digital 126000 5893 analisis ekonomi analisis
DESCRIPTION
analisis ekonomiTRANSCRIPT
-
55
BAB IV.
GAMBARAN UMUM KEJAHATAN DI INDONESIA
IV.1. Perkembangan Peristiwa Kejahatan
IV.1.1. Angka Kejahatan
Angka kejahatan di Indonesia kian mengalami peningkatan. Pada 2004 jumlah
kejahatan tindak pidana meningkat 23,955 kasus atau 12,2 % dari 196,931 kasus pada
2003 menjadi 220,886 kasus pada 2004. Sedangkan pada 2005, peningkatan tersebut
meningkat lagi sebesar 19, 1% hingga mencapai 263,063 kasus pidana.
Gambar IV.1. Angka Kejahatan 2003-2005
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Gambar IV.1. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara
kejahatan provinsi-provinsi di Pulau Jawa dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.
Angka Kejahatan 2003-2005
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000
70000
NAD
SBR B
KLSMS
DKI
JTG
JTM
NTB
KBR
KTG S
SLSTG
MLK
BBL
GRO
KPR
Provinsi
Jumlah 2003
2004
2005
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
56
Pulau Jawa memiliki kontribusi sebesar 51,2 % jumlah kejahatan pidana pada 2004,
sedangkan menurut provinsi, DKI Jakarta memberikan share paling tinggi hingga
mencapai hampir seperempat (24,2 %) dari seluruh kasus. Namun dilihat dari kenaikan
angka kejahatan 2003-2004, DKI Jakarta menempati urutan ketiga sebesar 40.9%. Urutan
pertama yaitu Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara yang masing-masing mencapai
44% dan 41.3%. Sedangkan provinsi yang mengalami penurunan angka kejahatan 2003-
2004 yaitu: NAD, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Timur, NTT,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Maluku. Penurunan tertinggi
yaitu Maluku 38.1%, kemudian Sulawesi Utara 31.6% dan NAD 31.2%. Pada 2005, Pulau
Jawa masih menempati posisi teratas jumlah kasus tertinggi yaitu 49.7 % dari total
kejahatan pidana dan DKI Jakarta berkontribusi 22.8 % total kejahatan di Indonesia,
sedangkan provinsi dengan angka terendah adalah Maluku Utara.
Gambar IV. 2
Pertumbuhan Kejahatan di Indonesia
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Dilihat dari jenisnya, kejahatan properti (pencurian) adalah kejahatan dengan share
tertinggi. Pencurian bukan saja paling luas cakupan wilayahnya, tapi juga paling banyak
dari jumlah kasus yang terjadi. Jumlah kasus pencurian, yakni pencurian dengan
Pertumbuhan Kejahatan di Indonesia
-100
-50
0
50
100
150
200
250
NAD
SBR B
KLSMS
DKI
JTG
JTM
NTB
KBR
KTG S
SLSTG
MLK
BTN
total
Provinsi
Pertumbuhan
2003-2004
2004-2005
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
57
pemberatan, pencurian kendaraan bermotor dan pencurian dengan kekerasan menempati
posisi tertinggi dibandingkan kasus lainnya.
Tabel IV.1.
Persentase Kejahatan Properti di Indonesia
persentase kejahatan properti dari total
kejahatan
Provinsi 2003 2004 2005
DKI 55.4 56.4 59.8
Jabar 67.4 54.8 50.6
Kalteng 32.3 26 49
Kaltim 35.1 33.9 48.3
Jambi 52 45.3 47.7
Sumsel 45.4 51.8 47.5
Kalsel 34 31 47
Bengkulu 51.2 37.8 45.4
Lampung 49.4 44.5 45.1
DIY 59.5 52 43.7
Sumut 31.5 29.9 43
Kalbar 78.5 48.6 42.5
Riau 33.8 19.3 42
Jateng 40.9 35.5 41.3
Sumbar 26.6 24.9 37.9
Jatim 30.9 32.8 37.4
Bali 33.5 34 30.4
Sultenggara 13.5 14.1 29.6
Sulteng 23 14.9 27.6
Sulsel 15.6 14.5 24.4
NTB 27.5 18.4 19.8
NAD 41.6 29.9 18.8
NTT 9.2 10.4 16.8
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Pada 2004 jumlah kejahatan properti meningkat 6,098 kasus atau 8 % dari 75,790
kasus pada 2003 menjadi 81,888 kasus pada 2004. Sedangkan pada 2005, peningkatan
tersebut melonjak sebesar 30, 395 kasus atau 30,3% hingga mencapai 112,283 kasus
kejahatan properti. Pulau Jawa, sebagaimana pada angka kejahatan, memiliki kontribusi
angka kejahatan properti yang paling tinggi hingga 66.5% di mana DKI Jakarta
berkontribusi 22.8% dari total kejahatan properti. Pada 2005, kontribusi yaitu Pulau Jawa
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
58
mengalami penurunan 7,2% yaitu sebesar 58,8% total kejahatan properti di Indonesia. Ini
disebabkan karena provinsi lain di Pulau Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten,
DIY dan Jawa Timur mengalami penurunan share kejahatan properti sedangkan DKI
Jakarta, sebaliknya semakin mengalami peningkatan hingga 31.9% dari total kejahatan
properti. Namun ini tidak berarti bahwa provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa tersebut tidak
mengalami pertumbuhan kejahatan. Jawa Barat dan Jawa Tengah bahkan mengalami
pertumbuhan yang melonjak, di mana pada 2003-2004 masing-masing mengalami
penurunan pertumbuhan kejahatan sebesar 16,9% dan 7,3% menjadi meningkat sebesar
17% dan 22%.
Dilihat dari pertumbuhannya, pada tahun 2004 terdapat 14 provinsi yang memiliki
pertumbuhan kejahatan properti negatif. Namun pada 2005, hanya tiga provinsi yaitu
NAD, Bali dan Sulawesi Tenggara memiliki pertumbuhan negatif. Beberapa provinsi
justru mengalami pelonjakan hingga 557% yaitu Sulawesi Utara, diikuti Papua 223,9% dan
Sulawesi Tengah 179,3%.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
59
-3000
2000
7000
12000
17000
22000
27000
32000
37000
NAD
Sum
bar
Ben
gkulu
Sum
sel
DKI
Jateng
Jatim N
TB
Kalba
r
Kalteng
Sulse
l
Sulteng
Maluk
u
Bab
el
Gor
ontalo
Kep
Riau
Provinsi
Jumlah 2003
2004
2005
-100
0
100
200
300
400
500
600
NAD
Sum
bar
Ben
gkulu
Sum
sel
DKI
Jateng
Jatim N
TB
Kalba
r
Kalteng
Sulse
l
Sulteng
Maluk
u
Ban
ten
Provinsi
Pertumbuhan (%)
2003-2004
2004-2005
Gambar IV.3
Kejahatan Properti di Indonesia Tahun 2003-2005
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Gambar IV.4
Pertumbuhan Kejahatan Properti di Indonesia Tahun 2003 2005
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
60
0
100
200
300
400
500
600
700
800
NAD
Sum
bar
Ben
gkulu
Sum
sel
DKI
Jateng
Jatim N
TB
Kalba
r
Kalteng
Sulse
l
Sulteng
Maluk
u
Bab
el
Goron
talo
Kep
Riau
Provinsi
Crime Rate 2003
2004
2005
IV.1.2. Tingkat Kejahatan
Ukuran lain dalam menghitung angka kejahatan adalah dengan crime rate atau
tingkat kejahatan, yaitu resiko penduduk terkena tindak kejahatan per 100,000 penduduk.
Perhitungan tingkat kejahatan adalah sebagai berikut:
Tingkat Kejahatan = jumlah kasus provinsi i / populasi penduduk * 100,000
Tingkat kejahatan tertinggi pada Tahun 2004 adalah Provinsi Sulawesi Utara yaitu
410 per 100,000 penduduk. Artinya, dari 100,000 penduduk Sulawesi Utara, 410 orang di
antaranya beresiko terkena tindak kejahatan. Berikutnya yaitu DKI Jakarta 321 per
100,000 penduduk. Sementara provinsi yang memiliki tingkat kejahatan terendah yaitu 19
per 100, 000 penduduk.
