direktorat jenderal hukum dan perjanjian …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/opinio...

113
i DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA Volume 13 Mei—Agustus 2013 ARTIKEL Pengembalian Aset Kejahatan Eddy O.S Hiariej Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian Lainnya Damos Dumoli Agusman Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space Purna Cita Nugraha Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional Harry Purwanto Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia Mutiara Hikmah RESENSI BUKU Hukum Tentang Ekstradisi AM. Sidqi ISTILAH HUKUM

Upload: vuhanh

Post on 05-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

i

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Volume 13 � Mei—Agustus 2013

ARTIKEL Pengembalian Aset Kejahatan Eddy O.S Hiariej Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting bagi Nasib Perjanjian Lainnya Damos Dumoli Agusman Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space Purna Cita Nugraha Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional Harry Purwanto Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia Mutiara Hikmah RESENSI BUKU Hukum Tentang Ekstradisi AM. Sidqi ISTILAH HUKUM

Page 2: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Volume 13 ���� Mei—Agustus2013

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2013

Page 3: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 13 ���� Mei—Agustus 2013 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009

Penanggung Jawab Linggawaty Hakim, SH, LL.M Raudin Anwar, SH, LL.M Redaktur

Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M; Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Sudarsono, SH., MM.; Rofita, SH.; Hendrar Pramudyo, SH. Editor

AM. Sidqi, SIP; Santa Marelda Saragih, SH, MH.; Ratih Wulandari, SIP; Vina Novianti, S.Hum; M. Ferdien, SH; Bibid Kuslandinu, SH.; Rike Octaviany, SH, LL.M. Disain Grafis

AM. Sidqi, SIP; Drs. Didi Achmadi; Sekretariat

Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/

Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan

analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi

Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.

Page 4: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency
Page 5: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

i

DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................ i Pengantar Redaksi...........................................................................................ii Pengembalian Aset Kejahatan ..................................................................... 1

Eddy O.S Hiariej Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting Bagi Perjanjian Internasional Lainnya ..................................... 16

Damos Dumoli Agusman Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space ......................... 22

Purna Cita Nugraha Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional .......................................................................................................................... 47

Harry Purwanto Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia ....................................................... 81

Mutiara Hikmah Resensi Buku .................................................................................................. 95

Hukum Tentang Ekstradisi AM. Sidqi Istilah Hukum .............................................................................................. 100

Tentang Penulis ........................................................................................... 103

Page 6: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

ii

PENGANTAR REDAKSI

Setelah dua volume sebelumnya mengangkat tema khusus yaitu:

Asset Recovery dan Hukum Laut, maka volume kali ini memuat tulisan-

tulisan hukum dengan tema yang bervariasi. Hal ini merupakan

pertimbangan dari Redaksi guna menampilkan keanekaragaman isu

hukum internasional dan menjaga antusiasme serta ketertarikan para

pembaca.

Pada volume 13 tahun 2013 ini, redaksi menyajikan dua tulisan

bertemakan perjanjian internasional yaitu “Keberadaan Asas Rebus Sic

Stantibus dalam Perjanjian Internasional” oleh Harry Purwanto dan

“Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting

bagi Perjanjian Lainnya” oleh Damos Dumoli Agusman dan tulisan

dengan tema yang bervariasi yaitu: “Pengembalian Aset Kejahatan” oleh

Eddy O.S. Hiariej, “Implementasi Konvensi New York 1958 dalam

Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia” oleh Mutiara

Hikmah dan “Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space” oleh

Purna Cita Nugraha. Dari sejumlah tulisan yang disajikan pada volume

kali ini, terdapat tulisan yang cukup aktual seperti tulisan tentang

Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN.

Pada kesempatan ini, Redaksi Opinio Juris tetap mengajak para

pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan

masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang

melalui email [email protected].

Jurnal Opinio Juris volume 13 tahun 2013 dan volume sebelumnya

dapat pula dibaca dalam bentuk e-journal melalui website

http://pustakahpi.kemlu.go.id. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca

yang tidak memperoleh hard copy-nya dapat mengakses dan terb uka luas

untuk publik.

Page 7: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

iii

Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat

menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan

wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian

internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.

Redaksi Opinio Juris

Page 8: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency
Page 9: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

1

PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN1

Eddy O.S Hiariej

Abstrak

Sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi yang rendah, negara pihak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi, dan peserta aktif dalam inisiatif pengembalian aset yang dicuri, Indonesia perlu melakukan lebih banyak upaya dalam mengembalikan aset-asetnya yang dicuri sebagai suatu bagian dari kebijakan nasional untuk memerangi korupsi. Artikel ini membahas tiga hal yang diperlukan untuk dipertimbangkan oleh Indonesia dalam pengembalian aset yang dicuri, yaitu prasyarat pengembalian aset yang dicuri, urgensi untuk membentuk hukum tentang pengembalian aset yang dicuri dan rezim pengembalian aset yang dicuri. Dalam prasyarat pengembalian aset yang dicuri, terdapat enam elemen yang dapat mendukung pengembalian aset tersebut. Artikel ini juga memaparkan urgensi pembentukan undang-undang tentang pengembalian aset yang dicuri. Sementara dalam rezim pengembalian aset yang dicuri, dijelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendukung pengembalian aset yang dicuri. Kata Kunci: Piagam ASEAN, organisasi internasional, pengembalian asset, korupsi.

Abstract As a country with a low rating in corruption perception index, a State Party to the United Nations Convention Against Corruption, and an active participant in the Stolen Asset Recovery Initiative, Indonesia needs to take more efforts in recovering its stolen asset as a part of national measure to fight against corruption.

1 Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Pengembalian Aset

Curian dan Praktik Pelaksanaannya di Indonesia,” kerja sama antara Fakultas Hukum

UGM dengan Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Kemlu, 4 Desember 2012.

Page 10: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

2

This paper will discuss three things that need to be considered by Indonesia in recovering its stolen asset, i.e. the stolen asset recovery prerequisites, the urgency of having stolen asset recovery laws, and the regime of asset recovery. In the stolen asset recovery prerequisites, there are six items that will support stolen asset recovery. This paper will elaborate the urgency of having stolen asset recovery laws. While in the stolen asset recovery law regime, it is explained which measures that must be taken to succeed stolen asset recovery. Keywords: ASEAN Charter, international organization, asset recovery, corruption.

Pengantar

Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery)

melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan.

Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas

dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan

pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsi.

Permasalahan menjadi semakin sulit karena tempat penyembunyian

(safe haven) hasil kejahatan tersebut melampaui lintas batas wilayah

negara. Bagi negara-negara berkembang, menembus berbagai

permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan

hukum negara-negara besar akan terasa sulit. Terlebih jika negara

berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja sama yang baik

dengan negara tempat aset curian disimpan. Belum lagi kemampuan

teknologi negara berkembang yang sangat terbatas. Padahal salah satu

sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan pelakunya memanfaatkan

Page 11: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

3

kemajuan teknologi di bidang perbankan karena transaksinya yang

bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal2.

Di Indonesia, korupsi menyebabkan kerugian besar keuangan negara.

Dicurigai, setidaknya ada empat negara maju – Singapura, Australia,

Amerika dan Swiss – sebagai tempat menyembunyikan ‘harta curian.’

Bahkan, harta tersebut seakan-akan dilindungi oleh aturan legal procedure

negara setempat yang mengaturnya sebagai bagian dari kerahasiaan bank

(bank secrecy act). Dengan demikian, akan mustahil untuk mengembalikan

aset kejahatan tersebut apabila negara-negara maju tidak berperan aktif

dan sungguh-sungguh membantu pengembalian aset tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, makalah ini akan mengulas tiga hal

penting dalam rangka pengembalian aset negara, yakni prasyarat

pengembalian aset, urgensi undang-undang pengembalian aset, dan

rezim hukum pengembalian aset.

Prasyarat Pengembalian Aset

Pengembalian aset suatu negara yang telah dicuri, kendatipun tidak

selamanya terkait erat dengan hasil kejahatan, yang paling dominan

biasanya berhubungan dengan berbagai kejahatan ekonomi yang

meliputi korupsi, kejahatan perpajakan, kejahatan perbankan,

perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang serta kejahatan pencucian

uang. Pencurian aset juga sering kali bertalian dengan suatu rezim

otoriter yang korup.

Oleh karena itu, untuk mengembalikan aset-aset yang telah dicuri,

salah satu prasyarat yang dibutuhkan adalah kemauan politik negara3.

2 Sambutan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Pembukaan Seminar Tentang

Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN

Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.

Page 12: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

4

Tidak hanya kemauan politik pemerintah semata sebagai eksekutif, tetapi

juga kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif.

Kemauan politik dari parlemen terkait dengan seperangkat aturan

hukum yang harus disiapkan mulai dari pelacakan aset, pembekuan aset,

penyitaan aset, perampasan aset, pengelolaan aset, penyerahan aset

sampai pada pemanfaatan dan pengawasan aset yang telah diserahkan.

Demikian pula yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hubungan

kerja sama timbal balik antarnegara. Dalam konteks yang demikian,

peranan parlemen untuk membentuk undang-undang sangat dominan.

Sudah barang tentu undang-undang yang dibentuk seyogyanya

memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam rangka

pengembalian aset tersebut. Sementara kemauan politik dari lembaga

yudikatif terkait dengan sistem peradilan yang transparan, akuntabel dan

dapat dipercaya.

Apabila kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif

tersebut telah ada, barulah kemudian yang dibutuhkan adalah kemauan

politik pemerintah yang biasanya ditindaklanjuti dengan langkah hukum.

Kemauan politik negara yang sungguh-sungguh dalam rangka

pengembalian aset merupakan jaminan utama bagi para aparat penegak

hukum untuk bertindak secara leluasa berdasarkan seperangkat aturan

yang ada tanpa tekanan atau beban psikologis apapun.

Pengalaman beberapa negara yang berhasil mengembalikan aset-aset

yang telah dicuri oleh rezim yang korup dan otoriter menunjukan bahwa

kemauan politik negara sangat menentukan. Di Filipina, beberapa hari

setelah runtuhnya rezim Ferdinand Marcos, Pemerintah Filipina di

3 Negara di sini meliputi tiga kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif,

sebagaimana sistem separation of power atau pemisahan kekuasaan yang dikemukakan

oleh Montesquieu. Lihat selanjutnya dalam Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws,

diterjemahkan oleh M. Khoril Anam, Nusamedia, Bandung, hlm. 106.

Page 13: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

5

bawah kepemimpinan Corazon Aquino membentuk The Presidential

Commission on Good Government (PCGG) yang bertugas

mengembalikan aset yang telah dicuri Marcos. Langkah pertama yang

dilakukan PCGG adalah membuka perwakilan informal di pengadilan

Amerika dan Swiss untuk mendapatkan informasi dan kemudian

meminta membekukan aset Marcos. Syarat yang diajukan oleh kedua

negara tersebut adalah agar pengadilan di Filipina mengajukan gugatan

yang intinya untuk mengambil alih simpanan Marcos. Selanjutnya, PCGG

mengajukan gugatan perdata ke Sandiganbayan4 dan setelah itu asetnya

dapat dikembalikan dalam kurun waktu kurang lebih 17 tahun.

Demikian pula yang terjadi di Nigeria setelah berakhirnya rezim Sani

Abacha. Presiden Obasanjo membentuk Special Police Investigation (SPI)

untuk mengembalikan aset yang dicuri Abacha. Lebih sederhana dari apa

yang pernah ditempuh Filipina, SPI meminta bantuan Swiss Law Firm,

Mofrini And Partners.

Begitu juga yang terjadi di Peru, Presiden Alberto Fujimori

membentuk Special Prosecutor untuk menyelidiki kasus Vladimiro

Montesinos yang mencuri aset negara sekitar US$ 2 miliar. Jauh lebih

mudah dari apa yang terjadi di Filipina dan Nigeria, pengembalian aset

di Peru dengan cepat dilakukan karena Vladimiro Montesinos sebagai

pelaku utama masih hidup5.

Selain masalah political will, harmonisasi peraturan perundang-

undangan dan sistem peradilan adalah hal penting dalam rangka

pengembalian aset. Seperti yang telah diutarakan di atas, bahwa

pengembalian aset tidak selalu berkaitan dengan kejahatan korupsi tetapi

4 Sadiganbayan adalah pengadilan khusus di Filipina untuk mengadili kejahatan korupsi

dan penyelewenagan lainnya yang dilakukan oleh pejabat publik. 5 Peter Mahmud Marzuki, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,

Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008, hlm. 14.

Page 14: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

6

juga dengan kejahatan lainnya. Bahkan tidak selamanya pengembalian

aset terkait perkara pidana, namun dapat juga perkara perdata. Oleh

karena itu, masalah pengembalian aset membutuhkan harmonisasi

peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan yang tepat.

Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah

agar tidak terjadi tumpang tindih antara ketentuan undang-undang yang

satu dengan ketentuan undang-undang yang lain. Dalam konteks

Indonesia, kejahatan-kejahatan yang berpotensi menimbulkan pencurian

aset negara, seharusnya memiliki rezim hukum tersendiri. Sebagai

konsekuensi lebih lanjut, penegakan hukum untuk memproses kejahatan-

kejahatan tersebut secara prosedural dapat berbeda dengan yang telah

ada.

Selanjutnya yang akan diulas adalah sistem peradilan. Berkaitan

dengan sistem peradilan, tidak mungkin dipisahkan dari sistem hukum

yang berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu kewajaran sebab

sistem peradilan adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum

nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh sebab

itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan, yang

meskipun secara garis besar hampir sama, namun memiliki karakter

tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya

dan politik yang dianut6.

Secara sederhana, sistem peradilan, dalam hal ini adalah sistem

peradilan pidana, adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap

orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari

kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan. Sebagaimana yang

diungkapkan Carvadino dan Dignan bahwa sistem peradilan pidana

6 Eddy, O.S Hiariej, 2005, Criminal Justice System In Indonesia, Between Theory and

Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research

Institute, hlm. 25.

Page 15: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

7

adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the

commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the

court”7. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya

mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi

negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu

akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak

hukum yang lain8.

Dalam perkembangan selanjutnya, sistem peradilan pidana dengan

model due process mendominasi sistem peradilan pidana di berbagai

belahan dunia karena dianggap lebih menjamin hak asasi manusia, lebih

transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, instrumen

hukum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan

pemberantasan suatu kejahatan juga mulai menggunakan due process of

law dalam sistem beracaranya.

Mengingat proses pengembalian aset akan berhadapan dengan lebih

dari satu sistem hukum, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem

peradilan dengan model yang diterima secara universal, yakni due process

of law.

Sementara dalam sistem peradilan perdata, pada hakekatnya

memiliki karakteristik yang sama hampir di seluruh dunia, yaitu inisiatif

beracara datang dari para pihak, hakim bersifat pasif dan kebenaran yang

dicari adalah kebenaran formal yang terikat pada alat bukti yang sah

menurut undang-undang.

Prasyarat pengembalian aset berikutnya adalah kerja sama

kelembagaan, yakni kerja sama antarlembaga yudisial dan lembaga-

7 Michael Cavadino and James Dignan, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE

Publication Ltd. hlm. 7. 8 University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,

Scarman Center, University Of Leicester, hlm.24.

Page 16: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

8

lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama,

pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau

pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah

rezim hukum keperdataan. Kedua, tidak selamanya pula aset yang akan

dikembalikan, disimpan dalam bentuk uang, deposito, giro, saham atau

sejenisnya, namun juga aset yang dicuri dalam wujud benda, misalnya

tanah. Ketiga, kendatipun aset yang akan dikembalikan tersebut dalam

bentuk uang, deposito, giro atau sejenisnya, kerja sama antarlembaga

tetap dibutuhkan dalam rangka mempermudah pengembalian aset.

Jika aset yang akan dikembalikan berada dalam rezim hukum

keperdataan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pihak ketiga

terhadap aset tersebut. Demikian pula jika aset yang dicuri dalam bentuk

benda tidak bergerak seperti tanah, maka dalam rangka pembekuan,

penyitaan dan pengembalian aset, dibutuhkan kerja sama dengan Badan

Pertanahan Nasional. Sementara jika aset yang dicuri kemudian ‘dicuci’

seolah-olah merupakan aset yang diperoleh secara legal, maka kerja sama

dengan lembaga lainnya seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) mutlak dibutuhkan.

Prasyarat terakhir pengembalian aset adalah kerja sama internasional

yang meliputi kerja sama bilateral maupun kerja sama multilateral.

Pengembalian aset yang berada di luar wilayah teritorial Indonesia

tentunya memerlukan kerja sama bilateral antarnegara. Pengembalian

aset merupakan tujuan dan salah satu prinsip dalam Konvensi PBB

mengenai antikorupsi dengan tujuan utama kerja sama internasional

dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset erat terkait dengan

kejahatan korupsi, dan menurut konvensi tersebut, korupsi merupakan

kejahatan internasional. Terlebih saat ini, Komisi Hukum PBB sedang

membahas untuk memasukkan korupsi dan narkotika sebagai yurisdiksi

Mahkamah Pidana Internasional. Jika hal tersebut disetujui, maka

konsekuensi selanjutnya yang berlaku adalah asas universal yang berarti

Page 17: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

9

bahwa setiap negara berhak melakukan penuntutan terhadap pelaku

kejahatan internasional.

Urgensi Undang-Undang Pengembalian Aset di Indonesia

Paling tidak ada enam alasan yang mendasari perlunya undang-

undang pengembalian aset di Indonesia. Pertama, indeks prestasi korupsi

di Indonesia cukup mencengangkan dalam beberapa tahun terakhir ini

dan hanya bisa disamai oleh Mexico. Sudah barang tentu uang yang

dikorupi sebagian besar tidak berputar di Indonesia tetapi dilarikan ke

luar negeri.

Kedua, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang

mana asset recovery merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi

tersebut. Konsekuensi lebih lanjut, Indonesia harus segera menghasilkan

sejumlah peraturan perundang-undangan pelaksana – termasuk undang-

undang pengembalian aset – sesuai dengan konvensi tersebut.

Ketiga, Indonesia telah mengatur tentang mutual legal assistance dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, yang mana salah satu prinsip

dasarnya adalah asas resiprokal. Jika Indonesia menginginkan asetnya

yang telah dicuri dan dibawa ke luar negeri dikembalikan, maka

Indonesia pun harus mempunyai pengaturan yang jelas mengenai

pengembalian aset yang juga menjamin pengembalian aset dari negara

lain yang disimpan di Indonesia.

Keempat, Indonesia berperan aktif dalam Stolen Asset Recovery (StAR)

Initiative yang mana dibutuhkan kerja sama internasional, baik bilateral,

maupun multilateral dalam rangka pengembalian aset tersebut.

Keberadaan undang-undang pengembalian aset, berdasarkan sejumlah

instrumen hukum internasional maupun hukum nasional yang ada,

merupakan suatu keniscayaan yang harus segera dibentuk sebagai bagian

dari paket undang-undang antikorupsi.

Page 18: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

10

Kelima, banyak kejahatan yang terjadi di Indonesia dalam kurun

waktu 10 tahun terakhir ini menimbulkan kerugian yang besar bagi

keuangan negara, termasuk kejahatan-kejahatan yang menghasilkan aset

yang cukup besar. Kejahatan-kejahatan yang asetnya menjadi ruang

lingkup pengembalian aset adalah korupsi, pencucian uang, terorisme,

perdagangan orang, penyelundupan senjata, narkotika, psikotropika, hak

kekayaan intelektual, kepabeanan dan cukai, kehutanan serta perikanan.

Keenam, pengembalian aset merupakan salah satu “missing link”

dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Rumusan dan

implementasi yang efektif tentang pengembalian aset hasil korupsi

memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di

Indonesia. Pertama, implementasi yang efektif dari ketentuan tentang

pengembalian aset tersebut akan membantu negara dalam upaya

menanggulangi dampak buruk dari kejahatan korupsi. Kedua, adanya

legislasi yang memuat klausula tentang pengembalian aset hasil

kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi

bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan

hasil kejahatan korupsi (no safe haven), baik harta kekayaan Indonesia

yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang

ada di Indonesia.

Rezim Hukum Pengembalian Aset

Dalam kaitan dengan rezim hukum pengembalian aset,

pertanyaannya adalah apakah hukum pengembalian aset termasuk ke

dalam rezim hukum perdata ataukah pidana. Hukum privat atau

perdata, adalah hukum yang mengatur tata tertib masyarakat mengenai

keluarga dan mengenai kekayaan para individu, dan mengatur pula

perhubungan hukum yang diadakan antara para individu yang satu

dengan yang lain, antara individu dengan badan negara, bilamana badan

Page 19: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

11

negara turut serta dalam pergaulan hukum sebagai atau seolah-olah

individu”9.

Sedangkan hukum publik, yang mana di dalamnya termasuk pula

hukum pidana, mengatur hubungan antara individu dengan negara.

Secara lebih spesifik, hukum pidana merupakan “hukum yang

melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan

hukum privat atau perdata maupun kepentingan yang diselenggarakan

oleh peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi

kedua macam kepentingan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa”10.

