dinamika inflasi indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi...

209
DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI ADJI SUBEKTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Upload: truongtram

Post on 03-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI

ADJI SUBEKTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 2: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dinamika Inflasi Indonesia pada TataranProvinsi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belumdiajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumberinformasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidakditerbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalamdaftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

Penulis,

Adji SubektiH151090114

Page 3: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

ABSTRACT

ADJI SUBEKTI. Indonesian Inflation Dynamics at Provincial Level. Undersupervision of HERMANTO SIREGAR and NOER AZAM ACHSANI.

Indonesia never experience any annual deflation for more than forty years.After being strucked by the 1998 economic crisis, Indonesia introduced twofundamentals policies, those are the exchange rate rearrangement in 1999 and thedecentralization policy in 2001. Following the implementation of those policies,there are some changes of policy or non-policy variables that would be respondedby various level of inflation among regions in Indonesia. This research aim toexamine the policy and non-policy variables affecting Indonesian inflationdynamics at provincial level. After utilizing the method of dynamic panel datawith spatial and non-spatial approaches, this research found that during the periodof 2000-2009, inflation dynamics are likely affected by non-policy variables, suchas inflation inertia, exchange rate volatility, and the simultaneous changes ofinfrastructure conditions and trade openness. Some policy variables such as salaryadjustment of government employee, adjustment of domestic oil price and interestrate adjustment are also affecting the inflation dynamics. It is suggest that centralbank together with government develop system to support inflation-forecasttargeting. In order to decrease exchange rate pass through, government canpropose import substitution, nationality suasion to use domestic product and theobligation for proposing a new establishment’s permission to use a local base ordomestic material in the most. It is also suggest that central government sets thedomestic oil prices adjustment periodically to minimize bad impact ofunanticipated expectation of the policy, beside that, salary adjustment ofgovernment employee must be set carefully to avoid higher inflation expectation.Further more, in the way of interest rate adjustment and targeting inflation, centralbank should construct an accurately forecast to raise their credibility. Last, centraland local government must concern about the improvement of the infrastructurecondition and simplification of regulation which related to business environment.

Keywords : inflation volatility, dynamic panel data, policy and non policyvariables

JEL Classification : E31, F41, O23, O57

Page 4: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

RINGKASAN

ADJI SUBEKTI. Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi.Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan NOER AZAM ACHSANI.

Sejarah mencatat, selama lebih dari 40 tahun Indonesia belum pernahmengalami deflasi untuk periode tahunan. Pasca krisis 1998, terdapat perubahanhaluan politik yang menyebabkan perubahan kondisi ekonomi secara struktural.Tujuan penelitian ini adalah mengkaji variabel kebijakan dan non kebijakan yangmemengaruhi dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi. Metode yangdigunakan dalam metode ini adalah data panel dinamis untuk model spasial dannon spasial. Temuan dari penelitian ini adalah, selama tahun 2000 – 2009,dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi,penyesuaian BI rate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaiangaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1,penetapan UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikanterhadap volatilitas inflasi. Berdasarkan pendekatan model data panel spasialdinamis, inersia inflasi dapat didekomposisi menjadi dua sumber penyebab inflasi,yaitu persistensi dari inflasi masing-masing provinsi dan inflasi yang berasal dariprovinsi lainnya. Selain itu, pendekatan model data panel non spasial dinamismenunjukkan bahwa interaksi antara perbaikan kondisi infrastruktur denganpeningkatan derajat keterbukaan perdagangan secara simultan dapat menurunkanvolatilitas inflasi. Hal ini terkait dengan hasil estimasi dari model ini yang lebihsensitif terhadap shock yang berasal dari perekonomian global dibanding modelspasial. Penelitian ini menyimpulkan selama tahun 2000 – 2009, inflasi lebihdisebabkan oleh sisi penawaran, selain itu, diperoleh bukti bahwa inflasi diIndonesia tidak semata-mata fenomena moneter, tetapi juga merupakan fenomenafiskal. Terkait dengan kesimpulan penelitian ini, dalam penetapan target inflasi,Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah disarankan untuk merancangsistem peramalan target inflasi. Upaya penurunan derajat pass through dapatdilakukan dengan strategi substitusi bahan baku impor, himbauan penggunaanbarang domestik dan kewajiban penggunaan bahan baku yang sebagian besarberasal dari produk lokal untuk perizinan usaha baru. Pemerintah pusat disarankanuntuk melakukan penyesuaian harga BBM secara berkala untuk mengindaridampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi atas kebijakan tersebut danseyogyanya mempertimbangkan besaran penyesuaian gaji pengawai pemerintahkarena dapat menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi. Lebih lanjut,terkait dengan penyesuaian BI rate dan penentuan target inflasi, Bank Indonesiahendaknya membuat peramalan yang cukup akurat guna meningkatkankredibilitasnya. Terakhir, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harusmemperhatikan perbaikan kondisi infrastruktur dan penyederhanaan peraturan-peraturan terkait dengan dunia usaha.

Kata kunci: volatilitas inflasi, data panel dinamis, variabel kebijakan dan nonkebijakan

Klasifikasi JEL : E31, F41, O23, O57

Page 5: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu

masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

tulisdalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 6: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

DINAMIKA INFLASI INDONESIA PADA TATARAN PROVINSI

ADJI SUBEKTI

Tesissebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains padaProgram Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

Page 7: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Dinamika Inflasi Indonesia pada Tataran Provinsi

Nama : Adji Subekti

NRP : H151090114

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua

Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS

Anggota

Diketahui

Ketua Program StudiIlmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian : 25 Juni 2011 Tanggal Lulus :

Page 8: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr. H. R. Dedi Walujadi, MA.

Page 9: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Untuk : Ibu dan Bapak

Istriku Ros

Anak-anakku : Damar, Radit dan Akhtar

Page 10: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atasberkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Topik yangdipilih untuk penelitian ini adalah “Dinamika Inflasi Indonesia pada TataranProvinsi”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. HermantoSiregar, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Noer AzamAchsani, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikanbimbingan, arahan dan banyak masukan dalam menyusun tesis ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada pengelola Program Studi IlmuEkonomi Sekolah Pascasarjana IPB, Bapak Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si danIbu Dr. Ir. Lukytawati Anggraeni, M.Si selaku ketua dan sekretaris program studiyang telah banyak memberi dukungan dan arahan sehingga tugas akhir ini dapatdiselesaikan.

Secara khusus, penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaanyang sebesar-besarnya kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia,Kepala BPS Provinsi Banten dan Kepala Bidang Statistik Distribusi BPS ProvinsiBanten yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkanpendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di SekolahPascasarjana IPB. Demikian juga, terima kasih dan penghargaan untuk semuadosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasamembantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas dan menyelesaikantugas akhir ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada yangtersayang Rosnawiyah, ST (istri penulis), Damar Fatih Mahardhika (anak pertamapenulis), Radityo Hadi Nugraha (anak kedua penulis), Akhtar Rafif Waskita (anakketiga penulis) dan seluruh keluarga besar kami yang telah memberikan kekuatanluar biasa kepada penulis sejak seleksi awal tugas belajar hingga penyelesaiantesis ini.

Akhirnya, besar harapan penulis agar tesis ini memberikan kontribusi bagidunia pendidikan dan proses pembangunan di Indonesia khususnya dalam upayamengendalikan inflasi. Selain itu, tesis ini diharapkan juga dapat bermanfaat bagipembaca.

Bogor, Juni 2011

Penulis,

Adji Subekti

Page 11: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Adji Subekti, lahir pada tanggal 14 Juli 1973 di Jakarta.Penulis anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Soetadi Prawirowiyonodan Ariati Nurprestya Ningsih. Penulis diterima menjadi mahasiswa AkademiIlmu Statistik Jakarta (AIS) pada tahun 1994 dan menyelesaikan pendidikanDIII pada tahun 1997. Setelah selesai pendidikan DIII, penulis sempat bekerja diBPS Provinsi Jawa Barat, namun tidak lama kemudian berpindah tugas di BPSKabupaten Serang Provinsi Jawa Barat.

Setelah bekerja kurang lebih 2 tahun, pada tahun 1999, penulis memperolehkesempatan untuk tugas belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakartadalam rangka menyelesaikan pendidikan DIV. Selesai pendidikan DIV, padatahun 2000 penulis kembali bertugas di BPS Kabupaten Serang tetapi kemudianbukan lagi bagian dari Provinsi Jawa Barat melainkan Provinsi Banten, karenapemekaran wilayah.

Terhitung sejak tahun 2008, penulis beralih tugas dari sebelumnya di BPSKabupaten Serang ke BPS Provinsi Banten. Pada tahun 2009, setelahmenyelesaikan program alih jenjang S1 di Departemen Ilmu Ekonomi FEM,penulis melanjutkan kuliah S2 Magister Ilmu Ekonomi IPB melalui programbeasiswa yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik.

Page 12: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .................................................................................... ivxiiiDAFTAR GAMBAR .................................................................................... iiixivDAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iiiixvDAFTAR ISTILAH ................................................................................... iiixviDAFTAR SINGKATAN ................................................................................ iixvii

I. PENDAHULUAN .................................................................................... 0011.1 Latar Belakang ................................................................................ 0011.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 0111.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 0141.4 Ruang Lingkup................................................................................. 014

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 0172.1 Definisi Inflasi ................................................................................. 0172.2 Inflasi Regional ............................................................................... 0192.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian .............................................. 021

2.3.1 Output Potensial dan Output Gap .......................................... 0252.3.2 Ekspektasi Inflasi ................................................................... 027

2.4 Pendekatan Kurva AD – AS ........................................................... 0302.4.1 Permintaan Agregat ............................................................... 0302.4.2 Penawaran Agregat ................................................................ 0332.4.3 Upah Minimum dan Inflasi .................................................... 0342.4.4 Administred Prices dan Inflasi............................................... 037

2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi .. 0402.6 Infrastruktur dan Inflasi ................................................................... 0432.7 Metode Univariate Detrending ....................................................... 0452.8 Metode Regresi Data Panel ............................................................. 047

2.8.1 Data Panel Statis ................................................................... 0482.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM) ...................................... 0482.8.1.2 Random Effect Model (REM) .................................. 049

2.8.2 Data Panel Dinamis ............................................................... 0492.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial ............................. 050

First-Difference GMM (FD-GMM) ........................ 050System GMM (SYS-GMM) .................................... 052

2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis ..................................... 053Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB) ........... 054Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) ........... 056

2.9 Penelitian Sebelumnya..................................................................... 0582.10 Kerangka Pemikiran Penelitian........................................................ 062

Page 13: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xii

III. METODE PENELITIAN .......................................................................... 0653.1 Metode Analisis.................................................................................. 065

3.1.1 Analisis Deskriptif.................................................................... 0653.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode

Univariate Detrending ............................................................ 0653.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel .................................................... 067

3.1.3.1 Model Data Panel Statis ............................................. 0683.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial..................... 0693.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis............................. 070

3.2 Spesifikasi Model Penelitian ............................................................. 0723.3 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 0783.4 Hipotesis Penelitian ............................................................................ 081

IV. GAMBARAN UMUM.............................................................................. 0834.1 Dinamika Inflasi Regional.................................................................. 0834.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar ............................................. 0894.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI ............................................. 0944.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS ............................................ 0964.5 Struktur Ekonomi Provinsi ................................................................. 098

V. PEMBAHASAN HASIL........................................................................... 1035.1 Penaksiran Output Potensial dan Output Gap .................................... 1035.2 Pengujian Stasioneritas Data .............................................................. 1065.3 Pengujian Kausalitas Granger ............................................................ 1085.4 Hasil Estimasi..................................................................................... 113

5.4.1 Model Dasar ............................................................................. 1135.4.2 Model Penargetan Inflasi.......................................................... 1205.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah ........... 122

5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan ............... 1255.5.1 Peran Inersia Inflasi dan Keterkaitan Secara Spasial

dalam Pembentukan Inflasi...................................................... 1255.5.2 Pengaruh Output Gap terhadap Inflasi ..................................... 1275.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi ..................... 1285.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur ....... 1305.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur ....... 133

5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan OtoritasMoneter .............................................................................................. 1345.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat ............. 1345.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah........... 1365.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter ............................ 1385.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi ......................... 142

5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan .......................................................... 145

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 1496.1 Kesimpulan .................................................................................... 1496.2 Implikasi Kebijakan............................................................................ 1506.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut ............................................................ 154

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 155

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 161

Page 14: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

01. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasitahun 1959-1966................................................................................... 002

02. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasitahun 1990-1998 .................................................................................. 004

03. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009 .......................... 00904. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya ............................................... 05805. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis ............... 08106. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009 ........... 08607. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009 ............................... 08708. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah

untuk Jawa dan Luar Jawa ................................................................... 10109. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah

untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan TimurIndonesia (KTI) .................................................................................. 102

10. Rangkuman hasil pengujian panel unit root ........................................ 10711. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi

dengan beberapa variabel yang diteliti................................................. 10912. Hasil estimasi model data panel non spasial ........................................ 11513. Hasil estimasi model data panel spasial ............................................... 11914. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi...... 12115. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan inflasi

antar wilayah .................................................................................... 12416. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah dengan

penerimaan daerah tahun 2000 – 2009................................................. 13717. Korelasi antara Upah Minimum Provinsi (UMP) riil dengan

tingkat pengangguran tahun 2000 – 2009 ............................................ 13818. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009 .................... 14319. Implikasi kebijakan berdasarkan rumusan hasil penelitian.................. 150

Page 15: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

01.0 Inflasi Indonesia tahun 1958 – 2009 ................................................ 00102.0 Nilai tukar nominal (rupiah/US $) dan inflasi year on year (%) ..... 00503.0 Upah minimum provinsi riil 5 provinsi di Indonesia....................... 00604.0 Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam

kurva Phillips versi NKPC............................................................... 02405.0 Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan

kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi .............................. 03206.0 Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan

harga BBM .................................................................................... 03907. Kerangka pemikiran penelitian ........................................................ 06308. Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009.................... 08409. Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1)

tahun 2003 – 2009............................................................................ 08910. Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsi

tahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah) ........................................ 09211. Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukar

tahun 2000 – 2009............................................................................ 09412. Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009 ......... 09613. Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsi

tahun 2000 – 2009............................................................................ 09914. Output aktual dan output potensial menurut provinsi

tahun 1999 – 2009 (dalam triliun rupiah) ....................................... 10415. Perkembangan impor menurut penggunaan barang

tahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$) .................................... 12916. Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate ................. 140

Page 16: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6 ..... 1612. Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan

Beberapa Variabel yang Diteliti Program Eviews v6 ................... 1723. Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis

Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB)................. 1734. Scripts Input dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis

dan Dinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial denganProgram STATA v.10 ................................................................... 175

Page 17: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xvi

DAFTAR ISTILAH

administred prices : barang-barang yang harganya ditentukan olehperaturan pemerintah

backward looking : perilaku ekspektasi yang cenderung memperhatikankondisi sebelumnya

BI rate : suku bunga acuan dari Bank Indonesiacontinuum : rangkaian urutan nilai parameterdetrending : penghalusan tren dari data runtun waktudriving force variable : variabel utama yang memengaruhi variabel tidak bebasfiat money : uang unjuk nilai, yaitu nilai nominal uang yang tertera

pada mata uang yang digunakan pada suatu negarafirst differencing : pembedaan pertamadownward biased : bias ke bawah, artinya nilai estimasi yang dihasilkan

cenderung lebih rendah dibanding nilai parametersebenarnya

forward looking : perilaku ekspektasi yang cenderung meramalkanbagaimana kondisi ke depan

money growth : pertumbuhan uangmoney supply : penawaran uangoutput gap : kesenjangan output, yaitu deviasi dari output aktual

terhadap kondisi potensialnyapass through : atau exchange rate pass through (ERPT) adalah

dampak pergerakan nilai tukar terhadap volatilitasinflasi

persistence : persistensi, yaitu ada dan berlangsung terus-meneruskarena tidak mudah untuk dikendalikan

predetermine variable : variabel yang nilai ditentukan terlebih dahulu dalammodel namun tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya

price rigidity : kekakuan hargaprice setter : pihak-pihak yang menentukan besarnya hargarobustness : kekuatan/keteguhan/ketegaran yang sulit dibantahkanshock : guncangan yang terjadi akibat adanya suatu perubahanspatial error : model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari

galat secara spasialspatial lag : model spasial yang difokuskan pada keterkaitan dari

variabel tidak bebas secara spasialspillover : dampak limpahan atau imbasspurious regression : regresi yang dibangun atas hubungan semu atau

hubungan yang sebenarnya terjadi sehingga hasilnyabisa menimbulkan kesalahan interpretasi

trade openness : derajat keterbukaan perdaganganvolatile : terus-menerus bergejolakwage setter : pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam

menetapkan besarnya upah

Page 18: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

xvii

DAFTAR SINGKATAN

AD – AS : aggregate demand – aggregate supply

ADF – Fisher test : augmented Dickey–Fuller – Fisher testBBM : bahan bakar minyakERPT : exchange rate pass through

FD-GMM : first-difference GMMFEM : fixed effect model

GLS : generalize least squared

GMM : generalized method of moments

HP-filter : Hodrick-Prescott (HP) filterIHK : indeks harga konsumenIPS test : Im, Pesaran and Shin testIRIO : inter-regional input-output

IHK : indeks harga konsumenITF : inflation targeting framework

KBI : Kawasan Barat IndonesiaKTI : Kawasan Timur IndonesiaLLC test : Levin, Lin and Chu test

NAIRU : non-accelerating inflation rate of unemployment

NKPC : New Keynesian Phillips Curve

OLS : ordinary least squared

PDRB : Produk Domestik Regional BrutoPLS : pooled least squared

PNS : pegawai negeri sipilPP – Fisher test : Phillips–Perron – Fisher test

REM : random effect model

SAB : spatially Arellano-BondSBB : spatially Blundell-BondSYS-GMM : system GMMUMP : upah minimum provinsi

Page 19: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 20: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejarah mencatat, lebih dari empat dasawarsa Indonesia belum pernah

mengalami deflasi untuk periode tahunan, artinya sepanjang kurun waktu tersebut,

setiap tahun terjadi inflasi secara terus-menerus. Fakta sejarah juga menunjukkan

bahwa jatuhnya dua rezim yang telah lama berkuasa di Indonesia yaitu Rezim

Orde Lama dan Rezim Orde Baru bersamaan dengan saat terjadinya inflasi yang

cukup tinggi, masing-masing pada tahun 1966 dan tahun 1998 (BPS). Inflasi pada

tahun 1966 merupakan inflasi dengan tiga digit tertinggi pada era tahun 1960-an,

sementara di era tahun 1990-an inflasi tahun 1998 adalah inflasi dengan dua digit

tertinggi.

Sumber : Badan Pusat Statistik

Gambar 1. Inflasi Indonesia Tahun 1958 – 2009.

Saat Orde Lama jatuh, yaitu pada tahun 1966, inflasi tercatat mencapai

636% dan secara bersamaan jumlah uang beredar (M1) menunjukkan peningkatan

lebih dari 90% dalam lima tahun terakhir sebelum kejatuhan rezim tersebut

(Tabel 1). Peningkatan M1 tersebut merupakan konsekuensi dari instabilitas

politik dalam negeri Indonesia yang diwarnai oleh banyaknya pemberontakan,

serta kebijakan politik luar negeri Indonesia yang cenderung berkiblat pada blok

Page 21: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

2

timur sehingga Indonesia kesulitan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri

(Tambunan, 2009). Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya konfrontasi dengan

Malaysia dan operasi Trikora dalam rangka membebaskan Irian Barat serta

pembangunan proyek-proyek “mercu suar”. Akibatnya, pemerintah kemudian

melakukan kebijakan untuk mencetak uang untuk membiayai semuanya termasuk

juga membiayai pembangunan dalam negeri. Secara umum, penyebab utama dari

hiperinflasi yang terjadi pada masa Orde Lama adalah anggaran belanja

pemerintah yang tidak berimbang yang dipicu oleh neraca perdagangan yang

negatif, hutang luar negeri yang cukup besar, tertutupnya akses untuk memperoleh

pinjaman luar negeri sehingga segala kegiatan yang melibatkan peran pemerintah

sebagian besar terpaksa harus dibiayai dengan pencetakan uang.

Tabel 1. Jumlah uang beredar (dalam jutaan rupiah) dan inflasi tahun 19591966

Tahun M1Pertumbuhan M1

(%)Inflasi

(%)

1958 29 - 46

1959 35 18,78 22

1960 48 37,13 38

1961 68 41,40 27

1962 136 100,89 174

1963 263 93,79 119

1964 675 156,34 135

1965 2.713.688 301.965,18 594

1966 5.164.552 90,31 636

Sumber : Bank Indonesia – Sejarah Moneter Periode 1959-1966

Akibat lebih lanjut dari jatuhnya rezim Orde Lama adalah perekonomian

Indonesia di bawah rezim baru cenderung lebih liberal dan lebih terbuka terhadap

perekonomian luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari beberapa produk peraturan

perundang-undangan yang berusaha menstimulasi sektor swasta untuk masuk ke

sektor-sektor strategis, termasuk juga berusaha untuk menarik penanaman modal

asing (Tambunan, 2009). Melalui perubahan sistim politik tersebut maka

dimulailah pinjaman luar baik yang bersifat bilateral maupun melalui pinjaman

multilateral untuk membiayai proyek-proyek strategis, mengingat pada rezim

sebelumnya banyak infrastruktur ekonomi yang terbengkelai pada awal rezim ini.

Guna mengejar banyak ketertinggalan di bidang ekonomi, paradigma

pembangunan Orde Baru, selain diarahkan untuk mendorong pertumbuhan

Page 22: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

3

ekonomi yang tinggi dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya juga

berusaha untuk menjaga stabilitas nasional yang mantap dan dinamis dalam

bidang politik dan ekonomi sebagaimana yang tertuang dalam Trilogi

Pembangunan. Dalam praktiknya, upaya menjaga stabilitas nasional tersebut

termasuk juga melakukan stabilisasi harga guna menurunkan inflasi. Nampaknya,

kesadaran dari rezim ini akan bahaya akan inflasi yang merupakan “hantu

perekonomian” yang menakutkan disebutkan secara implisit sebagai salah satu

tujuan dari langkah strategis dalam pembangunan.

Tak dapat dipungkiri, Orde Baru memberikan perubahan yang signifikan

dalam proses pembangunan Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi

dan peningkatan pendapatan per kapita yang cukup tinggi. Ibarat pepatah, “tak ada

gading yang tak retak”, karena dengan membuat perekonomian Indonesia lebih

terbuka membuat guncangan yang berasal dari luar negeri akan berpengaruh

secara signifikan terhadap perekonomian di dalam negeri. Tingkat ketergantungan

impor yang tinggi dan ketergantungan atas pinjaman luar negeri termasuk

penanaman modal asing membuat perekonomian Indonesia semakin rapuh

terhadap guncangan dari luar negeri. Terbukti ketika terjadi krisis mata uang Asia,

dalam hitungan bulan perekonomian Indonesia memasuki fase krisis yang cukup

parah. Akibat inflasi yang demikian tinggi ditambah rupiah yang terdepresiasi

demikian hebat, penanggulangan krisis tersebut diperkirakan mencapai 50% dari

besarnya GDP (Mishkin, 2004).

Selanjutnya, kejatuhan Orde Baru pada tahun 1998 diawali oleh krisis

mata uang Asia yang sesungguhnya merupakan shock yang berasal dari luar

negeri. Krisis tersebut kemudian dengan cepat menjalar ke sektor riil sehingga

membuat perekonomian Indonesia memasuki fase krisis ekonomi dan

menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang negatif yaitu 13,13% (BPS). Selama

fase krisis ekonomi tersebut tercatat inflasi mencapai 77,63% dan di saat yang

sama terjadi penambahan jumlah uang beredar (dalam arti luas/M2) sebesar

62,28% (Tabel 2). Meski inflasi pada tahun 1998 tidak sebesar tahun 1966, namun

tingkat inflasi tersebut merupakan inflasi tertinggi sejak rezim Orde Baru mulai

melakukan upaya stabilisasi inflasi pada tahun 1970-an. Adanya penambahan

jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) nampaknya merupakan konsekuensi

Page 23: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

4

logis karena Bank Indonesia berusaha melakukan stabilisasi nilai tukar terhadap

dolar AS yang terdepresiasi demikian hebat, mengingat pada periode tersebut

Indonesia masih menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Akibat

menipisnya cadangan luar negeri karena harus terus-menerus melakukan

intervensi dalam stabilisasi rupiah terhadap dolar AS, diduga pihak otoritas

moneter meningkatkan base money (McLeod, 2003 dalam Ito dan Sato, 2006).

Melihat dua kondisi Indonesia tersebut, agaknya pendapat Prof. Friedman

(Mankiw, 2007) mengenai inflasi merupakan sebuah fenomena moneter kapan

saja dan dimana saja sepertinya benar.

Tabel 2. Jumlah uang beredar (dalam miliar rupiah) dan inflasi tahun 19901998

Tahun M1Pertumbuhan M1

(%)M2

Pertumbuhan M2(%)

Inflasi(%)

1990 23,82 - 84,63 - 9,94

1991 26,34 10,58 99,06 17,05 9,93

1992 28,78 9,26 119,05 20,18 5,04

1993 36,81 27,90 145,20 21,97 10,18

1994 45,37 23,25 174,51 20,19 9,64

1995 53,22 17,30 222,64 27,58 8,97

1996 64,09 20,42 288,63 29,64 6,65

1997 78,34 22,24 355,64 23,22 11,05

1998 101,20 29,17 577,15 62,28 77,63

Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Pasca krisis ekonomi tahun 1998, terjadi perubahan sistem nilai tukar dari

sebelumnya menganut sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) menjadi nilai

tukar fleksibel (flexible exchange rate) pada tahun 1999, melalui pemberlakukan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pengertian nilai

tukar fleksibel bagi Indonesia ini bukan berarti nilai tukar sepenuhnya diserahkan

ke pasar, tetapi otoritas moneter juga ikut campur tangan dalam rangka stabilisasi

nilai tukar terhadap valuta asing dan pada gilirannya akan membantu stabilitas

inflasi. Upaya stabilisasi nilai tukar tersebut terkesan lambat karena membutuhkan

sekitar empat tahun setelah dilakukan perubahan sistem tersebut, nilai tukar riil

Indonesia hampir sama dengan nilai tukar riil negara tetangga, seperti Malaysia,

Singapura, dan Thailand, masing-masing terhadap dolar AS, sementara tiga

negara lainnya telah mencapai nilai tukar riil yang cukup stabil sejak tahun 2000

(Ito dan Sato, 2006). Hal lain yang bisa dilihat adalah meski telah dilakukan upaya

Page 24: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

5

stabilisasi nilai tukar sejak tahun 1999, namun nilai tukar nominal tidak pernah

kembali ke level semula, yaitu kondisi sebelum krisis. Bahkan, adanya perubahan

sistem ini menyebabkan nilai tukar rupiah dan inflasi menjadi lebih volatile

(Prasertnukul et al., 2010).

Sumber : Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik

Gambar 2. nilai tukar nominal (rupiah/US$) dan inflasi year on year (%).

Perubahan lainnya yang cukup mendasar pasca krisis ekonomi tahun 1998

adalah dimulainya era otonomi daerah sejak tahun 2001 yang membawa

konsekuensi tidak saja pada desentralisasi politik dan administrasi, tetapi

termasuk desentralisasi fiskal. Implikasi dari kebijakan desentralisasi fiskal ini

adalah pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali sumber-sumber

pendapatan, termasuk meminjam dari luar negeri, disamping kewenangan untuk

menentukan belanja rutin dan belanja investasi. Kebijakan ini diharapkan dapat

meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya daerah sehingga idealnya akan

mendorong daya saing daerah yang akan berujung pada peningkatan kesejahteraan

daerah. Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengatur keuangannya di sisi lain,

menimbulkan kekhawatiran akan munculnya egoisme lokal yang akan

berpengaruh buruk pada stabilitas makro ekonomi pada tingkat nasional.

Page 25: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

6

Salah satu implikasi dari pemberlakukan otonomi daerah adalah

mekanisme penetapan besarnya upah minimum regional (UMR) pada tingkat

provinsi atau dikenal dengan istilah upah minimum provinsi (UMP) yang

sebelumnya menganut sistem sentralisasi, sejak tahun 2001 menggunakan sistem

desentralisasi. Sebelum terjadinya perubahan mekanisme tersebut, sampai dengan

tahun 2000, ketika Indonesia terserang krisis ekonomi pada tahun 1998, upah

minimum riil mengalami penurunan dibanding sebelum krisis. Periode setelahnya,

yaitu ketika mekanisme penentuan upah minimun dilakukan dengan sistem

desentralisasi, upah minimum provinsi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi,

bahkan besarannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan, kecuali untuk

Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur (Gambar 3).

0

50.000

100.000

150.000

200.000

250.000

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumatera Utara DKI Jakarta Jawa BaratJawa Timur Sulawesi Selatan

Sumber : Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (data diolah)

Gambar 3. Upah Minimum Provinsi riil 5 provinsi di Indonesia.

Bersamaan dengan kenaikan upah minimum riil pada tingkat provinsi

tersebut, pemerintah juga melakukan penyesuaian besarnya gaji untuk PNS

termasuk TNI dan Polri secara bertahap dalam kurun waktu 10 terakhir. Salah satu

alasan pemerintah menaikkan gaji pegawainya adalah untuk menjaga daya beli

dari aparat pemerintah tersebut agar gaji yang diterima setiap bulan tidak tergerus

oleh inflasi, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi 1998. Kebijakan ini tidak

hanya menaikkan pengeluaran belanja pemerintah secara nominal, lebih jauh lagi,

Page 26: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

7

kabar yang tentang kenaikan gaji pegawai pemerintah diterima oleh kalangan

dunia bisnis dari pengumuman presiden melalui berbagai media massa memicu

terjadinya kenaikan harga pada beberapa bulan mendatang, bahkan sebelum

kebijakan tersebut dilaksanakan beberapa harga kebutuhan pokok mulai

merangkak naik. Pengumuman mengenai kenaikan gaji pegawai pemerintah

tersebut diyakini akan memunculkan sentimen pasar melalui ekspektasi mengenai

inflasi di tahun mendatang.

Sejalan dengan perubahan mendasar pasca krisis, perekonomian Indonesia

kian terintegrasi dengan perekonomian global. Setidaknya beberapa perjanjian

mengenai pasar bebas dalam skala regional seperti AFTA dan perjanjian pasar

bebas antara ASEAN dengan China, Australia-Selandian Baru, Jepang, India,

Korea Selatan dan Amerika Serikat kurun waktu tahun 2002 – 2006, kian

memperjelas kondisi tersebut. Dalam perjanjian pasar bebas tersebut, wacana

penting yang dimunculkan adalah pengurangan atau bahkan penghapusan tarif

masuk yang menjadi salah satu penghalang terselenggaranya pasar bebas.

Berkurangnya atau dengan dihapuskannya penghalang tersebut, di satu sisi,

diharapkan konsumen domestik akan menikmati berbagai macam komoditas

untuk memenuhi kebutuhannya, yang tidak hanya berasal dari produk domestik

tetapi juga produk impor dengan harga bersaing. Di sisi lain, dengan pasar bebas

akan menyebabkan pendapatan pemerintah dari pajak impor akan berkurang dan

di saat yang sama perekonomian domestik akan semakin terbuka dan terintegrasi

dengan perekonomian global. Jika fondasi perekonomian Indonesia tidak cukup

kuat, hal ini tentu akan memberi pengaruh buruk pada perekonomian domestik

karena akan membuat tingkat ketergantungan yang tinggi atas perekonomian

global.

Perkembangan selanjutnya adalah untuk mengejar pertumbuhan ekonomi

yang berkualitas sebagaimana paradigma pembangunan dari pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yodoyono (SBY), dalam lima tahun terakhir, tercatat

peningkatan belanja APBN yang cukup tinggi, yaitu sebesar Rp. 509,63 triliun

pada tahun 2005 menjadi Rp. 1.005,67 triliun pada tahun 2009. Peningkatan

belanja APBN yang demikian tinggi ini ternyata tidak lepas dari masalah, karena

setidaknya ketika terjadi guncangan harga minyak dunia (oil price shock),

Page 27: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

8

pemerintah terpaksa harus menaikkan harga BBM dan menyusul menaikkan tarif

dasar listrik (TDL) yang notebenenya merupakan administred prices guna

mengurangi subsidi energi yang menjadi beban berat APBN, mengingat dalam

beberapa tahun terakhir menganut sistem anggaran belanja tidak berimbang

(imbalanced budgeting) dan selisih antara anggaran pendapatan dan belanja

tersebut cenderung meningkat. Demi menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah

menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) dalam bentuk obligasi pemerintah untuk

hutang negara yang berasal dari dalam negeri dan mengupayakan pinjaman luar

negeri baik yang berasal dari pinjaman bilateral maupun pinjaman multilateral,

karena pemerintah memiliki kendala anggaran, baik untuk penyelenggaran negara

maupun untuk keperluan pembangunan.

Bersamaan dengan perubahan sistem APBN, pihak otoritas moneter secara

efektif mulai memberlakukan secara penuh kerangka kerja penargetan inflasi

(inflation targeting framework/ITF) pada tahun 2005 berdasarkan amanat

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. ITF merupakan

suatu kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada

publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode

(tahun) ke depan. Terkait dengan pengumuman mengenai target inflasi yang akan

dicapai tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa tingkat inflasi yang rendah dan

stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Meski demikian tidak

berarti dengan single objective tersebut, ITF tidak mempertimbangkan

pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan perkembangan ekonomi secara

keseluruhan, tetapi sebaliknya inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang,

diyakini akan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan

(sustainable growth). Sejalan dengan tanggung jawab BI dalam melakukan

stabilisasi inflasi sesuai dengan amanat UU tersebut, dilakukan pula stabilisasi

nilai tukar rupiah terhadap valuta asing.

Terkait dengan upaya stabilisasi inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap

valuta asing dan mendukung terciptanya pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan, selambat-lambatnya setiap tiga bulan sekali, melalui Rapat Dewan

Gubernur, Bank Indonesia menetapkan besarnya suku bunga acuan (BI rate).

Tujuan penetapan BI rate ini tidak hanya memberi sinyal kepada pasar tentang

Page 28: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

9

kondisi perekonomian secara umum, namun juga untuk memengaruhi ekspektasi

masyarakat mengenai tingkat inflasi pada periode mendatang, termasuk

memengaruhi variabel makro ekonomi lainnya, yang pada akhirnya akan

memengaruhi besarnya inflasi melalui beberapa jalur mekanisme transmisi.

Berbagai kebijakan maupun variabel non kebijakan tersebut direspon

dengan tingkat inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah di Indonesia, artinya

kebijakan yang sama di tingkat nasional seperti penyesuaian gaji pegawai

pemerintah, penyesuaian harga BBM maupun berbagai kebijakan moneter yang

bersifat sentralistik, memiliki dampak inflasi yang berbeda-beda pada tiap daerah

atau provinsi. Ketika terjadi krisis finansial global pada tahun 2008 misalnya,

inflasi di Indonesia cukup bervariasi dengan rata-rata inflasi 12,11%; sementara

inflasi tertinggi dan terendah sebesar masing-masing 20,51% dan 6,96%.

Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga BBM pada awal tahun 2009, tercatat

inflasi rata-rata 3,33%, dengan inflasi tertinggi dan terendah masing-masing

sebesar 7,52% dan 0,80% pada tahun 2009.

Tabel 3. Perbandingan inflasi antar pulau tahun 2008 – 2009

TahunPulau /

Kelompok PulauRata-rata Maksimum Minimum

StandarDeviasi

2008 Jawa

• dengan DKI 11,05 14,20 6,96 1,84• tanpa DKI 11,04 14,20 6,96 1,88Luar Jawa 12,08 20,51 6,96 2,87• Sumatra 12,20 18,40 8,39 2,46• Kalimantan 12,48 19,85 8,89 3,20• Sulawesi 12,58 17,58 9,20 2,77• Lainnya 13,69 20,51 9,25 3,97

INDONESIA 12,11 20,51 6,96 2,76

2009 Jawa

• dengan DKI 3,17 5,83 1,30 0,97• tanpa DKI 3,21 5,83 1,30 0,98Luar Jawa 3,64 7,52 1,15 1,55• Sumatra 2,38 4,18 0,80 0,92• Kalimantan 3,63 7,21 1,15 1,94• Sulawesi 3,83 6,84 1,40 1,82• Lainnya 4,57 7,52 1,92 1,83

INDONESIA 3,33 7,52 0,80 1,52

Sumber : BPS (diolah)

Bervariasinya inflasi di Indonesia juga dapat dilihat menurut perbandingan

antar pulau, yaitu dengan rata-rata dan variasi inflasi di Jawa cenderung lebih

rendah dibanding luar Jawa, kecuali dibanding Sumatra untuk tahun 2009. Selain

Page 29: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

10

perbandingan tersebut, dapat dilihat pula pada Tabel 3, ketika inflasi cukup tinggi,

yaitu tahun 2008, maka variasi inflasi dalam setiap pulau atau kelompok pulau

juga cukup tinggi, sebaliknya ketika inflasi cukup rendah pada tahun 2009, variasi

inflasi dalam setiap pulau ikut menjadi rendah.

Salah satu langkah proaktif dari Bank Indonesia terkait dengan ITF adalah

pembentukan tim pengendali inflasi daerah dengan alasan bahwa inflasi daerah

memengaruhi 78% inflasi nasional. Tim ini dibentuk untuk mengendalikan inflasi

yang berasal dari gangguan penawaran barang yang juga disebut dengan inflasi

non inti, sementara BI sebagai otoritas moneter hanya dapat memengaruhi inflasi

inti saja1. Pembentukan tim ini sepertinya adalah salah satu bentuk kesadaran akan

bervariasinya tekanan inflasi antar daerah mengingat inflasi nasional merupakan

indeks gabungan yang disusun berdasarkan inflasi daerah. Disamping itu,

pembentukan tim pengendali inflasi daerah oleh BI ini agaknya sejalan dengan

hasil kajian yang dilakukan Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi

di Indonesia yang menyatakan bahwa gangguan dari sisi penawaran lebih

dominan dalam memengaruhi perkembangan inflasi dibanding gangguan dari sisi

permintaan.

Bervariasinya tekanan inflasi antar daerah yang didominasi berasal dari

sisi penawaran ini tentu terkait dengan kondisi Indonesia sebagai negara

kepulauan terbesar di dunia dengan perbedaan karakteristik antar wilayah atau

antar provinsi, seperti struktur ekonomi. Perbedaan struktur ini tidak serta-merta

terjadi karena tentunya dipengaruhi oleh faktor endogen yang mencerminkan

adanya kekuatan dari faktor endowment dari wilayah tersebut dan faktor eksogen

yang cenderung berasal dari luar wilayah. Kepemilikan faktor endogen dan

eksogen tersebut merupakan determinan dalam menciptakan output yang

potensial. Akibat adanya keterbatasan atau kelimpahan sumber daya, suatu

wilayah belum bisa mencapai kondisi potensialnya atau bisa melampauinya.

Adanya perbedaan karakteristik antar provinsi dalam lingkup satu negara

yang kemudian menyebabkan perbedaan tingkat harga dan bervariasinya tingkat

inflasi tidak berarti masing-masing provinsi ini saling bebas terpengaruh satu

dengan lainnya. Adanya kedekatan secara geografis atau secara spasial dan

1 Koran Tempo, 12 April 2010, halaman 1.

Page 30: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

11

kedekatan secara ekonomi (spatial and economic proximity) antar provinsi

memungkinkan terjadinya spillover antar provinsi, yaitu melalui transfer

pengetahuan dan penyebaran inovasi dan informasi atau melalui kebijakan yang

diterapkan di satu provinsi yang dampaknya terasa sampai dengan wilayah lain

sekitarnya. Secara empiris, penelitian Wimanda (2006) mengenai inflasi regional

menyatakan bukti terjadinya keterkaitan inflasi antar provinsi.

1.2 Perumusan Masalah

Mengingat banyaknya faktor yang mungkin akan memengaruhi inflasi di

Indonesia, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, seperti pengaruh dari

faktor moneter atau non monenter, tentu tidak mudah untuk menjelaskan perilaku

inflasi berdasarkan salah satu pendekatan saja. Hal inilah yang kemudian

mendasari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana perilaku inflasi di Indonesia

dengan berbagai pendekatan, baik merujuk pada landasan teoritis yang sudah baku

maupun mengacu pada beberapa kajian empiris yang telah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya. Dari berbagai pendekatan tersebut, diharapkan gambaran

menyeluruh tentang perilaku inflasi akan terlihat dengan lebih jelas.

Berbagai studi mengenai perilaku inflasi telah banyak dilakukan di banyak

negara dimana umumnya menggunakan pendekatan ekonometrik untuk melihat

faktor-faktor yang memengaruhi inflasi dan seberapa besar dari pengaruhnya

terhadap inflasi. Terkait dengan penelitian di Indonesia, setidaknya terdapat

penelitian mengenai inflasi yang telah dilakukan oleh Solikin (2004, 2007) yang

mengangkat masalah keberadaan kurva Phillips dan karakteristik tekanan inflasi

di Indonesia. Beberapa penelitian tersebut dibatasi hanya melihat inflasi Indonesia

pada level nasional saja dan tidak banyak yang melihat dinamika inflasi dalam

perspektif regional, yaitu antar provinsi.

Penelitian mengenai inflasi dalam perspektif regional dan terkait dengan

Indonesia dilakukan oleh Habermeier et al. (2009) yang meneliti tentang tekanan

inflasi dan opsi kebijakan moneter dalam perspektif antar regional dengan studi

kasus emerging and developing countries. Penelitian lainnya mengenai bagaimana

pergerakan nilai tukar memengaruhi tingkat inflasi di beberapa negara Asia yang

terkena dampak krisis mata uang Asia demikian parah yaitu Indonesia, Filipina,

Korea Selatan dan Thailand. Sayangnya, penelitian mengenai inflasi ini juga

Page 31: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

12

masih pada level agregat dan tidak menjelaskan dinamika inflasi antar provinsi di

Indonesia, hanya menjelaskan keterbandingan antar negara atau kelompok negara

(Prasertnukul et al., 2010). Penelitian khusus mengenai dinamika inflasi antar

provinsi salah satunya dilaksanakan di China untuk melihat bagaimana proses

terjadinya perbedaan dalam pembentukan inflasi antar provinsi di negara yang

mengalami perubahan sistem ekonomi tersebut (Mehrotra et al., 2007). Kajian

lainnya mengenai inflasi regional dilakukan oleh Wimanda (2006) dengan tujuan

untuk mengetahui karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional, yaitu

pada tataran provinsi.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, dinamika inflasi coba dijelaskan

dengan hubungan kurva Phillips, namun model yang digunakan bukan model

tradisional yang menyatakan adanya trade off antara inflasi dan tingkat

pengangguran melainkan menggunakan model New Keynesian Phillips Curve

(NKPC) yang menunjukkan terjadinya tarik ulur antara inflasi dan kesenjangan

output. Kesenjangan output tersebut didefinisikan sebagai perbedaan antara output

aktual dan output potensial. Sebelumnya, penganut paham Real Business Cycle

(RBC) juga menggunakan pendekatan kesenjangan output namun dengan asumsi

flexible price. Sementara model hubungan kurva Phillips NKPC diperkenalkan

oleh penganut New Keynesian untuk menjawab adanya rigiditas harga dan upah

yang terjadi di dunia nyata, mengingat adanya guncangan pada sisi permintaan

atau penawaran tidak serta merta direspon secara langsung oleh price setter atau

wage setter (Romer, 2006). Kondisi ini setidaknya mirip dengan keadaan di

Indonesia dimana terdapat beberapa komoditi yang penentuan harganya diatur

oleh pemerintah (administred prices).

Selain administred prices, kontrak upah juga sering mengacu pada regulasi

tingkat upah minimum regional yang disahkan oleh pemerintah daerah sehingga

besarnya upah cenderung tidak berubah dalam kurun waktu setahun misalnya.

Implikasinya baik harga maupun tingkat upah cenderung mengikuti teori dari

Calvo mengenai stagerring prices and wages, yaitu dalam jangka pendek uang

tidak bersifat netral, karena terjadi rigiditas baik harga maupun upah (Solikin dan

Sugema, 2004). Penelitian mengenai keberadaan kurva Phillips di Indonesia

dilakukan oleh Solikin (2004) menyatakan bahwa untuk level nasional, kurva

Page 32: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

13

tersebut memang eksis dan berubah sering dengan perubahan struktur

perekonomian di Indonesia.

Selain dijelaskan dengan kurva Phillips, penelitian mengenai perilaku

inflasi berdasarkan karakteristik sumber tekanan terhadap inflasi juga sering

dilakukan dengan pendekatan strukural VAR (SVAR). Melalui pendekatan ini,

sumber-sumber tekanan terhadap inflasi didekomposisi menjadi beberapa jalur

transmisi berdasarkan landasan teori mengenai faktor-faktor yang memengaruhi

harga secara agregat. Jalur transmisi utama yang memengaruhi perubahan harga

secara agregat atau menyebabkan inflasi dibedakan menjadi dua kelompok besar,

yaitu berasal dari guncangan dari sisi permintaan dan dari sisi penawaran.

Pendekatan SVAR yang digunakan ini pertama kali dikenalkan oleh Bayoumi dan

Eichengreen (1992) dengan pendekatan bivariate SVAR. Melalui pendekatan

sederhana ini, kedua peneliti tersebut dapat menjelaskan bagaimana pengaruh

guncangan menurut sumbernya terhadap harga dan output.

Setelah era Bayoumi dan Eichengreen (1992), penggunaan SVAR untuk

meneliti pengaruh guncangan dari sisi permintaan dan sisi penawaran terhadap

harga dan output terus berkembang dengan tidak hanya terbatas menggunakan dua

variabel saja. Adapun sumber guncangan yaitu dari sisi permintaan dan sisi

penawaran kemudian didekomposisi menjadi beberapa variabel untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh dari setiap variabel masing-masing terhadap harga dan

output. Penelitian Solikin (2007) mengenai karakteristik tekanan inflasi di

Indonesia dengan pendekatan SVAR dengan menggunakan lima variabel

berdasarkan dekomposisi Cholesky menyatakan bahwa pengaruh guncangan dari

sisi penawaran lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibanding guncangan

dari sisi permintaan.

Penjelasan mengenai pengaruh suatu variabel tertentu terhadap inflasi

lebih lanjut seperti exchange rate pass-through (ERPT), dilakukan dengan

melakukan perluasan dari model kurva Phillips seperti dilakukan oleh Campa dan

Goldberg (2002); Edwards (2006); Prasertnukul et al. (2010) dan Beirne (2009).

Penelitian lainnya dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh suatu variabel atau

beberapa variabel terhadap inflasi tanpa menggunakan kurva Phillips setidaknya

dilakukan Al-Nasser et al. (2009) dan Kwon et al. (2009).

Page 33: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

14

Merunut dari penjelasan sebelumnya, meski terlihat adanya keterkaitan

yang kuat dengan jumlah uang beredar terutama pada saat inflasi cukup tinggi,

namun hal tersebut bukan berarti inflasi adalah murni sebagai sebagai fenomena

moneter. Pendapat ini tentunya dilandasi atas kenyataan dari paparan sebelumnya

bahwa sektor riil diduga juga ikut berperan dalam memicu terjadinya inflasi,

sebagai konsekuensi terjadinya perbedaan struktur ekonomi antar daerah. Oleh

karenanya, akan menjadi kajian yang menarik untuk melihat penyebab inflasi,

tidak hanya dari sisi moneter saja tetapi juga dari sudut pandang sektor riil.

khususnya pada level provinsi. Selanjutnya, kedua sisi tersebut pada prinsipnya

dapat dipilah menjadi variabel-variabel kebijakan dan non kebijakan yang

berpengaruh terhadap pembentukan inflasi. Kajian ini akan lebih menarik jika

dilakukan pada level provinsi, mengingat masih sedikit sekali penelitian tentang

inflasi pada tataran provinsi di Indonesia, terlebih dilakukan dengan berbagai

pendekatan, seperti pendekatan variabel kebijakan dan non kebijakan.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang menjadi dasar penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output

gap, pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan

keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaruh variabel-variabel kebijakan yang dilakukan pemerintah

dan otoritas moneter terhadap inflasi di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengkaji pengaruh variabel non kebijakan seperti inflasi inersia, output gap,

pergerakan nilai tukar dolar AS, pengaruh kondisi infrastruktur dan

keterbukaan perdagangan terhadap inflasi di Indonesia.

2. Mengkaji pengaruh kebijakan yang dilakukan pemerintah dan otoritas

moneter terhadap inflasi di Indonesia.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian meliputi empat hal. Pertama, memberikan

gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia dengan analisis deskriptif.

Page 34: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

15

Kedua, mengkaji pengaruh dari faktor-faktor non kebijakan terhadap inflasi.

Ketiga, mengkaji pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dan

otoritas moneter terhadap inflasi. Keempat, memberikan rumusan kebijakan

terkait dengan implikasi dari hasil penelitian.

Dalam penelitian ini cakupan yang dianalisis adalah seluruh provinsi di

Indonesia kecuali beberapa provinsi baru seperti Banten, Kepulauan Riau,

Bangka-Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara, dan Papua Barat. Hal

ini dikarenakan keenam provinsi tersebut baru terbentuk setelah tahun 2000,

sementara periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 1999 – 2009.

Mengingat adanya keterbatasan data, maka untuk provinsi-provinsi yang

mengalami pemekaran tersebut, maka dilakukan agregasi ke provinsi induknya.

Provinsi Banten diagregasi dengan Provinsi Jawa Barat, Bangka-Belitung dengan

Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dengan Riau, Gorontalo dengan Sulawesi Utara,

Sulawesi Barat dengan Sulawesi Selatan, Maluku Utara dengan Maluku dan

Papua Barat dengan Provinsi Irian Jaya (Papua). Adapun jumlah provinsi yang

menjadi cakupan analisis dalam penelitian ini adalah 26 provinsi.

