Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
Volume 5, Nomor 1, Juni 2019
Penanggungjawab:
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Reviewer
Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP)
Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor)
Mitra Bestari
I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)
Redaksi Pelaksana
Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Amelia Ulfah Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti
Alamat Redaksi
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi
pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
ISSN-2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 5 Nomor 1, Juni 2019
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
ISSN-2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 5 Nomor 1, Juni 2019
PENDAMPINGAN ADALAH KUNCI KEBERHASILAN PENYEDIAAN BENIH PADI DI KABUPATEN TIMUR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan Syamsuddin ……………………………….
1-8
INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA CABAI MERAH MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DI SULBAR Rahmi H. dan Mathen P. Sirappa…………………………………………………………………………..
9-17
EKSPLORASI DAN PENAPISAN MIKROB INDIGENOS RHIZOSFER CABAI (Capsicum annuum L.) SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum spp.) Tatit Sastrini dan Abd Aziz Syarif……………………………………………………………………………
19-28
PELUANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING IKLIM KERING, NUSA TENGGARA TIMUR Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina……………………………………………………………….
29-42
KETERSEDIAAN BENIH MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER (UPBS) PADI DI SULAWESI TENGGARA Samrin dan Muh. Asaad……………………………………………………………………………………..
43-54
UJI DAYA HASIL PADI SAWAH DATARAN TINGGI DI NAGARI KOTO GADANG GUGUAK KABUPATEN SOLOK PADA KETINGGIAN BERBEDA Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi……………………………………………………………………
55-60
POLA PENDAMPINGAN DESA MANDIRI BENIH PADI DI JAWA BARAT Yati Haryati, M. Atang Safei dan Bebet Nurbaeti…………………………………………………………
61-69
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERTANIAN CABAI BERBASIS KORPORASI PADA GAPOKTAN MUJAGI KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena………………………………………………………………………
71-83
INOVASI TEKNOLOGI BUDI DAYA DAN PENGOLAHAN HASIL UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PANGAN LOKAL PAPUA BARAT Junita Br Nambela Aser Rouw…………………………………………………………………………….
85-98
PENGGUNAAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DAN OMEGA-6 UNTUK MENINGKATKAN KINERJA REPRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA PEMELIHARAAN INDUK DOMBA Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa……………………………………………………………………..
99-108
1 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah
Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan
Syamsuddin)
PENDAMPINGAN ADALAH KUNCI KEBERHASILAN PENYEDIAAN BENIH PADI DI KABUPATEN TIMUR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR
Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan Syamsuddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur
Jl. Timor Raya Km. 32 Kupang,
Email: [email protected]
ABSTRACT
Assistance is the Key to the Success of Rice Seed Supply in South Central Timor District, East
Nusa Tenggara. In the context of strengthening national and regional food security, special efforts need to be
continuously improved, namely through efforts to increase production and productivity of agricultural
commodities. An important component in efforts to increase the production and productivity of lowland rice is
seed. In order to strive to increase the capacity of seed production, since 1999 the Indonesian Agency for
Agricultural Research and Development has carried out a program to supply source seeds (BS), by allocating
R&D resources optimally, which is more concentrated on assembly efforts new superior rice varieties with high
yield and adaptive to environmental conditions. Timor Tengah Selatan District (TTS) with relatively high seed
dispersal needs and often experiences seed shortages in carrying out rice development programs. The location of
the implementation of field school activities supporting integrated food self-sufficiency in rice seed independent
villages is located in TTS Regency. Batu Putih District, Tupan Village. The conclusion of the above discussion
was that with intensive assistance in the form of field schools were: Adik-Kakak farmer group already understand
and could produce labeled rice seeds using technology provided by NTT AIAT, the planting of jajar legowo rice
yields in rice yields increased more than 2 t/ha so that it became 4.5 t/ha with intensive assistance, and with
increased yields the needs for the TTS District can be achieved.
Keywords: Rice, seed supply, assistance, yield
ABSTRACT
Dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional dan regional upaya-upaya khusus perlu terus
ditingkatkan yaitu melalui upaya peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian. Komponen penting
dalam upaya meningkatkan produksi dan produktivitas padi sawah adalah benih.Dalam rangka mengupayakan
peningkatan kapasitas produksi benih, sejak tahun 1999 Badan Litbang Pertanian telah merjalankan program
penyediaan benih sumber (BS), dengan mengalokasikan sumberdaya Litbang secara optimal, yang lebih
dikonsentrasikan pada upaya perakitan varietas padi unggul baru berdaya hasil tinggi dan adaptif dengan kondisi
lingkungan. Kabupaten Timor Temgah Selatan (TTS) dengan kebutuhan benih sebar yang relatif cukup tinggi dan
sering mengalami kekurangan benih dalam menjalankan program pengembangan padi. Lokasi pelaksanaan
kegiatan sekolah lapang mendukung swasembada pangan terintegrasi desa mandiri benih padi terletak di
Kabupaten TTS. Kecamatan Batu Putih, Desa Tupan. Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah dengan
pendampingan yang intensif berupa sekolah lapang adalah :Kelompok tani Adik Kakak sudah mengerti dan bisa
memproduksi benih padi yang berlebel, Dengan menggunakan teknologi yang diberikan BPTP NTT, penanaman
padi jajar legowo hasil panen padi lebih meningkat dari 2 t/ha biasanya menjadi 4.5 t/ha dengan dampingan yang
intensif, dan dengan hasil panen yang meningkat maka kebutuhan untuk Kabupaten TTS dapat terpenuhi.
Kata kunci: padi, penyediaan benih, pendampingan, hasil
2 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8
PENDAHULUAN
Dalam rangka pemantapan ketahanan
pangan nasional dan regional upaya-upaya
khusus perlu terus ditingkatkan yaitu melalui
upaya peningkatan produksi dan produktivitas
komoditas pertanian. Salah satu komoditas utama
yang perlu ditingkatkan produksi dan
produktivitasnya adalah padi sawah karena padi
merupakan komoditas pangan strategis di
Indonesia.
Komponen penting dalam upaya
meningkatkan produksi dan produktivitas padi
sawah adalah benih. Mejaya et al., (2004)
mengemukakan bahwa komponen-
komponenpenting dalam budidaya padi sawah
adalah penggunaan benih berdaya hasil tinggi,
pengolahan tanah yang sempurna, jarak tanam
yang tepat, penggunaan pupuk seimbang,
pengendalian organisme pengganggu tanaman
dan panen serta pasca panen yang tepat. Dari
semua komponen tersebut, benih merupakan
factor kunci peningkatan produksi dan
produktivitas padi sawah, karena benih secara
gentika menentukan kapasitas produksi. Jika
benih padi berdaya hasil tinggi yang digunakan,
maka produksi padi akan tinggi. Oleh karena itu
ketersediaan benih padi berdaya hasil tinggi
sangat menentukan keberhasilan program
peningkatan produksi dan produktivitas padi di
suatu wilayah.
Dalam rangka mengupayakan
peningkatan kapasitas produksi benih, sejak
tahun 1999 Badan Litbang Pertanian telah
merjalankan program penyediaan benih sumber
(BS), dengan mengalokasikan sumberdaya
Litbang secara optimal, yang lebih
dikonsentrasikan pada upaya perakitan varietas
padi unggul baru berdaya hasil tinggi dan adaptif
dengan kondisi lingkungan yang terus berubah,
Sejak tahun 2002, Badan Litbang
Pertanian melaksanakan program pengembangan
sistem perbenihan dan ketersediaan benih sumber
pada balai dan loka penelitian komoditas, balai
pengkajian di seluruh Indonesia bahkan sampai
ke level petani di pedesaan. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa Badan Litbang
Pertanian memiliki komitmen yang tinggi untuk
mendukung peningkatan kinerja sistem
perbenihan dan ketersediaan benih sumber di
Indonesia.
Nusa Tenggara Timur, sebagai provinsi
yang memiliki total luas lahan sawah 76 ribu
hektar pada tahun 2016, juga telah menjalankan
program penyediaan benih sumber mendukung
program desa mandiri benih sejak tahun 2013.
Program penyediaan benih tersebut dilaksanakan
dengan pola pendampingan khusus yaitu dengan
penerapan Sekolah Lapang bagi calon penangkar
dan penangkar-penangkar pemula. Tulisan ini
menggambarkan pendampingan berupa sekolah
lapang (SL) yang dilakukan, pada beberapa
tahapan yaitu tahap persiapan, pemupukan dan
panen-pasca panen yang dilakukan untuk petani
calon penangkar padi di Desa Tupan, Kecamatan
Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Provinsi NTT.
LOKASI PENDAMPINGAN
PERBANYAKAN BENIH PADI
Lokasi pelaksanaan kegiatan sekolah
lapang mendukung swasembada pangan
terintegrasi desa mandiri benih padi terletak di
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Kecamatan Batu Putih, Desa Tupan. Lokasi ini
dipilih berdasarkan potensi pengembangan padi
di NTT, serta besarnya kebutuhan benih dan
jumlah penangkar padi yang ada wilayah
tersebut.
Waktu pelaksanaan kegiatan ini adalah
Bulan Februari s/d Desember 2018. Kriteria
penangkar/kelompok penangkar, diutamakan
penangkar atau kelompok penangkar benih yang
sudah ada tetapi belum mampu memproduksi
benih yang siap salur atau kelompok penangkar
benih yang sudah mampu memproduksi benih
siap salur tetapi belum memiliki surat ijin
penangkaran dari BPSB.
Profil Lokasi Desa Tupan, Kecamatan Batu
Putih, Kabupaten TTS
Desa Tupan memiliki luas wilayah 5000
m3 terdiri dari 3 dusun, 28 RT dan 12 RW. Desa
Tupan perbatasan dengan:
3 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah
Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan
Syamsuddin)
1. Sebelah Timur perbatasan dengan: Desa
Biloto
2. Sebelah Barat perbatasan dengan: Kali
Oelmina
3. Sebelah Utara perbatasan dengan: Kali
Noeleke dan Desa Bijeni
4. Sebelag Selatan perbatasan dengan: Desa
Oebobo
Desa Tupan memiliki lahan sawah 100
ha terdiri dari sawah irigasi non teknis 80 ha dan
sawah tadah hujan 20 ha, lahan kering 300 ha
dan pekarangan 12 ha. Jumlah kk Desa Tupan
360 yang terdiri dari 341 kk tani, sedangkan
tanaman potensi padi sawah dan padi ladang,
jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu,
pisang, kangkung, dan terong.
Desa Tupan adalah salah satu desa dari
sekian banyak desa yang belum tersentuh dengan
teknologi sehingga mereka masih menggunakan
benih padi yang lama, penanaman padi yang
acak tidak berbaris rapih, dengan menggunakan
pupuk sekedar saja kadang tidak menggunakan
pupuk. Hasil yang mereka capai dari 1 ha hanya
1 sampai 2 ton saja. Petani di Desa Tupan belum
menggunakan benih yang unggul karena untuk
mendatangkan benih dari luar selain benihnya
mahal juga ongkos mendatangkannya dari luar
begitu tinggi, sehingga petani tidak mampu untuk
mendapatkannya. Oleh karena itu, BPTP
Balitbangtan NTT sesuai dengan fungsinya
melakukan kegiatan SL Mandiri Padi. Binaan
yang dilakukan BPTP Balitbangtan NTT di Desa
Tupan, Kecamatan Batu Putih Kabupaten TTS,
dengan Kelompok Tani Adik Kakak yaitu
melakukan penanaman padi Inpari 41 Lebel
putih, dengan pola tanam jajar legowo 2 : 1
dengan luasan tanam 2 ha. Dari hasil penanaman
tersebut maka hasil panen yang didapat adalah
7,5 ton. Tujuan dari kegiatan ini adalah bisa
memenuhi kebutuhan Desa Tupan dan juga
Kabupaten TTS pada umumnya. Dokumentasi
yang sudah dilakukan selama pertanaman padi
Inpari 41di Desa Tupan.
Kegiatan perbanyakan benih padi di
Kabupaten TTS dilaksanakan di Kelompok
Wanita Tani Adik Kakak, desa Tupan,
Kecamatan Batu Putih. Rincian kegiatan seperti
terlihat pada Tabel 1.
SEKOLAH LAPANG MANDIRI BENIH
PADI
Definisi Sekolah Lapang untuk
peningkatan kemampuan petani atau penangkar
memproduksi benih varietas yang sesuai
preferensi, dilakukan dengan praktek langsung
dalam suatu sekolah lapang (SL). SL adalah
bentuk sekolah yang seluruh proses belajar
mengajarnya dilakukan dilapangan. Hamparan
sawah milik petani peserta produsen benih. SL
yang sudah dilakukan di petani dengan materi.
SL mandiri benih padi dilaksanakan di
Desa Tupan sebanyak 2 tahapan yaitu tahapan
persiapan lahan sampai penanaman serta
pemupukan dan perawatan tanaman.
Tahapan Persiapan Benih dan Lahan
Adapun benih padi yang dipakai adalah
Benih Padi Varietas Inpari 41 lebel putih, karena
dapat digunakan beberapa kali tanam. Mengingat
untuk mendatangkan benih baru memakan waktu
Tabel 1. Varietas, petani pelaksana, luas tanam dan tanggal tanam maupun tanggal Panen kegiatan
perbanyakan benih padi di Kabupaten TTS.
No. Kriteria Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Nama Kelompok
Nama Ketua
Luas Tanam
Varietas
Tanggal Tanam
Tanggal Panaen
Hasil Panen
Adik Kakak
Teresia Kolo Poro
2 Ha
Inpari 41
19 Maret 2018
25 Juli 2018
7,5 ton
4 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8
dan transportasi yang sangat tinggi. Benih padi
untuk luasan 1 ha membutuhkan benih 25 kg.
Komposisi benih Inpari 41 lebel putih adalah
sebagai berikut.
- Nomor : 257395
- Produsen Benih : UPBS BB Padi
- Kadar air : 10,3 %
- Alamat : Sukamandi Subang
- Benih Murni : 99,7 %
- Jenis Tanaman : Padi Non Hibah
- Benih varietas lain : 0,0 %
- Varietas : Inpari 41 Tada Hujan
- Kotoran Benih : 0,3 %
- No. Kelompok : I.M/SK1/0BS/17
- Tanaman lain : 0,0 %
- Berat Bersih : 5 kg
- Tanggal seleksi :
- Biji Beras : - %
- Pengujian : 05 – 09 – 2017
- Daya Kecamba : 92 %
- Tanggal Akhir :
- Penyakit : - %
- Berlaku Label : 05 – 03 – 2017
Adapun persiapan benih dapat dilihat
pada gambar 1.
Sekolah Lapang di Kelompok Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putik, Kab. TTS
Gambar 1. Persiapan Benih Untuk penanaman padi varietas Inpari 41 lebel putih penanaman dilakukan Kel.
Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putih, Kabupaten TTS
5 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah
Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan
Syamsuddin)
Berbicara tentang persiapan lahan tak
kalah penting karena menyangkut pertumbuhan
padi yang tumbuh, kesuburan tanah dan
pengairan air yang akan sampai ke tanaman
tersebut. Diharapkan persiapan lahan yang baik
akan menghasilkan tanaman padi yang baik pula.
Penanaman padi dilakukan pada tanggal 23 Juni
2018. Adapun gambar persiapan lahan dan
penanaman padi dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Persiapan Lahan di Kel. Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putik, Kab. TTS Lahan pesemaian
padi
Gambar 3. Persemaian Padi Inpari 41 umur 10 Hari di Kel.Tani Adik Kakak
Gambar 4. Penanaman Padi Varietas Inpari 41, Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih, Kab.TTS
6 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8
Tahapan Pemupukan dan Perawatan
Tanaman
Tanaman padi banyak membutuhkan
unsur hara dari tanah untuk pertumbuhan secara
optimal. Pada kondisi tanah yang cukup N, P, K
tanaman padi menyerap N, P, dan K berturut-
turut sekitar 198 kg, 33 kg dan 205 kg/Ha.
Untuk memperoleh pertanaman padi dengan
hasil yang tinggi, perlu dilakukan pemupukan.
Pemupukan pada tanaman padi sangat penting
karena dengan pemupukan yang baik pada
tanaman padi diharapkan hasil panen yang
meningkat. Pemupukan yang dilakukan pada
tanaman padi untuk 1 ha dibutuhkan pupuk 100
kg urea dan 100 kg Phonska dicampur merata
dan pemupukan dilakukan dengan dihambur ke
tanaman padi. Pemupukan pertama dilakukan
pada tanaman padi berumur 7 - 14 hari. dan
pemupukan kedua tanaman padi berumur 45 hari.
Proses pemupukan dapat terlihat pada gambar
Gambar 5.
Gambar 5. Pemupukan pertama pada tanaman padi Inpari 41 umur tanaman 14 hari Kel.Wanita Tani Adik Kakak, Desa
Tupan, Kec. Batu Putih, Kabupaten TTS
Gambar 6. Penampilan tanaman padi Inpari 41 di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kec. Batu Putih, Kab.
TTS berumur 90 hari
Gambar 7 : Penampilan tanaman padi Inpari 41 Siap Panen di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan,
Kecamatan Batu Putih, Kabupaten TTS Berumur 110 Hari
7 Pendampingan Adalah Kunci Keberhasilan Penyediaan Benih Padi Di Kabupaten Timur Tengah
Selatan, Nusa Tenggara Timur (Evert Y. Hosang, Christine Huwae, Dominika Menge dan
Syamsuddin)
Dengan melakukan pendampingan secara
intensif berupa sekolah lapang penangkaran
benih padi sangat menentukan keberhasilan
pengembangan perbenihan padi di Kabupaten
TTS.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kelompok tani Adik Kakak sudah
mengerti dan dapat memproduksi benih padi
yang berlebel. Teknologi yang diberikan BPTP
NTT, penanaman padi jajar legowo meningkat
hasil dari 2 t/ha biasanya menjadi 4.5 t/ha dengan
dampingan yang intensif. Dengan hasil panen
yang meningkat maka kebutuhan untuk
Kabupaten TTS dapat terpenuhi.
Dalam melakukan penmbinaan petani
penangkar harus dilakukan secara intensif bisa
berupa sekolah lapang seperti yang dilakukan
oleh BPTP NTT. Penerapan inovasi/teknologi
perbanyakan benih padi menggunakan tanam
jajar legowo perlu dipertimbangkan.Dalam
melakukan dampingan terhadap penangkar benih
padi di Kabupaten TTS, harus dilakukan minimal
2 tahun untuk memastikan keberhasilan
menjadikan penangkar mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Balitsereal. 2005. Laporan tahunan sistem
perbenihan Balitsereal.
Bora,. 2013. Laporan hasil kegiatan mapping
potensi Balai Benih Utama (BBU), Balai
Benih Induk (BBI) dan kelompok petani
penangkar dalam penyediaan benih
berkualitas di NTT
Dahlan, M. 1988. Pembentukan dan produksi
benih varietas inbrida. p. 101-118. Dalam:
Subandi et al. (eds.). Padi. Puslitbangtan.
Bogor.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi NTT. 2006.
Pedoman Pelaksanaan Program Aksi
Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan
Gambar 8. Panen tanaman padi Inpari 41 di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih,
Kabupaten TTS.
Gambar 9. Hasil panen padi Inpari 41 di Kelompok Wanita Tani Adik Kakak, Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih,
Kabupaten TTS.
8 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:1-8
(PROKSIMANTAP) tahun 2004. Distan
Prov NTT. Kupang.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Jakarta,
2016. Pedoman teknis pemberdayaan
penangkar benih TA. 2016.
Dinas Pertanian dan Perkebunan Propinsi NTT.
2013. Alokasi kebutuhan benih dalam
pemantapan dan pengembangan pertanian
tanamana pangan Propinsi NTT.
Mejaya, M. J., Marsum M.Dahlan, dan Oman
Suherman. 2004.Teknologi produksi benih
padi unggul hibrida. Makalah disampaikan
pada Pelatihan Peningkatan Kemampuan
Petugas Produksi Benih Serealia. Maros
14-16 Juli 2004.
Saenong, S. 2004. Laporan evaluasi kinerja unit
produksi benih sumber (UPBS)
Balitsereal. Balai Penelitian Tanaman
Serealia, Badan Litbang Pertanian.
Saenong, S., Margaretha. SL., J. Tandiabang.,
Syafruddin., Y. Sinuseng dan Rahmawati.
2003. Sistem perbenihan untuk
mendukung penyebarluasan varietas padi
nasional. Laporan Hasil Penelitian
Kelompok Peneliti Fisiologi Hasil.
Balitsereal, Maros. 2003.
Saenong,S., R. Arief, Y. Sinuseng, Rahmawati,
W. Wakman, F. Koes, Margaretha S. Lalu,
dan Suwardi. 2004. Sistem perbeníhan
untuk mendukung penyebarluasan varietas
padi unggul nasional. Balai Penelitian
Tanaman Serealia. Badan Litbang
Pertanian.
9 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.
dan Mathen P. Sirappa)
INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA CABAI MERAH MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI DI SULBAR
Rahmi H. dan Mathen P. Sirappa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Barat
Jl. H. Abdul Malik Pattana Endeng, Mamuju – Sulawesi Barat 91511
Telp (0426) 232 1830, Fax (0426) 232 1830
Email : [email protected]
ABSTRACT
Technology Innovation in Red Chilli Cultivation To Support Increased Production in West Sulawesi. Red chili (Capsicum annum L.) is one of the horticultural commodities that has high economic value and a high
adaptability to various regional conditions. Componens of technology that play an important role in increasing red
chili productivity are the use of his yielding varieties and black silver plastic mulch. The purpose of this paper was
to find out the appropriate innovation in chili cultivation technology in West Sulawesi. The use of high varieties
had a higher production because it has superior properties from local varieties. This advantage can be seen from the
nature of its traits which can produce high-producing fruit, response to fertilization and resistance to pests. Similarly,
the use of black silver plastic mulch had a better impact in terms of production and resistance to pest and disease.
Keywords: red chili, superior varieties, mulch
ABSTRACT
Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai
ekonomis tinggi dan dan memiliki daya adaptasi tinggi untuk diusahakan di berbagai kondisi wilayah. Salah satu
komponen teknologi yang berperan dalam meningkatkan produksi cabai merah adalah penggunaan varietas unggul
dan penggunaan mulsa plastik hitam perak. Tujuan tulisan ini adalah mengetahui inovasi teknologi budidaya cabai
yang sesuai di Sulawesi Barat. Penggunaan varietas unggul memiliki produksi yang lebih tinggi karena mempunyai
sifat unggul dari varietas lokal. Keungulan tersebut dapat dilihat dari sifat pembawaannya yang dapat menghasilkan
buah yang berproduksi tinggi, respon terhadap pemupukan dan resisten terhadap hama penyakit. Sama halnya
dengan penggunaan mulsa plastik hitam perak memberikan dampak yang lebih baik dari segi produksi dan
ketahanan terhadap hama penyakit.
Kata kunci: cabai merah, varietas unggul, mulsa
10 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17
PENDAHULUAN
Tanaman cabai merah (Capsicum annum
L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura
yang banyak digemari oleh masyarakat. Cabai
merah semakin menarik untuk diusahakan karena
pemanfaatannya sebagai bumbu masak atau
sebagai bahan baku berbagai industri makanan,
minuman dan obat-obatan (Sumarni et al., 2005
dalam Hadiyanti et al., 2016). Cabai memiliki
banyak kandungan gizi dan vitamin yang
diperlukan oleh tubuh manusia, terutama kalori,
protein, lemak, karbohidrat, kalsium, serta
vitamin A, B1, dan C (Harpenas dan Dermawan,
2009).
Cabai merah memiliki tingkat daya
adaptasi yang tinggi untuk diusahakan pada
berbagai kondisi wilayah (Kusmana et al., 2009).
Menurut Sutardi dan Wirasti (2017), tanaman
cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai
dataran tinggi karena tanaman cabai mempunyai
toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan.
Tanaman cabai umumnya tumbuh optimum di
dataran rendah hingga menengah pada ketinggian
0-800 m dpl dengan suhu berkisar 20-25 C°
(Harpenas dan Dermawan, 2009). Tanaman cabai
juga dapat tumbuh dan berproduksi di musim
hujan maupun kemarau.
Luas pertanaman cabai mencapai 254.000
ha yang menjadi luasan komoditas sayuran
terbesar di Indonesia (BPS, 2016). Produktivitas
cabai di Indonesia terus meningkat sejak tahun
2011, namun tingkat produktivitasnya baru
mencapai 8,47 ton/ha (Kementerian Pertanian,
2018). Menurut Qosim et al. (2013), hal ini masih
jauh dibandingkan potensinya yang dapat
mencapai 12 ton/ha.
Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah
satu provinsi yang memiliki potensi untuk
pengembangan komoditas cabai. Wilayah
pertanaman cabai merah di Sulawesi Barat
menyebar ke beberapa kabupaten antara lain
Majene, Polewali Mandar, Mamasa, Mamuju,
Mamuju Utara, dan Mamuju Tengah. Luas panen
cabai merah di Sulawesi Barat pada tahun 2017
mencapai 494 ha dengan produksi yang dihasilkan
1.855 ton (Kementerian Pertanian, 2018).
Produksi cabai merah mengalami fluktuasi sejak
tahun 2010 hingga tahun 2017 dari 428,5 ton
(2010) hingga 2,499 ton (2011). Terjadinya
fluktuasi produksi cabe merah disebabkan oleh
luas pertanaman yang berbeda setiap tahun,
teknologi budidaya yang belum sepenuhnya
diterapkan oleh petani, pengendalian organisme
pengganggu tanaman (OPT) serta penanganan
pasca panen.
Upaya peningkatan produksi cabai tidak
selalu berjalan dengan lancar, banyak mengalami
hambatan dan kendala. Menurut Arief dan
Mahdalena, (2014), kendala utama penyebab
rendahnya produksi cabai pada umumnya adalah
keterbatasan teknologi budidaya yang dimiliki
petani karena kurangnya informasi teknologi.
Kendala lain adalah penggunaan varietas dengan
daya hasil rendah dan adanya serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT) yaitu hama,
penyakit, dan gulma (Wiratama et al., 2013).
Salah satu usaha untuk meningkatkan
hasil cabai merah adalah dengan menggunakan
benih bermutu dari suatu varietas (Marliah et al.,
2011). Menurut Syukur et al. (2010), benih
bermutu dari varietas unggul merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
produksi, sehingga perakitan varietas unggul
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas
cabai. Penggunaan varietas unggul diharapkan
dapat meningkatkan produksi cabai merah,
sehingga dapat menjaga keseimbangan antara
ketersediaan dan permintaan. Dalam penggunaan
varietas unggul yang perlu diperhatikan adalah
tingkat adaptasi setiap varietas terhadap
agroekosistem tempat varietas ditanam (Fahmi
dan Sujitno, 2014). Menurut Wahyuni et al.
(2008), kualitas dan kuantitas produk yang
dihasilkan sangat dipengaruhi oleh penggunaan
benih yang berkualitas, yaitu benih yang jelas asal
usulnya dan diproduksi oleh penangkar benih
yang telah terdaftar di instansi terkait.
Tujuan penulisan makalah ini adalah
menguraikan inovasi teknologi budidaya untuk
meningkatkan produksi cabai di Sulawesi Barat.
11 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.
dan Mathen P. Sirappa)
HASIL-HASIL PENELITIAN INOVASI
TEKNOLOGI CABAI
Badan Litbang Pertanian telah
menghasilkan berbagai inovasi teknologi
budidaya tanaman cabai dalam upaya peningkatan
produktivitas melalui pengelolaan tanaman
terpadu (PTT). Teknologi yang digunakan antara
lain: penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah,
pemupukan berimbang, penggunaan mulsa plastik
hitam perak, pengendalian hama penyakit, panen
dan pasca panen.
Berdasarkan hasil kajian budidaya cabai
yang dilakukan di Sulawesi Barat, dari semua
teknologi yang diujikan di PTT tanaman cabai
ternyata hanya dua faktor utama yang
berpengaruh nyata terhadap peningkatan produksi
tanaman cabai yaitu penggunaan varietas unggul
dan penggunaan mulsa plastik hitam perak. Oleh
karena itu pada tulisan ini hanya menekankan
pada penggunaan varietas unggul dan penggunaan
mulsa plastik hitam perak. Secara umum
dijelaskan beberapa hasil penelitian/pengkajian
berbagai inovasi teknologi budidaya tanaman
cabai. Hasil penelitian Intara et al. (2011), pada
lahan yang memiliki tekstur tanah berliat sedang
menunjukkan data tinggi tanaman tertinggi pada
perlakuan pengolahan tanah minimal tehadap
semua parameter pengairan tanaman. Tinggi
tanaman terendah tampak pada perlakuan
pengolahan tanah konvensional terutama pada
aplikasi pengairan disiram langsung pada
tanaman menggunakan ebor dengan nilai rata-rata
Tabel 1. Deskripsi Beberapa varietas unggul baru cabai
No Uraian Tanjung - 2 Lembang - 1 Ciko Inata
Agrihorti Lingga
1. Tinggi Tanaman
(cm)
± 55 cm ± 65 cm ± 65 – 76,4 ± 58,28-
59,98
87 - 97
2. Warna Buah
Muda
Hijau Hijau Hijau Hijau muda Hijau
3 Warna Buah Tua Merah Merah Merah Merah Merah
4. Ukuran Buah
(PxD) cm
± 11 x 1,3 ± 15 x 0,8 ± 11,6-13,8 x
1,5-1,8
± 13,8-16 x
1,79-1,84
11,2-12,9 x
1,2-1,4
5. Tebal Kulit Buah
(mm)
± 1,1 ± 0,7 ± 1-2 ± 2,38 –
2,45
1 - 2
6. Berat Buah Per
Buah (g)
10 3,5 13 – 15,1 15,15 –
19,8
9,5 - 11
7. Berat 1.000 biji
(g)
4,2 3 5,7 – 6,1 5,41 5,8 – 6,3
8. Berat Buah Per
Tanaman (kg)
0,512-1,08 0,625 –
0,711
0,591 – 0,878
9. Potensi Hasil
(ton/ha)
12 5,6 - 19 13,4 – 20,5 14,17 –
19,72
13,4 – 20,5
10. Kandungan
capsaicin (mg/g)
2,4 1,2 0,203 1,6
11. Umur Panen
(HST)
58 63 81 - 84 97 – 120 88 - 95
12. Wilayah adaptasi Dataran
rendah
hingga
dataran tinggi
Dataran
rendah
hingga
dataran tinggi
Beradaptasi
dengan baik
didataran
medium
dengan
ketinggian
510-550 m dpl
pada musim
hujan dan
kemarau basah
Sesuai
dataran
tinggi di
musim
kemarau
Beradaptasi
dengan baik
didataran
medium
dengan
ketinggian
510-550 m dpl
pada musim
hujan dan
kemarau basah
Sumber: Balitsa, 2018
12 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17
tinggi tanaman sampel 28,06 cm. Hasil penelitian
Setiawan et al. (2012) di ketinggian 505 m dpl,
cabai merah besar varietas Gantari mempunyai
pertumbuhan terbaik dan hasil buah tertinggi (8,5
ton/ha). Hasil penelitian Barus (2016) di Kebun
Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Amir
Hamzah, menunjukkan penggunaan mulsa plastik
hitam perak memberikan hasil sangat nyata lebih
tinggi 6,65 ton/ha di bandingkan mulsa hitam
plastik hitam 5,16 toh/ha. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Purnomo J. (2013), menunjukkan
pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman -
status hara tanah (150 N + 150 P2O5 + 15.000 kg
pukan/ha) memberikan hasil tetinggi. Akumulasi
hara N, P, dan K yang diamati pada perlakuan
tersebut masing-masing sebesar 16,4; 7,8; dan
14,1 kg/ha pada tingkat hasil cabai segar sebesar
8,9 ton/ha. Hasil penelitian Rochayat dan Munika
(2015) dilaksanakan di Laboratorium
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas
Padjajaran, menunjukkan bahwa kombinasi jenis
bahan pengemas dan tingkat kematangan buah
cabai merah berpengaruh terhadap kualitas dan
ketahanan simpan yang dapat dilihat dari
persentase susut bobot, perubahan fisiologis,
mekanis, warna dan biologis. Jenis bahan
pengemas yang baik adalah kombinasi perlakuan
cabai merah dengan tingkat kematangan 50– 60%
menggunakan bahan pengemas clear
polyethylene, sedangkan kombinasi perlakuan
yang kurang baik adalah kombinasi perlakuan
cabai merah dengan tingkat kematangan 60– 70%
menggunakan bahan pengemas kotak dus karton.
Teknologi Varietas Unggul
Hasil kajian budidaya cabai di Sulawesi
Barat memperlihatkan bahwa penggunaan
varietas unggul sangat menentukan pertumbuhan
dan produksi cabai. Dalam 10 tahun Badan
Litbang Pertanian telah menghasilkan varietas
unggul cabai merah, seperti ditampilkan pada
Tabel 1.
Varietas cabai yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian memiliki keungulan masing-
masing. Varietas Tanjung 2 dapat di budidayakan
dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan
umur panen 58 HST namun potensi hasil lebih
rendah 12 ton/ha. Varietas Lembang 1 dapat di
budidayakan dari dataran rendah sampai dataran
tinggi dan memiliki ukuran buah yang panjang 15
cm. Varietas Ciko memiliki potensi hasil hingga
20,5 ton/ha. Varietas lingga memiliki potensi
hasil 20,5 ton/ha dan memiliki tinggi tanaman 87-
97 cm. Varietas Inata agrihorti memiliki ukuran
buah, berat buah per buah dan berat buah per
pohon lebih tinggi namun memiliki umur panen
lebih lama 97-120 HST.
Varietas merupakan suatu jenis atau
spesies tanaman yang memiliki karakteristik
genotipe tertentu seperti bentuk, pertumbuhan
tanaman, daun, bunga, dan biji yang dapat
membedakan dengan jenis atau spesies tanaman
lain dan apabila diperbanyak tidak mengalami
perubahan (Rostini, 2011). Varietas cabai unggul
memiliki banyak keungulan dibandingkan dengan
varietas lain, seperti produksi tinggi, tahan hama
dan penyakit, umur genjah, dan tahan lama setelah
dipanen (Sepwanti et al., 2016). Keungulan
tersebut dapat dilihat dari sifat pembawaannya
yang dapat menghasilkan buah yang berproduksi
tinggi, respon terhadap pemupukan dan resisten
terhadap hama penyakit. Potensi cabai varietas
unggul dapat mencapai 25-30 ton/ha. Sedangkan
varietas lokal merupakan varietas yang
dibudidayakan secara turun temurun oleh petani.
Tingginya produksi suatu varietas disebabkan
oleh varietas tersebut mampu beradaptasi dengan
lingkungan (Simatupang, 1997) dalam (Sepwanti
et al.2016). Menurut Adisarwanto, (2006) potensi
varietas unggul pada saat di lapangan masih
dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dengan
kondisi lingkungan pada saat penelitian. Bila
pengelolaan lingkungan tumbuh tidak dilakukan
dengan baik, potensi produksi yang tinggi dari
varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai.
Hasil penelitian Hadiyanti et al. (2016)
produksi tanaman cabai varietas Kencana
(Varietas unggul) 1,8 ton lebih tinggi
dibandingkan varietas lokal 0,625 ton. Namun
pertumbuhan vegetatif menunjukkan tinggi
tanaman varietas lokal lebih tinggi dibandingkan
varietas unggul yaitu rata-rata tinggi tanaman
cabai varietas lokal 51,6 cm pada umur 50 HST,
sedangkan rata-rata tinggi tanaman cabai merah
varietas kencana 42,9 cm. Sepwanti et al. (2016)
varietas berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi
tanaman umur 15, 30, dan 45 HST. Panjang buah,
berat per buah, jumlah buah pertanaman,
berpengaruh nyata terhadap diameter batang pada
umur 15 dan 30 HST. Pertumbuhan dan hasil
13 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.
dan Mathen P. Sirappa)
tanaman cabai terbaik terdapat pada perlakuan
varietas hibrida.
Hasil penelitian Marliah et al. (2011),
menunjukkan hasil cabai merah terbaik diperoleh
pada varietas TM 999 yang tidak berbeda nyata
dengan varietas ST 168, namun berbeda nyata
dengan varietas lokal. Hal ini dapat dilihat pada
jumlah buah per tanaman 90 HST, varietas TM
999 memiliki jumlah buah pertanaman 22,37
buah, varietas ST 168 20,82 buah, dan varieas
lokal 15,04 buah. Berat buah pertanaman varietas
TM 999 34,5 g, varietas 168 32,45 g, dan varietas
lokal 22,3 g. Hal ini bertentangan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nurahmi et al.
(2011), menunjukkan varietas berpengaruh sangat
nyata terhadap semua peubah yang diamati.
Varietas lokal memiliki tinggi tanaman 21,48 cm
lebih tinggi dari varietas TM 999 16,85 cm dan
varietas ST-168 13,44 cm. Berat buah pertanaman
varietas lokal 90,14 g lebih tinggi dari varietas TM
99 87,21 g dan varietas ST-168 83,33 g.
Teknologi Penggunaan Mulsa
Menurut Kadarso (2008), penggunaan
mulsa plastik hitam perak lebih baik untuk
pertumbuhan tanaman, karena warna perak pada
permukaan bagian atas dapat memantulkan
kembali radiasi matahari yang datang sehingga
dapat meningkatkan fotosintesis, sedangkan
warna hitam dari mulsa tersebut akan
menyebabkan radiasi matahari yang diteruskan ke
dalam tanah menjadi kecil bahkan menjadi nol.
Hal inilah yang menyebabkan suhu tanah tetap
rendah sehingga memberikan hasil yang baik bagi
pertumbuhan tanaman. Pemberian mulsa jerami,
serasa, dan plastik bermanfaat bagi tanaman
dalam hal mengurangi pertumbuhan gulma dan
meningkatkan jumlah buah yang lebih tinggi
karena penggunaan hara tanah yang lebih efisien
(Kashi et al., 2004) dalam (Heryani et al., 2013).
Menurut Topan (2008), pemakaian mulsa
diharapkan mampu menekan biaya penyiangan
atau pemberantasan gulma.
Menurut Hapsari (2011), tingginya
produktivitas buah cabai, pada teknologi
penerapan mulsa hitam perak disebabkan karena
mulsa hitam perak memiliki kemampuan untuk
mempertahankan tingkat produktivitas tanah.
Selain itu pemberian mulsa hitam perak dapat
mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
Mulsa dapat memperbaiki tata udara tanah dan
meningkatkan pori-pori tanah sehingga kegiatan
jasad renik dapat lebih baik dan ketersediaan air
dapat lebih terjamin bagi tanaman. Penerapan
teknologi mulsa hitam perak dapat pula
mempertahankan kelembaban dan suhu tanah
sehingga akar tanaman dapat menyerap unsur hara
lebih banyak.
Hasil penelitian Aditya et al. (2013),
menunjukkan pada fase pertumbuhan vegetatif
penerapan mulsa plastik hitam perak (MPHP),
jerami padi dan tanpa mulsa memberikan
pengaruh yang naya terhadap tinggi tanaman dan
tingkat percabangan tanaman cabai. Pada fase
vegetatif, penggunaan mulsa cenderung
menurunkan tinggi tanaman. Pada perlakuan
tanpa mulsa tinggi tanaman mencapai 73,75 cm
penggunaan mulsa plastik hitam perak
menghasilkan tinggi tanaman 72,75 cm,
sedangkan penggunaan mulsa jerami padi
tingginya 69,89 cm. Pada fase pertumbuhan
Tabel 2. produksi beberapa varietas cabai hasil litbang dan swasta di Sulawesi Barat
No Parameter
Lingga Arimbi Pilar
Pengunaan
MPHP
Tanpa Mulsa Pengunaan
MPHP
Tanpa
Mulsa
Pengunaan
MPHP
Tanpa
Mulsa
1. Berat Rata -
Rata (g)
8,35 5,15 16,6 13,15 14,3 12, 5
2. Panjang
Buah (cm)
12,71 10,89 15,8 14,03 13, 42 13,66
3. Lingkar
Buah (cm)
4,175 3,515 5,42 4,84 5,69 5,01
4. Panjang
tangkai (cm)
3,285 2,89 5,49 5,05 5,27 4,55
Sumber: Laporan akhir BPTP Sulbar
14 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17
generatif, variabel yang diamati yaitu jumlah
buah, bobot buah, dan bobot buah total
menunjukkan penggunaan mulsa plastik hitam
perak memiliki jumlah buah yang lebih tinggi
dibandingkan penggunaan mulsa jerami padi dan
tanpa mulsa. Bobot buah perlakuan tanpa mulsa
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
mulsa plastik hitam perak dan mulsa jerami padi.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Heryani (2013) bahwa perlakuan tanpa mulsa
menunjukkan nilai tertinggi yaitu 70,4 cm
dibandingkan dengan perlakuan penggunaan
MPHP yaitu 62,3 cm. Sedangkan pemberian
mulsa tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap produktivitas tanaman cabai.
Produktivitas pada perlakuan MPHP
menunjukkan hasil 4,3 kg/plot sedangkan tanpa
mulsa 4,2 kg/plot. Menurut Aditya et al. (2013),
jumlah buah pada tanaman cabai tanpa aplikasi
mulsa lebih sedikit sehingga pembagian hasil
fotosintesis (fotosintat) ke buah lebih banyak.
DESKRIPSI DAN KEUNGGULAN
VARIETAS CABAI DI SULAWESI BARAT
Tanaman cabai mempunyai banyak jenis
dan varietas. Jenis-jenis cabai antara lain cabai
besar, cabai keriting, cabai rawit, cabai paprika
(sweet pepper), cabai dieng, dan cabai hias yang
banyak macam dan ragamnya. Namun yang
umum dibudidayakan untuk keperluan konsumsi
adalah cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan
paprika (dalam jumlah sedikit) (Wiryanta, 2002).
Petani cabai di Sulawesi Barat menggunakan
cabai varietas unggul baru yang berasal dari
Balitsa atau varietas unggul baru lainnya yang
dihasilkan oleh instansi lainnya yang berada di
bawah naungan Badan Litbang Pertanian.
Varietas cabai hasil Badan Litbang
Pertanian yang banyak dikembangkan petani di
Sulawesi Barat yaitu varietas lingga. Cabai
varietas lingga merupakan varietas yang paling
banyak diminati dipasaran karena buah pada saat
masak sempurna berwarna merah mengkilap serta
memiliki daya simpan hingga 7 – 10 hari setelah
panen pada suhu 21 – 25 ºC.
Hasil kajian yang dihasilkan BPTP
Sulawesi Barat (2017) disajikan dalam Tabel 2.
Hasil kajian yang dilakukan di Sulawesi Barat
menunjukkan varietas Lingga dengan penggunaan
mulsa plastik hitam perak memberikan hasil
tertinggi dengan berat rata-rata 8,35 g, sedangkan
potensinya bisa mencapai 95 – 11 g. Hal ini
disebabkan kondisi wilayah (agroekosistem) di
Sulawesi Barat tidak terlalu sesuai dengan cabai
varietas ini sehingga hasil yang diperoleh lebih
rendah dibanding potensi yang dimiliki varietas
lingga. Hasil merupakan resultante dari potensi
tanaman dan dukungan lingkungan, kondisi
demikian menyebabkan hasil actual selalu di
bawah hasil potensial. Seperti halnya yang
disampaikan Harjadi, (1991) dalam Sepwanti et
al. (2016) setiap varietas tanaman selalu terdapat
perbedaan respon pada berbagai kondisi
lingkungan tempat tumbuhnya. Hal ini juga
mungkin disebabkan karena petani di Sulawesi
Barat belum sepenuhnya menerapkan teknologi
yang dianjurkan dalam melaksanakan usaha tani
cabai, sehingga tingkat produksi yang dihasilkan
masih dibawah potensi produksinya. Panjang
Tabel 3. Rekomendasi teknologi budidaya cabai
No. Komponen Teknologi Rekomendasi
1. Benih Varietas Lingga
2. Pengolahan Tanah Lahan dibajak atau dicangkul
3. Jarak Tanam 60 cm x 70 cm
4. Pemupukan :
a. Cara Pemupukan
b. Waktu Pemupukan
c. Dosis Pemupukan
Disebar dan dikocor
3 bulan sekali dan sesuai kondisi dana yang ada
Kompos 30 ton/ha, NPK 50 kg/ha
5. Pemeliharaan :
a. Penyiangan
b. Pembumbunan
Manual dengan mencabut gulma
Tidak dilakukan pembumbunan
Sumber: Laporan Akhir Sulbar, 2017
15 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.
dan Mathen P. Sirappa)
buah 12,71 cm sedangkan potensinya 11,2 – 12,9
cm.
REKOMENDASI TEKNOLOGI BUDIDAYA
CABAI DI SULAWESI BARAT
Pengembangan cabai di Sulawesi Barat
perlu dukungan teknologi spesifik lokasi untuk
meningkatkan produksi sepanjang tahun terutama
produksi cabai di luar musim sehingga kestabilan
harga dapat dijaga. Adapun teknologi yang dapat
diadopsi oleh petani cabai disajikan dalam tabel 3.
Rekomendasi teknologi budidaya cabai di
Sulawesi Barat yaitu benih yang digunakan
varietas Lingga karena varietas ini yang paling
banyak digemari di pasaran. Pengolahan tanah
dilakukan secara sempurna dengan bajak atau
cangkul untuk memutuskan rantai hama penyakit
dari pertanaman sebelumnya. Jarak tanaman yang
digunakan Cara 60 x 70 karena tingkat serangan
hama penyakit lebih rendah dan memudahkan
dalam perawatan tanaman. Pemupukannya
dilakukan dengan di sebar dan dikocor karena
lokasinya memiliki curah hujan yang rendah
sehingga penyerapan unsure hara rendah.
Penggunaan pupuk merujuk pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hortikultura. Dalam
pemeliharaan tidak dilakukan pembumbunan
karena sudah menggunakan mulsa plastik hitam
perak.
KESIMPULAN
Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah
satu provinsi yang memiliki potensi untuk
pengembangan komoditas cabai. Usaha
peningkatan produksi dan produktivitas cabai
dengan inovasi teknologi penggunaan varietas
unggul dan mulsa plastik hitam perak.
Penggunaan varietas unggul memberikan hasil
yang lebih baik dari penggunaan varietas lokal.
Begitupun dengan penerapan mulsa plastik hitam
perak memberikan dampak yang lebih baik dari
pada yang tidak menerapkan mulsa plastik hitam
perak, baik segi produksi maupun serangan hama
dan penyakit.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami sampaikan
kepada Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk ikut
dalam program pembinaan penulisan karya tulis
ilmiah dan Dr. Ir. Muchamad Yusron, M.Phil
yang telah membimbing menyusun karya tulis
ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2006. Budidaya kedelai dengan
pemupukan yang efektif dan
pengoptimalan peran bintil akar. Penebar
Swadaya, Jakarta, 107 hlm.
