direktori mini...

344

Upload: others

Post on 06-Jan-2020

30 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,
Page 2: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

PERENCANAANWILAYAH DAN KOTA III

Editor:

Dr. Guspika, MBA., dkk.

Professional Human Resource Development IVPusbindiklatren-Bappenas

Program BeasiswaPusbindiklatren Bappenas

Page 3: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perencanaan Wilayah dan Kota III ©2018 oleh Bappenas

EditorDr. Guspika,MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA.

Kontributor Adhi Isa Murti, Amanda Intan Widyasri, Amelia Isman, Angri Hasdiandi, Anita Delina,

Dahana Pamungkas, Eldo Mukmin, Erda Yusnita, Hisam Wardana, Jarot Wahyudi,

Kartika Febrianti, Ledy Fithriana, Leni Anggeraini, Luce Dwi Nanda, Lusi Dewiana,

Mareta Hexa Sevana, Maskur, Myta Retno Widayanti, Nilta Rahmah, Novriyanti, Ozzie

Mariel, Pithan Chandra, Rizki Adi Hermanto, Sally Angelia, Syarif Maududi Ansari, Tri

Aji Pefridiyono, Tulus Pambudi, Yudianto Noverman

Cetakan I, Oktober 2018 ISBN: 978-602-53018-5-8

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan PerencanaBadan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

Page 4: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

ii iii

DAFTAR ISIDAFTAR ISI — iii

KATA PENGANTAR — vii

EVALUATION TOWARDS STREET VENDORS RELOCATION IN MAGELANG CITY Adhi Isa Murti — 1

ANALISIS PENGARUH KINERJA EKONOMI, KEUANGAN DAERAH, PELAYANAN PUBLIK DAN KINERJAAPARATUR TERHADAP KEBERHASILAN PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT

Amelia Isman — 25

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN GUNA LAHAN PERTANIAN DI SEKITAR JALAN USAHA TANI (JUT) KABUPATEN BANTUL

Amanda Intan Widyasri — 13

PROSES PERKEMBANGAN PARIWISATA PASCA PENINGKATAN KONDISI JALAN (KASUS : PARIWISATA DI SEPANJANG JALAN LINTAS PESISIR SELATAN PROVINSI LAMPUNG)

Angri Hasdiandi — 39

KOLABOLASI DALAM PEMBANGUNAN KEBUN RAYA BATURRADEN PROVINSI JAWA TENGAH

Anita Delina — 49

AN ASSESSMENT OF THE DEVELOPMENT PROCESS OF SENTOLO INDUSTRIAL ESTATE PLAN

Dahana Pamungkas — 61

SURVIVAL STRATEGY OF FISHERMEN IN MANGGAR SUB-DISTRICT BELITUNG TIMUR REGENCY (CASE OF BUKULIMAU ISLAND, MANGGAR SUB-DISTRICT, BELITUNG TIMUR REGENCY)

Eldo Mukmin — 75

THE CORRELATION BETWEEN FLOOD RISK PERCEPTION AND COPING MECHANISM IN LAMPUNG TIMUR REGENCY, LAMPUNG PROVINCE, INDONESIA

Erda Yusnita — 85

Page 5: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

iv

PERKEMBANGAN SPASIAL USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) MAKANAN KHAS KOTA BATU

Kartika Febrianti — 119

PENYELENGGARAAN PROGRAM KABUPATEN SEHAT DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Hisam Wardana — 93

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN WISATA ALAM OLEH MASYARAKAT LOKAL DI SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WILAYAH II KROGOWANAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU KABUPATEN MAGELANG

Jarot Wahyudi — 105

THE IMPACT OF HOUSING IMPROVEMENT PROJECT ON THE POOR: A CASE STUDY IN BELITUNG REGENCY, INDONESIA

Ledy Fithriana — 131

ECONOMIC VALUATION OF ECOSYSTEM SERVICES FOR SUPPORTING LAND USE DECISION: THE CASE OF MANGROVE ECOSYSTEM SERVICES IN PANGKALPINANG, BANGKA BELITUNG ISLAND PROVINCE, INDONESIA

Leni Anggeraini — 141

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENYELAMATAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN DANAU MANINJAU

Luce Dwi Nanda — 151

FACTORS AFFECTING THE PROGRAM SUSTAINABILITY OF COMMUNITY-BASED DISASTER PREPAREDNESS ORGANIZATION (CASE STUDY OF BOKOMI IN KAMPUNG BADRAN, YOGYAKARTA CITY) Mareta Hexa Sevana — 173

STRA

— 161

TEGI PEMANFAATAN DANA DESA UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN PASAMAN Lusi Dewiana

PENENTUAN ALTERNATIF LOKASI BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN CANDI BOROBUDUR

Maskur —185

EFEKTIVITAS PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (PAMSIMAS) DI KABUPATEN KLATEN

Myta Retno Widayanti — 195

Page 6: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

v

TRANSFORMASI SPASIAL KOTA LASEM: 1925-2015

Nilta Rahmah — 207

STRATEGI PEMBIAYAAN PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PARIAMAN

Novriyanti — 221

EVALUATION OF RUSUNAWA PROGRAM IN COASTAL RESIDENTIAL AREA A CASE STUDY IN PADANG CITY, INDONESIA

Ozzie Mariel — 235

THE IMPACT OF WASTE BANK ACTIVITIES IN REDUCTION OF GREENHOUSE GAS EMISSIONS AND ITS INFLUENCING FACTORS IN PRABUMULIH CITY, INDONESIA

Pithan Chandra — 247

PENGARUH JALAN LINGKAR BARAT KOTA MADIUN TERHADAP PERUBAHAN FISIK DAN PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITARNYA

Rizki Adi Hermanto — 257

KAJIAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEDAGANG KAKI LIMA PASAR RAYA PADANG TERHADAP UPAYA PENATAAN DAN RELOKASI

Sally Angelia — 265

KONSISTENSI PENETAPAN PROGRAM PEMBANGUNAN BERDASARKAN INDIKASI PROGRAM UTAMA RTRW PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Syarif Maududi Ansari — 277

PERFORMACE OF SAMPAN (SAPTA MITRA PANTURA) INTERREGIONAL COOPERATION IN LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT

Tri Aji Pefridiyono — 291

IDENTIFYING PRIORITY AREA FOR REHABILITATION BASED ON ABOVE-GROUND CARBON STOCK, POTENTIAL HABITAT OF ENDANGERED SPECIES AND DEGRADED LAND IN SELO DISTRICT, CENTRAL JAVA

Tulus Pambudi — 303

ANALISIS PENGELOLAAN DANA DESA DI KABUPATEN SIJUNJUNG (STUDI KASUS NAGARI BUKIT BUAL DAN NAGARI GUGUAK)

Yudianto Novman — 315

Page 7: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

vi vii

Page 8: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

vii

KATA PENGANTAR

Professional Human Resource Development (PHRD-IV) merupakan Program beasiswa Bappenas bergelar S2 dan S3 maupun non-gelar (short-term Training Program, staff Enhancement Program, dan Program for Academic Staff) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia khususnya dari daerah. Program ini bertujuan untuk memberi kesempatan meningkatkan sumber/daya di Pemerintah Pusat dan daerah dengan tujuan mengurangi disparitas ekonomi antar-daerah.

Dalam pelaksanaannya diharapkan bagi para penerima beasiswa PHRD-IV dapat melakukan pendalaman pengetahuan dan penelitian terkait pembangunan bersifat konkret yang dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing. Di samping itu, para penerima beasiswa juga diharapkan dapat mengunjungi fasilitas-fasilitas publik dan pemangku kepentingan setempat yang terkait dengan bidang studinya sehingga dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh dan pemahaman lebih mendalam.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa PHRD-IV, Tema: Perencanaan Wilayah dan Kota III ini merupakan buku keenam dari sembilan buku yang akan diterbitkan pada tahun 2018, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karyasiswa penerima beasiswa PHRD-IV.

Agar hasil-hasil penelitian Tesis/Disertasi dalam Program PHRD-IV dapat tersebar luas, hasil-hasil penelitian tersebut dirangkum, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tujuan pertama setelah diterbitkan adalah agar dapat direplikasi atau diadopsi di tempat kerja karya siswa; kedua, sebagai benchmark pemanfaatannya di instansi pemerintah lain; dan ketiga, merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan kegiatan PHRD-IV, dalam bentuk terbitan ilmiah buku sehingga dapat disebutkan oleh karya siswa dalam resume masing-masing.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif Program PHRD-IV terhadap peningkatan kapasitas SDM sebagai participating agencies, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, dan dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Program PHRD-IV juga diharapkan dapat berkontribusi bagi pencapaian sasaran prioritas nasional dalam

Page 9: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

viii ix

meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang ditandai dengan berkurangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Jakarta, Oktober 2018

Pusbindiklatren Bappenas

Page 10: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

viii ix

Page 11: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

x

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Program Beasiswa PHRD-IV

Page 12: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

EVALUATION TOWARDS STREET VENDORS RELOCATION IN MAGELANG CITY

Nama : Adhi Isa Murti

Instansi : Pemkot Magelang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 13: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

2 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Keberadaaan pedagang kaki lima (PKL) memberikan keuntungan dan kerugian bagi suatu kota. Keuntungan dari adanya PKL diantaranya yaitu mampu menyediakan barang dengan harga yang lebih murah. Selain itu, keberadaannya juga mampu menyediakan lapangan kerja bagi pekerja dengan tingkat pendidikan dan keahlian yang rendah. Sementara, kerugian dari adanya PKL adalah terganggunya arus lalu lintas dan lingkungan kumuh yang berakibat pada memburuknya wajah kota tersebut. Pemerintah Kota Magelang telah merelokasi PKL ke sembilan tempat relokasi untuk mengatasi masalah tersebut. Seiring berjalannya waktu, dari sembilan tempat relokasi tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut, dan untuk mengidentifikasi bagaimana hubungan faktor-faktor dalam memengaruhi hasil setelah PKL direlokasi.

Untuk melakukan evaluasi tersebut, penulis menggunakan kuesioner kepada PKL yang direlokasi dan wawancara kepada instansi pemerintah daerah sebagai data yang digunakan untuk dianalisis. Evaluasi terhadap kesesuaian didasarkan pada faktor lokasi dan infrastruktur yang disediakan pada tempat relokasi. Sedangkan untuk evaluasi terhadap efektivitas dilakukan pada aspek ekonomi dan aspek fisik. Analisis regresi berganda digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi hasil setelah relokasi dengan menggunakan variabel evaluasi sebelumnya,

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa relokasi dinilai cukup sesuai terhadap kebutuhan PKL dan cukup efektif untuk meningkatkan kualitas PKL dan wajah kota. Berdasarkan hasil analisis regresi, faktor yang berpengaruh terhadap persentase perubahan pendapatan PKL adalah perubahan jarak ke jalan utama, kepadatan penduduk, dan ketersediaan tempat parkir. Dengan hasil tersebut, relokasi seharusnya tidak memindahkan PKL terlalu jauh dari jalan utama. Selain itu, relokasi seharusnya ditempatkan pada daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi, dan pemerintah menyediakan tempat parkir pada lokasi tersebut.

Page 14: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 3

ABSTRACT

The presence and increase in number of street vendors in a city has advantages and disadvantages. As part of the informal sector, street vendors provide cheaper goods and jobs for low-educated and low-skilled workers. On the other hand, it triggers traffic congestion and dirty environment that worsen the city image. Magelang Municipality tried to relocate the street vendors to cope with the problem. They were relocated into nine relocation sites and it showed different progress. The purpose of this research is to evaluate relevance and the effectiveness of street vendors relocation, and also to identify the relation of factors in affecting the results after relocation.

Questionnaire was used as a basis to evaluate relocation policy in which street vendors were treated as respondent. The relevance was assessed from location and infrastructure factors, while effectiveness was measured on economics and physical aspects. Once these were compiled, factors that affect in relocation results were identified using multiple regression analysis.

The result showed that relocation program was quite appropriate for the street vendors’ needs and quite effective to improve condition of street vendors and image of the city. Based on multiple regression analysis, factors that affected in percentage of street vendors’ income change were changes of distance to main road, population density, and parking lot. From the result, relocation should not move street vendors further from the main road. Besides, it should be built in a high density population area, and government should provide parking lot on it.

Page 15: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

4 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUATION TOWARDS STREET VENDORS RELOCATIONIN MAGELANG CITY

A. Background

Informal sector, especially street vendor, uses public space like pedestrian ways as their business place. This condition creates some problems. One of the problems is bad environment. Another problem is spatial conflict. As long as street vendors use public space to run their business, it will disturb people activities in the public space. On the other hand, informal sector grows as a way taken by the poor to survive. It becomes their livelihood when a city cannot provide works for the citizen especially the poor.

In order to achieve a better living and good image of a city, Magelang City Local Government tries to manage street vendors by moving some of them at some legal places provided by government. It started in 2011 by managing the street vendors around alun-alun. Until 2014, there were 9 relocation sites for street vendors in Magelang City. The location sites are various which were creating a new relocation site and managing the places that already occupied by a group of street vendors.

After several years of implementation, some of relocation sites have many customers but the others only have few customers. In a long time, relocation sites built by government might be left and unused by street vendors. Furthermore, it will give negative impact to the government and the city image itself. From this condition, it is important to evaluate the relocations sites proposed by the government. Based on those conditions, the objectives of this research are: a) evaluating the relevance of relocation sites in Magelang City to street vendor needs, b) evaluating the effectiveness of street vendor relocation in achieving the targets of the program in Magelang City, and c) identifying the relation of factors on affecting street vendor condition after relocation in Magelang City.

B. Research Problems and Methodology

Various results of street vendors’ business in different relocation sites trigger the research questions:

1. Are the relocation sites relevant to the street vendor needs?

2. How effective is the relocation program in achieving the targets?

3. How is the relation of factors in affecting results of street vendor after relocation?

Page 16: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 5

This research uses deductive quantitative approach. From the theories, it is described into variables related to the research problem, then, to make it easier on collecting the data, variables are turned to indicators. Evaluation is used to measure the relevance and effectiveness of street vendor relocation in Magelang City.

Questionnaire is used to collect the data from relocated street vendors. Sampling unit of this research is the relocated street vendor to those sites. All sample taken was street vendors who sell food and beverages. Because of limitation of time and resources, researcher takes sample from the total 319 relocated street vendors. The number of sample based on Leedy (1997) is about 175 street vendors.

To analyze the data, this research uses descriptive quantitative. This analysis is done by using the data from questionnaire, observation, and secondary data. More specific, it uses evaluation method. Evaluation is done at after implementation program (ex-ante).

Furthermore, to analyze factors affecting relocation result, multiple regression analysis is used with α= 0,05. The dependent variable is the percentage of street vendor’s income change that it is an important part of street vendor’s sustainability. Independent variables are taken from factors of relevance evaluation, which is location and infrastructures. Location is an important aspect for street vendors where they can grab more customers. Moreover, infrastructure provided by government as a form of incentive should improve the condition that gives not directly impact to relocated street vendors.

This research is conducted in Magelang City, Cental Java, Indonesia. Focus of this research are the locations of relocation that were nine sites spreading on the city. The relocation sites for street vendors were built in different time. It was limited to relocation sites which are built from 2011 to 2014.

C. Data Analysis and Results

1. Evaluation towards Relevance of Street Vendors Relocation

Relevance was evaluated by comparing the real condition to the indicator based on the ideal condition. In this part, location and infrastructure were evaluated whether it was relevance or not. The result of evaluation for each variable could be seen in the table that showed evaluation regarding location relevance. From four variables, three of them were relevance while only one that was not relevance. From this condition, it can be said that location for relocation was quite relevance for street vendors.

Page 17: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

6 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Table 1 Location Relevance of Relocation Sites

No Variable Condition Indicator Relevance

1. Accessibility

a. Distance to main road

0−5 meters 32%Max. 5

metersNot relevance5−20 meters 42%

>20 meters 26%

b.Access to public transport

0−5 meters 86%Max. 5

metersRelevance>5 meters 14%

2. Relationship to surrounding

a. Population density

Medium 20%

Min. high RelevanceHigh 62%

Very high 18%

b. Scale of citycenter

Regional 43%

Min. local RelevanceLocal 39%

Neighborhood 18%

Source: Data analysis, 2017

Apart from that, evaluation of relevance for infrastructure in relocation site can be seen in the table below. Electricity, waste water management, and solid waste management were categorized as relevance. Electricity was provided by government in all sites by installing pre-paid electricity, while trash bin was not provided by government but provided by sellers. The garbage was also transported every day so that there was no left-over garbage on sites. However, waste water system was provided for about 78% of relocated street vendors. Access to clean water and public toilet were categorized as quite relevance. About 61% of relocated street vendors had direct access to clean water, and about 62% of them could access public toilet. Infrastructure that was not relevance was only parking lot. Off-street parking was provided in some relocation sites and can be accessed by only 45%. Based on these condition, it could be said that infrastructure on relocation site was quite relevance.

Page 18: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 7

Table 2 Infrastructure Relevance of Relocation Sites

No Variable Condition Indicator Relevance

1. Electricity 450 VA 100% 450 VA Relevance

2.Access to clean

water

Direct access 61%

Direct access Quite relevanceShared access 16%

Self-provided 23%

Flow every day 100%Flow every day RelevanceNot flow Every

day 0%

3. Waste waterSewerage 78%

Sewerage RelevanceNo sewerage 22%

4. Public toilet

Provided 62%Provided Quite

relevanceNot Provided 28%

Water flow100%

Water flow Every day Relevance

Every day

Water not flow0%

Every day

5. Solid waste management

Provided 100%Provided Relevance

Not provided 0%

Every day 100%

Transported Every day Off-street

Relevance Not

relevance

Once a week 0%

Once a month 0%

6. Parking lotOff-street 45%

On-street 55%

Source: Data analysis, 2017

To sum up, relevance of relocation program was quite relevance. It is based on evaluation of location and infrastructure that showed quite relevance result. There

were still some components that lacked the ideal conditions.

Page 19: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

8 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. Evaluation towards Effectiveness of Street Vendors Relocation

Results of effectiveness analysis were summed up in this part. First, effectiveness of relocation to improve economic condition of relocated street vendors was not effective. It was because only one third of them who gained increasing income. This condition could not help the development of street vendors to keep sustain. Provided infrastructure was quite effective to improve sanitation. Easy access to clean water helped the sellers to keep clean when serving the foods. Moreover, good sewerage system could help reducing the bad smell caused by left over waste water, even it was not provided in all relocation sites. Furthermore, solid waste that was transported to the nearest communal bins or garbage dump could support the cleanliness.

The use of pedestrian ways as relocation sites reduced the effectiveness of the program to beautify the city. It could not solve the problem related the use of public spaces, especially pedestrian ways that could be freely accessed by public. Furthermore, there were some sellers who left their carts on the sites.

Table 3 Effectiveness Evaluation of Economics and Physical Aspects

No. Variable Condition Indicator Effectiveness

1. Economics

a. Income

Increase 34%

Increase Not effectiveSame 35%

Decrease 31%

2. Physical Aspects Sanitation

a. Access to clean water

Direct access 61%

Direct accessQuite

effective

Shared ac-cess 16%

Self-provided 23%

Flow Every day 100%

Flow every day Effective

Not flow Every day 0%

b. Waste water

Sewerage 78%Sewerage Effective

No sewerage 22%

Page 20: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 9

c.Solid waste manage-ment

Provided 75%Provided communal garbage bin

Quite

effectiveNot provided 25%

Every day 100%Transported Every day EffectiveOnce a week 0%

Once a month 0%

3. Tidiness

a.Condition of Trading Location

Non-pedestrian ways

74% Not using pedestrian ways

Quite

effectivePedestrian ways 26%

Bring back to house 57% Not leaving

the cart on sites

EffectiveLeft on a spe-cific place 31%

Source: Data analysis, 2017

It could be summed up that this program was quite effective to solve street vendor problem. For sanitation, it was improved the condition of street vendors. They could access clean water and manage their waste water easily. It also improved their hygiene when their main commodity was food and beverages. Improving tidiness to beatify the city was quite effective. It was because governments used pedestrian ways as relocation sites that could disturb its access. Furthermore, small proportion of street vendors who left their cart on the sites, especially sites

on pedestrian ways, reduced its effectiveness to create beautiful image of the city.

3. Factors Affecting in Relocation Result

Based on four assumption tests, this model could be used as a model for regression analysis. The definition of the model can be written and explained below.

Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5

Y = percentage of street vendors’ income change,

X1 = change of distance to the main road,

Page 21: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

10 Direktori Mini Tesis-Disertasi

X2 = change of distance to the public transport route,

X3 = population density,

X4 = public toilet, and

X5 = parking lot

The next step was identifying the value of R Square, F statistics, and t statistics of each variable. The result showed R and R Square values were 0,566 and 0,321, respectively. It could be seen that it had a positive and small relation between all independent variables and the dependent variable. Furthermore, the value of Adjusted R Square that was 0,301 meant it could be used to explain the data related to correlation between variables. It was only representing about 30% of all the data.

The result of F from running regression must be compared to value of F table to identify whether this equation has significant value to be a predictor model or not. Regarding α = 0,05, the value of F table is 2,27. Based on this, the value of F from result of regression was bigger than those F table. It meant this equation was quite significant to become estimator model.

Table 4 Result of Multiple Regression Analysis Coefficientsa

ModelUnstandardized

CoefficientsStandardized Coefficients t Sig.

Collinearity Statistics

B Std. Error Beta Tolerance VIF

(Constant) -45.334 17.127 -2.647 .009

X1 -1.100 .243 -.290 -4.535 .000 .982 1.018

X2 -1.687 1.019 -.109 -1.656 .100 .927 1.0781X3 .160 .049 .253 3.284 .001 .677 1.478X4 19.345 10.874 .181 1.779 .077 .387 2.584

X5 34.391 9.520 .330 3.613 .000 .482 2.076

a. Dependent Variable: Y

Source: Data analysis, 2017

The value of t statistics of each variable should be compared to the value of T table. Using 95% of confidence level, the value of T table is (±)1,654. From the table, all of t statistics value was bigger than of those T table. The biggest value of t statistics was shown in the first variable, change of distance to main road (X1), which was -4,535. It meant that this variable had the strongest relationship to the

Page 22: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 11

independent variable which was percentage of income change (Y). It was followed by parking lot (X5) and population density (X3) which its value was around 3. The other two variables, public toilet (X4) and change of distance to public transport route (X2), showed small value which were 1,779 and -1.656, respectively. It meant that these two variables had small relation to the dependent variable, which changes of distance to public transport route had the smallest relation.

Furthermore, the value of change of distance to main road and change of distance to public transport route showed negative value. It meant that the value of percentage of income change became smaller when the values of those two variables were getting bigger. Besides identifying the t statistic value, the significant value was also identified. It was to know which variable had contribution to percentage of income change as the dependent variable. Because the model use α = 0,05, the significant value of each independent variable must be below 0,05. From the Table 4, it could be seen that change of distance to main road (X1), population density (X3), and parking lot (X5) showed value below 0,05. While the values other two variables, change of distance to public transport route (X2) and public toilet (X4), were higher than 0,05 which were 0,1 and 0,077, respectively. These results showed that change of distance to main road (X1), population density

(X3), and parking lot (X5) gave contribution to percentage of income change (Y).

D. Conclusion

The evaluation was done by assessing relevance and effectiveness. However, factors affecting relocation results were analyzed using multiple regression analysis. The conclusions were:

1. Street vendor relocation was quite relevance to fulfill the street vendors’ needs.

2. Effectiveness of relocation was categorized as quite effective to improve street vendors’ condition and solve problem related to city image.

3. Factors that affected in results of relocation were changes of distance to main road, population density of the surrounding area, and parking lot provided by government.

E. Recommendation

Based on the result of evaluation and analysis, some recommendations for better street vendor relocation policy, especially Magelang Municipality are:

Page 23: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

12 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 24: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERUBAHAN GUNA LAHAN PERTANIANDI SEKITAR JALAN USAHA TANI (JUT) KABUPATEN BANTUL

Nama : Amanda Intan Widyasri

Instansi : Pemprov Daerah Istimewa

Yogyakarta

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 25: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

14 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitarnya di Kabupaten Bantul serta mengidentifikasi faktor-faktor yang turut memengaruhi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT di Kabupaten Bantul. Lokasi penelitian berada di 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan Sewon dan Banguntapan yang mewakili wilayah perkotaan serta Kecamatan Jetis dan Bambanglipuro yang mewakili wilayah perdesaan.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan deduktif dengan menggunakan metode analisis overlay peta menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk mengkaji perkembangan JUT dan perubahan guna lahan pertanian. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan analisis regresi linier sederhana (simple regression linier) guna mengukur besaran pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitarnya. Sedangkan untuk mengetahui faktor-faktor yang turut memengaruhi perubahan guna lahan pertanian digunakan dua pendekatan, yaitu (1) alasan pemilik lahan yang melakukan perubahan lahan menjadi bangunan (faktor internal) dan (2) faktor-faktor (variabel-variabel) dinamika perkembangan wilayah yang memengaruhi perubahan guna lahan pertanian dalam satuan wilayah desa (faktor eksternal). Untuk faktor internal digunakan metode analisis deskriptif dari hasil wawancara. Dan untuk faktor eksternal digunakan metode analisis regresi linier sederhana (simple regression linier).

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2006−2016), telah terjadi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT di lokasi penelitian sebesar 89,62 ha atau 4,82%. Perubahan guna lahan tersebut didominasi oleh perubahan dari sawah ke lahan terbangun, yaitu sebesar 80,83 ha dan perubahan dari sawah ke kebun sebesar 8,79 ha. Walaupun jika dilihat dari persentase perubahan guna lahan pertanian yang terjadi di sekitar JUT relatif kecil, namun berdasarkan hasil analisis peningkatan kapasitas JUT berpengaruh signifikan terhadap perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi dualisme pembangunan JUT di mana awalnya JUT dibangun guna membantu mobilitas petani, namun di sisi lain pengembangan JUT telah menjadi ancaman bagi keberlanjutan lahan pertanian. Selanjutnya, jika dibandingkan antara wilayah perkotaan dan perdesaan, perubahan guna lahan pertanian akibat peningkatan kapasitas JUT lebih terlihat di kawasan perkotaan, sedangkan untuk kawasan perdesaan, pengaruhnya belum terlalu besar. Perbedaan besaran pengaruh antara kawasan perkotaan dan perdesaan menunjukkan ada faktor lain yang turut memengaruhi perubahan guna lahan di wilayah tersebut selain peningkatan kapasitas JUT. Faktor lain yang dimaksud adalah

Page 26: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 15

faktor internal pemilik lahan dan faktor eksternal (kewilayahan). Untuk faktor internal pemilik lahan dipengaruhi oleh (1) kebutuhan akan tempat tinggal, (2) lokasi lebih menguntungkan untuk usaha, (3) kenyamanan lokasi dibandingkan jalan utama, (4) kedekatan dengan pusat kegiatan, dan (5) sistem waris/pemecahan lahan. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh (1) jarak ke pusat Kota Yogyakarta, (2) laju pertumbuhan penduduk, (3) persentase lahan terbangun, dan (4) luas peruntukan zona hijau.

Kata kunci: Infrastruktur Pertanian, Jalan Usaha Tani (JUT), Perubahan Guna Lahan Pertanian, Kabupaten Bantul

Page 27: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

16 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

The purpose of this study is to examine the effect of farm road capacity increment to agriculture land use transformation in surrounding of Bantul Regency. The study was held in 4 sub-districts in Bantul Regency. Sewon and Banguntapan subdistrict represent the urban area. Jetis and Bambangliuro sub-district represent the rural area.

This study was held with deductive approach which use map overlay analysis method with Geographic Information System (GIS) to examine the development of farm road and agriculture land use. Moreover, this study also uses simple linear regression analysis to measure how big the effect of farm road capacity increment to agriculture land use in around of that area. In order to examine the factors which take effect on agriculture land use, transformation was used two approach, those are (1) the reason of homeland who change his land become a building (internal factor) and (2) factors of region development dynamics which influence agriculture land use transformation in a village area (external factor). To examine the internal factor was used descriptive analysis method was used. Meanwhile, to examine the external factor was used linear regression analysis method.

The results of this study show that within 10 years (2006−2016) in the farm road around study sites has been agriculture land use transformation about 89,62 ha or 4,82%. Land use transformation was dominated by the transformation from field to land of 80,83 ha and the transformation from field to garden of 8,79 ha. Although judging from the percentage of agriculture land use transformation is relatively small, but according to analysis result farm road capacity increment is significantly effect to agriculture land use transformation in the surrounding of that area. It shows there is a dualism of development where in the beginning farm road built to help farmer mobility, but in other side farm road development has become a threat for agricultural sustainability. Furthermore, when compared between urban and rural area, it shows that agriculture land use transformation due to farm road capacity increment more seen in urban area. While in rural area that no show a significant effect. A big difference between urban and rural area show there are other factors which also influence land use transformation in that area besides farm road capacity increment. Those other factors are internal factor from land owner and external factor (territoriality). Internal factors are affected by (1) the need for place to live, (2) the location is more profitable to business, (3) convenience of location compared to main road, (4) closeness to hub, and (5) inheritance system/land splitting. While external factor are affected by (1) distance to downtown of Yogyakarta, (2) population growth rate, (3) percentage of land built, and (4) area of green zone.

Page 28: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 17

Keywords: Agricultural infrastructure, Farm road, Agriculture land Use Transformation, Bantul Regency

Page 29: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

18 Direktori Mini Tesis-Disertasi

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMENGARUHI PERUBAHAN GUNA LAHAN PERTANIAN DI SEKITAR JALAN USAHA TANI (JUT)

KABUPATEN BANTUL

A. Latar Belakang

Untuk memacu pertumbuhan sektor pertanian dibutuhkan infrastruktur yang memadai, salah satunya dengan meningkatkan sistem transportasi sebagai akses ke persawahan. Di Indonesia, jaringan jalan di kawasan pertanian dikenal dengan istilah Jalan Usaha Tani (JUT). Melalui investasi infrastruktur jalan pertanian ini diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi pertanian yang secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani. Dilihat dari kondisinya, sebagian besar JUT masih berupa tanah atau berlapis kerikil namun di beberapa tempat sudah ada JUT yang beraspal. JUT yang seringkali memiliki lokasi strategis turut mendorong perkembangan wilayah sekitarnya. Hal ini memperlihatkan peningkatan aksesibilitas tidak hanya berdampak positif bagi perkembangan sektor pertanian, namun di sisi lain keberadaan JUT akan mengundang sektor-sektor lain untuk berkembang.

Hal ini ternyata dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan Suminar, et al. (2016) yang mengungkapkan bahwa pengembangan JUT pada lahan-lahan pertanian yang diharapkan dapat memperlancar distribusi produk pertanian dan meningkatan pendapatan masyarakat, ternyata diindikasikan turut memengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian di wilayah sekitarnya. Dengan demikian, untuk berkontribusi dalam upaya pengendalian alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bantul perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhinya, salah satunya diindikasikan akibat peningkatan kapasitas JUT. Hasil penelitian tersebutlah yang nantinya dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul terkait kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke depan. Pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian?

2. Faktor-faktor apa saja yang turut memengaruhi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT?

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis deduktif, yaitu penelitian yang menggunakan teori sebagai alat, ukuran, dan instrumen untuk membangun hipotesis serta dasar dalam

Page 30: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 19

menentukan masalah penelitian (Bungin, 2011). Penelitian dengan metode deduktif mencoba untuk mereduksi teori-teori terkait yang kemudian ditarik menjadi variabel yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian di lapangan. Berdasarkan bentuk data dan analisis, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixed method, yaitu penelitian dengan pendekatan data berupa kualitatif dan kuantitatif. Lokasi penelitian dari penelitian ini adalah wilayah pertanian di sekitar JUT yang berada di Kecamatan Sewon dan Banguntapan yang mewakili wilayah perkotaan di Kabupaten Bantul serta Kecamatan Jetis dan Bambanglipuro yang mewakili wilayah perdesaan di Kabupaten Bantul.

Untuk mengkaji besaran pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitarnya serta mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang turut memengaruhi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT, variabel digolongkan menjadi dua, yaitu variabel terikat (dependent) dan variabel bebas (independent). Untuk faktor eksternal, variabel yang digunakan lebih bersifat verifikasi karena dari grand tour dan asumsi peneliti, faktor yang ada tidak jauh berbeda dengan teori. Sedangkan untuk melihat faktor internal yang memengaruhi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT digunakan satu jenis variabel dengan jenis data kualitatif dikarenakan lebih bersifat persepsi/pertimbangan masing-masing keluarga untuk mengubah lahan pertaniannya menjadi bangunan. Variabel yang digunakan bersifat verifikasi dan semieksploratif karena dari teori yang terkait faktor internal belum terlampau kuat serta adanya peluang temuan eksploratif terkait kekhasan lokal. Selain itu untuk data peningkatan harga lahan dan pajak lahan yang sebenarnya lebih bersifat kuantitatif tidak bisa didapatkan oleh peneliti sehingga untuk variabel tersebut hanya menggunakan data kualitatif.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian, ada beberapa tahap analisis yang dilakukan, yaitu: (1) Analisis Spasial, dalam penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu identifikasi dan pemetaan ruas JUT di lokasi penelitian tahun 2006−2016 dan overlay peta peningkatan kapasitas JUT dan perubahan guna lahan pertanian di lokasi penelitian tahun 2006−2016. Untuk menghindari perluasan pada area perubahan guna lahan yang bukan berada di tepian JUT, maka dilakukan buffer area yang dibuat dengan tepian datar dengan radius 150 meter (menyesuaikan kondisi di lapangan); (2) Analisis kuantitatif dengan regresi linier sederhana, analisis ini guna mengetahui besaran pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian di Kabupaten Bantul serta untuk mengetahui faktor eksternal perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitar JUT yang meliputi parameter fisik, parameter sosial/kependudukan, dan parameter ekonomi; (3) Analisis deskriptif kualitatif, guna menjelaskan kondisi dan proses perubahan guna lahan pertanian sebagai akibat adanya peningkatan kapasitas

Page 31: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

20 Direktori Mini Tesis-Disertasi

JUT khususnya akibat faktor internal atau pertimbangan petani sebagai pemilik lahan pertanian dalam mengalihfungsikan lahannya ke fungsi nonpertanian.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh Peningkatan Kapasitas JUT terhadap Perubahan Guna Lahan Pertanian di Wilayah Sekitarnya

a. Perkembangan JUT Tahun 2006−2016

JUT awalnya hanya berupa jalan tanah dengan lebar jalan kurang lebih 2−2,5 meter yang kemudian ditingkatkan kapasitasnya dengan pelebaran dan perkerasan jalan baik aspal maupun cor beton hingga memiliki lebar jalan kurang lebih 3−4 meter. JUT tanah yang sudah ada ditingkatkan tonase/kapasitasnya sehingga bisa dilalui oleh kendaraan yang lebih berat/lebih besar.

Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun terdapat penyusutan jalan tanah sebesar 22.618,50 meter atau 56,18% dari total panjang JUT. Hal ini bermakna pada tahun 2006 jalan tersebut diidentifikasi sebagai JUT tanah, namun pada tahun 2016 telah berubah menjadi jalan yang sudah diperkeras baik dalam bentuk aspal ataupun cor beton. Jika dibandingkan antara kawasan perkotaan dan perdesaan, panjang peningkatan kapasitas JUT lebih banyak dilakukan di daerah perkotaan, yaitu sebesar 12.974,17 meter atau 57,36% dari total peningkatan kapasitas JUT dan kawasan perdesaan hanya sebesar 9.644,33

meter atau 42,64% dari total peningkatan kapasitas JUT.

b. Perubahan Guna Lahan Pertanian di Sekitar JUT Tahun 2006–2016

Dari hasil identifikasi penggunaan lahan di lokasi penelitian dengan menggunakaan data peta penggunaan lahan dari Bappeda Kabupaten Bantul dan peta citra satelit google earth diketahui bahwa wilayah di sekitar JUT terdiri dari penggunaan lahan pertanian, kebun dan lahan terbangun. Rata-rata penggunaan lahan di sekitar JUT pada tahun 2006 sampai dengan 2016 didominasi oleh penggunaan lahan sawah irigasi sebesar 1.816,66 hektar atau 89,02%. Sedangkan sisanya merupakan lahan kebun sebesar 2,09%, dan lahan terbangun sebesar 8,89%. Secara umum dari 16 (enam belas) desa di 4 (empat) kecamatan yang memiliki infrastruktur JUT, telah terjadi perubahan (pengurangan) luas areal lahan sawah dengan luasan yang bervariasi.

Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun, yaitu dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2016 telah terjadi perubahan guna lahan pertanian sebesar 89,62

Page 32: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 21

ha atau 4,82% yang terdiri dari perubahan guna lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 80,83 ha (90,19%) dan perubahan guna lahan sawah menjadi kebun sebesar 8,79 ha (9,81%). Jika dibandingkan antara kawasan perkotaan dan perdesaan, perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT lebih banyak terjadi di kawasan perkotaan, yaitu sebesar 62,76 ha atau 70,04% dari total luas perubahan pengunaan lahan pertanian di sekitar JUT di lokasi penelitian. Sedangkan untuk kawasan perdesaan, luas lahan pertanian yang beralih fungsi

menjadi lahan nonpertanian hanya sebesar 26,85 ha atau 29,96%.

c. Analisis Regresi Linier Pengaruh Peningkatan Kapasitas JUT terhadap Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian di Kabupaten Bantul

Untuk mengetahui besarnya pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian di Kabupaten Bantul digunakan analisis kuantitatif dengan metode regresi linier sederhana (simple linier regression). Variabel yang akan diuji pengaruh dan hubungannya adalah panjang peningkatan kapasitas JUT sebagai variabel bebas (X) dan variabel perubahan guna lahan pertanian sebagai variabel terikat (Y).

Dari hasil regresi menunjukkan bahwa secara umum di Kabupaten Bantul perubahan guna lahan sawah dipengaruhi oleh peningkatan kapasitas JUT. Selain itu juga terlihat, bahwa pengaruh peningkatan kapasitas JUT lebih terlihat di kawasan perkotaan dibandingkan kawasan perdesaan. Perbedaan karakter fisik, sosial, dan ekonomi tentunya akan membawa perbedaan pengaruh terhadap laju percepatan alih fungsi lahan pertanian. Kecamatan Sewon dan Banguntapan yang merupakan kawasan penyangga Kota Yogyakarta tentunya memiliki tingkat perkembangan wilayah yang jauh lebih cepat dibandingkan Kecamatan Jetis dan Bambanglipuro, karena pengaruh limpasan aktivitas Kota Yogyakarta yang akhirnya memengaruhi laju perkembangan guna lahan di kawasan sekitarnya.

Perbaikan prasarana transportasi dalam hal ini peningkatan kapasitas JUT akan meningkatkan penggunaan teknologi transportasi berupa sarana kendaraan bermotor. Jalan yang tadinya hanya dapat dilewati oleh kendaraan roda dua setelah peningkatan kapasitas jalan, moda transportasi yang dapat melintas pun lebih beragam seperti pick up dan truk. Hal ini akan bermanfaat bagi produksi pertanian yang semula daerah pemasarannya sempit dan terbatas menjadi lebih luas.

Seiring dengan meningkatnya aksesibilitas melalui pelebaran maupun perkerasan JUT tentunya jalan yang tadinya hanya merupakan jalan inspeksi

Page 33: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

22 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pertanian berubah menjadi jalan umum yang dipergunakan masyarakat desa setempat untuk menuju tempat beraktivitas, seperti pasar, sekolah, dan tempat bekerja. Jalan yang sebelumnya merupakan jalan tanah, setelah diperkeras menjadi jalan cor/beton maupun jalan aspal telah memberikan kemudahan bagi masyarakat sekitar menuju jalan utama untuk kemudian mengakses lokasi lain. Selain itu, JUT seringkali dijadikan sebagai jalur alternatif yang dapat mempersingkat waktu dan jarak tempuh perjalanan. Hal ini mendorong terjadinya peningkatan volume kendaraan yang melintasi jalan tersebut.

2. Faktor-Faktor Lain yang Memengaruhi Perubahan Guna Lahan Pertanian di Wilayah Sekitar JUT

a. Faktor Internal (Pertimbangan Pemilik Lahan) Yang Memengaruhi Perubahan Guna Lahan Pertanian di Sekitar JUT

Untuk menjawab pertanyaan penelitian mengenai faktor internal yang memengaruhi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ragam alasan responden tentang sikap mereka untuk mengubah lahan pertaniannya menjadi lahan nonpertanian. Responden yang dimaksud adalah pemilik lahan pertanian di sekitar JUT yang mengubah fungsi lahannya dari pertanian menjadi lahan nonpertanian. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh peneliti ke beberapa pemilik lahan pertanian di sekitar JUT yang mengalihfungsikan lahannya ke lahan terbangun ditemukan 5 (lima)

faktor kuat yang memengaruhi perubahan guna lahan tersebut.

b. Faktor Eksternal (Kewilayahan) yang Memengaruhi Perubahan Guna Lahan Pertanian di Sekitar JUT

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perubahan guna lahan. Jika dilihat dari analisis sebelumnya yang memperlihatkan adanya variasi luasan dan laju perubahan guna lahan pertanian di 4 (empat) kecamatan di Kabupaten Bantul yang menjadi objek penelitian, ini menunjukkan bahwa ada aspek lain yang turut memengaruhi perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT. Aspek kewilayahan tentunya amat memengaruhi besaran perubahan guna lahan pertanian di samping faktor peningkatan kapasitas JUT yang mendorong terjadinya percepatan perubahan guna lahan di lokasi penelitian. Perbedaan lokasi secara spasial antara wilayah Kecamatan Sewon, Banguntapan, Jetis, dan Bambanglipuro dipandang sebagai sumber variasi yang diyakini dapat memengaruhi perubahan lahan pertanian di sekitar JUT ke nonpertanian.

Page 34: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 23

Untuk mengetahui jenis faktor yang berpengaruh, arah pengaruh, dan kekuatan pengaruh dari variabel-variabel lingkungan eksternal digunakan instrumen analisis dengan metode regresi linier sederhana (simple linier regression). Sebagai variabel bebas (X) yang akan diuji pengaruh dan hubungannya adalah (X1) jarak ke pusat Kota Yogyakarta, (X2) jarak ke pusat Kota Bantul, (X3) jarak ke pusat kota kecamatan, (X4) laju pertumbuhan penduduk tahun 2006−2016, (X5) presentase luas lahan terbangun, (X6) rata-rata produktivitas padi tahun 2006−2016, dan (X7) luas peruntukan zona hijau (pertanian lahan basah) dalam RDTR. Sedangkan yang menjadi variabel terikat (Y) adalah persentase perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT. Unit analisis yang digunakan adalah satuan wilayah desa di lokasi penelitian, yaitu desa-desa di 4 (empat) kecamatan yang menjadi objek penelitian.

Dari hasil regresi menunjukkan bahwa ada beberapa faktor eksternal (kewilayahan) yang turut memengaruhi besarnya presentase perubahan guna lahan pertanian menjadi nonpertanian. Faktor tersebut adalah (1) jarak ke pusat kota Yogyakarta, (2) laju pertumbuhan penduduk, (3) presentase luas lahan terbangun, dan (4) luas peruntukan zona hijau. Untuk faktor jarak ke pusat Kota Bantul walaupun dari hasil statistik menunjukkan hasil yang signifikan dalam memengaruhi perubahan guna lahan pertanian, namun dari arah korelasi menunjukkan hal yang berkebalikan dengan hipotesis. Sedangkan untuk 3 (tiga) faktor lainnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan dan tidak memiliki pengaruh terhadap perubahan guna lahan pertanian di sekitar JUT di

Kabupaten Bantul.

D. Kesimpulan

Secara umum, peningkatan kapasitas JUT berpengaruh terhadap terjadinya perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitarnya. JUT yang awalnya hanya berupa jalan tanah dan kemudian ditingkatkan kapasitasnya melalui pelebaran dan perkerasan jalan menjadikan jalan tersebut berubah fungsi menjadi jalan umum yang tidak hanya dipergunakan oleh sektor pertanian namun juga oleh sektor lainnya. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi dualisme pembangunan JUT, di mana pada awalnya JUT dibangun untuk membantu pengangkutan alat dan hasil pertanian untuk peningkatan produksi pertanian, ternyata di sisi lain telah mendorong adanya alih fungsi lahan pertanian yang akhirnya dapat mengancam sistem ketahanan pangan.

Meskipun demikian, jika dibandingkan antara wilayah perkotaan dan perdesaan, perubahan guna lahan pertanian akibat peningkatan kapasitas JUT lebih terlihat di kawasan perkotaan. Untuk kawasan perdesaan, pengaruhnya belum terlalu besar.

Page 35: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

24 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perbedaan besaran pengaruh peningkatan kapasitas JUT terhadap perubahan guna lahan pertanian di wilayah sekitarnya memperlihatkan bahwa ada faktor lain yang turut memengaruhi terjadinya alih fungsi di wilayah ini. Faktor lain yang dimaksud adalah (1) faktor internal, yaitu pertimbangan pemilik lahan petanian yang melakukan perubahan lahan menjadi bangunan dan (2) faktor eksternal, yaitu dinamika perkembangan wilayah yang memengaruhi perubahan guna lahan pertanian dalam satuan wilayah desa.

Untuk faktor internal (pertimbangan pemilik lahan) mengubah lahan pertaniannya menjadi bangunan dipengaruhi oleh (1) kebutuhan akan tempat tinggal di mana tidak ada lahan lain yang dimiliki, (2) motif ekonomi (lokasi lebih menguntungkan untuk usaha), (3) kenyamanan lokasi karena tidak seramai jalan utama, (4) kedekatan dengan pusat kegiatan, dan (5) sistem waris/pemecahan lahan. Sedangkan faktor eksternal yang secara signifikan memengaruhi perubahan lahan pertanian menjadi nonpertanian adalah (1) faktor jarak ke pusat Kota Yogyakarta, (2) laju pertumbuhan penduduk, (3) persentase lahan terbangun, dan (4) luas peruntukan zona hijau.

E. Rekomendasi Kebijakan

Untuk mengatasi tingginya alih fungsi lahan pertanian khususnya di wilayah sekitar JUT diperlukan adanya pengendalian yang ketat. Kementerian Pertanian selaku pengelola JUT sudah seharusnya melakukan pengawasan terhadap salah satu bentuk penyalahgunaan ruang ini dengan melakukan koordinasi terkait pengendalian ruang dengan dinas-dinas terkait. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bantul sudah selayaknya melakukan penataan ruang yang menjamin keberlanjutan sawah-sawah potensial termasuk lahan-lahan pertanian di sekitar JUT yang terancam kelestariannya akibat peningkatan kapasitas JUT.

Guna meminimalisir dampak pembangunan JUT terhadap alih fungsi lahan pertanian, pemerintah dalam memberikan bantuan pembangunan JUT sebaiknya harus diikuti dengan MoU dengan para pemilik lahan pertanian untuk tidak mengalihfungsikan lahan pertaniannya dalam jangka waktu tertentu agar JUT dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, perlu digalakkan perlakuan insentif terhadap pemilik lahan sawah yang mempertahankan fungsi lahannya dan memberikan disinsentif bagi pemilik lahan sawah yang mengubahnya.

Page 36: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

ANALISIS PENGARUH KINERJA EKONOMI, KEUANGAN DAERAH, PELAYANAN PUBLIK DAN KINERJA APARATUR TERHADAP KEBERHASILAN PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT

ANALYSIS EFFECT OF ECONOMIC PERFORMANCE, LOCAL GOVERNMENT FINANCIAL PERFORMANCE, PUBLIC SERVICES PERFORMANCE AND APPARATUS PERFORMANCE ON THE SUCCESSFUL DEVELOPING AREA OF KABUPATEN PASAMAN BARAT

Nama : Amelia Isman

Instansi : Pemkab Lima Puluh Kota

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 37: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

26 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberhasilan pemekaran daerah Kabupaten Pasaman Barat berdasarkan kinerja ekonomi, kinerja keuangan pemerintah daerah, kinerja pelayanan publik dan kinerja aparatur, yang dilihat dari dua sisi, yaitu dari hasil olah data sekunder dan dari persepsi masyarakat (data primer). Untuk olah data sekunder digunakan metode indeksasi, yang hasilnya dibandingkan dengan daerah induk (Kabupaten Pasaman), dan dibuktikan dengan metode uji beda t (t-test independen). Sementara itu, untuk data primer digunakan metode penyebaran kuesioner dengan sistem penilaian skala likert (skor 1−5) dengan teknik proportional area random sampling. Selanjutnya dari data primer akan dianalisis lagi untuk melihat pengaruh kinerja ekonomi, keuangan daerah, pelayanan publik, dan kinerja aparatur terhadap keberhasilan pemekaran daerah Kabupaten Pasaman Barat dengan menggunakan model regresi logistik biner .

Dari perhitungan Indeks Kinerja Ekonomi (IKE), Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (IKKPD), Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IKPP), dan Indeks Kinerja Aparatur (IKA) Kabupaten Pasaman Barat dan daerah induknya serta telah dilakukan uji beda t, didapatkan hasil bahwa nilai IKE dan IKA Kabupaten Pasaman Barat lebih unggul dari daerah induk yang dibuktikan dengan nilai signifikan t kecil 0,05 sementara nilai IKKPD dan IKPP Kabupaten Pasaman Barat lebih rendah dibandingkan dengan daerah induk, dengan nilai signifikan t besar 0,05 (artinya perbedaan dua daerah tidak signifikan). Dari persepsi masyarakat disimpulkan bahwa kinerja ekonomi dan kinerja keuangan daerah signifikan memengaruhi keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat sementara kinerja palayanan publik dan kinerja aparatur tidak signifikan memengaruhi keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat, dengan nilai R² sebesar 0,279 yang berarti bahwa variabel bebas yang diuji memberikan pengaruh sebesar 27,9% terhadap keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat sementara sisanya 72,1% ditentukan oleh variabel lain diluar model ini.

Kata kunci : Pemekaran Daerah, Kabupaten Pasaman Barat, Daerah induk (Kabupaten Pasaman), Kinerja Ekonomi, Kinerja Keuangan Daerah, Kinerja Pelayanan Publik, Kinerja Aparatur.

Page 38: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 27

ABSTRACT

This research is aims to analyze the successful developing area of West Pasaman District based on economic performance, local government financial performance, public service performance, and apparatus performance, viewed from two sides, namely from secondary data and from community perception (primary data). For the secondary data used the method of indexation, the results are compared with the parent region (Pasaman District), and proved by statistic test using different test method t (independent t-test). Meanwhile, for primary data used questionnaire distribution method with likert scale (score 1−5) with proportional area random sampling technique. Furthermore, the primary data will be analyzed again to see the effect of economic performance, regional finance, public service, and apparatus performance on the success of developing area of West Pasaman District using binary logistic regression model.

From the calculation of Economic Performance Index (IKE), Local Government Financial Performance Index (IKKPD), Public Service Performance Index (IKPP), and Performance Apparatus Index (IKA) of West Pasaman District and its parent region and have done different t test, got result that value of IKE and IKA of West Pasaman District is superior to parent regions proved with t_significant value small from 0,05 while IKKPD and IKPP value of Pasaman Barat Regency is lower than parent region, with t_significant value big from 0,05 (meaning difference of two regions is not significant ). From the perception of society concluded that economic performance and regional financial performance significantly influence the success of developing area in West Pasaman District while performance of public service and apparatus performance does not significantly influence the success of developing are in Pasaman Barat Regency, with value R2 equal to 0,279 which means that free variable tested gives 27,9% influence to the success of developing area in West Pasaman District while the rest 72,1% is determined by other variables outside this model.

Keywords: Developing Area (Pemekaran Daerah), West Pasaman District (Kabupaten Pasaman Barat), Parent Region (Pasaman District), Economic Performance, Regional Financial Performance, Public Service Performance, Apparatus Performance.

Page 39: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

28 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PENGARUH KINERJA EKONOMI, KEUANGAN DAERAH, PELAYANAN PUBLIK DAN KINERJA APARATUR

TERHADAP KEBERHASILAN PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT

A. Latar Belakang

Kabupaten Pasaman Barat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat yang dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Pasaman berdasarkan UU No. 38 Tahun 2003 tanggal 18 Desember 2003. Hampir setengah dari wilayah Kabupaten Pasaman dimekarkan menjadi Kabupaten Pasaman Barat, di mana luas Kabupaten Pasaman saat ini adalah 4447,53 km2, sementara luas Kabupaten Pasaman Barat adalah 3.887,77 km2 (BPS Provinsi Sumatra Barat, 2015). Dilihat dari sektor perekonomian, Kabupaten Pasaman Barat lebih unggul dibandingkan dengan daerah induknya. Tercatat bahwa pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pasaman Barat tahun 2015 adalah 6,09%, sementara pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pasaman hanya 5,87%. Begitu juga halnya dengan PDRB per kapita. PDRB per kapita Kabupaten Pasaman Barat tahun 2015 sebesar Rp28,52 juta, sementara PDRB per kapita Kabupaten Pasaman hanya sebesar Rp23,81 juta. Secara agregatif persentase penduduk miskin di Kabupaten Pasaman Barat juga menurun setiap tahunnya dari 12% pada tahun 2005 menjadi 7,93 % pada tahun 2015 (BPS Kabupaten Pasaman Barat, 2016).

Dengan lebih unggulnya perekonomian Kabupaten Pasaman Barat dibandingkan dengan daerah induknya, apakah juga berbanding lurus dengan peningkatan pelayanan publik yang diterima oleh masyarakat Kabupaten Pasaman Barat?. Bagaimana dengan kemandirian daerah pemerintah Kabupaten Pasaman Barat untuk membiayai pembangunannya sehingga tidak terlalu bergantung kepada pemerintah pusat? Selain itu, kinerja aparatur juga memegang peranan penting dalam keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat.

Dilihat dari kondisi perekonomiannya sudah dapat dikatakan bahwa pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat sudah berhasil. Tetapi keberhasilan pemekaran tidak hanya dilihat dari sisi keluaran (output) saja. Keberhasilan pemekaran daerah harus dilihat dari berbagai sisi. Oleh karena itu, evaluasi pemekaran hendaknya lebih dititikberatkan pada kinerja daerah setelah pemekaran terjadi. Karena kinerja daerah menunjukkan seberapa besar upaya pemerintah daerah untuk mencapai tujuan pemekaran.

Page 40: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 29

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang mendalam dengan judul Analisis Pengaruh Kinerja Ekonomi, Keuangan Daerah, Pelayanan Publik, dan Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah terhadap keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat berdasarkan kinerja ekonomi, keuangan daerah, pelayanan publik dan kinerja aparatur pemerintah daerah (data sekunder) dan menurut persepsi masyarakat semenjak dibentuk menjadi daerah otonomi baru tahun 2003?

2. Seberapa besarkah pengaruh kinerja ekonomi, keuangan daerah, pelayanan publik dan kinerja aparatur pemerintah daerah dalam keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat?

3. Implikasi kebijakan apa sajakah yang dapat direkomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat dalam hal kinerja ekonomi.

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner yang disebar kepada masyarakat, yang berisi pertanyaan dengan jawabannya berupa sistem skala likert. Sementara itu, data sekunder diperoleh dalam bentuk sudah jadi berupa publikasi dinas/instansi yang berhubungan dengan dengan objek penelitian.

Tujuan pengambilan data primer adalah untuk menjaring penilaian masyarakat atas kinerja pemerintah daerah Kabupaten Pasaman Barat dibandingkan dengan kondisi sebelum pemekaran (sewaktu masih tergabung dengan daerah induknya dulu), di mana dari data sekunder yang ada, informasi kondisi sebelum dimekarkan tidak tersedia.

Sementara itu, data sekunder berguna untuk menghitung nilai indeks kinerja ekonomi, indeks kinerja keuangan daerah, indeks kinerja pelayanan public, dan indeks kinerja aparatur daerah dengan kondisi setelah dimekarkan. Adapun data yang diperlukan, yaitu laju pertumbuhan ekonomi nonmigas, pendapatan perkapita, angka kemiskinan, ketergantungan fiskal, kapasitas penciptaan pendapatan, proporsi belanja modal pemerintah, daya tampung sekolah, ketersediaan tenaga pendidik, ketersediaan fasilitas kesehatan, ketersediaan tenaga kesehatan, kualitas insfrastruktur, kualitas

pendidikan aparatur, persentase aparatur pendidik, dan persentase aparatur paramedis.

Page 41: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

30 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Indeks Kinerja Ekonomi (IKE)

Indikator yang digunakan sebagai ukuran Indeks Kinerja Ekonomi (IKE) adalah pertumbuhan PDRB nonmigas (ECGI), PDRB per kapita (WELFI), rasio PDRB kabupaten/kota terhadap PDRB provinsi (ERRI), serta angka kemiskinan (POVEI).

Secara keseluruhan indeks kinerja ekonomi di Kabuparen Pasaman Barat dan daerah induknya (Kabupaten Pasaman) berfluktuasi. Dilihat dari tren grafik, grafik IKE Kabupaten Pasaman Barat cenderung berada di atas grafik IKE daerah induk (Kabupaten Pasaman). Begitu juga halnya dengan nilai rata-rata keseluruhan dari tahun 2004 sampai 2015. Nilai rata-rata IKE Kabupaten Pasaman Barat juga lebih tinggi dari daerah induknya (28,74 > 27,87). Walaupun demikian hal itu masih perlu dibuktikan secara statistic, apakah rata-rata nilai IKE Kabupaten Pasaman Barat memang lebih unggul dari daerah induknya (Kabupaten Pasaman). Alat statistik yang relevan digunakan untuk menguji kedua perbandingan tersebut adalah uji beda rata-rata t-test (independent samples test).

Dari hasil uji t-test diperoleh nilai t-test (equal variances not assumed) adalah sebesar 2,197 dengan nilai signifikan sebesar 0,042. Oleh karena nilai signifikan lebih kecil dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa hasil uji beda rata-rata menunjukkan hasil yang signifikan, yang berarti bahwa ada perbedaan nilai IKE antara Kabupaten Pasaman Barat dengan daerah induknya (Kabupaten Pasaman). Hal ini dapat dibuktikan secara nyata bahwa nilai rata-rata IKE Kabupaten Pasaman

Barat secara signifikan lebih tinggi daripada daerah induknya (28,74 > 27,87).

2. Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah (IKKPD)

Secara umum, penyebab kinerja keuangan daerah pemekaran tampak lebih rendah dibandingkan daerah induk adalah terdapatnya sejumlah permasalahan dalam keuangan daerah, di antaranya (Bappenas : 2008):

a. Ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran secara persisten berkaitan dengan besarnya alokasi belanja modal di daerah pemekaran. Peran keuangan pemerintah pusat dalam pembangunan di daerah pemekaran masih sangat besar. Terkait dengan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah, pemekaran seyogyanya dapat mendorong kemandirian pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan di daerahnya melalui optimalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi daerah. Seyogyanya alokasi dana pemerintah pusat menjadi satu insentif dan modal awal bagi pemerintah daerah mekar

Page 42: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 31

untuk mengoptimalkan pendapatan sendiri, sehingga pada waktunya dapat mengurangi ketergantungan terhadap keuangan pemerintah pusat.

b. Optimalisasi pendapatan dan kontribusi ekonomi yang rendah. Di sini terlihat adanya vicious circle antara keuangan pemerintah dan perekonomian daerah. Sebagai suatu daerah otonom yang baru, daerah pemekaran memerlukan peran nyata pemerintah daerah yang cukup besar untuk mendorong perekonomiannya. Tidak saja melalui pembangunan infrastruktur fisik tetapi juga kebijakan dan pengelolaan keuangan daerah yang dapat mendorong berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan.

c. Porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah yang rendah belum mampu sepenuhnya mendorong perekonomian di daerah. Hal ini menjadi satu indikasi belum efektifnya kebijakan keuangan pemerintah daerah pemekaran terutama DOB dalam menggerakkan aktivitas ekonomi di daerah, baik yang bersifat konsumtif maupun yang bersifat investasi.

3. Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IKPP)

Secara keseluruhan dilihat dari jumlah nilai rata-rata Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IKPP) Kabupaten Pasaman Barat sepanjang tahun 2004−2015 masih lebih rendah dari daerah induk, yaitu 93,86 < 99,80. Grafik IKPP Kabupaten Pasaman Barat dan daerah induk (Kabupaten Pasaman) hampir berdekatan, tidak terlihat gap yang cukup besar. Untuk membuktikan apakah rata-rata nilai IKPP daerah induk memang lebih unggul dari Kabupaten Pasaman Barat, maka perlu dilakukan uji beda t.

Hasil uji beda t (t-test independen) menunjukkan hasil yang tidak signifikan atas perbedaan nilai rata-rata antara daerah induk dan daerah mekar (Kabupaten Pasaman Barat). Nilai t-test yang dihasilkan adalah -1,984 dengan nilai signifikan sebesar 0,060, yang berarti bahwa hasil ini tidak signifikan karena nilai ini lebih besar dari 0,05 (0,060>0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan nilai rata-rata IKPP daerah induk dengan daerah mekar (Kabupaten Pasaman Barat) atau secara rata-rata nilai IKPP antara daerah induk (Kabupaten

Pasaman) dan daerah mekar (Kabupaten Pasaman Barat) relatif sama.

4. Indeks Kinerja Aparatur Pemerintah Daerah (IKA)

Salah satu hal yang menjadi motor penggerak pelayanan publik adalah aparatur pemerintah daerah yang dalam jumlah maupun kualitasnya sangat menentukan arah pembangunan di daerah. Kualitas dan produktivitas aparatur menjadi sangat penting. Indeks Kinerja Aparatur (IKA) disusun berdasarkan Pendidikan Aparatur

Page 43: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

32 Direktori Mini Tesis-Disertasi

(EQI), Persentase Aparatur Pendidik (EPI), dan Persentase Aparatur Paramedis (PPI).

Melihat perbandingan antara tahun 2004 dan tahun 2015, Indeks Kinerja Aparatur (IKA) Kabupaten Pasaman Barat tidak jauh berbeda, di mana pada tahun 2004 nilai Indeks Kinerja Aparatur (IKA) sebesar 71,87 dan tahun 2015 nilai Indeks Kinerja Aparatur (IKA) adalah sebesar 70,54. Hal ini menjadi gambaran bahwa kinerja aparatur di Kabupaten Pasaman Barat relatif stagnan. Tetapi apabila dibandingkan dengan daerah induknya, kondisi ini sudah cukup lebih baik, terlihat bahwa nilai Indeks Kinerja Aparatur (IKA) Kabupaten Pasaman Barat lebih tinggi daripada Kabupaten Pasaman.

Sama halnya dengan indikator IKE, indikator IKA Kabupaten Pasaman Barat juga lebih tinggi dari daerah induknya. Dari hasil uji beda rata-rata t juga membuktikan hal tersebut bahwa hasil uji beda rata-rata menunjukkan hasil yang signifikan, yang berarti bahwa ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara nilai IKA Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai IKA daerah induknya (Kabupaten Pasaman). Sehingga dapat disimpulkan bahwa IKA Kabupaten Pasaman Barat lebih unggul daripada daerah induk. Dengan tingginya nilai IKA Kabupaten Pasaman Barat akan memberikan pengaruh yang signifikan bagi keberhasilan pembangunan daerah Kabupaten Pasaman, karena kualiatas aparatur pemerintah sangat menentukan arah pembangunan di daerah Kabupaten Pasaman Barat.

Sementara itu, nilai IKKPD dan IKPP Kabupaten Pasaman Barat masih kalah dari kabupaten induknya (Kabupaten Pasaman), di mana kabupaten induk lebih unggul dari Kabupaten Pasaman Barat. Tetapi dari hasil uji t terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (sig value > 0,05). Hal ini berarti bahwa nilai IKKPD dan IKPP Kabupaten Pasaman Barat relatif sama dengan daerah induknya (Kabupaten Pasaman).

5. Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja Ekonomi, Keuangan Daerah, Pelayanan Publik, dan Aparatur Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat

Penilaian masyarakat atas kinerja keuangan didasarkan kepada 2 (dua) buah pertanyaaan, yaitu apakah pemerintah dapat menciptakan pendapatan daerah dengan tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi di masyarakat serta pemerintah lebih banyak menggunakan dana dalam rangka pembangunan fisik daerah untuk manfaat jangka panjang. Hasil penilaian terhadap masyarakat menyatakan bahwa, sebanyak 66,3% masyarakat memberikan penilaian baik atas kinerja keuangan

Page 44: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 33

pemerintah daerah (nilai skala likert di atas 3), yang berarti bahwa masyarakat sepakat bahwa pemerintah dapat menciptakan pendapatan daerah dengan tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi di masyarakat serta pemerintah lebih banyak menggunakan dana dalam rangka pembangunan fisik daerah untuk manfaat jangka panjang. Sementara sisanya 33,7% memberikan penilaian buruk (nilai skala likert di bawah 3) atas kinerja keuangan pemerintah daerah.

Penilaian masyarakat atas kinerja pelayanan publik didasarkan kepada 3 (tiga) buah pertanyaaan, yaitu apakah keberadaan sekolah SD, SMP, dan SMA sudah menjangkau setiap kecamatan?, apakah ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan sudah dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat?, dan apakah kualitas infrastruktur jalan sudah baik?. Hasil penilaian masyarakat menyatakan bahwa, hanya 49,3% masyarakat memberikan penilaian baik atas kinerja pelayanan publik (nilai skala likert di atas 3) sementara sisanya 50,7% memberikan penilaian buruk (nilai skala likert di bawah 3) yang berarti bahwa keberadaan sekolah SD, SMP, dan SMA belum dapat menjangkau setiap kecamatan, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan kualitas infrastruktur jalan belum baik.

Penilaian masyarakat atas kinerja aparatur pemerintah didasarkan kepada 3 (tiga) buah pertanyaaan, yaitu apakah kualitas aparatur semakin baik sehingga pengurusan administrasi semakin mudah dan cepat, jalur birokrasi yang pendek tidak berbelit-belit, dan pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah lebih transparan kepada masyarakat, apakah jumlah guru untuk setiap jenjang pendidikan sudah mencukupi jumlahnya dan apakah kualitas pelayananan tenaga medis semakin baik. Hasil penilaian masyarakat menyatakan bahwa, sebanyak 60,7% masyarakat memberikan penilaian baik atas kinerja aparatur pemerintah daerah (nilai skala likert di atas 3) yang berarti bahwa masyarakat sepakat bahwa kualitas aparatur semakin baik, sehingga pengurusan administrasi semakin mudah dan cepat, jalur birokrasi yang pendek tidak berbelit-belit, dan pelaksanaan program dan kebijakan pemerintah lebih transparan kepada masyarakat, jumlah guru untuk setiap jenjang pendidikan sudah mencukupi jumlahnya dan kualitas pelayananan tenaga medis semakin baik. Sisanya 39,3% memberikan penilaian buruk (nilai skala likert di bawah 3) atas kinerja aparatur pemerintah daerah Kabupaten Pasaman Barat.

6. Implikasi Kebijakan

Dari hasil studi penelitian ini, terlihat bahwa kinerja ekonomi dan kinerja keuangan daerah berpengaruh secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Pasaman Barat pasca menjadi daerah otonom baru sejak tahun 2003.

Page 45: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

34 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Dengan mempertimbangkan peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, menjadi kata kunci pelaksanaan otonomi daerah, maka implikasi kebijakan yang dapat dirumuskan terkait dengan hasil studi adalah:

a. Melakukan percepatan pengembangan ekonomi dengan konsep pemberdayaan masyarakat.

Konsep percepatan pembangunan ekonomi dengan konsep pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Mereka yang miskin sumber daya, kaum perempuan dan kelompok yang termarjinalkan

lainnya didukung agar mampu meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri.

b. Melakukan percepatan pengembangan ekonomi daerah dengan pelibatan pihak swasta (investor).

Pihak yang berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat tidak hanya pemerintah saja, pihak swasta juga turut serta berperan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Untuk itu percepatan pengembangan ekonomi juga diarahkan guna menarik investor sebanyak-banyaknya untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Pasaman Barat pada pengembangan kegiatan-kegiatan sektor riil dan sektor ekonomi unggulan. Adanya pelibatan pihak investor akan mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi penduduk miskin dan jumlah pengangguran. Pemerintah sebagai fasilitator untuk mendatangkan investor ke Kabupaten Pasaman Barat, dapat melakukan upaya-upaya sebagai berikut:

• Memperbaiki atau menyediakan infrastruktur dasar seperti listrik, telekomunikasi, prasarana jalan, jembatan, serta pelabuhan.

• Menyediakan data dan informasi serta mempromosikan potensi daerah Kabupaten Pasaman Barat, sehingga investor tertarik untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Pasaman Barat.

• Adanya regulasi dan birokrasi yang memudahkan orang dalam berinvestasi.

• Adanya jaminan keamanan bagi investor untuk berinvestasi di Kabupaten Pasaman Barat.

c. Agar pemerintah kabupaten mengalokasikan anggaran untuk belanja pemerintah yang proporsional.

Pengalokasian anggaran untuk belanja pemerintah yang proporsional dapat memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional, dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pengeluaran untuk meningkatkan fasilitas

Page 46: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 35

publik dan pembangunan infrastruktur jalan yang dapat meningkatkan investasi daerah. Fasilitas publik diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan pendidikan dan kesehatan, sehingga belanja pemerintah diarahkan untuk pembangunan fasilitas gedung sekolah dan gedung kesehatan lengkap dengan prasarananya.

d. Mengoptimalisasi penerimaan pendapatan asli daerah (PAD).

Untuk mengoptimalkan pembangunan infrastrukur di Kabupaten Pasaman Barat, dibutuhkan biaya yang besar. Agar dapat mengimbangi sumber pembiayaan dari pusat, pemerintah daerah wajib mencari sumber pembiayaan yang lain agar tidak terlalu bergantung dengan pusat. Untuk itu pemerintah daerah perlu mengoptimalkan sumber pendapatan daerahnya. Untuk mengoptimalkan PAD Kabupaten Pasaman Barat, diperlukan sumber daya aparatur pemerintah yang handal dalam menghitung sumber-sumber penerimaan daerah sehingga tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi di masyarakat. Untuk menciptakan aparatur yang handal diperlukan pelatihan dan peningkatan kapasitas SDM aparatur pemerintah.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Indeks kinerja daerah otonom baru Kabupaten Pasaman Barat pasca terbentuk pada tahun 2003 relatif baik. Penilaian kinerja daerah dilakukan atas 4 (empat) kriteria, yaitu indeks kinerja ekonomi, indeks kinerja keuangan pemerintah daerah, indeks kinerja pelayanan publik, dan indeks kinerja aparatur.

a. Indeks Kinerja Ekonomi (IKE)

Untuk indikator IKE, terlihat bahwa rata-rata IKE Kabupaten Pasaman Barat berada di atas nilai rata-rata IKE daerah induknya. Dari hasil uji beda rata-rata t juga menunjukkan hasil yang signifikan (sig value < 0,05), bahwa ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara nilai IKE Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai IKE daerah induknya (Kabupaten Pasaman), sehingga dapat disimpulkan bahwa pemekaran daerah sudah memberikan dampak yang positif bagi perekonomian daerah di Kabupaten Pasaman Barat.

b. Indeks Kinerja Keuangan Pemerintah daerah (IKKPD)

Untuk IKKPD Kabupaten Pasaman Barat secara umum hampir sama dengan daerah induknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji beda t terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (sig value > 0,05).

Page 47: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

36 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Indeks Kinerja Pelayanan Publik (IKPP)

Indeks Kinerja Pelayanan Publik pemerintah daerah Kabupaten Pasaman Barat secara umum hampir sama dengan daerah induknya. Hal ini dibuktikan dari hasil uji beda t terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (sig value > 0,05). Hal ini berarti bahwa nilai IKKPD Kabupaten Pasaman Barat relatif sama dengan daerah induknya (Kabupaten Pasaman).

d. Indeks Kinerja Aparatur

Nilai Indeks Kinerja Aparatur (IKA) Kabupaten Pasaman Barat lebih baik daripada daerah induknya. Kualitas dan kuantitas aparatur Kabupaten Pasaman Barat lebih unggul daripada daerah induknya. Dari hasil uji beda rata-rata t juga membuktikan hal tersebut bahwa hasil uji beda rata-rata menunjukkan hasil yang signifikan yang berarti bahwa ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara nilai IKA Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai IKA daerah induknya (Kabupaten Pasaman). Sehingga dapat disimpulkan bahwa IKA Kabupaten Pasaman Barat lebih unggul daripada daerah induk.

2. Dari persepsi masyarakat, persentase masyarakat yang menyatakan pemekaran telah berhasil dan belum berhasil beda tipis, yaitu sebanyak 50,3% masyarakat (responden) menyatakan pemekaran telah berhasil yang ditandai dengan adanya peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat sementara 49,7% responden menyatakan pemekaran belum berhasil yang ditandai dengan tidak ada peningkatan kesejahteran hidup. Dari empat variabel bebas yang diuji dalam model regresi logistik biner, hanya 2 (dua) variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat, yaitu kinerja ekonomi dan kinerja keuangan daerah, dengan nilai R² sebesar 0,279 yang berarti bahwa kinerja ekonomi, keuangan daerah, pelayanan public, dan kinerja aparatur memberikan pengaruh sebesar 27,9% terhadap keberhasilan pemekaran daerah di Kabupaten Pasaman Barat sementara sisanya 72,1% ditentukan oleh variabel lain diluar model ini.

3. Dari hasil studi penelitian ini, terlihat bahwa kinerja ekonomi dan kinerja keuangan daerah berpengaruh secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Pasaman Barat pasca menjadi daerah otonom baru sejak tahun 2003. Maka implikasi kebijakan yang dapat dirumuskan terkait dengan hasil studi adalah:

a. Melakukan percepatan pengembangan ekonomi dengan konsep pemberdayaan masyarakat.

b. Melakukan percepatan pengembangan ekonomi daerah dengan pelibatan pihak swasta (investor).

Page 48: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 37

c. Dari sisi kinerja keuangan pemerintah daerah, pemerintah kabupaten harus mampu mengalokasikan anggaran untuk belanja pemerintah yang proporsional sehingga mampu memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

d. Mengoptimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Page 49: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

38 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 50: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PROSES PERKEMBANGAN PARIWISATA PASCA PENINGKATAN KONDISI JALAN (KASUS: PARIWISATA DI SEPANJANG JALAN LINTAS PESISIR SELATAN PROVINSI LAMPUNG)

Nama : Angri Hasdiandi

Instansi : Pemprov Lampung

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 51: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

40 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perkembangan pariwisata di sepanjang jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung merupakan salah satu yang tercepat di Provinsi Lampung. Sektor transportasi khususnya berupa infrastruktur jalan sebagai sektor tersier yang menyediakan pelayanan kepada sektor-sektor lainnya memiliki peranan terhadap perkembangan pariwisata. Infrastruktur jalan yang baik merupakan salah satu kunci untuk mendorong perkembangan pariwisata. Hal tersebut mendorong pemerintah Provinsi Lampung untuk memprioritaskan peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan guna mendukung perkembangan pariwisata pada wilayah tersebut. Dalam upaya peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan, terdapat dua jenis penanganan yang berbeda. Pada ruas segmen 1 didominasi oleh penanganan jalan berupa pemeliharaan rutin dan berkala, sedangkan pada ruas segmen 2 didominasi oleh penanganan jalan berupa pembangunan jalan baru. Terdapat perbedaan pengaruh dari meningkatnya kondisi kedua segmen jalan tersebut terhadap proses perkembangan pariwisata.