Sedangkan pada 2005, DKI Jakarta menduduki posisi tertinggi yaitu hingga 676
orang dari 100,000 penduduk terkena resiko kejahatan. Selanjutnya yaitu Sulawesi Utara
dan Gorontalo masing-masing 418 dan 286 orang per 100,000 penduduk.
Gambar IV.5.
Tingkat Kejahatan di Indonesia Tahun 2003 - 2005
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
61
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
NAD
Sumba
r
Beng
kulu
Sumse
lDKI
Jateng
Jatim
NTB
Kalbar
Kalte
ng
Sulsel
Sulte
ng
Maluk
u
Babe
l
Goron
talo
KepR
iau
Provinsi
Pcrimerate 2003
2004
2005
Sedangkan tingkat kejahatan properti, yaitu resiko terkena kejahatan properti per
100,000 penduduk selama tiga tahun berturut-turut ditempati DKI Jakarta, hingga
mencapai 404 penduduk per 100,000 populasi. Ini berarti 59,8% dari tingkat kejahatan
DKI didominasi oleh kejahatan properti. Berbeda halnya dengan Gorontalo di mana
persentase tingkat kejahatan properti-nya hanya 14,3% dari total tingkat kejahatan,
meskipun angka tingkat kejahatan-nya cukup besar bahkan menempati posisi kedua
tertinggi di Indonesia pada 2005.
Gambar IV.6.
Tingkat Kejahatan Properti di Indonesia Tahun 2003 -2005
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Lalu bagaimana perbandingan tingkat kejahatan dan tingkat kejahatan properti di
Indonesia? Pada Tabel IV.2. kita dapat memperoleh perbandingan tingkat kejahatan dan
tingkat kejahatan properti di Indonesia, diurutkan dari provinsi dengan tingkat rata-rata
kejahatan properti tertinggi terbesar.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
62
Tabel IV.2.
Perbandingan Tingkat Kejahatan dan Tingkat Kejahatan Properti
Tahun 2003 -2005 di Indonesia
Provinsi
Tingkat kejahatan
Tingkat kejahatan properti
2003 2004 2005 rata-rata 2003 2004 2005 rata-rata
DKI 228 321 676 408.3 126 181 404 237
KepRiau 156 156 90 90
Kaltim 157 160 219 178.6 55 54 106 71.7
Sumut 154 183 207 181.3 49 55 89 64.3
Sumsel 95 107 124 108.7 43 55 59 52.3
Bali 139 174 166 159.7 47 59 50 52
Kalteng 118 119 163 133.3 38 31 80 49.7
Riau 146 149 155 150 49 29 65 47.7
Kalbar 49 89 136 91.3 38 43 58 46.3
DIY 65 75 103 81 39 39 45 41
Gorontalo 286 286 41 41
Sulteng 178 149 213 180 41 22 59 40.7
Sumbar 132 122 151 135 35 30 57 40.7
Jambi 68 75 90 77.7 35 34 43 37.3
Kalsel 111 109 81 100.3 38 34 38 36.7
Bengkulu 73 68 81 74 37 26 37 33.3
Papua 170 219 218 202.3 32 25 42 33
Jabar 48 55 57 53.3 32 30 29 30.3
Lampung 51 68 66 61.7 25 30 30 28.3
Sulut 407 410 418 411.7 15 10 57 27.3
Jatim 74 72 86 77.3 23 24 32 26.3
Babel 114 114 26 26
Sulsel 94 127 141 120.7 15 18 34 22.3
NTB 84 89 103 92 23 16 20 19.7
NAD 66 45 58 56.3 27 13 11 17
Jateng 36 38 44 39.3 15 13 18 15.3
NTT 104 93 117 104.7 10 10 20 13.3
Banten 19 26 22.5 9 14 11.5
Sultenggara 72 108 27 69 10 15 8 11
Maluku Utara 58 58 7 7
Maluku 81 83 65 76.3 4 7 5.5
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Melihat kecendrungan data tersebut, diketahui bahwa kejahatan lebih banyak
terjadi di provinsi dengan persentase penduduk di daerah perkotaan yang terbesar. Tiga
provinsi dengan tingkat kejahatan rata-rata provinsi tertinggi, yaitu DKI Jakarta dan
Kepulauan Riau memiliki persentase penduduk perkotaan yang juga kedua tertinggi.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
63
Begitu pula dengan DIY, Kaltim, Bali, Sumatera Utara yang masing-masingnya tergolong
tingkat kejahatan tinggi dan juga persentase penduduk perkotaan tinggi.
Tabel IV.3.
Persentase Penduduk Wilayah Perkotaan dan Pedesaan
Provinsi di Indonesia Tahun 2005 Kota Desa Total persentase
DKI 8839247 - 8839247 100
KepRiau 1010587 262424 1273011 79
DIY 1973631 1363464 3337095 59
Kaltim 1603799 1237075 2840874 56
Banten 4752033 4256118 9008151 53
Jabar 20051392 18835583 38886975 52
Bali 1712793 1665299 3378092 51
Sumut 5360009 6328978 11688987 46
Indonesia 92005069 121370218 213375287 43
Babel 426982 615846 1042828 41
Jatim 14726139 21331968 36058107 41
Jateng 12903891 18992223 31896114 40
Kalsel 1245481 2025932 3271413 38
Sulut 792061 1328956 2121017 37
Riau 1669769 2893637 4563406 37
NTB 1471270 2698425 4169695 35
Sumsel 2268875 4498770 6767645 34
Sulsel 2550477 5906646 8457123 30
Sumbar 1363036 3192774 4555810 30
Kalteng 553081 1359945 1913026 29
Maluku 358806 890406 1249212 29
Bengkulu 439747 1106539 1546286 28
Jambi 714316 1912900 2627216 27
Kalbar 1088369 2954448 4042817 27
Papua 636723 1803115 2439838 26
Gorontalo 239555 680460 920015 26
Maluku Utara 215989 665878 881867 24
SulTenggara 427165 1533532 1960697 22
Lampung 1490170 5614402 7104572 21
Sulteng 457562 1833407 2290969 20
NTT 662114 3581068 4243182 16
Sumber: BPS, www.datastatistik-indonesia.com, diolah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
64
IV.1.3. Selang Waktu Kejahatan
Selang waktu kejahatan adalah salah satu parameter dalam mengukur terjadinya
kejahatan di susatu wilayah. Makin pendek waktunya, artinya frekuensi terjadinya
kejahatan makin sering. Selang waktu kejahatan didapatkan dengan rumus sebagai berikut:
Selang waktu kejahatan tahun t (detik) = 365 x 24 x 60 x 60 / jumlah kejahatan tahun t
Pada 2004, tercatat bahwa selang waktu kejahatan di Indonesia lebih pendek
dibandingkan pada 2003. Rata-rata selang waktu kejahatan yaitu 2 menit 22 detik pada
2004, di mana sebelumnya lebih lama 18 detik yaitu 2 menit 40 detik pada 2003.
Pada kurun waktu 2003-2005, DKI Jakarta, sebagaimana juga pada indikator
tingkat kejahatan yang lain, memiliki selang waktu yang paling pendek dan terus menerus
memendek. Yaitu 13 menit 52 detik pada 2003 menjadi 9 menit 50 detik pada 2004
kemudian memendek lagi hingga 8 menit 47 detik. Hal ini juga berlaku bagi selang waktu
kejahatan properti di Jakarta yang makin memendek dari 25 menit 1 detik menjadi 17
menit 27 detik pada 2004 kemudian memendek lagi hingga 14 menit 41 detik. Selang
waktu tersebut bahkan lebih pendek dari selang waktu seluruh kejahatan yang terjadi di
semua provinsi lain di Indonesia baik pada tahun 2003, 2004 maupun 2005.
