di lingkungan brayat minulyo wilayah santa ...ini disebabkan oleh adanya katekese model scp. dari...
TRANSCRIPT
PENINGKATAN KESADARAN ORANG TUA
AKAN PERANNYA DALAM PENDIDIKAN IMAN ANAK
MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS
DI LINGKUNGAN BRAYAT MINULYO
WILAYAH SANTA MARIA KALASAN BARAT
PAROKI MARGANINGSIH KALASAN
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh: Martina Naul
NIM: 041124001
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini, saya persembahkan bagi :
Para Suster Santo Paulus dari Chartres ( SPC ) Distrik Indonesia,
dan kepada keluarga Katolik di Lingkungan Brayat Minulyo
Wilayah Santa Maria Kalasan Barat.
v
MOTTO
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,
tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah.
(Filp. 4 : 6 )
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 27 Februari 2009
Penulis,
Martina Naul
vii
LEMBARAN PERNYATAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Martina Naul Nomor Mahasiswa : 041124001 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : PENINGKATAN KESADARAN ORANG TUA AKAN PERANNYA DALAM PENDIDIKAN IMAN ANAK MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS DI LINGKUNGAN BRAYAT MINULYO WILAYAH SANTA MARIA KALASAN BARAT PAROKI MARGANINGSIH KALASAN beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan Royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 27 Februari 2009 Yang menyatakan
( Martina Naul )
viii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul: “PENINGKATAN KESADARAN ORANG TUA AKAN PERANNYA DALAM PENDIDIKAN IMAN ANAK MELALUI KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS DI LINGKUNGAN BRAYAT MINULYO WILAYAH SANTA MARIA KALASAN BARAT PAROKI MARGANINGSIH KALASAN”. Pemilihan judul ini bertitik tolak dari keprihatinan penulis terhadap suasana keluarga yang kurang sadar terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga. Persoalan mendasar dari skripsi ini adalah bagaimana membantu para orang tua untuk meningkatkan kesadaran dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dalam keluarga, sehingga anak-anak memperoleh pendidikan yang layak dalam keluarga. Kesadaran yaitu memiliki niat untuk menyusun rencana dengan mempertimbangkan segi positif dan negatif sebelum mengambil suatu tindakan. Kesadaran orang tua dalam pendidikan iman anak dalam keluarga dipengaruhi oleh pendidikan. Katekese model SCP adalah komunikasi iman yang bertolak dari pengalaman hidup yang bersifat dialogis dan partisipatif. Kateksese sebagai pendidikan berpengaruh terhadap kesadaran, sikap dan pengetahuan orang tua dalam beriman. Adapun hipotesis penelitian ini adalah, H0 tidak ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan sesudah SCP, H1 ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan sesudah SCP. Penulis mengkaji masalah ini dengan menggunakan metode deskripsi analitis dan penelitian yang berbentuk eksperimen prates-pascates satu kelompok tanpa kontrol. Artinya penulis menggambarkan uji lapangan dan menganalisis permasalah-an sehingga ditemukan jalan pemecahannya. Populasi dalam penelitian ini adalah bapak-ibu katolik di Lingkungan Baryat Minulyo Wilayah Kalasan Barat. Teknik pengambilan sampel bersifat populatif (N) 40 orang. Data yang diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan wawancara. Pengembangan instrumen terhadap masalah yang dibahas dalam penelitian ini menggunakan uji coba terpakai dengan validitas antara 0,3 sampai 0,7 dan reliabilitas 0,484. Dari hasil penelitian yang diperoleh sebelum SCP (prates) dengan jumlah responden (N) 40 memiliki nilai rata-rata (mean) 14,4250, sedangkan setelah SCP (pascates) dengan jumlah responden (N) 40 memiliki nilai rata-rata (mean) 26,7250. Ada perbedaan nilai rata-rata antara prates dan pascates sebesar 12,3000, perbedaan ini disebabkan oleh adanya katekese model SCP. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata yang didapat sesudah SCP lebih dari nilai rata-rata sebelum SCP. Dari Paired Sample test diperoleh angka signifikansi 0,000 atau lebih besar dari 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan kata lain ada perbedaan kesadaran yang signifikan antara sebelum dan sesudah katekese model SCP. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan disarankan agar katekese model SCP dipakai untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan peran dan tanggung jawabnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak dalam keluarga.
ix
ABSTRACT
The title of this thesis is “THE ENHANCING OF THE PARENTS’ AWARENESS OF THEIR ROLE FOR CHILD’S FAITH EDUCATION THROUGH THE CATECHISM MODEL OF SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) IN THE AREA OF BRAYAT MINULYO IN SAINT MARY REGION OF KALASAN BARAT OF MARGANINGSIH KALASAN PARISH”. It is chosen based on the author’s concern on the situation of families that lack of parents’ awareness of their role and responsibility as the first and principle faith educators in family. The basic problem of this thesis is how to help parents to improve their awareness of playing their role and responsibility in the family so that children have proper education in the family. Awareness means intention to compose a plan while considering any positive and negative aspects before taking an action. Children’s awareness in family is influenced by education. The catechism model of SCP is a faith dialogue and participative communication, which is based on life experiences. Catechism is a kind of education that affects parents’ awareness, attitude, and knowledge on faith. The hypothesis of the thesis is, H0 shows no difference of parents’ awareness of their role in faith education as first and principle educators in family before, and after SCP; H1 shows the difference of parents’ awareness of their role in faith education as first and principle educators in family before and after SCP. The writer examine the problem using methods of analytic description and research in the form of pre-test and post test experiment in a group without control. The writer described field examination and analysed the problems to find the answer. The population of this research is Catholic parents in the area of Brayat Minulyo in Saint Mary region of Kalasan Barat. The technique of finding the sample is population (N) 40 people. Data were gathered using questionnaires and interview. The development of the instruments of the problem of the research used Sample Test with its validity between 0,3 to 0, 7, and reliability 0, 484. The result found before the SCP (Pre-test) among the (N) 40 respondents has its mean of 14,4250, meanwhile the result found after the SCP (Post-test) among the (N) 40 respondents has its mean of 26, 7250. The difference means of pre-test and pos-test is 12,3000. This deference is caused by the SCP model of catechism. From the data above, we can conclude that the mean after SCP is more that mean before SCP. From Paired Sample Test it is found the significance of 0, 000 or of more than 0,05, so H0 is refused and the H1 accepted. In other words, there is a significant difference of awareness before and after SCP. Based on the result of the research, it is suggested that the SCP Model of catechism is used to enhance the parents awareness of their role and responsibility as first and principle child’s faith educators in child’s faith education in family.
x
KATA PENGANTAR
Syukur dan pujian kepada Allah Bapa yang Maha Baik yang telah berkenan
melimpahkan rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan judul Peningkatan Kesadaran Orang Tua akan Perannya dalam
Pendidikan Iman Anak melalui Katekese model SCP Di Lingkungan Brayat Minulyo
Wilayah Santa Maria Kalasan Barat Paroki Marganingsih Kalasan.
Penulisan skripsi ini dimaksud sebagai salah satu sumbangan
perkembangan katekese bagi para orang tua dalam pendampingan iman anak dalam
keluarga kristiani. Di samping itu skripsi ini sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, perhatian
serta keterlibatan, baik langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak. Maka
perkenankanlah penulis menghaturkan terimakasih kepada :
1. Bapak F. X. Dapiyanta, SFK, M. Pd, selaku dosen Pembimbing Akademik
sekaligus pembimbing skripsi, yang dengan setia dan penuh kesabaran hati
memberi pengarahan, semangat dan dorongan sehingga penulisan skripsi ini
dapat terselesaikan.
2. Bapak P. Banyu Dewa, HS,S.Ag, M. Si, selaku dosen penguji yang dengan
caranya sendiri mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Drs. H. J. Suhardiyanto, S.J, selaku ketua program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, sekaligus dosen penguji yang selalu
mendukung dan menyediakan waktu bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Seluruh Staf Dosen dan Karyawan program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan
Agama Katolik Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik, membimbing
dan membekali pengetahuan dan teladan yang bermanfaat dan yang mendorong
penulis untuk menyusun skripsi ini.
5. Pemimpin Distrik beserta dewan dan segenap suster SPC, yang telah memberi
kesempatan dan kepercayaan pada penulis untuk menimba Ilmu Pengetahuan di
xi
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
6. Para Suster SPC komunitas Bunda Maria Yogyakarta, yang mendukung penulis
dengan caranya masing-masing dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak ketua Lingkungan Brayat Minulyo yang telah membantu dan mendukung
penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
8. Teman-teman angkatan 2004/2005 yang telah memberi banyak perhatian melalui
sapaan-sapaan, dukungan dengan caranya masing-masing sampai terselesainya
penyusunan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu yang telah
berkenan memberikan bantuan dalam bentuk apa saja dalam penyusunan skripsi
ini.
Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga
skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran
dan kritik dari pembaca demi perbaikan skripsi ini. Ahkir kata, penulis berharap
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Yogyakarta, 27 Februari 2009
Penulis
Martina Naul
xii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................ iHALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................. iiHALAMAN PENGESAHAN .......................................................... iiiHALAMAN PESEMBAHAN ......................................................... ivMOTTO ............................................................................................ vPERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... viABSTRAK ....................................................................................... viiABSTRACT ..................................................................................... viiiKATA PENGANTAR ...................................................................... ixDAFTAR ISI .................................................................................... xiDAFTAR SINGKATAN .................................................................. xiiiBAB I. PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang Penulisan ..................................................... 1B. Identifikasi Masalah ............................................................. 7C. Batasan Masalah ................................................................... 8D. Rumusan Permasalahan ........................................................ 8E. Tujuan Penelitian .................................................................. 9F. Manfaat Penulisan ............................................................... 9G. Metode Penulisan ............................................................... 10H. Sistematika Penulisan ........................................................... 10
BAB. II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS .......................... 13A. Kajian Pustaka ...................................................................... 13
1. Kesadaran Orang Tua akan Perannya dalam Pendidikan Iman Anak ........................................................................
13
a. Kesadaran ................................................................... 13b. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak......... 14
2. Katekese sebagai Komunikasi Iman dalam Gereja........... 50a. Pengertian Katekese ................................................... 50b. Tujuan Katekese ......................................................... 53c. Isi Katekese ................................................................ 55d. Sumber Katekese ........................................................ 57e. Unsur Katekese .......................................................... 57f. Metode Katekese ........................................................ 59g. Peserta Katekese ........................................................ 61h. Media Katekese .......................................................... 62
3. Pemilihan SCP sebagai Model Katekese Umat yang cocok untuk Meningkatkan Kesadaran Orang Tua Katolik dalam Pendidikan Iman Anak .............................
63
B. Kerangka Pikir ...................................................................... 73C. Hipotesis ............................................................................... 75
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN......................................... 76A. Jenis Penelitian ..................................................................... 76B. Desain Penelitian .................................................................. 76
xiii
C. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 77D. Populasi Penelitian dan Sampel ........................................... 77E. Metode Pengumpulan Data .................................................. 77
1. Variabel ......................................................................... 782. Definisi Operasional ..................................................... 783. Instrumen Penelitian ..................................................... 784. Kisi-kisi dan Indikator ................................................. 795. Pengembangan Instrumen ............................................. 806. Teknik Analisis Data ..................................................... 82
BAB. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............... 84A. Laporan Hasil Penelitian ...................................................... 84
1. Deskripsi Data Kesadaran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Sebelum Kegiatan SCP ..................... 84
2. Deskripsi Data Kesadaran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Sesudah Kegiatan SCP ...................... 92
B. Uji Hipotesis ........................................................................ 100C. Pembahasan Hasil Penelitian ............................................... 101D. Keterbatasan Penelitian ........................................................ 105
BAB. V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................... 106A. Kesimpulan ........................................................................... 106B. Saran ..................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 110LAMPIRAN
Lampiran 1 : SCP untuk meningkatkan kesadaran orang tua sebagai pendidik iman anak dalam keluarga.............................................................. (1)
Lampiran 2 : Cerita Pendalaman Katekese .............................. (14)Lampiran 3 : Kuesioner tentang kesadaran orang tua Dalam pendidikan iman anak ............................ (15)Lampiran 4 : Data sebelum SCP .............................................. (17)Lampiran 5 : Data sesudah SCP ............................................... (18)
xiv
DAFTAR SINGKATAN
A. SINGKATAN DOKUMEN RESMI GEREJA
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus
Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan
segenap umat beriman tentang katekese masa kini, 16
Oktober 1979.
DV : Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
Ilahi, 18 November 1965.
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus
Yohanes Paulus II kepada para uskup, Imam-imam
dan umat beriman seluruh Gereja Katolik tentang
Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, 22
November 1981.
GE : Gravissimum Educationis, Dekrit Konsili Vatikan II
tentang Pendidikan Kristen.
SCP : Shared Christian Praxis
B. SINGKATAN DALAM PENELITIAN
H0 : Hipotesis Nol
H1 : Hipotesis Kerja
SPSS : Statistical Product and Service Solution
Std : Standard
Sig : Signifikansi
xv
C. SINGKATAN LAIN
art : Artikel
dll : Dan lain-lain
KWI : Konferensi Wali Gereja Indonesia
Komkat : Komisi Kateketik
Komkat KAS : Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
Puskat : Pusat Kateketik
SPC : Suster-suster Santo Paulus dari Chartres
MNPK : Majelis Nasional Pendidikan Katolik
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini, berturut-turut diuraikan: latar belakang penulisan, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan
sistematika penulisan skripsi.
A. Latar Belakang
Jaman berkembang begitu pesat. Segala sesuatu dapat dijangkau dengan
mudah, serba instant. Hal ini berpengaruh pada keluarga-keluarga umumnya, dan
secara khusus keluarga kristiani terutama bagi para orang tua dalam membimbing
iman anaknya. Dalam kenyataan hidup di masyarakat kedekatan orang tua dan anak
mulai berkurang. Tidak mengherankan jika banyak anak yang lari dari keluarga dan
mencari jati dirinya di luar rumah dan di sana ia menemukan jati diri itu, tanpa ia
sadari bahwa jati diri yang ia temukan adalah hal-hal yang membahayakan masa
depan hidupnya.
Di satu sisi orang tua bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup
keluarga, baik itu untuk pendidikan anaknya, kesehatan keluarga, dan kebutuhan
pokok rumah tangga. Di sisi lain orang tua harus mewujudkan rasa tanggung
jawabnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama. Suatu anggapan
keliru di masyarakat bahwa pendidikan itu adalah tanggung jawab sekolah atau
organisasi lainnya yang berkaitan dengan perkembangan iman, misalnya sekolah
minggu dan kegiatan rohani lainnya, dan bahkan tanggung jawab itu diserahkan pada
2
pembantu atau orang lain. Mereka lupa bahwa waktu yang terbanyak bagi
pembentukan sikap, perilaku, iman anak berada di dalam keluarga bukan di luar
keluarga. Hal pokok yang kurang diperhatikan oleh orang tua adalah kurangnya
perhatian mereka terhadap keseimbangan pemenuhan kebutuhan anaknya.
Kebutuhan anak tidak hanya pada segi materi tetapi juga pada segi rohani seperti
pendidikan iman bagi anak-anak. Kenyataan seperti ini tidak dapat disangkal, sebab
kesibukan orang tua untuk mencari nafkah bagi anak-anak sudah menyita waktu
sepanjang hari.
Orang tua yang semuanya kerja di kantor atau perusahaan atau buka usaha
sendiri yang jauh dari rumah tinggal menjadi asing bagi anak-anaknya dalam hidup
keluarga, anak-anak hidup seharian hanya dengan kakek, nenek, tante, dan pembantu
rumah tangga. Seorang ayah pagi-pagi harus ke kantor dan pulang larut malam.
Ketika ayah pulang anak sudah tidur, demikian juga ibu pagi-pagi ke kantor atau
setiap hari di pasar atau membuka pesanan ini dan itu di luar rumah. Anak pulang
dari sekolah, sampai di rumah tidak bertemu dengan orang tuanya. Malam hari, ibu
sibuk mempersiapkan bahan yang mau dijual untuk keesokan harinya. Jika situasi ini
dibiarkan begitu saja anak semakin diasingkan dan tidak akan terjadi komunikasi
yang intensif antara orang tua dan anak, anak semakin bebas dengan keinginan dan
tuntutan dirinya sendiri. Misalnya setiap hari, anak hanya di depan computer,
internet, televisi dan lain-lain menonton apa saja yang diinginkannya.
Anak-anak membutuhkan waktu bersama orang tua untuk bermain,
didengarkan, sharing tentang apa yang dialaminya dalam hidup seharian sampai
3
pada kesulitan atau pergulatannya dan kebutuhan lain yang diperlukan oleh anak itu
sendiri.
Dalam dunia sekarang ini, dirasa kebanyakan orang tua dalam kehidupan
sehari-hari kurang memperhatikan perkembangan iman anak mereka karena terlalu
sibuk dengan pekerjaanya masing-masing demi mencukupi kebutuhan materi atau
jasmani keluarga. Hal ini penulis dengar sendiri dari lingkungan di mana penulis
tinggal, melalui sharing dalam kegiatan kelompok yang dipandu oleh penulis sendiri
dan bahkan dengan pertemuan secara pribadi dengan keluarga-keluarga yang ada
(kunjungan keluarga). Para orang tua sendiri mengatakan sulit sekali untuk mendidik
iman anak melalui kegiatan bersama dalam keluarga, misalnya doa bersama sebelum
dan sesudah makan, doa sebelum tidur, membaca dan merenungkan kitab suci
bersama, dan lain-lain. Dengan kata lain doa bersama dalam keluarga sulit untuk
dilaksanakan apalagi untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan rohani atau
membiasakan anak-anak membuka buku-buku rohani, misalnya membuka kitab suci
atau madah bakti. Jangankan untuk mengikuti kegiatan rohani, komunikasi dengan
anak saja susah sekali bahkan hanya bertanya melalui telpon atau hand phone. Kaum
muda (pendamping sekolah minggu) mensharingkan pengalaman mereka yang
berkaitan dengan sekolah minggu, orang tua kurang memberikan motivasi atau
dukungan kepada anak-anak mereka sehingga anak-anaknya sulit diajak untuk
terlibat dalam kegiatan sekolah minggu. Hal inipun penulis alami langsung dalam
kegiatan sekolah minggu. Pada kegiatan sekolah minggu yang ada di lingkungan,
pendamping sendiri yang harus bekerja keras, dalam hal ini pendamping yang harus
mendatangi rumah anak-anak sekolah minggu (menjemput), itupun ketika
4
pendamping datang anak-anak belum siap, pendamping harus menunggu. Di sini
nampak sekali kesadaran orang tua akan kegiatan rohani (sekolah minggu) masih
sangat kurang, dan beranggapan bahwa ini merupakan tanggung jawab pendamping
kegiatan rohani. Ini anggapan yang salah. Dalam buku pengantar umum pendidikan
dikatakan bahwa : keluarga adalah pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama
dan utama yang dialami oleh anak dan lembaga yang bersifat kodrat.
Orang tua sebagai pemegang peranan yang terbesar dalam keluarga
seharusnya tetap memberi perhatian dan kasih sayang serta menasehatinya bila anak
berbuat sesuatu yang kurang baik. Oleh karena itu, sejak kecil anak perlu dididik
tentang pelbagai hal oleh orang tua misalnya, orang tua mengajarkan anaknya
tentang nilai-nilai kehidupan di antaranya nilai cinta kasih, sosial, budaya, moral,
pergaulan dan nilai pendidikan yang berguna bagi pembentukan mental dan
kepribadian iman anak itu sendiri. Dengan demikian anak akan lebih mudah
mengingat dan menghafal apa yang telah diajarkan orang tuanya. Karena itu orang
tua hendaknya memiliki iman yang dapat diandalkan agar mereka mampu menjadi
pendidik iman yang baik yang bisa mengarahkan dan mendidik anak sesuai dengan
taraf perkembangannya.
Tugas pendidikan berakar dalam panggilan suami-istri untuk mengambil
bagian dalam karya penciptaan Allah. Bila orang tua dalam kasih dan karena kasih
melahirkan pribadi baru yang dipanggil untuk tumbuh dan berkembang, maka orang
tua bertanggungjawab mengemban tugas membantunya menjadi manusia yang utuh.
Dalam keluarga anak-anak mendapat pengalaman pertama baik mengenai
masyarakat yang sehat maupun Gereja.
5
Dari sakramen perkawinan, seharusnya tugas pendidik iman anak dalam
keluarga Kristen sungguh dapat perhatian penting dalam pelayanan Gereja. Gereja
sungguh memberi perhatian khusus pada orang tua untuk membangun para
anggotanya. Maka orang tua mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang berat
dalam mengusahakan pendidikan yang membantu pertumbuhan dan perkembangan
iman anak. Bantuan dari orang lain sangatlah perlu untuk membentuk kepribadian
anak dan memperkaya iman anak, tetapi orang tua tetap menjadi pendidik iman anak
yang pertama dan utama dalam keluarga.
Berdasarkan pengalaman penulis yang sering ikut terlibat dalam kegiatan
sekolah minggu dan kegiatan lingkungan lainnya, melihat keaktifan dan keterlibatan
anak dalam mengikuti sekolah minggu dan kegiatan lainnya penulis mempunyai
keperihatinan tersendiri. Penulis melihat bahwa faktor pengetahuan, pemahaman dan
perhatian orang tua dalam pendidikan iman anak merupakan faktor yang perlu dikaji
untuk menangani permasalahan pendidikan iman anak.
Untuk itu penulis mencoba untuk mengikuti kegiatan lingkungan serta
kunjungan keluarga untuk mengetahui situasi umat di Lingkungan Brayat Minulyo
khususnya orang tua dalam pendampingan iman anaknya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Keterlibatan ini dengan maksud untuk mengetahui
sejauhmana orang tua sadar dalam memberi perhatian kepada anaknya untuk terlibat
dalam kegiatan lingkungan dan sekolah minggu. Orang tua adalah pelaku yang
pertama dan utama dalam pendidikan anak baik pendidikan iman maupun pendidikan
intelektual anak, karena merupakan sekolah pertama yang mengajarkan keutamaan-
6
keutamaan sosial yang dibutuhkan setiap masyarakat di mana anak-anak hidup dan
berkembang.
Orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Dalam agama Kristen,
Kristuslah yang menjadi teladan yang paling hakiki. Kristus menjadi teladan karena
Kemuliaan dan Keberhasilan-Nya dalam mewujudkan keselamatan manusia. Begitu
juga hendakya orang tua dan anak. Orang tua yang sebagai teladan anak hendaknya
membangun relasi yang dekat dengan anak dengan mengakui keberadaan anak,
sehingga orang tua dan anak adalah satu kesatuan.
Untuk menyikapi kenyataan kehidupan keluarga kristiani yang ada maka
penulis berusaha mengajak mereka untuk lebih menghayati kembalinya peranan
sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama. Peranan orang tua dalam
mendidik iman anak sangatlah menentukan, tidak ada satu yang dicapai jika orang
tua gagal membantu anak-anaknya menjadi orang Kristen yang dewasa. Hal ini
berarti orang tua berusaha memperlihatkan kepada anak-anaknya arti Cinta Allah
pada anak yang konkret melalui hidup mereka sehari-hari.