Aditya, A., Hendarto, K., Pangaribuan, D., dan
Hidayat, K.F. 2013. Pengaruh penggunaan
mulsa plastik hitam perak dan jerami padi
terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman cabai merah (Capsicum annum L.)
di Dataran Tinggi.J. Agrotek Tropika,
1(2):147-152.
Arief, T. dan Mahdalena, 2014. Petunjuk teknis
teknologi budidaya cabai secara benar.
Palembang.
Barus, W.A. 2006. Pertumbuhan produksi cabai
(capsicum annum l.) dengan penggunaan
mulsa dan pupuk PK. Jurnal Penelitian
Ilmu Pertanian. 4(1):41-44.
BPS dan Direktorat Jenderal Hortikultura. 2016.
Produksi, luas panen, dan produktivitas
sayuran di
Indonesia.http://www.pertanian.go.id/Indi
kator/tabel-2-prod-lspn-prodvitas-
horti.pdf.
Balitsa, 2018. Deskripsi tanaman cabai.
http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/in
dex.php/joomla-pages-iii/categories-
list/36-halaman/612-cabai-besar-varietas-
diakses 25 November 2018.
Fahmi, T., dan E. Sujitno.2014. Produksi
beberapa varietas cabai merah pada lahan
kering dataran tinggi Jawa Barat.
Hadiyanti, D., Sari, M.D., dan S. Emma. 2016.
Perbaikan Varietas dapat meningkatkan
produktivitas cabai merah dan pendapatan
petani di lahan kering (Studi Kasus di Desa
Lubuk Saung Kecamatan Banyuasin III,
16 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:9-17
Kabupaten Banyuasin).Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal. Palembang
20-21 Oktober 2016.
Hapsari D. T. 2011. Tiada henti panen cabai. Tri
Media Pustaka. Klaten.
Harpenas, A. dan R. Dermawan. 2009. Budidaya
cabai unggul. Penebar Swadaya.
Heryani, N., Kartiwa, B., Sugiarto, Y., dan
Handayani, T. 2013. Pemberian mulsa
dalam budidaya cabai rawit di lahan kering:
Dampaknya terhadap Hasil Tanaman dan
Aliran Permukaan. J. Agron. Indonesia, 41
(2):147-153.
Intara Y.I., Sapei A., Erizal, Sembiring N., dan
M.H.B. Djoefrie. 2011. Mempelajari
pengaruh pengolahan tanah dan cara
pembarian air terhadap pertumbuhan
tanaman cabai (Capsicum annum L.)
Kadarso.2008. Kajian penggunaan jenis mulsa
terhadap hasil tanaman cabai merah
varietas Red Charm. J. Agros. 10(2):134-
139.
Kementerian Pertanian, 2018. Produktivitas
tanaman hortikultura. Https://aplikasi2.
Pertanian.go.id/bdsp/id/komoditas
Kusmana, R., Kirana, I., M. Hidayat, dan Y.
Kusandriani. 2009. Uji adaptasi beberapa
galur cabai merah di dataran medium garut
dan dataran tinggi Lembang. J. Hort., 19(4)
: 371-376.
Marliah, A., Nasution, M., dan Armin. 2011.
Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas
cabai merah pada media tumbuh yang
berbeda. J. Floratek., 6: 84-91.
Nurahmi E., T. Mahmud, dan S. Rossiana. 2011.
Efektivitas pupuk organik terhadap
pertumbuhan dan hasil cabai merah.
J.Floratek 6: 158-164.
Nurhafsah, 2017. Laporan akhir kajian potensi
pengembangan SUT tanaman cabai di luar
musim di Sulawesi Barat.
Prajnanta, F. 2004. Pemeliharaan tanaman
budidaya secara intensif dan kiat sukses
beragribisnis. Penebar Swadaya, Jakarta.
163 hlm.
Purnomo J. 2013. Pemupukan berimbang pada
tanaman cabai pada tanah typic hapludands
di Cikembang, Sukabumi. Prosising
Seminar Nasional Peningkatan
Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi. p.
218 – 228.
Qosim, W.A., Rachmadi M., Hamdani J.S., Nuri
I. 2013. Penampilan fenotipik, variabilitas,
dan heritabilitas 32 genotipe cabai merah
berdaya hasil tinggi. J. Agron. Indonesia,
41 (2): 140-146.
Rochayat, Y. dan V.R. Munika. 2015. Respon
kualitas dan ketahanan simpan cabai merah
(Capsicum annum L.) dengan penggunaan
jenis bahan pengemas dan tingkat
kematangan buah. Jurnal Kultivasi, 14(1):
65-71.
Rostini, N. 2011.Enam jurus bertanam cabai
bebas hama dan penyakit. Agromedia
Pustaka, Jakarta, 87 hlm.
Sepwanti, W., Rahmawati, M., dan Kesumawati,
E. 2016.Pengaruh varietas dan dosis
kompos yang diperkaya trichoderma
harzianum terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman cabai merah (Capsicum annum
L.). Jurnal Kawista, 1(1):68-74.
Setiawan A.B., Purwanti S. dan Toekidjo. 2012.
Pertumbuhan dan hasil benih lima varietas
cabai merah (Capsicum annum L.) di
dataran menengah. Jurnal UGM 1(3).
Sutardi dan Wirasti C.A. 2017.Sistem usahatani
cabai merah pada lahan pasir di
Yogyakarta. J. Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian,
20(2):125-139.
Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti, dan D.A.
kusumah.2010. Evaluasi daya hasil cabai
hibrida dan adaptasinya di empat lokasi
dalam dua tahun. J.Agron. Indonesia
38(1):43-51.
Topan, M. 2008. Budidaya dan bisnis cabai.
Penerbit: Agro Media, Jakarta.
Wiratama, D.M.P., Sudiarta, P., Sukewijaya, M.,
Sumiartha, K., dan M.S. Utama.2013.
Kajian ketahanan beberapa galur dan
varietas cabai terhadap serangan
antraknosa di Desa Abang Songan
Kecamatan Kintamani Kabupaten
Bangli.E-Jurnal Agroekoteknologi
Tropika, 2(2).
17 Inovasi Teknologi Budidaya Cabai Merah Mendukung Peningkatan Produksi di Sulbar (Rahmi H.
dan Mathen P. Sirappa)
Wahyuni, S., A. Ruskandar, dan I. W.
Mulsanti.2008. Peran produsen benih
dalam diseminasi varietas unggul di Jawa
Barat. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil
Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku
2:889-889.
Wiryanta, B.T.W. 2002. Bertanam cabai pada
musim hujan. Agromedia Pustaka, Jakarta.
19 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai
Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd
Aziz Syarif)
EKSPLORASI DAN PENAPISAN MIKROB INDIGENOS RHIZOSFER CABAI (Capsicum annuum L.) SEBAGAI AGENS PENGENDALIAN HAYATI PENYAKIT
ANTRAKNOSA (Colletotrichum spp.)
Tatit Sastrini dan Abd Aziz Syarif
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat,
Jl. Raya Padang-Solok Km 40 Sukarami
Email: [email protected]
ABSTRACT
Exploration and Screening of Microbes Indigenous Rhizofer Chili (capsium annum L.) as an
Anthracnose (Colletotrium spp.) Biological Control Agent. Chili pepper (Capsicum annuum L.) is one of the
important commodities in Indonesia. Productivity of chili pepper in the central areas of chili production is lower
than the potential yield. One of the factors that affect the low productivity of the chili pepper is the attack of pest
and plant disease. This study aims to review the potential of rhizosphere microbes of chilli pepper plants as
biological control agents of Colletotrichum spp., the causal fungi of anthracnose, and to review the optimum method
for its exploration and screening. Biological control is an effort to utilize antagonistic microbes for controlling plant
pathogens that are environmentally-friendly and can support sustainable agriculture. The principle of biological
control is focused on maintaining environmental balance. Rhizosphere is a potential source to exploration of
biological control agents. Non-pathogenic organisms in the rhizosphere and soil have important roles in supporting
plant vigority, increasing plant growth, and controlling plant diseases. Exploration and screening of indigenous
rhizosphere microbes (fungi and bacteria) from chilli pepper plants which are antagonistic against Colletotrichum
spp. can be obtained through several processes. Microbial isolation was carried out using conventional techniques
by isolating of potential microbes as biological control agents from rhizosphere samples on certain culture media.
Isolation of pathogenic fungi (Colletotrichum spp.) from symptomatic plants was verified through pathogenicity
testing and virulence level analysis to avoid results that were biased in the stages of biological control agents
screening. Screening of potentially microbial antagonists to Colletotrichum spp. conducted using dual-culture
methods to obtain biological control agents with antibiosis and competition mechanisms. In addition, screening was
conducted to obtain biological control agent candidates with a parasitism mechanism through the slide culture
method. Biological control is very promising to be applied for sustainable agriculture.
Keywords: antibiosis, chili pepper, colletotrichum spp., competition, parasitism
ABSTRACT
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah-satu komoditas penting di Indonesia. Produktivitas
cabai pada daerah sentra produksi cabai masih lebih rendah dibandingkan potensi hasilnya. Salah satu faktor yang
mempengaruhi rendahnya produktivitas cabai yaitu serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Kajian ini
bertujuan mengulas potensi mikrob indigenos rhizosfer tanaman cabai yang berpotensi sebagai agens pengendali
hayati Colletotrichum spp. penyebab penyakit antraknosa serta metode yang tepat dalam eksplorasi dan
penapisannya. Pengendalian hayati merupakan suatu usaha pemanfaatan mikrob antagonis untuk pengendalian
patogen tanaman yang bersifat ramah lingkungan dan dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan. Prinsip
pengendalian hayati lebih mengarah kepada menjaga keseimbangan lingkungan. Rhizosfer merupakan sumber yang
potensial dalam eksplorasi agens hayati. Organisme non-patogenik yang berada di daerah rhizosfer dan tanah
memiliki peran penting dalam mendukung vigoritas tanaman, meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan
mengendalikan penyakit tanaman. Eksplorasi dan penapisan mikrob (kelompok cendawan dan bakteri) indigenos
rhizosfer tanaman cabai yang bersifat antagonis terhadap Colletotrichum spp. dapat diperoleh melalui beberapa
tahapan. Isolasi mikrob dilakukan dengan menggunakan teknik konvensional dengan cara mengisolasi mikrob
calon agens hayati dari suatu sampel rhizosfer pada media biakan tertentu. Isolasi cendawan patogen
Colletotrichum spp. dari tanaman bergejala diverifikasi melalui uji patogenisitas dan analisis tingkat virulensi agar tidak menimbulkan hasil yang bias dalam tahapan penapisan agens hayati. Penapisan mikrob yang
20 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28
berpotensial sebagai antagonis terhadap Colletotrichum spp. menggunakan metode biakan ganda untuk memperoleh
agens hayati dengan mekanisme pengendalian antibiosis dan kompetisi. Selain itu, penapisan dilakukan untuk
memperoleh kandidat agens hayati dengan mekanisme pengendalian parasitisme melalui metode kultur slide.
Pengendalian hayati sangat prospektif untuk digunakan dalam pertanian berkelanjutan.
Kata kunci: antibiosis, cabai, colletotrichum spp., kompetisi, parasitisme
PENDAHULUAN
Cabai merah (C. annuum L.) merupakan
salah-satu komoditas penting di Indonesia,
termasuk di Sumatera Barat. Produktivitas cabai
pada daerah sentra produksi cabai Sumatera Barat
antara 5,23-12,7 t ha-1, jauh lebih rendah
dibandingkan potensi hasil yang mencapai ton/ha
(Indrawanto, 2016). Faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas cabai, yaitu syarat
tumbuh, pemilihan benih, cara bercocok tanam
atau teknik budidaya, pengendalian OPT, dan
penanganan pasca panen (Sumarni & Muharam,
2005).
Terdapat beberapa patogen yang umum
menyerang pertanaman cabai, diantaranya yaitu
Ralstonia solanacearum, Meloidogyne spp., Virus
Potato Virus Y. Virus Cucumber Mosaic Virus,
Xanthomonas campestris pv. vesicolaria,
Colletotrichum spp., Cercospora capsici,
Phytopthora capsici, Fusarium oxysporum, dan
sebagainya (Duriat et al., 2007).
Colletotrichum spp. merupakan patogen
penting penyebab penyakit antraknosa pada cabai.
Penyakit tersebut dapat mengakibatkan
menurunnya hasil antara 20% dan 90%
(Balitbangtan 2016). Pengendalian penyakit
tersebut pada saat ini masih mengandalkan
pestisida kimia sintetik. Bahan aktif yang umum
digunakan untuk pengendalian penyakit
antraknosa yaitu mancozeb (Andriani et al.,
2017). Pestisida dengan bahan aktif mancozeb
yang umum digunakan oleh petani mencakup
Antila®, Dithane®, Manzate®, Nemispor®, dan
Tridex®.
Aktar et al. (2009) menjelaskan bahwa
aplikasi pestisida kimia sintetik secara intensif
dalam budidaya tanaman dapat melindungi
tanaman dari kerusakan akibat penyakit, tetapi
dapat pula menimbulkan dampak buruk bagi
manusia dan lingkungan, baik secara langsung
maupun tidak langsung seperti terganggunya
keseimbangan lingkungan termasuk keberadaan
organisme non-target. Hasil penelitian Nurbailis
et al. (2014) pada beberapa daerah di Sumatera
Barat mengenai keanekaragaman cendawan
rizosfer cabai, menunjukkan bahwa kepadatan
propagul dan jumlah isolat cendawan rizosfer
cabai pertanaman organik lebih tinggi dari
rizosfer cabai pertanaman konvensional yang
menggunakan pestisida secara intensif dalam
sistem budidayanya. Perlakuan pestisida yang
intensif dapat menurunkan populasi mikrob tanah
sehingga menyebabkan kerusakan terhadap
struktur dan kesuburan tanah. Di lain pihak,
mikrob tanah termasuk mikrob rhizosfer yang
memiliki manfaat penting untuk kesuburan
tanaman, memacu pertumbuhan tanaman, dan
dapat mengendalikan patogen tanaman, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Hal
tersebut menunjukkan bahwa harus ada
keterpaduan antara komponen dalam sistem usaha
tani yang digunakan termasuk teknik
pengendalian patogen.
Munif et al. (2012) menjelaskan bahwa
pemanfaatan mikrob antagonis untuk
pengendalian patogen tanaman yang disebut
sebagai pengendalian hayati merupakan suatu
usaha untuk pengendalian patogen penyebab
penyakit dan perlindungan tanaman yang ramah
lingkungan. Prinsip pengendalian hayati lebih
mengarah kepada menjaga keseimbangan
lingkungan dan dapat mendukung pertanian yang
berkelanjutan sehingga perlu banyak dikaji.
Ketersediaan informasi mengenai metode
eksplorasi dan penapisan mikrob (kelompok
cendawan dan bakteri) indigenos rhizosfer
tanaman cabai yang bersifat antagonis terhadap
Colletotrichum spp. penting untuk menggali
informasi mengenai potensi agens hayati yang
lebih besar, efektif, dan spesifik lokasi dalam
pengendalian penyakit antraknosa. Kajian ini
bertujuan mengulas potensi mikrob indigenos
21 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai
Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd
Aziz Syarif)
rhizosfer tanaman cabai yang berpotensi sebagai
agens pengendali hayati Colletotrichum spp.
penyebab penyakit antraknosa serta metode yang
tepat dalam eksplorasi dan penapisannya.
TANAMAN CABAI (C. annuum L.)
Cabai merah (C. annuum L.) merupakan
jenis tanaman perdu semusim. Budidaya tanaman
cabai merah di Indonesia pada umumnya
dilakukan pada lahan kering atau tegalan. Potensi
hasil cabai merah berkisar antar 12-20 t ha-1 bila
syarat tumbuh terpenuhi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas cabai yaitu kondisi
iklim dan tanah, pemilihan benih, cara bercocok
tanam, pengendalian OPT, dan penanganan pasca
panen (Sumarni & Muharam 2005).
Tanaman cabai merah memiliki daya
adaptasi yang cukup luas terhadap kondisi
lingkungan tumbuh. Tanaman ini dapat
dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran
tinggi hingga ketinggian 1400 m di atas
permukaan laut, tetapi pertumbuhannya di dataran
tinggi lebih lambat (Sumarni & Muharam 2005).
Kusmana et al. (2016), mendapatkan genotipe
cabai C. annuum L. Yaitu YK-2 yang dapat
beradaptasi dengan baik pada dataran tinggi di
Lembang Jawa Barat yang memiliki ketinggian
tempat 1.250 m di atas permukaan laut. Hal ini
ditandai dengan diperolehnya potensi hasil yang
tinggi, yaitu 22,64 t ha-1. Pada tahun 2018,
Balitbangtan melepas Varietas unggul baru
(VUB) cabai besar yaitu Cabai Carvi Agrihorti.
Cabai ini memiliki rasa yang lebih pedas dari
cabai besar pada umumnya, potensi hasil
mencapai 21-23 ton.ha-1, dan tahan terhadap virus
belang cabai (ChiVMV). Varietas tersebut sesuai
ditanam di sentra-sentra produksi cabai dengan
ketinggian 500-1400 mdpl (BB Biogen 2018).
ORGANISME PENYEBAB PENYAKIT
TANAMAN
Penyakit tanaman adalah suatu gangguan
fisiologis baik yang terlihat maupun tidak terlihat
pada sel dan jaringan tanaman. Penyakit
disebabkan oleh organisme yang bersifat
patogenik yang didukung oleh faktor lingkungan
sehingga mengakibatkan kerusakan bentuk,
fungsi, dan integritas yang dapat menyebabkan
kerusakan secara parsial atau keseluruhan
tanaman. Organisme penyebab penyakit tanaman
atau patogen terdiri atas kelompok virus, viroid,
cendawan, bakteri, molekut, protozoa, dan
nematoda (Agrios, 2005; Jibril et al., 2016).
Patogen menyebabkan penyakit dengan cara
mengganggu proses metabolisme sel tanaman
menggunakan enzim, toksin, zat pengatur
pertumbuhan, menyumbat jaringan pembuluh
xilem atau floem, dan lain sebagainya (Agrios,
2005). Cendawan merupakan kelompok mikrob
yang berperan sebagai patogen penting pada
tanaman karena menyebabkan kehilangan hasil
pertanian yang cukup tinggi. Salah satu cendawan
patogenik yang banyak menyebabkan kehilangan
hasil yaitu Colletotrichum spp. (Voorrips et al.,
2004; Phoulivong et al., 2012; Udayanga et al.,
2013; Andriani et al., 2017; De Silva et al., 2017).
PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA
TANAMAN CABAI
Patogen Penyebab Penyakit Antraknosa
Colletotrichum spp. merupakan spesies
cendawan yang menjadi patogen utama pada
tanaman cabai di seluruh dunia termasuk
Indonesia baik di dataran rendah maupun dataran
tinggi. Penyakit yang disebabkan oleh patogen
Colletotrichum spp. disebut antraknosa. Penyakit
antraknosa dilaporkan dapat menyerang daun dan
buah tanaman cabai (Herwidyarti et al., 2013;
Udayanga et al., 2013). Serangan pada buah dapat
terjadi pada stadia muda yang masih berwarna
hijau dan buah merah yang telah matang dengan
gejala awal berupa bercak kecil yang kemudian
berkembang menjadi lesio yang lebih luas dan
membentuk lekukan.
22 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28
Pola gejala terlihat konsentris yang terbentuk dari
propagul cendawan (Duriat et al., 2007; De Silva
et al., 2017). Colletotrichum spp. memiliki
banyak spesies dan yang banyak menyerang
pertanaman cabai di Indonesia yaitu C.
gloeosporioides, C. capsici (Voorrips et al., 2004
& De Silva et al., 2017) , C. acutatum (Andriani
et al., 2017).
Mekanisme Infeksi Colletotrichum spp.
Infeksi Colletotrichum spp. diawali
dengan tahapan penetrasi yang dimulai dengan
proses perkecambahan konidia dan pembentukan
suatu struktur infeksi khusus yang disebut
appressoria atau kapak penetrasi. Struktur tersebut
masuk melalui kutikula dan epidermis dinding sel
(Perfect et al., 1999; Wharton & Schilder 2008).
Selain itu, Colletotrichum spp. juga dapat masuk
melalui luka (De Silva et al., 2017).
Proses infeksi oleh Colletotrichum spp.
dapat terjadi secara hemibiotropi intraseluler.
Proses tersebut diawali dengan mekanisme
biotrofik yang tidak menimbulkan gejala, kapak
penetrasi menginvasi sel epidermis dan hifa
primer menghasilkan vesikula yang membesar
dalam sel epidermis dan mesofil. Selanjutnya
terjadi fase nekrotik yaitu hifa sekunder tumbuh
secara intra dan interseluler serta mensekresi
enzim pendegradasi dinding sel yang kemudian
mematikan sel inang (O’Connell et al., 2012; De
Silva et al., 2017).
AGENS PENGENDALI HAYATI
Salah satu teknik pengendalian patogen
tumbuhan yang sedang banyak dikaji dan
dikembangkan pada saat ini adalah teknik
pengendalian hayati dengan memanfaatkan
mikrob antagonis (agens hayati) untuk menekan
penyakit. Mekanisme dalam pengendalian hayati
meliputi hiperparasitisme, predasi, antibiosis,
perlindungan silang, kompetisi ruang dan nutrisi,
serta induksi resistensi (Pal & Gardener 2006;
Heidari A & Passarakli M 2010; Amaresan et al.,
2012) (Tabel 1).
Tabel 1. Mekanisme pengendalian oleh agens pengendali hayati
Tipe Mekanisme
Aktivitas
antagonisme
langsung
Hiperparasitisme atau
Predasi
Patogen diserang langsung oleh agen pengendali hayati yang
membunuh patogen atau propagul patogen.
Contoh:
Bakteri Pasteuria penetrans yang memiliki sifat antagonis
terhadap nematoda root-knot.
Trichoderma virens yang memiliki sifat antagonisme terhadap
Rhizoctonia solani
Antibiosis Antibiosis merupakan salah-satu mekanisme penghambatan
organisme oleh senyawa bioaktif berupa antibiotik, enzim
pendegradasi dinding sel, atau senyawa volatil yang diproduksi
oleh organisme lain.
Contohnya seperti antibiotik 2, 4-diacetylphloroglucinol
(DAPG) dan enzim kitinase.
Aktivitas
antagonisme tidak
langsung
Kompetisi ruang dan
nutrisi
Agar berhasil melakukan kompetisi dengan patogen, mikrob
agens hayati harus secara efektif bersaing untuk mendapatkan
nutrisi yang tersedia dari eksudat yg dihasilkan tanaman dan
nutrisi lain dari jaringan tua yang telah terdekomposisi.
Induksi resistensi Respon tanaman terhadap berbagai rangsangan bahan kimia
yang dihasilkan oleh mikrob tanah dan tanaman yang terkait.
Rangsangan tersebut dapat menginduksi pertahanan tanaman
inang melalui perubahan biokimia yang meningkatkan
ketahanan terhadap infeksi berikutnya oleh berbagai patogen.
Sumber: Heidari & Passarakli (2010); Amaresan et al. (2012); Chaisemsaeng et al. (2013); Pal & Gardener
(2017)
23 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai
Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd
Aziz Syarif)
Wartono et al. (2015) melaporkan bahwa
pemanfaatan agens hayati seperti Bacillus subtilis
dalam formulasi spora dapat menekan penyakit
hawar daun bakteri di lapang hingga 21% dan
berpotensi meningkatkan hasil panen hingga 50%.
Djaenuddin dan Muis (2017) melaporkan bahwa
perlakuan tunggal formulasi B. subtilis dapat
menekan perkembangan penyakit hawar pelepah
dan pelepah daun pada jagung di lapang sampai
17 %.
Keanekaragaman dan Potensi Mikrob
Rhizosfer
Rhizosfer merupakan sumber yang
potensial dalam eksplorasi agens hayati.
Nihorimbere et al., (2011) menjelaskan bahwa
rhizosfer adalah tanah yang menempel atau paling
dekat dengan perakaran tanaman.
Keanekaragaman mikrob di rhizosfer tinggi
karena pada daerah tersebut terdapat sejumlah
besar metabolit yang dihasilkan oleh akar
tanaman dan dibutuhkan oleh mikrob sebagai
nutrisi yang memungkinkan mikrob untuk
berkolonisasi di daerah tersebut. Berebdsen et al.,
(2012) menjelaskan bahwa keberadaan organisme
non-patogenik terutama di daerah rizosfer dan
tanah memiliki peran yang sangat penting dalam
mendukung vigoritas tanaman, meningkatkan
pertumbuhan tanaman, dan mengendalikan
penyakit tanaman.
Beberapa mikrob asal rhizosfer telah
banyak dilaporkan mampu menekan patogen
tanaman sekaligus meningkatkan pertumbuhan
tanaman. Beberapa spesies bakteri indigenos
rhizosfer cabai seperti Pseudomonas fluorescens,
Serratia spp., dan Bacillus spp. dilaporkan
berpotensi dikembangkan sebagai agens hayati
karena mampu menghambat pertumbuhan koloni
patogen C. capsici dan Fusarium oxysporum
(Sutariati & Wahab 2010).
Keanekaragaman komunitas mikrob pada
sampel tanah dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor biotik maupun abiotik. Faktor abiotik yang
mempengaruhi mikrob adalah fisik dan kimia,
salinitas, suhu, pH, tekanan, polusi kimia, logam
berat, pestisida, antibiotik, dan sebagainya (Baath
et al., 1998; Fakruddin & Mannan 2013).
Penggunaan sistem budidaya yang ramah
lingkungan menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman mikrob di area
pertanaman termasuk rhizosfer. Hasil penelitian
Nurbailis et al., (2014) menunjukkan bahwa
keanekaragaman cendawan agens hayati yang
mampu menghambat pertumbuhan C.
gloeosporioides pada rhizosfer cabai di lahan
dengan cara pertanaman organik lebih banyak
daripada lahan yang diolah menggunakan cara
konvensional dengan aplikasi pestisida yang
intensif. Hal tersebut menunjukkan bahwa harus
ada keterpaduan antara komponen dalam sistem
usaha tani yang digunakan. Secara umum, semua
variasi faktor biotik maupun abiotik pada suatu
lingkungan mempengaruhi keanekaragaman
komunitas mikrob di tempat tersebut (Fakruddin
& Mannan 2013). Berdasarkan informasi tersebut
dapat diperkirakan bahwa keanekaragaman
komunitas mikrob antara satu tempat dengan
tempat lainnya akan berbeda. Dengan demikian,
kajian mengenai eksplorasi dan penapisan mikrob
(kelompok cendawan dan bakteri) indigenos
rhizosfer tanaman cabai sebagai agens pengendali
hayati Colletotrichum spp. pada berbagai sumber
yang berbeda bermanfaat untuk menggali potensi
agens hayati yang lebih besar, efektif, dan spesifik
lokasi.
Eksplorasi Mikrob Indigenos Rhizosfer
Tanaman Cabai
Baker dan Cook (1974) menjelaskan
bahwa agens hayati dapat diperoleh dari area yang
tidak mengandung patogen (mikrob patogenik),
aktivitas patogenik yang menurun, atau pathogen
tidak berkembang meskipun tanaman rentan
terhadap infeksinya. Isolasi mikrob pada
penelitian eksplorasi potensi agens hayati
umumnya dilakukan dengan teknik konvensional.
Teknik tersebut diawali dengan mengisolasi
mikrob calon agens hayati dari suatu sampel
seperti sample rhizosfer yang telah melalui
tahapan pengenceran berseri pada media biakan
tertentu. Selanjutnya dilakukan seleksi,
karakterisasi, dan uji potensi agens hayati dengan
metode standar yang sederhana (Wahyudi et al.,
2011; Munif et al., 2012).
Penggunaan teknik konvensional dalam
isolasi mikrob memiliki keterbatasan karena
hanya dapat mengisolasi mikrob yang bisa
dikulturkan pada media biakan (culturable
microbe). Penelitian-penelitian yang dilakukan
telah berhasil mengeksplorasi berbagai agens
24 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28
hayati untuk berbagai patogen tumbuhan
menggunakan teknik konvensional (Hastuti et al.
2012; Chaisemsaeng et al., 2013; Hartati et al.,
2014). Cao et al., (2005) menjelaskan bahwa
penelitian tentang eksplorasi agens hayati juga
dapat digunakan untuk mengeksplorasi berbagai
senyawa bioaktif alami baru yang dapat
mengendalikan patogen. Tahapan pemurnian
mikrob kelompok bakteri dapat dilakukan dengan
metode penggoresan bakteri dari koloni tunggal,
pemurnian dengan metode spora tunggal untuk
pemurnian mikrob kelompok cendawan yang
menghasilkan spora (Choi et al., 1999), dan
pemurnian cendawan yang tidak berspora dapat
dilakukan dengan isolasi ujung hifa (Photita et al.,
2005; Than et al., 2008).
Isolasi, Uji Patogenisitas, dan Analisis
Virulensi Colletotrichum spp.
Terdapat beberapa metode yang dapat
digunakan untuk memperoleh isolat cendawan
patogen Colletotrichum spp. dari jaringan
tanaman sakit, diantaranya dengan mengisolasi
cendawan tersebut dari bagian antaran jaringan
sehat dan sakit. Potongan jaringan tersebut
kemudian disterilisasi permukaan dengan
mencelupkannya ke dalam 1% sodium hypoklorit
selama 3-5 menit dan dibilas dengan air steril
sebanyak tiga kali. Selanjutnya potongan jaringan
tersebut disimpan diatas permukaan water agar
(WA) dan diinkubasi. Ujung hifa yang tumbuh
kemudian ditransfer pada media potato dextrose
agar (PDA) (Photita et al., 2005; Than et al.,
2008). Namun demikian, metode tersebut
memiliki kelemahan yaitu dapat terjadi
kontaminasi oleh cendawan atau mikroorganisme
lain yang berada di dalam jaringan tanaman sakit.
Choi et al., (1999) menjelaskan bahwa banyak
metode yang dikembangkan dan dapat digunakan
untuk isolasi cendawan, namun beberapa
diantaranya sulit dilakukan. Dalam proses isolasi
cendawan masalah yang sering terjadi adalah
kontaminasi oleh bakteri, yeast, atau spesies
mikrob non target lainnya. Salah satu cara yang
dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah
dengan melakukan pengenceran masa spora dan
dilanjutkan dengan isolasi menggunakan metode
single-spore.
Proses isolasi patogen dapat dilakukan
dengan metode single-spore (Choi et al., 1999;
Than et al., 2008) dengan beberapa modifikasi.
Colletotrichum spp. merupakan kelompok
cendawan yang berspora, isolasi single-spore
dilakukan langsung dari buah cabai yang
terinfeksi dan diberi perlakuan sporulasi. Massa
spora diambil menggunakan loop kawat steril
kemudian disuspensikan pada 20 µl air steril
diatas gelas objek. Suspensi tersebut diambil
menggunakan pipet steril kemudian disebar pada
permukaan media WA dalam cawan petri. Single-
spore yang berkecambah diamati pada mikroskop
stereo dan diambil menggunakan ujung jarum
steril dan ditransfer pada media PDA dalam
cawan petri. Metode tersebut biasa digunakan
untuk menghasilkan biakan murni berbagai
cendawan yang menghasilkan spora. Identifikasi
morfologi dilakukan dengan kunci identifikasi
Barnett & Hunter (1998) dan Alexopoulos &
Mims (1996).
Uji patogenisitas sering dilakukan melalui
penyiapan isolat patogen uji untuk tahapan
skreening agens hayati. Hal tersebut perlu
dilakukan untuk memastikan patogen uji yang
digunakan masih memiliki kemampuan
menyebabkan penyakit antraknosa (Hartati et al.,
2004; Than et al., 2008; Ibrahim et al., 2017). Uji
patogenisitas dilakukan dengan metode sebagai
berikut (Ibrahim et al., 2017), sebanyak 5 µL
suspensi spora (105 spora.mL-1) Colletotrichum
spp. pada permukaan cabai yang telah disterilisasi
permukaan dan dilukai menggunakan jarum steril.
Inkubasi dilakukan pada wadah steril tertutup
dengan kondisi kelembaban 95% dan suhu 25oC.
Pengamatan dilakukan terhadap rata-rata ukuran
lesio yang diamati pada 10 hari setelah inokulasi
(HSI). Selanjutnya tingkat virulensi dianalisis
menggunakan skoring patogenisitas dengan nilai
0 sampai dengan 3 (Tabel 2). Isolat
Colletotrichum spp. yang menyebabkan gejala
antraknosa bersifat patogenik dapat digunakan
untuk pengujian selanjutnya. Tahapan uji
patogenisitas dan analisis tingkat virulensi dalam
proses memperoleh isolat cendawan uji penting
dilakukan agar tidak menimbulkan hasil yang bias
dalam tahapan penapisan agens hayati.
25 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai
Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd
Aziz Syarif)
Penapisan Mikrob yang Bersifat Antagonis
Terhadap Colletotrichum spp.
Penapisan dilakukan untuk memperoleh
mikrob yang bersifat antagonis terhadap patogen
sasaran. Penapisan mikrob antagonis terhadap
Colletotrichum spp. penyebab penyakit
antraknosa pada cabai dapat dilakukan
menggunakan dua metode, yaitu (1) metode
biakan ganda (dual-culture) (Sutariati & Wahab
2010; Chaisemsaeng et al., 2013; Nurbailis et al.,
2014) dan (2) metode kultur slide (Nurbailis et al.,
2014). Pada umumnya, kegiatan penelitian
menggunakan metode biakan ganda untuk
memperoleh agens hayati dengan mekanisme
antibiosis dan kompetisi dilakukan dengan
menumbuhkan biakan patogen dan mikrob uji
(kandidat agens hayati) dalam satu cawan petri
berisi media (Sutariati & Wahab, 2010;
Chaisemsaeng et al., 2013; Nurbailis et al., 2014).
Metode kultur ganda memiliki sejumlah
keunggulan diantaranya ialah metodenya
sederhana, mikrob dengan senyawa anti mikrob
atau dengan sifat antagonis dapat di tapis dengan
cepat, dan mampu menghilangkan bias akibat
false positives yang biasanya ditemui dalam
skrining antimikrob (Kevin et al., 1996). Menurut
Munif et al., (2012) dan Hastuti (2012), uji biakan
ganda dapat digunakan untuk mendeteksi
mekanisme antibiosis dari agens hayati dalam
mengendalikan patogen. Antibiosis merupakan
salah-satu mekanisme penghambatan organisme
oleh senyawa bioaktif berupa antibiotik, enzim
pendegradasi dinding sel, atau senyawa volatil
yang diproduksi oleh organisme lain. Pal dan
Gardener (2006) menjelaskan bahwa senyawa
bioaktif dapat menghambat pertumbuhan bahkan
membunuh organisme lain.
Pengamatan dalam metode biakan ganda
dilakukan dengan perhitungan daya hambat
kandidat agens hayati terhadap cendawan
patogenik yang ditunjukkan dengan terbentuknya
zone bening di antara keduanya dengan
menggunakan rumus (Bivi, 2010):
P = 𝑟1−𝑟2
𝑟1 x 100%,
dengan P merupakan persentase penghambatan
pertumbuhan patogen (%), r1 merupakan jari-jari
miselium hingga tepi cawan petri (cm), dan r2
merupakan jari-jari miselium hingga tepi zona
hambat (cm).
Metode kultur slide digunakan untuk
mengamati daya parasitisme isolat cendawan uji
(kandidat agens hayati) terhadap cendawan
patogenik. Kultur slide dibuat dengan
menumbuhkan cendawan kandidat agens hayati
dan patogen masing-masing pada WA tipis yang
ditempatkan secara berhadapan kemudian ditutup
dengan gelas penutup pada permukaan gelas
objek. Pengamatan dilakukan menggunakan
mikroskop monokuler untuk melihat adanya
pelilitan, penetrasi, dan atau lisis pada hifa
patogen (Nurbailis et al., 2014).
KESIMPULAN
Cabai (C. annuum L.) merupakan salah
satu komoditas penting di Indonesia. Penyakit
utama pada tanaman cabai yang umumnya
menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi adalah
penyakit antraknosa. Teknik yang banyak
digunakan untuk pengendalian adalah teknik
konvensional dengan menggunakan pestisida
sintetis yang memiliki dampak kurang baik
terhadap keseimbangan lingkungan. Pada saat ini,
teknik pengendalian yang banyak dikaji dan
dikembangkan adalah teknik pengendalian hayati
karena dinilai lebih aman terhadap keseimbangan
lingkungan. Pengendalian hayati merupakan
pemanfaatan mikrob antagonis untuk
Tabel 2. Skor dan kriteria patogenisitas isolat C. acutatum pada buah cabai.
Skor Ukuran Lesio Tingkat virulensi
0 Tidak ada tidak virulen
1 <3 mm rendah
2 3-5 mm sedang
3 >5 mm tinggi
Sumber: Ibrahim et al. (2017)
26 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28
pengendalian patogen tanaman yang bersifat
ramah lingkungan dan dapat mendukung
pertanian yang berkelanjutan. Prinsip
pengendalian hayati lebih mengarah kepada
menjaga keseimbangan lingkungan. Rhizosfer
merupakan sumber yang potensial dalam
eksplorasi agens hayati. Organisme non-
patogenik yang berada di daerah rizosfer dan
tanah memiliki peran penting dalam mendukung
vigoritas tanaman, meningkatkan pertumbuhan
tanaman, dan pengendalian penyakit tanaman.
Agens hayati dapat diperoleh dari area
yang tidak mengandung patogen (mikrob
patogenik), aktivitas patogenik yang menurun,
atau patogen tidak berkembang meskipun
tanaman rentan terhadap infeksinya. Metode
isolasi mikrob dalam kegiatan eksplorasi agens
hayati dapat dilakukan menggunakan teknik
konvensional dengan mengisolasi mikrob calon
agens hayati dari suatu sampel seperti sample
rhizosfer pada media biakan tertentu untuk
selanjutnya dilakukan seleksi dan karakterisasi.
Tahapan pemurnian mikrob kelompok bakteri
dapat dilakukan dengan metode penggoresan
bakteri dari koloni tunggal, pemurnian kelompok
cendawan yang berspora dapat dilakukan dengan
metode spora tunggal, dan pemurnian cendawan
yang tidak berspora dapat dilakukan dengan
isolasi ujung hifa. Metode isolasi spora tunggal ini
juga dapat dilakukan untuk mendapatkan biakan
murni dari isolat cendawan patogen
Colletotrichum spp.. Proses untuk memperoleh
isolat cendawan uji kamudian harus melalui uji
patogenisitas dan analisis tingkat virulensi agar
tidak menimbulkan hasil yang bias dalam tahapan
penapisan agens hayati. Tahapan penapisan untuk
mendapatkan kandidat agens hayati potensial
dapat dilakukan menggunakan metode biakan
ganda untuk memperoleh agens hayati dengan
mekanisme pengendalian antibiosis dan
kompetisi. Selain itu, untuk mendapatkan
kandidat agens hayati dengan mekanisme
pengendalian parasitisme dapat dilakukan dengan
metode kultur slide. Metode tersebut
memungkinkan kita mengamati adanya pelilitan,
penetrasi, dan atau lisis pada hifa patogen oleh
agens hayati.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih penulis sampaikan kepada
Dr Achmad Dinoto sebagai pembimbing dalam
penyusunan kajian ilmiah dalam kegiatan
Pelatihan Pembentukan Jabatan Fungsional
Peneliti dan Ir Agus Muharam sebagai
pembimbing dalam kegiatan Penyusunan Karya
Tulis Ilmiah BBP2TP yang telah memberikan
masukan dan perbaikan terhadap karya tulis
ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th edition.
Amsterdam: Elsevier Academic Press.
Aktar, W., D. Sengupta, and A. Chowdhury. 2009.
Impact of pesticides use in agriculture: their
benefits and hazards. Interdisciplinary
Toxicology. 2(1): 1-12.
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims, and M.
Blackwell. 1996. Introductory Mycology.
Ed ke-4. New York: John Wiley & Sons,
Inc.
Andriani, D., S. Wiyono, dan Widodo. 2017.
Sensitivitas Colletotrichum spp. pada cabai
terhadap benomil, klorotalonil, mankozeb,
dan propineb. 13(4): 119-126. Doi: 10.
14692/jfi.13.4.119
Amaresan, N., V. Jayakumar, K. Kumar, and N.
Thajuddin. 2012. Isolation and
characterization of plant growth promoting
endophytic bacteria and their effect on
tomato (Lycopersicon esculentum) and
chilli (Capsicum annuum) seedling growth.
Ann Microbiol. 62: 805–810. Doi:
10.1007/s13213-011-0321-7.
Baath, E., M. Di´az-ravi, A. Frostegard, and C.D.
Campbel. 1998. Effect of metal-rich sludge
amendments on the soil microbial
community. Applied and Environmental
Microbiology. 64(1): 238-245.
[BB Biogen]. Balai Besar Litbang Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetika Pertanian.
Kementan lepas varietas unggul cabai hasil
bioteknologi in vitro Carvi-Agrihorti.
http://biogen.litbang.pertanian.go.id/2018/
07/kementan-lepas-varietas-unggul-cabai-
27 Eksplorasi dan Penapisan Mikrob Indigenos Rhizosfer Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai
Agens Pengendalian Hayati Penyakit Antraknosa (Colletotrichum Spp.) (Tatit Sastrini dan Abd
Aziz Syarif)
hasil-bioteknologi-in-vitro-carvi-agrihorti/
[diakses tanggal 27 November 2108].
Baker, K.F. and R.J. Cook. 1974. Biological
Control of Plant Patogens. San Francisco
(US): WH Freeman.
[Balitbangtan] Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. 2016.
Pengendalian antraknosa pada tanaman
cabai. http://www.litbang.pertanian.go.id/
berita/one/2630/ [diakses 27 November
2018].
Barnett, H.L. and B.B. Hunter. 1998. Illustrated
marga of imperfect fungi. 4th ed. USA:
Prentice-Hall, Inc.
Berebdsen, R.L., C.M.J. Pieterse, and P.M.H.M.
Bakker. 2012. The rhizosphere microbiome
and plant health. Trends Plant Sci. 17(8):
478-486.
Bivi, M.R., M.S. Farhana, Khairulmazmi, and A.
Indist. 2010. Control of Ganoderma
boninense: A causal agent of basal stem rot
disease in oil palm with endophyte bacteria
In Vitro. Int J Agric Biol. 12: 833-839. Doi:
10–371/STS/2010/12–6–833–839.
Cao, L.X., Z.Q. Qiu, J.L. You, H.M. Tan, and S.
Zhou. 2004. Isolation and characterization
of endophytic Streptomyces antagonists of
Fusarium wilt patogen from surface
sterilized banana roots. FEMS Microbiol
Lett. 247: 147–152.
Chaisemsaeng, P., W. Mongkolthanaruk, and W.
Bunyatratchata. 2013. Screening and
potential for biological control of
anthracnose disease (Colletotrichum
capsici) on chili fruits by yeast isolates.
Journal of Life Sciences and Technologies.
1(4): 201-204.
Choi, Y.W., K.D. Hyde, and W.H. Ho. 1999.
Single spore isolation of fungi. Fungal
Diversity. 3: 29-38.
De Silvaa, D.D., P.K. Adesb, P.W. Crousac, and
P.W.J. Taylora. 2017. Colletotrichum
species associated with chili anthracnose in
Australia. Plant Pathology. 66: 254–267.
Doi: 10.1111/ppa.12572.
Djaenuddin, N., dan A. Muis. 2017. Efektivitas
biopestisida Bacillus subtilis BNt 8 dan
pestisida nabati untuk pengendalian
penyakit hawar pelepah dan upih daun
jagung. J. HPT Tropika. 17(1): 53-61.
Duriat, A.S., N. Gunaeni, dan A.W. Wulandari.
2007. Penyakit Penting Tanaman Cabai
dan Pengendaliannya. Indonesia: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
Fakruddin, and S.B. Mannan. 2013. Methods for
analyzing diversity of microbial
communities in natural environments.
Ceylon Journal of Science (Bio. Sci.).
42(1): 19-33. Doi:
10.4038/cjsbs.v42i1.5896.
Hartati, Wiyono, S.H. Hidayat, dan M.S. Sinaga.
2014. Seleksi khamir epifit sebagai agens
antagonis penyakit antraknosa pada cabai.
J Hort. 24(3): 258-265.
Hastuti, R.D., Y. Lestari, A. Suwarso, dan R.
Saraswati. 2012. Endophytic Streptomyces
spp. as biocontrol agents of rice bacterial
leaf blight patogen (Xanthomonas oryzae
pv. oryzae). Hayati, 19(4): 155-162.
Heidari, A., and M. Passarakli. 2010. A review on
biological control of plant patogens using
microbial antagonists. 10(4): 273-290.
Herwidyarti, K.H., S. Ratih, dan D.R.J. Sembodo.
2013. Keparahan penyakit antraknosa pada
cabai (Capsicum annuum l) dan berbagai
jenis gulma. J. Agrotek Tropika. ISSN
2337-4993. 1(1): 102-106.
Ibrahim, R., S.H. Hidayat, dan Widodo. 2017.
Keragaman morfologi, genetika, dan
patogenisitas Colletotrichum acutatum
penyebab antraknosa cabai di Jawa dan
Sumatera. Jurnal Fitopatologi Indonesia.
13(1): 9–16. Doi: 10.14692/jfi.13.1.9–16.
Indrawanto, C. 2017. Laporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Balai
Pengkajian Teknologi Pertania Sumatera
Barat. Indonesia.
Jibril, S.M., B.H. Jakada, A.S. Kutama, and H.Y.
Umar. 2016. Plant and patogens: Patogen
recognision, invasion and plant defense
mechanism. Int J Curr Microbiol App Sci.,
5(6): 247-257 . Doi:
org/10.20546/ijcmas.2016.506.028.
28 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:19-28
Kevin, R., Oldenburg, T.V. Kham, B. Ruhland,
P.J. Schatz, and Z. Yuan. 1996. A dual
culture assay for detection of abtimicrobial
activity. Journal of Biomolecular
Screening, Inc., 1(3): 123-130.
Kusmana, Y. Kusandriani, R. Kirana, dan Liferdi.
2016. Keragaan Tiga Galur Lanjut Cabai
Merah pada Ekosistem Dataran Tinggi
Lembang. J Hort., 26(2): 133-142.
Munif, A., S. Wiyono, dan Suwarno. 2012. Isolasi
bakteri endofit asal padi gogo dan
potensinya sebagai agens biokontrol dan
pemacu pertumbuhan. J Fitopatol Indones.,
8(3): 57-64.
Nurbailis, Martinius, dan A. Verry. 2014.
Keanekaragaman jamur pada rizosfer
tanaman cabai sistem konvensional dan
organik dan potensinya sebagai agen
pengendali hayati Colletotrichum
gloeosporioides. J HPT Tropika, 14(1): 16-
24.
Nihorimbere, V., M. Ongena, M. Smargiassi, and
P. Thonart. 2011. Beneficial effect of the
rhizosphere microbial community for plant
growth and health. Biotechnol Agron Soc
Environ, 15(2): 327-337.
O’Connell, R.J., M.R. Thon, S. Hacquard, S.G.
