digital 20234328 t29212 kewenangan kejaksaan
TRANSCRIPT
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
1/169
UNIVERSITAS INDONESIA
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Hukum
SALAHUDDIN LUTHFIE
NPM. 0906581694
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU HUKUM
PEMINATAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
JAKARTA
JUNI 2011
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
2/169
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
3/169
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Salahuddin LuthfieNPM : 0906581694Program Studi : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Judul Tesis : Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Hukum pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum,
Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum,Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. ...
Ketua Sidang / Penguji
Prof. Dr.jur. Andi Hamzah ...
Pembimbing / Penguji
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. ...
Anggota Sidang / Penguji
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 7 Juni 2011
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
4/169
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Hukum pada
Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Peminatan Hukum dan Sistem
Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Saya menyadari
bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan
sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1)Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengerahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
(2)Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. dan Dr. Surastini Fitriasih, S.H.,
M.H., selaku penguji yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk memberikan masukan dan saran, sehingga tesis ini menjadi lebih baik;
(3)Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, beserta seluruh pimpinan dan staf,
yang telah banyak memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi
selama studi ini berlangsung;
(4)Seluruh pengajar pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum,
Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
mentransfer ilmunya, sehingga sangat berguna dalam penyusunan tesis ini;
(5)
Para pimpinan dan rekan-rekan di Kejaksaan Agung R.I. dan wilayah, rekan-
rekan di KPK, rekan-rekan Polri, dan seluruh pihak yang tidak mungkin saya
sebutkan satu persatu, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh
data yang saya perlukan;
(6)
Istri, anak-anak, kedua orang tua dan seluruh keluarga tercinta, yang telah
memberikan begitu banyak dukungan materiil dan moril; dan
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
5/169
(7)Rekan-rekan Kelas Pagi Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum,
Peminatan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, Angkatan Tahun 2009, yang telah banyak membantu saya dalam
menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah banyak membantu. Semoga Tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu hukum.
Jakarta, 7 Juni 2011
Salahuddin Luthfie
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
6/169
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS==========================================================
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Salahuddin Luthfie
NPM : 0906581694
Program Studi : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Peminatan : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
Fakultas : HukumJenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exlusive Royalty-
Free Right)atas karya ilmiah saya yang berjudul:
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Juni 2011
Yang menyatakan
Salahuddin Luthfie
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
7/169
viiUniversitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Salahuddin LuthfieProgram Studi : Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Judul : Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi
Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam
penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negara-
negara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe
penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkanbahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana
korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan
yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang
dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak
pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidakmemiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi
penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan;
mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat)
tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap
upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang
intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakterbirokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando.
Kata kunci:
wewenang, penyidikan, korupsi
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
8/169
Universitas Indonesia
viii
ABSTRACT
Name : Salahuddin Luthfie
Study Program : Postgraduate Magister of Legal Studies
Title : The Authority of the Prosecution Service in the Investigation
of Corruption
This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in
the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in
other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution
service. This type of research is the juridical-normative. The results of research
reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in theinvestigation of corruption should be viewed from the aspect of historical,
sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor
relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries:
the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have
the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have theauthority of investigations but given the authority supervising the investigations,
the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the
investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution
service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal
remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and
special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic,centralized, hierarchical accountability and command system.
Key words:
authority, investigation, corruption
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
9/169
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
iiiii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ...........................................................................................
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xi
xii
1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 91.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 10
1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................... 10
1.5. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 11
1.5.1. Kerangka Teori ................................................................. 11
1.5.2. Kerangka Konseptual ........................................................ 151.6. Metode Penelitian .......................................................................... 16
1.6.1. Bentuk dan Jenis Penelitian .............................................. 16
1.6.2. Metode Pengumpulan Data ............................................... 16
1.6.3. Penyajian dan Analisis Data ............................................. 17
1.7. Sistematika Penulisan .................................................................... 17
2. KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKANTINDAK PIDANA KORUPSI ............................................................. 19
2.1. Korupsi .......................................................................................... 19
2.1.1. Pengertian Korupsi ........................................................... 19
2.1.2. Sejarah Perundang-undangan Korupsi ............................. 22
2.1.2.1. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundang-
undangan Korupsi ................................................ 23
2.1.2.2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi ..................... 25
2.2. Kejaksaan Dalam Sistem Peradilan Pidana ................................... 372.2.1. Jaksa Sebagai Penegak Hukum ........................................ 37
2.2.2. Sistem Peradilan Pidana ................................................... 382.2.3. Kedudukan Kejaksaan Dalam Peradilan Pidana ............... 40
2.2.3.1. Sebagai Penuntut Umum ..................................... 40
2.2.3.2. Sebagai Penyidik ................................................. 43
2.3. Dasar Pemikiran Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi .................................................................. 45
3. KEWENANGAN KEJAKSAAN DI BEBERAPA NEGARA ........... 603.1. Perbandingan Hukum .................................................................... 60
3.2. Sistem Penuntutan ......................................................................... 60
3.2.1. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut
Asas Oportunitas ............................................................... 63
3.2.2. Sistem Penuntutan di Negara-Negara yang Menganut
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
10/169
Asas Legalitas ................................................................... 65
3.3. Selayang Pandang Kewenangan Kejaksaan di Beberapa Negara 66
3.3.1. Peran Jaksa dan Polisi dalam Penyidikan ......................... 66
3.3.2. Kejaksaan Negara Belanda ...............................................
3.3.2.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan .....................3.3.2.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan ....3.3.2.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan ............................
3.3.2.4. Peran Kejaksaan dalam Eksekusi ........................
71
737584
85
3.3.3. Kejaksaan Negara Inggris dan Wales ...............................
3.3.3.1. Peran Kejaksaan dalam Penyidikan .....................
3.3.3.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang Kejaksaan ....
