diktat kriteria perencanaan teknis dermaga.pdf

55
KRITERIA PERENCANAAN TEKNIS 1.1. DASAR PERENCANAAN Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai sebagai dasar perencanaan dalam sistem konstruksi dan material yang digunakan untuk perencanaan dermaga antara lain : Pembangunannya dapat dilaksanakan dengan metoda kerja sesederhana mungkin sehingga tanpa memerlukan peralatan khusus yang harus didatangkan dari luar negeri. Bahan-bahan yang digunakan semaksimal mungkin merupakan bahan produksi dalam negeri. Biaya pembangunan dapat ditekan seminimal mungkin tanpa mengorbankan mutu bangunan. Memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan. Perawatan dan pemeliharaan dapat dilaksanakan dengan mudah dan tanpa biaya terlalu mahal. 1.2. FAKTOR-FAKTOR PERENCANAAN Faktor-faktor perencanaan teknis adalah merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dan menjadi faktor penentu dalam penentuan dimensi desain teknis yang ada. Faktor-faktor ini berkaitan dengan keadaan fisik lokasi proyek. Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan teknis adalah sebagai berikut : 1. Kondisi Fisik a. Topografi. b. Bathimetri. c. Gelombang. d. Arus. e. Pasang surut. f. Sedimentasi. g. Meteorologi, angin, hujan, temperatur. 1

Upload: ocie-hady-lesmana

Post on 24-Nov-2015

104 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

  • KRITERIA PERENCANAAN TEKNIS

    1.1. DASAR PERENCANAAN

    Pertimbangan-pertimbangan yang dipakai sebagai dasar perencanaan dalam sistem

    konstruksi dan material yang digunakan untuk perencanaan dermaga antara lain :

    Pembangunannya dapat dilaksanakan dengan metoda kerja sesederhana mungkin

    sehingga tanpa memerlukan peralatan khusus yang harus didatangkan dari luar negeri.

    Bahan-bahan yang digunakan semaksimal mungkin merupakan bahan produksi dalam

    negeri.

    Biaya pembangunan dapat ditekan seminimal mungkin tanpa mengorbankan mutu

    bangunan.

    Memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan.

    Perawatan dan pemeliharaan dapat dilaksanakan dengan mudah dan tanpa biaya

    terlalu mahal.

    1.2. FAKTOR-FAKTOR PERENCANAAN

    Faktor-faktor perencanaan teknis adalah merupakan beberapa hal yang perlu diperhatikan

    dan menjadi faktor penentu dalam penentuan dimensi desain teknis yang ada. Faktor-faktor

    ini berkaitan dengan keadaan fisik lokasi proyek.

    Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan teknis adalah sebagai berikut :

    1. Kondisi Fisik

    a. Topografi.

    b. Bathimetri.

    c. Gelombang.

    d. Arus.

    e. Pasang surut.

    f. Sedimentasi.

    g. Meteorologi, angin, hujan, temperatur.

    1

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    h. Geologi dan mekanika tanah.

    2. Operasional Pelabuhan

    a. Dimensi kapal (panjang, lebar, draft).

    b. Manuver kapal.

    c. Lalu lintas kapal.

    d. Operasi bongkat muat.

    3. Ekonomis

    a. Jenis konstruksi.

    b. Material konstruksi.

    c. Peralatan konstruksi.

    d. Kemampuan pelaksana konstruksi.

    Secara garis besar, bagan alir perencanaan teknis dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

    2

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Mulai

    Fasilitas Laut

    AlurSub Bab 4.3

    KolamSub Bab 4.4

    DermagaSub Bab 4.5

    RevertmentSub Bab 4.6

    BangunanSub Bab 4.7

    DrainaseSub Bab 4.9

    JalanSub Bab 4.8

    Fasilitas Darat

    Ked

    alam

    anSu

    b B

    ab 4

    .3.1

    Leb

    ar A

    lur

    Sub

    Bab

    4.3

    .2

    Lua

    s K

    olam

    Sub

    Bab

    4.4

    .1

    Ked

    alam

    anSu

    b B

    ab 4

    .4.2

    Panj

    ang

    Sub

    Bab

    4.5

    .1

    Leb

    arSu

    b B

    ab 4

    .5.2

    Tin

    ggi D

    ekSu

    b B

    ab 4

    .5.3

    Geo

    met

    rik

    Sub

    Bab

    4.8

    .1

    Perk

    eras

    anSu

    b B

    ab 4

    .8.2

    Deb

    it A

    liran

    Sub

    Bab

    4.9

    .2

    Tip

    e da

    n D

    imen

    siSu

    b B

    ab 4

    .6.1

    Stru

    ktur

    Ata

    sSu

    b B

    ab 4

    .7.4

    Muk

    a A

    ir R

    enca

    naSu

    b B

    ab 3

    .3.3

    Gel

    omba

    ng R

    enca

    naSu

    b B

    ab 3

    .7.2

    Ara

    h &

    Kec

    Ang

    inSu

    b B

    ab 3

    .6.1

    Frek

    uens

    i Huj

    an R

    enca

    naSu

    b B

    ab 3

    .4.4

    .1

    Top

    ogra

    fi &

    Bat

    him

    etri

    Sub

    Bab

    3.2

    Proy

    eksi

    Pen

    gem

    bang

    anSu

    b B

    ab 5

    .2

    Kec

    epat

    an &

    Ara

    h A

    rus

    Sub

    Bab

    3.5

    Kon

    disi

    Tan

    ahSu

    b B

    ab 3

    .9

    Sedi

    men

    tasi

    Sub

    Bab

    3.8

    Hasil Analisa Data

    Perencanaan Fasilitas

    Stru

    ktur

    Baw

    ahSu

    b B

    ab 4

    .7.3

    Desain TeknisBab 6

    Selesai

    Tip

    e St

    rukt

    urSu

    b B

    ab 4

    .5.4

    Ber

    thin

    gSu

    b B

    ab 4

    .5.6

    Moo

    ring

    Sub

    Bab

    4.5

    .7

    Ana

    lisa

    Geo

    tekn

    ikSu

    b B

    ab 4

    .5.8

    Ana

    lisa

    Geo

    tekn

    ikSu

    b B

    ab 4

    .6.2

    Prog

    ram

    ET

    AB

    SSu

    b B

    ab 4

    .7.5

    Inte

    nsita

    s H

    ujan

    Ren

    cana

    Sub

    Bab

    3.4

    .4.3

    Ara

    h G

    elom

    bang

    Sub

    Bab

    3.7

    .3

    Ana

    lisa

    Stru

    ktur

    Sub

    Bab

    4.5

    .9

    Spes

    ifika

    si B

    ahan

    Sub

    Bab

    4.7

    .1

    Wak

    tu K

    onse

    ntra

    siSu

    b B

    ab 4

    .9.3

    Dae

    rah

    Peng

    alir

    anSu

    b B

    ab 4

    .9.4

    Gambar 1 Bagan Alir Perencanaan Teknis

    1.3. PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

    Alur pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke kolam pelabuhan.

    Perairan di sekitar alur harus cukup tenang terhadap pengaruh gelombang dan arus laut.

    Perencanaan alur pelayaran didasarkan ukuran kapal terbesar yang akan masuk ke kolam

    pelabuhan. Parameter bagi perencanaan kedalaman dan lebar alur adalah sebagai berikut:

    Bathimetri laut (kedalaman perairan).

    Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut).

    3

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Kondisi angin di perairan (arah dan kecepatan).

    Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan gelombang).

    Arus yang terjadi di perairan.

    Ukuran kapal rencana dan rencana manuver yang diperbolehkan.

    Jumlah lintasan kapal yang melalui alur pelayaran.

    Angka kemudahan pengontrolan kemudi kapal rencana.

    Trase (alignment) alur pelayaran dan stabilitas bahan dasar perairan.

    Koordinasi dengan fasilitas lainnya.

    Navigasi yang mudah dan aman.

    1.3.1 Kedalaman Alur

    Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi nilai rerata dari muka air surut terendah

    pada saat pasang kecil (neap tide) dalam periode panjang, yang disebut LLWL (Lowest Low

    Water Level). Kedalaman alur total adalah:

    H = d +G + R + P + S + K

    di mana:

    d = draft kapal (m)

    G = gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat (m)

    R = ruang kebebasan bersih (m)

    P = ketelitian pengukuran (m)

    S = pengendapan sedimen antara dua pengerukan (m)

    K = toleransi pengerukan (m)

    Pendekatan untuk penentuan kedalaman alur (Gambar 2) adalah:

    H = LLWL - draft kapal - clearance

    Kapal

    LWS

    Clearance

    Draft

    4

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Gambar 2 Penentuan Kedalaman Alur.

    1.3.2 Lebar Alur

    Lebar alur pelayaran dihitung dengan memakai persamaan sebagai berikut:

    1. Alur pelayaran untuk satu kapal

    Lebar = 1,5B + 1,8B + 1,5B (lihat Gambar 3)

    2. Alur pelayaran untuk dua kapal

    Lebar = 1,5B + 1,8B + C + 1,8B + 1,5B (lihat Gambar 4)

    di mana:

    B = lebar kapal (m)

    C = clearence/jarak aman antar kapal (m), diambil = B

    Untuk jelasnya, lebar alur pelayaran dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

    1,5 B

    B

    Kapal

    1,5 B1,8 B

    Gambar 3 Lebar Alur Untuk Satu Kapal.

    1,5 B

    B

    Kapal

    1,5 B1,8 B 1,8 BC

    B

    Kapal

    Gambar 4 Lebar Alur Untuk Dua Kapal.

    5

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Kemiringan lereng alur pelayaran ditentukan berdasarkan analisa stabilitas lereng yang

    harganya tergantung pada jenis material dasar perairan dan kedalaman alur.

    1.4. PERENCANAAN KOLAM PELABUHAN

    Perairan yang menampung kegiatan kapal untuk bongkar muat, berlabuh, mengisi persediaan

    dan memutar kapal dinamakan kolam pelabuhan. Parameter-parameter bagi perencanaan

    kolam pelabuhan adalah sebagai berikut :

    Bathimetri laut (kedalaman perairan).

    Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut).

    Kondisi angin di perairan (arah dan kecepatan).

    Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan gelombang).

    Arus yang terjadi di perairan.

    Ukuran kapal rencana dan rencana manuver yang diperbolehkan.

    Perairan yang relatif tenang.

    Lebar dan kedalaman perairan disesuaikan dengan kebutuhan.

    Kemudahan gerak kapal (manuver).

    Meskipun batas lokasi kolam pelabuhan sulit ditentukan secara tepat, akan tetapi biasanya

    dibatasi oleh daratan, penahan gelombang, konstruksi dermaga atau batas administratif

    pelabuhan.

    Di samping parameter-parameter yang telah dijelaskan di atas, kolam pelabuhan juga harus

    memenuhi syarat sebagai berikut :

    Cukup luas sehingga dapat menampung semua kapal yang datang berlabuh dan masih

    dapat bergerak dengan bebas.