Amyotte, J. Kleemann, and M.F. Torres.
2012. Life style transitions in plant
patogenic Colletotrichum fungi deciphered
by genome and transcriptome analyses.
Nature Genetics, 44(9): 1060-1067.
Pal, K.K., and B.M. Gardener. 2006. Biological
Control of Plant Patogens. The Plant Health
Instructor. Doi: 10.1094/PHI-A-2006-
1117-02.
Photita, W., P.W.J. Taylor, R. Ford, K.D. Hyde,
and S. Lumyong. 2005. Morphological and
molecular characterization of
Colletotrichum species from herbaceous
plants in Thailand. Fungal Diversity, 18:
117-133.
Phoulivong, S., E.H.C. McKenzie, and K.D.
Hyde. 2012. Cross infection of
Colletotrichum species; a case study with
tropical fruits. Current Research in
Environmental and Applied Mycology, 2:
99–111.
Perfect, S.E., H.B. Hughes, R.J. O’Connell, and
J.R. Green. 1999. Colletotrichum: A model
genus for studies on pathology and
fungalplant interactions. Fungal Genet
Biol, 27(2-3): 186-198.
Sumarni, N., dan A. Muharam. 2005. Budidaya
Tanaman Cabai Merah. Indonesia: Balai
Penelitian Tanaman Sayuran.
Sutariati, G.A.K. dan A. Wahab. 2010. Isolasi dan
uji kemampuan Rizobakteri Indigenous
sebagai agensia pengendali hayati penyakit
pada tanaman cabai. J Hort., 20(1): 86-95.
Than, P.P., R. Jeewon, K.D. Hyde, S.
Pongsupasamit, O. Mongkolporn, and
P.W.J. Taylor. 2008. Characterization and
patogenicity of Colletotrichum species
associated with anthracnose on chilli
(Capsicum spp.) in Thailand, 57: 562-572.
Udayanga, D., D.S. Manamgoda, X. Liu, E.
Chukeatirote, and K.D. Hyde. 2013. What
are the common anthracnose patogens of
tropical fruits?. Fungal Diversity, Doi:
10.1007/s13225-013-0257-2.
Voorrips, R.E., R. Finkers, L. Sanjaya, and R.
Groenwold. 2004. QTL mapping of
anthracnose (Colletotrichum spp.)
resistance in a cross between Capsicum
annuum and C. chinense. Theor Appl
Genet. 109: 1275–1282. Doi:
10.1007/s00122-004-1738-1.
Wahyudi, A.T., S. Meliah, dan A.A. Nawangsih.
2011. Xanthomonas oryzae pv. oryzae
bakteri penyebab hawar daun pada padi:
isolasi, karakterisasi, dan telaah
mutagenesis dengan transposon. Makara
Sains, 15(1): 89-96.
Wartono, Giyanto, dan K.H. Mutaqin. 2015.
Efektivitas formulasi spora Bacillus subtilis
B12 sebagai agen pengendali hayati
penyakit hawar daun bakteri pada tanaman
padi”. Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, 34(1): 21-28.
Wharton, P.S., and A.C. Schilder. 2008. Novel
infection strategies of Colletotrichum
acutatum on ripe blueberry fruit. Plant
Pathol, 57: 122-134.
29 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
PELUANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TANAMAN JAGUNG DI LAHAN KERING IKLIM KERING, NUSA TENGGARA TIMUR
Alfonso Sitorus1, Tony Basuki1, dan Erythrina2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur
Jl. Timor Raya Km. 32, Naibonat, Kupang, Nusa Tenggara Timur
2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor 16114
Email: [email protected]
ABSTRACT
Opportunity for Increasing Maize Productivity Under Upland Dry Climate, East Nusa Tenggara. The
province of East Nusa Tenggara (NTT) is an area dominated by dry land and influenced by dry climate which
characterized by low annual rainfall. The geographical conditions are bumpy, hilly, and mountainous with shallow
and rocky solums make the lands are vulnerable to degradation. The availability of water is the main limiting factor
in corn farming in this area. This paper provides an overview of land and climate characteristics and efforts that
allow to increased productivity of maize in upland dry climate. Opportunities to increase maize productivity in
upland dry climate can be done through the application of advanced technological innovations such as the use of
high yielding varieties of composite and hybrid maize, use of organic matter, biochar, mulch, balanced fertilization,
and water management as well as land conservation techniques. Technically the prospect of developing maize
production in dry land with dry climate is still promising. On the other hand, optimization of upland dry climate is
often hampered by socio-economic constraints. Institutional support is still far from adequate and farmers' access
to production inputs and markets is still limited.
Keywords: maize, dry climate dry land, technological innovation
ABSTRAK
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah yang didominasi oleh lahan kering dan
dipengaruhi iklim kering serta dicirikan dengan curah hujan tahunan yang rendah. Kondisi geografis yang
bergelombang, berbukit, sampai bergunung dengan solum dangkal dan berbatu menyebabkan lahan rentan
mengalami degradasi. Ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama dalam usahatani jagung. Makalah ini
memberikan gambaran umum karakteristik lahan dan air serta upaya-upaya yang memungkinkan untuk peningkatan
produktivitas tanaman jagung di lahan kering iklim kering. Peluang peningkatan produktivitas jagung di lahan
kering iklim kering dapat dilakukan melalui penerapan berbagai inovasi teknologi maju seperti penggunaan varietas
unggul jagung komposit dan hibrida, pemberian bahan organik, biochar, mulsa, pemupukan berimbang, dan
pengelolaan air serta penerapan teknik konservasi lahan. Secara teknis prospek pengembangan tanaman jagung di
lahan kering beriklim kering masih sangat besar. Di lain pihak, optimalisasi lahan kering iklim kering seringkali
terbentur pada kendala sosial ekonomi. Dukungan kelembagaan masih jauh dari memadai dan akses petani terhadap
input produksi dan pasar masih terbatas.
Kata kunci: jagung, lahan kering iklim kering, inovasi teknologi
30 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
PENDAHULUAN
Seiring dengan peningkatan pertumbuhan
penduduk Indonesia sebesar 1,38% per tahun dan
pemenuhan kebutuhan pangan nasional untuk 255
juta jiwa (BPS, 2013), diperlukan peningkatan
luas areal pertanian setiap tahunnya. Ketersediaan
lahan pertanian subur sudah sangat terbatas dan
yang tersisa sebagai lahan cadangan masa depan
adalah lahan sub optimal dengan segala
keterbatasannya. Lahan sub optimal yang paling
luas sebarannya adalah lahan kering seluas 122,1
juta ha yang terdiri dari lahan kering iklim basah
108,8 juta ha dan lahan kering iklim kering 13,3
juta ha. Dari 13,3 juta ha lahan kering iklim
kering, sekitar 3 juta ha berada di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (Mulyani dan Sarwani, 2013).
Lahan kering iklim kering adalah lahan kering
dengan jumlah curah hujan <2.000 mm/tahun
dan bulan kering >7 bulan (<100 mm/bulan)
(Balitklimat, 2003).
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
adalah provinsi kepulauan dengan total 1.192
pulau dan 43 pulau yang dihuni. Provinsi NTT
didominasi oleh lahan kering dan dipengaruhi
oleh iklim kering. Pertanian di NTT dikenal
dengan pertanian lahan kering iklim kering yang
dicirikan oleh curah hujan tahunan tergolong
rendah, kurang dari 1.500 mm/tahun (BPS
Provinsi NTT, 2017a). Faktor pembatas pertanian
di daerah beriklim kering adalah ketersediaan air
irigasi. Musim Hujan di NTT terjadi dalam waktu
yang relatif pendek sehingga hanya dapat
ditanami satu kali dalam setahun. Kondisi
geografis NTT secara umum bergelombang
sampai bergunung dengan solum dangkal dan
berbatu, menyebabkan lahan rentan mengalami
erosi. Apabila lahan tidak dikelola dengan baik
maka akan mengalami degradasi (Widiyono,
2008).
Pemanfaatan lahan di NTT belum
optimal, diindikasikan oleh luasnya lahan yang
sementara tidak diusahakan, yaitu 782.611 ha atau
46,5% dari total luas lahan pertanian (BPS
Provinsi NTT, 2017a). Produktivitas tanaman
jagung juga jauh lebih rendah dibandingkan
rataan produktivitas jagung nasional. Rendahnya
produktivitas jagung disebabkan ketersediaan air
terbatas (hanya mengandalkan curah hujan);
tingkat penerapan teknologi budidaya rendah
(terutama varietas unggul dan pupuk berimbang);
serta tidak memperhatikan aspek konservasi tanah
(Tandisau dan Thamrin, 2009). Selain kendala
fisik, optimalisasi lahan kering iklim kering
seringkali terbentur pada kendala sosial ekonomi.
Dukungan kelembagaan masih jauh dari memadai
dan akses petani terhadap input produksi sangat
terbatas. Upaya untuk menerapkan teknologi budi
daya seringkali terbentur akibat keterbatasan
modal usahatani. Upaya konservasi lahan
membutuhkan biaya yang tinggi yang sulit
dipenuhi oleh petani maupun masyarakat
berkemampuan terbatas (Suradisastra, 2013).
Kondisi demikian menjadi tantangan
pengembangan tanaman jagung di lahan kering
beriklim kering, NTT.
Inovasi teknologi tanaman pangan untuk
pengembangan lahan sub optimal khususnya di
lahan kering iklim kering sudah banyak dihasilkan
oleh berbagai lembaga penelitian di Indonesia,
meliputi varietas unggul toleran kekeringan serta
tahan hama dan penyakit, pengelolaan hara dan
tanah, pengelolaan bahan organik, dan
pengelolaan ternak (Balitbangtan, 2015).
Aplikasinya di lahan petani masih terbatas karena
rendahnya akses dan adopsi terhadap teknologi
tersebut. Data BPS Provinsi NTT (2017b)
menunjukkan bahwa sebanyak 75,2% petani
jagung tidak menerima penyuluhan dan sebanyak
44,5% belum merupakan anggota kelompok tani.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
memberikan gambaran umum karakteristik lahan
kering iklim kering di Nusa Tenggara Timur, dan
upaya-upaya yang memungkinkan untuk
peningkatan produktivitas tanaman jagung.
KARAKTERISTIK LAHAN KERING
BERIKLIM KERING
Karakteristik Tanah
Di Provinsi NTT bahan induk tanah
dengan sebaran terluas adalah batuan sedimen dan
volkan. Jenis tanah dominan adalah Inceptisols
yang berasosiasi dengan Alfisols dan Entisols
dengan jumlah sekitar 2,1 juta ha (Mulyani et al.,
2015). Tanah Inceptisols mempunyai selang sifat
31 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
kimia tanah sangat lebar tergantung bahan induk
dan kondisi lingkungannya. Di Kabupaten Ngada,
Inceptisols yang berasal dari bahan induk volkan
mempunyai pH 6-7, Kapasitas Tukar Kation
(KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) tergolong tinggi
(Hikmatullah dan Chendy, 2003). Di Kabupaten
Kupang, Inceptisols yang berasal dari bahan
induk batu kapur mempunyai pH lebih tinggi 7,0-
8,2 dengan KTK tinggi dan KB sangat tinggi
(Mulyani et al., 2010). Di Kabupaten Sumba
Tengah dimana curah hujan tahunan rata-rata
>2.000 mm, pencucian hara lebih tinggi dibanding
lokasi lainnya dengan bahan induk sedimen.
Secara umum Provinsi NTT mempunyai
tingkat kesuburan tanah sedang sampai tinggi,
yang dicirikan oleh pH netral sampai agak alkalin,
kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation
tergolong tinggi seperti terlihat pada Tabel 1. Hal
ini berhubungan dengan bahan induk tanah yang
berasal dari batuan kapur. Kapasitas Tukar Kation
(KTK) dan Kejenuhan Basa (KB) cenderung
beragam, misalnya karakteristik tanah di Desa
Baudaok, Kecamatan Tasifeto Timur Kabupaten
Belu menunjukkan pH netral sampai agak alkalin
(7,1-7,6), KTK tinggi (35,7-40,7 me/100g), dan
KB sangat tinggi (mencapai 100%) (Widiyono,
2010). Hartutik et al. (2012) menjelaskan
karakteristik tanah pada kedalaman 0-15 cm di
Kabupaten Kupang, yaitu pH netral (6,9) dan C-
organik sangat rendah (0,1%). Hal yang sama juga
dilaporkan oleh Ishaq et al. (2017) bahwa sifat
tanah di Kupang bereaksi netral dengan P dan K
sangat tinggi, basa-basa dapat tukar sangat tinggi,
dan N total tergolong sedang.
Secara umum basa-basa dapat tukar
dalam tanah didominasi oleh kation Ca (Pamuji et
al., 2016; Nur et al., 2014). Kandungan Ca yang
tinggi dalam tanah menyebabkan P tersedia
menjadi sangat rendah sampai rendah walaupun
kandungan P potensial (HCl 25%) dalam tanah
tinggi (Pamuji et al., 2016). Hara P dalam tanah
bereaksi alkalin, diikat oleh Ca membentuk Ca-P
yang tidak tersedia bagi tanaman. Untuk
mengekstrak P dari Ca-P, diperlukan adanya
mikroorganisme pelarut P. Jenis mikroorganisme
pelarut fosfat antara lain Bacillus firmus, B.
subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. polymixa,
B. megatherium Arthrobacter, Pseudomonas,
Achromobacter, Flavobacterium, Micrococus,
dan Mycobacterium (Nursanti, 2017).
Mikroorganisme pelarut fosfat banyak yang sudah
diformulasi dalam pupuk hayati. Secara umum
tanah di lahan kering iklim kering memiliki
tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan
dengan lahan kering iklim basah yang bereaksi
masam.
Karakteristik Iklim
Secara umum tipe iklim di Indonesia
dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu iklim
basah (curah hujan >2.000 mm/tahun) dan iklim
kering (curah hujan <2.000 mm/tahun)
(Balitklimat, 2003). Menurut Ritung et al. (2015)
luas lahan yang dipengaruhi iklim basah di NTT
seluas 1,2 juta ha atau 26,5% dan iklim kering
seluas 3,3 juta ha atau 73,5%. Ritung et al. (2015)
mengelompokkan iklim basah adalah curah hujan
≥ 2.000 mm/tahun, dan rejim kelembaban udik
dan akuik. Iklim kering adalah curah hujan <
2.000 mm, dan rejim kelembaban ustik. Luasan
lahan kering iklim kering yang sangat luas
menyebabkan peranan lahan kering di NTT sangat
penting.
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah di beberapa kabupaten, Nusa Tenggara Timur.
Kabupaten
Tekstur pH BO Contoh tanah kering 105oC
Pasi
r
Deb
u
Li
at
H2
O
C N P2O
5
K2O P2O
5
Ca M
g
K KT
K
KB
% % mg/100g ppm cmolc/kg %
Sumba Barat Daya 11 49 40 6,2 2,93 0,27 56 16 184 40,6 2,6 0,24 40,1 >100
Sumba Barat 13 35 52 5,2 2,75 0,24 92 13 21 13,4 1,6 0,2 20,9 73
Sumba Timur 17 21 62 6,0 1,07 0,09 22 14 15 44,0 2,8 0,3 40,8 >100
Kupang 22 35 43 6,0 1,61 0,15 174 65 35 16,5 2,0 0,8 14,7 >100
Malaka 37 27 36 7,8 0,95 0,09 60 164 13 28,3 0,8 0,8 14,2 >100
Timor Tengah
Utara
31 31 28 7,7 0,77 0,07 114 268 14 25,6 2,3 3,0 22,7 >100
Sumber: Mulyani et al. (2014)
32 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
Rata-rata curah hujan tahunan di NTT
adalah 1.411 mm/tahun dengan delapan bulan
kering berurutan, dan curah hujan < 100 mm
(Gambar 1). Ketersediaan air merupakan faktor
pembatas utama usaha tani di lahan ini.
Penanaman tanaman-tanaman hemat air dan
toleran kekeringan sangat sesuai dibudidayakan di
daerah ini (Rengganis, 2016).
Provinsi NTT mempunyai periode musim
hujan sangat pendek dan musim kering yang
panjang. Bulan Basah (BB) di NTT pada
Desember sampai Maret diikuti Bulan Kering
(BK) April sampai November. Musim hujan yang
sangat pendek menyebabkan pertanaman hanya
dapat dilakukan satu kali musim tanam dalam
setahun atau Indeks Pertanaman (IP) 100.
Banjarnahor dan Simanjuntak (2015)
menunjukkan dengan pengaturan pola tanam
berdasarkan pola curah hujan dan aplikasi panen
air di Kabupaten Sumba Tengah, IP lahan dapat
ditingkatkan menjadi IP 150 atau bahkan IP 200.
Supriatna (2012) mengemukakan peningkatan IP
dapat dilakukan melalui pengaturan pola tanam
dengan memanfaatkan air dari embung
menggunakan pompa.
DEMOGRAFI PENDUDUK DAN
USAHATANI JAGUNG
Jumlah penduduk Provinsi NTT pada
tahun 2016 sekitar 5.203.514 jiwa dengan
kepadatan penduduk 109 jiwa/km2 (BPS Provinsi
NTT, 2017a). Berdasarkan klasifikasi kepadatan
penduduk dalam SNI 03-1733-2004 kepadatan
penduduk di NTT termasuk kategori rendah (<150
jiwa/ha). Meskipun kepadatan penduduk NTT
tergolong rendah tetapi jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan pada tahun
2016 masih cukup besar, yaitu sebanyak
1.149.920 jiwa atau 22,2% dari total penduduk.
Jumlah angkatan kerja pada 2016 adalah
2.353.648 jiwa dimana sebanyak 2.277.068 atau
96,75% berstatus bekerja. Jumlah yang bekerja
pada sektor pertanian, kehutanan, perkebunan,
dan perikanan, mencapai 1.214.060 jiwa atau
53,3% dari angkatan kerja (BPS Provinsi NTT,
2017a). Hal ini menunjukkan bahwa sektor
pertanian merupakan sektor yang sangat penting
bagi perekonomian NTT.
Usaha tani jagung di NTT sebagian besar
dilakukan di lahan kering (96,1%), pada lahan
milik sendiri (88,6%) dengan dua sistem tanam
Gambar 1. Rataan curah hujan bulanan di Provinsi NTT tahun 2012-2016 (BPS Provinsi NTT 2013-2016)
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
33 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
utama yaitu tumpang sari (63,1%) dan
monokultur (36,7%) (BPS Provinsi NTT, 2017b).
Dari total panen jagung seluas 273.194 ha pada
tahun 2015 diperoleh produksi sebanyak 685.081
ton atau dengan produktivitas hanya 2,5 t/ha (BPS
Provinsi NTT, 2016). Produktivitas tanaman
jagung ini sekitar 50% di bawah rataan
produktivitas nasional sebesar 5,2 t/ha (BPS,
2016). Hasil survei struktur ongkos usaha tani
tanaman jagung tahun 2017 menunjukkan jumlah
petani jagung yang menggunakan benih berasal
dari pertanaman sendiri sebanyak 30,2% dan
petani yang tidak menggunakan pupuk mencapai
80,2% dengan B/C 0,64 (BPS Provinsi NTT,
2017b). Hal ini mengindikasikan bahwa
pengelolaan usaha tani jagung di NTT belum
memberikan keuntungan yang layak bagi petani.
POTENSI LAHAN DAN AIR DI WILAYAH
IKLIM KERING NTT
Lahan pertanian di NTT cukup luas, tetapi
pemanfaatannya masih belum optimal. Luas lahan
pertanian pada tahun 2016 tercatat 1,8 juta ha
dengan proporsi dari lahan yang sementara tidak
diusahakan sangat tinggi yaitu 41,7% dari total
luas lahan (BPS Provinsi NTT, 2017a). Lahan
yang sementara tidak diusahakan adalah lahan
yang biasanya diusahakan tetapi untuk sementara
(lebih dari satu tahun dan kurang dari dua tahun)
tidak diusahakan. Hal ini juga mengindikasikan
bahwa potensi pengembangan pertanian lahan
kering masih sangat besar bilamana kendala bio-
fisik dan sosial ekonomi dapat diatasi.
Total pertanian lahan kering di NTT
(tegal/kebun dan ladang/huma) tahun 2016 yaitu
46,8% dari total luas lahan pertanian di NTT
(Tabel 2). Luasan ini dapat bertambah pada
musim kemarau di mana lahan sawah dapat
digunakan sebagai pertanian lahan kering
terutama pada musim kemarau setelah
pertanaman padi musim hujan (MH). Luas lahan
sawah pada 2016 adalah 214.883 ha yang terdiri
dari sawah irigasi 122.895 ha (57,2%) dan sisanya
sawah tadah hujan 91.988,10 ha (BPS Provinsi
NTT, 2017a).
Tabel 2. Luasan berbagai tipe penggunaan lahan di
NTT, 2016.
Tipe Penggunaan Lahan Luas (ha)
Sawah 214.883
Tegal/Kebun 531.670
Ladang/Huma 347.364
Sementara tidak diusahakan 782.612
Jumlah 1.876.529
Sumber: BPS Provinsi NTT (2017a)
Sebagian besar wilayah NTT memiliki
iklim kering dengan curah hujan tahunan yang
rendah. Sumber-sumber air baik berupa air
permukaan, dan air tanah masih dapat ditemukan
di beberapa lokasi di NTT. Provinsi NTT
memiliki 13 bendungan dengan luas bendungan
berkisar antara 12,8-155,0 ha dengan rata-rata
55,7 ha tersebar di Kabupaten Kupang, Belu, Rote
Ndao, Sabu Raijua, Alor, Sumba Timur, dan
Sikka (Prianto et al., 2017). NTT juga memiliki
sebanyak 17 embung irigasi dengan luas embung
berkisar antara 1,28-35,194 ha atau rata-rata 9,06
ha yang tersebar di Kabupaten Kupang, TTU,
Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, dan Sikka (Prianto
et al., 2017). Wilayah dengan sumber-sumber air
ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai sentra
pertanian lahan kering iklim kering. Secara total
NTT memiliki 486 embung dimana sebagian
besar didominasi oleh embung kecil. Kapasitas
total dari 486 embung yang ada adalah 12,28 juta
m3, dan telah dimanfaatkan untuk air irigasi pada
lahan seluas 5.136 ha dan air baku 77,23 l/dtk
(KemenPUPR, 2017).
Wilayah NTT juga memiliki potensi air
tanah untuk irigasi. NTT memiliki 38 Cekungan
Air Tanah (CAT) dengan total luas 31.929 km2
dengan jumlah air tanah 8.429 juta m3/tahun
(Kementerian ESDM, 2017). Rengganis (2016)
menyatakan potensi air tanah di NTT sebesar
267.282 l/dtk, dan dapat dimanfatkan untuk
melengkapi irigasi air permukaan terutama pada
saat periode curah hujan rendah.
34 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
PENGELOLAAN TANAMAN JAGUNG DI
LAHAN KERING IKLIM KERING
Varietas Unggul Jagung
Penggunaan benih jagung oleh petani di
NTT sebagian besar berasal dari hasil pertanaman
sendiri. Persentase rumah tangga petani menurut
sumber benih yang digunakan disajikan pada
Tabel 3. Jika benih yang bersumber dari
pembelian diasumsikan sebagai benih unggul,
maka penggunaan benih unggul jagung di NTT
masih rendah, hanya 15,18%. Hal ini merupakan
salah satu penyebab rendahnya produktivitas
tanaman jagung di NTT. Penggunaan benih
unggul diketahui memiliki potensi hasil yang
tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan lahan kering
iklim kering melalui pemanfaatan varietas unggul
masih sangat potensial.
Tabel 3. Persentase rumah tangga petani menurut
sumber benih jagung yang digunakan di
NTT
Sumber Benih Jagung
Pembelian 15,18
Penangkaran sendiri 2,37
Budidaya sendiri 30,23
Lainnya 52,22
Sumber: BPS Provinsi NTT (2017b)
Penggunaan varietas unggul baik hibrida
maupun komposit (varietas bersari bebas),
berpotensi meningkatkan hasil tanaman jagung di
lahan kering iklim kering (Tabel 4). Jagung
hibrida Bima 1 dan jagung komposit Srikandi
Putih memiliki hasil masing-masing 2,6 dan 2,2
kali lebih tinggi dibanding varietas lokal (Seran et
al., 2012).
Tabel 4. Produktivitas tanaman jagung varietas lokal
dan unggul di NTT
Varietas Hasil
(ton/ha)
Delta terhadap
varietas lokal (%)
Bima 1 (hibrida) 5,42 261
Srikandi Putih
(komposit) 4,61 222
Lokal 2,08 100
Sumber: Seran et al. (2012)
Kaihatu dan Periseron (2016)
menunjukkan hasil varietas unggul jagung
komposit (Gumarang, Sukmaraga, Srikandi
Kuning) serta jagung hibrida (Bima 2 dan Bima 4)
berkisar antara 7,26 - 10,31 t/ha; lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas lokal (Mutiara,
Ungu Hati Putih, Merah, Orange Hati Merah, dan
Orange Hati Putih) antara 2,45 - 3,75 t/ha.
Da Silva dan deRosari (2017)
menunjukkan hasil display varitas jagung
komposit di Kabupaten Sikka tahun 2014.
Produktivitas tertinggi untuk varietas komposit
Tabel 5. Produktivitas tanaman jagung komposit dan hibrida, Kabupaten Sikka, NTT, 2014
Varietas Jenis Hasil (t/ha) Delta hibrida terhadap
komposit (%)
Provit A1 Komposit 4,37
Provit A2 Komposit 6,22
Gumarang Komposit 6,16
Anoman Komposit 5,37
Srikandi Putih Komposit 4,90
Rata-rata 5,40 100
Bima 19 URI Hibrida 9,79
Bima 3 Hibrida 5,49
Bima 4 Hibrida 6,91
Bima 5 Hibrida 6,09
Bima 6 Hibrida 5,18
Rata-rata 6,84 126
Sumber: Da Silva dan deRosari (2017)
35 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
yaitu: Provit A2 (6,22 t/ha), diikuti varietas
Gumarang (6,16 t/ha). Sedangkan produktivitas
tertinggi untuk hibrida Bima 19 URI (9,79 t/ha)
diikuti oleh Bima 4 (6,91 t/ha) (Tabel 5).
Produktivitas jagung hibrida di NTT
sekitar 26% lebih tinggi dibandingkan jagung
komposit (Da Silva dan deRosari, 2017). Data
varietas jagung hibrida yang direlease Badan
Litbang Pertanian menunjukkan rataan potensi
hasilnya 40% lebih tinggi dibandingkan varietas
komposit (Tabel 6). Gambaran ini menunjukkan
jika infrastruktur irigasi, dan sarana produksi
tersedia serta kelembagaan petani mendukung,
potensi peningkatan produksi menggunakan
jagung hibrida masih cukup besar.
Varietas Unggul Baru yang
direkomendasikan adalah yang beradaptasi baik
dengan kondisi NTT memiliki musim hujan yang
pendek yaitu varietas berumur genjah dan/atau
toleran kekeringan (Tabel 6). Pemanfaatan
tanaman berumur genjah dapat menghindarkan
tanaman dari cekaman kekeringan, karena umur
panen pendek sehingga tidak mencapai musim
kemarau.
Memperhatikan kondisi biofisik lahan,
sosial ekonomi petani dan ketersediaan sarana
produksi, peningkatan produksi jagung di NTT
dalam jangka pendek sebaiknya difokuskan
melalui penyebaran varietas unggul jagung
komposit. Benih jagung komposit dapat
menyebar luas melalui sesama petani (berbasis
komunitas). Dalam prakteknya, biji pipilan hasil
panen jagung komposit dapat diseleksi untuk
digunakan kembali sebagai benih pada musim
berikutnya.
Pengelolaan Bahan Organik
Salah satu indikator penting penentu
kualitas lahan adalah status bahan organik dalam
tanah. Kandungan bahan organik yang rendah
menunjukkan telah terjadi degradasi lahan.
Obalum et al. (2017) menyatakan bahan organik
sebagai indikator terjadinya degradasi lahan
karena berkaitan dengan sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah serta proses-proses yang terjadi di
dalam tanah. Hasil penelitian Supit et al. (2016)
menunjukkan bahwa pemberian kompos sebesar
30 t/ha pada lahan kritis dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah yang diikuti
dengan peningkatan hasil tanaman dibandingkan
tanpa pemberian kompos. Upaya perbaikan yang
relatif murah adalah dengan pemanfaatan sumber
Tabel 6. Potensi hasil beberapa VUB jagung komposit dan hibrida umur genjah
VUB Jenis Umur Panen (hari) Potensi Hasil (ton/ha)
Bima 7 hibrida 89 12,1
Bima 8 hibrida 88 11,7
HJ 21 Agritan hibrida 82 12,2
HJ 22 Agritan hibrida 80 12,1
JH 36 hibrida 89 12,2
Pulut URI 1 hibrida 85 9,4
Pulit URI 2 hibrida 85 9,2
Pulut Uri 3 H hibrida 85-88 10,7
Pulut URI 4 hibrida 85-88 7,1
Rata-rata 10,7
Wisanggeni komposit 90 8,0
Bisma komposit 96 7,5
Surya komposit 98 8,0
Lagaligo komposit 90 7,5
Gumarang komposit 82 8,0
Lamuru komposit 95 7,6
Kresna komposit 90 7,0
Srikandi komposit 97 8,0
Rata-rata 7,7
Sumber: Diolah dari Puslitbangtan (2016)
36 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
bahan organik in situ seperti pengembalian sisa
tanaman berupa pupuk kandang, kompos, dan
biomasa tanaman.
Potensi bahan organik yang berasal dari
tanaman pangan di NTT sangat besar. Secara total
potensi bahan organik dari tanaman pangan
adalah 3,5 juta ton (Tabel 7). Karena NTT juga
merupakan sentra ternak sapi, pemberian pupuk
kandang sapi meningkatkan kadar air tanah, total
ruang pori, dan C-organik, menurunkan bulk
density dan pH, serta meningkatkan hasil tanaman
jagung (Adijaya dan Yasa, 2015).
Laju dekomposisi bahan organik yang
tergolong tinggi menyebabkan pengaruh
pemberian bahan organik alami hanya bersifat
sementara (temporary). Bahan ameliorasi yang
relatif tahan terhadap dekomposisi salah satunya
adalah Biochar. Biochar relatif resisten terhadap
serangan mikroorganisme sehingga proses
dekomposisi berjalan lebih lambat (Cheng et al.,
2006). Biochar berasal dari limbah pertanian yang
dibakar secara tidak sempurna (pyrolysis). Dariah
dan Nurida (2012) menyatakan, pemberian
biochar 2,5 t/ha dapat meningkatkan efisiensi
pemupukan, pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung di lahan kering beriklim kering. Pemberian
biochar dan pupuk ¾ dosis rekomendasi
memberikan hasil tanaman jagung yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan pupuk
sesuai rekomendasi. Meningkatnya KTK tanah
setelah aplikasi biochar disebabkan oleh adanya
pembentukan gugus karboksilat hasil oksidasi
abiotik yang terjadi pada permukaan luar partikel
biochar (Cheng et al., 2006). Peningkatan KTK
akan meminimalkan kehilangan hara, seperti K+
dan NH4+.
Dalam pertanian lahan kering iklim
kering pemanfaatan biochar berpotensi untuk
meningkatkan ketersediaan air. Yu et al. (2013)
menunjukkan efektivitas biochar dalam
meningkatkan kemampuan tanah memegang air
(water holding capacity) pada tanah bertekstur
pasir berlempung. Tanah bertekstur pasir
berlempung dikenal memiliki kadar air yang
rendah. Peningkatan proporsi biochar akan
meningkatkan kadar air. Pada tanah tanpa biochar
hanya memiliki kadar air 16,0%. Penambahan
biochar sebesar 1% meningkatkan kadar air tanah
menjadi 16,8% atau meningkat 5,1% dibanding
tanpa biochar (Tabel 8). Pemberian biochar
sampai 5% meningkatkan kadar air tanah menjadi
23,5% atau meningkat 47,3%. Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian biochar sangat
sesuai di lahan kering iklim kering.
Tabel 7. Potensi hasil limbah pertanian dari tanaman pangan di NTT, 2016
Komoditas
Luas
panen1)
(ha)
Hasil limbah pertanian2)
(t/ha)
Potensi limbah pertanian
(t)
Padi 266.242 5,94 1.581.477
Jagung 273.194 6,00 1.639.164
Kedelai 3.563 2,79 9.773
Kacang Tanah 12.231 4,94 60.421
Kacang Hijau 11.130 5,45 60.658
Ubi Kayu 60.557 1,73 104.798
Ubi Jalar 8.701 4,93 42.896
Jumlah 3.499.188
Sumber: 1)BPS Provinsi NTT (2016); 2) Syamsu (2006)
37 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
Tabel 8. Kadar air tanah berbagai proporsi biochar
pada tanah bertekstur pasir berlempung
Proporsi
Biochar (%)
Kadar air tanah
(%)
Persentase
Peningkatan
0 16,0 -
1 16,8 5,1
2 19,0 18,9
3 19,3 20,7
4 21,4 33,9
5 23,5 47,3
10 32,3 102,1
15 44,4 178,0
20 50,4 215,5
25 60,1 276,6
30 78,3 390,2
40 91,2 470,8
50 124,9 681,7
75 209,6 1212,6
100 274,1 1616,1
Sumber: Yu et al. (2013)
Pengelolaan Hara
Tandisau dan Thamrin (2014)
menunjukkan bahwa pemupukan yang tidak
lengkap pada tanaman jagung menyebabkan
kualitas pertumbuhan dan hasil berkurang hingga
10-30%, sementara dengan aplikasi pupuk
lengkap (200 kg N/ha, 35 kg P/ha, dan 100 kg
K/ha) memberikan hasil yang lebih tinggi (5,5
ton/ha). Kresnatita et al. (2013) menunjukkan
bahwa kombinasi pupuk kandang sapi 10 t/ha dan
pupuk Urea 150 kg/ha dapat meningkatkan hasil
tongkol jagung manis, yaitu 14,94 t/ha
dibandingkan dengan tanpa pupuk (3,63 t/ha) dan
pemberian pupuk Urea sesuai dosis rekomendasi,
yaitu 200 kg/ha (12,38 ton/ha).
Pengelolaan Air
Pengembangan lahan kering iklim kering
perlu didukung dengan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya air untuk irigasi. Survei-survei
sumber daya air perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi titik-titik sumber air baru. Selain
itu, teknik pemanenan air di lahan kering iklim
kering sangat diperlukan karena jumlah curah
hujan yang rendah dalam setahun dan laju
evapoprasi yang tinggi selama musim tanam.
Teknik pemanenan air permukaan dapat berupa
embung, long storage, dan dam parit. Penggunaan
air permukaan dapat menjadi solusi untuk air
irigasi pada musim kemarau. Selain penggunaan
air permukaan, pemanfaatan air tanah untuk
irigasi di lahan kering iklim kering sangat
potensial.
Pengelolaan air merupakan faktor kunci
pertanian di lahan kering iklim kering. Sabaruddin
et al. (2003) melaporkan kombinasi perlakuan
bahan organik 10 t/ha yang diberi penyiraman 4
hari sekali pada musim hujan dan 3 hari sekali
pada musim kemarau dengan sistem tanam
tumpang sari kacang tanah dan jagung secara
bersamaan memberikan hasil jagung dan kacang
tanah terbaik.
Pada tahun 2010 Badan Litbang Pertanian
telah mengembangkan model sistem pertanian
terpadu lahan kering iklim kering (SPTLKIK) di
kebun percobaan Naibonat, NTT. Pada tahun
2011-2014 model SPTLKIK dikembangkan pada
6 lokasi yang menyebar di NTT dan NTB,
dilaksanakan di lahan petani dalam kawasan 5-10
ha. Berdasarkan pengalaman selama 4 tahun
tersebut, penyediaan air di musim kemarau dapat
menjadi titik ungkit dalam pengembangan
pertanian di lahan kering iklim kering, sehingga
eksplorasi dan eksploitasi sumber air menjadi
kegiatan utama yang perlu dilakukan pada awal
kegiatan. Pengembangan pertanian di lahan
kering iklim kering lebih diutamakan untuk
memanfaatkan potensi sumberdaya air yang
tersedia dengan teknologi yang sederhana dan
murah, dipadukan dengan penggunaan varietas
unggul baru dan pengelolaan bahan organik in
situ. Kombinasi ini dapat meningkatkan
produktivitas lahan dan indeks pertanaman dari IP
1 menjadi IP 2 - 3 serta meningkatkan pendapatan
masyarakat petani (Mulyani et al., 2015).
Pertanian Konservasi
Lahan kering iklim kering memiliki curah
hujan tahunan yang rendah, tetapi rentan
mengalami degradasi lahan. Walaupun curah
hujan tahunan rendah bukan berarti lahan kering
iklim kering tidak mengalami erosi. Hujan harian
yang tercurah dalam jumlah yang tinggi dan
dalam waktu relatif pendek, menyebabkan aliran
permukaan yang besar dan mendorong terjadinya
erosi. Hal ini terjadi di Kabupaten Kupang, Pulau
38 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
Timor, NTT dimana terjadi kehilangan tanah
akibat erosi sekitar 11 t/ha/tahun (Widiyono,
2006). Sebagian besar lahan yang terbuka dengan
fisiografi bergelombang sampai berbukit dan
bergunung, solum tanahnya relatif sangat tipis
akibat terkikis oleh erosi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerapan teknik konservasi dapat memperbaiki
kondisi lahan dan meningkatkan hasil tanaman.
Endriani (2010) melaporkan bahwa olah tanah
minimum disertai penutupan mulsa 30 - 60%
dapat memperbaiki sifat fisika tanah, antara lain
meningkatkan kandungan bahan organik tanah,
pori aerase dan pori air tersedia. Suparwata et al.
(2012) menyatakan bahwa teknik konservasi
mulsa vertikal dapat menurunkan aliran
permukaan dan jumlah tanah tererosi.
Penggunaan mulsa diketahui sebagai
salah satu teknik konservasi yang dapat
mengurangi evavotranspirasi. Penggunaan mulsa
pada pertanaman jagung mampu meningkatkan
kadar air tanah, kandungan N, P, K, serta bobot
100 biji tanaman jagung dibandingkan dengan
perlakuan tanpa mulsa (Hinarti et al., 2012). Lama
penggunaan mulsa berkorelasi positif terhadap
hasil tanaman jagung. Penggunaan mulsa sampai
35 HST meningkatkan hasil sebesar 11,5%
dibanding tanpa menggunakan mulsa (Utama et
al. 2013).
Manfaaat jangka panjang dari pertanian
konservasi adalah dapat mempertahankan
keberlanjutan dari usahatani. Hasil penelitian Da
Silva et al. (2015) menunjukkan bahwa lahan
konservasi vegetatif (budidaya lorong)
dibandingkan dengan lahan yang tidak
dikonservasi memberikan gross margin yang
lebih tinggi mulai tahun ketiga dari pengusahaan
lahan tersebut (Tabel 9). Lahan yang tidak
dikonservasi mengalami penurunan kualitas lahan
dimana gross margin yang diterima petani
cenderung mengalami penurunan. Hal ini
membuktikan bahwa lahan yang dikonservasi
dapat mempertahankan keberlanjutan usaha tani
dengan mencegah terjadinya degaradasi lahan.
Tabel 9. Gross Margin pada lahan konservasi dan tidak
konservasi di Kab. Timor Tengah Utara
(TTU) dan Kab. Timor Tengah Selatan (TTS)
Tahun
ke
Penerimaan
(Rp)
Biaya
(Rp)
Gross Margin
(Rp)
Konservasi
1 9.257.862 4.657.019 4.600.843
2 9.570.702 4.976.537 4.594.165
3 12.357.919 6.941.165 5.416.754
4 16.302.760 8.116.861 8.185.899
5 15.020.805 7.851.054 7.169.751
Tanpa Konsevasi
1 6.044.444 1.440.000 4.604.444
2 5.822.222 1.440.000 4.382.222
3 4.311.111 1.440.000 2.931.111
4 2.953.333 1.440.000 1.613.333
5 1.133.968 1.440.000 -146.032
Sumber: da Silva et al. (2015)
DUKUNGAN KELEMBAGAAN
Optimalisasi lahan kering iklim kering
seringkali terbentur pada kendala sosial ekonomi.
Dukungan kelembagaan masih jauh dari memadai
dan akses petani terhadap input produksi dan
pasar masih terbatas. Da Silva dan deRosari
(2017) menyatakan peran kelembagaan di NTT
dipilah menjadi empat kelompok, yaitu: (1)
lembaga yang berperan dalam penyediaan input,
(2) lembaga yang bergerak di bidang produksi, (3)
lembaga pengolahan hasil, serta (4) lembaga
pembiayaan dan pemasaran hasil. Kelangkaan
input produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida
adalah kendala dalam produksi jagung.
Pengolahan hasil jagung seperti
pembuatan roti, brownish, kue kering, dan mie
memberikan nilai tambah bagi pendapatan. Hal
lain yang perlu mendapat perhatian dalam
pengembangan jagung adalah pasar. Akses petani
pada kelembagaan pasar sangat penting.
Penguatan peran kelembag/aan berpeluang
meningkatkan produktivitas jagung di lahan
kering iklim kering.
39 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
KESIMPULAN
Kondisi geografis yang bergelombang,
berbukit, sampai bergunung dengan solum
dangkal dan berbatu menyebabkan lahan rentan
mengalami degradasi. Ketersediaan air
merupakan faktor pembatas utama dalam
usahatani jagung. Meskipun Provinsi NTT
beriklim kering dengan curah hujan <2.000
mm/tahun, namun sumber air permukaan dari
gunung (sungai, embung, dam parit) dan mata air
cukup tersedia dan belum dimanfaatkan secara
optimal. Jika air dapat disediakan, potensi
peningkatan produksi jagung pada lahan kering
iklim kering sangat besar. Teknologi pengelolaan
air merupakan titik ungkit dalam pengembangan
pertanian di lahan kering iklim kering.
Peluang peningkatan produktivitas
jagung di lahan kering iklim kering dapat
dilakukan melalui penerapan inovasi teknologi
maju seperti penggunaan varietas unggul jagung
komposit dan hibrida, pemberian bahan organik,
biochar, mulsa, pemupukan berimbang, dan
pengelolaan air serta penerapan teknik konservasi
lahan. Secara teknis prospek pengembangan
tanaman jagung di lahan kering beriklim kering
masih sangat besar. Di lain pihak, optimalisasi
lahan kering iklim kering seringkali terbentur
pada kendala sosial ekonomi. Dukungan
kelembagaan masih jauh dari memadai dan akses
petani terhadap input produksi dan pasar masih
terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Adijaya, I.N. dan I.M.R. Yasa. 2015. Pengaruh
pupuk organik terhadap sifat tanah,
pertumbuhan, dan hasil jagung. Prosiding
Seminar Nasional “Inovasi Teknologi
Pertanian Spesifik Lokasi”. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Banjarbaru. Hal.
299-310.
Balitbangtan. 2015. 500 Teknologi Inovatif
Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. IAARD Press.
Jakarta
Balitklimat. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim
Pertanian Indonesia Skala 1: 1.000.000.
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Bogor. Indonesia.
Banjarnahor, D. dan B.H. Simanjuntak. 2015.
Pola tanam Kabupaten Sumba Tengah yang
sesuai dengan curah hujan setempat.
Prosiding Konser Karya Ilmiah. Fakultas
Pertanian dan Bisnis. Universitas Kristen
Satya Wacana. Salatiga. Hal. 97-107.
BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-
2035. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 472
hal
BPS. 2016. Statistik Indonesia 2016. Badan Pusat
Statistik, Jakarta.
BPS Provinsi NTT. 2013-2016. Provinsi Nusa
Tenggara Timur Dalam Angka. Badan
Pusat Statistik Nusa Tenggara Timur,
Kupang.
BPS Provinsi NTT 2017a. Provinsi Nusa
Tenggara Timur Dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Kupang. 521 hal.
BPS Provinsi NTT. 2017b. Hasil Survei Struktur
Ongkos Usaha Tanaman Palawija. Badan
Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Kupang.112 hal.
Cheng, C.H., J. Lehmann, J.E. Thies, S.D. Burton,
dan M.H. Engelhard. 2006. Oxidation of
black carbon through biotic and abiotic
processes. Organic Geochemistry 37: 1477-
1488.
Da Silva, H. dan B.B. deRosari. 2017. Dukungan
Inovasi Teknologi Jagung dan
Kelembagaan Penunjang Swasembada
Pangan di Ekoregional Lahan Kering Nusa
Tenggara Timur. Dalam Pasandaran, E., M.
Syakir, R. Heriawan, dan M.P. Yufdy (Ed).
Pembangunan Pertanian Wilayah Berbasis
Kearifan Lokal dan Kemitraan. IAARD
Press. Jakarta. Hal. 63-88.
Da Silva, H., B.B. deRosari, dan S. Ratnawaty.
2015. An economic analysis of the effect of
soil conservation on food and feed
provision in dryland agribusinesses on
Timor Island, Indonesia. The 6th
40 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
International Seminar on Tropical Animal
Production “Integrated Approach in
Developing Sustainable Tropical Animal
Production”. Faculty of Animal Science.
Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hal.
586-595.
Dariah, A. dan N.L. Nurida. 2012. Pemanfaatan
biochar untuk meningkatkan produktivitas
lahan kering beriklim kering. Buana Sains,
12(1): 33-38.
Endriani. 2010. Sifat Fisika dan Kadar Air Tanah
Akibat Penerapan Olah Tanah Konservasi.
Jurnal Hidrolitan, 1(1): 26-34.
Hartutik, S., P.T. Fernandez, dan S. Ratnawaty.
2012. Evaluation of legume herbs nutritive
value as a ruminant feed and nitrogen
supply on soil in West Timor, Indonesia.
Pakistan Journal of Agriculture Research,
25(4): 323-331.
Hikmatullah dan Chendy. 2008. Klasifikasi dan
Sifat-sifat Tanah. hlm. 37-91 dalam Buku
Sumberdaya Tanah dan Pulau Flores Nusa
Tenggara Timur: Karakteristik dan
Potensinya untuk Pertanian. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian,
Bogor.
Hinarti, W.O., L.O. Safuan, dan A. Bahrun. 2012.
Produksi tanaman jagung (Zea mays L.)
dengan pemberian bahan organik dan
mulsa pada lahan kering Kabupaten Muna.
Berkala Penelitian Agronomi, 1(1):79-85.
Ishaq, L., A.S.J.A. Tae, M.A. Airthur, dan P.O.
Bako. 2017. Abundance of Arbuscular
Mycorrhiza associated with corn planted
with traditional and more modern farming
systems in Kupang, East Nusa Tenggara,
Indonesia. Biodiversitas, 18(3): 887-892.
Kaihatu, S.S. dan M. Periseron. 2016. Adaptasi
beberapa varietas jagung pada
agroekosistem lahan kering di Maluku.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan,
35(2):141-148.
KemenPUPR, 2017. Buku Informasi Statistik
2017. Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Jakarta.
