digital 20234328 t29212 kewenangan kejaksaan

Upload: dablade

Post on 02-Jun-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    1/169

    UNIVERSITAS INDONESIA

    KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN

    TINDAK PIDANA KORUPSI

    TESIS

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Magister Hukum

    SALAHUDDIN LUTHFIE

    NPM. 0906581694

    FAKULTAS HUKUM

    PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

    PEMINATAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA

    JAKARTA

    JUNI 2011

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    2/169

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    3/169

    HALAMAN PENGESAHAN

    Tesis ini diajukan oleh :

    Nama : Salahuddin LuthfieNPM : 0906581694Program Studi : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

    Judul Tesis : Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak

    Pidana Korupsi

    Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

    sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

    Magister Hukum pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum,

    Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Indonesia.

    DEWAN PENGUJI

    Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. ...

    Ketua Sidang / Penguji

    Prof. Dr.jur. Andi Hamzah ...

    Pembimbing / Penguji

    Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. ...

    Anggota Sidang / Penguji

    Ditetapkan di : Jakarta

    Tanggal : 7 Juni 2011

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    4/169

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-

    Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam

    rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada

    Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem

    Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Saya menyadari

    bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan

    sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

    tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

    (1)Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, selaku dosen pembimbing yang telah

    menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengerahkan saya dalam

    penyusunan tesis ini;

    (2)Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dan Dr. Surastini Fitriasih, S.H.,

    M.H., selaku penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran

    untuk memberikan masukan dan saran, sehingga tesis ini menjadi lebih baik;

    (3)Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Pascasarjana

    Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beserta seluruh pimpinan dan staf,

    yang telah banyak memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi

    selama studi ini berlangsung;

    (4)Seluruh pengajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum,

    Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas

    Indonesia, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

    mentransfer ilmunya, sehingga sangat berguna dalam penyusunan tesis ini;

    (5)

    Para pimpinan dan rekan-rekan di Kejaksaan Agung R.I. dan wilayah, rekan-

    rekan di KPK, rekan-rekan Polri, dan seluruh pihak yang tidak mungkin saya

    sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh

    data yang saya perlukan;

    (6)

    Istri, anak-anak, kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta, yang telah

    memberikan begitu banyak dukungan materiil dan moril; dan

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    5/169

    (7)Rekan-rekan Kelas Pagi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum,

    Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas

    Indonesia, Angkatan Tahun 2009, yang telah banyak membantu saya dalam

    menyelesaikan tesis ini.

    Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua

    pihak yang telah banyak membantu. Semoga Tesis ini membawa manfaat bagi

    pengembangan ilmu hukum.

    Jakarta, 7 Juni 2011

    Salahuddin Luthfie

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    6/169

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

    TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS==========================================================

    Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

    bawah ini:

    Nama : Salahuddin Luthfie

    NPM : 0906581694

    Program Studi : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

    Peminatan : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana

    Fakultas : HukumJenis Karya : Tesis

    demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

    Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exlusive Royalty-

    Free Right)atas karya ilmiah saya yang berjudul:

    KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN

    TINDAK PIDANA KORUPSI

    beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

    Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-

    kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

    memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

    penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di : Jakarta

    Pada tanggal : 7 Juni 2011

    Yang menyatakan

    Salahuddin Luthfie

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    7/169

    viiUniversitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : Salahuddin LuthfieProgram Studi : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum

    Judul : Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana

    Korupsi

    Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam

    penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negara-

    negara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe

    penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkanbahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana

    korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan

    yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang

    dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak

    pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidakmemiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi

    penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan;

    mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat)

    tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap

    upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang

    intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakterbirokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando.

    Kata kunci:

    wewenang, penyidikan, korupsi

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    8/169

    Universitas Indonesia

    viii

    ABSTRACT

    Name : Salahuddin Luthfie

    Study Program : Postgraduate Magister of Legal Studies

    Title : The Authority of the Prosecution Service in the Investigation

    of Corruption

    This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in

    the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in

    other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution

    service. This type of research is the juridical-normative. The results of research

    reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in theinvestigation of corruption should be viewed from the aspect of historical,

    sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor

    relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries:

    the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have

    the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have theauthority of investigations but given the authority supervising the investigations,

    the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the

    investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution

    service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal

    remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and

    special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic,centralized, hierarchical accountability and command system.

    Key words:

    authority, investigation, corruption

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    9/169

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................

    iiiii

    KATA PENGANTAR .................................................................................... iv

    HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... vi

    ABSTRAK ...................................................................................................... vii

    DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

    DAFTAR TABEL ...........................................................................................

    DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

    xi

    xii

    1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1

    1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1

    1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 91.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10

    1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10

    1.5. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 11

    1.5.1. Kerangka Teori ................................................................. 11

    1.5.2. Kerangka Konseptual ........................................................ 151.6. Metode Penelitian .......................................................................... 16

    1.6.1. Bentuk dan Jenis Penelitian .............................................. 16

    1.6.2. Metode Pengumpulan Data ............................................... 16

    1.6.3. Penyajian dan Analisis Data ............................................. 17

    1.7. Sistematika Penulisan .................................................................... 17

    2. KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKANTINDAK PIDANA KORUPSI ............................................................. 19

    2.1. Korupsi .......................................................................................... 19

    2.1.1. Pengertian Korupsi ........................................................... 19

    2.1.2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi ............................. 22

    2.1.2.1. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundang-

    undangan Korupsi ................................................ 23

    2.1.2.2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi ..................... 25

    2.2. Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana ................................... 372.2.1. Jaksa Sebagai Penegak Hukum ........................................ 37

    2.2.2. Sistem Peradilan Pidana ................................................... 382.2.3. Kedudukan Kejaksaan Dalam Peradilan Pidana ............... 40

    2.2.3.1. Sebagai Penuntut Umum ..................................... 40

    2.2.3.2. Sebagai Penyidik ................................................. 43

    2.3. Dasar Pemikiran Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan

    Tindak Pidana Korupsi .................................................................. 45

    3. KEWENANGAN KEJAKSAAN DI BEBERAPA NEGARA ........... 603.1. Perbandingan Hukum .................................................................... 60

    3.2. Sistem Penuntutan ......................................................................... 60

    3.2.1. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut

    Asas Oportunitas ............................................................... 63

    3.2.2. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    10/169

    Asas Legalitas ................................................................... 65

    3.3. Selayang Pandang Kewenangan Kejaksaan di Beberapa Negara 66

    3.3.1. Peran Jaksa dan Polisi dalam Penyidikan ......................... 66

    3.3.2. Kejaksaan Negara Belanda ...............................................

    3.3.2.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan .....................3.3.2.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan ....3.3.2.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan ............................

    3.3.2.4. Peran Kejaksaan dalam Eksekusi ........................

    71

    737584

    85

    3.3.3. Kejaksaan Negara Inggris dan Wales ...............................

    3.3.3.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan .....................

    3.3.3.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan ....

    3.3.3.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan ............................