Dalam konteks yang demikian, rezim hukum pengembalian aset

tentunya tidak dapat dikualifikasi sebagai hukum pidana. Akan tetapi,

mengingat pengembalian aset berkaitan dengan aset-aset yang dihasilkan

atau digunakan dalam suatu kejahatan tertentu, maka sangat erat

kaitannya dengan hukum acara pidana, yang juga merupakan bagian dari

rezim hukum pidana atau hukum administrasi negara.

Berdasarkan hal-hal di atas dan dengan memperhatikan hukum

pengembalian aset sebagai suatu ketentuan hukum yang mengatur tata

cara negara untuk mengembalikan dan mengelola aset yang digunakan

atau dihasilkan dari suatu tindak pidana, maka ketentuan yang mengatur

tata cara pengembalian aset haruslah merupakan ketentuan hukum yang

masuk ke dalam rezim hukum publik yang memiliki karakteristik

tersendiri dan dinamakan sebagai Hukum Acara Pengembalian Aset.

Secara garis besar hukum acara pengembalian aset dapat dibagi

menjadi dua. Pertama, pengembalian aset yang diduga terkait dengan

kejahatan dan dalam waktu yang bersamaan pokok perkara pidananya

sedang diproses. Kedua, pengembalian aset yang diduga terkait dengan

9 E.Utrecht, 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku

Indonesia, hlm. 94. 10 Ibid., hlm. 108.

Page 20: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

12

kejahatan, dengan tidak ada pokok perkara pidananya. Akan tetapi,

pemeriksaan pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan,

baik yang pertama maupun yang kedua, adalah hal yang terpisah

pemeriksaannya dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan.

Dalam hal yang pertama, kewenangan untuk melacak, membekukan

dan menyita ada pada penyidik, baik penyidik Polri, Kejaksaan, maupun

penyidik pegawai negeri sipil lainnya yang diperintah oleh undang-

undang atas kejahatan yang merupakan cakupan dari rezim hukum

pengembalian aset. Dalam melakukan pelacakan, penyidik dapat

meminta bantuan lembaga pengelola aset. Sedangkan dalam hal

pembekuan – selama aset tersebut berupa uang atau saham – dan

penyitaan, dilakukan oleh penyidik setelah mendapat izin berupa

penetapan dari pengadilan negeri yang berwenang.

Selanjutnya, terkait pengelolaan, penyerahan sampai pada

pengawasan terhadap aset tersebut dilakukan oleh lembaga pengelolan

aset. Pengelolaan aset dilakukan selama putusan tersebut belum

mempunyai kekuatan hukum tetap, sementara penyerahan aset

dilakukan jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada

saat pengelolaan tersebut, dimungkinkan gugatan dari pihak ketiga atas

aset tersebut, dan jika dikabulkan, maka setelah putusan tersebut

mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah diserahkan kepada pihak

ketiga yang berhak dan juga kepada negara.

Dalam hal yang kedua, pengembalian aset dilakukan oleh jaksa

pengacara negara dengan mengajukan “Permohonan Penyitaan,

Perampasan dan Pengembalian Aset” kepada pengadilan negeri yang

berwenang. Pada saat melakukan pemeriksaan atas permohonan jaksa

pengacara negara, intervensi dari pihak ketiga juga dimungkinkan.

Page 21: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

13

Selain itu, ada pemikiran lain perihal proses acara pengembalian aset,

yakni dengan afdoening buiten process11 atau penyelesaian di luar proses.

Kendatipun tetap diakomodasi dalam hukum acara pidana, namun

afdoening buiten process tidak serumit “Permohonan Penyitaan,

Perampasan dan Pengembalian Aset”. Afdoening buiten process memiliki

dua bentuk, yaitu submissie dan compositie. Pada submissie, jika terdakwa

dan jaksa penuntut umum memaparkan persoalan kepada hakim karena

sulitnya pembuktian, maka akan diambil keputusan tanpa proses

pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan compositie dipergunakan oleh jaksa

penuntut umum. Di sini terdakwa dapat mencegah atau menghentikan

proses penuntutan dengan cara membayar sejumlah uang tertentu12.

Dalam konteks pengembalian aset, kiranya afdoening buiten process

yang lebih tepat adalah bentuk submissie. Jika pengembalian aset terkait

dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan, maka terdakwa

yang hartanya akan disita bersama-sama dengan dengan penuntut umum

mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan penetapan

agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga pengelolaan

aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian

dari kedua belah pihak. Terhadap terdakwa yang hartanya telah disita

dan dikembalikan maka dapat dijatuhkan pidana yang lebih ringan.

Sementara jika pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan

tanpa pokok perkara pidana yang sedang diperiksa, maka orang atau

pihak yang hartanya akan disita bersama-sama dengan jaksa pengacara

negara mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan

penetapan agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga

11 Afdoening buiten process diatur dalam pasal 82 sampai pasal 84 WvS 1993 dan hanya

dikhususkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang ancaman pidananya hanya denda. 12 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm.442 – 443.

Page 22: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

14

pengelolaan aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya

pembuktian dari kedua belah pihak.

Dalam rangka mempermudah pembuktian pengembalian aset

berdasarkan “positive wettelijk bewijs teorie”, beban pembuktian atau

bewijslast yang harus diterapkan adalah omkering van bewijslast atau

pembuktian terbalik. Dalam konteks pengembalian aset, jika negara yang

diwakili oleh jaksa pengacara negara akan meminta pembekuan,

penyitaan bahkan sampai pada pengembalian aset, orang atau pihak

yang mendaku bahwa aset tersebut adalah miliknya, dialah yang

dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh

secara legal. Artinya, aset tersebut diperoleh bukan dari suatu perbuatan

yang melawan hukum.

Apabila orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang

akan disita dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah,

maka jaksa pengacara negara dibebani kewajiban untuk membuktikan

sebaliknya. Akan tetapi, jika orang atau pihak yang mendaku memiliki

hak atas aset yang akan disita tidak dapat membuktikan bahwa aset

tersebut diperoleh secara sah, maka pengadilan menjatuhkan putusan

untuk menyatakan aset tersebut adalah milik negara dan memerintahkan

pembekuan, penyitaan dan pengembalian aset tersebut.

Daftar Pustaka

Atmasasmita, Romli, 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang

Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam

Makalah Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap

Sistem Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh; Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, di Bali tanggal; 14-15 Juni 2006.

________________, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

Internasional, Mandar Maju, Bandung.

Bassiouni, Cherif M., 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational

Publishers, Inc., Ardsley, New York.

Cavadino, Michael and Dignan James, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE

Publication Ltd.

Page 23: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

15

Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And

Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation

Research Institute.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sambutan Pembukaan Seminar Tentang

Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN

Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,

Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008.

Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Montesquieu, C.S.B.D., 2007, The Spirit Of Laws, diterjemahkan oleh M.khoril Anam,

Nusamedia, Bandung.

Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Stolpe, Oliver, 2008, Legal Framework on Asset Recovery – The UN Convention Against

Corruption.

The International Bank For Reconstruction and Development / The World Bank, 2007,

Stolen Asset Recovery ( StAR) Initiatives: Challenges, Opportunities and Action

Plan, Washington, 2007.

United Nations Convention Against Corruption.

University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,

Scarman Center, University Of Leicester.

Utrecht, E., 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku

Indonesia.

Page 24: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

16

KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG

PIAGAM ASEAN: ARTI PENTING BAGI PERJANJIAN

INTERNASIONAL LAINNYA Damos Dumoli Agusman

Abstrak

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang apakah Piagam ASEAN bertentangan dengan UUD 1945 telah memberikan gambaran lebih mengenai politik hukum Indonesia terhadap hubungan antara perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam putusan MK, yang disertai dengan opini berbeda (dissenting opinion) dari beberapa hakim, dinyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji Piagam ASEAN secara materiil. Pernyataan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perspektif hukum formal, Piagam ASEAN dipandang telah menjadi bagian dari hukum nasional dengan ratifikasi melalui undang-undang. Alasan ini yang kemudian dikaji oleh penulis berdasarkan teori-teori di dalam hukum internasional dan praktik-praktik di negara lain. Kata kunci: Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi, perjanjian internasional, ratifikasi, hukum nasional, teori monisme, teori dualisme.

Abstract The decision of Indonesian Judicial Court on the case that questioning whether the ASEAN Charter is inconsistent with the Indonesian Constitution has given more views on Indonesian legal politics regarding the relation between treaty and national law. In the Judicial Court’s decision, with dissenting opinion from some of the judges, it is stated that the Judicial Court has legal standing to materially examine the ASEAN Charter. Such statement resulted from the consideration that in formal legal perspective, the ASEAN Charter has become a part of national law through ratification by law. This reasoning that will be then analyzed by the writer of this article based on theories in international law and practices in other countries. Keywords: ASEAN Charter, Judicial Court, international treaty, ratification, national law, theory of dualism, theory of monism.

Page 25: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

17

Setelah ditunggu hampir 2 tahun pasca diajukannya gugatan oleh

sejumlah LSM tanggal 5 Mei 2011, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK)

pada Selasa, 26 Februari 2013 menentukan sikap terhadap nasib Piagam

ASEAN. Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak

permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN

tidak bertentangan dengan UUD.

Putusan ini mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi

terhindar dari kemungkinan pelanggaran kewajiban internasionalnya,

namun bukan berita yang menggembirakan bagi para pakar hukum

khususnya hukum internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil

putusannya yang penting namun argumen yang menggiring ke arah

putusan itu, karena argumen ini (sering disebut ratio decidendi) kelak akan

menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional lainnya.

MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji

Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah

bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah

untuk diuji oleh MK. Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka

tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya. Setelah

memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke

materi Piagam ASEAN dan menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN

Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan

belum berlaku efektif. Secara nasional berlakunya kebijakan makro

tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN

untuk melaksanakan. Atas argumen ini maka gugatan pemohon tidak

beralasan menurut hukum.

Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang

perjanjian internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur

masih diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama

perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian

internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian

Page 26: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

18

internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan

bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis dan dapat

dipahami. Namun yang lebih menarik adalah bahwa MK telah memilih

aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang

meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak

menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan

dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan

sebaliknya.

Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering

diperdebatkan dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya

mengemuka dalam perdebatan para hakim konstitusi. Dua hakim

Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang

mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. Menurut

kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah Undang-

Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat

dijadikan obyek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang

Mahkamah. Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu

peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif,

yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kepada setiap

orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat

terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah

untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU.

Kontroversi tentang status UU yang meratifikasi suatu perjanjian

internasional juga melanda sistem hukum lainnya. Pengadilan Belanda

pernah mengalami perdebatan ini. Beberapa ahli menilai UU (Wet)

ratifikasi memiliki 2 fungsi yaitu, menyetujui Raja/Ratu melakukan

ratifikasi terhadap perjanjian dan sekaligus menjadikan perjanjian itu

menjadi hukum nasional yang setara dengan UU. Namun pengadilan

Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen ini dalam kasus

”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation (1868) dengan menyatakan

bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak bersumber dari Wet yang

Page 27: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

19

mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen

ratifikasi antara kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini

menyelesaikan perdebatan pada waktu itu dan kemudian menjadi politik

hukum dalam revisi Konstitusi Belanda tahun 1953 yang secara tegas

menempatkan perjanjian berada di atas hukum nasional Belanda dan

bahkan di atas Konstitusi.

Negara berkembang seperti Kolombia juga telah menuntaskan

persoalan klasik ini pada awal abad 20. Duduk perkaranya sama dengan

yang dialami oleh MK saat ini. UU No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi

Treaty antara AS dan Kolombia tentang pengakuan kedaulatan Panama

digugat ke Pengadilan Kolombia karena bertentangan dengan UUD.

Pengadilan Kolombia tidak tertarik mengulas tentang apakah benar treaty

ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah

Pengadilan memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914

dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini

adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada

umumnya. UU ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari

Kolombia untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dan tidak

menjadikan perjanjian itu berkekuatan mengikat karena masih

tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak lainnya.

MK dalam pengujian Piagam ASEAN ternyata mengambil sikap yang

sangat berbeda dengan kedua negara di atas. Tampaknya terdapat

kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari

asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan

tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain

MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian

internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau

kembali. Namun sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang

agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang

keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan hal yang baru

dalam praktek negara-negara. Belanda, Kolombia, Jerman dan banyak

Page 28: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

20

negara lainnya memilih bentuk formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam

hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang menjadi akar masalah namun

bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang menjadi faktor

penentu. Dalam hal ini, Prof. Utrecht, seorang pakar hukum di awal

kemerdekaan, mengartikan lain bahwa suatu perjanjian internasional

yang disetujui DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang

persetujuan (goedkeuringswet) adalah UU yang bersifat formil saja.

Di lain pihak terdapat pula argumentasi MK yang kelihatannya logis

dari sisi hukum tata negara namun menjadi tidak logis dalam hukum

internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam ASEAN di Jakarta ke dalam

UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty ke dalam format UU

yang memiiki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU

ini. Padahal dalam konsepsi hukum publik dikenal suatu model

masuknya perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui

proses transformasi. Teori transformasi menjelaskan bahwa Piagam

ASEAN dalam formatnya sebagai treaty mengikat semua negara pihak

dalam tataran hukum internasional, sedangkan UU 38/2008 jika hendak

dianggap sebagai UU transformasi maka hanya diartikan sebagai Piagam

ASEAN yang ditransformasikan ke dalam hukum nasional dan bertujuan

hanya untuk mengikat subyek-subyek dalam hukum nasional.

Menurut teori di atas, pemuatan Piagam ASEAN ke dalam format UU

38/2008 adalah murni urusan hukum nasional dan tidak ada sangkut

pautnya dengan status Piagam sebagai treaty menurut hukum

internasonal, yang tetap tentunya mengikat negara pihak lainnya sebagai

subjek hukum internasional. Dengan demikian, argumen MK yang

menyatakan bahwa negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008

sangat tidak mendasar dan bukan sebagaimana yang dimaksud oleh teori

transformasi.

Namun terlepas dari itu, saran MK agar pilihan bentuk UU untuk

Perjanjian Internasional ditinjau kembali sangat menarik. Dengan saran

ini terdapat kecederungan bahwa seyogianya perjanjian internasional

Page 29: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

21

tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji

oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia

menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional1.

Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak

menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan

konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti

dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini

adalah materi Konstitusi.

1 Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung,

2010.

Page 30: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

22

KONSEPSI KEDAULATAN NEGARA DALAM

BORDERLESS SPACE Purna Cita Nugraha

Abstrak

Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah tingkah laku masyarakat dan kebudayaan secara global. Lebih lanjut, pengembangan teknologi informasi telah mengarah kepada suatu dunia baru tanpa batas dan menyebabkan perubahan-perubahan social yang terjadi dengan pesat. Internet mengalihkan cara komunikasi yang bersifat konvensial kepada suatu fenomena sosial dalam Ruang publik untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan dengan dunia maya dimana satu pihak capat berkomunikan dengan yang lain tanpa dibatasi oleh batas-batas atau bahkan lintas negara (transnasional). Proses yang mengarah pada kemudahan dan manfaat dalam internet tidak selalu menjadi permasalahan karena dalam dunia maya juga terdapat permasalahan hukum yang timbul dalam bentuk kejahatan telematika. Dalam hal ini, negara perlu bekerjasama bersama-sama dalam menetapkan rejim yurisdiksi ekstrateritorial dalam hukum telematika untuk menetapkan kepastian hukum dalam implementasi dari peraturan hukum untuk semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam dunia maya. Kata kunci: Kedaulatan negara, ruang tanpa batas, dunia maya

Abstract Information and communication technology (ICT) has changed the behavior of human society and civilization globally. In addition to that, the development of information technology has led to a new world without borders (borderless) and cause significant social changes occurred too rapidly. The internet shifts the conventional way of communication to a new social phenomenon in the public space to communicate, a new world called the cyberspace where one party can communicate with others without being limited by borders or even cross country (transnational). The process leading to simplicity and goodness in the internet was not always the case because in cyberspace there are also legal issues that arise in the form of cybercrime. In this

Page 31: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

23

regard, the sovereign states needs to cooperate together in establishing extraterritorial jurisdiction regime in cyberlaw to create legal certainty in the implementation of the rule of law for all activities carried out in cyberspace. Key words : State Sovereignty, Borderless Space, cyber space

Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku

masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu,

perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi

tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara

signifikan berlangsung demikian cepat.1 Pengembangan dan penerapan

teknologi informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus

informasi diserap, sekaligus memudahkan orang untuk melakukan

komunikasi tanpa terkendala batas ruang dan waktu.

Sebagaimana dinyatakan oleh Melville J. Herskovits bahwa teknologi

merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan manusia.2 Teknologi

dan hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan

keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger berpendapat

bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai

tujuan tertentu. Akan tetapi di sisi lain teknologi juga dapat dilihat

sebagai aktivitas manusiawi.3

Pada prinsipnya, teknologi dikembangkan untuk memenuhi

kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat

1Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, 2006, hlm. 1 2 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, hlm. 115 3 Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit

Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm. 44

Page 32: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

24

dan layanan bagi manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan

keefektivitasan kerja. Teknologi memiliki ruang lingkup yang luas,

karena mencakup : 1) tools and techniques; 2) organized systems such as

factories; 3) applied science; 4) those methods that achieve, or are intended to

achieve, a particular goal such as efficiency, the satifaction of human needs and

wants, or control over the environment; and 5) the study of or knowledge about

such things.4

Istilah teknologi juga dapat diartikan sebagai berikut:

“Technology thus sometimes includes what might also be called

technique; making organization, bereaucracy, and even law itself into

technologies. Such extended meanings of the term technology are not,

however, what law journals focused on technology usually mean by the

term.”5

Dalam hal tersebut di atas dijelaskan bahwa teknologi kadang-kadang

mencakup apa yang juga bisa disebut teknik, pembuatan organisasi,

birokrasi, dan bahkan hukum itu sendiri menjadi teknologi. Makna yang

diperluas dari istilah teknologi tersebut tidak, bagaimanapun, seperti

yang jurnal hukum biasanya maksud dalam penggunaan istilah.

Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi

masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya

dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam suatu

negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam

masyarakat dan memberikan keadilan. Keadilan dan ketertiban tersebut

dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun

kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan di dalam masyarakat

4 Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.

Tata Nusa, Jakarta, 2012, hlm. 32 5 Ibid.

Page 33: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

25

pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis

karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi

menuntut respon hukum dan hukum berada di persimpangan, di satu sisi

berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan

masyarakat, di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap

menjaga teknologi yang ada sekarang, sehingga tetap menjaga berbagai

kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi

dengan teknologi yang telah ada itu.6

Pada permulaan abad ke-20, salah satu penemuan revolusioner di

bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan

perekonomian adalah ditemukannya internet (interconnection networking),

sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Fasilitas internet

adalah suatu jaringan computer yang sangat besar, terdiri atas jaringan-

jaringan kecil yang menjangkau seluruh dunia.7

Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam

masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan

dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat

berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah

(borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional).

Teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol

pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam

aspek sosial budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil,

lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir

bergerak cepat menuju suatu sistem global.8

6 Ibid. 7 Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business,

Harvindo, Jakarta, 2004, hlm. 1 8 Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan untuk Bidang Ekonomi

dan Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson,

Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, hlm. 2

Page 34: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

26

Seperti yang ditulis dalam International Review of Law Computer and

Technology:

Global information and communication networks are now an integral

part of the way in which modern governments, business, education and

economies operate. However, the increasing dependence upon the new

information and communication technologies by many organizations is

not without its price, they have become more exposed and vunerable to

an expanding array of computer security risks or harm and inevitably

to various kinds of computer misuse.9

Dalam hal ini, informasi global dan jaringan komunikasi yang

sekarang merupakan bagian integral dari cara pemerintah modern, bisnis,

pendidikan dan ekonomi beroperasi. Namun, meningkatnya

ketergantungan pada informasi baru dan teknologi komunikasi oleh

banyak organisasi bukan tanpa konsekuensi, salah satunya adalah

menjadi lebih terekspos dan rentan dalam memperluas risiko keamanan

komputer termasuk terhadap berbagai macam penyalahgunaan

komputer.

Proses globalisasi tersebut melahirkan suatu fenomena yang

mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan

kenyataan dalam dunia maya (virtual reality) yang dikenal sekarang ini

dengan internet. Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur

masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet

berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan

bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun.

9 International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat:

Problems and Perspectives, Volume 14, 2001, hlm. 105-113.

