dibalik kerusakan hutan indonesia -...

32
1 intip hutan | mei - juli 2003 PERKEBUNAN SAWIT Komoditas kelapa sawit (Elaeis guineensis) masuk ke Indonesia sekitar tahun 1848 oleh orang Belanda yang kemudian menanamnya di Kebun Raya Bogor. Tanaman yang berasal dari Afrika Selatan ini diekstraksi minyaknya dari tandan buah kelapa sawit yang berguna sebagai minyak untuk memasak, bahan baku produk sabun, margarin dan berbagai produk lainnya. Saat ini luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 3 juta ha, luasan terluas dibandingkan per- kebunan karet. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit berlokasi di Sumatera, tetapi ekspansinya maju pesat di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Upaya memperluas perkebunan sawit diarahkan di Kalimantan Timur, Sulawesi, dan Papua. Biaya produksi yang cukup murah dalam menanam sawit dan berproduksi hingga lima kali lebih tinggi dibandingkan tanaman perkebunan lainnya menjadi alasan mengapa sawit dipilih untuk dikembangkan. Saat ini Indonesia tercatat sebagai penghasil kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia. Pada tahun 2000 saja, produksi kelapa sawit dunia mencapai 21,8 juta ton. 7 juta ton (32 persen) berasal dari produksi Indonesia. Kelapa sawit adalah sumber pendapatan ekspor yang penting bagi Indonesia, yang menghasilkan lebih dari 1 miliar dolar AS pada tahun 1999. Namun lebih dari 40 persen panen tahunan adalah untuk konsumsi domestik. Menurut data sementara untuk periode laporan tahun 2000/2001, Indonesia mengkonsumsi sekitar 3 juta ton produksi kelapa DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA Bagian Kedua dipindahkan kepada para petani kecil; para pengembang swasta mengawasi operasi perkebunan rakyat dan juga membeli hasil panen mereka. Sektor perkebunan swasta skala besar tumbuh paling pesat setelah tahun 1986, juga dengan dorongan pemerintah. Perusahaan diberi insentif, termasuk akses kredit dengan tingkat bunga rendah untuk pembangunan perkebunan, penanaman dan fasilitas Industri kelapa sawit tumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960-an. Didominasi oleh perusahaan negara, perkebunan rakyat dan perkebunan skala besar milik swasta. Perkebunan Sawit di Kebun Arso, Papua sawitnya dan mengekspor sekitar 4.3 juta ton. Sejauh ini importir terbesar adalah India, diikuti Cina dan Belanda. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia sungguh fenomenal, dengan produksi yang bertumbuh 36 kali lipat sejak pertengahan tahun 1960-an. Industri ini didominasi oleh tiga kelompok produsen: perusahaan milik negara, perkebunan rakyat, dan perkebunan swasta skala besar. Pada akhir tahun 1960-an, peme- rintahan Soeharto dengan bantuan Bank Dunia melakukan investasi di Badan Usaha Milik Negara, dan areal perkebunan kelapa sawit di perkebunan milik negara meningkat terus pada dekade berikutnya. Perkebunan rakyat juga meluas setelah tahun 1979, juga dengan campur tangan pemerintah dan dukungan Bank Dunia. Plot lahan disiapkan oleh pengembang swasta, kemudian pengolahan. Antara tahun 1967 dan 2000, total luas areal perkebunan kelapa sawit bertambah dari hampir 200.000 ha hingga lebih dari 3 juta ha. Industri kelapa sawit Indonesia didominasi oleh beberapa konglomerat yang sama dengan mengontrol industri pembalakan kayu, pengolahan kayu serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara pembukaan hutan, pasokan kayu, dan pembangunan perkebunan. Pada tahun 1967, sektor perkebunan swasta didominasi oleh 10 kelompok usaha yang bila digabungkan memiliki sekitar 64 persen total areal yang ditanami dan dimiliki oleh perusahaan swasta. Selain itu ke-10 kelompok usaha ini memiliki ‘bank lahan’ (lahan yang telah disetujui untuk dikembangkan menjadi perkebunan) yang totalnya mendekati 3 juta ha. Dari ke-10 kelompok usaha ini, 4 diantaranya juga pemegang HPH terbesar pada tahun 1997. FWI

Upload: hakhue

Post on 19-Aug-2018

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

1intip hutan | mei - juli 2003

PERKEBUNAN SAWIT

Komoditas kelapa sawit (Elaeisguineensis) masuk ke Indonesia sekitartahun 1848 oleh orang Belanda yangkemudian menanamnya di Kebun RayaBogor. Tanaman yang berasal dariAfrika Selatan ini diekstraksiminyaknya dari tandan buah kelapasawit yang berguna sebagai minyakuntuk memasak, bahan baku produksabun, margarin dan berbagai produklainnya.

Saat ini luas areal perkebunan kelapasawit mencapai lebih dari 3 juta ha,luasan terluas dibandingkan per-kebunan karet. Sebagian besarperkebunan kelapa sawit berlokasi diSumatera, tetapi ekspansinya majupesat di Kalimantan, terutamaKalimantan Barat. Upaya memperluasperkebunan sawit diarahkan diKalimantan Timur, Sulawesi, danPapua.

Biaya produksi yang cukup murahdalam menanam sawit dan berproduksihingga lima kali lebih tinggidibandingkan tanaman perkebunanlainnya menjadi alasan mengapa sawitdipilih untuk dikembangkan. Saat iniIndonesia tercatat sebagai penghasilkelapa sawit terbesar kedua di duniasetelah Malaysia.

Pada tahun 2000 saja, produksi kelapasawit dunia mencapai 21,8 juta ton. 7juta ton (32 persen) berasal dariproduksi Indonesia. Kelapa sawitadalah sumber pendapatan ekspor yangpenting bagi Indonesia, yangmenghasilkan lebih dari 1 miliar dolarAS pada tahun 1999. Namun lebih dari40 persen panen tahunan adalah untukkonsumsi domestik. Menurut datasementara untuk periode laporan tahun2000/2001, Indonesia mengkonsumsisekitar 3 juta ton produksi kelapa

DIBALIK KERUSAKANHUTAN INDONESIABagian Kedua

dipindahkan kepada para petani kecil;para pengembang swasta mengawasioperasi perkebunan rakyat dan jugamembeli hasil panen mereka.

Sektor perkebunan swasta skala besartumbuh paling pesat setelah tahun1986, juga dengan doronganpemerintah. Perusahaan diberi insentif,termasuk akses kredit dengan tingkatbunga rendah untuk pembangunanperkebunan, penanaman dan fasilitas

Industri kelapa sawit tumbuh 36 kali lipat sejak pertengahantahun 1960-an. Didominasi oleh perusahaan negara,perkebunan rakyat dan perkebunan skala besar milik swasta.

Perkebunan Sawit di Kebun Arso, Papua

sawitnya dan mengekspor sekitar 4.3juta ton. Sejauh ini importir terbesaradalah India, diikuti Cina dan Belanda.

Pertumbuhan industri kelapa sawit diIndonesia sungguh fenomenal, denganproduksi yang bertumbuh 36 kali lipatsejak pertengahan tahun 1960-an.Industri ini didominasi oleh tigakelompok produsen: perusahaan miliknegara, perkebunan rakyat, danperkebunan swasta skala besar.

Pada akhir tahun 1960-an, peme-rintahan Soeharto dengan bantuanBank Dunia melakukan investasi diBadan Usaha Milik Negara, dan arealperkebunan kelapa sawit diperkebunan milik negara meningkatterus pada dekade berikutnya.

Perkebunan rakyat juga meluas setelahtahun 1979, juga dengan campurtangan pemerintah dan dukungan BankDunia. Plot lahan disiapkan olehpengembang swasta, kemudian

pengolahan. Antara tahun 1967 dan2000, total luas areal perkebunankelapa sawit bertambah dari hampir200.000 ha hingga lebih dari 3 juta ha.

Industri kelapa sawit Indonesiadidominasi oleh beberapa konglomeratyang sama dengan mengontrol industripembalakan kayu, pengolahan kayuserta industri pulp dan kertas, yangmempererat hubungan antarapembukaan hutan, pasokan kayu, danpembangunan perkebunan. Pada tahun1967, sektor perkebunan swastadidominasi oleh 10 kelompok usahayang bila digabungkan memiliki sekitar64 persen total areal yang ditanami dandimiliki oleh perusahaan swasta. Selainitu ke-10 kelompok usaha ini memiliki‘bank lahan’ (lahan yang telah disetujuiuntuk dikembangkan menjadiperkebunan) yang totalnya mendekati3 juta ha. Dari ke-10 kelompok usahaini, 4 diantaranya juga pemegang HPHterbesar pada tahun 1997.

FWI

Page 2: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

2 intip hutan | mei - juli 2003

Investasi asing yang masuk juga cukupbesar jumlahnya: pada akhir tahun1998, terdapat 50 perusahaan asingyang terlibat dalam sektor kelapa sawitdengan total investasi senilai 3 miliardolar AS.

Perusahaan kehutanan milik negara diIndonesia juga makin banyak terlibatdalam bisnis perkebunan . Pada tahun1998 Departemen Kehutanan secararesmi mengijinkan Kelompok Usahainhutani I-V mengubah 30 persen luaskawasan HPH-nya menjadiperkebunan, termasuk kelapa sawit.Alasan utamanya adalah pohontanaman perkebunan -tidak sepertikayu- merupakan investasi jangkapendek dan dapat diharapkanmeningkatkan arus uang tunai.

Perkebunan VS Hutan

Pembangunan perkebunan selama 30tahun terakhir jelas merupakan faktorutama penyebab deforestasi, tetapi sulitmenyajikan data definitif mengenailuas hutan yang telah dikonversimenjadi perkebunan. Hasil analisismenunjukkan total kawasan lahanhutan yang dikonversi menjadiperkebunan antara tahun 1982 dan1999 adalah 4,1 juta ha. Dari angkaini , menurut penelitian lainnya 1,8juta ha hutan dikonversi menjadiperkebunan kelapa sawit antara tahun1990 dan 2000.

Berdasarkan landasan hukumnya,perkebunan diharuskan dikembangkandi atas lahan hutan yang sudah secararesmi ditentukan untuk konversi untukpemanfaatan hutan lainnya. Dalamprakteknya, ada dua faktor pentingyang melemahkan landasan hukum ini.Pertama sebagian besar hutan konversidi Indonesia terdapat di kawasanIndonesia Timur yang relatif belumberkembang, tetapi sebagian besarperusahaan lebih suka mengem-bangkannya di bagian barat, yang lebihdekat dengan tenaga kerja,infrastruktur pengolahan, dan pasar.Kedua, pembangunan perkebunan diatas lahan hutan dua kali lebih menarikkarena, setelah memperoleh IzinPemanfaatan Kayu (IPK) sebuahperusahaan dapat menebang habiskawasan tersebut dan menjual kayunyakepada industri pengolahan kayu. Hal

ini merupakan keuntungan tambahan,di atas keuntungan yang diharapkandari panen kelapa sawit pada masamendatang.Pada beberapa kasus, pemilikperkebunan adalah juga pengusahakonsesi HPH, sehingga‘penjualan’kayu tebangan tersebutmerupakan transfer sederhana dari satuperusahaan ke perusahaan lain dalamkelompok usaha yang sama, denganharga tentu saja paling rendah.

Tampaknya beberapa perusahaan tidakpernah mempunyai niat untukmembangun perkebunan, tetapi hanyamengejar izin konversi untukmemperoleh keuntungan dari kayuyang didapat daripembukaan hutan.Contohnya di Kalimantan Barat,Kepala Kanwil Perkebunanmengancam untuk mencabut izin 21perusahaan dan memperingatkan 29perusahaan lainnya, atas kegagalanmereka untuk membangun perkebunanyang sudah disetujui.

Banyak sekali usulan untukmengkonversi lahan hutan yang sangatluas menjadi perkebunan tetapi belumdikembangkan. Beberapa diantaranyasudah dibuka tetapi belum ditanami.Pengajuan -dan juga alokasi- untukpembangunan perkebunan seringtumpang tindih dengan klaim untukpengembangan HTI, atau dengan hutanyang tidak ditentukan sama sekaliuntuk konversi. Jika semua izintersebut akan mencakup kawasanhutan konversi yang luasnya jauhmelampaui luas legal yang tersediauntuk pembangunan.

Hasil penelitian mengungkapkan buktiyang saling bertentangan. MenurutKartodiharjo dan Supriono, tahun 1997hampir 7 juta ha hutan secara prinsiptelah disetujui untuk dikonversimenjadi perkebunan. Selain 6.8 juta hayang telah disetujui untukpengembangan perkebunan , 9 juta halainnya sedang diajukan untukdijadikan perkebunan. Bahkan tanpamemasukan angka 9 juta ha ini,sebenarnya jika 6.8 juta ha telahdisetujui untuk dikonversi dan benar-benar semuanya dikonversi menjadiperkebunan, maka Sumatera danKalimantan menghadapi kekuranganyang serius dalam hal lahan hutan yangtersedia. Sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Casson menghasilkankesimpulan agak berbeda, menemukanbahwa pengajuan untuk melepaskansekitar 4.5 juta ha hutan untuk konversidilakukan pada bulan Februari 1999.Sekitar 840.000 ha sudah disetujui, 70persen diantaranya untuk kelapa sawit.Hampir semua pengajuan tersebutuntuk lahan hutan di Sumatera danKalimantan.

Baik angka yang lebih tinggi ataupunlebih rendah yang digunakan, tindakanmemproses pengajuan untuk konversihutan ini akan mengarah pada defisitketersediaan hutan konversi di

Transmigrasi- program jangka panjang pemerintahuntuk memukimkan kembali penduduk dari Jawadan Bali yang penduduknya padat ke Sumatera,Kalimantan, dan 'pulau-pulau' lainnya-membuka 1,7juta ha lahan pertanian dan memindahkan sekitar 8juta orang antara tahun 1969 dan 1993 (GoI, 1993).

Lokasi transmigrasi umumnya dibangunmenurut salah satu di antara tiga pola. Antara tahun1960-an dan 1980-an, transmigrasi difokuskan padapengembangan pertanian subsisten. Pola inimembagikan lahan pertanian seluas 2 ha kepadasetiap rumah tangga transmigran, yang sebagiansudah dibuka dan siap dimanfaatkan dan sebagianmasih berhutan dan menunggu untuk dibuka.Selama tahun 1990-an, sampai program transmigrasiberakhir secara resmi pada tahun 1999, penekananbergeser dari pertanian subsisten ke arah penyediaantenaga buruh untuk HTI dan perkebunan kelapasawit. Perkebunan Inti Rakyat melibatkan kerjasamaantara perusahaan swasta kelapa sawit (Inti) dankeluarga transmigran (Plasma). Setiap rumah tanggamenerima lahan seluas 3 ha, di mana 2 ha dibangununtuk perkebunan kelapa sawit. Pola HTI melibatkankeluarga transmigran yang menerima lahan sebagaiganti tenaga yang mereka berikan pada HTI-HTIyang dimiliki oleh swasta. Selain itu, keluarga inimenerima lahan yang dapat dimanfaatkan untukmembangun kebun milik sendiri. Hampir 39 persenkawasan HTI yang hampir semuanya telah ditanamiterletak di lokasi transmigrasi (Potter dan Lee, 1998),dan hampir satu juta ha perkebunan kelapa sawitdibangun dengan hubungan formal dengan lokasitransmigrasi sebelum akhir tahun 1995.

Dampak aktual proyek-proyek transmigrasiterhadap hutan mungkin lebih besar daripada angkayang ditunjukkan, karena seringnya pemilihan lokasiyang buruk dan praktek-praktek pembukaan lahanyang digunakan. Keluarga transmigran yang (danmemang) tidak dapat mendukung diri mereka sendiridari hasil lahan yang dialokasikan kepada merekabiasanya merambah ke daerah yang berdekatan, yaituhutan yang tidak dialokasikan. Selain itu, adanyakeluarga transmigran sering menambah tekananlahan yang dirasakan oleh penduduk asli, yangmengarah pada pembukaan hutan lebih lanjut.

Proyek transmigrasi kadang merambah tamannasional, seperti pada kasus Taman Nasional Wasur

Transmigrasi dan P

Page 3: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

3intip hutan | mei - juli 2003

Sumatera dan Kalimantan. Situasi inidisebabkan karena kawasan hutankonversi sering direvisi olehpemerintah. Pada tahun 1981, lebih dari33 juta ha hutan dialokasikan untukkonversi; pada tahun 1990 luasnyatelah turun menjadi 19 juta ha, dan padatahun 1997 telah turun lagi menjadimenjadi antara 8 dan 9 juta ha. Semakinkecilnya kawasan hutan konversi dikawasan barat juga disebabkan olehkeengganan industri untuk membangunperkebunan di kawasan timur.Walaupun demikian, hal ini mulaimengalami perubahan. Beberapa

perusahaan kelapa sawit menyadaribesarnya peluang kayu yang dapatdipanen dari hutan Kalimantan Timurdan Papua yang kaya. Sebagianperusahaan telah mulai operasi dikawasan timur ini mempunyai kaitankuat dengan perusahaan kayu.

Sementara itu kekurangan hutankonversi di Sumatera dan Kalimantanmendorong pemerintah untukmelepaskan hutan produksi di pulau iniuntuk dikonversi menjadi perkebunan,juga mengalokasikan hutan yang masihluas di lokasi yang lebih terpencil.

Penyelesaian yang riil tampaknyaberupa reformasi kebijakan yangmengharuskan perusahaan untukmembangun perkebunan baru bukan dihutan konversi, seperti yang sekarangterjadi, tetapi jutaan hektar lahan yangtelah dibuka (untuk perkebunan atauHTI) tetapi belum pernah ditanami, dandi lahan yang sudah mengalamidegradasi karena kebakaran. Hal initampaknya tidak mungkin terjadi dalamjangka pendek. Menurut data Dephut,revisi status Hutan Permanen terakhirmenyebabkan kenaikan jumlah alokasihutan konversi, hingga mendekati 14juta ha. Semua hutan konversi yangbaru berlokasi di Maluku dan IrianJaya, dimana kawasan hutan Indonesiayang masih perawan dan paling luasberada.

Terus Meluas

Laju penanaman dan produksi kelapasawit secara bertahap melambat setelahkrisis ekonomi tahun 1997 dankekacauan politik yang menyertainya,tetapi tampaknya ada pertumbuhanbaru pada tahun 2000. Industri inidirangsang dengan tingkat bunga yanglebih rendah, pengurangan pajakekspor sawit mentah (Crude Palm Oil),peraturan pemerintah baru yangmemfasilitasi pembangunan per-kebunan kelapa sawit, dan tesedianyalahan untuk penanaman karenakebakaran besar pada tahun 1997-1998. Dewasa ini ketidakpastian politikdan krisis ekonomi yang berlanjuttampaknya melemahkan prosespemulihan. Walaupun demikian,industri-industri ini tampaknya akantetap kokoh di dunia. Permintaankelapa sawit dunia diramalkanmeningkat 40,5 juta ton. sebelum tahun

2020. Seorang analis industrimemperkirakan bahwa jika produksidunia meningkat 20 juta ton sebelumtahun 2020, maka 300.000 haperkebunan baru akan perlu dibangunsetiap tahunnya sepanjang 20 tahunmendatang.

