslahan kehidupan.41
Ibnu ʻAsyūr menegaskan bahwa ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad saw, merupakan merupakan ajaran kasih sayang yang
lebih besar daripada kasih sayang para Nabi sebelumnya. Syari’at
kehanifan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim merupakan ajaran yang
khusus bagi dirinya, begitupun apa yang dibawa oleh Nabi Isa dan
Musa. Tapi ajaran kasih sayang yang dibawa Nabi Muhammad saw,
bersifat paripurna, kasih sayang terhadap seluruh makhluk yang ada di
alam semsesta, karenanya, dalam pesan tersebut terdapat hikmah
tuhan dalam mengatur urusan manusia agar syari’at yang dibawa oleh
umat Islam adalah syari’at kasih sayang hingga hari kiamat.42
2. Q.S. Al-Baqarah [2] :256
الر شد من الغي فمن يكفر بلطاغوت وي ؤمن بهلل ف قد ين قد ت بني لإكراه ف الد
يع عليم استمسك بلعروة الوث قى ل انفصام لا وهللا مس
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam),
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada
thagut dan beriman pada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada ikatan tali yang amat kuat yang
41 Mutawalli Sya’rawi, Tafsīr al-Syaʻrāwī, (TK: Dar Ikhbar al-yaum, 1991). v.16, h.9675 42 Muhammad Ṫāhir Ibn ʻĀsyūr, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia: Dᾱr al-
Tunisiyah, TT) v.7 h.168
44
tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar dan lagi
maha mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah [2] :256).
Sayyid Quṭb memulai penjelasan ayat ini dengan berkata: bahwa
aqidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan
penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Islam datang kepada
manusia melaui kemampuan akal, intuisi dan perasaannya. Dengan
kata lain, Islam datang menekankan pada bukti dan penjelasan yang
sangat jelas, sehingga bisa dibedakan dengan jelas mana jalan yang
benar dan mana yang salah. Karena bukti itu sudah jelas, maka
manusia tak perlu lagi dipaksa, ditekan, diancam apalagi diteror untuk
memeluk agama Islam. Kata “la” dalam ayat ini menafikan semua
jenis pemaksaan (li al-nafī al-jins).43
Ada beberapa riwayat mengenai turunnya ayat ini, dan
semuanya menunjukkan pesan yang jelas, bahwa tidak perlu memaksa
keluarga, kolega maupun pihak lain untuk masuk Islam, Sayyid
Thanṭaḥawī dalam kitab tafsir al-Wasiṭ mengutip pendapat Ibnu
Abbas mengatakan bahwa, ayat ini turun berkenaan dengan lelaki
Anshor dari kalangan Bani Salim Ibnu ‘Auf yang dikenal dengan
panggilan al-Hushain. Dia mempunyai dua orang anak lelaki yang
memeluk agama Nasrani, sedangkan dia sendiri dalah seorang
Muslim. Maka, ia bertanya pada Nabi Muhammad saw, “bolehkan aku
memaksa keduanya untuk masuk Islam? Karena, sesungguhnya
43 Sayyid Quthb, Tafsir fii Dzilal al-Qur’an, (Beirut: TP, 1971), h. 235
45
keduanya telah membangkang dan tidak mau kecuali hanya agama
Nasrani.” Kemudian Allah menurunkan ayat ini.44
3. Q.S. Al-An’am; [6] :108
ف يسب وا هللا عدوا بغي علم كذلك زي نا لكل أمة ولتسب وا الذين يدعون من دون هللا
با كانوا ي عملون عملهم ث إىل رب م مرجعهم ف ي ن ب ئ هم
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, maka akibatnya nanti mereka
akan memaki Allah dengan melampaui batas dan tanpa
pengetahuan. Demikianlah kami perindah bagi setiap umat
amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali,
lalu dia beritahukan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.” (Q.S. Al-An’am; [6] :108)
Dalam penjelasan tafsirnya, Wahbah Zuhaili mengatakan
bahwa, Allah Swt melarang Rasul dan kaum beriman memaki Tuhan
kaum Musyrikin. Boleh jadi ada kemaslahatan dalam memaki Tuhan
mereka, tapi kemafsadatan yang ditimbulkannya jauh lebih besar,
yaitu mereka akan membalas dengan memaki Allah kelewat batas,
untuk melecehkan orang beriman, tanpa mereka memiliki
pengetahuan akan kebesaran Allah. Ini menunjukan bahwa ketaatan
atau kemaslahatan jika membawa pada kemaksiatan dan kerusakan
ahrus ditinggalkan.45
44 Jalaludin al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, 45 Wahbah Zuhaili, Tafsīr al-Munīr Fī al-Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj, (Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H) v.7, h.232
46
Manusia pada umumnya tidak akan pernah rela apa yang
disembah, dipuja, dikagumi dan diyakini dijelek-jelekan dan dihina
yang lain. Menyangkut apapun itu, oleh karena itu Allah
mengingatkan pada ayat diatas dengan tegas. Orang Musyrik
menganggap baik apa yang mereka sembah, dan kitapun demkian.
Karena itu janganlah saling mencaci.
4. Q.S. Yunus; [10] :99
يعا أفأنت تكره الناس حت يكونوا مؤمنني ولو شآء رب ك ألمن من ف األرض كل هم ج
{99}
“Jika Tuhanmu mengehendaki, tentu akan beriman semua
yang ada di bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya?” (Q.S. Yunus; [10] :99).
Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah berkehendak agar
seluruh manusia beriman kepada-Nya, maka hal itu akan mudah
terlaksana. Tetapi Dia tidak menghendaki demikian, Dia menghendaki
melaksanakan sunnah-Nya di alam raya ini, taka ada seorang pun
yang dapat mengubahnya kecuali Dia sendiri. Memberi akal, pikiran
serta perasaan bagi manusia adalah salah satu sunnah-Nya. Dengan itu
manusia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang baik untuk dirinya, orang lain, maupun unutk alam raya
ini. Dengan itu pula manusia bisa menilai apa yang disampakan oleh
para utusan Allah, tidak ada paksaan bagi manusia dalam menentukan
47
pilihannya, baik atau buruk. Dan manusia akan dibalas sesuai apa
yang dipilihnya itu.46
5. Q.S. Al-Imron [3] :64
نكم أل ن عبد إل هللا ول نشرك ن نا وب ي به قل ايأهل الكتاب ت عالوا إىل كلمة سوآء ب ي
ئا ول ي تخذ ب هدوا بان مسلمون عضنا ب عضا أربب م ن دون هللا فإن ت ولوا ف قولوا اش شي
"Katakanlah (Muhammad),; wahai ahli kitab! Marilah
(kita)menuju kepada satu kaliat (pegangan) yang sama
antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain
Allah dan kita tidak mempersekutukannya dengan sesuatu
pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain
tuhan-tuhan selain Allah. jika mereka berpaling maka
katakanlah (kepada mereka) :saksikanlah bahwa kami
orang Muslim.” (Q.S. Al-Imron [3] :64)
Ayat ini menerangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi
Muhammd saw, agar mengajak Ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani
untuk berdialog secara adil dalam mencari asas-asas persamaan dari
ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul dan kitab-kitab yang diturunkan
Allah kepada mereka, yaitu Taurat, Injil, dan al-Qur’an. Kemudian
Allah menjelaskan maksud ajakan itu agar mereka tidak menyembah
selain Allah yang mempunyai kekuasaan mutlak, yang berhak
menciptkan syari’at dan berhak menghalalkan dan mengharamkan
serta tidak mempersekutukan-Nya. Terhadap Ahli Kitab yang
bertempat tinggal di Madinah atau di daerah lain, bahkan sampai akhir
zaman, pesan ayat ini ditujukan, sedemikian besar kesungguhan dan
46 Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Tafsirnya (Jakarta: Departemen Agama RI,
2007) h. 367
48
keinginan Nabi saw agar orang-orang Nasrani menerima ajakan Islam.
Penggalan terkahir ayat ini mengandaikan penolakan ajakan itu, dan
itu memberi penjelasan, meskipun kedua kubu (kubu Nabi saw dan
kubu Nasrani) mempunyai kepercayaan yang berbeda, mereka tetap
mengakui eksistensi satu sama lain tanpa memprcayainya.47
6. Q.S. Al-Hujurat [49] :13
عند هللا يأي ها الناس إان خلقناكم م ن ذكر وأنثى وجعلناكم شعوب وق بآئل إن أكرمكم
إن هللا عليم خبي أت قاكم
“Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptkan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian
kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
(Q.S. Al-Hujurat [49] :13)
Ada dua kisah mengenai turunnya ayat ini,48 yang memberi
pesan yang sangat agung dan universal. Pesannya adalah mengahpus
“kasta” dalam masyarakat Arab dan menegaskan kembali sebagai
hamba Allah bukan nasab, harta, bentuk rupa atau stastus sosial
maupun pekerjaan yang menentukan keutmaan seorang hamba, tetapi
47 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan,Kesan dan Keserasian al-Qur’an, v.2,
h.140-141 48 Kisah pertama terjadi saat fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas ka’bah dan
mengumandangkan azan. Maka, sebagian penduduk Mekah pun kaget. Sebagian mereka berkata:
budak hitam inikah yang adzan diatas ka’bah,. Sebagian yang lain berkata: jika Allah
membecinya, tentu akan menggantinya. Lalu turunlah ayat ini. Lalu kisah yang kedua dari ayat ini
berkaitan dengan Abi Hindun – yang besangkutan adalah bekas budak yang kemudian bekerja
sebagai tukang bekam – .oleh Nabi Muhammad saw, meminta kaum Bani Bayadhah menikahkan
putri mereka dengannya. Namun mereka mnolak dengan berkata: Ya Rasul, pantaskah kami
menikahkan putrid kami dengan mantan budak kami?. Kemudian turunlah ayat ini. Lihat Jalaludin
al-Suyuthi, Lubabun al-Nuqul Fii Asbab al-Nuzul, h.
49
ketakwaannya. Ketakwaan tidak bisa diraih dengan harta, rupa, nasab
ataupun yang lain-lain, tetapi diraih dengan amal saleh.49 Allah
menciptkan manusia berbeda-beda suku, ras, bangsa untuk saling
mengenal. Melalui perkenalan ini mereka saling belajar, saling
memahami, saling mengerti dan saling memperoleh manfaat baik
moril maupun materil. Perkenalan ini niscaya akan menginspirasi
semua pihak unutk mejadi perbadi yang lebih baik dan berlomba-
lomba dalam kebaikan.
Manusia tidak bisa memilih untuk lahir dari siapa yang
beragama tertentu, keturunan siapa dan lahir di daerah mana.
Keragaman yang dimaksudkan al-Qur’an adalah untuk kita saling
mengenal satu sama lain, bukan untuk meneror, menakuti, memaksa
atau bahkan membunuh. Dengan saling mengenal perbedaan kita bisa
belajar membangun peradaban, dengan mengerti perbedaan kita akan
lebih toleran. Karena kesalahpahaman yang sering terjadi itu akibat
kita belum saling mengenal keragaman antara kita.50
49 Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsīr al-Marāgī, (Mesir: Mustafa al-babi al-hilbi, 1946
M/1365 H), v.26, h.142 50 Nadirsyah Hosen, Tafsir al-Qur’an Di Medsos:Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci
Pada Era Media Sosial, h.148-149
50
7. Q.S al-Hujurat [49]:11
م ن هم ولنسآء م ن ق وم عسى أن يكونوا خيا م ن ايأ ي ها ال ذين ءامنوا ليسخر ق وم
م ن هن ولت لمزوا أنفسكم ولت ناب زوا بأللقاب بئس اإلسم ن سآء عسى أن يكن خيا
لئك هم الظالمون الفسوق ب عد اإلميان ومن ل ي تب فأو
“Hai orang-orang beriman, janganlah kaum lali-laki dan
perempuan mengolok-olok yang lain, boleh jadi yang
diolok-olok itu lebih baik dari mereka. Dan janganlah suka
mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelar yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan
adalah kefasikan setelah iman, dan barang siapa yang
tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang
dhzolim.” (Q.S al-Hujurat [49]:11).
Dalam masyarakat saat ini upaya untuk mendeskriditkan,
mengolok-olok atau membulyy – bahasa modernnya – individu,
kelompok maupun golongan lain dengan ungkapan yang tidak pantas
menjadi fenomena akhir-akhir ini yang semakin luas berkembang.
Nah ayat ini secara sederhana membahas mengenai larangan
melakukan hal itu. Ada beberapa riwayat yang terkait dengan
turunnya ayat ini.51 Ayat ini adalah ayat yang penting dalam
51 Riwayat pertama, bahwa ayat ini turun terkait dengan ejekan yang dilakukan kelompok
bani Tamim terhadap para sabahat Nabi saw, yang miskin seperti Bilal, Shuhaib, Salman al-Faris,
Salim Maula Abi Huzaifah, dan lin-lain. Riwayat lain menyebut bahwa ayat ini terkait dengan
ejekan sebagian perempuan terhdap Shafiyah binti Huyay Bin Akhtab (Istri Nabi saw) yang
ketrurunan Yahudi. Nabi saw, kemudian berkata kepada Shafiyah: “mengapa tidak kamu katakana
kepada mereka bahwa bapakku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan suamiku Nabi Muhammad
saw?!”. riwayat yang lain lagi menceritakan bahwa ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini
berkenaan dengan Tsabit bin Qais, seorang sahabat Nabi yang terganggu pendengarannya, dank
arena itu ia melangkahi begitu banyak orang di majelis Naabi saw, untuk bisa berdekatan dan
mendengar tausiah dari Nabi saw. Tsabit ditegus oleh seseorang, tetapi ia balas dengan bertanya,
“siapakah ini?” ketika orang itu menjawab, “saya Fulan”. Tsabit menyatakan bahwa orang itu anak
si A yang terkenal memliki aib pada masa jahiliyah. Maka malulah orang itu, dan kemudian
51
membangun tatanan masyarakat dan etika sosial, terutama dalam
kapasitas kita sebagai manusia. Dalam ranah sosial haruslah terbangun
keharmonisan, kedekatan sosial antara satu agama dengan agama lain,
antara satu kelompok dengan kelompok lain, antara satu paham
dengan pemahaman lain, antara satu etnis dengan etnis lain dan
seterusnya.
8. Q.S. An-Nahl [16] :125
بيل رىب كى بلكمىة وىالمىوعظىة الىسىنىة وىجىادلم بلت هيى أىحسىن إن ربك ادع إلى سى
أعلم بلمهتدين ه وهو هو أعلم بن ضل عن سبيل
“Serukanlah ke jalan Tuhanmu secara bijaksana, nasehat
yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara
yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih tau siapa
yang lebih tersesat dari jalan-Nya. Tuhan
MahaMengetahui atas orang-orang yang mendapat
petunjuk.” (Q.S. An-Nahl [16] :125)
Ayat ini menurut Sayyid Quṭb adalah fondasi pokok dalam
menetapkan kaidah dakwah, prinsipnya, media, caranya. Dakwah
dengan hikmah yakni dengan melihat keadaan situasi dan kondisi
mukhathab (sasaran), sesuai dengan apa yang bisa diterima oleh
mereka, tidak sampai memberatkan serta membebani dengan taklif-
taklif tertentu sebelum adanya kesiapan hati mereka.52
turunlah ayat ini menegur Tsabit. Lihat, Lihat Jalaludin al-Suyuthi, Lubabun al-Nuqul Fii Asbab
al-Nuzul, h. 44 52 Sayyid Quthb, Tafsir fii Dzilal al-Qur’an, (Beirut: TP, 1971), h.292
52
Quraish Shihab juga menjelaskan hal senada, bahwa menurut
sementara ulama, ayat ini menjelaskan tiga macam metode dakwah
yang harus disesuaikan dengan sasarannya. Jika sasarannya adalah
cendekiawan dengan pengehatuan yang mumpuni maka disampaikan
dengan hikmah, yakni berdialog dengan kata-kata bijak sesuai dengan
kemampuan mereka. Kemudian jika sasarannya adalah kaum awam,
maka disampaikan dengan mau’idhoz hasanah, yakni memberikan
nasihat yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka
yang sederhana. Sedang jika sasarannya, ahl al-Kitab dan penganut
agama-agama lain maka diterapkanlah perdebatan dengan cara yang
terbaik, yaitu dengan logika dan retrika yang halus, lepas dari
kekerasan dan umpatan.53
9. Q.S. Al-Ma’idah [5] :48
لوكم ف لك ل جعلنا منكم شرعة ومن هاجا ولو شآء هللا لعلكم أمة واحدة ولكن ل ي ب
يعا ف ي ن ب ئكم با لفون كنتم فيه تت مآءاتكم فاستبقوا اليات إىل هللا مرجعكم ج
“Untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki niscaya ka,u dijadikan satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepada kamu,
maka berlomba-lomblah berbuat kebaikan. Hanya kepada
Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
terhadap apa yang dulu kamu perselisihkan.” (Q.S. Al-
Ma’idah [5] :48)
53 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, v.6,
h.774-775
53
10. Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 1-3
اخذوالءامنوالاذينٱأيهاي يعدتت كم و ءكمجا بماكفرواوقد موداةل ٱبهمإلي قونتل ءليا أو وعدوا
ن سولٱرجونيخ حق ل ٱم ٱبمنواتؤ أنوإيااكم لرا سبيليفياد جه تم خرج كنتم إنرب كم للا
وني ضاتمر ءتغا ب ٱو فقد منكم هعل يف ومنلنتم أع وما تم في أخ بما لمأع وأنا موداةل ٱبهمإلي تسر
وأل ديهم أي كم إلي اسطو ويب ء دا أع لكم يكونواقفوكم يث إن ١لسابيلٱءسوا ضلا ءلسو ٱبهمسنت
ٱونكم بي صليف مةقي ل ٱميو دكم ل أو ول حامكم أر تنفعكم لن ٢فرونتك لو وودوا ملونتع بماللا
٣بصير
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal
sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang
kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu
beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk
berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad)
kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang
kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.” “Dan barangsiapa di
antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari
jalan yang lurus. Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak
sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu
dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.”
“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat bagimu
pada Hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.”
