doff - unas repository

225
doff

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: doff - Unas Repository

doff

Page 2: doff - Unas Repository

DR. H. ZAINUL DJUMADIN

OTONOMI DAERAH DI INDONESIA SEJARAH, TEORI DAN ANALISIS

Page 3: doff - Unas Repository

Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Copyright : Djumadin, Zainul OTONOMI DAERAH DI INDONESIA SEJARAH, TEORI DAN ANALISIS Editor : Penata Letak/Cover : LPU-UNAS Penulis : Dr. H. Zainul Djumadin Cetakan pertama : 2017 ISBN : 978-602-0819-37-2 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Penerbit : Lembaga Penerbitan Universitas Nasional (LPU-UNAS) Jl. Sawo Manila, No. 61. Pejaten. Pasar Minggu. Jakarta Selatan. 12520. Telphon : 021-78837310/021-7806700 (hunting). Ex. 172. Fax : 021-7802718 Email : [email protected]

Page 4: doff - Unas Repository

KATA PENGANTAR

Indonesia negara dengan sejarah panjang penjajahan yang memiliki peradaban panjang sejak zaman pra-sejarah.Indonesia juga adalah tanah yang saat ini kita tempati.Persoalan dasar negara adalah hukum tanah atau agraria. Kedaulatan negara menjadi masalah yang harus dipertahankan dalam kurun sejarah perebutan tanah.

Setelah Indonesia merdeka masalah terbesar adalah wilayah Indonesia yang sangat luas berarti masalah hukum agraria juga sangat luas. Berkembangnya otonomi dan masalahnya menjadi persoalan mendasar bagi pembangunan bangsa. Buku ini memberikan deskripsi historis dan analisis yang masih perlu disempurnakan. Pada Pembaca diharapkan kritik yang membangun.

Jakarta, Juli 2017

Penulis

Page 5: doff - Unas Repository

ii

DAFTAR ISI BAB I. SEJARAH OTONOMI DAERAH SEBUAH KENISCAYAAN

Latar Belakang Pemikiran .................................................... 1 Sejarah Singkat Provinsi di Indonesia ................................... 4 Sejarah Pemerintahan Daerah di Indonesia ............................ 50 Bhineka Tunggal Ika, Pemerintahan Daerah di Indonesia ..... 50 Periode I (1945-1948) ............................................................ 61 Periode II (1948-1957) ........................................................... 63 Periode III (1957-1965) ........................................................ 66 Periode IV (1965-1974) ........................................................ 70 Periode V (1999-2004) .......................................................... 77 Periode VI (Mulai 2004) ....................................................... 80 Zaman Hindia Belanda ......................................................... 84 Pendudukan Militer Jepang .................................................. 86 Konsep BPUPKI ................................................................. 87 RIS dan NTT ........................................................................ 88

BAB II. TEORI OTONOMI DAERAH

Pengertian Otonomi Daerah .................................................. 99 Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli .................... 100 Dasar Hukum Otonomi Daerah .............................................. 102 Asas Otonomi Daerah ........................................................... 103 Prinsip Otonomi Daerah ....................................................... 106 Tujuan Otonomi Daerah ........................................................ 106 Kajian Pustaka ....................................................................... 106 Pengertian Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal .......... 106 Pengertian Kapasitas Fiskal .................................................. 113 Komponen Kapasitas Fiskal .................................................. 116 Kemiskinan ........................................................................... 119

Page 6: doff - Unas Repository

iii

Pengertian Kemiskinan ......................................................... 119 Macam-Macam Kemiskinan ................................................ 122 Garis Kemiskinan ................................................................. 123 Konsep Kemiskinan .............................................................. 123 Teori Modernisasi : Pembangunan Sebagai Masalah Internal Dalam Kemiskinan ................................................. 125 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ........................... 127 Teori Erick Lindahl ............................................................... 130 Kebijakan Fiskal .................................................................. 138 Pelaksanaan Otonomi Daerah ............................................. 139 Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ................................. 141

BAB III. ANALISA

Tujuan dan Manfaat Pengelolaan Kinerja Keuangan Pemerintah daerah ................................................................. 145 Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah ................... 146 Pengelolaan Keuangan Daerah .............................................. 149 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ............................................. 149 Kerangka Konsep Fiskal ....................................................... 163 Konsep Bentuk Desentralisasi ............................................ 164 Definisi Desentralisasi ........................................................ 173 Tujuan Desentralisasi .......................................................... 180 Keunggulan dan Kelemahan Desentralisasi ........................ 185 Desentralisasi administrasi ................................................. 188 Kepala Daerah dan DPRD .................................................. 202

BAB IV. PENUTUP

Penutup ................................................................................ 207 Simpulan .............................................................................. 207 Daftar Pustaka dan Lampiran................................................ 209

Page 7: doff - Unas Repository

iv

Page 8: doff - Unas Repository

BAB. I

SEJARAH OTONOMI DAERAH

SEBUAH KENISCAYAAN

Latar Belakang Pemikiran

Otonomi daerah di Indonesia muncul sebagai bentuk pengakuan terhadap sentralisasi di masa orde baru yang tidak menghasilkan pembangunan dan peningkatan serta perubahan kearah yang lebih baik dalam berkehidupan masyarakat dan kenegaraan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Kondisi tersebut di atas dapat terjadi karena pada masa orde baru adanya ketergantungan yang sangat tinggi dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Sehingga mengakibatkan tidak ada kemandirian perencanaan pengelolaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru seluruh proyek pembangunan dan pengembangan wilayah di daerah semuanya bergantung persetujuan pemerintah pusat di Jakarta,baik dalam hal dana maupun sumber daya manusia. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi.

Terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 dan Indonesia tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah.

Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan

Page 9: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

2

kebijakan untuk mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN.

Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar.

Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah.

Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.

Page 10: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

3

Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan.

Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan.

Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru.

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya.

Page 11: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

4

Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.

Sejarah Singkat Provinsi Di Indonesia

Negara Indonesia dibagi dalam daerah-daerah provinsi atau daerah-daerah yang dipersamakan dengan provinsi. Daerah-daerah tersebut, baik yang bersifat otonom atau yang bersifat administrasi belaka, semuanya diatur menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-Undang atau yang disetarakan dengan undang-undang. Selain itu Negara Indonesia mengakui dan menghormati daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang pengaturannya berbeda dengan daerah pada umumnya. Dalam perjalanan masa selama lebih dari enam puluh tahun, Negara Indonesia telah membentuk lebih dari tiga puluh provinsi atau daerah yang dipersamakan dengan provinsi. Beberapa di antaranya masih ada hingga saat ini (2009), sisanya telah dimekarkan, bahkan sebagian telah diubah bentuknya atau dibubarkan.

Page 12: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

5

Aceh [I] (1949-1950)

Peraturan:

Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Tahun 1949 No. 8/Des/WKPM (disahkan 17 Desember 1949; berlaku 1 Januari 1950).

Wilayah asal:

1. Karesidenan Aceh (dimaksud dalam Staatsblad 1934 No. 539) dan

2. Kabupaten Langkat yang tidak termasuk wilayah Negara Sumatera Timur.

Kedudukan Pemerintahan: Kutaraja.

- Pemekaran dari Provinsi Sumatera Utara [I] . - Dibubarkan dengan Perppu No. 5 Tahun 1950; Wilayahnya

digabung dengan Provinsi Tapanuli-Sumatera Timur menjadi Provinsi Sumatera Utara [II] (1950).

Aceh [II] (1956-sekarang)

Peraturan:

- Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 (disahkan 29 November 1956; diundangkan 7 Desember 1956) jo. Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959.jo. UU No 44 Tahun 1999.

- UU No 18 Tahun 2001 (dicabut dan digantikan dengan nomor 5).jo. UU No 11 Tahun 2006.

- Nomenklatur yang digunakan:Provinsi Aceh (1956-1959; 2009-sekarang).

Page 13: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

6

- Daerah Istimewa Aceh/Provinsi Daerah Istimewa Aceh (1959-2001).

- Provinsi Istimewa Aceh (1999 – belum pernah digunakan). - Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Aceh Besar, 2. Kabupaten Pidie, 3. Kabupaten Aceh Utara, 4. Kabupaten Aceh Timur, 5. Kabupaten Aceh Tengah, 6. Kabupaten Aceh Barat, 7. Kabupaten Aceh Selatan (dimaksud dalam UU Drt No. 7 Tahun

1956); dan 8. Kota Besar Kutaraja (dimaksud dalam UU Drt No. 8 Tahun

1956). Kedudukan Pemerintahan : Kutaraja (berganti nama menjadi Kota Banda Aceh). - Pemekaran dari Provinsi Sumatera Utara [II] . - Diberi status Daerah Istimewa dengan Keputusan Perdana

Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh; Nomenklaturnya diubah menjadi Daerah Istimewa Aceh (1959).

- Status Daerah Istimewa diperkuat dengan UU No 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh (1999).

- Diberi Otonomi Khusus dengan UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Nomenklaturnya diubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2001).

Page 14: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

7

- Status Keistimewaan dan Otonomi Khusus diatur kembali dengan UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (2006).

Bengkulu (1967-sekarang)

Peraturan:

UU No. 9 Tahun 1967 (disahkan dan diundangkan 12 September 1967).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Bengkulu Utara, 2. Kabupaten Bengkulu Selatan, 3. Kabupaten Rejang Lebong; dan 4. Kotamadya Bengkulu (termaksud dalam UU 28 Tahun 1959).

Kedudukan Pemerintahan: Bengkulu.

Pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan [II] .

Jambi (1957/8-sekarang)

Peraturan:

UU Darurat No. 19 Tahun 1957 [disahkan 9 Agustus 1957; diundangkan 10 Agustus 1957] (ditetapkan menjadi UU No. 61 Tahun 1958 [disahkan 25 Juli 1958; diundangkan 31 Juli 1958]

Wilayah asal:

1. Daerah Swatantra Tingkat II Batanghari,

2. Daerah Swatantra Tingkat II Merangin;

3. Sebagian Daerah Swatantra Tingkat II Pesisir/Kerinci yang meliputi wilayah Kecamatan-kecamatan: 1. Kerinci Hulu 2.

Page 15: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

8

Kerinci Tengah dan 3. Kerinci Hilir (termaksud dalam UU No. 12 tahun 1956); dan Kotapraja Jambi (termaksud dalam UU No. 9 tahun 1956).

Kedudukan Pemerintahan: Jambi

Pemekaran dari Provinsi Sumatera Tengah [II].

Kepulauan Bangka Belitung(2000-sekarang)

Peraturan:

UU No. 27 Tahun 2000 (disahkan dan diundangkan 4 Desember 2000)

Wilayah asal:

1. Kabupaten Bangka, 2. Kabupaten Belitung; dan 3. Kota Pangkal Pinang (termaksud dalam UU 28 Tahun 1959). Kedudukan Pemerintahan: Kota Pangkal Pinang. Lain-lain: Pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan [II].

Kepulauan Riau (2002-sekarang)

Peraturan:

UU No. 25 Tahun 2002 (disahkan dan diundangkan 25 Oktober 2002).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Kepulauan Riau (dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 1956),

2. Kabupaten Karimun,

Page 16: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

9

3. Kabupaten Natuna,

4. Kota Batam (dimaksud dalam UU No. 53 Tahun 1999 jo. UU No. 13 Tahun 2000), dan

5. Kota Tanjung Pinang (dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 2001).

Kedudukan Pemerintahan: Tanjung Pinang.

Pemekaran dari Provinsi Riau.

Lampung (1964-sekarang)

Peraturan:

Perppu No. 3 Tahun 1964 [disahkan dan diundangkan 13 Februari 1964; berlaku surut 1 Januari 1964 ] (ditetapkan menjadi UU No. 14 tahun 1964 [disahkan dan diundangkan 23 September 1964; berlaku surut 1 Januari 1964 ])

Wilayah asal:

1. Daerah Tingkat II Lampung Utara,

2. Daerah Tingkat II Lampung Tengah,

3. Daerah Tingkat II Lampung Selatan, dan Kotapraja Tanjungkarang-Telukbetung (termaksud dalam UU 28 Tahun 1959).

Kedudukan Pemerintahan: Tanjungkarang-Telukbetung (berganti nama menjadi Kota Bandar Lampung [?]).

Pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan [II] .

Page 17: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

10

Riau (1957/8-sekarang)

Peraturan:

UU Drt No. 19 Tahun 1957 [disahkan 9 Agustus 1957; diundangkan 10 Agustus 1957 ] (ditetapkan menjadi UU No. 61 Tahun 1958 [disahkan 25 Juli 1958; diundangkan 31 Juli 1958 ]).

Wilayah asal:

1. Daerah Swatantra Tingkat II Bengkalis,

2. Daerah Swatantra Tingkat II Kampar,

3. Daerah Swatantra Tingkat II Inderagiri, dan

4. Daerah Swatantra Tingkat II Kepulauan Riau (termaksud dalam UU No. 12 tahun 1956),

5. Kotapraja Pakanbaru (termaksud dalam UU No. 8 tahun 1956).

Kedudukan Pemerintahan (asal): Tanjung Pinang.

- Kedudukan Pemerintahan (sekarang): Kota Pekanbaru. - Pemekaran dari Provinsi Sumatera Tengah [II]. - Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Kepulauan

Riau (2002).

Sumatera (1947-1948)

Peraturan:

PP No. 8 Tahun 1947 (disahkan dan diundangkan 28-14-1947).

Wilayah asal:

Wilayah Provinsi Administratif Sumatera.

Kedudukan Pemerintahan: Medan / Bukittinggi.

Page 18: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

11

- Pembentukan pertama/Alih status dari administratif. - Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur

mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1947).

- Berdasar Perjanjian Renville wilayahnya berkurang karena didirikan/menjadi Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, serta Satuan Kenegaraan Riau, Satuan Kenegaraan Belitung, dan Satuan Kenegaraan Bangka (1948).

- Wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Sumatera Utara [I], Provinsi Sumatera Tengah [I], dan Provinsi Sumatera Selatan [I] (1948).

Sumatera (Administratif) (1945-1947)

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Daerah Gunseikan Sumatera/ Wilayah Provinsi Sumatera Hindia Belanda (Residentie Atjeh en Onderhoorigheden, Residentie Tapanoeli, Residentie Sumatra's Westkust, Residentie Benkoelen, Residentie Lampoengsche Districten, Residentie Palembang, Residentie Djambi, Residentie Riouw en Onderhoorigheden, Residentie Oostkust van Sumatra, dan Residentie Bangka en Billiton [?]).

Kedudukan Pemerintahan: Medan / Bukittinggi (?) .

Pembentukan pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945).

- Dialihkan statusnya menjadi provinsi otonom (1947).

Page 19: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

12

Sumatera Barat (1957/8-sekarang)

Peraturan:

UU Drt No. 19 Tahun 1957 [disahkan 9 Agustus 1957; diundangkan 10 Agustus 1957] (ditetapkan menjadi UU No. 61 Tahun 1958 [disahkan 25 Juli 1958; diundangkan 31 Juli 1958 ]).

Wilayah asal:

1. Daerah Swatantra Tingkat II Agam; 2. Daerah Swatantra Tingkat II Padang/Pariaman; 3. Daerah Swatantra Tingkat II Solok; 4. Daerah Swatantra Tingkat II Pasaman; 5. Daerah Swatantra Tingkat II Sawahlunto/Sijunjung; 6. Daerah Swatantra Tingkat II Limapuluh Kota; 7. Daerah Swatantra Tingkat II Pesisir Selatan/Kerinci, dikurangi

dengan wilayah Kecamatan-kecamatan; 1.Kerinci Hulu, 2.Kerinci Tengah dan, 3.Kerinci Hilir; dan

8. Daerah Swatantra Tingkat II Tanah Datar, (termaksud dalam UU No. 12 tahun 1956);

9. Kotapraja Bukit Tinggi dan Kotapraja Padang (termaksud dalam UU No. 9 tahun 1956);

9. Kotapraja Sawahlunto; 10. Kotapraja Padang panjang; 11. Kotapraja Solok dan 12. Kotapraja Payakumbuh (termaksud dalam UU No. 8 tahun 1956). Kedudukan Pemerintahan (asal): Bukittinggi. Kedudukan Pemerintahan (sekarang): Kota Padang.

Pemekaran dari Provinsi Sumatera Tengah [II].

Page 20: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

13

Sumatera Selatan [I] (1948-1950)

Peraturan:

UU No. 10 Tahun 1948 (disahkan dan diundangkan 15 April 1948)

Wilayah asal:

1. Karesidenan Palembang,

2. Karesidenan Bengkulu,

3. Karesidenan Lampung, dan

4. Karesidenan Bangka-Biliton.

Kedudukan Pemerintahan: Palembang

- Pemekaran dari Provinsi Sumatera.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah (1948).

- Sebagian wilayahnya didirikan/menjadi Negara Sumatera Selatan, Satuan kenegaraan Belitung, dan Satuan kenegaraan Bangka (1948).

- Selama Periode Pemerintahan Darurat sampai sekitar pertengahan 1950 pemerintahannya bersifat militer.

- Dibentuk ulang menjadi Provinsi Sumatera Selatan [II] tanpa pencabutan peraturan UU No. 10 Tahun 1948 (1950).

Sumatera Selatan [II] (1950/9-sekarang)

Peraturan:

- Perppu No. 3 Tahun 1950 (disahkan 14 Agustus 1950; berlaku 15 Agustus 1950), jo. UU Drt No. 16 Tahun 1955 (keduanya

Page 21: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

14

ditetapkan menjadi UU No. 25 Tahun 1959 [disahkan 26 Juni 1959; diundangkan 4 Juli 1959 ]); jo. Perppu No. 3 Tahun 1964 (ditetapkan menjadi UU No. 14 tahun 1964); jo. UU No. 9 Tahun 1967; jo. UU No. 27 Tahun 2000.

- PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950)

Wilayah asal:

1. Karesidenan Palembang,

2. Karesidenan Bengkulu,

3. Karesidenan Lampung, dan

4. Karesidenan Bangka-Biliton.

Kedudukan Pemerintahan: Palembang.

Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI [lihat PP RIS No. 21 Tahun 1950])/Pembentukan ulang.

Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi:

1. Provinsi Lampung (1964),

2. Provinsi Bengkulu (1967), dan

3. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2000).

Sumatera Tengah [I] (1948-1950)

Peraturan:

UU No. 10 Tahun 1948 (disahkan dan diundangkan 15 April 1948).

Wilayah asal:

Page 22: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

15

1. Karesidenan Sumatera Barat,

2. Karesidenan Riau, dan

3. Karesidenan Jambi.

Kedudukan Pemerintahan: Bukittinggi.

- Pemekaran dari Provinsi Sumatera.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah (1948).

- Sebagian wilayahnya didirikan/menjadi Satuan kenegaraan Riau (1948).

- Selama Periode Pemerintahan Darurat sampai sekitar pertengahan 1950 pemerintahannya bersifat militer.

- Dibentuk ulang menjadi Provinsi Sumatera Tengah [II] tanpa pencabutan peraturan UU No. 10 Tahun 1948 (1950).

Sumatera Tengah [II] (1950-1957/8)

Peraturan :

- Perppu No. 4 Tahun 1950 (disahkan 14 Agustus 1950; berlaku 15 Agustus 1950) jo. UU Drt No. 16 Tahun 1955.

- PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

1. Karesidenan Sumatera Barat,

2. Karesidenan Riau, dan

3. Karesidenan Jambi.

Page 23: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

16

Kedudukan Pemerintahan: Bukittinggi.

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI [lihat PP RIS No. 21 Tahun 1950])/Pembentukan ulang.

- Dibubarkan dengan UU Drt No. 19 Tahun 1957 (ditetapkan menjadi UU No. 61 Tahun 1958). Wilayahnya dibentuk (dimekarkan) menjadi Provinsi Sumatera Barat (1957/8), Provinsi Riau (1957/8), dan Provinsi Jambi (1957/8).

Sumatera Utara [I] (1948-1949)

Peraturan:

UU No. 10 Tahun 1948 (disahkan dan diundangkan 15 April 1948)

Wilayah asal:

1. Karesidenan Aceh,

2. Karesidenan Tapanuli, dan

3. Karesidenan Sumatera Timur.

Kedudukan Pemerintahan: Medan

1. Pemekaran dari Provinsi Sumatera. 2. Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur

mengenai pemerintahan daerah(1948). 2. Sebagian wilayahnya didirikan/menjadi Negara Sumatera Timur

(1948).

3. Selama Periode Pemerintahan Darurat sampai akhir 1949 pemerintahannya bersifat militer.

4. Dibubarkan dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Tahun 1949 No. 8/Des/WKPM dan No.

Page 24: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

17

9/Des/WKPM; Wilayahnya dibentuk (dimekarkan) menjadi Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli-Sumatera Timur (1949).

Sumatera Utara [II] (1950-1956)

Peraturan:

- Perppu No. 5 Tahun 1950 (disahkan 14 Agustus 1950; berlaku 15 Agustus 1950) jo. UU Drt No. 16 Tahun 1955.

- PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950jj; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

1. Karesidenan Aceh

2. Karesidenan Tapanuli, dan

3. Karesidenan Sumatera Timur.

Kedudukan Pemerintahan: Medan.

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI [lihat PP RIS No. 21 Tahun 1950])/Pembentukan ulang.

- Perppu No. 5 Tahun 1950 dicabut dan diganti dengan UU No 24 Tahun 1956; Wilayahnya dibentuk (dimekarkan) menjadi Provinsi Aceh [II] (1956) dan Provinsi Sumatera Utara [III] (1956).

Sumatera Utara [III] (1956-sekarang)

Peraturan:

UU No 24 Tahun 1956 (disahkan 29 November 1956; diundangkan 7 Desember 1956)

Page 25: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

18

Wilayah asal:

1. Karesidenan Tapanuli dan

2. Karesidenan Sumatera Timur [meliputi wilayah: Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Nias, Kabupaten Langkat, Kabupaten Karo, Kabupaten Deli-Serdang, Kabupaten Simelungun, Kabupaten Asahan, Kabupaten Labuhan Batu (dimaksud dalam UU Drt No. 7 Tahun 1956); Kota Besar Medan, Kota Besar Pematang Siantar, Kota Besar Sibolga (dimaksud dalam UU Drt No. 8 Tahun 1956); Kota Kecil Tanjung Balai, Kota Kecil Binjai, dan Kota Kecil Tebing Tinggi (termaksud dalam UU Drt No. 9 Tahun 1956).

Kedudukan Pemerintahan: Medan.

Pemekaran dan pembentukan ulang dari Provinsi Sumatera Utara [II].

Tapanuli-Sumatera Timur (1949-1950)

Peraturan:

Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Tahun 1949 No. 9/Des/WKPM (disahkan 17 Desember 1949; berlaku 1 Januari 1950).

Wilayah asal:

Karesidenan Tapanuli dan Karesidenan Sumatera Timur yang tidak termasuk wilayah Negara Sumatera Timur.

Kedudukan Pemerintahan: Sibolga.

- Merupakan pemekaran dari Provinsi Sumatera Utara [I].

Page 26: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

19

- Dibubarkan dengan Perppu No. 5 Tahun 1950; Wilayahnya digabung dengan Provinsi Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara [II] (1950).

Kalimantan (1953-1956)

Peraturan:

UU Drt No. 2 Tahun 1953 (disahkan 7 Januari 1953; diundangkan 13 Januari 1953; berlaku 7 Januari 1953).

Wilayah asal:

Wilayah Provinsi [Administratif] Kalimantan (meliputi wilayah: 1.Karesidenan Kalimantan Barat, 2. Karesidenan Kalimantan Selatan, dan 3. Karesidenan Kalimantan Timur).

Kedudukan Pemerintahan: Banjarmasin.

- Pembentukan Pertama/Alih status dari administratif. - Dibubarkan dengan UU No. 25 Tahun 1956; Wilayahnya

dibentuk (dimekarkan) menjadi Provinsi Kalimantan Barat (1956), Kalimantan Selatan (dan Provinsi Kalimantan Tengah) (1956(7/8)), dan Provinsi Kalimantan Timur (1956).

Kalimantan (Administratif) [I] (1945-1946)

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

TNI Angkatan Laut|Daerah Kaigun/Wilayah Provinsi Kalimantan Hindia Belanda (Residentie Westerafdeeling van Borneo dan Residentie Zuider en Oostafdeeling van Borneo).

Page 27: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

20

Kedudukan Pemerintahan: Banjarmasin (?).

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945)

- Berdasar Perundingan Linggarjati wilayah Provinsi Kalimantan tidak lagi masuk dalam wilayah de facto Republik Indonesia (1946).

- Di wilayahnya didirikan Satuan Kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Satuan Kenegaraan Dayak Besar, Satuan Kenegaraan Daerah Banjar, Satuan Kenegaraan Kalimantan Tenggara, dan Satuan Kenegaraan Kalimantan Timur (1946).

Kalimantan (Administratif) [II] (1950-1953)

Peraturan:

PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

Wilayah Karesidenan Kalimantan Barat, Karesidenan Kalimantan Selatan, dan Karesidenan Kalimantan Timur (meliputi wilayah bekas: Satuan Kenegaraan Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Satuan Kenegaraan Dayak Besar, Satuan Kenegaraan Daerah Banjar, Satuan Kenegaraan Kalimantan Tenggara, dan Satuan Kenegaraan Kalimantan Timur).

Kedudukan Pemerintahan: Banjarmasin (?).

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI)/Pembentukan ulang.

- Dialihkan statusnya menjadi provinsi otonom (1953).

Page 28: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

21

Kalimantan Barat (1956-sekarang)

Peraturan:

UU No. 25 Tahun 1956 (disahkan 19 November 1956; diundangkan 7 Desember 1956) jo. UU Drt No. 10 Tahun 1957 (ditetapkan menjadi UU No. 21 Tahun 1958).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Sambas, 2. Kabupaten Pontianak, 3. Kabupaten Ketapang, 4. Kabupaten Sanggau, 5. Kabupaten Sintang, 6. Kabupaten Kapuas-Hulu; dan 7. Kota Besar Pontianak (tersebut dalam UU Drt No. 3 tahun 1953).

Kedudukan Pemerintahan: Pontianak.

Pemekaran dari Provinsi Kalimantan.

Kalimantan Selatan (1956-sekarang)

Peraturan:

UU No. 25 Tahun 1956 (disahkan 19 November 1956; diundangkan 7 Desember 1956) jo. UU Drt No. 10 Tahun 1957 (ditetapkan menjadi UU No. 21 Tahun 1958) jo. UU No. 27 Tahun 1959.

Wilayah asal:

1. Kabupaten Banjar, 2. Kabupaten Hulusungai-Selatan, 3. Kabupaten Hulusungai-Utara, 4. Kabupaten Barito, 5. Kabupaten Kapuas,

Page 29: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

22

6. Kabupaten Kotawaringin, 7. Kabupaten Kotabaru, dan 8. Kota Besar Banjarmasin (tersebut dalam UU Drt No. 3 tahun

1953).

Kedudukan Pemerintahan: Banjarmasin.

- Pemekaran dari Provinsi Kalimantan. - Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Kalimantan

Tengah (1957/8). - Mengalami pengurangan wilayah yaitu Daerah Swatantra

Tingkat II Pasir (hasil pemekaran Daerah Swatantra Tingkat II Kotabaru) diserahkan kepada Provinsi Kalimantan Timur (1959).

Kalimantan Tengah (1957/8-sekarang)

Peraturan:

UU Drt No. 10 Tahun 1957 [disahkan 7 Mei 1957; diundangkan 23 Mei 1957 ] (ditetapkan menjadi UU No. 21 Tahun 1958 [disahkan 17 Juni 1958; diundangkan 2 Juli 1958 ]) jo. UU No. 25 Tahun 1956.

Wilayah asal:

1. Daerah Swatantra Tingkat II Barito, 2. Daerah Swatantra Tingkat II Kapuas, dan 3. Daerah Swatantra Tingkat II Kotawaringin (tersebut dalam UU

Drt No. 3 tahun 1953).

Kedudukan Pemerintahan (sementara): Banjarmasin.

Kedudukan Pemerintahan: Pahandut (1956)/Palangkaraya (1957).

Lain-lain: Pemekaran dari Provinsi Kalimantan Selatan (atau Provinsi Kalimantan [?]).

Page 30: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

23

Kalimantan Timur (1956-sekarang)

Peraturan:

UU No. 25 Tahun 1956 (disahkan 17 Juni 1958; diundangkan 2 Juli 1958) jo. UU Drt No. 10 Tahun 1957 (ditetapkan menjadi UU No. 21 Tahun 1958) jo. UU No. 27 Tahun 1959 jo. UU No. 20 Tahun 2012 (disahkan 16 November 2012; diundangkan 17 Juli 2012).

Wilayah asal:

1. Daerah Istimewa Kutai, 2. Daerah Istimewa Berau, dan 3. Daerah Istimewa Bulongan (tersebut dalam UU Drt No. 3 tahun

1953).

Kedudukan Pemerintahan: Samarinda.

- Pemekaran dari Provinsi Kalimantan. - Mengalami penambahan wilayah yaitu Daerah Swatantra Tingkat

II Pasir (hasil pemekaran Daerah Swatantra Tingkat II Kotabaru) dari Provinsi Kalimantan Selatan (1959).

- Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Kalimantan Utara.

Kalimantan Utara (2012-sekarang)

Peraturan:

UU No. 20 Tahun 2012 (disahkan 16 November 2012; diundangkan 17 Juli 2012).

Wilayah asal:

(1) Kabupaten Bulungan (tersebut dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959);

Page 31: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

24

(2) Kota Tarakan (tersebut dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1997);

(3) Kabupaten Nunukan; (4) Kabupaten Malinau (keduanya tersebut dalam Undang-Undang

Nomor 47 Tahun 1999); dan (5) Kabupaten Tana Tidung (tersebut dalam Undang-Undang Nomor

34 Tahun 2007)

Kedudukan Pemerintahan: Tanjung Selor

- Pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur - Wilayahnya merupakan wilayah tradisional Daerah Istimewa

Bulongan (tersebut dalam UU Drt No. 3 tahun 1953) (?).

Banten (2000-sekarang)

Peraturan:

UU No. 23 Tahun 2000 (disahkan dan diundangkan 17 Oktober 2000).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Serang, 2. Kabupaten Pandeglang, 3. Kabupaten Lebak, dan 4. Kabupaten Tangerang (dimaksud dalam UU No. 14 Tahun

1950), 5. Kota Tangerang (dimaksud dalam UU No. 2 Tahun 1993), dan 6. Kota Cilegon (dimaksud dalam UU No. 15 Tahun 1999).

Kedudukan Pemerintahan (asal): Serang, sebagai sebagian wilayah Kabupaten Serang.

Kedudukan Pemerintahan (sekarang): Kota Serang.

Pemekaran dari Provinsi Jawa Barat.

Page 32: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

25

Daerah Istimewa Yogyakarta (1950-sekarang)

Peraturan:

UU No. 3 Tahun 1950 (disahkan 3 Maret 1950, diundangkan 4 Maret 1950, berlaku 15 Agustus 1950), jo. UU No. 19 Tahun 1950, jo. UU No. 9 Tahun 1955; jo. UU Drt No. 5 Tahun 1957 (ditetapkan menjadi UU No. 18 Tahun 1958).

Nomenklatur yang digunakan:

- Daerah Istimewa Yogyakarta (1950-1965, 2012-sekarang). - Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1965-2012). - Provinsi Istimewa Yogyakarta (1999 belum pernah digunakan).

Wilayah asal:

Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Daerah [Kepangeranan] Pakualaman

Kedudukan Pemerintahan: Yogyakarta

- Pembentukan pertama/penurunan status kesultanan dan kepangeranan dari negara protektorat dalam lingkungan RI menjadi daerah istimewa setingkat provinsi dalam lingkungan RI).

- Mengalami penambahan wilayah dari exclave Provinsi Jawa Tengah yaitu Kotagede, Imogiri, dan Ngawen (1957/8).

- Penurunan status dari daerah istimewa setingkat provinsi menjadi provinsi biasa (1965).

Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1950-sekarang)

Peraturan :

Page 33: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

26

- UU Drt RIS No. 20 Tahun 1950 [disahkan dan diundangkan 13 Mei 1950; berlaku surut 31 Maret 1950 ] (ditetapkan menjadi UU No. 1 Tahun 1956 [disahkan 7 Februari 1956; berlaku 10 Februari 1956 ]).

- UU Pnps No. 2 Tahun 1961 jo. UU Pnps No. 15 Tahun 1963 dan UU No. 10 Tahun 1964 (semuanya dicabut dengan nomor 3).

- UU No. 11 Tahun 1990 (dicabut dengan nomor 4). - UU No. 34 Tahun 1999 (dicabut dengan nomor 5). - jo. UU No. 29 Tahun 2007.