Sementara pembangunan perkebunankelapa sawit sejauh ini utamanya terjadidi Sumatera, Kalimantan Selatan danKalimantan Barat, maka tahap ekspansiberikutnya tampaknya akan terjadi diKalimantan Timur dan Papua. Kawasanhutan yang sangat luas di wilayah initelah dialokasikan sebagai konsesi HPHatau hutan konversi. Perubahankebijakan pemerintah baru-baru inimembuka jalan untuk ekspansi kelapasawit di hutan-hutan ini. Selain untukmeningkatkan kawasan hutan konversiyang dialokasikan di Papua dan Maluku(lihat di atas) pemerintah telahmeningkatkan insentif untukperusahaan yang membangun per-kebunan baru di hutan produksi.Peraturan No. 614/Kpts-II/1999mengenai Arahan PengembanganPenanaman Hutan Campuranmemungkinkan perusahaan untukmembangun HTI atau perkebunan dihutan-hutan produksi yang tidakproduktif'. Kawasan ini didefinisikansebagai konsesi hutan HPH yangmengandung kurang dari 20 m3 kayuper hektar. Enam puluh persen ka-wasan nonproduktif harus dikonversimenjadi HTI dan selebihnya dapatdimanfaatkan untuk perkebunan.Peraturan baru ini jelas berisikomendorong perusahaan untukmemanen konsesi HPH-nya secaraberlebihan, mengurangi potensi kayudibawah ambang produktivitas,sehingga kawasannya dapat diajukanuntuk memperoleh izin konversi yangmemungkinkan mereka untuk mene-bang habis seluruh kawasan tersebut(Wakker, 2000:27). Areal hutan yangakan dibuka di wilayah ini kemungkinanakan melebihi areal yang sebenarnyaakan ditanami, terkecuali jika kinerjaindustri meningkat secara dramatis.

Cuplikan Buku Potret Keadaan hutanIndonesia- FWI 2001

Pembukaan Hutan

di Irian Jaya. Wasur merupakan padang rumputseluas 413.810 ha yang tergenang air secaramusiman, hutan-hutan mangrove, hutan-hutanmonsun dan savana di bagian ujung tenggara IrianJaya, yang menjadi batas antara Irian Jaya, PapuaNuigini dan Laut Arafura. Meskipun ditetapkansebagai sebuah Taman Nasional, pemerintah jugamembuka kawasan transmigrasi yang luasnya3.000 ha di sekitar desa tradisional Sota di dalamtaman ini pada tahun 1994, dan secara legaldidukung oleh berbagai ketetapan pemerintah yangdikeluarkan (SK tahun 1994; SK Bupati Merauketentang alokasi lahan transmigrasi 1994; SK1995).1 Alasan utama untuk pembentukan enklafadalah untuk menjamin 'keamanan' di kawasandimana pemerintah memerangi pemberontakseparatis, ditambah dengan keinginan pemerintahdaerah untuk membangun kawasan ini secaraekonomi. Kawasan transmigrasi kedua seluas3.000 ha (Sota II) ditetapkan untuk pembangunansegera setelah itu, tetapi ditunda karena kritik dariLSM-LSM dan lembaga donor setelah pembukaanhutan seluas 200 ha. Wasur hanyalah salah satu diantara banyak kasus dimana lokasi transmigrasidibangun di kawasan-kawasan hutan lindung diseluruh Indonesia.

Evaluasi Bank Dunia pada tahun 1994mengenai pinjaman sebesar 560 juta dolar AS yangdiberikan kepada Indonesia untuk program iniselama tahun 1970-an dan 1980-an menyimpulkanbahwa pembukaan lahan tidak dilakukan menurutpedoman yang disetujui secara hukum danberdasarkan kontrak. Lahan yang kelerengannyalebih dari 8 persen telah dibuka, pepohonandidorong dengan bulldozer ke aliran air, tindakanpengendalian erosi di sepanjang kontur tidakdilakukan, dan tidak ada usaha yang dilakukanuntuk memanen kayu komersial yang sebagianditinggalkan terbakar di lapangan setelahpembukaan lahan. Dampak bagi masyarakat lokal,terutama kelompok masyarakat adat tradisional,sangat negatif. Misalnya, pada kasus mengenaiSuku Kubu yang mendiami hutan di Sumatera,laporan ini menyimpulkan bahwa "dampaknyasangat negatif dan mungkin tidak dapat dipulihkankembali" (World Bank, 1994).

Page 4: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

4 intip hutan | mei - juli 2003

Sejarah Penjarahan HutanNASIONALPENDAHULUAN

Pengertian yang umum tentangmenjarah adalah merebut dan merampasmilik/hak orang lain, dan penjarahadalah orang yang melakukanpenjarahan (atau yang suka menjarah)(Kamus Besar Bahasa Indonesia,1986). Kalau kita mengkaji aksipenjarahan sebagai bagian daripemanfaatan hutan nasional makapenjarahan ini akan terkait 2 kategoriutama. Kategori pertama, ada orang/pihak yang menguasai dan/ataumemiliki hutan yang bukan miliknyasecara paksa. Kategori kedua, adaorang/pihak yang melakukan kegiatandi dalam hutan sehingga merugikan,melanggar atau merampas sebagianatau seluruh dari hak-hak orang/pihaklainnya atas hutan.

Melihat penjarahan hutan daripengertian ini, kita harus membebaskandiri dari “penjara” hukum kehutananyang ada saat ini. Penjarahan hutannasional hanya akan bisa dilihat secara

lebih jernih kalau diteropong darikacamata politik. Politik pada dasarnyamenyangkut seluruh kegiatan dalamsistem politik (negara dan antar negara)yang menyangkut proses penentuantujuan-tujuan pengelolaan sumberdaya,dalam hal ini termasuk sumberdayahutan, dan melaksanakan pencapaianatas tujuan-tujuan yang telah ditentukantersebut. Dalam proses inilahkelompok-kelompok kepentinganpolitik saling berkompetisi untukmempengaruhi tujuan dan cara-carapencapaian tujuan pengelolaansumberdaya hutan sehingga bisamemberikan keuntungan/manfaatsebesar-besarnya untuk kelompokmasing-masing.

Dalam kompetisi ini kekuatan/kekuasaan yang dimiliki kelompokkepentingan menjadi sangat pentingkarena hasil dari pertarungan antarkelompok dalam proses politik inilahyang kemudian menghasilkan hukum.Hukum yang dihasilkan dari prosespolitik yang tidak demokratis, tertutup

dan dikendalikan secara terpusat bisadipastikan hanya akan menguntungkankelompok kepentingan yang memilikikekuasaan dominan pada saat itu.Dinamika politik kekuasaaan ini secarakuat mempengaruhi “pasang-surut”penjarahan hutan nasional dari masa kemasa. Oleh sebab itu, sebelummemetakan penjarahan hutan terkinipaska kejatuhan Jenderal BesarSoeharto dari kursi presiden, perlu kitamelihat kembali masa-masasebelumnya.

PENJARAHAN HUTANSEBELUM MASA KOLONIAL

Jauh sebelum Pemerintahan KolonialBelanda masuk di seluruh pelosoknusantara ini, termasuk di Pulau Jawa,telah hidup dan berkembang kesatuan-kesatuan sosial politik yang secaramandiri mengurus dirinya danmengelola sumberdaya alam dihabitatnya masing-masing. Komunitas-komunitas ini, sesuai dengan perjalananwaktu, telah mengembangkan aturan-

AR

uPA

Penjarahan hutan pinus di Wonosobo, di kawasan hutan negara

Page 5: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

5intip hutan | mei - juli 2003

aturan (hukum) dan juga sistemkelembagaan (sistem politik/pemerintahan) untuk mengelolahubungan di dalam komunitas dan jugaantara komunitas tersebut dengan alamdi sekitarnya. Pembentukan satuan-satuan komunitas ini bisa jugadidasarkan atas dasar kewilayahan(habitat atau wilayah hidup bersama),atau keturunan (geneologis), ataubahkan merupakan perpaduan antarapendekatan kewilayahan danketurunan.

Mereka yang hidup berdasarkan asalusul (warisan) leluhurnya ini – sekarangini lebih dikenal dengan berbagaipenyebutan, seperti: masyarakat adat,penduduk asli, bangsa pribumi,“indigenous peoples” — umumnyaberbeda antara satu komunitas dengankomunitas lain di sekitarnya. Pada masaini hampir sebagian besar hutan yangkondisinya masih baik sudah diurus dandikelola dalam satuan-satuan wilayahhidup komunitas yang relatif kecildengan sistem pengurusan hutan yangberbeda satu sama yang lain.Komunitas-komunitas ini berdaulatpenuh untuk mengurus dirinya besertatanah dan hutan yang ada di wilayahadatnya. Hutan-hutan yang berada didalam wilayah kekuasaan komunitas-komunitas adat inilah yang saat inidikenal sebagai hutan adat. Kawasan-kawasan hutan yang berada di luarwilayah adat pada saat itu belumdikuasai apalagi diurus dan dikelolaoleh siapa pun. Kawasan hutan yangbelum dibebani hak penguasaaan inidisebut sebagai kawasan hutan bebas.

Kedaulatan komunitas-komunitas inikemudian mulai digerogoti dengan

masuknya agama-agama baru yangkemudian disertai dengan dimulainyapenerapan konsep politik “negara”kerajaan/kesultanan. Prosesterbentuknya “negara” ini secara umumbisa dikategorikan dalam dua jenisproses. Pertama, negara kerajaan yangterbangun sendiri dari dalammasyarakat dengan berkembangnyapelapisan-pelapisan sosial baru yanglebih struktural, misalnya denganterjadinya konsentrasi kepemilikantanah di tangan segelintir keluarga.Kedua, negara kerajaan/kesultananyang terbentuk sebagai wujudpersekongkolan antara kepentinganekonomi-politik pihak asing (parapedagang dari negara luar yang jauh)dengan para elit lokal. Proses yangkedua inilah yang paling banyak terjadidi Indonesia.

Dari sinilah para elit kekuasaan secarasistematis mulai mengembangkanberbagai macam “alat” (saluran) politikuntuk mengendalikan aspirasi massa-rakyat, termasuk dengan membangunmitos bahwa raja/sultan adalah wakilTuhan di bumi, atau pewaris/penerimamandat dari Nabi/Rasul, atau titisan,sebagai pemimpin pemerintahan(politik) bagi penganut agama asli atau“baru”. Sejarah telah membuktikanbahwa mitos ini ternyata efektif menjadisumber legitimasi kekuasaan bagi raja/sultan untuk menguasai tanah-tanah(termasuk kawasan hutan) yang tidakdibebani hak rakyat, baik hak individualmaupun hak bersama (hak adat). Darisini kemudian berkembang berbagaihak-hak istimewa bagi elit kerajaan(bangsawan), termasuk “klaim” bahwaseluruh wilayah kerajaan adalah milikraja. Sejarah dari berbagai tempat di

pelosok nusantara mencatat bahwa pararaja/sultan bersama elit kerajaan/kesultanan lainnya berhasilmenghilangkan kontrol rakyat terhadapberbagai tindakan mereka yangmerampas hak-hak rakyatnya atas tanahdaan hutan. Inilah bentuk tindakanpenjarahan tanah dan hutan yangdilakukan oleh penguasa.

Pada masa ini belum muncul kegiatankehutanan yang penting, berskala besaratau berdampak luas secara ekologiskecuali untuk memenuhi keperluanpangan dan obatan-obatan sertapengadaan kayu untuk bahan bangunanistana, pembuatan kapal kerajaan danarang untuk industri logam tempa.Penjarahan hutan oleh kerajaan/kesultanan pada saat ini belumdimaksudkan untuk tujuan ekonomilangsung dari eksploitasi hutan, tetapilebih bermakna pada pernyatakankekuasaan atas suatu wilayah danbelakunya kontrol raja/sultan terhadappenduduk yang ada di dalamnya. Padasituasi ini massa-rakyat bekerja lebihkeras membuka hutan untukperladangan dan kebun untukmembiayai kemewahan hidup para elitkerajaan melalui pembayaran berbagaiupeti dan pajak. Jaman inilah yang kitakenal sebagai jaman feodal, yaitu masadi mana penjarahan hutan dilakukanoleh raja/sultan, bangsawan dankerabat-kerabatnya dengan caramerampas hak-hak rakyat atas tanahdan hutan sebagai pernyataanpenaklukan secara politik.

PENJARAHAN HUTAN DI MASAKOLONIAL

Proses penjarahan hutan yangsistematis dan terorganisir mulaimuncul pada masa ini, khususnya diPulau Jawa yang hutannya kaya dengankayu jati, yaitu ketika para pedagang(swasta) dari Belanda yang sudahberdatangan sejak tahun 1596 di Jawamembentuk organisasi/asosiasibernama “Vereneegde Oost-IndischeCompagnie” atau VOC atau lebihdikenal oleh rakyat dengan Kompenipada tahun 1602. Dengan maksuduntuk melindungi bisnis VOC ini makapada tahun 1609 Pemerintah KolonialKerajaan Belanda menempatkanseorang Gubernur Jenderal di HindiaBelanda (nama yang berikanPemerintah Belanda untuk menyebut

Repro Jakarta-Jakarta

Pengangkutan kayu jati pada masa kolonial

Page 6: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

6 intip hutan | mei - juli 2003

Indonesia pada saat itu) berkedudukandi Batavia (sekarang Jakarta).

Dengan adanya organisasi pedagangswasta VOC dan dengan perlindunganpemerintah kolonial dimulailah operasipenjarahan “kecil” pada tahun 1611.VOC mengajukan permohonan kepadaRaja untuk mendapatkan ijinpenebangan hutan di sepanjang pantaiutara Batavia (sekarang Jakarta) untukmemenuhi kebutuhan anggota merekasendiri atas kayu, baik untuk bangunandan pembuatan kapal maupun untukkayu bakar berbagai industri. Kawasan-kawasan hutan yang mendapatkan ijinpenebangan hutan dari Raja Mataramterus berlanjut, bukan hanya di JawaBarat tetapi merambah ke hutan-hutanyang paling kaya dengan kayu jati diJawa Tengah. Dengan permintaan kayujati di pasar Eropa tumbuh denganpesat serta kekuasaaan VOC atas hutandi Jawa terus menguat dengan adanyakerjasama saling menguntungkan yangsemakin erat dengan Kerajaan Mataramtelah menggelorakan semangat VOCuntuk mengekploitasi hutan Jawasecara besar-besaran.

Untuk menguasai kawasan-kawasanhutan jati VOC menawarkan, bahkanmemaksakan, perjanjian damai denganpenguasa setempat. Kompeni secaralicik menunggangi/memanfaatkanpertentangan-pertentangan di antarapenguasa-penguasa lokal untukmendapatkan balas jasa politik daripihak yang menang. Balas jasa yangpaling sering dipaksakan oleh VOCadalah hak untuk memungut kayu jatidi daerah itu. Di samping melakukanpenebangan hutan sendiri lewatpenguasaan kawasan hutan, VOC jugamembeli kayu dari rakyat yangdiperantarai oleh pedagang-pedaganglokal. Segelintir rakyat punmendapatkan sedikit percikan hasil darikayu yang mereka jarah dari komunitasadatnya dan mulai menjadi bagian darilingkaran bisnis kayu.

Dampak dari praktek penebangansembrono dan pemberian upah yangterlalu rendah telah berakibat padakerusakan hutan yang berat di areal-areal bekas tebangan dan memiskinkanrakyat di sekitarnya. Rakyat secarasproradis dan tidak terorganisir terusmenerus menyampaikan keluhan-

keluhan. Suara-suara ini kemudiansemakin berpengaruh setelah parailmuwan Belanda juga mulai gencarmenyuarakan ketidakbecusan VOC.Keluhan-keluhan dan protes-protes iniditanggapi Pemerintah Belanda tahun1722 dengan mengeluarkan keputusanyang memerintahkan penghentianpenebangan hutan untuk keperluankompeni di Karesidenan Prianganselama 15 tahun sehingga kondisi hutanbisa pulih kembali dan pendudukberistirahat dari kerja paksa.

Di kawasan lainnya di Jawa, penjarahanhutan berlangsung terus dengan modusoperandi yang hampir sama, tetapidiwarnai dengan terjadinya perubahan-perubahan kekuatan politik di antarakelompok kepentingan yang jugadiikuti dengan pembentukan aliansi-aliansi strategis baru yang lebihmenguntungkan masing-masing. VOCdan Pemerintah Kolonial semakinagresif dalam bisnis kayu ini dengancara memberikan kesempatan kepadapara Bupati dan pedagang-pedagangCina untuk terlibat dalam usaha kayu.Sementara itu posisi pihak KerajaanMataram semakin melemah dalamperundingan-perundingan dan akhirnyaberhasil dipecah belah oleh VOC danPemerintah Kolonial menjadi 4kerajaan pada pertengahan tahun 1700-an. Kondisi kekuasaan yang tidakseimbang ini, telah mendorongmerebaknya korupsi dan kolusi dikalangan pegawai VOC, pejabatKerajaan dan para Bupati yang semakinmempercepat kerusakan hutan.

Kebijakan-kebijakan yang dimaksud-kan untuk menjaga keberlangsunganbisnis kayu VOC di Pulau Jawaakhirnya juga kandas karena yangberkembang kemudian adalahpenyalahgunaan wewenang di kalanganpejabat pemerintah kolonial sertaberkembangnya bisnis pribadi antarakaryawan dan eks-karyawan VOCdengan pribadi para bupati untukmemperkaya diri masing-masingdengan melibatkan rakyat sebagaitenaga upahan untuk penebangan yangtidak mampu dikendalikan. Penebangan“liar” semacam ini jelas mengurangipendapatan Pemerintah KolonialBelanda dari pajak atau cukai. VOCakhirnya dibubarkan pada tahun 1796untuk memudahkan menentukan

langkah-langkah perbaikan penge-lolaan hutan selanjutnya olehPemerintah Belanda. Untuk maksud inidibentuklah Jawatan yang khususmengurus kehutanan di Jawa denganmetode-metode yang lebih “ilmiah”.

Di luar Jawa pada masa yang sama,kondisi hutan masih relatif utuh danpengurusan sebagian besar hutan masihbarada di bawah kendali lembaga yangada di komunitas-komunitas masya-rakat adat dan sebagian lainnnya didaerah pesisir dan dataran rendah sudahdikuasai oleh pihak kerajaan/kesultanan. Dengan keterbatasaninfrastruktur yang ada, pemerintahkolonial memerintah secara efektif diluar Jawa hanya di beberapa daerahtertentu saja, yaitu daerah-daerah yangmemiliki nilai ekonomi politik bernilaiuntuk negara penjajah. Salah satunyadi Sumatera utara bagian timur. Didaerah ini modus dan cerita penjarahanhutan memiliki kesamaan dengan PulauJawa dengan mengkonversi sebagiankawasan hutan untuk areal perkebunanperusahaan-perusahaan skala besar.Penjarahan hutan adat di daerah inidilakukan melalui praktek “selingkuh”politik lewat perjanjian antara pihakkesultanan — yang secara hukum adat

Operasi penyitaan kayu di Randublatung, Blora

Page 7: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

7intip hutan | mei - juli 2003

setempat tidak punya hak kepemilikanatas tanah dan hutan ulayat — denganperusahaan-perusahaan asing yangdidukung oleh Pemerintah Kolonial.

Dengan kondisi ini maka tatanan politikdi luar Jawa pada masa ini masihdiwarnai oleh keberagaman sistemotonomi daerah. Dalam urusan hukumdan politik di tingkat lokal, termasukpenerapan hukum adat agraria dankelembagaan pengelolaan hutan adat,otonomi asli komunitas-komunitasmasyarakat adat di wilayah pedesaantetap terjaga, walaupun tentunya dalambeberapa dokumen sejarah dicatat adakalanya pemerintah kolonial melakukanintervensi dalam proses pemilihanpemimpin adat di tingkat komunitas.

Politik ‘penjarahan’ hutan di Nusantaraoleh Pemerintah Kolonial diperkuatdengan terbitnya UU Agraria tahun1870 yang bertujuan menghilangkanhak-hak masyarakat adat denganmenetapkan bahwa setiap tanah diHindia Belanda yang tidak dibebanimilik pihak lain adalah tanah negara.Dari sinilah kemudian berkembangberbagai bentuk penjarahan hutan yang“legal” demi mencapai tujuan kelompokyang sedang berkuasa.