11. Q.S. Al-Mumtahanah [60] : 8-9
54
ٱكمهى ين لا ينٱفيتلوكم يق لم لاذينٱعنللا نرجوكميخ ولم لد وهأنركم دي م اسطو وتق م تبر
ٱإناهم إلي ٱكمهى ين إناما ٨سطينمق ل ٱيحبللا ينٱفيتلوكم ق لاذينٱعنللا نرجوكموأخ لد م
هرواوظ ركم دي يتولاهم ومنهم تولاو أنراجكم إخ على ٱهمئكفأول
٩لمونلظا
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil.”,. “Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Keragaman agama, budaya, dan peradaban merupakan sebab penciptaan,
dalam artian bahwa manusia itu diciptakan untuk berbeda. Oleh karena itu, tanpa
toleransi tidak akan tercipta keharmonisan dalam keragaman. Atas dsar itu juga,
keragaman dan perbedaan merupakan sebuah ketetapan Allah di alam raya ini
yang sampai kapanpun tidak akan berubah. Keragaman ini menuntut adanya
hubungan yang harmonis serta saling mengenal antara satu sama lain yang saling
berbeda, disinilah sikap toleran menjadi penting dalam membangun hubungan
antara kelompok manusia, budaya, peradaban, aliran/madzhab, agama, syari’at,
suku, ras, bangsa, bahasa dan sebgainya. Tanpa itu kehidupan kita akan dipenuhi
dengan perseturuan, kebencian, permusuhan dan saling menafkan satu sama
lain.54
Demikianlah sekelumit dari begitu banyak ayat al-Qur’an yang
menyebutkan tentang sikap dan perilaku yang toleran dalam Islam. Dari sini
semakin jelas bahwa perbedaan h arus dipahami sebagai rahmat, ketauhidan
54 Muchlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasi Agama, h.265
55
harus menjadi landasannya. Tuntutan bersikap adil dan objektif dalam
memandang orang lain karena Allah adalah Tuhan seluruh umat manusia dan
alam semesta yang telah memuliakan seluruh umat manusia tanpa melihat
perbedaan agama, warna kulit, ras, bahasa dan lainnya harus selalu didahulukan.
56
BAB III
PENDEKATAN MAQĀSῙD DALAM KAJIAN TAFSIR
Pada awalnya, manhaj maqᾱṣidī dikembangkan dalam tradisi
hukum Islam yang kemudian memunculkan tawaran pemikiran yang
disebut dengan maqᾱṣid al-syarīʻah. Yakni, term yang dimaknai hanya
terbatas pada tujuan dan maksud sang pemberi syari’at (Tuhan) dalam
kontruksi hukum Islam. Dengan kata lain, maqᾱṣid al-syarīʻah merupakan
cara berpikir untuk mencari hikmah atau filosofi hukum yang didasarkan
pada alasan (‘illat) hukum. Sehingga, dalam perkembangannya dasar
penggalian hikmah atau filosof hukum itu berkembang ke dasar sumber
agama, untuk dibangun tawaran-tawaran yang lebih luas lagi.1
A. Maqaāṣid al-Syārīʻah, Maqāṣid al-Qur’ān dan Tafsir Maqᾱṣidī
Kata maqᾱṣid sendiri berasal dari bahasa arab dan merupakan
bentuk jamak dari kata maqṣad (مقصد), qaṣd (قصد,) maqṣid (مقصد) atau
quṣūd (قصود ) yang merupakan derivasi dari kata kerja qaṣada-yaqṣudu
yang mempunyai beragam makna, yakni menuju suatu arah, tujuan,
tengah-tengah, adil dan tidak melampaui batas, jalan lurus, tengah-tengah
antara lurus dan berlebih-lebihan dan kekurangan.2 Makna-makna tersebut
dapat ditemui dalam penggunaan kata maqṣad dan berbagai derivasinya
dalam al-Qur’an.3 Sebab, kata tersebut sering dikaitkan dengan kata al-
1 Kusmana, Epistimologi Tafsir Maqashidi, dalam Jurnah Mutawatir, Vol 6, No 2, Juli-
Desember 2016, h.2017 2 Ibn Mandzur, Lisᾱn al-‘Arᾱb, (Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-‘Ilmiyyah, 2009), v.3, h.355 3 Seperti dalam Q.S al-Taubah: 42 لو كان عرضا قريبا وسفرا قاصدا dengan makna “perjalanan
yang tidak seberapa jauh, mudah dan lurus,” Q.S. Fᾱṭir: 32 ومن هم مقتصد dengan makna “Dan
57
ḥadaf, al-garad, al-maṭlub, dan al-gayah, al-ḥikam, al-ma’ᾱni dan al-
asror.4 Sementara al-syarīʻah menurut al-Rasyūnī bermakna sejumlah
hukum ʻamaliyyah yang dibawa oleh agama Islam, baik menyangkut
konsepsi aqidah maupun perundang-undangan hukumnya.5 Dengan
demikian maqᾱṣid al-syarīʻah secara etimologi memiliki makna tujuan
segala ketentuan agama yang disyari’atkan kepada manusia.
Sedangkan terminologi, definisi maqᾱṣid al-syarī’ah mengalami
perkembangan. Di kalangan ulama klasik sebelum al-Syāṭibī, definisi yang
kongkret dan jelas tentang maqᾱṣid al-syarīʻah belum ditemukan. Para
ulama klasik cenderung mengikuti makna bahasa dan padanan-padanan
maknanya.6 Sedangkan bagi para ulama uṣūl al-fiqh, maqᾱṣid adalah
pernyataan alternatif tentang maṣᾱliḥ (kemaslahatan-kemaslahatan). Di
antara tokoh-tokohnya adalah pertama, al-Juwainī (w.478 H/1185 M),
yang dinobatkan sebagai salah satu pencetus pertama konsep maqᾱṣid,
yakni menggunakan istilah maqᾱṣid dan maṣᾱliḥ al-‘ammah
(kemaslahatan-kemaslahatan umum) secara bergantian.7
sebagian mereka ada yang pertengahan atau seimbang,” Q.S. al-Naḥl: 9 وعلى الله قصد السهبيل ومن ها dengan makna “Dan hak bagi Allah menerangkan jalan yang lurus, dan diantara jalan-jalan جائر
yang bengkok,” Q.S Luqman:19 واقصد ف مشيك dengan makna “Dan sederhanalah (tengah-tengah)
kamu dalam berjalan.” 4 Abdul Karim Hamidi, al-Madkhᾱl Ilᾱ Maqᾱsīd al-Qur’an, (Riyadh: Maktabah al-
Rusyd, 2007) h.21 5 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqᾱṣid al-
Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta: LKiS,2010) h.180 6 Mislanya al-Bannani memaknainya dengan hikmah hukum, al-Asmawi mengartikannya
dengan tujuan-tujuan hukum, lihat Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan
Evolusi Maqᾱṣid al-Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.180 7 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, (Bandung: Mizan, 2015) h. 33
58
Kedua, al-Gazāli (w. 505 H/1111 M) yang mengelaborasi
klasifikasi maqᾱṣid dan memasukkannya dalam al-Maṣᾱliḥ mursalah,
yakni kemaslahatan yang tidak disebut secara langsung oleh nash (al-
Qur’an/hadis).8 Ketiga, Najm al-Dīn al-Tufī (w.716 H/1216 M) – tokoh
yang memberikan hak istimewa pada maqᾱṣid – mendefinisikan
kemaslahatan sebagai apa yang memenuhi tujuan dari sang pembuat
syari’at (Allah). Keempat, al-Qarrafi (w.1285 H/ 1868 M) yang
mengaitkan kemaslahatan dan maqᾱṣid melalui kaidah uṣūl al-fiqh yang
berbunyi: “…Suatu maksud tidak sah kalau tidak memenuhi mengantarkan
pada kemaslahatan dan menjauhkan dari kemudaratan.”9 Dari berbagai
variasi definisi ini menunjukkan akan eratnya hubungan maqᾱṣid al-
syarī’ah dengan hikmah, illat, tujuan, niat dan kemaslahatan.10
Dalam perkembangannya, kata maqᾱṣīd tidak selalu disandingkan
dengan kata al-syarī’ah, tapi juga dengan kata ‘al-Qur’an’ yang
membentuk frase maqᾱṣīd al-Qur’an.11 Menurut sebagian peneliti, istilah
8 Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Musytasyfa Min Ilm al-Uṣūl, (Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-
‘Ilmiyyah, TT), h.172 9 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 33 10 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqᾱṣid al-
Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.180 11 Beberpa ulama mempunyai klasifikasi sendiri tentang maqᾱṣīd al-Qur’an ini, di
antaranya adalah: Yusuf al-Qardhawi, ia menyimpulkan bahwa “...Maqᾱṣīd al-Qur’an terdiri dari
melestarikan keyakinan akidah, risalah yang benar, menjaga kemulian manusia dan hak-haknya,
khususnya orang-orang yang lemah, menyeru manusia untuk beribadah dan bertakwa pada Allah,
menyucikan diri, membangun keluarga yang harmonis dan memperlakukannya secara adil,
membangun bangsa yang kuat serta menyeru ke keadaan dunai yang lebih kondusif.” Lihat: Abdul
Moqsith Ghozali, Memahami Maqᾱṣīd al-Qur’an, makalah yang disampaikan pada studium
General di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Tahun 2014.
Sementara itu, dalam Wahy al-Muhammady, Rasyid Rida merumuskan 10 poin penting
maqᾱṣīd al-Qur’an, pertama, pentingnya tiga rukun agama, yakni iman kepada Allah, iman akan
hari kebangkitan dan pembalasan, dan amal saleh sebagai init pesan dari tujuan diutusnya Nabi.
Kedua, berisi tentang kenabian, kerasulan dan tugas-tugas para rasul. Ketiga, menjelaskan bahwa
Islam adalah agama yang menyempurnakan manusia sebagai individu, kelompok dan bangsa.
Keempat, Islam adalah agama yang memeperhatikan perbaikan umat manusia dalam bidang sosial,
59
itu dianggap sebagai bentuk evolusi maqᾱṣīd, akibat beberapa keterbatasan
cakupan maqᾱṣīd syarī’ah sebagai frase lama yang tidak digali secara
menyeluruh dari sumber pertama syari’at.12 Sementara maqᾱṣīd al-Qur’an
yang memuat seluruh teks al-Qur’an memliki wilayah cakupan maqᾱṣīd
yang tidak hanya terbatas pada wilayah fikih saja, melainkan menyentuh
apa saja yang bisa dikatakan sebagai perintah dan larangan Tuhan, baik
dalam tataran tingkah laku manusia maupun akidah dan aspek-aspek
lainnya dalam kehidupan.13 Dengan ini maksud dari ungkapan maqᾱṣīd al-
Qur’an adalah tujuan luhur yang diperoleh dari sekumpulan hukum-
hukum al-Qur’an.14
Dari dua definisi tentang maqᾱṣīd al-Syari’ah dan maqᾱṣīd al-
qur’an, hakikatnya secara tidak lansgung menunjukkan tidak perbedaan
politik dan kebangsaan dengan delapan pokok persatuan (umat, kemanusiaan, agama, undnag-
undang keagamaan, kebangsaan, ppengadilan dan persatuan bahasa. Kelima, hikmah dibalik
kewajiban dan larangan dalam Islam sebagai inti ajaran Islam yang mudah dan moderat. Keenam,
dasar-dasar Islam dalam bernegara dengan cirri memperhatikan keadilan dan persamaan, melarang
kezaliman, dan menjunjung keutamaan. Ketujuh, pesan al-Qur’an tentang perbaikan keuangan.
Kedelapan, Islam adalah agama perdamaian. Kesembilan, pemberian semua hak perempuan. Dan
yang Kesepuluh, anjuran untuk membebaskan perbudakan. Lihat: Kusmana, Epistimologi Tafsīr
Maqᾱṣidī, h. 217.
Sedangkan Thahir Ibn al-Asyur merumuskan beberapa poin, pertama, memperbaiki
akidah. Kedua, mengajarkan nilai akhlak. Ketiga, menetapkan hukum-hukum syrai’at. Keemapt,
mengajarkan dan menunjukkan jalan kebenaran pada umat. Kelima, memberikan pelajaran melaui
cerita-cerita yang baik dari umat terdahulu. Keenam, mengajarkan syari’at sesuai denga
perkembangan zaman. Ketujuh, memebrikan kabar gembira dan peringatan. Kedelapan,
membuktikan kemukjizatan al-Qur’an. Lihat: Abdul Moqsith Ghozali, Memahami Maqᾱṣīd al-
Qur’an, makalah yang disampaikan pada studium General di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
Tahun 2014. h.3 12 Sutrisno, “Paradigma Tafsir Maqasidi,” Jurnal Rausyan Fikr, Vol 13 No.2 Desember
2017, h.326 13 Halil Thahir, Ijtihad Maqsidi: Rekontruski Hukum Islam berbasis Interkonesitas
Maslahah, (Yogyakarta: LKiS, 2015) h.16 14 Abdul Karim Hamidi, al-Madkhᾱl Ila Maqᾱsīd al-Qur’an, h.27
60
yang begitu kontras antara kedua istilah itu. Sebagaimana apa yang
diyakini oleh Jasser Auda, yang tak membedakan kedua istilah ini.15
Di era kontemporer ini, sudah banyak sarjana yang menggunakan
pendekatan ini untuk memahami dan menafsirkan sumber agama Islam,
khususnya al-Qur’an. Rasyīd Ridā, Ibn Āsyūr, Muhammad al-Gazālī,
Yūsuf al-Qardāwī adalah beberapa di antaranya. Adapun penggunaan
istilah maqᾱṣīd dalam tradisi tafsir dimungkinkan karena keduanya, tafsir
dan maqᾱṣīd bukanlah sesuatu yang berbeda, justru memiliki kesamaan
tujuan, visi, cakupan dan batasan kontruksi penarikan pesan Ilahi.
Kesejatian konsep maqᾱṣīd yang dapat memelihara signifikansi Islam bagi
manusia, juga merupakan cita-cita ideal penafsiran al-Qur’an. Prinsip
dasar pendekatan maqāṣid adalah memelihara pesan universal al-Qur’an
untuk menjawab kekhususan dan perbedaan masalah yang dihadapi
manusia, sementara tafsir al-Qur’an juga merupakan perangkat
metodologis untuk mengungkap pesan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia.16
Dari beberapa keterangan di atas, bisa diambil benang merah,
bahwa tafsir maqᾱṣīdī merupakan salah satu corak tafsir yang
pemaknaannya mengarah pada visi al-Qur’an, baik universal maupun
parsial, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.17
Sementara itu, Jasser Auda mengatakan secara sederhana, bahwa tafsir
maqᾱṣīdī adalah tafsir yang mempertimbangkan faktor maqᾱṣīd yang
15 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqasidi, dalam Jurnal Rausyan Fikr, h.328 16 Kusmana, Epistimologi Tafsir Maqāṣidī, dalam Jurnah Mutawatir, h.208 17 Wasfi Asyur Abu Zaid, Tafsir al-Maqshid li Suwar al-Qur’an al- Karim, h.7
61
berdasar pada persepsi bahwa al-Qur’an suatu keseluruhan yang menyatu.
Berdasarkan pendekatan yang menyeluruh ini kemudian sejumlah ayat
yang berkaitan dengan hukum, akan meluas dari beberapa ayat menjadi
seluruh teks al-Qur’an, surah dan ayat yang membahas tentang keimanan,
kisah para Nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta, seluruhnya menjadi
bagian dari sebuah “gambaran yang utuh.”18
Tafsir Maqāṣidī adalah tafsir dengan cara kerja menekankan cara
pandang pada pencarian nilai, maksud, dan ke-maṣlaḥat-an dalam sebuah
ayat atau mengalihkan arah pandangan dengan melakukan pencarian pada
maqasid al-Qur’an.19 Singkatnya, Tafsir Maqᾱṣīdī adalah tafsir yang
didedikasikan untuk mengungkap hikmah, maksud serta ‘illat dan
memelihara kesejatian dan kemenyeluruhan ajaran Islam yang sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh Syᾱri’.
B. Kajian Maqᾱṣīd dalam Catatan Sejarah
Tafsir Maqᾱṣīdī merupakan wacana baru dalam dirkursrus
penafsiran al-Qur’an. Namun catatan sejarahnya bisa dilacak sesuai
dengan perkembangan ilmu maqᾱṣīd itu sendiri. Sejarah tentang maksud
atau tujuan tertentu yang mendasari perintah al-Qur’an dan hadis bisa
dilacak, bahkan sampai masa sahabat.20 Salah satu yang paling populer
18 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 299 19 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqāṣidī, dalam Jurnal ,Suhuf vol 9,
No.2, Desembr 2016, h.297 20 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 299
62
adalah hadis tentang ‘salat asar di Bani Quraiẓah’– dimana Nabi saw
mengutus sekelompok sahabat untuk pergi ke sana dan solat asar di sana.21
Batas waktu solat asar hampir habis sebelum para sahabat itu tiba
disana, kemudian mereka pun terpecah menjad dua kubu; kubu pertama,
tetap bersikukuh pada dalᾱlah al-naṣ, yakni bunyi literal ucapan Nabi
yang menyuruh mereka untuk solat asar di Bani Quraiẓah. Sedangkan
kubu kedua, memahaminya melalui dalᾱlah al-maqṣūd, yakni maksud
Nabi saw., adalah memerintahkan untuk bergegas dalam perjalanan ke
Bani Quraiẓah supaya bisa solat asar disana sebelum waktunya habis,
karena kemudian mereka kehabisan waktu asar, kubu kedua ini solat
sebelum sampai daerah itu. Menurut para perawi, setelah para sahabat itu
kembali ke Madinah dan melaporkannya pada Nabi, Nabi membenarkan
kedua kubu itu.22
Kejadian lain yang menunjukkan konsekuensi yang lebih penting
dari penerapan pendekatan maqᾱṣīd terhadap perintah Nabi saw adalah apa
yang terjadi pada masa khalifah Umar Ra. Dalam satu kejadian, para
sahabat meminta Umar unutk membagikan harta rampasan perang
(Ganīmah), dengan mengacu pada ayat al-Qur’an yang secara jelas
memang membolehkan hal itu. Akan tetapi, Umar menolak usulan para
sahabat itu juga dengan berpedoman pada ayat al-Qur’an yang lain yang
maknanya lebih umum yang menyatakan bahwa Allah memiliki ‘maksud’
21 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhārī, Shahīh Bukhārī, (Beirut: Dār ibnu
kaṡīr, 1986), h.321 22 Jasser Ada, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 42
63
agar orang kaya itu tidak mendominasi kekayaannya.23 Model berpikir
Umar inilah yang didasari dengan pendekatan maqᾱṣīd, yakni untuk
menguarangi kesenjangan dan pemerataan ekonomi.24 Fenomena lain,
ketika Umar ra., menangguhkan hukuman pidana potong tangan pada
pencuri pada musim paceklik di Madinah.25 Menurutnya, penerapan
hukuman yang ditentukan dalam naṣ, dalam situasi ketika masyarakat
sedang dalam masa paceklik dan kesulitan bahan pokok untuk menjamin
keberlangsungan hidup, itu bertentangan dengan prinsip umum keadilan.26
Meski demikian, ijtihad Umar tersebut – pendekatan berbasis
maqᾱṣīd – tidak dapat diterapkan pada semua aspek hukum Islam. Imam
Bukhori meriwatkan bahwa suatu ketika sahabat Umar pernah ditanyai
suatu perkara: “…Mengapa kita masih tawaf mengelilingi ka’bah dengan
bahu terbuka, padahal Islam sudah menang di Mekah?” Pertanyaan ini
tidak diselesaikan Umar dengan pendekatan maqᾱṣīd seperti yang
sebelumnya, dia hanya menjawab: “Kita tidak akan pernah berhenti
23 Sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-Hasyr: 7
ا ه ٱ ء أفا م سهول و فلله قهرى ل ٱ ل أه من ۦرسهوله على لل ل ٱو بى قهر ل ٱ ولذي للر ٱ ن بي دهولة يكهون ل كي لسبيل ٱ ن ب ٱو كين مس ل ٱو مى يت ء نيا غ ل
سهوله ٱ كهمه ءاتى وما منكهم ذهوهه لر ه ٱ تقهوا ٱو نتههوا ٱف هه عن كهم نهى وما فخه ٱ إن لل ٧ عقاب ل ٱ يده شد لل
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
24 Jasser Ada, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 42 25 Muhammad Biltaji, Manhaj Umar bin al-Khattab fii Tasyri’, (Kairo: Dᾱr al-Salam,
2002) h, 190 26 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 42
64
melakukan apapun yang pernah kita lakukan pada masa Nabi.”27 Jadi,
Umar membuat perbedaan antara urusan-urusan ibadah dan muamalah.