Orang tua mempunyai tugas atau tanggung jawab mendidik anak, sebab tugas
orang tua menjadi pendidik iman anak yang pertama dan utama. Orang tua sebagai
pendidik pertama: orang tua mengemban tugas memelihara, menjaga dan mendidik
anak sejak dikandung hingga dewasa. Sedangkan orang tua sebagai pendidik yang
utama: orang tua merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas
perkembangan anak menuju kedewasaan, meneruskan iman dan nilai-nilai kristiani
kepada anak-anaknya. Pendidik iman anak merupakan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan dengan senang hati, terus menerus, tanpa pamrih dan pengorbanan diri.
7
Dengan kepercayaan dan keyakinan hendaknya orang tua terus mendampingi anak-
anaknya mengenai nilai-nilai yang pokok dalam hidupnya . Orang tua perlu sadar
bahwa Tuhan telah memilih dan memberi kepercayaan kepada mereka untuk
mendidik dan membesarkan anak-anak mereka agar berkembang sebagai anak Allah,
sebagai sahabat Yesus, bait Roh Kudus dan sebagai anggota Gereja.
Penulis berusaha mengajak para orang tua untuk mengahayati tugas dan
tanggung jawabnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama melalui
katekese model SCP. Katekese diharapkan menbantu para orang tua yang mengalami
kesulitan dalam pelaksanan pendidikan iman bagi anak-anaknya. Oleh karena itu
penulis terdorong untuk memilih judul “ Peningkatan Kesadaran Orang Tua akan
Perannya dalam Pendidikan Iman Anak melalui Katekese model Shared
Christian Praxis Di Lingkungan Brayat Minulyo Wilayah Santa Maria Kalasan
Barat, Paroki Marganingsih Kalasan”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan penelitian ini
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Orang tua kurang menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya dalam
pendidikan iman anak.
2. Orang tua kurang memahami pendidikan iman anak dalam keluarga, dalam
hal ini orang tua menomorsatukan hal-hal lahiriah dibandingkan dengan hal-
hal yang rohaniah. Mereka merasa bahwa hal-hal rohani adalah tanggung
jawab guru agama di sekolah atau pendamping iman lainnya.
8
3. Permasalahan dari segi anak: anak-anak kurang terlibat dalam kegiatan
menggereja misalnya : Sekolah Minggu, Putra Altar, dan kegiatan
lingkungan lainnya.
4. Dari pihak lingkungan
Pendamping atau pemandu katekese kurang menjawab kebutuhan umat atau
kurang kontekstual.
C. Batasan Masalah
Setelah melihat permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas
maka penulis membatasi pada kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan
iman anak dan pengembangannya melalui katekese
Ruang lingkup penelitian ini adalah Bapak dan Ibu katolik di Lingkungan
Brayat Minulyo Wilayah Santa Maria Kalasan Barat, Paroki Marganingsih Kalasan.
D. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas maka permasalahan yang
muncul dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kesadaran?
2. Sejauh manakah orang tua menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga?
3. Apa dimaksud dengan katekese model SCP?
9
4. Seberapa besar dampak katekese model SCP terhadap kesadaran orang
tua akan perannya dalam pendidikan iman anak?
E. Tujuan Penulisan
Skripsi ini ditulis dengan tujuan :
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kesadaran.
2. Mengetahui sejauhmana orang tua menyadari tugas dan tanggung jawab
sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga.
3. Memaparkan katekese model SCP.
4. Mengetahui seberapa besar dampak katekese model SCP terhadap
kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman anak.
F. Manfaat Penulisan
1. Bagi orang tua pada umumnya: menambah pengetahuan dan inspirasi tentang
tangung jawab dan usaha mendidik dan mengembangkan iman anak agar
menjadi orang beriman yang dewasa.
2. Menambah wawasan bagi penulis dalam mengahayati pendidikan iman
anak dalam pendampingan orang tua.
3. Bagi para pendamping orang tua: menjadi salah satu bahan acuan bagi para
pendamping iman orang tua pada khususnya,dan dalam pengembangan iman
umat pada umumnya.
10
G. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah deskriptif analitis yaitu melalui
penelitian langsung dengan memaparkan dan menganalis permasalahan yang ada
sehingga ditemukan pemecahan yang tepat.
H. Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari lima bab :
Dalam Bab I penulis menguraikan pendahuluan yang memberikan gambaran
umum penulisan yang terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan,
metode, dan sistimatika penulisan berdasarkan permasalahan yang penulis temukan
dalam kenyataan hidup keluarga jaman sekarang, yang umumnya orang tua sibuk
dengan tugas atau kariernya dan kurang memperhatikan anak-anaknya bahkan
seharian penuh anak-anak hidup dengan pembantu rumah tanggga. Orang tua
berkomunikasi dengan anak hanya melalui hand phone atau telpon genggam.
Permasalahan tersebut menimbulkan keperihatinan penulis. Dengan demikian
penulisan ini kiranya dapat memberi sumbangan pemikiran bagi keluarga-keluarga
yang ada di Lingkungan Brayat Minulyo untuk membantu para orang tua
meningkatkan kesadarannya akan pendidikan iman anak dalam keluarga yang
pertama dan utama.
Dalam Bab II terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama, yaitu kajian pustaka.
Pada bagian ini penulis mencoba untuk menjawab masalah-masalah yang telah
11
dirumuskan dalam rumusan masalah yang kemudian akan dijawab dengan
menggunakan acuan pustaka atau teori-teori yang akan membantu penulis untuk
menjawab permasalahan tersebut. Bagian kedua adalah kerangka pikir yang
menjelaskan atau merumuskan bagaimana kerangka pikir penulis secara sistimatis
untuk mencoba memecahkan masalah-masalah yang telah dirumuskan dan dikaji
lewat kajian pustaka. Bagian ketiga adalah hipotesis atau jawaban sementara yang
dirumuskan oleh penulis berdasarkan landasan-landasan teori yang telah dibahas
dalam kajian pustaka.
Bab III Metodologi penelitian. Bagian ini penulis mulai masuk dalam
metode- metode penelitian yang akan dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang
telah dirumuskan oleh penulis pada bab sebelumnya. Bab ini terdiri dari beberapa
bagian yaitu: jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel
penelitian, metode pengumpulan data yang terdiri dari variabel, definisi operasional
variabel, pengembangan instrument, teknik analisis data yang terdiri dari deskripsi
data, dan uji hipotesis.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembhasan. Pada bab ini penulis akan
melaporkan hasil penelitian dalam bentuk deskriptif kuantitatif melalui data yang ada
selanjutnya akan dilakukan uji hipotesis dan pembahasan.
Bab V Kesimpulan dan Saran: bagian ini merupakan bagian penutup
penulisan skripsi berupa kesimpulan yang berisi rangkuman singkat dari keseluruhan
tulisan dari bab-bab yang telah dibahas. Dalam bagian ini penulis mencoba
memberikan saran yang diharapkan dapat membantu para orang tua dalam usahanya
mendampingi iman anak melalui katekese .
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
Pada kajian pustaka ini, penulis akan menguraikan dua hal yaitu : Pertama
kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman anak yang meliputi :
kesadaran, peran orang tua dalam pendidikan iman anak; kedua katekese yang
meliputi : pengertian katekese, tujuan katekese, isi katekese, sumber katekese, unsur
katekese, metode katekese, media katekese dan peserta katekese.
1. Kesadaran Orang Tua Akan Perannya Dalam Pendidikan Iman Anak
a. Kesadaran
Sadar dalam Kamus Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional.
2005) : tahu, mengerti. Kesadaran: keadaan mengerti, hal yang dialami atau
dirasakan oleh seseorang.
William James (1890) memandang kesadaran sebagai sesuatu yang terus-
menerus bergerak mengalir dari pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan daya
tangkap, serta kesadaran akan diri, keberadaan sadar (menyadari) dari suatu
pemikiran (Psychology, 1996 : 332-334). Kemudian pendapat dari seorang Filosof
Perancis Pene Descartes yang terkenal dengan pernyataan: “Cogito Ergo Sum” (saya
berpikir maka saya ada).
Fungsi kesadaran : mengamati diri dan lingkungan, mengontrol pikiran dan
tingkah laku serta sebagai monitor untuk terus-menerus menggerakkan perasaan-
13
perasaan, pikiran, emosi tujuan dan cara pemecahan masalah. Kesadaran
berkembang secara perlahan-lahan sebagai suatu mekanisme (cara kerja) untuk
mengarahkan tingkah laku, perhatian, memperkuat refleksi, dan kemampuan berbuat
atau bertindak. Misalnya belajar dari kesalahan atau kekurangan (John Wiley, 1996 :
335-339).
Barbara K.Given (2007 : 212) mengatakan kesadaran merupakan pemahaman
otak-pikiran tentang sebagian informasinya sendiri, melalui kata-kata yang kita
tujukan pada diri kita sendiri dan tindakan sadar seperti tidur, bermeditasi,
berolahraga, makan makanan yang bergisi dan memantau interaksi kita dengan orang
lain, mengubah keadaan pikiran kita, misalnya membuat kita bahagia, sedih,
gembira.
Kesadaran berarti memahami beragam perasaan, pikiran, hasrat, tindakan dan
reaksi kita. Kesadaran berarti memiliki niat untuk menyusun rencana dengan segaja,
mempertimbangkan sisi positif dan negatif suatu situasi sebelum mengambil
tindakan untuk mencapai tujuan. Kesadaran yang diperluas membuat kita merasa
ingin tahu tentang sang diri yang mengarah pada perkembangan hati nurani kita (
Given, 2007 : 315).
Kesadaran adalah memiliki niat untuk menyusun rencana dengan sengaja
mempertimbangkan segi positif dan negatif suatu situasi sebelum mengambil
tindakan atau membiarkan keadaan mereda sendiri dan secara selektif dan berarti
menentukan arah tindakan untuk meraih tujuan.
b. Peran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak
1) Anak
14
a) Batasan pengertian anak
Yang penulis maksudkan dengan anak di sini adalah anak yang berusia antara
2-12 tahun. Anak menurut Wasty Soemanto adalah seorang yang berada pada suatu
masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi dewasa (Wasty,
1990 : 166). Dengan kata lain anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil yang
dapat kita lakukan sebagaimana kita memperlakukan orang dewasa, dan bukan
sebagai bahan mainan sehingga kita memperlakukanya semau saya atau seenaknya
saja. Tetapi anak adalah seorang individu yang mempunyai hak dan kewajiban untuk
berkembang sesuai dengan dirinya. Sebagai seorang individu anak mempunyai ciri
khusus misalnya dunianya, kehidupan sosialnya, dan perkembangan imannya. Ciri
khusus inilah yang membedakannya dengan orang lain.
b) Perkembangan anak
(1) Anak usia 2 - 6 tahun
Anak seusia ini memiliki sifat yang khas yaitu keinginan dan kecenderungan
untuk mengetahui dan mengenal serta menemukan dunianya. Segala kejadian dan
keadaan sekitarnya ia ikuti dan bahkan berusaha untuk meniru apa yang diperbuat
dan dilakukan oleh orang lain. Dan boleh dikatakan anak seusia ini bagaikan sebuah
kertas putih yang siap untuk menulis apa saja (hal-hal yang baik dan buruk), dan
hasil tulisan itu sangat membekas untuk selamanya. Sifat anak kecil pada dasarnya
ingin mencari tahu yaitu menanyakan apa saja yang ia lihat dan ia jumpai, mencoba
memegang dan berusaha menirukan apa yang dilakukan orang lain (Hurlock, 1980 :
118).
(a) Hubungan sosial anak
15
Dalam pergaulan antara anak-anak biasanya ada hubungan yang saling
bertentangan satu dengan yang lain dan sebaliknya sikap saling ketergantungan satu
sama lain. Ciri khas yang lain adalah ingin berkuasa. Anak sebenarnya sudah mulai
memiliki kepribadian. Hal ini nampak kalau anak sedang marah karena keinginannya
tidak terpenuhi, punya rasa malu apabila tingkah lakunya keliru dan ditertawakan
didepan orang banyak. Kepribadian anak ini masih mentah dan belum terbentuk,
maka anak tidak dapat menyesuaikan kemampuannya dengan pendapat orang
dewasa. Anak sering melawan dan tidak mau menurut perintah atau nasehat orang
tua, karena keadaan akunya mulai berkembang. Itulah sebabnya anak sering tidak
mau diperintah dan tidak menurut pada orang tua (Hurlock, 1980 : 115).
(b) Hubungan dengan Tuhan
Anak usia ini senang meniru dari apa yang dilakukan orang lain. Demikian
juga dalam hal berdoa, seorang anak kecil sering mau menirukan orang tuanya dalam
berdoa dan mudah untuk diajari kalau orang tua sendiri rajin mengajarinya. Dalam
hal pengenalan akan Allah, anak selalu tergantung pada orang tuanya. Oleh karena
itu orang tua harus dapat memberikan gambaran akan Allah Yang Maha Baik, jangan
sampai justru sebaliknya, anak ditakut-takuti supaya ia tidak berbuat dosa dengan
mengatakan bahwa orang yang berdosa akan dihukum Allah. Ketakutan terhadap
Allah ini sesuatu yang wajar, tetapi orang tua hendaknya berhati-hati supaya jangan
sampai membiarkan hal itu keluar dari kewajarannya dan membebani anak. Oleh
sebab itu seorang anak harus diberi bekal kesadaran bahwa takut akan Allah itu
jangan karena hukumannya saja tetapi lebih-lebih karena cinta kasih-Nya,
kewibawaan-Nya dan rasa hormat kita kepada-Nya (Hurlock, 1980 : 127).
16
(2) Anak usia 6 – 12 tahun
Anak usia ini mulai belajar untuk membaca, menghafal, ataupun menulis,
karena pada usia ini anak berada pada masa sekolah. Dalam masa ini perhatian anak
biasanya lebih tertuju pada segala sesuatu yang bergerak sehingga ada kesan bahwa
mereka sudah mengagumi segala sesuatu (Zulkifli, 1986 :80 ). Kehidupan fantasi
anak pada usia ini sudah mulai berkurang dan sekarang menuju pada pengamatan
yang nyata. Namun penerimaan kenyataan belumlah seperti pada orang dewasa.
Karena anak baru dapat menerima kenyataan begitu saja tanpa mengkritik. Anak
dalam usia ini tidak bersifat egosentris artinya ia tidak lagi memandang dirinya
sendiri sebagai pusat perhatian lingkungannya. Tetapi anak mulai memperhatikan
dan menilai keadaan sekelilingnya dengan obyektif.
(a) Kehidupan sosial anak
Sejak anak dilahirkan telah dimulai disadarkan kepadanya bahwa ia adalah
makhluk sosial. Sifat sosial dari anak dapat kita lihat bahwa anak usia ini tidak mau
bermain sendiri, tetapi ia membutuhkan teman untuk bermain dan men-
dampinginya.
Dengan memasuki masa sekolah, anak akan mengenal lingkungannya yang
lebih luas terutama lingkungan sosial. Hal ini ditandai dengan keinginan anak untuk
melepaskan diri dari lingkungan keluarga dan ia mulai mendekatkan diri pada orang-
orang di luar keluarganya (Hurlock, (1980 : 117-119).
(b) Hubungan dengan Tuhan
Pada usia ini anak masih senang cerita-cerita atau dogeng-dogeng yang
berhubungan dengan Allah. Bahkan anak-anak akan selalu mencari dan membaca
17
majalah-majalah yang ada gambar-gambarnya. Dengan gambar-gambar tersebut
anak akan lebih mudah mengingat dan membayangkan sesuai dengan kenyataannya
(Hurlock, 1980 : 126-127). Oleh sebab itu orang tua harus lebih peka akan keadaan
anak, dan selalu mengingatkan kisah-kisah atau cerita-cerita yang berhubungan
dengan Allah dan orang-orang kudus dan yang berkaitan dengan kehidupan anak-
anak sehari-hari.
Pengenalan akan Allah, orang tua harus memberi pengetahuan pada anak dan
mengatakan bahwa Allah itu baik dan selalu mencintai manusia. Hal ini perlu
dilakuan mengingat anak bahwa seusia ini masih suka meniru dan mengingat apa
yang diucapkan oleh orang lain ataupun oleh orang tuanya sendiri. Dengan demikian
pengalaman-pengalaman anak akan Allah masih selalu tergantung dari orang tuanya
sendiri termasuk anggota keluarga lainnya.
2) Pendidikan Iman Anak
a) Pengertian Pendidikan Iman Anak
(1) Pengertian pendidikan
Kata pendidikan sering diucapkan oleh banyak orang, namun arti kata
pendidikan itu terkadang dicampur-adukkan dengan mengajar. Dan jika berbicara
tentang arti pendidikan pada umumnya kita akan menjumpai begitu banyak rumusan
arti pendidikan yang dikemukakan oleh beberapa tokoh dan kamus bahasa Indonesia.
Suwarno dalam bukunya Pengantar Umum Pendidikan mengutip beberapa
pendapat para ahli tentang pendidikan yaitu:
S. Brojonegoro merumuskan pengertian pendidikan sebagai berikut : pendidikan
adalah tuntunan kepada pertumbuhan manusia mulai dari lahir sampai tercapainya
18
kedewasaan dalam arti jasmani dan rohani (Suwarno, 981:2). M.J. Langeveld, Idrak
Jassin, mengemukakan : mendidik adalah memberi pertolongan secara sadar dan
segaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju
kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggungjawab susila atas
segala tidakannya menurut pilihannya sendiri. Menurut D. Marimba, seorang penulis
filsafat Islam menjelaskan pengertian pendidikan sebagai berikut: pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas penulis dapat merumuskan
pengertian pendidikan sebagai berikut: Pendidikan merupakan suatu proses usaha
untuk mempengaruhi dan membimbing anak secara sadar dan segaja berdasarkan
hidup atau kenyataan konkret yang ada pada anak-anak menuju kedewasaan.
Pendidikan disamping menekan tindakan serta tingkah laku yang dapat dilihat, juga
menekankan segi pemahaman atau pengetahuan. Mengingat bahwa pendidikan
berlangsung seumur hidup, di mana setiap orang berhak memperoleh pendidikan
pada tahap hidup maupun dalam perjalanan hidup imannya.
(2) Pengertian iman
Iman pertama-tama dimengerti sebagai anugerah Allah kepada umat-Nya.
Iman tidak terlepas dari wahyu. Ditinjau dari pihak Allah, Allah yang berinisiatif
terlebih dahulu untuk menyapa dan berelasi dengan manusia. Sedangkan dari pihak
manusia, manusia menanggapi dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah,
maka terjadilah relasi timbal balik dan personal antara Allah dengan manusia. Dari
19
relasi yang personal inilah yang membuahkan iman. Konsili Vatikan II dalam
kongregasi dogmatik tentang Wahyu Ilahi dikatakan :
Kepada Allah yang menyampaikan Wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman. Demikian manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendaknya yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan dan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya (DV,art. 5).
Iman merupakan hubungan pribadi manusia dengan Allah yang telah rela
menyatakan diri-Nya. Iman dapat terjadi hanya karena cinta dan rahmat Allah.
Dalam memahami iman yang terpenting adalah bahwa inisiatif selalu datang dari
Allah demi keselamatan manusia. Dari isi konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi,
Dei Verbum art. 5 di atas mengatakan bahwa: Allah yang memberikan Wahyu dan
manusia harus menyatakan ketaatan iman yaitu dengan bebas menyerahkan diri
secara total kepada Tuhan. Penyerahan diri tersebut menyangkut hubungan manusia
dengan manusia seluruhnya.
Iman adalah jawaban atas pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus. Umat
Kristen mengenal Allah secara pribadi sebagai Bapa melalui Yesus. “Semua telah
diserahkan kepadaKu oleh BapaKu dan tidak seorangpun mengenal anak selain
Bapa, dan tidak seorangpun mengenal anak selain Bapa, dan tidak seorangpun
mengenal anak dan orang yang kepadanya anak itu berkenan mengatakannya” (Mat
11: 27).
Iman dalam versi Alkitabiah mengandung ikatan dengan Allah dan janji-Nya
dalam menyakini, berharap dan bertekun dalam Tuhan (Chang, 2003 : 42). Dari
pihak Allah, Allah mewujudkan janji-Nya dengan penjemaan diri-Nya (Yes 65 :16),
20
sebaliknya dari pihak manusia menjadi ungkapan penalukan diri manusia dihadapan
Tuhan (Ul 27 :15-26).
Chang (2003 : 42) menjelaskan secara garis besar gagasan mengenai iman
dalam Kitab Suci dengan mengandung tiga unsur. Unsur pertama bahwa iman
merupakan penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Sikap rendah hati dibutuhkan
dalam kepercayaan, sebagaimana Kristus yang merendahkan diri hingga wafat di
kayu Salib (Flp 2 : 8). Unsur kedua adalah kepercayaan yang penuh seharusnya
menuntun manusia kepada kesetiaan yang sebenarnya yaitu peniruan dan pengambil
bagian pada kesetiaan akan Allah. Tuhan sendiri tetap tinggal setia kepada umat
manusia (Ul 14 : 4), kesetiaan kepada Tuhan melibatkan segenap kebebasan subyek
iman yaitu orang yang beriman. Dan unsur yang ketiga sehubungan dengan ketaatan.
Ketaatan merupakan suatu berada dalam relasi yang erat dengan Tuhan.
Persahabatan dengan Tuhan dijalinkan melalui perwujudan ketaatan kepada-Nya.
Dan ketaatan ini pada prinsipnya mengandaikan sikap dasar untuk mendengarkan.
Karena mendengarkan merupakan proses pembatinan sabda Tuhan sehingga
membangkitan dan memperkuat kepercayaan. ”Iman adalah dasar dari segala sesuatu
yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” (Ibr 11 : 1).
Dalam buku iman kateketik dikatakan bahwa seorang beriman adalah :
”Orang yang menerima dan mau tunduk serta berserah kepada Allah, mempercayakan diri sungguh kepada Allah, menerima bahwa Allah adalah kebenaran, menaruh sandaran kepada-Nya dan bukan dirinya sendiri, dan dengan demikian menjadi teguh dan benar oleh karena keteguhan dan kebenaran Allah” (Telaumbanua, 1999: 44).
Untuk sampai pada iman yang mendalam dan penyerahan diri seutuhnya pada
Tuhan, maka manusia perlu membiasakan diri terus menerus menghadirkan
21
bimbingan Roh Kudus dalam seluruh peristiwa hidupnya, dan membiarkan hidupnya
dipimpin oleh-Nya, karena melalui dan didalam-Nya hidup kita semakin terarah dan
akhirnya memampukan kita untuk semakin percaya dan berharap pada Tuhan yang
adalah kebenaran.
b) Tujuan Pendidikan Iman Anak
Pendidikan iman anak dalam keluarga bertujuan untuk membantu anak agar
semakin berkembang dan bertumbuh menjadi seorang pribadi yang lebih dewasa dan
bertanggungjawab serta mampu mewujudkan iman dalam pengalaman konkret
sehari-hari melalui kedekatan mereka secara pribadi akan Yesus yang telah mereka
hidup dalam keluarga. Oleh sebab itu tahap demi tahap anak perlu dibantu dan dibina
terus-menerus, sehingga pengalaman iman akan Yesus yang mereka sudah peroleh
dalam keluarga tetap mewarnai seluruh hidup akan Yesus yang mereka sudah
peroleh dalam keluarga tetap mewarnai seluruh hidup mereka. Betapa pentingnya
tujuan pendidikan iman anak dalam keluarga. Tempat pelayanan dan kesaksian iman
anak yang pertama dalam keluarga adalah orang tua, melalui kesaksian hidup orang
tua dalam doa bersama, membaca sabda Tuhan bersama, ke gereja bersama, maka
dengan sendirinya orang telah mengantar anaknya untuk sampai pada kepenuhan
iman yang mendalam akan Yesus Kristus yang sengsara, wafat dan bangkit, akhirnya
dalam diri anak tumbuh suatu kerinduan besar untuk semakin mencintai Yesus dalam
hidup mereka setiap hari.
c) Perlunya Pendidikan Iman Anak
Melihat situasi jaman yang semakin maju karena ditandai dengan berbagai
macam perkembangan teknologi dan informasi yang begitu canggih. Perkembangan
22
yang semakin pesat ini tentunya mempunyai dampak yang besar pula dalam
kehidupan sekarang ini. Berbagai macam persoalan yang selalu saja terjadi seperti
pergaulan bebas, aborsi, narkoba, pembunuhan dan pemerkosaan. Dari persoalan
tersebut akan mempengaruhi sikap hidup manusia yang didalamnya adalah
perkembangan fisik, mental dan spiritual.
