distribusi pendapatan nelayan pada perikanan skala kecil

8
OPEN ACCES Vol. 13 No. 1: 9-16 Mei 2020 Peer-Reviewed AGRIKAN Jurnal Agribisnis Perikanan (E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072) URL: https: https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/ DOI: 10.29239/j.agrikan.13.2. 9-16 Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil dan Besar di Selat Sunda ( The Fisheries Revenue Share on Small and Large Scale Fisheries in Sunda Strait ) Yonvitner 12 , Hanif Wafi 1) , Gatot Yulianto 1 Mennofatria Boer 1 dan Rahmat Kurnia 1 1 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB, Bogor, Indonesia, Email : [email protected]; hanifwafi @yaoo.com; [email protected]; [email protected]; [email protected]. 2 Kepala Pusat Studi Bencana-LPPM IPB. Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia, Email : - Info Artikel: Diterima : 16 Maret 2020 Disetujui : 12 April 2020 Dipublikasi : 13 April 2020 Artikel Penelitian Keyword: Income, Small Scale, Large Scale, Sunda Strait Korespondensi: Yonvitner Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia Email: [email protected] Copyright© Mei 2020 AGRIKAN Abstrak. Perikanan selat Sunda termasuk kegiatan perikanan skala kecil (<10 GT) dan skala besar (>10 GT) yang masih menerapkan sistem bagi hasil dari pendapatan. Untuk itu perlu ditentukan tingkat pendapatan yang diperoleh sebagai bagian dari usaha penangkapan. Penelitian yang dilakukan di Selat Sunda Labuan dan Lempasing untuk menjawab besaran pendapatan yang diperoleh. Hasil menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh relative sama antara < 10 GT dan > 10 GT. Secara umum terlihat risiko penangkapan terhadap pendapatan masih tinggi saat musim panceklik. Untuk itu diupayakan 40 persen dari kelebihan pendapatan dari kebutuhan dipergunakan untuk menabung agar nelayan tetap memperoleh manfaat saat musim panceklik. Abstract. Sunda Strait fisheries are dominantly by small scale fisheries (<10 GT) and large scale (> 10 GT) which still adopt revenue sharing system. For this reason, it is necessary to determine the level of income obtained as part of the fishing bisnis. Research conducted in the Sunda Strait focus in two location are Labuan port and Lempasing port to know the income generate by fishing activity. The results show that the income obtained is relatively the same between <10 GT and> 10 GT. In general, it is seen that the risk of capture of income is still high during the low season. For this reason, 40 percent of the excess income in peak season suggest used to saving as anticipate while low season and decreasing of production. I. PENDAHULUAN Perikanan Selat Sunda ada di WPP 572 dengan potensi lebih kurang 1,2 juta ton (Suman, et al, 2016) atau 565, 1 ton di Selatn Sunda (KKP 2014 in Surumaha et al ,2016) didominasi oleh usaha penangkapan ikan skala kecil (small scale fisheries). Dalam hal ini armada perikanan banyak diupayakan kapal < 10 GT maupun diatas > 10 GT. Kedua kelompok usaha ini cenderung melakukan penangkapan dengan pola yang berbeda. Nelayan kapal > 10 GT umumnya menangkap lebih lama dan lebih jauh dari kapal < 10 GT yang bersifat harian (one day fishing). Jenis-jenis tangkapan di Selat Sunda adalah kelompok ikan pelagis (Amri, 2017) dan demersal (Yonvitner, 2017) serta biota non ikan lainya. Target tangkapan, jenis ikan, daerah penangkapan, serta efisiensi alat tangkap menentukan produksi tangkapan. Pada tahap selanjutnya sangat menentukan besaran pendapatan yang akan diperoleh nelayan. Skema pendapatan dan penerimaan nelayan yang masih berbasis sistem bagi hasil, terasa sangat menguntungkan, namun sebagian besar terasa merugikan terutama saat panceklik. Untuk tetap diperlukan kajian dan upaya dalam memastikan bahwa usaha perikanan mampu memberikan jaminan jangka panjang dan mensejahterakan. Untuk itu penentuan dan penilaian pendapatan nelayan penting untuk dilakukan. Upaya ini sebagai langkah untuk memastikan tingkat kebutuhan, kemampuan dan kelayakan hidup nelayan yang menggantungkan hidupnya pada stok ikan Selat Sunda. Bahasan pada paper ini menganalisis tingkat pendapatan nelayan yang menangkap di Selat Sunda dengan pembagian dua kelompok usaha penangkapan kapal < 10 GT (nelayan kecil/ small scale fisheries) dan kapal > 10 GT berdasarkan pembagian menurut UU No 7 tahun 2016 tentang perlindunga dan pemberdayaan nelayan.