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses perkembangan pariwisata pasca peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan (mixed methods) dengan teknik analisis deskriptif, skala Likert, dan simple regression.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kondisi pada suatu ruas jalan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap proses perkembangan pariwisata pada wilayah yang telah memiliki tingkat aksesibilitas tinggi dan ditandai dengan angka kemantapan jalan yang masuk dalam kategori tinggi. Peningkatan kondisi jalan hanya akan berpengaruh besar terhadap proses perkembangan pariwisata pada suatu wilayah yang tingkat aksesibilitasnya masih rendah dan ditandai dengan angka kemantapan jalan belum masuk dalam kategori tinggi. Besar atau kecilnya angka peningkatan kondisi pada suatu ruas jalan tidak selalu berbanding lurus terhadap besar atau kecilnya pertumbuhan jumlah wisatawan yang berkunjung pada objek-objek wisata di ruas jalan tersebut. Hal ini terjadi karena banyak atau sedikitnya jumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu objek wisata juga dipengaruhi oleh karakteristik dan tipologi dari wisatawan yang menjadi pasar dari objek-objek wisata itu sendiri.

Kata kunci: Perkembangan Pariwisata, Kondisi jalan, Proses, Mixed Methods, Provinsi Lampung

Page 52: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 41

ABSTRACT

The development of tourism along the southern coastal roads of Lampung Province is one of the fastest in Lampung Province. The transportation sector especially in the form of road infrastructure as a tertiary sector providing services to other sectors has a role to the development of tourism. Good road infrastructure is one of the keys to encourage tourism development. This prompted the provincial government of Lampung to prioritize improving the condition of the southern coastal roads in order to support the development of tourism in the region. In an effort to improve road conditions across the southern coast, there are two different types of treatment. In the first segment is dominated by road handling in the form of routine and periodic maintenance, while the second segment is dominated by road handling in the form of new road construction. There are differences of influence from the increasing condition both of road segments to the tourism development process.

The purpose of this research is to describe the process of tourism development after improved conditions of the southern coastal roads of Lampung Province. The method in this research using a combined approach (Mixed Methods) with descriptive analysis techniques, Likert scale and simple regression.

The results of this research indicate that the improvement of road conditions did not have a major influence on the process of tourism development in areas that have a high level of accessibility and marked by the number of roads stability that included in the high category. Improved road conditions will only have a major influence on the process of tourism development in areas where accesibility level is still low and marked by the number of roads stability that not yet included in the high category. Big or small number of improvement in road condition is not always directly proportional to the big or small growth in number of tourists visiting on tourism objects in these road. This happens because a lot or a little number of tourists visiting on a tourism objects is also influenced by characteristics and typology of tourists who become the market of the tourist objects themselves.

Keywords: Tourism Development, Road Condition, Process, Mixed Methods, Lampung Province

Page 53: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

42 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PROSES PERKEMBANGAN PARIWISATA PASCA PENINGKATAN KONDISI JALAN

(KASUS: PARIWISATA DI SEPANJANG JALAN LINTAS PESISIR SELATAN PROVINSI LAMPUNG)

A. Latar Belakang

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Provinsi Lampung untuk meningkatkan perkembangan sektor pariwisata, yang salah satunya adalah pembangunan infrastruktur jalan menuju objek-objek pariwisata. Dengan infrastruktur jalan yang baik maka tingkat aksesibilitas menuju objek pariwisata juga akan turut meningkat dan pada akhirnya akan menumbuhkan sektor pariwisata khususnya objek-objek wisata yang berada di sepanjang ruas jalan yang dibangun. Sejak tahun 2012 hingga saat ini pemerintah Provinsi Lampung sedang gencar melaksanakan pembangunan jalan lintas pesisir selatan yang tujuannya adalah mempercepat pertumbuhan sektor pariwisata dan membuka keterisoliran di sepanjang jalan ini. Di sepanjang jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung banyak terdapat potensi pariwisata khususnya wisata bahari. Jumlah pengunjung objek wisata pantai di sepanjang jalan lintas pesisir selatan dari ruas Jalan Tenggiri sampai ruas Padang Cermin-Sp. Teluk Kiluan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016 mengalami pertumbuhan sebesar 2.773,56%, yakni dari 19.765 wisatawan pada tahun 2010 menjadi 567.960 wisatawan pada tahun 2016.

Kondisi yang dapat dilihat di lapangan adalah banyak objek wisata yang semakin berkembang setelah adanya peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan, namun banyak pula objek wisata yang telah berkembang sebelum adanya peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan tersebut. Hal lain yang didapat dari pengamatan di lapangan adalah bahwa perkembangan objek wisata jika dilihat dari sisi jumlah pengunjung objek wisata ternyata ada yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kondisi jalan. Tentunya terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi perkembangan sektor pariwisata. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung dipilih untuk diteliti mengenai perkembangan pariwisata akibat dari peningkatan kondisi jalan. Pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana proses perkembangan pariwisata pasca peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung?”. Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan proses perkembangan pariwisata pasca peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung.

Page 54: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 43

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah Provinsi Lampung untuk meningkatkan perkembangan sektor pariwisata, yang salah satunya adalah pembangunan infrastruktur jalan menuju objek-objek pariwisata. Sebagaimana dikatakan oleh Babcock (1932) dalam Yunus (2000) bahwa daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi. Dengan infrastruktur jalan yang baik, maka tingkat aksesibilitas menuju objek pariwisata juga akan turut meningkat dan pada akhirnya akan menumbuhkan sektor pariwisata khususnya objek-objek wisata yang berada di sepanjang ruas jalan yang dibangun. Sejak tahun 2012 hingga saat ini pemerintah Provinsi Lampung sedang gencar melaksanakan pembangunan jalan lintas pesisir selatan yang tujuannya adalah mempercepat pertumbuhan sektor pariwisata dan membuka keterisoliran di sepanjang jalan ini. Di sepanjang jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung.

Hal lain yang didapat dari pengamatan di lapangan adalah bahwa perkembangan objek wisata jika dilihat dari sisi jumlah pengunjung objek wisata, ternyata ada yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kondisi jalan. Tentunya terdapat faktor-faktor lain yang memengaruhi perkembangan sektor pariwisata. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung dipilih untuk diteliti mengenai proses perkembangan pariwisata pasca peningkatan kondisi jalan.

Untuk itu, berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan pokok permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana proses perkembangan pariwisata pasca peningkatan kondisi jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung?”

Penelitian dilakukan di jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung ruas jalan Tenggiri sampai dengan ruas jalan Padang Cermin-Sp. Teluk Kiluan sepanjang 66,953 km. Agar didapatkan hasil yang fokus terhadap tujuan yang ingin dicapai, maka dibatasi pada beberapa hal sebagai berikut: 1) Perkembangan pariwisata dibatasi berdasarkan definisi pariwisata yang diungkapkan oleh Gunn (1988), yaitu sisi permintaan berupa elemen orang (wisatawan) dengan indikator jumlah wisatawan dan sisi sediaan berupa daya tarik wisata dengan indikator jumlah objek wisata; 2) Destinasi pariwisata dibatasi berdasarkan pembagian tipologi destinasi wisata yang dibuat UN-WTO, yaitu berupa destinasi wisata kawasan pantai; 3). Batasan periode waktu yang diteliti adalah antara tahun 2010 sampai dengan tahun 2016. Pemilihan periode waktu antara tahun 2010−2016 adalah dengan pertimbangan sudah jelasnya kewenangan penyelenggaraan jalan lintas pesisir selatan dan pariwisata di sepanjang jalan lintas pesisir selatan berkembang pesat setelah tahun 2010.

Page 55: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

44 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Dalam penelitian ini sumber data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber asli/pertama/responden di lapangan. Data primer pada penelitian ini diperoleh dari observasi, wawancara, dan kuesioner. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia atau dikumpulkan tidak secara langsung dari objek penelitian, tetapi melalui instansi-instansi/pihak yang memiliki data terkait dengan topik penelitian.

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis-analisis yang dinilai tepat dan sesuai untuk menganalisis data berupa data kualitatif maupun data kuantitatif. Analisis-analisis tersebut terdiri dari analisis deskriptif, analisis simple

regression, serta analisis skala Likert.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Konstelasi Kondisi Jalan dengan Faktor Lain yang Berpengaruh terhadap Perkembangan Pariwisata Menurut Persepsi Wisatawan

a. Analisis Skala Likert Persepsi Wisatawan

Analisis persepsi wisatawan terhadap 20 faktor yang memengaruhi perkembangan pariwisata di sepanjang jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung, faktor yang memiliki nilai rating scale tertinggi merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perkembangan pariwisata, begitupula sebaliknya.

b. Pengaruh Kondisi Jalan terhadap Perkembangan Pariwisata

Analisis simple regression digunakan untuk menghitung seberapa besar hubungan dan pengaruh kondisi jalan (X) terhadap perkembangan pariwisata (Y). Untuk menghitung nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi antara dua variabel di atas, dipergunakan program SPSS versi 23. Nilai koefisien korelasi dan koefisien determinasi dihitung berdasarkan data tahun 2010 sampai dengan tahun 2016.

Dari hasil perhitungan nilai R dari kedua variabel X dan Y besarnya di bawah 0,5 yang artinya korelasi antara jumlah pengunjung objek wisata dan kondisi jalan masuk dalam kategori sangat lemah−cukup. Begitupula dengan nilai R Square yang besarannya di bawah 0,3, yang artinya tingkat pengaruh kondisi jalan terhadap jumlah pengunjung objek wisata masuk dalam kategori sangat rendah.

Page 56: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 45

2. Proses Perkembangan Pariwisata Pasca Peningkatan Kondisi Jalan

a. Periode 1 (Tahun 2010−2012)

Perkembangan pariwisata pada periode 1 (tahun 2010−2012) merupakan tahap awal terjadinya perkembangan pesat pariwisata di jalan lintas pesisir selatan baik dari sisi objek wisata maupun dari sisi wisatawan. Pada ruas segmen 1, objek wisata tumbuh sebesar 66,67%, jumlah wisatawan tumbuh sebesar 886,69%. Pada aspek transportasi, terjadi peningkatan kondisi jalan sebesar 17,14%. Sedangkan pada ruas segmen 2 tidak terdapat pertumbuhan objek wisata. Jumlah wisatawan hanya tumbuh sebesar 50% dan pada aspek transportasi terjadi peningkatan kondisi jalan sebesar 10,82%.

Terlihat bahwa terjadi ketimpangan pertumbuhan jumlah wisatawan antara ruas segmen 1 dan ruas segmen 2. Jika dikaitkan dengan peningkatan kondisi kemantapan jalan pada kedua ruas jalan maka sangat wajar bila jumlah wisatawan ruas segmen 1 akan lebih berkembang dibandingkan dengan ruas segmen 2, karena peningkatan kondisi jalan ruas segmen 1 juga lebih besar dibandingkan dengan ruas segmen 2. Namun yang perlu dilihat juga, bahwa perbandingan pertumbuhan jumlah wisatawan dan angka kemantapan jalan antara ruas segmen 1 dan ruas segmen 2 tidak berbanding lurus. Keadaan ini tentu disebabkan oleh beberapa hal.

Jika melihat data kemantapan jalan ruas segmen 1 terlihat bahwa sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 kemantapan jalan ruas segmen 1 sudah masuk dalam kategori tinggi, sehingga peningkatan kondisi jalan yang terjadi tidak terlalu memengaruhi tingkat aksesibilitas. Selain itu, pasar wisatawan pada ruas segmen 1 yang didominasi oleh wisatawan keluarga yang masuk kedalam kategori mass tourism yang tentunya akan memiliki jumlah yang sangat besar.

Peningkatan kondisi jalan yang terjadi pada ruas segmen 1 memberikan manfaat pada semakin meningkatnya kenyamanan di perjalanan yang memang sangat dipertimbangkan oleh wisatawan yang bepergian bersama keluarga. Peningkatan kondisi jalan tidak terlalu berpengaruh pada meningkatnya aksesibilitas karena sebelum adanya peningkatan kondisi jalan, ruas segmen 1 telah memiliki aksesibilitas yang tinggi.

Berbeda dengan ruas segmen 2 yang objek wisatanya ditujukan untuk wisatawan minat khusus. Wisatawan minat khusus memiliki karakteristik bepergian dalam jumlah kecil, sehingga pertumbuhan jumlah wisatawan yang terjadi pada ruas segmen 2 termasuk cukup besar. Jika melihat data kemantapan jalan ruas segmen 2 pada tahun 2010 sampai dengan 2012, terlihat bahwa

Page 57: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

46 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kemantapan jalan ruas segmen 2 pada tahun 2010 masuk kategori sedang dan mendekati kategori tinggi pada akhir tahun 2012. Kondisi ini mengindikasikan bahwa peningkatan kondisi jalan yang terjadi berpengaruh pada meningkatnya aksesibilitas yang pada akhirnya ikut memengaruhi pertumbuhan pariwisata.

b. Periode 2 (Tahun 2013−2016)

Pada periode 2 (tahun 2013−2016) peningkatan kondisi jalan dilaksanakan lebih masif dibandingkan pada periode 1. Pada periode ini, objek wisata ruas segmen 1 tumbuh sebesar 40%, jumlah wisatawan tumbuh sebesar 191,61%, dan kondisi kemantapan jalan sudah stabil pada angka di atas 96%. Artinya kondisi kemantapan jalan pada ruas segmen 1 pada periode 2 selalu konsisten pada kategori kemantapan tinggi. Objek wisata pada ruas segmen 2 tumbuh 100%, jumlah wisatawan tumbuh sebesar 1.736,55%, dan kemantapan jalan meningkat sebesar 5,23%.

Sama seperti pada periode 1, terjadi ketimpangan jumlah wisatawan dan pertumbuhan jumlah wisatawan antara ruas segmen 1 dan 2. Namun bedanya, pada periode 2 ruas segmen 2 memiliki angka pertumbuhan jumlah wisatawan yang lebih tinggi dibandingkan ruas segmen 1. Dari sisi jumlah wisatawan ruas segmen 2 masih kalah jauh dibandingkan dengan jumlah wisatawan ruas segmen 1. Hal ini masih berkaitan dengan pasar wisatawan sebagaimana yang telah disampaikan pada pembahasan periode 1.

Jika melihat data kemantapan jalan ruas segmen 1 dari awal periode 1 sampai akhir periode 2 angkanya telah berada di atas 75% yang artinya sejak awal periode 1 tingkat kemantapan jalan ruas segmen 1 sudah masuk dalam kategori tinggi. Berbeda dengan ruas segmen 2, di mana angka kemantapan jalannya fluktuatif dan lebih banyak masuk dalam kategori kemantapan sedang. Baru pada periode 2 tahun 2015 sampai dengan akhir tahun 2016 tingkat kemantapan jalan ruas segmen 2 masuk dalam kategori tinggi.

Jika dikaitkan antara perkembangan pariwisata dengan peningkatan kondisi jalan dapat dijelaskan bahwa perkembangan pariwisata dipengaruhi juga oleh tingkat aksesibilitas. Pada ruas segmen 1 tingkat aksesibilitas sudah pada kategori tinggi sehingga peningkatan kondisi jalan yang ada hanya berfungsi untuk mempertahankan tingkat aksesibilitas yang sudah tinggi. Di sini peningkatan kondisi jalan hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap perkembangan pariwisata.

Pada ruas segmen 2, peningkatan kondisi jalan memberikan pengaruh positif pada tingkat aksesibilitas. Peningkatan kondisi jalan yang dilaksanakan

Page 58: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 47

secara masif pada periode 2 mendorong peningkatan aksesibilitas pada ruas segmen 2. Hal ini dapat dilihat mulai tahun 2015 sampai akhir 2016 kemantapan jalan pada ruas segmen 2 sudah berada pada angka di atas 75% yang artinya sudah masuk kategori tinggi. Dengan kemantapan jalan yang masuk kategori tinggi maka aksesibilitas juga semakin tinggi sehingga perkembangan pariwisata ikut meningkat. Perkembangan pariwisata bisa dilihat dari jumlah wisatawan

yang tumbuh sebesar 1.736,55% pada periode 2.

D. Kesimpulan

Peningkatan kondisi pada suatu ruas jalan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap proses perkembangan pariwisata pada wilayah yang telah memiliki tingkat aksesibilitas tinggi dan ditandai dengan angka kemantapan jalan yang masuk dalam kategori tinggi. Peningkatan kondisi jalan hanya akan berpengaruh besar terhadap proses perkembangan pariwisata pada suatu wilayah yang tingkat aksesibilitasnya masih rendah dan ditandai dengan angka kemantapan jalan belum masuk dalam kategori tinggi. Pada ruas jalan yang telah memiliki angka kemantapan jalan kategori tinggi, peningkatan kondisi ruas jalan hanya berdampak pada meningkatnya kenyamanan dalam berkendara dan mempertahankan tingkat aksesibilitas yang telah dicapai, sedangkan pada ruas jalan yang memiliki angka kemantapan jalan kategori sangat rendah sampai sedang, peningkatan kondisi jalan berdampak pada meningkatnya

aksesibilitas dan membuka wilayah dari keterisoliran.

E. Rekomendasi Kebijakan

Kondisi kemantapan jalan pada ruas jalan lintas pesisir selatan Provinsi Lampung setiap tahun terus mengalami peningkatan. Dengan kondisi jalan yang semakin mantap diharapkan dapat semakin meningkatkan aksesibilitas dan tingkat kepuasan wisatawan dalam berwisata pada objek-objek wisata yang terdapat di sepanjang jalan lintas pesisir selatan. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kondisi jalan bukan sebagai faktor utama yang memengaruhi perkembangan pariwisata. Selain itu, melihat data yang ada bahwa setiap tahunnya kondisi jalan terus mengalami peningkatan, maka pemerintah perlu meningkatkan kepada faktor lain yang dapat memengaruhi perkembangan pariwisata.

Salah satu permasalahan yang ditemukan di lapangan dan dapat memicu munculnya rasa ketidakpuasan wisatawan adalah waktu tempuh yang dinilai masih cukup lama jika melihat dari jarak tempuh yang ternyata tidak terlalu jauh. Waktu tempuh yang lama salah satunya disebabkan oleh kecepatan rata-rata kendaraan yang sangat rendah akibat kapasitas jalan yang belum memadai. Diperlukan upaya pemerintah

Page 59: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

48 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang berwenang terhadap ruas jalan lintas pesisir selatan ini untuk dapat mengkaji dan merumuskan kebijakan yang mampu mempersingkat waktu tempuh sebagai upaya menjaga perkembangan sektor pariwisata dengan cara menjaga kepercayaan dan kepuasan wisatawan.

Page 60: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

KOLABOLASI DALAM PEMBANGUNAN KEBUN RAYA BATURRADEN PROVINSI JAWA TENGAH

Nama : Anita Delina

Instansi : Pemkab Kotawaringin Barat

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 61: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

50 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kebun Raya Baturraden Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu bentuk konservasi keanekaragaman hayati secara ex-situ di dalam kawasan hutan. Berdasarkan otoritas produk hukum dan kebijakan tingkat nasional, pengelolaan Kebun Raya Baturraden diamanatkan untuk dilaksanakan secara kolaboratif. Kajian terkait pengelolaan kolaboratif kebun raya sangat penting dilakukan untuk menjamin berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan Kebun Raya Baturraden dari perspektif kolaboratif.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan telaah pustaka. Analisis isi dan analisis stakeholder dipilih sebagai metode untuk mempelajari dan merumuskan hubungan dan keterlibatan stakeholder dalam pembangunan kolaboratif kebun raya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan Kebun Raya Baturraden telah berjalan cukup baik, dilihat dari terlaksananya semua elemen dalam tahap pembangunan kebun raya baik itu tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengelolaannya. Namun demikian, bila ditinjau dari perspektif kolaborasi sebagai keadaan dan proses yaitu peran kolaborasi (shared-resources) dari stakeholder ada yang tidak berlangsung secara terus-menerus, sementara perjanjian kerja sama antar-stakeholder terus berlangsung dan diperbarui setiap lima tahun. Selain itu, sistem kebijakan maupun produk hukum kebun raya masih ada yang tidak sinkron. Berdasarkan peta overlay kawasan Kebun Raya Baturraden terhadap peta kawasan rawan bencana Kabupaten Banyumas, diperoleh hasil bahwa kawasan Kebun Raya Baturraden masuk ke dalam hazard zone 1 dan 2 bencana vulkanik Gunung Slamet, yaitu berpotensi terlanda aliran lava, awan panas, dan lahar hujan. Ancaman dampak ini tentunya akan mengancam keberlanjutan kebun raya, yaitu hilangnya fungsi konservasi sebagai tempat koleksi tanaman pegunungan Jawa Tengah.

Kata kunci : Konservasi Ex-situ; Kebun Raya Baturraden; Perspektif Kolaboratif; Analisis Stakeholder.

Page 62: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 51

ABSTRACT

Baturraden Botanical Gardens of Central Java Province is one form of ex-situ biodiversity conservation in the forest area. Based on the national law and policy product authority, the management of Baturraden Botanical Garden is mandated to be implemented collaboratively. A review of collaborative management of botanical gardens is essential to ensure sustainability. This study aims to examine the management of Baturraden Botanical Gardens from a collaborative perspective.

The method used in this research is qualitative method. Data collection is done by in-depth interview, observation, and literature review. Content analysis and stakeholder analysis were selected as a method for studying and formulating stakeholder relationships and involvement in collaborative development of botanical gardens.

The results showed that the development of Baturraden Botanical Garden has been quite good, seen from the implementation of all elements in the development stage of the botanical garden whether it is the planning, implementation, and management stage. However, when viewed from the perspective of collaboration as a situation and process, the role of collaboration (shared-resources) of stakeholders is not continuous while inter-stakeholder cooperation agreements are continuing and renewed every five years. In addition, policy systems and law products of botanical gardens still exist that are out of sync. Based on the overlay map of Baturraden Botanical Garden area on the disaster prone area map of Banyumas Regency, it is found that Baturraden Botanical Gardens enter into the hazard zone 1 and 2 volcanic disaster of Mount Slamet, which is potentially affected by lava flow, hot cloud, and rain lava. The threat of this impact will certainly threaten the sustainability of the botanical garden that is the loss of conservation functions as a place of collection of Central Java mountain crops.

Keywords: Ex-situ Conservation, Baturraden Botanical Garden, A Collaborative Perspective, Stakeholder Analysis.

Page 63: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

52 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KOLABOLASI DALAM PEMBANGUNAN KEBUN RAYA BATURRADEN PROVINSI JAWA TENGAH

A. Latar Belakang

Kebun Raya Baturraden merupakan satu-satunya kebun raya daerah dari Pulau Jawa yang terpilih sebagai kebun raya prioritas dalam roadmap pembangunan kebun raya sebagai ruang terbuka hijau pada kawasan perkotaan Indonesia tahun 2015−2019. Hal tersebut tidak lepas dari peran dan komitmen Provinsi Jawa Tengah dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, salah satunya melalui pembangunan Kebun Raya Baturraden.

Pembangunan Kebun Raya Baturraden itu sendiri berawal dari gagasan Megawati Soekarno Putri pada acara penutupan Jambore Nasional tahun 2001 di Bumi Perkemahan Baturraden. Pada tahun 2002, gagasan tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintah Jawa Tengah dengan membentuk tim khusus untuk merintis pembangunan Kebun Raya Baturraden dan melakukan studi kelayakan.

Selanjutnya untuk meningkatkan status hukum kawasan, Menteri Kehutanan mengeluarkan SK Nomor 85/Menhut-II/2005 Tanggal 4 April 2005 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan Lingkungan dalam bentuk Kebun Raya Baturraden seluas 143,50 ha di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Tanggal 19 Desember 2015, Kebun Raya Baturraden tersebut resmi mulai beroperasi dan terbuka untuk kunjungan umum.

Merujuk kepada master plan pembangunan Kebun Raya Baturraden dan berbagai kebijakan maupun produk hukum terkait kebun raya di atas, di dalam perjalanannya pembangunan dan pengelolaan Kebun Raya Baturraden juga mengalami pasang surut permasalahan maupun konflik.

Pasang surut masalah maupun konflik dalam berkolaborasi mengelola suatu kawasan konservasi memang sering terjadi, baik itu terkait payung hukum, masalah operasional manajerial, maupun sosial kemasyarakatan. Sebagaimana yang diungkapkan Winara dan Mukhtar (2011), bahwa bergotong royong mengelola kawasan konservasi di Indonesia memang diperlukan. Hal tersebut menyangkut kompleksnya subsistem ekologis, budaya, ekonomi, dan politik dengan keterkaitan berbagai isu dan keterlibatan banyak kelompok kepentingan dalam masing-masing subsistemnya, sehingga hubungan kolaboratif menjadi penting ketika adanya kesepakatan yang dapat dibangun secara sederhana dan universal untuk mendapatkan solusi terbaik dari konflik yang terjadi.

Page 64: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 53

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, Kebun Raya Baturraden merupakan aset publik yang menerapkan sebuah sistem pengelolaan kolaboratif yang dalam pelaksanaannya berdasarkan otoritas hukum dan peraturan serta melibatkan banyak pihak dengan berbagai kewenangan maupun kepentingan (Mitchell et al., 2000). Ansell dan Gash (2007) dalam Nururrohmah (2016) menyatakan bahwa collaborative governance adalah sistem tata kelola yang disusun di mana satu atau lebih public agencies secara langsung melibatkan stakeholder non-state dalam proses pengambilan keputusan bersama yang bersifat formal, consensus-oriented, dan deliberatif yang bertujuan untuk membuat atau menerapkan kebijakan publik atau mengelola program atau aset publik. Oleh karena itu, kajian penerapan sistem kolaborasi dalam pengelolaan Kebun Raya Baturraden Provinsi Jawa Tengah sangat penting sebagai pembelajaran

dan perbaikan pengelolaan kawasan kebun raya ke depannya.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Sistem kolaborasi dalam pengelolaan kebun raya merupakan produk perencanaan tertentu sehingga dalam pelaksanaannya terkonseptualisasi dalam suatu kajian tertulis. Akan tetapi sejalan dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penerapan sebuah sistem pengelolaan kolaboratif yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai kewenangan dan kepentingan menjadi hal penting untuk dikaji lebih dalam. Kajian tersebut bisa menjadi lesson learned bagi pemerintah daerah Provinsi Jawa Tengah maupun daerah lainnya dalam pembangunan kebun raya dengan kasus yang serupa.

Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji lebih dalam mengenai sistem kolaborasi dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden. Pembangunan yang dimaksud meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan (Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya). Adapun pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana bentuk kolaborasi dalam pembangunan Kebun raya Baturraden?”. Untuk menjawab hal tersebut, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Siapa saja stakeholder yang terlibat dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden?

2. Bagaimana bentuk dan peran kolaborasi stakeholder dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden?

3. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi kolaborasi para stakeholder dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden?

Page 65: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

54 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deduktif kualitatif. Peneliti menggunakan metode ini untuk memperoleh data yang valid, yaitu data dan informasi yang diperoleh dari narasumber secara langsung, yang akan digunakan sebagai bahan menyusun laporan penelitian. Sebagaimana pendapat Creswell (2014) bahwa laporan akhir dari penelitian kualitatif melibatkan suara dari partisipan, refleksivitas dari para peneliti, deskripsi dan penafsiran yang kompleks tentang permasalahan tersebut, dan studi yang memperkaya literatur maupun memberikan seruan untuk aksi.

Pilihan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif didasarkan pada kebutuhan dan sasaran penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami makna persoalan sosial yang terkait aspek payung hukum, operasional manajerial, maupun sosial kemasyarakatan. Kebutuhan tersebut berupa identifikasi stakeholder, peran dan kepentingan dari stakeholder tersebut dalam setiap tahap dari pembangunan kebun raya.

Lokasi penelitian ini adalah kawasan Kebun Raya Baturraden yang secara administratif pemerintahan masuk ke dalam wilayah Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah dengan luas ±143,5 ha. Kawasan Kebun Raya Baturraden disangga oleh 4 (empat) desa, yaitu Desa Kemutug Lor, Desa Karangmangu, Desa Karang Salam, dan Desa Ketenger. Berdasarkan administrasi pengelolaan hutan berada di wilayah Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Baturraden, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gunung Slamet Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur. Status kawasan merupakan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan Lingkungan dalam bentuk Kebun Raya Baturraden yang telah ditetapkan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 85/Menhut-II/2005 Tanggal 4 April 2005. Waktu pelaksanaan penelitian ini, yaitu pada

bulan Juli sampai bulan September 2016.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Identifikasi Stakeholder dan Perannya dalam Kolaborasi Pembangunan Kebun Raya Baturraden Provinsi Jawa Tengah

Stakeholders primer adalah pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap suatu sumber daya, baik sebagai mata pencaharian ataupun terlibat langsung dalam eksploitasi. Stakeholders ini oleh Yang, et al., (2010) disebut juga sebagai stakeholders kunci (key stakeholders). Stakeholders sekunder adalah pihak yang memiliki minat/kepentingan secara tidak langsung atau pihak yang tergantung pada sebagian kekayaan atau bisnis yang dihasilkan oleh sumber daya.

Page 66: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 55

Berdasarkan klasifikasi stakeholders sebagaimana yang dinyatakan oleh Townsley (1998) dan Wakka (2014), maka stakeholders primer dalam pengelolaan Kebun Raya Baturraden adalah pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal ini disebabkan karena Kebun Raya Baturraden merupakan kebun raya daerah yang sumber daya manusia pengelola dan anggaran biaya operasional kebun raya disediakan dan dianggarkan secara rutin oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah merupakan pihak yang diamanatkan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam hal ini adalah Gubernur Jawa Tengah untuk mengelola kawasan Kebun Raya Baturraden. Bappeda Provinsi Jawa Tengah memiliki peran terus-menerus terkait penyusunan program perencanaan dan monitoring evaluasi pembangunan daerah di Provinsi Jawa Tengah.

Adapun peran dari para aktor selain stakeholder primer sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dikategorikan sebagai stakeholders sekunder. Hal ini sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Townley (1998), Wakka (2014), dan Yang et al. (2010) bahwa stakeholders sekunder merupakan pihak yang memiliki kepentingan secara tidak langsung, maupun pihak yang berperan atau bergantung pada sebagian kekayaan atau bisnis yang dihasilkan oleh sumber daya.

Adapun stakeholder sekunder dalam pengelolaan Kebun Raya Baturraden terdiri dari:

a. Pemerintah pusat yang meliputi Kementerian LHK dan Kementerian PUPR.

b. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang meliputi Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah.

c. Pemerintah Kabupaten Banyumas yang meliputi Bappeda, Dinas Pariwisata, Pemerintah Kecamatan Baturraden, Pemerintah Desa Kemutug Lor, Pemerintah Desa Karangmangu, Pemerintah Desa Ketenger, dan Pemerintah Desa Karangsalam.

d. Lembaga Penelitian dan Pendidikan, yang meliputi Pusat Konservasi Tumbuhan LIPI, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan KLHK, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta.

e. BUMN dan Lembaga Bisnis Swasta yang meliputi Divisi Regional Jawa Tengah Perum Perhutani KPH Banyumas Timur, PT Palawi Risorsis, dan Pabrik Semen Bima.

f. Lembaga Swadaya Masyarakat yang meliputi Paguyuban Masyarakat Pariwisata Baturraden dan Yayasan Kebun Raya Indonesia.

Page 67: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

56 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. Gambaran Bentuk Peran Kolaborasi dalam Pembangunan Kebun Raya Baturraden

Temuan utama terkait kolaborasi dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden dijabarkan sebagai berikut:

a. Tahap Perencanaan

Ada beberapa temuan terkait proses kolaborasi dalam tahap perencanaan, yaitu:

• Pemilihan lokasi kawasan Kebun Raya Baturraden dipengaruhi aspek politis, meskipun dalam pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku terkait pembangunan Kebun Raya. Setelah gagasan pembangunan kebun raya disetujui di kecamatan Baturraden, Gubernur Jawa Tengah menindaklanjuti dengan mengajukan surat permohonan Nomor 2.3./0179009 Tanggal 18 Oktober 2001 tentang Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Kebun Raya kepada Menteri Kehutanan.

• Lima stakeholder yang berkolaborasi dalam mengelola Kebun Raya Baturraden ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 85/Menhut-II/2005 Tanggal 4 April 2005 tentang Penetapan Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan Lingkungan dalam bentuk Kebun Raya Baturraden seluas 143,50 ha di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Pihak yang diserahkan amanat untuk mengelola Kebun Raya Baturraden tersebut adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan KLHK berkolaborasi dengan pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pusat Konservasi Tumbuhan LIPI, Perum Perhutani dan pemerintah Kabupaten Banyumas. Padahal fakta di lapangan, pengalokasian dana dan sumber daya manusia yang utama adalah dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Artinya terdapat ketidaksinkronan antara kondisi de jure dan de facto. Menyikapi hal tersebut, pihak pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam hal ini Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah mengirim surat dengan Nomor 522.10/00/2411 Tanggal 25 Juli 2016 kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perihal peninjauan kembali SK Menhut Nomor SK.85/Menhut-II/2005.

• Masih terdapat perbedaan interpretasi dari sebagian kelompok masyarakat terkait kawasan konservasi tumbuhan ex-situ (kebun raya). Di mana, Kebun Raya Baturraden merupakan kebun raya daerah yang berada di kawasan hutan produksi terbatas yang telah ditetapkan oleh SK Menteri Kehutanan

Page 68: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 57

Nomor SK.85/Menhut-II/2005 sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus untuk Hutan Penelitian dan Pengembangan serta Pendidikan Lingkungan dalam bentuk Kebun Raya Baturraden.

b. Tahap Pelaksanaan dan Pengelolaan

Ada beberapa temuan terkait kolaborasi dalam tahap pelaksanaan dan pengelolaan Kebun Raya Baturraden, di antaranya:

• Terdapat ketidaksinkronan antara produk hukum maupun kebijakan yang dikeluarkan oleh para stakeholder terkait pembangunan Kebun Raya.

• Terkait temuan sebelumnya mengenai kawasan Kebun Raya Baturraden yang masuk dalam kawasan rawan bencana hazard zone 1 dan 2, di dalam pedoman pembangunan Kebun Raya yang dikeluarkan baik oleh presiden maupun Pusat Konservasi Tumbuhan LIPI, berkenaan dengan pemilihan lokasi kebun raya yang dalam hal ini merupakan kawasan konservasi ex-situ, belum mensyaratkan harus berada di kawasan yang tidak rawan bencana. Pertimbangan tersebut berdasarkan definisi dan fungsi dari kebun raya sebagai kawasan konservasi ex-situ yang memiliki fungsi konservasi sebagai tempat koleksi tumbuhan di luar habitat aslinya.

• Kolaborasi dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden berdasarkan otoritas hukum dan kebijakan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya Kesepakatan Bersama antara Gubernur Jawa Tengah Kepala LIPI Kepala Balitbanghut Departemen Kehutanan Direktur Utama Perum Perhutani Bupati Kabupaten Banyumas maupun para pihak atau stakeholder tersebut yang selanjutnya diikat oleh suatu PerjanjianKkerjassama antara Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah Kepala Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI Kepala Balitbanghut Kementerian Kehutanan Kepala Divisi

Regional Perum Perhutani Jawa Tengah– Bappeda Kabupaten Banyumas.

3. Implikasi Temuan Penelitian terhadap Kebijakan

Pendekatan penelitian kolaborasi dalam pengelolaan Kebun Raya Baturraden Provinsi Jawa Tengah secara deduktif kualitatif ditujukan untuk pengujian konsep terhadap kondisi empiris di lapangan. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui gambaran bentuk kolaborasi dalam pembangunan kebun raya melalui analisis isi dan analisis stakeholder terhadap hasil identifikasi stakeholder dan peran kolaborasinya, bentuk kolaborasi selama ini, serta faktor-faktor yang memengaruhi kolaborasi dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden. Hasil dari penelitian tersebut digunakan untuk menjawab permasalahan dan memberikan saran terkait kebijakan maupun pedoman teknis pembangunan kebun raya dengan karakteristik

Page 69: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

58 Direktori Mini Tesis-Disertasi

wilayah yang serupa. Adapun implikasi temuan penelitian terhadap alternatif kebijakan, yaitu:

a. Peninjauan kembali oleh para stakeholder terkait lokasi kawasan Kebun Raya Baturraden terkait risiko dan dampak keberadaan kawasan Kebun Raya Baturraden yang berada di kawasan rawan bencana gunung meletus Gunung Slamet. Tindakan yang dapat dilakukan berupa:

• Pemindahan lokasi Kebun Raya ke kawasan baru yang kondusif namun tetap sesuai dengan tema Kebun Raya Baturraden.

• Penambahan luas kawasan dari Kebun Raya Baturraden, yang mana untuk areal penanaman tanaman koleksi (terkait fungsi konservasi tanaman koleksi) dicari lokasi baru, sedangkan untuk fungsi pendidikan, fungsi wisata, fungsi penelitian, dan fungsi jasa lingkungan tetap masih bisa di lokasi yang saat ini.

• Menyusun regulasi peraturan dan pedoman pendukung terkait keputusan yang diambil.

b. Para stakeholder dari pembangunan Kebun Raya Baturraden melakukan pengkajian lagi secara mendalam terkait mitigasi risiko dan dampak dari bencana vulkanik Gunung Slamet terhadap keberadaan kawasan Kebun Raya Baturraden, seperti:

• Perbandingan siklus masa aktif Gunung Slamet dengan siklus pemakaian bangunan (infrastruktur kebun raya).

• Pengalokasian anggaran dan teknologi untuk mitigasi risiko dan dampak bencana terhadap eksistensi fungsi kebun raya.

• Penataan kembali zonasi kawasan Kebun Raya Baturraden.

c. Peninjauan ulang terkait pedoman pemilihan lokasi kebun raya agar berbasis mitigasi bencana dan diperkuat melalui suatu regulasi hukum.

d. Peninjauan kembali implementasi dari perspektif kolaborasi dalam pengelolaan Kebun Raya Baturraden yang diikat melalui perjanjian kerja sama antara Dinas Kehutanan Pro vinsi Jawa Tengah−Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya LIPI−Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian LHK−Divisi Regional Jawa Tengah Perum Perhutani−Bappeda Kabupaten Banyumas. Peninjauan tersebut dilakukan pada perspektif kolaborasi sebagai keadaan maupun perspektif kolaborasi sebagai proses khususnya terkait dengan shared-resources stakeholder.

Page 70: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 59

D. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Stakeholder primer dari kolaborasi pembangunan Kebun Raya Baturraden adalah pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hal ini karena Kebun Raya Baturraden merupakan kebun raya daerah yang sumber daya manusia pengelola dan anggaran biaya operasional kebun raya disediakan dan dianggarkan secara rutin oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

2. Kolaborasi dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden berdasarkan otoritas hukum dan kebijakan. Akan tetapi, kondisi empirisnya, perspektif kolaborasi yang berlangsung baik sebagai keadaan maupun sebagai proses, yaitu peran kolaborasi (shared-resources) dari para stakeholder tersebut ada yang tidak berlangsung secara terus-menerus. Sementara perjanjian kerja sama para stakeholder terus dipertahankan dan diperbarui setiap lima tahun. Aktivitas kolaborasi Kebun Raya Baturraden tersebut lebih mendekati pengelolaan partisipatif.

3. Kegiatan pembangungan Kebun Raya Baturraden sudah berjalan sesuai dengan pedoman tahapan dalam pembangunan suatu kebun raya dan peraturan yang berlaku, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengelolaan. Meskipun secara empiris masih terdapat beberapa kendala seperti pembangunan yang relatif lambat, baik karena faktor topografi, zonasi detil peruntukan kawasan, dan peraturan perundangan yang masih belum sempurna dan lengkap dalam mengatur pengelolaan kebun raya. Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah terkait pemilihan lokasi kawasan Kebun Raya Baturraden. Berpedoman kepada landasan hukum pembangunan kebun raya dan manual pembangunan kebun raya yang dikeluarkan oleh Pusat Konservasi Tumbuhan LIPI, memang sudah terpenuhi. Akan tetapi ketika disandingkan dengan rencana tata ruang Kabupaten Banyumas, ternyata kawasan Kebun Raya Baturraden masuk dalam zona rawan bencana vulkanik Gunung Slamet. Kebijakan dalam penetapan lokasi Kebun Raya Baturraden di kawasan kaki Gunung Slamet bagian selatan tepatnya Kecamatan Baturraden ini kontradiktif dengan fungsi kebun raya, yaitu sebagai fungsi konservasi ex-situ, yang artinya sebagai tempat koleksi dari berbagai jenis tumbuhan pegunungan Jawa. Di satu sisi, status dari Gunung Slamet adalah gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu dapat meletus.

4. Faktor pendorong dalam kolaborasi pembangunan Kebun Raya Baturraden yaitu: 1) kesamaan visi misi stakeholder dalam melestarikan lingkungan dan keanekaragaman hayati; 2) penjagaan dan promosi bersama sebagai

Page 71: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

60 Direktori Mini Tesis-Disertasi

destinasi wisata baik tingkat kabupaten maupun provinsi; 3) multiplier efek dari pengelolaan bersama kawasan pariwisata Baturraden, di antaranya peningkatan pendapatan ekonomi; 4) pemanfaatan media sosial untuk memudahkan komunikasi antar-stakeholder dan media promosi aktivitas kebun raya; 5) pengelolaan bersama yang sifatnya hierarki dan terpusat berdasarkan otoritas hukum dan kebijakan.

5. Sedangkan faktor penghambat, yaitu: 1) perbedaan persepsi atau interpretasi terkait fungsi dan karakteristik kebun raya; 2) penentuan lokasi kebun raya masih belum berbasis mitigasi bencana; 3) berdasarkan suatu otoritas hukum dan kebijakan, Kebun Raya Baturraden diamanatkan dikelola secara kolaborasi, tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan terhadap perspektif kolaborasi itu sendiri baik sebagai keadaan maupun sebagai proses, yaitu ditinjau dari shared-resources para stakeholder ada yang tidak bersifat terus-menerus dalam aktivitas kolaborasi; 4) masih terdapat elemen kolaborasi yang belum berjalan dengan baik antar-stakeholder, yaitu pelaksanaan peran kolaborasi yang belum optimal, serta keterbukaan dan komunikasi yang belum efektif; 5) belum terkoordinir dengan baik para pihak yang berkolaborasi dalam pembangunan Kebun Raya Baturraden padahal sudah ditunjang oleh otoritas hukum dan kebijakan yang sifatnya mengikat; 6) terdapat ketidaksinkronan antarproduk hukum/kebijakan yang dibuat oleh stakeholder.

Page 72: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

AN ASSESSMENT OF THE DEVELOPMENT PROCESS OF SENTOLO INDUSTRIAL ESTATE PLAN

Nama : Dahana Pamungkas

Instansi : Pemprov DIY

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 73: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

62 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pengembangan kawasan industri telah menjadi salah satu program utama pemerintah dalam rangka mempercepat pembangunan ekonomi di daerah. Mempertimbangkan pentingnya, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berencana mengembangkan kawasan industri di Sentolo, Kulon Progo. Namun, tidak ada implementasi pengembangan kawasan industri di Sentolo hingga saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi proses pengembangan rencana kawasan industri Sentolo, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya dan untuk menggambarkan prospek masa depannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deduktif. Itu dimulai dari teori untuk membuat praduga terkait dengan kondisi nyata. Selain itu, juga didukung oleh data tentang kawasan industri yang diolah dan grafik untuk menentukan arah pengembangan kawasan industri. Untuk melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data di lembaga tertentu.

Dalam perkembangannya, pembangunan kawasan industri di Sentolo telah banyak kekurangan persyaratan yang dinyatakan oleh pemerintah pusat. Hanya ada lokasi yang sesuai yang memenuhi persyaratan. Inilah yang menyebabkan perkembangan pengembangan kawasan industri di Sentolo tidak berjalan dengan baik sampai sekarang. Selain itu, ada beberapa rencana induk yang berbeda yang diusulkan oleh berbagai lembaga pemerintah yang tidak dapat digunakan untuk memandu pengembangan kawasan industri di Sentolo. Selain itu, tidak ada lembaga khusus yang menangani proses pengembangan kawasan industri.

Kata kunci: Kawasan Industri, Sentolo

Page 74: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 63

ABSTRACT

Industrial estate development has become one of the government’s main programs in order to accelerate economic development in the regions. Considering its importance, Yogyakarta Special Region Province (DIY) planned to develop industrial estate in Sentolo, Kulon Progo. However, there was no implementation of industrial estate development in Sentolo until now. Therefore, this research aimed to evaluate the development process of Sentolo industrial estate plan, to identify factors that influence its implementation and to describe its future prospect.

This research used deductive qualitative approach. It was started from theories to make a presumption related to real condition. Furthermore, it was also supported by data on industrial estate that were processed and graphs to determine the direction of industrial estate development. To conduct this research, researcher used interview and observation to collect the data in the specific institution.

In its development progress, industrial estate development in Sentolo had many missing requirements that stated by central government. There was only suitable location that met the requirements. This was what caused industrial estate development progress in Sentolo was not running properly until now. Moreover, there were several different master plans proposed by different government institutions that could not be used to guide the industrial estate development in Sentolo. Besides that, there was no specific institution which handled the industrial estate development processes.

Keywords: Industrial estate, Sentolo

Page 75: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

64 Direktori Mini Tesis-Disertasi

AN ASSESSMENT OF THE DEVELOPMENT PROCESS OF SENTOLO INDUSTRIAL ESTATE PLAN

A. Background

In order to accelerate and expand economic development in the regions, the development of centers of economic growth in the economic corridors is done by utilizing the potential and advantages of the region by developing industrial estates. Industrial estate development has become one of the government’s main programs for developing regions through the development of strategic areas. The purposes of industrial estate development as follows (Government Regulation No. 24, 2009); control utilization of land spaces, enhance development efforts of environmentally sound industries, accelerate regional industrial growth, enhance industrial and investment competitiveness, and assure planned location and infrastructure development with proper coordination among related sectors.

In Yogyakarta Special Region Province, the development of this potential should be optimized through the establishment of Sentolo Industrial Estate. It is expected to become the center of the new growth in Yogyakarta that can accelerate the growth of the region, especially for the future in Kulon Progo. So, it needs supporting infrastructures and facilities for the development of an industrial estate in Sentolo area.

In Kulon Progo Regency, industrial estate development had been initiated in 2005 by Public Work Department Yogyakarta Province and later followed by a study about master plan of Sentolo Industrial Estate development that was proposed by Investment and Cooperation Board Yogyakarta Province in 2013. Unfortunately, there was no action and implementation until now to implement this industrial estate development.

The objectives of this research are:

1. To describe the development process and evaluate Sentolo Industrial Estate plan.

2. To identify factors that influence the implementation of Sentolo Industrial Estate.

3. To describe the future prospect of Sentolo Industrial Estate.

B. Research Problems and Methodology

This research used deductive qualitative approach. It was started from theories to make a proportion related to real condition. From the theories, it will be described into

Page 76: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 65

variables related to the research problem, then to make it easier on collecting the data, variables are turned to indicators.

Furthermore, it will confirm theory and it is supported also by data on industrial estate that are processed and graphs to determine the direction of development. Then, this research determine the characteristics of the data based on the needs analysis. The details is about sampling, variables, and evaluation method will be described in the next part of this chapter.

This research conducted in Sentolo District, Kulon Progo District, Indonesia. Focus of this research is the location that was directed and proposed as industrial estate. Industrial estates location this research was done through three stages:

1. Preparation, some steps in this stage are: (a) preliminary observation about allocated industrial estates in Sentolo, Kulon Progo Regency and interviewing officers in related institution. Description of research background, problem statement, research objectives, (b) literature review that can provide early information and theoretical basis related to the research and to identify the variables and indicators of evaluation, (c) propose research proposal, (c) the use of methodologies adapted to this study.

2. Implementation: (a) collecting primary data by observing to the industrial estate location and people related to this industrial area, and also doing interview to the government officers to get information about Sentolo Industrial Estates, (b) collecting secondary data relates to the implementation of Sentolo Industrial Estates Program to related institution.

3. Data processing and analysis; (a) identify, describe and analyze the characteristics of the studied variables based on parameters and existing benchmarks. Identify and analyze the relationship among the variables studied, (b) analyze the data by identifying the factors, (c) completion of the data if there is still a lack of data.

C. Data Analysis and Results

This chapter describes the development of Sentolo Industrial Estate plan over time and factors that influence the development of Sentolo Industrial Estate. Moreover, this chapter also describes the future prospect of Sentolo Industrial Estate based on discussion. The industrial estate development followed the Government Regulation No. 24 of 2009 regarding industrial estates. The writing in this chapter is used to answer the research questions that refer to the development Sentolo Industrial Estate plan. To sum up the industrial estate development plan in Sentolo, a series of masterplans were developed by different government agencies as follows.

Page 77: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

66 Direktori Mini Tesis-Disertasi

No

Year

Doc

umen

tIn

stitu

tion

Cons

ider

atio

n fa

ctor

Sele

ctio

n cr

iteria

Are

aR

emar

ks

120

05Fe

asib

ility

Stu

dyP

ublic

Wor

k A

genc

y, D

IYR

PJP

DIY

20

05-2

025

Tech

nica

l G

uide

line

of

Indu

stry

Est

ate

Dev

elop

men

t

4.76

5 ha

This

stu

dy o

nly

coun

ted

the

tota

l are

a of

7 v

illag

es in

Sen

tolo

plu

s Le

ndah

an

d G

alur

with

out m

entio

ning

any

land

su

itabi

lity

anal

ysis

(Onl

y la

nd a

lloca

tion

of

a ca

ndid

ate

area

)

220

12M

aste

r Pla

n of

Kul

on

Pro

go In

dust

rial E

stat

e D

evel

opm

ent

Min

istr

y of

In

dust

ry o

f In

done

sia

MP3

EI, R

TRW

P

rovi

nsi &

K

abup

aten

Tech

nica

l G

uide

line

of

Indu

stry

Est

ate

Dev

elop

men

t

2.64

6 ha

On

this

stu

dy, i

ndus

tria

l est

ate

deve

lopm

ent w

as d

irect

ed to

ste

el a

nd ir

on

sand

indu

strie

s.

320

13

Indu

stria

l Est

ate

Dev

elop

men

t Pla

nnin

g D

ocum

ent i

n Yo

gyak

arta

Sp

ecia

l Reg

ion

Pro

vinc

e,

(Rev

iew

of M

aste

r Pla

n of

201

2)

Min

istr

y of

In

dust

ry o

f In

done

sia

MP3

EI, R

TRW

P

rovi

nsi &

K

abup

aten

Tech

nica

l G

uide

line

of

Indu

stry

Est

ate

Dev

elop

men

t

805

ha

Rev

iew

of s

patia

l inc

ompa

tibili

ty in

pre

viou

s st

udie

s an

d it

was

adj

uste

d to

the

regi

onal

sp

atia

l pla

n. T

his

stud

y w

as p

ropo

sed

for

stee

l and

var

ious

indu

strie

s.

420

13

Feas

ibili

ty S

tudy

Rev

iew

an

d M

aste

r Pla

n of

Se

ntol

o In

dust

rial E

stat

e,

Kulo

n P

rogo

Reg

ency

Inve

stm

ent

and

Coor

dina

tion

Boa

rd

(BK

PM

) DIY

MP3

EI, R

TRW

P

rovi

nsi &

K

abup

aten

Tech

nica

l G

uide

line

of

Indu

stry

Est

ate

Dev

elop

men

t

70.2

ha

The

type

s of

indu

stry

pla

nned

incl

uded

a

varie

ty o

f low

pol

luta

nt in

dust

ries.

Not

onl

y or

ient

ed to

ste

el in

dust

ry b

ut a

lso

text

iles,

el

ectr

ical

app

lianc

es, f

ood,

che

mic

al a

nd

gene

ral b

uild

ing

mat

eria

ls in

dust

ries.

(Sou

rce:

Aut

hor S

umm

ary)

Page 78: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 67

Evaluation Result of Requirements for Suitable Industrial Estate in Sentolo Based on Government Regulation

STAGES DETAILS KEYWORDS

SENTOLO IEDEVELOPMENT REMARKS

Suitable NotSuitable

PREPARATION

Location Selection

Identification of suitable land plots based on selection

criteria

Sentolo has suitable area forindustrial

estate

Administrative documents

Completion of all the required documents such as master plan, research studies, and

assessment

✔There was no fixed master

plans

PermitsFulfilling all permits related to industrial estate development

✔Not all of

permits were fulfilled

DEVELOPMENT

Land Acquisition Mapping and acquire the suitable land ✔

Land Acquisition

process had not finished yet

Detail Engineering Design (DED)

Guideline of industrial estate development ✔

There were several DEDs

on several master plans

Page 79: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

68 Direktori Mini Tesis-Disertasi

OPERATION

Institutional of Industrial Estate

An institution which manages and

operates industrial estate

✔ Not established yet

Management System

Related to quality, work safety,

health, and energy management

✔ Not established yet

Implementation of Industrial Estate

Regulation

To control rights and obligation of tenants ✔ Not established

yet

Service for Tenants

Providing supporting utilities

(gas, electricity, telecommunication,

water, etc.) and maintenance

✔ Not established yet

Marketing Promote the industrial estate and its tenants ✔ Not established

yet

Business Development

Industrial estate business development

planning✔ Not established

yet

Environment Management Efficient use of utilities ✔ Not established

yet

Social Concern and Community Empowerment

Give a good impact on industrial estate

society✔ Not established

yet

Industrial Estate Data Reporting

Data of Industrial estate development

progress✔ Not established

yet

(Source: Regulation of the Minister of Industry no. 40/M-IND/PER/6/2016, analyzed)

Page 80: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 69

Evaluation Result of Requirements for Suitable Industrial Estate in Sentolo

STAGES DETAILS KEYWORDS

SENTOLO IEDEVELOPMENT

REMARKS

Suitable NotSuitable

LOCATION

Transportation Access

Well-established

and well-provided

transportation access.

✔ Artery road for accessibility

Infrastructure

Well-equipped infrastructure and facilities

for electricity, water supply,

gas, etc.

✔(+) Telecommunication,

Electricity (-) Clean Water, Gas

Cost Performance

Competitive (cheap) land

price✔ Suitable Land Price

Employment of Workforce

Availability of labor ✔ Workforce availability

Living Environment

Favorable working

conditions and amenities must be ready for employees

✔ Not established yet

EXISTENCE OF INSTITUTIONAL

SUPPORT

Local Govern-ment

Clear authority and role on

every related institution

✔ Less important role of every related institution

Financial Supporting

Facilities

Financial incentives from Local

government

✔ No financial incentives

Supportive Estate Managers

and Operators

Fully support their tenants to maximize

their operation and

production performance

✔No Industrial Estate

Managers and

Operators

Page 81: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

70 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PREPARATION

Policy Formulation and

Planning

Single fixed Master Plan to be a guideline

✔ Several master plans

Organizational Arrangement

Special division/

institution for industrial

estate development

✔ Development authority is on several divisions

Internal Financial

Arrangement

Sufficient finances

allocation to perform all of the industrial

estate development

activities

✔ Lack of supporting finances

Page 82: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 71

DEVELOPMENT

Land Preparation

Identification of suitable

land plots in accordance with current

official regulations in

a location

✔ Suitable land for Industrial Estate

Clearance of Administrative Requirements

Completion of all the required

documents such as permits,

assessment and research

studies by both

investors and government

✔ There was no single fix master plan

Preparation of Utilities

The calculation of utilities

usage before the industrial

estate is established

✔ Not established yet

Attraction/Invitation of Investments

Actions (promotion

and negotiation) for inviting

investments or business into the industrial

estate

✔ Less actions

Environmental Conservation

Considering its surrounding environment to maintain

its ecosystem and social relations

✔ Provide green open space on its plan

Page 83: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

72 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STAG

ESD

ETA

ILS

KEY

WO

RD

S

SEN

TOLO

IED

EVEL

OP

MEN

TR

EMA

RKS

Suita

ble

Not

Suita

ble

OP

ERAT

ION

App

oint

men

t of I

nstit

utio

ns

for I

ndus

tria

l Est

ate

Man

agem

ent a

nd O

pera

tion

The

spec

ially

org

aniz

ed in

dust

rial e

stat

e m

anag

emen

t ins

titut

ions

was

est

ablis

hed

by th

e ce

ntra

l gov

ernm

ent o

r priv

ate

took

this

impo

rtan

t ro

le

✔N

ot a

ppoi

nted

yet

Util

ity S

uppo

rtAv

aila

bilit

y of

sup

port

ing

utili

ties

(gas

, ele

ctric

ity,

tele

com

mun

icat

ion,

wat

er, e

tc.)

✔Th

e ut

ility

’s in

fras

truc

ture

s ar

e no

t est

ablis

h ye

t

Bus

ines

s Su

ppor

tM

anag

emen

t and

ope

ratio

n of

an

indu

stria

l est

ate

mus

t fac

ilita

te th

e te

nant

com

pani

es✔

Not

est

ablis

hed

yet

Pro

cedu

ral S

uppo

rtTe

nant

s fo

llow

var

ious

pro

cedu

res

in ru

nnin

g th

e op

erat

ion

✔N

ot e

stab

lishe

d ye

t

Pre

para

tion

of S

uppo

rtin

g Fa

cilit

ies

(Con

fere

nce

Roo

ms,

G

reen

Par

ks, R

elig

ious

Fa

cilit

ies)

Supp

ortin

g fa

cilit

ies

mus

t be

wel

l pro

vide

d to

fa

cilit

atet

enan

t com

pani

es✔

Not

est

ablis

hed

yet

Am

enity

Ser

vice

sFa

cilit

ies

and

amen

ities

sho

uld

also

be

prov

ided

to

supp

ort t

he in

dust

rial e

stat

es’ s

urro

undi

ngs

✔N

ot e

stab

lishe

d ye

t

(Sou

rce:

Aut

hor S

umm

ary

from

Indu

stria

l Est

ate

Dev

elop

men

t in

Japa

n an

d Ko

rea,

ana

lyze

d)

Page 84: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 73

Industrial estate development in Sentolo had many missing requirements explained above. From the requirements stated by central government or case in Japan and Korea, there is only one point (suitable location) that meet the requirements. This was why industrial estate development progress in Sentolo was not running properly until now.

There were several master plans with no implementation which confused the direction of industrial estate development in Sentolo. Moreover, there was uncertainty of institution which handled the process of industrial estate development in Sentolo continuously. There should be a specific division which manages and concerns the

whole thing about industrial estate development in Sentolo.

D. Conclusion

In Sentolo Industrial Estate development, the area only have very basic requirements which is suitable existing land. Then, this suitable location can be an initial stage in industrial estate development progress for developing industrial estate in Sentolo in the future. Sufficient basic (physical) conditions must be followed by supporting requirements explained in previous chapter, government commitment, and effort to prepare industrial estates.

To implement this industrial estate development in Sentolo, Kulon Progo Regency, there are several things to carry out:

1. Applying the fixed master plans for Kulon Progo Industrial Estate development.

2. Establishing special division for developing industrial estate.

3. Establishing acceleration team of industrial estate development.

Page 85: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

74 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 86: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

SURVIVAL STRATEGY OF FISHERMEN IN MANGGAR SUB-DISTRICT BELITUNG TIMUR REGENCY (CASE OF BUKULIMAU ISLAND, MANGGAR SUB-DISTRICT, BELITUNG TIMUR REGENCY)

Nama : Eldo Mukmin

Instansi : Pemkab Belitung Timur

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 87: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

76 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Salah satu penyebab kerentanan masyarakat pulau-pulau kecil adalah cuaca buruk. Cuaca buruk yang ditandai dengan kencangnya hembusan angin dan besarnya gelombang merupakan kejadian yang terjadi setiap tahun. Selama periode tersebut aktivitas nelayan menjadi terganggu, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghasilan sementara pengeluaran untuk kebutuhan hidup terus berjalan. Bagi masyarakat nelayan, periode tersebut merupakan musim paceklik. Dengan keadaan tersebut, masyarakat nelayan harus mengupayakan berbagai strategi dalam rangka bertahan hidup guna melewati masa paceklik tersebut dengan segala kemampuan yang mereka miliki.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap strategi bertahan hidup nelayan di Pulau Bukulimau Kecamatan Manggar Kabupaten Belitung Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi induktif. Unit analisis yang digunakan adalah strategi bertahan hidup dan unit amatan berupa rumah tangga nelayan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada 5 (lima) jenis strategi yang dijalankan oleh nelayan di Pulau Bukulimau. Strategi tersebut meliputi (1) Strategi Subsistensi, (2) Strategi Diversifikasi, (3) Strategi Self Reliant, (4) Strategi Reliant dan (5) Strategi Sirkulasi.

Penelitian ini merekomendasikan supaya Pemerintah harus lebih berperan dalam membantu nelayan dalam rangka menghadirkan pilihan kesempatan berusaha bagi masyarakat Pulau Bukulimau dan Nelayan di Pulau Bukulimau perlu menambah kapasitas diri selain keterampilannya sebagai nelayan.

Kata kunci: Strategi, Bertahan Hidup, Nelayan,Kerentanan, Musim Paceklik

Page 88: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 77

ABSTRACT

One of the causes of the vulnerability of small island communities is the weather. The bad weather marked by the wind and the waves is annual period that happens every year. During this period, fishing activities became disrupted. Thus, they have no chance to earn an income while spending on living needs still continue. For the fishing community, the period is an unseasonal dry. Under these circumstances, they must strive for various strategies in order to live and survive in order to pass through the unseasonal dry with all the capabilities they have.

This research objectives to identify the life survival strategies of fishermen in Bukulimau Island, Manggar District, East Belitung Regency. This research uses qualitative approach with inductive strategy. The analysis unit used is the living strategy and observation unit in the form of fisherman’s household.

The results of this study indicate that there are 5 (five) types of life survival strategies run by fishermen on Bukulimau Island. These strategies include (1) Subsistence Strategy, (2) Diversification Strategy, (3) Self-Reliant Strategy, (4) Reliant Strategy and (5) Circulation Strategy.

Furthermore, this research recommends that the government should be more concerned in assisting fishermen in order to present a choice of business opportunities for the people of Bukulimau Island and also the fishermen on Bukulimau Island need to improve their capacity other than their skills as fishermen.

Key words: Strategy, Life survival, Fishermen, Vulnerability, Unseasonal dry

Page 89: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

78 Direktori Mini Tesis-Disertasi

SURVIVAL STRATEGY OF FISHERMEN IN MANGGARSUB-DISTRICT BELITUNG TIMUR REGENCY

(CASE OF BUKULIMAU ISLAND, MANGGAR SUB-DISTRICT, BELITUNG TIMUR REGENCY)

A. Background

The characteristics of coastal communities, particularly fishermen who have dependence on environmental conditions, weather, and market mechanisms have placed them in vulnerable situations. Wahyudin (2015), mentioned that fishermen’s dependence on seasons will be greater for small fishermen who have very simple equipment and a wide range of cruising range. They can only move during “friendly” weather, while they will be idle when the weather in the sea is not supportive, so they do not earn any income. The above situation has major implications for the socio-economic condition of coastal communities in general and fishermen in particular.

Bukulimau Island is part of the Memperang Archipelago, which is also rich with nautical potential other than fish such as the beauty of coral reefs. The location is often used by tourists as a spot of diving and snorkeling. Despite this potential, the potential utilization has not been done by Bukulimau Village community. Most of the people of Bukulimau Island prefer to be fishermen (93%) although economically they face vulnerability due to dependence on environmental conditions, weather and market mechanisms.

Moreover, the bad weather marked by the wind and the waves at sea occurs periodically every year. The situation took place from October to February of the following year. They call it the ”west wind”. The period is an unseasonal dry for small fishermen including the fishermen on Bukulimau Island because most of them cannot go to sea as usual, so they lose the potential to earn income, while spending on living needs continue to run. Responding to these problems then during the unseasonal dry, fishing communities on the island of Bukulimau must seek various ways as a life survival strategy to pass the unseasonal dry period with all the skills they have.

Based on the above conditions, this research is aimed at revealing the survival strategy of fishermen during the unseasonal dry on Bukulimau Island, Manggar District, East Belitung Regency.

Page 90: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 79

B. Research Methods

This research used qualitative inductive approach. The inductive approach emphasized the observations first, then drew the conclusions based on those observations. The inductive approach in this study was aimed to explore information about the survival strategies of fishermen in an effort to survive during the unseasonal dry.

This research was conducted in Bukulimau Island, Bukulimau Village, Manggar District, East Belitung Regency. The unit of analysis used in this research is survival strategy while the observation unit is household. Meanwhile, the scope of the substance that is the focus of this research is the identification of the household survival strategy of fishermen during the unseasonal dry as a result of vulnerability to weather changes that occur each year. The unseasonal dry generally occurs within the span of time between October and February next year (4−5 months of the year).

The data collected were primary and secondary data. Primary data were obtained through direct interviews with key informants who have been established previously. Primary data contain information about the activities of fisherman households as an effort to survive during the unseasonal dry on Bukulimau Island.

Meanwhile, secondary data were in the form of data of the village monograph, potency of village, and document of development program which have been executed in the framework of development particularly related to fisherman in research location obtained by government or related institution such as BPS, Bappeda, Department of

Marine and Fishery , District Office and Village Office.

C. Data Analysis and Results

1. Subsistence Strategy

Subsistence strategy is defined as a strategy undertaken by fishermen households in an effort to survive by conducting sea activities whose results are focused on self-sufficiency. Subsistence strategy is the most strategy done by fisherman besides self-reliant strategy and reliant strategy. In the implementation of subsistence strategy there is a shift of orientation to sea which they have been doing that is from commercial orientation to subsistence orientation. In a subsistence strategy, fishermen do not have to change their habits as a fisherman. They remain at sea but with limited catches to avoid the impact of high waves and strong winds.

Condition of coral reefs in the waters around Bukulimau Island is still maintained so that quality is still available marine life such as fish and octopus.

Page 91: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

80 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Coral reef location is located not far from Bukulimau Island and is relatively protected from the impact of bad weather or big waves during the unseasonal dry. This condition is beneficial for Bukulimau Island fishermen in supporting their subsistence strategy. When the fishermen’s fishing seasons choose to fish around the island is relatively minimal risk when the big waves. Although the result is not much, but at least enough to eat alone (subsistence). The above illustrates that the well-preserved natural conditions have an impact on fishermen in the selection of survival strategies.

2. Diversification Strategy

Diversification strategy is defined as the strategy taken by fishermen in an effort to survive by doing business different from the main work that has been done and has nothing to do with the activity of fishing at sea. Implementation of this strategy utilizes the various resources that exist around to be used as a source of income beyond the activities of fishermen. Revenues earned through this strategy are highly expected by fishermen households to earn income during the unseasonal dry.

The number of fishermen who implement the diversification strategy is still limited in number because not all fishermen are able and willing to do it. In implementing the diversification strategy, they need certain supporting tools and job skills not necessarily owned by all fishermen. For example, to transport building materials requires a large boat, but not all fishermen have it, so does the

job of fixing a house that requires a certain skill.

3. Self-Reliant Strategy

The Self-Reliant Strategy is a survival strategy by treating the financial resources derived from within the fisherman’s household itself. The availability status of savings owned by fishermen will influence the decision of the fisherman during the unseasonal dry to implement the Self-Reliant strategy. The use of savings is the first priority they do during the unseasonal dry. That’s what they do because the fishing households barely make any money.

In the life of fishermen, the role of women in fishermen’s households begins when the boats begin to return from the sea and bring the catch. At that time, women were involved in the sale and processing of the catch. The fishermen’s wives along with their daughters will usually cultivate the fish catching their husbands into salted fish. In spending the results obtained, they must be very careful and must

Page 92: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 81

make savings. If there is an excess of spending money, they seek to save. Their

savings are usually in the form of money or in the form of jewelry.

4. Reliant Strategy

Reliant Strategy is a strategy of survival by processing financial resources that come from outside the household fishermen. Usually this strategy is implemented if the self-reliant strategy they have done but the unseasonal dry has not ended while the cost of living still running. Choice of reliant strategy occurs because of the social system that has been formed for generations. The social system forms a phenomenon called patron-client term in the life of fisherman community. The owner of capital (patron) will usually be all-out in ensuring the life of fishermen (clients). Patron will bind clients with loans to ensure that clients keep working on patrons. The loans generally do not have interest, and it will be replaced or paid back with the catch during the season to go to sea.

In addition, family ties are also an important factor in community life survival on Bukulimau Island. Those who are relatively capable are usually willing to lend money to other people who are pressed for their needs, even in small numbers. The loan is not withdrawn overpaid (without interest). Fulfillment of commitments in returning a loan leads the trust of the lender to be maintained, so that the lender

will still lend him the money at a later date if needed.

5. Circulation Strategy

In this research, circulation strategy is defined as a strategy taken by fishermen in an effort to survive by passing migration or movement out of the island to get a job for a while. Movements made are temporary migration during the unseasonal dry. Fishermen will return to Bukulimau Island when the unseasonal dry passes and return to normal fishing activity. The place to go when running a circulation strategy is by going to Pongok Island in South Bangka which is about 100 miles from Bukulimau Island. During the unseasonal dry on Bukulimau Island, the situation on Pongok Island is still possible to go to sea. In Pongok Island, they can still move to sea to fish but with different types of fishing gear from mayang boat.

Generally, the circulation strategy is done only by male fishermen, while other family members do not participate and remain on Bukulimau Island. The fishermen will return after the unseasonal dry has passed. To implement a circulation strategy, fishermen must have acquaintances that will accommodate them during the migration. Fishermen who migrate are usually fishermen who have close family

Page 93: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

82 Direktori Mini Tesis-Disertasi

in Pongok Island. Not all fishermen in Bukulimau have close relatives on Pongok

Island, so not everyone can do this circulation strategy.

6. Relationship Between Strategy

By adapting the Sustainable Livelihood Guidance Sheet, presented in DFID (2001), the survival framework of fishermen on Bukulimau Island consists of at least 5 (five) components that are related and interconnected with each other. These components include context, factors, institutions, strategies, and practices.

The relationship between each component within the framework of the fishermen life survival strategy on Bukulimau Island described above can be explained as follows:

a. There is livelihood vulnerability in fishing households;

b. Each fishing household has its own conditions which can be used as capital to face vulnerability;

c. Capital owned by every fisherman household will affect their practice in dealing with vulnerability;

d. The practices they undertake will influence the strategy of survival of fishermen on Bukulimau Island.

When viewed from the aspect of resilience (toughness) and then the strategy taken by fishermen, it still puts them in a vulnerable position. The choice made is to solve the problem only momentarily (during unseasonal dry only) and cannot guarantee their life after the period in addition to their fishing activities. The choice of strategy pursued by fishermen is entirely individual initiative of the fishermen themselves. The choice of strategies implemented by fishermen is more due to the limited choice of efforts they can make especially if they rely on very limited land resources.

In an effort to survive, fishermen on Bukulimau Island not only run one type of strategy, but some strategies so that later emerged the term multiple survival strategies. This is done because a single income is not sufficient to support the necessities of life. These different strategies are run simultaneously and will help each other when there are other strategies that do not work well. The multiple survival strategies adopted by fishing households are sometimes different, depending on the condition of each fisherman.

Page 94: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 83

D. Conclusions

The strategies done by fishermen on Bukulimau Island, Manggar District, East Belitung Regency during the unseasonal dry can be classified into 5 (five) strategies, i.e. (1) Subsistence Strategy, (2) Diversification Strategy, (3) Self-Reliant Strategy (4) Reliant Strategy, and (5) Circulation Strategy.

The most common strategy by fishermen on Bukulimau Island is subsistence strategy, self-reliant strategy, and reliant strategy. The choice of strategy pursued entirely by individual initiatives of the fishermen, while the role of the government has not seen well while in assisting fishermen to face the unseasonal dry. The choice of strategy by fishermen is preferred because of the limited choice of efforts they can make. Each fisherman not only runs one type of strategy, but several strategies at once and sequentially; therefore, they apply multiple survival strategies. In order to support sustainability, the biggest opportunity that can be done is by diversification strategy through the utilization of the potentials found in Bukulimau and surrounding islands such as the potential of aquaculture and marine tourism in order to open opportunities

for local communities.

E. Recommendations

Based on the conclusion which has been stated before, in this research it is recommended that:

1. Government should be more concerned in assisting fishermen in order to present a choice of business opportunities for the people of Bukulimau Island;

2. The fishermen on Bukulimau Island need to improve their capacity other than their skills as fishermen.

Page 95: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

84 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 96: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

THE CORRELATION BETWEEN FLOOD RISK PERCEPTION AND COPING MECHANISM IN LAMPUNG TIMUR REGENCY, LAMPUNG PROVINCE, INDONESIA

Nama : Erda Yusnita

Instansi : Pemkab Lampung Timur

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Master of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 97: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

86 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Banjir adalah bencana alam paling umum di Kabupaten Lampung Timur. Ini memiliki indeks risiko bencana tertinggi berdasarkan data Dewan Nasional Indonesia untuk Manajemen Bencana. Pemerintah Daerah telah menerapkan beberapa pekerjaan struktural untuk mengurangi banjir di Kabupaten Lampung Timur. Metode struktural tersebut memerlukan beberapa metode non-struktural tambahan, karena banjir adalah masalah multidimensional yang terkait dengan banyak sektor seperti sosial, ekonomi, fisik, dan lingkungan. Oleh karena itu, peran persepsi risiko diperlukan untuk mengurangi risiko bencana dan untuk meningkatkan mitigasi bahaya.

Faktor situasional dan faktor kognitif responden digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi risiko di Kabupaten Lampung Timur. Regresi Program SPSS dilakukan untuk menganalisis korelasi antara faktor situasional dan kognitif serta persepsi risiko banjir dan mekanisme coping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi risiko banjir penduduk di Kabupaten Lampung Timur dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut; umur, jenis kelamin, tingkat ekonomi, lama tinggal, jarak, area risiko, dan kedalaman banjir. Jenis kelamin mempengaruhi penduduk untuk melakukan semua mekanisme penanggulangan: teknologi, ekonomi, dan sosial. Berdasarkan analisis, responden laki-laki memiliki kesempatan lebih tinggi untuk menerapkan beberapa mekanisme penanggulangan teknologi, ekonomi, dan sosial.