Sedangkan provinsi yang memiliki selang waktu kejahatan paling lama yaitu
Sulawesi Tenggara pada 2003 dengan selang waktu 7 jam 24 menit 17 detik, sementara
Banten dan Maluku Utara adalah provinsi dengan selang waktu kejahatan terlama pada
2004 dan 2005, masing-masing dengan selang waktu 10 jam 55 menit 21 detik dan 17 jam
35 detik. Sedangkan untuk kategori kejahatan properti, provinsi dengan selang waktu
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
65
terlama pada 2003 yaitu Maluku dengan 88 jam 29 menit 5 detik atau 3 hari 16 jam 29
menit 5 detik, kemudian Sulawesi Utara dengan 47 jam 36 menit 31 detik, atau hampir
dua hari yaitu 1 hari 23 jam 36 menit 31 detik. Sedangkan pada 2005 diketahui Maluku
Utara memiliki selang waktu terlama dan merupakan yang paling panjang di antara
provinsi manapun pada 2003 2005 yaitu 151 jam 2 menit 4 detik atau hampir sepekan
yaitu 6 hari 7 jam 2 menit 4 detik.
Pada tabel IV.2 tampak bahwa pada 2003-2004 baik pada selang waktu kejahatan
maupun selang waktu kejahatan properti kota-kota di Indonesia memiliki kencendrungan
untuk mengalami selang waktu yang lebih panjang (dicetak tebal pada tabel) namun pada
2005 selang waktu itu kembali memendek bahkan lebih pendek dibandingkan pada 2003,
kecuali pada kejahatan properti di NAD yang konsisten menunjukkan selang waktu yang
memanjang. Pada selang waktu kejahatan total semua provinsi mengalami pemendekan
pada 2004 sedangkan pada 2005 selain NAD, Sumatera Selatan dan Bali juga
menunjukkan pemanjangan selang waktu meskipun pemanjangan tersebut tidak terlalu
drastis bahkan kurang dari 60 menit.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
66
Tabel IV.4.
Perbandingan Selang waktu kejahatan Provinsi di Indonesia
Tahun 2003 2005
Prov
Selang waktu kejahatan selang waktu kejahatan properti
2003 2004 2005 2003 2004 2005
DKI 13'.52" 9'.50" 8'.47" 25'.1" 17'.27" 14'.41"
Jatim 19'.56" 20'.31" 16'.53" 1.4'.31" 1.2'.38" 45'.12"
Jabar 30'.34" 29'.57" 23'.37" 45'.24" 54'.39" 46'.39"
Sumut 29'.58" 25'.07" 20'.25" 1.35'.11" 1.24'.33" 47.27"
Jateng 41'.57" 39'.18" 37'.12" 1.42'.41" 1.50'.46" 1.30'.10"
Sumsel 1.09'.45" 1.11'..43" 1.2'.31" 2.33'.49" 2.18'.28" 2.11'.44"
Kaltim 1.39'.50" 1.38'.05" 1.24'.26" 4.44'.16" 4.24'.31" 2.54'.41"
Riau 1.14'.52'' 1.13'.30" 1.14'.4" 3.41'.24" 6.21'.25" 2.56'.26"
Sulsel 1.10'.58" 52'.23" 43'.59" 7.35'.51" 6.0'.44" 3.0'.29"
Sumbar 1.29.58" 1.37'.34" 1.16'.2" 5.38'.13" 6.31'.39" 3.20'.32"
Kalbar 4.45'.39" 3.17'.44" 1.35'.32" 6.2'.44" 6.46'.49" 3.44'.37"
Lampung 2.22'.10" 1.53'.40" 1.52'.19" 4.47'.32" 4.15'.31" 4.9'.41"
Bali 2.00'.42" 1.36'.20" 1.33'.44" 6 4.43'.2" 5.8'.16"
Kalteng 3.55'.41" 3.48'.07" 2.48'.54" 12.8'.59" 14.37'.28" 5.45'.53"
DIY 4.14'.46" 3.41'.07" 2.32'.47" 7.8'.1" 7.5'.14" 5.49'.42"
Sulteng 2.15'.25" 2.41'.55" 1.47'.38" 9.47'.55" 18.8'.14" 6.29'.37"
Kalsel 2.28'.23" 2.31'.22" 3.18'.29" 7.16'.54" 8.8'.1" 7.2'.10"
Banten 10.55'.21" 3.45'.12" 22.48'.45" 7.2'.30"
Sulut 46'.48" 1.08'.24" 59'.1" 20.48'.27" 47.36.31" 7.14'.44"
KepRiau 4.24'.39" 7.39'.26"
Jambi 4.53'.08" 4.24'.55" 3.42'.20" 9.23'.57" 9.44'.39" 7.45'57"
Papua 2.22'.19" 1.50'.40" 1.38'.41" 12.28'.43" 16.6'.11" 8.38'.21"
NTB 2.42'.04" 2.33'16" 2.1'.43" 9.48'.34" 13.54'.17" 10.14'.1"
NTT 2.15'.13" 2.31'.33" 1.45'.38" 24.36'.24" 24.20' 10.27'.57"
Bengkulu 7.33'.29" 8.03'.58" 6.58'.48" 14.46'.20" 21.18'.50" 15.20'.29"
NAD 3.12'.57" 4.40'.37" 3.45'.31" 7.44'.19" 15.38'.34" 19.54'.33"
Gorontalo 3.18'.56" 23.6'.48"
Babel 7.21'.41" 32.5'.16"
Sultenggara 7.24'.17" 5.14'.21" 16.37'.21" 54'.45' 37.7'.7" 56.9'.13"
Maluku 4.44'.34" 7.38'.38" 10.42'.33" 88.29'.5" 106.32'.31"
MalukuUtara 17.0'.35" 151.2'.4"
Sumber: Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Evaluasi Situasi Kamtibmas 2003, 2004 dan 2005, diolah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
67
IV.2. Kerugian Ekonomi Akibat Kejahatan
Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, kejahatan menimbulkan kerugian yang
besar baik secara materil maupun non materil yang harus diderita oleh korban, masyarakat,
dan perekonomian. Berdasarkan data yang dilaporkan pada POLRI, kerugian yang dicapai
akibat tindak kejahatan pidana mencapai 2,2 trilyun rupiah atau meningkat 109,2 %
dibandingkan tahun 2003 sebesar 1,1 trilyun rupiah. Dari kerugian tersebut, sekitar 284, 8
milyar atau 12,7% di antaranya dapat ditemukan kembali.
Gambar IV.7.
Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Kejahatan Pidana
Sumber: BPS, Laporan Statistik Kriminal 2005.
Sedangkan menurut provinsi, Jawa Timur merupakan provinsi yang menderita
kerugian terbesar yaitu mencapai 529,1 milyar rupiah. Posisi kedua yaitu Provinsi Maluku
Utara yang mencapai 390,4 milyar rupiah. Sedangkan kerugian terendah adalah Provinsi
Bangka Belitung dengan total kerugian 93,5 juta rupiah.
Nilai Kerugian Ekonomi Akibat Kejahatan Pidana
0 500 1000 1500 2000 2500
2003
2004
tahun
milyar
ditemukan kembali
kerugian
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
68
IV.3. Karakteristik Pelaku Kejahatan
Berdasarkan data tahun 2004, diketahui bahwa pertumbuhan kejahatan seiring
dengan pertumbuhan pelaku kejahatan. Berdasarkan karakteristik pelaku kejahatan,
diketahui bahwa pertumbuhan penjahat perempuan mengalami peningkatan tertinggi yaitu
54%, kemudian anak-anak sebesar 22.4% baru kemudian perningkatan penjahat pria
sebesar 21.5%. Sedangkan pertumbuhan penjahat dari warga negara asing menunjukkan
angka negatif 52,4%. Namun, tetap saja bahwa jumlah penjahat pria masih lebih banyak
daripada jumlah penjahat wanita. Yaitu 40,7 kali lipat lebih banyak dari jumlah penjahat
wanita pada 2004 dan 32.1 kali lebih banyak daripada jumlah penjahat wanita pada 2004.
Tabel IV.5.