3.3.3.3. Peran Kejaksaan di Pengadilan ............................
88
89
91
95
4. MEKANISME PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
KEJAKSAAN ........................................................................................ 98
4.1. Birokrasi dan Organisasi Kejaksaan .............................................. 984.2. Struktur Organisasi Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak
Pidana Korupsi .............................................................................. 105
4.3. Prosedur Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan .... 115
4.3.1. Tahap Penyelidikan .......................................................... 115
4.3.2. Tahap Penyidikan ............................................................. 1244.3.3. Tahap Penuntutan ............................................................. 131
4.3.4. Tahap Upaya Hukum dan Eksekusi .................................. 137
5. PENUTUP .............................................................................................. 145
5.1. Kesimpulan .................................................................................... 1455.2. Saran .............................................................................................. 149
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 151
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
11/169
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan, Kepolisian,
dan KPK Tahun 2004 s/d 2010 ....................................................... 7
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
12/169
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Kejaksaan Agung .... 108
Gambar 4.2. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Agung .. 109
Gambar 4.3. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Tinggi . 110
Gambar 4.4. Struktur Organisasi Intelijen Kejaksaan Negeri .. 110
Gambar 4.5. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung 112
Gambar 4.6. Struktur Organisasi Direktorat Penyidikan . 113
Gambar 4.7. Struktur Organisasi Direktorat Penuntutan . 113
Gambar 4.8. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi 114
Gambar 4.9. Struktur Organisasi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri 114
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
13/169
1Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Korupsi di Indonesia yang terjadi dalam 32 tahun pemerintahan orde baru
yang dilakukan oleh keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat
tercengang. Setelah orde baru berlalu, hingga saat ini tidak ada tanda-tanda
kesadaran pemerintah bahwa disamping krisis ekonomi yang dirasakan nyata
oleh masyarakat, terdapat pula krisis hukum yang sudah sampai tahap
menyedihkan.1 Sepanjang yang bisa diamati, praktik korupsi sudah begitu
meruyak di Indonesia. Begitu parahnya, bentuk penyalahgunaan wewenang itu
malah dianggap sebagai sebuah praktik yang lumrah. Melihat kondisi itu, tidak
heran kalau dalam beberapa tahun terakhir lembaga riset Political and Economic
Risk Consultancy(PERC) selalu menempatkan Indonesia sebagai juara korupsi di
Asia. Predikat serupa datang pula dari Transparency International yang selalu
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia.2 Korupsi
juga telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan dan merusak sistem
perekonomian dan masyarakat dalam skala besar.3
Salah satu alasan gagalnya penegakan hukum terhadap merajalelanya
korupsi adalah tidak adanya konsensus tentang perbuatan apa yang merupakan
korupsi yang patut dipidana. Mardjono Reksodiputro menerangkan beberapa
pendekatan yang mungkin dapat menerangkan mengapa terjadi ketiadaan
konsensus tersebut. Pendekatan pertama melihat hukum pidana sebagai sumber
ketertiban sosial yang berfungsi menyelesaikan dan mencegah konflik. Hukum
dilihat sebagai hasil konsensus. Penegakan bertujuan mempertahankan konsensus.
Pendekatan kedua menganggap hukum pidana sebagai alat dalam konflik sosial,
1Mardjono Reksodiputro. Korupsi dalam Sistem Hukum.Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian
Korupsi di Indonesia. Ed. Hamid Basyaib, Richard Holloway, dan Nono Anwar Makarim. Jakarta:Aksara Foundation, 2002. hal. 25.2Saldi Isra dan Eddy O.S. Hiariej. Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Ed. Wijayanto danRidwan Zachrie. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. hal. 554.3Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara & Konsultan
Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002. hal. sampul.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
14/169
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
15/169
Universitas Indonesia
3
akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.8Oleh
karena itu, keberadaan kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum, mempunyai
kedudukan yang sentral dan peranan yang strategis dalam suatu negara hukum
karena kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan
di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus
mampu mengemban tugas penegakan hukum.
Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang antara lain
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang.9 Kewenangan dalam ketentuan tersebut sebagaimana diatur misalnya
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.10
Pada waktu HIR masih berlaku sebagai hukum acara pidana di Indonesia,
penyidikan dianggap bagian dari penuntutan. Kewenangan yang demikian
menjadikan penuntut umum (jaksa) sebagai koordinator penyidikan, bahkan jaksa
dapat melakukan sendiri penyidikan.11
Setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting.
Perubahan yang dibawa oleh KUHAP mengakibatkan pembagian kewenangan
sebagai berikut:12
a. Kepolisian
(1) Dibidang penyidikan, kepolisian mendapat porsi sebagai penyidik tindak
pidana umum.
(2) Kepolisian mempunyai kewenangan melakukan penyidikan tambahan.
8Soerjono Soekanto. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali,
1983. hal. 5.9Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67. Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4401. Pasal 30 ayat (1) huruf d.10Ibid. Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d.11
Marwan Effendy. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005. hal. 145.12
Topo Santoso. Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan. Depok: Pusat Studi PeradilanPidana Indonesia (Centre for Indonesian Criminal Justice Studies), 2000. hal. 5.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
16/169
Universitas Indonesia
4
(3) Kepolisian berperan sebagai koordinator dan pengawas Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS).
b. Kejaksaan
(1) Dibidang penyidikan, kejaksaan mendapat porsi sebagai penyidik tindak
pidana khusus yang meliputi tindak pidana korupsi dan tindak pidana
ekonomi, walaupun ini sifatnya sementara.
(2) Untuk penyidikan tindak pidana umum, polisi memegang kewenangan
penyidikan penuh, sedangkan jaksa tidak berwenang.
Setelah digantinya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),kewenangan kejaksaan dalam penegakan hukum berkaitan dengan penyidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 39 HIR hampir seluruhnya dicabut, bahkan
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kewenangan dibidang penuntutan bukan
lagi monopoli kejaksaan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) memisahkan secara tegas fungsi yang menyangkut penyidikan danpenuntutan, meskipun kejaksaan masih diberikan kewenangan untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu seperti yang dinyatakan pada Pasal
284 ayat (2), tetapi sifatnya hanya sementara. Ketika Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
diberlakukan, fungsi penyidikan dan penuntutan dalam penanganan tindak pidana
korupsi yang sebelumnya merupakan sebagian tugas dan wewenang kejaksaan
juga mengalami perubahan. Ironisnya, pembuat undang-undang bertindak ambigu
karena produk legislasi yang dihasilkan tidak mempunyai landasan filosofi yang
jelas untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi, baik masalah hukum masa
kini (ius constitutum) maupun masalah implementasi hukum (ius contituendum).13
13
Romli Atmasasmita.Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum. Bandung:CV. Mandar Maju, 2001. hal. 92.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
17/169
Universitas Indonesia
5
Di satu sisi, KUHAP memisahkan fungsi penyidikan dan penuntutan,
kecuali terhadap tindak pidana tertentu (tindak pidana korupsi dan tindak pidana
ekonomi), namun di sisi lain, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejaksaan diberi lagi
kewenangan untuk menyidik pelanggaran HAM berat [sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (1)], bahkan dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, kejaksaan juga diberikan
kewenangan untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (sebagaimana diatur
dalam Pasal 74). Hal tersebut menunjukkan eksistensi kewenangan kejaksaan
dalam penyidikan tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat
(Malaysia).14
Dalam KUHAP, definisi penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan merurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.15Penyidik adalah Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.16
KUHAP merupakan peraturan umum dalam arti hukum acara pidana yang
bersifat umum. Sesuai dengan asas tidak ada peraturan tanpa kekecualian (there
is no rule without exception) maka perlu diamati tentang kekecualian peraturan
tersebut. Kekecualian tersebut adalah aturan/ketentuan khusus acara pidana.