Page 35: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

27

Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang menawarkan

realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).10

Netizens11 atau para pengguna internet merupakan para penghuni dari

konsep cybernetics yang telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan

istilah cyberspace, global village, atau internet. Sama seperti dalam dunia

konvensional, maka dalam cyberspace “hidup” masyarakat (cybersociety)

yang terdiri dari milyaran pengguna internet dari segala penjuru dunia

yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan

komputer. Sama seperti dalam dunia fisik kita sekarang, dalam cyberspace

masyarakat memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun

antar masyarakat, mulai dari norma sampai kepada hukum (cyberlaw).12

Indeks penggunaan internet di dunia menunjukkan perkembangan

yang sangat pesat, hal ini terlihat dari angka peningkatan yang mencapai

566.4% dalam kurun waktu 12 tahun (2000—2012). Pengguna internet

(netizens) di benua Asia merupakan 44.8% dari pengguna internet di

seluruh dunia, atau sejumlah 1,076,681,059 jiwa. China menduduki

peringkat pengguna terbesar dalam peringkat pengguna internet di Asia

yaitu sejumlah 538 juta jiwa pengguna internet, sedangkan Indonesia

menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah 55 juta jiwa pengguna

internet.13

Sejalan dengan pemikiran bahwa cyberspace memerlukan pengaturan

baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma

10 Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 20 11 Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/netizen.html,

netizen is citizen of cyberspace a dedicated internet user, diakses pada tanggal 31

Desember 2012 pukul 16.58 WIB 12 Josua Sitompul, op.cit, hlm. 31

13 Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population

Stats, http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember 2012

pukul 15.24 WIB

Page 36: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

28

sampai kepada hukum (cyberlaw) dan apabila dikaitkan dengan

kewenangan suatu negara dalam melakukan pengaturan, hal tersebut

tentu saja berhubungan langsung dengan yurisdiksi negara tersebut,

misalnya saja mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan

hukum di wilayahnya atau dalam hal ini ruang siber.

Internet adalah dunia yang ubiquotus (terhubung dan terbuka pada

saat yang bersamaan di mana-mana), maka teori yurisdiksi yang

menekankan pada locus dan tempus delicti sudah tidak memadai lagi

untuk digunakan.14

Kondisi di atas menimbulkan suatu pertanyaan mendasar tentang

bagaimana sistem hukum mengatur ruang siber yang notabene borderless

tersebut. Lebih jauh lagi, harus juga dipikirkan bagaimana hubungan

kewenangan negara dikaitkan dengan pengaturan terhadap setiap

perbuatan/interaksi para pengguna internet yang tidak dibatasi oleh

batas wilayah (borderless) tersebut. Hal ini tentu menimbulkan suatu

kebutuhan dari hukum untuk menyesuaikan dirinya dengan

perkembangan zaman dalam menjawab adanya pertanyaan-pertanyaan

seputar kewenangan dan yurisdiksi negara atas internet dan ruang siber

tersebut.

Adanya urgensi hukum dalam meregulasi ruang siber telah

membentuk suatu rezim hukum baru di Indonesia. Dalam hal ini, perlu

pula terlebih dahulu dipahami peristilahan dan ruang lingkup cyberlaw

yang telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia khususnya dalam

kegiatan teknologi dan informasi. Peristilahan yang digunakan untuk

hukum yang mengatur kegiatan di dalam cyberspace adalah the law of the

14 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,

hlm. 304

Page 37: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

29

internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex

informatica.15

Pada sudut pandangan secara praktis, dapat dipahami misalnya

dalam kegiatan e-commerce memerlukan “sense of urgency” untuk

dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau permasalahan hukum yang

muncul. Di sisi lain, dengan memperhatikan pula praktik di negara lain,

nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak dibatasinya secara sempit

ruang lingkup dari cyberlaw itu sendiri.16

Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih

memudahkan untuk dipahami dengan mengetahui ruang lingkup

pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus

(sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyberspace (ruang siber),

antara lain mencakup hak cipta, merek (trademark), fitnah atau

pencemaran nama baik (defamation), privacy, duty of care, criminal liability,

procedural issues, electronic contracts, digital signature, electronic commerce,

electronic government, pornografi, dan pencurian (theft).17

Ruang siber dengan realitas virtual, di satu sisi memang menawarkan

manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat

mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat

lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari

kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang

lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Ruang siber telah

membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak

pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan,

kesenangan, kemudahan, dan penjelajahan seperti teleshoping,

15 Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi

(Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 129 16 Ibid.

17 Ibid.

Page 38: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

30

teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum,

cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.18

Cyberspace atau internet juga terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual

(Intellectual Property Rights), hal ini dikarenakan nature dan struktur dari

internet yang membuat media ini secara luar biasa dapat memasukkan

kreatifitas ke dalam komunitas global. Kreativitas yang timbul dari media

ini dan kemampuan untuk menggunakan internet sebagai cara untuk

mentransfer hasil karya kreatif memunculkan suatu kebutuhan akan

pengaturan dan peraturan dari semua pemerintah, yaitu melindungi Hak

Kekayaan Intelektual.

Hak cipta memandang internet sebagai media yang bersifat low-cost

distribution channel atau saluran distribusi yang murah bagi penyebaran

informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan

buku. Hal ini disebabkan internet memungkinkan data-data tersebut

untuk diunduh secara mudah oleh konsumen.19

Christoper Millard mencatat tiga pertanyaan yang paling mendasar

mengenai pelanggaran hak cipta di internet, yaitu: 1) siapa yang mungkin

dapat bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak cipta di internet; 2)

hukum dan yurisdiksi apa yang paling tepat/pantas diberlakukan; 3)

perbuatan pelanggaran hukum seperti apa yang dapat termasuk ke

dalam hukum yang berlaku saat ini. Menurutnya, para pelaku

18 Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan

Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia),

Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008,

hlm. 6-7 19 Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia,

Bogor, 2009, hlm. 3-4 lihat juga Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi

Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh

Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 10

Page 39: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

31

pelanggaran dapat masuk ke dalam tiga kategori, yaitu pengirim,

penerima, dan operator jaringan yang ada di internet.20

Hak Kekayaan Intelektual telah dapat dijamin secara ekstensif di

dalam literatur atau karya kesusastraan. Namun, sebahagian orang

menganggap bahwa internet sebagai pertanda matinya hak cipta

(copyright). Dalam hal ini, Ginsburg mencatat beberapa permasalahan

dalam menegakkan Hak Kekayaan Intelektual di dalam internet, sebagai

berikut:

Should one look to the country where copies were (first) recieved? To

the country from which the author uploaded the work? To the country

in which is localized the website from which the work first becomes

available to the public? What are the consequences of these different

characterizations of publication and country of origin?21

Internet juga dapat digunakan untuk melanggar atau bahkan

merampok para pemilik hak cipta dari keuntungan hak cipta, internat

juga telah digunakan dalam mencegah pengakuan atau pemberian suatu

paten. Sebagai contoh Human Genome Project mempublikasikan atau

mengunggah peta dari human genome dengan niat untuk membuat

informasi dan data tersebut sebagai informasi publik/pengetahuan

umum dan mencegah Celera Genomics, sebuah perusahaan swasta,

untuk mendapatkan hak paten. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa

penentuan yurisdiksi di internet khususnya dalam Hak Kekayaan

Intelektual di internet sebagai sesuatu yang amat penting.22

20 Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000, hlm. 201

21 Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define

and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal Studies:

Vol. 10: Iss 2, 2003, hlm. 249 22 Ibid, hlm. 259-260

Page 40: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

32

Di sisi lain, proses siberisasi yang menimbulkan kemudahan dan

kebaikan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace

juga terdapat persoalan hukum yang muncul berupa sisi gelap yang perlu

kita perhatikan yaitu cybercrime dengan berbagai macam bentuknya.

Sebagai contoh, carding, merupakan kasus yang membuat Indonesia

menjadi salah satu negara terkenal dalam cybercrime. Selain itu adalah

hacking, sebagai bentuk baru dalam mengekspresikan kekecewaan,

kekesalan dalam dunia bisnis dan politik, seperti kasus hacking terhadap

situs-situs (websites) milik Malaysia sebagai bentuk protes terhadap

kebijakan negara itu dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia (TKI).23

Kejahatan yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan

media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan

beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud,

computer-assisted crime, computer-related crime, atau computer crime.24

Barda Nawawi Arief mengatakan dalam bukunya bahwa pengertian

computer-related crime sama dengan pengertian cybercrime.25 TB Ronny R.

Nitibaskara berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi melalui atau pada

jaringan komputer di dalam internet disebut cybercrime. Kejahatan ini juga

dapat disebut kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computer-

related crime), yang mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan yang

menggunakan komputer sebagai sarana atau alat, dan menjadikan

komputer sebagai sasaran atau objek kejahatan.26

23 Ibid. hlm. 7

24 Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja

Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo,

Yogyakarta, 2009, hlm. 23 25 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2002, hlm. 259 26 Widodo, loc.cit.

Page 41: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

33

Dalam background paper workshop on crimes related to the computer

network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and

the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000, disebutkan

sebagai berikut:

“Cyber crime in a narrow sense (“computer crime”): any illegal

behaviour directed by means of electronic operations that targets the

security of computer systems and the data processed by them; and

Cyber crime in a broader sense (“computer-related crime”): any illegal

behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system

or network, including such crimes as illegal possession, offering or

distributing information by means of a computer system or network.”27

Di sisi lain, dapat diperoleh informasi bahwa serangan siber di

seluruh dunia mencapai 5,5 Milyar serangan dalam setahun. Sedangkan

serangan siber (cyber attack) terhadap situs-situs Indonesia mencapai 40

ribu serangan per hari. Jenis serangan tersebut bermacam-macam seperti

malware (piranti lunak berbahaya) dan spyware (piranti lunak mata-mata).

Dalam hal ini, motif penyerangan ke situs-situs Indonesia bukan

tergolong motif serius, seperti motif bersifat keamanan atau ekonomis.28

Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring,

menyebut jumlah serangan siber ke situs-situs berdomain go.id (situs

milik lembaga/instansi pemerintah) lebih dari 3 juta kali pada tahun

2011.29

27 Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth

United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di

Wina tanggal 10-17 April 2000 28 Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet

Infrastructure, Serangan Siber ke Situs Indonesia 40 Ribu Kali/Hari,

http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribu-

kalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB 29 Ibid.

Page 42: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

34

Pada tahun 2012 yang lalu, New York Times, sebuah media massa

terkemuka AS melaporkan serangan siber yang dilakukan AS dan Israel

terhadap Iran, bahkan Presiden Barack Obama secara langsung dan diam-

diam memerintahkan serangan cyber menggunakan virus komputer

Stuxnet terhadap Iran untuk melumpuhkan program nuklir Iran.30

Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan

nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan

menyabotase sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat

motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan

maksimum yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat

memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai

serangan paling cerdas, paling canggih, dan paling hebat yang pernah

dibuat yang pernah dibuat manusia.31

Menteri Telekomunikasi Republik Islam Iran, Reza Taghipour

menyatakan akan melayangkan gugatan atau membawa masalah ini ke

tingkat internasional atas serangan siber ke lembaga pemerintah Iran

yang dianggapnya sebagai “state cyberterrorism against the country”

tersebut kepada organisasi internasional terkait. Pengaduan Iran atas

serangan siber tersebut akan dilayangkan kepada organisasi internasional

terkait melalui Kementerian Luar Negeri Iran dan di berbagai pertemuan

khusus seperti dalam sidang the International Telecommunication Union di

Jenewa, dimana wakil Iran akan menyatakan protes resmi Tehran terkait

masalah ini.32

30 http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks

iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB 31 http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks

iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul

13.42 WIB 32 http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,

diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

Page 43: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

35

Hal ini dilakukan Iran karena beberapa instansi pemerintah Iran

mendapat serangan siber yang dilakukan sejumlah negara asing dan

serangan ini sebagai ancaman keamanan siber dan terorisme siber

terhadap negara. Dugaan sementara bahwa serangan ini dilakukan oleh

AS, sesuai dengan fakta dan pernyataan Presiden Obama yang berhasil di

blow-up oleh media bahwa Presiden Obama secara diam-diam

memerintahkan serangan siber dengan komputer virus Stuxnet terhadap

Iran untuk menyabotase program nuklir negara tersebut. Aksi serangan

ini diduga dilakukan AS bekerjasama dengan unit intelejen rahasia Israel

sebagai bagian dari gelombang serangan digital AS terhadap Iran.

Dari paparan-paparan di atas, dapat diketahui bahwa persitiwa

tersebut menandai era baru penggunaan dunia siber sebagai media untuk

melakukan serangan siber dengan menggunakan cyber weapons terhadap

bukan hanya infrastruktur dunia maya, tetapi juga instalasi dan

insfrastruktur di dunia nyata. Belum terdapatnya organisasi internasional

atau forum internasional yang diberi mandat untuk membahas masalah

ini secara serius di tingkat internasional dikhawatirkan dapat membuat

adanya ketidakpastian existing law (ius constitutum) maupun arah politik

hukum ke depan (ius constituendum) dalam pembentukan hukum siber

dan penegakan hukumnya di dunia siber. Hal tersebut terlihat dari Iran

yang hanya dapat melakukan langkah politis dengan membawa masalah

tersebut ke forum/tingkat internasional yang sifatnya konsultatif

daripada menempuh jalur hukum dikarenakan kurang dan belum

jelasnya infrastruktur hukum nasional dan internasional yang mengatur

masalah tersebut.

Dunia siber kini dapat dikatakan menjadi matra perang ke-5 selain

darat, laut, udara, dan angkasa luar. Iran dengan segala bentuk

Page 44: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

36

keterbatasannya telah mampu menginovasi kemajuan teknologi

komunikasi dan informasi taktik dalam konflik modern dengan AS dan

Israel. Bagi Iran, dengan adanya serangan siber yang dilakukan AS, maka

dunia maya pun menjadi medan perang terbaru. Banyak perangkat

mutakhir mulai dibuat para insinyur Iran untuk keperluan ini.

Pertempuran elektronik telah tercipta dan membuat banyak negara

melihat perang dunia siber sebagai ancaman terbesar di masa depan.

Dalam tatanan pranata hukum nasional, pengaturan ruang siber

dalam hal ini pelanggaran hukum (computer-related crime atau cybercrime)

misalnya, seringkali sulit dijerat oleh hukum dan pengadilan di Indonesia

karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi

terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi di dalam ruang siber

tersebut, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi

akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.33

Untuk mengakomodir adanya kebutuhan akan infrastruktur hukum

dan pengaturan nasional dalam meregulasi kegiatan pemanfaatan

teknologi informasi agar dapat dilakukan secara aman dengan menekan

akibat-akibat negatifnya seminimal mungkin, Pemerintah Indonesia

mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur

kegiatan informasi dan transaksi elektronik termasuk aktivitas pada

ruang siber. Setelah melalui pembahasan yang panjang akhirnya RUU

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disetujui menjadi

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada

Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008 dan disahkan

menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) serta ditempatkan pada Lembaran Negara

Nomor 58 pada tanggal 21 April 2008.

33 Ahmad M. Ramli, op.cit, hlm. 19

Page 45: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

37

UU ITE merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang

secara khusus mengatur tindak pidana cyber (cybercrime). Dua muatan

besar yang diatur dalam UU ITE ialah mengenai pengaturan transaksi

elektronik dan mengenai tindak pidana siber. Materi UU ITE tersebut

merupakan implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional,

yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model

Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on

Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Ketentuan-

ketentuan tersebut adalah intrumen internasional dan regional yang

banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia.34

Ada beberapa kelebihan yang diperoleh dengan menyatukan materi-

materi tersebut dalam satu undang-undang. Pertama, penyatuan ini

menghemat waktu karena jika tiap materi diatur dalam undang-undang

sendiri, akan membutuhkan waktu yang lama untuk dibahas di DPR.

Kedua, para pemangku kepentingan dapat melihat keseluruhan secara

holistik dan keterkaitan materi-materi tersebut secara komprehensif.35

Substansi pengaturan tindak pidana siber dalam UU ITE mencakup

hukum pidana materil, yaitu kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang

termasuk kategori tindak pidana siber; pedoman yang digunakan adalah

Convention on Cybercrime. UU ITE juga memuat hukum pidana formil

yang khusus untuk menegakkan hukum pidana siber.36

UU ITE merupakan rezim hukum baru untuk mengatur kegiatan

cyberspace di Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur mengenai aspek

yurisdiksi yang menggunakan prinsip perluasan yurisdiksi

(extraterritorial jurisdiction) dikarenakan aktivitas pada ruang siber

34 Josua Sitompul, op.cit., hlm. 135-136

35 Ibid, hlm. 136

36 Ibid.

Page 46: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

38

memiliki karakteristik lintas teritorial dan tidak dapat menggunakan

pendekatan konvensional.37

Dunia siber, meskipun telah dapat diatur, tetapi masih sulit untuk

dijinakkan. Cyberspace merupakan dunia virtual yang lokasinya tidak

akan pernah kita temukan dalam Atlas, tetapi dapat dikunjungi oleh

milyaran pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat.

Karakteristik ubiquitous dan borderless ini mempengaruhi tindak pidana

yang terjadi di dalamnya bahwa pada kenyataannya tindak pidana siber

sering bersifat lintas negara sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai

yurisdiksi yang berlaku atas perbuatan atau akibat tindak pidana serta

atas pelakunya. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyadari

keterbatasan perundang-undangan konvensionalnya untuk menjawab

permasalahan ini sehingga memandang perlu untuk menyesuaikan

hukumnya untuk tetap menjaga kedaulatan negara serta kepentingan

negaranya dan warganya.38

Keberlakuan undang-undang pidana Indonesia yang diatur dalam

KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional,

antara lain asas teritorialitas, asas nasionalitas, dan asas nasionalitas pasif.

Pada prinsip awalnya, undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi

setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga

negara asing yang berada di dalam wilayah wilayah negara tersebut, baik

wilayah darat maupun laut. Setiap negara memiliki kedaulatan dan

otoritas tertinggi untuk menegakkan hukum dalam wilayah negaranya.

Asas ini dikenal dengan asas teritorialitas. Kemudian, sesuai dengan

kebutuhan, ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan menyamakan

kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu

negara sebagai bagian dari wilayah negara itu. Dalam KUHP, asas

37 Danrivanto Budhijanto, op.cit., hlm. 133

38 Josua Sitompul, op.cit., hlm.137

Page 47: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

39

teritorial yang dimaksud diatur dalam Pasal 2 KUHP, sedangkan

perluasan dari asas ini diatur dalam pasal 3 KUHP.39

Dalam perkembangan penerapannya, asas teritorialitas ini memiliki

keterbatasan untuk menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana di

luar wilayah suatu negara. Oleh karena itu, banyak negara menambahkan

asas lain agar perundang-undangan pidananya tetap berlaku dalam

kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas,

khusunya dalam kondisi dimana pelaku tidak hadir dalam wilayah

negara yang bersangkutan. Asas ini lebih dikenal dengan asas

ekstrateritorial.40

Asas ekstrateritorial ini diwujudkan dalam pasal 4 KUHP dan pasal 5

KUHP. Pasal 4 KUHP memuat asas nasionalitas pasif. Maksudnya

undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang – baik warga

negara Indonesia maupun warga negara asing – yang melakukan tindak

pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar

kepentingan Indonesia. Sedangkan, pasal 5 KUHP mengandung asas

nasionalitas aktif, yaitu perundang-undangan pidana Indonesia berlaku

terhadap warga negara Indonesia di manapun ia berada.41

Dalam konteks kaitannya dengan regionalisme, kebutuhan adanya

kriminalisasi yang mengatur tindak pidana siber secara tegas melahirkan

gagasan untuk membentuk suatu konvensi regional yang diprakarsai

oleh Council of Europe atau Dewan Eropa. Hal tersebut dinyatakan secara

tegas dalam Convention on Cybercrime 2001, yang dalam pembukaan

dinyatakan sebagai berikut:

“Convinced of the need to pursue, as a matter of priority, a common

criminal policy aimed at the protection of society against cybercrime,

39 Ibid.

40 Ibid.

41 Ibid.

Page 48: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

40

inter alia, by adopting appropriate legislation and fostering

international co-operation.” 42

Dalam hal ini disebutkan keyakinan akan adanya kebutuhan untuk

mencapai, sebagai suatu prioritas, kebijakan kriminal bersama yang

ditujukan pada perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana siber,

antara lain dengan memberlakukan perundang-undangan yang sesuai

dan mendorong kerjasama internasional.43

Untuk mengaksesi Konvensi Dewan Eropa 2001 tersebut, suatu

negara terlebih dahulu harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak

pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut.

Konvensi Dewan Eropa 2001 menjadi rujukan dalam pengaturan tindak

pidana siber mengingat konvensi tersebut merupakan satu-satunya

konvensi yang mengatur tindak pidana siber dan bersifat terbuka

sehingga negara-negara lain yang bukan anggota Dewan Eropa dan tidak

menjadi peserta konvensi dapat mengikatkan diri pada konvensi

tersebut.44 Namun, walaupun konvensi tersebut bersifat terbuka,

konvensi yang dihasilkan dari bentuk paham regionalisme atau kawasan

tertentu cenderung akan mendapatkan resistensi khususnya dari negara-

negara dari kawasan yang berbeda. Sehingga suatu keniscayaan bahwa

konvensi yang dapat diterima oleh semua kalangan adalah

konvensi/traktat/perjanjian internasional yang dihasilkan oleh forum

multilateral atau dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa.

42 Sigid Suseno, Yurisdiksi Terhadap Tindak Pidana Siber dalam Perundang-Undangan

Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Dewan Eropa 2001, dalam Buku Yudha Bhakti,

et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta, 2012,

hlm. 518 43 Ibid.

44 Ibid, hlm. 520

Page 49: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

41

Dalam konteks pengaturan yurisdiksi dalam ruang siber, setiap

negara mau tidak mau harus dilibatkan karena karakteristik dari ruang

siber yang berdimensi transnasional dan borderless. Disamping itu juga

semua negara termasuk Indonesia harus dilibatkan dalam membentuk

hukum siber dalam rangka terwujudnya kerjasama internasional yang

efektif dan efisien dalam mengatur ruang siber khususnya tindak pidana

siber.

