difteria
DESCRIPTION
Blok 11 RespirasiTRANSCRIPT
A. Pendahuluan
Difteri merupakan suatu penyakit yang menular dan berbahaya. Penyakit ini mudah
menular dan menyerang system pernapasan terutama saluran pernapasan atas. Difteri
merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphtheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau
kulit yang ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada lokasi
terjadinya infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin
yang diproduksi oleh bakteri ini.[1]
Nama penyakit difteri ini berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti kulit. Penyakit ini
dijelaskan pada abad ke-5 SM oleh Hippocrates, dan selanjutnya Aetius menjelaskan tentang
epidemic dari difteri ini pada abad ke-6 Masehi. Bakteri ini pertama kali diamati oleh Klebs
pada tahun 1883 dan diamati kembali oleh Löffler pada tahun 1884. Antitoksin diciptakan
pada akhir abad ke-19, dan toksoid dikembangkan pada tahun 1920-an.[1,2]
Pada tahun 1983, WHO melaporkan 92.000 kasus difteri pernapasan terjadi di Asia,
Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada tahun 1988 telah dilaporkan sebanyak
200.000 kasus di daerah bekas Negara Rusia, dan 5.000 kasus diantaranya meninggal dunia.[1]
Dengan berhasilnya program imunisasi, prevalensi kasus difteri ini turun secara
bertahap. Di Latvia selama preiode tahun 1993-2003 ditemukan 1359 kasus difteri dan dilihat
juga dari angka kejadiannya per tahun, ditemukan insidensinya menurun dari 3,9% per
100.000 penduduk pada tahun 1993, menjadi 1,12% per 100.000 penduduk pada tahun 2001.[1,3]
B. Definisi
Difteri merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diptheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau
kulit yang ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada lokasi
terjadinya infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin
yang diproduksi oleh bakteri ini.[1]
C. Etiologi
Penyebab penyakit difteri ini ialah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Basil ini
juga disebut bakteri Klebs-Loffler karena ditemukan pertama kali tahun 1884 oleh
bakteriologis Jerman yaitu Edwin Klebs dan Friedrich Loffler. C. diphtheriae ini merupakan
bakteri aerobic basil gram positif, pleomorfik, berpalisade, tidak bergerak, tidak berkapsul
1
dan dapat menghasilkan
eksotoksin.[1,2]
Pada kultur bakteri,
kelompok basil ini akan
berhubungan satu sama lain
sehingga seperti membentuk
karakter Cina. Basil ini hanya
tumbuh pada medium tertentu,
seperti medium Loeffler,
tellurite, fermen glukosa dan Tindale agar.[1]
Menurut betuk, ukuran dan warna koloni yang terbentuk, C.dyphtheriae yang dapat
memproduksi eksotoksin dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu[1] :
a. Gravis : koloninya besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolysis eritrosit.
b. Mitis : koloninya kecil, halus, berwarna hitam, konveks dan dapat menimbulkan
hemolysis eritrosit.
c. Intermediate : koloninya kecil, halus, memiliki bitnik hitam ditengahnya dan dapat
menimbulkan hemolysis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.
D. Epidemiologi
Penyakit difteri ini tersebar di seluruh dunia, terutama di negara yang belum
berkembang dengan penduduk dan permukiman yang padat, sanitasi dan kebersihan
lingkungan yang tidak terjaga, dan fasilitas kesehatan yang kurang.[1,2] Orang-orang yang
beresiko terkena penyakit difteri ini seperti[1] :
1. Tidak mendapat imunisasi atau imunisasi yang belum lengkap
2. Sedang dalam kondisi Immunocompromised
3. Tinggal di permukiman yang padat
4. Sedang melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang merupakan daerah endemic
difteri
Menurut WHO difteri tetap menjadi ancaman kesehatan di negara berkembang.
Epidemiologi terbesar tercatat sejak implementasi luas program vaksin itu pada tahun 1990-
1995, ketika wabah difteri muncul di Federasi Rusia yang cepat menyebar dan melibatkan
2
semua Newly Independent States (NIS) dan Baltik. Epidemi ini menyebabkan lebih dari
157.000 kasus dan 5.000 kematian menurut laporan WHO. Kematian tinggi yang tidak
proporsional terjadi pada orang yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5.000 kematian telah
dilaporkan. Epidemi ini menyumbang 80% dari kasus yang dilaporkan di seluruh dunia
selama periode ini.[3]
Dari 1993-2003, satu dekade epidemi panjang di Latvia mengakibatkan 1.359 kasus
yang dilaporkan difteri dengan 101 kematian. Ditemukan juga insidensinya menurun dari
3,9% per 100.000 penduduk di 1993 menjadi 1,12% per 100.000 penduduk pada tahun 2001.