Penerapan mekanisme coping dipengaruhi oleh persepsi penduduk. Mekanisme koping lebih dapat diterapkan ketika dipengaruhi oleh gender, area risiko, tingkat ekonomi dan kedalaman banjir. Selanjutnya, korelasi mekanisme koping dan persepsi penghuni semakin kuat ketika laki-laki mendominasi mekanisme koping di wilayah studi.

Kata kunci: Persepsi Risiko, Banjir, Mekanisme Penanggulangan, Manajemen Banjir Pemerintah

Page 98: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 87

ABSTRACT

Flood is the most common natural disaster in Lampung Timur regency. It has the highest disaster risk index based on Indonesia National Board for Disaster Management’s data. The local government has applied several structural working to decrease flooding in Lampung Timur Regency. Those structural methods need some additional nonstructural methods because flood is multidimensional problem that associated with many sectors such as social, economic, physical, and environmental. Therefore, the role of risk perception is needed to reduce of disaster risk and to improve hazard mitigation.

The situations factors and cognitive factors of the respondents are used to identify the influenced factors of risk perception in Lampung Timur regency. The regression of SPSS Program was conducted to analyze the correlation between the situations and cognitive factors and both flood risk perception and coping mechanism. The result shows that the flood risk perception of resident in Lampung Timur regency is influenced by the following factors; age, gender, economic level, length of stay, distance, risk area, and flood depth. Gender influenced the resident to do all coping mechanism: technology, economy, and social. Based on analysis, male respondents have higher chance to apply some technological, economical, and social coping mechanism.

The application of coping mechanism is influenced by resident’s perception. The coping mechanism is more applicable when influenced by gender, risk area, economic level and flood depth. Furthermore, the correlation of coping mechanism and resident’s perception is getting stronger when the male dominated the coping mechanism in study area.

Keywords: Risk Perception, Flood, Coping Mechanism, Government Flood Management

Page 99: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

88 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE CORRELATION BETWEEN FLOOD RISK PERCEPTION AND COPING MECHANISM IN LAMPUNG TIMUR REGENCY,

LAMPUNG PROVINCE, INDONESIA

A. Background

Indonesia is a hazard prone country. The large scale disasters reported in history, Indonesia was also affected by big disasters that happened nearly every year and caused damage that were significant.

One of the provinces that have a high level of Disaster Prone Index is Lampung. There are some types of disaster in Lampung, such as landslides, social conflicts, droughts, typhoons, land fires and floods. However, floods are the most common natural disaster in Lampung, because it has the highest occurrence in Lampung (BNPB, 2012). Not only in Lampung Province, but also in Lampung Timur as one of the regency in Lampung Province, floods have the highest disaster risk index based on Indonesian National Board for Disaster Management’s data.

The Local Government of Lampung Timur Regency has applied physical development to deal with flood in Lampung Timur Regency, such as drainage channels improvement and hazard mitigation formulating plan on their Spatial Planning on 2011−2031 (RTRW, 2012), but physical working and structural mitigation still dominated the flood risk management.

Those structural methods need some additional non-structural methods because floods are multidimensional problem that associated with many sectors such as social, economic, physical, and environmental. Therefore, the role of risk perception is needed to reduce of disaster risk and to improve hazard mitigation (Bradford et al. 2012).

The main objective of this study is to propose mitigation strategies based on the condition in the flood area. The objectives of this study are as follows;

1. To assess the resident’s perception of flood disaster.

2. To identify resident’s coping mechanism in handling flood disaster.

3. To identify flood management of government in study area.

B. Research Problems and Methodology

The Local Government of Lampung Timur Regency has applied physical development to deal with flood in Lampung Timur Regency, such as drainage channels improvement

Page 100: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 89

and hazard mitigation formulating plan on their spatial planning on 2011-2031 (RTRW, 2012), but physical working and structural mitigation still dominated the flood risk management. All this time the efforts to address the flooding that occurred only by a responsive way and focused only in times of disaster. It can be seen by the lack of a disaster in the handling of pre-disaster and post-disaster phase. It is necessary to do a disaster risk assessment that involving the community in Lampung Timur Regency. The assessment of flood risk perception of resident, including the coping mechanism of the resident has not been done yet in the study area. Therefore, this research is addressed to assess resident perception on flood and identify the coping mechanism applied in the study area.

Based on the problem statement of this research, the research question s that can be formulated are:

1. What are the perceptions of flood disaster from the society in Lampung Timur Regency?

2. What kinds of coping mechanism are applied by residents in handling flood disaster?

3. What kind of flood management has been applied by government in study area?

The research used deductive method. Deductive logic is started from the major premise (general theory) and followed by testing step (minor premise) done by the researchers based on the major premise (Djunaedi, 2000). Furthermore, this research used questionnaire survey and interview as the technique of data collection. Moreover, this research combines quantitative and qualitative analysis.

Research was conducted in Lampung Timur Regency, Lampung Province, Indonesia. Lampung Timur Regency was divided into 24 districts. From total 24 districts in Lampung Timur Regency, 5 districts were chosen based on the flood level of risk. For each level of flood risk was presented by one district, namely Pasir Sakti district (very high level), Sekampung Udik district (high level), Marga Sekampung district (moderate level), Batanghari district (low level), and Sukadana district (very low level).

Primary data and secondary data were used in this research. Primary data was obtained by conducted questionnaire survey, field observation, and interview. The questionnaire survey was conducted by using the random sampling to resident who lived in each district. The questionnaire survey was conducted to 100 respondents who lived in study area.

Page 101: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

90 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Data Analysis and Results

To identify the relationship between contributing factors and the flood risk perception, the regression analysis method was applied. Based on the value of F, it is shown that the F-output value is bigger than the F-table value. The significance value is 0,000 which is less than 0,05. It can be concluded that the independent factors variables (age, gender, education, occupation, building material, length of stay, distance, flood duration, flood depth, and flood causes) together give significant influence on the dependent variable (flood risk perception).

The R square value shows that the independent variables influence on dependent variable in the research about 70,9% and the rest 29,1% is influenced by other random factors which are not surveyed in this research.

To identify the relationship between contributing factors and flood risk perception, multiple regression was applied on flood risk perception for all samples. The seven predictor variables have a relationship with the variation of flood risk perception (p≤0,05). Three of them have negative correlation: age, gender, and distance. However, others variables have positive correlation with perception of flood risk: building material, length of stay, risk area status, and flood depth.

Most of the socio economic factors analyzed in this study indicated significant influence on risk perception. There are four of social-economic characteristics which play a role of the variability of resident perception towards flood risk.

Age and gender variables have a negative correlation, meaning that risk perception is higher in younger age and male respondents. It is because young productive ages and male respondents dominated to do the flood prevention and directly involved when the flood occurred, so they are more aware of the flood conditions in their area.

Length of stay and building materials have positive correlation. This means that longer-term resident living in flood-affected location have higher perception of flood risk. It is caused by the flood disaster happens every year in some areas, especially in agricultural areas. In that case, building material describes the economic level of the respondents. The higher economic level the higher the perception of flood risk. It indicates that respondents who are in the middle to upper economic level affected by floods are higher than lower economic level hence they have a higher risk perception.

The respondents agreed on the status of their area based on the level of flood risk. This can be seen from the positive correlation between the respondent’s perception

Page 102: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 91

with the status of the area based on the flood hazard map owned by the public works agency of Lampung Timur Regency.

Distance between respondent’s house or paddy field to the river has a negative correlation with perception. The closer distance between house or paddy field to the river, the higher resident perceived the level of flood risk. Many studies indicate that the flood risk perception depends on the place of residence (Heitz et al., 2009). This study also showed the same result, the distance between respondent’s house and paddy field from the river have influenced the variation of risk perception.

Flood depth appeared to be positively related to perception of threat. Therefore, the higher inundation the higher perception of flood risk in that is owned by the respondents. To identify the relationship between the contributing factors and certain coping mechanisms (technology, economy, social), the regressions analysis was applied on the coping mechanism behavior for all respondents. Cultural coping mechanism does not include in this analysis. There are seven contributing factors derived from the regression analysis that identify a relationship with the variation of flood risk perception.

It can be concluded that gender influenced the resident to do all coping mechanism: technology, economy, and social having negative relationship with the coping mechanism, it means that male respondents have higher chance to apply some technological, economical, and social coping mechanism. It is in line with the previous study that gender influences flood risk perception and coping mechanism (Enarson and Morrow, 1998).

In the conceptual framework, it is shown that there is a correlation between risk perception and behavior. It is assumed that risk influences resident’s attitude to flood risk. Regression analysis is used to identify the correlation between risk perception and coping mechanism.

The result above indicated that perception of flood risk has significant correlation with two coping mechanism; technology/ structural coping mechanism and social coping mechanism. However, economical coping mechanism insignificantly correlated. It is related to a very low percentage of residents to do the economical coping mechanism. The result indicates that understanding of risk perception does not always applied into action; behavior change may precede attitude adjustment or understanding (Valente and Schuster, 2002).

In contrast, the flood risk perceptions have significant correlation to technological and social coping mechanism. It means that the residents understand about the flood risk. Therefore, they do the actions generated to protect or cope with flood damages

Page 103: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

92 Direktori Mini Tesis-Disertasi

involving material or existing action. Also, they do the activities that related to the society in which they occur. In conclusion, higher flood risk perception of residents, more active to do the technological and social coping mechanisms in their area.

D. Conclusion

The main results of this study are shown below:

1. The application of coping mechanism is influenced by resident’s perception. The coping mechanism is more applicable when influenced by gender, risk area, economic level, and flood depth.

2. Residents in Lampung Timur Regency understand about the flood risk in their area but most of them did not do the economical coping mechanism, because they concentrated to technological and social coping mechanism that directly related to their valuables, property, safety, and society

3. River normalization, raising river dike, and improvement of drainage system as a structural method to control and reduce impact of the flood. Non-structural methods are applied by mangrove planting; flood forecasting, disaster training, preparing evacuation shelter, and making flood hazard map.

Page 104: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PENYELENGGARAAN PROGRAM KABUPATEN SEHAT DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

Nama : Hisam Wardana

Instansi : Pemkab Probolinggo

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 105: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

94 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kabupaten/kota sehat merupakan suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman, dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dan kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan pemerintah daerah. Program kabupaten/kota sehat dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melalui pembangunan terpadu dari aspek fisik, sosial, budaya, dan ekonomi. Penyelenggaraan Program Kabupaten Sehat di Kabupaten Probolinggo dinilai sukses karena keberhasilannya dalam mengintegrasikannya dengan program percepatan peningkatan IPM. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui proses penyelenggaraan Program Kabupaten Sehat di Kabupaten Probolinggo serta mengidentifikasi peran faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penyelenggaraannya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam mengintegrasikan sebuah program wajib ke dalam program terpadu sebagai alternatif solusi permasalahan di daerah.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Probolinggo khususnya pada kecamatan-kecamatan yang dipilih menjadi pilot project. Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses penyelenggaraan program, digunakan pendekatan deduktif kualitatif. Data yang digunakan yaitu data primer melalui wawancara mendalam terhadap pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan program, sedangkan data sekunder diperoleh dari satuan kerja teknis berupa dokumen perencanaan kegiatan dan dokumen verifikasi penilaian. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif melalui tahapan reduksi, matriks kualitatif, dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sinergi perencanaan Program Kabupaten Probolinggo Sehat ke dalam rencana kerja Forum CSR memperkuat peranan swasta dalam pembangunan secara umum. Selain itu, melalui kegiatan-kegiatan teknis yang membidik peningkatan indeks komposit penyusun IPM, diketahui kenaikan indeks yang sangat signifikan pada kecamatan-kecamatan yang dipilih menjadi entry point. Kesimpulan lain juga menunjukkan bahwa kerja sama multisektor yang dilakukan dalam program terpadu Kabupaten Probolinggo Sehat diduga kuat membawa pengaruh dalam perbaikan ranking IPM dari posisi 36 (tahun 2004) ke posisi 32 (tahun 2015) dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Kata kunci: Kabupaten/Kota Sehat, Sinergi Perencanaan, Integrasi Program

Page 106: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 95

ABSTRACT

Healthy Regency or Healthy City is a clean, comfortable, safe, and healthy regency/city condition for the inhabitants, which is achieved through the implementation of several integrated arrangements and activities agreed by the community and local government. Healthy Regency / Healthy City Program is needed to maintain and improve the quality of community life through integrated development of physical, social, cultural and economic aspects. The implementation of Healthy Regency Program in Probolinggo Regency is considered successful because of its success in integrating it with the accelerated program of increasing HDI. This research is aimed to know the process of organizing Healthy Regency Program in Probolinggo Regency and to identify the role of the factors that influence the success of the implementation. The results of this study can be used as a reference in integrating a compulsory program into an integrated program as an alternative problem solution in the region.

This research was conducted in Probolinggo Regency especially in selected sub-districts to become pilot project. To obtain a comprehensive overview of the program implementation process, a qualitative deductive approach is used. The data used are primary data through in-depth interviews to the parties directly involved in the implementation of the program, while secondary data obtained from technical work unit in the form of activity planning document and assessment verification document. Analytical techniques used are qualitative data analysis through the steps of reduction, qualitative matrix and drawing conclusions.

The results show that the synergy of Probolinggo Regency Healthy Program planning into the work plan of CSR Forum strengthen the role of private sector in general development. In addition, through technical activities aimed at increasing the composite index of the compilers of HDI, it is known that the increase in the index is very significant in the selected sub-districts as entry points. Another conclusion also indicates that multisector cooperation conducted in integrated program of Healthy Probolinggo Regency is strongly believed to have an effect in improving the HDI ranking from position 36 (in 2004) to position 32 (in 2015) out of 38 regencies / cities in East Java.

Keywords: Healthy Regency/Healthy City, Planning Synergy, Program Integration

Page 107: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

96 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENYELENGGARAAN PROGRAM KABUPATEN SEHATDI KABUPATEN PROBOLINGGO DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMENGARUHINYA

A. Latar Belakang

Program kabupaten/kota sehat merupakan salah satu upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat khususnya melalui aspek kesehatan. Dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat, disebutkan bahwa kabupaten/kota sehat adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dan kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan pemerintah daerah.

Secara umum program kabupaten/kota sehat bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kualitas lingkungan baik fisik, sosial, budaya, serta mengembangkan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan potensi-potensi masyarakat. Cara yang ditempuh adalah dengan memberdayakan fungsi-fungsi kehidupan dalam membangun potensi maksimal suatu wilayah. Setiap kabupaten/kota yang berpartisipasi dalam program kabupaten/kota sehat menetapkan kawasan potensial sebagai ”entry point” atau pintu masuk yang dimulai dengan kegiatan sederhana yang disepakati masyarakat dan terintegrasikan dengan kegiatan sektor/instansi, kemudian berkembang dalam suatu kawasan atau aspek yang lebih luas.

Titik-titik pantau yang digunakan sebagai sampel penilaian selanjutnya digunakan acuan atau standar minimal bagi unit-unit lain di seluruh wilayah. Keberhasilan dalam mewujudkan kawasan sehat dalam penilaian selanjutnya diharapkan untuk diadopsi kawasan lain untuk menjadi kawasan sehat. Adopsi yang bergulir terus-menerus akan menjadikan seluruh kawasan di kabupaten/kota menjadi kawasan sehat. Dengan pendekatan program kabupaten sehat, diharapkan diperoleh alternatif dalam perencanaan pembangunan daerah secara komprehensif untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Standar ini nantinya akan memperkaya metode perencanaan dengan piranti yang sudah lebih dahulu digunakan.

Dalam keikutsertaan program kabupaten sehat tahun 2011, Kabupaten Probolinggo mengajukan 2 (dua) kawasan potensial sebagai tatanan pilihan untuk penilaian, yaitu tatanan permukiman, sarana dan prasarana sehat, serta tatanan kehidupan masyarakat sehat dan mandiri. Partisipasi dalam program ini hampir bersamaan dengan publikasi data BPS yang menyebutkan peringkat IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Kabupaten Probolinggo berada pada posisi ke 37 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Page 108: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 97

Indeks Pembangunan Manusia tersusun dari variabel indeks kesehatan, indeks pendidikan, dan indeks daya beli. Dari catatan buruk peringkat IPM Kabupaten Probolinggo pada saat itu, variabel indeks kesehatan berperan paling besar karena indeksnya sangat rendah dengan angka 60,70 (BPS Kabupaten Probolinggo, 2013). Kondisi ini sangat mengusik seluruh stakeholder khususnya di jajaran pemerintah daerah pada saat itu. Pertemuan koordinasi lintas SKPD, symposium, dan studi gencar dilakukan untuk mencari akar permasalahan dan solusi untuk permasalahan ini.

Berbagai upaya intervensi kebijakan pun diambil dalam upaya keluar dari kondisi kritis tersebut. Pemerintah Kabupaten Probolinggo berupaya keras dengan merevitalisasi kebijakan dan kegiatan-kegiatan adopsi dari pusat, seperti posyandu, desa siaga, dan lomba desa. Keseluruhan kegiatan ini berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Dengan memanfaatkan jaringan dan forum kegiatan-kegiatan itu, gerakan kabupaten sehat diperkenalkan sekaligus melebur di dalamnya.

Meskipun belum dilakukan penelitian mengenai signifikansi kegiatan-kegiatan ini terhadap perubahan Indeks Pembangunan Manusia, namun seiring dengan partisipasi Program Kabupaten Probolinggo Sehat, indikator-indikator penyusunnya terus menunjukkan tren kenaikan. Data BPS tahun 2015 menunjukkan kemajuan pesat indikator-indikator tersebut sehingga mendongkrak posisi IPM Kabupaten Probolinggo dari peringkat 37 naik ke peringkat 32 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Dengan asumsi perbaikan pada indikator pendidikan, kesehatan, dan daya beli penduduk Kabupaten Probolinggo, Program Kabupaten Probolinggo Sehat dipandang berperan dalam mendukung keberhasilan pembangunan daerah. Gerakan Kabupaten Probolinggo Sehat yang diselenggarakan menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan daerah yang terpadu akan mendorong dan meningkatkan efektivitas

program yang dilaksanakan oleh pemerintah.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Keberhasilan sebuah program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat dilihat dari bagaimana kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas. Terintegrasinya Program Kabupaten Probolinggo sehat sebagai program percepatan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia ditengarai berhasil mengangkat posisi Kabupaten Probolinggo dari urutan ke 37 pada tahun 2010 menjadi peringkat 32 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun 2015. Dipilihnya Kabupaten Probolinggo dalam penelitian ini terutama karena keikutsertaannya dalam program kabupaten/kota sehat dipandang sebagai sebuah keberhasilan perencanaan pembangunan daerah. Tatanan kawasan permukiman, sarana dan prasarana sehat

Page 109: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

98 Direktori Mini Tesis-Disertasi

secara langsung bersentuhan dengan perencanaan tata ruang. Satu tatanan yang lain, yaitu tatanan kehidupan masyarakat sehat dan mandiri sebagai objek kajian dari sisi pemberdayaan masyarakat sekaligus menunjukkan partisipasi masyarakat sebagai bagian dari proses pembangunan. Kedua tatanan ini dijadikan sebagai batasan penelitian mengenai penyelenggaraan program kabupaten sehat yang akan dilakukan.

Untuk mengetahuinya arah penelitian ini dirumuskan melalui pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana proses penyelenggaraan program kabupaten sehat di Kabupaten Probolinggo sampai mendapatkan penghargaan ”Swasti Saba Padapa”?

2. Bagaimana peran faktor-faktor yang memengaruhi keberhasilan penyelenggaraan program kota sehat menurut WHO dalam penyelenggaraan program kabupaten sehat di Kabupaten Probolinggo?

Dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai proses penyelenggaraan program kabupaten sehat di Kabupaten Probolinggo. Untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh tersebut maka dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deduktif kualitatif. Penggunaan metode kualitatif digunakan untuk menganalisa dan mendeskripsikan tujuan penelitian pertama mengenai proses penyelenggaraan program kabupaten sehat di Kabupaten Probolinggo dan kinerja faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sukses penyelenggaraan program kabupaten/kota sehat pada tujuan penelitian kedua.

Lokasi penelitian berada di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Fokus penelitian diarahkan pada penyelenggaraan program kabupaten sehat di Kabupaten Probolinggo dan mengetahui kinerja faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian dilakukan pada bulan Juli−September 2016.

Narasumber dalam penelitian ini adalah stakeholder sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan Program Kabupaten Probolinggo sehat. Dari narasumber diharapkan adanya tanggapan mengenai proses dari awal sampai dengan pencapaian penghargaan ”Swasti Saba Padapa”. Komentar mengenai peran faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sukses penyelenggaraan program Kabupaten Probolinggo Sehat, serta prospek keberlanjutan program di masa mendatang. Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam tim pembina tingkat kabupaten, yaitu Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Kepala BLH, Kepala Dinas PU Cipta Karya, Kepala Dinas PU Pengairan, dan kepala bidang di instansi terkait. Pada kelembagaan forum dilakukan wawancara mendalam kepada ketua dan sekretaris forum kabupaten sehat, termasuk kepada ketua forum komunikasi kecamatan sehat,

Page 110: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 99

sedangkan di tingkat desa/kelurahan, narasumber yang diwawancarai adalah ketua kelompok kerja desa/kelurahan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Sinergitas Perencanaan Kegiatan FKPS dengan Perencanaan Kegiatan Forum CSR dalam Proses Penyelenggaraan Program Kabupaten Sehat di Kabupaten Probolinggo

Program Kabupaten Probolinggo Sehat sebagai salah satu program pembangunan daerah berhasil menyinergikan perencanaan kegiatannya dengan Forum CSR. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Forum CSR mendapatkan keuntungan dengan menghindari tumpang tindih sasaran dan lokasi penerima manfaat yang sebelumnya dilakukan masing-masing perusahaan tanpa koordinasi dengan perusahaan lainnya.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas, untuk menjalankan aktivitas tersebut, perusahaan dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan termasuk masyarakatnya. Forum CSR Kabupaten Probolinggo merupakan wadah bagi penyelenggara CSR yang independen dan berfungsi sebagai mitra kerja pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam pelaksanaan pembangunan di bidang infrastruktur, pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, olahraga, sosial budaya, dan binamitra ekonomi. Corporate Social Responsibility perusahaan yang tergabung dalam Forum CSR Kabupaten Probolinggo memadukan konsep-konsep yang terdapat pada pemberdayaan masyarakat dengan memerhatikan keterlibatan berbagai pihak dalam melaksanakan programnya. Konsep dan program-program yang dikelola oleh Forum CSR ini sebangun dengan konsep serta program-program yang menjadi isu utama Forum Kabupaten Probolinggo Sehat.

Dengan banyaknya kesamaan pada konsep kelestarian lingkungan dan sosial ekonomi warganya, tidak banyak hambatan yang dihadapi setelah kesepakatan kerja sama kedua lembaga dicapai. Proses yang terjadi selanjutnya adalah penyaluran bantuan dengan jejaring FKPS sebagai fasilitatornya. Pada tahap teknis pelaksanaan kegiatan, kelompok kerja desa/kelurahan bertindak sebagai pelaksana di lapangan. Sinergi antara FKPS dan Forum CSR membuahkan manfaat bagi masing-masing lembaga.

Kegiatan yang direncanakan melalui Forum Kabupaten Probolinggo Sehat mendapatkan apresiasi sangat baik dari Forum CSR sehingga sebagian besar

Page 111: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

100 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kegiatan yang ditawarkan kepada Forum CSR mendapatkan bantuan dana dalam pelaksanaannya. Kedudukan Forum Kabupaten Probolinggo Sehat bagi Forum CSR dalam kerja sama ini adalah sebagai mitra yang berperan menjembatani kepentingan pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan secara bertahap sesuai prioritas yang telah ditetapkan.

Hal yang menarik dari pelaksanaan CSR di Kabupaten Probolinggo adalah pengelolaan dana CSR dengan pola yang mengadopsi sistem musrenbang. Pemanfaatan dana CSR disinergikan dengan program dan kegiatan pembangunan pemerintah Kabupaten Probolinggo yang belum tersentuh atau terbiayai dengan APBD. Pengelolaan dana CSR dengan pola ini memungkinkan pengelolaan dana dengan melibatkan pihak yang berkepentingan utamanya para calon penerima manfaat. Masyarakat dengan keterwakilannya dalam Forum Kabupaten Probolinggo Sehat merasakan manfaat langsung dari kehadiran perusahaan melalui program CSR. Dengan sinergi ini, kemitraan pemerintah daerah dengan

swasta berada dalam posisi sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

2. Sinkronisasi Program Kabupaten Probolinggo Sehat sebagai Program Percepatan Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia

Terintegrasinya pelaksanaan Program Kabupaten Probolinggo Sehat sebagai program pendukung percepatan peningkatan IPM tidak serta merta membawa perubahan signifikan dalam capaiannya, namun ditengarai berperan dalam perubahan situasi tersebut di atas. Kondisi tersebut dimaklumi karena IPM tersusun dari berbagai indikator kompleks yang membutuhkan waktu untuk meningkatkannya. Begitu kompleksnya indikator yang menyusunnya sehingga dampak tiap-tiap kegiatan pendukung program tidak langsung berimbas terhadap IPM pada tahun pelaksanaan.

Terkoordinasinya satuan-satuan kerja di Kabupaten Probolinggo dalam sebuah program terpadu memungkinkan tercapainya dampak yang lebih besar dalam pencapaian program. Dengan koordinasi yang baik, akan mengurangi tumpang tindih anggaran dan sasaran penerima manfaat sehingga anggaran yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan lebih efisien dan efektif. Efektivitas anggaran dapat dilihat dari ukuran kinerja yang dihasilkan dari akivitas kegiatan dan program pemerintah daerah yang dibiayai oleh belanja daerah (Heriwibowo, 2016). Efektivitas anggaran berkaitan dengan dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal bagi kepentingan masyarakat.

Page 112: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 101

Dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia (LPMI) tahun 2004 disebutkan bahwa dalam jangka pendek, walaupun tidak ada pertumbuhan ekonomi yang memuaskan, sebuah negara dapat meningkatkan pembangunan manusia yang cukup signifikan melalui pengeluaran publik yang direalisasikan dengan baik. Untuk itu, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan realisasi belanja pembangunan terutama di sektor pendidikan dan sektor kesehatan akan memberi pengaruh yang positif bagi perkembangan pembangunan manusia.

Untuk memastikan agar belanja pembangunan dalam rangka meningkatkan IPM tepat dan berhasil guna, diperlukan sebuah kerangka program yang langsung menyentuh pada kegiatan-kegiatan yang berdaya ungkit tinggi. Instrumen program kabupaten/kota sehat yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri memberikan jawaban atas kebutuhan sebuah program terpadu untuk meningkatkan IPM. Keikutsertaan Kabupaten Probolinggo secara konsisten dalam program ini diharapkan menjadi solusi untuk mengejar

ketertinggalannya dengan daerah lain.

3. Perbandingan dengan Penyelenggaraan Program di Daerah Lain

Sinergitas perencanaan antara Forum Kabupaten/Kota Sehat dengan perencanaan Forum CSR sebagai bentuk dukungan eksternal tidak ditemukan pada kasus yang telah diteliti sebelumnya di Kota Yogyakarta dan Kampung Duri Kosambi Jakarta. Faktor ini menjadikan penyelenggaran program kabupaten/kota sehat di Kabupaten Probolinggo berbeda dengan penyelenggaraan program di tempat lain.

Faktor suksesnya penyelenggaraan Program Kota Sehat di Kota Yogyakarta lebih dipengaruhi oleh koordinasi kerja lintas sektoral Forum Kota Sehat (Kalza, 2016) dan koordinasi kerja lintas sektoral tim pembina (Sunantyo, 2012) dengan dukungan kawasan unggulan berkualifikasi sangat baik yang diajukan. Pengalaman penyelenggaraan yang sudah dimulai dari tahun 2005 memberikan banyak kemudahan dalam memperbaiki capaian program dari tahun ke tahun.

Kota Yogyakarta yang telah berpartisipasi sejak tahun 2005 telah memperoleh capaian terbaiknya dengan penghargaan ”Swasti Saba Wiwerda” yang merupakan pencapaian tertinggi dalam program kabupaten/kota sehat. Prestasi tersebut didukung dengan gerakan membentuk komunitas masyarakat, yaitu kelompok-kelompok yang menjadi percontohan dan unggulan di beberapa tatanan. Unggulan setiap tatanan menjadi percontohan dan studi banding bagi instansi lintas daerah dalam provinsi, perguruan tinggi, lembaga masyarakat, kementerian, bahkan Bangladesh, Australia, Malaysia, India, Pakistan, serta lembaga internasional, seperti WHO dan UNESCO.

Page 113: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

102 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pada penyelenggaraan di Jakarta Barat khususnya di Kampung Duri Kosambi (Widitya, 2014), elemen proses dan faktor sukses yang menonjol adalah adanya organisasi masyarakat dan peran aktif tokoh masyarakat sebagai motor penggerak kegiatan. Dengan adanya kedua elemen tersebut, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program dapat ditingkatkan.

Sebagai kawasan unggulan pada tatanan permukiman, sarana dan prasarana sehat, Kampung Duri Kosambi memiliki kelebihan dalam inovasi program. Program Green and Clean yang diikuti oleh Kampung Duri Kosambi mendapatkan banyak penghargaan sehingga menyumbang peranan besar dalam mewujudkan permukiman sehat.

Pada kasus penyelenggaraan kabupaten/kota sehat di Yogyakarta dan Jakarta Barat, peran faktor eksternal berupa dukungan pembiayaan swasta dalam mendukung kesuksesan program juga ditemukan. Perbedaannya adalah dukungan pembiayaan swasta di Kabupaten Probolinggo melalui mekanisme pembiayaan yang lebih terkoordinir dalam Forum CSR.

Untuk melihat gambaran proses penyelenggaraan Kota Sehat di Indonesia, dipandang perlu untuk melihat dari dekat proses tersebut di lima kota terpilih, yaitu Kota Medan, Semarang, Denpasar, Balikpapan, dan Manado. Pilihan kota tersebut diharapkan mewakili dari kawasan Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali-Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Kajian ini dilakukan oleh Hapsari, dkk. (2007) yang dimuat dalam Media Litbang Kesehatan Volume XVII Nomor 3 Tahun 2007. Permasalahan umum yang dijumpai di lima kota terpilih yang berkaitan dengan Kota Sehat adalah karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak mengetahui program Kota Sehat yang sudah dicanangkan, walaupun masyarakat secara tidak langsung telah mendukung program tersebut, antara lain melalui kegiatan Jumat Bersih. Permasalahan lainnya adalah belum bersinerginya dinas-dinas atau satuan kerja yang terkait.

Pelaksanaan program secara umum tetap mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan. Kelima kota terpilih ini menggunakannya sebagai panduan pelaksanaan sekaligus berlaku sebagai SOP. Inovasi-inovasi yang dilakukan hanya sebatas perbedaan penyebutan nama kegiatan-kegiatan teknisnya. Pelaksanaan program FKS sendiri masih terfokus pada upaya kuratif daripada promotif dan preventif. Kesehatan lingkungan yang merupakan kegiatan lintas sektor belum sepenuhnya dikelola dalam suatu sistem kesehatan kewilayahan (sistem kesehatan dengan pendekatan kota sehat).

Page 114: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 103

Bentuk inovasi proses seperti kerja sama antara Forum Kota/Kabupaten Sehat dengan Forum CSR tidak ditemui pada penyelenggaraan program di lima kota yang diteliti. Demikian pula dengan sinkronisasi program kota/kabupaten sehat dalam

mendorong percepatan capaian Indeks Pembangunan Manusia juga tidak dijumpai.

4. Keterkaitan Antara Temuan Penelitian dengan Kerangka Teori tentang Healthy City

Keterkaitan antartemuan dengan teori tentang Healthy City atau Kota Sehat sebagai implementasi langsung dari konsep besar sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Sinergitas FKPS dengan Forum CSR dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan kelestarian lingkungan mengambil peran di antaranya pada pemulihan kondisi akibat penurunan kualitas lingkungan karena dampak industri, aktivitas domestik dan transportasi terhadap lingkungan, serta pemberdayaan masyarakat dari tinjauan sosial dan ekonomi. Proses perubahan di mana pemanfaatan sumber daya, kemandirian masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan, kesehatan, dan pendidikan secara sinergis menjamin keberlangsungan hidup masyarakat saat ini dan masa mendatang sebagai perwujudan dari konsep pembangunan berkelanjutan.

Mengulang pernyataan Tsourou & Barton (2000), sebuah kota yang sehat didefinisikan bukan hanya dari suatu hasil yang telah mencapai status kesehatan tertentu, tetapi dilihat dari bagaimana kota tersebut dalam menciptakan kota yang sehat. Baik dalam skala kota ataupun kabupaten, proses untuk menjadikan wilayah beserta manusia dan lingkungannya menjadi lebih sehat dari segala aspek itulah

praktik sesungguhnya dalam mewujudkan Healthy City.

D. Kesimpulan

Perkembangan gerakan kabupaten/kota sehat di setiap daerah berbeda satu sama lain, tergantung permasalahan yang dihadapi dan tidak dapat diperbandingkan. Kesamaan konsep kabupaten/kota sehat di seluruh daerah adalah satu sama lain berasal dari kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan pemerintah berperan sebagai fasilitator. Dalam rangkaian proses penyelenggaraan progam kabupaten sehat di Kabupaten Probolinggo, kerja sama antara FKPS dengan Forum CSR dalam menyusun kegiatan dan pembiayaan program, menjadi keistimewaan yang tidak ditemukan dalam penyelenggaraan program di kota/kabupaten lain. Sinergi perencanaan Program Kabupaten Probolinggo Sehat ke dalam rencana kerja Forum CSR memperkuat peranan swasta dalam pembangunan secara umum.

Page 115: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

104 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Melalui kegiatan-kegiatan teknis yang membidik peningkatan indeks komposit penyusun IPM, diketahui kenaikan indeks yang sangat signifikan pada kecamatan-kecamatan yang dipilih menjadi entry point. Hal tersebut menguatkan indikasi bahwa penyelenggaraan Program Kabupaten Probolinggo Sehat diduga berperan dalam peningkatan IPM. Kerja sama multisektor yang dilakukan dalam program terpadu Kabupaten Probolinggo sehat diduga kuat membawa pengaruh dalam perbaikan

ranking IPM dari posisi 36 ke posisi 32 dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.

E. Saran

1. Untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, perlu keseimbangan antara alokasi pembiayaan fisik infrastruktur dan pembangunan sosial khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan. Peningkatan anggaran juga diperlukan untuk mengembangkan Program Kabupaten Probolinggo Sehat dengan cakupan wilayah yang lebih luas serta menambah jumlah tatanan yang diikuti.

2. Dukungan dari CSR dalam pembangunan daerah layak didukung dan didorong untuk diperluas akses lokasi penerima manfaatnya. Jika selama ini konsentrasi pembiayaan kegiatan CSR masih dalam prioritas lokasi sekitar perusahaan (ring 1), baik sekali jika diperluas jangkauannya pada wilayah lain yang membutuhkan.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak langsung program dari sisi masyarakat sebagai penerima manfaat. Selain itu, adanya kemungkinan pengaruh penyelenggaraan program kota/kabupaten sehat dalam peningkatan Indeks Pembangunan Manusia menjadi rekomendasi penelitian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya.

Page 116: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN WISATA ALAM OLEH MASYARAKAT LOKAL DI SEKSI PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL WILAYAH II KROGOWANAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU KABUPATEN MAGELANG

Nama : Jarot Wahyudi

Instansi : Kementerian Kehutanan dan

Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 117: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

106 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) memiliki luas 5.820,49 hektar dan 36 desa penyangga. Zona pemanfaatan (Zonasi 2014) berupa wisata pendakian seluas 16,43 hektar, jalur pendakian Selo, Wekas, Cuntel, dan Tekelan. Muncul objek wisata baru sejak 2015 yang dikelola oleh masyarakat local, seperti jalur Suwanting, jalur Gancik, dan beberapa jalur lainnya. Terdapat paradigma pengelolaan di masyarakat yang memanfaatkan potensi alam TNGMb dijadikan sumber pendapatan ekonomi dan tingkat perkembangan pengelolaan objek-objek wisata alam baru terjadi cukup pesat. Penelitian ini bertujuan mengungkap perkembangan pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal di SPTN Wilayah II Krogowanan dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode yang digunakan adalah studi kasus tipe ganda dengan analisis lintas periode dan lintas kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap pengelola lokal, tokoh masyarakat, perangkat desa, dan pengelola TNGMb.

Jalur pendakian Wekas (kasus 1) berkembang sejak 1985, mulai dikelola kelompok GRABUPAL sejak 1995 (status hutan Perhutani). Berkembang terus sampai status hutan TNGMb tahun 2004 dan jalur diakui Balai TNGMb melalui Zonasi 2011 dan 2014 di zona pemanfaatan wisata. GRABUPAL tahun 2015 berkembang dan membangun objek Merbabu Pass pada tahun 2017 yang berada di zona tradisional. Jalur pendakian Suwanting (kasus 2) mulai dikenal pendaki tahun 1994−1998 (saat hutan Perhutani), mulai ramai pendaki akhir 2014 dan awal 2015 (saat hutan TNGMb), jalur pendakian belum diakui Balai TNGMb pada Zonasi 2011 dan 2014, pengelolaan baru dilakukan oleh kelompok KAPPALA per Mei 2015. Terjadi monopoli dan pengelolaan diambil alih ke tingkat dusun per Mei 2016 bernama Suwanting Indah. Jalur pendakian berada pada zona pemanfaatan wisata saat Zonasi 2017.

Pengelolaan wisata di TNGMb termasuk dalam perkembangan wisata bentuk spontaneous (terbuka) berdasar aspek tata ruang kawasan wisata dan memiliki bentuk berbaur berdasar aspek kegiatan wisatawan. Berdasarkan siklus wisata, Butler (1980) bahwa pengelolaan wisata tersebut berada di fase ke-3 atau tahap pembangunan (development) dari 7 fase tahapan. Faktor-faktor yang berpengaruh ada 10 buah, terdiri dari 5 (lima) faktor internal, yakni aksesibilitas objek, SDM pengelola, sarana dan prasarana wisata, motivasi ekonomi, dan dukungan internal serta 5 (lima) faktor eksternal, yakni promosi wisata, motivasi wisatawan, dukungan eksternal, kerja sama pihak lain, dan peraturan kawasan konservasi.

Kata kunci: Masyarakat Lokal, Studi Kasus, Taman Nasional, Wisata Alam

Page 118: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 107

ABSTRACT

Gunung Merbabu National Park Area (bahasa: TNGMb) has 5,820,49 ha of area width and 36 buffering villages. The utilization zone (Zonasi, 2014) of climbing tourism are exist with 16.43 ha area, such as climbing routes of Selo, Wekas, Cuntel, and Tekelan. New tourism objects are emerging since 2015 which managed by the local community, including the Suwanting route, Gancik route, and others. This research is aimed to describe the development progress of nature tourism management by local community in the Krogowanan Area II of management section of national park (bahasa: SPTN) and the determining factors. The method used was Multiple Case Studies through cross-period and cross-case approaches (the form and development progress of tourism along with the determining factors). The data was collected through in-depth interview towards local managements, local figures, village administration staffs, and the managements of TNGMb.

The Wekas climbing route (Case 1) has been developed since 1985 and started to be managed by teenagers group of GRABUPAL since 1995 (the forest is owned by Indonesian State Forest Company/Perhutani); which continues to growth until the forest status was changed into TNGMb in 2004; the route was legally admitted by TNGMb Office through 2011 and 2014 zonation which determined as tourism utilization zones; in 2015, GRABUPAL has been developed and in 2017 has established a Merbabu Pass in the traditional zone (Zonasi, 2017). The climbing route of Suwanting (Case 2) started to be discovered by hikers in 1994-1998 (still owned by Perhutani), it starts to frequently visited by hikers in the end of 2014 and early 2015 (the status has changed into TNGMb); the climbing route has not been legally admitted by TNGMb Office in 2011 and 2014 Zonation; the management were initially started by teenagers group of KAPPALA in Mei 2015; KAPPALA has been monopolized the route, thus, the management was taken over by sub-village level since Mei 2016 which named as Suwanting Indah; the climbing route is located in tourism utilization zone of Zonation 2017.

The tourism management in TNGMb is categorized as a spontaneous form of tourism development in accordance with the aspect of spatial management of tourism area and characterized as a blending from by referring to tourism activity aspect. According to the phases of Butler tourism cycle (1980), this tourism management is positioned on the third phase of Development out of 7 phases that available. There are 10 determining factors consist of 5 internal factors (Object Accessibility, The Human Resources of the Management, Tourism Facilities and Infrastructures, Economic Motivations, and Internal Supports) and 5 external factors (The Promotion of Tourism, The Motivation of Tourists, External Supports, Cooperation with The Other Parties, and Conservation Area Regulation)

Keywords: Local Community, Case Study, National Park, Nature Tourism

Page 119: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

108 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERKEMBANGAN PENGELOLAAN WISATA ALAM OLEH MASYARAKAT LOKAL DI SEKSI PENGELOLAAN TAMAN

NASIONAL WILAYAH II KROGOWANAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU KABUPATEN MAGELANG

A. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) terletak di tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Boyolali, Semarang, dan Magelang dengan luas 5.820,49 hektar. Kawasan TNGMb menjadi kawasan penyangga bagi 36 desa di sekitarnya. Balai TNGMb telah menetapkan pembagian ruang zonasi tahun 2011 dan 2014 dengan luas zona pemanfaatan sebesar 286,34 hektar atau 4,92% dari total kawasan TNGMb 5.820,49 hektar. Zona pemanfaatan di SPTN Wilayah II terdiri dari Jalur Pendakian Wekas, Air Terjun Grenjengan Kembar, Bumi Perkemahan (Buper) Lempong Sikendi, dan Buper Sobleman dengan luas 69,66 hektar atau 24,33% dari total zona (Dokumen Zonasi TNGMb, 2014). Perkembangan pengelolaan objek wisata baru di SPTN Wilayah II pada tiga tahun terakhir terjadi cukup intensif, skala local, dan mampu menarik wisatawan dari berbagai daerah. Adanya tingkat partisipasi masyarakat lokal yang tinggi untuk mengelola potensi-potensi wisata TNGMb tersebut menjadi objek wisata alternatif bagi wisatawan sejak tahun 2015. Sedangkan objek-objek wisata alam yang sebelumnya sudah ada sejak penetapan kawasan hutan TNGMb (2004) dan berada di dalam zona pemanfaatan (Zonasi TNGMb) mengalami persaingan pasar dan jumlah wisatawan

yang berkunjung.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Rumusan masalah penelitian ini antara lain:

1. terdapat paradigma pengelolaan di masyarakat yang memanfaatkan potensi alam TNGMb untuk membuka objek wisata alam berdasarkan versi pengelolaan oleh mereka yang berbeda dari lokasi lainnya;

2. tingkat perkembangan pengelolaan objek-objek wisata baru (di luar zona pemanfaatan) oleh masyarakat lokal sejak tahun 2015 terjadi cukup pesat dan dapat mendatangkan wisatawan yang lebih banyak daripada objek wisata yang lama (di dalam zona pemanfaatan);

3. pengelolaan wisata alam muncul karena ditemukannya potensi wisata yang ada di hutan TNGMb dan datangnya pengunjung/wisatawan untuk menikmati potensi wisata tersebut (terjadi interaksi langsung); dan

Page 120: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 109

4. pengembangan wisata alam berbasis masyarakat lokal menjadi penting mengembangkan pariwisata di TNGMb.

Menarik untuk mengungkap perkembangan pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal tersebut, sehingga perlu diteliti secara mendalam dan runut. Tujuan penelitian ini adalah:

1. mengungkap bentuk dan tahapan perkembangan pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal di SPTN Wilayah II Krogowanan TNGMb, dan

2. mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pengelolaan wisata alam di TNGMb tersebut.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat induktif kualitatif dengan strategi penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus tipe kasus ganda (multiple case study). Alasan rasionalnya adalah untuk melihat perkembangan pengelolaan wisata alam yang dikelola oleh masyarakat lokal di SPTN Wilayah II (menjawab pertanyaan ”How”) dan untuk menemukan faktor-faktor yang memengaruhi pengelolaan wisata alam tersebut (menjawab pertanyaan ”Why”). Pemilihan kasus dilakukan secara purposive, yaitu pemilihan pada kasus-kasus yang berbeda dan diperkirakan dapat memperkaya suatu teori serta kasus yang unik dan kontemporer.

Penelitian ini mengambil 2 (dua) kasus yang dapat merepresentasikan kondisi pengelolaan wisata alam di TNGMb, yaitu kasus 1 merupakan pengelolaan wisata alam yang dilakukan di dalam zona pemanfaatan yaitu jalur pendakian Wekas dan kasus 2 merupakan pengelolaan wisata alam yang dilakukan di luar zona pemanfaatan yaitu jalur pendakian Suwanting. Unit amatan pada penelitian ini adalah kelompok/lembaga masyarakat lokal yang mengelola objek wisata alam di TNGMb terdiri dari 2 kelompok, yaitu:

1. Kelompok GRABUPAL yang mengelola wisata jalur pendakian Wekas, dan

2. Kelompok KAPPALA dan Suwanting Indah untuk wisata jalur pendakian Suwanting.

Metode analisa dalam penelitian ini menggunakan analisa deret waktu untuk menjelaskan perkembangan yang terjadi di dalam pengelolaan objek wisata alam oleh masyarakat lokal di kawasan TNGMb secara lengkap dan terstruktur, dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu analisa per kasus dan analisa lintas kasus. Untuk membuktikan adanya perbedaan objek wisata yang satu dengan objek wisata lainnya, maka perlu melihat bentuk perkembangan wisatanya dan bagaimana perkembangan itu terjadi secara keseluruhan dari awal, berdasarkan aspek sarpras wisata, pengunjung, dan aspek-aspek lainnya. Bentuk atau model perkembangan pariwisata dapat dibedakan

Page 121: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

110 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dari sudut tata ruang kawasan maupun berdasarkan kegiatan wisatawan pada lokasi penelitian. Tahapan-tahapan perkembangan pengelolaan wisata dianalisis menggunakan pendekatan TALC. Butler (1980) menyebutkan bahwa terdapat siklus hidup daerah wisata atau disebut TALC yang dapat digunakan dalam memprediksi arah dan kecenderungan perkembangan pariwisata dalam suatu daerah kasus atau lokasi

penelitian, yang terbagi menjadi 7 (tujuh) tahapan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pembahasan Kasus 1 Jalur Pendakian Wekas

Kasus 1 memiliki perkembangan pengelolaan sebanyak 4 (empat) periode, yaitu:

a. Perkembangan pengelolaan hutan oleh Perhutani (sebelum 2004);

b. Perkembangan pengelolaan hutan oleh taman nasional dan zonasi (2004−2014);

c. Perkembangan inovasi pengelola objek wisata (2015−2016); dan

d. Perkembangan revisi zonasi tahun 2017.

Kemudian dilakukan analisis deret waktu dengan mengkategorikan ke dalam tiga pokok pembahasan berdasarkan urutan pengelolaan yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2011, dengan penyesuaian periodesasi perkembangan dari hasil penelitian, yaitu:

a. Status/penetapan kawasan hutan

Status kawasan hutan saat dikelola oleh Perhutani telah dilakukan kegiatan pendakian di Dusun Kedakan sekitar tahun 1985 sampai 2003 (Periode I). Hutan Gunung Merbabu berubah status menjadi kawasan konservasi TNGMb pada bulan Mei 2004. Keberadaan jalur pendakian Wekas diakui pada Zonasi 2011 berada di zona pemanfaatan wisata pendakian (Periode II). Tahun 2014 terjadi revisi zonasi ke-1 masih tetap sampai revisi ke-2 tahun 2017 dengan objek wisata Merbabu Pass berada di zona tradisional

(Periode III dan IV).

b. Pengelolaan/penyelenggaraan objek wisata

Pengelolaan jalur pendakian Wekas mulai dilakukan oleh masyarakat lokal Persada tahun 1993 dan berubah nama GRABUPAL tahun 1995. Kepengurusan GRABUPAL berganti empat kali, periode tahun 2015−2018 diketuai Rohmat (terpilih kembali), organisasi makin lengkap dan mapan.

Page 122: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 111

Tahun 1993 berdiri empat basecamp sampai 2013, bertambah tiga buah di 2014 dan empat buah di 2015. Total basecamp sampai sekarang ada sebelas basecamp merata dari RT 01 (bawah) sampai RT 04 (atas). Pos tiket (TPR) dibuat permanen pada Oktober 2014 dan toilet umum satu buah. GRABUPAL melakukan inovasi membangun Merbabu Pass sebagai objek wisata ikon Merbabu mulai akhir tahun 2016 dan selesai dibangun Maret 2017.

Pengelolaan tiket lokal oleh GRABUPAL dimulai tahun 1995 sebesar Rp100,00/orang. Mengalami kenaikan sebanyak 3 kali saat status hutan dikelola Perhutani. Saat menjadi hutan konservasi TNGMb tahun 2004 naik menjadi Rp1.000,00/orang sampai tahun 2008, mengalami kenaikan sebanyak 2 kali setelah dibukanya Merbabu Pass mulai Juni 2017 menjadi Rp7.000,00/orang. Sedangkan tiket resmi dari TNGMb (PNBP) berlaku per Juni 2010 sebesar Rp1.500,00/orang, mengalami kenaikan per Agustus

2014 Rp10.000,00/orang.

c. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat

Pemberdayaan oleh kelompok GRABUPAL sudah dimulai sejak tahun 1995 secara swadaya, tahun 2005 baru mendapatkan bantuan dari Desa Kenalan berupa rehab jalan dusun. Saat status hutan Perhutani belum pernah ada bantuan terkait pengelolaan wisata pendakian tersebut. Status hutan dikelola TNGMb sejak 2004 mulai ada bantuan untuk GRABUPAL tahun 2009 dan pembinaaan secara rutin oleh Balai TNGMb. Tahun 2014 Balai TNGMb membantu peralatan SAR setelah kenaikan tiket PNBP. Pihak Desa Kenalan tahun 2016 membantu pembuatan drainase dan tahun 2017 rehab/betonisasi jalan.

Kegiatan pembangunan dusun dilakukan secara swadaya dusun dan dibantu GRABUPAL dari dana hasil tiket pendakian, seperti membangun pos ronda, rehab jalan dusun, perbaikan jalur pendakian, kegiatan 17 Agustus, dan lain-lain. Anggota kelompok GRABUPAL dan warga lainnya menyediakan sarana basecamp secara swadaya. Pengelola basecamp juga menyediakan souvenir, makanan, jasa transport, jasa guide, dan porter.

Kesimpulan pembahasan dan analisis pada kasus 1 jalur pendakian Wekas, yaitu jalur pendakian Wekas dikelola masyarakat lokal bernama GRABUPAL di Dusun Kedakan Desa Kenalan yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGMb merupakan perkembangan wisata bentuk spontaneous (terbuka) berdasarkan sudut tata ruang kawasan wisata dan memiliki bentuk berbaur berdasarkan aspek

Page 123: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

112 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kegiatan wisatawan. Berdasarkan tahapan perkembangan, Butler (1980) bahwa pengelolaan jalur pendakian Wekas oleh kelompok GRABUPAL berada pada fase ke-3, yaitu fase pembangunan (development) yang ditandai oleh dibangunnya atraksi wisata Merbabu Pass dan empat buah basecamp baru (total 11 buah sampai 2017), serta bertambahnya penyedia jasa porter dan guide.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kasus 1 terdiri dari 23 faktor. Adapun faktor yang mendorong (positif) terhadap keberhasilan pengelolaan, terdiri dari SDM kelompok, dukungan dan partisipasi warga Dusun Kedakan, promosi wisata oleh para pendaki dan tour travel, kegiatan Balai TNGMb yang banyak melibatkan kelompok, potensi hutan dan lanskap TNGMb terjaga dengan baik, sarpras wisata pendakian memadai, jalur pendakian berada di zona pemanfaatan TNGMb, serta

dukungan dari Balai TNGMb dan Desa Kenalan.

2. Pembahasan Kasus 2 Jalur Pendakian Suwanting

Kasus 2 memiliki perkembangan pengelolaan sebanyak empat periode seperti Kasus 1. Kemudian dilakukan analisis deret waktu dengan kategorisasi tiga pokok pembahasan, yaitu:

a. Status/penetapan kawasan hutan

Status kawasan hutan saat dikelola oleh Perhutani telah dilakukan kegiatan pendakian di Dusun Suwanting sekitar tahun 1994 sampai 1998, tetapi belum dikelola oleh kelompok lokal. Hutan Gunung Merbabu berubah status menjadi kawasan konservasi TNGMb pada bulan Mei 2004, keberadaan jalur pendakian Suwanting belum diakui pada Zonasi 2011. Tahun 2014 terjadi revisi zonasi ke-1 masih belum diakomodir di zona pemanfaatan. Baru pada revisi tahun 2017 jalur pendakian Suwanting

resmi masuk pada zona pemanfaatan.

b. Pengelolaan/penyelenggaraan objek wisata

Pengelolaan wisata jalur pendakian Suwanting oleh masyarakat lokal mulai dilakukan KAPPALA tahun 2015. Kepengurusan KAPPALA diketuai Nugroho hanya berlangsung satu tahun, terjadi konflik kepentingan maka digantikan pengelola baru, yaitu Suwanting Indah dengan Ketua Sutopo mulai Mei 2016. Tahun 2015 berdiri 11 buah basecamp, bertambah dua buah di tahun 2016, bertambah satu buah di tahun 2017, total ada 14 basecamp yang tersebar merata dari RT 01 sampai RT 08. Pos tiket mengalami tiga kali perpindahan lokasi, awalnya di rumah Pilih RT 03 sampai Desember 2015, kemudian pindah di atas dusun rumah Eny RT 08 sampai Mei 2016,

Page 124: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 113

dan terakhir di depan rumah Kadus RT 03 sampai sekarang. Pengelolaan tiket lokal dimulai Mei 2015 sebesar Rp5.000,00/orang dan tiket PNBP

berlaku per 15 Agustus 2015 Rp10.000,00/orang.

c. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat

Saat status hutan Perhutani belum pernah ada bantuan terkait pengelolaan potensi wisata pendakian tersebut, status hutan dikelola TNGMb sejak tahun 2004. Mulai ada bantuan kegiatan pemberdayaan untuk Desa Banyuroto di tahun 2009 oleh Balai TNGMb berupa budi daya stroberi, tahun 2010 Dusun Suwanting terlibat kegiatan RHL sampai 2012. Pihak Desa Banyuroto membantu rehab jalan Dusun Suwanting pada tahun 2012. KAPPALA mendapatkan pembinaaan dari SPTN II Krogowanan dan Agustus 2015 (saat pemberlakuan PNBP) mulai pembinaan dari Balai TNGMb. Pihak desa mendeklarasikan Desa Wisata Banyuroto oleh Kementerian Desa tanggal 19 Agustus 2017 dan Balai TNGMb bantuan gapura pendakian.

Kegiatan pembangunan dusun juga dilakukan secara swadaya dusun, bantuan warga gotong royong, dan bantuan KAPPALA dari dana hasil tiket pendakian. Anggota kelompok KAPPALA dan warga lainnya menyediakan basecamp secara swadaya. Tiap basecamp menyediakan suvenir, makanan, jasa transpor, jasa pemandu (guide), dan porter, serta bantuan pipanisasi sumber air bersih dari donatur FPAKI Bekasi kerja sama dengan KAPPALA.

Kesimpulan pembahasan dan analisis pada kasus 2 jalur pendakian Suwanting, yaitu jalur pendakian Suwanting dikelola KAPPALA dan Suwanting Indah berasal dari masyarakat lokal di Dusun Suwanting, Desa Banyuroto yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan TNGMb memiliki perkembangan wisata bentuk spontaneous (terbuka) berdasarkan sudut tata ruang kawasan wisata dan memiliki bentuk berbaur berdasarkan kegiatan wisatawan. Berdasarkan tahapan perkembangan, Butler (1980) bahwa pengelolaan Jalur pendakian Suwanting berada pada fase ke-3, yaitu fase pembangunan (development) yang ditandai dikelolanya wisata pendakian Suwanting mulai tahun 2015 dan sarana basecamp 11 buah, 9 buah warung makan, pembangunan gapura pendakian, betonisasi jalan akses ke pintu masuk pendakian, serta bertambahnya penyedia jasa porter dan guide.

Pengelolaan wisata jalur pendakian Suwanting dipengaruhi oleh 29 faktor. Faktor-faktor penghambat, yaitu jalur pendakian Suwanting belum berada pada zona pemanfaatan TNGMb, persaingan dari pengelola jalur pendakian lain yang

Page 125: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

114 Direktori Mini Tesis-Disertasi

resmi, jalur rawan kecelakaan saat musim hujan dan rawan terjadi kebakaran hutan saat kemarau, adanya kecemburuan dari desa lainnya atas dibukanya jalur Suwanting, SDM kelompok yang belum mampu berbahasa inggris, adanya monopoli kepengurusan di KAPPALA dan keputusan yang diambil KAPPALA tanpa

musyawarah dusun, sehingga kepengurusan diambil alih tingkat dusun.

3. Analisis Lintas Kasus

a. Analisis perbandingan status/penetapan kawasan hutan

Status kawasan hutan pada kedua kasus sama, yaitu sebelum tahun 2004 dikelola oleh Perhutani yang mengutamakan aspek produksi kayu (profit perusahaan) kelas pinus. Mulai Mei 2004 berupa kawasan hutan konservasi TNGMb yang dapat dikelola untuk pemanfaatan wisata alam (pendakian). Perbedaan yang cukup jelas antara pengelolaan wisata pendakian di Dusun Kedakan dan Dusun Suwanting adalah awal mula pengunjung/pendaki datang ke dusun mereka dan menemukan potensi wisata tersebut. Dusun Kedakan lebih dahulu masuk pendaki pada tahun 1985 dan dilanjutkan dengan pengelolaan pendakian oleh GRABUPAL tahun 1995. Sedangkan untuk di Dusun Suwanting baru masuk pendaki tahun 1994 sampai 1998 yang sekadar mendaki tanpa dikelola oleh kelompok lokal. Kelompok pengelola dibentuk pada Maret 2015

bernama KAPPALA dan mulai mengelola pendakian per Mei 2015.

b. Analisa perbandingan pengelolaan/penyelenggaraan objek wisata

Perbandingan pengelolaan objek wisata alam kedua kasus seperti tabel berikut ini.

Page 126: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 115

Tabel 1. Perbandingan Pengelolaan Objek Wisata di Kasus 1 dan Kasus 2

KatagoriKasus 1 Kasus 2

Pelaku Jalur Pendakian Wekas Jalur Pendakian Suwanting

Kelompok Masyarakat

Lokal

Kelompok pemuda Dusun Kedakan sejak tahun 1985 bernama Persada, lalu menjadi GRABUPAL tahun 1995. Sudah lima kali pergantian ketua. Mendirikan dan mengelola basecamp, jasa porter, jasa guide, dan jasa transportasi.

Kelompok pemuda Dusun Suwanting dibentuk Maret 2015 dan aktif mengelola mulai Mei 2015. Kemudian diambil alih pengelolaan ke tingkat Dusun Suwanting Indah per Mei 2016.Mendirikan dan mengelola basecamp, jasa porter, jasa guide, dan jasa transportasi.

Pemerintah Setempat

Pemerintah Desa Kenalan belum sepakat kerja sama pengelolan pendakian Wekas.

Pemerintah Desa Banyur to sudah menjalin kerja sama dengan pengelolan pendakian.

Pengelola Balai TNGMb

Resort Wekas di SPTN Wilayah II. Sejak tahun 2009 sudah melakukan kerja sama dengan GRABULPAL dan Desa Kenalan.

Resort Wonolelo di SPTN Wilayah II. Sejak tahun 2009 kerja sama dengan Desa Banyuroto dan Dusun Swanting (RHL)

Komunitas Pendakian

Kelompok Mapala kampus di Magelang dan Yogyakarta

AGMM, Pendaki Indone-sia, dan Mapala kampus di Yogyakarta

Pelaku

Lainnya

APGI sebagai penyelenggara pelatihan pendaki gunung.

APGI sebagai penyeleng-gara pelatihan pendaki gunung dan Dinas Pariwisa-ta Magelang untuk peman-du wisata

Sumber: Rekapan hasil analisis peneliti, 2018

Page 127: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

116 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Analisis perbandingan pemberdayaan dan peran serta masyarakat

Perbandingan pemberdayaan dan peran serta masyarakat kedua kasus seperti tabel berikut:

Tabel 2. Perbandingan Pemberdayaan Masyarakat di Kasus 1 dan Kasus 2

Katagori Kasus 1 Kasus 2

Pelaku Jalur Pendakian Wekas Jalur Pendakian Suwanting

Pemerintah

desa setempat

Desa Kenalan berupa pembuatan saluran drainase dan betonisasi jalan dusun.

Desa Banyuroto berupa betonisasi jalan dusun dan JUT menuju pintu masuk pendakian. Pelatihan tanggap bencana (SAR) dan pelatihan pemandu.

Pengelola

Balai TNGMb

Paket bantuan komputer dan alat sablon ke GRABUPAL. Pengembangan budi daya bambu ke Desa Kenalan.

Pengembangan budi daya stroberi ke Desa Banyuroto. Kegiatan RHL melibatkan warga dusun Suwanting. Posko dan pemadaman kebakaran hutan TNGMb tahun 2015.

Kegiatan RHL melibatkan warga Desa Kenalan. Pembuatan MCK di pos 2.

Pembangunan gapura pintu pendakian Suwanting.

Pihak luar - belum adaFPAKI Bekasi bantuan pipanisasi dan FKUB Magelang penanaman di jalur.

Sumber: Rekapan hasil analisa peneliti, 2018

d. Analisa perbandingan faktor-faktor yang memengaruhi

Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengelolaan wisata kedua kasus di atas berdasarkan hasil kesimpulan analisis per kasus sebelumnya, kemudian dilakukan perumusan sesuai kategori tema, maka dihasilkan sepuluh faktor yang memengaruhi pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal, antara lain aksesibilitas objek, SDM pengelola, sarana dan prasarana wisata, motivasi ekonomi, promosi wisata, motivasi wisatawan, peraturan kawasan konservasi,

kerja sama pihak lain, dukungan internal dan dukungan eksternal.

4. Diskusi Komprehensif

Pengelolaan wisata alam di TNGMb secara umum sudah dikelola sebelumnya oleh kelompok masyarakat lokal pada saat status kawasan hutan dikelola oleh Perhutani untuk wisata pendakian, seperti jalur pendakian Wekas, Cuntel, Tekelan,

Page 128: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 117

dan Selo. Ada juga wisata yang pengelolaannya dilakukan saat status hutan dikelola Balai TNGMb antara tahun 2014−2015, seperti jalur pendakian Suwanting, Gancik, dan Genikan. Kegiatan pengelolaan wisata alam di TNGMb dipelopori oleh warga masyarakat (pemuda) dusun/desa setempat dengan menyikapi adanya pengunjung (wisatawan) yang masuk melalui dusun mereka.

Kelembagaan pengelola objek wisata (kelompok masyarakat lokal) sudah memiliki struktur organisasi yang sesuai dengan jenis kegiatan wisata alam begitu juga dengan sarpras wisatanya. Pengelola objek wisata memiliki upaya menerapkan prinsip-prinsip wisata yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan pengunjung sekaligus menjaga kelestarian hutan kawasan TNGMb yang menjadi unggulan objek wisata.

5. Implikasi Kebijakan

Perkembangan dan permasalahan pengelolaan wisata saat ini serta penerapan model pengembangan wisata CBT di TNGMb, maka dapat dirumuskan sasaran pengelolaan wisata alam di TNGMb ke depannya, yaitu:

a. Terwujudnya pengelolaan wisata alam berbasis masyarakat yang mendukung kelestarian hutan Taman Nasional Gunung Merbabu.

b. Peningkatan penerimaan pendapatan sektor wisata alam dan kesejahteraan masyarakat lokal sebagai pelaku langsung kegiatan wisata alam di Taman

Nasional Gunung Merbabu.

D. Kesimpulan

Aktivitas wisata alam yang dikelola masyarakat lokal di kawasan TNGMb memiliki aktivitas pengunjung dan lokasi objek berada di masyarakat lokal yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan dan berada di dalam hutan TNGMb, sehingga termasuk ke dalam perkembangan wisata bentuk spontaneous (terbuka) berdasarkan aspek sudut tata ruang kawasan wisata dan memiliki bentuk berbaur berdasarkan aspek kegiatan wisatawan. Perkembangan pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal di TNGMb terjadi secara dinamis yang dipengaruhi oleh kepentingan masyarakat lokal dan kebijakan pengelolaan Balai TNGMb dengan tahapan perkembangan wisata TALC Butler (1980) berada pada fase ke-3, yaitu tahap pembangunan (development) dari tujuh fase tahapan.

Pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal di TNGMb dipengaruhi oleh 10 faktor antara lain lima faktor internal, terdiri dari aksesibilitas objek, SDM pengelola, sarana dan prasarana wisata, motivasi ekonomi, dan dukungan internal, serta lima faktor

Page 129: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

118 Direktori Mini Tesis-Disertasi

eksternal yang terdiri dari promosi wisata, notivasi wisatawan, dukungan eksternal, kerja sama pihak lain, dan peraturan kawasan konservasi.

E. Saran

Saran untuk topik penelitian selanjutnya berupa aspek kajian daya dukung kawasan dan pengunjung, kajian model pemberdayaan masyarakat, strategi pengelolaan wisata alam berbasis potensi lokal, dan studi komparatif pengelolaan wisata dengan lokasi taman nasional lainnya kaitannya dengan perencanaan tata ruang regional (dalam satu dan atau antarkabupaten). Perkembangan pengelolaan wisata alam oleh masyarakat lokal di TNGMb dominan dipengaruhi oleh faktor SDM pengelola, kerja sama Balai TNGMb, dan dukungan eksternal. Maka diperlukan kerja sama yang lebih luas lagi antara kelompok pengelola lokal, Balai TNGMb, dan pemerintah desa setempat.

Perlunya pencapaian kelompok lokal melakukan kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk memberdayakan masyarakat dan sekaligus melestarikan hutan TNGMb dalam konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (CBT). Kegiatan yang dapat direncanakan, antara lain penelitian tentang praktik pengelolaan wisata alam agar dapat mengurangi dampak negatif wisatawan, kegiatan pendidikan dan pelatihan pengelolaan wisata alam, dan pengembangan wisata keluarga (gardu pandang, wisata agro/petik sayur, swafoto, dan sebagainya), serta kombinasi sarana akomodasi yang lebih memadai setingkat homestay.

Page 130: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PERKEMBANGAN SPASIAL USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM) MAKANAN KHAS KOTA BATU

Nama : Kartika Febrianti

Instansi : Pemkot Batu

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 131: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

120 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Perkembangan spasial Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di suatu daerah sering kali disebabkan oleh ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan jenis iklim usaha di lingkungan sekitarnya. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, sudah sepatutnya jika UMKM juga mempertimbangkan faktor lokasi. Hal tersebut disebabkan faktor lokasi memainkan peran yang krusial dalam menentukan keberlanjutan dan perkembangan usaha UMKM. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi perkembangannya. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan di Kota Batu terhadap 15 pelaku UMKM makanan khas.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif, yaitu penelitian yang dimulai dari teori-teori yang sudah ada kemudian melihat kenyataan di lapangan. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu mendeskripsikan dan menggambarkan berbagai hal yang ditemui di lapangan berdasarkan hasil pengamatan lapangan, wawancara dengan responden, dan studi literatur.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa secara spasial UMKM makanan khas berkembang linier sepanjang jalan utama, memusat di sekitar pusat kota, dan menyebar berkelompok dekat bahan baku. Perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu dipengaruhi oleh faktor spasial dan faktor nonspasial. Faktor spasial yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu, meliputi: (1) Kedekatan lokasi UMKM dengan lokasi objek wisata (opportunity cost); (2) Ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses; (3) Ketersediaan bahan baku dan pasar. Sedangkan faktor nonspasial yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu, meliputi: (1) Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM dan pengembangan pariwisata dan (2) Motivasi pelaku UMKM dalam menentukan lokasi awal UMKM.

Kata kunci: Perkembangan Spasial, UMKM Olahan Apel, UMKM Olahan Kentang, UMKM Olahan Susu, Kota Batu

Page 132: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 121

ABSTRACT

The spatial development of MSMEs in an area is often caused by the availability of natural resources, human resources and the type of business climate in their environment. As an economic activity, the selection of MSMEs location factors plays a crucial role in determining the sustainability and development of their business. This study aims to describe the spatial development of MSMEs typical food of Batu City and identify the factors that affect its development. The study was conducted in 3 sub-districts in Batu City against 15 MSMEs typical food.

This study uses a deductive approach that is research that starts from the existing theories then see the reality in the field. The analytical method used is descriptive qualitative analysis that describes and concern various things that found in field based on field observation, interview with respondent and literature study.

The results of this study conclude that MSMEs typical food spatially develop linear along the main road, centered in the city center and spreading in groups near the raw materials. Spatial development of MSMEs typical food of Batu City is influenced by spatial factor and non-spatial factor. Spatial factors that influence spatial development of MSMEs typical food of Batu City include: (1) Proximity of MSMEs location with the location of tourist attraction (opportunity cost); (2) Availability of infrastructure and accessibility; (3) Availability of raw materials and markets. While non-spatial factors affecting spatial development of MSMEs typical food of Batu City include: (1) Government policy in the developing of MSMEs and tourism and (2) Motivation of MSME actors that influence in determining the start-up location of MSME. Factors that influencing the spatial development of MSMEs typical food of Batu city may have similiarities with factors that affecting spatial development of MSMEs processed food that have similiar characteristics in other areas.

Keywords: Spatial Development, Msmes ff Processed Apples, Msmes of Processed Potatoes, Msmes ff Dairy, Batu City

Page 133: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

122 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERKEMBANGAN SPASIAL USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM) MAKANAN KHAS KOTA BATU

A. Latar Belakang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memainkan peran penting dalam pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di suatu wilayah, bahkan pada suatu daerah. Di Kota Batu perkembangan sektor UMKM mempunyai peran strategis dalam pertumbuhan ekonomi Kota Batu, terutama melalui peningkatan PDRB dan penciptaan kesempatan kerja. Kota Batu terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Batu. Letak Kota Batu yang berada di dataran tinggi dan dikelilingi oleh beberapa pegunungan dan perbukitan berlembah memberikan keuntungan berupa potensi pertanian dan potensi pariwisata. Sejak tahun 2003, Pemerintah Kota Batu menerapkan strategi pengembangan kawasan agropolitan dalam rangka memperoleh nilai tambah produksi hasil pertanian melalui agroindustri. Dalam perkembangannya, sektor agroindustri terutama subsektor makanan dan minuman mendominasi sektor industri pengolahan di Kota Batu. Adapun agroindustri unggulan Kota Batu meliputi agroindustri apel, agroindustri kentang, dan agroindustri susu.

Kemudian pada tahun 2007, mempertimbangkan potensi dan peluang pariwisata yang dimiliki, pemerintah Kota Batu mengubah visi kota dari ”Batu Kota Agropolitan” menjadi ”Batu Sentra Pariwisata”. Sebagai kota yang mempunyai potensi pertanian dan pariwisata, perkembangan UMKM khususnya yang bergerak di bidang olahan makanan khas akan menggerakkan sektor di hulunya, yaitu sektor pertanian dan sektor di hilirnya, yaitu sektor perdagangan serta jasa dan pariwisata. Dengan kata lain, perkembangan UMKM berbasis olahan makanan khas memiliki forward linkage dan backward linkage yang cukup besar dan menciptakan daya ungkit yang besar bagi pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Batu (Sutrisno, 2015).

Terbukanya peluang pasar akibat perkembangan pariwisata, menyebabkan pertumbuhan UMKM makanan khas yang sangat signifikan. Perkembangan spasial UMKM di suatu daerah sering kali disebabkan oleh ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan jenis iklim usaha di lingkungan mereka. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, pemilihan faktor lokasi memainkan peran yang krusial dalam menentukan keberlanjutan dan perkembangan UMKM. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah ”Bagaimana perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu dan faktor-faktor

apa saja yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu?”.

Page 134: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 123

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Perkembangan spasial UMKM yang seiring dengan perkembangan kota merupakan suatu fenomena yang menarik untuk dicermati. UMKM merupakan salah satu komponen perekonomian yang mempunyai peranan penting dalam aktivitas ekonomi. Sebagai suatu kegiatan ekonomi, sudah sepatutnya jika UMKM juga mempertimbangkan faktor lokasi. Lokasi usaha dapat berperan sebagai faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull factors) dalam perkembangan UMKM. Oleh karena faktor pemilihan lokasi UMKM memainkan peran yang krusial dalam menentukan keberlanjutan dan perkembangan usahanya.

Perkembangan spasial UMKM di lokasi tertentu sering kali disebabkan oleh ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan jenis iklim usaha di lingkungan mereka. Selain itu, tingkat ketersediaan dan akses terhadap sumber daya oleh UMKM akan memberikan keunggulan kompetitif yang dapat membantu UMKM untuk memaksimalkan pangsa pasar dan keuntungan secara ekonomi.

Menyadari pentingnya peranan UMKM dalam pemberdayaan ekonomi lokal dan pertumbuhan ekonomi daerah, maka dibutuhkan kehadiran dan peran serta pemerintah dan instansi atau lembaga terkait untuk memberikan perhatian dan penanganan secara serius, khususnya terkait perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu. Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu?

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif. Penelitian deduktif adalah penelitian yang dimulai dari teori-teori yang sudah ada kemudian melihat kenyataan di lapangan. Penelitian ini dilakukan di Kota Batu yang dikenal sebagai kota pariwisata yang berbasis pertanian, di mana tercipta peluang sinergi yang positif antara pertanian dan pariwisata yang dijembatani terutama oleh UMKM yang bergerak di sektor pengolahan hasil pertanian.

Agar didapatkan hasil yang fokus terhadap tujuan yang ingin dicapai, maka dibatasi pada beberapa hal berikut: 1) UMKM makanan khas dibatasi berdasarkan jenis olahannya meliputi UMKM olahan apel, UMKM olahan kentang, dan UMKM olahan susu. Jumlah dan lokasi UMKM makanan khas didasarkan pada data sekunder yang didapatkan dari instansi dan tidak mempertimbangkan UMKM makanan khas yang terdapat di lapangan namun tidak terdapat pada data sekunder; 2) Periode waktu yang

Page 135: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

124 Direktori Mini Tesis-Disertasi

diteliti antara tahun 2006 hingga tahun 2016 yang dibagi menjadi tiga periode, di mana pembagian periodisasi waktu didasarkan pada pergantian kepala daerah Kota Batu. Adapun pembagian periodisasi waktu tersebut adalah sebagai berikut: (a) Periode satu, yaitu mulai terbentuknya Kota Batu hingga tahun 2006, (b) Periode dua, yaitu tahun 2007 hingga tahun 2011, dan (c) Periode tiga, yaitu tahun 2012 hingga tahun 2016.