Page 35: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 36: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Inflasi

Inflasi adalah gejala peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam

perekonomian secara terus-menerus. Secara ringkas, inflasi dapat diartikan

sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat harga (Blanchard, 2004). Pengertian

umum mengenai inflasi yang telah banyak diterima ini sesungguhnya mengacu

pada definisi yang diberikan oleh Milton Friedman (1963, dalam Roger, 1998),

yang menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan pada tingkat harga umum yang

steady dan terus-menerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara

steady inflation, yaitu inflasi yang didorongan kenaikan harga yang relatif konstan

dan intermitten inflation atau transient inflation. Perbedaan penting dari definisi

Friedman adalah unsur yang persisten atau steady dari inflasi terkait dengan

masalah ekspektasi dari inflasi itu sendiri, sementara transient inflation

disebabkan oleh kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum

tersebut terdapat tiga aspek penting, yaitu :

1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun waktu

tertentu, harga-harga menunjukkan tren atau tendensi yang meningkat.

2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus (sustained), artinya dari

waktu ke waktu mengalami peningkatan.

3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum (general level of price), artinya

harga tersebut mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu

atau beberapa komoditas saja.

Secara empiris, banyak ditemukan bahwa pergerakan inflasi seiring

dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun

dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang beredar

dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut tentu

tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah

fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu

indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi

maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan hal ini akan menyebabkan

kemampuan daya beli dari uang itu sendiri menurun. Akibat dari penurunan ini

adalah daya beli masyarakan akan menurun atau bahkan tergerus. Bila inflasi

Page 37: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

18

tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah

dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami

penurunan.

Selanjutnya, melalui pendekatan pasar riil atau pasar barang, penyebab

inflasi dibagi menjadi dua, yaitu berasal dari kelebihan permintaan atau karena

adanya kenaikan biaya produksi. Penyebab pertama pada pasar riil adalah karena

ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi

kelebihan permintaan masyarakat secara umum sehingga menyebabkan kenaikan

harga secara agregat. Secara implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di

pasar barang menyiratkan kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian

sehingga hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial.

Dalam beberapa literatur, inflasi dengan tipe seperti ini seringkali diistilahkan

sebagai inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation). Tipe kedua

berdasarkan sumber penyebab inflasi seringkali disebut sebagai inflasi karena

dorongan biaya (cost push inflation), dengan kenaikan harga yang terjadi

merupakan kondisi yang tidak diantisipasi dan hal tersebut disebabkan oleh

kenaikan biaya produksi. Kondisi yang tidak diantisipasi ini salah satunya

disebabkan oleh adanya shock dari sisi penawaran.

Pada praktiknya, inflasi seringkali dihitung berdasarkan pendekatan indeks

harga. Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah indek harga

konsumen (IHK), indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang

diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut

sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan

inflasi, umumnya digunakan indek harga konsumen (IHK), karena nilai uang

secara umum terkait dengan kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen.

Hanya saja perlu disadari bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur tren dari

harga, sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar

mengenai inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan

pendekatan penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002).

Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat

disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan

kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas

Page 38: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

19

moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks

biaya hidup dari konsumen dan pada praktiknya, banyak negara yang

menggunakan IHK sebagai dasar dari penargetan inflasi. Hal tersebut karena

indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan

IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan

kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya, karena

pada kenyataannya kebanyakan badan/biro statistik di seluruh negara berusaha

mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks

harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan

bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara

praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam

menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya (Roger, 1998).

2.2 Inflasi Regional

Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi

perusahaan ditentukan oleh masalah minimisasi biaya transportasi atas beberapa

alternatif lokasi dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi atau teori minimisasi

biaya (cost minimization theories). Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong

perusahaan-perusahaan untuk terkonsentrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat

penurunan biaya transaksi, baik karena economies of scale, localization economies

atau urbanization economies. Pendekatan lain dalam teori lokasi adalah teori

maksimisasi keuntungan (profit maximization theories) yang berusaha menjawab

masalah tentang bagaimana memaksimumkan keuntungan dengan permintaan atas

produk yang dihasilkan perusahaan tersebar di mana-mana sementara penawaran

atas bahan baku dalam proses produksi terkonsentrasi di suatu wilayah atau titik

pasar tertentu saja (Cappelo, 2007).

Ulasan singkat mengenai teori lokasi berdasarkan pendekatan produksi

dan pendekatan pangsa pasar tersebut, sesungguhnya secara implisit bercerita

mengenai bagaimana kemudian harga produk-produk di suatu daerah menjadi

lebih murah dibanding daerah lainnya atau sebaliknya cenderung lebih mahal di

suatu wilayah dibanding wilayah lainnya. Lebih jauh, teori lokasi juga

menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah

infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar

Page 39: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

20

perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan

memperoleh pangsa pasar yang lebih luas demi mengejar keuntungan maksimum.

Teori lokasi tersebut secara tidak langsung juga menceritakan tentang bagaimana

mekanisme pembentukan harga di suatu wilayah atau antar wilayah yang bisa

bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur ekonomi dari masing-masing

wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi

inflasi antar wilayah, yaitu antar negara atau pada tataran regional dalam satu

negara.

Studi empiris dari Marques et al. (2009) menyatakan bahwa biaya

transportasi merupakan determinan penting yang memicu terjadinya divergensi

inflasi di Chile, sementara besaran-besaran makroekonomi pada level nasional

seperti suku bunga jangka pendek, tingkat pengangguran, perubahan harga

minyak, jumlah uang beredar, nilai tukar efektif, upah tenaga kerja dan

pergerakan sektor industri pengolahan kurang berperan dalam mendorong proses

divergensi tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari bentuk negara Chili yang

memiliki lebar wilayah sekitar 175 km sementara panjangnya mencapai 4.300 km,

sehingga jarak geografis lebih menjadi masalah dibanding faktor-faktor lainnya.

Karenanya, khusus untuk studi kasus Chili, inflasi lebih disebabkan oleh faktor

spesifik dari negara tersebut yang bisa dikatakan unik ditinjau dari bentuk

wilayahnya.

Selanjutnya, Andrés et al. (2007) melakukan penelitian mengenai inflasi

untuk kasus negara-negara Uni Eropa dalam perspektif regional atau antar negara.

Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat inflasi

di negara-negara Uni Eropa meskipun telah menganut sistem moneter bersama

disebabkan oleh perbedaan elastisitas permintaan di pasar barang sehingga pihak

produsen bisa melakukan diskriminasi harga. Selain itu, divergensi inflasi tersebut

juga disebabkan oleh derajat keterbukaan perdagangan dan preferensi barang-

barang impor untuk keperluan konsumsi, tergantung dari elastisitas substitusi dari

antara barang impor dan barang domestik. Kedua penyebab di atas yang

bersumber dari perbedaan tingkat kompetitif dari perusahaan dan perbedaan

derajat keterbukaan sepertinya menjadi lengkap dengan adanya perbedaan

struktural seperti perbedaan tingkat upah dan besarnya potongan pajak. Lebih

Page 40: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

21

lanjut, derajat inersia harga juga merupakan salah satu sumber penyebab

terjadinya perbedaan tingkat inflasi tersebut dan diduga terkait erat dengan

masalah mekanisme penyesuaian internal seperti pertimbangan dalam melakukan

investasi dan eksistensi dari friksi pada sektor riil.

Salah satu penelitian mengenai inflasi regional dalam tataran provinsi

untuk studi kasus Indonesia dilakukan oleh Wimanda (2006). Tujuan penelitian

ini adalah untuk melihat karakteristik, konvergensi dan determinan dari inflasi

regional. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode analisis

menyatakan bahwa inflasi regional cenderung divergen karena dari 26 provinsi

yang dianalisis hanya 8 diantaranya yang memperlihatkan gejala untuk konvergen

sedangkan sisanya tidak. Temuan lainnya adalah inflasi yang terjadi pada

kelompok transportasi dan kelompok perumahan pada kebanyakan provinsi

menunjukkan level inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional. Selain itu

diperoleh bukti bahwa kenaikan harga BBM tidak saja memengaruhi kelompok

transportasi tetapi juga kelompok lainnya pada sebagian besar provinsi. Bukti

lainnya adalah terdapat keterkaitan inflasi yang cukup tinggi pada sebagian besar

provinsi di Indonesia. Terakhir, determinan penting dari inflasi regional adalah

ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar, sementara pengeluaran

pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi

regional.

2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian

Dalam papernya yang terkenal, Phillips (1958, dalam Romer, 2006)

mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif yang relatif

stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang satu abad

sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya menemukan

hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan hubungan

tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti empiris tersebut,

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan

inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan bukti empiris

(Romer, 2006).

Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb

dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga

Page 41: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

22

minyak dunia dan perubahan cara wage setters dalam membangun ekspektasi terkait

dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan

tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara

tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips

kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara

pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam

kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968, dalam Blanchard, 2004) dan Phelp

(1968, dalam Blanchard, 2004) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah

tidak dapat diterima karena variabel nominal seperti inflasi dan money supply tidak

dapat memengaruhi variabel riil.

Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968,

dalam Romer, 2006), the natural rate hypotesis of Phillips Curve, memberikan

penjelasan yang lebih memuaskan terhadap fenomena stagflasi yang dialami

negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara umum, kurva Phillips versi

tradisional, bahkan dalam bentuk augmented version sekalipun masih tetap

menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut pandang. Hal ini terutama

menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi mikro yang dalam, yang

menjadikannya sebagai subyek dari kritik Lucas (Lucas critique). Lebih dari itu,

validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi atas berbagai

alternatif kebijakan masih dipertanyakan.

Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips

versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/NKPC). NKPC didasarkan

pada landasan mikro ekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari

versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar dari versi ini dengan

sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari

para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan

monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis

pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami

oleh John B. Taylor (1980, dalam Gali, 2002).

Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada model staggered price

setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983, dalam Solikin, 2004). Persamaan

Page 42: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

23

utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang

diharapkan dan biaya marginal (Gali and Gertler (2000); Gali et al. (2001, 2005)):

t = Et{t+1} + mct’ .............................................. (2.1)

dengan mct’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state,

adalah discount factor, dan adalah koefisien yang merupakan dekomposisi

dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajad

kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi

dari output riil, termasuk level steady state dari biaya marginal riil adalah fungsi dari

output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar

optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang

sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut.

mct = ( yt – y*t ) .............................................. (2.2)

dengan yt dan y*t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan

tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan

rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output/output gap (Gali, 2002) :

t = Et{t+1} + ( yt – y*t ) .............................................. (2.3)

dengan Ł .

Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya tradeoff antara inflasi dengan

kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial

atau output naturalnya. Gambar 4 mengilustrasikan bagaimana terjadinya tradeoff

tersebut, yaitu ketika output aktual berada di atas kondisi potensialnya maka

tingkat inflasi akan lebih tinggi dari ekspektasi inflasi atau inflasi yang diharapkan

(e). Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial,

maka tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari ekspektasi inflasi. Berdasarkan

ilustrasi tersebut, sesungguhnya persamaan tersebut secara tidak langsung sudah

mengakomodir hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukakan Friedman

(1968, dalam Roger, 1998), karena saat terjadinya tingkat pengangguran alami maka

output yang tercipta adalah output natural yang merupakan pendekatan untuk kondisi

output potensial, bahkan dengan landasan teori mikro ekonomi yang lebih kuat.

Merujuk pada penjelasan sebelumnya, perlu difahami bahwa tradeoff yang

diilustrasikan oleh Gambar 4 tersebut tidak bersifat permanen karena slop dari kurva

Phillips versi NKPC bisa berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan

Page 43: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

24

fundamental dari suatu perekonomian (regime dependent). Beberapa penelitian

dengan menggunakan kurva Phillips menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi

lebih tegak atau lebih datar sehingga hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya

tradeoff sama sekali.

Pertanyaan yang muncul dari beberapa fakta empiris adalah menyangkut

bagaimana fenomena inflasi yang sebenarnya. Beberapa kritik ditujukan pada

validitas formulasi NKPC yang menyatakan bahwa inflasi hanya merupakan

fenomena forward-looking. Mengingat adanya persistensi dari tekanan inflasi,

alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada dasarnya merupakan fenomena

backward-looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan yang erat antara inflasi saat ini

dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana dipaparkan oleh analisis Kurva

Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua fenomena tersebut, Gali and

Gertler (2000) dan Gali et al. (2001) mengajukan model gabungan/hibrid (hybrid

model) dari NKPC, yaitu model yang juga memperhitungkan kemungkinan adanya

fraksi tertentu dari perusahaan yang menggunakan pola penyesuaian backward-

looking sebagai rule of thumb.

Sumber : Romer (2006)

Gambar 4. Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam kurva Phillipsversi NKPC.

Page 44: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

25

Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat

dituliskan sebagai:

ʌt = Ȗb ʌt-1 + Ȗf Ǽt {ʌt+1} + Ȝ mct’ .............................................. (2.4)

atau dengan menggunakan variabel output gap sebagai driving force variabel

(Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007)) :

ʌt = Ȗb ʌt-1 + Ȗf Ǽt {ʌt+1} + ț (yt – y*t ) .............................................. (2.5)

dengan Ȗb dan Ȗf masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa

parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward-looking

dan forward-looking dari inflasi.

2.3.1 Output Potensial dan Output Gap

Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi

ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang

konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output

(output gap) adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial.

Kedua indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering

digunakan untuk menilai sampai sejauh mana efektivitas dari kebijakan makro

ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh

Friedman (1968, dalam Gibbs, 1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa

dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi. Definisi yang sedikit berbeda

dengan Friedman diberikan oleh Okun (1962, dalam Gibbs, 1995), yang

mengatakan bahwa output potensial yang diproksi dengan GNP potensial,

bukanlah suatu level yang dapat dihasilkan oleh sejumlah permintaan agregat

yang tidak terbatas. Suatu negara bisa saja lebih produktif dalam jangka pendek di

bawah tekanan inflasi, namun target untuk memaksimumkan produksi dan tingkat

penyerapan tenaga kerja dibatasi oleh keinginan untuk melakukan stabilisasi harga

dan mendorong terjadinya pasar bebas atau lebih tepatnya pasar persaingan

sempurna. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penggunakan tenaga kerja secara

penuh (full employment) harus dipahami sebagai tuntutan untuk memaksimumkan

produksi tanpa adanya tekanan inflasi (Gibbs, 1995).

Lebih lanjut, Justiniano and Primiceri (2008) memberikan definisi tentang

output potensial yang berbeda dengan output natural. Output potensial merupakan

tingkatan output yang dihasilkan dalam kondisi pasar barang dan pasar tenaga

Page 45: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

26

kerja pada pasar persaingan sempurna, sementara output natural adalah output

yang dihasilkan ketika pasar tidak dalam keadaan persaingan sempurna namun

harga dan upah cukup fleksibel. Berdasarkan perbedaan ini, maka dapat

disimpulkan bahwa definisi Justiniano and Primiceri mengenai output potensial

cenderung merujuk pada definisi dari Okun tentang output potensial, sementara

definisi tentang output natural tidak berbeda dengan definisi dari Friedman, meski

keduanya mensyaratkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate

of unemployment).

Meskipun konsep di atas sudah cukup jelas, namun dalam praktiknya, baik

output potensial, output natural dan output gap adalah unobservable component.

Banyak kalangan telah memahami bahwa estimasi yang dihasilkan seringkali

dapat dikatakan tidak pasti mengingat perbedaan pendekatan yang digunakan.

Perbedaan ini menjadi hal yang problematik karena akan menyebabkan cara

diagnosa yang berbeda terhadap kondisi makro ekonomi termasuk rekomendasi

kebijakan yang akan dibuat. Cerra and Saxena (2000) menyatakan, setidaknya ada

enam pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial, yaitu

metode Hodrick-Prescott (HP) filter, metode unobserved components dengan

beberapa model turunannya, metode struktural VAR dari pendekatan

BlanchardQuah, pendekatan fungsi produksi, demand-side model dan sistem

estimasi dari output potensial dan NAIRU dengan kelebihan dan kekurangan dari

masing-masing metode. Penelitian yang sepertinya bisa menjawab bagaimana

dinamika output potensial diperoleh dari Justiniano and Primiceri (2008) dengan

menggunakan pendekatan dynamic stochastic general equilibrium (DSGE) untuk

mengetahui level output potensial dan output natural pada negara Amerika Serikat

berdasarkan data PDB triwulanan. Secara umum, hasil penelitian tersebut

menyatakan bahwa output potensial terlihat lebih halus sehingga output gap yang

dihasilkan cenderung lebih dekat dengan hasil estimasi dengan pendekatan

detrending tradisional. Kondisi sebaliknya, output natural cenderung lebih

volatile, sebagai akibat tingginya variasi guncangan dari segi markup. Fluktuasi

dari guncangan ini terjadi karena pada pasar persaingan yang tidak sempurna,

perusahaan memiliki insentif untuk menaikkan atau menurunkan markup agar

dapat memaksimumkan keuntungannya.

Page 46: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

27

2.3.2 Ekspektasi Inflasi

Ekspektasi inflasi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam

formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, secara tidak

langsung, hal ini bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter

terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi

inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan

jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi

tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam

membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya

mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya

(Lucas, 1972 dalam Kiley, 2009).

Hipotesis ekspektasi rasional tersebut memberikan kerangka kerja yang

cukup kuat dan elegan sehingga mendominasi cara pemikiran tentang dinamika

struktur ekonomi dan evaluasi kebijakan berdasarkan pendekatan ekonometrik,

lebih dari 30 tahun terakhir. Kesuksesan ini mendorong pengujian lebih lanjut

mengenai adanya asumsi informasi yang kuat, yang digunakan secara implisit

dalam aplikasinya. Oleh karenanya, Sargent (1993, dalam Orphanides and

Williams, 2003) menyimpulkan bahwa dalam model ekspektasi rasional

diasumsikan setiap pelaku ekonomi diposisikan sebagai pihak yang harus

memiliki banyak pengetahuan. Konsekuensinya, untuk membentuk ekspektasi

yang rasional, setiap pelaku ekonomi harus memahami sekali mengenai struktur

ekonomi. Menyikapi hal tersebut, beberapa peneliti mengajukan penyesuaian

mengenai model ekspektasi rasional yang mewakili prinsip bahwa setiap pelaku

ekonomi menggunakan informasi secara efisien dalam membentuk ekspektasinya

terkait dengan adanya keterbatasan dalam biaya yang ditimbulkan dalam proses

mendapatkan informasi dan juga keterbatasan dari daya nalar dari setiap pelaku

ekonomi, yang kemudian akan memengaruhi proses pembentukan ekspektasi

(Sims, 2003, dalam Orphanides and Williams, 2003).

Terkait dengan keterbatasan tersebut atau meminjam istilah dari

Orphanides dan Williams (2003) karena pengetahuan yang tidak sempurna

(imperfect knowledge), maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi

ekonomi menjadi berbeda-beda. Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat

Page 47: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

28

dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosial-demografi dari setiap pelaku

ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower and MacCoille (2009) di Inggris secara

signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku

ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. Akibat adanya imperfect

knowledge, akan membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam

mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makro ekonomi.

Ekspektasi menjadi demikian penting dalam menentukan inflasi karena

secara langsung terlibat dengan proses penentuan harga dan upah. Ekspektasi ini

dapat memengaruhi inflasi melalui 3 jalur, yaitu melalui upah, karena penyesuaian

upah tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu maka para penentu upah (wage setters)

harus mempunyai pandangan mengenai besarnya inflasi di masa mendatang. Jika

inflasi diperkirakan persisten dan lebih tinggi di masa mendatang, maka para

pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi demi menjaga daya belinya. Hal ini

akan memicu terjadinya tekanan kenaikan harga atas output yang dihasilkan oleh

perusahaan, dan pada akhirnya akan membuat harga di tingkat konsumen menjadi

lebih tinggi. Kedua, bila perusahaan memperkirakan bahwa secara umum tingkat

inflasi di masa mendatang akan lebih tinggi, maka mereka cenderung akan

menaikkan harga outputnya karena yakin bahwa hal tersebut tidak akan

menyebabkan terjadinya penurunan permintaan atas outputnya. Jalur terakhir

adalah ekspektasi inflasi dapat secara langsung memengaruhi inflasi melalui

pengaruhnya atas konsumsi dan investasi. Pada tingkat suku bunga nominal

tertentu misalnya, jika perusahaan dan rumah tangga memperkirakan tingkat

inflasi yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan tingkat suku bunga riil yang

diharapkan menjadi lebih rendah sehingga secara relatif membuat motif untuk

berbelanja menjadi lebih tinggi dibanding motif menabung. Hal tersebut tentunya

bisa terjadi jika pihak otoritas moneter tidak meresponnya dengan menaikkan

suku bunga nominal acuan.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mengukur

ekspektasi inflasi, mengingat perannya yang sangat penting dalam memengaruhi

inflasi pada kerangka analisis kurva Phillips. Blanchflower and MacCoille (2009)

mengidentifikasi adanya tiga kelompok besar untuk mengukur ekspektasi inflasi,

yaitu pendekatan berbasis survei (survey-based measures), pendekatan berbasis

Page 48: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

29

pasar (market-based measures) dan pendekatan indikator ekonomi. Pendekatan

survei terhadap ekspektasi inflasi dapat dilakukan pada masyarakat umum, para

akademisi, para ekonom dan perusahaan. Pendekatan lainnya, yaitu pendekatan

berbasis pasar menghitung ekspektasi inflasi dengan melakukan estimasi atas

bentuk kurva suku bunga nominal dan riil ke depan agar bentuk kurva inflasi ke

depan dan tingkat pertukaran inflasi ditentukan. Berdasarkan kedua kasus

tersebut, indikator-indikator yang dihasilkan tidak hanya mewakili ekspektasi

inflasi dari pasar, tetapi juga inflasi dari premi resiko dan inflasi yang terjadi pada

sejumlah pasar faktor lainnya. Selain dua pendekatan yang telah disebutkan,

pergerakan dari ekspektasi inflasi dapat jelas terlihat dari indikator ekonomi

seperti penentuan upah, dengan pihak yang meminta besaran tingkat upah harus

membuat penilaian terkait dengan bagaimana tingkat inflasi sepanjang periode

setelah upah ditetapkan. Tentu saja data mengenai besaran upah yang ditetapkan

tidak secara sederhana mencerminkan ekspektasi inflasi tetapi juga mewakili

kondisi faktor-faktor lainnya seperti kemampuan membayar dari perusahaan,

termasuk juga produktivitas dari pekerja.

Di Indonesia, survei mengenai ekspektasi inflasi telah dilakukan setiap

bulan oleh Bank Indonesia melalui survei konsumen dan survei penjualan eceran.

Tujuan dari kedua survei tersebut adalah menanyakan perkiraan atau ekspektasi

harga dalam beberapa bulan ke depan untuk masing-masing responden rumah

tangga yang mewakili konsumen dan responden pedagang eceran yang dianggap

mewakili pihak perusahaan. Survei konsumen juga dilakukan oleh BPS setiap 3

bulan untuk mengetahui ekspektasi inflasi secara tidak langsung dari responden

rumah tangga, yaitu melalui perkiraan pendapatan rumah tangga ke depan dan

rencana pembelian barang-barang tahan lama (durable goods).

Pendekatan survei lainnya adalah hasil penelitian dari Solikin dan Sugema

(2004) tentang rigiditas harga-upah dan implikasinya bagi kebijakan moneter di

Indonesia. Dalam penelitian tersebut, selain mengkaji dinamika pembentukan dan

rigiditas harga dan penyesuaian upah, didapati pula kajian mengenai ekspektasi

inflasi dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari perusahaan dan dari pedagang

yang dirinci menjadi pedagang grosir dan pedagang eceran/ritel. Hasil penelitian

tersebut menyatakan bahwa ekspektasi inflasi utamanya dipengaruhi oleh

Page 49: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

30

administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga,

harga periode sebelumnya, dan gaji PNS. Terkait dengan hasil penelitian untuk

kasus Indonesia tersebut, hasil pendekatan survei menunjukkan bahwa ekspektasi

inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Satu hal yang perlu

menjadi catatan penting yaitu hasil pendekatan survei tersebut secara tidak

langsung menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tersebut berasal dari common

knowledge, sehingga hipotesis ekspektasi rasional sepertinya tetap berlaku untuk

setidaknya untuk kasus negara Indonesia.

2.4 Pendekatan Kurva AD – AS

Pendekatan AD – AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah kurva,

yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand/AD) dan kurva penawaran

agregat (aggregate supply/AS) yang mewakili terjadinya kondisi keseimbangan/

ekuilibrium serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran.

Kurva permintaan agregat adalah kurva yang mewakili sisi permintaan dan

menggambarkan bagaimana pengaruh dari harga terhadap output, sedangkan

kurva penawaran agregat adalah kurva yang menggambarkan pengaruh dari

output terhadap tingkat harga (Blanchard, 2006).

2.4.1 Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS – LM yang

berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya

keseimbangan/ekuilibrium serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar

uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar

barang/jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat

suku bunga dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah

barang/jasa yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi

perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah :

Y = f (G, r, ) .............................................. (2.6)

dengan : Y = outputG = belanja pemerintahr = suku bunga riil

= nilai tukar efektif

Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar

uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output

Page 50: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

31

dengan permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang

(money supply). Pendekatan Keynesian untuk kondisi real money balanced

tersebut dapat diringkas menjadi persamaan berikut (Romer, 2006) :

YrLP

M e , .............................................. (2.7)

dengan : M = stok uangP = tingkat hargaY = outputr = suku bunga riil

e = ekspektasi inflasi

Merujuk pada pendekatan Keynesian, stok uang (M) pada persamaan (7)

diasumsikan sebagai variabel eksogen, dan sebagai asumsi tambahan, tingkat

harga (P) dianggap tetap sehingga ekspektasi inflasi (e) sama dengan nol,

sehingga persamaan (7) menjadi

YrLP

M, .............................................. (2.8)

atau dapat dituliskan pula dalam bentuk

r

P

MfY , .............................................. (2.9)

Jika kemudian persamaan (2.6) dan persamaan (2.9) digabungkan, akan diperoleh

persamaan untuk permintaan agregat :

,,, rG

P

MfY .............................................. (2.10)

Persamaan (10) secara implisit memperlihatkan bagaimana stok uang riil ,

belanja pemerintah (G), suku bunga riil (r) dan nilai tukar efektif () dapat

memengaruhi permintaan agregat. Empat variabel tersebut, yaitu belanja

pemerintah (G) adalah instrumen kebijakan fiskal sementara suku bunga riil (r),

nilai tukar efektif () dan stok uang riil bukan merupakan instrumen atau

sasaran dari kebijakan moneter secara langsung karena sesungguhnya nilai

nominal dari ketiga variabel terakhirlah yang merupakan instrumen dan sasaran

kebijakan moneter.

Terkait dengan analisis AD – AS, bila pemerintah melakukan kebijakan

fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan belanja pemerintah, maka hal

tersebut akan mendorong peningkatan harga, artinya akan menyebabkan

P

M

P

M

Page 51: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

32

terjadinya inflasi. Ilustrasi dari dampak kebijakan fiskal ekspansioner dan

kebijakan moneter ekspansioner dalam kerangka analisis IS – LM dan analisis

permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS) tersebut dapat dilihat pada

Gambar 5.

Sumber : Blanchard (2004)

Gambar 5. Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dankebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi.

Saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner seperti peningkatan belanja

pegawai atau peningkatan gaji pegawai pemerintah, output akan meningkat dan

menyebabkan permintaan akan uang juga meningkat sehingga menyebabkan suku

bunga naik dan kurva IS bergeser ke kanan (Gambar 5 panel (a) atas). Akibat

peningkatan output tersebut, permintaan agregat mengalami peningkatan sehingga

kurva AD akan bergeser ke kanan dan menyebabkan terjadinya kenaikan harga

secara agregat (Gambar 5 panel (a) bawah). Merujuk pada pendekatan analisis

AD – AS seperti telah disampaikan sebelumnya, kenaikan harga secara agregat ini

didefinisikan sebagai inflasi.

Sedikit berbeda dengan ilustrasi kebijakan fiskal ekspansioner, inflasi

yang berasal dari sektor moneter berawal dari kenaikan stok uang sebagai hasil

Page 52: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

33

dari kebijakan moneter ekspansioner yang menyebabkan kurva LM bergeser ke

kanan sehingga menyebabkan suku bunga mengalami penurunan. Akibat

penurunan suku bunga tersebut, investasi meningkat dan output juga mengalami

peningkatan (Gambar 5 panel (b) atas). Mekanisme selanjutnya sama seperti pada

saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner, kurva AD bergeser ke kanan dan

menyebabkan kenaikan harga secara agregat (Gambar 5 panel (b) bawah).

2.4.2 Penawaran Agregat

Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation (PS) dan

wage setting relation (WS), dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai

input dalam kegiatan produksi dan markup, sementara upah dipengaruhi oleh

ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran (Blanchard, 2004).

PS : P = ( 1 + ) W .............................................. (2.11)

WS : W = Pe

F(u, z) .............................................. (2.12)

dengan : P = tingkat hargaP

e = ekspektasi hargaW = upah nominal

= markup

u = tingkat pengangguranz = variabel lainnya

Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal (W), persamaan (2.11)

kemudian dapat dimasukkan ke persamaan (2.12), sehingga akan diperoleh

persamaan untuk penawaran agregat.

P = Pe ( 1 + ) F(u, z) .............................................. (2.13)

Jika tingkat pengangguran (u) kemudian digantikan dengan dengan output (Y ) per

angkatan kerja (L), sehingga ; maka persamaan (2.13) dapat dituliskan

dalam bentuk :

z

L

Y1Fu1PP

e , .............................................. (2.14)

Berdasarkan persamaan (2.14), secara eksplisit dapat dilihat, beberapa

variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, markup

dan output. Perubahan ekspektasi harga dan pertumbuhan output akan

memengaruhi harga melalui peningkatan upah nominal sehingga tentu saja adanya

kenaikan upah nominal akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Selain upah

nominal, markup juga merupakan variabel yang memengaruhi harga secara

L

Y1u

Page 53: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

34

langsung, artinya, jika perusahaan menaikkan markup, maka harga akan ikut naik.

Dalam kerangka analisis permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS),

dampak dari kenaikan upah diperlihatkan oleh Gambar 5 panel (b).

2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi

Penentuan upah minimum adalah salah satu bentuk campur tangan

pemerintah dalam pasar tenaga kerja mengingat pasar tersebut cenderung

mengarah dari pasar oligopsonis ke pasar monopsonis. Tujuan kebijakan ini

adalah sebagai jejaring pengaman (safety net) agar tingkat upah tidak merosot

akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja.

Menilik dari sisi perusahaan, upah minimum diharapkan akan meningkatkan

produktivitas pekerja, sedangkan dari sisi pekerja sendiri, kebijakan tersebut

idealnya dapat meningkatkan daya beli pekerja sehingga dapat meningkatkan taraf

hidup pekerja dan keluarganya, sementara dari sisi pemerintah, instrumen tersebut

merupakan salah satu program tidak langsung dalam upaya untuk mengentaskan

kemiskinan melalui redistribusi pendapatan.

Bila terjadi kenaikan upah minimum, perusahaan sesungguhnya memiliki

tiga alternatif untuk meresponnya, yaitu mengurangi jumlah pekerja, mengurangi

keuntungan perusahaan atau menaikkan harga produk. Umumnya, pendekatan

teori ekonomi meramalkan bahwa jika upah minimum mengalami peningkatan,

perusahaan tidak akan mengurangi keuntungan. Hal ini karena perusahaan yang

memberikan standar gaji yang rendah biasanya adalah perusahaan yang terlalu

kecil untuk dapat menyerap biaya ekstra yang ditimbulkan oleh kenaikan upah

minimum. Pada pasar persaingan sempurna dengan setiap pelaku ekonomi

diasumsikan sebagai price taker, teori ekonomi memprediksi bahwa perusahaan

akan mengurangi pekerjanya dalam merespon kenaikan upah minimum. Selain

itu, diprediksi pula oleh teori ekonomi jika terjadi lonjakan biaya pada tingkat

industri yang cukup luas, maka kenaikan upah minimum tersebut akan direspon

dengan menaikkan harga (Lemos, 2004b).

Terkait dengan bagaimana upah minimum dapat memengaruhi harga dan

inflasi, Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b) menjelaskan bagaimana

mekanisme transmisi tersebut. Pertama, adanya dampak langsung dari perubahan

upah minimum. Kedua, ada dampak spillover tak langsung dari penetapan upah

Page 54: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

35

minimum yang baru. Ketiga, perusahaan menaikkan harga sebagai responnya atas

biaya pekerja yang lebih tinggi. Keempat, perusahaan melakukan penyesuaian

level kegiatan produksi dan melakukan penilaian atas besarnya input dan output

terkait dengan minimisasi biaya dengan kendala ekspektasi permintaan. Kelima,

menghasilkan kombinasi jumlah tenaga kerja dan tingkat upah yang baru untuk

memproduksi keseimbangan baru pada tingkat pendapatan, permintaan agregat

dan setelah beberapa waktu keseimbangan baru pada tingkat produksi. Keenam,

inflasi dan tingkat pengangguran menjadi konsisten dengan keseimbangan baru

yang mungkin pada waktunya kembali akan memengaruhi upah dan harga.

Merujuk pada transmisi dari Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b),

respon dari perusahaan ditekankan pada bagaimana kemudian upah minimum

memengaruhi pasar tenaga kerja sehingga menghasilkan tingkat upah dan tingkat

penyerapan tenaga kerja pada level keseimbangan yang baru. Hasil keseimbangan

baru tersebut kemudian akan memengaruhi penawaran dan permintaan agregat,

yang selanjutnya akan memengaruhi tingkat output dan harga. Berdasarkan

penekanan pada keseimbangan di pasar tenaga kerja tersebut, Lemos (2004a)

memberikan beberapa alternatif jalur yang memungkinkan penetapan upah

minimum dapat memengaruhi harga dari pendekatan teori ekonomi, yaitu (1)

melalui permintaan atas tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan

harga lebih tinggi, (2) melalui penawaran tenaga kerja, dengan peningkatan

produktivitas tenaga kerja sehingga mendorong harga menjadi lebih rendah; atau

dengan meningkatkan partisipasi angkatan kerja yang kemudian akan mendorong

upah atau harga menjadi lebih rendah, (3) melalui penawaran agregat, sehingga

terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan output, kemudian mendorong upah dan

harga menjadi lebih tinggi, (4) melalui permintaan agregat, dengan peningkatan

pengeluaran agregat sehingga mendorong harga menjadi lebih tinggi; atau dengan

penurunan permintaan untuk produk-produk pada perusahaan dengan tipe

labour-intensive yang menerapkan upah minimum, sehingga mendorong harga

menjadi turun.

Pada kasus negara Indonesia, adanya sektor pekerjaan formal dan informal

menjadikan dampak upah minimum terhadap pasar tenaga kerja menarik untuk

diteliti. Di samping itu, pada sektor formal upah minimum tersebut bisa dilihat

Page 55: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

36

pada sektor swasta dan sektor pemerintah. Besarnya upah minimum pada sektor

swasta terbagi menjadi upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum

kabupaten/kota (UMK), sementara pada sektor formal, besarnya upah minimum

adalah besarnya gaji pegawai pemerintah (PNS/TNI/POLRI) dengan golongan

terendah. Dalam 15 tahun terakhir, penetapan upah minimum pada sektor swasta

dilakukan secara kontinu, setiap setahun sekali melalui proses negosiasi antara

serikat pekerja dan asosiasi perusahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Berbeda

dengan sektor swasta, pada sektor pemerintah, penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI

secara kontinu baru dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk menjaga

agar daya beli dari pegawai pemerintah tersebut tidak tergerus oleh inflasi dan

yang terpenting adalah untuk meningkatkan produktivitas dari pegawai.

Terkait dengan fenomena upah minimum tersebut, khususnya pada sektor

swasta, penelitian Camola dan de Melo (2010) mengenai dampak desentralisasi

penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja menyatakan

(1) pada sektor formal, upah minimum memberi pengaruh negatif atas penyerapan

tenaga kerja di sektor formal, khususnya pada perusahaan domestik, tetapi tidak

memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada perusahaan multi nasional

yang beroperasi di Indonesia, (2) pada sektor informal, upah minimum memberi

efek positif karena pengurangan tenaga kerja di sektor formal menambah tenaga

kerja di sektor informal. Berdasarkan hasil penelitian Camola dan de Melo (2010)

dan beberapa jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat

memengaruhi harga dari Lemos (2004a), maka untuk kasus Indonesia, diduga

upah minimum pada sektor swasta akan memengaruhi harga melalui permintaan

tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi.

Ilustrasi dari kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 6 untuk panel (a), yaitu ketika

terjadi kenaikan upah minimum di sektor swasta, maka akan mendorong kenaikan

upah secara keseluruhan sehingga upah nominal menjadi naik, demikian pula

dengan upah riil. Kenaikan upah nominal tersebut kemudian akan menyebabkan

kenaikan harga, dan selanjutnya karena upah riil juga ikut naik, maka perusahaan

meresponnya dengan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerjanya sehingga

secara agregat terjadi pengurangan tenaga kerja. Akibat dari pengurangan tenaga

kerja tersebut akan terjadi penurunan output yang dibarengi oleh kenaikan harga.

Page 56: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

37

Berbeda dengan sektor swasta, mekanisme transmisi penyesuaian upah

minimum terhadap harga pada sektor pemerintah tidak melalui analisis pasar

tenaga kerja seperti diilustrasikan oleh Gambar 6. Kenaikan upah minimum yang

berupa kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI pada golongan terendah dengan masa kerja

nol tahun selalu diikuti kenaikan gaji pegawai pemerintah pada golongan

berikutnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan belanja pemerintah secara

keseluruhan. Akibat kenaikan total belanja pemerintah tersebut, output akan ikut

meningkat, namun kenaikan output tersebut akan diikuti dengan kenaikan harga

alias akan menyebabkan inflasi (Gambar 5. panel (a)). Berdasarkan penjelasan

tersebut, maka mekanisme transmisi kenaikan upah minimum terhadap harga dan

inflasi pada sektor pemerintah cenderung mengikuti jalur permintaan agregat

sebagaimana dinyatakan oleh Lemos (2004a).

2.4.4 Administred Prices dan Inflasi

Administred prices atau harga komoditas-komoditas yang diatur oleh

pemerintah merupakan salah satu sumber penting yang menyebabkan terjadinya

volatilitas pada harga relatif komoditas lainnya secara menyeluruh. Oleh sebab

itu, penyesuaian pada harga komoditas-komoditas yang diatur oleh pemerintah

akan memberikan dampak pada inflasi. Mohanty dan Klau (2001) menyatakan

bahwa administred prices bisa menjadi sumber utama dalam memengaruhi inflasi,

namun hal tersebut tergantung bagaimana perilaku dari penyesuaiannya dan

bagaimana respon kebijakan moneter jika terjadi penyesuaian administred prices.

Jika revisinya dilakukan secara periodik untuk mengembalikannnya pada level

relatif, maka tidak akan menyebabkan terjadinya inflasi (Phillips, 1994 dalam

Mohanty dan Klau, 2001). Selain hal tersebut, maka penyesuaian pada harga yang

diatur pemerintah akan menyebabkan inflasi. Pertama, penyesuaian pada harga

yang diatur pemerintah mungkin akan diakomodasi oleh kebijakan moneter.

Kedua, pengalaman di negara-negara dengan perekonomian dalam masa transisi

menunjukkan bahwa, kenaikan yang terjadi pada harga yang diatur pemerintah

tidak sepenuhnya dikompensasi oleh penurunan harga pada non administred

prices, sehingga harga rata-rata meningkat pada perekonomian ini (IMF, 1996

dalam Mohanty dan Klau, 2001).

Page 57: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

38

Khusus untuk Indonesia, harga yang diatur pemerintah diberlakukan pada

beberapa komoditas, seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik

(TDL), tarif air minum (PAM/PDAM), dan tarif angkutan umum. Berdasarkan

semua komoditas tersebut, karakteristik komoditas yang harganya diatur oleh

pemerintah cenderung merupakan komoditas strategis atau bahkan menjadi

komoditas politik yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sebagian besar

diproduksi oleh pemerintah sendiri (melalui badan usaha milik negara/pemerintah

daerah). Lebih jauh, komoditas seperti BBM dan listrik merupakan salah satu

komoditas utama yang banyak digunakan dalam proses produksi sehingga

penyesuaian harga pada kedua komoditas tersebut akan memberi pengaruh yang

signifikan pada harga komoditas lainnya, baik yang terkait secara langsung

maupun tidak langsung. Walhasil, kenaikan utamanya pada kedua jenis komoditas

yang diatur pemerintah tersebut akan memicu terjadinya inflasi.

Terkait dengan penyesuaian harga BBM di Indonesia, adanya shock dari

luar negeri berupa kenaikan harga minyak dunia di pasar internasional tidak

langsung ditransfer secara sebagian ataupun secara penuh ke harga domestik,

karena pada praktiknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk

memutuskan kenaikan harga BBM di dalam negeri. Tarik ulur antara tetap

memberlakukan harga lama dengan resiko subsidi akan meningkat sehingga akan

membebani keuangan negara atau langkah sebaliknya, namun akan berakibat pada

stagflasi, yaitu terjadinya penurunan tingkat kegiatan ekonomi bersamaan dengan

inflasi yang cukup tinggi, bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karenanya

penyesuaian harga BBM misalnya, merupakan salah satu bentuk kebijakan

pemerintah yang tidak populis dan menuai banyak kritik dari berbagai kalangan.

Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred prices

terhadap harga dan inflasi sesungguhnya mirip dengan terjadinya oil price shock

sebagaimana disebutkan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan pada

harga BBM yang notebenenya diatur oleh pemerintah misalnya, maka perusahaan

akan merespon dengan menaikkan markup, sehingga harga akan naik, karena

hubungan antara keduanya berbanding lurus (persamaan (2.13) dan (2.14)).

Akibat kenaikan harga tersebut, upah riil akan mengalami penurunan sehingga

penawaran atas tenaga kerja menjadi menurun. Dampak lebih lanjut adalah

Page 58: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

39

terjadinya pengurangan jumlah tenaga kerja dan hal tersebut menyebabkan jumlah

pengangguran akan meningkat dan kemudian akan diikuti oleh output yang akan

mengalami penurunan. Ilustrasi dari mekanisme transmisi ini diperlihatkan oleh

Gambar 6 panel (b), yang secara tidak langsung menceritakan proses terjadinya

inflasi karena dorongan biaya.

Sumber : Blanchard (2004)

Gambar 6. Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan harga BBM.

Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred price khusus

untuk kasus kenaikan harga BBM terhadap harga dan inflasi seperti diilustrasikan

pada Gambar 6 panel (b) sesungguhnya berdasarkan kajian teoritis. Tidak banyak

memang penelitian yang bertujuan untuk melihat dampak penyesuaian harga yang

diatur (oleh pemerintah) terhadap tingkat harga dan inflasi. Salah satu penelitian

mengenai hal tersebut dilakukan oleh Lünnemann and Mathä (2005) untuk studi

kasus negara-negara pada Uni Eropa dengan tujuan untuk melihat dampak dari

harga yang diatur dan tarif jasa terhadap persistensi inflasi. Berdasarkan

disagregasi indeks (Harmonic Index of Consumer Price/HICP) menurut sub

kelompok, ditunjukkan bahwa perubahan indeks yang terjadi pada sub kelompok

harga yang diatur termasuk perubahan tarif jasa berkorelasi positif dengan

Page 59: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

40

perubahan indeks yang terjadi pada komoditi lainnya. Selain itu, ditemukan pula

bahwa pada harga yang diatur dan tarif jasa lebih rigid ke bawah, yang artinya

cenderung lebih mudah naik dibanding turun. Selain itu didapati pula indeks

untuk harga yang diatur dan tarif jasa menunjukkan perubahan tingkat inflasi yang

lebih besar dibanding indeks lainnya. Dan terakhir jika kemudian harga yang

diatur dan tarif jasa dikeluarkan dari paket penghitungan indeks harga, akan

mengurangi terjadinya persistensi dari inflasi secara agregat. Berdasarkan kajian

empiris dan landasan teoritis, maka tidak diragukan lagi bila administred prices

memang merupakan salah satu determinan penting dalam memengaruhi terjadinya

inflasi.

2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi

Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya

kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif

akan melakukan spesialisasi guna memroduksi komoditi yang harganya relatif

murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional.

Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui

perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang

diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan

komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor.

Oleh karenanya, kegiatan ekspor-impor dianggap dapat meningkatkan

kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan

mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait

dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996).

Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar

kapasitas perdagangan internasional, diduga akan menurunkan harga barang/jasa

kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara tingkat

keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan

berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif. Terkait dengan prediksi dari

teori perdagangan standar tersebut, Romer (1993, dalam Al-Nasser et al., 2010)

memberikan bukti empiris yang menyatakan terdapat hubungan negatif antara

tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Keterkaitan antara keterbukaan

perdagangan dan inflasi dari Romer tersebut dibangun berdasarkan model dari

Page 60: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

41

Barro-Gordon untuk menguji hipotesis bahwa pada perekonomian yang lebih

besar dan kurang terbuka akan memicu terjadinya tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Berdasarkan analisis data cross section, Romer menemukan bahwa rata-rata

tingkat inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih

kecil dan lebih terbuka. Argumen Romer mengenai hal ini adalah masalah

independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan

inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen,

adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga

seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan

dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter

yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif

pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi.

Menurut Al-Nasser et al. (2010), meskipun beberapa penelitian sebelum

dan sesudahnya mendukung pendapat Romer, namun tidak hal tersebut karena

setidaknya beberapa peneliti setelahnya seperti Terra (1998), Bleaney (1999) dan

Temple (2002) kemudian menentangnya. Melihat prediksi dari teori perdagangan

internasional dan hasil empiris yang ambivalen maka perlu ditelusuri bagaimana

sebenarnya mekanisme transmisi dari tingkat keterbukaan perdagangan terhadap

inflasi. Bowdler and Malik (2006) dalam papernya menyatakan ada 2 jalur

mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat

berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Jalur pertama, keterbukaan memengaruhi

biaya terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi

pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan

memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Menurut

Cavelaars (2006, dalam Bowdler and Malik, 2006), mekanisme pada jalur ini

cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong terjadinya

peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan teknologi

sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan tarif impor

yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter dan akan

membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian

berikutnya, Bowdler and Malik (2006) kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas

Page 61: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

42

kebijakan moneter memegang peranan penting dalam menentukan tingkat

volatilitas inflasi.

Jalur kedua, keterbukaan perdagangan akan memengaruhi struktur

konsumsi dan produksi, dan melalui diversifikasi konsumsi akan menyebabkan

terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga. Sesungguhnya jalur ini

mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah dijelaskan sebelumnya,

yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi konsumsi akan menurunkan

volatilitas inflasi. Meskipun demikian, terdapat jalur lainnya yang mungkin dapat

menyebabkan keterbukaan perdagangan akan meningkatkan terjadinya volatilitas

inflasi. Adanya spesialisasi pada kegiatan produksi misalnya, akan meningkatkan

terjadinya kerapuhan dari sektor-sektor tertentu yang bergantung pada kegiatan

ekspor. Ketergantungan ekspor tersebut akan membuat permintaan untuk produk

domestik menjadi volatile dan melalui jalur tersebut akan memicu meningkatnya

fluktuasi inflasi yang tinggi. Dampak terhadap tingginya volatilitas inflasi juga

akan terjadi jika meningkatnya keterbukaan dalam perdagangan diikuti dengan

keterbukaan dalam konteks finansial.

Dalam perspektif perekonomian global, Benigno and Faia (2010) mencoba

menjelaskan bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam

negeri. Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi

dari globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari

kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui

barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau

yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh

terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah

melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada

strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar

internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk

meningkatkan market share dari produk mereka melalui strategi penentuan harga.

Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through

akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik.

Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan

Page 62: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

43

komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat

bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing.

Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah

disampaikan, cukup rumit juga untuk meramalkan pengaruh dari keterbukaan

perdagangan terhadap inflasi karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat

kebijakan dan struktur perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai

kemungkinan mekanisme transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk

melihat seberapa jauh pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi

atau tingkat volatilitas inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor

lainnya seperti kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global sebagaimana

dilakukan oleh Beirne (2009), meskipun tujuan dari penelitiannya adalah untuk

mengetahui tingkat vulnerabilitas dari inflasi.

2.6 Infrastruktur dan Inflasi

Beberapa teori pertumbuhan ekonomi sepakat mengenai arti penting dari

infrastruktur terhadap pembangunan regional, karena akan menjadi determinan

dalam membangun sistem pertumbuhan di tingkat lokal dan bagaimana kemudian

jalur pembangunan akan terbentuk. Menurut teori pertumbuhan export base dan

growth-poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan

wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment

berupa infrastruktur yang sudah terbangun. Dampak dari endowment kondisi

infrastruktur yang lebih baik akan dapat menarik kehadiran perusahaan baru pada

suatu wilayah dan akan menjadi sumber pemicu terjadinya persaingan dengan

perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu sudah beroperasi di wilayah tersebut.

Hal tersebut kemudian akan meningkatkan produktivitas dari faktor produksi dan

dengan peningkatan akses akan menurunkan biaya-biaya yang terkait dengan

pengeluaran perusahaan, sehingga akan membangkitkan eksternalitas positif pada

pembangunan di tingkat lokal. Tentu saja infrastruktur yang dimaksud adalah

infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan

udara, rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, karena secara langsung akan

berfungsi dalam meningkatkan produktivitas perusahaan (Cappelo, 2007).

Penelitian tentang dampak infrastruktur telah banyak dilakukan baik di

negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Umumnya penelitian

Page 63: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

44

tersebut ingin mengetahui dampaknya terhadap output, total factor productivity,

tenaga kerja, perdagangan dan distribusi pendapatan, namun sayangnya studi yang

secara eksplisit bertujuan untuk mengetahui dampaknya terhadap tingkat harga

dan inflasi bisa dikatakan tidak mudah untuk ditemukan. Hasil dari sejumlah

penelitian tersebut biasa berakhir dengan kesimpulan bahwa infrastruktur

memberikan dampak positif bagi objek yang diteliti, sebagaimana diprediksi oleh

beberapa teori pertumbuhan regional.