Sebagian besar kasus terdaftar pada orang dewasa yang tidak divaksinasi. Dari 1995-2002, 17
kasus difteri kulit akibat strain toksigenik dilaporkan terjadi di Inggris.[1,3]
Secara keseluruhan tingkat infeksi menurun di Eropa 2000-2009, menurut Difteri
Surveillance Network. Ini telah dikaitkan dengan tingkat vaksinasi ditingkatkan menciptakan
kekebalan pada difteri. Sedangkan di Indonesia sendiri, RS. Dr. M Djamil Padang
melaporkan ada 48 kasus difteri selama periode 3 tahun (1990-1992), sedangkan di RS. Dr.
Wahidin Ujung Pandang didapatkan 39 kasus selama periode 3 tahun (1987-1989).[1,3]
Tidak ada perbedaan signifikan antara kejadian difteri pada laki-laki dan perempuan.
Di daerah tertentu di dunia, bagaimanapun, wanita mungkin memiliki tingkat imunisasi lebih
rendah daripada laki-laki. Bayi perempuan dan anak-anak menjelaskan sebagian dari
kematian di daerah endemik.[3]
E. Patogenesis
Manusia merupakan sumber penularan dari penyakit difteri. Cara penularannya adalah
melalui kontak dengan penderita saat masa inkubasi bakteri, atau kontak dengan manusia
sebagai carrier melalui pernapasan atau infeksi droplet. Selain itu, penyekit difteri ini dapat
ditularkan juga melalui benda lain atau makanan yang terkontaminasi bakteri.[4,6]
Corynebacterium diphtheria merupakan mikroorganisme yang tidak invasif. Biasanya
bakteri ini jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang local pada bagian superfisial dari
saluran pernapasan dan kulit atau membrane mukosa, yang dapat menimbulkan reaksi
peradangan lokal, menghasilkan eksotoksin yang nantinya tersebar ke seluruh tubuh melalui
aliran darah dan system limfatik.[1,5,6]
Corynebacterium diphtheria ditularkan melalui kontak langsung melalui batuk atau
bersin, atau dengan kontak tidak langsung melalui debu, baju, atau mainan yang
terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi karena basil ini cukup resisten terhadap
udara panas, dingin dan kering dan tahan hidup pada debu selama 6 bulan.[1]
3
Corynebacterium diphtheria masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian melekat
dan berkembang biak di permukaan mukosa saluran pernapasan bagian atas terutama daerah
tonsil, faring, laring dan mulai memproduksi eksotoksin yang diabsorpsi melewati membrane
sel mukosa, yang nantinya menyebabkan terjadinya peradangan dan destruksi sel epitel dan
diikuti oleh nekrosis jaringan. Toksin ini memiliki dua fragmen yaitu fragmen A
(aminoterminal) dan fragmen B (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida.
Fragmen B ini diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktivasi pada reseptor sel
host yang sensitive. Perlekatan dari fragmen B pada reseptor sel host ini bertujuan agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini memiliki peran
penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel. Selanjutnya pada daerah nekrosis ini
terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel leukosit yang mengakibatkan terbentuknya
patchy exudate yang mulanya masih bisa terkelupas.[1,6]
Reseptor toksin difteri pada membrane sel terkumpul dalam suatu coated pit dan
selanjutnya toksin tersebut melakukan penetrasi dengan cara endositosis. Proses tersebut
memungkinkan toksin dapat mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosome yag
mengalami asidifikasi secara alamiah dan mengandung toksin ini memudahkan toksin
melewati membrane endosome ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah
hambatan pembentukan protein dalam sel.[7]
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat dan
menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan dalam sehingga menimbulkan
terbentuknya fibrous exudate (membrane palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel
epitel, sel leukosit dan eritrosit yang berwarna abu-abu bahkan hitam. Membran ini sulit
terkelupas, kalau dipaksakan untuk lepas akan menimbulkan perdarahan.[1]
Fibrous exudate ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring bahkan pada keadaan
berat dapat meluas sampai ke trakea dan kadang ke bronkus dengan diikuti terjadinya edema
soft tissue dibawah mukosanya. Keadaan tersebut dapat menimbulkan obstruksi saluran
pernapasan atas. Pada keadaan tertentu juga dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah
bening servikal dan edema pada wajah. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema
wajah menimbulkan perubahan wajah ang disebut dengan Bull’s neck appearance.[1]
Kemudian eksotoksin yang terbentuk selanjutnya akan diserap masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan kerusakan jaringan di
