distribusi pendapatan nelayan pada perikanan skala kecil
TRANSCRIPT
OPEN ACCES
Vol. 13 No. 1: 9-16 Mei 2020
Peer-Reviewed
AGRIKAN
Jurnal Agribisnis Perikanan (E-ISSN 2598-8298/P-ISSN 1979-6072)
URL: https: https://ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/AGRIKAN/
DOI: 10.29239/j.agrikan.13.2. 9-16
Distribusi Pendapatan Nelayan pada Perikanan Skala Kecil dan Besar di Selat Sunda
(The Fisheries Revenue Share on Small and Large Scale Fisheries in Sunda Strait )
Yonvitner 12, Hanif Wafi1), Gatot Yulianto1 Mennofatria Boer1 dan Rahmat Kurnia1
1Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK IPB, Bogor, Indonesia, Email : [email protected]; hanifwafi @yaoo.com;
[email protected]; [email protected]; [email protected]. 2 Kepala Pusat Studi Bencana-LPPM IPB. Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia, Email : -
Info Artikel:
Diterima : 16 Maret 2020
Disetujui : 12 April 2020
Dipublikasi : 13 April 2020
Artikel Penelitian
Keyword:
Income, Small Scale, Large
Scale, Sunda Strait
Korespondensi:
Yonvitner
Institut Pertanian Bogor,
Bogor, Indonesia
Email: [email protected]
Copyright© Mei 2020
AGRIKAN
Abstrak. Perikanan selat Sunda termasuk kegiatan perikanan skala kecil (<10 GT) dan skala besar (>10 GT)
yang masih menerapkan sistem bagi hasil dari pendapatan. Untuk itu perlu ditentukan tingkat pendapatan
yang diperoleh sebagai bagian dari usaha penangkapan. Penelitian yang dilakukan di Selat Sunda Labuan dan
Lempasing untuk menjawab besaran pendapatan yang diperoleh. Hasil menunjukkan bahwa pendapatan yang
diperoleh relative sama antara < 10 GT dan > 10 GT. Secara umum terlihat risiko penangkapan terhadap
pendapatan masih tinggi saat musim panceklik. Untuk itu diupayakan 40 persen dari kelebihan pendapatan
dari kebutuhan dipergunakan untuk menabung agar nelayan tetap memperoleh manfaat saat musim panceklik.
Abstract. Sunda Strait fisheries are dominantly by small scale fisheries (<10 GT) and large scale (> 10 GT)
which still adopt revenue sharing system. For this reason, it is necessary to determine the level of income
obtained as part of the fishing bisnis. Research conducted in the Sunda Strait focus in two location are Labuan
port and Lempasing port to know the income generate by fishing activity. The results show that the income
obtained is relatively the same between <10 GT and> 10 GT. In general, it is seen that the risk of capture of
income is still high during the low season. For this reason, 40 percent of the excess income in peak season
suggest used to saving as anticipate while low season and decreasing of production.
I. PENDAHULUAN
Perikanan Selat Sunda ada di WPP 572
dengan potensi lebih kurang 1,2 juta ton (Suman,
et al, 2016) atau 565, 1 ton di Selatn Sunda (KKP
2014 in Surumaha et al ,2016) didominasi oleh
usaha penangkapan ikan skala kecil (small scale
fisheries). Dalam hal ini armada perikanan
banyak diupayakan kapal < 10 GT maupun diatas
> 10 GT. Kedua kelompok usaha ini cenderung
melakukan penangkapan dengan pola yang
berbeda. Nelayan kapal > 10 GT umumnya
menangkap lebih lama dan lebih jauh dari kapal <
10 GT yang bersifat harian (one day fishing).
Jenis-jenis tangkapan di Selat Sunda adalah
kelompok ikan pelagis (Amri, 2017) dan demersal
(Yonvitner, 2017) serta biota non ikan lainya.
Target tangkapan, jenis ikan, daerah penangkapan,
serta efisiensi alat tangkap menentukan produksi
tangkapan. Pada tahap selanjutnya sangat
menentukan besaran pendapatan yang akan
diperoleh nelayan.