    Cukup lebar sehingga kapal dapat melakukan manuver dengan bebas yang merupakan

    gerak melingkar yang tidak terputus.

    Cukup dalam sehingga kapal terbesar masih bisa masuk ke dalam kolam pelabuhan

    pada saat air surut.

    6

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1.4.1 Luas Kolam

    Untuk perencanaan luas kolam yang ada, kemudahan manuver kapal menjadi salah satu

    faktor yang perlu diperhatikan. Mengingat hal tersebut, maka perlu disediakan area pada

    kolam untuk dapat menampung kegiatan yang dilakukan oleh kapal mulai dari kedatangan

    sampai berangkat dengan membuat perencanaan kolam sebagai berikut:

    Perlu disediakan kolam putar untuk manuver kapal.

    Perlu adanya area bongkar muat kapal.

    Perlu disediakan area tambat terpisah dengan area bongkar.

    Dengan demikian persamaan untuk menghitung kebutuhan luas kolam pelabuhan adalah:

    A = ATR + AB + AT

    di mana:

    ATR = luas kolam putar (turning basin) (m2)

    AB = luas area bongkar muat (m2)

    AT = luas area tambat (m2)

    1.4.1.1 Kolam Putar (Turning Basin)

    Turning basin atau kolam putar diperlukan agar kapal dapat mudah berbalik arah. Luas area

    untuk perputaran kapal sangat dipengaruhi oleh ukuran kapal, sistem operasi dan jenis kapal.

    Radius kolam putar diperkirakan sebesar 1,5 kali ukuran panjang kapal maksimum sehingga

    luas kolam putar menjadi:

    ATR = pi (1,5.L)2

    di mana:

    ATR = luas kolam putar (m2)

    L = panjang kapal maksimum yang akan berlabuh di pelabuhan (m)

    1.4.1.2 Area Bongkar Muat

    Kolam pelabuhan diperlukan untuk kegiatan berlabuh untuk bongkar muatan, persiapan

    operasi (loading), dan lain sebagainya. Diperkirakan luas kolam untuk keperluan tersebut

    tidak kurang dari sebagai berikut:

    ABM = 3 (n.l.b)

    7

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    di mana:

    ABM = luas area bongkar muat yang dibutuhkan (m2)

    n = jumlah kapal berlabuh di pelabuhan

    L = panjang kapal (m)

    B = lebar kapal (m)

    1.4.1.3 Area Tambat

    Bila kolam direncanakan untuk dapat menampung kapal bertambat dengan catatan tidak

    mengganggu kegiatan bongkar muat dan manuvering kapal yang akan keluar masuk kolam

    pelabuhan, maka luas area tambat yang dibutuhkan adalah:

    AT = n.(1,5.L) x (4/3.B)

    di mana:

    L = panjang kapal (m)

    B = lebar kapal (m)

    1.4.2 Kedalaman Kolam

    Kedalaman kanal dan pelabuhan ditentukan oleh faktor-faktor draft kapal dengan muatan

    penuh, tinggi gelombang maksimum (< 50 cm), tinggi ayunan kapal (squat) dan jarak aman

    antara lunas dan dasar perairan. Komponen penentu kedalaman kolam dapat dilihat pada

    Gambar 5. Rumus untuk menghitung kedalaman kolam dapat diberikan sebagai berikut:

    D = d + S + C

    di mana:

    D = draft kapal (m)

    S = squat kapal (m)

    C = clearance/jarak aman (m)

    8

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Kapal LLWLd

    C

    SD

    Gambar 5 Komponen Penentu Kedalaman Kolam Pelabuhan.

    1.5. PERENCANAAN DERMAGA

    Dermaga berfungsi sebagai tempat membongkar muatan (unloading), memuat perbekalan

    (loading), mengisi perbekalan (servicing) dan berlabuh (idle berthing). Dasar pertimbangan

    bagi perencanaan dermaga sebagai berikut :

    Bathimetri laut (kedalaman perairan).

    Elevasi muka air rencana yang ada (hasil analisa pasang surut).

    Arah, kecepatan dan tinggi gelombang pada perairan (hasil peramalan gelombang).

    Penempatan posisi dermaga mempertimbangkan arah angin, arus dan perilaku pantai

    yang stabil.

    Panjang dermaga disesuaikan dengan kapasitas kebutuhan kapal yang akan berlabuh.

    Lebar dermaga disesuaikan dengan kapasitas kebutuhan kapal yang akan berlabuh.

    Lebar dermaga disesuaikan dengan kemudahan aktivitas dan gerak bongkar muat

    kapal dan kendaraan darat.

    Berjarak sependek mungkin dengan fasilitas darat.

    Ketinggian demaga memperhatikan kondisi pasang surut.

    1.5.1 Panjang Dermaga

    Kebutuhan panjang dermaga disesuaikan dengan kebutuhan pelabuhan. Untuk pelabuhan

    perikanan dilakukan pemisahan antara kebutuhan dermaga untuk kegiatan bongkar dan

    kegiatan tambat/muat guna mempermudah aktivitas di pelabuhan.

    9

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Perhitungan kebutuhan panjang dermaga untuk kegiatan bongkar menggunakan rumus

    sebagai berikut:

    T.U.DS.Q.L.nL

    C

    U=

    di mana:

    L = panjang kebutuhan dermaga bongkar (m)

    n = jumlah kapal yang beroperasi (unit)

    LU = panjang dermaga untuk 1 kapal (1,1 panjang kapal) (m)

    Q = jumlah hasil tangkapan rata-rata perkapal yang bongkar (ton/unit/hari)

    DC = jumlah rata-rata hari siklus penangkapan (hari)

    U = kecepatan rata-rata pembongkaran (ton/hari)

    T = waktu yang ada untuk pembongkaran per hari (jam)

    S = faktor ketidaktentuan

    Sedangkan rumus kebutuhan panjang dermaga untuk kegiatan muat adalah:

    T.DS.T.L.nL

    C

    SU=

    di mana:

    TS = waktu pelayanan yang diperlukan per kapal (jam)

    1.5.2 Lebar Dermaga

    Dalam merencanakan lebar dermaga, banyak ditentukan oleh kegunaan dari dermaga yang

    ditinjau dari jenis dan volume barang yang mungkin ditangani dermaga tersebut.

    1.5.3 Tinggi Dek/Lantai Dermaga

    Untuk Kebutuhan tinggi deck dermaga pantai disesuaikan dengan kondisi muka air rencana

    dan pasang surut daerah setempat ditambah dengan suatu angka kebebasan agar tidak terjadi

    limpasan (overtopping) pada saat keadaan gelombang.

    Rumus untuk menentukan kebutuhan tinggi dek/lantai dermaga diberikan sebagai berikut:

    H = HHWL + Hd + Freeboard

    di mana:

    10

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    H = tinggi dek dermaga dari LLWL(m)

    HHWL = tinggi muka air pada keadaan pasang tertinggi dari LLWL (m)

    Hd = tinggi gelombang maksimum di kolam pelabuhan (m)

    Freeboard = tinggi jagaan (m)

    1.5.4 Pemilihan Alternatif Struktur Dermaga

    Perencanaan struktur dermaga yang akan digunakan perlu dilakukan pertimbangan yang

    didasarkan atas beberapa aspek berikut:

    1. Aspek kegunaan sistem struktur.

    2. Aspek teknis, yang meliputi:

    a. Kekuatan sistem struktur dermaga dalam rnemikul beban rencana.

    b. Stabilitas sistem struktur dermaga yang berpengaruh baik dalam hal mungkin

    tidaknya penggunaan suatu jenis struktur maupun pelaksanaannya.

    c. Kemampuan yang menangani pelaksanaan.

    d. Waktu pelaksanaan.

    e. Material yang akan digunakan/tersedia.

    3. Aspek ke-ekonomisan struktur, yakni besar biaya yang dibutuhkan baik dalam hal

    material maupun pelaksanaan.

    Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, diharapkan akan dapat dihasilkan struktur

    dermaga yang optimum sesuai dengan yang dibutuhkan.

    1.5.5 Beban Pada Dermaga

    1.5.5.1 Beban Horizontal

    Beban horizontal dermaga terdiri dari :

    11

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1. Beban Angin dan Arus.

    a. Angin

    Rumus perhitungan muatan akibat angin adalah sebagai berikut:

    )(kg/mV61Q 22ww =

    di mana:

    Qw = beban angin (kg/m2)

    Vw = kecepatan angin (m2/dtk)

    Dengan batasan minimum beban angin adalah sebesar 40 kg/m2.

    b. Arus

    Besarnya muatan akibat arus diperhitungkan menurut ketentuan:

    Qc = air laut.Vc2

    di mana:

    Qc = beban akibat arus (kg/m2)

    air laut = massa jenis air laut = 104 kg/m3

    Vc = kecepatan arus m/dtk

    2. Beban Akibat Benturan dan Tambat Kapal

    Adanya arus dan angin akan menyebabkan timbulnya benturan antara kapal dan dermaga.

    Secara lengkap beban akibat benturan kapal akan dijelaskan pada analisa berthing dan

    mooring pada Sub Bab 1.5.6 dan Sub Bab 1.5.7 pada bagian berikut.

    3. Gaya Gempa

    Besarnya gaya gempa: F = k.w

    di mana:

    F = gaya gempa (kg/m2)

    w = beban vertikal dengan muatan hidup (kg/m2)

    k = koefisien gempa

    1.5.5.2 Beban Vertikal

    Beban vertikal yang terdapat di dermaga terdiri dari:

    12

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1. Beban Mati

    Beban mati adalah muatan yang berasal dari berat sendiri konstruksi (lantai, balok, kolom

    dan dinding) ditambah dengan berat peralatan pendukung yang ada di atas dermaga.

    2. Muatan Hidup

    Muatan hidup terpusat berasal dari roda-roda truk, crane, tambat, forklift, crane mobil dan

    sebagainya yang sedang melakukan operasi.

    1.5.6 Analisa Berthing

    Pada saat kapal akan merapat, kapal akan membentur dermaga. Benturan juga terjadi selama

    kapal merapat di dermaga untuk melakukan kegiatan bongkar muat. Gaya yang ditimbulkan

    akibat benturan antara kapal dan dermaga dikenal dengan gaya berthing. Hal yang perlu

    diperhatikan dalam analisa berthing adalah:

    Kecepatan maksimum kapal saat mendarat.

    Arah kapal saat akan merapat di dermaga.

    Kecepatan angin di lokasi.

    Kecepatan arus di lokasi.