Nomenklatur yang digunakan:

- Kotapraja Jakarta Raya (1950-1961). - Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (1961-1964). - Jakarta [atau Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta] (1964-

1990). - Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1990-1999). - Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1999-sekarang).

Wilayah asal:

Wilayah-wilayah yang dimaksud dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat No. 125 tahun 1950 (Kota Batavia ditambah Kota Kebayoran dan Kota Meester Cornelis/Jatinegara [?])

Kedudukan Pemerintahan (sekarang): Kota Administratif Jakarta Pusat

- Berasal dari Distrik Federal Jakarta (Pasal 50 Konstitusi RIS 1949).Pada mulanya berbentuk kota. Disetarakan dengan provinsi dengan nomenklatur Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya (1961).

- Dibentuk sebagai provinsi otonom dengan nomenklatur Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1990).

Page 34: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

27

- Dinyatakan sebagai daerah [otonomi] khusus karena sebagai Ibukota Negara dengan nomenklatur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (1999).

- Kekhususan [otonomi] diatur kembali dengan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Indonesia (2007).

Jawa Barat (1950-sekarang)

Peraturan :

- UU No. 11 Tahun 1950 (disahkan dan diundangkan 4 Juli 1950; berlaku 15 Agustus 1950).

- PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

1. Karesidenan Serang, 2. Karesidenan Jakarta, 3. Karesidenan Bogor, 4. Karesidenan Priangan, dan 5. Karesidenan Cirebon.

Kedudukan Pemerintahan: Bandung.

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI [lihat PP RIS No. 21 Tahun 1950])/Pembentukan ulang.

- Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Banten (2000).

Jawa Barat (Administratif) (1945-[1947

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Page 35: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

28

Wilayah Provinsi Jawa Barat Hindia Belanda (1. Karesidenan Bantam (Banten), 2. Karesidenan Batavia (Jakarta), 3. Karesidenan Buitenzorg (Bogor), 4. Karesidenan Priangan (Bandung), dan 5. Karesidenan Cheribon (Cirebon))

Kedudukan Pemerintahan: Bandung.

Pembentukan pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945).

- Setelah agresi militer I sebagian besar wilayahnya diduduki Belanda (1947).

- Berdasarkan Perjanjian Renville wilayahnya berkurang dan hanya tinggal sebagian dari wilayah karesidenan Banten (1948).

- Sebagian wilayahnya didirikan Negara Pasundan dan Distrik Federal Jakarta (1948).

Jawa Tengah (1950-sekarang)

Peraturan :

- UU No. 10 Tahun 1950 (disahkan dan diundangkan 4 Juli 1950; berlaku 15 Agustus 1950) jo. UU Drt No. 5 Tahun 1957 (ditetapkan menjadi UU No. 18 Tahun 1958).

- PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

1. Karesidenan Semarang,

2. Karesidenan Pati,

3. Karesidenan Pekalongan,

Page 36: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

29

4. Karesidenan Banyumas,

5. Karesidenan Kedu, dan

6. Karesidenan Surakarta.

Kedudukan Pemerintahan: Semarang.

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI [lihat PP RIS No. 21 Tahun 1950])/Pembentukan ulang.

- Wilayah bekas Kesunanan Surakarta termasuk exclave Kotagede serta Imogiri dan Praja Mangkunegaran termasuk exclave Ngawen (yang keduanya telah dibubarkan dan wilayahnya dijadikan Karesidenan Istimewa Surakarta pada 1946) dimasukkan menjadi wilayah Provinsi Jawa Tengah (1950).

- Terjadi pengurangan wilayah yaitu wilayah exclave Kotagede, Imogiri, dan Ngawen diserahkan pada Daerah Istimewa Yogyakarta (1957/8).

Jawa Tengah (Administratif) (1945-[1947(?)])

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Wilayah Provinsi Jawa Tengah Hindia Belanda (1. Karesidenan Semarang, 2. Karesidenan Rembang, 3. Karesidenan Pekalongan, 4. Karesidenan Banyumas, dan 5. Karesidenan Kedu).

Kedudukan Pemerintahan: Semarang.

Pembentukan pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945).

Page 37: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

30

- Setelah agresi militer I sebagian besar wilayahnya diduduki Belanda (1947).

- Berdasarkan Perjanjian Renville wilayahnya berkurang dan hanya tinggal sebagian dari wilayah karesidenan Kedu, Rembang, dan Semarang (1948).

- Di wilayahnya didirikan Satuan Kenegaraan Jawa Tengah (1948).

Jawa Timur (1950-sekarang)

Peraturan :

- UU No. 2 Tahun 1950 (disahkan 3 Maret 1950, diundangkan 4 Maret 1950, berlaku 15 Agustus 1950) jo. UU No. 18 Tahun 1950.

- PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

Kedudukan Pemerintahan: Surabaya.

Lain-lain: Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI [lihat PP RIS No. 21 Tahun 1950])/Pembentukan ulang.

Jawa Timur (Administratif) (1945-[1947)

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Wilayah Provinsi Jawa Timur Hindia Belanda (1. Karesidenan Surabaya, 2. Karesidenan Madura, 3. Karesidenan Besuki, 4.

Page 38: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

31

Karesidenan Malang, 5. Karesidenan Kediri, 6. Karesidenan Madiun, dan 7. Karesidenan Bojonegoro.).

Kedudukan Pemerintahan: Surabaya.

Pembentukan pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945).

- Setelah agresi militer I sebagian besar wilayahnya diduduki Belanda (1947).

- Berdasarkan Perjanjian Renville wilayahnya berkurang dan hanya tinggal Karesidenan Madiun, Karesidenan Kediri, dan sebagian dari wilayah karesidenan Bojonegoro (1948).

- Di wilayahnya didirikan Negara Jawa Timur dan Negara Madura (1948).

Regio IV Nusa Tenggara

Bali (1958-sekarang)

Peraturan:

UU No. 64 Tahun 1958 (disahkan 11 Agustus 1958; diundangkan 14 Agustus 1958).

Wilayah asal:

Daerah Bali (sebagai dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 sub 6 dari Staatsblad 1946 No. 143).

Kedudukan Pemerintahan (asal): Singaraja.

Kedudukan Pemerintahan (sekarang): Kota Denpasar.

Lain-lain: Pemekaran dari Provinsi Administratif Nusa Tenggara [atau Pembentukan pertama dari wilayah Negara Indonesia Timur.

Page 39: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

32

Nusa Tenggara (Administratif) (1950-1958)

Peraturan:

PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Nomenklatur yang digunakan:

- Sunda Kecil (1950-1954/8). - Nusa Tenggara (1954/8-1958).

Wilayah asal:

1. Daerah Bali,

2. Daerah Lombok,

3. Daerah Sumbawa,

4. Daerah Flores,

5. Daerah Sumba, dan

6. Daerah Timor dan kepulauan di sekitarnya Negara Indonesia Timur.

Kedudukan Pemerintahan: Singaraja (?).

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI)/ Pembentukan ulang.

- Mengalami pergantian nomenklatur dari Provinsi Sunda Kecil menjadi Provinsi Nusa Tenggara berdasarkan UU Drt No. 9 Tahun 1954 (ditetapkan menjadi UU No. 8 Tahun 1958) (1954/8).

- Wilayahnya dibentuk (dimekarkan) menjadi Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur tanpa ada pembubaran secara jelas (1958).

Page 40: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

33

Nusa Tenggara Barat (1958-sekarang)

Peraturan:

UU No. 64 Tahun 1958 (disahkan 11 Agustus 1958; diundangkan 14 Agustus 1958).

Wilayah asal:

1. Daerah Lombok dan 2. Daerah Sumbawa (sebagai dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 sub 7 dan 8 dari Staatsblad 1946 No. 143).

Kedudukan Pemerintahan: Mataram.

Lain-lain: Pemekaran dari Provinsi Administratif Nusa Tenggara [atau Pembentukan pertama dari wilayah Negara Indonesia Timur (?)].

Nusa Tenggara Timur (1958-sekarang)

Peraturan:

UU No. 64 Tahun 1958 (disahkan 11 Agustus 1958; diundangkan 14 Agustus 1958).

Wilayah asal:

1. Daerah Flores; 2. Daerah Sumba; dan 3. Daerah Timor dan kepulauannya (sebagai dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 sub 9, 10, dan 11 dari Staatsblad 1946 No. 143).

Kedudukan Pemerintahan: Kupang.

Lain-lain: Pemekaran dari Provinsi Administratif Nusa Tenggara [atau Pembentukan pertama dari wilayah Negara Indonesia Timur.

Page 41: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

34

Sunda Kecil (Administratif) (1945-1946)

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Daerah Kaigun/Wilayah de Kleine Soenda-eilanden (Residentie Bali en Lombok dan Residentie Timor en Onderhoorigheden Provinsi de Oost-Groote Hindia Belanda).

Kedudukan Pemerintahan: Singaraja

Pembentukan Pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945).

- Berdasar Persetujuan Linggarjati wilayah Provinsi Sunda Kecil tidak lagi masuk dalam wilayah de facto Republik Indonesia (1946).

- Wilayahnya menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (1946).

Timor Timur (1976-1999)

Peraturan:

UU No. 7 Tahun 1976 (disahkan dan diundangkan 17-07-1976).

Wilayah asal:

Wilayah bekas koloni Portugis di Timor.

Kedudukan Pemerintahan: Dili

- Pembentukan pertama berdasar Proklamasi Rakyat Timor Timur di Balibo tanggal 30 November 1975 maupun dalam Petisi Rakyat dan Pemerintah Sementara Timor Timur di Dili tanggal

Page 42: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

35

31 Mei 1976 [atau aneksasi wilayah yang bukan bekas Hindia Belanda (?)] (1976).

- Mendapat kemerdekaan tahun 1999/2002 (setelah melalui referendum tahun 1999 berdasar kesepakatan New York 1999 yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tanpa persetujuan DPR).

Gorontalo (2000-sekarang)

Peraturan:

UU No. 38 Tahun 2000 (disahkan dan diundangkan 22 Desember 2000).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Gorontalo, 2. Kota Gorontalo (dimaksud dalam UU No. 29 Tahun 1959]), dan 3. Kabupaten Boalemo (dimaksud UU No. 50 Tahun 1999).

Kedudukan Pemerintahan: Kota Gorontalo.

Pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara.

Sulawesi (Administratif) [I] (1945-1946)

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Daerah Kaigun/Pulau Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya (Residentie Celebes en Onderhoorigheden dan Residentie Manado Provinsi de Oost-Groote Hindia Belanda).

Kedudukan Pemerintahan: Makassar/Manado

Page 43: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

36

Pembentukan Pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945).

- Berdasar Perundingan Linggarjati wilayah Provinsi Sulawesi tidak lagi masuk dalam wilayah de facto Republik Indonesia (1946).

- Wilayahnya menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (1946).

Sulawesi (Administratif) [II] (1950-1960)

Peraturan:

PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Wilayah asal:

1. Daerah Sulawesi Selatan, 2. Daerah Minahasa, 3. Daerah Sangihe dan Talaud, 4. Daerah Sulawesi Utara, dan 5. Daerah Sulawesi Tengah Negara Indonesia Timur.

Kedudukan Pemerintahan: Makassar/Manado

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI). - Wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Administratif

Sulawesi Selatan dan Provinsi Administratif Sulawesi Utara (1960).

Sulawesi Barat (2004-sekarang)

Peraturan:

UU No. 26 Tahun 2004 (disahkan dan diundangkan 5 Oktober 2004).

Wilayah asal:

Page 44: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

37

1. Kabupaten Majene, 2. Kabupaten Polewali Mamasa, 3. Kabupaten Mamuju (dimaksud dalam UU No. 29 Tahun 1959), 4. Kabupaten Mamasa (dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 2002), dan 5. Kabupaten Mamuju Utara (dimaksud dalam UU No. 7 Tahun 2003)

Kedudukan Pemerintahan asal: Mamuju, sebagai sebagian dari Kabupaten Mamuju.

Pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan.

Sulawesi Selatan (1960/4-sekarang)

Peraturan:

UU No. 47 Prp Tahun 1960 [disahkan dan diundangkan 13 Desember 1960 ] jo. Perppu No. 2 Tahun 1964 (ditetapkan menjadi UU No. 13 Tahun 1964).

Nomenklatur yang digunakan:

- Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (1960-1964). - Provinsi Sulawesi Selatan (1964–sekarang).

Wilayah asal:

Provinsi Administratif Sulawesi Selatan (meliputi:

1. Kotapraja Makassar, 2. 2.Daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan, 3. Daerah Tingkat II Maros, 4. Daerah Tingkat II Gowa, 5. Daerah Tingkat II Jeneponto, 6. Daerah Tingkat II Takalar, 7. Daerah Tingkat II Luwu, 8. Daerah Tingkat II Tana Toraja, 9. Daerah Tingkat II Bone, 10. Daerah Tingkat II Wajo,

Page 45: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

38

11. Daerah Tingkat II Soppeng, 12. Daerah Tingkat II Bonthain, 13. Daerah Tingkat II Bulukumba, 14. Daerah Tingkat II Sinjai, 15. Daerah Tingkat II Selayar, 16. Kotapraja Pare-Pare, 17. 17.Daerah Tingkat II Barru, 18. Daerah Tingkat II Sidenreng-Rappang, 19. Daerah Tingkat II Pinrang, 20. Daerah Tingkat II Enrekang, 21. Daerah Tingkat II Majene, 22. Daerah Tingkat II Mamuju, 23. Daerah Tingkat II Polewali-Mamasa, 24. Daerah Tingkat II Buton, 25. Daerah Tingkat II Muna, 26. Daerah Tingkat II Kendari, dan 27. Daerah Tingkat II Kolaka [dimaksud dalam UU No. 29 Tahun

1959])

Kedudukan Pemerintahan: Makassar.

- Pembentukan pertama/Alih status Provinsi Administratif Sulawesi Selatan.

- Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Sulawesi Tenggara (1964) dan Provinsi Sulawesi Barat (2004).

Sulawesi Selatan (Administratif) (1960)

Peraturan:

Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1960 (disahkan dan diundangkan 31 Maret 1960).

Wilayah asal:

Page 46: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

39

Daerah-Daerah Tingkat II/Kotapraja dimaksud dalam UU No. 29 Tahun 1959 pasal 1 ayat (1) nomor 11-37 (yaitu: 11. Kotapraja Makassar, 12.Daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan, 13. Daerah Tingkat II Maros, 14. Daerah Tingkat II Gowa, 15. Daerah Tingkat II Jeneponto, 16. Daerah Tingkat II Takalar, 17. Daerah Tingkat II Luwu, 18. Daerah Tingkat II Tana Toraja, 19. Daerah Tingkat II Bone, 20. Daerah Tingkat II Wajo, 21. Daerah Tingkat II Soppeng, 22. Daerah Tingkat II Bonthain, 23. Daerah Tingkat II Bulukumba, 24. Daerah Tingkat II Sinjai, 25. Daerah Tingkat II Selayar, 26. Kotapraja Pare-Pare, 27.Daerah Tingkat II Barru, 28. Daerah Tingkat II Sidenreng-Rappang, 29. Daerah Tingkat II Pinrang, 30. Daerah Tingkat II Enrekang, 31. Daerah Tingkat II Majene, 32. Daerah Tingkat II Mamuju, 33. Daerah Tingkat II Polewali-Mamasa, 34. Daerah Tingkat II Buton, 35. Daerah Tingkat II Muna, 36. Daerah Tingkat II Kendari, dan 37. Daerah Tingkat II Kolaka).

Kedudukan Pemerintahan: Makassar

Pemekaran dari Provinsi Administratif Sulawesi.

Dialihkan statusnya menjadi provinsi otonom dengan nomenklatur Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (1960).

Sulawesi Tengah (1964-sekarang)

Peraturan:

Perppu No. 2 Tahun 1964 [disahkan dan diundangkan 13 Februari 1964; berlaku surut 1 Januari 1964 ] (ditetapkan menjadi UU No. 13 Tahun 1964 [disahkan dan diundangkan 23 September 1964; berlaku surut 1 Januari 1964 ]) jo. UU No. 47 Prp Tahun 1960.

Wilayah asal:

Page 47: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

40

Daerah Tingkat II Buol-Toli-Toli, Daerah Tingkat II Donggala, Daerah Tingkat II Poso dan Daerah Tingkat II Banggai (dimaksud dalam UU No. 29 Tahun 1959).

Kedudukan Pemerintahan: Palu.

Pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara-Tengah.

Sulawesi Tenggara (1964-sekarang)

Peraturan:

Perppu No. 2 Tahun 1964 [disahkan dan diundangkan 13 Februari 1964; berlaku surut 1 Januari 1964 ] (ditetapkan menjadi UU No. 13 Tahun 1964 [disahkan dan diundangkan 23 September 1964; berlaku surut 1 Januari 1964 ]) jo. UU No. 47 Prp Tahun 1960.

Wilayah asal:

- Daerah Tingkat II Kendari, - Daerah Tingkat II Kolaka, - Daerah Tingkat II Muna, dan - Daerah Tingkat II Buton (dimaksud dalam UU No. 29 Tahun

1959).

Kedudukan Pemerintahan: Kendari.

Pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara.

Sulawesi Utara (1960/4-sekarang)

Peraturan:

UU No. 47 Prp Tahun 1960 [disahkan dan diundangkan 13 Desember 1960 ] jo. Perppu No. 2 Tahun 1964 (ditetapkan menjadi UU No. 13 Tahun 1964).

Page 48: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

41

Nomenklatur yang digunakan:

- Provinsi Sulawesi Utara-Tengah (1960-1964). - Provinsi Sulawesi Utara (1964 – sekarang).

Wilayah asal:

Wilayah Provinsi Administratif Sulawesi Utara (meliputi: [dimaksud dalam UU No. 29 Tahun 1959]).

Kedudukan Pemerintahan: Menado.

- Pembentukan pertama/Alih status Provinsi Administratif Sulawesi Utara.

- Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Gorontalo (2000).

Sulawesi Utara (Administratif) (1960)

Peraturan:

Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1960 (disahkan dan diundangkan 31 Maret 1960).

Wilayah asal:

Daerah-Daerah Tingkat II/Kotapraja dimaksud dalam UU No. 29 Tahun 1959 pasal 1 ayat (1) nomor 1-10 (yaitu:

1. Kotapradja Menado, 2. Daerah Tingkat II Kepulauan Sangihe dan Talaud, 3. Daerah Tingkat II Minahasa, 4. Daerah Tingkat II Bolaang Mongondow, 5. Daerah Tingkat II Gorontalo, 6. Daerah Tingkat II Donggala, 7. Daerah Tingkat II Buol-Toli-Toli, 8. Kotapradja Gorontalo, 9. Daerah Tingkat II Poso, dan

Page 49: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

42

10. Daerah Tingkat II Banggai.

Kedudukan Pemerintahan: Menado

Pemekaran dari Provinsi Administratif Sulawesi.

Dialihkan statusnya menjadi provinsi otonom dengan nomenklatur Provinsi Sulawesi Utara-Tengah (1960).

Irian Barat [I] (1956/7/8-1962)

Peraturan:

UU No. 15 Tahun 1956 (disahkan dan diundangkan 16 Agustus 1956) jo. UU Drt No. 20 Tahun 1957 [disahkan dan diundangkan 10 Agustus 1957; berlaku surut 16 Agustus 1956 ] (ditetapkan menjadi UU No. 23 Tahun 1958 [disahkan 17 Juni 1958; diundangkan 4 Juli 1958; berlaku surut 16 Agustus 1956 ]).

Wilayah asal:

Wilayah Irian Barat dan Kawedanaan Tidore, serta Distrik Weda dan Distrik Petani (sebagian wilayah Kawedanan Weda).

Kedudukan Pemerintahan: Tidore.

- Pembentukan pertama/pemekaran dari Provinsi Administratif Maluku.

- Mendapat tambahan wilayah yaitu Distrik Maba dan Distrik Gebe dari Provinsi Administratif Maluku sehingga wilayahnya meliputi Irian Barat serta Kawedanaan Tidore dan seluruh Kawedanan Weda (1957/8).

- Dibubarkan dan dibentuk ulang pada 1962.

Page 50: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

43

Irian Barat [II] (1962-1969)

Peraturan:

Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1962 (disahkan dan diundangkan 1 Januari 1962) jo. Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1963 (disahkan dan diundangkan 21 Februari 1963) jo. Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1963.

Nomenklatur yang digunakan:

- Provinsi Irian Barat Bentuk Baru (1962-1963). - Provinsi Irian Barat (1963-1969).

Wilayah asal:

Residentie Nieuw Guinea menurut konstruksi a la van Mook.

Kedudukan Pemerintahan: Kotabaru.:

- Pembentukan ulang Provinsi Irian Barat [I] , dengan perubahan wilayah.

- Pemerintahan Perjuangan di bawah Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia/Panglima Besar Pembebasan Irian Barat atas wilayah sengketa (?) (1962-1963).

- Pemerintahan Sipil Sementara Indonesia atas wilayah sengketa sejak 1 Mei 1963.

Irian Jaya Tengah (de jure)

Peraturan:

UU No. 45 Tahun 1999 (disahkan dan diundangkan pada 4 Oktober 1999).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Biak Numfor, 2. Kabupaten Yapen Waropen,

Page 51: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

44

3. Kabupaten Nabire (dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 1969); 4. Kabupaten [Administratif] Paniai (dimaksud dalam PP No. 52

Tahun 1996); dan 5. Kabupaten [Administratif] Mimika (dimaksud dalam PP No. 54

Tahun 1996).

Kedudukan Pemerintahan: Timika (Sebagian wilayah dari Kabupaten Mimika).

Secara de facto Provinsi Irian Jaya Tengah belum pernah terbentuk.

Maluku (1957/8-sekarang)

Peraturan:

UU Drt No. 22 Tahun 1957 [disahkan dan diundangkan 10 Agustus 1957 ] (ditetapkan menjadi UU No. 20 Tahun 1958 [disahkan 17 Juni 1958; diundangkan 1 Juli 1958 ]) jo. Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1962.

Wilayah asal:

Wilayah Provinsi Maluku termaksud dalam PP RIS No.21 tahun 1950 jis. pasal 1 dan pasal 2 ayat 2 UU No. 15 tahun 1956 jo. UU Drt No. 20 Tahun 1957 yang wilayahnya meliputi:

1. Wilayah Daerah Maluku Utara (termaksud dalam pasal 14 ayat 1 sub 6 dari Staatsblad 1946 No. 143 jo. UU NIT No.44 tahun 1950 jo. UU No.15 Tahun 1956 jo. UU Drt No. 20 Tahun 1957);

2. Wilayah Daerah Maluku Tengah, dan 3. Wilayah Daerah Maluku Tenggara (termaksud dalam PP No.35

Tahun 1952 jo. PP No.3 Tahun 1955); serta 4. Wilayah Daerah Ambon (termaksud dalam PP No. 15 Tahun

1955).

Kedudukan Pemerintahan: Ambon.

Page 52: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

45

- Pembentukan pertama/Alih status dari administratif. - Mengalami penambahan wilayah yaitu Kawedanan Tidore dan

Kawedanan Weda dari Provinsi Irian Barat [I] yang dibubarkan (1962).

- Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara (1999).

Maluku (Administratif) [I] (1945-1946)

Peraturan:

Putusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 19 Agustus 1945.

Wilayah asal:

Wilayah Residentie Molukken Provinsi de Groote Oost (Afdeling Tual, Afdeling Ambiona, Afdeling Ternate, Afdeling Westkust Nieuw Guinea, dan Afdelng Nordkust Nieuw Guinea ).

Kedudukan Pemerintahan: Ambon, Jakarta (de facto)

Pembentukan pertama.

- Saat dibentuk pertama kali belum ada UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pasal 18 UUD (1945)

- Berdasar Perundingan Linggarjati wilayah Provinsi Maluku [I] tidak lagi masuk dalam wilayah de facto Republik Indonesia (1946).

- Wilayahnya menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur.

Maluku (Administratif) [II] (1950-1957)

Peraturan:

PP RIS No. 21 Tahun 1950 (ditetapkan 14 Agustus 1950; diumumkan 16 Agustus 1950; berlaku 17 Agustus 1950).

Page 53: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

46

Wilayah asal:

Daerah Maluku Utara, dan Daerah Maluku Selatan (sebagai dimaksud dalam pasal 14 ayat 1 sub 12 dan 13 dari Staatsblad 1946 No. 143) serta Karesidenan Nieuw Guinea (sebagai dimaksud dalam pasal 1 ayat 2 dari Staatsblad 1946 No. 143).

Kedudukan Pemerintahan: Ambon.

- Pembentukan pertama (berdasarkan kesepakatan RIS-RI). - Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Irian Barat

(otonom) (1956) - Mengalami pengurangan wilayah yaitu Distrik Maba dan Gebe

dari Kawedanan Weda diserahkan kepada Provinsi Irian Barat [I] (1956/7/8).

- Dialihkan statusnya menjadi provinsi otonom (1957).

Maluku Utara (1999-sekarang)

Peraturan:

UU No. 46 Tahun 1999 (disahkan dan diundangkan 4 Oktober 1999).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Maluku Utara (sebagaimana dimaksud dalam UU Drt No. 23 Tahun 1957 [ditetapkan menjadi UU No. 60 Tahun 1958]);

2. Kabupaten Halmahera Tengah (sebagaimana dimaksud dalam UU No. 6 Tahun 1990); dan

3. Kota Ternate (sebagaimana dimaksud dalam UU No. 11 Tahun 1999).

Kedudukan Pemerintahan (de jure): Sofifi (sebagian wilayah Kecamatan Oba, Kabupaten Halmahera Tengah).

Kedudukan Pemerintahan (de facto): Kota Ternate

Page 54: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

47

Merupakan pemekaran dari Provinsi Maluku.

Papua (1969-sekarang)

Peraturan :

- UU No. 12 Tahun 1969 (disahkan dan diundangkan 10 September 1969) jo. UU No. 45 Tahun 1999.

- jo. UU No. 21 Tahun 2001 jo. Perppu No. 1 Tahun 2008 (ditetapkan menjadi UU No. 35 Tahun 2008).

Nomenklatur yang digunakan:

- Provinsi Irian Barat (1969-1973). - Provinsi Irian Jaya (1973-2001). - Provinsi Irian Jaya Timur (1999 – secara de facto belum pernah

digunakan). - Provinsi Papua (2001-sekarang).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Jayapura (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Jayapura, Nimboran, Mamberamo, Keerom, Sarmi, dan Dafonsoro);

2. Kabupaten Biak Numfor (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Biak, Numfor, dan Supiori);

3. Kabupaten Manokwari (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Manokwari, Ransiki, Wasior dan Bintuni);

4. Kabupaten Sorong (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, dan Ayamaru);

5. Kabupaten Fak-Fak (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Fak-Fak, Kaimana, dan Mimika);

6. Kabupaten Merauke (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Merauke, Tanah Merah, Mindiptana, Agats, dan Mapi/Kepi);

Page 55: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

48

7. Kabupaten Jayawijaya (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Baliem, Bokondini, Tiom, dan Oksibil);

8. Kabupaten Paniai (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Nabire, Tinggi, Enarotali, dan Ilaga); dan

9. Kabupaten Japen Waropen (wilayah Kepala Pemerintahan Setempat Yapen dan Waropen).

Kedudukan Pemerintahan: Jayapura.

- Dibentuk setelah Penentuan Pendapat Rakyat berdasarkan Perjanjian New York 1962.

- Merupakan penyempurnaan Pemerintahan Sementara Indonesia di Nederlands Nieuw Guinea.

- Nama Provinsi Irian Barat berubah menjadi Provinsi Irian Jaya (1973).

- Provinsi Irian Jaya sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Irian Jaya Barat dan Provinsi Irian Jaya Tengah; Nama Provinsi Irian Jaya diubah menjadi Provinsi Irian Jaya Timur. Secara de facto pemekaran dan pergantian nama tidak dapat dilaksanakan (1999).

- Provinsi Irian Jaya memperoleh Otonomi Khusus dan berganti nama menjadi Provinsi Papua (2001).

- Sebagian wilayahnya dimekarkan menjadi Provinsi Irian Jaya Barat sebagai pelaksanaan pemekaran tahun 1999 yang tertunda (2003).

Papua Barat (1999/2003-sekarang)

Peraturan :

- UU No. 45 Tahun 1999 (disahkan dan diundangkan pada 4 Oktober 1999).

- jo. Perppu No. 1 Tahun 2008 [disahkan dan diundangkan 16 April 2008 ] (ditetapkan menjadi UU No. 35 Tahun 2008

Page 56: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

49

[disahkan dan diundangkan 25 Juli 2008 ]) jo. UU No. 21 Tahun 2001.

Nomenklatur yang digunakan:

- Provinsi Irian Jaya Barat (1999/2003-2007). - Provinsi Papua Barat (2007 – sekarang).

Wilayah asal:

1. Kabupaten Sorong, 2. Kabupaten Manokwari, 3. Kabupaten Fak-Fak (dimaksud dalam UU No. 12 Tahun 1969); dan 4. Kota [Administratif] Sorong (dimaksud dalam PP No. 31 Tahun 1996).

Kedudukan Pemerintahan (asal/sementara): Sorong.

Kedudukan Pemerintahan (de jure): Manokwari (sebagian wilayah yang berada di Kabupaten Manokwari).

- Merupakan pemekaran dari Provinsi Irian Jaya/Papua. - Dibentuk secara de jure tahun 1999. - Pembentukan secara de facto baru dilaksanakan tahun 2003. - Berdasar PP No. 24 Tahun 2007 Provinsi Irian Jaya Barat

berganti nomenklaturnya menjadi Provinsi Papua Barat (2007). - Otonomi Khusus Papua ditegaskan meliputi juga Papua Barat

dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 yang ditetapkan menjadi UU No. 35 Tahun 2008 (2008).

Page 57: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

50

SEJARAH PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA BHINNEKA TUNGGAL IKA, PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA Studi Teoritis UU Agraria, Otonomi Daerah dan Kewenangan Delegasi Hukum Agraria di Indonesia

Filsafat Hukum Tanah dan Romawi Hukum Agraria Gayus seorang ahli hukum Romawi klasik disamakan hukum alam (hukum alam) dengan hukum alam khusus sekunder (ius gentium ) dan menempatkan properti pribadi sebagai hukum alam (hukum ius natuu). Pendapat Gayus seperti dikutip oleh objek Ronald, termasuk negara, dibagi menjadi dua kelompok:

1. Res divini iuris: benda-benda yang terkait dengan kepentingan dewa, benda-benda suci, dan hal-hal yang sangat diprioritaskan.

2. Res humani iuris: objek yang berkaitan dengan kepentingan manusia, baik individu maupun masyarakat (Titahelu, 1993).

Kelahiran Hukum Agraria (Lex Agraria)

Penerbitan UU No. 5 tahun 1960 adalah titik awal dari pengesahan hukum agraria nasional dan diharapkan menjadi akhir dari hukum agraria kolonial di Indonesia. Menurut Noer Fauzi: "Kesatuan hukum menyiratkan bahwa hanya ada satu hukum agraria nasional yang mengakhiri hukum agraria kolonial yang bersifat dualistik dan rumit karena meningkatnya masalah antar kelompok. orang (Fauzi, 1999). Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.org ISSN 2224-3240 (Paper) ISSN 2224-3259 (online) Vol.50, 2016 111

Page 58: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

51

Definisi Agraria dan Tanah.

Parlindungan (1991) menyatakan bahwa: Definisi "agraria" memiliki ruang lingkup dalam arti sempit yang dapat dilakukan dalam bentuk hak atas tanah atau pertanian saja, sementara Pasal 1 dan 2 UU No. 5 tahun 1960 memiliki tugas yang dalam arti luas, bumi, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung dalamnya definisi lain dari "agraria" yang diekspresikan oleh Subekti dan Tjitrosoedibio (1983). pertanahan agraria dan semua yang ada di dalam dan di darat definisi di atas disebutkan sebenarnya sangat. luas dalam lingkup, tetapi mereka memiliki hal-hal yang sama-sama putih h lingkup agraria yang mengacu pada Pasal 2 UU No. 5 tahun 1960, yang meliputi: bumi, air, ruang udara dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Namun demikian, dalam perkembangannya, definisi sempit "agraria" telah lebih populer, yang meliputi tanah dalam arti fisik. Definisi "negara" dalam penjelasan pasal 1, ayat (4) UU No. 5 tahun 1960 adalah permukaan bumi, yang berarti bahwa tanah berada tepat di permukaan bumi. Dalam hal hubungan entitas manusia atau hukum dengan tanah, ini menimbulkan hak pribadi untuk manusia, yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata (Ardiwilaga, 2006).