Aturan/ketentuan khusus acara pidana dicantumkan pada Pasal 284 ayat (2)
KUHAP, yang perumusannya sebagai berikut: Dalam waktu dua tahun setelah
undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
14Andi Hamzah.Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. hal. 118.15
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209. Pasal 1 angka 2.16Ibid. Pasal 1 angka 1.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
18/169
Universitas Indonesia
6
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang
tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.17
Menurut Indriyanto Seno Adji, Pasal 284 ayat (2) KUHAP telah
menimbulkan 2 (dua) interpretasi yang berbeda diantara lembaga kepolisian
dengan lembaga kejaksaan. Bagi kejaksaan, yang dimaksudkan dengan jangka
waktu 2 (dua) tahun hanyalah penanganan perkara-perkara tindak pidana umum
saja. Sedangkan jaksa tetap merupakan penyidik tindak pidana tertentu, yaitu
tindak pidana ekonomi dan korupsi. Hal tersebut dipertegas melalui Pasal 17
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.18
Agar ada kesatuan pendapat mengenai makna dari Pasal 284 ayat (2)
KUHAP, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP. Pada Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tersebut dinyatakan
bahwa penyidik menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2)
KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang
lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.19
Menurut Harun M. Husein, ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP harus
dihubungkan dengan Pasal 17 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
KUHAP, dimana kewenangan jaksa tidak hanya meliputi tugas penuntutan
sebagaimana diatur dalam KUHAP, tetapi juga berwenang melakukan penyidikan
terhadap setiap tindak pidana yang memiliki ketentuan acara pidana yang bersifat
khusus.20
Kejaksaan memiliki landasan yuridis dalam hal kewenangan melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi. Namun kewenangan kejaksaan dalam
penyidikan tindak pidana korupsi tersebut seringkali dipermasalahkan oleh
beberapa kalangan karena dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas,
diantaranya adalah permohonan uji materiil terhadap Pasal 30 ayat (1) huruf d
17Leden Marpaung. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan). Jakarta:
Sinar Grafika, 2009. hal. 166.18Indriyanto Seno Adji.Arah Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Kantor Pengacara dan Konsultan
Hukum Prof. Oemar Seno Adji dan Rekan, 2001. hal. 5.19Evi Hartanti. Op. Cit. hal. 39.20
Harun M. Husein. Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana. Jakarta: Rineka Cipta,1991. hal. 7.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
19/169
Universitas Indonesia
7
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
mengenai kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi, dimana Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan
permohonan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).21
Menarik untuk diperhatikan produktivitas lembaga-lembaga yang memiliki
kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi, yaitu Kejaksaan, Polri, dan KPK,
dimana hal tersebut dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Data Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Kejaksaan, Kepolisan, dan KPK
Tahun 2004
s
/d2010
22
TAHUN KEJAKSAAN POLRI KPK
2004 523 311 2
2005 546 215 12
2006 588 225 26
2007 636 155 23
2008 1.348 190 47
2009 1.533 427 37
2010 1.718 277 46
Dari data kuantitatif di atas, dapat dibayangkan apabila kejaksaan tidak
berwenang lagi melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, padahal dapat
dikatakan bahwa sebagian besar elemen bangsa sepakat bahwa kompleksnya
permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi-dimensional serta ancaman
nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana
korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi
secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan
jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya
pemerintah dan para penegak hukum.
21Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008.22
Sumber: elaborasi data Direktorat Penuntutan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung danKPK.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
20/169
Universitas Indonesia
8
Dalam kaitan dengan kebijakan penuntutan yang berkaitan dengan
penyidikan tersebut, tahun 1999 di Bangkok dalam The Asia Crime Prevention
Foundation (ACPF) Working Group Meeting on The Role of the Prosecutor in
the Changing World, dikelompokkan peran kejaksaan dalam dua sistem yang
dianut oleh kejaksaan di berbagai negara, yaitu:23
1)Mandatory Prosecutorial System
Jaksa dalam menangani suatu perkara hanya berdasarkan alat-alat bukti yang
sudah ada dan tidak terhadap hal-hal yang diluar yang sudah ditentukan,
kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu.
2)Discretionary Prosecutorial System
Jaksa dapat melakukan berbagai kebijakan tertentu dan bisa mengambil
berbagai tindakan dalam penyelesaian/penanganan suatu perkara. Dalam sistem
ini, jaksa dalam mengambil keputusan, selain mempertimbangkan alat-alat
bukti yang ada, juga mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya suatu tindak pidana, keadaan-keadaan dimana tindak pidana itu
dilakukan, atribut-atribut pribadi dari terdakwa dan korban, tingkat penyesalan
terdakwa, tingkat pemaafan dari korban, dan pertimbangan-pertimbangan
kebijakan publik.
Menurut Andi Hamzah, mengenai peranan jaksa berkaitan dengan
penyidikan, ada 4 (empat) kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu:24
-
Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di
Belanda, Prancis, Jerman, Austria, Jepang, dan Korea;
- Jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, seperti kejaksaan
di Rusia, Georgia, Thailand, dan China;
- Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang
supervisi penyidikan tindak pidana, seperti kejaksaan di Inggris dan Wales;
23Marwan Effendy. Op. Cit. hal. 86.
24Andi Hamzah. Penyampaian Masukan Rencana Undang-Undang tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Disampaikan
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Badan Legislasi DPR RI, tanggal 9 Februari 2011. Catatan:Wewenang Jaksa Agung (Attorney General) Amerika Serikat adalah yang palingpowerfuldi
dunia, wewenangnya sama dengan wewenang Jaksa Agung RI ditambah wewenang Kapolri danditambah dengan wewenang Menteri Hukum HAM RI minusImigrasi.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
21/169
Universitas Indonesia
9
- Jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan tindak
pidana, seperti kejaksaan di Malta.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas menunjukkan
eksistensi kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, namun
demikian beberapa kalangan tetap saja mempermasalahkan kewenangan tersebut.
Oleh karena itu polemik mengenai wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak
pidana korupsi masih layak untuk diteliti.
1.2. Rumusan Masalah
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat dan
perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas
tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki
seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal ini menimbulkan bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
mengakibatkan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa. Hal tersebut menyebabkan upaya pemberantasannya tidak lagi
dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Salah satu
cara luar biasa dalam memberantas tindak pidana korupsi tersebut diantaranya
melalui pemberian wewenang penyidikan terhadap beberapa lembaga, sehingga
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut diharapkan dapat lebih
optimal.
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki wewenang
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, selain Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh tiga lembaga berbeda tersebut,
dituding oleh beberapa kalangan dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan
dan ketidakpastian hukum, selain itu kewenangan kejaksaan dalam melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi juga dipermasalahkan karena dinilai tidak
memiliki dasar hukum yang jelas. Hal tersebut sungguh ironi mengingat
kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi telah
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
22/169
Universitas Indonesia
10
ada sejak berdirinya lembaga tersebut, dimana kejaksaan telah melakukan
penyidikan tindak pidana korupsi yang jumlahnya tidak sedikit, atau dengan kata
lain kejaksaan telah memberikan sumbangsih yang boleh dibilang cukup
signifikan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, yang menjadi pernyataan
permasalahan (statement of the problem) yang akan diteliti adalah polemik
mengenai wewenang kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, dengan
pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut:
1)Apakah yang menjadi dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam
penyidikan tindak pidana korupsi?
2)
Bagaimanakah tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain?
3)Bagaimanakah mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1)Untuk memperoleh gambaran tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan
dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
2)
Untuk memperoleh gambaran tentang tugas dan wewenang kejaksaan dinegara-negara lain.
3)Untuk memperoleh gambaran tentang mekanisme penanganan tindak pidana
korupsi di kejaksaan.
1.4. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan
tujuan yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini memberikan manfaat
sebagai berikut:
1)Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran bagi
pengembangan dan pengkajian ilmu hukum khususnya hukum acara pidana
yang berkaitan dengan polemik tentang wewenang kejaksaan dalam penyidikan
tindak pidana korupsi.