    1.5.6.1 Energi Kinetik

    Energi kinetik efektif pada saat berthing dihitung dengan menggunakan persamaan:

    E = g2.V.W 2 .Cm.Ce.Cs.Cc

    di mana :

    E = energi kinetik yang terjadi

    Cm = koefisien massa hidrodinamik

    W = berat virtual kapal (ton)

    V = kecepatan merapat kapal (m/detik)

    Ce = koefisien eksentrisitas

    Cs = koefisien softness

    Cc = koefisien konfigurasi penambatan

    Besarnya koefisien parameter untuk perhitungan energi kinetik adalah:

    13

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1. Berat Virtual (W)

    Berat virtual kapal (W) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

    W = Wa + Wd

    di mana:

    Wd = displacement tonnage (ton)

    Wa = added weight = 0,25.pi .d2.B. air laut.(2/3) (ton)

    2. Massa Hidrodinamik (Cm)

    Merupakan koefisien yang mempengaruhi pergerakan air di sekitar kapal dihitung dengan

    menggunakan persamaan berikut:

    Bd21Cm +=

    dengan:

    d = draft kapal (m)

    B = lebar kapal (m)

    3. Eksentrisitas (Ce)

    Koefisien reduksi energi yang ditransfer ke fender pada saat titik bentur kapal tidak sejajar

    dengan pusat massa dari kapal dan dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

    22

    222

    RKcosRKCe

    +

    +=

    dengan:

    K = radius ration dari kapal (m)

    K = (0,19Cb + 0,11).LOA

    R = Jarak antara pusat massa dengan titik bentur kapal, dihitung secara geometrik

    dengan menggunakan Gambar 6 (m)

    = Sudut yang dibentuk antara titik bentur kapal dengan vektor kecepatan dan kapal dengan menggunakan Gambar 6 (derajat)

    14

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    l

    Titik Benturan

    v

    R

    Gambar 6 Kondisi Berthing Kapal.

    4. Koefisien Block (Cb)

    Dihitung dengan persamaan:

    airlaut.d.B.LOAWCb =

    air laut = massa jenis air laut (kg/m3)

    5. Koefisien Softness (Cs)

    Merupakan koefisien akibat pengaruh energi bentur yang diserap oleh lambung kapal.

    6. Koefisien Berthing (CC)

    Koefisien yang menunjukkan efek massa air yang berperangkap antara lambung kapal dan

    sisi dermaga. Nilai Cc bergantung pada jenis konstruksi dermaga (Gambar 7) yang besarnya

    sebagai berikut:

    Cc = 1,0 untuk jenis struktur dermaga dengan pondasi tiang

    0,8 < Cc < 1,0 untuk jenis struktur dermaga dengan dinding penahan

    15

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Cc = 0.8 0.9 Cc = 0.9 1

    Gambar 7 Koefisien Berthing (Cc) Sesuai Jenis Dermaga.

    1.5.6.2 Posisi Fender

    Dari perhitungan energi berthing di atas, maka dapat ditentukan jenis dan ukuran fender

    yang diperlukan. Penempatan letak fender ditentukan dari dimensi kapal terkecil yang akan

    bertambat pada saat air laut sedang surut (Gambar 8). Contoh pemasangan dapat dilihat

    pada gambar berikut ini.

    + LWS

    + 1.0 LWS

    Kapal 500 DWT Kondisi Full=load

    0.0 LWS Gambar 8 Contoh Posisi Fender Pada Dermaga.

    1.5.6.3 Jarak Antar Fender

    Dalam arah horizontal, jarak antara fender harus ditentukan sedemikan rupa sehingga dapat

    menghindari kontak langsung antara kapal dan dinding dermaga. Jarak pemasangan fender

    dalam arah horizontal dapat dilihat pada gambar di bawah.

    16

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Gambar 9 Jarak Antar Fender.

    Jarak maksimum antar fender dapat dihitung dengan persamaan berikut:

    ( )22 hrr221 di mana:

    2l = jarak antar fender (m)

    r = radius lengkung dari bow (m)

    h = tinggi dari fender pada saat energi kinetik dari kapal diserap (m)

    Radius lengkung dari bow kapal dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

    Untuk b = 100 : log (rbow) = -0,113 + 0,44 log (Wd).

    Cara lain untuk menghitung jarak maksimum antar fender juga dapat dengan rumus:

    21 = 0,15.LOA

    1.5.6.4 Kondisi Pembebanan Pada Fender

    Analisa gaya reaksi dari fender dilakukan terhadap 2 kondisi berthing sebagai berikut:

    Sudut Berthing 10

    Pada kondisi ini dianalisa gaya reaksi fender akibat berthing kapal pada kecepatan

    maksimum dengan sudut berthing ( b) = 10.

    17

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Gambar 10 Kondisi Berthing = 100.

    Sudut Berthing 0

    Pada kondisi ini dianalisa gaya reaksi masing-masing fender pada saat kapal berthing

    dengan kecepatan maksimum dan sudut berthing = 0.

    Gambar 11 Kondisi Berthing = 00.

    1.5.7 Analisa Mooring

    1.5.7.1 Gaya Tambat

    Gaya tambat (mooring) dari kapal pada prinsipnya merupakan gaya-gaya horizontal dan

    vertikal yang disebabkan oleh angin dan arus. Sistem mooring (tambat) didesain untuk dapat

    mengatasi gaya-gaya akibat kombinasi angin dan arus. Keseluruhan gaya angin dan arus

    yang terjadi dapat dimodelkan sebagai gaya-gaya dalam arah transversal dan longitudinal

    yang dikombinasikan dengan gaya momen terhadap sumbu vertikal yang bekerja di tengah

    kapal. Perhitungan gaya-gaya di atas menggunakan persamaan-persamaan berikut:

    1. Gaya Angin Transversal

    Gaya angin transversal terjadi apabila angin datang dari arah lebar ( = 900).

    FTW = 1,1.Qw.Aw

    di mana:

    QW = tekanan angin (kg/m2)

    AW = luas bagian yang tertiup angin (m2)

    18

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    2. Gaya Angin Longitudinal

    Gaya angin longitudinal dapat dibedakan atas:

    Angin datang dari arah haluan ( = 00)

    FLW = 0,42.Qw.Aw

    Angin datang dari arah buritan ( = 1800)

    FLW = 0,5.Qw.Aw

    di mana:

    QW = tekanan angin (kg/m2)

    AW = luas bagian yang tertiup angin (m2)

    3. Gaya Arus Transversal

    FTC = 0,22.QC.LOA.d.3

    3,5d1

    +

    di mana:

    Qc = tekanan arus (kg/m2)

    LOA = panjang kapal (m)

    d = draft kapal (m)

    4. Gaya Arus Longitudinal

    FLC = 0,07.QC.B.d.3

    3,5d1

    +

    di mana:

    Qc = tekanan arus (kg/m2)

    B = lebar kapal (m)

    d = draft kapal (m)

    Transfer gaya-gaya angin dan arus dilakukan dengan notasinya x, y, dan xy. Untuk lebih

    jelasnya dapat dilihat pada Gambar 12 berikut ini.

    F y

    F x

    Gambar 12 Gaya-gaya Yang Bekerja Pada Kapal.

    19

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1. Gaya longitudinal pada tengah-tengah kapal, Fx:

    Fx = FLW ( = 00) FLW ( = 1800) FLC

    2. Gaya transversal pada tengah-tengah kapal, Fy:

    Fy = FTW + FTC

    3. Momen terhadap sumbu vertikal, MXY:

    Mxy = 2

    F.LBP y

    Besarnya LBP (Length Between Perpendicular) dapat dicari dengan persamaan berikut:

    1,04LOALBP =

    1.5.7.2 Gaya Pada Tali

    Gaya pada tali/pengikat merupakan gaya reaksi akibat adanya gaya tambat yang bekerja

    pada tali-tali penahan kapal. Sistem gaya yang bekerja disederhanakan dengan mengasumsi

    bahwa gaya longitudinal yang bekerja akan ditahan oleh spring lines dan untuk gaya

    transversal oleh breasting lines.

    Tali atau pengikat kapal untuk tiap-tiap gaya yang bekerja diasurnsikan mempunyai

    karakteristik yang sama dan analisa memperhitungkan sudut-sudut yang dibentuk (Gambar

    13) antara tali dan garis sejajar dermaga. Rumus-rumus perhitungan gaya spring lines dan

    breasting lines adalah:

    1. Gaya satu tali pada breasting lines

    Fbreasting = b

    x

    cos 2.F

    2. Gaya satu tali pada spring lines

    Fspring = s

    y

    cos 2.F

    di mana:

    Fx = gaya mooring longitudinal (ton)

    Fx = gaya mooring transversal (ton)

    b = sudut breasting tali () s = sudut springl tali ()

    20

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Bollard

    Fy

    Fx

    Fy22

    Fy

    Spring LinesBreasting Breasting

    s bLinesLines

    FspringFbreasting

    Gambar 13 Kondisi Mooring Kapal.

    1.5.8 Analisa Geoteknik

    Analisa geoteknik dilakukan untuk mengecek kemampuan tanah menerima beban-beban

    pada dermaga di atasnya sekaligus merencanakan dimensi dan detail pondasi dermaga.

    Untuk maksud tersebut, diperlukan profil tanah dan parameter tanah desain yang merupakan

    hasil analisa pada Sub Bab 3.9. Analisa geoteknik yang dilakukan antara lain:

    Pengecekan daya dukung tanah (lihat Sub Bab 2.9.6).

    Pengecekan stabilitas geser (lihat Sub Bab 2.9.6).

    Pengecekan stabilitas guling (lihat Sub Bab 2.9.7).

    Pengecekan penurunan (lihat Sub Bab 2.9.4).

    1.5.9 Analisa Struktur

    Analisa struktur untuk perancangan detail struktur dermaga yang dilakukan antara lain:

    Perhitungan beban-beban yang bekerja pada dermaga.

    Perhitungan kebutuhan tulangan struktur penyusun dermaga.

    1.6. PERENCANAAN REVERTMENT

    Revertment adalah bangunan pelindung tebing pantai terhadap bahaya kelongsoran. Dasar

    pertimbangan bagi perencanaan revertmet pantai sebagai berikut :

    21

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Kondisi topografi lokasi..

    Ketinggian revertment dari dasar.

    Jenis bahan yang digunakan serta tipe revertment.

    Panjang revertment yang direncanakan.

    1.6.1 Pemilihan Alternatif Struktur Revertment

    Perencanaan struktur revertment yang akan digunakan perlu dilakukan pertimbangan yang

    didasarkan atas beberapa aspek berikut:

    1. Aspek kegunaan sistem struktur.

    2. Aspek teknis, yang meliputi:

    a. Stabilitas sistem struktur revertment yang berpengaruh baik dalam hal mungkin

    tidaknya penggunaan suatu jenis struktur maupun pelaksanaannya.

    b. Kemampuan yang menangani pelaksanaan.

    c. Waktu pelaksanaan.

    d. Material yang akan digunakan/tersedia.

    3. Aspek ke-ekonomisan struktur, yakni besar biaya yang dibutuhkan baik dalam hal

    material maupun pelaksanaan.

    Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, diharapkan akan dapat dihasilkan struktur

    revertment sesuai dengan yang direncanakan.