Menurut Wiranata (2004), "tanah" didefinisikan sebagai berikut: Tanah adalah objek yang memegang manfaat, berfungsi sebagai sarana keabadian, dan penghidupan bagi pemiliknya, berfungsi sebagai sebuah situs di mana pemilik akan dimakamkan setelah kematiannya, dan bertindak sebagai arena sejarah bagi aliansi leluhur tentang beberapa generasi sebelumnya. Berdasarkan definisi ini, tanah tidak hanya terkait dengan faktor ekonomi, tetapi juga faktor sosial karena berfungsi sebagai situs di mana aliansi hukum mengarah hidup sampai mati.

Page 59: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

52

Hukum Agraria dan Hukum Pertanahan Harsono (2003) mengutip E. Utrecht yang menyatakan bahwa: Hukum agraria dalam arti sempit identik dengan Hukum Tanah. Hukum Agraria dan Hukum Pertanahan adalah bagian dari Undang-Undang Administrasi Negara, yang menguji hubungan hukum khusus yang memungkinkan para pejabat yang bertanggung jawab atas isu-isu mengenai urusan agraria untuk melakukan tugas-tugas mereka.

Menurut Mertokusumo (1988), Hukum Agraria adalah asas hukum secara keseluruhan, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur masalah tanah. Dari definisi yang disebutkan di atas, dapat diartikan bahwa Hukum Agraria adalah hukum yang mengatur hal-hal agraris yang meliputi bumi, air, ruang udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hukum pertanahan pada awalnya dikenal sebagai hukum pertanahan, tetapi dalam perkembangannya itu berubah menjadi Hukum urusan pertanahan mengingat bahwa hukum pertanahan adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hak atas tanah.

Menurut Perangin (1989), hukum pertanahan adalah aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mengatur hak-hak kontrol tanah dan hubungan hukum hukum.

Prinsip tanah yang dikendalikan oleh negara Prinsip ini ditemukan dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 5 tahun 1960, yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang udara, termasuk sumber daya alam, berada pada tingkat tertinggi yang dikendalikan oleh Negara dan Organisasi Resmi Seluruh Rakyat. Sesuai dengan dasar pembentukannya, kata-kata "dikendalikan" bukanlah hal yang benar "milik", tetapi definisi memberikan otoritas kepada organisasi secara keseluruhan.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Koesnoe (1979): Penjelasan bahwa tanah dapat diserahkan kepada entitas atau orang

Page 60: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

53

adalah bahwa begitu negara diserahkan kepada dasar dari hak yang diberikan, tetapi kekuatan negara akan sejalan dengan.

Notonagoro (1984) menjelaskan hukum 1945 sebagai berikut: Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.org ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 (Daring) Vol.50, 2016 112 Istilah "terkontrol" dan "digunakan" adalah dua hal berbeda yang digunakan sebagai tujuan "dikendalikan", meskipun kata penghubung "dan" membuat dua hal itu tampak tidak relevan dalam hubungan kausal. Interpretasi "dikendalikan" tidak "dimiliki" tetapi kekuatan tertinggi yang diberikan otoritas (pasal 2, ayat (2) UUPA).

Selanjutnya, Yamin Lubis dan Lubis (2008) menyatakan: Dengan ketentuan ini, pemerintah telah diberikan kewenangan di sektor agraris dalam bentuk lahan dan untuk melaksanakannya. hubungan hukum antara subjek dan objek yang terhubung dengan sumber daya agraria. Pasal 2 ayat (4) UU No. 5 tahun 1960 menyatakan bahwa delegasi ke daerah otonom dan masyarakat hukum adat. Parlindungan (1998) menyatakan: "Dari sikap ini, jelas bahwa otoritas agraris dalam sistem UU No. 5 tahun 1960 adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak boleh melakukan tindakan agraris yang otoritatif. ke daerah otonom. "

Namun, Harsono (1997) menyatakan bahwa bidang legislasi dan undang-undang diatur. judikatif dalam hal menyelesaikan sengketa negara antara orang dan pemerintah Berdasarkan penjelasan yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa otoritas utama di sektor negara adalah pahlawan oleh pemerintah pusat didelegasikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten / kota

Hak atas Tanah

Menurut Sumaryono (2002): hak adalah hasil yang muncul dalam penegakan hukum dan setiap anak pengadilan hukum hak-hak yang terkandung di dalamnya. Semua mematuhi hukum. Menurut

Page 61: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

54

Santoso (2012), hak atas tanah adalah hak pribadi, yang memberi Anda hak untuk menggunakan tanah.

Pendaftaran Negara

Harsono (2005) memberikan penjelasan yang sama tentang pendaftaran negara: Pendaftaran tanah adalah serangkaian kegiatan. Peta dan daftar petak dan unit apartemen, termasuk ketentuan kepemilikan lahan, kepemilikan unit apartemen serta hak-hak tertentu. "

Menurut Parlindungan (1999): Istilah Pendaftaran Tanah berasal dari kata "Cadastre", istilah teknis untuk rekaman atau rekaman, "The Cadastre" dari bahasa Latin "Capitastrum" yang berarti daftar atau ibukota dibuat untuk pajak tanah Roma teaputatip terreusi Makna yang tegas dari "kadaster" adalah catatan tanah, nilai tanah dan milik perpajakan.

Jadi, "kadaster" adalah cara yang tepat untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi tanah sebagai "Rekaman Berkelanjutan" hak atas tanah.

Otonomi Daerah

Definisi Otonomi Daerah Istilah "otonomi" berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos berarti independen dan nomos berarti aturan. Oleh karena itu, secara harfiah otonomi berarti aturan atau hukum independen, yang kemudian berevolusi menjadi pemerintahan otonom (Salam, 2003).

Menurut Sunarsa (2005): Istilah "otonomi" berasal dari kata autos yang berarti peraturan. Dengan demikian, otonomi berarti membuat hukum mereka sendiri, tetapi dalam perkembangan praktik pemerintah, konsep otonomi lokal menyiratkan undang-undang itu

Page 62: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

55

sendiri dan juga pemerintahan sendiri. Otonomi daerah termasuk tugas pengaturan (regulasi), dan tugas pemerintah (pemerintahan). Sejalan dengan ini, Bagir Manan menyatakan bahwa otonomi berarti kemerdekaan seperti yang diusulkan oleh Manan yang menyatakan bahwa otonomi berarti kemerdekaan untuk mengatur dan mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Jurnal Hukum, Kebijakan, dan Globalisasi www.iiste.org ISSN 2224-3240 (Kertas)ISSN 2224-3259 (Online) Vol.50, 2016 113

Sementara Abdullah (2000) menyatakan bahwa: Otonomi daerah sebagai sebuah prinsip berarti menghormati kehidupan daerah sesuai dengan sejarah, tradisi dan karakter dalam negara kesatuan. Setiap wilayah memiliki sejarah dan karakter masing-masing. Oleh karena itu, pemerintah harus menghindari menggunakan satu model atau otonomi daerah untuk seluruh wilayah Indonesia. Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk 'desentralisasi' pemerintah pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera dengan memberi, mendelegasikan, dan mentransfer sejumlah tugas.

Menurut Friedman (1983): Desentralisasi adalah prinsip menjalankan pemerintahan menuju sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintah lokal, "...., pemerintah 'superior' menugaskan tanggung jawab, wewenang, atau berfungsi untuk unit-unit pemerintah yang 'lebih rendah' yang dianggap memiliki otoritas. unit pemerintah nasional adalah hasil dari pembentukan dan pengembangan pemerintahan yang juga dapat dihapus melalui proses hukum. Keberadaan unit pemerintah sub-nasional "tergantung" dan "di bawah" pemerintah bawahan. "

Hukum Agraria yang Diimplementasikan di Indonesia

Hukum Agraria Kolonial Kolonial Agrarian Law Kolonial Agrarian Law Kolonial Agrarian Law Kolonial Agrarian Hukum Kolaborasi Hukum Kolaborasi Hukum Kolaborasi Collaborative

Page 63: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

56

Collaborative Law Properti akan menjadi domain negara. Menurut Soemardjono: Sebenarnya, penerapan Deklarasi Domain prinsip membawa pemerintah kolonial ke pemahaman bahwa negara bertindak sebagai pemilik tanah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam penerapan prinsip bahwa orang telah kehilangan kepemilikannya.

Hukum Agraria Nasional Setelah 15 tahun merdeka, pada tahun 1960, Indonesia akhirnya memiliki hukum agraria nasional yang dikeluarkan oleh UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria. Pertimbangan hukum. 5 tahun 1960 sebagaimana disebutkan dalam diktum adalah sebagai berikut: Bahwa undang-undang agraria yang masih berlaku pada waktu itu sebagian masih dalam kepentingan pemerintah kolonial. konflik dengan kepentingan rakyat dalam penyelesaian revolusi nasional dan pembangunan di seluruh negeri.

a. Bahwa hukum agraria bersifat dualistik, dengan keabsahan hukum

adat dalam hukum barat. b. Bahwa bagi rakyat hukum kolonial agraria itu tidak menjamin

kepastian hukum.

Otoritas Negara dalam Hukum Sektor Agraria Negara 5 tahun 1960 merupakan tindak lanjut dari pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dikendalikan oleh kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan otoritas negara, Lubis dan Lubis (2008) menyatakan: "Dengan peraturan, Pemerintah memiliki kewenangan yurisdiksi untuk membuat peraturan dan regulasi di bidang agraris dalam bentuk lahan, serta melaksanakan aturan. mengenai subjek, objek dan hubungan hukum antara subjek dan objek di sepanjang sumber daya agraria.

Page 64: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

57

Selanjutnya, pasal 2 ayat (4) UU No. 5 tahun 1960 menyatakan: "Hak menguasai Negara dalam pelaksanaannya tidak dapat didelegasikan ke daerah otonom dan masyarakat hukum adat yang diperlukan dan sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah.

Penjelasan UU No. 5 tahun 1960, khususnya pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa masalah agraria oleh Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.org ISSN 2224-3240 (Paper) ISSN 2224-3259 (Online) ) Vol.50, 2016 114

Hal ini sejalan dengan pernyataan Murhaini (2009): bahwa menurut Undang-undang Pokok Agraria, urusan menetap di sektor negara adalah kewenangan dari Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat memandang urusan nasional sebagai masalah hukum nasional dan tidak didelegasikan kepada pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten / kota). , yang w seperti yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 atau 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tetapi karena melibatkan bidang hukum pertanahan yang melibatkan kebijakan di bidang pertanahan secara nasional, itu masih tugas perawatan olehe pemerintah pusat, tidak bertanggung jawab atas Daerah Otonom (Pemerintah Daerah).

Pelaksanaan Layanan Lahan

Layanan Darat Pemerintah Pusat Jenis-jenis layanan tanah yang diatur oleh Kementerian Pertanian dan Tata Ruang. 1 tahun 2010 termasuk 67 (enam puluh tujuh) jenis atau layanan. Dengan layanan publik di sektor negara, diharapkan untuk mendapatkan kepercayaan di lembaga Kementerian Pertanian dan Tata Ruang, Badan Pertanahan Nasional, dan sebagainya. untuk mendapatkan kepastian hukum negaranya akan terpenuhi. Setelah membuat kepastian hukum atas tanah, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan lahan mereka secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Namun, pada kenyataannya hingga kini,

Page 65: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

58

keluhan publik mengenai waktu layanan masih sering ditemukan, termasuk persyaratan layanan dan biaya layanan yang tidak jelas.

Delegasi otoritas untuk melaksanakan layanan negara Seperti yang dijelaskan pada bagian di atas, ini adalah otoritas pemerintah pusat dan Badan Pertanahan Nasional. Namun, setelah penerbitan UU No. 5 tahun 1960, untuk mempercepat layanan tanah kepada masyarakat, telah diberlakukan aturan pendelegasian kewenangan atas layanan pertanahan sejak 1972 oleh Menteri Dalam Negeri. 6 tahun 1972 tentang pendelegasian wewenang untuk mendarat. 2 tahun 2013 tentang Delegasi Otoritas Pemberian Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Tertentu. Dalam peraturan tersebut, delegasi kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota, sedangkan bagian lain dari Badan Nasional Provinsi, dan masih ada kewenangan atas hak atas tanah masih merupakan kewenangan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Layanan Tanah dalam Pembangunan Daerah Penerbitan Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan baru dalam sistem layanan pertanahan di Indonesia. Sebelumnya semua jenis layanan tanah dilakukan oleh pemerintah pusat di wilayah tersebut, tetapi sekarang layanan lahan juga telah disebutkan. 22 tahun 1999.

Namun, pelaksanaan urusan pertanahan berdasarkan undang-undang dibatasi oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia No.34 tahun 2003. 34 tahun 2003 memicu perdebatan baru di satu sisi, orang harus mengatakan bahwa hukumnya tidak sama; di sisi lain, yang lain mengatakan bahwa keputusan presiden didasarkan pada hukum dalam hal ini. Pada 2004, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan, menggantikan UU No. 22 atau 1999.

Menurut undang-undang, layanan pertanahan berada di bawah wewenang pemerintah setempat, tetapi pada tahun 2007

Page 66: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

59

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007, membatasi pelaksanaan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 atau 2003 hingga 9 (sembilan) jenis layanan. UU No. 32 atau 2004 kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang menyatakan bahwa Jurnal Hukum, Kebijakan dan Globalisasi www.iiste.org ISSN 2224-3240 (Kertas) ISSN 2224-3259 (Online) Vol.50, 2016 115

Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan tugas otonom daerah untuk mengatur dan mengelola urusan administrasi dan kepentingan publik mereka sendiri di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sampai penerbitan UU No. 23 tahun 2014, kewenangan layanan pertanahan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten / Kota terbatas pada 9 (sembilan) kewenangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah. 38 tahun 2007 Jo. 3. Konsep dan Strategi yang Tepat Harus Efektif dan Efisien Dipekerjakan di Layanan Darat oleh Otonomi Lokal

Amandemen terhadap UU No. 5 tahun 1960 Amandemen atau revisi UU No. 5 tahun 1960, yang telah dimandatkan oleh Keputusan No. Undang-undang negara telah lama dibahas di Dewan Perwakilan, tetapi dengan beberapa kali perubahan di Dewan Perwakilan, undang-undang pertanahan belum selesai. Dalam amandemen UU No. 5 tahun 1960, secara eksplisit dinyatakan bahwa pihak berwenanghukum pemerintah pusat, termasuk pengaturan norma, standar dan prosedur atau layanan pertanahan, otoritas pengawas dan panduan tentang implementasi kebijakan. b. Pihak berwenang dari pemerintah daerah adalah melaksanakan kebijakan negara, terutama layanan negara dengan pedoman atau standar, standar dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. c. Layanan negara sepenuhnya didelegasikan kepada Pemerintah Kabupaten / Kota sementara pemerintah Provinsi melaksanakan koordinasi dan pengawasan.

Page 67: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

60

Perubahan Sistem Layanan Lahan Sistem layanan lahan yang baru harus mencakup sistem penguasaan lahan, sistem administrasi pertanahan, dan kepastian hukum di sektor pertanahan; baik dalam prosesnya dan dalam berbagai hak kepemilikan lahan. Untuk melaksanakan otonomi daerah di bidang pelayanan pertanahan, itu adalah Diperlukan untuk memiliki perubahan organisasi dan restrukturisasi lembaga dan personel di bidang jasa lahan untuk Mencapai tujuan memberikan masyarakat dengan standar pelayanan yang baik. Hingga saat ini layanan lahan belum memuaskan bagi sebagian besar orang, terutama komunitas bisnis karena ada dualisme dalam penyediaan layanan tanah antara lembaga pusat dan lembaga daerah. Layanan tanah berada di bawah kendali Badan Pertanahan Nasional dan telah ditentukan oleh Pemerintah. 1 dari 2010 dan 9 jenis layanan negara diberikan wewenang kepada pemerintah daerah. 34 tahun 2003, yang kesemuanya merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten / Kota untuk memudahkan dinas negara.

Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas: Bahwa hukum agraria yang diterapkan di Indonesia selama era kolonial adalah hukum kolonial Belanda, yang dipengaruhi oleh hukum Perancis.

Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini (2009). Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum. Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Dalam artikel ini tidak semua hal yang ada pada pemerintahan daerah

Page 68: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

61

dikemukakan. Dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai susunan daerah otonom dan pemegang kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa kejadian yang khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah.

Periode I (1945-1948)

Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus 1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat. Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan.

Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah.

Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.

Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/ Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah

Page 69: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

62

Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan Komisaris.

1. Tingkatan selengkapnya yang ada pada masa itu adalah:

2. Provinsi (warisan Hindia Belanda, tidak digunakan oleh Jepang)

3. Karesidenan (disebut Syu oleh Jepang)

4. Kabupaten/Kota (disebut Ken/Syi/Tokubetsu Syi oleh Jepang, pada saat Hindia Belanda disebut Regentschap/Gemeente/ Stadsgemeente)

5. Kawedanan (disebut Gun oleh Jepang)

6. Kecamatan (disebut Son oleh Jepang)

7. Desa (disebut Ku oleh Jepang)

Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan,Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.

Mengingat situasi dan kondisi pada masa itu tidak semua daerah dapat membentuk dan melaksanakan pemerintahan daerah. Daerah-daerah Maluku (termasuk didalamnya Papua), Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan bahkan harus dihapuskan dari

Page 70: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

63

wilayah Indonesia sesuai isi Perjanjian Linggajati. Begitu pula dengan daerah-daerah Sumatera Timur, Riau, Bangka, Belitung, Sumatera Selatan bagian timur, Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Jawa Timur bagian timur, dan Madura juga harus dilepaskan dengan Perjanjian Renville.

Periode II (1948-1957)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:

Tingkatan Daerah Otonom

Nomenklatur Daerah Otonom Biasa

Nomenklatur Daerah Otonom Khusus

Tingkat I Provinsi Daerah Istimewa Setingkat Provinsi

Tingkat II Kabupaten/Kota Besar Daerah Istimewa Setingkat Kabupaten

Page 71: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

64

Tingkat III Desa, Negeri, Marga, atau nama lain/Kota Kecil

Daerah Istimewa Setingkat Desa

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah".

Pemerintahan lokal terdiri dari:

Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Eksekutif

Dewan Pemerintah Daerah (DPD)

DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan Anggota DPRD adalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD yang bersangkutan.

DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. AnggotaDPD secara bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan.

Kepala Daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan dengan ketentuan umum:

Page 72: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

65

- Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi.

- Kepala Daerah Kabupaten/Kota Besar diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota Besar.

- Kepala Daerah Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari calon yang diajukan oleh DPRD Desa, Negeri, Marga atau nama lain/Kota Kecil.

- Kepala Daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul DPRD yang bersangkutan.

- Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu. Untuk daerah istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa oleh Presiden dengan syarat yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa. Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota DPD.

Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I pasal 18. Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang tersisa yaitu:

a. Wilayah Sumatera meliputi: Aceh, Sumatera Utara bagian barat, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan bagian utara dan barat, Bengkulu, dan Lampung.

b. Wilayah Jawa meliputi: Banten, Jawa Tengah bagian timur, Yogyakarta, dan Jawa Timur bagian barat (daerah Mataraman)

Setelah pembentukan Republik III pada 15 Agustus 1950 UU ini berlaku untuk daerah seluruh Sumatera, seluruh Jawa, dan seluruh Kalimantan. Sedangkan pada daerah-daerah di bekas wilayah Negara

Page 73: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

66

Indonesia Timur yaitu wilayah Sulawesi, wilayah Nusa Tenggara, dan wilayah Maluku masih berlaku UU NIT No. 44 Tahun 1950.

Periode III (1957-1965)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956. UU ini menggantikan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom Biasa

Nomenklatur Daerah Otonom Khusus

Tingkat I Daerah Swatantra Tingkat ke I/Kotapraja Jakarta Raya

Daerah Istimewa Tingkat ke I

Tingkat II Daerah Swatantra Tingkat ke II/Kotapraja

Daerah Istimewa Tingkat ke II

Tingkat III Daerah Swatantra Tingkat ke III

Daerah Istimewa Tingkat ke III

Kecuali Pemerintahan Daerah Kotapraja Jakarta Raya, dalam Pemerintahan Daerah Kotapraja tidak dibentuk daerah Swatantra tingkat lebih rendah.

Page 74: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

67

Selain dua macam daerah berotonomi tersebut terdapat pula Daerah Swapraja. Daerah ini merupakan kelanjutan dari sistem pemerintahan daerah zaman Hindia Belanda dan Republik II (Pemerintahan Negara Federal RIS). Menurut perkembangan keadaan Daerah Swapraja dapat dialihkan statusnya menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Swatantra.

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah".

Pemerintahan lokal terdiri dari:

Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Eksekutif

Dewan Pemerintah Daerah (DPD)

DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian Anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.

Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa abatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki

Page 75: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

68

masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah karena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.

Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah dari tingkat ke I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk Kepala Daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala Daerah dipilih untuk satu masa jabatan DPRD atau bagi mereka yang dipilih antar waktu guna mengisi lowongan Kepala Daerah, untuk sisa masa jabatan tersebut.

Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133. Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketata negaraan Republik IV. Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959.

Page 76: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

69

Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari:

Eksekutif

Kepala Daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH)

Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Kepala Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah bagi Daerah Tingkat II dengan syarat tertentu. Kepala Daerah dapat diangkat baik dari calon yang diajukan DPRD maupun dari luar calon yang diusulkan DPRD. Masa jabatan Kepala Daerah sama seperti masa jabatan DPRD. Kepala Daerah adalah Pegawai Negara dan karenanya tidak dapat diberhentikan karena keputusan DPRD.

Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan di daerah pada zaman sebelum Republik Indonesia dengan syarat tertentu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara yang sama dengan Kepala Daerah Istimewa.

BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan Mendagri dan Otda.

Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960. Peraturan ini mengatur tentang DPRD Gotong goyong (DPRD-GR) dan Sekretariat Daerah. Dalam aturan ini pula ditetapkan bahwa Kepala daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD-GR. Masa jabatan Kepala Daerah dan BPH disesuaikan dengan masa jabatan DPRD-GR.

Page 77: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

70

Periode IV (1965-1974)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini enggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I Provinsi/Kotaraya

Tingkat II Kabupaten/Kotamadya

Tingkat III Kecamatan/Kotapraja Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut

Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja".

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya.

Pemerintahan lokal terdiri dari:

Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Page 78: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

71

Eksekutif

Kepala Daerah, dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian

Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU tersendiri. Pimpinan DPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.

Masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, serta Anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala Daerah adalah pegawai Negara. Kepala Daerah merupakan wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dalam pemerintahan daerah. Oleh karena itu Kepala Daerah harus melaksanakan politik pemerintah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Anggota BPH diangkat dan diberhentikan oleh:

a. Presiden Daerah tingkat I Menteri Dalam Negeri Presiden Daerah tingkat II Kepala Daerah tingkat I Menteri Dalam Negeri Daerah tingkat III Daerah tingkat I

Anggota BPH bagi masing-masing tingkatan daerah adalah:

a. bagi Daerah tingkat I sekurang-kurangnya 7 orang.

b. bagi Daerah tingkat II sekurang-kurangnya 5 orang.

c. bagi Daerah tingkat III sekurang-kurangnya 3 orang.

Desapraja merupakan kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya

Page 79: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

72

sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri. Alat-alat kelengkapan pemerintahan desapraja terdiri atas Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong esapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja.

Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi Republik IV. Namun berbeda dengan Undang-ndang No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak lagi engakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi husus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88 https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ pemerintahan_daerah_di_Indonesia. Hal tersebut juga diterangkan engan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, badai politik tahun 1965, yang terjadi hanya 29 hari setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disahkan, menyebabkan UU pemerintahan daerah ini tidak dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan UU Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ pemerintahan_daerah_di_Indonesia.Periode V (1974-1999).

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Daerah Otonom

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I Daerah Tingkat I (Dati I)/Daerah Khusus

Page 80: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

73

Ibukota/Daerah Istimewa

Tingkat II Daerah Tingkat II (Dati II)

Wilayah Administrasi

Tingkatan Nomenklatur Wilayah Administratif

Tingkat I Provinsi/Ibukota Negara

Tingkat II Kabupaten/Kotamadya

Tingkat IIa Kota Administratif

Tingkat III Kecamatan

Nama dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi. Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah Kabupaten. Penyebutan Wilayah administratif dan Daerah Otonom disatukan.

Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonom Tingkat I disebut Provinsi Daerah Tingkat I. Sebagai contoh dalah Provinsi Daerah Tingkat I Riau.

Untuk Wilayah Administratif Ibukota Negara dan Daerah Otonomi Khusus Ibukota Jakarta disebut Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Page 81: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

74

Untuk Wilayah Administratif Provinsi dan Daerah Otonomi Istimewa disebut Provinsi Daerah Istimewa. Untuk Aceh disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Untuk Yogyakarta disebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk Wilayah Administratif Kabupaten dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kabupaten Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar.

Untuk Wilayah Administratif Kotamadya dan Daerah Otonom Tingkat II disebut Kotamadya Daerah Tingkat II. Sebagai contoh adalah Kotamadya Daerah Tingkat II Pakanbaru.

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah".

Pemerintahan lokal terdiri dari:

Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Eksekutif

Kepala Daerah

Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Titik berat Otonomi Daerah diletakkan pada Daerah Tingkat II. Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas Daerah.

Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri.

Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Kepala Daerah diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun terhitung mulai tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali, untuk 1 (satu) kali masa

Page 82: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

75

jabatan berikutnya. Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat I dengan persetujuan Menteri Dalam Negeri dan selanjutnya diangkat oleh Presiden. Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD Tingkat II dengan persetujuan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan selanjutnya diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.

Wakil Kepala Daerah adalah Pejabat Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I diangkat oleh Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Wakil Kepala Daerah Tingkat II diangkat oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dari Pegawai Negeri yang memenuhi persyaratan. Apabila dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi.

Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara. Wakil Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Provinsi atau Ibukota Negara dan disebut Wakil Gubernur. Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya. Wakil Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah Wakil Kepala Wilayah Kabupaten atau Kotamadya, dan disebut Wakil Bupati atau Wakil Walikotamadya. Sebutan Kepala Wilayah dan Kepala Daerah disatukan.

Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Kepala Daerah Tingkat I disebut Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. Sebagai contoh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Untuk Kepala Wilayah Ibukota Negara/Daerah Khusus Ibukota Jakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Untuk Kepala Wilayah Provinsi/Daerah Istimewa disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa. Untuk DI Aceh disebut Gubernur

Page 83: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

76

Kepala Daerah Istimewa Aceh. Untuk DI Yogyakarta disebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Untuk Kepala Wilayah Kabupaten/Daerah Tingkat II disebut Bupati Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Barito Selatan.

Untuk Kepala Wilayah Kotamadya/Daerah Tingkat II disebut Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai contoh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Palangkaraya.

Pemerintahan Desa diatur tersendiri dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Dalam menjalankan Kemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri atas Sekretaris Desa, Kepala-kepala Dusun, dan Kepala-kepala Urusan. Kepala Desa karena jabatannya adalah Ketua LMD. Sekretaris Desa karena jabatannya adalah Sekretaris LMD.

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 juga diatur mengenai Kelurahan. Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pemerintah Kelurahan terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan yang meliputi Sekretaris Kelurahan, Kepala-kepala Lingkungan, dan Kepala-kepala Urusan.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal 18 Konstitusi Republik IV dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-ide" yang ada dalam penjelasan Konstitusi.

Page 84: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

77

UU ini cukup lama bertahan yaitu selama 25 tahun. Dalam perjalanannya Indonesia mengalami penambahan wilayah baru yang berasal dari koloni Portugis https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ pemerintahan_daerah_di_Indonesiapada 1976 dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun 1990 Kota Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah otonom Daerah Tingkat I melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta Selain itu tidak banyak yang menonjol dari pemerintahan daerah.

Periode V (1999-2004)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.

Tiga jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan

Page 85: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

78

masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintahan lokal terdiri dari:

Badan Legislatif Daerah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Badan Eksekutif Daerah

Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan. Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.

Kepala Daerah Provinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi. Kepala Daerah Kabupaten disebutBupati. Kepala Daerah Kota disebut Walikota. Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggungiawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.

Peraturan mengenai Desa dipisahkan dalam bab yang berbeda dari peraturan mengenai daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Ini dikarenakan Desa atau yang disebut

Page 86: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

79

dengan nama lain (Nagari,Kampung, Huta, Bori, Marga dan lain sebagainya) memiliki susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh Penduduk Desa. Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa abatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Badan Perwakilanesa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota. Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

UU ini disusun berdasarkan Konstitusi Republik IV pasal 18 dan dikembangkan dengan mengadopsi beberapa ide dalam penjelasan konstitusi pasal 18 khususnya bagian II. UU ini cukup istimewa karena diberlakukan dalam masa Republik IV, Republik Vhttps://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_daerah_di_Indonesia, dan Republik VIhttps://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_ pemerintahan_daerah_di_Indonesia. Dalam perjalanannya Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 1999https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_ daerah_di_Indonesia. Provinsi Aceh juga ditegaskan

Page 87: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

80

keistimewaannya dengan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_daerah_di_Indonesia dan diberi otonomi khusus dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_ daerah_di_Indonesia serta perubahan nomenklatur menjadi Aceh. Selain itu Provinsi Irian Jaya juga diberi otonomi khusus dengan UU No. 21 Tahun 2001 serta perubahan nomenklatur menjadi Provinsi Papua. Selain pemberian penegasan dan pemberian status khusus, beberapa provinsi lainnya mengalami pemekaran menjadi provinsi baru. Provinsi Timor-Timur juga memperoleh kemerdekaan penuh pada 2002 dengan nama Timor Leste/Timor Lorosae dari Pemerintahan Transisi PBB. Kemerdekaan tersebut berdasarkan hasil referendum atas status koloni Portugis pada 1999 setelah sekitar 23 tahun bergabung dengan Indonesia.

Periode VI (mulai 2004)

Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.

Page 88: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

81

Tingkatan Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I Provinsi

Tingkat II Kabupaten/Kota

Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintahan lokal secara umum terdiri dari:

Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Eksekutif

Pemerintah Daerah, yang terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. Pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Untuk Provinsi Aceh disebut Pemerintah Aceh (Pemda Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh). Khusus Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang menjadi mitra DPR Aceh dan Pemda Aceh. Untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat disebut Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua). Khusus Papua dan Papua Barat terdapat Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua.

Page 89: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

82

Pemerintahan daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota. Untuk Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kabupaten/Kota). Khusus Kabupaten/Kota di lingkungan Provinsi Aceh terdapat Majelis Permusyawaratan Ulama Kabupaten/Kota (MPU) yang menjadi mitra DPR Kabupaten/Kota dan Pemda Kabupaten/Kota di dalam lingkungan Provinsi Aceh.

DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur secara khusus berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Khusus untuk DPR Aceh, DPR Papua, dan DPRD Provinsi DKI Jakarta dapat memiliki anggota sebanyak 125% dari umlah yang ditentukan dalam UU yang mengatur mengenai DPRD.

Kepala daerah untuk provinsi disebut Gubernur, untuk kabupaten disebut Bupati, dan untuk kota disebut Walikota. Wakil kepala daerah untuk provinsi disebut Wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut Wakil Bupati dan untuk kota disebut Wakil Walikota. Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Perangkat daerah provinsi secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. Perangkat daerah kabupaten/kota secara umum terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

Page 90: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

83

Desa atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara. Termasuk dalam pengertian ini adalah Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi Aceh, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di KalimantanSelatan dan Papua, Negeri di Maluku. Secara bertahap, Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan.

Dalam pemerintahandaerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa[27]. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa yang syarat dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda. Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnyahttps://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_pemerintahan_daerah_di_Indonesia. Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disusun berdasarkan Konstitusi Republik VI pasal 18, 18A, dan 18B [29]. Dalam perjalanannya UU ini telah diubah sebanyak dua kali dengan Perppu No. 3 Tahun 2005 (ditetapkan menjadi UndangUndang No. 8 Tahun 2005) dan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008. Selanjutnya daerah Aceh dan Jakarta kembali diatur dengan UU tersendiri. Aceh diatur secara penuh dengan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh[30]. Sedangkan Jakarta diatur kembali dengan

Page 91: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

84

UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia[31].

Provinsi Papua tetap diatur dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua[32]. Provinsi Papua Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Papua juga mendapatkan otonomi khusus sebagaimana provinsi induknya dengan Perppu No. 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2008)[33].

Zaman Hindia Belanda

Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied.

Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Daerah ini jiasanya berbentuk kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik baik jangka panjang maupun jangka pendek. Perjanjian ini dilakukan oleh raja/sultan dari kerajaan/kesultanan local dengan Residen/Gubernur sebagai wakil Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan/kesultanan memiliki status "negara semi merdeka" dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat Asisten Residen, Residen, atau Gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian muncul kedudukan khusus suatu daerah yang

Page 92: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

85

dikenal dengan nomenklatur Zelfbesturende Lanschappen (Daerah Swapraja [ berpemerintahan sendiri ] atau otonom).