PENJARAHAN HUTAN DI MASAREJIM ORLA

Setelah proklamasi kemerdekaan tahun1945, dinamika politik di seluruhlapisan mulai menguat sejalan denganantusiasme rakyat “mengisikemerdekaan dengan demokratisasi”.Antusiasme politik ini juga dibayangidengan kegelisahan terhadap kondisiekonomi rakyat yang sulit serta masihadanya ancaman kembali berkuasanyapenjajah Belanda di Indonesia. UUD1945 yang dikerjakan secara cepat danmasih belum tuntas diperdebatkankarena dinilai terlalu sentralistik, segaradisahkan sebagai dokumen resmipenyelenggaraan negara “sementara”.Dengan segala kekurangannya itu UUD1945 secara umum diterima pem-berlakuannya karena dianggap sudahmemadai untuk melindungi hak-hakrakyat yang paling mendasar, termasukhak kepemilikan atas tanah dansumberdaya alam. Walaupun Konstitusisementara ini telah memberi wewenangkepada negara untuk “menguasai”bumi, air dan kekayaan alam untukdigunakan sebesar-besarnya bagikemakmuran rakyat (Pasal 33), tetapinegara tetap melindungi otonomi aslikomunitas adat dengan memper-lakukannya sebagai daerah istimewayang memiliki hak asal-usul danpengurusannya dilakukan sesuaipranata adat masing-masing (Pasal 18).Sementara, dengan konstitusi ini jugamaka kekuasaan kerajaan-kerajaan“feodal” yang masih ada otomatisdiambil alih keberadaannya oleh negarayang baru terbentuk, kecuali untukwilayah kekuasaan KesultananYogyakarta yang mendapatkan statusdaerah istimewa. Pada masa inidinamika politik di daerah-daerahpesisir dan sebagian di daerahpedalaman sangat dipengaruhi olehkeberadaan partai-partai politik yangmemiliki kebebasan membangun basispolitik sampai di desa. Pedesaan yangsemula tidak diperhitungkan dalamkancah politik nasional berubah menjadipanggung politik yang penting, tanpaada proses pendidikan politik yangcukup. Implikasinya adalah munculnyapolitisasi warga masyarakat adat/lokaldan bahkan sampai menimbulkanpolarisasi dan friksi politik di dalam

suatu komunitas. Hal-hal inilah yangkemudian digunakan oleh para elitkekuasaan sebagai alasan untukmengambil alih proses-proses politikdari massa-rakyat ke tangan merekasendiri. Massa-rakyat, termasukmasyarakat adat, kemudian hanyadiposisikan sebagai basis dukungan(mobilisasi politik – “top-down”),bukan sebagai pelaku politik utama(partisipasi politik).

Dinamika politik yang terbuka padamasa ini telah menguras lebih banyakenergi para politisi dan penyelenggaranegara untuk “nation building”.Walaupun kebijakan negara yangdikeluarkan pada masa ini berciripopulis — yang salah satu tujuannyaadalah untuk mengembalikan hak-hakrakyat atas tanah dan sumberdaya alamyang sempat dikuasai oleh pihak-pihaklain selama masa penjajahan kolonialsejak diterbitkannya UU Agraria 1870.Salah satu UU yang dinilai berciri kuatpopulis adalah UU Pokok Agrariatahun 1960, yang pada kenyataanoperasionalnya tidak bisa berjalanefektif sehingga urusan kehutanan punterbengkalai oleh pemerintah. Dengankondisi politik dan pemerintahandemikian maka bisnis kayu yangberorientasi ekspor pun berangsur-angsur surut dan tekanan eksploitasidan penjarahan hutan di Jawa jugaberkurang. Di luar Jawa, seperti Riaudan Kalimantan Timur, tercatat adanyaaktivitas produksi kayu denganteknologi yang relatif sederhana olehpenduduk untuk dijual ke perusahaanJepang.

Kehadiran partai politik sampai di desajuga tidak menjadi ancaman bagi hutankarena pada saat ini partai politik yangada masih lebih mengutamakan ideologidengan garis-garis perjuangan yangrelatif ketat. Politik uang dalam politiktidak berkembang sehingga hutan tidakmendapatkan tekanan penjarahan yangkuat. Tidak efektifnya pemerintahmengurus ekonomi rakyat padaakhirnya juga menimbulkan ketidak-puasan rakyat. Alasan-alasan ekonomiinilah kemudian dimanfaatkan olehmiliter untuk mengambil alihkekuasaaan. Bersambung

AR

uPA

Penulis: Abdon Nababan

Page 8: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

8 intip hutan | mei - juli 2003

Hutan di Daerah Sulawesi Tengahmerupakan sumber daya yang sangatpenting karena melingkupi sebagianbasar wilayah Sulawesi Tengah. Hutandengan fungsinya yang beragam baikdari segi ekonomi maupun dari segilingkungan memiliki peran yang sangatpenting dalam proses pembangunan.Sejalan dengan digulirkannya OtonomiDaerah (OTDA) yang memberikanwewenang kepada daerah untukmengurus rumah tangga sendiri danbagi sektor kehutanan tentunyamemberikan dampak tersendiri karenadi satu sisi hutan sebagai modal daerahharus dimanfaatkan dalam menopangpendapatan asli daerah (PAD) dan disisi lain upaya untuk melestarikan danmempertahankan kondisi serta fungsihutan akan semakin mendapat tekanandari berbagai ancaman dan gangguanyang mengarah pada pengrusakan hutan(deforestasi).

Dalam amanah reformasi, pemba-ngunan kehutanan yang berkelanjutandan berkeadilan tidak mungkin tercapaiapabila paradigma kehutanan yang lamamasih dijadikan acuan. Paradigmakehutanan yang lama tersebut adalahpengusahaan hutan hanya memberikankeuntungan yang besar bagi pengusaha,tidak dapat mengangkat ekonomimasyarakat dan daerah serta memilikidampak lingkungan yang tinggi. Olehkarena itu diperlukan perubahanparadigma secara mendasar yaitupergeseran orientasi dari pengelolaankayu (timber management) menjadipengelolaan sumber daya (resources-based management) pengelolaansentralistik menjadi desentralistik, sertapengelolaan hutan di masa depan lebihmempertimbangkan keseimbanganantara aspek ekonomi, ekologi dan

sosial masyarakat dalam pembangunanyang berkelanjutan (Sustainable).

Adanya paradigma baru dalampengelolaan hutan diharapkan dapatmenjaga dan mempertahankan keles-tarian hutan dan tentunya dapatmemberikan kontribusi yang besar bagipemerintah khususnya perolehansumber PAD. Memasuki awal mileniumketiga yang ditandai era globalisasi,perluasan hutan produksi dari hutanalam merupakan konsekuensi logis dariaspek ekonomi, pengusahaan hutan,yang merupakan salah satu sumberPAD. Kebutuhan akan berbagai hasilhutan untuk memenuhi kebutuhanrumah tangga domestik seperti,pembuatan rumah, meubel danperalatan rumah tangga lainnya jugamerupakan penyebab tingginyapermintaan akan hasil hutan tersebut.

Untuk menunjang pertumbuhanekonomi daerah, peranan sumber dayahutan sangat penting artinya sebagaimodal pembangunan, dimana pembe-rian konsesi hutan kepada pihak swastaatau BUMN untuk dikelola, dikenakanpenarikan pungutan (Rente Ekonomi)yang kemudian pungutan tersebutdialokasikan ke pos-pos pendapatanpemerintah tertentu berdasarkanketentuan yang ada. Adapun jenispungutan yang dilakukan berupa : IuranPengusahaan Hutan (IHPH), PajakBumi dan Bangunan (PBB), ProvisiSumber Daya Hutan (PSDH) dan DanaReboisasi (DR) (Peraturan PemerintahNo 104 Tahun 2000).Untuk tetap menjaga fungsi hutanlainnya (selain fungsi ekonomi) danuntuk menjaga kelestarian hutan, dalampengelolaan hutan tersebut pemerintahmenetapkan sistim silvikultur Tebang

Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yaitusuatu sistim dalam pengelolaan hutanyang mengatur tentang carapenebangan, dengan cara tebang pilihberdasarkan ketentuan teknis yang ada,melakukan penanaman kembali(reboisasi) pada areal yang ditebangsampai pada pemeliharaan hingga tibamasa panen (Hasil studi WALHI,1993 : 13).

Monografi Daerah Sulawesi Tengahyang sebagian besar adalah daerah yangmerupakan gunung/perbukitan, danselebihnya adalah daerah yang dataranrendah menunjukan bahwa sebagianbesar wilayah Sulawesi Tengah ditutupihutan. Dengan luas wilayah 6.368.925Ha, pada tahun 1998/1999 hutan tetapdi Sulawesi Tengah mencapai 77,48%dari seluruh luas wilayah PropinsiSulawesi Tengah, yang meliputi hutanlindung, hutan wisata dan hutanproduksi. Sedangkan 3,80%merupakan luas hutan yang tidak tetapatau hutan produksi yang dapatdikonversi. Sisanya sebanyak 18,72%dipergunakan untuk perkebunanpertanian dan perkebunan.Dengan melihat besarnya sumber dayahutan yang dimiliki oleh PropinsiSulawesi Tengah sangatlah memilikipeluang untuk dikelola gunamemberikan kontribusi yang besarterhadap penerimaan daerah.

Diberlakukannya Otonomi Daerah, bagiDaerah Sulawesi Tengah merupakankesempatan sekaligus merupakantantangan dalam melestarikan hutan danmemanfaatkannya secara optimal.Karena bila pemanfaatan hutan tidak dilakukan secara hati-hati dalam artihanya mementingkan aspek ekonomidalam mengejar pertumbuhan ekonomi

Kontribusi Pengelolaan Hutan TerhadapPAD Propinsi Sulawesi Tengah

Dalam Prospek Otonomi Daerah(oleh: M. Amin Panto/YUGHI)

Page 9: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

9intip hutan | mei - juli 2003

tanpa mempertimbangkan aspekekologi dan sosial, maka tingkatdegradasi hutan akan semakin tinggidan dampak dari kerusakan hutan akanmengganggu kehidupan sosial,ekonomi dan kesehatan masyarakat.Lalu, bagaimana prospek pengusahaanhutan di Sulawesi Tengah ?Sebelum membahas prospek pengelolanhutan dalam era otonomi, terlebihdahulu kita melihat pengalaman dalamera orde baru untuk memetik kebaikandan tidak mengulang kembalikegagalannya.

Pengelolaan Hutan di Era OrdeBaruSalah satu kritik yang tajam dariberbagai kalangan baik daerah, nasionalmaupun internasional terhadap hasilpemerintahan era orde baru adalahpengelolaan hutan yang tidakterkendali. Konflik lahan yang banyakbermunculan di daerah, penyalah-gunaan dana reboisasi sampai padaprasyarat dari IMF sebagai pemberipinjaman kepada Indonesia untukmencegah degradasi hutan agarpinjaman Indonesia dapat segeradicairkan oleh IMF.Dengan sistim pemerintahan yangsentralistik, pengelolaan sumber dayaalam khususnya sumber daya hutansangat ditentukan oleh pemerintahpusat. Kebijakan pemerintah untukmengelola hutan secara legalmendorong praktek ekstraksi sumberdaya hutan. Artinya penerima manfaatyang besar adalah pemerintah pusat danpengusaha, sementara daerah mendapatbagian yang sangat kecil bahkan untukdaerah penghasil khususnya masyarakathanya menjadi penonton dan penerimadampak langsung yang ditimbulkanoleh pengusahaan hutan. Bahkanmasyarakat seringkali menjadi kambinghitam sebagai penyebab dampak negatifyang ditimbulkan oleh praktek-praktekswasta (pengusaha hutan) dankebijakan pemerintah.Kurangnya wewenang yang berada ditangan pemerintah daerah jugamenyebabkan terjadinya perambahanhutan, pendudukan kawasan hutan sertaaktifitas pencurian hasil hutan yangsemuanya bermuara pada lajunyadegradasi hutan.Pengelolaan hutan yang diberikankepada pengusaha sampai pada tahun1999 dengan luas 937.691 Ha tidakdapat dikelola dengan baik. Data

statistik mengenai areal yang telah dieksploitasi dan direboisasi sampai akhirtahun 1999, adalah dengan total luasareal 937.691 ha yang telahdieksploitasi seluas 142.919 ha dandireboisasi hanya seluas 74.462 ha. Iniberarti dari luas yang telah dieksploitasimasih tersisa 794.772 ha Dan yangtersisa untuk dilakukan reboisasi seluas863.229 ha. Bila kegiatan reboisasitidak mendapat perhatian yang seriusmaka laju kerusakan hutan akan lebihcepat lagi, dan ini bukan hanya lebihmemperburuk pengelolaan hutan, tetapijuga berdampak pada ancaman bencanabanjir dan tanah longsor, kekuranganair bagi kebutuhan pertanian dankebutuhan lainnya serta dampak-dampak lingkungan lainnya di SulawesiTengah.Kontrak antara pengusaha pemegangHPH dan pemerintah dalam pengusa-haan hutan alam produksi tidak dapatberjalan secara efektif disebabkan olehhal-hal: pertama, Pemerintah belummengetahui secara lengkap kondisihutan (batas kawasan, potensi hutan,riap, social ekonomi dll). Pada saathutan tersebut diserahkan pengelo-laannya kepada pemegang HPH.Dengan kebijakan tersebut timbulresiko akibat ketidaktepatan informasipotensi hutan, karena pemegang HPHsebagai sektor swasta lebih menguasaiinformasi potensi hutan sebagai barangpublik daripada pemerintah. Kedua,Pemegang HPH yang diberi mandatoleh pemerintah untuk melaksanakanpengelolaan hutan berjalan tanpamelaksanakan pembelian atau membe-rikan jaminan atas nilai hutan yangmenjadi haknya. Maka pengusaha yangmelaksanakan pengusahaan hutanhampir tidak memiliki resiko. Kebijakanpengusahaan hutan selama ini jugabelum memenuhi fungsi kontraksebagai instrumen kebijakan untukmemasukan pihak free riders ke dalamsistim kontribusi pengamanan danrehabilitasi sumber daya hutan. Ketiga,Pelaksanaan kontrak diatur melaluimekanisme transaksi administratif yangmemiliki unsur perintah dan paksaan.Dengan tanpa ada mekanisme tawar-menawar, organisasi pengelola hutantidak mendapat peluang untukmengembangkan inovasi teknologidalam pelaksanaan pengelolaan hutan.mekanisme transaksi administrasiterhadap tehnik-tehnik produksi danrehabilitasi hutan menyebabkan

tingginya campur tangan pemerintahuntuk ikut serta memasuki aktivitas-aktivitas yang seharusnya menjaditanggung jawab pemegang hak.Kondisi tersebut menyebabkan posisipemerintah dalam melaksanakankontrol pemanfaatan sumber daya hutansecara substansial sangat lemah, karenatidak mempunyai informasi yanglengkap mengenai sumberdaya hutanyang dikelola. Namun, karenapemerintah memegang kendali atas izindan sahnya berbagai aktifitas yangmempunyai implikasi langsungterhadap pendapatan yang diperoleholeh pemegang hak, maka yang terjadiadalah hubungan subordinasi bahkanseperti atasan-bawahan antarapemerintah dan pemegang hak.Pemerintah menjadi ekslusif, tertutup,dan secara administratif sangat kuat,serta menjadi penentu utamaberjalannya kontrak. Birokrat atas namapemerintah biasa melakukan tekanankepada pemegang kontrak. Tetapipemerintah sebagai representasikepentingan publik menjadi sangatlemah, ketika pemegang hak melakukankompensasi tekanan pemerintah dengancara menebang kayu di hutan secaraberlebihan (over cutting), pemerintahtidak mampu berbuat apa-apa. Dalamkondisi ikatan seperti itu, pemegangkontrak tidak mendapat insentif untukmelaksanakan rehabilitasi hutan denganbaik, dan tidak melindungi hutannyadari berbagai kerusakan sepertipencurian kayu, perambahan hutan, dll.Intinya, berbagai persoalan di bidangkehutanan yang terjadi dalam era OrdeBaru disebabkan oleh; Orientasiekonomi, dimana pembangunankehutanan hanya diarahkan padapeningkatan ekonomi semata sehinggamengabaikan kepentingan ekologi.Timber Manajemen, dimana pengu-sahaan hutan dilakukan dengan hanyamengatur bagaimana memperoleh hasiltebangan kayu sebanyak-banyaknya,sehingga degradasi hutan tidak dapatditekan oleh karena beban pungutanterhadap pengusahaan hutan yangrendah, hasil dari usaha hanyaterkonsentrasi pada satu jenis saja yaituproduk kayu, serta terjadi inefisiensidalam pengusahaan hutan dan industri.Kebijakan yang Sentralistik, dimanapemerintah daerah tidak dapat berbuatbanyak dalam pengelolaan hutan didaerah karena semua kebijakanditentukan dari Pemerintah Pusat.

Page 10: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

10 intip hutan | mei - juli 2003

Pengelolaan Hutan di era ReformasiBelajar dari pengalaman pengelolaanhutan di masa orde baru, di masareformasi yang ditandai denganberlakukan otonomi daerah memberi-kan implikasi terhadap pengelolaankehutanan untuk lebih berhati-hatidalam mengelola hutan negara untukkepentingan umum dan berkelanjutan.Perubahan paradigma di bidangkehutanan di era otonomi daerah agarpengelolaan hutan dilakukan secaraoptimal dan berkesinambungan dengantetap memberikan porsi kepadapengusahaan untuk mengelola hutandengan bercermin pada pengalamanpengelolaan hutan di masa lalu.Pemerintah sebagai pengelolan hutanuntuk memperoleh manfaat yangsebesar-besarnya serta serbaguna danlestari untuk kemakmuran rakyat,merumuskan pengurusan hutan denganmelakukan kegiatan perencanaankehutanan, pengelolaan hutan,penelitian dan pengembangan,pendidikan, latihan dan penyuluhankehutanan serta pengawasan yangkesemuanya melibatkan masyarakatatau bernuansa partisipatif.

Perolehan hasil dari pengelolaansumber daya hutan juga diubah untuklebih mencerminkan aspek keadilan danpemerataan pembagian hasil. Untukpemerintah pusat pengelolaan sumberdaya hutan khususnya penerimaan dariPSDH dan IHPH adalah sebesar 20%dari total penerimaan dan untuk danareboisasi pemerintah pusat memperolehhasil 60% dari total dana reboisasi yangterkumpulkan dari daerah penghasil.Hak daerah dari penerimaan PSDHsebesar 80% adalah 16 % untukPropinsi, 23% untuk Kabupaten/KotaPenghasil dan 32% untuk Kabupaten/Kota lain dalam Propinsi. Sedangkanpenerimaan dari IHPH daerah propinsimendapat 16% dan sisanya sebanyak64% merupakan bagian kabupaten/kotapenghasil. Dan untuk penerimaan daridana reboisasi hanya diberikan kepadakabupaten/kota penghasil yaitu sebesar40%. Pembagian hasil tersebutdidasarkan pada prinsip pemerataan danprinsip keadilan. Perubahan pendekatandalam pengelolaan hutan tersebut diatasberdasarkan kegagalan pengelolaan dimasa orde baru yang pada masasekarang (era reformasi dan otonomi)pembangunan kehutanan diarahkan

kepada : Pertama, orientasi Ekonomidan Ekologi, dimana aspek ekologimendapat perhatian yang sama denganaspek ekonomi dengan harapanpengelolaan hutan tetap mendatangkanmanfaat secara ekonomi dan jugakondisi hutan tetap terjaga dan lestari.Kedua, Resources Based Manajemen,dimana pengaturan pengelolaan hutandiarahkan pada perlindungan sumberdaya alam agar tetap dapatdimanfaatkan secara terus menerus.Ketiga, Desentralisasi Kebijakan,dimana daerah memiliki kewenangandalam mengatur dan mengelola sumberdaya hutan untuk digunakan demikepentingan dan kesejahteraan didaerah. Keempat, Pemberdayaanmasyarakat, dimana masyarakatdilibatkan dalam setiap pengelolaanhutan.