    1.6.2 Analisa Geoteknik

    Analisa ini dilakukan untuk mengecek kemampuan tanah menerima beban revertment di

    atasnya sekaligus merencanakan dimensi dan detail revertment. Untuk maksud tersebut,

    diperlukan profil tanah dan parameter tanah desain hasil analisa pada Sub Bab 3.9. Analisa

    geoteknik yang dilakukan antara lain:

    Pengecekan daya dukung tanah (lihat Sub Bab 2.9.6).

    Pengecekan stabilitas geser (lihat Sub Bab 2.9.6).

    Pengecekan stabilitas guling (lihat Sub Bab 2.9.7).

    22

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Pengecekan stabilitas lereng (lihat Sub Bab 2.9.5).

    1.7. PERENCANAAN BANGUNAN

    Dalam perencanaan bangunan ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:

    Faktor teknis yang meliputi: kekuatan, kekakuan, dan kestabilan struktur.

    Faktor non teknis yaitu : ekonomi.

    Hasil perencanaan tersebut adalah suatu rancang bangun (desain) yang detail dan

    menyeluruh. Desain tersebut harus merupakan sesuatu yang bisa dilaksanakan dan

    memenuhi kriteria-kriteria teknis dan non teknis agar diperoleh suatu struktur yang

    memenuhi syarat. Konstruksi bangunan yang direncanakan harus mampu menahan beban

    gravitasi dan beban lateral berupa beban angin.

    1.7.1 Spesifikasi Bahan

    Perencanaan bahan yang akan digunakan untuk tiap bangunan disesuaikan dengan fungsi

    dan kegunaan masing-masing bangunan. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam

    perencanaan bahan adalah:

    Mudah diperoleh di pasaran khususnya di Kabupaten Tasikmalaya.

    Semaksimal mungkin menggunakan potensi yang ada di sekitar lokasi.

    Pertimbangan biaya pengangkutan ke lokasi.

    Mengikuti standar bahan yang telah ditetapkan oleh instansi terkait.

    1.7.2 Pembebanan

    Kriteria pembebanan vertikal secara umum berdasarkan pedoman perencanaan pembebanan

    untuk rumah dan gedung serta berdasarkan spesifikasi produsen material. Beban-beban

    yang bekerja pada bangunan menurut pedoman yang berlaku, antara lain:

    1. Beban Mati (Dead Load)

    Berat dinding setengah bata (Wd) = 250 kg/m2

    Berat atap (Wa) = 50 kg/m2

    Gaya angin (Fa) = 40 kg/m2

    Berat beton bertulang (Wbb) = 2.400 kg/m3

    23

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Berat kayu (Wk) = 1.000 kg/m3

    Penutup atap (Wpa) = 24 kg/m2

    2. Beban Hidup (Live Load)

    Beban hidup untuk bangunan diperoleh dari peraturan perencanaan pembebanan untuk

    bangunan gedung.

    3. Beban Lateral

    Dalam analisa beban lateral, beban yang diperhitungkan adalah beban gempa. Beban angin

    tidak diperhitungkan karena dengan beban angin sebesar 40 kg/m2 diperoleh resultan beban

    angin yang lebih kecil dari beban statik ekivalen gempa. Analisa beban horizontal ini

    dilakukan secara 3 dimensi dengan menggunakan program "Etabs Versi 6. Sesuai dengan

    yang disyaratkan dalam peraturan, beban lateral/horizontal dibebankan dengan kombinasi

    sebagai berikut:

    Kombinasi 1 100% Beban gempa arah - X

    30% Beban gempa arah - Y

    Kombinasi 2 100% Beban gempa arah - Y

    30% Beban gempa arah X

    4. Kombinasi Pembebanan

    Kombinasi pembebanan didasarkan pada ketentuan dalam tata cara perhitungan struktur

    untuk bangunan adalah:

    a. Pembebanan Tetap

    U = 1,2 DL + 1,6 LL

    b. Pembebanan Sementara

    Balok (tulangan lentur) dan dinding geser

    U = 1,125 (DL + LL + EQ)

    U = 1,0125 (DL + EQ)

    Kolom dan balok ( tulangan geser)

    U = 1,125 (DL + LL) + Cap

    U = 1,0125 (DL + Cap )

    di mana:

    U = kuat rancang perlu

    DL = beban mati

    24

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    LL = beban hidup

    1.7.3 Struktur Bangunan Bawah

    1. Pemilihan Pondasi

    Elemen yang paling penting dalam perencanaan struktur bawah adalah perencanaan pondasi.

    Pondasi adalah konstruksi pada bagian dasar struktur yang berfungsl meneruskan beban dari

    atas struktur ke lapisan tanah di bawahnya. Dalam pemilihan jenis pondasi yang akan

    dipakai di lapangan, berbagai faktor harus dipertimbangkan, baik teknis, ekonomis, maupun

    lingkungan.

    2. Struktur Pondasi

    Pada bangunan, jenis pondasi yang dipilih berdasarkan pertimbangan teknis. Perhitungan

    yang dilakukan dalam desain pondasi adalah analisa daya dukung tanah.

    1.7.4 Struktur Bangunan Atas

    1. Kolom

    Dalam suatu sistem struktur, kolom adalah bagian struktur yang menahan gaya dalam arah

    aksial. Beban-beban mati maupun hidup dari atap akan disalurkan ke balok dan balok akan

    meneruskan beban tersebut ke kolom. Kolom-kolom kemudian mentransfer beban ke

    pondasi dan selanjutnya pondasi akan meneruskannya ke tanah.

    2. Balok

    Balok berfungsi menerima beban dari atap dan pelat kemudian meneruskannya ke kolom.

    1.7.5 Model Matematis Program ETABS

    Analisa struktur frame akibat pembebanan lateral (statis) dilakukan dengan program ETABS,

    sedangkan analisa struktur lantai akibat pembebanan vertikal/gravitasi dilakukan dengan

    manual dengan mengasumsikan sebagai tumpuannya menerus.

    Model matematis ETABS untuk struktur frame ditetapkan sebagai berikut:

    Struktur 3 dimensi.

    Pelat lantai diasumsikan sebagai diafragma kaku (rigid diaphragm).

    25

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Efek P - A diperhitungkan

    Satuan : kg - meter - detik

    Percepatan gravitasi : g = 9,81 m/det2

    Berat jenis beton : w = 2.400 kg/m3

    Modulus elastisitas beton : E = 2,0324E+9 kg/m2 fc = 18,7 MPa

    Poisson's ratio : = 0,15

    Pertemuan balok-kolom diperhitungkan sebagai rigid zone.

    Gaya Lateral tingkat dalam analisa statis diletakkan pada pusat massa lantai.

    1.8. PERENCANAAN JALAN

    Bagan alir perencanaan jalan dapat dilihat Gambar 14 sebagai berikut:

    26

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    A n g k a E k i v a l e n ( E )

    L i n t a s E k i v a l e nP e r m u l a a n ( L E P )

    L i n t a s E k i v a l e nA k h i r ( L E A )

    L i n t a s E k i v a l e n T e n g a h( L E T )

    L i n t a s E k i v a l e n R e n c a n a( L E R )

    D a y a D u k u n g T a n a h( D D T )

    F a k t o r R e g i o n a l( F R )

    I n d e k s P e r m u k a a n ( I P )

    I n d e k s T e b a l P e r k e r a s a n ( I T P )

    T e b a l P e r k e r a s a nR e n c a n a

    M u l a i

    S e l e s a i

    P e r k e r a s a n J a l a n

    G e o m e t r i J a l a n

    T i p e K e n d a r a a n

    J a r a k P a n d a n g

    J a r a k P a n d a n g H e n t i( J h )

    J a r a k P a n d a n gM e n d a h u l u i ( J d )

    A l i n e m e n H o r i z o n t a l

    B a g i a n L u r u s T i k u n g a n

    S u p e r e l e v a s iL a n d a i R e l a t i f

    P e l e b a r a nD a e r a h B e b a s

    K e l a n d a i a n

    A l i n e m e n V e r t i k a l

    K o o r d i n a s i A l i n e m e n

    L e n g k u n gV e r t i k a l

    B e b a n S u m b u K e n d a r a a n

    A

    A

    D a t aJ a l u r R e n c a n a , K l a s i f i k a s i ,

    U s i a R e n c a n a , C B R ,K e a d a a n I k l i m , K e l a n d a i a n ,

    L H R a w a l , A n g k aP e r t u m b u h a n

    L a l u L i n t a s R e n c a n a

    T e b a l L a p i s a n P e r k e r a s a n

    Gambar 14 Bagan Alir Perencanaan Jalan.

    Pertimbangan dalam perencanaan jalan adalah sebagai berikut:

    1. Faktor Konstruksi dan Pemeliharaan

    Faktor yang berkaitan dengan konstruksi dan pemeliharaan jalan kelak setelah digunakan

    adalah:

    Kemungkinan perluasan dan jenis drainase.

    Ketersediaan peralatan.

    Kebutuhan dari segi lingkungan dan keamanan pemakai.

    Pertimbangan sosial dan strategi pemeliharaan.

    Resiko-resiko yang mungkin terjadi.

    2. Faktor Lingkungan

    27

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Faktor lingkungan yang dominan berpengaruh adalah:

    a. Kelembaban

    Kelembaban secara umum berpengaruh terhadap penampilan perkerasan, sedangkan

    kekakuan/kekuatan material yang lepas dan tanah dasar tergantung dari kadar air

    materialnya. Faktor-faktor yang diperlukan dari tahap perencanaan adalah:

    Pola hujan dan penguapan.

    Permeabilitas lapisan aus.

    Kedalaman MAT (muka air tanah).

    Permeabilitas relatif dari lapisan perkerasan.

    Apakah bahu jalan tertutup atau tidak

    Jenis perkerasan.

    b. Suhu Lingkungan

    Suhu lingkungan berpengaruh cukup besar pada penampilan permukaan perkerasan

    jika digunakan pelapisan permukaan dengan aspal karena karakteristik dan sifat aspal

    yang kaku dan regas pada temperatur rendah dan sebaliknya akan lunak dan visko

    elastis pada suhu tinggi.

    3. Faktor Material

    Untuk perkerasan jalan terdapat banyak jenis perkerasan. Jenis bahan yang biasa digunakan

    dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

    Tabel 1 Jenis Bahan Perkerasan Jalan.

    Jenis Bahan Keterangan

    28

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Lapis Atas Beton (LASTON) Lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal keras, yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas.

    Lapis Penetrasi Macadam (LAPEN) Lapisan perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dengan agregat pengunci bergradasi terbuka dan seragam yang diikat oleh aspal keras dengan cara disemprotkan di atasnya dan dipadarkan lapis demi lapis dan apabila akan digunakan sebagai lapis permukaan perlu diberi laburan aspaln dengan batu penutup.

    Lapis Asbuton Campuran Dingin (LASUTAG) Campuran yang terdiri dari agregat kasar, asbuton, bahan peremaja dan filler (bila diperlukan) yang dicampur, dihampar dan dipadatkan.