Daerah Direct Gebeid adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut "pemerintahan pangreh praja". Pemerintahan ini pun dibedakan antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura dengan Luar Jawa dan Madura.

Di daerah Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan dan kepala pemerintahannya (dalam tanda kurung), adalah : Provinsi (Gubernur), Karesidenan (Residen), Kabupaten (Asisten Residen dan Bupati lokal [regent] ) , Kawedanan (Wedana), Kecamatan (Asisten Wedana), Desa (Lurah/Kepala Desa).

Di daerah Luar Jawa dan Madura, secara berurutan tingkatan pemerintahan dan kepala pemerintahannya (dalam tanda kurung), adalah : Provinsi (Gubernur), Karesidenan (Residen), Afdeling (Asisten Residen), Onder Afdeling (Controleur), District/Kawedanan (Demang), Onderdistrict/Kecamatan (AsistenDemang), Desa/Marga/ Kuria/Nagari/nama lain (Kepala Desa/nama lain).

Gubernur sampai Asisten Residen untuk Jawa dan Controleur untuk luar Jawa adalah berkebangsaan Belanda dan disebut Eurpese Bestuurambtenaren. Sedangkan Bupati sampai Lurah/Kepala Desa untuk Jawa dan Demang sampai kepala desa/nama lain untuk luar Jawa berkebangsaan pribumi dan disebut Inlandse Bestuurambtenaren.

Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 (Stbl 1903 No. 329) prinsip otonomi mulai diperkenalkan. Dibeberapa daerah mulai dibentuk Locale Raad (semacam DPRD). Perkembangan selanjutnya muncul Wet Op de Bestuurshervormings 1922 (Stbl 1922 No. 216). Sebagai Badan Pemerintahan Harian di tingkat Provinsi terdapat College van Gedeputeerden yang dipimpin oleh Gubernur. Di tingkat Kabupaten terdapat College van Gecomitteerden yang dipimpin oleh

Page 93: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

86

Bupati (Regent). Sedang di kotapraja terdapat College van Burgermeester en Wethouders yang dipimpin oleh Walikota).

Pendudukan Militer Jepang

Pada masa pendudukan militer Jepang, To Indo dikuasai oleh tiga divisi besar tentara pendudukan yang berbeda. Wilayah Jawa dikuasai oleh Divisi XVI Angkatan Darat (Gunseikanbu Jawa) yang berpusat di Jakarta. Wilayah Sumatera dikuasai oleh Divisi XXV Angkatan Darat (Gunseikanbu Sumatera) yang berpusat di Bukittinggi. Sedangkan wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua dikuasai oleh Angkatan Laut (Minseibu/Kaigun) yang berpusat di Makassar.

Khususnya Jawa, pemerintahan tertinggi berada di tangan Saikoo Sikikan (Gunsereikan). Nomenkaltur daerah diganti menurut bahasa Jepang. Beberapa tingkatan daerah dihapuskan. Begitu pula dengan Locale Raad-nya dibekukan/dibubarkan. Pada masa pendudukan Jepang tingkatan daerahnya menjadi:

Syuu (karesidenan) dipimpin oleh Syuutyookan, Si (kota)/Ken (kabupaten) dipimpin oleh Sityoo/Kentyoo, Gun (distrik) dipimpin oleh Guntyoo, Son (kecamatan) dipimpin oleh Sontyoo, dan Ku (desa) dipimpin oleh Kutyoo.

Daerah dengan kedudukan Zelfbesturende Lanschappen diganti nomenklaturnya menjadi Kooti. Daerah ini masih diperkenankan memiliki pemerintahan sendiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintahan militer dengan menempatkan pejabat Kooti-Zimukyoku-tyookan.

Pada akhir masa pendudukan, Jepang kembali menghidupkan Locale Raad dengan nomenklatur Syuu Sangi-kai bagi Syuu dan Tokubetsu Si Sangi-kai bagi Si.

Page 94: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

87

Konsep BPUPKI-PPKI

Konsep pemikiran mengenai pemerintahan daerah di dalam Sidang BPUPKI berkembang secara dinamis. Beberapa ide yang muncul antara lain dari Muh. Yamin, Supomo, dan Hatta. Dari sidang-sidang dihasilkan beberapa hasil antara lain: Negara Indonesia akan berbentuk Republik[34], Wilayah Negara akan meliputi Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua (Inggris), Timor Portugis dan pulau sekelilingnya Negara Indonesia akan berbentuk KesatuanNegara Indonesia akan dibagi menjadi daerah besar dan daerah kecil, Di daerah besar dan kecil itu akan diadakan dewan permusyawaratan daerah, Zelfbestuur/Kooti akan berkedudukan sebagai daerah otonom khusus bukan lagi sebagai negara, Susunan asli pemerintahan zelfbestuurende landschappen dan volksgemeinschaften akan dihormati dan diperhatikan.

Dalam sidang PPKI Supomo kembali menjelaskan susunan dan kedudukan daerah. Pemerintahan daerah akan disusun dalam undang-undang. Dalam pemerintahan daerah akan bersifat permusyawaratan dengan adanya Dewan Perwakilan Daerah. Zelfbestuurende Landschappen (Kooti, Sultanaat) akan berkedudukan sebagai daerah istimewa (daerah yang mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli) bukan sebagai negara karena hanya ada satu negara. Daerah istimewa itu akan menjadi bagian dari Staat Indonesia dan akan dihormati susunan asli pemerintahannya. Zelfstandige gemeenschappen atau Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti desa, nagari, marga dan sebagainya akan dihormati susunan aslinya. Suasana sidang pembahasan Pemerintahan Daerah di Indonesia berlangsung dengan hangat dan berkembang secara dinamis. Keputusan resmi PPKI dapat dilihat pada periode I di atas.

Page 95: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

88

RIS dan NIT

Konstitusi Republik IImengatur hubungan antara Negara Federal dengan Negara Bagiandan menyerahkan pengaturan pemerintahan daerah pada masing-masing negara bagian. Hanya saja konstitusi memerintahkan bahwa daerah swapraja yang terdapat di dalam lingkungan negara bagian diatur dengan perjanjian politik (kontrak) antara negara bagian dengan daerah swapraja. Namun sampai konstitusi Republik II berakhir masa berlakunya belum ada UU Federal yang mengatur mengenai daerah Swapraja.

Sesuai dengan konstitusi Federal yang menyerahkan pengaturan pemerintahan daerah pada masing-masing negara bagian, maka Pemerintahan daerah di Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) tetap diatur dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 Sedangkan Negara Bagian Negara Indonesia Timur diatur dengan Undang-Undang NIT No. 44 Tahun 1950 yang mulai berlaku pada 15 Juni 1950. Dalam UU ini NIT dibagi dalam tiga tingkatan daerah otonomi.

Tingkatan Daerah Otonom Nomenklatur Daerah Otonom

Tingkat I Daerah

Tingkat II Daerah Bagian

Tingkat III Daerah Anak Bagian

Di wilayah NIT sebelum negara bagian itu melebur menjadi Negara Kesatuan sempat ada tiga belas Daerah yang terbentuk. Ketiga belas daerah itu adalah: (1) Sulawesi Selatan; (2) Minahasa; (3) Kepulauan Sangihe dan Talaud; (4) Sulawesi Utara; (5) Sulawesi

Page 96: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

89

Tengah; (6) Bali; (7) Lombok; (8) Sumbawa; (9) Flores; (10) Sumba; (11) Timor dan kepulaunnya; (12) Maluku Selatan; dan (13) Maluku Utara. Daerah Bagian dan Daerah Anak Bagian berdasarkan UU tersebut belum sempat terbentuk sampai NIT melebur menjadi Negara Kesatuan. Isi UU NIT No. 44 Tahun 1950 sebagian besar mengadopsi isi Undang-Undang RI-Yogyakarta No. 22 Tahun 1948. UU ini tetap berlaku pada masa Republik III di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku sampai tahun 1957.

Republik III adalah masa berlakunya konstitusi Negara Kesatuan yang lebih dikenal dengan nama UUD Sementara 1950, tepatnya adalah 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959.

Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133 selengkapnya berbunyi:

Pasal 131

(1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

(2) Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

(3) Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.

Pasal 132

(1) Kedudukan daerah-daerah Swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131,

Page 97: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

90

dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

(2) Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.

(3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam pasal 108.

Pasal 133

Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 132 maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa penjabat-pejabat daerah bagian dahulu yang tersebut dalam peraturan-peraturan itu diganti dengan penjabat-pejabat yang demikian pada Republik Indonesia.

Republik IV adalah masa diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI yang dikenal dengan UUD 1945, tepatnya adalah 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999.

Pasal 18 konstitusi Republik IV berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk usunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah ang bersifat istimewa.

Pasal 88 ayat (2) sub a berbunyi: "Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan". Pasal 88 ayat (3)

Page 98: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

91

paragraf pertama berbunyi: "Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau de jure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus."

Pencabutan/penarikan/pernyataan tidak berlaku dilakukan dengan UU No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Nomenklatur Daerah Khusus Ibukota dan Daerah Istimewa muncul dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan untuk mengakomodasi kekhususan pemerintahan Ibukota Negara dan dua Daerah Istimewa yang tersisa. Dalam UU hanya ada nomenklatur Dati I

Tingkatan Kota Administratif dibentuk di wilayah administratif Kabupaten sesuai dengan perkembangan. Wilayah administratif Kota Administratif terdiri atas wilayah-wilayah administratif Kecamatan. Dalam UU tingkatan yang disebut hanya tingkat I, II, dan III.

Pasal 18 konstitusi Republik IV berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Penjelasan pasal 18 konstitusi berbunyi: "(I). Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-

Page 99: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

92

undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. (II). Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut".

Wilayah Indonesia yang asli hanya meliputi seluruh wilayah koloni Hindia Belanda.

Dalam UU ini Provinsi DKI Jakarta, antara lain, menyelenggarakan pemerintahan yang bersifat khusus sebagai akibat langsung dari kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara. Pemerintahan khusus itu berupa Gubernur Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden dengan mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Menteri Dalam Negeri. Untuk itu pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang bersifat khusus dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dalam pasal 118, UU ini secara eksplisit juga menyebutkan Provinsi Timor-Timur dapat diberi otonomi khusus yang diatur dengan UU tersendiri teks lengkap silakan lihat di atas pada catatan kaki periode V.

Republik V adalah masa perubahan secara mendasar terhadap konstitusi "UUD 1945" yang dilakukan secara bertahap sebanyak empat kali, tepatnya antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002.

Republik VI adalah masa berlakunya konstitusi "UUD 1945" yang telah diubah sebanyak empat kali, tepatnya mulai 10 Agustus

Page 100: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

93

2002 sampai ada perubahan yang bersifat mendasar atau ada penetapan konstitusi baru lengkapnya UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam UU ini, antara lain, ditetapkan: Otonomi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta diletakkan pada lingkup Provinsi berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibagi dalam Kotamadya dan Kabupaten Administrasi; Pemerintah Kotamadya/kabupaten didampingi Dewan Kota/Kabupaten yang anggotanya dari tokoh masyarakat (Dewan bukan badan legislatif); Pemerintah Kelurahan didampingi Dewan Kelurahan yang anggotanya dari tokoh masyarakat (bukan sebagai badan legislatif); dan Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikonsultasikan dengan Presiden.

Lengkapnya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam UU ini ditentukan keistimewaan Aceh meliputi:

a. penyelenggaraan kehidupan beragama; b. penyelenggaraa kehidupan adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Lengkapnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Otonomi khusus Aceh antara lain meliputi: Hal-ihwal keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam, Jumlah anggota DPRD Prov NAD, Lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe, Pemilihan gubernur NAD, bupati dan wali kota di lingkungan Prov NAD secara langsung oleh rakyat yang diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan, Pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan nomenkaltur Perda yang disebut dengan Qanun.

Page 101: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

94

Lengkapnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi khusus Papua antara lain meliputi: Adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua, Nomenklatur DPRD Provinsi menjadi DPR Papua, Jumlah Anggota DPR Papua, Gubernur adalah orang asli Papua, Adanya Perdasus, Hal-ihwal keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam serta kelestarian lingkungan, Peradilan adat, dan Perlindungan hak adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat serta hak perorangan para warga masyarakat hukum adat.

Sebenarnya pada tahun 1999 Provinsi Irian Jaya dijadikan tiga provinsi yaitu:

(1) Provinsi Irian Jaya Timur dengan Ibukota Jayapura,

(2) Provinsi Irian Jaya Tengah dengan kedudukan pemerintahan di Timika, dan

(3) Irian Jaya Barat dengan kedudukan pemerintahan di Manokwari dan untuk sementara waktu beribukota di Sorong.

Pembentukan provinsi-provinsi ini dilakukan dengan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Namun karena ada hal tertentu pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat tertunda sampai tahun 2003 dan Provinsi Irian Jaya Tengah belum dibentuk secara definitif.

Aceh sebenarnya diatur secara khusus melalui UU No. 11 Tahun 2006 dan Papua sebenarnya diatur secara khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001; bukan di UU No. 32 Tahun 2004. Namun untuk memudahkan mengenali perbedaan antara Aceh dan Papua dengan daerah lain maka hal tersebut langsung diperbandingkan.

Aceh sebenarnya diatur secara khusus melalui UU No. 11 Tahun 2006; bukan di UU No. 32 Tahun 2004. Namun untuk

Page 102: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

95

memudahkan mengenali perbedaan antara Aceh dengan daerah lain maka hal tersebut langsung diperbandingkan.

Sebenarnya Aceh diatur secara khusus melalui UU No. 11 Tahun 2006, Papua diatur secara khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001, dan Jakarta diatur secara khusus melalui UU No. 29 Tahun 2007; bukan di UU No. 32 Tahun 2004. Namun untuk memudahkan mengenali perbedaan antara Aceh, Papua, dan Jakarta dengan daerah lain maka hal tersebut langsung diperbandingkan dahulu menggunakan nomenklatur Badan Perwakilan Desa.

Masa jabatan kepala desa ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya asih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.

Pasal 18, 18A, dan 18B konstitusi Republik VI selengkapnya berbunyi:

Pasal 18

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Page 103: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

96

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Pasal 18A

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

Pasal 18B

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."

Isi UU ini sebagian besar merupakan implementasi dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada

Page 104: doff - Unas Repository

Sejarah Otonomi Daerah Sebuah Keniscayaaan

97

tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Ibukota Finlandia. Isi keistimewaan dan otonomi khusus Aceh yang berasal dari UU sebelumnya mendapat penjabaran lebih lanjut dan perluasan serta tambahan materi berdasarkan MoU Indonesia-GAM. Sebagai contoh ialah mengenai penerapan syariat Islam yang meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak yang ketiganya dirinci menjadi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.

Dalam UU ini antara lain ditetapkan otonomi pada tingkat provinsi, Gubernur harus mendapat suara lebih dari 50% untuk terpilih dalam satu putaran pemilihan, Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibukota Negara, Gubernur mempunyai hak protokoler mendampingi Presiden, Adanya Deputi Gubernur yang membantu Gubernur dalam kapasitasnya sebagai kepala Ibukota Negara, Pembagian wilayah Jakarta dalam Kota administrasi/kabupaten administrasi, Adanya Dewan Kota/Dewan Kabupaten pada tingkat kota/kabupaten serta Lembaga Musyawarah Kelurahan pada tingkat kelurahan sebagai lembaga musyawarah untuk mengakomodasi peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan pelayanan masyarakat.

Majelis Rakyat Papua baru dibentuk pada tahun 2004 atau 2005. Isi otonomi silakan lihat catatan kaki pada periode VI Otsus Papua. Keputusan ini diambil dengan voting: 55 suara republik, 6 suara kerajaan, 2 suara lain-lain (imamat [teokrasi]), dan 1 suara abstain; jumlah 66 suara.

Keputusan ini diambil dengan voting: 39 suara bekas Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua (Inggris), Timor Portugis dan pulau sekelilingnya, 19 suara bekas Hindia Belanda tanpa tambahan, 6 suara bekas Hindia Belanda ditambah Malaya dikurangi Papua (Belanda/Inggris/Seluruhnya [?]) (atau bekas Hindia

Page 105: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

98

Belanda dikurangi Papua {Belanda/Inggris/Seluruhnya [?]} ), 1 suara lain-lain, 1 suara abstain; jumlah 66 suara.

Keputusan ini diambil dalam rapat panitia penyusun hukum dasar dengan voting: 17 suara unitarianisme, 2 suara ederalism; jumlah 19 suara mulai dari bagian ini sampai akhir kalimat adalah penjelasan dari Supomo selaku ketua tim perumus dari panitia hukum dasar.

Republik II adalah masa berlakunya konstitusi federal yang dikenal dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, tepatnya 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950.

Aturan ini terdapat dalam Bab II Republik Indonesia Serikat dan Daerah-daerah Bagian. Misalnya pasal 47 yang berbunyi: "Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan-rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan-rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonomi"

Aturan ini berdasarkan pasal 65 yang berbunyi: "Mengatur kedudukan daerah-daerah Swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa Swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan, bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah-bagian bersangkutan."

Page 106: doff - Unas Repository

BAB. II

TEORI OTONOMI DAERAH

Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli, dan Dasar Hukum, Asas, Prinsip, Tujuan Otonomi Daerah Secara Lengkap - Indonesia ialah salah satu negera yang memakai suatu sistem otonomi daerah dalam pelaksanaan suatu pemerintahannya. Pelaksanaan otonomi daerah sudah di mulai diberlakukan pada tahun 1999 yang diharapkan bisa membantu serta mempermudah dalam berbagai suatu urusan penyelenggaraan negara. Dengan adanya sebuah otonomi daerah, daerah mempunyai hak guna untuk mengaturdaerahnya sendiri namun masih harus dikontrol oleh sebuah pemerintah pusat serta undang-undang.

Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah suatu hak, wewenang, serta kewajiban daerah otonom guna untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan suatu pemerintahan dan kepentingan suatu masyarakat daerah tersebut yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kata otonomi daerah berasal dari 2 kata yaitu otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, kata otonomi berasal dari yaitu autos dan namos. Autos yang mempunyai arti "sendiri" serta namos yang artinya "aturan" atau "undang-undang". Sehingga otonomi daerah bisa diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan guna untuk membuat suatu aturan untuk mengurus daerahnya sendiri. Sedangkan daerah ialah kesatuan masyarakat hukum dan memiliki batas-batas wilayah.

Page 107: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

100

Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli

1. F. Sugeng Istianto

Menurut Sugeng Istianto menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah suatu Hak dan wewenang guna untuk mengatur serta mengurus sebuah rumah tangga daerah.

2. Ateng Syarifuddin

Menurut Ateng Syarifuddin menyatakan bahwa Otonomi daerah mempunyai makna kebebasan atau kemandirian namun bukan kemerdekaan melainkan hanya suatu kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud sebagai sebuah pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.

3. Syarif Saleh

Menurut Syarif Saleh menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah suatu hak mengatur serta memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut ialah hak yang diperoleh dari suatu pemerintah pusat.

4. Kansil

Menurut Kansil menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah suatu hak, dan wewenang, serta kewajiban daerah untuk mengatur serta untuk mengurus rumah tangganya atau daerahnya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang masih berlaku.

5. Widjaja

Menurut Widjaja menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah salah satu bentuk dari desentralisasi suatu pemerintahan yang dasarnya ditujukan guna untuk memenuhi suatu kepentingan bangsa secara menyeluruh, ialah suatu upaya yang lebih mendekatkan berbagai tujuan untuk penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat mewujudkan suatu cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

Page 108: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

101

6. Mahwood

Menurut Mahwood menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah suatu hak dari masyarakat sipil guna untuk mendapatkan sebuah kesempatan serta perlakuan yang sama, baik dalam hal mengekspresikan serta memperjuangkan suatu kepentingan mereka masing-masing, dan ikut mengontrol sebuah penyelenggaraan kinerja pemerintahan daerah.

7. Benyamin Hoesein

Menurut Benyamin Hoesein menyatakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintahan oleh rakyat serta untuk rakyat di suatu bagian wilayah nasional Negara secara informal yang berada diluar pemerintah pusat.

8. Mariun

Menurut Mariun menyatakn bahwa Otonomi daerah ialah suatu kebebasan atau kewenangan yang dipunyai suatu pemerintah daerah sehingga memungkinkan mereka dalam membuat sebuah inisiatif sendiri untuk mengelola serta mengoptimalkan sumber daya yang dipunyai daerahnya. Otonomi daerah ialah suatu kebebasan atau kewenangan untuk dapat bertindak sesuai dengan suatu kebutuhan masyarakat pada daerah setempat.

9. Vincent Lemius

Menurut Vincent Lemius menyatakan bahwa Otonomi daerah ialah suatu kebebasan atau kewenangan dalam membuat suatu keputusan politik maupun administasi yang sesuai dengan yang ada didalam peraturan perundang- undangan. Di dalam suatu otonomi daerah terdapat sebuah kewenangan yang dipunyai oleh suatu pemerintah daerah dalam menentukan apa yang menjadi suatu kebutuhan daerahnya namun kebutuhan daerah yang lain masih senantiasa harus disesuaikan dengan suatu kepentingan

Page 109: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

102

nasional sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

10. Encyclopedia of Social Scince

Menurut Encyclopedia of Social Scince menyatakan bahwa otonomi daerah ialah suatu hak sebuah organisasi sosial untuk mencukupi diri sendiri dan sebuah kebebasan aktualnya.

Dasar Hukum Otonomi Daerah

� Dasar Hukum yang pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

� Dasar Hukum yang kedua Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 mengenai Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, serta Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yangg Berkeadilan, dan perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

� Dasar Hukum yang ketiga Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

� Dasar hukum yang keempat UU No. 31 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.

� Dan dasar hukum yang terakhir UU No. 33 Tahun 2004 mengenai Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Page 110: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

103

Asas Otonomi Daerah

1. Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum ialah yang lebih mengutamakan sebuah landasan peraturan perundang-undangan dan suatu keadilan dalam kebijakan penyelenggara negara.

2. Asas tertib penyelenggara

Asas tertib penyelenggara ialah yang menjadi suatu landasan keteraturan, keseimbangan, serta keserasian dalam pengendalian penyelenggara suatu negara.

3. Asas kepentingan umum

Asas kepentingan umum adalah suatu asas yang lebih mengutamakan suatu kesejahteraan umum dengan suatu cara yang aspiratif, akomodatif, serta selektif.

4. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan ialah suatu asas yang membuka diri terhadap suatu hak-hak masyarakat guna mendapatkan berbagai informasi yang benar, nyata, jujur, serta tidak diskriminatif mengenai sebuah penyelenggara negara dan masih tetap memperhatikan suatu perlindungan hak asasi pribadi, golongan, serta rahasia negara.

5. Asas proporsinalitas

Asas proporsinalitas ialah suatu asas yang lebih mementingkan suatu keseimbangan hak dan kewajiban

6. Asas profesionalitas

Asas profesionalitas ialah suatu asas yang lebih mengutamakan suatu keadilan yang berlandaskan kode etik serta berbagai suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku.

Page 111: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

104

7. Asas akuntabilitas

Asas akuntabilitas ialah suatu asas yang menentukan setiap sebuah kegiatan serta hasil akhir dari suatu pelaksanaan penyelenggara negara harus bisa untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang suatu kedaulatan yang tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Asas efisiensi dan efektifitas

Asas efisiensi dan efektifitas ialah suatu asas yang dapat menjamin terselenggarannya kepada suatu masyarakat yang memakai sumber daya yang sudah tersedia secara optimal serta bertanggung jawab.

Penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan 3 asas sebagai berikut :

1. Asas desentralisasi

Asas desentralisasi ialah suatu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah dan kepada daerah otonom dalam sebuah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Asas dekosentrasi

Asas dekosentrasi ialah suatu Pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur yang dijadikan sebagai wakil pemerintah atau sebuah perangkat pusat daerah.

3. Asas tugas pembantuan

Asas tugas pembantuan ialah suatu penugasan dari pemerintah kepada daerah serta desa dan dari suatu daerah ke desa guna melakukan berbagai tugas tertentu yang disertai dengan sebuah pembiayaan, sarana, prasarana dan sumber daya manusia dengan sebuah kewajiban dalam melaporkan suatu pelaksanaannya dan

Page 112: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

105

dapat mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan tugas tersebut.

Prinsip Otonomi Daerah

1. Prinsip otonomi seluas-luasnya

Prinsip otonomi seluas-luasnya ialah daerah yang diberikan kebebasan dalam mengurus serta mengatur berbagai suatu urusan pemerintahan yang mencakup suatu kewenangan pada semua bidang pemerintahan, kecuali sebuah kebebasan terhadap bidang politik luar negeri, agama, keamanan, moneter, peradilan, keamanan, serta sebuah fiskal nasional.

2. Prinsip otonomi nyata

Prinsip otonomi nyata ialah suatu daerah yang diberikan sebuah kebebasan dalam menangani berbagai urusan pemerintahan dengan berdasarkan tugas, wewenang, serta kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi dapat tumbuh, hidup, berkembang dan sesuai dengan suatu potensi yang ada dan ciri khas daerah.

3. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab

Prinsip otonomi yang bertanggung jawab ialah suatu prinsip otonomi yang dalam suatu sistem penyelenggaraannya harus sejalan dengan tujuan yang ada dan maksud dari suatu pemberian otonomi, yang pada intinya guna untuk memberdayakan daerahnya masing-masing termasuk dalam meningkatkan suatu kesejahteraan rakyat

Page 113: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

106

Tujuan Otonomi Daerah

� Untuk meningkatan terhadap sebuah pelayanan masyarakat yang semakin lebih baik.

� Untuk mengembangan sebuah kehidupan yang lebih demokrasi. � Untuk keadilan nasional � Untuk sebuah pemerataan wilayah daerah � Untuk pemeliharaan sebuah hubungan antara pusat dengan

daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

� Untuk mendorong suatu pemberdayaaan masyarakat. � Untuk menumbuhkan suatu prakarsa serta kreativitas,

meningkatkan peran serta keterlibatan masyarakat, untuk mengembangkan peran serta fungsi dari DPRD.

Kajian Pustaka

A. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

1. Pengertian Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ditandai dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 tentang ”Pemerintah Daerah” dan UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan daerah yang kemudian keduanya disempurnakan menjadi UU No32 tahun 2004 dan UU No33 tahun 2004. Menurut UU No 32/2004, Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 114: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

107

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam konteks kegiatan ini, pengertian kewenangan daerah propinsi dan kabupaten/kota mengacu pada UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa:

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:

(a) Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

(b) Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

(c) Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

(d) Penyediaan sarana dan prasarana umum;

(e) Penanganan bidang kesehatan;

(f) Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;

(g) Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

(h) Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

(i) Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

(j) Pengendalian lingkungan hidup;

(k) Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;

Page 115: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

108

(l) Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;

(m) Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

(n) Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;

(o) Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;

(p) Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Faktor yang harus diperhatikan dalam desentralisasi fiskal adalah sebagai berikut:

1. Kapasitas Fiskal (PAD, PDRB)

2. Kebutuhan Fiskal (Pengeluaran Rutin/Pembangunan dan Penyediaan barang publik)

Asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.33 tahun 2004 dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Desentralisasi, 2. Dekonsentrasi dan 3. Tugas pembantuan.

Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.

Page 116: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

109

Desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat (Kusaini 2006: 29)

Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahanpemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah (Bahl,2000:19). Bahwa desentralisasi harus memacu adanya persaingan di antara berbagai pemerintah lokal untuk menjadi pemenang (there must bea champion for fiscal decentralization). Hal ini dapat dilihat dari semakin baiknya pelayanan publik. Pemerintah lokal berlomba-lomba untuk memahami benar dan memberikan apa yang terbaik yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, perubahan struktur ekonomi masyarakat dengan peran masyarakat yang semakin besar meningkatkan kesejahteraan rakyat, partisipasi rakyat setempat dalam pemerintahan dan lainlain (Bahl 2000:25-26).

Pemberian otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal terkandung tiga misi utama,yaitu:

a) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

b) Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.

Page 117: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

110

c) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas urgensi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

1) Sebagai perwujudan fungsi dan peran negara modern, yang lebih menekankan upaya memajukan kesejahteraan umum (welfarestate).

2) Hadirnya otonomi daerah dapat pula didekati dari perspektif politik. Negara sebagai organisasi, kekuasaan yang didalamnya terdapat lingkungan kekuasaan baik pada tingkat suprastruktur maupun infrastruktur, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Untuk menghindari hal itu, perlu pemencaran kekuasaan (dispersed of power).

3) Dari perspektif manajemen pemerintahan negara modern, adanya kewenangan yang diberikan kepada daerah, yaitu berupa keleluasaan dan kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya, merupakan perwujudan dari adanya tuntutan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan umum. Otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari lima tahun di negara kita diharapkan bukan hanya pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk menggeser kekuasaan. bahwa otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi “daerah” dalam pengertian wilayah/teritorial tertentu di tingkat lokal. Otonomi daerah bukan hanya merupakan pelimpahan wewenang tetapi juga peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Berbagai manfaat dan argumen yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah tidak langsung dapat dianggap bahwa otonomi adalah sistem yang terbaik. Berbagai kelemahan masih menyertai pelaksanaan

Page 118: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

111

otonomi yang harus diwaspadai dalam pelaksanaanya (Kaloh 2002: 7).

Prud’homme (1995), mencatat beberapa kelemahan dan dilema dalam otonomi daerah, antara lain:

a. Menciptakan kesenjangan antara daerah kaya dengan daerah miskin.

b. Mengancam stabilisasi ekonomi akibat tidak efisiennya kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan fiskal.

c. Mengurangi efisiensi akibat kurang representatifnya lembaga perwakilan rakyat dengan indikator masih lemahnya public hearing.

d. Perluasan jaringan korupsi dari pusat menuju daerah.

Secara umum konsep desentralisasi pada dasarnya terdapat empat jenis desentralisasi (Sidik, 2002), yaitu:

1) Desentralisasi politik (political decentralization), yaitu pemberian hak kepada warga Negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk mengambil keputusan publik.

2) Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yaitu pelimpahan wewenang guna mendistribusikan wewenang, tanggung jawab dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan pelayanan publik, terutama yang menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen fungsifungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada aparat di daerah, badan otoritas tertentu atau perusahaan tertentu.

3) Desentralisasi fiskal (fiscal dezentralization) yaitu pelimpahan wewenang dalam mengelola sumber-sumber keuangan, yang mencakup:

Page 119: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

112

a. Self-financing atau cost recorvery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah.

b. Cofinancing atau coproduction, dimana pengguna jasa berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja.

c. Transfer dari pemerintah pusat terutama berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), sumbangan darurat, serta pinjaman daerah (sumber daya alam)

4) Desentralisasi ekonomi (economic or market decentralization), yaitu kebijakan tentang privatisasi dan deregulasi yang intinya berhubungan dengan kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar.

Keempat jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan administratif melalui pemberian kewenangan dibidang keuangan. Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

Page 120: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

113

Desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Desentralisasi fiskal tidak bisa diadopsi begitu saja, namun di sesuaikan dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan, kondisi-kondisi lembaga, politik, dan ekonomi yang melekat pada negara itu Desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Desentralisasi fiskal tidak bisa diadopsi begitu saja, namun di sesuaikan dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan, kondisikondisi lembaga, politik, dan ekonomi yang melekat pada negara itu (Bahl, 2000:19).

1. Pengertian Kapasitas Fiskal

Definisi kapasitas fiskal menurut peraturan menteri keuangan nomor 224/PMK.07/2008 adalah gambaran kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui penerimaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, pinjaman lama dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) untuk membiayai tugas pemerintahan setelah dikurangi belanja pegawai dan dikaitkan dengan jumlah penduduk miskin. Pembangunan yang berkesinambungan harus dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan demi terciptanya suatu perbaikan standar hidup masyarakat secara cepat, baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Adanya desentralisasi dan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengalokasikan sejumlah besar anggaran pembangunan untuk membiayai program-program yang terkait dengan pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Diterbitkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang tersebut otonomi diberikan kepada daerah kabupaten

Page 121: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

114

dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Kondisi ini mendorong upaya partisipasi masyarakat yang akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintah lainnya dan akhirnya menyebabkan orientasi pemerintah pada tuntutan dan pelayanan publik.