Skema pendapatan dan penerimaan nelayan
yang masih berbasis sistem bagi hasil, terasa
sangat menguntungkan, namun sebagian besar
terasa merugikan terutama saat panceklik. Untuk
tetap diperlukan kajian dan upaya dalam
memastikan bahwa usaha perikanan mampu
memberikan jaminan jangka panjang dan
mensejahterakan.
Untuk itu penentuan dan penilaian
pendapatan nelayan penting untuk dilakukan.
Upaya ini sebagai langkah untuk memastikan
tingkat kebutuhan, kemampuan dan kelayakan
hidup nelayan yang menggantungkan hidupnya
pada stok ikan Selat Sunda. Bahasan pada paper
ini menganalisis tingkat pendapatan nelayan yang
menangkap di Selat Sunda dengan pembagian dua
kelompok usaha penangkapan kapal < 10 GT
(nelayan kecil/ small scale fisheries) dan kapal > 10
GT berdasarkan pembagian menurut UU No 7
tahun 2016 tentang perlindunga dan
pemberdayaan nelayan.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
10
II. METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei-
Juni 2019 di daerah pendaratan ikan PPP Labuan
Banten, mewakili pesisir Banten, dan PPP
Lempasing yang mewakili pesisir Lampung.
Lokasi pengambilan data dilakukan pada kedua
lokasi tersebut baik data pengamatan langsung
maupun data kuisioner. Peta lokasi penelitian
seperti ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Labuan dan Lempasing di pesisir Selat Sunda
Data yang dikumpulkan pada kedua lokasi
tersebut adalah strutkur nelayan, yang berprofesi
sebagai penangkap baik ABK, Juru kapal dan
Nahkoda. Data produksi perikanan setiap
kelompok kapal dan operasi penangkapan, daerah
penangkapan, lama operasi penangkapan, jenis
ikan tangkapan, jumlah tangkapan dan
penerimaan nelayan. Data dikumpulkan berasal
dari kelompok tersebut untuk selanjutnya
dianalisis. Untuk mendukung data primer yang
dikumpulkan dipelabuhan, dilakukan
pengumpulan data melalui kuisioner pada 30
orang nelayan pada kedua lokasi.
Analisis pendapatan nelayan dihitung dari
produksi, harga jual nelayan. Kalkulasi
pendapatan nelayan selain dari penangkapan, juga
dari aktivitas ekonomi lainya, sehingga bersifat
akumulatif. Analisis penentuan pendapatan
dilakukan dengan menggunakan formulasi
sebagai berikut (Purnomo 1999).
Prt = Pt1 + Pt2
Dimana :
Prt = Pendapatan total nelayan (Rp)
Pt1 = Pendapatan dari usaha perikanan (Rp)
Pt2 = Pendapatan dari usaha non-perikanan (Rp)
Selanjutnya pendapatan nelayan juga
dipergunakan untuk menduga estimasi tingkat
surplus pendapatan. Sehingga bisa diprediksi
tingkat surplus pendapatan guna alokasi
menabung untuk menghadapi musim panceklik.
Biasanya pendapatan nelayan saat musim
panceklik cenderung rendah bahkan merugi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Struktur Nelayan
Sebaran umur nelayan dikaji pada dua
wilayah pendaratan ikan utama di Selat Sunda
yaitu di Labuan dan Lempasing pada tahun 2018.
Komposisi nelayan yang bekerja menurut umur
yaitu 20-35 tahun berjumlah 27%, berumur 36-44
berjumlah 33%, berumur 45-53% sebanyak 27%,
berumur 54-62 tahun sebanyak 10% sedangkan
diatas 62 tahun sebanyak 3%. Secara keseluruhan
nelayan yang berumur diatas diatas 45 tahun
mencapai 40% nelayan yang bekerja menangkap
ikan di Selat Sunda sedangkan 60% nelayan
dibawah 45 tahun. Nelayan di Tojo Una-una yang
menggunakan pukat pasang, bagan, pancing,
tonda dan purse seinenya berumur antara 36-41
tahun dengan pengalaman kerja sebagai nelayan
15-19 tahun (Howara, 2008). Secara umum terlihat
kondisi yang hampir sama dengan umur nelayan
selat Sunda. Komposisi nelayan berdasarkan umur
disajikan pada Gambar 2.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
11
Gambar 2. Sebaran umur nelayan di Selat Sunda.