Awal kehidupan dan lingkungan utama anak adalah keluarga. Dalam
keluarga anak belajar dasar-dasar kepribadian, sikap dan prilaku yang akan
dipergunakan untuk berhubungan dengan orang lain di luar keluarga (Adiyanti 2003 :
93). Apabila orang tua telah memperhatikan dasar-dasar kepribadian, sikap dan
prilaku anak dalam keluarga dengan memberi kasih sayang dan perhatian penuh,
maka iman anak akan bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik dan
terutama ketika anak berada di luar keluarga.
Namun dalam kehidupan setiap hari seringkali orang tua salah mengerti peran
mereka sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga.
Mereka berpikir bahwa tugas yang paling pertama dan utama adalah mencari uang
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan memberi uang dan materi, tugas
mereka dianggap sudah selesai tanpa ada waktu sedikit pun untuk berdialog dan
bersahabat dengan anak-anak untuk mengetahui situasi hidup mereka, jadi tidak
mengherankan bila anak-anak mereka lebih mengasihi pembantu dari pada orang
tuanya sendiri.
Dalam buku pedoman gereja katolik Indonesia dikatakan bahwa :
Arus besar di dalam masyarakat sering menciptakan gambaran sekan-akan yang
terpenting dalam hidup adalah mengumpukan uang dan materi, kedudukan dan
23
kekuasaan. Lalu tidak sedikit orang tua yang mengira bahwa dengan menyediakan
materi bagi keluarga tugasnya selesai. Pada hal anak pertama-tama memerlukan
perhatian, kehangatan dan kemesraan hubungan dengan orang tua dan saudara-
saudara mereka. Anak-anak memerlukan keleluasaan isi hati, emosi, dan pengalaman
kepada orang tua. Oleh karena itu orang tua harus menyediakan diri dan harus juga
dapat bertindak sebagai sahabat bagi anak-anaknya. Orang tua perlu menggunakan
cara-caranya sesuai dengan tingkat pertumbuhan kedewasaan anak. Mereka perlu
dilatih supaya bertindak dan bersikap secara bertanggungjawab. Apabila anak tidak
menemukan suasana kekerasan tersebut didalam keluarga, mereka akan lari ketempat
lain, pergaulan di luar rumah yang mungkin membahayakan perkembangan jasmani
dan rohaninya (Pedoman gereja katolik Indonesia. 1995 : 23). Dokumen ini sangat
jelas menguarakan bagaimana perlunya pendidikan iman anak serta peranan dan
tanggung jawab mereka sebagai orang tua dalam keluarga terutama menciptakan
suasana yang harmonis bersama anak-anaknya, bukan pertama-tama uang dan materi
yang anak inginkan tetapi perhatian dan kasih sayang dari orang tualah yang mereka
harapkan.
Memang kebutuhan yang lain sangatlah menunjang tetapi yang paling
penting dan mendasar dalam hidup anak yang masih kecil dalam keluarga adalah
perhatian dan kasih sayang. Karena sikap inilah yang akan mempengaruhi hidup
anak selanjutnya dalam bertindak dan berbuat sesuatu yang lebih berguna bagi
hidupnya di masa yang akan datang.
Sebagai orang tua yang bijaksana perlu memperhatikan bagaimana cara
terbaik dalam menciptakan suasana yang konduksif terutama membantu
24
pertumbuhan dan perkembangan iman anak dalam keluarga. Anak akan melihat dan
belajar banyak dari kehidupan keluarga dimana mereka tinggal.
Orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga perlu
memperhatikan pendidikan iman anak dalam keluarga secara lebih bijaksana dan
bertanggunjawab, terutama bagaimana cara orang tua menunjukkan kesaksian hidup
yang baik dalam keluarga. Seorang anak bagaikan sebuah lembaran putih. Apa yang
tertulis pada lembaran itu, hal itu pula yang akan memberi warna pada diri anak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesaksian hidup orang tua dalam keluarga
sangatlah besar pengaruhnya bagi kehidupan anak dalam keluarga. Karena anak lebih
banyak melihat dan merekam apa yang dilakukan orang tua terhadap mereka di
dalam keluarga.
d) Ruang Lingkup Pendidikan Iman Anak
(1) Keluarga
Keluarga adalah orang yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Dan
kelompok ini mempunyai tugas dan perannya masing-masing. Anak adalah bagian
dari keluarga, baik itu keluarga inti maupun keluarga besar. Anak sebagai salah satu
keluarga dan sebagai bagian dari keluarga itu sendiri harus ikut bertanggungjawab
atas keselamatan dan kesejahteraan keluarga. Anak merupakan harapan keluarga dan
juga menjadi penerus keturunan selanjutnya. Keluarga juga ikut menentukan berhasil
tidaknya harapan tersebut, sebab anak belum mampu berdiri sendiri. Maka peranserta
dari keluarga sangatlah dibutuhkan. Ayah dan ibu (keluarga) sebagai orang penting
dalam keluarga, mempunyai tugas sebagai pembentuk pribadi anak-anaknya.
25
(2) Gereja
Gereja adalah umat Allah. Komunitas umat yang percaya adalah gereja.
Gereja dan umat adalah dua hal yang tak terpisahkan. Berbicara tentang gereja
berarti berbicara tentang umat Allah yang berkumpul.
Anak adalah bagian dari umat Allah karena itupun mereka bagian dari Gereja.
Karena bagian dari Gereja maka peran dan kepentingan mereka di dalam Gereja
menjadi hal yang penting diperhatikan dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Baik
buruknya perkembangan Gereja juga ditentukan oleh bagaimana anak dipersiapkan.
Persiapan itu tidak lain adalah pembinaan iman mereka. Dalam hal ini adalah peran
keluarga (orang tua) sebagai gereja mini sangat penting. Keluarga menjadi tempat
pertama anak belajar beriman. Anak yang berkembang baik dalam iman dengan
sendirinya akan merasa terpanggil untuk terlibat aktif dalam kehidupan menggereja.
Masa depan Gereja ada di tangan generasi muda saat ini termasuk anak-anak, oleh
karena itu Gereja (paroki) harus memberikan hati, meluangkan waktu dan
menyiapkan dana pendidikan dan pembinaan iman anak, serta mempersiapkan
tenaga pendamping yang handal. Dalam hal ini para pendamping iman anak perlu di
persiapkan dengan mengadakan pengkaderan / pembekalan dan jika di paroki
dimana anak-anak berada kegiatan pembekalan itu belum ada, bisa kerjasama
dengan paroki-paroki lain yang mengadakan kegiatan tersebut. Sehingga para
pendamping anak sungguh-sungguh memiliki bekal untuk mendampingi anak-anak
yang ada di paroki dan lingkungan. Dengan kata lain Gereja (paroki) rela berkorban
demi masa depan Gereja. Karena baik buruknya kehidupan masa depan Gereja ada
26
ditangan mereka (anak-anak), jadi apa yang ditanam hari ini (iman anak) akan
nampak hasilnya dalam kepribadian anak pada masa yang akan datang.
Gereja memiliki peran penting dalam keseluruhan proses pendidikan iman
anak. Dalam GE art 3 dikatakan :
Tugas menyelenggarakan pendidikan, yang pertama-tama menjadi tugas dan tanggung jawab keluarga, dengan bantuan seluruh masyarakat, akhirnya secara istimewa pendidikan termasuk tugas Gereja, bukan hanya karena masyarakat harus diakui kemampuannya menyelenggarakan pendidikan melainkan karena Gereja bertugas mewartakan jalan keselamatan kepada semua orang.(GE art 3).
Dalam pernyataan ini Paus Yohanes Paulus II menandaskan bahwa : Gereja
mempunyai posisi yang cukup mendukung tercapai pendidikan anak terutama
mengusahakan upaya-upaya yang khas, khususnya menyentuh sisi religius anak.
Melalui pendampingan anak (bina iman) misalnya : anak bisa diperkenalkan dengan
berbagai kisah iman dalam Kitab Suci sekaligus mengajak mereka untuk bertindak
sesuai dengan ajaran cinta kasih.Pendampingan iman anak sejak awal (dini) penting
bagi anak demi proses kehidupan anak selanjutnya.
(3) Sekolah
Mengingat bahwa tugas orang tua dalam mendidik iman anak amatlah berat.
Maka dibutuhkan lembaga lain agar dapat membantu mendidik iman anak secara
maksimal. Dalam hal ini adalah sekolah. Lembaga sekolah membantu orang tua
dalam mengembangkan kemampuan intelektual, afeksi, dan ketrampilan dengan
sistim kerja yang terprogram. Sekolah menyiapkan anak agar mempunyai bekal yang
memadai dimasa mendatang. Sekolah adalah partner orang tua dalam mendidik anak
secara khusus dalam sekolah katolik pada hahekatnya membantu dan melengkapi
27
(partner) tugas dan peran utama orang tua dalam mendampingi, membimbing anak-
anak baik dalam bidang intelektual, iman, maupun moral. Jadi sekolah mempunyai
tanggung jawab besar bagi perkembangan iman anak.
Dalam buku ajaran dan pedoman gereja tentang pendidikan katolik dikatakan :
“…sekolah harus mendorong murid melatih pikirannya melalui pemahaman yang dinamis guna mendapatkan kejelasan dan kekayaan akal. Sekolah harus menolong murid mengupas arti pengalaman-pengalamannya dan kebenaran dari pengalaman itu. Tiap sekolah yang melalaikan kewajiban itu dan yang hanya menyampaikan kesimpulan-kesimpulan yang terjadi, sekolah tersebut menghambat perkembangan pribadi murid-muridnya” ( A. Sewaka. 1992 : art. 27).
Dari kutipan di atas mau dikatakan bahwa sekolah perlu melihat kembali
program pembentukannya baik isi maupun metode pelajaran yang disampaikan, yang
berkaitan dengan kemanusaian. Dan para pendidik (guru) perlu memahami latar
belakang, keunikan-keunikan setiap anak didiknya, dan lebih menyentuh
pelajarannya apabila metodenya dapat menyapa pengalaman hidup nyata mereka dan
bahkan akan membantu mereka dalam mengembangkan pribadi yang utuh. Para
pendidikpun perlu menyadari akan tujuan dari pengajaran di sekolah yaitu
pendidikan, artinya pengembangan manusia dari dalam dengan membebaskan anak
dari suasana yang mungkin menghalang-halanginya menjadi manusia yang sungguh-
sungguh utuh. Sekolah harus bertolak dari prinsip bahwa program pendidikannya
secara sadar diarahkan kepada pertumbuhan pribadi seutuhnya. Sekolah harus
merupakan komunitas yang nilai-nilainya dikomonikasikan melalui relasi antar
pribadi, baik antar para pandidik sendiri, anak didik maupun antar para pendidik
dengan anak-anak. Jadi kesaksian hidup dari para pendidik juga menentukan bagi
28
perkembangan iman anak melalui tingkah laku, sikap dan tindakan nyata dengan
orang lain.
Dari ketiga hal di atas (keluarga. Gereja, sekolah) dengan segala ciri khasnya
diharapkan memberikan sumbangan yang berarti bagi anak. Mereka perlu dituntun,
didampingi, dibimbing dan diarahkan agar makin berkembang dewasa secara
menyeluruh. Dan perlu diingat bahwa anak adalah subyek pendidikan dan bukan
menjadi objek dari pendidikan itu. Anak adalah anugerah istimewa dari Allah
sehingga mempunyai hak untuk berkembang menjadi pribadi yang sempurna. Proses
kesempurnaan hidupnya didasarkan pada prinsip-prinsip yang memungkinkan
mereka dapat mengembangkan kebebasan tanggung jawabnya. Sikap saling
menerima, cinta kasih, penghargaan dan kepedulian merupakan unsur yang
menentukan. Sikap keterbukaan, saling mendukung, dan saling mengembangkan
harus diperjuangkan bersama, sehingga orang tua, gereja dan sekolah harus
menjauhkan diri dari unsur paksaan. Menjadi lebih baik bila orang tua memanfaatkan
kemajuan dan ilmu teknologi untuk menumbuhkembangkan bakat dan kepribadian
anak. Untuk itu diperlukan kesadaran untuk semakin melibatkan anak baik dalam
keluarga, sekolah maupun dalam hidup menggereja.
3) Peran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga
a) Keluarga
Keluarga adalah kelompok orang-orang yang mempunyai hubungan akrab
satu sama lain karena hubungan darah atau ikatan perkawinan. Kelompok besar atau
extended family bila jumlahnya banyak dan hubungannya agak longgar, dan keluarga
inti atau nuclear family bila jumlahnya sedikit dan hubungannya sangat erat atau
29
dekat (ayah, ibu dan anak) (KomKel, 2006 : 3). Keluarga adalah persekutuan antar
pribadi yang saling memberi, saling mencintai, saling melengkapi dan
berpengharapan dalam kasih yang tak terbatas. Keluarga terdiri dari beberapa pribadi
yang mempunyai relasi timbal-balik secara intensif. Relasi itu meliputi relasi suami-
isteri dan anak-anak. Relasi terjadi dalam kaitan hubungan darah (keluarga inti) yang
didasarkan pada cinta kasih sebagai satu kesatuan hidup. Relasi yang terjadi antara
orang tua dan anak-anaknya bukan hanya bersifat manusiawi ( hubungan darah)
melainkan juga bersifat rohani yaitu relasi kasih itu sendiri (KomKat KAS, 2006 : 4).
Pelaksanaan pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam keluarga saja melainkan
dapat berlangsung di beberapa tempat antara lain keluarga, sekolah dan masyarakat.
Ketiga pendidikan tersebut memiliki perbedaan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain, sebab pendidikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat terpadu
artinya pendidikan yang diterima anak dalam keluarga dan masyarakat merupakan
rangkaian dari suatu proses yang berlangsung seumur hidup. Dari semua tempat
tersebut yang menjadi pendidikan anak yang pertama adalah keluarga. Keluarga
merupakan pendidikan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan iman anak di
sekolah dan masyarakat, oleh sebab itu orang tua sebagai penanggungjawab iman
anak dalam keluarga bertanggungjawab dan berkewajiban untuk menanamkan nilai-
nilai kehidupan yang berguna bagi pembentukan mental dan kepribadian anak itu
sendiri.
Keluarga adalah sekolah untuk hidup yang ditanamkan orang tua dan
sekaligus menjadi tanggung jawabnya untuk belajar saling mencintai, saling
menghormati, saling menerima, membedakan yang benar dan salah, disiplin dan
30
tanggungjawab. Dalam tugas orang tua sebagai pendidik pertama dan utama tidak
dapat dialih kepada orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II,
dalam seruan apostoliknya sebagai berikut : ”.....tugas dan kewajiban orang tua untuk
mendidik anak-anaknya merupakan hak yang esensial, orisinil dan primer, tak
tergantikan. Dan semua itu dilandasi oleh prinsip cinta kasih (FC, art. 36)
Orang tua sebagai pendidik pertama: orang tua mengemban tugas
memelihara, menjaga dan mendidik anak sejak dikandung hingga dewasa.
Sedangkan orang tua sebagai pendidik yang utama: orang tua merupakan orang yang
paling bertanggungjawab atas perkembangan anak menuju kedewasaan, meneruskan
iman dan nilai-nilai kristiani kepada anak-anaknya.
Keluarga merupakan tempat pesemaian, pertumbuhan dan perkembangan
iman anak. Dari orang tua anak mulai mendapat pendidikan iman yang pertama dan
utama, dan mulai mengalami perhatian dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang
dari orang tua ini merupakan tanda nyata bagi anak-anak yang dikasihi Allah.
b) Peran orang tua dalam pendidikan iman anak
Pendidikan iman anak dimulai sedini mungkin, sejak lahir dan terus-menerus sampai
anak menjadi dewasa. Orang tua wajib menjamin pendidikan Kristiani, tidak hanya
sebagai kewajiban tetapi anak perlu mendapat bimbingan agar iman yang tertanam
seharusnya menjadi milik pribadi orang tua harus menjamin dan memelihara iman
anak, menciptakan suasana kristiani dalam hidup mereka. Karena iman merupakan
anugerah atau penggilan dari Tuhan yang bertumbuh sesuai dengan dinamika
perkembangan anak. Usia, psikologis intelektual dan lingkungnnya. Karena itu orang
31
tua dituntut kemampuannya memberi pendidikan iman menuju pada kedewasaan
iman (Wignyasumarta, 2000 : 151-152 ).
Selain nilai-nilai iman yang ditanamkan dalam keluarga, orang tua juga perlu
menanamkan bentuk pendidikan iman lainya yang bisa membantu perkembangan
dan pertumbuhan iman anak melalui setiap cara yang nantinya dapat membantu
pribadi anak semakin dewasa, mandiri dan bertanggungjawab. Bentuk pendidikan
iman anak yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan sosial, pendidikan
ketrampilan dan pendidikan kedisiplinan. Pendidikan sosial bagaimana orang tua
mengajar anak-anak mereka bersikap seperti sikap melayani dengan penuh cinta,
sikap untuk bergaul dengan semua orang, sikap menerima orang lain apa adanya,
sikap menghargai dan sikap berempati atau tenggang rasa kepada orang lain yang
menderita dan yang mangalami kesusahan. Pendidikan keterampilan, bagaimana
orang tua mengajari anak-anaknya untuk terampil dalam memasak, menjahit menata
bunga, menata rumah, trampil dalam melukis dll. Pendidikan kedisplinan, bagaimana
orang tua mengajari anak-anaknya untuk displin dalam waktu belajar, makan,
bermain, bekerja, berdoa baik dalam keluarga, lingkungan dan Gereja.
Apabila dalam keluarga orang tua sudah menanamkan pendidikan ini dan
memberi kepercayaan penuh kepada anak-anaknya sejak masih kecil dalam keluarga,
maka anak akan semakin bertanggungjawab dengan sikap hidupnya baik di dalam
keluarga, sekolah, Gereja maupun masyarakat yang lebih luas.
Orang tua memiliki tugas dan tanggungjawab pertama dan utama dalam
mendidik anak dalam bidang keagamaan, kesosilaan, budaya dan kemasyarakatan.
Pendidikan meliputi aspek kognitif (intelektual), afektif (emosi dan perasaan), etika
32
(nilai- nilai moral) dan estetika (nilai-nilai keindahan) (Tim pusat pendampingan
keluarga Brayat Minulyo, 2007 : 23). Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak
dalam bidang hidup keimanan, orang tua pertama-tama dituntut memiliki
pengalaman yang baik, menampilkan perilaku hidup yang baik sebab anak akan lebih
mudah mencontoh apa yang diperbuat orang tua. Setiap keluarga katolik
membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan merenungkan
Sabda Tuhan bersama. Dengan demikian keluarga menjadi gereja mini. Keluarga
menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi : Bapa,
Putera dan Roh Kudus. Keluarga adalah gereja mini tempat kesatuan bapak ibu dan
anak-anak menjadi komunitas iman ”di mana ada dua tiga orang berkumpul dalam
nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18 : 20). Dalam keluarga
seorang anak sungguh-sungguh dapat mengenal dan mengalami Allah. Oleh karena
itu dalam keluarga kristiani orang tua harus membiasakan diri mengadakan doa
bersama, ikut dalam perayaan Ekaristi, menerima sakramen pengampunan secara
teratur.
Dalam keluarga seorang anak mendapat pendidikan mengenai nilai-nilai
moral. Orang tua mempunyai tugas sangat berat untuk membentuk anak-anak yang
sungguh memiliki integritas moral. Untuk itu dalam keluarga anak-anak dibiasakan
belajar membuat keputusan sendiri dan bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
Hal ini dilakukan harus sesuai dengan perkembangan anak (usia anak). Berkaitan
dengan pendidikan moral dan kesusilaan orang tua harus menanamkan nilai-nilai
luhur, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghormatan terhadap sesama
manusia yang dimulai dalam lingkup keluarga.
33
Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam kesetiakawanan dan semangat
sosial anak. Bagaimana orang tua menciptakan iklim yang kondusif yang
memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan
kebutuhan orang lain, menumbuhkan semangat mau saling membantu dan melayani,
semangat rela berkorban dan mau saling menghargai.
Keluarga katolik mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan
gereja yang diterima dari Yesus Kristus yaitu misi kenabian, keimaman, dan rajawi
melalui penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun
keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengorbanan, kesetiaan, pengabdian,
membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam sakramen perkawinan
sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (FC, art. 50). Dalam
bidang kemasyarakatan, orang tua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada
anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat
solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehati-sejiwa dengan mereka yang
berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluarga. Anak dididik dan dilatih untuk
mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga katolik dipanggil untuk terlibat aktif
dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari cinta, keadilan dan
kebenaran (Tim Pusat pendampingan keluarga Brayat Minulyo, 2007 : 24).
Peran dan fungsi orang tua dalam mendidik anak sangatlah penting, sebagai
pendidik yang pertama dan utama. Tugas dan kewajiban orang tua yang tak dapat
diwakili oleh orang lain. Pendidikan yang diberikan orang tua pada anaknya perlu
dilandasi oleh kasih sayang. Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan
pada umumnya yang bersifat menyeluruh termasuk pendidikan imannya. Tugas
34
tersebut dapat dilaksanakan misalnya dengan memberi nasehat serta memberi contoh
untuk bersaksi. Memberi nasehat tidak perlu dengan kata yang panjang dan kalimat
yang indah, tetapi dengan menggunakan kata yang mudah dimengerti atau dipahami
oleh anak. Dan yang lebih penting adalah kesaksian hidup orang tua. Kesaksian
merupakan salah satu wujud pewartaan Injil yang dapat dibuat oleh semua orang dan
khususnya oleh orang tua. Kesaksian merupakan suatu peristiwa yang berdampak
dalam hidup dan menjadi suatu kenangan. Untuk itu semangat bersaksi harus
ditanamkan pada anak-anak dengan cara memberi contoh bagaimana bersaksi kepada
teman dan sesama. Hal ini merupakan salah satu cara untuk menolong anak dalam
pertumbuhan imannya
. ”Pendidikan iman oleh orang tua yang harus mulai sejak umur anak yang
paling muda, sudah diberi kalau anggota keluarga saling menolong untuk tumbuh dalam iman melalui kesaksian hidup kristen yang sering tanpa kata-kata, tetapi yang bertahan lewat hidup sehari-hari yang dihayati sesuai dengan injil” (Paus Yohanes Paulus II, 1980 : 62-63).
Penanaman sikap bersaksi akan menyebabkan anak dapat tumbuh dalam iman
sesuai dengan yang diajarkan oleh otang tua. Orang tua perlu memberi kesempatan
pada anak-anak untuk bersaksi tentang kebenaran, tetapi harus ikut bersaksi sehingga
anak-anak kelak sudah terbiasa dengan kesaksian yang benar.