Sebuah pembedaan yang kemudian dipedomani oleh al-Syatibī.28
Ijtihad yang disebutkan pada kasus-kasus diatas, menunjukkan
bahwa pemahaman dan pendekatan berpikir berdasar maqᾱṣīd memiliki
signifikansi penting. Yakni, para sahabat tidak selalu menerapkan dalᾱlah
al-lafẓ atau dalālah al-naṣ, yakni implikasi langsung sebuah naṣ (ayat
maupun teks hadis). Tapi dalam hal ini mereka menerapakam dalᾱlah al-
maqṣūd, yakni implikasi tujuan atau niat dibalik naṣ tertentu. Berdasarkan
implikasi niat ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam
memahami naṣ dan meletakkannya dalam situasi yang tepat.29
Setelah era sahabat, ide dan konsepsi tentang maqᾱṣīd mulai
berkembang, sekalipun belum mencapai titik tertentu menjadi kajian topik
yang mandiri. Al-Tirmiẓī al-Ḥakim pada akhir abad ke-3 H (w. 296 H/ 908
M) adalah orang pertama yang menjadikan istilah maqᾱṣīd menjadi sebuah
literatur yang mandiri dalam sebuah kajian ilmiyahnya dengan judul al-
Ṣalah wa maqṣiduhᾱ yang berisi sekumpulan hikmah dan rahasia
‘spiritual’ di balik gerakan solat dengan kecenderungan sufi. Abu Zaid al-
Bakhili (w. 322 H/ 933 M) pun menulis karya pertama tentang maqᾱṣīd
27 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 44. 28 Al-Syāṭībī juga mengungkapkan hal yang sama mengenai pembatasan wilayah kajian
maqāṣid, yakni pengamalan literal ada sesuatu yang pasti dalam urusan ibadah, sementara
pertimbangan maqāṣid adalah sesuatu yang pasti dalam urusan muʻāmalah. Lihat Husein
Muhammad, Gender Dalam Pendekatan Tafsir Maqāṣidī, makalah yang disampaikan pada
stadium general Fakults Ushuluddin UIN JAKARTA, 24 mei 2015. 29 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 44
65
muʻāmalah dalam bukunya al-Ibᾱnah an ‘Ilal al-Diyanah. Kemudian apa
yang ditulis oleh al-Qaffāl al-Kabīr (w. 365 H/ 965 M), menurut Auda, ia
menulis manuskrip terkuno tentang maqᾱṣīd, yakni Maḥᾱsīn al-Syarᾱi’ī
(Keindahan-keindahan hukum syari’ah). Kemudian Ibnu Babāwaih al-
Qummī (w, 381 H/991 M), salah seorang fᾱqīh yang populer dikalangan
Syi’ah yang berjudul Ilal al-Syara’ī’ (alasan-alasan dibalik hukum
syari’ah). Selanjutnya, al-ʻĀmirī al-Failasūf (w, 381 H/991 M), yang
berhasil memberikan klasifikasi pertama tentang konsep maqāṣid dalam
karyaya I’lam bi Manᾱqib al-Islam (pemberitauan tentang kebaikan-
kebaikan Islam), tetapi klasifikasinya hanya terbatas pada hukum pidana
dalam hukum Islam saja.30 Itulah beberapa ulama abad 3-4 H yang paling
awal mengkaji maqᾱṣīd namum belum sampai menawarkan maqᾱṣīd
sebagai sebuah konsep.
Sedangkan al-Raisyūnī menyimpulkan bahwa sepanjang
perkembangan uṣūl al-fiqh, maqᾱṣīd al-syarī’ah melalui perkembangan
yang signifikan pesat melalui tiga tokoh utama, Imam Haramain Abū al-
Maʻālī Abd al-Mālik bin Abdullah al-Juwaini (w, 478 H), Abū Ishāq al-
Syāṭibī (w, 790 H), dan Muhammad Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr (w, 1379 H/1973
M).31 Namun begitu menurut Imam Mawardi, penyebutan tiga tokoh
tersebut tidak serta merta mengahapuskan peran al-Gazālī dan yang lain
yang memiliki andil mengawali dan mengokohkan konsep maqāṣid itu
sendiri, namun yang penting adalah bahwa tiga tokoh diatas menjadi
30 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 44-49 31 Ahmad al-Raisyuni, al-Bahts Fii Maqasid al-Syari’ah, (TP, TT) h.4-5
66
tonggak penting dimana maqᾱṣīd al-syarī’ah betul-betul mengalami
pergerseran makna yang penting.32
Selanjutnya, mulai abad 5 H, Imam Haramain Adb al-Mālik al-
Juwainī (w, 478 H/1085 M) adalah nama yang harus disebut ketika
membahas konsep maqᾱṣīd. Meski yang bersangkutan tidak menulis satu
kitab khusus yang membahas maqᾱṣīd, namun ia berhasil
memperkenalkan teori “tingkatan keniscayaan” yang mirip dengan apa
yang ada saat ini.33
Dalam karyanya, Al-Burhᾱn Fī Uṣūl al-Fiqh ia menyatakan dengan
tegas, bahwa seseorang tidak akan bisa mampu menetapkan hukum Islam,
sebelum yang bersangkutan benar dalam memahami tujuan Allah
menetapkan perintah dan larangan-Nya. Kemudian ia menawarkan lima
tingkatan maqᾱṣīd, yaitu keniscayaan (ḍarūrah), kebutuhan publik (al-
hājjah al-‘āmmah), perilaku moral (makrumah), anjuran-anjuran (al-
Mandūbāt), dan ‘apa yang tidak dicantumkan pada alasan khusus,’ dia
melanjutkan bahwa maqᾱṣīd hukum Islam adalah al-Ismah atau penjagaan
keimanan, jiwa, akal, keluarga dan harta.34
Kemudian ada Abū Ḥāmid al-Gazālī (w, 505 H/1111 M), murid al-
Juwainī ini berhasil menjabarkan al-Ḍarūriat sang guru menjadi al-
ḍarūriat al-khams, menjelaskan dan mengurutkannya secara memadai;
32 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-
Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.190 33 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h.50 34 Al-Juwaini, al-Burhan Fii Ushul al-Fiqh, Ed. Abd al-Adzim al-Diib, (Qatar: Jamī’ah
Qatar, 1399 H) v. 2, h.920-923
67
agama, jiwa, akal, keturunan, ia juga mencetuskan istilah “al-ḥifẓ”
(memelihara) dalam masing-masing kebutuhan itu.35 Al-Gazālī juga
menyarankan aturan penting bahwa jika ada pertentangan antara
kebutuhan yang lebih tinggi dan lebih rendah maka ia mempriotiskan yang
lebih tinggi dahulu.36 Penjabaran ini kemudian ditambahi oleh Syihāb al-
Dīn al-Qarrafi (w, 684 H/1285 M), yakni ḥifẓ al-‘irḍ (memelihara
kehormatan) meskipun menurut pengakuannya sendiri ini menjadi
perdebatan dikalangan ulama.37
Selain dua tokoh, ada beberapa ulama yang memliki andil yang
cukup positif dalam perkembangan maqasid, al-ʻIzz Ibn Abd al-Salām (w,
660 H/1209 M), melalui kitab al-Qawᾱid al-Aṣnām Fī Maṣᾱliḥ al-Anām,
ia menjelaskan secara detail tentang maṣlaḥah dan mafsadah yang
kemudian menjadi landasan konseptual maqᾱṣīd al-syarī’ah. Baginya,
maṣlaḥah duniawi tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkatan: ḍarūriat,
hajjiyat dan tahtimat/taklimat, ia mengatakan bahwa apapun yang terjadi
taklif itu harus bermuara pada terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia
maupun di akhirat.38
Puncaknya, teori maqᾱṣīd mengalami kematangan saat masa Abū
Ishāq al-Syāṭibī (w, 790 H/1338 M) melaui kitab al-Muwafaqᾱt fī Uṣūl al-
Syarī’ah, ia memprakarsai sistematisasi konsep maqᾱṣīd al-syarī’ah
35 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h.51 36 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h.52 37 Asmawi, Konseptulaisasi Teori Maslah}ah, dalam Jurnal Salam; Jurnal Filsafat dan
Budaya Hukum, h.320 38 Al-Izz Ibn Abd al-Salām, Qawāid al-Ahkām fī Maṣāalih al-Anām, (Kairo: al-Istiqomāt,
tt), v.1 h.9
68
dengan tiga prioritas kebutuhan (kemaslahatan) yakni, ḍarūriyyat, hajjiyat,
tahsiniyyat. Dikatakan ḍarūriyyat, karena maqāṣid ini tidak bisa
dihindarkan dalam menopang maṣālīḥ al-ḍīn, artinya jika ini dirusak,
maka akan berdampak negatif pada stabilitas kehidupan di dunia. Dalam
ḍarūriyyat ini terangkum lima hal, yaitu ḥifẓ al-dīn (menjaga agama), ḥifẓ
al-māl (menjaga harta), ḥifẓ al-nafs (menjaga jiwa), ḥifẓ al-nasl (menjaga
keturunan), ḥifẓ al-ʻaql (menjaga akal). Dan cara untuk melestarikannya
adalah dengan 2 cara, pertama: ḥifẓuhā min nāhiyat al-wujūd (menjaga
hal-hal yang bisa melanggengkan keberadaannya). Kedua, ḥifẓuhā min nā
hiyat al-‘adam (menjaga/mencegah dari hal-hl yang dapat
menghilangkannya).39
Al-Syāṭibī mengembang maqᾱṣīd dengan tiga cara substansial
yakni pertama, maqᾱṣīd yang sebelumnya bagian dari maslaḥah
mursalah, menjadi bagian dari dasar-dasar hukum Islam. Kedua, dari
‘hikmah dibalik hukum’ menjadi ‘dasar bagi hukum.’ Berdasarkan fondasi
keumuman maqᾱṣīd, al-Syatibi berpendapat bahwa sifat keumuman (al-
kulliyyat) dari keniscayaan (ḍarūriat), kebutuhan (ḥajiyyat), kelengkpan
(taḥsiniyyat) itu tak bisa dikalahkan oleh hukum parsial (juziyyat). Ketiga:
dari ketidakpastian (ẓanniyah) menuju kepastian (qaṭ’iyyah).40 Singkatnya,
pada era inilah maqāṣid al-syārīʻah menggambarkan sebuah hukum yang
lebih menekankan pada nilai substansial sebuah teks, yang kemudian
dihubungkan pada sebuah kasus dan relaita. Sehingga tidak berlebihan jika
39 Al-Syatibi, Al-Muwafaqaat,(Kairo: Mustafa Ahmad) v.2 h.2-3 40 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im h.55, Lihat Juga Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan
Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.182
69
al-Syāṭibī kemudian didapuk menjadi ‘bapak’ ilmu maqāṣid karena
kemudian karyanya lah yang menjadi refrensi standar dikalangan ulama
hingga abad ke-20 M.
Kemudian muncul poros ke-3 dalam bahasa Imam Mawardi,
dengan hadirnya Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, sebagaimana pengakuannya sendiri
yang memang ingin mengenmbangkan apa yang sudah ditata oleh al-
Syāṭibī, ada beberapa perkembangan baru yang ditawarkan oleh Ibn
ʻĀsyūr. Ia mampu menghadirkan contoh yang jelas terkait aplikasi
pendekatan maqāṣid al-syarīʻah dalam beberapa bidang kajian hukum
Islam.41
Sejak masa Ibn ʻĀsyūr inilah kemudian para ulama kontemporer
mencoba membangun ulang konsep maqᾱṣīd lama yang bersifat
‘penjagaan dan perlindungan’ menuju teori yang mengacu pada
‘pengembangan dan hak asasi.’ Teori kontemporer mengkritik klasifikasi
Maqᾱṣīd Syarī’ah era klasik yang dianggap membatasai ruang geraknya
dan menyebutkan beberapa keterbatasannya sebagai berikut yakni
pertama, jangkauan maqᾱṣīd tradisonal meliputi seluruh hukum islam,
tetapi upaya para penggagas maqᾱṣīd tradisonal itu tidak memasukkan
maksud khsusus suatu/sekelempok naṣ/hukum yang meliputi topik fikih
tertentu. Kedua, maqᾱṣīd tradisional lebih berkaitan dengan individu
41 Sebagai contoh kajian yang belum pernah dilakukan oleh ulama sebelum Ibn ʻĀsyūr
adalah pembahasan tentang maqāṣid al-Tasyrīʻ al-Khaṣṣah bi anwāʻ al-muʻāmalāt bayn al-naṣ,
yang secara rinci membahas tentang maqāṣid al-syarīʻah dalam bidang hukum keluarga,
muʻāmalah, hukum ibadah sosial, bidang peradilan, persaksian dan pidana. Lihat Ahmad Imam
Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-Syari’ah dari Konsep ke
Pendekatan, h.195-196. Lihat juga Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, Maqāṣid Al-Syarīʻah al-Islāmiyyah,
(Yordania: Dᾱr al-Nafᾱis, 2001), h.413-529
70
daripada masyarakat, bangsa atau umat manusia, Ketiga, klasifikasi
maqᾱṣīd tradisional tidak memasukan nilai yang paling umum seperti
keadilan dan kebebasan. Keempat, maqᾱṣīd tradisional lebih banyak
dideduksi dari literatur fikih dibandingkan sumber langsung syari’at (al-
Qur’an dan hadis). Singkatnya, pada abad 20M para cendekiawan muslim
ingin mengembangkan maqᾱṣīd klasik yang jangkauannya hanya bersifat
individu, menjadi lebih luas lagi, yaitu masyarkat, bangsa bahkan umat
manusia.42
Misalnya, Ibn ʻĀsyūr yang meletakkan hurriyyah (kebebasan)
yang berlandaskan prinsip egalitarianisme, toleransi, kebebasan dan
keadilan sebagai bagian dari aplikasi maqāṣid al-syarīʻah. Kebebasan
berbicara, berpendapat, beragama, bertindak merupakan hak asasi manusia
yang harus dilindungi.43 Ini tentu merupakan pengembangan dari ḍarūriat
al-khams yang digagas ulama terdahulu. Misalnya lagi, teori maqāṣid
klasik, ḥifẓ al-nasl berkembang menjadi toeri yang berorientasi keluarga.
Ibn ʻĀsyūr menjadikan ‘peduli keluarga’ sebagai maqāṣid hukum islam, ia
mengelaborasi maqāṣid yang berorientasi keluarga dan nilai-nilai moral
dalam hukum islam.44 Selanjutnya teori, ḥifẓ al-‘aql (menjaga akal) yang
terbatas pada larangan minum minuman keras, berkembang menjadi
pengembangan pikiran ilmiah, kontinuitas dalam menuntut ilmu, serta
42 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 36 43 Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, Maqāṣid Al-Syarīʻah al-Islāmiyyah, h.251-337 44 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 56
71
mencegah berlalihnya tenaga ahli ke luar negeri.45 Begitu pula ḥifẓ al-nafs
dan ḥifẓ al-‘ird, yang berada pada tingkatan keniscayan menurut al-Gazālī
dan al-Syāṭibī. Sebenarnya ḥifẓ al-‘ird sudah ada sejak dahulu, dimana
dalam hadis Nabi saw., menjelaskan bahwa “darah, harta dan kehormatan
setiap Muslim adalah haram, hal yang tidak boleh dilanggar. Dan akhir-
akhir ini ungkapan ini berkembang menjadi perlindungan harkat dan
martabat manusia, bahkan berkembang menjadi perlindungan hak asasi
manusia.46 Cakupan ḥifẓ al-dīn juga mengalami perkembangan, dari yang
dipahami sebagai perlindungan akan keyakinan yang benar, menjadi
kebebasan kepercayaan menurut Ibn Āsyūr. Terkahir, ḥifẓ al-māl (menjaga
harta), yang pada mulanya hanya dibatasi dengan hukuman bagi
pencurian, berkembang cakupannya menjadi pengembangan ekonomi,
seperti bantuan sosial, distribusi uang, masyarakat sejahtera dan
pengurangan perbedaan kelas sosial.47
Berdasarkan kritik yang kemudian diikuti dengan beberapa
perbaikan jangkauan di atas, para cendekiawan kontemporer berhasil
merumuskan klasifikasi modern tentang maqᾱṣīd. Seperti Ibn ʻĀsyūr,
Selain itu, mereka juga telah menjadikan ilmu maqᾱṣīd sebagai salah satu
media intelektual serta metodologi yang ‘segar’ yang penting untuk
reformasi Islam. Menurut Auda, ia merupakan metodologi dari dalam
45 Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā,
(Herndon, al-Ma’had al-‘Ālimī lilfikr al-Islāmī, 2006), h. 24-25 46 Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā, h. 22-23 47 Jasser Auda, Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā, h.20
72
keilmuan Islam yang menunjukkan nalar dan agenda Islam.48 Pada posisi
ini maqᾱṣīd menjadi sebuah metode berpikir dalam dirkursus keagamaan,
termasuk dalam tafsir al-Qur’an yang kemudian lazim disebut Tafsīr
Maqaṣidī.49
Istilah tafsir maqᾱṣīdī mulai populer di abad modern pada
pertengahan april 2007, simposium ilmiah internasional mengusung tema
“metode alternative penafsiran al-Qur’an” yang diadakan kota Oujda,
Maroko. Kegiatan ini sengaja difokuskan pada pada kajian tafsir maqᾱṣīdī.