Di sisi lain, dalam tatanan hukum internasional, belum adanya posisi

atau international regime yang jelas dalam mengatur tentang kedaulatan,

kewenangan, dan yurisdiksi negara atas ruang siber dikhawatirkan akan

menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan prinsip extraterritorial

jurisdiction terhadap pelanggaran di ruang siber. Lebih lanjut, praktik

negara-negara selama ini yang secara sepihak dalam memberlakukan

hukum nasionalnya (unilateral act) dikhawatirkan akan melahirkan

kesewenang-wenangan, khususnya pada penegakan hukum yang

dilakukan dengan dasar kekuatan dan kekuasaan politik bukan dengan

legitimasi hukum. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara berdaulat

perlu kiranya menentukan kebijakan yang jauh kedepan dan

mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum tersebut lewat

politik hukum (legal policy) yang tepat dan sesuai dalam membentuk

infrastruktur hukumnya khususnya di bidang cyberlaw.

Berdasarkan paparan-paparan tersebut di atas, dapat dilihat belum

adanya adanya politik hukum yang sinergis baik dalam pengaturan

hukum nasional maupun hukum internasional tentang politik hukum

dan kedaulatan negara dalam membentuk rezim extraterritorial jurisdiction

dalam cyberlaw untuk menciptakan suatu kepastian hukum dalam

pelaksanaan penegakan hukum terhadap segala aktivitas atau kegiatan

yang dilakukan di ruang siber.

Terkait dengan hal masalah kedaulatan negara, Milton J. Esman

mengatakan ada 2 (dua) dimensi pelaksanaan kedaulatan setiap negara,

yaitu 1) dimensi pelaksanaan kedaulatan ke dalam (internal sovereignty),

Page 50: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

42

which covers the behavior of persons and control of resources within the

territorial boundaries of the state; dan 2) dimensi pelaksanaan kedaulatan ke

luar (external sovereignty), which precludes any interfence by outsiders in

domestic affairs unless these are conceded voluntarily by its government.45

Negara berdaulat ke dalam berarti berdaulat dalam mengurus urusan

internal organisasi negaranya, yang mencakup wewenang dan

kedaulatan kesatuan kekuasaan negara. Kedaulatan wewenang yang

dimaksud adalah kesanggupan dan hak negara untuk melakukan segala

sesuatu di dalam negara yang bersangkutan. Dalam hal ini negara tidak

hanya mempunyai banyak wewenang, tetapi juga negara berwenang

untuk menambah atau mengurangi wewenang itu. Artinya, bahwa di

dalam wilayah suatu negara tidak ada lembaga lain yang juga memiliki

kedaulatan wewenang selain pemerintahan negara itu sendiri. Di dalam

satu wilayah negara hanya terdapat satu pusat kekuasaan, sementara

semua wewenang lain tunduk terhadap pusat kekuasaan tersebut.46

Di sisi lain, kedaulatan negara ke luar dapat diartikan bahwa tidak

ada pihak lain dari luar negara yang berhak untuk mengatur sesuatu

dalam wilayah negara yang bersangkutan. Kedaulatan ke luar

diwujudkan dalam dua prinsip utama, yaitu 1) prinsip kekebalan; 2)

prinsip kesamaan kesanggupan semua negara untuk menciptakan

hukumnya sendiri dan untuk bertindak menurut hukumnya itu.

Sementara prinsip kekebalan maksudnya bahwa setiap negara tidak

boleh dimasuki dalam bentuk apapun oleh negara lain. Artinya negara

dilarang mengambil tindakan hukum atau kekuasaan dalam wilayah

45 J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty

under Challange, Transaction Publishers, USA and UK, 2002, hlm. 3 46 Max Boli Sabon, Kongruensi Hak atas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe

Negara Hukum, serta Implikasinya terhadap Tipe Negara Hukum Materil, Disertasi pada

Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung 2006, hlm. 197

Page 51: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

43

kekuasaan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Semua

negara tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama untuk menetapkan

undang-undang dalam wilayahnya dan bertindak atas nama negaranya

sendiri ketika berhadapan dengan negara-negara lain.47

Dari paparan-paparan tersebut di atas, dapat diperoleh suatu

pemahaman bahwa apabila diteliti secara seksama pemaknaan

pelaksanaan kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar, konteksnya

adalah ketika negara berhadap-hadapan dengan negara, dalam konteks

terdesak, terganggu, atau terancamnya kedaulatan negara yang

bersangkutan.

Makna kedaulatan sebagaimana dipaparkan di atas sudah tidak

relevan lagi diterapkan secara mutlak. Artinya pengertian kedaulatan

sebagai sesuatu yang tidak dapar dibagi-bagi hanya tepat ketika

hubungan internasional antar negara belum sehebat, seintensif, dan

serumit saat ini, yang ditandai dengan dunia yang semakin tanpa batas

(borderless state). Pemahaman kedaulatan di era globalisasi harus diubah

sesuai dengan tuntutan zamannya, tanpa harus meruntuhkan nilai-nilai

kedaulatan itu sendiri.

Pandangan tersebut di atas sejalan dengan yang dikatakan John D.

Montgomery sebagai berikut:

“Four centuries ago, sovereignty had the ambitious goal of providing

absolute security for the state as part of accepted internasional system.

It erected the strongest possible legal barricade against foreign invasion

or lesser interference with the will of the sovereign. A respected

twentieth-century political philosopher described its original function

in these vigorous terms: non est potestas super terram quae comparetur

ei [there is no power on earth to compare to it] (Maclver, 1926: 15).

Today its objectives are subtler but more attainable: it accepts and

47 Ibid.

Page 52: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

44

adapts to foreign and domestic influences even when they challange the

very nature of the state (Esman, chapter 14 this volume). Its claims rest

on ethical as well as legal grounds. Contemporary theorists of

international jurisprudence argue that the highest moral justification

for sovereignty today is its potential to protect human dignity and

human right, not just the state itself (McCorquodale, 1996). These

aspirations expand and trancend the philosophical roots of traditional

conservative, state-bounded sovereignty (huntington, 1999/2000).”48

Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam

masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan

dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat

berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah

(borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional). Sebagai negara

hukum, Indonesia wajib mempunyai pengaturan yang jelas dan tegas

terutama dalam penentuan kedaulatan negara atas ruang siber karena

sifat ruang siber yang borderless. Ruang siber tidak dapat ditaklukkan

sendiri oleh satu negara, dengan sifatnya yang borderless, maka kerja sama

di antara negara-negara adalah suatu keniscayaan dan keharusan.

Daftar Pustaka

Buku

Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam system hukum Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, 2006

Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2002

Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000

48 John D. Montgemery, op.cit.

Page 53: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

45

Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, & Teknologi Informasi:

Regulasi & Konvergensi, Refika Aditama, Bandung, 2010

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit

Kanisius, Yogyakarta, 2012

J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty

under Challange, Transaction Publishers, USA and UK, 2002

Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.

Tata Nusa, Jakarta, 2012

Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business, Harvindo,

Jakarta, 2004

Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001

Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska,

Jakarta, 2012

Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia,

Bogor, 2009

Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja

Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja

Pressindo, Yogyakarta, 2009

Disertasi Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan

Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di

Indonesia), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang, 2008

Max Boli Sabon, Kongruensi Hak atas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe

Negara Hukum, serta Implikasinya terhadap Tipe Negara Hukum Materil,

Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas

Padjadjaran, Bandung 2006

Jurnal

Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, Makalah disampaikan pada

Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa,

Bandung, 29 Juli 2000

Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth

United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of

Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000

International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat:

Problems and Perspectives, Volume 14, 2001

Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and

Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal

Studies: Vol. 10: Iss 2, 2003

Page 54: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

46

Websites

www.internetneutral.com/terms.htm, diakses tanggal 11 November 2011

http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,

diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks

iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013

pukul 13.42 WIB

http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks

iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribu-

kalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB

Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population Stats,

http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember

2012 pukul 15.24 WIB

Kamus

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, M.A., Fifth Edition, St.Paul Minn, West

Publishing Co, 1979

Page 55: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

47

KEBERADAAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS

DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL1 Harry Purwanto

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dinamika dari prinsip rebus sic stantibus dalam hukum perjanjian. Artikel ini akan membahas bagaimana para ahli berpandangan terhadap prinsip ini, bagaimana kaitan hukum internasional dengan prinsip tersebut dan bagaimana prinsip tersebut diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat internasional. Pada akhirnya, prinsip rebus sic stantibus dapat dijadikan dasar untuk memutuskan, membatalkan atau menangguhkan implementasi suatu perjanjian internasional. Kata Kunci: Perjanjian, Prinsip, Rebus Sic Stantibus

Abstract This article aims to explore the dynamics of the principle of rebus sic stantibus in the law of treaty. It will explore how experts view toward this principle, how the international law deals with it, and how it is implemented in reality in international society. Finally, it is concluded that the principle of rebus sic stantibus may be invoked as a ground in terminating, withdrawing or suspending the implementation of a treaty. Keywords: treaty, principles, rebus sic stantibus

1 Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada, Edisi Khusus, November 2011.

Page 56: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

48

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Negara merupakan aktor utama dan pertama dalam memainkan

hubungan kerja sama internasional. Di era globalisasi2 hubungan kerja

sama internasional semakin ramai dengan keberadaan dan diakuinya

organisasi internasional sebagai salah satu pelaku dalam hubungan

internasional. Hubungan kerja sama internasional yang dilakukan antar

subyek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin

meningkat. Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara,

2 Sebenarnya tidak cukup jelas, kapan era globalisasi dimulai. Ada pendapat, bahwa apa

yang terjadi dalam globalisasi bukan merupakan sesuatu yang baru. Hubungan antar

negara dengan negara lain dalam berbagai bidang sudah dimulai sejak banyaknya

negara-negara merdeka, yaitu setelah diadakanya Perjanjian Westphalia tahun 1648.

Pendapat lain mengatakan bahwa, globalisasi merupakan fenomena baru dalam

masyarakat internasional. Karena globalisasi merupakan revolusi global pertama dan

merupakan lompatan yang signifikan menuju kenyataan baru ditandai dengan

ditemukannya pesawat jet dan komputer yang kemudian dipergunakan secara meluas,

dan pada gilirannya memudahkan manusia berkomunikasi atau berinteraksi dari

manapun mereka berasal. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai oleh adanya intensitas

perdagangan antar negara meluas dan migrasi serta investasi ekonomi meningkat.

Globalisasi mempunyai makna yang bermacam-macam, seperti internasionalisasi, yaitu

meningkatnya intensitas interaksi lintas batas dan saling ketergantungan antar negara;

Liberalisasi, yaitu sebagai suatu proses untuk memindahkan larangan-larangan yang

dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegrasi;

Universalisasi yaitu menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari

masyarakat di seluruh dunia; Westernisasi yaitu proses peniruan budaya barat atau

bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negara-

negara Barat dalam panggung dunia. Oleh Sheila L. Croucher, globalisasi secara

sederhana dapat digambarkan sebagai “a process of blending or homogenization by

which the people of the world are unified into a single society and function together.

This process is a combination of economic, technological, socialculture and political

forces”. Sheila L Croucher, Globalization and Belonging: The politics of identity in a

Changing World, Roman & Littlefield, hlm. 10. Yulius P. Hermawan (editor),

Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional; Aktor, Isu dan Metodologi,2007,

Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 130-132.

Page 57: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

49

perbedaan pandangan hidup, kebudayaan, agama atau kepercayaan

bukan merupakan penghalang untuk menjalin kerja sama, bahkan dapat

meningkatkan intensifnya hubungan antar negara. Demikian juga

persoalan yang menjadi sasaran pengaturan dalam perjanjian

internasional tidak hanya masalah-masalah yang ada dipermukaan bumi

saja, namun sudah meluas pada masalah-masalah yang ada di dalam

perut bumi dan juga yang ada di luar planet bumi (di ruang udara dan

ruang angkasa). Oleh karena itu dengan didukung oleh kenyataan yang

demikian3, mendorong dibuatnya aturan-aturan secara lebih tegas dan

pasti, yaitu dalam bentuk perjanjian internasional (treaty)4. Tidaklah

berlebihan jika dikatakan, bahwa selama masih berlangsungnya

hubungan-hubungan antar negara atau hubungan internasional, selama

itu pula akan melahirkan berbagai perjanjian internasional dalam

berbagai bidang yang di aturnya seperti bidang sosial dan budaya,

politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, perdagangan, teknologi,

pertanian, perbatasan, dan sebagainya. Melalui perjanjian internasional

pelaksanaan hak dan kewajiban negara sebagai anggota masyarakat

internasional akan lebih terarah dan terjamin.

Hal demikian pada gilirannya menjadikan perjanjian internasional

mempunyai peranan penting dalam hubungan internasional. Dalam

3 Sebagaimana dikutip oleh Sam Suhaedi Admawiria, bahwa hukum internasional adalah

fakta, karena ada fakta pergaulan hidup bangsa-bangsa. State cannot live a life to itself

alone. It is a member of community of states. Sam Suhaedi Admawiria, Pengantar

Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968, hlm.xvi. 4 Treaty merupakan istilah umum untuk menyebut Perjanjian Internasional. Istilah lain

untuk menyebut perjanjian internasional adalah Convention, Agreement, Arangement,

Declaration, Protokol, Proces Verbal, Modus Vivendi, Exchane of Notes, dan

sebagainya. Penggunaan istilah dalam pembuatan perjanjian internasional tergantung

kesepakatan Negara-negara pihak, Konvensi Wina 1969 sebagai sumber hukum

pembuatan perjanjian internasional tidak mewajibkan kepada pembuat perjanjian

internasional untuk menggunakan istilah tertentu.

Page 58: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

50

konteks hukum internasional menaikan peringkat perjanjian internasional

sebagai sumber hukum internasional yang pertama kali diperhatikan oleh

hakim-hakim di Mahkamah Internasional (International Court of Justice)5.

Dengan demikian sebagai salah satu fungsi perjanjian internasional

sebagai sumber hukum internasional. Dapat pula dikatakan bahwa di

dalam tubuh hukum internasional terdapat perjanjian internasional. Di

dalam tubuh hukum internasional sendiri sebagaimana dikemukakan

oleh Starke, terdiri atas sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri

atas prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negara-

negara dan oleh karenannya ditaati dalam hubungan antar negara.

Hukum internasional meliputi juga;

1. kaidah-kaidan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi

lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional serta

hubungannya antara negara-negara dan individu-individu,

2. kaidah-kaidah hukum yang mengatur kepentingan individu-

individu dan kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak dan

kewajiban dari individu-individu dan kesatuan bukan negara

5 Sebelum dikeluarkanya Statuta Mahkamah Internasional, sebagaimana dikemukakan

oleh Starke bahwa ; “The material sources of international law fall into five principles

categories or forms: custom, treaties, decisions of judicial or arbitral tribunals, juristic

works, and decisions or determinations of organs of international constitutions”.

Kemudian berdasarkan Article 38 par. 1 of International Court of Justice, that : The

Court whose function is to decide in accordance with international law such disputes

as are submitted to it, shall apply: 1). international conventions, whether general or

particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; 2).

international custom, as evidence of a general practice accepted as law; 3). the general

principles of law recognized by civilized nations; 4). subject to the provisions of Article

59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the

various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Starke,

1989, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworth, London, page 32;

Article 38 par. 1, Statute of International Court of Justice.

Page 59: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

51

tersebut hasil kesepakatan antar negara yang dituangkan dalam

bentuk perjanjian.

Dengan semakin besar dan semakin meningkatnya saling

ketergantungan antar negara, akan mendorong diadakannya kerjasama

internasional, yang dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk

perjanjian internasional. Dalam pembuatan perjanjian internasional

negara-negarapun tunduk pada aturan (hukum internasional) tentang

pembuatan perjanjian internasional. Dewasa ini ada dua aturan

internasional yang digunakan untuk mengatur pembuatan perjanjian

internasional, yaitu Vienna Convention on The Law Of Treaties, 19696 dan

Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International

Organizations or between International Organizations, 19867. Perbedaan di

antara kedua konvensi tersebut hanya terletak pada subyek pembuat

perjanjian internasional, sehingga beberapa asas atau prinsip umum

dalam pembuatan perjanjian internasional adalah kurang lebih sama.

Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan species dari genus

yang berupa perjanjian pada umumnya. Dalam setiap perjanjian

termasuk perjanjian internasional terdapat asas-asas yang dijadikan

sebagai landasan dalam pelaksanannya. Adapun asas yang paling

fundamental adalah asas pacta sunt servanda, yaitu bahwa janji mengikat

sebagaimana undang-undang bagi yang membuatnya. Dikatakan

fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian,

termasuk perjajian internasional dan melandasi dilaksanakannya

perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Sebagai

6 Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara (subyek

perjanjian adalah Negara) 7 Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara dengan

organisasi internasional atau antar organisasi internasional lain.

Page 60: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

52

pasangan dari asas pacta sunt servanda adalah asas itikad baik.

Pelaksanaan janji-janji tersebut tentunya harus dilaksanakan dengan

penuh kesadaran, rasa tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan

para pihak, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam kesepakatan8. Oleh

karena itu, demi untuk menghindari atau mencegah timbulnya sengketa,

maka perlu dilakukan pemahaman terhadap asas-asas dari perjanjian

atau perjanjian internasional.

Di pihak lain berlakunya atau beroperasinya suatu perjanjian,

termasuk juga perjanjian internasional juga dapat dipengaruhi atau harus

memperhatikan asas hukum yang lain, seperti asas pacta tertiis nec nocent

nec prosunt9, asas non-retroaktive10, asas rebus sic stantibus11, dan norma jus

8 Lihat juga pendapat dari Wery dan Subekti, sebagaimana dikutip oleh Siti Ismijati

Jenie dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM, dengan judul

Pidatonya Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas

Hukum Umum di Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm.5-6. Menurut Wery, bahwa

pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, bahwa kedua belah pihak (pihak-pihak

peserta perjanjian) harus berlaku satu sama lain seperti patutnya di antara orang-

orang (pihak-pihak) yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akal-

akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingannya sendiri

saja namun juga melihak kepentingan pihak lain. Cetak miring merupakan penegasan

dari penulis dalam kaitannya dengan perjanjian internasional.

Sedangkan menurut Subekti, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah

melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan

kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif. Atau

dengan lain perkataan pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar. 9 Bahwa perjanjian hanya membebankan hak dan kewajiban bagi para pihak

perjanjian internasional, bukan pada pihak ketiga, dalam hukum perjanjian sering

disebut dengan prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Lihat Brownlie,

Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979, hlm.

619. Asas ini telah menjadi bagian dari hukum internasional positif, sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 34 Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. Pasal 34

Konvensi Wina 1969 “A treaty does not create either obligations or rights for a third

State without its consent.”

Page 61: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

53

cogens12. Dikatakan beberapa asas hukum tersebut mempengaruhi

keberlangsungan perjanjian, karena sekalipun sudah ada kesepakatan

dan kesepakatan tersebut mengikat bagi para pihak, bila kemudian

terjadi suatu peristiwa atau karena berlakunya suatu asas hukum yang

lain maka dapat berakibat berlakunya perjanjian tersebut ditunda atau

bahkan dibatalkan. Seperti misalnya, dengan munculnya norma dasar

hukum internasional yang baru (norma jus cogens) di mana norma tersebut

bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati maka perjanjian

tersebut akan batal. Demikian juga atas suatu perjanjian yang telah

berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan keadaan yang

fundamental (rebus sic stantibus), keadaan yang menjadi dasar dibuatnya

perjanjian telah berubah dan perubahan tersebut mempengaruhi

Pasal 34 Konvensi Wina 1986 A treaty does not create either obligations or rights

for a third State or a third organization without the consent of that State or that

organization 10 Ketentuan hukum tidak dapat diterapkan atau diberlakukan atas suatu peristiwa

hukum masa lampau, yaitu masa sebelum ketentuan hukum itu dinyatakan berlaku.

Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 keberadaan asas Non-retroactive terdapat

dalam Pasal 4 jo Pasal 28.

Pasal 4 Konvensi Wina 1969 dan 1986, .......the Convention applies only to treaties

which are concluded by States after the entry into force of the present Convention

with regard to such States.

Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan 1986, Unless a different intention appears from

the treaty or is otherwise established, its provision do not bind a party in relation to

any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the

date of the entry into force of the treaty with respect to that party 11 Pengertian dan makna asas rebus sic stantibus akan diuraikan dalam pembahasan

berikutnya dalam paper ini. 12 Norma jus cogens merupakan suatu norma dasar hukum internasional umum

(peremtory norm of general international law). Dalam Pasal 53 jo Pasal 64 Konvensi

Wina 1969 dinyatakan bahwa suatu perjanjian batal apabila pada saat pembentukan

perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional

umum.

Page 62: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

54

kemampuan pihak-pihak yang berjanji. Dengan kata lain berlakunya

perjanjian internasional dapat ditangguhkan, bahkan dapat dibatalkan

karena adanya perubahan keadaan yang sangat fundamental. Jadi

dengan berlakunya asas rebus sic stantibus maka para pihak dapat

melepaskan atau mengingkari janji-janji yang telah mereka berikan.

