difteria

15
A. Pendahuluan Difteri merupakan suatu penyakit yang menular dan berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang system pernapasan terutama saluran pernapasan atas. Difteri merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium diphtheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau kulit yang ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada lokasi terjadinya infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri ini. [1] Nama penyakit difteri ini berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti kulit. Penyakit ini dijelaskan pada abad ke-5 SM oleh Hippocrates, dan selanjutnya Aetius menjelaskan tentang epidemic dari difteri ini pada abad ke-6 Masehi. Bakteri ini pertama kali diamati oleh Klebs pada tahun 1883 dan diamati kembali oleh Löffler pada tahun 1884. Antitoksin diciptakan pada akhir abad ke-19, dan toksoid dikembangkan pada tahun 1920-an. [1,2] Pada tahun 1983, WHO melaporkan 92.000 kasus difteri pernapasan terjadi di Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada tahun 1988 telah dilaporkan sebanyak 200.000 kasus di daerah bekas Negara Rusia, dan 5.000 kasus diantaranya meninggal dunia. [1] Dengan berhasilnya program imunisasi, prevalensi kasus difteri ini turun secara bertahap. Di Latvia selama preiode tahun 1993-2003 ditemukan 1359 kasus difteri dan dilihat juga dari angka kejadiannya per tahun, ditemukan insidensinya 1

Upload: pradipta-shiva

Post on 28-Jan-2016

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Blok 11 Respirasi

TRANSCRIPT

Page 1: Difteria

A. Pendahuluan

Difteri merupakan suatu penyakit yang menular dan berbahaya. Penyakit ini mudah

menular dan menyerang system pernapasan terutama saluran pernapasan atas. Difteri

merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif

Corynebacterium diphtheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau

kulit yang ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada lokasi

terjadinya infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin

yang diproduksi oleh bakteri ini.[1]

Nama penyakit difteri ini berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti kulit. Penyakit ini

dijelaskan pada abad ke-5 SM oleh Hippocrates, dan selanjutnya Aetius menjelaskan tentang

epidemic dari difteri ini pada abad ke-6 Masehi. Bakteri ini pertama kali diamati oleh Klebs

pada tahun 1883 dan diamati kembali oleh Löffler pada tahun 1884. Antitoksin diciptakan

pada akhir abad ke-19, dan toksoid dikembangkan pada tahun 1920-an.[1,2]

Pada tahun 1983, WHO melaporkan 92.000 kasus difteri pernapasan terjadi di Asia,

Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Pada tahun 1988 telah dilaporkan sebanyak

200.000 kasus di daerah bekas Negara Rusia, dan 5.000 kasus diantaranya meninggal dunia.[1]

Dengan berhasilnya program imunisasi, prevalensi kasus difteri ini turun secara

bertahap. Di Latvia selama preiode tahun 1993-2003 ditemukan 1359 kasus difteri dan dilihat

juga dari angka kejadiannya per tahun, ditemukan insidensinya menurun dari 3,9% per

100.000 penduduk pada tahun 1993, menjadi 1,12% per 100.000 penduduk pada tahun 2001.[1,3]

B. Definisi

Difteri merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif

Corynebacterium diptheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau

kulit yang ditandai dengan terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada lokasi

terjadinya infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin

yang diproduksi oleh bakteri ini.[1]

C. Etiologi

Penyebab penyakit difteri ini ialah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Basil ini

juga disebut bakteri Klebs-Loffler karena ditemukan pertama kali tahun 1884 oleh

bakteriologis Jerman yaitu Edwin Klebs dan Friedrich Loffler. C. diphtheriae ini merupakan

bakteri aerobic basil gram positif, pleomorfik, berpalisade, tidak bergerak, tidak berkapsul

1

Page 2: Difteria

dan dapat menghasilkan

eksotoksin.[1,2]

Pada kultur bakteri,

kelompok basil ini akan

berhubungan satu sama lain

sehingga seperti membentuk

karakter Cina. Basil ini hanya

tumbuh pada medium tertentu,

seperti medium Loeffler,

tellurite, fermen glukosa dan Tindale agar.[1]

Menurut betuk, ukuran dan warna koloni yang terbentuk, C.dyphtheriae yang dapat

memproduksi eksotoksin dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu[1] :

a. Gravis : koloninya besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan

hemolysis eritrosit.

b. Mitis : koloninya kecil, halus, berwarna hitam, konveks dan dapat menimbulkan

hemolysis eritrosit.

c. Intermediate : koloninya kecil, halus, memiliki bitnik hitam ditengahnya dan dapat

menimbulkan hemolysis eritrosit.

Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan dengan jenis mitis.

D. Epidemiologi

Penyakit difteri ini tersebar di seluruh dunia, terutama di negara yang belum

berkembang dengan penduduk dan permukiman yang padat, sanitasi dan kebersihan

lingkungan yang tidak terjaga, dan fasilitas kesehatan yang kurang.[1,2] Orang-orang yang

beresiko terkena penyakit difteri ini seperti[1] :

1. Tidak mendapat imunisasi atau imunisasi yang belum lengkap

2. Sedang dalam kondisi Immunocompromised

3. Tinggal di permukiman yang padat

4. Sedang melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang merupakan daerah endemic

difteri

Menurut WHO difteri tetap menjadi ancaman kesehatan di negara berkembang.

Epidemiologi terbesar tercatat sejak implementasi luas program vaksin itu pada tahun 1990-

1995, ketika wabah difteri muncul di Federasi Rusia yang cepat menyebar dan melibatkan

2

Page 3: Difteria

semua Newly Independent States (NIS) dan Baltik. Epidemi ini menyebabkan lebih dari

157.000 kasus dan 5.000 kematian menurut laporan WHO. Kematian tinggi yang tidak

proporsional terjadi pada orang yang lebih tua dari 40 tahun, dan 5.000 kematian telah

dilaporkan. Epidemi ini menyumbang 80% dari kasus yang dilaporkan di seluruh dunia

selama periode ini.[3]

Dari 1993-2003, satu dekade epidemi panjang di Latvia mengakibatkan 1.359 kasus

yang dilaporkan difteri dengan 101 kematian. Ditemukan juga insidensinya menurun dari

3,9% per 100.000 penduduk di 1993 menjadi 1,12% per 100.000 penduduk pada tahun 2001.

Sebagian besar kasus terdaftar pada orang dewasa yang tidak divaksinasi. Dari 1995-2002, 17

kasus difteri kulit akibat strain toksigenik dilaporkan terjadi di Inggris.[1,3]

Secara keseluruhan tingkat infeksi menurun di Eropa 2000-2009, menurut Difteri

Surveillance Network. Ini telah dikaitkan dengan tingkat vaksinasi ditingkatkan menciptakan

kekebalan pada difteri. Sedangkan di Indonesia sendiri, RS. Dr. M Djamil Padang

melaporkan ada 48 kasus difteri selama periode 3 tahun (1990-1992), sedangkan di RS. Dr.

Wahidin Ujung Pandang didapatkan 39 kasus selama periode 3 tahun (1987-1989).[1,3]

Tidak ada perbedaan signifikan antara kejadian difteri pada laki-laki dan perempuan.

Di daerah tertentu di dunia, bagaimanapun, wanita mungkin memiliki tingkat imunisasi lebih

rendah daripada laki-laki. Bayi perempuan dan anak-anak menjelaskan sebagian dari

kematian di daerah endemik.[3]

E. Patogenesis

Manusia merupakan sumber penularan dari penyakit difteri. Cara penularannya adalah

melalui kontak dengan penderita saat masa inkubasi bakteri, atau kontak dengan manusia

sebagai carrier melalui pernapasan atau infeksi droplet. Selain itu, penyekit difteri ini dapat

ditularkan juga melalui benda lain atau makanan yang terkontaminasi bakteri.[4,6]

Corynebacterium diphtheria merupakan mikroorganisme yang tidak invasif. Biasanya

bakteri ini jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang local pada bagian superfisial dari

saluran pernapasan dan kulit atau membrane mukosa, yang dapat menimbulkan reaksi

peradangan lokal, menghasilkan eksotoksin yang nantinya tersebar ke seluruh tubuh melalui

aliran darah dan system limfatik.[1,5,6]