Upload: others

Post on 06-Nov-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

OPEN ACCES

Vol. 13 No. 1: 9-16 Mei 2020

Peer-Reviewed

AGRIKAN

Jurnal Agribisnis Perikanan (E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072)

URL: https: https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/

DOI: 10.29239/j.agrikan.13.2. 9-16

Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil dan Besar di Selat Sunda

(The Fisheries Revenue Share on Small and Large Scale Fisheries in Sunda Strait )

Yonvitner 12, Hanif Wafi1), Gatot Yulianto1 Mennofatria Boer1 dan Rahmat Kurnia1

1Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB, Bogor, Indonesia, Email : [email protected]; hanifwafi @yaoo.com;

[email protected]; [email protected]; [email protected]. 2 Kepala Pusat Studi Bencana-LPPM IPB. Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia, Email : -

Info Artikel:

Diterima : 16 Maret 2020

Disetujui : 12 April 2020

Dipublikasi : 13 April 2020

Artikel Penelitian

Keyword:

Income, Small Scale, Large

Scale, Sunda Strait

Korespondensi:

Yonvitner

Institut Pertanian Bogor,

Bogor, Indonesia

Email: [email protected]

Copyright© Mei 2020

AGRIKAN

Abstrak. Perikanan selat Sunda termasuk kegiatan perikanan skala kecil (<10 GT) dan skala besar (>10 GT)

yang masih menerapkan sistem bagi hasil dari pendapatan. Untuk itu perlu ditentukan tingkat pendapatan

yang diperoleh sebagai bagian dari usaha penangkapan. Penelitian yang dilakukan di Selat Sunda Labuan dan

Lempasing untuk menjawab besaran pendapatan yang diperoleh. Hasil menunjukkan bahwa pendapatan yang

diperoleh relative sama antara < 10 GT dan > 10 GT. Secara umum terlihat risiko penangkapan terhadap

pendapatan masih tinggi saat musim panceklik. Untuk itu diupayakan 40 persen dari kelebihan pendapatan

dari kebutuhan dipergunakan untuk menabung agar nelayan tetap memperoleh manfaat saat musim panceklik.

Abstract. Sunda Strait fisheries are dominantly by small scale fisheries (<10 GT) and large scale (> 10 GT)

which still adopt revenue sharing system. For this reason, it is necessary to determine the level of income

obtained as part of the fishing bisnis. Research conducted in the Sunda Strait focus in two location are Labuan

port and Lempasing port to know the income generate by fishing activity. The results show that the income

obtained is relatively the same between <10 GT and> 10 GT. In general, it is seen that the risk of capture of

income is still high during the low season. For this reason, 40 percent of the excess income in peak season

suggest used to saving as anticipate while low season and decreasing of production.

I. PENDAHULUAN

Perikanan Selat Sunda ada di WPP 572

dengan potensi lebih kurang 1,2 juta ton (Suman,

et al, 2016) atau 565, 1 ton di Selatn Sunda (KKP

2014 in Surumaha et al ,2016) didominasi oleh

usaha penangkapan ikan skala kecil (small scale

fisheries). Dalam hal ini armada perikanan

banyak diupayakan kapal < 10 GT maupun diatas

> 10 GT. Kedua kelompok usaha ini cenderung

melakukan penangkapan dengan pola yang

berbeda. Nelayan kapal > 10 GT umumnya

menangkap lebih lama dan lebih jauh dari kapal <

10 GT yang bersifat harian (one day fishing).

Jenis-jenis tangkapan di Selat Sunda adalah

kelompok ikan pelagis (Amri, 2017) dan demersal

(Yonvitner, 2017) serta biota non ikan lainya.

