dimensi pohon sentang (azadirachta excelsa jack.) dan ... · pada pola agroforestri akan...
TRANSCRIPT
DIMENSI POHON SENTANG (Azadirachta excelsa Jack.) DAN
PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) DI DALAM
SISTEM AGROFORESTRI
SUCI RATNA PURI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Dimensi Pohon Sentang
(Azadirachta excelsa Jack.) dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di
dalam Sistem Agroforestri)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
Suci Ratna Puri
NIM. E451130071
RINGKASAN
SUCI RATNA PURI. Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan
Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri).
Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO dan ARUM SEKAR WULANDARI.
Sistem yang memadukan kehutanan dengan pertanian dikenal dengan
agroforestri. Penggunaan lahan tidur di bawah tegakan, akan lebih
mengoptimalkan pemanfaatan lahan yang selama ini belum termanfaatkan.
Tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack.) merupakan salah satu tanaman yang
dapat digunakan dalam sistem agroforestri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis dimensi pohon, respon fisiologi, pertumbuhan dan produksi berbagai
varietas kedelai (Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis) di dalam sistem
agroforestri sentang.
Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan yaitu percobaan pertama untuk
mengetahui perbedaan dimensi pohon sentang pada pola agroforestri dan
monokultur sentang, sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui
pengaruh fisiologi, pertumbuhan dan produksi kedelai pada pola agroforestri dan
monokultur kedelai. Percobaan pertama menggunakan rancangan acak lengkap
(RAL), dengan faktor tunggal, yaitu pola tanam dengan 2 taraf dan perlakuan
diulang 16 kali. Jumlah tanaman per satuan percobaan sebanyak 1 pohon. Pola
tanam yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu Monokultur sentang (So) dan
Agroforestri sentang dan kedelai (S1). Percobaan kedua menggunakan rancangan
petak terbagi (split plot design) yang terdiri dari 2 faktor dan 3 ulangan. Pola
tanam sebagai petak utama, yang terdiri dari pola tanam agroforestri (S1) dan
monokultur (S0). Faktor kedua yang merupakan anak petak adalah berbagai
varietas kedelai yang terdiri dari Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan
Wilis. Penelitian dilaksanakan di Kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat
Biofarmaka di Cikabayan Kampus IPB dengan luas lahan 450 m2. Pelaksanaan
untuk penanaman kedelai dilakukan pada lahan yang sudah ditanami tanaman
sentang yang telah berumur 1 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertambahan tinggi pohon,
diameter batang dan diameter tajuk sentang pada plot agroforestri lebih besar
dibandingkan dengan plot monokultur. Akar lateral pada plot monokultur
memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan dengan plot agroforestri.
Perbedaan pertumbuhan tanaman pada masing-masing pola tanam agroforestri
dipengaruhi oleh adanya interaksi antar komponen tanaman. Interaksi yang positif
pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan pertumbuhan dan produksi
dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan sebaliknya.
Perbedaan dimensi sentang dalam penelitian ini terjadi karena pemeliharaan yang
diberikan pada tanaman kedelai memberikan dampak positif terhadap
pertumbuhan sentang. Pemeliharaan pada tanaman kedelai seperti pemupukan,
penggemburan dan penyiangan gulma secara tidak langsung berdampak pada
pertumbuhan sentang.
Kedelai pada pola monokultur sentang mengandung klorofil a, kandungan
karoten dan total klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai pada pola
tanam agroforestri. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedelai melakukan adaptasi
terhadap cekaman cahaya yang dicapai melalui mekanisme penghindaran dengan
meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran dengan
menurunkan titik kompensasi cahaya. Serapan hara N, P, dan K pada pola tanam
monokultur memiliki serapan hara lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai pada
pola tanam agroforestri. Varietas Tanggamus, Anjasmoro, dan Wilis pada plot
monokultur memiliki pertumbuhan dan produksi yang lebih baik dibandingkan
dengan Varietas Grobogan. Hasil/ha kedelai yang diperoleh pada penelitian ini
menunjukkan Varietas Tanggamus dan Wilis memiliki hasil/ha yang melebihi
hasil/ha berdasarkan deskripsi yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, sedangkan Varietas Grobogan dan
Anjasmoro hasil/ha yang didapatkan lebih rendah dibandingkan deskripsi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa Varietas Tanggamus dan Wilis memiliki toleransi
terhadap kondisi lingkungan yang ada di lokasi penelitian. Penggunaan berbagai
varietas kedelai pada agroforestri tanaman sentang umur 1 tahun menghasilkan
produksi yang sama dengan produksi pada pola tanam monokultur.
Kata kunci: agroforestri, dimensi pohon, sentang (Azadirachta excelsa Jack.),
kedelai (Glycine max (L.) Merril)
SUMMARY
SUCI RATNA PURI. Dimension of Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) and
Production of Soyben (Glycine max (L.) Merril) in Agroforestry System.
Supervised by NURHENI WIJAYANTO and ARUM SEKAR WULANDARI.
System which combines forestry and agriculture is known by agroforestry.
Using of un-productive land below the trees will be more optimum. Sentang
(Azadirachta excelsa Jack.) is one of trees that can be used in agroforestry system.
The aim of this study was to analyze tree dimension, physiology respon, growth
and production some varieties of soybean (Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus and
Wilis).
This Research consisted of two experiments. The first trial was conducted
to determine differences of sentang dimension in agroforestry and monocultural
Sentang pattern, while the second experiment aims to determine the effect of
physiology, growth and production of soybean in agroforestry and monocultural
soybean pattern. The first experiment using a completely randomized design, with
a single factor, namely the cropping pattern with 2 levels and treatment was
repeated 16 times. The number of plants per unit of experiment as much as 1 tree.
The cropping pattern applied in this research is Monocultural Sentang (So) and
Agroforestry Sentang and soybeans (S1). The second experiment using a split plot
design, consisted of 2 factors and 3 repetitions. Planting pattern as a main plot,
consisted of planting agroforestry pattern (S1) and monoculture (S0). The second
factor as a subplot is some varieties of soybean that consisted of Variety of
Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus, and Wilis. The study was conducted in Center
of Medicinal Plants Biofarmaka Cikabayan, Bogor Agricultural University with
area about 450 m2
. Soybean plantation was conducted at land that has been planted
by Sentang 1 year old and the planting distance was 2.5 m x 2.5 m.
The result shows that accretion mean of tree height, stem and crown
diameter of Sentang in agroforestry plot are bigger than in monocultural plot.
Lateral root in monocultural plot is deeper than in agroforestry plot. The
difference of plant growth in each planting pattern of agroforestry is affected by
interaction among plant component. Positive interaction in agroforestry pattern
will result growth and production improvements from all plant component that
present in its pattern and also in contrary. The difference of sentang dimension in
this study is caused by soybean maintenance thas was given, gives possitive effect
on sentang growth. Soybean maintenance such fertilizing, loosening, and clearing
of weeds indirectly affected for sentang.
Soybean on monocultural pattern containing more Chlorophyl a, caroten,
and total of chlorophyl than soybean on agroforestry pattern. It shows that
soybean did an adaptation toward light pressure that was reached by avoidance
mechanism by increasing efficiency of light catching and tolerant mechanism by
decreasing point of light compensation. Nutrient uptake of N, P, and K in
monocultural pattern has the higher nutrient uptake than soybean in agroforestry
pattern. Variety Tanggamus, Anjasmoro, and Wilis on monoculturural plot has
better growth and production than variety of Grobogan. Production per hectar of
Variety of Tanggamus and Wilis in this study exceeds mean of production per
hectar in description, while mean production per hectar of Variety of Grobogan
and Anjasmoro is less than mean production in description. It shows that Variety
of Tanggamus and Wilis have tolerancy toward environmental condition that
presented on study area. Using of some varieties of soybean on sentang
agroforestry one year old produce same production with production in
monocultural pattern.
Key words: agroforestry, tree dimension, sentang (Azadirachta excelsa Jack.),
soybean (Glycine max (L.) Merril)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika
DIMENSI POHON SENTANG (Azadirachta excelsa Jack.) DAN
PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merril) DI DALAM
SISTEM AGROFORESTRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
SUCI RATNA PURI
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Judul Tesis Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri
Nama NIM
Suci Ratna Puri E451130071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua
� Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
�i� ProfDr Ir Sri Wilarso Budi R, MS
Tanggal Ujian: 22 Januari 2016
-�IJ�{����-�k.Q��h Pascasarjana � . .r::�'�)<(.��.:.�--�:��� ; �.�.q ·�,��-�
r,.,..." , ..._ 0 y- • ";? / , ��,. \,. •
1\{5���!})�) \\ ;:. "'. f· · . ..., ii \ /{� ... ·� '•· ·' \.\. .. , cA. '=-": •
··<�:::�����: .�����·;. Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus: 2 4 FE 8 20 iS
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas rahmatNya hingga
tesis yang berjudul “Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan
Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri” dapat
diselesaikan. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi besar
Muhammad Sallallahu’ alaihi wa salam.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan
kepada Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dan Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
selaku komisi pembimbing, atas arahan dan bimbingannya. Ucapan terima kasih
dan penghargaan juga kami sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan Dikti kepada penulis
untuk tahun anggaran 2013-2015 (lampiran surat Dikti No.2460/E4.4/2013).
Terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan di Laboratorium
Mikoriza, Departemen Silvikultur (Sri Muryati, SP; Sri Astuti, SP; Rajjitha
Handayani, SP; Tri Wahida, SP; Lily Novianty, S.Pd; Hutami Indah Pertiwi, SP;
Laswi Irmayanti, S.Hut, MSi dan Fransisca YR Luturmas, S.Hut) dan seluruh
teman-teman Silvikultur yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih
atas bantuan dan dukungannya. Terimakasih kepada: Sopto Darmawan, S.Hut;
Adisti Permatasari Hartoyo, S.Hut, MSi; Ida Rosita, S.Hut; Jenny Rumondang,
S.Hut; Asep Hendra Supriatna, S.Hut; Latif Al Anshary, S.Hut; Nofika Senjaya,
S.Hut; Rince Muryunika, SP, MSi yang telah membantu penulis dalam
pengumpulan sampel penelitian di lapangan. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada bapak, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih
sayangnya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung selama perencanaan dan
pelaksanaan penelitian, sampai tesis ini dapat diselesaikan. Semoga Allah
memberi balasan yang berlipat. Aamiin.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun
penulis selalu berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
dan para pembaca.
Bogor, Februari 2016
Suci Ratna Puri
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
METODE 3
Waktu dan Tempat Penelitian 3
Alat dan Bahan 3
Prosedur Penelitian 5
Analisis Data 9
HASIL PENELITIAN 9
Kondisi Umum 13
Dimensi Sentang 14
Respon Fisiologi Kedelai 14
Pertumbuhan Kedelai 16
Produksi Kedelai 18
PEMBAHASAN PENELITIAN 21
Dimensi Sentang 21
Respon Fisiologi Kedelai 22
Pertumbuhan Kedelai 24
Produksi Kedelai 26
SIMPULAN DAN SARAN 29
Simpulan 29
Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 30
LAMPIRAN 37
RIWAYAT HIDUP 51
DAFTAR TABEL
1 Hasil analisis tanah awal pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai 10
2 Pertambahan dimensi sentang pada plot monokultur dan agroforestri 14
3 Perbandingan kandungan klorofil tanaman kedelai pada pola tanam
agroforestri dan monokultur 14
4 Perbandingan serapan hara tanaman kedelai pada pola tanam
agroforestri dan monokultur 15
5 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang
diberikan perlakuan pola tanam dan varietas 16
6 Pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan kedelai 17
7 Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai 18
8 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan
perlakuan pola tanam dan varietas 19
9 Pengaruh pola tanam terhadap produksi kedelai 19
10 Pengaruh varietas terhadap produksi kedelai 20
11 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai 20
12 Perbandingan hasil kedelai per ha 21
DAFTAR GAMBAR
1 Penanaman kedelai: Agroforestri dengan sentang dan monokultur kedelai 9
2 Intensitas cahaya pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai 11
3 Suhu dan kelembaban pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai 11
4 Curah hujan pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai 11
5 Hama kedelai pada fase vegetatif 12
6 Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif 13
7 Kandungan klorofil daun kedelai pada berbagai varietas kedelai 15
8 Serapan hara kedelai pada berbagai varietas 15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengamatan aspek biofisik, dimensi pohon sentang dan peubah vegetatif
serta generatif tanaman kedelai 37
2 Desain plot agroforestri dan monokultur 38
3 Hasil analisis tanah akhir pada lahan agroforestri dan monokultur kedelai 40
4 Deskripsi Varietas Wilis 41
5 Deskripsi Varietas Grobogan 42
6 Deskripsi Varietas Anjasmoro 43
7 Deskripsi Varietas Tanggamus 44
8 Data curah hujan harian di Dramaga Bogor bulan Februari-Mei 2015 45
9 Data suhu dan kelembaban harian di Dramaga Bogor bulan
Februari-Mei 2015 46
10 Data hasil pengujian kandungan klorofil dan serapan hara kedelai 47
11 Hasil analisis tanah awal pada lahan monokultur kedelai 48
12 Hasil analisis tanah awal pada lahan agroforestri sentang 49
13 Hasil analisis tanah akhir pada lahan monokultur kedelai dan
agroforestri sentang 50
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan peningkatan kebutuhan pangan,
sandang dan papan. Lahan yang memadai diperlukan dalam memenuhi semua
kebutuhan tersebut, terutama di bidang pertanian. Pengolahan lahan yang tidak
ramah lingkungan dapat mempercepat terjadinya degradasi kesuburan tanah
(Prasetyo 2004). Pembukaan hutan tropis untuk pertanian menyebabkan perluasan
lahan kritis dan marjinal sehingga diperlukan suatu sistem kehutanan dan pertanian
terpadu untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian
hutan. Sistem yang memadukan kehutanan dengan pertanian dikenal dengan
agroforestri (Kartasubrata 2003).
Huxley (1999) dan Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa dalam melakukan
pengelolaan lahan secara agroforestri perlu memperhatikan interaksi antar
komponen-komponen agroforestri seperti lingkungan abiotik, biotik dan budaya.
Tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack.) merupakan salah satu tanaman yang
dapat digunakan dalam sistem agroforestri. Tanaman sentang merupakan jenis
tanaman yang keberadaannya belum banyak diketahui dan diteliti khususnya dalam
bidang agroforestri di Indonesia. Florido dan Mesa (2001) mengemukakan bahwa
sentang merupakan jenis tanaman cepat tumbuh dan multifungsi. Jenis ini dapat
dipanen pada umur 6–7 tahun dengan rata-rata diameter 24–30 cm sehingga tanaman
ini sangat potensial sebagai alternatif pengganti kayu dari hutan alam.