Kementerian ESDM, 2017. Peraturan Menteri
ESDM nomor 2 tahun 2017. Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.
Kresnatita, S., Koesriharti, dan M. Santoso. 2013.
Pegaruh pupuk organik terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
manis. Indonesian Green Technology
Journal, 2(1):8-17.
Mulyani, A. dan M. Sarwani. 2013. Karakteristik
dan potensi lahan sub optimal untuk
pengembangan pertanian di Indonesia.
Jurnal Sumberdaya Lahan, 7(1):47-56.
Mulyani, A., A. Dariah, N. L. Nurida, H.
Sosiawan, I. Las. 2014. Penelitian dan
pengembangan pertanian di lahan sub
optimal lahan kering iklim kering: Desa
Mbawa, Kecamatan Donggo, Kabupaten
Bima, Provinsi NTB. Makalah pada
Seminar Ilmiah Sistem Riset Inovasi
Nasional (InSinas 2014), Kemenristek,
Bandung, 1-2 Oktober 2014.
Mulyani, A., A. Suriadi, R. E. Subandiono, dan
Suratman. 2015. Biophysical
characteristics of dry-climate upland and
agriculture development challenges in
West Nusa Tenggara and East Nusa
Tenggara Provinces. International Soil
Conference. Sustainable Uses of Soil in
Harmony with Food Security. Land
Development Department. Phetchaburi
Thailand.
Nur, M.S.M., T. Islami, E. Handayanto, W.H.
Nugroho, dan W.H. Utomo. 2014. The Use
of biochar fortified compost on calcareous
soil of East Nusa Tenggara, Indonesia: 2.
Effect on the Yield of Maize (Zea Mays L.)
and Phosphate Absorption. American-
Eurasian Journal of Sustainable
Agriculture, 8(5): 105-111.
Nursanti, I. 2017. Teknologi produksi dan aplikasi
mikroba pelarut hara sebagai pupuk hayati.
Jurnal Media Pertanian, 2(1):24-36.
Obalum, S.E., G.U. Chibuike, S. Peth, dan Y.
Ouyang. 2017. Soil organic matter as sole
indicator of soil degradation. Environment
Monitoring and Assesment, 189(4):176.
Pamuji, T.D., A. Hartono, dan S. Anwar. 2016.
Karakterisasi Erapan Fosfor pada Tanah
Berkapur dari Nusa Tenggara Timur, Jawa
Timur, dan Jawa Barat. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Departemen Ilmu Tanah dan
41 Peluang Peningkatan Produktivitas Tanaman Jagung di Lahan Kering Iklim Kering, Nusa
Tenggara Timur (Alfonso Sitorus, Tony Basuki, dan Erythrina)
Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Prianto, E., C. Umar, E.S. Kartamihardja, dan
Husnah. 2017. Pengelolaan dan
pemanfaatan air embung dan bendung di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia, 9(2): 105-
114.
Puslitbangtan, 2016. Deskripsi Varietas Unggul
Tanaman Pangan 2010-2016. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Rengganis, H. 2016. Potensi dan upaya
pemanfaatan air tanah untuk irigasi lahan
kering di Nusa Tenggara. Jurnal Irigasi,
11(2): 67-80.
Ritung, S., E. Suryani, D. Subardja, Sukarman, K.
Nugroho, Suparto, Hikmatullah, A.
Mulyani, C. Tafakresnanto, Y. Sulaeman,
R. E. Subandiono, Wahyunto, Ponidi, N.
Prasodjo, U. Suryana, H. Hidayat, A.
Priyono, dan W. Supriatna. 2015. Sumber
Daya Lahan Pertanian Indonesia: Luas,
Penyebaran, dan Potensi Ketersediaan.
IAARD Press. Jakarta.
Sabaruddin, L., Y. Koesmaryono, H. Pawitan, dan
H.M.H.B. Djoefrie. 2003. Tanggap
fisiologis tanaman jagung dan kacang tanah
dalam sistem tumpangsari di lahan beriklim
kering. Jurnal Agromet, 17(1-2): 21-29.
Seran, Y.L., M. Kote, dan J. Triastono. 2012.
Produktivitas jagung dan pendapatan petani
pada sistem usahatani jagung ahuklean di
Daerah Aliran Sungai Benanai, Kawasan
Besikama, NTT. Prosiding Seminar
Nasional Serelia: Inovasi Teknologi
Mendukung Swasembada Jagung dan
Diversifikasi Pangan. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Maros. Hal. 666-674.
Suparwata, D.O., Nurmi, dan M.I. Bahua. 2012.
Penggunaan mulsa vertikal pada lahan
kering untuk menekan erosi, aliran
permukaan dan pengaruhnya terhadap
pertumbuhan dan produksi jagung. Jurnal
Agrotekno Tropika, 1(3): 138-145.
Supit, J.M.J., Y.E.B. Kamagi, dan W.J.
Kumolontang. 2016. Pemanfaatan kompos
pada lahan kritis untuk menunjang produksi
bawang merah, kacang tanah, dan kedele di
Kabupaten Minahasa Utara. Eugenia,
22(2): 70-79.
Supriatna, A. 2012. Meningkatkan indeks
pertanaman padi sawah menuju IP Padi
400. Agrin: Jurnal Penelitian Pertanian,
16(1): 1-18.
Suradisastra, K. 2013. Pengembangan lahan
kering masa depan tekno-sosial. Makalah
dipresentasikan pada FGD Konsorsium
Penelitian dan Pengembangan Sistem
Pertanian Terpadu di Lahan Sub Optimal
(Lahan Kering Masam dan Lahan Kering
Iklim Kering) Berbasis Inovasi Teknologi,
Jakarta, 13 September 2013.
Syamsu, J.A. 2006. Analisis Potensi Limbah
Tanaman Pangan sebagai Sumber Pakan
Ternak Ruminansia di Sulawesi Selatan.
Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Tandisau, P. dan M. Thamrin. 2009. Kajian
pemupukan N, P dan K terhadap jagung
pada lahan kering tanah Typic Ustropepts.
Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, 12 (2): 126-134
Utama, H.N., H.T. Sebayang, dan T. Sumarni.
2012. Pengaruh lama penggunaan mulsa
dan pupuk kandang pada pertumbuhan dan
hasil tanaman jagung (Zea mays L.)
varietas Potre Koneng. Jurnal Produksi
Tanaman, 1(4): 292-298.
Widiyono, W., R. Abdulhadi, dan B. Lidon. 2006.
Kajian erosi dan pendangkalan embung di
Pulau Timor-NTT: Studi kasus Embung
Oemasi dan Embung’Leosama. Limnotek
XIII, (2): 21-28.
Widiyono, W. 2008. Konservasi flora, tanah dan
sumberdaya air embung-embung di Timur
Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (Studi
Kasus embung Oemasi-Kupang dan
embung Leosama-Belu). Jurnal Teknologi
Lingkungan, 9(2):197-204
Widiyono, W. 2010. Inventarisasi jenis-jenis
tumbuhan dan kesesuaian lahan untuk
konservasi daerah tangkapan sumber mata
42 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:29-42
air ’Wetihu’ Desa Baudaok Kecamatan
Tasifeto Timur – Belu. Jurnal Teknologi
Lingkungan, 11(3): 353-361.
Yu, O.Y., B. Raichle, dan S. Sink. 2013. Impact
of biochar on the water holding capacity of
loamy sand soil. International Journal of
Energy and Environmental Engineering,
4(1):1-9.
43 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara
(Samrin dan Muh. Asaad)
KETERSEDIAAN BENIH MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER (UPBS) PADI DI SULAWESI TENGGARA
Samrin dan Muh. Asaad
Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Sulawesi Tenggara.
Jln. Prof. Muh. Yamin No.89. Puwatu. Kendari
Email: [email protected]
ABSTRACT
Seed Availability Through the Paddy Seed Source Management Unit in Southeast Sulawesi. Seed is one
of the factors that determine the success of plant cultivation whose role cannot be replaced by other factors, because
seed is a plant material and a carrier of genetic potential. The high yelding varieties can be enjoyed by consumers
if the seeds planted have good quality. Provision high yelding seeds plays a prominent role among the technology
produced through research, both in its contribution to increasing yield per unit area or as one of the main
components in controlling pests and diseases. High yelding varieties are one of the technologies that play an
important role in increasing the quantity and quality of agricultural products. The availability of sufficient quality
high yelding varieties of seeds is a major technological component in farming. Quality seeds from high yelding
varieties of location specific species are also the fastest technological component adopted by farmers. This activity
aims to produce ES class certified seeds as much as 15 tons (varieties, quality, quantity, time and price) according
to user needs. Accelerate the use of new high yelding varieties (VUB) seeds in accordance with consumer
preferences, and synchronize with seed institutions in the regions. The activities of the paddy seed source
management unit (UPBS) of paddy rice were carried out in the Wawotobi Experiment Garden of Southeast Sulawesi
in Konawe Regency. By using technical irrigated rice fields, starting in January-December 2017. The yield of seeds
of several superior varieties in the first planting season (MT-I 2017) was 11,800 kg, namely Inpari 1 /ES (750 kg),
Inpari 30/ES (2,500 kg), Mekongga/ES (2,850 kg, and Ciliwung/ES (5,700 kg), while for Planting Season II (MT-II
2017) as many as 5,900 kg, namely Inpari 30/class FS (225 kg), Inpari 34/FS (200 kg), Inpari 38/B (200 kg), Inpari
30/ES (750 kg), Inpari 40/ES (400 kg), Inpari Blast/ES (225 kg), Mekongga/ES (1600 kg), Ciherang/ES (2300 kg).
Seed yields have been distributed at the farmer and breeder levels in several areas Southeast Sulawesi.
Keywords: rice, quality seeds, production, height
ABSTRACT
Benih merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan budidaya tanaman yang perannya tidak
dapat digantikan oleh faktor lain, karena benih sebagai bahan tanaman dan pembawa potensi genetik. Keunggulan
varietas dapat dinikmati oleh konsumen bila benih yang ditanam bermutu baik. Penyediaan benih unggul memegang
peranan yang menonjol diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, baik dalam kontribusinya terhadap
peningkatan hasil per/satuan luas maupun sabagai salah satu komponen utama dalam pengendalian hama dan
penyakit. Varietas unggul merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam peningkatan kuantitas dan
kualitas produk pertanian. Ketersediaan benih varietas unggul bermutu yang cukup merupakan komponen teknologi
utama dalam usahatani. Benih bermutu dari varietas unggul spesik lokasi juga merupakan komponen teknologi yang
paling cepat diadopsi oleh petani. Kegiatan ini bertujuan menghasilkan benih unggul bersertifikat klas ES sebanyak
15 ton secara tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu dan harga) sesuai kebutuhan pengguna. Mempercepat
penggunaan benih varietas unggul baru (VUB)yang sesuai dengan preferensi konsumen. Melakukan sinkronisasi
dengan lembaga perbenihan yang ada di daerah. Kegiatan Unit pengelola benih sumber (UPBS) padi sawah
dilaksanakan di Kebun Percobaan Wawotobi BPTP Sulawesi Tenggara di Kabupaten Konawe. Dengan
menggunakan lahan sawah irigasi teknis, mulai bulan Januari-Desember 2017. Hasil produksi benih beberapa
Varietas unggul pada musim tanam I (MT-I 2017) sebanyak 11.800 kg, yaitu Varietas Inpari 15/ES (750 kg), Inpari
44 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54
30/ES (2.500 kg), Mekongga/ES (2.850 kg, dan Ciliwung/ES (5.700 kg), sedangkan untuk Musim Tanam II (MT-
II 2017) sebanyak 5.900 kg, yaitu Inpari 30/klas FS (225 kg), Inpari 34/FS (200 kg), Inpari 38/FS (200 kg), Inpari
30/ES (750 kg), Inpari 40/ES (400 kg), Inpari Blast/ES (225 kg), Mekongga/ES (1600 kg), Ciherang/ES (2300 kg).
Benih Hasil produksi telah terdistribusi di tingkat petani dan penangkar di beberapa daerah Sulawesi Tenggara.
Kata kunci: padi, benih bermutu, produksi, tinggi
PENDAHULUAN
Benih merupakan salah satu unsur pokok
dalam usahatani padi, dimana sebagian besar hasil
panen dan kualitas tanaman tergantung pada
kualitas benih yang ditanam (Awotide et
al.,2011). Kedepannya kebutuhan benih
berkualitas tersebut akan semakin meningkat
sejalan dengan target pemerintah dalam
pencapaian swasembada beras. Pengembangan
komoditi ini masih dihadapkan permasalahan
akses terhadap sarana produksi diantaranya benih
berlabel, pupuk dan permodalan. Begitu pula
kondisi di Sulawesi tenggara, sebagian besar
petani masih menggunakan benih dari hasil
pertanamannya dan umumnya sudah ditanam
beberapa kali musim tanam. Santoso, et al.,
(2005) menyatakan bahwa penggunaan benih
bermutu rendahakan mempengaruhi produksi
baik jumlah maupun kualitas. Dampaknya akan
berpengaruh terhadap capaian program pemerin-
tah dalam pelestarian dan peningkatan produksi
pangan.
Upaya menjamin ketersediaan benih
bermutu dari varietas unggul serta meningkatkan
penggunaannya di kalangan petani maka program
pengembangan perbenihan dari hulu sampai hilir
harus lebih terarah, terpadu, dan
berkesinambungan (Balibangtan, 2011). Hal ini
penting artinya mengingat alur produksi benih
melibatkan berbagai institusi. Upaya penciptaan
benih bermutu dan berlabel dapat dilakukan
dengan menumbuhkan calon-calon produsen
benih padi dan menggairahkan pasar perbenihan.
Peluang usaha perbenihan padi masih cukup
terbuka karena setiap tahunnya petani
membutuhkan benih ditambah kebutuhan untuk
mensupport program pemerintah yang berkaitan
pengadaan benih.
Perkembangan selanjutnya benih tidak
hanya berfungsi sebagai bahan untuk tujuan
pertanaman, namun juga berfungsi sebagai sarana
pembawa inovasi teknologi (Nugraha, 2003).
Sebagai contoh, keunggulan varietas baru dengan
hasil yang tinggi baru akan dirasakan manfaatnya
oleh petani jika tersedia benih bermutu yang
cukup untuk ditanam. Oleh karena itu, industri
benih sangat diperlukan untuk mendukung
pertanian yang tangguh terutama untuk
memfasilitasi penyebaran varietas unggul kepada
petani dan melindungi mutu yang dihasilkan
selama proses produksi dan distribusinya
sehingga keunggulan varietas yang dirakit oleh
pemulia sampai ke tangan konsumen benih.
Kebutuhan benih padi di Sulawesi
Tenggara masih cukup tinggi, jika dilihat dari luas
sawah 121.122 ha dengan asumsi per/hektar 25
kg, maka kebutuhan benih sebanyak 3.028.050
ton/MT (Dinas Pertanian Sultra, 2015). Dalam
rangka mendukung ketersediaan benih sumber di
Sulawesi Tenggara, Unit Pengelola Benih Sumber
(UPBS) BPTP Sultra sampai dengan tahun 2016,
telah memproduksi benih sumber dari berbagai
jenis varietas unggul baru (VUB) diantaranya
Ciherang, Cisantana, Mekongga, Inpari, Inpara,
dan Inpago.
Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS)
BPTP Sulawesi Tenggara mempunyai mandat
menghasilkan benih sumber kelas FS dan SS
dengan jumlah dan varietas yang disesuaikan
dengan kebutuhan, permintaan, preferensi serta
karakteristik agroekosistem, dan sosial budaya
setempat (BBP2TP, 2013).
Produksi benih sumber di UPBS KP
Wawotobi BPTP Sultra sejak tahun 2010 sampai
dengan 2016 yaitu masing-masing tahun 2010
(15.590 kg) tahun 2011 (13.400 kg), tahun 2012
(18.368 kg), tahun 2013 (10.780 kg), tahun 2014
(7.575 kg), tahun 2015 (8.000 kg) dan tahun 2016
(11.250 kg). Lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 1. Hasil benih tersebut telah dimanfaatkan
oleh petani dan beberapa penangkar yang berada
di wilayah Sulawesi Tenggara. Faktor anomali
musim yang menyebabkan ledakan populasi dan
serangan OPT yang tinggi masih merupakan
45 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara
(Samrin dan Muh. Asaad)
kendala di dalam peningkatan hasil produksi
benih sumber.
Tabel 1. Produksi benih sumber di UPBS KP
Wawotobi BPTP Sultra 2010 – 2016
Tahun Produksi (ton)
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
15.590
13.400
18.368
10.780
7.575
8.000
11.250
Sumber : BPTP Sultra 2016
Adapun tujuan dari kegiatan ini yaitu
menghasilkan benih unggul bersertifikat secara
tepat (varietas, mutu, jumlah, waktu dan harga)
sesuai kebutuhan dan preferensi konsumen.
METODE PENGKAJIAN
Koordinasi dan Sosialisasi
Kegiatan koordinasi dan sosialisasi
dilaksanakan pada tingkat propinsi Sulawesi
Tenggara dan Kabupaten Konawe. Terutama
dengan instansi teknis yang berkaitan dengan
kegiatan perbenihan benih sumber padi yaitu
Dinas Pertanian Provinsi dan Kabupaten konawe,
serta UPTD BPSBTPH Sulawesi Tenggara.
Pengumpulan Data
Data yang berhubungan dengan kegiatan
perbenihan benih sumber padi diperoleh dari
instansi terkait diantaranya Dinas Pertanian, BPS
(Badan Pusat Statistik) dan UPTD BPSBTPH
Propinsi Sulawesi Tenggara. Kemudian data
keragaan tanaman, hasil produksi benih di peroleh
dari hasil pengamatan di lapangan dan setelah
kegiatan prosesing benih.
Waktu dan Lokasi Kegiatan
Kegiatan perbenihan benih sumber padi
telah dilaksanakan di Kebun Percobaan
Wawotobi BPTP Sulawesi Tenggara di
Kabupaten Konawe. Dengan menggunakan lahan
sawah irigasi teknis seluas 4 Ha/ Musim Tanam,
mulai bulan Januari-Desember 2017.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan antara lain
benih VUB Inpari 15, Inpari 30, Ciliwung dan
Mekongga pada musim tanam I (MT I), dan Inpari
Blast, Inpari 30, Inpari 34, Inpari 38, Inpari 40,
Inpari 43, Ciherang, dan Mekongga pada musim
Tanam II (MT II), Pupuk Urea, NPK Phonska dan
pestisida. Sedangkan peralatan yang digunakan
antara lain PUTS, cangkul, sabit/arit, meteran,
traktor, caplak tanam, sprayer, power trheser,
seed cleaner, dryer, timbangan duduk kapasitas
100 kg, timbangan kecil kapasitas 5 kg, gerobak
gudang, arco/lori, sealer, karung benih (25 kg),
karung gabah(karung besar), plastik benih
kemasan 5 kg, moisture tester, mesin penjahit
karung,spidol, ballpoint, mistar, kamera dan map
snelhekter.
Tahapan Pelaksanaan
A. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah dilakukan dengan
traktor, menggunakan bajak singkal hingga
setelah pembajakan I, sawah digenangi 7 hari
kemudian dilakukan pembajakan II diikuti dengan
penggaruan/penglembekan untuk pelumpuran dan
perataan. Pelumpuran dan perataan dimaksudkan
untuk penyediaan media pertumbuhan yang baik
bagi tanaman padi dan untuk mematikan gulma.
B. Pesemaian
Luas pesemaian kira-kira 4% dari luas
tanam atau 400 m²/ha lahan dengan
jumlah benih 25kg/ha
Membuat bedengan dengan lebar 120
cm, tinggi sekitar 10 cm dan panjangnya
disesuaikan dengan ukuran petak dan
kebutuhan.
C. Persiapan benih
Benih padi yang digunakan adalah benih
varietasInpari 15, Inpari 30, Inpari 34,
Inpari 38, Inpari 40, Inpari 43, Inpari
Blast, Ciliwung, Ciherang dan
Mekongga masing-masing sebanyak 25
kg.
Sebelum benih padi ditabur terlebih
dulu dilakukan perendaman selama 24
jam, kemudian ditiriskan dan diperam
46 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54
selama 48 jam agar mendapatkan
pertumbuhan bibit yang seragam.
Menaburkan benih dengan kerapatan 50
g/m2 atau setara dengan 25 kg/ 400 m²
untuk kebutuhan 1 ha.
D. Penanaman
Penanaman dilakukan pada saat bibit
telah berumur 18 HSS, dengan cara tanam pindah
dengan sistem tanam jajar legowo 2 : 1, dengan
jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40 cm. Jumlah bibit
perumpun 1-3 bibit dan ditanam dengan
kedalaman 1–3 cm.Setelah tanam, lahan
E. Pemupukan
Dosis pupuk yang digunakan yaitu 100 -
150 kg/ha Urea, 300 - 400 kg NPK
Phonska /ha
Waktu pemberian:
Pemupukan I (14 HST): Seluruh dosis
pupuk NPK Phonska
Pemupukan II (35 HST): Urea
(berdasarkan BWD)
F. Pemeliharaan Tanaman (Puslitbangtan,
2003)
Penyiangan dilakukan secara intensif
agar tanaman tidak terganggu oleh
gulma. Penyiangan dilakukan paling
sedikit 2 kali.
Pengairan dilakukan sejak penanaman
hingga menjelang panen.
Lahan pertanaman produksi benih diairi
setinggi 3 cm selama 3 hari segera setelah
selesai tanam.
Lahan kemudian dikeringkan dan
dibiarkan dalam keadaan macak-macak
selama 10 hari.
Selama fase pembentukan anakan hingga
menjelang primordia bunga, lahan
digenangi setinggi 3 cm.
Pada fase primordia sampai fase bunting
lahan digenangi setinggi sekitar 5 cm
untuk mencegah tumbuhnya anakan baru.
Pada fase bunting hingga fase berbunga
lahan dikeringkan dan diari secara
bergantian.
Selesai fase pembungaan hingga fase
pengisian bulir lahan diairi setinggi
sekitar 3 cm.
Pada fase pengisian bulir hingga 7 hari
menjelang panen lahan dikeringkan dan
diairi secara bergantian.
Lahan dikeringkan sejak 7 hari menjelang
panen hingga panen
G. Seleksi (Rouging )
Untuk menghasilkan benih murni perlu
dilakukan pembuangan rumpun-rumpun yang
tidak dikehendaki, minimal tiga kali selama
pertanaman yaitu pada stadia anakan maksimum,
stadia berbunga, dan stadia masak.
a. Seleksi pada stadia anakan maksimum
Identifikasi tanaman tipe simpang (Off-
type) dapat dilakukan berdasarkan perbedaan
morfologi tanaman/varietas yang diseleksi.
Tanaman yang harus dibuang dalam
seleksi adalah :
Tanaman yang tumbuh di luar jalur.
Tanaman yang kedudukan, bentuk, dan
ukuran daunnya berbeda.
Tanaman yang warna kakinya berbeda.
Tanaman yang tingginya berbeda.
Pembuangan tanaman tersebut dilakukan
dengan cara dicabut bersama akarnya agar tidak
tumbuh kembali.
b. Seleksi pada stadia berbunga
Seleksi pada fase ini sangat penting,
karena pada fase ini dapat diidentifikasi tanaman-
tanaman off-type yang pada awal pertumbuhan
tidak teridentifikasi yaitu:
Tanaman yang terlalu cepat/lambat
berbunga.
Tanaman yang bentuk gabahnya berbeda.
c. Seleksi pada stadia masak
Seleksi pada stadia ini merupakan
kesempatan terakhir untuk membuang tanaman-
tanaman off-type sebelum dipanen.
H. Panen dan prosesing hasil
Waktu panen yang tepat adalah pada saat
tanaman masak fisiologis atau apabila 90 %
gabah telah menguning. Perontokan gabah
47 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara
(Samrin dan Muh. Asaad)
dilakukan dengan menggunakan mesin perontok
(power threiser). Untuk menghindari
tercampurnya benih dengan benih lain atau terjadi
kontaminasi,semua peralatan yang digunakan
harus bersih dari kotoran dan sisa gabah yang
tertinggal. Pengeringan benih dapat dilakukan
segera setelah perontokan dengan memanfaatkan
sinar matahari dan jika cuaca tidak mendukung,
maka pengeringan dilakukan dengan
menggunakan mesin pengering (dryer).
I. Pengawasan dan Pengujian Laboratorium
Pengawasan lapangan, gudang atau
tempat penyimpanan, dan pengawasan ketika
pemrosesan benih, serta pengujian benih di
laboratorium dilakukan oleh Pengawas Benih
yang mengemban tugas Dinas/Balai Pengawasan
dan Sertifikasi Benih (Kartasapoetra, 1986).
Apabila permohonan sertifikasi benih diluluskan
atau dinyatakan memenuhi standar mutu
laboratorium, produsen atau penangkar dapat
meminta pemasangan label sesuai dengan kelas
tertentu yang disetujui laboratorium.
J. Distribusi benih
Supaya benih yang telah dihasilkan dapat
terdistribusi dengan baik kepada pengguna, maka
dapat dilakukan dengan 2 (dua) mekanisme yaitu
(1) promosi/diseminasi dan (2) komersial.
1. Distribusi untuk kegiatanpromosi/diseminasi
Sosialisasi benih VUB padi kepada dinas
Pertanian, BP4K (Propinsi/Kabupaten/Kota).
Pemberian bantuan benih kepada petani
melalui dinas pertanian kabupaten/kota
dan/atau badan pelaksana penyuluhan
pertanian kabupaten/kota setempat untuk
dimanfatkan dalam kegiatan demo varietas,
demplot, display VUB, kaji terap varietas
unggul,dsb.
Mengikuti atau menjadi peserta pameran
dalam rangka hari pertanian, hari ulang tahun
(HUT) propinsi /kabupaten/kota, pameran
pembangunan, dsb.
2. Distribusi benih secara komersial
Produksi benih yang dimanfaatkan secara
komersial atau dijual, maka hasil penjualan
sepenuhnya harus disetorkan kepada kas negara
sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Pada prinsipnya dalam penyaluran (distribusi)
benih, baik yang bersifat bantuan (gratis) maupun
benih yang dikomersialkan (dijual) sebagai
PNBP, maka perlu dilengkapi dengan bukti tanda
terima (serah-terima) benih atau berita acara serah
terima benih.
K. Sistem informasi (SI ) UPBS
Salah satu media informasi yang berbasis
komputer atau web, yang bertujuan untuk
memudahkan monitoring logistik benih secara
real time di tiap UPBS BPTP dan memudahkan
koordinasi kebutuhan, jenis, varietas dan stok
benih antar UPBS BPTP, instansi lain dan
masyarakat umum.
LAYANAN INFORMASI BENIH UNTUK
MASYARAKAT/ PENGGUNA (Home)
www.upbs.litbang.pertanian.go.id
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi
Kegiatan Unit Pengelola Benih Sumber
(UPBS) padi ini dilaksanakan di Kebun
Percobaan Wawotobi yang terletak di Kelurahan
Lalosabila, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Letak KP
Wawotobi 67 km pada jalur poros Kendari –
Kolaka yang berada di sebelah barat ibu kota
Propinsi Sulawesi Tenggara. Pada ketinggian
tempat 55 m dpl, dan berada pada posisi ordinat
3,55˚ LS dan 122,6˚ BT. Secara administrasi
Kebun Percobaan Wawotobi di Kelurahan
Lalosabila berbatasan wilayah dengan sebelah
utara: Kelurahan Parauna, sebelah
selatan:Kelurahan Konawe, sebelah barat:
48 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54
Kelurahan Tuoy, sebelah timur: Kelurahan
Wawotobi.
Status Hara Tanah
Hasil analisis tanah dengan menggunakan
PUTS dilokasi pengkajian menunjukkan bahwa
status hara N sedang ( Urea 200 Kg/ha), hara P
sedang (SP 36 75 Kg/ha), dan hara K sedang (
KCl 50 Kg/ha).
Sertifikasi Benih Sumber
Benih sering menjadi masalah utama
dalam usahatani padi sawah, yang disebabkan
antara lain terbatasnya ketersediaan benih sumber,
kurangnya produsen atau penangkar benih lokal,
tingginya risiko dan minimnya keuntungan usaha
perbenihan, dan kecenderungan petani
menggunakan benih seadanya.
Selanjutnya Wahyuni (2005)
mengungkapkan, bahwa rendahnya efisiensi
produksi industri perbenihan disebabkan oleh
rendahnya produksi benih, tingginya persentase
ketidaklulusan benih dalam uji di laboratorium
yang disebabkan oleh pengendalian mutu yang
tidak efektif, dan pembatalan oleh penangkar
karena harga calon benih yang tidak menarik.
Sementara di tingkat petani, beberapa penyebab
rendahnya penggunaan benih padi bersertifikat
antara lain benih padi secara tradisional telah
tersedia di tangan petani dalam bentuk gabah hasil
panen dari pertanaman sebelumnya.
Penggunaan benih padi bersertifikat oleh
petani pada tahun 2008 sebesar 53,20%, dan pada
tahun 2009 diperkirakan penggunaan benih padi
bersertifikat meningkat menjadi 62,89% (Sinar
Tani 2010). Menurut laporan BPSBTPH (2013),
bahwa jumlah benih padi yang bersertifikat di
Sulawesi Tenggara mencapai 843.915 ton.
Untuk memproduksi benih sumber padi
hal pertama yang harus dilakukan yaitu
mengajukan permohonan sertifikasi benih kepada
BPSB Provinsi Sultra secara tertulis dengan
menggunakan formulir yang berlaku paling
lambat 10 hari sebelum tanam. Satu permohonan
berlaku untuk satu unit sertifikasi yang terdiri atas
satu varietas dan satu kelas benih serta
permohonan di lampiri label benih sumber yang
akan di produksi. Penentuan waktu persemaian
benih dilakukan ketika sudah berlangsung
kegiatan pengolahan lahan.
Pemeriksaan lapangan pendahuluan
dilakukan terhadap dokumen dan lahan yang
digunakan untuk memproduksi benih sumber
yang meliputi sejarah penggunaan lahan dan
keadaan lahan. Pemeriksaan pendahuluan ini di
lakukan sebelum kegiatan tanam dimulai. Untuk
pemeriksaan pertama (fase vegetatif) diajukan
paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan
pemeriksaan dan dilakukan pada umur minimal
12 hari setelah tanam. Pemeriksaan lapangan
kedua (fase berbunga) dilakukan pada saat
pertanaman padi berbunga (85 – 90 HST)
sedangkan untuk pemeriksaan lapangan ketiga
(sebelum panen) dilaksanakan pada saat
menjelang panen.
49 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara
(Samrin dan Muh. Asaad)
Panen dilakukan setelah dinyatakan lulus
sertifikasi lapangan oleh BPSB, Peralatan yang
digunakan untuk panen (sabit, karung, terpal, alat
perontok atau trheser dan driyer) dibersihkan
terlebih dahulu. Panen dilakukan pada waktu biji
telah masak fisiologis atau 90 -95 % malai telah
menguning. Gabah calon benih yang telah di
prosesing/pengolahan selanjutnya diambil
contoh/sampel benihnya oleh BPSB yang
selanjutnya akan di lakukan pengujian
laboratorium. Benih sumber yang telah lulus
sertikasi selanjutnya diberikan label (putih,ungu,
biru) sesuai kemasannya (kemasan 25 kg dan 5
kg).
Pengawasan mutu benih memiliki
peranan utama dalam produksi benih. Semua
tahapan dari perbanyakan benih, pengolahan dan
penyimpanan sampai kepada distribusi dan
pemasaran harus dilakukan pengawasan yang
meliputi (1) pengujian mutunya, (2) pengawasan,
(3) peraturan, dan (4) sertifikasi.
Benih sumber yang digunakan untuk
pertanaman produksi benih satu kelas lebih tinggi
dari kelas benih yang akan diproduksi. Untuk
memproduksi benih kelas FS (Foundation
Seed/Benih Dasar (BD) atau lebel putih, maka
benih sumbernya adalah benih padi kelas BS
(Breeder Seed/Benih Penjenis/BS) atau label
kuning, sedangkan untuk memproduksi benih
kelas SS (Stock Seed/Benih Pokok/BP) atau label
ungu, maka benih sumbernya adalah benih FS
atau boleh juga BS dan untuk memproduksi benih
kelas ES (Extension Seed/benih Sebar/BR) label
Biru maka benih sumbernya adalah benih kelas SS
atau FS ( BBP2TP, 2011).
Keragaan Agronomis Tanaman
Varietas unggul memberikan manfaat
teknis dan ekonomis yang banyak bagi
perkembangan suatu usaha pertanian,
diantaranya: pertumbuhan tanaman menjadi
seragam sehingga panen menjadi serempak,
rendemen lebih tinggi, mutu hasil lebih tinggi dan
sesuai dengan selera konsumen, dan tanaman akan
mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap
gangguan hama dan penyakit serta mempunyai
daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan
sehingga dapat memperkecil biaya penggunaan
input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana dan
Prayogo , 1997).
Pengamatan terhadap komponen
pertumbuhan menunjukkan bahwa rata-rata tinggi
tanaman antara 91,50 – 100,15, anakan produktif
antara 11,15 – 14,10 batang perumpun dan umur
tanaman antara 108–115 hari (Tabel 3).
Tabel 2. Prosedur sertifikasi benih sumber padi
No Uraian kegiatan Pelaksanaan Hasil
1 Mengajukan permohonan dengan kelas benih (FS dan
SS )
BPSB, lampirkan label
benih
Berkas
2 Menentukan tanggal semai dan tanam UPBS dan BPSB Lokasi/tempat
siap tanam
3 Pemeriksaan pendahuluan BPSB dan UPBS Berkas, lokasi
4 Pemeriksaan lapangan pertama ( fase vegetatif) BPSB dan UPBS Berkas,
pertanaman
5 Pemeriksaan lapangan kedua ( fase berbunga) BPSB dan UPBS Berkas,
pertanaman
6 Pemeriksaan lapangan ketiga (sebelum panen) BPSB dan UPBS Berkas,
pertanaman
7 Penentuan waktu panen BPSB dan UPBS Berkas,
pertanaman
8 CBKS ( calon benih kering sawah ) UPBS Benih
9 Proses menjadi calon benih UPBS Benih
10 Uji laboratorium BPSB Lulus uji
11 Keluar draf sertifikat BPSB Pengemasan
benih
12 Cetak label BPSB Label benih
13 Pengemasan benih ( kemasan 25 kg) UPBS Benih
50 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54
Produksi dan Distribusi Benih Sumber Padi
Upaya untuk terus menemukan dan
mengembangkan varietas unggul yang lebih
unggul (kualitas dan kuantitas, termasuk
aromatik) dan mempunyai daya adaptasi yang
lebih baik terhadap lingkungan tumbuh tertentu
(spesifik) merupakan salah satu kebijakan yang
tepat untuk pengembangan usahatani padi yang
produktif, efektif dan efisien dimasa yang akan
datang ( Imran et al., 2003).
Perbanyakan benih pada umumnya
dimulai dari penyediaan benih penjenis (BS) oleh
Balai Penelitian komoditas, sebagai sumber bagi
perbanyakan benih dasar (FS), benih dasar
sebagai sumber bagi perbanyakan benih Pokok
(SS), dan benih pokok sebagai sumber bagi
perbanyakan benih sebar (ES). Kesinambungan
alur perbanyakan benih tersebut sangat
berpengaruh terhadap ketersediaan benih sumber
yang sesuai dengan kebutuhan petani/penangkar
benih dan menentukan proses produksi benih.
kelancaran alur perbanyakan benih sangat
menentukan kecepatan penyebaran varietas
unggul baru kepada petani
Keragaan Hasil produksi benih varietas
unggul padi pada musim tanam I (MT-I 2017 ),
Sebanyak 11.800 kg,yaitu Varietas Inpari 15/ES
(750 kg), Inpari 30/ES (2.500 kg), Mekongga/ES
(2.850 kg, dan Ciliwung/ES (5.700 kg). Lebih
jelasnya dapat lihat pada Tabel 4.
Keragaan hasil produksi benih Varietas
unggul padipada musim tanam II (MT-II 2017 ),
Sebanyak 5.900 kg, yaitu Inpari 30/klas FS (225
kg), Inpari 34/FS (200 kg), Inpari 38/FS (200 kg),
Inpari 30/ES (750 kg), Inpari 40/ES (400 kg),
Inpari Blast/ES (225 kg), Mekongga/ES (1600
kg), Ciherang/ES (2300 kg).Lebih jelasnya dapat
lihat pada Tabel 5.
Distribusi benih unggul bersertifikat
dilakukan setelah benih dinyatakan lulus
sertifikasi/ uji laboratorium dan di label oleh
BPSBTPH dinas Tanaman pangan dan
Tabel 3. Rata-rata Komponen Agronomis VUB yang di produksi Tahun 2017
No Varietas Tinggi Tanaman (cm) Anakan Produktif (batang) Umur panen (hari) 1 Inpari 15 91,50 13,25 115 2 Inpari 30 97,50 13,50 110 3
4 Mekongga
Ciliwung
99,25
100,15
11,15
14,10
108
113
Sumber: Data primer yang diolah, 2017
Tabel 4. Produksi benih mt-i 2017 di kebun percobaan Wawotobi BPTP Sultra.
No Varietas Kelas Benih Hasil Benih (kg) Keterangan
1 Inpari 15 ES 750 Bersertifikat
2 Inpari 30 ES 2.500 Bersertifikat
3 Ciliwung ES 5.700 Bersertifikat
4 Mekongga ES 2.850 Bersertifikat
Jumlah Total 11.800
Keterangan : Laboratorium BPSBTPH 2017
Tabel 5.Produksi Benih MT-II 2017di KebunPercobaan Wawotobi BPTP Sultra.
No Varietas Kelas Benih Hasil Benih (kg) Keterangan
1 Inpari 30 FS 225 Bersertifikat
2 Inpari 34 FS 200 Bersertifikat
3 Inpari 38 FS 200 Bersertifikat
4
5
6
7
8
Inpari 30
Inpari 40
Inpari Blast
Mekongga
Ciherang
ES
ES
ES
ES
ES
750
400
225
1.600
2.300
Bersertifikat
Bersertifikat
Bersertifikat
Bersertifikat
Bersertifikat
Jumlah Total 5.900
Keterangan : Laboratorium BPSBTPH 2018
51 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara
(Samrin dan Muh. Asaad)
Peternakan Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil
produksi tahun 2017 yang dinyatakan lulus
sertifikasi telah didistribusikan baik dalam bentuk
komersial maupun hibah kepadaBPTP,
penangkar, dan petani di beberapa daerah
kabupaten/kota di sulawesi tenggara.
Distribusi benih kepada BPTP dan TNI
dilakukan dalam bentuk hibah dalam rangka
mendukung kegiatan Upaya Khusus (UPSUS)
dan penyebaran VUB di Kabupaten Konawe,
Kabupaten Konawe Kepulauan dan Muna Barat,
sedangkan untuk penangkar dan petani
pendistribusiannya dilakukan dalam bentuk
komersial dimana petani yang datang langsung
membeli di UPBS KP Wawotobi.
Kelembagaan Perbenihan
Untuk mendorong penyebaran benih
varietas unggul diperlukan pengenalan varietas
yakni melalui sosialisasi varietas dan pembekalan
teknologi produksi benih sumber kepada
penangkar benih di daerah sentra produksi.
Keberhasilan diseminasi dan adopsi teknologi
varietas unggul ditentukan antara lain oleh
kemampuan produsen dan industri benih untuk
memasok dan menyediakan benih secara enam
tepat hingga ke petani. Oleh karena itu, sistem
perbenihan yang tangguh (produktif, efisien,
berdaya saing, dan berkelanjutan) sangat
diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan
produksi dan mutu produk pertanian (BBP2TP,
2011).
Kelembagaan perbenihan padi sawah
antara lain UPBS, Balai Benih Induk (BBI), Balai
Benih Utama (BBU), swasta (PT. Pertani dan
Sang Hyang Seri), dan penangkar. Khusus untuk
UPBS BPTP Sulawesi Tenggara pada tahun 2017
telah melakukan pembinaan dan kerjasama
dengan kelompok tani dan penangkar dalam hal
penyediaan benih unggul bersertifkat dan teknik
budidaya padi sawah.
Tabel 6. Penangkar binaan UPBS KP Wawotobi BPTP Sultra
tahun 2017
Kabupaten/Kot
a
Nama
Penangkar
Lua
s
(Ha)
Varietas
Konawe Sumber
Rejeki
6 Inpari 30
Mekongg
a
Kota Kendari Toromeamb
o
22 Inpari 30,
Mekongg
a
Kolaka Utara Tunas
Harapan
2 Inpari 30
Sebaran Benih Varietas Unggul
Produksi padi diharapkan meningkat
seiring dengan peningkatan permintaan. Salah
satu teknologi untuk meningkatkan produksi
adalah penggunaan VUB. Hapsah (2005)
menyatakan bahwa peningkatan produktivitas
padi dapat diupayakan melalui penggunaan VUB.
Kontribusi varietas unggul baru terhadap
peningkatan produksi sangat tinggi, menurut
Saidah et al., (2015) varietas sebagai salah satu
komponen produksi telah memberikan
sumbangan sebesar 56%. Namun, belum semua
petani mengetahui varietas unggul tersebut
dikarenakan lambatnya proses transfer teknologi
dari balai penelitian (Balit) ke petani.
Penggunaan varietas secara terus menerus
dari musim ke musim dalam satu hamparan akan
berdampak negatif yaitu produktivitas padi
cenderung menurun (Ardjasa et.al. 2004). Oleh
karena itu, perlu dilakukan pergiliran varietas
dengan penggunaan varietas unggul baru lainnya.
Diharapkan varietas unggul baru ini mempunyai
produktivitas yang lebih tinggi dan berumur lebih
genjah dibandingkan dengan varietas yang selama
ini dikembangkan oleh petani.
BPTP Sultra telah melakukan serangkaian
pengkajian untuk mendapatkan varietas yang
unggul pada setiap wilayah dan telah
direkomendasikan sebagai VUB pada masing-
masing kabupaten/kota di Sultra. Pada Tabel 7,
selain ditampilkan VUB, juga disajikan pula
varietas yang yang banyak diusahakan oleh
masyarakat atau biasa dikenal sebagai varietas
eksisting.
52 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54
Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan diketahui adanya beberapa varietas yang
eksisting di Sultra antara lain: Mekongga,
Cisantana, Ciherang, Ciliwung, Konawe, dan
Cigeulis. Sedangkan VUB yang telah dihasilkan
Balitbangtan, Kementerian Pertanian dan
diketahui memiliki produksi tinggi dan banyak
disukai oleh masyarakat di Sultra antara lain:
Inpari 3, 6, 13, 15, 16, 22 dan 30 (Suharno et al.,
2014). Diketahui bahwa VUB yang dianjurkan
tersebut, memiliki produktivitas berkisar antara 7
- 10 t/ha dan umumnya berumur genjah (103-125
hari) serta sesuai diusahakan pada lahan sawah
irigasi sampai ketinggian 600 m di atas
permukaan laut (dpl).
Hasil produksi benih UPBS KP
Wawotobi pada tahun 2017 terdiri varietas Inpari
15, Inpari 30, Ciliwung dan Mekongga telah
terdistribusi dan tersebar di beberapa daerah
kabupaten di Sulawesi Tenggara. Di kabupaten
Konawe adalah Inpari 15 (180 kg), Inpari 30
(1.150 kg), Mekongga (1.825 kg), Ciliwung (625
kg), Konawe Utara adalah Inpari 15 (25 kg), Kab.
Konawe Selatan adalah Inpari 30 (25 kg),Kab.
Kolaka adalah Inpari 30 (50 kg), Kab. Kolaka
Timur adalah Inpari 30 (100 kg), Ciliwung (25
kg). (Gambar 1).
Tantangan dan kendala dalam pelaksanaan
kegiatan UPBS Padi
Selain untuk memproduksi benih sumber
padi, UPBS juga mempunyai tugas untuk
mendiseminasikan VUB yang telah di lepas oleh
Tabel 7.Anjuran varietas unggul baru (VUB) dan varietas yang eksisting pada tanaman padi sawah di Sultra
No Kabupaten/kota Varietas eksisting VUB
1. Baubau Cisantana Inpari 3,8,11,dan 16
2. Bombana Mekongga,Cisantana,Ciherang,dan Cigeulis Inpari 3, 6, 8,13,15,16,dan 22
3. Buton Cisantana Inpari 3,13,15, dan 16
4. Buton Utara Mekongga,Konawe, danCiherang Inpari 8,10,13,15, dan 16
5. Kendari Mekongga danCisantana Inpari 3,6,11, dan 16
6. Kolaka Mekongga,Cisantana,Ciherang,dan Cigeulis Inpari 3,6,13,15, dan16
7. Kolaka Utara Mekongga,Cisantana,dan Cimelati Inpari 3,6,8,10,13,15,dan 16
8. Kolaka Timur Mekongga,Cisantana,Cigeulis,dan Ciherang Inpari 3,6,13,15,16,22,dan 30
9. Konawe Mekongga,Cisantana,Ciherang,dan Cigeulis Inpari 3,11,13,15,16, dan 30
10. Konawe Selatan Ciherang, Mekongga,Cisantana,dan Cigeulis Inpari 3,6,11,15,16,dan 22
11. Konawe Utara Mekongga,Konawe,dan Ciherang Inpari 3,6,8,15,dan 16
12. Muna Ciherang danCisantana Inpari 3,6,8,10,13,15,dan 16
Sumber: BPTP Sultra 2015
Gambar 1. Sebaran benih varietas unggul
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Konawe Konut Konsel Kolaka Koltim
jum
lah
ben
ih (
kg)
Kabupaten
Sebaran Varietas Unggul
Inpari 15
Inpari 30
Mekongga
Ciliwung
53 Ketersediaan Benih Melalui Unit Pengelola Benih Sumber (UPBS) Padi di Sulawesi Tenggara
(Samrin dan Muh. Asaad)
kementerian pertanian. Salah satunya adalah VUB
padi Inpari, tetapi di tingkat penangkar dan petani
masih cenderung terhadap varietas-varietas yang
existing seperti Mekongga, Ciherang, Cigeulis,
Ciliwung dan Cisantana. Benih VUB Padi yang
telah di produksi oleh UPBS sering tidak
terdistribusi di tingkat petani.
Seringnya terjadi anomali musim di
wilayah Sulawesi Tenggara menyebabkan
ledakan populasi dan serangan hama dan penyakit
yang mempengaruhi hasil produksi yang dicapai.
Disamping itu akibat intensitas hujan tinggi
menyebabkan waktu panen yang tidak tepat pada
waktunya yang berdampak pada kualitas gabah
menjadi jelek (kusam dan hitam).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Produksi benih musim tanam I sebanyak
11.800 kg yang terdiri dari Varietas Inpari
15 (750 kg), Inpari 30 (2.500 kg),
Mekongga (2.850 kg), dan Ciliwung
(5.700 kg).