    88

    89

    91

    95

    4. MEKANISME PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI

    KEJAKSAAN ........................................................................................ 98

    4.1. Birokrasi dan Organisasi Kejaksaan .............................................. 984.2. Struktur Organisasi Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak

    Pidana Korupsi .............................................................................. 105

    4.3. Prosedur Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan .... 115

    4.3.1. Tahap Penyelidikan .......................................................... 115

    4.3.2. Tahap Penyidikan ............................................................. 1244.3.3. Tahap Penuntutan ............................................................. 131

    4.3.4. Tahap Upaya Hukum dan Eksekusi .................................. 137

    5. PENUTUP .............................................................................................. 145

    5.1. Kesimpulan .................................................................................... 1455.2. Saran .............................................................................................. 149

    DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 151

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    11/169

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1. Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan, Kepolisian,

    dan KPK Tahun 2004 s/d 2010 ....................................................... 7

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    12/169

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 4.1. Struktur Organisasi Kejaksaan Agung .... 108

    Gambar 4.2. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Agung .. 109

    Gambar 4.3. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Tinggi . 110

    Gambar 4.4. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Negeri .. 110

    Gambar 4.5. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung 112

    Gambar 4.6. Struktur Organisasi Direktorat Penyidikan . 113

    Gambar 4.7. Struktur Organisasi Direktorat Penuntutan . 113

    Gambar 4.8. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi 114

    Gambar 4.9. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri 114

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    13/169

    1Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Korupsi di Indonesia yang terjadi dalam 32 tahun pemerintahan orde baru

    yang dilakukan oleh keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat

    tercengang. Setelah orde baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda

    kesadaran pemerintah bahwa disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata

    oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sampai tahap

    menyedihkan.1 Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu

    meruyak di Indonesia. Begitu parahnya, bentuk penyalahgunaan wewenang itu

    malah dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak

    heran kalau dalam beberapa tahun terakhir lembaga riset Political and Economic

    Risk Consultancy(PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di

    Asia. Predikat serupa datang pula dari Transparency International yang selalu

    menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.2 Korupsi

    juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem

    perekonomian dan masyarakat dalam skala besar.3

    Salah satu alasan gagalnya penegakan hukum terhadap merajalelanya

    korupsi adalah tidak adanya konsensus tentang perbuatan apa yang merupakan

    korupsi yang patut dipidana. Mardjono Reksodiputro menerangkan beberapa

    pendekatan yang mungkin dapat menerangkan mengapa terjadi ketiadaan

    konsensus tersebut. Pendekatan pertama melihat hukum pidana sebagai sumber

    ketertiban sosial yang berfungsi menyelesaikan dan mencegah konflik. Hukum

    dilihat sebagai hasil konsensus. Penegakan bertujuan mempertahankan konsensus.

    Pendekatan kedua menganggap hukum pidana sebagai alat dalam konflik sosial,

    1Mardjono Reksodiputro. Korupsi dalam Sistem Hukum.Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian

    Korupsi di Indonesia. Ed. Hamid Basyaib, Richard Holloway, dan Nono Anwar Makarim. Jakarta:Aksara Foundation, 2002. hal. 25.2Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej. Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia.

    Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Ed. Wijayanto danRidwan Zachrie. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. hal. 554.3Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara & Konsultan

    Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002. hal. sampul.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    14/169

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    15/169

    Universitas Indonesia

    3

    akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.8Oleh

    karena itu, keberadaan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, mempunyai

    kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu negara hukum

    karena kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan

    di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus

    mampu mengemban tugas penegakan hukum.

    Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain

    melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-

    undang.9 Kewenangan dalam ketentuan tersebut sebagaimana diatur misalnya

    dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

    Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.10

    Pada waktu HIR masih berlaku sebagai hukum acara pidana di Indonesia,

    penyidikan dianggap bagian dari penuntutan. Kewenangan yang demikian

    menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan, bahkan jaksa

    dapat melakukan sendiri penyidikan.11

    Setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting.

    Perubahan yang dibawa oleh KUHAP mengakibatkan pembagian kewenangan

    sebagai berikut:12

    a. Kepolisian

    (1) Dibidang penyidikan, kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak

    pidana umum.

    (2) Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.

    8Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali,

    1983. hal. 5.9Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67. Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4401. Pasal 30 ayat (1) huruf d.10Ibid. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d.11

    Marwan Effendy. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005. hal. 145.12

    Topo Santoso. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan. Depok: Pusat Studi PeradilanPidana Indonesia (Centre for Indonesian Criminal Justice Studies), 2000. hal. 5.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    16/169

    Universitas Indonesia

    4

    (3) Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai

    Negeri Sipil (PPNS).

    b. Kejaksaan

    (1) Dibidang penyidikan, kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak

    pidana khusus yang meliputi tindak pidana korupsi dan tindak pidana

    ekonomi, walaupun ini sifatnya sementara.

    (2) Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan

    penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang.

    Setelah digantinya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan

    Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),kewenangan kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penyidikan

    sebagaimana diatur dalam Pasal 39 HIR hampir seluruhnya dicabut, bahkan

    dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan dibidang penuntutan bukan

    lagi monopoli kejaksaan.

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    (KUHAP) memisahkan secara tegas fungsi yang menyangkut penyidikan danpenuntutan, meskipun kejaksaan masih diberikan kewenangan untuk melakukan

    penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti yang dinyatakan pada Pasal

    284 ayat (2), tetapi sifatnya hanya sementara. Ketika Undang-Undang Nomor 2

    Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang

    Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    diberlakukan, fungsi penyidikan dan penuntutan dalam penanganan tindak pidana

    korupsi yang sebelumnya merupakan sebagian tugas dan wewenang kejaksaan

    juga mengalami perubahan. Ironisnya, pembuat undang-undang bertindak ambigu

    karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai landasan filosofi yang

    jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik masalah hukum masa

    kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum (ius contituendum).13

    13

    Romli Atmasasmita.Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung:CV. Mandar Maju, 2001. hal. 92.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    17/169

    Universitas Indonesia

    5

    Di satu sisi, KUHAP memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan,

    kecuali terhadap tindak pidana tertentu (tindak pidana korupsi dan tindak pidana

    ekonomi), namun di sisi lain, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26

    Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejaksaan diberi lagi

    kewenangan untuk menyidik pelanggaran HAM berat [sebagaimana diatur dalam

    Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1)], bahkan dengan

    berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kejaksaan juga diberikan

    kewenangan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (sebagaimana diatur

    dalam Pasal 74). Hal tersebut menunjukkan eksistensi kewenangan kejaksaan

    dalam penyidikan tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.

    Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian

    opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat

    (Malaysia).14

    Dalam KUHAP, definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan

    penyidik dalam hal dan merurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk

    mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak

    pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.15Penyidik adalah Pejabat

    Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang

    diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.16

    KUHAP merupakan peraturan umum dalam arti hukum acara pidana yang

    bersifat umum. Sesuai dengan asas tidak ada peraturan tanpa kekecualian (there

    is no rule without exception) maka perlu diamati tentang kekecualian peraturan

    tersebut. Kekecualian tersebut adalah aturan/ketentuan khusus acara pidana.