Desentralisasi fiskal diyakini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena adanya kebutuhan masyarakat daerah terhadap pendidikan dan barang publik pada umumnya akan terpenuhi dengan lebih baik dibandingkan bila diatur langsung oleh pemerintah pusat. Akan tetapi, kecenderungan tersebut masih belum nampak. Hal ini disebabkan sebagian besar Pemerintah Daerah (Pemda dan DPRD) Kota dan Kabupaten di Indonesia merespons desentralisasi fiskal dengan menggenjot PAD melalui pajak dan retribusi tanpa diimbangi dengen peningkatan efektivitas pengeluaran APBD serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, merupakan salah satu peraturan operasional dalam implementasi Otonomi Daerah. Peraturan Pemerintah ini telah mendorong daerah-daerah untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam manajemen dan pengelolaan keuangan daerah. Dengan manajemen keuangan daerah yang sehat diharapkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah di bidang keuangan akan lebih terukur. Upaya ini harus mendapat dukungan dari semua pihak karena merupakan salah satu tuntutan reformasi yang menekankan pada upaya penyelenggaraan pemerintah yang bersih (clean government) dan tata pemerintahan yang baik (good governance). Undang-undang No.32 Tahun 2004 menerangkan bahwa pemerintahan kabupaten/kota memiliki urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota yang terdiri dari perencanaan dan pengendalian pembangunan; perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; penyediaan sarana

Page 122: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

115

dan prasarana umum; penanganan bidang kesehatan; penyelenggaraan pendidikan; penanggulangan masalah sosial; pelayanan bidang ketenagakerjaan; fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; pengendalian lingkungan hidup; pelayanan pertanahan; pelayanan kependudukan dan catatan sipil; pelayanan administrasi umum pemerintahan; pelayanan administrasi penanaman modal; penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Urusan lainnya yang bersifat meliputi urusan pemerintahan secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Pemerintah daerah membuat perencanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk mendukung urusan-urusan pemerintah di atas. APBD merupakan gambaran dari kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola pemenuhan kebutuhan masyarakat dan operasionalisasi struktur yang mendukungnya. Anggaran adalah pernyataan tentang perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan terjadi dalam sebuah rentang waktu tertentu dimasa yang akan datang serta realisasinya di masa lalu (Franciari 2012).

Kapasitas fiskal menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Dalam penelitian ini kapasitas fiskal diukur dengan :

Dimana :

PAD = Pendapatan Asli Daerah

Belanja Rutin = Belanja yang ditunjukkan untuk membiayai kegiatan rutin pelaksanaan pemerintahan, meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran

Page 123: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

116

bunga dan cicilan utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainya.

2. Komponen Kapasitas Fiskal

a. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah merupakan salah satu bagian dari pendapatan daerah. Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendapatan derah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan dalam periode tahun bersangkutan. Sementara defenisi pendapatan asli daerah menurut ketentuan Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan pemerintah daerah, Pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan pengertian tersebut dalam pengertian pendapatan asli daerah antara lain :

1. Pendapatan asli daerah merupakan pendapatan yang diperoleh dari sumber-sumber wilayah sendiri.

2. Dipungut berdasarkan peraturan daerah.

3. Peraturan daerah tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Tujuan dari PAD ialah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi/kapasitas daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Sedangkan, tujuan otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah disegala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen PAD. Dengan adanya otonomi ini diharapkan semua daerah di Indonesia, mampu melaksanakan segala urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu pada PAD yang

Page 124: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

117

dimilikinya. Pasal Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan sumber-sumber pendapatan asli daerah terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Belanja Daerah

Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupeten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Sedangkan, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.

Menurut Halim (2003), belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya. Menurut Indra Bastian dan Gatot Soepriyanto (2002), mengemukakan bahwa Belanja daerah adalah penurunanmanfaat ekonomis masa depan atau jasa potensial selama periode pelaporan dalam bentuk arus kas keluar, atau konsumsi aktiva / ekuitas neto, selain dari yang berhubungan dengan distribusi ke entitas ekonomi

Page 125: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

118

itu sendiri. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belanja daerah adalah seluruh pengeluaran pemerintah daerah pada satu periode dalam penganggaran, untuk melaksanakan sebuah kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan pemerintah pusat.

Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 31 ayat (1), Belanja daerah dikelompokkan ke dalam:

a. Belanja Langsung

b. Belanja Tidak Langsung (Belanja Rutin)

Belanja Tidak Langsung (Rutin) adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak dapat menambah aset atau kekayaan bagi penmerintah. Disebut "rutin" karena sifat pengeluaran tersebut berulang-ulang ada setiap tahun (Wikipedia). Dari definisi tersebut, dapat diartikan bahwa Belanja Tidak Langsung yaitu belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan. Jenis Belanja Tidak Langsung dapat berupa Belanja Pegawai/Personalia, Belanja Barang/Jasa. Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan Dinas. Keberadaan Anggaran Belanja Tidak Langsung bukan merupakan konsekuensi dan atau tiada suatu program atau kegiatan. Belanja Tidak Langsung digunakan secara periodik (umumnya bulanan) dalam rangka koordinasi penyelenggaraan kewenangan pemerintah Daerah yang bersifat umum. ja tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan yang meliputi: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga.

Page 126: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

119

B. Kemiskinan

1. Pengertian Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan, pakaian, tempat berlindung dan air minum, hal hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup. Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global, sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merunjuk kepada negara-negara yang “miskin” (Criswardani Suryawati,2005:18)

Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara. Pemahaman utamanya mencakup :

1) Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari–hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan elayanan dasar.

2) Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilkan sosial, ketergantungan, dan ketidakmapuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilkan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral , dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.

3) Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai makna”memadai” disini sangat berbeda-beda melintas bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. BAPPENAS (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional)

Page 127: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

120

mendefinisikan kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena kehendak si miskin, melainkan karena keadaan yang tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidk dapat diubah yang tercermin di dalam lemahnya kemauan tetap untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktifitas, terbatasnya modal yang dimiliki berpartisipasi dalam pembangunan. Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan muncul berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan dilihat dari berbagai sudut pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan realtif . Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan realtif adalah penduduk yang telah memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar namun jauh lebih rendah dibanding keadaan masyrakat sekitarnya. Kemiskinan menurut tingkatan kemiskinan adalah kemiskinan sementara dan kemiskinan kronis. Kemiskinan sementara yaitu kemiskinan yang terjadi sebabnya adanya bencana alam dan kemiskinan kronis yaitu kemiskinan yang terjadi pada mereka yang kekurangan keterampilan, aset, dan stamina (Aisyah, 2001:151).

Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000: 107) sebagai berikut:

1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah.

Page 128: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

121

2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktifitas juga rendah, upahnya pun rendah.

3. Kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal. Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty) akibat adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya. Logika berpikir ang dikemukakan Nurkse yang dikutip Kuncoro (2000:7).

Teori “Lingkaran Setan Kemiskinan”,terjemahan dari “Vicius Sircle Of Poverty” yaitu konsep yang mengadaikan suatu konstellasi yang melingkar dari daya-daya yang cenderung beraksi dan beraksi satu sama lain secara demikian rupa sehingga menempatkan suatu negara miskin terus menerus dalam suasana kemiskinan. Teori itu menjelaskan sebab-sebab kemiskinan dinegara-negara sedang berkembang yang umunya baru merdeka dari penjajahan asing. Bertolak dari teori inilah, kemudian dikembangkan teori-teori ekonomi pembangunan, yaitu teori yang telah dikembangkan lebih dahulu di Eropa Barat yang menjadi cara pandang atau paradigma untuk memahami dan memecahkan masalahmasalah ekonomi di negara-negara sedang berkembang, misalnya India atau Indonesia. Pada hasilnya teori itu mengatakan bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Karena rendah produktivitasnya, maka penghasilan seseorang juga rendah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya yang minim. Karena itulah mereka tidak bisa menabung, padahal tabungan adalah sumber utama pembentukan modal masyarakat sehingga capitalnya

Page 129: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

122

tidak efesien (boros). Untuk bisa membangun, maka lingkaran setan itu harus diputus, yaitu pada titik lingkaran n.. .mrendahnya produktivitasnya, sebagai sebab awal dan pokok. Untuk memutus lingkaran setan kemiskinan dari sisi demand yaitu dengan meningkatkan pendapatnya. Hal ini akan berdampak kepada perimintaan meningkat dan investasi juga meningkat maka modal menjadi efisien. Dengan demikian produktifitas dapat meningkat.

2. Macam-macam Kemiskinan

Sumodiningrat (1989:65) mengemukakan bahwa kemiskinan memiliki beberapa macam yaitu adalah sebagai berikut:

1. Kemiskinan absolut: apabila tingkat pendapatanya di bawah “garis kemiskinan” atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

2. Kemiskinan relatif: kondisi dimana pendapatanya berada pada posisi di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyrakat sekitarnya.

3. Kemiskinan kultural: karena mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyrakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.

4. Kemsikinan struktural: kondisi atau situasi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan.

Page 130: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

123

3. Garis Kemiskinan

Garis kemiskinan atau batas kemiskinan adalah tingkat minimum pendapatan yang dianggap perlu dipenuhi untuk memperoleh standar hidup yang mencukupi di suatau negara. Dalam praktiknya, pemahaman resmi atau umum masyaraat mengenai garis kemiskinan (dan juga defenisi kemiskinan) lebih besar di negara maju dari pada di negara berkembang (Debraj Ray, 1998:37). Hampir setiap masyarakat memiliki rakyat hidup dalam kemiskinan. Garis kemiskinan berguna sebagai perangkat ekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur rakyat miskin dan mempertimbangkan pembaharuan sosio-ekonomi, misalnya seperti program peningkatan kesejahteraan dan asuransi pengangguran untuk menanggulangi kemiskinan.

4. Konsep Kemiskinan

Kemiskinan merupakan konsep yang berwayuh wajah, bermatra multidimensional. Ellis (1984:242-245), misalnya, menunjukkan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas.

Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang

Page 131: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

124

disertarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh kemiskinan absolut. Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya.

Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan sturtur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatankesempatan yang ada di masyarakat. Faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. aktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya.

Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat dimuncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dsb. Sedangkan, faktor eksternal datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturanperaturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” simiskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatankesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional ini kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam

Page 132: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

125

mendefiniskan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia.

C. Teori Modernisasi: Pembangunan sebagai masalah internal dalam Kemiskinan

Menurut Michael Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi Dunia ke Tiga (2011), teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negara yang bersangkutan. Ada banyak variasi dan teori yang tergabung dalam kelompok teori ini antara lain adalah:

1) Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi. Teori ini biasanya dikembangkan oleh para ekonom. Pelopor teori antara lain Roy Harrod dan Evsay Domar yang secara terpisah berkarya namun menghasilkan kesimpulan sama yakni: pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi.

2) Teori yang menekankan aspek psikologi individu. Tokohnya adalah McClelaw dengan konsepnya The Need For Achievment dengan symbol n. ach, yakni kebutuhan atau dorongan berprestasi, dimana mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n.ach yang tinggi. Cara pembentukanya melalui pendidikan individu ketika seseorang masih kanak-kanak di lingkungan keluarga.

3) Teori yang menekankan nilai-nilai budaya mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Satu masalah pembangunan bagi Max Weber (tokoh teori ini) adalah tentang peranan agaman sebagai faktor penyebab munculnya kapitalisme di Eropa barat dan Amerika Serikat. Bagi Weber penyebab utama

Page 133: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

126

dari semua itu adalah etika protestan yang dikembangkan oleh Calvin.

4) Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai.

Bagi W.W Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus dari masyarakat terbelakang ke masyarakat niaga. Tahap-tahapanya adalah sbb:

a) Masyarakat tradisional = belum banyak menguasai ilmu pengetahuan.

b) Pra-kondisi untuk lepas landas= masyarakat tradisional terus bergerak walaupun sangat lambat dan pada suatu titik akan mencapai posisi prakondisi untuk lepas landas.

c) Lepas landas : ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi.

d) Jaman konsumsi massal yang tinggi. Pada titik ini pembangunan merupakan proses berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus-menerus.

5) Teori yang menekankan lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Tokohnya Bert E Hoselitz yang membahas faktor-faktor nonekonomi yang ditinggalkan oleh W.W Rostow. Hoselitz menekankan lembaga-lembaga kongkrit. Baginya, lembaga-lembaga politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga swasta dan tenaga teknologi.

6) Teori ini menekankan lingkungan material. Dalam hal ini lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Tokohnya adalah Alex Inkeler dan David H. Smith.

Page 134: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

127

D. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan total keselurahan dari nilai tambah yang ditimbul akibat adanya aktivitas ekonomi di suatu daerah. Data PDRB menggambarkan potensi sekaligus kemampuan suatu daerah untuk mengelola sumber daya alam yang dimiliki dalam suatu proses produksi, sehingga PDRB yang dihasilkan oleh suatu daerah sangat tergantung pada potensi sumber daya alam dan faktor yang tersedia (sumber BadanPusatStatistik, 2012). Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dihitung melalui dua metode langsung dan metode tidak langsung.

Metode Langsung adalah metode penghitung dengan menggunakan data yang bersumber dari daerah. Metode langsung akan dapat memperlihatkan karakteristik sosial ekonomi setiap daerah. Disamping itu manfaat pemakaian data daerah adalah dapat digunakan untuk menyempurnakan data statistik daerah yang lemah. Metode ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan yang berbeda, namun akan memberikan hasil penghitungan yang sama. Penghitungan PDRB secara langsung dapat dilakukan melalui tiga pendekatan sebagai berikut:

1. PDRB menurut pendekatan dari segi produksi,adalah mengitung nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan cara mengurangi output dari masing-masing sektor atau sub sektor dengan biaya antaranya. Pendekatan ini bisa juga disebut pendekatan nilai tambah. Nilai tambah merupakan selisih antara nilai produksi (output) dan nilai biaya antara (intermediatecost), yaitu bahan baku atau penolong dari luar yang dipakai dalam proses produksi ( Tarigan 2004). Nilai yang ditambahkan ini sama dengan balas jasa faktor produksi atas ikut seratnya dalam proses produksi. Dalam prakteknya, produk ini di hitung berdasarkan sektor-sektor yang menghasilkannya, yaitu (Suherman Rosyidi,2006:107) :

Page 135: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

128

a) Sektor Pertanian

b) Sektor Pertambangan dan Penggalian

c) Sektor Industri Pengolahan

d) Sektor Listrik, Gas, dan Air bersih

e) Sektor Bangunan

f) Sektor Perdangangan, Hotel, dan Restoran

g) Sektor Pengakutan dan Komunikasi

h) Sektor Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan

i) Sektor Jasa-jasa

2. PDRB Menurut Pedekatan Pendepatan. Dalam pendekatan pendapatan ini, nilai tambah dari setiap kegiatan ekonomi dihitung dengan jalan menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gaji, surplus usaha,penyusutan dan pajak tidak lansung neto (BPS 2012). Untuk sektor pemerintahan dan usaha-usaha yang bersifatnya tidak mencari untung, surplus usaha tidak diperhitungkan. Yang termasuk dalam surplus usaha adalah bunga,sewa tanah dan keuntungan. Metode pendekatan pendapatan ini banyak dipakai pada sektor yang produksinya berupa jasa seperti sektor pemerintahan.

3. PDRB menurut pendekatan pengeluaran. PDRB (Y) pendekatan pengeluaran adalah jumlah seluruh pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dan lembaga sawasta yang tidak mencari untung (C), konsumsi pemerintah (G), pembentukan modal tetap domestik bruto (I), perubahan stok dan ekspor netto di suatu wilayah (X-M). Jika dibuat persamaan sebagai berikut:

Y=C+I+G+(X-M)

Page 136: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

129

Penghitungan PDRB melalui pendekatan ini dilakukan dengan bertitik tolak dari penggunaan akhir barang dan jasa yang dihasilkan di wilayah domestik (Badan Pusat Statistik 2012).

Metode Tidak Langsung adalah metode perhitungan dengan car alokasi yaitu mengalokir PDB Nasional menjadi PDRB provinsi dengan menggunakan beberapa indikator produksi dan atau indikator lainnya yang cocok sebagai alokator. Metode tidak langsung adalah menghitung PDRB provinsi dengan cara mengakolir angka Produk Domestik Bruto Indonesia untuk tiap provinsi dengan menggunakan alokator tertentu, alokator yang digunakan dapat berupa:

a. Nilai produk bruto atau neto setiap sektor b. Jumlah produksi fisik c. Tenaga kerja d. Penduduk e. Alokator lainnya yang sesuai.

Dengan menggunakan salah satu atau kombinasi dari beberapa alokator tersebut dapat diperhitungkan persentase atau bagian masing-masing provinsi untuk nilai tambah suatu sektor atau sub sektor. Produk Domestik Regional Bruto dapat disusun dalam dua versi, yaitu :

1) PDRB yang disusun bedasarkan harga konstan, semua agregat pendakatan dinilai atas dasar harga tetap, maka perkembangan agregat pendapatan dri tahun ke tahun semata-mata karena perkembangan produksi riil bukan karena kenaikan harga atau inflasi. Yang digunakan untuk penghitungan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan atau setiap sektor dari tahun ke tahun (tidak dipengaruhi inflasi).

2) PDRB disusun berdasarkan harga berlaku, hal ini digunakan untuk mengitung pendapatan per kapita, yang merupakan indikator kesejahteraan ekonomi masyarakat, dimana semakin

Page 137: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

130

tinggi PDRB per kapita, maka semakin makmur negara atau daerah yang bersangkutan (Faturrohmin 2011).

E. Teori Erick Lindahl

Erik Lindahl, dalam (Mangkoesoebroto, 1993) mengemukakan analisis yang mirip dengan teori yang dikemukakan oleh Bowen, hanya saja pembayaran masing-masing konsumen tidak dalam bentuk harga absolut akan tetapi berupa persentase dari total biaya penyediaan barang publik. Lindahl mengatakan analisis yang didasarkan dengan kurva indiferens dengan anggran tetap yang terbatas (fixed budget constraints). Teori pengeluaran pemerintah yang dikemukakan oleh Lindahl adalah teori yang sangat berguna untuk membahas penyediaan barang publik yang optimum dan secara bersamaan juga membahas mengenai alokasi pembiayaan barang publik antar anggota masyarakat. Kelemahan teori Lindahl adalah karena teori hanya membahas mengenai barang publik tanpa membahas mengenai penyediaan barang swasta yang dihasilkan oleh sektor swasta. Selain itu, kelemahan utama dari analisa Lindhal ini adalah penggunaan kurva indiferens. Sifat barang publik (tidak dapat dikecualikan) menyebabkan tidak ada seorang individu juga yang bersedia menunjukkan preferensinya terhadap barang publik. Kelemahan lainya terhadap teori Lindahl adalah bahwa teori tersebut hanya melihat penyediaan barang publik saja tanpa memperhitungkan jumlah barang swasta yang seharusnya di produksi agar masyarakat mencapai kesejahteraan optimal.

F. Kebijakan Fiskal

Kebijakan disuatu daerah bisa mempunyai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang. Suatu kebijakan publik mestinya lebih banyak diarahkan pada upaya pencapaian utilitas tertinggi dari

Page 138: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

131

masyarakat. Pada pelaksanaanya banyak sekali yang menjadi hambatan antara lain anggaran yang terbatas. Penerimaan suatu daerah malah seringkali tidak dapat menutup pos pengeluaran sekalipun belanja rutin. Kebijakan fiskal diarahkan untuk mempertahankan kebelanjutan fiskal dan memberikan stimulus terbatas sesuai kemampuan keuangan negara maupun daerah. Kebijakan fiskal dilakukan melalui peningkatan pengelolaan penerimaan daerah antara lain dengan reformasi perpajakan, peningkatan efesiensi dan optimilisasi alokasi pengeluaran daerah, serta perbaikan pengelolaan anggaran.

Dari sisi penerimaan, upaya peningkatan negara maupun daerah terutama dilakukan melalui peningkatan pajak. Dari sisi pengeluaran negara ataupun daerah, kemampuan pemerintah meningkatkan alokasi belanja negara untuk investasi masih terbatas mengingat masih besarnya kewajiban pemerintah dalam membayar bunga utang maupun penyediaan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kondisi ini menyebabkan rendahnya kemampuan negara dan daerah untuk memenuhi hak-hak dasar masyarakat. Oleh sebab itu, realokasi anggaran pemerintah untuk meningkatkan belanja investasi seperti pendidikan, kesehatan, infrastuktur, dan bantuan sosial mendesak dilakukan agar kebijakan pengeluaran negara dan daerah mendukung pemenuhan hak-hak dasar masyarakat. Langkah strategis dalam pengelolaan ekonomi makro dimasa depan adalah mempertahankan stabilitas ekonomi melalui pengendalian inflasi dan nilai tukar, dan kesinambungan fiskal, meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan investasi, peningkatan produktivitas, perluasan perdagangan, dan meningkatkan pembangunan infrastuktur, memperluas kesempatan kerja melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi kesenjangan antar wilayah melalui percepatan pembangunan wilayah tertinggal dan terisolasi, wilayah perbatasan,

Page 139: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

132

wilayah pasca konflik dan wilayah pasca bencana alam. (BAPPENAS,2003)

Tinjauan Empiris

1. Lesta Karolina Sebayang (2008)

Dalam penelitiannya yang berjudul keterkaitan desentralisasi fiskal sebagai politikal proses dengan tingkat kemiskinan di Indonesia, yang bertujuan untuk mengidentifikasi kapasitas fiskal daerah dengan adanya desentralisasi fiskal sebagai political process, dan mengukur hubungan antara kapasitas fiskal yang dimilik daerah dengan tingkat kemiskinan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah panel data (pooling data) atau data longitudinal. Analisis dengan metode Generalized Least Square (GLS) dan model fixed effect dengan kapasitas fiskal diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi.

Analisis Model Regresi Mengukur hubungan kapasitas fiskal sebagai variabel dependen dengan variabel-variabel independennya. Dengan menggunakan data panel.

Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1) Kapasitas fiskal masing-masing daerah berpengaruh pada tingkat kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masing-masing daerah juga kan mempengaruhi pengalokasian atau skal prioritas juga akan bervariasi.

2) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berpengaruh terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan.

3. Pemerintah daerah harus mampu meningkatkan kapasitas fiskal dan PDRB sebagai solusi untuk menurunkan tingkat kemiskinan.

Page 140: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

133

4. Adanya pelimpahan kewenangkan ke daerah berarti pemerintah harus mampu meningkatkan tanggung jawab terhadap tingkat kesejahteraan didaerah.

2. Hadi Sasana (2009)

Dalam penelitiannya yang berjudul Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk : Mengetahui bagaimana peran desentraliasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, PDRB, jumlah penduduk miskin, dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Jawa Tengah. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah : penelitian menggunakan analisis jalur (path analysis), yang dikembangkan sebagai model untuk mempelajari pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dari variabel eksogen terhadap variabel endogen. Penelitian menggunakan data populasi, di mana populasi, yaitu seluruh daerah kabupaten/ kota (29 kabupaten dan 6 kota) diProvinsi Jawa Tengah. Penelitian ini dilakukan secara sensus dengan data sekunder berbentuk time series dari tahun 2001 sampai dengan 2005, dan data cross section yang terdiri atas 35 kabupaten/kota, sehingga merupakan pooled the data yaitu gabungan antara data time series (tahun 2001-2005: 5 tahun) dengan data cross section 35 kabupaten/kota. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, dan instansi terkait lainnya.

Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1) Desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi di daerah kabupaten/kota di Jawa Tengah.

2) Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap tenaga kerja terserap di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

Page 141: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

134

3) Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap jumlah penduduk miskin di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

4) Pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

5) Tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

6) Jumlah penduduk miskin berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap kesejahteraan masyarakat di kabupaten/kota di Jawa Tengah.

3. Hadi Sasana (2011)

Dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Determinan Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal.

Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis pengaruh dana perimbangan terhadap belanja daerah di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.

2) Menganalisis pengaruh PAD terhadap belanja daerah di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.

3) Menganalisis pengaruh PDRB terhadap belanja daerah di kabupaten/kota Provinsi Jawa Barat.

4) Menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap belanja daerah di kabupaten/kotaProvinsi Jawa Barat.

Page 142: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

135

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda metode OLS (Ordinary Least Square) sebagai alat analisis. Karena sifat penaksir OLS yang BLUE (best linear unbiased estimator), dimana kelas penaksir tidak bias mempunyai varians yang minimum. Populasi penelitian ini adalah semua daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 26 daerah, terdiri atas 17 kabupaten dan 9 kota. Periode waktu penelitian tahun 2004-2008. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS), dan Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) Departemen Keuangan Republik Indonesia. Variabel penelitian meliputi, variabel independen terdiri dari : Produk Domestik Regional Bruto (PBRB), Dana Perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Jumlah Penduduk. Variabel dependen adalah Belanja Daerah (BD). Alat analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan metode OLS (Ordinary Least Square). Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1) Produk Domestik regional bruto riil berhubungan positif dan signifikan terhadap belanja daerah

2) Dana perimbangan berhubungan positif dengan belanja daerah, dan mempengaruhi belanja daerah

3) Jumlah penduduk berhubungan positif dengan belanja daerah, dan mempengaruhi belanja daerah

4) Pendapatan Asli Daerah berhubungan positif tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja daerah.

4. Rahmawati Faturrohmin (2011)

Dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh PDRB, Harapan Hidup dan Melek Huruf Terhadap Tingkat Kemiskinan (Studi Kasus 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah).

Page 143: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

136

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis :

1. Seberapa besar pengaruh PDRB terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode 2005-2009.

2. Seberapa besar pengaruh Harapan Hidup terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa tengah pada periode 2005-2009.

3. Seberapa besar pengaruh Melek Huruf terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode 2005-2009.

4. Seberapa besar pengaruh PDRB, Harapan Hidup dan Melek Huruf secara bersama-sama terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode 2005-2009.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian ini menggunakan panel data (pooling data) atau data longitudinal. Data panel adalah sekelompok data individual yang diteliti selama rentang waktu tertentu. sebagai alat analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa data panel 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode 2005-2009. Data yang digunakan adalah data persentase penduduk miskin, PDRB, angka Harapan Hidup dan Angka Melek Huruf. Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini :

1) PDRB berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan tingkat keyakinan 95 persen hal ini ditandai dengan nilai probabilitas (0,0016).

2) Harapan Hidup juga berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat kemiskinan di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan tingkat keyakinan 95 persen hal ini ditandai dengan nilai probabilitas (0,0023).

Page 144: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

137

3) Melek Huruf tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah hal ini di tandai dengan nilai probabilitas (0,9764).

5. Purwiyanti Septina Franciari (2012)

Dalam penelitiannya yang berjudul Analisis hubungan IPM, Kapasitas Fiskal, dan Korupsi terhadap Kemiskinan Di Indonesia (studi kasus 38 kabupaten/kota di Indonesia tahun 2008 dan 2010). Penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis pengaruh IPM, korupsi, dan kapasitas fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia tahun 2008 dan 2010.

2) Menganalisis perbedaan perilaku IPM, korupsi, dan kapasitas fiskal terhadap kemiskinan pada tahun 2008 dan 2010.

Metode yang digunakan : menggunakan metode estimasi kuadrat terkecil atau Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Eviews 6. Dalam penelitian ini, data yang digunakan data sampel (bagian kecil dari populasi). Oleh karena itu, dalam penelitian ini hanya dapat dibentuk fungsi regresi sampel atau Sample Regression Function (SRF) yang dijadikan sebagai penaksir fungsi regresi populasi atau Population Regression Function (PRF). Sampel penelitiannya yaitu 38 Kabupaten/Kota di Indonesia pada tahun 2008 dan 2010. Hasil dan Kesimpulan dari penelitian ini adalah Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2008 variabel IPM, kapasitas fiskal dan korupsi berpengaruh negatif secara tidak signifikan pada α = 5 persen dan α = 10 persen terhadap kemiskinan. Pada tahun 2010 variabel kapasitas fiskal berpengaruh negatif secara signifikan pada α = 10 persen terhadap kemiskinan, sedangkan IPM dan korupsi berpengaruh negatif secara tidak signifikan. Berdasarkan hasil kausalitas granger, terdapat perbedaan pola perilaku antara tahun 2008 dan 2010.

Page 145: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

138

Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan pemerintah kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya. Menurut Ahmad Yani (2002) salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada Pemerintah Daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 5 “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Menurut Saragih (2003: 39 dan 40) kata autonomy berasal dari bahasa Yunani (Greek), yakni dari kata autonomia, yang artinya :

The quality or state being independent, free, and self directing. Atau The degree of self determination or political control possed by a minoritygroup, territorial division or political unit in its relations to the state or political community of which it forms a part and extending from local to full independence. Sedangkan menurut Encyclopedia of Social Science dalam Ahmad Yani (2002 : 5) pengertiannya yang orisinil, otonomi adalah The legal self suffiency of social body and its actual independence.

Sejalan dengan bergulirnya pelaksanaan otonomi daerah di tanah air, setiap Pemerintah Kabupaten dan Kota melakukan berbagai pembenahan menuju kearah terselenggaranya otonomi di masing-masing daerah Kabupaten dan Kota. Hal yang sangat penting dalam menjawab berbagai isu dalam implementasi otonomi daerah tersebut adalah tersedianya sistem dan mekanisme kerja organisasi perangkat

Page 146: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

139

daerah. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 pasal 4, 5, dan 6 sumber endanaan Pemerintah Daerah Kebupaten dan Kota untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah daerahnya dalam pelaksanaan kegiatannya adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dapat memperoleh dana dari sumber sumber yang dikategorikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

2. Memperoleh transfer dana dari APBN yang dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, DAU dan DAK. Pengalokasian dana perimbangan ini selain ditujukan untuk memberikan kepastian sumber pendanaan APBD, juga bertujuan untuk mengurangi/ memperkecil perbedaan kapasitas fiskal antar daerah.

3. Daerah memperoleh penerimaan dari sumber lainnya seperti bantuan dana kontijensi dan bantuan dana darurat.

4. Menerima pinjaman dari dalam dan luar negeri.

2. Pelaksanaan Otonomi daerah

Tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut Widjaja (2004: 65) “dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan undang-Undang No. 25 tahun 1999, mulai tanggal 1 Januari 2001 Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah member petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD”.

Menurut Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keungan Negara Djoko Hidayanto (2004) “pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia efektif dimulai pada

Page 147: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

140

tanggal 1 Januari 2001”. Menurut Direktur dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004) “1 Januari 2001 merupakan momentum awal yang mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia khususnya bagi penyelenggara pemerintah di daerah, karena pada tahun tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan secara efektif”.

Menurut Widjaja (2004 : 100) “Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan pelaksanaan daerah dimulai dari tahun 2001”.

Misi utama pelaksanaan otonomi daerah adalah :

1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

2. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipaasi dalam pembangunan.

Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan dalam menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam hal ini kewenangan keuangan yang melekat pada setiap pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dalam menjamin terselenggranya otonomi daerah yang semakin mantap, maka diperlukan kemampuan untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan PAD, baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam melaksanakan upaya peningkatan PAD, perlu diadakan analisis potensi PAD.

Page 148: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

141

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Kinerja (Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan (Kamus Akuntansi Manajemen Kontemporer, 1994). Selanjutnya measurement atau pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan dan non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan program selanjutnya. Menurut Sedarmayanti (2003 : 64) ”Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan”.

Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability (knowledge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance. Menurut Mardiasmo (2002 : 121) ” Sistem pengukuraan kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nnfinansial”.

Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan dan perbandingan antara

Page 149: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

142

anggaran PAD dengan pencapaian (realisasi) PAD pada tahun tersebut. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisa rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2004). Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolak ukur dalam :

1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi keuangan daerah.

2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

5. Melihat pertumbuhan/ perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

Pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu sistem keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan sistem keuangan yang ditentukan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.

Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari sistem laporan pertanggungjawaban daerah berupa perhitungan APBD. Menurut Munir (2004 : 101) rasio yang dipakai dalam mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Karo adalah :

Page 150: doff - Unas Repository

Teori Otonomi Daerah

143

1. Tingkat Kemandirian

Diukur dengan dua buah kriteria yaitu kemampuan daerah dalam pembiayaan dan kemampuan mobilisasi daerah.

Pendapatan Asli Daerah Jumlah

Kemampuan Pembiayaan =

Belanja Rutin Non Belanja Pegawai

Pajak Daerah

Kemampuan Mobilisasi Daerah =

Pendapatan Asli Daerah

2. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Rasio kemandirian keuangan daerah menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Kemandirian kauangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pandapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan dari pemerintah pusat/propinsi ataupun dari pinjaman.

Pendapatan Asli Daerah

Tingkat Kemandirian =

Keuangan daerah Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi

dan Pinjaman

Page 151: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

144

3. Desentralisasi Fiskal

Diukur dengan menggunakan rasio antara Pendapatan Asli Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah.

Pendapatan Asli Daerah

Tingkat Desentralisasi Fiskal =

Total Penerimaan Daerah

Menurut Undang-Undang No 33 tahun 2004, yang dimaksud dengan PAD adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi”. Pendapatan Asli Daerah dapat diartikan sebagai pendapatan yang bersumber dari pungutan-pungutan yang dilaksanakan oleh daerah berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku yang dapat dikenakan kepada setiap orang atau badan usaha milik pemerintah daerah tersebut sehingga daerah dapat melaksanakan pungutan dalam bentuk penerimaan pajak, retribusi dan penerimaan lainnya yang sah yang diatur dalam undang-undang.