Sebenarnya topik ini pernah diangkat secara tuntas oleh Nuruddin Qirath
dalam disertasi doktoralnya (di Universitas Muhammad V) yang
mengangkat tema tentang “tafsir maqᾱṣīdī menurut ulama Maghrib
Arabi,” begitu juga apa yang ditulis oleh profesor Jelal al-Merini dari
Universitas Qurawiyyun dalam bukunya Dhawᾱbīṭ al-Tafsīr al-Maqaṣīdī
li al-Qur’an al-Karim (ketentuan tafsir maqaṣidī terhadap al-Qur’an), dan
juga apa yang ditulis oleh Hasan Yasyfu, dosen senior di Oujda, Maroko
dalam bukunya al-Murtakazᾱt al-Maqaṣidiyyah Fī Tafsīr al-Naṣ al-Dīn
(penekanan sisi maqᾱṣīd dalam menafsiri teks keagamaan), namun sebagai
pendongkrak ide yang ditulis mereka ini, kemudian para ulama,
cendekiawan, dan intelektual Maroko berusaha mensosialisasikannya pada
symposium internasional tersebut.50
48Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h. 40 49 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqashidi, h. 336 50 Sutrisno, Paradigma Tafsir Maqashidi, h. 337
73
C. Urgensi Pendekatan Maqāṣid Dalam Kajian Tafsir
Memahami tentang maqᾱṣīd al-syarī’ah atau maqᾱṣīd bagi
mufassir dinilai sangat penting karena maqᾱṣīd juga maqᾱṣīd al-syarī’ah
merupakan salah satu piranti yang tidak boleh diabaikan oleh penafsir al-
Qur’an. Hal ini senada apa yang di ungkapkan oleh al-Fasi dalam bukunya
Maqᾱṣīd al-Syarī’ah wa Makaramuha, sebagaimana disebut oleh
Muhammad Sa’ad bin Ahmad al-Yubi, “...Ketika seorang penafsir hendak
menfasirkan ayat al-Qur’an yang tidak di temukan penjelasannya baik dari
ayat itu sendiri, hadis Nabi, maupun pendapat sahabat, maka penafsir
tersebut harus berijtihad sesuai dengan kadar kemampuannya dalam
memahami bahasa Arab.” Lebih lanjut ia mengatakan bahwa “...Sang
penafsir yang dalam kondisi tersebut harus mempertimbangkan maqᾱṣīd
al-syarī’ah, bahkan ia harus berpijak darinya.51
Kontradiksi yang ada dalam al-Qur’an bukan sekedar pada lafalnya
saja tapi juga pada gagasan yang coba dibangunnya. Penyelesaian terhadap
kontradiksi yang berisfat lafẓiyyah sudah banyak dilakukan para uṣūuliyyīn
klasik, akan tetapi penyelesaian terhadap kontradiksi ide dan gagasan
belum banyak dicanangkan.52 Gagasan tentang pluralisme mislanya, dalam
satu sisi al-Qur’an mengungkapkan janji penyelamatan bagi pemeluk
agama-agama diluar Islam,53 sementara di sisi lain ada beberapa ayat yang
51 Muhammad Idris Masudi, dalam artikelnya “Mendialogkan Tradisi dan Modernitas,
Tafsir Maqashidi:Sebuah Tawaran Penafsiran”, diakses dari http:idrismuhhamd.blogspot.com 52 Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2009), h.148-149 53 Q.S. al-Baqarah [2]: 62,
ين ب لص ٱو رى لنص ٱو هادهوا لذين ٱو ءامنهوا لذين ٱ إن ٱب ءامن من م ف الح ص وعمل خر ل ٱ م يو ل ٱو لل لهه
ههم أج ٦٢ زنهون يح ههم ول هم علي ف خو ول رب هم عند ره
74
secara ditegas umumnya dipahami sebagai dukungan bagi orientasi
teologis yang bersifat eksklusif.54 Kontradiksi seperti inilah yang harus
diselesaikan.
Berangkat dari sinilah diperlukannya sebuah gagasan perilah
sumber hukum Islam, bahwa maqᾱṣīd al-syarī’ah merupakan sumber
hukum pertama dalam Islam, baru kemudian diikuti secara beriringan al-
Qur’an dan al-Sunnah. Maqᾱṣīd al-Syarī’ah merupakan inti dari totalitas
ajaran Islam, ia menempati posisi yang lebih tinggi dari ketentuan-
ketentuan spesifik al-Qur’an. Ia merupakan sumber inspirasi tatkala al-
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
54 Q.S. al-Imran [3]: 19
ين ٱ إن ٱ عند لد ٱ لل س ل م بي اي بغ مه عل ل ٱ ءههمه جا ما د بع من إل ب كت ل ٱ أهوتهوا لذين ٱ تلف خ ٱ وما مه ل فهر يك ومن نهه
اي ب ٱ ت ٱ فإن لل ١٩ حساب ل ٱ سريعه لل“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih
orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah
maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya,”
Q.S. al-Imran [3]: 85
ٱ ر غي تغ يب ومن ٨٥ سرين خ ل ٱ من خرة ل ٱ في وههو هه من بل يهق فلن ادين م ل س ل “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
dan Q.S. al-Maidah [5]:3
مت ر ٱ ر لغي أههل ا وم خنزير ل ٱ مه ولح لدمه ٱو تةه مي ل ٱ كهمه علي حه ن ل ٱو ۦبه لل ه مو ل ٱو خنقةه مه يةه ل ٱو قهوذة ترد وما لنطيحةه ٱو مه
وا تق تس وأن لنصهب ٱ على ذهبح وما تهم ذكي ما إل لسبهعه ٱ أكل ٱب سمه ز ل وا ذين ل ٱ يئس م يو ل ٱ ق فس لكهم ذ م ل فل دينكهم من كفره
ٱ لكهمه ورضيته متينع كهم علي ته مم وأت دينكهم لكهم ته مل أك م يو ل ٱ ن شو خ ٱو ههم شو تخ ر غي مصة مخ في طهر ض ٱ فمن ا دين م ل س ل
تجانف ث مه ٱ فإن م ل حيم ر غفهو لل ٣ ر“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah,
(mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah
putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan
takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
75
Qur’an hendak menjalankan ketentuan legal-spesifik di masyarakat Arab.
Ia adalah sumber dari segala sumber hukum dalam Islam, termasuk
sumber dari al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, sekiranya ada
ketentuan-ketentuan baik dalam al-Qur’an maupun hadis yang bertolak
belakang secara substantif terhadap maqᾱṣīd maka ketentuan tersebut
harus batal atau dibatalkan demi logika maqᾱṣīd al-syarī’ah.55
Syamsul Waṭani menulis setidaknya ada tiga landasan penting
mengapa Tafsir Maqᾱṣīdī menjadi penting, yakni pertama, keniscayaan
teks. Setiap ayat atau doktrin hukum selalu memuat poin illat-maqᾱṣīd.
Poin ini hadir untuk mewadahi hukum Tuhan dan konsep moral. Sehingga
antara hukum dan konsep moral harus dijembatani dengan baik, dan tafsir
maqᾱsidī hadir dengan kedudukan kemanusian atau kemaslahtan hamba
yang menjadi acuannya. Kedua, keniscayaan realistis. Tafsir Maqᾱsidī
dilandasi pada kesadaran realitas yang majemuk dengan segala
kompleksitasnya yang menginginkan kebaruan hukum. Dilema yang
dihadapi kemudian adalah, antara rasionalitas agama secara murni atau
tetap pada kepakuan hukum yang terwarisi. Hashim Kamali kemudian
menulis bahwa dalam titik ini maqᾱṣīd al-syarī’ah mucul sebagai
kacamata baru.56 Apa yang ditulis oleh Hashim itu seolah menegaskan
bahwa maqᾱṣīd al-syarī’ah bisa dipahami sebagai salah satu model
55 Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h.150-151 56 Hashim Kamali menulis: “…Pada saatnya ketika doktrin penting dalam uṣūl fiqh
seperti ijma’, qiyas, dan juga ijtihad sepertinya menjadi beban dari kedaan yang sangat sulit,
keadaan yang yang mungkin terjadi dari kejanggalan pemberlakuan undang-undang dengan
realitas sosial politik yang berlaku di Negara Muslim sekarang. Teori maqasid muncul –menjadi
wacana pemahaman - dengan fokus pada perhatian sebagai pemelihara –jembatan hukum dan
realitas-, dengan menawarkan gagasan yang matang dan baik untuk mengakses syari’ah.” Lihat
Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī, h.300-301
76
pemahaman atau jalan yang bisa diandalkan dalam memformulasikan
hukum yang muncul terkait dengan realitas masyarakat. Ketiga,
keniscayaan hukum alam. Landasan ini menekankan pada kesadaran akan
kesenjangan konteks dan perkembangan zaman dalam kajian tafsir al-
Qur’an.57
Pada tataran teoritis, tafsir dengan pendektan maqᾱṣīd al-syarī’ah
tidak sepenuhnya menolak ide segar yang ditawarkan oleh produk
pemikiran barat dalam pandangannya terhadap teks keagamaan. Sebab
metode ini juga mengakomodir kajian linguistik, sosiologi, antropologi
dan histori dengan kadar tertentu, dan para ulama Maghrib Arab yang
membidangi tafsir maqshidi sepakat mengusungnya dengan terlebih
dahulu memposisikan ayat al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi yang tak bisa
diganggu gugat keistimewaannya dan tak bisa di sejajarkan dengan kalam
manusia.58
Pada saat yang sama, tafsir maqᾱṣīdī tidak sepenuhnya mengadopsi
model tafsir klasik yang selama ini ada – yakni yang lazim dikenal dengan
tafsīr bi al-ma’ṡūr – tapi lebih cenderung pada tafsīr bi al-ra’yi, yang
mengupayakan mencari keleluasaan untuk kemandirian akal dalam
kontruksi pemahaman sumber keagamaan.59 Nilai universal yang diusung
tafsir maqᾱṣīdī menjadikannya mampu berjalan seiring dengan semangat
zaman mengelilinginya, juga tidak menganl batas teritirial dan sekat-sekat
57 Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī,” h.300-301 58 Arwani Syaerozi, dalam artikelnya “Memperkenalkan Tafsir Maqashidi”, diakses dari
http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-maqshidi.html 59 Kusmana, “Epistimologi Tafsir Maqāṣidī” h.228
77
kemanusiaan. Dengan demikian, tafsir ini menekankan pada upaya
pencarian metode yang tepat untuk menfasiri al-Qur’an sesuai dengan
peradaban manusia modern.
D. Alur Interpertasi Tafsir Maqāṣidī
Sebagaimana yang dijelaskan diawal bahwa paradigma tafsir ini
mempunyai asumsi dasar bahwa pemahaman terhadap naṣ (al-Qur’an dan
Hadis) harus mewakili tujuan agung dari naṣ itu sendiri. Oleh karena itu
setiap mufassir dengan kecenderungan pendekatan ini dituntut untuk
menemukam hikmah, maksud dalam sebuah naṣ atau dengan kata lain
mengarahkan pencarian pada maqᾱṣīd al-Qur’an. Sebagaimana diketahui
bahwa para ulama sepakat akan adanya maskud, tujuan serta hikmah
dibalik setiap ketentuan syari’ah. Meski satu dengan yang lain kerap
berbeda merumuskan dan mengurai makna maqᾱṣīd al-syarī’ah, tapi
kesemuanya itu berkahir pada satu muara yang sama, yakni terciptnya
kemaslahatan dan hilangnya kemafsadatan.
Selanjtunya, dalam perkembangannya sebagai sebuah pendekatan,
muncul dua pertanyaan penting pertama, bagaiamana maqᾱṣīd al-syarī’ah
itu diketahui atau dalam kalimat lain, bagaimana cara untuk menemukan
dan menetapkan maqᾱṣīd al-syarī’ah dari suatu nash atau ketetapan
syari’at. Kedua, bagaimana cara kerja berpikir menggunakan maqᾱṣīd al-
syarī’ah sebagai pendekatan. Secara umum tentang pertanyaan yang
pertama para ulama maqasid sepakat tentang 4 tahapan untuk menemukan
78
maqᾱṣīd al-syarī’ah, yakni melalui penegasan al-Qur’an, penegasan
Hadis, melalui istiqra’ (riset atau kajian induktif) dan al-ma’qul (logika).60
Susunan cara untuk menetapkan maqasid ini bukanlah susunan
yang baku, al-Syatibi sendiri merumuskan empat cara untuk mengetahui
maqᾱṣīd al-syarī’ah:61
1. Dari penegasan al-Qur’an sendiri (صريح اللفظ). Artinya bahwa harus
diperhatikan bunyi langsung nash itu sendiri, apa pengertian
tekstualnya, bagaimana bunyi mantūq-nya. Dari sinilah biasanya
seringkali al-Qur’an menyebut secara eksplisit alasan atau tujuan dari
disyari’atkannya suatu ketentuan.
2. Mempertimbangkan illat (اعتبار العلل). Dengan pengetahuan tentang illat
ini menjadi hal yang paling penting bagi pengetahuan tentang maqᾱṣīd
al-syarī’ah, apa, kenapa dan mengapa pengharaman, kewajiban
sesuatu itu bisa disyari’atkan. Pengetahuan tentang ini bisa mengantar
seseorang menjadi lebih mudah apa maksud dari pensyari’atan
tersebut.
3. Membedakan mana tujuan utama (مقاصد أولية) dan mana tujuan
sekunder (مقاصدالثانوية). Al-Syāṭibī dalam keterangannya mengenal dua
jenis maqᾱṣīd ini, dengan keberhasilan membedakan antara keduanya
60 Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid Al-
Syari’ah dari Konsep ke Pendekatan, h.209 61 Al-Syātibī, Al-Muwafaqaat fii Ushul al-Syari’ah, h. 20-25
79
maka akan semakin mudah pula untuk menemukan tujuan agung dari
pensyari’atan suatu hukum.
4. Diamnya Syᾱrī’ (Allah). Tak ada yang memungkiri bahwa al-Qur’an
seringkali menyebutkan tujuan dari pensyari’atan suatu hukum secara
eksplisit, tetapi di lain sisi, sering juga bahwa tujuan itu terbaca secara
implicit atau bahkan tak terbaca sama sekali, maka dari itu, diamnya
sang pemberi syari’at dalam hal ini menunjukkan adanya maksud
tertentu yang tentu harus ditemukan.
Tak jauh beda dengan al-Syatibi, Ibn Āsyūr juga punya beberapa
cara untuk bisa mencapai pemahaman akan maqᾱṣīd suatu naṣ, tapi
berbeda dengan kebanyakan ulama yang medudukan istiqra dicara yang
tengah-tengah, Ibn Āsyūr justru meletakkan istiqra’ sebagai cara yang
paling penting untuk mencapai pemahaman maqᾱṣīd. Ia kemudian
mengatakan bahwa setiap orang yang hendak memahami maqᾱṣīd dari
suatu syari’at harus melakukan penelitian secara istiqra’, yakni mengkaji
syari’at dari semua aspeknya. Menurutnya ada dua macam istiqra’ yang
diperlukan. Pertama, penelitian yang seksama tentang hukum-hukum yang
sudah diketahui illatnya yang mengantarkan pada istiqra’ atas illat yang
tetap. Kedua, adalah dengan penelitian atas dalil-dalil hukum yang
memliki illat yang sama, sehingga bisa meyakinkan bahwa illat itulah
yang sesungguhnya dikehendaki oleh Syᾱrī’.62 Cara berikutnya menurut
Ibn Āsyūr adalah dengan dalil-dalil al-Qur’an juga hadis mutawatir yang
dengan jelas menunjukkan illat dan tujuannya.
62 Thahir Ibn Asyur, Maqasid Al-Syari’ah al-Islmaiyah, h.190-193
80
Kemudian secara ringkas, Ibn Āsyūr menjelaskan bahwa maqᾱṣīd
al-syarī’ah bisa diketahui melalui tiga tahap:63
1. Cukup dari perintah dan larangan yang menjelaskan. Karena perintah
pasti menghendaki terlaksananya isi perintah, maka terlaksananya
perintah itu merupakan tujuan syᾱrī’, begitu juga larangan yang tidak
menghendaki terlaksananya apa yang dilarang.
2. Melihat dan memperhatikan illat-illat perintah dan larangan. Seperti
nikah yang illatnya untuk kemaslahatan keturunan, dan jual jual-beli
untuk kemaslahatan pemanfaatan barang yang dibeli.
3. Sesungguhnya dalam mensyari’atkan hukum, syᾱrī’ memiliki tujuan
asli (maqᾱṣīd aṣliyyah) serta tujuan yang menjadi pengikut (maqᾱṣīd
tābī’ah). Tujuan-tujuan ini ada yang eksplisit dari naṣ, ada yang
tersirat dan ada pula yang memerlukan penelitian dan pengamatan
yang seksama untuk mengetahuinya.
Dari beberapa langkah yang ditawarkan oleh ulama maqᾱṣīd
tentang pencarian tujuan agung naṣ diatas serta pembacaan problema
tafsir, maka alur interpertasi penafsiran berdasarkan pendektan maqᾱṣīd
bisa diurai sebagai berikut:64
1. Analisis kebahasaan yakni, tafsir maqᾱṣīdī memulai langkah awal
dengan memperhatikan konsensus kebahasaan, seperti: qaṭ’ī-ẓannī,
mujmal-mufassar dan lainnya. Langkah ini penting untuk melihat
maqᾱṣīd secara sekilas, dan melihat bagaimana ayat al-Qur’an
63 Ṭāhir Ibn ʻĀsyūr, Maqasid Al-Syari’ah al-Islmaiyah, h.195-196 64 Syamsul Wathani, “Konfigurasi Nalar Tafsir Maqāṣidī,” Jurnal Suhuf, h.307-310
81
menempatkan maksud dirinya. Selain itu analisis ini akan membantu
dalam memahami sekilas formulasi etik-moral hukum dari suatu ayat,
selain formulasi literalnya.65
2. Analisis tematik-holistik. Alur tematik dalam tafsir maqᾱṣīdī ini agak
berbeda dengan apa yang diusung oleh al-Farmawi. Dalam analisis ini,
tafsir maqᾱṣīdī memperhatikan konteks ayat, munᾱsabah, serta dua
konteks turunan ayat, yakni asbᾱb al-Nuzūl qadim dan asbᾱb al-Nuzūl
al-jadid. Istilah tematik-holistik ini berangkat dari pandangan bahwa
al-Qur’an merupakan satu kesatuan, sehingga perlu untuk
memeprsatukan semuanya untuk dianalisis. Analisis ini sangat efektik
untuk mengetahui tema, prinsip bahkan values al-Qur’an yang
mendasari kesemua pesan-Nya. Tafsir maqᾱṣīdī meyakini bahwa
dalam ayat al-Qur’an terdapat nilai kepercayaan, sejarah dan juga
hikmah yang semauanya membentuk kesatuan utuh.