Karakteristik Pelaku Kejahatan Pidana
Karakteristik 2003 2004 Pertumbuhan
Jumlah orang
terlibat Pidana
180854 221105 22.3
Jenis Kelamin
Laki-laki 176516 214424 21.5
Perempuan 4338 6681 54
Klasifikasi Umur
Dewasa 177891 217403 22.2
Anak-anak 2963 3702 24,4
Kewarganegaraan
WNI 180541 220956 22.4
WNA 313 149 -52.4
Sumber: BPS, Laporan Statistik Kriminal 2005.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
69
IV.4. Kejahatan dan Tipe Daerah
Di manakah kejahatan lebih banyak terjadi? Dari data Podes ST 2003, diketahui
bahwa terdapat perbedaan pola kejahatan antara desa-desa di wilayah pedesaan dan
perkotaan. Sebagaimana dalam Gambar IV.8 di bawah ini, diketahui bahwa pola umum
(total) lebih dipengaruhi pola desa di wilayah pedesaan empat kali dibandingkan dengan
desa di wilayah perkotaan sebanyak 56,838 pedesaan berbanding 11,978 perkotaan. Pola
kejahatan di perkotaan berdasarkan urutan besarnya persentase desa yang mengalami
adalah kejahatan pencurian, narkoba, penganiayaan, perampokan, dan pembunuhan. 11
Diketahui pula bahwa desa di wilayah perkotaan mengalami kejahatan lebih banyak
dibandingkan dengan desa di pedesaan untuk semua jenis kejahatan, terutama pencurian
dengan selisih yang cukup besar dengan desa di perkotaan.
Gambar IV.8.
Persentase Desa Menurut Peristiwa Kejahatan dan Tipe Daerah Tahun 2003
0 10 20 30 40 50 60 70
Pencurian
Perampokan
Panjarahan
Penganiayaan
Pembakaran
Perkosaan
Narkoba
Pembunuhan
Lainnya
Perkotaan
Pedesaan
Total
Sumber: BPS, Laporan Statistik Kriminal 2005.
11 BPS, 2005. Laporan Statistik Kriminal 2005. Jakarta: BPS, hal.12.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
70
Hasil penelitian BPS terhadap tempat kejadian kejahatan dengan regresi logistik
membuktikan bahwa tipe daerah (perkotaan/pedesaan) mempunyai pengaruh nyata
terhadap peluang terjadinya semua peristiwa kejahatan, baik pencurian, penjarahan,
pembakaran, perkosaan, narkoba maupun pembunuhan. Pada jenis kejahatan pencurian,
diketahui bahwa kelompok desa perkotaan mempunyai resiko peluang terjadinya pencurian
0,481 kali lebih besar daripada desa di pedesaan apabila tipe geografi dan siskamling
dikontrol. Sedangkan pada jenis penjarahan dan perampokan, peluangnya masing-masing
adalah 0,819 dan 0,624 kali lebih besar di desa wilayah perkotaan daripada pedesaan,
sebagaimana tabel berikut:
Tabel IV.6.
Peluang Kejahatan di Kelompok Desa Perkotaan dibandingkan Pedesaan
Tahun 2003
Jenis Kejahatan Peluang
Pencurian 0.481
Perampokan 0.624
Penjarahan 0.819
Penganiayaan 0.471
Pembakaran 0.757
Perkosaan 0.426
Narkoba 0.137
Pembunuhan 0.487
Sumber: BPS, Laporan Statistik Kriminal 2005.
IV.5. Kejahatan, Kepadatan penduduk, dan Perekonomian
Angka kejahatan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan
tingginya tingkat kejahatan di Pulau Jawa yang memiliki penduduk yang lebih padat.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
71
Secara umum, Indonesia memang mengalami pertumbuhan penduduk terutama di daerah
perkotaan. Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
perkotaan di Indonesia telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa, dengan laju kenaikan sebesar
4,4% per tahun selama kurun 1990-2000. Jumlah itu kira-kira hampir 42 % dari total
jumlah penduduk. Tahun 2005, persentase penduduk Indonesia di perkotaan mencapai
42.14% sedangkan di pedesaan 57.86%. Artinya, hampir setengah jumlah penduduk
Indonesia saat ini tinggal di wilayah perkotaan.
Gambar IV.9.
Populasi Penduduk Indonesia
Sumber: BPS 2005, diolah.
Kota dengan angka kejahatan paling tinggi, konsisten mengalami peningkatan jumlah
kejahatan, dan memberikan kontribusi kejahatan terbesar terhadap total kejahatan di
Indonesia, yaitu DKI Jakarta memiliki pertumbuhan penduduk yang meningkat tiap
tahunnya. Berdasarkan Data Susenas, pada tahun 2004 DKI Jakarta telah mencapai angka
8.792.000 dengan kepadatan sebesar 16667 jiwa/km2. Angka ini diprediksikan akan terus
meningkat seiring dengan masih adanya tren urbanisasi penduduk ke wilayah perkotaan.
Peningkatan penduduk ini pada akhiranya diiringi dengan penambahan angkatan kerja di
perkotaan yang lebih melesat dibandingkan pedesaan. Bahkan untuk beberapa tahun,
populasi
0
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
1971 1980 1990 1995 2000 2005
populasi
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
72
pertumbuhan angkatan kerja di pedesaan menunjukkan angka negatif yang
mengindikasikan adanya perpindahan tenaga kerja desa ke kota.
Gambar IV.10.
Pertambahan Angkatan Kerja Per Tahun di Indonesia
Sumber: BPS 2005, diolah
Namun, meningkatnya kepadatan kota-kota di Indonesia tidak diringi dengan kondisi
pasar tenaga kerja yang siap menampung. Menurut survei ketenagakerjaan BPS, Indonesia
kehilangan kira-kira satu juta pekerjaan upah tetap antara tahun 2001-2004. Hal ini
disebabkan pertumbuhan ekonomi rendah namun pengangguran terbuka menjulang tinggi.
Pada tahun 1991, setiap peningkatan 1% GDP menghasilkan penambahan tenaga kerja
sebesar 887,000 orang. Sedangkan pada 1998 dan 2003 elastisitas tersebut menunjukkan
angka yang negatif di mana pertumbuhan ekonomi tidak menambah pekerja baru yang
tercipta malah menurunkannya. Tabel IV.7. menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan
kerja rata-rata selama 1997-2003 lebih rendah daripada 1991-1996, bahkan sampai
mencapai angka minus pada 2003.
Pertambahan Angkatan Kerja Per Tahun
-2
0
2
4
6
8
10
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
kota
desa
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
73
Tabel IV.7.
Indikator Makroekonomi dan Elastisitas Tenaga Kerja
Tahun 1991-2003
Tahun Pertumbuhan
GDP (%)
Pertumbuhan
Kerja (%)
Elastisitas
Tenaga Kerja
(ribu orang)
1991 8.9 1.1 88.7
1992 7.2 2.7 274.9
1993 7.3 1.1 114.1
1994 7.5 3.9 397.9
1996 7.8 2.4 246.7
1997 4.7 1.8 320.3
1998 -13.1 2.7 -172.71
1999 0.8 1.3 1146.4
2000 4.9 1.1 207.6
2001 3.5 1.1 281
2002 3.7 0.9 227.6
2003 4.1 -0.9 -210.2
Sumber: dihitung berdasarkan BPS, labor Force Survey and Economic Indicators 1990-2004. Dalam Opsi-opsi Kebijakan untuk Rencana Aksi Ketenagakerjaan UNSFIR, November 2005 Catatan: elastisitas tenaga kerja merupakan jumlah sesungguhnya pekerjaan yang tercipta per 1% pertumbuhan GDP; elastisitas pekerjaan pada 1996 dihitung berdasarkan rata-rata 1994-1996.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
74
-15
-10
-5
0
5
10
15
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Year
Percent
Urate GDP Growth Rate Employment Rate
Gambar IV.11.
Perkembangan Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia
Tahun 1990-2003
Catatan: Pertumbuhan GDP dihitung berdasarkan harga-harga tetap 1993. Pengangguran mengandalkan definisi lama yakni mencari kerja. Sumber: BPS, Economic Indicator various years and annual Indonesian Labor Force Surveys.