Kontribusi Sektor KehutananTerhadap Penerimaan DaerahDari 14 pengusahaan pemegang konsesidalam bentuk Hak Pengusahan Hutan(HPH) dan Izin Pengambilan Kayu(IPK) yang ada di Sulawesi Tengah,memberikan kontribusi terhadappenerimaan daerah yang berasal dariProvisi Sumber Daya Hutan (PSDH),Dana Reboisasi (DR), Iuran HakPengusaha Hutan (IHPH), Pajak Bumidan Bangunan (PBB), serta BiayaPemeriksaan Hasil Hutan (BPHH).Kontribusi tersebut tercermin dalamdata laporan Asosiasi Pengusaha HutanIndonesia (APHI) dimana dari tahun1997 sampai 2001 jumlah penerimaandari 14 pengusahaan hutan yang ada diSulawesi Tengah mengalami perubah-an-perubahan yaitu, jumlah penerimaansebesar Rp. 8.468.469.151 tahun 1997naik menjadi Rp. 16.321.057.643 ditahun 1998 dan jumlah penerimaantersebut di tahun 1999 turun 11,7%menjadi Rp.14.396.909.378. Dan tahun2000 turun 43,8% atau sebesar Rp.7.152.061.859 dibanding tahun 1998.Sementara untuk tahun 2001 jumlahpenerimaan sebesar Rp.10.345.032.309. Perubahan-perubahanjumlah penerimaan tersebut disebabkanoleh beberapa hal diantaranyaperubahan paradigma pengelolaanhutan dimana terjadi perbedaanpengelolaan antara sebelum dansesudah 1999, yaitu era otonomidaerah. Disamping itu dari 14pengusahaan yang memiliki konsesi

hutan, hanya terdapat kurang lebih 7pengusaha yang betul-betulmelaksanakan kewajibannya berupapembayaran iuran atau pungutan yangdikenakan atas pengusahaan hutannegara. Artinya ada beberapapengusaha yang hanya membayarPSDH dan DR saja tanpa membayarPBB dan iuran-iuran lainnya. Ini terlihatdari data kontribusi APHI ke Pemdatahun 1997-2001.Sementara itu jumlah penerimaandaerah dari pengusahaan hutan diSulawesi Tengah yang diperoleh dariKantor Dinas Pendapatan SulawesiTengah tahun 2000 yang tertuangdalam laporan penerimaan daerahSulteng adalah jumlah penerimaan daritahun 2000 sebesar Rp.7.850.197.300,00 menurun sebesar Rp3.609.674.300,00 atau turun 45,9%sehingga pada tahun 2001 jumlahpenerimaan hanya sebesar Rp.4.240.523.000,00.Bila dilihat dari kontribusi kehutananterhadap Penerimaan Asli Daerah makapersentase penerimaan dari kehutananterhadap PAD dihitung berdasarkananalisis proporsi diperoleh gambaranbahwa pada tahun 2000 pengusahaanhutan di Sulawesi Tengah memberikankontribusi terhadap Penerimaan AsliDaerah hanya sebesar 23,8 % dan untuktahun 2001 turun menjadi 9,8%.Penurunan persentase kontribusikehutanan terhadap PAD disebabkanantara lain adanya instruksi dari MenteriKehutanan kepada Gubernur danBupati untuk tidak menerbitkan izinkonsesi hutan yang baru serta laranganperpanjangan izin konsesi yang telahada di setiap daerah. Disamping itubanyak pengusahaan hutan yang tidaklagi beroperasi di tahun 2001.Dari keseluruhan penerimaan daerahSulawesi Tengah yang berjumlahRp. 197.381.201.354,03 pada tahun2000, penerimaan dari pengelolaanhutan memberikan kontribusi sebesar3,9% dalam total penerimaan daerah,dan untuk tahun 2001 dengan jumlahto t a l p e n e r i m a a n d a e r a hRp. 206.202.443.490,00 kontribusipengelolaan hutan hanya sebesar 2%.

Page 11: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

11intip hutan | mei - juli 2003

Bagaimana konflik kehutanan sudahbanyak dibicarakan dalam edisi lalu.Konflik yang sangat beragam danterpendam sedalam sejarah panjangpengelolaan hutan telah mening-galkan warisan kepada kita beruparusaknya hutan. Seluruh Jawasetidaknya 600 ribu hektare hutanberubah menjadi tanah kosong yanghanya ditumbuhi semak belukar.

Sebuah pertanyaan bagi kita apakahkonflik kehutanan hanya memakankorban hutan semata? Jawaban ataspertanyaan tersebut tentu saja tidak.Selain degradasi sumber daya hutan,konflik kehutanan juga telah banyakmakan korban dari pihak-pihak yangbersengketa atau berkonflik. Selamarentang waktu tersebut banyak korbanjatuh (lihat Tabel Kekerasan).Menurut Hugh Miall dkk, konflikmerupakan ekspresi heterogenitaskepentingan, nilai, dan keyakinan yangmuncul sebagai formasi baru akibatperubahan sosial yang timbulbertentangan dengan hambatan yangdiwariskan. Dengan demikian, konflikpengelolaan sumber daya hutan dapatdiartikan sebagai benturan berbagainilai, kepentingan dan keyakinanbeberapa pihak dalam memandang danmemanfaatkan sumber daya hutan.Konflik bersifat alamiah sehingga akanselalu muncul dalam setiap pengelolaansumber daya hutan. Sedangkankekerasan adalah salah satu bentukekspresi konflik. Kekerasan akanmuncul ketika salah satu pihakmelanggar atau memasuki dengan

paksa wilayah hak-hak atau keutuhanpihak lain.Dengan pengertian dan fakta historismaupun sosiologis seperti itu, konflikpengelolaan sumber daya hutansetidaknya bersumber dari dua hal.Pertama, faktor-faktor heterogenitaspihak-pihak yang berkompetenterhadap sumber daya hutan dan yangkedua adalah fakta-fakta berhubungandengan kondisi sumber daya hutan.Jika di atas dikemukakan bahwa konflikbersifat alamiah, pertanyaan selanjutnyaadalah bagaimana konflik yang alamiahitu muncul ke permukaan dantereskalasi dalam berbagai bentukkekerasan. Eskalasi konflik banyakdisebabkan ketidaktepatan tindakan-tindakan penanganan yang dilakukanoleh pihak-pihak yang terlibat. Kejeliandalam menganalisis konflik pengelolaanhutan akan memunculkan penangananyang terencana dan komprehensif.Penanganan konflik yang meluas.Konflik kadang berhasil diredam dandilokalisasi. Namun, bara yangtersimpan sewaktu-waktu akan munculke permukaan dan menjadikan konfliksemakin tereskalasi menjadi bentuk-bentuk kekerasan baik secara vertikalmaupun horizontal.Berkaitan dengan hal tersebut, D. H.Camara mengemukakan sebuah teoriyang mungkin cukup relevan denganbagaimana konflik pengelolaan hutanbergerak dan tereskalasi dalam berbagaibentuk kekerasan. Menurut Camara(1971), ketidakadilan merupakanbentuk kekerasan paling mendasar(basic) yang akan mendorongmunculnya kekerasan-kekerasan dalam

bentuk lain. Ketidakadilan disebutsebagai kekerasan nomor 1—umumnyaakan ditanggapi oleh pihak yangmerasa tertekan melalui tindakan-tindakan perlawanan seperti protes danpemberontakan—disebut sebagaikekerasan nomor 2. Ketika konflikmuncul melalui bentuk-bentukperlawanan dan protes, penguasamemandang dirinya dalam posisikewajiban untuk menjaga ketertibanwalau harus dengan kekerasan. Dan,dari sinilah muncul kekerasan nomor 3,yaitu represi negara. Tindakan tersebutbukannya berhasil menghentikankekerasan, tetapi justru menimbulkanketidakadilan baru dan mendorongmunculnya perlawanan sosial yang lebihbesar. Dengan alasan yang sama lagi-lagi negara menghadapinya dengantindakan represif. Hal seperti itu terusberulang dan berulang hinggaterbentuklah sebuah spiral kekerasan.Apa yang dikemukan Camara tersebutsangat relevan untuk melihat apa yangterjadi dalam pengelolaan hutan Jawa.Jauh sebelum datangnya bangsaBelanda masyarakat desa hutanmemiliki keleluasaan dalammemanfaatkan dan mengambil hasilhutan. Akan tetapi ketika VOC mulaimelakukan eksploitasi hutan,masyarakat mulai dibatasi. Terlebihketika Pemerintah Hindia Belanda yangmenggantikan VOC menerapkanagrarische wet tahun 1870. Hubungankonfliktual yang terjadi pada masa-masa tersebut lebih banyak bersifatpenindasan, karena salah satu pihak(MDH) tidak dapat mengartikulasikankepentingannya, dan yang lebih banyak

Konflik Kehutananyang BerbuahKekerasan

Edi Suprapto—Direktur Program ARuPA

ARuPADemo Petani menuntut pengembalian tanah di Jakarta

Page 12: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

12 intip hutan | mei - juli 2003

Keterangan M = Meninggal; L=Luka; B=Bangunan dirusakSumber: Kompilasi kliping digital (1997-2002) dan laporan ARuPA 1998-2003.

Tabel Kekerasan Perhutani terhadap Masyarakat

Tabel Kekerasan Masyarakat terhadap Perhutani

Keterangan M = Meninggal; L=Luka; B=Bangunan dirusakSumber: Kompilasi kliping digital (1997-2002) dan laporan ARuPA 1998-2003.

Dampak No Tanggal KPH Jenis Kekerasan Sumber M L B 1 01-Mar-98 Banyuwangi Utara Penembakan SP 5/3/98 1 2 28-Jun-98 Randublatung Penembakan SP 24/7/98 2 1 3 27-Okt-98 Purwodadi Penembakan SP 29/10/98 5 4 18-Jul-99 Semarang Penembakan SP 1 3 5 01-Jan-00 Probolinggo Penembakan SU 30/5/01 1 6 01-Jul-00 Semarang Penembakan Bernas 01/01/00 1 7 05-Nop-00 Cepu Penembakan IO 6/11/00 1 8 01-Des-00 Cepu Penembakan ARuPA 1 9 31-Mar-01 Banyumas Barat Penembakan KP 6/4/01 1

10 18-Apr-01 Nganjuk Penembakan KP 27/4/01 1 11 18-Jun-01 Saradan/Nganjuk Penembakan RP 19/7/01 1 12 01-Nop-01 Majalengka Penembakan PR 8/11/01 1 13 18-Jan-02 Banten Perusakan KT 19/1/02 2 14 26-Jan-02 Banyumas Timur Penganiayaan KR 29/01/02 1 15 29-Apr-02 Blora Penembakan KR 1 16 14-Okt-02 Cepu Penganiayaan JP 1 17 01-Apr-03 Rembang Penembakan ARuPA 1

Jumlah 8 17 2

Dampak No Tanggal KPH Jenis Kekerasan Sumber M L B 1 01-Mar-98 Banyuwangi Utara Perusakan SP 5/3/98 1 2 15-Apr-98 Jepara Perusakan SP 17/4/98 2 3 28-Jun-98 Randublatung Perusakan SP 24/7/98 1 8 4 28-Jun-98 Randublatung Penganiayaan SP 24/7/99 1 5 24-Jul-98 Malang Perusakan SP 27/7/98 2 6 27-Okt-98 Purwodadi Perusakan SP 29/10/98 3 7 01-Feb-99 Banten Perusakan SP 17 8 25-Sep-99 Purwakarta Perusakan SP 1 9 01-Mei-00 Indramayu Perusakan KP 126/00 1

10 05-Nop-00 Cepu Perusakan ARuPA 1 11 31-Mar-01 Banyumas Barat Penganiayaan KP 6/4/01 1 12 31-Mar-01 Banyumas Barat Perusakan KP 6/4/01 3 13 17-Apr-01 Nganjuk Penyanderaan KP 27/04/01 14 17-Apr-01 Nganjuk Perusakan KP 27/04/01 1 15 18-Apr-01 Nganjuk Perusakan KP 27/04/01 3 16 18-Jun-01 Saradan/Nganjuk Penganiayaan RP 19/7/01 1 17 01-Nop-01 Majalengka Penganiayaan PR 8/11/01 1 18 29-Apr-02 Blora Perusakan KR 1 19 29-Apr-02 Blora Penganiayaan KR 1 20 01-Apr-03 Rembang Perusakan ARuPA 3

Jumlah 0 6 47

Page 13: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

13intip hutan | mei - juli 2003

Kayu berbagaiukuran diperolehdari hutan jatiPerum Perhutani

Penampungpertama menilaidan menghargaikayu, kayu yangmasuk GF dihargaisekitar 2 juta perm3

Melaporkankeberadaan

kayu kepenampung

kedua

Penampung keduamengirimkan grader untuk

mencek kualifikasi kayu,grader ini seringkali disogok

penampung pertama

penampung kedua,GF telah berharga

4 juta

Penampungmengirim uang 20

juta ke PAKAMsekali jalan

Sekali jalanbiasanya 3 truk

berisi kurang lebih15 m3 setiap truk

Mobil pribadi,bertugas

memastikan kayuselamat

PAK

AM

mengirim

orang untuk meloloskan kayu di portal

Portal, penampungyang telah'melunasi

kewajibannya'dipersilahkan terus.Pos portal terakhir

di Purwodadi,setelahnya aman

sampai denganSemarang

PembeliSemarang,

menghargai GFsekitar 16 juta

Uang 20 jutadidistribusikan

kepada PAKAM,pos portal, ajun

Tim Blandongmengantar kayu kepenampungpertama

muncul adalah perlawanan yang bersifatsembunyi-sembunyi. Kondisi ini terusberlangsung hingga kini.

Dalam masa-masa penindasan tersebut,pihak yang tertindas selalu menunggudan memanfaatkan datangnya kondisidimana terjadi pembusukan danpelemahan pihak penindas. Dan ketikapihak penindas mengalami keter-

purukan, pihak tertindas melampiaskanamarahnya dalam berbagai bentuklebih-lebih pada saat ini dijumpai adanyapemicu.

Dalam kasus-kasus konflik pengelolaanhutan yang telah tereskalasi menjadibentuk-bentuk kekerasan, terbukakesempatan bagi aparat dan pihak-pihak oportunis tersebut melihat

konflik kehutanan yang tidak segeratertangani sebagai lahan subur untukmenumpuk keuntungan sebesar-besarnya dan memperkaya diri. Karenaitulah konflik pengelolaan hutan di Jawasaat ini jauh lebih rumit karena ketigaelemen tersebut bekerja bersama-samadengan faktor eksternal lainnya.Pihak ketiga (free-riders), yangumumnya adalah pemilik modal, mulai

Modus Pelolosan Pengiriman Kayu Ilegal Setengah Jadi pada Suatu KPH

Sumber: Hery Santoso, 2001, Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan: Studi PerlawananMasyarakat Desa Hutan di Perum Perhutani

Page 14: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

14 intip hutan | mei - juli 2003

terlibat ketika konflik hutan sudahtereskalasi dalam bentuk-bentukkekerasan. Masyarakat yang sudahjenuh dengan penderitaan akan mudahtergiur pada apa yang ditwarkan olehpihak ketiga. Di dalam perkembangan-nya, keterlibatan pihak ketiga ini tidakhanya bersifat lokal, tapi sudah bersifatregional, bahkan mungkin sekaliberskala nasional. Hal ini semakin rumitkarena mereka telah memiliki jaringanyang sangat rapi dan didukung olehaparat keamanan (lihat Diagram ModusPelolosan Kayu Ilegal).

Dalam kondisi seperti ini, hukumnegara sudah tidak dapat lagidipergunakan sebagai alat untukmenghentikan kekerasan. Posisi negarasudah dalam keadaan lemah danterdesak sebagai akibat perilaku parapenyelenggara negara yang tidakbertanggung jawab. Hukum denganmudah dapat dibeli oleh pihak-pihakyang memiliki sumber daya lebih.Begitu juga dengan politik. Suararakyat dan pihak yang menghendakihutan dikelola demi kelestariannyasecara adil dan demokratis tidakmendapatkan saluran sebagaimanamestinya. Justru yang muncul adalah

tindakan-tindakan represif.Konflik kehutanan di Indonesia,khususnya Jawa, masih marak.Berbagai inisiatif penanganan yangcoba diterapkan oleh otoritaspengelolaan hutan belum jugamenunjukkan hasil yang berarti. Masihbanyak mekanisme penanganan yanglebih mendasarkan diri pada proses-proses represif berlawanan denganharapan penyele-saian konflik. Yangjustru terjadi adalah berkembangnyakonflik kehutanan dalam skala yanglebih luas, yang di sana-sini disertaiberbagai kekerasan.

Menurut saya, dalam penanganankonflik kehutanan diperlukan langkah-langkah yang benar-benar terencanadan komprehensif. Untuk itu,diperlukan beberapa langkah berikut.Pertama studi untuk mendalami tipologikonflik sebagai landasan dalammenyusun strategi penanganan konflikpengelolaan hutan. Studi sebaiknyadilakukan secara partisipatif denganmelibatkan pihak-pihak yang terkait.Kedua, masing-masing pihak segeramengambil langkah yang terbaik untukmencegah timbulnya konflik yang lebihkeras sebagai landasan dalam

membangun kepercayaan antar pihak.Ketiga, mengubah kekuatan negatifkonflik menjadi kekuatan sosial politikyang positif dengan membangunberbagai persetujuan dan kesepakatanbaik melalui cara-cara tradisional,musyawarah, lewat pendekatan legalformal, maupun dengan model-modelAlternative Dispute Resolution (ADR).Rancangan juga harus mampumembatasi kekerasan denganmendorong perubahan perilaku pihak-pihak berkonflik ke arah yang lebihpositif yang dikenal dengan manajemenkonflik. Tidak cukup dengan itu. Harusdilakukan kegiatan-kegiatan dalamkerangka resolusi konflik agarpenyebab konflik dapat diminimalisasidan hubungan baru yang tahan lamaantara pihak-pihak yang berkonflikdapat berkembang.

Pada akhirnya, suatu proses trans-formasi konflik dilakukan denganmengatasi sumber konflik yang lebihluas (secara sosial dan politik), yaknidengan mendorong terciptanya sistempenguasaan dan pengelolaan sumberdaya yang lebih adil dan demokratis.

Ngamuk, Warga Babati Hutan

BLORA- Sekelompok warga yang diduga berasal dari Desa Bapangan Kecamatan Menden, Blora, kemarinngamuk dengan membabat hutan jati yang masih berumur dua tahun di wilayah hutan BKPH Bapangan KPHRandublatung. Amuk massa itu terjadi diduga terpicu tertangkapnya seorang warga setempat saat mencuri kayudi hutan. Diperkirakan ratusan pohon jati rusak parah akibat aksi tersebut. Data di Perhutani KPH Randublatunghingga kemarin belum jelas berapa luas hutan yang rusak akibat amuk massa tersebut. Yang pasti akibat amukmassa itu upaya Perhutani setempat untuk melakukan penanaman kembali hutan bekas penjarahan terganggukarena tanaman yang baru umur dua tahun dibabat ramai-ramai. Dari sumber yang berhasil dihimpun Radarmenyebutkan, beberapa hari lalu seorang warga setempat tepergok aparat keamanan ketika sedang mengambilkayu di hutan. Warga tersebut kemudian ditangkap dan dibawa ke kantor untuk diproses. Mendengar kejadianitu sejumlah warga setempat naik pitam. Kemudian beramai-ramai pergi ke hutan lantas membabat tanaman jatiyang baru berumur dua tahun. Administratur Perhutani KPH Randublatung Ir Sudarsono MBA ketika dihubungimembenarkan kejadian tersebut. Tetapi Sudarsono belum bisa menjelaskan berapa jumlah tanaman yang rusakakibat peristiwa itu. “Memang benar kejadian itu, tetapi kami belum mendapat laporan resmi berapa jumlahpohon yang rusak dan berapa luas hutan yang dirusak,” ujar Sudarsono.Sumber: Jawa Pos, 19/06/2001 Radar Bojonegoro

Page 15: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

15intip hutan | mei - juli 2003

Konflik Antara Masyarakat Sekitar Hutan,Masyarakat Adat, dan Perusahaan Pengusahaan

Hutan(Studi Kasus di Propinsi Kalimantan Tengah)

Pola-pola pengelolaan hutanselama ini yang digunakan olehkalangan pengusaha hutan tidakmembawa dampak positif terhadapkehidupan masyarakat sekitar kawasanterutama masyarakat adat yangpergerakannya makin sempit.Perkembangan informasi dan teknologitelah membawa dampak baik dan burukbagi masyarakat sekitar hutan dalampengelolaan hutan tersebut. Masyarakatyang pranata adatnya masih kuat tetapmenganggap hutan sebagai tempatpenghidupan bagi anak cucu mereka,sedangkan masyarakat yang telahmengalami pergeseran budaya denganadanya informasi dan teknologi jugatelah mengalami pergeseran-pergeseranpandangan terhadap hutan tersebut.