Dalam penelitian ini, sumber data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari observasi lapangan, dokumentasi, dan wawancara semiterstruktur. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan topik penelitian.

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1) metode overlay peta-peta tematik untuk mengetahui pola sebaran dan arah perkembangan UMKM makanan khas Kota Batu dan faktor-faktor yang memengaruhinya dari periode satu ke periode yang lain dan 2) metode deskriptif kualitatif yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk menggambarkan perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu dan faktor-faktor yang memengaruhinya secara menyeluruh dari fenomen-fenomena yang

terjadi di lapangan.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Perkembangan Spasial Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Makanan Khas Kota Batu

a. Periode I (hingga tahun 2006)

Sejak menjadi bagian dari Kabupaten Malang, Kota Batu telah dikenal hingga keluar daerah sebagai penghasil apel, hal tersebut menyebabkan image kota apel melekat pada Kota Batu. Tahun 2003, pemerintah Kota Batu menerapkan strategi agropolitan sebagai strategi pembangunan daerahnya untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian yang dimiliki melalui agroindustri. Dalam perkembangannya, subsektor makanan dan minuman mendominasi sektor industri pengolahan di Kota Batu dengan produk unggulan, yaitu makanan olahan apel, olahan kentang, dan olahan susu yang sebagian besar dilakukan oleh UMKM.

Kebijakan agropolitan yang dipilih memicu tumbuhnya UMKM makanan khas Kota Batu. Pada periode ini terdapat 14 UMKM makanan khas yang terdiri dari 9 UMKM olahan apel, 4 UMKM olahan kentang, dan 1 UMKM olahan susu.

Page 136: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 125

Berdasarkan sebaran lokasinya, UMKM makanan khas cenderung menyebar dan berada di sekitar pusat kota.

Perkembangan spasial UMKM makanan khas pada periode ini dipengaruhi oleh motivasi awal pelaku UMKM makanan khas yang didominasi oleh motivasi ekonomi dan motivasi untuk memanfaatkan hasil pertanian di sekitar rumahnya. Motivasi pelaku UMKM makanan khas ini berpengaruh terhadap penentuan lokasi awal (start-up location) usahanya, di mana sebagian besar pelaku UMKM makanan khas Kota Batu memilih rumah sebagai lokasi awal (start-up location) usahanya. Di sisi lain, perkembangan UMKM makanan khas ini juga dipengaruhi

oleh tersedianya bahan baku apel, kentang, dan susu lokal yang melimpah.

2. Periode II (tahun 2007-2011)

Pada tahun 2007 pemerintah Kota Batu mulai mengembangkan sektor pariwisatanya dan mengubah visi kota dari ”Batu Kota Agropolitan” menjadi :Batu Sentra Pariwisata”. Pengembangan pariwisata ini ditandai dengan menambah objek wisata baru yang berdampak pada meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Batu sehingga diharapkan dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil agroindustri terutama produk olahan khas Kota Batu.

Terbukanya peluang pasar akibat keberadaan sektor pariwisata ini berpengaruh terhadap pertambahan jumlah UMKM makanan khas yang sangat besar, yaitu sebanyak 88 UMKM, sehingga UMKM makanan khas berjumlah 102 UMKM. Jumlah tersebut terbagi lagi menjadi 66 UMKM olahan apel, 26 UMKM olahan kentang, dan 10 UMKM olahan susu. Dari segi spasial, perkembangan UMKM makanan khas pada periode ini mulai berkembang linier di sepanjang jalan utama, menyebar ke arah utara dan tenggara kota, serta mulai mengelompok di sekitar pusat kota dan mengelompok dekat dengan bahan baku.

Perkembangan UMKM makanan khas Kota Batu selain dipengaruhi oleh kebijakan pengembangan pariwisata, juga turut dipengaruhi oleh kebijakan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh pemerintah Kota Batu yang berfokus pada peningkatan kapasitas produksi UMKM dan pengembangan sumber daya manusia pelaku UMKM. Salah satunya melalui kebijakan pemberian bantuan permodalan yang dilakukan melalui pinjaman dana bergulir. Mekanisme program ini ialah pemerintah memberikan pinjaman modal kepada pelaku UMKM dengan bunga yang rendah. Hasil pengembalian pinjaman pelaku UMKM tersebut selanjutnya disalurkan lagi kepada pelaku UMKM yang lain, sehingga diharapkan UMKM akan dapat berkembang bersama-sama.

Page 137: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

126 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Di sisi lain, kebijakan pengembangan UMKM makanan khas khususnya UMKM olahan apel tidak hanya dilakukan oleh pemerintah kota, namun juga didukung oleh pemerintah pusat, yaitu melalui program ”One Village One Product (OVOP)”. Tujuan dari program ini adalah untuk menggali dan mempromosikan produk inovatif dan kreatif lokal yang bersifat unik khas daerah serta meningkatkan daya saingnya. Adanya berbagai kemudahan dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah inilah yang diduga menarik minat masyarakat Kota Batu untuk mendirikan usaha makanan khas Kota Batu sehingga berpengaruh terhadap perkembangan spasial UMKM

makanan khas Kota Batu.

3. Periode III (tahun 2012−2016)

Perkembangan pariwisata Kota Batu terus menunjukkan tren yang meningkat. Hal tersebut ditandai dengan masih terus bertambahnya jumlah objek wisata baru dan meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Batu dari tahun ke tahun. Masih terbukanya peluang pasar memicu masih tumbuhnya usaha olahan makanan khas Kota Batu. Pada periode ini, jumlah UMKM makanan khas bertambah sebanyak 71 UMKM, menjadi 173 UMKM makanan khas yang terdiri dari 109 UMKM olahan apel, 44 UMKM olahan kentang, dan 20 UMKM olahan susu. Dari segi spasial, perkembangan UMKM makanan khas pada periode ini berkembang linier di sepanjang jalan utama, memusat di sekitar pusat kota dan menyebar berkelompok dekat dengan bahan baku.

Perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu yang linier di sepanjang jalan utama dikarenakan jalan tersebut merupakan jalan utama penghubung antara Kota Batu dengan kabupaten tetangga maupun dengan lokasi-lokasi objek wisata yang terdapat di Kota Batu, sehingga lokasi tersebut menjadi lokasi yang strategis bagi pelaku UMKM makanan khas untuk memproduksi dan memasarkan produknya secara langsung. Di samping itu, kebutuhan akan ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses serta kondisi jalan yang memadai dalam mendukung proses distribusi bahan baku dan produk olahan menuju pasar juga berpengaruh terhadap berkembangnya UMKM makanan khas yang linier dengan jalan utama.

Adapun perkembangan spasial UMKM makanan khas yang menyebar berkelompok dekat dengan bahan baku mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku menjadi salah satu faktor bagi pelaku UMKM makanan khas untuk menentukan lokasi usahanya karena ketersediaan bahan baku merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan suatu industri sebagaimana dikemukakan oleh Renner (dalam Hasvia, 2000). Di sisi lain, perkembangan spasial UMKM makanan khas yang mulai memusat di sekitar

Page 138: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 127

pusat kota disebabkan oleh keberadaan objek wisata baru dan kawasan strategis pariwisata yang merupakan pangsa pasar produk UMKM di sekitar pusat kota.

Perkembangan UMKM makanan khas ini juga masih dipengaruhi oleh semakin seriusnya kebijakan pengembangan UMKM yang diambil oleh pemerintah Kota Batu. Beberapa di antaranya: (1) fasilitasi sertifikasi produk, antara lain sertifikasi halal, sertifikasi merk, uji nutrisi, sertifikasi barcode, dan sertifikasi SNI; (2) kemudahan pengurusan dokumen perijinan, dan (3) didapatkannya program Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi dan UMKM (PLUTK-UMKM) dari pemerintah pusat, yang diibaratkan sebagai sebuah klinik yang dapat membantu UMKM pada

umumnya dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapinya.

4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Spasial UMKM Makanan Khas Kota Batu

a. Kedekatan Lokasi UMKM dengan Lokasi Objek Wisata (Opportunity Cost)

Pemasaran hasil produksi merupakan faktor penting bagi UMKM makanan khas Kota Batu. Jangkauan pemasaran yang luas memungkinkan bagi pengembangan usaha menjadi lebih besar. Keberadaan objek wisata baru dan kawasan strategis pariwisata yang mengelompok di sekitar pusat kota memicu tumbuhnya UMKM makanan khas di lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan tersedianya potensi pasar bagi produk UMKM makanan khas dan adanya keuntungan biaya (opportunity cost) berupa rendahnya biaya distribusi produk UMKM makanan khas. Adanya keuntungan biaya (opportunity cost) distribusi produk yang dirasakan oleh pelaku UMKM menjadi salah satu faktor penarik bagi pelaku UMKM makanan khas untuk mendirikan usahanya di lokasi tersebut

dikarenakan adanya keterbatasan modal saat memulai usahanya.

b. Ketersediaan Infrastruktur dan Kemudahan Akses

Ketersediaan infrastruktur yang meliputi jaringan jalan, jaringan listrik, jaringan air, dan jaringan telepon, serta adanya kemudahan akses akan berpengaruh terhadap keputusan pelaku UMKM makanan khas dalam menentukan lokasi usahanya. Ketersediaan sumber daya listrik dan air di hampir seluruh wilayah Kota Batu membuka peluang bagi UMKM makanan khas untuk dapat berkembang di hampir seluruh wilayah Kota Batu. Di sisi lain, kondisi jalan di Kota Batu yang berkategori baik dan kondisi jalan beraspal batu yang hampir mencapai 100 persen sangat mendukung kelancaran proses distribusi bahan baku dan produk UMKM menuju pasar, di mana kelancaran proses distribusi tersebut merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan oleh pelaku

UMKM makanan khas Kota Batu untuk menunjang perkembangan usahanya.

Page 139: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

128 Direktori Mini Tesis-Disertasi

c. Ketersediaan Bahan Baku dan Pasar

Perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu yang menyebar berkelompok dekat dengan sumber bahan baku mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku menjadi salah satu faktor bagi pelaku UMKM makanan khas untuk menentukan lokasi usahanya, karena ketersediaan bahan baku merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan suatu industri sebagaimana dikemukakan oleh Renner (dalam Hasvia, 2000).

Selain ketersediaan bahan baku, ketersediaan pasar juga berpengaruh pada perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu. Keberadaan objek-objek wisata baru dan kawasan strategis pariwisata yang terletak di sekitar pusat kota memicu memusatnya pelaku UMKM makanan khas di lokasi tersebut, disebabkan karena mengumpulnya wisatawan pada lokasi tersebut, di mana wisatawan merupakan pasar utama produk UMKM makanan khas Kota

Batu.

d. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan UMKM Dan Pengembangan Pariwisata

Pemerintah Kota Batu belum memiliki kebijakan yang mengatur peruntukan lokasi UMKM industri ini secara khusus. Kebijakan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh pemerintah Kota Batu masih berfokus pada peningkatan kapasitas produksi dan kapasitas sumber daya manusia pelaku UMKM guna meningkatkan daya saing produk UMKM makanan khas. Selain dilakukan oleh pemerintah Kota Batu, kebijakan pengembangan UMKM makanan khas Kota Batu juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat melalui program ”One Village One Product (OVOP)” dan Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi dan UMKM (PLUTK-UMKM).

Kebijakan Pemerintah Kota Batu lainnya yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas ini adalah kebijakan pengembangan pariwisata, di antaranya yaitu kebijakan penambahan objek-objek wisata baru dan penetapan kawasan strategis pariwisata di sekitar pusat kota yang berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan dan terbukanya peluang pasar bagi produk UMKM makanan khas Kota Batu. Keuntungan-keuntungan yang didapat dari kedua kebijakan pemerintah ini menjadi salah satu faktor penarik bagi pelaku

UMKM makanan khas untuk memulai usaha olahan makanan khas Kota Batu.

e. Motivasi Pelaku UMKM yang Berpengaruh terhadap Penentuan Lokasi Awal (start-up location) UMKM

Page 140: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 129

Motivasi awal pelaku UMKM makanan khas didominasi oleh motivasi ekonomi dan motivasi mengolah sisa hasil pertanian di sekitar lokasi rumahnya. Motivasi awal pelaku UMKM makanan khas tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap penentuan lokasi awal (start-up location) UMKM makanan khas. Adanya motivasi ekonomi menyebabkan pelaku UMKM makanan khas memanfaatkan apa yang dimiliki untuk memulai usahanya, salah satunya adalah kepemilikan lahan (rumah). Sedangkan banyaknya sisa hasil pertanian yang terdapat di sekitar rumah memotivasi pelaku UMKM makanan khas untuk mulai mengolah sisa hasil pertanian tersebut dan menjadikannya sebagai bahan baku produk olahannya.

Seiring perkembangan pariwisata Kota Batu yang terus meningkat, motivasi pelaku UMKM makanan khas Kota Batu bergeser dari motivasi ekonomi menjadi motivasi memanfaatkan peluang pasar akibat adanya pariwisata yang berpengaruh terhadap perkembangan UMKM makanan khas Kota Batu yang

memusat di sekitar pusat kota.

D. Kesimpulan

Perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu tidak lepas dari perkembangan jumlah UMKM dan sebaran lokasinya. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan bahwa secara spasial UMKM makanan khas Kota Batu berkembang linier di sepanjang jalan utama, memusat di pusat kota dan menyebar berkelompok dekat bahan baku.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu meliputi faktor spasial, yang terdiri dari: (1) Kedekatan lokasi UMKM dengan lokasi objek wisata (opportunity cost); (2) Ketersediaan infrastruktur dan kemudahan akses, dan (3) Ketersediaan bahan baku dan pasar, serta faktor nonspasial yang terdiri dari: (1) Kebijakan pemerintah dalam pengembangan UMKM dan pengembangan pariwisata, dan (2) Motivasi pelaku UMKM yang berpengaruh terhadap penentuan lokasi awal (start-up location) usaha UMKM. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu kemungkinan mempunyai kemiripan dengan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan spasial

UMKM olahan yang mempunyai karakteristik yang sama di daerah lain.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa perkembangan spasial UMKM makanan khas Kota Batu terutama dipengaruhi oleh kebijakan pengembangan pariwisata dan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh pemerintah Kota Batu. Salah satu

Page 141: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

130 Direktori Mini Tesis-Disertasi

permasalahan yang ditemukan di lapangan adalah belum adanya kebijakan yang mengatur tentang lokasi UMKM makanan khas Kota Batu. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya untuk mengatur lokasi UMKM makanan khas Kota Batu sehingga upaya pengembangan UMKM yang telah dilaksanakan pemerintah saat ini dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Di samping itu, juga dibutuhkan dukungan, sinergi, dan kerja sama antarbeberapa instansi pemerintah, agar upaya pengembangan UMKM makanan khas ini mendapatkan hasil yang maksimal.

Page 142: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

THE IMPACT OF HOUSING IMPROVEMENT PROJECT ON THE POOR: A CASE STUDY IN BELITUNG REGENCY, INDONESIA

Nama : Ledy Fithriana

Instansi : Pemkab Belitung

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Master of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 143: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

132 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE IMPACT OF HOUSING IMPROVEMENT PROJECT ONTHE POOR: A CASE STUDY IN BELITUNG REGENCY,

INDONESIA

A. Background

The importance of adequate housing was acknowledged by the Indonesian government in Law No.4/1992 and Law No.1/2011 stated that every citizen should be entitled to an adequate housing and it is the government responsibility to make sure that people have access to adequate yet affordable housing. In Belitung Regency, most of the poorest individuals live in inferior housing provided primarily by self-help construction. In order to provide adequate housing for the poor, the local government of Belitung Regency established a Housing Improvement Project (Pembangunan Rumah Layak Huni/PRLH). Funded by the local government infrastructure budget, the project’s direct goal was to improve inadequate dwellings by building new houses on the sites of existing houses. The houses were awarded to poor beneficiaries free of charge. The housing comprises one bedroom, one bathroom and one common area. The total area of living space is 24.75 m2.

It is believed that adequate housing contributes to the wellbeing of its inhabitants. As a direct aid to poor households, improved-housing was intended by local government of Belitung Regency to have direct impacts on the lives of the poor. Some issues emerged that could inhibit poor households to experience the positive impact of improved-housing. Firstly, although the house was provided with proper sanitation facilities, the government did not provide access to running water or water piping system in the house. Such situation could restrict the occupants in using sanitation facilities provided, hence, could not practice good hygiene. Secondly, improved-housing provided limited living space. In reality, not every household comprises one or two family members. Such limited space will not solve overcrowding issue. In addition, good housing condition also needs to be maintained by its occupants. In order to have positive impact, poor households should be able to maximize the use of improved-housing in spite of such limitation on sanitation facilities and space it provided. This can only happen if poor households make additional improvements to their house. Based on the issues related to improved-housing in Belitung Regency, therefore, the study will evaluate the impacts of improved-housing on health and psychology, as well as social and economic aspect and highlights the utilization of sanitation facilities and additional housing improvements by poor households.

Page 144: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 133

B. Research Problems and Methodology

In Belitung Regency, some issues emerge that could inhibit poor households to experience the positive impact of improved-housing. Firstly, although the house was provided with proper sanitation facilities, the government did not provide access to running water or water piping system in the house. Such situation could restrict the occupants in using sanitation facilities provided, hence, could not practice good hygiene. Secondly, improved-housing provided limited living space. In reality, not every household comprises one or two family members. Such limited space will not solve overcrowding issue.

Study by Galiani et al., (2017) finds that housing upgrading has no impact on further housing investment due to unsecured land tenure. In Belitung case, improved-housing is built on the land legally owned by the poor. Such arrangement allows the occupants to further upgrade their house. The problem was the beneficiaries of improved-housing were poor households with limited income. Many of them were also elderly people with no income. Such situation would inhibit poor households to make further improvements. In addition, good housing condition also needs to be maintained by its occupants.

In order to have positive impact, poor households should be able to maximize the use of improved-housing in spite of such limitation on sanitation facilities and space it provided. This can only happen if poor households make additional improvements to their house. Based on the issues related to improved-housing in Belitung Regency, therefore, the study will evaluate the impacts of improved-housing on health and psychology, as well as social and economic aspect and specifically focus on utilization of sanitation facilities and additional housing improvements by poor households.

1. How can improved-housing encourage poor households to use proper sanitation facilities and to make additional housing improvements?

2. What are the factors affecting poor households to use sanitation facilities and to make additional housing improvements?

3. What are the impacts of improved-housing on the lives of poor households in terms of health and psychology, as well as social and economic aspects?

This research was conducted using a deductive approach with quantitative and qualitative methods. Within the quantitative method, also known as the positivistic method, data meet the scientific principles of being measurable, objective, systematic, and rational. Quantitative data are presented in numerical form. To gain a deeper understanding of this topic, to support, crosscheck, and explain the results obtained from quantitative method, data were also collected using a qualitative method. The

Page 145: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

134 Direktori Mini Tesis-Disertasi

qualitative, or post-positivistic, method is aimed at describing and analyzing social phenomena and activities as well as peoples’ attitudes, beliefs, perceptions, and thoughts. A qualitative method is more useful for describing and exploring, as well as explaining. With a qualitative method, a more vivid picture of the social phenomena that occurs in the research field can be fully exposed (Singarimbun & Effendi, 2011).

There were two types of data required in this research, primary and secondary data. Primary data were obtained using a questionnaire survey, interviews, and observation. The questionnaires comprised closed-ended as well as open-ended questions. During the survey, unstructured interviews were conducted to obtain qualitative data. Observation of the improved-housing was also conducted to obtain qualitative results regarding physical aspects of the house.

Samples were collected from Tanjungpandan, the capital district of Belitung Regency. In Tanjungpandan, there were 109 completed units of Housing Improvement Project which were inhabited by 109 poor households. Based on the data administered by Public Work Agency, all of the improved housing were scattered in 15 villages in Tanjungpandan area. Using four surveyors, 15 villages were divided into four sections whereby three sections covered four villages each and the last section covered three remaining villages. To meet 86 samples, each surveyor was targeted to collect 21 or 22 samples from each section. During the survey, each surveyor would randomly select samples from beneficiary list of Housing Improvement Project, consisting names and addresses, provided by Public Work Agency.

For quantitative data, descriptive analysis was applied. Firstly, quantitative data obtained from questionnaire were read and studied. After that, the data were compiled into units, which were then categorized using Microsoft Excel software. Categorization were done while making coding. After being coded, the data were transferred into SPSS software to make calculation of frequencies and percentage. In the meantime, qualitative data from interview results were listened carefully and studied. The interview results as well as observation result were organized into narrative and analyzed using descriptive analysis.

C. Data Analysis and Results

1. Utilization of Proper Sanitation Facilities by Poor Households

Provision of sanitation facilities, including bathroom and toilet in improved-housing, encouraged the occupants to practice good hygiene by using proper facilities to shower and defecate, rather than using the existing facilities. As many as 84% of all

Page 146: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 135

the surveyed households used bathrooms and toilets inside the house, indicating that the availability of such facilities brought positive impacts to poor households. The behavior of using proper sanitation facilities would reduce open defecating. Human feces in the open not only create inconvenience view but also cause health hazard (Yakubu, 2014). The utilization of sanitation facilities in the improved-housing helped to create healthy environment of the surrounding neighborhood.

Several factors affected the utilization of the sanitation facilities in the improved-housing namely physical factor, psychological factor, socio-cultural and behavioral factor, as well as economic factor. From physical factor, the availability of water supply, piping system and waste water disposal inhibiting poor households’ access to sanitary facilities such as those provided in the improved-housing. Even though 40% of surveyed households had their own well as water source for daily needs, only 22% of all households installed piping system to distribute the water from the existing water source to the bathroom. It showed that this kind of installation was not affordable for the poor.

In addition, to make such installation, not only should households have their own water sources but also to have electricity to run the piping system. Electricity consumption for daily water distribution would necessitate increased income to settle the monthly electricity bill. It meant that poor households would have an increased in housing expenditure. Such arrangements became consideration for households in using the facilities provided while at the same time they had the existing facilities they could use without paying operational costs. It was observed that some of the households that did not use the bathroom facilities opted to use the room as a storage facility or utility room.

Besides, there were reasons poor households did not provide their old houses with the proper sanitation facilities in the first place. They did not have financial capital to bear the construction cost, thus, they used whatever facilities available regardless of poor condition. In fact, there are evidences of the connection between poverty levels and housing conditions (Chauduri, 2004; Yakubu, 2014) whereby the poor are liable to end up in poor housing (Howden-Chapmen et al., 1996). Given an improved-housing with a proper sanitation facilities did not automatically make poor households to use the facilities immediately. It brought other consequences such as utility bills and maintenance something that needed to be considered by the government in the provision of social housing for the poor (Govender et al., 2011; Gilbert, 2014).

Page 147: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

136 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. Additional Housing Improvement by Poor Households

A study by Galiani et al., (2014) in three Latin American slums finds that housing improvements do not trigger further housing investments by beneficiaries due to unsecure land tenure. In line with Tunas & Peresthu (2010), in informal settlements, inhabitants are reluctant to make improvement to their living condition without security of tenure. In the meantime, slum formalization without land titling promotes the vertical expansion of housing (Nakamura, 2016). However, according to the study, it does not induce improvement of housing materials and housing size.

In the meantime, The Housing Improvement Project in Belitung Regency is rewarded to poor beneficiaries whose houses stand in secure land tenure. The new houses were built in the exact site of the existing houses. Such arrangement allowed poor households to live in their origin neighborhood and it did not eliminate the opportunity of social capital to give benefit to the poor households.

Consequently, after living in the improved-housing, majority (60%) of households made some additional improvements to their new housing. The improvements were varied from housing materials to housing size. Some households also installed basic in-house amenities in the new house such as installing electricity (25,3%) and installing water piping system (21,7%).

Four factors affected poor households to make additional improvements namely household needs, preferences, resources, and social capital. The need of adequate living space and basic in-house amenities such as electricity and running water encouraged the households to make further housing improvement. Housing as a dynamic process can be determined by the relationship between the occupants, their activities, and their achievements (Turner, 1976). Also, based on the concept of housing proposed by Hayward (1987) in Budihardjo (1998), housing on the top of hierarchy need serves as a symbol and reflection of the owner’s taste. Households’ taste of a good and comfortable space might be different and it affects their preferences of housing. In line with the theory, it is not surprising, then, that the housing improvement choices might be different from one household to another.

However, as much as households would have wished to improve the house, it all depended on availability of resources, including money, time, and labor. The survey results indicate that for most households, making additional changes or improvements to their house was largely dependent on availability of income. According to the survey, out of all households with income above 1 million rupiahs, 73% made additional housing improvement. Meanwhile, for households with income below 1 million rupiahs, only about 53% made the improvements.

Page 148: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 137

Social capital exists amongst poor households in Belitung Regency as they live in a close-knit community, whereas other family members and relatives also live in the same neighborhood. Social capital is benefit gained by individuals from social networks or social structure (Imparato & Ruster, 2003). Of all the households that made improvements, only 42% used their own resources, while the rest received assistance from others such as their children, relatives, government, and neighbors. The assistance could be in the form of money, building materials or labor. Evidently, social capital became major source in making the additional housing improvement possible for poor households. The benefit of social network was also enjoyed by poor households whereby during project construction, contractors did not completely demolish the existing houses as they supposed to. This arrangement gave opportunity for households to secure some part of the old houses that still intact to extend their new improved-housing.

Additional housing improvements by households showed that the poor actually cared about their housing condition and dreamed of having better housing according to their needs and preferences. Before getting assisted, they lived in non to semi-permanent houses and most of which were in disrepair or damaged. For poor households, to fix a leaking roof was probably a simple task but to build a new permanent house from scratch was definitely a major issue. When the local government built them the new improved-housing, it became a stepping stone to start other improvements. The result suggests that improved-housing encouraged additional housing improvements by households and the role of social capital was significant in the process. The role was especially significant to elderly households.

On the other hand, 40% of households did not make any improvement at all. They did not have any resources on their own nor did they get help from others. It was observed that due to several years of constant occupation and lack of maintenance, many of the houses had deteriorated. Poor maintenance of housing could lead to dilapidated housing (Govender et al., 2011). After all, living in a better

housing comes with a consequence of maintaining its good condition.

3. Impacts on Health, Psychology, Social, and Economic Aspects

According to Barnes et al., (2013), bad housing have link with the health condition of its occupants whether in general health or mental well-being. In case of Belitung, the study finds that living in improved-housing brought positive impact on health, mainly by reducing stress levels of residents. When living in their old houses, they always felt tense or depressed when thinking about their house condition and apparently this had affected their health condition. Only about 6,7% of surveyed households felt that they got less sick after living in the improved-house. It was

Page 149: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

138 Direktori Mini Tesis-Disertasi

observed during the survey that many of the households still conducted daily chores, especially cooking, in their old houses which were attached to their new improved-houses.

Improved-housing also had positive effects on the psychological wellbeing of residents, including sense of privacy, security and self-confidence. In line with Galiani et al., (2010), providing a better house has good effect on the perception of safety and security. Good housing conditions also provided a comfortable space and improved ambiance for studying at home. Positive impact on health and psychology condition would be beneficial for the younger generation, especially school-going children, whereby improved-housing provided a healthy and positive environment for them to grow up.

As a center for social network, housing serves as a place for family members to socialize to each other (Budiharjo, 1998). In terms of Belitung Regency, housing serves as a place for socializing not only with family members and relatives but also with neighbors. The study finds that improved-housing provided a more comfortable space for babysitting, family gatherings or other social activities. For this reason, after living in the new housing, a few households enjoyed better relations with relatives, neighbors and family members, as many as 19%, 22% and 27% respectively.

Similarly, in terms of economic situation, only a few could benefit from income increment due to improved-housing. Households who had increase in income used their house as place for generating income. Most of the poor households still had limited income, especially elderly people who were ageing and had no income at all. Having a subsidized housing improvement did not help households to reduce expenditure in the area of housing. This result was somewhat contrary to what had been expected by the local government that being assisted to improve their housing condition would reduce the households’ expenditure in the area of housing. Instead, some of them had an increase in expenses for electricity and clean water services. Living in a better housing brought other consequences such as utility bills and maintenance (Govender et al., 2011; Gilbert, 2014). With lack of disposable income, there will be inadequate resources to maintain the housing in good condition.

D. Conclusion

Housing Improvement Project was a local government intervention to provide adequate housing to poor households in Belitung Regency. Physically, it is not surprising that after

Page 150: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 139

the housing intervention, the quality of housing inhabited by poor households improved significantly. Improved-housing plays a major role in bringing about behavioral change, such as using proper sanitation facilities. Having improved-housing encourages poor households to make additional improvements to their house and social capital plays an important role in the process. Better housing also had major positive impact regarding psychological wellbeing, which is highly beneficial for the younger generation, especially school-going children. The fact that living in a better housing has little or no effect on income increment means that there will be inadequate resources to maintain the housing in good condition. Housing policies for the poor should be accompanied by other forms of support, in order to improve their economic situation. With economic stability, poor households would be empowered to maintain the sustainability of improved-housing in the future.

Page 151: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

140 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 152: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

ECONOMIC VALUATION OF ECOSYSTEM SERVICES FOR SUPPORTING LAND USE DECISION: THE CASE OF MANGROVE ECOSYSTEM SERVICES IN PANGKAL PINANG, BANGKA BELITUNG ISLAND PROVINCE, INDONESIA

Nama : Leni Anggeraini

Instansi : Bappeda/ Pemkot Bontang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Master of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 153: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

142 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ECONOMIC VALUATION OF ECOSYSTEM SERVICES FOR SUPPORTING LAND USE DECISION:

THE CASE OF MANGROVE ECOSYSTEM SERVICES IN PANGKAL PINANG, BANGKA BELITUNG ISLAND PROVINCE,

INDONESIA

A. Background

One of the most important ecosystems is the mangroves. Mangrove ecosystems provide a lot of benefits to human beings both locally and globally. At the local scale, mangrove ecosystems can support local people’s living like food provisioning, potential fishery, timber products, recreational value, shoreline stabilization, pollution abatement. Moreover, at a global scale, mangrove ecosystems can sequester carbon and contribute to reduction of the effects of climate change (Alongi, 2008).

Despite the fact that mangroves support human well beings, empirical evidences show that around 3.6 million hectares of the total mangrove area (about 20%) in the world was lost in the past 25 years (FAO, 2007). FAO (2007) further reported that Indonesia which has the world’s largest mangrove forest with 19% of the global distribution and the highest diversity, with 43 true species, has experienced a notable decrease in mangroves. Approximately one quarter of its total mangrove area was lost during the 25-year period (1980−005).

The main contributing factors behind this decrease are likely to be unsustainable land exploitation’s and land-use conversions by local people. Ilman et al., (2011) mention that aquaculture, agriculture, coastal-area development, oil palm expansion, logging and mining are the key drivers of the loss and degradation of mangroves in Indonesia. However, the role of land use decisions as the final product of ES assessment to either maintain or replace ecosystems (including mangroves) by decision makers largely contributes to the quantity of ecosystem areas (Förster et al., 2015).

There are at least two underlying aspects for decision makers to adopt a land-use policy that may not or less take natural ecosystems into account. The first aspect is that many developing countries still fund their development wheel by exploiting natural resources (Carter, Schmidt, & Hirons, 2015). Another factor is that ES are still counted unfairly in policy making processes due to the poor availability of information and understanding related to ES values that mainly do not exist in market mechanism so called ”externality” (TEEB, 2010b).

Page 154: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 143

Consequently, in practices many policy decisions regarding land-use in developing countries mainly affect the social-economic life of local people who are usually the poor whose livelihoods are heavily dependent on ecosystems. In addition, converted lands usually can be owned only by wealthier individuals who often come from the outside regions and employ laborers from other places (Jose & Janssen, 1999). Inevitably, the need of tool to create awareness about the value of natural resources emerges as an emergency, in order to convince policy makers to consider alternative policies (Vo et al., 2012).

This case study was conducted in Pangkal Pinang, located at Bangka Belitung Island Province in Indonesia. The city covers approximately an area of 11.900 ha with around 1.236 ha (10%) of mangrove areas, comprising Ketapang, Selindung, Tanjung, and Bunga areas (Local Planning Agency, 2010). The mangrove areas here face serious land-use pressures, since the local government has assigned a policy to convert mainly the mangroves into industrial, warehouse, and residential areas. Information from such analyses is urgently important as many local governments, particularly in developing countries, are currently not considering the beneficial values of mangroves in their policy making. Moreover, the social economic background of local people in the study area whose livelihood are directly dependent such as fishermen and crab catchers

mostly come from the poor and are vulnerable to the current local spatial policy.

B. Research Problems and Methodology

Many economic valuation studies have been conducted since the 1990s, to support the notion that policy makers should consider ES values in their decision-making process regarding land-use issues (e.g. Liekens et al., 2013). As mangrove ecosystems offer a lot of benefits, there are many valuation studies of mangroves that have been conducted in different places around the world (e.g. Gunawardena & Rowan, 2005; Malik, Fensholt, & Mertz, 2015).

However, there are still only a few studies in the scientific literature of Indonesia-the country with the largest area and highest biodiversity of mangroves in the world-than the other countries that have smaller areas of mangroves. Besides, the economic value of this ecosystem may be different in each area due to the specific economic activities, cultures, and lifestyles of the local communities (Vo et al., 2012). In addition, there are still a few studies discussing the economic benefits of mangroves, as compared to the profitability of industrial development. This study has been undertaken to fill this lack. Therefore, the question of the study is how ES valuation approach can be used as an analytically tool for supporting land use decision or assessment.

Page 155: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

144 Direktori Mini Tesis-Disertasi

This study uses both primary and secondary data. A house-to-house survey among small fishermen, and site surveys during weekends and weekdays on the local people benefiting from mangroves in Pangkal Pinang were conducted in the middle of August 2016 to gather primary data and information. The primary data were mainly used to estimate recreational value, fishery value, and option value. Data on the recreational value were produced from the average number of visitors coming to the mangrove areas every year for fishing and the average travel costs spent per visit, whereas fisheries value was taken from the data provided by the small fishermen. Thus, it was expected that they captured fish only in the surrounding mangrove areas. Lastly, data regarding the option value resulted from the open-ended questions about the small fishermen’s Willingness to Pay (WTP) and the number of local people benefiting from mangroves

per year, who were mainly the small fishermen and mangrove visitors for fishing.

C. Data Analysis and Results

1. The Mangrove Ecosystems in Pangkal Pinang

Bangka Belitung Island Province is a young province in Indonesia. It was formerly a part of South Sumatra Province, located on the western part of the island, until 21 November 2000. Pangkal Pinang, which is the capital city of Bangka Belitung Island Province, covers approximately an area of 11.900 ha with around 1.236 ha (10%) of mangrove areas, comprising Ketapang, Selindung, Tanjung, and Bunga areas (Local Planning Agency, 2010).

As a young capital city, Pangkal Pinang is rapidly developing. To facilitate and control the economic development activities in Pangkal Pinang, the local government had assigned a land use plan, which has been operative since 2004. Both the previous land use plan (2004) and the revised one (2010) assigned almost all the mangrove areas in Pangkal Pinang to be converted into industrial, warehouse and residential zones, causing them to be irreversibly lost. As a result, based on the Geographic Information System (GIS) analysis estimation, mangrove areas in the city have significantly decreased by as much as 342.6 ha or nearly 30% from 2004 to 2013 city will accelerate in the future (Local Environmental Agency of Pangkal Pinang, 2012) since no legal regulation controls them.

Based on the field observations, the degradation are likely because of the development of a new bridge and roads, connecting the neighborhood regency, to make the area more strategic and accessible in the future. However, the majority of the existing land from the mangrove clearings in the majority of the industrial area (Ketapang) are still left empty without any industrial developments or economic

Page 156: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 145

activity. It means that while many local people, particularly the fishermen, have lost their livelihood because of the mangrove removals, it has not been accompanied by the generation of new jobs in the industrial areas. The land clearing activities are just likely to be motivated by the announcement activities declaring that the lands are already owned. It was also found in the study area that the land clearings for building road infrastructure have seriously degraded mangroves in the industrial area in Pangkal Pinang, and some ownership announcements of the lands were

also found in the area.

2. Willingness to Pay (WTP)

As previously described, this study also analyzes the correlation between the dependent variable (WTP of small fishermen) and independent variables to determine small fishermen’s willingness to pay for mangrove protection. The results are significant at the 5% level with an F value of 0.0002, meaning that the econometric model is acceptable. The R-squared value of this model is 0.225, implying that the model only explains around 22,5% of the variability in the response data. This smaller R-square indicates that there may be other important variables which have an influence, but were not included in the model.

The attitude toward mangrove protection, as predicted, positively influences small fishermen’s WTP. The effect of this variable is statistically significant at the 0,1% level-very large in a real-world sense. A coefficient of 5,93 for the attitude variable indicates that the agreement toward mangrove protection is associated with a 5,93 point increase in WTP for protecting mangroves.

In contrast, the education level here contradicts with the recent studies (e.g.Tuan et al., 2013), which declared that education level has a positive correlation with the WTP. The regression result of **-0,373 in the education variable presents a significantly negative relationship between education attainment and WTP at 1% level, implying that every additional year of schooling is associated with a 37,3% decrease in the WTP. This result can be acceptable because all the small fisherman respondents were from a low education level. Moreover, this result suggested that there might be another variable influencing their WTP. When the survey was conducted, the respondents seemed to know the benefits of mangroves and the consequences of its disappearance very well. Thus, this may indicate that fishing experiences may have taught them such informal knowledge about the benefits of nature in supporting a human’s well-being.

The last, statistically significant, variable that is based on the results are the respondents’ age. The OLS regression shows that the age variable negatively

Page 157: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

146 Direktori Mini Tesis-Disertasi

affects WTP, implying that the younger the respondents are, the higher they would pay for mangrove protection. This variable is statistically significant at the 5% level, and the coefficient of 0.075 signifies that every additional age of the respondents is correlated with a 7,5% decrease in the WTP. This result implies that the younger small fishermen need a certainty for their future job as a fisherman. They might think that it is very difficult for them because of their low education qualification, to compete with other highly-educated job seekers to get a better job. In addition, the high unemployment rate in the city seems to make the job-seeking competitiveness much tougher. Surprisingly, family expenditure, which was expected to be a significant factor affecting the WTP, was not statistically correlated even though the coefficient shows a ”right” sign. Although this is not a proven reason, it is quite

likely because respondents’ attitudes greatly influence their decision to pay.

3. Total Economic Value (TEV)

TEV is the total value of the DUV, IUV, OV, and NUV. However, the TEV of the mangrove ecosystem in this study is limited to the socio-economic benefits that local people derive from them. Based on the field observation and questionnaire results, the types of services that have been identified include recreational ground, fishery, shoreline stabilization, carbon sequestration, and option value. The estimates of the benefit values derived from mangrove ecosystem, based on formulas (6), (7), (8), (9) and (10) presented in the methodology section. The annual estimated TEV of the mangrove ecosystem in the study area is approximately 1,642 kUSD or 1,838 USD/ha/year. In other words, this amount is roughly equivalent to double the city’s Gross Domestic Product (GDP) for the year 2015, confirming the notion that mangrove ecosystems have an important role in improving human lives. The DUV, which are the fisheries and recreational values, accounts for the highest value of the mangrove ecosystem, gaining almost 75%, whereas the IUV that represents shoreline stabilization and carbon sequestration values, and the OV contributed 23.47% and 1.72% toward the creation of the TEV, respectively.

The DUV, particularly of fishery, shares the greatest value. The mangroves have an important role in providing a livelihood for the small fishermen. However, the local government has failed to realize this important link between small fishermen and the mangrove ecosystem due to their poor awareness of such economic values. The disappearance of mangroves will not only lead to the loss of the livelihood of small fishermen but may also lead to other social problems, such as higher unemployment number, not to mention rising local fish prices in the market resulting out of importing fish from outside the city. Accordingly, the considerable value of IUV also cannot be ignored. The absence of a market price seems to be the

Page 158: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 147

reason why this benefit is often overlooked. In fact, the IUV result shows that this value contributes to one fourth of the TEV of mangrove ecosystems in the study

area.

4. Cost Benefit Analysis (CBA)

a. Total Revenues, Costs, and Profitability of Industrial Development

To estimate the industrial development profitability, some assumptions have been made to simplify the calculation. A tin refinery plant was selected as a representation of industrial development in Pangkal Pinang. The investment, direct costs, operational costs, non-operational costs, and revenue (production capacity per year multiplied by the tin prices and capacity utilization rate) were adopted from a feasibility study of the development project of a tin refinery plant in Riau Province, Indonesia conducted by Piesta Dinamika Consultant (2013). Direct costs involve the costs supporting operational production such as fuel, raw materials and export costs, while operational costs are the costs to operate the plant, such as labor, administration, and instrument depreciation. Non-operational costs include investment credit and other costs. Meanwhile, the tin price data were taken from index and the discount rates were based on data from the Indonesia Central Bank, from 2007 to 2017.

By assuming the total cost that the tin refinery production holds, the profitability of a tin refinery plant will heavily depend on the probability of its production revenue. The magnitude of the tin price and the production output, therefore, becomes the key components to measure the profitability of a tin refinery plant.

The quantity of output, however, depends on the capacity utilization of some components–labor, capital, fuel and index technical change (Nelson, 1989). Hence, the capacity utilization rate could become a control to estimate the quantity of output. According to Corrado and Mattey (1997), the capacity utilization rate is defined as a ratio of the actual output to the maximum potential output or capacity. It is very difficult to get the data about capacity utilization rate of a tin refinery plan. Therefore, this study adopted the general capacity

utilization rate for manufacturing in Indonesia, based on trading economics.

b. Base Case Analysis

The present value of the expected net profit of a tin refinery plant is calculated, by equations (1) and (11), over the plant’s lifespan of 30 years, based on the feasibility study of the tin refinery, and the mean of discount rate is calculated to be 5.89%. Similarly, the present value of the expected net benefit of mangrove preservation was also estimated based on the TEV of mangroves, in the same

Page 159: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

148 Direktori Mini Tesis-Disertasi

area as the tin factory. The TEV derived in the previous section was deducted from the maintenance cost for the mangrove protection program, adopted from the study conducted by Tuan and Duc (2013).

Mangrove preservation yields a positive benefit whereas industrial development, represented by a tin refinery plant in this case, generates a negative profit. These bases case results indicated that maintaining mangroves

is economically more desirable than developing tin industries.

5. ES Valuation for Informing Land-Use Decision: A Lesson Learnt from Mangrove Ecosystems in Pangkal Pinang

Attaching monetary values to ecosystems using economic valuation can be a promising solution for supporting better land-use decisions because it enables a direct comparison between land-use scenarios through CBA as shown in this study. However, one main issue found during the study. The availability of database in mainly developing countries in some cases are not as good and reliable as in developed countries. This condition certainly affect the data quality used in ES valuation that can potentially lead to the less accuracy and/or transparency of the result. For example, in this study, it was very difficult to get the city population database. Consequently, it was not possible to get randomly sample data from the general population in the city. As a result, NUV that is one of TEV components could not be estimated in this study. Another example is that some secondary data often were found inconsistency from different or even same resources. Although ES valuation seems to be a promising tool to inform decision makers for supporting land-use decisions particularly in developing countries, in which the countries usually face higher pressures on natural ecosystems, it would not be so if it is not

a line with the improvement of the data availability.

D. Conclusion and Recommendation

Land use planning plays an important role in conserving or destroying ES. However, ES are often undervalued by policy makers because their benefits mainly do not have prices in the conventional market. In other words, policy makers, particularly in developing countries, have extremely less information about the benefits and the impact of ecosystems, if they disappeared. As a result, local governments often fail to include the benefits of ecosystems in their decision making. Economic valuation, a method to give value for environmental services in monetary terms, can be a solution for this situation. Moreover, economic valuation could also make it possible to include these services in the CBA.

Page 160: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 149

The study finding revealed that the annual TEV of mangrove ecosystems in this city is approximately 1,642 kUSD or 1,838 USD/ha/year. The highest share of the TEV comes from DUV (recreational and fishery values). The result also shows that small fishermen are willing to pay almost as much as 9 USD/household to preserve the mangroves, while anglers are willing to give up nearly as much as 12 USD to get recreational value from the mangroves. Attitude, level of education, and age variables are the factors that influencing the WTP of small fishermen in Pangkal Pinang to preserve mangroves. Attitude is likely to increase the WTP, whereas age and education tend to decrease the WTP.

Moreover, this study also conducted the CBA to evaluate the local policy that has assigned to replace the mangrove areas with industrial development. Using a tin industry as the representation of industrial development, the CBA result showed that the mangrove preservation scenario was better than tin the industry development scenario, in terms of both the NPV under base cases and the certainty of benefits themselves. A Monte Carlo sensitivity analysis was also undertaken to supplement this result, and it was finally recommended that mangroves should be protected.

The findings of this study are expected to provide local governments with information about the importance of mangrove ecosystems for local people in Pangkal Pinang, so that local governments can formulate better policy regarding land use decision. Information about the TEV of mangroves in Pangkal Pinang could be used as a consideration to evaluate the spatial plan of Pangkal Pinang or any similar documents, that have advocated to convert almost all the mangrove areas. As seen from this study, the TEV enabled mangrove benefits to be included in the policy evaluation, using the CBA. The local government also can expand the policy evaluation by comparing the TEV information with either other types of industry or even other policies.

Moreover, since the small fishermen’s income are relatively low, as shown in this study, local governments could also develop alternative options to support their livelihood, such as providing skill trainings to produce marine products for their family and facilitating and strengthening market networks for marine products from fishermen. There are also many studies which have concluded that mangrove forests can sequester carbon more than terrestrial forests (Alongi, 2012; Murdiyarso et al., 2009) and the establishment of the Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) scheme for developing countries may offer a great promise for mangrove conservation and at the same time, generate revenue. Thus, local governments could consider this opportunity as one of their policy options. Lastly, considering the recreational value estimated from this study, local government can also promote ecotourism as one of the methods to induce sustainable mangrove management.

Page 161: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

150 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 162: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENYELAMATAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN DANAU MANINJAU

ANALYSIS OF COMMUNITY PARTICIPATION LEVEL IN SUSTAINABLE ENVIRONMENTAL MANAGEMENT AND CONSERVATION PROGRAM OF LAKE MANINJAU

Nama : Luce Dwi Nanda

Instansi : Pemprov Sumatera Barat

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 163: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

152 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kerusakan dan pencemaran yang terjadi di Danau Maninjau telah mengakibatkan kerugian ekonomi dan sosial. Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kondisi lingkungan Danau Maninjau terhadap pendapatan masyarakat serta menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam program penyelamatan dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan Danau Maninjau dan permasalahannya.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan metode survei. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, kuisioner, observasi dan studi dokumentasi. Tingkat partisipasi masyarakat dianalisis pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi program dengan menggunakan Tipologi Arnstein.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi lingkungan Danau Maninjau telah mengurangi pendapatan masyarakat terutama di bidang perikanan dan pariwisata. Tingkat partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan program termasuk pada tingkat informing, sementara pada tahap pelaksanaan termasuk tingkat consultation, sedangkan pada tahap monitoring dan evaluasi hanya mencapai tingkat therapy. Permasalahan dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan Danau Maninjau antara lain disebabkan oleh keterbatasan lahan untuk berusaha, tingkat pendidikan yang relatif rendah dan keterbatasan lapangan pekerjaan, ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap keramba, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan, kurangnya komitmen masyarakat dalam menjaga kelestarian danau, kurangnya koordinasi antarpemerintah serta belum adanya komitmen dan ketegasan pemerintah untuk menjalankan peraturan yang telah ditetapkan.

Kata kunci: Partisipasi Masyarakat, Pengelolaan lingkungan, Berkelanjutan, Danau Maninjau, Tipologi Arnstein

Page 164: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 153

ABSTRACT

Damage and pollution in Lake Maninjau has resulted in economic and social losses. Many efforts have been made by the government to overcome these problems. This study aims to analyze the influence of Lake Maninjau environmental conditions on community income and analyze the community participation level in sustainable environmental management and conservation program of Lake Maninjau, and its problems.

This research is descriptive qualitative with survey method. Data collection was done through interviews, questionnaires, observations and documentation studies. The community participation level was analyzed in the planning, implementation, monitoring and evaluation of program, using Arnstein’s Typology.

Result of the research shows that the environmental condition of Lake Maninjau has reduced the income of the people especially in the field of fisheries and tourism. The community participation level at the planning phase is in informing level, while during application phase is in consultation level, and finally, during monitoring and evaluation phase is in therapy level. Problems in sustainable management of Lake Maninjau are caused by limited land for business, relatively low level of education and limited employment, high economic dependence on “keramba”, lack of community knowledge on sustainable environmental management, lack of community commitment in preserving lakes, lack of inter-governmental coordination and lack of commitment and firmness from the government to enforce the established rules.

Keywords: Community Participation, Environmental Management, Sustainability, Lake Maninjau, Arnstein Typology

Page 165: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

154 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENYELAMATAN DAN PENGELOLAAN

LINGKUNGAN BERKELANJUTAN DANAU MANINJAU

A. Latar Belakang

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu syarat untuk berhasilnya suatu pembangunan yang berkelanjutan. Partisipasi berarti prakarsa, peran aktif, dan keterlibatan semua pelaku pembangunan termasuk penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan pelaksanaan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial (Adisasmita, 2006). Partisipasi mempertimbangkan secara penuh pengetahuan dan nilai-nilai yang dianut masyarakat (Jamieson, 1989 dalam Mikkelsen, 2003). Partisipasi menghasilkan pemberdayaan masyarakat (Mikkelsen, 2003) dan merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi budaya (Muslim, 2007).

Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan merupakan hal penting yang dapat menjamin terlaksananya suatu program pembangunan karena keterlibatan masyarakat dalam perencanaan berdampak pada berkurangnya konflik dan hambatan dalam pelaksanaan pembangunan serta mendorong rasa memiliki yang lebih tinggi dari masyarakat terhadap aset yang ada (Noer, 2006). Perencanaan pembangunan partisipatif menggunakan pendekatan bottom up, di mana pendekatan ini bukan sekadar mengubah alur pengambilan keputusan dari pihak teknolog dan birokrat menuju pihak rakyat, namun sekaligus mengakui kepandaian atau kearifan rakyat sendiri untuk membangun lingkungannya (Agusta, 2009).

Keberlanjutan berkaitan dengan pemanfaatan fungsi yang kontinu (Napitupulu, 2013). Namun untuk mencapai tujuan pembangunan yang berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi, sumber daya alam seringkali dieksploitasi secara berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan akan mengurangi produktivitas dari sumber daya alam yang pada akhirnya dapat menyusutkan laju pembangunan ekonomi (Todaro, 2000). Akibatnya masyarakat terutama masyarakat miskin yang bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan tidak terlepas dari pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang lestari. Pengelolaan sumber daya alam yang lestari, pada dasarnya harus ditujukan pada upaya-upaya untuk membantu perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dengan menempatkan mereka sebagai mitra yang aktif dalam usaha-usaha tersebut (Wijaya dan Gumelar, 2006). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat

Page 166: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 155

dalam pengelolaan sumber daya alam diperlukan untuk menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi sumber daya alam dan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Salah satu poin dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) pada sektor lingkungan hidup adalah memastikan masyarakat mencapai akses universal air bersih dan sanitasi. Salah satu target yang ingin dicapai dalam poin ini adalah melindungi dan merestorasi ekosistem terkait sumber daya air, termasuk pegunungan, hutan, lahan basah, sungai, air tanah, dan danau (http://sdgsindonesia.

or.id, diakses 11 Februari 2017).

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

1. Kondisi Perairan Danau Maninjau

Danau merupakan barang publik yang berarti semua orang bebas dan memiliki akses untuk mengelola dan memanfaatkannya. Sifatnya yang multistakeholder menyebabkan pemanfaatan danau rawan terhadap over eksploitasi dan konflik kepentingan yang pada akhirnya mengancam pada kelestarian danau. Kondisi ini dikenal juga sebagai The Tragedy of the Commons (Hardin, 1968) atau bisa disebut sebagai tragedi kepemilikan bersama. Contoh kasus dapat dilihat pada Danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Danau Maninjau memiliki peran yang sangat strategis terutama bagi masyarakat sekitarnya. Selain sebagai sumber mata pencarian (perikanan) dan sumber air irigasi, Danau Maninjau juga dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik (PLTA) dan objek wisata. Pencemaran dan kerusakan yang terjadi di Danau Maninjau telah mengganggu fungsi-fungsi tersebut dalam menunjang kehidupan sekitarnya, sehingga dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke depan Danau Maninjau tidak dapat lagi dinikmati generasi yang akan datang.

Kondisi perairan Danau Maninjau saat ini telah mengalami pencemaran hingga level pencemaran sedang (Bapedalda Provinsi Sumatera Barat, 2014; Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, 2014). Sebagian besar bahan pencemar yang masuk ke Danau Maninjau berasal dari limbah pakan budi daya ikan dengan keramba atau sekitar 95,34% (Pemerintah Kabupaten Agam, 2017). Pertambahan jumlah keramba yang pesat menjadi 16.734 petak di tahun 2015 (BPS, 2016) telah melebihi daya tampung danau menurut hasil kajian LIPI pada tahun 2009, yaitu hanya sebanyak 6.000 petak (ukuran petak: 5 meter x 5 meter).

Tercemarnya perairan danau berdampak pada terancamnya keberadaan ikan endemik seperti rinuak (Psilopsis sp) dan ikan bada (Rasbora argyrotaenia)

Page 167: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

156 Direktori Mini Tesis-Disertasi

(KLH RI, 2014). Di samping itu kematian ikan massal yang semakin sering terjadi (Bapedalda Sumbar, 2014; Mongabay.co.id, 2016, diakses tanggal 9 Januari, 2017) telah menimbulkan kerugian baik secara ekonomi maupun sosial (Nasution, Yesi dan Hakim, 2011). Kondisi-kondisi tersebut menggambarkan bahwa pengelolaan yang selama ini dilakukan di Danau Maninjau belum mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Oleh karena itu, Danau Maninjau termasuk dalam 15 danau prioritas nasional yang perlu ditangani bersama secara terpadu, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (KLH RI, 2014).

Banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di Danau Maninjau, yaitu melalui program penyelamatan danau agar fungsi Danau Maninjau baik dari aspek ekonomi maupun sosial dan lingkungannya dapat terus berlanjut. Namun hingga saat ini upaya tersebut masih belum menunjukkan keberhasilan. Ketergantungan masyarakat yang tinggi menunjukkan bahwa danau memiliki peran strategis bagi masyarakat. Di samping itu, masyarakat sebagai salah satu pelaku pembangunan, juga memiliki peran strategis untuk terlaksananya program-program pembangunan. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk menganalisis sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat sekitar Danau Maninjau dalam program penyelamatan dan pengelolaan lingkungan

berkelanjutan Danau Maninjau.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Danau Maninjau yang merupakan barang publik, di mana semua pihak berhak memanfaatkannya, namun tidak ada yang merasa bertanggung jawab untuk kelestariannya, sehingga terjadi over eksploitasi yang pada akhirnya menimbulkan dampak buruk bagi kelestarian danau. Bukan hanya keberlangsungan fungsi danau yang terganggu, namun perekonomian masyarakat pun ikut terganggu, dan bahkan menimbulkan kerugian termasuk bagi pihak-pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pemanfaatan danau (stakeholders). Kondisi ini dikenal sebagai Tragedy of the Commons (Hardin, 1968) atau diterjemahkan sebagai tragedi kepemilikan bersama. Tragedi kepemilikan bersama merupakan pandangan mengenai keinginan untuk meraih untung yang banyak untuk kepentingan pribadi, sehingga pada awalnya akan mendapatkan keuntungan yang besar karena masih melimpahnya sumber daya alam, namun seiring bertambahnya populasi dan kebutuhan akan sumber daya alam meningkat, maka pada akhirnya sumber daya tersebut akan habis dan tidak lagi mendatangkan keuntungan bahkan menimbulkan konflik kepentingan di antara para stakeholders.

Page 168: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 157

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan baik yang berasal dari masyarakat, tokoh masyarakat, serta instansi terkait di Pemerintahan Kabupaten Agam, teridentifikasi beberapa permasalahan dan hambatan dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan Danau Maninjau. Permasalahan ini dilihat dalam kaitannya dengan perkembangan keramba di Danau Maninjau, yang merupakan penggerak perekonomian sekaligus penyebab dominan permasalahan lingkungan di Danau Maninjau, sehingga mengancam kelestarian danau.

1. Keterbatasan lahan

Menurut data BPS (2016), sebanyak 60,58 % masyarakat di Kecamatan Tanjung Raya menggantungkan hidupnya dari bertani. Seiring dengan pertambahan penduduk, maka kebutuhan lahan juga meningkat termasuk lahan untuk pertanian dan pemukiman. Terbatasnya lahan pertanian menyebabkan masyarakat mencari lahan baru untuk diolah sebagai sumber mata pencariannya. Pilihannya adalah hutan atau danau, karena Kecamatan Tanjung Raya sebagian besar wilayahnya terdiri atas hutan seluas 41,1 % dan perairan danau 41,41 %.

2. Tingkat pendidikan yang relatif rendah dan keterbatasan lapangan pekerjaan

Berdasarkan hasil survei dan wawancara, diketahui bahwa pada umumnya masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada keramba adalah masyarakat yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas ke bawah. Pendidikan masyarakat yang relatif rendah tidak terlepas dari ketersediaan sarana pendidikan di kawasan ini yang hanya sampai jenjang SMA.

Persaingan dalam memperoleh pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi, telah menyingkirkan mereka yang tergolong berpendidikan rendah dari dunia kerja. Satu-satunya alternatif pekerjaan yang tersedia bagi mereka adalah keramba, karena pekerjaan ini tidak membutuhkan pendidikan tinggi. Dengan hanya menjadi buruh panen atau pemberi pakan ikan, para pekerja sudah mampu memiliki penghasilan di atas upah minimum provinsi (UMP). Sementara itu, bagi masyarakat yang memiliki modal untuk berusaha keramba, penghasilan mereka bahkan jauh lebih tinggi daripada pekerja di sektor formal.

3. Ketergantungan yang tinggi terhadap keramba

Dari hasil wawancara baik dengan masyarakat, petani keramba maupun tokoh masyarakat dan perangkat nagari diperoleh kesimpulan bahwa masyarakat dan perekonomian di kawasan Danau Maninjau sangat bergantung kepada aktivitas keramba. Sulitnya menghentikan aktivitas keramba, antara lain:

Page 169: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

158 Direktori Mini Tesis-Disertasi

a. Keuntungan dari keramba yang menggiurkan.

b. Tidak membutuhkan keahlian khusus dan modal mudah didapat.

c. Mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak dengan upah yang cukup baik.

4. Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan

Dari data kuesioner, diperoleh informasi bahwa 56% dari responden telah mengetahui tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Namun ketika diminta informasi lebih lanjut, banyak dari responden tersebut yang belum memahami apa itu pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Sebanyak 42% responden mengaku tidak tahu apa yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Mereka berdalih bahwa tidak ada sosialisasi tentang pengelolaan lingkungan berkelanjutan tersebut. Namun ketika ditanya apakah responden setuju bahwa Danau Maninjau perlu diselamatkan dan dilestarikan untuk generasi yang akan datang, hampir seluruh responden, yaitu sebanyak 94 % menyatakan setuju, dengan alasan agar anak cucu dapat menikmati Danau Maninjau.

5. Keinginan yang tidak diikuti dengan kesadaran dan komitmen

Tekanan ekonomi serta keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar menyebabkan kurangnya komitmen masyarakat dan pelaku keramba dalam menjaga lingkungan. Program pemerintah untuk mengalihkan perekonomian masyarakat dari keramba ke sektor lainnya kurang mendapatkan dukungan dari masyarakat. Aktivitas keramba masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat karena dinilai dari sisi ekonomi, kegiatan ini lebih mudah dilaksanakan dan cepat mendatangkan hasil yang menguntungkan, atau dengan kata lain, dengan usaha yang sedikit mendatangkan keuntungan yang besar.

6. Kurangnya koordinasi antarpemerintah dan adanya jarak dengan masyarakat

Hasil wawancara dengan informan dari pemerintah Kabupaten Agam, diperoleh keterangan bahwa kurangnya koordinasi dan ketidaksamaan persepsi antarinstansi di pemerintahan daerah dalam menyelamatkan danau merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan program penyelamatan dan pelestarian Danau Maninjau. Sebagai contoh, Dinas Perikanan yang merupakan instansi yang memiliki tugas pokok dan fungsi di bidang perikanan, memiliki target untuk meningkatkan produksi perikanan. Hal ini diterjemahkan dengan menambah jumlah usaha budi daya, yang berdampak pada bertambahnya beban pencemar pada lingkungan

Page 170: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 159

perairan. Namun di satu sisi Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata justru menghendaki lingkungan perairan danau yang terjaga kebersihannya. Kondisi ini justru membingungkan bagi masyarakat di lapangan, sehingga ada anggapan yang beredar di tengah pelaku keramba bahwa Dinas Perikanan adalah teman, sementara Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pariwisata adalah musuh bagi mereka.

Di samping itu masalah kewenangan juga menjadi hal yang mengganjal dalam terlaksananya penyelamatan danau. Danau Maninjau merupakan kawasan strategis provinsi yang diterjemahkan sebagai Danau Maninjau merupakan wewenang provinsi, ditambah lagi dengan ditetapkannya Danau Maninjau sebagai Danau Prioritas Nasional, di mana secara nasional Danau Maninjau menjadi prioritas dalam penanganan masalah lingkungannya. Kondisi ini menyebabkan adanya kesan lempar tanggung jawab di level pemerintah. Sebagai contoh Pemda Agam dituntut untuk dapat mengurangi keramba sesuai peraturan daerah, yaitu menjadi 6.000 petak (ukuran petak 5 meter x 5 meter) di tahun 2018, namun untuk pengaturan jumlah keramba, Pemda Agam harus menunggu peraturan zonasi yang disusun oleh pemerintah provinsi, di mana proses penyusunannya baru selesai di tahun 2017. Hal ini tentu saja menjadi sangat sulit untuk dilaksanakan mengingat jumlah keramba saat ini telah mencapai lebih dari tiga kali lipat dari batas yang diizinkan.

7. Belum ada komitmen dan ketegasan dari pemerintah untuk menjalankan peraturan yang telah ditetapkan

Penerapan aturan yang telah dibuat oleh pemerintah Kabupaten Agam belum berjalan sebagaimana seharusnya. Informasi di lapangan menunjukkan bahwa usaha keramba tidak memiliki izin, padahal seharusnya menurut Perda No. 3 Tahun 2009 tentang Izin Usaha Perikanan, budi daya keramba harus memiliki izin. Peraturan Bupati No. 22 tahun 2009 tentang Pengelolaan Danau Maninjau dan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelestarian Kawasan Danau Maninjau telah mengatur budi daya ikan dengan keramba, namun kenyataannya penerapan di lapangan belum dilaksanakan. Di samping peraturan-peraturan tersebut, RT RW Kabupaten Agam Tahun 2010−2030 juga mengatur tentang pemanfaatan danau sebagai kawasan resapan air dan perlindungan setempat, di mana aktivitas di sekitar danau harus ditujukan untuk kelestarian danau, namun kenyataannya pemanfaatan danau tidak memperhatikan kelestarian danau. Insentif dan disinsentif yang sudah ditetapkan tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Page 171: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

160 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Untuk itu dibutuhkan komitmen dan ketegasan dari pemerintah untuk menjalankan peraturan yang telah dibuat. Di samping itu, peraturan-peraturan tersebut juga harus didukung dengan peraturan terkait zonasi kawasan Danau Maninjau. Mengingat aktivitas keramba di Danau Maninjau saat ini dilakukan secara sembarangan, maka pemerintah perlu melakukan upaya percepatan penetapan dan pelaksanaan peraturan zonasi kawasan Danau Maninjau, agar kawasan Danau

Maninjau lebih tertata sesuai peruntukannya.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi perairan Danau Maninjau saat ini telah mengalami pencemaran dan termasuk dalam kategori buruk, sehingga pemanfaatannya untuk kebutuhan rumah tangga, kegiatan rekreasi air, maupun budidaya perikanan tidak bisa disarankan. Kondisi ini berdampak pada penurunan pendapatan masyarakat terutama dari sektor perikanan dan pariwisata. Penurunan aktivitas pariwisata secara tidak langsung juga mempengaruhi PAD Kecamatan Tanjung Raya terutama yang bersumber dari pajak hotel dan restoran.

2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi program tergolong rendah. Hasil analisis menurut tangga Arnstein menunjukkan dalam tahap perencanaan program, partisipasi masyarakat termasuk pada tingkat informing, sementara pada tahap pelaksanaan termasuk tingkat consultation, sedangkan pada tahap monitoring dan evaluasi hanya mencapai tingkat therapy. Berdasarkan kelompoknya, tingkat partisipasi masyarakat pada proses perencanaan dan tahap pelaksanaan termasuk kelompok tokenisme, sedangkan pada tahap monitoring dan evaluasi termasuk dalam kelompok nonparticipation.

3. Banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka penyelamatan dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan Danau Maninjau. Namun permasalahan di Danau Maninjau masih belum bisa diatasi. Permasalahan dan hambatan dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan Danau Maninjau antara lain disebabkan oleh keterbatasan lahan untuk berusaha sehingga danau menjadi satu-satunya alternatif sumber mata pencarian, tingkat pendidikan yang relatif rendah dan keterbatasan lapangan pekerjaan, ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap keramba, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan Danau Maninjau, kurangnya komitmen masyarakat untuk menjaga kelestarian danau, kurangnya koordinasi antarpemerintah dan adanya jarak dengan masyarakat, serta belum adanya komitmen dan ketegasan dari pemerintah untuk menjalankan peraturan yang telah ditetapkan.

Page 172: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

STRATEGI PEMANFAATAN DANA DESA UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN PASAMAN

STRATEGY OF UTILIZING VILLAGE FUNDS FOR THE DEVELOPMENT OF MINAPOLITAN AREAS IN PASAMAN DISTRICT

Nama : Lusi Dewiana

Instansi : Pemkab Pasaman

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 173: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

162 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Lambatnya perkembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman disebabkan oleh terbatasnya modal dan infrastruktur serta fasilitas pendukung lainnya. Permasalahan pengembangan Kawasan Minapolitan dapat diatasi dengan dana desa berdasarkan kesepakatan masyarakat dan pemerintahan nagari ketiga nagari di Kawasan Minapolitan melalui musyawarah nagari. Oleh karena itu, tujuan penelitian adalah (1) Menganalisis kesediaan Pemerintah Nagari dan pembudidaya ikan dalam memanfaatkan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman dan (2) Merumuskan strategi pemanfaatan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan data diperoleh dengan cara observasi, wawancara dan juga kuesioner. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode SWOT (Strength, Weakneses, Opportunities, Threat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pembudidaya ikan dan ketiga walinagari di Kawasan Minapolitan sangat bersedia menggunakan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan. Strategi andalan yang dihasilkan untuk pengembangan Kawasan Minapolitan berada pada kuadran I matriks SWOT, yaitu: (1) Penguatan regulasi penggunaan dana desa untuk menggali dan mengembangkan potensi Kawasan Minapolitan melalui Peraturan Bupati Pasaman, (2) Pembentukan badan usaha yang lebih besar melalui kerja sama BUMNag dengan unit usaha yang berbeda setiap nagari. Unit usaha tersebut dikelola secara bersama oleh ketiga nagari dan hasilnya menjadi pendapatan bersama ketiga nagari tersebut, (3) Peningkatan produktivitas lahan untuk memenuhi permintaan ikan melalui pemanfaatan dana desa, dan (4) Pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan produk perikanan melalui dana desa.

Kata kunci: Kawasan Minapolitan, Dana desa, Kesediaan, Strategi

Page 174: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 163

ABSTRACT

The slow development of the minapolitan areas in the Pasaman district is caused by the limited capital, infrastructure and some supporting facilities. Minapolitan area issues can be overcome with village funds based on community agreement and governments of the three villages in the minapolitan areas through the village deliberations. Therefore, the objective of the study are: (1) Analyze willingness of the governments village and fish farmers in utilizing village funds for development of Minapolitan areas in Pasaman District; (2) Formulating an effective village funds utilization strategy for development of Minapolitan areas in Pasaman district. The method used in this research is descriptive qualitative and the data collection is obtained by way observation, interviews and also questionnaire. Then data obtained were analyzed using SWOT method (Strength, Weaknesses, Oppurtunities, Threat). The result showed that the governments and fish farmers in the three villages are very willing to use the village funds to develop a Minapolitan area. The mainstay strategy produced in quadrant 1 SWOT matrix, that are: (1) Stregthening the regulation of the use of village funds to explore and develop the potentials of the Minapolitan areas through by a regent regulation of Pasaman. (2) The formation of larger business entities through BUMNag cooperation with different business units each of village. The business unit is managed jointly by the three villages and the result becomes income with the three village. (3) Increased the productivity of land to meet the demand of fish through the utilization of village funds; (4) Community empowerment in processing fishery products through village funds.

Keywords: Minapolitan Areas, Village Funds, Willingness, Strategy

Page 175: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

164 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STRATEGI PEMANFAATAN DANA DESA UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN

DI KABUPATEN PASAMAN

A. Latar Belakang

Dana desa memiliki potensi yang luar biasa dalam upaya mempercepat pertumbuhan dan pembangunan desa dalam mengatasi persoalan yang selama ini ada yang terdapat di daerah perdesaan. Dengan anggaran yang meningkat diharapkan desa dapat mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakatnya sesuai dengan konsep membangun mulai dari pinggiran. Tahun 2016 telah dialokasikan dana desa ke 74.754 desa di Indonesia, 880 desa di antaranya adalah desa-desa yang ada di wilayah Provinsi Sumatra Barat. Khusus untuk Kabupaten Pasaman terdapat 32 desa/nagari yang menerima dana desa.

Salah satu potensi yang terus digali dan dikembangkan di Kabupaten Pasaman adalah sektor perikanan khususnya perikanan budidaya air tawar. Hasil produksi ikan tersebut selain dipasarkan untuk kebutuhan dalam provinsi, juga telah menjangkau pasar Provinsi Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Jambi (Bappeda Pasaman, 2015). Oleh sebab itu, Kabupaten Pasaman merupakan salah satu daerah penghasil ikan air tawar terbesar di Sumatra Barat dengan luas kolam 4.317,40 Ha dan jumlah produksi 51.615,01 ton pada tahun 2016 (Pasaman Dalam Angka, 2017).

Besarnya potensi perikanan budi daya telah menjadikan Kabupaten Pasaman sebagai salah satu Kawasan Minapolitan di Indonesia yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. Berdasarkan keputusan tersebut ditetapkan Kecamatan Rao dan Rao Selatan sebagai Kawasan Minapolitan perikanan budidaya di Kabupaten Pasaman. Pelaksanaan dan pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman didukung dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kawasan Minapolitan.

Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman belum mengalami perkembangan seperti yang diharapkan karena terbatasnya infrastruktur, sarana dan parasana, serta fasilitas pendukung lainnya dan kekurangan modal. Untuk pemenuhan modal dan pakan ikan yang mahal, petani pembudidaya ikan masih bersandar kepada juragan ikan (toke) (Bappeda Pasaman, 2014). Hubungan kerja sama ini menyebabkan pembudidaya ikan tidak leluasa dalam menjual produksi ikan karena harus dijual kepada toke sesuai harga yang ditentukan toke. Dalam kasus ini pembudidaya ikan hanya mempunyai

Page 176: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 165

kedudukan sebagai perantara toke. Tanpa memutus mata rantai hubungan antara toke dengan pembudidaya ikan, masalah pakan dan pemasaran ikan Kawasan Minapolitan di Kecamatan Rao Selatan tidak mungkin diatasi.

Salah satu cara yang potensial untuk memutus mata rantai hubungan toke dengan pembudidaya ikan adalah dengan manfaatkan dana desa. Namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana kesediaan pembudidaya ikan dan strategi pemerintahan nagari untuk memanfaatkan dana desa dalam pembuatan pakan organik pertanian dan perikanan, pengembangan benih lokal dan pengembangan teknologi tepat guna serta pengolahan hasil perikanan. Oleh sebab itu, perlu dikaji secara kritis potensi pemanfataan dana desa untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pembudidaya ikan dengan judul “Strategi Pemanfaatan Dana desa untuk Pengembangan Kawasan

Minapolitan di Kabupaten Pasaman”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Dana desa mempunyai peluang untuk mengatasi perlambatan perkembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman. Dana desa tersebut bisa bermanfaat secara maksimal untuk mengatasi persoalan yang dihadapi jika pembudidaya Ikan bersedia menggunakan dana desa dan pemerintahan nagari bersedia mengalokasikannya untuk pengembangan Kawasan Minapolitan. Pemanfaatan dana desa harus melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (MusrenbangDes) dan harus masuk dalam Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKP Desa) setiap tahunnya serta harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa).

Kawasan Minapolitan di Kecamatan Rao Selatan terdiri dari tiga nagari yang mempunyai kepentingan dan kebutuhan pembangunan yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, untuk dapat memanfaatkan dana desa di tiga nagari tersebut dalam pengembangan Kawasan Minapolitan, diperlukan kesepakatan masyarakat dan pemerintahan nagari. Dengan demikian, kesediaan masyarakat khususnya pembudidaya ikan dan pemerintahan nagari menjadi kunci utama dalam pemanfataan dana desa. Untuk mengetahui kesediaan pembudidaya ikan dan pemerintahan nagari dalam memanfaatkan dana desa, maka dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kesediaan pembudidaya ikan dan pemerintah nagari untuk memanfaatkan dana desa dalam rangka pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman?

2. Bagaimana strategi pemanfaatan dana desa yang efektif menurut pembudidaya ikan dan pemerintahan nagari untuk pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman?

Page 177: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

166 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Rao Selatan Kabupaten Pasaman. Dipilihnya Rao Selatan sebagai lokasi penelitian karena kecamatan tersebut merupakan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Pasaman yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2013 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan. Pelaksanaan dan pengembangannya di Kabupaten Pasaman diperkuat dengan Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kawasan Minapolitan.