Sementara itu, pengangguran lebih banyak terjadi di daerah perkotaan daripada
pedesaan. Pada 2004, pengangguran perkotaan sebesar 12,5% sedangkan daerah
pedesaan sebesar 7,4%. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya lapangan pekerjaan
dibandingkan dengan populasi penduduk perkotaan yang padat. Terutama setelah krisis
ekonomi tahun 1998, kini Indonesia menghadapi tantangan untuk menciptakan
lapangan pekerjaan baru bagi 1.3 juta orang (BPS, tahun 2004) pengangguran terbuka
dan 3,5-5,5 juta pengangguran terbuka jangka pendek yang kebanyakan berasal dari
tenaga kurang terdidik dan berpendapatan rendah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
75
Upah rata-rata 2005-2006
0
500000
1000000
1500000
2000000
NAD
SBR
BKL
SMS
DKI
JTG
JTM
NTB
KBR
KTG
SSL
STG
MLK
BBL
GRO
KPR
Provin
si
upah rata-rata2004
2005
Hal ini kemudian membawa pada masalah kedua dalam ketenagakerjaan Indonesia
terutama di daerah perkotaan yaitu tingkat upah yang sangat rendah. Gambar IV.12.
menggambarkan perkembangan upah rata-rata per bulan masyarakat tahun 2004-2005.
Gambar IV.12
Upah Rata-rata Provinsi di Indonesia tahun 2005 2006
Sumber: Badan Pusat Statistik, Statistik Upah 2005 dan 2006, diolah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
76
BAB V.
HASIL PENGUJIAN DAN ANALISIS
Bab ini akan menjelaskan bagaimana variabel independen dalam model yang
digunakan dalam penelitian dapat menjelaskan variabel dependen baik secara sendiri-
sendiri maupun secara serentak. Sedangkan variabel dependen yang dimaksud adalah
tingkat kejahatan properti provinsi, sementara variabel independennya adalah: variabel
dummy tingkat pendapatan provinsi, tingkat pengangguran, tingkat penyelesaian kasus
kejahatan properti, kekuatan polisi, koefisien gini, dan proporsi pria usia 15 29 tahun.
Dengan menggunakan model logit, ingin diketahui apakah model tersebut sesuai
dengan teori ekonomi dan teruji secara statistik dan ekonometrika. Adapun hubungan yang
diharapkan yaitu:
Variabel Dummy tingkat pendapatan masyarakat menunjukkan tingkat
expected value yang bisa didapatkan dari kejahatan properti. Hubungan yang
diharapkan adalah positif di mana provinsi dengan tingkat upah yang tinggi
cenderung memiliki tingkat kejahatan properti yang tinggi pula.
Angka pengangguran menunjukkan nilai expected value dari pekerjaan legal
yang rendah sehingga menghasilkan potensi kejahatan properti yang lebih besar.
Sehingga hubungan yang diharapkan adalah hubungan yang positif. Setiap
kenaikan tingkat pengangguran dalam sebuah provinsi akan meningkatkan peluang
provinsi tersebut memiliki kejahatan properti yang relatif tinggi dibandingkan
tingkat kejahatan properti sedang dan rendah.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
77
Proporsi pria usia 19-25 tahun berpotensi melakukan tindak kejahatan
properti lebih besar dibandingkan pada jenis kelamin lain dan golongan umur yang
berbeda. Sehingga hubungan yang diharapkan adalah hubungan yang postif, di
mana setiap peningkatan proporsi pria usia 15 29 tahun dalam sebuah provinsi
akan semakin tinggi pula peluang provinsi tersebut memiliki tingkat kejahatan
properti yang relatif tinggi dibandingkan tingkat kejahatan properti rendah dan
sedang.
Tingkat penyelesaian kasus menunjukkan kinerja petugas dalam
menegakkan hukum. Sehingga diharapkan tingginya tingkat penyelesaian kasus
membentuk masyarakat yang sadar hukum. Sehingga, hubungan yang diharapkan
dalam penelitian ini adalah hubungan yang negatif. Semakin baik tingkat
penyelesaian kasus dalam sebuah provinsi maka akan semakin rendah peluang
provinsi tersebut memiliki tingkat kejahatan properti yang rendah.
Kekuatan Kepolisian menunjukkan resiko dari kejahatan properti. Semakin
banyak polisi bertugas meningkatkan peluang penjahat tertangkap, sehingga
hubungan yang diharapkan adalah hubungan yang negatif. Setiap peningkatan
kekuatan polisi dalam sebuah provinsi akan mengurangi peluang provinsi tersebut
memiliki tingkat kejahatan properti yang tinggi dibandingkan tingkat kejahatan
properti rendah dan sedang.
Koefisien gini menujukkan tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat.
Penelitian terdahulu lebih banyak menunjukkan hubungan yang positif, di mana
tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat menjadi semacam pendorong
willingness melakukan kejahatan properti dalam masyarakat. Sehingga hubungan
yang diharapkan adalah hubungan yang positif. Di mana makin tinggi koefisien
gini dalam sebuah provinsi maka akan semakin tinggi pula peluang provinsi
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
78
tersebut memiliki tingkat kejahatan properti yang tinggi secara elatif dibandingkan
tingkat kejahatan properti rendah dan sedang.
V.1 Uji Pelanggaran Asumsi
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab sebelumnya, pada model regresi logistik
tidak terdapat asumsi yang sangat ketat dalam pengujian ekonometrika. Satu-satunya
asumsi yang harus dipenuhi adalah error pada hasil estimasi haruslah terdistribusi normal.
Sementara syarat tersebut tidak memerlukan pengujian khusus dan hampir selalu terpenuhi
dalam segala jenis data. (Kharisma, 2007).
Namun pada penelitian ini, akan tetap dilakukan pengujian multikolinearitas untuk
mengetahui apakah ada hubungan yang kuat antara variabel independen.
Hasilnya didapatkan dalam Tabel V.1.
Tabel V.1.
Korelasi Variabel Independen
Apabila matriks korelasi menunjukkan angka lebih besar dari 0.8 maka dapat
disimpulkan terdapat multikolinearitas. Output di atas menunjukkan bahwa tidak ada
masalah multikolinearitas.
. correlate Ksalary ur ym pol pap gini (obs=30)
Ksalary ur ym pol pap gini Ksalary 1.0000 Ur -0.0026 1.0000 ym 0.0766 -0.1487 1.0000 pol 0.3910 -0.0420 -0.2061 1.0000 pap -0.2139 -0.3616 -0.2500 0.0335 1.0000 gini 0.3783 0.0637 0.1661 -0.0271-0.2705 1.0000
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
79
V.2. Analisis Model
V.2.1. Tes Signifikansi
Nonlinearitas dari qualitative respons model menjadikannya sulit dalam interpretasi
output, karena efek perubahan pada sebuah variabel bergantung pada nilai dari semua
variabel lain dalam model (Long, 1997).
Tabel V.2. merupakan output yang dihasilkan sofware STATA 8.0 untuk regresi
ordered logit model dengan kategori kejahatan properti yang rendah, sedang dan tinggi:
Tabel V.2.
Output Regresi Ordered Logit
. olog y Ksalary ur ym pol pap gini, robust Iteration 0: log pseudo-likelihood = -11.662032 Iteration 1: log pseudo-likelihood = -6.9258312 Iteration 2: log pseudo-likelihood = -5.0178766 Iteration 3: log pseudo-likelihood = -4.4465986 Iteration 4: log pseudo-likelihood = -4.2696362 Iteration 5: log pseudo-likelihood = -4.2362517 Iteration 6: log pseudo-likelihood = -4.2336422 Iteration 7: log pseudo-likelihood = -4.2336158 Ordered logit estimates Number of obs = 30 Wald chi2(6) = 16.63 Prob > chi2 = 0.0107 Log pseudo-likelihood = -4.2336158 Pseudo R2 = 0.6370 ------------------------------------------------------------------------------ | Robust y| Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] -------------+---------------------------------------------------------------- Ksalary | 7.795158 2.165456 3.60 0.000 3.550942 12.03937 ur | .8248502 .2158482 3.82 0.000 .4017956 1.247905 ym | 2.063198 .5729486 3.60 0.000 .9402398 3.186157 pol | .004907 .0094081 0.52 0.602 -.0135325 .0233464 pap | .0437946 .0214286 2.04 0.041 .0017953 .0857938 gini | -7.475703 14.62057 -0.51 0.609 -36.13149 21.18009 -------------+---------------------------------------------------------------- _cut1 | 40.6425 13.61654 (Ancillary parameters) _cut2 | 46.96458 15.27853
------------------------------------------------------------------------------
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
80
Software STATA menghasilkan (koefisien), error, z (z-score for test of =0), P>|Z| (p-
value for z-test), cutpoints 1, cutpoints 2, dengan mengasumsikan konstanta (0) bernilai
nol (Long and Freese, 2003). Tidak adanya konstanta adalah efek dari adanya cutpoints.