Terkait dengan penelitian mengenai dampak infrastruktur terhadap tingkat

harga dan inflasi, Beirne (2009) melakukan studi dengan tujuan untuk mengetahui

indikator-indikator yang mungkin menjadi determinan terhadap inflasi. Dalam

studi tersebut Beirne memasukkan faktor spesifik dari 10 negara anggota baru dari

Uni Eropa terkait dengan reformasi struktural dengan salah satunya adalah indeks

reformasi infrastruktur. Menariknya, hasil studi empiris tersebut menyimpulkan

bahwa semakin tinggi indeks yang artinya semakin baik kondisi infrastruktur akan

mendorong terjadinya kenaikan tingkat harga atau dengan kata lain akan memberi

pengaruh positif terhadap inflasi. Hasil ini tentu saja bertolak belakang dengan

prediksi dari teori sebelumnya dengan seharusnya semakin baik kondisi

infrastruktur akan menurunkan tingkat harga. Penjelasan dari penulis mengenai

hasil empiris tersebut adalah dengan semakin baiknya kondisi infrastruktur akan

mendukung masuknya investasi dan kegiatan ekonomi dari luar.

Anomali hasil empiris tersebut tentu saja menjadi pertanyaan besar karena

pastinya ada penjelasan mengenai bagaimana mekanisme transmisi sesungguhnya.

Studi dari Oosterhaven and Elhorst (2003) tentang manfaat ekonomi secara tidak

langsung dari investasi pada infrastruktur transportasi sepertinya merupakan

alternatif jawaban atas teka-teki tersebut. Berdasarkan pendekatan model ekonomi

regional dan makro ekonomi yang digunakan dalam studi tersebut, mereka

menyatakan bahwa peningkatan kualitas infrastruktur transportasi akan

menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam

perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan memengaruhi permintaan

terhadap produk lokal berupa input antara, tingkat konsumsi dan permintaan atas

investasi. Secara sektoral atau menurut produk, penghematan tersebut bisa

memberi dampak positif atau negatif dan dampak tersebut bisa meningkat karena

Page 64: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

45

economies of scale pada perusahaan lokal. Secara agregat, dampak dari

peningkatan kualitas infrastruktur otomatis bisa menyebabkan kenaikan tingkat

harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau

wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua

kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya

akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi

adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi

negatif atau menyebabkan penurunan harga alias akan berpengaruh negatif

terhadap inflasi, namun jika terjadi hal yang sebaliknya maka dampaknya

terhadap inflasi menjadi positif.

Mekanisme transmisi dari kondisi infrastruktur terhadap harga tentunya

tidak sesederhana itu karena secara tidak langsung hal tersebut juga akan

memengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di suatu negara atau wilayah, seperti

tingkat pengangguran, adanya lowongan pekerjaan dan terutama tingkat upah.

Oleh karenanya tidak mudah untuk melihat dampak agregat dari peningkatan

kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan infrastruktur secara

umum terhadap harga. Mengingat terdapat beberapa jalur yang kemungkinan

dapat memengaruhi harga dan dimungkinkan pula terjadi dampak bauran dari

beberapa alternatif jalur tersebut, maka dampak total terhadap harga menjadi tidak

mudah untuk diprediksi.

2.7 Metode Univariate Detrending

Beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan runtun waktu umumnya

memiliki tren stokastik dan komponen stasioner, seperti hipotesis permanent

income yang disintesakan oleh Milton Friedman atau output potensial dan inflasi

inti (core inflation) seperti telah dibahas sebelumnya. Khusus untuk estimasi

output potensial dengan metode univariate non-structural, Ladiray et al. (2003)

menjelaskan beberapa teknik detrending yang memisahkan antara komponen tren

yang bersifat permanen dan transitory component, yaitu deviasi dari komponen

tren yang cenderung bersifat sementara. Transitory component sendiri kemudian

didekomposisi menjadi komponen siklus dan gangguan (irregular) yang

diasumsikan mengikuti pola acak (white noise).

Page 65: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

46

Salah satu metode detrending yang sering digunakan untuk mengestimasi

output potensial adalah metode Hodrick–Prescott (HP) filter, meskipun metode ini

banyak dikritik karena tidak berdasarkan pendekatan struktural. Walapun banyak

mendapat kritik, namun jika dibandingkan metode univariate detrending lainnya

seperti BeveridgeNelson decomposition, metode ini menghasilkan dugaan yang

unique, sementara metode kedua tidak (Enders, 2004). Hal ini disebabkan oleh

ketergantungan dari model ARIMA (p,1,q) yang sesuai dengan kondisi data,

sementara masalah kesesuaian pada model ARIMA sendiri cenderung bersifat

subjektif.

Pendekatan detrending dengan menggunakan HP filter berusaha untuk

mendekomposisi series data menjadi tren (t) dan komponen stasioner yt – t. Jika

didefinisikan jumlah kuadrat sebagai berikut :

2T

1t

1T

2t

1ttt1t

2

ttT

yT

1SS ])()[()(

.................... (2.15)

dengan adalah sebuah konstanta dan T adalah jumlah observasi yang digunakan.

Permasalahan dalam penggunaan metode Hodrick–Prescott Filter adalah

bagaimana menentukan suatu deret dari t sehingga meminimumkan jumlah

kuadrat (SS). Terkait dengan permasalahan minimisasi, adalah suatu sembarang

konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana

menurunkan fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar akan

berimplikasi pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan

akan menjadi konstanta (Enders, 2004).

Selain dua metode detrending series yang telah disebutkan sebelumnya,

metode band pass filter merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan

untuk menghitung output potensial. Pendekatan ini berusaha untuk mengestimasi

komponen siklus secara langsung agar mendekati band pass filter yang ideal,

sehingga berada di antara selang low band (1*) dan high band (2*). Terdapat

dua pendekatan dalam metode ini, yaitu metode band pass BaxterKing dan

metode band pass ChristianoFitzgerald. Keduanya berusaha untuk

meminimumkan deviasi antara respon frekuensi dari filter yang ideal dengan

estimasi dari respon frekuensi dari estimasinya, hanya saja untuk band pass

Page 66: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

47

ChristianoFitzgerald menggunakan penimbang berupa densitas spektral dari data

runtun waktu yang akan dilakukan detrended.

Fungsi yang diminimumkan pada band pass filter versii BaxterKing dan

ChristianoFitzgerald adalah sebagai berikut (Ladiray et al., 2003) :

BaxterKing dweeQ2

iwiw

........ (2.16)

ChristianoFitzgerald dwwfeeQ y

2iwiw

........ (2.17)

dengan, (eiw) menyatakan respon frekuensi dari filter yang ideal, (eiw) dan

(eiw) adalah respon frekuensi yang diestimasi dan fy(w) merupakan densitas

spektral dari data yang di-detrended.

Menurut Ladiray et al. (2003), perbedaan dari kedua fungsi kerugian

tersebut adalah persamaan (2.16) mengharuskan kondisi yang simetris sementara

pada persamaan (2.17) dimungkinkan terjadinya kondisi yang tidak simetris pada

penimbang band pass filter. Perbedaan lainnya pada kedua metode tersebut adalah

BaxterKing menggunakan asumsi bahwa variabel mengikuti distribusi yang

identik dan independen, sementara pada band pass filter ChristianoFitzgerald,

variabel diasumsikan sebagai random walk.

Implikasi adanya perbedaan kedua asumsi tersebut adalah perbedaan

tingkat akurasi dari estimasi yang dihasilkan oleh keduanya. Perbedaan yang

menjadi implikasi lainnya adalah jumlah hasil estimasi yang diperoleh dari

metode BaxterKing menjadi berkurang beberapa observasi di awal dan di akhir

pada serangkaian data yang dianalisis, sedang pada metode ChristianoFitzgerald

diperoleh observasi yang lengkap. Terakhir, berdasarkan metode BaxterKing

akan didapatkan estimasi yang cukup baik saat high band sehingga cenderung

lebih baik digunakan untuk rentang waktu yang relatif pendek, sebaliknya metode

ChristianoFitzgerald cenderung baik untuk digunakan pada rentang waktu yang

relatif panjang atau bahkan tidak terbatas mengingat estimasi yang dihasilkan

cukup baik saat low band.

2.8 Metode Regresi Data Panel

Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu.

Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel

Page 67: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

48

digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak

dapat diberikan oleh model cross section dan time series murni. Aplikasi metode

estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis

maupun aplikatif dalam berbagai literatur mikroekonometrik dan

makroekonometrik.

2.8.1 Regresi Data Panel Statis

Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel statis,

yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), yang

dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan

peubah bebas. Secara umum, persamaan regresi panel data statis dituliskan

sebagai berikut :

yit = i + Xit + it .......................................... (2.18)

dengan yit : nilai variabel dependen untuk setiap unit individu i pada periode t

dengan i = 1, …, n dan t = 1, …, T

i : unobserved heterogenity

Xit : nilai variabel independen yang terdiri dari sejumlah K variabel.

: parameter yang diestimasi

dengan pada one way error, bentuk it didekomposisi menjadi

it = i + uit .......................................... (2.19)

dengan i adalah efek individu dan uit adalah gangguan yang bersifat acak dengan

asumsi uit iid (0,u2). Bentuk error it dapat didekomposisi menjadi two way atau

three way error, tergantung dari asumsi yang digunakan, namun pada penelitian ini

dibatasi hanya menggunakan bentuk one way error saja, baik untuk data panel statis

maupun dinamis.

2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM)

FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi

dengan atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Berdasarkan asumsi ini, maka

komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep,

sehingga untuk bentuk one way error, persamaan (2.19) dapat dituliskan menjadi

yit = ( i + i ) + Xit + uit .......................................... (2.20)

Page 68: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

49

Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu

(differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya

perbedaan intersep Į pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan

sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi

rata-rata individual. Khusus untuk one way error, penduga FEM dapat dihitung

dengan teknik Pooled Least Square (PLS), Least Square Dummy Variable

(LSDV) dan Within Group (WG).

2.8.1.2 Random Effect Model (REM)

REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi

dengan atau memiliki pola yang sifatnya acak. Dengan kondisi ini, maka

komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error,

sehingga pada bentuk one way error, persamaan (2.18) dapat ditulis ulang

menjadi

yit = i + Xit + uit + i ......................................... (2.21)

Asumsi yang digunakan dalam model efek acak (REM) adalah

0uE iit |

2

ui

2

ituE |

0xE iti | ; i, t

2

it

2

i xE | ; i, t

0uE jit ; i, t, j

0jsit uuE untuk ji dan st

Dalam bentuk one way error, penduga REM dapat dihitung dengan teknik

Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS).

2.8.2 Regresi Data Panel Dinamis

Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis

dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment).

Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag dari variabel dependen di

antara regresor. Perkembangan teknik ekonometrika pada tahap selanjutnya

seiring dengan tuntutan dalam ekonomi regional menyebabkan regresi panel data

dinamis bisa menangkap adanya keterkaitan secara spasial.

Page 69: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

50

2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial

Model regresi data panel statis dengan pendekatan Fixed Effect Model

(FEM) dan Random Effect Model (REM) merupakan penduga yang konsisten dan

efisien, namun pada kondisi ini berbeda jika diterapkan pada model data panel

dinamis, yaitu dengan hadirnya lag dari variabel dependen pada ruas kanan

persamaan. Pembuktian secara matematis mengenai inkonsistensi dan inefisiensi

dari penduga FEM dan REM untuk model data panel dinamis tidak disampaikan

di sini, namun secara lengkap dapat dilihat lebih lanjut dalam Verbeek (2008).

First-Difference GMM (FD-GMM)

Arrelano dan Bond (1991, dalam Baltagi, 2005) menyarankan suatu

pendekatan generalized method of moments (GMM) untuk mengatasi masalah ini.

Secara umum, bentuk data panel autoregresif dengan lag 1 atau AR(1) tanpa

variabel eksogen adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005) :

yit = yi,t-1 + uit ; < 1 ; t = 1, 2, … , T .......................................... (2.22)

dengan uit = i + vit, dengan i iid (0,2) dan vit iid (0,v

2).

Untuk memperoleh penduga yang konsisten, dengan N dengan T tertentu,

maka dilakukan first-difference pada persamaan (2.22) untuk menghilangkan efek

individu.

yit – yi,t-1 = (yi,t-1 – yi,t-2) + (vit – vi,t-1) ; t = 2, 3, … , T .................. (2.23)

dengan (vit – vi,t-1) mengikuti proses MA (1) dengan unit root.

Secara umum, pada persamaan (2.23) dapat dilihat bahwa yi,t-2 adalah variabel

instrumen yang valid karena berkorelasi dengan (yi,t-1 – yi,t-2), akan tetapi tidak

berkorelasi dengan (vit – vi,t-1). Prosedur instrumental variable masih belum ada

untuk differenced error term pada persamaan (2.23), dengan

E(vivi) = v2 (IN G) .......................................... (2.24)

dengan : vi = (vi3 – vi2, … , viT – vi,T-1) dan

210000

121000

000121

000012

G

.......................................... (2.25)

adalah (T-2) x (T-2), karena vi adalah MA(1) dengan unit root.

Didefinisikan sebagai

Page 70: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

51

21

21

0

0

Tii

ii

i

i

yy

yy

y

W

,,,

,

......................................... (2.26)

sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Wi berisi instrumen yang

valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh

kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai

E(Wivi) = 0 ......................................... (2.27)

Dengan mengalikan ulang persamaan difference (2.22) dalam bentuk vektor

dengan Wi, akan diperoleh

Wy = W (y-1) + Wv ......................................... (2.28)

Dengan prosedur GLS untuk mengestimasi persamaan (2.28), maka akan

diperoleh Arrelano dan Bond (1991) preliminary one-step consistent estimator :

1

1

N1

1

1

1

N11 yWWGIWWyyWWGIWWy ... (2.29)

Optimal GMM estimator dari ala Hansen (1982, dalam Baltagi, 2005) untuk

N yang tak hingga dan T relatif tetap dengan hanya menggunakan moment

restriction di atas menghasilkan notasi yang sama seperti (2.29) kecuali bahwa

N

1i

iiN WGWWGIW ......................................... (2.30)

digantikan oleh

N

1i

iiiiN WvvWV ......................................... (2.31)

GMM estimator memerlukan no knowledge concerning kondisi awal atau

distribusi dari vi dan ui. Prosedur estimasi pada metode ini adalah vi digantikan

oleh difference residual yang diperoleh dari preliminary consistent estimator.

Hasil metode estimasi ini adalah two-step Arrelano-Bond (1991) GMM estimator

(Baltagi, 2005) :

1

1

N1

1

1

1

N12 yWVWyyWVWy ˆˆ .......................... (2.32)

Sebuah estimasi yang konsisten dari asymptotic var (2 ) diberikan oleh bentuk

pertama dalam persamaan (2.33)

1

1

1

N12 yWVWyVar

ˆ ........................... (2.33)

Page 71: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

52

Kondisi1 dan

2 adalah asymptotically equivalent jika adalah vit iid (0,v2).

Berdasarkan cara yang sama, dapat diturunkan pula jika pada persamaan (2.22)

dimasukkan variabel eksogen, sehingga akan diperoleh persamaan berikut :

yit = x'it + yi,t-1 + uit ................................ (2.34)

Parameter persamaan (2.35) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi

variabel instrumen atau pendekatan GMM. Berbagai asumsi dapat digunakan

untuk xit , dengan demikian sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat

dibangun berdasarkan asumsi tersebut.

System GMM (SYS-GMM)

Menurut Blundell dan Bond (1998, dalam Baltagi, 2005), penduga

FD-GMM dapat mengandung bias pada sampel berukuran kecil, hal ini terjadi

ketika lagged level dari deret berkorelasi secara lemah dengan

first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan

first-difference lemah. Dalam model AR(1) pada persamaan (2.22), fenomena ini

terjadi karena parameter autoregresif () mendekati satu, atau varian dari

pengaruh individu (i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit).

Mereka menunjukkan bahwa penduga FD-GMM pada persamaan (2.23)

dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan

yang tersedia relatif kecil. Oleh karenanya, merupakan hal penting untuk

memanfaatkan kondisi awal (initial condition) dalam menghasilkan penduga yang

efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan

diberikan model autoregresif data panel dinamis sebagai berikut :

yit = yi,t-1 + i + vit ................................ (2.35)

dengan E(i) = 0; E(vi) = 0; E(ivi) = 0; untuk i = 1, 2, . . . , N ; t = 1, 2, . . . , T.

Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T = 3, oleh

karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh

E(yi1vi3) = 0; sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just identified). Dalam

kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan

meregresikan yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari

persamaan (2.35) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua ruas

pada persamaan tersebut, yakni

Page 72: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

53

yi2 = ( 1) yi,1 + i + vi2 ................................ (2.36)

karenakan ekspektasi E(yi1i) > 0; maka (1 – ) akan bias ke atas (upward biased)

dengan

)/(

ˆlim22

11uc

cp

.................... (2.37)

dengan c = (1 – )/(1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari

variabel instrumen zi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi

variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter

non-centrality

0c

c2

u

2

22

u

)( ; saat 1 .................... (2.38)

Ketika 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Blundell dan

Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM

dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter

konsentrasi (). Selanjutnya mereka memperluas penduga sistem GMM dengan

menggunakan lagged differences dari yit sebagai instrumen untuk persaman pada

level, sementara lagged level dari yit sebagai instrumen untuk persamaan dalam

first differences (lihat Arellano dan Bover, 1995).

2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis

Model data panel spasial dinamis adalah pengembangan lebih lanjut ketika

variabel dependen atau bentuk error-nya memiliki keterkaitan spasial. Bentuk

umum dari model spasial dengan i = 1, 2, … , N unit spasial dan t = 1, 2, … , T

periode waktu, dengan jumlah amatan unit spasial relatif lebih besar dari panjang

periode waktu. Jika diasumsikan data pada waktu ke-t dibangkitkan mengikuti

model berikut :

yt = yt-1 + WN yt + xt + ut ................................ (2.39)

dengan WN adalah matriks penimbang spasial berukuran N N dengan seluruh

elemen pada diagonal utama berisi nol dan elemen pada setiap baris dinormalkan;

adalah koefisien dari variabel dependen, adalah koefisien autoregresif spasial

yang mengukur efek dari terjadinya interaksi antar variabel endogen, sementara

xt dan ut masing-masing adalah variabel penjelas yang diasumsikan strictly

exogenous dan error term (Jacobs et al., 2009).

Page 73: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

54

Selanjutnya, pada kasus terjadinya keterkaitan struktur error secara

spasial, maka komponen error uit mengikuti proses autoregresif spasial sebagai

berikut :

ut = MN ut + t ................................ (2.40)

dengan MN adalah matriks penimbang spasial berukuran N N, sehingga MN uit

merupakan bentuk error spasial. Selanjutnya it = IN + vit ; vit iid (0,v2IN),

dengan vektor (unobservable) unit-specific fixed effects.

Persamaan (2.39) dan (2.40) kemudian dapat direduksi sehingga akan diperoleh

persamaan berikut :

yt = (IN WN )1 [ yt-1 + xt + ut ] ..................................... (2.41)

atau

yt = zt + ut ..................................... (2.42)

ut = (IN MN )1 [ IN + vt ] ..................................... (2.43)

dengan zit = [ yi,t-1 ; WN yit ; xit ], sementara = [ ; ; ' ]

Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB)

Metode ini merupakan perluasan dari metode data panel dinamis dari

Arellano dan Bond (1991) yang menghadirkan adanya keterkaitan secara spasial

pada variabel lag dan galatnya. Menurut Jacobs et al. (2009), penduga dari

koreksi spasial Arellano-Bond akan diturunkan dalam tiga tahap. Pada tahap

pertama, digunakan GMM untuk mengestimasi yang digunakan menghitung

ˆititit zyu , kemudian untuk menghilangkan digunakan pembedaan pertama

(first-difference) dari persamaan (2.42) dan (2.43).

yt = zt + ut ................................ (2.44)

ut = (IN MN )1 vt ; t = 3, … , T ................................ (2.45)

Baik lag dari waktu dan lag secara spasial dari variabel dependen adalah variabel

endogen yang saling berhubungan. Tantangan dari kondisi tersebut adalah

menemukan instrumen spasial yang memiliki korelasi yang lebih kuat dengan lag

spasial dibanding lag dari waktu pada variabel dependen, sebaliknya instrumen

dinamis memerlukan kondisi yang sebaliknya. Konsistensi dari prosedur GMM

data panel terletak pada eksistensi matriks instrumen HSAB dengan dimensi

N (T 2) F dengan memenuhi kondisi F momen berikut : E [H'SAB uit] = 0.

Page 74: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

55

Berdasarkan penjelasan tersebut, penduga untuk koreksi spasial Arellano-Bond

tahap pertama adalah sebagai berikut :

yHAHzzHAHz SABSABSAB

1

SABSABSABSAB ...................... (2.46)

dengan ASAB = [H'SAB G HSAB]1 adalah matriks instrumen berdimensi F F,

sementara G adalah matrik penimbang dengan ukuran N (T 2) N (T 2),

dengan elemen dari G seperti pada persamaan (2.25). Berdasarkan variabel

instrumen yang digunakan pada persamaan (2.46), implikasi dari prosedur

Arellano-Bond adalah harus terpenuhi kondisi momen berikut :

E(y'i,tsvit) = 0 ; t = 3, … , T dan s = 2, … , T 1 ......................... (2.47)

Meski demikian, karena adanya keterkaitan spasial maka dengan modifikasi dari

pendekatan Kelejian dan Robinson (1993, dalam Jacobs et al. 2009) harus

terpenuhi juga kondisi momen :

E[(WN xi,t2 )' vit ] = 0 ; E[ x'i,t2 vit ] = 0 ; t = 3, … , T ............. (2.48)

Pada tahap kedua, masih menurut Jacobs et al. (2009), penduga GMM

yang konsisten dari dan v2 diperoleh dari

itu dan memenuhi modifikasi dari

kondisi momen berdasarkan Kapoor et al. (2007) berikut :

0

MMtrN

1

Q2TN

1

Q2TN

1

Q2TN

1

NN

2

v

2

v

)(

)(

)(

)(

...................... (2.49)

dengan : Q = (IT1 JT1/(T 1)) IN adalah matriks transformasi “within”, IT1

merupakan matriks identitas berdimensi T 1 dan JT1 = eT 1 e'T 1, dengan

elemen sebanyak (T 1) (T 1). Vektor dan adalah vektor dengan ukuran

N (T 1) 1, didefinisikan sebagai berikut

uuitit dan uu ...................... (2.50)

dengan : uMIuzyu N1TSABititit )(;

dan uMIu N1T )(

Kemudian, dengan memasukkan persamaan (2.49) ke (2.50) akan diperoleh

uQu2T

1

uQu2T

1

uQu2T

1

N

1

N

2

v

2

ˆˆ)(

ˆˆ)(

ˆˆ)(

...................... (2.51)

Page 75: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

56

dengan

0uQu2T

1uQuuQu

2T

2

MMtruQu2T

1uQu

2T

2

1uQu2T

1uQu

2T

2

uQu2T

1

uQu2T

1

uQu2T

1

NN

ˆ)(

ˆˆˆ)(

)()(

ˆ)(

ˆˆ)(

ˆˆ)(

ˆˆ)(

ˆˆ)(

ˆˆ)(

Selanjutnya, pada tahap terakhir, penduga dari digunakan untuk

melakukan mentransformasi spasial, variabel pada persamaan (2.44) sehingga

akan diperoleh hasil

SCABzy~~ ....................... (2.52)

dengan untuk p = {y, z}, pMIp NN ~

Model transformasi kemudian digunakan untuk menurunkan penduga SAB pada

tahap ketiga

yHAHzzHAHz SABSABSAB

1

SABSABSABSCAB~~~~~~~~~~ˆ

....................... (2.53)