Pada penelitian ini informan yang akan diwawancarai antara lain Kepala Bappeda, Kepala BKD, Kepala DPM, Kepala Dinas Perikanan, Kepala Bagian Pemerintahan Nagari, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Camat Kecamatan Rao Selatan dan walinagari wilayah kecamatan Rao Selatan. Kuesioner adalah pengumpulan data dari responden, di mana responden yang dipilih untuk mengisi kuesioner adalah pembudidaya ikan dan Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) di Kecamatan Rao Selatan, sedangkan observasi dilakukan dengan pengamatan langsung untuk mendapatkan data objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari dokumen-dokumen yang terdapat di Kabupaten Pasaman, yaitu Badan Pusat Statistik, Badan Keuangan Daerah, Bappeda,

Dinas Perikanan, dan Bagian Pemerintahan Nagari Kabupaten Pasaman.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Peluang Dana Desa untuk Pengembangan Kawasan Minapolitan

Perkembangan Kawasan Minapolitan di Kecamatan Rao Selatan mengalami perlambatan, karena adanya faktor penghambat yang belum bisa diatasi oleh pembudidaya ikan dan Pokdakan. Lambatnya perkembangan Kawasan Minapolitan dapat diatasi jika tersedia modal yang memadai, infrastruktur, sarana/prasarana yang lengkap dan pengolahan serta pemasaran yang dikelola dengan baik. Terkait dengan hal tersebut, Peraturan Menteri Desa Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2017 memberi peluang penggunaan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan, Permendes Nomor 22 Tahun 2016 menjelaskan secara spesifik tentang penggunaan dana desa, di mana terkait dengan budi daya perikanan dana desa bisa digunakan untuk:

a. Pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan infrastruktur ekonomi antara lain, pembangunan jalan desa ke wilayah pertanian, pembangunan jembatan desa, perbaikan pengairan, pengadaan irigasi, dan pengadaan kolam ikan.

Page 178: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 167

b. Pengadaan sarana prasarana produksi, distribusi, dan pemasaran terkait budi daya perikanan, di antaranya pembangunan tempat penjemuran ikan dan gudang pendingin (cold storage).

c. Pengelolaan usaha ekonomi produktif serta pengelolaan sarana dan prasarana ekonomi, di antaranya pembenihan ikan air tawar, pengadaan pakan, dan bibit.

Berdasarkan pasal 6 maka dana desa dapat digunakan untuk mengembangkan Kawasan Minapolitan dengan mengandalkan potensi perikanan sebagai produk unggulan Kecamatan Rao Selatan. Dan melalui wawancara pada tanggal 7 September 2017 dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat (DPM) selaku satminkal yang bertanggung jawab dalam penyusunan pedoman penggunaan dana desa di Kabupaten Pasaman, menyatakan bahwa 50% atau lebih dana desa bisa digunakan untuk pengembangan Kawasan Minapolitan dan DPM selaku instansi yang berwenang berencana akan melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menuangkan isi pasal ini dalam Pedoman Penggunaan Dana Desa Tahun 2018, agar masing-masing nagari menggunakan Dana desa untuk menggali dan mengembangkan potensi nagari guna mewujudkan “Satu Desa Satu Produk Unggulan”. Besarnya peluang dana desa didukung dengan keinginan pemerintah daerah untuk mengembangkan Kawasan Minapolitan, diharapkan akan memberi

angin segar bagi perkembangan Kawasan Minapolitan di Kecamatan Rao Selatan.

2. Strategi Pemanfaatan Dana Desa untuk Pengembangan Kawasan Minapolitan

Untuk mendapatkan strategi pemanfaatan dana desa dalam pengembangan Kawasan Minapolitan, perlu diketahui faktor pendorong dan penghambat pengembangan Kawasan Minapolitan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor Pendorong Pengembangan Kawasan Minapolitan

Faktor pendorong pengembangan Kawasan Minapolitan dapat mempercepat pengembangan kawasan. Faktor pendorong merupakan kekuatan dan peluang untuk pengembangan Kawasan Minapolitan. Jika faktor tersebut dimanfaatkan secara tepat dalam mengatasi faktor penghambat pengembangan Kawasan Minapolitan, maka Kawasan Minapolitan akan maju dan berkembang sesuai dengan tujuan penetapan Kawasan Minapolitan. Berdasarkan survei yang dilakukan, faktor pendorong tersebut adalah:

Page 179: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

168 Direktori Mini Tesis-Disertasi

• ketersediaan lahan/ruang di kawasan minapolitan,

• pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia pembudidaya ikan di kawasan minapolitan,

• peluang pengolahan produksi /hilirisasi produk kawasan minapolitan,

• besarnya permintaan ikan dari dalam dan luar sumbar,

• peluang pembentukan bumnag bersama,

• dukungan masyarakat pembudidaya ikan, dan

• dukungan pemerintah

b. Faktor Penghambat Pengembangan Kawasan Minapolitan

Faktor penghambat merupakan kendala dalam pengembangan Kawasan Minapolitan. Faktor tersebut terdiri dari kelemahan dan ancaman yang akan memperlambat perkembangan Kawasan Minapolitan. Tanpa mengatasi kendala tersebut maka tujuan penetapan Minapolitan untuk mengembangkan Kawasan Minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah tidak akan terwujud.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, faktor penghambat tersebut adalah:

• Modal,

• belum optimalnya pemanfaatan lahan untuk budi daya perikanan,

• rendahnya produktivitas budidaya perikanan,

• infrastruktur,

• sarana/prasarana,

• belum berkembangnya hilirisasi produk perikanan,

• pemasaran,

• harga ikan yang berfluktuatif, dan

• lemahnya peranan koperasi mina dan kelembagaan kelompok dalam

budi daya perikanan.

c. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Pengembangan Kawasan Minapolitan

Berdasarkan identifikasi faktor pendorong dan penghambat pengembangan Kawasan Minapolitan, selanjutnya dilakukan pengklasifikasian faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan

Page 180: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 169

pengembangan Kawasan Minapolitan, sementara faktor eksternal terdiri

dari peluang dan ancaman perkembangan Kawasan Minapolitan.

d. Analisis Internal Factors Analysis Summary (IFAS) dan External Factors Analysis Summary (EFAS

Setelah nilai faktor internal dan eksternal diperoleh, dilanjutkan dengan mencari skor faktor internal dan eksternal pada matriks IFAS dan EFAS. Masing-masing kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman diberi bobot berdasarkan hasil perhitungan kuesioner dengan bobot paling rendah 0,0 dan paling tinggi 1,00. Selanjutnya hitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala 4 (paling penting) sampai dengan 1 (kurang penting) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap perkembangan Kawasan Minapolitan. Skor pembobotan diperoleh melalui perkalian bobot dan rating. Skor ini menunjukkan bagaimana faktor internal dan eksternal

berpengaruh terhadap pengembangan Kawasan Minapolitan.

e. Metode SWOT (Strenght, Weaknesess, Opportunities, Threath)

Dengan menggunakan faktor internal dan ekternal yang sudah dianalisis melalui matrik IFAS dan EFAS dapat disusun strategi pemanfaatan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang (strategi S-O), menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman (strategi S-T), meminimalkan kelemahan untuk meraih peluang (strategi W-O) dan meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman (strategi W-T).

Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, strategi andalan dalam pengembangan Kawasan Minapolitan berada pada kuadran I, yaitu memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang yang tersedia (strategi S-O) yang dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Strategi 1: Penguatan regulasi penggunaan dana desa untuk menggali dan mengembangkan potensi Kawasan Minapolitan melalui Peraturan Bupati.

Kawasan Minapolitan merupakan salah satu potensi unggulan di Kabupaten Pasaman. Agar kawasan ini dapat berkembang maka diperlukan koordinasi dan sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Perkembangan Kawasan Minapolitan menuntut sumber pendanaan yang lebih besar untuk mengatasi berbagai kendala yang dihadapi. Dana desa merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk solusi

Page 181: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

170 Direktori Mini Tesis-Disertasi

permasalahan tersebut, karena Permendes Nomor 22 Tahun 2016 sangat mendukung penggunaan dana desa untuk menggali dan mengembangkan potensi budi daya perikanan di Kawasan Minapolitan. Oleh karena itu, untuk mengarahkan walinagari beserta masyarakat agar mau mengalokasikan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan, perlu diperkuat regulasi pemanfaatan dana desa melalui Peraturan Bupati Pasaman yang memprioritaskan penggunaan dana desa untuk menggali potensi dan mengembangkan potensi Kawasan

Minapolitan.

Strategi 2: Pembentukan badan usaha yang lebih besar melalui kerja sama BUMNag ketiga nagari di Kawasan Minapolitan.

Pasal 141 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan UU Desa menyatakan bahwa dalam rangka kerja sama dua desa atau lebih dapat membentuk BUMDesa bersama. Peraturan pemerintah tersebut sangat mendukung kerja sama yang akan dilaksanakan oleh nagari-nagari di Kecamatan Rao Selatan. Di mana, ketiga walinagari yang berada di wilayah Kecamatan Rao Selatan setuju untuk membentuk Badan Usaha yang lebih besar melalui kerja sama tersebut.

Dana desa yang dialokasikan pada BUMNag akan diarahkan pada kegiatan sektor rill seperti pengadaan pakan ikan, pengelolaan pemasaran, dan pengolahan produk perikanan. Masing-masing BUMNag diharapkan mempunyai unit usaha tersendiri yang dikelola secara bersama oleh ketiga nagari di mana keuntungan nantinya juga akan menjadi pendapatan ketiga nagari tersebut. Unit usaha yang dijalankan BUMNag dalam rangka mendukung budi daya perikanan, diharapkan dapat mengatasi permasalahan pengembangan Kawasan Minapolitan.

Kawasan Minapolitan. Nagari Lansek Kadok diarahkan untuk unit usaha pengadaan pakan ikan, karena Nagari Lansek Kadok merupakan nagari dengan luas kolam ikan terbesar di Kawasan Minapolitan. Nagari Tanjung Betung diarahkan untuk unit usaha pemasaran, karena nagari tersebut merupakan nagari dengan posisi strategis dan jalur perlintasan antar daerah (Sumatra Barat−Sumatra Utara). Nagari Lubuk Layang diarahkan untuk unit usaha hilirisasi produk, karena

Page 182: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 171

pada nagari ini terdapat Pokdakan yang sudah memulai usaha hilirisasi

tersebut.

Strategi 3: Meningkatkan produktivitas lahan untuk memenuhi permintaan ikan melalui pemanfaatan dana desa.

Produktivitas perikanan ditentukan oleh sumber daya manusia, daya dukung lahan, modal, infrastruktur dan sarana prasarana. Dana desa dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas perikanan melalui pengadaan infrastruktur, modal, dan sarana prasarana serta peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan memenuhi semua kebutuhan untuk budi daya perikanan, diharapkan produksi akan optimal dan dapat memenuhi permintaan dari dalam dan luar Sumatra

Barat.

strategi 4: Pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan produk perikanan melalui dana desa.

Salah satu unit usaha yang bisa dikembangkan BUMNag adalah pengolahan produk perikanan (hilirisasi produk). Unit usaha tersebut dapat dikembangkan melalui pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat di Kawasan Minapolitan. Melalui dana desa yang dialokasikan, BUMNag dapat mengadakan pelatihan pengolahan produk perikanan dan menyediakan peluang pasar untuk produk olahan tersebut. Dengan demikian, tujuan Kawasan Minapolitan untuk meningkatkan pendapatan pembudidaya ikan dan pengolah ikan secara adil dan merata dapat terwujud.

D. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian, budi daya perikanan di Kawasan Minapolitan dilakukan oleh pembudidaya ikan pada usia produktif dengan tingkat pendidikan SLTA. Hal ini merupakan keuntungan sumber daya manusia bagi Kecamatan Rao Selatan untuk menggerakkan pembangunan dan meningkatkan perekonomian di Kawasan Minapolitan. Keterbatasan modal dan infrastruktur serta fasilitas pendukung lainnya, menyebabkan keuntungan sumber daya manusia ini belum mampu mempercepat pengembangan Kawasan Minapolitan.

Dana desa disetujui oleh ketiga walinagari untuk mengatasi permasalahan dalam pengembangan Kawasan Minapolitan. Penggunaan dana desa untuk sektor rill yang

Page 183: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

172 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dijalankan oleh BUMNag, seperti pengadaan pakan ikan akan dapat memutus mata rantai hubungan pembudidaya ikan dan Pokdakan dengan toke. Kesediaan dan kesepakatan ketiga nagari memprioitaskan penggunaan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan sangat diperlukan untuk pengalokasian dana desa dalam APBDesa. Karena APBDesa dihasilkan dari musyawarah nagari yang melibatkan Badan Permusyawaratan Nagari, pemerintahan nagari, dan masyarakat.

Berdasarkan peluang dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan dan kesediaan pembudidaya ikan, Pokdakan, dan walinagai tiga nagari di Kawasan Minapolitan untuk memanfaatkan dana desa dalam pengembangan Kawasan Minapolitan dihasilkan mekanisme kerja sama tiga nagari sebagai berikut:

1. Nagari Lansek Kadok diarahkan untuk unit usaha pengadaan pakan ikan, karena Nagari Lansek Kadok merupakan nagari dengan luas kolam ikan terbesar di Kawasan Minapolitan.

2. Nagari Tanjung betung diarahkan untuk unit usaha pemasaran, karena nagari tersebut merupakan nagari dengan posisi strategis dan jalur perlintasan antardaerah (Sumatra utara−Sumatra Utara).

3. Nagari Lubuk Layang diarahkan untuk unit usaha hilirisasi produk karena pada nagari ini terdapat Pokdakan yang sudah memulai usaha hilirisasi tersebut.

Adapun strategi pemanfaatan dana desa untuk pengembangan Kawasan Minapolitan dengan metode SWOT yang menghasilkan strategi andalan pada kuadran I (Strategi S-O), yaitu:

1. Penguatan regulasi penggunaan dana desa untuk menggali dan mengembangkan potensi Kawasan Minapolitan melalui Peraturan Bupati Pasaman.

2. Pembentukan badan usaha yang lebih besar melalui kerja sama BUMNag ketiga nagari di Kawasan Minapolitan.

3. Meningkatkan produktivitas lahan untuk memenuhi permintaan ikan melalui pemanfaatan dana desa.

4. Pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan produk perikanan melalui dana desa.

Page 184: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

FACTORS AFFECTING THE PROGRAM SUSTAINABILITY OF COMMUNITY-BASED DISASTER PREPAREDNESS ORGANIZATION(CASE STUDY OF BOKOMI IN KAMPUNG BADRAN, YOGYAKARTA CITY)

Nama : Mareta Hexa Sevana

Instansi : Bappeda/Pemkot Bontang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Master of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 185: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

174 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk perkotaan biasanya memiliki latar belakang kelas menengah ke bawah. Seperti yang dialami warga di Kampung Badran (Yogyakarta), meski dengan banyak keterbatasan, mereka secara mandiri memberdayakan masyarakat untuk mewujudkan kampung yang tangguh dan aman dari berbagai bencana. Salah satu upaya tersebut adalah mendirikan sebuah organisasi kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat bernama BOKOMI Badran. Komunitas ini dibentuk sebagai adopsi dari komunitas yang serupa di Kobe, Jepang. Faktanya, BOKOMI Badran sering menjadi model bagi berbagai institusi, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana suatu organisasi berbasis masyarakat dapat terbentuk secara mandiri, sejauh mana peran organisasi tersebut terhadap kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat Badran dalam menghadapi potensi bencana. Hal ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keberlanjutan program suatu organisasi masyarakat, terlepas dari semua keterbatasannya. Penelitian ini menggunakan metode campuran, yaitu pengumpulan data melalui wawancara terhadap empat tokoh masyarakat serta distribusi kuesioner kepada 106 warga di RW 09 Kampung Badran.

Berdasarkan kajian literatur dan hasil wawancara, diperoleh tujuh faktor yang memengaruhi keberlanjutan program BOKOMI Badran. Selanjutnya faktor-faktor tersebut disusun urutan kepentingannya berdasarkan hasil perhitungan skor dari kuesioner. Studi ini menunjukkan bahwa untuk membangun komunitas kesiapsiagaan bencana yang berkelanjutan, ada berbagai faktor yang harus diperhatikan secara keseluruhan. Strategi perencanaan dan operasional merupakan komponen dasar terpenting yang harus dipersiapkan terlebih dahulu karena akan mengontrol keberlanjutan kegiatan. Kepemimpinan sebagai faktor kunci dalam gagasan dan inisiatif awal. Kemitraan untuk meningkatkan kapasitas personil dalam hal pengetahuan/keterampilan dan mendorong jaringan yang luas untuk mempromosikan eksistensi komunitas. Sumber daya manusia harus dipersiapkan sebagai pelaksana kegiatan. Motivasi warga sebagai pemicu kelanjutan kegiatan juga perlu diperhatikan. Fasilitas berupa lingkungan fisik yang memadai dan terpadu juga memberikan atmosfir yang kondusif bagi masyarakat untuk melakukan kegiatan dan memperoleh rasa aman. Faktor terakhir adalah pendanaan, meski hanya memperoleh sedikit dukungan dari pihak luar (pemerintah) nampaknya faktor ini juga cukup penting untuk menjamin keberlanjutan program kegiatan.

Kata kunci: Faktor yang Memengaruhi Keberlanjutan Program; Organisasi Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat; BOKOMI; Pemberdayaan Masyarakat.

Page 186: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 175

ABSTRACT

People living in densely populated areas in urban environments typically have a lower-middle economy class background. As experienced by the residents in Kampung Badran (Yogyakarta), although with many limitations, they are independently empowering the people to realize a resilient and secure village from various hazards. One of the efforts is establishing community-based disaster preparedness organization named BOKOMI Badran. This community was formed as the adoption of similar societies in Kobe, Japan. In fact, BOKOMI Badran often be a model for various institutions both national and international levels.

This study aimed to explore how a community-based organization can be formed independently, the role of these communities to increase the awareness and preparedness of Badran society for facing potential disaster threaten their lives at any time. It also aims to explore the factors that influence the program sustainability of the community organization in spite all the limitations. This study using a mix method, which combines methods related literature review, interviews with four community leaders, as well as distributing questionnaires to 106 residents of RW 09 in Kampung Badran.

Based on the literature review and interviews showed that there are seven factors that affect the program sustainability of BOKOMI Badran, then these factors compiled the ranking order of importance based on the calculation of scores from the questionnaires. This study shows that in order to establish a sustainable disaster preparedness community, there are various factors that must be considered as a whole; strategic planning and operations is the most important basic components that must be prepared first because it controls the sustainability of activities; leadership as a key factor in the initial ideas and initiatives that are also important to note; partnerships to enhance the capacity of personnel in terms of knowledge/skills and fostering broad network for the promotion of the community’s existence; human resources must be prepared as executors of activities; motivation of citizens as a trigger for the continuity of the activities need to be taken into consideration; facilities of adequate physical environment and integrated village also supports a conducive atmosphere for the community to carry out activities and gain a sense of security; the last factor is funding, although there is limited support from external parties (government) it seems to be essential to ensure the program sustainability of this community activity.

Keywords: Factors Affecting Program Sustainability, Community-Based Disaster Preparedness Organization, BOKOMI, Community Empowerment

Page 187: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

176 Direktori Mini Tesis-Disertasi

FACTORS AFFECTING THE PROGRAM SUSTAINABILITY OF COMMUNITY-BASED DISASTER PREPAREDNESS

ORGANIZATION (CASE STUDY OF BOKOMI IN KAMPUNG BADRAN, YOGYAKARTA CITY)

A. Background

In urban environments where population density and settlements contribute to the large number of victims in disasters such as earthquakes, floods, fires, it is precisely the community itself that is required to be more caring and sensitive to disaster mitigation efforts. Dependence on the government does not seem to be the best solution. Although the government has sufficient resources and regulations to do this, it seems difficult to rely on it for various reasons, such as bureaucratic twists, unreliable coordination, under-utilized resources, and other political reasons.

As in other areas, densely populated urban areas in Yogyakarta City are also constrained by limitations in disaster management. Poor access to settlements that can only be accessed by two-wheeled vehicles, facilities and evacuation routes that are not adequate, and the lack of other infrastructure facilities seems still not able to be fully handled by the local government. By establishing a community-based disaster preparedness community called BOKOMI, community leaders in Kampung Badran have tried to provide awareness of potential disasters and to invite citizens to work together to get used to conducting disaster simulation exercises in order to minimize the impact of disasters.

This organization was formed as the adoption of similar communities in Kobe, Japan. The activities which initially aimed only to increase the capacity of its citizens in disaster preparedness was appreciated by the Kobe Municipal Government in the form of legalization of the organization’s name to become a member of BOKOMI 192 Badran (the first BOKOMI that established outside Japan), as well as being a pilot and referral for other regions that want to apply the same training method. BOKOMI Badran’s core team is often a facilitator and resource in national and international events. The routine simulation involves simple exercises on individual attitudes/behavior when dealing with disasters by using simple props as well. Amid the challenges of limited facilities, funds, and the ups and downs of the spirit of citizens to follow the routine exercise, it turns out that until now this community is still able to survive and continue to exist. This study found that there are several multidimensional factors that influence the sustainability of the community. Researcher believes that the understanding of the role of BOKOMI in disaster preparedness and the factors in its program sustainability will contribute greatly

Page 188: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 177

to the study of urban development, particularly in the local context in Yogyakarta City. The findings of this study are expected to provide a better understanding of community-based disaster preparedness communities and the involvement of educational institutions in the initiation of its formation as one form of community service. This research can also produce policy recommendations for local governments to integrate the involvement of educational institutions as one of the strategies in the management and development of urban communities, especially related to the increase of disaster preparedness. Academically, this study aims to contribute to the knowledge in the field of interrelated studies, i.e. the study of community-based organizations and disaster preparedness.

B. Research Objectives and Methodology

The objectives of this research are to explore the establishment and role of community-based disaster preparedness organizations (BOKOMI) in disaster management in Kampung Badran, Yogyakarta City, and to identify factors affecting its program sustainability. The objectives of this study are translated into the main research questions as follows:

1. How a community-based disaster preparedness organization can be formed/established independently?

2. What is the role of community-based disaster preparedness organizations in the society?

3. What factors affecting the program sustainability of this organization?

This research is an exploratory case study and uses a field survey strategy. It uses a combination of qualitative and quantitative deductive methods. Secondary data were collected through descriptive studies (literature and documentary review). Primary data were obtained through interviews, questionnaires, and field observations.

This research uses a purposive sampling technique to select key informants. A group of people representing stakeholders involved in the research subject will be interviewed, namely key people from the BOKOMI group, key people from local community leaders, and some experts from related disciplines. The unit of analysis is an individual representing the stakeholders involved or associated with the activities of

BOKOMI Badran.

Page 189: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

178 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Data Analysis and Results

1. Yogyakarta City: Geographical Description

Yogyakarta City is the capital of the Yogyakarta Special Region Province. It is the only sub-provincial region with the ‘City’ status, whereas the other four sub-provincial regions are given the ‘Regency’ status. Yogyakarta City is situated in the center of the Yogyakarta Special Region Province which borders Sleman Regency in the north, Bantul Regency, and Sleman Regency in the east, Bantul Regency in the south, and Bantul Regency and Sleman Regency in the west. The longest distance from north to south is about 7,50 km and from west to east is about 5,60 km. Administratively, Yogyakarta City comprises 14 districts called ‘Kecamatan’, 45 sub-districts called ‘Kelurahan’, 614 RW (rukun warga), and 2,525 RT (rukun tetangga).

Yogyakarta Special Region Province is an active volcanic area, dominated by the volcano Mt. Merapi, bounded by two hills on the east and west and bordered by the beach in the south. In the east part, the floodplains of Mt. Merapi-Yogyakarta are directly adjacent to the Gunungsewu hills along the Opak River, while the west part borders the Menoreh hills along the Progo River. According to Van Bemmelen (1970), Yogyakarta City is a graben filled by Merapi volcanic deposits in various ways (fluvial, lava, and pyroclastic). A graben is a low area formed by faults on both sides, in this case in the east part along with the Opak River and west part along with the Progo River. The sediments are very thick and have excellent fertility, thus

the high carrying capacity of Yogyakarta.

2. Establishment of BOKOMI Badran

In general, public awareness of disaster risks in Indonesia is still considered low, even though they live in a country that is prone to various natural disasters ranging from floods, landslides, to the earthquakes and tsunami. Yogyakarta has a culture of togetherness that was beneficial to the recovery after the earthquake in 2006, but the problem is, the memory of communities about disasters is short. Now the construction of houses in earthquake-prone areas no longer follows the rules of earthquake-resistant buildings which have been promoted by various institutions. Therefore, it is deemed important to build community preparedness through a disaster mitigation training routine.

In Yogyakarta, the residents of Kampung Badran initiated regular exercises to cope with fire by imitating the Japanese system. Thus, this densely populated village is considered vigilant and responsive to disasters, especially after the huge

Page 190: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 179

earthquake ravaged Yogyakarta in 2006 and the eruption of Mount Merapi on October 26, 2010. The 2006 earthquake claimed at least six thousand lives. Not just learning about the various relief efforts, people in Badran are also willing to provide an open space in the middle of the village as a place of evacuation in case of disaster.

Initially, when the pioneering activities began in the year 2008, this community was named BOKOMI Badran. Then, the organization’s name changed after getting international certificates from the city of Kobe, Japan. The name of this association was appended with a number signifying the order, 192, after 191 BOKOMI which was formed first in Japan. Although not in the ‘Land of Sakura’, BOKOMI 192 Badran received an official certificate from Kobe City Fire Bureau in late 2010 and became the only internationally certified BOKOMI in Indonesia.

Establishment of BOKOMI 192 in Kampung Badran was initially funded by joint contributions from the travel allowances of the four-people doing the comparative study. They collected a total of Rp20 million (approximately US$ 1,800) as initial capital for the procurement of equipment. The lack of fire extinguishers available in Kampung Badran was later circumvented by modifying a water pump by the addition of wheels. This fund is optimized for creating two instruments with functions as a pump and water sprayers. This prototype was modeled after one in Kobe, the Japanese Fire Portable Pump, which is valued at US$ 20,000. Once tested and fit for use, it was handed over to the community of 192 BOKOMI Badran. This appliance is called a “Kredamkar” (Fire Extinguisher Cart), and was jointly designed by UGM and Kobe City Fire Bureau. At first a major problem due to the difficulty of obtaining funding from the government and private parties at the time, it triggered creativity and positive energy resulting in an affordable solution.

Besides BOKOMI, one more example of the implementation of disaster preparedness communities which also comes from Kobe, is Iza! Kaeru Caravan (IKC). While BOKOMI is focused on empowering people living in the village, IKC is an association of disaster reduction programs targeting school children. The purpose of IKC community is to form a mental attitude of disaster awareness from an early age, with the guidance of a team of volunteers from academia.

At the inauguration of BOKOMI 192 Badran, the event was filled with various activities such as training of fire prevention methods presented in various forms. Besides the local community, the event was also attended by a number of delegates from Thailand and Japan, who were invited by NPO+Art (NGO facilitators between UGM with the city of Kobe). The activity was also charged with disaster response training for children are packed in the program ‘Inisiatif Kanca Cilik’ (translation

Page 191: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

180 Direktori Mini Tesis-Disertasi

of Iza! Kaeru Caravan in the Indonesian language). On the first of October 2014, BOKOMI 192 Badran obtained legal recognition from Lurah Bumijo in the form of the Decree on Establishment Names and Management of Disaster Management

Organization with Registration Number 14 in the year 2014..

3. Role of BOKOMI 192 Badran for Disaster Preparedness

This section will explain about some of the activities conducted by BOKOMI 192 Badran and the role of each on community preparedness for disasters. The information is based on a literature review and the results of in-depth interviews conducted with four key informants who lived in Kampung Badran RW 09.

Various activities carried out by the BOKOMI Badran has received a positive response both from local residents and from communities outside. The activities they organize are not only internal at the village level, but external in assisting victims of natural disasters in other areas. The existence of good cooperation support from educational institutions is apparently able to increase the points of organizational capacity building and expertise of personnel in BOKOMI. Some of the fire appliances that were initially tested in Kampung Badran were finally able to be mass produced for disaster preparedness needs in other densely populated villages. With the increasing popularity of Kampung Badran as the first location of a BOKOMI community outside Japan, it has finally made this village a pilot location to increase the number of guest visits for comparative studies of fire prevention methods. BOKOMI Executive Committee which is also in charge of the local community board has an important role in activating its citizens to enliven community events so that life in Kampung Badran becomes more ‘guyub’ and happy to work together (gotong royong), such as when organizing a big annual event like the BOKOMI Festival. The implementation of monthly fire simulation activities can increase the awareness of citizens in the face of disaster, so there is less panic if at any time they experience a disaster. The role of BOKOMI in the planning of village arrangements is in the form of agreements made by local residents related to the provision of public and private facilities for supporting disaster emergencies and smoothness of evacuation, raising awareness of the need to maintain a more livable kampung environment. The ability to acquire and manage operational budgets derived from activities as disaster simulation facilitators for institutions and other parties is also crucial, making the board and citizens more independently

minded so that they no longer rely on government funding assistance.

Page 192: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 181

4. Factors Affecting The Program Sustainability of Community-Based Disaster Preparedness Organization

This section will explain the results of the analysis of field data obtained from the questionnaire. The method used is as described in Chapter III, Research Methodology. Based on the literature review, the in-depth interviews and field observations obtained insights from informants about the factors that influence the program sustainability of BOKOMI 192 Badran until now. These factors are human resources, leadership, motivation, partnership, strategy, facilities, and funding.

To illustrate the respondent’s perceptions of the factors above, several statement’s relevant to each factor are reported. The five-point Likert scale indicates the degree of respondents’ agreement to each question. Based on the results of statistical data analysis (Likert Scale’s scoring), it is found that the ranking order of factors that affect the program sustainability of BOKOMI according to the opinion of the respondents are strategy factor (4,31), followed by leadership (4,30), partnership (4,28), human resources (4,17), motivation (4,16), facility (4,14), and the last is funding factor (4,00).

Of all factors, the average number is above 4.00, this indicates that the respondents agreed if the seven factors have a great influence for the program sustainability of BOKOMI organization. The strategy, leadership, and partnership are the most influential factors. These three factors are the main foundation as the basis for other four factors. RW 09 has a solid board structure, so when they plan the formation of BOKOMI organization, personnel who will be responsible and the team who will serve as the executor has been formed in such a way with careful consideration. Routine and additional activities are also planned and scheduled in advance with resident’s agreement. Leaders appointed to coordinate are well respected and active figures in the kampung development. They must have a high commitment and expertise background that can increase knowledge for its citizens. The existence of good cooperation relationship between BOKOMI and UGM is also important in the program sustainability of the organization, because the university is able to become one source of income budget and contribute innovation in producing equipment that can be developed for BOKOMI activities. The results obtained from the importance of these factors are when this kampung experienced fire incident several times, every household can overcome and control the source of fire independently. With the frequently participating in simulation activities, the residents can increase they knowledge about how to immediately control the source of fire safely, so as not to cause more damage and endanger their lives. Meanwhile, for other areas that do not have these three main factors, it will be

Page 193: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

182 Direktori Mini Tesis-Disertasi

difficult to grow a community like BOKOMI, because there are no figures who able to motivate the people, as well as to formulate a strategy of routine activities, and difficult on managing activities due to lack of funding for operations on an ongoing basis. The result will certainly cause a lack of awareness of the citizens about the importance of mastering the techniques of disaster prevention/fire. In the end, when disaster strikes, it will be difficult for them because they do not know what procedures to do for their safety.

The statistical analysis confirms that the program sustainability of a community-based disaster preparedness organization is influenced by multidimensional factors. If sorted by the percentage level of respondents’ opinions, the factor with the highest value is strategy, followed by leadership, partnership, human resources, motivation, facilities, and the last is funding. The strategic factor becomes the basic capital because the management and various activities have been arranged in such a way and there is legal certainty. The leadership factor can be seen from the initiative of BOKOMI leaders who are eager to realize their ideas and innovations to develop this organization. The partnership factor is seen from the background of the formation of this community in cooperation with UGM, so they can still actively participate in facilitating disaster simulation drills for various institutions. The human resources factor is shown from the character of ‘guyub’ and preference to do ‘gotong royong’, so if they are invited to do things better for disaster preparedness, most of them are ready and willing to do the work together. The motivation factor is shown from respondents who want to continue developing BOKOMI because they feel motivated to maintain their participation in the community. The facilities factor shows that although there are some limitations, they tried to improve the various public and private facilities to prevent a disaster occurring in the future, so there will be no obstacles in using these facilities. Although the funding factor is important, it seems that it gets the least support compared to other factors because the funds owned by BOKOMI, although collected independently, they were convinced that without any assistance from the government, BOKOMI will continue to run as it

should.

5. Reflection Upon The Literature Community-Based Disaster Preparedness

Community-Based Disaster Preparedness is a systematic mobilization of a group of people to achieve a safe and resilient society. Disaster awareness involves developing public awareness of the general aspects of the disaster and how to behave in future disasters including education on disaster warning signs, safe and appropriate evacuation methods, and first aid measures. Preparedness must

Page 194: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 183

be part of the individual organization as well as society as a whole. The ultimate goal is to mobilize communities to jointly conduct disaster management simulation activities safely and appropriately, and to increase the capacity of citizens to be able to cope with life-threatening disasters and to be resilient individuals/groups.

The role of Badran BOKOMI in disaster management in urban environments takes a significant portion. Of the four stages, BOKOMI can be involved in three stages at once.

Starting from the mitigation stage, BOKOMI educates the community against potential disasters that can occur, assesses the types of disasters and vulnerabilities, and improves public facilities that support disaster prevention. At the preparedness stage, BOKOMI develops emergency response plans, facilitates the implementation of disaster management (simulation) exercises, and prepares simple disaster early warning system (sirene from loudspeakers and kenthongan).

Finally, at the response stage, BOKOMI familiarizes and trains its citizens to be responsive and self-sustaining in times of emergency, and the organization has also sought the availability of open space that serves as an evacuation site for people in the event of a disaster. With the presence of BOKOMI, there is a positive change in the level of awareness and preparedness of citizens in the face of a disaster that suddenly hit their environment. It is proven by the increase of people’s readiness in responding to emergency situation (fire incident) which has happened several times, and in the end, they are able to independently control the situation

and minimize the losses caused by the disaster.

6. Influencing Factors of Program Sustainability

Sustainability can be influenced by socio-political factors such as the existence of champions, financial resources, political will and the capacity of stakeholders. Sustainability can also be affected by the program layout and how it was implemented, the program setting and/or context and the program broader external environment. The factors most frequently mentioned by the literature are leaderships, community capacity, funding, partnering, and planning. While in this research, there are seven influential factors (strategy, leadership, partnership, human resource, motivation, facility, and funding). If compared, the condition of BOKOMI in Kobe with in Badran, there are some differences. Several adjustments have been made in the implementation of BOKOMI activities in Kampung Badran.

Page 195: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

184 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Conclusion

Based on the results of literature review, field survey, and research findings, it can be concluded as follows:

1. A community based disaster preparedness organization can be formed independently, without direct support from the government. The initiation of the establishment of this organization can come from community figures/leaders which are then accepted openly by its citizens and get the support from universities as part of the community service obligation.

2. The role of a community-based disaster preparedness organization can not only be perceived by the internal environment in which the organization stands, but also contributes to the areas and communities outside. From small communities (at RW level), they are able to play an active role and contribute to disaster management system at city to national level.

3. The sustainability of program activities conducted by a community-based disaster preparedness organization is influenced by several multidimensional factors. The three most influential factors as the foundation for strength are the strategy, leadership, and partnership. While four other factors are as supporters, namely human resources, motivation, facility, and funding.

Page 196: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PENENTUAN ALTERNATIF LOKASI BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN CANDI BOROBUDUR

Nama : Maskur

Instansi : Pemkab Magelang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 197: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

186 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Fenomena keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dari waktu ke waktu menjadi isu penting yang bisa menimbulkan potensi konflik yang berdampak negatif terhadap sebuah kawasan. Dampak negatif ini bisa terjadi jika PKL menempati lokasi yang secara aturan mengakibatkan terganggunya fungsi utama dari kawasan tersebut. Keberadaan PKL di Kawasan Candi Borobudur yang saat ini menempati zona 2 Candi Borobudur secara aturan tidak sesuai. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 lokasi PKL saat ini merupakan fungsi sebagai Taman Candi Borobudur dengan arahan ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan adalah perlindungan Candi Borobudur. Kegiatan yang diperbolehkan dalam zona ini berupa pusat informasi wisata, pusat informasi sejarah, dan budaya Borobudur, prasarana transportasi berupa jalur pedestrian, dan ruang terbuka. Selain itu, keberadaan PKL di Kawasan Candi Borobudur juga telah menimbulkan penurunan kenyamanan bagi pengunjung Candi Borobudur. Dengan adanya kondisi demikian, keberadaan PKL tersebut harus keluar dari zona 2 Candi Borobudur. Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya penelitian tentang bagaimana menentukan alternatif lokasi bagi PKL di Kawasan Candi Borobudur.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) merumuskan prioritas kriteria penentu lokasi pedagang kaki lima di Kawasan Candi Borobudur, dan (2) menentukan alternatif lokasi bagi pedagang kaki lima di Kawasan Candi Borobudur berdasarkan kriteria penentu lokasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode induktif kualitatif, dengan metode analisis deskriptif. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi, wawancara, dan pengumpulan data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dan besarnya jumlah sampel tidak ditentukan batasannya, dan akan diselesaikan apabila telah mendapatkan informasi yang jenuh. Data sekunder diperoleh dengan berbagai data atau laporan dari dinas terkait dengan penelitian ini.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ditemukan tujuh kriteria penentu lokasi PKL, yaitu (1) dekat dengan objek wisata, 2) dekat dengan parkir pengunjung, (3) dilalui oleh pengunjung, (4) ketersediaan lahan, (5) aksesibilitas, (6) dapat meningkatkan pendapatan pedagang, dan (7) dapat menimbulkan rasa nyaman dalam berdagang. Dari ketujuh kriteria tersebut, kriteria dekat dengan objek wisata dan kriteria dekat dengan parkir pengunjung merupakan kriteria yang paling prioritas. Penelitian ini juga menemukan bahwa di antara keempat alternatif lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur, yaitu lokasi Kaliabon, lokasi Segitiga Kujon, lokasi Pondok Tingal, dan lokasi Mendut. Lokasi Segitiga Kujon merupakan prioritas I sebagai lokasi PKL yang ada di Kawasan Candi Borobudur.

Kata kunci: Pedagang Kaki Lima, Penentuan Lokasi, Kawasan Cagar Budaya, Pariwisata

Page 198: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 187

ABSTRACT

The phenomenon of the existence of street vendors (PKL) from time to time becomes an important issue that could lead to potential conflicts that have negative impacts on an area. The negative impacts can occur if the street vendors occupy a location that by rules can disrupt the main function of the area. The existence of street vendors in Borobudur Temple area which currently occupies zone 2 of Borobudur Temple is not in accordance with the rules. Based on Presidential Regulation No. 58 of 2014, the location occupied by the street vendors currently serves as a Borobudur Temple park with the direction of the provisions of activities and land use as the protection of Borobudur Temple. The activities allowed in this zone are tourist information center, historical and cultural information center of Borobudur, transportation infrastructure such as pedestrian path and outdoor area. In addition, the existence of street vendors in Borobudur Temple area has also reduced comfort of the visitors of Borobudur Temple. Given these conditions, the existence of the street vendors must be outside zone 2 of Borobudur Temple. That was what formed the background of the importance of the research on how to determine the alternative locations for the street vendors in Borobudur Temple area.

This research aimed: (1) to formulate the priority of criteria to determine the locations for the street vendors in Borobudur Temple area, and; (2) to determine alternative locations for the street vendors in Borobudur Temple area based on the criteria to determine the locations. This research was conducted by using qualitative inductive method, with descriptive analysis method. The data in this research were collected through observation, interview, and secondary data collection. The sampling was done by purposive sampling and the number of samples was not limited, and will be completed if the saturated information was obtained. The secondary data were obtained with various data or reports from the offices related to this research.

This research showed that there were seven criteria to determine the locations for the street vendors, namely: (1) close to tourist attraction, (2) close to visitors’ parking lot, (3) pass by visitors, (4) land availability, (5) accessibility, (6) can increase income of the vendors, and (7) can create a sense of comfort in trading. Of the seven criteria, the criterion of “close to tourist attraction” and the criterion of “close to visitors’ parking lot” are the most prioritized criteria. This research also found that Segitiga Kujon became the 1st priority as the location for the street vendors in Borobudur Temple area of the four alternative locations, namely, Kaliabon, Segitiga Kujon, Pondok Tingal, and Mendut

Keywords: Street Vendor, Location Determination, Culture Heritage and Tourism Area

Page 199: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

188 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENENTUAN ALTERNATIF LOKASI BAGI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN CANDI BOROBUDUR

A. Latar Belakang

Candi Borobudur yang terletak di Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang adalah candi terbesar di Indonesia yang merupakan cagar budaya sekaligus sebagai tempat pariwisata. Dalam dokumen UNESCO, Candi Borobudur telah ditetapkan sebagai warisan dunia (World Heritage) melalui dokumen UNESCO No. C 592 tahun 1991, dengan kode C yang berarti Candi Borobudur sebagai kawasan cagar budaya.

Upaya pelestarian Candi Borobudur sebagai kawasan cagar budaya warisan dunia secara terus-menerus dilakukan oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah melalui penetapan regulasi. Dimulai dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan yang paling baru adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Borobudur dan Sekitarnya.

Perbedaan fungsi antara kawasan cagar budaya dengan kawasan pariwisata ini bisa menimbulkan adanya permasalahan penggunaan ruangnya. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007) menyatakan bahwa saat ini kondisi fisik dan lingkungan candi Borobudur berada pada titik yang kritis akibat akumulasi dan kompleksitas persoalan baik yang berkaitan dengan kelestariannya sebagai situs arkeologi maupun sebagai destinasi pariwisata kelas dunia. Beberapa isu dan permasalahan kritis yang dapat diidentifikasi adalah:

1. Menurunnya kualitas lingkungan pendukung sekitar candi yang mengarah pada situasi dan lingkungan yang kurang tertata, sebagai akibat intervensi usaha ekonomi yang memasuki wilayah pelestarian yang dipicu oleh kepentingan-kepentingan tertentu sebagai imbas euforia otonomi maupun reformasi.

2. Menurunnya kualitas pengalaman kunjungan wisatawan, sebagai akibat kondisi lingkungan fisik yang tidak nyaman serta sikap ofensif pelaku usaha sektor informal dalam memasarkan produknya.

3. Menurunnya citra objek sebagai situs peninggalan sejarah dan budaya dunia, yang dipengaruhi oleh manajemen atraksi kawasan dan objek pendukung yang kurang matang atau terfokus pada kekuatan sentral Candi Borobudur sebagai salah satu peninggalan peradaban.

Page 200: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 189

Isu strategis dan kondisi faktual saat ini yang ada di Candi Borobudur adalah terkait dengan aspek sosial ekonomi. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007) menyampaikan ada beberapa isu strategis yang ada di Candi Borobudur, yaitu:

1. Eksploitasi ekonomi atas Borobudur, berupa pemanfaatan Borobudur melalui kegiatan komersial yang cenderung berlebihan dan melebihi batasan dan kapasitas yang telah ditetapkan dalam JICA, pertumbuhan jumlah pelaku usaha ekonomi yang terus meningkat setiap tahunnya (khususnya sektor informal), dan praktik pemaksaan pedagang/penjual kepada wisatawan.

2. Terjadinya konflik kepentingan antarpelaku usaha dan otoritas, berupa hubungan yang terkesan kurang harmonis antarpelaku usaha dan pihak pengelola.

3. Kecenderungan resistensi pelaku ekonomi usaha kecil terhadap perencanaan maupun pelaksanaan penataan, yaitu ada kekhawatiran bahwa perencanaan dan penataan akan berdampak terhadap penggusuran dan kehilangan mata pencaharian.

Salah satu bentuk permasalahan yang ada di Kawasan Candi Borobudur adalah tumbuhnya kegiatan ekonomi informal yang dilakukan para Pedagang Kaki Lima atau PKL di zona 2 Candi Borobudur. Padahal dari sisi aturan berdasarkan perencanaan Masterplan Kawasan Candi Borobudur yang disusun oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) pada tahun 1979, dijelaskan bahwa zona 2 Candi Borobudur adalah zona penyangga yang mengelilingi zona 1 dengan ketentuan berupa pemenuhan fasilitas taman untuk kenyamanan pengunjung dan sebagai langkah preservasi bagi lingkungan historis. Masterplan Kawasan Candi Borobudur yang disusun oleh JICA tersebut selanjutnya menjadi cikal bakal dari Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2014 yang menegaskan bahwa lokasi PKL saat ini masuk ke dalam Subkawasan Pelestarian 1 (SP1) dengan peruntukan sebagai zona taman candi.

Berdasarkan data dari PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (TWCBPRB), saat ini PKL (bersama parkir pengunjung) menempati lahan di zona 2 seluas 51.656 m2 (5,1656 hektar). Keberadaan PKL di zona 2 tersebut telah menimbulkan penurunan kualitas Candi Borobudur. UNESCO dalam laporan Reactive Meeting Mission ICOMOS-UNESCO pada tahun 2006 menyatakan bahwa Candi Borobudur telah mengalami sesuatu yang disebut sebagai degradasi kualitas lingkungan. Hasil penelitian PT Tribina Karya Cipta (dalam Ageng, 2009) menunjukkan bahwa keberadaan PKL di zona 2 Candi Borobudur telah memberikan permasalahan-permasalahan, yaitu: (1) pertumbuhan PKL yang tidak terkendali, (2) penambahan fungsi bangunan, dan (3) sirkulasi tidak jelas.

Page 201: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

190 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Permasalahan keberadaan PKL di zona 2 Candi Borobudur secara langsung juga dirasakan oleh pengunjung Candi Borobudur. Banyak pengunjung yang merasa tidak nyaman dengan adanya pedagang yang mengejar-ngejar pengunjung dalam menjajakan barang dagangannya. Ketidaknyamanan pengunjung juga terlihat dari sirkulasi pengunjung yang akan turun dari Candi Borobudur. Para pengunjung dibuat berputar-putar untuk mengelilingi kios para pedagang sebelum sampai ke kendaraan/tempat parkir.

Belum adanya rumusan yang jelas terkait penempatan lokasi bagi PKL di zona 2 Candi Borobudur menyebabkan sampai saat ini keberadaan PKL tersebut masih ada dan terdapat kecenderungan pertambahan jumlah PKL. Di sisi lain dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2014 dalam indikasi program dinyatakan bahwa relokasi kios suvenir harus selesai maksimal Tahun 2019. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang penentuan alternatif lokasi bagi PKL untuk bisa melakukan aktivitas ekonominya di luar zona 2 Candi Borobudur atau di zona 3 Candi Borobudur.

Penelitian ini didasari permasalahan adanya pemanfaatan zona 2 Candi Borobudur sebagai lokasi aktivitas ekonomi para PKL, sementara aturan yang ada adalah zona 2 Candi Borobudur diperuntukan sebagai zona taman arkeologi, sehingga diperlukan pemecahan masalah berupa bagaimana mengeluarkan PKL dari zona 2 ke zona 3 Candi Borobudur dengan cara perumusan alternatif lokasi bagi PKL di Kawasan Candi

Borobudur.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, diketahui bahwa keberadaan PKL di Kawasan Candi Borobudur sebagai kawasan cagar budaya sekaligus kawasan pariwisata tidak sesuai dengan peraturan yang ada, sehingga dibutuhkan penelitian tentang penentuan lokasi bagi PKL. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana menentukan alternatif lokasi bagi PKL di kawasan cagar budaya dan kawasan pariwisata.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah induktif kualitatif. Djarwanto (1993) merumuskan bahwa induktif dimaknai sebagai bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari tata cara penarikan kesimpulan mengenai keseluruhan populasi berdasarkan data yang ada dalam suatu bagian dari populasi tersebut. Alasan peneliti menggunakan pendekatan induktif kualitatif adalah penelitian ini dimulai dari lapangan, yaitu fakta empiris di mana peneliti terjun langsung ke lapangan, mempelajari suatu proses penemuan yang terjadi dan selanjutnya membuat kesimpulan berdasarkan hasil/temuan yang ada di lapangan, baik melalui wawancara maupun observasi.

Page 202: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 191

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka lokasi penelitian dilaksanakan di Kawasan Candi Borobudur. Kawasan Candi Borobudur dalam penelitian ini adalah sebuah wilayah yang ada di sekitar Candi Borobudur, yang meliputi 7 (tujuh) desa dan 1 (satu) kelurahan, yaitu Desa Tuksongo, Desa Wanurejo, Desa Borobudur, Desa Tanjungsari, Desa Karanganyar, Desa Karangrejo, Desa Wringinputih, dan Kelurahan Mendut.

Pengumpulan data ini merupakan kegiatan yang sangat penting untuk mendapatkan data dan informasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Kegiatan pariwisata di kawasan cagar budaya seringkali memberikan dampak ikutan bagi perkembangan ekonomi wilayah. Tumbuhnya aktivitas ekonomi di sekitar kawasan tersebut dapat dilihat dari banyaknya kegiatan ekonomi kawasan, salah satunya adalah kegiatan ekonomi informal berupa pedagang kaki lima yang ada di Kawasan Candi Borobudur.

Dalam perkembangannya keberadaan PKL itu sering menggunakan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Banyak fasilitas umum dan lokasi yang seharusnya steril dari kegiatan ekonomi malah digunakan sebagai lokasi perdagangan. Hal ini menimbulkan adanya permasalahan baik terhadap lingkungan maupun terhadap kondisi sosial di kawasan tersebut. Menurunnya kualitas lingkungan dan terganggunya kenyamanan pengunjung merupakan salah satu dampak dari adanya keberadaan PKL tersebut.

Sebagai salah satu bentuk penyelesaian permasalahan keberadaan PKL tersebut adalah dengan cara pemindahan lokasi PKL dari ruang yang tidak sesuai peruntukannya menuju ke ruang yang diijinkan peruntukannya. Dalam penelitian ini telah menghasilkan temuan penelitian berupa rumusan kriteria yang dipertimbangkan dalam penentuan lokasi PKL dan penentuan alternatif lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur. Rumusan kriteria penentu lokasi yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah:

1. dekat dengan parkir pengunjung,

2. dekat dengan objek wisata,

3. dilalui oleh pengunjung,

4. ketersediaan lahan,

5. aksesibilitas,

Page 203: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

192 Direktori Mini Tesis-Disertasi

6. dapat meningkatkan pendapatan pedagang, dan

7. dapat menimbulkan rasa nyaman dalam berdagang.

Terkait dengan prioritas kriteria penentuan lokasi PKL, penelitian ini telah merumuskan dua kriteria yang menjadi prioritas penentu lokasi PKL. Kedua kriteria tersebut adalah (1) dekat dengan objek wisata dan (2) dekat dengan parkir pengunjung.

Penelitian ini juga menghasilkan temuan bahwa terdapat hubungan antarkriteria penentu lokasi PKL, di mana kriteria yang satu bisa memengaruhi kriteria yang lainnya. Kriteria dekat dengan objek wisata misalnya, di mana jika lokasi PKL berada tidak jauh dengan objek wisata akan memberikan dampak terhadap kunjungan pembeli yang tinggi ke lokasi PKL, begitu juga akan dapat meningkatkan pendapatan pedagang dan dengan sendirinya akan memberikan rasa nyaman pedagang dalam berdagang. Begitu juga dengan kriteria lokasi PKL dekat dengan parkir pengunjung, akan memberikan dampak positif bagi pedagang, yaitu pembeli akan lebih mudah menuju lokasi PKL yang berakibat pada peningkatan pendapatan pedagang dan rasa nyaman pedagang dalam berdagang.

Dalam penentuan alternatif lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur, penelitian ini telah mengidentifikasi empat alternatif lokasi PKL. Keempat lokasi tersebut adalah:

1. lokasi Kaliabon,

2. lokasi Segitiga Kujon,

3. lokasi Pondok Tingal, dan

4. lokasi Mendut.

Dari hasil persandingan antara identifikasi ketersediaan lahan dengan kriteria penentu lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur telah dirumuskan lokasi Segitiga Kujon dan lokasi Pondok Tingal merupakan lokasi-lokasi yang direkomendasikan menjadi alternatif lokasi PKL sebagai pengganti lokasi PKL yang saat ini menempati zona 2 Candi Borobudur disusul dengan lokasi Kaliabon dan lokasi Mendut. Penetapan alternatif lokasi PKL terpilih tersebut didasarkan pada kriteria penentuan lokasi PKL, yaitu jarak lokasi PKL yang dekat dengan objek wisata.

Penentuan alternatif lokasi PKL yang didasarkan pada kriteria penentu lokasi PKL terkadang berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan penentuan alternatif lokasi PKL yang didasarkan pada peraturan yang berlaku. Jika dalam penelitian ini, penentuan lokasi PKL lebih melihat pada kriteria kedekatan lokasi dengan objek wisata. Jika dibandingkan dengan peraturan yang terkait dengan lokasi PKL, maka penetapan lokasi PKL didasarkan pada kriteria kesesuaian tata ruang wilayah yang ada di wilayah

Page 204: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 193

bersangkutan. Hal ini bisa terlihat dari lokasi Segitiga Kujon lebih dipilih sebagai alternatif lokasi PKL berdasarkan kriteria penentuan lokasi, namun jika penentuan lokasi PKL didasarkan pada peraturan terkait maka lokasi Kaliabonlah yang memungkinkan sebagai alternatif lokasi PKL.

Berdasarkan kriteria-kriteria penentu lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur dan alternatif lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur ini, maka pemerintah perlu melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Dari aspek penataan ruang, pemerintah harus melakukan lokalisasi kawasan perdagangan dan jasa yang bisa digunakan sebagai lokasi PKL. Lokalisasi PKL ini harus mempertimbangkan kriteria penentuan lokasi, di antaranya adalah kedekatan dengan objek wisata (Candi Borobudur) dan parkir pengunjung Candi Borobudur. Selain itu lokasi-lokasi yang memungkinkan bisa dijadikan sebagai lokasi PKL namun terkendala dengan tata ruang perlu dilakukan revisi tata ruang terhadap lokasi tersebut.

2. Dari sisi perijinan, pemerintah perlu menerbitkan perijinan pada lokasi PKL sehingga para pedagang merasa aman dan nyaman dalam melakukan aktivitas dagangnya tanpa khawatir akan adanya tindak pemerasan dari oknum/pihak yang tidak bertanggung jawab.

3. Dari sisi pemasaran, pemerintah perlu mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan para pedagang. Kegiatan itu dapat berupa pameran maupun pertunjukan yang dilaksanakan di lokasi PKL sehingga ketergantungan PKL dengan pengunjung Candi Borobudur tidak terlalu besar.

4. Dari sisi pembinaan, pemerintah perlu memberikan dorongan kepada para pedagang untuk lebih optimal dan kreatif dalam menghasilkan produknya sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing dan menarik bagi para konsumen untuk membeli produk tersebut.

D. Kesimpulan

Penetapan sebuah kawasan sebagai kawasan cagar budaya sekaligus kawasan pariwisata seringkali menghadapi benturan antara rencana pengembangan ekonomi kawasan dengan kepentingan pelestarian cagar budaya yang ada. Seperti halnya Kawasan Candi Borobudur, munculnya aktivitas ekonomi informal berupa pedagang kaki lima yang menggunakan lokasi perlindungan cagar budaya telah menyebabkan permasalahan berupa penurunan kualitas lingkungan dan penurunan kualitas kenyamanan bagi pengunjung.

Page 205: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

194 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Terkait dengan permasalahan tersebut, penelitian tentang penentuan alternatif lokasi PKL di kawasan cagar budaya dan pariwisata ini telah menyimpulkan bahwa kepentingan pengunjung merupakan salah satu pertimbangan penting dalam penentuan lokasi PKL. Hal ini bisa dilihat dari kriteria-kriteria penentu lokasi PKL yang paling prioritas lebih cenderung mementingkan kepentingan pengunjung, seperti kriteria dekat dengan objek wisata dan kriteria dekat dengan parkir pengunjung. Sedangkan kriteria yang berpihak pada pedagang merupakan kriteria ikutan dari kriteria-kriteria sebelumnya, misalnya kriteria dapat meningkatkan pendapatan pedagang dan kriteria dapat menimbulkan rasa nyaman dalam berdagang.

Selanjutnya, terkait dengan penentuan alternatif lokasi bagi PKL di Kawasan Candi Borobudur dihasilkan lokasi Segitiga Kujon dan lokasi Pondok Tingal yang menjadi alternatif prioritas. Hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa pemilihan lokasi PKL di kawasan cagar budaya dan pariwisata lebih mementingkan kriteria kedekatan jarak

lokasi PKL dengan objek wisata Candi Borobudur.

E. Rekomendasi

Berdasarkan hasil kesimpulan dan temuan penelitian, peneliti mengajukan rekomendasi kepada:

1. Pemerintah

a. Pemilihan PKL di Kawasan Candi Borobudur seyogyanya dilakukan secara komprehensif, baik PKL yang ada di zona 2 maupun yang ada di zona 3 Candi Borobudur. Oleh karena itu, diperlukan sinkronisasi dan koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam penataan PKL sebagai upaya pemecahan persoalan PKL yang ada di Kawasan Candi Borobudur.

b. Beberapa kebijakan yang perlu diperlukan pemerintah dalam rangka penetapan lokasi PKL di Kawasan Candi Borobudur adalah penyesuaian dengan rencana tata ruang, penataan kawasan, penambahan moda angkutan, dan perbaikan sistem transportasi.

2. Penelitian berikutnya

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini lebih terfokus pada hasil observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap perwakilan pedagang dan tokoh-tokoh sebagai sumber informan, belum melihat pendapat dari pihak pengelola Candi Borobudur maupun para pelaku ekonomi yang ada di Kawasan Candi Borobudur. Untuk itu, bagi peneliti selanjutnya bisa dilanjutkan dengan penelitian penentuan alternatif lokasi PKL dengan melibatkan pihak pengelola dan para pelaku ekonomi.

Page 206: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

EFEKTIVITAS PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (PAMSIMAS)DI KABUPATEN KLATEN

Nama : Myta Retno Widayanti

Instansi : Pemkab Klaten

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 207: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

196 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk melanjutkan keberhasilan capaian target Millennium Development Goals Sektor Air Minum dan Sanitasi (WSS-MDG). Pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif untuk melanjutkan komitmennya dengan program nasional Akses Universal Air Minum dan Sanitasi Tahun 2019 dengan capaian target 100% akses air minum dan sanitasi bagi seluruh penduduk Indonesia. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) telah menjadi salah satu program andalan nasional (pemerintah dan pemerintah daerah) untuk meningkatkan akses penduduk perdesaan terhadap fasilitas air minum dan sanitasi yang layak dengan pendekatan berbasis masyarakat. Salah satu kabupaten yang melaksanakan Program Pamsimas adalah Kabupaten Klaten. Penelitian ini ditujukan untuk mengukur efektivitas program Pamsimas dalam mencapai tujuan program di Kabupaten Klaten secara umum dan di desa-desa yang diindikasikan efektif melaksanakan program. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas program Pamsimas di Kabupaten Klaten secara umum dan di desa-desa yang diindikasikan efektif melaksanakan program.

Penelitian ini dilakukan di dua lingkup penelitian, yaitu kabupaten dan desa. Pada lingkup kabupaten, desa yang diukur efektivitasnya adalah desa penerima program Pamsimas dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2015, yaitu sejumlah 100 desa. Pada lingkup desa, dilakukan penelitian di tiga desa yang diindikasikan efektif melaksanakan program, yaitu Desa Jiwan, Randulanang, dan Sentono. Pendekatan penelitian ini adalah deduktif dengan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif. Data yang digunakan, yaitu data primer dan data sekunder, sedangkan metode analisis yang digunakan, yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil pengukuran efektivitas program Pamsimas adalah efektif. Efektivitas tersebut terbukti dipengaruhi oleh 4 (empat) factor, yaitu community leadership, community resources, community history, dan community organization. Setiap daerah dipengaruhi oleh faktor yang berbeda-beda supaya bisa melaksanakan program Pamsimas dengan efektif, tidak hanya dilihat dari segi finansial resources, tetapi dari aspek organisasi yang ada, sejarah masyarakat setempat, dan lingkungan politik yang dipengaruhi kepemimpinan wilayah.

Kata kunci : Efektivitas, Pamsimas, Kabupaten

Page 208: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 197

ABSTRACT

The Government of Indonesia is committed to continue the achievement of the Millennium Development Goals of the Water and Sanitation (WSS-MDG) sector. The Government of Indonesia has taken the initiative to continue its commitment to the national program of Universal Water Access and Sanitation 2019 with a target of 100% access to drinking water and sanitation for all Indonesians. Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) Program has become one of the national flagship programs (Government and Local Government) to improve rural people’s access to improved drinking water and sanitation facilities with a community-based approach. One of the districts that implement PAMSIMAS Program is Klaten Regency. This study aims to measure the effectiveness of the PAMSIMAS program in achieving the program objectives in Klaten district in general and in the villages indicated to be effective in implementing the program.

In addition, this study also aims to identify factors affecting the effectiveness of the PAMSIMAS program in Klaten district in general and in the villages indicated to be effective in implementing the program. This research was conducted in two research scopes, namely district and village. On the scope of the district, the villages that are measured for effectiveness are the villages receiving PAMSIMAS program from 2008 to 2015 ie 100 villages. On the scope of the village, research was carried out in three villages that were effectively indicated to implement the program: Jiwan Village, Randulanang, and Sentono. The approach of this research is deductive with quantitative and qualitative combined methods.

The data used are primary data and secondary data. While the analytical methods used are qualitative analysis and quantitative analysis. The results showed that the effectiveness of PAMSIMAS program effectiveness measurement results. The effectiveness is proven to be influenced by 4 factors: community leadership, community resources, community history, and community organization. Each region is influenced by different factors in order to implement the PAMSIMAS program effectively, not only in terms of financial resources, but from the existing organizational aspects, the history of the local community, and the political environment influenced by the regional leadership.

Keywords: Effectiveness, Pamsimas, Regency

Page 209: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

198 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EFEKTIVITAS PROGRAM PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (PAMSIMAS)

DI KABUPATEN KLATEN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2013, dari sekitar dua ratus jutaan orang Indonesia, hanya 20% yang memiliki akses ke air bersih, sebagian besar berada di daerah perkotaan. Sisanya 80% masyarakat Indonesia masih mengonsumsi air yang tidak layak untuk kesehatan. Data tersebut dibuktikan oleh penelitian Jim Woodcoock (seorang konsultan masalah air dan sanitasi dari bank dunia) yang menyatakan bahwa bayi di Indonesia kurang lebih 100.000 tewas setiap tahun akibat diare dan penyakit yang paling mematikan sekunder untuk infeksi saluran pernapasan akut. Keduanya disebabkan oleh kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi.

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk melanjutkan keberhasilan capaian target Millennium Development Goals sektor Air Minum dan Sanitasi (WSS-MDG), yang telah berhasil menurunkan separuh dari proporsi penduduk yang belum mempunyai akses air minum dan sanitasi dasar pada tahun 2015. Pada tahun 2014, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015−2019, pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif untuk melanjutkan komitmennya dengan program nasional Akses Universal Air Minum dan Sanitasi Tahun 2019 dengan capaian target 100% akses air minum dan sanitasi bagi seluruh penduduk Indonesia. Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) telah menjadi salah satu program andalan nasional (pemerintah dan pemerintah daerah) untuk meningkatkan akses penduduk perdesaan terhadap fasilitas air minum dan sanitasi yang layak dengan pendekatan berbasis masyarakat.

Sebagai salah satu penerima bantuan program Pamsimas, pemerintah Kabupaten Klaten melaksanakan program tersebut dari tahun 2008 sampai sekarang. Program ini sangat membantu masyarakat yang memiliki akses air minum yang sulit dan tidak terjangkau pelayanan PDAM. Terbatasnya debit mata air, sumber air minum, serta kualitas air permukaan yang tidak layak minum memicu program ini sangat penting dilaksanakan di Kabupaten Klaten. Berdirinya pabrik PT Tirta Investama (TIV) dan bertambahnya jumlah industri di Klaten juga memberikan andil menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas air tanah. Pelayanan PDAM di Kabupaten Klaten belum bisa melayani seluruh wilayah, yaitu baru mencakup 21 kecamatan dari 26 kecamatan yang ada, sehingga perlu program penyediaan air minum yang bisa memenuhi kebutuhan satu kabupaten. Program Pamsimas di Kabupaten Klaten telah dilaksanakan di 100 desa yang tersebar

Page 210: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 199

di 19 kecamatan dengan hasil capaian yang berbeda-beda. Selama sembilan tahun berjalan tentunya ada beberapa hal yang bisa dilihat mengenai perubahan-perubahan yang ada pada suatu desa sebelum dan sesudah adanya program Pamsimas tersebut, maka efektivitas dari program seharusnya diperhatikan supaya program pemerintah tidak berjalan sia-sia. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mengukur efektivitas dari program Pamsimas terutama dilihat dari outcome-nya selama sembilan tahun

program Pamsimas berjalan di Kabupaten Klaten.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Air bersih merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia, namun masih banyak wilayah di Kabupaten Klaten yang belum terjangkau oleh air bersih. Air bersih digunakan manusia untuk minum, memasak, mandi, mencuci, dan kesenangan. Di Kabupaten Klaten banyak industri yang didirikan, terutama PT Tirta Investama yang berada di Polanharjo yang menggunakan air tanah untuk produksinya memicu berkurangnya debit air tanah yang ada di Kabupaten Klaten. Bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun juga memicu berkurangnya kuantitas dan kualitas air tanah. Terbatasnya debit mata air sumber air minum serta kualitas air permukaan yang tidak layak minum memicu program Pamsimas sangat penting dilaksanakan di Kabupaten Klaten. Program ini juga didukung karena dari 26 kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten baru 21 kecamatan yang terlayani PDAM. Dari tahun 2008−2016 program Pamsimas sudah melayani 100 desa (16 kecamatan). Dari 100 desa tersebut ada yang sarana air minumnya masih berfungsi, ada yang tidak, persen sanitasi sudah 100% , ada yang belum terpenuhi persen sanitasi, iuran ada yang berjalan dengan baik, ada yang tidak, dan masih banyak lagi kondisi daerah setelah dilakukan program Pamsimas.

Hal ini memicu penulis untuk mengetahui seberapa efektif program Pamsimas yang dilakukan di Kabupaten Klaten selama ini. Apakah tujuan program sudah tercapai? Mengapa kebijakan nasional yang sama ketika diimplementasikan oleh pemerintah daerah yang berbeda-beda memiliki variasi keberhasilan yang berbeda-beda? Fenomena ini tentu menarik untuk dijelaskan, karena itu artinya keberhasilan implementasi sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel yang ada pada masing-masing daerah sehingga berujung pada perbedaaan keberhasilan implementasi. Selama sembilan tahun pelaksanaan program Pamsimas diperlukan pengukuran efektivitas untuk melihat seberapa jauh tujuan program tercapai.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

Page 211: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

200 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. Seberapa jauh efektivitas program Pamsimas tersebut dalam mencapai tujuan program?

2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi efektivitas program Pamsimas tersebut?

Penelitian ini menggunakan penalaran yang bersifat deduktif dengan menggunakan teori-teori sebelumnya, yaitu teori efektivitas dari Dunn (2003) untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama, yaitu mengukur efektivitas program Pamsimas dalam mencapai tujuan program di Kabupaten Klaten secara umum dan di desa-desa yang diindikasikan efektif melaksanakan program. Pada penelitian ini ada dua lingkup penelitian, yaitu lingkup kabupaten dan lingkup desa. Pada lingkup kabupaten data didapat dari data sekunder dan hasil wawancara terhadap narasumber yang terkait. Sedangkan di lingkup desa data didapatkan dari data primer hasil kuesioner ketiga desa yang diindikasikan efektif melaksanakan program Pamsimas ditambah hasil wawancara dari narasumber yang terkait. Pengukuran efektivitas program Pamsimas di dua lingkup penelitian ini dilihat dari seberapa jauh tujuan tercapai (Dunn, 2003). Pada program Pamsimas tujuan program ada dua macam umum dan khusus. Dari tujuan umum diperoleh 3 variabel, yaitu akses RT terhadap sarana air minum yang layak, akses RT terhadap sarana sanitasi yang layak, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan dari tujuan khusus yang lebih menekankan pada keberlanjutan diperoleh variabel dari teori Mukherjee dan Wijk (2003). Sehingga dari teori tersebut diperoleh lima variable, yaitu keberlanjutan teknis, keberlanjutan keuangan, keberlanjutan kelembagaan, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Secara keseluruhan variabel yang menunjukkan pengukuran efektivitas program Pamsimas ada 8 variabel. Akses RT terhadap sarana air minum yang layak serta akses RT terhadap sarana sanitasi yang layak pada lingkup desa diperoleh dari data sekunder.

Penelitian ini menggunakan analisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengukur efektivitas program Pamsimas di lingkup kabupaten dan desa. Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas program Pamsimas di lingkup kabupaten dan untuk

melengkapi data yang tidak bisa didapatkan dengan analisis kuantitatif.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Klaten merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Tengah. Kedudukan Kabupaten Klaten terletak pada koridor jalur penghubung⁰ Surakarta−Yogyakarta. Secara administrasi Kabupaten Klaten terbagi

Page 212: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 201

menjadi 26 Kecamatan yang terdiri atas 391 desa dan 10 kelurahan. Seluruh desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Klaten merupakan desa swasembada. Kondisi air di sebelah timur wilayah ini seperti Kecamatan Karangdowo memiliki kondisi air yang payau atau malah ada yang asin. Di Kecamatan Polanharjo walaupun mata air banyak tetapi kondisi airnya bau. Untuk wilayah lereng Merapi sebagian besar kecamatan memiliki kondisi yang sulit air. Kondisi wilayah yang rawan air di Kabupaten Klaten dapat dilihat pada potensi air baku di Kabupaten Klaten bisa berasal dari air permukaan, air tanah, mata air, sumur galian eksisting, dan debit produksi eksisting dengan jumlah 355.588.802 m3/tahun. Sumber air baku yang digunakan baru 1,67% dari total potensi ketersediaan air baku. Sehingga masih ada 98,33% yang masih belum dimanfaatkan. SPAM Perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Klaten terlayani oleh 75,99% dari PDAM, 20,22 % dari Program Pamsimas, dan sisanya 4,98% dari DAK Air Minum pada tahun 2015. Dari jumlah penduduk total Kabupaten Klaten sebesar 1.172.461 jiwa baru 23,44 % yang

terlayani oleh sarana air minum yang layak, sedangkan sisanya belum.

2. Implementasi Program

Dari panduan secara umum tujuan program Pamsimas akan tercapai bila sasaran program tersebut tercapai. Terlihat program Pamsimas di Kabupaten Klaten menunjukkan keberhasilan ditunjukkan dengan sasaran program sudah tercapai di Kabupaten Klaten. Terlihat pula presentase capaian KPI di Kabupaten Klaten lebih besar dari capaian Provinsi Jawa Tengah.

Dari keberhasilan tersebut dapat dilihat implementasi program Pamsimas dari pelaku (SDM), cara pelaksanaan. Diperoleh kesimpulan bahwa pada implementasi program Pamsimas di Kabupaten Klaten yang sudah efektif, dilihat dari ketercapaian terhadap sasaran program. Tetapi implementasi tersebut banyak menghadapi kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain:

a. pergantian personel khususnya fasilitator menghambat pelaksanaan program,

b. dominasi instansi pada saat rapat memengaruhi hasil rapat,

c. koordinasi pelaku/pelaksana program Pamsimas seharusnya dilakukan pada tiap tahap, tetapi di Kabupaten Klaten hanya dilakukan pada proses perencanaan saja, selanjutnya diserahkan kepada dinas teknis,

d. pada Pamsimas I proses pendampingan kurang, masyarakat banyak yang tidak terlibat, tahapan program Pamsimas ada yang tidak sesuai prosedur (incash-inkind ditalangi dulu),

Page 213: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

202 Direktori Mini Tesis-Disertasi

e. faktor politik saat proses seleksi desa, BPSPAMS tidak didukung oleh kepala desa, air dari Pamsimas dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi,

f. kinerja BPSPAMS kurang (SDM kurang),

g. pembayaran gaji ke fasilitator dan pencairan dana dari pusat harus menunggu DIPA (pelaksanaan program kurang efisien dan efektif),

h. kondisi topografi yang mengakibatkan kualitas air berubah menjadi jelek (asin/payau/keruh), dan

i. kerusakan sistem sarana air minum

3. Pelayanan ke Masyarakat

Pelayanan program Pamsimas ke masyarakat di Kabupaten Klaten termasuk baik karena sampai sekarang desa yang mengikuti program Pamsimas masih berlanjut dan jumlah yang mengakses air minum semakin banyak. Kemauan untuk iuran merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat untuk keberlanjutan program. Hal ini juga menandakan kalau masyarakat merasa puas untuk menggunakan air khususnya untuk minum dari program Pamsimas. Jadi dapat dikatakan, 91% masyarakat puas dengan pelayanan program Pamsimas. Kemudahan dalam mengakses air bersih yang nantinya dapat diolah untuk air minum juga dapat digunakan untuk kepentingan sanitasi. Dengan program ini pula perilaku hidup bersih warga terpicu. Terbukti dengan adanya program Pamsimas ini dapat memicu jumlah warga yang tidak buang air besar sembarangan (ODF). Ada 57 desa sasaran program Pamsimas yang sudah bebas dari buang air besar sembarangan (desa

ODF).

4. Efektivitas Program Pamsimas di Kabupaten Klaten

Pengukuran efektivitas program Pamsimas di tiga desa yang diindikasikan efektif berbeda dengan pengukuran efektivitas di Kabupaten Klaten secara makro. Metode dan sasarannya berbeda. Untuk menghitung efektivitas di tiga desa yang diindikasikan efektif digunakan kuesioner terhadap sampel yang mewakili populasi. Variabel yang digunakan ada 8 (delapan), yaitu akses RT terhadap sarana air minum yang layak, akses RT terhadap sarana sanitasi yang layak, perilaku hidup bersih dan sehat, keberlanjutan teknis, keberlanjutan keuangan, keberlanjutan kelembagaan, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Dari kedelapan variabel tersebut kemudian dijabarkan ke dalam beberapa indikator. Secara keseluruhan variabel di tiga desa kategori efektivitas program Pamsimas adalah efektif. Untuk Desa Jiwan kategori kurang efektif ada pada indikator kemampuan pengelolaan dalam membiayai kegiatan operasionalnya dan keterlibatan masyarakat dalam

Page 214: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 203

perencanaan. Hal ini dikarenakan pada awalnya perencanaan di Desa Jiwan kurang partisipatif sehingga pengembangannya tidak optimal. Selain itu kelembagaannya juga kurang. Pada tahun 2013 dilakukan revitalisasi organisasi BPSPAMS dan mendapat bantuan dari pemerintah untuk perbaikan sistem.