Sehingga cutpoints dapat dianalogikan sebagai konstanta pada regresi logistik. Nilai ini
berfungsi untuk memisahkan berbagai kategori pada variabel respon.
Dengan tingkat keyakinan 95%, maka tolak Ho, artinya keenam variabel
independen serentak mempengaruhi tingkat kejahatan properti provinsi pada kondisi
rendah, sedang, dan tinggi. Analisis model secara keseluruhan dapat dilihat pada nilai
Wald chi2 test yang mengikuti distribusi 2 . Wald test dilakukan untuk mengetahui
signifikansi variabel independen dalam mempengaruhi variabel dependen, baik secara
serentak maupun sendiri-sendiri. Hasil regresi logistik tersebut menunjukkan Wald chi2
sebesar 18.02 dengan peluang 0.0062. Artinya secara serentak, variabel-variabel
independen dapat menjelaskan kondisi tingkat kejahatan properti.
Sedangkan tes untuk pengaruh masing-masing variabel independen diperoleh hasil
sebagai berikut:
SALARY
Artinya, dengan tingkat keyakinan 95%, maka tolak Ho, artinya tingkat pendapatan
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kejahatan properti provinsi. Terdapat
perbedaan yang nyata antara tingkat upah di provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki
tingkat kejahatan properti yang rendah, sedang dan tinggi.
. test Ksalary ( 1) Ksalary = 0 chi2( 1) = 12.96 Prob > chi2 = 0.0003
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
81
URATE
Artinya, dengan tingkat keyakinan 95%, maka tolak Ho, artinya pengangguran
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kejahatan properti provinsi. Terdapat
perbedaan yang nyata antara tingkat pengangguran di provinsi-provinsi di Indonesia yang
memiliki tingkat kejahatan properti yang rendah, sedang dan tinggi.
PAP
Artinya, dengan tingkat keyakinan 95%, maka tolak Ho, artinya tingkat
penyelesaian kasus berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kejahatan properti
provinsi. Terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat penyelesaian kasus kejahatan
properti di provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat kejahatan properti yang
rendah, sedang dan tinggi.
POLICE
. test pap ( 1) pap = 0 chi2( 1) = 4.18 Prob > chi2 = 0.0410
. test pol ( 1) pol = 0 chi2( 1) = 0.27 Prob > chi2 = 0.6020
. test ur ( 1) ur = 0 chi2( 1) = 14.60 Prob > chi2 = 0.0001
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
82
Artinya, dengan tingkat keyakinan 95%, maka terima Ho, artinya kekuatan polisi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kejahatan properti provinsi. Tidak terdapat
perbedaan yang nyata antara kekuatan polisi di provinsi-provinsi di Indonesia yang
memiliki tingkat kejahatan properti yang rendah, sedang dan tinggi.
YMEN
Artinya, dengan tingkat keyakinan 95%, maka tolak Ho, artinya proporsi pria usia
15-29 tahun dalam populasi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kejahatan
properti provinsi. Terdapat perbedaan yang nyata antara persentase proporsi pria usia 15-
29 tahun di provinsi-provinsi di Indonesia yang memiliki tingkat kejahatan properti yang
rendah, sedang dan tinggi.
GINI
Artinya, dengan tingkat keyakinan 95%, maka terima Ho, artinya koefisien gini
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kejahatan properti provinsi. Tidak
. test ym ( 1) ym = 0 chi2( 1) = 12.97 Prob > chi2 = 0.0003
. test gini ( 1) gini = 0 chi2( 1) = 0.26 Prob > chi2 = 0.6091
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
83
terdapat perbedaan yang nyata antara ketimpangan pendapatan di provinsi-provinsi di
Indonesia yang memiliki tingkat kejahatan properti yang rendah, sedang dan tinggi.
V.2.2. Goodness of Fit Test
Untuk melihat seberapa baik suatu model dapat menjelaskan hubungan antara
variabel dependen dan independennya, maka perlu dilakukan Goodness of Fit Test. Dalam
regresi logistik, yang digunakan adalah pseudo-Rsquare atau Mc Faden R-Square. Dalam
penelitian ini, didapatkan Pseudo-R2 = 0.6370. Artinya, variabel independen dalam model
ini mampu menjelaskan 63.70% dari variabel dependen. Ini berarti masih ada variabel lain
yang dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat kejahatan properti provinsi-provinsi di
Indonesia. Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah rational model, di mana
masyarakat bebas dari nilai dan hanya mempertimbangkan untung-rugi tindak kejahatan,
padahal masyarakat Indonesia sangat majemuk dan penuh dengan budaya yang mengakar
kuat, memiliki nilai-nilai dan norma-norma tersendiri. Tabel V.3 merupakan hasil
pengujian Goodness of fit pada penelitian ini.
Tabel V.3.
Output Pengujian Goodness of Fit
. fitstat Measures of Fit for ologit of y Log-Lik Intercept Only: -11.662 Log-Lik Full Model: -4.234 D(22): 8.467 LR(6): 14.857 Prob > LR: 0.021 McFadden's R2: 0.637 McFadden's Adj R2: -0.049 Maximum Likelihood R2: 0.391 Cragg & Uhler's R2: 0.723 McKelvey and Zavoina's R2: 0.806 Variance of y*: 16.956 Variance of error: 3.290 Count R2: 0.967 Adj Count R2: 0.667 AIC: 0.816 AIC*n: 24.467
BIC: -66.359 BIC': 5.550
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
84
V.2.3. Analisis Koefisien & Odds Ratio
Koefisien yang diestimasi menunjukkan bagaimana variabel independen tersebut
mempengaruhi variabel dependennya. Dalam ordered logit, koefisien yang diestimasi
menggambarkan marginal effect dari x terhadap peluangnya, namun besarannya tidak
dapat langsung dilihat dari koefisien tersebut. Kita hanya dapat menentukan arah positif
atau negatifnya koefisien tersebut. Dalam penelitian ini terdapat tiga kategori pilihan
peubah respon. Maka untuk ketiga peluang tersebut, marginal effect dari perubahan x
yaitu:
)()/2(
)]()([)/1(
)()/0(
xFx
xYP
FxFx
xYP
xFx
xYP
==
==
==
Koefisien yang positif menunjukkan bahwa semakin tinggi variabel independen
maka akan meningkatkan peluang tingkat kejahatan properti berada pada tingkat yang
lebih tinggi. Sedangkan hubungan yang negatif menunjukkan bahwa semakin tinggi
variabel independen maka akan mengurangi peluang tingkat kejahatan properti berada
pada tingkat yang tinggi. Dalam penelitian ini, SALARY, POLICE, Ymen, PAP, dan
URATE memiliki koefisien yang positif. Sedangkan Gini memiliki koefisien negatif.
Artinya:
Semakin tinggi tingkat pendapatan maka akan meningkatkan peluang
tingkat kejahatan properti yang lebih tinggi.
Semakin tinggi tingkat pengangguran maka akan meningkatkan peluang
tingkat kejahatan properti yang lebih tinggi.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
85
Semakin tinggi tingkat penyelesaian kasus kepolisian maka akan
meningkatkan peluang tingkat kejahatan properti yang lebih tinggi.
Semakin tinggi kekuatan polisi maka akan meningkatkan peluang tingkat
kejahatan properti yang lebih tinggi, namun secara statistika tidak signifikan
atau tidak nyata.
Semakin tinggi ketimpangan masyarakat (koefisien gini) maka akan
mengurangi peluang tingkat kejahatan properti yang lebih tinggi, namun secara
statistika tidak signifikan atau nyata.
Semakin tinggi proporsi pria usia 15-29 tahun maka akan meningkatkan
peluang tingkat kejahatan properti yang lebih tinggi.