2. Produksi benih pada musim tanam Iterdiri
dari 4 varietas yang telah terdistribusi di
kabupaten Konawe Inpari 15 (180 kg),
Inpari 30 (1.150 kg), Mekongga (1.825
kg), Ciliwung ( 625 kg), Konawe Utara
Inpari 15 (25 kg), Kab. Konawe Selatan
Inpari 30 (25 kg), Kab. Kolaka Inpari 30
(50 kg), Kab. Kolaka Timur Inpari 30
(100 kg), Ciliwung (25 kg).
3. Kerjasama dalam hal penyediaan benih
dilakukan dengan beberapa penangkar
yang ada di Kab. Konawe, Kab. Kolaka
dan Kolaka Timur.
4. Kebutuhan benih yang terdistribusi di
tingkat petani dan penangkar sebanyak
4005 kg.
Saran
Varietas Unggul Baru (VUB) yang
dihasilkan harus disosialisasikan dan
diadaptasikan di tingkat petani serta varietas yang
akan diproduksi harus sesuai dengan preferensi
konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M., M.T Ratule, dan Dahya. 2012.
Laporan Akhir Kegiatan perbenihan padi
sawah di kebun percobaan Wawotobi.
Kartasapoetra A. G., 1986. Teknologi benih.
Pengolahan Benih dan Tuntunan
Praktikum. Cetakan I. Diterbitkan oleh
Bina Aksara Jakarta.
Ardjasa, W.S., Suprapto, dan B. Sudaryanto.
2004. Komponen teknologi unggulan usaha
tani padi sawah di Lampung. Buku III.
Kebijakan perberasan dan inovasi
teknologi padi. Puslitbangtan. Bogor: 653-
666
Awotide, B. A., T. T. Awoyemi, dan A. Diagne.
2011. Factors Influencing The Use Of
Good Quality Improved Rice Seed In
Nigeria: Implication For Sustainable Rice
Productivity. OIDA International Journal
of Sustainable Development 02:09 (2011):
53-67.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
2011. Dekripsi Varietas Padi (edisi revisi).
BB Padi Sukamandi, Subang.
BBP2TP. 2011. Petunjuk pelaksanaan unit
pengelola benih sumber tanaman. Lingkup
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanan. Departemen
Pertanian.
BPSBTPH, 2014. Laporan kegiatan sertifikasi
dan pelabelan tanaman pangan. Dinas
Pertanian Provinsi Sulawesi Tenggara.
BPSBTPH. 2013. Laporan akhir kegiatan UPTD
BPSBTPH Sulawesi Tenggara.
Hapsah MD. 2005. Potensi, peluang, dan strategi
pencapaian swasembada beras dan
kemandirian pangan nasional. In:
Suprihatno B (ed). Inovasi Teknologi Padi
menuju Swasembada Beras Berkelanjutan.
Buku satu. Balitbangtan, Badan Litbang
Pertanian. Jakarta.
Imran, A., S. Sama, Suriany, & D. Baco. 2003. Uji
Mulitilokasi beberapa galur dan Kultivar
Padi Superior baru di daerah sidrap, Wajo
54 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:43-54
dan Soppeng di Sulawesi Selatan. Jurnal
Agrivigor 3: 74-92.
Litbangtan, 2003.Panduan teknis produksi benih
dan pengembangan padi dan kedelai
hibrida dan padi dan kedelai tipe baru.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Departemen Pertanian
Nugraha, U.S. 2003. Perkembangan industri dan
kelembagaan perbenihan padi. 30p.
Saidah, I.S., Padang dan Abdi Negara.2015.
Adaptasi beberapa varietas unggul padi di
dataran tinggi Lore Utara Kabupaten Poso
Sulawesi Tengah. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon, 1(7) : 1670-1673. ISSN:
2407-8050. Doi:
10.13057/Psnmbi/M010724
Samrin, M. T. Ratule, A. R. Sery. 2013.Laporan
akhir kegiatan perbenihan padi sawah di
Kebun Percobaan Wawotobi. BPTP
Sulawesi Tenggara
Samrin, dan M. Asaad. 2014. Laporan akhir
Kegiatan pengelolaan unit perbenihan
benih sumber di Kebun Percobaan
Wawotobi. BPTP Sulawesi Tenggara.
Samrin, dan M. Asaad. 2016. Laporan akhir
Kegiatan Unit Pengelola benih sumber padi
sawah di Kebun Percobaan Wawotobi.
BPTP Sulawesi Tenggara.
Santoso, Alfandi, dan Dukat. 2005. Analisis
usahatani padi sawah ( oryza sativa l.)
dengan benih sertifikasi dan non sertifikasi
(Studi Kasus Di Desa Karangsari,
Kecamatan Weru, Kabupaten
Cirebon).Jurnal Agrijati 1 (1), Desember
2005: 52-64.
Sinar tani. 2010 dalam http://www. Sinar
tani.com.mimbar penyuluh/proses- benih-
padi- bersertifikat –dan- penggunaannya-
para- petani- 1265599338.htm.
Suharno, Rusman, M., Abidin, Z., Nugroho, C.,
Raharjo, D., dan Syamsiar. 2014. Laporan
hasil kegiatan pendampingan PTT padi
Sawah di Sulawesi Tenggara. BPTP
Sulawesi Tenggara. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian.
Suryana dan U.H Prajogo.1997. Subsidi benih dan
dampaknya terhadap peningkatan produksi
pangan. Kebijaksanaan Pembangunan
Pertanian. Analisis Kebijaksanaan
Antisipatif dan Responsif. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian.
Wahyuni, S. 2005. Teknologi produksi benih
bermutu. Makalah disampaikan pada
lokakarya Pengembangan Jaringan Alih
Teknologi Produksi dan Distribusi Benih
Sumber. Balitpa Sukamandi. 21 – 22
November 2005.
55 Uji Daya Hasil Padi Sawah Dataran Tinggi di Nagari Koto Gadang Guguak Kabupaten Solok
pada Ketinggian Berbeda (Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi)
UJI DAYA HASIL PADI SAWAH DATARAN TINGGI DI NAGARI KOTO GADANG GUGUAK KABUPATEN SOLOK PADA KETINGGIAN BERBEDA
Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian
Jln. Raya Padang-Solok KM.40 Gunung Talang Kab. Solok, Sumatera Barat
Email: [email protected]
ABSTRACT
Evaluation of Highland Rice Varieties At Nagari Koto Gadang Guguak Solok District At Different
Altitute. Solok district is a center of rice production at West Sumatra Province with total production of 332,455
tones and has contribution of 13.69% from total rice production in 2013. Nagari Koto Gadang Guguak as one of 8
Nagari at Talang Mountain district represents biophysic land for rice at altitude 700-1,100 m asl. The research
aims to investigate the yield of several rice varieties Irkusuma, Saganggam Panuah, planted at different altitude
which were 800-900 m asl and 600-700 m asl. The experiment used several varieties of rice planted in 2013 and
2014. The yield was recorded. The results showed that Saganggam Panuah and Irkusuma varieties were suitable
planted at altitude of 800 m asl, while Cisokan was suitable planted under 800 m asl. Technology of Legowo row
4:1 and 6:1 improved the rice production.
Keywords: rice, highland, legowo row system, solok district, west sumatera
ABSTRAK
Kabupaten Solok merupakan sentra produksi padi sawah Sumatera Barat dengan total produksi 332,455
ton dan memberikan kontribusi sebesar 13.69% terhadap total produksi padi tahun 2013. Nagari Koto Gadang
Guguak sebagai salah satu dari 8 nagari di Kecamatan Gunung Talang merupakan representasi biofisik lahan
kawasan padi sawah dataran tinggi yang berada pada ketinggian 700-1,100 m dpl. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melakukan uji daya hasil beberapa padi dataran tinggi dua ketinggian lokasi berbeda. Penelitian dilakukan
pada lahan dengan ketinggian 800-900 m dpl dan 600-700 m dpl. Penelitian menggunakan varietas padi sawah
Irkusuma, Saganggam Panuah, Cisokan, Anak Daro, Inpari 21 Batipuah dan musim tanam berbeda pada tahun 2013
dan 2014. Parameter yang diamati adalah hasil panen masing-masing varietas yang ditanam. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa produksi varietas padi Saganggam Panuah cocok ditanam pada ketinggian di atas 800 m dpl
dan varietas Cisokan cocok ditanam di bawah ketinggian 800 m dpl serta varietas lokal Irkusuma cocok ditanam
pada ketinggian di atas 800 m dpl. Teknologi tanam jajar legowo 4 : 1 maupun 6 : 1 dapat meningkatkan hasil
produksi padi dibandingkan dengan cara kebiasaan petani.
Kata kunci: padi sawah, dataran tinggi, jajar legowo, kabupaten solok, sumatera barat
56 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:55-60
PENDAHULUAN
Padi sawah merupakan komoditas yang
sangat dominan pada sub sektor tanaman pangan
dengan luas pertanaman 479,399 ha atau setara
dengan 83,3% dari total luas komoditas pangan di
Sumatera Barat. Pada tahun 2013 produksi padi
Sumatera Barat diperkirakan sebesar 2.430.384
ton, Kabupaten Solok menyumbang 332.455 ton
(13.69%) dan sekitar 20% dari total produksi
berasal dari padi sawah dataran tinggi. (DPH
Prov. Sumbar, 2013). Akan tetapi kontribusi padi
sawah dataran tinggi tidak selalu berkorelasi
positif dengan potensi sumberdaya areal
persawahan dataran tinggi yang luasnya tersebar
di Kabupaten Solok, Solok Selatan, Agam, Tanah
Datar, dan Padang Pariaman.
Kontribusi sektor pertanian pada
perekonomian Sumatera Barat sebesar 22,81%
adalah pada pembentukan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan sekitar 11,44%
berasal dari tanaman pangan dan hortikultura.
Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar
45,39% dari jumlah angkatan kerja 2.213.000
jiwa penduduk yang bekerja. Dalam kebijakan
nasional, Sumatera Barat ditetapkan sebagai
daerah penyangga produksi padi dengan sasaran
luas panen, produktifitas, dan produksi masing-
masing sebesar 2,498,673 ton pada tahun 2013
(BPS Sumbar, 2012).
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) dalam pengembangan wilayah
perdesaan melalui program utama yaitu Gerakan
Pensejahteraan Petani (GPP) dengan target
sebanyak 930 nagari dengan melibatkan 1.860
kelompok tani pada tahun 2015. Untuk
mendukung program tersebut maka Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat menetapkan tanaman
padi, jagung, dan usaha peternakan sapi sebagai
komoditas pertanian unggulan daerah ini
(Prayitno, 2010). Masyarakat Sumatera Barat
tempo dulu sudah menetapkan padi sebagai
indikator utama kesejahteraan masyarakat dengan
istilah ”padi manguniang-jaguang maupiah-
taranak bakambang biak” dan memberikan
petunjuk tentang kearifan lokal masyarakat yang
menjadikan padi dan jagung sebagai bahan
pangan serta mengintegrasikannya dengan usaha
peternakan.
Permasalahan budidaya padi sawah
dataran tinggi berkaitan erat dengan produktifitas
yang umumnya masih rendah (kurang dari 4 ton
per ha), benih padi yang digunakan belum
merupakan varietas unggul lokal berlabel, cara
pertanaman padi masih menggunakan sistem dan
jarak tanam mengikuti kebiasaan lama dan
cenderung tidak ramah lingkungan. Padahal,
areal sawah dataran tinggi tersebar pada lahan
dengan agroekosistem berpotensi tinggi untuk
budidaya tanaman padi sawah karena berada pada
kawasan pegunungan yang termasuk kategori
subur di daerah ini. Untuk memecahkan
permasalahan yang dihadapi pada usaha tani padi
sawah dataran tinggi diperlukan uji varietas padi
sawah dataran tinggi dengan menggunakan
inovasi teknologi ramah lingkungan.
Budidaya padi sawah yang disesuaikan
dengan kondisi fisiografi Sumatera Barat,
dilakukan petani mulai dari sawah dataran rendah
sampai sawah dataran tinggi dengan berbagai
jenis tanah. Selama ini, padi sawah dataran
rendah memberikan kontribusi sebesar 80% lebih
dari total produksi padi di Sumatera Barat.
Sedangkan total luas lahan sawah dataran tinggi di
atas 700 m dpl diperkirakan luasnya mencapai di
atas 30% dari total sawah di Sumatera Barat (BPS
Sumbar, 2012). Kendala utama pengembangan
padi sawah dataran tinggi adalah suhu rendah dan
belum berkembangnya penggunaan varietas
unggul yang adaptif pada kondisi agroekosistem
ini (Azwar et al., 1985). Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sumatera Barat pada tahun
2002 merekomendasikan paket teknologi
budidaya padi sawah dataran tinggi pada dua
tingkat ketinggian, yaitu dataran tinggi I (700-900
m dpl) dan dataran tinggi II (900-1,050 m dpl)
(BPS Sumbar, 2012).
Semua komponen teknologi
dintegrasikan secara sinergis, efisien, dan spesifik
lokasi dalam suatu model pengelolaan tanaman
terpadu (PTT) dengan melibatkan petani dan
pihak terkait lainnya. Model PTT ini selaras
dengan konsep Revolusi Hijau Lestari yang lebih
mengedepankan aspek kelestarian lingkungan dan
peningkatan produksi. Dari hasil pengujian
menunjukkan bahwa inovasi teknologi model
57 Uji Daya Hasil Padi Sawah Dataran Tinggi di Nagari Koto Gadang Guguak Kabupaten Solok
pada Ketinggian Berbeda (Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi)
PTT mampu meningkatkan produksi sebesar 7-
38% (Fagi, 2004). Dari semua inovasi PTT padi
sawah tersebut dua diantaranya merupakan
inovasi yang dapat meningkatkan produktivitas
padi sawah, yaitu dengan pemanfaatan Varietas
Unggul Baru (VUB) dan budidaya sistem tanam
jajar legowo (Last et al., 2004). Selama ini,
peningkatan produksi padi lebih terfokus pada
budidaya padi sawah irigasi dengan penggunaan
varietas unggul baru dan input produksi tinggi
dengan tingkat efisiensi rendah namun kurang
memperhatikan aspek lingkungan dan kestabilan
produktifitas jangka panjang (Hasan dan Zulrasdi,
2013).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hasil uji varietas padi sawah dataran tinggi
dengan tingkat ketinggian yang berbeda yaitu
600-700 m dpl dan 800-900 m dpl di Nagari Koto
Gadang Guguak Kabupaten Solok.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada Musim Tanam
(MT) II 2013 sampai MT II 2014, panen
dilakukan di dua lokasi berbeda yaitu pada
ketinggian lahan 600-700 dan 800-900 m dpl di
Nagari Koto Gadang Guguak, Kecamatan
Gunung Talang, Kabupaten Solok.
Hasil produksi padi sawah diketahui
dengan mengambil data produksi padi sawah
dataran tinggi anggota Kelompok Tani Karya
Tani seluas 3 ha dengan ketinggian tempat 800-
900 m dpl (lokasi ketinggian 1) dan Kelompok
Wanita Tani Hidayatul Karya seluas 4 ha dengan
ketinggian tempat 600-700 m dpl (lokasi
ketinggian 2).
Percobaan pertama adalah pada
ketinggian 800-900 m dpl dengan menggunakan
varietas Saganggam Panuah, Cisokan, dan
Irkusuma yang dilakukan pada MT I dan MT II
tahun 2013 menggunakan sistem tanam jajar
legowo 4:1. Percobaan kedua dilakukan pada
ketinggian 600-700 m dpl menggunakan varietas
Anak Daro, Inpari 21, Batipuah, dan Cisokan
dilakukan pada MT I tahun 2013 dan MT I tahun
2014 dengan sistem tanam jajar legowo 6:1.
Percobaan ketiga dilakukan pada ketinggian 800-
900 m dpl menggunakan varietas Irkusuma dan
Saganggam Panuah dilakukan pada MT II tahun
2013 untuk cara tanam petani biasa dan MT I serta
MT II tahun 2014 dengan sistem tanam jajar
legowo 4:1.
Dengan sistem tanam petani biasa (sistem
tegel), padi ditanam dengan jarak tanam 25 x 25
cm dan sistem tanam jajar legowo 4:1 maupun 6:1
dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pemupukan
dilakukan dua kali selama musim tanam dengan
dosis 75 kg pupuk urea, 100 kg SP-36 dan 50 kg
KCl/ha disamping pemberian pupuk organik dari
pelapukan jerami yang terdapat di hamparan
sawah tersebut disetiap musim tanam.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dua kali selama
musim tanam dengan pembersihan gulma dan
sanitasi pematang sawah (Bur et al., 2007). Hasil
panen padi diperoleh dari jumlah produksi
disetiap panen dan dilakukan pengukuran
kenaikan hasil dari musim tanam sebelumnya.
Cara tanam sistem jajar legowo dilakukan
dengan memanfaatkan pengaruh barisan pinggir
tanaman padi (border effect) yang lebih banyak.
Parameter yang diamati adalah hasil panen dan
perbandingan produksi sesuai musim tanam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil panen padi sawah dengan
menggunakan varietas Saganggam Panuah,
Cisokan, dan Irkusuma pada MT I dan MT II
tahun 2013 di lahan sawah dengan ketinggian
800-900 m dpl disajikan pada Tabel 1. Dari Tabel
1 diketahui bahwa hasil panen varietas
Saganggam Panuah dengan menggunakan sistem
tanam jajar legowo 4:1 menunjukkan kenaikan
hasil sebesar 1,2 ton/ha. Hasil panen varietas
Saganggam Panuah dengan menggunakan jajar
legowo 4:1 ini lebih tinggi dibandingkan dengan
produktivitas rata-rata padi sawah dengan sistem
tanam petani biasa (sistem tegel) pada MT I 2013.
Varietas Cisokan sebagai varietas unggul yang
selama ini berkembang pada ketinggian di bawah
700 m dpl tidak memperlihatkan peningkatan
hasil yang tinggi dengan kenaikan hasil produksi
hanya 0,1 ton/ha dibandingkan hasil panen yang
didapatkan petani dibawah ketinggian 800 m dpl
dengan produksi rata-rata diatas 5,0 ton/ha di
Kabupaten Solok (BPS Solok, 2012).
58 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:55-60
Berdasarkan Tabel 1 varietas Irkusuma
yang benihnya berasal dari hasil pemurnian
varietas lokal masing-masing menghasilkan
produksi maksimal 6,1 dan 6,2 ton/ha pada MT II.
Peningkatan hasil Irkusuma I dan Irkusuma II
masing-masing sebesar 1,2 dan 1,0 ton/ha lebih
tinggi dibandingkan varietas Irkusuma I yang
diusahakan petani dengan sistem tanam biasa.
Hasil panen varietas Irkusuma lebih kecil
dibandingkan dengan produksi hasil panen
varietas Saganggam Panuah namun mengalami
kenaikan hasil yang cukup tinggi dari hasil MT I
ke MT II. Peningkatan hasil ini akan menjadi
signifikan bila perbaikan teknologi dilakukan
pada areal persawahan yang lebih luas.
Keragaan varietas Anak Daro, Inpari 21
Batipuah dan Cisokan dengan sistem jajar legowo
6:1 di tanam pada ketinggian tempat 600-700 m
dpl MT I tahun 2013 dan MT II tahun 2014
ditampilkan pada Tabel 2. Varietas Anak Daro
dan Cisokan I mempunyai hasil yang tinggi
dibandingkan varietas Inpari 21 dan Cisokan II.
Namun demikian pada MT I tahun 2014 Cisokan
II mempunyai hasil yang juga tinggi dan
mempunyai kenaikan hasil paling tinggi
dibandingkan varietas lainnya. Varietas Inpari 21
Batipuah II mempunyai hasil terendah
dibandingkan varietas lainnya.
Tabel 1. Hasil panen padi sawah Nagari Koto Gadang Guguak pada ketinggian 800-900 m dpl. Musim Tanam
I dan II dengan sistem tanam jajar legowo 4:1 pada Tahun 2013
No Varietas
MT I
Sistem Tanam Biasa
(ton/ha)
MT II
Sistem Tanam Jajar
Legowo 4:1
(ton/ha)
Kenaikan Hasil Panen MT
I dan MT II
(ton/ha)
1. Saganggam Panuah 6,3 7,5 1,2
2. Cisokan 4,8 4,9 0,1
3. Irkusuma I 5,0 6,2 1,2
4. Irkusuma II 5,1 6,1 1,0
Gambar 1. Lokasi Koto Gadang Guguak Kab. Solok
59 Uji Daya Hasil Padi Sawah Dataran Tinggi di Nagari Koto Gadang Guguak Kabupaten Solok
pada Ketinggian Berbeda (Heru Rahmoyo Erlangga dan Novi Aldi)
Keragaan hasil panen dengan
menggunakan varietas unggul baru Saganggam
Panuah dan varietas unggul lokal Irkusuma pada
ketinggian tempat 800-900 m dpl di MT II tahun
2013 dan MT I serta MT II tahun 2014
menggunakan sistem tanam jajar legowo 4:1
ditampilkan pada Tabel 3. Varietas Irkusuma pada
MT I 2014 sistem jajar legowo 4:1 meningkat 2.1
ton/ha dibandingkan dengan produksi MT II 2013
sistem tanam petani biasa. Hal ini menunjukkan
bahwa varietas Irkusuma cocok ditanam pada
ketinggian lebih dari 800 m dpl dan tahan
terhadap cuaca dingin serta angin kencang.
Produksi varietas Saganggam panuah pada MT I
2014 dengan menggunakan sistem tanam jajar
legowo 4:1 meningkat 2,8 ton/ha dibandingkan
produksi MT II 2013 menggunakan sistem tanam
petani biasa. Sedangkan produksi varietas
Saganggam Panuah MT II 2014 sistem jajar
legowo 4:1 meningkat 0,02 ton/ha dari produksi
MT I 2014 dengan sistem tanam jajar legowo.
Dengan demikian varietas Saganggam Panuah
cocok di tanam pada ketinggian lebih dari 800 m
dpl karena tahan kekeringan, cuaca dingin serta
angin kencang. Peningkatan produksi pada
kegiatan percobaan tersebut dipengaruhi sistem
tanam padi jajar legowo yang dapat meningkatkan
pertumbuhan dan daya tahan tanaman sehingga
produksi padi bisa maksimal. Peningkatan rata-
rata produksi varietas Irkusuma 1,06 ton/ha dan
varietas Saganggam Panuah 1,15 ton/ha.
KESIMPULAN
Varietas padi dataran tinggi Saganggam
Panuah cocok ditanam pada ketinggian lebih dari
800 m dpl karena tahan cuaca dingin dan angin
yang cukup kencang serta embun. Varietas
Cisokan, Anak Daro dan Inpari 21 Batipuah cocok
ditanam di bawah ketinggian 800 m dpl. Varietas
Irkusuma cocok ditanam pada ketinggian diatas
800 m dpl karena tahan kekeringan, cuaca dingin,
angin kencang dan embun. Teknologi tanam jajar
legowo 4 : 1 maupun 6 : 1 dapat meningkatkan
hasil produksi padi dataran tinggi.
Tabel 2. Hasil panen padi sawah di Nagari Koto Gadang Guguak pada ketinggian 600-700 m dpl dengan sistem
tanam jajar legowo 6:1 pada MT I 2013 dan MT I 2014
No Varietas Hasil panen MT I 2013
(ton/ha)
Hasil panen MT I 2014
(ton/ha)
Kenaikan hasil **)
(ton)
1. Anak Daro 7,4 9,3 1,9
2. Inpari 21 Batipuah I 6,5 8,1 1,6
3. Inpari 21 Batipuah II 6,5 7,7 1,2
4. Cisokan I 7,5 9,4 1,9
5. Cisokan II 6,8 9,2 2,4
Tabel 3. Hasil panen padi sawah di ketinggian 800-900 m dpl pada MT 2 Tahun 2013, MT I dan MT II Tahun
2014
No Varietas Hasil Sistem
Tanam Petani Biasa
MT II 2013(ton/ha)
Hasil Jajar Legowo
4:1 MT I 2014
(ton/ha)
Hasil Jajar Legowo 4:1
MT II 2014 (ton/ha)
Rata-rata
kenaikan
produksi
(ton/ha)
1 Irkusuma 3,57 5,67 5,69 1,06
2 Saganggam
Panuah 3,15 5,43 5,45 1,15
60 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:55-60
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, R., S. Zen, Harnel, Z Hamzah, dan Z.
Harahap. 1985. Batang ombilin, varietas
padi sawah dataran tinggi. Pemberitaan
Puslitbangtan ISSN 0216-9215
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
Barat. 2002. Tiga puluh lima (35) paket
teknologi pertanian spesifik lokasi
Sumatera Barat. Edisi khusus. Solok: BPTP
Sumatera Barat.
Biro Pusat Statistik Sumatera Barat. 2012.
Sumatera Barat dalam angka. Kerjasama
Bappeda Sumbar dan Biro Pusat Statistik
Sumatera barat. Padang: BPS.
Biro Pusat Statistik Sumbar. 2012. Sumatera
Barat dalam angka. Kerjasama Bappeda
Sumbar dan Biro Pusat Statistik Sumatera
barat. Padang: BPS.
Biro Pusat Statistik Solok. 2012. Kabupaten Solok
dalam angka. Kerjasama Bappeda
Kabupaten Solok dan Biro Pusat Statistik
Kabupaten Solok. Arosuka: BPS.
Bur,B., H. Nasrul, A. Dedi dan Wentrisno. 2007.
Empat Puluh Sembilan (49) Paket
Teknologi Pertanian Spesifikasi Lokasi
Sumatera Barat. Solok: BPTP Sumatera
Barat.
Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi
Sumatera Barat. 2013. Statistik tanaman
pangan dan hortikultura Sumatera Barat.
Padang: Dinas Pertanian dan Hortikultura
Provinsi Sumatera Barat.
Fagi, A.M. 2004. Penelitian padi menuju revolusi
hijau lestari. Dalam Makarim, A.K,
Hermanto, dan Sunihardi. Inovasi
Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbang
Tanaman Pangan. Badan Litbang
Pertanian. Jakarta: Kementerian Pertanian
Hasan,N dan Zulrasdi. 2013. Pemanfaatan
varietas unggul baru dan budidaya sistem
tanam jajar legowo dalam peningkatan
produksi padi sawah di Sumatera Barat.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Sumatera Barat. Solok: BPTP Sumatera
Barat.
Las, I., I.N. Widiarta, dan B. Sprihatno. 2004.
Penelitian padi menuju revolusi hijau
lestari. Dalam Makarim, A.K, Hermanto,
dan Sunihardi. Inovasi Pertanian Tanaman
Pangan. Puslitbang Tanaman Pangan.
Badan Litbang Pertanian. Jakarta:
Kementerian Pertanian.
Prayitno, I. 2010. Gerakan pensejahteraan petani
Sumbar. Makalah Gubernur Sumbar.
Disampaikan dalam Rakor Pemda Sumbar,
26-27 Januari 2010 di Solok Selatan.
61 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan
Bebet Nurbaeti)
POLA PENDAMPINGAN DESA MANDIRI BENIH PADI DI JAWA BARAT
Yati Haryati, M. Atang Safei dan Bebet Nurbaeti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat
Jl. Kayu Ambon No.80, Kayuambon, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 40391
Email: [email protected]
ABSTRACT
Patterns of Assistance for Independent Villages of Rice Seeds in West Java. The pattern of assistance
was carried out in the development of the Independent Rice Seed Village by increasing knowledge and skills in
producing quality and labeled seeds. Independent Village Assistance Pattern Benih implemented a Field School
Model for the application of seed production technology practiced in the Field Laboratory (LL) with an area of ±
5 ha which was a stretch of natural rice fields owned by farmers. The activity was carried out in April (MK I)
2017. Field Laboratory plots became a demonstration plot for the application of technological innovation. On this
land, New high yielding varieties was introduced (Inpari 38, 39, 41, 42 and 43) in the form of displays covering ±
1 ha and the rest (± 4 ha) produced by Inpari 32 variety seeds. Observations included increased knowledge,
attitudes and skills, seed production and seed distribution planning. Data were analyzed using Wilcoxon and
quantitative descriptive tests. The purpose of the study was to find out the pattern of assistance for the
Independent Village of Specific Rice Seeds in West Java. The results of the study showed that the pattern of
assistance for the Rice Padi Independent Village in West Java Province was done by assisting in seed production
technology, compiling a business plan/ business plan, facilitation and seed certification of the performance of
institutions and institutions and involving relevant institutions (Majalengka District Agriculture and Fisheries
Agency) in seed distribution through seed assistance programs and BPSBTPH in fostering seed certification to
produce quality and certified seeds.
Keywords: pattern, accompaniment, self, seed
ABSTRACT
Pola pendampingan yang dilakukan dalam pengembangan Desa Mandiri Benih Padi dengan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memproduksi benih yang berkualitas dan berlabel. Pola
pendampingan Desa Mandiri Benih menerapkan Model Sekolah Lapang untuk penerapan teknologi produksi
benih dipraktekkan di lahan Laboratorium Lapang (LL) dengan luasan ± 5 ha yang merupakan hamparan petak
sawah alami milik petani. Kegiatan dilakukan pada Bulan April (MK I) 2017. Petak Laboratorium Lapang
menjadi petak demostrasi penerapan inovasi teknologi. Pada lahan tersebut diperkenalkan Varietas Unggul Baru
(Inpari 38, 39, 41, 42 dan 43) dalam bentuk display seluas ± 1 ha dan sisanya (± 4 ha) diproduksi benih Varietas
Inpari 32. Pengamatan meliputi peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan, produksi benih dan
perencanaan distribusi benih. Data dianalisis dengan menggunakan uji wilcoxon dan deskriptif kuantitatif. Tujuan
pengkajian untuk mengetahui pola pendampingan Desa Mandiri Benih Padi Spesifik Lokasi di Jawa Barat. Hasil
kajian bahwa pola pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan
pendampingan teknologi produksi benih, menyusun rencana bisnis/business plan, fasilitasi dan sertifikasi benih
kinerja lembaga dan kelembagaan penangkaran dan melibatkan instansi terkait (Dinas Pertanian dan Perikanan
Kab. Majalengka) dalam distribusi benih melalui program bantuan benih dan BPSBTPH dalam pembinaan
sertifikasi benih untuk menghasilkan benih yang bermutu dan bersertifikat.
Kata kunci: pola, pendampingan, mandiri, benih
62 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69
PENDAHULUAN
Salah satu strategi untuk mencapai
swasembada pangan melalui penyediaan benih
bermutu varietas unggul baru sesuai preferensi
konsumen. Ketersediaan benih bermutu dengan
jumlah yang cukup dan tepat waktu mempunyai
peranan yang sangat penting. Melalui
penggunaan benih bermutu, produktivitas
tanaman akan meningkat, kualitas hasil juga
meningkat.
Penggunaan benih padi bersertifikat pada
saat ini masih rendah dan belum mampu
menyediakan benih sesuai dengan kriteria enam
tepat yaitu tepat mutu, tepat varietas, tepat
jumlah, tepat tempat, tepat waktu dan tepat
harga. Dalam mewujudkan hasil yang lebih
optimal, maka diperlukan penanganan secara
terpadu dan berkesinambungan mulai dari hulu
sampai hilir, dari penciptaan varietas, produksi,
penyaluran, sosialisasi benih sumber dan benih
sebar serta pengawasan mutu di bidang produksi
dan peredaran benih. Oleh karena itu
ketersediaan benih berkualitas dengan jumlah
cukup, tepat waktu, dan mudah diperoleh
memegang peranan penting dalam penyediaan
benih bermutu (Wulanjari dan Setiani, 2018).
Percepatan adopsi varietas unggul baru
untuk memenuhi permintaan benih padi,
dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan
perluasan areal tanam. Kedua upaya tersebut
memerlukan ketersediaan benih yang cukup
memadai dan kualitas benih yang sesuai dengan
preferensi. Inovasi teknologi varietas unggul
baru dan produksi benih diandalkan untuk
meningkatkan produktivitas untuk mencapai
sasaran produksi. Akselerasi pengembangan
produksi benih padi agar sampai di lahan petani
dilakukan melalui sekolah lapang pada areal
laboratorium lapang (Puslitbangtan, 2016).
Pembinaan kelompok tani sebagai
penangkar atau produsen benih dilakukan untuk
meningkatkan nilai tambah hasil pertanian dalam
upaya untuk meningkatkan pendapatan.
Pengembangan Desa Mandiri Benih merupakan
salah satu kegiatan yang diharapkan dapat
mendukung pencapaian sasaran produksi dan
merupakan salah satu upaya pemecahan masalah
dari aspek perbenihan. Penguatan Desa Mandiri
Benih dilakukan dengan adanya penumbuhan
penangkar atau kelompok penangkar/produsen
yang mampu menyediakan benih untuk
memenuhi kebutuhan benih di wilayah (Dirjen
Tanaman Pangan, 2016).
Pola pendampingan yang dilakukan
dalam pengembangan Desa Mandiri Benih Padi
dengan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam memproduksi benih yang
berkualitas dan berlabel. Dalam pengembangan
agribisnis tidak terlepas dari peran kelembagaan
yang akan menentukan pola pembinaan dan
pemanfaatan secara maksimal. Bentuk
kelembagaan yang berhubungan secara langsung
dan tidak langsung dengan pembangunan
pertanian termasuk di dalamnya organisasi kaum
muda tani sebagai generasi penerus dari
pengembangan agribisnis di masa mendatang
(Mustari, 2017). Tujuan dari kajian ini untuk
mengetahui pola pendampingan Desa Mandiri
Benih Padi Spesifik Lokasi di Jawa Barat.
BAHAN DAN METODOLOGI
Pola pendampingan Desa Mandiri Benih
menerapkan Model Sekolah Lapang untuk
penerapan teknologi produksi benih dipraktekkan
di lahan Laboratorium Lapang (LL) dengan
luasan ± 5 ha yang merupakan hamparan petak
sawah alami milik petani. Kegiatan dilakukan
pada Bulan April (MK I) 2017. Petak LL
menjadi petak demostrasi penerapan inovasi
teknologi. Pada lahan tersebut diperkenalkan
VUB (Inpari 38, 39, 41, 42 dan 43) dalam bentuk
display seluas ± 1 ha dan sisanya (± 4 ha)
diproduksi benih varietas Inpari 32. Kegiatan
Sekolah Lapang dengan sistem belajar aktif
praktek langsung di lahan sawah. Teknologi yang
diterapkan yaitu jarak tanam legowo (40 x 30 15
cm), seed treatment menggunakan pupuk hayati
agrimeth dengan dosis 400 gr per 25 kg benih,
aplikasi biodekomposer pada saat pengolahan
tanah pertama dnegan cara disemprotkan dengan
dosis 2 kg per ha dengan cara dilarutkan pada air
400 liter, pupuk anorganik berdasarkan status
hara tanah (dosis NPK Phonska 180 kg dan Urea
200 kg per ha), pemupukan pertama diberikan
pupuk NPK Phonska 180 kg dan Urea 100 kg
diaplikasikan pada umur 7 - 10 HST dan pada
63 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan
Bebet Nurbaeti)
pemupukan kedua diaplikasikan pupuk Urea 100
kg pada umur tanaman 25 - 30 HST,
pengendalian hama/penyakit berdasarkan konsep
PHT, rouging pada fase vegetatif awal dan akhir,
generatif awal dan akhir dan fase masak/sebelum
panen. Pengamatan meliputi peningkatan
pengetahuan, sikap dan keterampilan, produksi
benih dan perencanaan distribusi benih. Data
dianalisis dengan menggunakan uji wilcoxon dan
deskriptif kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendampingan Teknis Produksi Benih
Penerapan pola pendampingan Sekolah
Lapang Mandiri Benih Padi dilaksanakan secara
terencana dan sesuai tahapan kegiatan produksi
benih. Pola yang diterapkan yaitu pendampingan
langsung praktek di lapangan dan penyampaian
materi di ruangan meliputi teknis produksi benih
dan permasalahan di lapangan. Pendampingan
dilaksanakan di lahan Laboratorium Lapang (LL)
yang dijadikan sebagai wahana tempat belajar
bagi petani/calon penangkar/penangkar untuk
diterapkan pada lahan Sekolah Lapang (SL) di
lahan masing-masing anggota. Pola Sekolah
Lapang dalam pengembangan Desa Mandiri
Benih Padi dengan melibatkan instansi terkait
untuk penyediaan benih sumber dan distribusi
benih hasil produksi benih di LL dan SL
(Gambar 1).
Materi bimbingan teknologi yang
disampaikan mencakup teknologi produksi
benih, kelembagaan penangkaran benih dan
penyusunan rencana bisnis/business plan.
Penerapan teknologi produksi benih
dipraktekkan di lahan LL. Dalam penerapan
teknologi tersebut dilihat perubahan sebelum dan
sesudah mengikuti pelatihan dan pendampingan
dalam hal perubahan pengetahuan, sikap dan
keterampilan peserta/calon penangkar terutama
dalah hal teknologi produksi benih padi.
Tahapan Pemupukan dan Perawatan
Tanaman
Tanaman padi banyak membutuhkan
unsur hara dari tanah untuk pertumbuhan secara
optimal. Pada kondisi tanah yang cukup N, P, K
tanaman padi menyerap N, P, dan K berturut-
turut sekitar 198 kg, 33 kg dan 205 kg/Ha.
Untuk memperoleh pertanaman padi dengan
hasil yang tinggi, perlu dilakukan pemupukan.
Pemupukan pada tanaman padi sangat penting
karena dengan pemupukan yang baik pada
tanaman padi diharapkan hasil panen yang
meningkat. Pemupukan yang dilakukan pada
tanaman padi untuk 1 Ha dibutuhkan pupuk 100
kg urea dan 100 kg Phonska dicampur merata
dan pemupukan dilakukan dengan dihambur ke
tanaman padi. Pemupukan pertama dilakukan
pada tanaman padi berumur 7 - 14 hari dan
pemupukan kedua tanaman padi berumur 45 hari.
Proses pemupukan dapat terlihat pada gambar
Gambar 5.
64 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69
Gambar 1. Pola sekolah lapang dalam pengembangan Desa Mandiri Benih Padi
di Keltan Gangsa I, Ds. Jatitengah, Kec. Jatitujuh, Kab. Majalengka, Provinsi Jawa Barat,
2017
Sekolah
Lapang (SL)
Produksi
Benih
Target adopsi VUB
di luar wilayah Desa
Mandiri Benih
Laboratorium
Lapang (LL)
Tabel 1. Materi pelatihan/pendampingan kegiatan model sekolah lapang kedaulatan pangan mendukung swasembada
pangan terintegrasi Desa Mandiri Benih Padi, 2017
No. Materi Narasumber/Pendamping
1. Teknis Produksi Benih Padi : Budidaya Tanaman Padi Model
PTT (VUB, jajar Legowo 2, Pemupukan spesifik lokasi
berdasarkan PUTS, Pengendalian OPT), dan Jarwo Super
(VUB, biodekomposer, penggunaan pupuk hayati,
penggunaan pestisida nabati dan penggunaan alsintan
transplanter dan combine harvester) rouging, sertifikasi dan
penyimpanan
Tim BPTP, PPL, UPTD
2. Prosedur dan sertifikasi benih padi mencakup pendaftaran
secara on line dalam proses sertifikasi benih
BPSB TPH
3. Praktek pengisian formulir/blanko untuk proses sertifikasi
benih (a.l.: pengajuan pemeriksaan lapang 3 kali, pengajuan
uji lab, pengajuan legalisasi label)
BPSB TPH, Tim BPTP, PPL, UPTD
4. Pemeriksaan lapang (3 kali) BPSB TPH
5. Praktek Rouging/seleksi tanaman (4 kali) BPSB TPH, Tim BPTP, PPL, UPTD
6. Prosesing, pengemasan dan penyimpanan benih Tim BPTP, PPL, UPTD
BPTP Jawa Barat
- Pendampingan teknologi produksi benih
- Pendampingan penyusunan rencana distribusi/business plan
- Pendampingan fasilitasi dan sertifikasi benih
- Pendampingan kinerja kelembagaan penangkaran
Kelompok
Penangkar Padi
dan Kedelai
PSBTPH Kabupaten
Sertifikasi untuk menghasilkan
benih yang bermutu dan
bersertifikat
Dinas Pertanian
Kabupaten
- Pembinaan kelompok penangkar benih padi
- Distribusi benih melalui program penyediaan benih bantuan
Mitra Kerjasama dalam
Distribusi Benih
- Kelompok Tani - Kios Tani - Penangkar - Instansi terkait - Swasta
Keterangan :
: Garis Koordinasi
: Garis hubungan Langsung
- Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan Balitkabi (Penyediaan benih sumber VUB)
- Puslitbangtan
65 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan
Bebet Nurbaeti)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
peningkatan pengetahuan yaitu pendidikan,
sosial budaya, ekonomi, lingkungan,
pengalaman, dan umur. Pengetahuan petani
dipengaruhi oleh pengalaman, lama bertani dan
lingkungan. Perubahan perilaku seseorang
dipengaruhi pengetahuan yang menyebabkan
seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut
dan sebaliknya (Rambe dan Honorita, 2011).
Hasil analisis dengan menggunakan
analisis non parametrik Uji Wilcoxon
menunjukkan bahwa sesudah pelaksanaan
pendampingan dan pelatihan teknis produksi
benih padi ada perubahan ke arah yang lebih baik
dalam pemahaman (pengetahuan), perilaku
(sikap) dan kemampuan dalam melaksanakan
produksi benih (keterampilan).
Pengetahuan merupakan tahap awal dari
persepsi yang kemudian mempengaruhi sikap
dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau
tindakan (Keterampilan). Dengan adanya
wawasan petani yang baik tentang suatu hal,
akan mendorong terjadinya sikap yang pada
gilirannnya mendorong terjadinya perubahan
perilaku. Petani memiliki keterampilan yang baik
dapat menentukan pilihannya dengan tepat
sehingga dapat mengetahui hal efesien dan
efektif (Rambe dan Honorita, 2011).
Pengetahuan merupakan tahap awal dari
persepsi yang berpengaruh terhadap sikap
gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan
(keterampilan). Dengan adanya wawasan petani
yang baik tentang suatu hal, akan mendorong
terjadinya sikap yang pada gilirannnya
mendorong terjadinya perubahan perilaku.
Pengetahuan mencerminkan tingkat kesadaran
petani untuk menggali dan menerima informasi
inovasi teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan yang tinggi dimiliki oleh petani
berkorelasi positif terhadap tingkat kesadaran
yang tinggi. Kesadaran yang tinggi mendorong
petani untuk memberdayakan diri dengan
meningkatkan pengetahuannya (Daliani dan
Nasriati, 2017).
Pengalaman bertani dengan rentang
waktu yang lama berpengaruh terhadap
pengetahuan dan keterampilan usaha tani. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian
Istiantoro et al., (2013), bahwa pengalaman
dalam bertani dan ditunjang dengan pendidikan
non formal berpengaruh nyata terhadap tingkat
penerapan sistem pertanian berkelanjutan pada
budidaya padi sawah.
Pendampingan Dalam Perencanaan
Distribusi Benih Padi
Dalam usaha penangkaran benih padi
dengan orientasi bisnis di dalam kelompok tani
diperlukan dukungan perilaku petani yang baik.
Perilaku petani terdiri dari elemen pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang membentuk
karakter petani sebagai pelaku dalam agribisnis
tersebut. Pengembangan agribisnis tidak terlepas
dari pengembangan di bidang kelembagaan yang
akan menentukan pola pembinaan dan
pemanfaatan secara maksimal. Segala bentuk
kelembagaan yang berhubungan secara langsung
dan tidak langsung dengan pembangunan
pertanian berkaitan dengan pengembangan
agribisnis pada masa depan. Peluang usaha
merupakan situasi yang sangat menguntungkan,
oleh karena itu perlu adanya strategi yang
diterapkan dengan menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang ke depan, seperti rencana
penentuan penjualan benih padi yang
terkonsentrasi dan terdiversifikasi berdasarkan
strategi pemasaran. Sedangkan faktor eksternal
seperti ancaman harus mendapat perhatian
karena dapat mempengaruhi strategi pemasaran
(Mustari, 2017).
Tabel 2. Hasil Analisis sebelum dan sesudah pelatihan teknis produksi benih padi terhadap tingkat pengetahuan, sikap dan
keterampilan petani di Kelompok Tani Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jati Tujuh, Kabupaten Majalengka,
Provinsi Jawa Barat, 2017.
Uraian Pengetahuan Sikap Keterampilan
Z -2,371b -2,028b -2,032b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,018 ,043 ,042
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
66 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69
Dalam usaha penangkaran benih padi di
Keltan Gangsa I dibuat rencana bisnis untuk
menentukan produksi benih yang akan
diproduksi dengan jenis varietas padi yang sesuai
dengan preferensi konsumen di khususnya di
wilayah Desa Jatitengah dan umumnya di
wilayah Kabupaten Majalengka. Hal yang perlu
diperhatikan dalam menjalankan usaha
penangkaran benih padi yaitu memproduksi
benih dengan volume yang sesuai permintaan,
menjaga kualitas/mutu benih, menjalin kemitraan
dengan kios tani/instansi pemerintah/swasta
dalam meningkatkan usaha kelompok tani
sebagai lembaga penangkaran. Dalam usaha
penangkaran benih padi, perorangan maupun
kelompok, berperan peran yang penting dalam
industri benih, khususnya dalam proses
diseminasi varietas unggul yang dihasilkan oleh
lembaga penelitian dan diproduksi oleh produsen
benih (Sayaka et al., 2015).
Berdasarkan hasil informasi dan
preferensi petani di wilayah Kabupaten
Majalengka bahwa varietas yang disukai adalah
Varietas Inpari 32, oleh karena itu dalam usaha
penangkaran yang dikelola oleh Kelompok Tani
menggunakan varietas tersebut. Produksi benih
kegiatan LL dengan luasan ± 5 ha dengan
produksi benih 25 ton dan SL seluas 40,50 ha
dengan produksi benih 100 ton. Total produksi
benih yang ditargetkan dari kegiatan
Laboratorium Lapang dan dari Sekolah Lapang
125 ton.
Strategi yang harus dilakukan dalam
usaha penangkaran benih padi yaitu dengan
meningkatkan volume pengadaan dan penyaluran
untuk melayani permintaan yang semakin
meningkat, serta bekerjasama dengan pemerintah
dalam pengadaan benih, dan memperluas pangsa
pasar guna memenuhi kebutuhan benih padi
dengan perkembangan teknologi; meningkatkan
pendidikan SDM, meningkatkan kontinuitas
produk agar dapat memenuhi permintaan pasar
pada saat permintaan benih berkelanjutan;
meningkatkan kerja sama dengan penyedia faktor
produksi dan bahan baku agar mendapatkan
harga yang sesuai sehingga harga produk lebih
kompetitif dengan pesaing; dan mengoptimalkan
kegiatan promosi agar konsumen petani
mengetahui produk yang dipasarkan (Sugiharta
et al., 2016).
Tabel 3. Rencana bisnis/business plan distribusi benih varietas Inpari 32 di Keltan Gangsa I, Ds. Jatitengah, Kec.