Peran dan fungsi orang tua menurut Sunarti Hastono dalam bukunya
”Pendidikan kesejahteraan Keluarga” adalah : membangun manusia sehat dan kuat
(menyiapkan generasi muda membangun keluarga yang sejahtera) mendidik
kerohanian keluarga, memberi rasa tenang dan kasih sayang terhadap anggota
keluarga dan sesamanya dan dapat menolong orang lain dalam kesulitan.
35
Dalam menanamkan kedisiplinan pada anak orang tua perlu memiliki
kesabaran dan rasa kasih sayang yang penuh, serta menyesuaikan dengan usia dan
kemampuan anak. Misalnya : anak usia balita : kenalkan disiplin sehari-hari pada
anak. Seorang anak belajar memahami kejadian di lingkungan dengan menjadi
pengamat dan peniru. Anak usia bayi :anak memiliki jam minum, makan, istirahat,
kebersihan (ketika membuang air besar atau kecil). Anak usia dua tahun ke atas :
kenalkan pada anak-anak akan bahaya yang ada di sekitar mereka, seperti listrik,
pisau yang tajam, kaca dengan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Untuk itu orang tua perlu memiliki pola hidup yang teratur. Misalnya :
bangun pagi, doa, mandi, merapikan rumah, makan makanan yang sehat dan
berkomunikasi dengan bahasa yang baik. Dengan mengamati keteraturan yang
dilakukan orang tua setiap hari, seorang anak pada usia dini akan lebih mudah
memiliki disiplin diri. Hal-hal yang pelu diperhatikan dalam pembentukan
kedisiplinan pada anak : kenalkan semenjak dini keteraturan dan kedisiplinan
keluarga pada anak, buatlah suasana yang menyenangkan ketika mengajar disiplin
pada anak sehingga anak memiliki kesan yang baik ketika melakukan tugasnya,
aturan yang belaku hendaknya disesuaikan dengan usia anak tidak perlu menuntut di
luar kemampuan anak, memberi pujian dan hukuman yang tepat, hargailah setiap
keberhasilan yang ditunjukkanya, segera memberi tindakan ketika anak melakukan
kesalahan sehingga anak dapat memahami pada saat itu juga, jangan melakukan
hukuman fisik ketika anak melanggar aturan, karena anak akan menjadi kebal
terhadap peringatan dari orang tua, berilah contoh yang baik kepada anak. Misalnya:
jam isterahat jangan diajak untuk kegiatan yang lain (Hurlock, 1978: 35-46).
36
Sebagai pendidik yang pertama dan utama tugas orang tua sangatlah berat.
Maka sebagai orang tua harus sejak dini mengenalkan Allah kepada anak-anak dan
mengajarkan mereka untuk memandang dan menyembah-Nya, serta mencintai
sesama manusia sesuai dengan iman yang diterima dalam permandian. Hal ini
dimaksudkan agar anak-anak yang telah dididik tersebut apabila mencapai usia
dewasa dapat mempunyai tanggung jawab untuk selalu mengikuti panggilan suci
(GE. Art. 3).
Hak dan kewajiban orang tua dalam mendidik anak terutama dalam
pendidikan iman anak ditegaskan juga dalam hukum kanonik (KWI, 1983. kanon
226,793, 1136). Kanon-kanon tersebut menjelaskan bahwa orang tua merupakan
pendidik yang pertama dan utama. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua lebih
menitik beratkan pada pendidikan kristiani yaitu pendidikan secara utuh baik dari
segi fisik, sosial, kultural maupun religiusnya berdasarkan pada iman kristiani.
Dengan kata lain tugas orang tua adalah sebagai pendamping perkembangan iman
anak-anaknya, dimana pendampingan yang dilakukan oleh orang tua tersebut
merupakan tugas dan kewajiban yang sangat luhur. Dengan tugas dan kewajiban
yang sangat luhur itu orang tua menjadi pendidik yang pertama dan utama, sekaligus
menjadi sarana dan jalan bagi anak-anak untuk menentukan jalan kehidupan dan
keselamatan.
Orang tua juga harus menjadi pribadi yang beriman dan aktif dalam hidup
menggereja. Orang tua bijak bukan hanya menyuruh anak-anaknya beriman.
Pasangan suami isteri harus memberi contoh nyata kepada anak-anaknya. Teladan
konkret itu jauh lebih berarti daripada sekadar nasehat belaka.
37
Orang tua mengarahkan anaknya agar terlibat aktif dalam kegiatan gerejani
memerlukan strategi yang tepat, diantaranya adalah:
1) Menyiapkan sarana penunjang
Pada tahap permulaan orang tua perlu merangsang motivasi anak dengan
sarana penunjang. Kesediaan orang untuk mengantar anak ke gereja dan sekolah
minggu adalah salah satu langkah yang paling konkret. Selain itu hendaknya orang
tua hendaknya menyediakan alkitab, buku-buku rohani, benda-benda devosional
(salib, rosario) yang mendorong semangat doa di hati anak.
2) Memberikan pujian
Anak perlu didorong dengan pemberian pujian. Bila mereka giat terlibat
sebagai anggota sekolah minggu, misdinar, kelompok paduan suara atau kegiatan
lainnya yang ada di paroki atau lingkungan, sebaiknya orang tua memberikan pujian.
Pujian bisa berupa kata-kata ataupun pemberian kado yang paling didambakannya.
Pujian pula dapat diwujudkan dengan mengajak pergi ke tempat rekreasi favorit
anak.
3) Memberi kepercayaan
Orang tua perlu memberi kepercayaaan yang cukup pada anak yang terlibat
dalam kegiatan gereja. Sikap terlalu mengawasi tentu bukan wujud pemberian
kepercayaan yang terbaik. Perlu dibangun suatu dialog untuk membuat kesepakatan
dengan si anak. Kesepakatan tersebut memuat aturan-aturan yang ditaati orang tua
dan anak. Dengan demikian anak belajar untuk bertanggungjawab atas kepercayaan
yang diberikan orang tua. Dalam keluarga perlu ada komunikasi yang sehat antara
orang tua dan anak.
38
4) Menoleransi kesalahan
Belajar adalah membuat banyak kesalahan. Demikian bunyi salah satu
pribahasa. Sebagai pemula, anak pasti akan membuat kesalahan. Membuat kesalahan
adalah bagian dari proses belajar itu sendiri. Oleh karena itu orang perlu menoleransi
kesalahan yang dilakukan anak. Jangan cepat-cepat menghukum anak yang
melanggar kesepakatan.
5) Menjadi sahabat setia
Orang tua yang bijak memandang anak sebagai subyek yang perlu dihargai.
Anak memang mempunyai kewajiban untuk tunduk dan taat kepada orang tua.
Namun anak juga memiliki hak untuk dicintai, dilindungi, dan dididik secara
kristiani. Oleh karena itu hendaknya orang tua menjadi sahabat setia bagi anak-
anaknya. Kedekatan emosinal akan lebih terjalin kukuh bila orang tua menempatkan
diri sejajar dengan anak-anak.
Mengarahkan anak agar telibat dalam kegiatan gerejani adalah suatu tugas yang
menantang. Untuk itu orang tua perlu menumbuhkan sikap sabar dalam menghadapi
kenyataan hidup setiap hari.
6) Memberi teladan atau kesaksian hidup
Peran orang tua pertama-tama adalah menjadi saksi iman, berarti lebih dari
hanya berbicara tentang agama katolik atau memberi pengajaran tentang pelbagai
segi tentang Kristus, agama dan hidup kristiani. Menjadi saksi iman berarti
mengarahkan seluruh pribadinya dan dengan segala apa yang dikatakannya. Menjadi
saksi iman berarti mengarah kepada kenyataan hidup dan kepada kebenarannya, (
Bernad, 1972 Orang tua tidak hanya cukup mengajar anak tentang Kristus, tetapi
39
orang tua harus memberikan kesaksian hidup yang baik terhadap anak-anaknya. Bila
orang tua berbicara tentang Kristus harus berbicara tentang-Nya sebagai seorang
yang sungguh ada. Mereka berbicara tentang Allah Bapa sebagai seorang yang
sungguh ada, hal ini sangat penting bagi anak. Dalam hidup orang tua yang
memancarkan cahaya kasih didalam keluarganya, anak-anak akan lambat laun akan
melihat itu sebagai kenyataan bahwa Kristus, Allah Bapa, Roh kudus, gereja ada,
dan cinta Allah sungguh nyata. Di rumah anak-anak harus diajar. Memberi
pengajaran pada anak dalam iman tidak boleh hanya menguraikan ajaran-ajaran
doktrin melainkan harus mengajar tentang pribadi-pribadi Kristus dan Bapa sebab
iman merupakan penerimaan terhadap dua pribadi. Anak harus diberitahu tentang
Kristus, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana Kristus sekarang dan siapa Allah
itu. Hal ini orang tua harus tunjukan melalui sikap dan tindakan orang tua. Misalnya
orang tua menyuruh anaknya supaya berdoa, orang tua juga yang harus duluan duduk
di tempat doa dan mulai berdoa. Jadi mendorong anak untuk melakukan hal itu,
orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak.
Dalam buku iman keluarga-keluarga Kristiani dikatakan bahwa :
Salah satu hal yang tiada tara karyanya yang dapat diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya adalah cinta kasih mereka satu sama lain. Jika anak-anak menjadi besar dalam suasana cinta kasih di rumah mereka dapat bertumbuh dan berkembang menjadi orang-orang yang utuh. Mereka dapat dipenuhi dengan cinta kasih antara orang tua, juga harus meluaskan kepada anak-anaknya, dengan demikian mereka sungguh-sungguh saling mencintai, (Bernad. 1972).
Pendidikan yang pertama mula-mula berasal dari orang tua dimana anak
harus diutamakan. Maka disinilah orang tua sebagai pengajarnya, ia harus
memahami pelajaran yang hendaknya menuntun anak seumur hidupnya yakni:
40
pelajaran tentang sikap penghargaan, penghormatan, pengendalian diri, sikap
kejujuran dan sikap kebenaran. Pendidikan dalam keluarga merupakan tempat yang
utama dalam segala pendidikan . Dengan demikian orang tua harus menanamkan
nilai-nilai yang baik dalam diri anak yakni dalam keluarga doa merupakan tugas
perutusan yang dapat diemban oleh suami isteri sebagai konsekuensi dari tugas
imamat Yesus Kristus. Doa keluarga adalah merupakan tugas yang dipersembahkan
bersama oleh semua anggota keluarga. Persatuan dalam doa merupakan konsekuensi
dan tuntutan dari makna sakramen babtis dan sakramen perkawinan untuk
mewujudkan tanggung jawab dan tugas perutusan sebagai anak-anak Allah. Doa
dalam keluarga merupakan usaha untuk mempersatukan setiap anggota keluarga,
Gereja dan masyarakat.
Dengan demikian doa keluarga bukan hanya usaha untuk sekedar komunikasi
belaka tanpa tujuan yang diharapkan melainkan menjadi unsur pokok dalam
kehidupan keluarga kristiani. Orang tua mempunyai tanggung jawab untuk mendidik
anak-anaknya dalam doa bersama, menghantar mereka untuk mengenal Allah dan
berdialog dengan-Nya. Orang tua yang melaksanakan kewajiban dengan baik akan
dapat menciptakan keluarga yang bahagia. Kewajiban yang dilakukan oleh orang tua
kepada anak-anaknya merupakan tanggung jawab orang tua di hadapan Allah. Dalam
hidup keluarga orang tua wajib menanamkan nilai-nilai Kristiani kepada anak agar
anak mulai terbiasa terlibat dalam kegiatan apapun yang menyangkut kehidupan
rohani mereka. Maka kebiasaan keseharian hidup kristiani yang membawa orang tua
datang kepada anak-anak dengan kelembutan dan hormat orang tua. Maka anak-
anak menerima dengan gembira menghayati kedekatan Allah dan Yesus yang
41
menjadi nyata melalui orang tua mereka sehingga pengalaman kristiani yang pertama
sering meninggalkan jejak-jejak yang menentukan sepanjang hidupnya.
Keluarga menjadi tempat pendidikan iman yang pertama dan utama. Dalam
keluarga anak dididik dalam segala keutamaan. Setiap keluarga juga dipanggil
menjadi tempat pembenihan panggilan. Keluarga diharapkan menjadi tempat
bertumbuhnya iman sedemikian rupa, sehingga anak katolik dalam keluarga itu
mampu menyadari panggilan Tuhan atas dirinya ( KomKel, 2008 : 18).
Dalam anjuran Apostolik Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II
mengatakan demikian :
Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami-isteri untuk berperanserta dalam karya penciptaan Allah. Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka terikat kewajiban teramat berat untuk mendidik mereka. Oleh karena itu orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua : menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang tehadap sesama sedemikian rupa, sehingga menunjang kebutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial, yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat. Hak maupun kewajiban orang tua untuk mendidik bersifat hakiki, karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain itu bersifat asali dan utama terhadap peranserta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang tua dan anak-anak. Lagi pula tidak tergantikan dan tidak dapat diambil-alih, dan karena itu tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang lain atau direbut oleh mereka (FC. art. 36).
Anak adalah anugerah dari Tuhan kepada orang tua, maka secara tidak
langsung Tuhan menginginkan agar anak yang sudah dititipkan itu, dididik dengan
baik. Tuhan mempercayakan pendidikan anak kepada orang tua karena orang tua
adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Dikatakan demikian karena :
42
keluarga merupakan tempat anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi seorang
pribadi yang dewasa . Tugas orang tua dalam mendidik iman anak adalah tugas yang
mulia, karena tugas itu merupakan tanggung jawab utama sebagai orang tua bagi
anak-anaknya. Oleh karena itu kewajiban orang tua untuk menyampaikan iman
kepada anak-anaknya, mendidik anaknya dengan kata dan teladan, membantu anak
untuk memilih panggilan hidupnya, serta memelihara dan memupuk panggilan suci
yang mungkin ditemukan dalam diri anak melalui pendidikan yang diterimanya
didalam keluarga.
7) Kebiasaan orang tua untuk mengajak anak berdoa bersama
Anak merupakan peniru ulung. Sifat peniru inilah yang menjadi modal dasar
bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai iman pada diri anak. Sebelum anak
dapat berpikir dan memahami hal-hal yang abstrak serta belum sanggup
membedakan hal-hal yang baik dan buruk dalam diri mereka sebaiknya orang tua
sudah membiasakan anak untuk selalu terlibat dalam kegiatan bersama, seperti
makan bersama, doa bersama dan rekreasi bersama.
Karena dengan kebiasaan tersebut yang diterima anak dalam keluarga sangat
penting dalam membentuk iman anak. Anak sudah banyak mengetahui dan belajar
bagaimana harus berdoa dengan baik walaupun mereka belum terlalu mengikuti cara
berdoa dengan baik dan lancar, tetapi kalau dibiasakan untuk selalu hadir dalam doa
bersama dan terus-menerus mengajarkan mereka secara pelan-pelan tanda salib, doa
bapa kami, salam Maria serta doa-doa lain yang mudah dihafal dan bahkan
dibiasakan untuk doa spontan serta dimengerti oleh anak, lama kelamaan anak akan
berdoa dengan lebih baik dan lancar. Di sini orang tua tidak bisa memaksa anak-
43
anaknya dengan caranya sendiri, sebaiknya mengajak anak untuk berdoa melalui
sikap dan teladan orang tua, dengan demikian anak akan melihat dan meniru apa
yang diperbuat oleh orang tuanya.
8) Kebiasaan orang tua mengajak anak untuk terlibat dalam kegiatan Gereja dan
lingkungan
Pada umumnya orang tua merasa tidak perlu mengajak anak-anak mereka
hadir dalam perayaan missa dan ibadat lingkungan, karena selalu mengganggu
suasana doa sehingga membuat orang tua tidak konsentrasi dalam perayaan Ekaristi
atau ibadat lingkungan dan merasa terganggu bagi umat lain yang dengan tenang
mengikuti perayaan Ekaristi atau ibadat lingkungan, akhirnya orang tua memutuskan
untuk tinggal di rumah dan tidak mengajak anak untuk hadir dalam perayaan Ekaristi
dan ibadat lingkungan, pada hal anak yang masih kecil senang sekali untuk diajak
bermain. Sifat keingintahuan dari anak-anak sangat besar. Jadi jika mereka diajak
untuk mengikuti perayaan ekaristi dan ibadat lingkungan, anak sering bertanya
berkaitan dengan apa yang dilihatnya, misalnya : barang-barang suci, seperti patung,
gambar-gambar kudus, lilin dan sebagainya berdasarkan apa yang dilihatnya. Oleh
karena itu orang tua jangan pernah merasa bosan dan malas mengajak anaknya ke
Gereja dan menjelaskan satu persatu kepada anak arti bangunan Gereja, sikap dalam
gereja, makna perayaan ekaristi dan bagaimana cara berdoa yang baik.
Apabila orang tua dengan sikap sabar menjelaskan satu per satu kepada anak
dengan kata yang halus dan penuh kasih, maka dengan sendirinya anak akan
mencoba dan melakukannya dengan baik sesuai dengan apa yang diajarkan kepada
mereka. Sehingga suatu saat tiba waktunya untuk menerima komuni pertama, atau
44
dipilih menjadi anggota misdinar, dan mengikuti sekolah minggu, anak tidak merasa
kaget lagi karena orang tua sudah menjelaskannya kepada mereka. Demikian juga
keterlibatan anak di lingkungan, apabila orang tua sudah mengajarkan hal-hal yang
baik tentang Tuhan dan sesama, maka dengan sendirinya kebaikan yang diterima
anak dalam keluarga dibagikan juga dalam lingkungan seperti sikap berdoa yang
baik, sikap menghargai orang yang lebih tua dan memberi sapaan kepada setiap
orang yang dijumpainya.
9) Kebiasaan orang tua mengajak anak untuk membaca dan mendengarkan sabda
Tuhan
Anak yang masih kecil sama sekali belum mengerti dan menangkap sabda
Tuhan yang dibacakan orang tua dalam keluarga saat berdoa bersama, dan bahkan
membacapun mungkin belum bisa, tetapi terus-menerus membiasakan anak untuk
hadir bersama serta setia melatih anak-anak membaca Kitab Suci setiap hari sebelum
mengadakan doa bersama tentunya akan membantu anak lebih mengerti dan
menangkapnya.
Apabila anak sudah bisa membaca dengan baik dan lancar maka berilah
mereka giliran untuk membaca sabda Tuhan secara bergantian setiap malam dan
memberi tugas kepada anak untuk mencari salah satu ayat Kitab Suci yang sangat
cocok dengan kehidupan anak, kemudian disharingkan waktu doa bersama. Selain itu
juga orang tua dapat menceritakan kisah dari kitab suci kehidupan santo-santa
kepada anak-anak sebelum mereka tidur malam, karena dengan bercerita tersebut
membantu anak untuk semakin ingat dan meneladan sikap hidup orang kudus dalam
kehidupan sehari-hari.
45
Orang tua yang bertanggungjawab atas perkembangan iman anak dalam
keluarga, dalam mendampingi iman anak untuk tumbuh dan berkembang menjadi
beriman kristiani yang matang dan dewasa. Dan anak semakin mengenal dan
mendekatkan diri kepada Yesus sebagai teman dan sahabat mereka. Peran orang tua
merupakan konsekuensi dari dan dibentuknya keluarga oleh pasangan suami isteri
melalui sakramen perkawinan dengan menjalankan peranannya dalam mendidik
iman anak-anaknya, serta meningkatkan kesadaran orang tua yang menyangkut peran
dalam mendampingi iman anak-anak, melibatkan anak-anak dalam hidup
menggereja, serta berusaha memberi dukungan dan tempat bagi anak-anak agar
tumbuh dan berkembang dalam iman. Orang tua akan semakin menempati jati
dirinya sebagai persekutuan hidup dan cinta kasih yang bersumber pada cinta kasih
Allah. Cinta kasih itu secara nyata dalam menjalankan peranannya sebagai keluarga
krisitiani.
Peran orang tua menurut ajuran Apostolika Sri Paus Yohanes Paulus II
tentang keluarga dalam Dokumen familaris Conssortio.
Orang tua mempunyai tugas dan tanggung jawab yang pertama dalam
mendidik anak, sebagai keluarga juga punya tanggung jawab dalam mendidik anak-
anak baik secara moral maupun spiritual seperti keluarga kudus Nasaret, memberi
teladan kepada kita dalam mendidik Yesus sesuai dengan adat Yahudi. Orang tua
dipanggil untuk terlibat dalam kegiatan kemanusiaan terlebih ikut mengangkat
keluarga yang masih menderita. Karena kehadiran orang tua di tengah masyarakat
sangatlah penting untuk menciptakan kehidupan yang nyaman dan menjadi terang
bagi orang lain. Dengan demikian setiap keluarga kristiani terpanggil untuk
46
melaksanakan tugas kerasulannya dan di samping itu juga membangun kerajaan
Allah sendiri secara bertanggungjawab terhadap kebahagiaan orang lain di tengah
masyarakat.
“cinta perkawinan merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada suami isteri dan anak-anak mereka. Cinta perkawinan diarahkan kepada penyempurnaan suami-isteri secara menyeluruh termasuk pula kelahiran dan pendidikan anak demi kebahagian keluarga dan kesejahteraan masyarakat” ( Iman katolik.1996 : 438-439).
Jadi sejak awal suami-isteri diberi tanggung jawab untuk mendidik dan
membesarkan anak-anaknya seturut ajaran gereja sejak dari kecil hingga dewasa.
Dalam hal tanggung jawab ini orang tua perlu sadar apa yang seharusnya ditanamkan
dalam diri anak sejak dini. Orang tua perlu tahu bahwa dalam mendidik anak tidak
cukup dengan ajaran-ajaran kristiani saja, tetapi bagaimana cara orang tua
menghidupkan dan menanamkan nilai-nilai rohani yang dapat membawa anak
semakin dekat pada Tuhan, dan bahkan lebih dari itu anak dilatih untuk
memperhatikan kepentingan orang lain dan menghormati orang lain agar kelak tahu
melayani kebutuhan orang lain. Orang tua perlu tahu kegiatan apa saja yang ada di
Paroki atau Lingkungan yang berkaitan dengan kegiatan anak. Misalnya: jika
anaknya masih usia TK-SD anak dilibatkan dalam kegiatan PIA Paroki atau
Lingkungan. Dan jika anaknya sudah duduk di bangku SMP maka anaknya
dilibatkan dalam kegiatan PIR, dan sebagainya. Dan di sinilah orang tua sungguh
bekerja keras dan mengorbankan banyak waktu dan tenaga.
A.P. Budiyono. Hd, dalam bukunya “Keluargaku” mengatakan bahwa:
“Perlu disadari oleh keluarga katolik bahwa pendidikan yang paling dasar adalah pendidikan dalam keluarga. Maka itu bagaimanapun juga perlu diciptakan suasana yang membahagiakan segenap keluarga sehingga
47
anggota keluarga mengalami hangatnya cinta kasih kekeluargaan. Cerita-cerita kitab suci dari kehidupan santa atau santo dan kisah dari kitab suci, bila mungkin diceritakan oleh bapak/ibu kepada anak-anaknya pada kesempatan yang baik. Dapat juga dipilih santa atau santo pelindungnya. Anak kecil tidak hanya cukup dilatih berdoa tetapi juga dilatih memperhatikan kepentingan orang lain agar kelak tahu melayani kebutuhan orang lain. Teladan orang tua sengatlah menentu dalam hal ini”.