Khusus berkenaan dengan asas rebus sic stantibus yang dapat

mempengaruhi keberlangsungan perjanjian, sekalipun asas ini telah

diterima di dalam masyarakat internasional, namun dalam beberapa hal

masih menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapannya. Dalam

paper ini fokus utama pembahasannya adalah keberadaan asas rebus sic

stantibus dalam perjanjian internasional.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas dalam tulisan ini akan dikaji :

1. Bagaimana eksisitensi asas rebus sic stantibus dalam masyarakat

internasional.

2. Bagaimanakah penerapan asas rebus sic stantibus dalam

masyarakat internasional.

II. P E M B A H A S A N

A. Ruang lingkup Perjanjian internasional

Sebagaimana di singgung di atas, bahwa dengan semakin intensifnya

hubungan antar negara, perjanjian merupakan hukum yang harus

dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak pembuat perjanjian13. Kata

”perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota

13 Praktek negara-negara mengadakan perjanjian internasional sudah lama dikenal di

dalam masyarakat internasional. Seperti hasil kesepakatan atau perdamaian

Westphalia yang dituangkan dalam bentuk konvensi multilateral.

Page 63: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

55

masyarakat14 tentang suatu keadaan yang mereka inginkan. Juga

mencerminkan hasrat mereka, dan memuat tekad mereka untuk

bertindak sesuai dengan keinginan dan hasrat mereka. Kata ”perjanjian”

yang diikuti kata sifat ”internasional”, yang merujuk pada perjanjian

yang dibuat oleh para aktor yang bertindak selaku subyek hukum

internasional, juga kata ”internasional” di sini untuk menggambarkan

bahwa perjanjian yang dimaksud bersifat lintas-batas suatu negara, para

pihak masing-masing bertindak dari lingkungan hukum nasional yang

berbeda15.

Dalam perkembangannya, perjanjian internasional telah dijadikan

sumber hukum dalam hubungan internasional dan telah menjadi bagian

utama dalam hukum internasional. Dewasa ini hukum internasional

sebagian besar terdiri dari perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan

perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser posisi hukum

kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional.

Dalam merumuskan hasil kesepakatan dalam suatu perjanjian

internasional, praktek negara-negara telah menuangkan ke dalam

berbagai bentuk dengan berbagai macam sebutan atau nama, mulai dari

yang paling resmi sampai pada bentuk yang paling sederhana. Namun

apapun bentuk dan sebutan yang diberikan pada perjanjian internasional

yang merupakan hasil kesepakatan tersebut tidak mengurangi kekuatan

mengikatnya suatu perjanjian bagi para pihak.

14 Dalam konteks perjanjian internasional, tentunya yang dimaksud dengan anggota

masyarakat adalah anggota masyarakat internasional yang beranggotakan Negara-

negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya. Lihat

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003. 15 Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional,

dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4, Lembaga Pengkajian Hukum

Internasional Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2006, hlm. 474 – 476.

Page 64: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

56

Sampai dengan tahun 1969 pembuatan perjanjian antar negara

tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan

yang berlaku dalam pembuatan perjanjian internasional tersebut

kemudian oleh Komisi Hukum Internasional disusun dalam bentuk

pasal-pasal sebagai draft suatu perjanjian internasional tentang

pembuatan perjanjian internasional. Kemudian pada tanggal 26 Maret -

24 Mei 1968 dan tanggal 9 April - 22 Mei 1969 diadakanlah Konferensi

Internasional di Wina untuk membahas draft yang telah dipersiapkan

oleh Komisi Hukum Internasional tersebut. Konferensi tersebut

kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang

ditandatangani pada tanggal 23 Mei 196916.

Pengertian perjanjian internasional sendiri dapat ditinjau dari sudut

pandang teoritis maupun sudut pandang yuridis. Tinjauan dari sudut

pandang teoritis artinya melihat pendapat di antara beberapa sarjana,

seperti pendapat Oppenheim, O’Connell, Mochtar Kusumaatmadja,

Starke, dan masih banyak lagi17. Sedangkan ditinjau dari sudut pandang

16 Konvensi ini mulai berlaku efektif dan telah menjadi hukum internasional positif

pada hari ke tigapuluh sesudah penyimpanan instrumen ke tiga puluh ratifikasi atau

keikutsertaan, yaitu tepatnya sejak tanggal 27 Januari 1980. Sumaryo Suryokusumo,

Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum, yanpa tahun,

hlm. 10.

17 Beberapa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan oleh Mohd. Burhan Tsani,

dalam bukunya Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty Yogyakarta, 1990, hlm.

64-65. Sumaryo Suryokusumo, Loc. Cit., hlm. 11.

Menurut Oppenheim, International treaties are conventions, or contracts, between

two or more states concerning various matters of interest.

D.P. O’Connell, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang

diatur oleh hukum internasional sebagai pembeda dengan persetujuan menurut

hukum nasional, yang terhadap konsekuensi hukum pembuatan perjanjian

internasional, bentuk dan caranya adalah tidak penting.

Page 65: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

57

yuridis berdasarkan pada pengertian perjanjian internasional

sebagaimana dirumuskan dalam beberapa Konvensi dan Peraturan

Perundangan RI18.

Berdasarkan berbagai pengertian perjanjian internasional baik

berlandaskan pada pengertian teoritis maupun yuridis, dapat dikatakan

bahwa suatu perjanjian merupakan perjanjian internasional apabila

Mochtar Kusumaatmadja: Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan

antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan

akibat-akibat hukum tertentu.

JG Starke: Traktat adalah suatu perjanjian di mana dua negara atau lebih mengadakan

atau bermaksud mengadakan suatu hubungan di antara mereka yang diatur dalam

hukum internasional. Sepanjang perjanjian antar negara-negara terwujud, dengan

ketentuan bahwa perjanjian itu bukan hal yang diatur oleh hukum nasional.

Menurut Schwarzenberger, Perjanjian adalah persetujuan di antara subyek hukum

Internasional yang menimbulkan suatu kewajiban yang mengikat di dalam hukum

internasional. 18 Konvensi Wina 1969 Pasal 2 (1.a): Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan

internasional yang ditandatangani antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh

hukum internasional, apakah dibuat dalam bentuk satu instrumen tunggal atau dalam

dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih dan apapun yang menjadi

penandaan khususnya.

Konvensi Wina 1986 Pasal 2 (1.a): Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan

internasional yang diatur dengan hukum internasional dan ditandatangani dalam

bentuk tertulis:

- antara satu negara atau lebih dan antara satu organisasi internasional atau lebih,

atau

- antarorganisasi internasional.

UU No.37 Th.1999 Pasal 1 (3): Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam

bentuk dan sebutan apapun, yg diatur oleh HI dan dibuat secara tertulis oleh

pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek HI

lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah RI yang bersifat

hukum publik.

UU No.24 Tahun 2000, Pasal 1.a.: Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam

bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara

tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik

Page 66: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

58

dibuat oleh subyek hukum internasinal dalam bentuk tertulis serta dalam

pembuatannya tunduk pada rejim hukum internasional. Tentang isi suatu

perjanjian menyangkut apapun yang disepakati oleh para pihak,

sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan norma-norma

atas asas-asas hukum internasional.

B. Keberadaan Asas Rebus sic Stantibus

1. Pengertian asas

Sebagaimana di sebutkan di atas bahwa dalam hukum perjanjian

terdapat berapa asas penting dalam perjanjian internsaional salah satunya

adalah asas rebus sic stantibus. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang

keberadaan asas rebus sic stantibus, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu

pengertian asas dan arti pentingnya asas dalam hukum.

Oleh beberapa sarjana penggunaan kata asas disamakan artinya

dengan prinsip (principle)19.

Arti dari asas itu sendiri menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

mempunyai tiga pengertian, yaitu berarti:

a. Dasar, alas, pedoman;

b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir

c. Cita-cita yang menjadi dasar20.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas merupakan

dasar atau tempat tumpuan berpikir dalam memperoleh kebenaran.

19 Mochtar Kusumaatmadja, menterjemahkan general principle of law dengan asas

hukum umum. Vadross, beliau mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda

merupakan suatu asas hukum umum (general principle of law). Mochtar

Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.148;

Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968,

hlm.58. 20 Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 32.

Page 67: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

59

Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan

secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum.21 Berdasakan

pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma

hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum

harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada dikemukakan oleh

van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap

sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang

sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang

berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas

hukum tersebut.22 Pendapat lain tentang asas hukum sebagaimana

dikemukakan oleh Ron Jue bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai

yang melandasi kaidah-kaidah hukum.23

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa asas hukum

merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi

pembentukan kaidah hukum, bersifat umum maupun universal24 dan

abstrak, tidak bersifat konkrit. Bahkan oleh Scholten dikatakan bahwa

asas hukum itu berada baik dalam sistem hukum maupun di belakang

atau di luar sistem hukum. Sejauh nilai asas hukum itu diwujudkan

dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka asas hukum itu

berada di dalam sistem. Demikian sebaliknya, sejauh nilai asas hukum itu

21 Sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar

Grafika, Jakarta, 2000, hlm.36. 22 Dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.5.

23 Mr. drs. J.J. H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra

Aditya, Bandung, 1999, hlm.121. 24 Asas hukum umum menunjuk berlakunya asas tersebut pada seluruh bidang hukum.

Sedangkan asas hukum universal menunjuk berlakunya asas tersebut kapan saja dan

di mana saja, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Oleh Scholten ditunjukan

adanya asas hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku pada satu bidang hukum

saja. Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit., hlm. 6.

Page 68: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

60

tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka

asas hukum itu berada di belakang sistem hukum25.

Berdasarkan pemikiran Scholten yang demikian, maka bisa dijumpai

adanya beberapa asas hukum yang dituangkan dalam kaidah hukum,

baik yang berupa undang-undang maupun perjanjian internasional.

Demikian sebaliknya, ada beberapa asas hukum yang tidak dituangkan

dalam peraturan perundangan atau perjanjian internasional.

2. Keberadaan dan Pandangan para ahli terhadap asas Rebus Sic

Stantibus.

Keberadaan asas Rebus Sic Stantibus26 telah lama dikenal dalam

masyarakat, baik oleh para ahli hukum maupun oleh lembaga

pengadilan27, dan bahkan dewasa ini telah menjadi bagian dari hukum

positif baik dalam sistem hukum nasional maupun dalam sistem hukum

internasional. Masyarakat Eropa, khususnya melalui hukum Gereja

mengatakan bahwa: ”pengaruh hukum Gereja yang kekal dapat terlihat

dalam pemasukan asas rebus sic stantibus kedalam tubuh hukum

internasional”. Diterimanya asas rebus sic stantibus tersebut pada awalnya

untuk melunakkan sifat ketat hukum privat Roma28. Bahkan sejak abad

XII dan XIII ahli-ahli hukum kanonik telah mengenal asas ini yang dalam

bahasa Latin-nya diungkapkan sebagai : contractus qui habent tractum

succesivum et dependentiam de futuro rebus sic stantibus intelliguntur, yang

25 Ibid., hlm.122.

26 Makna dari asas tersebut adalah;” perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya

mengikat selama tidak ada perbahan vital dalam keadaan-keadaan yang berlaku pada

waktu traktat diadakan”. 27 RC Hengorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH

Publishing Co, New Delhi, 1982, hlm. 232. 28 Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I,

Binacipta, Bandung, 1969, hlm. 90, 123.

Page 69: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

61

artinya bahwa ”perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya untuk

melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk

kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan

datang tetap sama” 29.

Melalui ungkapan dari para ahli hukum kaum kanonik dapat

dipahami bahwa perjanjian akan dilaksanakan oleh para pihak sesuai

dengan janjinya, sepanjang lingkungan dan keadaan pada saat dibuatnya

perjanjian tidak berubah untuk masa yang akan datang. Sehingga dengan

adanya perubahan keadaan dan ternyata perubahan tersebut

mempengaruhi kemampuan para pihak untuk melaksanakan perjanjian,

maka pihak yang tidak mampu lagi melaksanakan perjanjian dapat

menyatakan untuk tidak terikat lagi pada atau keluar dari perjanjian

tersebut. Sehingga perjanjian tidak lagi mengikat baginya.

Asas Rebus Sic Stantibus pertama kali diterapkan oleh peradilan

keagamaan. Diterapkannya asas Rebus Sic Stantibus oleh peradilan

keagamaan karena situasi yang terjadi pada waktu itu adanya pemisahan

antara urusan gereja dengan urusan negara, dan ini merupakan salah satu

karakteristik penting dari Kode Napoleon. Untuk selanjutnya asas Rebus

Sic Stantibus diadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli hukum. Asas ini

kemudian telah diterima secara luas pada akhir abad XIII30. Dalam

perkembangannya keberadaan asas rebus sic stantibus mendapat

dukungan dari beberapa ahli dan pendapat para ahli telah membantu

eksistensi asas rebus sic stantibus dalam masyarakat. Sebagaimana

dikemukakan oleh Machiavelli bahwa; ”segala sesuatu tergantung pada

keadaan-keadaan yang kebetulan berlaku pada suatu waktu yang

29 http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, Pacta Sunt Servanda dan

Rebus Sic

Stantibus dalam Hukum Perjanjian, diakses tanggal 22 Pebruari 2008 30 Ibid.

Page 70: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

62

dihadapi oleh penguasa negara”31. Sikap Machiavelli yang demikian

tentunya tidak jauh dari makna yang terkadung dalam asas rebus sic

stantibus.

Demikian juga Alberico Gentili menyatakan bahwa: ”yang paling

penting atas hukum traktat ialah dalil bahwa perjanjian (perdamaian)

selalu mengandung syarat tersimpul, jaitu bahwa traktat hanya mengikat

selama kondisi-kondisinya tidak berubah”32. Jelaslah bahwa yang

dimaksud dengan syarat tersimpul oleh Aliberco Gentili adalah asas rebus

sic stantibus.

Lain halnya dengan Bynkershoek dalam salah satu karyanya yang

berkaitan dengan traktat, walau pada awalnya ia menolak asas rebus sic

stantibus, namun pada kesempatan lain justru menyarankan kepada

penguasa berdaulat untuk melepaskan diri dari suatu janji-janji, bilamana

ia tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk mentaati janji-janji itu33. Di

tegaskan pula oleh Bierly, bahwa dalam setiap perjanjian internasional

ada tersirat suatu syarat tambahan yang menentukan bahwa perjanjian

itu hanya mengikat selama keadaan-keadaan masih seperti semula. Kata-

kata yang dicantumkan dalam perjanjian merupakan hasil kesepakatan di

antara para pihak namun mengandung suatu syarat, yaitu apabila tidak

terjadi suatu perubahan keadaan yang penting terjadi. Bila terjadi suatu

perubahan keadaan yang penting maka hilanglah syarat berlakunya

perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi34.

Rebus Sic Stantibus merupakan salah satu asas dalam hukum. Hukum

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sebagaimana ungkapan ubi

31 Op. Cit., hlm. 102

32 Op. Cit.., hlm 123.

33 Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II,

Binacipta, Bandung, 1970, hlm. 78. 34 Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963,

hlm.244

Page 71: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

63

societas ibi ius, bahwa di mana ada masyarakat disana ada hukum.

Demikian juga terhadap penerimaan asas rebus sic stantibus berdasarkan

sejarah hukum mengalami pergeseran seiring dengan berjalannya waktu.

Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Rosenn:

”Pada awal abad kelimabelas, popularitas asas rebus sic stantibus

mulai memudar, sebagian karena adanya protes untuk

kepentingan komersial terhadap peningkatan ketidakamanan

yang ditimbulkan oleh penerapan secara luas asas tersebut. Pada

akhir abad delapanbelas, asas pacta sunt servanda mencapai

puncaknya, dan asas rebus sic stantibus telah menghilang hanya

menjadi doktrin yang usang. Yang ikut mendorong kepudaran

asas rebus sic stantibus adalah munculnya positivisme scientific,

dan meningkatnya penekanan pada otonomi individual dan

kebebasan berkontrak”35.

Di pihak lain, sebagaimana juga dikemukakan oleh kaum kanonis

yaitu munculnya paham liberalisme yang mendominasi di abad XVIII,

membawa ide baru dalam penerapan asas rebus sic stantibus yang kurang

tegas dan terbatas. Mereka beranggapan bahwa asas pacta sunt servanda

sangat sesuai dengan konsep lasse faire, lassez passe. Oleh karena itu kitab

undang-undang yang dikeluarkan pada masa itu, yaitu Kode Napoleon

dan Italian Civil Code tidak mengadopsi asas rebus sic stantibus. Tidak

diakuinya asas rebus sic stantibus nampak dalam artikel 1134 Kode

Napoleon yang berbunyi: Agreements legally made take the place of law for

those who make them. They may be revoked only by mutual consent or for causes

which the law authorize. They must be executed in good faith36.

35 http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, Pacta Sunt Servanda dan

Rebus Sic Stantibus dalam Hukum Perjanjian, diakses tanggal 22 Pebruari 2008 36 Ibid.

Page 72: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

64

Kondisi yang demikian berlangsung terus hingga pecah Perang Dunia

I. Setelah Pecah Perang Dunia I, para ahli hukum Eropa mencari alasan

pembenar atau teori hukum apa yang tepat untuk memberi kelonggaran

kepada pemberi janji untuk melaksanakan perjanjian yang ternyata

sangat sulit dilaksanakan, karena adanya perubahan keadaan. Perubahan

yang terjadi adalah adanya perang yang cukup lama dan membawa

kerusakan yang demikian hebat di berbagai Negara di Eropa, yang pada

gilirannya menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan perjanjian.

Menghadapi situasi yang demikian para ahli hukum Eropa akhirnya

mendaur ulang atau kembali pada asas atau prinsip rebus sic stantibus,

dengan nama atau rumusan yang berbeda.

2. Perwujudan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Hukum Positif

Seperti halnya asas pacta sunt servanda, asas rebus sic stantibus telah

menjadi bagian dari asas hukum umum, yang kemudian dalam

perkembangannya (dengan modifikasi dalam perumusanya) juga

diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, sehingga

asas hukum itu berada di dalam sistem. Hukum internasional merupakan

suatu sistem hukum yang terdiri dari beberapa unsur, yang salah satunya

adalah perjanjian internasional.

Dalam hukum internasional positif asas rebus sic stantibus

mendapatkan pengaturan dalam Konvensi Wina 1969, yaitu dalam Seksi

3 tentang Pengakhiran dan Penundaan bekerjanya perjanjian

internasional, khususnya Pasal 62. Pengaturan asas rebus sic stantibus

bersamaan dengan berakhirnya atau penundaan berlakunya perjanjian,

karena memang asas rebus sic stantibus merupakan salah satu alasan yang

dapat digunakan untuk mengakiri atau menunda berlakunya suatu

perjanjian.

Pasal 62 dengan judul perubahan mendasar atas keadaan-keadaan

menentukan:

Page 73: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

65

1) Suatu perubahan mendasar keadaan-keadaan yang telah terjadi

terhadap keadaan-keadaan yang ada pada saat penutupan traktat,

dan yang tidak terlihat oleh para pihak, tidak dapat dikemukakan

sebagai dasar untuk pengakhiran atau penarikan diri dari traktat

tanpa:

a) keberadaan keadaan-keadaan itu merupakan suatu dasar esensial

bagi setujunya pihak-pihak untuk terikat pada traktat; dan

b) pengaruh perubahan-perubahan itu secara radikal menggeser

luasnya kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan di

bawah traktat itu.

2) Suatu perubahan mendasar keadaan-keadaan tidak boleh

dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari

traktat, jika:

a) traktat itu menetapkan perbatasan; atau

b) perubahan itu sebagai hasil dari pelanggaran oleh pihak yang

mengemukakannya baik atas suatu kewajiban di bawah traktat itu

atau setiap kewajiban internasional lainnya terhadap pihak

lainnya pada traktat tersebut.

3) Jika sesuai dengan ayat-ayat di atas, suatu pihak boleh menuntut

suatu perubahan keadaan-keadaan sebagai dasar untuk mengakhiri

atau menarik diri dari suatu traktat maka pihak itu juga dapat

menuntut perubahan itu sebagai dasar untuk menunda bekerjanya

traktat itu.

Penggunaan kata-kata rebus sic stantibus tidak nampak dalam Pasal 62

Konvensi Wina 1969. Hal ini memang nampaknya dihindari oleh

International Law Commission, dengan maksud untuk menekankan sifat

obyektif dari ketentuan yang ada dan juga guna menghindarkan

implikasi doktriner dari istilah tersebut. Sebagaimana juga dikemukakan

oleh D.J. Harris, bahwa Komisi Hukum Internasional dalam sidangnya

yang ke-18 tahun 1966 menolak teori yang tersirat tentang klausula rebus

Page 74: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

66

sic stantibus itu, dan lebih suka mendasarkan pada doktrin ”perubahan

keadaan yang fundamental” (fundamental change of circumtances) dengan

alasan persamaan derajat dan keadilan serta membuang kata-kata rebus

sic stantibus, karena menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan37.

Oleh karena itu pada akhirnya makna yang terkandung dalam asas rebus

sic stantibus oleh Konvensi Wina dirumuskan dengan menggunakan

istilah ”fundamental change of circumtances” (perubahan fundamental atas

suatu keadaan). Bahkan oleh Mahkamah Internasional, dalam kasus

Fisheries Jurisdiction, dikatakan bahwa keberadaan asas rebus sic stantibus

dalam Pasal 62 tersebut hanyalah bersifat merumuskan hukum

kebiasaan38.

