dk4 wenny

39
1.1 Immunodefisiensi Primer Gambar 1 skema sederhana perkembangan limfosit dan tempat terjadinya blokkade pada penyakit immunodefisiensi primer I.1.1 X-Linked Agammaglobulinemia Penyakit Bruton Penyakit Bruton ditandai dengan kegagalan sel pra B untuk berdiferensiasi sel B. Akibatnya, tidak terbentuk gama globulin dalam darah. Pada penyakit ini, pematangan sel B terhenti setelah dimulainya penataan ulang gen rantai berat karena mutasi pada tirosin kinase yang terlibat dalam transduksi sinyal sel pra B. karena rantai ringan tidak diproduksi,

Upload: wenny-rupina

Post on 15-Sep-2015

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

4

TRANSCRIPT

1.1 Immunodefisiensi Primer

Gambar 1 skema sederhana perkembangan limfosit dan tempat terjadinya blokkade pada penyakit immunodefisiensi primer1.1.1 X-Linked Agammaglobulinemia Penyakit BrutonPenyakit Bruton ditandai dengan kegagalan sel pra B untuk berdiferensiasi sel B. Akibatnya, tidak terbentuk gama globulin dalam darah. Pada penyakit ini, pematangan sel B terhenti setelah dimulainya penataan ulang gen rantai berat karena mutasi pada tirosin kinase yang terlibat dalam transduksi sinyal sel pra B. karena rantai ringan tidak diproduksi, molekul immunoglobulin yang lengkap tidak dapat dirangkai dan diangkut menuju membran sel1.Penyakit bruton tidak akan jelas sebelum mencapai usia 6 bulan, yaitu pada saat immunoglobulin maternal habis. Terapi pengganti dengan immunoglobulin Intravena yang berasal dari kumpulan serum manusia memungkinkan sebagian besar penderita terhindar dari infeksi bakteri secara adekuat1.1.1.2 Immunodefisiensi Variabel Umum (CVID)Penyakit ini merupakan kelompok gangguan kongenital atau didapat yang ditandai dengan hipogamaglobulinemia, gangguan respons terhadap antibody (atau vaksin), dan jumlah infeksi yang makin meningkat. Secara klinis memiliki gejala sama dengan penyakit bruton, namun onsetnya timbul setelah usia 20 atau 30 tahun.Gangguan produksi antibodi diduga disebabkan oleh defek sel B intrinsic, kurangnya bantuan sel T, atau aktivitas supresor sel T yang berlebihan. Pasien ini mudah mengalami berbagai gangguan imun (anemia hemolitik, anemia pernisiosa), serta tumor limfoid1.1.1.3 Defisiensi IgAPenyakit ini sering ditemui pada orang kulit putih, sekitar 1 antara 700 orang. Meskipun sebagian besar individu bersifat asimtomatis, melemahnya pertahanan mukosa membuat mereka mudah mengalami diare dan infeksi pulmonal yang berulang. Patogenesis infeksi ini disebabkan oleh diferensiasi sel B yang menyekresi IgA menjadi sel plasma1.1.1.4 Sindrom Hiper IgM Pada respon imun yang normal terhadap antigen protein, yang pertama kali diproduksi adalah antibody IgM dan IgD, diikuti dengan antibodi IgG, IgA, dan IgE secara berurutan. Kemunculan jenis antibodi yang berurutan disebut dengan isotype switching. Kemampuan sel B penghasil IgM untuk melakukan transkripsi gen yang mengkode immunoglobulin lain bergantung pada sitokin tertentu dan sinyal sel T CD4+ melalui kontak molekul CD40 pada sel B dan ligan molekul CD40L atau CD154 pada sel T CD4+. Pada Sindrom hiper IgM kadar antigen IgM normal atau lebih dari normal tetapi kurang mampu menghasilkan isotype IgG, IgA,atau IgE , karena sel T tidak mampu menginduksi isotype switching1.1.1.5 Sindrom DigeorgeSindrom Digeorge diakibatkan oleh suatu kelainan kongenital perkembangan timus disertai pematangan sel T yang tidak sempurna. Janin dalam keadaan ini sangat mudah terserang infeksi virus, jamur, dan protozoa. Sel B dan immunoglobulin serum umumnya tidak terpengaruh. Pada 90% kasus Sindroma DiGeorge, terjadi delesi yang mempengaruhi kromosom 22q111.1.1.6 Immunodefisiensi Kombinasi BeratSindrom SCID ini terjadi melalui tiga mekanisme1:a. Karena mutasi gen pengkode rantai gamma-sitokin yang bertanggung jawab merangsang kelangsungan hidup serta perluasan precursor sel B dan sel T imatur dalam sumsum tulang.b. Mutasi Adenosin Deaminase (ADA), yang menjadi defisiensi sehingga terjadi akumulasi metabolit adenosine dand deoksiadenosin trifosfat yang menghambat sintesis DNA dan bersifat toksik terhadap limfosit.c. Kegagalan pengeluaran MHC kelas 2 primer, sehingga sangat menghambat fungsi sel CD4+, dan respom antibody yang bergantung sel T akan terganggu.