    Aturan/ketentuan khusus acara pidana dicantumkan pada Pasal 284 ayat (2)

    KUHAP, yang perumusannya sebagai berikut: Dalam waktu dua tahun setelah

    undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan

    ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai

    14Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. hal. 118.15

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 3209. Pasal 1 angka 2.16Ibid. Pasal 1 angka 1.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    18/169

    Universitas Indonesia

    6

    ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang

    tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.17

    Menurut Indriyanto Seno Adji, Pasal 284 ayat (2) KUHAP telah

    menimbulkan 2 (dua) interpretasi yang berbeda diantara lembaga kepolisian

    dengan lembaga kejaksaan. Bagi kejaksaan, yang dimaksudkan dengan jangka

    waktu 2 (dua) tahun hanyalah penanganan perkara-perkara tindak pidana umum

    saja. Sedangkan jaksa tetap merupakan penyidik tindak pidana tertentu, yaitu

    tindak pidana ekonomi dan korupsi. Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 17

    Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.18

    Agar ada kesatuan pendapat mengenai makna dari Pasal 284 ayat (2)

    KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang

    Pelaksanaan KUHAP. Pada Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tersebut dinyatakan

    bahwa penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut

    pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2)

    KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang

    lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.19

    Menurut Harun M. Husein, ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP harus

    dihubungkan dengan Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan

    KUHAP, dimana kewenangan jaksa tidak hanya meliputi tugas penuntutan

    sebagaimana diatur dalam KUHAP, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan

    terhadap setiap tindak pidana yang memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat

    khusus.20

    Kejaksaan memiliki landasan yuridis dalam hal kewenangan melakukan

    penyidikan tindak pidana korupsi. Namun kewenangan kejaksaan dalam

    penyidikan tindak pidana korupsi tersebut seringkali dipermasalahkan oleh

    beberapa kalangan karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas,

    diantaranya adalah permohonan uji materiil terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d

    17Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan). Jakarta:

    Sinar Grafika, 2009. hal. 166.18Indriyanto Seno Adji.Arah Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan

    Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan, 2001. hal. 5.19Evi Hartanti. Op. Cit. hal. 39.20

    Harun M. Husein. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,1991. hal. 7.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    19/169

    Universitas Indonesia

    7

    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

    mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana

    korupsi, dimana Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan

    permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).21

    Menarik untuk diperhatikan produktivitas lembaga-lembaga yang memiliki

    kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu Kejaksaan, Polri, dan KPK,

    dimana hal tersebut dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

    Tabel 1

    Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

    Kejaksaan, Kepolisan, dan KPK

    Tahun 2004

    s

    /d2010

    22

    TAHUN KEJAKSAAN POLRI KPK

    2004 523 311 2

    2005 546 215 12

    2006 588 225 26

    2007 636 155 23

    2008 1.348 190 47

    2009 1.533 427 37

    2010 1.718 277 46

    Dari data kuantitatif di atas, dapat dibayangkan apabila kejaksaan tidak

    berwenang lagi melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, padahal dapat

    dikatakan bahwa sebagian besar elemen bangsa sepakat bahwa kompleksnya

    permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi-dimensional serta ancaman

    nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana

    korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi

    secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan

    jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya

    pemerintah dan para penegak hukum.

    21Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008.22

    Sumber: elaborasi data Direktorat Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung danKPK.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    20/169

    Universitas Indonesia

    8

    Dalam kaitan dengan kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan

    penyidikan tersebut, tahun 1999 di Bangkok dalam The Asia Crime Prevention

    Foundation (ACPF) Working Group Meeting on The Role of the Prosecutor in

    the Changing World, dikelompokkan peran kejaksaan dalam dua sistem yang

    dianut oleh kejaksaan di berbagai negara, yaitu:23

    1)Mandatory Prosecutorial System

    Jaksa dalam menangani suatu perkara hanya berdasarkan alat-alat bukti yang

    sudah ada dan tidak terhadap hal-hal yang diluar yang sudah ditentukan,

    kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu.

    2)Discretionary Prosecutorial System

    Jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan tertentu dan bisa mengambil

    berbagai tindakan dalam penyelesaian/penanganan suatu perkara. Dalam sistem

    ini, jaksa dalam mengambil keputusan, selain mempertimbangkan alat-alat

    bukti yang ada, juga mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi

    terjadinya suatu tindak pidana, keadaan-keadaan dimana tindak pidana itu

    dilakukan, atribut-atribut pribadi dari terdakwa dan korban, tingkat penyesalan

    terdakwa, tingkat pemaafan dari korban, dan pertimbangan-pertimbangan

    kebijakan publik.

    Menurut Andi Hamzah, mengenai peranan jaksa berkaitan dengan

    penyidikan, ada 4 (empat) kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu:24

    -

    Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di

    Belanda, Prancis, Jerman, Austria, Jepang, dan Korea;

    - Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, seperti kejaksaan

    di Rusia, Georgia, Thailand, dan China;

    - Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang

    supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Inggris dan Wales;

    23Marwan Effendy. Op. Cit. hal. 86.

    24Andi Hamzah. Penyampaian Masukan Rencana Undang-Undang tentang Perubahan atas

    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Disampaikan

    dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI, tanggal 9 Februari 2011. Catatan:Wewenang Jaksa Agung (Attorney General) Amerika Serikat adalah yang palingpowerfuldi

    dunia, wewenangnya sama dengan wewenang Jaksa Agung RI ditambah wewenang Kapolri danditambah dengan wewenang Menteri Hukum HAM RI minusImigrasi.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    21/169

    Universitas Indonesia

    9

    - Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan tindak

    pidana, seperti kejaksaan di Malta.

    Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas menunjukkan

    eksistensi kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, namun

    demikian beberapa kalangan tetap saja mempermasalahkan kewenangan tersebut.

    Oleh karena itu polemik mengenai wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak

    pidana korupsi masih layak untuk diteliti.

    1.2. Rumusan Masalah

    Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan

    perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus

    yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas

    tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki

    seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menimbulkan bencana tidak saja

    terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa

    dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis

    mengakibatkan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai

    kejahatan biasa. Hal tersebut menyebabkan upaya pemberantasannya tidak lagi

    dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Salah satu

    cara luar biasa dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut diantaranya

    melalui pemberian wewenang penyidikan terhadap beberapa lembaga, sehingga

    upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut diharapkan dapat lebih

    optimal.

    Kejaksaan merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki wewenang

    melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, selain Kepolisian Negara Republik

    Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).

    Kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh tiga lembaga berbeda tersebut,

    dituding oleh beberapa kalangan dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan

    dan ketidakpastian hukum, selain itu kewenangan kejaksaan dalam melakukan

    penyidikan tindak pidana korupsi juga dipermasalahkan karena dinilai tidak

    memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sungguh ironi mengingat

    kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi telah

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    22/169

    Universitas Indonesia

    10

    ada sejak berdirinya lembaga tersebut, dimana kejaksaan telah melakukan

    penyidikan tindak pidana korupsi yang jumlahnya tidak sedikit, atau dengan kata

    lain kejaksaan telah memberikan sumbangsih yang boleh dibilang cukup

    signifikan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

    Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, yang menjadi pernyataan

    permasalahan (statement of the problem) yang akan diteliti adalah polemik

    mengenai wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, dengan

    pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut:

    1)Apakah yang menjadi dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam

    penyidikan tindak pidana korupsi?