Untuk memperoleh nilai peluang untuk masing-masing provinsi, nilai koefisien
tersebut harus dimasukkan ke dalam persamaan yang merupakan fungsi dari keenam
variabel independen. Sehingga kita mendapatkan persamaan untuk model dalam penelitian
ini sebagai berikut:
GINIPOLICEPAPYMURSalaryPcr
xxxxxxPcr
654321
665544332211
++++=
++++=
Prediksi peluang bergantung pada nilai dari Pcr, error yang terdistribusi secara
logistik dan nilai dari cut points. Yaitu :
P (tingkat = rendah) = P (Pcr + u _cut1)
= P (Pcr + u 48.81746)
48.817461
1
+=
Pcre
P (tingkat = sedang) = P (_cut1 < Pcr + u _cut2)
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
86
= P (40.6425 < Pcr + u 46.96458)
46.96458 58.53453-Pcr 1
1
1
1+
+
=Pcree
P (tingkat = tinggi) = P (Pcr + u > _cut2)
= P (Pcr + u > 46.96458)
46.964581
11
+=
Pcre
Cutpoints berfungsi sebagai pembatas antara masing-masing variabel. Nilainya
dianalogikan dengan konstanta pada regresi klasik. Sehingga jika variabel independen
sama dengan nol maka besarnya variabel dependen dapat dilihat dari nilai cutpoints.
Sehingga kita mendapatkan dua model logit untuk masing-masing cutpoints, yaitu:
Tingkat Kejahatan Properti Rendah = 40.6425 + 7.795158 Salary +
0.8248502 UR + 2.063198 YM + 0.004907 POL + 0.0437946 PAP
7.475703 GINI
Tingkat Kejahatan Properti Sedang = 46.964548 + 7.795158 Salary
+ 0.8248502 UR + 2.063198 YM + 0.004907 POL + 0.0437946 PAP
7.475703 GINI
Odds ratio diartikan sebagai rasio peluang suatu kondisi dibandingkan dengan
kondisi lainnya. Odds diperoleh dari exp() yang menunjukkan besarnya factor change in
odds for unit increase in x. Output yang dihasilkan STATA 8.0 untuk nilai odds ratio
adalah sebagai berikut:
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
87
Tabel V.4.
Output Regresi Ordered Logit untuk Odds Ratio
\
Sehingga dapat dihasilkan interpretasi odds ratio sebagai berikut:
Provinsi dengan tingkat upah rata-rata tinggi memiliki kecendrungan
2428.8 kali lebih besar untuk memiliki tingkat kejahatan properti provinsi
yang tinggi dibandingkan rendah dan sedang.
Setiap peningkatan tingkat pengangguran sebesar satu persen akan
mengakibatkan kecendrungan tingkat kejahatan properti yang tinggi (secara
relatif daripada sedang dan rendah) sebesar 2.3 kali lebih besar.
Setiap peningkatan proporsi pria usia 15-29 tahun dari populasi
penduduk sebesar satu persen akan mengakibatkan kecendrungan tingkat
. olog y Ksalary ur ym pol pap gini, robust or Iteration 0: log pseudo-likelihood = -11.662032 Iteration 1: log pseudo-likelihood = -6.9258312 Iteration 2: log pseudo-likelihood = -5.0178766 Iteration 3: log pseudo-likelihood = -4.4465986 Iteration 4: log pseudo-likelihood = -4.2696362 Iteration 5: log pseudo-likelihood = -4.2362517 Iteration 6: log pseudo-likelihood = -4.2336422 Iteration 7: log pseudo-likelihood = -4.2336158 Ordered logit estimates Number of obs = 30
Wald chi2(6) = 16.63 Prob > chi2 = 0.0107
Log pseudo-likelihood = -4.2336158 Pseudo R2 = 0.6370 Robust y Odds Ratio Std. Err. z P>z [95% Conf. Interval] Ksalary 2428.813 5259.486 3.60 0.000 34.84614 169290.8 ur 2.281539 .492466 3.82 0.000 1.494506 3.483038 ym 7.871105 4.509739 3.60 0.000 2.560595 24.19527 pol 1.004919 .0094543 0.52 0.602 .9865587 1.023621 pap 1.044768 .0223879 2.04 0.041 1.001797 1.089582 gini .0005667 .0082853 -0.51 0.609 2.03e-16 1.58e+09
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
88
kejahatan properti provinsi yang tinggi (secara relatif daripada sedang dan
rendah) sebesar 7.9 kali lebih besar.
Setiap peningkatan 1 unit tingkat penyelesaian kasus akan
mengakibatkan kecendrungan tingkat kejahatan properti tinggi (secara
relatif daripada rendah dan sedang) sebesar 1.05 kali lebih besar.
Setiap peningkatan kekuatan polisi sebesar satu orang per 100,000
populasi penduduk akan mengakibatkan kecendrungan tingkat kejahatan
properti yang tinggi (Secara relatif dibandingkan tingkat kejahatan properti
rendah dan sedang) sebesar 1.05 kali lebih besar. Namun tidak signifikan.
Setiap peningkatan ketimpangan pendapatan provinsi (dengan
koefisien gini) 1 unit akan mengurangi kecendrungan tingkat kejahatan
properti provinsi yang tinggi (secara relatif daripada sedang dan rendah)
sebesar 0.0006 kali. Namun tidak signifikan.
V.2.4. Pengaruh Positif Tingkat Pendapatan Terhadap Kejahatan Properti di
Indonesia
Sesuai dengan teori ekonomi, tingkat pendapatan sebuah provinsi dapat
berhubungan positif maupun negatif terhadap tingkat kejahatan properti. Dalam penelitian
ini, terbukti bahwa hubungannya signifikan dengan arah positif dengan nilai odds ratio
yang cukup besar yaitu 2428.8. Ini menunjukkan bahwa pada provinsi-provinsi di
Indonesia, tingkat pendapatan masyarakat lebih berfungsi sebagai expected loot yang
didapatkan melalui kejahatan properti daripada expected value sektor legal yang menjadi
pembanding sektor ilegal. Ini disebabkan karena dilihat dari profil pelaku kejahatan
properti kebanyakan di antara mereka merupakan pengangguran dan tunawisma. Sehingga
bagi golongan masyarakat tersebut, tingkat pendapatan masyarakat yang tidak mereka
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
89
nikmati tersebut justru menjadi faktor yang meningkatkan ekspektasi harta rampasan yang
akan diperoleh. Ini menjelaskan mengapa tingkat kejahatan properti di Indonesia lebih
banyak terjadi di provinsi-provinsi besar maupun di desa-desa wilayah perkotaan. Yaitu
karena tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakat provinsi yang relatif lebih tinggi
daripada masyarakat desa.
Berdasarkan data yang ada, Sumatera Utara adalah provinsi yang memiliki tingkat
pendapatan yang relatif rendah namun tergolong pada kejahatan properti yang sedang.
Papua sebaliknya, merupakan provinsi dengan tingkat pendapatan yang tinggi namun
memiliki tingkat kejahatan properti yang rendah. Sedangkan pada provinsi lain, mengikuti
hubungan yang positif seperti dalam hasil penelitian ini memiliki hubungan yang sama
yaitu provinsi dengan tingkat pendapatan rendah memiliki kejahatan properti yang rendah
dan pendapatan yang tinggi memiliki tingkat kejahatan properti tinggi atau sedang.
V.2.5. Pengaruh Positif Pengangguran Terhadap Kejahatan Properti di Indonesia
Sesuai dengan teori yang ada, tngkat pengangguran berpengaruh signifikan berarah
positif terhadap kejahatan properti. Terutama di Indonesia di mana kebanyakan pelaku
kejahatan properti merupakan pengangguran dan tunawisma, maka hasil dari penelitian ini
sangat sesuai denga fakta yang ada.