Joker (2000) mengemukakan bahwa manfaat dari tanaman sentang adalah
untuk konstruksi ringan, mebel, panel dan vinir. Tunas muda dan bunganya
dikonsumsi sebagai sayuran. Seperti mimba, bijinya mengandung azadirachtin,
digunakan sebagai bioinsektisida.
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman potensial
yang dapat dikembangkan dalam sistem agroforestri. Kedelai merupakan salah satu
komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia, dan merupakan tanaman
kacang-kacangan utama yang diusahakan di dunia sebagai sumber protein nabati,
bahan baku industri, maupun bahan pakan ternak. Perkembangan kedelai sebagai
tanaman penghasil protein di Indonesia ternyata masih memerlukan penanganan
yang lebih tepat.
Produksi kedelai Indonesia dari tahun 2007 sampai tahun 2012 mengalami
peningkatan, namun mengalami penurunan pada tahun 2013. Produksi kedelai
Indonesia tahun 2013 mencapai 779.992 ribu ton atau mengalami penurunan sebesar
63.16 ribu ton (7.89%) dibandingkan tahun 2012 dengan produksi sebesar 843.15
ribu ton. Penurunan produksi ini diperkirakan terjadi karena adanya penurunan luas
panen seluas 16.83 ribu hektar (11.46%), diikuti juga dengan penurunan
produktivitas sebesar 0.69 ku/ha (4.87%) (BPS 2014). Penurunan produksi ini
tentunya dapat menyebabkan peningkatan impor kedelai di Indonesia. Indonesia
sampai saat ini menjadi salah satu negara pengimpor kedelai terbesar di dunia.
Jumlah kedelai yang diimpor setiap tahunnya rata-rata di atas 1 juta ton dari total
kebutuhan rata-rata di atas 2 juta ton. Kedelai diimpor sebagian besar berasal dari
Amerika, Argentina, Malaysia dan Brasil (BPS 2014). Swasembada kedelai,
peningkatan produksi dan luas tanaman perlu diupayakan untuk mengurangi beban
anggaran negara.
2
Penggunaan lahan tidur di bawah tegakan akan lebih mengoptimalkan
pemanfaatan lahan yang selama ini belum termanfaatkan. Kendala utama pada lahan
semacam ini adalah intensitas cahaya, suhu dan kelembaban, oleh karena itu
diperlukan upaya untuk memperoleh varietas yang berproduksi tinggi pada kondisi
demikian.
Berdasarkan keunggulan yang dimiliki dari kedua jenis tersebut, diharapkan
akan meningkatkan produktivitas sistem agroforestri, dikarenakan terjadinya
interaksi dari kombinasi kedua jenis tersebut. Penelitian tentang bagaimana
sebenarnya proses hubungan interaksi yang terjadi antar komponen penyusun
agroforestri dan produktivitas kedua jenis tanaman penyusunnya perlu dilakukan.
Perumusan Masalah
Keberadaan hutan sering terancam akibat adanya kepentingan-kepentingan
tertentu, seperti perluasan areal pertanian, illlegal logging, perambahan hutan dan
sebagainya. Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup, terutama
kebutuhan pangan menyebabkan kebutuhan lahan pertanian akan meningkat pula.
Lahan yang tersedia untuk pertanian terbatas, sehingga menimbulkan kecenderungan
masyarakat sekitar hutan membuka hutan untuk dijadikan areal budidaya pertanian,
perkebunan, pemukiman, dan lain-lain, tanpa memperhitungkan meningkatnya
ancaman akibat deforestasi dan degradasi lingkungan. Permasalahan tersebut dapat
diatasi dengan ditemukannya suatu sistem yang dapat menyeimbangkan antara
intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Salah satu sistem yang tepat yaitu
agroforestri. Sistem agroforestri mempunyai keuntungan yaitu hasil yang diperoleh
dari dua komponen yaitu tanaman pertanian dan tanaman kehutanan. Agroforestri
tanaman sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan kedelai (Glycine max (L.) Merrill)
merupakan kombinasi yang tepat karena kedua tanaman tersebut memiliki
keunggulan masing-masing. Interaksi di antara kedua tanaman tersebut diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas dari kedua komponen agroforestri tersebut.
Kendala utama pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman tumpangsari
pada lahan hutan tanaman adalah kurangnya daya adaptasi kedelai di bawah naungan
(intensitas cahaya rendah dan kesuburan tanah yang rendah), sehingga diperlukan
pengujian varietas kedelai yang mampu tumbuh dan berproduksi baik walaupun
dalam kondisi tersebut.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan berikut:
1. Bagaimana interaksi antara tanaman sentang dengan tanaman kedelai di dalam
sistem agroforestri ?
2. Bagaimana respon fisiologi berbagai varietas tanaman kedelai (Varietas
Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis) di dalam sistem agroforestri?
3. Bagaimana respon pertumbuhan dan produksi berbagai varietas tanaman
kedelai (Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis) di dalam
sistem agroforestri tanaman sentang?
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis interaksi antara tanaman sentang dengan tanaman kedelai di dalam
sistem agroforestri.
2. Menganalisis respon fisiologi berbagai varietas tanaman kedelai (Varietas
Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis).
3. Menganalisis respon pertumbuhan dan produksi berbagai varietas tanaman
kedelai (Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus dan Wilis) di dalam sistem
agroforestri tanaman sentang.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi varietas
kedelai yang mampu tumbuh dan berproduksi tinggi di dalam sistem agroforestri
tanaman sentang, dan mengetahui bagaimana interaksi yang terjadi dari kedua
komponen penyusun agroforestri tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan referensi bagi para pihak yang membutuhkan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2015 sampai Juni 2015. Lokasi
penelitian di Kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat Biofarmaka di Cikabayan
Kampus IPB Darmaga dengan luas lahan 450 m2. Agroforestri kedelai dilakukan
pada lahan yang sudah ditanami tanaman sentang yang telah berumur 1 tahun dengan
jarak tanam 2.5 m x 2.5 m.
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai
(Varietas Anjasmoro, Grobogan, Wilis, Tanggamus), kayu, bambu, paku, tali, pupuk
kandang sapi, pupuk NPK, insektisida (bahan aktif karbofuran: 3%), insektisida
(bahan aktif delta metrin 25 g/L), kapur.
Alat-alat yang digunakan adalah cangkul, golok, gembor, bor tanah, meteran
jahit, penggaris, ring tanah, timbangan, tugal, ajir (terbuat dari bambu), bening, lux
meter, kaliper, termohigrometer, label dan kamera.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan yaitu percobaan pertama untuk
mengetahui perbedaan dimensi pohon sentang pada pola agroforestri dan monokultur
sentang, sedangkan percobaan kedua bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisiologi,
pertumbuhan dan produksi kedelai pada pola agroforestri dan monokultur kedelai.
4
Percobaan 1
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan faktor
tunggal, yaitu pola tanam dengan 2 taraf dan perlakuan diulang 16 kali. Jumlah
tanaman per satuan percobaan sebanyak 1 pohon. Penentuan tanaman contoh
dilakukan secara acak. Pola tanam yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu
Monokultur sentang (So) dan Agroforestri sentang dan kedelai (S1).
Berdasarkan rancangan penelitian yang ada maka rancangan yang digunakan
adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2013):
Yij = μ + Ai + Bj + εij
Yij = nilai pengamatan pada pola tanam ke-i dan ulangan ke-j
i = pola tanam 1, 2
j = ulangan 1, 2, 3, 4,......, 16
µ = nilai rataan umum
Αi = pengaruh perlakuan pola tanam ke-i
Βj = pengaruh ulangan ke-j
εij = pengaruh acak dari pola tanam ke-j dan ulangan ke-j yang menyebar
normal
Analisis data menggunakan ANOVA pada taraf 5% untuk pengetahui
perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut BNJ taraf 5% dilakukan apabila terdapat
pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati (Steel & Torrie 1991). Data diolah
menggunakan program SAS 9.0.
Percobaan 2
Rancangan penelitian yang digunakan pada percobaan ini adalah rancangan
acak kelompok (RAK) dengan petak terbagi (split plot design) yang terdiri dari 2
faktor dan 3 ulangan. Pola tanam sebagai petak utama, yang terdiri dari pola tanam
agroforestri (S1) dan monokultur (S0). Faktor kedua yang merupakan anak petak
adalah berbagai varietas kedelai yaitu Varietas Anjasmoro (A), Varietas Grobogan
(G), Varietas Tanggamus (T) dan Varietas Wilis (W) yang keragamannya terletak di
dalam petak utama.
Percobaan ini memiliki 8 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali
sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Pengelompokkan dilakukan berdasarkan
perbedaan dalam tangkapan cahaya matahari. Ukuran petak percobaan 1.2 m x 4 m,
jarak tanam yang digunakan 40 cm x 20 cm sehingga dalam satu petak percobaan
terdiri dari 60 lubang tanam. Tanaman contoh kedelai diambil di setiap satuan petak
percobaan yang terdiri atas 10 tanaman kedelai untuk diamati, dan 2 tanaman kedelai
per perlakuan pada setiap ulangan sebagai tanaman destruktif yang diambil di bagian
tengah. Desain percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 2.
Berdasarkan rancangan penelitian yang ada maka rancangan yang digunakan
adalah sebagai berikut (Mattjik & Sumertajaya 2013):
Yijk = μ + Ai + Bj + (αβ)ij+ δik + εjk
Yijk = nilai pengamatan pada petak utama taraf ke-i, anak petak taraf ke-j
dan kelompok ke-k
i = petak utama yaitu pola tanam 1, 2
5
j = anak petak yaitu berbagai varietas 1, 2, 3, 4
k = ulangan 1, 2 dan 3
µ = nilai rataan umum
Αi = pengaruh perlakuan petak utama ke-i
Βj = pengaruh perlakuan anak petak ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan
perlakuan anak petak ke-j
Γik = komponen acak dari petak utama ke-i, kelompok ke-k yang
menyebar normal
Δjk = pengaruh acak dari anak petak ke-j, kelompok ke-k yang menyebar
normal
Analisis data menggunakan ANOVA pada taraf 5% untuk pengetahui
perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan taraf 5% dilakukan apabila terdapat
pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati (Steel & Torrie 1991). Data diolah
menggunakan program SAS 9.0.
Prosedur Penelitian
Persiapan Benih Kedelai
Benih yang digunakan adalah Varietas Anjasmoro, Grobogan, Tanggamus
dan Wilis yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Genetika Cimanggu, Bogor. Benih terlebih dahulu dicampur
dengan Rhizobium dengan dosis 40 kg/ha. Pencampuran Rhizobium dilakukan
dengan membasahi benih kedelai dengan air secukupnya, dan kemudian
dicampurkan dengan Rhizobium hingga rata melekat ke permukaan benih.
Pengolahan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan 1 minggu sebelum penanaman. Pengolahan lahan
dimulai lebih awal dengan membersihkan lahan dari sisa-sisa akar tanaman dan
semak belukar. Tanah kemudian diolah menggunakan cangkul hingga gembur dan
rata, dan diikuti penaburan kapur 1.5 ton/ha dengan tujuan menaikan pH tanah.
Ukuran petakan yang dibuat yaitu 1.2 m x 4 m dengan ketinggian petakan ± 30 cm.
Tanah yang sudah dipetakkan dicampur dengan pupuk kandang sapi dengan dosis
1000 kg/ha. Jarak antar tanaman sentang dan petakan adalah 40 cm, sedangkan jarak
antar plot dan ulangan adalah 2 m.
Penanaman
Lubang tanam dibuat sebanyak 60 lubang tanam sedalam 3–4 cm dengan
jarak tanam 40 cm x 20 cm. Benih ditanam ke dalam lubang tanam sebanyak 3 benih
per lubang tanam, yang kemudian ditaburkan insektisida (bahan aktif karbofuran:
3%) pada lubang tanam dengan dosis 20 kg/ha atau 9.6 g per petak. Lubang tanam
ditutup dengan tanah lapisan permukaan.
Pemupukan
Pupuk NPK diberikan pada waktu penanaman. Pupuk NPK yang diberikan
yaitu 75 kg/ha urea atau 36 g per petak, SP36 100 kg/ha atau 48 g per petak dan KCl
6
100 kg/ha atau 48 g per petak. Pemupukan dilakukan dalam alur di sisi kiri atau
kanan sejauh ± 10 cm, kemudian ditutup dengan tanah.
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiraman, penjarangan,
penyulaman, pembumbunan, penyiangan gulma, pemberian lanjaran serta
pengendalian hama dan penyakit. Tanaman kedelai disiram sebanyak 2 kali sehari,
jika hari hujan maka penyiraman tidak dilakukan. Penjarangan dilakukan dengan
meninggalkan satu tanaman yang terbaik dan seragam, penjarangan dilakukan
2 minggu setelah tanam.
Tanaman kedelai yang tidak tumbuh atau tumbuh abnormal diganti
(disulam). Penyulaman dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu setelah
tanam. Cara penyulaman adalah dengan menggantikan tanaman yang mati dengan
tanaman yang hidup dari petakan khusus untuk tanaman sulaman, bersamaan dengan
penyulaman tersebut dilakukan pembumbunan.
Penyiangan dilakukan 2 minggu setelah tanam dan seterusnya secara
berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan. Penyiangan gulma dilakukan secara
manual atau dengan menggunakan cangkul. Pemberian lanjaran dilakukan apabila
tanaman terlampau tinggi untuk menopang tegaknya tanaman.
Pengendalian hama dilakukan dengan penyemprotan insektisida (bahan aktif
deltametrin) dengan konsentrasi 2 mL/L, sedangkan pengendalian penyakit
dilakukan dengan menyemprotkan fungisida (bahan aktif mankozeb 80%) dengan
konsentrasi 1 g/L. Penyemprotan dilakukan dua minggu sekali dimulai sejak 2
minggu setelah tanam sampai 2 minggu sebelum panen.
Panen
Pemanenan tanaman kedelai dilakukan saat warna polong kuning kecoklatan,
batang-batangnya sudah kering, dan sebagian daun-daunnya sudah kering dan rontok
(Jufri 2006). Pemanenan dilakukan dengan cara memotong pangkal tanaman
menggunakan sabit atau parang yang tajam.
Panen dilakukan secara serempak pada pagi hari dalam kondisi cuaca cerah.
Caranya adalah dengan memotong dan mencabut batang tanaman, termasuk
daunnya. Hal tersebut guna memastikan polong kedelai sudah cukup tua atau berisi
sehingga dihasilkan biji kedelai yang berkualitas serta mengurangi kehilangan hasil
pada saat panen.
Pengukuran Dimensi Tanaman Sentang
Menurut Wijayanto dan Hidayanthi (2012) pengukuran dimensi tanaman
sentang meliputi:
1. Pengukuran tinggi (cm)
Pengukuran pertumbuhan tinggi sentang dilakukan menggunakan meteran,
tanaman sentang diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuh sentang.