Orang tua perlu sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya adalah mengajar
dan melatih anak untuk berdoa yakni doa malam bersama keluarga, juga menjelang
dan sesudah makan, orang tua dan anak berkumpul pada saat berdoa. Dalam
perkumpulan tersebut keluarga hendak bersyukur kepada Tuhan dan memohon
berkat-Nya, juga mengungkapkan rasa persatuan dan kesatuan keluarga sebagai
suatu kelompok beriman. Orang tua harus membangkitkan semangat dalam diri anak.
Doa mendekatkan hati dengan Allah. Doa mengungkapkan pasrah kita kepada Allah,
sebab keselamatan hanya datang dari Allah. Orang tua mengajar anak untuk
membuka dan membaca Kitab Suci dengan hormat. Dengan demikian orang tuapun
perlu sadar bahwa hari Minggu adalah hari Tuhan. Anak-anak diajak untuk ke
Gereja, juga sadar bahwa di Paroki atau Lingkungan ada kegiatan sekolah minggu,
orang tua mengantar anak-anak untuk mengikuti kegiatan tersebut. Juga orang tua
harus sadar bahwa hidup sebagai orang beriman tidak terlepas dari kewajibannya
maka hari Minggu mengajak anak untuk mengikuti perayaan Ekaristi di gereja. Itu
merupakan suatu kebiasaan yang sudah ditanamkan dalam diri anak. Dalam keluarga
orang tua perlu mengajar anak dengan memberikan teladan akan lebih berhasil
daripada memberitahu segala peraturan dan nasehat tanpa contoh. Atau seorang ibu
akan berhasil dalam mendidik anak-anaknya jika isi perkataannya harus sesuai
dengan kehidupannya karena anak belajar sesuatu yang baik dari orang tua.
48
Konsili Vatikan II menegaskan pendidikan iman anak pertama-tama
berangkat dari kesaksian hidup dari orang tua sendiri (teladan orang tua) anak sejak
dini harus diajar mengenal Allah dan berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama,
seturut iman yang telah mereka terima dalam sakramen baptis. Melalui keluargalah
akhirnya mereka lambat-laun diajak berintegrasi dalam masyarakat dan umat Allah.
“Maka dari itu, mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup di lingkungan keluarga, akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan dan kesucian. Suami-isteri yang mengemban martabat serta tugas kebapaan dan keibuan akan melaksanakan dengan tekun kewajiban memberi pendidikan terutama dibidang keagamaan, yang memang pertama-tama termasuk tugas mereka. Anak-anak selaku anggota keluarga yang hidup dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orang tua mereka” (GS, art. 48).
Dalam ini, kedua orang tua diharapkan mau dan mampu memberi teladan dan
ajaran tentang kebaikan dan kebenaran kepada anak-anak mereka. Kekuatan dalam
mendidik anak tidak terletak pada perkataan atau pengajaran melainkan pada
kepribadian dan tindakan orang lain (orang tua), tidak pada harapan atau teori
melainkan pada kemauan dan kehidupan nyata orang tua. Mengajar dan mendidik
anak berarti memberikan teladan.
Pendidikan dalam keluarga lebih menekan segi hati, pembentukan sikap,
menciptakan gaya hidup atau cara hidup yang dituntut oleh nilai itu sendiri. Yang
dibutuhkan oleh anak adalah contoh atau teladan dari orang lain yang
berpengalaman. Dalam hal ini orang tualah yang patut diteladani oleh anak-anak.
Berkat teladan yang anak-anak lihat dari orang tua secara bertahap sesuai dengan
perkembangan anak, anak akan mampu mewujudkan nilai-nilai hidup yang
diharapkan. Hal ini tidak mudah. Untuk itu orang perlu kerja sama dengan pihak lain,
49
dalam hal ini adalah sekolah dan gereja sebagai mitra kerja. Ada dua hal yang perlu
ditanamkan dalam diri anak adalah tanggung jawab kristiani dan kesadaran akan
nilai-nilai moral. Maka nilai-nilai moral harus dikembangkan dalam cinta kasih, jika
anak mulai menerima tanggung jawab untuk mengembangkan sikap-sikap di rumah,
lama-kelamaan anak menemukan ciri pribadinya sebagai orang Kristen dan inilah
yang harus diajarkan orang tua kepada anak. Dengan demikian membawa anak untuk
setapak demi setapak untuk semakin mengenal Allah dalam berbagai pengalaman
hidupnya. Dengan demikian orang tua sadar bahwa memberi yang terbaik kepada
anak-anak melalui keteladan orang tua. Karena anak belajar segala sesuatu dari orang
tua. Untuk itu orang tua sadar bahwa mendidik iman anak dengan penuh kasih,
menciptakan suasana ketenangan, kedamaian, kegembiraan, suasana persaudaraan,
kesatuan hati antara anak dan orang tua. Mendidik dengan kasih anak akan
bertumbuh dengan baik, seperti yang disabdakan oleh Yesus bahwa buah jatuh tidak
jauh dari pohonnya, jadi anak itu bertumbuh dan berkembang dengan baik karena
belajar segala sesuatu yang baik dari orang tua atau didikkannya mendukung
perkembangan hidup anak.
2. Katekese sebagai Komunikasi Iman dalam Gereja
Dalam pembahasan tentang katekese sebagai komunikasi iman dalam gereja,
berikut ini akan dipaparkan tentang pengertian katekese, tujuan katekese, isi
katekese, sumber katekese, unsur katekese, subyek katekese, dan metode katekese.
a. Pengertian Katekese
Menurut Heuken (2005 : 46) kata “Katekese” berasal dari bahasa Yunani
50
“Katekeo” yang berarti mengajar secara lisan, memberitahu. Mengajar secara lisan
merupakan salah satu tugas Gereja, sebagaimana penugasan Kristus kepada para
rasul dan penggantinya yaitu “untuk mengajar segala bangsa dan melakukan segala
sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28 : 20). Pada awalnya pengertian
katekese adalah suatu kegiatan pengajaran agama katolik untuk calon baptis dan
komuni pertama. Dalam perkembangannya katekese memiliki arti yang luas yakni
sebagai kegiatan kesaksian (komunikasi iman). Dengan demikian katekese dapat
dipahami sebagai salah satu bentuk pelayanan Gereja yang bertujuan mengusahakan
terwujudnya keselamatan umat manusia secara utuh sebagaimana dikehendaki oleh
Allah.
Paus Yohanes Paulus II, dalam Catechesi Tradendai menegaskan :
“Katekese adalah pembinaan anak-anak, kaum muda dan orang-oarang dewasa dalam iman, yang khususnya mencakup penyampaian ajaran Kristen yang pada umumnya diberikan secara organis dan sistematis, dengan maksud mengantar pendengar memasuki kepenuhan hidup Kristen” (CT, art. 18).
Dari penegasan di atas diperoleh pengertian bahwa katekese merupakan
usaha pewartaan yang dilakukan oleh pihak Gereja untuk menolong dan
memperdalam iman umat agar semakin memahami, menghayati dan mewujudkan
imannya dalam kehidupan konkret. Gereja bertanggungjawab membantu memelihara
iman yang telah dimiliki umat agar semakin berkembang. Dengan katekese Gereja
menyampaikan ajaran-ajarannya sehingga nilai-nilai ajaran Kristiani semakin
mengakar dalam diri umat dan dapat dihayati dalam hidup sehari-hari. Katekese
sebagai pelayanan dalam bidang perkembangan iman demi tercapainya kedewasaan
iman. Melalui pewartaan sabda, iman umat diharapkan semakin berkembang dan
51
matang. Katekese sebagai pewarta sabda kabar gembira dan keselamatan Allah yang
dibawa oleh Yesus Kristus Putra-Nya.
Katekese diberikan kepada semua umat beriman Kristiani agar semakin
beriman kepada Kristus, semakin bersatu dalam hidup dan karya Yesus yang
terwujud dalam kesaksian hidup sehari-hari. Melalui katekese umat beriman dibantu
untuk semakin mampu mengungkapkan imannya dalam tindakan dan sikap hidupnya
secara konkret.
Pengertian Katekese mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan
Gereja. Dalam PKKI II, Juli 1980 di Klender, para ahli katekese merumuskan
katekese sebagai kegiatan yang berasal dari umat, dilaksanakan oleh umat dan demi
perkembangan iman umat, sehingga disebut dengan katekese umat. Sedangkan
katekese umat dimengerti sebagai “komunikasi iman atau tukar pengalaman iman
(Penghayatan iman) antar anggota jemaat atau kelompok, malalui kesaksian para
peserta yang saling membantu sedemikian rupa sehingga iman masing-masing
diteguhkan dan dihayati secara semakin sempurna” (Huber, 1981 : 15).
Dari pernyataan tersebut katekese dipahami sebagai komunikasi iman. Yang
dikomunikasikan adalah pengalaman iman dan bukan pengetahuan tentang rumusan
iman. Maka para peserta bersaksi tentang imannya yang dihayati dalam hidup sehari-
hari sehingga dengan adanya komunikasi iman memungkinkan iman para peserta
dikuatkan dan diteguhkan.
Adisusanto (2000 : 1) seorang pakar dalam bidang katekese menjelaskan
bahwa katekese merupakan salah satu bentuk karya perwartaan Gereja yang oleh
karenanya mengambil bagian dalam karya Kenabian Kristus.
52
Katekese merupakan suatu perjumpaan prbadi. Sabda Allah bukanlah “sesuatu” akan
tetapi “seseorang”, maka katekese sebagai Pelayanan Sabda harus mengintroduksi
perjumpaan yang bersifat pribadi antara umat beriman dengan Kristus. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa dengan melaksanakan katekese, kita
mengkomunikasikan ajaran Kristus bukanlah sesesuatu yang abstrak, melainkan
sebagai usaha mengkomunikasikan misteri Allah yang hidup.
Katekese merupakan pewartaan tentang Yesus Kristus yang hidup. Maka
Pribadi Kristuslah yang menjadi pusat dan tujuan dalam katekese. Katekaese bukan
penyampaian ajaran secara lengkap dan mendetail, setia dengan rumusan tertentu,
tetapi yang lebih penting dalam katekese ialah bahwa yang utama merupakan
kesetiaan pada seorang pribadi yang hidup. Kesetiaan disini lebih konkret, bebas,
dinamis, dan eksistensial dari pada kesetiaan pada jumlah ajaran tertentu.
Secara singkat berdasarkan uraian tentang katekese di atas, penulis
menyimpulkan bahwa katekese merupakan komunitas iman yang bertujuan
membantu umat untuk saling bertukar pengalaman iman sehingga mereka dapat
saling menolong untuk mencapai kedewasaan imannya baik secara pribadi maupun
kelompok sehingga semakin mampu mempertanggungjawabkan imannya dengan
bersaksi di tengah masyarakat.
b. Tujuan Katekese
Setiap usaha ataupun bentuk kegiatan pasti mempunyai tujuan yang hendak
dicapai. Dalam bagian ini tujuan katekese yang dimaksud ialah apa yang hendak
dicapai dengan karya katekese yang dilaksanakan. Salah satu bentuk pelayanan dan
karya pastoral Gereja adalah melalui katekese. Dalam katekese pelayanan ini
53
membantu menghantar para peserta untuk mendengarkan Sabda Allah dalam Kitab
Suci dan peristiwa hidupnya sehari-hari, sehingga dapat menemukan nilai iman
didalam dirinya. Usaha katekese yang tidak ada hentinya untuk membangkitkan iman
dengan bantuan rahmat Allah, untuk membuka hati para peserta agar sampai pada
pertobatan serta dapat menimbulkan sikap penyerahan diri secara total kepada Yesus
Kristus bagi mereka yang baru melintasi ambang iman (CT, art. 19).
Dalam dokumen yang sama pula diuraikan tujuan dari katekese yang
mengarahkan katekese sebagai pendidikan iman yang mengusahakan peserta
katekese semakin mengenal pribadi Yesus Kristus, lebih percaya kepada-Nya dan
memahami Karya-Nya sebagai manifestasi Kerajaan Allah yang ditawarkan oleh-
Nya (CT, art. 20). Dengan demikian katekese mempunyai arah yang hendak dicapai
yaitu mengembangkan iman umat yang baru mulai tumbuh agar iman umat sampai
pada kepenuhannya. Melalui katekese diharapkan iman masing-masing umat
semakin mekar dan berkembang berkat Firman Allah yang diresapkan di dalam
hatinya. Berkat Karya Rahmat-Nya iman umat diharapkan dapat berkembang dan
memancar dalam kesaksian hidup sehari-hari. Katekese harus dapat membantu
perserta dalam menghayati imannya. Katekese mengajak orang beriman untuk dapat
belajar hidup dari imannya. Melalui katekese, iman umat diharapkan semakin kuat,
matang dan berkembang dan diteguhkan. Katekese memperhatikan seluruh aspek
kehidupan manusia. Katekese harus dapat mengumandangkan situasi hidup orang
yang mendengarnya, mengumandangkan cita-cita dasar yang mencari kepenuhannya
dalam arus masa kini. Untuk dapat mencapai kepenuhan hidup, umat beriman
membutuhkan adanya terang dan bimbingan Roh Kudus. Oleh karena itu katekese
54
harus dapat memancarkan sinar kepada semua kenyataan hidup dalam situasi pribadi,
komunitas sosial dan lingkungan sekitar. Pendidikan iman harus menyangkut suatu
perubahan tahap demi tahap secara menyeluruh dalam diri manusia untuk menuju
Kristus yang menjadi pusat dan tujuan dari katekese.
Yosep Lalu (2005 : 5-6) merumuskan tujuan katekese yang dalam PKKI II
dipahami sebagai Komunitas iman sebagai berikut:
“Supaya dalam terang injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari; dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari; dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih, dan makin dikukuhkan hidup kristiani kita; seorang pribadi yang berperan sebagai pengarah dan pemudah untuk menciptakan suasana komunitas dalam kelompok umat dasar yang dilayani.
Dengan berbagai uraian tentang tujuan katekese yang telah dipaparkan
penulis menarik kesimpulan bahwa katekese yang dilaksanakan mempunyai arah dan
tujuan yang akan dicapai yaitu membantu umat memperkembangkan imannya secara
utuh dan dewasa, sehingga mendorong umat untuk mau dan mampu terlibat dalam
gerak atau dinamika hidup menggereja dengan segala kegembiraan dan
keprihatinannya.
c. Isi katekese
Isi katekese yang dimaksud dalam pemaparan ini adalah lebih menunjuk pada
materi dan apa yang diolah bersama dalam proses katekese. Hal tersebut dapat
berupa pengalaman konkret jemaat pada jaman sekarang ini, pengalaman iman jaman
dahulu yang terdapat dalam Kitab Suci, ajaran gereja atau bentuk pengalaman lain
yang ada kaitannya dengan kehidupan umat dalam usahanya, menemukan Tuhan
dalam peristiwa hidupnya.
55
Dalam Catechesi Tradendai artikel 26 ditegaskan bahwa: Katekese
merupakan suatu momen atau aspek pewartaan injil. Isi katekese yaitu pewartaan
injil sebagai kabar gembira keselamatan Allah yang telah didengar dan yang telah
diterima dengan tulus hati. Kabar gembira perlu ditanggapi dengan keterbukaan
iman. Warta gembira tesebut setiap saat perlu direfleksikan kembali, didalami, sesuai
dengan pertumbuhan hidup beriman yang telah diterima dan didengar dan kemudian
diharapkan dapat diwujudkan oleh jemaat dalam kehidupan konkret baik secara
pribadi maupun sebagai kelompok atau komunitas. Dengan demikian melalui
hidupnya jemaat kristiani menjadi pewarta kabar gembira secara nyata lewat
kesaksian dan cara hidupnya (KomKat KWI, 1955 : 20).
Dalam hal keutuhan isi dari katekese, Catechesi Tradendai art. 30
menguraikan tiga pokok penting yang perlu diperhatikan yaitu:
1) Pembenaran karena iman (Rm 8 : 10); seorang murid Kristus berhak menerima
“Sabda Iman” dengan penuh dan utuh dan dengan segala daya kekuatannya (Flp
3 : 8), keutuhan merupakan tanda dari perintah Yesus yang tersirat dalam Mat 28
: 18-20 : “kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi, pergilah
dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa,
dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang
telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai senantiasa sampai
kepada akhir zaman”. Dari pesan ini dapat dipahami betapa pentingnya
menyadari bahwa nilai dalam mengenal Kristus Yesus melampaui nilai manapun
juga. Penyadaran untuk sampai pada penyesuaian dapat dipahami sebagai
56
tindakan keibuan gereja dan mengakui sebagai ladang Allah, bangunan Allah (1
Kor 3 :9).
2) Dengan melihat katekese zaman sekarang ini maka diharapkan dalam
penyampaian isi katekese, perlu diatur dengan cara tertentu agar diperoleh
keseimbangan sehingga melalui kebenaran yang diajarkan, masing-masing
peserta menemukan bobot yang sewajarnya dan diilhami oleh dorongan penuh
kerendahan hati serta tetap menjaga keutuhannya. Injil yang diwartakan dalam
kebenaran akan mampu mengimbangkan. Oleh karena itu bakat, kreatifitas dan
daya cipta dari pendamping perlu diwujudkan dengan melihat situasi agar sesuai
dengan kebutuhan peserta katekese.
3) Menginginkan gambaran yang cermat dan jujur tentang gereja-gereja mengingat
bahwa Roh Kristus mengenakan sebagai upaya keselamatan. Dengan demikian
membantu umat katolik mendalami imannya sendiri dan lebih mengenal diri dan
sesamanya dalam masyarakat.
d. Sumber Katekese
Isi katekese pada dasarnya merupakan kabar gembira keselamatan yang
terwujud dalam diri Yesus Kristus. Sedangkan katekese sendiri harus bersumber
pada Yesus Kristus sebagai sumber kabar gembira. Katekese harus menyampaikan
pesan kabar gembira Yesus Kristus kepada semua orang.
Katekese akan selalu menggali isinya dari sumber hidup yakni Sabda Allah
yang disalurkan dalam Tradisi dan Kitab Suci (CT art. 27). Dari pernyataan ini
berarti bahwa sumber katekese dapat ditemukan dalam Sabda Allah. Misteri sabda
Allah terungkap dalam pribadi Yesus Kristus yang hadir dalam gereja-Nya yaitu
57
dalam bentuk iman, harapan, ajaran, liturgi maupun dalam segala bentuk kehidupan
gereja yang mengalir dari sumber yang sama yaitu Sabda Allah dan mengantar
kembali kepada-Nya dibawah bimbingan para gembala yang telah diserahkan tugas
oleh Tuhan untuk membimbing dan membina iman umat. Pelayanan Sabda Allah
dan segala bentuk pembinaan maupun pendidikan iman haruslah dipupuk dan
dikembangkan terus-menerus sehingga dapat mendorong menuju kekudusan melalui
Sabda Kitab Suci. Manusia dari kodrat dan panggilannya sanggup mengenal Allah
sampai pada suatu keyakinan akan eksistensi Allah yang mewahyukan diri-Nya
kepada manusia. Dengan demikian katekese harus diresapi dan diwarnai oleh
gagasan yang mendukung dalam usaha menggali inspirasi dari refleksi kehidupan
sebagai gereja. Karena gereja disini menjadi sarana yang dipakai oleh Roh Kudus
guna melanjutkan dialog dengan umat manusia. Oleh karena itu Roh Kudus
merupakan pelaku utama dan pelayanan Sabda dan melalui Sabda-Nya suara injil
bergema dalam gereja (KomKat KWI, 2000 : 50).
e. Unsur Katekese
Berdasarkan PKKI III di Pacet, Mojokerto, Setyakarjana ( 1997 : 74-75)
menyatakan mengenai unsur-unsur yang ada dalam katekese umat. Unsur-unsur
katekese yang dimaksud meliputi: unsur pengalaman atau Praktek, unsur pengalaman
iman, unsur komunikasi dengan tradisi kristiani dan arah kerterlibatan baru.
1) Unsur pengalaman atau praktek hidup
Proses katekese dalam unsur ini bertolak dari pengalaman konkret para
peserta baik pengalaman pribadi maupun pengalaman yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Pengalaman atau praktek merupakan peristiwa yang terjadi dalam hidup
58
para peserta. Melalui pengalamannya peserta diharapkan mengalami kehadiran Allah
yang berkarya dalam dirinya dan sesama. Pengalaman ini akan diolah bersama dan
diusahakan dapat mendorong peserta untuk berani memberi kesaksian akan
imannya(Setyakarjana, 1997 : 74).
2) Komunikasi pengalaman iman
Dalam unsur ini peserta diajak untuk mengkomunikasikan pengalaman
imannya kemudian diolah bersama. Pengalaman yang telah diolah bersama
kemudian disharingkan dalam kelompok. Dalam mengkomunikasikan pengalaman
iman dapat berupa pengalaman gembira, sedih ataupun memprihatinkan
(Setyakarjana, 1997 : 74).
3) Komunikasi dengan Tradisi Kristiani
Sebagai dasar dan tujuan utama dari iman kristiani adalah pribadi Kristus
yang diimani oleh para rasul sebagai penyelamatnya. Dalam komunikasi iman,
peserta tidak dapat melepaskan dari kesaksian para rasul yang terungkap dalam Kitab
Suci dan yang dihayati oleh gereja secara resmi diteruskan oleh Hirarki. Ajaran
kristiani mempunyai pengertian yang sangat luas dan menyangkut tradisi,
spiritualitas, liturgi dan segala praktek hidup gereja yang menampakkan Kristus
(Setyakarjana, 1997 : 75).
4) Arah keterlibatan baru
Katekese sebagai komunikasi iman, harus dapat menolong peserta katekese
untuk mengalami panggilan mereka dan mendorong mereka untuk menjalankan
perutusan. Pengalaman iman akan kehadiran Allah yang dialami oleh peserta sedapat
mungkin diwujudkan melalui kesaksian hidup konkret sehari-hari ditengah-tengah
59
aktifitasnya. Arah keterlibatan baru diwujudkan oleh peserta melalui pewartaan
karya Keselamatan Allah bagi dunia (Setyakarjana, 1997 : 75)
f. Metode Katekese
Metode dalam kegiatan katekese ialah cara pelayan yang kreatif agar manusia
dapat bertemu dengan Tuhan. Dalam pertemuan-pertemuan katekese para
pembimbing dapat memilih dan menggunakan pelbagai macam metode. Agar
pertemuan itu berhasil maka pertama, para pembimbing harus memahami dengan
baik metode-metode, kedua mereka harus terampil menerapkan metode itu dalam
praktek, ketiga segala pewartaan mereka harus diteguhkan dengan semangat dan
keyakinan pribadi atas pewartaan itu.
Beberapa metode katekese yang perlu diperhatikan :
1) Metode bercerita
Metode bercerita ialah cara mendidik, membentuk dan menghayati iman
dengan mengisahkan suatu kebenaran, pengalaman dan kejadian. Cerita mengikat
perhatian karena melalui cerita hidup, manusia digambarkan dengan warna yang
serba indah. Metode cerita lebih cocok digunakan bagi anak-anak, orang dewasa
cerita dapat digunakan asal tidak dilebih-lebihkan..
2) Metode diskusi
Metode diskusi ialah cara membentuk dan menghayati iman dengan saling
menukar pikiran dan pendapat dalam pembicaraan bersama. Melalui metode ini
peserta katekese dididik untuk menghargai pendapat orang lain, berani
mengungkapkan pendapat dan tengang rasa dengan orang lain. Agar metode ini
membuahkan hasil maka diskusi harus dijalankan dalam kelompok kecil dengan
60
pendamping yang baik sehingga tidak menjadi suatu pendekatan yang sengit, tidak
seorangpun yang menguasai pembicaraan dan suasananya harus dalam penuh
persaudaraan sehingga kesimpulan merupakan kesimpulan bersama.