Target tangkapan, jenis ikan, daerah penangkapan,

serta efisiensi alat tangkap menentukan produksi

tangkapan. Pada tahap selanjutnya sangat

menentukan besaran pendapatan yang akan

diperoleh nelayan.

Skema pendapatan dan penerimaan nelayan

yang masih berbasis sistem bagi hasil, terasa

sangat menguntungkan, namun sebagian besar

terasa merugikan terutama saat panceklik. Untuk

tetap diperlukan kajian dan upaya dalam

memastikan bahwa usaha perikanan mampu

memberikan jaminan jangka panjang dan

mensejahterakan.

Untuk itu penentuan dan penilaian

pendapatan nelayan penting untuk dilakukan.

Upaya ini sebagai langkah untuk memastikan

tingkat kebutuhan, kemampuan dan kelayakan

hidup nelayan yang menggantungkan hidupnya

pada stok ikan Selat Sunda. Bahasan pada paper

ini menganalisis tingkat pendapatan nelayan yang

menangkap di Selat Sunda dengan pembagian dua

kelompok usaha penangkapan kapal < 10 GT

(nelayan kecil/ small scale fisheries) dan kapal > 10

GT berdasarkan pembagian menurut UU No 7

tahun 2016 tentang perlindunga dan

pemberdayaan nelayan.

Page 2: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

10

II. METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei-

Juni 2019 di daerah pendaratan ikan PPP Labuan

Banten, mewakili pesisir Banten, dan PPP

Lempasing yang mewakili pesisir Lampung.

Lokasi pengambilan data dilakukan pada kedua

lokasi tersebut baik data pengamatan langsung

maupun data kuisioner. Peta lokasi penelitian

seperti ditampilkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian di Labuan dan Lempasing di pesisir Selat Sunda

Data yang dikumpulkan pada kedua lokasi

tersebut adalah strutkur nelayan, yang berprofesi

sebagai penangkap baik ABK, Juru kapal dan

Nahkoda. Data produksi perikanan setiap

kelompok kapal dan operasi penangkapan, daerah

penangkapan, lama operasi penangkapan, jenis

ikan tangkapan, jumlah tangkapan dan

penerimaan nelayan. Data dikumpulkan berasal

dari kelompok tersebut untuk selanjutnya

dianalisis. Untuk mendukung data primer yang

dikumpulkan dipelabuhan, dilakukan

pengumpulan data melalui kuisioner pada 30

orang nelayan pada kedua lokasi.

Analisis pendapatan nelayan dihitung dari

produksi, harga jual nelayan. Kalkulasi

pendapatan nelayan selain dari penangkapan, juga

dari aktivitas ekonomi lainya, sehingga bersifat

akumulatif. Analisis penentuan pendapatan

dilakukan dengan menggunakan formulasi

sebagai berikut (Purnomo 1999).

Prt = Pt1 + Pt2

Dimana :

Prt = Pendapatan total nelayan (Rp)

Pt1 = Pendapatan dari usaha perikanan (Rp)

Pt2 = Pendapatan dari usaha non-perikanan (Rp)

Selanjutnya pendapatan nelayan juga

dipergunakan untuk menduga estimasi tingkat

surplus pendapatan. Sehingga bisa diprediksi

tingkat surplus pendapatan guna alokasi

menabung untuk menghadapi musim panceklik.

Biasanya pendapatan nelayan saat musim

panceklik cenderung rendah bahkan merugi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Struktur Nelayan

Sebaran umur nelayan dikaji pada dua

wilayah pendaratan ikan utama di Selat Sunda

yaitu di Labuan dan Lempasing pada tahun 2018.

Komposisi nelayan yang bekerja menurut umur

yaitu 20-35 tahun berjumlah 27%, berumur 36-44

berjumlah 33%, berumur 45-53% sebanyak 27%,

berumur 54-62 tahun sebanyak 10% sedangkan

diatas 62 tahun sebanyak 3%. Secara keseluruhan

nelayan yang berumur diatas diatas 45 tahun

mencapai 40% nelayan yang bekerja menangkap

ikan di Selat Sunda sedangkan 60% nelayan

dibawah 45 tahun. Nelayan di Tojo Una-una yang

menggunakan pukat pasang, bagan, pancing,

tonda dan purse seinenya berumur antara 36-41

tahun dengan pengalaman kerja sebagai nelayan

15-19 tahun (Howara, 2008). Secara umum terlihat

kondisi yang hampir sama dengan umur nelayan

selat Sunda. Komposisi nelayan berdasarkan umur

disajikan pada Gambar 2.