Seperti yang dikatakan oleh Auda, penedekatan yang holistk dalam
tafsir maqᾱṣīdī, ini menegaskan bahwa surah-surah dan ayat-ayat al-
Qur’an mengenai keimanan, kisah-kisah kenabian, akhirat serta alam
semesta, semuanya merupkan bagian-bagian yang membentuk sebuah
ketunggalan yang utuh, sehingga semuanya memiliki peran dalam
tafsir yang berkesinambungan-berintegrasi dan terkait.66
3. Kaidah al-Ibroh bi al-maqᾱṣīd la bi al-Alfᾱẓ. Inilah yang menjadi
pembeda dan khas dari tafsir maqᾱṣīd. kaidah ini ditawarkan sebagai
alternatif pencarian makna dalam tafsir. Kaidah ini ditawarkan untuk
65 Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h.148-149 66 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, h.
82
menjembatani beberapa kaidah lama yang antara lain berbunyi al-
Ibroh bi al-umum al-lafẓ, al-Ibroh bi khuṣūs al-sabᾱb, al-ibroh bi
umum al-lafadz la bi al-khuṣūṣ al-sabᾱb.67 Dengan kaidah alternatif ini
tafsir maqᾱṣīdī bisa menjembatani ketiganya. Sedangkan yang menjadi
fokus kaidah ini adalah cita-cita etik-moral dari sebuah ayat, bukan
legal-spesifik atau formulasi literalnya.
Dalam tataran kongret, tafsir maqᾱṣīdī menawarkan langkah yang
bisa ditempuh untuk mengetahui maqᾱṣīd al-syarī’ah melalui al-
Qur’an. Yakni dengan empat cara; melalui ibārah al-naṣ, melalui
isyārah al-naṣ, melalui dalālah al-naṣ dan iqtiḍo’ al-naṣ. Sedangkan
melalui akal, dapat dilakukan melalui analisis atau tawaran dari
kekuatan berpikir mufassir sendiri. Maqᾱṣīd juga bisa ditemukan
melalui ijma’.68
4. Kekuatan nalar. Tafsir maqᾱṣīdī sejatinya memang dibangun atas
intelektualitas mufassir yang memainkan ijtihad dan kesungguhuan
berfikir dalam menemukan dan menyimpulkan maksud sebuah naṣ.
Dengan ini, penalaran dalam tafsir maqᾱṣīdī tidak hanya diletakkan
sebagai alat tafsir, tetapi juga sebagai instrumen telaah kritis dengan
mempertimbangkan aspek-aspek sosio-kultural, peristiwa-peristiwa
67 Terdapat banyak kritik terhadap kaidah konvensional ini, pertama; kaidah ini
dipandang terlalu banyak berkonsentrasi dan bergerak pada medan semantic dan menepikan peran
asbabun nuzul. Implikasinya para pengguna ini sering terjebak pada suatu kenaifan, bahwa
semakin tekstual seseorang memahami al-Qur’an maka ia semakin dekat dengan kebenaran, tapi
sebaliknya, semakin jauh seseorang itu dari makna literal maka semakin jauh pula ia terlempar dari
kebenaran. Kedua, dalam kaidah ini realitas hendak disubordinasikan ke dalam bunyi literal teks.
Yang dituju adalah teks dengan konsekuensi mengabaikan konteks yang mengitari. Lihat Abdul
Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h.157-158 68 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Maqashidi, dalam Jurnal SUHUF, vol. 9,
No. 2, Desemeber, h.307-310
83
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dan dengan
mengedepankan tujuan teks tersirat.69
Karena itu secara epistimologis, tafsir maqᾱṣīdī merupakan corak
tafsir bil-ra’yi yang mengedepankan keleluasaan untuk kemandirian
akal dalam kontruksi sumber keagamaan.70
5. Reorientasi nᾱsikh-mansūkh.71 Jika perdebatan ilmu tafsir masih
mengorientasikan ayat kontadiktif dalam tafsir, maka tafsir maqᾱṣīdī
tidak meyakini nᾱsikh-mansūkh sebagai penyelasaian ayat kontadiktif
itu. Pendekatan maqᾱṣīd lebih melihat bahwa ayat al-Qur’an itu
sebagai respon Allah terhadap hamba-Nya. Dengan menegasikan–
dalam artian tidak memakai, bukan tidak mengakui–nᾱsikh-mansūkh
tafsir maqᾱṣīdī menawarkan pandangan bahwa ayat al-Qur’an itu
terkadang merespon keadaan tertentu, sehingga ia lebih baik dilihat
sebagai sebuah pengajaran dan pembimbingan, daripada melihatnya
69 Syamsul Wathani, Konfigurasi Nalar Tafsir Maqashidi, dalam Jurnal SUHUF, vol. 9,
No. 2, Desemeber, h.307-310 70 Kusmana, Epistimologi Tafsir Maqashidi, dalam jurnal Mutawatir: Jurnal Kelmuan
Tafsir Hadis, h.228 71 Selain reorinetasi nᾱsikh-mansūkh yang ditawarkan diatas, menarik melihat apa yang
ditulis oleh Abdul Moqsith Ghozali dan yang lain, ia menulis sesungguhnya syari’at (hukum)
Islam tidak punya tujuan lain selain mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal dan
menolak segala bentuk kemafsadatan. Prinsip ini harus menjadi dan substansi seluruh isi syari’at.
Ada satu pertanyaan klasik yang sering muncul, yakni bagaimana jika terjadi antara teks (naṣ) dan
maslahat, mana yang harus dimenangkan? Umumnya ulama uṣūl fiqh klasik bahwa yang
dimenangkan adalah naṣ. Bahkan, al-Thufi mengatakan tidak mungkin terjadi pertentangan
aantara nash dan maslahat, karena apa yang diujarkan oleh naṣ adalah maslahat itu sendiri.
Oleh karena itulah perlu dikemukakan pendirian bahwa maslahat memiliki otoritas untuk
menganulir ketentuan-ketentuan legal-spesifik teks suci. Inilah yang kemudian disebut dengan
“nashk nushush al-juz’iyyah bi al-maslahah”. Sebagai spirit dari teks al-Qur’an, kemaslahatan
merupakan amunisi untuk mengontrol balik dari keberadaan teks dengan menganulir beberapa teks
yang sudah “aus” dan tidak relevan. Dengan cara ini, cita-cita kemaslahatan akan senantiasa
berkreasi untuk memproduksi formulasi teks keagamaan baru di tengah kegamangan dan
kegagapan formulasi dan teks keagamaan lama. Teks suci tanpa kemaslahatan tak berarti apa-apa
buat manusia, kecuali teks itu sendiri. Teks baru bermakna sekiranya menyertakan cita-cita
kemsalahatan bagi umat manusia. Lihat Abdul Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an,
h.157-158
84
sebagai sesuatu yang harus dihapuskan (nasakh) sehingga ayat itu tak
berlaku lagi.
Auda mengatakan bahwa masing-masing ayat yang seolah
berkontradiksi itu tetap pada konteks yang berbeda-beda, sehingga
signifikansinya pun berbeda-beda. Inilah teori yang ditawarkan Jasser
Auda untuk menjembatani beragam aliran antara yang pro dan kontra
nᾱsikh-mansūkh.72
6. Kontekstual-fiosofis. Aksentuasi tafsir maqᾱṣīdī dalam kerangka ini
sebagaimana yang berlaku dalam alur tafsir kontekstual pada
umumnya, hanya saja penekananannya sedikit merambah pada
pengamatan secara spesifik realitas syari’at pada masa awal, kemudian
merumuskan pengaplikasiannya di masa sekarang.
Enam alur interpertasi yang ditawarkan oleh Syamsul Wathani di
atas menjadi langkah penting untuk merangkai kerangka tafsir dengan
pendekatan maqᾱṣīdī, meski bukan satu-satunya alur yang ditawarkan,73
tapi dilihat dengan seksama apa yang diatwarkan oleh Syamsul Wathani
layak untuk disebut sebagai manhaj maqᾱṣīdī.
E. Contoh Aplikasi Pendekatan Maqāṣidī
1. Poligami Dalam Pendekatan Tafsir Maqāṣidi
72 Teori ini dikenal dengan “Teori Lintas Batas” (نظرية تعدد األبعاد) 73 Misalnya, Abdul Moqsith Ghozali menulis dalam buku Metodologi Studi Al-Qur’an,
sebuah kaidah tafsir al-Qur’an al-ternatif dengan dengan tiga alur: 1. Al-Ibroh bi al-Maqᾱṣīd La bi
al-Alfᾱẓ, 2. Jawᾱz naskh al-Nuṣūuṣ (al-juziyyah) bi al-Maslaḥah, 3.Tanqih al-Nuṣūṣ bi Aql al-
Mujtama’ Yajuzu. Ketiga alur ini menurut penulis juga ditulis oleh Syamsul Wathani, tapi dengan
beberapa eksplorai dan perpaduan.
85
Pada dasarnya, praktek poligami sudah dilakukan dalam tradisi
pra-Islam (Arab), dimana kala itu seorang laki-laki bisa melakukan
perkawinan dengan jumlah istri yang tidak terbatas. Laki-laki memiliki
hak penuh untuk memiliki dan memilih siapa dan berapa yang menjadi
istirnya. Untuk itu, dengan misi keadilan yang diusung, Islam datang
merubah praktek demikian dengan memberikan jumlah batasan yang dapat
dijadikan istri serta menekankan persyaratan yang mesti dipertimbangkan
bagi suami. Dalam Alquran, Q.S. an Nisa: 3 yang membicarakan tentang
ketentuan poligami beserta persyaratannya.
Memulai dengan analisis bahasa, pada ayat ini tidak terlalu
signifikan memunculkan perdebatan seputar kebahasaan, bahkan secara
dalalah lafal‘ (dilalah al-lafz) yang menunjukkan implikasi langsung dari
suatu bunyi bahasa atau nash dapat diterapkan pada ayat ini. Sehingga
wajar jika sebagian mufassir menjadikan ayat ini sebagai dasar hukum
poligami.74 Hanya saja mendasarkan pemahaman ayat pada langkah ini
tidaklah cukup.
Berlanjut pada analisis tematik-hilostik, pemahaman akan konteks
historis dan asbab al-nuzul merupakan unsur penting berikutnya. Ayat ke
3 ini sendiri turun berkaitan dengan seorang wali yang menikahi seroang
perempuan yatim yang berada di bawah perwaliannya. Ia menikahinya
bukan karena cinta, melainkan karena mengincar sebatang pohon kurma
74 Beberapa kitab tafsir, klasik maupun kontemporer sepakat akan hal ini. Wahbah Zuhaili
misalnya, mengatakan bahwa ayat ini mengandung pesan kebolehan berpoligami. Al-Maraghi juga
mengatakan hal sama, bahwa ayat ini memang membolehkan pligami. Lihat Wahbah Zuhaili,
Tafsir al-Munir Fi al-aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Dimsyak: Dar al-Fikr, 2009) v.2, h.
123. Lihat juga Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Hilbi,
1946 M), v.4 h.149
86
milik perempuan itu.75 Menarik melihat penjelas Rasyid Ridho dalam
tafsirnya, bahwa ayat ke 3 ini turun setelah perang uhud, dimana saat itu
banyak tentara muslim yang menjadi korban, Syahid di pertempuran.
Akibatnya, banyak anak yatim dan ibunya yang terabaikan dan
membutuhkan perlindungan dalam kehidupan mereka. Atas dasar inilah
kemudian Ridha mengatakan bahwa ayat itu menjelaskan masalah hukum
terkait status wanita-wanita yang berada dalam kekuasaan walinya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a., bahwa “ada seorang pria
yang menajdi wali seorang perempuan yatim, lalu ia pun menikahinya.
Perempuan itu mempunyai sebuah pohon kurma (warisan dari orang
tuanya), pria itu menahan perempuan itu untuk dirinya, namun perempuan
itu tidak mendapat haknya sebagai istri sebagaimana mestinya. Terkait
peristiwa ini kemudian turunlah ayat ini.76 Ridha menambahkan bahwa
wali tersebut berniat menikahinya hanya mengincar harta dan
kecantikannya, tanpa ingin memberikan haknya sebagai istri. Maka
turunlah larangan ini, keculai kesanggupan untuk bersikap adil dan
memberikan haknya sebagaimana mestinya.77 Dilihat dari munasabahnya
bahwa ayat ini memiliki kaitan erat dengan ayat sebelumnya yang
membahas mengenai larangan pemanfaatan harta anak yatim dengan
semena-mena. Dengan demikian penekanan berlaku adil menjadi poin
utama dalam ayat ini.
75 Muchlis M. Hanafi (editor), Asbabun Nuzul; Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu al-
Qur’an, h.172 76 Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari, Shahih Bukhari, h.1124 77 Muhammad Rasyīd Ridā, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Kairo, Dar al-Manar, 1947), vol. 4,
h.344.
87
Jika ingin dipahami dengan kaidah al-Ibroh bi al-maqasid maka
akan ditemui hal senada, bahwa poin illat-maqasidnya terletak pada nilai
keadilan dan anjuran keadilan.78 Bahwa ayat ini memuat kebolehan
poligami, itu hanya merupakan alternatif paling akhir dari begitu banyak
alternatif yang ada untuk menegakkan keadilan dalam mayarakat, itupun
dengan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat, khususnya bagi
perempuan-perempuan yatim.
Analisis ini mengantarkan pada pemahaman bahwa bukan hanya
sisi normatif dan legal-spesifik saja yang harus dilihat, tapi juga harus
memperhatikan wilayah praktis serta etik-moralnya. Berangkat dari
pengamatan situasi kondisi dilingkungan kita (Indonesia), bahwa masih
banyak ditemukan perlakuan kedzaliman dan ketidakadilan menimpa
perempuan, maka poligami sama sekali tidak dianjurkan.
Penfasiran diatas mengingtkan bahwa penafsiran terhadap nas harus
proporsional dan disesuaikan dengan konteksnya. Bahwa naṣ yang ada
memuat nilai dan tujuan yang harus diperjuangkan, yakni keadilan dan
kemaslahatan.
78 Selain Rasyīd Ridā, Penjelasan seperti ini banyak dikemukakan oleh para muffasir, al-
Maraghi dan Zuhaili punya pandangan yang senada, bahwa kebolehan poligami dalam ayat ini
diletakkan sebagai salah satu poin paling akhir. Bahkan Wahbah Zuhaili mengatakan diakhir
penjelasannya bahwa, perlakuan ketidakadilan itu menjadi sebab disyari’atkannya pembatasan
pada satu perempuan saja, dan ini mengisyaratkan bahwa keadilan emnajdi syarat mutlak yang
harsu dipenuhi dalam poligami, dia menambahkan bahwa kebolehan poligami dalam islam itu
didasarkan pada keadaan darurat, atau keadaan yang menuntut pada kemaslatahan umum. Lihat
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir Fi al-aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, h.568
88
BAB IV
ANALISIS MAQᾹSID TERHADAP AYAT QS AL-
MUMTAHANAH DAN POIN REAKTUALISASINYA
Sumber utama Islam, telah menyediakan dua kategori teks yakni yang
bersifat universal dan partikular. Teks universal adalah “...Teks yang mengandung
pesan-pesan kemanusiaan untuk semua orang, di segala ruang dan waktu.” Ia
memuat prinsip-prinsip fundamental–dalam bahasa sekarang disebut dengan
prinsip-prinsip kemanusian universal, sebagaimana yang tertuang dalam
DUHAM.1
Kedua adalah teks partikular “...Teks yang menunjukkan pada kasus-kasus
tertentu, yang muncul sebagai respon atas suatu peristiwa.”2 Sedangkan toleransi
merupakan inti dari agama Islam–yang sejajar dengan ajaran lain seperti kasih,
kebijaksanaan, keadilan dan kemsalahatan universal. Hal ini merupakan beberapa
inti ajaran yang bersifat qath’ī, sehingga ia tak bisa dibatalkan dengan nalar
apapaun, sebab universal bersifat ṣᾱlīḥ lī kullī zamᾱn wa makᾱn.3
Sebagai ajaran inti serta fundamental, toleransi telah ditegaskan dalam al-
Qur’an. Perbedaan agama bukan pengahalang untuk merajut tali persaudaraan
antar sesama manusia, karena sejatinya dakwah Nabi Muhammad saw bukan
untuk meng-Islamkan dunia ini, tapi untuk memberi rahmat pada alam semesta.
1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 2 Husein Muhammad, Gender Dalam Pendekatan Tafsir Maqashidi, makalah yang
disampaikan pada stadium general Fakults Ushuluddin UIN JAKARTA, 24 mei 2015 3 Abdul Moqsith Ghozali, Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama
(Disertasi UIN Jakarta, 2007), h,169
89
Oleh sebab itu, penulis akan menyajikan analisis maqᾱsīd terhadap ayat-
ayat muwālāt al-kuffār yang dari analisis ini bisa mengantarkan pada pemahaman
akan pentingnya membangun kesadaran toleransi dengan merujuk pada beberapa
kitab tafsir klasik dan modern seperti Tafsīr Ibn Kaṡīr, Fi Dzilᾱl al-Qur’an, al-
Sya’rawī, al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, dan beberapa tafsir lain untuk mendapatkan
gambaran komperenshif para mufassir dalam melihat nalar maqᾱsīd-nya.
A. Ayat-ayat Muwālāt al-Kuffār
1. Larangan ber-muwallah al-kuffᾱr
اي نوا لذين ٱ أ يه ام ي ت تخذوا ل ء كم ع دو ع دو ء لي ا أ و و دة ل ٱب همإل ي قون تل و ق د م ف روا و ا ك ا بم كمج ء
ن ق ل ٱ م سول ٱ رجون يخ ح إياكم لر ٱب منوا تؤ أ ن و ب كم لل ج كنتم إن ر ر بيلي في اد جه تم خ ر ء تغ ا ب ٱو س اتي م ض
ون دة م ل ٱب همإل ي تسر أ ن ا و ا ل م أ ع و ا تم ف ي أ خ بم م ن ل نتم أ ع و م ل ف ق د منكم ه ع ل ي ف و ا ض ق فوكم ي ث إن ١ لسبيل ٱ ء س و
ي ب ء د ا أ ع ل كم ي كونوا أ ل دي هم أ ي كم إل ي ا سطو و دوا ء لسو ٱب سن ت همو و امكم أ ر ت نف ع كم ل ن ٢ فرون ت ك ل و و ل ح دكم ل أ و و
ٱ م ي و ة قي ل ٱو ن كم ب ي صل ي ف م ا لل لون ت ع بم ٣ ب صير م
“1. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), Karena rasa kasih sayang; padahal
Sesungguhnya mereka Telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir)
kamu Karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika
kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan
mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita
Muhammad) kepada mereka, Karena rasa kasih sayang. Aku
lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang
kamu nyatakan. dan barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, Maka Sesungguhnya dia Telah tersesat dari
jalan yang lurus. 2. Jika mereka menangkap kamu, niscaya
mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan
tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu);
dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. 3. Karib
kerabat dan anak-anakmu sekali-sekali tiada bermanfaat
bagimu pada hari kiamat. dia akan memisahkan antara kamu.