Jatitujuh, Kab. Majalengka, Provinsi Jawa Barat. 2017
No. Mitra Kerjasama dalam Distribusi Benih Alamat Jumlah (ton)
Wilayah Kecamatan Jatitujuh
1. Kios Tani Gangsa I Jatitengah 5
2. Kios Subur Jaya Jatitujuh 20
3. Kis Tani Sejahtera Panongan 5
4. Kios Sobat Tani Panyingkiran 5
5. Kios Ciherang Tani Biyawak 2
6. Kios Harapan Mulya Jatitujuh 3
7. Kios Buyung Tani Jatitujuh 10
8. Kios Sinar Tani Bantarwangi 20
Wilayah Kab. Majalengka
1. Kios Wanasalam Ligung 5
2. Kios Kertajati Kertajati 5
3. Kios Wawan Ciborelang-Jatiwangi 10
4. Kios Heru Gandawesi-Ligung 5
5. Kios Hambali Sumberjaya 5
6. PT. PERTANI Bantuan Dinas Pertanian dan
Perikanan Kab. Majalengka 5
Wilayah luar Kab. Majalengka
1. Kios Dewa Tani Rancajawat-Indramayu 10
2. Kios Kertawinangun Cirebon 5
3. Kios Pasar Baru Pemalang-Jateng 5
Jumlah 125
67 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan
Bebet Nurbaeti)
Pada tahun 2017, penggunaan VUB
Inpari 32 di wilayah Desa Mandiri Benih Padi
(Desa Jati Tengah) mencapai 90% dan di luar
wilayah di Kecamatan Jatitujuh mencapai 75%
dan di wilayah Kabupaten Majalengka mencapai
39% (Kec. Kertajati, Ligung, Sumber Jaya,
Dawuan, Kadipaten, Palasah, Leuwimunding,
Sukahaji dan Jatiwangi). Di Jawa Barat varietas
padi yang disukai konsumen yang mempunyai
karakter adalah warna nasi putih, aromanya
harum, dan tekstur pulen (Rohaeni et al., 2012).
Selanjutnya petani menyatakan memilih
menanam VUB dengan alasan varietas tersebut
mempunyai produktivitas tinggi (50%),
ketahanannya terhadap OPT (25%), rasa nasi
yang lebih enak (22%), dan umur tanaman yang
lebih pendek (5-8%) (Ariani et al., 2012).
Hasil kajian Ramija et al., (2010), di
Sumatera Utara bahwa penyebaran benih padi
bermutu (Mekongga, Conde, Angke) dapat
terlaksana karena adanya kerjasama antara
gapoktan dengan pihak swasta yang membeli
gabah. Hal ini menunjukkan dengan adanya
kerjasama tersebut, mempercepat proses
diseminasi benih padi varietas unggul.
Selanjutnya menurut Darwis (2018), bahwa
untuk memenuhi benih sesuai preferensi petani,
penangkar harus menangkarkan varietas yang
diminati petani di wilayahnya.
Pendampingan, Fasilitasi, dan Sertifikasi
Benih
Pendampingan dalam proses sertifikasi
benih padi melibatkan BPSBTPH Kabupaten
Majalengka mulai dari proses permohonan
pendaftaran sampai mendapatkan sertifikasi
(label) benih yang diproduksi. Pembinaan juga
dilakukan kepada penangkar sebagai produsen
benih mengenai tahapan kegiatan dalam proses
mendapatkan benih yang bermutu dan berlabel.
Pendampingan sertifikasi dimulai dari
permohonan dan prosedur dilakukan dengan
pendaftaran ke BPSB TPH Kabupaten
Majalengka untuk didaftarkan menjadi benih.
Dalam peningkatan pengetahuan dalam proses
sertifikasi benih kepada penangkar dilakukan
pendampingan dengan mengundang BPSBTPH
sebagai narasumber. Varietas yang diajukan
untuk menjadi benih yaitu Inpari 32 dengan
luasan 5 ha dengan produksi benih 25 ton lulus
sertifikasi mendapatkan label ungu (SS) dan
benih yang dihasilkan dari Kelompok Tani
Gangsa I secara mandiri sebanyak 100 ton.
Faktor genetik yang berpengaruh terhadap hasil
gabah mencakup sifat fisiologik, morfologi
tanaman, dan ketahanan terhadap hama penyakit.
Hasil gabah dipengaruhi oleh setiap karakter
fisiologik tanaman seperti efisiensi fisiologis
tanaman dalam sistem produksi, termasuk tingkat
kegagalan dan sterilitas gabah (Singh et al.,
2013). Sedangkan persyaratan mutu benih yang
berbeda antar kelas benih pada persentase
kotoran benih, biji tanaman lain, dan campuran
varietas lain, namun pembatasnya adalah
persentase maksimum.
Pendampingan Kelembagaan Penangkaran
Benih
Pendampingan kinerja kelembagaan
dilakukan dalam upaya optimalisasi fungsi
masing-masing pengurus untuk mengelola usaha
penangkaran sebagai lembaga usaha bersama
anggota kelompok tani yang tergabung dalam
Kelompok Tani Gangsa I. Peningkatan kinerja
kelembagan terlihat dari fungsi kelompok dalam
melaksanakan kegiatan produksi benih padi dan
peran dari ketua kelompok sebagai motor
penggerak dalam jalannya kelompok.
Dengan adanya optimalisasi struktur
organisasi dan partisipasi pengurus serta anggota,
Tabel 4. Hasil analisis statistik non parametrik menggunakan willcoxon Peningkatan Kinerja Kelembagaan Penangkaran
Padi Keltan Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jati Tujuh, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. 2017
Rencana
Kegiatan
Mengorganisasikan
Kegiatan
Melaksanakan
Kegiatan
Pengendalian dan
Pelaporan Kepemimpinan
Z -,948b -,816b -2,207b -,921b -2,060b
Asymp. Sig. (2-
tailed)
,343 ,414 ,027 ,357 ,039
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks
68 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:61-69
kelompok tani menjalin kerjasama dengan
beberapa kios tani di wilayah kecamatan Jati
Tujuh dan sekitarnya. Kelompok menjual benih
untuk dijual di kios tani dan instansi terkait
(pemda) dalam menyalurkan produksi benih
untuk mendukung kegiatan Dinas Pertanian dan
Perikanan Kabupaten Majalengka dan pihak
BUMN. Kelompok tani memainkan peran di
antaranya sebagai forum belajar, wadah
bekerjasama, wadah berorganisasi, unit produksi
usahatani, dan sebagai unit merespons umpan
balik kinerja teknologi. Peran kelompok tani dan
petani penangkar benih sangat diharapkan dalam
mewujudkan penyiapan cadangan benih daerah.
Keberlanjutan usahatani penangkaran benih akan
tetap berlanjut apabila adanya motivasi
melanjutkan penangkaran benih, persiapan
modal, dan perluasan jangkauan pemasaran
(Nuryanti dan Swastika, 2011).
Kegiatan penangkaran benih sumber padi
sawah akan berlanjut apabila memaksimalkan
peran kelompok tani dalam menciptakan pasar
benih. Faktor adanya motivasi kepada anggota
yang terus menerus oleh pengurus dalam
melaksanakan penangkar benih. Kelompok tani
sudah berperan dalam distribusi benih kedaerah
sebagai unit produksi benih (Putra et al., 2016).
Peningkatan kapasitas penangkar benih dapat
melalui transfer informasi teknologi kepada
kelompok seperti manajemen dan pemasaran
(Ishak dan Siang, 2013). Upaya melakukan
pendampingan dan penyuluhan dengan membina
calon penangkar melalui pertemuan rutin
berpengaruh terhadap penguatan kelembagaan
calon penangkar secara berkelompok (Jumakir et
al., 2016).
KESIMPULAN
Pola pendampingan Desa Mandiri Benih
Padi di Provinsi Jawa Barat dilakukan dengan
pendampingan teknologi produksi benih,
menyusun rencana bisnis/business plan, fasilitasi
dan sertifikasi benih kinerja lembaga dan
kelembagaan penangkaran dan melibatkan
instansi terkait (Dinas Pertanian dan Perikanan
Kab. Majalengka) dalam distribusi benih melalui
program bantuan benih dan BPSBTPH dalam
pembinaan sertifikasi benih untuk menghasilkan
benih yang bermutu dan bersertifikat.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani M, Umiarsih R, Haryani D. 2012. Adopsi,
kelayakan dan sumber informasi
komponen teknologi pengelolaan tanaman
terpadu di Provinsi Banten. Dalam: Ariani
M, Dariah A, Ananto EE, Suradisastra K,
Subagyono K, Sarwani M, Pasandaran E,
Soeparno H, editors. Membangun
kemampuan inovasi berbasis potensi
wilayah. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Jakarta (ID):
IAARD Press.
Direktorat Jendral Tanaman Pangan. 2016.
Program Desa Mandiri Benih.
Kementerian Pertanian Republik
Indonesia. Jakarta.
Daliani dan Nasriati. 2017. Pengetahuan petani
terhadap teknologi Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) padi sawah di Kabupaten
Seluma. Prosiding Seminar Nasional
Agroinovasi Spesifik Lokasi Untuk
Ketahanan Pangan Pada Era Masyarakat
Ekonomi ASEAN. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian,
Badan Litbang, Kementan, hal : 524 - 531.
Darwis, V. 2018. Sinergi kegiatan desa mandiri
benih dan kawasan mandiri benih untuk
mewujudkan swasembada benih. Analisis
Kebijakan Pertanian, 16(1):
59-72 DOI:
http://dx.doi.org/10.21082/akp.v16n1
Ishak E, Siang R.,D. 2013. Penguatan kapasitas
kelompok nelayan wirausaha mandiri
melalui transfer teknologi tepat guna.
Jurnal Manajemen IKM, 10 (1): 9 - 16.
Istiantoro, Bambang, N, A., dan Soeprobowati,
T., R. Tingkat penerapan sistem pertanian
berkelanjutan pada budidaya padi sawah
(Studi Kasus di Kecamatan Ambal,
Kabupaten Kebumen), Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan, p: 19 - 25.
69 Pola Pendampingan Desa Mandiri Benih Padi di Jawa Barat (Yati Haryati, M. Atang Safei dan
Bebet Nurbaeti)
Jumakir, Mulyadi, T., M., dan Bobihoe, J. 2016.
Keragaan dan produksi benih padi melalui
calon penangkar mendukung mandiri
benih di lahan rawa pasang surut Provinsi
Jambi, Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal, hal : 709 - 718.
Mustari. 2017. Strategi pemasaran dan
kelembagaan agribisnis benih padi (Studi
Kasus PT. Sang
Hyang Seri Maros), Jurnal Economix, vol.
5(1): 215 - 225.
Nuryanti dan S, Swastika DKS. 2011. Peran
kelompok tani dalam penerapan teknologi
pertanian, Jurnal Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian, 29(2):115 - 128.
Putra, R. , A. Saleh, dan Purnaningsih, N. 2016.
Strategi meningkatkan kapasitas
penangkar benih padi sawah dengan
optimalisasi peran kelompok tani di
Kabupaten Lampung Timur. Prosiding
Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik
Lokasi Untuk Ketahanan Pangan Pada Era
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Balai
Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Badan Litbang,
Kementan,p: 499 - 506.
Rambe, S. M. dan Honorita, B. 2011. Perilaku
petani dalam usahatani di lahan rawa
lebak. Prosiding Seminar Nasional
Budidaya Pertanian, p: 115 - 128.
Ramija, K., E., N. Chairuman dan D.Harnowo.
2010. Keragaan Pertumbuhan Komponen
Hasil dan Produksi Tiga Varietas Padi
Unggul Baru di Lokasi Primatani
Kabupaten Mandailing Natal. Jurnal
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian, 13(1): 42 - 51.
Rohani WR, Sinaga A, Ishaq. 2012. Preferensi
responden terhadap keragaan tanaman dan
kualitas produk beberapa varietas unggul
baru padi. Jurnal Informasi Pertanian,
2(2) : 107 - 115.
Puslitbangtan. 2016. Panduan umum sekolah
lapang model desa mandiri benih padi,
Jagung, dan Kedelai. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Sayaka B, Hermanto, Rachmat M, Darwis V,
Dabukke FBM, Suharyono S, dan
Kariyasa K. 2015. Penguatan kelembagaan
penangkar benih untuk mendukung
kemandirian benih padi dan kedelai.
Laporan Penelitian. Bogor (ID): Pusat
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Sugiharta, N., Darmawan, D., P., dan Yudhari I.,
D., A., S. 2016. Strategi pemasaran benih
padi pada UD Tani Sejati di Kecamatan
Blahbatuh Kabupaten Gianyar, E-Jurnal
Agribisnis dan Agrowisata, 5 (4): 648 -
657.
Wulanjari, M., E dan Setiani, C. 2018.
Pemberdayaan gapoktan berkah melalui
program desa mandiri benih. Seminar
Nasional Dalam Rangka Dies Natalis UNS
Ke 42 Tahun 2018 “Peran
Keanekaragaman Hayati untuk
Mendukung Indonesia sebagai Lumbung
Pangan Dunia”, 2(1): 61 - 68.
71 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA PERTANIAN CABAI BERBASIS KORPORASI PADA GAPOKTAN MUJAGI
KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR
Endang Pudji Astuti1 dan Lira Mailena2
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No. 10, Cimanggu Bogor 16114, Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Strategies for Developing a Chlili-Based Agriculture Business in Mujagi Union Farmer Group, Pacet
Subdistrict, Cianjur District. Chili is a strategic horticultural commodity in Indonesia because it is a determinant
of national inflation. Problems that are often faced by chilli farmers are not optimal productivity, fluctuating chili
prices, and low farmers' bargaining position. Corporate farming are expected to be a solution in the
consolidation of narrow and scattered production site management, increased productivity, increased cost
efficiency, creation of product value added, and capital strengthening. In addition, farmers 'corporations can also
improve the quality of farmers' human resources in the fields of cultivation and managerial management, and are
expected to change the mindset of farmers to be business oriented. The purpose of this study was to identify the
characteristics of chili farming that has the potential to lead to corporate agricultural business and the strategy of
developing corporate-based chili farming. Pacet Subdistrict was determined to be the location of the study
because it is one of the centers of chili production in Cianjur Regency, with Gapoktan Mujagi as a pilot model.
Analysis of the data used in this study was descriptive analysis to produce information on the performance of chili
farming businesses. In addition, SWOT analysis and Grand Strategy Matrix were used to determine the strategy
of developing a corporation-based chili farming business. Chili is planted once a year with an average
productivity of 10 tons per ha. The market of this commodity are modern and traditional markets. Based on the
SWOT analysis and grand strategy matrix, the strategy of developing a corporation-based chili farming business
that could be applied consists of increasing productivity, expanding market reach, product diversification,
attracting investors, and establishing economic institutions of farmers who are legal, independent and sovereign.
Keywords: development strategy, corporate farming, grand strategy matrix
ABSTRAK
Cabai merupakan komoditas hortikultura strategis di Indonesia karena menjadi penentu inflasi nasional.
Permasalahan yang sering dihadapi petani cabai adalah produktivitas yang belum optimal, harga cabai yang
berfluktuatif, dan posisi tawar petani yang rendah. Korporasi petani diharapkan dapat menjadi solusi dalam
konsolidasi pengelolaan lokasi produksi yang sempit dan tersebar, peningkatan produktivitas, peningkatan
efisiensi biaya, penciptaan nilai tambah produk, dan penguatan permodalan. Selain itu, korporasi petani juga dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia petani di bidang budidaya dan manajerial, serta diharapkan dapat
merubah pola pikir petani untuk berorientasi bisnis. Tujuan pengkajian ini adalah mengidentifikasi karakteristik
usahatani cabai yang berpotensi menuju usaha pertanian korporasi dan strategi pengembangan usahatani cabai
berbasis korporasi. Kecamatan Pacet ditetapkan menjadi lokasi kajian karena merupakan salah satu sentra
produksi cabai di Kabupaten Cianjur, dengan Gapoktan Mujagi sebagai model percontohan. Analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menghasilkan informasi keragaan usaha pertanian
cabai. Selain itu, dilakukan analisis SWOT dan Grand Strategy Matrix untuk menentukan strategi pengembangan
usaha pertanian cabai berbasis korporasi. Cabai ditanam sekali dalam setahun dengan produktivitas rata-rata 10
ton per ha. Pemasaran hasil panen ke pasar modern dan tradisional. Berdasarkan analisis SWOT dan matriks
grand strategi, maka strategi pengembangan usaha pertanian cabai berbasis korporasi yang bisa diterapkan terdiri
dari peningkatan produktivitas, memperluas jangkauan pasar, diversifikasi produk, menjaring investor, dan
pembentukan kelembagaan ekonomi petani yang berbadan hukum, mandiri, dan berdaulat.
Kata kunci: strategi pengembangan, korporasi petani, matriks grand strategi
72 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83
PENDAHULUAN
Berdasarkan Renstra Direktorat Jenderal
Hortikultura tahun 2015-2019, cabai dinilai
menjadi salah satu komoditas unggulan
hortikultura di Indonesia karena berdampak
terhadap ekonomi mikro, berpotensi ekspor,
banyaknya jumlah pelaku usaha, bernilai
ekonomi, dan berpotensi nilai tambah. Pada
tahun 2016, cabai juga termasuk salah satu dari
lima komoditas sayuran semusim dengan
produksi terbesar (BPS, 2016). Hal ini
menunjukkan bahwa cabai merupakan komoditas
hortikultura yang strategis di Indonesia.
Tabel 1 menunjukkan luas panen,
produksi, produktivitas, konsumsi, dan
kesenjangan antara produksi dan konsumsi
komoditas cabai di Indonesia. Selama tahun
2005-2014, luas panen cabai di Indonesia
semakin meningkat, sedangkan produksi
berfluktuatif. Seharusnya dengan penambahan
luas panen, produksi juga semakin meningkat.
Kesenjangan tersebut menandakan usahatani
cabai di Indonesia belum dikelola dengan
optimal.
Rata-rata produktivitas cabai di
Indonesia sebesar 7,11 ton/ha. Potensi
produktivitas cabai menurut Direktorat Budidaya
Tanaman Sayur dan Biofarmaka (2007)
mencapai 20 ton/ha. Ini memperlihatkan bahwa
produktivitas rata-rata cabai di Indonesia masih
sangat rendah dan berpotensi untuk ditingkatkan.
Selain itu, terlihat juga gap antara produksi dan
konsumsi di Indonesia. Selama 10 tahun (tahun
2005-2014), kinerja produksi terhadap konsumsi
selalu negatif.
Selain masalah produktivitas, harga cabai
yang fluktuatif menjadi permasalahan yang
belum terselesaikan setiap tahunnya. Saptana et
al., (2012) mengungkapkan bahwa harga cabai
akan turun saat panen raya yang terjadi pada
musim panas, sedangkan pada musim tertentu
seperti musim hujan, perayaan hari besar, dan
musim hajatan, harga cabai meningkat tajam.
Kenaikan harga cabai terbukti mempengaruhi
tingkat inflasi di Indonesia. Bank Indonesia
(2017) mengungkapkan bahwa cabai adalah
komoditas penyebab inflasi terbesar pada
Tabel 1. Luas panen, produksi, produktivitas, konsumsi, gap produksi, dan konsumsi
No. Tahun
Luas
Panen
(Ha)
Produksi
(Ton) (%)
Provitas
(Ton/Ha) (%)
Konsumsi
(Ton) (%)
Gap
Produksi dan
Konsumsi
1 2005 187.236 1.058.023 5,65 1.113.000
2 2006 204.747 1.185.057 12,01 5,79 2,43 1.260.000 5,32 (74.943)
3 2007 204.048 1.128.792 (4,75) 5,53 (4,42) 1.211.000 5,04 (82.208)
4 2008 211.566 1.153.060 2,15 5,45 (1,48) 1.266.000 5,21 (112.940)
5 2009 233.904 1.378.727 19,57 5,89 8,15 1.498.000 6,08 (119.273)
6 2010 237.105 1.328.864 (3,62) 5,60 (4,92) 1.454.000 5,66 (125.136)
7 2011 239.770 1.483.079 11,61 6,19 10,36 1.644.000 6,30 (160.921)
8 2012 242.366 1.656.524 11,69 7,49 21,08 1.786.000 6,84 (129.476)
9 2013 249.232 1.726.382 4,22 6,93 (7,51) 1.872.000 7,07 (145.618)
10 2014 263.616 1.875.075 13,19 7,11 (5,03) 2.048.000 7,63 (172.925)
Sumber: BPS dan Pusdatin, diolah (2018)
73 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
kelompok volatile food pada tahun 2016.
Harga cabai yang berfluktuatif
dikarenakan produksi yang tidak konstan pada
saat on season dan off season (Gambar 1). Masa
on season usahatani cabai pada terjadi pada
musim hujan, sedangkan masa off season jatuh
pada bulan kemarau. Fenomena kesenjangan
pasokan ini terjadi di semua sentra produksi
cabai di Indonesia (Saptana et al., 2012).
Harga yang berfluktuasi tersebut
merugikan petani sekaligus menyebabkan
ketidakpuasan bagi konsumen. Perbedaan harga
cabai dari sisi produsen dan konsumen dapat
dilihat pada Gambar 2. Kesenjangan tersebut
akibat panjangnya rantai pemasaran dan margin
yang diterima pedagang perantara. Semakin
besar gap antara harga cabai antara produsen dan
konsumen, mengindikasikan harga cabai yang
tinggi tidak berdampak positif pada
kesejahteraan petani cabai yang bertndak sebagai
price taker.
Dalam rangka mengatasi permasalahan
tersebut, pada tahun 2018 Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BB
Pengkajian) menginisiasi model pengembangan
usaha pertanian berbasis korporasi berlokasi di
Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat. Hal ini
dikarenakan Jawa Barat merupakan sentra
produksi cabai terbesar di Indonesia, dengan
kontribusi sebesar 22,95% dari total produksi
Gambar 1. Perkembangan produksi bulanan cabai dan cabai rawit di Indonesia tahun 2012-2015
sumber: Ditjen Hortikultura, 2016
Gambar 2. Perkembangan harga cabai di tingkat produsen dan konsumen di Indonesia Tahun 2000-2014
sumber: (BPS, diolah)
0
20.000
40.000
60.000
200
0
20
01
20
01
20
03
20
04
20
05
200
6
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
20
14
Har
ga (
Rp
/Kg)
Tahun
Harga Produsen (Rp/Kg) Harga Konsumen (Rp/Kg)
74 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83
nasional. Dari total produksi di Jawa Barat pada
tahun 2014, Cianjur menempati peringkat kedua
dengan kontribusi sebesar 25,96%. Kabupaten
Cianjur juga menjadi kabupaten penyangga
kebutuhan cabai Jabodetabek. Dari produksi
cabai di Cianjur tahun 2015 sebesar 58.020 ton,
hanya 12% yang digunakan untuk konsumsi di
Cianjur. Sisanya sebanyak 88% dipergunakan
untuk konsumsi daerah lain.
Korporasi petani diharapkan dapat
menjadi solusi dalam konsolidasi pengelolaan
lokasi produksi yang sempit dan tersebar,
peningkatan produktifitas, peningkatan efisiensi
biaya, penciptaan nilai tambah produk, dan
penguatan permodalan. Selain itu, korporasi
petani juga dapat meningkatkan kualitas sumber
daya manusia petani di bidang budidaya dan
manajerial, serta diharapkan dapat merubah pola
pikir petani untuk berorientasi bisnis.
Gapoktan Multi Tani Jaya Giri (Mujagi)
yang bergerak dalam bidang budidaya dan
pemasaran cabai, diharapkan dapat menjadi
model usaha pertanian korporasi. Hal ini sejalan
dengan Musthofa dan Kurnia (2013) yang
menyarankan bahwa dibutuhkannya suatu contoh
penerapan konsep corporate farming skala kecil
yang dibiayai pemerintah untuk meningkatkan
keyakinan petani terhadap konsep tersebut.
Oleh karena itu, kajian mengenai strategi
pengembangan usaha dengan
mempertimbangkan kondisi internal sangat
diperlukan untuk menjawab tantangan eksternal
yang mempengaruhi usaha pertanian cabai.
Untuk kepentingan tersebut, tujuan dari kajian ini
adalah untuk (1) Mengidentifikasi karakteristik
usaha pertanian cabai dan (2) Mengidentifikasi
strategi pengembangan usahatani cabai berbasis
korporasi.
KORPORASI PETANI
Pengertian korporasi petani berdasarkan
Permentan No. 18 tahun 2018 adalah
kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum
berbentuk koperasi atau badan hukum lain
dengan sebagian besar kepemilikan modal
dimiliki oleh petani. Korporasi petani yang ideal
bisa digambarkan sebagai petani dalam jumlah
besar yang mengelola usahatani dengan
manajemen yang baik dan berorientasi bisnis.
Kegiatan ini mencakup satu kesatuan sistem
agribisnis. Menurut Said et al. (2001) faktor
kunci dalam pengembangan agribisnis adalah
peningkatan dan perluasan kapasitas produksi
melalui pembenahan setiap bagian subsistem
agribisnis agar dapat meningkatkan pendapatan
petani secara nyata.
Tujuan korporasi petani adalah
meningkatkan efisiensi biaya, meningkatkan nilai
tambah komoditas pertanian serta memperkuat
kelembagaan petani dalam mengakses informasi,
teknologi, prasarana dan sarana publik,
permodalan, pengolahan, dan pemasaran
(Kementan, 2018). Keterlibatan pemerintah
dalam hal ini bisa berupa bentuk bantuan input
produksi, alsintan, pengawalan, pendampingan,
pelatihan, dan paket teknologi unggulan.
Wibowo (2004) mengemukakan bahwa
korporasi petani agribisnis adalah perusahaan
yang dimiliki oleh masyarakat/petani. Menurut
Musthofa dan Kurnia (2013), corporate farming
adalah kegiatan penggabungan lahan yang
dimiliki petani (biasanya dalan ukuran kecil)
untuk dikelola bersama-sama dalam satu
manajemen. Beberapa faktor yang
mempengaruhi penerapan corporate farming
adalah penerimaan kelompok tani dan dukungan
pemerinta daerah terhadap program tersebut
(Sitanggang, 2002). Wahyuni dan Pranadji
(2015) mengungkapkan bahwa fokus konsolidasi
dari corporate farming ada tujuh, yaitu lahan,
komoditas, manajemen on-farm, manajemen off-
farm, manajemen vertikal, manajemen
horizontal, dan manajemen lingkungan.
Dari penjelasan sebelumnya, diperoleh
beberapa penciri korporasi yang akan
menentukan variabel-variabel yang
mempengaruhi faktor internal dan faktor
eksternal usaha pertanian cabai yang pada
Gapoktan Mujagi. Penciri tersebut adalah: (1)
Kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum,
yang dimiliki bersama-sama oleh petani; (2)
Berorientasi pasar, seperti jaminan pasar,
keuntungan, permintaan konsumen, dan lain-lain;
(3) Adanya konsolidasi pengelolaan usaha
pertanian dalam satu manajemen professional
yang merupakan sistem agribisnis; dan (4)
Adanya kemitraan dengan lembaga permodalan,
75 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
lembaga pemasaran, serta pemerintah pusat dan
daerah.
METODOLOGI
Penentuan daerah pengkajian dilakukan
secara sengaja (purposive sampling), yaitu Desa
Cipendawa Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur.
Kajian ini dilakukan pada bulan November 2018
dengan menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui Focus
Group Discussion (FGD) dengan petani mitra
dan anggota gapoktan sejumlah 30 orang
responden. Selain itu, dilakukan observasi dan
wawancara mendalam dengan informan kunci
(key informan) secara mendalam dengan bantuan
pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) yang
telah disiapkan sebelumnya. Data sekunder yang
dibutuhkan diperoleh dari BPS, jurnal, literatur
terkait lainnya.
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif untuk
menghasilkan informasi karakteristik usaha
pertanian cabai. Selain itu, digunakan Analisis
SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and
Threads) dan Matriks Grand Strategi untuk
menentukan strategi yang diperlukan dalam
pengembangan usaha pertanian cabai berbasis
korporasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Gapoktan Mujagi yang terletak di
Kampung Pasir Cina Desa Cipendawa
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur, bergerak
pada bidang budidaya dan pemasaran cabai. Dari
survei yang dilakukan, diketahui bahwa
mayoritas usia responden antara 15-60 tahun
(95%) dan pengalaman bertani responden antara
10-20 tahun (41%).
Produktivitas yang belum optimal (10
ton/ha), biaya produksi yang tidak efisien akibat
lahan petani yang sempit, pengolahan yang
belum terintegrasi, dan penggunaan pupuk yang
berlebihan, dan mayoritas luas lahan petani yang
sempit (di bawah 0,5 ha) adalah permasalahan
yang dihadapi petani. Konsep korporasi sangat
sesuai diterapkan untuk menggabungkan
pengelolaan lahan yang relatif sempit dan biaya
produksi yang tidak efisien. Lahan yang
merupakan milik petani, ketersediaan air dan
infrastruktur jalan yang memadai, serta mata
pencaharian dan pendapatan utama sebagai
petani hortikultura juga merupakan penunjang
terbentuknya korporasi petani.
Dari sisi kelembagaan, anggota gapoktan
sudah terbiasa berorganisasi. Pengalaman dalam
budidaya juga sangat baik. Karakteristik mereka
yang mudah menerima dan memahami informasi
baru, merupakan potensi dalam pengembangan
usaha pertanian korporasi sebagai konsep baru
yang akan diperkenalkan.
Masalah gapoktan diantaranya adalah
rendahnya kompetensi SDM dalam hal
manajemen, laporan keuangan dan penyimpanan
bukti transaksi yang belum rapi, serta
kepemilikan aset yang belum terpisah antara
gapoktan dan ketua gapoktan. Peran pemerintah
dalam mendukung terciptanya korporasi petani
adalah sebagai fasilitator, bersama-sama petani
membuat aturan main untuk menjaga komitmen
mitra dan menciptakan manajemen yang stabil.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan pelatihan
dan pendampingan dalam hal manajemen SDM,
manajemen pemasaran, dan manajemen
keuangan.
Existing market Gapoktan Mujagi
diantaranya restoran, minimarket, dan pasar
tradisional. Pasokan aneka cabai ke pasar modern
sebesar 1 Kuintal per 2 hari dengan harga rata-
rata Rp 42.000,00 per Kg. Pasokan ke restoran
sejumlah 4 Kuintal per 2 hari. Sisanya sebanyak
2 Kuintal per hari dipasok ke pasar tradisional.
Dari sisi pasca panen dan pengolahan,
Gapoktan Mujagi sudah mencoba pengolahan
produk berupa cabai giling, cabai bubuk, dan bon
cabai. Namun mereka terbentur oleh terbatasnya
modal berupa mesin pengolahan, produk yang
belum terstandardisasi, serta kepastian harga.
Permintaan dari restoran berupa produk cabai
giling sebanyak 100 kuintal per hari belum dapat
mereka penuhi. Kendala yang dihadapi adalah
kapasitas alat penggilingan yang kecil, dengan
kapasitas 10 kg per hari.
Dengan adanya diversifikasi produk,
diharapkan tercipta pula diversifikasi pasar.
76 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83
Diversifikasi ini bisa berupa pasar cabai segar
dan pasar produk olahan cabai seperti cabe
giling, cabai bubuk, blok cabai, saus cabai, dan
minyak cabai. Konsep kemitraan dalam
korporasi memungkinkan gapoktan untuk
bekerja sama dengan pihak yang dianggap
mampu memperluas jangkauan dan diversifikasi
pasar.
Tabel 3. Faktor internal dan faktor eksternal usaha pertanian gapoktan Mujagi
FAKTOR INTERNAL
Kekuatan/Strenght (S) Kelemahan/Weakness (W)
1. Ketersediaan input produksi tercukupi
2. Lahan milik sendiri
3. Mata pencaharian utama anggota dan mitra gapoktan adalah
petani hortikultura khususnya cabai
4. Kontinyuitas produksi
5. Jumlah anggota dan petani mitra cukup banyak
6. Karakteristik pengurus yang terbuka dan solid
7. Petani aware terhadap peningkatan nilai tambah melalui
proses pasca panen dan pengolahan produk
8. Kepemilikan peralatan dan mesin produksi dan pengolahan
9. Kepastian kuantitas dan harga dalam kontrak
10. Petani anggota dan petani mitra sudah terbiasa mengikuti
aturan pengurus/manajemen Gapoktan Mujagi
1. Luas lahan garapan relatif
sempit
2. Kompetensi pengurus di bidang
manajerial usaha rendah
3. Biaya produksi belum efisien
4. Ketersediaan modal kecil
5. Belum ada standardisasi produk
olahan
6. Minimya promosi dan inovasi
strategi pemasaran
7. Komitmen petani anggota dan
petani mitra masih rendah
FAKTOR EKSTERNAL
Peluang/Opportunity (O) Ancaman/Threads (T)
1. Potensi pasar cabai segar yang besar dan stabil
2. Potensi pasar produk olahan cabai masih terbuka luas
3. Dukungan pemerintah pusat dan daerah
4. Kondisi wilayah sebagai sentra produksi cabai Inovasi
teknologi produksi cabai cukup banyak
5. Inovasi teknologi pasca panen, dan pengolahan cabai cukup
banyak
6. Aksesibilitas menuju lokasi usahatani cukup baik
7. Potensi kemitraan dengan lembaga permodalan
8. Potensi kemitraan dengan lembaga pemasaran
1. Persaingan usaha
2. Fluktuasi harga cabai
3. Komoditas cabai perishable
4. Kondisi alam yang tidak
mendukung (iklim, hama)
Sumber: data primer, diolah (2018)
Tabel 4. Matriks SWOT
STRATEGI S-O STRATEGI W-O
1. Meningkatkan produktivitas
2. Memperluas jangkauan pasar
3. Diversifikasi produk
4. Menjaring investor
5. Pembentukan KEP yang berbadan hukum,
mandiri, dan berdaulat
1. Konsolidasi pengelolaan untuk memperluas jangkauan pasar
dan meningkatkan efisiensi produksi
2. Melakukan sertifikasi produk untuk mengembangkan pasar
3. Peningkatan kompetensi pengurus gapoktan dibidang
manajerial untuk menjaring investor dan memperluas pasar
4. Memaksimalkan dukungan pemerintah berupa pelatihan,
modal, dan alsintan
STRATEGI S-T STRATEGI W-T
1. Meningkatkan kualitas produk untuk manjaga
pelanggan tetap dan menjaring pelanggan baru
2. Peningkatan produksi saat off season dan
pengaturan pola tanam
3. Memperkuat pasca panen dan pengolahan cabai
4. Diversifikasi pasar
5. Alih pengetahuan dan teknologi dalam
penanggulangan OPT
6. Penguatan bargaining position petani
1. Konsolidasi lahan dan pengelolaan untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi biaya
2. Melakukan sertifikasi produk olahan untuk menghadapi
persaingan
3. Meningkatkan performa manajemen gapoktan untuk
menghadapi persaingan usaha
4. Ikut serta asuransi pertanian
Sumber: data primer, diolah (2018)
77 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
Jumlah petani anggota dan petani mitra
Gapoktan Mujagi yang cukup besar berefek pada
potensi pasokan cabai yang melimpah. Namun
pasokan tersebut belum terserap seluruhnya
karena gapoktan kekurangan modal untuk
membayar petani secara langsung. Perputaran
uang tunai yang lama akibat sistem pembayaran
tempo dari restoran dan minimarket. Pembayaran
dari supermarket dan minimarket berkisar antara
2 minggu sampai 1 bulan. Hal ini mengakibatkan
petani memilih menjual hasil panen kepada
pengepul/tengkulak. Dengan korporasi,
diharapkan gapoktan mampu menjaring lebih
banyak investor untuk mengatasi masalah
kurangnya modal.
STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA
PERTANIAN CABAI BERBASIS
KORPORASI
Analisis SWOT (Strength, Weakness,
Opportunity, Thread)
Analisis SWOT digunakan untuk
mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan
kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan
ancaman) untuk merumuskan strategi dalam
pengembangan usaha pertanian Gapoktan
Mujagi. Faktor internal merupakan faktor-faktor
yang berasal dari Gapoktan itu sendiri, sementara
faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal
dari luar Gapoktan.
Kekuatan yang dimaksud adalah adalah
segala kelebihan yang dimiliki Gapoktan Mujagi
dalam menjalankan usaha pertaniannya.
Kelemahan adalah keterbatasan yang dimiliki
Gapoktan yang perlu ditindaklanjuti sehingga
dapat ditemukan solusi untuk meminimalkan
dampak kelemahan tersebut. Peluang perlu
dianalisis untuk meningkatkan daya saing dan
menciptakan inovasi baru, serta memperluas
pasar untuk memaksimalkan keuntungan.
Sedangkan ancaman adalah segala sesuatu yang
berasal dari luar sehigga perlu diantisipasi untuk
mencapai tujuan organisasi.
Faktor internal dan eksternal diperoleh
dari hasil observasi, wawancara mendalam, dan
focus discussion group (FGD) yang dilakukan
dengan pengurus, petani anggota gapoktan, dan
petani mitra gapoktan. Data yang terangkum
dapat terlihat pada tabel 3.
Dari faktor internal dan eksternal yang
diperoleh, selanjutnya diformulasikan dalam
matriks SWOT. Hasilnya adalah adanya empat
strategi utama yang merupakan perpaduan dari
faktor internal dan faktor eksternal yang
Gapoktan Mujagi dalama menjalankan usahatani
cabai. Strategi tersebut adalah S-O (Strength –
Opportunities), S-T (Strength – Threats), W-O
(Weakness – Opportunities), dan W-T
(Weakness – Threats). Pilihan strategi tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.
Grand Strategy Matrix
Sebelum melakukan perumusan strategi
dengan Grand Strategy Matrix, terlebih dahulu
dibutuhkan matriks Faktor Strategi Eksternal
atau Eksternal Factor Evaluation (EFE) dan
matriks Evaluasi Faktor Internal atau Internal
Factor Evaluation (IFE).
Oleh karena itu, dibutuhkan pengolahan
data mengenai pembobotan dan penilaian
(rating) untuk setiap faktor tersebut. Nilai
pembobotan dan penilaian dilakukan dengan
wawancara dan mengisi kuesioner dengan
pengurus inti Gapoktan Mujagi.
Matriks EFE adalah suatu matriks yang
menampilkan faktor-faktor eksternal yang
mempengaruhi Gapoktan Mujagi dalam
menjalankan usahanya. Menurut Firdaus (2011),
faktor-faktor eksternal diantaranya faktor
ekonomi, budaya, demografi, lingkungan, politik,
pemerintahan, legalitas, teknologi, dan
persaingan. Berdasarkan hasil pengolahan data
menggunakan Microsoft Office Excel, maka
dihasilkan pembobotan dan penilaian untuk
matriks EFE pada Tabel 5.
78 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83
Total skor yang diperoleh Gapoktan
Mujagi untuk faktor eksternal sebesar 3,19.
Faktor peluang yang dinilai paling penting
adalah potensi kemitraan dengan lembaga
pemasaran dengan skor tertimbang 0,46.
Hal ini menunjukkan bahwa mitra yang
mampu memberikan jaminan harga dan
permintaan yang stabil sangat penting dan
berperan positif bagi pengembangan usaha
pertanian korporasi cabai. Faktor tersebut harus
menjadi prioritas untuk perkembangan usaha
pertanian kedepan.
Dengan pengembangan usaha berbasis
korporasi, potensi bermitra dengan lembaga
pemasaran lainnya semakin terbuka lebar.
dengan berkorporasi, petani akan mencapai skala
usaha yang lebih baik sehingga akan terjadi
peningkatan efisiensi biaya produksi. Selain itu,
korporasi menekankan kepada petani anggota
dan petani mitra untuk lebih memperhatikan nilai
tambah produk melalui penanganan pasca panen
dan pengolahan cabai segar. Hal ini berdampak
positif bagi gapoktan untuk memperluas mitra
pemasaran, tidak hanya lembaga pemasaran yang
bergerak pada penjualan cabai besar, namun juga
pada pemasaran cabai olahan.
Faktor ancaman yang terbesar adalah
komoditas cabai yang perishable dengan skor
sebesar 0,06. Faktor ancaman ini harus dihadapi
dengan kekuatan dan peluang yang ada. Selama
ini petani sudah menguasai beberapa teknik
pasca panen seperti pencucian, sortasi, dan
grading. Pasokan cabai yang melimpah dan sifat
cabai yang perishable mengharuskan gapoktan
memberi perhatian pada kegiatan pasca panen
dan pengolahan cabai.
Selain matriks EFE, diperlukan juga
Matriks Evaluasi Faktor Internal atau IFE yang
menunjukkan kekuatan dan kelemahan yang
terjadi dalam organisasi Gapoktan Mujagi.
Adapun hasil pembobotan dan penilaian untuk
matriks IFE dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan matriks IFE pada Tabel 6
dapat dilihat bahwa total skor yang diperoleh
Gapoktan Mujagi untuk faktor internal sebesar
2,9. Faktor kekuatan yang yang memiliki peran
terbesar adalah pengurus yang terbuka dan solid
dengan skor sebesar 0,36. Faktor tersebut harus
dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Gapoktan.
Tabel 5. Hasil pembobotan dan penilaian matriks EFE
FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING NILAI BOBOT X
RATING
Peluang/Opportunity (O)
1. Potensi pasar cabai segar yang besar dan konstan 0,06 3,6 0,23
2. Potensi pasar produk olahan cabai masih terbuka luas 0,04 2,3 0,09
3. Dukungan pemerintah pusat dan daerah 0,08 4,0 0,30
4. Kondisi wilayah sebagai sentra produksi cabai 0,11 3,7 0,40
5. Inovasi teknologi produksi cabai cukup banyak 0,09 3,7 0,35
6. Inovasi teknologi pasca panen, dan pengolahan cabai
cukup banyak 0,09 3,6 0,31
7. Aksesibilitas menuju lokasi usahatani cukup baik 0,09 2,9 0,27
8. Potensi kemitraan dengan lembaga permodalan 0,13 3,4 0,45
9. Potensi kemitraan dengan lembaga pemasaran 0,13 3,6 0,46
0,82 2,85
Ancaman/Threads (T)
1. Persaingan usaha 0,04 1,7 0,08
2. Fluktuasi harga cabai 0,03 2,3 0,08
3. Komoditas cabai perishable 0,04 1,6 0,06
4. Kondisi alam yang tidak mendukung (iklim, hama) 0,06 2,0 0,13
0,18 0,34
SKOR EFE 1 3,19
Sumber : Data primer, diolah (2018)
79 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
Dengan pengembangan usaha berbasis
korporasi, pengurus yang solid dapat menjadi
cikal bakal manajemen korporasi yang baik.
Adanya kelembagaan yang kuat dan mandiri,
akan berdampak positif terhadap kinerja
Gapoktan. Konsolidasi manajemen yang baik
akan meningkatkan bargaining position petani
dalam menghadapi ancaman persaingan usaha
dan fluktuasi harga di pasar.
Kelemahan terkait manajemen yang
belum stabil dan kompetensi SDM di bidang
manajerial masih rendah adalah permasalahan
yang perlu diselesaikan. Peran pemerintah
sebagai fasilitator adalah melakukan pelatihan
dan pendampingan dalam hal manajemen SDM,
manajemen pemasaran, dan manajemen
keuangan.
Dari matriks IFE diatas juga dapat dilihat
faktor kelemahan terbesar bagi gapoktan adalah
luas lahan garapan yang relatif sempit dengan
skor 0,03. Faktor kelemahan tersebut harus
segera dicarikan solusi yang tepat untuk
menyelesaikannya. Konsep konsolidasi lahan dan
manajemen yang profesional dalam korporasi
dilakukan karena lahan yang dimiliki masing-
masing petani anggota dan petani mitra
berukuran sempit (dibawah 0,5 ha). Dengan
penggabungan lahan, maka pengelolaan akan
lebih efisien. Hal ini dikarenakan mekanisasi
atau mesin modern seperti traktor dan
transplanter akan bisa digunakan pada lahan
yang luas (Irianto, 2015).
Pengelolaan dalam satu manajemen
memungkinkan untuk melakukan perencanaan
yang matang sebelum dilakukan pengadaan input
produksi. Pembelian benih, pupuk, maupun obat-
obatan cukup dilakukan satu kali setiap musim
tanam langsung pada supplier. Biaya transportasi
Tabel 6. Hasil Pembobotan dan Penilaian Matriks IFE
FAKTOR INTERNAL BOBOT RATING NILAI BOBOT X
RATING
Kekuatan/Strenght (S)
1. Ketersediaan input produksi tercukupi 0,06 3,7 0,24
2. Lahan milik sendiri 0,04 3,4 0,12
3. Mata pencaharian utama anggota dan mitra gapoktan
adalah petani hortikultura khususnya cabai 0,06 3,6 0,22
4. Kontinyuitas produksi 0,06 3,4 0,18
5. Jumlah anggota dan petani mitra cukup banyak 0,07 3,3 0,21
6. Karakteristik pengurus yang terbuka dan solid 0,09 3,9 0,36
7. Petani aware terhadap peningkatan nilai tambah
melalui proses pasca panen dan pengolahan produk 0,07 3,6 0,28
8. Kepemilikan peralatan dan mesin produksi dan
pengolahan 0,07 3,1 0,21
9. Kepastian harga dan jumlah permintaan dalam
kontrak 0,08 3,4 0,24
10. Petani anggota dan petani mitra sudah terbiasa
mengikuti aturan pengurus/manajemen Gapoktan
Mujagi
0,07 3,3 0,20
0,66 2,26
Kelemahan/Weakness (W)
1. Luas lahan garapan relatif sempit 0,03 1,43 0,03
2. Kompetensi pengurus di bidang manajerial usaha
rendah 0,06 2,00 0,12
3. Biaya produksi belum efisien 0,04 1,57 0,09
4. Ketersediaan modal kecil 0,04 2,00 0,09
5. Belum ada standardisasi produk olahan 0,04 1,86 0,08
6. Minimya promosi dan inovasi strategi pemasaran 0,04 2,14 0,08
7. Komitmen petani anggota dan petani mitra masih
rendah 0,07 1,83 0,14
0,34 1,43 0,64
SKOR IFE 1 2,90
Data primer, diolah (2018)
80 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83
yang ditanggung secara kolektif dan perbedaan
harga input produksi yang lebih rendah akan
menekan pengeluaran biaya produksi sehingga
terjadi efisiensi biaya.
Hasil perhitungan nilai faktor-faktor
internal dan eksternal pada usaha pertanian cabai
yang dikelola Gapoktan Mujagi terlihat pada
Gambar 4 yang menunjukkan Matriks Grand
Strategi usaha pertanian cabai Gapoktan Mujagi.
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh skor
EFE dan IFE sebesar 3,19 dan 2,9. Posisi
tersebut berada pada Kuadran I (Bidang Kuat-
Berpeluang).
Posisi usaha petanian cabai di bawah
pengelolaan Gapoktan Mujagi merupakan posisi
yang sangat strategis bagi pengembangan
usahatani cabai berbasis korporasi, karena
peluang pengembangan yang tinggi didukung
oleh kekuatan yang juga tinggi. Strategi yang
dapat diterapkan pada kondisi ini adalah strategi
pertumbuhan agresif (Growth Oriented Strategy).