Dari jumlah nelayan yang bekerja tersebut,
sebanyak 46,2% nelayan di Labuan bekerja pada
skala usaha kurang dari 10GT, dan 53,8% bekerja
pada kapal diatas 10GT. Sedangkan nelayan
lampung 29,4% adalah nelayan bekerja pada kapal
dibawah 10GT, dan nelayan diatas 10 GT sebanyak
70,6%. Dari sini terlihat bahwa nelayan di Labuan
komposisi skala kecil lebih banyak dibandingkan
nelayan di Lampung. Secara keseluruhan nelayan
yang beroperasi di selat sunda dari kedua wilayah
tersebut mencapai 36,67% nelayan < 10 GT dan
63,33% nelayan diatas 10 GT.
3.2. Kapal Penangkapan
Kegiatan perikanan di Selat Sunda
(pendaratan Labuan) umumnya terdiri dari kapal
perikanan <10GT dan lebih besar dari 10 GT.
Kapal yang < 10 GT yang tercatat aktif beroperasi
rata-rata setiap tahunya mencapai 50-81 unit
dengan rata 2016-2018 (71 18 unit). Sementara
kapal yang berukuran > 10 Gt antara 50-83 unit
dengan rata-rata (73±16). Lama operasi kapal < 10
GT antara 1-2 hari penangkapan, dan kapal > 10
GT selama 6-7 hari operasi per minggu. Lokasi
fishing ground kapal < 10 GT antara 8-9 mill laut,
sedangkan kapal > 10 GT antara 20-21 Mille laut.
Setiap operasi penangkapan kapal kecil kadang
menggunakan lebih dari 1 jenis alat tangkap yang
sering menggunakan gillnet, jarring rampus dan
paying sepeti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Unit kapal, trip, daerah penangkapan dari setiap kelompok kapal di Labuan
Tahun Ukuran Jumlah
Kapal
Trip
(Hari)
DPI
(mil)
Jumlah Alat
Tangkap (unit) Alat Tangkap Dominan
2016 <10 81 2 8 163
Gill Net, Jaring Rampus, Payang
>10 82 7 20 Cantrang, Jaring Rampus
2017 <10 81 1 9 164
Gill Net, Jaring Rampus, Payang
>10 83 7 20 Cantrang, Jaring Rampus
2018 <10 50 1 10 105
Gill Net, Jaring Rampus, Payang
>10 55 6 21 Cantrang, Jaring Rampus
Rata-rata <10 71±18 1±1 9±1 144
>10 73±16 7±1 20±1
Total 144 4 15
Secara keseluruhan rata-rata jumlah kapal
penangkapan mencapai 435 kapal dengan rata-rata
hari melaut 3 hari untuk kapal kecil (<10 GT) dan
17 hari ini kapal > 10 GT. Sedangkan alat tangkap
yang digunakan diantaranya adalah bagan perahu,
purse seine, paying, cantrang, rampus, dan
cantrang.
3.3. Hasil Tangkap
Hasil tangkapan dari semua alat tangkap
untuk kapal < 10 GT dan diatas > 10 GT terlihat
beberapa perbedaan. Ikan yang hanya tertangkap
dengan kapal < 10 GT yaitu tetengkek, tembang
dan bawal. Sedangkan ikan target yang
tertangkap dengan kapal > 10 GT yaitu layur, jolot,
teri, kiter, kuniran, kapasan, simba dan tenggiri.
Ikan layur termasuk ikan target sehingga tingkat
oksploitasi melebihi optimum (Agustina et al,
2015). Sedangkan jenis kembung, selar, udang,
swanggi, tongkol, cumi dan kurisi tertangkap oleh
kedua kategori kapal dengan beberapa kombinasi
alat tangkap seperti purse seine untuk pelagis
(Sharfina et al, 2016).
Penangkapan yang dilakukan kapal < 10 GT
dan kapal > 10 GT umumnya menargetkan
tangkapan yang sama. Tangkapan kapal < 10 GT
sebanyak 66% adalah ikan pelagis, sedangkan
kapal > 10 Gt 62,5% menarget ikan demersal.