    Hot Rolled Asphalt (HRA)

    Lapis penutup yang terdiri dari campuran antara agregat bergradasri timpang, filler dan aspal keras dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas dan suhu tertentu.

    Laburan Aspal (BURAS) Lapis penutup terdiri dari lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 9.6 mm atau 3/8 inch.

    Laburan Batu Satu Lapis (BURTU) Penutup yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi seragam. Tebal maksimum 20 mm.

    Lapis Aspal Beton Pondasi Atas (LASTON ATAS) Pondasi perkerasan yang terdiri dari campuran agregat dan aspal dengan perbandingan tertentu, dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas.

    Lapis Aspal Beton Pondasi Bawah (LASTON BAWAH) Lapis perkerasan yang terletak antara lapis pondasi dan tanah dasar jalan yang terdiri dari campuran agregat san aspal dengan perbandingan tertentu yang dicampur dan dipadatkan pada temperatur tertentu.

    Lapis Tipis Aspal Beton (LATASTON) Lapis penutup yang terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang, dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu. Tebal padat antara 25 sampai 30 mm.

    Lapis Tipis Aspal Pasir (LATASIR) Lapisan penutup yang terdiri dari campuran pasir dan aspal keras yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu.

    Aspal Makadam Lapis perkerasan yang terdiri dari agregat pokok dan atau agregat pengunci bergradasi terbuka atau seragam yang dicampur dengan aspal cair, diperam dan dipadatkan secara dingin.

    1.8.1 Geometri Jalan

    Perencanaan geometri jalan adalah perencanaan rute dari suatu ruas jalan secara lengkap

    dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku.

    1.8.1.1 Jarak Pandang

    Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat

    mengemudi sedemikian rupa sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang

    membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu (antisipasi) untuk menghindari bahaya

    tersebut dengan aman. Faktor-faktor yang berkaitan dengan jarak pandang adalah:

    1. Jarak Pandang Henti (Jh)

    29

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    a. Jarak Minimum

    Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan

    kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik di

    sepanjang jalan harus memenuhi ketentuan Jh.

    b. Asumsi Tinggi

    Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi

    halangan 15 cm yang diukur dari permukaan jalan.

    c. Elemen Jh

    Jh terdiri atas 2 (dua) elemen jarak, yaitu :

    Jarak Tanggap (Jht), adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi

    melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat

    pengemudi menginjak rem.

    Jarak Pengereman (Jhr), adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan

    kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.

    d. Rumus yang digunakan

    Jh dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus :

    Jh = Jht + Jhr2

    P

    R

    R

    gf23.6V

    T3.6VJh

    +=

    di mana:

    VR = kecepatan rencana (km/jam)

    T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik

    g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2

    fp = koefisien gesek memanjang antara ban kendaraan dengan perkerasan jalan

    aspal, ditetapkan 0,28 0,45 (menurut (AASHTO), fp akan semakin kecil jika

    kecepatan (VR) semakin tinggi dan sebaliknya (menurut Bina Marga, fp = 0,35

    0,55).

    30

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi:

    Untuk jalan datar:

    ( )P

    2R

    R f254VTV0,278.Jh +=

    Untuk jalan dengan kelandaian tertentu :

    ( )( )Lf254VTV0,278.Jh p2

    RR

    +=

    di mana:

    L= landai jalan dalam (%) dibagi 100

    2. Jarak Pandang Mendahului (Jd)

    a. Jarak

    Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di

    depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (lihat

    Gambar 15).

    b. Asumsi Tinggi

    Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dengan

    tinggi halangan adalah 105 cm.

    c. Rumus yang digunakan

    Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut :

    Jd = d1 + d2 + d3 + d4

    di mana:

    d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tenggang (m)

    d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali kelajur

    semula (m)

    d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari

    arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m)

    d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan.

    31

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Rumus yang digunakan :

    1

    1R1 2

    T.amVT0,278.d

    +=

    d2 = 0,278 VR T2d3 = antara 30 100 m

    d4 = 2/3 d2

    di mana:

    T1 = waktu dalam (detik), 2,12 + 0,026 VR

    T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan, (detik), 6,56 + 0,0036 VR

    A = percepatan rata-rata km/jam/detik, (km/jam/detik), 2,052 + 0,0036 VR

    m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang menyiap dan kendaraan yang disiap,

    (biasanya diambil 10 15 km/jam)

    d. Penyebaran Lokasi

    Lokasi atau daerah untuk mendahului harus disebar pada sepanjang jalan dengan

    jumlah panjang minimum 30 % dari panjang total ruas jalan yang direncanakan.

    A

    BA

    CCA

    T A H A P P E R T A M A

    C C

    A

    A

    BB

    T A H A P K E D U Ad 1

    1 / 3 d 22 / 3 d 2

    d 1d 2

    d 3d 4

    A = K e n d a r a a n y a n g m e n d a h u l u iB = K e n d a r a a n y a n g b e r l a w a n a n a r a hC = K e n d a r a a n y a n g d i d a h u l u i k e n d a r a a n A

    Gambar 15 Proses Gerakan Mendahului (2/2 TB)).

    Tabel 2 Panjang Jarak Pandang Mendahului Berdasarkan VR.

    32

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

    Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

    1.8.1.2 Alinemen Horizontal

    Pada perencanaan alinemen horizontal akan ditemui dua jenis bagian jalan, yaitu : bagian

    lurus dan bagian lengkung atau tikungan. Jenis tikungan yang digunakan, yaitu :

    Lingkaran (Full Circle = FC).

    Spiral-Lingkaran-Spiral (Spiral-Circle-Spiral = S-C-S).

    Spiral-Spiral (S-S).

    1. Bagian Lurus

    Panjang maksimum bagian lurus harus dapat ditempuh dalam waktu 2,5 menit (sesuai

    VR), dengan pertimbangan keselamatan pengemudi akibat kelelahan.

    Tabel 3 Panjang Bagian Lurus Maksimum.

    FungsiPanjang Bagian Lurus Maksimum (m)

    Datar Bukit Gunung

    Arteri

    Kolektor

    3000

    2000

    2500

    1750

    2000

    1500

    2. Tikungan

    a. Jari-jari Minimum

    Kendaraan pada saat melalui tikungan dengan kecepatan (V) akan menerima gaya

    sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk mengimbangi gaya

    sentrifugal tersebut, perlu dibuat suatu kemiringan melintang jalan pada tikungan yang

    disebut superelevasi (e).

    Saat kendaraan melewati daerah superelevasi, akan terjadi gesekan arah melintang

    jalan antara ban kendaraan dengan permukaan aspal yang menimbulkan gaya gesekan

    melintang. Perbandingan gaya gesekan melintang dengan gaya normal disebut

    koefisien gesekan melintang (f). Rumus umum untuk lengkung horisontal adalah :

    ( )fe127VR

    2

    += ; 0360x

    R225D =

    di mana :

    33

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    R = jari-jari lengkung (m)

    D = derajat lengkung (0)

    Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, maka untuk kecepatan tertentu dapat

    dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum dan koefisien gesekan

    maksimum sebagai berikut:

    ( )makmak2

    Rmin fe127

    VR+

    = ; ( )

    2R

    makmakmin

    Vfe181913,53D +=

    di mana :

    Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)

    VR = kecepatan kendaraan rencana (km/jam)

    emak = superelevasi maksimum (%)

    fmak = koefisien gesekan melintang maksimum

    D = derajat lengkung

    Dmak = derajat maksimum

    b. Tikungan Busur Lingkaran (FC)

    FC (Full Circle) adalah jenis tikungan yang terdiri dari bagian suatu lingkaran saja.

    Tikungan FC hanya digunakan untuk R (jari-jari tikungan) yang besar agar tidak

    terjadi patahan karena dengan R kecil maka diperlukan superelevasi besar.

    T C C T

    R cR c

    L c

    P I

    E c

    T c

    O

    21

    21

    34

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Gambar 16 Komponen FC.

    Keterangan:

    = sudut tikungan

    O = titik pusat lingkaran

    Tc = panjang tangen jarak dari TC ke PI atau PI ke CT

    Rc = jari-jari lingkaran

    Lc = panjang busur lingkaran

    Ec = jarak luar dari PI ke busur lingkaran

    21.tan.RcTc =

    41.tan.TcEc =

    0360Rc..2Lc =

    c. Tingkungan dengan Lengkung Peralihan (S-C-S)

    Lengkung peralihan dibuat untuk menghindari terjadinya perubahan alinemen yang

    tiba-tiba dari bentuk lurus ke bentuk lingkaran (R = R = Rc). Lengkung peralihan

    ini diletakkan antara bagian lurus dan bagian lingkaran (circle), yaitu pada sebelum

    dan sesudah tikungan berbentuk busur lingkaran.

    Lengkung peralihan menggunakan jenis S-C-S. Panjang lengkung peralihan (Ls)

    diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini:

    Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk melintasi lengkung

    peralihan, maka panjang lengkung:

    T3.6VLs R=

    Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus Modifikasi Shortt,

    sebagai berikut:

    Ce.V2.727

    CRV0.02Ls R

    2

    c

    R=

    Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian:

    ( )R

    e

    nm V3.6eeLs =

    35

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    di mana:

    T = waktu tempuh = 3 detik

    Rc = jari-jari busur lingkaran (m)

    C = perubahan percepatan, 0,3 1,0 disarankan 0,4 m/det3

    e = superelevasi

    em = superelevasi maksimum

    en = superelevasi normal

    e = tingkat pencapaian perubahan kelandaian melintang jalan, sebagai

    berikut :

    untuk VR 70 km/jam, e mak = 0.035 m/m/det

    untuk VR 80 km/jam, e mak = 0.025 m/m/det

    d. Tingkungan dengan Lengkung S-S

    Jika diperoleh Lc < 25 maka sebaiknya tidak digunakan bentuk S-C-S tetapi

    digunakan lengkung S-S yaitu lengkung yang terdiri dari dua lengkung peralihan.

    Untuk bentuk spiral-spiral ini berlaku rumus sebagai berikut:

    Lc = 0 dan s = 0.5 , Ltot = 2 Ls

    3. Pencapaian Superelevasi

    Superlevasi dicapai secara bertahap dari kemiringan melintang normal pada bagian jalan

    yang lurus sampai ke kemiringan penuhpada bagian lengkung. Pada tikungan S-C-S,

    pencapaian superlevasi dilakukan secara linier, diawali dari bentuk normal sampai awal

    lengkung peralihan (TS) pada bagian lurus jalan, lalu dilanjutkan sampai superelevasi penuh

    pada akhir bagian lengkung peralihan (SC). Pada tikungan FC, pencapaian superlevasi

    dilakukan secara linear diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 Ls sampai dengan bagian

    lingkaran penuh sepanjang 1/3 Ls. Pada tikungan S-S, pencapaian superelevasi seluruhnya

    dilakukan pada bagian spiral.