Corynebacterium diphtheria ditularkan melalui kontak langsung melalui batuk atau

bersin, atau dengan kontak tidak langsung melalui debu, baju, atau mainan yang

terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa terjadi karena basil ini cukup resisten terhadap

udara panas, dingin dan kering dan tahan hidup pada debu selama 6 bulan.[1]

3

Page 4: Difteria

Corynebacterium diphtheria masuk ke dalam hidung atau mulut, kemudian melekat

dan berkembang biak di permukaan mukosa saluran pernapasan bagian atas terutama daerah

tonsil, faring, laring dan mulai memproduksi eksotoksin yang diabsorpsi melewati membrane

sel mukosa, yang nantinya menyebabkan terjadinya peradangan dan destruksi sel epitel dan

diikuti oleh nekrosis jaringan. Toksin ini memiliki dua fragmen yaitu fragmen A

(aminoterminal) dan fragmen B (carboksiterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida.

Fragmen B ini diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktivasi pada reseptor sel

host yang sensitive. Perlekatan dari fragmen B pada reseptor sel host ini bertujuan agar

fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini memiliki peran

penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel. Selanjutnya pada daerah nekrosis ini

terbentuk fibrin, kemudian diinfiltrasi oleh sel leukosit yang mengakibatkan terbentuknya

patchy exudate yang mulanya masih bisa terkelupas.[1,6]

Reseptor toksin difteri pada membrane sel terkumpul dalam suatu coated pit dan

selanjutnya toksin tersebut melakukan penetrasi dengan cara endositosis. Proses tersebut

memungkinkan toksin dapat mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosome yag

mengalami asidifikasi secara alamiah dan mengandung toksin ini memudahkan toksin

melewati membrane endosome ke sitosol. Efek toksik pada jaringan tubuh manusia adalah

hambatan pembentukan protein dalam sel.[7]

Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin meningkat dan

menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan dalam sehingga menimbulkan

terbentuknya fibrous exudate (membrane palsu) yang terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel

epitel, sel leukosit dan eritrosit yang berwarna abu-abu bahkan hitam. Membran ini sulit

terkelupas, kalau dipaksakan untuk lepas akan menimbulkan perdarahan.[1]

Fibrous exudate ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring bahkan pada keadaan

berat dapat meluas sampai ke trakea dan kadang ke bronkus dengan diikuti terjadinya edema

soft tissue dibawah mukosanya. Keadaan tersebut dapat menimbulkan obstruksi saluran

pernapasan atas. Pada keadaan tertentu juga dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah

bening servikal dan edema pada wajah. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema

wajah menimbulkan perubahan wajah ang disebut dengan Bull’s neck appearance.[1]

Kemudian eksotoksin yang terbentuk selanjutnya akan diserap masuk ke dalam

sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan kerusakan jaringan di

organ-organ tubuh yang berupa degenerasi, infiltrasi lemak dan nekrosis. Organ yang

terkenan bisanya jantung, hari, ginjal, kelenjar adrenal dan jaringan saraf perifer. Apabila

mengenai jantung akan menimbulkan miokarditis, AV blok, dan payah jantung. Jika

4

Page 5: Difteria

mengenai jaringan saraf perifer maka yang ditimbulkan berupa demielinasi yang dapat

menimbulkan paralisis terutama pada otot mata dan ekstremitas inferior. Selain itu, pada

daerah tropic C.diphtheriae juga dapat menimbulkan infeksi sekunder pada kulit (Difteri

kutan).[1]

F. Diagnosis

Diagnosis difteri sebaiknya ditegakkan sedini mungkin berdasarkan manifestasi

klinisnya karena keterlambatan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah

berat. Manifestasi klinis difteri bergantung pada daerah infeksi, imunitas penderita dan ada

atau tidak adanya toksin yang beredar dalam sirkulasi darah. Biasanya keluhan-keluhan yang

pertama muncul tidak spesifik, seperti demam yang tidak tinggi, kerongkongan sakit dan

suara parau, perasaan yang tidak enak seperti mual, muntah dan lesu, sakit kepala, dan

rinorea yang berlendir.[1]

Diagnosis Awal Cepat (Presumptif Diagnosis)

Melakukan pemeriksaan langsung spesimen dengan menggunakan pewarnaan

methylene blue, pewarnaan Gram dan imunoflouresens.[1]

C. diphtheriae akan terlihat sebagai basil gram positif, berkoloni, tidak bergrak dan

tidak berkapsul.