Di Desa Sentono indikator kurang efektif antara lain kemampuan pengelola dalam memperluas jaringan air minum, transparansi pengelola dalam hal keuangan, kemampuan pengelola dalam membiayai kegiatan operasionalnya, serta konservasi sumber daya air. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan BPSPAMS Desa Sentono dalam mengelola SPAMS diragukan oleh masyarakatnya. Dari data sistem informasi keberlanjutan program Pamsimas di Desa Sentono, dari 8 (delapan) variable, ketujuh variabelnya menunjukkan hasil efektif. Berarti transparansi keuangan BPSPAMS tidak memengaruhi efektivitas program Pamsimas di Desa

Sentono.

5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Efektivitas Program Pamsimas di Kabupaten Klaten

Dari uraian di atas mengenai faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas baik dari lingkup kabupaten maupun desa menunjukkan bahwa community leadership, community resources, community history, dan community organization terbukti memengaruhi efektivitas program Pamsimas di Kabupaten Klaten. Faktor yang sangat memengaruhi, yaitu community resources (sumber daya masyarakat). Hal ini ditunjukkan dari data untuk Desa Demangan termasuk desa tidak efektif padahal community leadership memenuhi (kepala desa memiliki antusias dalam pelaksanaan program), community history juga baik, community organization juga baik (BPSPAMS Desa Demangan masih sering aktif mengikuti rapat asosiasi BPSPAMS), tetapi tidak memiliki sumber air baku yang layak dikonsumsi (dibor berkali-kali air asin). Ini membuktikan bahwa faktor yang utama menentukan efektivitas program Pamsimas, yaitu community resources. Tetapi tidak terlepas juga dari 4 (empat) faktor tersebut saling berkaitan dan tidak bisa dilepas satu

dengan yang lain untuk memperoleh pelaksanaan program Pamsimas yang efektif.

D. Kesimpulan

Implementasi program Pamsimas di Kabupaten Klaten sudah efektif dilihat dari ketercapaian terhadap sasaran program (KPI) dilihat dari presentase capaian KPI di Kabupaten Klaten sudah melebihi target nasional. Implementasi tersebut banyak menghadapi kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain:

Page 215: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

204 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. pergantian personel khususnya fasilitator menghambat pelaksanaan program,

2. dominasi instansi pada saat rapat memengaruhi hasil rapat,

3. koordinasi pelaku/pelaksana program Pamsimas seharusnya dilakukan pada tiap tahap, tetapi di Kabupaten Klaten hanya dilakukan pada proses perencanaan saja, selanjutnya diserahkan kepada dinas teknis,

4. pada Pamsimas I proses pendampingan kurang, masyarakat banyak yang tidak terlibat, tahapan program Pamsimas ada yang tidak sesuai prosedur (incash-inkind ditalangi dulu),

5. faktor politik saat proses seleksi desa, BPSPAMS tidak didukung oleh kepala desa, air dari Pamsimas dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi,

6. kinerja BPSPAMS kurang (SDM kurang),

7. pembayaran gaji ke fasilitator dan pencairan dana dari pusat harus menunggu DIPA (pelaksanaan program kurang efisien dan efektif),

8. kondisi topografi yang mengakibatkan kualitas air berubah menjadi jelek (asin/payau/keruh), dan

9. kerusakan sistem sarana air minum.

Pelayanan program Pamsimas ke masyarakat di Kabupaten Klaten termasuk baik karena sampai sekarang desa yang mengikuti program Pamsimas masih berlanjut dan jumlah yang mengakses air minum semakin banyak. Kemauan untuk iuran merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat untuk keberlanjutan program. Hal ini juga menandakan kalau masyarakat merasa puas untuk menggunakan air khususnya untuk minum dari program Pamsimas. Sudah 91% masyarakat puas dengan pelayanan program Pamsimas. Dengan program ini pula perilaku hidup bersih warga terpicu. Ada 57 desa sasaran program Pamsimas yang sudah bebas dari buang air besar sembarangan (desa ODF). Dari penelitian ini efektivitas program Pamsimas di Kabupaten Klaten dikatakan efektif terbukti dari beberapa indikator di bawah ini:

1. Akses terhadap sarana air minum yang layak : termasuk kategori efektif (45 desa efektif, 28 desa kurang efektif, 27 desa tidak efektif).

2. Akses RT terhadap sarana sanitasi yang layak: termasuk kategori efektif (94 desa efektif dan 6 desa kurang efektif).

3. Perilaku hidup bersih dan sehat termasuk kategori efektif (57 desa efektif, 43 desa kurang efektif).

4. Keberlanjutan teknis termasuk kategori efektif (89 desa efektif, 10 desa kurang efektif, 1 desa tidak efektif).

Page 216: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 205

5. Keberlanjutan keuangan termasuk kategori efektif (85 desa efektif, 7 desa kurang efektif, 9 desa tidak efektif).

6. Keberlanjutan kelembagaan termasuk kategori efektif (93 desa efektif, 7 desa tidak efektif).

7. Keberlanjutan sosial termasuk kategori efektif (99 desa efektif, 1 desa tidak efektif).

8. Kelestarian lingkungan termasuk kategori tidak efektif (18 desa efektif, 72 tidak

efektif).

Dari penelitian ini ternyata faktor-faktor yang memengaruhi program Pamsimas di Kabupaten Klaten terbukti sesuai dengan teori Setiawan dalam Patabang (2013) ada 4 (empat) factor, yaitu:

1. Community leadership

Dukungan dari kepala desa. Beberapa pemerintah desa tidak mendukung pelaksanaan program, sehingga menyebabkan variabel efektivitas program menjadi kurang atau bahkan menjadi tidak efektif.

2. Community resources

Financial resources dan fasilitas (sumber daya lingkungan fisik yang memengaruhi kondisi air bersih, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) yang baik terbukti meningkatkan efektivitas program Pamsimas.

3. Community history

Kabupaten Klaten masih memiliki budaya tolong-menolong, gotong royong, dan tepo seliro yang baik.

4. Community organization

Kelembagaan tidak berjalan dengan baik, efektivitas program Pamsimas menjadi kurang/tidak efektif.

Pada penelitian ini didapatkan pula bahwa efektivitas program Pamsimas di ketiga

desa yang efektif melaksanakan program, yaitu Desa Jiwan, Randulanang, dan Sentono

dipengaruhi oleh 4 (empat) factor, yaitu community leadership, community resources, community history, dan community organization. Tetapi besarnya pengaruh faktor-

faktor tersebut ternyata berbeda-beda terutama di tiga desa tersebut. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa tiap daerah dipengaruhi oleh faktor yang berbeda-beda supaya bisa

melaksanakan program Pamsimas dengan efektif tidak hanya dilihat dari segi finansial

Page 217: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

206 Direktori Mini Tesis-Disertasi

resources, tetapi dari aspek organisasi yang ada, sejarah masyarakat setempat, dan

lingkungan politik yang dipengaruhi kepemimpinan wilayah.

Untuk mencapai universal acess tahun 2019 harus mencapai 76,55% penduduk lagi

yang mengakses air minum yang layak. Kendalanya di lapangan untuk memperoleh

kondisi 100% penduduk yang mengakses air minum yang layak pada program Pamsimas,

yaitu keterbatasan kondisi topografi yang memengaruhi kualitas air, kesadaran

masyarakat, faktor politik, dan SPAM terbatas/rusak karena keterbatasan anggaran.

Dari sisi PDAM kendalanya adalah keterbatasan Idle Capacity, sehingga diperlukan

sumber air baru untuk PDAM. Untuk mencapai 100% penduduk mengakses sanitasi yang

layak masih diperlukan 10,57%. Kendala di lapangan adalah faktor budaya masyarakat

terutama di wilayah yang banyak sungai dan airnya mengalir terus.

E. Rekomendasi Kebijakan

1. Untuk mencapai penduduk 100% akses air minum yang layak dan 100% akses sanitasi yang layak (Universal Acess tahun 2019) di Kabupaten Klaten harus ada koordinasi dan perencanaan yang baik dan matang dari semua pihak terutama PDAM dan pelaku program Pamsimas.

2. Sebelum penentuan desa sasaran program Pamsimas, perlu adanya kajian menyeluruh wilayah dari segi finansial resources, organisasi, sejarah masyarakat setempat, dan lingkungan politik yang dipengaruhi kepemimpinan wilayah.

3. Perlu ada pemetaan kondisi air tanah dari segi kualitas dan kedalaman air tanah dengan bantuan badan geologi. Ketika pelaksanaan program jika tidak terpetakan dengan baik menyebabkan efektivitas program kurang efektif karena masyarakat antara butuh dan tidak butuh.

4. Perlu ada kajian untuk mempertimbangkan lagi berdirinya PT Tirta Investama untuk keberlanjutan program.

Page 218: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

TRANSFORMASI SPASIAL KOTA LASEM: 1925-2015

Nama : Nilta Rahmah

Instansi : Pemkab Rembang

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 219: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

208 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Lasem mulai dikenal sejak era Kerajaan Majapahit walaupun sebelumnya telah berfungsi sebagai kota pelabuhan. Dalam perkembangannya, Lasem mengalami pasang surut yang berdampak pada kenampakan kotanya saat ini. Lasem pernah disebut sebagai kota modern pada tahun 1925 namun perkembangan kota yang tidak terarah mengakibatkan degradasi lingkungan kota. Penelitian ini dilatarbelakangi dinamika tersebut dikaitkan dengan cita-cita Lasem sebagai kota pelestarian dan pengembangan cagar budaya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pola transformasi spasial Kota Lasem beserta faktor yang memengaruhi transformasi itu dalam mewujudkan cita-cita Lasem.

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode campuran untuk dapat menganalisis transformasi Kota Lasem secara lebih menyeluruh. Pokok bahasan penelitian ini terbagi menjadi transformasi pola spasial dan faktor yang memengaruhi transformasi spasial. Lokasi penelitian dibatasi pada sepuluh desa di Kecamatan Lasem yang merupakan pusat kota pada masa kolonial dan pusat kota sekarang. Kurun waktu penelitian ini dimulai pada masa kolonial tahun 1925 hingga tahun 2015. Dikarenakan kurun waktu yang panjang tersebut, teknik pengumpulan datanya banyak bertumpu pada data sekunder yang dilengkapi dengan wawancara mendalam dan observasi. Teknik analisisnya terbagi menjadi dua, yaitu analisis transformasi pola spasial dan analisis faktor utama. Analisis transformasi spasial diawali dengan rekonstruksi peta yang dilanjutkan dengan analisis isi dan analisis semiotik untuk mengidentifikasi pola ruang kota. Untuk memperkuat analisis tersebut dilakukan analisa kuantitatif untuk mengetahui laju pertumbuhan lahan terbangun kota. Analisis faktor didasarkan pada unit informasi yang didapatkan dalam proses pengumpulan data untuk dirumuskan faktor utama yang memengaruhi transformasi.

Hasil analisis tersebut menemukan bahwa selama kurun waktu penelitian, pola ruang Kota Lasem mempunyai banyak pusat sebagaimana teori inti berganda yang disampaikan oleh CD. Harris dan Ullman. Pada masa kolonial morfologi kotanya membentuk pola kota dengan etnis terpisah dan bertransformasi menjadi kota modern pada masa reformasi dengan bentuk kenampakan kota menjari mengikuti sarana transportasi membentuk pola gurita. Pola transformasi spasial Kota Lasem pada awalnya mengikuti pola konsentris yang perlahan dan tidak terpengaruh jalur transportasi. Pola transformasi linear dan melompat banyak dijumpai sejak masa Orde Baru dan terjadi peningkatan jaringan transportasi. Faktor utama yang memengaruhi transformasi spasial Kota Lasem pada kurun waktu penelitian mengalami pergeseran. Faktor politik merupakan faktor utama pada masa kolonial baik Belanda maupun Jepang. Kemudian bergeser ke faktor sosial pada masa Orde Lama, bergeser lagi ke faktor fisik pada masa Orde Baru, dan ekonomi merupakan faktor utama pada masa reformasi.

Page 220: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 209

ABSTRACT

Lasem known since the Majapahit Kingdom era. Previously, Lasem had functioned as a port city. The dynamic of Lasem development have an impact on today appearance now. Since 20 centuries, Lasem was seen as a modern city that equipped with facilities and infrastructure but undirected development made the degradation of the city environment. This research is motivated by the dynamics associated with Lasem’s efforts as a city of preservation and development of cultural heritage. This research aimed to found the pattern of spatial transformation of Lasem City along with factors that influence the transformation in realizing Lasem’s ideals.

This study used a mixed method to analyze the transformation of Lasem City more thoroughly. The subject of this study is divided into the transformation of spatial patterns and factors affecting spatial transformation. The location of the study was limited to ten villages in Lasem sub-district which was the center of the city in the colonial period and the present city center. The period of this research began in the colonial period of 1925 until 2015. Due to the long period of time, the data collection techniques are mostly based on secondary data equipped with in- depth interviews and observation. The technique of analysis is divided into two namely the analysis of spatial pattern transformation and analysis of the main factors. Spatial transformation analysis begins with map reconstruction followed by content analysis and semiotic analysis to identify urban spatial patterns. To strengthen the analysis, quantitative analysis was conducted to find out the growth rate of urban land area. Factor analysis is based on the information units obtained in the data collection process to formulate the main factors affecting the transformation.

This research found that spatial pattern of Lasem City has many centers as well as multiple core theory. The morphology of Lasem city in colonial period formed of cities with separate ethnicities and transformed into modern city during the reformation period. Spatial transformation of Lasem city mostly follows a concentric type that developed slowly and unaffected by the transport path. Another kind of type of transformation has been found since the New Order because of transportation network. That makes Lasem city like an octopus affected by transportation path. The main factors affecting spatial transformation of Lasem city in this research are shifting. Political factors were a major factor in the colonial period, both Dutch and Japanese. Then shifted to social factors during the Old Order, shifted again to physical factors during the New Order period and the economy was a major factor in the time of reformation. During the reform period, the role of government was diminished by society and the private sector. In the reformation era, governance not the main actor that affecting transformation but society.

Page 221: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

210 Direktori Mini Tesis-Disertasi

TRANSFORMASI SPASIAL KOTA LASEM: 1925-2015

A. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Perkembangan Kota Lasem setelah kemerdekaan semakin tidak terarah. Hancurnya industri galangan kapal akibat perang antara Jepang dan Sekutu membuat perekonomian Lasem terpuruk. Hal tersebut diperparah dengan pemberlakuan peraturan yang diskriminatif terhadap warga Cina. Penetapan peraturan tersebut memicu berpindahnya warga Cina dari Kota Lasem. Sejak masa ini terjadi penurunan populasi yang cukup besar di Lasem.

Kebijakan pemerintahan setelah kemerdekaan masih berfokus pada pengembangan sarana dan prasarana di kota besar dan tidak menjangkau ke pelosok. Tata pemerintahan yang mengacu pada struktur pemerintahan Belanda membuat kota-kota di luar kotapraja tidak banyak mengalami perkembangan termasuk Lasem. Pemerintahan juga masih berkonsentrasi pada penguatan dan stabilitas politik sehingga pembangunan ekonomi dan wilayah belum diprioritaskan.

Lasem mulai berkembang kembali semenjak adanya pelebaran jalan pada masa Orde Baru. Namun perkembangan yang muncul sudah berkiblat pada kota modern. Bahkan semenjak masa reformasi banyak bangunan-bangunan kuno yang dipugar menjadi bangunan yang modern. Permukiman yang awalnya merupakan permukiman Cina kelas menengah ke atas mengalami degradasi dan ditinggalkan oleh penghuninya karena fasilitas kota yang kurang memadai. Hal ini diperparah dengan jaringan prasarana yang tidak terpadu antara lain jalan arteri yang tidak dilengkapi dengan drainase yang memadai. Hal ini yang menyebabkan terjadinya genangan secara periodik sehingga mengganggu fasilitas umum dan aktivitas masyarakat. Sekarang ini, sarana transportasi masyarakat hanya mengandalkan Jalan Raya Pos sehingga sering terjadi kemacetan terutama pada perempatan Lasem yang merupakan pusat kota.

Rentang sejarah yang panjang tersebut menyebabkan jejak-jejak perkembangan kota terlihat jelas di seluruh bagian Kota Lasem. Bangunan-bangunan kuno bercorak Cina tersebar di pusat Kota Lasem. Bangunan bercorak Cina tersebut berpadu dengan bangunan indisch2 dan rumah geladak. Dari hasil penelitian Balai Arkeologi Yogyakarta yang dituangkan dalam laporan identifikasi benda arkeologi di Kecamatan Lasem telah ditemukan potensi data arkeologi sebanyak 537 titik berupa artefak, bangunan ibadah, bangunan tempat pemerintah, bangunan pendukung, bangunan produksi, bangunan publik, makam, petilasan, dan rumah tinggal (Tim Peneliti Balar, 2011).

Potensi tersebut diterjemahkan dalam tujuan penataan ruang Lasem sebagaimana dokumen Rencana Detail Tata Ruang Wilayah PKLp Lasem. Tujuan penataan ruang

Page 222: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 211

Lasem diarahkan sebagai ”pusat penataan dan pelestarian cagar budaya dalam rangka pengembangan pariwisata yang didukung pengembangan perdagangan dan jasa, penyediaan prasarana sarana pelayanan yang memadai yang berwawasan lingkungan & berkelanjutan”. Hal tersebut didukung dengan banyaknya bangunan-bangunan pusaka di Kecamatan Lasem dengan rentang sejarah yang sangat panjang.

Perkembangan kota tersebut dapat dijadikan pembelajaran untuk perencanaan kota ke depan. Transformasi spasial suatu kota sangat menarik untuk diteliti karena berkaitan dengan perkembangan suatu kota berupa sejarah suatu kota, kondisi masyarakatnya serta fungsi dan perannya bagi wilayah di sekitarnya. Penelitian mengenai perkembangan spasial kota dilakukan oleh Amiany (2004), Busman (2006), dan Harti (2011) pada kota yang peranan dan fungsinya meningkat sehingga diketahui arah perkembangan wilayahnya ke depan. Namun, bagaimana dengan kota yang peran dan fungsinya diturunkan? Misalnya kota yang didirikan oleh kerajaan Majapahit namun statusnya menurun pada masa kolonial, apakah tidak terjadi transformasi spasial akibat penurunan fungsi tersebut? Padahal peradaban suatu bangsa terus berkembang mengikuti arus perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berbagai fakta dan gambaran perkembangan Kota Lasem tersebut sangat menarik untuk dicermati guna menjadi dasar untuk mewujudkan tujuan penataan ruang Kota Lasem. Penelitian mengenai transformasi ini dapat mengidentifikasi pasang surut Kota Lasem sekaligus faktor yang memengaruhinya. Dengan mengetahui transformasi tersebut dapat menjelaskan permasalahan-permasalahan yang terjadi serta dapat dijadikan pembelajaran untuk mencegah permasalahan mendatang.

Dari uraian latar belakang permasalahan tersebut, dapat diketahui perkembangan Kota Lasem mulai awal kemunculannya hingga setelah kemerdekaan. Namun dinamika perkembangan Kota Lasem sebagai kota peninggalan Majapahit belum bisa dijelaskan secara runut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika kota hingga terjadinya masalah-masalah lingkungan juga belum dapat diidentifikasi secara utuh. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian yang diangkat penulis adalah: bagaimana transformasi spasial yang terjadi pada kota peninggalan Majapahit sejak masa kolonial hingga sekarang?

Penelitian mengenai kota berupa perkembangan dan transformasinya telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya. Metode yang digunakan sangat beragam mulai dari penelitian sejarah, analisis geografi, induktif, kuantitatif, kualitatif atau bahkan gabungan antara kualitatif dan kuantitatif. Pemilihan tersebut didasarkan pada rentang data yang dimiliki oleh masing-masing peneliti serta latar belakang pendidikan peneliti.

Page 223: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

212 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Pemilihan metode penelitian berdasarkan pada permasalahan, tujuan dan objek penelitian serta latar belakang peneliti (Creswell, 2009). Pendapat lain yang menguatkan pendapat tersebut dikemukakan oleh Tashakkori (2010) yang membagi pendekatan penelitian berdasarkan tujuannya walaupun tidak ada korelasi wajib antara keduanya. Pendekatan kuantitatif lazimnya lebih diarahkan pada verifikasi teori sedangkan pendekatan kualitatif digunakan sebagai alat untuk membangun teori. Gabungan antara kedua pendekatan tersebut yang disebut dengan metode campuran memungkinkan peneliti untuk memverifikasi sekaligus membangun teori baru (Tashakkori, 2010). Berdasarkan tujuannya, penelitian ini dilakukan untuk memverifikasi sekaligus mengembangkan teori mengenai transformasi spasial kota sehingga metode

campuran (mixed method) dianggap paling sesuai digunakan dalam penelitian ini.

B. Pembahasan Hasil Analisis

1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Kota Lasem dikenal sebagai cina kecil (little china atau petit chiniois), hal ini dikarenakan banyaknya kebudayaan dan bangunan dengan karakter cina di Kota Lasem (Handinoto, 2015a). Hal tersebut mengindikasikan bahwa di masa lalu penduduk Lasem didominasi oleh warga Cina. Namun sejarah Lasem yang dikemukakan oleh R. Panji Kamzah dalam Carita Sejarah Lasem sudah dimulai jauh sebelum kedatangan warga Cina itu. Ini dibuktikan dengan munculnya nama Lasem dalam Piagam Singasari, Prasasti Waringinpitu, Naskah Negarakertagama pada abad 13, dan Prasasti Trowulan pada abad 15 (Djafar, 2009). Piagam tersebut menyatakan bahwa Lasem merupakan wilayah Kerajaan Majapahit yang disebut sebagai negara bawahan. Selain itu, pemimpin Lasem yaitu Bhre Lasem menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada Kerajaan Majapahit. Sejarah Lasem juga dikemukakan pada Kitab Badrasanti karangan Empu Santibadra yang

mengemukakan sejarah Lasem mulai dari asal usul wong jowo lan wong kanung.

2. Perkembangan Kota Lasem

Kota Lasem dimulai sejak abad kedua belas masehi sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit. Perkembangannya semakin pesat setelah kedatangan pedagang Cina yang menetap di Lasem dengan membuat permukiman tersendiri. Pada abad kedelapan belas walaupun mengalami penurunan status dari kota kabupaten menjadi kawedanaan (district), Lasem tetap memegang peranan yang penting sebagai kota pelabuhan. Pada masa itu wilayah terbangun Kota Lasem lebih luas dari Kota Rembang. Pada pertengahan abad kesembilan belas, wilayah Lasem dipecah dan digabungkan dengan dua kabupaten sekitarnya,

Page 224: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 213

yaitu Kabupaten Rembang dan kabupaten baru bernama Kabupaten Binangun. Pada akhir abad kesembilan belas nama Lasem kembali menjadi nama kecamatan sampai sekarang.

Sebagaimana ciri kota kolonial, Lasem juga mempunyai dua sisi, yaitu nuansa pribumi dan nuansa asing. Nuansa asing yang menonjol di Lasem adalah permukiman Cina dan klenteng. Nuansa pecinan tersebut tidak terlepas dari sejarah Kota Lasem yang termasuk kota pesisir pada masa Majapahit dengan kegiatan perdagangan antarnegara yang terjadi di pelabuhan. Nuansa Cina di Lasem berbeda dengan kota lain yang identik dengan pertokoan. Bangunan Cina di Lasem hampir keseluruhan merupakan rumah tinggal dengan model rumah benteng. Sementara itu nuansa pribumi terbentuk di sekitar pusat pemerintahan Lasem masa Majapahit, yaitu Istana Kriyan. Belanda tidak membangun permukiman di Kota Lasem dikarenakan sejarah perlawanan warga Lasem terhadap mereka (Pratiwo, 2010).

Perkembangan Kota Lasem tidak terlepas dari kebijakan Belanda. Pemberlakuan pemisahan kawasan permukiman yang disebut dengan sistem permukiman (wijkenstelsel) pada awal abad 19. Sejak tahun 1942 kekuatan pemerintahan Belanda di Indonesia mulai goyah dengan adanya penyerangan dari tentara Jepang. Hal tersebut juga berpengaruh pada perkembangan kota masa ini. Banyak sarana dan prasarana yang dibangun oleh Belanda di hancurkan untuk menghindari penguasaan Jepang.

Industri galangan kapal Lasem merupakan salah satunya. Industri ini menjadi incaran Jepang untuk dapat memperkuat militernya. Pada saat kedatangan Jepang, pemilik galangan kapal telah membakar industri tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ernantoro, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat (Fokmas) Lasem pada tanggal 18 September 2016 menyebutkan bahwa pembumihangusan tersebut dilakukan pada pelabuhan dan industri galangan kapal sebelum warga Belanda melarikan diri. Untuk mendukung kekuatan militernya, Jepang membangun kembali galangan kapal itu. Bahkan galangan kapal tersebut diperluas hingga ke Pelabuhan Dasun. Produksi kapal Jepang pada masa itu berdasarkan hasil wawancara dengan Ernantoro, ketua Forum Komunikasi Masyarakat (Fokmas) Lasem pada tanggal 18 September 2016 mencapai 360 kapal per bulan dengan panjang kapal mencapai 50 meter dan lebar 7−8 meter. Jepang juga mengganti bahan baku kapal produksinya. Kapal yang awalnya berbahan baku kayu jati diubah menjadi berbahan baku besi. Hal tersebut menyebabkan warga Cina yang awalnya memonopoli pengangkutan kayu menjadi kehilangan hak monopoli tersebut.

Pada tahun 1945 merupakan akhir kekuasaan Jepang di Indonesia. Pada masa ini tidak ada perkembangan yang berarti pada permukiman Kota Lasem.

Page 225: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

214 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Saat menguasai Indonesia, pemerintah militer Jepang masih terlibat dalam Perang Dunia II. Segala kemampuannya dikerahkan untuk penguatan militer menahan serangan dari pasukan Sekutu. Akibatnya kondisi masyarakat memprihatinkan dan pembangunan kota diabaikan (Mulyatari, 2000).

Pada masa Orde Lama, pembangunan masih terpusat untuk meningkatkan keuangan negara dan belum menyentuh sektor-sektor lain. Zaini (2011) menyatakan bahwa perencanaan pembangunan pada masa Orde Lama telah dimulai sejak tahun 1947 dengan dibentuknya Panitia Pemikir Siasat Ekonomi. Fokus pembangunannya masih bertumpu pada kegiatan ekonomi untuk mengubah kondisi perekonomian dari kolonial menjadi ekonomi nasional. Upaya tersebut tidak mudah dengan diberlakukannya blokade ekonomi oleh Belanda.

Pada awal pemerintahan Orde Baru kondisi pemerintahan terutama dari sisi keuangan dan ekonomi mengalami keterpurukan. Laju inflasi mencapai 50% setiap bulan dengan kondisi sarana prasarana yang semakin memburuk (Baswir, 1999). Pemerintah sendiri tidak mampu membayar utang dikarenakan nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor yang diterima.

Kota Lasem sendiri pada dokumen Rencana Detail Tata Ruang Perkotaan Lasem diarahkan sebagai kota cagar budaya. Namun kemudahan berinvestasi di Kota Lasem menyebabkan banyak beralihfungsinya bangunan kuno menjadi bangunan komersial. Pada masa reformasi ini Lasem secara luasan tidak mengalami banyak penambahan, namun banyak terjadi alih fungsi lahan terutama di sepanjang Jalan Raya Pos.

Permukiman di Kota Lasem sebelum reformasi dibangun secara swadaya. Pada masa ini mulai dibangun perumahan formal oleh pengembang, yaitu Perumahan Madina Asri dan Perumahan Citra Graha. Perumahan Madina Asri didirikan pada tahun 1999 di Desa Jolotundo. Perumahan ini merupakan tipe rumah sederhana yang diperuntukkan untuk masyarakat menengah ke bawah. Berbeda dengan Perumahan Madina Asri, Perumahan Citra Graha diperuntukkan untuk segmen menengah ke atas. Perumahan Citra Graha dibangun pada tahun 2011 di Desa Soditan. Berdasarkan hasil observasi lapangan penulis dan wawancara dengan Gani Binawan, Kasi PMD Kecamatan Lasem pada tanggal 20 September 2016 menyatakan bahwa perumahan ini berupa klaster dengan unit terbatas yang

didirikan tepat di pusat Kota Lasem di lahan milik Angkatan Darat.

Page 226: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 215

3. Transformasi Pola Spasial Kota Lasem Tahun 1925-2015

Transformasi pola struktur ruang di Kota Lasem pada masa kolonial dapat dilihat dari pergeseran elemen pembentuk struktur ruangnya serta susunan jaringan transportasi. Pergeseran yang terjadi pada elemen pembentuk kota dapat dilihat pada industri serta sarana pendidikan. Untuk sarana pendidikan terjadi pengurangan dan penambahan sarana, sementara pada industri terjadi pengurangan industri gula. Sarana pendidikan yang berkurang adalah chinesee school yang dihancurkan oleh Jepang. Sementara industri gula ditutup bersamaan dengan industri gula lain di Jawa, dikarenakan terjadinya skandal korupsi pada pemerintah kolonial Belanda. Industri galangan kapal juga mengalami transformasi. Industri galangan kapal milik Belanda dihancurkan oleh pemiliknya, sehingga pemerintah Jepang membangun industri galangan kapal baru.

Transformasi elemen pembentuk struktur ruang pada masa Jepang terlihat pada sarana pendidikan, sarana ekonomi dan industri. Sarana pendidikan mengalami transformasi dari segi fungsinya. Sarana pendidikan beralih fungsi menjadi sarana pelatihan militer bagi Jepang.

Pada awal Orde Lama pemerintah masih berkonsentrasi untuk menjaga stabilitas politik Indonesia. Menurut Baswir (1999), politik masih menjadi orientasi utama dalam pemerintahan ini. Kondisi keuangan negara yang mengalami defisit akibat utang pemerintah Belanda yang harus ditanggung oleh pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi kemerdekaan Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan terhambat.

Jangka waktu pemerintahan Orde Baru yang mencapai lebih dari tiga dekade menyebabkan banyak terjadi transformasi elemen pembentuk struktur ruang Kota Lasem. Transformasi terbesar terjadi pada sarana pendidikan dan sarana peribadatan. Sarana pendidikan selain mengalami penambahan sarana juga terdapat penambahan jenjang sekolah menengah atas. Transformasi sarana peribadatan ditandai dengan adanya penambahan masjid di seluruh desa dan gereja di sekitar permukiman Cina. Klenteng tidak lagi berfungsi sebagai sarana peribadatan sejak ditetapkannya Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Inpres tersebut mengatur kegiatan keagamaan dan adat istiadat warga Cina agar dilakukan secara tertutup dalam lingkup keluarga. Dampak pembatasan tersebut menyebabkan banyak warga Cina yang berpindah keyakinan ke agama Katholik maupun Kristen sebagaimana disampaikan oleh Ernantoro, Ketua Fokmas dalam wawancaranya pada tanggal 18 September 2016.

Page 227: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

216 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Elemen pembentuk struktur ruang Lasem pada masa Orde Baru sangat lengkap dan beragam sehingga transformasinya melambat pada masa ini. Transformasi terjadi pada sarana pendidikan dengan penambahan sekolah dasar dan sekolah menengah dengan tema sekolah menginap (boarding school). Penambahan sarana peribadatan hanya ada di kawasan perumahan formal. Selain kedua sarana tersebut terdapat pengalihfungsian fungsi bangunan, yaitu kantor kawedanaan yang dialihfungsikan menjadi rumah dinas dokter dan bangunan Cina bekas lokasi kantor kecamatan yang dimanfaatkan sebagai showroom batik. Pengalihfungsian bangunan rumah tinggal menjadi fungsi komersial banyak terjadi pada masa ini terutama yang terletak di sekitar Jalan Raya Pos.

4. Temuan Penelitian

Transformasi elemen fisik yang terjadi di Kota Lasem selama kurun waktu penelitian menunjukkan bahwa pusat kegiatan masyarakat mengelompok pada beberapa bagian Kota Lasem. Selengkapnya transformasi elemen pembentuk kota yang terjadi di Kota Lasem dapat dilihat pada tabel beriku ini.

Tabel Transformasi Elemen Pembentuk Kota

No Sarana Prasarana Tahun 1925 Tahun 2015

1

Sarana pemerintahan

Kantor District/Kawedanan Ada Berubah menjadi rumah dinas

Kantor Pos Ada Ada

2

Sarana pendidikan

HCS Ada Ada (menjadi SDN 1 Soditan)

Inlander School Dorokandang Ada Ada (SD N 1 Dorokandang)

Inlander School Ngemplak Ada Ada (SD N Ngemplak)

Inlander School Sumbergirang Ada Ada (SD N Sumbergirng 1)

3

Sarana ekonomi

Pegadaian Ada Ada

Pasar Sumbergirang Ada Ada

Pasar Gedongmulyo Ada Ada

Pasar Babagan Ada Ada

Pasar Karangturi Ada Ada

Page 228: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 217

4

Sarana peribadatan

Masjid Jami’ Lasem Ada Ada

Masjid Gedongmulyo 1 Ada Ada

Klenteng Dasun (Cu An Kiong) Ada Ada

Klenteng Karangturi (Poo An Bio) Ada Ada

Klenteng Babagan (Gi Yong Bio) Ada Ada

Gereja Yesus Sejati Ada Ada

5Sarana Kesehatan

Puskesmas Ada Ada

6Sarana Transportasi

Stasiun Ada Tidak Berfungsi (menjadi lahan parkir)

Sumber : penulis, 2017

Transformasi elemen pembentuk struktur ruang menyebabkan transformasi jalur transportasi. Transformasi jalur transportasi dan elemen pembentuk struktur ruang Lasem. Sarana pelayanan yang awalnya menyebar di seluruh bagian Kota Lasem semakin memusat dan menyatu di sekitar Jalan Raya Pos. Transformasi sarana pelayanan tersebut membentuk pola menjari mengikuti jalur jalan terutama di sepanjang Jalan Raya Pos. Transformasi tersebut membentuk morfologi Kota Lasem menjari berbentuk gurita mengikuti jaringan jalan utama.

Pola ruang Kota Lasem membentuk beberapa pusat sesuai dengan teori inti berganda yang dikemukakan oleh C.D Harris dan Ullman (Yunus, 2000). Pembentukan inti di Kota Lasem berbeda dari teori yang disampaikan oleh Harris dan Ullman. Pada teoti tersebut, inti berganda terbentuk karena inti pertama tidak mampu menampung kegiatan sehingga membentuk inti baru, sedangkan di Kota Lasem inti baru tersebut dibentuk karena kebijakan pemerintah. Misalnya, kawasan Dorokandang dengan dibangunnya sarana pemerintahan, kesehatan, ekonomi, dan transportasi oleh pemerintah Belanda membentuknya menjadi inti baru. Hal tersebut juga terjadi di Desa Soditan, di mana kebijakan pemerintah membangun perkantoran di kawasan tersebut membentuknya menjadi inti baru.

Perluasan lahan terbangun di Kota Lasem merupakan kombinasi dari pola konsentris, linear, dan melompat. Pola transformasi ini menurut Yunus (2005) terjadi secara perlahan. Di Kota Lasem perluasan tipe konsentris terjadi pada tiap masa di kawasan permukiman kelas rendah sampai menengah. Pola transformasi

Page 229: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

218 Direktori Mini Tesis-Disertasi

linear dan melompat banyak terjadi setelah adanya peningkatan jaringan jalan pada masa Orde Baru. Kedua pola tersebut bergabung pada pengembangan sarana perkotaan termasuk fungsi komersial di Kota Lasem.

Gabungan antara transformasi struktur ruang, pola ruang dan pola perluasan lahan terbangun tersebut membentuk morfologi Kota Lasem menjari membentuk pola gurita. Pola gurita menurut Yunus (2005) dipicu oleh jaringan transportasi yang susunannya tidak teratur. Di Lasem jaringan jalan yang membentuk pola morfologi Kota Lasem adalah Jalan Raya Pos yang berstatus sebagai jalan nasional dan Jalan Jarigoro yang berstatus sebagai jalan provinsi berdasarkan Undang-Undang No. 38 Tahun 2004.

Faktor pengaruh utama transformasi spasial Kota Lasem mengalami pergeseran dari masa ke masa. Pada masa kolonial, faktor utama yang memengaruhi perkembangan Kota Lasem adalah faktor politik. Kebijakan politik dan peraturan yang ditetapkan rezim kolonial sangat mengatur dan membatasi kehidupan masyarakat. Faktor utama tersebut selanjutnya bergeser ke faktor sosial pada masa Orde Lama. Berawal dari pembatasan akses warga Cina dalam berdagang ditandai dengan penutupan Pasar Sumbergirang akibat adanya PP nomor 10 tahun 1959. Peraturan tersebut tidak memberikan pilihan lain kepada warga Cina yang sejak awal kedatangannya di Lasem merupakan pedagang. Warga Cina Lasem memilih untuk berpindah ke kota besar daripada mengganti pekerjaan mereka. Pada masa Orde Baru faktor utama yang memengaruhi transformasi bergeser ke faktor fisik. Perkembangan fisik ini dipengaruhi oleh kebijakan rezim Orde Baru untuk menarik investor guna meningkatkan perekonomian negara. Pada masa reformasi, peningkatan ekonomi menjadi sasaran utama pada masing-masing daerah termasuk di Lasem. Transformasi Kota Lasem pada masa ini sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang tidak lagi tergantung hanya pada rezim

pemerintahan.

C. Kesimpulan

Kota peninggalan Majapahit walaupun diturunkan statusnya tetap mengalami transformasi sesuai dengan faktor yang memengaruhinya. Pergeseran faktor utama memengaruhi kecepatan dan arah transformasi kota. Walaupun terjadi pergeseran faktor yang memengaruhi, pusat kotanya masih mengacu pada kota lama di Jawa, yaitu di sekitar kawasan alun-alun. Jika dilihat dari fungsinya, alun-alun telah bertransformasi dari pusat segala kegiatan pada masa kerajaan menjadi pusat bisnis dan perdagangan pada masa sekarang. Transformasi fungsi tersebut tidak sekaligus menggeser fungsi alun-alun sebagai pusat kota. Segregasi fungsi alun-alun tersebut justru membentuk

Page 230: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 219

inti kota baru berupa pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan pendidikan, pusat kegiatan kesehatan, dan lainnya. Hal tersebut menyebabkan pola kota yang awalnya mengikuti pola konsentris berubah menjadi kota dengan banyak inti.

Faktor utama yang memengaruhi transformasi spasial kota mengalami pergeseran dari faktor politik yang sangat bergantung pada pemerintah menjadi faktor ekonomi dengan pelaku utama swasta dan masyarakat. Pada masa kolonial pemerintah memegang peranan utama dalam merubah kota karena masyarakat tidak diberikan pilihan. Setelah masa penjajahan, faktor sosial lebih dominan memicu transformasi kota dengan pilihan-pilihan yang diberikan rezim pemerintahan Orde Lama. Pada masa reformasi seiring dengan kebebasan membangun dan berpartisipasi yang diterima masyarakat, transformasi kota menuju ke arah komersial dengan motif ekonomi semakin terlihat. Transformasi kota jika dilihat dari perluasannya terjadi secara lambat namun alih fungsi bangunan menjadi komersial terjadi sangat cepat. Jika pada masa sebelumnya diperlukan stimulasi pemerintah yang cukup besar untuk mengubah kenampakan kota, pada masa ini masyarakat dan swasta memegang peranan utama dalam perubahan kota.

Sebagai kota peninggalan Kerajaan Majapahit dengan dominasi warga Cina pada masa kolonial, penambahan luas kota di Lasem terjadi secara perlahan, sedangkan alih fungsi lahan berlangsung dengan cepat. Sejak masa kolonial hingga Orde Lama, Lasem mengalami perkembangan yang stagnan bahkan menurun. Pergeseran strata sosial manyarakat tidak memengaruhi pola pemanfaatan kota, sehingga menyebabkan kawasan permukiman di sekitar pusat kota mengalami degradasi lingkungan karena ditinggalkan penduduknya. Pada masa reformasi, kesetaraan status sosial masyarakat menyebabkan transformasi Lasem mengarah kepada alih fungsi lahan di sekitar Jalan Raya Pos. Transformasi yang terjadi di Kota Lasem pada masa ini cenderung bersifat menghancurkan (destruktif) terhadap bangunan kuno. Peran swasta dan masyarakat

sangat terlihat dalam perubahan Kota Lasem pada masa sekarang.

D. Rekomendasi

Guna mewujudkan cita-cita Kota Lasem sebagai salah satu kota pusaka dunia, maka beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan oleh peneliti meliputi:

Masyarakat dan swasta berperan besar dalam mentransformasi kota pada masa reformasi ini dengan motif ekonomi. Motif ekonomi tersebut berupa kegiatan perdagangan, pariwisata serta pengembangan potensi lokal Lasem. Motif ekonomi tersebut mengakibatkan beralihfungsinya bangunan-bangunan kuno di Kota Lasem. Stimulasi pemerintah berupa pengembangan potensi lokal untuk meningkatkan

Page 231: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

220 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pertumbuhan ekonomi Lasem belum disertai dengan peraturan yang ketat terkait penggunaan lahan dan bangunan sehingga memicu kegiatan penghancuran (destruktif) di Kota Lasem.

Untuk mencapai tujuan penataan ruang Kota Lasem yang merupakan aspirasi masyarakat, yaitu mewujudkan kota pelestarian dan pengembangan cagar budaya maka perlu penyempurnaan peraturan untuk meredam laju perusakan bangunan pusaka di Kota Lasem. Peraturan yang harus disempurnakan terutama adalah perda RTRW dan perda pengelolaan cagar budaya. Kedua peraturan tersebut harus menyebutkan secara jelas kriteria bangunan pusaka dan untuk perda pengelolaan cagar budaya perlu dilengkapi dengan lampiran bangunan cagar budaya di Kabupaten Rembang terutama di Kota Lasem. Peraturan tersebut juga harus secara tegas menyangkut insentif dan sanksi bagi pelanggar yang memanfaatkan kawasan tersebut di luar arahan penggunaannya.

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Lasem perlu dilakukan upaya kreatif yang dipelopori oleh pemerintah dengan dukungan swasta. Upaya kreatif itu dimulai dengan mengenali potensi lokal yang dapat diangkat dan dikembangkan sebagai wisata budaya kreatif. Dalam pengembangannya harus dilengkapi dengan regulasi yang ketat untuk mencegah hancurnya bangunan cagar budaya. Pemberlakuan peraturan yang ketat sebagaimana peraturan diskriminasi pada masa lalu diharapkan dapat meredam kegiatan destruktif di Kota Lasem.

Page 232: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

STRATEGI PEMBIAYAAN PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PARIAMAN

THE FINANCING STRATEGY OF SOLID WASTE MANAGEMENT KOTA PARIAMAN

Nama : Novriyanti

Instansi : Pemprov Sumatra Barat

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 233: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

222 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan strategi pembiayaan pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien. Aspek yang diteliti adalah kebutuhan biaya pengelolaan sampah yang dilihat dari 5 (lima) skenario pengelolaan serta sumber pembiayaan yang dilihat dari sumber masyarakat dan pemerintah. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui kuesioner dan telaah dokumen. Kuesioner dilakukan terhadap 100 orang responden yang dipilih secara multistage random sampling. Telaah dokumen dilakukan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan permasalahan penelitian. Analisis data kebutuhan biaya menggunakan perhitungan matematis sederhana. Analisis WTP dan WTA digunakan untuk menganalisis sumber pembiayaan dari masyarakat, sedangkan sumber pembiayaan dari pemerintah dianalisis menggunakan rasio kemampuan keuangan daerah. Hasil penelitian menunjukkan skenario pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien adalah skenario pengelolaan sampah dengan pengurangan sampah di bank sampah. Skenario bank sampah mampu meng-cover seluruh timbulan sampah dan memenuhi seluruh tujuan pengelolaan sampah dan cost recovery rate-nya paling tinggi.

Kata kunci: Pengelolaan sampah, Kebutuhan Biaya, Sumber Pembiayaan, Strategi Pembiayaan.

Page 234: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 223

ABSTRACT

This study aims to find the most effective and efficient solid waste financing strategy. The aspect studied is the need of solid waste management cost, which is seen from 5 (five) management scenarios as well as the source of financing seen from the source of society and government. This research was conducted by quantitative descriptive research method. Data collection techniques used are through questionnaires and document review. Questionnaires were conducted on 100 respondents selected by multistage random sampling. Document review is conducted on documents relating directly to the research problem. Cost data analysis using simple mathematical calculations. Analysis of WTP and WTA is used to analyze the source of financing from the community, while the source of financing from the government is analyzed using the ratio of local financial capacity. The results show the most effective and efficient solid waste management scenario is solid waste management scenario with solid waste reduction in bank sampah. The bank sampah scenario is able to cover all solid waste generation and fulfill all solid waste management objectives and its cost recovery rate is highest.

Keywords: Solid Waste Management, Cost Requirements, Financing Sources, Financing Sstrategies.

Page 235: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

224 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STRATEGI PEMBIAYAAN PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PARIAMAN

A. Latar Belakang

Peningkatan timbulan sampah terjadi seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus bertambah secara alami. Berdasarkan hasil penelitian Novriyanti (2007), timbulan sampah domestik Kota Pariaman tahun 2007 sebesar 1,76 l/o/h atau 135,07 m3/hari. Dan dari hasil penelitian pendahuluan, timbulan sampah Kota Pariaman tahun 2017 adalah sebesar 2,66 l/o/h atau 231,31 m3/hari. Dari data ini terlihat bahwa terjadi peningkatan timbulan sampah sebesar 51,13% selama 10 tahun. Dengan peningkatan penduduk sebesar 13,07% selama 10 tahun, perbandingan pertumbuhan timbulan sampah dengan pertumbuhan penduduk adalah lebih kurang sebesar 4 : 1.

Sampai saat ini pola pengelolaan sampah di Kota Pariaman masih menggunakan pola konvensional kumpul-angkut-buang. Dari 231,31 m3/hari potensi sampah Kota Pariaman, volume sampah yang terkumpul dan terangkut ke TPA pada tahun 2015−2017 baru mencapai mencapai 78 m³/hari, dengan cakupan layanan baru menjangkau 24 desa/kelurahan. Tentunya masih ada timbulan sampah yang tidak terkelola sebesar 153,31 m3/hari atau sekitar 66,28% yang tersebar di 47 desa/kelurahan yang belum terlayani.

Tingginya potensi timbulan sampah yang tidak terlayani oleh pemerintah Kota Pariaman, bisa berdampak buruk untuk pembangunan kota jangka panjang. Keberlanjutan pembangunan (sustainability development) akan terganggu karena sampah yang tidak terkelola akan dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, baik pencemaran air, tanah dan udara serta meningkatkan potensi bencana lingkungan. Untuk itu pemerintah Kota Pariaman harus melakukan upaya yang serius dalam mengelola sampah tersebut agar volume sampah dapat dikendalikan dengan baik dan pelayanan sampah dapat mencakup seluruh lapisan masyarakat.

Informasi dari Kasi Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kota Pariaman, menyatakan bahwa rendahnya cakupan pelayanan sampah tersebut disebabkan karena terbatasnya anggaran. Berdasarkan telaahan terhadap APBD Kota Pariaman, anggaran pengelolaan persampahan Kota Pariaman hanya bersumber dari APBD termasuk di dalamnya retribusi sampah. Anggaran untuk operasional kebersihan dari tahun ke tahun mengalami penurunan, di mana pada tahun 2013 sebesar Rp5.168.256.000,00 atau sekitar 0,87% dari total belanja APBD, menjadi sebesar Rp5.477.287.500,00 pada tahun 2014. Tahun 2015 anggaran operasional kebersihan hanya sebesar Rp4.936.710.000,00 atau sekitar 0,69% dari total belanja APBD. Sementara untuk tahun 2016 biaya operasional

Page 236: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 225

kebersihan yang dianggarkan sebesar Rp4.564.067.800,00 dan tahun 2017 menurun menjadi sebesar Rp3.931.692.000,00. Penurunan anggaran ini memang disebabkan karena keterbatasan anggaran yang ada. Dengan besaran anggaran tersebut, daerah yang terlayani petugas kebersihan belum mencapai target yang diharapkan, di mana pada tahun 2013−2014 hanya sebesar 32% dan tahun 2015−2017 sebesar 33,8% dari total desa/kelurahan di Kota Pariaman.

Sementara itu target penerimaan dari retribusi sampah dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2017 berturut-turut adalah sebesar Rp60.000.000,00, Rp75.000.000,00, Rp102.000.000,00, dan meningkat menjadi Rp112.200.000,00 pada tahun 2017. Jumlah ini baru mencapai rata-rata sebesar 2% dari total biaya pengelolaan sampah. Hal ini belum sesuai dengan arahan Ditjen Cipta Karya (2015) mengenai prinsip cost recovery, yang menyatakan bahwa biaya pengelolaan persampahan diusahakan diperoleh dari masyarakat (80%) dan pemerintah daerah (20%) yang digunakan untuk pelayanan umum, antara lain penyapuan jalan, pembersihan saluran, dan tempat-tempat umum. Sedangkan dana pengelolaan persampahan suatu kota besarnya disyaratkan antara 5%−10% dari total belanja APBD.

Menurut Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, tarif retribusi sampah perumahan ditetapkan sebesar Rp5.000,00/KK/bulan baik untuk rumah mewah, sedang, ataupun kecil. Dengan nilai retribusi sampah rumah tangga di Kota Pariaman saat ini sebesar Rp5.000,00/KK/bulan, jumlah rumah tangga yang terlayani petugas kebersihan hanya sekitar 5.852 KK atau ±31,46% dari keseluruhan rumah tangga yang ada di Kota Pariaman. Dengan demikian, masih ada ± 68,54% rumah tangga lain yang belum terlayani petugas

kebersihan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Uraian permasalahan pengelolaan sampah Kota Pariaman di atas memberikan gambaran bahwa, terbatasnya anggaran pengelolaan sampah yang hanya bersumber dari APBD dan rendahnya penerimaan retribusi pelayanan kebersihan menyebabkan rendahnya tingkat pelayanan kebersihan di Kota Pariaman. Untuk itu penulis merasa tertarik melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis tentang strategi pengelolaan sampah Kota Pariaman, khususnya dari segi pembiayaan.

Dalam penelitian ini dibutuhkan data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan sumber lainnya yang relevan, sedangkan data primer diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan melalui penyebaran kuesioner, observasi, dan wawancara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk

Page 237: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

226 Direktori Mini Tesis-Disertasi

menganalisis data yang terkumpul. Adapun metode deskriptif yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif, yaitu mendeskripsikan

hasil olahan data penelitian dalam bentuk angka-angka, tabel, gambar dan grafik

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Strategi Pembiayaan Pengelolaan Sampah

Melihat kondisi kemampuan keuangan daerah Kota Pariaman yang telah dibahas sebelumnya, maka perlu dipertimbangkan alternatif lain dalam pembiayaan pengelolaan sampah di Kota Pariaman. Dalam penelitian ini, alternatif lain tersebut bersumber dari masyarakat. Masyarakat diberikan pilihan beberapa alternatif pengelolaan sampah, yang menurut mereka dapat diterapkan di Kota Pariaman, dan dari pilihan tersebut berapa tarif retribusi sampah yang mau dibayarkan. Dari pilihan masyarakat tersebut kemudian dilihat efektivitas dan efisiensi pembiayaannya, yang terpilih adalah skenario pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien.

Efektivitas masing-masing skenario ditentukan berdasarkan perbandingan pencapaian tujuan pengelolaan sampah oleh masing-masing skenario dengan tujuan pengelolaan sampah yang seharusnya. Tujuan pengelolaan sampah sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan, menjadikan sampah sebagai sumber daya, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengurangi timbulan sampah yang masuk ke TPA. Sedangkan efisiensi ditentukan dengan membandingkan biaya operasional masing-masing skenario dengan potensi retribusi berdasarkan WTP dan WTA masyarakat. Hasil perbandingan ini digunakan untuk melihat sejauh mana total retribusi dapat menutupi biaya operasional masing-masing skenario.

Dari hasil analisis, keseluruhan skenario pengelolaan sampah mampu mengcover seluruh timbulan sampah (timbulan sampah yang terkelola 100%). Yang membedakannya adalah adanya kegiatan pengolahan sampah yang mampu mengurangi timbulan sampah masuk ke TPA. Untuk skenario I s/d III, timbulan sampah yang masuk ke TPA adalah 100%, sedangkan skenario IV hanya 59%, dan skenario V sebesar 97%. Jika dikaitkan dengan tujuan pengelolaan sampah, maka skenario IV mampu memenuhi seluruh tujuan pengelolaan sampah tersebut. Sehingga skenario pengelolaan sampah yang paling efektif adalah pengelolaan sampah dengan bank sampah.

Page 238: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 227

Dalam pengukuran efisiensi, biaya operasional masing-masing skenario pengelolaan sampah dibandingkan dengan potensi retribusi, untuk mengetahui seberapa besar cost recovery masing-masingnya.

Berdasarkan hasil perhitungan, skenario pengelolaan sampah di bank sampah merupakan skenario terpilih karena persentase cost recovery-nya paling tinggi, yang mampu menutupi biaya operasional lebih dari 44%. Selain itu, skenario ini merupakan skenario yang paling tinggi potensi retribusinya dan paling banyak dipilih oleh masyarakat Kota Pariaman sebagai alternatif pengelolaan sampah. Selain itu, skenario pengelolaan sampah di bank sampah masing-masing desa juga mendapat dukungan dari kepala desa. Dari 7 orang kepala desa yang diwawancarai, semuanya mendukung program pengelolaan sampah melalui bank sampah. Salah seorang kepala desa (Desa Koto Marapak) menyatakan bahwa ”Dengan adanya bank sampah yang dikelola oleh desa diharapkan mampu memberikan manfaat baik untuk masyarakat dan juga desa”. Mereka menyatakan bahwa perencanaan pengelolaan sampah di desa sudah direncanakan dengan sumber dananya dari dana desa. Pertimbangan lain dalam pemilihan skenario bank sampah ini adalah amanat peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat, di mana masyarakat didorong untuk terlibat dalam sistem pengelolaan persampahan, yang menjadikan sampah sebagai sumber daya melalui program pembatasan timbulan sampah, pendaurulangan sampah, dan/

atau pemanfaatan kembali sampah.

2. Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi Perencanaan

Berdasarkan hasil analisis strategi pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien, maka dapat dirumuskan kebijakan yang dapat diterapkan di Kota Pariaman, kemudian direkomendasikan perencanaan pengelolaan sampah sesuai dengan rumusan kebijakan tersebut.

3. Implikasi Kebijakan Pengelolaan Sampah Kota Pariaman

Dengan memperhatikan kondisi eksisting, kebutuhan biaya, sumber pembiayaan, dan strategi pengelolaan sampah di Kota Pariaman yang telah dibahas sebelumnya, maka pemerintah Kota Pariaman hendaknya menyusun rencana jangka panjang pengelolaan sampah. Rencana jangka panjang pengelolaan sampah ini hendaknya mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Dalam Perpres ini, daerah dituntut untuk menyusun dan menetapkan kebijakan dan strategi daerah (jakstrada) dalam peningkatan kinerja pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah

Page 239: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

228 Direktori Mini Tesis-Disertasi

rumah tangga tingkat daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang terpadu dan berkelanjutan. Adapun strategi yang dapat diterapkan meliputi:

a. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Terkait dengan pembahasan sebelumnya mengenai skenario pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien untuk diterapkan di Kota Pariaman, maka perlu disusun dan ditetapkan peraturan daerah, agar pelaksanaannya dapat berjalan secara terpadu dan berkelanjutan. Dalam perda tersebut beserta peraturan turunannya dirumuskan bagaimana mekanisme kerja dan prosedur pelaksanaannya, serta sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan.

b. Sebagai pembanding dapat dilihat dari regulasi pengelolaan sampah di Jepang. Jepang memiliki regulasi yang bersifat menyeluruh diatur oleh pemerintah pusat, sedangkan yang bersifat teknis diatur oleh pemerintah daerah. Contohnya adalah aturan mengenai jadwal pembuangan sampah, pembagian jenis sampah yang sangat detail, denda bagi pelanggar, lokasi pembuangan sampah tidak boleh melewati batas otoritas daerah setempat, fasilitas pengolahan disesuaikan dengan jenis sampah (Environmental Affairs Bureau City of Nagoya, 2014 dan Ministry of Economy, Trade and Industry of Japan, 2010).

c. Penguatan koordinasi dan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal ini perlu dilakukan agar tercipta sinkronisasi dan konsistensi pelaksanaan antara pemerintah pusat dan daerah.

d. Penguatan komitmen lembaga eksekutif dan legislatif dalam penyediaan anggaran pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kegiatan pengelolaan sampah di Kota Pariaman masuk dalam program prioritas pembangunan. Namun yang menjadi kendala adalah anggaran untuk biaya operasional yang tersedia sangat terbatas. Hal ini memang disebabkan karena kemampuan keuangan daerah Kota Pariaman yang masih rendah, di mana kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah masih sangat minim. Oleh sebab itu, hendaknya DPRD dan OPD terkait mensinergikan penganggaran program kegiatan sesuai dengan prioritasnya masing-masing. Selain itu, pemerintah Kota Pariaman hendaknya mampu melakukan optimalisasi penerimaan retribusi sampah, dengan cara memperluas cakupan pelayanan, memperkuat proses pemungutan, meningkatkan pengawasan dan melakukan perencanaan pengelolaan kebersihan yang lebih terarah.

Page 240: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 229

e. Peningkatan kapasitas kepemimpinan, kelembagaan, dan sumber daya manusia dalam pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Hal ini perlu dilakukan mengingat selama ini sering ditemukan permasalahan yang menyangkut kelembagaan termasuk SDM-nya. Permasalahan tersebut antara lain: uraian tugas dan fungsi dari lembaga yang berwenang dalam persampahan seringkali kurang spesifik, belum adanya pembagian peran antara regulator dan operator dalam pengelolaan sampah, belum adanya penerapan hukum dalam pengelolaan persampahan, ketersediaan dan dukungan SDM yang belum memadai untuk melakukan seluruh tugas pengelolaan persampahan. Untuk itu diperlukan upaya dalam mengatasinya, antara lain melalui merancang bentuk dan alternatif struktur OPD yang berwenang dalam suburusan persampahan, pembentukan UPTD sebagai langkah pemisahan peran operator dan regulator, penyempurnaan tugas fungsi operator dan regulator, menetapkan kebutuhan personil pada setiap komponen kegiatan layanan persampahan.

f. Pembentukan sistem informasi. Saat ini teknologi informasi sangat dibutuhkan dalam segala bidang. Di bidang pengelolaan sampah pembentukan sistem informasi bisa melalui pengembangan jejaring nasional data operasional bank sampah dan TPS3R yang diintegrasikan dengan sistem informasi lingkungan hidup. Jika dikaitkan dengan skenario pengelolaan sampah di Kota Pariaman berupa bank sampah, sistem informasi yang diterapkan bisa dalam bentuk integrasi mekanisme kerja dan proses bisnis, supaya bisnis bank sampah memiliki keberlanjutan usahanya dan memiliki nilai ekonomis yang lebih baik. Hal ini dapat berupa promosi hasil kerajinan bank sampah melalui website, update harga sampah, dan lainnya.

g. Penguatan keterlibatan masyarakat melalui komunikasi, informasi, dan edukasi. Hal ini penting dilakukan mengingat peran masyarakat sebagai penghasil sampah terbesar. Dengan adanya edukasi dan penyampaian informasi terkait dengan pengelolaan sampah diharapkan masyarakat mampu melakukan pengurangan dan penanganan sampah mandiri di sumber atau rumah masing-masing. Upaya pengurangan volume sampah di sumber sangat erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. Untuk itu diperlukan suatu upaya penyadaran dan peningkatan pemahaman untuk mendorong perubahan perilaku yang dilakukan secara berjenjang baik melalui promosi yang dapat memberi gambaran mengenai ”nilai” pengurangan sampah di sumber dan dampaknya bagi kualitas kesehatan dan lingkungan maupun kampanye yang terus-menerus untuk membangun suatu komitmen sosial.

Page 241: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

230 Direktori Mini Tesis-Disertasi

h. Sebagai contoh keterlibatan masyarakat sangat dominan dalam pengelolaan sampah di Jepang. Saat ini masyarakat di Jepang sudah terbiasa untuk memilah dan mendaur ulang sampah yang dihasilkannya (sampah yang dipilah ada yang sampai 27 jenis, tergantung kebijakan otoritas daerah setempat). Perilaku ini tidak muncul secara instan namun memang akibat adanya edukasi dan kampanye yang terus-menerus dilakukan. Edukasi ini tidak hanya diterapkan pada orang dewasa namun juga pada anak-anak, sehingga kebiasaan sadar kebersihan tumbuh sejak dini. (Environmental Affairs Bureau City of Nagoya, 2014 dan Ministry of Economy, Trade and Industry of Japan, 2010).

i. Penerapan dan pengembangan skema investasi, operasional, dan pemeliharaan. Hal ini terkait dengan kebutuhan biaya pengelolaan sampah. Untuk itu hendaknya dapat dicari alternatif pengembangan pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien, artinya cost effectivenes-nya tercapai. Berdasarkan uraian sebelumnya, pengelolaan sampah melalui bank sampah merupakan skenario yang paling efektif dan efisien.

j. Penguatan penegakan hukum. Mengingat saat ini Pemko Pariaman belum maksimal dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran perda kebersihan, maka perlu dilakukan penguatan penegakan hukum. Hal ini tentunya perlu didukung dengan pengembangan produk hukum yang secara eksplisit memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran perda kebersihan.

k. Penguatan keterlibatan dunia usaha melalui kemitraan dengan pemko. Salah satu alternatif penyelesaian masalah terkait dengan terbatasnya anggaran pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah adalah melalui kerja sama swasta dengan pemerintah. Dengan adanya keterlibatan swasta dalam pengelolaan persampahan, diharapkan mampu meningkatkan pelayanan persampahan dan mampu meningkatkan efisiensi operasi dan pemeliharaan. Jika dikaitkan dengan skenario pengelolaan sampah terpilih, yaitu melalui bank sampah, maka keterlibatan swasta yang dapat dilakukan adalah melalui mekanisme EPR (Extended Producer Responsibility). Mekanisme EPR yang umum digunakan adalah melalui penarikan kembali produk dan/atau kemasan yang habis masa pakainya. Melalui skema ini, produsen (dalam hal ini termasuk di dalamnya pabrik, importir, distributor, dan retailer) yang dikenai ketentuan EPR wajib menarik kembali produk dan/atau kemasan yang sudah habis masa gunanya dari masyarakat. Dengan memanfaatkan bank sampah sebagai collection/dropping point maka pihak produsen wajib membiayai modal dan pelaksanaan bank sampah yang

Page 242: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 231

besarannya disepakati bersama berdasarkan berat dan harga sampah yang ditransaksikan.

l. Penerapan teknologi penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang ramah lingkungan dan tepat guna. Penerapan teknologi penanganan sampah hendaknya mengedepankan perolehan kembali bahan dan energi dari proses tersebut dan dilakukan setelah melalui tahap studi kelayakan dari berbagai segi, seperti ekonomi, lingkungan, dan sebagainya

m. Penerapan dan pengembangan sistem insentif dan disinsentif dalam pengurangan dan penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Upaya pengurangan dan penanganan sampah di sumbernya perlu didukung dengan pemberian insentif yang dapat mendorong masyarakat untuk senantiasa melakukan kegiatan 3R. Insentif tersebut antara lain dapat berupa pengurangan retribusi sampah, pemberian kupon belanja pengganti kantong plastik, penghargaan tingkat kelurahan, dan lain-lain. Disinsentif juga perlu dilakukan untuk mendorong masyarakat tidak melakukan hal-hal di luar ketentuan, dapat berupa peringatan, peningkatan biaya retribusi untuk jenis sampah tercampur dan lain-lain.

4. Rekomendasi Perencanaan Pengelolaan Sampah Kota Pariaman

Rekomendasi perencanaan pengelolaan sampah Kota Pariaman yang akan dibahas sesuai dengan skenario pengelolaan sampah terpilih, yaitu pengelolaan sampah melalui pengurangan sampah di bank sampah. Dilihat dari analisis efektivitas dan efisiensi biaya operasional yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, skenario pengelolaan sampah melalui bank sampah ini memang memberikan biaya yang paling rendah. Jika dianalisis lebih lanjut, pengelolaan sampah melalui bank sampah ini juga memiliki potensi nilai ekonomi bagi masyarakat, yaitu dari hasil penjualan sampah (tabungan sampah) mereka, sehingga pengelolaan sampah dengan sistem bank sampah ini bisa meningkatkan pendapatan masyarakat.

Perencanaan pengelolaan sampah melalui bank sampah ini mengacu pada PermenLH Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan 3R melalui Bank Sampah, Buku Panduan Sistem Bank Sampah Unilever, dan Persepsi Masyarakat Kota Pariaman terhadap bank sampah yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. Adapun perencanaan sistem bank sampah ini terdiri dari sosialisasi awal, pelatihan teknis, pelaksanaan sistem bank sampah, pemantauan dan evaluasi, serta pengembangan bank sampah.

Page 243: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

232 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dengan perluasan pelayanan menjadi 100%, kebutuhan biaya operasional pengelolaan sampah adalah:

a. Skenario pengelolaan sampah secara konvensional adalah sebesar Rp8.492.964.500,00 per tahun atau Rp100.593,00 per m3, jika 100% timbulan sampah masuk ke TPA.

b. Skenario pengelolaan sampah pola pengumpulan individual tidak langsung sebesar Rp9.888.036.750,00 per tahun atau Rp117.117,00 per m3, jika 100% timbulan sampah masuk ke TPA.

c. Skenario pengelolaan sampah pola pengumpulan komunal langsung sebesar Rp5.426.858.250,00 per tahun atau Rp64.277,00 per m3, jika 100% timbulan sampah masuk ke TPA.

d. Skenario pengelolaan sampah di bank sampah sebesar Rp7.149.721.750,00 per tahun atau Rp84.683,00 per m3 jika 90% timbulan sampah masuk ke TPA, dan sebesar Rp2.209.170.000,00 per tahun atau Rp26.166,00 per m3 jika sampah yang masuk ke TPA hanya 20%.

e. Skenario pengelolaan sampah di TPST sebesar Rp8.362.621.000,00 per tahun atau Rp99.049,00 per m3 jika 90% timbulan sampah masuk ke TPA, dan sebesar Rp7.498.052.250,00 per tahun atau Rp88.809,00 per m3 jika sampah yang masuk ke TPA hanya 20%.

2. Sumber pembiayaan pengelolaan sampah yang berasal dari masyarakat dihitung dari potensi retribusi berdasarkan WTP dan WTA masyarakat. Adapun potensi retribusi untuk masing-masing skenario pengelolaan adalah sebesar Rp1.968.988.258,00 untuk pengelolaan sampah secara konvensional, Rp1.883.047.500,00 untuk pengelolaan dengan pola pengumpulan individual tidak langsung, Rp1.450.644.000,00 untuk pengelolaan dengan pola pengumpulan komunal langsung, Rp2.196.922.771,00 untuk skenario pengelolaan di bank sampah, dan Rp1.636.624.000,00 untuk skenario pengelolaan di TPST. Pembiayaan pengelolaan sampah yang bersumber dari pemerintah dilihat dari kemampuan keuangan daerah, indikatornya yaitu rasio desentralisasi fiskal, rasio kemandirian keuangan daerah, dan rasio ketergantungan keuangan daerah. Dari hasil perhitungan, rasio desentralisasi fiskal dan rasio kemandirian keuangan daerah Kota Pariaman termasuk kategori sangat rendah, sedangkan rasio ketergantungan keuangan daerah termasuk sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena kontribusi PAD terhadap pendapatan

Page 244: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 233

daerah sangat rendah, sedangkan bantuan keuangan berupa dana perimbangan sangat dominan dalam pendapatan daerah Kota Pariaman.

3. Strategi pembiayaan pengelolaan sampah yang paling efektif dan efisien adalah pengelolaan sampah di bank sampah pada masing-masing desa di Kota Pariaman. Pemilihan skenario ini disebabkan karena merupakan skenario yang memenuhi seluruh tujuan pengelolaan sampah itu sendiri, paling banyak dipilih oleh masyarakat, nilai potensi retribusi paling tinggi dibanding skenario lainnya, adanya dukungan dari kepala desa dan bank sampah merupakan alternatif pengelolaan sampah yang saat ini sedang fokus dikembangkan pemerintah dalam program KoTaKu (Kota Tanpa Kumuh).

Page 245: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

234 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 246: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

EVALUATION OF RUSUNAWA PROGRAM IN COASTAL RESIDENTIAL AREA A CASE STUDY IN PADANG CITY, INDONESIA

Nama : Ozzie Mariel

Instansi : Pemprov Sumber

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 247: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

236 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Bangunan Rusunawa Purus adalah gedung apartemen pertama di kota Padang. Proses konstruksi dimulai pada tahun 2011 dan mulai beroperasi pada tahun 2013. Rusunawa Purus sendiri berada di dekat kawasan wisata kota Padang yaitu pantai purus. Tujuan utama pembangunan Rusunawa adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan pemukiman di permukiman kumuh yang terletak di pesisir pantai Kota Padang, hal lain adalah untuk merelokasi penduduk yang tinggal di sekitar daerah dengan sanitasi yang tidak memadai dan lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhan anak.

Penelitian ini dilakukan karena Rusunawa Purus adalah proyek percontohan untuk perumahan e-hunian tinggi di Sumatera Barat dan diharapkan dapat berkontribusi pada keberlanjutan program atau proyek serupa di masa depan. Tujuan penelitian ini adalah Mengevaluasi program Rusunawa dalam hal penggunaan relokasi vertikal secara efektif. Dalam hal metodologi, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif dengan kuesioner sebagai media utama untuk memperoleh data dari warga Rusunawa Purus. Selain itu, untuk mendukung keakuratan data beberapa wawancara langsung juga dilakukan kepada para pemangku kepentingan dari Rusunawa sendiri, Kepala Satker SNVT di Kementerian Pekerjaan Umum dari divisi bangunan, bagian manajerial Rusunawa Purus secara struktural di bawah Kota Padang, dan juga ke komunitas sekitar Rusunawa purus yang berbatasan langsung dengan bangunan.

Dua metode analisis adalah tabulasi silang untuk analisis kuantitatif dan OECD (organisasi untuk Pengembangan Kerjasama Ekonomi) metode untuk analisis kualitatif. Dari hasil tabulasi silang dan analisis OECD, disimpulkan bahwa kecenderungan penduduk Rusunawa Purus adalah penduduk berpenghasilan rendah dengan mata pencaharian utama sebagai usaha skala kecil, pekerja lepas dan buruh dengan jarak tempuh pendek. Satu kamar di rusunawa biasanya ditempati oleh 2-3 orang dengan dominasi keluarga muda yang memilih untuk menempati di sana dalam waktu singkat. Sebagian besar penduduk Rusunawa adalah lulusan SMA dan dapat dikatakan rentan di lingkungan sosial dari perspektif kesejahteraan sosial.

Kata kunci: Rusunawa, Perumahan Umum, Arsitektur, Perencanaan Kota

Page 248: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 237

ABSTRACT

Rusunawa Purus building is the first high-rise apartment building in The City of Padang. The construction process started in 2011 and started operation in 2013. Rusunawa Purus itself is near the tourist area of Padang City that is Purus Beach. The main purpose of this rusunawa construction is to improve the quality of residential environment in slums located in the coastal stakes of Padang City, another thing is to relocate residents who live around the area with inadequate sanitation and a less supportive environment for children growth.

This research is done because Rusunawa Purus is a pilot project for high-rise residential in West Sumatra and is expected to contribute to the sustainability of similar programs or projects in the future. The purpose of this research is evaluating of rusunawa program in term of effective use of a vertical relocation. In terms of methodology, this study uses qualitative and quantitative methods with the questionnaire as the main media to obtain data from the residents of Rusunawa Purus. In addition, to support data accuracy some direct interviews were also conducted to stakeholders from rusunawa itself, the Head of Satker SNVT in the Ministry of Public Works from building division, the managerial part of Rusunawa Purus structurally under the Padang Municipality, and also to the community around Rusunawa Purus which is directly adjacent to the building.

Two methods of analysis are cross tabulation for quantitative analysis and OECD (Organizational for Economic Cooperation Development) method for qualitative analysis. From the result of cross tabulation and OECD analysis, it is concluded that the trend of Rusunawa Purus residents is low income people with main livelihoods as small scale business, freelance workers and laborers with short commuting distance. One room in rusunawa usually occupied by 2−3 people with the domination of young families who choose to occupy there in short period of time. Most of the residents of rusunawa are high school graduates and can be said to be vulnerable in the social environment from social welfare perspective.

Keywords: Rusunawa, Public Housing, Architecture, Urban planning

Page 249: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

238 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EVALUATION OF RUSUNAWA PROGRAMIN COASTAL RESIDENTIAL AREA

A CASE STUDY IN PADANG CITY, INDONESIA

A. Background

In 2011 began the construction of two (2) blocks rusunawa located in the seashore area Districts of western Padang constructed by the Ministry of Public Works ‘Cipta Karya’ aims addition to providing housing is for low income people. This is the pilot project high-rise building settlement in West Sumatra Province especially in Padang City. The main function of the construction of high-rise apartments are improving the quality of housing environment, so not to the construction of high-rise apartments are creating new slums environment (Bulletin Settlements, 2010). In the realization since the inauguration of the building at the beginning of 2013 there were no changes towards a better environment in the internal environment rusanawa and hinterland areas. Another important thing is the building occupants rusunawa is different from its original program objectives for the relocation of slum dwellers around the area.

B. Research Problems and Methodology

This Research will be focused on several problems:

1. Inappropriate sanitation around the location which will affecting the community healthy level.

2. The change of rusunawa building occupants which firstly is prioritized for low income people.

3. High population density in the subdistrict where Rusunawa building located,

4. Lack of public facilities yet social facilities as important component in the community.

According to the evaluation study Arikunto (2007: 222) means a process conducted in order to determine the policy to first consider the positive values and benefits of the program, as well as considering the processes and techniques that have been used to conduct a study. Program evaluation is a process to describe and assess a program by using certain criteria in order to help formulate decisions, better policy. The consideration is to facilitate the evaluator in describing and assessing the components assessed, whether in accordance with the provisions or not (Edison, 2009). There are three types of evaluation (Dunn, 1994), which are evaluations of pre-activity or ex-ante assessment, evaluation during the activity, and evaluation after activity or ex-post appraisal.

Page 250: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 239

Based on the above description it can be concluded that evaluation research is a scientific procedure that systematically conducted to measure the results of programs or projects (the effectiveness of a program) according to the planned destination or not, by collecting, analyzing and reviewing the implementing programs conducted objectively, then formulate and determine policies by first considering the positive values and benefits of the program.