Tingkat kesamaan jenis tangkapan dari kapal < 10
GT dan kapal > 10 GT sebesar 62,5% dan
cenderung menangkap ikan demersal.
Model overlapping kesamaan hasil tangkapan
kedua kapal tersebut disajikan pada Gambar 3.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
12
Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan <10 GT (A) dan > 10 GT (B)
3.4. Volume dan Nilai Tangkapan
Dari jenis-jenis tangkapan yang ada
tersebut, dugaan hasil tangkapan antara musim
puncak, sedang dan musim panceklik terlihat
berbeda. Tangkapan kapal < 10 GT produksi 39,24
kg/trip sampai 110,53 kg per trip operasi.
Sementara itu kapal > 10 GT terlihat dengan
jumlah operasi 4 kali per bulan saat panceklik
tangkapan mencapai 145,71 kg/trip dan saat musim
puncak 741 kg per trip. Hasil tangkapan ini lebih
rendah dari yang dicatat Firmansyah et al (2015)
bahwa produksi rata-rata mencapai 1,4 ton per
hari. Pola volume dan nilai produksi dari setiap
musim disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi rata-rata setip musim dari kapal <10GT dan > 10 GT.
Rata-Rata Produksi Ikan Per Trip dalam setiap musim
GT Rata-rata
trip/bulan
Musim Puncak Musim Sedang Musim Paceklik
Produksi
(Kg)/trip
Harga
(Rp)/trip
Produksi
(Kg)/trip
Harga
(Rp)/trip
Produksi
(Kg)/trip
Harga
(Rp)/trip
<10 GT 21 110.53 6,144,000 39.24 3,332,000 11.00 1,135,000
>10 GT 4 741.67 53,343,750 372.33 33,834,375 145.71 16,193,750
Dari jenis yang tertangkap, produksi per trip
kalap < 10 GT makin menurun sampai saat
panceklik begitu juga pada kapal > 10 GT.
Perbandingan hasil tangkapan total kapal < 10 GT
mencapai 14,8% dari rata-rata tangkapan total
kapal > 10 GT.
Tangkapan harian kapal < 10 GT pada
dasarnya sama dengan tangkapan kapal > 10 GT
per harinya. Tingginya tangkapan kapal >10 GT
terjadi karena akumulasi tangkapan selama hari
operasi. Namun sebagian ikan pelagis tingkat
eksploitasi telah melebihi batas optimum (50%)
dari stok yang ada (Khatami et al, 2018). Sehingga
dapat disimpulkan nelayan akan memaksimalkan
tangkapan dengan memperpanjang hari operasi
untuk mengembalikan modal usaha penangkapan.
Sehingga pada kapal < 10 Gt di Labuan dan
Lempasing rata-rata memilih pendapatan yang
lebih rendah dari kebutuhan hidup saat musim
panceklik. Begitu juga kapal > 10 GT pendapatan
menurun saat musim panceklik.
3.5. Pendapatan
Pendapatan nelayan dihitung dengan
mempertimbangkan hasil tangkapan, modal usaha
dari penjulan setiap musimnya. Perolehan
pendapatan nelayan <10 GT untuk nahkoda di
Labuan selalu rendah pada musim panceklik.
Namun ABK relative positif setiap musim
penangkapan. Sementara itu nelayan ABK dan
Nahkoda di Lempasing saat musim pancekilik
hasil tangkapanya selalu rendah (minus). Untuk
nelayan > 10 T hanya nahkoda kapal di Labuan
yang pendapatanya rendah. Sementara juru dan
ABK baik dilabuan dan lempasing pendapat
mendekat nol (impas) antara modal usaha dan
pendapatan. Pola sebaran pendapatan disajikan
pada Gambar 3.
Dengan mempertimbangkan bulan
panceklik dengan total pendapatan yang lebih
besar, jika pendapatan saat musim puncak
ditabung sebesar 50% dari kelebihan kebutuhan
yang diperoleh. Tabungan ini diperlukan untuk
menutupkan kekurangan pendapatan saat musim
panceklik. Artinya sebagian sumberdaya yang
tingakt dinamikanya tinggi, nelayan juga harus
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
13
mengupayakan sikap menabung untuk menjamin pemenuhan kebutuhan untuk hidup tahunan.