Pengukuran ini dilakukan setiap 4 (empat) minggu sekali sampai minggu ke-14.
2. Pengukuran diameter batang (cm)
Penggukuran dilakukan dengan menggunakan kaliper, diameter batang diukur
pada ketinggian sekitar 30 cm di atas pangkal batang sentang. Pengukuran
diameter dilakukan setiap 4 (empat) minggu sekali sampai sampai minggu ke-14.
3. Pengukuran tajuk (cm)
7
Pengukuran dilakukan terhadap panjang dan lebar tajuk dengan menggunakan
meteran dan galah ukur pada proyeksi tajuk yang akan diamati. Pengukuran
dilakukan pada awal, pertengahan dan akhir penanaman tanaman kedelai.
4. Pengukuran akar tanaman sentang (cm)
Pengukuran dilakukan pada awal dan akhir penanaman tanaman kedelai.
Pengukuran dilakukan terhadap jumlah akar sentang yang berada pada kedalaman
0–20 cm dengan mengukur diameter setiap akar yang ditemukan menggunakan
kaliper (cm) dan busur (derajat) sebagai penanda arah akar. Penggalian akar
dilakukan tegak lurus terhadap guludan kedelai. Penggalian ini dilakukan dengan
hati-hati untuk mencegah putusnya akar. Metode penggalian dilakukan dengan
menggali di pertengahan larikan dua pohon, penggalian tersebut dihentikan ketika
ditemukan akar, apabila masih belum ditemukan akar sampai kedalaman 30 cm,
dilanjutkan menggali tanah pada jarak 25 cm ke arah kanan dan kiri, hal tersebut
dilakukan sampai dijumpai akar di dalam permukaan tanah.
Pengukuran dimensi sentang masing-masing dilakukan pada lahan agroforestri
dan monokultur sebagai pembanding yang terletak pada satu hamparan dengan plot
penelitian. Pengukuran akar dan pengukuran tajuk dilakukan dengan mengamati
pohon contoh pada masing-masing pola tanam, yaitu sebanyak 16 pohon untuk setiap
pola tanam. Pengukuran tinggi dan diameter dilakukan pada semua tanaman sentang
pada lahan agroforestri.
Pengukuran Tanaman Kedelai
Pertumbuhan Tanaman Kedelai
Susanto dan Sundari (2011) menyatakan untuk mengetahui pertumbuhan
vegetatif tanaman kedelai, variabel yang dapat diamati adalah persen tumbuh benih,
tinggi tanaman (cm), persen hidup kedelai (%), umur berbunga tanaman (HST),
umur panen tanaman (HST), bobot basah tanaman (g), bobot kering tajuk (g), bobot
kering akar (g) dan jumlah bintil akar tanaman kedelai.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik tumbuh
kedelai pada umur tanaman 2 MST setiap 1 (satu) minggu sampai umur tanaman
kedelai mencapai 7 MST (akhir masa vegetatif). Bobot basah tanaman kedelai, bobot
kering pucuk dan bobot kering akar tanaman kedelai dilakukan di akhir masa
vegetatif tanaman kedelai yaitu ± 7 MST, yang dilakukan dengan menimbang bobot
basah dan bobot kering yang ada pada tanaman contoh, sebelumnya untuk bobot
kering bagian atas dan akar tanaman contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 80 ºC
selama 2 x 24 jam.
Perhitungan jumlah bintil akar dilakukan bersamaan dengan bobot basah
tanaman kedelai, bobot kering pucuk dan bobot kering akar tanaman kedelai.
Tanaman dibongkar kemudian akar dicuci dengan air lalu dihitung jumah bintil akar
yang aktif.
Komponen hasil
Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah umur panen (HST), jumlah
cabang produktif, jumlah buku produktif, jumlah polong per tanaman, jumlah polong
berisi per tanaman, jumlah polong hampa, bobot biji per tanaman (g), bobot biji per
petak (g), bobot 100 biji (g), dan hasil per ha (ton/ha) (Iqbal et al. 2013).
Perhitungan jumlah polong per tanaman dilakukan setelah panen yaitu dengan
menghitung semua polong yang ada pada tanaman sampel pada setiap petak
8
percobaan. Hasil dari perhitungan dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil akhirnya.
Perhitungan jumlah polong berisi per tanaman dilakukan setelah panen pada
tanaman sampel dengan menghitung jumlah polong kedelai yang berisi pada
tanaman sampel. Hasil dari perhitungan dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil
akhirnya. Polong dikatakan berisi jika dalam polong sekurang-kurangnya terdapat
satu biji dan jika ditekan akan terasa keras. Bobot 100 biji ditentukan dengan cara
menimbang 100 biji kering yang telah dikeringkan di bawah sinar matahari selama
2–3 hari (kadar air ±14%). Biji diambil secara acak dari tanaman sampel sebanyak
100 biji, kemudian ditimbang beratnya. Penimbangan diulang sebanyak 3 kali
selanjutnya hasil penimbangan 100 biji dirata-ratakan.
Analisis kandungan klorofil dan hara
Analisis fisiologi tanaman kedelai terdiri atas analisis klorofil dan serapan
hara tanaman (Kisman et al. 2007). Analisis kandungan klorofil (klorofil a, klorofil
b, klorofil total) dan rasio klorofil a/b menggunakan 2 daun contoh per varietas yang
telah membuka sempurna yaitu pada umur 7 MST. Pengambilan sampel daun
dilakukan pada daun ke-3 atau ke-4 dari atas pada setiap varietas pada tanaman di
bagian tengah. Daun yang dijadikan sempel tersebut dimasukkan dalam plastik dan
disimpan ke cool box. Pengukuran kandungan klorofil dilakukan di laboratorium
RGCI (research group on crop improvement) Fakultas Pertanian IPB. Analisis
kandungan klorofil a, b dan klorofil total dilakukan menggunakan metode yang
digunakan Richardson et al. (2002) merupakan perbaikan metode yang digunakan
Arnon (1949).
Analisis kandungan hara menggunakan 3 daun contoh per perlakuan. Cara
pengambilan daun sampel untuk analisis kandungan hara sama dengan pengambilan
daun sampel pada analisis kandungan klorofil. Sampel daun tersebut dihaluskan dan
dikompositkan. Selanjutnya sampel daun yang sudah dihaluskan tersebut dianalisis
di laboratorium untuk mendapatkan kandungan haranya. Menurut Agung dan
Rahayu (2004), serapan hara dihitung dengan menggunakan rumus :
Serapan hara = bobot kering daun x kandungan hara
Pengamatan aspek biofisik, diameter batang dan perakaran sentang, peubah vegetatif
serta generatif tanaman kedelai secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1.
Data pendukung
Data pendukung meliputi analisis tanah awal (pH, KTK, kandungan nutrisi
berupa C-organik N, P tersedia, dan K) pada 2 tempat yaitu pada lahan agroforestri
dan monokultur kedelai, iklim (curah hujan, suhu, intensitas cahaya dan kelembaban)
dan pengamatan OPT (organisme pengganggu tanaman). Analisis tanah dilakukan
dengan mengambil tanah contoh melalui dua metode yaitu metode tanah terusik dan
metode utuh. Tanah contoh terusik diambil dengan menggunakan bor pada
kedalaman 0–20 cm. Tanah contoh ini yang akan digunakan untuk analisis fisik dan
kimia tanah. Tanah contoh dianalisis di Service Laboratory SEAMEO BIOTROP.
Data iklim (curah hujan) diperoleh dari BMKG unit Dramaga.
Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan tiap minggu di 2 lokasi selama
penelitian. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan tiap minggu. Pengukuran
masing-masing dilakukan pada pagi, siang dan sore hari. Pengamatan OPT dilakukan
9
A
a
B
a
dengan melihat banyaknya hama dan penyakit pada masa vegetatif dan generatif
tanaman kedelai.
Analisis Data
Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf 5% untuk
pengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut Duncan dan BNJ taraf 5%
dilakukan apabila terdapat pengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Data
diolah menggunakan program SAS 9.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kebun Pusat Penelitian Tanaman Obat Biofarmaka
di Cikabayan Kampus IPB Darmaga dengan luas lahan 450 m2. Penanaman kedelai
dilakukan pada 2 lokasi, yaitu (1) pada lahan yang sudah ditanami tanaman sentang
yang telah berumur 1 tahun dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m dan (2) lahan kosong.
Lahan yang telah ditanami pohon sentang akan dimanfaatkan untuk pola tanam
agroforestri tanaman kedelai, sedangkan lahan kosong akan dimanfaatkan dalam pola
tanam monokultur kedelai (Gambar 1).
Gambar 1 Penanaman kedelai: (A) Agroforestri dengan sentang dan (B) monokultur
kedelai
Berdasarkan data hasil pengujian sifat kimia tanah (Tabel 2) diketahui pH
tanah di lahan agroforestri dan monokultur adalah sama yaitu 4.60. Hasil ini
menunjukkan bahwa tanah tersebut bersifat masam, sedangkan pH optimum untuk
pertumbuhan kedelai adalah 5.87–7.0 (Andrianto & Indarto 2004). Pengapuran
untuk meningkatkan pH tanah dilakukan dengan menggunakan kapur sebelum tanam
dengan masa inkubasi selama satu minggu, tetapi diduga masa inkubasi kapur kurang
lama sehingga kurang dapat memperbaiki pH tanah.
Kandungan C organik pada plot agroforestri dan monokultur rendah yaitu
1.44% dan 1.54%. Kandungan C organik rendah diikuti dengan kandungan Al yang
tinggi. Kandungan Al pada plot agroforestri dan monokultur adalah 5.85 me/100g
dan 4.85 me/100g. Toleransi kemasaman tanah (pH tanah) bagi kedelai adalah 5.8–
7.0 namun pada pH 4.5 kedelai dapat tumbuh, pada pH kurang dari 5.5 pertumbuhan
sangat terhambat karena keracunan alumunium. Pertumbuhan bakteri bintil akar dan
10
proses nitrifikasi akan berjalan kurang baik pada pH kurang dari 5.5. Tanaman
kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 300–400 mm
selama musim tanam (Andrianto & Indarto 2004). Kandungan N-total, P2O5 dan K2O
berturut-turut pada plot agroforestri dan monokultur ini masuk dalam katagori
rendah-sedang (Tabel 1).
Cahaya merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman. Cahaya pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan
dengan plot agroforestri (Gambar 2). Rendahnya intensitas cahaya dapat dikarenakan
naungan atau tajuk (Ardie 2006).
Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan kedelai berkisar antara 22–27 ˚C.
Perkecambahan optimum terjadi pada suhu 30 ˚C. Periode pengisian polong suhu
harian yang baik untuk pertanaman kedelai adalah tidak melebihi 35 ˚C dengan
kelembaban nisbi yang relatif rendah (±70%). Tanaman kedelai dapat tumbuh baik
sampai ketinggian 1.500 m dpl. (Sumarno & Manshuri 2007). Lokasi penelitian
dikategorikan sebagai tempat tumbuh yang normal dan cukup baik dalam
pertanaman kedelai. Rata-rata suhu pada lokasi penelitian agroforestri dan
monokultur dalam 3 bulan pertanaman yakni 32.4 ˚C dan 34.5 ˚C, sedangkan
kelembabannya 51.3% dan 47.2% (Gambar 3). Curah hujan pada awal penanaman
yaitu pada bulan Februari sebesar 346 mm/bulan dan mengalami kenaikan pada
bulan Maret yaitu 374 mm/bulan, namun mengalami penurunan pada bulan April dan
Mei yaitu 206 mm/bulan dan 202 mm/bulan (Gambar 4).
Tabel 1 Hasil analisis tanah awal sifat kimia tanah pada lahan agroforestri sentang
dan monokultur kedelai
No Parameter Pengujian Satuan Perlakuan
Agroforestri Monokultur
1 pH H2O 4.60 4.60
2 C organik % 1.44 1.54
3 N total % 0.27 0.21
4 Rasio C/N 5.30 7.30
5 P2O5 Tersedia Ppm 5.10 4.70
6 Kation – kation
dapat ditukar
Ca cmol/kg 8.05 7.36
Mg cmol/kg 2.46 1.30
K cmol/kg 0.12 0.15
Na cmol/kg 0.21 0.20
KTK cmol/kg 23.36 20.71
KB % 46.40 43.51
7 Al-Hdd Al
3+ me/100g 5.85 4.85
H+ me/100g 1.67 2.75
8
Sebaran butir
(Tekstur 3
Fraksi)
Pasir % 36.10 21.70
Debu % 19.00 26.30
Liat % 44.90 52.00
11
Gambar 2 Intensitas cahaya pada lahan agroforestri sentang dan monokultur kedelai
Gambar 3 Suhu dan kelembaban pada lahan agroforestri sentang dan monokultur
kedelai
Gambar 4 Curah hujan per bulan pada lahan agroforestri sentang dan monokultur
kedelai (BMKG 2015)
12
Salah satu kendala dalam peningkatan produksi kedelai adalah gangguan
hama. Serangan hama pada tanaman kedelai dapat menurunkan hasil sampai 80%,
bahkan puso apabila tidak ada tindakan pengendalian (Marwoto et al. 2007).
Tanaman kedelai disukai oleh hama dan penyakit, terbukti dengan hama yang
menyerang, yakni hama dalam tanah, lalat bibit, ulat daun, hama penggerek batang,
dan hama polong kedelai.
Gambar 5 Hama kedelai pada fase vegetatif kumbang (A), semut (B), ulat
penggulung daun (C), kepik (D), ulat jengkal (E), belalang (F), ulat
grayak (G), belalang (H)
Tanaman kedelai secara alami dapat terserang oleh serangga hama selama
masa pertumbuhan dan produksi (Tengkano & Soehardjan 1993; Jackai et al. 1990).
Jackai et al. (1990) melaporkan ada 56 spesies hama tanaman kedelai. Namun hanya
sekitar 12–14 spesies yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu Ophiomyia paseoli,
E
a
G
a
A
a
C
a
E
aF
a
E
aF
a
H
aG
a
A
aB
a
A
a
B
a
C
aD
a
13
Melanagromyza sojae, Phaedonia inclusa, Bemisia tabaci, Spodoptera litura, Aphis
glycines, Melanagromyza dolichostigma, Etiella zinckenella, Nezara viridula,
Piezodorus hybneri, Riptortus linearis, dan Helicoverpa armigera (Tengkano &
Soehardjan 1993). Aphis glycines dan Bemisia tabaci, perlu mendapat perhatian lebih
karena fungsinya sebagai vektor virus utama kedelai. A. glycines menularkan
soybean mosaic virus (SMV), soybean stunt virus (SSV), peanut stripe virus (PStV),
peanut mottle virus (PMoV), bean yellow mosaic virus ( BYMV), indonesian
soybean dwaef virus (ISDV), blakaye cowpea mosaic virus (BICMV), sedangkan B.
tabaci menularkan cowpea mild mottle virus (CMMV) (Baliadi 2004).