3) Metode lakon / drama
Metode lakon / drama suatu cara membentuk, mendidik dan menghayati iman
dengan mempertunjukkan kebenaran oleh pemain-pemain dan penonton turut
menghayati peristiwa itu. Pelbagai macam drama dapat dibuat, misalnya drama
Paskah, Natal, Anak yang Hilang dan lain-lain. Agar metode ini berhasil pemain
harus menciptakan persekutan yang baik dalam berlatih , bahan harus disiapkan dan
dilatih dengan sebaik-baiknya.
4) Metode Audio-visual
Metode Audio-visual ialah cara pendidikan dan pengahayatan iman dengan
menggunakan gambar terang, film bersuara, kaset dan lain-lain.
5) Metode sharing
Metode sharing ialah cara pendidikan dan penghayatan iman dengan saling
tukar pengalaman sampai ke soal-soal hidup yang mendasar. Agar pelaksanaan
metode ini berhasil suasana kelompok hendaknya penuh rasa persaudaraan, semua
perserta harus terlibat, pembimbing atau pemimpin hendaknya menjadi seorang
pemudah dan pengarah.
g. Peserta Katekese
Rumusan PKKI II, dalam katekese umat yang diungkapkan dalam Huber
(1981 : 10) mengatakan :
“Yang berkatekese ialah umat. Artinya semua orang beriman, baik secara perorangan maupun secara kelompok, yang secara pribadi memilih
61
Kristus dan secara bebas berkumpul untuk lebih memahami Kristus. Jadi singkatnya seluruh umat baik umat dalam kelompok-kelompok basis maupun umat di sekolah atau di perguruan tinggi. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese. Pada dasarnya penekanan aspek umat pada katekese ini sesuai dengan penekanan aspek umat pada Gereja itu sendiri.
Rumusan di atas mau menunjukkan bahwa seluruh Gereja sadar bahwa
katekese tidak ditujukan kepada sebagian umat saja melainkan semua orang beriman
yang terpanggil untuk mendalami iman secara terus-menerus, baik mereka yang
sudah memilih Kristus secara mutlak maupun mereka yang ingin mengenal Kristus
seperti para katekumen.
Katekese merupakan komunikasi iman dari peserta sebagai sesama dalam iman yang
sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka. Dapat dikatakan juga katekese
umat adalah komunikasi iman umat, dari umat, oleh umat dan untuk umat. Peserta
adalah pelaksana karya pelayanan katekese. Pelaksana karya katekese adalah para
umat beriman sebagai keseluruhan baik Gereja yang menyeluruh maupun Gereja-
gereja setempat, baik para pemuka maupun bukan pemuka, setiap orang beriman,
maka karya katekese tidak dapat berjalan sendiri-sendiri; setiap orang beriman perlu
memperhatikan, memungkinkannya, dan mengajukannya (Setyakarjana, 1997 : 78).
Dalam katekese umat bukan hanya sebagai obyek atau sarana atau target dari
kegiatan katekese, melainkan peserta juga bertindak sebagai subyek pelaksana
katekese itu sendiri.
h. Media Katekese
Media adalah alat pemersatu, alat berbagi informasi (sharing), dan dapat
menjadikan alat yang membuat orang menjadi kritis, alat untuk menghibur juga alat
62
manipulasi (Siregar, 1994:17).
Melalui media amanat injil dapat menyapa dan merasuki hati masing-masing
pendengar. Media moderen menghidangkan cara-cara baru untuk menghadapkan
orang pada pesan injil (Komisi KomSos, 1987 : 10).
Berbicara mengenai pewartaan kabar keselamatan sebagai tanggapan atas
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Gereja perlu memberi perhatian
lebih kepada kaum muda. Mereka merupakan kelompok yang secara langsung
terkena oleh perkembangan Iptek (Banarwiratma, 1989 : 24).
Pewartaan Kerajaan Allah di jaman ini sangat dibantu oleh pertemuan
teknologi yang begitu banyak. Bagi Gereja penginjilan (Evangelisasi) berarti
membawa kabar baik kepada semua orang. Pengaruh injil yang mengubah umat
manusia dari dalam dan membuatnya menjadi baru (EN, art. 18). Mewartakan injil
sesungguhnya merupakan rahmat dan panggilan yang khas bagi gereja dan
merupakan identitas terdalam. Penemuan dibidang teknologi seperti : Televisi, radio,
media cetak, piringan hitam, rekaman tape menjadi sarana yang membantu Gereja
dalam berkatekese (CT, art. 46). Katekese diperuntukan bagi anak-anak sampai
orang tua.
Katekese mengalami perkembangan sesuai dengan situasi jaman. Dahulu kala
pada jaman Yesus dan para rasul pewartaan kabar gembira disampaikan dengan
bercerita, karena pada saat itu cerita yang dapat membantu umat dalam berkatekese.
Pada jaman Yesus dan para Rasul pewartaan kabar gembira harus terbuka dengan
perkembangan jaman. Oleh karena itu peluang adanya perkembangan teknologi di
bidang media perlu dimanfaatkan dalam pewartaan kabar gemabira.
63
2. Pemilihan SCP sebagai Model Katekese Umat yang cocok untuk
Meningkatkan Kesadaran Orang Katolik dalam Pendidikan Iman Anak
Shared Christian Praxis (SCP) merupakan salah satu bentuk alternatif dari
katekese model pengalaman hidup. Groome (1997 : 1) menyatakan bahwa katekese
model Shared Christian Praxis (SCP) berawal dari suatu kebutuhan untuk
menemukan suatu pendekatan dalam berkatekese yang handal dan efektif artinya
suatu model yang sungguh mempunyai dasar teologis yang mendalam yang mampu
memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan yang progresif dan mempunyai
keprihatinan pastoral yang jelas.
Sebagai pendekatannya, model SCP menekankan segi proses berkatekese
yang bersifat dialogis partisipatif yang bertujuan mendorong peserta
mengkomunikasikan antara tradisi dan visi hidup mereka dengan tradisi dan visi
hidup kristiani, sehingga mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan
baik secara pribadi maupun bersama demi makin terwujudnya nilai Kerajaan Allah
dalam hidup manusia.
a. Komponen dalam SCP
Groome (1997 :1) berpendapat bahwa katekese model Shared Christian
Praxis merupakan suatu model yang lebih menekan proses yang bersifat dialogis dan
partisipatif. Katekese model Shared Christian Praxis termasuk dalam katekese
model pengalaman hidup. Dikatakan model pengalaman hidup karena langkah-
langkahnya lebih didasarkan pada pengalaman hidup. Maksud dialog dari katekese
ini adalah agar para peserta dapat mengkomunikasikan tradisi dan visi hidup mereka
64
dalam visi kristiani sehingga baik secara pribadi maupun bersama mereka mampu
mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan untuk mewujudkan nilai-nilai
Kerajaan Allah di dalam tindakan nyata (Groome,1997: 3).
Model katekese SCP mempunyai tiga komponen yang saling berkaitan
sebagaimana diungkapkan oleh Thomas Groome (1997 : 2-4) yaitu : Praxis,
Christian dan Shared.
1) Praxis
Komponen ini mengacu pada suatu tindakan manusia yang mempunyai
tujuan untuk tercapainya suatu transformasi kehidupan yang didalamnya terkandung
proses kesatuan dialektis antar praktek dan teori yaitu kreatifitas antar kesadaran
historis dan refleksi kritis yaitu keterlibatan baru.
Praxis mempunyai tiga komponen yang saling terkait diantaranya ialah aktifitas,
refleksi dan kreatifitas. Ketiga komponen ini berfungsi untuk membangkitkan
perkembangan imaginasi, meneguhkan kehendak, dan mendorong praxis baru yang
dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral (Groome,1997 : 2).
2) Christian
Katekese model SCP mengusahakan supaya kekayaan iman kristiani
sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau, dekat dan relevan untuk kehidupan
peserta pada jamannya. Tradisi kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat yang
hidup dan sungguh dihidupi. Tradisi Kristiani tidak hanya berupa tradisi pengajaran
Gereja tetapi juga meliputi Kitab Suci, spiritualitas, refleksi teologis, sakramen,
liturgi, kepemimpinan, kehidupan dalam jemaat, seni dan nyanyian rohani. Tradisi
kristiani mengundang keterlibatan praksis dan proses pemebentukan pribadi.
65
Sedangkan visi kristiani lebih menggarisbawahi tuntutan dan janji yang terkandung
didalam tradisi, tanggung jawab dan pengutusan orang kristiani sebagai jalan untuk
menghidupi semangat dan sikap kemuridan mereka. Baik tradisi maupun visi
kristiani keduanya menyingkapkan nilai-nilai Kerajaan Allah yang benar-benar
dihidupi dan diusahakan (Groome, 1997 : 3).
3) Shared
Istilah Shared menunjuk pada pengertian komunikasi timbal balik, sikap
partisipasi aktif, kritis dari semua peserta dan keterbukaan pada kedalaman pribadi,
kehadiran sesama maupun terhadap Rahmat Tuhan. Istilah Shared juga menekankan
pada proses katekese yang beraspek dialogis, kebersamaan, keterlibatan dan
solidaritas. Baik peserta maupun pendamping dalam katekese model ini diharapkan
dapat membangun dialog yang aktif dan partisipatif. Kata Shared mengandung
hubungan dialektis antara pengalaman faktual peserta dengan tradisi dan visi
kristiani. Dalam kesempatan sharing, semua peserta diharapkan kerelaan dan
kesiapsediaannya untuk terbuka dan jujur dengan mengandaikan adanya
kepercayaan, mendengarkan dengan hati dan berkomunikasi dalam kebebasan hati
(Groome,1997: 4).
b. Langkah-langkah dalam SCP
SCP sebagai salah satu model berkomunikasi pengalaman hidup, dapat
dimengerti sebagai proses yang terus-menerus dan berkesinambungan. Katekese
model SCP terdiri dari lima langkah yang sistimatis dan berurutan, meski dalam
pelaksanaannya dapat terjadi tumpangtindih bahkan pengulangan, atau tergabung
66
dengan langkah-langkah yang lainnya. Sumarno, 2007: 18-22) menguraikan langkah-
langkah sebagai berikut :
1) Langkah nol : Pemusatan Aktivitas
Langkah ini bertujuan untuk mendorong peserta menemukan topik pertemuan
yang bertolak dari kehidupan konkret yang selanjutnya menjadi tema dasar sungguh-
sungguh mencerminkan pokok-pokok hidup, keprihatinan, permasalahan, dan
kebutuhan peserta.
Sarana yang digunakan dalam langkah ini berupa symbol, cerita, bahan foto,
poster dan sarana lainnya yang menunjang peserta menemukan topik dasar untuk
pertemuan tersebut. Pusat aktivitas ini mau mengungkapkan kenyakinan bahwa
Allah senantiasa aktif mengwahyukan di tengah kehidupan manusia, melalui refleksi
sejarah hidup manusia dapat menjadi medan perjumpaan antara pewahyuan Allah
dan tanggapan manusia terhadap-Nya. Pemilihan tema dasar hendaknya sungguh-
sungguh mendorong peserta terlibat aktif dalam pertemuan. Pemilihan tema dasar
harus konsisten dengan model Shared Christian Praxis yang menekankan partisipasi
dan dialog. Peran pembimbing dalam langkah ini yakni menciptakan lingkungan
psikososial dan fisik yang mendukung, memilih sarana yang tepat dan membantu
peserta merumuskan prioritas tema yang tepat.
2) Langkah Pertama : Pengungkapan Pengalaman Faktual
Langkah ini bertujuan mengajak peserta untuk mengungkapkan pengalaman
hidup dan keterlibatan mereka dalam situasi konkret. Pengungkapan dapat berupa
cerita, nyanyian, puisi, lambang atau dalam bentuk lain yang dapat dimengerti oleh
peserta yang lain.
67
Dalam proses ini peserta diharapkan menyadari dan lebih bersikap kritis
terhadap pengalaman hidupnya sendiri. Pangalaman yang diungkapkan dapat berasal
dari pengalamannya sendiri, dalam kehidupan masyarakat atau dari permasalahan
yang terjadi di masyarakatnya dengan cara mensharingkan, yaitu dengan
membagikan pengalaman hidup yang sunggguh mereka alami.
Langkah ini bersifat obyektif yaitu pengungkapan pengalaman yang sungguh-
sungguh terjadi. Komunikasi yang konkret ini diharapkan dapat melahirkan tema-
tema dasar yang akan direfleksikan secara kritis pada langkah selanjutnya. Peran
pendamping sebagai fasilitator harus dapat menciptakan suasana akrab, hangat dan
mendukung peserta dalam mengungkapkan pengalaman hidupnya berkaitan dengan
tema dasar yang hendak didalami. Sebagai pendamping harus terbuka dan peka
terhadap situasi dan latarbelakang peserta yang memungkinkan peserta akan lebih
bebas untuk mengungkapkan pengalamannya. Kemudian pendamping perlu
menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu peserta untuk terbuka
membagikaan pengalaman hidupnya. Sikap yang diperlukan bagi pendamping adalah
: sabar, ramah, bersahabat, hormat.
3) Langkah Kedua : Refleksi Kritis atas Sharing Pengalaman
Maksud dari langkah ini adalah mengajak peserta lebih aktif, kritis dan
kreatif dalam memahami, mengolah keterlibatan hidup mereka sendiri dan mengolah
keterlibatan mereka dalam hidup di masyarakat. Untuk lebih mendukung langkah ini
dapat digunakan sarana dari analisa sosial maupun analisa kultural, perlu juga
digunakan segi pemahaman, pengenangan serta imaginasi. Langkah refleksi ini
bertujuan untuk memperdalam refleksi dan mengantar peserta pada kesadaran kritis
68
akan pengalaman hidup dan tindakannya yang meliputi segi pemahaman (alasan,
minat, asumsi dan ideologi), segi kenangan (sumber-sumber historis) dan segi
imaginasi (kepentingan dan konsekuensi yang disadari / hendak diwujudkan).
Langkah ini bersifat analitis kritis, maksudnya melalui refleksi kritis pada
penglaman kokret, peserta diharapkan akan sampai pada nilai dan visinya yang pada
langkah keempat akan dikonfortasikan dengan pengalaman iman Gereja sepanjang
sejarah (tradisi) dan visi kristiani.
Peran pendamping dalam langkah ini adalah menciptakan suasana yang
mendukung dari setiap gagasan serta sumbang saran peserta; mengundang refleksi
kritis setiap peserta; mendorong peserta agar mengadakan dialog dan penegasan
bersama yang bertujuan untuk memperdalam, menguji pemahaman, kenangan dan
imaginasi peserta; mengajak peserta untuk berbicara tetapi tidak memaksa,
menggunakan pertanyaan yang menggali; menyadari kondisi peserta terlebih peserta
yang tidak bisa mengadakan refleksi terhadap pengalaman hidupnya.
4) Langkah Ketiga: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani lebih
terjangkau
Tujuan dari langkah ini adalah mengusahakan agar tradisi dan visi kristiani
lebih terjangkau, dekat dan relevan bagi peserta pada jamanya dan lebih mengena
bagi kehidupan peserta dalam konteks dan latar belakang budaya yang berbeda.
Peran pendamping dalam langkah ini diharapkan dapat membuka jalan lebar-
lebar dengan menghilangkan segala macam hambatan yang memungkin peserta
mempunyai peluang besar untuk menemukan nilai-nilai, arti tradisi dan visi kristiani.
Pendamping dalam langkah ini dapat menggunakan salah satu bentuk interpretasi
69
baik yang bersifat menggarisbawahi, meneguhkan, mempertanyakan atau yang
mengundang keterlibatan yang kreatif. Diharap pendamping dapat menafsirkan
tradisi dan visi kristiani menjadi lebih terjangkau. Untuk itu seorang pendamping
perlu menghoramti tradisi dan visi kristiani sebagai yang otentik dan normatif.
Dalam penafsirannya pendamping mengikutsertakan kesaksian iman, harapan dan
imannya sendiri. Untuk dapt menjadi pendamping yang sesuai dengan tujuan dalam
langkah ini diperlukan persiapan yang matang dan studi pribadi.
5) Langkah Keempat: Interpretasi/Tafsiran Dialektis antar Praksis dan Visi
Peserta dengan Tradisi dan Visi Kristiani
Tujuan dari langkah ini adalah untuk mengajak peserta menemukan nilai-nilai
hidup yang hendak digarisbawahi berdasarkan nilai tradisi dan visi kristiani,
menghilangkan sikap-sikap pribadi yang bertentangan dengan nilai tradisi dan visi
kristiani, dan memperkembangkan nilai-nilai baru yang ditemukan. Pokok-pokok
penting itu kemudian dikonfrontasikan dengan hasil interpretasi tradisi dan visi
kristiani dari langkah ketiga.
Dalam proses konfrontasi diharapkan peserta dapat secara aktif menemukan
kesadaran baru atau sikap-sikap baru yang hendak diwujudkan baik secara pribadi
maupun bersama dan diharapkan peserta semakin bersemangat mewujudkan
imannya sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah semakin dapat dirasakan dalam
kehidupan bersama maupun pribadi. Perwujudan imannya yang baru itu diharapkan
dapat memperkaya tradisi dan visi kristiani yang menjadi pokok penting dalam
langkah ini. Diharapkan pula dalam langkah ini agar iman umat semakin mendalam.
aktif, dewasa dan misioner.
70
Langkah ini menuntut peran pendamping yang harus menghormati kebebasan
peserta. Pendamping harus dapat menyakinkan peserta bahwa mereka mampu
mempertemukan pengalaman hidup dan visinya dengan nilai dari tradisi dan visi
kristiani. Pendamping harus mampu mendorong peserta untuk berani mengubah
sikapnya menjadi lebih aktif dan mendengarkan peserta dengan penuh perhatian,
terbuka akan pendapat dan pemikiran peserta.
6) Langkah Kelima: Keterlibatan Baru demi Terwujudnya Kerajaan Allah di
Dunia
Yang menjadi tujuan dari langkah ini adalah untuk mendorong peserta
sampai kepada keputusan konkret bagaimana menghidupi iman kristiani pada
konteks hidup yang telah dianalisa dan dipahami, direfleksikan secara kritis, dinilai
secara kreatif dan bertanggungjawab. Keputusan konkret dari langkah ini merupakan
buah dan puncak dari model SCP. Tanggapan peserta dapat dipengaruhi oleh tema
dasar yang direfleksikan dan konteks kepentingan religius, sosial, politik dan
ekonomi dari para peserta.
Peserta dalam langkah ini diharapkan semakin terlibatdan aktif untuk
mewujudkan keputusannya secara konkret demi terwujudnya Kerajaan Allah. Peran
pendamping dalam langkah ini adalah lebih menyadari hakekat praktis, inovatif dan
transformatif, merumuskan pertanyaan-pertanyaan operasional, menumbuhkan sikap
optimis yang realistis peserta, agar lebih membantu peserta, pendamping merangkum
hasil langkah pertama hingga keempat dan mengusahakan supaya peserta sampai
pada keputusan pribadi maupun bersama dan akhirnya dapat mengajak peserta untuk
merayakan liturgi secara sederhana untuk mendoakan keputusan.
71
c. Refleksi terhadap Pelaksanaan SCP
Setiap kegiatan menghasilkan pengalaman. Demikian pula dalam berkatekese
dengan menggunakan model Shared Christian Praxis. Dari pengalaman berkatekese
umat ditengah umat beriman kristiani dengan model Shared Christian Praxis,
ditemukan adanya kelebihan dan kelemahannya.
a. Kelebihan katekese model SCP:
1. Pendamping dapat memilih tema yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan
peserta.
2. Mempunyai langkah pelaksanaan yang jelas, terperinci tahap demi tahap dan
dalam keseluruhan prosesnya pendamping melibatkan seluruh peserta untuk
terlibat aktif.
3. Pendamping dan peserta dapat sekaligus berperan sebagai guru dan murid
karena pendekatannya bersifat dialogis-partisipatif.
4. Menempatkan peserta sebagai subyek yang harus berpikir dan berkesadaran
kritis.
5. Memberi tantangan kepada peserta untuk dapat mewujudkan keterlibatan
baru dalam kehidupan sehari-hari secara konkret.
6. Mendorong peserta untuk menemukan nilai-nilai baru yang sesuai dengan
konteks serta layak diwujudkan dalam kehidupan selanjutnya.
7. Model SCP ini bersifat konatif, dalam arti secara intergral bermaksud
memperkembangkan kepala (intelek, pemikiran, keyakinan), hati (perasaan,
nilai estetis, kesadaran) dan tangan (tindakan dan komitmen).
72
8. Model SCP membantu memperdayakan kemampuan, kesadaran dan
kehendak peserta supaya senantiasa berusaha membentuk dan
memperkembangkan dirinya secara utuh. Mempunyai arah yang membantu
peserta untuk menafsirkan pengalaman hidupnya dalam relasinya dengan
Allah, sesama, lingkungan dan dirinya sendiri. Hal ini berarti membantu
peserta untuk senantiasa “ya” terhadap Allah, sesama dan dirinya sendiri.
b. Kelemahan SCP
1. Dalam pelaksanaan katekese model SCP dibutuhkan keterlibatan secara
penuh dari peserta maupun pendamping.
2. Memerlukan pendamping yang memiliki kemampuan dan kepekaan untuk
melihat kebutuhan peserta sementara dalam kenyataan tidak semua
pendamping memiliki kemampuan yang diharapkan (pendamping sukarela :
dari pada tidak pendamping atau karena ditunjuk oleh pemimpin).
3. Untuk dapat sampai pada keterlibatan baru, membutuhkan proses yang lama /
panjang. Sementara manusia moderen ingin melihat hasil secara cepat.
Setelah melihat, mengalami dan mengkritisi dari masing-masing model yang
ada dalam katekese, ternyata penulis dapat melihat kelebihan maupun kelemahan
pada masing-masing model katekese. Pada dasarnya semua model katekese dapat
dilaksanakan dalam rangka pembinaan iman bagi para orang tua katolik. Namun
sebagai orang yang mengalami pendidikan berlatarbelakang katekese diharapkan
mampu melihat situasi atau keadaan para orang tua katolik di lingkungan Brayat
Minulyo Kalasan Barat, sehingga model katekese yang akan dipergunakaan dapat
73
dipertimbangkan dan dipersiapkan dengan baik, maka SCP dipilih demi tercapainya
tujuan yang diharapkan.
B. Kerangka Pikir
Orang tua mempunyai peran sangat penting dalam mendidik dan
mendampingi anak-anak dalam perkembangan dan pertumbuhan iman anak sehingga
dapat membantu pribadi anak untuk semakin dewasa, mandiri dan
bertanggungjawab. Maka butuh kesadaran dari orang tua dalam mendampingi dan
membesarkan anak-anaknya. Kesadaran adalah pengetahuan, pengertian orang tua
akan apa saja yang mendukung perkembangan iman anak, orang tua mempunyai
peran dalam memberi perhatian secara khusus pada anak terutama orang tua
membawa anak-anaknya menuju kematangan hidup rohani sebagai orang kristiani
dalam keluarga, dan bagaimana orang tua menanamkan nilai-nilai kristiani dalam diri
anak-anak sejak dini. Kesadaran dapat berkembang dengan mengadakan refleksi dan
komunikasi. Maka katekese model SCP merupakan metode pendekatan dalam
katekese yang lebih menekankan pada proses yang bersifat dialogis dan partisipatif,
reflektif dan berdasar pengalaman hidup peserta. Dengan ini SCP menghantar orang
tua untuk masuk kedalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan dengan SCP membantu
orang tua untuk lebih terbuka dan memberikan waktu yang secukupnya kepada anak-
anaknya.
