doa buat sari

17
DOA BUAT SARI Dua tahun yang lalu. Di pelabuhan Belawan , Medan, Erni memeluk dua sahabatnya bergantian. Butet dan Sari menangis tersedu-sedu. “Jangan lupa tulis surat ya, Er,” pinta Butet disela tangisnya. “Atau telepon. Pokoknya kita tetap berhubungan. Jangan lupakan persahabatan yang telah kita jalin bertahun- tahun.” Sari menyeka matanya. Wajahnya sembab. “Juga jangan lupa saling saling mendoakan,” ujar Sari . “Aku takut kita tak seiring sejalan lagi.” Erni mengangguk. Tak sanggup ia berkata-kata karena tenggorokannya terasa kering tercekat. Belum pernah disadari bahwa cinta pada dua sahabatnya begini besar. Baru terasa sekarang ketika perpisahan sudah di ambang mata. “Aku nggak mungkin melupakan kalian,” tangis Erni. “Bersama kalianlah duniaku yang lebih indah terbuka. Susah senang kita alami bersama.” Air mata Butet dan Sari makin tak terbendung ketika Erni melangkahkan kaki memasuki kapal Sinabung yang akan membawanya ke pelabuhan Merak, Jakarta. Untuk terakhir kali Erni melambaikan tangan ke arah keduanya sebelum naik ke kabin. Saat menata barang-barang bawaan di lemari, Erni

Upload: muhammad-azhar-hadi

Post on 04-Feb-2016

227 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

cerita pendek

TRANSCRIPT

Page 1: Doa Buat Sari

DOA BUAT SARI

Dua tahun yang lalu.

Di pelabuhan Belawan , Medan, Erni memeluk dua sahabatnya bergantian. Butet

dan Sari menangis tersedu-sedu.

“Jangan lupa tulis surat ya, Er,” pinta Butet disela tangisnya. “Atau telepon.

Pokoknya kita tetap berhubungan. Jangan lupakan persahabatan yang telah kita jalin

bertahun-tahun.”

Sari menyeka matanya. Wajahnya sembab.

“Juga jangan lupa saling saling mendoakan,” ujar Sari . “Aku takut kita tak

seiring sejalan lagi.”

Erni mengangguk. Tak sanggup ia berkata-kata karena tenggorokannya terasa

kering tercekat. Belum pernah disadari bahwa cinta pada dua sahabatnya begini besar.

Baru terasa sekarang ketika perpisahan sudah di ambang mata.

“Aku nggak mungkin melupakan kalian,” tangis Erni. “Bersama kalianlah

duniaku yang lebih indah terbuka. Susah senang kita alami bersama.”

Air mata Butet dan Sari makin tak terbendung ketika Erni melangkahkan kaki

memasuki kapal Sinabung yang akan membawanya ke pelabuhan Merak, Jakarta. Untuk

terakhir kali Erni melambaikan tangan ke arah keduanya sebelum naik ke kabin. Saat

menata barang-barang bawaan di lemari, Erni tertegun menatap dua bingkisan yang tadi

diserahkan sahabatnya.

“Apa isinya, Er?” tanya Kak Lina, sepupunya yang mendampingi ke Jakarta.

Sedari tadi ia hanya berdiam diri menyaksikan perpisahan tiga sahabat itu.

“Aku nggak tahu, “ kata Erni. Dibukanya perlahan. Hatinya terharu menatap

sehelai jubah berwarna cokelat. Ini pasti dari Butet, pikirnya. Jubah itu indah sekali.

Dibanding Sari, Butet berasal dari keluarga yang lebih berkecukupan. Menatap hadiah

Sari hati Erni lebih teriris lagi. Ia pasti merajut sendiri tepian kain jilbab warna krem itu.

Erni tahu hanya Sarilah yang bisa merajut sulaman gaya Aceh di antara mereka bertiga.

“Beruntung kau punya teman macam itu, Er,” puji Kak Lina.

“Ya, Alhamdulillah,” sahut Erni pendek.

Page 2: Doa Buat Sari

“Aku belum pernah punya teman sedekat itu,” aku Kak Lina. “Mungkin karena

aku kuliah di swasta yang anaknya kebanyakan matre, jadi nggak ada teman kalau nggak

ada duit.”