Page 152: doff - Unas Repository

BAB. III

A N A L I S A

1. Tujuan dan Manfaat Pengkuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan análisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya.

Menurut Widodo (Halim, 2002 : 126) hasil análisis rasio keuangan ini bertujuan untuk :

a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.

b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.

c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya.

d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

e. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.

Page 153: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

146

2. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daearah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efesien, dan akuntabel, análisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecendrungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.

Adapun rasio keuangan yang sering dipakai dalam mengukur kinerja Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut :

a. Derajat Desentralisasi Fiskal

Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh daearah terhadap total penerimaan daerah. Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran.

Page 154: doff - Unas Repository

Analisa

147

Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonom. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keadilan pembagian sumber daya daerah dalam bentuk bagi hasil pendapatan sesuai potensi daerah terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Semakin tinggi hasilnya maka suatu daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Drajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM menggunakan sekala interval sebagaimana yang terlihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal

PAD/TPD (%) Kemampuan Keungan Daerah

<10.00

10.01-20.00

20.01-30.00

30.01-40.00

40.01-50.00

>50.00

Sangat Kurang

Kurang

Cukup

Sedang

Baik

Sangat

Sumber: Munir,2004:106

b. Tingkat Kemandirian Pembiayaan

Ukuran ini menguji tingkat kekuatan kemandirin pemerintah kabupaten dalam membiayai APBD setiap periode anggaran. Belanja Rutin Non Belanja Pegawai (BRNBP) merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan tugas pokok pelayanan msyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan tidak tersangka serta belanja lain-lain. Rasio ini dimaksudkan untuk

Page 155: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

148

mengukur tingkat kemampuan PAD dalam membiayai belanja darah diluar belanja pegawai. Dalam ketentuan yang digariskan bahwa belanja rutin daerah dibiayai dari kemampuan PAD setiap PEMDA dan karenanya tolak ukur ini sesuai pengukuran dimaksud. Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan digunakan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan pemerintah. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi pajak daerah sebagai sumber pendapatan uang dikelola sendiri oleh daerah terhadap total PAD. Semakin besar rasio akan menunjukkan peran pajak sebagai sumber pendapatan daerah akan semakin baik.

c. Rasio Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pandapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan dari pemerintah pusat/propinsi ataupun dari pinjaman. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemendirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama pendapatan asli daerah.Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan

Page 156: doff - Unas Repository

Analisa

149

menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi.

3. Pengelolaan Keuangan Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Menurut peraturan tersebut, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggugjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi fiskal secara efektif dan efisien, salah satunya tergantung pada pengelolaan keuangan daerah. Sebelum adanya Undang -Undang Otonomi Daerah, sistem penatausahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada kontribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi.

4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis, yaitu :

1. Pajak Daerah

2. Retribusi Daerah

3. Bagian Laba Usaha Daerah

4. Lain-Lain PAD

Page 157: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

150

1) Pajak Daerah

Pajak daerah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pajak. Jenis pajak propinsi terdiri dari :

a. Pajak Kendaraan Bermotor b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor d. Pajak Kendaraan Dinas di Atas Air e. Pajak Air di Bawah Tanah f. Pajak Air Permukaan

Sedangkan jenis pajak kabupaten / kota menurut Undang – Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah terdiri dari :

a. Pajak Hotel b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Reklame e. Penerangan Jalan f. Pengambilan Bahan Galian Golongan C g. Pajak Parkir

Menurut Ahmad Yani (2002:45): “ Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.” Pajak daerah, sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu melaksanakan otonom, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah

Page 158: doff - Unas Repository

Analisa

151

tangganya sendiri. Meskipun beberapa jenis pajak daerah sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam mengali potensi sumber-sumber keuangannnya dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.

2) Retribusi Daerah

Menurut Pahala (2005:5): “Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara perorangan”jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung, yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari negara. Menurut Ahmad Yani (2002:55) : “Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan”.

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Padal 1 angka 26 retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan oarang pribadi atau badan. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia saat ini penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi, retribusi yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah.

a) Objek Retribusi Daerah

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 1 menentukan bahwa objek retribusi daerah adalah berbagai jenis jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah dapat dipungut retribusinya, tetapi

Page 159: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

152

hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan kedalam tiga golongan, yaitu jasa umum, jasa usaha, perizinan tertentu. Hal ini membuat objek retribusi terdiri dari tiga kelompok jasa sebagaimana berikut ini :

1) Jasa umum, yaitu jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jasa umum antara lain meliputi pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan. Jasa yang tidak termasuk jasa umum adalah jasa urusan umum pemerintahan,

2) Jasa usaha, yaitu jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan memenganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. Jasa usaha anatara lain meliputi penyewaan asset yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah daerah, penyediaan tempat penginapan, usah bengkel kendaraan, tempat pencucian mobil, dan penjualan bibit.

3) Perizinan tertentu, yaitu kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Mengingat bahwa fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, pada dasarnya pemberian izin oleh pemerintah daerah tidak harus dipungut retribusi.

b) Retribusi Daerah Untuk Kabupaten

Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Jenis Pendapatan Retribusi untuk Kabupaten/Kota meliputi Objek Pendapatan berikut:

Page 160: doff - Unas Repository

Analisa

153

1) Retribusi Pelayanan Kesehatan, 2) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, 3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP, 4) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Akta Catatan Sipil, 5) Retribusi Pelayanan Pemakaman, 6) Retribusi Pelayanan Pengabuan Mayat, 7) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, 8) Retribusi Pelayanan Pasar, 9) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor, 10) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, 11) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, 12) Retribusi Pengujian Kapal Perikanan, 13) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, 14) Retribusi Jasa Usaha Pasar Grosir atau Pertokoan, 15) Retribusi Jasa Usaha Tempat Pelelangan, 16) Retribusi Jasa Usaha Terminal, 17) Retribusi Jasa Usaha Tempat Khusus Parkir, 18) Retribusi Jasa Usaha Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa, 19) Retribusi Jasa Usaha Penyedotan Kakus, 20) Retribusi Jasa Usaha Rumah Potong Hewan, 21) Retribusi Jasa Usaha Pelayanan Pelabuhan Kapal, 22) Retribusi Jasa Usaha Tempat Rekreasi dan Olahraga, 23) Retribusi Jasa Usaha Penyeberangan di atas Air, 24) Retribusi Jasa Usaha Pengolahan Limabah Cair, 25) Retribusi Jasa Usaha Penjualan Produksi Usaha Daerah, 26) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, 27) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, 28) Retribusi Izin Gangguan, 29) Retribusi Izin Trayek.

Page 161: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

154

c) Bagian Laba BUMD

Sumber penerimaan PAD yang lainnya yang menduduki peran penting setelah pajak daerah dan retribusi daerah adalah bagian Pemerintah Daerah atas laba BUMD. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan atau Bagian Laba BUMD merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. BUMD merupakan badan usaha yang didirikan seluruhnya atau sebagian, dengan modal daerah. Tujuan didirikannya BUMD adalah dalam rangka menciptakan lapangan kerja atau mendorong pembangunan ekonomidaerah. Selain itu, BUMD juga merupakan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah. Bagian laba BUMD tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan daerah dan anggaran belanja daerah, setelah dikurangi dengan penyusutan, dan pengurangan lain yang wajar dalam BUMD. BUMD sebenarnya juga merupakan salah satu potensi sumber keuangan bagi daerah yang perlu terus ditingkatkan guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah . Besarnya kontribusi laba BUMD dalam Pendapatan Asli Daerah dapat menjadi indikator kuat dan lemahnya BUMD dalam suatu daerah.

Jenis Pendapatan ini meliputi Objek Pendapatan berikut:

1. Bagian Laba Perusahaan Milik Daerah,

2. Bagian Laba Lembaga Keuangan Bank,

3. Bagian Laba Lembaga Keuangan NonBank,

4. Bagian Laba atas Penyertaan Modal/Investasi.

Page 162: doff - Unas Repository

Analisa

155

d) Lain-lain

Pendapatan Asli Daerah yang Sah Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2005 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Lain-lain PAD yang sah meliputi:

1. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan,

2. jasa giro

3. pendapatan bunga,

4. keuntungan selisih niali tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan

5. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

E. Review Penelitian Terdahulu

1. Penelitian Sudono Susanto

Penelitian ini berjudul “Analisis Perkembangan Pembiayaan Fiskal Pemerintah Pusat dan Daerah (studi kasus Daerah Tingkat II Banjarnegara)“. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat otonomi fiskal (DOF) di Daerah Tingkat II Banjarnegara yang diukur dengan variabel tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G) berpengaruh negatif terhadap derajat otonomi fiskal daerah (DOF).

2. Penelitian Yuliati

Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati (Halim, 2004: 21) yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang)”.

Page 163: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

156

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis derajat otonomi Kabupaten Malang yang ditekankan kepada derajat desentralisasi, bantuan serta kapasitas fiskal. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ketergantungan pemerintah Kabupaten Malang terhadap pemerintah pusat pada tahun anggaran 1995/1996-1999/2000 masih sangat tinggi, yang dibuktikan dengan masih rendahnya rata-rata proporsi PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) selama kurun waktu 5 tahun, yaitu hanya sebesar 15%, walaupun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi PAD dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD selama kurun waktu 5 tahun hanya sebesar 29% saja. Kondisi ini menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat terhadap keuangan daerah Kabupaten Malang selama kurun waktu 5 tahun tersebut masih sangat besar yang juga ditunjukkan dengan tingginya rata-rata proporsi pemerintah pusat terhadap TPD, yaitu sebesar 71%. Kabupaten Malang memiliki kapasitas fiskal yang relatif baik dibandingkan dengan standar fiskal rata-rata kabupaten/kota se-Jawa Timur. Namun apabila dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya maka terdapat kekurangan (gap) sebesar 12%. Jadi, untuk menutupi kekurangan tersebut memang masih diperlukan dana dari pemerintah pusat.

3. Penelitian Jasagung Hariyadi

Penelitian yang dilakukan oleh Jasagung Hariyadi (Halim, 2004: 339) yang berjudul “Estimasi Penerimaan dan Belanja Daerah serta Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung: Studi Kasus Tahun Anggaran 2001.“ Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui estimasi penerimaan daerah dan tingkat kemandirian keuangan daerah melalui pengukuran derajat desentralisasi fiskal untuk tahun 2001, sehingga terlihat kemampuan Kabupaten Belitung dalam rangka melaksanakan otonomi daerah yang mulai berlaku efektif pada tahun 2001. Kesimpulan dari penelitian ini,

Page 164: doff - Unas Repository

Analisa

157

berdasarkan estimasi APBD Kabupaten Belitung tahun anggaran 2001 perbandingan antara PAD terhadap TPD adalah sebesar 11,61%. Sedangkan perbandingan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dengan TPD adalah sebesar 7,18% dan Sumbangan Daerah dan Total Penerimaan Daerah adalah sebesar 81,21%.

4. Penelitian Kifliansyah

Penelitian yang dilakukan oleh Kifliansyah (Halim, 2004: 329) yang berjudul “Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah).“ Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kemandirian daerah pada tahun anggaran 1999/2000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proporsi PAD terhadap TPD sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 18,80%, proporsi Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah sebesar 76,61%. Dengan kondisi ini ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih sangat besar.

5. Penelitian Lilies Setiarti

Penelitian yang dilakukan oleh Lilies Setiarti (jurnal, 2002: 141152) yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi di Kabupaten Bantul Yogyakarta)”. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengukur serta menganalisis kinerja keuangan daerah Kabupaten Bantul dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah dan Mengetahui peran PAD terhadap Struktur Penerimaan APBD Kabupaten Bantul. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, Pertama, berdasarkan kesiapan pemerintah kabupaten bantul dari sisi keuangan daerah dapat disimpulkan :

• Derajat Desentralisasi Fiskal yang dihitung atas dasar rasio antara PAD terhadap TPD, rasio BHPBP terhadap TPD, rasio

Page 165: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

158

SB terhadap TPD, menunjukkan ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemerintah pusat.

• Bila dilihat dari kemampuan PAD dalam mendanai belanja PEMDA masih mengindikasikan adanya ketergantungan dari pemerintah pusat.

• Kabupaten Bantul memiliki kapasitas fiskal yang sama besar, sehingga tidak perlu menutup dengan bantuan pemerintah pusat.

• Posisi fiskal yang dihitung dengan rata-rata perubahan PAD terhadap rata-rata perubahan PDRB, menunjukkan hasil yang berbeda berdasarkan atas PDRB harga konstan dengan PDRB atas harga berlaku. Namun demikian sumbangan PDRB terhadap PAD sangat strategis peranannya. Kedua, berdasarkan kesiapan pemerintah dari segi kemampuan keuangan daerah masih kurang (terutama aspek desentralisasi fiskal) sehingga perlu diupayakan peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun secara ekstensifikasi.

6. Penelitian Mouna Fachrizal

Penelitian yang dilakukan oleh Mouna Fachrizal pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur untuk mengetahui gambaran mengenai kinerja keuangan sebelum dan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Analisis rasio yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis rasio keuangan yaitu rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemandirian pembiayaan, rasio efisiensi penggunaan anggaran, rasio tingkat kemandirian keuangan daerah, rasio aktifitas (rasio keserasian), dan rasio pertumbuhan. Adapun hasil penelitian yang pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur menunjukkan pada rasio desentralisasi fiskal menunjukkan penurunan kinerja keuangan setelah otonomi daerah dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah. Pada rasio tingkat kemandirian pembiayaan, pada bagian

Page 166: doff - Unas Repository

Analisa

159

PAD/BRNBP mengalami peningkatan setelah otonomi daerah. Sedangkan pada bagian TPjD/PAD terjadi penurunan kinerja keuangan sesudah otonomi daerah. Pada rasio efisiensi penggunaan anggaran, pada bagian TSA/TBD terjadi peningkatan kinerja setelah otonomi daerah. Sedangkan untuk TPL/TPD terjadi juga peningkatan kinerja setelah otonomi daerah. Pada rasio tingkat kemandirian keuangan daerah, terjadi penurunan kinerja setelah otonomi diterapkan. Pada rasio aktifitas (rasio keserasian), pada bagian TBR/TAPBD mengalami peningkatan nilai sesudah otonomi daerah. Pada rasio pertumbuhan, pendapatan asli daerah dan total belanja pembanguanan mempunyai nilai yang positif secara rata-rata setelah otonomi khusus.Sedangkan total pendapatan daerah dan total belanja rutin mengalami penurunan nilai setelah otonomi khusus. Keseluruhan penelitian diatas dapat disajikan secara ringkas sebagai berikut :

Tabel 2.2 Daftar Hasil- Hasil Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti

Judul Penelitian Tahun Kesimpulan

1 Lilies Setiarti

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi di Kabupaten Bantul Yogyakarta)

2002 Ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemerintah pusat.

2 Sudono Susanto

Analisis Perkembangan Pembiayaan

2004 Tingkat perkembangan ekonomi (TPE)

Page 167: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

160

Fiskal Pemerintah Pusat dan Daerah (studi kasus Daerah Tingkat II Banjarnegara

dan bantuan pemerintah pusat (G) berpengaruh negatif terhadap derajat otonomi fiskal daerah (DOF).

3 Yuliati Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang)

2004 Ketergantungan pemerintah Kabupaten Malang terhadap. pemerintah pusat pada tahun anggaran 1995/19961999/2000 masih sangat tinggi

4 Jasagung Hariyadi

Estimasi Penerimaan dan Belanja Daerah serta Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung: Studi Kasus Tahun Anggaran 2001 /2004 berdasarkan estimasi APBD Kabupaten

2001 Sedangkan perbandingan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dengan TPD adalah sebesar 7,18% dan Sumbangan Daerah dan TPD adalah sebesar 81,21%.

Page 168: doff - Unas Repository

Analisa

161

Belitung tahun anggaran 2001 perbandingan antara PAD terhadap TPD adalah sebesar 11,61%.

5 Kifliansyah Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah)

2004 Proporsi PAD terhadap TPD sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap TPD sebesar 18,80%, proporsi Sumbangan Daerah terhadap TPD sebesar 76,61%, berarti ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat masih sangat besar

6 Mouna Fachrizal

Studi Komparatif Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Sebelum dan Sesudah

2008 Pendapatan asli daerah dan total belanja pembangunan mengalami peningkatan,

Page 169: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

162

Otonomi Khusus (Studi Kasus pada Pemerintah Kabupaten Aceh Timur)

sedangkan total pendapatan daerah dan total belanja rutin mengalami penurunan nilai setelah otonomi khusus diterapkan.

Penelitian 2 menggunakan alat analisis regresi untuk mengukur derajat Otonomi Fiskal (tingkat kemandirian daerah) dengan Derajat Otonomi Fiskal (DOF) sebagi variabel dependen dan tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G) sebagai variabel independen, akan tetapi dengan lokasi penelitian yang berbedabeda.

Penelitian 1, 3, 4, dan 5 sama-sama mengukur tingkat desentralisasi fiskal (tingkat kemandirian daerah) dengan cara membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), dan Sumbangan Daerah (SB) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Khusus pada penelitian 2 dilengkapi dengan analisis kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal. Setiap penelitian memiliki lokasi penelitian yang berbeda-beda. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penulis membandingkan kinerja keuangan daerah sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah di Daerah Kabupaten Karo dengan rasio yang dipergunakan untuk mengukur kinerja keuangan adalah Rasio Ketergantungan.

Page 170: doff - Unas Repository

Analisa

163

F. Kerangka Konseptual Fiskal

Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.

Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan dan perbandingan antara anggaran PAD dengan pencapaian (realisasi) PAD pada tahun tersebut. Pada penelitian ini, data yang dipakai adalah Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kemudian dari APBD ini diambil data-data yang diperlukan yang kemudian akan dianalisis dengan memakai rasio kinerja keuangan daerah yaitu :

a. Rasio Kemampuan Pembiayaan, b. Rasio Kemampuan Mobilisasi Daerah, c. Rasio Tingkat Ketergantungan Pemerintah Kabupaten/Kota d. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal.

Kemudian rasio-rasio diatas akan dibandingkan antara sebelum dan sesudah pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Pengertian Otonomi Daerah

Rondinelli dan Cheema (1983) mendefinisikan otonomi daerah sebagai berikut:

Decentralization is the transfer of planning, decisionmaking, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal (italics in original) organization, local government or non-governmental organization.

Page 171: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

164

Menurut Dennis Rondinelli

Otonomi daerah adalah proses pelimpahan wewenang dan kekuasaan : perencanaan, pengambilan keputusan ldari pemerintah pusat lkepada lpemerintah daerah (organisasi-organisasi pelaksana daerah, unit-unit pelaksana daerah) kepada organisasi semi-otonom dan semi otonom (parastatal) atau kepada organisasi non-pemerintah.

Menurut World Bank

Desentralisasi atau Otonomi daerah adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab untuk menjalankan fungsi pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi pemerintah yang menjadi bawahannya atau yang bersifat semiindependen dan atau kepada sektor swasta.

Dalam konteks Indonesia, otonomi daerah adalah proses pelimpahan, wewenang dan kekuasaan dari pemerintah pusat di Jakarta kepada pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota (dalam koridor UU 32/2004 dan UU 33/2004, UU No. 18/2001 untuk DI Aceh, UU No. 21/2001, untuk Papua)

2.1.1 Konsep Bentuk Desentralisasi

Dengan mengutip pendapat Fortman selanjutnya Bryant dan White (1987:215), lebih menekankan kepada dampak atau konsekuensi penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan dan kontrol oleh badan-badan otonom daerah yang menuju kepada pemberdayaan (empowerment) kapasitas lokal. Dikatakannya bahwa desentralisasi juga merupakan salah satu cara untuk mengembangkan fasilitas lokal. Kekuasaan dan pengaruh cenderung bertumpu pada sumber daya. Jika suatu badan lokal diserahi tanggung jawab dan sumber daya, kemampuannya untuk mengembangkan otoritasnya akan meningkat. Jika pemerintah lokal semata-mata ditugaskan untuk mengikuti kebijakan nasional, para pemuka dan masyarakat akan

Page 172: doff - Unas Repository

Analisa

165

mempunyai investasi kecil saja. Akan tetapi, jika suatu unit lokal diberi kesempatan untuk meningkatkan kekuasaannya, kekuasaan pada tingkat nasional tidak dengan sendirinya akan menyusut. Pemerintah pusat mungkin memperoleh prospek dan kepercayaan karena menyerahkan proyek dan sumberdaya akan meningkatkan pengaruh serta legitimasinya.

Konsep desentralisasi menurut Bryant dan White yang menekankan pada salah satu cara untuk mengembangkan kapasitas lokal dapat pula diaplikasikan dalam rangka pengembangan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, terutama untuk mempengaruhi para pengambil keputusan yang masih menyangsikan atau mengkhawatirkan kemungkinan timbulnya disintegrasi dalam melaksanakan otonomi daerah. Midjaja (dalam Syafrudin, 1992:1) mengemukakan bahwa "otonomi daerah dapat menimbulkan disintegrasi dan karenanya harus diwaspadai".

Rondinelli dan Cheema (1988:18) lebih luas memaparkan konsep-konsep desentralisasi dengan memberikan batasan sebagai Desentralisasi dalam transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasi lapangan, unit administrasi lokal, organisasi semi-otonom dan parastatal, pemerintah daerah, atau organisasi non pemerintah. Menurut Rondinelli dan Cheema (1988:18), desentralisasi dalam bentuk deconcentration, pada hakekatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat di lapangan. Pendapat ini tidak berbeda dengan pendapat Bryant. S.

Selanjutnya Rondinelli dan Cheema (1988:18-19) menyebutkan bahwa kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan lebih banyak berupa shifting of workoad from a central government ministry or agency headquarters to its own field staff located in offices outside of the national capital, without transferring to them the authority to make decisions or to exercise discretion in

Page 173: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

166

carrying them out.Jadi, menurut dia, dekonsentrasi itu lebih banyak berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah, tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.

Rondnelli dan Cheema (1988:18) membedakan dua tipe dekonsentrasi, yaitu field administration dan local administration. Dalam tipe yang pertama, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan pusat dengan kondisi setempat. Kesemuanya dilakukan atas petunjuk departemen pusat. Dalam sistem ini, meskipun para staf lapangan bekerja di bawah lingkungan semi-otonomi, mereka adalah pegawai departemen pusat dan tetap berada di bawah perintah dan supervisi pusat. Pada sistem local adminitratton, semua pejabat di setiap tingkat pemerintahan merupakan perwakilan dari pemerintah pusat, seperti propinsi, distrik, kotapraja, dan sebagainya, yang dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh, berada di bawah, dan bertanggung jawab kepada departemen pusat. Mereka bekerja di bawah supervisi teknis dan pengawasan departemen pusat.

Bahtiar Irianto (2010) menjelaskan bahwa terdapat dua tipe administrasi lokal yang biasanya berjalan di negara-negara berkembang, yaitu integrated dan unintegrated local administration. Integrated local administration adalah salah satu bentuk dekonsentrasi. Tenaga-tenaga staf dari departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung di bawah pemerintah dan supervisi dari kepala eksekutif di daerah (propinsi, distrik, kotapraja, dan sebagainya) yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Walapun tenaga-tenaga staf tersebut, digaji, dipromosikan, dan dimutasikan oleh departemen pusat, mereka tetap berkedudukan sebagai staf teknis dari kepala eksekutif wilayah dan bertanggung jawab kepadanya.

Page 174: doff - Unas Repository

Analisa

167

Selanjutnya Bahtiar Irianto (2010) menjelaskan bahwa sistem unintegrated local administration, tenaga-tenaga staf departemen pusat yang berada di daerah dan kepala eksekutif wilayah masing-masing berdiri sendiri. Mereka bertanggung jawab kepada masing-masing departemermya yang berada di pusat. Koordinasi dilakukan secara informal, tenaga-tenaga staf teknis mendapat perintah dan supervisi dari masing-masing departemen. Tipe ini hampir mirip dengan konsep dekonsentrasi yang dilancarkan di Indonesia. Kepala-kepala instansi vertikal di daerah secara organisatoris-adminitratif dan teknis-fungsional tetap berada di bawah dan bertanggung jawab kepada departemen teknis yang bersangkutan di pusat. Perbedaannya, koordinasi di tingkat daerah yang dilakukan oleh kepala daerah/kepala wilayah tidak secara informal, tetapi secara formal. Hal ini diatur dalam PP.No.6 Tahun 1988 tentang koordinasi kegiatan instansi vertikal di daerah. Antara lain ditegaskan bahwa kepala instansi vertiokal secara teknis-fungsional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri pimpinan departemen atau nondepartemen, dan secara teknis-operasional dikoordinasikan oleh kepala wilayah.

Akan tetapi, dalam praktek di lapangan pelaksanaan koordinasi oleh kepala wilyah sering terhambat karena kepala instansi vertikal tetap berada di bawah dan bertanggung jawab kepada departemen pusat, dan tidak berada di bawah subordinasi kepala wilayah. Oleh karena itu, sulit bagi kepala wilayah untuk mengendalikan kepala-kepala instansi vertikal di daerah karena mereka tidak berada di bawah kekuasaannya, dengan demikian mereka lebih tunduk kepada kekuasaan instansi atasannya.

Oleh karena itu, untuk menghadapi perkembangan pelaksanaan titik berat otonomi daerah pada derah kabupaten/kota di Indonesia, tipe integrated local administration menurut konsep Rondnelli dan Cheema (1988) akan lebih tepat apabila diterapkan. Kepala-kepala instansi vertikal di daerah berkedudukan sebagai staf

Page 175: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

168

teknis kepala wilayah yang berada di bawah dan bertanggung jawab (subordinasi) kepada wilayah. Posisi ini sebaiknya diletakkan terutama ditingkat propinsi karena tugas-tugas dan kewenangan dekonsentrasi akan lebih banyak diserahkan kepada propinsi. Tugas dan kewenangan dekonsentrasi pada daerah kabupaten/kota dibatasi sekecil mungkin, bahkan secara berangsur akan ditiadakan.

Rondnelli dan Cheema (1988) memberi pengertian delegation to semi autonomous, yaitu suatu pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Tehadap organisasi semacam ini diberikan kewenangan semi independen untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Bahkan kadang-kadang berada di luar ketentuan yang diatur oleh pemerintah, karena bersifat lebih komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis. Hal ini biasanya dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang ditugaskan melaksanakan proyek tertentu, seperti telekomunikasi, listrik, bendungan, dan jalan raya.

Bentuk ketiga dari desentralisasi menurut Rondnelli dan Cheema (1988) adalah devolution. Konsekuensi dari devolution ini ialah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintah di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Karakteristik devolusi ialah: (1) Unit pemerintah setempat bersifat mandiri (independent), dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintah. (2) Unit pemerintahan tersebut diakui mempunyai batas-batas wilyah yang jelas dan legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan. (3) Unit pemerintah daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwewenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. (4) Unit pemerintah daerah diakui sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat, memenuhi

Page 176: doff - Unas Repository

Analisa

169

kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan terhadap warganya. (5) Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unti organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.

Dengan memperhatikan karakteristik yang dikemukakan oleh Rondnelli dan Cheema (1988), ada beberapa hal yang mirip dengan konsep desentralisasi yang sedang berjalan di Indonesia dan ada pula yang tidak sejalan. Menurut konsep ini badan pemerintah daerah mempunyai kedudukan otonomi penuh, lepas dari tingakatan hirarki pemerintahan, dan tidak ada pengawasan langsung. Kedudukan otonomi daerah di Indonesia masih sangat tergantung kepada pemerintahan pusat.

Bentuk terakhir desentralisasi menurut Rondinelli dan Cheema (1988:18-25) ialah yang disebut privatisasi (transfer of functions from government to nongovernment institutions). Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan swasta.

Konsep desentralisasi yang dilancarkan Rondnelli dan Cheema (1988) didasarkan kepada adanya perhatian yang semakin besar untuk memberikan keleluasaan desentralisasi dalam perencanaan, yang pada tahun 1970-an didorong oleh kekuatan tiga hal, yaitu:

"Pertama, melihat kenyataan hasil yang tidak memuaskan akibat perencanaan dan kontrol pembangunan secara terpusat yang berjalan sekitar tahun 1950 dan 1960-an; Kedua, melihat perlunya dikembangkan cara-cara baru dalam mengelola program dan proyek pembangunan yang meliputi strategi pertumbuhan dan pemerataan yang dijalankan selama

Page 177: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

170

tahun 1970-an; Ketiga, kenyatan kehidupan masyarakat semakin kompleks, kegiatan pemerintahan semakin meluas, sehingga semakin sulit untuk mencapai efisiensi dan efektifitas apabila semua perencanaan dan kontrol pembangunan pada pemerintah pusat."

Tresna (dalam Bahtiar Irianto, 2010) menggolongkan desentralisasi menjadi dua yaitu ambtelijke decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan) yang membedakannya menjadi territoriale decentralisatie dan functionele decentralisatie. Yang dimakud dengan desentralisasi jabatan (dekonsentrasi) adalah pemberian (pemasrahan) kekuasaan dari atas ke bawah dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran pekerjaan semata-mata. Staatskundige decentralisatie merupakan pemberian kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan asas demokrasi pemerintahan negara. Lebih lanjut Tresna mengemukakan bahwa desentralisasi mempunyai dua wajah yaitu autonomie dan medebewind atau zelfbestuur.

Pandangan yang sama dikemukakan Koesoemahatmadja (1979:14), desentralisasi dalam arti ketatanegaraan merupakan pelimpahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonom). Bahtiar Irianto (2010) menjelaskan bahwa desentralisasi adalah sistem mewujudkan asas demokrasi, yang dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara. Koesoemahatmadja (dalam Bahtiar Irianto, 2010) membagi desentralisasi dalam dua macam, yaitu:

"Pertama, dekonsentrasi (dekonsentrasi) atau ambtelijke decentralisatie, adalah pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Desentralisasi macam ini rakyat tidak diikutsertakan. Kedua,

Page 178: doff - Unas Repository

Analisa

171

desentralisasi ketatanegaraan (staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi politik adalah pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (relegende en bestuurende bevoegheid) kepada daerah-daerah otonom. Keikutsertaan rakyat dalam desentralisasi politik terbatas melalui perwakilan."

Tresna (dalam Bahtiar Manto, 2010) membagi dua kategori desentralisasi ketatanegaraan, yaitu:

"(1) Desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie), yaitu ramah tangga daerah masing-masing (otonom). (2) Desentralisasi fungsional (functionate decentralisatie), yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan menguras sesuatu atau beberapa kepentingan tertentu. Di dalam desentralisasi semacam ini dikehendaki agar kepentingan-kepentingan tertentu diselenggarakan oleh golongan-golongan yang bersangkutan sendiri. Kewajiban pengesahan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh golongan-golongan kepentingan tersebut. "

Dengan memberikannya hak dan kekuasaan perundangan dan pemerintahan kepada badan-badan otonom, seperti propinsi, kabupaten/kota dan desa, badan-badan tersebut dengan inisiatifhya sendiri dapat mengurus rumah tangganya dengan jalan mengadakan peraturan-peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar atau perundang-perundangan lainnya yang tingkatnya lebih tingkat, dan dengan jalan menyelenggarakan kepentingan-kepentingan umum. Dengan demikian, otonomi dan medebewind lebih tepat dianggap sebagai perwujudan dianutnya desentralisasi teritorial dalam pemerintahan.

Dengan mengutip pendapat Logeman dalam Het Staats-recht der Zelfregerende Gemeenschappen, Syafrudin (1992:23) berpendapat bahwa otonomi bermakna kebebasan atau kemandirian

Page 179: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

172

(zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (onafliankelijkheid). Di dalamnya terkandung dua aspek utama. Pertama, pemberian tugas dan kewenangan untuk menyelesaikan suatu urusan. Kedua, pemberian kepercayaan dan wewenang untuk memikirkan dan menetapkan sendiri cara-cara penyelesaian tugas tersebut. Dengan demikian, otonomi dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menggunakan prakarsa sendiri atas segala macam nilai yang dikuasai untuk menguras kepentingan umum (penduduk). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu merapakan wujud pemberian kesempatan yang haras dipertanggungjawabkan.