1.1.7 Sindrom Wiskott AldrichWiskott-Aldrich Syndrome adalah suatu penyakit resesif terkait X yang ditandai dengan trombositopenia, eczema, dan sangat rentan terhadap infeksi berulang yang berakhir pada kematian dini. Satu-satunya pengobatan adalah transplantasi sumsum tulang1.

6.1.8 Defisiensi Genetik Komponen KomplemenDefisiensi sistem komplemen seperti C3 akan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi bakteri piogenik, sedangkan jika C1q,C2, dan C4 yang kekurangan, akan meningkatkan resiko terkena penyakit yang diperantarai sistem imun (misalnya SLE), dan defisiensi C5 akan meningkatkan resiko infeksi neisseria yang berulang1.6.2 HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome)6.2.1 DefinisiAIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV2.

6.2.2 EtiologiAIDS disebabkan oleh HIV, suatu virus RNA dari famili retrovirus dan subfamili lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2 serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 yang disebut juga sebagai lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV) yang sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Spektrum penyakit yang menimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab AIDS yang tersering, dahulu dikenal juga sebagai T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenopathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. Secara morfologik HIV-1 berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope).Inti dari virus terdiri atas dari suatu protein sedang selubungnya terdiri dari suatu glikoprotein. Protein dari inti terdiri atas genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah Rna menjadi DNA pada waktu replikasi virus, yang disebut enzim reverse transcriptase. Genom virus yang pada dasarnya terdiri atas gen, bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transcriptase maupun glikoprotein dari selubung. Sebenarnya masih ada gen lain yang berfungsi mengatur sintesis, kemampuan infeksi, replikasi dan fungsi lain dari virus. Bagian envelope yang terdiri dari glikoprotein, ternyata mempunyai afinitas yang besar terhadap reseptor spesifik dari sel pejamu3.

Gambar 2 diatas partikel HIV-16.2.2 PatogenesisHIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+. Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya, monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh. Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel imun lainnya4. Pada awal infeksi, dalam beberapa hari dan minggu, sistem imun belum terganggu. Sama seperti infeksi virus lainnya, akan terjadi peningkatan jumlah sel sitotoksik (CD8+) dan antibodi. Pada masa ini penderita masih berada dalam kondisi seronegatif dan sehat untuk jangka waktu yang lama. Pada tahap lebih lanjut, semakin banyak sel CD4+ yang rusak. Akibatnya fungsi sel-sel imun lainnya akan terganggu dan menyebabkan penurunan imunitas yang progresif. Pertanda dari progresifitas penyakit dapat dilihat dari gejala klinis dan penurun jumlah sel CD4+.Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600 sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/l. Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/l mengalami imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik.

Gambar 3 Pathogenesis Virus HIV

6.2.3 Stadium WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS , sebagai berikut:Stadium I Asimtomatik

Tidak ada penurunana berat badanTidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium II Sakit ringan

Penurunan berat badan 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka disekitar bibir (keiltis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal {seboroik atau prurigo-PPE (pruritic popular eruption)}Dermatitis SeboroikInfeksi jamur kuku

Stadium III Sakit sedang

Penurunan berat badab