Dalam peraturan perundangan Indonesia, keberadaan asas rebus sic

stantibus mendapatkan pengakuan dalam Pasal 18 Undang Undang

Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional. Dikatakan oleh

Pasal 18 bahwa: ” perjanjian internasional berakhir apabila terdapat

purubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian”39.

37 D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983, hlm.

624. 38 Peter malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,

London and New York, 1997, hlm. 145. 39 Bunyi Pasal 18 UU No.24 tahun 2000 selengkapnya adalah, “Perjanjian internasional

berakhir apabila:

a. terdapat kesepakatan para perjanjian internasionalhak melalui prosedur yang

ditetapkan dalam perjanjian;

b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;

c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;

d. salah satu perjanjian internasionalhak tidak melaksanakan atau melanggar

ketentuan perjanjian;

e. dibuat suatu perjanjian baru yang mengantikan perjanjian lama;

f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;

g. obyek perjanjian hilang;

h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Page 75: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

67

Namun dalam undang-undang tersebut tidak memberikan batasan

tentang apa itu asas rebus sic stantibus. Melalui asas ini Pemerintah

Indonesia dapat menyatakan berakhirnya suatu perjanjian internasional

yang dibuat dengan negara lain, sekalipun pelaksanaan asas tersebut

masih perlu penjabaran lebih lanjut.

Dalam lapangan hukum perdata, khususnya yang bersumberkan

pada Kitab undang undang Hukum Perdata, nampaknya tidak mengakui

keberadan asas rebus sic stantibus. Dalam lapangan hukum perdata

dikenal beberapa alasan yang dapat dipakai untuk mengakhiri perjanjian

antara lain, dengan judul hapusnya perikatan sebagaimana di atur dalam

Pasal 1381 KUH Perdata40.

C. Penerapan Asas Rebus Sic Stantibus

a. Kaitan antara Asas Rebus sic Stantibus dengan asas Pacta Sunt

Servanda dan Force Majeure.

Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa atas suatu perjanjian

internasional mulai dari pembentukannya sampai pada tataran

beroperasinya perjanjian internasional tersebut selalu diliputi berlakunya

asas-asas hukum. Dua di antara asas-asas hukum yang menyertai

perjanjian internasional tersebut adalah Asas Pacta Sunt Servanda dan Asas

Rebus Sic Stantibus.

Asas pacta sunt servanda menjadi dasar pelaksanaan hak dan

kewajiban para pihak peserta perjanjian. Dengan berlandaskan pada asas

pacta sunt servanda pihak perjanjian dapat meminta pada pihak peserta

perjanjian yang lain untuk melaksanakan apa yang telah disepakati

40 Pasal 1381 Perikatan hapus karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti

dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, kompensasi, percampuran

utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau

pembatalan, berlakunya syarat batal, dan karena kadaluwarsa.

Page 76: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

68

dalam perjanjian. Hampir-hampir dapat dikatakan bahwa berlakunya

asas pacta sunt servanda yang demikian adalah mutlak. Artinya siapapun

yang telah membuat janji tidak bisa tidak harus melaksanakan sesui

dengan janjinya. Karena keberadaan asas tersebut juga dilandasi oleh

ajaran agama. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Kelsen bahwa asas

pacta sunt servanda merupakan norma dasar (grundnorm).

Asas pacta sunt servanda yang lahir di negara-negara Eropa

Kontinental sebagai negara penganut civil law, dalam perkembangannya

mengalami pergeseran dalam mempertahankan berlakunya suatu

perjanjian. Sebab pada kenyataannya berlakunya suatu perjanjian

terpengaruh oleh suatu situasi yang terjadi pada saat itu dan pada

gilirannya akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban para pihak. Bila

demikian jadinya maka berlakunya perjanjian akan terganggu dan

dibutuhkan jalan keluar pemecahannya. Situasi yang demikian dapat

menimbulkan problem yang lebih komplek, yaitu adanya pertentangan

antara daya laku hukum secara kekal yang mempertahankan keadaan

berlakunya suatu perjanjian dengan kekuatan-kekuatan yang

menghendaki adanya perubahan. Oleh Gentili dikatakan untuk

mengatasi pertentangan itu asas rebus sic stantibus-lah yang dapat

melegalisir tantangan itu. Ini artinya bahwa berlakunya asas pacta sunt

servanda dapat disimpangi oleh asas rebus sic stantibus41. Sehingga

keberadaan rebus sic stantibus diperhatikan lagi setelah pecah Perang

Dunia I, di mana para ahli hukum Eropa mencari justifikasi teori guna

memberi kelonggaran kepada pemberi janji karena adanya perubahan

keadaan yang fundamental dan ternyata perubahan tersebut

mempengaruhi pelaksanaan janji-janji.

41 Sam Suhaedi Admawirea, Loc.Cit, hlm. 122.

Page 77: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

69

Namun demikian, sekalipun telah diterima baik melalui hukum

internasional positif maupun dukungan dari para ahli, penggunaan asas

rebus sic stantibus perlu hati-hati sekali agar tidak disalah gunakan atau

digunakan sebagai alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak

melaksanakan suatu kewajiban dalam perjanjian. Hal ini mengingat

bahwa dalam menerapkan asas rebus sic stantibus kadang-kadang masih

menimbulkan kekaburan di dalam pelaksanannya. Apa yang dimaksud

dengan perubahan vital, dapat ditafsirkan bermacam-macam dalam

praktek hubungan antar negara. Seperti Jerman pada tahun 1941 pernah

berlindung di balik asas rebus sic stantibus untuk membenarkan

pelanggarannya terhadap kenetralan Belgia, dengan jaminan

sebagaimana tercantum dalam Perjanjian London 183142.

Para ahli hukum internasional sendiri merasa enggan untuk

menentukan dan membatasi lingkup asas rebus sic stantibus tersebut dan

enggan mengatur secara ketat, demi keamanan perjanjian43. Lebih lagi

bila asas rebus sic stantibus dikaitkan dengan konsep hukum yang berupa

force majeure, bahwa penggunaan asas Rebus Sic Stantibus sebagai alasan

pembenar untuk membatalkan atau menunda berlakunya perjanjian tidak

boleh dicampur adukkan dengan force majeure atau vis major44, yang juga

merupakan salah satu konsep dalam hukum perdata dan juga telah

diterima sebagai prinsip dalam hukum pada umumnya dan hukum

internasional pada khususnya. Dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

bahwa force majeure atau vis major merupakan suatu keadaan ke-tidak

mungkinannya salah satu pihak peserta melaksanakan kewajiban

menurut perjanjian (impossibility of performance). Alasan tersebut dapat

42 Bierly, loc.cit., hlm 245.

43 Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,

Emond Montgomery Publications Limited, 1987, hlm. 171. 44 Mochtar Kusumaatmadja, op. cit., hlm. 140.

Page 78: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

70

dikemukakan apabila pelaksanaan kewajiban menjadi tidak mungkin

karena lenyapnya obyek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian45.

Keadaan force majeure atau vis major dapat menyampingkan kewajiban

pelaksanaan perjanjian hanya apabila terjadi suatu keadaan yang tidak

dapat dicegah atau tidak dapat diduga sebelumnya. Suatu keadaan force

majeure atau vis major terjadi apabila pelaksanaan tidak dimungkinkan

secara fisik dan secara hukum, dan bukan semata-mata karena adanya

kesulitan dalam melaksanakan kewajiban. Jadi di sini tidak dapat

melaksanakan kewajiban dalam perjanjian bukan karena adanya

kesulitan ekonomis bahkan ketidak mungkinan secara ekonomi.

Akhirnya Mochtar Kusumaatmadja pun berpendapat bahwa dirasa perlu

untuk membatasi ruang lingkup dan mengatur prosedur penggunaan

asas rebus sic stantibus sebagai alasan untuk mengakhiri atau

menangguhkan perjanjian internasional dengan saksama46.

Sejalan dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang demikian,

menurut Mieke Komar Kantaatmadja jika terjadi perubahan yang

mendasar sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 62 ayat 1 Konvensi Wina

1969 dan para pihak akan menghentikan perjanjian internasional atau

menarik diri dari suatu perjanjian internasional apabila dipenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

1) perubahan suatu kedaan tidak terdapat pada waktu pembentukan

perjanjian,

2) perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental

bagi perjanjian tersebut,

3) perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para

pihak,

45 Ibid.

46 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm. 141

Page 79: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

71

4) akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas

lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu,

5) penggunaan asas tersebut tidak dapat diterapkan pada perjanjian

perbatasan dan juga terjadinya perubahan keadaan akibat

pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan tuntutan47.

b. Penerapan Asas rebus sic stantibus dalam masyarakat

internasional.

Prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap menjadi bahan

telaah dan sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk

melakukan penundaan terhadap sebuah perjanjian internasional. Bentuk

yang cukup terkenal yang dianggap oleh beberapa ahli hukum dan

praktek internasional sebagai salah satu bentuk dari rebus sic stantibus

adalah pertikaian bersenjata atau perang.

Konflik senjata sebagai salah satu bentuk rebus sic stantibus untuk

melakukan penundaan sebuah perjanjian telah digunakan di dalam tiga

kasus, yaitu ketika Menteri Luar Negeri Perancis menyatakan bahwa

perang adalah perubahan keadaan yang mencukupi untuk melakukan

penundaan atas jurisdiksi Permanent Court of International Justice pada

tahun 1939, Pengadilan Paris yang menyatakan bahwa kekerasan dapat

mengakibatkan perubahan keadaan yang menghasilkan hak dan

kewajiban baru bagi negara belligerent dan Presiden Amerika Serikat,

Franklin D. Roosevelt yang menunda pelaksanaan kewajiban Amerika

47 Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969

tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD, 1981;

Pasal 62 Konvensi Wina 1969

Page 80: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

72

Serikat kepada International Load Line Convention pada tahun 1930 karena

perang dunia kedua48.

Berdasarkan doktrin dan praktek diatas, kemudian muncul

pernyataan, apakah sebuah konflik senjata dapat serta merta

menyebabkan terhentinya atau memunculkan penundaan berlakunya

perjanjian internasional ? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat dilihat dari

beberapa praktek negara-negara dan konflik senjata yang terjadi setelah

perang dunia kedua.

Negara Perancis dapat dikatakan menganut faham yang cukup keras,

di mana menurut beberapa pendapat hukum di Perancis, deklarasi

perang saja cukup untuk memberikan dampak bagi sebuah perjanjian

internasional. Dapat dikatakan bahwa Perancis tidak akan menunggu

terjadinya konflik senjata untuk mengambil keputusan baik menunda

maupun melakukan penundaan terhadap sebuah perjanjian internasional.

Faham ini sedikit berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh Inggris di

mana dampak terhadap sebuah perjanjian internasional akan muncul jika

terjadi konflik senjata. Inggris melakukan penundaan perjanjian

internasional atas dasar konflik senjata pada tahun 1795 ketika Inggris

menyatakan bahwa Konvensi Nootka Sound 1790 tidak berlaku lagi

karena perang yang terjadi antara Inggris dan Spanyol.

Lain halnya dengan Perancis dan Inggris, negara Belanda menganut

faham yang cenderung lebih lunak. Hal ini dapat dilihat dari praktek

negara Belanda yang menunda pelaksanaan seluruh perjanjian

internasional bilateral dengan negara Suriname ketika terjadi pergolakan

pada tahun 1982. Sementara itu, negara Italia, berdasarkan putusan

Pengadilan Kasasi yang menyatakan bahwa konflik senjata dapat

menyebabkan terjadinya perubahan keadaan yang kemudian

48 Indonesia and Law, Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata, http://

forums.blogspot.com/2007/03.

Page 81: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

73

kemungkinan penggunaan prinsip rebus sic stantibus. Lebih jauh,

Pengadilan di Italia pada masa perang dunia kedua memutuskan bahwa

perjanjian ekstradisi tidak berlaku lagi atas dasar perang yang terjadi49.

Selain praktek negara-negara di dunia, beberapa konflik senjata yang

terjadi setelah perang dunia kedua juga dapat dijadikan acuan apakah

konflik senjata dapat serta merta menyebabkan terhentinya atau

memunculkan penundaan sebuah perjanjin internasional. Acuan pertama

adalah ketika negara Mesir melakukan penundaan atas perjanjian Suez

Canal Base dengan negara Inggris di tahun 1956. Keputusan Mesir ini

disebabkan atas serangan udara Inggris dan Perancis terhadap Mesir di

tahun 1956. Acuan kedua adalah konflik senjata yang terjadi antara

negara Cina dan negara India yang berkenaan tentang masalah

perbatasan di tahun 1962. Menarik untuk dicermati adalah bahwa

walaupun terjadi konflik senjata, hubungan diplomatik kedua negara ini

tetap ada. Acuan yang ketiga adalah konfik senjata Iran-Irak pada tahun

1980 sampai dengan 1988. Di dalam konflik senjata ini kedua belah

negara telah secara sepihak membatalkan perjanjian internasional tentang

batas negara. Iran membatalkan perjanjian internasional Batas Shatt-al-

Arab yang dibuat tahun 1937 sementara Irak membatalkan perjanjian

internasional Baghdad yang dibuat pada tahun 197550.

Dari beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa

konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang

patut dicermati, yaitu antara lain adalah bahwa untuk beberapa kasus,

sebuah perjanjian internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik

senjata; bahwa sebuah perjanjian internasional tidak serta merta berhenti

berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami

penundaan pelaksanaan; dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah

49 Ibid.

50 Ibid.

Page 82: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

74

perjanjian internasional tidak berlaku lagi atau terjadi penundaan yang

disebabkan oleh konflik senjata baik antara para pihak perjanjian

internasional dari perjanjian internasional tersebut maupun pihak ketiga.

Di Indonesia sendiri penerapan asas rebus sic stantibus dapat dilihat

dari dua kasus, yaitu kasus berkaitan dengan Perjanjian Konferensi Meja

Bundar, dan kasus keberlangsungan perjanjian internasional antara

Australia dengan Indonesia tentang Zona Kerja Sama di Celah Timor.

Kasus Pertama, dalam hal ini berkaitan dengan adanya Perjanjian

sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana

Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh bekas

wilayah Hindia Belanda dengan penangguhan penyelesaian wilayah Irian

Barat (kini Papua). Namun Perjanjian KMB ternyata tidak mampu

menjalin hubungan baik antara Indonesia dan Belanda, bahkan tidak

membawa penyelesaian mengenai masalah Irian Barat.

Setelah pembubaran Uni Indonesia – Belanda kemudian pemerintah

Indonesia memutuskan secara sepihak keseluruhan perjanjian KMB.

Pemutusan yang demikian mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat tertanggal 22 Mei 1956 dan dimuat dalam Undang Undang nomor

13 tahun 1956. Adapun alasan yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia

dalam membatalkan perjanjian KMB adalah sebagai berikut:

Maka di dalam keadaan yang sudah begitu berubah dan mendesak

sekali untuk membatalkan perjanjian KMB demi kepentingan nasional,

pemerintah tidak mempunyai pilihan lain daripada membatalkan

perjanjian tersebut atas dasar rebus sic stantibus yang berlaku di dalam

hukum internasional. Menurut asas rebus sic stantibus yang berarti atas

dasar kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri

daripada salah satu pihak yang menandatangani, maka pihak tersebut

berhak untuk menarik diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan lain

Page 83: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

75

perkataan di dalam keadaan demikian, maka prinsip rebus sic stantibus

bisa dibuat sebagai dasar untuk meniadakan asas pacta sunt servanda

tersebut51.

Melihat pada kasus di atas, di mana dengan bubarnya Uni-Indonesia

– Belanda dianggap telah terjadi perubahan keadaan yang fundamental di

wilayah Indonesia, sehingga pihak dalam perjanjian dalam KMB dapat

menyatakan untuk mengundurkan diri dari perjanjian KMB.

Dibentuknya Uni Indonesia – Belanda sebagai salah satu sarana dalam

penyelesaian masalah Irian Barat. Maka di sini dipenuhi ukuran obyektif

sebagai dasar untuk menarik diri dari perjanjian dengan alasan

berlakunya asas rebus sic stantibus. Sedangkan ukuran kedua yang harus

dipenuhi adalah ukuran obyektif, yaitu dengan bubarnya Uni Indonesia –

Belanda, ternyata mempengaruhi kemampuan para pihak.

Kasus kedua, sebagaimana diketahui bahwa dengan belum tercapainya

kesepakatan mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan

Australia di selatan Timor Timur (Celah Timor) maka pada tanggal 11

Desember 1989 ditanda-tangani perjanjian antara Indonesia dan

Australia52 mengenai Zona Kerjasama di daerah antara Timor Timur dan

Australia Bagian Utara, yang lebih dikenal ”Perjanjian Celah Timor”53.

Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat

51 Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu

Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006, hlm. 182. 52 Pada saat ditandatanganinya Perjanjian antara Indonesia dan Australia ini, wilayah

Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia, sehingga wilayah landas kontinen di

sebelah selatan Timor Timur berada di bawah kedaulatan Indonesia. 53 Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara rinci tentang apa isi perjanjian Celah

Timor, karena penekanan dalam tulisan ini adalah terjadinya perubahan keadaan

yang fundamental yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perjanjian

internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan

Australia.

Page 84: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

76

praktis untuk memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya

miyak dan gas bumi tanpa harus menunggu tercapainya kesepakatan

batas landas kontinen. Juga, perjanjian tersebut mengatur mengenai

”Zona Pengembangan Bersama” (Joint Development Zone) di daerah

”tumpang tindih” negara-negara yang bersangkutan (dispute area).

Diadakannya perjanjian Celah Timor berlandaskan pada Pasal 83 ayat (3)

Konvensi Hukum Laut 198254.

Kemudian dengan berjalannya waktu, pada tanggal 30 Agustus 1999

diadakan jajak pendapat rakyat Timor Timur apakah akan menerima

status otonomi khusus atau memisahkan diri dari Indonesia untuk

merdeka. Beradaskan hasil jajak pendapat yang diumumkan pada

tanggal 4 September 1999 sebagian besar rakyat Timor Timur

menghendaki untuk berpisah dari Indonesia menjadi negara merdeka.

Akhirnya pada tanggal 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur menyatakan

kemerdekaannya dan menjadi Negara Timor Leste.

Sebagai konsekuensi atas kemerdekaan Timor Timur, maka wilayah

landas kontinen yang berada disebelah selatan Timor Timur yang

merupakan obyek perjanjian Celah Timor tidak lagi berada di bawah

kedaulatan Indonesia, namun berada di bawah kedaulatan Timor Leste.

Sehubungan dengan hal itu, dalam hukum perjanjian dikenal asas pacta

tertiis nec nocent nec prosunt55. Demikian juga dengan merdekanya Timor

54 Pasal 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa: ”sementara persetujuan

penetapan batas landas kontinen belum tercapai negara-negara yang bersangkutan

dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk

mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya

masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai

persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis

batas landas kontinen yang final”. 55 Bahwa perjanjian tidak membebankan hak dan kewajiban bagi pihak ke-tiga. Dalam

kasus ini perjanjian Celah Timor tidak akan berlaku bagi Timor Leste sebagai pihak

ke-tiga, karena perjanjian tersebut hanya menikat bagi Indonesia dan Australia.

Page 85: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

77

Timur maka menurut hukum internasional telah terjadi suksesi, yang

dalam hal ini suatu wilayah Timor Timur yang dalam hubungan

internasional semula menjadi tanggung jawab Indonesia, setelah tanggal

20 Mei 2002 berubah menjadi wilayah negara baru, yaitu negara Timor

Leste sebagai negara berdaulat56.

Dengan terjadinya suksesi negara dapat dikatakan bahwa telah terjadi

suatu perubahan keadaan yang fundamental (rebus sic stantibus) di

wilayah Indonesia, yang pada akhirnya berdasarkan kesepakatan antara

Indonesia dan Australia diadakan peninjauan kembali atas berlakunya

perjanjian Celah Timor.

III. K E S I M P U L A N

Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan keberadaan asas dalam

perjanjian intenasional, khususnya asas rebus sic stantibus, dapat tarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa keberadaan kedua asas tersebut telah lama dikenal dalam

masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Bahkan beberapa

ahli terkemuka telah memberi dukungan atas keberadaan asas

tersebut, dan bahkan dewasa ini asas tersebut telah menjadi bagian

dari hukum positif, baik dalam taraf nasional Indonesia maupun

dalam taraf internasional. Ini artinya keberadaan asas rebus sic

stantibus barada dalam sustu sistem hukum.

Penerimaan, keberadaan dan penggunaan asas pacta sunt servanda

adalah mengawali berlakunya suatu perjanjian. Artinya keberadaan

dan penerimaan asas pacta sunt servanda dijadikan sebagai dasar

beroperasinya atau berlakunya suatu perjanjian. Tanpa adanya

56 Article 2 point 1b, Vienna Convention on Succession of States in Respect of

Treaties,1978: “succession of states means the replacement of one state by another

in the responsibility for the international relations of territory”.

Page 86: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

78

kesanggupan untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan, maka

perjanjian tidak akan dapat beroperasi atau berlaku sebagaimana

mestinya. Lain halnya dengan asas rebus sic stantibus, di mana dengan

berlandaskan pada asas ini pihak-pihak perjanjian dapat menyatakan

menunda atau menyatakan mengundurkan diri dari perjanjian yang

telah disepakati, sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya sebagaimana

tercantum dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969.