Erni tersenyum. Masalahnya bukan swasta atau negeri, bisik hatinya. Tapi dunia

macam apa yang akan membuat seseorang punya teman sejati. Perlahan Erni merebahkan

kepala di pembaringan. Aku berjanji, katanya pada diri sendiri, tak akan pernah

kulupakan kalian.

Dua tahun yang lalu.

Tangis Sari meledak di bahu Butet. “Kamu pergi juga, Tet,” ujarnya sendu. Butet

mengelus punggungnya.

“Saat ini pasti datang,” hiburnya. “Erni harus ke Jakarta untuk kuliah dan aku

harus ke Kotanopan untuk menimba ilmu agama di sana. Kamu juga punya rencana lain

selepas SMU kan?”

Sari mengangguk.

“Mungkin aku mau mengulang UMPTN lagi tahun depan.”

“Selama menunggu setahun, kamu mau apa?”

“Entahlah.”

“Apapun keputusanmu doaku menyertaimu, Sar.”

Di terminal Amplas Sari melambai-lambaikan tangan mengantar kepergian Butet.

Terbayang di pelupuk mata awal perkenalan dulu. Mereka akrab bukan karena sama-

sama orang Batak. Bukan karena sama marga. Mereka dekat usai pesantren Ramadhan

karena merekalah tiga cewek berjilbab pertama dalam satu angkatan. Banyak penggalan

episode peristiwa yang sulit dilupakan. Ikatan itu begitu unik. Baik Erni maupun Butet

tak sungkan berkawan dengan Sari yang orang tuanya hanya buruh perkebunan.

Sementara orang tua Erni adalah termasuk trah pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar

di Sumatera Utara. Sedang keluarga Butet berlatar belakang agamis yang memiliki

beberapa pesantren. Selama tiga tahun berteman tak sekalipun Sari menerima perlakuan

yang menyinggung perasaan. Sari juga heran. Namun itulah indahnya ukhuwah yang

Page 3: Doa Buat Sari

kenikmatannya tak gampang terlukis oleh kata. Lalu waktu dan tempat harus

memisahkan mereka. Erni diterima di Fakultas Ekonomi pasa sebuah universitas

bergengsi di Jakarta. Ia punya beban melanjutkan roda perusahaan keluarga. Sementara

keluarga Butet menginginkan ia menyantri di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Agar setelah

dua tahun hafal Al Qur’an Butet siap dikirim ke Kairo.

Sari termangu menatap surat Butet.

“Sari, Al Qur’an mungilmu masih ada padaku. Ingat kamu meminjamkan itu saat

terakhir pengajian kita? Akan kukembalikan dua tahun lagi, Insya Allah. Agar sosok

dirimu selalu ada dalam benakku. Memberi semangat. Di antara kita bertiga kamulah

yang terkuat hafalannya. Semoga dua tahun ke depan kamu bisa menghafalkan dua puluh

enam juz sisanya. Dan kita berdua nggak bingung lagi kalau kelupaan bawa Al Qur’an

karena tiga puluh juz sudah melekat di benak.”

Sari mengusap air mata yang perlahan mengalir di pipi.

**********

Dua tahun setelah perpisahan.

Erni, Butet, dan Sari bersepakat bila tiap libur akhir tahun atau libur panjang

lebaran akan saling mengunjungi dan bernostalgia di Medan Zoo. Atau Medan dua cepek

seloroh Sari. Lebaran tahun lalu mereka berkumpul di sana, bertangisan dan tertawa

bersama. Lebaran tahun ini ada sesuatu yang berbeda.

“Ada kabar dari Sari, Er?” tanya Butet. Mereka berdua duduk di bawah pohon

kamboja. Erni menggeleng sambil menyeruput es teh.

“Aku sudah ke rumahnya di Tanjungsari. Kata tetangganya sudah pindah,” lapor

Erni.

“Pindah?” mata Butet membundar. “Kok aku nggak tahu?”

“Dia nggak pernah kirim surat?” Erni bertanya.

Butet menghela nafas panjang. Matanya seakan menghitung pengunjung kebun

binatang itu satu persatu.

“Sebenarnya …,” gadis itu membasahi bibir. “Cukup lama kami nggak

berhubungan.”

Page 4: Doa Buat Sari

“Kenapa?”