Gambar 3. Pola Distribusi Pendapatan Nelayan (Rp/bulan) di Selat Sunda
3.6. Pembahasan
Nelayan di Labuan dan Lempasing
didominasi nelayan berusia muda yaiu 33-44
tahun. Jika dikelompokkan usia produktif dari
yang muda, maka usia 27-44 tahun mencapai 60%
dari jumlah nelayan yang ada. Dibandingkan
dengan nelayan di Tonjo Una-Una (Howara, et al
2008) umur rata nelayan tidak jauh berbeda
dengan nelayan di Selat Sunda yaitu berkisar
antara 25-40 tahun. Semua nelayan ini bekerja
pada perikanan dengan kapal < 10 GT yang
mamakai alat tangkap gillnet, rampusan, payang
dan purse seine. Sedangkan kapal > 10 GT
menggunakan alat tangkap, cantrang, rampus, dan
purse seine.
Kapal < 10 GT di Lempasing umumnya
melakukan penangkapan 1-2 hari dengan jarak
operasi penangkapan 10-11 mill laut di perairan
Selat Sunda. Sedangkan kapal > 10 GT melakukan
penangkapan 6-7 hari operasi. Jangkauan area
penangkapan penangkapan antara 16-17 mill laut
kearah selatan atau ke utara termasuk daerah front
suhu di bagian selatan selat sunda (Saing et al,
2018). Jika dilihat daerah operasi penangkapan
umumnya berada pada wilayah yang sama di
kawasan yang memiliki interaksi dengan perairan
selat Sunda. Selat Sunda yang termasuk WPP 572
merupakan daerah alternative penangkapan dari
nelayan dari WPP 712 (Atmaja et al, 2016).
Nelayan yang bekerja dengan usia 27-44
tahun yang mencapai 60% adalah usia produktif
untuk usaha penangkapan. Walaupun tergabung
dalam skala usaha penangkapan berbeda, namun
target penangkapan seringkali jenis ikan yang
sama. Kesamaan target penangkapan dapat
terlihat dari overlapping jenis tangkapan yaitu
42% dari jenis tangkapan adalah target yang sama.
Kondisi ini menjadi petunjuk bahwa daerah
penangkapan relative sama (baik kedalaman,
habitat, maupun kondisi lingkunganya) dengan
variasi kedalaman 4-84 meter (Akmal, 2017)
dimana ditemukan pelagis dan demersal.
Karena perikanan Selat Sunda tergolong
padat dengan jumlah kapal yang mencapai 300
unit beroperasi potensial menurunkan pendapatan
nelayan dan kerentanan baik pelagis (Puspita et al,
2017) dan demersal. Selanjutnya risiko
menurunnya pendapatan juga potensial terjadi
pada saat musim panceklik antara bulan
November-Februari. Nelayan nahkoda dan ABK
saat musim panceklik di Labuan dan Lempasing
terdampak rendahnya pendapatan.
Rata-rata pendapatan per trip untuk kapal <
10 GT mencapai Rp 69.847-136.102 per trip/ setara
Rp 1,4-2,4 juta per bulan yang relative sama
dibandingkan dengan hasil yang dicatatkan
Fadilah et al (2014) yaitu sebesar Rp 2,51 juta per
bulan dan Serdiati (2009) di Parigi Moutong yaitu
1,1 jt per bulan. Nelayan harian (<10 GT) di
Lampung dengan jarring insang termasuk
menguntungkan (Agusta, 2017), yang lebih tinggi
dari pendapatanya nelayan di wilayah timur yang
mencapai Rp 176.106-580.242 per trip (Rahim et al,
2016) namun bukan pada sistem bagi hasil
(Fahrudin et al, 1996). Namun pada musim puncak
produksi, selama Mei sampai Agustus setiap
tahunnya terjadi kelebihan pendapatan karena
produksi yang tinggi. Untuk aktivitas
penangkapan harus dilakukan secara hati-hati
(Ardelia, et al. 2017) Peningkatan kesuburan
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
14
karena khlorophil, dan upwelling di mulut selat
bagian selatan mendorong tingginya produktivitas
tangkapan (Amri, 2017) atau juga dengan
modifikasi penankapan dengan menggunakan
lampu (Susanto, 2015).