dengan 1

SABSABSAB HGHA

~~~dan SABNNSAB HMIH ~

Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB)

Sistem GMM yang disarankan oleh Blundell-Bond (1998) sebagaimana

telah dipaparkan sebelumnya merupakan cara untuk menanggulangi adanya

kelemahan dari instrumen yang digunakan dalam metode FD-GMM. Menurut

Jacobs et al. (2009), penduga dari koreksi spasial metode Blundell-Bond (SCBB)

dapat diturunkan melalui model berikut :

it

it

it

it

it

it

u

u

z

z

y

y ....................... (2.54)

atau secara ringkas dapat ditulis menjadi

yBB(t) = zBB(t) + uBB(t) ......................... (2.55)

dengan yBB(t) adalah vektor 2N 1.

Pada model Blundell-Bond, jumlah amatan menjadi dua kali lipat, yaitu dari

sebelumnya N ( T 2 ) menjadi 2N (T 2 ), sehingga akan meningkatkan efisiensi

dari pendugaan. Prosedur pendugaan SCBB dapat menggunakan tiga tahap

dengan mengikuti langkah-langkah yang digunakan pada pendugaan SCAB

sebelumnya. Tahap pertama dari penduga spasial Blundell-Bond yang disarankan

oleh Jacobs et al. (2009) adalah

Page 76: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

57

yHAHzzHAHz SBBSBBSBB

1

SBBSBBSBBSBB ...................... (2.56)

dengan ASBB = [H'SBB HSBB]1 dan HSBB didefinisikan seperti berikut

L

D

SBBH0

0HH ...................... (2.57)

Pada matriks HSBB, HD berisi instrumen untuk model dengan pembeda pertama,

sedangkan HL terdiri dari instrumen untuk model dalam bentuk level. Struktur dari

matriks HSBB sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.57) secara tidak

langsung memastikan tidak adanya interaksi antar variabel instrumen, sehingga

antara variabel instrumen tidak dapat memengaruhi satu dengan lainnya. Matriks

instrumen HD berdasarkan kondisi momen berikut

E[ y'(ts)v(t)] = 0 ; E[(WN x)' v(t)] = 0 ; E[x'(t) v(t)] = 0 ........ (2.58)

sementara matriks instrumen HL berdasarkan

E[ y'(t)v(ts)] = 0 ; E[(WN x)' v(ts)] = 0 ; E[x'(t) v(ts) ] = 0 . (2.59)

untuk t = 3, … , T dan s = 2, … , T 1.

Dengan mengambil analogi dari metode SCAB, tahap kedua dan ketiga

dapat dilakukan dengan prosedur pendugaan menggunakanSBBzyu

ˆ dengan

SBB

diperoleh dari pendugaan tahap pertama dan z hanya berisi variabel pada

level.

Page 77: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

58

2.9 Penelitian Sebelumnya

Beberapa penelitian empiris yang menjelaskan tentang keterkaitan inflasi dengan beberapa variabel lain yang memengaruhinya

disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya

No. Peneliti Objek / Tujuan Metode dan Data Hasil

1. Beirne (2009) Mengetahui faktor-faktoryang menyebabkan ataumemicu terjadinya inflasisecara komprehensif pada10 negara anggota baru dariUni Eropa.

Metode panel data dinamisdengan menggunakan datakuartalan tahun 1998 – 2007,Variabel-variabel yang ditelitiadalah yang mewakili kondisispesifik dari setiap negara danmerepresentasikan faktorglobal.

Inflasi inersia, nilai tukar nominalefektif (NEER), defisit fiskal, belanjapemerintah, investasi (PMTB), kondisiinfrastruktur dan variabel-variabel yangmenggambarkan tekanan inflasi yangberasal faktor global berpengaruhpositif dan signifikan terhadap inflasi dinegara-negara yang diteliti.

2. Benigno and Faia(2010)

Meneliti tentang bagaimanamekanisme transmisi dariglobalisasi dan besarnyadampak pass-through

terhadap inflasi.

Metode yang digunakan adalahSeemingly UnrelatedRegressions (SUR) dengandata yang digunakan adalahkuartalan tahun 1983 – 2008untuk 5 industri manufaktur diAmerika Serikat.

Derajat pass-through akan meningkatseiring dengan bertambahnya produkasing ke pasar domestik. Lebih lanjut,tingkat ketergantungan dari perusahaandomestik yang menggunakan komponenimpor dalam melancarkan strategipenentuan harga juga meningkat bilakemudian terjadi peningkatan derajatkompetisi dengan perusahaan asing.

Page 78: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

59

3. Bowdler and Malik(2006)

Meneliti tentang dampakketerbukaan perdaganganterhadap volatilitas inflasi.

Metode panel dinamis denganmodel unbalanced panel.Penelitian dilakukan pada 96negara dengan data kuartalantahun 1961 – 2000.

Keterbukaan perdagangan memberikanpengaruh negatif terhadap volatilitasinflasi. Hubungan tersebut terlihatsangat kuat pada negara-negaraberkembang (developing and emerging

market economies).

4. Gali and Gertler(2000)

Membangun model strukturalinflasi dengan mengakomodiraturan backward-looking

berdasarkan kurva Phillipsversi New Keynesian (New

Keynesian Phillips Curve/NKPC).

Metode GMM nonlineardengan variabel instrumen danmarginal cost sebagai driving

force variable dalam modelNKPC hibrid.

Model hibrid cukup robust dlmmenjelaskan aturan backward-looking,sementara aturan forward-looking lebihdominan dalam menjelaskan inflasi.

5. Lemos (2004b) Meneliti tentang pengaruhdari penetepan upahminimum terhadap tingkatharga.

Studi kasus yang digunakanadalah negara Amerika Serikatnamum menggunakan berbagaiteknik estimasi termasuk datadengan tahun yang berbeda-beda.

Penyesuaian upah minimum akanmemberi dampak positif terhadaptingkat upah dan harga namun tidakberdampak negatif terhadap tingkatpenyerapan tenaga kerja, namunpengaruhnya terhadap inflasi relatifkecil, berdasarkan berbagai teknikestimasi yang digunakan.

6. Wimanda (2006) Melakukan studi tentangkarakteristik, konvergensi dandeterminan inflasi regional diIndonesia

Metode yang digunakan adalahGranger causality; koefisienkorelasi; koefisien konvergensi

dan ; dan OLS

Inflasi regional cenderung divergen,sementara determinan penting dalaminflasi regional adalah ekspektasi inflasi(backward looking) dan nilai tukar.

Page 79: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

60

7. Lünnemann andMathä (2005)

Meneliti tentang derajatkekakuan harga danpersistensi inflasi, khususnyaterkait dengan harga yangdiatur dan tarif jasa untuk 15negara Uni Eropa.

Disagregasi indeks (HICP). Administred prices cenderung rigid kebawah dan cukup besar dalammemengaruhi inflasi. Jika dikeluarkandari paket penghitungan indeks harga,maka akan mengurangi terjadinyapersistensi dari inflasi secara agregat.

8. Solikin (2007) Melakukan penelitian untukmengetahui karakteristiktekanan inflasi di Indonesia

Menggunakan metode SVARmodel dekomposisi Cholesky,dengan analisi data kuartalantahun 1974 – 2002.

FEVD menunjukkan bahwa guncanganpada sisi penawaran, yang merupakanagregasi dari shock dari luar negeri dankondisi penawaran agregat, relatif lebihdominan dalam memengaruhi hargadibanding sisi permintaan. Implikasihasil adalah kebijakan moneter masihdapat digunakan secara berhati-hatiuntuk memengaruhi inflasi.

9. Solikin (2004) Meneliti tentang keberadaandari kurva Phillip dalamperekonomian Indonesia

Model yang digunakan adalahhybrid NKPC yg diestimasidengan GMM, sementaradriving force variable adalahoutput gap, dengan estimasioutput gap berbagai metode

Kurva Phillips versi NKPC memangbenar eksis, dengan tradeoff antaraoutput gap dan tingkat inflasi berubahseiring dengan terjadinya perubahanstruktural di Indonesia (time

dependent). Selain itu diketahui pulabahwa perilaku forward-looking

berperan lebih penting dalammembentuk inflasi dibanding denganunsur backward-looking.

Page 80: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

61

10. Mehrotra et al. (2007) Membangun sebuah modelinflasi untuk negara Chinadalam perspektif provinsiuntuk melihat sampai sejauhmana NKPC dapatmenangkap proses terjadinyainflasi pada tingkat provinsi.

Baseline model adalah hybrid

NKPC dengan driving force

variable adalah output gap, ygdiestimasi metode GMM.Kemudian untuk menjelaskanperbedaan pembentukan inflasidigunakan regresi probit.

Inflasi dengan output gap sebagaidriving force variable dan aturanforward-looking cukup baik dalammenjelaskan perilaku inflasi hanyaprovinsi-provinsi di wilayah pesisirtimur saja akan tetapi tidak dapatmenjelaskan perilaku inflasi di wilayahlainnya.

11. Al-Nasser et al.(2009)

Berusaha untuk membuktikanvaliditas dari hubungannegatif antar keterbukaanperdagangan dengan tingkatinflasi yang sebelumnya telahditeliti oleh Romer (1993).

Metode yang digunakan adalahmetode data panel, denganjumlah negara yang ditelitisebanyak 152 negera untuktahun 1950 – 1992.

Pada prinsipnya hasil penelitian dariRomer masih berlaku sampai dengantahun 1990-an dan mementahkan kritikyang menyatakan hubungan yangsebaliknya. Hasil penelitian cukuprobust karena berdasarkan pembagiankelompok negara-negara menunjukkanhasil yang sama.

12. Prasertnukul et al.(2010)

Meneliti tentang dampak daridiadopsinya kerangka kerjapenargetan inflasi (inflation-

targeting framework/ITF)terhadap pass-through danvolatilitas nilai tukar diIndonesia, Filipina, Thailanddan Korea.

Metode yang digunakan adalahOLS, SURE dan VAR untukmelihat dampak pass-through,

dan untuk melihat volatilitasdigunakan metode GARCH,dengan data bulanan dariJanuari 1990 - Juni 2007.

Secara umum, dengan diadopsinya ITF,akan menurunkan derajat exchange rate

pass-through dan volatilitas inflasi.Khusus untuk Indonesia, pengaruhnyatidak terlihat signifikan.

Page 81: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

62

2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, permasalahan utama yang dalam penelitian

ini yang diduga akan membentuk inflasi nasional adalah tekanan inflasi daerah dan

struktur ekonomi daerah. Dalam menjelaskan kedua permasalahan utama tersebut, maka

dilakukan pendekatan melalui analisis AD – AS dan pendekatan kurva Phillips versi

New Keynesian (NKPC), khususnya terkait dengan pembentukan inflasi daerah. Selain

itu dilakukan pula pendekatan lain melalui kondisi infrastruktur dan keterbukaan dalam

perdagangan yang mewakili struktur ekonomi daerah. Berdasarkan kedua pendekatan

tersebut, kemudian dirinci beberapa variabel yang terkait dengan pembentukan inflasi

sesuai dengan tujuan penelitian, termasuk bagaimana mekanisme transmisi dari setiap

variabel yang dianalisis dalam model akan memengaruhi inflasi.

Mekanisme transmisi sebagaimana diilustrasikan oleh Gambar 7

memperlihatkan bahwa hubungan langsung dari variabel-variabel yang dianalisis

terhadap inflasi nasional ditunjukkan oleh panah dengan garis tidak terputus-putus ( ),

sementara hubungan langsung dalam memengaruhi inflasi nasional diperlihatkan oleh

panah dengan garis terputus-putus ( ). Dalam mekanisme transmisi tersebut juga

dapat dilihat beberapa variabel yang sesungguhnya tidak dianalisis dalam model karena

memang tidak dimasukkan sebagai tujuan pada penelitian ini. Secara eksplisit, variabel-

variabel yang masuk dalam model penelitian dinyatakan dengan kotak tanpa garis

terputus-putus ( ), sedangkan variabel-variabel di luar model penelitian namum

terkait dengan mekanisme transmisi disimbolkan dengan kotak dengan garis terputus-

putus ( ). Lebih lanjut, variabel-variabel yang masuk dalam model penelitian akan

dianalisis dengan regresi panel data dinamis.

62

Page 82: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

63

Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian.

Page 83: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 84: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

III. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Analisis

Bab ini akan membahas metode analisis yang digunakan dalam penelitian

ini, yang terdiri dari analisis deskriptif dan analisis ekonometrika. Analisis dengan

metode ekonometrika menggunakan metode univariate detrending dan metode

regresi data panel seperti telah disampaikan pada tinjauan teoritis dalam bab

sebelumnya. Guna mendukung analisis ini, akan digunakan paket program

software STATA 10.0. dan EViews 6.0.

3.1.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum mengenai

dinamika inflasi regional dan beberapa variabel yang diduga terkait erat dengan

inflasi, termasuk struktur ekonomi menurut provinsi. Melalui metode analisis

yang pertama ini akan disajikan tabel dan gambar/grafik untuk memperlihatkan

kondisi perekonomian secara umum menurut provinsi. Selain itu, digunakan pula

beberapa statistik sederhana seperti rata-rata sederhana, rata-rata tertimbang,

koefisien korelasi Pearson dan pengujian kausalitas granger untuk melihat

keterkaitan inflasi antar provinsi di Indonesia dan keterkaitan inflasi dengan

variabel lainnya yang digunakan dalam penelitian ini. Melalui gambaran umum

ini, diharapkan dapat menguatkan analisis ekonometrika yang akan dibahas

selanjutnya, terkait dengan hipotesis yang telah disusun untuk menjawab tujuan

penelitian ini.

3.1.2 Estimasi Output Potensial dengan Metode Univariate Detrending

Penghitungan output potensial pada hakikatnya tidak mudah dilakukan

karena output potensial sendiri merupakan unobserved component. Metode yang

umum digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah pendekatan

univariate. Pendekatan ini relatif lebih mudah dibanding pendekatan multivariate,

karena bisa dilakukan melalui dekomposisi atau detrended dari series data

tertentu. Adapun penggunaan metode univariate dalam penelitian ini mengacu

pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008) yang menyatakan bahwa

output potensial lebih halus dan lebih baik jika diestimasi dengan menggunakan

metode detrended tradisional.

Page 85: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

66

Metode univariate detrending yang digunakan digunakan dalam penelitian

ini adalah metode Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass filter ala

ChristianoFitzgerald. Penggunaan kedua metode ini didasari atas kesadaran

bahwa output potensial sendiri merupakan unobserved component, sehingga pada

praktiknya diperlukan metode penghitungan alternatif untuk melihat

keterbandingan hasil estimasi output potensial. Berdasarkan hasil estimasi output

potensial dengan kedua metode ini, kemudian akan diturunkan output gap yang

menjadi salah satu variabel yang memengaruhi inflasi, dengan demikian akan

dilihat bagaimana keterkaitan antara output gap yang dihasilkan dengan inflasi

yang merupakan objek utama dalam penelitian ini.

Langkah awal dalam melakukan estimasi output potensial adalah

menyiapkan data dengan series yang cukup panjang, setidaknya 20 tahun,

sehingga secara tidak langsung dapat mencerminkan adanya kondisi NAIRU

(non-accelerating inflation rate of unemployment) atau menggambarkan tren

pertumbuhan output dalam jangka panjang. Pada praktiknya, penelitian ini akan

menggunakan PDB atas dasar harga konstan yang merupakan proksi dari output

riil, untuk periode tahun 1983 – 2009. Pada metode HP filter, permasalahan yang

dihadapi adalah bagaimana memilih 1, yaitu sembarang konstanta yang

mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi

menjadi tren. Dalam beberapa penelitian termasuk Hodrick–Prescot (1984, dalam

Enders, 2004) dan Farmer (1993, dalam Enders, 2004), ditetapkan sebesar

1.600. Menurut mereka, besarnya tersebut merupakan nilai yang cukup ideal

karena umumnya akan diperoleh hasil dekomposisi yang cukup masuk akal.

Sayangnya, dalam Ender (2004) tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai periode

data yang digunakan, apakah data tahunan, triwulanan atau bulanan yang cukup

baik untuk menggunakan nilai yang disarankan. Merujuk pada Hodrick–Prescot

(1980, dalam Ladiray et al., 2003), nilai dibedakan menurut periode data, yaitu

untuk data tahunan menggunakan = 100, sedangkan pada data triwulanan

ditetapkan sebesar 1.600, sementara untuk data bulanan besarnya adalah

144.000. Merujuk pada penjelasan Ladiray et al. (2003) tersebut, maka nilai

untuk metode HP filter dalam penelitian ini adalah 100, karena periode data yang

digunakan adalah data tahunan.

Page 86: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

67

Permasalahan selanjutnya yang dihadapi dalam metode band pass filter

dari ChristianoFitzgerald adalah memilih pendekatan simetris atau pendekatan

asimetris. Pendekatan simetris menetapkan peningkatan dan penurunan output

potensial berada pada band tertentu, dengan besarnya lower band dan upper band

dibuat sama. Sebaliknya, pada pendekatan asimetris yang dimungkinkan

terjadinya peningkatan atau penurunan output tidak selalu dalam range yang

sama. Sayangnya, pendekatan simetris akan menyebabkan hilangnya beberapa

observasi di awal dan di akhir dari suatu set series data, sementara pada

pendekatan asimetris hal tersebut tidak terjadi. Berdasarkan penjelasan tersebut,

metode band pass filter yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

asimetris dari ChristianoFitzgerald agar diperoleh observasi yang utuh dari series

data yang diestimasi. Adapun nilai lower band dan upper band yang ditetapkan

dalam model ini masing-masing sebesar 0,8 dan 0,2.

3.1.3 Aplikasi Regresi Data Panel

Pembahasan mengenai aplikasi regresi data panel dalam sub bab ini terdiri

dari tiga bagian, yaitu data panel statis, data panel dinamis non spasial dan data

panel spasial dinamis, dengan landasan teoritis mengenai ketiganya telah

disampaikan pada bab sebelumnya. Setiap bagian akan membahas beberapa

kendala yang dihadapi oleh masing-masing model dan bagaimana perlakuan yang

diterapkan untuk mengatasinya.

Analisis data panel umumnya menggunakan data dalam bentuk level

dengan tujuan untuk memudahkan interpretasi model, namun jika kemudian

penelitian menggunakan data dengan series yang yang mengandung tren, maka

perlu dilakukan pengujian unit root, untuk memastikan bahwa hubungan antara

variabel dependen dan variabel independen tidak menunjukkan spurious

regression. Bila hasil pengujian unit root menunjukkan adanya tren pada data

level, maka seperti biasanya, harus dilakukan pembedaan pertama (first

differencing) untuk menghindari terjadinya hasil yang misleading. Perlu diingat

bahwa karena data yang digunakan dalam penelitian adalah data panel, maka

pengujian unit root yang digunakan bukan menggunakan metode yang biasa,

tetapi menggunakan panel unit root. Pengujian ini disarankan oleh Baltagi (2005)

untuk data panel dengan N dan T yang relatif tidak besar.

Page 87: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

68

Hipotesis nol yang digunakan dalam pengujian panel unit root sama

seperti pada pengujian unit root untuk data time series murni, hanya saja statistik

uji yang digunakan merupakan pengembangan lebih lanjut dari statistik uji

Augmented Dickey–Fuller (ADF) dan Phillips–Perron (PP). Statistik uji yang

digunakan dalam menguji panel unit root terdiri dari dua jenis, yaitu common unit

root yang terdiri dari statistik uji Levin, Lin and Chu (LLC) dan Breitung’s test;

serta individual unit root yang terdiri statistik uji Im, Pesaran and Shin (IPS),

ADF – Fisher test dan PP – Fisher test. Setelah diperoleh hasil pengujian yang

menyatakan bahwa series dari data panel tidak mengandung unit root maka

estimasi bisa dilaksanakan.

3.1.3.1 Model Data Panel Statis

Estimasi dengan model regresi data panel statis dapat menggunakan data

level sepanjang tidak mengandung unit root. Secara umum model estimasi dari

data panel statis untuk data pada bentuk level dapat dituliskan sebagai berikut :

it

F

1j

jitj1ti10it xapaap

,....................... (3.1)

dengan pit dan pi,t–1 menyatakan tingkat harga pada data cross section ke-i periode

t, dan sebelumnya, sementara xjit adalah variabel eksogen ke-j, pada data cross

section ke-i periode t, dan F + 1 menyatakan seluruh jumlah variabel penjelas

termasuk variabel pi,t–1.

Jika kemudian terdapat unit root pada data level, maka persamaan (3.1) harus

dilakukan first differencing, sehingga akan diperoleh persamaan berikut :

it

F

1j

jitj1ti1it xpp

,....................... (3.2)

Metode data panel statis yang digunakan untuk mengestimasi salah satu

dari persamaan (3.1) atau (3.2) adalah Fixed Effect Model (FEM) dan Random

Effect Model (REM). Model FEM dibatasi hanya akan menggunakan within

estimator dan Pooled Least Squared (PLS), sementara pada model REM akan

menggunakan GLS estimator saja. Statistik uji Hausman akan digunakan untuk

membandingkan model FEM dengan model REM, sementara uji Chow digunakan

untuk membandingkan FEM dengan PLS. Tujuan penggunaan kedua statistik uji

ini adalah untuk mendapatkan model terbaik pada metode data panel statis.

Page 88: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

69

3.1.3.2 Model Data Panel Dinamis Non Spasial

Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa model data panel dinamis

diperoleh dari data level sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.22) untuk

tinjauan teoritis dan persamaan (3.1) atau persamaan (3.2) untuk aplikasinya.

Secara umum, permasalahan utama dalam aplikasi regresi data panel dinamis

adalah penentuan variabel instrumen yang akan digunakan untuk estimasi model

empiris. Tahap awal dalam menentukan instrumen variabel adalah seluruh

variabel penjelas (explanatory variable) selain lag dari variabel dependen

diasumsikan strictly exogenous. Berdasarkan asumsi tersebut, maka matriks

instrumen (Wi) pada persamaan (2.26) hanya terdiri dari sekumpulan data level

untuk variabel dependen atau dalam persamaan (3.1) secara eksplisit dinyatakan

oleh variabel “p”. Instrumen ini tentu saja hanya tepat digunakan untuk model

FD-GMM, karena secara teoritis tidak mensyaratkan adanya intial condition

sebagaimana dibutuhkan pada model SYS-GMM (Baltagi, 2005).

Sedikit berbeda dengan instrumen yang digunakan pada model FD-GMM,

maka untuk model SYS-GMM dibutuhkan intial condition dalam suatu sistem

persamaan. Bentuk sistem persamaan dari metode ini adalah dengan

menggabungkan persamaan (3.1) dan (3.2) dengan mengeliminasi intersep (a0)

dari persamaan (3.1). Jika variabel penjelas lainnya masih diasumsikan strictly

exogenous, maka variabel instrumennya adalah data first differencing untuk

persamaan pada level dan data level untuk persamaan first difference. Di bawah

sistem persamaan dari SYS-GMM, secara eksplisit, variabel instrumen untuk

persamaan (3.1) adalah “pit”, sedangkan “pit” merupakan variabel instrumen

untuk persamaan (3.2), dengan t = 1, 2, … , T – 2.

Khusus pada model SYS-GMM, variabel instrumen dapat ditambah

dengan memasukkan lag dari variabel instrumen awal, yaitu “pit-1” dan “pit-1”.

Dasar penambahan variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan antara

variabel dependen dan lag dari variabel dependen yang berada pada sisi kanan

sistem persamaan. Meski dapat ditambahkan variabel instrumen, termasuk pada

model FD-GMM, namun perlu dipastikan terlebih dahulu apakah variabel

instrumen yang digunakan adalah valid. Pengujian validitas variabel instrumen

yang digunakan adalah menggunakan statistik uji Sargan, dengan hipotesis nol

Page 89: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

70

yang menyatakan bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid. Hasil

pengujian yang diharapkan adalah hipotesis nol diterima, artinya tidak ada cukup

bukti untuk menolak bahwa variabel instrumen yang digunakan adalah valid.

Sebaliknya, jika kemudian hipotesis nol ditolak, maka perlu ditambahkan

beberapa variabel instrumen lainnya, salah satunya dengan membuat kombinasi

pasangan dengan variabel penjelas lainnya yang sebelumnya diasumsikan strictly

exogenous.

Selanjutnya, pengujian tambahan perlu dilakukan untuk model FD-GMM,

selain menggunakan uji Sargan. Pengujian tambahan dimaksud adalah dengan

menggunakan statistik uji Arelano-Bond “m1” dan “m2”. Hipotesis nol dari uji

Arelano-Bond adalah terjadi autokorelasi pada error, dengan hipotesis untuk “m1”

menyatakan bahwa rata-rata autocovariance dari error pada ordo 1 adalah nol

sedangkan hipotesis untuk “m2” adalah rata-rata autocovariance dari error pada

ordo 2 adalah nol. Hasil pengujian yang diharapkan adalah hipotesis untuk “m1”

ditolak, sebaliknya hipotesis untuk “m2” harus diterima.

3.1.3.3 Model Data Panel Spasial Dinamis

Ide dasar dari dari model data panel spasial adalah keterkaitan antar

wilayah yang kemungkinan akan berpengaruh pada hasil estimasi. Hal ini

setidaknya mengikuti First Law of Geography dari Tobler yang menyatakan

bahwa “everything is related to everything else, but near things are more related

than distant things” (World Development Report 2009). Baik secara teoritis

maupun secara empiris, keterkaitan tersebut memang tidak dapat disangkal,

namun ukuran keterkaitan itu sendiri yang mungkin menjadi sumber perdebatan

mengingat keterkaitan dimaksud bisa ditinjau dari berbagai sudut pandang.

Terkait dengan model data panel spasial dinamis, salah satu permasalahan

yang dihadapi adalah bagaimana menentukan matriks penimbang spasial W untuk

model spatial lag dan M untuk model spatial error atau untuk model gabungan

dari keduanya (lihat persamaan (2.45) dan (2.46)). Kukenova dan Monteiro (2009)

menggunakan dua pendekatan untuk menentukan matriks penimbang spasial W,

yaitu pertama, bersandarkan pada kondisi ideal keterkaitan antar wilayah di

seluruh dunia akibat perbedaan derajat penyebarannya (degree of sparseness),

sebagaimana penelitian Kelejian dan Prucha (1999) dan Kapoor et al. (2007), dan

Page 90: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

71

kedua, berdasarkan kondisi riil yang terjadi yang dinyatakan sebagai jarak riil

(jarak Euclidean) antar ibukota negara/negara bagian. Penelitian Baltagi et al.

(2010) tentang kurva upah di Jerman dengan model spatial error menggunakan 5

pendekatan untuk matriks penimbang spasial M, yaitu berdasarkan letak yang

berdampingan antar dua wilayah (contiguity), arus ulang-alik commuter, jarak,

waktu tempuh perjalanan dan berdasarkan penimbang tingkat penyerapan tenaga

kerja dari dua wilayah yang berdampingan (employment weighted contiguity).

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pada intinya pendekatan untuk matrik penimbang spasial W dan M

menggunakan variabel-variabel yang mewakili jarak riil dan variabel-variabel

yang menyiratkan adanya spillover antar wilayah. Beberapa variabel yang

digunakan untuk menangkap adanya spillover seperti dinyatakan dalam penelitian

Baltagi et al. (2010) sepertinya cukup masuk akal, namun penggunaan jarak

Euclidean perlu dipertanyakan, khususnya untuk kasus Indonesia yang

notebenenya merupakan negara kepulauan yang masih terkendala dengan masalah

infrastruktur yang diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya divergensi harga

dan inflasi. Terkait dengan masalah tersebut, sepertinya untuk variabel jarak harus

dilakukan redifinisi sehingga matrik penimbang spasial W yang nantinya

terbentuk akan menggambarkan keterkaitan secara spasial yang kuat selainjuga

karena akan digunakan sebagai salah satu variabel instrumen dalam estimasi

model.

Definisi jarak menurut World Development Report 2009 adalah sesuatu

yang dapat menunjukkan mudah atau sulitnya barang, jasa, tenaga kerja, modal,

informasi dan ide-ide untuk melintasi ruang, sehingga mencerminkan bagaimana

kemudahan perpindahan arus modal, mobilitas tenaga kerja dan bagaimana aliran

barang dan jasa bisa sampai dari satu tempat ke tempat lainnya. Berdasarkan

definisi tersebut, istilah jarak lebih merujuk pada konsep ekonomi dan bukan

sekedar jarak secara fisik. Terkait definisi tersebut, maka untuk menangkap

keterkaitan spasial yang kuat yang mewakili konsep ekonomi, pada penelitian ini

digunakan matrik penimbang yang berasal dari koefisien matriks penggunaan

barang domestik Inter-Regional Input Output (IRIO) Indonesia tahun 2005.

Page 91: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

72

Koefisien matriks tersebut kemudian dilakukan ditranspose sehingga secara baris

menyatakan pengaruh penggunaan input.

Permasalahan lain dalam model data panel spasial dinamis adalah

bagaimana membuat sistem persamaan simultan dengan beberapa instrumen

tambahan agar terpenuhi kondisi momen pada persamaan (2.49) di bawah

prosedur Arellano-Bond atau Blundell-Bond, sebagaimana syarat yang disarankan

oleh Kukenova dan Monteiro (2009). Hal ini tentu berbeda dengan prosedur untuk

metode data panel dinamis non spasial yang tidak mensyaratkan sistem persamaan

simultan dan sebagainya dalam penggunaannya. Terkait dengan penggunaan

metode data panel dinamis, akan digunakan prosedur Arellano-Bond terlebih

dahulu. Jika hasilnya menunjukkan statistik uji m1 dan m2 dari Arellano-Bond

serta uji Sargan sesuai dengan harapan dan cukup konsisten dengan teori ekonomi

maka tidak perlu menggunakan prosedur Blundell-Bond. Selanjutnya, guna

menanggulangi terjadinya downward biased dari estimator GMM murni, estimasi

dari standar error akan mengikuti prosedur dari Windmeijer (2005) untuk

menjaga robustness hasil penelitian.

3.2 Spesifikasi Model Penelitian

Model empiris dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada

penelitian Beirne (2009), dengan baseline model yang digunakan adalah

it

F

1j

jitj1ti1it xpp

,....................... (3.3)

dengan pit dan pi,t–1 adalah level harga pada provinsi ke-i periode t, dan

sebelumnya, sementara xjit adalah variabel penjelas ke-j, pada provinsi ke-i

periode t, dan F menyatakan jumlah variabel penjelas lainnya selain dari lag

variabel dependen.

Modifikasi baseline model dari penelitian Beirne (2009) diperlukan

mengingat dari 18 variabel yang digunakan tersebut, 4 variabel diantaranya, yaitu

harga relatif, kapitalisasi pasar modal, indeks kebebasan ekonomi dan indeks

liberalisasi harga tidak tersedia pada tingkat provinsi di Indonesia. Kemudian,

beberapa faktor global seperti shock harga minyak dunia dan shock harga pangan

dunia dianggap sudah diwakili melalui transmisi ke variabel nilai tukar. Khusus

untuk shock harga minyak dunia juga dianggap kurang relevan dengan kondisi

Page 92: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

73

Indonesia yang menetapkan harga minyak sebagai administred prices sehingga

variabel ini digantikan dengan indeks harga BBM. Kemudian untuk variabel

shock yang dari suku bunga dunia juga tidak digunakan karena mekanisme

transmisinya sudah terwakili oleh penyesuaian suku bunga acuan domestik yang

dilakukan oleh Bank Indonesia sehingga variabel tersebut digantikan dengan suku

bunga acuan domestik, sebagaimana penelitian dari Habermeier et al. (2009) yang

memasukkan variabel ini sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi

inflasi dan merupakan salah satu opsi kebijakan dalam mengendalikan inflasi.

Selanjutnya, variabel dummy tentang kondisi suatu negara sebelum dan

sesudah masuk sebagai anggota Uni Eropa; variabel dummy tentang pergantian

sistem nilai tukar; dan variabel kondisi nilai tukar sebelum dan setelah pergantian

sistem nilai tukar juga tidak relevan dengan kondisi Indonesia yang merupakan

satu kesatuan moneter sejak pertama merdeka, sedangkan pergantian nilai tukar

telah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1999, sementara cakupan analisis

adalah tahun 2000 – 2009. Variabel pergantian sisitem nilai tukar kemudian,

digantikan dengan variabel kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation

targeting framework/ITF) dalam penelitian ini. Variabel-variabel lainnya yang

juga tidak digunakan adalah PDB riil per kapita, Pembentukan Modal Tetap Bruto

(PMTB) atau investasi riil dan persentase kredit domestik untuk sektor swasta

(kredit modal usaha) terhadap PDB karena tidak sesuai dengan tujuan penelitian.

Pertimbangan lainnya dengan tidak memasukkan PMTB dan kredit modal usaha

adalah secara langsung maupun tidak langsung hal tersebut merupakan outcome

dari penyesuaian suku bunga acuan yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Baseline model dari penelitian Beirne (2009) memperlihatkan variabel

pengangguran yang secara tidak langsung menandakan bahwa model yang

dibangun sesungguhnya menggunakan pendekatan kurva Phillips dengan

perluasan dan berdasarkan relasinya terhadap tingkat pengangguran. Pendekatan

kurva Phillips klasik ini digantikan dengan pendekatan NKPC sesuai landasan

teoritis yang digunakan dalam penelitian ini, dengan demikian, variabel tingkat

pengangguran digantikan dengan output gap sebagai driving force variable.

Alasan penggantian pendekatan kurva Phillips tersebut adalah building block dari

mikro ekonomi untuk pendekatan klasik masih perlu dipertanyakan. Sebaliknya,

Page 93: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

74

pendekatan New Keynesian diturunkan dari landasan mikro ekonomi yang kuat,

yaitu konsumen memaksimumkan utilitasnya dan perusahaan memaksimumkan

keuntungannya terkait dengan kendal masing-masing dalam kerangka ekulibrium

harga yang fleksibel atau staggered price setting (Gali, 2002).

Konsekuensi dari penggunaan pendekatan NKPC adalah memasukkan

variabel ekspektasi inflasi yang cenderung merupakan unobservable component.

Guna menanggulangi masalah tersebut, Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007);

Gali dan Gertler (2000); dan Gali et al. ((2001);(2005)) melakukan estimasi

dengan beberapa variabel instrumen diantaranya nilai tukar, suku bunga dan

output gap. Konsekuensi dengan membuat variabel ekspektasi inflasi sebagai

variabel endogen di bawah model regresi panel dinamis, akan menyebabkan

proses estimasi menjadi tidak efisien, karena harus ada variabel instrumen

tambahan lainnya. Merujuk pada penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang

menyatakan bahwa ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh administered prices, harga

sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan

gaji PNS, maka variabel ekspektasi inflasi digantikan dengan faktor-faktor yang

memengaruhinya kecuali harga sembako dan variabel-variabel tersebut

dimasukkan ke dalam model.

Pembahasan mengenai inflasi sendiri tentu menjadi kurang lengkap tanpa

memasukkan variabel moneter jumlah uang beredar (M1), karena setidaknya

Friedman menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu fenomena moneter. Secara

empiris, M1 dianggap sebagai determinan inflasi merujuk pada penelitian yang

dilakukan oleh Kwon et al. (2009). Selain perbedaan yang telah disampaikan

sebelumnya, dibanding penelitian Wimanda (2006), pendekatan yang digunakan

pada penelitian ini menggunakan data panel dengan memasukkan beberapa

variabel yang mewakili kebijakan moneter, kebijakan pemerintah pusat dan

daerah, sementara penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan parsial,

dengan analisis difokuskan pada variabel-variabel yang terkait dengan kebijakan

desentralisasi fiskal.

Berdasarkan uraian tersebut, maka model umum yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Page 94: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

75

Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it

+ 7 BMit + 8 Git + j j xj.it ........ (3.4)

dengan : P : perubahan harga (inflasi)

OG : output gap

IR : perubahan suku bunga riil

M1 : perubahan jumlah uang beredar riil

XR : perubahan nilai tukar nominal efektif

BM : perubahan indeks harga BBM

W2 : kenaikan gaji PNS golongan terendah

G : perubahan belanja pemerintah daerah

xj.it : perubahan dari variabel penjelas lainnya

subskrip (it) atau (i,t1) menandakan kondisi pada provinsi ke-i dan tahun ke-t

atau tahun sebelumnya. Variabel harga (P), output gap (OG), nilai tukar nominal

efektif (XR), jumlah uang beredar riil (M1), belanja pemerintah (G), indeks harga

BBM (BM ), dan gaji PNS (W2) dinyatakan dalam bentuk logaritma natural,

sementara untuk variabel suku bunga riil (IR) dinyatakan dalam bentuk

persentase. Perlu dicatat di sini, model umum pada persamaan (3.4) adalah dalam

bentuk first differencing, dengan demikian jika menggunakan data level, tanda

delta () harus dihilangkan.

Selanjutnya, model umum seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4)

memunculkan lag inflasi sebagai variabel penjelas sehingga model yang

dikonstruksi merupakan model dinamis. Filosofi dari model dinamis ini merujuk

pada kurva Phillips versi New Keynesian (NKPC) dengan memasukkan unsur

ekspektasi inflasi dalam konstruksi model inflasi tersebut. Perdebatan muncul

berkenaan dengan ekspektasi inflasi apakah merupakan perilaku forward looking

atau cenderung bersifat backward looking. Terkait dengan perdebatan tersebut,

penelitian Wimanda et al. (2011) menunjukkan bahwa perilaku backward looking

lebih penting dibanding fenomena forward looking untuk kasus Indonesia.

Berdasarkan kajian empiris ini, dikonstruksi model dinamis dengan memasukkan

lag inflasi sebagai variabel penjelas seperti dapat dilihat pada persamaan (3.4).

Berdasarkan model umum pada persamaan (3.4) tersebut, kemudian

dikembangkan dua persamaan, yaitu model data panel dinamis non spasial dan

Page 95: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

76

data panel spasial dinamis untuk menangkap dampak spasial dari keterkaitan antar

provinsi terhadap inflasi. Pada metode non spasial, upaya untuk menangkap

respon inflasi terhadap perubahan infrastruktur dilihat melalui interaksinya dengan

penyesuaian UMP yang mencerminkan mekanisme perubahan harga yang terjadi

melalui pasar tenaga kerja dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan yang

mewakili mekanisme harga melalui jalur perdagangan. Interaksi antara perubahan

kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP yang dimasukkan dalam formulasi

ini juga merupakan upaya untuk menangkap dampak spillover dari perubahan

kondisi infrastruktur terhadap pasar tenaga kerja secara spasial yang kemudian

berujung pada perubahan harga. Sedikit berbeda dengan model non spasial, pada

metode spasial yang menggunakan matrik penimbang spasial ditambah beberapa

instrumen untuk menangkap dampak spillover antar provinsi. Konsekuensi dari

formulasi tersebut adalah perubahan infrastruktur hanya dikaitkan dengan

perubahan derajat keterbukaan perdagangan saja dan untuk penyesuaian UMP

tidak diinteraksikan dengan perubahan kondisi infrastruktur karena telah

ditangkap sebelumnya oleh matrik penimbang spasial dan beberapa variabel

instrumen yang digunakan untuk lebih menangkap dampak spasial tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka spesifikasi model empiris yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it

+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit ) ... (3.5)

merupakan model dasar yang digunakan untuk regresi data panel dinamis non

spasial, sementara untuk model data panel spasial dinamis diturunkan spesifikasi

model spatial lag berikut :

Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit

+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit ) . (3.6)

dengan : W : matrik penimbang spasial

WP : pengaruh inflasi dari wilayah lainnya secara spasial

W1 : penyesuaian Upah Minimun Provinsi (UMP)

W1 IS : interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan

kondisi infrastruktur

Page 96: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

77

OP IS : interaksi antara perubahan derajat keterbukaan

perdagangan dengan perubahan kondisi infrastruktur

dengan variabel Upah Minimun Provinsi (W1) dan kondisi infrastruktur (IS)

dinyatakan dalam bentuk logaritma natural, sementara untuk derajat keterbukaan

perdagangan (OP) dinyatakan dalam bentuk persentase.

Sesuai dengan landasan teoritis dan beberapa tinjauan empiris, koefisien 1 , 2 ,

4 , 5 ,6 , 7 , 8 dan 9 diharapkan bernilai positif (+), demikian pula dengan

1 , 2 , 3 , 5 , 6 , 7 , 8 , 9 dan 10 , sedangkan untuk 3 , 10 , 4 dan 11

diharapkan bernilai negatif ().

Selanjutnya, merujuk pada penelitian Prasertnukul et al. (2010), dengan

salah satu tujuannya untuk melihat dampak dari diterapkannya ITF, meskipun

pendekatan yang digunakan bukan dengan data panel, maka variabel yang akan

diteliti adalah bagaimana perilaku persistensi inflasi dan exchange rate pass

through (ERPT) sebelum dan sesudah kebijakan dilaksanakan secara penuh pada

tahun 2005. Selain itu, akan dilihat juga bagaimana level inflasi sebelum dan

sesudah diterapkan ITF untuk melihat apakah kebijakan tersebut berhasil secara

signifikan dalam menurunkan tingkat inflasi. Guna menangkap perilaku dari

ketiganya, maka digunakan variabel dummy (DIT), yang kemudian digunakan

sebagai intersep dan juga dummy slope, yaitu dengan mengalikan dengan variabel

inflasi inersia (Pi,t1), yang merupakan pendekatan dari persistensi inflasi; dan

variabel nilai tukar atau exchange rate (XRit), sebagai proksi dari ERPT.

Konsekuensi dari masuknya beberap variabel dummy ini, maka dari baseline

model empiris untuk model dinamis non spasial pada persamaan (3.4) dapat

diturunkan model berikut :

Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it

+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit )

+ 1 DIT + 2 Pi,t1 DIT + 3 XRit DIT ...... (3.7)

sementara untuk model spasial dinamis adalah

Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit

+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit )

+ 1 DIT + 2 Pi,t1 DIT + 3 XRit DIT ...... (3.8)

Page 97: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

78

dengan : nilai DIT = 0 untuk kondisi sebelum tahun 2005 dan

nilai DIT = 1 untuk periode tahun setelahnya.

Nilai koefisien yang mencerminkan kondisi sebelum dan sesudah kebijakan ITF

diterapkan, yaitu 1 , 2 dan 3 diharapkan negatif (). Hal ini sesuai dengan

tujuan dari ITF, yaitu menurunkan persistensi inflasi dan menurunkan ERPT, di

samping juga untuk melihat dampak kebijakan terhadap penurunan tingkat inflasi.

Berkenaan dengan hipotesis tentang perbedaan kondisi infrastruktur secara

simultan dengan trade openness akan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi

antara Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI, maka pada penelitian

ini akan difokuskan untuk melihat apakah perbedaan tersebut signifikan. Guna

menangkap perbedaan tersebut, seperti pada persamaan (3.7) dan (3.8), akan

digunakan variabel dummy slope yang menyatakan perbedaan kawasan.

Spesifikasi model empiris yang digunakan untuk melihat perbedaan kondisi

infrastruktur antara Jawa dengan luar Jawa adalah sebagai berikut :

Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it

+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit )

+ 1 (OPit ISit ) DJW ...... (3.9)

Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit

+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit )

+ 1 (OPit ISit ) DJW ...... (3.10)

dengan : nilai DJW = 0 untuk luar Jawa dan

nilai DJW = 1 untuk Jawa

sementara spesifikasi model empiris untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur

antara KBI dengan KTI adalah sebagai berikut :

Pt = 1 Pi,t1 + 2 OGit + 3 IRit + 4 M1it + 5 XRit + 6 W2it

+ 7 BMit + 8 Git + 9 (W1it ISit ) + 10 (OPit ISit )

+ 2 (OPit ISit ) DKTI ...... (3.11)

Pt = 1 Pi,t1 + 2 WPit + 3 OGit + 4 IRit + 5 M1 + 6 XRit

+ 7 W2it + 8 BMit + 9 Git + 10 W1it + 11 (OPit ISit )

+ 2 (OPit ISit ) DKTI ...... (3.12)

Page 98: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

79

dengan : nilai DKTI = 0 untuk KBI dan

nilai DKBI = 1 untuk KTI

nilai dari 1 diharapkan positif (+) untuk dummy Pulau Jawa, sebaliknya 2

diharapkan bernilai negatif () untuk dummy KTI.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal

dari berbagai sumber. Data yang dikumpulkan adalah data panel tahunan dari

seluruh provinsi di Indonesia, kecuali provinsi pemekaran sehingga jumlah

provinsi yang dianalisis adalah 26 provinsi, masing-masing dengan rentang waktu

tahun 1999 – 2009.

Adapun deskripsi dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian

ini seperti dapat dilihat pada persamaan (3.5) dan (3.6) adalah sebagai berikut :

1. Harga (P) diwakili dengan IHK ibukota provinsi sebagai proksi dari tingkat

harga pada level provinsi dan dinyatakan dalam bentuk logaritma natural.

Dasar penggunaan proksi ini adalah ibukota provinsi sebagai pusat

pertumbuhan yang akan memengaruhi daerah lainnya di luar ibukota provinsi.

2. Output aktual (Y) diproksi dengan PDRB atas dasar harga konstan (adhk).

Output potensial (YPOT) merupakan estimasi dari PDRB adhk dengan

metode detrending. Output gap (OG) selanjutnya diturunkan dengan

menghitung deviasi antara output aktual terhadap output potensialnya.

(OG = ln Y – ln YPOT). Terkait dengan proses estimasi output potensial, data

PDRB adhk yang digunakan adalah periode tahun 1983 – 2009, sementara

untuk analisis hanya menggunakan tahun 2000 – 2009.

3. Proksi dari nilai tukar (KURS) yang digunakan adalah kurs rupiah per

dolar AS, sementara dari nilai tukar nominal efektif (XR) dihitung dengan

membagi kurs dengan tingkat harga atau dalam bentuk logaritma natural

XR = ln KURS – P.

4. Proksi dari suku bunga nominal adalah suku bunga acuan dari BI (BI rate),

sementara suku bunga riil (IR) dihitung dengan persamaan Fisher, yaitu suku

bunga nominal dikurangi tingkat inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2007).

Tingkat inflasi (e) yang diharapkan diproksi inflasi IHK periode sebelumnya.

Page 99: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

80

5. Jumlah uang beredar (JUB) yang digunakan adalah jumlah uang beredar

dalam arti sempit. Jumlah uang beredar riil (M1) diproksi dengan membagi

besarnya jumlah uang beredar dalam arti sempit dengan tingkat harga. Dalam

bentuk logaritma natural M1 = ln JUB – P.

6. Pengeluaran belanja pemerintah daerah secara nominal (GEXP) dihitung

dengan menjumlahkan seluruh belanja pemerintah daerah untuk barang dan

jasa pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam satu provinsi, sementara

belanja riil (G) diperoleh dengan membagi belanja nominal dengan tingkat

harga. Dalam bentuk logaritma natural G = ln GEXP – P.

7. Indeks Harga BBM (BM) merupakan proksi dari administred prices yang

dinyatakan dalam bentuk logaritma natural. Indeks harga ini dikonstruksi dari

perkembangan harga bensin premium, harga solar dan harga minyak tanah

berdasarkan nilai konsumsi masing-masing dan tidak diterbitkan secara resmi

oleh BPS.

8. Upah minimum nominal diproksi dengan dua variabel, yaitu besarnya gaji

PNS terendah (GPNS) dan Upah Minimum Provinsi (UMP). Upah minimum

riil untuk sektor swasta (W1) dan pemerintah (W2) masing-masing dihitung

dengan membagi upah minimum nominal dengan tingkat harga, atau dalam

bentuk logaritma natural W1 = ln UMP – P dan W2 = ln GPNS – P.

9. Kondisi infrastruktur (IS) diwakili oleh infrastruktur jalan raya, dengan

diproksi dengan panjang jalan raya dengan kondisi baik (km) dibagi dengan

luas wilayah (km2) dan kemudian dinyatakan dalam bentuk logaritma natural.

Proksi ini mengacu pada pendekatan yang telah banyak diterapkan dalam

beberapa penelitian, termasuk oleh Asian Development Bank (ADB).

10. Derajat keterbukaan perdagangan (trade openness) diproksi dengan membagi

nilai total trade (nilai ekspor ditambah impor) dengan total output. Nilai

ekspor dan impor dimaksud diambil dari data PDRB menurut penggunaan,

sementara total output menggunakan PDRB total, keduanya pada tingkat

provinsi dan dinyatakan merupakan PDRB nominal atau PDRB atas dasar

harga berlaku (adhb).

Secara umum, sumber data dan data dasar yang akan digunakan dalam

analisis dirangkum dalam tabel berikut :

Page 100: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

81

Tabel 5. Sumber data dan data dasar yang digunakan dalam analisis

No. Variabel Keterangan Sumber

1. IHK rebasing : tahun dasar 2000 BPS : diolah

2. PDRB adhk rebasing : tahun dasar 2000 (jutaan rupiah) BPS : diolah

3. KURS Rupiah per dolar AS BI

4. Suku bunga BI rate (%) BI

5. Jumlah uang beredar Jumlah uang beredar dalam arti sempit/M1 *) BI

6. Indeks Harga BBM rebasing : tahun dasar 2000 BPS : diolah

7. Upah MinimumProvinsi (UMP)

Dalam rupiah Kemenakertrans

8. Gaji PNS terendah Dalam rupiah Kemenkeu

9. Panjang jalan Panjang jalan raya dengan kondisi baik (km) BPS

10. Luas wilayah Dalam km2 BPS

11. Ekspor Nilai ekspor dari PDRB menurut penggunaanatas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)

BPS

12. Impor Nilai impor dari PDRB menurut penggunaanatas dasar harga berlaku (jutaan rupiah)

BPS

13. PDRB adhb PDRB atas dasar harga berlaku (jutaan rupiah) BPS

14. IRIO 2005 Digunakan sebagai matriks penimbang spasialmodel spatial lag (W)

Bappenas& BPS : diolah

Keterangan : *) jumlah uang beredar pada level nasional

Selanjutnya, mengingat keterbatasan data untuk jumlah uang beredar pada

tingkat provinsi, maka dilakukan estimasi dengan metode proporsi jumlah uang

beredar dalam arti sempit pada level nasional dengan alokator yang digunakan

adalah PDRB atas dasar harga berlaku (adhb) menurut provinsi. Estimasi ini

merujuk pada teori kuantitas uang, yang menyatakan bahwa jumlah uang beredar

berbanding lurus dengan aktivitas perekonomian yang diproksi dengan PDRB atas

dasar harga berlaku. Alasan lain dalam penggunaan indikator PDRB atas dasar

harga berlaku menurut provinsi sebagai pendekatan dari jumlah uang beredar

menurut provinsi adalah korelasinya yang tinggi dengan jumlah uang beredar pada

level nasional.

3.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang, permasalahan dan tinjauan pustaka tersebut di

atas, maka hipotesis yang diajukan untuk kondisi Indonesia adalah:

1. Inflasi inersia memberikan peran yang positif dan signifikan dalam

pembentukan inflasi.

Page 101: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

82

2. Kesenjangan output (output gap) tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap pembentukan inflasi.

3. Perbaikan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan peningkatan

derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh yang negatif dan

signifikan terhadap volatilitas inflasi.

4. Perbedaan laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama dengan

derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan perbedaan volatilitas inflasi

yang signifikan antara Jawa dengan luar Jawa dan antara Kawasan Barat

Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

5. Pergerakan nilai tukar dolar AS memberikan pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap volatilitas inflasi .

6. Pengaruh penetapan upah minimum provinsi (UMP) tidak memberikan

pengaruh yang signifikan terhadap volatilitas inflasi.

7. Peningkatan belanja pemerintah daerah memberikan pengaruh yang positif

dan signifikan terhadap volatilitas inflasi.

8. Penyesuaian harga BBM yang memberikan pengaruh positif dan signifikan

terhadap volatilitas inflasi .

9. Penyesuaian gaji PNS yang dilakukan memberikan pengaruh yang positif dan

signifikan terhadap volatilitas inflasi .

10. Penyesuaian suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia memberikan

pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi.

11. Pertumbuhan jumlah uang beredar (M1) memberikan pengaruh yang positif

dan signifikan terhadap volatilitas inflasi.

12. Penargetan inflasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap

penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi dan exchange rate pass

through (ERPT).

Page 102: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Dinamika Inflasi Regional

Sepanjang tahun 2000 – 2009, terlihat tingkat inflasi Indonesia pada

tingkat nasional selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78%

terjadi pada tahun 2009 saat harga BBM diturunkan oleh pemerintah dan tertinggi,

yaitu mencapai 17,11% ketika dilakukan penyesuaian harga BBM tahun 2005

(Gambar 1.1). Tidak berbeda dengan kondisi inflasi tingkat nasional, pada tataran

provinsi juga terjadi inflasi yang selalu bernilai positif dalam kurun waktu yang

sama di seluruh provinsi Indonesia. Selama periode tahun 2000 – 2009, tercatat

inflasi tertinggi terjadi di NAD, yaitu sebesar 41,12% pada tahun 2005 dan

terendah terjadi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2003 dengan inflasi

sebesar 0,69% (Gambar 8). Khusus untuk NAD, demikian tingginya inflasi di

provinsi ini dibanding provinsi lainnya pada tahun 2005 terkait erat dengan

kondisi pasca bencana tsunami yang menyebabkan rusaknya sebagian

infrastruktur di provinsi tersebut, ditambah dengan adanya penyesuaian harga

BBM bersubsidi yang naik melebihi 80%.

Secara umum, jika dibandingkan dengan rata-rata inflasi untuk setiap

provinsi sebagaimana ditunjukkan oleh garis berwarna merah pada Gambar 8,

dapat dilihat bahwa inflasi pada tahun 2005 dan 2008 untuk semua provinsi di

Indonesia melebihi rata-rata inflasi tahun 2000–2009. Selain kedua tahun tersebut,