Perbedaan pandangan itulahyang akhirnya akan menimbulkankonflik-konflik kecil antar masyarakatadat sendiri, masyarakat adat denganpengusaha hutan, serta masyarakat adatdengan masyarakat pendatang.Pertumbuhan penduduk jugamempengaruhi kehidupan masyarakatadat sekitar hutan yang selama inisangat mengandalkan hasil hutan nonkayu sebagai produk penyokongekonomi mereka telah rusak olehpengelolaan hutan oleh pengusahaanhutan yang telah berlangsung hampirselama 4 dasawarsa.

Pemerintah yang selama inimengeluarkan kebijakan pengelolaanhutan seakan tutup mata dan cucitangan terhadap kejadian-kejadiansemacam ini. Ada kesan setelahmengeluarkan kebijakan, mereka takbertanggungjawab terhadap akibat darikebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan sertapengelolaan hutan tanpa peran sertamasyarakat adat dan masyarakat sekitarhutan. Apabila terjadi persoalan(konflik) dan perbedaan pandangantentang tata batas dan pelanggaran adatoleh pengusaha hutan akan sulit sekalidiselesaikan karena dari awalnyamemang pengelolaan hutan selama ini

tidak melibatkan masyarakat adat danmasyarakat sekitar hutan sebagai salahsatu stake holder yang memegangperanan penting dalam hal itu.

Semakin banyak persoalandan konflik yang terjadi semakin besarpula biaya yang dikeluarkan olehpengusaha, dan inipun tidak meng-untungkan bagi masyarakat adat danmasyarakat sekitar hutan yang akansemakin resah oleh persoalan-persoalantambahan yang mereka hadapi selainpersoalan yang mereka hadapi sehari-hari.

Konflik-konflik terjadi disebabkan olehbeberapa hal seperti:

1. Masalah tata batas yang tidakjelas antar dua belah pihak.

2. Pelanggaran adat olehpengusaha hutan.

3. Ketidakadilan aparat penegakhukum dalam menyelesaikanpersoalan.

4. Hancurnya penyokongkehidupan masyarakat adat danmasyarakat sekitar hutan karenasemakin rusak dan sempitnyahutan.

5. Tak ada kontribusi positifpengelolaan hutan selama initerhadap masyarakat adat danmasyarakat sekitar hutan.

6. Perusahaan tidak melibatkanmasyarakat adat dan ataumasyarakat sekitar hutan dalampengusahaan hutan.

A. Permasalahan Tata BatasPenataan areal kerja perusahaan (HPH,IPK, HTI, Perkebunan dll) yang tidakmelibatkan masyarakat setempatmerupakan awal konflik tata batas initerjadi. Pada era orde baru pelanggarantata batas hutan oleh perusahaan HPHbelum menjadi permasalahan yangpenting untuk diselesaikan karena HPHmerasa telah mendapat ijin daripemerintah pusat serta mendapatdukungan dari aparat keamanansetempat. Selain itu masyarakat sekitar

kawasan hutan dan masyarakat adatyang relatif lebih toleran masihmemberikan toleransi pada perusahaanHPH.Pada perkembangannya semakinbanyak pelanggaran-pelanggaran yangdilakukan oleh perusahaan HPHterhadap tanah-tanah adat, hutan adat,dan pelanggaran kemanusiaan lain sertasemakin mengertinya masyarakattersebut, sehingga konflik-konflik ituterjadi walaupun bersifat sporadis.Konflik-konflik itu ada beberapa yangbisa diselesaikan secara kekeluargaandengan cara melakukan penataan arealulang dan HPH membayar denda ataspelanggaran yang dilakukan. Namunbanyak kasus tata batas yang masihmenggantung yang suatu saat akanmenjadi konflik baru yang akan lebihbesar karena terjadi fusi dari beberapakonflik-konflik kecil.Penataan areal yang benar dengan tatabatas yang jelas sangat diperlukanuntuk menghindari konflik antaramasyarakat sekitar hutan ataumasyarakat adat dengan perusahaankehutanan atau perkebunan. Hal itu takakan terpenuhi tanpa melibatkankomponen-komponen terkait dalammasalah itu. Kebijakan yang baik danadil serta penegakan hukum jugadiperlukan dalam penentuan tata batasuntuk menjamin kekuatan hukumapabila terjadi konflik kawasan hutandi kemudian hari.

B. Pelanggaran AdatAda beberapa hal pelanggaran adatyang dilakukan oleh perusahaankehutanan dan perkebunan misalnya:

1. Melakukan perusakanbangunan adat sebagai tempatperibadatan,

2. Pembabatan hutan adat,3. Melakukan eksploitasi kayu

dimana kayu tersebut olehmasyarakat adat merupakankayu keramat atau pantanguntuk ditebang.

Page 16: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

16 intip hutan | mei - juli 2003

Sebelum memperoleh ijin pengusahaankehutanan atau perkebunan, suatukewajiban pemerintah dan pengusahakehutanan melibatkan masyarakat adatdan masyarakat lainnya yang hidupdalam maupun di sekitar areal konsesi.Kerarifan budaya dan adat masyarakattersebut bisa dilihat dari pola-polamereka dalam masalah kepemilikanlahan dan pemanfaatan lahan. Salah satubudaya Dayak terkenal mereka adalahAyungku yaitu kepemilikan lahan danbatas wilayah desa atau adat yangdilakukan secara turun temurun, baikuntuk berladang, tempat tinggalmaupun untuk kebutuhan lain yangkesemuanya diatur dengan hukum adat.Setiap perubahan kepemilikan lahandiatur oleh hukum adat dan sebagaifasilitator adalah kepala adat.Musyawarah tersebut digunakan untukmenentukan apakah tanah adat ataubatas wilayah adat perlu dirubah. Jikaada pendatang dari luar masyarakatadat baik perusahaan maupunmasyarakat lain harus dimusya-warahkan ulang. Berbagai konflik telahmenjadi saksi bahwa selama iniperusahaan kehutanan telah banyakmelakukan kesalahan denganmelanggar budaya Ayungku tersebut.

Kasus lain seperti yang terjadi awal Juli2002, masyarakat adat empat desa diKecamatan Gunung Purei dan Bataramenuntut HPH PT Indexim yang telahmembabat hutan adat mereka sehinggamasyarakat adat itu berang. Merekamenuntut “ganti rugi” pada HPHtersebut yang telah melanggar tataadat yang ada di masyarakat itu.

Berbagai kasus diselesaikanbaik secara damai dan secara hukumnamun masih banyak kasus-kasuspelanggaran adat ini berlangsung.Mencuatnya konflik-konflik tentangpelanggaran adat ini tak hanya di bidangkehutanan namun juga di perkebunan.Secara umum penyebab kasus inikarena pembebasan kawasan hutanuntuk perkebunan, penyerobotan tanahadat dan pelanggaran larangan-laranganlain yang dilakukan oleh perusahaanperkebunan terhadap hukum adat.

Dari beberapa kasus diketahuialasan-alasan yang dikemukakan takjauh berbeda yaitu meningkatkan PAD,otonomi dan ekonomi. Beberapakalangan pemerhati hutan mengatakan“bahwa seharusnya kelestarian hutandalam pengusahaan hutan masukdalam biaya tetap sehingga keutuhanhutan tetap terjaga serta kesejahteraan

masyarakat sekitar hutan juga menjaditanggung jawab perusahaan sehinggatak perlu lagi pelanggaran adattersebut mencuat”.

C. Ketidakadilan Aparat PenegakHukum

Lemahnya penegakan hukumdalam penyelesaian berbagaipermasalahan yang terjadi antaramasyarakat sekitar hutan danperusahaan akan mengakibatkankonflik-konflik baru terjadi. Hal inisering dijadikan pihak ketiga seperticukong-cukong kayu untuk meman-faatkan konflik tersebut demikepentingannya. Maraknya penebanganliar merupakan wujud ketidak-harmonisan pemerintah/aparatkeamanan, perusahaan dan masyarakatsekitar hutan.

Kasus-kasus seperti itu padaakhirnya akan membawa masyarakatsekitar hutan pada posisi yang tidakdiuntungkan sebagai kambing hitamdalam kasus-kasus penebangan liar.Oknum-oknum masyarakat sekitarhutan yang kerjasama dengan cukongadalah salah satu alasan aparatkeamanan/pemerintah untuk meng-hantam masyarakat sekitar hutan. Jika

Salah satu contoh kasus adalah protesnya 10 warga desa di Kecamatan Seruyan Hulu, KabupatenSeruyan, mereka menolak dengan tegas kehadiran HPHKm (Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatandan Komashut (Koperasi Masyarakat Sekitar Hutan). Setelah ditelusuri pemilik salah satu saham

HPHKm tersebut adalah koperasinya Pemkab Kotawaringin Timur yaitu Koperasi Beringin yang memilikiareal hutan produksi sekitar 5000 ha lebih, sedangkan lainnya HPHKm dan Komashut Batuah Mumpungyang ketiganya bekerjasama dengan PT Tanjung Menthobi di Pangkalan Bun.

Pada saat yang sama masyarakat juga melakukan protes pertama kenapa HPHKm tersebut takmenghargai keberadaan masyarakat 10 desa di kecamatan tersebut, protes kedua selama ini HPHKm danKomashut tersebut tak memberikan kontribusi apapun terhadap masyarakat sekitar kawasan areal produksiitu, dan protes ketiga peta areal yang diberikan Pemkab Kotawaringin Timur untuk digarap, tidak memilikiaturan atau batas yang jelas terutama areal HPHKm dengan hutan potensi desa atau kebun masyarakat.Keberadaan HPHKm dan Komashut tersebut tak memberikan ruang hidup bagi masyarakat setempat.Kasus yang sama terjadi di Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas. Masyarakat sekitar hutan di TumbangMurui, Danau Rawah, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas merasa dirugikan karena perusahaan IPKInti Karya Sejati telah melakukan eksploitasi kayu di kebun masyarakat sekitar kawasan. Protes yangdilakukan hampir sama dengan kasus di Kabupaten Seruyan. PT Inti Karya Sejati telah memperoleh IPKdari dinas kabupaten setempat namun da lam peta areal tak memiliki batas yang jelas dengan kebunmasyarakat sekitar hutan sehingga pada saat terjadi pelanggaran tata batas sampai ratusan hektar mereka takmengetahuinya. Kedua kasus tersebut di atas sampai sekarang juga tak jelas penyelesaiannya.

Sumber: Laporan Investigasi, FWI Simpul Bogor, November 2002.

Page 17: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

17intip hutan | mei - juli 2003

permasalahan seperti itu takdiselesaikan dengan rasa adil di keduabelah pihak pada akhirnya akan terjadipengulangan konflik-konflik itu.Adanya persepsi yang keliru tentangpola penyelesaian konflik oleh aparatpenegak hukum dan masyarakatsetempat, sulitnya proses pembuktianyang disebabkan kompleksitas faktorpenyebab konflik itu, lemahnyaprofesionalitas aparat penegak hukumserta mahalnya biaya yang harusditanggung oleh masyarakat untukmenyelesaikan konflik itu jika tak bisadiselesaikan dengan musyawarah sajadan yang paling lazim adalah rumitnyabirokrasi peradilan untuk kasus-kasuskonflik yang berawal pada per-masalahan lingkungan. Hal-hal itu akanmenyebabkan konflik berlangsungsangat lama atau bahkan tak akanselesai.Salah satu alternatif pemecahanmasalah yaitu mempertemukan tigastakeholders yaitu pemerintah daerah,masyarakat sekitar hutan, danperusahaan untuk menelusuri kembalisumber-sumber konflik tersebut. Ketigastakeholders harus pada posisiseimbang sebagai tiga komponen yangsaling menguntungkan. Apabilakeharmonisan antar ketiga komponendan keadilan tetap terjaga, makakonflik-konflik baru tak akan terjadi.

Pertemuan itu sangat perlu dilakukanuntuk membuat kesepakatan sebelumterjadi konflik baru atau telah terjadikonflik, negosiasi, konsultasi,konsiliasi, dan membicarakan ganti rugibagi pihak yang jadi korban antar tigastakeholder tersebut.Apabila masalah itu tak bisa jugadiselesaikan dengan hukum di luarruangan lebih baik menggunakanhukum lingkungan yang telah diaturoleh UU Pengelolaan Lingkungan no23 tahun 1997.

D. Hancurnya PenyokongKehidupan Mayarakat Adat danMasyarakat Sekitar Hutan.

Eksploitasi hutan oleh HPHyang telah berlangsung kurang lebih 35tahun, telah mendorong hancur danrusaknya hutan sebagai tempat hidupdan kehidupan bagi masyarakat sekitarhutan dan masyarakat adat.

Tak hanya hutan yang rusak,sungai juga ikut tercemar denganadanya limbah-limbah industriplywood,dan industri-industri kayulainnya yang memang mengunakanbahan-bahan beracun sebagai bahanaditifnya.

Hukum lingkungan keperdataan secarakhusus telah diatur dalam perlindungan

hukum bagi masyarakat sekitar konsesiyang menjadi korban kerusakan danatau pencemaran lingkungan akibatperbuatan perusahaan yangmenimbulkan kerugian bagi korbantersebut. Upaya hukum yang dapatditempuh berdasarkan pasal 34 UUPLHyang memungkinkan gugatanlingkungan untuk memperoleh gantirugi dan atau biaya pemulihanlingkungan.

Kelemahan dalam prosespenyelesaian ini biasanya pihak korbanmenjadi pihak yang kalah karenarumitnya birokasi di lapangan danproses pembuktian yang harusdilakukan berbelit-belit.

E. Perusahaan dan PemerintahTak Melibatkan MasyarakatSekitar Hutan dan atauMasyarakat Adat dalamPengelolaan Hutan.

Ada beberapa hal peran sertamasyarakat sekitar hutan sangatdiperlukan dalam pengelolaan danpengusahaan hutan. Peran dalam tahapperencanaan pengelolaan hutan danpemanfaatan kawasan hutan. Tahapperencanaan pengelolaan diperlukanpada saat HPH/perusahaan itu akanberdiri sampai dengan berproduksi.

Pembabatan hutan adat di Kalimantan Tengah terus berlangsung seperti terjadi di kawasan hutanTamanggung Dahiang di Desa Tumbang Dahui, Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan padabulan awal Nopember 2002. Kejadian ini sebenarnya telah diketahui oleh seorang tokoh desa bernama

Salin R. Ahad yang kemudian permasalahan ini dilaporkan ke Polda, Kejaksaan Tinggi, dan DPRD PropinsiKalteng yang dianggap menginjak-injak harga diri masyarakat adat dan hukum-hukum adat setempat.Kemudian tokoh desa itu juga mengungkapkan keterlibatan oknum-oknum BPD (Badan Perwakilan Desa)yang ikut membekingi dan melakukan pembabatan hutan adat tersebut. Kejadian yang hampir sama terjadi padapertengahan bulan Juni 2002 189 warga desa di wilayah Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utaramenuntut HPH PT. Indexim dan PT. Sindo Lumber telah melakukan pembabatan hutan di kawasan GunungLumut. Kawasan hutan lindung Gunung Lumut di desa Muara Mea itu oleh masyarakat setempat dijadikankawasan ritual sekaligus sebagai hutan adat bagi masyarakat dayak setempat yang mayoritas pemelukKaharingan. Sebelum kejadian ini telah diadakan pertemuan antara masyarakat adat dan HPH-HPH tersebutnamun setelah sekian lama ternyata isi kesepakatan tersebut telah diubah oleh HPH-HPH itu dan ini terbuktibahwa perwakilan-perwakilan masyarakat adat dengan tegas menolak dan tidak mengakui isi dari kesepakatanitu.

Sumber: Kalimantan Pos,2002.

Page 18: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

18 intip hutan | mei - juli 2003

Bentuk-bentuk peran serta masyarakatdalam tahap perencanaan pengelolaanyaitu:

1. Pemberian informasi, saran,pertimbangan, atau pendapatdalam penyusunan RKPHuntuk HPH atau ijin industriuntuk perusahaan selainHPH, sehingga dapatmemperjelas hak antarkeduanya.

2. Pengidentifikasian berbagaipotensi dan permasalahanyang akan terjadi apabilaperusahaan berdiri di wilayahitu.

3. Pengajuan keberatan terhadaprencana perusahaan dan ijinindustri bila hal itu telahmelanggar hukum adat danistiadat yang berlaku padamasyarakat setempat.

4. Merumuskan pola pengelola-an kawasan hutan yang akandipakai.

Sedangkan bentuk-bentuk peran sertamasyarakat setempat dalam peman-faatan hutan yaitu:

1. Pengawasan terhadapperusahaan berdasarkanperaturan perundang-

Nelayan-nelayan ikan di sepanjang Sungai Sebangau, Kecamatan Pahandut, Kodya Palangkarayamengeluhkan sikap para penebang liar yang telah membabat habis hutan rawa di sempadanSungai Sebangau yang oleh masyarakat setempat merupakan tempat berkembang biaknya jenis

ikan-ikan tertentu sehingga mengurangi tangkapan harian mereka. Kasus seperti ini telah menimbulkanpergesekan-pergesekan antar masyarakat penebang liar dan nelayan-nelayan setempat yang akanberkembang menjadi konflik baru.Berdasarkan pengakuan nelayan setempat sebagai masyarakat asli Dayak sangat tersinggung denganulah para penebang liar ini. Penebang-penebang liar itu tak menghargai masyarakat adat setempatdengan membabat hutan seenaknya. Masalah lainnya adalah penebang liar itu telah merenggut matapencaharian masyarakat setempat dengan berkurangnya tangkapan ikan mereka.

Sumber: Laporan Investigasi FWI Simpul Bogor, 2002.

undangan yang berlaku, adatatau kebiasaan yang berlaku.

2. Kegiatan menjaga, memeli-hara, dan meningkatkankelestarian fungsi hutansebagai fungsi ekologis, sosialdan ekonomis.

3. Melakukan perubahan danintervensi apabila perusahaantelah melanggar peraturan-peraturan atau adat yang telahdisepakati bersama.