Sedangkan pada pewarnaan Gram akan jarang ditemukan klaster basil.

Pemeriksaan mikroskopik secara langsung kadang-kadang tidak memberikan hasil

yang pasti karena jika hasil didapatkan negative belum dapat menyingkirkan diagnosis difteri.[1]

Diagnosis Definitif dan Identifikasi Basil

Diagnosis pasti dapat ditegakkan jika ditemukannya C. dyphtheriae dengan

melakukan pemeriksaan kultur dari lesi yang dicurigai. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu

dan media yang selektif, yaitu media selektif Loffler, Tellurite dan Agar Tindale. Nantinya

pada media tersebut akan tumbuh koloni C. diphtheriae yang berwarna hitam dan dikelilingi

oleh warna abu kecoklatan. Kultur ini data membedakan 3 tipe koloni yang menunjukkan

isolate masing-masing tipe dari strain toksigenik.[1]

Kemudian melakukan kultur dan tes sensitifiti pada saat sebelum dan sesudah

pengobatan untuk meyakinkan tidak terjadi resistensi terhadap antibiotic. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan produksi toksin yang dikerjakan secara in vitro dengan melakukan

test Elek plate test dan polymerase pig inoculation test. Ada juga pemeriksaan serum

terhadap antibody untuk toksin difteri dengan melakukan Shick test.[1]

5

Page 6: Difteria

Shick test dilakukan dengan tujuan menentukan ada atau tidak adanya antibody

terhadap toksin difteri. Tes ini berguna untuk mendiagnosis kasus difteri yang ringan

sehingga dapat diobati dengan sempurna. Namun tes ini tidak dianjurkan untuk mendiagnosis

difteri secara dini karena membutuhkan waktu untuk membaca hasilnya.[1]

G. Penatalaksanaan

Pengobatan difteri harus dimulai bahkan sebelum tes konfirmasi selesai karena

potensi tinggi untuk mortalitas dan morbiditas. Mengisolasi semua kasus segera dan

menggunakan kewaspadaan universal untuk membatasi jumlah kemungkinan kontak antara

penderita dengan orang lain.[3]

Tujuan pengobatan penderita difteri ialah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar meminimalkan penyulit, mengeliminasi

bakteri C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan

penyulit difteri. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang

terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi tosin yang telah melakukan penetrasi ke dalam

sel.[6,7]

Pengobatan Umum

Pasien diisolasi sampai habis masa akutnya dan dalam pemeriksaan biakan hapusan

tenggorok menunjukkan hasil negative berturut-turut 2 kali. Pada umumnya pasien tetap

diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,

memberikan cairan dan diet yang adekuat, pemberian makanan lunak dan mudah dicerna

yang cukup mengandung kalori dan protein. Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadi

komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama

5 minggu. Khusus pada pederita difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga

kelembapan udara dengan menggunakan nebulizer.[5,6]

Antitoksin (Anti Difteri Serum)

Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri ditegakkan. Antitoksin

difteri tidak menetralisir racun yang sudah tetap pada jaringan, tetapi akan menetralisir toksin

terikat yang beredar di tubuh dan mencegah perkembangan penyakit. Pasien harus diuji untuk

sensitivitas sebelum antitoksin diberikan karena pemberian antitoksin dapat menyebabkan

terjadinya reaksi anfilaktik. Setelah diagnosis klinis sementara dibuat, spesimen yang sesuai

harus diperoleh untuk budaya dan pasien ditempatkan dalam isolasi. Orang yang diduga

difteri harus diberikan antitoksin difteri dan antibiotik dosis yang memadai. Dukungan

pernapasan dan pemeliharaan jalan napas juga harus diberikan sesuai kebutuhan.[2,5,7]

6

Page 7: Difteria

Tabel Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit[5]