inflasi pada tahun 2001 juga hampir menyebabkan tingkat inflasi di hampir semua

provinsi lebih tinggi dibanding rata-rata inflasi dalam sepuluh tahun terakhir,

kecuali untuk provinsi Kalimantan Selatan. Kondisi yang hampir menyerupai

tahun 2001 adalah inflasi tahun 2002, dapat dilihat, kecuali lima provinsi, yaitu

NAD, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTB, tingkat

inflasi pada setiap provinsi melebihi rata-rata inflasi tahun 2000 – 2009. Lebih

lanjut, tingkat inflasi yang lebih tinggi dari tingkat rata-ratanya juga terjadi

setidaknya di lebih dari separuh provinsi di Indonesia pada tahun 2000.

Visualisasi dari kondisi inflasi di setiap provinsi untuk tahun 2000 – 2009 secara

rinci dapat dilihat pada Gambar 8.

Page 103: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

84

Inflasi (%) Rata-rata Inflasi (%)

KALBAR

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

KALTENG

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

KALSEL

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

KALTIM

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

SULUT

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

SULTENG

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

SULSEL

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

SULTRA

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

NTB

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

NTT

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

MALUKU

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

PAPUA

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

NAD

05

101520

2530354045

2000

2002

2004

2006

2008

SUMUT

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

SUMBAR

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

RIAU

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

JAMBI

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

SUMSEL

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

BENGKULU

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

LAMPUNG

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

DKI

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

JABAR

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

JATENG

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

DIY

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

BALI

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

JATIM

0

5

10

15

20

25

30

2000

2002

2004

2006

2008

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 8. Inflasi Indonesia menurut provinsi tahun 2000 – 2009.

Page 104: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

85

Terkait dengan kebijakan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation

targeting framework/ITF) yang diterapkan oleh BI secara penuh sejak tahun 2005,

maka dari masing-masing provinsi dapat dilihat bagaimana perilaku inflasi

sebelum dan sesudah kebijakan yang mengacu pada Undang-undang Nomor 3

tahun 2004 tersebut dilaksanakan, dibandingkan dengan rata-rata inflasi selama

tahun 2000 – 2009. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk melihat secara sekilas,

sampai sejauh mana hasil penerapan kebijakan ITF di Indonesia, yaitu dengan

melihat membandingkan jumlah tahun dengan tingkat inflasi di atas rata-rata

inflasi tahun 2000 – 2009 untuk masing-masing periode tahun 2000 – 2004 dan

periode tahun 2005 - 2009, di setiap provinsi sebagaimana diperlihatkan disajikan

pada Gambar 8.

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa jumlah tahun dengan

tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, lebih sedikit untuk periode setelah

pelaksanaan kebijakan ITF dibanding sebelumnya terjadi di 11 provinsi, yaitu

Sumatera Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Kalimantan

Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Sementara

untuk jumlah tahun dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi sama

untuk periode tahun 2005 – 2009 dibanding periode tahun 2000 – 2004, juga

tercatat sebanyak 11 provinsi, terdiri dari Sumatera Utara, Jambi, Sumatera

Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan NTT. Lebih lanjut, untuk jumlah tahun

dengan tingkat inflasi lebih tinggi dari rata-rata inflasi, tercatat lebih banyak

dibandingkan periode sebelum diterapkannya kebijakan penargetan inflasi dialami

oleh 4 provinsi, diantaranya NAD, DIY, Kalimantan Selatan dan NTB.

Merujuk dari hasil pengamatan, kebijakan yang bertujuan untuk

menurunkan tingkat inflasi tersebut terlihat cukup efektif pada 11 provinsi, namun

tidak memberikan manfaat di 4 provinsi karena tingkat inflasi setelah kebijakan

ITF diterapkan tidak lebih baik dibanding kondisi sebelumnya, sedang pada

11 provinsi lainnya tidak berbeda. Berdasarkan ulasan tersebut, secara umum

dapat disimpulkan bahwa dampak setelah diterapkannya kebijakan ITF di

Indonesia belum cukup berhasil dibanding periode sebelumnya.

Page 105: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

86

Tabel 6. Inflasi menurut pulau dan kelompok pulau tahun 2000 - 2009

Pulau /Kelompok Pulau

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

II. Kelompok Pulau

1. Jawa 9.27 12.69 10.78 5.58 6.45 16.23 6.72 6.35 11.09 2.36

2. Luar Jawa 9.23 12.80 10.62 4.78 6.65 18.28 7.44 7.88 12.61 3.19

a. Sumatra 9.13 13.32 10.78 4.85 6.86 23.33 7.64 7.53 12.82 2.85

b. Kalimantan 9.06 10.63 9.28 6.44 6.58 14.06 7.78 8.39 12.48 3.20

c. Sulawesi 10.11 14.14 11.87 3.03 6.46 17.93 7.94 7.92 12.58 3.57

d. Lainnya 8.85 12.69 10.45 4.84 6.54 14.63 6.49 8.00 12.42 3.39

II. Wilayah Pembangunan

1. KBI 9.20 12.43 10.55 5.40 6.62 18.40 7.20 7.26 12.13 2.83

2. KTI 9.48 13.99 11.22 3.77 6.65 16.97 7.63 8.16 12.73 3.33

Sumber : BPS (diolah)

Selanjutnya, dari Tabel 6 dapat dilihat tingkat inflasi antar pulau atau

kelompok pulau yang diperoleh dari metode rata-rata tertimbang untuk inflasi dari

setiap tahunnya untuk melihat dinamika inflasi di Indonesia menurut pembagian

wilayah. Hasil rata-rata tertimbang pada Tabel 6 menunjukkan bahwa sepanjang

tahun 2000 – 2009, inflasi di Jawa cenderung lebih rendah dibanding inflasi di

luar Jawa. Sementara jika dirinci menurut pembagian wilayah pembangunan,

yaitu Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dapat

dilihat pula bahwa inflasi untuk wilayah KBI cenderung lebih rendah dari KTI,

kecuali untuk tahun 2003 dan 2005. Lebih tingginya inflasi KBI dibanding KTI

pada tahun 2005 erat kaitannya dengan kondisi pasca bencana tsunami di NAD

yang menyebabkan inflasi mencapai 41,12% pada tahun 2005, sementara pada

tahun 2003 terkait erat dengan inflasi di Sulawesi Utara yang demikian rendah,

yaitu hanya 0,69%, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.

Masih dari Tabel 6, jika dirinci menurut lima pulau/kelompok pulau besar,

yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan kelompok pulau lainnya, dapat

dilihat bahwa dalam kurun 10 tahun penelitian ini, Pulau Jawa sempat mengalami

tingkat inflasi terendah dibanding pulau-pulau lainnya, yaitu pada tahun 2004 dan

tahun 2007 – 2009. Demikian pula untuk Kalimantan, Sulawesi dan kelompok

pulau lainnya sempat mengalami tingkat inflasi terendah dibanding pulau-pulau

lainnya pada 1 atau 2 tahun untuk tahun 2000 – 2003 dan tahun 2005 – 2006,

sementara untuk Pulau Sumatera tidak pernah mengalami inflasi terendah

dibanding pulau-pulau lainnya.

Page 106: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

87

Tabel 7. Korelasi inflasi antar provinsi tahun 2000 – 2009

Provinsi

NA

D

Su

mu

t

Su

mb

ar

Ria

u

Ja

mb

i

Su

ms

el

Be

ng

ku

lu

La

mp

un

g

DK

I

Ja

ba

r

Ja

ten

g

DIY

Ja

tim

Ka

lba

r

Ka

lte

ng

Ka

lse

l

Ka

ltim

Su

lut

Su

lte

ng

Su

lse

l

Su

ltra

Ba

li

NT

B

NT

T

Ma

luk

u

Pa

pu

a

NAD 1,00 0,94 0,90 0,77 0,80 0,86 0,92 0,89 0,83 0,87 0,77 0,78 0,74 0,80 0,62 0,71 0,73 0,77 0,71 0,81 0,83 0,55 0,84 0,86 0,84 0,53

Sumut 0,94 1,00 0,89 0,88 0,81 0,95 0,91 0,91 0,88 0,93 0,90 0,88 0,85 0,81 0,77 0,70 0,72 0,81 0,87 0,86 0,81 0,70 0,92 0,89 0,91 0,68

Sumbar 0,90 0,89 1,00 0,86 0,91 0,93 0,98 0,96 0,94 0,93 0,87 0,86 0,83 0,91 0,79 0,88 0,89 0,80 0,73 0,93 0,94 0,73 0,85 0,91 0,86 0,78

Riau 0,77 0,88 0,86 1,00 0,83 0,92 0,80 0,86 0,96 0,96 0,93 0,85 0,96 0,89 0,89 0,70 0,85 0,88 0,90 0,90 0,82 0,88 0,85 0,91 0,91 0,84

Jamb i 0,80 0,81 0,91 0,83 1,00 0,91 0,86 0,84 0,87 0,88 0,87 0,94 0,82 0,83 0,80 0,91 0,78 0,87 0,79 0,89 0,91 0,77 0,78 0,93 0,84 0,81

Sumse l 0,86 0,95 0,93 0,92 0,91 1,00 0,91 0,93 0,94 0,93 0,95 0,95 0,91 0,89 0,91 0,83 0,80 0,86 0,90 0,95 0,89 0,82 0,94 0,94 0,93 0,87

Bengku lu 0,92 0,91 0,98 0,80 0,86 0,91 1,00 0,98 0,91 0,91 0,86 0,82 0,80 0,88 0,72 0,80 0,84 0,77 0,73 0,90 0,92 0,71 0,86 0,87 0,87 0,69

Lampung 0,89 0,91 0,96 0,86 0,84 0,93 0,98 1,00 0,95 0,92 0,91 0,82 0,88 0,93 0,80 0,76 0,88 0,81 0,81 0,94 0,93 0,80 0,91 0,89 0,94 0,75

DKI 0,83 0,88 0,94 0,96 0,87 0,94 0,91 0,95 1,00 0,95 0,93 0,86 0,95 0,96 0,89 0,80 0,93 0,85 0,85 0,95 0,91 0,85 0,87 0,93 0,93 0,85

Jaba r 0,87 0,93 0,93 0,96 0,88 0,93 0,91 0,92 0,95 1,00 0,94 0,86 0,89 0,87 0,79 0,74 0,85 0,87 0,84 0,89 0,85 0,84 0,84 0,90 0,90 0,77

Ja t eng 0,77 0,90 0,87 0,93 0,87 0,95 0,86 0,91 0,93 0,94 1,00 0,92 0,91 0,86 0,86 0,71 0,81 0,90 0,93 0,88 0,81 0,92 0,87 0,87 0,94 0,85

DIY 0,78 0,88 0,86 0,85 0,94 0,95 0,82 0,82 0,86 0,86 0,92 1,00 0,85 0,78 0,88 0,87 0,71 0,84 0,89 0,87 0,82 0,77 0,83 0,90 0,86 0,86

Ja t im 0,74 0,85 0,83 0,96 0,82 0,91 0,80 0,88 0,95 0,89 0,91 0,85 1,00 0,92 0,92 0,70 0,85 0,86 0,94 0,94 0,87 0,88 0,87 0,94 0,96 0,83

Kalba r 0,80 0,81 0,91 0,89 0,83 0,89 0,88 0,93 0,96 0,87 0,86 0,78 0,92 1,00 0,86 0,76 0,96 0,86 0,78 0,94 0,93 0,83 0,88 0,91 0,92 0,82

Kal t eng 0,62 0,77 0,79 0,89 0,80 0,91 0,72 0,80 0,89 0,79 0,86 0,88 0,92 0,86 1,00 0,79 0,78 0,76 0,86 0,91 0,81 0,82 0,86 0,87 0,84 0,96

Kal se l 0,71 0,70 0,88 0,70 0,91 0,83 0,80 0,76 0,80 0,74 0,71 0,87 0,70 0,76 0,79 1,00 0,73 0,63 0,60 0,83 0,85 0,56 0,67 0,82 0,67 0,81

Kal t im 0,73 0,72 0,89 0,85 0,78 0,80 0,84 0,88 0,93 0,85 0,81 0,71 0,85 0,96 0,78 0,73 1,00 0,81 0,68 0,85 0,85 0,79 0,74 0,82 0,84 0,78

Su lu t 0,77 0,81 0,80 0,88 0,87 0,86 0,77 0,81 0,85 0,87 0,90 0,84 0,86 0,86 0,76 0,63 0,81 1,00 0,86 0,82 0,80 0,87 0,81 0,88 0,91 0,74

Su l t en g 0,71 0,87 0,73 0,90 0,79 0,90 0,73 0,81 0,85 0,84 0,93 0,89 0,94 0,78 0,86 0,60 0,68 0,86 1,00 0,85 0,75 0,86 0,85 0,88 0,94 0,76

Su l se l 0,81 0,86 0,93 0,90 0,89 0,95 0,90 0,94 0,95 0,89 0,88 0,87 0,94 0,94 0,91 0,83 0,85 0,82 0,85 1,00 0,97 0,82 0,91 0,96 0,93 0,84

Su l t r a 0,83 0,81 0,94 0,82 0,91 0,89 0,92 0,93 0,91 0,85 0,81 0,82 0,87 0,93 0,81 0,85 0,85 0,80 0,75 0,97 1,00 0,75 0,85 0,95 0,88 0,75

Bal i 0,55 0,70 0,73 0,88 0,77 0,82 0,71 0,80 0,85 0,84 0,92 0,77 0,88 0,83 0,82 0,56 0,79 0,87 0,86 0,82 0,75 1,00 0,76 0,77 0,87 0,84

NTB 0,84 0,92 0,85 0,85 0,78 0,94 0,86 0,91 0,87 0,84 0,87 0,83 0,87 0,88 0,86 0,67 0,74 0,81 0,85 0,91 0,85 0,76 1,00 0,88 0,91 0,77

NTT 0,86 0,89 0,91 0,91 0,93 0,94 0,87 0,89 0,93 0,90 0,87 0,90 0,94 0,91 0,87 0,82 0,82 0,88 0,88 0,96 0,95 0,77 0,88 1,00 0,93 0,77

Maluku 0,84 0,91 0,86 0,91 0,84 0,93 0,87 0,94 0,93 0,90 0,94 0,86 0,96 0,92 0,84 0,67 0,84 0,91 0,94 0,93 0,88 0,87 0,91 0,93 1,00 0,75

Papua 0,53 0,68 0,78 0,84 0,81 0,87 0,69 0,75 0,85 0,77 0,85 0,86 0,83 0,82 0,96 0,81 0,78 0,74 0,76 0,84 0,75 0,84 0,77 0,77 0,75 1,00

Sumber : BPS (diolah)

Page 107: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

88

Sangat disadari bahwa dalam tataran provinsi, pergerakan barang dapat

dengan leluasa melewati batas administrasi tanpa harus melewati proses

kepabeanan yang cukup rumit layaknya kegiatan ekspor – impor antar negara.

Oleh karena itu sangat dimungkinkan terjadinya proses saling memengaruhi harga

antar provinsi, dimana suatu provinsi dapat berperan sebagai produsen maupun

konsumen. Dalam proses tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung akan

berpengaruh pada tingkat inflasi pada setiap provinsi sehingga inflasi yang terjadi

di suatu provinsi sangat mungkin dipengaruhi oleh inflasi dari provinsi lain dan

sebaliknya, bisa juga memengaruhi inflasi di provinsi lainnya. Perlu difahami

bahwa pengaruh inflasi suatu provinsi ke provinsi lain dan sebaliknya belum tentu

simentris mengingat adanya perbedaan struktur ekonomi antar provinsi.

Tabel 7 memperlihatkan bagaimana keterkaitan antar inflasi dari seluruh

provinsi di Indonesia untuk tahun 2000 – 2009, yang dihitung dengan koefisien

korelasi Pearson. Berdasarkan tabel tersebut provinsi-provinsi dalam Pulau Jawa

menunjukkan keterkaitan inflasi antar provinsi yang sangat kuat, karena

setidaknya koefisien korelasi mencapai 0,85; sementara pulau atau kelompok

pulau lainnya dapat dilihat pula keterkaitan inflasi yang cukup kuat hingga sangat

kuat untuk pulau atau kelompok pulau lainnya, dengan koefisien korelasi minimal

sebesar 0,73. Kemudian, tanpa melihat kelompok pulau, dapat dilihat bahwa

inflasi dari DKI Jakarta dan Sumatera Selatan memiliki keterkaitan yang kuat

dengan inflasi provinsi lainnya, terbukti dari koefisien korelasi minimal dari

kedua provinsi tersebut yang mencapai 0,80. Secara umum, keterkaitan inflasi

antar provinsi pada hampir seluruh provinsi lainnya selain DKI Jakarta dan

Sumatera Selatan cukup kuat atau bahkan sangat kuat, dengan ditunjukkan oleh

koefisien korelasi yang tidak kurang dari 0,60; kecuali antara NAD dengan Bali

dan Papua serta antara Bali dengan Kalimantan Selatan yang menunjukkan

keterkaitan yang kurang kuat karena koefisien korelasinya kurang dari 0,60.

Berdasarkan ulasan ini, secara implisit keterkaitan inflasi antar provinsi

menyatakan bahwa inflasi yang terjadi di suatu provinsi tidak hanya disebabkan

oleh perubahan harga di provinsi bersangkutan tetapi juga terkait dengan

perubahan harga dari provinsi lainnya dan demikian pula berlaku kondisi

sebaliknya.

Page 108: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

89

4.2 Suku Bunga dan Jumlah Uang Beredar

Pihak otoritas moneter bisa menggunakan beberapa instrumen kebijakan

moneter demi mencapai tujuan yang diinginkan seperti memacu pertumbuhan

ekonomi, mengendalikan harga atau tingkat inflasi maupun melakukan stabilisasi

nilai tukar. Beberapa instrumen yang bisa digunakan diantaranya adalah

penetapan suku bunga acuan, pengendalian jumlah uang beredar, baik secara

langsung melalui penambahan atau pengurangan monetary base atau secara tidak

langsung dengan menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM). Disamping itu,

beberapa kebijakan moneter lainnya yang bersifat persuasif juga dibuat sebagai

alternatif dari beberapa instrumen yang telah umum dilaksanakan.

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 9. Perkembangan suku bunga dan jumlah uang beredar (M1)tahun 2003 – 2009.

Terkait dengan kebijakan moneter di Indonesia yang notebenenya

merupakan satu kesatuan sistem moneter, sub bab ini dibatasi hanya membahas

mengenai suku bunga acuan (BI rate) dan jumlah uang beredar dalam arti sempit

100

200

300

400

500

600

M1 (triliun rupiah) : sumbu kanan

5

8

11

14

17

20

Jan-03

Apr-03

Jul-03

Oct-03

Jan-04

Apr-04

Jul-04

Oct-04

Jan-05

Apr-05

Jul-05

Oct-05

Jan-06

Apr-06

Jul-06

Oct-06

Jan-07

Apr-07

Jul-07

Oct-07

Jan-08

Apr-08

Jul-08

Oct-08

Jan-09

Apr-09

Jul-09

Oct-09

(%)

ORI Deposito Investasi BI Rate

Page 109: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

90

(M1) dan bagaimana beberapa suku bunga lainnya di Indonesia. Tujuan dari

pembahasan ini adalah untuk melihat sampai dimana instrumen kebijakan moneter

yang dirancang oleh Bank Indonesia dapat memengaruhi perilaku dari beberapa

variabel moneter lainnya, seperti suku bunga simpanan (suku bunga deposito),

suku bunga pinjaman (suku bunga investasi), jumlah simpanan (tabungan) dan

jumlah kredit (pinjaman) di Indonesia.

Merujuk pada Gambar 9 dapat dilihat, sejak Agustus 2006 sampai

Desember 2009, suku bunga acuan (BI rate) harus bersaing dengan hadirnya

obligasi pemerintah yang diwakili oleh Obligasi Ritel Indonesia (ORI). Secara

umum, imbal hasil yang diberikan oleh ORI dalam kurun waktu tersebut lebih

besar dibanding suku bunga acuan yang ditetapkan oleh otoritas moneter kecuali

pada November 2008. Tingginya imbal hasil yang diberikan oleh ORI, relatif

terhadap besarnya BI rate dapat menyebabkan instrumen kebijakan moneter tidak

dapat bekerja sesuai yang diharapkan sehingga dikhawatirkan target makro

ekonomi yang merupakan tujuan akhir dari kebijakan moneter tidak akan tercapai.

Kekhawatiran ini tentu saja cukup beralasan mengingat suku bunga deposito yang

dirancang untuk menghimpun dana masyarakat dan kemudian digulirkan kembali

dalam bentuk pinjaman atau kredit, selalu lebih rendah dibandingkan imbal hasil

yang diberikan oleh ORI. Akibat kondisi ini, sangat dimungkinkan bila sebagian

dana masyarakat tersebut kemudian dapat beralih ke obligasi pemerintah yang

menawarkan keuntungan yang lebih tinggi.

Adanya peralihan dana masyarakat dari deposito ke ORI dalam jangka

panjang bisa menyebabkan terjadinya kekeringan likuiditas moneter dan sektor

perbankan tentunya akan mengalami kesulitan dalam menarik dana masyarakat

sehingga pihak perbankan akan berfikir ulang untuk bisa menyalurkan kredit, baik

untuk investasi maupun untuk modal usaha. Akibatnya kekeringan likuiditas ini,

sektor perbankan akan menetapkan tingkat suku bunga yang cukup tinggi untuk

suku bunga pinjaman. Sangat disadari bahwa, dengan tingginya suku bunga

pinjaman ini, di satu sisi dapat meredam tingkat inflasi yang tinggi, namum

demikian, di sisi lain tentu saja akan membuat sektor riil akan mengalami

kesulitan untuk melakukan ekspansi dan hal ini akan membuat roda perekonomian

akan mengalami perlambatan.

Page 110: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

91

Mekanisme transmisi yang secara implisit telah disampaikan sebelumnya

sesungguhnya dapat dilihat dari perilaku suku bunga simpanan yang diwakili oleh

suku bunga deposito dari bank umum sangat mirip dengan perilaku dari suku

bunga acuan (BI rate), artinya fluktuasi dari suku bunga deposito mengikuti

pergerakan dari BI rate. Secara implisit, pergerakan ini mengisyaratkan bahwa

instrumen kebijakan moneter dalam bentuk penetapan BI rate cukup efektif dalam

memengaruhi suku bunga deposito. Sayangnya, instrumen kebijakan moneter

tersebut tidak cukup efektif dalam memengaruhi suku bunga investasi. Hal ini bisa

dilihat dari besarnya margin antara suku bunga investasi dengan BI rate yang

secara rata-rata mencapai 5,46% sepanjang tahun 2000 – 2009, sementara margin

antara suku bunga deposito dengan suku bunga acuan BI hanya sebesar 0,58%

untuk periode yang sama. Sebaliknya, margin antara suku bunga investasi dengan

imbal hasil yang diberikan oleh ORI lebih rendah dibanding margin antara suku

bunga investasi dengan BI rate, yaitu rata-rata sebesar 3,25%.

Masih dari Gambar 9, dapat dilihat tren pertumbuhan M1 (jumlah uang

beredar dalam arti sempit) yang terus meningkat sejak Januari 2003 sampai

Desember 2009. Seiring dengan M1 penambahan M1, suku bunga investasi

menunjukan tren penurunan yang cukup signifikan, dari sebelumnya sekitar 17%

pada Januari 2003 hingga mencapai sebesar 13%-an pada akhir tahun 2009.

Berbeda dengan suku bunga investasi, pengaruh dari penambahan M1 pada suku

bunga deposito tidak terlalu terlihat karena pergerakan suku bunga deposito

sepanjang tahun 2003 – 2009 tidak menunjukkan tren yang meningkat atau

menurun. Kondisi ini tentu saja terkait erat dengan pengaruh dari suku bunga

acuan dari BI yang sangat kuat terhadap suku bunga deposito sebagaimana telah

disampaikan sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan sementara

bahwa baik suku bunga acuan BI maupun M1 hanya memberikan pengaruh yang

cukup signifikan terhadap salah satu dari dua variabel moneter yang diteliti saja

namun tidak pada keduanya. Konsekuensinya, baik pengaruh BI rate maupun M1

relatif kecil, khususnya terhadap seluruh variabel moneter dan bukan tidak

mungkin jika pengaruh keduanya terhadap variabel makro ekonomi lainnya juga

relatif kecil.

Page 111: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

92

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 10. Perkembangan jumlah simpanan dan kredit menurut provinsitahun 2003 – 2009 (dalam triliun rupiah).

Simpanan Kredit

NAD

0

5

10

15

20

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumut

0

20

40

60

80

100

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumbar

0

5

10

15

20

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Riau

0

15

30

45

60

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Jambi

0

5

10

15

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumsel

0

10

20

30

40

50

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Bengkulu

0

2

4

6

8

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Lampung

0

5

10

15

20

25

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

DKI

0

200

400

600

800

1000

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Jabar

0

50

100

150

200

250

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Jateng

0

30

60

90

120

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

DIY

0

5

10

15

20

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Jatim

0

50

100

150

200

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009Bali

0

10

20

30

40

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Kalbar

0

5

10

15

20

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Kalteng

0

3

6

9

12

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Kalsel

0

5

10

15

20

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Kaltim

0

10

20

30

40

50

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sulut

0

5

10

15

20

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sulteng

0

2

4

6

8

10

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sulsel

0

10

20

30

40

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sultra

0

1

2

3

4

5

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

NTB

0

2

4

6

8

10

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

NTT

0

2

4

6

8

10

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Maluku

0

2

4

6

8

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Papua

0

5

10

15

20

25

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

Page 112: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

93

Selanjutnya, dari Gambar 10 dapat dilihat bagaimana pengaruh tidak

langsung dari instrumen moneter seperti penetapan BI rate dan penambahan M1

terhadap jumlah simpanan (tabungan) dan jumlah kredit (pinjaman) pada seluruh

provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009. Secara umum, baik jumlah

simpanan maupun jumlah kredit pada setiap provinsi terus menunjukkan

peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali untuk jumlah simpanan pada NAD yang

sempat mengalami penurunan pada tahun 2007 dan tahun 2009 serta pada

Provinsi Bengkulu pada tahun 2009, masing-masing dibanding periode

sebelumnya. Secara rata-rata, pertumbuhan jumlah simpanan dari setiap provinsi

berkisar antara 13% 25%, sementara pertumbuhan jumlah kredit mencapai

sekitar 19% – 35%, untuk periode tahun 2003 – 2009. Tingkat pertumbuhan

terendah untuk jumlah simpanan terjadi pada provinsi-provinsi di Pulau Jawa,

yaitu 13% – 15% untuk pertumbuhan simpanan, sementara untuk pertumbuhan

jumlah kredit terendah, yaitu sekitar 19% – 23% terjadi pada provinsi-provinsi di

Pulau Jawa, Sumatera Barat, Riau dan Bali. Diduga, pertumbuhan kredit yang

cukup tinggi terkait erat dengan penurunan tingkat suku bunga investasi

sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, sementara rendahnya pertumbuhan

simpanan secara relatif dibanding pertumbuhan kredit berhubungan dengan

tingkat suku bunga deposito yang tidak menunjukkan adanya tren meningkat.

Meski pertumbuhan jumlah kredit secara relatif terhadap jumlah simpanan

lebih tinggi di setiap provinsi di Indonesia dalam kurun tahun 2003 – 2009, namun

secara absolut, jumlah kredit yang lebih tinggi dibanding jumlah simpanan hanya

terjadi di 14 provinsi dan umumnya terjadi pada tahun 2008 atau 2009 saja. Untuk

11 provinsi lainnya, yaitu NAD, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta,

DIY, Jawa Timur, Bali, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku dan

Papua, secara absolut, jumlah kredit yang dicairkan tidak pernah lebih tinggi

dibanding jumlah simpanan. Fakta ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa

dengan penambahan jumlah uang beredar (M1), tidak serta merta diikuti nilai

absolut kredit yang lebih tinggi dibanding nilai absolut simpanan untuk semua

provinsi di Indonesia. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa

pengaruh M1 terhadap perilaku masyarakat Indonesia dalam menabung maupun

meminjam uang di sektor perbankan tidak terlihat signifikan.

Page 113: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

94

4.3 Nilai Tukar dan Suku Bunga Acuan BI

Tujuan kerangka kerja penargetan inflasi adalah disamping melakukan

stabilisasi harga guna menurunkan tingkat inflasi juga melakukan stabilisasi nilai

tukar, dalam hal ini nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (US$). Upaya tersebut

dilakukan melalui penetapan suku bunga acuan (BI rate) sebagai respon dari

kondisi perekonomian secara umum dengan harapan target inflasi yang telah

diumumkan sebelumnya dapat tercapai. Pada sub bab berikut, akan dilihat

bagaimana perilaku nilai tukar dan BI rate serta kemungkinan interaksi antara

keduanya dalam kurun tahun 2000 – 2009. Hal ini untuk menilai secara sekilas

seberapa efektif kerangka kerja penargetan inflasi terhadap stabilisasi nilai tukar.

Sumber : Bank Indonesia

Gambar 11. Perkembangan suku bunga acuan BI dan nilai tukartahun 2000 – 2009.

Secara umum, Gambar 11 memperlihatkan bahwa salah satu tujuan

penetapan suku bunga acuan BI adalah melakukan stabilisasi nilai tukar, baik

sebelum maupun sesudah diberlakukannya kerangka kerja penargetan inflasi

7000

8000

9000

10000

11000

12000

13000

Nilai Tukar (rupiah/US$) : sumbu kanan

6

8

10

12

14

16

18

Jan-00

Apr-00

Jul-00

Oct-00

Jan-01

Apr-01

Jul-01

Oct-01

Jan-02

Apr-02

Jul-02

Oct-02

Jan-03

Apr-03

Jul-03

Oct-03

Jan-04

Apr-04

Jul-04

Oct-04

Jan-05

Apr-05

Jul-05

Oct-05

Jan-06

Apr-06

Jul-06

Oct-06

Jan-07

Apr-07

Jul-07

Oct-07

Jan-08

Apr-08

Jul-08

Oct-08

Jan-09

Apr-09

Jul-09

Oct-09

(%)

BI Rate : sumbu kiri

Page 114: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

95

secara penuh pada tahun 2005. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa episode

sepanjang tahun 2000 – 2009, yaitu tahun 2001 –2002, tahun 2005 – 2006 dan

Juli 2008 – Desember 2009. Dalam ketiga episode tersebut, pihak otoritas moneter

secara bertahap menaikkan suku bunga acuan guna meredam kenaikan nilai tukar

rupiah terhadap dolar AS. Dampak dari strategi tersebut adalah nilai tukar

berangsur-angsur turun dan bahkan kembali pada level sebelumnya. Seiring

dengan penurunan nilai tukar atau penguatan rupiah terhadap dolar AS, suku

bunga acuan kemudian diturunkan kembali oleh Bank Indonesia untuk memberi

stimulan pada sektor riil.

Sepintas dari Gambar 11, nampak sekali bahwa penetapan suku bunga

acuan BI cukup efektif dalam meredam gejolak nilai tukar. Bila kemudian dirinci

menurut episode, untuk tahun 2001 –2002, ketika posisi nilai tukar pada

Desember 2002 berada pada kondisi lebih rendah dibanding kondisi Januari 2001,

suku bunga acuan juga berada pada level yang lebih rendah dibanding

sebelumnya. Sementara pada episode tahun 2005 – 2006, saat kondisi nilai tukar

Desember 2006 kembali ke level yang kurang lebih sama seperti Januari 2006,

suku bunga acuan tidak kembali pada posisi yang sama. Sebaliknya di episode

akhir, meski BI rate telah lebih rendah dibanding posisi sebelumnya, nilai tukar

nominal masih lebih tinggi dibanding kondisi Juli 2008.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat secara sepintas dilihat bahwa

suku bunga acuan merupakan instrumen kebijakan moneter yang cukup baik

dalam melakukan stabilisasi nilai tukar sepanjang tahun 2000 – 2009, namun bila

jika dirinci menurut episode, efektivitas dari penetapan tersebut lebih kuat pada

paruh waktu tahun 2000 – 2005, sementara pada paruh waktu setelahnya

efektivitas tersebut nampaknya berkurang. Diduga, berkurangnya efektivitas dari

penetapan BI rate pada tahun 2005 – 2009 yang notebenenya merupakan periode

setelah diberlakukannya kerangka kerja penargetan inflasi secara penuh oleh

pihak otoritas moneter terkait dengan masalah kredibilitas dari lembaga tersebut.

Salah satunya ketika terjadi krisis finansial global yang dampaknya mulai terasa di

Indonesia pada Juli 2008, di saat hampir semua bank sentral di seluruh dunia

menurunkan suku bunganya, sebaliknya Bank Indonesia menaikkan suku bunga

acuan dengan tujuan mencegah terjadinya capital outflow, meski banyak dikritik.

Page 115: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

96

4.4 Penyesuaian Harga BBM dan Gaji PNS

Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti bensin premium,

solar dan minyak tanah merupakan barang-barang yang harganya ditetapkan

berdasarkan kebijakan pemerintah (administered prices), mengingat ketiga barang

tersebut menguasai hajat hidup orang banyak. Beberapa kali pemerintah

melakukan penyesuaian harga BBM sebagai konsekuensi atas beratnya subsidi

yang harus ditanggung pemerintah akibat lonjakan kenaikan harga minyak di

pasar internasional. Kritik maupun penolakan yang berasal dari beberapa kalangan

berulang kali terjadi ketika pemerintah menerapkan kebijakan penyesuaian harga

BBM tersebut, karena hal tersebut dianggap akan membuat kondisi masyarakat

lebih sengsara, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Sumber : Kemenkeu dan Kementerian ESDM

Gambar 12. Perkembangan harga BBM dan gaji PNS tahun 2000 – 2009.

Sejak Januari 2000, pemerintah berulang kali melakukan penyesuaian

harga BBM. Penyesuaian harga bensin premium tercatat sebanyak 11 kali, harga

minyak solar sempat disesuaikan 10 kali, sementara harga minyak tanah hanya 5

kali. Khusus bensin premium, pemerintah sempat menurunkan harganya pada

1 Oktober 2000, 1 Desember 2008 serta pada tanggal 1 dan 15 bulan Januari 2009.

Penurunan maksimal dari keempat kebijakan tersebut hanya mencapai 10%,

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

Mar-00

Sep-00

Mar-01

Sep-01

Mar-02

Sep-02

Mar-03

Sep-03

Mar-04

Sep-04

Mar-05

Sep-05

Mar-06

Sep-06

Mar-07

Sep-07

Mar-08

Sep-08

Mar-09

Sep-09

Minyak Tanah (Rp.) Solar (Rp.) Premium (Rp.)

0

200

400

600

800

1000

1200

Gaji PNS (Rp. 000) : sumbu kanan

Page 116: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

97

sebaliknya kenaikan harga maksimal mencapai 87,50%, yaitu pada 1 Oktober

2005. Lebih lanjut, pada minyak solar, pemerintah juga pernah menurunkan

harganya pada tanggal 1 Desember 2008 serta pada tanggal 1 dan 15 bulan Januari

2009, dengan penurunan maksimal sebesar 9,09%, sedangkan peningkatan harga

tertinggi terjadi pada 1 Oktober 2005, yaitu sebesar 104,76%. Sementara untuk

minyak tanah yang notebenenya belum pernah mengalami penurunan harga,

kenaikan harga pada komoditi ini sempat merupakan yang tertinggi dibanding dua

jenis BBM bersubsidi lainnya karena pada 1 Oktober 2005 tercatat kenaikan

sebesar 185,71%.

Akibat kenaikan harga BBM yang demikian tinggi pada 1 Oktober 2005,

dapat dilihat pada Gambar 8, tingkat inflasi pada hampir seluruh provinsi

merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2000 – 2009. Inflasi yang cukup tinggi,

setidaknya dibanding rata-rata tingkat inflasi selama kurun tahun 2000 – 2009

juga terjadi pada tahun 2008, ketika dilakukan kebijakan kenaikan harga BBM

pada 16 Juni 2001, 17 Januari 2002 dan 24 Mei 2008. Kondisi yang sedikit

berbeda adalah kenaikan BBM pada 2 Januari 2003 yang tidak menimbulkan

inflasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat inflasi tahun

2000 – 2009. Sebaliknya inflasi yang cukup tinggi terjadi pada lebih dari separuh

provinsi di Indonesia pada tahun 2000 sedangkan pada saat itu harga bensin

premium sempat diturunkan.

Penyesuaian BBM pada tahun 2001, 2002, 2005 dan 2008 sepertinya

terkait dengan kondisi yang tidak diantisipasi sehingga menyebabkan tingkat

inflasi yang cukup tinggi pada tahun-tahun tersebut. Sementara penyesuaian BBM

pada tahun 2003 agaknya sudah diramalkan oleh akan terjadi oleh berbagai

kalangan mengingat dua tahun sebelumnya terus terjadi kenaikan harga BBM,

artinya kondisi kenaikan tersebut sudah diantisipasi oleh pelaku ekonomi sehingga

dampaknya terhadap inflasi tidak terlampau tinggi. Lain halnya dengan kondisi

tahun 2000, karena sebelumnya tingkat inflasi cukup rendah, bahkan terjadi

deflasi di beberapa provinsi, diduga akan terjadi lonjakan harga sebagai

konsekuensi dari rencana akan dilepasnya monopoli Pertamina atas penjualan

BBM, meski kemudian harga BBM tidak jadi dinaikkan, bahkan untuk bensin

premium ternyata diturunkan.

Page 117: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

98

Selain perkembangan harga BBM, Gambar 12 juga memperlihatkan

bagaimana perkembangan Gaji PNS untuk golongan terendah. Dalam kurun

waktu 10 tahun, pemerintah sempat 6 kali menaikkan gaji PNS, yaitu tahun 2001,

2003 dan tahun 2006 – 2009. Terkait kenaikan kenaikan gaji PNS yang cukup

tinggi tersebut pada tahun 2001, agaknya selain kenaikan BBM, kebijakan

penyesuaian gaji PNS juga turut berperan dalam memicu tingkat inflasi yang

cukup tinggi pada tahun 2001. Kondisi yang kurang lebih sama juga terjadi pada

tahun 2008 ketika terjadi inflasi yang cukup tinggi, mengingat disamping

dilakukan penyesuaian harga BBM juga terjadi kenaikan gaji PNS.

Nampaknya, kebijakan pemerintah pusat dalam menetapkan administered

prices dan melakukan penyesuaian upah minimun untuk pegawai pemerintah

(PNS) ini merupakan penyebab terjadinya inflasi yang terus-menerus di Indonesia

selama tahun 2000 – 2009. Meski kedua kebijakan pemerintah tersebut bekerja

melalui mekanisme transmisi yang berbeda, dimana administered prices melalui

sisi penawaran sementara gaji PNS melalui sisi permintaan, namun hasil akhirnya

sama, akan memicu terjadinya inflasi. Akibat penyesuaian gaji PNS secara terus-

menerus selama tahun 2006 – 2009, diduga akan membuat inflasi kian persisten

mengingat inflasi akan lebih disebabkan oleh tarikan permintaan dibanding akibat

dorongan biaya produksi.

4.5 Struktur Ekonomi Provinsi

Pembahasan mengenai struktur ekonomi merupakan hal yang tidak dapat

dikesampingkan ketika mengulas masalah inflasi karena kondisi ekonomi turut

berperan dalam pembentukan harga pada suatu wilayah. Adanya perbedaan

struktur ekonomi antar wilayah menyebabkan terjadinya kondisi saling

ketergantungan antar pelaku ekonomi antar wilayah, baik yang bertindak sebagai

produsen maupun sebagai konsumen dalam arti yang lebih luas. Sebagaimana

telah diulas sebelumnya, keterkaitan antar provinsi tersebut diperlihatkan oleh

keterkaitan inflasi dengan hubungan yang kuat pada hampir seluruh provinsi di

Indonesia. Ulasan berikut merupakan uraian sepintas mengenai kondisi ekonomi

pada setiap provinsi yang secara umum akan menyiratkan kondisi keterkaitan

antar provinsi.

Page 118: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

99

Sumber : BPS (diolah)

Gambar 13. Persentase sektor dominan terhadap PDRB menurut provinsitahun 2000 – 2009

Pertanian Pertambangan Industri BangunanPerdagangan Angkutan Bank Jasa

NAD

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SUMUT

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SUMBAR

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

RIAU

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

JAMBI

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SUMSEL

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

BENGKULU

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

LAMPUNG

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

DKI

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

JABAR

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

BALI

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

JATENG

0

20

40

60

80

100

1999

2001

2003

2005

2007

2009

DIY

0

20

40

60

80

100

1999

2001

2003

2005

2007

2009

JATIM

0

20

40

60

80

100

1999

2001

2003

2005

2007

2009

KALBAR

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

KALTENG

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

KALSEL

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

KALTIM

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SULUT

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SULTENG

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SULSEL

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

SULTRA

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

NTB

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

NTT

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

MALUKU

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

PAPUA

0

20

40

60

80

100

2000

2002

2004

2006

2008

Page 119: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

100

Sebagaimana disajikan dalam Gambar 13, dapat dilihat sektor-sektor

dominan pada setiap provinsi, yaitu sektor dengan andil tidak kurang dari 10%

terhadap total PDRB masing-masing provinsi. Berdasarkan gambar tersebut,

terlihat bahwa sektor pertanian (arsiran berwarna hijau) masih merupakan sektor

dominan pada hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta

dan Kalimantan Timur. Sektor lainnya yang juga termasuk sektor dominan pada

hampir seluruh provinsi di Indonesia, kecuali untuk provinsi Riau, Kalimantan

Timur dan Papua adalah sektor perdagangan, jasa restoran dan jasa akomodasi

(arsiran berwarna biru). Selain dua sektor yang telah disebutkan, sektor industri

pengolahan (arsiran berwarna kuning) juga termasuk sektor dominan pada lebih

dari separuh provinsi di Indonesia.

Dirinci menurut pulau, untuk pulau-pulau di luar Jawa, utamanya masih

mengandalkan sektor ekonomi primer, yaitu pertanian dan pertambangan, kecuali

Provinsi Bali dan Sulawesi Utara telah bertumpu pada sektor tersier, yaitu sektor

jasa-jasa. Meski demikian, pada beberapa provinsi sektor sekunder seperti industri

pengolahan sudah mulai berkembang. Kondisi yang berbeda terjadi pada Pulau

Jawa karena telah mengandalkan sektor tersier dengan dukungan sektor sekunder

seperti sektor industri pengolahan. Akibat perbedaan jenis sektor unggulan ini

secara tidak langsung menyebabkan perbedaan struktur ekonomi antara Jawa dan

luar Jawa, terlebih lagi jika kemudian dilihat skala ekonomi dari setiap sektor

unggulan akan memperlihatkan perbedaan yang signifikan.

Masih dirinci menurut pulau, bila kemudian dibagi menjadi wilayah, yaitu

Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), dapat

dilihat bahwa untuk KBI umumnya sektor industri pengolahan merupakan sektor

yang dominan dalam perekonomian, sementara pada KTI sektor tersebut tidak

menjadi sektor dominan pada seluruh provinsi, karena masih cenderung

mengandalkan sektor primer seperti telah disampaikan sebelumnya. Perbedaan

yang cukup nyata ini tidak hanya menyiratkan adanya perbedaan struktur ekonomi

namun juga perbedaan tahapan pembangunan ekonomi antara kedua kawasan

tersebut. Setidaknya untuk KBI, hampir seluruh provinsi sudah mulai memasuki

tahapan industrialisasi, sementara pada KTI umumnya masih cenderung berada

pada kondisi perekonomian tradisional.

Page 120: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

101

Tabel 8. Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayahuntuk Jawa dan luar Jawa

Wilayah Sektor

J a w a Luar Jawa

InputAntara

KonsumsiAkhir

T o t a lInput

AntaraKonsumsi

AkhirT o t a l

Jawa Primer 78,38 80,18 78,99 1,80 7,20 2,91

Sekunder 93,43 93,44 93,44 27,92 27,74 27,82

Tersier 98,22 98,06 98,14 6,85 7,70 7,35

Total 92,91 94,28 93,58 13,63 17,79 15,61

Luar Jawa Primer 21,62 19,82 21,01 98,20 92,80 97,09

Sekunder 6,57 6,56 6,56 72,08 72,26 72,18

Tersier 1,78 1,94 1,86 93,15 92,30 92,65

Total 7,09 5,72 6,42 86,37 82,21 84,39

Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS (diolah)

Keterkaitan perekonomian antara Jawa dan luar Jawa dapat dilihat pada

Tabel 8 yang menunjukkan bagaimanan penggunaan komoditi domestik yang

digunakan sebagai input antara atau bahan baku dan bahan penolong atau

digunakan untuk konsumsi akhir menurut asal wilayah dalam satuan moneter.

Untuk Pulau Jawa, total nilai komoditi domestik yang berasal dari daerah sendiri

mencapai 93,58%, sedang sisanya dari luar Jawa sebesar 6,42%. Sebaliknya, total

nilai komoditi yang berasal dari Jawa yang digunakan di luar Jawa mencapai

15,61%, sementara penggunaan komoditi yang berasal dari wilayah sendiri

sebesar 84,39%. Berdasarkan proporsi penggunaan komoditi domestik menurut

asal wilayah tersebut dapat dilihat keterkaitan atau bahkan ketergantungan antara

Jawa dengan luar Jawa.

Dirinci lebih lanjut, ketergantungan perekonomian Jawa terhadap luar

Jawa terlihat cukup tinggi untuk komoditi sektor primer, yaitu pertanian dan

pertambangan yang total nilainya mencapai 21,01%, baik digunakan sebagai input

antara maupun untuk konsumsi akhir. Berdasarkan Tabel 8 juga dapat dilihat

tingkat ketergantungan perekonomian luar Jawa terhadap Jawa untuk komoditi

sektor sekunder yang terdiri dari industri pengolahan; sektor konstruksi; dan

sektor listrik, air dan gas yang mencapai 27,82%. Kondisi ini tentunya sesuai

dengan perbedaan struktur ekonomi seperti telah disinggung sebelumnya.

Page 121: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

102

Tabel 9 Persentase penggunaan produk domestik menurut asal wilayah untukKawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Wilayah Sektor

K B I K T I

InputAntara

KonsumsiAkhir

T o t a lInput

AntaraKonsumsi

AkhirT o t a l

K B I Primer 95,35 56,27 85,30 1,32 1,18 1,28

Sekunder 99,33 74,65 86,95 53,73 26,43 37,44

Tersier 99,65 71,05 84,09 7,14 6,01 6,42

Total 98,59 71,80 85,72 24,30 15,36 19,35

K T I Primer 4,65 43,73 14,70 98,68 98,82 98,72

Sekunder 0,67 25,35 13,05 46,27 73,57 62,56

Tersier 0,35 28,95 15,91 92,86 93,99 93,58

Total 1,41 28,20 14,28 75,70 84,64 80,65

Sumber : IRIO 2005 – BAPPENAS dan BPS (diolah)

Berdasarkan pengelompokan kawasan, ketergantungan perekonomian KBI

terhadap KTI mencapai 14,28%, yaitu besarnya total nilai komoditi dari KTI yang

digunakan oleh KBI. Sebaliknya kebutuhan akan komoditi yang berasal dari KBI

untuk digunakan oleh KTI total nilainya mencapai 19,35%. Dirinci menurut sektor

dan tujuan penggunaan, nilai komoditi sektor primer untuk konsumsi akhir yang

digunakan oleh KBI dan berasal dari KTI mencapai 43,73%, sementara untuk

kebutuhan produksi di KTI, 46,27% dari nilai input antaranya berasal dari KBI.

Pola keterkaitan yang mencerminkan ketergantungan antar kawasan ini

merupakan konsekuensi dari perbedaan struktur ekonomi dari masing-masing

kawasan. Seperti telah diulas sebelumnya, KBI cenderung berada pada tahapan

industrialiasi sementara KTI menunjukkan kondisi yang mewakili perekonomian

tradional karena masih mengandalkan sektor primer sebagai sektor dominan yang

menggerakan pertumbuhan. Secara signifikan, perbedaan tersebut diperlihatkan

oleh pola penggunaan komoditi dari masing-masing kawasan.

Page 122: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

V. PEMBAHASAN HASIL

5.1 Penaksiran Output Potensial dan Output Gap

Berdasarkan dua pendekatan penaksiran output potensial, yaitu metode

Hodrick–Prescot (HP) filter dan band pass (BP) filter ala ChristianoFitzgerald

diperoleh hasil seperti dapat dilihat pada Gambar 14. Mengingat periode analisis

dibatasi untuk tahun 2000 – 2009, maka hasil penaksiran dari kedua metode yang

disandingkan dengan output aktual untuk masing-masing provinsi hanya disajikan

sesuai dengan periode analisis saja.

Secara umum, hasil penaksiran output potensial dari setiap provinsi

dengan metode HP filter (garis berwarna merah) terlihat lebih halus dibanding

metode BP filter (garis berwarna biru) yang menunjukkan estimasi yang

berfluktuatif, meski keduanya menggunakan metode univariate detrending.

Merujuk pada hasil penelitian dari Justiniano and Primiceri (2008), seharusnya

output potensial terlihat cukup halus karena tidak menunjukkan adanya guncangan

yang bersifat sesaat dari tren output dalam jangka panjang. Berdasarkan penelitian

tersebut, maka disimpulkan bahwa hasil penaksiran output potensial dengan

metode HP filter cukup mewakili kondisi yang diperkirakan dan selanjutnya

perkiraan output gap yang diperoleh dari metode ini akan digunakan dalam

analisis model inflasi pada penelitian ini. Hasil penaksiran output potensial yang

menyatakan metode HP filter lebih superior dibanding metode detrending lainnya

untuk studi kasus Indonesia juga sejalan dengan hasil penelitian Solikin (2004)

tentang keberadaan kurva Phillips di Indonesia.

Selanjutnya, dengan membandingkan hasil perkiraan output potensial

dengan metode HP filter dengan output aktual dari masing-masing provinsi dapat

dilihat pada hampir seluruh provinsi, kemiripan pola dari output potensial yang

nilainya lebih rendah dibanding output aktual pada tahun 2007 – 2009, sementara

pada tahun-tahun sebelumnya cenderung lebih tinggi, kecuali untuk provinsi

NAD, NTB dan Papua tidak memperlihatkan kondisi yang demikian. Berdasarkan

hasil tersebut, maka secara umum kondisi Indonesia pada tahun 2000 – 2009

terbagi menjadi dua episode, yaitu periode tahun 2007 – 2009, ketika terjadi

output gap positif dan periode sebelumnya saat output gap bernilai negatif.

Page 123: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

104

Output Aktual Output Potensial-HP Output Potensial-BP

DKI Jakarta

200

240

280

320

360

2000

2002

2004

2006

2008

Jabar

220

260

300

340

380

2000

2002

2004

2006

2008

Jambi

8

10

12

14

16

2000

2002

2004

2006

2008

Lampung

22

2426

28

30

3234

36

2000

2002

2004

2006

2008

Sumsel

40

50

60

702000

2002

2004

2006

2008

Bengkulu

4

5

6

7

8

2000

2002

2004

2006

2008

NA D

30

35

40

452000

2002

2004

2006

2008

Sumut

60

80

100

120

2000

2002

2004

2006

2008

Sumbar

20

25

30

35

40

2000

2002

2004

2006

2008

Riau

80

90

100

110

120

130

2000

2002

2004

2006

2008

Sulsel

283134374043464952

2000

2002

2004

2006

2008

Sultra

5

6

7

8

9

10

11

2000

2002

2004

2006

2008

Sulut

10

12

14

16

18

20

2000

2002

2004

2006

2008

Sulteng

8

10

12

14

16

2000

2002

2004

2006

2008

Maluku

4

5

6

7

2000

2002

2004

2006

2008

Papua

18

20

22

24

26

28

30

2000

2002

2004

2006

2008

NTB

9

11

13

15

17

19

2000

2002

2004

2006

2008

NTT

7

8

9

10

11

12

2000

2002

2004

2006

2008

Jateng

100

120

140

160

180

2000

2002

2004

2006

2008

DIY

12

14

16

18

20

22

2000

2002

2004

2006

2008

Jatim

190

230

270

310

2000

2002

2004

2006

2008

Bali

16

18

20

22

24

262000

2002

2004

2006

2008

Kalteng

8

10

12

14

16

18

2000

2002

2004

2006

2008

Kaltim

70

80

90

100

110

2000

2002

2004

2006

2008

Kalbar

18

20

22

24

26

28

30

2000

2002

2004

2006

2008

Kalsel

15

18

21

24

27

30

2000

2002

2004

2006

2008

Gambar 14. Output aktual dan output potensial menurut provinsitahun 2000 – 2009 (dalam triliun rupiah)

Page 124: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

105

Merujuk pada kerangka analisis AD-AS berkenaan dengan kondisi

tersebut, maka saat output gap positif dalam perekonomian telah terjadi kelebihan

permintaan (excess demand), sebaliknya ketika terjadi output negatif, dalam

perekonomian dianggap terjadi kelebihan penawaran (excess supply). Dalam

pendekatan kurva Phillips ala New Keynesian (NKPC), ketika output gap positif

akan menyebabkan inflasi karena tarikan permintaan. Bahkan jika kemudian

output gap sangat berperan dalam pembentukan inflasi maka sedikit saja terjadi

output aktual melebihi kondisi potensialnya maka akan mendorong terjadinya

inflasi dan hal ini akan membuat inflasi menjadi demikian persisten. Berbeda jika

pada suatu kurun waktu tertentu output aktual selalu berada di bawah titik

potensialnya maka output gap tidak akan menyebabkan inflasi atau dengan kata

lain tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi.

Lebih lanjut, berkenaan dengan kondisi kelebihan permintaan yang terjadi

pada periode tahun 2007 – 2009, diduga hal tersebut terkait erat dengan kebijakan

penyesuaian gaji PNS yang dilakukan oleh pemerintah pusat secara berturut-turut

selama tahun 2006 – 2009, dengan besar kenaikan tidak kurang dari 15%.

Menurut Lemos (2004a), mekanisme penyesuaian gaji PNS cenderung mengikuti

jalur permintaan agregat, yaitu melalui peningkatan pengeluaran konsumsi

pemerintah dan kemudian akan meningkatkan pengeluaran konsumsi masyarakat.

Mekanisme ini dapat dilihat dari kenaikan belanja pemerintah riil berdasarkan

data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut penggunaan pada hampir

seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2007 – 2009. Pada saat yang bersamaan,

seiring dengan peningkatan belanja pemerintah riil, konsumsi riil masyarakat juga

terus meningkat, termasuk juga konsumsi per kapita riil ikut mengalami

peningkatan. Berdasarkan uraian mengenai mekanisme transmisi tersebut, faktor

utama yang diduga menjadi penyebab terjadinya kondisi kelebihan permintaan

pada tahun 2007 – 2009 secara singkat dapat dijelaskan. Hasil ini sesungguhnya

mencerminkan dampak dari arah kebijakan pemerintah pusat yang berusaha

memacu pertumbuhan ekonomi (pro growth), yaitu dengan menggunakan

instrumen kebijakan fiskal. Secara tidak langsung, hal ini memperlihatkan adanya

dominasi peran dari kebijakan fiskal atas kebijakan moneter (fiscal dominance)

dalam perekonomian Indonesia.

Page 125: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

106

5.2 Pengujian Stasioneritas Data

Pengujian kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam

menganalisis data panel untuk melihat ada tidaknya panel unit root yang

terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid.

Pengujian panel unit root yang digunakan penelitian ini didasarkan pada beberapa

statistik uji untuk tingkat level dan first differencing seperti telah dijelaskan pada

bab sebelumnya. Hasil pengujian panel unit root secara lengkap dapat dilihat pada

lampiran 1, sementara rangkumannya disajikan pada Tabel 10.

Seperti dapat dilihat pada Tabel 10, pengujian panel unit root dilakukan

pada variabel IHK (P), jumlah uang beredar (M1), nilai tukar (XR), pengeluaran

konsumsi pemerintah daerah (G), upah minimun provinsi (W1), gaji PNS (W2),

dan indeks harga BBM (BM) yang masing-masing dinyatakan dalam logaritma

natural dari nilai riilnya, kecuali untuk indeks, serta variabel suku bunga (IR) dan

trade openness (OP) yang dinyatakan dalam persentase. Khusus untuk variabel

infrastruktur (IS) dinyatakan dalam logaritma natural dari panjang jalan per km2

luas wilayah. Untuk variabel output gap tidak dilakukan pengujian ini mengingat

variabel ini bukan merupakan variabel level, karena dihasilkan dari deviasi dari

output aktual terhadap nilai output potensialnya.

Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan plotting data

untuk melihat metode pengujian, apakah panel unit root akan digunakan untuk

data dengan intersep tanpa tren (kode 2) atau dengan intersep dan tren (kode 3).

Berdasarkan plotting data tersebut, untuk data level diketahui, kecuali untuk

variabel nilai tukar yang menggunakan metode intersep tanpa tren, seluruhnya

menggunakan metode dengan intersep dan tren. Berdasarkan berbagai statistik uji

yang digunakan, data level menunjukkan adanya common unit root (uji Breitung),

bahkan beberapa variabel menunjukkan adanya individual unit root, kecuali pada

variabel IHK (P). Hasil ini tentu agak aneh mengingat dari plotting data variabel

ini secara implisit menunjukkan terjadinya gejala unit root, sementara hasil