organ-organ tubuh yang berupa degenerasi, infiltrasi lemak dan nekrosis. Organ yang
terkenan bisanya jantung, hari, ginjal, kelenjar adrenal dan jaringan saraf perifer. Apabila
mengenai jantung akan menimbulkan miokarditis, AV blok, dan payah jantung. Jika
4
mengenai jaringan saraf perifer maka yang ditimbulkan berupa demielinasi yang dapat
menimbulkan paralisis terutama pada otot mata dan ekstremitas inferior. Selain itu, pada
daerah tropic C.diphtheriae juga dapat menimbulkan infeksi sekunder pada kulit (Difteri
kutan).[1]
F. Diagnosis
Diagnosis difteri sebaiknya ditegakkan sedini mungkin berdasarkan manifestasi
klinisnya karena keterlambatan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah
berat. Manifestasi klinis difteri bergantung pada daerah infeksi, imunitas penderita dan ada
atau tidak adanya toksin yang beredar dalam sirkulasi darah. Biasanya keluhan-keluhan yang
pertama muncul tidak spesifik, seperti demam yang tidak tinggi, kerongkongan sakit dan
suara parau, perasaan yang tidak enak seperti mual, muntah dan lesu, sakit kepala, dan
rinorea yang berlendir.[1]
Diagnosis Awal Cepat (Presumptif Diagnosis)
Melakukan pemeriksaan langsung spesimen dengan menggunakan pewarnaan
methylene blue, pewarnaan Gram dan imunoflouresens.[1]
C. diphtheriae akan terlihat sebagai basil gram positif, berkoloni, tidak bergrak dan
tidak berkapsul.
Sedangkan pada pewarnaan Gram akan jarang ditemukan klaster basil.
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung kadang-kadang tidak memberikan hasil
yang pasti karena jika hasil didapatkan negative belum dapat menyingkirkan diagnosis difteri.[1]
Diagnosis Definitif dan Identifikasi Basil
Diagnosis pasti dapat ditegakkan jika ditemukannya C. dyphtheriae dengan
melakukan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu
dan media yang selektif, yaitu media selektif Loffler, Tellurite dan Agar Tindale. Nantinya
pada media tersebut akan tumbuh koloni C. diphtheriae yang berwarna hitam dan dikelilingi
oleh warna abu kecoklatan. Kultur ini data membedakan 3 tipe koloni yang menunjukkan
isolate masing-masing tipe dari strain toksigenik.[1]
Kemudian melakukan kultur dan tes sensitifiti pada saat sebelum dan sesudah
pengobatan untuk meyakinkan tidak terjadi resistensi terhadap antibiotic. Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan produksi toksin yang dikerjakan secara in vitro dengan melakukan
test Elek plate test dan polymerase pig inoculation test. Ada juga pemeriksaan serum
terhadap antibody untuk toksin difteri dengan melakukan Shick test.[1]
5
Shick test dilakukan dengan tujuan menentukan ada atau tidak adanya antibody
terhadap toksin difteri. Tes ini berguna untuk mendiagnosis kasus difteri yang ringan
sehingga dapat diobati dengan sempurna. Namun tes ini tidak dianjurkan untuk mendiagnosis
difteri secara dini karena membutuhkan waktu untuk membaca hasilnya.[1]
G. Penatalaksanaan
Pengobatan difteri harus dimulai bahkan sebelum tes konfirmasi selesai karena
potensi tinggi untuk mortalitas dan morbiditas. Mengisolasi semua kasus segera dan
menggunakan kewaspadaan universal untuk membatasi jumlah kemungkinan kontak antara
penderita dengan orang lain.[3]
Tujuan pengobatan penderita difteri ialah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar meminimalkan penyulit, mengeliminasi
bakteri C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteri. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi tosin yang telah melakukan penetrasi ke dalam
sel.[6,7]
Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai habis masa akutnya dan dalam pemeriksaan biakan hapusan
tenggorok menunjukkan hasil negative berturut-turut 2 kali. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
memberikan cairan dan diet yang adekuat, pemberian makanan lunak dan mudah dicerna
yang cukup mengandung kalori dan protein. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadi
komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama
5 minggu. Khusus pada pederita difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembapan udara dengan menggunakan nebulizer.[5,6]
Antitoksin (Anti Difteri Serum)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri ditegakkan. Antitoksin
difteri tidak menetralisir racun yang sudah tetap pada jaringan, tetapi akan menetralisir toksin
terikat yang beredar di tubuh dan mencegah perkembangan penyakit. Pasien harus diuji untuk
sensitivitas sebelum antitoksin diberikan karena pemberian antitoksin dapat menyebabkan
terjadinya reaksi anfilaktik. Setelah diagnosis klinis sementara dibuat, spesimen yang sesuai
harus diperoleh untuk budaya dan pasien ditempatkan dalam isolasi. Orang yang diduga