Page 3: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

11

Gambar 2. Sebaran umur nelayan di Selat Sunda.

Dari jumlah nelayan yang bekerja tersebut,

sebanyak 46,2% nelayan di Labuan bekerja pada

skala usaha kurang dari 10GT, dan 53,8% bekerja

pada kapal diatas 10GT. Sedangkan nelayan

lampung 29,4% adalah nelayan bekerja pada kapal

dibawah 10GT, dan nelayan diatas 10 GT sebanyak

70,6%. Dari sini terlihat bahwa nelayan di Labuan

komposisi skala kecil lebih banyak dibandingkan

nelayan di Lampung. Secara keseluruhan nelayan

yang beroperasi di selat sunda dari kedua wilayah

tersebut mencapai 36,67% nelayan < 10 GT dan

63,33% nelayan diatas 10 GT.

3.2. Kapal Penangkapan

Kegiatan perikanan di Selat Sunda

(pendaratan Labuan) umumnya terdiri dari kapal

perikanan <10GT dan lebih besar dari 10 GT.

Kapal yang < 10 GT yang tercatat aktif beroperasi

rata-rata setiap tahunya mencapai 50-81 unit

dengan rata 2016-2018 (71 18 unit). Sementara

kapal yang berukuran > 10 Gt antara 50-83 unit

dengan rata-rata (73±16). Lama operasi kapal < 10

GT antara 1-2 hari penangkapan, dan kapal > 10

GT selama 6-7 hari operasi per minggu. Lokasi

fishing ground kapal < 10 GT antara 8-9 mill laut,

sedangkan kapal > 10 GT antara 20-21 Mille laut.

Setiap operasi penangkapan kapal kecil kadang

menggunakan lebih dari 1 jenis alat tangkap yang

sering menggunakan gillnet, jarring rampus dan

paying sepeti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Unit kapal, trip, daerah penangkapan dari setiap kelompok kapal di Labuan

Tahun Ukuran Jumlah

Kapal

Trip

(Hari)

DPI

(mil)

Jumlah Alat

Tangkap (unit) Alat Tangkap Dominan

2016 <10 81 2 8 163

Gill Net, Jaring Rampus, Payang

>10 82 7 20 Cantrang, Jaring Rampus

2017 <10 81 1 9 164

Gill Net, Jaring Rampus, Payang

>10 83 7 20 Cantrang, Jaring Rampus

2018 <10 50 1 10 105

Gill Net, Jaring Rampus, Payang

>10 55 6 21 Cantrang, Jaring Rampus

Rata-rata <10 71±18 1±1 9±1 144

>10 73±16 7±1 20±1

Total 144 4 15

Secara keseluruhan rata-rata jumlah kapal

penangkapan mencapai 435 kapal dengan rata-rata

hari melaut 3 hari untuk kapal kecil (<10 GT) dan

17 hari ini kapal > 10 GT. Sedangkan alat tangkap

yang digunakan diantaranya adalah bagan perahu,

purse seine, paying, cantrang, rampus, dan

cantrang.

3.3. Hasil Tangkap

Hasil tangkapan dari semua alat tangkap

untuk kapal < 10 GT dan diatas > 10 GT terlihat

beberapa perbedaan. Ikan yang hanya tertangkap

dengan kapal < 10 GT yaitu tetengkek, tembang

dan bawal. Sedangkan ikan target yang

tertangkap dengan kapal > 10 GT yaitu layur, jolot,

teri, kiter, kuniran, kapasan, simba dan tenggiri.

Ikan layur termasuk ikan target sehingga tingkat

oksploitasi melebihi optimum (Agustina et al,

2015). Sedangkan jenis kembung, selar, udang,

swanggi, tongkol, cumi dan kurisi tertangkap oleh

kedua kategori kapal dengan beberapa kombinasi

alat tangkap seperti purse seine untuk pelagis

(Sharfina et al, 2016).