Menurut David (2006), Pada posisi ini,
Gapoktan Mujagi seharusnya melakukan strategi
agresif. Strategi yang dapat dipakai meliputi
pengembangan pasar, pengembangan produk,
penetrasi pasar, integrasi ke belakang, integrasi
ke depan, dan diversifikasi konsentrik.
Berdasarkan hasil analisis SWOT dan
Grand Strategy Matrix, dihasilkan beberapa
strategi yang dapat diterapkan. Strategi tersebut
merupakan strategi agresif, dengan
memanfaatkan kekuatan internal dan peluang
yang ada untuk mengembangkan usaha pertanian
cabai berbasis korporasi. Strategi tersebut adalah:
1. Meningkatkan produktivitas (S1, S2, S3, S4,
S8, S10, O1, O2, O5)
Wilayah Pacet dan sekitarnya adalah
salah satu sentra produksi cabai dengan sebagian
besar penduduknya bermata pencaharian utama
sebagai petani hortikultura khususnya cabai. Ini
adalah potensi yang bisa dimanfaatkan dalam
pengembangan usahatani cabai. Konsep
korporasi yang bisa diterapkan adalah
konsolidasi manajemen dalam pengelolaan lahan
bersama secara profesional. Konsep ini sangat
memungkinkan mengingat petani adalah pemilik
lahan yang bisa mengambil keputusan secara
mandiri.
Potensi pasar cabai segar dan cabai
olahan yang masih terbuka lebar menjadi satu
kesempatan untuk mengembangkan usaha
pertanian cabai. Kontinuitas produksi dan
ketersediaan input produksi, sumber air,
peralatan yang memadai, dan teknik budidaya
yang baik merupakan kekuatan yang bisa
dimanfaatkan.
Dengan menerapkan korporasi, kekuatan
dan peluang tersebut dipadukan dengan
pengelolaan yang profesional diharapkan akan
mengoptimalkan output sehingga terjadi
peningkatan produktivitas. Petani anggota dan
petani mitra yang sudah terbiasa mengikuti
Gambar 4. Matriks Grand Strategy
81 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
aturan pengurus/manajemen akan memudahkan
konsep tersebut dilakukan.
Dukungan BBP2TP terhadap usaha
pertanian korporasi bisa diwujudkan dalam insert
teknologi yang sesuai. Karakteristik petani yang
terbuka dalam menerima inovasi baru akan
semakin mempercepat peningkatan produktivitas
cabai.
2. Memperluas jangkauan pasar (S4, S7, O1,
O2, O4, O6, O7, O9)
Jumlah anggota dan petani mitra yang
cukup banyak menghasilkan produksi cabai yang
melimpah dan kontinyu. Konsolidasi dalam
konsep korporasi memungkinkan pengelolaan
pasokan cabai yang melimpah dan kontinyu
tersebut dalam satu manajemen, sehingga
diharapkan dapat menjangkau pasar yang lebih
luas.
Selain pasar cabai segar, kekuatan
internal dimana petani dan pengurus aware
terhadap peningkatan nilai tambah dalam proses
pasca panen dan pengolahan produk juga bisa
dimanfaatkan dengan optimal. Hal ini
dikarenakan Cianjur sebagai salah satu sentra
produksi cabai sehingga sangat memungkinkan
insert inovasi teknologi pasca panen dan
pengolahan cabai. Selain itu, aksesibilitas
menuju lokasi usahatani cukup baik sehingga
sangat berpotensi menjaring kemitraan dengan
lembaga pemasaran untuk menjangkau pasar
yang lebih luas.
3. Diversifikasi produk (S4, S7, S8, O2, 03,
06)
Potensi pasar produk olahan cabai masih
terbuka luas merupakan peluang bagi usaha
pertanian cabai. Kontinyuitas produksi dari
petani mitra dan petani anggota gapoktan,
kepemilikan peralatan dan mesin pengolahan,
disertai kemampuan penanganan pasca panen
dan pengolahan produk cabai akan berpotensi
untuk dilakukannya diversifikasi produk. Dari
yang semula hanya bergerak dalam pemasaran
cabai segar, ke depannya akan berupaya
memenuhi permintaan pasar produk cabai
olahan.
Hal ini adalah upaya diharapkan
berpengaruh positif terhadap pendapatan petani.
Dukungan pemerintah terhadap usaha pertanian
korporasi dapat diwujudkan dalam bentuk
bantuan alsintan dan bimtek teknologi pasca
panen dan pengolahan cabai.
4. Menjaring investor (S4, S6, S9, O3, O7, O8)
Dengan produksi yang melimpah dan
kontinyu, serta pengelolaan budidaya dalam
manajemen yang profesional, mengindikasikan
bahwa usaha ini berprospek cerah untuk
dikembangkan. Selain itu, kelembagaan yang
sudah berjalan cukup baik, dengan struktur
organisasi dan pengurus yang solid menjadi
kekuatan bagi usaha pertanian cabai yang
dikelola Gapoktan Mujagi.
Selain itu, aksesibilitas menuju lokasi
yang cukup baik, telah terjalinnya beberapa
kontrak pemasaran yang sudah berjalan, dan
pengelolaan laporan keuangan yang baik dapat
dimanfaatkan dalam menarik investor yang
berminat menanamkan modal. Dukungan
pemerintah pusat dan daerah disini adalah
sebagai fasilitator antara korporasi petani agar
dapat bermitra dengan lembaga permodalan.
5. Pembentukan kelembagaan ekonomi petani
yang berbadan hukum, mandiri, dan
berdaulat (S5, S6, S10, O3, O8, O9)
Jumlah anggota dan petani mitra yang
cukup banyak dan telah terbiasa mengikuti
aturan pengurus/manajemen berpotensi untuk
dikembangkan dalam suatu wadah organisasi.
Selain itu, karakteristik pengurus yang terbuka
dan solid juga merupakan kekuatan yang
mendorong terbentuknya satu lembaga ekonomi
petani yang berbadan hukum, mandiri, dan
berdaulat.
Dukungan pemerintah pusat dan daerah
diharapkan dapat membantu penguatan
kelembagaan korporasi petani tersebut. Dengan
kelembagaan yang kuat, potensi
mengembangkan usaha pertanian berbasis
korporasi menjadi lebih mudah dilakukan.
Dengan kelembagaan, potensi bermitra dengan
lembaga permodalan dan lembaga pemasaran
akan semakin terbuka lebar.
82 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:71-83
KESIMPULAN
Karakteristik usahatani cabai yang
dikelola Gapoktan Mujagi meliputi mayoritas
umur petani 15-60 tahun (95%), pengalaman
petani 10-20 tahun (41%), luas lahan sempit
(dibawah 0,5 ha), ketersediaan air memadai,
infrastruktur jalan baik, pekerjaan dan
pendapatan utama dari bertani. Produktivitas
rata-rata petani 10 Ton per ha. Gapoktan sudah
memahami pentingnya proses pasca panen dan
pengolahan. Gapoktan memasarkan hasil panen
petani anggota dan petani mitra ke pasar modern
dan tradisional.
Strategi pengembangan usahatani cabai
yang dikelola Gapoktan Mujagi berbasis
korporasi terdiri dari peningkatan produktivitas,
memperluas jangkauan pasar, diversifikasi
produk, menjaring investor, dan pembentukan
kelembagaan ekonomi petani yang berbadan
hukum, mandiri, dan berdaulat.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik tanaman
sayuran dan buah-buahan semusim. BPS.
Jakarta.
Budiman, S. 2013. Pengolahan dan analisis data
dalam penelitian kualitatif. Makalah
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Univeritas Islam Negeri Sumatera Utara.
Medan.
Cahyono, B. 2003. Cabai rawit teknik budidaya
dan analisis usaha tani. kanisius. Jakarta.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2017. Laporan
kinerja Direktorat Jenderal Hortikultura
TA 2016. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan
Biofarmaka. 2007. Standar operasional
prosedur cabai merah. Kementerian
Pertanian. Jakarta.
David, Fred R. 2006. Manajemen strategi .Ed.
10. Salemba Empat. Jakarta.
Fahmi, I. 2013. Manajemen strategis teori dan
aplikasi. Alfabeta. Bandung.
Firdaus, F. 2011. Perumusan strategi bersaing
pada industri transportasi trayek Jakarta-
Bandung: Studi Kasus PT. Primajasa
Perdanarayautama. Skripsi Program Studi
Teknik Industri. Fakultas Teknik.
Universitas Indonesia. Depok.
Irianto, Sumarjo G. 2015. Pedoman teknis
pengembangan optimasi lahan APBN-P
TA. 2015. Direktorat Perluasan dan
Pengelolaan Lahan. Direktorat Jenderal
Prasarana dan Sarana Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
Maflahah, I. 2010. Studi kelayakan industri cabe
bubuk di Kabupaten Cianjur. Jurnal
Jurusan Teknologi Pertanian. Universitas
Trunojoyo. Madura. Embryo 7(2): 90-96
Musthofa, I. dan Ganjar K. 2013. Prospek
penerapan sistem Corporate faming (Studi
Kasus di Koperasi Pertanian Gerbang
Emas, Desa Cibodas, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Jurnal Universitas Padjadjaran. Bandung.
Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT: teknik
membedah kasus bisnis. Gramedia.
Jakarta.
Said, E. Gumbira dan I. A. Haritz. 2001.
Manajemen agribisnis. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Saptana, N.K. Agustin, dan A.M. Ar-Rozi. 2012.
Kinerja produksi dan harga komoditas
cabai. Laporan Akhir Anjak. PSEKP.
Bogor.
Sitanggang, L. K. 2002. Kemungkinan penerapan
corporate farming guna keberlanjutan
usaha produksi padi sawah (Studi Kasus:
Kecamatan Katapang dan Soreang,
Kabupaten Bandung). Tugas Akhir
Departemen Teknik Planologi. Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
Sugiyono. 2005. Metode penelitian bisnis.
alfabeta. Bandung.
Suratiyah, K. 2015. Ilmu usahatani (Edisi
Revisi). Penebar Swadaya. Jakarta.
Tim Pemantauan dan Pengendalian inflasi Bank
Indonesia 2017. Release Note Inflasi
Desember 2016: Inflasi 2016 Cukup
Rendah dan Berada dalam Batas Bawah
Sasaran Inflasi Bank Indonesia. Bank
Indonesia. Jakarta.
83 Strategi Pengembangan Usaha Pertanian Cabai Berbasis Korporasi pada Gapoktan Mujagi
Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur (Endang Pudji Astuti dan Lira Mailena)
Wahyuni, S dan T. Pranadji. 2015. Konsep,
implementasi, dan faktor penentu
keberhasilan program konsolidasi
usahatani.
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jmagr
Nomor DOI: 10.17358/JMA.12.1.14
Wibowo, R. 2004. Koperasi dan korporasi
petani: kunci pembuka pengembangan
agribisnis berdaya saing, berkerakyatan,
dan berkeadilan. Universitas Jember.
Jember.
85 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
INOVASI TEKNOLOGI BUDI DAYA DAN PENGOLAHAN HASIL UNTUK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PANGAN LOKAL PAPUA BARAT
Junita Br Nambela1 dan Aser Rouw2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua Barat
Jalan Brigjen (Purn) Abraham O. Atururi, Komplek Kantor Gubernur Manokwari
Kodepos 98312 Telepon & Fax : (0986) 2210832
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Innovation in Yield Processing Technology to Increase Local Food Productivity in West Papua. West
Papua is known to have the potential of high local food as a non-rice alternative food source. On the other hand
the status of the average food security is only enough. The focus of the development problem is the lack of absorption
of adoption of technological innovations to increase the productivity of local food in West Papua. The purpose of
this study was to find out the types of local food, distribution, and production potential as well as alternative
cultivation technologies and yield processing to increase the productivity of local food commodities. Based on the
search for various research reports, articles, books, and other supporting documents, the results showed that: there
were seven types of local food substitutes for rice consumed by the people of West Papua, namely: sago, cassava,
sweet potato, banana, corn, taro and breadfruit. The district that produced sago in West Papua were Sorong, Raja
Ampat, and South Sorong districts. While the biggest cassava producing districts are Sorong, Manokwari, and
Maybrat. In addition, the three biggest sweet potato producing districts are Sorong, Manokwari and Maybrat. The
biggest banana producing districts were Sorong City, South Sorong, and Bintuni Bay. Finally, the district producing
breadfruit was South Sorong. The productivity of local food in West Papua is still far from national, so it requires
the support of technological innovation to increase the rate of productivity for the welfare of local food farmers and
increase regional food security.
Keywords: availability of food technology, food cultivation technology, food processing technology, local food of
West Papua
ABSTRAK
Papua Barat dikenal memiliki potensi pangan lokal yang tinggi sebagai sumber pangan alternatif non beras.
Di sisi lain status rata-rata ketahanan pangannya hanya cukup. Titik berat permasalahan pengembangannya adalah
minimnya serapan adopsi inovasi teknologi untuk peningkatan produktivitas pangan lokal di Papua Barat. Tujuan
dari studi ini adalah untuk mengetahui jenis-jenis pangan lokal, sebaran, dan potensi produksi serta alternatif
teknologi budidaya dan pengolahan hasil untuk meningkatkan produktivitas komoditas pangan lokal. Berdasarkan
dari penelusuran berbagai laporan penelitian, artikel, buku, dan dokumen pendukung lainnya diperoleh hasil bahwa:
terdapat tujuh jenis pangan lokal pengganti beras yang dikonsumsi oleh masyarakat Papua Barat yaitu: sagu, ubi
kayu, ubi jalar, pisang, jagung, talas dan sukun. Kabupaten yang menghasilkan sagu di Papua Barat yaitu Kabupaten
Sorong, Raja Ampat, dan Sorong Selatan. Kabupaten penghasil ubi kayu terbesar adalah Sorong, Manokwari, dan
Maybrat. Di samping itu, tiga kabupaten penghasil ubi jalar terbesar adalah Sorong, Manokwari, dan Maybrat.
Kabupaten penghasil pisang terbesar adalah Kota Sorong, Sorong Selatan, dan Teluk Bintuni. Kabupaten penghasil
sukun adalah Sorong Selatan. Produktivitas pangan lokal Papua Barat masih jauh dari nasional sehingga diperlukan
dukungan inovasi teknologi untuk meningkatkan laju produktivitas untuk kesejahteraan petani pangan lokal dan
peningkatan ketahanan pangan daerah.
Kata kunci: teknologi budi daya pangan, teknologi pengolahan hasil pangan, pangan lokal Papua Barat
86 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
PENDAHULUAN
Papua barat, sebagaimana provinsi
induknya Papua, dikenal memiliki potensi pangan
lokal yang tinggi. Meskipun demikian, status rata-
rata ketahanan pangan masih pada status cukup.
Menurut Badan Ketahanan Pangan pada tahun
2015, secara nasional Papua Barat masih
dikategorikan wilayah dengan kerentanan pangan
yang tinggi yaitu masuk prioritas 2 (Gambar 1).
Hal ini disebabkan ketergantungan daerah yang
tinggi terhadap pasokan pangan beras dari luar
daerah seperti Jawa, Sulawesi bahkan dari luar
negeri. Untuk mengurangi bahkan bila
memungkinkan menghilangkan ketergantungan
pemenuhan kebutuhan pangan dari luar wilayah
diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan
kapasitas produksi pangan sendiri, baik pangan
strategis seperti beras maupun pangan lokal
(Sumedi dan Djauhari, 2016). Dengan kata lain,
diversifikasi pangan melalui peningkatan
konsumsi pangan lokal dapat meningkatkan
ketahanan pangan daerah dan mengurangi
ketergantungan tersebut.
Tingkat kerentanan terhadap kerawanan
pangan dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan
peta kerentanan pangan di Indonesia pada
Gambar 1 diperoleh informasi bahwa seluruh
kabupaten yang paling rentan pangan (Prioritas 1)
berada di provinsi Papua. Kebanyakan kabupaten
di Papua Barat masuk dalam Prioritas 2 kecuali
kabupaten Fakfak. Kabupaten Fakfak sudah
cukup baik ketahanan pangannya dan hanya
masuk dalam wilayah prioritas 5. Akses fisik dan
ekonomi terhadap pangan merupakan
permasalahan utama di wilayah miskin dan
terpencil.
Optimalisasi pengembangan teknologi
budi daya dan pengolahan hasil pangan lokal
seharusnya lebih difokuskan. Hal ini dikarenakan
ketersediaan pangan lokal diproduksi oleh bangsa
sendiri cukup beragam tapi produktivitas dan
pengolahan hasilnya masih sangat terbatas. Di
samping itu, kehadiran inovasi teknologi sudah
terbukti dapat mendongkrak kenaikan
produktivitas komoditas pertanian. Terobosan-
terobosan teknologi peningkatan produktivitas
dilakukan melalui perbaikan teknologi baik dari
Gambar 1. Peta Kerentanan Pangan di Indonesia
Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2015)
87 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
aspek varietas maupun pengelolaan budi daya
termasuk pengelolaan budi daya pangan lokal
(Badan Litbang Pertanian, 2018).
PRODUKSI DAN KONSUMSI PANGAN
LOKAL PAPUA BARAT
Kebiasaan makan merupakan cara-cara
individu/kelompok masyarakat dalam memilih,
mengkonsumsi dan menggunakan bahan makanan
yang tersedia berdasarkan latar belakang sosial
budaya dimana mereka hidup (Datu, 2012). Pola
makan masyarakat di Indonesia pada umumnya
diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang
umum dan dapat diproduksi setempat. Pola
pangan masyarakat di pulau Papua (termasuk
Papua Barat) pada umumnya berpola pangan
pokok sagu. Hal ini karena jenis tanaman pangan
sagu banyak tumbuh di wilayah tersebut
walaupun tidak dibudi-dayakan secara khusus
oleh masyarakat setempat. Jenis tanaman pangan
yang diusahakan petani adalah ubi jalar, ubi kayu,
dan keladi (Wasaraka dan Madanijah, 2011).
Tanaman pangan lokal yang telah
dimanfaatkan masyarakat Papua (dalam hal ini
Papua dan Papua Barat) sebagai sumber pangan
secara turun-temurun adalah umbi-umbian (ubi
jalar, talas, gembili), sagu, dan jawawut (Rauf dan
Lestari, 2009). Bahkan di Papua pisang
merupakan subsitusi makanan pokok, seperti di
beberapa negara di Afrika (Badan Litbang
Pertanian, 2008). Widjaja et al., (2014)
menjelaskan bahwa terdapat 1.702 aksesi ubi jalar
di Papua dan sudah dilepas sebanyak 17 varietas
ubi jalar. Sedangkan menurut Widati (2016)
komoditas pangan yang terdapat di Provinsi
Papua Barat adalah padi, ubi jalar, ubi kayu,
jagung, sagu, aneka kacang, sayuran dan hasil
ternak serta ikan.
Diantara 13 kabupaten/ kota di Papua
Barat, Kabupaten Pegunungan Arfak memiliki
potensi unggulan pertanian tanaman pangan
seperti padi ladang, jagung, dan palawija serta
tanaman hortikultura seperti kentang dan sayuran
(Sagrim et al., 2017).
Di Papua (provinsi Papua dan Papua
Barat) makanan pokok berupa tepung sagu yang
dipanen dari sagu yang ditanam dan sagu liar
(Metroxylon sagu). Jenis bahan pangan lainnya
adalah pisang (Musa sp.), ubi jalar (Ipomoea
batatas), singkong (Manihot esculenta) dan
beberapa jenis sayuran hijau (Boissière etal.,
2005).
Pada Tabel 1 disajikan data produksi, luas
panen, produktivitas pangan lokal Papua Barat,
dan produktivitas pangan lokal Indonesia tahun
2011 – 2017. Berdasarkan data produksi dan luas
panen diperoleh gambaran produktivitas pangan
lokal provinsi Papua Barat yang masih jauh dari
rata-rata nasional. Hal tersebut dapat kita lihat
pada Tabel 1 yaitu pada komoditas jagung, ubi
kayu, dan ubi jalar. Untuk hal inilah mutlak peran
teknologi dibutuhkan. Inovasi teknologi
diharapkan dapat memperkecil nilai senjang
tersebut dan meningkatkan ketahanan Papua
Barat untuk waktu mendatang.
Jika dilihat dari segi kandungan gizi
bahan makanan, pangan lokal tidak kalah dari
beras (Anonim, 2013). Kandungan kalori aci sagu
hampir sama dengan beras. Selain itu, kandungan
protein ubi jalar juga sama dengan beras. Dari
kadar karbohidratnya tapioka dan aci sagu
memiliki kadar karbohidrat lebih tinggi daripada
beras. Kelebihan lainnya yaitu semua jenis pangan
lokal memiliki kandungan kalsium yang jauh
lebih besar dibanding beras (Tabel 2).
88 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
Produksi pangan padi di Indonesia Timur
(Maluku dan Papua) dalam hampir lima dekade
terakhir hampir konsisten mengalami peningkatan
walaupun terjadi penurunan beberapa kali tetapi
tidak signifikan. Berbeda halnya dengan ubi kayu
yang produksinya cenderung tetap. Sementara
Tabel 1. Produksi, luas panen, dan produktivitas pangan lokal Papua Barat tahun 2011 – 2017
Komoditas Tahun Produksi
(Ton) Luas Panen (Ha)
Produktivitas Papua
Barat (Ton/Ha)
Produktivitas
Nasional (Ton/Ha)
Jagung
2011 2049 1199 1,71 4,56
2012 2138 1250 1,71 4,89
2013 2138 1250 1,71 4,84
2014 2450 1421 1,72 4,95
2015 2264 1307 1,73 5,17
2016 na na Na na
2017 2148 1202 1,79 na
Ubi Kayu
2011 20440 1744 0,09 20,29
2012 9748 844 0,09 21,40
2013 12218 1082 0,09 22,46
2014 11169 992 0,09 23,35
2015 13101 1157 0,09 22,95
2016 na na Na na
2017 10783 942 0,09 na
Ubi Jalar
2011 10410 1018 0,10 12,32
2012 10646 1029 0,10 13,92
2013 14901 1343 0,09 14,74
2014 11826 1080 0,09 15,20
2015 11181 987 0,09 16,05
2016 na na Na na
2017 12385 1046 0,08 na
Sagu
2011 594 na Na na
2012 594 na Na na
2013 602 na Na na
2014 1957 843 0,43 na
2015 2357 843 0,36 na
2016 na na Na na
2017 5073 7264 1,43 na
Pisang
2011 2609 na Na na
2012 5452 na Na na
2013 1884 na Na na
2014 16142 na Na na
2015 2091 na Na na
2016 15321 na Na na
2017 6462 na Na na
Sukun
2011 231 na Na na
2012 468 na Na na
2013 231 na Na na
2014 1937 na Na na
2015 302 na Na na
2016 1538 na Na na
2017 1454 na Na na
Talas
2011 2609 na Na na
2012 5452 na Na na
2013 1884 na Na na
2014 16142 na Na na
2015 na na Na na
2016 15321 na Na na
2017 6462 na Na na
Sumber: BPS, 2018
Keterangan: na = data tidak tersedia
89 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
untuk jagung dan ubi jalar produksinya cenderung
fluktuatif yang bisa saja disebabkan permintaan
pasar yang besar (misalnya industri) atau memang
kondisi harga yang cukup baik yang membuat
petani menanam dalam waktu yang relatif sama.
SEBARAN POTENSI PRODUKSI PANGAN
LOKAL PAPUA BARAT
Jenis pangan lokal yang terdapat di Papua
Barat sangat banyak jenisnya. Tetapi ada tujuh
jenis pangan lokal yang paling diminati
masyarakat Papua Barat yaitu: sagu, ubi kayu, ubi
jalar, pisang, jagung, talas, dan sukun. Ketujuh
Tabel 2. Tabel perbandingan kandungan gizi berbagai bahan makanan
No Kandungan Gizi Beras Terigu Ubi Kayu Sukun Jagung Tapioka Aci Sagu Kentang Ubi Jalar Talas
1 Kalori (kal) 360 365 146 108 136 362 353 83 123 98
2 Protein (g) 6,8 8,9 1,2 1,3 1,1 0,5 0,7 2 1,8 1,9
3 Lemak (g) 0,7 1,3 0,3 0,3 0,4 0,3 0,2 0,1 0,7 0,2
4 Karbohidrat (g) 78,8 77,3 34,7 28,2 32,3 86,9 84,7 19,1 27,9 23,7
5 Kalsium (mg) 6 16 33 21 57 0 11 11 30 28
6 Fosfor (mg) 140 106 40 59 52 0 13 56 0 61
7 Zat Besi (mg) 0,8 1,2 0,7 0,4 0,7 0 1,5 0,7 0 1
8 Vitamin A (SI) 0 0 0 0,12 900 0 0 0 7000 3
9 Vitamin B-1 0,12 1,12 0,06 0,06 0,1 0 0 0,11 0 4
10 Vitamin C (mg) 0 0 30 17 35 0 0 17 22 0,13
11 Air 13 12 62,5 70,65 0 12 14 77,8 0 73
12 Bagian yang
dapat dimakan
100 100 75 90 100 100 100 85 75 85
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Gambar 2. Produksi tanaman pangan di wilayah Maluku & Papua (ton)1970-2016.
Sumber: Anonim (2018)
90 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
komoditas tersebut menggantikan fungsi beras
sebagai pangan pokok (Gambar 3).
Daerah penghasil sagu di Indonesia
berdasarkan Gambar 4 antara lain: Riau
(Kabupaten Pekanbaru), Kepulauan Riau
(Kabupaten Karimun dan Natuna), Kalimantan
Barat (Kabupaten Pontianak), Kalimantan Tengah
(Kabupaten Sampit), Sulawesi Tengah
(Kabupaten Parigi Moutong dan Poso), Sulawesi
Tenggara (Kota Kendari), Sulawesi Utara
(Kabupaten Sangihe), Maluku (Kota Ambon,
Seram Bagian Timur, dan Maluku Tengah), Papua
(Kabupaten Keerom dan Jayapura), dan Papua
Barat (Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan)
Gambar 3. Jenis-jenis pangan lokal Papua Barat ubi kayu, sagu, sukun, pisang, talas, jagung dan ubi jalar
Gambar 4. Potensi produksi sagu di Indonesia
91 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
(PKP BKP, 2011). Peta potensinya tersaji dalam
gambar 4.
Areal sagu terkonsentrasi sangat besar di
Kawasan Timur Indonesia yang mencapai 95,9%
sedangkan di Kawasan Barat Indonesia hanya
sekitar 4,1% saja. Hutan sagu tersebut tersebar di
pulau Papua seluas 1,2 juta hektar dan Maluku
seluas 50 ribu hektar serta 148 ribu hektar sagu
semi budi daya yang tersebar di Papua, Maluku,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Kepualauan
Riau dan Kepulauan Mentawai (Tirta, et al.,
2013).
Sagu di lndonesia termasuk di Papua
Barat umumnya masih dibudidayakan secara
tradisional dan dapat dikatakan masih tumbuh
secara liar. Petani sagu umumnya belum
melaksanakan teknik budidaya seperti pada
tanaman lainnya seperti umbi umbian atau
serealia. Budidaya sagu di Indonesia masih
menuntut teknik budidaya yang lebih intensif
(Muhidin, 2008). Gambaran sistem produksi,
pengolahan dan pemanfaatan hutan sagu di Papua
Barat secara umum digambarkan seperti pada
Tabel 3.
Menurut Hariyanto et al., (2013) pada
saat ini, sistem pengolahan hasil sagu di Papua
Barat yang dilakukan oleh masyarakat masih
sangat sederhana. Pemanfaatan hasil sagu
ditujukan hanya untuk pemenuhan pangan harian
masing-masing keluarga yang dilakukan secara
tradisional. Nilai ekonomi dan nilai manfaat dari
sagu dapat menjadi sangat besar manakala
dimasukkan inovasi teknologi dalam pertanaman
dan pengolahannya.
Kabupaten penghasil sagu berdasarkan
Gambar 5 tersebar di Kabupaten Sorong (4.655
ton), Raja Ampat (1.098 ton), Sorong Selatan
(1.060 ton), dan Teluk Bintuni (451 ton). Di
samping itu, tiga daerah penghasil ubi kayu
terbesar adalah Sorong (4.351 ton), Manokwari
(1.773 ton), dan Maybrat (1.010 ton). Tiga daerah
penghasil ubi jalar terbesar adalah Sorong (4.942
ton), Manokwari (2.714 ton), dan Maybrat (1.710
ton). Tiga daerah penghasil sukun adalah Sorong
Selatan (1.157 ton), Kota Sorong (250 ton), dan
Maybrat (23 ton). Tiga daerah penghasil pisang
terbesar adalah Kota Sorong (2.302 ton), Sorong
Selatan (1.671 ton), dan Teluk Bintuni (1.614
ton).
Selain sagu, pangan penting lainnya di
Papua Barat adalah betatas atau ubi jalar.
Produktivitas ubi jalar yang rendah di tingkat
petani disebabkan oleh teknologi budi daya yang
digunakan masih sederhana dan menggunakan
varietas lokal yang pada umumnya potensi
produksinya rendah serta rentan terhadap hama
dan penyakit tanaman (Widodo dan
Rahayuningsih, 2009).
Menurut Limbongan dan Soplanit (2007)
langkah operasional yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan tanaman pangan diantaranya
penyediaan benih bermutu atau varietas unggul,
pemupukan berimbang, penyediaan sarana
produksi, perluasan areal tanam dan optimalisasi
pemanfaatanlahan, pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT), serta penanganan
panen dan pascapanen. Teknologi untuk
mendukung program tersebut telah tersedia dan
siap diimplementasikan di lapangan.
Pengolahan merupakan suatu kegiatan
atau rentetan kegiatan terhadap suatu bahan
mentah untuk dirubah bentuknya dan atau
Tabel 3. Sistem Produksi, Pengolahan dan Pemanfaatan Hutan Sagu di Papua Barat
No Keadaan Sistem Produksi Pengolahan Pemanfaatan
1. Keadaan saat ini Tanaman sagu
masih dikelola
secara subsisten
Pati sagu diolah dalam
bentuk tradisional
(papeda, bagea, sagu
lempeng dll)
Hutan sagu dibiarkan
saja dan hasil pati sagu
dari hutan sagu kembali
ke alam
2. Keadaan yang
diinginkan
Tanaman sagu dikelola
secara industri
Pati sagu diolah dalam
bentuk bahan baku
industri, dibuat mie dll
Hutan sagu dikelola
menjadi kebun sagu
sebagai penyedia bahan
baku industri
Sumber: Hariyanto, et.al., 2013
92 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
komposisinya yang dapat memberi nilai tambah,
menghasilkan produk yang dapat dipasarkan/
digunakan atau dimakan, menambah daya
simpan, dan dapat meningkatkan pendapatan dan
keuntungan produsen (Ruku et al., 2009).
Pengolahan pangan lokal merupakan salah satu
wujud pengembangan pertanian bio industri yang
hasil akhirnya peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani.
KETERSEDIAAN INOVASI TEKNOLOGI
PANGAN LOKAL
Ketersediaan inovasi teknologi pangan
lokal dari masing-masing komoditas yang terdiri
dari 3 aspek yaitu budi daya,
mekanisasi/keteknikan, dan pengolahan hasil
dengan membandingkan teknologi
lokal/indigenous yang telah ada di masyarakat
secara turun temurun dan teknologi
introduksi/baru yang diperkenalkan baik oleh
Pemerintah maupun pihak swasta. Ketersediaan
inovasi teknologi baru/introduksi sangat beragam.
Berbagai inovasi teknologi tersebut jika
dimanfaatkan secara baik, diharapkan mampu
memperbaiki produktivitas dan kualitas pangan
lokal Papua Barat pada masa yang akan datang.
Dari aspek budidaya, secara umum, pemilihan
bahan tanam atau varietas unggul dan aplikasi
pupuk/amelioran berimbang merupakan solusi
yang dapat digunakan. Dari aspek pengolahan
hasil, pengembangan pengolahan pangan lokal ke
arah bio industri harus didesain untuk peningkatan
kualitas dan nilai ekonomis pangan lokal itu
sendiri.
Komoditas sagu merupakan jenis pangan
lokal utama masyarat pulau Papua. Jika ditinjau
dari aspek budidaya teknologi lokal perbanyakan
dilakukan dari anakan tanaman induk atau sering
disebut abut, sedangkan teknologi introduksi
dilakukan secara in vitro. Pada pertanaman
masyarakat lokal belum ada penggunaan pupuk
dan pestisida atau budi daya dilakukan secara
organik. Sementara pada budi daya introduksi,
aplikasi pupuk dan amelioran secara berimbang
harus dilakukan untuk produktivitas yang optimal.
Dari aspek mekanisasi/keteknikan pengolahan
sagu eksisiting dilakukan secara manual
menggunakan tenaga manusia sedangkan pada
teknologi introduksi sudah terdapat mesin
pengolah dan penepung sagu sehingga lebih cepat
dan praktis. Dari aspek pengolahan hasil, pasca
panen dan penyimpanan sagu masih dilakukan
secara tradisional oleh masyarakat lokal, contoh
kasusnya di Kabupaten Sorong Selatan.
Sedangkan teknologi intoduksi yang ingin
Gambar 5. Sebaran produksi pangan lokal di Papua Barat tahun 2017
Sumber: BPS (2018)
0500
1000150020002500300035004000450050005500
Pro
du
ksi (
Ton
)
Kabupaten/Kota
Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Jagung Sukun Pisang
93 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
diperkenalkan yaitu pengolahan hasil menjadi
produk pangan, bio energi (bio ethanol) maupun
bio plastik/biodegradable plastic.
Untuk komoditas umbi-umbian baik ubi
kayu, ubi jalar, maupun talas/keladi. Dari aspek
budidaya teknologi eksisting milik masyarakat
antara lain: bahan tanam didapatkan dari setek
batang tanaman induk dari pertanaman
sebelumnya; budi daya dilakukan secara organik;
sistem ladang berpindah untuk mengembalikan
kesuburan tanah; dan sistem tumpang sari dan
tumpang gilir. Teknologi baru yang dapat
diperkenalkan kepada petani antara lain:
Penggunaan varietas unggul atau bahan tanam
(setek) berkualitas; pengaturan populasi tanaman
atau jarak tanam; serta pemupukan berimbang
sesuai keadaan tanah dan tanaman. Dari aspek
mekanisasi/keteknikan yang ingin diperkenalkan
adalah teknologi alat pengolahan ubi kayu yang
terdiri dari 5 macam yaitu penyawut (slicer),
pengatus (spinner), pengering (driyer), penepung,
dan pengayak. Dari aspek teknologi hasil dan
pengolahan, teknologi yang modern yaitu
pengolahan lebih lanjut ubi kayu menjadi aneka
produk pangan dan bio energi. Hanya saja untuk
ubi jalar sangat jarang diolah menjadi energi.
Perbedaan lainnya, pada ubi jalar pada budi daya
lokal dilakukan pemanenan dengan sistem
kuming yaitu memanen umbi yang berukuran
besar terlebih dahulu dan membiarkan/menutup
kembali umbi yang kecil.
Komoditas sukun dari aspek budidaya,
teknologi eksisting yaitu pertanaman yang
dilakukan secara polikultur dan pemanenan
dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan. Dari
aspek pengolahan hasil, masyarakat lokal biasa
mengolah sukun dengan digoreng atau direbus
saja, sedangkan teknologi baru dapat menjadikan
sukun menjadi olahan pangan yang enak dan
menarik seperti stik/keripik, mie, brownis dan
aneka kue.
Untuk komoditas pisang, teknologi lokal
indigenous dari aspek budi daya termasuk
perbanyakan tanaman dari anakan dan budidaya
pisang yang dilakukan secara polikultur seperti
yang dilakukan masyarakat Pengunungan Arfak
untuk ketahanan pangan serta pemanenan
dilakukan setelah buah tua atau masak di pohon.
Teknologi introduksi aspek budi daya antara lain:
teknologi kultur jaringan pisang untuk
perbanyakan, budi daya monokultur, serta
pemanenan dengan derajat ketuaan 75-85%
sehingga kualitas buah cukup baik dan daya
simpan cukup lama. Aspek teknologi hasil dan
pengolahan meliputi produk olahan pangan dan
cemilan dari pisang seperti: tepung pisang,
keripik, sale, puree, pasta/jam, ledre, getuk, jus,
dan nugget pisang.
Pada komoditas jagung, petani lokal
menggunakan teknologi yang sederhana seperti
bertani tanpa pupuk dan bahan kimia, melakukan
shifting cultivation atau ladang berpindah, dan
budi daya secara tumpang sari dan tumpang gilir.
Teknologi yang ingin diperkenalkan yaitu
penggunaan varietas unggul, pemupukan
berimbang (terutama varietas hibrida), dan sistem
jarak tanam misalnya sistem jajar legowo/jarwo,
dan sebagainya. Dari aspek
mekanisasi/keteknikan sudah digunakan alat
tanam jagung (seed planter) dan alat pemanen
(combine harvester) sedangkan pada masyarakat
lokal dilakukan secara manual. Dari aspek
pengolahan hasil, tanaman jagung pada
masyarakat lokal hanya diolah dengan cara
direbus dan langsung dimakan sebagai menu
makanan harian, sedangkan pada pengolahan
lanjutan jagung dapat diolah menjadi aneka
jajanan/makanan yang enak, bergizi dan menarik.
Ketersediaan inovasi teknologi pangan
lokal dapat dilihat pada Tabel 4.
94 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
Tabel 4. Ketersediaan inovasi teknologi pangan lokal
Jenis
Komoditas Aspek Teknologi Lokal/Indigenos Teknologi Introduksi/Baru
Sagu Budidaya Diperbanyak dari anakan tanaman
induk (abut) (Harahap, 2017)
Perbanyakan in vitro
Sistem seleksi pohon sagu siap panen
Pupuk dan obat-obatan pertanian
belum digunakan (organik)
Pemanenan dilakukan secara bertahap
sesuai kebutuhan
Aplikasi pupuk atau amelioran
secara berimbang dan sesuai
kebutuhan
Mekanisasi/Keteknikan Manual dengan tangan Alat pengolah sagu
Teknologi hasil dan
pengolahan
Pengolahan pasca panen dan
penyimpanan sagu secara tradisional
(Sorong Selatan)
Bioethanol
Mie sagu instan
Salat dressing
Cendol dawet
Roti sagu
Beras analog sagu
Gula cair dari pati sagu
Macaroni sagu
Bioplastik
Ubi Kayu Budidaya Bibit/bahan tanam berasal dari setek
batang tanaman induk
Pupuk dan obat-obatan pertanian
belum digunakan (organik)
Varietas unggul seperti: Adira 1,
Adira 2, Adira 4, Malang 1,
Malang 2,
Darul hidayah, Malang 4,
Malang 6,
UJ 3, UJ 5, Litbang UK 2, UK 1
Agritan,
CMM 2048-6, Ketan jabung,
Kristal,
Gajah, Mentega
Populasi tanaman dan jarak
tanam
Shifting cultivation atau ladang
berpindah
Budidaya tumpang sari dan tumpang
gilir
Produksi bibit ubi kayu setek
(bibit berkualitas)
Peningkatan produktivitas
dengan pemupukan berimbang
Mekanisasi/Keteknikan
Teknologi hasil dan
pengolahan
Manual dengan tangan Teknologi alat mesin
pengolahan ubi kayu yang terdiri
dari 5 macam yaitu: penyawut
(slicer), pengatus (spinner),
pengering (driyer), penepung,
dan pengayak
Gaplek (Koswara, 2014)
Tepung tapioka
Tiwul, getuk
Tapai singkong
Tepung cassava
Keripik ubi kayu
Bioethanol pati ubi kayu
95 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
Jenis
Komoditas Aspek Teknologi Lokal/Indigenos Teknologi Introduksi/Baru
Ubi Jalar Budidaya Bibit/bahan tanam berasal dari setek
batang/pucuk tanaman induk
Pupuk dan obat-obatan pertanian
belum digunakan (organik)
Varietas unggul ubi jalar seperti:
Pating 1, Pating 2 (2018; pati
tinggi), Antin 1, Antin 2, Antin 3
(2014), Sari, Boko, Sukuh, Jago,
Cangkuang, Sewu, Kidal, Papua
Solossa, Papua Pattipi,
Sawentar, Beta 1, dan Beta 2
Sistem kuming (panen) Peningkatan produktivitas
dengan pemupukan berimbang
Shifting cultivation atau ladang
berpindah
Teknologi hasil dan
pengolahan
Budidaya tumpang sari dan tumpang
gilir
Es krim ubi jalar berbahan baku
50 - 100 %
Brownis ubi jalar berbahan baku
30 - 50 % pasta ubi jalar
Jus ubi jalar
Snackbar ubi jalar
pasta ubi jalar
Kue muffin
Talas Budidaya Shifting cultivation atau ladang
berpindah
Pupuk dan obat-obatan pertanian
belum digunakan (organik)
Sistem kuming (panen)
Talas Beneng (besar dan koneng
(kuning)) yang berasal dari
Banten
Peningkatan produktivitas
dengan pemupukan berimbang
Budidaya polikultur
Budidaya tumpang sari dan tumpang
gilir
Pemanenan dilakukan secara bertahap
sesuai kebutuhan
Teknologi hasil dan
pengolahan
Mie basah berbahan baku talas
Papua
Tepung talas
Keripik talas
Bubur instan talas
Pengolahan tepung komposit
talas menjadi taro crunch
Sukun Budidaya Budidaya polikultur
Pemanenan dilakukan secara bertahap
sesuai kebutuhan
-
Teknologi hasil dan
pengolahan
Digoreng atau direbus Tepung sukun
Stik/keripik sukun
Mie sukun
Brownis sukun
Aneka kue
Pisang Budidaya Diperbanyak dari anakan dari tanaman
induk
Teknologi kultur jaringan pisang
Budidaya polikultur di Pegunungan
Arfak untuk ketahanan pangan
Pemanenan dilakukan setelah buah tua
atau masak di pohon
Budidaya monokultur
Pemanenan dengan derajat
ketuaan 75-85% sehingga
kualitas buah cukup baik dan
daya simpan cukup lama
96 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
Jenis
Komoditas Aspek Teknologi Lokal/Indigenos Teknologi Introduksi/Baru
Teknologi hasil dan
pengolahan
Keripik pisang
Tepung pisang
Sale pisang
Puree pisang
Pasta/jam pisang
Ledre
Getuk
Jus pisang
Nugget pisang
Jagung Budidaya
Pupuk dan obat-obatan pertanian
belum digunakan (organik)
Shifting cultivation atau ladang
berpindah
Budidaya tumpang sari dan tumpang
gilir
Varietas unggul baik komposit
maupun hibrida
Pemupukan berimbang
(terutama varietas hibrida)
Sistem jarak tanam
Mekanisasi/Keteknikan
Manual dengan tangan Alat tanam jagung (seed planter)
Alat pemanen jagung (combine
harvester)
Teknologi hasil dan
pengolahan
Direbus
Tepung maizena
Pie jagung manis
Susu jagung
Es krim jagung
Pop corn/snack jagung
Bioethanol dari jagung
Cake jagung
Saus jagung
Mie bihun jagung
Puding jagung
Bika/Bingka jagung
Aneka jajanan/makanan dari
olahan jagung manis segar
KESIMPULAN DAN SARAN
Terdapat tujuh jenis pangan lokal
pengganti beras yang dikonsumsi oleh masyarakat
Papua Barat yaitu: sagu, ubi kayu, ubi jalar,
pisang, jagung, talas dan sukun. Kabupaten
penghasil sagu di Papua Barat yaitu kabupaten
Sorong, Raja Ampat, dan Sorong Selatan.
Sedangkan kabupaten penghasil ubi kayu terbesar
adalah Sorong, Manokwari, dan Maybrat. Di
samping itu, tiga kabupaten penghasil ubi jalar
terbesar adalah Sorong, Manokwari, dan Maybrat.
Kabupaten penghasil pisang terbesar adalah Kota
Sorong, Sorong Selatan, dan Teluk Bintuni.
Kabupaten penghasil sukun adalah Sorong
Selatan. Produktivitas pangan lokal Papua Barat
masih jauh dari nasional sehingga diperlukan
dukungan inovasi teknologi untuk meningkatkan
laju produktivitas untuk kesejahteraan petani
pangan lokal dan peningkatan ketahanan pangan
daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Ragam jenis pangan lokal
Indonesia. https://berandainovasi.com/
ragam-jenis-pangan-lokal-indonesia/.
Diakses pada tanggal 27 November 2018
pukul 09.33 WIB
Anonim. 2018. Beras menggerus pangan lokal
Maluku dan Papua.
97 Inovasi Teknologi Budi Daya dan Pengolahan Hasil Untuk Peningkatan Produktivitas Pangan
Lokal Papua Barat (Junita Br Nambela dan Aser Rouw)
https://beritagar.id/artikel/berita/beras-
menggerus-pangan-lokal-maluku-dan-
papua. Diakses tanggal 01 November 2018
pukul 22.35 WIB
Datu, A.K. 2012. Pola konsumsi pangan
masyarakat Toraja Utara. Skripsi.
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/han
dle/123456789/841/SKRIPSI.pdf?ssequen
c=3
Badan Litbang Pertanian. 2008. Prospek dan arah
pengembangan agribisnis pisang. Jakarta.
Kementerian Pertanian
Badan Litbang Pertanian. 2018. Inotek ketahanan
pangan.
http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/In
oTek-Ketahanan-Pangan/. Diakses pada
tanggal 12 November 2018 pukul 11.00
WIB
Badan Litbang Pertanian. 2018. Berita Teknologi
jarwo super mendongkrak kenaikan
provitas padi sawah di OKU Timur.
http://sumsel.litbang.pertanian.go.id/BPTP
SUMSEL /berita-teknologi-jarwo-super-
mendongkrak-kenaikan-provitas-padi-
sawah-di-oku-
timur.html#ixzz5WunqI0Qy. Diakses pada
tanggal 12 November 2018 pukul 11.00
WIB
Boissière, M., Heist, M.V., Sheil, D., Basuki, I.,
Frazier, S., Ginting, U., Wan, M., Hariadi,
B., Hariyadi, H., Kristianto, H. D., Bemei,
J., Haruway, R., Marien, E.R.C., Koibur,
D.P.H., Watopa, Y. Rachman, dan I.,
Liswanti, N. 2005. Pentingnya sumberdaya
alam bagi masyarakat lokal di daerah aliran
sungai Mamberamo, Papua, dan
Implikasinya bagi Konservasi. Journal of
Tropical Ethnobiology I (2): 76 – 95
BPS. 2018. Provinsi Papua Barat Dalam Angka.
Manokwari. CV. Dharmaputra
Harahap, B.R., Ardian, Yoseva, S. 2017. Kajian
budidaya sagu (Metroxylon spp) Rakyat di
Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten
Kepulauan Meranti. Departement of
Agroteknology, Faculty of Agriculture,
University of Riau. JOM Faperta 4 (1):1-
14.