2. Sebagaimana disinggung pada urian di atas, bahwa penerimaan dan

pengakuan asas rebus sic stantibus sebagai upaya untuk melegalsir

tindakan pihak-pihak peserta perjanjian untuk mengakiri atau

menunda berlakunya perjanjian yang telah mereka buat. Perubahan

keadaan yang fundamental dapat dijadikan sebagai alasan untuk

tidak lagi melaksanakan perjanjian, sepanjang dipenuhi persyaratan

tertentu, yaitu bila terjadi perubahan keadaan, di mana keadaan yang

berubah itu menjadi dasar diadakannya perjanjian; dan adanya

perubahan keadaan yang fundamental tersebut menyebabkan terjadi

perubahan pelaksanaan kewajiban dari para pihak sebagaimana yang

pernah dijanjikan. Beberapa kasus yang dianggap telah terjadinya

perubahan keadaan yang fundamental, yang pada gilirannya

merubah pelaksanaan apa yang telah diperjanjikan yaitu terjadinya

konflik bersenjata, terjadinya konflik kepentingan di antara para

pihak yang berjanji, atau karena adanya perubahan keadaan yang

menyangkut status wilayah yang diperjanjikan (karena terjadi

suksesi).

Page 87: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

79

Daftar Pustaka

Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999

Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I, Binacipta,

Bandung, 1969.

Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II, Binacipta,

Bandung, 1970.

Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963. Brownlie, Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979,

Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.

Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina

1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.

Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000

D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983 .

Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,

Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006,

Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH Publishing Co,

New delhi, 1982.

Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,

Emond Montgomery Publications Limited, 1987

Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda, The Principle and its application in Petroleum

Production Sharing Contract, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2005

Martin Dixon and Robert MC Corquodale, Cases and Materials on International Law,

Third Edition, Blackstone Press Limited, Aldine Place, London, 2000.

Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990.

Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969

tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003,

Peter Malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,

London and New York, 1997.

Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do

Oeste de Minas, Brazil menulis komentarnya berjudul Comparative Law Europe

pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001,

dalam http://Pihilawyers.com/blog/?p

Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968

Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Bernagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan

Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006 .

Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus menjadi Asas

Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum

UGM, Yogyakarta, 2007.

Starke, Introduction to International Law, Butterword, London, 1989,

Page 88: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

80

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001.

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu

Hukum (S-2), tanpa tahun.

Wayan Partiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung,

2005.

Dokumen:

Jurnal Hukum Internasional, , Volume 3 Nomor 4, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.

Kamus Umum Bahasa Indonesia

http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, diakses tanggal 22 Pebruari

2008

Undang Undang Nomor 37 Tahuhn1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.

United Nations Convention on the Law of The Sea 1982.

Vienna Convention on The Law Of Treaties, 1969.

Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International

Organizations or between International Organizations, 1986

Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978.

Page 89: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

81

IMPLEMENTASI KONVENSI NEW YORK 1958

DALAM PERKARA-PERKARA ARBITRASE

INTERNASIONAL DI INDONESIA Mutiara Hikmah

Abstrak

Dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, penegakan putusan arbitrase internasional dapat diberlakukan di Indonesia, karena hukum acara yang mengatur tentang putusan arbitrase telah menjadi jelas. Untuk pengelolaan masalah keputusan arbitrase internasional yang lebih baik dalam hierarki perundang-undangan, pada tanggal 12 Oktober 1999 diundangkan Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut, terdapat bagian khusus yang membahas Arbitrase Internasional. Artikel ini membahas bagaimana perkembangan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia sebelum Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 hingga saat ini, dengan menganalisis putusan arbitrase internasional dan perintah pengadilan setelah berlakunya Undang-Undang Arbitrase. Kata kunci: arbitrase internasional, alternatif penyelesaian sengketa, konvensi New York 1958, UU Arbitrase.

Abstract With the enactment of Supreme Court Law No. 1 Year 1990 on the Procedures for the Implementation of Foreign Arbitral Awards, the enforcement of international arbitral awards can begin to be implemented in Indonesia, because the procedural law governing the procedure of the arbitration decision is clear. To better manage the problem of international arbitral decision in the hierarchy of legislation, on 12 October 1999 promulgated the Law of Arbitration and Alternative Dispute Resolution. In that Law, there is a special section that discusses the International Arbitration. This article examines how the development of the implementation of international arbitral awards in Indonesia before Indonesia became a member of New York

Page 90: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

82

Convention 1958, to date, by analyzing the international arbitration decisions and court order after the enactment of the Law of Arbitration. Keywords: international arbitration, alternative dispute settlement, New York Convention 1958, Law on Arbitration.

Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 melalui

Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 34 Tahun 1981 dan diterbitkan

dalam Lembaran Negara RI tahun 1981 No. 40. Dengan ikut sertanya

negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat

pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut

mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah

Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh

menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia

harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan

melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya

dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia

sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara

Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti trend penyelesaian

sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya1.

Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi pada akhir-akhir ini, dalam

kontrak-kontrak yang ditanda tangani oleh Badan Usaha Milik Negara

1 Ricardo Simanjuntak, “Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase Dan Pengadilan Negeri”,

dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 85.

Page 91: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

83

(BUMN) atau Perusahaan Negara di satu pihak dengan pihak asing, baik

dalam bentuk Kerja Sama Operasi(KSO)/Joint Operation Contract (JOC)

atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”,

dipakai klausul mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan

umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri2.

Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang

dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan

arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan

dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase

diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari

Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses

arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional

tersebut di Indonesia.

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait

dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan.

Pengadilan-pengadilan mempunyai peranan penting dalam

menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun

para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang

bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur

tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak

bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut3. Dalam proses

pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat

memaksakan pelaksanaan putusannya4, melainkan lembaga pengadilan

2 Sudargo Gautama (a), Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia,

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 1. 3 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cetakan kedua,

(Jakarta : N.V. Van Dorp & Co, 1954), hal. 74. 4 Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi putusannya sendiri.

Hal tersebut dikarenakan:

Page 92: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

84

yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan

arbitrase tersebut5. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu

campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang berjalan.

Campur tangan pengadilan itu bisa berupa menunjuk arbiter ketiga,

apabila dua arbiter pertama gagal menunjuk arbiter ketiga. Bentuk

campur tangan yang lain misalnya membantu proses arbitrase

mendapatkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang diperlukan

untuk kepentingan pemeriksaan.

Berbeda dengan arbitrase, mengenai pelaksanaan putusan

pengadilan asing, kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak

negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi

putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini berlaku di negara-negara

yang menganut sistem Civil Law dan sistem Common Law. Penolakan

eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep 1. Lembaga arbitrase bukan merupakan institusi negara, sehingga lembaga tersebut

tidak memiliki wewenang yang bersifat publik yang dapat dijalankan dengan paksa

kepada pihak-pihak lain;

2. Tidak terdapat landasan hukum bagi lembaga arbitrase untuk melaksanakan eksekusi

putusannya sendiri;

3. Lembaga arbitrase tidak memiliki jurusita sebagaimana terdapat pada lembaga

peradilan yang bertugas melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan

eksekusi.

Lihat: Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori

dan Praktek yang Berkembang, cetakan pertama, (Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika,

2009), hal. 222. 5 Di dalam Konvensi New York 1958, diatur mengenai peran pengadilan dalam hal

pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Peran Pengadilan ini dapat dilihat juga di

dalam UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration yang menjadi

rekomendasi Majelis Umum PBB kepada para anggota pada tahun 1985 sebagai standar

hukum yang modern dalam arbitrase. Dibeberapa negara, campur tangan Pengadilan

dimungkinkan pada waktu proses arbitrase sedang berjalan atas permintaan pihak yang

merasa dirugikan. Di Singapura, pengadilan dapat mengenyampingkan putusan arbitrase

dalam keadaan-keadaan yang amat terbatas, dengan mengangkat ketentuan-ketentuan

yang sama dengan Model Law.

Page 93: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

85

kedaulatan negara. Sebuah negara yang memiliki kedaulatan tidak akan

mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara

tersebut sukarela menundukkan diri. Mengingat pengadilan merupakan

alat perlengkapan yang ada pada suatu negara, maka wajar apabila

pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan

pengadilan asing. Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial

(principle of territorial souvereignty), berarti keputusan hakim asing

tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain atas

kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara

Indonesia dengan negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan

keputusan-keputusan asing di wilayah RI (Pasal 436 RV).

Pelaksanaan putusan arbitrase internasional mendapat pengaturan

dalam perjanjian internasional karena dalam hukum internasional dikenal

adanya kedaulatan dan yurisdiksi. Pelaksanaan yurisdiksi kekuasaan

negara hanya dapat dilakukan di wilayah teritorialnya. Pelaksanaan

yurisdiksi oleh suatu negara di negara lain harus seizin otoritas yang

berwenang di negara lain tersebut. Putusan arbitrase internasional yang

dibuat di suatu negara dan hendak dilaksanakan di negara lain, maka

harus ada pengakuan dan pelaksanaan dari negara dimana pengakuan

dan pelaksanaan dimintakan. Oleh karena itu pengaturan tentang

pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan dalam bentuk

perjanjian internasional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam

bentuk perundang-undangan nasional6.

Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 pada

tahun 1981, pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah

Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan

Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan

6 Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan

Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 72.

Page 94: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

86

Perma), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing

dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.

Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia

berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat

dilaksanakan di Indonesia. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase

internasional dengan tegas dinyatakan oleh Mahkamah Agung RI yang

menolak eksekusi putusan arbitrase internasional pada perkara PT

Nizwar vs. Navigation Maritime Bulgare7, putusan Mahkamah Agung RI

No.2944 K/Pdt/1983 yang diputus pada tanggal 29 November 1984.

Pada kasus tersebut, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa

permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak dapat

diterima, karena belum ada peraturan pelaksana mengenai ketentuan-

ketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Hal ini berbeda

dengan putusan Pengadilan Jakarta Pusat, yang menerima pelaksanaan

putusan arbitrase internasional. Sikap Mahkamah Agung RI pada saat itu

tetap menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional, walaupun

saat itu Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi New York 19588.

Menurut Sudargo Gautama, Konvensi New York 1958 bersifat self

executing, artinya tidak diperlukan lagi suatu peraturan pelaksana yang

dikeluarkan oleh Pemerintah RI, karena di dalam konvensi tersebut

tercantum bahwa cara pelaksanaan putusan arbitrase yang diucapkan di

luar negeri ini adalah sama dengan cara pelaksanaan arbitrase yang

diucapkan dalam negeri anggota peserta konvensi. Hal tersebut seperti

yang tercantum di dalam Pasal III Konvensi New York 1958 yang

menyatakan:

7 Erman Rajagukguk (Lihat: Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,

(Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 38-40. 8 Sudargo Gautama (b), Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti, 1991), hal. 2.

Page 95: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

87

”Each contracting state shall recognize arbitral awards as binding and enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory where the award is relied upon, under the condition laid down in the following articles. There shall nor imposed substantially more onerous conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement of arbiral to which this Convention applies than are imposed on the recognition or enforcement of domestic arbitral awards”.

(Terjemahan bebas dari penulis: Setiap negara anggota dapat mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat dan melaksanakannya sesuai dengan tata cara di wilayah dimana putusan tersebut dimintakan, sesuai dengan keadaan yang diatur dalam pasal-pasal selanjutnya. Tidak diperbolehkan mengenakan secara substansi yang lebih berat atau lebih tinggi biaya untuk pengakuan dan pelaksanaan putuan arbitrase yang diterapkan dalam konvensi ini dari pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase domestik/nasional).

Contoh lain mengenai penolakan putusan arbitrase internasional oleh

Mahkamah Agung RI terlihat pada perkara PT. Bakrie Brothers vs.

Trading Corporation of Pakistan Limited. Pakistan Trading yang

berkedudukan di Karachi Pakistan, telah mengajukan permohonan

pelaksanaan putusan arbitrase, Award of Arbitration yang ditetapkan oleh

Federation of Oils, Seed and Fats Association Limited, No. 2282 tanggal 8

September 1981 di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap

PT. Bakrie Brothers yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Permohonan

mana telah dikabulkan dengan Ketetapan Eksekusi No.fol.22/48/JS/1983

tanggal 13 Februari 19849. Namun pihak PT. Bakrie Brothers mengajukan

9 Dalam kasus ini, Pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan asas resiprositas

yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Untuk mempelajari perkara ini, lihat:

Tineke L.T. Longdong, Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958. (Bandung:

PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 227.

Page 96: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

88

bantahan. Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

telah menerima bantahan dari Pihak PT Bakrie Brothers yang

mendalilkan, bahwa putusan arbitrase asal London tidak bisa

dilaksanakan di Indonesia karena diajukan oleh perusahaan asal Pakistan

(yang bukan anggota peserta Konvensi New York 1958) sehingga tidak

memenuhi asas resiprositas yang dianut di dalam Konvensi New York

1958. Dan bantahan tersebut diterima oleh Pengadilan tingkat pertama

dan tingkat kedua. Kemudian Mahkamah Agung RI menguatkan

putusan-putusan yang lebih rendah tingkatannya yang menolak

pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Contoh lain dapat dilihat pada perkara Safic-Alcan & Cie, vs. PT

Foursa Tani Nusa. Sengketa ini adalah antara Alcan yang berkedudukan

di Perancis, Pemohon (Pembeli) lawan Foursa Tani berkedudukan di

Surabaya, sebagai Termohon (Penjual) yang mengadakan jual beli 20.000

metric tonnes Indonesian tapioce chips, yang ternyata tidak dapat dipenuhi

oleh Foursa Tani, sehingga dituduh ingkar janji.

Berdasarkan surat dari Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 22 April

1993 karena adanya bantahan yang diajukan oleh PT Foursa Tani Nusa,

maka pelelangan eksekusi atas aset PT tersebut, sesuai dengan penetapan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 065/1992 Eks ditangguhkan10.

Contoh perkara lain adalah antara Sikinos Maritime Ltd., vs. PT

Perdata Lot. Memorandum of Agreement, tanggal 20 September 1991,

antara PT Perdata Lot, berkedudukan di Jalan Sutomo 540, Medan

Indonesia, sebagai Penjual dan Sikinos Maritime Ltd., berkedudukan di

Vallette Malta, telah melakukan jual beli kapal “M.T. BUMEUGAH”.

Permohonan akan fiat eksekusi ini meskipun telah dipertimbangkan

bahwa putusan arbitrase ini adalah mengenai pembayaran sejumlah uang

10 Ibid., hal. 238.

Page 97: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

89

US$ 617,046 berikut bunga 6,5% per tahun sejak 15 Desember 1991, sudah

didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak bertentangan

dengan ketertiban umum, namun permohonan exequatur ditolak oleh

Mahkamah Agung11.

Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini telah

memberi kesan buruk, mengingat tatacara/prosedur sudah dilakukan

oleh pelaku usaha dan juga tidak ada ketertiban umum yang dilanggar.

Salah satu contoh perkara yang ditolak pelaksanaan putusan arbitrase

internasionalnya karena melanggar ketertiban umum adalah perkara

Yani Haryanto vs. E.D.& F.Man (Sugar) Ltd12 (perusahaan yang

berkedudukan di Inggris). E.D. & F. Man (Sugar) Ltd (dalam hal ini

sebagai Penjual) telah memperoleh suatu putusan arbitrase dari The

Council of the Refined Sugar Association, Arbitration Center di London

yang telah menyalahkan pihak Yani Haryanto (sebagai pembeli) telah

melakukan default dalam melangsungkan kontrak pengimporan atau

pembelian gula pasir untuk diimpor ke Indonesia. Di Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat, pihak Yani Haryanto mengajukan gugatan perdata

melawan pihak E.D. & F Man sebagai Penjual yang berkedudukan di

London. Penggugat mendalilkan dengan surat gugatannya tanggal 8

Agustus 1988 bahwa kontrak bersangkutan adalah bertentangan dengan

Keppres RI No.43/1974 tanggal 14 Juli 1971 mengenai “penyelenggaraan

koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan kebijaksanaan dalam

bidang pengadaan penyaluran dan pemasaran gula pasir” dan keputusan

Presiden RI No. 39/1978 tanggal 6 November 1978 Badan Urusan Logistik

(selanjutnya disingkat dengan BULOG). Oleh karena itu menurut Pasal

1320 KUH Perdata ayat (4) agar perjanjian dianggap sah harus ada sebab

11 Ibid., hal. 239.

12 Mahkamah Agung RI No. 1203K/Pdt/1990 jo. Perdata No.

736/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST jo.PT Jkt No. 485/Pdt/1989/PT DKI.

Page 98: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

90

yang halal (causa yang diperbolehkan). Suatu persetujuan tanpa sebab

atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak

mempunyai kekuatan hukum.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengabulkan gugatan penggugat

yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian jual beli bersangkutan

dimana termuat klausula arbitrase itu adalah kontrak-kontrak yang

mengandung cacat dan melanggar ketentuan peraturan yang berlaku di

Indonesia karena itu mempunyai sebab atau kausa yang dilarang, maka

perjanjian jual beli gula itu harus dibatalkan. Menurut Pengadilan Negeri,

karena dasar dari putusan hakim asing tersebut bertentangan dengan

ketertiban umum dan tertib hukum di Indonesia, maka putusan-putusan

hakim asing tersebut tidak mempunyai daya pengikat13.

Disamping beberapa contoh perkara di atas, ada pula beberapa

contoh perkara yang diterima permohonan pelaksanaan putusan

arbitrase internasionalnya, itu terjadi setelah keluarnya Perma. Perkara

tersebut dapat dilihat pada Ecom USA Inc., vs. PT Mahameru Centratama

Mills (Penetapan Mahkamah Agung RI No. 4 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1992,

06-04-1994). Ecom USA Inc, perusahaan yang berkedudukan di Dallas-

Texas, USA dalam sengketa ini telah bertindak sebagai Pemohon, yang

diwakili oleh Executive Vice Presidentnya, Uwe Grobecker lawan PT

Mahameru Centratama Mills yang berkedudukan di Bandung, sebagai

Termohon14.

Selain itu, juga terdapat perkara PT Tripatria Citra Pratama vs.

Abdulelah Jamal Al Zamzani Est cs. Mahkamah Agung RI telah

mengabulkan permohonan exequatur yang diajukan oleh Pemohon Citra

Pratama, yang telah diajukan oleh Manajernya sebagai kuasa dari

Direktur Utamanya terhadap para Termohon, Abdulelah Al Zamzani

13 Tinneke L. Longdong, Op. Cit., hal. 244.

14 Ibid., hal. 231.

Page 99: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

91

Holdings Pte. Ltd., yang berasal dari Saudi Arabia (Penetapan Mahkamah

Agung RI No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1993, 3 Juni 199315.

Dari beberapa contoh perkara di atas, dapat dikatakan bahwa setelah

Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan

arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena

hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan

arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan

arbitrase internasional dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia,

pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari

XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Perlu dilakukan kajian mendalam, apakah setelah berlakunya UU

Arbitrase benar-benar tidak ada hambatan atau kendala lagi dalam hal

pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mengingat

bahwa setelah berlakunya UU Arbitrase, masih terdapat penolakan

terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah

Agung RI dengan alasan ketertiban umum, yaitu pada perkara Bankers

Trust Company vs. PT Mayora Indah16 dan perkara Bankers Trust

Company vs. The Jakarta International Hotel & Development Tbk. Selain

15 Ibid., hal. 231-235.

16 PT Mayora Indah melawan Bankers Trust Company, Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan No. 489/PDT.G/1999/PNJS, tanggal 5 Oktober 1999. Jo. Putusan

Pengadilan Tinggi DKI No. 211/PDT/2000/PT DKI, tanggal 20 Juli 2000. Jo Penetapan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST., tanggal 3

Februari 2000 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal

5 September 2000.

Page 100: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

92

itu, ada pula beberapa putusan-putusan arbitrase internasional yang telah

didaftarkan, namun belum mendapatkan penetapan eksekusi17.

Di samping ada pula beberapa putusan arbitrase internasional yang

telah diberikan penetapan eksekusi, antara lain pada perkara Noble

Cocoa vs. PT Wahana Adhireksa Wiraswasta18, perkara Oceanis Shipping

Ltd vs. Bp/ibu R. Adji Suryodipuro19, perkara Son Han Pil vs. Herman

Tanuraharja (PT Saka Dhana Nugraha)20, perkara Balmac International

Incorporation New York vs. Firma Sinar Nusantara21 dan beberapa

putusan arbitrase internasional yang dianalisis dalam laporan penulisan

ini.

Setelah berlakunya UU Arbitrase, satu-satunya putusan arbitrase

internasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

adalah putusan arbitrase asal Jenewa, Swiss (tanggal 18 Desember 2000),

yaitu pada perkara Karaha Bodas Company (selanjutnya disingkat

dengan KBC) vs. PT Pertamina dan PLN22. Kasus tersebut mengundang

perhatian berbagai pihak di dalam dan di luar negeri, karena selain

melibatkan beberapa saksi ahli dari berbagai negara, juga putusan

17 Antara lain Putusan Arbitrase London No. 6795, tanggal 15 Desember 2006, Putusan

Arbitrase London No. 6796, tanggal 15 Desember 2006, Putusan Arbitrase Italia, No.