4. Mendapatkan hak ataspembayaran provisi atausaham karena kawasan hutanmereka yang dieksploitasi.

FWI

eks Hutan di Riau

FWI

Page 19: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

19intip hutan | mei - juli 2003

Dusun Alaaha, sebuah perkampungan masyarakat adatyang terletak di sekitar kawasan dataran pegunungantinggi Sulawesi Tenggara. Secara geografis, Dusun

Alaaha terletak antara titik kordinat 03034’-03041’ LintangSelatan dan 121030’-121034’ Bujur Timur dengan ketinggianfluktuatif antara 147 hingga 800 meter dari permukaan laut.Secara administratif, Dusun Alaaha masuk dalam wilayahKabupaten Kolaka. Dusun Alaaha adalah satu dari empatdusun lain dalam Kecamatan Ulu Iwoi. Tiga dusun tetanggaitu adalah Dusun Wandaeha, Dusun Uweesi, dan DusunAndomau, dengan batas administratif bagian utaraPegunungan Tangkelemboke dengan ketinggian 1782 meterdari permukaan laut. Bagian timur berbatasan PegununganAbuki dengan ketinggian 1003 meter dari permukaan laut;bagian barat berbatasan Pegunungan Mekongga denganketinggian 2790 meter dari permukaan laut dan di bagianselatan berbatasan Pegunungan Tamosi dengan ketinggian2000 meter dari permukaan laut.Letak perkampungan Alaaha sangat strategis dikelilingiempat pegunungan tinggi dan menjadi daerah aliran SungaiKonaweha. Di empat kawasan pegunungan dalam kawasanitu terdapat berbagai jenis spesies endemik langka dandilindungi. Kawasan ini juga jadi habitat keanekaragamanhayati, baik yang hidup di daerah pegunungan maupun diSungai Konaweha.Beberapa jenis yang bernilai konservasi tinggi, diantaranyaAnoa Sulawesi (Bubalus sp), Elang Sulawesi (Spizaetuslanceolatus), Rangkong (Acerox cassidix), Musang Sulawesi(Macrogalidia musschenbroeki), Monyet Sulawesi (Macacaochreata), Burung Kacamata Sulawesi (Zosteropsconsobrinorum), Burung Maleo (Macrocephalon maleo)dan keanekaragaman jenis lainnya.Kawasan ini merupakan daerah resapan air Sungai Konawehadan sangat penting dijaga kelestarian dan kelangsungannyakarena Sungai Konaweha merupakan satu-satunya sumberutama pasokan air Perusaahan Air Minum Kendari yangdikomsumsi ratusan ribu jiwa masyarakat Kota Kendari.Aliran Sungai Konaweha merupakan sumber pengairanutama persawahan masyarakat di puluhan desa, baik diKabupaten Kolaka maupun di Kabupaten Kendari. SungaiKonaweha juga jadi sumber air Rawa Aopa di TamanNasional Rawa Aopa Watumohai yang menjadi tempat hidupkeanekaragaman hayati.Karakteristik masyarakat yang bermukim di buffer zonepegunungan tinggi Sulawesi Tenggara ini memiliki ciri-ciriunik dan sangat beragam. Ketergantungan masyarakatdengan alam masih terlihat dalam berbagai rangkaiankegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.Ke Dusun Alaaha, Anda harus menggunakan transportasidarat dari Kota Kendari ke wilayah administratif Unaaha,

MenjagaHutan,Menjaga Madu

Kabupaten Kendari dalam waktu tempuh satu sampai duajam. Dari Pelabuhan Grandis, Unaaha menggunakan perahubermesin 40 PK yang singgah dua kali sepekan. Berperahuke Dusun Alaaha menggunakan waktu tempuh tujuh sampaidelapan jam perjalanan.Jalur lain melalui Kabupaten Kolaka, dan dengan transportasidarat selama tujuh sampai sembilan jam. Kendaraan umumyang melayani masyarakat di Dusun Alaaha hanya beroperasidua pekan sekali, dengan kondisi jalan yang buruk padamusim hujan.Kawasan hutan di buffer zone pengunungan tinggi SulawesiTenggara ini juga menjadi sumber terbesar hasil hutan nonkayu, yaitu madu alam. Setiap tahunnya terdapat ribuansarang lebah yang menghasilkan madu alam dalam jumlahpuluhan ton. Masyarakat mengolah madu dua kali -Marethingga Juni dan November hingga Januari- setiap tahunnya,dari sarang-sarang lebah yang ada.Masyarakat Alaaha secara tradisional mengklasifikasikanpengolahan madu alam menurut musim. Pada musimpengolahan pertama, antara Maret sampai Juni, masyarakatdapat memperoleh madu kurang lebih dua sampai tiga ton,dengan jenis madu yang lebih encer. Sedang pada musimpengolahan kedua, antara November sampai Januari,masyarakat dapat mengolah madu kurang lebih tujuh sampaidelapan ton, dengan jenis madu yang lebih kental.Kapital madu yang dihasilkan itu hanya dari Dusun Alaahasaja, dan belum termasuk dari dusun-dusun lain di KecamatanUlu Iwoi. Produksi madu di seluruh Kecamatan Ulu Iwoitiap musim madu pertama mencapai 10 sampai 12 ton, sedangpada musim madu kedua mencapai 25 sampai 30 ton.

Vegetasi Hutan Sulawesi

FWI

Page 20: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

20 intip hutan | mei - juli 2003

Ungkapan di atas merupakangambaran ketergantungan masyarakatDusun Penanggotu terhadap TamanNasional Rawa Aopa Watumohai. Kini,di wilayah taman nasional itu sedangmarak perambahan hutan yangnotabene di dalamnya mengalir sungaiyang merupakan satu-satunya sumberair warga Dusun Penanggotu.

Dusun Penanggotu adalahsatu dari empat dusun yang berada diDesa Penanggosi, Kecamatan Ladongi.Dusun ini berpenduduk kurang lebih125 Kepala Keluarga dengan matapencaharian dominan sebagai petanicoklat. Secara keseluruhan masyarakatDusun Penanggotu beretnis Bugis yangmendiami daerah itu sejak 15 tahunsilam.

Kakao adalah satu-satunyahasil perkebunan yang diwariskansecara turun temurun pada anak-anakmereka. Keuletan mengelola arealperkebunan patut dibanggakan, karenadari penjualan hasil perkebunanmasyarakat di sana dapat membiayai

anak-anak mereka untuk bertahanhidup, menimba pendidikan di bangkusekolah sampai perguruan tinggi,bahkan ada sejumlah penduduk yangmampu membiayai diri menunaikanibadah haji.

Lokasi perkebunan coklatmereka berdampingan dengan kawasanTaman Nasional Rawa AopaWatumohai. Penduduk sudah mengeta-hui hal ini sejak mereka mulai mendiamikampung dan mengolah lahan-lahanmereka, dengan adanya tugu batas yangmemisahkan kebun dan kawasan tamannasional.

Hingga saat ini hanya tinggalsatu tugu batas saja akibat ulah paraperambah hutan yang tak bertanggungjawab. Penduduk dusun setempat telahberusaha mati-matian mempertahankantugu-tugu batas tersebut.

Kawasan taman nasional yangberbatasan dengan kebun-kebunmasyarakat Dusun Penanggotu kianhari semakin terancam. Hingga saat inimasih terjadi pengkaplingan tanah serta

pembukaan lahan perkebunan baru.Parahnya, satu-satunya sumber airbersih untuk kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat berada dalam kawasanitu.

Di satu sisi para pengelolalahan perkebunan (perambah hutan)merasa benar, karena tanah-tanah itumereka beli dari pemilik terdahulu dandisisi lain penduduk dusun Penanggotumempertahankan lahan untuk tak diolah karena di lahan itu terdapat satu-satunya sumber air bersih untukkebutuhan hidup mereka.

Makanya, kegiatan pembu-kaan lahan sering digagalkan olehpenduduk Dusun Penanggotu, danbahkan sering nyaris terjadi bentrokanfisik antar sesama pendatang. Dua kubuyang sering bertikai dalam kawasan ituyaitu pihak pengelola lahan dan pihakyang mempertahankan lahan. Konflikpertama terjadi pada 17 Februari 2001.

Investigator Yascita danwartawan Radio Swara Alam dalamlaporannya menulis adanya pembakarandi daerah sekitar kawasan sumber airbersih penduduk. Penduduk DusunPenanggotu secara bergotong royongberusaha menghentikan aksi itu.

Masyarakat Dusun Penang-gotu makin tertekan karena sumber airbersih mereka makin berkurang. Hal inidiutarakan seorang penduduk yangmenggantungkan hidupnya padakegiatan perkebunan coklatnya.Keluhan lain juga dipaparkan tentangsangat tergantungnya hidup masyarakatpada satu-satunya sumber mata airdalam kawasan Taman Nasional Rawa

Sisi Lain TN Rawa AopaWatumohai

Kalau masalah perambahan di sekitar sungai (dalam kawasan TamanNasional Rawa Aopa Watumohai) ini masih terus berlanjut dan tidak adatindakan dari pemerintah, maka kami warga Dusun Penanggotu akankehausan dan dengan sangat terpaksa kami harus meninggalkan daerahtersebut. (Haji Anas).

YASCITA

Page 21: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

21intip hutan | mei - juli 2003

Aopa Watumohai untuk dikonsumsisehari-hari yang makin terancamkelestariannya.

Kepala Dusun Penanggotumengatakan, telah ada kesepakatanyang ditandatangani kedua belah pihak,dan yang ikut bertandatangan dalamkesepakatan itu adalah Wakil KetuaDPRD Kabupaten Kolaka, CamatLadongi dan Kepala Dinas KehutananKolaka. Perjanjian itu berisikesepakatan untuk tak mengolah lahansepanjang seratus meter sebelah kiri danseratus meter sebelah kanan padasumber air itu.

Akan tetapi fakta di lapanganmembuktikan masih adanya pengolahan

lahan secara diam-diam. Karenapelanggaran ini, masyarakat DusunPenanggotu sudah tak mempercayailagi surat kesepakatan itu. Namunmasyarakat akan tetap melindungikawasan itu dari perambah, walaupunmereka terpaksa harus berbentrok fisik.

Patut kita hargai usaha-usahayang telah dilakukan masyarakat DusunPenanggotu mempertahankan sumberair bersih mereka. Masyarakat DusunPenanggotu sangat memerlukanbantuan, sebab makin hari seluruhmasyarakat Desa Penanggosi akanterancam kehausan dan mau tidak maumereka harus meninggalkan kampungmereka karena kehilangan sumber airbersih.

Di sisi lain, Desa Penanggosidengan komoditi coklatnya merupakansalah satu sumber Pendapatan AsliDaerah bagi Kabupaten Kolaka, selainitu masyarakat Dusun Penanggotu atauDesa Penanggosi secara tak langsungikut memelihara aset Taman NasionalRawa Aopa Watumohai.

Selayaknya PemerintahKabupaten Kolaka, PemerintahProvinsi Sulawesi Tenggara, instansiterkait, lembaga swadaya masyarakatdan seluruh masyarakat ikutmemikirkan dan mencari jalan keluarmengatasi masalah air bersih untukmasyarakat Dusun Penanggotu.

—Desa Penanggosi, Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka, adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasanTNRAW. Masyarakat di sana memanfaatkan air bersih dari kawasan taman nasional—Berikut penuturan masyarakat mengenai kondisi TNRAW.

BNPenduduk Desa PenanggosiAnda tahu sejak kapan perambahan dimulai?Saya datang disini tahun 1996, dan itu sudah mulai ada dan untuk memulainya sudah lama tapi nanti tahun berapa itu baru marak.Dulunya itu secara liar, sembunyi-sembunyi, setelah saya tidak tahu pasti tahun berapa sudah mulai marak itu, dan air itu begitudibabat secara menyeluruh sudah mulai berkurang. Saya kira, kami masyarakat disini yang mengambil air bersih dari situ sudah mulaiterasa juga dan ini sangat penting. Bagaimana kira-kira? Masyarakat kita di desa ini sekitar 1500 kepala keluarga yang memerlukanatau mengambil air bersih dari situ.Orang-orang yang melakukan perambahan itu, Anda juga tahu?Perambah itu bukan orang sini, tapi orang dari luar. Ini susah karena itu sudah ada persetujuan dulu antara pihak perambah denganmasyarakat di sini bahkan ada kepala dinas kehutanan kabupaten Kolaka, juga ada wakil dari kita juga sepakat bahwa 100 metersebelah-menyebelah dalam aliran sungai. Itu tidak bisa diganggu.Apakah ada yang membeking kegiatan perambahan di taman nasional?Untuk mengatakan pasti saya tidak bisa menyatakan pasti ada, tapi kalau kita lihat ya kayak begitu. Mengapa saya katakan? Kitamelapor sampai ke DPRD kemana? Tidak ada juga tanggapan baik, pas di lapangan masih begitu-begitu juga. Penduduk desaPenanggosi, dusun Mendoke, semua mengambil air dari kawasan taman nasional.Apakah ada alternatif lain untuk pemenuhan air bersih?Susah sekali, untuk sumur. Kita pernah menggali sumur tapi tidak ada airnya. Sama nanti ada airnya kalau hujan. Itu yang pertama.Yang kedua, susah sekali, karena tanah disini gembur jadi longsor terus. Bagaimana kalau kita di bawah? Tertimbun, kemudianseandainya kita gali ada air mungkin tidak begitu sulit. ***

YASCITA

Page 22: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

22 intip hutan | mei - juli 2003

Bagaimana tidak? bayangkan sajahutan di Indonesia yang saat ini tinggalsekitar 98 juta hektar ( PKHI, FWI/GFW, 2002) digunakan sekitar 11,4 jutahektar untuk kepentingan pembukaanwilayah pertambangan. Bukan hanyaitu, pemerintah dengan rela hanyamendapatkan royalti 1-4% daripendapatan yang diperoleh dari sebuahindustri penambangan dan sisanyamereka bawa ke negara asal investor.Sebenarnya hal itu tidak perlu terjadijika pemerintah benar-benar punyaposisi kuat dalam ‘bernegosiasi’ denganpara investor pertambangan yangdatang ke Indonesia untuk memberikanmodal. Dan sudah seharusnya memangpemerintah memiliki kecerdasan dalammeramu kerjasama dengan investorsupaya perekonomian Indonesia dapatmembaik dengan tidak merusakekosistem yang ada.

Jika dihitung-hitung, sebenarnya nilaidari pendapatan yang diperoleh dariindustri pertambangan memang besardibandingkan dengan industri sektorlain namun nilai tersebut sebenarnyatidak sebanding dengan dampak negatifyang ditimbulkan, seperti kerusakanhutan sebagai sumber kehidupan baikbagi masyarakat di sekitar hutan,perkotaan maupun di sekitar pesisir danlaut, kerusakan keaneragaman hayatiyang dimiliki Indonesia baik di daratanmaupun di lautan, kerusakan budayaluhur dan kearifan tradisional yangdimiliki masyarakat adat, polusiterhadap sungai, tanah dan udara yangdikarenakan pengelolaan terhadappembuangan limbah dari industri

pertambangan yang sembarangan,sehingga masyarakat sekitar industripertambangan banyak yang tercemarioleh polusi tersebut dan mempengaruhikesehatan mereka. Belum lagi munculkonflik antar masyarakat dan konflikdengan perusahaan pertambangan itusendiri. Hal-hal semacam itu yangseringkali diabaikan oleh para pelakupertambangan. Jika dipertanyakankembali berapa nilai dari kekayaanmineral Indonesia yang bisa dirasakanlangsung oleh masyarakat? Secaraekonomis tidak signifikan dan tidaksebanding dengan dampak negatif yangdihasilkan oleh industri pertambanganberskala besar maupun kecil. Memangtidak menutup kemungkinan bahwaperusahaan pertambangan skala keciljuga berkontribusi terhadap kerusakansumberdaya alam Indonesia tapi denganmodal dan teknologi yang merekamiliki, justru perusahaan pertambanganberskala besar yang sangatberkontribusi terhadap kerusakansumberdaya alam Indonesia yang lebihbesar.

Masih ada lagi permasalahan yangsering muncul dari kegiatanpertambangan, yaitu ketika masakonsesinya berakhir, banyak lahanbekas galian yang ditinggalkan begitusaja atau direklamasi secarasembarangan sehingga terlihat sekalitidak ada usaha bahkan niat baik dariperusahaan pertambangan untukmenjaga daratan atau perairan di arealkonsesi-nya. Dari pihak pemerintahsendiri tidak ada tindakan secara tegas

untuk menghadapi perilaku pelakupertambangan tersebut. Sekali lagi,pemerintah dalam hal ini kurang cerdasuntuk meramu kesepakatan denganpara pelaku pertambangan. Mengapa?Karena ternyata Undang-Undang no.11 tahun 1967 mengenai KetentuanPokok Pertambangan, dan dokumenKontrak Karya yang memuatkesepakatan-kesepakatan antarapemerintah dengan perusahaanpertambangan asing, serta dokumenKuasa Pertambangan yang memuatkesepakatan-kesepatan antara peme-rintah dengan perusahaan pertam-bangan dalam negeri, ketiga dokumentersebut tidak mencantumkan secarategas bahwa perusahaan pertambanganwajib melakukan reklamasi lahan bekasgalian.

Kondisi tersebut semakin parah denganadanya kebijakan pemerintah yang tidakkonsisten dan tidak saling koordinasidalam menetapkan suatu keputusan.Sehingga di lapangan sering terjaditumpang tindih penggunaan lahan,seperti pemberian ijin terhadap 22perusahaan pertambangan di kawasanlindung dan ada 124 perusahaanpertambangan akan diperbolehkanberoperasi di kawasan hutan.Departemen Energi dan SumberdayaMineral (ESDM) sudah 4 kalimemberikan usulan mengenai daftarperusahaan yang masuk dalam kate-gori tumpang tindih antara kawasanlindung dengan konsesi pertambangan.Usulan tersebut dimaksudkan untukbahasan dalam tim kerja gabungan DPRdengan Departemen terkait untukmemberikan ijin kepada perusahaanpertambangan tersebut. Adapun ke-4usulan tersebut adalah sebagai berikut;usulan pertama dikeluarkan padatanggal 7 Maret 2003 ada sebanyak 22perusahaan pertambangan1, usulankedua dikeluarkan tanggal 17 Juni 2003ada sebanyak 15 perusahaan2, usulanketiga dikeluarkan pada tanggal 23 Juni2003 yang kembali lagi dengan jumlahsebanyak 22 perusahaan3 tetapi dengannama perusahaan yang berbeda denganjumlah 22 perusahaan pada usulanpertama, dan usulan keempatdikeluarkan pada tanggal 24 Juni 2003ada sebanyak 13 perusahaan4. Ke-13perusahaan tersebut adalah PT GagNickel (Papua), PT Weda Bay Nickel(Maluku Utara), PT Pelsart TambangKencana- eks PT Sumber Mas (Kalsel),

MENAMBANGDI KAWASAN LINDUNGUntuk meramaikan ‘tahun investasi’ dalam rangka usahamemperbaiki perekonomian di Indonesia, pemerintah relamenjual seluruh kekayaan alam Indonesia dan mengorbankansebagian besar rakyat Indonesia.