Potensi peningkatan pendapatan ini
sebenarnya dapat disiapkan sebagai tabungan
nelayan. Tabungan musim puncak dapat
digunakan sebagai substitusi pendapatan saat
musim panceklik selain tambahan dari kelompok
istri nelayan yang juga bekerja (Nilamsari 2016).
Berdasarkan perhitungan ini, diprakirakan jumlah
nilai uang yang dapat ditabung saat saat musim
puncak mencapai 40% dari surplus pendapatan.
Surplus pendapatan yaitu nilai lebih pendapatan
setelah dikurangi dengan kebutuhan hidup hidup
layak
IV. PENUTUP
Kegiatan perikanan di Selat Sunda
umumnya diusahakan oleh nelayan usia produktif
yang mencapai 60%. Kondisi ini menunjukkan
bahwa usaha perikanan masih menjadi pilihan
bagi generasi muda, yang tidak mengenyam
pendidikan. Perikanan yang usahakan oleh
nelayan kecil (<10 GT) pada dasar memiliki pola
yang sama dengan kapal besar (> 10 GT) dengan
tingkat overlapping daerah dan jenis penangkapan
mencapai 42%. Pendapatan yang relative sama
menunjukkan bahwa risiko penangkapan
terhadap pendapatan masih tinggi saat musim
panceklik. Untuk itu diupayakan 40 persen dari
kelebihan pendapatan dari kebutuhan
dipergunakan untuk menabung. Namun kondisi
penting lainya yang perlu diamati secara seksama
adalah standar kelayakan hidup minimum dan
optimum untuk memastikan nilai pendapatan
yang dapat ditabung. Point ini menjadi saran yang
harus dikaji dalam penelitian selanjutnya.
Pengkajian berikutnya yang perlu
dilakukan adalah penilaian kelayakan hidup dan
pendapatan serta tingkat kesejahteraan dari
nelayan yang beroperasi di wilayah perairan Selat
Sunda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada tim peneliti yang tergabung
dalam skema riset mitigasi berbasis zonasi
didaerah perikanan Selat Sunda. Anggota tim
yang terdiri dari Mennoftria Boer, Rahmat Kurnia,
Surya Gentha Akmal, Hanif Wafi, Mustofa Bisri,
Sahda, Lutfi, Enggar, Zainal, Lutfi serta semua tim
laboran bioper, MSP FPIK IPB.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, F. (2017). Analisis Pendapatan Penggunaan Beberapa Alat Tangkap Pada Pengelolaan
Sumberdaya Ikan Secara Berkelanjutan Di Provinsi Lampung (Doctoral dissertation,
Universitas Lampung).
Atmaja, S. B., Nugroho, D., & Natsir, M. (2016). Respons radikal kelebihan kapasitas penangkapan
armada pukat cincin semi industri di Laut Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 17(2),
115-123.
Akmal, S. G., Fahrudin, A., & Agus, S. B. (2017). Distribusi Spasial Kelimpahan Sumberdaya Ikan di
Perairan Selat Sunda. Tropical Fisheries Management Journal, 1(1), 25-31.
Ardelia, V., Boer, M., & Yonvitner, Y. (2017). Precautionary Approach dalam Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Tongkol (Euthynnus affinis, Cantor 1849) di Perairan Selat Sunda. Tropical Fisheries
Management Journal, 1(1), 33-40.
Agustina, S., Boer, M., & Fahrudin, A. (2015). Dinamika Populasi Sumber Daya Ikan Layur
(Lepturacanthus savala) Di Perairan Selat Sunda (Population Dinamycs of Savalai Hairtail fish
(Lepturacanthus savala) in Sunda Strait Waters). Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries
Technology and Management, 6(1), 77-85.