difteri harus diberikan antitoksin difteri dan antibiotik dosis yang memadai. Dukungan
pernapasan dan pemeliharaan jalan napas juga harus diberikan sesuai kebutuhan.[2,5,7]
6
Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit[5]
TIPE DIFTERI DOSIS ADS (KI) CARA PEMBERIAN
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena
Kombinasi semua lokasi 80.000 Intravena
Difteria+penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena
Terlambat berobat >72 jam 80.000-100.000 Intravena
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti dari antitoksin tetapi untuk membunuh
bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan melalui kontak dengan
penderita. C. diphtheria biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,
eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering terjadi resistensi terhadap
eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah diguakan secara luas. Maka dari itu
pemberian antibiotic yang dianjurkan hanya eritromisin atau penisilin. Eritromisin sedikit
lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.[6]
Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau secara intravena (40 mg/kgBB/hari;
maksimal, 2 g/hari) diberikan setiap 6 jam selama 14 hari, atau prokain penisilin G harian,
intramuskular (300.000 U/hari untuk orang-orang dengan berat 10 kg atau kurang, dan
600.000 U/hari bagi mereka dengan berat lebih dari 10 kg) diberikan setiap 2 jam selama 14
hari atau bila hasil biakan hapusan tenggorok menunjukkan hasil negative 3 hari berturut-
turut. Penyakit ini biasanya tidak menular 48 jam setelah antibiotik diberikan. Penghapusan
organisme harus didokumentasikan oleh dua budaya negatif berturut-turut setelah terapi
selesai.[2,6,7]
Pengobatan Penyulit
Pengobatan dilakukan terutama untuk menjaga hemodinamika tubuh tetap baik.
Penyulit yang disebabkan oleh toksinyang pada umumnya reversible. Bila pasien mulai
gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeoktomi.[8]
Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas,
pemberian diet makanan lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan
pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernapasan dilakukan
7
artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus
selalu dijaga.[6,8]
H. Penutup
Difteri merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphtheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau
kulit. C. diphtheriae ini merupakan bakteri aerobic basil gram positif, pleomorfik,
berpalisade, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan dapat menghasilkan eksotoksin.
Difteri didapat melalui kontak dengan penderita difteri. Penyakit difteri ini tersebar di seluruh
dunia, terutama di negara yang belum berkembang dengan penduduk dan permukiman yang
padat, sanitasi dan kebersihan lingkungan yang tidak terjaga, dan fasilitas kesehatan yang
kurang. Diagnosis difteri sebaiknya ditegakkan sedini mungkin berdasarkan manifestasi
klinisnya karena keterlambatan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah
berat. Terapi difteri dapat dilakukan dengan pengobatan umum, pemberian antitoksin,
pemberian antibiotic dan pengobatan penyulit dari difteri tersebut.
Dari penjelasan diatas, kita seharusnya dapat mencegah dari infeksi difteri. Cara yang
paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian imunisasi aktif pada masa
anak-anak secara teratur dan lengkap yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian Booster
setiap 10 tahun.
I. Perujukan
1. Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid 3. Jakarta:
InternaPublishing. 2014.
8
2. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of
Vaccine-Preventable Diseases. 13th Ed. 2015. Available at
http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf
3. Bruce, M. Lo. Diphtheria. 2013. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/782051-overview#a0104
4. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases
and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers.
2009.
5. Sing A, Heesemann J. Imported Cutaneous Diphtheria, Germany. 2005. Available
at http://wwwnc.cdc.gov/eid/article/11/2/pdfs/04-0560.pdf
6. Robert, M. Kleigman, et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia :
WB Saunders company. 2011.
7. Deterding RR. Essentials of Diagnosis and Typical Features Diphtheria. In : Hay
WW, Leswin MJ, et.al. Current Diagnosis and Therapy in Pediatric. 18th ed.
United States of America : Library of Congress Press. 2007.
8. Dowel, Maoney. Arch Otolaryngol AMA. Diphtheria. 2000. Available at
http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/61/1/29
9