Gambar 6 Hama dan penyakit kedelai pada fase generatif, SVM (Soybean mosaic
virus) (A), SVM (Soybean mosaic virus) (B), belalang (C), ulat
penggulung daun (D), ulat grayak (E)
Dalam penelitian ini, hama dan penyakit menyerang kedelai pada fase
vegetatif dan fase generatif. Pada fase vegetatif hama yang menyerang terdiri dari
ulat penggulung daun (Lamprosema indica), ulat jengkal (Chrysodeixis chalcites),
belalang, semut, kepik (Phiezodorus hybneri), ulat grayak (Gambar 5). Hama ulat
penggulung daun dan belalang merupakan hama dominan yang menyerang pada fase
vegetatif, hampir di semua plot terutama pada plot monokultur, sedangkan pada plot
agroforestri hanya beberapa petak saja yang terserang. Hama semut menyerang benih
kedelai yang telah ditanam sehingga benih tidak dapat tumbuh, serangan tertinggi berada
pada plot monokultur dibandingkan dengan plot agroforestri.
Hama pada fase generatif yang paling dominan adalah ulat penggulung daun,
belalang dan ulat grayak (Gambar 6). Serangan dari hama ini menyebabkan kehilangan
daun sehingga dapat menurunkan hasil dari kedelai.
HASIL
Dimensi Sentang
Berdasarkan analisis ragam terlihat bahwa perlakuan pola tanam memberikan
pengaruh yang nyata terhadap rata-rata pertambahan tinggi pohon, diameter pohon
B
a
A
a
E
aD
aC
a
14
dan kedalaman akar, namun tidak berbeda nyata pada rata-rata pertambahan diameter
tajuk, panjang dan diameter akar sentang (Tabel 2).
Respon Fisiologi Kedelai
Berdasarkan Tabel 3, kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan
monokultur dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, begitu juga dengan rasio
klorofil a/b terlihat bahwa rasio klorofil a/b pada perlakuan agroforestri lebih rendah
dengan perlakuan monokultur, namun perbedaanya tidak terlalu besar dikarenakan
penutupan tajuk pada tanaman sentang belum terlalu rapat. Berdasarkan Gambar 7
Varietas Wilis memiliki kandungan klorofil tertinggi dibandingkan dengan varietas
lainnya.
Tabel 2 Pertambahan dimensi sentang pada plot agroforestri dan monokultur
Peubah Uji F Pola tanam
Agroforestri Monokultur
Pertambahan tinggi pohon (cm)
Bulan 1 * 24.09a 20.22b
Bulan 2 * 24.03a 19.91b
Bulan 3 tn 17.47a 18.41a
Pertambahan diameter pohon (mm)
Bulan 1 ** 3.40a 2.36b
Bulan 2 tn 2.14a 2.26a
Bulan 3 tn 3.83a 4.05a
Pertambahan diameter Tajuk (cm)
Bulan 1 tn 10.48a 8.92a
Bulan 2 tn 28.13a 24.10a
Bulan 3 tn 10.18a 8.88a
Pertambahan panjang akar (cm) tn 34.66a 48.75a
Pertambahan kedalaman akar (cm) * 6.07b 9.56a
Pertambahan diameter akar (mm) tn 0.52a 0.66a
(tn) : tidak berbeda nyata; (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%; (**) : berbeda sangat nyata pada
taraf uji 1%.
Tabel 3 Perbandingan kandungan klorofil tanaman kedelai pada pola tanam
agroforestri dan monokultur
Parameter Agroforestri Monokultur
Klorofil a (mg/g) 3.05 3.19
Klorofil b (mg/g) 0.99 0.93
Antosianin (mg/100g) 0.07 0.10
Karoten (mg/g) 0.82 0.93
Total Klorofil (mg/g) 4.04 4.12
Rasio a/b 3.09 3.43
15
Gambar 7 Kandungan klorofil daun kedelai pada berbagai varietas kedelai
Tabel 4 menunjukkan bahwa serapan hara N, P dan K pada pola tanam
monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan pola tanam agroforestri.
Gambar 8 Serapan hara berbagai varietas kedelai pada pola tanam agroforestri dan
monokultur
Tabel 4 Perbandingan serapan hara tanaman kedelai pada pola tanam agroforestri
dan monokultur
Parameter Agroforestri Monokultur
N Total (g/tanaman) 15.90 17.36
P Total (g/tanaman) 0.84 1.00
K Total (g/tanaman) 6.54 6.86
16
Varietas Tanggamus memiliki serapan hara tertinggi dibandingkan dengan
varietas yang lainnya, sedangkan serapan hara N, P dan K terendah terdapat pada
Varietas Grobogan (Gambar 8).
Pertumbuhan Kedelai
Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan pola tanam dan varietas memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kedelai.
Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan pola tanam memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman (2 MST, 3 MST, 4 MST, 5 MST, 6 MST,
7 MST), umur berbunga, bobot kering akar dan jumlah bintil akar dan memberikan
pengaruh yang nyata terhadap bobot basah akar, namun tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap persentase tumbuh benih, bobot basah pucuk, bobot kering
pucuk (Tabel 5).
Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang
diberikan perlakuan pola tanam dan varietas
Peubah Pola Tanam Varietas Interaksi
KK R2 (S) (V) (SxV)
1. % Hidup tumbuh
Benih tn ** tn 9.85 0.81
2. Tinggi tanaman (cm)
2 MST ** ** tn 7.47 0.89
3 MST ** ** tn 7.63 0.91
4 MST ** ** tn 9.24 0.86
5 MST ** tn tn 11.65 0.75
6 MST ** tn tn 9.77 0.80
7 MST ** * tn 11.11 0.81
4. Umur berbunga
kedelai (HST) ** ** tn 0.81 0.99
5. Bobot basah (g)
Akar * ** tn 19.41 0.79
Pucuk tn ** tn 14.88t 0.79t
6. Bobot Kering (g)
Akar ** * tn 16.50 0.82
Pucuk tn * tn 22.43 0.75
7. Jumlah bintil akar ** tn tn 20.81t 0.61t (tn) : tidak berbeda nyata, (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**) : berbeda sangat nyata pada taraf
uji 1% ; KK : koefisien keragaman ; R2 : R kuadrat ; (t) : hasil trasformasi akar (x+0.5); MST: minggu
setelah tanam.
17
Tabel 6 Pengaruh pola tanam terhadap pertumbuhan kedelai
Peubah Pola tanam
Agroforestri Monokultur
Pertumbuhan
1. Persen tumbuh benih (%) 83.47a 87.64a
2. Tinggi tanaman (cm)
2 MST 15.46a 12.73b
3 MST 21.33a 16.30b
4 MST 30.47a 23.69b
5 MST 49.52a 38.67b
6 MST 62.80a 50.32b
7 MST 73.72a 57.83b
Panen 74.30a 58.86b
4. Umur berbunga kedelai (HST) 35.92a 35.33b
5. Bobot basah (g)
Akar 2.93b 3.71a
Pucuk 4.23a 4.41a
6. Bobot Kering (g)
Akar 1.09b 1.56a
Pucuk 6.73a 7.21a
7. Jumlah bintil akar 3.53b 4.66a Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda
Duncan).
Pengaruh yang diberikan oleh perlakuan pola tanam tertentu dapat dilihat
pada Tabel 6. Uji Duncan (Tabel 6) menunjukkan bahwa pola tanam memberikan
pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman kedelai. Pola tanam agroforestri
menyebabkan meningkatnya tinggi tanaman, bobot pucuk dan memperlambat umur
berbunga. Hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan penerimaan cahaya
matahari pada pola tanam agroforestri dan monokultur. Pola tanam agroforestri
memiliki penerimaan cahaya yang lebih sedikit dibandingkan pada pola tanam
monokultur kedelai. Hal ini menyebabkan tanaman menjadi lebih lama berbunga dan
menyebabkan tanaman kedelai tumbuh lebih tinggi agar tanaman dapat menangkap
cahaya matahari lebih banyak.
Varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase
tumbuh benih tinggi tanaman (2 MST, 3 MST, 4 MST), umur berbunga, bobot basah
akar, bobot basah pucuk dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi
tanaman 7 MST bobot kering akar dan bobot kering pucuk, namun tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman (5 MST, 6 MST) dan jumlah bintil
akar (Tabel 7). Interaksi antara perlakuan pola tanam dan varietas tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap semua parameter pertumbuhan tanaman kedelai.
18
Tabel 7 Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan kedelai
Peubah Varietas
Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis
Pertumbuhan
1. Persen tumbuh benih (%) 95.83a 69.17c 84.16b 93.06ab
2. Tinggi tanaman (cm)
2 MST 16.22a 14.84b 12.91c 12.42c
3 MST 21.85a 19.61b 17.14c 16.67c
4 MST 30.98a 27.85ab 25.07bc 24.41c
5 MST 47.17a 46.33a 42.50a 40.37a
6 MST 52.43b 61.88a 57.57ab 54.37b
7 MST 55.00b 69.91a 69.92a 68.26a
Panen 55.32b 70.46a 70.24a 70.31a
4. Umur berbunga kedelai (HST) 30.00b 37.33a 37.50a 37.67a
5. Bobot basah (g)
Akar 2.31b 3.51a 4.09a 3.36a
Pucuk 3.19b 4.51a 4.70a 4.88a
6. Bobot Kering (g)
Akar 1.07b 1.49a 1.44a 1.29ab
Pucuk 4.89b 7.76a 7.78a 7.45a
7. Jumlah bintil akar 3.78a 4.39a 4.32a 3.87a Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda
Duncan).
Produksi Kedelai
Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan pola tanam memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap umur panen kedelai dan memberikan pengaruh yang
nyata terhadap bobot 100 biji, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap jumlah buku produktif, jumlah cabang produktif, jumlah polong/tanaman,
jumlah polong isi/tanaman, jumlah polong hampa/tanaman, bobot biji/tanaman,
bobot biji/petak, hasil/ha (Tabel 8).
Varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah buku
produktif, jumlah cabang produktif, jumlah polong/tanaman, jumlah polong
isi/tanaman, bobot biji/tanaman, bobot 100 biji, bobot biji/petak, umur panen kedelai,
hasil/ha namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong
hampa/tanaman (Tabel 10).
Interaksi antara perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh
yang sangat nyata terhadap jumlah cabang produktif dan umur panen dan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah polong/tanaman dan jumlah
polong isi/tanaman, namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah
buku produktif, jumlah polong hampa/tanaman, bobot biji/tanaman, bobot 100 biji,
bobot biji/petak dan hasil/ha. Berdasarkan rataan tersebut terlihat bahwa Varietas
Tanggamus memiliki pertumbuhan dan produksi tertinggi dibandingkan dengan
varietas lainnya (Tabel 11).
19
Pengaruh yang diberikan oleh perlakuan pola tanam terhadap produksi
kedelai dapat dilihat pada Tabel 9. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pola tanam
tidak memberikan pengaruh pada produksi tanaman kedelai. Hal tersebut terjadi
karena pohon sentang umur 1 tahun belum memberikan pengaruh terhadap produksi
tanaman kedelai.
Tabel 8 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan
perlakuan pola tanam dan varietas
Peubah Pola Tanam Varietas Interaksi
KK R2 (S) (V) (SxV)
1. Jumlah buku
produktif/tanaman tn ** tn 6.13 0.97
2. Jumlah cabang
produktif tn ** ** 10.43 0.91
3. Jumlah polong/tanaman tn ** * 14 0.94
4. Jumlah polong
isi/tanaman tn ** * 14.01 0.94
5. Jumlah polong
hampa/tanaman tn tn tn
22.11t
0.54t
6. Bobot biji/tanaman (g) tn ** tn 16.47 0.85
7. Bobot 100 biji (g) * ** tn 5.53 0.98
8. Bobot biji/petak (g) tn ** tn 20.32 0.79
9. Umur panen kedelai
(HST) ** ** ** 0 1
10. Hasil (ton/ha) tn ** tn 19.77 0.79 (tn) : tidak berbeda nyata, (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%, (**) : berbeda sangat nyata pada taraf
uji 1% ; KK : koefisien keragaman; R2 : R kuadrat ; (t) : hasil trasformasi akar (x+0.5); HST: hari
setelah tanam.
Tabel 9 Pengaruh pola tanam terhadap produksi kedelai
Peubah Pola tanam
Agroforestri Monokultur
1. Jumlah buku produktif/tanaman 9.15a 9.06a
2. Jumlah cabang produktif 3.36a 3.54a
3. Jumlah polong/tanaman 78.77a 82.49a
4. Jumlah polong isi/tanaman 75.95a 78.30a
5. Jumlah polong hampa/tanaman 1.72a 2.08a
6. Bobot biji/tanaman (g) 17.47a 17.99a
7. Bobot 100 biji (g) 13.26b 14.05a
8. Bobot biji/petak (g) 757.18a 755.53a
9. Umur panen kedelai (HST) 89.50a 87.00b
10. Hasil (ton/ha) 1.65a 1.64a Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda
Duncan).
20
Pengaruh yang diberikan oleh perlakuan varietas terhadap produksi kedelai
dapat dilihat pada Tabel 10. Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap
produksi tanaman kedelai. Produksi Varietas Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis tidak
berbeda nyata terhadap. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga varietas tersebut
memiliki daya adaptasi yang baik pada perlakuan yang diberikan pada lokasi
penelitian tersebut.
Tabel 11 menunjukkan interaksi antara perlakuan pola tanam dan varietas
terhadap produksi kedelai. Pada variabel umur panen, masing-masing varietas di pola
tanam monokultur maupun agroforestri memiliki hasil yang berbeda. Varietas yang
tercepat umur panennya adalah Varietas Grobogan pada pola tanam monokultur,
sedangkan yang terlama adalah Varietas Tanggamus yang terdapat pada pola tanam
agroforestri. Pada variabel lainnya Varietas Grobogan memiliki nilai terendah
dibandingkan dengan varietas lainnya pada lahan monokultur maupun agroforestri.
Tabel 10 Pengaruh varietas terhadap produksi kedelai
Peubah Varietas
Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis
1. Jumlah buku produktif/tanaman 5.78c 8.85b 11.12a 10.67a
2. Jumlah cabang produktif 2.33c 3.47b 3.97a 4.03a
3. Jumlah polong/tanaman 33.22c 80.43b 99.77a 109.10a
4. Jumlah polong isi/tanaman 28.75c 76.98b 97.02a 105.75a
5. Jumlah polong hampa/tanaman 2.02a 2.05a 1.69a 1.85a
6. Bobot biji/tanaman (g) 10.40b 21.98a 19.35a 19.20a
7. Bobot 100 biji (g) 20.32a 14.10b 10.36c 9.82c
8. Bobot biji/petak (g) 495.09b 845.00a 742.83a 942.50a
9. Umur panen kedelai (HST) 77.50d 90.50c 93.50a 91.50b
10. Hasil (ton/ha) 1.07b 1.85a 1.63a 2.04a Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda
Duncan).