90
dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-
Mumtaḥanah: 1-3)
Menurut banyak riwayat ayat ini turun berkenaan dengan surat
rahasia yang ditulis sahabat Nabi saw, Ḥaṭib bin Abi Balṭa’ah kepada
keluarganya di Mekkah untuk memberitahukan rencana Nabi saw,
menuju ke Mekkah.4 Ḥatib mengirim surat itu melalu wanita bernama
Sarah dan menyembunyikan surat tersebut di gelungan rambutya.
Dalam suratnya, Ḥatib menulis “…Dari Ḥatib kepada kaum Quraisy,
bahwa Muhammad saw., bermaksud untuk mengahadapi kalian dan
bersiaplah.” Mulanya, Nabi Muhammad saw tidak mengetahui perihal
surat tersebut hingga kemudian ia mengetahui melalui wahyu Allah.5
Setelah mendapat kabar tersebut, Nabi Muhammad Saw
mengutus ‘Alī, ‘Ammᾱr, ‘Umar, Thalḥah, dan Zubair menyusulnya
dengan mengendarai kuda. Nabi bersabda: “…Susul dan cegatlah
seorang perempuan, temui dia di Rauḍatu Khakh – suatu lembah yang
terletak antara Madinah dan Mekkah. Dia membawa surat untuk
Quraisy Mekkah, tangkaplah dan ambil suratnya” Ketika mereka
berhasil mencegatnya dan menanyaiya tentang surat itu, Sarah
4 Menurut Quraish Shihab, ada beberapa riwayat yang ada tidak jelas tentang tujuan Nabi
Saw ke Mekkah. Apakah untuk melaksanakan umrah atau untuk membuka (menyerang) kota
tersebut–setelah kaum Musyrik Mekkah melanggar perjanjian Hudaibiyah. Lihat: Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah:Kesan, Pesan dan Keserasian al-Qur’an, h.585 Namun, Ibnu Asyur mengatakan
bahwa tujuannya adalah untuk umrah– lebih sahih daripada untuk menyerang Mekkah. Lihat:
Thahir Ibnu Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Tunis: Dar al-Tunisiah al-Nasyr), h. Sedangkan al-
Sya’rawi mengatakan bahwa Ḥatib mengetahui Nabi berisap-siap perjalanan itu memang untuk
menyerang Mekkah, karena Ḥatib menulis surat itu. Lihat juga Muhammad Mutawaali al-
Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, (Kairo: Dᾱr al-Nūr li al-ṭᾱb wa al-nasyr wa al-tauzi’) v.18, h.90 5 Muhammad Mutawaali al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, (Kairo: Dᾱr al-Nūr li al-ṭᾱb
wa al-nasyr wa al-tauzi’) v.18, h.90
91
menjawab: “Aku tidak membawa apapun!.” Para sahabat kemudian
menyelidikinya, tapi tidak menemukan apapun. Bahkan, mereka
hampir kembali, namun ‘Alī bin Abī Thalīb bersikeras dan
mengancam dengan menghunuskan pedangnya. Akhirya, Sarah
mengaku dan mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya.6
Kemudian Nabi saw., memanggil Ḥatib dan menanyakan
mengapa ia mengirim surat itu, ia menjawab,7 “Ya Rasul, kaum
Muhajirin semuanya memliki orang-orang yang dapat melindungi
keluarga mereka di Mekkah, keuali aku, padahal keluargaku ada di
tengah masyarakat Mekkah. Aku ingin memberi mereka jasa dengan
harapan tidak mengganggu keluargaku di Mekkah.” Nabi saw
kemuian bersabda: “Dia berkata benar!.” ‘Umar kemudian meminta
izin untuk memenggal kepala Hatib, namun Nabi saw melarangnya
dan bersabda: “Bukaknkah dia salah satu ahl al-badr wahai Umar?.8
Dari analisis kebahasan, ada beberapa kata yang bisa
dijadikan kunci dalam melihat maqᾱsīd ayat ini. Misalnya, عدو ي
‘musuh-Ku, Ibn Asyur mengakatan bahwa lafadz itu bermakna,
menimbulkan permusuhan dalam agama. Selain itu, penyandaran kata
6 Muhammad Mutawaali al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v.18, h.90 7 Quraish Shihab menulis, sebelum Hatib menjawab pertanyaan Nabi saw, ia memohon
agar Nabi saw, tidak tergesa-gesa mengambil keputusan sambil bersumpah bahwa dia sama sekali
tidak murtad, juga tidak berkhianat. Lihat: Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: : Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an. v. 13, h. 585 8 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatīr Imaniyyah, v. 18, h.89-90
92
itu pada ya’mutakkalim yang mengisyaratkan makna, “musuh agama-
Ku/musuh utusan-Ku.”9
Sementara itu, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa عدو ي
berkmakna, “Orang kafir atau orang yang menyekutukan Allah swt,’
tidak beriman terhadap apa yang diturunkan-Nya, musuh orang-orang
mukmin; yakni yang mengkhianati mereka dan memberi dampak
negatif (madharat) atas kemaslahatan orang mukmin.”10
Sedangkan al-Sya’rawi mengatakan bahwa, “Seandainya orang
mukmin itu menjadikan para musuh Allah sebagai auliyᾱ, maka
mereka akan memberikan kerusakan dalam kehidupan orang-orang
mukmin, karena konflik yang mereka ciptakan terhadap manhaj
Allah.”11
Selain itu, kata auliyᾱ’12 dalam ayat diatas, juga menjadi
penting karena pada ayat lain pun banyak digunakan. Meskipun
demikian, dalam hubungannya dengan ayat di atas, al-Qur’an
menggunakan dalam konteks yang sama, yakni larangan bermuwallat
9 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, ((Tunis: Dar al-Tunisiah
al-Nasyr,1984 H), v.28, h. 10 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Beirut:
Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H) v.14, h.494 11 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v.18, h.86-87 12 Kata yang beberapa waktu lalu menjadi pro-kontra terkait makna yang dikandungnya,
karena gubernur DKI jakarta saat itu, Ahok yang dianggap telah menistakan agama Islam karena ia
membuat pernyataan; “jangan mau dibodohi pake ayat Q.S al-Mai’dah: 51”, dalam hal ini Ahok
seoalah-olah mengatakan bahwa ayat itu dipakai untuk membodohi umat Islam. Kemudian
muncullah gerakan melawan dirinya, dan bahkan menjadikan ayat itu sebagai dasar larangan bagi
warga (khususnya orang Islam) untuk memilihnya, karena nobatennya dia memang seorang non-
Muslim. Dan makna kata auliya’ sejak saat itu oleh para penentangnya menjadi pemimpin. Abdul
Bari Nasrudin, Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia Atas ayat-ayat hubungan Antarunat
Beragama, Skripsi UIN Jakarta, 2017. h.6-7
93
al-kuffᾱr.13 Kata ini sendiri memiliki makna dasar “dekat.” Sehingga,
dari sinilah kemudian berkembang makna-makna baru seperti,
pendukung, pembela, pelindung, lebih utama, yang mencitai dan lain-
lain–yang semuanya diikat dengan satu benang merah, yakni
kedekatan.14
Ketika Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, ia mengatakan bahwa
auliya’ memiliki arti berteman akrab, setia, dan kekasih. Ia juga
menyebut ayat-ayat lain yang maknanya hampir sama, dan
menjelaskan bahwa makna ayat ini adalah “Kaum Musyrik dan orang-
orang kafir yang selalu memerangi Allah dan Rasul-Nya, serta orang-
orang Mukmin. Allah memerintahkan agar mereka dimusuhi dan
diperangi. Allah telah melarang mengambil mereka menjadi auliya’,
13 Misalnya, Q.S. al-Nisa’ [4]: 139
ة ل ٱ عند هم ت غون أ ي ب منين مؤ ل ٱ دون من ء لي ا أ و فرين ك ل ٱ ي تخذون لذين ٱ ة ل ٱ ف إن عز عز ميع لل ١٣٩ اج “(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir
itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.”
Q.S al-Nisa’:144
اأ ي ي نوا لذين ٱ ه ام ع لوا ت ج أ ن أ تريدون منين مؤ ل ٱ دون من ء لي ا أ و فرين ك ل ٱ ت تخذوا ل ء ل ي لل بينا ان ط سل كم ع ١٤٤ م”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu).”
Q.S al-Maidah [5]: 51.
اي ۞ ام لذين ٱ أ يه ى لنص ٱو ي هود ل ٱ ت تخذوا ل نوا ء ن ض ب ع ء لي ا أ و ضهم ب ع ء لي ا أ و ر م لهم و نكم ي ت و إن هم من ۥف إنه م
ٱ م ق و ل ٱ ديي ه ل لل ٱ ٥١ لمين لظ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya
orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang zalim.”
Kesamaan konteks ini bisa dibaca dari beberapa penjelasan muffasir ketika menfasirkan
ayat al-Mumtahanah ini yang hampir selalu menyebutkan ayat-ayat ini ketika menafsirkan pertama
surah al-Mumtahanah. Selain itu kesamaan konteks itu juga bisa dilihat dari asbab al-nuzulnya
yang terkait dengan kondisi peperangan. Lihat Muchlis M. Hanafi, Asbᾱb al-Nuzul; Kronologi
Dan Sebab Turun Wahyu al-Qur’an, (Jakarta: Lajnah Pentashhihan Mushaf al-Qur’an Kemenag
RI, 2015) h.224-225 14 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, v.3, h.151
94
teman setia dan kekasih. ia menambahkan bahwa ini merupakan
peringatan dan janji yang pasti.”15
Kata رون berakar kata sarra-yasirru-sirran bermakna تس
perkataan yang disembunyikan di dalam hati. Ibnu Faris menyebut
bahwa kata ini memiliki berbagai makna cabang yang semuanya
menyatu dalam arti yang menunjuk pada arti “penyembunyian
sesuatu”.16 Kaitannya dengan ini Sya’rawi menjelaskan bahwa ini
memiliki penjelasan bahwa yang disampaikan, terkait dengan hal-
iḥwal mengenai Nabi serta umat Islam yang bila disampaikan akan
memberi dampak negatif bagi umat Islam. Terlebih, jika ditambah
dengan kata ودة yang berarti penyampaian rahasia itu dilakukan ابمل
dengan cinta kasih yang meluap.17
Dari beberapa analisis kebahasaan diatas, juga dengan melihat
mantuq ayat tersebut, maka akan didapati beberapa poin penting,
seperti; (1) bahwa yang dimaksud adalah orang kafir yang memang
ingin menghancurkan Islam, ingin memberi dampak negatif, ingin
memberi kerugian pada umat Islam. (2) Pelarangan itu karena ada
mereka (kafir) jelas memusuhi umat Islam dengan melanggar
penjanjian damai, juga adanya indikasi menyampaikan dan
memberitahu rahasia-rahasia yang tidak seharusnya disampaikan,
seperti rahasia menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan Nabi
15 Ibnu Kastir, Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Maktabah Aulad) v.13, h.504 16 Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), v.3, h.920 17 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.87
95
dan umat Islam. (3) Auliya’, itu berarti teman akrab dan kekasih
karena mengandaikan hubungan yang sangat dekat, seperti dengan
kelaurga sendiri auliya’, sehingga berbagi rahasia itu dianggap biasa
saja.
Sementara itu, setelah menjelaskan tentang asbᾱb al-nuzūl-
nya, Ibn Asyur menyebut bahwa ayat ini memiliki tujuan untuk
memberi peringatan pada semua orang Islam agar tidak melakukan hal
yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Ḥatib, yakni
membocorkan rencana Nabi saw (berkhianat).18
Bahkan, al-Sya’rawi ketika menafsirkan ayat ini,
memaknainya “Janganlah kalian menjadikan mereka auliya’ karena
mereka adalah musuh, dan musuh tidak akan menjadi teman setia,
penolong selamanya, musuh itu memususi dan berlawanan dengan
kamu.” Ia kemudian mengutip ayat lain yang memiliki poin yang
sama dengan ayat ini, kaitannya kenapa menjadikan mereka auliyā’
itu dilarang.19
18 Muhammad Thahir Ibnu Asyur, Tafsīr al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, v-28 h.133 19 Q.S Al-Imron [3]: 118-120 misalnya,
اي نوا لذين ٱ أ يه ام ان ة ت تخذوا ل ء ن بط ب ال لون كم ي أ ل ونكم د م دوا خ ا و نتم م ا ب غ ل ٱ ب د ت ق د ع ا ههم و أ ف من ء ض م و
ل أ نتم ه ١١٨ قلون ت ع كنتم إن ت ي ل ٱ ل كم ب ينا ق د ب ر أ ك صدورهم فيتخ ل تحبون هم ء أو تؤ كم يحبون و ۦكل ه ب كت ل ٱب منون و
إذ ا نا ا ق الو ل قوكم و ام إذ ا ء ل و و ل ي ع ضوا ا خ ليم لل ٱ إن ظكم بغ ي موتوا قل ظ غ ي ل ٱ من ن امل ل ٱ كم ع دور ٱ بذ ات ع إن ١١٩ لص
ن ة كم س س ت م س إن هم ت سؤ ح ي ئ ة كم تصب و حوا ي ف س ا ر إن به ت تقوا بروا ت ص و كم ل و ي ي ضر ا ش ي دهم ك ا لل ٱ إن لون ي ع بم م
١٢٠ محيط “Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan
kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata
"Kami beriman", dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah
bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena
kemarahanmu itu". Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati.”. “Jika kamu memperoleh
kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira
karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak
mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang
96
Sedangkan dari segi analisis tematik-holistiknya, menunjukkan
bahwa konteks pembicaraan ayatnya, terjadi dalam masa peperangan,
bukan dalam keadaan damai. Ini bisa dibaca dari konteks, riwayat
asbᾱb al-nuzūl dan munᾱsabah-nya–seperti yang sudah dijelaskan.20
Sehingga dalam ayat pertama ini bermuwalāt al-kuffᾱr
dilarang karena pada saat itu orang kafir memang jelas memusuhi
orang mukmin, apalagi konteksnya saat itu sedang dalam masa
peperangan dan orang kafir melanggar perjanjian damai yang telah
disepakati bersama, yang semua ini berdampak pada kemaslahatan
umat Islam. Selain itu, dilihat dari penjelasan beberapa mufassir,
mereka selalu mengkaitkannya dengan ayat lainnya, sehingga
mengindikasikan adanya korelasi dalam hal kesatuan tema, poin, dan
tujuannya.
Jika ingin dipahami dengan kaidah al-ʻibrah bi al-maqᾱsid,
akan ditemui hal yang senada yakni ditemukan dari ibarah al-nash
yang menginformasikan larangan tersebut, karena dilihat saat ayat itu
mereka kerjakan.”.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah
nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih
besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu
memahaminya.”
Dalam ayat-ayat diatas terkumpul rangkaian keburukan sifat orang kafir, dan sifat-sifat
iinilah yang menjadi alasan utama larangan bermuwalāt (bersekutu, bersekongkol, berkolaborasi).
Inilah yang Sya’rawi jelaskan dalam tafsirnya bahwa, larangan menjadikan non-Muslim menjadi
teman kepercayaan itu karena mereka tidak akan berhenti menyusahkan, tidak akan mengurangi
hal-hal buruk yang kalian kerjakan dan akan melemahkan kekuatan kalian. Lihat Mutawalli al-
Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.87 20 Beberapa diantaranya, ibnu Katsir menyerbut ayat Ini seperti yang difirmankan Allah
dalam ayat lain, yaitu al-Mai’dah [5]: 51 dan 57, al-Nisa’ [4]: 144 dan al-Imran [3]: 28, Al-
Sya’rawi menyebutkan ayat lain yang dianggap mempunyai kesamaan makna, salah satunya al-
Imran [3]: 28, 118, 119, al-Mai’dah [5]: 57,
97
diturunkan dalam suasana peperangan, jadi dalam suasana seperti
itulah dilarang untuk bersekutu, bersekongkol, berkoalisi dengan
orang kafir. Sedangkan dari analisis ‘illat, ditemukan bahwa
permusuhan yang ditimbulkan itulah yang menjadi ʻillat (sebab)
larang bermuwālāt dengan mereka.
Selain itu, poin maqᾱsid juga bisa dilihat dari pembedaan,
mana yang menjadi tujuan utama (maqᾱsid al-aṣliyyah) dan yang
menjadi tujuan pelengkap atau sekundernya (maqasid al-tābi’iyyah).
Dalam hal ini yang menjadi tujuan utama dalam ayat ini adalah
hurmatu muwālāt aʻdāi al-islām (larangan untuk saling bersekongkol
dengan musuh Islam). karena hal itu berbahaya, berbahaya bagi
keimanan seseorang, juga bagi kaum muslimin secara keseluruhan.
Adapun tujuan sekundernya, melalui peristiwa Hatib ini,
menunjukkan betapa manusia itu memiliki satu kelemahan yang
sangat nyata, yakni keluarga.21 Ḥatib yang sedimikian dekat dengan
Nabi saw., termasuk salah satu ahl al-badr, namun jatuh dalam satu
kesalahan. Allah memaafkannya, dan Nabi saw., juga memahami
21 Berkenaan dengan ini al-Sya’rawi menjelaskan bahwa, (kuatnya hubungan) keluarga
dan kerabat itu tidak selamanya membawa kita pada pengingkaran terhadap manhaj Allah, karena
kita tidak akan tahu dari mana datangnya kebaikan, karena itu Islam lebih tinggi hubungan
akidahnya daripada hubungan nasab. Ini artinya bahwa apa yang dilakukan oleh Hatib (untuk
melindungi keluragnya) tidak selamanya keliru. Lihat Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir
Imaniyyah, v-18, h.89-90.
Quraish Shihab menjelaskan lebih lanjut bahwa sebenarnya hubungan permusuham
mereka (antara orang Muslim dan non-Muslim) cukup jelas, tapi ada diantara kaum Muslim
(dalam hal ini Hatib) yang terperngaruh oleh hubungan kekerabatan sehingga mereka lengah.
Allah menegur dan memperingatkan bahwa, seandianya kerabat itu memberi sesuatu, itu hanya
dalam ranah kehidupan kemasyarakatan yang mengantar pada kebutuhan-kebutuhan duniawi.
Lihat Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. v-13, h. 587
98
motifnya.22 Ini artinya bahwa jangan sampai hubungan kedekatan,
kekerabatan, kekeluargaan dengan non-Muslim itu menyentuh hal-hal
yang merugikan dalam ranah keagamaan.