TIPE DIFTERI DOSIS ADS (KI) CARA PEMBERIAN

Difteria Hidung 20.000 Intramuscular

Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular / Intravena

Difteria Faring 40.000 Intramuscular / Intravena

Difteria Laring 40.000 Intramuscular / Intravena

Kombinasi semua lokasi 80.000 Intravena

Difteria+penyulit, bullneck 80.000-100.000 Intravena

Terlambat berobat >72 jam 80.000-100.000 Intravena

Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti dari antitoksin tetapi untuk membunuh

bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan melalui kontak dengan

penderita. C. diphtheria biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin,

eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering terjadi resistensi terhadap

eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah diguakan secara luas. Maka dari itu

pemberian antibiotic yang dianjurkan hanya eritromisin atau penisilin. Eritromisin sedikit

lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.[6]

Pengobatan dengan eritromisin secara oral atau secara intravena (40 mg/kgBB/hari;

maksimal, 2 g/hari) diberikan setiap 6 jam selama 14 hari, atau prokain penisilin G harian,

intramuskular (300.000 U/hari untuk orang-orang dengan berat 10 kg atau kurang, dan

600.000 U/hari bagi mereka dengan berat lebih dari 10 kg) diberikan setiap 2 jam selama 14

hari atau bila hasil biakan hapusan tenggorok menunjukkan hasil negative 3 hari berturut-

turut. Penyakit ini biasanya tidak menular 48 jam setelah antibiotik diberikan. Penghapusan

organisme harus didokumentasikan oleh dua budaya negatif berturut-turut setelah terapi

selesai.[2,6,7]

Pengobatan Penyulit

Pengobatan dilakukan terutama untuk menjaga hemodinamika tubuh tetap baik.

Penyulit yang disebabkan oleh toksinyang pada umumnya reversible. Bila pasien mulai

gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi

tindakan trakeoktomi.[8]

Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas,

pemberian diet makanan lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan

pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernapasan dilakukan

7

Page 8: Difteria

artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus

selalu dijaga.[6,8]

H. Penutup

Difteri merupakan suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh basil gram positif

Corynebacterium diphtheriae yang terjadi secara local pada mukosa saluran pernapasan atau

kulit. C. diphtheriae ini merupakan bakteri aerobic basil gram positif, pleomorfik,

berpalisade, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan dapat menghasilkan eksotoksin.

Difteri didapat melalui kontak dengan penderita difteri. Penyakit difteri ini tersebar di seluruh

dunia, terutama di negara yang belum berkembang dengan penduduk dan permukiman yang

padat, sanitasi dan kebersihan lingkungan yang tidak terjaga, dan fasilitas kesehatan yang

kurang. Diagnosis difteri sebaiknya ditegakkan sedini mungkin berdasarkan manifestasi

klinisnya karena keterlambatan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan penyakit bertambah

berat. Terapi difteri dapat dilakukan dengan pengobatan umum, pemberian antitoksin,

pemberian antibiotic dan pengobatan penyulit dari difteri tersebut.

Dari penjelasan diatas, kita seharusnya dapat mencegah dari infeksi difteri. Cara yang

paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian imunisasi aktif pada masa

anak-anak secara teratur dan lengkap yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian Booster

setiap 10 tahun.

I. Perujukan

1. Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid 3. Jakarta:

InternaPublishing. 2014.

8

Page 9: Difteria

2. Centers for Disease Control and Prevention. Epidemiology and Prevention of

Vaccine-Preventable Diseases. 13th Ed. 2015. Available at

http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/dip.pdf

3. Bruce, M. Lo. Diphtheria. 2013. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/782051-overview#a0104

4. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases

and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers.

2009.

5. Sing A, Heesemann J. Imported Cutaneous Diphtheria, Germany. 2005. Available

at http://wwwnc.cdc.gov/eid/article/11/2/pdfs/04-0560.pdf

6. Robert, M. Kleigman, et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia :

WB Saunders company. 2011.

7. Deterding RR. Essentials of Diagnosis and Typical Features Diphtheria. In : Hay

WW, Leswin MJ, et.al. Current Diagnosis and Therapy in Pediatric. 18th ed.

United States of America : Library of Congress Press. 2007.

8. Dowel, Maoney. Arch Otolaryngol AMA. Diphtheria. 2000. Available at

http://archotol.ama-assn.org/cgi/reprint/61/1/29

9