Tabel 11 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai
Peubah Pola tanam Varietas
Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis
1. Umur panen Agroforestri 78.00e 93.00b 94.00a 93.00b
kedelai (HST) Monokultur 77.00f 88.00d 93.00b 90.00c
2. Jumlah cabang Agroforestri 1.97e 3.67bc 3.47c 4.33ab
produktif Monokultur 2.70d 3.27cd 4.47a 3.73bc
3. Jumlah polong Agroforestri 29.50d 84.17bc 85.43bc 115.97a
per tanaman Monokultur 36.93d 76.70c 114.10a 102.23ab
4. Jumlah polong Agroforestri 27.37d 80.67bc 83.43bc 112.33a
isi per tanaman Monokultur 30.13d 73.30c 110.60a 99.33ab Angka-angka pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda
Duncan).
21
Pada Tabel 12 terlihat bahwa Varietas Tanggamus dan Wilis memilki hasil/ha
yang melebihi dari hasil deskripsi dari Balitkabi (2012), sedangkan Varietas
Grobogan dan Anjasmoro memiliki hasil/ha yang lebih rendah.
PEMBAHASAN
Dimensi pohon sentang
Pertambahan tinggi pohon, diameter batang dan diameter tajuk sentang pada
plot agroforestri lebih besar dibandingkan pada plot monokultur (Tabel 2), hal ini
diduga karena pemeliharaan yang diberikan pada tanaman kedelai memberikan
dampak positif terhadap pertumbuhan sentang. Hasil yang sama didapatkan pada
hasil penelitian Wibowo (2012) yaitu pemeliharaan pada tanaman semusim seperti
pemupukan, penggemburan dan penyiangan gulma secara tidak langsung berdampak
pada tanaman kehutanan pada pola agroforestri. Sentang mendapatkan serapan unsur
hara yang lebih baik karena pupuk yang diberikan untuk tanaman kedelai juga
diserap oleh sentang untuk proses pertumbuhannya. Pengolahan tanah membuat
tanah menjadi gembur sehingga akar sentang dapat berkembang dengan baik dan
mampu menyerap air dan unsur hara yang lebih tinggi. Penyiangan gulma pada lahan
agroforestri juga berdampak positif bagi sentang karena akan mengurangi adanya
kompetisi antara tanaman sentang dan gulma.
Perbedaan pertumbuhan tanaman pada masing-masing pola tanam
agroforestri juga dipengaruhi oleh adanya interaksi antar komponen tanaman.
Interaksi yang positif pada pola agroforestri akan menghasilkan peningkatan
produksi dari semua komponen tanaman yang ada pada pola tersebut dan sebaliknya
(Hairiah et al. 2002).
Luas tajuk pohon akan bertambah seiring bertambahnya diameter dan tinggi
pohon. Tajuk pohon yang rapat akan menyebabkan cahaya yang masuk ke
permukaan lahan semakin sedikit. Intensitas cahaya yang rendah tersebut akan
merugikan tanaman bawahnya tetapi juga menguntungkan untuk menjaga
kelembaban sehingga ketersediaan air akan tercukupi.
Tajuk pohon yang luas akan meningkatkan proses fotosintesis yang terjadi
pada pohon yang bersangkutan sehingga pertumbuhannya juga semakin cepat. Proses
fotosintesis akan berpengaruh terhadap pertumbuhan daerah perakaran dan bagian
pohon yang lainnya. Tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat
untuk akar, sedangkan akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi
kebutuhan tajuk (Wijayanto & Araujo 2011).
Akar merupakan bagian terpenting dari pohon untuk dapat mempertahankan
hidupnya. Akar memiliki tugas untuk memperkuat berdirinya tumbuhan, menyerap
Tabel 12 Perbandingan hasil kedelai per ha
Produktivitas (ton/ha)
Grobogan Anjasmoro Tanggamus Wilis
Agroforestri 1.15 1.86 1.47 2.12
Monokultur 1 1.84 1.79 1.96
Balitkabi (2012) 2.77 2.03 1.22 1.60
22
air dan unsur-unsur hara yang terlarut dari dalam tanah, serta sebagai tempat untuk
menimbun makanan.
Pada sistem agroforestri pengaturan sifat-sifat perakaran sangat perlu untuk
menghindari persaingan unsur hara dan air yang berasal dari dalam tanah. Sistem
perakaran yang dalam ditumpangsarikan dengan tanaman yang berakar dangkal.
Tanaman monokotil pada umumnya mempunyai sistem perakaran yang dangkal,
sedangkan tanaman dikotil umumnya mempunyai sistem perakaran yang dalam,
karena memiliki akar tunggang. Akar yang diukur pada penelitian ini merupakan
akar lateral. Akar lateral adalah cabang-cabang akar yang dihasilkan oleh akar utama
dan masih dapat bercabang lagi.
Intensitas cahaya yang sangat tinggi lebih baik bagi pertumbuhan perakaran
daripada pertumbuhan pucuk. Intensitas yang seperti ini menyebabkan transpirasi
yang berlebihan pada tumbuhan, yang mengakibatkan batang-batang menjadi
pendek, daun-daun yang tebal menjadi kecil, bertambah banyaknya jaringan-jaringan
pengangkut air, dan menurunnya pertumbuhan. Kedalaman perakaran sangat
berpengaruh pada banyaknya unsur hara dan air yang diserap, makin panjang dan
dalam akar menembus tanah, makin banyak unsur hara dan air yang dapat diserap
bila dibandingkan dengan perakaran yang pendek dan dangkal dalam waktu yang
sama. Kedalaman akar berkurang dengan bertambahnya kandungan unsur hara dan
air pada permukaan tanah (Sopandie 2014). Menurut Sitompul dan Guritno (1995)
perakaran yang dalam berhubungan dengan aktivitas akar menemukan unsur hara
dan air. Arah pergerakan akar mengikuti letak unsur hara dan air di dalam tanah.
Jumlah unsur hara dan air yang dapat diserap tanaman tergantung pada kesempatan
untuk mendapatkan unsur hara dan air tersebut di dalam tanah.
Perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata
pertambahan kedalaman akar, namun tidak berbeda nyata pada rata-rata pertambahan
panjang dan diameter akar. Rata-rata pertambahan panjang, kedalaman dan diameter
akar lateral pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan pada plot agroforestri
(Tabel 2), hal ini diduga karena kandungan unsur hara dan air tanah pada pola tanam
agroforestri lebih tinggi dibandingkan dengan monokultur. Perlakuan pemupukan
dan penyiraman yang dilakukan pada kedelai menyebabkan bertambahanya
kandungan unsur hara dan air tanah pada permukaan tanah di lahan agroforestri yang
dapat dimanfaatkan oleh akar sentang dalam memenuhi kebutuhan unsur hara dan air
pada proses pertumbuhannya. Penambahan unsur hara dan air tersebut menyebabkan
akar tidak perlu memperdalam perakarannya, dikarenakan ketersediaan unsur hara
dan air pada jangkauan akar yang lebih dangkal.
Respon Fisiologi Kedelai
Klorofil (a dan b) dihasilkan di dalam kloroplas pada jaringan daun. Klorofil
a berfungsi meneruskan cahaya ke pusat reaksi yang merubah energi cahaya menjadi
energi kimia. Klorofil b berfungsi sebagai pemanen cahaya dan meneruskan energi
ke karotenoid ke klorofil a (Salisbury & Ross 1995). Reaksi cahaya dalam
fotosintesis merupakan proses penyerapan foton energi radiasi oleh molekul-molekul
pigmen pemanen cahaya. Klorofil merupakan komponen kloroplas yang utama dan
kandungan klorofil relatif berkorelasi positif dengan laju fotosintesis (La Muhuriah
et al. 2006). Klorofil disintesis di daun dan berperan untuk menangkap cahaya
matahari yang jumlahnya berbeda untuk tiap spesies. Sintesis klorofil dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti cahaya, gula atau karbohidrat, air, temperatur, faktor
(a)
23
genetik, unsur-unsur hara seperti N, Mg, Fe, Mn, Cu, Zn, S dan O (Hendriyani &
Setiari 2009).
Tanaman kedelai merupakan tanaman yang memerlukan cahaya penuh (La
Muhuriah et al. 2006), sehingga adanya intesitas cahaya rendah menyebabkan
tanaman mengalami cekaman intensitas cahaya rendah. Adaptasi tanaman terhadap
cekaman cahaya dicapai melalui mekanisme penghindaran dengan meningkatkan
efisiensi penangkapan cahaya dan mekanisme toleran dengan menurunkan titik
kompensasi cahaya (La Muhuriah et al. 2006). Metode adaptasi tanaman sebagai
bentuk respon terhadap cekaman naungan, bervariasi dari beberapa galur/varietas
tanaman. Respon tanaman kedelai secara morfologi dapat berupa peningkatan luas
daun, ketebalan daun, dan peningkatan jumlah stomata, serta secara fisiologis
terjadinya penurunan rasio klorofil a/b (Nyngtyas 2006).
Berdasarkan Tabel 3, kandungan klorofil tertinggi terdapat pada perlakuan
monokultur dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, begitu juga dengan rasio
klorofil a/b terlihat bahwa rasio klorofil a/b pada perlakuan agroforestri lebih rendah
dengan perlakuan monokultur, namun perbedaanya tidak terlalu besar dikarenakan
penutupan tajuk pada tanaman sentang belum terlalu rapat. Berdasarkan Gambar 7
Varietas Wilis memiliki kandungan klorofil tertinggi dibandingkan dengan varietas
lainnya. Penurunan rasio klorofil a/b disebabkan oleh peningkatan klorofil b yang
lebih tinggi dibandingan dengan klorofil a, hal ini menunjukkan bahwa klorofil b
merupakan pigmen pemanen cahaya yang lebih utama dan sekitar 50% energi cahaya
ditransfer ke pusat reaksi melalui klorofil b (Croce et al. 2001). Daun yang terbentuk
pada kondisi intensitas cahaya rendah menunjukan peningkatan jumlah klorofil dan
mengandung klorofil a dan b per unit volume kloroplas empat sampai lima kali lebih
banyak dan mempunyai nisbah klorofil a/b lebih rendah dibandingkan pada tanaman
cahaya penuh karena memiliki kompleks pemanenan cahaya yang meningkat
sehingga mempertinggi efisiensi penangkapan cahaya untuk fotosintesis (Djukri &
Purwoko 2003). Peningkatan efisiensi cahaya dilakukan tanaman dengan
meningkatkan luas bidang tangkapan yang menyebabkan daun lebih tipis, dan
meningkatkan jumlah klorofil, serta menurunkan rasio klorofil a/b (Khumaida 2002;
Sopandie et al. 2003; Handayani 2003).
Berdasarkan Tabel 4, perlakuan pola tanam monokultur memiliki serapan
hara N, P dan K tertinggi dibandingkan dengan perlakuan agroforestri, namun
perbedaannya tidak terlalu besar. Berdasarkan Gambar 8, Varietas Wilis memiliki
nilai serapan hara NPK yang tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, hal ini
diduga karena adanya perbedaan perolehan cahaya matahari pada perlakuan
agroforestri dan monokultur.
Cahaya matahari mempengaruhi laju traspirasi secara tidak langsung, yaitu
melalui pembukaan stomata dan mengatur suhu udara. Suhu udara yang tinggi,
akibat intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan penguapan air dari
permukaan sel tanaman semakin tinggi. Translokasi air dan serapan N, P dan K
berjalan semakin cepat. Hal tersebut berarti cahaya matahari berfungsi sebagai
sumber energi bagi serapan hara N, P dan K oleh akar tanaman kedelai.
Pengurangan intensitas cahaya matahari akibat pemberian naungan
menyebabkan serapan hara N, P dan K serta pembentukan bobot kering tanaman dan
biji semakin rendah (Syahbuddin at al. 1998). Cahaya sangat berperan dalam
menyerapan unsur hara tanaman. Penyediaan, mobilisasi dan serapan hara tanaman
sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, suhu udara dan suhu tanah
24
(Sopandie 2014). Berkurangnya serapan hara akan mengurangi tingkat alokasi bahan
kering. Tingkat alokasi bahan kering selama pertumbuhan sangat menentukan
besarnya tingkat produksi yang dihasilkan. Bobot kering akar menunjukkan
kemampuan serapan hara tanaman. Berat kering tanaman erat hubungannya dengan
meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan dalam menyerap hara untuk
pertumbuhan dan perkembangan bagian vegetatif.
Pertumbuhan Kedelai
Pemberian perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap
tinggi tanaman (Tabel 5). Tinggi tanaman perlakuan pola tanam agroforestri lebih
tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam monokultur (Tabel 6). Hal tersebut
diduga karena adanya perbedaan penerimaan intensitas cahaya yang diterima pada
setiap plot perlakuan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Agusta dan
Santosa (2005) yang menyatakan bahwa kondisi ternaungi membuat tanaman kedelai
tumbuh lebih memanjang dibandingkan dengan pada keadaan terbuka. Tanaman
yang ternaungi umumnya akan beradaptasi dengan meningkatkan tinggi tanaman.
Peningkatan tinggi tanaman merupakan salah satu bentuk mekanisme tanaman agar
dapat menangkap cahaya dalam jumlah banyak. Hal ini berhubungan dengan
aktivitas hormon auksin dalam tumbuhan. Auksin merupakan hormon yang
menyebabkan semakin tingginya tanaman kedelai dengan meningkatnya taraf
naungan yang diberikan pada pertanamannya (Gardner et al. 1991). Sopandie et al.
(2006) menambahkan bahwa etiolasi merupakan salah satu mekanisme yang
dibangun tanaman agar dapat menangkap cahaya lebih banyak, namun peningkatan
tanaman yang berlebihan memiliki dampak negatif, yaitu tanaman menjadi mudah
rebah dan rentan terhadap penyakit.
Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman
2–4 MST dan 7 MST (Tabel 5). Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 7 dapat dilihat
bahwa pada umur 2–4 MST Varietas Grobogan memberikan hasil tinggi tanaman
yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, sedangkan pada umur tanaman
7 MST Varietas Anjasmoro memberikan hasil tinggi tanaman yang tertinggi. Nilai
tinggi tanaman 7 MST Varietas Anjasmoro ini berbeda nyata bila dibandingkan
dengan nilai tinggi tanaman 2 MST sampai panen Varietas Grobongan, namun tidak
berbeda nyata dengan Varietas Tanggamus dan Wilis. Umur 7 MST, tinggi Varietas
Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 55.32 cm,
70.46 cm, 70.24 cm dan 70.30 cm, sedangkan berdasarkan deskripsi tinggi Varietas
Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 50–60 cm,
64–68 cm, 67 cm dan ± 50 cm (Balitkabi 2012). Hasil yang diperoleh sesuai kisaran
dari deskripsi bahkan untuk Varietas Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis, hasil yang
didapatkan lebih tinggi dari deskripsi. Grobogan memiliki tinggi yang paling rendah,
hal tersebut diduga bahwa Varietas Grobogan lebih cepat berbunga dibandingkan
dengan varietas yang lainnya sehingga pertumbuhan tinggi tidak terjadi lagi.
Pemberian perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang nyata terhadap
umur berbunga tanaman (Tabel 5). Pola tanam monokultur menyebabkan tanaman
kedelai berbunga lebih cepat dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam
agroforestri. Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan penerimaan cahaya
matahari antara pola tanam monokultur dan agroforestri. Intensitas cahaya matahari
pada pola monokultur lebih tinggi dibandingkan dengan pola agroforestri. Perbedaan
intensitas cahaya tersebut mengakibatkan umur berbunga yang berbeda pula. Diduga
25
intensitas cahaya pada pola tanam agroforestri tidak sesuai untuk induksi
pembungaan sehingga munculnya bunga pada pola tanam agroforestri terjadi lebih
lama.
Pembentukan bunga sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan lamanya
penyinaran. Suhu tinggi, kelembaban rendah, dengan jumlah sinar matahari yang
jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak maka merangsang pembentukan bunga
(Adie & Krisnawati 2007). Tanaman kedelai yang ditanam pada kondisi cahaya
rendah secara umum memiliki umur berbunga yang lebih cepat. Proses pembungaan
dapat terbentuk karena adanya protein yang mudah larut (fitokrom). Intensitas
cahaya yang tinggi mengubah pigmen menjadi bentuk yang mengawali induksi
pembungaan (Karamoy 2009).
Tiap varietas memiliki umur berbunga yang berbeda (Tabel 7). Umur
berbunga yang paling pendek sampai yang paling lama secara berturut turut yaitu
Grobogan (30.00 HST), Anjasmoro (37.33 HST), Tanggamus (37.50 HST), Wilis
(37.67 HST), sedangkan berdasarkan deskripsi umur berbunga Varietas Grobogan,
Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah 30–32 HST, 35.7–
39.4 HST, 35 HST dan ± 39 HST (Balitkabi 2012). Hasil dari umur berbunga
penelitian ini sesuai kisaran dari deskripsi.
Nilai bobot basah dan kering pucuk kedelai pada pola tanam monokultur
memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam
agroforestri. Hasil ini diikuti dengan peningkatan hasil kedelai. Hal tersebut diduga
karena adanya pengaruh lingkungan seperti perbedaan penerimaan cahaya pada
masing-masing pola tanam. Hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan bobot
kering baik pucuk maupun akar pada masing-masing pola tanam. Cahaya merupakan
sumber energi penting untuk fotosintesis dan sebagai kontrol dalam berbagai proses
fisiologi tanaman. Tanaman kedelai pada pola tanam monokultur mendapat intensitas
cahaya tertinggi sehingga proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik. Hasil
fotosintesis maksimal dan ditranslokasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga
bobot kering akan tinggi. Hasan (1985) menyatakan bahwa pertambahan bobot
kering merupakan akumulasi dari fotosintat yang berakibat lansung terhadap
pembesaran dan diferensiasi sel yang dinyatakan dalam pertumbuhan tinggi,
perubahan ukuran, struktur daun serta batang tanaman.
Nilai bobot basah dan kering akar kedelai pada pola tanam monokultur
memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam
agroforestri (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh lingkungan
seperti perbedaan penerimaan cahaya pada masing-masing pola tanam. Besarnya
rata-rata radiasi matahari pada pola tanam monokultur yaitu 454.50 lux lebih tinggi
dari pola tanam agroforestri yaitu 347. 59 lux, hal tersebut menyebabkan adanya
perbedaan bobot kering baik pucuk maupun akar pada masing-masing pola tanam.
Karamoy (2009) menyatakan bahwa produksi bahan kering dipengaruhi oleh
banyaknya cahaya yang diserap oleh tanaman tersebut.
Bobot kering tanaman mencerminkan pola tanaman akumulasi produk dari
proses fotosintesis dan merupakan intergrasi dengan faktor-faktor lingkungan lainnya
(Sumarsono 2008). Hal ini menjelaskan bahwa intensitas cahaya mempengaruhi
pertambahan berat kering tanaman.
Jumlah bintil akar kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil
jumlah bintil akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pola tanam
agroforestri (Tabel 6). Hal tersebut diduga karena adanya perbedaan jumlah unsur N
26
di dalam tanah pada pola tanam monokultur dan agroforestri. Ketersediaan unsur N
di dalam tanah sangat mempengaruhi pembentukan bintil akar. Gardner et al. (1991)
menyatakan bahwa jumlah N tersedia yang tinggi di dalam tanah akan menekan
ekspresi nif, sehingga mengurangi pembintilan dan aktivitas nitrogenase. Rhizobium
dalam bintil akar dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara dan kemudian
mengubahnya ke dalam bentuk amonium (NH+
4) dengan bantuan enzim nitrogenase.
Amonium yang dihasilkan oleh Rhizobium tersebut dapat dimanfaatkan oleh
tanaman, sebaliknya bakteri Rhizobium mengambil karbohidrat, protein dan oksigen
yang dihasilkan tanaman untuk hidup dan berkembang biak (Gardner et al.1991).
Jumlah bintil akar dan bobot kering bintil akar akan mempengaruhi bobot
kering tanaman. Bintil akar yang berfungsi sebagai penambat N sudah dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan yang mengakibatkan pertumbuhan kedelai
menjadi optimal dan fotosintat yang dihasilkan banyak, sehingga mengakibatkan
banyaknya cadangan fotosintat yang digunakan untuk pertumbuhan vegetatif yang
berdampak pada tingginya bobot kering tanaman.
Bintil akar aktif yang banyak terbentuk menunjukkan tanaman semakin aktif
mengikat N bebas di tanah. Bintil akar aktif menyuplai kebutuhan nitrogen untuk
pengisian dan pemasakan polong kedelai. Bintil akar aktif yang semakin banyak
dapat meningkatkan jumlah polong isi dan biji kedelai.
Produksi Kedelai
Umur panen kedelai dan bobot 100 biji pada pola tanam agroforestri berbeda
nyata bila dibandingkan dengan perlakuan pola tanam monokultur. Hal ini diduga
karena adanya tanggap faktor genetik yang berbeda terhadap faktor lingkungan,
sehingga menunjukkan perbedaan pertumbuhan dan pemasakan buah. Umur panen
yang lama juga berhubungan dengan umur berbunga, semakin cepat tanaman
berbunga, maka semakin cepat pula umur panen dari suatu tanaman. Berdasarkan
hasil yang didapatkan pada penelitian ini pola tanam monokultur menyebabkan
tanaman berbunga lebih cepat dibandingkan pada pola tanam agroforestri. Hal inilah
yang menyebabkan kedelai pada pola tanam monokultur lebih cepat umur panennya
dibandingkan pada pola tanam agroforestri. Menurut Wirnas (2007) penambahan
umur panen dapat menurunkan bobot biji per tanaman, jumlah polong total dan
jumlah polong isi. Galur-galur kedelai toleran naungan memiliki tingkat kemasakan
polong yang berbeda. Perbedaan tingkat kemasakan polong mengakibatkan umur
panen yang berbeda pula sehingga proses pemanenan kedelai tidak dapat dilakukan
secara serempak. Kondisi kekeringan dari fase pembentukan polong sampai fase
pemasakan polong turut memberikan pengaruh terhadap umur tanaman. Hal ini
didukung oleh Suhartina dan Arsyad (2006) bahwa kekeringan pada fase reproduktif
mempercepat umur masak.
Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur panen
kedelai (Tabel 8). Tiap varietas memiliki umur panen yang berbeda (Tabel 10).
Umur panen yang paling pendek sampai yang paling lama secara berturut turut yaitu
Grobogan (77.50 HST), Anjasmoro (90.50 HST), Wilis (91.50 HST), Tanggamus
(93.50 HST), sedangkan pada deskripsi umur panen Varietas Grobogan, Anjasmoro,
Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah ± 76 HST, 82.5–92.5 HST, 88
HST dan 85–90 HST (Balitkabi 2012). Hasil dari umur panen penelitian ini sesuai
kisaran dari deskripsi.
27
Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh
yang nyata terhadap umur panen kedelai (Tabel 8). Umur panen Varietas Tanggamus
pada pola tanam agroforestri lebih lama dibandingkan dengan varietas lainnya baik
di pola tanam monokultur maupun agroforestri (Tabel 11). Umur panen tercepat
terdapat pada Varietas Grobogan pada pola tanam monokultur.
Bobot 100 butir merupakan karakter untuk mengetahui ukuran biji kedelai,
semakin besar bobot 100 butir biji kedelai maka ukuran biji kedelai juga semakin
besar. Tanaman kedelai yang tumbuh pada lingkungan ternaungi pada fase generatif
akan mengalami penurunan aktivitas fotosintesis sehingga alokasi fotosintat ke organ
reproduksi menjadi berkurang (Kakiuchi & Kobata 2004), hal ini menyebabkan
ukuran biji menjadi lebih kecil dibandingkan pada kondisi terbuka.
Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot 100 biji
kedelai (Tabel 8). Bobot 100 biji Varietas Grobogan memberikan hasil bobot 100 biji
yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya (Tabel 10). Bobot 100 biji
Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah
20.32 g, 14.10 g, 10.36 g dan 9.82 g, sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas
Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara berturut-turut adalah ± 18 g,
14.8–15.3 g, 11 g dan ± 10 g (Balitkabi 2012). Hasil dari tinggi penelitian ini sesuai
kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Grobogan, hasil yang didapatkan lebih
tinggi dari deskripsi.
Jumlah buku dan jumlah cabang produktif Varietas Tanggamus memberikan
hasil jumlah buku dan cabang produktif yang tertinggi dibandingkan dengan varietas
lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Wilis. Perbedaan jumlah buku
tiap varietas diduga karena adanya perbedaan rata-rata tinggi tanaman. Rata-rata
jumlah cabang Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis secara
berturut-turut adalah 2.33 cabang, 3.47 cabang, 3.97 cabang dan 4.03 cabang,
sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan
Wilis secara berturut-turut adalah tidak ada percabangan, 2.9–5.6 cabang , 3–4
cabang dan 3.65 cabang (Balitkabi 2012). Hasil dari jumlah cabang penelitian ini
sesuai kisaran dari deskripsi bahkan untuk Varietas Grobogan dan Tanggamus hasil
yang didapatkan lebih tinggi dari deskripsi.
Pola tanam agroforestri memiliki jumlah buku produktif yang banyak
dibandingkan dengan pola tanam monokultur, namun memiliki jumlah cabang yang
sedikit dibandingkan dengan pola tanam monokultur (Tabel 9), Sopandie et al.
(2006) menyatakan bahwa respon tanaman terhadap intensitas cahaya rendah adalah
dengan peningkatan tinggi tanaman, tetapi jumlah daun dan jumlah cabang juga akan
berkurang sebagai konsekuensi pertumbuhan tinggi tanaman yang diutamakan.
Pembentukan cabang juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Gardner et al. (1991)
menyatakan bahwa peningkatan intensitas cahaya dapat melipatgandakan
percabangan per tanaman.
Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh
yang nyata terhadap jumlah cabang produktif kedelai (Tabel 9). Jumlah cabang
produktif Varietas Tanggamus pada pola tanam monokultur memiliki nilai tertinggi
dibandingkan dengan Varietas Grobogan baik di pola tanam monokultur maupun
agroforestri, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Anjasmoro dan Wilis baik
di pola tanam monokultur maupun agroforestri (Tabel 11).
Jumlah polong total dan jumlah polong isi per tanaman Varietas Wilis
memberikan hasil jumlah polong total dan polong isi per tanaman yang tertinggi
28
dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas
Tanggamus. Hal tersebut di duga karena jumlah buku produktif, cabang produktif
dan polong isi dari Varietas Wilis memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan
varietas lainnya. Peningkatan jumlah polong total diikuti dengan meningkatnya
jumlah cabang produktif, buku produktif dan jumlah polong isi (Tabel 10).
Pola tanam monokultur memiliki jumlah polong total dan polong isi kedelai
yang banyak dibandingkan dengan pola tanam agroforestri (Tabel 9). Hasil yang
sama dari penelitian Wahyu dan Sundari (2010) bahwa varietas Wilis memiliki
jumlah polong terbanyak, hasil biji tertinggi dan dinilai sangat toleran terhadap
naungan. Penurunan jumlah polong dapat disebabkan adanya penerimaan cahaya
yang sedikit oleh tanaman yang menyebabkan berkurangnya hasil fotosintat. Kedelai
pada intensitas cahaya rendah mengalami penurunan jumlah polong per batang dan
jumlah polong berisi. Penurunan jumlah polong berisi dikarenakan tanaman tidak
mampu dalam memenuhi sink yang ada. Dari hasil penelitian ini pada variabel-
variabel yang diuji terlihat bahwa Varietas Wilis menunjukkan kemampuan yang
lebih tinggi untuk bertahan kondisi lingkungan tersebut dibandingkan dengan
varietas lainnya.
Polong isi pada penelitian ini sangat berkaitan dengan kandungan hara dan
cahaya matahari. Unsur hara dan penerimaan intensitas cahaya yang semakin
tersedia, maka semakin mendukung pembentukan bunga pada fase generatif.
Irdiawan dan Rahmi (2002) menyatakan bahwa dalam proses pengisian polong
diperlukan sinar matahari yang maksimal dan air yang cukup selama beberapa
waktu. Jika air dalam tanah terlampau banyak maka proses pengisian polong akan
terganggu. Fase pengisian polong sangat dipengaruhi oleh unsur N dan P dalam
tanah. Unsur nitrogen yang semakin tinggi akan meningkatkan proses fotosintesis
tanaman sebagai faktor utama dalam pembentukan polong dan biji. Kekurangan
nitrogen menyebabkan pertumbuhan polong yang tidak sempurna cepat masak dan
memiliki kadar protein yang tinggi. Unsur P juga sangat mempengaruhi hasil kedelai.