SCP merupakan suatu metode pendekatan dalam katekese yang lebih
menekankan pada proses yang bersifat dialogis-partisipatif, refleksi dan pengalaman
hidup orang tua atau peserta itu sendiri dengan langkah Shared Christian Praxis
yakni : langkah nol bertujuan untuk mendorong peserta menemukan topik pertemuan
74
yang bertolak dari kehidupan konkret sehari-hari. Langkah pertama pengungkapan
praktis faktual di mana peserta diberi kesempatan untuk mengungkapkan
pengalaman hidup dan keterlibatan mereka. Langkah kedua mendorong peserta
untuk lebih aktif, kritis dan kreatif dalam memahami serta mengolah kertelibatan
hidup mereka sendiri maupun masyarakat. Langkah ketiga mengusahakan supaya
tradisi dan visi kristiani menjadi lebih terjangkau dan lebih dekat dan relevan bagi
peserta jaman sekarang. Langkah ke empat mengkonfrontasikan antara pengalaman
praksis yang telah difefleksikan dalam terang Injil dengan visi kristiani. Langkah
kelima menumbuhkan niat atau keputusan baru dari hasil proses pertemuan yang
diikuti.
Untuk lebih jelas dapat dilihat pada diagram dibawah ini :
X Y
Ketrangan:
X = Katekese.
Y = Kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman
Anak. .
75
C. Hipotesis
Berdasarkan pada latar belakang masalah, rumusan, tujuan dan kajian pustaka
maka dugaan sementara yang perlu dibuktikan dalam penelitian adalah:
H0 = Tidak ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam
pendidikan iman anak sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam
keluarga sebelum dan sesudah katekese.
H1 = Ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman
anak sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum
dan sesudah katekese.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian Kuasi Eksperimen. Dalam Kuasi
Eksperimen ini peneliti tidak dapat melakukan kontrol penuh tetapi hanya dapat
mengontrol salah satu dari hal-hal : pengamatan atau pengukuran atas variabel terikat
yang dilakukan, perlakuan atau variabel bebas diberikan ( Soehartono, 2004 : 49).
Jenis penelitian dirancang untuk mengetahui sejauhmana kesadaran orang tua
akan perannya dalam pendidikan iman anak melalui katekese.
Pendekatan yang akan digunakan adalah : Pendekatan Kuantitatif yaitu
penelitian dengan menggunakan angka baik dari pengumpulan data sampai
pengolahan data.
B. Desain Penelitian
Desain yang ditempuh dalam penelitian ini adalah: Prates-Pascates satu
kelompok. Desain menempuh tiga langkah yaitu memberi prates untuk variabel
terikat (kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman anak), memberi
perlakuan eksperimen kepada subyek variabel bebas (katekese), kemudian memberi
tes lagi untuk mengukur variabel terikat setelah perlakuan (pascates). Perbedaan-
perbedaan yang disebabkan karena penerapan perlakuan eksperimen ditentukan
dengan membandingkan skor prates dan pascates yang dihasilkan dari alat ukur yang
sama atau relatif/identik (Nana Sudjana 2004 : 35 ).
Desain Prates-Pascates satu kelompok
77
Prates Variabel bebas
(perlakuan)
Pascates
Y X Y
Prates
Kesadaran orang tua akan
perannya dalam
pendidikan iman anak
Variabel bebas
Katekese
Pascates
Kesadaran orang tua
akan perannya dalam
pendidikan iman anak
E (eksperimen)
Tes dan angket
Katekese Tes dan angket
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Lingkungan Brayat Minulyo Wilayah Santa Maria
Kalasan Barat, Paroki Marganingsih Kalasan. Kegiatan penelitian dilaksanakan dari
September sampai Nopember 2008.
D. Populasi Penelitian dan Sampel
Penelitian ini bersifat populatif, artinya semua bapak dan ibu yang sudah
mempunyai anak atau keturunan termasuk janda dan duda, yang ada di Lingkungan
Brayat Minulyo Wilayah Santa Maria Kalasan Barat menjadi populasi yang
berjumlah 40 orang. Jumlah populasi ini sekaligus menjadi sampel penelitian.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkat kesadaran orang
tua dalam pendidikan iman anak melalui katekese.
78
E. Metode Pengumpulan Data
1. Variabel
a. Variabel bebas : Katekese
b. Variabel terikat : Kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman
anak.
2. Definisi Operasional
a. Katekese
Katekese adalah proses pendidikan iman di mana dengan sadar umat
beriman berkumpul untuk mengkomunikasikan pengalaman iman mereka, mengolah
serta mendalaminya dalam perspektif kitab suci dan tradisi kristiani sehingga dapat
menemukan inspirasi atau semangat baru untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan
Allah. Maka di dalam proses katekese terdapat interaksi antara pendamping dan
peserta melalui serangkaian materi metode dan sarana yang dipakai.
b. Kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman anak
Kesadaran orang tahu dalam pendidikan iman anak adalah orang tua tahu
dan berbuat tentang apa saja yang mendukung anak-anak dalam perkembangan
imannya, dalam hal ini menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan,
menanamkan kedisiplinan, memberi kesaksian atau teladan, mengasihi dan memberi
perhatian yang penuh bagi perkembangan iman anak terutama membawa anak-anak
menuju kematangan hidup rohani sebagai orang kristen dalam keluarga dan
bagaimana orang tua menanamkan sikap dan nilai-nilai kristiani dalam diri anak
sejak dini, sehingga menjadi manusia yang dewasa dalam iman dan
bertanggungjawab atas dirinya dan sesama.
79
3. Insrtumen penelitian
a. Angket
Angket berupa daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden untuk
membantu penulis memperoleh data yang lengkap dan obyektif. Angket ini langsung
diberikan kepada orang tua yang ingin dimintai pendapatnya. Responden hanya
boleh memilih satu alternatif yang sudah disediakan (Sutrisno, 1982 : 160).
b. Wawancara
Wawancara adalah: pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara
langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden
dicatat atau direkam dengan alat perekam (Irawan Soehartono, 2004 : 67 – 68).
Wawancara yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagai alat untuk
memperkuat jawaban pada angket yang dikumpulkan. Wawancara ini dilakukan
dengan mengadakan kunjungan keluarga.
4. Kisi – kisi dan Indikator
No Variabel Aspek Variabel Indikator Item
Kesadaran
orang tua
akan
perannya
dalam
pendidikan
iman anak
- memahami / me-
nyadari
- mendampingi
- tanggung jawab
- Menjelaskan tentang peran
orang tua dalam pendidikan
iman anak.
- Mendengar keluhan anak
- Membantu anak saat anak
mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugasnya.
- Menyiapkan buku bacaan
6
80
- memberi kesaksian
hidup.
rohani untuk anak.
- Doa bersama dalam keluarga.
- Memaafkan anak di kala anak
melakukan kesalahan.
Kuesioner yang diedarkan sebanyak 60 eksemplar. Kuesioner yang
dikembalikan sebanyak 45 eksemplar, dengan rincian 5 orang mengisi kuesioner
kurang lengkap (cacat) dan yang mengisi lengkap 40 orang, dan data inilah yang
digunakan dalam penelitian ini.
Pengukuran pengetahuan orang tua menggunakan tes sebanyak 1 butir, nilai
maksimal yang dapat diperoleh adalah 5, dan nilai minimal yang dapat diperoleh
adalah 1. Jadi nilai keseluruhan adalah 5.
Pengukuran perwujudan atau tindakan digunakan dengan menggunakan skala
semantik diferensial. Teknik pengukurannya dinyatakan dalam bentuk skor yaitu
dengan memberi skor 5-1 pada setiap pernyataan. Adapun jumlah pertanyaan
seluruhnya ada 10 butir. Jadi nilai maksimal yang dapat diperoleh tiap item adalah 5,
sedangkan nilai minimal yang dapat diperoleh adalah 1, dan nilai seluruhnya adalah
50.
5. Pengembangan Instrumen
a. Analisis Instrumen
Penelitian ini dilaksanakan dengan uji coba terpakai. Data yang diperoleh dari
penelitian digunakan untuk menganalisis butir. Instrumen yang tidak valid dibuang,
81
sedangkan data yang diperoleh dari instrumen yang valid akan diolah lebih lanjut
dalam penlitian ini.
Dalam uji coba terpakai ini digunakan validitas butir. Validitas butir
didapatkan dengan mengkorelasi skor dari tiap butir pernyataan dengan skor total
dari seluruh butir (Sutrisno Hadi, 2004:125-126). Validitas memiliki arti jika
bergerak dari 0,00 sampai dengan 1.00. dalam uji coba ini penentuan validitas butir
menggunakan koefisien korelasi product momen pada taraf signifikansi 0,05 dengan
N atau jumlah responden 40 orang, maka butir yang memiliki koefisien korelasi lebih
besar atau sama dengan nilai 0,3 dianggap valid dan layak digunakan dalam
penelitian ini, artinya butir tersebut tidak gugur. Pengolahan ini dengan
menggunakan jasa komputer microsoft office excel 2003.
Validitas kesadaran akan peran orang tua dalam pendidikan iman anak
(pengetahuan) dengan indikator: menjelaskan peran orang tua dalam pendidikan
iman anak, pada butir satu (1) yang diuji. Taraf signifikansi 5% dengan N 40 orang
dengan nilai kritis 0,09, maka memiliki koefisien kurang dari 0,3 dinyatakan tidak
valid. Sekalipun butir ini tidak valid, namun tetap dipakai untuk diolah lebih lanjut
dalam penelitian ini (hasil terlampir). Validitas kesadaran orang tua dalam
pendidikan iman anak (perwujudan / tindakan) dari empat (3 ) sub variabel : pertama
mendampingi dengan indikator : mendengar keluahan anak, membantu anak saat
anak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya. Kedua tanggung jawab
dengan indikator: menyiapkan buku bacaan rohani untuk anak. Ketiga memberi
kesaksian hidup dengan indikator : doa bersama dalam keluarga, memaafkan anak di
kala anak melakukan kesalahan. Taraf signifikansi 5% dengan 40 orang responden
82
dengan nilai kritis 0,3 dinyatakan valid. Dari 10 butir item yang yang diuji, ada 4
butir item yang gugur dan 6 butir item yang valid. Koefisien korelasi bergerak dari
0,3 sampai dengan 0,7.
b. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas alat ukur adalah ketepatan atau keajegan alat tersebut dalam
mengukur apa yang diukurnya. Artinya kapan pun alat ukur tersebut digunakan akan
memberikan hasil ukur yang sama (Nana Sudjana, 1989 : 120-121). Pengukuran
yang memiliki reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Uji
reliabilitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu skala mengukur suatu faktor
atau variabel tertentu secara konsisten. Uji signifikansi dilakukan pada taraf
signifikansi 0,05 artinya instrumen yang dikatakan reliabel nilai alphanya lebih
besar dari nilai kritis. Pada uji validitas di atas item-item yang gugur dibuang, yang
dimasukkan adalah item-item yang tidak gugur. Jadi yang akan diolah lebih lanjut
ada 6, dan 5 item yang lain dinyatakan gugur. Untuk perhitungan teknik ini
digunakan bantuan komputer program microsoft office excel 2003.
Dari hasil analisis soal kuesioner dapat diketahui bahwa reliabilitas dari soal
yang peneliti buat adalah 0,484.
6. Teknik Analisis Data
a. Deskripsi data
Deskripsi data meliputi mean dan penggolongan. Kriteria penggolongan
adalah sebagai berikut :
Klasifikasi Angka %
Sangat Baik 5 %
83
Baik 4 %
Netral 3 %
Kurang 2 %
Sangat Kurang 1 %
Kriteria satuan tersebut diperoleh dengan cara (skor maksimal-skor minimal) / 5
b. Uji Hipotesis
Hipotesis penelitian diuji dengan uji statistik T-tes artinya yang diuji adalah
pengetahuan dan perwujudan atau tindakan orang tua dalam sampel kecil ≤ 40
(Santoso, 2003: 254) yang dilakukan dengan bantuan program computer SPSS versi
11.00.
Adapun Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
H0 = Tidak ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan
iman anak sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum
dan sesudah katekese.
H1 = Ada perbedaan kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman
anak sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam keluarga sebelum dan
sesudah katekese.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Laporan Hasil Penelitian
1. Deskripsi Data Kesadaran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak
sebelum Kegiatan SCP
a. Data Hasil Angket
Hasil yang diperoleh sebelum terlaksana kegiatan SCP. Dari segi
pengetahuan rata-rata 1.95 dan perwujudan atau tindakan 14. 14 . ( lihat lampiran).
Deskripsi peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam
pendidikan iman anak:
Dari hasil data yang terkumpul tentang pengetahuan orang tua sebagai
pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga dari sebagian besar
hasil jawaban kuesionernya adalah guru agama, para pendamping sekolah minggu
dan para pendamping rohani lainnya karena mereka lebih tahu mengarahkan anak-
anak ke arah yang lebih baik (berdasarkan data yang diperoleh) dan sebagian kecil
menjawab orang tua dan lebih ditujukan kepada pihak ibu dengan alasan karena ibu
yang lebih mengenal psikologi anak dan lebih banyak waktu dengan anak. Dari
jawaban dan alasanya nampak sekali kalau orang tua kurang menyadari akan
tugasnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam pendidikan
iman anak.
Tabel 1: Doa Bersama dalam Keluarga.
85
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 0 0%
B 4 2 5%
C 3 21 52.50%
K 2 11 27.50%
SK 1 6 15%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 1 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi sangat
baik 0 (0%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran melakukan doa
bersama dalam keluarga dengan klasifikasi baik ada 2 (5%) dari 40 orang tua; orang
tua yang memiliki kesadaran melakukan doa bersama dalam keluarga dengan
klasifikasi cukup ada 21 (52.50%) dari 40 orang tua; orang tua yang melakukan doa
bersama dalam keluarga dengan klasifikasi kurang ada 11 (27.50%) dari 40 orang
tua; dan orang tua melakukan doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi sangat
kurang ada 6 ( 15%) dari 40 orang tua.
Tabel 2 : Mendengarkan Keluhan Anak.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 6 15%
B 4 5 12.50%
C 3 10 25%
K 2 8 20%
86
SK 1 11 27.50%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 2 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran mendengarkan keluhan anak dengan klasifikasi sangat
baik ada 6 (15%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran
mendengarkan keluhan anak dengan klasifikasi baik ada 5 (12,50%) dari 40 orang
tua; orang tua yang memiliki kesadaran mendengar keluhan anak dengan klasifikasi
cukup ada 10 (25%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran
mendengarkan keluhan anak dengan klasifikasi kurang ada 8 (20%) dari 40 orang
tua; dan orang tua yang memiliki kesadaran mendengarkan keluhan anak dengan
klasifikasi sangat kurang ada 11 ( 27,50%) dari 40 orang tua.
Tabel 3 : Menyiapkan Buku Bacaan Rohani.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 0 0%
B 4 3 7.50%
C 3 12 30%
K 2 14 35%
SK 1 11 27.50%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 3 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran menyiapkan buku bacaan rohani dengan klasifikasi
87
sangat baik ada 6 (15%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran
menyiapkan buku bacaan rohani dengan klasifikasi baik ada 5 (12,50%) dari 40
orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran menyiapkan buku bacaan rohani
dengan klasifikasi cukup ada 10 (25%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki
kesadaran menyiapkan buku bacaan rohani dengan klasifikasi kurang ada 8 (20%)
dari 40 orang tua; dan orang tua yang memiliki kesadaran menyiapkan buku bacaan
rohani dengan klasifikasi sangat kurang ada 11 ( 27,50%) dari 40 orang tua.
Tabel 4 : Membantu Anak saat Anak Mengalami Kesulitan dalam Menyelesaikan
Tugasnya.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 10 25%
B 4 8 20%
C 3 7 17.50%
K 2 8 20%
SK 1 7 17.50%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran membantu anak saat anak mengalami kesulitan dalam
menyelesaikannya dengan klasifikasi sangat baik ada 10 (25%) dari 40 orang tua;
orang tua yang memiliki kesadaran membantu anak saat anak mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi baik ada 8 (20%) dari 40 orang
tua; orang tua yang memiliki kesadaran membantu anak di saat anak mengalami
88
kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi cukup ada 7 (17,50%)
dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran membantu anak di saat anak
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi kurang ada 8
(20%) dari 40 orang tua; dan orang tua yang memiliki kesadaran membantu anak di
saat anak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi
sangat kurang ada 7 ( 17,50%) dari 40 orang tua.
Tabel 5 : Memaafkan Anak Di Kala Anak Melakukan Kesalahan.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 21 52.50%
B 4 8 20%
C 3 4 10%
K 2 2 5%
SK 1 5 12.50%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 5 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan
dengan klasifikasi sangat baik ada 21 (52,50%) dari 40 orang tua; orang tua yang
memiliki kesadaran memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan dengan
klasifikasi baik ada 8 (20%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran
memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan dengan klasifikasi cukup ada 4
(10%) dari 40 orang tua; memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan dengan
klasifikasi kurang ada 2 (5%) dari 40 orang tua; dan orang tua yang memiliki
89
kesadaran memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan dengan klasifikasi
sangat kurang ada 5 ( 12,50%) dari 40 orang tua.
SB 25,3-30 0 0%
B 20,5-25,2 0 0%
N 15,7-20,4 19 47%
K 10,9-15,6 15 38%
SK 6-10,8 6 15%
Deskrips i K es adaran OT s ebelum S C P
S B 25,3-30, 0 B 20,5-25,2, 0
N 15,7-20,4, 19
K 10,9-15,6, 15
S K 6-10,8, 6
02468
101214161820
25,3-30 20,5-25,2 15,7-20,4 10,9-15,6 6-10,8
S B B N K S K
Kriteria satuan diperoleh dengan cara : skor maksimal dikurangi skor minimal
dibagi 5
Sangat Baik = (30-5)/ 5 = 5
Baik = (25,2-4)/ 5 = 4
Cukup (N) = (20,4-3) / 5 = 3
90
Kurang = ( 15,6-2) / 5 =2
Sangat Kurang = (10,8-1) / 5 =1
b. Hasil wawancara
Dilihat dari hasil wawancara pada umumnya responden mengatakan hal yang
sama tentang pendidikan iman anak sesuai dengan apa yang diwawancarai, juga
nampak dalam sharing pengalaman responden pada saat mengadakan katekese.
1. Menurut responden yang menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua dalam
keluarga adalah bahwa kami sebagai orang tua lebih pada membesarkan,
melindungi, merawat anak, sedangkan yang menjadi pendidik utama adalah
guru agama di sekolah dan pendamping rohani lainnya yang didukung oleh
gereja atau lingkungan.
Kami sebagai orang tua hanya tahu membesarkan dan memberi teladan hidup
yang baik dari kami selaku orang tua. Namun kami kurang mampu mendidik
anak lebih dari itu, tetapi iman anak kami bertumbuh dan berkembang
melalui bantuan orang lain yaitu guru, teman-teman di mana mereka berada
dan juga lingkungan sekitar. Namun kami sadar bahwa kami sebagai orang
tua tugas dan tanggung jawab kami tidak terbatas pada membesarkan dan
melindungi anak.
2. Menurut Bapak-Ibu, yang kami lakukan dalam keluarga demi perkembangan
iman anak: kami sebagai orang tua mempersiapkan anak-anak kami untuk
dapat menghayati kehidupan gereja mulai dari keluarga kami sendiri. Kami
mengajak anak-anak untuk selalu berdoa, bersyukur dan mewartakan Injil
dalam hal sekecil apapun dalam kehidupan sehari-hari, tapi kadang hanya
91
sebatas pada mengajak, tetapi untuk melakukan atau mewujudkannya
mengalami kesulitan, karena jadwal untuk berkumpul untuk melakukan doa
bersama atau kegiatan rohani lainnya dalam keluarga, bahkan waktu untuk
mangantar anak ke kegiatan yang mendukung perkembangan iman anak,
karena orang tua dan anak mempunyai kesibukannya masing-masing.
Misalnya orang tua mau ajak doa bersama tetapi anak lagi asyik menonton
televisi atau lagi asyik ngobrol dengan teman-temannya baik secara langsung
maupun via telpon genggam. Dan bagi kami mengalami kesulitan untuk
menentukan waktu yang tepat agar kami bisa berkumpul dan menanamkan
pengertian akan pentingnya doa bersama, makan bersama dan bahkan
rekreasi bersama. Namun kami sebagai orang tua selalu berusaha untuk
memberi yang terbaik bagi anak-anak kami melalui kesaksian hidup kami
setiap hari. Meluangkan waktu untuk anak sangat sulit untuk kami temukan
tetapi kami percaya orang lain selain bapak dan ibunya pasti selalu memberi
yang terbaik bagi mereka (pembantu, kakek, nenek ). Jadi kami kurang
memberikan waktu sepenuhnya untuk anak, kami lebih mementingkan hal-
hal yang lain, kami memberi kebebasan pada anak-anak kami untuk
melakukan apa saja asal tidak terlibat dalam hal-hal yang merugikan diri
sendiri, orang tua dan sesama.
3. Dalam kegiatan lingkungan atau paroki kami kadang terlibat dan sering tidak
ikut karena terbentur dengan tugas yang lain, sehingga kadang-kadang kami
kurang melibatkan anak dalam kegiatan lingkungan atau paroki. Tetapi kami
sebagai orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap mengajak anak kami
92
untuk ikut terlibat dalam kegiatan apapun yang ada di lingkungan maupun
paroki.
4. Dalam keluarga kebiasaan doa bersama, membaca dan merenungkan kitab
suci bersama pada malam hari agak sulit untuk menentukan waktunya. Jadi
kegiatan bersama yang berkaitan dengan hidup rohani kurang begitu kami
perhatikan, tetapi kami selalu berusaha untuk mengajak anak agar sebelum
melakukan aktivitas harus berdoa, namun hanya sebatas mengajak, sementara
kami sendiri tidak melakukan hal itu. Kami tahu bahwa doa dan membaca
kitab suci merupakan sumber kekuatan dalam hidup kami.
5. Sarana-sarana yang dapat mendukung perkembangan iman anak, kami
sediakan hanya ada Madah Bakti, Kidung Adi, dan Kitab Suci, namun jarang
kami gunakan kecuali ke Gereja, sedangkan kalau ikut kegiatan di
Lingkungan sarana seperti ini sudah disediakan. Jadi bagi kami sarana ini
tidak begitu penting.
6. Bagi kami untuk mendengarkan keluhan anak kurang begitu memberi waktu
khusus sebab waktu kami habis untuk menyelesaikan tugas di mana kami
bekerja, dan kami melihat anak-anak kami baik-baik saja, jadi tidak perlu
kami tanyakan tentang ini dan itu. Kadang kami bertanya ria hanya lewat HP
saja (bagi yang punya hand phone ). Dan kami merasa bahwa kakek, nenek
bahkan pembantu sudah cukup untuk mendampingi mereka (anak-anak)
secara khusus untuk mendengar keluhan anak-anak.