    2)

    Bagaimanakah tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain?

    3)Bagaimanakah mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan?

    1.3. Tujuan Penelitian

    Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

    1)Untuk memperoleh gambaran tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan

    dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

    2)

    Untuk memperoleh gambaran tentang tugas dan wewenang kejaksaan dinegara-negara lain.

    3)Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme penanganan tindak pidana

    korupsi di kejaksaan.

    1.4. Manfaat Penelitian

    Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan

    tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini memberikan manfaat

    sebagai berikut:

    1)Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi

    pengembangan dan pengkajian ilmu hukum khususnya hukum acara pidana

    yang berkaitan dengan polemik tentang wewenang kejaksaan dalam penyidikan

    tindak pidana korupsi.

    2)Manfaat Praktis

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    23/169

    Universitas Indonesia

    11

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh para praktisi hukum

    dalam rangka penegakan hukum pidana khususnya pemberantasan tindak

    pidana korupsi guna meminimalisir terjadinya polemik tentang wewenang

    kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.

    1.5. Kerangka Pemikiran

    1.5.1. Kerangka Teori

    Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice

    system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

    kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan

    agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil

    apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi

    korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke

    sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.25

    Sistem peradilan

    pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan

    untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk

    mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang

    dapat diterimanya.26

    Dengan pengertian demikian maka cakupan sistem peradilanpidana sebagai berikut: (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b)

    menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan

    telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang

    pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Komponen-

    komponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi-instansi

    (badan-badan) yang kita kenal dengan nama: kepolisian - kejaksaan - pengadilan -

    dan pemasyarakatan.27Masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana

    tersebut (kepolisian - kejaksaan - pengadilan - pemasyarakatan) sering terlalu

    25Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan

    Kejahatan).Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan BukuKetiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (

    d/hLembaga Kriminologi)

    Universitas Indonesia, 2007. hal. 84.26

    Mardjono Reksodiputro. Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem PeradilanPidana (Suatu Pemikiran Awal). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, KumpulanKarangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (

    d/hLembaga

    Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 140.27Ibid. 140-141.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    24/169

    Universitas Indonesia

    12

    dipengaruhi oleh tujuan-tujuan sendiri, dan mudah melupakan adanya tujuan

    bersama keseluruhan sistem (yang biasanya digariskan dalam kebijakan kriminal

    atau criminal policy pemerintah). Pendekatan keterpaduan (integrated

    approach) yang diharapkan itu, masih harus lebih dibuktikan lagi dalam

    pelaksanaan hasil-hasil pertemuan bersama yang dikenal sebagai rapat kerja

    Makehjapol (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Polri).

    Melalui pertemuan-pertemuan semacam ini, harus dihasilkan kebijakan-kebijakan

    penegakan hukum yang jelas yang disepakati dan dilaksanakan secara konsisten

    oleh semua sub-sistem. Disamping itu tentu harus ada jaminan bahwa kebijakan-

    kebijakan tadi benar-benar ditaati pelaksanaannya oleh masing-masing sub-

    sistem. Kepastian (pelaksanaan) hukum semacam inilah yang antara lain

    diharapkan masyarakat, misalnya dalam penanggulangan masalah korupsi.28

    Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga

    kerugian yang dapat diperkirakan:29

    1)

    kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing

    instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

    2)kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah(-masalah) pokok masing-masing

    instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana); dan

    3)karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,

    maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari

    sistem peradilan pidana.

    Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menerangkan bahwa desain prosedur

    (procedural design) sistem peradilan pidana (SPP) dapat dibagi tiga:

    (a)tahap pra-adyudikasi (pre-adjudication),

    (b)tahap adyudikasi (adjudication), dan

    (c)

    tahap pasca-adyudikasi (post-adjudication).

    28Mardjono Reksodiputro. Menumbuhkan dan Mengembangkan Disiplin Nasional (SuatuPerspektif Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,

    Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h

    Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 138-139.29

    Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum MelawanKejahatan). Op. Cit. hal. 85.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    25/169

    Universitas Indonesia

    13

    Ketiga urutan tersebut memang menunjukkan desain prosedur, tetapi belum jelas

    adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Sebenarnya bilamana

    kita tengok kembali diskusi-diskusi yang alot pada penyusunan KUHAP 1981,

    sudah terasa bagaimana adanya gesekan dan benturan antara kewenangan

    penyidikan atau investigation (police) powers dengan kewenangan

    penuntutan/pendakwaan atau prosecutorial(public prosecutor)powers.30

    Negara Indonesia adalah Negara Hukum.31 Prinsip penting negara hukum

    adalah supremasi hukum yang memiliki jaminan konstitusional dalam proses

    politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

    Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh

    hukum. Lembaga kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang terkait

    dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, memiliki tugas dan

    wewenangnya yang ditetapkan dalam hukum (peraturan perundang-undangan),

    karena secara konstitusional Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa

    negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaam

    (machsstaat).32

    Dalam pelaksanaan supremasi hukum, UUD 1945 tidak menganut ajaran

    pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi pembagian kekuasaan

    (distribution of powers). Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945, bahwa Presiden,

    selain mempunyai kekuasaan eksekutif juga mempunyai kekuasaan legislatif,

    misalnya membuat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, disamping itu

    Presiden juga mempunyai kekuasaan yudikatif, misalnya memberikan grasi,

    amnesti, abolisi.33

    Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum (berdasarkan

    peraturan perundang-undangan) dituntut untuk berperan guna menegakkan

    supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi

    manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, antara lain

    30Mardjono Reksodiputro.Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia(Revisi 26 Januari

    dan 21 April 2010). Makalah yang disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas BatanghariJambi - Pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional 9 Desember 2009.Jambi: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Batanghari, 24 April 2010. hal. 4-5.31

    UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) perubahan ketiga.32

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008. hal. 17.33Ibid.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    26/169

    Universitas Indonesia

    14

    dilakukan melalui fungsi penyidikan dan penuntutan, dalam hal penyidikan, yakni

    terhadap tindak pidana tertentu34, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-

    Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,

    Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,

    dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

    Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Mengenai kewenangan penyidikan dan penuntutan, Mardjono Reksodiputro

    memandang terdapat beberapa kekeliruan di Indonesia, diantaranya yang ingin

    beliau luruskan adalah sebagai berikut:35

    -

    Kepolisian dan kejaksaan harus bekerjasama dalam proses SPP, secara in

    tandem (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian kepolisian yang

    mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upaya-

    paksa yang diberi undang-undang, hanya Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)

    (Bel : de rechterlijke politie, Ing : criminal investigation division CID). Dan

    kalau divisi ini dahulu dinamakan hulp-magistraat (magistrat-pembantu),

    jangan merasa terhina. Ini sekedar istilah dan bukan untuk merendahkan

    kepolisian, seperti juga ada istilah magistrat duduk (hakim) dan magistrat

    berdiri (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa terhina kalau pejabat

    reskrim dinamakan sebagai magistrat-pendamping.