    4. Landai Relatif

    Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar

    dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Persentase kelandaian

    ini disesuaikan dengan kecepatan rencana dan jumlah lajur yang ada. Untuk praktis, dapat

    digunakan rumus : 1/m = (e + en) B/Ls

    5. Diagram Superelevasi

    a. Metoda

    36

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Metoda untuk melakukan superelevasi yaitu dengan merubah lereng potongan

    melintang dari bentuk profil tepi perkerasan yang dibundarkan, tetapi disarankan

    cukup untuk mengambil garis lurus saja.

    Ada tiga cara untuk mendapatkan superelevasi, yaitu:

    Memutar perkerasan jalan terhadap profil sumbu.

    Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah dalam.

    Memutar perkerasan jalan terhadap tepi jalan sebelah luar.

    b. Diagram

    Pembuatan diagram superelevasi antara cara AASHTO dan cara Bina Marga ada

    sedikit perbedaan, yaitu :

    Cara AASHTO, penampang melintang sudah mulai berubah pada titik TS.

    Cara Bina Marga, penampang melintang pada titik TS masih berupa penampang

    melintang normal.

    6. Pelebaran di Tikungan

    Pelebaran perkerasan atau jalur lalu-lintas di tikungan dilakukan untuk mempertahankan

    kendaraan tetap pada lintasannnya (lajurnya) sebagaimana pada bagian lurus. Hal ini terjadi

    karena pada kecepatan tertentu kendaraan pada tikungan cenderung untuk keluar lajur akibat

    posisi roda depan dan roda belakang yang tidak sama tergantung dari ukuran kendaraan.

    Penentuan lebar pelebaran jalur lalu-lintas di tikungan ditinjau dari keluar lajur (off tracking)

    dan kesukaran dalam mengemudi di tikungan.

    7. Daerah Bebas Samping di Tikungan

    Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan) adalah pandangan bebas

    pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas samping).

    Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandang

    di tikungan sehingga Jh dipenuhi.

    Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di

    tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh E (m), diukur dari

    garis tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh

    terpenuhi.

    Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

    37

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Jika Jh < Lt :

    = I

    h1

    RJ28.65.Cos1RE

    Jika Jh > Lt :

    +

    = Ihth

    Ih1

    RJ28.65.Sin

    2LJ

    RJ28.65.Cos1RE

    1.8.1.3 Alinemen Vertikal

    Alinemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu jalan pada setiap titik yang ditinjau,

    berupa profil memanjang. Pada perencanaan alinemen vertikal akan ditemui kelandaian

    positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan) sehingga kombinasinya berupa lengkung

    cembung dan lengkung cekung.

    Di samping kedua lengkung tersebut ditemui pula kelandaian = 0 (datar). Kondisi tersebut

    dipengaruhi oleh keadaan topografi yang dilalui oleh rute jalan rencana. Kondisi topografi

    tidak saja berpengaruh pada perencanaan alinemen horizontal tetapi juga mempengaruhi

    perencanaan alinemen vertikal.

    1. Kelandaian

    Untuk menghitung dan merencanakan lengkung vertikal ada beberapa hal yang perlu

    diperhatikan, yaitu :

    a. Karakteristik Kendaraan Pada Kelandaian

    Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat berjalan baik dengan kelandaian 7 8

    % tanpa ada perbedaan dibandingkan pada bagian datar. Pengamatan menunjukkan

    bahwa untuk mobil penumpang pada kelandaian 3 % hanya sedikit sekali pengaruhnya

    dibandingkan dengan jalan datar, sedangkan untuk truk kelandaian akan lebih besar

    pengaruhnya.

    b. Kelandaian Maksimum

    Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk berbagai variasi kecepatan rencana,

    dimaksudkan agar kendaraan dapat bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang

    berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh

    38

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    mampu bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa

    harus menggunakan gigi rendah.

    c. Kelandaian Minimum

    Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya perlu dibuat kelandaian

    minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping karena kemiringan

    melintang jalan dengan kerb hanya untuk mengalirkan aliran ke samping.

    d. Panjang Kritis Suatu Kelandaian

    Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum agar

    pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh VR.

    e. Lajur Pendakian pada Kelandaian Khusus

    Pada jalur jalan dengan rencana volume lalu-lintas yang tinggi maka kendaraan berat

    akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan di bawah VR, sedangkan

    kendaraan lain masih dapat bergerak dengan VR, sebaiknya dipertimbangkan untuk

    dibuat lajur tambahan pada bagian kiri dengan ketentuan untuk jalan baru.

    2. Lengkung Vertikal

    Lengkung vertikal direncanakan untuk merubah secara bertahap perubahan dari dua macam

    kelandaian arah memanjang jalan pada setiap lokasi yang diperlukan. Hal in dimaksudkan

    untuk mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan menyediakan jarak pandang

    henti yang cukup untuk keamanan dan kenyamanan. Lengkung vertikal terdiri dari dua jenis,

    yaitu :

    Lengkung cembung

    Lengkung cekung

    Tipikal lengkung vertikal dapat dilihat pada Gambar 17 berikut ini.

    39

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    P Q

    L

    E v

    g 1 g 2

    l

    xy

    Gambar 17 Tipikal Lengkung Vertikal Bentuk Parabola.

    Rumus yang digunakan:

    Ag.L

    ggg.Lx 1

    21

    1=

    =

    ( ) A2g.L

    gg2g.Lx

    21

    21

    21

    =

    =

    di mana:

    x = jarak dari titik P ke titik yang ditinjau pada Sta, (Sta)

    y = perbedaan elevasi antara titik P dan titik yang ditinjau pada Sta, (m)

    L = panjang lengkung vertikal parabola, yang merupakan jarak proyeksi dari titik

    A dan titik Q, (Sta).

    g1 = kelandaian tangen dari titik P (%)

    g2 = kelandaian tangen dari titik Q (%)

    Rumus tersebut digunakan untuk lengkung simetris.

    (g1 g2) = A = perbedaaan aljabar untuk kelandaian (%)

    untuk kelandaian menaik (pendakian) diberi tanda ( + ) sedangkan kelandaian menurun

    (penurunan) diberi tanda ( - ). Ketentuan pendakian atau penurunan ditinjau dari arah kiri.

    Rumus kelandaian diberikan:

    800ALEv =

    Untuk : x = L

    40

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    y = Ev

    a. Lengkung Vertikal Cembung

    Ketentuan tinggi untuk lengkung cembung seperti pada Tabel 4 berikut ini.

    Tabel 4 Ketentuan Tinggi Untuk Jenis Jarak Pandang.

    Untuk Jarak Pandang h1 (m) tinggi mata h2 (m) tinggi obyek

    Henti (Jh)

    Mendahului (Jd)

    1,05

    1,05

    0,15

    1,05

    b. Lengkung Vertikal Cekung

    Tidak ada dasar yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lengkung cekung

    vertikal (L). Akan tetapi ada empat kriteria sebagai pertimbangan yang dapat

    digunakan, yaitu :

    Jarak sinar lampu besar dari kendaraan.

    Kenyamanan pengemudi.

    Ketentuan drainase.

    Penampilan secara umum.

    1.8.1.4 Koordinasi Alinemen

    Koordinasi alinemen pada perencanaan jalan diperlukan untuk menjamin suatu perencanaan

    jalan yang baik dan menghasilkan keamanan serta rasa nyaman bagi pengemudi kendaraan

    yang melalui jalan tersebut. Maksud koordinasi dalam hal ini yaitu penggabungan beberapa

    elemen dalam perencanaan geometrik jalan yang terdiri dari perencanaan alinemen

    horizontal, alinemen vertikal dan potongan melintang dalam suatu paduan sehingga

    menghasilkan produk perencanaan yang memenuhi unsur aman, nyaman dan ekonomis.

    Beberapa ketentuan atau syarat sebagai panduan yang dapat digunakan untuk proses

    koordiansi alinemen adalah sebagai berikut:

    Alinemen horizontal dan alinemen vertikal terletak pada satu fase, di mana alinemen

    horisontal sedikit lebih panjang dari alinemen vertikal. Demikian tikungan horizontal

    harus satu fase dengan tanjakan vertikal.

    41

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Tikungan tajam yang terletak di atas lengkung vertikal cembung atau di bawah

    lengkung vertikal cekung harus dihindarkan karena hal ini akan menghalangi

    pandangan mata pengemudi pada saat memasuki tikungan pertama dan jalan terkesan

    putus.

    Pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang, sebaiknya tidak dibuat lengkung

    vertikal cekung karena pandangan pengemudi akan terhalang oleh puncak alinemen

    vertikal sehingga sulit untuk memperkirakan alinemen di balik puncak tersebut.

    Lengkung vertikal dua atau lebih pada satu lengkung horizontal, sebaiknya

    dihindarkan.

    Tikungan tajam yang terletak di antara bagian jalan yang lurus dan panjang harus

    dihindarkan.

    1.8.2 Perkerasan Jalan

    Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (subgrade)

    yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas.

    1.8.2.1 Lalu Lintas Rencana

    1. Persentase Kendaraan pada Lajur Rencana

    Jalur rencana (JR) merupakan jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan yang terdiri dari satu jalur

    atau lebih. Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur maka jumlah lajur ditentukan dari lebar

    perkerasan seperti pada tabel berikut.

    Tabel 5 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan.

    Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)

    L < 5.50 m 1 Lajur

    5.50 L < 8.25 m 2 Lajur

    8.25 L < 11.25 m 3 Lajur

    11.25 L < 15.00 m 4 Lajur

    15.00 L < 18.75 m 5 Lajur

    18.75 L < 22.00 m 6 Lajur

    Koefisien distribusi kendaraan untuk masing-masing jalur kendaraan dapat dilihat pada

    Tabel 6.

    42

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Tabel 6 Koefisien Distribusi Kendaraan (C) Untuk Kendaraan Ringan dan Berat yang Lewat

    pada Jalur Rencana.

    Kendaraan Ringan* Kendaraan Berat**1 Arah 2 Arah 1 Arah 2 Arah

    1 Lajur 1.000 1.000 1.000 1.0002 Lajur 0.600 0.500 0.700 0.5003 Lajur 0.400 0.400 0.500 0.4754 Lajur - 0.300 - 0.4505 Lajur - 0.250 - 0.4256 Lajur - 0.200 - 0.400

    * berat total < 5 ton, misalnya mobil penumpang, pick up, mobil hantaran.** berat total ? 5 ton, misalnya: bus, truk, traktor, semi trailer, trailer.

    Jumlah Lajur

    2. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

    Angka ekivalen (E) masing-masing golongan sumbu:

    a. Angka Ekivalen Sumbu Tunggal

    8160_kg)ggal_dalamu_sumbu_tn(Beban_satE

    4=

    b. Angka Ekivalen Sumbu Ganda

    8160kg)nda_dalam_u_sumbu_ga(Beban_sat

    E4

    =

    Tabel 7 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan.