0408/0553, Livorno, 16 Agustus 2004, Putusan Arbitrase Singapura, SIAC No. 0057 of

2005, 20 Agustus 2007, Putusan Arbitrase London, tanggal 26 Februari 2007, Putusan

London Maritime Arbitration Association, pendaftaran tanggal 16 Februari 2009. 18 Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of Amerika Incorporation, 26

Oktober 1999, dengan Penetapan Eksekusi No. 143/2000, tanggal 4 September 2000. 19 Putusan Arbitrase London Intl Arbitration No. 775/1998, dengan Penetapan Eksekusi

No. 05/2001, tanggal 16 April 2001. 20 Putusan Arbitrase Korean Commercial Arbitration International Board, no. 98113-

0011, dengan Penetapan Eksekusi No. 25/2001, tanggal 18 April 2001. 21 Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of America Inc, No. 00/04 dan

00/05, dengan penetapan eksekusi No. 44/2001 dan 45/2001. 22 Putusan No. 86/PDT-G/2002, tanggal 19 Agustus 2002, dengan Ketua Majelis Hakim

H. Herri Swantoro, SH.

Page 101: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

93

arbitrase tersebut dimohonkan pelaksanaannya oleh pihak KBC di

beberapa negara, sehubungan dengan aset pihak PT Pertamina yang

terdapat di beberapa negara23. Pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kemudian dibatalkan oleh

Mahkamah Agung RI dengan Putusan No. 01/BANDING/WASIT-

INT/2002, tanggal 8 Maret 2004. Dengan dibatalkannya putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang Pembatalan Putusan Arbitrase

asal Swiss, maka pihak KBC kemudian menuntut ganti rugi kepada

pihak PT Pertamina atas dasar pada perjanjian JOC/Joint Operation

Contract dan perjanjian ESC/Energy Sales Contract yang telah dibuat pada

tahun 1994.

Salah satu kasus yang juga menjadi perdebatan para pihak mengenai

putusan arbitrase tersebut apakah putusan arbitrase nasional atau

internasional, terlihat pada kasus PT Pertamina dan PT Pertamina EP vs.

PT Lirik Petroleum (Putusan No.01/Pembatalan

Arbitrase/2009/PN.JKT.PST tanggal 31 Agustus 2009). Dalam perjanjian

dengan klausul arbitrasenya, para pihak memilih tempat arbitrase di

Jakarta dengan rules dari ICC Paris. Dalam kasus tersebut, pada bagian

eksepsinya pihak Pertamina sebagai pemohon mengajukan pembatalan

putusan arbitrase sehubungan bahwa putusan arbitrase tersebut masuk

dalam ruang lingkup arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase

internasional24.

Pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal

Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak

pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta

23 Antara lain di Hongkong, Singapura, Texas dan Kanada.

24 Dalam kasus diatas, pihak PT Pertamina EP dan PT Pertamina (Persero) mengajukan

Kasasi Ke Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung No. 904 K/PDT.SUS/2009,

tanggal 9 Juni 2010, telah menguatkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Page 102: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

94

penolakan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI, yaitu pada

perkara Astro Nusantara Internasional B.V. vs. PT Ayunda Prima Mitra25.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Jika mempelajari perkara-perkara di bidang arbitrase internasional di

atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi ketentuan-ketentuan yang

terdapat di dalam Konvensi New York 1958 belum maksimal di

Indonesia. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa putusan arbitrase

internasional yang ditolak pelaksanaannya di Indonesia.

Selain itu, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa masih dirasakan mengandung beberapa

kelemahan-kelemahan, sehingga perlu dilakukan revisi. Undang-Undang

Arbitrase yang mengatur permasalahan pelaksanaan putusan arbitrase

yang lengkap dan komprehensif diperlukan untuk menjamin keadilan

dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha.

Rekomendasi yang juga penting adalah peningkatan kualitas sumber

daya manusia, baik untuk tingkat pengadilan (dalam hal ini Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat) dan Tingkat Mahkamah Agung. Pemahaman serta

penerapan Konvensi New York 1958 dan Hukum Perdata Internasional

merupakan hal yang perlu ditingkatkan, mengingat Hukum Perdata

Internasional merupakan basic knowledge dari permasalahan putusan

arbitrase internasional.

25 Putusan Arbitrase SIAC No. 62 of 2008, tanggal 07 Mei 2009. Pendaftaran di

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 5/PNJP/2009, tanggal 1 September 2009. Penolakan

oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tertanggal 28 Oktober 2009 dan diperkuat

dengan Putusan Mahkamah Agung No. 01/K/Pdt.Sus/2010, tanggal 26 April 2010.

Page 103: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

95

RESENSI BUKU Judul : Hukum tentang Ekstradisi

Penulis buku : Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M

Penerbit : Fikahati Aneska

Bahasa : Indonesia

Jumlah halaman : x + 389

Tahun penerbitan : 2011

Pembuat resensi : AM. Sidqi

Maraknya pemberitaan tentang

upaya Kejaksaan Agung RI

mengekstradisi Joko Tjandra, terpidana

BLBI, dari Papua Nugini menghiasi

media massa Februari 2013. Sebelumnya,

pelarian M. Nazarudin dan Nunun

Nurbaeti pada tahun 2011 lalu

memunculkan perdebatan berlarut-larut

tentang ekstradisi di kalangan penegak

hukum, akademisi, politikus, dan

masyarakat umum. Jamak dikatakan

bahwa dikarenakan tidak adanya

perjanjian ekstradisi antara Indonesia

dengan Singapura, menjadikan Negara

Singa Laut itu menjadi safe haven bagi pelarian kejahatan kerah putih.

Akan tetapi, meskipun Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi

dengan Kolumbia, M. Nazarudin tetap bisa dibawa pulang ke Tanah Air

untuk diadili. Selain itu, publik juga mengenal sengkarut upaya ekstradisi

yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap terpidana

penyalahgunaan BLBI, Hendra Rahardja, dari Australia yang pada

Page 104: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

96

akhirnya kasus pidananya gugur demi hukum karena Hendra Rahardja

meninggal pada tanggal 26 Januari 2003.

Perdebatan-perdebatan seputar hukum tentang ekstradisi tersebut

memunculkan pertanyaan mendasar yang wajib dipahami oleh semua:

apa dan bagaimana perkembangan hukum tentang ekstradisi tersebut?

Untuk itu, buku “Hukum tentang Ekstradisi” yang ditulis oleh Prof.

Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M ini terbit timely untuk memberikan

pencerahan kepada masyarakat perihal definisi, karakteristik, dan

perkembangan pelbagai model tentang ekstradisi. Disusun dalam bahasa

Indonesia yang mudah sederhana membuat buku ini mudah dipahami

oleh masyarakat awam hukum sekalipun. Selain itu, kepakaran Romli

Atmasasmita sebagai salah satu ahli dalam hukum mengenai ekstradisi

tidak lagi diragukan, mengingat Romli memiliki daftar panjang

pengalaman sebagai ketua delegasi pemerintah Indonesia ke berbagai

konferensi PBB yang membahas kejahatan transnasional.

Berdasarkan UU 1/1979 tentang Ekstradisi, ekstadisi diartikan

sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta

penyerahan seseorang yang disangka tau dipidana karena melakukan

suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam

yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena

berwenang untuk mengadili dan memindananya.

Perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi

serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi,

menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum

internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu

ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan

diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Praktik

perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru karena

setelah kemerdekaan RI, Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam

perjanjian ekstradisi dengan lima negara, yakni Malaysia, Filipina,

Thailand, Australia; dua perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam

Page 105: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

97

Masalah Pidana (mutual legal assistance treaty), yakni dengan Australia dan

RRT; dan satu perjanjian penyerahan pelanggar hukum yang melarikan

diri antara Indonesia dengan Hongkong.

Buku yang terbit pada tahun 2011 ini disusun dalam empat bab, yakni

asal-usul dan karakteristik ekstradisi (bab I); prinsip umum ekstradisi

yang diakui dalam hukum internasional dan beberapa pengecualian (bab

II); perkembangan praktik ekstradisi dan perbandingan model-model

ekstradisi (bab III); dan pentutup yang berisi pandangan dan sikap

penulis terhadap perkembangan ekstradisi dan masalah yang berkaitan

dengan berbagai model hukum tentang ekstradisi (bab IV).

Romli Atmasasmita mengkritik pengertian ekstradisi yang sering

diucapkan banyak orang termasuk praktisi hukum, tetapi belum

dipahami makna sesungguhnya dari pengertian istilah tersebut. Sering

disebutkan bahwa ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi

(extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin, yaitu “extradere”. Ex

berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya

adalah extraditio artinya penyerahan. Sedangkan menurut Romli,

pemaknaan pengertian istilah tersebut sangat menyesatkan karena tidak

benar.

Romli mendefinisikan ekstradisi secara etimologis berasal dari dua

suku kata, yaitu “extra” dan “tradition”. Sehingga demikian, ekstradisi

berarti suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang

telah berabad-abad dipraktikan antarbangsa-bangsa. Praktik tradisi

tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi pelindung

(asylum) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk

memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara tuan rumah atas

mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang

mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan

kekecualian dari asylum.

Dalam catatan sejarah, ekstradisi telah dipraktikan sejak tahun 1280

SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites,

Page 106: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

98

kemudian diikuti oleh kerajaan Yunani dan kekaisaran Romawi. Model

perkembangan ekstradisi abad tersebut dilandaskan untuk menjaga

stabilitas politik kerajaan sehingga ekstradisi terbatas pada kejahatan

politik. Dalam perkembangannya, ekstradisi pasca abad ke-20 bukan lagi

semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan

dalam suatu perjanjian, melainkan juga bagian dari hak asasi tersangka,

terdakwa, atau terpidana untuk menyatakan pendapatnya terhadap

permintaan suatu negara untuk mengekstradisikan ybs. Hal tersebut

pernah dipraktikan oleh Hendra Raharja yang menolak ekstradisi dirinya

dari Austarlia dengan alasan Pemerintah Indonesia diskrimatif dan

tahanan di Indonesia tidak menjamin keselamatan tersangka.

Perkembangan ekstradisi sejak awal kelahirannya pada abad 15—16,

disepakati bahwa yang dapat diekstradisikan hanya kejahatan politik

(makar) dan kejahatan penodaan terhadap agama. Perkembangan

ekstradisi selama tahun 1700 dan awal 1800an, justru kejahatan politik

termasuk kejahatan tidak dapat diekstradisi (non-extraditable crime)

sampai dengan tahun 1830-an. Gagasan bahwa tersangka tidak dapat

diekstradisikan untuk tindak pidana yang memiliki motivasi politik,

dikemukakan oleh Belgia dan Perancis. Pengakuan tersebut dikuatkan di

dalam MLE UN 1990 yang menegaskan bahwa, kejahatan politik

merupakan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi-kan dan bersifat

wajib (mandatory obligation).

Prinsip penolakan atas dasar kejahatan politik dewasa ini semakin

sirna terutama dengan peristiwa terorisme pemboman World Trade

Centre di New York, Amerika Serikat. Kasus ekstradisi mantan PM

Thailand, Thaksin Sinawatra, merupakan contoh teranyar (2009) yang

mencerminkan prinsip penolakan ekstradisi dengan alasan kejahatan

politik masih menguat di dalam hubungan kerja sama internasional

dalam pencegahan dan penindakan kejahatan transnasional. Kasus

Thaksin mirip dengan permohonan ekstradisi mantan Presiden Peru

Alberto Fujimori. Permohonan Peru kepada Chile untuk mengekstradisi

Page 107: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

99

Fujimori tidak begitu terkendala, karena pengadilan Chile melihat

dakwaan terhadap Fujiori murni didasarkan pada pelanggaran korupsi

dan pelanggaran HAM.

Akhirnya, buku mengenai hukum ekstradisi merupakan substansi

yang relatif baru dalam kepustakaan hukum Indonesia, meskipun praktik

dan perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru.

Masih sering dijumpai bahwa masih ada yang keliru menyamakan

ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana

(mutual legal assistance in criminal matters) baik di kalangan pejabat tinggi

pemerintah maupun para sarjana hukum. Dengan terbitnya buku ini,

maka diharapkan dapat menjernihkan pemahaman ekstradisi bagi para

sarjana hukum, terutama yang sehari-hari menggeluti hukum

internasional, dan masyarakat pada umumnya.

Page 108: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

100

ISTILAH HUKUM Kemal Haripurwanto Rebus sic stantibus The clausula rebus sic stantibus (Latin for "things thus standing") is the legal doctrine in public international law allowing for treaties to become inapplicable because of a fundamental change of circumstances. It is essentially an "escape clause" that makes an exception to the general rule of pacta sunt servanda (promises must be kept). Klausul rebus sic stantibus (Dalam bahasa Latin yang berarti “keadaan yang tidak berubah”) merupakan doktrin hukum dalam hukum internasional publik yang memungkinkan perjanjian inetrnasional menjadi tidak bisa diaplikasikan karena adanya suatu perubahan keadaan yang mendasar. Pada dasarnya, klausul ini merupakan “klausul pembebasan” yang mengecualikan diterapkannya ketentuan umum pacta sunt servanda (janji harus ditepati).

Laissez Faire, Laissez Passer These two formulas, which are frequently met with in economic, political, social and socialistic discussions, were invented by the physiocrates. By laissez faire they mean simply let work, and by laissez passer, allow exchange; in other words, the physiocrates demand, by these phrases, the liberty of labor, and the liberty of commerce. Kedua formula ini, yang sering ditemui diskusi-diskusi ekonomi, politik, social dan sosialistik, diciptakan oleh kelompok yang dinamakan physiocrates. Laissez faire berarti “biarkan bekerja”, dan laissez passer berarti dipersilahkan melakukan pertukaran; dengan kata lain kelompok physiocrates menuntut adanya kebebasan perburuhan dan kebebasan perdagangan.

Money laundering The federal crime of transferring illegally obtained money through legitimate persons or accounts so the its original source cannot be traced. Kejahatan mentransfer uang yang diperoleh secara ilegal melalui orang atau rekening yang sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri.

Page 109: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

101

Due prosess of law A fundamental, constitutional guarantee that all legal proceedings will be fair and that one will be given notice of the proceedings and an opportunity to be heard before the government acts to take away one's life, liberty, or property. Suatu jaminan dasar yang diberikan konstitusi bahwa semua proses hukum akan dilaksanakan secara adil, dan bahwa seseorang akan diberitahu mengenai proses yang berlangsung dan diberitahu mengenai kesempatannya untuk didengar sebelum pemerintah bertindak untuk mengambil nyawa, kebebasan, atau property seseorang. Locus delicti The place where the tort, offence, or injury has been committed. Tempat di mana kesalahan, pelanggaran atau tindakan yang mengakibatkan kerugian telah dilaksanakan. Tempat terjadinya perbuatan pidana. Tempus delicti Tempus Delicti yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi waktu terjadinya perbuatan pidana. Ius ad bellum Jus (or ius) ad bellum is the title given to the branch of law that defines the legitimate reasons a state may engage in war and focuses on certain criteria that render a war just. The principal modern legal source of jus ad bellum derives from the Charter of the United Nations, which declares in Article 2: “All members shall refrain in their international relations from the threat or the use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations”; and in Article 51: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of the United Nations.” Yakni seperangkat ketentuan yang harus diterapkan sebelum peperangan dimulai untuk menentukan justifikasi atas dilakukannya kekerasan bersenjata atau apakah kekerasan bersenjata tersebut dapat dibenarkan

Page 110: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

102

atau tidak. Untuk mengetahui justifikasi suatu kekerasan bersenjata, dapat dilihat Bab VII Piagam PBB 1945. Ius Bello Ius in bello is the set of laws that come into effect once a war has begun. Its purpose is to regulate how wars are fought, without prejudice to the reasons of how or why they had begun. So a party engaged in a war that could easily be defined as unjust would still have to adhere to certain rules during the prosecution of the war, as would the side committed to righting the initial injustice. This branch of law relies on customary law, based on recognized practices of war, as well as treaty laws (such as the Hague Regulations of 1899 and 1907), which set out the rules for conduct of hostilities. Other principal documents include the four Geneva Conventions of 1949, which protect war victims Ius in bello yakni seperangkat ketentuan yang berlaku ketika telah terjadi peperangan dan menentukan bagaimanakah alat dan cara berperang serta perlindungan para korban perang harus dilakukan. Untuk mengetahui ketentuan ini, dapat dilihat ketentuan-ketentuan pokok Hukum Humaniter yang terdapat dalam Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.

Ius gentium

The ius gentium or jus gentium (Latin, "law of nations") is a concept of

international law within the ancient Roman legal system and Western law

traditions based on or influenced by it. The ius gentium is not a body of statute

law or a legal code, but rather customary law thought to be held in common by all

gentes ("peoples" or "nations") in "reasoned compliance with standards of

international conduct."

Ius gentium atau jus gentium (Latin, "hukum bangsa-bangsa") adalah sebuah konsep hukum internasional dalam sistem hukum Romawi kuno dan tradisi hukum Barat didasarkan pada atau dipengaruhi olehnya. Ius gentium bukanlah undang-undang atau kode hukum, tetapi hukum yang diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat bangsa.

Page 111: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

103

TENTANG PENULIS Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum Edward Omar Sharif Hiariej merupakan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Lahir di Ambon, 10 April 1973. Meraih gelar Sarjana Hukum dari UGM (1998), Master Hukum UGM (2004), dan Doktor Hukum UGM (2009), serta dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Pidana pada 2012. Dapat dikontak melalui [email protected]. Damos Dumoli Agusman, SH., MA, Setelah menyelesaikan studi hukum internasional pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1987, penulis memulai kariernya di Kementerian Luar Negeri. Melalui Kementerian ini penulis kemudian menempuh pendidikan lanjutan di University of Hull Inggris dan berhasil meraih gelar Master di bidang Hukum Internasional dan Politik pada tahun 1991. Ketertarikan penulis pada ilmu hukum internasional demikian besar sehingga pada tahun 1995 menyempatkan diri untuk mengikuti program hukum internasional pada The Hague Academy of International Law, Den Haag, Belanda. Penulis menduduki jabatan Direktur Perjanjian ekonomi dan Sosial Budaya pada Kementerian Luar Negeri tahun 2006-2010. Saat ini penulis bertugas sebagai Konsul Jenderal RI di Frankfurt. Purna Cita Nugraha, SH., MH. Lahir di Langsa pada 4 November 1986. Merupakan Alumni Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jurusan Hukum Pajak Angkatan 2004, menyelesaikan S2 pada Magister Hukum Bisnis Universitas Padjadjaran (2010), dan saat ini sedang dalam proses menyelesaikan studi S3 pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Bergabung dengan Kementerian Luar Negeri RI pada 2009, mengikuti Sekolah Dinas Luar Negeri angkatan XXXV, dan kini menjadi staf Sekretariat Wakil Menteri Luar Negeri, Biro Administrasi Menteri, Kementerian Luar Negeri RI.

Page 112: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

104

Harry Purwanto, SH., MH. Pengajar hukum internasional di Universitas Gadjah Mada. Memperoleh S1 dari UGM, S2 dari Universitas Padjajaran, dan kini tengah menempuh pendidikan doktoral di UGM. Berpengalaman aktif dalam banyak penelitian di lingkungan FH UGM, seperti “Pertanggungjawaban Negara Tuan Rumah Terhadap Penyerangan Gedung Perwakilan Diplomatik” (2012), “Perlindungan Bagi tawanan Perang Korban Pertikaian Bersenjata dalam Perspektif Hukum Islam” (2012), “Yurisdiksi Ekstrateritorial Dalam Perlindungan Warga Negara di Luar Negeri” (2011), dan sebagainya. Dapat dihubungi melalui [email protected] Dr. Mutiara Hikmah, SH., MH. Lahir di Jakarta pada 21 Januari 1970. Dosen Tetap di Fakultas Hukum UI sejak Mei 1996, saat ini menjabat Lektor Kepala dengan Pangkat/Golongan IV-b. Menamatkan pendidikan SH (1995), MH (2002), Doktor di FH UI (2003), dan Doktor di Universitas Pelita Harapan (2010). Penulis aktif mengikuti training, workshop, dan konferensi nasional maupun internasional dalam bidang HAM, Hukum Arbitrase, dan Hukum Humaniter. Penulis juga aktif menulis di dalam Jurnal-jurnal ilmiah, antara lain Jurnal Hukum dan Pembangunan, Jurnal Keadilan dan Jurnal Hukum Internasional. Buku-buku yang pernah ditulis, antara lain ”Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Pada Perkara-Perkara Kepailitan” (Penerbit Refika Aditama, 2007) dan “Bunga Rampai Hukum Antar Tata Hukum dan Hak Asasi Manusia” (Penerbit Fakultas Hukum UI, 2011).

Page 113: DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS_vol_13d.pdf · Arbitrase Internasional di Indonesia ... This paper will elaborate the urgency

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 � Mei—Agustus 2013

105

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINI O JURIS

Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi,

catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Book Antiqua 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10;

2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi dalam dua bahasa (Indonesia dan

Inggris). Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak

sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak

mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan

rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat

penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;

9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial;

10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.

Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri

Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044

Email: [email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/