    - Tidak dikenal monopoli wewenang kepolisian (police powers),karena publik

    juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal tertangkap tangan),

    begitu pula: instansi Imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansi-

    instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal

    monopoli wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP

    untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar

    negeri dikenal adanya private prosecutor (disamping state/public

    prosecutor) atau special prosecutor (dalam hal tersangka/terdakwa adalah

    hakim, menteri atau presiden). Di Inggris prosecution diserahkan oleh

    Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).

    34

    Ibid. hal. 18.35Mardjono Reksodiputro. 2010. Op. Cit. hal. 7-8.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    27/169

    Universitas Indonesia

    15

    - Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan,

    harus dilihat dalam pengertian division of powers(pembagian kewenangan)

    dan bukan separation of powers (pemisahan kewenangan). Tujuan

    pembagian kewenangan ini adalah untuk saling mengawasi (check and

    balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan

    sinergi (disinilah letak pengertian SPP Terpadu).

    1.5.2. Kerangka Konseptual

    Penulisan tesis ini menggunakan beberapa batasan istilah atau definisi yang

    berkaitan dengan tema yang dibahasnya dengan memberikan pengertian dari

    mengutip perumusan definisi-definisi dan istilah penting dari kamus, pendapat

    ahli dan ketentuan perundang-undangan. Penulis berharap dengan adanya

    pembatasan ini akan dapat menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang

    digunakan dalam menyusun tesis ini. Pembatasan istilah tersebut adalah sebagai

    berikut:

    Wewenang: Serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang

    pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat

    terlaksana dengan baik; hak dan kekuasaan; kompetensi; yurisdiksi; otoritas.36

    Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

    negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.37

    Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

    cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

    bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi

    dan guna menemukan tersangkanya.38

    Tindak pidana: perbuatan yang diancam dengan pidana, yang bersifatmelawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang

    yang mampu bertanggung jawab.39

    36Andi Hamzah. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. hal. 633.

    37Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Op. Cit. Pasal 2

    ayat (1).38

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Op. Cit. Pasal 1 angka 2.39Andi Hamzah.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. hal. 88.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    28/169

    Universitas Indonesia

    16

    Korupsi (dari latin corruptio = penyuapan; dan corrumpore = merusak)

    yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya

    penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.40

    Corruption: The act of doing something with an intent to give some

    advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciarys or

    officials use of a station or office to procure some benefit either personally or for

    someone else, contrary to the rights of others.41

    1.6. Metode Penelitian

    Metode penelitian diperlukan guna mendapatkan data yang dipergunakan

    sebagai bahan pembahasan dan analisis untuk menjawab permasalahan yang

    dirumuskan sehingga dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan. Untuk

    kepentingan itulah maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

    terdiri dari sistematika sebagai berikut:

    1.6.1. Bentuk dan Jenis Penelitian

    Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif serta

    ditunjang dengan pengalaman dan pengamatan penulis yang telah lebih dari 10

    (sepuluh) tahun bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan

    beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia. Pemilihan jenis penelitian ini

    didasarkan pada pemikiran bahwa pada dasarnya penelitian ini hendak

    menganalisis tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan

    tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain, dan

    mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan.

    1.6.2. Metode Pengumpulan Data

    Berdasarkan bentuk dan jenisnya, data yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah data sekunder dan data primer.

    Data sekunder merupakan data utama dalam penelitian ini. Data sekunder

    diperoleh melalui studi kepustakaan berupa bahan hukum primer (primary

    40Hassan Shadily, et al., ed.Ensiklopedia Indonesia(Jilid 4). Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve dan

    Elsevier Publishing Projects, 1983. hal. 1876.41

    Bryan A. Garner, et al., ed.Blacks Law Dictionary(7th

    ed.). St. Paul, Minn.: West Group, 1999.hal. 348.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    29/169

    Universitas Indonesia

    17

    sources), bahan hukum sekunder (secondary sources), dan bahan hukum tersier

    (tertiary sources). Bahan hukum primer (primary sources) yakni bahan hukum

    yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki perundang-

    undangan, mulai UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

    dan aturan lain dibawah Undang-Undang, serta bahan hukum asing sebagai

    pembanding bahan hukum yang ada untuk mengkaji permasalahan yang telah

    dirumuskan. Bahan hukum sekunder (secondary sources) adalah bahan hukum

    yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, kasus-kasus

    hukum, serta simposium yang dilakukan pada pakar untuk mengkaji permasalahan

    yang telah dirumuskan. Bahan hukum tersier (tertiary sources) adalah bahan

    hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan

    hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia,

    dan lain-lain.

    Sebagai data pendukung maka data primer dalam penelitian ini diperoleh

    melalui pengalaman dan pengamatan penulis yang telah lebih dari 10 (sepuluh)

    tahun bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan beberapa

    Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia, dimana terlibat secara langsung maupun

    tidak langsung dalam beberapa proses penanganan perkara tindak pidana korupsi

    di berbagai daerah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis tersebut,

    selanjutnya dituangkan serta dianalisis untuk mengkaji permasalahan yang telah

    dirumuskan.

    1.6.3. Penyajian dan Analisis Data

    Seluruh data yang diperoleh, baik data sekunder maupun data primer,

    kemudian dianalisis secara kualitatif selanjutnya dipaparkan. Analisis dilakukan

    secara kualitatif karena data yang diperoleh dari penelitian lapangan tidak

    dihitung secara statistik, melainkan dikaitkan dengan teori-teori dan pendapat para

    pakar yang diperoleh dari penelitian pustaka agar dapat menjelaskan atau

    menjawab permasalahan yang dirumuskan.

    1.7. Sistematika Penulisan

    Tesis disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-

    masing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    30/169

    Universitas Indonesia

    18

    dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-

    masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:

    Bab 1, merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan

    masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode

    penelitian, dan sistematika penulisan.

    Bab 2, merupakan pembahasan tentang kewenangan kejaksaan dalam

    penyidikan tindak pidana korupsi, yang berisikan uraian tentang korupsi, yakni

    pengertian korupsi dan sejarah perundang-undangan korupsi, kemudian uraian

    tentang kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, yakni jaksa sebagai penegak

    hukum, sistem peradilan pidana, dan kedudukan kejaksaan dalam sistem peradilan

    pidana, selanjutnya uraian tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam

    penyidikan tindak pidana korupsi.

    Bab 3, merupakan pembahasan tentang kewenangan kejaksaan di beberapa

    negara, yang berisikan pengertian perbandingan hukum, kemudian uraian tentang

    sistem penuntutan, yakni sistem penuntutan di negara-negara yang menganut asas

    oportunitas dan sistem penuntutan di negara-negara yang menganut asas legalitas,

    selanjutnya selayang pandang kewenangan kejaksaan di beberapa negara, yakni

    peran jaksa dan polisi dalam penyidikan, kejaksaan negara Belanda, kejaksaan

    negara Inggris dan Wales.

    Bab 4, merupakan pembahasan tentang mekanisme penanganan tindak

    pidana korupsi di kejaksaan, yang berisikan uraian tentang birokrasi dan

    organisasi kejaksaan, kemudian uraian tentang struktur organisasi kejaksaan

    dalam penanganan tindak pidana korupsi, selanjutnya uraian tentang prosedur

    penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan, yakni tahap penyelidikan, tahap

    penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi.