Analisis-analisis diatas mengantarkan pada keyakinan nalar
tafsir maqᾱsidī bahwa pelarangan menjadikan orang kafir sebagai
teman setia, penolong dan sejenisnya merupakan sesuatu yang
kontekstual pada awalnya; ini terlihat poin illat dan maqᾱsid yang
dapat dibaca dari rangkaian ayat serta penjelasan beberapa mufassir
diatas. Bahwa maskud larangan bermuwallat al-kuffar saat itu, agar
orang muslim tidak mendapatkan dampak berbahaya, negatif dan
merugikan mereka secara pribadi maupun secara keseluruhan akibat
hubungan itu.
Selain itu, maqᾱsid-nya juga bisa dipahami dari data sejarah
yang luas yang tersaji tentang ayat dan tema yang dikandungnya.23
Dengan demikian, values dan tujuan al-Qur’an yang mendasari hal ini
sudah dipahami. Apalagi kalau kita melihat Q.S al-Mumtaḥamnah: 8
dan 9 (ayat ini juga akan penulis bahas nanti), maka poin maqasid
akan semakin menguatkan penjelasan diatas
22 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.h. 587 23 Dalam catatan sejarah, beberapa kali umat Islam meminta bantuan kepada non-Muslim.
Pertama, ketika umat Islam dikejar-kejar kafir Quraisy Mekkah, Nabi Muhammad saw, mencari
perlindungan ke Raja Najasyi yang kristen. Ratusan sahabat Nabi saw, termasuk Usman bin Affan
dan istrinya, Abu Hudzaifah ibnu Utbah, Zubair ibnu Awwam, Abdurrahman bin Auf hijrah ke
Najasyah untuk menghindari pembunuhan dari kafir Quraisy. Di saat kafir Quraisy memaksanya
untuk mengembalikan umat Islam ke Mekkah, sang raja tetap pada pendiriannya, untuk
melindungi umat Islam dan tetap diberikan hak untuk menjalankan agamanya. Kedua, ketika Abu
Ubaidillah al-Mahdi, khalifah pertama dinasti Fathimiyyah yang pernah meminta nasehat pada
seorang kristen tentang lokasi yang cocok untuk dijadikan ibukota negara. Lihat Abdul Moqsith
Ghozali, Perspektif al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama, h.197-198
99
2. Kebolehan bermuwalāt al-Kuffār
ٱ ع س ى۞ ب ي ن كم ب ي ع ل ي ج أ ن لل ن تمع اد ي لذين ٱ ن و دة همم و ٱو م ٱو ق دير لل حيم غ فور لل ل ٧ ر
ى ي ن ٱ كم ه ين ٱ في تلوكم يق ل م لذين ٱ ع ن لل ل م لد ن رجوكميخ و وهم أ ن ركم دي م تق ت ب ر هم إل ي ا سطو و
ا ٨ سطين مق ل ٱ يحب لل ٱ إن ى ي ن إنم ٱ كم ه ين ٱ في ت لوكم ق لذين ٱ ع ن لل أ خ لد جوكمو ن ر ركم دي م
ظ روا و ل ى ه اجكم إخ ع لو أ ن ر ن هم ت و م لهم و ي ت و ل ٱ هم ئك ف أو
٩ لمون لظ
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu
dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah
adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena
agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu,
dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” (Q.S al-Mumtaḥanah: 7-9)
Tema ayat ini berhubungan erat dengan ayat pertama surat al-
Mumtahanah, dimana jika ayat yang pertama menerangkan larangan
tegas hubungan kasih sayang dengan non-muslim–apabila mereka
berkhianat, maka ayat ini justru menerangkan sebaliknya, yakni
menerangkan sikap seorang muslim terhadap non-muslim yang tidak
memusuhi, tidak berkhianat, tidak berpaling pada Muslim. Bahkan,
ayat ini menganjurkan untuk mengulurkan tali persaudaraan dan
menjalin hubungan yang baik terhadap mereka.24
Konsep maslaḥat ayat di atas, akan langsung terlihat dari entitas
munasabah-nya. Artinya, sebagai sesuatu yang dianjurkan, ayat ini
mengandung poin yang bisa dibaca secara jelas, yakni (1) Islam bukan
24 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2008), h. 96
100
agama yang menakutkan bagi non-Muslim. (2) Hubungan antara
muslim dan non-muslim itu sejatinya bisa sedemikian dekat dan
akrab. (3) Allah tidak melarang adanya hubungan baik dengan non-
muslim, bahkan Allah menganjurkan itu jika non-muslim tidak
tindakan-tindakan yang bisa merugikan umat Muslim.
Oleh sebab itu, melihat ayat ini cukup menarik, karena
keterikatan ayatnya menjelaskan tentang sikap terhadapa non muslim.
Yakni bagaimana perilaku yang dilarang dan dianjurkan. Hal ini
penting guna mewujudkan hubungan yang baik antar sesama manusia,
khususnya dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan.
Ayat ini sendiri turun berkenaan dengan ipar Nabi Muhammad
saw, Asma’ binti Abu Bakar yang mempertanyakan bolehnya ia
menerima kunjungan ibunya yang saat itu masih kafir.25 Riwayat lain
menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan sekelompok muslim
yang mengadu dan bertanya: “Sesungguhnya kami mempunyai
saudara, kerabat yang tidak beriman, apakah kami bisa tetap
memperlakukan mereka secara baik?.”26
Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa Allah tidak melarang orang
muslim berbuat kebajikan dan kebaikan kepada non-Muslim. Namun
dengan syarat, mereka (non-Muslim) tidak membunuh, mengusir
kalian dari tempat tinggal, kota, ataupun negara kalian, maka tidak ada
25 Asma binti Abu Bakr berkata: “ketika Nabi saw masih hidup, ibuku (yang masih kafir)
datang ke rumahku karena rindu padaku. Aku lalu bertanya kepada beliau, ‘bolehkah aku
menerima kunjungannya?’ ‘boleh’ jawab Nabi saw, lalu turunlah ayat ini. Lihat Muchlis M.
Hanafi (editor), Asbabun Nuzul; Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu al-Qur’an, h.433 26 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.95
101
apapun yang memberatkan untuk berbuat baik dalam hal apapun pada
mereka.27
Sedangkan menurut Quraish Shihab: “....Kata (تبوهم) berarti
“kebijakan yang luas.” Dengan penggunaan kata, tercermin izin untuk
melakukan aneka kebajikan bagi non-Muslim selama tidak membawa
dampak negatif dan merugikan bagi umat Islam.”28
Senada dengan pendapat di atas, Wahbah Zuhaili menjelaskan
bahwa, maksud ayat ini adalah “Allah tidak melarang untuk berbuat
kebajikan kepada non-Muslim yang sudah berjanji untuk tidak
memerangi kaum Muslim, dan juga tidak melarang memperlakukan
mereka dengan adil.” Dua ayat ini, merupakan gambaran yang bisa
didapat dari hubungan non-Muslim dan Muslim, adakalanya itu
hubungan perdamaian, dan adakalanya itu hubungan permusuhan.
Hubungan perdamaian itu dianjurkan jika non-Muslim tidak
memerangi, tidak mengusir seperti yang dijeskan ayat ke-8, dan
hubungan itu dilarang jika mereka bekhianat, mengingkari janji
seperti yang dijelaskan ayat ke-9.29
Sementara Sayyid Quṭb menjelaskan bahwa “Islam adalah
Agama damai serta akidah cinta. Ia satu sistem dan bertujuan untuk
menaungi seluruh alam dalam naungan cinta dan kedamaian, serta
bahwa semua manusia dihimpun dalam manhaj agama, serta dalam
27 Mutawalli al-Sya’rawi, Khawatir Imaniyyah, v-18, h.96 28 Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. h. 598 29 Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, h.508-513
102
kedudukan sebagai saudara-saudara yang saling kenal satu sama lain
dan saling cinta-mencinta. Tidak ada yang menghalangi untuk menuju
arah tersebut kecuali musuh-Nya. Maka ketika non-muslim bersikap
damai, Islam tidak akan berniat melakukan permusuhan.30
Bahkan seandainya dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap
menerapkan faktor-faktor keharmonisan itu dalam hati, seperti
kejujuran tingkah laku serta perlakuan yang adil, menunggu satu hari
dimana mereka bisa menerima kebajikan yang ditawarkan. Sehingga,
mereka tertarik untuk bergabung dengan manhaj agama ini.31
Penjelasan di atas mengantarkan kepada nalar al-maqᾱsidī
bahwa Allah melarang bukan semata-mata hanya karena kekafirannya,
tapi juga pada sifat yang dimilikinya. Jika non-Muslim bisa berdamai,
maka hubungan antar sesama sebagai manusia sangat dianjurkan.
Namun jika mereka melakukan tindakan-tindakan yang merugikan
orang Islam, maka hubungan itu dilarang.
Sedangkan jika menerapkan kaidah al-ibroh bi al-maqᾱsīd,
maka akan sama saja hasilnya karena secara ibarah al-naṣ, dua ayat
ini menjelaskan hal itu. Bahwa jika dalam suasan damai seperti
konteks ayat diatas, maka menerima kunjungan, hadiah dan saling
berbuat baik kepada orang kafir tidak dilarang. Pun begitu dengan
pemahaman ‘illat nya, karena dalam penjelasan di atas sudah
dijelaskan ʻillatnya adalah permusuhan itu sendiri.
30 Sayyid Quthb, Fii Dzilal al-Qur’an,(Beirut: Dār al-Syurūq, 1412 H), h.503 31 Sayyid Quthb, Fii Dzilal al-Qur’an,(Beirut: Dār al-Syurūq, 1412 H), h.505
103
Analisis di atas mengantarkan pada pencapaian tujuan utama
ayat ini, yakni tidak adanya larangan untuk bermuwālāt al-kuffār
selama itu terjadi dalam suasana damai dan tidak ada permusuhan
antara keduanya (muslim-kafir). Ini juga menunjukkan prinsip agama
Islam dalam menjalin hubungan persaudaraan, persahabatan dengan
non-Muslim. Kaum Muslim diwajibkan bersikap baik, bijak selama
mereka juga melakukan hal yang sama. Ini sekaligus menunjukkan
secara jelas bahwa misi utama al-Qur’an dalam kehidupan
bermasyarakat adalah untuk menegakkan prinsip persaudaraan
tersebut, serta mengikis segala bentuk fanatisme golongan, agama
maupun kelompok.
Dengan persaudaraan, sesama masyarakat dapat melakukan
kerjasama; meskipun dengan satu perbedaan yang mencolok, yakni
perbedaan akidah. Perbedaan itu ada, bukan untuk menunjukkan
kehebatan satu atas yang lain, tapi untuk saling mengenal dan
menegakkan prinsip persatuan, persaudaraan, persamaan dan
kebebasan.32
Anjuran untuk membangun persaudaraan dengan non-Muslim
yang menjadi poin maqᾱsid ayat ini juga bisa didapati dari ayat lain,
seperti Q.S al-Hujurat [49]: 1333 dan Q.S al-Nisa’ [4]: 1.34 Kedua ayat
32 Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama,
h.50-59 33 Q.S al-Hujurat [49]: 13
اي ل ق إنا لناس ٱ أ يه ن كمن خ أنث ى ذ ك ر م ع ل و ج ق ب ا اشعوب كم ن و فو ئل و كم أ ك إن ا لت ع ار م ٱ عند ر ليم لل ٱ إن كم ق ى أ ت لل ع
بير ١٣ خ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
104
ini adalah ayat madᾱniyah,35 dimana biasanya salah satu cirinya
adalah diawali dengan ءامنوالذينٱأي ها (ditujukan untuk orang-orang
beriman), tapi demi persaudaraan, persatuan juga kesatuan ayat ini
mengajak pada semua manusia ( لناسٱأي ها )–baik yang beriman atau
yang tidak agar saling membantu dan menyayangi.
Sebab, hakikat masing-masing manusia berasal dari satu
kesatuan, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil
dan besar, beragama atau tidak beragama. Semua dituntut untuk saling
menciptakan kedamaian dan rasa aman dalam masyarakat, serta saling
menghormati hak-hak asasi manusia.36
Selain itu, dari analisis ini juga kan didapati bukan hanya
mengantarkan pada pencapaian tujuan utama ayat ini, tapi pada tujuan
sekundernya, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan persaudaraan, persahabatan serta persatuan yang terjadi antar
umat yang berbeda agama, maka upaya untuk mewujudkan kehidupan
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
34 Q.S al-Nisa’ [4]: 1
اي بكم تقوا ٱ لناس ٱ أ يه ل ق كم لذيٱ ر ن خ ل ق حد ة و س نف م خ امن و و ه از ه ب ج امن ث و ال هم ثير رج ا اك نس لذيٱ لل ٱ تقوا ٱو ء و
ا لون ت س ام ر ل ٱو ۦبه ء ل ي ك ان لل ٱ إن ح قيب كم ع ١ ار “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu
dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” 35 Ayat yang turun setelah Nabi Muhammad saw berhijjrah ke Madinah. Lihat Manna’ al-
Qaththan, al-Mabahis Fii Ulum al-Qur’an, 36 Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h.54
105
masyarakat yang diliputi keadilan dan kemakmuran akan lebih mudah
untuk dicapai.
B. Reaktualisasi Poin Maqāṣid dalam konteks Indonesia
Jika pemahaman penuh illat dan maqᾱsid-nya sudah didapat, maka
seorang mufassir akan dihadapkan pada realitas yang dapat melahirkan
kegelisahan, merangsang upaya dekontekstualisai untuk kemudian
menggerakkan pada usaha reaktualisasi poin maqᾱsid dari ayat itu. Ini
senada dengan apa yang diungkapkan oleh Moqsith Ghozali, “Saat
maqᾱsid sudah didapat, teks harus dilepaskan dari konteks kearabannya
yang awal (dekontekstualisasi) untuk kemudian dilakukan
rekontekstualisai, yakni melabuhkan prinsip-prinsip dasar Islam itu
ditempat dan dibelahan bumi non-Arab.37
Apabila beberapa hal mengenai ayat-ayat diatas sudah selesai dibahas,
maka dengan kekuatan nalar, tafsir maqᾱsidī akan bergerak ke ranah yang
lebih urgen. Sehingga ayat ini memiliki ruang untuk ijtihad, dimana nalar
maqashidi masuk menjadi intrumen analisis, misalnya untuk
mendiskusikan:
a. Muwālāt al-kuffār dalam konteks, ruang dan waktu Indonesia.
Reaktualisasi nalar tafsir maqashidi pada ayat-ayat diatas memiliki
beberapa poin, salah satunya bolehnya menjalin hubungan
(bekerja sama, menjadikan atasan, bahkan memilih untuk
menduduki jabatan-jabatan publik tertentu) dengan non-Muslim
37 Abdul Moqsith Ghozali dkk, Metodologi Studi al-Qur’an, h.155
106
selama mereka tidak memusuhi serta tidak memberika efek negatif
(maḍarat) pada umat Islam.
b. Menciptakan hubungan baik antar pemeluk agama dan anjuran
persaudaraan dengan umat agama lain. Pemahaman akan substansi
keberagaman merupakan upaya untuk menyadari hakikat
beragama bagi setiap pemeluk agama. Kesadaran ini merupakan
modal yang paling penting untuk bersikap wajar dan proporsional
dalam menghadapi perbedaan agama yang ada. Memahami
subtansi agama berarti menumbuhkan sikap saling menghormati
ajaran lain. Di sini umat beragama akan menyadari tiga kesadaran,
agree in disagreement, agree ini agreement dan agree in
different.38
Agree in disagreement adalah setuju untuk tidak setuju dalam hal-
hal yang prinsip yang menjadi dasar agama, misalnya tentang
akidah dan keimanan. Umat Islam pasti menyadari bahwa iman
yang benar baginya adalah ketauhidan dan ke-esaan Allah dengan
al-Qur’an sebagai kitab sucinya. Umat kristiani mengakui bahwa
trinitas adalah iman kristen dan ijil sebagai kitab sucinya. Umat
Yahudi pun begitu, mengakui bahwa keberadaan Uzair beserta
kitab sucinya Taurat dan Talmud tidak bisa di ganggu gugat,
begitu seterusnya dalam agama-agama lain. Masing-masing agama
harus memantapkan posisi kepercayaan umatnya dan meyakinkan
bahwa agamanya berbeda dengan agama lain. Disinilah, kesadaran
38 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta: Ciputat Press,
2003), h. 208
107
eksklusifitas itu tidak harus ditonjolkan dalam rangka hubungan
antar pemeluk agama dalam hubungan antar agama secara
eksternal, tapi cukup hanya sebatas dalam relasi internal.39
Agree in agreement adalah setuju untuk saling setuju. Inklusifitas
juga merupakan doktrin agama yang penting, karena banyak
ditemukan doktrin yang semakna, satu tujuan, maupun satu misi.
Persamaan-persaman inilah yang harus diketengahkan dan
direnungkan. Misalny, dalam tiga agama samawi sama-sama
mengakui bahwa mereka keturunan keturunan dari manusia
pertama, yaitu Adam dan Hawa, mengakui tentang ketuhanan
Allah. Terkahir agree in different, yakni setuju dalam perbedaan.
Adanya doktrin-doktrin yang disepakati oleh berbagai pemeluk
agama meskipun dalam perbedaanya. Misalnya, Islam mengakui
keberadaan Injil dan Taurat serta penghormatan istimewa terhadap
pemeluknya, apresiasi ini bukan hanya sekedar pengkuan kosong
tapi juga dilegitimasi sendiri oleh naṣ al-Qur’ān. Legitimasi ini
diakui sebagai pengakuan, namun harus juga disadari adanya
perbedaan tentang pemahaman eksistensinya. Demikian juga,
umay Yahudi dan Kristen harus menyadari bahwa umat Islam
mempercayai Dawud dan Kristus (Isa), kendatipun dalam
pengertian, kedudukan yang berbeda dengan pemahaman
mereka.40
39 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama,h. 208 40 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 208-209
108
Dengan tiga kesadaran ini, maka sikap keberagaman masyarakat
secara objektif harus diarahkan pada penekanan usaha bersama
menggali, mengembangkan secara mendalam dan menyeluruh
terkait prinsip-prinsip kesamaan, persaudaraan dan persatun yang
signifikan dalam hubungan kemanusiaan, sosial dan
kemasyarakatan. Sebab, latarbelakang setiap manusia, selalu ingin
diperlakukan secara adil dan diposisikan sejajar dengan manusia
lain. Sehingga, seruan untuk berlaku adil, pasti dikumandangkan
oleh tiap-tiap agama sebagai seruan yang bersifat universal dan
abadi. Oleh karena itu, mengedepankan kesadaran seperti ini
mutlak diperlukan, bukan sekedar sebagai wawaan, tapi juga
sebagai aksi harus mulai dimulai dari pribadi masing-masing
pemeluk agama, yang nantinya akan berkahir menjadi kesadaran
kelompok, masayarakat, bahkan kesadaran nasional dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkait masalah-masalah
kemaslahatan umum yang merupakan sebuah keniscayaan,
sehingga kemesraan antar agama itu bisa tercapai.41
c. Pemantapan akan kesadaran pluralitas budaya juga agama.