Butet menggeleng pelan. “Aku juga nggak tahu. Kuterima suratnya … ya, kurang

lebih sudah enam bulan yang lalu.”

Mereka berdua tenggelam dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Syawal tahun lalu mereka bertiga tertawa bahagia. Sama seperti saat masih sekolah dulu,

bertukar makanan waktu pengajian. Erni membawa nastar buatan sendiri yang kerasnya

minta ampun. Butet paling suka manisan kolang-kaling. Sari membuat kacang bawang.

Namun kali ini baik Erni maupun Butet tak berselera menatap kue buatan mereka sendiri.

Melihat keceriaan orang-orang seperti menoreh luka di hati. Kemana perginya Sari?

Lupakah ia dengan perjanjian yang disepakati sebelum berpisah dulu bahwa mereka akan

berkumpul di sini setiap tahun?

“Sebenarnya, aku berharap kamu bisa lebih sering kontak dengannya,” suara Erni

memecah keheningan. Tanpa maksud menyalahkan ia berkata lagi, ”jarak Kotanopan ke

Medan lebih dekat dibanding dari Jakarta.”

“Aku sibuk sekali, Er,” aku Butet. “Setiap minggu hafalanku dicek dan dua

minggu sekali kami studi banding ke pesantren lain.”

“Aku juga sibuk sekali beberapa bulan belakangan.”

Erni mengambil satu kue nastar dan menggigitnya.

“Mungkinkah Sari …,” tiba-tiba suaranya tercekat di tenggorokan.

“Ada yang kau sembunyikan dariku?” tanya Butet curiga.

Erni menaikkan dua alisnya.

“Enggak … nggak ada.”

Butet berdiri lalu mengajak mengitari kebun binatang. Setiap sudut sudah mereka

kenal dengan baik. Dulu, sesekali Kak Mona mengajak mereka untuk mengaji di sini

sekaligus refreshing. Ke mana pula Kak Mona? Semenjak menikah baik Butet maupun

Erni tak mendengar kabar lagi. Terbetik kabar kalau Kak Mona ikut bersama suaminya

yang orang Aceh. Butet menghela nafas. Ke mana perginya orang-orang yang dulu

pernah dekat? Mengapa seolah menghilang seperti angin.?

“Terus terang, ada sesuatu yang membuatku risau …” mata Erni menerawang

jauh.

“Apa itu?”

Page 5: Doa Buat Sari

“Kamu masih ingat waktu Opungku meniggal setengah tahun lalu?”

“Ya.”

“Waktu naik pesawat,” Erni terhenti sejenak. Ragu-ragu. “Aku…..,”

“Ya, ayo teruskan.”

“Aku … aku seperti melihat Sari. Aku melihatnya … ah,” Erni menggigit bibir

bawah. “Mungkin itu bukan Sari. Tapi rambut panjangnya…”

“Rambut panjang?” potong Butet tak mengerti. “Maksudmu …”

Erni menggandeng lengan Butet dan mengajaknya duduk di bangku beton dekat

kandang singa. “Sewaktu Opung meninggal aku sesegera mungkin pulang ke sini. Naik

pesawat. Aku seperti mengenal seorang pramugari. Wajahnya bulat telur dengan lesung

pipit.”

“Ia menyapamu?”

“Ia melayani kelas eksekutif,” Erni tak menjawab pertanyaan Butet. “Aku cuma

naik kelas ekonomi. Entahlah. Mungkin aku salah lihat.”

Butet mendongakkan kepala. Matahari sudah tinggi, hanya tak terasa panas

karena tertutup rimbun pohon. Suara singa, burung, monyet berbaur dengan riuh

pengunjung. Tempat itu sekarang terasa sesak.

“Kita harus tahu di mana Sari sekarang,” Butet memutuskan. “Agar tak salah

menduga-duga. Coba tanya tetangganya di Tanjungsari, ia pindah ke mana?”

“Sudah,” Erni menatap mata Butet.

“Sudah? Kamu sudah tanya? Jadi ke mana dia?”

“Nggak jauh dari Tanjungsari.”

“Iya, tepatnya di mana?” Butet menanti tak sabar.

“Taman Setiabudi Indah.”

Langit sesiang itu serasa penuh petir.