    Bab 5, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    31/169

    19Universitas Indonesia

    BAB 2

    KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

    KORUPSI

    2.1. Korupsi

    2.1.1. Pengertian Korupsi

    Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio

    atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptioitu berasal pula dari kata

    asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke

    banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu

    corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan

    diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu

    korupsi.42

    Dalam Ensiklopedia Indonesia, korupsi (dari latin corruptio = penyuapan;

    dan corrumpore= merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara

    menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan

    lainnya.43

    Dalam Black Law Dictionary, pengertian korupsi (corruption) adalah the

    act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with

    officially duty and the rights of others; a fiduciarys or officials use of a station

    or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary

    to the rights of others.44

    Menurut Max Weber, pengertian korupsi (corruption) adalah behaviour

    which deviates from the formal duties of a public role because of private-

    regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status-gains; or

    violates rules against the exercise of certain types of regarding behaviour.45

    42Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.

    Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. hal. 4.43

    Hassan Shadily, et al., ed. Op. Cit. hal. 1876.44

    Bryan A. Garner, et al., ed. Op. Cit. hal. 348.45

    Robert Klitgaard. Controlling Corruption. Los Angeles: University of California Press, 1988.

    hal. 23.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    32/169

    Universitas Indonesia

    20

    Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:46

    a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan

    ketidakjujuran.

    b.

    Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan

    sebagainya.

    c. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk;

    Perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral; Sesuatu yang dikorup,

    seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat;

    Pengaruh-pengaruh yang korup.

    Menurut Harkristuti Harkrisnowo, korupsi adalah suatu virus yangtersembunyi di Indonesia, menghancurkan sistem kelembagaan masyarakat,

    menyebar di seluruh lembaga negara. Jadi penyebaran kejahatan jenis ini menjadi

    terinstitusi dan kemungkinan sebagai bagian dari budaya.47 Mardjono

    Reksodiputro menerangkan bahwa isu yang beredar di masyarakat adalah tentang

    pemberian hadiah untuk memperoleh fasilitas (tempat dan perlindungan)

    dalam tahanan polisi, yang penting juga perlindungan dari ancaman fisik dan

    mental sesama tahanan di lembaga pemasyarakatan. Tuduhan berat dalam

    penanganan kriminil polisi adalah bahwa imbalan yang dapat diminta termasuk

    tutup mata terhadap kejahatan dan pelakunya. Lebih berat dari itu adalah bahwa

    penutupan perkara yang sedang disidik, dengan alasan tidak cukup bukti, juga

    diperdagangkan. Ini menimbulkan kehebohan terutama bila menyangkut perkara

    tersangka koruptor kakap.48

    Syed Hussein Alatas mengemukakan bahwa kita menyebut korupsi apabila

    seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang

    dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa

    kepada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan

    pemberian seperti itu atau hadiah lain yang juga tercakup dalam konsep itu.

    Pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan

    46Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik danMasalahnya. Bandung: PT. Alumni, 2007. hal. 78.47Harkristuti Harkrisnowo. Combatting Corruption in Indonesia: an Imposible Mandat?.

    Newsletter KHN, Edisi Mei-Juni 2004. hal. 32.48Mardjono Reksodiputro. 2002. Op. Cit. hal. 37.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    33/169

    Universitas Indonesia

    21

    tugas-tugas publik juga bisa dipandang sebagai korupsi. Sesungguhnya istilah itu

    terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana rakyat

    yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain, mereka yang

    bersalah melakukan penggelapan diatas harga yang dibayar oleh publik.49

    Korupsi pada hakikatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga

    masalah sosial. Menurut B. Sudarso dalam bukunya Korupsi di Indonesia,

    menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar, yang oleh

    sementara kalangan dikatakan sudah merupakan way of life, orang setengah

    putus asa dan acuh tak acuh. Malahan, ada pendapat yang menyebutkan bahwa

    sebaiknya kita tidak berbicara mengenai korupsi lagi, tetapi pembangunan saja.

    Pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit itu

    akan sungguh-sungguh dapat diatasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian

    biasanya tidak berlangsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan,

    kekecewaan, dan kemudian sinisme.50

    Ketika pembicaraan tentang korupsi dikaitkan dengan penyebab terjadinya

    korupsi, pada umumnya orang akan berpaling untuk menghubungkannya tumbuh

    suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang untuk dikaitkan, misalnya,

    kurangnya gaji pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat kurang baik,

    administrasi dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur

    yang berliku-liku, dan sebagainya.51

    Baharuddin Lopa menyatakan bahwa tampaknya masalah korupsi ini selalu

    ada. Ia akan ada dalam masyarakat primitif (tradisional), ia akan ada di suatu

    masyarakat yang sedang membangun, dan bahkan ia akan ada di suatu masyarakat

    yang sudah maju sekalipun. Rupa-rupanya perbuatan korupsi ini sejak semula

    lahir bersama kelahirannya dunia ini dan agaknya umurnya pun akan seumur

    dengan dunia, apabila kita tidak mulai dari sekarang bersungguh-sungguh

    mencegah/memberantasnya.52

    49Syed Hussein Alatas. Sosiologi Korupsi. Penerjemah Al Gozie Usman. Jakarta: LP3ES, 1986.

    Terjemahan dari The Sociology of Corruption, Singapore: Donald Moore Press, 1968. hal. 1.50Djoko Prakoso. Peranan Pengawasan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:

    Aksara Persada Indonesia, 1990. hal. 70.51Ibid.52

    Baharuddin Lopa. Korupsi, Sebab-Sebabnya dan Penanggulangannya. Jakarta: Prisma 3, 1986.hal. 24.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    34/169

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    35/169

    Universitas Indonesia

    23

    20 Tahun 2001 menunjukkan adanya pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum

    ini tidak hanya terbatas pada substansi atau segi-segi materiil dari korupsi saja,

    namun juga hukum formilnya atau hukum acaranya.

    Berkenaan dengan hukum acaranya, dalam hal ini masalah upaya penegakan

    hukum, jadi berkaitan dengan kewenangan penegakan hukum juga mengalami

    perkembangan.

    2.1.2.1. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundang-undangan Korupsi

    Alasan yang menjadi dasar dikeluarkannya peraturan tentang korupsi selalu

    bermuara pada pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dirasa

    kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan

    masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans masing-masing

    peraturan perundang-undangan tersebut, yakni sebagai berikut:

    1) Konsiderans Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor

    Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan

    Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda

    - Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut

    keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang

    mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaranlainnya dari masyarakat, misalnya, baik koperasi, wakaf,

    maupun yang lainnya yang bersangkutan dengan kedudukan si

    pembuat pidana, perlu diadakan tambahan berupa aturan pidana,pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat

    memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut perbuatankorupsi.

    - Bahwa dalam hubungan pemberantasan perbuatan-perbuatan

    korupsi sebagaimana dimaksud di atas, perlu diadakan pula

    peraturan yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta

    benda yang kurang/tidak terang siapa pemiliknya atau yang

    dicurigai cara memperolehnya.

    2) Konsiderans Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan,

    Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

    Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan

    negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan

    modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau

    masyarakat, bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang

    bersangkutan dengan kedudukan si petindak pidana, perlu diadakan

    beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus

    tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    36/169

    Universitas Indonesia

    24

    memberantas perbuatan-perbuatan itu disebut tindak pidana

    korupsi.