Penangkapan yang dilakukan kapal < 10 GT

dan kapal > 10 GT umumnya menargetkan

tangkapan yang sama. Tangkapan kapal < 10 GT

sebanyak 66% adalah ikan pelagis, sedangkan

kapal > 10 Gt 62,5% menarget ikan demersal.

Tingkat kesamaan jenis tangkapan dari kapal < 10

GT dan kapal > 10 GT sebesar 62,5% dan

cenderung menangkap ikan demersal.

Model overlapping kesamaan hasil tangkapan

kedua kapal tersebut disajikan pada Gambar 3.

Page 4: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

12

Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan <10 GT (A) dan > 10 GT (B)

3.4. Volume dan Nilai Tangkapan

Dari jenis-jenis tangkapan yang ada

tersebut, dugaan hasil tangkapan antara musim

puncak, sedang dan musim panceklik terlihat

berbeda. Tangkapan kapal < 10 GT produksi 39,24

kg/trip sampai 110,53 kg per trip operasi.

Sementara itu kapal > 10 GT terlihat dengan

jumlah operasi 4 kali per bulan saat panceklik

tangkapan mencapai 145,71 kg/trip dan saat musim

puncak 741 kg per trip. Hasil tangkapan ini lebih

rendah dari yang dicatat Firmansyah et al (2015)

bahwa produksi rata-rata mencapai 1,4 ton per

hari. Pola volume dan nilai produksi dari setiap

musim disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi rata-rata setip musim dari kapal <10GT dan > 10 GT.

Rata-Rata Produksi Ikan Per Trip dalam setiap musim

GT Rata-rata

trip/bulan

Musim Puncak Musim Sedang Musim Paceklik

Produksi

(Kg)/trip

Harga

(Rp)/trip

Produksi

(Kg)/trip

Harga

(Rp)/trip

Produksi

(Kg)/trip

Harga

(Rp)/trip

<10 GT 21 110.53 6,144,000 39.24 3,332,000 11.00 1,135,000

>10 GT 4 741.67 53,343,750 372.33 33,834,375 145.71 16,193,750

Dari jenis yang tertangkap, produksi per trip

kalap < 10 GT makin menurun sampai saat

panceklik begitu juga pada kapal > 10 GT.

Perbandingan hasil tangkapan total kapal < 10 GT

mencapai 14,8% dari rata-rata tangkapan total

kapal > 10 GT.

Tangkapan harian kapal < 10 GT pada

dasarnya sama dengan tangkapan kapal > 10 GT

per harinya. Tingginya tangkapan kapal >10 GT

terjadi karena akumulasi tangkapan selama hari

operasi. Namun sebagian ikan pelagis tingkat

eksploitasi telah melebihi batas optimum (50%)

dari stok yang ada (Khatami et al, 2018). Sehingga

dapat disimpulkan nelayan akan memaksimalkan

tangkapan dengan memperpanjang hari operasi

untuk mengembalikan modal usaha penangkapan.

Sehingga pada kapal < 10 Gt di Labuan dan

Lempasing rata-rata memilih pendapatan yang

lebih rendah dari kebutuhan hidup saat musim

panceklik. Begitu juga kapal > 10 GT pendapatan

menurun saat musim panceklik.

3.5. Pendapatan

Pendapatan nelayan dihitung dengan

mempertimbangkan hasil tangkapan, modal usaha

dari penjulan setiap musimnya. Perolehan

pendapatan nelayan <10 GT untuk nahkoda di

Labuan selalu rendah pada musim panceklik.

Namun ABK relative positif setiap musim

penangkapan. Sementara itu nelayan ABK dan

Nahkoda di Lempasing saat musim pancekilik

hasil tangkapanya selalu rendah (minus). Untuk

nelayan > 10 T hanya nahkoda kapal di Labuan

yang pendapatanya rendah. Sementara juru dan

ABK baik dilabuan dan lempasing pendapat

mendekat nol (impas) antara modal usaha dan

pendapatan. Pola sebaran pendapatan disajikan

pada Gambar 3.