Kemajemukan serta pluralitas bangsa Indonesia bukanlah sesuatu
kenyataan yang baru terbentuk. Kemajemukan etnis, budaya,
bahasa, agama, suku serta ras merupakan kenyataan sejarah yang
sudah mengakar di negeri ini. Oleh karena itu, kemajemukan dan
pluralitas ini menjadi hal yang penting untuk disadari dan tak bisa
41 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 209. Lihat juga,
Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama, h.2261-269
109
diingkari. Pengingkaran terhadap hal ini merupakan penolakan
atas kebenaran sejarah, cita-cita berbangsa dan bernegara.
Pemahaman, kesadaran serta pemantapan nilai kemajemukan,
pluralitas dan keragaman yang ada, dalam rangka kesatuan
manusia Indonesia, bisa menuntun serta menciptakan sikap
moderat, menjunjung toleransi bagi individu dan masyarkat bahwa
adalah satu. Dalam kerangka ini, maka terwujudlah suasana
beragama yang sejuk, damai, saling meghargai, toleran antar
sesama umat dan bangsa.42
d. Melakukan tata kelola organisasi dan pelembagaan agama-agama
yang ada di Indonesia. Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
berasas “bhineka tunggal ika” harus selalu ada toleransi antar umat
beragama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh
karena itu negara wajib menjamin kemerdekaan agama dan
tumbuhnya toleransi. Kehidupan beragama di Indonesia tercermin
pada eksistensi lima agama besar: Islam, Kristen, Protestan,
Katholik, Hindu dan Budha, maka perbedaan yang ada tidak boleh
menghalangi hubungan antar warga negara dalam kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Tata kelola oragnisasi
dan tradisi pelembagaan agama-agama menjadi satu hal yang
penting, karena itu merupakan potensi yang sangat besar dalam
pembinaan mental, moral dan spiritual bangsa, seklaigus bisa
menjadi jembatan utama dalam mewujudkan masyarakat adil,
42 Said Agil Husin Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Agama, h. 210-211. Lihat juga,
Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama, h.322-323
110
makmur, yang merata secara material dan spiritual dalam suasanan
kehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis, serta
dalam lingkungan yang merdeka, damai dan bersabahat.
e. Mengembangkan pentingnya dialog antar pemeluk agama.
Sehingga dari semua ini bisa tercipata sikap toleran, saling
menghargai dan kerukukan hubungan dengan non-Muslim dalam
konteks warga negara Indonesia. Dialog meniscayakan
kesempatan yang sama bagi dua pihak untuk menyatakan
pendapatnya atau memberi tanggapan atas pendapat pihak lain.
Dengan demikian dialog diartikan sebagai bentuk komunikasi
antar umat beragama yang berbeda dimana masing-masing agama
mempunyai kedudukan yang setara dalam proses komunikasi.
Untuk menciptakan hubungan yang baik, mengedapankan
toleransi, menerima, menghormati dan menghargai perbedaan
yang ada, serta saling menjadikan ajaran masing-masing sebagai
dasar untuk menerima hak umat lain dalam sebuah komunitas
yang sama, maka dialog itu harus diusahakan kedua belah pihak.
Upaya-upaya untuk melakukan dialog inilah bisa menjadi jalan
penting demi terwujudnya sikap toleran, dan saling menghargai
antar sesama warga negara, serta dapat mengembangkan cara
berfikir yang positif satu sama lain.43
Inilah beberapa poin yang menjadi tujuan akhir dari nalar tafsir al-
maqᾱsidī, reaktualisasi maqᾱsid al-naṣ. Apalagi melihat salah satu tujuan
43 Departemen Agama RI, Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat Beragama,
h.2261-269
111
hidup yang diinginkan setiap manusia adalah terciptanya kedamaian,
ketenangan, keamanan dan kenyamanan sehingga setiap individu akan
berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh tujuan itu. Salah satu hal yang
dianggap bisa mendukung terciptanya tujuan diatas adalah sikap saling
memahami identitas, karena setiap manusai memiliki indentitasnya
masing-masing, tentu banyak sekali perbedaan antara satu dan yang lain,
kesadaran sikap ini harus senantiasa ditumbuhkan agar perbedaan yang
ada mengarah pada potensi positif dalam memperoleh kehidupan yang
damai dan aman.44
Tujuan utama hidup manusia adalah ketentraman dan kebahagiaan
batin. Dalam agama ketentraman dan kebahagiaan batin bukan hanya
untuk pribadi saja, tapi juga untuk seluruh manusia, ini biasa disebut
dengan kemaslahatan umum. Secara sosiologis, kemsalahatan umum
berhubungan erat dengan interkasi dan relasi sosial dalam masyarakat.
Oleh karena itu mewujudkan kerukukan serta toleransi dalam pergaulan
antar umat beragama merupakan satu upaya yang penting untuk
menciptakan kemaslahatan umum serta melancarkan hubungan antar
manusia yang berbeda agama satu dengan yang lainnya, sehingga setiap
golongan umat beragama dapat melaksanakan bagian dari tuntutan
agamanya masing-masing.45
Walhasil, tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk membenci
orang lain karena menganut agama lain. Membiarkan orang lain untuk
tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri.
44 Departemen Agama RI, Tafsir Maudhu’i: Hubungan Antar Umat-Beragama, h. 70-71 45 Said Agil Husein Al-Munawwar, Fikih Hubungan Antar Umat Beragama, h.22
112
Toleransi yang ditunjukkan Islam sedemikian kuatnya, hingga umat Islam
dilarang memaki-maki Tuhan-tuhan yang disembah oleh orang Musyrik.46
Oleh karena semua inilah, tak berlebihan jika toleransi di katakan
sebagai kebutuhan/keharusan dalam hidup, selain sebagai kewajiban
agama yang sudah dijelaskan di atas. Dalam pandangan Islam toleransi
bukanlah pemberian dari orang atau kelompok yang kuat kepada yang
lemah, tapi sebuah nilai esensial yang diajarkan dan menjadi cirri yang
melekat dengan Islam itu sendiri.47
Akhirnya, reaktualisasi poin Maqāṣid berkahir pada misi utama yang
ingin diusung al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat, yakni prinsip
toleransi, kemanusiaan dan persamaan (egaliterianisme). Bahwa dari
hakikat penciptaannya manusia itu sama, tidak ada perbedaan. Oleh karena
itu tidak ada kelebihan satu individu atas individu yang lain, satu golongan
atas golongan yang lain, satu ras atas ras lain. Maka, dengan prinsip
tersebut sesama anggota masyarakat bisa melakukan kerja sama,
kendatipun diantara mereka terdapat perbedaan prinsip, yakni akidah.
Perbedaan bukan untuk menunjukkan superioritas atas yang lain, tapi
untuk saling mengenal, mengerti, memahami, mencari titik temu untuk
mencapai prisnip kemanusiaan, persatuan, persaudaraan, moderasi,
toleransi dan kebebasan.
46 Abdul Moqsith Ghozali, Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama,
h.170 47 Muskhlis M Hanafi, Moderasi Islam:Menangkal Radikalisasi Berbasis Agama, h.265
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari serangkaian bab-bab yang sudah dijelaskan, penulis
menyimpulkan bahwa poin-poin berikut sebagai jawaban dari rumusan
masalah yang telah disusun sebelumnya, yaitu:
Setelah melakukan kajian tentang ayat-ayat muwalāt al-kuffār yang
ada dalam Q.S al-Mumtahanah yang dianalisis dengan pendekatan
maqāṣidī maka akan didapati beberapa kesimpulan berikut:
- Analisis maqāṣidī yang dilakukan atas beberapa ayat, khsusunya
mengenai muwalāt al-kuffār mengantarkan kepada penalaran,
bahwasanya larangan tersebut kontekstual pada masanya. Dan illatnya
adalah permusuhan yang ada. Dari analisis ini juga mengantrakan
pada pemahaman, anjuran untuk berbuat baik dan menjalin
persahabatan dengan non-Muslim selama mereka tidak memusuhi dan
tidak memberi dampak negatif, sehingga hubungan kerjasama antar
pemeluk agama ini bisa terlaksana dan tidak terlarang. Inilah yang
menjadi maksud utama dalam ayat-ayat tersebut.
- Dari penemuan poin maqāṣid ini, kemudian bisa direaktualisasikan
dalam konteks Indonesia, bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang kaya akan kemajemukan dan
kebhinekaan, misi utama yang diusung al-Qur’an adalah prinsip
114
toleransi, kemanusiaan, persamaan, moderasi serta persaudaraan.
Prinsip-prinsip universal ini juga sejalan dengan perkembangan
Maqāṣid al-syarīʻah terbaru yang menjunjung tinggi hal-hal ini.
Perbedaan yang ada tidak akan bisa menganulir prinsip-prinsip ini
yang berisfat qaṭʻi serta universal. Hal ini juga sesuai dengan
semboyan negara “Bhineka Tunggal Ika”.
- Kajian ini memberi bukti nyata bahwa Islam sebagai agama yang
tekakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., bukanlah agama
yang mengajarkan pada sikap intoleran pada pemeluk agama lain.
Tapi Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
tolerasni, persamaan, kemanusiaan untuk dapat menciptakan sebuah
tatanan masyarakat dalam kesatuan dan perstauan. Sehingga tercipta
hubungan yang harmonis, romantis, damai, rukun dan bersatu dalam
perbedaan.
115
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, penulis merekomendasikan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya berangkat dari Q.S al-Mumtahanah saja,
sementara konsep toleransi masih bisa digali dari beberapa ayat lain
yang tentu saja masih sangat banyak.
2. Penelitian ini yang berangkat dengan analsis maqāṣid ini tentu belum
sampai pada tahap sempurna, namun diharapkan menjadi sumbangsih
ilmiah, meski hanya dalam bentuk yang singkat tentang membangun
konsep toleransi. Penelitian ini diharapakan bermanfaat bagi
pengembangan dunia keilmuan, khsususnya bidang tafsir, ulūm al-
qur’an dan pemikiran islam, sehingga bisa dijadikan pegangan dan
inspirasi dalam peneltian selanjutnya.
3. Untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman,
damai, tentram dan sejahtera rasanya sangat perlu untuk
menumbuhkan dan memantapkan kembali kesadaran toleransi demi
terwujudnya kehidupan yang harmonis, damai dan rukun dalam
bingkai perbedaan dan keragaman.
116
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformstif . Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Abd. Bāqī, Muhammad Fuād. Al-Muʻjam al-Mufahras li alfāẓ al-Qur’ān al-
karīm, Beirut: Dār al-Maʻrifah. 2015
Ali, Atabik, dan Ahmad Zuhdi Muhdlor. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia
(Cet. I; Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996
Al-Asfahani. Al-Mufradᾱt fī Gharib al-Qur’an. Kairo: Dar Ibnu Al-Jauzi, 2012
Asmawi. Konseptualisasi Teori Maslahah, dalam jurnal salam: filsafat dan
Budaya
Atsir, Ibnu. al-Nihayah Fii Gharib al-Hadits wa al-atsar. Beirut: Maktabah al-
Ilmiah, 1979 v.2
Auda, Jasser. Fiqh al-Maqāṣid: ‘Ināṭat al-ahkām al-syar’iyyah bimaqāṣidihā.
Herndon, al-Ma’had al-‘Ālimī lilfikr al-Islāmī, 2006
, Maqāṣid al-Syarīʻah; Dalīl lilmubtadiīn. Herndon, al-Ma’had al-‘Ālimī
lilfikr al-Islāmī, 2006
, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syari’ah, Terj. Rosidin dan
Ali Abd Mun’im, Bandung: Mizan, 2015
Badawi, Ahmad Zaki. Mu’jam Musthalahat al-Ulum al-Ijtima’iyyah. Beirut:
Maktabah Lubnan, 1982
Biltaji, Muhammad. Manhaj Umar bin al-Khattab fii Tasyri’. Kairo: Dᾱr al-
Salam, 2002
Al-Bukhori, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. TK:
Maktabah ilm al-hadīṡ, 2005
117
Departemen Agama RI. Al-Quran Dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI,
2007
Departemen Agama RI. Tafsir al-Qur’an Tematik: Hubungan Antar Umat
Beragama. Jakarta: Departemen Agama RI, 2008
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2016
Fadeli, Soelaimandan dan Subhan, Muhammad. Antologi NU: Sejarah-Istilah-
Amaliyah-Uswah Surabaya: Khalista, 2007
Al-Ghazali, Abu Hamid. Al-Musytasyfa Min Ilm al-Uṣūl. Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-
‘Ilmiyyah, TT
Ghozali, Abd. Moqsith, dkk. Metodologi Studi Al-Qur’an. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2009
,. Perspektif Al-Qur’an Tentang Pluralitas Umat Beragama. Disertasi UIN
Jakarta, 2007
, Memahami Maqᾱṣīd al-Qur’an, makalah yang disampaikan pada studium
General di Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta Tahun 2014.
Hakim, Ahmad Husnul. Ensiklopedia Kitab-kitab Tafsir. Depok: eLSiQ, 2013
Hamidi, Abdul Karim. al-Madkhᾱl Ilᾱ Maqᾱsīd al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-
Rusyd, 2007
Hanafi, Muchlis M. Moderasi Islam: Menangkal Radikalisasi berbasis Agama,
Ciputat: Ikatan Alumni al-Azhar& Pusat Studi al-Qur’an, 2013
, Asbᾱb al-Nuzul; Kronologi Dan Sebab Turun Wahyu al-Qur’an, (Jakarta:
Lajnah Pentashhihan Mushaf al-Qur’an Kemenag RI, 2015
118
Hanbal, Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal. Kairo: Muassisah Qurtubah, TT
v.1
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai
dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya:
Bina Ilmu, 1979
Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur’an Di Medsos; Mengkaji Makna dan Rahasia
Ayat Suci Pada Era Media Sosial. Yogyakarta, Bunyan (PT. Bentang
Pustaka), 2018
ʻIbn Āsyūr, Muhammad Ṫāhir. Maqāṣid Al-Syarīʻah al-Islāmiyyah. Yordania:
Dᾱr al-Nafᾱis, 2001
, Tafsīr al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Tunisia: Dᾱr al-Tunisiyah, TT. v.7
Al-Juwaini. al-Burhan Fii Ushul al-Fiqh, Ed. Abd al-Adzim al-Diib. Qatar:
Kastir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adzhim, (Maktabah Aulad al-syaikh li al-turas,
TT) v.13
Kemenag RI. Tafsir Tematik, Moderasi Islam. Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, 2012
Kemenag RI. Maqasidusy-Syari’ah: Memahami Tujuan Utama Syari’ah (Tafsir
al-Qur’an Tematik). Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2013
Kusmana. Epistimologi Tafsir Maqāṣidi. Mutawatir: Jurnal Kelimuan Tafsir-
Hadis, vol.6, no.2, Desember 2016
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme.
Yogyakarta: Lkis, 2011
119
Maknunah, Nur Lu’lu’il. Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qur’an (Studi
Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur), Skripsi S1 UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2016
Mandzur, Ibnu. Lisᾱn al-‘Arᾱb, Beirut: Dᾱr al-Kuṭb al-‘Ilmiyyah, 2009
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maraghi. Mesir: Mustafa al-Babi al-Hilbi,
1946 M
Masduqi, Irwan .Berislam Secara Toleran: teologi Kerukunan Umat Beragama.
Bandung: Mizan, 2001
Masudi, Muhammad Idris. dalam artikelnya “Mendialogkan Tradisi dan
Modernitas, Tafsir Maqashidi:Sebuah Tawaran Penafsiran”, diakses dari
http:idrismuhhamd.blogspot.com
Mawardi, Ahmad Imam .Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqᾱṣid
al-Syarī’ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta: LKiS,2010
Misrawi, Zuhairi. Al-Qur’an Kitab Toleransi; Inklusifisme, Pluralisme dan
Multikulturalisme. Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007
Al-Munawwar, Said Agil Husain. Fikih Hubungan Antaragama. Jakarta: Ciputat
Press, 2003
Mustaqim, Abdul. Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir. Yogyakarta: Idea
Press, 2014
Nurdin, Rahmat. Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Q.S Al-Mumtahanah,
Tesis S2, UIN Kalijaga Yogyakarta, 2016
Quthb, Sayyid. Tafsir fii Dzilal al-Qur’an. Beirut: TP, 1971
Al-Raisyuni, Ahmad. al-Bahts Fii Maqasid al-Syari’ah. TP, TT
120
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Kairo, Dar al-Manar,
1947, vol. 4
Shihab, Alwi .Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung:
Mizan, 1999
Shihab, M.Quraish ddk. Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta:
Lentera Hati, 2007, v.7
Shihab, M. Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw dalam Sorotan
Hadits-hadits Shahih. Jakarta: Lentera Hati, 2011
, Lentera Al-Qur’an: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan,
2008
, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2011. V.13.
Sirry, Mun’im. Polemik Kitab Suci, Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an
Terhadap Agama Lain, Terj. R.Cecep Lukman Yasin . Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2013
Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawaali. Khawatir Imaniyyah. Kairo: Dᾱr al-Nūr li
al-ṭᾱb wa al-nasyr wa al-tauzi’ v.18
Sutrisno. Paradigma Tafsir Maqāṣidī. Jurnal Rasuyan Fikr, vol.13, n0.2,
Desember 2017
Al-Suyuthi, Jalaludin. Asbabun Nuzul: Sebab turunnya ayat al-Qur’an. Terj. Tim
Abdul Hayyie, Jakarta: Gema Insani, 2008
Syibromalisi, Ali, Faizah dan Azizy, Jauhar. Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011
121
Thahir, Halil. Ijtihad Maqsidi: Rekontruski Hukum Islam berbasis Interkonesitas
Maslahah, Yogyakarta: LKiS, 2015
Al-Ṫᾱbarī, Abī Jaʻfar Muhammad ibn Jarīr. Tᾱrikh al-Ṫabᾱri. Kairo: Maktabah
Ibnu Taimiyah,
Wathani, Syamsul. Konfigurasi Nalar Tafsir al-Maqashidi, Jurnal Suhuf, vol 9 No
2, Desember 2016
Yasir, Muhammad. “Makna Toleransi Dalam al-Qur’an,” Jurnal Ushuluddin, vol.
xxii No.2 Juli, 2014
Al-Zamakhsyari, Abi Qasim Mahmud bin Umar. al-Kasyaf an Haqaiqi
Ghawamid al-Tanzil wa Uyun an Aqawil fi Wujuh al-ta’wil, (Riyadh:
Maktabah Abikan, 1998
Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1991 M/1411 H
Syaerozi, Arwani. “Memperkenalkan Tafsir Maqashidi”, diakses dari
http://arwani-syaerozi.blogspot.com/2007/11/memperkenalkan-tafsir-
maqshidi.html