***************

Erni dan Butet memandang rumah bercat outih itu penuh perasaan takjub. Rumah

berarsitektur modern dengan sentuhan etnik. Di teras tersedia sepasang kursi logam

lengkap dengan meja. Namun di atasnya terpajang tenunan Aceh yang dibingkai

Page 6: Doa Buat Sari

menyerupai lukisan. Mental Erni seperti jatuh. Rasanya mirip orang mau minta

sumbangan. Tapi Butet bersikeras untuk tahu jawabannya. Mereka harus tahu apa yang

terjadi. Kemarin ia sudah menghubungi rumah ini yang nomor teleponnya didapat setelah

tanya ke kantor penerangan. Housekeeper-nya berjanji akan menyampaikan ke pemilik

rumah. Kalau ternyata pemilik rumah bukan Sari mereka akan sangat bersyukur

walaupun malu.

“Silakan duduk,” kata bu Nondang ramah. Beliau housekeeper yang ditemui Butet

kemarin di telepon. “Sebentar nona akan menemui anda berdua.”

Erni dan Butet duduk dengan canggung. Sekalipun mereka berdua hidup berada

tapi semua kekayaan orang tua. Rasanya aneh sekali duduk di atas kemewahan yang

dimiliki Sari.Tapi semoga bukan Sari. Ketika tengah asyik menikmati pemandangan

akuarium air laut, sebuah suara lembut menyapa.

“Selamat sore.”

Serempak Erni dan Butet menoleh. Seorang gadis berdiri mengenakan rok span

panjang warna biru tua. Kemeja lengan pendek warna putih sutra melekat indah di tubuh

rampingnya. Rambutnya yang panjang hanya diikat ekor kuda ke belakang. Ia berjalan

menghampiri lalu duduk dengan sikap yang elegan. Sari?

“As…assalamu’alaikum….” tiba-tiba wabah gugup menyerang.

“Wa’alikum salam. Bu Nondang , tolong kue dan sirupnya.”

“Baik, Non.”

Angin kebisuan mencekam mereka bertiga. Siapa yang harus mulai? Sari tampak

anggun dan ramah, namun pancaran matanya dingin. Tak bersahabat.

“Aku….kami berdua ke Medan Zoo beberapa waktu yang lalu. Kau tidak

datang?” Erni memulai pembicaraan. Sari tersenyum sambil menggeleng.

“Aku tak bisa,” jawabnya pendek.

“Aku kangen, Sari,” Erni berkata jujur. Hatinya perih oleh kenyataan.

“Kamu kerja di mana?” Butet bertanya. Erni memegang tangannya dan

memandang dengan tatapan memohon. Watak keras Butet tak akan menguntungkan

dalam situasi seperti sekarang.

“Its, okey,” Sari mengangkat tangannya. “Nggak apa-apa. Aku siap dengan

pertanyaan ini. Aku kerja di perusahaan penerbangan.”

Page 7: Doa Buat Sari

“Pramugari?”

“Ya.”

“Kamu tahu apa konsekuensi dari tindakanmu?” sembur Butet.. “Kamu pasti tahu.

Oh, atau sengaja tidak mau tahu?”

“Konsekuensi?” Sari tersenyum hambar. “Maksudmu aku akan masuk neraka dan

kalian masuk surga? Begitu?”

“Bisakah kita memulai pertemuan ini tanpa pertengkaran?” pinta Erni. Ia tidak

menyetujui pilihan Sari tapi meyalahkan tanpa mau mendengar alasannya adalah tidak

bijaksana. Bu Nondang datang membawa minuman dan kue. Wanita itu mempersilakan

tapi tampaknya tak ada yang berselera.

“Buat sendiri, Sar?” Erni berusaha menetralisir. Ia mengambil nastar.

“Ya …,” sahut Sari. “Aku sudah pandai membuat nastar dan kastengel. Juga

macam-macam manisan. Kolang-kaling, manisan buah, manisan cabe.”

“Kamu masih ingat kesukaanku dan Butet.”

Sari tersenyum. Rasanya waktu lambat berjalan. Apalagi jika diselingi kebisuan.

“Bagaimana kabar ibu?” tiba-tiba Erni teringat. Sari menghela nafas panjang.

“Ibu sudah meninggal.”

Erni dan Butet berpandangan.

“Kenapa?”