Koesoemahatmadja (dalam Bahtiar Irianto, 2010) lebih jauh mengartikan medebewind sebagai pemberian kemungkinan kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan ramah tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas tersebut). Istilah zelfbestuur adalah terjemahan dari selfgovernment yang di Inggris diartikan sebagai segala kegiatan pemerintahan di tiap bagian dari Inggris yang dilakukan oleh wakil-wakil dari yang diperintah. Di Belanda zelfbestuur diartikan sebagai pembantu penyelenggaran kepentingan-kepentngan dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya lebih bawah. Dalam menjalankan medebewind itu, urusan-uruasan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masih tetap merupakan menjadi urusan rumah tangga daerah yang dimintakan bantuan. Akan tetapi cara daerah otonom melakukan pembantuannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah itu sendiri. Daerah-daerah otonom yang diminta bantuan itu tidak berada di bawah perintah dari dan tidak pula dapat dimintai pertanggungjawaban oleh pemerintah pusat/daerah yang lebih tinggi. Di bagian lain Koesoemahatmadja (1979:21) menyatakan:

"Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya atau tidak bergitu baik melakukan tugasnya,

Page 180: doff - Unas Repository

Analisa

173

sebagai sanksinya pemerintah pusat/daerah yang minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan dari daerah yang dimintakan bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangkan tentang pelaksanaan kepentingan atasan termaksud dengan jalan lain, dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/ daerah yang minta bantuan untuk menuntut keragian dari daerah yang melalaikan kewajibannya."

Pandangan yang hampir sama dilontarkan oleh Bagir Manan (1990:340). Di ulas adanya perbedaan antara desentralisasi dan tugas pembantuan. Kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya mengandung arti adanya hubungan hukum yang langsung antara pemberi tugas dan penerima tugas yang dari sudut kedudukan pemerintah daerah dipandang ganjil, karena akan menciptakan kesan tentang adanya hubungan atasan dan bawahan antara pemberi tugas dan penerima tugas. Padahal, pemerintah daerah sebagai pranata pemerintah daerah otonom tidak mempunyai hubungan yang ordergeschkit dengan pemerintah tingkat lebih atas.

2.1.2 Definisi Desentralisasi

Sebagaimana diketahui bahwa desentralisasi adalah asaz penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan sentralisasi. Setidaknya terdapat dua pemikiran utama (perspektif) dalam studi desentralisasi, yaitu: pespektif desentralisasi politik dan administrasi. Desentralisasi berhubungan dengan seberapa jauh menajemen puncak mendelegasikan wewenang ke bawah, ke divisi, cabang-cabang atau satuan-satuan organisasi tingkat lebih bawah lainnya. Definisi Desentralisasi menurut Philipus M. Hadjon (dalam Tri Wulan, 2006:185) menjelaskan bahwa:

"Desentralisasi mengandung makna bahwa wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak semata-

Page 181: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

174

mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat, melainkan dilakukan juga oleh satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, baik dalam bentuk satuan teritorial maupun fungsional. Satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah diserahi dan dibiarkan mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintahan"

Rondineli dan Cheema (1983) merumuskan definisi desentralisasi dengan lebih merujuk pada perspektif administrasi, secara eksplisit dikemukakan bahwa desentralisasi adalah:

"Decentralization in the transfer of planning, decision making, or administrative authority from the central government to its field organizations, local administrative units, semi-autonomous and parastatal organizations, local government, or non government organization." Desentralisasi adalah (penyerahan) --- perencanaan, pengambilan keputusan dan/ atau wewenang administratif (administratif authorities) --dari pemerintah pusat kepada: pemeerintah daerah (field orgaisations); unit-unit pelaksana administratif di daerah; organisasi-organisasi semi otonom; dan/atau organisasi nonpemerintah.

Litvack & Seddon (1999:2) yang mengemukakan bahwa desentralisasi adalah "transfer of authority and responsibility for public function from central to sub-ordinate or quasi-independent government organization or the private sector". Definisi desentralisasi dari Litvack dan Seddon, dipahami dalam konteks hubungan pemerintah yang mewakili negara dengan entitas lainnya meliputi organisasi pemerintah sub-nasional, organisasi pemerintah yang semi-bebas serta sektor swasta. Sedangkan Parson (dalam Syarif, 2002:29) mendefinisikan desentralisasi sebagai "Sharing of the govermental power by a central ruling group with other groups, each having authority within a specific area of the state".

Page 182: doff - Unas Repository

Analisa

175

Mahwood (1987:9) menjelaskan bahwa desentralisasi adalah devolution of power from central to local governments. Pada bagian lain, Smith (1985) merumuskan defmisi desentralisasi berdasarkan perspektif politik, yakni "The transfer of power, from top level to lower level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or offices within a large organization. " Pola penting yang menarik untuk digaris bawahi di sini.adalah suatu kenyataan dimana Smith juga telah menduduki ide devolution of power sebagai subtansi utama dari desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan yang dimaksud tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.

Berdasarkan definisi densetralisasi seperti di atas, Rondineli dan Cheema (1983:18-25) kemudian merumuskan empat bentuk desentralisasi. Pertama adalah deconcentration yakni distribusi wewenang administrasi didalam struktur pemerintahan. Kedua, apa yang disebut dengan delegation to semi autonomous or parastatal organisations, yang berarti pendegelasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas rungsi-fungsi tertentu yang sangat spesifik, kepada organisasi-organisasi yang secara langsung tidak dibawah kontrol pemerintah. Bentuk desentralisasi yang ketiga adalah devolution yakni penyerahan fungsi dan otoritas (the transfer of functions and authorities) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan bentuk desentralisasi yang terakhir adalah swastanisasi yakni penyerahan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada swasta.

Pada tingkat tertentu, rumusan definisi desentralisasi yang dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema terlihat memiliki nuansa yang lebih komperhensif. Hak tersebut dikarenakan definisi tersebut tidak saja mencakup penyerahan dan pendelegasian wewenang didalam struktur pemerintahan, tetapi juga telah mengakomodasi pendelegasian wewenang kepada organsiasi non pemerintah atau

Page 183: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

176

bahkan organisasi swasta. Rodinelli sendiri secara transfaran mengakui bahwa telah mendudukkan aspek teknik, spatial dan administratif sebagai elemen utama dari desentralisasi karena dengan memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek tersebut yakni akan mampu menciptakan suatu tatanan organiasasi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang kompleks. Namun demikian, seperti disinyalir oleh Slater (1990:504) defmisi desentralisasi yang telah dibangun oleh Rodenelli cenderung mengabaikan apa yang disebut dengan the territorial dimension of state power.

Sejalan dengan itu juga desentralisasi dapat dipahami juga sebagai berikut :Desentralisasi; Penyerahan (Devolusi) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dekonsentrasi; adalah desentralisasi administratif yang merupakan pemindahan tanggungjawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kebijakan dekonsentrasi, pemerintah pusat memberikan dukungan pembiayaan (Talcott Parson:.1961).

Sejalan dengan itu, desentralisasi sebagai pembagian (sharing) kekuasaan pemerintahan antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya sehingga masing-masing kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup teritorial suatu negara, (Parsons :1961).

Dalam perspektif administrasi, desentralisasi merupakan delegasi wewenang dalam perencanaan, pengambilan kebijakan/keputusan dalam mengatur fungsi-funqsi pelayanan publik dari tingkat pemerintanan yang lebih tinggi kepada organisasi-organisasi atau instansi yang berada pada tingkat yang lebih rendah.

Kritik terhadap Teori Rondinelli. Kritiknya adalah mengesampingkan aspek teritorial kekuasaan Negara. Kelemahan teorinya adalah tidak memasukan aspek penyerahan kekuasaan dan

Page 184: doff - Unas Repository

Analisa

177

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (The Transfer of Power From Central to The Peripheral State} sebagai “ROH” dari Desentralisasi.

Sementara itu, Desentralisasi menurut UU No 32/2004 pada bab I pasal 1 butir e adalah penyerahan wewenang dari pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepala daerah otonom yang dimaksud adalah Bupati atau Walikota sesuai dengan pasal 32 UU No 32/2004.

Sebelumnya dapat ditekankan disini, ada beberapa kewenangan yang tidak dilimpahkan kepada daerah, antara lain pada bidang moneter, hukum, pertahanan keamanan, agama, dan hubungan luar negeri. Hal ini merupakan ciri-ciri desentralisasi politik di Indonesia, serta adanya Pemilukada langsung sehingga kedaulatan betul-betul berada di tangan rakyat.

Dengan kata lain, desentralisasi merupakan tindakan demokratisasi agar rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasinya. Desentralisasi memberi ruang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat dan pengembangan inovasi karena memberi peluang bagi timbulnya prakarsa dari bawah (Osborn dan Gaebler :1992). Sebelumnya, melalui otonomi, masyarakat setempat memiliki kemampuan, keleuasaan berprakarsa dan mandiri untuk membangun dirinya sendiri. Dengan demikian masyarakat setempat dapat menyalurkan suara (voice) dan menentukan pilihan (choice) untuk peningkatan kesejahteraan. Namun perlu diingat bahwa otonomi daerah bukanlah kedaulatan.

Kenyataan di atas menjadi menarik, sebab kerapkali wacana desentralisasi. dipandang sebagai kebijakan yang dapat mengancam integrasi politik, misalkan sebagaimana yang dikemukakan oleh Claude Ake (1981), saat melihat kegagalan desentralisasi di Nigeria hingga terjadi konflik suku dan etnis yang begitu tajam dan akhirnya

Page 185: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

178

negeri ini kembali mengambil pola sentralisasi. Hasil kajian Claude Ake ini disikapi berbeda oleh Ryaas Rasyid, yang beranggapan pandangan seperti itu jelas suatu sikap yang berlebihan dan berangkat dari paradigma lama. Seolah-olah integrasi politik hanya bisa dijalankan oleh pemerintahan sentralistik. Padahal dalam kasus Indonesia, sentralisme telah menunjukkan kegagalan. Ryaas Rasyid menyatakan sebenarnya persoalan ancaman integrasi politik bukan hanya persoalan desentralisasi semata. la juga menegaskan kewajiban untuk menata integrasi politik, bukan hanya kewajiban pemerintah pusat semata tetapi justru kewajiban itu berada di pundak aparatur pemerintah daerah dan seluruh rakyat yang menyebar di seluruh daerah (Rasyid, 2002 : 23). Hal berbeda dikemukakan oleh Azyumardi Azra, yang justru melihat ancaman desentralisasi terhadap integrasi politik di negeri ini. Azra beralasan, desentralisasi akan mendorong timbulnya sentimen atas dasar ikatan etnisitas dan memuncaknya nilai-nilai lokal di masyarakat. Apalagi etnisitas di Indonesia sejatinya sudah melewati batas formal provinsi dan daerah lainnya (Azra, 2001 : 4-5).

Dalam konteks negara kesatuan, desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya. Desentralisasi juga merupakan jalan meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah (Rasyid, 2002 : 21). Pada tataran konstitusi. mungkin sebagian besar bangsa ini tidak lagi mempermasalahkan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meskipun ada gerakan-gerakan yang ingin mengubahnya menjadi negara federalis. Bahkan dapat dikatakan, desentralisasi sudah menjadi kesepakatan bangsa sejak awal kemerdekaan (Wasistiono, 2010 : 46-49).

Pada hakekatnya, masalah sentralisasi dan desentralisasi bukan lagi dipandang sebagai persoalan penyelenggara negara saja. Pada akhirnya kekuatan suatu bangsa diletakkan pada

Page 186: doff - Unas Repository

Analisa

179

masyarakatnya. Saat ini di banyak wilayah, politik lokal dikuasai selain oleh orang-orang partai politik juga kelompok-kelompok yang menjalankan prinsip bertentangan dengan pencapaian tujuan kesejahteraan umum. Sejalan dengan pemikiran ini, maka seharusnya desentralisasi menjadi "penawar" bagi timbulnya keinginan untuk berdisintegrasi secara politik. Hanya saja, desentralisasi sesungguhnya harus juga memperhitungkan rasa nasionalisme yang berlebihan bagi masyarakat lokal dengan ciri khas budaya yang dominan. Luapan nasionalisme berlebihan terhadap ikatan budaya dan ikatan primordial, pada akhirnya akan memunculkan sikap peminggiran terhadap ikatan nasional kebangsaan yang sudah berjalan selama ini (Nordholt dan Klinken, 2007).

Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya "pusaran balik" terhadap arus desentralisasi, sebagaimana yang dikemukakan Agustino dan Yussof (2010) yang menjelaskan adanya "titik balik" dari desentralisasi. Titik balik itu akan menuju ke arah sentralisasi baru. Ini untuk menunjukkan apabila perubahan politik ke arah desentralisasi yang demokratis tidak selamanya berakhir baik. Bahkan adakalanya proses itu justru memancing pembalikan demokratisasi seperti yang pernah terjadi di Nigeria (1981), Peru (1992) dan Sierra-Leone (1997). Di ketiga negara tersebut, fenomena desentralisasi malah menimbulkan ancaman serius terhadap integrasi politik bangsa sehingga terjadi kesepakatan nasional untuk kembali mengubah bentuk hubungan pusat dan daerahnya, kembali menuju arah sentralisasi.

Era desentralisasi akan melahirkan otonomi daerah dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat, yang pada akhirnya menunjang sosial-ekonomi masyarakat. (Jurgen Ruland : 1992)

Page 187: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

180

2.1.3 Tujuan Desentralisasi

Tujuan Desentralisasi adalah anti tesis struktur politik sentralisasi yang cenderung melakukan unifikasi kekuasaan politik pada tangan pemerintah pusat. Desentralisasi adalah gagasan tentang pembagian kekuasaan politik dan/atau wewenang administrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Devolusi adalah penyerahan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Penyerahan fungsi atau urusan tertentu (mede bewind) dari pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga non-pemerintah dalam hal perencanaan dan administratif atau bahkan fungsi pelayanan publik dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi sukarela (voluntary organizations), pihak swasta (private organizations) atau dalam beberapa kasus kepada organisasi paralel (parallel organizations). Titik tekan desentralisasi Rondinelli adalah aspek administrasi pada desentralisasi. Hipotesis yang dikembangkan adalah Jika aspek teknis administrasi di perbaiki, maka akan terjadi perkembangan langsung pada organisasi sebagai basis partisipasi masyarakat dalam kompleksitas ekonomi dan dalam proses pengambilan kebijakan.

Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa lahirnya ide desentralsiasi merupakan sebuah "anti-thesa" dari sentralisasi. Dengan kata lain, karena sentralisasi cenderung untuk mengekalkan unifikasi kekuasan politik ditangan pemerintah pusat. Maka desentralisasi diharapkan akan tercipta "penyebaran" kekuasaan dan wewenang hingga ketingkat pemerintah daerah. Secara umum Smith (1985) membedakan dua katagori utama dari tujuan desentralisasi yakni tujuan politik dan ekonomi.

Secara politis, tujuan dari desentralisasi antara lain:untuk memperkuat pemerintah daerah untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggaraan pemerintah dan masyarakat serta untuk memoertahankan integrasi nasional. Formulasi tujuan desentralsiasai seperti ini sebenarnya sangat

Page 188: doff - Unas Repository

Analisa

181

didasarkan oleh liberlisme yang menekankan pentingnya membangun pemerintah daerah yang demokrtais sebagai prasyarat bagi terciptanya demokratisasi pada tingkat.nasional (Yluisaker, 1959:30).

Sedangkan secara ekonomi tujuan dari desentralisasi antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good and services, serta untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas pembangunan ekonomi di daerah (Rondinelli, 1983:4). Pada bagian lain, Ruland (1992:3) mengatakan bahwa "Decentralisation, as a corollary local autonomy, is seen as a positive contribution to increase people participation, which would eventually lead to socio-economic development.

Ketika tujuan umum dari desentralisasi tersebut diturunkan dalam bentuk tujuan-tujuan yang lebih spesifik, maka Smith (1985) kemudian telah membedakannya berdasarkan tujuan desentralisasi dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah.

Hal tersebut di atas juga diperkuat dengan pandangan positif makna desentralisasi. Menurutnya, pelaksanaan desentralisasi akan berjalan secara normal, lanear serta membawa dampak positif bagi daerah. Dalam pengembangannya, desentralisasi akan bermakna positif bagi kehidupan masyarakat; seperti peningkatan pelayanan dasar masyarakat, peningkatan kualitas kepemimpinan, serta kedekatan aparatur pemerintahan dengan masyarakatnya. Diharapkan, desentralisasi dapat menciptakan kebijakan politik yang berkualitas, karena masyarakat turut terlibat aktif di dalam proses perumusannya, terutama berupa in-put yang datang langsung dari masyarakat. Sejatinya, gagasan dari desentralisasi yang bervisi liberal demokratis ini adalah adanya optimisme yang tinggi, setelah mengalami sistem pemerintahan yang sentralistik. (Nurdholt dan Klinken :2007).

Page 189: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

182

Sedangkan manfaat dari desentralisasi, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan dan keadilan di daerah-daerah otonom.

Sedangkan dalam persepektif yang lain, tujuan desentralisasi sesungguhnya dapat dibedakan dalam dua kepentingan mendasar, yaitu kepentingan nasional dan kepentingan daerah (Smith, 1985:34-37). Secara faktual, dari sisi kepentingan daerah, Smith menyatakan apabila kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah memiliki tiga tujuan utama, yaitu:

1) Mewujudkan political equality, yakni semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal.

2) Mewujudkan local accountability, yakni semakin meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah dalam berhadapan dengan masyarakat.

3) Mewujudkan local responsiveness karena pemerintah daerah dianggap paling mengetahui persoalan yang dihadapi oleh masyarakat lokalnya. sehingga akan lebih cepat mengatasi dan sekaligus dapat meningkatkan akselerasi dari pembangunan sosial dan ekonomi di daerah.

Argumen yang hampir sama juga dikemukakan oleh Maddick (1963), dalam pandangannya dimana tujuan hakiki dari desentralisasi atau lebih luas lagi yaitu pembentukan pemerintah daerah adalah untuk menciptakan apa yang disebut dengan pemahaman politik yang sehat, bagi masyarakat khususnya yang berkaitan dengan mekanisme penyelenggaraan negara. Melalui desentralisasi menurut Maddick (1963:50-106) menjelaskan bahwa masyarakat akan belajar mengenali dan memahami berbagai persoalan sosial ekonomi dan politik yang mereka hadapi, menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon legislatif

Page 190: doff - Unas Repository

Analisa

183

yang tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik yang diharapkan, dan belajar mengkritisi berbagai kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya mengkritisi masalah penerimaan dan belanja daerah.

Tujuan kedua desentralisasi pemerintah pusat adalah untuk latih kepemimpinan. Tujuan desentralisasi yang kedua ini berangkat dari asumsi dasar bahwa pemerintah daerah merupakan wadah yang paling tepat untuk training bagi para politisi dan birokrat, sebelumnya mereka menduduki berbagai posisi penting di tingkat nasional, Oleh karenanya melalui kebijaksanaan desentralsiasi diharapkan akan mampu memotivasi dan melahirkan calon-calon pimpinan pada level nasional.

Tujuan ketiga desentralisasi dari sisi kepentingan pusat adalah to Create Political Stability (untuk menciptakan stabilitas politik). Simth (1985:23) menjelaskan bahwa para pendukung dari tujuan desentralisasi yang ketiga ini sangat percaya bahwa melalui kebijaksanaan desentralisai akan mampu mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil. Adanya postutlat seperti ini tetntunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan tujuan desentralisasi yang disebut pertama dan kedua. Deugan kata lain, melalui tujuan desentralisasi yang pertama dan kedua maka diharapkan tidak saja akan mampu meningkatkan sensivitas dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah daerah dalam mengakomodasi berbagai tuntutan yang menjadi prasyarat penting bagi terciptnya stabilitas politik. Pada konteks ini Sharpe (1981) menjelaskan bahwa "one of the determinant factors constitutes the embodiment of a stable democracy at the national level in many instance preceded by the establishment of local democray.

Pada sisi kepentingan derah, tujuan pertama dari desentralsiasi adalah untuk mewujudkan apa yang disebut dengan political wquality. Ini berarti melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan akan leih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal. Smith

Page 191: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

184

(1985:24) menjelaskan bahwa dengan elegan mempraktekkan bentuk-bentuk partisipasi politik, misalnya saja menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan Disamping juga mendaptakan kebebasan dalam mengekspresikan kepentingan dan aktif dalam proses pengambilan kebijaksanaan.

Argumentasi lain yang sering dikemukakan untuk menjastifikasi pentingnya political equality sebagai tujuan dari desentralisasi adalah berkaitan dengan ide dasar dari konsep The small is beautiful. Dalam hal ini, sering dikatakan bahwa pada komunitas masyarakat yang besar cenderung membuat realisasi demokrasi menjadi lebih sulit. Oleh karenanya melalui kebijaksanaan desentralisasi diyakini akan mampu mempercepaat terwujudnya /w/rt/va/ equality, yang pada akhirnya akan membawa ide demokrasi pada tingkat yang leih realistik (Dahl, 1981:47).

Tujuan kedua desentralsiasi dari sisi kepentingan pemerintah daerah adalah local accountability. Dalam hal ini terlihat ada sedikit variasi diantara para penulis dalam mengartikulasi istilah local accountability itu sendiri. Smith (1985:26) menjelaskan bahwa terdapat kecenderungn mengaitkanya dengan ide dasar dari liberty. Oleh karenanya adalah suatu hal yang logis bila ia percaya melalui pelaksanaan daerah dalam memperhatikan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak komunitasnya. Pada bagian lain Ruland (1992) cederung mengoperasional istilah local accountability dalam konteks pembangunaan sosial dan ekonomi. Menurut Ruland (1992:3) menjelaskan bahwa:

"The accountability of local government remain necessary in the process of socio-economic development. It is through the proximity of local decision makers to their constituency, the areal division of power is considered an additional assurance that demand will be heard and accordingly public services provided in line with people's needs. Moreover, the dispersal of political power through area division and the existence of

Page 192: doff - Unas Repository

Analisa

185

strong self-reliance to local governments would thus guarantee a social development pattern that rest on the principle of diversity in unity, "

2.1.4 Keunggulan dan Kelemahan Desentralisasi

Kajian dan telaah secara cermat terhadap muatan konsep desentralisasi menunjukkan adanya beberapa keunggulan, meskipun bukan berarti bahwa konsep ini tidak memiliki kelemahan. Keunggulan desentralisasi pada prinsipnya sekaligus merupakan kelemahan dari sentralisasi, begitu pula sebaliknya keunggulan sentralisasi merupakan kelemahan dari desentralisasi. Veld (Surianingrat, 2003:5-6), menampilkan sejumlah keunggulan desentralisasi, yaitu:

1) Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerah dan penduduk yang beraneka ragam;

2) Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintah pusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dan kebutuhan setempat dan tidak mungkin pula mengetahui bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. Daerahlah yang mengetahui sedalam-dalamnya kebutuhan daerah dan bagaimana memenuhinya;

3) Dengan desentralisasi dapat dihindarkan adanya beban yang melampaui batas dari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja:

4) Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol, karena dalam raang lingkup yang sempit seseorang dapat lebih mempergunakan pengaruhnya daripada dalam masyarakat yang mas;

Page 193: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

186

5) Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat tidak hanya merasa sebagai objek saja;

6) Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalam melakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah laku pemerintah. Ini dapat menghindarkan pemborosan, dan dalam hal tertentudesentralisasi dapat meningkatkan dayaguna dan hasil guna.

Osborne dan Gaebler (1996: 283-284), mengungkapkan adanya beberapa keunggulan lembaga yang menganut asas desentralisasi, yaitu:

1) Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih fleksibel : daripada yang tersentralisasi, lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berubah;

2) Lembaga tersentralisasi jauh lebih efektif daripada yang terdesentralisasi;

3) Lembaga yang terdesentralisasi jauh lebih inovatif daripada yang terdesentralisasi;

4) Lembaga yang terdesentralisasi menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen, dan lebih besar produktivitas.

Keunggulan lain yang dimaknai oleh pemberlakuan asas desentralisasi menurut Salusu (2006:421), yaitu:

1) Mempercepat proses pengambilan keputusan;

2) Terciptanya fleksibilitas;

3) Memberikan peluang bagi eselon atas untuk memanfaatkan waktu dan memusatkan perhatiannya pada proses manajemen stratejik;

Page 194: doff - Unas Repository

Analisa

187

4) Menghindarkan keterlibatan eselon atas dalam pengambilan keputusan-keputusan rutin, sehingga terpusat perhatiannya untuk dalam hal pengambilan keputusan stratejik;

5) Memberikan motivasi kepada eselon bawah karena memperoleh kesempatan yang luas untuk berperan serta dalam pembuatan keputusan.

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada awal pembahasan bagian ini, bahwa di samping berbagai keunggulan desentralisasi juga terdapat kelemahannya, Kaho (1988:14), mencatat beberapa kelemahan desentralisasi, yaitu:

1) Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi;

2) Keseimbangan dan keserasian antar bermacam-macam kepentingan dan Daerah dapat lebih mudah terganggu;

3) Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut dimerism atau provisialisme;

4) Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele;

5) Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman/ uniformitas dan kesederhanaan.

Ada beberapa kelemahan dalam penerapan desentralisasi, akan tetapi seiring dengan tuntutan reformasi yang mengedepankan faktor demokratisasi dan partisipasi masyarakat, maka pilihan terhadap desentralisasi merapakan alternatif terbaik. Melalui desentralisasi maka Pemerintah Pusat akan menyerahkan sebagian kewenangan yang dimilikinya kepada Daerah, ini berarti akan terhindar dari praktek autokrasi, sebaliknya akan terwujud proses

Page 195: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

188

demokratisasi, sebab kewenangan/kekuasaan akan menjadi milik bersama Pusat dan Daerah.

Di sisi lain melalui desentralisasi juga akan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi merupakan proses mendekatkan Pemerintah dengan masyarakat, Pemerintah yang dekat dengan masyarakat akan bersifat responsif, reaktif, akomodatif, dan sebagainya. Pemerintah yang reaktif dalam merespon dan mengakomodir aspirasi masyarakat akan mendapat dukungan dari masyarakat, sehingga masyarakat dengan rela berpartisipasi dalam segala bentuk proses penyelenggaraan pemerintahan.

Proses demokratisasi dan partisipasi tersebut merupakan prasyarat bagi terwujudnya suatu pemerintah yang memiliki kapabilitas dan kapasitas sebagai modal dasar dalam rangka meningkatkan daya guna (efektivitas) dan hasil guna (efisiensi) penyelenggaraan pemerintahan, sehingga Pemerintah memiliki kemampuan untuk melayani, memberdayakan dan membangun masyarakat secara optimal. Bersamaan dengan itu masyarakat akan memberikan dukungannya, sehingga akan tercipta pemerintahan yang kuat karena memiliki kemampuan (capability) dan dapat diterima (acceptability) oleh masyarakat.

2.1.5 Desentralisasi Administrasi

Konsep desentralisasi administrasi versi Rondinelli, disini dimaksudkan lebih pada pelimpahan kewenangan layanan publik kepada pihak lain dalam struktur kelembagaan negara Rondinelli dan Cheema (1983) selanjutnya mendefinisikan dekonsentrasi, delegasi dan devolusi sebagai berikut:

1) Dekonsentrasi adalah redistribusi atau pelimpahan kewenangan keuangan dan manajemen kepada berbagai tingkatan

Page 196: doff - Unas Repository

Analisa

189

kelembagaan pemerintah pusat. Perencanaan, pelaksanaan dan pembiayaan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Unsur pelaksanaan dikoordinasikan oleh kepala daerah dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat di daerah.

2) Devolusi adalah penyerahan kekuasaan atau kewenangan untuk mengambil keputusan atau menetapkan kebijakan, kepada lembaga-lembaga independen atau kuasi otonom di daerah. Devolusi biasanya mencakup pelimpahan tanggung jawab dan wewenang penyelenggaraan pelayanan publik kepada pemerintahan daerah otonom yang memiliki lembaga legislatif (DPRD) berwenang memilih Kepala Daerahnya, memiliki kewenangan untuk menggali pendapatan daerah sendiri, dan juga memiliki kewenangan untuk memutuskan kebijakan investasi. Dalam sistem ini pemerintah daerah memiliki batas geografis tertentu dengan kesatuan masyarakatnya yang legal diakui pemerintah pusat.

3) Delegasi adalah pengalihan sebagian kewenangan dan tanggung jawab pengambilan keputusan dan fungsi-fongsi administrasi publik dari pemerintah kepada lembaga-lembaga independen atau lembaga semi otonom di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat. Pendelegasian wewenang biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign authority).

Sementara itu Suwandi (2008), menyatakan filosofi desentralisasi yang bermakna devolusi menurut pengertian Rondinelli, menguraikan substansi kewenangan, khususnya di Indonesia dengan rincian sebagai berikut:

Page 197: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

190

1) Kewenangan absolut (distinctive); hanya dimiliki pusat yaitu pertahanan keamanan, agama, moneter, peradilan dan politik luar negeri.

2) Kewenangan bersama (concurrent) dikerjakan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupeten/kota

3) Kewenangan concurrent ada yang bersifat wajib (obligatory) dan ada yang bersifat optional (core competence)

4) Kewenangan wajib diikuti oleh standar pelayanan minimal.

Pendekatan Suwandi lebih mendekati kerangka implementasi di Indonesia, dengan pembahasan selanjutnya dipilih pada kecenderungan model yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 198: doff - Unas Repository

Analisa

191

Dalam penyelenggaraan dekonsentrasi cenderung menggunakan model integrated field administration. Model ini melakukan penyeragaman terhadap batas-batas wilayah kerja (yuridiksi), peran instansi vertikal dari departemen sesuai dengan batas-batas wilayah kerja dari seorang kepala wilavah di propinsi, kabupaten/kotamadya, kota administratif dan kecamatan sebagai wilayah administratif (AF. Leemans 1970).

Struktur politik yang dibentuk di daerah mewakili kepentingan para penguasa tingkat pusat dan difungsikan sebagai unit administratif wilayah-wilayah yang berada jauh dari Ibukota Negara.

2.2 Otonomi Daerah

2.2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Kajian tentang otonomi daerah di Indonesia telah banyak dilakukan oleh banyak pakar. Garis besar dari kajian tersebut menggambarkan betapa kecilnya peran desentralisasi dalam sistem pelaksanaan kewenangan pembangunan.

Otonomi daerah adalah perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintah berdasarkan asas desentralisasi yakni penyerahan urusan pemerintah kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya. Menurut Ahmad Yani (2002:1) salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah adalah mengenai urusan yang memberikan penghasilan kepada Pemerintah Daerah dan potensial untuk dikembangkan dalam penggalian sumber-sumber pendapatan baru bagi daerah bersangkutan karena PAD ini sangat diharapkan dapat membiayai pengeluaran rutin daerah. Fernandez (dalam Dharma Setyawan Salam, 2004: 89) menjelaskan bahwa pengertin otonomi merupakan:

Page 199: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

192

"Pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan"

Adapun pengertian sederhana tentang otonomi daerah ini dijabarkan secara lebih jelas dalam paparan Widjaja (2002 : 76) yaitu :

"Dalam bahasa Inggris, otonomi atau autonomy berasal dari dua kata yaitu auto yang berarti sendiri dan nomoi adalah undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi berarti mengatur sendiri, sedangkan dalam bidang pemerintahan, otonomi diartikan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri".

Berdasarkan pengertian tentang otonomi daerah tersebut dapat diketahui bahwa otonomi daerah merupakan hak untuk mengatur dan mengurus sendiri, dan jika diterapkan dalam pemerintahan makna ini ditandai dengan hak untuk mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. Pengertian tentang otonomi daerah ini dijelaskan pula dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, sebagai berikut:

"Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Berdasarkan hal tersebut, maka makna otonomi itu sendiri lebih menekankan pada pemberian kewenangan yang sangat besar kepada daerah otonom dari pemerintah pusat kepada pemerintah di bawahnya (pemerintahan daerah), dalam hal pengambilan keputusan, pembagian kekuasaan secara horizontal antara eksekutif dan legislatif

Page 200: doff - Unas Repository

Analisa

193

dalam format pemerintahan daerah. Namun meskipun demikian ada bidang-bidang tertentu yang masih menjadi kewenangan pusat yang tidak bisa diserahkan kepada daerah. Hal ini sejalan dengan pandangan yang diungkapkan oleh Sadu (2003 : 80) bahwa:

"Daerah otonom hanya memiliki kewenangan terbatas dalam pengelolaan sumber daya aparatur, antara lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan kerja, usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan pemerintah pusat".

Di sisi lain, melalui otonomi daerah, organisasi daerah diharapkan menjadi organisasi yang solid dan mampu berperan sebagai wadah bagi pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah, serta proses interaksi antara pemerintah dan institusi daerah lainnya, serta dengan masyarakat secara optimal. Jadi, organisasi pemerintahan daerah memerlukan terwujudnya organisasi yang proporsional, efektif, dan efisien yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip organisasi. Dengan adanya penerapan otonomi di daerah ini, menimbulkan bergesernya pola pikir di lingkungan pemerintahan antara sebelum adanya otonomi daerah dengan setelah adanya otonomi daerah.