Page 23: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

23intip hutan | mei - juli 2003

No. Nama Perusahaan Pertambangan

Bahan Mineral

Tahap Kegiatan

Nama Kawasan Lindung

yang tumpang

tindih

Total Luas kawasan Lindung

yang tumpang

tindih (ha)

Jumlah Investasi s/d 2001

(juta USD)

1 Freeport Indonesia Company A + B

Tembaga, Emas dan Perak

Produksi TN Lorentz dan Hutan Lindung di prop.Papua

120,340 5,108.5

2 Newmont Nusa Tenggara Emas Produksi Calon TN Tatar Sepang dan Hutan Lindung di Mataram- NTB

12,880 2,750.6

3 International Nikel Indonesia (INCO)

Nikel Produksi kaw. Konservasi (tidak ada data) dan Hutan Lindung di Palopo-Sulsel

106,270 2,277.9

4 Arutmin Indonesia Batu Bara Produksi Hutan Lindung di Kotabaru-Kalsel

Tidak ada data 1,066.3

5 Kelian Equatorial Mining (KEM)

Emas dan Perak

Produksi Tidak ada data.di Kutai-Kaltim

Tidak ada data 332.0

6 Newmont Minahasa Raya (NMR)

Emas Produksi Hutan Lindung di Manado, Minahasa-Sulut

170 263.9

7 Indominco Mandiri Batu Bara Produksi kaw. Konservasi (tidak ada data) dan Hutan Lindung di Kutai, Bontang Kaltim

3,440 85.7

8 Karimun Granite Granite Agregate

Produksi Hutan Lindung di Karimun-Riau

420 66.4

9 Barisan Tropical Mining Emas dan Perak

Produksi Tidak tumpang tindih

0 42.0

10 Gag Nickel Nikel Eksplorasi Hutan Lindung P. Gag, Sorong-Papua

6,060 40.0

11 Nabire Bakti Mining Emas Suspend kaw. Konservasi (tidak ada data) dan Hutan Lindung di Panai, Fak-fak-Papua

166,670 35.7

12 Nusa Halmahera Minerals Emas Eksplorasi kaw. Konservasi (tidak ada data) dan Hutan Lindung di P. Halmahera-Maluku

91,670 28.8

13 Meares Soputan Mining Emas Konstruksi Tidak ada data Tidak ada data 27.9 14 Natarang Mining Emas Eksplorasi kaw. 28,270 18,9

Daftar Perusahaan Pertambangan yang terkait dengan tumpang tindih dengan kawasanlindung

Page 24: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

24 intip hutan | mei - juli 2003

PT Freeport Indonesia Company(Papua), PT Karimun Granite (Riau),PT Natarang Mining (Lampung), PTIndominco Mandiri (Kaltim), PT INCO(Sultra, Sulteng dan Sulsel), PT AnekaTambang (Bahubulu-Sultra), dan PTAneka Tambang (Buli-Maluku Utara),PT Sorik Mas Mining (Sumut) serta PTInterex Sacra Raya (Kaltim, Kalsel).

Departemen Kehutanan pada tanggal3 April 2003 telah mengeluarkan ijinuntuk 6 perusahaan pertambangan (dari22 perusahaan yang diusulkanDepartemen ESDM pada tanggal 7Maret 2003) dan satu perusahaan tidakdiberikan ijinnya, yaitu PT Citra PaluMineral (PT CPM)-Sulteng1. Darienam perusahaan pertambangantersebut ada tiga perusahaan yanglokasi usahanya di kawasan hutan yangmerupakan kawasan lindung. Keenamperusahaan tersebut adalah PT Jorong

Barutama Greston-Kalsel, PT BarisanTropical Mining-Sumsel, PT GaluhCempaka-Kalsel, PT Weda Bay Nickel-Maluku, PT Nusa Halmahera Nickel-Maluku, dan PT Gag Nickel-Papua.Dalam selang waktu lebih kurang tigabulan yaitu pada tanggal 17 Juni 2003,Menteri ESDM mengusulkan 15perusahaan dimana PT CPM diusulkankembali untuk diberi ijin. Usulantersebut sempat dikeluarkan dalambentuk pernyataan ke media sehinggaterkesan tidak adanya koordinasi diantara Departemen ESDM denganDepartemen Kehutanan dalammengeluarkan pernyataannya.

Sampai saat ini tim kerja gabungankomisi III dan komisi VIII DPR RIdengan Menteri KoordinasiPerekonomian, Menteri Kehutanan,Menteri Lingkungan Hidup danMenteri Energi dan Sumberdaya Mine-

ral (ESDM), masih terus melakukanpengkajian ulang terhadap kawasanyang tumpah tindih tersebut, dan belummenghasilkan keputusan.

Dilihat dari segi hukum, pemerintahjuga tidak konsekuen meskipun padapasal 38 Undang-Undang no. 41 tahun1999 tentang Kehutanan, dimanadalam pasal tersebut ada klausul yangmenyatakan tidak memperbolehkankegiatan pertambangan di kawasanlindung secara terbuka tetapi dalamkebijakan yang diputuskan, pemerintahmemberikan ijin kepada 22 perusahaandan bahkan ada 124 perusahaanpertambangan yang akan diperbolehkanberoperasi di kawasan hutan. Memangbenar bahwa Kontrak Karya antarapemerintah dan perusahaanpertambangan sudah dibuat lebihdahulu sebelum lahirnya UU no 41tahun 1999, dan itu yang membuat

No. Nama Perusahaan Pertambangan

Bahan Mineral

Tahap Kegiatan

Nama Kawasan Lindung

yang tumpang

tindih

Total Luas kawasan Lindung

yang tumpang

tindih (ha)

Jumlah Investasi s/d 2001

(juta USD)

15 Pelsart TambangKencana (eks. Meratus Sumber Mas)

Emas Kontruksi Hutan Lindung Peg. Meratus di Kotabaru, Tapin, Banjar-Kalsel

20,200 13.8

16 Jorong Barutama Greston Batu Bara Ekplorasi Tidak ada tumpang tindih

0 12.7

17 Weda Bay Nickel Nikel Eksplorasi Hutan Lindung di P. Halmahera-Maluku

34,990 10.7

18 Bahari Cakrawala Sebuku Batu Bara Produksi CA P. Sebuku, di Kotabaru-Kalsel

910 10.1

19 Westralian Atan Minerals Tidak ada data

Tidak ada data

Tidak ada data Tidak ada data 7.7

20 Citra Palu Minerals (CPM) Nikel Ekplorasi Tahura Poboya dan Hutan Lindung di Palu-Selteng

103,060 4.6

21 Riau Baraharun Batu Bara Eksplorasi Hutan Lindung di Indragiri Hulu-Riau

60 2.7

22 Galuh Cempaka Intan Konstruksi Tidak ada tumpang tindih

0 1.0

23 Aneka Tambang Tidak ada data

Tidak ada data

Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data

24 Sorik Mas Mining Emas dan Perak

Eksplorasi Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data

25 Interex Sacra Raya Tidak ada data

Tidak ada data

Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data

Sumber: Departemen ESDM dalam KORAN TEMPO tanggal 21 Juni 2003; Laporan Dephut, Agustus 200;DataBase JATAM yang diolah oleh FWI, 2003.

Page 25: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

25intip hutan | mei - juli 2003

pemerintah khawatir dengan ancamanpelaku pertambangan yang menyatakanbahwa Indonesia akan dikenakanarbitrase internasional jika memutuskankontrak dengan para perusahaanpertambangan. Padahal sebenarnya didalam dokumen Kontrak Karya adaklausul force majeure (kondisi yangmemaksa) dimana force majeure dapatberlaku pada kondisi yang disebabkanoleh perintah atau petunjuk pemerintahyang merugikan. Dengan berdasarkanfakta dan pengalaman perilakupertambangan di Indonesia yang selamaini selalu mengabaikan keselamatanlingkungan dan semakin minimnyasumberdaya alam yang dimiliki Indo-nesia akibat dari kerusakan yangditimbulkan dari para pelakupertambangan maka kondisi tersebutbisa menjadikan alasan pemerintahuntuk tidak memberikan ijin kepadapelaku pertambangan khususnyakawasan lindung. Tindakan pemerintahtersebut bisa dikatakan dalam rangkapenyelamatan terhadap ekosistem SDAdan dapat ditafsirkan sebagai forcemajeure.

Dengan kondisi yang sangatmemprihatinkan ini maka beberapaornop membentuk koalisi ornop danpencinta alam se-Jabotabek untukmelakukan penolakan terhadapkawasan lindung yang dijadikan konsesipertambangan. Koalisi tersebutmencari dukungan ke masyarakat luas(saat ini telah terkumpul 5000dukungan penolakan) untukmengingatkan kembali bahwakekekayaan alam Indonesia di hutandan di laut serta mineral yangterkandung di dalam bumi perludikelola dengan bijaksana bukan dijualhabis-habisan untuk kepentingansekelompok orang saja. Dan sudahseharusnya persoalan penyusutankekekayaan alam Indonesia yang salahurus seperti ini diketahui olehmasyarakat luas. Apalagi sekarangbanyak terjadi bencana banjir di musimhujan dan bencana kekeringan di musimkemarau yang sangat ekstrim dibeberapa tempat di Indonesia.

1) Berdasarkan surat Menteri ESDM no.852/40/MEM.S/2002, tanggal 7 Maret2002.

2) Berdasarkan RAKORTAS tanggal 17 Juni2003.3) Berdasarkan surat Deputi VI MenkoPerkonomian no. S-61/D.VI.EKON/06/2003 kepada Ketua Tim Kecil Komisi IIIDPR RI tanggal 23 Juni 2003.4) Berdasarkan Rapat Tim tanggal 24 Juni2003.5) Keputusan Departemen Kehutananberdasarkan hasil rescorring dandiinformasikan dalam bentuk Siaran Persno. 365/II/PIK-1/2003 tanggal 3 April2003.

Lokasi Tahura Poboya , PaluFWI

Page 26: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

26 intip hutan | mei - juli 2003

Matriks Konflik antara Perusahaan Tambang denganMasyarakat Adat dan Masyarakat Lokal

No Perusahaan Lokasi

1 Adaro Indonesia Warukin, Kalimantan Selatan

2 Aneka Tambang (ANTAM) Pulau Haruku, Maluku Tengah

3 Aneka Tambang (ANTAM) Gunung Pongkor, Kecamatan Nanggung, kabupaten Bogor

4 Arumbai Nusa Tenggara Timur 5 Arutmin Indonesia Desa Sepapah Kecamatan Sampanahan

Kotabaru 6 Barisan Tropikal Mining Desa Muara Tiku, Kecamatan Karang

Jaya, Muara Rupit, Sumatera Selatan 7 Bitrish Petroleum (BP) Tangguh Kecamatan Babo Bintuni Papua

8 British Petroleum Indonesia (BPI) Batam, Riau

9 Broken Hill Property Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur

10 Citra Palu Mineral Perbukitan Palu Timur, Sulawesi Tengah

11 Elnusa Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur 12 Freeport Indonesia Company Timika, Papua

13 Gunung Bayan Pratama Coal (GBPC) Muara Phau Kabupaten Kutai Barat 14 International Nikel Indonesia (INCO) Sulawesi Selatan

15 International Nikel Indonesia (INCO) Kecamatan Bungku Selatan, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah

16 Indo Kodeco Cement Cibadak, Sukabumi 17 Indo Muro Kencana/ Aurora Gold –

Australia Puruk Cahu, Kalteng

18 Kaltim Prima Coal Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur

19 Karya Asta Alam Kecamatan Mollo, Kabupaten Timur Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur

20 Karya Asta Alam (KAA) dan Kawan Setia Pramesti (KSP)

Fatu Naususu, Fatu Anjaf, dan Nua Mollo, NTT.

21 Kelian Equatorial Mining/ Rio Tinto- Inggris

Kelian, Kaltim

22 Kideco Jaya Agung Desa Samurangau, Biu, Rantau Bintongon and Legai (atau disingkat Sabiral).

23 Maeres Soputan Mining Kecamantan Likupang, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara

24 Meratus Sumber Mas/ Placerdome pegunungn Meratus, Kalsel

25 Mobil Oil Indonesia Kecamatan Lhok Sukon, Kabupaten Aceh Utara , NAD

26 Newmont Minahasa Raya Kecamatan Kotabunan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara

27 Newmont Nusa Tenggara Tawilang dan Jereweh, Sumbawa, NTB

Page 27: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

27intip hutan | mei - juli 2003

Masyarakat adat dan lokal Konflik

Masyarakat Adat Dayak Warukin Penggusuran wilayah adat Warukin, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh jalan angkutan, berkurangnya air bersih yang bisa dikonsumsi, gangguan kesehatan, kesempatan mendapat pendidikan, kerusakan lahan pertanian dan kebun.

Masyarakat Adat di kawasan Pulau Haruku

Mengancam kelestarian lingkungan, penyerobotan tanah-tanah penduduk tanpa musyawarah dan transparan, menimbulkan pencemaran sungai Wai Ira dan Learisa Kayeni yang merupakan sumber air

Masyarakat Lokal Pencemaran sungai Cikaniki akibat air raksa berasal dari alat penghancur batu emas

Lingko Lolok Ganti Rugi Tanah Perkebunan Rakyat Warga Dayak yang mengatasnamakan ahli waris Lu’uh

Pencaplokan lahan dan penggusuran masyarakat

Marga Rupit dalam Pencemaran Sungai Tiku, konflik tanah

Masyarakat Adat dari beberapa suku di kawasan teluk bintuni

Rencana eksploitasi Gas, pemindahan penduduk desa tana merah akses masyarakat kepada kawasan hutan alam.

Masyarakat Lokal Pencemaran udara dengan membiarkan bijih besi berada di udara terbuka

Masyarakat Adat Wanggameti Rencana Eksploitasi kawasan adat perbukitan Wanggameti (hutan, dan wilayah keramat)

Sub etnik Kaili Rencana Eksploitasi kawasan adat perbukitan palu timur (hutan, dan wilayah keramat)

Masyarakat Adat Penyerobotan lahan masyarakat Amungme dan Komoro Pencaplokan tanah adat, pelanggaran HAM, penghancuran

tatanan adat, perusakan dan penghancuran lahan, perusakan lingkungan hidup, penghancuran sendi-sendi ekonomi rakyat, dan pengingkaran eksistensi orang Amungme.

Warga Muara Pahu Realisasi kesepakatan yang tidak dilakukan oleh perusahaan To Bungku, Karonsie Dongi Pencemaran udara, kerusakan sungai, kehilangan tanah dan

mata pencaharian, diskriminasi pekerja, kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM

Masyarakat Adat Morowali Penyerobotan lahan masyarakat untuk lokasi pertambangan, kerusakan lingkungan

Masyarakat Cicantayan Kerusakan lingkungan dan penyerobotan lahan masyarakat Murung, siang dan Bakumpai Perampasan dan eksploitasi Tanah Adat berupa tanah-tanah

keramat, lahan produksi Masyarakat Lokal Penyerobotan lahan dan penggusuran masyarakat

Masyarakat Adat Mollo Merusak hutan masyarakat dan merusak tempat-tempat untuk kegiatan ritual

Masyarakat adat Molo Kegiatan penambangan kedua perusahaan itu merusak lingkungan dan mengganggu aktivitas ritual penduduk setempat.

Benuag, Tunjung, Bahau, Kayan, Siang, Murung, Bakumpai

Perampasan Tanah Adat berupa tanah-tanah keramat, lahan produksi

Dayak Paser, Sabiral Perampasan dan Eksploitasi tambang di tanah keramat yang memiliki nilai religius serta Land Clering (pembersihan lahan) dan perampasan tanah di desa Samurangau tepatnya di sungai Ruto dan berangsur-angsur merambat ke desa lain dan menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat. Pencemaran lingkungan ditandai oleh banyaknya asap, debu, danau bekas galian dan tumpukan-tumpukan tanah

Masyarakat Lokal Pencemaran Lingkungan dengan membuang limbah ke laut; banyak ikan yang mati serta ekosistem di laut Bunaken rusak

Dayak Meratus dan Samihin Rencana Eksploitasi kawasan adat meratus (hutan, kawasan mata pencaharian dan wilayah keramat)

Masyarakat Lokal Perampasan tanah masyarakat untuk lokasi pertambangan

Masyarakat Lokal Pembuangan limbah perusahaan mengganggu mata pencaharian dan kesehatan masyarakat. Masyarakat menuntut ganti rugi, membangun fasilitas umum, serta meminta pembuangan limbah ke laut Buyat segera dihentikan

Masyarakat Lokal Pencemaran Lingkungan, Berkembangnya Hama Tungro Pada

Page 28: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

28 intip hutan | mei - juli 2003

No Perusahaan Lokasi

28 Nusa Halmahera Mineral Desa Balisosang, Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku

29 Pandu Buana Karya Semesta Serang, Bekasi

30 Sari Bumi Sinar Karya (SBSK) Kalimantan selatan

31 Tambang Batubara Bukit Asam Sawahlunto/Sijunjung , Sumatera Barat

32 Timah Tbk. Payung, Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung

33 Union Oil Balikpapan Barat, Kalimantan Timur 34 Unocal Indonesia Marang Kayu, Kutai, Kalimantan Timur

Sumber: DataBase JATAM dan DataBase FWI, yang diolah olehJATAM dan FWI (2003)

Banjarmasin, Kompas - Kongres masyarakat adat DayakMeratus, Kalimantan Selatan yang berlangsung empat hari,berakhir dengan salah satu rekomendasi: menolak apa punbentuk eksploitasi terhadap Hutan Lindung PegununganMeratus (HLPM). Salah satu yang ditolak adalah kehadiranperusahaan pertambangan emas PT Meratus Sumber Mas (PTPlacer Dome Indonesia dan PT Scorpion Placer Dome).

PT Meratus Sumber Mas merupakan salah satu perusahaanyang beberapa waktu lalu mendapat izin menambang di hutanlindung bersama 14 perusahaan lainnya di seluruh Indonesia.“Walaupun sudah ditetapkan pemerintah pusat, kami tetap akanmenolak,” kata Ardiansyah warga Kecamatan HampangKotabaru, Kamis (26/6).

Seusai Kongres, sekurangnya 750 warga adat DayakMeratus dari 300 balai lebih, mengunjungi Dewan PerwakilanRakyat Daerah Kalsel untuk menyampaikan berbagai tuntutan.Kunjungan itu merupakan pengalaman pertama masyarakatadat yang selama ini merasa diasingkan pemerintah.

Usul penolakan kegiatan pertambangan di HLPM ituberasal dari warga Dayak Meratus yang tingal di lokasipenambangan, yaitu masyarakat Dayak Meratus KecamatanHampang Kotabaru dan Dayak Samihim Kotabaru.

Menurut Ardiansyah, pertambangan emas di HLPM ituakan mengancam kelestarian daerah sumber air yang menjadisumber kehidupan warga adat sekitar hutan keramat yangsangat dijaga masyarakat adat karena para leluhurnya banyakbertapa di daerah itu juga terancam punah.

“Lokasi tambang itu juga menjadi tempat usahamasyarakat berladang,” kata Ardiansyah. Keluhan wargasekitar tambang itu mendapat dukungan semua warga adat yangkini mempunyai organisasi masyarakat adat baru, yaituPersatuan Masyarakat Adat (Permada) Kalsel dengan KetuaDewan Adat : Damang Udas.Ketua Pelaksana Harian PermadaZonson Maseri mengatakan, daerah pertambangan itu selainhutan lindung juga merupakan kawasan tanah adat. Namundemikian, masyarakat tidak diajak berbicara baik-baik, justruyang terjadi ada intimidasi terhadap masyarakat agar mengakuikeberadaan perusahaan.

Perusahaan HPHIsu penolakan perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH)

juga kental. Masyarakat adat Dayak Lawangan di DesaDambung menolak eksploitasi di kawasan Gunung Kasalidan Gunung Pihan oleh Perusahaan HPH PT Aya Yayang,”Adanya perusahaan HPH itu sejak 1978 sampai sekaranghanya menjadikan kami sebagai penonton,” kata Sabriansyah,Damang Adat Dambung Raya.

Dalam pernyataan sikapnya, organisasi baru masyarakatadat Permada mendesak pemerintah untuk mencabut izinperusahaan yang beroperasi di kawasan PegununganMeratus, seperti PT Kodeco, PT Aya Yayang, dan PT MeratusSumber Mas.

Tuntutan lainnya adalah agar pemerintah agar pemerintahmenghentikan pensertifikatan tanah milik masyarakat adatdan pemerintah juga didesak mengembalikan tanah-tanahmasyarakat adat yang dirampas pada masa Orde Baru.

Dalam kesempatan itu, Ketua DPRD Kalsel MansyahAddryans, yang menerima kehadiran masyarakat adat,memahami semua permintaan dan tuntutan masyarakat adat.Sebagai bukti dukungan perjuangan masyarakat adat,Mansyah bersama beberapa anggota DPRD bersediamenandatangani spanduk yang berisi pengakuan kedaulatanadat.