Berdasarkan data yang ada, provinsi yang tidak 100% mengikuti arah ini adalah
Kalimantan Timur. Provinsi tersebut memiliki angka pengangguran yang relatif rendah
dibandingkan lainnya yaitu 6.8 % dan memiliki angka kejahatan properti yang relatif
sedang, bandingkan dengan Jawa Barat misalnya yang memiliki angka pengangguran lebih
dari dua kali lipatnya yaitu 14.73% namun memiliki angka kejahatan properti yang relatif
rendah dibandingkan Kalimantan Timur.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
90
V.2.6. Pengaruh Positif Tingkat Penyelesaian Kasus Terhadap Kejahatan Properti di
Indonesia
Berbeda dengan teori ekonomi, tingkat penyelesaian kasus oleh kepolisian tingkat
provinsi (POLDA) di Indonesia justru berhubungan positif dan signifikan. Ini adalah
hubungan yang berlawanan, karena seharusnya penyelesaian kasus yang baik akan
membawa pada resiko yang lebih besar untuk melakukan kejahatan properti sehingga
harusnya berhubungan negatif. Penjelasan dari hasil ini bisa jadi disebabkan karena
ketidakakuratan data yang digunakan. Tingkat penyelesaian kasus yang dimaksud adalah
tingkat penyelesaian oleh kepolisian dan belum sampai pada tingkat kejaksaan. Selain itu,
jumlah kasus yang menjadi pembanding tingkat penyelesaian kasus dalam penelitian ini
adalah kasus yang dilaporkan pada kepolisian. Jumlah itu tidak mencerminkan jumlah
yang sebenarnya, karena pada faktanya ada banyak kejahatan properti yang tidak
dilaporkan. Pencurian, penjambretan, penodongan di jalan sehari-hari (street crime)
seringkali tidak dilaporkan sehingga kepolisian tidak memiliki data yang akurat. Data yang
lebih mendekati fakta yang sebenarnya adalah Survei Korban, namun Penulis tidak
menemukan data sekunder tersebut sehingga data kepolisian tetap digunakan.
DKI Jakarta adalah provinsi dengan kecendrungan data yang sesuai dengan teori
dan tidak mengikuti hasil yang didapatkan dalam penelitian ini. Provinsi tersebut memiliki
angka kejahatan properti paling tinggi dengan property crime lock 14 menit 41 detik
sementara tingkat penyelesaian kasusnya hanya 14.74%. Bisa dibayangkan betapa
kejahatan properti di provinsi terpadat tersebut sedemikian sering dan tidak terselesaikan
dengan baik, apalagi 14.74 % tersebut masih merupakan angka yang didapatkan dari kasus
yang dilaporkan pada kepolisian.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
91
V.2.7. Kekuatan Polisi Tidak Berpengaruh Terhadap Kejahatan Properti di
Indonesia
Kekuatan polisi di Indonesia, berdasarkan data provinsi tahun 2005 dalam
penelitian ini, terbukti tidak mempengaruhi kejahatan properti. Selain itu, arahnya juga
tidak sesuai dengan teori yang ada, yaitu kekuatan polisi justru berhubungan positif dengan
kejahatan properti. Padahal hubungan yang diharapkan adalah bahwa jumlah polisi yang
bertugas meningkatkan peluang potensial pelaku kejahatan properti tertangkap sehingga
menambah resiko melakukan kejahatan properti, kemudian mengurangi ekspektasi
kepuasan melakukan kejahatan properti hingga akan mengurangi tingkat kejahatan properti
provinsi. Ini adalah fakta yang mengejutkan, meskipun secara statistik hubungan ini tidak
signifikan.
Penjelasan atas hubungan ini, serupa dengan penjelasan pada tingkat penyelesaian
kasus mungkin dapat dijelaskan oleh ketersediaan data yang digunakan. Ukuran kategori
kejahatan properti yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus yang dilaporkan per
100,000 penduduk (crime rate). Sementara dilaporkan atau tidak dilaporkannya kasus bisa
jadi disebabkan karena ada atau tidaknya polisi bertugas di sekitar tempat kejadian perkara,
atau bisa dikatakan juga bahwa kasus dilaporkan ini adalah kasus yang diketahui
kepolisian atau petugas polisi. Ini membawa implikasi pada ekspektasi hubungan yang
saling berpengaruh. Bisa jadi justru karena terdapat lebih banyak petugas yang
dipekerjakan maka kasus dilaporkan juga semakin banyak. Sehingga disebabkan petugas
lebih banyak dipekerjakan maka tingkat kejahatan properti diketahui lebih tinggi.
Penjelasan lain adalah bahwa data jumlah kepolisian bertugas tersebut juga bisa
jadi tidak akurat. Jumlah petugas yang digunakan tersebut adalah data kekuatan polisi per
100,000 penduduk di masing-masing provinsi namun bukan data tentang seberapa sering
petugas tersebut melakukan patroli atau seberapa ketat pengawasan petugas terhadap
keamanan provinsi. Sehingga peluang pelaku kejahatan properti tertangkap yang kemudian
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
92
membawa pada berkurangnya ekspektasi utilitas dari tindak kejahatan properti di sebuah
provinsi tidak benar-benar dapat diukur dari data tersebut karena tidak menggambarkan
kinerja nyata kepolisian yang sebenarnya.
V.2.8. Koefisien Gini Tidak Berpengaruh Terhadap Kejahatan Properti di Indonesia
Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh negatif tingkat ketimpangan masyarakat
terhadap tingkat kejahatan properti, namun secara statistik tidak signifikan. Secara umum,
tingkat ketimpangan masyarakat provinsi di Indonesia tidak bervariasi. Provinsi dengan
koefisien gini terendah yaitu Kalimantan Tengah dengan angka 0.29 dan DIY dengan
angka tertinggi yaitu 0.41. Standar deviasi dari data koefisien gini juga hanya 0.03. Hanya
DKI Jakarta yang memiliki kecendrungan yang sama dengan teori yaitu sebagai provinsi
dengan koefisien gini tertinggi kedua setelah DIY memiliki tingkat kejahatan properti yang
tinggi.
V.2.9. Pengaruh Positif Proporsi Pria Usia 15-29 Tahun Terhadap Kejahatan
Properti di Indonesia
Sesuai dengan teori yang ada proporsi pria usia 15-29 tahun per 100,000
memberikan pengaruh yang signifikan pada peluang kejahatan properti lebih besar. Ini
disebabkan karena ekspektasi utilitas yang dihasilkan oleh golongan umur dan jenis
kelamin tersebut relatif lebih besar dibandingkan pada golongan umur lain dan jenis
kelamin lain. Kejahatan properti adalah pekerjaan beresiko tinggi dan membutuhkan
kondisi fisik tertentu untuk sukses. Dengan asumsi rasional, jika ekpektasi kegagalan lebih
besar maka utilitasnya juga akan turun. Ini sejalan dengan data statistik pelaku kejahatan
properti di mana kebanyakan pelaku adalah pria dewasa dengan usia produktif tersebut.
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007
-
93
Sedangkan berdasarkan data provinsi, yang tidak mengikuti kecendrungan tersebut
adalah Provinsi Banten dan Bangka Belitung di mana proporsi pria usia 15-29 tahun
tergolong tinggi yaitu masing-masing 15.6% dan 15.7% namun keduanya memiliki tingkat
kejahatan properti yang rendah, sedangkan Sumatera Utara meski memiliki proporsi pria
usia 15-29 tahun dengan persentase lebih kecil yaitu 13.9% namun memiliki angka
kejahatan properti yang lebih tinggi yaitu kategori sedang.
V.2.10. Rangkuman Hasil Pengujian
Hasil pengujian dalam penelitian ini dapat dirangkum dalam Tabel V.5.
Tabel V.5.
Rangkuman Hasil Pengujian
Variabel Pengaruh Arah Keterangan
SAL (upah) Signifikan + Sesuai dengan teori ekonomi
UR (pengangguran) Signifikan + Sesuai dengan teori ekonomi
YM (proporsi pria
usia 15 29 tahun)
Signifikan + Sesuai dengan teori ekonomi
PAP (tingkat
penyelesaian kasus)
Signifikan + Tidak sesuai dengan teori ekonomi
POL (kekuatan
polisi)
Tidak Signifikan + Tidak sesuai dengan teori ekonomi
GINI (koefisien
gini)
Tidak Signifikan - Tidak sesuai dengan teori ekonomi
Analisis ekonomi ..., Ihdal Husnayain, FE UI, 2007