The method of research is summative evaluation. The function of summative evaluation at the time of data collection activities are still ongoing. Data evaluation results can be used to “establish” (to form) and modify the program activities.

Summative Evaluation of the activities carried out if the program has actually been completed. Summative evaluation conducted to determine the extent to which things have value benefit program, especially when compared with the implementation of other programs. Model analysis criteria using OECD criteria. The five OECD/DAC criteria are elaborated as follows:

1. Relevance is the extent to which the program activity is suited to the priorities and policies of the target group and recipient.

2. Effectiveness is a measure of the extent to which a program activity attains its objectives.

3. Efficiency is measures the outputs-qualitative and quantitative- in relation to the inputs. It is an economic term which signifies that the program uses the least costly resources possible in order to achieve the desired results.

4. Impact is the positive and negative changes produced by a development intervention, directly or indirectly, intended or unintended.

5. Sustainability is concerned with measuring whether the benefits of a program activity are likely to continue after funding has been with drawn.

Site is located in Sumatra Island, in Padang City, District of West Padang. The focus of research is the population that inhabits Rusunawa blocks 1 and 2 are located in the

Village Purus I as well as residents who were around the building area Rusunawa

C. Data Analysis and Results

1. Characteristics of Rusunawa Purus Inhabitants Analysis

First part of the discussions will explain about resident living condition that obtain from variables like monthly income, expenditure, occupation, last education level,

Page 251: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

240 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ages, settled period, and commuting type of those inhabitant’s. The next part of discussion obtains from questionnaire variables like settlement density, public facilities, housing condition, and public housing building appearance. Last part of parameter emphasizes about environment condition of Rusunawa Purus as public housing facilities including sanitation, water supply and disposal facilities. Moreover, each variables of questionnaire question will be analyzed statistically with cross tabulation method to determine relationship of each variable. Result of cross tabulation will make disperse characteristic of residents become narrow and

more specified to be conclusion.

2. Conclusion of Quantitative Analysis

The majority of Rusunawa residents are low income people that about 92% total population that average income around 750.000,00 Rupiah, 1.250.000,00 Rupiah and 1.750.000,00 Rupiah per month. Furthermore, those residents with low income people usually works as small scale commerce that work not far from their home. Residents main occupation who occupied rusunawa building is small scale commerce, freelance and factory workers. On the other hand, residents who have larger income usually work as private company employee. Rusunawa public housing building dominantly occupied by young household that age category around 20−39 years old. In addition, both parents in these family are working to fulfill their family need that majority occupied with 2 to 3 members. Furthermore, those household generally graduated from senior high school. From social welfare point of view, households who stayed in rusunawa building is weak in society with low income and generally low expenditure. They are so vulnerable when there are

economically change yet disaster occurs.

3. Inhabitant Intention, Prospect, Preference about Rusunawa Purus Occupancy

Deriving from several variables from questionaire such as:

a. Residents main reason to settle in Rusunawa Purus public housing residents feeling of safety when occupying.

b. Residents relationship with neighbor.

c. Planning for future occupancy.

Page 252: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 241

4. Relation between Rusunawa Resident Characteristic’s and Resident Intention, Prospect, Preference of Rusunawa Public Housing Occupancy

The resident of Rusunawa Purus preference about their main reason to stay, safety and security, good relation with neighbor, and future occupancy planning may describe the resident assumptions of the new way of living in the vertical houses. From the analysis above about their income, expenditure and occupation, which have many similarities. For instance, 79 percent of total respondents categorized as low income people from income and expenditure approaches. Moreover, almost half of respondents also have similar occupation which is small scale commerce. In addition, the similarities of respondent education also describe their common knowledge that made community intention flows into the same intention. The analysis shows that 58 percent of the respondent graduated from senior high school can be assumed that it was average resident education level.

Furthermore, the resident previous settlement that 70 percent lived in the rent house before they were moving to Rusunawa Purus also contribute. The settled period of the resident which more than 2 (two) years is 63 percent, this situation made resident knowing each other sufficiently. In conclusion, all kinds of the variables that discussed lead the resident to know each other and contribute to develop strong community. With many background similarities of the Rusunawa Purus occupants and the homogenous of the analysis result tend to lead respondent intention, preference into the same way which is significantly dominant people who lived there feel secure, livable and strong intention to choose Rusunawa as preferable housing to stay.

5. Rusunawa Program Result in term of Effectiveness

Main trajectory of this part is evaluating and analyzing rusunawa public housing existence and policies regarding to public housing program especially Rusunawa Purus public housing. The main impacts and effects resulting from the activity on the local social, economic, environmental, and other development indicators. The examination should be concerned with both intended and unintended results and must also include the positive and negative impact of external factors, such as changes in terms of trade and financial conditions (OECD DAC Glossary2002). Some standards derive from the DAC principles for evaluation can be used in this analysis in order to measure the effectiveness of the rusunawa program. (1) The extent of the objectives achieved. This part will explain the result of the rusunawa program output when compared to the main objectives of public housing policy in

Page 253: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

242 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Indonesia. (2) The major factors influencing the achievement or nonachievement of the objectives. The second one mostly gathered from field obervation through in-depth interview with the resident, official managament of the public housing building and government officers that have direct intervention toward the rusunawa program. Effectiveness of rusunawa program in Padang City can be measured from the objective of Indonesian Law of Public Housing. Stated in Indonesian Law about Public Housing which is Law Number 20 issued in 2011 about public housing (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun). The main purpose of this public housing law stated in several points:

a. To ensure livable public housing with affordable and healthy, secure environment.

b. Sustainable settlement in economics, social and cultural aspects.

c. Improving land-use efficiency and providing green open space in the city with sustainable development principle.

d. Alleviating and preventing slum area.

e. Controlling city planning development.

f. Fulfilling proper housing demand especially for low income people.

g. Empowering stockholder in housing and construction industry.

h. To ensure affordable and reliable public housing for low income people with integrated management.

i. Law certainty in providing, occupying, controlling and owning of public housing.

Measurement of those objectives must be seen from statistical data that gathered throughout research toward rusunawa project in Padang City. Distribution of residents who occupying rusunawa building should be low income people as majority. Based on former data about characteristic of Rusunawa Purus inhabitant shows that 79% of the residents were low-income people. Briefly, rusunawa program that targeted for low income people has been achieved with high percentage of residents categorized as low-income people. The 6th point of Indonesian Public Housing Law has been achieved effectively.

In addition, to measure affordable and reliable public housing should be viewed from rent fee of rusunawa public housing. From questionnaire table result of rent fee shows that 63% of residents pay the rent fee with official standard range from Rp245.000,00 to Rp290.000,00 while 37% pays more. After conducting interview with residents indicate that some people pay more due to free rider who work as

Page 254: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 243

‘illegal marketing’. This kind of free rider make profit from people who wanted to stay in rusunawa but not originally lived there. Moreover, affordable house can be measured from rent fee comparing to average income of residents which is Rp2.215.000,00. Average rent fee is 12% than average income of resident which mean affordable public housing effectively achieved.

Alleviating and preventing slum area can be measure from prior and post of the program by field observation. Obtaining data for comparing previous situation of neighborhood situation is not an easy task. However, former environmental and local social situation can be seen from settlement next to rusunawa building that did not change significantly from time to time. Fisherman neighborhood where located side by side with rusunawa can be proper option to see effectiveness of

rusunawa program in term of prior and after the program.

6. Overall and Comprehensive Discussion

First part of comprehensive discussion is analyzing people perception of rusunawa occupancy mechanism. Broader analysis about public housing theory can be seem from public housing policy stated by Indonesian Government and some theoretical literatures. Rusunawa as simple flat were rented out to urban communities who cannot afford to buy a home or that want to stay for a while for example students, temporary workers and other (Perumnas). However, due to relocation of some residents that formerly settled in the same area with Rusunawa Purus building require settlement for long term period. Based on questionnaire analysis that 47% of total respondents require permanent settlement. This fact looks opposite with rusunawa terminology that this public housing is provided for temporary settlement.

Different assumption of rusunawa objection as temporary shelter for low income people while some of the resident assume rusunawa as permanent shelter. Moreover, this dilemma can be prevented if government conduct appropriate socialization through meeting toward former residents in the area who will occupy this building when construction finish. In addition, participatory approach also can be alternative to give proper understanding and thought for the candidate of public housing occupant.

Rusunawa program only emphasizes on physical factor with less concern about social aspect that in upcoming time become an issue that usually appear. Participatory approach become essential to prevent some problems in the future because this construction involves many people who become candidate of occupants in rusunawa public housing. In addition, many respondents who lived

Page 255: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

244 Direktori Mini Tesis-Disertasi

there only graduated from junior high school even though dominantly senior high school graduated. Lower education level of residents can be a trigger of problem if they are not well educated and acknowledged about the purpose and mechanism of Rusunawa Purus as temporary public housing.

Second, based on literature mentioned by Laughead and Rakodi (2002: 230) that the main trigger of slums come from poverty and low-income levels of the residents. While the quality of a settlement is the last priority of the poor psychological occupants, there are three things that the priorities of the poor which is survival, Security and quality of life. This theory looks parallel with the result found in Rusunawa Purus.

Main priority which is survival can be derived from several variables like main reason for settle in public housing. The table shows that the strong reasons to choose rusunawa are cheap rent fee and no permanent house owned yet. These kind of answers indicate the survival effort about housing need. The respondent mostly so poor to afford permanent yet livable house for their family.

The third part of comprehensive discussion is about settlement density. Individual space requirement standard based on literature of Archarya (2010) and standard regulation of Indonesian Ministry of Public Works which is 7,2 m2/person not yet accomplished. Regarding to result table on the characteristics of Rusunawa Purus inhabitant sub chapter that 34 percent of respondents are living with more than 3 family members in each house while Rusunawa Purus settlement only 20 m2. All rooms in this building are typically similar in term of room capacity.

Last part of comprehensive analysis is building construction quality. The first point of rusunawa main purpose which is to ensure livable public housing with affordable and healthy, secure environment that stated in Indonesian Law of Public Housing which is Law Number 20 issued in 2011 about public housing (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun). Even though the building structure can fend from some minor earthquake that often happen in Padang City but the quality of building utilities like plumbing, public toilet, and drainage has degraded in many parts of the building without appropriate sanitation.

The fact that this building poorly maintained has been discussed in the previous chapter indicates the official management working not so effective. Moreover, the degraded building utilities can be affects to residents healthy. This situation should be need more concern from the local authority which responsible for the sustainability of Rusunawa Purus as livable public housing.

Page 256: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 245

D. Conclusion

Rusunawa public housing program derived by central government of Indonesia that the main objection is providing appropriate house for low income people. In addition, alleviating slums area also become main issue faced by many developing countries that made Indonesian Government considers the rusunawa public housing program will become effective effort to overcome slums problem in many big cities.

Characteristic of Rusunawa Purus inhabitant analysis using questionnaire variables and cross tabulation method found that main residents of rusunawa public housing is low income people with the main occupation as small scale commerce, free-lance and factory workers that have short commuting distance. Furthermore, most of rusunawa public housing occupied by 2 or 3 family member that dominantly young age household. The resident mainly senior high school graduated that they are susceptible and weak in society in term of social welfare. However, a phenomena of developing tourism object near the Rusunawa Purus location affected to resident main occupation that indicate being fisherman no longer profitable job for them.

Resident perception about rusunawa public housing occupancy found that main reason for people to settle there because resident did not have house yet, cheap rent fee, and near to their daily activity. The effectiveness of rusunawa program in Padang City generally achieved to provide the demand of affordable house for low income people yet alleviating slum area by the improvement of sanitation, water supply and healthier environment. Moreover, providing green open space and controlling city development for future planning of the city can be additional advantages by implementing the high-

rise settlement.

E. Recommendation

Based on data that have been collected and analysis that have been conducted, rusunawa public housing program and project in Padang City not all smoothly succeed. There are several weaknesses in application on this program that will be suggested in cost, quality of the construction. Central government should be allocating more financial support to develop more public housing to provide affordable public housing due to high percentage of low income people in Indonesia. Public housing become effective way to alleviate slums area, improving environmental land-use management. In addition, some of the building become degraded due to lack of maintenance cost from local government. Management supervision should regularly conduct by the government to prevent free rider who get profit from the high demand rusunawa public housing.

Page 257: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

246 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 258: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

THE IMPACT OF WASTE BANK ACTIVITIES IN REDUCTION OF GREENHOUSE GAS EMISSIONS AND ITS INFLUENCING FACTORS IN PRABUMULIH CITY, INDONESIA

Nama : Pithan Chandra

Instansi : Pemkot Prabumulih

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Master of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 259: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

248 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Sektor limbah adalah penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga di Indonesia dan menuntut untuk mengurangi 6,3% pada tahun 2020. Salah satu cara efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari limbah padat adalah daur ulang dan bank sampah adalah sistem daur ulang di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperkirakan dampak dari kegiatan Bank Sampah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dari limbah padat rumah tangga dalam kasus Prabumulih Waste Bank (PWB).

Dalam penelitian ini, wilayah Kota Prabumulih dibagi menjadi daerah perkotaan, sub urban dan pedesaan. Life circle assessment (LCA) dan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) rumus digunakan untuk memperkirakan pengurangan emisi gas rumah kaca dalam penelitian ini. Data terkait kegiatan bank sampah telah dicatat sejak Januari hingga Desember 2016. Survei kuesioner kepada 332 peserta dan wawancara dengan petugas bank sampah juga dilakukan untuk memperoleh data terkait lainnya. Penelitian ini juga menggunakan enam belas skenario untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan bank sampah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

Kegiatan PWB saat ini menghasilkan -70,51 Mt CO2 eq emisi GHG pada tahun 2016 dan ini hanya sekitar 0,5% dari pengurangan GRK dari total emisi gas rumah kaca dari pengelolaan limbah konvensional. Penambahan peserta aktif akan meningkatkan kemampuan PWB dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Kemampuan bank sampah dalam mengurangi emisi GRK dipengaruhi oleh jumlah sampah yang dikelola oleh bank sampah, konsumsi bahan bakar dan kemampuan bank sampah dalam menerima sampah organik.

Kata kunci: Emisi Gas Rumah Kaca, Bank Sampah, Daur Ulang, Limbah Padat

Page 260: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 249

ABSTRACT

The waste sector was the third contributor of GHG emission in Indonesia and demanded to reduce 6,3% in 2020. One of the effective ways to reduce GHG emissions from solid waste is recycle and waste bank is a recycling system in Indonesia. The aim of this study was to estimate the impact of waste bank activity in reducing GHG emissions from household solid waste in case of Prabumulih Waste Bank (PWB).

In this study, Prabumulih City area was divided into urban area, sub-urban area and rural area. Life Circle Assessment (LCA) and Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) formula was used to estimate the GHG emissions reduction in this study. Data related to waste bank activities has been recorded from January to December 2016. Questionnaire survey to 332 participants and interview to waste bank officer also conducted to obtain other relevant data. This study also used sixteen scenarios to identify the factor(s) that influencing waste bank ability in reducing GHG emissions.

Current PWB activities produce -70.51 Mt CO2 eq of GHG emission in 2016 and this was only about 0.5% of GHG reduction from total GHG emission from conventional waste management. The addition of active participant will increase the PWB ability in reducing GHG emissions. The ability of waste bank in reducing GHG emissions influence by waste amount manage by the waste bank, fuel consumption, and the ability of waste bank in receiving organic waste.

Keywords: GHG emission, Waste bank, recycling, Solid waste.

Page 261: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

250 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE IMPACT OF WASTE BANK ACTIVITIES IN REDUCTION OF GREENHOUSE GAS EMISSIONS AND ITS INFLUENCING

FACTORS IN PRABUMULIH CITY, INDONESIA

A. Background

In 2015, many countries adopted the 2030 Agenda for Sustainable Development or well known as Sustainable Development Goals (SDGs). There are 17 targets of SDGs and one of it is the Climate Action to combat climate change. Climate change closely related to global warming caused by human activities that lead to increased emissions of greenhouse gases (GHGs).

GHGs are produced from the sectors of energy, industrial process, agriculture, LULUCF (Land use, land-use change and forestry), and waste (IPCC, 2006). Energy sector has the highest increasing rate followed by waste sector with 4,6% and 4,0% respectively (Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia, 2015).

In 2000, the waste sector was estimated contributes 11% of total GHG emissions in Indonesia (BAPPEDA- SUMSEL, 2012) and demanded reduce 6,3−6,7%. To reduce GHG emissions from waste sector, Indonesia government has recommended sanitary landfill development, reduce-reuse-recycle (3R) program and urban integrated wastewater management (Morizane et al., 2016). Recently a waste bank system has been popular 3R activity in household in Indonesia. However, the actual effect of waste bank in reducing greenhouse gases emissions never been reported. The aims of this study were to explain the current condition of waste treatment and Waste Bank, to estimate the impact of waste bank activity in reducing GHG emissions from household solid waste in case of Prabumulih Waste Bank (PWB) and to identify the factors that affect the ability of a waste bank in reducing greenhouse gases emission from household solid waste.

B. Research Problems and Methodology

Waste bank is a recycling system in Indonesia that is recommended by the government to reduce GHG emissions from waste sector (BAPPEDA-SUMSEL, 2012). Chen and Lin (2008) mentioned that recycling is the most efficient system to reduce GHG emissions form the waste sector. However, the actual effect of waste bank in reducing greenhouse gases emissions never been reported.

Page 262: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 251

Based on the explanations above, the question of this research are:

1. What is the current condition of waste treatment and Prabumulih Waste Bank?

2. How is the impact of the waste bank activity on the reduction of GHG emissions from waste sector?

3. What factors are affecting the ability of a waste bank in reducing GHG emission from waste sector?

This study was conducted in Prabumulih City. This City is located in South Sumatra Province, Sumatera Island, Indonesia between 3o−4o south latitude and from 104o−105o

east longitude, with an average height of 31−54 meters above sea level (BPS, 2016). Based on population projections by BPS (2016), Prabumulih City population was 177.178 in 2015 with growth rate is 1,49% per year and 47,469 of household.

This study using qualitative descriptive approach and supported by quantitative data regarding GHG accounting. To estimate the ability of Prabumulih Garbage Bank in reducing greenhouse gases emissions from household waste in Prabumulih City, Life Cycle Analysis (LCA) approach and IPCC formula were used. The boundary of this study only focus on activities that directly related to the estimation of GHG emissions. Landfilling, open burning, open dumping, and composting were considered as the source of GHGs from conventional waste treatment. Regarding the GHG emissions from PWB, fuel consumption, electricity consumption, the replacement of virgin material by recycled materials, and the replacement of inorganic fertilizer by the utilization of compost were considered.

On this study, Prabumulih City was divided into three zones: urban, sub-urban and rural. The classification of the areas was based on three main characteristics including distance to central market, the present of agriculture area and the population density. The zoning was determined by the field observation that conducted in August−September 2016. At field observation, each area was determined visually about the condition of each area such as building density, agriculture area, accessibility to the central market, and find out the physical border between each area such as river, road or an empty yard. The result of this observation was analyzed by GIS software to calculate the area, population, distance to central market and agriculture area.

Waste treatment condition was determined by secondary data such as data from environmental agency and JICA survey report. Data regarding waste bank activity such as type and amount of waste and participant frequency go to the waste bank was obtained from direct recording at the waste bank. The data was recorded from January to December 2016. The questionnaire survey to 332 of waste bank participants was

Page 263: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

252 Direktori Mini Tesis-Disertasi

conducted to obtain the types of vehicle for transportation of their waste to the waste bank and waste treatment methods before participating to the waste bank. Distance from participants houses to the waste bank was obtained by analyze participant address using google map. Participant address was obtained from waste bank data. Electricity and fuel consumption for waste bank activity was obtained by interview with waste bank officer. Data from PWB activity was analyzed using statistical analysis (Z test and

Anova analysis).

C. Data Analysis and Results

1. Current Condition of Prabumulih Waste Treatment and PWB Activities

Prabumulih City has total area about 434,46 km2 or equal to 43,446 ha. Based on GIS analysis from zoning area map, it was found that only 759 ha or about 2% of Prabumulih City area could be classified as urban area. About 13% or 5,807 ha is the sub-urban area and the rest is the rural area. The most populated area is sub-urban, however, the most densely populated area is urban.

Based on JICA survey 2014 in Ueda and Matsuoka (2016), waste generation rates in Prabumulih City were differs depend on each area. From rural area, the 743 g/person/day and this is the highest. The waste generation rate of sub-urban and urban area were 490 g/person/day and 343 g/person/day, respectively. The percentage of each waste treatment method of each area was different.

Waste composition at three areas in the Prabumulih City and the dry mater content of each type of waste. Food waste was the major composition in every area. In the urban area, the second biggest waste composition was plastic waste. On the other hand, in sub-urban and rural area the second biggest waste composition is yard and garden waste. For dry mater content, food waste and nappies have the lower dry matter content among other of waste.

Prabumulih City only has a waste bank called Prabumulih Waste Bank (PWB). This waste bank has two type of offices, main office and branch offices. The main office located in urban area and has good facilities such as office building, waste storage building, and compost house. In the waste bank system, there are two kind of waste treatment in PWB, recycling for inorganic waste and composting for organic waste.

Page 264: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 253

In 2016, total 1,961 of participants registered in PWB with 64% (1,246 participants) belong to the main office and 36% (715 participants) belong to the branch offices. Only 51% of main office participants and 45% of branch offices participants brought their waste to the PWB in 2016, and it considered an active participant. In average, the frequency of collection by PWB participant only 4,4 times/year. Based on statistical analysis, there are no significant differences of discard frequencies between main office’s member and branch office’s member and the location of participant houses also did not effecting the participant discard frequencies to the waste bank.

Total 46,7 tonnes of waste was collected by waste bank in 2016. About 50% of waste resources were collected from urban area and 34% was collected from sub-urban area. Paper, organic waste and plastic were the dominant waste resources. Landfilling was the dominant former waste treatment in the urban and sub urban area (70−82%), followed by open burning (13−25%). In the rural area, the dominant former waste treatment was untreated or open dumping (80%). This result was used to estimate the amount of waste resources avoided from traditional treatment.

The participant’s vehicle in three areas from branch office dominated by the non-motorized vehicle or by foot with more than 90% because the branch offices collection point location were close to the participant houses. In contrast, only some participants at urban area that have relatively close distance to the main office can use the non-motorized vehicle. The average distance for non-motorized vehicle at urban area is 0,5 km, while for motorcycle and car is 1,63 km and 2,54 km respectively. There is no participant from sub-urban and rural area that used non-motorized vehicle to transport the waste to the main office. Based on statistical analysis, the type of vehicle that used by waste bank participant was influenced by the distance from participant houses to the waste bank. The participants living further from the main office tend to use car.

In 2016, PWB has spent about 104 liters of gasoline and 21 liters diesel fuel to transport waste resources from the branch office to the main office. PWB also used 5 (five) liters diesel fuel for finishing the composting process. In average, PWB spent IDR 200,000 per month for electricity and it is equal to 1548 kWh of

electricity per year.

2. Impact of The PWB Activities in Reducing GHG Emissions

The total amount of GHG emissions in scenario 1. In total, 13,726 Mt CO2 eq GHG emissions generated. Landfilling was the dominant source of GHG emissions in waste sector especially in the urban and sub urban area. In total, landfilling

Page 265: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

254 Direktori Mini Tesis-Disertasi

produces about 10,000 Mt CO2 eq per year in 2016. In the rural area, open dumping was the dominant sources of GHG emissions with 1,491 Mt CO2 eq. Open burning is the third dominant of GHG emissions source with total 1,480 Mt CO2 eq per year.

The GHG emission generated by scenario 2 (waste treatment with waste bank activities). Waste treatment system at the waste bank (recycling and composting has positive impact in reducing GHG because it reduce GHG emission from the reduction of waste amount that treat traditionally. On the other hand, waste transportation to the waste bank has negative impact because increase the GHG from fuel consumption. However, in total, waste bank activities still has positive impact in reducing GHG from waste sector with GHG reduction about 70 Mt CO2 eq or equal to 0,5% reduction compare to scenario 1.

3. Factors that Influence The PWB Ability in Reducing GHG Emissions

The GHG emissions from scenario 2-9 compare to the scenario 1. The addition of participant number decreases the GHG emissions because Scenario 3−9 with increased active participant number indicate larger GHG emissions reduction compared to scenario 2. Participant addition will increase the waste amount recovered by PWB that avoided from conventional treatment and changed to waste bank system (recycling and composting). It shows from smaller GHG emission from reduction of landfilling waste, open dumped waste, open burnt waste and recycling in scenarios 3−9 compare to scenario 2. The corellation analysis revealed that there is high positive correlation between waste amounts recovered by PWB with the GHG reduction with correlation coefficient 0,95. It is mean that the bigger waste amount recovered by a waste bank the higher GHG reduction from solid waste sector.

Fuel consumption is also influencing the PWB ability in reducing GHG emissions. While the fuel consumption itself was influenced by type of vehicle and participant’s houses distance to the waste bank. Therefore, location of active participant addition will influence the fuel consumption. In scenarios 4, 6, and 8 (active participant addition belonging to main office) GHG from the fuel consumption was higher than in scenario 5, 7, and 9 (active participant addition belonging to branch office) because most of participant belonging to main office used motorized vehicle to PWB main office. On the other hand, participant belonging to the branch office mostly used non-motorized vehicle. Therefore, GHG emission from fuel consumption will be smaller if many participant associated with branch office.

Currently, only main office that can receive organic waste, while the branch office only receive the inorganic waste. However, since organic waste is the

Page 266: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 255

dominant waste in Prabumulih, it is important to increase the ability of waste bank in receiving organic waste by provide the ability of branch office in receiving organic waste. Figure 1 shows the comparison of GHG reduction rate between the scenarios 2−16. It is shows that scenario 10−16 that branch offices can receive organic waste

will produce higher GHG reduction rate compare to scenario 3−9.

D. Conclusion

1. Current situation in 2016 shows that sub-urban area of Prabumulih City was produce the highest waste amount compare to other area with about 13.000 tonnes. However, many PWB participant were came from urban area with 689 out of 1.961 participants. Total 46,7 tonnes of waste recovered by PWB.

2. GHG reduction rate by PWB activities in 2016 was very small only about 0,5%. The urban has the highest contribution in GHG emission reduction because of the largest waste resources recovery from urban area.

3. Waste bank ability in reducing GHG emission was influenced the amount of waste recovered by the waste bank, fuel consumption, and the ability of waste bank in receiving organic waste.

E. Suggestion

1. To maximize GHG reduction from PWB activities, participant who live in sub-urban and rural area should associated with branch office and branch office should able to receive the organic waste.

2. Increase the number of branch office especially at sub urban area, because sub urban area produce the highest amount of waste.

Page 267: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

256 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 268: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PENGARUH JALAN LINGKAR BARAT KOTA MADIUN TERHADAP PERUBAHAN FISIK DAN PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITARNYA

Nama : Rizki Adi Hermanto

Instansi : Pemkot Madiun

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 269: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

258 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH JALAN LINGKAR BARAT KOTA MADIUN TERHADAP PERUBAHAN FISIK DAN PERUBAHAN STRUKTUR

SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITARNYA

A. Latar Belakang

Kota Madiun merupakan salah satu pusat pelayanan skala wilayah di bagian barat Provinsi Jawa Timur dengan wilayah pelayanan meliputi Kabupaten Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Pacitan. Secara spasial perkembangan Kota Madiun menunjukkan kecenderungan perkembangan pada jalan utama kota terutama perkembangan ke arah utara, selatan, dan timur. Dalam upaya untuk memeratakan pembangunan di Kota Madiun maka melalui perencanaan tata ruang yang tertuang dalam dokumen RTRW tahun 2002−2012 dan yang telah diperbarui dengan dokumen RTRW tahun 2010−2030 terdapat rencana pembangunan jalan lingkar di wilayah bagian timur, barat dan selatan kota.

Pembangunan jalan lingkar barat mampu meningkatkan aksesibilitas dan mobilitas barang dan jasa dan kegiatan-kegiatan penduduk. Peningkatan kegiatan yang berarti meningkatnya aktivitas manusia yang terjadi di sekitar jalan lingkar barat mendorong meningkatnya perubahan penggunaan lahan. Semakin meningkatnya alih fungsi lahan pertanian dan adanya pertambahan jumlah penduduk menyebabkan terjadinya perubahan tatanan atau struktur sosial dan ekonomi di masyarakat. Masyarakat yang sebagian besar sebelumnya bermata pencaharian sebagai petani berubah menjadi nonpetani. Namun sampai dengan saat ini belum diketahui bagaimana dan seberapa besar pengaruh keberadaan jalan lingkar barat terhadap perubahan fisik dan sosial

ekonomi masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Meningkatnya fasilitas umum, sosial, dan lainnya yang memerlukan lahan untuk pembangunannya dan meningkatnya kebutuhan lahan mendorong alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap masyarakat baik sosial maupun ekonomi yang bergantung pada keberadaan lahan pertanian tersebut. Berdasarkan rumusan permasalahan maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yaitu Bagaimana pengaruh jalan lingkar barat terhadap perubahan fisik dan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitar jalan lingkar barat?.

Page 270: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 259

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan metode gabungan (mixed methods), yaitu kuantitatif-kualitatif. Menurut Creswell (2010), tujuan penggunaan metode gabungan (kuantitatif-kualitatif) adalah untuk menetralisir bias-bias yang muncul dalam satu metode. Lokasi penelitian di Kota Madiun, Provinsi Jawa Timur. Fokus penelitian diarahkan pada penggunaan lahan dan masyarakat di kawasan sepanjang jalan lingkar barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Juli−Oktober 2016.

Unit amatan dan unit analisis perubahan fisik adalah pemanfaatan lahan pertanian dan nonpertanian dan perkembangan fasilitas pelayanan yang ada di kawasan sekitar jalan lingkar barat dengan jarak 0−500 meter. Unit amatan dan unit analisa untuk perubahan struktur sosial dan ekonomi masyarakat adalah kepala keluarga (KK). Berdasarkan pendekatan penelitian yang menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelittian ini adalah

metode statistik deskriptif dan statistik inferensial.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pengaruh Pembangunan Jalan Lingkar Barat terhadap Perubahan Fisik

Pengaruh jalan lingkar barat terjadap perubahan fisik dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Pengaruh Pembangunan Jalan Lingkar Barat terhadap Perubahan Fisik

No. Perubahan Fisik Dampak Positif Dampak Negatif

1 Fasilitas pelayanan

Pembangunan jalan lingkar barat mendorong berkembangnya fasilitas umum, fasilitas sosial, perumahan, dan fasilitas perekonomian. Membuka akses bagi pemukiman lama.

Belum adanya peraturan yang khusus mengatur pembangunan di sekitar kawasan jalan lingkar barat berakibat pada perkembangan yang terjadi mulai berdampak pada façade jalan.

Page 271: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

260 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2Luas peng-gunaan lahan

Pembangunan jalan lingkar barat dan fasilitas lainnya meningkatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian sebesar 25,66. Meningkatnya alih fungsi tanah pertanian eks bengkok.

3Jenis peng-gunaan lahan

Pembangunan jalan lingkar barat mendorong berkembanganya jenis aktivitas penggunaan lahan di sekitar kawasan tersebut, seperti perdagangan, jasa, dan perumahan.

2. Pengaruh Pembangunan Jalan Lingkar Barat terhadap Perubahan Struktur Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Pengaruh jalan lingkar barat terjadap perubahan struktur sosial, ekonomi,

masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2 Hasil Analisa Perubahan Struktur Sosial Ekonomi Masyarakat

No UraianPengaruh/Dampak

Positif Negatif

Perubahan Struktur Sosial Ekonomi

1 Pendapatan

Pendapatan masyarakat kurang dari Rp500.000,00 berkurang dari 33,49% menjadi 1,44%. Tingkat pendapatan masyarakat dibandingkan dengan pendapatan perkapita kota mengalami perubahan.

Tingka pendapatan Masyarakat Di bawah Pendapatan perkapita mengalami kenaikan menjadi 97,6% setelah dibangunnya jalan lingkar barat.

Page 272: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 261

2Pekerjaan dan Usaha

masyarakat

Perubahan pekerjaan terjadi di sektor wiraswasta dan swasta dengan terjadi peningkatan sebesar 4,3% dan pekerjaan petani sebesar 2,4 %

Berkembanganya kesempatan untuk memiliki pekerjaan sampingan dan kesempatan untuk membuka usaha di sekitar jalan.

Berkembanganya perumahan-Perumahan dan fasilitas perekonomian meningkatkan pilihan pekerjaan bagi masyarakat.

3 Kepemilikan kendaraan

Peningkatan Jumlah pemilik kendaraan bermotor pribadi Meningkat sebanyak 40% dengan lebih dari 58% warga menggunakan kendaraan bermotor pribadi untuk kepentingan mobilitas pekerjaan.

4Kepemilikan

barang elektronik

Kepemilikian Barang meningkat sebesar 10,5% dibandingkan sebelum dibangunnya jalan.

5Luas lantai

Rumah tinggal

Perkembangan fisik bangunan rumah tinggal setelah dibangun-nya jalan lingkar barat sebesar 37%.

6 Kepemilikan Lahan

Warga yang masih memliki lahan di sekitar jalan lingkar barat dari 44% menjadi 23%.

7 Penduduk

Mobilitas penduduk dari luar wilayahvkelurahan terjadi akibat adanya Perumahan-perumahan baru dan hanya sebagian kecil penduduk yang masuk ke perkampungan lama berasal dari luar wilayah di sekitat jalan lingkar barat.

Page 273: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

262 Direktori Mini Tesis-Disertasi

8 Interaksi Sosial

Peningkatan aksesibilita menyebabkan interaksi sosial (kegiatan social masyarakat) mengalami peningkatan dari sisi kuantitas warga yang terlibat.

9 Penyimpan-gan sosial

Terbukanya akses perkampungan lama menyebabkan penurunan frekuensi tindak criminal di permukiman.

Tindak penyimpangan sosial (minuman keras) meningkat tindak kriminal terjadi di jalan lingkar barat (balapan liar, penodongan, menjadi lokasi orang berpacaran, dan lain-lain).

D. Kesimpulan

Keberadaan jalan lingkar barat memberikan 2 (dua) jenis pengaruh. Pengaruh berdasarkan dampak atau akibat yang ditimbulkan terdiri atas pengaruh positif dan pengaruh negatif, sedangkan pengaruh yang berdasarkan caranya terdiri atas pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung.

Pengaruh langsung yang terjadi pada kondisi fisik wilayah di sekitar jalan lingkar barat adalah bertambahnya fasilitas-fasilitas pelayanan di sekitar kawasan jalan lingkar barat, mulai dari fasilitas sosial, fasilitas umum, dan fasilitas perekonomian. Pengaruh tidak langsung jalan lingkar barat terjadi pada struktur sosial ekonomi masyarakat. Meningkatnya fasilitas-fasilitas pelayanan berdampak pada meningkatnya perubahan pekerjaan dan perubahan pendapatan masyarakat.

Hasil analisa regresi jalur memberikan persamaan-persamaan model yang dapat digunakan untuk memprediksi besaran perubahan-perubahan langsung dan tidak langsung kondisi fisik dan sosial ekonomi masyarakat, meskipun begitu masih terdapat factor-faktor lain yang memengaruhi persamaan model tersebut.

E. Rekomendasi Kebijakan

Arah kebijakan pembangunan daerah yang menetapkan kawasan sekitar jalan lingkar barat sebagai salah satu subpusat pelayanan skala kota dan regional perlu diikuti dengan penyusunan peraturan teknis yang mengatur perkembangan pembangunan di sekitar kawasan jalan lingkar barat. Diperlukan pembinaan dan pendampingan

Page 274: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 263

dari pemerintah pada masyarakat, khususnya yang masih bergantung pada lahan pertanian namun tidak memiliki lahan sendiri. Masih terdapat faktor-faktor lain selain keberadaaan jalan yang berpengaruh terhadap perubahan fisik dan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor tersebut.

Page 275: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

264 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 276: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

KAJIAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEDAGANG KAKI LIMA PASAR RAYA PADANG TERHADAP UPAYA PENATAAN DAN RELOKASI

Nama : Sally Angelia

Instansi : Pemprov Sumbar

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 277: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

266 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pedagang kaki lima (PKL) sebagai bagian dari sektor informal yang banyak berkembang di kota-kota besar Indonesia, salah satunya di Kota Padang. Para PKL ini kebanyakan berasal dari kalangan rakyat kurang mampu yang termarjinalkan oleh pembangunan ekonomi atau oleh krisis ekonomi yang terjadi. Salah satu kelemahan dalam perencanaan kota yang umum terjadi adalah belum menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL, sehingga PKL ini memanfaatkan ruang publik (trotoar, taman, badan jalan, kawasan tepi sungai, atau di atas saluran drainase) yang mengakibatkan ruang publik tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh penggunanya dengan baik. Oleh karena itu, mempertemukan kepentingan ekonomi para PKL dengan kepentingan akan ketertiban dan keindahan kota merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh pemerintah kota agar tercipta visual kota yang selaras dan harmoni.

Aktivitas perdagangan di Kota Padang, sebagai salah satu simpul sistim distribusi barang-barang kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan yang terjadi di pasar-pasar di Kota Padang. Dari 2.959 pedagang sektor informal yang tersebar di berbagai lokasi pasar di Kota Padang, konsentrasi terbesar PKL terdapat di Pasar Raya Padang dengan jumlah lebih kurang sebanyak 1.807 orang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor informal dalam hal ini PKL cukup berperan signifikan dalam menyerap tenaga kerja yang tidak mampu ditampung oleh sektor formal.

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara dan pengisian kuesioner kepada 76 responden dari 297 pedagang kaki lima yang berjualan di kawasan studi Jalan Pasar Raya Padang. Hasil wawancara dan kuesioner dimaksudkan untuk dapat mengetahui dan mengamati karakteristik sosial ekonomi PKL, karakteristik aktivitas, serta mengetahui persepsi dan preferensi PKL terhadap upaya penataan dan relokasi.

Hasil analisis menggunakan regresi logistik biner, dari lima variabel karakteristik PKL yang diteliti, yaitu tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, lama berdagang, kondisi fasilitas/sarana dagang serta lokasi berdagang saat ini, hasil dari regresi logistik biner menunjukkan dari lima variabel terdapat tiga variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesediaan PKL untuk direlokasi. Variabel tersebut adalah tingkat pendidikan, kondisi fasilitas/sarana dagang serta jarak lokasi baru yang diinginkan PKL.

Kata kunci: Penataan PKL, Relokasi, Persepsi dan preferensi PKL.

Page 278: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 267

ABSTRACT

Street vendors (PKL) as part of the informal sector which is widely developed in big cities in Indonesia, one of them is in the city of Padang. These street vendors are very much from groups of people who are not able to be called by economic development or by the economic crisis. One of the weaknesses in urban planning that commonly occurs is not to provide city space to accommodate PKL activities. This PKL center uses public space (sidewalks, parks, road bodies, river banks and drainage channels) that create public spaces that cannot be used by its users. well. Therefore, it brings together PKL economic experts with the need for order and the beauty of the city which is a requirement that must be issued by the city government to create harmonious and harmonious city visuals.

Trading activities in the city of Padang, as one of the knots for the distribution of goods that are needed by trade activities that occur in markets in the city of Padang. Of the 2,959 informal merchant sectors scattered in various locations in the City of Padang, the largest concentration of street vendors is in Pasar Raya Padang with more than 1807 people. This shows that the informal sector in this case PKL is quite significant in absorbing workers who cannot afford to be accommodated by the formal sector.

Primary data collection in this study was carried out through interviews and questionnaires to 76 respondents from 297 street vendors selling in the Jalan Pasar Raya Padang study area. The results of interviews and questionnaires can be used to find out and record whether PKL socio-economic, characteristics of activities and perceptions of PKL perceptions and preferences towards structuring and relocation efforts.

The results using binary logistic regression, of the five variables namely the street vendors studied are income level, level of education, length of trading, condition of facilities/means of trade and the location of the present, the results of logistic regression of different variables. significant to the willingness of PKL to be relocated. These variables are the level of education, facilities used and the distance of the location desired by the street vendors.

Keywords: PKL Arrangement, Relocation, Perception and PKL Preferences

Page 279: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

268 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KAJIAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEDAGANG KAKI LIMA PASAR RAYA PADANG TERHADAP UPAYA PENATAAN DAN

RELOKASI

A. Latar Belakang

Pedagang kaki lima (PKL) termasuk salah satu dari sektor informal yang banyak berkembang di kota-kota besar Indonesia, salah satunya di Kota Padang. Kegiatan sektor informal ini sering tidak mendapatkan perhatian, sehingga perkembangan kegiatan tersebut tidak menjadi perhatian utama dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Para PKL ini kebanyakan berasal dari kalangan rakyat kurang mampu yang termarjinalkan oleh pembangunan ekonomi atau oleh krisis ekonomi yang terjadi. Kurangnya perhatian dan dukungan kebijakan dari pemerintah tercermin dari perlakuan terhadap para PKL dimana sering terjadi benturan dengan melakukan penggusuran-penggusuran tanpa mempertimbangkan kepentingan ekonomi pedagang dengan dalih mengganggu ketertiban umum, lalu lintas, dan merusak keindahan kota.

Ditinjau dari dimensi perencanaan tata ruang, keberadaan pedagang kaki lima selalu menjadi isu strategis, di mana dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR) belum menyediakan ruang kota untuk mewadahi kegiatan PKL sehingga PKL ini memanfaatkan ruang publik (trotoar, taman, pinggir badan jalan, kawasan tepi sungai, atau di atas saluran drainase) yang mengakibatkan ruang publik tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh penggunanya dengan baik. Oleh karena itu, mempertemukan kepentingan ekonomi para PKL dengan kepentingan akan ketertiban dan keindahan kota merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh para PKL dan pemerintah kota agar konflik antarpara PKL dengan pemerintah kota tidak berlarut-larut.

Kota Padang sebagai ibu kota Provinsi Sumatra Barat, mempunyai fungsi sebagai pusat perdagangan regional, industri, dan pariwisata sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Kota Padang tahun 2010−2030. Keberadaan Kota Padang dengan fungsi-fungsi tersebut, menjadi kekuatan penggerak (drive forced) perkembangan kota dan pembangunan terutama aktivitas ekonomi. Aktivitas perdagangan di Kota Padang, sebagai salah satu simpul sistem distribusi barang-barang kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan yang terjadi di pasar-pasar di Kota Padang. Di Kota Padang terdapat sebanyak 17 buah pasar, terdiri dari pasar kota (induk), pasar wilayah, dan lingkungan. Pasar Raya, karena merupakan pasar induk keberadaanya tidak saja untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa pembeli yang

Page 280: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 269

berkunjung ke pasar raya tetapi juga untuk menyuplai kebutuhan pasar-pasar satelit yang berfungsi sebagai pasar pembantu di berbagai kecamatan di Kota Padang.

Di Kota Padang terdapat kurang lebih 2.959 pedagang sektor informal, yang tersebar di berbagai lokasi pasar. Konsentrasi terbesar PKL terdapat di Pasar Raya Padang dengan jumlah lebih kurang sebanyak 1807 orang (sumber data Dinas Pasar, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor informal dalam hal ini PKL cukup berperan signifikan dalam menyerap tenaga kerja yang tidak mampu ditampung oleh sektor formal. Selain itu ditinjau dari realisasi PAD Kota Padang tahun 2015 yang mencapai Rp370,4 milyar, sebanyak 13,63% kontribusinya berasal dari retribusi daerah, yaitu sebesar Rp50.512.578.000,00 (statistik daerah Kota Padang, 2016). Persentase dan jumlah sumbangan terhadap PAD yang cukup besar ini membuat kita tidak bisa mengabaikan keberadaan sektor informal dalam hal ini PKL yang merupakan salah satu penggerak perekonomian di Kota Padang. Sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2014 tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL selama ini pelaksanaan penertiban PKL mengacu pada Perda Nomor 11 Tahun 2005 yang telah mengalami perubahan menjadi Perda Nomor 04 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat di mana aturan mengenai PKL hanya tercantum dalam Pasal 8 ayat 1−3 saja yang tidak secara jelas mengatur keberadaan PKL. Peraturan ini didukung dengan Keputusan Walikota No. 190 Tahun 2014 tentang Lokasi dan Jadwal Usaha PKL, namun tetap saja aturan-aturan ini belum mampu mengatasi permasalahan

PKL.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Masalah perkotaan sering kali dijumpai bersumber dari dua hal penting, yaitu interaksi warga kota sebagai penghuni kota dan keterbatasan ruang kota sebagai tempat interaksi warga kota, pertumbuhan penduduk yang meningkat drastis tidak diiringi dengan pertambahan ruang kota, sehingga kondisi perkotaan akan semakin padat dan sumpek. Pertambahan penduduk kota muncul dari jumlah kelahiran yang tidak terkontrol dan migrasi penduduk yang semakin meningkat dengan berbagai alasan.

Kenyataan bahwa perkembangan pembangunan kota yang pesat tidak diiringi oleh pertumbuhan kesempatan kerja yang memadai, merupakan fakta yang melatarbelakangi tumbuh dan menjamurnya kegiatan pedagang kaki lima. Besarnya kontribusi PKL dalam menggerakkan ekonomi perkotaan tidak seiring dengan perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dan keberlangsungan PKL, dimana terbukti dalam sebagian besar konsep perencanaan kota, PKL tidak menjadi prioritas untuk dikelola dan diatur penempatan ruangnya. Sehingga keberadaan PKL yang memanfaatkan ruang publik, mengganggu ketertiban, dan keindahan visual kota belum tertangani dengan baik hingga saat ini.

Page 281: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

270 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Kondisi ini menjadi permasalahan yang tak berkesudahan sehingga menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memikirkan solusi terbaik demi terciptanya keteraturan. Upaya penertiban dan penggusuran yang selama ini dilakukan oleh pemerintah kota justru memicu resistensi PKL, karena kebijakan pengaturan dan pengelolaan yang diambil oleh pemerintah kota belum mempertimbangkan persepsi dan preferensi dari sisi PKL. Dengan mengacu pada studi literatur dan hasil pengumpulan data melalui observasi lapangan, kuesioner, dan wawancara dengan aparat terkait, secara kualitatif dapat diidentifikasi karakteristik PKL, meninjau persepsi dan preferensinya terhadap upaya pengelolaan yang diinginkan. Selanjutnya akan dianalisis keterkaitan karakteristik dan preferensi PKL tersebut menggunakan regresi logistik biner, yang hasil akhirnya nanti dapat diketahui kesediaan PKL untuk direlokasi berdasarkan karakteristiknya serta menetapkan kebijakan konsep penataan dan pengelolaan ideal yang disesuaikan

dengan persepsi dan preferensi PKL.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Konsep Penataan PKL

Upaya penataan bagi para PKL bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan oleh pemerintah Kota Padang, mengingat keberadaan para pedagang ini membawa problematika yang kompleks bagi perencanaan pembangunan kota. Tidak hanya jumlah mereka yang sangat banyak dan terus bertumbuh, yang otomatis memerlukan ruang yang cukup besar untuk kelangsungan kegiatannya. Dilemanya, keberadaan pedagang kaki lima ini tidak mungkin pula diabaikan, mengingat kontribusi mereka yang besar terhadap pendapatan daerah dan upayanya sebagai salah satu penggerak perekonomian rakyat.

Berdasarkan hasil analisis dari penelitian ini, dari kelima variabel yang diteliti, terdapat tiga variabel (kondisi fasilitas) yang signifikan berpengaruh terhadap kesediaan PKL untuk direlokasi. Dan dilihat dari persentase antar-PKL yang bersedia direlokasi maupun yang tidak bersedia sangat tipis perbedaannya, sehingga dapat dikatakan jika pemerintah berencana untuk merelokasi PKL ini akan cukup memiliki peluang untuk berhasil dilaksanakan. Namun sesuai dengan hasil analisis, solusi jangka pendek yang dapat segera diterapkan bagi para PKL di kawasan Jalan Pasar Raya ini adalah dengan menerapkan konsep penataan kawasan PKL serta upaya

pengelolaan dan pembinaan PKL secara intensif dan kontinu.

Page 282: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 271

2. Upaya Penataan yang Dilakukan Pemerintah Kota Padang

Saat ini, pemerintah Kota Padang telah membuat beberapa terobosan dalam upaya pengelolaan para pedagang kaki lima, khususnya pedagang makanan. Terdapat 2 (dua) lokasi baru yang bisa dijadikan alternatif lokasi wisata kuliner bagi masyarakat yang mengunjungi kawasan Pasar Raya. Lokasi pertama adalah Kapal Kuliner yang berlokasi di depan bundaran air mancur pasar atau di Jalan Hiligoo. Lokasi ini memanfaatkan open space atau ruang terbuka yang memang tidak dimanfaatkan sebelumnya. Pada lokasi ini dibangun suatu bentuk anjungan kapal yang menarik dan diatur sedemikian rupa sehingga lokasi ini bisa menampung para PKL makanan dan minuman yang berjualan memenuhi lokasi bundaran air mancur selama ini. Namun setelah diberi bantuan gerobak baru dan tenda yang lebih layak, ternyata hingga akhir tahun tak kunjung diramaikan oleh para pedagang kaki lima. Ini tentunya perlu tinjauan kembali oleh pemerintah kota di mana letak kelemahan program ini, meski begitu adanya konsep penataan ini patut diapresiasi, karena selain menjadi solusi dalam menyelesaikan masalah semrawutnya keberadaaan PKL makanan di seputaran air mancur, keberadaan Kapal Kuliner ini justru bisa

menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat untuk mengunjungi pasar.

3. Relokasi PKL

Pelaksanaan upaya relokasi bagi pedagang kaki lima tidaklah semudah membahas wacananya. Upaya relokasi PKL di berbagai kota di Indonesia kerap menjadi dilema berkepanjangan bagi pemerintah daerah, mengingat banyaknya kegagalan relokasi yang terjadi mengakibatkan PKL kehilangan pembeli, penurunan pendapatan secara drastis, yang berujung pada penolakan besar-besaran dari PKL dan PKL kembali berjualan di lokasi yang lama.

Salah satu upaya relokasi PKL yang dianggap cukup berhasil dalam pelaksanaannya adalah relokasi PKL yang dilakukan oleh pemerintah Kota Surakarta. Di mana hampir seribu PKL berhasil dipindahkan ke lokasi baru tanpa adanya aksi penolakan maupun keributan. Keberhasilan ini tidak lepas dari upaya pemerintah kotanya yang secara bertahap melakukan pendekatan kepada para pedagang kaki lima. Sedikit membutuhkan waktu lebih lama namun efektif menumbuhkan kesadaran dan partisipasi para pedagang kaki lima untuk ditempatkan di lokasi yang baru. Pendekatan pemerintah Kota Surakarta ini diistilahkan ”nguwongke”, yaitu pendekatan yang humanis, dengan menerapkan komunikasi dua arah yang dilakukan terus-menerus, duduk bersama dalam satu meja, makan bersama sambil berdiskusi, mendengarkan aspirasi dari para PKL. Pendekatan ini terbukti efektif, para PKL merasa di”manusia”-kan. Kehadiran

Page 283: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

272 Direktori Mini Tesis-Disertasi

mereka dihargai sebagaimana mestinya dan kebutuhan mereka didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Pemerintah Kota Padang dalam hal ini mungkin perlu mengadopsi cara yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta. Pemko Padang bisa memulai dengan meningkatkan komunikasi yang lebih baik dengan para PKL, menggunakan pendekatan yang humanis demi berhasilnya upaya relokasi yang direncanakan. Proses ini tentunya akan memakan waktu lebih lama, namun demi terciptanya keteraturan ruang publik bagi masyarakat di masa depan, tentunya pendekatan ini layak diterapkan.

Sementara pendekatan humanis diterapkan secara bertahap, solusi jangka pendek bagi kondisi para PKL saat ini di Jalan Pasar Raya adalah melakukan penataan kawasan pedagang kaki lima sesuai konsep yang direncanakan, hingga nantinya baik pemerintah kota maupun para pedagang kaki lima secara bersama-sama siap untuk melaksanakan relokasi.

Penentuan dan pemilihan lokasi yang tepat dan strategis bagi pedagang tentu akan berdampak positif bagi pihak PKL maupun pemerintah Kota Padang. Untuk itu, ini memang menjadi tugas berat pemerintah untuk mulai melakukan perencanaan penentuan alternatif lokasi baru bagi para pedagang kaki lima di Pasar Raya Padang. Saat ini pemerintah Kota Padang sedang merampungkan pembangunan kembali beberapa pasar Inpres yang sekarang dinamai Blok I−Blok IV. Pasar yang baru saja rampung dan diserahterimakan pada tahun 2016 kemarin adalah blok II dan blok IV. Blok II, III, dan blok IV dibangun dengan konsep modern terdiri dari satu basement dan empat lantai di mana kedua blok ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan sangat layak ditempati. Sedangkan blok III masih dalam tahap pembangunan yang diperkirakan akan selesai pada November 2017 ini. Namun, dari wawancara yang dilakukan dengan pejabat berwenang di Dinas Pasar, keempat blok pasar modern yang dibangun saat ini diperuntukkan khusus bagi PKL yang berjualan kebutuhan harian, seperti lauk pauk dan sayur mayur. Lalu bagaimana dengan para PKL yang berada di kawasan studi yang menjadi ”wajah utama” kondisi Pasar Raya Padang?

Menjawab hal ini, pemko Padang juga sudah memiliki rencana besar untuk perbaikan dan pengembangan Pasar Raya Padang. Di mana ada tiga program yang direncanakan akan terlaksana dalam lima tahun ke depan, yaitu:

a. Revitalisasi gedung pasar bertingkat fase I−VII, termasuk kompleks pertokoan matahari lama. Program revitalisasi ini selain untuk memperindah tampilan Pasar Raya Padang, juga dimaksudkan agar mampu menampung para PKL yang ada di badan jalan dan di sekitar lokasi gedung. Pelaksanaan

Page 284: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 273

program ini rencananya segera dilakukan setelah pembangunan pasar Inpres Blok III selesai dan diserahterimakan secara resmi.

b. Revitalisasi kawasan pertokoan blok A. Pemerintah Kota Padang rencananya akan merombak total kawasan blok A seluas kurang lebih 2.500 m2 dengan membangun gedung baru yang terdiri atas dua lantai dan satu basement. Basement inilah nantinya yang direncanakan pemko akan menjadi alternatif lokasi baru bagi PKL yang berada di sepanjang Jalan Pasar Raya tersebut. Dalam rencananya, pemerintah akan menggandeng pihak swasta yang sudah setuju untuk berinvestasi dalam pengembangan pasar ini. Pelaksanaannya diancang-ancang selesai dalam jangka waktu 18 bulan, dan Pemko Padang berharap bisa memulai pelaksanaannya di akhir tahun 2017 ini atau di awal tahun 2018.

c. Pembangunan jalur akses (fly over) Pasar Raya. Rencana ini merupakan salah satu mega proyek yang akan dilaksanakan oleh pemerintah Kota Padang dalam mengubah ”wajah” Pasar Raya Padang menjadi lebih apik dan modern. Konsep jalur akses (fly over) ini dimaksudkan untuk menghubungkan antara gedung pasar yang satu dengan yang lainnya, sehingga selain memberikan kemudahan akses bagi para pengunjung pasar untuk dapat terhubung antargedung dan berbelanja kebutuhan harian yang berbeda jenis. Jalur akses ini juga bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan kesemrawutan yang ditimbulkan dari bangkitan lalu lintas pergerakan orang dan kendaraan. Dalam wacana Pemko Padang, proyek ini diharapkan

dapat segera terlaksana di tahun 2019 .

Melihat rencana program yang akan dijalankan oleh pemerintah Kota Padang dalam kurun waktu lima tahun ke depan, tampaknya Pemko Padang sangat serius ingin membenahi kondisi fisik kawasan Pasar Raya secara menyeluruh. Dan yang diharapkan pemerintah kota adalah program-program ini tidak hanya mampu memberikan solusi dari permasalahan PKL dan fisik pasar yang semrawut yang sudah terjadi sekian lama, namun diharapkan juga mampu mengantisipasi dan menampung lonjakan jumlah pedagang resmi maupun pedagang kaki lima di masa depan.

4. Pemberdayaan PKL

Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) oleh Pemerintah Pusat diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima yang kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Dalam

Page 285: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

274 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Permendagri disebutkan bahwa tujuan penataan dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah untuk memberikan kesempatan berusaha bagi PKL melalui penetapan lokasi sesuai dengan peruntukannya, menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan usaha PKL menjadi usaha ekonomi mikro yang tangguh dan mandiri, dan untuk mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.

Dengan adanya Perpres Nomor 125 Tahun 2012 dan Permendagri Nomor 41 Tahun 2012, maka pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten wajib melakukan penataan dan pembinaan PKL di wilayahnya masing-masing. Salah satu amanat yang tercantum di dalam Permendagri Nomor 41 Tahun 2012 adalah bupati/wali kota menetapkan lokasi atau kawasan sesuai peruntukannya sebagai lokasi tempat kegiatan usaha PKL. Penetapan lokasi atau kawasan tempat kegiatan usaha PKL dilakukan dengan memperhatikan kepentingan umum, sosial, budaya, estetika, ekonomi, keamanan, ketertiban, kesehatan, kebersihan lingkungan dan sesuai dengan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Lokasi tempat kegiatan usaha PKL merupakan lokasi binaan bupati/wali kota yang bersifat permanen atau sementara dan telah dilengkapi dengan papan nama lokasi dan rambu atau tanda yang menerangkan batasan jumlah PKL sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, wali kota juga diwajibkan untuk melakukan pemberdayaan terhadap PKL melalui peningkatan kemampuan berusaha, fasilitasi akses permodalan, fasilitasi bantuan sarana dagang, penguatan kelembagaan, fasilitasi peningkatan produksi, pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi, serta pembinaan dan bimbingan teknis. Sedangkan pemberdayaan PKL yang membutuhkan fasilitasi kerja sama antarkabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.

Dalam melakukan pemberdayaan PKL, bupati/wali kota dapat melakukan kerja sama atau kemitraan dengan dunia usaha melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) dalam bentuk penataan peremajaan tempat usaha PKL, peningkatan kemampuan berwirausaha melalui bimbingan, pelatihan, dan bantuan permodalan, promosi usaha dan event pada lokasi binaan, dan berperan aktif dalam penataan PKL di kawasan perkotaan agar menjadi lebih tertib, bersih, indah,

dan nyaman.

Page 286: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 275

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Lebih dari separuh para PKL di lokasi penelitian ini memiliki pendapatan bruto di bawah Rp500.000,00 setiap harinya, dan umumnya mereka hanya mendapatkan laba bersih sekitar 15−20% dari pendapatannya. Pedagang kaki lima di kawasan ini sudah sangat lama menjalani profesi sebagai PKL. Sebanyak 30,26% PKL tersebut sudah berjualan selama lebih dari 15 tahun, dan 35,53% di antaranya sudah berdagang kurang dari 10 tahun. Hasil dari analisis tingkat pendidikan PKL juga semakin menguatkan ciri dari sektor informal, yaitu berpendidikan rendah. Di mana sebanyak 36,84% pedagang kaki lima merupakan lulusan SMA, dan sebesar 52,63% merupakan lulusan SMP, sebanyak 7,9% dari sampel hanya mengecap pendidikan hingga SD, dan hanya sekitar 2,63% dari mereka yang lulusan perguruan tinggi. Sebagian besar PKL menggunakan bahu/badan jalan (63,16%) sebagai tempat berjualan, sedangkan sisanya sekitar 36,84% menggunakan trotoar, lahan parkir, maupun selasar toko sebagai lokasi mereka berjualan. Umumnya mereka tidak mengetahui bahwa lokasi yang mereka gunakan merupakan ruang publik, dan penggunaan lokasi tersebut menyalahi aturan.

2. Sebanyak 73,68% dari populasi pedagang tersebut memilih lokasi saat ini dikarenakan ramainya calon pembeli yang datang setiap harinya. Sedangkan 14,47% pedagang beranggapan bahwa karena berjualan di lokasi ini omset atau pendapatan mereka meningkat tinggi, dan sisanya sekitar 9,21% karena lokasi dianggap strategis, 2,63% beranggapan tidak ada pilihan tempat yang lebih baik. Persepsi para PKL mengenai wacana relokasi, sebagian besar dari mereka memilih menolak untuk direlokasi (61,84%), sebagian lagi (38,16%) setuju saja dengan kebijakan pemerintah jika memang harus direlokasi dengan syarat mereka difasilitasi dengan baik dan memiliki kios baru yang memadai. Namun peluang pemerintah untuk berhasil merelokasi cukup besar, karena para PKL yang menolak direlokasi saat ditanya lebih lanjut pada dasarnya tetap akan patuh pada aturan pemerintah jika disediakan tempat yang lebih layak dan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan mereka. Sedangkan dari preferensinya, 47,37% dari total sampel menyatakan memilih dagangan yang bercampur dan sisanya sebanyak 52,63% menyatakan lebih memilih pengelompokan dagangan yang sejenis, dengan alasan untuk memudahkan para pembeli, dan menghindari penjatuhan harga barang oleh pedagang yang sejenis.

Page 287: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

276 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Dari lima variabel karakteristik PKL yang diteliti, yaitu tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, lama berdagang, kondisi fasilitas/sarana dagang serta lokasi berdagang saat ini, hasil dari regresi logistik biner menunjukkan dari lima variabel terdapat tiga variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesediaan PKL untuk direlokasi. Variabel tersebut adalah tingkat pendidikan, kondisi fasilitas/sarana dagang, serta jarak lokasi baru yang diinginkan PKL. Variabel tingkat pendidikan menunjukkan semakin tinggi wawasan dan pendidikan pedagang kaki lima, probabilitas kesediaan mereka untuk direlokasi semakin besar. Untuk variabel kondisi fasilitas/sarana dagang menunjukkan semakin tidak layak kondisi fasilitas PKL, maka probabilitas kesediaan mereka untuk direlokasi semakin besar pula. Pada variabel jarak lokasi pengaruhnya menunjukkan bahwa semakin dekat jarak lokasi dari pusat keramaian, maka kecenderungan PKL bersedia untk direlokasi juga semakin besar, atau sebaliknya semakin bertambah jauh jarak lokasi dari keramaian maka semakin kecil kecenderungan PKL bersedia direlokasi.

4. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Kota Padang dalam merumuskan strategi kebijakan haruslah mempertimbangkan variabel yang signifikan tersebut dalam menetapkan kebijakan agar nantinya berdampak positif.

Page 288: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

KONSISTENSI PENETAPAN PROGRAM PEMBANGUNAN BERDASARKANINDIKASI PROGRAM UTAMA RTRW PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Nama : Syarif Maududi Ansari

Instansi : Pemprov Kalimantan Barat

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan Kota dan

Daerah

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 289: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

278 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Integrasi antar dokumen perencanaan sangat penting bagi efektivitas pembangunan yang dituangkan dalam bentuk program yang memiliki konsistensi antara indikasi program utama RTRW dengan program pembangunan yang berujung pada teralokasinya anggaran melalui kegiatan pembangunan. Jika di Inggris perencanaan berbasis spasialnya memiliki konsistensi hingga terimplementasi kepada masyarakat dan sektor swasta, sedangkan di Indonesia konsistensi perencanaan lebih kompleks mengingat dualisme perencanaan yang ada. Penelitian ini dilakukan guna menilai konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW serta faktor yang menjadi penghambatnya. Penilaian konsistensi dilakukan melalui analisis umum integrasi antardokumen perencanaan berdasarkan Bappenas (2015) serta analisis konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004 serta UU No. 26 Tahun 2007, sedangkan faktor penghambat implementasi konsistensi menggunakan model implementasi G. Edward III (1980).

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dengan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui dokumentasi serta wawancara semi-terstruktur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW di Provinsi Kalimantan Barat pada tingkatan cukup dipengaruhi capaian dari masing-masing variabelnya serta tidak terlepas dari capaian tingkat integrasi antardokumen perencanaan yang hanya pada tingkatan cukup. Hal tersebut karena terhambat oleh faktor komunikasi dan struktur birokrasi yang tidak terimplementasi dengan baik, sehingga direkomendasikan agar membangun komunikasi dengan meningkatkan koordinasi perencanaan baik internal Bappeda maupun eksternal lintas sektor guna terwujudnya skenario pengembangan wilayah yang konsisten.

Kata kunci : Konsistensi Dokumen; Rencana Tata Ruang; Rencana Pembangunan

Page 290: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 279

ABSTRACT

Integration between plan documents is important for the effectiveness of development in the form of a program, that has consistency between the indication of the main program of spatial planning (RTRW) and development program, leading to the funds allocation for development process. In England, spatial-based planning has consistency being implemented to the society and private sector. Meanwhile, plan consistency in Indonesia is more complex due to the dualism in its planning process. This research aims to evaluate the consistency of the determination of development program based on the indication of the main program of RTRW, along with its obstacles. The consistency is evaluated by using general analysis of the integration of plan documents, based on Indonesian Ministry of National Development Planning (Bappenas) (2015), and consistency analysis of the determination of the development program, based on the indication of the main program of RTRW according to Indonesian Regulation No. 25 of 2004 and Indonesian Regulation No. 26 of 2007. Meanwhile, the obstacle of the implementation of consistency is analyzed using implementation model by G. Edward III (1980).

This research uses deductive approach through qualitative descriptive analysis, while the data is collected through documentation and semi-organized interview. The research shows that, in general, the consistency of the determination of development program based on the main program of RTRW in West Kalimantan Province is much influenced by each variable and is not separated from the reached integration level of plan documents that is still in the standard level. It is hampered by communication factor and bureaucracy structure that are not completely implemented. Therefore, it is suggested to develop communication by improving the coordination of planning program performed by both the internal party of Bappeda or external cross-sector to create consistency in area development.

Keywords: Document Consistency; Spatial Planning; Development Planning

Page 291: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

280 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KONSISTENSI PENETAPAN PROGRAM PEMBANGUNAN BERDASARKAN INDIKASI PROGRAM UTAMA RTRW

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

A. Latar Belakang

Perencanaan merupakan proses penting dari sebuah fungsi manajemen. Perencanaan harus terintegrasi secara efektif sehingga fungsi lainnya dapat berjalan secara optimal. Djunaedi (2012), Tarigan (2016), serta Saragih (2015) menyatakan bahwa perencanaan wilayah terdiri atas perencanaan tata ruang dan perencanaan pembangunan yang memuat aktivitas yang ada di atas ruang.

Dalam upaya pemanfaatan ruang diakomodasi dalam dokumen perencanaan pembangunan yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. SPPN merupakan acuan bagi pengguna ruang dari pemerintah pusat hingga ke daerah dengan mengatur penyusunan rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, hingga rencana pembangunan tahunan pemerintah. Masing-masing sektor pembangunan juga berkewajiban untuk menyusun dokumen rencana dalam bentuk Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja).

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, sampai dengan 2017 terdapat 32 dari 34 provinsi atau 94% provinsi di Indonesia yang telah melegalkan RTRW menjadi perda. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota berusaha untuk selalu menjalankan apa yang menjadi kewajibannya yang diatur di dalam ketentuan perundang-undangan. Kewajiban tersebut ialah dengan menyusun RTRW, RPJPD, serta RPJMD. Namun pemerintah daerah dengan telah menetapkan perda RTRW maupun perda rencana pembangunan bukan berarti telah menyelesaikan perencanaan wilayahnya secara ideal, tetapi harus dilihat mengenai keintegrasian antardokumen tersebut guna menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

Penekanan pada integrasi sejalan dengan ketentuan perundang-undangan. Baik Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional maupun Undang-Undang Penataan Ruang menghendaki adanya keintegrasian. Dalam sudut pandang penataan ruang, integrasi merupakan salah satu bentuk dari kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang guna memastikan program pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang agar mampu mewujdkan tertib ruang yang berujung pada teralokasinya

Page 292: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 281

anggaran pembangunan sesuai dengan skenario pengembangan wilayah 20 (dua puluh) tahun ke depan.

Konsistensi pemanfaatan ruang dapat dicapai dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Upaya integrasi tersebut sangat dipengaruhi ketersediaan regulasi serta kualitas SDM PNS pemerintah daerah. Kualitas SDM pada SKPD teknis yang terlibat langsung dalam pengusulan maupun ketersediaan data dalam penyusunan rencana sangat memengaruhi upaya integrasi, sehingga perencanaan tata ruang dan perencanaan pembangunan tidak terkesan berjalan masing-masing.

Keterbatasan SDM sejalan dengan yang dialami pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Data dari Sistem Informasi Kepegawaian (Simpeg) pemerintah Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan bahwa per Desember 2017, jumlah PNS di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat berjumlah 11.263 orang dengan komposisi 93,31% nya berkompetensi dasar dengan ijazah terakhir sarjana dan hanya 6,68% pegawai yang meningkatkan kompetensi melalui pendidikan magister dan doktoral. Namun nyatanya tetap dapat menyelesaikan penyusunan RTRW provinsi sebagai provinsi pertama di antara provinsi lain di Pulau Kalimantan. Kendala juga berasal dari luas wilayah yang harus diakomodir di dalam perencanaan yang mencapai 14.730.700 hektar sehingga menarik untuk diverifikasi konsistensi penyusunan rencana pembangunan berdasarkan

dengan arahan penataan ruang di Provinsi Kalimantan Barat.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Menurut European Commission (1997) di dalam Mario Reimer dkk., (2014), berdasarkan karakteristiknya, sistem perencanaan dikategorikan ke dalam 4 (empat) pendekatan, antara lain:

1. Pendekatan komprehensif-terpadu (comprehensive-integrated approach).

2. Pendekatan perencanaan ekonomi wilayah (regional economic approach).

3. Pendekatan urbanisme (urbanism).

4. Pendekatan penggunaan lahan dan pengelolaan pertumbuhan (land use and growth management).

Sebagai contoh Inggris Raya menurut Taylor (2010) dan Morphet (2011) menerapkan 3 (tiga) tingkatan perencanaan, yakni Planning policy statements, regional spatial strategies, dan local development framework. Pada pemerintahan lokal integrasi dilakukan berdasarkan hirarki dengan berlandaskan prinsip-prinsip yang disampaikan

Page 293: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

282 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Taylor (2010) yakni Visionary, Wide-ranging, Participative, Integrating, Responsive, Deliverable.

Berdasarkan amatannya di Inggris, Morphet (2011) memberikan kerangka perencanaan berbasis spasial yang integrasi di dalamnya berbentuk vertikal antarlapisan dari aspek perencanaan hingga terimplementasi oleh masyarakat dan swasta. Untuk sistem perencanaan di Indonesia, integrasi perencanaan lebih kompleks dari piramida kerangka perencanaan Morphet (2011) yang di dalam tulisan ini terdapat pada kerangka teori, karena di Indonesia perencanaan terdiri atas perencanaan tata ruang serta perencanaan pembangunan yang terpisah sehingga diperlukan integrasi vertikal maupun horizontal.

Bagaimana upaya integrasi perencanaan tersebut perlu diungkap mengingat masing-masing perencanaan memuat kepentingan yang berbeda. Permasalahan integrasi antardokumen perencanaan dapat dikaji melalui perspektif kebijkan publik. Menurut Healey (1997), perencanaan merupakan bagian dari sebuah kebijakan. Baik perencanaan tata ruang maupun rencana pembangunan dapat dibahas dalam suatu kebijakan publik. Kebijakan publik itu selaras menurut Nugroho (2014: 8) terdiri atas kebijakan formal, konvensi, ucapan pejabat publik, dan perilaku pejabat publik, di mana kebijakan formal dikelompokkan menjadi perundang-undangan, hukum, dan regulasi.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deduktif dengan fokus pada konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW Provinsi Kalimantan Barat. Tentunya membutuhkan upaya-upaya oleh SKPD di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat untuk mengimplementasikannya melalui konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW dengan segala keterbatasan SDM yang dimiliki pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif kualitatif dengan porsi yang cukup besar pada content analysis. Menurut Chadwick dkk., (1991) analisis isi merupakan suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik-karakteristik khusus pesan secara objektif dan sistematis. Isi pesan tersebut dianalisis untuk menentukan frekuensi kemunculan tema/gagasan tertentu dan seberapa besar porsinya dari keseluruhan komunikasi. Hasilnya memungkinkan peneliti untuk menyimpulkan tentang karakteristik pembuat pesan, termasuk cara pandang terhadap tema tertentu. Lebih lanjut Walizer and Weimer (1978) menyatakan bahwa salah satu produk analisis isi yang paling berguna adalah analisis

kecenderungan-kecenderungan yang terjadi selama kurun waktu tertentu.

Page 294: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 283

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kebijakan Perencanaan Tata Ruang Provinsi Kalimantan Barat

Pada saat ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dalam rencana penataan ruangnya berdasarkan pada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014−2034. Proses penyusunan peraturan daerah tersebut telah dimulai dari tahun 2008 hingga dapat diperdakan pada tahun 2014. Adapun dokumen RTRW Provinsi Kalimantan Barat dalam perencanaan penataan ruangnya, terdiri atas tujuan penataan ruang, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana struktur ruang, pola ruang, serta kawasan strategis provinsi sebagai berikut.

a. Tujuan penataan ruang

Tujuan penataan ruang merupakan satu goals yang ingin dicapai terkait dengan penyelenggaraan keruangan. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014−2034, penataan ruang wilayah provinsi bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang aman, produktif, seimbang, terpadu, berkelanjutan, dan berkeadilan melalui pengembangan wilayah berbasis pada agribisnis, industri, dan pariwisata yang mengakomodasi kearifan lokal untuk meningkatkan daya saing daerah dan kesejahteraan masyarakat, dengan pengembangan kawasan perbatasan negara sebagai beranda depan negara. Hal tersebut tentunya telah menyesuaikan asas penataan ruang serta sejalan dengan tujuan penataan ruang yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

b. Kebijakan dan strategi penataan ruang

Guna mencapai tujuan penataan ruang diperlukan beberapa kebijakan penataan ruang. Kebijakan penataan ruang merupakan langkah aktif menuju tujuan penataan ruang tersebut. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 10 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014−2034, terdapat 7 (tujuh) Kebijakan Penataan Ruang wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Ketujuh Kebijakan Penataan Ruang wilayah Provinsi Kalimantan Barat, antara lain: (a) Pengembangan fungsi dan peningkatan peran dari pusat-pusat kegiatan dan/atau kawasan strategis baik dalam lingkup internal maupun eksternal, (b) Pengembangan sistem infrastruktur terpadu dan berhirarki untuk mendukung pengembangan pusat-pusat pertumbuhan,

Page 295: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

284 Direktori Mini Tesis-Disertasi

perkembangan antarbagian wilayah, serta pengembangan kawasan strategis, (c) Pemantapan perwujudan kawasan berfungsi melindungi kelestarian lingkungan, (d) Pengembangan sektor unggulan agribisnis, industri, dan pariwisata sebagai pendorong peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi wilayah yang didukung dengan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan, (e) Pengembangan kawasan budi daya yang terpadu sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan, (f) Pengembangan kawasan perbatasan untuk kepentingan pertahanan dan keamanan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat; serta (g) Pengembangan kawasan berbasis mitigasi bencana, kearifan lokal, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, serta pencegahan dan penyelesaian konflik pemanfaatan ruang.

c. Rencana struktur ruang wilayah Provinsi Kalimantan Barat

Rencana struktur ruang wilayah Provinsi Kalimantan Barat meliputi rencana pusat-pusat kegiatan, rencana sistem jaringan prasarana utama, serta rencana sistem jaringan prasarana lainnya. Rencana pusat-pusat kegiatan di Provinsi Kalimantan Barat terdiri atas 1 (satu) lokasi PKN (Pusat Kegiatan Nasional), 8 (delapan) lokasi PKW (Pusat Kegiatan Wilayah), 6 (enam) lokasi PKSN (Pusat Kegiatan Strategis Nasional), 5 (lima) lokasi PKWp (Pusat Kegiatan Wilayah yang Dipromosikan), serta 11 (sebelas) lokasi PKL (Pusat Kegiatan Lokal).