Namun demikian, Koordinator Aliansi MeratusMuhammad Saleh menyadari dukungan anggota DPRD ituhanyalah dukungan politis yang simbolis saja. Padahal, yangdiinginkan masyarakat adat adalah pengakuan secara hukummelalui, misalnya, peraturan daerah (Perda). “Oleh karenaitu, salah satu agenda ke depan organisasi masyarakat adatyang baru adalah bagaimana mendesak DPRD ikutmembantu membuatkan perda pengakuan kedaulatanmasyarakat adat,” kata Saleh.Sumber: Kompas 27 Juni 2003

Kongres Adat Dayak TolakPenambangan HLPM

Page 29: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

29intip hutan | mei - juli 2003

Menteri Kehutanan akan memberlakukanmoratorium penebangan hutan di Provinsi JawaBarat dan Banten apabila program “soft landing”

atau jatah tebangan hutan tanaman yang telah diberlakukanuntuk Jawa Barat dan Banten sebesar 75.741 m3 masih belummenimbulkan dampak yang positif terhadap pulihnya potensipenutupan lahan kawasan hutan.

Departemen Kehutanan dalam menentukan kebijakanpengelolaan hutan di Jawa Barat dan Banten ditekankan padapemulihan fungsi hutan dan lingkungan mengingat JawaBarat dan Banten mempunyai banyak sumber mata air sertaberbagai waduk dan bendungan besar yang berperan sebagaipenyedia kebutuhan air. Hal ini perlu ditunjang dengankeberadaan hutan yang memadai. Jawa Barat dan Bantensebagai lumbung pangan serta pemasok kebutuhan air danpengendali banjir di DKI Jakarta sangat mendapat perhatiandari Pemerintah dalam menentukan kebijakan pengelolaanhutan di Jawa Barat dan Banten. Sementara di kawasancekungan Bandung, saat ini permukaan air tanahnya telahmenurun sekitar satu meter setiap tahunnya. Dengandemikian kontribusi pembangunan kehutanan lebihditekankan untuk menunjang keberhasilan pembangunansektor lain.

Penebangan hutan yang berlebihan dan tidak terkendali dapatmengancam kelestarian sumberdaya hutan yang berakibat

terganggunya fungsi hutan. Fungsi hutan yang dimaksudmeliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsiproduksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budayaserta ekonomi yang seimbang dan lestari. Ini semuamerupakan respon pemerintah terhadap keinginanmasyarakat agar hutan di Jawa Barat dan Banten serta diPulau Jawa umumnya, tetap eksis dan lestari.

Berdasarkan hasil analisis citra landsat DepartemenKehutanan tahun 2002, kawasan hutan yang masih berhutandi Jawa Barat dan Banten sebesar 519.800 hektar atau sekitar12,03% dari luas wilayah kedua provinsi tersebut. Sementarakawasan hutan di kedua provinsi tersebut yang sudah tidakberhutan lagi mencapai luas 474.400 hektar (sekitar 45,39%dari luas kawasan hutan). Kawasan hutan tersebut saat initelah berubah menjadi semak belukar, savana, perkebunan,pertanian, tambak, pertambangan, permukiman, dan lain-lain.Oleh karena itu, untuk merehabilitasi kawasan kritis di keduaprovinsi tersebut, mulai tahun 2003 Departemen Kehutananakan melaksanakan program Gerakan Nasional RehabilitasiHutan dan Lahan (GN-RHL) seluas 36.753 hektar. GN-RHLini akan terus dilanjutkan pada tahun-tahun mendatangdengan luasan yang semakin bertambah, sehingga kondisilahan kritis dapat dipulihkan kembali.

MORATORIUMTOTAL DIJAWA BARAT DANBANTEN

ARuPA

Siaran Pers Dephut 24 Juli 2003

Masyarakat adat dan lokal Konflik

Lembaga Masyarakat adat Kao dan Malifut (suku Pagu, Madole, Boing dan Towiliko Kao)

Tidak berkoordinasi dengan lembaga adat, eksploitasi Tanah adat Kao dan Malifut di Gesowong Halmahera, berkurangnya tangkapan udang, pemutusan kerja sepihak

Masyarakat Lokal Galian pasir besar-besaran mengakibatkan longsor dan kerusakan lingkungan

Dayak Pitap Perampasan Tanah Adat berupa tanah-tanah keramat, lahan produksi

Masyarakat Adat Pertikaian masyarakat dengan perusahaan mengenai tanah ulayat

Masyarakat Lokal Masyarakat menolak keberadaan perusahaan karena akan merusak lingkungan

Masyarakat Lokal Penyerobotan lahan masyarakat Masyarakat Lokal Pencemaran lingkungan di Tanjung Santan karena limbah

perusahaan dialirkan ke selokan dan persawahan

ARuPA

Menhut Mengisyaratkan

Kayu curian yang disita Perhutani

Page 30: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

30 intip hutan | mei - juli 2003

Layaknya Tuhan memberikananak kepada orangtua, maka iaharus dilindungi, dicukupi

kebutuhannya, dan disejahterakan olehorang tuanya. Itulah hak orang tuasekaligus kewajibannya. Di Pulau Jawaterdapat sekitar 24.922 desa, anak-anaknegara Indonesia. Hutan hanyalah salahsatu dari kebutuhan pokok anak-anakini, dan jumlahnya sekitar 6.324 desa –seperempat dari seluruh desa di PulauJawa. Kini sang orang tua memberikanhak perwalian untuk mengurusikekayaan negara yang berupa hutan,mereka memberikan hak menuai bungaharta negara sekaligus menjalankankewajiban utama untuk menjaminkesejahteraan anak-anak negara. Sangwali itu bernama Perhutani.

Ketika banjir dan tanah longsor terjadi,ada sejumlah sumber daya yang telahlapuk dan tak dirawat dengan baik,kemudian banyak pihak menyebutkan,hal ini karena turunnya kualitas hutan

sebagai unsur penyeimbang alam diJawa. Anak-anak yang menopangkanhidupnya kepada hutan yang kemudian‘ketiban sampur’, disebut-sebut sebagai‘biang perusak hutan’, yang mengambilmanfaat dari hutan tanpa menimbangmasa depan. Lalu muncul pertanyaan,sebenarnya bagaimana pihak Perhutanimengelola hutan di Jawa sampai-sampaimasyarakatnya merusak hutannyasendiri? Niatnya sudah baik, konsepnyajuga baik, tapi hutannya masih tetaprusak, lalu Perhutani itu wali macamapa?

Luas Pulau Jawa adalah 13,218,971 ha(Statistika Kehutanan Indonesia-Dephutbun, 1995) yang terbagi menjadi24.922 desa (BPS, 2000), Perhutanimengelola 1,912,816 ha hutan produksidan 1,026,167 hutan non produksi (RJPPerum Perhutani 1996-2000) yangbersinggungan dengan sekitar 6.324desa.

Dephut, 2001) atau mendekati angka50 % dari luas Jawa Barat (HarianPikiran Rakyat, 22 Oktober 2002).Sekilas dari data ini, bisa terlihatbagaimana pengelolaan sumber dayahutan yang memang hampir seluruhnyaditangani oleh Perhutani, yang sudahpasti disertai juga dengan tanggungjawab menjaga hutan lestari sepanjangpengelolaannya. Selanjutnya dengan 70konflik yang pernah terekspos dariberbagai sumber antara Perhutani danmasyarakat sekitar hutan di Jawa Barat,kita sudah bisa mulai membayangkanadanya jarak yang cukup jauh antarasistem pengelolaan Perhutani dengankesejahteraan masyarakat sekitar hutan.Lantas apakah kita akan membiarkanpersoalan pengelolaan ini berlarut-larut? Membiarkan kesejahteraanmasyarakat yang sudah puluhan bahkanratusan tahun hidup berdampingandengan hutan menunggu lebih lamagara-gara pengelolaan hutan yang tidaksetimpal? Tidak adil rasanya………

Konflik adalah KetidaksejahteraanHutan selain sebagai sumber peme-nuhan kebutuhan hidup, jugamenciptakan ikatan sosial-budayadalam masyarakat sekitarnya. Ikatanyang berkembang dalam suatu aturanlokal/adat di dalam suatu komunitassehingga menjadi pagar untuk menjagahubungan saling ketergantungan yangseimbang antara komunitas denganalamnya. Sikap hidup ini yang seringberbenturan dengan garis kebijakanpengelolaan Perhutani, ketika eks-ploitasi dilakukan tanpa memper-hitungkan keberadaan masyarakat lokalpengguna jasa hutan dan mengabaikanproses rehabilitasi di kawasan hutannya.Benturan yang terjadi antara kebutuhandasar dan komersialisasi sumberdayahutan.Lebih jauh lagi, bisa kita pilah beberapaakar konflik menyangkut pengelolaansumberdaya hutan:Terputusnya akses masyarakatterhadap hutanSimbiosis manusia-hutan terputussebagai akibat dari:• Kebijakan pengelolaan hutan

Perhutani yang melarangpemanfaatan hutan dan hasil hutanoleh masyarakat sekitarnya.

• Hilangnya pengakuan formal ataskawasan hutan rakyat yang diklaimsebagai hutan Perhutani.

DESA PINGGIRAN HUTAN JAWA,KERDIL DI BAWAH POHONRAKSASA PENGELOLA HUTAN

Lebih dari enam ribu desa yangberinteraksi dengan hutan secaralangsung, yang dari semula sudahmenggantungkan hidup dari kebera-daan hutan, yang mengandalkanjaminan kecukupan sumber daya darihutan, sebelum ataupun sesudahPerhutani mendapatkan hak kelolahutan di seluruh Pulau Jawa. Jadi palingsedikit ada enam ribu desa yang harusdisejahterakan Perhutani dengan sistempengelolaannya atas hutan di PulauJawa, sebagai pengganti keuntunganberbentuk nilai interaksi hutan di tanahnegara dengan masyarakat di sekitarnyayang sebelumnya sudah terjadi. Jikamemang negara ini adalah milik rakyat(tentu saja!).

Kesejahteraan yang Lama TertundaLuas kawasan kelola Perhutani JawaBarat 792.408 ha dari luas PropinsiJawa Barat yang kurang lebih 971.000ha, dan kerusakan hutan yang sudahterjadi sekitar 474.000 hektar (Baplan-

ARuPA

Syukuran sesudah panen di desa hutan Randublatung

Page 31: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

31intip hutan | mei - juli 2003

• Pemekaran administrasi desasehingga beberapa desa tidak lagiterhubung dengan kawasanhutannya.

Kebutuhan lahan• Perebutan tanah milik dan lahan

yang sudah dikelola masyarakatselama puluhan tahun.

• Masyarakat yang terbiasa denganpertanian sistem gilir terbenturlarangan pembukaan lahan untukpertanian rakyat, yang biasanyadilakukan di kawasan hutankarena kesuburan tanahnya yangcukup tinggi.

• Hutan juga merupakan lahanpenanaman pada saat tanamanhutan masih dalam tahappenyemaian. Waktu penyemaianyang semakin pendek karenapergantian jenis tanaman, sepertirasamala dengan masa semai 4-5tahun menjadi pinus dengan masasemai 2-3 tahun mengurangiwaktu tanam masyarakat di selatanaman hutan/pagerseren/tumpangsari

Kesejahteraan• Pergeseran nilai kesejahteraan

karena nilai interaksi sosial budayamasyarakat-hutan digantikan nilainominal dalam pengelolaan hutan.

• Berkurangnya kesempatantumpangsari mengurangi tingkatpendapatan masyarakat, karenahidup yang hanya mengandalkanbayaran dari Perhutani sebagaipemanen hasil hutan hasilnya tidakseberapa.

Bentuk-bentuk awal konflik antaraPerhutani dan Masyarakat yangteridentifikasi (TPRHR, 2002):

• Klaim Perhutani atas tanahmasyarakat, tanah desa atautanah negara yang berhutan.

• Penggarapan lahan yangmerupakan objek reformaagraria.

• Penggarapan lahan Perhutaniyang sudah lama ditinggalkan,belum dan atau tidak ditanamikembali.

• Penggarapan lahan yang diyakinimasyarakat bukan merupakanbagian dari hutan manapun,karena sudah lama tidak terdapattegakan.

• Tuntutan bagi hasil dan/ataupeningkatan upah olehmasyarakat yang bekerja kepadaPerhutani.

Bentuk-bentuk lanjutan dari konflikawal ini berupa:

• Penjarahan lahan hutan• Pencurian kayu oleh masyarakat• Perusakan lahan tanaman milik

masyarakat• Pengusiran, baik secara halus

maupun kasar dari wilayah kelolaPerhutani

• Penangkapan dan proses hukumterhadap masyarakat yangdituduh melanggar ketentuanPerhutani

• Bentrokan fisik antara pihakPerhutani dengan masyarakat.

Terlepas dari siapa menjadi pelaku,kerusakan hutan yang terjadi akibatpenjarahan lahan, penebangan liar danpencurian kayu merupakan ledakanmasalah-masalah dalam prosespengelolaan hutan yang akhirnyamuncul sebagai reaksi atas kebutuhanyang sejak lama tak terpenuhi.

1) Perbenturan kepentingan dan kebutuhan dalampengelolaan hutan memang tidak serta mertaterlihat dengan sedikitnya data, kejadian konflikyang bisa diidentifikasi terbatas dari berita mediadan dari catatan atau laporan beberapa organisasiyang berbasis masyarakat.

TN LORE LINDU

FWI

Page 32: DIBALIK KERUSAKAN HUTAN INDONESIA - fwi.or.idfwi.or.id/wp-content/uploads/2014/02/IntipHutan_Mei-Juli03_all.pdf · serta industri pulp dan kertas, yang mempererat hubungan antara

32 intip hutan | mei - juli 2003

Yogyakarta ⎯ Pertemuan Regional FWI Simpul Jawa yang diselenggarakan pada tanggal 21-22 Juli 2003 di Yogyakartatelah menghasilkan point-point penting untuk diusulkan ke Pertemuan Nasional yang merupakan forum tertinggi dariorganisasi FWI. Pertemuan yang dihadiri oleh seluruh anggota simpul FWI Jawa ini merekomendasikan peninjauan kembalistatus keanggotan FWI yang berbasis anggota. Keanggotaan diusulkan berdasarkan kontribusi terhadap FWI itu sendiri.Hal ini muncul sebagai respon atas mekanisme kegiatan FWI selama ini dimana anggota tidak signifikan memberikankontribusi terhadap gerakan data FWI. Akuisi, analisis dan pengolahan data selama ini identik dengan lembaga yangkebetulan ditunjuk menjadi sekretariat simpul. Hal ini tentu saja kurang menguntungkan bagi FWI karena seharusnya FWIlebih dari itu ketika fungsi-fungsi anggota berjalan dengan baik. Permasalahan kemudian muncul ketika ada pertanyaansiapa yang berhak menentukan seseorang itu bisa menjadi kontributor FWI, dan bagaimana memberikan penilaian atasbesar kecilnya kontribusi terhadap FWI? Lalu apa kriterianya?

Rama Ardana yang saat ini masih menjadi Koordinator Simpul FWI Jawa, menyatakan bahwa pada awalnya siapa saja bisamenjadi kontributor FWI sepanjang dia bisa dan sanggup memberikan kontribusinya terhadap pekerjaan-pekerjaan FWI.Namun permasalahan yang harus segera diselesaikan adalah mengenai siapa yang memilih, menerima atau tidak menerimasesorang menjadi kontributor sekaligus bagaimana penilaian terhadap kontribusi seorang kontributor FWI. Dan hal tersebutdiagendakan untuk dibicarakan kembali pada pertemuan kedua yang rencananya akan mengundang lebih banyak pihakyang dinilai memiliki perhatian serius terhadap permasalahan hutan Jawa. Dalam pertemuan kedua nanti juga akandiagendakan pembuatan outline (kerangka) dari FWI Jawa yakni pembuatan laporan keadaan hutan Jawa. Sehingga denganadanya outline tersebut pekerjaan monitoring hutan Jawa menjadi lebih fokus dengan membentuk kelompok-kelompokkerja (tasks forces) dimana pada akhirnya hasil monitoring tersebut dijadikan sebuah laporan tahunan yang berisikanupdate informasi Kehutanan di Pulau Jawa dalam bentuk Potret Hutan Jawa (SOFR Jawa).

Pada pertemuan itu ditegaskan juga bahwa mandat FWI adalah visi misi FWI itu sendiri. Mandat tidak dari anggotaataupun masyarakat. Selama visi misi itu dijalankan, maka itulah FWI. Jikalau ternyata FWI secara organisasi tidak bisamenjalankan visi misinya maka FWI tersebut menjadi tidak pantas lagi disebut sebagai FWI. Penentuan arah dan jalannyaFWI kedepan melalui mekanisme Pertemuan Regional nantinya tidak sekedar berdasarkan ikatan historis atau karenapernah ikut dan terlibat pertemuan sebelumnya. Peran dari kontributor dalam memberikan kontribusi terhadap FWI yangnantinya akan memberikan warna terhadap FWI itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan fungsi kesekretariatan. Menurut Rama, sekretariat nantinya akan difungsikan sebagaimana cita-cita pernas FWI tahun 2000 dimana sekretariat simpul hanya bersifat sebagai clearing house, dan juga menjalankan fungsikoordinasi antar kelompok-kelompok kerja dalam hal ini mempertemukan, menyusun, membagi, mengemas dll. Jadikedepannya semua pekerjaan teknis akan dilakukan di masing-masing kelompok kerja termasuk akuisisi/koleksi data,analisis, serta pengolahan data. Sebagai lembaga clearing house, sekretariat simpul akan menunjukkan dimana data tertentubisa diperoleh. Sehingga sekretariat simpul diwajibkan mengetahui dan memiliki katalog data yang dimiliki oleh kontributor.Dan pada dasarnya syarat untuk menjadi koordinator masih berpegang teguh pada statuta FWI dimana kontributor wajibmembuka akses datanya terhadap permintaan data dari luar, sepanjang untuk kepentingan cita-cita FWI.

Samarinda - Selama 3 hari, sejak Rabu,23 Juli 2003 sampai Jumat, 25 Juli 2003,Forest Watch Indonesia bekerja samadengan NRM, mengadakan pelatihandasar Sistem Informasi Geografi diSamarinda, Kalimantan Timur. Pelatihanini diikuti oleh 27 peserta dari lembaga-lembaga mitra NRM di KalimantanTimur dengan materi pokok pengenalanbeberapa software yang berkenaandengan pengelolaan data-data spasial,terutama data lapangan.

Pelatihan ini semula direncanakanhanya 2 hari, tetapi dengan pertimbanganbesarnya kebutuhan teman-teman yang

menjadi praktisi pemetaan dan efektivitaspenyampaian materi kepada peserta, makaditambahkan satu hari lagi. Tentu sajadengan harapan, bahwa seluruh materipelatihan bisa memberikan gambaran dansedikit pencerahan tentang alternatifpengelolaan data spasial yang lebih baik.

Rangkaian materi yang disampaikanselama tiga hari pelatihan tersebut antaralain tentang pengentrian dan pengolahandata spasial digital, pengemasan dataspasial digital, dan digitalisasi peta manual.

Dilihat dari antusiasme peserta,pelatihan ini berjalan cukup baik artinyamemang dari awal didasari oleh kebutuhan

untuk pengelolaan data. Meskipun begitu,masih ada yang dirasakan kurang, yaitudari segi waktu pelatihan yang hanya tigahari, dan efektivitas penyerapan materikarena hanya tersedia 11 komputer untuk27 peserta.

Penyampaian materi diarahkanlangsung pada aplikasi software, sehinggaperbandingan 1 komputer untuk 2-3peserta dan waktunya yang hanya 3 hari,menurut para peserta, masih terasa kurangmencukupi untuk memahami seluruhmateri. Salah satu mentor pelatihan jugamengatakan bahwa waktu pelatihan yangterlalu singkat menjadi kendala utama,sehingga materi yang diberikan tidak bisamaksimal.

PELATIHAN DASARSISTEM INFORMASI GEOGRAFI

Pertemuan Regional FWI Simpul Jawa