2)Manfaat Praktis
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
23/169
Universitas Indonesia
11
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan oleh para praktisi hukum
dalam rangka penegakan hukum pidana khususnya pemberantasan tindak
pidana korupsi guna meminimalisir terjadinya polemik tentang wewenang
kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
1.5. Kerangka Pemikiran
1.5.1. Kerangka Teori
Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice
system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah
kejahatan. Menanggulangi berarti disini usaha untuk mengendalikan kejahatan
agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil
apabila sebagian besar dari laporan maupun keluhan masyarakat yang menjadi
korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke
sidang pengadilan dan diputus bersalah serta mendapat pidana.25
Sistem peradilan
pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan
untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk
mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang
dapat diterimanya.26
Dengan pengertian demikian maka cakupan sistem peradilanpidana sebagai berikut: (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, (b)
menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, serta (c) berusaha agar mereka yang
pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Komponen-
komponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi-instansi
(badan-badan) yang kita kenal dengan nama: kepolisian - kejaksaan - pengadilan -
dan pemasyarakatan.27Masing-masing sub-sistem dalam sistem peradilan pidana
tersebut (kepolisian - kejaksaan - pengadilan - pemasyarakatan) sering terlalu
25Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan
Kejahatan).Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan BukuKetiga. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (
d/hLembaga Kriminologi)
Universitas Indonesia, 2007. hal. 84.26
Mardjono Reksodiputro. Mengembangkan Pendekatan Terpadu Dalam Sistem PeradilanPidana (Suatu Pemikiran Awal). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, KumpulanKarangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (
d/hLembaga
Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 140.27Ibid. 140-141.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
24/169
Universitas Indonesia
12
dipengaruhi oleh tujuan-tujuan sendiri, dan mudah melupakan adanya tujuan
bersama keseluruhan sistem (yang biasanya digariskan dalam kebijakan kriminal
atau criminal policy pemerintah). Pendekatan keterpaduan (integrated
approach) yang diharapkan itu, masih harus lebih dibuktikan lagi dalam
pelaksanaan hasil-hasil pertemuan bersama yang dikenal sebagai rapat kerja
Makehjapol (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan Agung dan Polri).
Melalui pertemuan-pertemuan semacam ini, harus dihasilkan kebijakan-kebijakan
penegakan hukum yang jelas yang disepakati dan dilaksanakan secara konsisten
oleh semua sub-sistem. Disamping itu tentu harus ada jaminan bahwa kebijakan-
kebijakan tadi benar-benar ditaati pelaksanaannya oleh masing-masing sub-
sistem. Kepastian (pelaksanaan) hukum semacam inilah yang antara lain
diharapkan masyarakat, misalnya dalam penanggulangan masalah korupsi.28
Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga
kerugian yang dapat diperkirakan:29
1)
kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing
instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2)kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah(-masalah) pokok masing-masing
instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana); dan
3)karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,
maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari
sistem peradilan pidana.
Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro menerangkan bahwa desain prosedur
(procedural design) sistem peradilan pidana (SPP) dapat dibagi tiga:
(a)tahap pra-adyudikasi (pre-adjudication),
(b)tahap adyudikasi (adjudication), dan
(c)
tahap pasca-adyudikasi (post-adjudication).
28Mardjono Reksodiputro. Menumbuhkan dan Mengembangkan Disiplin Nasional (SuatuPerspektif Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana). Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan Buku Kedua. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h
Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007. hal. 138-139.29
Mardjono Reksodiputro. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum MelawanKejahatan). Op. Cit. hal. 85.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
25/169
Universitas Indonesia
13
Ketiga urutan tersebut memang menunjukkan desain prosedur, tetapi belum jelas
adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Sebenarnya bilamana
kita tengok kembali diskusi-diskusi yang alot pada penyusunan KUHAP 1981,
sudah terasa bagaimana adanya gesekan dan benturan antara kewenangan
penyidikan atau investigation (police) powers dengan kewenangan
penuntutan/pendakwaan atau prosecutorial(public prosecutor)powers.30
Negara Indonesia adalah Negara Hukum.31 Prinsip penting negara hukum
adalah supremasi hukum yang memiliki jaminan konstitusional dalam proses
politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh
hukum. Lembaga kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif yang terkait
dengan kekuasaan kehakiman dalam penegakan hukum, memiliki tugas dan
wewenangnya yang ditetapkan dalam hukum (peraturan perundang-undangan),
karena secara konstitusional Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaam
(machsstaat).32
Dalam pelaksanaan supremasi hukum, UUD 1945 tidak menganut ajaran
pemisahan kekuasaan (separation of power), tetapi pembagian kekuasaan
(distribution of powers). Hal ini dapat dilihat dalam UUD 1945, bahwa Presiden,
selain mempunyai kekuasaan eksekutif juga mempunyai kekuasaan legislatif,
misalnya membuat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, disamping itu
Presiden juga mempunyai kekuasaan yudikatif, misalnya memberikan grasi,
amnesti, abolisi.33
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum (berdasarkan
peraturan perundang-undangan) dituntut untuk berperan guna menegakkan
supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi
manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, antara lain
30Mardjono Reksodiputro.Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia(Revisi 26 Januari
dan 21 April 2010). Makalah yang disempurnakan untuk Kuliah Umum di Universitas BatanghariJambi - Pertama kali disampaikan pada Seminar Komisi Hukum Nasional 9 Desember 2009.Jambi: Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Batanghari, 24 April 2010. hal. 4-5.31
UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) perubahan ketiga.32
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-V/2007 tanggal 27 Maret 2008. hal. 17.33Ibid.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
26/169
Universitas Indonesia
14
dilakukan melalui fungsi penyidikan dan penuntutan, dalam hal penyidikan, yakni
terhadap tindak pidana tertentu34, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Mengenai kewenangan penyidikan dan penuntutan, Mardjono Reksodiputro
memandang terdapat beberapa kekeliruan di Indonesia, diantaranya yang ingin
beliau luruskan adalah sebagai berikut:35
-
Kepolisian dan kejaksaan harus bekerjasama dalam proses SPP, secara in
tandem (keduanya bekerjasama secara erat). Bagian kepolisian yang
mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upaya-
paksa yang diberi undang-undang, hanya Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)
(Bel : de rechterlijke politie, Ing : criminal investigation division CID). Dan
kalau divisi ini dahulu dinamakan hulp-magistraat (magistrat-pembantu),
jangan merasa terhina. Ini sekedar istilah dan bukan untuk merendahkan
kepolisian, seperti juga ada istilah magistrat duduk (hakim) dan magistrat
berdiri (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa terhina kalau pejabat
reskrim dinamakan sebagai magistrat-pendamping.
- Tidak dikenal monopoli wewenang kepolisian (police powers),karena publik
juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal tertangkap tangan),
begitu pula: instansi Imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansi-
instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal
monopoli wewenang pendakwaan (prosecutorial powers). Dalam KUHAP
untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar
negeri dikenal adanya private prosecutor (disamping state/public
prosecutor) atau special prosecutor (dalam hal tersangka/terdakwa adalah
hakim, menteri atau presiden). Di Inggris prosecution diserahkan oleh
Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).