“Kanker. Kanker paru-paru.”

Butet menelan ludah.

“Kapan?” tanyanya.

Sari beranjak berdiri ke arah jendela. Matanya menerawang jauh.

“Dua bulan lalu.”

“Aku …. Maafkan. Aku nggak datang.”

“Oh, tentu. Aku memang tidak memberitahukan. Ke mana aku harus mengirim

kabar? Tak satupun surat yang kalian balas. Sibuk. Ya, kalian sibuk dengan setumpuk

agenda baru. Sampai kalian lupa punya seorang teman yang merana di sini.”

“Sari ….”

“Ke mana kalian ketika aku cerita aku butuh banyak biaya untuk ibu dan adik-

adik?”

Page 8: Doa Buat Sari

“Kamu … kamu punya teman pengajian yang baru, kan?”

“Kamu pikir aku bisa membuka rahasia pribadiku pada semua orang? Ketika aku

kerja di swalayan yang jadi jadi bahan pembicaraan adalah penampilanku. Tempat

kerjaku. Bukan beratnya beban yang harus aku pikul karena himpitan kemiskinan. Itukah

persaudaraan?”

“Kamu jangan …”

“Stop! Tolong dengarkan dulu!” potong Sari dengan emosi. “Mudahnya orang

menuduhku tersesat jalan. Ketika aku banyak absen dari pertemuan pengajian aku dicap

tidak taat. Padahal aku tengah kepanasan kehujanan di tengah jalan mengumpulkan

rupiah agar bisa tetap makan.”

Erni menutup wajah dengan telapak tangan. Butet menggigit bibir.

“Pernahkah aku minta bantuan biaya dari kalian?” tanya Sari.

Erni menggeleng.

“Ingatkah kalian apa yang kupinta dua tahun lalu?” Sari bisa membaca pikiran

mereka yang tengah berpandangan dalam diam.

“Oh ya, kalian lupa,” katanya menghujam tajam. “Aku cuma minta doa. Aku tak

bermaksud pamrih. Tapi kudoakan kalian tiap usai sholat seperti yang pernah dilakukan

para shahabat dulu. Sholat Asar tadi masih kusebut nama kalian. Tolong ya Allah,

bimbing selalu Erni dan Butet. Pernahkan kalian lakukan itu padaku?”

***********

“Dia benar, Tet! Dia yang benar!” tangis Erni meledak di rumah. “Tak pernah

kubalas suratnya. Tak pernah kudoakan dia. Aku sibuk dengan da’wah di kampus sampai

kulupakan Sari. Kelak kalau dia masuk neraka kitalah yang telah mendorongnya!”

“Hush, ngomong apa sih kamu?” hibur Butet. Hatinya juga gundah.

“Dua tahun lalu kita berjanji untuk saling mengingatkan. Sari malah lebih

memelihara janji kita. Mungkin doanyalah yang menyebabkan kita tetap seperti sekarang.

Manusia tempat salah dan lupa. Ketika dia kebingungan mencari pijakan, kita tidak

memperkuat kakinya dengan doa kita.”

Page 9: Doa Buat Sari

Butet menyeka mata yang tiba-tiba basah. Ia teringat Qur’an mungil Sari yang

masih ada padanya. Benda itu mengingatkan pada sosok seorang gadis yang sederhana

dan penuh semangat. Sari yang hanya punya satu jilbab ketika sekolah. Sari yang rajin

membawa dagangan kue ke sekolah atau pengajian. Kenapa waktu mengubahnya

menjadi ambisius dan gelap mata?

“Jangan salahkan dirinya terus,” bela Erni. “Orang bisa berbuat nekat saat

kepepet.”

“Ya, tapi aku tetap tak mengerti. Bagaimana ia bisa melupakan pedihnya

hukuman Allah?”

Erni menghela nafas.

“Aku yakin Sari tak lupa. Tapi saat itu ia pasti tengah pedih dalam ketakutan

kehilangan seorang ibu. Ingat, ia yatim sejak kecil. Ibu bagi Sari bukan cuma pencari

nafkah tapi juga penguat semangat hidup. Apa yang timbul dalam benaknya kecuali harus

menyelamatkan nyawa ibunya?”

Butet menggeleng-gelengkan kepala.