Kekurangan unsur P menyebabkan terlambatnya pemasakan polong dan dapat
mengurangi hasil kedelai. Jumlah polong isi pada tanaman di lingkungan yang
ternaungi menjadi lebih sedikit, yaitu berkurang sekitar 17 polong dan keadaan
tersebut terjadi karena fase generatif merupakan fase peka terhadap naungan
(Mathew et al. 2000). Hal ini terlihat bahwa serapan N, P dan K kedelai pada pola
tanam monokultur lebih tinggi dibandingkan pada pola tanam agroforestri yang
menyebabkan jumlah polong isi kedelai di pola tanam monokultur menjadi lebih
banyak dibandingkan polong isi yang dihasilkan pada pola tanam agroforestri.
Kombinasi antar perlakuan pola tanam dan varietas memberikan pengaruh
yang nyata terhadap jumlah polong isi dan jumlah polong total per tanaman kedelai
(Tabel 9). Jumlah polong isi dan polong total per tanaman Varietas Wilis pada pola
tanam agroforestri memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan Varietas Grobogan
baik di pola tanam monokultur maupun agroforestri, namun tidak berbeda nyata
dengan Varietas Anjasmoro dan Wilis baik di pola tanam monokultur maupun
agroforestri (Tabel 11).
Bobot biji per tanaman Varietas Anjasmoro memberikan hasil bobot biji per
tanaman yang tertinggi dibandingkan dengan varietas lainnya, namun tidak berbeda
nyata dengan Varietas Wilis dan Tanggamus (Tabel 10). Sedangkan pada hasil bobot
biji per petak Varietas Wilis memiliki nilai yang tertinggi dibandingkan dengan
varietas lainnya, namun tidak berbeda nyata dengan Varietas Anjasmoro dan
29
Tanggamus. Jumlah polong berisi, jumlah polong hampa dan jumlah polong total
sangat berpengaruh terhadap bobot biji per tanaman. Varietas Wilis memiliki nilai
rata-rata tertinggi pada semua indikator tersebut sehingga menyebabkan Varietas
Wilis memiliki nilai tertinggi terhadap bobot biji pertanaman yang diikuti dengan
meningkatnya bobot biji perpetak dan akan mempengaruhi hasil per ha nya (Tabel
10). Perlakuan varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil per ha
kedelai (Tabel 8). Hasil per ha Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan Wilis
secara berturut-turut adalah 1.07 ton/ha, 1.85 ton/ha, 1.63 ton/ha dan 2.04 ton/ha,
sedangkan pada deskripsi tinggi Varietas Grobogan, Anjasmoro, Tanggamus dan
Wilis secara berturut-turut adalah 2.77 ton/ha 2.03 ton/ha, 1.22 ton/ha dan 1.6 ton/ha
(Balitkabi 2012). Hasil per ha penelitian ini kurang sesuai kisaran dari deskripsi,
untuk Varietas Tanggamus dan Wilis rata-rata hasil per ha yang dihasilkan melebihi
dari rata-rata hasil/ha yang ada di deskripsi, sedangkan Varietas Grobogan dan
Anjasmoro rata-rata hasil per ha yang didapatkan lebih rendah dari rata-rata hasil
yang ada di deskripsi (Tabel 12), hal tersebut diduga Varietas Tanggamus dan Wilis
memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan yang terdapat pada lokasi penelitian.
Pola tanam monokultur memiliki bobot biji per tanaman, bobot biji per petak
dan hasil per ha yang tinggi dibandingkan dengan pola tanam agroforestri. Dari hasil
penelitian ini didapatkan bahwa terdapat keterkaitan pada masing-masing karakter
dari komponen hasil yaitu hasil kedelai dapat menurun dengan terjadinya penurunan
jumlah buku, cabang, dan polong serta dengan meningkatnya jumlah polong hampa
per tanaman (Tabel 11). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Soepandi et al.
(2006) yang menyatakan bahwa jumlah cabang, jumlah buku, jumlah polong isi,
jumlah polong total berkolerasi positif terhadap bobot biji per tanaman. Hasil kedelai
akan menurun dengan menurunnya intensitas cahaya yang diterima tanaman.
Kemampuan kedelai yang diuji dalam menghasilkan bobot biji per tanaman yang
tinggi menunjukan bahwa kedelai mampu menggunakan cahaya secara efisien untuk
pengisian biji sehingga pada kondisi tercekam masih mampu mempertahankan hasil
tetap tinggi (Asadi et al. 1997).
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pertambahan tinggi, diameter batang dan tajuk sentang pada plot agroforestri
tumbuh lebih besar dibandingkan sentang pada plot monokultur. Akar lateral pohon
sentang pada plot monokultur memiliki kedalaman yang lebih dalam dibandingkan
pada plot agroforestri.
Kedelai pada pola monokultur mengandung klorofil a, kandungan karoten
dan total klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam
agroforestri. Serapan hara N, P, dan K kedelai pada pola tanam monokultur memiliki
serapan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai pada pola tanam
agroforestri. Varietas Tanggamus, Anjasmoro, dan Wilis pada plot monokultur
memiliki pertumbuhan dan produksi yang lebih baik dibandingkan Varietas
Grobogan. Penggunaan berbagai varietas kedelai pada agroforestri tanaman sentang
umur 1 tahun menghasilkan produksi yang hampir sama dari produksi pada pola
tanam monokultur.
30
Saran
Penelitian agroforestri kedelai dan sentang perlu diuji pada jarak tanam antara
sentang dan tanaman semusim, variasi pemupukan dan pengapuran yang berbeda
sehingga dapat diperoleh produksi terbaik. Diperlukan adanya pengamatan intensitas
serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) agar hasil yang didapatkan lebih
optimal lagi.
Pengamatan terhadap hubungan kedelai dengan dimensi sentang
membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar terlihat pertumbuhan
sentang yang signifikan. Perakaran sentang diamati sampai dengan akar tersier untuk
melihat indeks persaingan antara kedelai dengan sentang.
DAFTAR PUSTAKA
Adie MM, Krisnawati A. 2007. Biologi tanaman kedelai. Di Dalam: Sumarno,
Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasi H, editor. Kedelai, Teknik Produksi dan
Pengembangan. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Agung T, Rahayu AY. 2004. Analisis efisiensi serapan N, pertumbuhan dan hasil
beberapa kultivar kedelai unggul baru dengan cekaman kekeringan dan
pemberian pupuk hayati. Agrosains 6(2):70-74.
Agusta H, Santosa I. 2005. Indeterminasi sekuensial pembungaan dan
ketidakmampuan produksi kedelai di lapang akibat penambahan cahaya
kontinu pada kondisi terbuka dan ternaungi. Bul Argon. 33(3):24-32.
Andrianto TT, Indarto N. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani: Kedelai,
Kacang Hijau, Kacang Panjang. Yogyakarta (ID): Absolut.
Ardie WS. 2006. Pengaruh intensitas cahaya dan pemupukan terhadap pertumbuhan
dan pembungaan Hoya diversifolia Blume [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Arnon DI. 1949. Cooper enzymes in isolated cloroplast, polyphenol oxidase in Beta
vulgaris. Plant Phisiol. 24:1-15.
Asadi B, Arsyad DM, Zahara H, Darmijati. 1997. Pemuliaan kedelai untuk toleran
naungan. Buletin Agrobio. 1:15-20.
[Balitkabi] Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2012.
Galur kedelai toleran naungan [internet]. [diunduh 2013 Nov 22]. Tersedia
pada: http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/info-teknologi/1329-dena-1-dan-
dena-2-calon-varietas-unggul-kedelai-toleran-naungan.html.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi padi, jagung dan kedelai. [internet].
[Diunduh 2015 Feb 3]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php.
Baliadi Y. 2004. Patogenisitas nematoda entomopatogen terhadap ulat grayak
kedelai, Spodoptera litura F. Jurnal Ilmu Pertanian Mapeta 7:59-64.
Clarkson DT. 1996. Effect of aluminium on uptake and metabolism of phosphorus
by barley seedlings. Plant Physiol. 41:165-172.
Croce R, Muller MG, Bassi R, Holzwarth AR. 2001. Carotenoid to chlorophyll
energy transfer in ecombinant major light harvesting cmplex (LHCII) of higher
plants. I. Femtosecond transient absorption measurements. Biophys J. 80:901-
915.
31
Djukri, Purwoko BS. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi
tanaman talas (Colocasia esculenta (L.) Schott). Ilmu Pertanian 10(2):17-25.
Florido, Mesa. 2001. Marango: Azadirachta excelsa (Jack) Linn. Research
Information Series on Ecosystem. 13(3):26-34.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H,
Subiyanto, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Physiology of
Crop Plants.
Hairiah K, Sardjono MA, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor (ID):
International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF).
Hairiah K, van Noordwijk M, Suprayogo D. 2002. Interaksi antara pohon-tanah-
tanaman semusim: kunci keberhasilan kegagalan dalam sistem agroforestry. Di
Dalam: Hairiah K, Widianto, Utami SR, Lusiana B, editor. Wanulcas: Model
Simulasi untuk Sistem Agroforestri. Bogor (ID): International Centre for
Research in Agroforestry. hlm 19-42.
Handayani T. 2003. Pola pewarisan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah
pada kedelai (Glycine max L. Merr) dengan penciri spesifik karakter anatomi,
morfologi dan molekuler [disertasi]. Bogor (ID): Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Hasan Z. 1985. Pengaruh naungan dan pemberian ZPT terhadap pertumbuhan bibit
tanaman cengkeh [tesis]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Hendriyani IS, Setiari N. 2009. Kandungan klorofil dan pertumbuhan kacang
panjang (Vigna sinensis) pada tingkat penyediaan air yang berbeda. J Sains &
Mat. 17(3):145-150.
Huxley P. 1999. Tropical Agroforestry. Cambridge (UK): Blackwell science.
Iqbal M, Mawarni L, Charloq. 2013. Pertumbuhan dan produksi beberapa varietas
kedelai (Glycine max (L.) Merrill) pada berbagai tingkat penaungan tahap
kedua. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(3):25-31.
Irdiawan R, Rahmi A. 2002. Pengaruh jarak tanam dan pemberian bokhasi pupuk
kandang ayam terhadap pertumbuhan dan hasil kacang tanah (Arachis hypogea
L). J Agrifor. 1(2):31-36.
Jackai LEN, Panizzi AR, Kundu GG, Srivastava K. 1990. Insect pests of soybean in
the tropics, p:91-156. In: Singh RS, editor. Insect Pests of Tropical Food
Legumes. New York (US): John Wiley & Sons.
Joker D. 2000. Azadirachta excelsa (Jack) M. Jacobs. Seed leaflet No. 13 (September
2000). Denmark (DK): Danida Forest Seed Centre.
Jufri A. 2006. Mekanisme adaptasi kedelai (Glycine max (L.) Merrill) terhadap
cekaman intensitas cahaya rendah [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Kakiuchi J, Kobata T. 2004. Shading and thinning effects on seed and shoot dry
matter increase in determinate soybean during the seed-fi lling period. Agron
J. (96):398-405.
Karamoy LT. 2009. Hubungan iklim dengan pertumbuhan kedelai (Glycine max (L.)
Merril). Soil Environment 7(1):65-68.
Kartasubrata J. 2003. Social forestry dan agroforestri di Asia. Lab. Politik Ekonomi
dan Sosial Kehutanan Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
32
Khumaida N. 2002. Studies on adaptability of soybean and upland rice to shade
stress [disertation]. Tokyo (JP): The University of Tokyo.
Kisman, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Sobir, Sopandie D. 2007. Karakter
morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya
rendah. Bul Argon. 35(2):96–102.
La Muhuria, Nyngtyas K, Khumaida N, Trikoesoemaningtyas, Sopandie D. 2006.
Adaptasi tanaman kedelai terhadap intensitas cahaya rendah: karakter daun
untuk efisiensi penangkapan cahaya. Bul Agron. 34(3):133-140 .
Marwoto. 2007. Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit
kedelai. Iptek tanaman pangan 2(1):13-18.
Marwoto, Simatupang P, Swastika D. 2005. Pengembangan kedelai dan kebijakan
penelitian di Indonesia dalam pengembangan kedelai di lahan suboptimal.
Puslitbangtan. 25(2):1-15.
Mathew JP, Herbert SJ, Zhang S, Rautenkranz AAF, Litchfi GV. 2000. Different
response of soybean yield component to the timing of light enrichment. Agron
J. 92:1156–1161.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2013. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. 2nd Ed. Bogor (ID): IPB Pr.
Novriani. 2011. Peranan Rhizobium dalam meningkatkan ketersediaan nitrogen bagi
tanaman kedelai. Agronobis. 3(5):35–42 .
Nyngtyas K. 2006. Adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah melalui
efisiensi penangkapan cahaya [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Prasetyo. 2004. Budidaya kapulaga sebagai tanaman sela pada tegakan sengon.
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 6(1):22–31.
Richardson AD, Duigan SP, Berlyn GP. 2002. An evaluation of noninvasive
methods to estimate foliar chlorophyll content. New Phytol. 153:185–194 .
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan: Biokimia Tumbuhan. Lukman
DR, Sumargono, penerjemah. Bandung (ID): ITB Press. Terjemahan dari:
Plant Physiology: Plant Biochemistry.
Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta (ID):
UGM Press.
Sopandie D. 2014. Fisiologi Adaptasi Tanaman Terhadap Cekaman Abiotik Pada
Agroekosistem Tropika. Bogor (ID): IPB Press.
Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumajo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003. Toleransi
terhadap naungan pada padi gogo. Hayati 10:71–75.
Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida N. 2006. Fisiologi, genetik, dan
molekuler adaptasi terhadap intensitas cahaya rendah: Pengembangan varietas
unggul kedelai sebagai tanaman sela [Laporan Akhir Penelitian Hibah
Penelitian Tim Pasca Sarjana Angkatan II]. Bogor (ID): Lembaga Penelitian
dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor.
Steel GR, Torrie JH. 1991. Principles and procedure on statistics. Mc. Graw-Hill
Int. New York (US): Book Co.
Suhartina, Arsyad DA. 2006. Toleransi galur dan varietas kedelai terhadap cekaman
kekeringan. Di Dalam: Suharsono, Makarim AK, Rahmianna AA, Adie MM,
Taufik A, Rozi F, Tastra IK, Harnowo D, editor. Peningkatan Produksi
Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Bogor
(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
33
Sumarsono S. 2008. Analisis kuantitatif pertumbuhan tanaman kedelai [Project
Report]. Semarang (ID): Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro.
Susanto GW, Sundari T. 2011. Perubahan karakter agronomi aksesi plasma nutfah
kedelai di lingkungan ternaungi. J Agron Indonesia. 39(1):1-6.
Sumarno, Manshuri AG. 2007. Persyaratan tumbuh dan wilayah produksi kedelai di
Indonesia. Di Dalam: Sumarno, Suyamto, Widjono A, Hermanto, Kasi H,
editor. Kedelai, Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor (ID): Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Syahbuddin HY, Apriyana N, Heriyani, Darmijati, Irsal L. 1998. Serapan hara
nitrogen, posfor dan kalium tanaman kedelai (Glycine max L. Merill) di rumah
kaca pada tiga taraf intensitas radiasi surya dan kadar air tanah latosol. Jurnal
Tanah dan Iklim Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
59(2):20-28.