34
Ibid. hal. 18.35Mardjono Reksodiputro. 2010. Op. Cit. hal. 7-8.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
27/169
Universitas Indonesia
15
- Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umum/kejaksaan,
harus dilihat dalam pengertian division of powers(pembagian kewenangan)
dan bukan separation of powers (pemisahan kewenangan). Tujuan
pembagian kewenangan ini adalah untuk saling mengawasi (check and
balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan
sinergi (disinilah letak pengertian SPP Terpadu).
1.5.2. Kerangka Konseptual
Penulisan tesis ini menggunakan beberapa batasan istilah atau definisi yang
berkaitan dengan tema yang dibahasnya dengan memberikan pengertian dari
mengutip perumusan definisi-definisi dan istilah penting dari kamus, pendapat
ahli dan ketentuan perundang-undangan. Penulis berharap dengan adanya
pembatasan ini akan dapat menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang
digunakan dalam menyusun tesis ini. Pembatasan istilah tersebut adalah sebagai
berikut:
Wewenang: Serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang
pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat
terlaksana dengan baik; hak dan kekuasaan; kompetensi; yurisdiksi; otoritas.36
Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.37
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.38
Tindak pidana: perbuatan yang diancam dengan pidana, yang bersifatmelawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab.39
36Andi Hamzah. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. hal. 633.
37Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Op. Cit. Pasal 2
ayat (1).38
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Op. Cit. Pasal 1 angka 2.39Andi Hamzah.Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1994. hal. 88.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
28/169
Universitas Indonesia
16
Korupsi (dari latin corruptio = penyuapan; dan corrumpore = merusak)
yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.40
Corruption: The act of doing something with an intent to give some
advantage inconsistent with official duty and the rights of others; a fiduciarys or
officials use of a station or office to procure some benefit either personally or for
someone else, contrary to the rights of others.41
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian diperlukan guna mendapatkan data yang dipergunakan
sebagai bahan pembahasan dan analisis untuk menjawab permasalahan yang
dirumuskan sehingga dapat dipercaya serta dapat dipertanggungjawabkan. Untuk
kepentingan itulah maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
terdiri dari sistematika sebagai berikut:
1.6.1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif serta
ditunjang dengan pengalaman dan pengamatan penulis yang telah lebih dari 10
(sepuluh) tahun bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan
beberapa Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia. Pemilihan jenis penelitian ini
didasarkan pada pemikiran bahwa pada dasarnya penelitian ini hendak
menganalisis tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan
tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negara-negara lain, dan
mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan.
1.6.2. Metode Pengumpulan Data
Berdasarkan bentuk dan jenisnya, data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder dan data primer.
Data sekunder merupakan data utama dalam penelitian ini. Data sekunder
diperoleh melalui studi kepustakaan berupa bahan hukum primer (primary
40Hassan Shadily, et al., ed.Ensiklopedia Indonesia(Jilid 4). Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve dan
Elsevier Publishing Projects, 1983. hal. 1876.41
Bryan A. Garner, et al., ed.Blacks Law Dictionary(7th
ed.). St. Paul, Minn.: West Group, 1999.hal. 348.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
29/169
Universitas Indonesia
17
sources), bahan hukum sekunder (secondary sources), dan bahan hukum tersier
(tertiary sources). Bahan hukum primer (primary sources) yakni bahan hukum
yang terdiri dari aturan hukum yang diurut berdasarkan hierarki perundang-
undangan, mulai UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
dan aturan lain dibawah Undang-Undang, serta bahan hukum asing sebagai
pembanding bahan hukum yang ada untuk mengkaji permasalahan yang telah
dirumuskan. Bahan hukum sekunder (secondary sources) adalah bahan hukum
yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal, pendapat para ahli, kasus-kasus
hukum, serta simposium yang dilakukan pada pakar untuk mengkaji permasalahan
yang telah dirumuskan. Bahan hukum tersier (tertiary sources) adalah bahan
hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia,
dan lain-lain.
Sebagai data pendukung maka data primer dalam penelitian ini diperoleh
melalui pengalaman dan pengamatan penulis yang telah lebih dari 10 (sepuluh)
tahun bertugas sebagai jaksa di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan beberapa
Kejaksaan Negeri (Kejari) di Indonesia, dimana terlibat secara langsung maupun
tidak langsung dalam beberapa proses penanganan perkara tindak pidana korupsi
di berbagai daerah. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis tersebut,
selanjutnya dituangkan serta dianalisis untuk mengkaji permasalahan yang telah
dirumuskan.
1.6.3. Penyajian dan Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh, baik data sekunder maupun data primer,
kemudian dianalisis secara kualitatif selanjutnya dipaparkan. Analisis dilakukan
secara kualitatif karena data yang diperoleh dari penelitian lapangan tidak
dihitung secara statistik, melainkan dikaitkan dengan teori-teori dan pendapat para
pakar yang diperoleh dari penelitian pustaka agar dapat menjelaskan atau
menjawab permasalahan yang dirumuskan.
1.7. Sistematika Penulisan
Tesis disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-
masing bab terdiri atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
30/169
Universitas Indonesia
18
dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-
masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut:
Bab 1, merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab 2, merupakan pembahasan tentang kewenangan kejaksaan dalam
penyidikan tindak pidana korupsi, yang berisikan uraian tentang korupsi, yakni
pengertian korupsi dan sejarah perundang-undangan korupsi, kemudian uraian
tentang kejaksaan dalam sistem peradilan pidana, yakni jaksa sebagai penegak
hukum, sistem peradilan pidana, dan kedudukan kejaksaan dalam sistem peradilan
pidana, selanjutnya uraian tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam
penyidikan tindak pidana korupsi.
Bab 3, merupakan pembahasan tentang kewenangan kejaksaan di beberapa
negara, yang berisikan pengertian perbandingan hukum, kemudian uraian tentang
sistem penuntutan, yakni sistem penuntutan di negara-negara yang menganut asas
oportunitas dan sistem penuntutan di negara-negara yang menganut asas legalitas,
selanjutnya selayang pandang kewenangan kejaksaan di beberapa negara, yakni
peran jaksa dan polisi dalam penyidikan, kejaksaan negara Belanda, kejaksaan
negara Inggris dan Wales.
Bab 4, merupakan pembahasan tentang mekanisme penanganan tindak
pidana korupsi di kejaksaan, yang berisikan uraian tentang birokrasi dan
organisasi kejaksaan, kemudian uraian tentang struktur organisasi kejaksaan
dalam penanganan tindak pidana korupsi, selanjutnya uraian tentang prosedur
penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan, yakni tahap penyelidikan, tahap
penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi.
Bab 5, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
31/169
19Universitas Indonesia
BAB 2
KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
2.1. Korupsi
2.1.1. Pengertian Korupsi
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio
atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptioitu berasal pula dari kata
asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke
banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu
corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan
diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu
korupsi.42
Dalam Ensiklopedia Indonesia, korupsi (dari latin corruptio = penyuapan;
dan corrumpore= merusak) yaitu gejala bahwa para pejabat badan-badan negara
menyalahgunakan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan
lainnya.43
Dalam Black Law Dictionary, pengertian korupsi (corruption) adalah the
act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent with
officially duty and the rights of others; a fiduciarys or officials use of a station
or office to procure some benefit either personally or for someone else, contrary
to the rights of others.44
Menurut Max Weber, pengertian korupsi (corruption) adalah behaviour
which deviates from the formal duties of a public role because of private-
regarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status-gains; or
violates rules against the exercise of certain types of regarding behaviour.45
42Andi Hamzah. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005. hal. 4.43
Hassan Shadily, et al., ed. Op. Cit. hal. 1876.44
Bryan A. Garner, et al., ed. Op. Cit. hal. 348.45
Robert Klitgaard. Controlling Corruption. Los Angeles: University of California Press, 1988.
hal. 23.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
32/169
Universitas Indonesia
20
Pengertian korupsi secara harfiah dapat berupa:46
a. Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran.
b.
Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya.
c. Perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat buruk;
Perilaku yang jahat dan tercela, atau kebejatan moral; Sesuatu yang dikorup,
seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam suatu kalimat;
Pengaruh-pengaruh yang korup.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, korupsi adalah suatu virus yangtersembunyi di Indonesia, menghancurkan sistem kelembagaan masyarakat,
menyebar di seluruh lembaga negara. Jadi penyebaran kejahatan jenis ini menjadi
terinstitusi dan kemungkinan sebagai bagian dari budaya.47 Mardjono
Reksodiputro menerangkan bahwa isu yang beredar di masyarakat adalah tentang
pemberian hadiah untuk memperoleh fasilitas (tempat dan perlindungan)
dalam tahanan polisi, yang penting juga perlindungan dari ancaman fisik dan
mental sesama tahanan di lembaga pemasyarakatan. Tuduhan berat dalam
penanganan kriminil polisi adalah bahwa imbalan yang dapat diminta termasuk
tutup mata terhadap kejahatan dan pelakunya. Lebih berat dari itu adalah bahwa
penutupan perkara yang sedang disidik, dengan alasan tidak cukup bukti, juga
diperdagangkan. Ini menimbulkan kehebohan terutama bila menyangkut perkara
tersangka koruptor kakap.48
Syed Hussein Alatas mengemukakan bahwa kita menyebut korupsi apabila
seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seseorang
dengan maksud untuk mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa
kepada kepentingan-kepentingan si pemberi. Terkadang perbuatan menawarkan
pemberian seperti itu atau hadiah lain yang juga tercakup dalam konsep itu.
Pemerasan yakni permintaan pemberian atau hadiah seperti itu dalam pelaksanaan
46Lilik Mulyadi. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik danMasalahnya. Bandung: PT. Alumni, 2007. hal. 78.47Harkristuti Harkrisnowo. Combatting Corruption in Indonesia: an Imposible Mandat?.
Newsletter KHN, Edisi Mei-Juni 2004. hal. 32.48Mardjono Reksodiputro. 2002. Op. Cit. hal. 37.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
33/169
Universitas Indonesia
21
tugas-tugas publik juga bisa dipandang sebagai korupsi. Sesungguhnya istilah itu
terkadang juga dikenakan pada pejabat-pejabat yang menggunakan dana rakyat
yang mereka urus bagi keuntungan mereka sendiri; dengan kata lain, mereka yang
bersalah melakukan penggelapan diatas harga yang dibayar oleh publik.49
Korupsi pada hakikatnya bukan sekedar masalah kriminal, melainkan juga
masalah sosial. Menurut B. Sudarso dalam bukunya Korupsi di Indonesia,
menghadapi masalah korupsi yang sudah meluas dan berurat berakar, yang oleh
sementara kalangan dikatakan sudah merupakan way of life, orang setengah
putus asa dan acuh tak acuh. Malahan, ada pendapat yang menyebutkan bahwa
sebaiknya kita tidak berbicara mengenai korupsi lagi, tetapi pembangunan saja.
Pada saat-saat tertentu memang seakan-akan timbul harapan bahwa penyakit itu
akan sungguh-sungguh dapat diatasi, tetapi saat-saat penuh harapan demikian
biasanya tidak berlangsung lama yang segera disusul oleh keraguan, keprihatinan,
kekecewaan, dan kemudian sinisme.50
Ketika pembicaraan tentang korupsi dikaitkan dengan penyebab terjadinya
korupsi, pada umumnya orang akan berpaling untuk menghubungkannya tumbuh
suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang untuk dikaitkan, misalnya,
kurangnya gaji pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat kurang baik,
administrasi dan manajemen yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur
yang berliku-liku, dan sebagainya.51
Baharuddin Lopa menyatakan bahwa tampaknya masalah korupsi ini selalu
ada. Ia akan ada dalam masyarakat primitif (tradisional), ia akan ada di suatu
masyarakat yang sedang membangun, dan bahkan ia akan ada di suatu masyarakat
yang sudah maju sekalipun. Rupa-rupanya perbuatan korupsi ini sejak semula
lahir bersama kelahirannya dunia ini dan agaknya umurnya pun akan seumur
dengan dunia, apabila kita tidak mulai dari sekarang bersungguh-sungguh
mencegah/memberantasnya.52
49Syed Hussein Alatas. Sosiologi Korupsi. Penerjemah Al Gozie Usman. Jakarta: LP3ES, 1986.
Terjemahan dari The Sociology of Corruption, Singapore: Donald Moore Press, 1968. hal. 1.50Djoko Prakoso. Peranan Pengawasan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Aksara Persada Indonesia, 1990. hal. 70.51Ibid.52
Baharuddin Lopa. Korupsi, Sebab-Sebabnya dan Penanggulangannya. Jakarta: Prisma 3, 1986.hal. 24.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
34/169
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
35/169
Universitas Indonesia
23
20 Tahun 2001 menunjukkan adanya pembaharuan hukum. Pembaharuan hukum
ini tidak hanya terbatas pada substansi atau segi-segi materiil dari korupsi saja,
namun juga hukum formilnya atau hukum acaranya.
Berkenaan dengan hukum acaranya, dalam hal ini masalah upaya penegakan
hukum, jadi berkaitan dengan kewenangan penegakan hukum juga mengalami
perkembangan.
2.1.2.1. Latar Belakang Lahirnya Peraturan Perundang-undangan Korupsi
Alasan yang menjadi dasar dikeluarkannya peraturan tentang korupsi selalu
bermuara pada pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dirasa
kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam konsiderans masing-masing
peraturan perundang-undangan tersebut, yakni sebagai berikut:
1) Konsiderans Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor
Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda
- Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut
keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan atau kelonggaran-kelonggaranlainnya dari masyarakat, misalnya, baik koperasi, wakaf,
maupun yang lainnya yang bersangkutan dengan kedudukan si
pembuat pidana, perlu diadakan tambahan berupa aturan pidana,pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat
memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut perbuatankorupsi.
- Bahwa dalam hubungan pemberantasan perbuatan-perbuatan
korupsi sebagaimana dimaksud di atas, perlu diadakan pula
peraturan yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta
benda yang kurang/tidak terang siapa pemiliknya atau yang
dicurigai cara memperolehnya.
2) Konsiderans Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan
negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan
modal dan atau kelonggaran-kelonggaran lainnya dari negara atau
masyarakat, bank, koperasi, wakaf, dan lain-lain atau yang
bersangkutan dengan kedudukan si petindak pidana, perlu diadakan
beberapa aturan pidana khusus dan peraturan-peraturan khusus
tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan yang dapat
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
36/169
Universitas Indonesia
24
memberantas perbuatan-perbuatan itu disebut tindak pidana
korupsi.