P-value dari IPS W-statistic dan ADF – Fisher Chi-square masih signifikan pada

tingkat kesalahan 5%, tetapi tidak pada level 1%. Oleh karena itu, pada variabel

ini tetap dilakukan first differencing sebagaimana variabel lainnya demi menjaga

robustness hasil penelitian.

Page 126: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

107

Tabel 10. Rangkuman hasil pengujian panel unit root

Variabel Diff 1) Metode 2)P-Value Statistik Uji 3)

L L C Breitung I P S ADF-Fisher PP-Fisher

P 0 3 0.0000 0.0079 0.0364 0.0244 0.0001

P 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

IR 0 3 0.0000 0.8268 0.0004 0.0000 0.0000

IR 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

M1 0 3 0.0000 0.2520 0.0178 0.0007 0.1737

M1 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

XR 0 2 0.0006 - 0.9940 1.0000 1.0000

XR 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

G 0 3 0.0000 0.4746 0.0298 0.0430 0.6481

G 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

W1 0 3 0.0000 0.5937 0.0000 0.0000 0.0000

W1 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

W2 0 3 0.0000 0.0000 0.4903 0.8598 0.8897

W2 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

BM 0 3 0.0000 0.0010 0.2785 0.6189 0.7017

BM 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

IS 0 3 0.0000 0.3233 0.0407 0.0092 0.0014

IS 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

OP 0 3 0.0000 0.8604 0.0206 0.0022 0.0000

OP 1 2 0.0000 - 0.0000 0.0000 0.0000

W1 IS 1 2 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

OP IS 1 2 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000

Keterangan :1) Differencing : 0 = data level

1 = data first differencing

2) Metode : 1 = tanpa intersep tanpa tren

2 = dengan intersep tanpa tren

3 = dengan intersep dengan tren

3) Statistik Uji : L L C = Levin, Lin & Chu t*Breitung = Breitung t-statI P S = Im, Pesaran and Shin W-stat

ADF Fisher = ADF Fisher Chi-square

PP Fisher = PP Fisher Chi-square

Setelah dilakukan first differencing pada semua variabel, hasil pengujian

dengan menggunakan metode dengan intersep tanpa tren menunjukkan, baik

dengan statistik uji common unit root maupun individual unit root seluruhnya

signifikan pada level kesalahan 1% dan bahkan 0,1%. Selain data differencing

asli, ditampilkan pula interaksi antara differencing dari infrastruktur (IS) dengan

UMP (W1) dan infrastruktur (IS) dengan trade openness (OP), dengan

pengujian menggunakan intersep namun tanpa tren. Hasil pengujian kemudian

Page 127: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

108

menyatakan tidak ditemukannya panel unit root pada variabel interaksi tersebut.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setelah

dilakukan first differencing, seluruh variabel sudah tidak mengandung unit root

lagi.

5.3 Pengujian Kausalitas Granger

Tujuan dari pengujian kausalitas granger antara inflasi dengan beberapa

variabel yang diteliti adalah untuk mengetahui variabel-variabel mana yang lebih

dahulu memengaruhi inflasi atau sebaliknya inflasi yang lebih dahulu

memengaruhi variabel-variabel lainnya. Hasil pengujian kausalitas granger juga

dapat menyatakan bahwa variabel-variabel yang diteliti saling memengaruhi

dengan inflasi atau sebaliknya tidak saling memengaruhi. Satu hal yang perlu

difahami, meski dalam pengujian kausalitas granger dinyatakan bahwa suatu

variabel signifikan memengaruhi inflasi, bukan berarti secara otomatis variabel

tersebut akan memberi pengaruh signifikan dalam model data panel.

Merujuk pada hasil pengujian kausalitas granger sebagaimana dapat dilihat

pada Tabel 11, didapati empat pola arah hubungan antara inflasi dengan beberapa

variabel yang diteliti dan secara tidak langsung merepresntasikan perilaku

hubungan tersebut dari sudut pandang teoritis dan praktis. Pertama, arah hubungan

dua arah atau saling memengaruhi, dalam hal ini antara inflasi dengan

penyesuaian suku bunga acuan (IR), perubahan jumlah uang beredar riil (M1),

perubahan nilai tukar riil (XR), penyesuaian gaji PNS (W2), dengan

penyesuaian harga BBM (BM) dan variabel interaksi antara perubahan kondisi

infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (OP IS).

Kedua, arah hubungan searah dari variabel yang diteliti memengaruhi inflasi,

yaitu output gap (OG), kenaikan pengeluaran konsumsi pemerintah (G) dan

perubahan kondisi infrastruktur (IS), namun tidak berlaku hubungan yang

memengaruhi dari inflasi terhadap ketiga variabel tersebut. Ketiga, arah hubungan

searah dari inflasi memengaruhi penyesuaian UMP (W1) dan perubahan derajat

keterbukaan perdagangan (OP), tetapi tidak sebaliknya. Terakhir adalah tidak

ada hubungan antara inflasi dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur

dengan penyesuaian UMP (W1 IS).

Page 128: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

109

Tabel 11. Ringkasan hasil pengujian kausalitas granger antara inflasi denganbeberapa variabel yang diteliti

No. Hipotesis Nol F-Statistic

1. OG does not granger cause P 5.6529 ***

P does not granger cause OG 0.4419

2. IR does not granger cause P 7.0209 ***

P does not granger cause IR 47.9498 ***

3. M1 does not granger cause P 14.6428 ***

P does not granger cause M1 23.5896 ***

4. XR does not granger cause P 3.4712 **

P does not granger cause XR 16.8271 ***

5. G does not granger cause P 9.2563 ***

P does not granger cause G 1.5591

6. W1 does not granger cause P 1.9668

P does not granger cause W1 26.3641 ***

7. W2 does not granger cause P 6.2858 ***

P does not granger cause W2 34.4923 ***

8. BM does not granger cause P 5.4710 ***

P does not granger cause BM 33.1914 ***

9. IS does not granger cause P 3.4801 **

P does not granger cause IS 1.5523

10. OP does not granger cause P 0.0971

P does not granger cause OP 3.7852 **

11. (W1 IS) does not granger cause P 0.7191

P does not granger cause (W1 IS) 1.0030

12. (OP IS) does not granger cause dp 5.1231 ***

P does not granger cause (OP IS) 3.6457 **

Keterangan : *** = signifikan pada = 01%

Keterangan : *** = signifikan pada = 05%

Keterangan : *** = signifikan pada = 10%

Hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan suku bunga acuan

memang tidak dapat dipungkiri karena penetapan suku bunga acuan pada

praktiknya bertujuan untuk mencapai tingkat inflasi yang ditargetkan, sedang di

sisi lain, dalam proses penentuan besarnya suku bunga, pihak otoritas moneter

memperhatikan kondisi makro ekonomi terkini, salah satunya dengan mengamati

inflasi yang terjadi. Berdasarkan tinjauan teoritis, hubungan saling memengaruhi

antara inflasi dengan suku bunga acuan juga dinyatakan dalam aturan suku bunga

(interest rate rule) atau lebih dikenal dengan Taylor rule (Romer, 2006).

Page 129: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

110

Keterkaitan antara inflasi dengan perubahan nilai tukar riil pada praktiknya

bekerja dari jalur imported inflation, yaitu ketika nilai tukar memengaruhi inflasi

sementara inflasi akan memengaruhi nilai tukar riil melalui perbedaan tingkat

harga di dalam dan di luar negeri atau karena perbedaan tingkat inflasi. Secara

teoritis, inflasi juga dapat memengaruhi nilai tukar riil melalui paritas suku bunga.

Berbeda dengan mekanisme hubungan antara inflasi dan nilai tukar riil, hubungan

saling memengaruhi antara inflasi dengan perubahan jumlah uang beredar (M1)

riil sedikit rumit jika dirunut jalur transmisinya.

Merujuk pada kerangka analisis AD – AS untuk jangka pendek, inflasi

akan membuat jumlah stok uang riil berubah dan hal ini akan menyebabkan

perubahan tingkat output (Blanchard, 2004). Adanya perubahan output ini akan

kemudian akan direspon oleh pasar tenaga kerja dengan melakukan penyesuaian

tingkat penyerapan tenaga kerja atau dengan kata lain akan memengaruhi tingkat

pengangguran dalam pendekatan hukum Okun (Okun’s law). Dalam analisis kurva

Phillips, perbedaan tingkat pengangguran tersebut kemudian akan memicu

terjadinya inflasi. Demikian seterusnya, mekanisme tersebut terus terjadi sehingga

baik inflasi maupun perubahan jumlah uang riil saling memengaruhi satu dengan

lainnya.

Hasil pengujian kausalitas granger juga menyatakan bahwa terjadi proses

saling memengaruhi antara inflasi dengan penyesuaian gaji pegawai pemerintah.

Layaknya penentuan upah minimum, penyesuaian gaji PNS/TNI/Polri, utamanya

untuk golongan terendah, merupakan salah satu cara untuk menjaga daya beli dari

pegawai pemerintah tersebut agar tidak tergerus oleh inflasi, meski di sisi lain

diharapkan juga akan meningkatkan kinerja mereka. Penyesuaian tingkat gaji

tersebut, pada praktiknya tentu saja harus mempertimbangkan besarnya inflasi

untuk menghindari terjadinya money illusion. Sebaliknya, kenaikan gaji

pemerintah merupakan salah satu faktor yang membentuk ekspektasi masyarakat

atas inflasi (Solikin dan Sugema, 2004). Seperti telah dibahas sebelumnya,

mekanisme kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI ini memengaruhi inflasi melalui

permintaan agregat.

Variabel selanjutnya pada pola hubungan pertama adalah penyesuaian

harga BBM, dalam hal ini harga BBM bersubsidi yang terdiri dari bensin premiun,

Page 130: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

111

solar dan minyak tanah. Baik secara teoritis maupun secara empiris, sudah tidak

dapat disangsikan bila terjadi penyesuaian pada harga BBM akan memicu terjadi

inflasi, namun kondisi sebaliknya tidak mudah dijelaskan. Dalamm praktiknya,

inflasi akan menambah berat beban subsidi yang kelak harus ditutup dengan

penerimaan negara yang bersumber dari pendapatan sektor pajak dan non pajak

jika subsidi terus diterapkan. Apabila penerimaan negara pada tahun berjalan tidak

dapat mencukupi beban subsidi tersebut, maka akan terjadi defisit fiskal yang

pada saat itu juga harus ditutup. Beberapa pilihan dalam menutup defisit fiskal

tersebut adalah melakukan pinjaman, yaitu dengan meluncurkan surat utang

negara untuk hutang yang berasal dari dalam negeri atau melalui pinjaman luar

negeri, menerapkan kebijakan pengurangan subsidi atau bahkan pemerintah

meminta otoritas moneter untuk melakukan pencetakan uang. Semua pilihan

tersebut pada akhirnya akan berujung pada terjadinya inflasi, termasuk pilihan

penyesuaian harga BBM untuk mengurangi subsidi.

Variabel terakhir pada hubungan pertama adalah interaksi antara

perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan

(OP IS). Pada pembahasan selanjutnya, akan dijelaskan hubungan searah dari

perubahan kondisi infrastruktur dalam memengaruhi inflasi dan inflasi dalam

memengaruhi derajat keterbukaan berdasarkan kausalitas granger. Berdasarkan

dua arah hubungan tersebut, maka interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur

dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan dengan inflasi akan menjadi

hubungan dua arah yang saling memengaruhi satu dengan lainnya.

Selanjutnya, untuk pola hubungan yang kedua, yaitu output gap,

perubahan pengeluaran pemerintah dan perubahan kondisi infrastruktur

memengaruhi inflasi, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Secara umum, pada bab

sebelumnya telah sesungguhnya telah membahas bagaimana ketiga variabel

tersebut memengaruhi inflasi, namun tidak dijelaskan apakah inflasi dapat

memengaruhi keduanya. Terkait dengan output gap yang merupakan deviasi dari

output aktual terhadap output potensialnya yang menggambarkan tren output riil

dalam jangka panjang sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh variabel nominal.

Hal ini tentu sejalan dengan landasan teoritis yang telah disampaikan pada bab

sebelumnya. Sementara untuk pengeluaran pemerintah daerah, tidak dipengaruhi

Page 131: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

112

oleh inflasi karena dalam melakukan belanja pengeluaran pemerintah sudah diatur

dalam APBD yang notebenenya disyahkan oleh DPRD terlebih dahulu sesuai

dengan tujuan, sasaran, target dan program pembangunan yang sudah digariskan

dan wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, pengeluaran belanja pemerintah

tidak terlalu terpengaruh oleh tingkat inflasi. Kemudian, untuk perubahan kondisi

infrastruktur, dalam teori pertumbuhan regional sebagaimana telah disampaikan

pada sebelumnya dinyatakan secara implisit bahwa kondisi infrastruktur

merupakan variabel eksogen yang tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya,

termasuk oleh inflasi. Berdasarkan penjelasan tersebut, wajar jika analisis

kausalitas granger menyatakan hubungan yang searah dari perubahan kondisi

infrastruktur memengaruhi inflasi namun tidak terjadi hubungan yang sebaliknya.

Pola hubungan ketiga menyatakan bahwa inflasi memengaruhi upah

minimum provinsi (UMP) dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan (trade

openness) tetapi tidak berlaku sebaliknya. Alasan UMP tidak memengaruhi inflasi

akan dijelaskan kemudian pada saat pembahasan model, sementara pada bagian

ini hanya akan dibahas mengenai bagaimana inflasi memengaruhi UMP.

Penyesuaian UMP dilakukan setiap tahun melalui proses negosiasi antara

perwakilan pihak perusahaan dan serikat pekerja dengan mempertimbangkan

kondisi ekonomi. Salah satu indikator ekonomi yang umumnya digunakan dalam

proses tersebut adalah tingkat inflasi. Terkait dengan kausalitas Granger yang

digunakan, maka lag dari inflasi yang memengaruhi perubahan UMP tahun

berjalan. Sepertinya, hal ini terkait dengan perilaku backward looking dari wage

setter dalam menentukan besarnya UMP. Sedangkan pengaruh dari inflasi

terhadap perubahan derajat keterbukaan bekerja melalui transmisi jalur nilai tukar

riil yang tentu saja dipengaruhi oleh inflasi seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Satu hal yang sedikit mengherankan adalah bagaimana perubahan derajat

keterbukaan perdagangan tidak memengaruhi inflasi sebagaimana ramalan dari

teori standar perdagangan internasional. Hal ini bisa terjadi ketika dampak bauran

dari keterbukaan perdagangan menyebabkan terjadinya peningkatan ekspor dan

impor secara bersamaan sehingga tidak berpengaruh terhadap harga.

Hasil pengujian kausalitas yang terakhir menyatakan bahwa tidak

hubungan saling memengaruhi antara inflasi dengan interaksi antara perubahan

Page 132: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

113

kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP (W1 IS). Tidak adanya

keterkaitan ini terkait erat dengan pola hubungan kedua yaitu inflasi tidak dapat

memengaruhi perubahan kondisi infrastruktur namun yang terjadi adalah

hubungan sebaliknya dan pola hubungan ketiga yang menyatakan penyesuaian

UMP tidak memengaruhi inflasi, tetapi inflasilah yang memengaruhi penyesuaian

UMP. Akibat dari kedua pola hubungan tersebut secara serentak, maka interaksi

antara perubahan kondisi infrastruktur dengan penyesuaian UMP tidak

memengaruhi inflasi.

5.4 Hasil Estimasi

5.4.1 Model Dasar

Menindaklanjuti hasil pengujian panel unit root yang menyatakan semua

variabel yang akan diteliti harus distasionerkan terlebih dahulu untuk menghindari

terjadinya spurious regression, maka model dasar yang diestimasi adalah model

first differencing sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (3.5.) untuk regresi

panel data non spasial, sementara untuk bentuk spasialnya mengacu pada

persamaan (3.6). Setiap persamaan akan diestimasi dengan panel data statis dan

dinamis untuk melihat continuum dari parameter model. Hasil estimasi untuk

masing-masing persamaan kemudian akan dirangkum dalam bentuk tabel yang

dirinci menurut metode yang digunakan dan disajikan beberapa statistik uji yang

diperlukan dalam memperoleh penduga terbaik.

Hasil estimasi dari persamaan (3.5) seperti dapat dilihat pada Tabel 12,

menampilkan tiga metode estimasi untuk data panel statis, yaitu FEM, REM dan

pooled LS (OLS) dan satu metode data panel dinamis dengan menggunakan

metode FD-GMM. Berdasarkan ketiga metode data panel statis, estimasi terbaik

diberikan oleh REM dibanding dua metode lainnya. Hal ini bisa dilihat dari uji

Hausman yang mengindikasikan metode REM lebih baik dari FEM

(P – value = 0,9975); dan uji Breusch-Pagan LM juga menyatakan REM jauh

lebih baik dari pooled LS (P – value = 0,0024). Selain kedua uji tersebut, hasil uji

kebaikan suai (goodness of fit) juga menunjukkan hasil estimasi dari model REM

cukup baik, mengingat Wald chi-test signifikan pada taraf 1%.

Page 133: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

114

Perlu diutarakan sebelumnya, hasil estimasi metode FD-GMM diperoleh

dengan menggunakan predetermine variable yaitu variabel laju perubahan M1

sehingga secara tidak langsung menjadi sistem persamaan variabel instrumen.

Alasan ditetapkannya laju perubahan M1 sebagai predetermine variable adalah

Indonesia merupakan satu kesatuan moneter sehingga jumlah uang beredar (M1)

pada level provinsi tidak ditentukan oleh pemerintah daerah sehingga sepenuhnya

merupakan variabel eksogen. Proses penentuan predetermine variable sendiri

melalui penelusuran yang cukup panjang, namun tetap merujuk pada pendekatan

IS – LM. Proses selengkapnya untuk mendapatkan hasil estimasi ini dapat dilihat

pada Tabel 1 dan Tabel 2 dalam Lampiran 2.

Estimasi yang diberikan oleh metode FD-GMM menunjukkan hasil yang

cukup baik karena telah melampaui syarat perlu yang harus dipenuhi untuk

metode data panel dinamis. Syarat perlu tersebut adalah konsistensi hasil uji

Arellano-Bond untuk m1 dan m2 serta validitas dari instrumen yang digunakan

untuk estimasi model dari uji Sargan. Sesuai dengan yang diharapkan, hasil

estimasi model data panel dinamis non spasial pada Tabel 12 menyatakan bahwa

uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada sebesar 1% dan m2 tidak signifikan

pada taraf uji 10%, sedangkan hasil uji Sargan tidak signifikan pada tingkat

kesalahan 10%.

Setelah syarat perlu telah terpenuhi, maka perlu diperiksa kembali

continuum dari hasil estimasi dan perbandingan nilai dari koefisien regresi dengan

nilai parameter yang diharapkan. Mengingat penduga terbaik yang diperoleh dari

metode data panel statis adalah model REM, maka untuk melihat continuum hasil

estimasi, perlu dibandingkan koefisien dari FD-GMM dengan REM. Berdasarkan

rangkuman hasil estimasi sebagaimana disajikan pada Tabel 12, dapat dilihat nilai

koefisien parameter yang diperoleh dari kedua model tidak berbeda secara

signifikan, namun hasil yang diperoleh dari FD-GMM pada penelitian ini lebih

robust karena estimasi standard error yang digunakan telah dikoreksi dengan

metode dari Windmeijer (2005) dari downward biased yang dihasilkan dari

metode GMM standar. Merujuk pada pernyataan sebelumnya, seharusnya nilai

dari standard error dari koefisien regresi yang dihasilkan oleh metode FD-GMM

seharusnya sama atau lebih besar dibanding standard error dari metode REM.

Page 134: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

115

Tabel 12. Hasil estimasi model data panel non spasial

Variabel OLS FEM REM FD-GMM

lag P 1,0017 *** 0,7112 *** 1,0017 *** 0.9685 ***(0,0377) (0,0372) (0,0377) (0.1631)

OG 0,0498 ** 0,0373 0,0498 ** 0.0456(0,0202) (0,0262) (0,0202) (0.0822)

IR -0,0088 *** -0,0077 *** -0,0088 *** -0.0086 ***(0,0002) (0,0003) (0,0002) (0.0008)

M1 -0,0252 *** -0,0309 *** -0,0252 *** -0.0247(0,0081) (0,0107) (0,0081) (0.0217)

XR 0,1058 *** -0,0220 0,1058 *** 0.1017 ***(0,0109) (0,0150) (0,0109) (0.0347)

G -0,0165 *** -0,0168 *** -0,0165 *** -0.0201(0,0048) (0,0061) (0,0048) (0.0192)

W2 0,0293 *** 0,0352 *** 0,0293 *** 0.0310 ***(0,0031) (0,0038) (0,0031) (0.0103)

BM 0,0862 *** 0,0857 *** 0,0862 *** 0.0872 ***(0,0035) (0,0047) (0,0035) (0.0035)

W1 IS 0,0197 0,0149 0,0197 0.0282(0,0161) (0,0215) (0,0161) (0.0369)

OP IS -0,0884 *** -0,0778 * -0,0884 *** -0.1075 *(0,0329) (0,0423) (0,0329) (0.0625)

konstanta -0,0123 *** 0,0043 -0,0123 *** -(0,0032) (0,0038) (0,0032)

F-Test 395,72 [0.0000] 245,98 [0.0000] Keterangan :

Wald-Test 27,78 [0.3694] 3957,25 [0.0000] 5063,73 [0.0000] *** : signifikan pada 01%

Chow F-Test 0,38 [0.9970] *** : signifikan pada 05%

Breusch-Pagan LM Test 9,25 [0.0024] *** : signifikan pada 10%

Hausman Test 1,83 [0.9975] ( ) : standart error

Arelano-Bond - m1 -3,6541 [0.0003] [ ] : P-value

Arelano-Bond - m2 0,6787 [0.4974]Sargan Test 25,4306 [0.8824]

Page 135: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

116

Berdasarkan kriteria tersebut, didapati standard error dari seluruh variabel

pada model data panel dinamis lebih besar dibanding metode REM, kecuali

variabel penyesuaian BBM, namun tidak merubah signifikansi dari pengaruh

variabel tersebut. Secara tidak langsung hal ini menyiratkan kondisi yang cukup

konsisten dari penduga FD-GMM. Tahap selanjutnya, perlu diperiksa kembali

tanda dari koefisien regresi, apakah sudah sesuai dengan nilai parameter yang

diharapkan dan secara eksplisit telah dinyatakan pada bab sebelumnya.

Berdasarkan sepuluh penduga koefisien yang diperoleh melalui metode

FD-GMM, dua diantaranya yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar dan

peningkatan belanja pemerintah daerah tidak sesuai dengan nilai parameter yang

diharapkan. Dalam beberapa penelitian, anomali dari dampak peningkatan belanja

pemerintah daerah terhadap inflasi sudah pernah ditemui dan kemungkinan untuk

studi kasus Indonesia juga demikian kondisinya. Anomali lainnya dari hasil

estimasi model data panel dinamis non spasial adalah tanda dari koefisien

pertumbuhan M1 berpengaruh negatif, namun karena pengaruhnya tidak

signifikan terhadap inflasi maka fakta ini dapat diterima karena dalam beberapa

penelitian, pada kondisi inflasi moderat money growth memang tidak berpengaruh

secara signifikan terhadap inflasi. Hasil FD-GMM ini mengisyaratkan estimasi

yang lebih baik dibanding REM yang menyatakan bahwa pertumbuhan M1

berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Berdasarkan hasil tersebut,

estimasi FD-GMM dianggap cukup konsisten dan diharapkan dapat digunakan

untuk melihat dinamika inflasi di Indonesia.

Beralih ke estimasi dengan pendekatan spasial, pada pendekatan ini

digunakan juga metode statis dan dinamis. Rangkuman hasil estimasi dari model

spasial pada persamaan (3.5) dengan menggunakan beberapa metode disajikan

pada Tabel 13 Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu diketahui bahwa, untuk

mendapatkan model data panel spasial dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel

13, melalui proses cukup panjang, namun tetap mengacu pada tinjauan empiris

yang disarankan Kukenova dan Monteiro (2009) dan menggunakan landasan

teoritis pendekatan IS – LM. Berdasarkan tinjauan empiris dan landasan teoritis

tersebut, estimasi dari metode SAB diperoleh melalui suatu sistem persamaan

simultan, yaitu dengan mendefinisikan pertumbuhan uang beredar dan perubahan

Page 136: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

117

belanja pemerintah daerah sebagai predetermine variable serta variabel

keterkaitan inflasi antar provinsi (WP) dan interaksi antara perubahan kondisi

infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan sebagai variabel endogen. Sama

seperti pada estimasi sebelumnya, alasan pertumbuhan uang beredar ditetapkan

sebagai predetermine variable mengacu pada pendekatan IS – LM dan kondisi

spesifik di Indonesia. Penentuan perubahan belanja pemerintah daerah sebagai

predetermine variable sesungguhnya mengakomodir kondisi spesifik di Indonesia,

namun dikuatkan pula oleh hasil kausalitas granger yang menyatakan hubungan

searah dari variabel ini dalam memengaruhi inflasi tetapi tidak berlaku sebaliknya.

Sesuai dengan persyaratan Kukenova dan Monteiro (2009), maka variabel

keterkaitan inflasi antar provinsi (WP) wajib ditetapkan sebagai variabel

endogen, namun ditambah beberapa variabel lainnya. Mengingat matrik

penimbang yang digunakan dalam model spasial dinamis berasal dari koefisien

IRIO untuk transaksi domestik, sesungguhnya tidak diperlukan lagi variabel

endogen tambahan karena IRIO sudah menangkap seluruh transaksi domestik

pada pasar barang. Meski demikian, berdasarkan pengujian kausalitas granger

didapati bahwa terjadi hubungan saling memengaruhi antara interaksi perubahan

kondisi infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan dengan inflasi, maka

variabel ini juga ditetapkan sebagai variabel endogen, namun variabel lainnya,

kecuali pertumbuhan uang beredar tidak ditetapkan sebagai variabel endogen

murni (fully endogenous) atau eksogen murni (fully exogenous).

Merujuk pada persyaratan tambahan dari Kukenova dan Monteiro (2009)

dan Jacobs et. Al. (2009), upaya untuk menangkap terjadinya spillover antar

wilayah secara spasial dilakukan dengan menambahkan beberapa variabel

instrumen seperti laju perubahan tertimbang spasial dari kedua predetermine

variabel tersebut ditambah dengan perubahan UMP, derajat keterbukaan

perdagangan dan kondisi infrastruktur. Filosofi yang mendasari penggunaan

beberapa variabel instrumen ini adalah adanya keterkaitan secara spasial baik

secara langsung maupun tidak langsung yang akan memengaruhi variabel tersebut

atau variabel-variabel lainnya. Secara teoritis, adanya perubahan kondisi dari

kelima variabel instrumen tersebut secara spasial dapat mendorong terjadinya

inflasi melalui dua jalur utama, yaitu permintaan agregat dan penawaran agregat.

Page 137: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

118

Perbandingan beberapa hasil estimasi dengan metode SAB dapat dilihat pada

Tabel 3 dalam Lampiran 2. Setelah diperoleh hasil pendugaan terbaik, dalam hal

ini model 6, tahap selanjutnya adalah membandingkannya dengan hasil estimasi

metode data panel statis untuk melihat continuum hasil estimasi dari metode SAB.

Tahapan ini bertujuan untuk memeriksa konsistensi dan robustness hasil estimasi

sehingga hasil estimasi metode data panel dinamis yang selalu diklaim lebih baik

dibanding hasil estimasi metode data panel statis dapat dibuktikan secara empiris,

khususnya terkait dengan estimasi model dinamika inflasi di Indonesia ini.

Berdasarkan tiga metode data panel statis yang digunakan, terlihat

superioritas REM dibanding dua metode lainnya, dilihat dari hasil Wald chi-test,

uji Hausman dan uji Breusch-Pagan LM, sementara hasil estimasi dari metode

SAB juga menunjukkan kondisi terpenuhinya syarat perlu dari model dinamis,

yaitu uji Arellano-Bond untuk m1 signifikan pada tingkat kesalahan 1% dan m2

tidak signifikan pada taraf uji 10%, sedangkan hasil uji Sargan tidak signifikan

pada sebesar 10%. Setelah terpenuhi syarat perlu dari metode SAB, langkah

berikutnya adalah memeriksa continuum hasil estimasi dan kemudian

membandingkan nilai dari koefisien regresi yang diperoleh dengan nilai parameter

yang diharapkan. Rangkuman hasil estimasi pada Tabel 13, juga memperlihatkan

nilai koefisien regresi SAB tidak berbeda secara signifikan dengan hasil yang

diperoleh REM, sementara standard error dari penduga parameter pada SAB

seluruhnya menunjukkan nilai yang lebih besar dibanding standard error dari

metode REM. Konsistensi dari metode SAB dibandingkan REM terletak pada

perbedaan hasil estimasi koefisien penyesuaian UMP (W1) yang tidak signifikan

dan sesuai dengan hasil pengujian kaualitas granger. Bardasarkan hasil tersebut,

dari sisi continuum, estimasi yang dihasilkan dari metode SAB cukup baik.

Page 138: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

119

Tabel 13. Hasil estimasi model data panel spasial

Variabel OLS FEM REM SAB

lag P 0,8733 *** 0,8205 *** 0,8733 *** 0,7469 ***(0,0409) (0,0471) (0,0409) (0,1424)

WP 0,2696 *** 0,3036 *** 0,2696 *** 0,3555 **(0,0452) (0,0490) (0,0452) (0,1678)

OG 0,2696 *** 0,3036 *** 0,2696 *** 0,0509(0,0452) (0,0490) (0,0452) (0,0768)

IR -0,0077 *** -0,0074 *** -0,0077 *** -0,0070 ***(0,0003) (0,0003) (0,0003) (0,0012)

M1 -0,0094 -0,0058 -0,0094 0,0022(0,0080) (0,0085) (0,0080) (0,0366)

XR 0,0788 *** 0,0704 *** 0,0788 *** 0,0568 ***(0,0111) (0,0119) (0,0111) (0,0209)

G -0,0150 *** -0,0171 *** -0,0150 *** -0,0220(0,0045) (0,0048) (0,0045) (0,0363)

W1 -0,0245 *** -0,0254 *** -0,0245 *** -0,0302(0,0082) (0,0089) (0,0082) (0,0254)

W2 0,0272 *** 0,0279 *** 0,0272 *** 0,0311 **(0,0030) (0,0031) (0,0030) (0,0148)

BM 0,0562 *** 0,0529 *** 0,0562 *** 0,0469 **(0,0059) (0,0063) (0,0059) (0,0182)

OP IS -0,0920 *** -0,0869 *** -0,0920 *** -0,1609(0,0299) (0,0319) (0,0299) (0,4100)

konstanta -0,0191 *** -0,0170 *** -0,0191 *** -(0,0033) (0,0036) (0,0033) Keterangan :

F-Test 420 [0,0000] 375,9 [0,0000] *** : signifikan pada 01%

Wald-Test 51,65 [0,0020] 4620,00 [0,0000] 5969,83 [0,0000] *** : signifikan pada 05%

Chow F-Test 0,41 [0,9951] *** : signifikan pada 10%

Breusch-Pagan LM Test 5,77 [0,0163] ( ) : standart error

Hausman Test 6,16 [0,8626] [ ] : P-value

Arelano-Bond - m1 -2,5258 [0,0115]Arelano-Bond - m2 -0,8634 [0,3879]Sargan Test 23,4472 [1,0000]

Page 139: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

120

Pemeriksaan selanjutnya adalah apakah arah dari koefisien regresi sudah

sesuai dengan nilai parameter yang diharapkan. Tabel 13 memperlihatkan, dari

sebelas penduga koefisien yang dihasilkan oleh metode SAB, dua diantaranya

yaitu peningkatan belanja pemerintah daerah dan penyesuaian UMP tidak sesuai

dengan nilai parameter yang diharapkan. Pada pembahasan sebelumnya, anomali

tentang pangaruh peningkatan belanja pemerintah daerah terhadap inflasi telah

disinggung dan dapat diterima karena merujuk dari beberapa penelitian empiris

kondisi tersebut pernah ditemui, sementara untuk penyesuaian UMP yang

berpengaruh negatif terhadap inflasi, namum karena pengaruhnya tidak siginifkan

maka dapat diterima, mengingat pada pengujian kausalitas granger memang

demikian kondisinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka secara keseluruhan dapat

disimpulkan bahwa metode SAB relatif konsisten dan robust untuk mengestimasi

persamaan (3.6) dibanding metode REM dan model yang diharapkan dapat

memberi gambaran mengenai dinamika inflasi di Indonesia pada tataran provinsi,

sesuai dengan tujuan penelitian.

5.4.2 Model Penargetan Inflasi

Pembahasan mengenai model penargetan inflasi dimaksud mengacu pada

persamaan (3.7) dan persamaan (3.8) yang masing-masing diestimasi dengan

menggunakan metode panel data dinamis non spasial dan metode panel data

spasial dinamis. Berbeda penyajian pada tabel sebelumnya, pada model

penargetan inflasi yang disajikan pada Tabel 14 tidak ditampilkan estimasi untuk

metode panel data statis namun langsung menggunakan metode panel data

dinamis, sehingga tidak dilakukan lagi pemeriksaan dari continuum hasil estimasi

sebagaimana sebelumnya. Perlu diutarakan pula bahwa pada estimasi metode

panel data dinamis non spasial menggunakan perlakuan yang sama dengan model

dasar, yaitu menggunakan persamaan variabel instrumen dengan pertumbuhan M1

ditetapkan sebagai predetermine variabel, sementara pada metode spasial dinamis

digunakan sistem persamaan simultan dengan variabel endogen dan predetermine

variabel yang sama seperti sebelumnya, namun hanya menggunakan tiga variabel

instrumen yaitu laju perubahan tertimbang spasial dari UMP, derajat keterbukaan

Page 140: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

121

perdagangan dan kondisi infrastruktur agar bisa menangkap terjadinya spillover

antar provinsi.

Tabel 14. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk penargetan inflasi

Variabel FD-GMM SAB

lag P 0,7070 *** 0,5852 **

(0,1825) (0,2437)

WP - 0,5257 **

(0,2318)

OG -0,0299 -0,0055

(0,0702) (0,1835)

IR -0,0093 *** -0,0076 ***

(0,0010) (0,0018)

M1 -0,0470 ** -0,0303

(0,0225) (0,0252)

XR 0,0536 0,0818

(0,0513) (0,0570)

G -0,0099 -0,0028

(0,0188) (0,0137)

W1 - -0,0114

(0,0165)

W2 0,0350 *** 0,0201 **

(0,0124) (0,0089)

BM 0,0765 *** 0,0134

(0,0072) (0,0343)

W1 IS 0,0016 -

(0,0262)

OP IS -0,0442 -0,0841

(0,0483) (0,2242)

DIT -0,0138 -0,0083

(0,0108) (0,0110)

lag P DIT 0,3390 * 0,1617

(0,1751) (0,1823)

XR DIT 0,0090 -0,1142

(0,0623) (0,0941)

Wald-Test 4741,49 [0.0000] 40091,01 [0,0000]

Arelano-Bond - m1 -3,7782 [0.0002] -1,8505 [0,0642]

Arelano-Bond - m2 0,7203 [0.4714] -1,0238 [0,3059]

Sargan Test 23,6955 [1.0000] 13,9952 [1,0000]

Keterangan : dit = dummy Inflation Targeting *** : signifikan pada 01%

( ) : standart error *** : signifikan pada 05%

[ ] : P-value *** : signifikan pada 10%

Hasil estimasi baik dengan menggunakan metode dinamis spasial dan

metode spasial dinamis memperlihatkan terpenuhinya syarat perlu yaitu hasil uji

Sargan tidak signifikan pada sebesar 10% sementara uji Arellano-Bond untuk

m1 signifikan pada tingkat kesalahan 10% dan m2 tidak signifikan pada taraf uji

Page 141: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

122

10%, sedangkan Wald chi-test menunjukkan P – value yang kurang dari 1%.

Sayangnya, pada metode panel dinamis non spasial didapati kondisi yang tidak

konsisten dengan teori ekonomi yang berlaku umum seperti money growth

memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap inflasi dan hal ini sulit

dijelaskan baik secara teoritis maupun empiris. Disamping itu, ditemui pula

besarnya derajat pass through dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur

dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan tidak signifikan pengaruhnya

terhadap inflasi ( = 10%), sementara model dasar menyatakan hal sebaliknya.

Berdasarkan pemeriksaan validitas hasil estimasi yang telah disampaikan maka

dapat disimpulkan bahwa metode data panel dinamis non spasial kurang konsisten

dengan teori ekonomi yang berlaku secara umum dan model sebelumnya.

Tidak jauh berbeda dengan metode data panel dinamis non spasial, hasil

estimasi dari metode SAB juga menyatakan pengaruh dari money growth yang

negatif terhadap inflasi, namun tidak signifikan, sementara didapati besarnya

exchange rate pass through yang juga tidak signifikan. Selain itu, pengaruh

penyesuaian BBM yang pada model dasar berpengaruh positif dan signifikan,

pada estimasi persamaan (3.8) tidak terlihat signifikan pada taraf 10%, meskipun

pengaruhnya tetap positif terhadap inflasi. Berdasarkan perbandingan hasil

estimasi dengan menggunakan kedua metode data panel dinamis, secara relatif

metode data panel spasial dinamis lebih baik dibanding metode non spasial,

namun estimasi yang diberikan kurang robust jika dibandingkan dengan estimasi

model dasar. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa estimasi tersebut

merupakan hasil terbaik yang diperoleh dalam penelitian ini, sehingga estimasi

tersebut tetap akan digunakan dalam interpretasi model terkait dengan penerapan

kebijakan kerangka penargetan inflasi di Indonesia.

5.4.3 Model Perbedaan Kondisi Infrastruktur antar Wilayah

Sebelum menjelaskan hasil estimasi dari model ini, perlu diketahui bahwa

untuk melihat perbedaan kondisi infrastruktur terhadap volatilitas inflasi, maka

hanya akan difokuskan bagaimana peran dari interaksi antara perubahan kondisi

infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi

dirinci menurut kelompok wilayah Jawa dengan luar Jawa berdasarkan persamaan

Page 142: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

123

(3.9) dan (3.10) dan kelompok wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan

Kawasan Timur Indonesia (KTI), dari persamaan (3.11) dan (3.12). Seperti

metode estimasi sebelumnya, pada FD-GMM dibuat sistem persamaan variabel

instrumen dengan predetermined variable yang sama, kecuali pada kelompok

wilayah KBI dengan KTI ditambah interaksi antara perubahan kondisi

infrastruktur dan perubahan derajat keterbukaan perdagangan, sementara untuk

metode SAB menggunakan persamaan simultan dengan satu variabel endogen,

yaitu keterkaitan inflasi secara spasial (WP) dan predetermined variable

sebagaimana digunakan pada model dasar, namun tambahan variabel instrumen

untuk model pada masing-masing kelompok wilayah berbeda. Untuk melihat

inflasi kelompok wilayah Jawa dengan luar Jawa digunakan variabel instrumen

berupa laju perubahan tertimbang spasial dari UMP, derajat keterbukaan

perdagangan, kondisi infrastruktur dan suku bunga riil, sementara pada kelompok

wilayah KBI dengan KTI tambahan instrumen yang digunakan sama dengan

instrumen yang digunakan pada model dasar, guna menangkap terjadinya

spillover secara spasial.

Hasil estimasi dari perbedaan kondisi kelompok wilayah sebagaimana

disajikan pada Tabel 15 menyatakan terpenuhinya syarat perlu dengan

menggunakan uji Sargan dan uji Arellano-Bond (statistik m1 dan m2), baik

diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Meski demikian,

terdapat beberapa catatan terkait dengan estimasi yang dihasilkan oleh metode

FD-GMM dan SAB, terkait dengan konsistensi dengan hasil estimasi model dasar.

Pada model perbedaan inflasi Jawa dengan luar Jawa, pertumbuhan M1 yang

diestimasi dengan FD-GMM menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan

terhadap inflasi pada taraf 10%, sementara pada model dasar dampaknya tidak

signifikan. Sementara untuk estimasi dengan metode SAB menunjukkan hasil

yang sama dengan model dasar, baik arah maupun signifikansi dari seluruh

variabel yang memengaruhi inflasi. Sedangkan untuk model perbedaan inflasi

antara KBI dengan KTI, hasil estimasi metode FD-GMM memperlihatkan arah

dan signifikansi yang sama pada hampir semua variabel, kecuali pengaruh dari

interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dan perubahan derajat

Page 143: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

124

keterbukaan perdagangan yang pengaruhnya signifikan pada sebesar 10% di

model dasar, pada model ini tidak memberikan pengaruh signifikan. Pada

pendugaan dengan metode SAB, perbedaan dengan model dasar hanya terjadi

pada signifikansi dari hasil estimasinya saja.

Tabel 15. Hasil estimasi model data panel dinamis untuk perbedaan volatilitasinflasi antar wilayah

VariabelWilayah Jawa dan Luar Jawa Wilayah KBI dan KTI

FD-GMM SAB FD-GMM SAB

lag P 0,9655 *** 0.7562 *** 0.9746 *** 0.7116 ***

(0,1632) (0.1281) (0.0606) (0.1577)

WP - 0.3468 ** - 0.3769 **

(0.1338) (0.1851)

OG 0,0529 0.0585 0.0499 0.0434

(0,0741) (0.1147) (0.0979) (0.0769)

IR -0,0086 *** -0.0070 *** -0.0086 *** -0.0068 ***

(0,0008) (0.0010) (0.0006) (0.0013)

M1 -0,0248 * 0.0009 -0.0264 0.0005

(0,0150) (0.0323) (0.0200) (0.0302)

XR 0,1015 *** 0.0597 *** 0.1035 *** 0.0512 **

(0,0344) (0.0179) (0.0218) (0.0245)

G -0,0216 -0.0205 -0.0227 -0.0211

(0,0186) (0.0304) (0.0234) (0.0347)

W1 - -0.0288 - -0.0337

(0.0606) (0.0502)

W2 0,0317 *** 0.0299 ** 0.0322 *** 0.0309 *

(0,0091) (0.0142) (0.0114) (0.0161)

BM 0,0873 *** 0.0482 ** 0.0867 *** 0.0443 *

(0,0037) (0.0186) (0.0044) (0.0233)

W1 IS 0,0332 - 0.0270 -

(0,0470) (0.0600)

OP IS -0,1245 ** -0.1065 -0.1199 -0.1998

(0,0545) (0.2232) (0.2023) (0.2998)

OP IS DJW 0,1406 0.0729 - -

(0,1408) (0.8023)

OP IS DKTI - - -0.0190 -0.0222

(0.3389) (0.4244)

Wald-Test 7204,13 [0.0000] 7148.29 [0.0000] 4439.41 [0.0000] 5181.61 [0.0000]

Arelano-Bond - m1 -3,3110 [0.0009] -2.2204 [0.0264] -3.1054 [0.0019] -2.1411 [0.0323]

Arelano-Bond - m2 0,4095 [0.6822] -0.6614 [0.5084] 0.2837 [0.7766] -0.8335 [0.4046]

Sargan Test 25,0530 [1.0000] 24.4450 [1.0000] 25.0623 [0.8861] 22.5063 [1.0000]

2

Keterangan : djw = dummy Pulau Jawa *** : signifikan pada 01%

dkti = dummy KTI *** : signifikan pada 05%

( ) : standart error *** : signifikan pada 10%

[ ] : P-value

Secara umum, estimasi dari kedua metode memperlihatkan hasil yang

cukup baik karena tanda koefisien cukup konsisten dengan hasil estimasi yang

Page 144: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

125

diperoleh dari model dasar, permasalahannya hanya pada masalah tingkat

signifikansi dari koefisien hasil estimasi saja. Oleh karenanya, pendugaan dengan

kedua metode data panel dinamis tersebut tetap akan digunakan, mengingat

interpretasi model hanya akan difokuskan pada interaksi antara perbedaan kondisi

infrastruktur dan trade openness terhadap inflasi saja sedangkan variabel lainnya

digunakan untuk melihat robustness hasil estimasi.

5.5 Respon Inflasi terhadap Variabel-variabel Non Kebijakan

5.5.1 Peran Inersia Inflasi dan Keterkaitan Secara Spasial dalam

Pembentukan Inflasi

Besarnya pengaruh inersia inflasi terhadap pembentukan inflasi tahun

berjalan adalah 0,7469 dengan metode Spatial Arellano Bond (SAB), sedangkan

dengan metode non spasial besarnya pengaruh inersia inflasi adalah 0,9685.

Secara tidak langsung, inersia inflasi ini merepresentasikan bagaimana ekspektasi

masyarakat terhadap inflasi pada tahun berjalan sangat dipengaruhi oleh besarnya

inflasi tahun sebelumnya, disamping juga dapat diartikan sebagai derajat

persistensi inflasi, tentunya dengan merujuk pada formulasi dari spesifikasi model

yang digunakan. Tingginya inersia inflasi tersebut secara tidak langsung

menyiratkan perilaku backward looking dalam pembentukan ekspektasi terhadap

inflasi merupakan hal yang penting mengingat tingginya derajat persistensi inflasi.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Prasertnukul et al. (2010) yang menyatakan besarnya inersia inflasi adalah

0,550; maka metode SAB menunjukkan hasil estimasi yang tidak berbeda secara

signifikan. Hasil penelitian lainnya yang hampir sama diperoleh dari penelitian

Solikin (2004) mengenai uji keberadaan kurva Phillips versi tradisional, untuk

sampel tahun 1974 – 2002 tercatat inersia inflasi sebesar 0,602; sementara untuk

periode tahun 1997 – 2002 besarnya 0,603. Perlu dicatat, meski dalam penelitian

Prasertnukul et al. (2010) kesimpulan diperoleh dari eksplorasi data time series,

demikian pula dengan Solikin (2004), sementara pada penelitian ini menggunakan

data panel, namun hasil estimasi dari koefisien inersia inflasi menunjukkan hasil

yang tidak berbeda secara signifikan. Dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya, hasil estimasi dari metode FD-GMM juga memperlihatkan hasil yang

tidak berbeda secara signifikan dengan temuan dari Wimanda (2006), karena

Page 145: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

126

secara rata-rata besarnya persistensi inflasi pada tingkat provinsi sebesar 0,914

dan secara nasional besarnya adalah 0,964.

Estimasi dari persamaan (3.6) dengan metode SAB yang merupakan

novelti dari penelitian ini adalah keterkaitan inflasi antar provinsi yang memberi

peran terhadap pembentukan inflasi sebesar 0,3555; artinya jika secara rata-rata

terjadi peningkatan inflasi di provinsi lain sebesar 1%, maka akan mendorong

terjadinya peningkatan inflasi sebesar 0,36% di suatu provinsi, dengan catatan

pada kondisi ceteris paribus. Keterkaitan inflasi secara spasial ini tentu tidak

dapat dinafikan mengingat pada pembahasan sebelumnya sebagaimana disajikan

pada Tabel 7 (bab II), ditemukan fakta mengenai adanya korelasi inflasi antar

provinsi yang cukup kuat pada hampir seluruh provinsi dan fakta empiris tersebut

hampir sama dengan hasil penelitian dari Wimanda (2006) untuk rentang waktu

setelah krisis ekonomi.

Temuan dari model spatial lag ini bisa jadi merupakan jawaban atas

penyebab inflasi di Indonesia yang tidak hanya dipengaruhi oleh persistensi inflasi

dari masing-masing provinsi sebagai faktor utama yang menentukan besarnya

inflasi tetapi juga pergerakan harga yang berasal dari provinsi lainnya. Pada model

spatial lag ini, pengaruh dari inersia inflasi didekomposisi menjadi persistensi

inflasi masing-masing provinsi dan pengaruh inflasi dari provinsi lain. Jika

kemudian diagregasi, pengaruh inersia inflasi dari persamaan (3.6) menjadi

sebesar 1,1024 dan tidak berbeda secara signifikan dengan hasil estimasi untuk

persamaan (3.5) yang menggunakan FD-GMM.

Berdasarkan ketebandingan dengan beberapa penelitian terdahulu dan

hasil estimasi dari metode non spasial yang dinyatakan dalam persamaan (3.5),

maka dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi dari persamaan (3.6) dengan

menggunakan metode SAB cukup valid. Bahkan terdapat satu keuntungan

tambahan terkait dengan model yang digunakan yaitu diketahuinya sumber utama

penyebab inflasi di Indonesia, mengingat persistensi inflasi dapat didekomposisi.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, keuntungan tambahan yang

diperoleh dari model spatial lag di atas merupakan salah satu kontribusi dari

penelitian ini.

Page 146: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

127

5.5.2 Pengaruh Output Gap terhadap Inflasi

Estimasi koefisien regresi data panel dinamis menyatakan bahwa output

gap tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap inflasi, baik diestimasi

dengan metode non spasial maupun dengan metode spasial (Tabel 12 dan

Tabel 13). Hasil estimasi ini sepertinya terkait erat dengan kondisi umum

Indonesia karena pada hampir seluruh provinsi, output aktual berada di bawah

output potensial untuk periode tahun 2000 – 2006 dan baru pada tiga tahun

setelahnya output aktual berada di atas kondisi potensialnya atau dengan kata lain,

lebih dari separuh rentang waktu penelitian, output gap berada pada kondisi

negatif (Gambar 14). Secara teoritis, pada kondisi demikian, inflasi lebih

disebabkan oleh sisi penawaran dibanding sisi permintaan, mengingat output gap

tidak berpengaruh secara signifikan terhadap inflasi. Meski tidak signifikan,

namun dapat dilihat nilai dari koefisien tersebut positif dan sesuai dengan

landasan teoritis.

Merujuk pada hasil penelitian Solikin (2004) tentang keberadaan kurva

Phillips di Indonesia dan Wimanda et al. (2011) mengenai determinan inflasi di

Indonesia, didapati peran output gap dalam pembentukan inflasi cukup signifikan.

Hasil ini tentu tidak sejalan dengan temuan yang telah dijelaskan sebelumnya,

karena dengan pendekatan inflasi regional pada tataran provinsi output gap tidak

berperan signifikan terhadap pembentukan inflasi. Perbedaan hasil temuan ini

sepertinya terkait erat dengan formulasi dari spesifikasi model pada penelitian

Solikin (2004) yang murni menggunakan model hybrid NKPC dan lag output gap

sebagai proksi dari driving force variable. Berbeda dengan Solikin (2004),

Wimanda et al. (2011) menggunakan spesifikasi model perluasan dari hybrid

NKPC, sehingga hasil model tersebut lebih bisa dibandingkan dengan model

penelitian ini. Perbedaan hasil penelitian ini dengan kajian Wimanda et al. (2011)

merupakan temuan menarik terkait dengan pendekatan yang berbeda, yaitu

penelitian ini menggunakan pendekatan pada tataran provinsi, sementara kajian

sebelumnya menggunakan pendekatan pada level nasional.

Mencermati hasil penaksiran output potensial dan output gap pada

pembahasan sebelumnya, yaitu selama periode tahun 2006 – 2009 terjadi kondisi

output aktual melebihi kondisi potensialnya, maka untuk periode selanjutnya bila

Page 147: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

128

hal tersebut terus terjadi, dimungkinkan pengaruh dari output gap terhadap inflasi

menjadi signifikan mengingat pada kondisi tersebut akan terjadi kelebihan

permintaan. Guna menjawab pertanyaan tersebut, dibutuhkan tambahan data

beberapa periode ke depan dan disarankan agar melakukan penelitian lebih lanjut.

5.5.3 Dampak Perubahan Nilai Tukar terhadap Inflasi

Depresiasi nilai tukar dapat menyebabkan terjadinya imported inflation

karena nilai barang-barang impor menjadi lebih mahal dan mendorong terjadinya

inflasi, baik secara langsung melalui konsumsi akhir maupun berasal dari barang

domestik yang sebagian besar berbahan baku impor. Dalam beberapa kajian,

dampak perubahan nilai tukar terhadap inflasi sering diistilahkan sebagai

exchange rate pass through (ERPT). Perhatian terhadap besarnya ERPT memicu

banyak kajian untuk mengetahui seberapa jauh dampak fluktuasi nilai tukar

terhadap volatilitas inflasi. Besarnya derajat ERPT bisa mengindikasikan seberapa

besar tingkat ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian

global. Semakin besar derajat pass through berarti semakin tinggi tingkat

ketergantungan perekonomian domestik terhadap perekonomian luar negeri.

Hasil estimasi pada Tabel 12 dan Tabel 13 menyatakan dampak

perubahan nilai tukar terhadap inflasi adalah signifikan pada taraf nyata 1%,

dengan besarnya pengaruh 0,0568 berdasarkan estimasi metode SAB dan 0,1017

dari metode FD-GMM. Dibanding Tabel 13 penelitian sebelumnya dari

Prasertnukul et al. (2010), dengan menggunakan data Januari 1990 – Juni 2007

dan Wimanda (2006) yang menggunakan data periode tahun 1999 – 2006,

besarnya ERPT ini meningkat, namun masih lebih rendah dibanding penelitian

dari Achsani dan Nababan (2008). Peningkatan pass through dibanding hasil

penelitian Prasertnukul et al. (2010) dan Wimanda (2006), tentunya erat

kaitannya dengan krisis finansial global yang dampaknya sempat dirasakan di

Indonesia. Hal lain yang juga berkaitan erat dengan peningkatan ERPT adalah

tekanan harga minyak dunia yang meningkat di tahun 2008 dan mencapai level

tertinggi pada Juli 2008. Akibat kedua shock yang berasal dari perekonomian

global tersebut, nilai tukar nominal terdepresiasi hingga sempat menyentuh level

Rp. 12.000,-/dolar AS dan merupakan level terendah pasca krisis ekonomi 1998.

Sementara lebih rendahnya ERPT dari kedua metode yang digunakan pada

Page 148: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

129

penelitian ini dibanding hasil dari Achsani dan Nababan (2008) karena pada

penelitian tersebut memasukkan guncangan harga minyak dunia ke dalam

estimasi, sedangkan pada penelitian ini, guncangan tersebut tidak langsung

berpengaruh mengingat harga BBM merupakan administered prices yang

merupakan kebijakan dari pemerintah pusat. Perbedaan proksi variabel dalam

spesifikasi model yang digunakan dalam kajian Achsani dan Nababan (2008)

dengan penelitian ini membuat keduanya cenderung tidak dapat dibandingkan,

namun bukti mengenai tingginya derajat pass through dari kajian sebelumnya

tersebut tentu tidak dapat dinafikan.

0

20

40

60

80

100

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Barang Konsumsi Bahan Baku/Penolong Barang Modal

Sumber : BPS

Gambar 15. Perkembangan impor menurut penggunaan barangtahun 2000 – 2010 (dalam CIF miliar US$)

Fakta mengenai tingginya derajat pass through di Indonesia secara implisit

menyiratkan bahwa perekonomian domestik kian terintegrasi dengan

perekonomian global. Konsekuensinya adalah perekonomian domestik menjadi

kian terbuka dan hal ini akan menyebabkan semakin rentannya perekonomian

domestik terhadap shock yang berasal dari perubahan kondisi global apabila

fondasi ekonomi domestik tidak dibangun secara baik. Di bawah area perjanjian

pasar bebas yang ditandatangani Indonesia dengan beberapa negara mitra wicara

dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya ketergantungan perekonomian

Page 149: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

130

domestik terhadap perekonomian global seakan tidak dapat dielakkan lagi, karena

wacana penghapusan hambatan biaya masuk yang menjadi benteng terakhir dalam

memroteksi masuknya barang impor perlahan-lahan harus dilaksanakan.

Tingginya derajat pass through ini tentunya erat kaitannya dengan

besarnya penggunaan barang-barang impor, terutama kategori bahan baku atau

bahan penolong untuk kegiatan produksi domestik, mengingat lebih dari 70%

pangsa impor Indonesia merupakan kategori barang tersebut (Gambar 15).

Disamping itu, dapat dilihat pula tingkat ketergantungan impor untuk kategori

barang modal terlihat cukup tinggi, yaitu tidak kurang dari 13% dalam kurun

tahun 2000 – 2009. Tingginya prosentase impor untuk kategori bahan baku atau

bahan penolong dan impor kategori barang modal menyebabkan perubahan harga

barang impor akan ditransmisi semakin jauh ke dalam perekonomian domestik

sehingga dampaknya akan semakin besar terhadap inflasi. Berdasarkan penjelasan

tersebut, permasalahan tingginya ERPT kembali pada struktur perekonomian

domestik yang kemudian berujung dengan masalah daya saing dari produk

domestik terhadap produk impor, baik dari sisi harga maupun kualitas dari

produknya. Selain itu, perlu juga melakukan strategi pengurangan impor seperti

melalui substitusi bahan baku, himbauan penggunaan produk domestik dan

kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan usaha baru

untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besar berasal dari produksi dalam

negeri untuk lebih menguatkan fondasi ekonomi domestik.