Kecenderungan berhimpitnya wilayah yuridiksi berbagai instansi vertikal di dalam wilayah administrasi dengan daerah otonom dalam rangka desentralisasi (fused single). Dalam hubungan ini terdapat peran ganda dari seorang kepala wilayah (wakil pemerinntah pusat yang juga menjadi kepala daerah atau vang disebut dengan integrated perfectoral system (Robert C. Fred, 1963).

Model ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi dan otonomi daerah. Model tersebut juga menuntut adanya proliterasi instansi vertikal yang memerlukan sumber daya manusia dan pendanaan pembangunan yang besar. Proliterasi berperan besar seiring dengan struktur hirarki wilayah administrasi

Page 201: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

194

yang semakin banyak dibandingkan dengan jumlah daerah otonom. Sengaja atau tidak, hal ini menimbulkan birokratisasi yang melemahkan sendi-sendi demokrasi.

Untuk itu diperlukan otonomi yang memiliki pengertian tentang batas-batas (boundaries) sebagai upaya pemberian identitas dan pola hubungan kekuasaan yang terdesentralisasi untuk menghindari konflik dan kemajemukan struktur dalam sistem politik yang direfleksikan oleh Robert A Dahl dan Charles E. Lindblom (1953)

“Controlled behaviour may best be thought of as lying at one end of continuum of which the other end is authonomous behavior. Authonomy is the absence of immediated and direct control. An individuals responses are authonomous or uncontrolled to the extent that no other people can bring about these respones in a definite way".

Dalam konsep otonomi terkandung keabsahan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar aspirasi masyarakat tanpa kontrol langsung dari pemerintah pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi menjadi erat. Dalam kajiannya, M.A. Muthalib dan Mohd. Akbar Ali Khan (1982) menyamakan otonomi dengan demokrasi:

"Conceptually local authonomy tends to become a synonym of the freedom of locality for self determination or local democracy. No single body but the local people and then the representatives enjoy supreme power in regard to the local sphere of action Government interventien can be justified whom the large interest in involved. Therefore the people at large and their representatives alone can over mide the local people and their representative".

Page 202: doff - Unas Repository

Analisa

195

Disamping itu, eratnya kaitan antara otonomi dengan nilai demokrasi, Menurut pakar otonomi di negara berkembang mengatakan:

"An integral part of man's aspiration for freedom, basic in his quest for democracy, essential for internal stability and strong defence against outside enemies. Local authonomy, in one from or another in some relative degree is a fundamental ingredient of a successful nation”.( Harold Aldefer ( 1964 ).

Pada masa orde baru, penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan pendekatan standar kuantitatif (UU No. 5 1974), dimana bentuk dan jumlah pemerintahan di daerah didesain dari atas dengan pertimbangan spend of control yang dimaksudkan untuk penyeragaman pelaksanaan kewenangan daerah Kab/Kota di dalam satu propinsi tanpa memperhatikan kecirian antara kota dan desa yang dalam kenyataannya kebutuhan mereka berbeda.

Pembagian daerah otonomi menurut UU No. 5 1974 terdiri dari Dati I dan Dati II. Dalam menjalankan kewenangannya Dati I lebih banyak dari kewenangan yang dijalankan oleh Dati II. Faktor-faktor struktural yang melekat pada sistem pemerintahan daerah di Indonesia masih perlu dianalisis lebih lanjut untuk menggambarkan aspek-aspek struktural di dalam sistem pemerintahan daerah yang menjadi penghambat terhadap perkembangnan otonomi daerah dalam kerangka hubungan pusat dan daerah. Strategi yang ditempuh pemerintah dalam UU No. 5 1974, terkait dengan model penvelenggaraan sentralisasi, dekonsentrasi dan desentralisasi yang sangat rawan bagi pengembangan otonomi daerah.

Standar fisik, ekonomi, demografi, budaya dan pertimbangan geografis suatu daerah dipakai untuk ditarik sehagai dasar pertimbangan pembentukan daerah otonom sekaligus pemerintahannya. Kenyataan di lapangan tidak ada ukuran yang

Page 203: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

196

bersifat universal dan ideal dalam pembentukan daerah otonom. Ukuran besaran jumlah penduduk dan ukuran luas suatu daerah otonom dapat menghilangkan sifat lokal dan suatu daerah olonom, karena akan kehilangan rasa kebersamaan dan keterikatan sosial dan politik.

Standar minimal yang dapat dipakai untuk penentuan daerah otonom adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan jumlah dan jenis pelayanan apa yang dapat diberikan oleh pemerintahan daerah kepada masyarakatnya. (Made Suwandi, 2002), karena pemerintah daerah tidak dapat menentukan pelayanan apa yang harus diberikan, sebelum mengetahui seberapa luas daerah otonom yang dimilikinya dan pelayanan apa yang dapat diberikan kepada masyarakat. Dalam pencapaian efisiensi pelayanan, pemerintah daerah dapat melakukan economic of scale dalam mengidentifikasi kebutuhan pelayanan (dinas-dinas) di daerah otonom.

Pendekatan uniformitas yang selama ini digunakan melalui UU No. 5 1974, dilakukan hanya untuk mempermudah sistem administrasi kenegaraan dan pengawasan otonomi daerah. Perlunya akuntanbilitas pemerintahan dimaksudkan untuk menarik keterlibatan masyarakat dalam pemhangunan, namun apabila tolok ukurnya efektivitas dan efisiensi pembangunan, maka akan sulit tercapai pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Era reformasi yang terjadi pada tahun 1998 menghasilkan perubahan-perubahan yang mendasar terutama terkait dengan penyelenggaraan negara. Hingga pada suatu hal di era Orde Baru merupakan sesuatu yang sakral untuk dilakukan perubahan yaitu Undang-undang Dasar 1945, juga mengalami perubahan yang mendasar.

Selama era reformasi terjadi beberapa perubahan paradigma baik yang bersifat umum seperti otonomi, akuntabilitas, transparansi, demokrasi, hak asasi maupun yang bersifat khusus untuk sektor

Page 204: doff - Unas Repository

Analisa

197

keuangan. Perubahan orientasi politik dalam keabsahan pengambilan keputusan tidak lagi didasari pada representative democracy seperti dalam UU No. 5 1974.

Perubahan-perubahan paradigma tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang kemungkinan terjadi dimasa mendatang, seperti antara lain: Otonomi Isu otononmi telah berkembang lebih dari tiga dekade, bahkan telah berkembang sebelum Undang-undang Nomor 5 ahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah, paradigmanya adalah otonomi yang nyata dan seluas-luasnya. Selanjutnya dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 paradigmanya berubah menjadi Otonomi yang Nyata dan bertanggung jawab.

Dengan memperhatikan kesulitan pembahasan dalam menentukan jenis urusan yang diserahkan dan kepada siapa harus diserahkan, maka ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, yang pada hakekatnya mengatur mengenai ketentuan jenis-jenis urusan yang tidak diserahkan, jenis-jenis urusan yang selayaknya diserahkan/ menjadi urusan Daerah Tingkat I dan jenis urusan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II.

Paradigma berubah lagi menjadi Otonomi yang nyata dan seluas-luasnya dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam perjalanannya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan sehinga paradigma ini dikembalikan lagi menjadi Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Berlakunya UU No. 32/2004, telah mengubah keabsahan dalam pengambilan keputusan dengan menggunakan participatory democracy yang melibatkan good governance. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Page 205: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

198

Nomor 32 Tahun 2004) definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonomi sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 21 di nyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:

1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;

2) memilih pimpinan daerah;

3) mengelola aparatur daerah;

4) mengelola kekayaan daerah;

5) memungut pajak daerah dan retribusi daerah;

6) mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;

7) mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan

8) mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 22 dinyatakan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:

Page 206: doff - Unas Repository

Analisa

199

1) melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;

3) mengembangkan kehidupan demokrasi;

4) mewujudkan keadilan dan pemerataan;

5) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;

6) menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;

7) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;

8) mengembangkan sistem jaminan sosial;

9) menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;

10) mengembangkan sumber daya produktif di daerah;

11) melestarikan lingkungan hidup;

12) mengelola administrasi kependudukan;

13) melestarikan nilai sosial budaya;

14) membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

15) kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam upaya reformasi terhadap UU No. 5 1974, UU No.22/1999, UU No. 32/2004 tidak lagi menganut model efisiensi struktural melainkan model demokrasi. Disampmg mengacu pada paparan teoritik terhadap hakekat desentralisasi dan otonomi daerah dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi dan kemajemukan masyarakat dalam penyelenggaraan desentralisasi.

Page 207: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

200

Demokrasi yang tercermin di dalam UU No. 32/3004 menjelaskan tidak adanya hubungan hirarkis antara provinsi dengan kabupaten/kota. Dalam UU No. 32/2004, menerangkan bahwa sebuah provinsi masih menggunakan integrated prefectoral system, sedangkan kabupaten/kota menurut UU No. 32/2004 adalah daerah otonom yang tidak memiliki hubungan hirarkis dengan provinsi.

Proses demokrasi dalam UU No.32/2004, merubah kedudukan kabupaten/kota. kecamatan dan kelurahan tidak lagi menjadi wilayah administrasi akan tetapi berperan sebagai en clave daerah otonom yang diharapkan dekat dengan masyarakat. Kini kedudukan kecamatan dan kelurahan terintegrasi ke dalam wilayah kabupaten/kota sebagai perangkat desentralisasi. UU No.32/2004 juga melakukan perampingan birokrasi dengan menghapuskan lembaga pembantu gubernur dan pembantu bupati/walikotamadya.

Langkah lain yang ditempuh dalam perubahan struktural adalah penghapusan desa di daerah perkotaan. Dengan demikian perkotaan hanya mengenal daerah kelurahan. Pembenahan struktur desentralisasi dan otonomi daerah dalam era reformasi dititik beratkan pada kabupaten/kota. UU No 22/ 1999, menganut cara penyerahan kewenangan dengan rumusan umum atau open end arrangement dalam arti daerah otonom berwenang rnelakukan berbagai fungsi di luar fungsi yang menjadi kompetensi pusat (UU No 32/2004 psl. 7). Cara penyerahan kewenangan semacam ini akan lebih memperkuat daerah otonom dan membuka diskresi yang besar. Mengingat daerah otonom tersusun dalam kabupaten/kota, maka tugas propinsi hanya dalam bidang pemerintahan yang bersifat koordinasi lintas kabupaten/kota.

Sementara itu, alasan subtantif yang perlu dipahami dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan peran kepegawaian pemerintah daerah, secara rinci perlu memahami hubungan pusat dan daerah dalam menjalankan fungsi otonomi daerah, seperti yang tergambar dalam tabel 1.

Page 208: doff - Unas Repository

Analisa

201

Tabel 2.2.1.1

Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Otonomi

Asas Sifat

Pemberian Kewenangan

Perbedaan Kewenangan Pada Pemerintah

Pusat Propinsi Kabupaten/

Kota

Desentralisasi

Penyerahan

Pengawasan, Pengendalian dan Pertanggung jawaban Umum

Koordinasi Pengawasan

Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan, Pembiayaan (kecuali gaji)

Dekonsentrasi Pelimpahan

Kebijakan, Perencanaan, Pembiayaan, Pengawasan

Koordinasi (dinas pcmprop PP 84 2000 Pasal 4)

Menunjang, Melengkapi

Medebewind

Pengikutsertaan

Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan, Pembiayaan, Pengawasan

Membantu Pelaksanaan

Sumber : Ateng Syafruddin 1998

Menurut Affan Gaffar (2000), mekanisme yang digambarkan pada tabel diatas terlihat jelas bahwa penyelenggaraan otonomi berupaya mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya bahwa otonomi daerah ada di dalam wilayah kerja pemerintahan Kabupaten/Kota bukan pada provinsi yang masih menggunakan integrated prefecloral system.

Dalam titik pandang yang sama M. Hatta (1957) berpendapat bahwa :

"Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi tapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk

Page 209: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

202

mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri, maka tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri melainkan juga untuk memperbaiki nasibnya sendiri ".

2.2.2 Kepala Daerah dan DPRD

Dalam implementasinya, sejarah politik pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam kaitan dengan pengaturan pembangian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah mengalami perubahan-perubahan. Dalam negara kesatuan republik indonesia tugas kepala daerah di samping sebagai kepala daerah juga merupakan alat pemerintah pusat yang menjalani tugas yang sangat berat. Oleh sebap itu kualifikasi yang di tuntut seorang kepala daerah seharusnya juga memadai dalam pengertian harus sebanding dengan beban tugas yang dengan beban tugas yang ada di pundaknya.

Pada kenyataan syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup menjamin tuntutan kualitas yang ada. Di mana yang berkaitan dengan kapasitas (pengetahuan dan kecakapan) hanya tiga syarat yang di penuhi masing-masing;cerdas,berkemampuan,dan keterampilan; mempunyai kecakapan dan pengalaman kerja yang cukup di bidang pemerintahan;berpengetahuan yang sederajat degan perguruan tinggi atau sekurang kurangnya di persamakan dengan sarjana muda.

Begitupun halnya dengan mentalitas tidak terdapat ukuran-ukuran yang dapat di pergunakan sebagai tolok ukur objektif,sehinggga terdapat cukup banyak kesulitan dalam penilaian padahal peranan mental ini sangat penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Page 210: doff - Unas Repository

Analisa

203

Kepala daerah yang didominasi oleh pertimbangan akseptabilitas (walaupun kadang kala tidak objektif) dari pada kualitas dan kapabilitas seseorang calon KDH. Kepala daerah yang banyak mengorbankan uang, lebih berorientasi kepada proyek pribadi, yaitu untuk memperoleh keuntungan secara finan¬sial dan material.

Disamping itu tidak jarang terjadi disharmonisasi dan disorientasi hubungan antar kelembagaan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang disebabkan oleh mis-persepsi status dan kedudukan pemda kabupaten/kota dalam hirarki administrasi pemerintahan daerah. Tentu hal ini dapat mengganggu jalannya birokrasi.

Kepala daerah cenderung membentuk kelompok-kelompok ditengah-tengah birokrasi, sehingga terdapat perlakuan yang diskriminatif dikalangan birokrasi. Kepala daerah ada yang tidak konsisten terhadap visi dan misi daerah (walaupun disampaikan pada saat menjadi calon), karena menganggap visi dan misi yang disampaikan hanya untuk kepentingan sesaat.

Menguatnya arogansi kedaerahan atau semangat kedaerahan yang salah kaprah termasuk dalam memaknai “putera daerah”. Begitupun ada kecendrungan Kepala daerah yang lebih berorientasi untuk mempertahankan kekuasaan walaupun dengan cara dan kebijaksanaan yang tidak memenuhi kaidah moral dan etika bahkan menyimpang dari peraturan dan perundangan.

Hal yang dikemukakan diatas merupakan kondisi dan gejala umum, walaupun ada yang berbuat, berprilaku dan membuat kebijakan sesuai dengan ketentuan serta tujuan dari otonomi daerah tersebut, namun jumlahnya tidak seberapa.

Untuk menjadi calon kepala daerah perlu diperhatikan kapabilitasnya, tidak hanya akseptabilitasnya saja, oleh karena seorang kepala daerah tidak hanya pemimpin politik, tetapi juga

Page 211: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

204

pimpinan pemerintah yang didalamnya terdapat ilmu, seni, dan teknis pemerintahan.

Disamping itu juga, dari segi tata kelola pemerintahan, kepala daerah selaku administrator pemerintahan di daerahnya, ternyata dalam melaksanakan peran serta fungsinya masih banya yang belum mampu melaksanakan standar minimal pelayanan publik melalui otonomi daerah. Sejalan dengan itu, dalam era globalisasi, penyelenggaraan pemerintahan (pelaksanaan otonomi daerah) itu tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu seorang calon kepala daerah harus memiliki basis ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan masyarakat dan lingkungan.Untuk Wakil kepala daerah sebaiknya tidak harus dari orang-orang partai politik, tetapi lebih diutamakan yang berpengalaman di birokrasi pemerintahan, sehingga wakil kepala daerah lebih terfokus membantu kepala daerah dalam hal-hal teknis pemerintahan.

Perlu standar yang jelas tentang biaya untuk keikut sertaan dalam pemilihan kepala daerah, sungguhpun sulit diimplementasikan tetapi sudah ada suatu ukuran atau pedoman.

Kepala daerah dihindarkan dari intervensi terhadap hal-hal yang bersifat sangat teknis seperti administrasi keuangan, administrasi kepegawaian maupun administrasi proyek-proyek pembangunan. Yang dilakukan kepala daerah adalah menyusun dan menetapkan kebijakan umum, mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut serta memberikan motivasi dan pembinaan.

Dalam menjalankan kepemim¬pinannya, kepala daerah harus memiliki kekuasaan, sebagai mana dikemukakan oleh Prof Dr J Kaloh: Kekuasaan paksaan (esencive power), kekuasaan resmi (legitimate power), kekuasaan keteladanan (referent power) dan kekuasaan keahlian (exper power).

Page 212: doff - Unas Repository

Analisa

205

Dalam kenyataannya pendidikan dan pengelaman yang di miliki oleh DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat terbatas. rata-rata DPRD tidak di bekali dengan pendidikan dan pengelaman yang cukup di bidang pemerintahan. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Sekedar ilustrasi, berdasarkan data tentang terjadinya tidak pidana korupsi di daerah sebagai contoh dari 35 daerah otonom kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Selama 2011 kasus korupsi yang ditangani Polda Jateng tercatat 78 kasus dengan 86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian negara sebanyak Rp 34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010 yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu pun kalah jauh yang hanya berjumlah 31 orang dengan kerugian negara Rp. 23.693.274.000 (Suara Merdeka, 13/12/2011).

Sepanjang 2004-2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat sebanyak 158 kasus korupsi yang menimpa kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota. Sementara dalam periode 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Republika, 5/12/2011).

Rakyat merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat tidak terasakan oleh rakyat di daerah. Maka bisa ditebak bahwa pasti ada penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang sedang berjalan. Sebagai bukti visi, misi dan program otonomi daerah tersebut tidak optimal. Berdasarkan data Kementrian Dalam negeri yang menunjukkan bahwa 158 kasus korupsi kepala daerah. Sungguh suatu ironi pembangunan di negeri katulistiwa ini.

Page 213: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

206

Page 214: doff - Unas Repository

BAB. IV

P E N U T U P

Simpulan

Otonomi yang digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan rakyat di daerah sebaliknya menjadi buah simalakama yang menelan korban kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat kepala daerah sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus korupsi yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan.

Hal ini membawa kerugian yang besar bagi daerah. Satu sisi mekanisme pemilihan kepala daerah yang demokratis telah mengantarkan kader terbaik daerah tampil mempimpin daerahnya sendiri dengan harapan kedekatan psikologis bisa membangunkan semakin reformasi di daerah bisa lebih sejahtera. Namun sebaliknya menyebabkan moralitas dan mentalitas aparatur di daerah mudah tergiur dengan aliran dana pusat kepada daerah yang begitu besar. Sementara kemampuan profesionalitas pengelolaan anggaran belum mendapatkan pelatihan sumber daya yang memadai, sehingga banyak penyimpangan yang terjadi.

Untuk meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah ini maka suatu langka sistematis harus di ambil. Upaya-upaya meningkatkan syarat pendidikan dan pengelaman berorganisasi ataupun peningkatan frekuensi latihan,kursus,dan sebagainya,yang berkaitan dengan bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya masing-masing perlu di tingkatkan.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang menjadi persoalan bagi DPRD yaitu: Dengan pola rekrutmen anggota DPRD yang lebih menekankan kepada aspek politis, maka ditemui anggota DPRD yang rendah kualitasnya baik dari segi pengetahuan maupun pengalamannya.

Page 215: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

208

Ada kecendrungan jadi anggota DPRD sebagai satu-satunya lapangan pekerjaan bukan pengabdian sehingga lebih mementingkan imbalan yang bersifat material-finansial. Kurang ada kemauan untuk belajar bagi peningkatan kapasitas pribadi, sehingga gagasan, pendapat ataupun pandangan hanya didasarkan kepada faktor subjektifitas.

Penguasaan yang minim tentang kedudukan, hak dan kewajiban sebagai anggota DPRD, sehingga sering implementasinya menempatkan diri sebagai penguasa bukan wakil rakyat. Guna mendapatkan anggota DPRD yang berkualitas, maka hendaknya dalam persyaratan menjadi anggota DPRD ditentukan dasar pendidikan minimal yang sesuai dengan tingkat rata-rata pendidikan masyarakat.

Perlu pemahaman bagi anggota DPRD bahwa jabatan sebagai anggota DPRD bukan merupakan pekerjaan semata tetapi adalah jabatan kehormatan yang tidak bergantung kepada besarnya upah/gaji yang diterima. Adanya kewajiban bagi setiap anggota DPRD untuk mendapatkan pembekalan dan pendalaman terhadap hal-hal yang menyangkut legislasi, anggaran dan pengawasan. Pembekalan tersebut hendaknya dilakukan oleh institusi pemerintah atau institusi yang profesional yang telah mendapatkan akreditasi dari pemerintah.

Penetapan Belanja DPRD sebaiknya proporsional dengan pendapatan daerah serta dalam rangka menunaikan fungsi serta tanggungjawab sebagai wakil dan penyalur aspirasi dari rakyat. Otonomi daerah terlaksana dengan baik bukan hanya dengan tersediannya undang-undang dan peraturan, tetapi sangat tergantung pada sumber daya manusia yang melaksanakannya berupa pemahamannya, kemauannya dan kemampuannya.

Page 216: doff - Unas Repository

Daftar Pustaka dan Lampiran

DAFTAR PUSTAKA :

A. Hukum, Buku

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949) Undang-Undang RIS No. 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950) UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah (RI-

Yogyakarta) UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

(LN Tahun 1957 No. 6) UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

(LN Tahun 1965 No. 83; TLN No. 2778) UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

(LN Tahun 1974 No. 38; TLN No. 3037) UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN Tahun

1999 No. 60; TLN No. 3839) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN Tahun

2004 No. 125; TLN No. 4437) Aries Djaenuri et. al. (2003) Hubungan Pusat dan Daerah. Cet 4.

Jakarta* Universitas Terbuka Hanif Nurcholis. (2002) Administrasi Pemerintahan Daerah. Edisi 1.

Cet 1. Jakarta: Universitas Terbuka. Kartiko Purnomo. (2001) Administrasi Pemerintahan Daerah II. Cet

3. Jakarta: Universitas Terbuka.

Page 217: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

210

Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.

B. Penelitian Otonomi Daerah Kasus: Kota Padang: Perda Syariat Islam ditolak oleh Depdagri (karena kebijakan itu melebihi kewenangan daerah otonom, Padang bukan Otsus seperti Aceh dan Papua )

Otonomi Khusus Papua dan Aceh Papua ada Majelis Rakyat Papua (MRP) Aceh ada Qonun (Undang-Undang mengenai pemerintahan Aceh) -----------------Perda

Sejarah Desentralisasi Sejak 1945, ketika Founding Fathers memilih negra kesatuan RI. Tercermin dalam isi rapat BPUPKI, yang menandaskan pasal 18 UUD 1945. ---bukan negara federasi atau bentuk negara yang monarchi, bukan negara sentralistis.

Berlanjut UU no. 5 /1974 tentang pemerintahan daerah. Yang diikuti dengan pencanangan Otonomi Percontohan thn 1992 dengan memilih masing masing satu kota/kab di setiap propinsi. -----tekad untuk desentralisasi

Selanjutnya, momentum reformasi : TAP MPR IV/2000, tentang pelaksanaan good governance dan Otonomi Daerah.

Lalu diikuti oleh undang undang yang sangat radikal yaitu UU 21/ 1999 tentang otonomi daerah. Disinilah dimulai otonomi daerah yang sesungguhnya. Sangat radikal dan merubah arah otronomi dari sentralistis, menuju desentralistis, dari ketertutupan menuju keterbukaan pemerintahan.

Page 218: doff - Unas Repository

Daftar Pustaka dan Lampiran

211

SEBAGAI SARANA DEMOKRATISASI

(Mark Turner dan David Hulme, Weale, World Bank)

STABILITAS PEMERINTAHAN DAN PERSATUAN

(Treisman and World Bank)

KUALITAS DAN EFISIENSI PEMERINTAHAN (Smith, Burki and Perry, World Bank, Cohen and Paterson)

PEMBANGUNAN DAERAH DAN PARTISIPASI (Rondinelli and Cheema, Litvack, Achmad and Bird)

Teori Alasan Mengapa Harus DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)

GOOD GOVERNANCE

LIMA PERTIMBANGAN Perancang Undang Undang

OTONOMI DAERAH

KESEPAKATAN FOUNDING FATHERS

KONDISI GEOGRAFIS

ALASAN POLITIS

ADMINISTRASI PUBLIK

RESPONSE THD GLOBALISASI

ASUMSI DENGAN OTONOMI DAERAH

PEMERINTAH PUSAT

PEMERINTAH PROPINSI

Good governance •Pemerintahan yang demokratis

•Partisipasi Masyarakat Luas

•Adminstrasi Pemerintahan yang Efisien

Page 219: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

212

•Pelayanan yang lebih bagus

•Responsible government

PEMERINTAH KOTA DAN KABUPATEN

Undang Undang Peraturan Pemerintah

Politik Lokal Kondusip

Sumber Daya Keuangan

Sumber Daya Manusia

Budaya Birokrasi

Inovasi Pemerintahan

Standandardisasi dan Evaluasi

Syarat keberhasilan

Hasil positif

MASALAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

PEMERINTAH PUSAT:

PEMERINTAHAN DAERAH :

PERUNDANGAN PERATURAN PEMERINTAH

Resistensi In-kosistensi

Keuangan, SDM Pemerintahan Birokrasi – Aparat Self- serving

In-kosistensi In- Clarity Kelambanan Jual - beli pasal Formalisme

Ke- tidak- terpaduan Sentralisme

Masalah Bidang Regulasi

Page 220: doff - Unas Repository

Daftar Pustaka dan Lampiran

213

Tahun, 2006, 2007 pemerintah mengeluarkan lebih dari SERATUS TIGA PULUH Peraturan Pemerintah, 120 keputusan menteri (lihat sebagian daftarnya..)

Salah satunya ialah PP 41/2007 mengenai besaran dan struktur birokrasi di daerah yang masih bermasalah

PP 38/2007 tentang pembagian urusan pemerintah Kota/Kabupaten dengan Propinsi

Kasus Kabupaten Lembata: DPRD Kabupaten itu menayakan kepada pemerintah Kota tentang bukti slip pengeluaran dana 12,3 milyar. Pemerintah kabupaten tidak punya bukti pengeluaran. BPK perwakilan Kupang juga mempertanyakan.

Dalam Kenyataan di Indonesia (Investigasi M.Mas’ud Said 2001-2004) Otonomi dibarengi korupsi di daerah lOtonomi dibarengi keruwetan administrasi Di tahun tahun awal diikuti menurunnya kualitas pelayanan Pertengkaran Pusat – daerah, Pertengkaran daerah dengan daerah, Pertengkaran masyarakat dengan pejabat

WELL PLANNED BUT BAD IN IMPLEMENTATION ( Cheema and Rondinelli, World Bank Report 1999, 2001, 2003)

DECENTRALIZATION With In-adequate preparation (Rondinelli 2000, Turner, Said 2004)

Decentralization with no standard of evaluation and monitoring (The World Bank Report, 2001)

Ternyata Otonomi Daerah DIPAKAI DAN DIAPLIKASIKAN DI 95% NEGARA ANGGOTA PBB (Laporan Bank Dunia, 1999, 2001, 2003)

DIPERCAYA SEBAGAI OBAT MUJARAB mengatasi PENYAKIT PEMERINTAHAN (Rondinelli 2003, Turner 2003, Cheema 2003)

Page 221: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

214

DIANGGAP SEBAGAI BAGIAN DAN SYARAT DEMOKRATISASI ( Cohen and Paterson, Rondinelli and Cheema 2003)

PERATURAN PEMERINTAH (PP)

1. PP TENTNG PILKADA (PP 6/2005)

2. PP TENTANG POL PP (PP 32/2004)

3. PP TENTANG STANDARD AKUNTANSI PEMERINTAHAN (PP 24/2005)

4.PP TENTANG KEDUDUKAN PROTOKOLER DPRD (PP 37/2005)

5. PP TENTANG PEDOMAN TATIB DPRD (PP 53/2005)

6. PP TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PERKOTAAN

7. PP TENTANG DESA (PP 72/2005)

8. PP TENTANG KELURAHAN (PP 73/2005)

9.PP TENTANG BINWAS (PP 67/2005)

10. PP TENTANG SPM (PP 65/2005)

11. PP TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH (PP

58/2005)

12. PP TENTANG EVALUASI PEMDA (DALAM PROSES)

13. PP TENTANG PEMBENTUKAN PEMDA (DALAM PROSES)

33 PERATURAN PEMERINTAH (PP)

14. PP TENTANG KEWENANGAN

15. PP TENTANG BELANJA KEPALA DAERAH

16. PP TENTANG LAPORAN PEMDA

Page 222: doff - Unas Repository

Daftar Pustaka dan Lampiran

215

17. PP TENTANG LKPJ DAN IPPD

18. PP HUBUNGAN PELAYANAN UMUM

19. PP TENTANG PERUBAHAN BATAS WILAYAH,

PERUBAHAN NAMA, DAN PEMINDAHAN IBUKOTA

20. PP TENTANG FUNGSI PEMERINTAHAN TERTENTU

21. PP TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN

KHUSUS

22. PP TENTANG KERJASAMA ANTAR DAERAH

23. PP TENTANG PENEGASAN BATAS WILAYAH

24. PP TENTANG PERANGKAT DAERAH

25. PP TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH 26. PP TENTANG PENGELOLAAN BARANG DAERAH

33 PERATURAN PEMERINTAH (PP)

27. PP TENTANG KEWENANGAN GUBERNUR SEBAGAI

WAKIL PEMERINTAH PUSAT

28. PP TENTANG PINJAMAN DAN OBLIGASI DAERAH

(SELESAI)

29. PP TENTANG PENGELOLAAN DANA DARURAT

30. PP TENTANG KEDUDUKAN KEUANGAN GUBERNUR

SEBAGAI WAKIL PUSAT

31. PP INSENTIF KEPADA MASY/INVESTOR

32. PP TENTANG PENGELOLAAN PNS

33. PP TENTANG PENGANGKATAN SEKDES MENJADI PNS

Page 223: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

216

USULAN PERTAMA UNTUK SUKSES OTODA

FOKUS REFORMASI PADA UNIT TECHNO STRUCTURE

DIKUATKAN DENGAN INOVASI ADMINISTRASI DI LEVEL SUPPORTIVE STAFF

PENGUATAN STAFF DAN PEMBIAYAAN YANG LEBIH BESAR PADA OPERATING CORE

PERUBAHAN VOLUME, MEREKA YANG BERPENGALAMAN DAG MEREKA YANG BERKEMAMPUAN DENGAN INTRODUKSI INFORMATION TECHNOLOGY DLM BIROKRASI

Techno Structure, Middle Line dan Supporting Staff

KEPALA DAERAHDPRD

MIDLLE LINE

SEKDA

TECHNO STRUCTURE

BAPPEDA

SUPPORT STAFF

PERSONIL KEUANGAN UMUM

OPERATING CORE

DINAS-DINAS

PELAYANAN DASAR

SEKTOR UNGGULAN

JABATAN POLITIS

JABATAN KARIR

Kerjasama

Page 224: doff - Unas Repository

Daftar Pustaka dan Lampiran

217

BAYANGAN SUKSES OTONOMI DAERAH

SISTEM KERJA (PERAN 40%)

PEMAHAMAN RESPONSE PERUNDANGAN KERJASAMA

FINANCIAL RESOURCES STANDARDISASI

BIROKRASI RESPONSIVE BEKERJA SECARA LEGAL

INPUT DIPERBESAR BIROKRASI INOVATIVE

HASIL KONGKRIT TERUKUR UNTUK RAKYAT

TECHNO STRUCTURE MIDLE LINE SUPPORTIVE STAFF

LEADERSHIP (PERAN 40%)

Usulan awal

PRIORITAS ke SISTEM KERJA DAN INOVASI daripada MENGANDALKAN “PENGALAMAN”

PRIORITAS ke MANAGERIAL SKILL dan SUMBER DARI LUAR DARIPADA “RUTINITAS”

PRIORITAS ke PENGEMBANGAN HASIL daripada ke CARA KONVENSIONAL YG LAMBAN

Page 225: doff - Unas Repository

Otonomi Daerah di Indonesia, Sejarah, Teori dan Analisis

218