Adapun untuk rencana sistem jaringan prasarana utama di wilayah Provinsi Kalimantan Barat terdiri atas sistem jaringan transportasi darat, perkeretaapian, laut, serta udara. Sementara untuk rencana sistem jaringan prasarana lainnya di wilayah Provinsi Kalimantan Barat terdiri atas sistem jaringan energi, jaringan telekomunikasi, jaringan sumber daya air, sistem prasarana dan sarana persampahan, serta sistem prasarana dan sarana sanitasi.

2. Aspek-Aspek Umum Integrasi Dokumen RTRW dengan Dokumen Rencana Pembangunan di Provinsi Kalimantan Barat

Berdasarkan hasil analisa integrasi terhadap aspek umum integrasi dokumen perencanaan yang dikeluarkan Bappenas (2015), didapati bahwa secara keseluruhan integrasi antara dokumen RTRW dengan rencana pembangunan hanya memiliki tingkat integrasi cukup. Tingkat integrasi tersebut tidak terlepas dari tingkat integrasi masing-masing jenis integrasi dokumen, yakni integrasi

Page 296: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 285

prosedur, integrasi status kekuatan hukum, integrasi periodesasi waktu, serta integrasi muatan.

Untuk integrasi periodesasi waktu didapati bahwa seluruh dokumen perencanaan yakni RTRW, RPJPD, maupun RPJMD Provinsi Kalimantan Barat memiliki periodesasi waktu yang berbeda satu sama lain. Sedangkan untuk aspek muatan, semakin detail tingkatan muatan dokumen yang dibandingkan maka semakin operasional kata kunci yang digunakan. Hal tersebut menyebabkan timbulnya bias antardokumen perencanaan tersebut semakin besar, yang

mengakibatkan integrasi muatan hanya pada tingkatan cukup.

3. Konsistensi Penetapan Program Pembangunan Berdasarkan Indikasi Program Utama RTRW Provinsi Kalimantan Barat

Berdasarkan hasil analisa terhadap masing-masing variabel indikasi program utama RTRW yang digunakan sebagai aspek pengukuran tingkat konsistensi penetapan program pembangunan ditemukan hasil yang bervariasi. Tingkat konsistensi indikasi program utama RTRW terhadap program pembangunan Provinsi Kalimantan Barat hanya mencapai kriteria cukup dengan nilai rata-rata 56,21%. Tingkat konsistensi penetapan program pembangunan terhadap indikasi program utama RTRW secara umum tidak mampu mencapai bobot persentase maksimal masing-masing topik. Dapat dilihat dari grafik di atas hanya topik perwujudan pola ruang kawasan lindung yang mendekati dengan bobot maksimal sebuah topik. Hal tersebut dikarenakan untuk mewujudkan pola ruang kawasan lindung hanya terdiri atas satu instansi yakni Dinas Kehutanan sehingga tidak terlalu memerlukan koordinasi yang besar seperti pada topik yang lain yang memerlukan koordinasi yang lebih kompleks. Untuk topik lain yang melibatkan banyak instansi serta stakeholder terkait menyebabkan capaian konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW tidak dapat mencapai nilai maksimal.

Selanjutnya perlu analisis lebih mendalam terkait implementasi konsistensi yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Kalimantan Barat selama kurun waktu tahun 2015 hingga 2018. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat capaian yang didapat masih jauh dari memuaskan untuk pada level provinsi yakni hanya pada tingkatan cukup. Padahal untuk tataran provinsi seharusnya jauh lebih baik. Hal tersebut karena provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah harus mampu mengoordinasikan seluruh kabupaten dan kota se-Kalimantan Barat. Bagaimana kabupaten kota tingkat integrasi dokumen perencanaannya bisa pada tingkatan baik bila pada level koordinatornya saja yakni pemerintah Provinsi Kalimantan Barat

Page 297: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

286 Direktori Mini Tesis-Disertasi

tidak mampu mewujudkan konsistensi integrasi yang baik antara indikasi program utama RTRW dengan program pembangunan di pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Menjadi penting untuk dianalisis terkait variabel yang memengaruhi proses implementasi konsistensi penetapan program pembangunan terhadap indikasi program utama RTRW Provinsi Kalimantan Barat selama rentang tahun tersebut. Analisis tersebut berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menghambat konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program

utama RTRW di pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

4. Konsistensi Implementasi Indikasi Program Utama RTRW ke dalam Program Pembangunan

Konsistensi implementasi indikasi program utama RTRW ke dalam program pembangunan dilakukan dalam upaya mencapai tujuan kebijakan publik. Hal ini dalam rangka menyelaraskan antara goals dari masing-masing dokumen perencanaan menjadi suatu tujuan yang saling terintegrasi. Terkait dengan konsistensi implementasi dokumen perencanaan, Bastian (2006) menyatakan bahwa muara dari upaya menjamin keterkaitan dan konsistensinya suatu perencanaan melalui mekanisme penganggaran.

Mengenai konsistensi program ketataruangan di dalam dokumen perencanaan pembangunan, telah diangkat menjadi salah satu dari 8 (delapan) prioritas pembangunan Provinsi Kalimantan Barat yakni mengenai sarana dan prasarana, wilayah, dan tata ruang. Lebih lanjut pada penetapan program yang melekat pada SKPD di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, memiliki konsistensi dengan indikasi program utama RTRW berjumlah 65 program pembangunan dan dijabarkan menjadi 141 kegiatan pembangunan yang terdapat pada 16 SKPD teknis di lingkungan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.

Beberapa urusan memiliki jumlah program yang bervariasi. Untuk urusan kehutanan terjabarkan menjadi 12 program dalam mengisi manajemen kawasan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi. Selain itu, ada pula urusan yang terjabarkan dalam satu program pembangunan seperti pengolahan sampah, drainase, dan limbah, serta urusan yang berkaitan dengan penyediaan infrastruktur air minum dan infrastruktur pendidikan.

Secara umum indikasi program utama RTRW Provinsi Kalimantan Barat telah memiliki konsistensi implementasi melalui sistem penganggaran di dalam rencana pembangunan pemerintah Provinsi Kalimantan Barat. Namun, tingkat konsistensi antara indikasi program utama RTRW dengan program pembangunan hanya pada tingkat cukup. Untuk urusan di atas sebenarnya dapat memuat lebih banyak urusan

Page 298: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 287

seperti urusan infrastruktur telekomunikasi dan informatika maupun manajemen mitigasi bencana yang saat ini belum konsisten dengan yang ada di dalam indikasi program utama RTRW. Selain itu, juga dapat meningkatkan implementasi penganggaran yang telah ada menjadi lebih besar dari sebelumnya terkait dengan

upaya perwujudan struktur ruang maupun pola ruang.

5. Faktor Penghambat Terimplementasinya Penetapan Program Pembangunan Berdasarkan Indikasi Program Utama RTRW

Berdasarkan penjelasan sebelumnya mengenai faktor-faktor keberhasilakan implementasi kebijakan publik menurut George Edward III, terdapat 2 (dua) faktor yang paling dominan dalam menghambat penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW di Provinsi Kalimantan Barat, yakni faktor komunikasi dan struktur birokrasi. Faktor komunikasi menjadi faktor penghambat karena berdasarkan hasil penelitian ditemukan belum adanya komunikasi yang baik antar-SKPD dalam mewujudkan integrasi antara tujuan penataan ruang serta visi Provinsi Kalimantan Barat. Kenyataannya masing-masing SKPD lebih banyak mementingkan ego sektoral. Selain itu masih lemahnya komunikasi antarbagian di dalam SKPD maupun antarindividu melalui transfer of knowledge antara pejabat yang lama kepada pejabat yang baru karena dinamika birokrasi yang begitu cepat di daerah, sehingga menimbulkan inkonsistensi implementasi kebijakan.

Faktor struktur birokrasi juga menjadi salah satu faktor dominan yang menghambat upaya konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW. Hal tersebut disebabkan hingga saat ini belum terdapat SOP maupun peraturan teknis mengenai penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW. Hal ini menyebabkan instansi teknis tidak mempertimbangkan indikasi program utama RTRW dalam merencanakan program pembangunannya. Selain itu, juga disebabkan karena sebagian besar SKPD teknis memiliki dualisme perencanaan. Perencanaan dimaksud, yakni perencanaan program pembangunan secara horizontal melalui pembiayaan APBD serta berkoordinasi dengan instansi vertikalnya di pusat dalam perencanaan pembangunan daerah melalui pembiayaan APBN. Terkadang terdapat perbedaan mengenai prioritas perencanaan yang menyebabkan antarperencanaan di daerah cenderung terabaikan, sehingga konsistensi penetapan program pembangunan

berdasarkan indikasi program utama RTRW hanya pada tingkat konsistensi cukup.

Page 299: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

288 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Secara umum konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW pada tingkatan cukup. Capaian tersebut belum memuaskan untuk tingkat pemerintahan provinsi karena perannya sebagai koordinator bagi seluruh kabupaten/kota sekaligus sebagai wakil pemerintah pusat di daerah seharusnya memiliki tingkat konsistensi yang baik antarprogram di dalam dokumen perencanaannya. Capaian tersebut tidak terlepas dari capaian masing-masing variabelnya, baik konsistensi konteks muatan, instansi pelaksana, lokasi, waktu pelaksanaan, serta pendanaan. Capaian tingkat konsistensi program pembangunan juga tidak terlepas dari capaian tingkat integrasi antardokumen perencanaan yang di dalam penelitian ini hanya pada tingkatan cukup. Adapun terdapat dua faktor yang dapat menghambat terimplementasinya konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW. Kedua faktor tersebut adalah 1) faktor komunikasi dan 2) faktor struktur birokrasi.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW di Provinsi Kalimantan Barat yang berada pada tingkatan cukup tidak terlepas dari capaian integrasi antardokumen perencanaan yang juga berada pada tingkatan cukup. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor komunikasi dan struktur birokrasi yang tidak terimplementasi dengan baik.

E. Rekomendasi Kebijakan

Dalam upaya meningkatkan konsistensi penetapan program pembangunan berdasarkan indikasi program utama RTRW Provinsi Kalimantan Barat, perlu kiranya untuk lebih meningkatkan beberapa hal antara lain sebagai berikut.

1. Bappeda selaku koordinator perencanaan di pemerintah Provinsi Kalimantan Barat perlu melaksanakan rapat internal antarbidang maupun koordinasi eksternal dengan Dinas Pekerjaan Umum terkait dengan pembagian urusan penataan ruang. Hal tersebut agar tidak terdapat urusan yang tumpang tindih maupun tidak dilaksanakan.

2. Melaksanakan rapat koordinasi lintas sektor yang diarahkan pada pembentukan konsensus untuk dilaksanakan bersama serta dapat membuat sebuah telaah staf yang berisi kajian mengenai pentingnya upaya integrasi dokumen perencanaan dalam proses pembangunan Provinsi Kalimantan Barat kepada kementerian terkait guna penyusunan produk hukum yang lebih besar.

3. Selain itu perlu memperkuat SDM aparatur pada dinas teknis untuk peningkatan kompetensi melalui diklat mengenai ketataruangan, sehingga tidak hanya

Page 300: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 289

terpaku pada job desk SKPD-nya saja yang dapat menimbukan ego sektoral, namun pembangunan Provinsi Kalimantan Barat yang lebih komprehensif.

Page 301: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

290 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 302: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PERFORMACE OF SAMPAN (SAPTA MITRA PANTURA) INTERREGIONAL COOPERATION IN LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT

Nama : Tri Aji Pefridiyono

Instansi : Pemkot Tegal

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 303: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

292 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRACT

The provision of interregional cooperation is emphasized in the reform era in Law No. 23 Year 2014 about Local Government. The central government opens more opportunities and encourage regions to implement interregional cooperation. One of the efforts is to provide the option of compulsory cooperation and voluntary cooperation. Thus, this will encourage regions to realize that cooperation between regions is a necessity that must be implemented in order to realize the development goals.

The problems of interregional cooperation emerged when the opportunities for interregional cooperation were more open, whereas the interregional cooperation that have been running actually stagnated in sustainability. SAMPAN is one of the interregional cooperation in Indonesia consisting of seven regions in Central Java. SAMPAN is an interregional cooperation in the field of regional management focusing on the development of the sectors of tourism, trade and investment. Even though SAMPAN stagnated since 2012, several studies related to SAMPAN suggested that interregional cooperation gave benefits for local regions. The research titled ‘Performance of SAMPAN Interregional Cooperation in Local Economic Development’ is a deductive qualitative research conducted by processing data obtained from interviews with stakeholders in the SAMPAN region.

The results suggested that the performance of SAMPAN institutions is moderate. This is because several performance indicators did not meet all the criteria. Meanwhile, program performance was divided into indicators of inputs, outputs, outcomes, and impacts. Input had high performance because SAMPAN was considered to be capable of managing existing resources although the limited personnel and budgets have not provided results optimally on long-term outcomes and impacts. On the other hand, there was a contradiction between the output component and the outcome. Output had low performance but resulted higher outcome performance. This indicated that SAMPAN was considered capable of running its programs even with its non-optimum internal conditions in coordination with the SAMPAN’s member regions. However, the performance of the outcome and impact were still very low. This means that the program has implemented a significant economic development in the SAMPAN region. The low performance of the SAMPAN program in providing positive impact for local economic development shows that local economic development could not be achieved in the short term (5−10 years), otherwise it must be sustainable.

The main factor affecting the performance of SAMPAN is funding due to transformation of rules. Another factor is the commitment of the executives (mayors or

Page 304: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 293

regents) and legislative, especially related to the policy of cross-border development, including infrastructure development. Therefore, the consequences of the commitment

will be implemented in the budgeting of SAMPAN funding.

Page 305: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

294 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERFORMACE OF SAMPAN (SAPTA MITRA PANTURA) INTERREGIONAL COOPERATION

IN LOCAL ECONOMIC DEVELOPMENT

A. Background

In Central Java, until 2009 there were at least three interregional cooperation, namely Subosukowonosraten, Barlingmascakeb, and SAMPAN. One of them was SAMPAN (Sapta Mitra Pantura), formed in 2005 through the signing of Joint Decree on 7th of June 2005 by seven regional heads of Batang, Pekalongan, Pekalongan City, Pemalang, Tegal, Tegal City, and Brebes.

Interregional cooperation in Central Java has many positive benefits for the regions incorporated in it, both local economy and improvement of public services. In addition, to be instrument in promoting regional economic development, interregional cooperation can also realize regional potentials in other fields (Sotarauta di Putranto, 2013). Another advantage that can be gained through interregional cooperation is to improve the image and identity of the region. Interregional cooperation is also useful in improving public services, such as accessibility of resources, markets, and capital by business actors.

B. Research Problems and Methodology

The problems of interregional cooperation are influenced by the internal dynamics of the region and the intensity of communication among the regions involved. The policy of regional autonomy tends to make the region oriented to its own region (Sutrisno in Indriya, 2012). Another problem is the change of the regional system covering the SAMPAN area in the Central Java Spatial Plan divided into Bregasmalang and Petanglong, which will certainly affect the orientation of interregional interaction. The impact of the above problems is also experienced by SAMPAN. The intensity of the SAMPAN activity decreases until it becomes stagnant.

From the above description, which is urgent to be implemented is a strategy of revitalization of interregional cooperation based on the conditions of cooperation institutions. Therefore, this research is needed to harmonize the conditions of interregional cooperation institutions and the factors that influence their sustainability. Thus, the objectives of this study are to evaluate the SAMPAN condition while still active and to determine the factors affecting the stagnation of SAMPAN.

Page 306: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 295

This study used a qualitative-deductive approach. The deductive analysis is conducted for the selection of early indicators, which are considered to represent various activities of interregional cooperation performance, through analysis of various regulations and literature related to interregional cooperation.

Based on the objectives, this research includes descriptive research, while based on the establishment of scientific, this research includes deductive research. The deductive method is a research method based on a proven theory in the field. In other words, researchers enter the field with indicators, parameters, and variables synthesized from the theory and literature review used to answer research questions.

C. Data Analysis and Results

1. Performance of SAMPAN Interregional Cooperation

a. Institutional Performance

• Effectiveness

SAMPAN, as an institution engaged in the field of Regional Management, focused on developing the field of tourism, trade, and investment. According to Pemalang respondents, the effectiveness of SAMPAN in achieving its goal was still far from perfect. This is because not all goals have been fulfilled since the founding of SAMPAN.

For the purpose of realizing synergy in managing and exploiting the potential of the region, SAMPAN has been able to perform this task on a regular basis. The next objective is to synchronize the drafting of local regulations to reduce bureaucratic obstacles in investment and economic activities. This effort has not been done because before SAMPAN was formed, each region already had its own policy product in local investment. Thus, the change of regulation in the regions became difficult because it involved the legislature of each region.

The next objective is to strengthen the bargaining position and improve the competitiveness of regions in order to access the national and international markets to take advantage of the era of economic globalization that is also linked to the ultimate goal of building inter-regional partnerships, provincial governments (Central Java provinces), central government and national NGOs and international. By building partnerships with government and non-government agencies, it is expected to improve bargaining position of SAMPAN to have a bigger role in national and international markets.

Page 307: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

296 Direktori Mini Tesis-Disertasi

• Efficiency

Efficient means that what has been released by SAMPAN can result in greater return for SAMPAN. The efficiency achieved by SAMPAN was shown in the results of the SAMPAN Expo and Auction Market. The data showed that the transaction value exceeded the funds contributed by seven regions (Rp700 million). Thus, it can be said that SAMPAN was quite efficient in generating revenue for business actor in SAMPAN region.

• Competency

According to the organizational structure, there are two different authorities within the SAMPAN organization, Executive Board and Regional Management. As Muktiali, a respondent who is an academic of Diponegoro University, said that the two elements have different tasks. The Executive Board has the task of strengthening government institutions. Meanwhile, Regional Management has duties in the field of economy and business development in the field of tourism, trade, and investment. In solving the problem, SAMPAN often clashed with the bureaucratic system, especially in the laws and regulations related to investment in the region. In this case, the authority of SAMPAN is limited to advised, both to local governments and to investors.

• Accountability

Accountability was done by delivering SAMPAN’S annual report to the assignor, in this case the local government in the SAMPAN region. Public accountability was done by disseminating the results of the SAMPAN program. An accountability reports prepared annually is a report on achieving the goals of SAMPAN. SAMPAN has many limitations in achieving its goals. The main obstacle is the limited human resources. As former SAMPAN’s economic analysts said, human resources in SAMPAN were very limited, both in terms of quantity and competence. Budget allocation is also a factor in achieving the goal of SAMPAN. In the end, SAMPAN only performed routine activities every year, such as exhibitions, auction markets, meetings, and secretarial activities.

• Integration

In the Central Java spatial plan, the Petanglong and Bregasmalang region, which serve the SAMPAN, were served as a strategic area for economic development. Spatial area SAMPAN has been integrated, but until now there has been no formal provisions that regulate the regionalization of

Page 308: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 297

Petanglong and Bregasmalang into institutions that implement the spatial policy of Central Java Province. Thus, SAMPAN, which was not formed through spatial policy, becomes the implementation of regional policy through the economic sector development.

• Equity

Equity in the SAMPAN organization was showed by the adoption of a rotating leadership system for the position of Chairman of the Executive Board. This means that each region had the same opportunity in holding a leadership position. In addition, equity can also be seen from the contribution of each region to finance the SAMPAN activities. Thus, each region has equal opportunities and positions. From the results of the assessment of institutional performance, it can be concluded that not all institutional performance criteria are met by SAMPAN. With a total score of seven, SAMPAN’s performance is categorized in MODERATE. (The assessment can

be seen in the Thesis Report).

b. Program Performance

Assessment of program performance is seen from input, output, outcome, and impact indicators. The program performance assessment table (can be seen in the thesis report) shows the input indicators achieving high score of 99,97% because input component (personnel and budget) are assumed to be sufficient for the implementation of the SAMPAN program. This shows that in general, personnel could work well, regardless of limited quantities, and limited funds.

Meanwhile, outcome achieved a moderate performance with a score of 66,64% because not all planned results can be achieved. While the output score is in the low category, with a score of 47,60%. These results contradict where outcome should be able to show output performance, whether its output can work or not. The problem in achieving Outcome is the implementation of the program or project. For example, the program has been realized, but because it does not give the expected result then the output performance is corrected. Another possibility is that the output is achieved without coordinating with the regions, so the score is low. This is because the criteria used to assess output is the number of areas involved in program implementation.

The final indicator in program evaluation is impact. In the program performance evaluation, the impact has the lowest performance with a score of 4,76%. The lows impact indicates that the SAMPAN program had no great influence, especially in the development of the local economy. However, two impacts that

Page 309: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

298 Direktori Mini Tesis-Disertasi

have a positive value in the performance appraisal program are the impact of the

auction market program and the promotion of potential investment programs.

2. Factors of Stagnation

This section explains the three factors that become obstacles in the implementation of SAMPAN interregional cooperation compiled from several respondents.

a. Transformation of Rules

The frequent change of rules leads to ineffective cooperation. This change is primarily related to interregional cooperation financing mechanisms. The regulatory framework related to the funding mechanism for cooperative institutions regulated by Minister of Home Affairs Regulation No. 37 of 2010, which directs the budget for cooperation to the grant mechanism. However, changes to grant provisions have resulted in many regions being reluctant to continue the interregional cooperation. Inconsistencies and weak legality in the budgeting mechanism still make the regions difficult to move. As stated by respondents from Pemalang, Mr. Teguh. So, another problem exists but it will not turn off SAMPAN activity. Because what SAMPAN required is fund. You can see further the regulations of the minister of internal affairs related to the rules of grant. The point is that the rule is killing, really killing. So, if other rules do not make or reduce the activity. But this kills its roots. In other words, SAMPAN is asked to keep running but its funding source is closed. So, SAMPAN until now never dispersed but its activity does not exist.

This legal basis is important for the sustainability of interregional cooperation. Abdurahman said that without a clear reference to a clear and legal concept, especially regarding governance and budgeting, interregional cooperation will remain stagnant. Thus, as long as there are no appropriate regulatory and policy changes, the region cannot be blamed if cooperation is not working effectively

(Abdurahman, 2014).

b. Interdependency among Members

Interdependence will also affect the sustainability of cooperation. Interdependence arises when one member affects the condition of the other member, in this case is the condition of the local economy. This dependence is fading along with the development of an era of regional autonomy that encourages regions to compete with each other to make their area as an independent region. It is well known that the implementation of decentralized governance in Indonesia is the impact of globalization. Globalization also brings

Page 310: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 299

about a new change, namely tight competition in all areas including inter-regional rivalry. According to Abdurahman (2014), the existence of regional autonomy arises a logical consequence of increasing the need for regions to strengthen regional competitiveness, not only regional. This is based on the fact that no region relies solely on its own potential.

The regional ego is indicated by the regional head’s policy which tends to emphasize hispolitical interests. Heads of regions tend to avoid unpopular policies, including establishing cooperation with neighboring regions. This is as said Abdullah Sungkar, who is a public figure in The City of Tegal.

The way of how mayors and regents think is very political. Political means populist. What is in his city is considered magnificent, it is considered successful. So they will not be interested in things like this (interregional cooperation). For example, The City of Tegal to finance the waste processing area or pay a fee to Tegal Regency who has a location. The people of Tegal City will respond negatively to the Tegal City Government because the government is considered incapable of managing its own waste, just spending the budget. Such a policy is considered unpopular. The mayor will not do that. This is the current regional psychological barrier.

From the description above, it can be understood that local governments still have not considered cooperation between regions as one of the innovations in the implementation of development. One reason is that local competition and ego in the spirit of regional autonomy is still considered to be narrow and regional. Each region spurs its own development without considering the capabilities and needs of other regions. This condition obstructs regional

initiatives to cooperate with other regions.

c. Political Will

Matters that potentially affect the performance of cooperation are the main issues that arise in the implementation of regional autonomy (Kuncoro, 2004). One of them is the political will, both from the central government and from the local government itself. In addition to differences in interests and policies at the local government level, the factor of political will is also derived from the legislature which is also one of the decision makers in interregional cooperation.

Page 311: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

300 Direktori Mini Tesis-Disertasi

In the case of interregional cooperation, the legislature has the authority to approve a plan of cooperation with other regions or with third parties that burden local budgets. However, what happens is the legislature to assess every budget issued by the government should bring tangible results for the region. Interregional cooperation that has been funded is considered not to provide significant results. As Muktiali stated in interview.

The role and function of interregional cooperation has not been fully understood, especially by the legislature. I still remember, they want instant results. Thus, the legislature argues that every rupiah spent should be able to bring real and quick benefits. In short, regions have capital, have established institutions but the benefits are not significant enough. So, they often decide not to approve the cooperation between regions.

To overcome these problems, according to Antonius Tarigan, there needs to be an understanding of the legislature on the use of budgets for cooperation between regions. Tarigan said that the regional cooperation that burdens the regions and communities should get the approval of the DPRD with the stipulation that the cost of cooperation has not been budgeted in local budgets or the use of local assets. However, if the cooperation undertaken to support the duties and functions of the relevant agencies and their costs have been budgeted in the APBD then it is not necessary to get approval from the representative board (Tarigan, 2009).

D. Conclusions

Several notes on the weakness of cooperation between regions experienced by SAMPAN include: first, cooperation between regions should be a priority development policy by each mayor and regent. Local ego, which is a major factor in the sustainability of interregional cooperation should be ignored for the sake of broader development. Second, the form of cooperation institution is very influential to the funding mechanism. So far, funding for interregional cooperation still depend on local budgets. Therefore, the form of cooperation and funding means is should be considered at the beginning of the agreement and supported by the legal basis.

However, interregional cooperation has provided many benefits to the region, both directly and indirectly, especially to regional and local economic development. On the one hand, cooperation will strengthen regional adherence in addressing regional

Page 312: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 301

problems, on the other hand, cooperation will strengthen the competitiveness of all

regions in order to compete in broader economic markets.

E. Recommendations

To re-activate SAMPAN interregional cooperation, there must be the initiative to rebuild cooperation. Proponents may come from the central government, provincial government, or from the regions. Regulations that support the implementation of interregional cooperation should also be prepared, particularly the funding regulations as the legal basis for the regions to allocate the budget so as not to become an administrative or legal issue in the future. Local governments should also actively improve their capacity and capabilities in interaction and communication with other regions. Regarding the form of cooperation institution, the regions should expand the field of cooperation into the public service. With the increasing number of areas of cooperation, the institutional form must also change.

Page 313: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

302 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 314: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

IDENTIFYING PRIORITY AREA FOR REHABILITATION BASED ON ABOVE-GROUND CARBON STOCK, POTENTIAL HABITAT OF ENDANGERED SPECIES AND DEGRADED LAND IN SELO DISTRICT, CENTRAL JAVA

Nama : Tulus Pambudi

Instansi : Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister of Urban and Regional

Planning

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Gadjah Mada

Page 315: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

304 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Untuk merehabilitasi lahan terdegradasi, kita harus mempertimbangkan tentang keberhasilan rehabilitasi. Salah satu aspek keberhasilan yang harus dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan rehabilitasi adalah kepentingan multi-pihak di Kabupaten Selo. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan tentang tujuan rehabilitasi. Ketika rehabilitasi direncanakan dengan baik, itu dapat meningkatkan kualitas tanah, meningkatkan jumlah stok karbon di atas tanah dan meningkatkan kualitas habitat satwa liar.

Studi ini memperkenalkan suatu pendekatan untuk mengidentifikasi kawasan prioritas rehabilitasi berdasarkan distribusi stok karbon di atas tanah, habitat potensial dari spesies yang terancam punah yang diwakili oleh Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) dan lahan terdegradasi. Selanjutnya, dengan analisis tipologi daerah prioritas rehabilitasi dan penggunaan lahan dilapis. Penggunaan Lahan dapat mewakili potensi konflik dengan masyarakat setempat, ketika rehabilitasi dilakukan.

Dengan analisis tipologi, jenis lahan yang terkait dengan rehabilitasi di Kabupaten Selo diketahui, ada tipe 1 (konflik tinggi dan prioritas tinggi), tipe 2 (konflik tinggi dan prioritas rendah), tipe 3 (konflik rendah dan prioritas tinggi), tipe 4 (konflik rendah dan prioritas rendah). Area tipe 1, tipe 2, tipe 3, tipe 4 masing-masing 2.193,81 Ha, 947,83 Ha, 409,04 ha, 717,27 Ha. Lebih jauh lagi, untuk mencapai keberhasilan rehabilitasi dan untuk mengatasi dilema sosial sementara kegiatan rehabilitasi dilaksanakan, maka strategi struktural dan psikologis harus dilakukan (Fujii, 2017).

Kata kunci: Rehabilitasi, Cadangan Karbon Di Atas Tanah, Habitat, Elang Jawa, Lahan Terdegradasi

Page 316: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 305

ABSTRACT

To rehabilitate degraded land, we should consider about the successfulness of rehabilitation. One of the successfulness aspects that should be involved in the rehabilitation planning and management is the interest of multi-stakeholders in Selo District. Moreover, we should also consider about the objective of the rehabilitation. When the rehabilitation properly planned, it can improve quality of the soil, increase amount of above-ground carbon stock and improve quality of wildlife habitat.

This study introduces an approach to identify rehabilitation priority area based on above-ground carbon stock distribution, potential habitat of endangered species that peroxide by Javan Hawk-eagle (Nisaetus bartelsi) and degraded land. Furthermore, by typology analysis the rehabilitation priority area and land use was overlaid. The land use could proxy potential conflict with the local people, when the rehabilitation is done.

By typology analysis, the type of land related to rehabilitation in Selo District was known, there are type 1 (high conflict and high priority), type 2 (high conflict and low priority), type 3 (low conflict and high priority), type 4 (low conflict and low priority). The area of type 1, type 2, type 3, type 4 are 2,193.81 ha, 947,83 ha, 409,04 ha, 717,27 ha respectively. Furthermore, to achieve successfulness of rehabilitation and to cope social dilemma while the rehabilitation activities is implemented, therefore structural and psychological strategy should be done (Fuji, 2017).

Keywords: Rehabilitation, Above-ground carbon stock, Habitat, Javan Hawk-eagle, degraded land

Page 317: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

306 Direktori Mini Tesis-Disertasi

IDENTIFYING PRIORITY AREA FOR REHABILITATION BASED ON ABOVE-GROUND CARBON STOCK, POTENTIAL HABITAT

OF ENDANGERED SPECIES AND DEGRADED LAND IN SELO DISTRICT, CENTRAL JAVA

A. Background

Land degradation is a global issue and represent quality of environment. It is related to decreasing of physical, chemical and biological condition on the land that caused by human activities such as cultivating seasonal crops in steep areas and settlement expansion in the improper area (FAO,2005). Furthermore, land degradation could be a threat to the functioning of ecosystem and human wellbeing.

Land degradation could be happening in the built environment such as corridor area of national park. One of corridor area of national park in Indonesia is Selo District, because this district is adjacent to Merapi National Park and Merbabu National Park. Theoretically, this district has a function to connect two national park by enhancing the quality of environment. Unfortunately, many improper human activities could be found in Selo District such as cultivating seasonal crops and settlement expansion in steep areas. These conditions could disconnect ecosystem connectivity from two national park.

Many activities could be chosen to mitigate degraded land in corridor area of national park such as restoration, reclamation, and rehabilitation. One of mitigation strategy that could be done is rehabilitation activity. It is a method that could improve the quality of environment but not necessarily to fully restore all components (FAO, 2005).

To rehabilitate the land in corridor area, we should consider about the successfulness of rehabilitation. The successfulness aspects that should be involved in the rehabilitation planning and management are consideration to potential conflict that could be represented by land use and the interest of multi-stakeholders in Selo District.

In Selo District we can found three main-stakeholders there are local people, local government, and national park manager (national government), which each of them have interest. National park manager has interest to conserve above-ground carbon stock and potential habitat of endangered species. While local communities and local government have interest to conserve degraded land because this is related to productivity of agriculture.

Page 318: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 307

By adding land use map, above-ground carbon stock distribution, potential habitat of endangered species and degraded land, this research will give understanding to local communities, local government and also national park manager about objective of the rehabilitation. Because the issue of biodiversity and climate change more interested for national park manager while local governments and the local people more aware of degraded land because there are related to agriculture.

Above-ground carbon stock not only related with the biomass storage but also could be used for basic information to develop low emission strategy in some area (Lavista, et. al., 2016). While to obtain the above-ground carbon stock, Landsat 8 Satellite imagery (September 18th, 2015) will be used. To obtain the numbers of above-ground carbon stock will be conducted by using correlation Normalized Difference Index (NDVI) with tree biomass in Selo District.

In this research potential habitat of endangered habitat will be represented with Potential habitat of Java Hawk-eagle (Nisaetus bartelsi). Java Hawk-eagle is an endangered raptor (Birdlife, 2017) that uses Merapi and Merbabu National Park and the surrounding the park as their habitat. This raptor has an important role in the ecosystem, in addition, The Government of Indonesia expects to increase the habitat quality and their population. Model of the potential habitat of Java Hawk-eagle that have developed by Syartinalia & Tsuyuki (2008) will be referred to depict the potential habitat spatially.

Moreover, we will also use the degraded land area as a variable. Degraded land is the important variable that could be considered on Selo district’s spatial planning because almost 39.57% area in Selo district was located in the steep and very steep sloop. It indicates that Selo district has vulnerability to landslide and degraded land. The degraded land map data that published by Ministry of Environment and Forestry

will be used.

B. Research Problems and Methodology

To rehabilitate some area, we should consider about the successfulness of rehabilitation. The successfulness aspects that should be involved in the rehabilitation planning and management are considerations to potential conflict that could be represented by land use and the interest of multi stakeholders in Selo District. In Selo District we can found three main stakeholders that have interest related to the land use, there are local people, local government and national park manager (national government).

Moreover, ecosystem improvement is the main goal on rehabilitation activity. The improvement quality of environment could be seen by some factors such as improving

Page 319: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

308 Direktori Mini Tesis-Disertasi

quality of soil, increasing amount of above-ground carbon stock and improving quality of wildlife habitat. Unfortunately, distribution of above-ground carbon stock and potential wildlife habitat not mentioned explicitly into technical guideline to determine priority area for rehabilitation in Indonesia.

Therefore, by adding three variables such as above-ground carbon stock distribution, Potential habitat of endangered species and degraded land, this research will give understanding to local communities, local government, and also national park manager. Moreover, this research is expected to propose an approach in term of rehabilitation activity that should consider potential conflict that could be represented by land use, about above-ground carbon stock, potential habitat of endangered species and degraded land.

1. Which are the area in Selo District that should be prioritized for rehabilitation based on above-ground carbon stock, potential habitat of Java Hawk-eagle, degraded land and potential conflict?

2. What are the strategies that could be implemented to support rehabilitation activity based on typology analysis?

C. Data Analysis and Results

1. Geographical Condition

Selo is one of district in Boyolali Regency, Central Java, Indonesia. The area of Selo District covers 6028,51 ha. Administratively, Selo District has 10 villages there are Tlogolele, Klakah, Jrakah, Lencoh, Samiran, Selo, Suroteleng, Tarubatang, Senden, and Jeruk. Selo District is adjacent to Magelang Regency in the northern and western part, in the southern part is adjacent to Yogyakarta Province, and in the eastern part adjacent to Cepogo and Ampel District.

This area stated as an important area for agriculture by local government. On the other hand, in terms of land management, Selo District is adjacent to Merapi National Park and Merbabu National Park. It means Selo District has a function to support national park sustainability.

In 2014, total rainy days in Selo District is 210 days and the precipitation rate in the amount of 3749 mm/year (BPS, 2016). Based the precipitation rate and total rainy days, Selo District could be categorized as type C wet. This type is very suitable for agriculture.

Page 320: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 309

Type of soil in Selo District is dominated by brown andosol, grey regosol complex, and litosol. Thus type of soil in Selo District is typical in the volcanoes area. Brown andosol, regosol, and litosol is the soil that are produced by volcanos

activity, therefore the type soils easy to find in the mountainous area.

2. Above-Ground Carbon Stock

Above-ground carbon stock was estimated by 50% of biomass in sample unit level (Chave, et al., 2005). In this case, biomass comprises all woody stems, branches, and leaves of living trees, creepers, climbers, and epiphytes as well as understory plants and herbaceous growth. For agricultural lands, this includes trees, crops, and weed biomass. Above-ground carbon stock in district level was calculated by model that was determined by regression analysis between NDVI and above-ground carbon stock in sample unit level. The model also has used for determining distribution of above-ground carbon stock in Selo District.

a. Vegetation Composition

25 sample units were placed in the study area, in each sample unit vegetation analysis were done. Based on the recorded data, bamboo, Schima walichii, Ficus benjamina, and Arthocarpus indicus are native species, while Acacia decurens, Schima walichii, Pinus merkusii, Toona sureni, Parasarientes falcataria, and coffee tree are introduction species. Tree species that are recorded will affect the value of above-ground carbon stock in sample unit level. This is caused by the value of wood density.

b. The relationship between Above-Ground Carbon Stock and NDVI

The regression analysis was applied to determine relationship between NDVI and above-ground carbon stock in sample unit level. The regression model that is used in this research is the simple linear regression model. This analysis will generate an equation that could be used to determine above-ground carbon stock in Selo District level. Based on the simple linear regression analysis, the model relationship between above-ground carbon stock and NDVI was determined. The relationship model is y = 8.422,6x – 1.600,1 with the value of R² = 0,806.

The total amount of above-ground carbon stock in Selo district is 46 x 10³ tonC (2.567 tonC/km²) that are distributed in outside national park, in Merbabu National Park and in Merapi National Park. The highest amount of above-ground carbon stock is in outside national park. However, the highest amount above-

ground carbon stock per hectare is in Merbabu National Park.

Page 321: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

310 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Potential Habitat of Java Hawk-Eagle (Nisaetus bartelsi)

To determine potential habitat of Java Hawk-eagle Syartinilia and Tsuyuki model (2008) was used. The model was developed by three variables there are slope, elevation, and NDVI. In this research, slope, and elevation was obtained from SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) 30 meter, while NDVI was obtained from Landsat 8 (September 18th 2015). NDVI data is same with the NDVI data that used for above-ground carbon stock calculation.

In this research, potential habitat of Java Hawk-eagle was distinguished into 4 (four) classes based on the distribution value of Pi. The distribution value of Pi in Selo District is 0,01−1. The classes of habitat of Java Hawk-eagle in Selo District are not suitable, potential, suitable, and very suitable. 91,18% or 5.496,85 ha area of Selo District are very suitable for Java Hawk-eagle. Only 2,61% or 157,12 ha area of Selo District are not suitable for Java Hawk-eagle. It means we should consider about habitat of Java Hawk-eagle, when we expect to rehabilitate Selo District. Because

Java Hawk-eagle is an Indonesian priority species to be increased their population.

4. Degraded Land

The degraded land data from Ministry of Environment and Forestry, Republic of Indonesia was used to determine degraded land in Selo District. The data is an appendix of Decree of General Directorate Watershed Management and Social Forestry, Ministry of Forestry, No. P.4/V-SET/2013 about Technical Guideline for Spatial Data of Degraded Land Preparation. 83,36% area in Selo District (5.025,24 ha) are semi degraded and potentially degraded. Whereas, only 7,42% (447,20 ha) area of Selo District are categorized in very degraded and degraded class.

According to thus information, land in Selo District must be rehabilitated.

5. Rehabilitation Priority Map

The Rehabilitation map in Selo District was determined based on three environmental aspects there are above-ground carbon stock distribution, potential habitat of Java Hawk-eagle, and degraded land. By superimposed method, range of combination score was conducted, the range of value between 0,22−1,4. Based on thus range, classes of rehabilitation area were obtained. In the rehabilitation map, priority area for rehabilitation in national park were neglected, because the national park should protect the natural condition. 66,15% area in Selo District (2.911,08 ha) prioritized and highly prioritized for rehabilitation. Whereas, only 2,07% (91,11 ha) area of Selo District are lowly prioritized for rehabilitation. It means, most of area in Selo District need to rehabilitate in terms of increase amount of above-ground

Page 322: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 311

carbon stock, increase quality habitat of Java Hawk-eagle and decrease number of

degraded land.

6. Type of Land for Rehabilitation in Selo District

The important points of classifying type of land in Selo District is to identify the priority area for rehabilitation based on rehabilitation map and the potential conflict of land based on land use map. Moreover, the type of land could also be used to determine rehabilitation strategies in Selo District.

Land in Selo District was distinguished into 4 types based on land use and rehabilitation map, there are type 1 (high conflict and high priority for rehabilitation), type 2 (high conflict and low priority for rehabilitation), type 3 (low conflict and low priority for rehabilitation), and type 4 (low conflict and high priority for rehabilitation). Besides four of land types, Selo District have also national park (Merbabu National Park and Merapi National Park) and temporary volcano mudflow path. Each types of land have different characteristics, some area has potential conflict if directly rehabilitate and other could be rehabilitated directly. The differences characteristic lead to differences in strategy approach. We could not apply the same strategies in each type of land.

Type 1 (high conflict and high priority for rehabilitation) is the highest area compare to other types, national park and volcano mudflow path area. It means most of area in Selo District need to rehabilitate, on the other hand most of area in Selo District have potential conflict, if we rehabilitate directly. In contrary, type 3 (low conflict and high priority for rehabilitation) is the lowest area in Selo district compare to other type. Type 3 cover only 6,79% (409,04 ha) area in Selo District. It means only small area in Selo District could be rehabilitated directly. Type 2 (high conflict and low priority for rehabilitation) and type 4 (low conflict and low priority for rehabilitation) are another type land in Selo District. Both of types are low priority for rehabilitation, but type 2 has high potential conflict and type 4 has low potential conflict. Type 2 cover 15,72% (947.83 ha) area of Selo District while type 4 cover 11,9% (717.27 ha) area of Selo District. The differences type of land indicate social dilemma happen in Selo District when we expect to rehabilitate land and to conserve Selo District. Therefore, the appropriate scenario should be arranged to support rehabilitation and conservation activities in Selo District.

7. Implication for Spatial Planning in Boyolali Regency

Spatial planning is the process of designing and creating places and buildings that fit into the environment. It also has a central role in ensuring that land is available

Page 323: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

312 Direktori Mini Tesis-Disertasi

to enable new development or regeneration to take place and balances the need for development with protection of the environment and local amenities.

In the spatial planning of Boyolali Regency, Selo District categorized as catchment area and protected area. According to local regulation, the ecosystem in this area should be protected. On the other hand, local government also set this area as strategic area for agriculture. The tradeoff condition between conserving ecosystem and developing agriculture occur in Selo District.

By considering land use, above-ground carbon stock, potential habitat of Java Hawk-eagle and degraded land, rehabilitation activity in Selo District is expected to conserve ecosystem and improve land productivity. Moreover, this activity is expected to support spatial planning in Selo District. The rehabilitation strategy that obtained based on type of land is expected to reduce land use conflict while the rehabilitation activity is done in Selo district. Through declining the land use conflict, rehabilitation activity could be properly running. It has implication for agriculture development and recovery of ecosystem in that is the objective of

spatial planning for Selo District.

D. Conclusion

1. This research is a practical application for determining rehabilitation area in the corridor area of national park. The involvement of above-ground carbon stock, potential habitat of Java Hawk-eagle and degraded land is an approach to achieve the goals of local government and central government to conserve ecosystem of protected area and to develop strategic area for agriculture. Moreover, by combining rehabilitation area and land use conflict, it could suggest strategy for rehabilitation in Selo District.

2. Based on above-ground carbon stock, Java Hawk-eagle habitat and degraded land, rehabilitation map in Selo District was obtained. 66,15% area in Selo District (2.911,08 ha) are prioritized and highly prioritized for rehabilitation. Whereas, only 2,07% (91,11 ha) area of Selo District are lowly prioritized for rehabilitation

3. Selo district has 4 types of land that must be considered if we want rehabilitate this area there are:

Type 1: high conflict and high priority for rehabilitation

Type 2: high conflict and low priority for rehabilitation

Type 3: low conflict and low priority for rehabilitation

Type 4: low conflict and high priority for rehabilitation.

Page 324: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 313

E. Recommendation

1. The contribution of this research is to provide an approach in spatial planning for land rehabilitation that is not only guided by the technical directives from the government. The approach that could be considered into land rehabilitation planning is combining technical guideline for spatial data of degraded land preparation from the government with the distribution of above-ground carbon stock, potential habitat of endangered species and the land use that could be used for proxy of social activities.

2. For the future research, the response of stakeholders related to this approach (combining technical guideline for spatial data of degraded land preparation from the government with the distribution of above-ground carbon stock, potential habitat of endangered species and the land use) in term of land rehabilitation planning is needed.

Page 325: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

314 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 326: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

ANALISIS PENGELOLAAN DANA DESA DI KABUPATEN SIJUNJUNG (STUDI KASUS NAGARI BUKIT BUAL DAN NAGARI GUGUAK)

ANALYSIS OF VILLAGE FUND MANAGEMENT IN SIJUNJUNG REGENCY (CASE STUDY AT BUKIT BUAL VILLAGE AND GUGUAK VILLAGE)

Nama : Yudianto Noverman

Instansi : Pemkab Si Junjung

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Andalas

Page 327: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

316 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian pengelolaan dana desa, keselarasan penggunaan dana desa dengan perencanaan kabupaten, dan menyusun strategi untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan dana desa. Untuk meneliti kesesuaian pengelolaan dana desa dengan peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan dana desa. Untuk melihat keselarasan penggunaan dana desa dengan perencanaan Kabupaten Sijunjung dilakukan dengan menyelaraskan penggunaan dana desa dengan RPJMD Kabupaten Sijunjung tahun 2016−2021. Untuk menentukan strategi dalam mengoptimalkan pengelolaan dana desa digunakan analisis SWOT. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara dan telaah dokumen. Wawancara dilakukan dengan pengelola dana desa di nagari dan kabupaten. Telaah dokumen dilakukan terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan permasalahan penelitian. Analisis kesesuaian dilakukan dengan membandingkan pengelolaan yang terdapat di dalam peraturan perundang- undangan dengan pengelolaan secara riil yang dilakukan oleh pemerintah desa. Analisis keselarasan penggunaan dilakukan dengan menyelaraskan penggunaan dana desa dengan target indikator kinerja dalam RPJMD Kabupaten Sijunjung tahun 2016−2021.

Hasil dari penelitian ini adalah pengelolaan dana desa belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Ketidaksesuaian tersebut berupa keterlambatan-keterlambatan dalam penyaluran dana desa, penyusunan RKP nagari dan APB nagari. Untuk penggunaan dana desa telah selaras dengan perencanaan kabupaten, di mana penggunaan dana desa telah selaras dengan target indikator kinerja pemerintah daerah. Strategi mengoptimalkan pengelolaan dana desa dilakukan dengan lebih banyak mengadakan pelatihan pengelolaan dana desa baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah desa, lebih memberdayakan pendamping desa dan perencanan kegiatan yang lebih tepat sasaran.

Kata kunci: Dana desa, Kesesuaian, Peraturan perundang-undangan, Keselarasan perencanaan, SWOT

Page 328: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 317

ABSTRACT

This study aims to analyze the suitability of village fund management, alignment of the use of village funds with regency planning and develop strategies to further optimize the management of village funds. To examine the suitability of village fund management with regulation adjusted to several laws and regulations the village fund. To see the alignment of the use of village funds with Sijunjung District planning is done by aligning the use of village funds with RPJMD Sijunjung District 2016−2021. To determine the strategy in optimizing the management of village funds used SWOT analyst. This research was conducted by quantitative descriptive research method. Data collection techniques used are through interviews and document review. Interviews were conducted with village fund managers in village and regency. Document review is conducted on documents relating directly to the research problem. Conformity analysis is done by comparing the management contained in the regulation with real management conducted by the village government. Analysis The alignment of use is done by aligning the use of village funds with performance indicators in The Sijunjung RPJMD 2016−2021.

The result of this research is that the management of village fund is not yet in accordance with the regulations that regulate it. The inconsistency is in the form of delays in the distribution of village funds, the preparation of RKP Nagari and APB Nagari. For the use of village funds have been aligned with district planning, where the use of village funds has been aligned with local government performance indicator. Strategies to optimize village fund management are carried out with more training in village fund management either from local government or village government, more empowering village counselors and more targeted planning activities.

Keywords: Village Fund, Regulation, Suistability, Harmonious Planning, SWOT

Page 329: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

318 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PENGELOLAAN DANA DESA DI KABUPATEN SIJUNJUNG (STUDI KASUS NAGARI BUKIT BUAL DAN

NAGARI GUGUAK)

A. Latar Belakang

Desa berfungsi sebagai ujung tombak di dalam melaksanakan pembangunan di segala bidang baik di bidang pemerintahan, pembangunan, maupun kemasyarakatan maupun tugas-tugas pembantuan yang merupakan pembangunan integral yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya yang meliputi kehidupan dan penghidupan masyarakat. Pada perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, desa telah berkembang dalam berbagai bentuk, sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Kabupaten Sijunjung merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatra Barat. Kabupaten Sijunjung terdiri atas 62 nagari yang terdiri dari 304 jorong. Kabupaten Sijunjung adalah kabupaten pertama di Sumatra Barat yang melakukan pencairan tahap pertama dana desa pada tahun 2016. Di samping itu, Kabupaten Sijunjung mendapatkan penghargaan Anugerah Desa Membangun pada tahun 2016 dari Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sehingga Kabupaten Sijunjung merupakan kabupaten yang berprestasi di Sumatra Barat. Untuk tahun 2015, Kabupaten Sijunjung mendapat dana desa dari pemerintah pusat, dengan rincian:

1. Alokasi dasar sebesar Rp34.504.040.000,00 dibagi rata untuk 62 nagari/desa.

2. Alokasi formula Rp6.173.713.000,00 yang akan dibagi dengan formula seperti di atas kepada seluruh nagari/desa.

3. Total alokasi dana desa untuk Kabupaten Sijunjung Rp40.677.753.000,00.

Berdasarkan jumlah di atas, rata-rata setiap nagari/desa mengalami kenaikan jumlah dana desa dari pemerintah pusat dari tahun 2015, yang mana total alokasi dana desanya sebesar Rp18.156.858.000,00. Kenaikan tersebut hendaknya dapat meningkatkan pembangunan di nagari/desa tersebut.

Dalam pelaksanaan dana desa di Kabupaten Sijunjung pada tahun 2015 rata-rata serapan dana desa sebesar 98%. Tingginya serapan dana desa tersebut tidak diiringi dengan pengelolaannya. Karena dalam pengelolaannya terdapat beberapa

Page 330: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 319

permasalahan seperti keterlambatan penyaluran dana desa, keterlambatan penyusunan RKP dan APB nagari, serta tata cara pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan. Permasalahan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Peran dan tanggung jawab yang diterima oleh desa belum diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM) yang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

2. Desa belum memiliki prosedur serta dukungan sarana dan prasarana dalam pengelolaan keuangan di desa.

3. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa.

4. Kurang pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan, baik aparatur kabupaten maupun aparatur desa.

Besarnya dana yang harus dikelola oleh pemerintah desa memiliki risiko yang cukup tinggi dalam pengelolaannya, khususnya bagi aparatur pemerintah desa. Aparatur pemerintah desa dan masyarakat desa yang direpresentasikan oleh BPD harus memiliki pemahaman atas peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya, serta memiliki kemampuan untuk melaksanakan pencatatan, pelaporan dan pertanggungjawaban.

Nagari Bukit Bual merupakan nagari terbaik dalam transparansi pelaksanaan dana desa di Kabupaten Sijunjung yang mewakili Kabupaten Sijunjung dalam pemilihan nagari paling transparan dalam pengelolaan dana desa di tingkat provinsi. Meskipun merupakan nagari paling transparan tetapi tidak menutup kemungkinan ada permasalahan dalam pengelolaannya. Nagari Guguak merupakan salah satu finalis nagari berprestasi di Kabupaten Sijunjung pada tahun 2016, karena merupakan salah satu nagari berprestasi kita akan melihat apakah dalam pengelolaan dana desa Nagari Guguak dapat mengelolanya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pertimbangan di atas maka, penulis akan mengangkat sebuah penelitian dengan judul ”Analisis Pengelolaan Dana Desa di Kabupaten Sijunjung (Studi

Kasus Nagari Bukit Bual dan Nagari Guguak)”.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan dana desa seperti disebutkan dalam latar belakang di atas terjadi dikarenakan dana desa yang relatif baru dan cukup banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan dana desa sehingga aparatur desa belum mengerti dalam penerapannya. Oleh karena itu, perlu diteliti dan dianalisis apa yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan-

Page 331: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

320 Direktori Mini Tesis-Disertasi

permasalahan tersebut. Sehubungan latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang perlu diteliti, yaitu:

1. Apakah pengelolaan dana desa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?

2. Apakah penggunaan dana desa telah selaras dengan perencanaan pembangunan kabupaten?

3. Apa strategi yang digunakan untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung?

Untuk dapat menjawab permasalahan di atas, penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder yang diperlukan. Data primer diperoleh langsung dari para informan berupa informasi di lapangan dengan cara Indeept Interview, yang mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan spesifik, namun hanya memuat poin-poin penting dari masalah yang ingin digali dari responden. Data sekunder diperoleh peneliti dari penelitian sebelumnya dan dari lembaga pemerintahan yang berhak mengeluarkan data.

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu pekerjaan sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Secara teknis, penyusunan analis SWOT diawali melakukan analisis faktor strategi internal dapat dilakukan dengan menyusun suatu tabel IFAS (Internal Factor Analisys Summary) guna dapat melakukan penilaian secara lebih kongkrit terhadap faktor-faktor strategis pengelolaan dana desa baik dalam unsur kekuatan (Strength) maupun kelemahan (Weaknesses). Penilaian ini sangat penting artinya untuk dapat menentukan faktor-faktor strategis internal utama (yang ditunjukkan dengan nilai tinggi) yang terdapat dalam pengelolaan dana desa tersebut. Selanjutnya, dilakukan penyusunan Tabel EFAS (External Factor Analysis Summary) yang disusun untuk mengetahui faktor-faktor strategis eksternal yang sangat penting bagi pengembangan pengelolaan dana desa ke depannya. Setelah dibuat tabel IFAS dan EFAS dilanjutkan dengan perumusan strategi. Untuk keperluan ini perlu dibuat sebuah Matrix SWOT dengan menggunakan unsur-unsur kekuatan (Strength), kelemahan (Weaknesses),

peluang (Opportunities), dan ancaman (Threath).

Page 332: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 321

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kesesuaian Pengelolaan Dana Desa dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku

Untuk melihat kesesuaian pengelolaan dana desa dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan dana desa tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari uraian di bawah.

a. Kesesuaian dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta perubahannya

b. Kesesuaian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa

c. Kesesuaian dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa

d. Kesesuaian dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa mulai dari tahun 2015−2017

e. Kesesuaian dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015

f. Kesesuaian dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016 serta perubahannya

g. Kesesuaian dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa yang Berasal dari APBN Tahun 2017 beserta perubahannya.

h. Perbandingan Pengelolaan Dana Desa antara Nagari Bukit Bual dan Nagari Guguak

Banyak ketidaksesuaian dalam pengelolaan dana desa di kedua nagari dengan peraturan perundang-undangan. Mulai dari penerbitan penyaluran dari RKUD ke RKN, Penyusunan RKP dan APB nagari sampai dalam pembentukan dana cadangan dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak dapat dibiayai oleh satu tahun anggaran. Ketidaksesuaian tersebut membuat pengelolaan dana desa di nagari

Page 333: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

322 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sedikit mengalami keterlambatan dan dapat membuat pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dana desa menjadi tidak optimal.

Penyebab dari ketidaksesuaian tersebut adalah sumber daya manusia aparatur nagari yang kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Apartur nagari di Nagari Bukit Bual dan Nagari Guguak didominasi oleh lulusan sekolah menengah pertama, hanya terdapat 4 orang di Nagari Guguak yang merupakan Sarjana. Selain itu ketidaksesuaian ini juga disebabkan oleh keterlambatan pemerintah daerah dalam membuat dasar hukum tata cara pembagian dan besaran dana desa setiap tahunnya. Hal ini juga berhubungan dengan keterlambatan pemerintah pusat mengeluarkan dasar hukum penerbitan peraturan bupati tersebut.

Untuk ketidaksesuaian dalam pembentukan dana cadangan di Nagari Bukit Bual untuk pelaksanan kegiatan pembangunan sanggar kegiatan dan belajar, tidak disadari oleh pihak pemerintah nagari dan pemerintah daerah. Hal ini terjadi karena kurangnya aparatur pemerintah kabupaten dan pemerintah nagari dalam memahami isi peraturan tersebut. Hal ini terjadi karena kurangnya sumber daya manusia baik secara kualitas dan kuantitas pada nagari maupun pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Nagari. Untuk menghindari hal ini terjadi di kemudian hari harus dilakukan peningkatan sumber daya manusia aparatur baik dengan penambahan jumlah aparatur maupun dengan mengikuti pelatihan megenai keuangan desa terutama dana desa dan melakukan konsultasi terhadap pihak-pihak yang lebih memahami mengenai peraturan tersebut.

Dalam hal prioritas penggunaan dan desa kedua nagari telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan di Nagari Bukit Bual hanya terfokus pda kegiatan pembangunan infrasturktur saja yang manfaatnya tidak langsung dinikmati oleh semua masyarakat. Untuk pelaksanaan di Nagari Guguak penggunaan dana desa tidak hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur saja tetapi telah beragam dengan kegiatan pemberdayaan. Salah satu sebab penggunaan dana desa yang beragam tersebut adalah sumber daya aparatur nagari yang sudah cukup baik yang membuat pola pikir dari aparatur lebih maju dalam memahami isi dari peraturan menteri tentang prioritas penggunaan dana desa. Selain itu, kemauan aparatur Nagari Guguak untuk melakukan konsultasi kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan nagari dalam merencanakan kegiatan-kegiatan yang akan dibuat juga merupakan sebab penggunaan dana desa

menjadi lebih beragam.

Page 334: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 323

2. Keselarasan Penggunaan Dana Desa dengan Perencanaan Pembangunan Kabupaten

Keselarasan antardokumen perencanaan adalah suatu yang sangat penting untuk kesinambungan pembangunan nasional dan daerah. Untuk keselarasan perencanaan pembangunan antarpemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan nasional telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah yang menyatakan perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

Untuk keselarasan perencanaan pembangunan antara pemerintah nagari dengan pemerintah daerah telah diatur dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa yang berbunyi ”Pemerintah desa menyusun perencanaan pembangunan desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabupaten/kota”. Di sini dapat dilihat bahwa penyusunan RPJM nagari dan RKP nagari harus selaras dengan perencanaan kabupaten/kota. Hal ini dipertegas dalam Pasal 9 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2016 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2017 yang berbunyi ”Mekanisme penetapan prioritas penggunaan Dana Desa adalah bagian dari perencanaan pembangunan Desa yang tidak terpisah dari prioritas pembangunan nasional”. Di sini jelaslah perencanaan desa, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional adalah satu kesatuan dalam sistem perencanaan nasional.

Untuk penggunaan dana desa di Bukit Bual dapat dikatakan sudah selaras dengan RPJM Kabupaten Sijunjung Tahun 2016-2021. Penggunaan dana desa di Nagari Bukit Bual telah selaras dengan perencanaan di kabupaten di mana penggunaan dana desa telah sejalan dengan target indikator kinerja yang terdapat dalam RPJMD Kabupaten Sijunjung. Seperti kegiatan pembangunan dan peningkatan jalan telah sesuai dengan target indikator kinerja RPJMD, yaitu meningkatkan rasio panjang jalan terhadap luas kabupaten. Untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan gedung PAUD juga telah sesuai dengan target indikator kinerja, yaitu meningkatkan jumlah layanan PAUD. Demikian juga untuk

pelaksanaan kegiatan-kegiatan lainnya di Nagari Bukit Bual.

Page 335: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

324 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Strategi untuk Lebih Mengoptimalkan Pengelolaan Dana Desa.

Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung, perlu kita mengetahui faktor-faktor pendorong dan penghambat dari Dinas Pemberdayaan Masayarakat dan Nagari (DPMN) dalam melaksanakan dana desa di Kabupaten Sijunjung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut faktor-faktor tersebut.

a. Faktor pendorong dalam mengoptimalkan pengelolaan dana desa (kekuatan dan peluang)

Faktor pendorong dalam mengoptimalkan pengelolaan dana desa ini bertujuan untuk lebih baiknya pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung ke depannya. Faktor pendorong ini terdiri dari faktor kekuatan dan peluang dari DPMN dalam pelaksanaan dana desa. Jika faktor-faktor pendorong dimanfaatkan secara optimal dan tepat untuk mengatasi faktor-faktor penghambat, maka pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung dapat berjalan dengan lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, faktor pendorong tersebut adalah sebagai berikut:

• dukungan pemerintah daerah yang sangat besar,

• tersedia regulasi yang mendukung pengelolaan dana desa,

• besarnya dana desa yang tersedia setiap tahunnya,

• adanya pendamping desa yang mendampingi aparatur nagari dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,

• kebijakan pemerintah pusat yang memperkuat desa,

• hubungan baik antara wali nagari dan BPN, dan

• kemauan aparatur desa untuk meningkatkan kompetensinya

b. Faktor penghambat dalam mengoptimalkan pengelolaan dana desa (kelemahan dan ancaman)

Faktor penghambat merupakan kendala dalam pengelolaan dana desa. Fakor penghambat tersebut terdiri dari kelemahan dan ancaman yang membuat pengelolaan dana desa menjadi tidak optimal. Dengan mengatasi kendala-kendala tersbut diharapkan pengelolaan dana desa menjadi lebih baik dan optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, faktor penghambat tersebut antara lain:

Page 336: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 325

• kurangnya sarana dan prasarana untuk menunjang pekerjaan,

• terbatasnya jumah anggaran untuk pengelolaan dana desa di dinas pemberdayaan masyarakat dan nagari,

• sumber daya manusia aparatur pelaksana dana desa di dinas pemberdayaan masyarakat dan nagari yang masih kurang,

• kualitas sumber daya manusia aparatur nagari yang kurang baik,

• tingkat sumber daya manusia dan partisipasi masyarakat yang masih rendah,

• koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang kurang baik,

• sarana transportasi dan komunikasi yang kurang baik di beberapa nagari,

• masih adanya nagari dan jorong sangat tertinggal.

c. Analisis faktor eksternal dan faktor internal pengelolaan dana desa

Berdasarkan faktor-faktor pendorong dan penghambat diatas, selanjutya faktor-faktor tersebut diklasifikasikan sebagai faktor internal dan faktor eksteral. Faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelemahan dan faktor eksternal terdiri dari peluang dan ancaman dari pelaksaan dana desa.

Dari faktor-faktor internal dan eksternal, selanjutnya akan diberikan skor dan bobot untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh dalam pengelolaan dana desa. Faktor-faktor tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabel IFAS (Internal Factor Analisys Summary) dan EFAS (External Factor Analysis Summary) untuk menententukan strategi yang paling tepat untuk digunakan oleh pemerintah pengelolaan dana desa.

• Internal Factor Analisys Summary (IFAS)

Setelah nilai faktor internal dan eksternal diperoleh, dilanjutkan dengan mencari skor faktor internal matriks IFAS. Masing-masing kekuatan dan kelemahan diberi bobot. Skala bobot paling rendah 0,0 (tidak penting) dan paling tinggi 1,00 (sangat penting). Selanjutnya hitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala 4 (sangat berpengaruh) sampai dengan 1 (kurang berpengaruh) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung. Skor pembobotan diperoleh melalui perkalian bobot dan rating. Skor ini menunjukkan bagaimana faktor internal berpengaruh terhadap pengelolaan dana desa.

Page 337: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

326 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Regulasi tentang pengelolaan dana desa yang lengkap merupakan faktor yang sangat berpengaruh kuat dalam pengelolaan dana desa, dengan bobot 0,23 dan rating 4 yang diberikan pemerintah daerah. Sedangkan faktor yang merupakan kelemahan dalam pengelolaan dana desa tersebut adalah sumber daya manusia dari pemerintah daerah yang masih kurang baik dengan bobot 0,20 dan rating 4. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber daya manusia baik segi kualitas dan kuantitas membuat pengelolaan dana desa menjadi kurang optimal.

• Eksternal Factor Analisys Summary (EFAS)

Setelah menganalisis faktor internal dalam tabel IFAS, dilanjutkan dengan mencari skor faktor Eksternal melalui matriks EFAS. Masing-masing peluang dan ancaman diberi bobot. Skala bobot paling rendah 0,0 (tidak penting) dan paling tinggi 1,00 (sangat penting). Selanjutnya hitung rating masing-masing faktor dengan memberikan skala 4 (sangat berpengaruh) sampai dengan 1 (kurang berpengaruh) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung. Skor pembobotan diperoleh melalui perkalian bobot dan rating. Skor ini menunjukkan bagaimana faktor eksternal berpengaruh terhadap pengelolaan dana desa.

Pengelolaan dana desa adalah adanya pendamping desa yang mendampingi aparatur desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan bobot 0,16 dan rating 4. Sedangkan ancaman terbesar dalam pengelolaan dana desa adalah sumber daya manusia aparatur nagari yang masih kurang baik dengan bobot 0,11 dan rating 4, hal ini dikarenakan kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di

nagari sehingga aparatur nagari pun menjadi kurang baik.

4. Analisis SWOT Pengelolaan Dana Desa

Dengan menggunakan faktor internal dan ekternal yang sudah dianalisis melalui matrik IFAS dan EFAS dapat disusun strategi pengelolaan dana desa yang lebih optimal dalam meningkatkan pembangunan di nagari, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang (strategi S-O), menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman (strategi S-T), meminimalkan kelemahan untuk meraih peluang (strategi W-O), dan meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman (strategi W-T).

Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, strategi agar pengelolaan dana desa lebih optimal dalam meningkatkan pembangunan di nagari berada pada kuadran

Page 338: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 327

I, yaitu memanfaatkan kekuatan untuk meraih peluang yang tersedia (strategi S-O)

yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Strategi 1: Lebih banyak mengadakan pelatihan mengenai pengelolaan dana desa terhadap aparatur nagari.

Dukungan pemerintah yang besar dapat ditunjukkan dengan membuat lebih banyak pelatihan dan sosialisasi tentang dana desa terhadap aparatur nagari. Oleh karena keinginan untuk meningkatkan kompetensi aparatur yang tinggi diharapkan dengan adanya banyak pelatihan dan sosialisasi membuat pengelolaan dana desa menjadi sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dapat meningkatkan pembangunan di nagari serta bermanfaat bagi masyarakat.

Strategi 2: Lebih memberdayakan pendamping desa dalam mensosialisasikan pengelolaan dana desa yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Adanya pendamping desa sangat membantu aparatur desa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menjalankan pemerintahan di nagari. Sesuai dengan tugas dan fungsinya pendamping desa mendampingi desa dalam berbagai hal termasuk dalam pengelolaan dana desa. Untuk ke depannya pemerintah daerah akan lebih memberdayakan pendamping desa dalam mensosialisasikan berbagai peraturan sehubungan dengan dana desa, agar pengelolaan menjadi lebih taat aturan dan penggunaannya lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Strategi 3: Menggunakan dana desa untuk melaksanakan Bimtek pengelolaan dana desa untuk aparatur desa.

Dana desa yang besar dapat digunakan untuk kegiatan pemberdayaan salah satunya adalah peningkatan sumber daya aparatur desa. Tingginya keinginan aparatur desa untuk meningkatkan kompetensinya dapat disalurkan dengan membuat bimbingan teknis tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas pokok dan fungsi aparatur desa. Pemerintah daerah sangat mendukung hal tersebut dengan mengutus aparatur kabupaten yang ahli di bidangnya untuk menjadi narasumber dalam bimbingan teknis tersebut. Diharapkan dengan adanya bimbingan teknis yang diadakan oleh pemerintah nagari akan lebih meningkatkan pengelolaan dana desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Strategi 4: Memanfaatkan hubungan baik antara wali nagari dan BPN untuk perencanaan kegiatan yang lebih tepat sasaran.

Dengan baiknya hubungan antara wali nagari dan BPN diharapkan dalam melakukan rapat dapat menghasilkan keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Page 339: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

328 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Jika dihubungkan dengan dana desa yang besar setiap tahunnya diharapkan dengan memanfaatkan hubungan yang baik tersebut dalam penyusunan rencana kerja pemerintah nagari dapat menghasilkan kegiatan-kegiatan yang lebih tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat.

D. Kesimpulan

1. Kesesuaian pengelolaan dana desa dengan peraturan perundang-undangan

Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pengelolaan dana desa di Kabupaten Sijunjung belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa ketidaksesuaian dalam pengelolaannya. Ketidaksesuaian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Ketidaksesuaian dalam penerbitan peraturan bupati tentang tata cara pembagian dan besaran dana desa setiap tahunnya. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh keterlambatan penerbitan peraturan oleh pemerintah pusat sebagai dasar hukum pembuatan peraturan bupati tersebut.

b. Ketidaksesuaian penyaluran dana desa dari RKUD ke RKD yang disebabkan oleh keterlambatan dalam penyaluran dana desa dari RKUD ke RKD karena penambahan persyaratan harus menyertakan Rencana Anggaran Biaya (RAB) kegiatan yang dibiayai oleh dana desa. Penambahan persyaratan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi permasalahan di kemudian hari dalam pengelolaannya.

c. Ketidaksesuaian dalam pembentukan dana cadangan, ini terjadi dalam kegiatan pembangunan sanggar kegiatan dan belajar Nagari Bukit Bual yang tidak menggunakan dana cadangan ini merupakan gambaran dari masih kurangnya pemahaman mengenai peraturan pengelolaan dana desa yang disebabkan oleh sumber daya manusia perangkat nagari dan aparatur pemerintah daerah yang masih kurang baik dari segi kualitas dan segi kuantitasnya.

d. Ketidaksesuaian dalam evaluasi APB Nagari disebabkan oleh keterlambatan pelaksanaan evaluasi peraturan nagari tentang anggaran pendapatan dan belanja nagari oleh pemerintah daerah. Keterlambatan ini dikarenakan sumber daya manusia dari pemerintah Kabupaten Sijunjung yang masih kurang baik dalam melaksanakan evaluasi rancangan peraturan nagari tersebut.

Page 340: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 329

e. Ketidaksesuaian dalam penyusunan RKP nagari yang disebabkan keterlambatan dalam penyusunan peraturan tentang RKP nagari. Keterlambatan ini disebabkan karena kekurangan sumber daya manusia aparatur nagari dalam penyusunan peraturan nagari tersebut.

f. Ketidaksesuaian dalam penyusunan APB nagari disebabkan oleh keterlambatan penyusunan peraturan nagari tentang APB nagari. Keterlambatan tersebut dikarenakan banyak hal, yaitu (1) Keterlambatan penerbitan peraturan bupati tentang tata cara pembagian dan besaran dana desa, (2) Keterlambatan peraturan nagari tentang RKP nagari, (3) Keterlambatan dalam evaluasi rancangan peraturan nagari tentang APB nagari, dan (4) Sumber daya manusia perangkat nagari dalam penyusunan.

Meskipun banyak ketidaksesuaian yang terjadi dalam prioritas penggunaan dana desa kedua nagari telah sesuai dengan peraturan menteri desa, pembangunan daerah tertinggal, dan transmigrasi tentang prioritas penggunaan dana desa setiap tahunnya. Hal ini karena evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah cukup baik dalam melihat penggunaan dana desa tersebut.

2. Keselarasan penggunaan dana desa dengan perencanaan kabupaten

Dalam hal keselarasan penggunaan dana desa dengan perencanaan pembangunan kabupaten, di Kabupaten Sijunjung penggunaan dana desa telah selaras dengan perencanaan di kabupaten. Keselarasan tersebut dilihat dari penggunaan dana desa telah selaras dengan target indikator kinerja dalam RPJMD. Telah selarasnya penggunaan dana desa tersebut karena dalam nagari menyusun peraturan nagari tentang RPJMD nagari yang terlebih dahulu telah dievaluasi oleh pemerintah daerah sehingga RPJMD Nagari dan RPJMD kabupaten telah selaras. Begitu juga dengan penyusunan RKP nagari setiap tahunnya, setelah RKP nagari tesebut ditetapkan menjadi peraturan nagari, maka RKP nagari tersebut kemudian dikirim ke pemerintah kabupaten untuk diklarifikasi. Jika RPJMD nagari dan RKP nagari telah selaras dengan RPJMD kabupaten maka pengelolaan kegiatan-kegiatan di nagari telah sesuai dengan perencanaan kabupaten termasuk dalam penggunaan dana desa.

3. Strategi untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan dana desa.

Untuk mengoptimalkan pengelolaan dana desa ke depannya maka disusun strategi pengelolaan dana desa agar dapat meningkatkan pembangunan di nagari. Strategi disusun dengan menggunakan strategi SWOT, yang menghasilkan strategi SO pada kuadran I. Strategi-strategi tersebut antara lain.

Page 341: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

330 Direktori Mini Tesis-Disertasi

a. Lebih banyak mengadakan pelatihan dalam pengelolaan dana desa terhadap aparatur nagari.

b. Lebih memberdayakan pendamping desa dalam mensosialisasikan pengelolaan dana desa yang sesuai dengan aturan.

c. Menggunakan dana desa untuk melaksanakan bimbingan teknis pengelolaan dana desa untuk aparatur desa.

d. Memanfaatkan hubungan baik antara wali nagari dan BPN untuk perencanaan kegiatan yang lebih tepat sasaran.

Page 342: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 331

Page 343: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,

332 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 344: DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASIpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_6_Direktori_Mini... · untuk mengevaluasi kesesuaian dan efektivitas dari relokasi PKL tersebut,