    43

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Beban Satu Sumbu Angka EkivalenKg Lbs Sumbu Tunggal Sumbu Ganda

    1,000 2,205 0.0002 -2,000 4,400 0.0036 0.00033,000 6,614 0.0183 0.00164,000 8,818 0.0577 0.00505,000 11,023 0.1410 0.01216,000 13,228 0.2923 0.02517,000 15,432 0.5415 0.04668,000 17,637 0.9238 0.07948,160 18,000 1.0000 0.08609,000 19,841 1.4798 0.1273

    10,000 22,046 2.2555 0.194011,000 24,251 3.3022 0.284012,000 26,455 4.6770 0.402213,000 28,660 6.4419 0.554014,000 30,864 8.6647 0.745215,000 33,069 11.4148 0.982016,000 35,276 14.7815 1.2712

    3. Perhitungan Lalu Lintas

    a. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

    =

    =

    n

    1jjjxELHRxCLEP

    b. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

    =

    +=n

    1jjj

    URj xExCi)(1LHRLEA

    c. Lintas Ekivalen Tengah (LET)

    2LEALEPLET +=

    d. Lintas Ekivalen Rencana (LER)

    LETxFPLER =

    10URFP =

    di mana:

    i = perkembangan lalu lintas

    j = jenis kendaraan

    LHR = lalu lintas harian rata-rata

    UR = usia rencana (tahun)

    FP = faktor penyesuaian

    44

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1.8.2.2 Daya Dukung Tanah Dasar

    Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi. Daya dukung tanah

    dasar diperoleh dari nilai CBR yang kemudian ditentukan nilai CBR rencana yang

    merupakan nilai CBR rata-rata untuk jalur tertentu.

    1.8.2.3 Faktor Regional

    Faktor regional (FR) adalah faktor koreksi sehubungan dengan adanya perbedaan kondisi

    dengan percobaan AASHTO Road Test dan disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Fr ini

    dipengaruhi oleh bentuk alinemen, persentase kendaraan berat yang berhenti serta iklim.

    Tabel 8 Faktor Regional (FR).

    Keadaan IklimKelandaian I ( < 6% ) Kelandaian II ( 6%-10% ) Kelandaian III ( > 10% )

    % Kendaraan Berat 30% > 30 % 30% > 30 % 30% > 30 %

    Iklim < 900 mm/thn 0.5 1.0 1.5 1.0 1.5 2.0 1.5 2.0 2.5Iklim > 900 mm/thn 1.5 2.0 2.5 2.0 2.5 - 3.0 2.5 3.0 3.5

    1.8.2.4 Indeks Permukaan

    Indeks permukaan adalah nilai kerataan atau kehalusan serta kekokohan permukaan yang

    bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. Daftar indeks permukaan

    pada akhir usia rencana dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini

    Tabel 9 Indeks Permukaan Pada Akhir Usia Rencana (IP).

    Klasfikasi JalanLokal Kolektor Arteri Tol

    < 10 1.0 1.5 1.5 1.5 2.0 -10 100 1.5 1.5 2.0 2 -

    100 1000 1.5 2.0 2 2.0 2.5 -> 1000 - 2.0 2.5 2.5 2.5

    LER

    Keterangan:

    IP = 1.0; permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat menggangu lalu

    lintas kendaraan

    IP = 1.5; tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak terputus)

    IP = 2.0; tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih mantap

    IP = 2.5; permukaan jalan masih cukup stabil dan baik

    45

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Tabel 10 Indeks Permukaan Pada Awal Usia Rencana (IP0).

    Jenis Lapis Perkerasan IP0 Roughness (mm/km)

    LASTON 43.9 3.5

    1000> 1000

    LASBUTAG3.9 3.53.4 3.0

    2000> 2000

    HRA3.9 3.53.4 3.0

    2000> 2000

    BURDA 3.9 3.5 < 2000BURTU 3.4 3.0 < 2000

    LAPEN3.4 3.02.9 2.5

    3000> 3000

    LATASBUM 2.9 2.5 -BURAS 2.9 2.5 -

    LATASIR 2.9 2.5 -JALAN TANAH 2.4 -JALAN KERIKIL 2.4 -

    1.8.2.5 Indeks Tebal Perkerasan

    332211 DaDaDaITP ++=

    di mana:

    ITP = indeks tebal perkerasan

    a = koefisien lapisan

    D = tebal lapisan (cm)

    Tabel 11 Koefisien Kekuatan Relatif (a).

    46

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Koefisien Kekuatan relatif Kekuatan Bahan Jenis BahanA1 A2 A3 MS (kg) Kt (kg/cm) CBR (%)

    0.40 - - 744 - -0.35 - - 590 - -0.32 - - 454 - -0.30 - - 340 - -0.35 - - 744 - -0.31 - - 590 - -0.28 - - 454 - -0.26 - - 340 - -0.30 - - 340 - - HRA0.26 - - 340 - - ASPAL MACADAM0.25 - - - - - LAPEN (mekanis)0.20 - - - - - LAPEN (manual

    - 0.28 - 590 - -- 0.26 - 454 - -- 0.24 - 340 - -- 0.23 - - - - LAPEN (mekanis)- 0.19 - - - - LAPEN (manual)- 0.15 - - 22 -- 0.13 - - 18 -- 0.15 - - 22 -- 0.13 - - 18 -- 0.14 - - - 100 Batu pecah (kelas A)- 0.13 - - - 80 Batu pecah (kelas B)- 0.12 - - - 60 Batu pecah (kelas C)- - 0.13 - - 70 Sirtu/Pitrun (kelas A)- - 0.12 - - 50 Sirtu/Pitrun (kelas B)- - 0.11 - - 30 Sirtu/Pitrun (kelas C)- - 0.10 - - 20 Tanah/Lemung kepasiran

    Stabilitas tanah dengan kapur

    LASTON

    LASBUTAG

    LASTON Atas

    Stabilitas tanah dengan semen

    Tabel 12 Batas-batas Minimum Lapisan Perkerasan.

    ITP Tebal Minimum (cm) Bahan1. Lapis Permukaan

    < 3.00 5 Lapis pelindung: BURAS/BURTU/BURDA3.00 6.70 5 LAPEN/Aspal Macadam, HRA, LASBUTAG, LASTON6.71 7.49 7.5 LAPEN/Aspal Macadam, HRA, LASBUTAG, LASTON7.50 9.99 7.5 LASBUTAG, LASTON

    10.00 10 LASTON2. Lapis Pondasi Atas

    < 3.00 15 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur.

    3.00 7.49 20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur.

    7.50 9.9910 LASTON Atas

    20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam

    10 12.1415 LASTON Atas

    20 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengan kapur, pondasi macadam, LAPEN, LASTON Atas

    12.25 25 Batu pecah, stabilitas tanah dengan semen, stabilitas tanah dengankapur, pndasi macadam, Lapen, Laston Atas3. Lapisan Pondasi BawahUntuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum adalah 10 cm.

    47

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    1.9. PERENCANAAN SISTEM DRAINASE

    Sistem drainase permukaan pada konstruksi jalan pada umumnya berfungsi sebagai berikut:

    Mengalirkan air hujan air secepat mungkin keluar dari permukaan jalan dan

    selanjutnya dialirkan lewat saluran samping menuju saluran pembuang akhir.

    Mencegah aliran air yang berasal dari daerah pengaliran di sekitar jalan masuk ke

    daerah perkerasan jalan.

    Mencegah kerusakan lingkungan di sekitar jalan akibat aliran air.

    Secara umum, kriteria perencanaan drainase haruslah bersifat antara lain:

    1. Daya guna dan hasil guna (efektif dan efisien)

    Perencanaan drainase haruslah sedemikian rupa sehingga fungsi fasilitas drainase

    sebagai penampung, pembagi dan pembuang air dapat sepenuhnya berdaya guna dan

    berhasil guna.

    2. Ekonomis dan aman

    Pemilihan dimensi dari fasilitas drainase haruslah mempertimbangkan faktor

    ekonomis dan faktor keamanan.

    3. Pemeliharaan

    Perencanaan drainase haruslah mempertimbangkan pula segi kemudahan dan nilai

    ekonomis dari pemeliharaan sistem drainase tersebut.

    Masukan penting pada perencanaan drainase adalah hasil analisa data hidrologi seperti yang

    dijelaskan pada Sub Bab 2.3.

    Tahapan perencanaan sistem secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 18 berikut ini.

    48

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    D a t aH a s i l A n a l i s a H i d r o l o g i

    D a e r a h P e n g a l i r a n ( A )K o e f i s i e n P e n g a l i r a n ( C )

    I n t e n s i t a s H u j a n( I ) u n t u k t c

    W a k t u K o n s e n t r a s i( t c )

    D e b i t A l i r a n( Q a )

    M u l a i

    W a k t u P e n g a l i r a n( t 2 )

    P e r h i t u n g a n D e b i t A l i r a n P e r h i t u n g a n K a p a s i t a sS a l u r a n R e n c a n a

    K e c e p a t a n A l i r a n( v )

    I n l e t T i m e( t 1 )

    D e b i t K a p a s i t a s( Q S )

    Q s < Q d

    D i m e n s i S a l u r a n O k ! !

    S e l e s a i

    D a t aD i m e n s i R e n c a n a

    K o e f i s i e n M a n n i n g ( n )K e m i r i n g a n D a s a r ( S )

    Y a

    T i d a k

    K e m i r i n g a n J a l a n

    Gambar 18 Bagan Alir Perencanaan Saluran.

    1.9.1 Kemiringan Melintang Perkerasan Dan Bahu Jalan

    Pada daerah jalan yang datar dan lurus, penanganan pengendalian air untuk daerah ini

    biasanya dengan membuat kemiringan perkerasan dan bahu jalan mulai dari tengah

    perkerasan menurun/melandai kearah selokan samping. Besarnya kemiringan melintang

    normal pada perkerasan jalan dapat dilihat seperti tercantum pada Tabel 13. dibawah ini.

    Tabel 13 Kemiringan Melintang Normal Perkerasan Jalan

    No Jenis Lapis Permukaan Jalan Kemiringan Melintang Normal

    1 Beraspal , Beton 2% - 3%2 Japat 4% - 6%3 Kerikil 3% - 6%4 Tanah 4% - 6%

    49

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Daerah jalan yang lurus pada tanjakan/penurunan, penanganan pengendalian air pada daerah

    ini perlu mempertimbangkan pula besarnya kemiringan alinyemen vertikal jalan yang berupa

    tanjakan penurunan agar supaya aliran air secepatnya bisa mengalir keselokan. Untuk itu

    maka kemiringan melintang perkerasan jalan disarankan agar menggunakan nilai-nilai

    maksimum di atas. Selanjutnya daerah tikungan, kemiringan melintang perkerasan jalan

    pada daerah ini biasanya harus mempertimbangkan pula kebutuhan kemiringan jalan

    menurut persyaratan alinyemen horisontal jalan. Oleh karena itu kemiringan perkerasan jalan

    harus dimulai dari sisi luar tikungan menurun/melandai ke sisi dalam tikungan. Besarnya

    kemiringan pada daerah ini ditentukan oleh nilai maksimum dari kebutuhan kemiringan

    alinyemen horisontal atau kebutuhan kemiringan menurut keperluan drainase.