Hariyanto, B., Atmadji, P., Putranto, A.T., dan
Kurniasari, I. 2013. Sistem produksi,
pengolahan dan pemanfaatan hutan sagu
untuk penyediaan pangan karbohidrat di
Papua Barat
Koswara, S. 2014. Teknologi pengolahan umbi-
umbian bagian 6: Pengolahan Singkong.
Southeast Asian Food And Agricultural
Science and Technology (SEAFAST)
Center Research and Community Service
Institution. Bogor Agricultural University
Limbongan, J. dan Soplanit, A. 2007.
Ketersediaan teknologi dan potensi
pengembangan ubi jalar. Jurnal Litbang
Pertanian, 26 (4):1-13.
Muhidin. 2008. Identifikasi Sagu Unggul Asal
Jazirah Kendari Sulawesi Tenggara.
Agriplus 18 (1).
PKP Badan Ketahanan Pangan. 2011. Potensi
Produksi Sagu. Jakarta. Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian
Rauf, A. W. dan Lestari, M.S. 2009. Pemanfaatan
komoditas pangan lokal sebagai sumber
pangan alternatif di Papua. Jayapura. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Papua
Rauf, A. W. dan Subiadi. 2012. Inovasi teknologi
budidaya ubi jalar. Manokwari. BPTP
Papua Barat
Ruku, S., Haddade, I., dan Wijanarko, R.D.T.
2009. Teknologi pengolahan hasil tanaman
pangan. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tenggara. Buletin
Teknologi dan Informasi Pertanian.
Kendari
Supriadi H. 2009. Strategi dan kebijakan
pembangunan pertanian Di Papua Barat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor
Sagrim, M., Sumule, A.I., Iyai, D.A., dan
Baransano, M. 2017. Potensi unggulan
komoditas pertanian pada daerah dataran
tinggi kabupaten pegunungan Arfak, Papua
Barat (Prime Potency of Agriculture
Commodities on Highland of Arfak
Mountains Regency, Papua Barat). Jurnal
Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Desember
2017 22(3):141-146.
Sumedi dan Djauhari, A. 2016. Upaya
memperkuat kemandirian pangan pulau-
pulau kecil dan wilayah perbatasan.
98 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:85-98
http://www.litbang.pertanian.go.id/
buku/swasembada/BAB-V-3.pdf
Tirta, P.W.W.K., Indrianti, N. dan Ekafitri, R.
2013. Potensi tanaman sagu (Metroxylon
sp.) dalam mendukung ketahanan pangan
di Indonesia. Balai Besar Pengembangan
Teknologi tepat Guna LIPI. Jurnal Pangan
22 (1):61-76.
Wasaraka, Y.N.K. dan Madanijah, S. 2011. Pola
konsumsi pangan masyarakat Papua (Studi
Kasus di Kampung Tablanusu, Distrik
Depapre, Kabupaten Jayapura, Provinsi
Papua). Skripsi. Departemen Gizi
Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor.
Widati, A.W. 2016. Ketersediaan pangan di
Provinsi Papua Barat. Seminar Nasional &
Call For Paper Kearifan Lokal Nilai
Adiluhung Batik Indonesia Untuk Daya
Saing Internasional DIES NATALIS
XXXIII Universitas Islam Batik Surakarta
Widjaja, E.A., Rahayuningsih, Y., Rahajoe, J.S.,
Ubaidillah, R., Maryanto, I., Walujo, E.B.,
dan Semiadi, G. 2014. Kekinian
keanekaragaman hayati Indonesia. Jakarta.
LIPI Press
Widodo, Y. dan Rahayuningsih, St.A. 2009.
Teknologi budidaya praktis ubi jalar
mendukung ketahanan pangan dan usaha
agroindustri. Buletin Palawija, No. 17: 29-
8.
99 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan
Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)
PENGGUNAAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DAN OMEGA-6 UNTUK MENINGKATKAN KINERJA REPRODUKSI DAN KEUNTUNGAN USAHA
PEMELIHARAAN INDUK DOMBA
Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balibangtan Bali
JL. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Bali, 80222
Email: [email protected]
ABSTRACT
Use of Omega3 and Omega6 Fatty Acids to Improve the Reproductive Performance and Profitability
of Raising Sheep. Sheep have been known for a long time by the Indonesian people as dual-purpose livestock,
namely meat producers and agility, and very adaptive to the tropical climate. The way to improve the reproductive
performance of livestock have been carried out, one of them is added unsaturated fatty acids in the ration. Addition
of fatty acids in the ration can stimulate follicle development and steroid hormones production. Unsaturated fatty
acids that are known to have a specific role on reproductive cycle are omega-3 and omega-6. Omega-3 and omega-
6 fatty acids have an effect to increase the number of lambs per birth. The Ewes that was given a high omega-6
ration produced a higher number of male lambs births, this also happened in ewes who were given high omega-3
rations. Economically, the use of omega-3 and omega-6 fatty acids with a ratio of 1:2, increases the profitability
breeding of lambs, from IDR 8,782,578, - for control to IDR 15,558,791,-.
Keywords: ewes, profitability, reproduction, omega-3, omega-6
ABSTRACT
Ternak domba telah dikenal lama oleh masyarakat Indonesia sebagai ternak dwiguna yaitu penghasil
daging dan adu ketangkasan, serta adaptif terhadap iklim tropis. Upaya untuk meningkatkan performa reproduksi
ternak telah banyak dilakukan, salah satunya dengan menambahkan asam lemak tidak jenuh dalam ransum.
Penambahan asam lemak dalam ransum dapat merangsang perkembangan folikel dan produksi hormon steroid.
Asam lemak tidak jenuh yang diketahui memiliki peranan spesifik terhadap siklus reproduksi adalah omega-3 dan
omega-6. Asam lemak omega-3 dan omega-6 berpotensi meningkatkan jumlah anak per kelahiran. Induk domba
yang diberi ransum tinggi omega-6 menghasilkan jumlah kelahiran anak jantan lebih tinggi, hal ini juga terjadi pada
domba yang diberi ransum tinggi omega-3. Secara ekonomis, penggunaan asam lemak omega-3 dan omega-6
dengan perbandingan 1:2, meningkatkan keuntungan usaha pemeliharaan ternak domba, dari Rp. 8.782.578,- untuk
kontrol menjadi Rp. 15.558.791,-.
Kata kunci: domba, keuntungan, reproduksi, omega-3, omega-6
100 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108
PENDAHULUAN
Ternak domba merupakan sumber protein
hewani alternatif setelah ternak unggas dan sapi.
Permintaan komoditi ternak domba juga cukup
tinggi terutama pada perayaan hari besar umat
Islam. Menurut data Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (2017), tingkat
pemotongan ternak domba pada tahun 2016
mencapai 1,1 juta ekor. Jumlah tersebut
meningkat 16,13% dibandingkan tahun
sebelumnya. Di sisi lain, populasi domba pada
tahun 2016 mengalami penurunan sekitar 7,68%
dibandingkan tahun sebelumnya. Usaha
penyediaan bibit domba dan produksi daging yang
belum terintegrasi mengakibatkan populasi
domba semakin menurun.
Ternak domba memiliki sifat prolifik atau
mampu menghasilkan anak lebih dari satu per
kelahiran. Jumlah kelahiran anak lebih dari satu
merupakan tambahan keuntungan bagi peternak,
oleh karena itu sifat ini perlu dioptimalkan. Sifat
prolifik akan berjalan optimal apabila didukung
dengan asupan nutrien yang cukup. Asupan
nutrien ternak dapat mempengaruhi proses
reproduksi dari ternak tersebut (McDonald et al.,
2011). Pada ternak muda yang kekurangan asupan
nutrien dapat mengakibatkan pubertas terhambat
sedangkan pada ternak dewasa berakibat pada
penurunan produksi ovum dan spermatozoa
(McDonald et al., 2011).
Kekurangan pakan juga dapat
mengurangi sekresi hormon gonadotropin dan
hormon-hormon lainnya oleh hypofisa anterior
(Hedah, 2000). Menurut Butler dan Smith (1989)
menyusui dan pemberian pakan yang terbatas
menyebabkan penurunan sekresi LH (Luteinizing
Hormone) dan FSH (Folicle Stimulating
Hormone) dari hipofisa anterior sehingga
mempengaruhi perkembangan folikel dari
ovarium.
Upaya untuk meningkatkan performa
reproduksi ternak telah banyak dilakukan, salah
satunya dengan menambahkan asam lemak tidak
jenuh dalam ransum. Leroy et al., (2013)
menyatakan bahwa penambahan asam lemak
dalam ransum dapat merangsang perkembangan
folikel dan produksi hormon steroid. Asam lemak
tidak jenuh yang diketahui memiliki peranan
spesifik terhadap siklus reproduksi adalah omega-
3 dan omega-6. Menurut Khotijah et al., (2014),
penambahan asam lemak omega-6 dalam ransum
mampu meningkatkan ovulasi, daya tahan
embrio, jumlah kelahiran anak kembar, dan
jumlah kelahiran anak jantan. Asam lemak
omega-3 juga memiliki peranan spesifik terhadap
siklus reproduksi ternak, oleh karena itu kedua
asam lemak tidak jenuh ini perlu tersedia dalam
pakan. Berdasarkan kajian-kajian yang telah
dilakukan terkait pengaruh omega-3 dan omega-6
terhadap sistem reproduksi, maka tujuan dari
review ini untuk menganalisis beberapa hasil
kajian asam lemak tidak jenuh omega-3 dan
omega-6 terhadap performa reproduksi ternak
domba.
BAHAN PAKAN SUMBER ASAM LEMAK
OMEGA-3 DAN OMEGA-6
Asam lemak omega-3 dan omega-6 yang
berpengaruh terhadap kinerja reproduksi adalah
asam lemak rantai panjang dan rantai pendek.
Asam lemak omega-3 rantai panjang yang
berpengaruh yaitu eicosapentaenoic acid (EPA,
20:5n-3) dan docohexaenoic acid (DHA, 22:6n-
3), sedangkan asam lemak omega-6 rantai panjang
yang berpengaruh terhadap kinerja reproduksi
adalah n-6 asam arakidonat (AA, 20:4n-3). Asam
lemak rantai pendek juga mempengaruhi kinerja
reproduksi antara lain n-3 asam -linolenat (ALA,
18:3n-3) dan n-6 asam linoleat (LA, C18:2n-6)
(Gulliver et al. 2012). Menurut Lands (1992),
asam lemak omega-3 dan omega-6 rantai pendek,
tidak dapat disintesis di dalam tubuh, sehingga
perlu tersedia dalam pakan. Pada dasarnya
sumber asam lemak tidak jenuh seperti omega-3
dan omega-6 lebih dikenal sebagai bahan pangan
dibandingkan sebagai bahan pakan. Beberapa
sumber bahan pakan yang mengandung asam
lemak tidak jenuh yang mudah dijumpai dalam
bahan pangan disajikan pada Tabel 1.
Penggunaan bahan-bahan sumber asam
lemak tidak jenuh sebagai bahan pangan
mengakibatkan penggunaan bahan tersebut
101 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan
Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)
sebagai pakan ternak menjadi terbatas karena
harga yang terlalu tinggi (Tabel 1). Akan tetapi
meninjau dari berbagai fungsi asam lemak tidak
jenuh terhadap sistem reproduksi, maka beberapa
kajian penggunaan bahan pangan sumber asam
lemak tidak jenuh sebagai pakan telah banyak
dilakukan. Kajian penggunaan minyak biji bunga
matahari, minyak flaxseed, minyak kanola,
minyak kedelai, dan minyak ikan telah dilakukan
dan diketahui memiliki pengaruh terhadap
reproduksi ternak (Khotijah et al., 2014; Pujiawati
et al., 2018; Nieto et al., 2015; Otto et al., 2014;
Suharti et al., 2017). Alternatif lain dari bahan
pakan sumber asam lemak tidak jenuh adalah
hijauan pakan ternak (Gulliver et al. 2012). Salah
satu pakan hijauan yang memiliki kandungan
omega-3 adalah rumput Brachiaria humidicola.
Rumput Brachiaria humidicola mengandung
asam omega-3 (asam -linolenat) sebesar 0,12%
(Pujiawati 2017). Kombinasi rumput Brachiaria
humidicola sebanyak 30% dalam ransum dengan
imbangan omega-3 dan omega-6 1:2 memiliki
performa reproduksi paling baik (Pujiawati 2017).
PERANAN ASAM LEMAK OMEGA-3 DAN
OMEGA-6 DALAM METABOLISME
HORMON REPRODUKSI
Peranan asam lemak omega-3 dan omega-
6 terhadap fungsi reproduksi ternak terjadi secara
langsung dan tidak langsung. Secara tidak
langsung asam lemak omega-3 dan omega-6
merupakan unsur nutrien penyusun lemak.
Komponen lemak dalam tubuh berperan sebagai
sumber energi yang terindikasi mampu
memberikan pengaruh positif terhadap fungsi
reproduksi ternak (Suharti et al., 2017). Selaras
dengan hal tersebut Koyuncu dan Canbolat (2009)
menyatakan bahwa pemberian ransum tinggi
energi berdampak positif terhadap kinerja
reproduksi, seperti persentase kebuntingan, litter
size, fekunditas, dan bobot lahir anak. Kandungan
energi dalam tubuh diperlukan untuk proses
pertumbuhan dan produksi. Salah satu parameter
pertumbuhan yang berkaitan dengan performa
reproduksi adalah pertambahan bobot badan.
Nieto et al., (2013) menyatakan setiap kg
pertambahan bobot badan Domba Merino mampu
meningkatkan performa reproduksi sebesar 4,5%.
Asam lemak omega-6 juga dilaporkan
berperan dalam metabolisme glukosa dalam
tubuh. Asam lemak omega-6 yang berasal dari
minyak biji bunga matahari ini dapat
Tabel 1. Bahan pangan atau pakan sebagai sumber asam lemak tidak jenuh
Asam lemak Jumlah ikatan
rangkap
Jenis asam
lemak Nama Lain Formula
Bahan
Pangan/Pakan
Sumber
Asam stearat 0 Jenuh - 18:0 Lemak hewan
dan coklat
Asam oleat 1 Tidak jenuh Omega-9 18: 1n-9 atau
18:1-9
Minyak zaitun
dan minyak
kanola
Asam
palmitoleat
1 Tidak jenuh Omega-7 16:1n-7 atau
16:1-7
Lemak Sapi (Beef
tallow)
Asam linoleat 2 Tidak jenuh Omega-6 18:2n-6 atau
18:2-6
Minyak biji
bunga matahari,
minyak jagung
Asam -
linolenat
3 Tidak jenuh Omega-3 18:3n-3 atau
18:3-3
Minyak flaxseed,
minyak kanola,
minyak kedelai,
rumput
Brachiaria
humidicola*
Sumber : Morris (2007); *Pujiawati (2017)
102 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108
Gambar 1. Metabolisme omega-3 dan omega-6 dalam proses sintesis hormon prostaglandin (Sumber:
Gulliver et al., 2012)
meningkatkan kadar glukosa plasma darah induk
domba (Khotijah, 2014). Penggunaan asam lemak
omega-6 tanpa diikuti dengan penggunaan
omega-3 diindikasi lebih mampu menghidrolisis
lemak menjadi asam lemak dan gliserol
(Pujiawati, 2017). Gliserol hasil pemecahan
lemak merupakan salah satu prekursor
pembentukan asam propionat yang pada jalur
glukoneogenesis akan diubah menjadi glukosa
(Khotijah 2014). Glukosa merupakan energi yang
diperlukan dalam proses ovulasi (Teleni et al.,
1989).
Secara langsung asam lemak omega-3
dan omega-6 berpengaruh terhadap sintesis
hormon-hormon reproduksi seperti prostaglandin,
progesteron, dan estrogen (Gulliver et al., 2012).
Kaitan asam lemak tidak jenuh omega-3 dan
omega-6 dengan sintesis hormon prostaglandin
disajikan pada Gambar 1.
Dalam siklus reproduksi hormon
prostaglandin berperan penting dalam proses
estrus. Hormon PGF2 bersifat luteolitik dengan
mekanisme menghambat aliran darah menuju
korpus luteum (CL) sehingga CL mengalami lisis
(Toelihere 1981). CL yang lisis menandai awal
terjadinya siklus estrus. Burke et al., (1996)
menyatakan infusi minyak kedelai dan minyak
zaitun ke dalam vena jugularis domba
meningkatkan sekresi hormon PGF2 dan PGE2.
Pada Gambar 1 menunjukkan bahwa
prekursor pembentuk hormon PGF2 adalah
omega-6, sedangkan prekursor pembentuk
hormon PGF3 adalah omega-3. Hormon PGF2
dan PGF3 memiliki fungsi yang berbeda.
Hormon PG jenis 1 dan 3 memiliki fungsi anti
inflamasi sedangkan hormon PG jenis 2
mengakibatkan inflamasi (Horrobin dan Bennet,
1999; Lands, 1992). Pengaruh omega-3 dan
omega-6 terhadap metabolisme hormon
103 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan
Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)
prostaglandin secara langsung juga
mempengaruhi siklus estrus ternak. Menurut
Nieto et al., (2015), penambahan omega-3 dari
minyak ikan dapat memperlambat terjadinya
onset estrus pada domba. Selaras dengan hal
tersebut Pujiawati et al., (2018) menyatakan
bahwa onset estrus terjadi lebih lambat pada
domba yang diberi ransum tinggi omega-3 dari
minyak flaxseed, dibandingkan dengan domba
yang diberi ransum tinggi omega-6. Hal ini terjadi
akibat penurunan sintesis asam arakidonat dari
omega-6 yang disebabkan penggunaan asam
lemak omega-3 yang akan mengalami elongase
dengan enzim yang sama yaitu Δ6-desaturase
(Sprecher, 1981).
Penggunaan omega-3 dan omega-6 juga
berpengaruh terhadap metabolisme hormon
steroid seperti progesteron dan estrogen (Gulliver
et al. 2012). Pemberian omega-3 dapat
menurunkan konsentrasi hormon progesteron dan
estrogen (Staples et al., 1998). Hal ini diduga
berkaitan dengan kadar kolesterol plasma yang
rendah akibat ransum yang mengandung kadar
omega-3 tinggi (Robinson et al. 2002). Akan
tetapi, pengaruh asam lemak omega-3 terhadap
kadar kolesterol masih beragam. Pujiawati (2017)
menunjukkan bahwa kombinasi omega-3 dan
omega-6 dengan perbandingan 1:2 memiliki
kadar kolesterol plasma yang tinggi dibandingkan
perlakuan tanpa asam lemak omega-3 dan omega-
6. Hal ini kemungkinan sebagai akibat dari
perubahan kadar glukosa menjadi asam piruvat
kemudian menjadi acetyl-CoA sebagai prekursor
pembentuk kolesterol melalui jalur HMG-CoA
(Pujiawati, 2017). Mekanisme lain yang
menunjukan bahwa omega-3 mampu
mempengaruhi konsentrasi progesteron ditinjau
dari peranan omega-3 sebagai prekursor
pembentuk hormon PGF3, seperti pada Gambar
1.
Asam lemak omega-3 dan omega-6 juga
memiliki peranan berbeda terhadap produksi
Tabel 2. Ringkasan hasil kajian asam lemak omega-3 dan omega-6 terhadap metabolisme hormon reproduksi
Referensi Jenis Ternak Perlakuan yang diberikan Kesimpulan
Burke et al. (1996) Domba Infus 200 ml minyak
kedelai dan minyak zaitun
ke dalam vena jugularis
selama 5 jam per hari pada
perode hari ke-9 hingga
hari ke-15 siklus estrus
Penambahan minyak kedelai dan
minyak zaitun kedalam vena jugularis
mampu meningkatkan kadar kolesterol
total, progesteron dan prostaglandin
dibandingkan dengan kontrol.
Espinoza et al. (1997) Domba Pemberian Sabun Kalsium
Megalac® sebanyak 2,5%-
5% dalam ransum
Pemberian 2,5% sabun kalsium
Megalac® menghasilkan konsentrasi
hormon progesteron paling tinggi
Wonnacott et al. (2010) Domba Perbandingan pengaruh
omega-3 dan omega-6
dalam pakan
Konsentrasi hormon progesteron dalam
cairan folikel lebih tinggi pada
perlakuan penambahan omega-3
dibandingkan penambahan omega-6
Khotijah et al. (2015) Domba Garut Suplementasi minyak biji
bunga matahari sebagai
sumber omega-6 (0%, 2%,
4% dan 6%) pada ransum
induk domba
Penambahan minyak biji bunga
matahari hingga 6% tidak
mempengaruhi kadar progesteron
plasma akan tetapi pada perlakuan 4%
minyak biji bunga matahari mampu
meningkatkan kandungan kolesterol
plasma
Nieto et al. (2015) Domba Penambahan minyak ikan
sebanyak 0,84% dalam
ransum
Penambahan minyak ikan dalam
ransum tidak mempengaruhi
konsentrasi level progesteron akan
tetapi memperlambat onset estrus dan
meningkatkan presentase prolifik
Pujiawati (2017) Domba Garut Pemberian omega-3 dan
omega-6 dengan rasio
berbeda yaitu P0 = tanpa
penambahan omega-3 dan
omega-6; P1 = 1:8; P2 =
1:6, P3 :1:4, P4 = 1:2
Pemberian omega-3 dan omega-6 1:2
memiliki kandungan progesteron yang
rendah pada fase akhir kebuntingan
104 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108
hormon progesteron dan estrogen. Robinson et
al., (2002) menyebutkan bahwa asam lemak
omega-6 mendorong proses sintesis kolesterol.
Hal tersebut mengindikasikan penambahan
omega-6 dalam ransum mampu mempengaruhi
produksi hormon progesteron. Kadar omega-6
berhubungan dengan kadar hormon progesteron
plasma yang tinggi pada domba (Burke et al.,
1996). Kondisi ini berbeda ketika omega-6
dikombinasikan dengan omega-3. Pujiawati
(2017) menyebutkan kombinasi omega-3 dan
omega-6 dengan perbandingan 1:2 menghasilkan
kadar kolesterol plasma paling tinggi pada fase
akhir kebuntingan, akan tetapi berbanding terbalik
dengan kadar progesteron yang rendah pada fase
yang sama. Selaras dengan hal tersebut Robinson
et al. (2002) menyatakan kandungan omega-3
yang tinggi dalam ransum menghasilkan kadar
progesteron plasma yang rendah akan tetapi
menghasilkan kadar estrogen plasma yang tinggi
pada sapi perah. Hal ini menunjukkan pengaruh
omega-3 dan omega-6 terhadap kadar hormon
progesteron dan estrogen tergantung pada
kombinasi dari kedua asam lemak tidak jenuh
tersebut dan fase siklus reproduksi.
Ringkasan pengaruh asam lemak tidak
jenuh omega-3 dan omega-6 terhadap hormon
reproduksi disajikan pada Tabel 2. Pengaruh asam
lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6 terhadap
hormon reproduksi diketahui belum konsisten
akan tetapi sudah memiliki kecenderungan bahwa
dengan penambahan omega-6 dari minyak
kedelai, zaitun, minyak biji bunga matahari
memiliki pengaruh meningkatkan kandungan
kolesterol dalam plasma yang diketahui sebagai
prekursor hormon progesteron dan estrogen
(Burke et al., 1996, Espinoza et al., 1997,
Wonnacott et al., 2010, Khotijah et al,. 2015,
Nieto et al., 2015, Pujiawati 2017).
Penggunaan asam lemak tidak jenuh
omega-3 dan omega-6 juga berkaitan dengan
waktu pemberian yang berkaitan dengan fase-fase
siklus reproduksi. Pada fase pra-kawin asam
lemak tidak jenuh lebih berperan sebagai sumber
energi untuk keberhasilan sikus reproduksi, juga
sebagai perekursor hormon estrogen dan PGF2
untuk mengawali terjadinya proses estrus. Pada
fase tengah kebuntingan, asam lemak tidak jenuh
omega-6 berperan dalam mendorong produksi
progesteron sehingga daya tahan embrio tinggi
begitu pula dengan asam lemak omega-3 sebagai
prekursor hormon PGF3 yang berperan
mencegah terjadinya lisis korpus luteum. Pada
fase akhir kebuntingan asam lemak omega-6
mendorong sintesis kolesterol sehingga kadar
estrogen tinggi, selain itu juga dipergunakan
sebagai prekursor hormon PGF2 sehingga korpus
luteum dapat lisis.
PENGARUH OMEGA-3 DAN OMEGA-6
TERHADAP KINERJA REPRODUKSI
Penambahan lemak dalam ransum
meningkatkan persentase kebuntingan pada
ternak kambing, domba, dan sapi perah (Titi dan
Awad, 2007; Khotijah, 2014; Staples et al., 1998).
Akan tetapi pengaruh asam lemak omega-3 dan
omega-6 terhadap tingkat kebuntingan masih
beragam. Hal ini berkaitan dengan peranan
omega-3 dan omega-6 dalam metabolime hormon
reproduksi. Asam lemak omega-6 merupakan
prekursor pembentuk hormon PGF2 yang
berfungsi untuk meluruhkan korpus luteum.
Berdasarkan hal tersebut pemberian ransum tinggi
omega-6 memiliki daya tahan embrio yang rendah
(Khotijah, 2014; Hess et al., 2008). Di lain sisi
peranan omega-3 sebagai prekursor hormon
PGF3 lebih berpotensi meningkatkan daya tahan
embrio. Hal ini berkaitan dengan peranan hormon
PGF3 mempertahankan korpus luteum dengan
menghambat produksi hormon PGF2. Tingkat
kebuntingan sapi meningkat dengan pemberian
ransum tinggi omega-3 (Santos et al,. 2008).
Pemberian ransum tinggi omega-3 dan
omega-6 diindikasikan mampu meningkatkan
jumlah kelahiran dan tipe kelahiran anak kembar.
Induk domba yang diberi ransum tinggi omega-6
melahirkan jumlah anak kembar lebih banyak
(Khotijah, 2014). Pujiawati (2017) menyatakan
penambahan asam lemak omega-3 dan omega-6
dalam ransum induk domba meningkatkan tipe
kelahiran kembar. Pengaruh asam lemak omega-3
dan omega-6 terhadap tipe kelahiran lebih
berkaitan dengan fungsi asam lemak penyumbang
energi. Koyuncu dan Canbolat (2009)
menyatakan tipe kelahiran kembar lebih tinggi
pada ransum tinggi energi. Akan tetapi
keunggulan penambahan asam lemak tidak jenuh
dalam ransum mampu mempengaruhi produksi
105 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan
Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)
hormon-hormon reproduksi. Pengaruh omega-3
dan omega-6 terhadap hormon prostaglandin dan
steroid juga berpotensi terhadap onset estrus dan
ovulasi (Abayasekara dan Wathes, 1999).
Asam lemak omega-3 dan omega-6
berpotensi meningkatkan jumlah anak
sekelahiran. Induk domba yang diberi ransum
tinggi omega-6 menghasilkan jumlah kelahiran
anak jantan lebih tinggi (Khotijah, 2014), hal ini
juga terjadi pada domba yang diberi ransum tinggi
omega-3 (Gulliver et al., 2010). Hasil kajian yang
dilakukan oleh Pujiawati (2017) menunjukkan,
pemberian asam lemak omega-3 dan omega-6
dengan perbandingan 1:2 meningkatkan jumlah
anak sekelahiran menjadi rata-rata 2 ekor, berbeda
dengan kontrol yang hanya 1 ekor per kelahiran.
Kombinasi omega-3 dan omega-6 dengan
perbandingan 1:6 dan 1:8 dilaporkan
menghasilkan anak jantan lebih tinggi. Hasil ini
sejalan dengan laporan-laporan sebelumnya
bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
jenis kelamin adalah makanan, kondisi tubuh, dan
bobot badan induk (Cameron et al., 2008).
Gulliver et al. (2010) melaporkan bahwa omega-
3 berpengaruh terhadap jenis kelamin anak.
Embrio jantan (XY) lebih rentan terhadap
inflamasi dibandingkan embrio betina, sehingga
pemberian omega-3 sebagai prekursor
pembentukan PGF3 berfungsi sebagai anti-
inflamasi, yang dapat mempertahankan embrio
jantan.
Tabel 3. Perbandingan hasil analisis R/C untuk penggunaan asam lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6
No Uraian
Perlakuan
P1 (Pemberian omega-3
dan omega-6
perbandingan 1:2
P0 (Kontrol)
I. Komponen biaya tetap
1. Sewa lahan 700.000 700.000
2. Biaya pemeliharaan dan perlengkapan kandang 750.000
750.000
3 Biaya penyusutan kandang 1.000.000 1.000.000
II. Komponen biaya tidak tetap
1.
Pengadaan bibit domba
a. Pejantan 1 ekor 2.100.000 2.100.000
b. Induk 5 ekor 3.600.000 3.600.000
2.
Pengadaan pakan
a. Konsentrat 1.674.303 1.698.876
b. suplementasi omega-6 81.000 0
c. suplementasi omega-3 2.637.360 0
d. rumput 942.545 942.545
3. obat dan vitamin 120.000 120.000
4.
Biaya tenaga kerja
Tenaga kerja untuk memelihara domba 336.000 336.000
Total biaya pengeluaran 13.941.209 11.247.422
III. Komponen pendapatan
1.
Hasil Penjualan
Anak lepas sapih (jumlah anak sekelahiran 2 ekor
untuk P1, dan 1 ekor untuk P0)
a. Anak Jantan 12.000.000 1.500.000
b. Anak Betina 2.000.000 3.000.000
indukan 12.500.000 12.500.000
Pejantan 3.000.000 3.000.000
2. Produksi pupuk kandang 30.000 30.000
Total Penerimaan 29.500.000 20.030.000
IV. Keuntungan 15.558.791 8.782.578
V R/C 2,12 1,78
Sumber: Pujiawati (2017)
106 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108
PENGGUNAAN ASAM LEMAK OMEGA-3
DAN OMEGA-6 DALAM RANSUM
MENINGKATKAN KEUNTUNGAN
USAHATANI TERNAK DOMBA
Analisis R/C bertujuan untuk melihat
kelayakan teknologi berdasarkan aspek ekonomi.
Analisis R/C pada review ini didasarkan pada data
penelitian Pujiawati (2017) tentang penambahan
asam lemak tidak jenuh omega-3 dan omega-6
dalam ransum induk domba lokal terhadap kinerja
reproduksi. Hasil analisis R/C dari kedua
perlakuan yaitu perlakuan A (P1) dan perlakuan B
(P0) disajikan pada Tabel 3. Perlakuan A adalah
penambahan asam lemak omega-3 dan omega-6
dengan perbandingan 1:2, sedangkan perlakuan B
sebagai kontrol, yaitu tanpa penambahan asam
lemak tidak jenuh. Hasil kajian yang dilakukan
oleh Pujiawati (2017) menunjukkan, perlakuan A
memiliki jumlah anak sekelahiran rata-rata dua
ekor (10 ekor anak dari 5 ekor induk), sedangkan
untuk perlakuan B jumlah anak sekelahiran rata-
rata satu ekor (4 ekor anak dari 4 ekor induk).
Hasil analisis finansial menunjukkan,
walaupun ada penambahan biaya sebanyak Rp.
81.000 untuk pembelian asam lemak omega-6 dan
Rp. 2.637.360 untuk asam lemak omega-3, P1
lebih menguntungkan. Jumlah keuntungan yang
diperoleh P1 sebanyak Rp 15.558.791 sedangkan
perlakuan P0 sebesar Rp 8,782.578 Selisih
keuntungan P1 dan P2 sebanyak Rp 6,776.213
dengan R/C, berturut-turut 2,12 dan 1,78. R/C
2,12 artinya, untuk setiap Rp1000 biaya yang
dikeluarkan, peternak menghasilkan keuntungan
Rp 2.120. Potensi keuntungan P1 berpotensi dapat
ditingkatkan, melalui pemanfaatan bahan pakan
lokal yang mengandung asam lemak omega-3;
tentunya melalui penelitian lanjutan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Asam lemak omega-3 dan omega-6
memiliki pengaruh yang sangat kompleks
terhadap performa reproduksi ternak, dan
terbukti dapat meningkatkan kinerja
reproduksi ternak domba, dengan jumlah
anak sekelahiran rata-rata 2 ekor,
dibandingkan kontrol yang hanya satu
ekor.
Secara ekonomis, penggunaan asam
lemak omega-3 dan omega-6 dengan
perbandingan 1:2, meningkatkan
keuntungan usaha pemeliharaan ternak
domba, dari Rp 8.782.578 untuk kontrol
menjadi Rp 15.558.791.
Saran
Pemanfaatan Asam lemak omega-3 dan
omega-6 telah terbukti mampu meningkatkan
jumlah anak sekelahiran dan keuntungan
usahatani ternak domba. Keuntungan tersebut
berpotensi dapat ditingkatkan melalui
penggunaan bahan pakan lokal yang mengandung
asam lemak omega-3, sehingga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kepada Dr. drh
Wasito, M.Si selaku pembimbing. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada dosen
pembimbing Dr. Asep Sudarman M.RurSc dan
Dr. Ir. Lilis Khotijah. Terima kasih diucapkan
kepada rekan penyuluh di BPTP Bali Bapak Eko
Nugroho Jati S.IP dan rekan peneliti BPTP
Sulawesi Tengah Bapak Wardi, S.Pt atas
kerjasamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abayasekara D. R, dan Wathes, D. C. 1999.
Effects of altering dietary fatty acid
composition on prostaglandin synthesis and
fertility. Prostaglandins Leukot. Essent.
Fatty Acids 61:275-287.
Burke, J. M., Caroll, D. J., Rowe, K. E., Thatcher,
W. W., Stromshak, F. 1996. Intravascular
infusion of lipid into ewes stimulates
production of progesterone and
prostaglandins. Biol. Reprod. 55:169-175
Butler, W.R dan R.D. Smith. 1989.
Interrelationship Between Energy Balance
and Postpartum Reproductive Function in
Dairy Cattle. J. Dairy Sci 72 :767-783.
107 Penggunaan Asam Lemak Omega-3 dan Omega-6 Untuk Meningkatkan Kinerja Reproduksi dan
Keuntungan Usaha Pemeliharaan Induk Domba (Yusti Pujiawati dan I Made Rai Yasa)
Cameron, E. Z., Lemons, P. R., Bateman, P. W.,
Bennet, N. C. 2008. Experimental
alteration of litter sex ratio in mammal.
Proc.R.Soc.B. 273:323-327.
[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. 2017. Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta
(ID). Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
Espinoza, J. L., Ramirez-Godinez, J. A., Simental,
S. S., Jimenez, J., Ramirez, R., Palacios, A.,
De Lun, R. 1997. Effects of calcium soaps
of fatty acids on serum hormones and lipid
metabolites in Pelibuey ewes. Small
Ruminant Research 26: 61-68.
Gulliver, C. E., Piltz, J. W., Friend, M.A.,
Clayton, E. H. 2010. Improving the omega-
3 status of sheep by feeding silage, In: Proc.
Nutr. Soc. Aust. Vol. 34, Perth, Australia, p.
73.
Gulliver CE, Friend MA, King BJ, Clayton EH.
2012. The role of omega-3 polyunsaturated
fatty acids in reproduction of sheep and
cattle. J. Anim. Reprod. Sci. 9-22.
Hedah, H.D. 2000. Gangguan Reproduksi.
Makalah disampaikan pada Pelatihan
Inseminator Sapi/Kerbau Tingkat Nasional
Angkatan Ke I, 22 Agustus- 11 September
2000.
Hess, B. W., Moss, G. E., Rule, D. C. 2008. A
decade of developments in the area of fat
supplementation research with beef cattle
and sheep. J.Anim.Sci. 86:188-204
Horrobin, D. F., dan Bennett, C. N. 1999.
Depression and bipolar
disorder:relationships to impaired fatty acid
and phospholipid metabolism and to
diabetes, cardiovascular disease,
immunological abnormalities, cancer,
aging and osteoporosis. Possible candidate
genes. Prostaglandins leukot. Essent. Fatty
Acid 60:217-234
Khotijah, L. 2014. Performa reproduksi dan
ketahanan tubuh anak domba prolifik
berbasis pakan lokal dengan sumber
linoleat minyak bunga matahari [disertasi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Khotijah, L., Wiryawan, K. G., Setiadi, M. A.,
Apriastuti, D., Zulihar, R. 2014.
Suplementasi minyak bunga matahari
(helianthus annus) pada ransum pra kawin
terhadap konsumsi nutrien dan
karakteristik estrus domba garut. JITV
19:9-16.
Khotijah, L., Wiryawan, K. G., Setiadi, M. A.,
Astuti, D. A. 2015. Reproductive
performance, cholesterol and progesterone
status of Garut Ewes fed ration containing
different levels of sunflower oil. Pak. J.
Nutr 14 (7): 388-391.
Koyuncu, M. dan Canbolat, O. 2009. Effect of
different dietary energy levels on the
reproductive performance of Kivircik
sheep under a semi-intensive system in the
South-Marmara region of Turkey. Journal
of anim feed sci 18: 620-627.
Lands, W. E. 1992. Biochemistry and
physiological of n-3 fatty acids. FASEB J.
6:2350-2536.
Leroy, J. L. M. R., Sturnet, R. G, Van Hoeck, V.,
Bie, D. J, McKeegan, P. J, dan Bols, P. E.
J. 2013. Dietary fat supplementation and
the consequences for oocytes and embryo
quality hype or significant benefit for dairy
cow reproduction?. Reprod. Dom. Anim.
49:353-361.
McDonald, P., Edwardss, R. A., Greenhalgh, J. F.
D., Morgan, C. A., Sinclair, L. A, dan
Wilkinson, R. G. 2011. Animal Nutrition.
7th ed. Inggris (UK) : Pearson.
Morris, D. H. 2007. Flax- A Health and Nutrition
Primer. 4th ed. Kanada: Flax Council of
Canada.
Nieto, R., Ferguson, M. B., dan Macleay, C. A.
2013. Selection for superior growth
advances the onset of puberty in Merino
ewes. Proc. Assoc. Advmt. Anim. Breed
19:303-306.
Nieto, R., Torres, M. T. S., Mejia, O., Figueroa, J.
L., Olivares, L., Peralta, J. G., Cordero, J.
L., Molina, P., dan Cardenas, M. 2015.
Effect of fish meal and oil on hormone
profile and reproductive variables in ewes
inseminated by laparoscopy. J Livestock
Scie. 178:357-362.
Otto, J. R., Freeman, M. J, Malau-Aduli, B. S.,
Nichols, P. D., Lane, P. A., Malau-Aduli,
A. E. O. 2014. Rperoduction and fertility
108 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.5, No.1, Juni 2019:99-108
parameters of dairy cows supplemented
with omega-3 fatty acid-rich canola oil.
Annual research and review in biology
4(10):1611-1636.
Pujiawati, Y. 2017. Performa reproduksi induk,
bobot lahir dan mortalitas anak domba yang
diberi ransum komplit dengan imbangan
omega-3 dan omega-6 yang berbeda.
[tesis]. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Pujiawati, Y., Khotijah, L., Sudarman, A., dan
Wijayanti, I. 2018. Effect of different ratio
omega-3 dan omega-6 in total mix ration on
productive performance, blood metabolites
and estrous characteristic of ewes. Bulletin
of Animal Science 42(4):1-6.
Robinson, R. S., Pushpakumara, P. G., Cheng, Z.,
Peters, A. R., Abayasekara, D. R., dan
Wathes, D. C. 2002. Effects of dietary
polyunsaturated fatty acids on ovarian and
uterine function in lactating dairy cows.
Reproduction 124:119-131.
Santos, J. E. P, Bilby, T. R., Thatcher, W. W,
Staples, C. R, dan Silvestre, F. T. 2008.
Long chain fatty acids of diet as factors
influencing reproduction in cattle. Reprod.
Domest. Anim.43:23-30.
Sprecher, H. 1981. Biochemistry of essential fatty
acid. Progress in Lipid Research 20:13-22.
Staples, C. R., Burke, J. M., dan Thatcher, W. W.
1998. Influence of supplemental fats on
reproductive tissues and performance of
lactating cows. J. Dairy Sci. 81:856-871
Suharti, S., Khotijah, L., Nasution, A. R.,
Warmadewi, D. A., Cakra, I. G. L. O.,
Arman, C., dan Wiryawan, K. G. 2017.
Productive and reproductive performance
and blood profile of Bali cows
supplemented with calcium soap-soybean
oil. Pak. J. Nutr 16(11):882-887.
Titi, H. H., dan Awad, R. 2007. Effect of dietary
fat supplementation on reproductive
performance of goats. Anim Reprod. 4(1-
2):23-20.
Teleni, E., Rowe, J. B., Croker, K. P., Murray, P.
J., dan King, W. R. 1989. Lupins and
energy-yielding nutrients in ewes.II*
responses in ovulation rate in ewes to
increased availability of glucose, acetate
and amino acid. Reprod. Fertil. Dev 1:117-
125.
Toelihere, M. R. 1997. Fisiologi Reproduksi Pada
Ternak. Bandung (ID): Angkasa.
Wathes, D. C., Abayasekara, D. R. E, dan Aitken,
R. J. 2007. Polyunsaturated fatty acids in
male and female reproduction. Biol.
Reprod. 77:190-210.
Wonnacot, K. E., Kwong, W.Y., Hughes, J.,
Salter. A. M., Lea, R. G., Gamsworthy, P.
C., dan Sinclair, K. D. 2010. Dietary
omega-3 and -6 polyunsaturated fatty acids
affect the composition and development of
sheep granulosa cells, oocytes and
embryos. Reproduction 139:57-69.
Margaretha, S. Lalu, dan Suwardi. 2004. Sistem
Perbeníhan untuk mendukung
penyebarluasan varietas padi unggul
nasional. Balai Penelitian Tanaman
Serealia. Badan Litbang Pertanian.
PEDOMAN BAGI PENULIS
NASKAH. Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain.
BENTUK NASKAH. Naskah diketik dengan Microsoft Word, jenis huruf Arial, 2 spasi termasuk abstrak. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel, gambar, perhitungan dan literatur.
Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul Naskah, Nama Penulis beserta instansi dan alamat, Abstrak beserta Kata Kunci (dalam bahasa Indonesia dan Inggris). Untuk tulisan review, urutannya: Pendahuluan, Sub-sub Topik Bahasan, Kesimpulan, dan ditutup dengan Daftar Pustaka. Untuk tulisan naskah hasil Litkaji setelah Pendahuluan dilanjutkan dengan Metodologi, dilanjutkan dengan Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.
BAHASA. Gunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris yang baku. Pemakaian istilah-istilah asing hendaknya dikurangi/disesuaikan dengan Pedoman Bahasa Indonesia.
JUDUL NASKAH. Judul merupakan ungkapan yang mencerminkan isi naskah, tidak lebih dari 15 kata.
ABSTRAK. Naskah dalam bahasa Indonesia maupun yang berbahasa Inggris ditulis ringkas dan jelas tidak lebih dari 250 kata. Abstrak dituangkan dalam satu paragraf, mencakup latar belakang, tujuan, metode penelitian, hasil pembahasan dan kesimpulan.
KATA KUNCI. Pemilihan kata kunci mengacu pada deskriptor yang tercantum dalam AGROVOC. Apabila istilah yang dipilih tidak terdapat dalam AGROVOC, maka Thesaurus lain atau kamus istilah dapat dipakai sebagai
rujukan. Maksimal 4 kata kunci
PENDAHULUAN. Memuat alur pikir serta justifikasi perlunya penelitian/pengkajian atau penulisan dilakukan, perumusan tujuan secara rinci dan spesifik mengacu pada permasalahan yang akan diteliti atau ditulis
METODE. Memuat unsur lokasi dan waktu, rancangan penelitian/pengkajian meliputi penentuan/penetapan parameter/peubah; metode pengumpulan data (sampling method), metode pengolahan dan analisis data. Penyajian metode memerlukan acuan pustaka. Uraian agar mencantumkan rumusan matematis yang hasil numeriknya dapat divalidasi. Penyajian metode harus cukup terperinci sehingga dapat diulangi (repeatability). Untuk naskah berupa ulasan/review, setelah Pendahuluan langsung pada uraian Pembahasan
HASIL DAN PEMBAHASAN. Memuat tampilan dalam bentuk tabulasi data; analisis dan evaluasi terhadap data sesuai formula hasil kajian teoritis yang dilakukan; dan interpretasi hasil analisis
KESIMPULAN. Harus mengakomodasi semua tujuan yang telah ditetapkan, dan secara substantif mampu mengaitkan temuan pokok penelitian dan pengkajian dengan permasalahan yang dihadapi, azas manfaat penelitian, dilengkapi implikasinya dan bukan merupakan pengulangan atau ringkasan dari hasil dan pembahasan
TABEL. Tabel diberi judul singkat, jelas dan diikuti keterangan tempat dan waktu pengambilan data.
GAMBAR DAN GRAFIK. Gambar dan grafik dibuat ukuran besar sehingga memungkinkan direduksi antara 50-60% dari gambar dan grafik asli. Judul gambar dan grafik diletakkan di bawahnya tanpa mempengaruhi bagian gambar atau grafik.
SATUAN PENGUKURAN. Satuan pengukuran dalam teks, grafik dan gambar memakai sistem metrik misalnya kg, g, cm, km, l, ha dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA. Menyajikan semua pustaka yang dikutip (sebaiknya terbitan 10 tahun terakhir), Minimal 80% dari tulisan jurnal primer, disusun menurut abjad dengan urutan nama pengarang, tahun terbit, judul karangan, nama publikasi, volume dan nomor jurnal serta halaman.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka:
Gonzales, N.J., T.W. Sullivan, J.H. Douglas, and M.M. Beck. 1993. Effect on inorganic sulfate on bone mineralization in broilers. Poultry Science 72(3):135-174.
Sutriadi, M.T., dan B. Rochayati. 2002. Pengkayaan P dengan phosphat alam pada lahan kering masam. Dalam Suptapto, Hartono (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering. Banjarbaru, 18-19 Desember 2002. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: hal. 47-58.
Chute, H.L. 1984. Fungal infections. In Hofstad, M.S (Eds). Diseases of Poultry. 8th ed. Iowa State Uvinersity Press. Iowa, USA: p. 309-322.
Cooper, M. McG. and R. J. Thomas. 1982. Profitable Sheep Farming. 5th ed. Farming Press Ipswich, UK.
Sutrisno, P.S. 2005. Integrasi Padi dan Ternak. http://www.ajol.info/viewarticle.php?id=abstak [28 Mei] 2006.
BPTP Kalteng. 2006. Pemanfaatan Lahan Rawa Eks PLG Kalimantan Tengah. BPTP Kalteng. Palangkaraya.
PENYERAHAN NASKAH. Naskah (hard copy) diserahkan ke Dewan Redaksi rangkap 3 (tiga) bersama dengan file naskah (soft copy) dengan dilengkapi surat pengantar dari kepala unit kerja/instansi.
WAKTU PENERBITAN. Buletin diterbitkan satu kali setahun. Urutan naskah yang diterbitkan didasarkan pada kelancaran proses pemeriksaan oleh Dewan Redaksi dan perbaikan oleh Penulis.