Amri, K. (2017). Analisis hubungan kondisi oseanografi dengan fluktuasi hasil tangkapan ikan pelagis di
Selat Sunda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 14(1), 55-65.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
15
Fadilah, M., Abidin, Z., & Kalsum, U. (2014). Pendapatan Dan Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan
Obor Di Kota Bandar Lampung (Household Income and Welfare of Torch Fisherman in Bandar
Lampung City) Fadilah, Zainal Abidin, Umi Kalsum. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 2(1), 71-76.
Fahrudin, A., Muflikhati, I., & Yulianto, G. (1996). Studi Perbandingan Sistem Bagi Hasil Perikanan
Lokal dengan Undang Undang Bagi Hasil Perikanan di Kecamatan Labuan; Jawa Barat. Buletin
Ekonomi Perikanan, 2(2).
Firmansyah, N., & Yonvitner, S. Biologi reproduksi ikan swanggi Priacanthus tayenus Richardson 1846 di
perairan Selat Sunda.
Howara, D., & Laapo, A. (2008). Analisis determinasi usaha perikanan tangkap nelayan di Kabupaten
Tojo Una-Una. Agroland: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, 15(4).
Khatami, A. M., Yonvitner, Y., & Setyobudiandi, I. (2018). Tingkat kerentanan sumberdaya ikan pelagis
kecil berdasarkan alat tangkap di perairan Utara Jawa. Tropical Fisheries Management Journal,
2(1), 19-29.
Nilamsari, R. M., Wibowo, B. A., & Dewi, D. A. N. (2016). Peningkatan Pendapatan Keluarga Nelayan
melalui Kelompok USAha Bersama Wanita Nelayan di Kelurahan Banten Kabupaten Serang.
Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology, 5(1), 87-93.
Puspita, R., Boer, M., & Yonvitner, Y. (2017). Tingkat Kerentanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata,
Valenciennes 1847) dari Kegiatan Penangkapan dan Potensi Keberlanjutandi Perairan Selat
Sunda. Tropical Fisheries Management Journal, 1(1), 17-23.
Purnomo H. 1999. Tingkat kesejahteraan keluarga nelayan di Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes,
Kabupaten Karawang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahim, A., & Hastuti, D. R. D. (2016). Determinan pendapatan nelayan tangkap tradisional wilayah
pesisir barat Kabupaten Barru. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 11(1), 75-88.
Saing, R. A. A., & Surbakti, H. (2018). Identifikasi Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Berdasarkan Suhu
Permukaan Laut Dan Konsentrasi Klorofil–A Menggunakan Citra Modis Di Perairan Bangka
Bagian Barat. Maspari Journal: Marine Science Research, 10(1), 1-8.
Serdiati, N. Pendapatan Nelayan Yang Menggunakan Perahu Motor Dan Perahu Tanpa Motor Di Desa
Paranggi, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi-moutong. MEDIA LITBANG SULTENG,
2(2).
Susanto, A. (2015). Pemetaan daerah perikanan lampu (light fishing) menggunakan data viirs day-night
band di perairan Pandeglang Provinsi Banten. DEPIK Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan
Perikanan, 4(2).
Suman, A., Irianto, H. E., Satria, F., & Amri, K. (2017). Potensi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) Tahun 2015 serta
Opsi Pengelolaannya. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 8(2), 97-100.
Sarumaha, H., Kurnia, R., & Setyobudiandi, I. (2016). Biologi Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus
moluccensis Bleeker, 1855 di Perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis,
8(2), 701-711.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Volume 13 Nomor 1 (Mei 2020)
16
Sharfina, M., Boer, M., & Ernawati, Y. (2016). Potensi Lestari Ikan Selar Kuning (Selaroides leptolepis) Di
Perairan Selat Sunda (Population Dynamics of Yellowstripe Scad (Selaroides leptolepis) in
Sunda Strait). Marine Fisheries: Journal of Marine Fisheries Technology and Management, 5(1),
101-108.
Yonvitner., Yuliana, E., Yani, D. E., Setijorini, L. E., Santoso, A., Boer, M., Kurnia, R., & Akmal, S. G.
(2020, January). Fishing gear productivity related fishing intensity and potency of stock
vulnerability in Sunda strait. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol.
404, No. 1, p. 012066). IOP Publishing.