“Sejak kecil aku sudah terbiasa melihat penyelewengan di perkebunan,” kenang

Erni. “Orang menyelundupkan minyak sawit ke Malaysia dan Singapura, juru masak

mencuri bahan makanan untuk keluarganya. Semua karena himpitan hidup.”

“Kamu nggak menyalahkan Sari?” tanya Butet.

“Tanpa mau tahu apa sebenarnya yang saat ini ia rasakan?” Erni balik bertanya.

“Kita egois kalau begitu.”

Butet meraih foto di atas meja belajar Erni. Masih terbingkai rapi gambar tiga

gadis berjilbab di situ. Sari di tengah merangkul mereka berdua. Butet tersenyum samar

dan tanpa sadar mengelus foto Sari. Ia anak yang manis. Anak yang berbakti pada

ibunya. Tapi haruskah dengan cara begini?

***********

Suatu senja di sebuah kafe di tepi kota Medan.

“Maaf, Er, aku nggak bisa lama-lama. Dua puluh menit saja. Bisa?”

Page 10: Doa Buat Sari

“Nggak apa-apa,” Erni tersenyum. Berdua mereka duduk lalu memesan masing-

masing segelas es kelapa muda. Rasanya sulit sekali mengawali percakapan dari dua

dunia yang terasa berbeda. Tapi ini harus. Karena usaha harus mengiringi doa.

“Aku mau minta maaf,” pinta Erni. Sari terhenti dari mengaduk esnya.

“Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Untuk tak pernah membalas suratmu. Untuk tak pernah

mendoakanmu. Untuk selalu merasa lebih benar darimu saat ini.”

Sari menatap matanya.

“Aku ke sini bukan untuk menghujatmu,” Erni melanjutkan. “Aku ke sini bukan

untuk menda’wahimu. Aku cuma ingin dengar semua ceritamu setelah lama tak

bertemu.”

Sari melirik jam tangannya.

“Terlalu lama kalau harus kuceritakan dari A sampai Z. Aku cuma ingin kamu

tahu. Tidak dengan bangga kujalani ini semua. Aku menangis ketika training dulu harus

melepas jilbab. Tapi yang ada dalam benak hanya ibu dan ibu.”

“Setelah ibu meninggal?” tanya Erni.

Sari terdiam cukup lama.

“Aku harus membiayai adik-adik, mereka harus sukses. Tidak terhimpit

kemiskinan yang membuat hidup tanpa pilihan.”

“Bagaimana dengan teman-teman pengajianmu dulu?”

“Oh, itu,” Sari tertawa sinis. “Aku ini seperti orang kena AIDS.”

Erni tersenyum lembut. Ia tak ingin Sari berpikir bahwa semua orang

mendepaknya. Gadis itu bukan penjahat yang harus diisolasi.

“Beberapa hari belakangan ini aku sering menangis,” Erni mengaku. “Aku ingat

masa-masa kita dulu.”

“Aku mengecewakanmu kan?”

“Mungkin. Tapi akupun tak dalam posisi lebih baik. Aku sedang memperbaiki.

Akhir-akhir ini aku sering mendoakanmu.”

Sari menghela nafas dalam-dalam.Tiba-tiba ia enggan beranjak dari tempat

duduk. Erni mengeluarkan bingkisan kecil dari tasnya.

“Ini dari Butet. Oya, sepertinya waktu sudah nggak mengijinkan.’

Page 11: Doa Buat Sari

Sari seolah tersadar. Ia menatap dalam-dalam mata Erni. Ada ketulusan di sana.

“Pergilah kalau kau mau pergi. Terbanglah ke manapun kau suka. Satu yang harus

kamu tahu, aku dan Butet akan selalu berdoa untukmu. Agar Allah selalu membimbing

langkahmu.”

Sari memeluknya ketika hendak beranjak pergi. Tetes-tetes air menggenang di

matanya. Ada kekosongan yang sangat tertinggal dalam dada Erni memandang taksi

yang melaju membawa tubuh Sari pergi.

Di dalam taksi Sari membuka kado kecil dari Butet. Ia tertegun. Qur’an kecil

miliknya dulu. Disentuhnya lembut benda itu. Diciumnya. Lalu ia menangis tersedu-sedu.

***********

Pernah dimuat di majalah Annida

SINTA YUDISIA WISUDANTI