3) Konsiderans Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi- Bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan
keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan
nasional.
- Bahwa Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi berhubung dengan perkembangan masyarakat kurang
mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan
oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.
4) Konsiderans Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, butir c
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu
perlu diganti dengan undang-undang pemberantasan t indak pidanakorupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
5) Konsiderans Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, butir a dan b
- Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga
telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi
perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya
harus dilakukan secara luar biasa..
- Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, dan
memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomimasyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas
tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dari beberapa konsiderans sebagaimana tersebut di atas, tercermin suatu proses
pembuatan peraturan perundang-undangan yang ditujukan agar hukum pidana
khusus lebih efektif untuk menangkal korupsi. Lebih dari itu, merupakan
komitmen positif dari penyelenggara negara untuk secara aktif berusaha
memberantas korupsi. Komitmen ini diwujudkan dengan cara mengganti
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
37/169
Universitas Indonesia
25
peraturan perundang-undangan yang dianggap kurang akomodatif terhadap
permasalahan penanganan tindak pidana korupsi.
2.1.2.2. Perumusan Tindak Pidana Korupsi
Sebelum membahas mengenai siapa yang berwenang dalam penyidikan
tindak pidana korupsi, terlebih dahulu akan dibahas sejarah perkembangan
perumusan tindak pidana korupsi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa
penegakan hukum akan terkait erat dengan pemaknaan terhadap korupsi itu
sendiri.
1) Periode Penguasa Perang Militer
Sebelum keluarnya Peraturan Penguasa Militer, KUHP telah mengatur korupsiatau yang dikenal dengan delik jabatan. Pasal-pasal yang dimaksud adalah
yang terdapat dalam Bab XXVIII yaitu penggelapan Pasal 415; pemalsuan
Pasal 416; menerima suap Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420; serta
menguntungkan diri sendiri secara tidak sah Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal
435.54
Perbuatan-perbuatan yang merupakan delik jabatan atau tindak pidana yang
dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) berupa tindakan penggelapan, pemalsuan,menerima suap, dan menguntungkan diri sendiri yang dilarang. Pasal-pasal
yang telah disebutkan merupakan perbuatan korupsi sebelum adanya Peraturan
Penguasa Militer tentang perbuatan korupsi.55
a) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-
06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan Memberantas Korupsi
Pasal 1
(1)
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik
untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lainatau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidaklangsung menyebabkan kerugian bagi keuangan
perekonomian negara;(2)
Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang
menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
ataupun selama suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan
54Sudarto.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981. hal. 125.55
Soedjono Dirdjosisworo. Fungsi Perundang-undangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsidi Indonesia. Bandung: Sinar Baru, 1984. hal. 16.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
38/169
Universitas Indonesia
26
kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung
membawa keuntungan materiil baginya.
Memperhatikan perumusan pasal tersebut, perumusan subjek/pelaku yang
dapat dijerat dengan korupsi adalah sangat luas, yaitu tiap perbuatan yang
dilakukan oleh siapapun juga. Disamping itu, perbuatan yang
dikategorikan sebagai korupsi juga sangat luas, yaitu menggunakan
kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya
oleh jabatan.
Selain itu, kewenangan yang dimiliki oleh penguasa militer sangat besar.
Hal ini lebih dimaksudkan untuk mempermudah penanganan tindak pidana
korupsi, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Peraturan Penguasa
Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Tata Cara Menerobos Kemacetan
Memberantas Korupsi, yang antara lain berbunyi:
Peraturan ini bermaksud menetapkan suatu tata kerja yang
dapat melancarkan usaha-usaha memberantas apa yang
dinamakan korupsi.
b) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-
08/1957 tentang Penilikan Harta Benda
Dalam ketentuan ini tidak memperluas perumusan korupsi, tetapi lebih
merupakan upaya terobosan untuk mempermudah pelaksanaan penguasa
militer dalam memberantas korupsi. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir
a, yang berbunyi sebagai berikut:
Selain wewenang mengadakan penilikan terhadap harta benda
seseorang yang disangka melakukan korupsi menurut Peraturan
Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tanggal 9 April 1957Penguasa Militer berwenang pula mengadakan penilikan
terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam
daerahnya yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan
mencurigakan.
Penilikan harta benda tersebut dapat dilakukan penyitaan dengan kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 yang berbunyi:
Harta benda orang atau badan yang dengan sengaja atau karena
kelalaian tidak diterangkan pemiliknya atau pengurusnya, harta
benda yang tidak terang siapa pemiliknya, dan harta benda
orang yang kekayaannya oleh penilik pembantu harta benda
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
39/169
Universitas Indonesia
27
dianggap diperoleh secara mendadak dan mencurigakan, dapat
disita oleh penilik pembantu harta benda.
Lebih lanjut, kewenangan yang besar yang dimiliki oleh Penguasa Militer
tersebut, didukung dengan kewenangan untuk menyelesaikan harta benda
yang disita menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Harta benda yang disita karena dengan sengaja atau
kelalaiannya tidak diterangkan oleh pemiliknya ataupengurusnya menjadi milik negara.
(2) Kecuali apabila penyitaan masih diperlukan berhubung
dengan suatu perkara pidana, maka harta benda yang disita
karena oleh penilik pembantu harta benda dianggap diperoleh
secara mendadak dan mencurigakan:a. dihapuskan penyitaannya dan dikembalikan kepada
pemiliknya setelah ternyata harta benda itu tidak diperoleh
karena perbuatan yang merugikan keuangan negara, dan
setelah oleh si pemilik dapat diperlihatkan kepada
Penguasa Militer bukti yang sah tentang pelunasan pajakistimewa yang ditetapkan untuk itu, atau
b. menjadi milik negara apabila ternyata harta benda itu
diperoleh dari perbuatan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara.
(3) Harta benda yang dimaksud dalam ayat (2) a pasal ini
sebagian atau seluruhnya menjadi milik negara, apabila sipemilik dalam waktu 30 hari tidak dapat memperlihatkan
kepada Penguasa Militer bukti yang sah tentang pelunasan
pajak istimewa yang ditetapkan untuk itu.
c) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-
011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan Harta Benda yang Asal
Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum
Hal menarik dari ketentuan ini adalah ditentukannya perbuatan melawan
hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai
berikut:
Perbuatan melawan hukum adalah tiap-tiap perbuatan yang:
(1) mengganggu orang lain;
(2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;
(3) bertentangan dengan kesusilaan;
(4) bertentangan dengan ketelitian, keseksamaan, atau
kecermatan yang harus diperhatikan dalam pergaulanmasyarakat terhadap tubuh atau benda orang lain.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
40/169
Universitas Indonesia
28
Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam huruf b dan c tersebut
disita Penguasa Militer menjadi milik negara.56 Dalam pelaksanaannya,
Penguasa Militer mendengarkan petunjuk/nasihat Jaksa Agung.57
Memperhatikan ketentuan Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-
06/1957, Prt/PM-08/1957, dan Prt/PM-011/1957 tersebut dapat dilihat hal-hal
penting, antara lain, disamping hal-hal yang berhubungan dengan keadaan
darurat sebagaimana telah diuraikan di atas, maka pada ketiga peraturan
penguasa militer tersebut tercermin bahwa pihak penguasa pada saat itu
menetapkan kehendak politik (political will), dengan tekad yang sungguh-
sungguh berusaha memberantas korupsi di Indonesia. Kemudian, kehendakpolitik yang dituangkan dengan peraturan penguasa militer tersebut merupakan
modal berharga untuk dikembangkan dan disempurnakan dalam rangka
membuat undang-undang tentang penanggulangan korupsi yang dapat
memenuhi tuntutan kebutuhan dan cita masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, dari perkembangan peraturan penguasa militer
tersebut, terdapat upaya pembaharuan bagaimana mengefektifkan perbuatan
tindak pidana korupsi, baik dalam perumusan delik maupun keleluasaanpenanganan tindak pidana korupsi.
d) Perumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan
Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda
Ketika Undang-Undang Keadaan Bahaya Nomor 74 Tahun 1957 berlaku
dan menggantikan Regeling of de Staat van Oorlog en van Beleg, maka
ketiga peraturan tersebut di atas diganti.58
Lebih lanjut SoedjonoDirdjosisworo menyatakan bahwa:
Maksud dan tujuan dari Peraturan Penguasa Perang ini adalah
agar dengan peraturan penguasa diberantas perbuatan-perbuatan
korupsi yang pada waktu itu sangat merajalela sebagai akibat
56Lihat Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-011/1957 tentang Penyitaan dan Perampasan
Harta Benda yang Asal Mulanya Diperoleh dengan Perbuatan yang Melawan Hukum. Pasal 2.57
Ibid. Pasal 3.58Soedjono Dirdjosisworo. Op. Cit. hal. 55.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
41/169
Universitas Indonesia
29
dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah sudah tidak
berwibawa lagi.59
Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor
Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan
Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda tersebut memuat hal-
hal baru dalam hal perumusan tindak pidana korupsi yang tidak ditentukan
dalam peraturan-peraturan sebelumnya. Perumusan tersebut dikelompokkan
dalam dua hal, yaitu perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi
lainnya. Di dalam Pasal 2 diatur yang dimaksud dengan perbuatan korupsi
pidana adalah:
(1)
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukansuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian
negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerahatau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan
kelonggaran dari masyarakat.
(2)Perbuatan yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan dan yang dilakukannya dengan
menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.(3)Kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 41 sampai
dengan Pasal 50 Peraturan Penguasa Perang Pusat ini dan
dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal
420 KUHP.
Sementara itu, dalam Pasal 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan korupsi lainnya adalah sebagai berikut:
(1)Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukansuatu perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atautidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau
merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat.
(2)
Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan
perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan dan yang dilakukan denganmenyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
59Ibid.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
42/169
Universitas Indonesia
30
Urgensi adanya perumusan korupsi dengan dua macam bentuk korupsi
tersebut dimaksudkan untuk mengefektifkan dengan memperluas jaring
terhadap pelaku korupsi dikaitkan dengan keadaan yang ada pada saat itu.
Mencermati ketentuan ini rupanya masih berusaha untuk mempertahankan
ide pokok untuk menindak orang-orang yang melakukan perbuatan yang
tidak merupakan suatu perbuatan pidana, tetapi dianggap bertentangan
dengan rasa kewajaran, yaitu perbuatan tercela, sebagaimana yang
dimaksudkan oleh Pasal 3 tersebut dengan perbuatan berupa korupsi
lainnya.60
Namun demikian, berlakunya Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan
Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda tersebut
meliputi daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja. Tidak
berlaku bagi daerah-daerah yang tidak dikuasai oleh Angkatan Darat, dan
oleh karenanya maka Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut
mengeluarkan juga peraturan yang nada dan isinya sama dengan Peraturan
Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor Prt/Peperpu/013/1958, yaitu
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17
April 1958 Nomor Prt/Z.I/1/7 yang diberlakukan untuk daerah yang
dikuasai Angkatan Laut.
2) Periode Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Pada tanggal 9 Juni 1960 dikeluarkan peraturan tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Perpu Nomor 24
Tahun 1960. Perpu tersebut kemudian disahkan menjadi Undang-Undang
dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 sejak tanggal 1 Januari 1961
yang kemudian disebut dengan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960.
60
Hermien Hadiati Koeswadji. Korupsi di Indonesia, Dari Delik Jabatan Ke Tindak PidanaKorupsi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. hal. 50.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
43/169
Universitas Indonesia
31
Dari penjelasan dapat diketahui bahwa Perpu tersebut dimaksudkan dalam hal
ihwal yang memaksa dan bersifat darurat.61
Secara garis besar, rumusan korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam
undang-undang ini adalah sebagai berikut:
a) Tindakan seseorang yang dengan atau karena suatu kejahatan atau
pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau
perekonomian negara, daerah, atau merugikan keuangan suatu badan yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum
lainnya yang menggunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara
atau masyarakat.
b) Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahaan
atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
c) Kejahatan-kejahatan tercantum dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 21
peraturan ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 415 sampai dengan Pasal 420,
Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP.
Meskipun dibuat dalam keadaan memaksa, kehadiran undang-undang ini
mempunyai arti penting dalam perkembangan hukum pidana. Menurut
Soedjono Dirdjosisworo, undang-undang tersebut dibuat dengan tujuan untuk
membahas suatu perbuatan kejahatan tertentu, dalam hal ini khususnya korupsi
yang saat itu merajalela. Disamping itu pula darimana undang-undang, yaitu
tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsiterjalin
ketentuan-ketentuan pidana beserta sanksinya dan pedoman hukum acaranya
yang khusus untuk delik ini (pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan).
Adanya unsur kontrol sosial dalam bentuk kebijaksanaan penanggulangan
korupsi dan aspek acara pidana di dalamnya, telah memuat unsur-unsur penting
dalam hukum pidana yang telah berkembang, seperti di negeri Belanda
sebagaimana dikemukakan oleh C.H.J. Enschede dan Heider sebagai berikut:
61
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutandan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan kejaksaan...,Salahuddin Luthfie,FHUI,2011
-
8/10/2019 Digital 20234328 T29212 Kewenangan Kejaksaan
44/169
Universitas Indonesia
32
Bila tindak pidana dilihat dari segi peranannya sebagai alat
kontrol sosial, maka kita berpendapat bahwa kaidah-kaidahnya
mempunyai pengaruh-pengaruh dalam masyarakat, dan hanya ingin
mempertahankannya, dimana pelanggaran norma juga dapat
dicegah. Sekarang pelaksanaan hukum pidana, dalam hal ini tidakhanya berlaku untuk sanksi-sanksi sebagai akibat dari proses
pidana, akan tetapi juga bagi naskah-naskah undang-undang dan
untuk jalannya proses pengusutan sampai akhirnya kepada
pelaksanaan peraturan pengadilan mempunyai pengaruh di
berbagai lingkungan.62
3) Periode Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Menyadari akan kelemahan-kelemahan peraturan perundang-undangan yang
ada, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini menampakkan
adanya banyak penyempurnaan jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan
yang terdahulu, yaitu terutama dalam perumusan tindak pidana korupsi.63
Ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 menentukan,
dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
(1) a. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau sesuatu badanyang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau
diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan-
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atauorang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannyaatau kedudukan, yang secar