Dengan mempertimbangkan bulan

panceklik dengan total pendapatan yang lebih

besar, jika pendapatan saat musim puncak

ditabung sebesar 50% dari kelebihan kebutuhan

yang diperoleh. Tabungan ini diperlukan untuk

menutupkan kekurangan pendapatan saat musim

panceklik. Artinya sebagian sumberdaya yang

tingakt dinamikanya tinggi, nelayan juga harus

Page 5: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

13

mengupayakan sikap menabung untuk menjamin pemenuhan kebutuhan untuk hidup tahunan.

Gambar 3. Pola Distribusi Pendapatan Nelayan (Rp/bulan) di Selat Sunda

3.6. Pembahasan

Nelayan di Labuan dan Lempasing

didominasi nelayan berusia muda yaiu 33-44

tahun. Jika dikelompokkan usia produktif dari

yang muda, maka usia 27-44 tahun mencapai 60%

dari jumlah nelayan yang ada. Dibandingkan

dengan nelayan di Tonjo Una-Una (Howara, et al

2008) umur rata nelayan tidak jauh berbeda

dengan nelayan di Selat Sunda yaitu berkisar

antara 25-40 tahun. Semua nelayan ini bekerja

pada perikanan dengan kapal < 10 GT yang

mamakai alat tangkap gillnet, rampusan, payang

dan purse seine. Sedangkan kapal > 10 GT

menggunakan alat tangkap, cantrang, rampus, dan

purse seine.

Kapal < 10 GT di Lempasing umumnya

melakukan penangkapan 1-2 hari dengan jarak

operasi penangkapan 10-11 mill laut di perairan

Selat Sunda. Sedangkan kapal > 10 GT melakukan

penangkapan 6-7 hari operasi. Jangkauan area

penangkapan penangkapan antara 16-17 mill laut

kearah selatan atau ke utara termasuk daerah front

suhu di bagian selatan selat sunda (Saing et al,

2018). Jika dilihat daerah operasi penangkapan

umumnya berada pada wilayah yang sama di

kawasan yang memiliki interaksi dengan perairan

selat Sunda. Selat Sunda yang termasuk WPP 572

merupakan daerah alternative penangkapan dari

nelayan dari WPP 712 (Atmaja et al, 2016).

Nelayan yang bekerja dengan usia 27-44

tahun yang mencapai 60% adalah usia produktif

untuk usaha penangkapan. Walaupun tergabung

dalam skala usaha penangkapan berbeda, namun

target penangkapan seringkali jenis ikan yang

sama. Kesamaan target penangkapan dapat

terlihat dari overlapping jenis tangkapan yaitu

42% dari jenis tangkapan adalah target yang sama.

Kondisi ini menjadi petunjuk bahwa daerah

penangkapan relative sama (baik kedalaman,

habitat, maupun kondisi lingkunganya) dengan

variasi kedalaman 4-84 meter (Akmal, 2017)

dimana ditemukan pelagis dan demersal.

Karena perikanan Selat Sunda tergolong

padat dengan jumlah kapal yang mencapai 300

unit beroperasi potensial menurunkan pendapatan

nelayan dan kerentanan baik pelagis (Puspita et al,

2017) dan demersal. Selanjutnya risiko

menurunnya pendapatan juga potensial terjadi

pada saat musim panceklik antara bulan

November-Februari. Nelayan nahkoda dan ABK

saat musim panceklik di Labuan dan Lempasing

terdampak rendahnya pendapatan.

Rata-rata pendapatan per trip untuk kapal <

10 GT mencapai Rp 69.847-136.102 per trip/ setara

Rp 1,4-2,4 juta per bulan yang relative sama

dibandingkan dengan hasil yang dicatatkan

Fadilah et al (2014) yaitu sebesar Rp 2,51 juta per

bulan dan Serdiati (2009) di Parigi Moutong yaitu

1,1 jt per bulan. Nelayan harian (<10 GT) di

Lampung dengan jarring insang termasuk

menguntungkan (Agusta, 2017), yang lebih tinggi

dari pendapatanya nelayan di wilayah timur yang

mencapai Rp 176.106-580.242 per trip (Rahim et al,

2016) namun bukan pada sistem bagi hasil

(Fahrudin et al, 1996). Namun pada musim puncak

produksi, selama Mei sampai Agustus setiap

tahunnya terjadi kelebihan pendapatan karena

produksi yang tinggi. Untuk aktivitas

penangkapan harus dilakukan secara hati-hati

(Ardelia, et al. 2017) Peningkatan kesuburan

Page 6: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

14

karena khlorophil, dan upwelling di mulut selat

bagian selatan mendorong tingginya produktivitas

tangkapan (Amri, 2017) atau juga dengan

modifikasi penankapan dengan menggunakan

lampu (Susanto, 2015).