Tengkano W, Soehardjan M. 1993. Jenis hama utama pada berbagai fase
pertumbuhan tanaman kedelai. Di dalam: Somaatmadja S, Ismunadji M,
Sumarno, Syam M, Manurung SO, dan Yuswadi, editor. Risalah Hasil
Penelitian Tanaman Pangan. Bogor (ID): Puslitbangtan.
Wahyu G, Sundari T. 2010. Penampilan Varietas Unggul Kedelai di Lingkungan
Naungan Buatan. Malang (ID): Balitkabi.
Wibowo AR, 2012. Agroforestri sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan sorgum
(Sorghum bicolor L. Moench) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana,
Insitut Pertanian Bogor.
Wijayanto N, Araujo JD. 2011. Pertumbuhan tanaman pokok cendana (Santalaum
album Linn.) pada sistem agroforestri di Desa Sanirin, Kecamatan Balibo,
Kabupaten Bobonaro, Timor Leste. J Silvikultur Tropika 2(1):119–123.
Wijayanto N, Hidayanthi D. 2012. Dimensi dan sistem perakaran tanaman sentang
(Melia excelsa Jack) di lahan agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika 3(3):196–
202.
Wirnas D. 2007. Pemilihan karakter seleksi berdasarkan analisis biometrik dan
molekuler untuk merakit kedelai toleran intensitas cahaya rendah [disertasi].
Bogor (ID): Sekolah Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor.
34
35
LAMPIRAN
36
37
Lampiran 1 Pengamatan aspek biofisik, diameter batang dan perakaran sentang,
peubah vegetatif serta generatif tanaman kedelai
No. Peubah Satuan Waktu
pengamatan
Keterangan
Aspek biofisik
1. Analisis tanah - Sebelum dan
sesudah tanam
kedelai
Sampel tanah diambil pada lokasi
ternaungi dan terbuka
2. Suhu lingkungan 0C Tiap minggu -
3. Kelembaban % Tiap minggu -
4. Kemiringan % Sebelum tanam
kedelai
-
5. Latitude - Sebelum tanam
kedelai
-
6. Intensitas cahaya lux 1 kali dalam
seminggu
Diukur pada pagi, siang, dan sore
hari dengan 3x pengulangan
7. Curah hujan mm/min
ggu Tiap minggu Data berasal dari BMKG Situgede,
Bogor.
Dimensi tegakan sentang
1. Diameter cm 1 kali dalam 4
minggu
Diamati pada 16 pohon di plot
monokultur dan agroforestri
2.
3.
4.
Perakaran
Tinggi
Tajuk
cm
cm
cm
Sebelum dan
setelah panen
kedelai
1 kali dalam 4
minggu
Awal,
pertengahan
dan akhir
panen kedelai
Diamati pada 16 pohon di plot
monokultur dan agroforestri
Diamati pada 16 pohon di plot
monokultur dan agroforestri
Diamati pada 16 pohon di plot
monokultur dan agroforestri
Peubah fisiologi, fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai
1. Persen tumbuh benih % 1 MST -
2. Persen hidup % Setelah panen -
3. Tinggi tanaman cm Tiap minggu 2–8 MST
4. Umur Panen HST Saat panen 70–90 HST
5. Umur berbunga kedelai HST - -
6. Bobot basah tanaman
kedelai
g 7 MST Diambil 2 tanaman per petakan
(diambil di bagian tengah)
7. Bobot kering pucuk, akar,
dan bintil akar
g 7 MST Dikeringkan dengan oven pada
suhu 80oC (2x24 jam)
8. Analisis hara daun % 7 MST N, P, K
9. Analisis klorofil daun - 7 MST Diambil daun ke 2–3 dari atas pada
tiap varietas pada petak bersih
10. Jumlah tanaman panen
petak
- Saat panen -
11. Jumlah buku produktif - Saat panen -
12. Jumlah polong isi - Saat panen -
13. Jumlah cabang produktif - Saat panen Diambil 10 tanaman (berada di
tengah petak)
14.
15.
Jumlah polong per
tanaman
Bobot 100 biji
-
g
Saat panen
Saat panen
Diambil 10 tanaman (berada di
tengah petak)
Diambil 10 tanaman (berada di
tengah petak)
16. Bobot biji kering per
tanaman
g Setelah panen Diambil 10 tanaman (berada di
tengah petak)
17. Hasil per ha g Setelah panen Rata-rata hasil per petak
18. Pengamatan OPT - - Fase vegetatif dan generatif
38
Blok I Blok II Blok III
Lampiran 2 Desain plot agroforestri dan plot monokultur
Keterangan:
: Tanaman sentang yang
diamati
: Tanaman sentang yang
diamati (dalam pengukuran
tajuk dan akar)
: Larikan kedelai
A : Kedelai varietas anjasmoro
G : Kedelai varietas grobogan
T : Kedelai varietas tanggamus
W : Kedelai varietas wilis
G T W
W A T
G A T
W A G
39
Blok I Blok II Blok III
Lanjutan Lampiran 2
Keterangan:
: Larikan kedelai
A : Kedelai varietas anjasmoro
G : Kedelai varietas grobogan
T : Kedelai varietas tanggamus
W : Kedelai varietas wilis
G T W
W A T
G A T
W A G
40
Lampiran 3 Hasil analisis tanah akhir sifat kimia tanah pada lahan agroforestri
sentang dan monokultur kedelai
No Parameter Pengujian Satuan Perlakuan
Agroforestri Monokultur
1 pH H2O 4.70 4.60
2 C organik % 1.05 1.19
3 N total % 0.16 0.17
4 Rasio C/N 7.00 7.00
5 P2O5 Tersedia Ppm 3.40 4.50
6 Kation – kation
dapat ditukar
Ca cmol/kg 4.71 4.49
Mg cmol/kg 0.37 0.25
K cmol/kg 0.17 0.18
Na cmol/kg 0.30 0.30
KTK cmol/kg 26.56 25.90
KB % 20.90 20.15
7 Al-Hdd Al
3+ me/100g 6.16 6.33
H+ me/100g 1.71 2.61
8
Sebaran butir
(Tekstur 3
Fraksi)
Pasir % 12.20 8.00
Debu % 38.70 37.40
Liat % 49.10 54.60
Keterangan : Sampel tanah dianalisis di Service Laboratory SEAMEO BIOTROP.
41
Lampiran 4 Deskripsi Varietas Wilis*
Data Deskripsi
Asal : Hasil seleksi keturunan persilangan Orba X No.
1682
Nomor Galur : B 3034
Warna hipokotil : Ungu
Warna bunga : Ungu
Warna batang : Hijau
Warna daun : Hijau tua
Warna kulit polong masak : Coklat tua
Warna biji : Kuning
Warna buIu : Coklat tua
Warna kulit biji : Kuning
Warna hilum : Coklat tua
Tipe tanaman : Determinate
Tinggi tanaman : ±50 cm
Umur berbunga : ±39 hari
Umur polong masak : 85-90 hari
Bentuk biji : Oval, agak pipih
Bobot 100 biji : ±10 g
Kandungan protein : 37.0 %
Kandungan minyak : 18.0 %
Rata-rata hasil : 1.6 t/ ha
Kerebahan : Tahan rebah
Ketahanan terhadap
penyakit
: Agak tahan karat daun dan virus
Benih penjenis : Dipertahankan di Balittan Malang dan Bogor
Pemulia : Sumarno, Darman M Arsyad, Rodiah dan Ono
Sutrisno
Tahun dan nomor SK
pelepasan
: 21 Juli 1983 TP 240 / 519 / Kpts / 7 / 1983
*Sumber : Balitkabi (2012).
42
Lampiran 5 Deskripsi Varietas Grobogan*
Data Deskripsi
Asal : Pemurnian populasi Lokal Malabar
Grobogan
Nomor Galur : -
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil : Ungu
Warna bunga : Ungu
Bentuk daun : Lanceolate
Warna daun : Hijau agak tua
Warna kulit polong masak : Coklat
Warna bulu batang : Coklat
Warna kulit biji : Kuning muda
Warna biji : Kuning
Warna hilum biji : Coklat
Tipe tanaman : Determinate
Tinggi tanaman : 50-60 cm
Umur berbunga : 30–32 hari
Umur polong masak : ±76 hari
Percabangan : -
Bobot 100 biji : ±18 g
Kandungan protein : 43.9 %
Kandungan lemak : 18.4 %
Potensi hasil : 3.4 t/ha
Rata-rata hasil : 2.77 ton/ha
Daerah sebaran : Beradaptasi baik pada beberapa kondisi
lingkungan tumbuh yang berbeda cukup
besar, pada musim hujan dan daerah
beririgasi baik.
Sifat lain : Polong masak tidak mudah pecah, dan
pada saat panen daun luruh 95–100% saat
panen >95% daunnya telah luruh
Pemulia : Suhartina, M. Muclish Adie
Pengusul : Pemerintah Daerah Kabupaten Grobogan,
BPSB Jawa Tengah, Pemerintah Daerah
Propinsi Jawa Tengah.
Tahun dan nomor SK
pelepasan
: 2008, 238/Kpts/SR.120/3/2008
*Sumber : Balitkabi (2012).
43
Lampiran 6 Deskripsi Varietas Anjasmoro*
Data Deskripsi
Asal : Seleksi massa dari populasi galur murni
Mansuria
Nomor Galur : Mansuria 395-49-4
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil : Ungu
Warna bunga : Ungu
Bentuk daun : Oval
Warna daun : Hijau
Warna kulit polong masak : Coklat Muda
Warna bulu batang : Putih
Warna kulit biji : Kuning
Warna biji : Kuning
Warna hilum biji : Kuning Kecoklatan
Tipe tanaman : Determinate
Tinggi tanaman : 64 - 68 cm
Umur berbunga : 35.7–39.4 hari
Umur polong masak : 82.5–92.5 hari
Percabangan : 2.9–5.6 cabang
Bobot 100 biji : 14.8–15.3 g
Kandungan protein : 41.8–42.1 %
Kandungan lemak : 17.2–18.6 %
Potensi hasil : 2.03–2.25 ton/ha
Rata-rata hasil : -
Daerah sebaran : Beradaptasi baik pada beberapa kondisi
lingkungan tumbuh yang berbeda cukup
besar, pada musim hujan dan daerah
beririgasi baik.
Sifat lain : Moderat terhadap karat daun, tahan rebah
dan polong masak tidak mudah pecah,
dan pada saat panen daun luruh 95–100%
saat panen >95% daunnya telah luruh
Pemulia : Takashi Sanbuichi, Nagaaki Sekiya,
Jamaluddin M., Susanto, Darman M.A.,
dan M. Muchlish Adie
Pengusul : -
Tahun dan nomor SK
pelepasan
: 2001, 537/Kpts/TP.240/10/2001
*Sumber : Balitkabi (2012).
44
Lampiran 7 Deskripsi Varietas Tanggamus*
Data Deskripsi
Asal : Hibrida (persilangan tunggal): Kerinci x
No. 3911
Nomor Galur : K3911-66
Warna hipokotil : Ungu
Warna epikotil
Warna kotiledon
:
:
Hijau
Kuning
Warna bunga : Ungu
Bentuk daun : Lanceolate
Warna daun : Hijau
Warna kulit polong masak : Coklat Muda
Warna bulu batang : Coklat
Warna kulit biji : Kuning
Warna biji : Kuning
Warna hilum biji : Coklat Tua
Tipe tanaman : Determinate
Tinggi tanaman : 67 cm
Umur berbunga : 35 hari
Umur polong masak : 88 hari
Percabangan : 3–4 cabang
Bobot 100 biji
Ukuran Biji
Bentuk Biji
:
:
:
11,0 g
Sedang
Oval
Kandungan protein : 44,5%
Kandungan lemak
Kandungan air
:
:
12,9%
6,1%
Potensi hasil : -
Rata-rata hasil : 1,22 t/ha
Daerah sebaran : Beradaptasi baik pada beberapa kondisi
lahan kering masam
Sifat lain : Moderat terhadap karat daun, tahan rebah
dan polong masak tidak mudah pecah,
dan pada saat panen daun luruh 95–100%
saat panen >95% daunnya telah luruh
Pemulia : Darman MA., M. Muchlish Adie, Heru
Kuswantoro, dan Purwantoro
Pengusul : -
Tahun dan nomor SK
pelepasan
: 2001, 536/Kpts/TP.240/10/2001
*Sumber : Balitkabi (2012).
45
Lampiran 8 Data curah hujan harian di Dramaga Bogor bulan februari-mei 2015
46
Lampiran 9 Data suhu dan kelembaban harian di Dramaga Bogor bulan februari-
mei 2015
47
Lampiran 10 Data hasil pengujian kandungan klorofil dan serapan hara kedelai
48
Lampiran 11 Hasil analisis tanah awal pada lahan monokultur kedelai
49
Lampiran 12 Hasil analisis tanah awal pada lahan agroforestri sentang
50
Lampiran 13 Hasil analisis tanah akhir pada lahan monokultur kedelai dan
agroforestri sentang
51
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 7 November 1989. Terlahir sebagai
anak kedua dari empat bersaudara di keluarga Krismar dan Uliah. Pada tahun
2007, penulis lulus dari SMA Negeri 10 Jambi. Pada tahun yang sama lulus
seleksi masuk Universitas Jambi (UNJA) jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB) pada Departemen Agronomi. Studi ini diselesaikan pada tahun
2012 dengan skripsi berjudul “Pengaruh Media Tanam terhadap Pertumbuhan
Setek Batang Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz and Pav.)” di bawah bimbingan
Ir Dede Martino, MP. Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa
Sekolah Pascasarjana IPB Program Studi Silvikultur Tropika, dan mendapatkan
beasiswa BPPDN Dikti.
Penulis menulis jurnal yang berjudul: Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta
excelsa Jack.) dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) di dalam Sistem
Agroforestri (2016) yang diterbitkan pada Jurnal Silvikultur Tropika. Penulis juga
membuat poster dengan judul: Fisiologi dan Produksi Tanaman Kedelai (Glycine
max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri Sentang (Azadirachta excelsa
Jack.) (2015) pada Seminar Nasional Agroforestri 2015, Bandung 19 November,
yang diterbitkan ke dalam Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2015.
Guna memperoleh gelar Magister Sains IPB, penulis menyelesaikan tesis
dengan judul “Dimensi Pohon Sentang (Azadirachta excelsa Jack.) dan Produksi
Kedelai (Glycine max (L.) Merril) di dalam Sistem Agroforestri)” di bawah
bimbingan Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS dan Dr Ir Arum Sekar Wulandari,
MS.