    3) Konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi- Bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan

    keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan

    nasional.

    - Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang

    Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana

    Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang

    mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan

    oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.

    4) Konsiderans Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi, butir c

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan

    perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu

    perlu diganti dengan undang-undang pemberantasan t indak pidanakorupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam

    mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.

    5) Konsiderans Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas

    Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

    Korupsi, butir a dan b

    - Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara

    meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga

    telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

    ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi

    perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya

    harus dilakukan secara luar biasa..

    - Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, dan

    memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomimasyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas

    tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi.

    Dari beberapa konsiderans sebagaimana tersebut di atas, tercermin suatu proses

    pembuatan peraturan perundang-undangan yang ditujukan agar hukum pidana

    khusus lebih efektif untuk menangkal korupsi. Lebih dari itu, merupakan

    komitmen positif dari penyelenggara negara untuk secara aktif berusaha

    memberantas korupsi. Komitmen ini diwujudkan dengan cara mengganti

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    37/169

    Universitas Indonesia

    25

    peraturan perundang-undangan yang dianggap kurang akomodatif terhadap

    permasalahan penanganan tindak pidana korupsi.

    2.1.2.2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi

    Sebelum membahas mengenai siapa yang berwenang dalam penyidikan

    tindak pidana korupsi, terlebih dahulu akan dibahas sejarah perkembangan

    perumusan tindak pidana korupsi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa

    penegakan hukum akan terkait erat dengan pemaknaan terhadap korupsi itu

    sendiri.

    1) Periode Penguasa Perang Militer

    Sebelum keluarnya Peraturan Penguasa Militer, KUHP telah mengatur korupsiatau yang dikenal dengan delik jabatan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah

    yang terdapat dalam Bab XXVIII yaitu penggelapan Pasal 415; pemalsuan

    Pasal 416; menerima suap Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420; serta

    menguntungkan diri sendiri secara tidak sah Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal

    435.54

    Perbuatan-perbuatan yang merupakan delik jabatan atau tindak pidana yang

    dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) berupa tindakan penggelapan, pemalsuan,menerima suap, dan menguntungkan diri sendiri yang dilarang. Pasal-pasal

    yang telah disebutkan merupakan perbuatan korupsi sebelum adanya Peraturan

    Penguasa Militer tentang perbuatan korupsi.55

    a) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-

    06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi

    Pasal 1

    (1)

    Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik

    untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lainatau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidaklangsung menyebabkan kerugian bagi keuangan

    perekonomian negara;(2)

    Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang

    menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah

    ataupun selama suatu badan yang menerima bantuan dari

    keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan

    54Sudarto.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981. hal. 125.55

    Soedjono Dirdjosisworo. Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsidi Indonesia. Bandung: Sinar Baru, 1984. hal. 16.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    38/169

    Universitas Indonesia

    26

    kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan

    kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung

    membawa keuntungan materiil baginya.

    Memperhatikan perumusan pasal tersebut, perumusan subjek/pelaku yang

    dapat dijerat dengan korupsi adalah sangat luas, yaitu tiap perbuatan yang

    dilakukan oleh siapapun juga. Disamping itu, perbuatan yang

    dikategorikan sebagai korupsi juga sangat luas, yaitu menggunakan

    kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya

    oleh jabatan.

    Selain itu, kewenangan yang dimiliki oleh penguasa militer sangat besar.

    Hal ini lebih dimaksudkan untuk mempermudah penanganan tindak pidana

    korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Peraturan Penguasa

    Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan

    Memberantas Korupsi, yang antara lain berbunyi:

    Peraturan ini bermaksud menetapkan suatu tata kerja yang

    dapat melancarkan usaha-usaha memberantas apa yang

    dinamakan korupsi.

    b) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-

    08/1957 tentang Penilikan Harta Benda

    Dalam ketentuan ini tidak memperluas perumusan korupsi, tetapi lebih

    merupakan upaya terobosan untuk mempermudah pelaksanaan penguasa

    militer dalam memberantas korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir

    a, yang berbunyi sebagai berikut:

    Selain wewenang mengadakan penilikan terhadap harta benda

    seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan

    Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957Penguasa Militer berwenang pula mengadakan penilikan

    terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam

    daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan

    mencurigakan.

    Penilikan harta benda tersebut dapat dilakukan penyitaan dengan kriteria

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang berbunyi:

    Harta benda orang atau badan yang dengan sengaja atau karena

    kelalaian tidak diterangkan pemiliknya atau pengurusnya, harta

    benda yang tidak terang siapa pemiliknya, dan harta benda

    orang yang kekayaannya oleh penilik pembantu harta benda

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    39/169

    Universitas Indonesia

    27

    dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan, dapat

    disita oleh penilik pembantu harta benda.

    Lebih lanjut, kewenangan yang besar yang dimiliki oleh Penguasa Militer

    tersebut, didukung dengan kewenangan untuk menyelesaikan harta benda

    yang disita menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

    yang berbunyi sebagai berikut:

    (1) Harta benda yang disita karena dengan sengaja atau

    kelalaiannya tidak diterangkan oleh pemiliknya ataupengurusnya menjadi milik negara.

    (2) Kecuali apabila penyitaan masih diperlukan berhubung

    dengan suatu perkara pidana, maka harta benda yang disita

    karena oleh penilik pembantu harta benda dianggap diperoleh

    secara mendadak dan mencurigakan:a. dihapuskan penyitaannya dan dikembalikan kepada

    pemiliknya setelah ternyata harta benda itu tidak diperoleh

    karena perbuatan yang merugikan keuangan negara, dan

    setelah oleh si pemilik dapat diperlihatkan kepada

    Penguasa Militer bukti yang sah tentang pelunasan pajakistimewa yang ditetapkan untuk itu, atau

    b. menjadi milik negara apabila ternyata harta benda itu

    diperoleh dari perbuatan yang secara langsung atau tidak

    langsung merugikan keuangan negara.

    (3) Harta benda yang dimaksud dalam ayat (2) a pasal ini

    sebagian atau seluruhnya menjadi milik negara, apabila sipemilik dalam waktu 30 hari tidak dapat memperlihatkan

    kepada Penguasa Militer bukti yang sah tentang pelunasan

    pajak istimewa yang ditetapkan untuk itu.

    c) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-

    011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal

    Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum

    Hal menarik dari ketentuan ini adalah ditentukannya perbuatan melawan

    hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai

    berikut:

    Perbuatan melawan hukum adalah tiap-tiap perbuatan yang:

    (1) mengganggu orang lain;

    (2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;

    (3) bertentangan dengan kesusilaan;

    (4) bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan, atau

    kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulanmasyarakat terhadap tubuh atau benda orang lain.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    40/169

    Universitas Indonesia

    28

    Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam huruf b dan c tersebut

    disita Penguasa Militer menjadi milik negara.56 Dalam pelaksanaannya,

    Penguasa Militer mendengarkan petunjuk/nasihat Jaksa Agung.57

    Memperhatikan ketentuan Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-

    06/1957, Prt/PM-08/1957, dan Prt/PM-011/1957 tersebut dapat dilihat hal-hal

    penting, antara lain, disamping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan

    darurat sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pada ketiga peraturan

    penguasa militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu

    menetapkan kehendak politik (political will), dengan tekad yang sungguh-

    sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendakpolitik yang dituangkan dengan peraturan penguasa militer tersebut merupakan

    modal berharga untuk dikembangkan dan disempurnakan dalam rangka

    membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat

    memenuhi tuntutan kebutuhan dan cita masyarakat Indonesia.