5.5.4 Respon Inflasi terhadap Perubahan Kondisi Infrastruktur

Seperti pada pembahasan sebelumnya, untuk melihat respon inflasi

terhadap perubahan kondisi infrastruktur digunakan dua metode, yaitu data panel

dinamis non spasial dan data panel spasial dinamis dengan formulasi yang sedikit

berbeda, yaitu dimasukkannya interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur

dengan penyesuaian UMP pada metode FD-GMM, sementara pada metode SAB,

dampak penyesuaian UMP dilihat secara langsung dan hal tersebut sudah dibahas

pada bagian sebelumnya.

Merujuk pada Tabel 12, pengaruh dari perubahan kondisi infrastruktur

yang diinteraksikan dengan penyesuaian UMP memberi pengaruh positif dan

tidak signifikan terhadap volatilitas inflasi. Pengaruh yang tidak signifikan ini dari

Page 150: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

131

penyesuaian upah minimum ini terhadap inflasi ini konsisten dengan pembahasan

sebelumnya yang melihat dampaknya secara langsung terhadap inflasi dan hasil

pengujian kausalitas granger. Meski hasil keduanya tidak signifikan, namun

menariknya, pada kondisi ceteris paribus, dampak dari laju penyesuaian UMP

secara simultan dengan laju perubahan kondisi infrastruktur adalah positif

terhadap inflasi, berbeda dengan pembahasan sebelumnya yang menyatakan,

tanpa adanya perubahan kondisi infrastruktur, pengaruh penyesuaian UMP adalah

negatif terhadap inflasi. Temuan menarik ini secara tidak langsung menguatkan

Oosterhaven and Elhorst (2003) yang menyatakan bahwa untuk melihat dampak

infrastruktur terhadap variabel makro ekonomi harus ditelusuri lebih lanjut

bagaimana respon dari pasar tenaga kerja atas perubahannya, misalnya dari sisi

penyerapan tenaga kerja atau tingkat pengangguran atau dari sisi penyesuaian

upah, sehingga dampak bauran dari keduanya tidak mudah untuk diprediksi.

Selain dilihat respon dari sisi pasar tenaga kerja, perubahan kondisi

infrastruktur juga perlu dilihat responnya dari sisi jalur perdagangan. Hasil

estimasi antara interaksi dari perubahan kondisi infrastruktur dengan perubahan

derajat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi memperlihatkan pengaruh yang

negatif terhadap inflasi terhadap volatilitas inflasi, baik berdasarkan estimasi

dengan metode FD-GMM maupun dengan metode SAB. Pengaruh yang negatif

ini sesuai dengan teori pertumbuhan regional yang menyatakan perbaikan

infrastruktur akan berpengaruh pada penurunan biaya transpor dan teori standar

perdagangan internasional yang menyatakan makin tinggi derajat keterbukaan

berarti semakin tinggi pula volume dari ekspor dan impor dari suatu daerah dan

untuk itu barang-barang ekspor maupun impor harus dapat bersaing, salah satunya

dari sisi harga sehingga akan memicu penurunan harga.

Perbedaan yang ditemui adalah signifikannya pengaruh dari interaksi

tersebut taraf 10% berdasarkan hasil estimasi metode FD-GMM, sebaliknya

dengan metode SAB menyatakan hal sebaliknya. Secara pemodelan, dapat dilihat

jika hasil estimasi dari FD-GMM relatif lebih sensitif terhadap shock dari luar

negeri dibanding hasil yang diperoleh metode SAB. Hal ini bisa dilihat dari

koefisien dari derajat pass through dan penyesuaian harga BBM dari FD-GMM

yang besarnya hampir dua kali lipat dari hasil estimasi SAB atau tingkat

Page 151: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

132

signifikansi dari variabel-variabel yang terkait dengan shock dari luar seperti nilai

tukar, harga BBM dan trade openness. Kurang sensitifnya hasil pendugaan dari

metode SAB disebabkan oleh besarnya porsi penimbang dan instrumen yang

merepresentasikan transaksi pada pasar domestik guna menangkap spillover

secara spasial. Berdasarkan hasil tersebut, estimasi dari setiap metode memiliki

kelebihan maupun kekurangan masing-masing untuk menjelaskan dinamika

inflasi di Indonesia.

Berdasarkan hasil estimasi dari FD-GMM, maka kata kunci untuk

meredam atau menurunkan volatilitas inflasi di Indonesia adalah peningkatan

kondisi infrastruktur yang harus dibarengi dengan peningkatan daya saing lokal.

Melalui peningkatan daya saing misalnya, maka ekspor neto akan terus meningkat

dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar, sehingga secara tidak langsung

akan menurunkan exchange rate pass through (ERPT). Sementara dengan

peningkatan kondisi infrastruktur, selain akan menurunkan biaya transportasi

terkait dengan lancarnya arus barang ke dalam atau keluar suatu wilayah

disamping juga akan berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor dan impor

suatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan informasi

yang lebih cepat antar wilayah. Dilihat dari koefisien interaksi antara keduanya

terhadap inflasi, jika secara simultan laju dari perubahan kondisi infrastruktur

dengan perubahan derajat perdagangan terjadi sebesar 1%, maka dapat

menurunkan volatilitas inflasi sebesar 0,11%.

Secara pemodelan, interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan

perubahan derajat keterbukaan perdagangan terbilang baru baik dalam kajian pada

level nasional maupun pada tataran regional ASEAN. Hasil ini merupakan temuan

signifikan dalam penelitian ini, meskipun banyak kalangan telah menyatakan hal

yang sama namun tidak disertai oleh bukti empiris sebagaimana penelitian ini.

Temuan ini tentunya menjadi salah satu novelti dari penelitian ini dan diharapkan

dapat melengkapi kekurangan atau kesenjangan pembahasan yang terjadi pada

kajian-kajian sebelumnya khususnya terkait dengan bahasan mengenai dinamika

inflasi Indonesia.

Page 152: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

133

5.5.5 Respon Inflasi terhadap Perbedaan Kondisi Infrastruktur

Pembahasan mengenai perbedaan inflasi antar wilayah sesungguhnya telah

disampaikan pada bab sebelumnya, dilihat dari tinggi-rendahnya inflasi secara

secara relatif antara wilayah Jawa dengan luar Jawa atau antara KBI dengan KTI.

Hanya saja, pada pembahasan tersebut belum ditelusuri lebih lanjut penyebab dari

perbedaan inflasi antar wilayah. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab

perbedaan tersebut adalah kondisi infrastruktur yang berbeda antara Jawa dengan

luar Jawa atau antara KBI dengan KTI. Oleh karenanya, pada pembahasan ini

akan dilihat apakah interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan

derajat keterbukaan perdagangan yang kemudian menjadi penyebab terjadinya

perbedaan inflasi antar wilayah.

Hasil estimasi data panel dinamis sebagaimana disajikan pada Tabel 15

menyimpulkan bahwa perbedaan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur

dengan derajat keterbukaan perdagangan untuk wilayah Jawa dan luar Jawa tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf 10% terhadap volatilitas

inflasi, baik diestimasi dengan FD-GMM maupun dengan metode SAB. Hal yang

sama juga ditunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan pada =10%,

pengaruh interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur dengan derajat

keterbukaan perdagangan pada KBI dan KTI terhadap gejolak inflasi yang terjadi

pada kedua wilayah tersebut.

Meski pengaruhnya tidak signifikan, namun dapat dilihat koefisien hasil

estimasi dari kedua metode menunjukkan nilai yang positif untuk perbedaan

kondisi inflasi antara Jawa dengan luar Jawa. Interpretasi dari nilai positif tersebut

adalah, sebagai akibat perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan laju

perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama menyebabkan

volatilitas inflasi di Jawa lebih rendah dibanding luar Jawa. Sebaliknya, hasil

estimasi dengan kedua metode panel data dinamis memperlihatkan koefisien

negatif untuk dummy slope yang membedakan volatilitas inflasi KTI terhadap

KBI, yang berarti perbedaan interaksi antara laju perubahan kondisi infrastruktur

dengan laju perubahan derajat keterbukaan perdagangan menyebabkan volatilitas

inflasi di KTI lebih tinggi dibanding KBI.

Page 153: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

134

Hasil tersebut sepertinya tidak sejalan dengan pendapat beberapa kalangan

yang menyatakan bahwa perbedaan kondisi infrastruktur merupakan faktor utama

yang menyebabkan perbedaan volatilitas atau perbedaan tingkat inflasi antar

wilayah, utamanya untuk Jawa dengan luar Jawa. Menyikapi hal tersebut,

disarankan untuk memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya

diwakili panjang jalan raya kualitas baik saja, tetapi memasukkan beberapa

infrastruktur lainnya seperti panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta

beberapa infrastruktur ekonomi lainnya.

Lebih lanjut, terkait dengan penjelasan pada bab sebelumnya, mengenai

struktur ekonomi menurut wilayah, dimungkinkan hal tersebut bisa menjelaskan

lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun perbedaan

volatilitas inflasi antara wilayah. Hal tersebut merupakan usulan untuk penelitian

lebih lanjut, tentunya dengan data yang lebih mutahir serta metode estimasi yang

lebih baik lagi. Usulan ini tentu saja didasari oleh salah satu hasil penelitian ini,

yaitu volatilitas inflasi secara signifikan dipengaruhi pula oleh perubahan kondisi

infrastruktur secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan.

5.6 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah dan Otoritas Moneter

5.6.1 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Pusat

Kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

penyesuaian harga BBM yang merupakan administered prices dan penyesuaian

gaji PNS/TNI/POLRI yang tidak lain mewakili upah minimum sektor pemerintah.

Merujuk pada Tabel 13 dapat dilihat, laju penyesuaian harga BBM akan

berpengaruh positif pada peningkatan inflasi, dengan besarnya pengaruh 0,0483

untuk metode SAB dan 0,0872 dari metode FD-GMM. Artinya, laju penyesuaian

harga BBM sebesar 10% akan meningkatkan inflasi yang tidak lebih dari 0,87%,

dengan catatan, kondisi variabel-variabel lainnya tidak berubah. Tabel 13

memperlihatkan pula laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah berpengaruh

positif dan signifikan (= 5%) terhadap peningkatan inflasi, dengan besarnya

koefisien regresi panel sekitar 0,0311. Interpretasi dari hasil ini adalah, jika terjadi

laju penyesuaian gaji pegawai pemerintah sebesar 10%, maka akan memberi

sumbangan peningkatan inflasi sebesar 0,31% pada kondisi ceteris paribus.

Page 154: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

135

Kedua hasil ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pusat dalam

menyesuaikan besarnya harga BBM dan gaji pegawainya secara signifikan akan

memicu terjadinya volatilitas inflasi. Mengingat dampaknya terhadap inflasi,

seyogianya kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati. Lebih lanjut,

merujuk pada Mohanty dan Klau (2001), administered prices yang dalam hal ini

diwakili oleh harga BBM dapat berpengaruh besar terhadap inflasi, namun

tergantung bagaimana perilaku dan respon kebijakan moneter dari penyesuaian

tersebut. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 9 dan

Gambar 12 bagaimana perilaku penyesuaian harga BBM dan respon kebijakan

moneter seperti jumlah uang beredar (M1) dan BI rate. Gambar 12

memperlihatkan, penyesuaian harga BBM tidak dilakukan secara periodik,

sementara pada saat terjadi penyesuaian harga BBM, Bank Indonesia berusaha

menaikkan suku bunga acuan akan tetapi secara bersamaan M1 terus meningkat

seperti diperlihatkan dalam Gambar 9. Menurut Phillips (1994 dalam Mohanty

dan Klau, 2001), jika penyesuaian tidak dilakukan secara periodik seperti pada

harga BBM, maka penyesuaiannya akan menyebabkan inflasi.

Fakta lain yang tidak dapat diingkari adalah keterkaitan harga BBM

dengan komoditi lainnya sehingga jika terjadi kenaikan harga BBM maka akan

diikuti oleh kenaikan harga-harga komoditi lainnya sehingga akan memicu

terjadinya inflasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Lünnemann and

Mathä (2005), dan hal ini didukung oleh Mohanty dan Klau (2001) yang

menyatakan kenaikan pada administered prices tidak dikompensasi oleh

penurunan harga pada komoditi lainnya. Selain itu, dapat dilihat pula bahwa pihak

otoritas moneter baik secara langsung maupun tidak langsung juga ikut

mengakomodasi melalui penambahan M1 dan kondisi ini menurut Mohanty dan

Klau (2001) juga akan menyebabkan inflasi.

Selanjutnya, sepanjang tahun 2000 – 2009, penyesuaian gaji untuk

pegawai pemerintah dilakukan secara periodik sejak tahun 2006, sementara

periode sebelumnya tidak dilakukan penyesuaian setiap tahun. Selama beberapa

kali terjadi penyesuaian, didapati secara nominal, besarannya selalu saja lebih

tinggi dibanding besarnya inflasi tahun berjalan. Fakta ini secara tidak langsung

menyiratkan bahwa ketika terjadi penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, besaran

Page 155: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

136

penyesuaian secara nominal ikut membangun ekspektasi masyarakat akan tingkat

inflasi yang akan terjadi pada tahun berjalan dan hal ini sejalan dengan hasil

penelitian Solikin dan Sugema (2004) yang telah disampaikan sebelumnya.

Meski hasil penelitian ini tidak berbeda dengan dua penelitian sebelumnya,

namun perlu dicatat bahwa hal tersebut tidak menunjukkan pengaruh langsung

terhadap inflasi. Studi empiris yang secara eksplisit menyatakan bahwa

administered prices berpengaruh signifikan terhadap inflasi pernah dilakukan oleh

Indrawati (1996, dalam Atmadja, 1999), namun untuk pengaruh signifikan dari

penyesuaian gaji pegawai pemerintah terhadap inflasi belum pernah diteliti

sebelumnya dan hal ini merupakan temuan yang signifikan dari penelitian ini.

5.6.2 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada penelitian ini kebijakan

pemerintah daerah hanya difokuskan pada pengeluaran belanja pemerintah daerah

terkait dengan masalah desentralisasi fiskal dan penyesuaian upah minimum

provinsi (UMP) sebagai salah satu jejaring pengaman sosial. Pengaruh dari

penyesuaian UMP secara langsung terhadap inflasi ini diestimasi dengan model

spasial dengan pertimbangan metode SAB sudah memasukkan dampak spillover

dari beberapa variabel yang secara spasial akan berpengaruh terhadap inflasi. Pada

model non spasial penyesuaian UMP diinteraksikan dengan perubahan kondisi

infrastruktur sehingga akan dibahas pada bagian pengaruh perubahan infrastruktur

terhadap inflasi di sub bab selanjutnya.

Pengaruh kedua kebijakan tersebut terhadap inflasi, seperti dapat dilihat

pada Tabel 13 menunjukkan dampak yang negatif namun tidak signifikan pada

taraf 10%. Temuan mengenai pengaruh negatif dari kedua kebijakan tersebut

terhadap inflasi tentu saja tidak sesuai dengan landasan teoritis yang berlaku

secara umum, karena seharusnya berpengaruh positif terhadap inflasi. Anomali

tersebut tidak terlalu merisaukan karena pengaruhnya tidak signifikan terhadap

inflasi, namun tetap menarik untuk ditelusuri lebih lanjut apakah hanya terjadi di

Indonesia atau pernah terjadi pada negara lainnya.

Terkait dengan dampak pengeluaran belanja pemerintah daerah terhadap

inflasi dalam kerangka desentralisasi fiskal, terdapat dua penelitian yang

menyimpulkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini, yaitu Oommen (2008)

Page 156: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

137

yang melaporkan penelitian di India dan Bodman et al. (2009) untuk negara

Australia. Lebih lanjut, hasil penelitian di Australia menyimpulkan bahwa

penerimaan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi. Rekam

jejak hasil penelitian tersebut tentu menarik untuk dibandingkan dengan kondisi di

Indonesia.

Penelusuran lebih lanjut memperlihatkan adanya korelasi yang cukup kuat

antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang

terdiri dari pajak daerah dan retribusi, sebagaimana disajikan pada Tabel 16.

Artinya, semakin besar pengeluaran belanja daerah, maka pemerintah daerah akan

berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi demi menutup

pengeluarannya tersebut. Hal ini tentu saja sejalan dengan desentralisasi fiskal

yang memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola

keuangan daerah termasuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang sah.

Berdasarkan arah hubungan yang diperlihatkan pada Tabel 16 maka penjelasan

mengenai dampak pengeluaran pemerintah daerah terhadap inflasi terjawab.

Tabel 16. Korelasi antara pengeluaran pemerintah daerah denganpenerimaan daerah tahun 2000 – 2009

WilayahPenerimaan Daerah

Pajak Daerah (P) Retribusi (R) P + R

Jawa 0.6559 0.9397 0.7444

Luar Jawa 0.7413 0.7771 0.7604

KBI 0.7834 0.9110 0.8285

KTI 0.7168 0.6491 0.7251

Total 0.7663 0.8907 0.8091

Sumber : Kemenkeu (diolah)

Selanjutnya, untuk menjelaskan pengaruh negatif dan tidak signifikan dari

penyesuaian UMP terhadap inflasi sepertinya harus memperhatikan dampaknya

terhadap penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Sugiyarto dan Endriga

(2008) mencatat adanya dampak negatif dari kenaikan upah minimum terhadap

penyerapan tenaga kerja untuk golongan tidak terdidik, namun memberi dampak

positif bagi kalangan tenaga kerja terdidik di Indonesia. Studi sebelumnya dari

Maning (2003, dalam Sugiyarto dan Endriga, 2008) menyatakan dampak negatif

dari kenaikan upah minimum terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja secara

Page 157: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

138

total, artinya kenaikan upah minimum berdampak positif pada tingkat

pengangguran. Studi dari Maning ini secara tidak langsung menyimpulkan hasil

penelitian Sugiyarto dan Endriga mengingat jumlah tenaga kerja tidak terdidik

lebih besar dibanding kalangan pekerja terdidik. Fakta terkini dari kedua

penelitian tersebut bisa dibandingkan dengan respon pasar tenaga kerja di

Indonesia yang menyatakan adanya korelasi positif antara besarnya UMP dengan

tingkat pengangguran seperti dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan hubungan

yang tidak semestinya seperti diperlihatkan pada Tabel 17 menyebabkan

kebalikan dari mekanisme transmisi dari UMP terhadap inflasi, sehingga

pengaruhnya menjadi negatif.

Tabel 17. Korelasi antara upah minimum provinsi (UMP) riil dengan tingkatpengangguran tahun 2000 – 2009

WilayahPeriode

2000 - 2004 2005 - 2009 2000 - 2009

Jawa 0.6714 0.4668 0.5761

Luar Jawa 0.5383 0.0161 0.3120

KBI 0.5936 0.1298 0.3852

KTI 0.4561 0.0873 0.2721

Total 0.5456 0.1032 0.3440

Sumber : Kemenakertrans dan BPS (diolah)

Berkenaan dengan dampak UMP yang tidak signifikan terhadap inflasi,

pada pembahasan tentang kausalitas granger telah disinggung bahwa arah

hubungan antara keduanya adalah inflasi memengaruhi UMP tetapi tidak

sebaliknya. Hal ini terkait dengan perilaku wage setter dalam menetapkan upah

yang cerderung backward looking dibanding forward looking, sehingga inflasi

secara signifikan memengaruhi penyesuaian upah minimum. Kondisi yang hampir

sama, yaitu penyesuaian upah tidak secara signifikan memengaruhi inflasi juga

dikemukakan oleh Hess and Schweitzer (2000) pada studi di Amerika Serikat.

Penelitian Lemos (2004b) untuk kasus negara yang sama menyatakan bahwa

pengaruh penyesuaian upah minimum relatif kecil terhadap inflasi.

5.6.3 Respon Inflasi terhadap Kebijakan Moneter

Sangat disadari bahwa pihak otoritas moneter memiliki beberapa pilihan

kebijakan moneter melalui banyak mekanisme transmisi untuk memengaruhi

Page 158: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

139

output dan tingkat inflasi. Berkenaan dengan banyaknya pilihan atas kebijakan

moneter, penelitian ini dibatasi hanya untuk melihat kebijakan moneter yang

terkait dengan penyesuaian suku bunga acuan (BI rate) dan penambahan jumlah

uang beredar dalam arti sempit (M1). Lebih lanjut mengenai pembahasan

mengenai dua jalur mekanisme transmisi yang akan diteliti adalah sebagai berikut.

Estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB pada Tabel 13 menunjukkan

bahwa pengaruh laju penyesuaian BI rate terhadap volatilitas inflasi adalah negatif

dan signifikan pada taraf 1%. Besarnya pengaruh laju penyesuaian BI rate

terhadap volatilitas inflasi dengan metode FD-GMM adalah -0,0086; sementara

dengan metode SAB sebesar -0,0070; artinya jika laju penyesuaian BI rate sebesar

1% akan menurunkan volatilitas inflasi tidak lebih dari 0,0086%. Menurut Bank

Indonesia, kecilnya pengaruh dari penyesuaian BI rate terhadap inflasi karena

suku bunga acuan hanya bisa memengaruhi inflasi inti saja dan tidak dapat

memengaruhi inflasi umum (Gambar 16). Meski dalam penjelasannya,

memungkinkan BI rate dapat memengaruhi inflasi melalui beberapa jalur

mekanisme transmisi, namun dari beberapa jalur transmisi kebijakan moneter

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 16, tidak sepenuhnya berjalan sesuai

dengan harapan.

Pada jalur suku bunga misalnya, seharusnya BI rate bisa memengaruhi

suku bunga deposito dan suku bunga kredit, namun ternyata hanya dapat

memengaruhi suku bunga deposito saja sementara suku bunga kredit seakan tidak

terpengaruh dan tetap berada pada level yang tinggi sebagaimana telah dibahas

sebelumnya (Gambar 9). Pengaruh BI rate juga kian berkurang setelah

diterbitkannya obligasi pemerintah sejak April 2006 yang menawarkan imbal hasil

lebih tinggi dari suku bunga deposito sehingga dimungkinkan terjadi kekeringan

likuiditas. Hal yang sama juga terjadi, ketika BI rate diharapkan bisa

memengaruhi kredit, karena didapati nilai kredit yang disalurkan lebih besar dari

nilai simpanan hanya terjadi di 14 dari 26 provinsi yang diteliti dan umumnya

untuk tahun 2008 atau 2009 saja (Gambar 10).

Page 159: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

140

Sumber : www.bi.go.id

Gambar 16. Jalur mekanisme transmisi kebijakan penetapan BI rate.

Sedikit berbeda dengan dua jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter

yang telah dijelaskan sebelumnya, penyesuaian BI rate terlihat cukup efektif

dalam memengaruhi nilai tukar, namun tidak secara keseluruhan melainkan hanya

pada beberapa episode saja (Gambar 11). Adapun dampak tidak langsung dari

efektivitas penyesuaian BI rate ini lebih lanjut adalah akan terjadi penurunan

exchange rate pass-through (ERPT) dan kemudian akan menurunkan tingkat

inflasi. Contoh nyata dari penyesuaian BI rate seperti dicatat dalam penelitian

Habermeier et al. (2009) adalah ketika terjadi krisis finansial global tahun 2008,

BI mulai menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin sejak Mei 2008

guna menstabilkan nilai tukar disamping berusaha untuk meredam tekanan inflasi

yang dikhawatirkan akan mencapai dua digit dan tekanan kenaikan harga minyak

di pasar internasional. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil karena setidaknya

inflasi pada tahun 2008 lebih rendah dibanding inflasi pada tahun 2005, meski

tetap saja tingkat inflasi berada pada kisaran dua digit dan lebih tinggi dari yang

ditargetkan.

Jalur mekanisme transmisi lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam

Gambar 16 adalah jalur harga asset dan jalur ekspektasi inflasi. Untuk jalur harga

Page 160: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

141

asset tidak akan dibahas lebih lanjut, sementara untuk jalur ekspektasi inflasi

nampaknya juga tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Alasannya adalah

pada pembahasan sebelumnya mengenai peran inersia inflasi dalam pembentukan

inflasi, diperoleh hasil estimasi yang cukup tinggi. Secara tidak langsung, hasil ini

menyatakan masih tingginya derajat persistensi inflasi di Indonesia. Fakta ini

menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking

dibanding melihat tingkat inflasi yang ditargetkan Bank Indonesia atau bersifat

forward looking dan kondisi ini akan membuat mekanisme transmisi menjadi bias

terhadap sasaran yang ditargetkan. Terlepas besar-kecilnya pengaruh dari

penyesuaian BI rate terhadap inflasi, namun pengaruhnya yang signifikan secara

tidak langsung menyatakan bahwa BI rate dapat dijadikan opsi dalam

mengendalikan inflasi. Hasil ini sesuai dengan kajian dari Wimanda et al. (2011)

yang menyatakan bahwa suku bunga merupakan determinan inflasi di Indonesia.

Kebijakan moneter lainnya yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah

dampak laju pertumbuhan M1 terhadap inflasi. Pada Tabel 13 dapat dilihat

pengaruhnya terhadap inflasi adalah positif pada estimasi dengan SAB dan negatif

berdasarkan estimasi metode FD-GMM, namun keduanya tidak signifikan pada

taraf nyata 10%. Mengingat pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap inflasi,

maka tanda koefisien dari estimasi dari metode FD-GMM dapat dikesampingkan.

Temuan ini berbeda dengan penelitian Wimanda et al. (2011) dengan berdasarkan

pendekatan level nasional dan rentang data tahun 1980 – 2008, sebaliknya

menyatakan bahwa jumlah uang beredar merupakan determinan inflasi. Perbedaan

hasil kajian ini dengan Wimanda et al. (2011) dimungkinkan terjadi sebagai akibat

perbedaan rentang data dan pendekatan yang digunakan, namun demikian,

perbedaan ini merupakan temuan penting dan signifikan dari penelitian ini.

Terkait dengan perbedaan temuan ini dengan hasil Wimanda et al. (2011),

perlu dicatat bahwa selama rentang waktu penelitian, secara rata-rata, inflasi yang

terjadi pada sebagian besar provinsi di Indonesia adalah inflasi moderat. Menurut

Anglingkusumo (2005) yang meneliti tentang hubungan antara penawaran uang

dan inflasi di Indonesia, pada krisis 1998, hiper inflasi yang terjadi di Indonesia

didorong oleh kelebihan penawaran stok uang sehingga hubungan antara inflasi

Page 161: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

142

dan pertumbuhan M1 terlihat demikian kuat, sementara pada masa non krisis,

ketika inflasi pada level yang cukup moderat, hubungan tersebut tidak terlalu kuat.

Penelitian dari Anglingkusumo (2005) tersebut sepertinya memberi

jawaban mengapa pertumbuhan M1 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap

inflasi. Selain hasil penelitian tersebut, pada pembahasan bab sebelumnya telah

diperlihatkan dampak tidak langsung dari pertumbuhan M1 terhadap jumlah kredit

dan simpanan pada level provinsi (Gambar 10). Secara umum, dari gambar

tersebut dapat dilihat jumlah simpanan cenderung lebih besar dibanding jumlah

pinjaman pada hampir seluruh provinsi, sementara kondisi sebaliknya hanya

terjadi pada tahun 2008 atau 2009 dan sebagian provinsi saja. Berdasarkan

penjelasan tambahan yang merujuk pada data faktual dan hasil penelitian

sebelumnya tersebut, maka kesimpulan yang menyatakan bahwa penambahan M1

tidak secara signifikan menyebabkan terjadi inflasi telah terjawab.

5.6.4 Kebijakan Kerangka Kerja Penargetan Inflasi

Fokus utama dalam menelaah dampak kebijakan kerangka kerja

penargetan inflasi (inflation targeting framework/ITF) adalah melakukan stabilitas

harga atau menurunkan volatilitas inflasi, penurunan persistensi inflasi dan

penurunan exchange rate pass through (ERPT). Oleh karenanya dalam model

penargetan inflasi dari persamaan (3.7) dibuat variabel dummy intersep (dit) untuk

melihat apakah dampak kebijakan ITF dapat menurunkan volatilitas inflasi dan

dua variabel dummy slope guna menangkap perubahan perilaku dari persistensi

inflasi (lag P DIT) dan perilaku dari ERPT (XR DIT) setelah diberlakukan

kebijakan ITF secara penuh sejak tahun 2005.

Hasil estimasi dengan metode FD-GMM dan SAB sebagaimana disajikan

pada Tabel 14 menyatakan bahwa kebijakan ITF tidak berdampak signifikan

terhadap penurunan volatilitas inflasi, persistensi inflasi atau bahkan penurunan

pass through. Sebaliknya jika diperiksa lebih lanjut, nilai koefisien dari persistensi

inflasi yang positif secara implisit menyatakan bahwa terjadi peningkatan

persistensi inflasi setelah diterapkannya ITF dibanding periode sebelumnya,

bahkan estimasi dengan metode non spasial memperlihatkan pengaruhnya

signifikan terhadap peningkatan persistensi inflasi. Bukti mengenai dampak ITF

Page 162: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

143

yang tidak signifkan terhadap penurunan persistensi inflasi dan penurunan ERPT

sejalan dengan penelitian dari Prasertnukul et al. (2010) yang menyatakan hal

yang sama, namun tanda koefisien dari dummy slope untuk persistensi inflasi

setelah diterapkannya ITF dari kajian terdahulu tersebut berlawanan dengan hasil

yang diperoleh dalam penelitian ini.

Terkait dengan hasil tersebut, pada pembahasan mengenai penyesuaian

harga BBM dan gaji PNS di bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemerintah

secara periodik melakukan penyesuaian gaji pegawainya sejak tahun 2006

sementara tekanan harga minyak mentah di pasar internasional terus meningkat

dan sempat beberapa kali melewati level 100 dolar AS/barel mulai tahun 2005.

Disamping itu, pada paruh akhir 2007 terjadi krisis finansial global yang

dampaknya mulai terasa di Indonesia pada Juli 2008 dan membuat inflasi

mencapai level dua digit, demikian pula di tahun 2005. Akibat berbagai penyebab

ini, maka persisten inflasi akan meningkat dan hal ini sesuai dengan hasil

penelitian yang disimpulkan berdasarkan model penargetan inflasi. Hasil ini tentu

saja menguatkan bahwa pengaruh penyesuaian BI rate relatif kecil dalam

meredam laju inflasi karena ekspektasi inflasi cenderung backward looking dan

membuat inflasi menjadi kian persisten.

Tabel 18. Target dan realisasi inflasi Indonesia tahun 2000 – 2009

Tahun Target InflasiRealisasi Inflasi

Inflasi Umum Inflasi Inti

2000 3,0 - 5,0 % 9,35 % -2001 4,0 - 6,0 % 12,55 % -2002 9,0 - 10,0 % 10,03 % -2003 8,0 - 10,0 % 5,06 % -2004 4,5 - 6,5 % 6,40 % -2005 5,0 - 7,0 % 17,11 % -2006 8,0 - 9,0 % 6,60 % 6,03 %2007 5,0 - 7,0 % 6,59 % 6,29 %2008 *) 6,5 - 7,0 % 11,06 % 8,29 %2009 3,0 - 5,0 % 2,78 % 4,28 %

Sumber : Bank Indonesia dan BPSKeterangan : *) revisi target

Berkenaan dengan hasil estimasi dari model penargetan inflasi yang

menyatakan bahwa tidak terjadi penurunan volatilitas inflasi atau dengan kata lain

tidak terjadi penurunan level inflasi setelah diterapkannya ITF secara penuh sejak

tahun 2005, diperoleh bukti berdasarkan data inflasi menurut provinsi

Page 163: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

144

sebagaimana disajikan pada Gambar 8 (bab IV), bahwa penurunan tingkat inflasi

setelah tahun 2005 tidak terjadi pada seluruh provinsi, melainkan hanya pada

sebagian provinsi saja, bahkan . Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kebijakan

ITF dinilai tidak berhasil secara signifikan dalam menurunkan inflasi dan hal ini

telah disampaikan secara implisit pada bab sebelumnya.

Berdasarkan beberapa bukti yang diperoleh sebelumnya, kebijakan ITF

yang belum terlihat signifikan memengaruhi inflasi. Hal ini dapat dilihat dari

pengalaman selama tahun 2000 – 2009, yang menunjukkan bahwa dari sejumlah

realisasi inflasi umum dalam periode tersebut, hampir seluruhnya melenceng dari

tingkat inflasi yang ditargetkan (Tabel 18). Memang tidak dapat dipungkiri bahwa

kebijakan ITF secara penuh baru dilaksanakan sejak 2005, meskipun untuk

periode sebelumnya setelah krisis 1998, Indonesia secara tidak langsung telah

menganut kebijakan lite inflation targeting melalui pengendalian nilai tukar

nominal, sesuai amanat dari UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia.

Terkait dengan kurang berhasilnya kebijakan ITF di Indonesia, penelitan

Habermeier et al. (2009) mengenai opsi kebijakan moneter di negara-negara yang

mengadopsi ITF dalam menghadapi tekanan inflasi termasuk negara-negara yang

tidak mengadopsinya sebagai pembanding menyatakan, kurangnya kredibilitas

dari pihak bank sentral merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab

tidak bekerjanya kebijakan tersebut secara efektif. Kurangnya kredibilitas tersebut

berhubungan erat dengan lambatnya reaksi dari bank sentral atas kemungkinan

terjadinya inflasi yang tinggi sehingga akan memicu ekspektasi inflasi tetap pada

level yang tinggi, karena ekspektasi inflasi cenderung bersifat backward looking.

Disamping itu, seberapa cepat penyesuaian dan besarnya dampak yang

ditimbulkan oleh kebijakan moneter juga terkait dengan kredibilitas bank sentral.

Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah pernyataan dari Bank

Indonesia tentang BI rate sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan ITF yang

hanya dapat memengaruhi inflasi inti tetapi tidak dapat memengaruhi inflasi

umum (inflasi IHK), terkait dengan besarnya supply shock yang terjadi di

Indonesia, sementara kebanyakan masyarakat lebih familiar dengan inflasi umum

dibanding inflasi inti, sehingga target inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

tentunya dibandingkan dengan besarnya inflasi umum bukan inflasi inti. Secara

Page 164: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

145

psikologis, pernyataan Bank Indonesia tersebut menyiratkan kurangnya tingkat

kepercayaan dan kredibilitas dari bank sentral dalam mengendalikan inflasi,

karena hanya bisa mengendalikan inflasi inti saja yang tidak terpengaruh oleh

gangguan dari sisi penawaran, seperti tidak lancarnya distribusi barang atau

karena volatilitas dari produk makanan dan energi.

5.7 Rangkuman Hasil Pembahasan

Bagian ini bertujuan untuk merangkum hasil pembahasan berdasarkan

uraian sebelumnya yang cenderung memberi penjelasan secara parsial. Melalui

pembahasan ini diharapkan hasil penelitian mengenai dinamika inflasi Indonesia

pada tataran provinsi ini dapat dijelaskan secara komprehensif. Pertama, terkait

dengan hasil estimasi dengan metode statis dan dinamis, estimasi dengan metode

panel dinamis lebih konsisten dengan landasan teoritis dan hasil pengujian

kausalitas granger. Berkenaan dengan pendekatan spasial dan non spasial dinamis,

meskipun keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun

pendekatan non spasial dinamis lebih dapat menjelaskan dinamika inflasi

Indonesia pada tataran provinsi dibanding dengan metode spasial dinamis.

Berdasarkan hasil tersebut, model yang digunakan untuk menjelaskan dinamika

inflasi Indonesia pada penelitian ini merujuk pada estimasi yang diberikan oleh

metode non spasial.

Kedua, dilihat dari besarnya koefisien dari pergerakan nilai tukar,

penyesuaian harga BBM dan interaksi antara perubahan kondisi infrastruktur

dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan secara bersama-sama

dibanding koefisien penyesuaian suku bunga dan penyesuaian gaji pegawai

pemerintah mengindikasikan pengaruh sisi penawaran lebih dominan dalam

memengaruhi volatilitas inflasi dibandingkan sisi permintaan. Hasil ini konsisten

dengan output gap yang tidak berperan secara signifikan dalam pembentukan

inflasi di Indonesia pada tataran provinsi dan sesuai pula dengan hasil kajian

Solikin (2007) yang menyatakan hal yang sama, yaitu shock dari sisi penawaran

lebih dominan dalam memengaruhi inflasi dibandingkan shock yang berasal sisi

permintaan.

Ketiga, selain fenomena moneter, inflasi di Indonesia juga merupakan

fenomena fiskal. Hal ini bisa dilihat dari pengaruh pengaruh signifikan dari

Page 165: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

146

penyesuaian harga BBM sebagai administred prices dan penyesuaian gaji PNS/

TNI/POLRI dalam memengaruhi dinamika inflasi di Indonesia. Fenomena ini

merupakan temuan utama dalam penelitian ini mengingat dalam kajian

sebelumnya, baik pada level nasional maupun regional ASEAN, belum pernah

disinggung mengenai hal ini. Khusus untuk studi kasus Indonesia dengan

pendekatan regional pada tataran provinsi, fenomena ini merupakan hal baru.

Fenomena ini sesungguhnya pernah diungkap oleh Sims (1994) yang menyatakan

bahwa fenomena ini dimungkinkan terjadi pada negara-negara yang menggunakan

sistem fiat money.

Ilustrasi dari inflasi sebagai fenomena fiskal salah satunya berasal dari

kebijakan fiskal ekspansioner seperti ditunjukkan pada Gambar 5 (bab II).

Terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner dalam tataran provinsi ini terkait erat

dengan kebijakan desentralisasi fiskal yang diawali adanya transfer keuangan dari

pemerintah pusat ke ke pemerintah daerah. Melalui transfer keuangan tersebut,

pemerintah daerah leluasa untuk membelanjakan pengeluarannya, terutama untuk

belanja pengawai yang masih merupakan porsi terbesar dalam belanja daerah.

Peningkatan belanja pegawai tersebut kemudian akan mendorong konsumsi

sehingga akan menyebabkan peningkatan pada permintaan agregat.

Sedikit berbeda dengan mekanisme kebijakan fiskal ekspansioner melalui

peningkatan belanja pegawai pemerintah, proses penyesuaian harga BBM bekerja

lewat dua jalur transmisi, yaitu mekanisme kenaikan biaya produksi mekanisme

kebijakan fiskal ekspansioner yang memengaruhi konsumsi, karena pemerintah

mengklaim bahwa pengurangan subsidi BBM dialihkan ke subsidi dalam bentuk

lainnya seperti transfer bantuan langsung ke rumah tangga dan transfer- transfer

dalam bentuk lainnya ke seluruh daerah di Indonesia. Akibat proses pengalihan

subsidi tersebut, tidak terjadi mekanisme kebijakan fiskal kontraksioner, bahkan

sebaliknya terjadi kebijakan fiskal ekspansioner karena menyebabkan terjadinya

peningkatan konsumsi. Kondisi ini tidak saja terjadi secara agregat pada level

nasional, namun juga terjadi pada tataran provinsi di seluruh Indonesia.

Mekanisme penyesuaian harga BBM seperti telah diuraikan sebelumnya dari sisi

permintaan agregat sebagai bagian kebijakan fiskal ekspansioner diilustrasikan

Page 166: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

147

oleh Gambar 5 (bab II), sementara dari sisi penawaran agregat, ilustrasinya dapat

dilihat pada Gambar 6 (bab II).

Terakhir, adanya pengaruh signifikan dari perubahan kondisi infrastruktur

secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan serta

pengaruh signifikan dari penyesuaian harga BBM merupakan bukti bahwa inflasi

tidak hanya permasalahan pada sektor moneter, tetapi juga merupakan

permasalahan pada sektor riil. Bukti empiris ini menguatkan pendapat Atmadja

(1999) yang menyatakan bahwa permasalahan pada sektor riil ini terkait erat

dengan adanya hambatan-hambatan struktural (structural bottleneck) di Indonesia,

sebagai konsekuensi terjadinya kesenjangan antara penyesuaian dari faktor-faktor

penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat. Ilustrasi dari inflasi

sebagai permasalahan sektor riil dapat dilihat pada Gambar 6 (bab II). Gambar

tersebut menceritakan bagaimana dampak penyesuaian harga BBM serta dampak

terhambatnya distribusi barang dan jasa sebagai akibat infrastruktur yang buruk.

Mekanisme ini dapat menyebabkan kenaikan biaya akibat dorongan biaya

produksi sebagai akibat adanya kenaikan biaya transportasi.

Page 167: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 168: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dan merujuk

pada tujuan dari penelitian ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Dinamika inflasi Indonesia dipengaruhi oleh variabel-variabel non kebijakan

seperti, inersia inflasi, pergerakan nilai tukar dan interaksi antara perubahan

kondisi infrastruktur dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan.

Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS memberikan pengaruh positif

terhadap volatilitas inflasi, sebaliknya kondisi infrastruktur secara simultan

dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh

negatif, sementara inflasi inersia memberikan peran yang besar terhadap

pembentukan inflasi.

2. Volatilitas inflasi Indonesia dipengaruhi oleh beberapa variabel kebijakan

antara lain, penyesuaian gaji pegawai pemerintah, penyesuaian harga BBM

dan penyesuaian BI rate. Penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji

PNS/TNI/POLRI yang merupakan kebijakan pemerintah pusat dapat memicu

terjadinya peningkatan inflasi karena berpengaruh positif terhadap volatilitas

inflasi, sementara penyesuaian BI rate sebagai instrumen kebijakan moneter

memberi pengaruh negatif volatilitas inflasi dan dapat menjadi salah satu opsi

untuk menurunkan volatilitas maupun tingkat inflasi.

Beberapa temuan penting dari penelitian dengan pendekatan pada tataran

provinsi ini yang berbeda dibanding kajian sebelumnya adalah output gap tidak

memberi pengaruh signifikan terhadap inflasi sementara beberapa kajian yang

menggunakan pendekatan pada level nasional menyatakan hal sebaliknya. Hasil

penelitian lainnya yang merupakan temuan baru dibanding kajian sebelumnya

adalah penyesuaian gaji pegawai pemerintah dan perubahan kondisi infrastruktur

secara simultan dengan perubahan derajat keterbukaan perdagangan memberi

pengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi di Indonesia. Lebih lanjut, temuan

utama dari penelitian ini adalah inflasi di Indonesia tidak semata-mata fenomena

moneter tetapi juga fenomena fiskal.

Page 169: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

150

6.2 Implikasi Kebijakan

Merujuk pada hasil penelitian dan kesimpulan yang diuraikan sebelumnya, beberapa arah kebijakan yang disarankan dirangkum

pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19. Implikasi kebijakan berdasarkan rumusan hasil penelitian

No. Kesimpulan Hasil Penelitian Implikasi Kebijakan

1. Peran inflasi inersia yang cukup besar dan signifikan terhadappembentukan inflasi di Indonesia untuk periode tahun 2000 – 2009menandakan tingginya tingkat persistensi inflasi danmengindikasikan perilaku backward looking yang dominan dalamekspektasi inflasi serta kurang berhasilnya kebijakan moneter dalammemengaruhi inflasi melalui jalur ekspektasi inflasi.

Bank Indonesia bersama-sama dengan pemerintah hendaknya lebihakurat dalam menetapkan target inflasi agar mekanisme transmisimelalui jalur ekspektasi dapat bekerja semestinya. Berdasarkanpengalaman di negara lain, diusulkan agar membentuk tim khususyang ditugaskan untuk menyusun target inflasi dalam 1 – 2 tahun kedepan. Tim ini terdiri dari beberapa grup, yaitu grup dari grup BankIndonesia, grup pemerintah dan beberapa grup yang berasal daribeberapa perguruan tinggi yang masing-masing bekerja secaraindependen. Secara periodik, seluruh grup dikumpulkan dan membuatrumusan target inflasi berdasarkan keputusan bersama-sama.

2. Laju depresiasi nilai tukar rupiah akan menyebabkan peningkatanvolatilitas inflasi. Besarnya pengaruh volatilitas tersebutmenunjukkan derajat exchange rate pass through (ERPT) dan haltersebut terkait erat dengan besarnya proporsi impor untuk kategoribahan baku dan bahan penolong.

Upaya penurunan derajat ERPT bisa dilakukan oleh pemerintah pusatdan daerah adalah strategi pengurangan impor seperti :a. substitusi bahan baku dari bahan baku impor ke bahan baku lokalb. himbauan penggunaan produk domestik danc. kewajiban bagi setiap pelaku usaha yang ingin membuat perizinan

usaha baru untuk menggunakan bahan baku yang sebagian besarmerupakan produksi lokal/domestik.

Page 170: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

151

3. Pengaruh kebijakan pemerintah pusat yang diwakili olehpenyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji pegawai pemerintahberpengaruh positif dan signifikan terhadap volatilitas inflasi diIndonesia, sedangkan pengaruh kebijakan pemerintah daerah yangberupa penyesuaian Upah Minimum Provinsi (UMP) dandesentalisasi fiskal melalui pengeluaran belanja pemerintah daerahtidak berpengaruh signifikan dalam memicu terjadinya gejolakinflasi di Indonesia.

a. Kebijakan penyesuaian harga BBM, utamanya BBM bersubsidiyang mewakili administered prices, hendaknya dilakukan secaraberhati-hati karena berdampak besar terhadap inflasi. Disarankanuntuk melakukan penyesuaian BBM dilakukan secara berkala,setiap enam bulan atau setahun sekali untuk meminimumkandampak buruk dari ekspektasi yang tidak diantisipasi ataskebijakan fiskal tersebut.

b. Pemerintah pusat seyogyanya mempertimbangkan besarnyapenyesuaian gaji pengawai pemerintah karena sejak tahun 2006peningkatan gaji tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkantingkat inflasi yang ditargetkan maupun tingkat inflasi aktual danhal ini akan menyebabkan ekspektasi yang tinggi terhadap inflasi.

c. Meskipun penyesuaian UMP dan belanja pemerintah daerah tidakberpengaruh secara signifikan terhadap inflasi, namun perumusankebijakan tersebut tetap harus dilakukan secara seksama,mengingat dampaknya tidak saja terkait dengan inflasi tetapi jugaberhubungan dengan variabel makro ekonomi lainnya sepertipertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang menjadiperhatian dari pemerintah pusat.

4. Pengaruh kebijakan moneter berupa penyesuaian BI rate relatif kecilterhadap volatilitas inflasi, sementara kebijakan penetapan jumlahuang beredar dalam arti sempit (M1) dan kebijakan kerangka kerjapenargetan inflasi (ITF) tidak berpengaruh signifikan dalammenekan gejolak inflasi.

Kebijakan penyesuaian BI rate dengan penargetan inflasi sebaiknyadirumuskan dengan lebih akurat, seperti dengan menjaring informasiyang lebih mendalam dari praktisi dunia usaha, pihak akademis danpemerintah, selain mempertimbangkan juga kondisi makro ekonomisecara umum. Melalui perumusan kebijakan yang lebih akurattersebut, kredibilitas Bank Indonesia diharapkan akan meningkat danmekanisme kebijakan moneter melalui jalur ekspektasi inflasi sertabeberapa jalur transmisi lainnya dapat bekerja sesuai dengan harapan,sehingga secara bertahap akan menurunkan level inflasi, volatilitasinflasi, persistensi inflasi dan besarnya derajat pass through.

Page 171: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

152

5. Laju peningkatan kondisi infrastruktur secara bersama-sama denganlaju peningkatan derajat perdagangan akan menurunkan volatilitasinflasi.

Pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kotasudah seharusnya fokus terhadapa. Masalah peningkatan kondisi infrastruktur, utamanya kondisi

infrastruktur jalan raya. Peningkatan kondisi infrastruktur, selainakan menurunkan biaya transportasi terkait dengan lancarnya arusbarang, juga berpotensi untuk meningkatkan volume perdagangansuatu wilayah serta memungkinkan terjadinya transfer teknologidan informasi yang lebih cepat antar wilayah, sehingga akanmemicu terjadinya inovasi. Pemerintah pusat, pemerintah provinsidan pemerintah kabupaten/kota disarankan agar meningkatkanalokasi dana untuk1. pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastruktur

jalan raya yang sudah ada2. membangun infrastruktur jalan raya baru yang menghubungkan

pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru atau alternatifnya, darijalan raya yang sudah ada, ditingkatkan statusnya, misalnya darijalan poros kecamatan menjadi jalan kabupaten/kota, dari jalankabupaten/kota menjadi jalan provinsi dan seterusnya menjadijalan negara.

b. peningkatan daya saing produk domestik atau produk lokal karenadengan peningkatan daya saing maka ekspor neto akan terusmeningkat dan akan memicu terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah,sehingga secara tidak langsung akan menurunkan ERPT.1. Upaya peningkatan daya saing yang dapat dilakukan oleh

pemerintah pusat adalah− memacu ekspor non migas untuk komoditas unggulan dan

sebaiknya komoditi unggulan tersebut tidak dalam bentukbahan baku tetapi barang jadi / barang setengah jadi

− menurunkan atau menghapuskan pajak ekspor untukkomoditi unggulan barang jadi / barang setengah jadi

Page 172: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

153

2. Upaya peningkatan daya saing yang dapat dilakukan olehpemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota adalah− memberi kemudahan dalam perizinan usaha baru yang

menghasilkan komoditas unggulan daerah berdaya saingekspor khususnya kategori barang jadi / barang setengah jadi

− melakukan pembinaan secara intensif terhadap usaha-usahayang menghasilkan komoditas unggulan berdaya saingekspor

− melakukan kajian mengenai potensi daerah secara mendalamuntuk memperoleh informasi komoditi unggulan alternatifyang bisa dikembangkan di daerah, utamanya komoditiunggulan yang memiliki daya saing ekspor yang tinggi

6. Perbedaan laju perubahan kondisi infrastruktur dengan lajuperubahan derajat perdagangan secara simultan menyebabkanvolatilitas inflasi yang lebih tinggi untuk wilayah luar Jawa dan KTI,namun perbedaan tersebut tidak memberikan pengaruh yangsignifikan

Pemerintah pusat sudah seharusnyaa. fokus terhadap pemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas

infrastruktur jalan raya yang menjadi urat nadi perekonomiandaerah, utamanya jalan raya yang menghubungkan ibukota-ibukotaprovinsi di luar Jawa

b. mengambil alih tanggung jawab dari pemerintah daerah untukpemeliharaan, perbaikan dan peningkatan kualitas infrastrukturjalan raya yang menghubungkan pusat-pusat pertumbuhanekonomi baru yang berpengaruh besar dalam perekonomianregional di luar Jawa

7. a. Indikasikan terjadinya dominasi kebijakan fiskal dalammemengaruhi inflasi dan variabel makro ekonomi lainnya dan halini akan menyebabkan mekanisme transmisi dari kebijakanmoneter tidak berjalan semestinya.

b. Sumber inflasi lebih disebabkan oleh sisi penawaran dibandingsisi permintaan.

Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnya melakukan komunikasiyang baik terkait dengan perumusan kebijakan masing-masingsebagaimana telah disarankan sebelumnya, namun tidak mengurangiindependensi dari Bank Indonesia selaku otoritas moneter.

Page 173: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

154

6.3 Saran Penelitian Lebih Lanjut

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah belum bisa menjelaskan lebih

jauh mengenai perbedaan inflasi antar wilayah yang disebabkan oleh perbedaan

kondisi infrastruktur dan derajat keterbukaan perdagangan. Saran untuk penelitian

lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Memperluas proksi dari data infrastruktur yang tidak hanya diwakili panjang

jalan raya kualitas baik saja, tetapi mencakup infrastruktur lainnya seperti

panjang jalan tol, panjang rel kereta api serta beberapa infrastruktur ekonomi

lainnya.

2. Memasukkan variabel yang mewakili struktur ekonomi wilayah dalam

pemodelan inflasi, karena tidak menutup kemungkinan hal tersebut bisa

menjelaskan lebih jauh mengenai adanya perbedaan tingkat inflasi maupun

perbedaan volatilitas inflasi antara wilayah.

3. Melakukan pengembangan lebih lanjut tetap dalam pemodelan inflasi yang

mempertimbangkan keterkaitan secara spasial yaitu dengan menggabungkan

model spatial lag dan spatial error agar bisa lebih menangkap keterkaitan

spasial antar wilayah, disamping menggunakan beberapa alternatif matrik

penimbang spasial yang tidak hanya dapat menangkap keterkaitan secara

spasial tetapi juga cukup sensitif dalam menangkap shock yang berasal dari

perekonomian global.

Page 174: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

DAFTAR PUSTAKA

Achsani, N. A. dan H. F. Nababan (2008) : “Dampak Perubahan Kurs(Pass-Through Effect) Terhadap Tujuh Kelompok Indeks HargaKonsumen di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan PembangunanVol. 11, Issue 1, pp. 1-15.

Atmadja, A. S. (1999) : “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab danPengendaliannya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1,pp. 54-67.

Al-Nasser, O. M., A. Sachsida and M. J. C. Mendonça (2009) : “The Openness-Inflation Puzzle: Panel Data Evidence”, International Research Journal ofFinance and Economics, Issue 28, pp. 169-181.

Anglingkusumo, R. (2005) : “Money - Inflation Nexus in Indonesia”, TinbergenInstitute Discussion Paper, No. TI 2005-054/4.

Andrés, J., E. Ortega and J. Vallés (2008) : “Competition and InflationDifferentials in EMU”, Journal of Economic Dynamics and Control,Vol. 32, Issue 3, pp. 848-874.

Baltagi, B. H. (2005) :”Econometric Analysis of Panel Data”, 3rd Ed.Chicester: John Wiley & Sons. Ltd. West Sussex.

Baltagi, B. H., U. Blien and K. Wolf (2010) : “A Dynamic Spatial Panel DataApproach To The German Wage Curve”, Center for Policy Research –Syracuse University Working Paper, No. 126.

Bayoumi, T., dan B. Eichengreen (1992) : “Macroeconomic Adjustment UnderBretton Woods and The Post-Bretton Woods Float : An Impulse-Response Analysis”, NBER Working Paper Series, No. 4169.

Beirne, J. (2009) : “Vulnerability of Inflation in The New EU Member States toCountry-specific and Global Factors”, Economics Bulletin, Vol. 29,No. 2, pp. 1420-1431.