Potensi peningkatan pendapatan ini

sebenarnya dapat disiapkan sebagai tabungan

nelayan. Tabungan musim puncak dapat

digunakan sebagai substitusi pendapatan saat

musim panceklik selain tambahan dari kelompok

istri nelayan yang juga bekerja (Nilamsari 2016).

Berdasarkan perhitungan ini, diprakirakan jumlah

nilai uang yang dapat ditabung saat saat musim

puncak mencapai 40% dari surplus pendapatan.

Surplus pendapatan yaitu nilai lebih pendapatan

setelah dikurangi dengan kebutuhan hidup hidup

layak

IV. PENUTUP

Kegiatan perikanan di Selat Sunda

umumnya diusahakan oleh nelayan usia produktif

yang mencapai 60%. Kondisi ini menunjukkan

bahwa usaha perikanan masih menjadi pilihan

bagi generasi muda, yang tidak mengenyam

pendidikan. Perikanan yang usahakan oleh

nelayan kecil (<10 GT) pada dasar memiliki pola

yang sama dengan kapal besar (> 10 GT) dengan

tingkat overlapping daerah dan jenis penangkapan

mencapai 42%. Pendapatan yang relative sama

menunjukkan bahwa risiko penangkapan

terhadap pendapatan masih tinggi saat musim

panceklik. Untuk itu diupayakan 40 persen dari

kelebihan pendapatan dari kebutuhan

dipergunakan untuk menabung. Namun kondisi

penting lainya yang perlu diamati secara seksama

adalah standar kelayakan hidup minimum dan

optimum untuk memastikan nilai pendapatan

yang dapat ditabung. Point ini menjadi saran yang

harus dikaji dalam penelitian selanjutnya.

Pengkajian berikutnya yang perlu

dilakukan adalah penilaian kelayakan hidup dan

pendapatan serta tingkat kesejahteraan dari

nelayan yang beroperasi di wilayah perairan Selat

Sunda.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada tim peneliti yang tergabung

dalam skema riset mitigasi berbasis zonasi

didaerah perikanan Selat Sunda. Anggota tim

yang terdiri dari Mennoftria Boer, Rahmat Kurnia,

Surya Gentha Akmal, Hanif Wafi, Mustofa Bisri,

Sahda, Lutfi, Enggar, Zainal, Lutfi serta semua tim

laboran bioper, MSP FPIK IPB.

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, F. (2017). Analisis Pendapatan Penggunaan Beberapa Alat Tangkap Pada Pengelolaan

Sumberdaya Ikan Secara Berkelanjutan Di Provinsi Lampung (Doctoral dissertation,

Universitas Lampung).

Atmaja, S. B., Nugroho, D., & Natsir, M. (2016). Respons radikal kelebihan kapasitas penangkapan

armada pukat cincin semi industri di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 17(2),

115-123.

Akmal, S. G., Fahrudin, A., & Agus, S. B. (2017). Distribusi Spasial Kelimpahan Sumberdaya Ikan di

Perairan Selat Sunda. Tropical Fisheries Management Journal, 1(1), 25-31.

Ardelia, V., Boer, M., & Yonvitner, Y. (2017). Precautionary Approach dalam Pengelolaan Sumberdaya

Ikan Tongkol (Euthynnus affinis, Cantor 1849) di Perairan Selat Sunda. Tropical Fisheries

Management Journal, 1(1), 33-40.

Agustina, S., Boer, M., & Fahrudin, A. (2015). Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan Layur

(Lepturacanthus savala) Di Perairan Selat Sunda (Population Dinamycs of Savalai Hairtail fish

(Lepturacanthus savala) in Sunda Strait Waters). Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries

Technology and Management, 6(1), 77-85.