    1.9.2 Debit Aliran

    Debit aliran dicari dengan menggunakan Metode Rasional, karena daerah pengaliran yang

    ditinjau tidak luas dan curah hujan dianggap seragam untuk suatu luas daerah pengaliran

    yang kecil. Rumus Metode Rasional:

    6a 10x3,6CIAQ =

    di mana:

    Qa = debit aliran (m3/dtk)

    C = koefisien pengaliran

    I = intensitas hujan selama waktu konsentrasi (mm/jam)

    A = luas daerah pengaliran (m2)

    Intensitas hujan diperoleh dari persamaan lengkung intensitas hujan rencana.

    1.9.3 Waktu Konsentrasi

    Waktu konsentrasi (tC) adalah waktu yang diperlukan untuk air hujan dari daerah yang

    terjauh dalam daerah pengaliran untuk mengalir menuju ke suatu titik atau profil melintang

    saluran tertentu yang ditinjau. Besarnya waktu konsentrasi didefinisikan sebagai:

    21C ttt +=

    di mana:

    tC = waktu konsentrasi (menit)

    50

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    t1 = inlet time (menit)

    t2 = waktu pengaliran (menit)

    1. Inlet Time (t1)

    Inlet time atau waktu pencapaian awal adalah waktu yang diperlukan untuk titik air terjauh

    dalam daerah pengaliran mengalir pada permukaan tanah menuju ke saluran permukaan yang

    terdekat. Inlet time dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kondisi dan kelandaian

    permukaan, luas dan bentuk daerah tangkapan.

    Rumus inlet time:

    0.167d

    t1k

    nxxL3.28x

    32t

    =

    di mana:

    t1 = inlet time (menit)

    Lt = panjang dari titik terjauh sampai saluran (m)

    k = kelandaian permukaan

    nd = koefisien hambatan (pengaruh kondisi permukaan yang dilalui aliran)

    Sketsa dari panjang titik terjauh dapat dilihat pada gambar berikut ini.

    a )P e r k e r a s a n B a h u

    L 2L 1

    L 3

    L 3 > ( L 1 + L 2 )

    LC

    L 2L 1

    L 3 > ( L 1 + L 2 )

    LCL 3

    b )

    Gambar 19 Sketsa Batas Daerah Pengaliran yang Diperhitungkan.

    L1 dan L2 ditentukan dari klasifikasi jalan, sedangkan L2 tergantung dari terrain di lapangan

    karena daerah pengaliran dibatasi oleh titik-titik tertinggi pada bagian kiri dan kanan jalan

    berupa alur dan saluran yang memotong jalan.

    51

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Jika L3 > (L1 + L2), maka Lt = L3

    Jika L3 < (L1 + L2), maka Lt = (L1 + L2)

    Besarnya koefiesien hambatan untuk beberapa kondisi lahan dapat dilihat sebagai berikut:

    Tabel 14 Koefisien Hambatan.

    Kondisi Permukaan yang Dilalui Aliran nd1. Lapisan semen dan aspal beton 0,0132. Permukaan halus dan kedap air 0,023. Permukaan halus dan padat 0,104. Lapangan dengan rumput jarang, ladang,

    tanah lapang kosong dengan permukaan cukup kasar

    0,20

    5. Ladang dan lapangan rumput 0,406. Hutan 0,607. Hutan dan rmba 0,80

    Keterangan:

    Kelandaian :

    Untuk L1, k1 = 2 3%

    Untuk L2, k2 = 3 5%

    Untuk L3, k3 = sesuai dengan kondisi di lapangan

    Lebar :

    Lebar daerah pengaliran yang diperitungkan = panjang saluran yang dihitung

    2. Waktu Pengaliran (t2)

    Waktu pengaliran (t2) adalah waktu yang diperlukan untuk air mengalir dari saluran

    permulaan menuju ke suatu profil melintang saluran tertentu yang ditinjau. Waktu pengaliran

    diperoleh sebagai pendekatan dengan membagi panjang aliran maksimum dari saluran

    dengan kecepatan rata-rata aliran pada saluran tersebut.

    v60Lt 2 =

    di mana:

    t2 = waktu pengaliran (menit)

    L = panjang saluran (m)

    Nilai kecepatan rata-rata diperoleh dari rumus Manning:

    2/13/2 SRn1v =

    52

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    dengan:

    v = kecepatan aliran rata-rata (m/dtk)

    R = jari-jari hidraulis (m) = A/P

    A = luas penampang basah (m2)

    P = keliling basah (m)

    S = kemiringan saluran

    n = koefisien kekasaran Manning

    1.9.4 Daerah Pengaliran

    Luas daerah tangkapan hujan pada perencanaan saluran adalah daerah pengaliran yang

    menerima curah hujan selama waktu tertentu (intensitas hujan) sehingga menimbulkan debit

    limpasan yang harus ditampung oleh saluran untuk dialirkan ke sungai. Penampang

    melintang daerah pengaliran (A) seperti pada Gambar 19, dengan panjang yang ditinjau

    adalah sepanjang saluran (L).

    A = Lt x L

    A = L (L1 + L2 + L3)

    1.9.5 Koefisien Pengaliran

    Koefisien pengaliran atau koefisien limpasan (C) adalah angka reduksi dari intensitas hujan

    yang besarnya disesuaikan dengan kondisi permukaan, kemiringan atau kelandaian, jenis

    tanahdan durasi hujan. Untuk menentukan Cw dengan berbagai kondisi permukaan, dapat

    dihitung dengan cara sebagai berikut:

    ......AAA......A.CA.CA.C

    C321

    332211W

    +++

    +++=

    di mana:

    C1, C2, . = koefisien pengaliran sesuai dengan jenis permukaan

    A1, A2, . = luas daerah pengaliran (km2)

    CW = C rata-rata pada daerah pengaliran yang dihitung

    53

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Tabel 15 Koefisien Kekasaran Manning.

    Jenis Sarana Drainase Koefisien (n)

    Tak diperkerasan

    Tanah 0,020 0,025

    Pasir dan kerikil 0,025 0,040

    Dasar saluran batuan 0,025 0,035

    Dibuat di tempat

    Semen mortar 0,010 0,013

    Beton 0,013 0,018

    Batu belahPasangan batu adukan basah 0,015 0,030

    Pasangan batu adukan kering 0,025 0,035

    Dipasang di tempat

    Pipa beton sentrifugal 0,011 0,014

    Pipa beton 0,012 0,016

    Pipa bergelombang 0,016 0,025

    Tabel 16 Standar Koefisien Limpasan (C) Berdasarkan Kondisi Permukaan Tanah.

    Kondisi Permukaan Tanah C

    Jalur lalu lintasJalan aspal 0,70 0,95

    Jalan kerikil 0,30 0,70

    Bahu jalan dan lereng

    Tanah berbutir halus 0,40 0,65

    Tanah berbutir kasar 0,10 0,30

    Lapisan batuan keras 0,70 0,85

    Lapisan batuan lunak 0,50 0,75

    Tanah pasiran tertutup rumput Kelandaian

    0 2 % 0,05 0,10

    2 7 % 0,10 0,15

    > 7 % 0,15 0,20

    Tanah kohesif tertutup rumput Kelandaian

    0 2 % 0,13 0,17

    2 7 % 0,18 0,22

    > 7 % 0,25 0,35

    Atap 0,75 0,95

    Tanah lapangan 0,20 0,40

    Taman dipenuhi rumput dan pepohonan 0,10 0,25

    Daerah pegunungan datar 0,30

    Daerah pegunungan curam 0,50

    Sawah 0,70 0,80

    Ladang/huma 0,10 0,30

    Kawasan perdagangan

    Pusat perdagangan 0,70 0,95

    Daerah sekitarnya 0,50 0,70

    Kawasan industriKurang padat 0,50 0,80

    Padat 0,60 0,90

    Kawasan pemukiman

    Pemukiman dengan sedikit tanah terbuka 0,65 0,80

    Perumahan 0,50 0,70

    Pemukiman dengan tanah terbuka dan taman 0,30 0,50

    Daerah hijau dan lain-lain

    Taman 0,10 0,25

    Lapangan atletik 0,20 0,35

    Lapangan golf 0,20 0,40

    54

  • Kriteria Perencanaan Teknis

    Sawah dan hutan 0,10 0,30

    55

    1.1. Dasar Perencanaan1.2. Faktor-faktor Perencanaan1.3. Perencanaan Alur Pelayaran1.3.1 Kedalaman Alur1.3.2 Lebar Alur

    1.4. Perencanaan Kolam Pelabuhan1.4.1 Luas Kolam1.4.1.1 Kolam Putar (Turning Basin)1.4.1.2 Area Bongkar Muat1.4.1.3 Area Tambat

    1.4.2 Kedalaman Kolam

    1.5. Perencanaan Dermaga1.5.1 Panjang Dermaga1.5.2 Lebar Dermaga1.5.3 Tinggi Dek/Lantai Dermaga1.5.4 Pemilihan Alternatif Struktur Dermaga1.5.5 Beban Pada Dermaga1.5.5.1 Beban Horizontal1.5.5.2 Beban Vertikal

    1.5.6 Analisa Berthing1.5.6.1 Energi Kinetik1.5.6.2 Posisi Fender1.5.6.3 Jarak Antar Fender1.5.6.4 Kondisi Pembebanan Pada Fender

    1.5.7 Analisa Mooring1.5.7.1 Gaya Tambat1.5.7.2 Gaya Pada Tali

    1.5.8 Analisa Geoteknik1.5.9 Analisa Struktur

    1.6. Perencanaan Revertment1.6.1 Pemilihan Alternatif Struktur Revertment1.6.2 Analisa Geoteknik

    1.7. Perencanaan Bangunan1.7.1 Spesifikasi Bahan1.7.2 Pembebanan1.7.3 Struktur Bangunan Bawah 1.7.4 Struktur Bangunan Atas1.7.5 Model Matematis Program ETABS

    1.8. Perencanaan Jalan 1.8.1 Geometri Jalan1.8.1.1 Jarak Pandang1.8.1.2 Alinemen Horizontal1.8.1.3 Alinemen Vertikal1.8.1.4 Koordinasi Alinemen

    1.8.2 Perkerasan Jalan1.8.2.1 Lalu Lintas Rencana1.8.2.2 Daya Dukung Tanah Dasar1.8.2.3 Faktor Regional1.8.2.4 Indeks Permukaan1.8.2.5 Indeks Tebal Perkerasan

    1.9. Perencanaan Sistem Drainase1.9.1 Kemiringan Melintang Perkerasan Dan Bahu Jalan1.9.2 Debit Aliran1.9.3 Waktu Konsentrasi 1.9.4 Daerah Pengaliran1.9.5 Koefisien Pengaliran