Benigno, P., and E. Faia (2010) : “Globalization, Pass-Through and InflationDynamic”, NBER Working Paper Series, No. 15842.

Blanchard, O. (2004) : “Macroeconomics”, 4th Ed. Prentice Hall. New Jersey.

Blanchflower, D. G., and C. MacCoille (2009) : “The Formation Of InflationExpectations: An Empirical Analysis For The UK”, NBER WorkingPaper Series, No. 15388.

Bodman, P. et al. (2009) : “Fiscal Decentralisation, Macroeconomic Conditionsand Economic Growth in Australia”, Macroeconomics Research GroupReport. School of Economics, The University of Queensland. St. Lucia.

Bowdler, C. and A. Malik. (2006) : “Openness and inflation volatility: Panel dataevidence”, Nuffield College, University of Oxford. Working paper.No. 8/2005.

Page 175: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

156

Campa, J.M., and L.S. Goldberg (2002): “Exchange Rate Pass-Through intoImport Prices: A Macro or Micro Phenomenon?,” NBER Working PaperSeries, No. 8934.

Cappelo, R. (2007) : “Regional Economics”, 1st Ed. Routledge. London &New York.

Cerra, V. and S. C. Saxena (2000) : “Alternative Methods of Estimating PotentialOutput and the Output Gap: An Application to Sweden”, IMF WorkingPaper, No. WP/00/59.

Camola, M. and L. de Mello (2010) : “How Does Decentralized Minimum WageSetting Affect Employment and Informality? The case of Indonesia”OECD Papers.

Edwards, S. (2006): “The Relationship between Exchange Rates and InflationTargeting Revisited,” NBER Working Paper Series, No. 12163.

Enders, W. (2004) : “Applied Econometric Time Series”, 2nd Ed. John Wiley &Sons Inc. New York.

Gali, J. (2002) : ” New Perspectives On Monetary Policy, Inflation, And TheBusiness Cycle”, NBER Working Paper Series, No. 8767.

Gali, J. and M. Gertler (2000) : “Inflation Dynamics: A Structural EconometricAnalysis” , Journal of Monetary Economics, No. 44, pp. 195-222.

Gali, J., M. Gertler and J.D. Lopez-Salido (2001) : “European Inflation Dynamics”,NBER Working Paper Series, No. 8218.

Gali, J., M. Gertler and J.D. Lopez-Salido (2005) : “Robustness Of The Estimatesof The Hybrid New Keynesian Phillips Curve”, NBER Working PaperSeries, No. 11788.

Gibbs, D. (1995) : “Potential Output: Concepts and Measurement” Labour MarketBulletin, Issue 1, pp. 72 – 115.

Habermeier, K. et al. (2009) : “Inflation Pressures and Monetary Policy Optionsin Emerging and Developing Countries: A Cross Regional Perspective”,IMF Working Paper, No. WP/09/01.

Hanh, E. (2002) : “Core Inflation in the Euro Area: Evidence from the StructuralVAR Approach”, CFS Working Paper No. 2001/09.

Hess, G. D. and M. E. Schweitzer (2000) : “Does Wage Inflation Cause PriceInflation?”, Federal Reserve Bank of Cleveland - Policy DiscussionPapers No. 10.

Ishak-Kasim, S. and A. D. Ahmed (2009) : “Inflation Expectations Formation andFinancial Stability in Indonesia“,The Empirical Economics Letters,Vol. 8, No. 9, pp. 833-842.

Ito, T., and K. Sato. (2006): “Exchange Rate Changes and Inflation in Post-CrisisAsian Economies: VAR Analysis of the Exchange Rate Pass-Through,”NBER Working Paper Series, No. 12395.

Page 176: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

157

Jacobs, J. P.A.M., J. E. Ligtharty, and H. Vrijburg (2009) : “Dynamic Panel DataModels Featuring Endogenous Interaction and Spatially CorrelatedErrors”, CentER Discussion Paper Series, No. 2009-92.

Justiniano, A. and G. E. Primiceri (2008) : “Potential and Natural Output”,Federal Reserve Bank of Chicago Working Papers.

Kapoor, M., H. Kelejian, and I. R. Prucha (2007): “Panel Data Models withSpatially Correlated Error Components”, Journal of Econometrics,No. 140, pp. 97-130.

Kelejian, H.H. and I.R. Prucha (1999) : “A Generalized Moments Estimator forthe Autoregressive Parameter in a Spatial Model”, InternationalEconomic Review, Vol. 40, No. 2, pp. 509-533.

Kiley, M. T. (2009) : “Inflation Expectations, Uncertainty, the Phillips Curve, andMonetary Policy”, Finance and Economics Discussion Series – FederalReserve Board, Washington, D.C. No. 2009-15.

Kukenova, M., and J. A. Monteiro (2009): “Spatial Dynamic Panel Model andSystem GMM: A Monte Carlo Investigation”, mimeo, University ofLausanne.

Kwon, G., L. Mcfarlane, And W. Robinson (2009) : “ Public Debt, MoneySupply, and Inflation: A Cross-Country Study”, IMF Staff Papers,Vol. 56, No. 3, pp. 476-515.

Ladiray, D., G. L. Mazzi, and F. Sartori (2003) : “Statistical Methods for PotentialOutput Estimation and Cycle Extraction”, European CommissionWorking Papers and Studies, No. KS-AN-03-15-EN-N. EuropeanCommunities. Luxembourg.

Lemos, S. (2004a) : “The Effect of the Minimum Wage on Prices in Brazil”, IZADiscussion Paper, No. 1071.

Lemos, S. (2004b) : “The Effect of the Minimum Wage on Prices”, IZADiscussion Paper, No. 1072.

Lünnemann, P., and T. Y. Mathä (2005) : “Regulated and Services’ Prices andInflation Persistence”, ECB Working Papers, No. 466.

Mankiw, N. G. (2007) : “Makroekonomi”, Edisi Keenam. Terjemahan dariMacroeconomics. 6th Editon. Worth Publishers. Liza, F dan ImamNurmawan, [penerjemah]. Erlangga, Jakarta.

Marques, H., G. Pino and J. D. Tena (2009) : “Regional Inflation Dynamics UsingSpace-Time Models”, CRENOS Working Paper, No. 2009/15.

Mehrotra, A., T. Peltonen and A.S. Rivera (2007) : “Modelling inflation in China– a regional perspective”, BOFIT Discussion Papers Bank of Finland,No. 19/2007.

Mishkin, F. S. (2004) : “The Economics of Money, Banking, and FinancialMarkets”, 7th Ed. Pearson Addison Wesley.

Page 177: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

158

Mohanty, M. S., and M. Klau (2001) : “What Determines Inflation in EmergingMarket Economies” Bank for International Settlements (BIS) Papers,No. 8. pp. 1-38.

Oommen, M. A. (2008) : “Fiscal Decentralisation to Local Governments inIndia”, Cambridge Scholars Publishing. Newcastle, UK.

Oosterhaven, J. and J. P. Elhorst (2003) : "Indirect Economic Benefits ofTransport Infrastructure Investments", Across The Border. pp. 143-161.De Boeck, Ltd.

Orphanides, A., and J. C. Williams (2003) : “Imperfect Knowledge, InflationExpectations, And Monetary Policy”, NBER Working Paper Series,No. 9884.

Prasertnukul, W., D. Kim and M. Kakinaka (2010) : “Exchange Rates, PriceLevels, and Inflation Targeting: Evidence from Asian Countries”,Graduate School of International Relations International - University ofJapan (GSIR) Working Papers, No. EDP10-1.

Roger, S. (1998) : “Core Inflation: Concepts, Uses and Measurement”, ReserveBank of New Zealand Discussion Paper Series, No. G98/9.

Romer, D. (2006) : “Advanced Macroeconomics”, 3rd Ed. McGraw-Hill/Irvin.

Salvatore, D. (1996) : “International Economics”, 5th Ed. Alih Bahasa. Jilid 1.Penerbit Erlangga. Jakarta.

Sims, C. A. (1994) : “A Simple Model for Study of The Determination of ThePrice Level and The Interaction of Monetary and Fiscal Policy”,Economic Theory, Vol. 4, No. 3, pp. 381-399.

Solikin (2004) : “Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia :Keberadaan, Linearitas, dan Pembentukan Ekspektasi”, Buletin EkonomiMoneter dan Perbankan (BEMP), Maret, Bank Indonesia.

Solikin (2007) : “Karakteristik Tekanan Inflasi di Indonesia: Pengaruh DinamisSisi Permintaan-Penawaran dan Prospek ke Depan”, Buletin EkonomiMoneter dan Perbankan (BEMP), Januari, Bank Indonesia.

Solikin dan I. Sugema (2004) : “Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya bagiKebijakan Moneter di Indonesia”, Buletin Ekonomi Moneter danPerbankan (BEMP), September, Bank Indonesia.

Sugiyarto, G. and B. A. Endriga (2008) : “Do Minimum Wages Reduce

Employment and Training?”, Asian Development Bank Economics andResearch Department Working Paper Series No. 113.

Tambunan, T. (2009) : “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia. Jakarta.

Verbeek, M. (2008) : “A Guide to Modern Econometrics”, 3rd Ed. Chicester: JohnWiley & Sons. Ltd. West Sussex.

Windmeijer, F. (2005) : “A Finite Sample Correction for The Variance of LinearEfficient Two-Step GMM Estimators”, Journal of Econometrics,No. 126, 25 – 51.

Page 178: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

159

Wimanda, R. E. (2006) : “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic,Convergence, and Determinants”, Bank Indonesia Working Papers,No. WP/ 13 / 2006.

Wimanda, R. E., P. Turner and M. J. B. Hall (2011) : “Expectations and TheInertia of Inflation: The Case of Indonesia”, Journal of Policy Modeling,Vol. 33, Issue 3, pp. 426-438. [abstract] EconPapers

World Bank (2009) : “World Development Report (WDR) 2009 : ReshapingEconomic Geography”, The World Bank. Washington, DC.

Page 179: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 180: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

161

Lampiran 1 Hasil Pengujian Panel Unit Root dengan Program Eviews v6

ln IHK (P)

Panel unit root test: Summary

Series: P

Date: 03/12/11 Time: 13:12

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -9.7309 0.0000 26 250

Breitung t-stat -2.4118 0.0079 26 224

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -1.7944 0.0364 26 250

ADF - Fisher Chi-square 73.9352 0.0244 26 250

PP - Fisher Chi-square 99.8052 0.0001 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln IHK ( P)

Panel unit root test: Summary

Series: D(AP)

Date: 03/12/11 Time: 13:15

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -12.9413 0.0000 26 220

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -6.9265 0.0000 26 220

ADF - Fisher Chi-square 151.4514 0.0000 26 220

PP - Fisher Chi-square 216.5206 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 181: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

162

“Suku Bunga” (IR)

Panel unit root test: Summary

Series: IR

Date: 03/12/11 Time: 13:28

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -12.1771 0.0000 26 253

Breitung t-stat 0.9414 0.8268 26 227

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -3.3565 0.0004 26 253

ADF - Fisher Chi-square 105.0075 0.0000 26 253

PP - Fisher Chi-square 162.0858 0.0000 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari “Suku Bunga” ( IR)

Panel unit root test: Summary

Series: D(IR)

Date: 03/12/11 Time: 13:29

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -16.1352 0.0000 26 216

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -9.9451 0.0000 26 216

ADF - Fisher Chi-square 204.5965 0.0000 26 216

PP - Fisher Chi-square 327.9354 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 182: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

163

ln M1 (M1)

Panel unit root test: Summary

Series: M1

Date: 03/12/11 Time: 13:17

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -9.4393 0.0000 26 236

Breitung t-stat -0.6682 0.2520 26 210

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -2.1005 0.0178 26 236

ADF - Fisher Chi-square 90.8938 0.0007 26 236

PP - Fisher Chi-square 61.4413 0.1737 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln M1 ( M1)

Panel unit root test: Summary

Series: D(M1)

Date: 03/12/11 Time: 13:17

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -14.3416 0.0000 26 215

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -7.8734 0.0000 26 215

ADF - Fisher Chi-square 168.8520 0.0000 26 215

PP - Fisher Chi-square 189.2346 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 183: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

164

ln KURS (XR)

Panel unit root test: Summary

Series: XR

Date: 03/15/11 Time: 17:35

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

User specified lags at: 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Balanced observations for each test

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -3.2472 0.0006 26 234

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat 2.5096 0.9940 26 234

ADF - Fisher Chi-square 16.3061 1.0000 26 234

PP - Fisher Chi-square 0.7272 1.0000 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln KURS ( XR)

Panel unit root test: Summary

Series: D(XR)

Date: 03/15/11 Time: 17:33

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

User specified lags at: 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Balanced observations for each test

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -49.2175 0.0000 26 208

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -25.5593 0.0000 26 208

ADF - Fisher Chi-square 431.5761 0.0000 26 208

PP - Fisher Chi-square 370.9997 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 184: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

165

ln “GAJI MINIMUM PNS” (W2)

Panel unit root test: Summary

Series: W2

Date: 03/12/11 Time: 13:24

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -5.0244 0.0000 26 260

Breitung t-stat -4.4263 0.0000 26 234

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -0.0242 0.4903 26 260

ADF - Fisher Chi-square 41.1700 0.8598 26 260

PP - Fisher Chi-square 39.914238 0.8897 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln “GAJI MINIMUM PNS” ( W2)

Panel unit root test: Summary

Series: D(W2)

Date: 03/12/11 Time: 13:25

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -17.6673 0.0000 26 234

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -9.0332 0.0000 26 234

ADF - Fisher Chi-square 180.6372 0.0000 26 234

PP - Fisher Chi-square 179.2809 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 185: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

166

ln “INDEKS HARGA BBM” (BM)

Panel unit root test: Summary

Series: BM

Date: 03/12/11 Time: 13:26

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -7.0806 0.0000 26 260

Breitung t-stat -3.0760 0.0010 26 234

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -0.5872 0.2785 26 260

ADF - Fisher Chi-square 48.3319 0.6189 26 260

PP - Fisher Chi-square 46.161953 0.7017 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln “INDEKS HARGA BBM” ( BM)

Panel unit root test: Summary

Series: D(BM)

Date: 03/12/11 Time: 13:27

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -16.4082 0.0000 26 234

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -8.1940 0.0000 26 234

ADF - Fisher Chi-square 166.3980 0.0000 26 234

PP - Fisher Chi-square 250.3580 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 186: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

167

ln “PENGELUARAN PEMERINTAH” (G)

Panel unit root test: Summary

Series: G

Date: 03/12/11 Time: 13:21

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -11.4830 0.0000 26 255

Breitung t-stat -0.0636 0.4746 26 229

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -1.8832 0.0298 26 255

ADF - Fisher Chi-square 70.7246 0.0430 26 255

PP - Fisher Chi-square 47.5833 0.6481 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln “PENGELUARAN PEMERINTAH” ( G)

Panel unit root test: Summary

Series: D(G)

Date: 03/12/11 Time: 13:21

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -14.2942 0.0000 26 227

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -7.6611 0.0000 26 227

ADF - Fisher Chi-square 157.2753 0.0000 26 227

PP - Fisher Chi-square 144.9795 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 187: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

168

ln “UPAH MINIMUM PROVINSI/UMP” (W1)

Panel unit root test: Summary

Series: W1

Date: 03/12/11 Time: 13:22

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -13.4858 0.0000 26 254

Breitung t-stat 0.2371 0.5937 26 228

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -4.2887 0.0000 26 254

ADF - Fisher Chi-square 109.1367 0.0000 26 254

PP - Fisher Chi-square 122.7309 0.0000 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln “UPAH MINIMUM PROVINSI/UMP” ( W1)

Panel unit root test: Summary

Series: D(W1)

Date: 03/12/11 Time: 13:23

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -16.0341 0.0000 26 229

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -8.2761 0.0000 26 229

ADF - Fisher Chi-square 160.6471 0.0000 26 229

PP - Fisher Chi-square 183.0036 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 188: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

169

ln INFRASTRUKTUR (IS)

Panel unit root test: Summary

Series: IS

Date: 03/12/11 Time: 13:33

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -8.7645 0.0000 26 250

Breitung t-stat -0.4584 0.3233 26 224

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -1.7430 0.0407 26 250

ADF - Fisher Chi-square 79.0462 0.0092 26 250

PP - Fisher Chi-square 87.8803 0.0014 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari ln INFRASTRUKTUR ( IS)

Panel unit root test: Summary

Series: D(IS)

Date: 03/12/11 Time: 13:34

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -15.9528 0.0000 26 229

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -8.4009 0.0000 26 229

ADF - Fisher Chi-square 171.6119 0.0000 26 229

PP - Fisher Chi-square 233.1021 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 189: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

170

“TRADE OPENNESS” (OP)

Panel unit root test: Summary

Series: OP

Date: 02/15/11 Time: 12:02

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -8.8335 0.0000 26 250

Breitung t-stat 1.0823 0.8604 26 224

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -2.0419 0.0206 26 250

ADF - Fisher Chi-square 85.8803 0.0022 26 250

PP - Fisher Chi-square 135.2118 0.0000 26 260

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Differencing dari “TRADE OPENNESS” ( OP)

Panel unit root test: Summary

Series: D(OP)

Date: 02/15/11 Time: 12:02

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects, individual linear trends

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -19.6233 0.0000 26 223

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -9.6254 0.0000 26 223

ADF - Fisher Chi-square 184.4550 0.0000 26 223

PP - Fisher Chi-square 251.7582 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 190: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

171

INTERAKSI PENYESUAIAN UMP DAN

PERUBAHAN INFRASTRUKTUR (DW1IS = W1 IS)

Panel unit root test: Summary

Series: DW1IS

Date: 05/14/11 Time: 01:55

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

User specified lags at: 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Balanced observations for each test

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -29.2346 0.0000 26 208

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -7.8256 0.0000 26 208

ADF - Fisher Chi-square 143.0990 0.0000 26 208

PP - Fisher Chi-square 131.1424 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

INTERAKSI PERUBAHAN TRADE OPENNESS DAN

PERUBAHAN INFRASTRUKTUR (DOPIS= OP IS)

Panel unit root test: Summary

Series: DOPIS

Date: 05/07/11 Time: 20:57

Sample: 1999 2009

Exogenous variables: Individual effects

Automatic selection of maximum lags

Automatic selection of lags based on SIC: 0 to 1

Newey-West bandwidth selection using Bartlett kernel

Cross-

Method Statistic Prob.** sections Obs

Null: Unit root (assumes common unit root process)

Levin, Lin & Chu t* -8.7515 0.0000 26 231

Null: Unit root (assumes individual unit root process)

Im, Pesaran and Shin W-stat -4.7057 0.0000 26 231

ADF - Fisher Chi-square 121.8938 0.0000 26 231

PP - Fisher Chi-square 144.1526 0.0000 26 234

** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi

-square distribution. All other tests assume asymptotic normality.

Page 191: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

172

Lampiran 2 Hasil Pengujian Kausalitas Granger antara Inflasi dengan BeberapaVariabel yang Diteliti dengan Program Eviews v6

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 05/07/11 Time: 20:16

Sample: 1999 2009

Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

DBM does not Granger Cause DP 208 5.4710 0.0049

DP does not Granger Cause DBM 33.1914 0.0000

DG does not Granger Cause DP 208 5.9738 0.0030

DP does not Granger Cause DG 20.8708 0.0000

DIR does not Granger Cause DP 208 7.0209 0.0011

DP does not Granger Cause DIR 47.9498 0.0000

DIS does not Granger Cause DP 208 3.4801 0.0327

DP does not Granger Cause DIS 1.5523 0.2143

DM1 does not Granger Cause DP 208 14.6428 0.0000

DP does not Granger Cause DM1 23.5896 0.0000

DOP does not Granger Cause DP 208 0.0971 0.9075

DP does not Granger Cause DOP 3.7852 0.0243

DOPIS does not Granger Cause DP 208 5.1231 0.0068

DP does not Granger Cause DOPIS 3.6457 0.0278

DW1 does not Granger Cause DP 208 1.9668 0.1426

DP does not Granger Cause DW1 26.3641 0.0000

DW1IS does not Granger Cause DP 208 1.0030 0.3686

DP does not Granger Cause DW1IS 0.7191 0.4884

DW2 does not Granger Cause DP 208 6.2858 0.0022

DP does not Granger Cause DW2 34.4923 0.0000

DXR does not Granger Cause DP 208 3.4712 0.0329

DP does not Granger Cause DXR 16.8271 0.0000

OG does not Granger Cause DP 208 3.5749 0.0298

DP does not Granger Cause OG 0.1453 0.8648

Keterangan variabel :dp = P : inflasi

dm1 = M1 : pertumbuhan M1

dg = G : perubahan belanja daerah

og = OG : output gap

dir = IR : penyesuaian suku bunga

dxr = XR : pergerakan nilai tukar/kurs

dw1 = W1 : penyesuaian UMP

dw2 = W2 : penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI

dbm = BM : penyesuaian harga BBM

dop = OP : perubahan trade openness

dis = IS : perubahan kondisi infrastruktur

dw1is = W1 IS : interaksi antara penyesuaian UMP dengan perubahan kondisi

infrastruktur

dopis = OP IS : interaksi antara perubahan trade openness dengan perubahan

kondisi infrastruktur

Page 192: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

173

Lampiran 3 Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) dan Spasial Dinamis (SAB)

Tabel 1 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) : tanpa Predetermine Variable

Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7

lag P 0.9884 *** 0.9814 *** 0.9831 *** 0.9727 *** 0.9700 *** 0.9744 *** 0.9794 ***

(0.0717) (0.0998) (0.0668) (0.0771) (0.1246) (0.0760) (0.0541)

OG 0.0864 0.0852 0.0857 0.0843 0.0818 0.0856 0.0895(0.0612) (0.0628) (0.0651) (0.0600) (0.0659) (0.0526) (0.0565)

IR -0.0087 *** -0.0087 *** -0.0087 *** -0.0087 *** -0.0086 *** -0.0087 *** -0.0087 ***

(0.0005) (0.0006) (0.0005) (0.0005) (0.0008) (0.0005) (0.0004)

M1 -0.0202 ** -0.0208 ** -0.0210 * -0.0264 ** -0.0261 ** -0.0251 *** -0.0254 ***

(0.0103) (0.0103) (0.0111) (0.0110) (0.0124) (0.0093) (0.0096)

XR 0.0970 *** 0.0971 *** 0.0971 *** 0.0959 *** 0.0962 *** 0.0957 *** 0.1010 ***

(0.0123) (0.0205) (0.0106) (0.0161) (0.0222) (0.0163) (0.0091)

G -0.0207 -0.0209 -0.0195 -0.0171 -0.0185 -0.0181 -0.0168

(0.0181) (0.0180) (0.0159) (0.0161) (0.0191) (0.0166) (0.0141)

W1 -0.0145 -0.0141 -0.0169 -0.0136 -0.0134 -0.0143 -0.0143

(0.0189) (0.0181) (0.0187) (0.0193) (0.0186) (0.0184) (0.0184)

W2 0.0340 *** 0.0337 *** 0.0329 *** 0.0325 *** 0.0330 *** 0.0332 *** 0.0305 ***

(0.0081) (0.0077) (0.0072) (0.0077) (0.0086) (0.0074) (0.0068)

BM 0.0857 *** 0.0858 *** 0.0854 *** 0.0859 *** 0.0857 *** 0.0857 *** 0.0873 ***

(0.0050) (0.0051) (0.0049) (0.0051) (0.0048) (0.0051) (0.0037)

IS 0.0000 -0.0001 -0.0019 0.0008 0.0009 - -

(0.0057) (0.0043) (0.0050) (0.0051) (0.0055)

OP - -0.0033 - - -0.0006 - -

(0.0219) (0.0168)

W1 IS - - 0.0308 - - - 0.0247

(0.0331) (0.0228)

OP IS - - - -0.1063 * -0.1084 -0.1020 * -0.1163 **

(0.0587) (0.0685) (0.0609) (0.0528)

Wald-Test 4831.98 [0.0000] 4645.55 [0.0000] 4577.78 [0.0000] 5007.81 [0.0000] 3655.58 [0.0000] 5063.73 [0.0000] 3475.33 [0.0000]Arelano-Bond - m1 -3.7073 [0.0002] -3.5956 [0.0003] -3.6681 [0.0002] -3.5813 [0.0003] -3.4578 [0.0005] -3.6541 [0.0003] -3.4568 [0.0005]Arelano-Bond - m2 0.6338 [0.5262] 0.6109 [0.5412] 0.7721 [0.4401] 0.6474 [0.5174] 0.6147 [0.5387] 0.6787 [0.4974] 0.5160 [0.6059]Sargan Test 25.5588 [1.0000] 25.3097 [1.0000] 25.3774 [1.0000] 25.3649 [1.0000] 25.1449 [1.0000] 25.4306 [1.0000] 25.5102 [1.0000]

Page 193: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

174

Tabel 2 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Dinamis Non Spasial (FD-GMM) : dengan Predetermine Variable M1

Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7

lag P 0.9751 *** 0.9754 *** 0.9749 *** 0.9655 *** 0.9609 *** 0.9654 *** 0.9685 ***

(0.1759) (0.1738) (0.1487) (0.1452) (0.0954) (0.1365) (0.1631)

OG 0.0567 0.0553 0.0639 0.0499 0.0484 0.0509 0.0456(0.0613) (0.0629) (0.1088) (0.0816) (0.0804) (0.0813) (0.0822)

IR -0.0086 *** -0.0086 *** -0.0086 *** -0.0086 *** -0.0086 *** -0.0086 *** -0.0086 ***

(0.0009) (0.0008) (0.0009) (0.0008) (0.0006) (0.0007) (0.0008)

M1 -0.0202 -0.0209 -0.0197 -0.0232 -0.0244 -0.0228 -0.0247

(0.0187) (0.0139) (0.0209) (0.0204) (0.0166) (0.0228) (0.0217)

XR 0.0957 *** 0.0975 *** 0.0972 *** 0.0979 *** 0.0958 *** 0.0983 *** 0.1017 ***

(0.0352) (0.0365) (0.0340) (0.0308) (0.0235) (0.0309) (0.0347)

G -0.0190 -0.0214 -0.0210 -0.0209 -0.0209 -0.0206 -0.0201

(0.0151) (0.0169) (0.0200) (0.0195) (0.0193) (0.0189) (0.0192)

W1 -0.0137 -0.0130 -0.0159 -0.0126 -0.0110 -0.0119 -

(0.0142) (0.0148) (0.0160) (0.0168) (0.0222) (0.0149)

W2 0.0324 *** 0.0333 *** 0.0329 *** 0.0333 *** 0.0334 *** 0.0332 *** 0.0310 ***

(0.0076) (0.0075) (0.0111) (0.0095) (0.0107) (0.0095) (0.0103)

BM 0.0857 *** 0.0855 *** 0.0849 *** 0.0861 *** 0.0856 *** 0.0863 *** 0.0872 ***

(0.0037) (0.0040) (0.0044) (0.0045) (0.0042) (0.0046) (0.0035)

IS 0.0004 0.0001 -0.0020 0.0013 0.0009 - -

(0.0065) (0.0063) (0.0060) (0.0063) (0.0040)

OP - -0.0012 - - 0.0021 - -

(0.0220) (0.0201)

W1 IS - - 0.0331 - - - 0.0282

(0.0405) (0.0369)

OP IS - - - -0.0988 * -0.1084 -0.0956 -0.1075 *

(0.0594) (0.0685) (0.0648) (0.0625)

Wald-Test 6305.53 [0.0000] 5495.03 [0.0000] 4098.86 [0.0000] 5087.20 [0.0000] 3958.63 [0.0000] 5422.56 [0.0000] 4175.88 [0.0000]Arelano-Bond - m1 -3.5720 [0.0004] -3.6204 [0.0003] -3.2585 [0.0011] -3.4834 [0.0005] -3.5053 [0.0005] -3.5019 [0.0005] -3.2366 [0.0012]Arelano-Bond - m2 0.2402 [0.8102] 0.2758 [0.7827] 0.3358 [0.7370] 0.3496 [0.7266] 0.3262 [0.7443] 0.3572 [0.7210] 0.2237 [0.8230]Sargan Test 25.6671 [1.0000] 25.3512 [1.0000] 25.5578 [1.0000] 25.2348 [1.0000] 25.0621 [1.0000] 25.2464 [1.0000] 25.3948 [1.0000]

Keterangan : *** : signifikan pada 01% ( ) : robust standart error

Keterangan : *** : signifikan pada 05% [ ] : P-ValueKeterangan : *** : signifikan pada 10%

Page 194: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

175

Tabel 3 : Perbandingan Hasil Estimasi Model Data Panel Spasial Dinamis (SAB)

Variabel Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5 Model 6 Model 7

lag P 0.7593 *** 0.7640 *** 0.7230 *** 0.7537 *** 0.7414 *** 0.7469 *** 0.7747 ***

(0.1250) (0.1611) (0.1576) (0.1268) (0.1636) (0.1424) (0.1902)

WP 0.3482 ** 0.3517 ** 0.3943 * 0.3544 ** 0.3648 ** 0.3555 ** 0.3193

(0.1673) (0.1723) (0.2049) (0.1388) (0.1637) (0.1678) (0.2119)

OG 0.0559 0.0543 0.0569 0.0542 0.0503 0.0509 0.0549(0.0874) (0.0954) (0.0830) (0.0805) (0.0875) (0.0768) (0.0974)

IR -0.0070 *** -0.0070 *** -0.0067 *** -0.0070 *** -0.0069 *** -0.0070 *** -0.0072 ***

(0.0011) (0.0013) (0.0013) (0.0010) (0.0011) (0.0012) (0.0017)

M1 0.0076 0.0051 0.0093 0.0020 0.0024 0.0022 0.0004

(0.0284) (0.0259) (0.0302) (0.0327) (0.0323) (0.0366) (0.0336)

XR 0.0578 *** 0.0563 ** 0.0539 ** 0.0579 *** 0.0539 * 0.0568 *** 0.0702 ***

(0.0195) (0.0280) (0.0215) (0.0213) (0.0313) (0.0209) (0.0229)

G -0.0241 -0.0241 -0.0210 -0.0210 -0.0256 -0.0220 -0.0256

(0.0297) (0.0357) (0.0177) (0.0342) (0.0369) (0.0363) (0.0338)

W1 -0.0297 -0.0307 -0.0401 -0.0304 -0.0275 -0.0302 -

(0.0409) (0.0676) (0.0435) (0.0289) (0.0353) (0.0254)

W2 0.0312 ** 0.0314 ** 0.0282 *** 0.0303 ** 0.0318 ** 0.0311 ** 0.0286 **

(0.0142) (0.0149) (0.0096) (0.0145) (0.0156) (0.0148) (0.0128)

BM 0.0476 ** 0.0469 ** 0.0425 * 0.0470 *** 0.0459 *** 0.0469 ** 0.0537 **

(0.0198) (0.0206) (0.0230) (0.0147) (0.0174) (0.0182) (0.0236)

IS 0.0002 0.0005 -0.0042 0.0019 0.0019 - -

(0.0117) (0.0137) (0.0147) (0.0104) (0.0104)

OP - 0.0099 - - 0.0141 - -

(0.0395) (0.0215)

W1 IS - - 0.0731 - - - 0.0463

(0.0914) (0.1059)

OP IS - - -0.1445 -0.1280 -0.1609 -0.1451

(0.3563) (0.3967) (0.4100) (0.3296)

Wald-Test 6538.45 [0.0000] 9872.94 [0.0000] 6558.14 [0.0000] 6050.19 [0.0000] 8433.42 [0.0000] 5969.83 [0.0000] 5939.92 [0.0000]Arelano-Bond - m1 -1.7976 [0.0722] -1.6913 [0.0908] -2.1839 [0.0290] -2.1844 [0.0289] -2.0696 [0.0385] -2.5258 [0.0115] -2.4455 [0.0145]Arelano-Bond - m2 -1.0947 [0.2737] -0.8314 [0.4058] -0.6027 [0.5467] -0.9078 [0.3640] -0.7960 [0.4260] -0.8634 [0.3879] -0.5436 [0.5867]Sargan Test 23.7571 [1.0000] 23.9944 [1.0000] 23.2646 [1.0000] 23.7341 [1.0000] 23.2734 [1.0000] 23.4472 [1.0000] 23.1462 [1.0000]

Page 195: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

176

Lampiran 3 Scripts Input dan Hasil Output untuk Metode Data Panel Statis danDinamis untuk Model Non Spasial dan Spasial dengan ProgramSTATA v.10

dp = P : inflasi

L1. = lag P : lag inflasi

wdp = WP : keterkaitan inflasi secara spasial

og = OG :output gap

dm1 = M1 : pertumbuhan M1

dg = G : perubahan belanja daerah

dir = IR : penyesuaian suku bunga

dxr = XR : pergerakan nilai tukar/kurs

dw1 = W1 : penyesuaian UMP

dw2 = W2 : penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI

dbm = BM : penyesuaian harga BBM

dop = OP : perubahan trade openness

dis = IS : perubahan kondisi infrastruktur

dw1is = W1 IS : interaksi antara penyesuaian UMP denganperubahan kondisi infrastruktur

dopis = OP IS : interaksi antara perubahan trade opennessdengan perubahan kondisi infrastruktur

dopisjw = OP IS DJW : interaksi antara perubahan trade opennessdengan perubahan kondisi infrastrukturuntuk Pulau Jawa

dopiskti = OP IS DKTI : interaksi antara perubahan trade opennessdengan perubahan kondisi infrastrukturuntuk KBI

dit :dummy inflation targeting

Ldpit = lag P DIT : persistensi inflasi setelah kebijakan ITF

dxrit = XR DIT :pass through setelah kebijakan ITF

_cons : konstanta

. use "C:\tmp\Data_OK.dta"

. xtset prov tahun, yearlypanel variable: prov (strongly balanced)time variable: tahun, 1999 to 2009

delta: 1 year

Page 196: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

177

1. Model Dasar Non Spasial

. xtreg dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis,fe

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 234Group variable: prov Number of groups = 26

R-sq: within = 0.9255 Obs per group: min = 9between = 0.9529 avg = 9.0overall = 0.9247 max = 9

F(10,198) = 245.98corr(u_i, Xb) = 0.1147 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .7111903 .0372194 19.11 0.000 .637793 .7845875og | .037336 .026168 1.43 0.155 -.0142678 .0889398dir | -.0077373 .0002924 -26.46 0.000 -.008314 -.0071605dm1 | -.030885 .010683 -2.89 0.004 -.051952 -.0098179dxr | -.0219959 .0149826 -1.47 0.144 -.0515419 .0075501dg | -.0168038 .006138 -2.74 0.007 -.028908 -.0046996dw2 | .0351674 .0038323 9.18 0.000 .0276101 .0427247dbm | .0856565 .0046519 18.41 0.000 .0764828 .0948302

dw1is | .0148918 .0215054 0.69 0.489 -.0275171 .0573008dopis | -.0777744 .042306 -1.84 0.068 -.1612026 .0056539_cons | .0042946 .0038177 1.12 0.262 -.0032341 .0118232

-------------+----------------------------------------------------------------sigma_u | .00289289sigma_e | .01310667

rho | .0464536 (fraction of variance due to u_i)------------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 198) = 0.38 Prob > F = 0.9970

. est sto fixed

. xttest3

Modified Wald test for groupwise heteroskedasticityin fixed effect regression model

H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i

chi2 (26) = 27.78Prob>chi2 = 0.3694

. predict resid, e

. tsset prov tahun, yearlypanel variable: prov (strongly balanced)time variable: tahun, 1999 to 2009

delta: 1 year

. xtserial residWooldridge test for autocorrelation in panel dataH0: no first-order autocorrelation

F( 1, 25) = 10.442Prob > F = 0.0034

. drop resid

Page 197: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

178

. xtreg dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis,re

Random-effects GLS regression Number of obs = 234Group variable: prov Number of groups = 26

R-sq: within = 0.9456 Obs per group: min = 9between = 0.9741 avg = 9.0overall = 0.9467 max = 9

Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(10) = 3957.25corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | 1.001675 .0376503 26.60 0.000 .927882 1.075468og | .0497537 .0201758 2.47 0.014 .0102099 .0892975dir | -.0087936 .0002458 -35.77 0.000 -.0092754 -.0083119dm1 | -.0251916 .0081473 -3.09 0.002 -.0411601 -.0092231dxr | .1058178 .0109319 9.68 0.000 .0843917 .1272439dg | -.0165211 .0047968 -3.44 0.001 -.0259226 -.0071196dw2 | .0293222 .0031087 9.43 0.000 .0232291 .0354152dbm | .0862474 .0035184 24.51 0.000 .0793515 .0931433

dw1is | .0196606 .0161218 1.22 0.223 -.0119375 .0512587dopis | -.0884319 .0328508 -2.69 0.007 -.1528182 -.0240456_cons | -.0122543 .0032154 -3.81 0.000 -.0185563 -.0059522

-------------+----------------------------------------------------------------sigma_u | 0sigma_e | .01118675

rho | 0 (fraction of variance due to u_i)------------------------------------------------------------------------------

. est sto random

. xttest0

Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects

dp[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t]

Estimated results:| Var sd = sqrt(Var)

---------+-----------------------------dp | .002044 .0452106e | .0001251 .0111868u | 0 0

Test: Var(u) = 0chi2(1) = 9.25

Prob > chi2 = 0.0024

Page 198: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

179

. hausman fixed random

---- Coefficients ----| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))| fixed random Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------L.dp | .9817382 1.001675 -.019937 .0203791og | .0506212 .0497537 .0008675 .0085455dir | -.0086968 -.0087936 .0000968 .000118dm1 | -.0240913 -.0251916 .0011003 .0029672dxr | .1026348 .1058178 -.003183 .0042114dg | -.0178291 -.0165211 -.001308 .0018821dw2 | .0300617 .0293222 .0007396 .0011765dbm | .0865738 .0862474 .0003264 .0011597

dw1is | .0237936 .0196606 .004133 .0083678dopis | -.0854657 -.0884319 .0029662 .0140073

------------------------------------------------------------------------------b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtreg

B = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(10) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)= 1.83

Prob>chi2 = 0.9975

. regress dp L.dp og dir dm1 dxr dg dw2 dbm dw1is dopis

Source | SS df MS Number of obs = 234-------------+------------------------------ F( 10, 223) = 395.72

Model | .45084585 10 .045084585 Prob > F = 0.0000Residual | .025406214 223 .000113929 R-squared = 0.9467

-------------+------------------------------ Adj R-squared = 0.9443Total | .476252064 233 .002044 Root MSE = .01067

------------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | 1.001675 .0376503 26.60 0.000 .9274793 1.075871og | .0497537 .0201758 2.47 0.014 .0099941 .0895133dir | -.0087936 .0002458 -35.77 0.000 -.009278 -.0083092dm1 | -.0251916 .0081473 -3.09 0.002 -.0412473 -.009136dxr | .1058178 .0109319 9.68 0.000 .0842747 .1273608dg | -.0165211 .0047968 -3.44 0.001 -.0259739 -.0070683dw2 | .0293222 .0031087 9.43 0.000 .0231959 .0354484dbm | .0862474 .0035184 24.51 0.000 .0793138 .093181

dw1is | .0196606 .0161218 1.22 0.224 -.0121099 .0514311dopis | -.0884319 .0328508 -2.69 0.008 -.1531696 -.0236942_cons | -.0122543 .0032154 -3.81 0.000 -.0185907 -.0059178

------------------------------------------------------------------------------

. est drop fixed random

Page 199: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

180

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis, noconstant twostep pre(dm1) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 88 Wald chi2(10) = 4175.88Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .9685081 .1631096 5.94 0.000 .6488191 1.288197dm1 | -.0247074 .021674 -1.14 0.254 -.0671876 .0177729og | .0455943 .0821711 0.55 0.579 -.1154581 .2066468dir | -.0085929 .0007747 -11.09 0.000 -.0101113 -.0070744dxr | .1016518 .0346976 2.93 0.003 .0336457 .1696578dg | -.0200854 .0191669 -1.05 0.295 -.0576518 .0174809dw2 | .0310323 .010304 3.01 0.003 .0108368 .0512278dbm | .087223 .0034712 25.13 0.000 .0804196 .0940264

dw1is | .0281787 .0368929 0.76 0.445 -.04413 .1004873dopis | -.1075166 .0625427 -1.72 0.086 -.2300982 .0150649

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-3.2366 0.0012 || 2 | .22366 0.8230 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(78) = 25.3948Prob > chi2 = 1.0000

Page 200: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

181

2. Model Dasar Spasial

. xtreg dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis,fe

Fixed-effects (within) regression Number of obs = 234Group variable: prov Number of groups = 26

R-sq: within = 0.9545 Obs per group: min = 9between = 0.9636 avg = 9.0overall = 0.9537 max = 9

F(11,197) = 375.90corr(u_i, Xb) = 0.1134 Prob > F = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .8204876 .0471186 17.41 0.000 .727566 .9134093wdp | .30364 .0489504 6.20 0.000 .2071058 .4001741og | .0489732 .0201376 2.43 0.016 .0092602 .0886862dir | -.0073892 .0003263 -22.65 0.000 -.0080326 -.0067457dm1 | -.0058049 .0084935 -0.68 0.495 -.0225548 .0109451dxr | .0703531 .0119229 5.90 0.000 .0468402 .093866dg | -.0171324 .0047666 -3.59 0.000 -.0265325 -.0077323dw1 | -.0253956 .0088627 -2.87 0.005 -.0428735 -.0079177dw2 | .0279487 .0031439 8.89 0.000 .0217487 .0341487dbm | .0529339 .0063106 8.39 0.000 .0404889 .0653789

dopis | -.0869023 .0319384 -2.72 0.007 -.1498873 -.0239172_cons | -.0169529 .0035539 -4.77 0.000 -.0239615 -.0099443

-------------+----------------------------------------------------------------sigma_u | .002397sigma_e | .01026642

rho | .05169488 (fraction of variance due to u_i)------------------------------------------------------------------------------F test that all u_i=0: F(25, 197) = 0.41 Prob > F = 0.9951

. est sto fixed

. xttest3

Modified Wald test for groupwise heteroskedasticityin fixed effect regression model

H0: sigma(i)^2 = sigma^2 for all i

chi2 (26) = 51.65Prob>chi2 = 0.0020

. predict resid, e

. tsset prov tahun, yearlypanel variable: prov (strongly balanced)time variable: tahun, 1999 to 2009

delta: 1 year

. xtserial residWooldridge test for autocorrelation in panel dataH0: no first-order autocorrelation

F( 1, 25) = 2.458Prob > F = 0.1295

. drop resid

Page 201: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

182

. xtreg dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis,re

Random-effects GLS regression Number of obs = 234Group variable: prov Number of groups = 26

R-sq: within = 0.9542 Obs per group: min = 9between = 0.9703 avg = 9.0overall = 0.9542 max = 9

Random effects u_i ~ Gaussian Wald chi2(11) = 4620.00corr(u_i, X) = 0 (assumed) Prob > chi2 = 0.0000

------------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .8732956 .0408614 21.37 0.000 .7932087 .9533825wdp | .2695888 .0452306 5.96 0.000 .1809384 .3582392og | .0513871 .0187659 2.74 0.006 .0146067 .0881675dir | -.0077051 .0002896 -26.60 0.000 -.0082727 -.0071375dm1 | -.0093953 .0080289 -1.17 0.242 -.0251316 .006341dxr | .0788002 .0110864 7.11 0.000 .0570713 .1005291dg | -.0150154 .00449 -3.34 0.001 -.0238157 -.0062152dw1 | -.0244958 .008219 -2.98 0.003 -.0406047 -.0083868dw2 | .0271973 .0029985 9.07 0.000 .0213204 .0330742dbm | .0562362 .005879 9.57 0.000 .0447136 .0677589

dopis | -.0920255 .0298926 -3.08 0.002 -.1506139 -.0334371_cons | -.0191096 .0032874 -5.81 0.000 -.0255527 -.0126664

-------------+----------------------------------------------------------------sigma_u | 0sigma_e | .01026642

rho | 0 (fraction of variance due to u_i)------------------------------------------------------------------------------

. est sto random

. xttest0

Breusch and Pagan Lagrangian multiplier test for random effects

dp[prov,t] = Xb + u[prov] + e[prov,t]

Estimated results:| Var sd = sqrt(Var)

---------+-----------------------------dp | .002044 .0452106e | .0001054 .0102664u | 0 0

Test: Var(u) = 0chi2(1) = 5.77

Prob > chi2 = 0.0163

Page 202: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

183

. hausman fixed random

---- Coefficients ----| (b) (B) (b-B) sqrt(diag(V_b-V_B))| fixed random Difference S.E.

-------------+----------------------------------------------------------------L.dp | .8204876 .8732956 -.0528079 .023463wdp | .30364 .2695888 .0340512 .0187173og | .0489732 .0513871 -.0024139 .0073052dir | -.0073892 -.0077051 .0003159 .0001503dm1 | -.0058049 -.0093953 .0035904 .0027708dxr | .0703531 .0788002 -.008447 .0043872dg | -.0171324 -.0150154 -.002117 .0016001dw1 | -.0253956 -.0244958 -.0008998 .0033158dw2 | .0279487 .0271973 .0007514 .0009452dbm | .0529339 .0562362 -.0033024 .0022937

dopis | -.0869023 -.0920255 .0051232 .0112469------------------------------------------------------------------------------

b = consistent under Ho and Ha; obtained from xtregB = inconsistent under Ha, efficient under Ho; obtained from xtreg

Test: Ho: difference in coefficients not systematic

chi2(11) = (b-B)'[(V_b-V_B)^(-1)](b-B)= 6.16

Prob>chi2 = 0.8626

. regress dp L.dp wdp og dir dm1 dxr dg dw1 dw2 dbm dopis

Source | SS df MS Number of obs = 234-------------+------------------------------ F( 11, 222) = 420.00

Model | .454416477 11 .041310589 Prob > F = 0.0000Residual | .021835587 222 .000098359 R-squared = 0.9542

-------------+------------------------------ Adj R-squared = 0.9519Total | .476252064 233 .002044 Root MSE = .00992

------------------------------------------------------------------------------dp | Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .8732956 .0408614 21.37 0.000 .7927697 .9538215wdp | .2695888 .0452306 5.96 0.000 .1804525 .3587252og | .0513871 .0187659 2.74 0.007 .014405 .0883691dir | -.0077051 .0002896 -26.60 0.000 -.0082758 -.0071343dm1 | -.0093953 .0080289 -1.17 0.243 -.0252179 .0064273dxr | .0788002 .0110864 7.11 0.000 .0569522 .1006482dg | -.0150154 .00449 -3.34 0.001 -.0238639 -.006167dw1 | -.0244958 .008219 -2.98 0.003 -.040693 -.0082985dw2 | .0271973 .0029985 9.07 0.000 .0212882 .0331064dbm | .0562362 .005879 9.57 0.000 .0446504 .067822

dopis | -.0920255 .0298926 -3.08 0.002 -.1509351 -.0331159_cons | -.0191096 .0032874 -5.81 0.000 -.025588 -.0126311

------------------------------------------------------------------------------

. est drop fixed random

Page 203: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

184

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm, twostep noconstant end(wdp dopis) pre(dm1 dg)inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdop dwdis) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 171 Wald chi2(11) = 5969.83Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .7468522 .1423592 5.25 0.000 .4678332 1.025871dm1 | .0022414 .036557 0.06 0.951 -.069409 .0738919dg | -.0220143 .0362603 -0.61 0.544 -.0930832 .0490547wdp | .3555337 .1678384 2.12 0.034 .0265766 .6844909

dopis | -.1609211 .4100081 -0.39 0.695 -.9645222 .64268og | .050926 .0768107 0.66 0.507 -.0996202 .2014721dir | -.0069862 .001172 -5.96 0.000 -.0092833 -.0046891dxr | .0568016 .0209305 2.71 0.007 .0157785 .0978247dw1 | -.030187 .0254188 -1.19 0.235 -.0800068 .0196328dw2 | .0310961 .0148305 2.10 0.036 .0020289 .0601633dbm | .0468605 .0182364 2.57 0.010 .0111178 .0826033

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopisStandard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm dwdm1 dwdg dwdw1 dwdop dwdis

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-2.5258 0.0115 || 2 |-.86336 0.3879 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(160) = 23.44723Prob > chi2 = 1.0000

Page 204: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

185

3. Model Non Spasial untuk Inflation Targeting

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dit Ldpit dxrit, noconstant twosteppre(dm1) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 91 Wald chi2(13) = 4741.49Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .7070446 .1824968 3.87 0.000 .3493573 1.064732dm1 | -.0470326 .0225161 -2.09 0.037 -.0911634 -.0029019og | -.0298654 .0701741 -0.43 0.670 -.1674041 .1076732dir | -.0093091 .001016 -9.16 0.000 -.0113003 -.0073178dxr | .0536469 .0512908 1.05 0.296 -.0468812 .1541749dg | -.0099056 .0188083 -0.53 0.598 -.0467691 .026958dw2 | .0349749 .0124118 2.82 0.005 .0106483 .0593016dbm | .0765291 .0072253 10.59 0.000 .0623678 .0906904

dw1is | .0015584 .0262057 0.06 0.953 -.0498037 .0529206dopis | -.0442155 .0483043 -0.92 0.360 -.1388902 .0504592

dit | -.0137814 .0108411 -1.27 0.204 -.0350296 .0074667Ldpit | .3390343 .1751275 1.94 0.053 -.0042092 .6822779dxrit | .0090362 .0623018 0.15 0.885 -.113073 .1311453

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dit D.Ldpit

D.dxrit

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-3.7782 0.0002 || 2 | .72025 0.4714 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(78) = 23.69554Prob > chi2 = 1.0000

Page 205: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

186

4. Model Spasial untuk Inflation Targeting

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dit Ldpit dxrit, twostep noconstant end(wdpdopis) pre(dm1 dg) inst(dwdm1 dwdop dwdis) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 172 Wald chi2(14) = 40091.01Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .5851623 .2437148 2.40 0.016 .1074902 1.062834dm1 | -.0302888 .0252088 -1.20 0.230 -.0796971 .0191196dg | -.0028372 .0136983 -0.21 0.836 -.0296853 .024011wdp | .5256722 .2317966 2.27 0.023 .0713592 .9799853

dopis | -.0840878 .2241714 -0.38 0.708 -.5234557 .35528og | -.0055443 .1834523 -0.03 0.976 -.3651043 .3540156dir | -.0075647 .0018006 -4.20 0.000 -.0110937 -.0040356dxr | .0817933 .0570416 1.43 0.152 -.0300062 .1935928dw1 | -.0113637 .0165039 -0.69 0.491 -.0437107 .0209833dw2 | .02007 .008863 2.26 0.024 .0026988 .0374411dbm | .013353 .0343308 0.39 0.697 -.0539341 .0806401dit | -.0082748 .0110117 -0.75 0.452 -.0298574 .0133078

Ldpit | .1616863 .1823067 0.89 0.375 -.1956283 .5190009dxrit | -.1141877 .0941069 -1.21 0.225 -.2986339 .0702586

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdp L(2/.).dopisStandard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dit D.Ldpit D.dxrit dwdm1

dwdop dwdis

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-1.8505 0.0642 || 2 |-1.0238 0.3059 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(158) = 13.99524Prob > chi2 = 1.0000

Page 206: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

187

5. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopis dopisjw, noconstant twosteppre(dm1) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 89 Wald chi2(11) = 7204.13Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .9655053 .1632286 5.92 0.000 .6455832 1.285427dm1 | -.0247739 .0149817 -1.65 0.098 -.0541376 .0045897og | .0529118 .0740884 0.71 0.475 -.0922989 .1981224dir | -.0085957 .0007773 -11.06 0.000 -.0101193 -.0070722dxr | .1015132 .0344146 2.95 0.003 .0340619 .1689645dg | -.0216123 .0186177 -1.16 0.246 -.0581024 .0148778dw2 | .0317266 .0091069 3.48 0.000 .0138773 .0495758dbm | .0873215 .0036601 23.86 0.000 .0801478 .0944951

dw1is | .0332082 .0470058 0.71 0.480 -.0589213 .1253378dopis | -.1244573 .0545049 -2.28 0.022 -.231285 -.0176296

dopisjw | .1406335 .1407875 1.00 0.318 -.1353049 .4165719------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1Standard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopis D.dopisjw

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 | -3.311 0.0009 || 2 | .40952 0.6822 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(78) = 25.05301Prob > chi2 = 1.0000

Page 207: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

188

6. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara Jawa dengan luar Jawa

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopisjw, lags(1) twostep end(wdp)pre(dm1 dg) artests(2) noconstant inst(dwdw1 dwdis dwdop dwdir) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 160 Wald chi2(12) = 7148.29Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .7561895 .1280899 5.90 0.000 .5051379 1.007241dm1 | .0008687 .0323231 0.03 0.979 -.0624834 .0642208dg | -.0204748 .0303788 -0.67 0.500 -.0800162 .0390667wdp | .3467517 .1338311 2.59 0.010 .0844475 .6090558og | .0584553 .1147232 0.51 0.610 -.166398 .2833087dir | -.0070184 .0010363 -6.77 0.000 -.0090496 -.0049872dxr | .0596659 .0178774 3.34 0.001 .0246268 .0947051dw1 | -.0287802 .0606251 -0.47 0.635 -.1476033 .0900428dw2 | .0298834 .0142031 2.10 0.035 .0020457 .057721dbm | .0482126 .018634 2.59 0.010 .0116906 .0847345

dopis | -.1065468 .2231554 -0.48 0.633 -.5439234 .3308298dopisjw | .0729332 .8023003 0.09 0.928 -1.499546 1.645413

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdpStandard: D.og D.dir D.dxr D.dw1 D.dw2 D.dbm D.dopis D.dopisjw dwdw1 dwdis

dwdop dwdir

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-2.2204 0.0264 || 2 |-.66141 0.5084 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(148) = 24.44504Prob > chi2 = 1.0000

Page 208: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

189

7. Model Non Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI

. xtabond dp og dir dxr dg dw2 dbm dw1is dopiskti, noconstant twostep pre(dm1dopis) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 125 Wald chi2(11) = 4439.41Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .9746127 .0605685 16.09 0.000 .8559005 1.093325dm1 | -.0264368 .0199802 -1.32 0.186 -.0655973 .0127237

dopis | -.1198633 .2023285 -0.59 0.554 -.5164199 .2766932og | .0498789 .0978794 0.51 0.610 -.1419611 .2417189dir | -.0086338 .0005892 -14.65 0.000 -.0097885 -.0074791dxr | .1034889 .0218413 4.74 0.000 .0606808 .1462971dg | -.0226629 .0234038 -0.97 0.333 -.0685335 .0232077dw2 | .0322467 .0114377 2.82 0.005 .0098293 .0546642dbm | .0867466 .0044093 19.67 0.000 .0781044 .0953887

dw1is | .0270403 .0599775 0.45 0.652 -.0905135 .1445941dopiskti | -.0190201 .3388879 -0.06 0.955 -.6832282 .6451881

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dopisStandard: D.og D.dir D.dxr D.dg D.dw2 D.dbm D.dw1is D.dopiskti

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-3.1054 0.0019 || 2 | .28373 0.7766 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(78) = 25.06233Prob > chi2 = 1.0000

Page 209: Dinamika inflasi Indonesia pada tataran provinsi - … · dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate , gejolak nilai tukar, penyesuaian

190

8. Model Spasial untuk Perbedaan Inflasi antara KBI dengan KTI

. xtabond dp og dir dxr dw1 dw2 dbm dopis dopiskti, twostep noconstant pre(dm1 dg)end(wdp) inst(dwdm1 dwdg dwdw1 dwdis dwdop) vce(r)

Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 208Group variable: prov Number of groups = 26Time variable: tahun

Obs per group: min = 8avg = 8max = 8

Number of instruments = 161 Wald chi2(12) = 5181.61Prob > chi2 = 0.0000

Two-step results------------------------------------------------------------------------------

| WC-Robustdp | Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval]

-------------+----------------------------------------------------------------dp |L1. | .7116251 .1577476 4.51 0.000 .4024455 1.020805dm1 | .0004783 .0302213 0.02 0.987 -.0587544 .0597109dg | -.021121 .0346564 -0.61 0.542 -.0890463 .0468043wdp | .3769383 .1850742 2.04 0.042 .0141995 .7396771og | .0433946 .0768727 0.56 0.572 -.1072731 .1940622dir | -.0067615 .0012666 -5.34 0.000 -.009244 -.004279dxr | .0512392 .0245363 2.09 0.037 .003149 .0993294dw2 | .0309479 .0161239 1.92 0.055 -.0006545 .0625502dbm | .0442681 .0232505 1.90 0.057 -.001302 .0898382dw1 | -.0337499 .0501518 -0.67 0.501 -.1320456 .0645458

dopis | -.1997858 .2997558 -0.67 0.505 -.7872963 .3877246dopiskti | -.0221821 .4244048 -0.05 0.958 -.8540003 .809636

------------------------------------------------------------------------------Instruments for differenced equation

GMM-type: L(2/.).dp L(1/.).dm1 L(1/.).dg L(2/.).wdpStandard: D.og D.dir D.dxr D.dw2 D.dbm D.dw1 D.dopis D.dopiskti dwdm1 dwdg

dwdw1 dwdis dwdop

. estat abond

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors+-----------------------+|Order | z Prob > z||------+----------------|| 1 |-2.1411 0.0323 || 2 |-.83345 0.4046 |+-----------------------+H0: no autocorrelation

. estat sargan “ diestimasi dari vce(gmm) “

Sargan test of overidentifying restrictionsH0: overidentifying restrictions are valid

chi2(149) = 22.50627Prob > chi2 = 1.0000