Amri, K. (2017). Analisis hubungan kondisi oseanografi dengan fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis di

Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 14(1), 55-65.

Page 7: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

15

Fadilah, M., Abidin, Z., & Kalsum, U. (2014). Pendapatan Dan Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan

Obor Di Kota Bandar Lampung (Household Income and Welfare of Torch Fisherman in Bandar

Lampung City) Fadilah, Zainal Abidin, Umi Kalsum. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 2(1), 71-76.

Fahrudin, A., Muflikhati, I., & Yulianto, G. (1996). Studi Perbandingan Sistem Bagi Hasil Perikanan

Lokal dengan Undang Undang Bagi Hasil Perikanan di Kecamatan Labuan; Jawa Barat. Buletin

Ekonomi Perikanan, 2(2).

Firmansyah, N., & Yonvitner, S. Biologi reproduksi ikan swanggi Priacanthus tayenus Richardson 1846 di

perairan Selat Sunda.

Howara, D., & Laapo, A. (2008). Analisis determinasi usaha perikanan tangkap nelayan di Kabupaten

Tojo Una-Una. Agroland: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 15(4).

Khatami, A. M., Yonvitner, Y., & Setyobudiandi, I. (2018). Tingkat kerentanan sumberdaya ikan pelagis

kecil berdasarkan alat tangkap di perairan Utara Jawa. Tropical Fisheries Management Journal,

2(1), 19-29.

Nilamsari, R. M., Wibowo, B. A., & Dewi, D. A. N. (2016). Peningkatan Pendapatan Keluarga Nelayan

melalui Kelompok USAha Bersama Wanita Nelayan di Kelurahan Banten Kabupaten Serang.

Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology, 5(1), 87-93.

Puspita, R., Boer, M., & Yonvitner, Y. (2017). Tingkat Kerentanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata,

Valenciennes 1847) dari Kegiatan Penangkapan dan Potensi Keberlanjutandi Perairan Selat

Sunda. Tropical Fisheries Management Journal, 1(1), 17-23.

Purnomo H. 1999. Tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes,

Kabupaten Karawang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rahim, A., & Hastuti, D. R. D. (2016). Determinan pendapatan nelayan tangkap tradisional wilayah

pesisir barat Kabupaten Barru. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 11(1), 75-88.

Saing, R. A. A., & Surbakti, H. (2018). Identifikasi Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Berdasarkan Suhu

Permukaan Laut Dan Konsentrasi Klorofil–A Menggunakan Citra Modis Di Perairan Bangka

Bagian Barat. Maspari Journal: Marine Science Research, 10(1), 1-8.

Serdiati, N. Pendapatan Nelayan Yang Menggunakan Perahu Motor Dan Perahu Tanpa Motor Di Desa

Paranggi, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi-moutong. MEDIA LITBANG SULTENG,

2(2).

Susanto, A. (2015). Pemetaan daerah perikanan lampu (light fishing) menggunakan data viirs day-night

band di perairan Pandeglang Provinsi Banten. DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan

Perikanan, 4(2).

Suman, A., Irianto, H. E., Satria, F., & Amri, K. (2017). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan

di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) Tahun 2015 serta

Opsi Pengelolaannya. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 8(2), 97-100.

Sarumaha, H., Kurnia, R., & Setyobudiandi, I. (2016). Biologi Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus

moluccensis Bleeker, 1855 di Perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,

8(2), 701-711.

Page 8: Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil

Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)

16

Sharfina, M., Boer, M., & Ernawati, Y. (2016). Potensi Lestari Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) Di

Perairan Selat Sunda (Population Dynamics of Yellowstripe Scad (Selaroides leptolepis) in

Sunda Strait). Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries Technology and Management, 5(1),

101-108.

Yonvitner., Yuliana, E., Yani, D. E., Setijorini, L. E., Santoso, A., Boer, M., Kurnia, R., & Akmal, S. G.

(2020, January). Fishing gear productivity related fishing intensity and potency of stock

vulnerability in Sunda strait. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol.

404, No. 1, p. 012066). IOP Publishing.