    Dengan demikian, dari perkembangan peraturan penguasa militer

    tersebut, terdapat upaya pembaharuan bagaimana mengefektifkan perbuatan

    tindak pidana korupsi, baik dalam perumusan delik maupun keleluasaanpenanganan tindak pidana korupsi.

    d) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan

    Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

    Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda

    Ketika Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun 1957 berlaku

    dan menggantikan Regeling of de Staat van Oorlog en van Beleg, maka

    ketiga peraturan tersebut di atas diganti.58

    Lebih lanjut SoedjonoDirdjosisworo menyatakan bahwa:

    Maksud dan tujuan dari Peraturan Penguasa Perang ini adalah

    agar dengan peraturan penguasa diberantas perbuatan-perbuatan

    korupsi yang pada waktu itu sangat merajalela sebagai akibat

    56Lihat Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan

    Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum. Pasal 2.57

    Ibid. Pasal 3.58Soedjono Dirdjosisworo. Op. Cit. hal. 55.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    41/169

    Universitas Indonesia

    29

    dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah sudah tidak

    berwibawa lagi.59

    Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor

    Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan

    Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda tersebut memuat hal-

    hal baru dalam hal perumusan tindak pidana korupsi yang tidak ditentukan

    dalam peraturan-peraturan sebelumnya. Perumusan tersebut dikelompokkan

    dalam dua hal, yaitu perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi

    lainnya. Di dalam Pasal 2 diatur yang dimaksud dengan perbuatan korupsi

    pidana adalah:

    (1)

    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukansuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri

    atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau

    tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian

    negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan

    yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerahatau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan

    kelonggaran dari masyarakat.

    (2)Perbuatan yang dengan atau karena melakukan suatu

    kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau

    orang lain atau suatu badan dan yang dilakukannya dengan

    menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.(3)Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai

    dengan Pasal 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan

    dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal

    420 KUHP.

    Sementara itu, dalam Pasal 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan

    perbuatan korupsi lainnya adalah sebagai berikut:

    (1)Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukansuatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri

    atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atautidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau

    merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan

    dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang

    mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari

    masyarakat.

    (2)

    Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan

    perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau

    orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan denganmenyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

    59Ibid.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    42/169

    Universitas Indonesia

    30

    Urgensi adanya perumusan korupsi dengan dua macam bentuk korupsi

    tersebut dimaksudkan untuk mengefektifkan dengan memperluas jaring

    terhadap pelaku korupsi dikaitkan dengan keadaan yang ada pada saat itu.

    Mencermati ketentuan ini rupanya masih berusaha untuk mempertahankan

    ide pokok untuk menindak orang-orang yang melakukan perbuatan yang

    tidak merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi dianggap bertentangan

    dengan rasa kewajaran, yaitu perbuatan tercela, sebagaimana yang

    dimaksudkan oleh Pasal 3 tersebut dengan perbuatan berupa korupsi

    lainnya.60

    Namun demikian, berlakunya Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan

    Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan

    Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda tersebut

    meliputi daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja. Tidak

    berlaku bagi daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh Angkatan Darat, dan

    oleh karenanya maka Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut

    mengeluarkan juga peraturan yang nada dan isinya sama dengan Peraturan

    Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958, yaitu

    Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17

    April 1958 Nomor Prt/Z.I/1/7 yang diberlakukan untuk daerah yang

    dikuasai Angkatan Laut.

    2) Periode Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun

    1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

    Pada tanggal 9 Juni 1960 dikeluarkan peraturan tentang Pengusutan,

    Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Perpu Nomor 24

    Tahun 1960. Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang

    dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 sejak tanggal 1 Januari 1961

    yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960.

    60

    Hermien Hadiati Koeswadji. Korupsi di Indonesia, Dari Delik Jabatan Ke Tindak PidanaKorupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. hal. 50.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    43/169

    Universitas Indonesia

    31

    Dari penjelasan dapat diketahui bahwa Perpu tersebut dimaksudkan dalam hal

    ihwal yang memaksa dan bersifat darurat.61

    Secara garis besar, rumusan korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam

    undang-undang ini adalah sebagai berikut:

    a) Tindakan seseorang yang dengan atau karena suatu kejahatan atau

    pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang

    secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau

    perekonomian negara, daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang

    menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum

    lainnya yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara

    atau masyarakat.

    b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahaan

    atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan

    yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

    c) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21

    peraturan ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420,

    Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.

    Meskipun dibuat dalam keadaan memaksa, kehadiran undang-undang ini

    mempunyai arti penting dalam perkembangan hukum pidana. Menurut

    Soedjono Dirdjosisworo, undang-undang tersebut dibuat dengan tujuan untuk

    membahas suatu perbuatan kejahatan tertentu, dalam hal ini khususnya korupsi

    yang saat itu merajalela. Disamping itu pula darimana undang-undang, yaitu

    tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsiterjalin

    ketentuan-ketentuan pidana beserta sanksinya dan pedoman hukum acaranya

    yang khusus untuk delik ini (pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan).

    Adanya unsur kontrol sosial dalam bentuk kebijaksanaan penanggulangan

    korupsi dan aspek acara pidana di dalamnya, telah memuat unsur-unsur penting

    dalam hukum pidana yang telah berkembang, seperti di negeri Belanda

    sebagaimana dikemukakan oleh C.H.J. Enschede dan Heider sebagai berikut:

    61

    Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutandan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.

    Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011

  • 8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan

    44/169

    Universitas Indonesia

    32

    Bila tindak pidana dilihat dari segi peranannya sebagai alat

    kontrol sosial, maka kita berpendapat bahwa kaidah-kaidahnya

    mempunyai pengaruh-pengaruh dalam masyarakat, dan hanya ingin

    mempertahankannya, dimana pelanggaran norma juga dapat

    dicegah. Sekarang pelaksanaan hukum pidana, dalam hal ini tidakhanya berlaku untuk sanksi-sanksi sebagai akibat dari proses

    pidana, akan tetapi juga bagi naskah-naskah undang-undang dan

    untuk jalannya proses pengusutan sampai akhirnya kepada

    pelaksanaan peraturan pengadilan mempunyai pengaruh di

    berbagai lingkungan.62

    3) Periode Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi

    Menyadari akan kelemahan-kelemahan peraturan perundang-undangan yang

    ada, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini menampakkan

    adanya banyak penyempurnaan jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan

    yang terdahulu, yaitu terutama dalam perumusan tindak pidana korupsi.63

    Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menentukan,

    dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:

    (1) a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan

    memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau sesuatu badanyang secara langsung atau tidak langsung merugikan

    keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau

    diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan-

    perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau

    perekonomian negara;

    b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan,

    kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannyaatau kedudukan, yang secar