2. Deskripsi Data Kesadaran Orang Tua dalam Pendidikan Iman Anak
sesudah SCP
93
a. Hasil Angket
Hasil penelitian yang doperoleh setelah kegiatan SCP dari segi pengetahuan
rata-rata 4,97 dan dari segi perwujudan 21,75 ( lihat lampiran )
Deskripsi kesadaran orang tua akan perannya dalam pendidikan iman anak:
Dilihat dari segi pengetahuan berdasarkan jawaban responden melalui
lembaran kuesioner para orang tua sadar akan peran utama mereka yaitu sebagai
pendidik iman anak yang pertama dan utama, hal ini tampak dari jawaban mereka
bahwa yang menjadi pendidik pertama dan utama dalam pendidikan iman anak
adalah orang tua dan hal ini menjadi konsekuensi dari janji pernikahan kami (orang
tua) yang telah kami janjikan atau ucapkan pada saat kami saling menerima
sakramen perkawinan. Kami sadar dan tahu bahwa guru agama, para pendamping
iman anak dan pendamping rohani lainnya hanya membantu dan melengkapi apa
yang masih kurang dan apa yang belum diberikan oleh kami sebagai orang tua.
Tabel 6: Doa Bersama dalam Keluarga.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 10 25%
B 4 22 55%
C 3 8 20%
K 2 0 %
SK 1 0 %
Jumlah 40 100%
94
Data sebagaimana tercantum pada tabel 6 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran doa bersama dalam keluarga dengan klasifikasi sangat
baik 10 (25%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran melakukan doa
bersama dalam keluarga dengan klasifikasi baik ada 22 (55%) dari 40 orang tua;
orang tua yang memiliki kesadaran melakukan doa bersama dalam keluarga dengan
klasifikasi cukup ada 8 (20%) dari 40 orang tua; orang tua yang melakukan doa
bersama dalam keluarga dengan klasifikasi kurang dan sangat kurang ada 0 (0%) dari
40 orang tua.
Tabel 7 : Mendengarkan Keluhan Anak
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 35 90%
B 4 3 7.50%
C 3 1 2.50%
K 2 0 0%
SK 1 0 0%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 7 di atas menunjukkan bahwa orang tua
yang memiliki kesadaran mendengarkan keluhan anak dengan klasifikasi sangat
baik ada 35 (90%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran
mendengarkan keluhan anak dengan klasifikasi baik ada 3 (7,50%) dari 40 orang
tua; orang tua yang memiliki kesadaran mendengar keluhan anak dengan klasifikasi
cukup ada 1 (2,50%) dari 40 orang tua; sedangkan orang tua yang memiliki
95
kesadaran mendengarkan keluhan dengan klsaifikasi kurang dan sangat kurang ada 0
(0%) dari 40 orang tua.
Tabel 8 : Menyiapkan Buku Bacaan Rohani.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 0 0%
B 4 2 5%
C 3 31 77.50%
K 2 7 17.50%
SK 1 0 0%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran menyiapkan buku bacaan rohani dengan klasifikasi
sangat baik ada 0 (0%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran
menyiapkan buku bacaan rohani dengan klasifikasi baik ada 2 (5%) dari 40 orang
tua; orang tua yang memiliki kesadaran menyiapkan buku bacaan rohani dengan
klasifikasi cukup ada 31 (77,50%) dari 40 orang tua; orang tua yang memiliki
kesadaran menyiapkan buku bacaan rohani dengan klasifikasi kurang ada 7 (17,50%)
dari 40 orang tua; dan orang tua yang memiliki kesadaran menyiapkan buku bacaan
rohani dengan klasifikasi sangat kurang ada 0 ( 0%) dari 40 orang tua.
Tabel 9 : Membantu Anak saat anak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya.
Kualifikasi Skor Jumlah % SB 5 39 97.50%
96
B 4 1 2.50%
C 3 0 0%
K 2 0 0%
SK 1 0 0%
Jumlah 40 100%
Data sebagaimana tercantum pada tabel 9 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran membantu anak saat anak mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi sangat baik ada 39 (97,50%) dari 40
orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran membantu anak saat anak mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi baik ada 1 (2,50%) dari
40 orang tua; orang tua yang memiliki kesadaran membantu anak disaat anak
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya dengan klasifikasi cukup,
kurang, sangat kurang ada 0 (0%) dari 40 orang tua.
Tabel 10 : Memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan.
Kualifikasi Skor Jumlah %
SB 5 40 100%
B 4 0 0%
C 3 0 0%
K 2 0 0%
SK 1 0 0%
Jumlah 40 100%
97
Data sebagaimana tercantum pada tabel 10 di atas menunjukkan bahwa orang
tua yang memiliki kesadaran memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan
dengan klasifikasi sangat baik ada 40 (100%) dari 40 orang tua; orang tua yang
memiliki kesadaran memaafkan anak di kala anak melakukan kesalahan dengan
klasifikasi baik, cukup, kurang,dan sangat kurang ada 0 (0%) dari 40 orang tua.
SB 25,3-30 35 87%
B 20,5-25,2 5 13%
N 15,7-20,4 0 0%
K 10,9-15,6 0 0%
SK 6-10,8 0 0%
25,3-30S B 20,5-25,2
B 15,7-20,4N 10,9-15,6
K 6-10,8S K
25,3-30S B , 35
20,5-25,2B , 5
15,7-20,4N, 0 10,9-15,6
K , 0 6-10,8S K , 0
0
5
10
15
20
25
30
35
Deskrips i K es adaran OT s esudah S C P
Data sebagaimana di atas menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki
kesadaran dalam mendidik iman anak setelah mengikuti kegiatan katekese model
SCP dengan klasifikasi sangat baik ada 35 (87%) dari 40 orang, sedang dengan
98
klasifikasi baik ada 5 (13%) dari 40 orang, dan dengan klsifikasi cukup, kurang,dan
sangat kurang ada 0 (0%) dari 40 orang tua.
b. Hasil wawancara setelah SCP
Menurut responden yang diwawancarai setelah mengikuti kegiatan SCP
adalah sebagai berikut :
1. Yang menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga adalah
sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak,
sedangkan guru agama, para pendamping iman anak dan pendamping rohani
lainnya hanya membantu orang tua dalam perkembangan iman anak.
2. Menurut bapak-ibu yang kami lakukan dalam keluarga demi perkembangan
iman anak kami menentukan waktu atau jadwal bersama yang harus
dilaksanakan bersama adalah ada waktu untuk doa bersama seluruh anggota
keluarga, makan bersama, rekreasi bersama. Kami orang tua tidak hanya
mengajak anak tetapi kami terlibat penuh dalam setiap kegiatan bersama,
kecuali kalau ada hal-hal yang mendesak yang tak dapat mewujudkannya.
Kemudian kami selalu meluangkan waktu khusus untuk anak-anak kami
untuk mendengarkan keluhan anak, membantu anak di kala anak mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugasnya, kami berusaha untuk masuk dalam
ke dunia anak.
3. Kami dan anak kami melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang ada di
Paroki atau Lingkungan, sejauh kami dan anak kami mampu
melaksanakannya. Kami selalu mengantar anak kami ke kegiatan sekolah
minggu atau kegiatan rohani lainnya yang mendukung perkembangan iman
99
anak-anak kami,sekalipun kami sibuk atau capek dengan tugas dan pekerjaan
harian kami, karena kami sadar akan tugas utama kami sebagai pendidik iman
anak yang pertama dan utama. Kami memberi kebebasan kepada anak-anak
kami dalam melaksanakan tugasnya tetapi selalu dibawah kontrol atau
pendampingan kami sebagai orang tua.
4. Dalam keluarga, kami dan anak-anak membiasakan doa bersama, membaca
dan merenungkan kitab suci pada malam hari. Dan kami selalu
memperhatikan hal ini kecuali ada satu dan lain hal yang tidak dapat
melaksanakannya ( ada kegiatan yang mendesak yang harus diselesaikan
pada waktu yang sama). Kami sadar dan tahu bahwa doa dan membaca Kitab
Suci merupakan sumber kekuatan dalam hidup sebagai orang kristiani.
5. Sarana-sarana yang dapat mendukung perkembangan iman anak, kami
sediakan yang walaupun yang hanya pokok-pokok saja, misalnya Kitab Suci
Madah Bakti dan Kidung Adi. Sarana yang ada kami gunakan bersama-sama
agar kami dan anak-anak lama-kelamaan menjadi bersahabat dengan sarana
yang ada, dan tidak hanya bersahabat tetapi isi dari sarana yang ada menjadi
milik setiap pribadi. Kami merasa bahwa bahwa sarana sangat penting dalam
perkembangan iman anak kami.
6. Bagi kami mendengarkan keluhan anak adalah hal yang sangat penting dan
selalu menyiapkan waktu khusus untuk anak, dalam hal ini setiap hari
berusaha berdialog atau berkomunikasi langsung dengan anak, tidak hanya
via alat komunikasi saja ( Telpon). Orang lain di luar kami ( kakek,
100
nenek,pembantu dll) hanya untuk membantu kami dalam mendampingi anak-
anak.
B. Uji Hipotesis dengan Uji T
Hipotesis penelitian diuji dengan uji statistik T test artinya uji perbedaan rata-
rata pada sampel kecil antara dua kelompok. Proses perhitungannya dilakukan
dengan bantuan program computer SPSS versi 11.00
T Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std.
Deviation
Std. Error
Mean
Pair sebelum SCP
1 sesudah SCP
14,4250
26,7250
40
40
3,52927
1,10911
,55803
,17537
Tabel statistik deskripsi di atas menunjukkan nilai rata-rata (mean) sebelum
SCP sebesar 14,4250, dan simpangan baku (standard Deviasi) sebesar 3,52927.
Sesudah SCP nilai rata-rata (mean) sebesar 26,7250, sedangkan simpangan baku
(standard Deviasi) sebesar 1,10911 dan standart kesalahan sebelum SCP sebesar
0,55803, sedangkan standard kesalahan perbedaan setelah SCP sebesar 0,17537 dari
40 orang responden dan 6 item yang diolah.
Paired Samples Test
Paired Differences
95% confidence Interval
of de Difference
Mean Std.
Devuation
Std. Error
Mean
Lower Upper
t
df
Sig. (2-
tailed)
101
Pair sebelum SCP-
1 sesudah SCP
-12,3000 3,86437 ,61101 -13,5359 -11,0641 -20,131 39 ,000
Pada tabel di atas kesadaran orang tua akan tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak sebelum dan
sesudah SCP nilai rata-rata (mean) sebesar 12,3000, dan simpangan baku (standard
Deviasi) sebesar 3,86437. Sedangkan derajat kebebasan sebesar 39 dan signifikansi
sebesar 0,000. Hal ini berarti terdapat perbedaan kesadaran orang tua dalam
pendidikan iman anak sebelum dan sesudah SCP secara berarti atau signifikansi.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam proses pelaksanaan penelitian dilaksanakan dengan tiga tahap yaitu
penyebaran angket yang pertama, katekese, sebaran angket yang kedua. Dilihat dari
hasil sebelumnya orang tua kurang memiliki kesadaran tentang pendidikan iman
anak, karena orang tua beranggapan bahwa pendidikan iman anak itu merupakan
tugas para guru agama, para pendamping sekolah minggu dan para pendamping
rohani lainnya. Orang tua telah memiliki pengetahuan yang cukup tinggi namun
tentang hal iman masih kurang. Tetapi dilihat dari perwujudan, orang tua mampu
memberi teladan hidup yang baik bagi ana-anaknya. Walaupun kadang orang tua
kurang melibatkan anaknya dalam kegiatan lingkungan namun dalam keluarga ada
kebiasaan baik yang ditanamkan dalam diri anak yaitu membiasakan anak untuk
membaca dan merenungkan Kitab Suci, doa bersama. Hal ini sangat bagus. Maka
orang tua mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik iman yang
pertama dan utama dalam pendidikan iman anak, guru agama di sekolah, para
102
pendamping sekolah minggu atau pendamping rohani lainnya hanya membantu dan
melengkapi apa yang masih kurang dan apa yang belum diberikan oleh orang tuanya.
Melalui pengalaman hidup sehari-hari dalam keluarga, orang tua mengatakan bahwa
anak dapat memperoleh pembinaan iman secara tidak langsung sejauhmana
pengalaman hidup itu dihayati sebagai pengalaman iman.
Pembinaan iman anak maupun pengalaman iman dalam keluarga akan
menumbuhkan dan mengembangkan serta membimbing anak menjadi manusia
dewasa dalam iman. Pembinaan iman sebagai salah satu bentuk pendidikan anak
untuk mencapai tujuan sebagai manusia yang utuh, sebab pembinaan iman anak
menjadi penting, mengingat martabat hidup keluarga sebagai gereja mini keluarga
sehingga orang tua yang mempunyai peranan pertama dan utama dalam pembinaan
iman anak mulai sejak dini.
Kadang orang tua merasa bingung bagaimana cara membina iman anak-
anaknya, walupun cara membina iman anak dilakukan dalam bentuk-bentuk seperti
di atas, bahwa doa bersama dalam keluarga, makan bersama, rekreasi bersama
keluarga itu sangat penting. Doa bersama merupakan salah satu bentuk pembinaan
iman dalam keluarga itu sendiri dan menjalin relasi dengan Tuhan dan sesama, serta
mengembang hidup beriman. Doa bersama hendaknya menjadi pusat hidup keluarga
juga merupakan suatu kebutuhan. Dengan demikian doa membutuhkan sarana-sarana
yang menunjang dan mendukung terlaksananya pembinaan iman seperti : Kitab Suci,
Madah Bakti, Salib, Patung Kudus dan bacaan rohani lainnya. Selain itu ada
hambatan dalam pembinaan iman anak yang dialami oleh orang tua yakni : kurang
ada waktu untuk mengajak anak untuk doa bersama dan kadang hanya terbatas pada
103
mengajak tetapi sulit untuk melaksanakanya, karena masing-masing anggota
mempunyai kesibukan yang berbeda sehingga sulit untuk menentukan waktu untuk
doa bersama, dan dalam keluarga kurang terbiasa untuk melakukan doa bersama,
juga disebabkan oleh kondisi ekonomi keluarga yang kurang baik, sehingga
mendorong orang tua lebih sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan jasmani
daripada kebutuhan rohani anak. Perbaikan ekonomi dalam keluarga dan kebutuhan
jasmani perlu mendapat perhatian tetapi kebutuhan rohani jangan sampai disepelekan
karena pembinaan iman anak juga perlu mendapat perhatian khusus dari orang lain
dalam hal ini orang tua.
Di samping itu anak membutuhkan pembinaan iman untuk mencapai
kedewasaan. Anak perlu mengetahui dan memahami pentingnya pembinaan iman
karena pembinaan iman menjadi tugas dan kewajiban serta tanggung jawab orang tua
untuk pendidikan iman anak sebagai perwujudan buah cinta keluarga. Pembinaan
anak dalam keluarga merupakan salah satu bagian dari pendidikan di bidang
kerohanian yakni anak akan menumbuhkan, menghayati dan mengembangkan
imannya yang telah diperoleh dari orang tua. Dengan demikian doa bersama, makan
bersama dalam keluarga, mengajak ke Gereja bersama merupakan ikut terlibat dalam
kegiatan menggereja dalam kegiatan pembinaan iman anak. Maka dengan katekese
yang merupakan usaha yang dilakukan oleh pihak Gereja untuk menolong dan
memperdalamkan iman umat, dalam hal ini orang tua dalam mengembangkan tugas
dan tanggung jawabnya sebagai pendidik yang pertama dan utama, semakin
memahami, manghayati dan mewujudkan imannya di tengah keluarga dan
masyarakat. Melalui proses katekese yang bertolak dari pengalaman atau praktek
104
hidup, pengalaman iman, komunikasi dengan tradisi kristiani, dan arah keterlibatan
baru membantu orang tua untuk semakin sadar dan tahu akan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai pendidik yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak.
Oleh sebab itu ada perkembangan kesadaran orang tua setelah SCP, orang
tua sadar bahwa selama ini melalaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Mereka merasa bersyukur karena
dengan adanya SCP, mereka disadarkan kembali. Mereka menyadari bahwa selama
ini mereka kurang memberi perhatian penuh kepada perkembangan iman anak
mereka, mereka sebagai orang tua kadang hanya sibuk dengan urusan kantor atau
urusan lain, tetapi kurang memberi perhatian kepada kehidupan rohani anak. Orang
tua hanya tahu memberi dan memenuhi segala kebutuhan anak tetapi soal hal iman
kurang memberi perhatian. Dengan adanya SCP orang tua mau membangun dan
menghidupkan semangat kesadaran baru dalam hidup secara khusus memberi
perhatian khusus kepada pertumbuhan dan perkembangan hidup rohani anak. Jadi
untuk meningkatkan kesadaran orang tua akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga maka
diharapkan agar orang tua menghidupkan kembali semangat kesadaran dalam diri
untuk memperbaharui kehidupan keluarga yang dulunya kurang terbiasa membaca
dan merenungkan Kitab Suci, doa bersama dalam keluarga, terlibat dalam kegiatan
lingkungan, sehingga kebiasaan yang baik dapat dipelajari dan ditiru oleh anak-anak.
Sebagai orang tua harus memberi teladan dan kesaksian hidup yang baik terhadap
anak, karena iman anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik karena
dipengaruhi oleh teladan dan kesaksian hidup orang tua setiap hari.
105
Dengan demikian bahwa setelah mengadakan SCP ada perubahan besar
dalam diri orang tua dimana orang tua merasa ada sesuatu yang baru lahir kembali
dalam diri mereka. Orang tua merasa ada kehidupan baru dalam diri mereka setelah
diteguhkan dan dikuatkan dalam proses SCP.
D. Keterbatasan Penelitian
Dalam kurun waktu yang sangat singkat, peneliti berusaha semaksimal
mungkin untuk mencari informasi dan mengambil data yang masih kurang lengkap.
Namun dalam proses penelitian sejak bulan September sampai dengan Nopember
tidak cukup untuk mengambil data yang selengkapnya, karena kurangnya waktu dan
tenaga serta kurangnya fasilitas yang mendukung dalam proses penelitian ini. Juga
peneliti mengalami kesulitan dalam mengumpulkan data dan wawancara sebab
semua orang (para responden) sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, sehingga
sulit untuk bertemu. Selain keterbatasan waktu juga keterbatasan kemampun peneliti
dalam mempelajari metodologi penelitian. Butir yang direncanakan ada banyak yang
tidak valid sehingga banyak yang dibuang, dan ini bagian dari keterbatasan peneliti.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian terakhir penulisan ini akan disampaikan kesimpulan dan saran
yang diharapkan dapat berguna dalam usaha meningkatkan kesadaran orang tua
sebagai pendidikan iman anak dalam keluarga.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan kajian pustaka dan hasil penelitian penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesadaran yaitu memiliki niat untuk menyusun rencana dengan segaja
dengan mempertimbangkan segi positif dan negatif suatu situasi atau kegiatan
sebelum mengambil suatu tindakan dan secara selektif dan berarti
menentukan arah tindakan untuk meraih suatu tujuan.
2. Orang tua menyadari akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik
iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga.
Orang tua selalu sibuk dengan tugas dan kariernya masing-masing dan
merasa bahwa tugas utama mereka adalah mencari uang demi kebutuhan
jasmani keluarga termasuk anak. Orang tua sendiri mengalami kesulitan dan
kebingungan bagaimana cara untuk mendampingi iman anak-anaknya.
Meskipun cara mendampingi anak dilakukan dalam bentuk seperti doa
bersama dalam keluarga, membaca dan merenungkan kitab suci bersama
makan bersama dll, sering mengalami kesulitan karena anak dan orang tua
memiliki kesibukannya masing-masing. Orang tua berpikir bahwa pendidik
107
iman anak yang pertama dan utama dalam pendidikan iman anak dalam
keluarga adalah guru agama, para pendamping sekolah minggu dan
pendamping rohani lainnya, dan bagi mereka sarana-sarana yang dapat
mendukung perkembangan iman anak adalah sudah cukup yang disediakan
oleh lingkungan, orang tua kurang menyediakan waktu kuhusus untuk
mendengarkan keluhan anak termasuk waktu untuk mengantar anak ke
kegiatan sekolah minggu atau kegiatan rohani lainnya. Bagi mereka bersapa
ria lewat telpon atau hand phone sudahlah cukup. Mereka kurang sadar
bahwa dalam pendampingan iman anak, keluarga merupakan tempat pertama
dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan iman anak. Iman pertama
kali ditanamkan, dihidupi dan dipelihara serta berkembang. Dan mereka
kurang sadar bahwa mereka adalah menjadi saksi iman bagi anak-anak. Jadi
apa yang orang tua lakukan dengan sendiri akan ditiru olah anak-anak.
Kadang mereka menuntut anak agar sebelum dan sesudah makan berdoa,
membaca kitab suci dll sementara mereka sendiri jarang melakukan hal itu.
3. Katekese SCP merupakan salah satu bentuk katekese alternatif dari katekese
yang bertolak dari pengalaman hidup, yang sifatnya dialogis partisipatif
dengan tujuan mendorong peserta mengkomunikasikan antara tradisi dan visi
hidup peserta dengan tradisi dan visi hidup kristiani sehingga mampu
mengambil keputusan baik secara pribadi maupun bersama demi terwujudnya
nilai kerajaan Allah didalam hidup manusia.
4. Katesese SCP sangat membantu orang tua untuk semakin menyadari akan
peran dan tanggung jawabnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan
108
utama dalam pendidikan iman anak dalam keluarga. Hal ini dapat terlihat
pada nilai rata-rata sebelum dan sesudah katekese SCP. Nilai rata-rata
sebelum katekese SCP sebesar 14,4250, sedangkan setelah katekese SCP
26,7250. Jadi terdapat perbedaan nilai rata-rata anatara sebelum dan sesudah
sebesar 12,3000 dan derajat kebebasannya 39 serta signifikansi sebesar 0,000.
hal ini berarti terdapat perbedaan kesadaran orang tua dalam pendidikan iman
anak sebelum dan sesudah SCP secara berarti atau signifikansi. Dengan kata
lain H0 ditolak dan H1 diterima.
B. SARAN
Bertolak dari seluruh pembahasan yang ada, penulis bermaksud
mengungkapkan beberapa saran agar para orang tua semakin meningkatkan
kesadarannya akan tugas dan tanggung jawab serta perannya sebagai pendidikan
iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga.
1. Orang tua perlu meningkatkan kesadaran terhadap tugas dan tanggung jawabnya
sebagai pendidik iman yang pertama dan utama dalam keluarga, perlu juga
disadari bahwa pendidikan iman anak di dalam keluarga tak tergantikan oleh
siapapun, selain oleh orang tua itu sendiri, Gereja dan sekolah hanya membantu
dan melengkapi apa yang masih kurang dan apa yang belum diberikan oleh orang
tua.
2. Lingkungan atau Paroki dapat membantu orang tua dalam meningkatkan
kesadaran terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik yang pertama
109
dan utama dalam pendidikan iman anak melalui kegiatan katekese yang bertolak
dari pengalaman peserta dalam hal ini orang tua.
3. Bagi Lembaga pengembangan katekese umat, berhubung katekese model SCP
dapat membantu umat untuk semakin bersahabat dengan pengalaman hidupnya,
semakin mampu mengungkapkan imannya dalam tindakan dan sikap hidupnya
secara nyata, maka katekese model SCP perlu diperhatikan atau dapat dipakai.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusanto, F.X. (1981). Katekese sebagai Pelayanan Sabda. (seri puskat 371).
Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat Adiyanti, M.S. (2003). Prilaku anak Usia Dini. Yogyakarta: Kanisius. Ajaran dan Pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik. (1991). (kata pengantar A.
Sewaka). Jakarta: MNPK KWI bekerjasama dengan Grasindo. Banawiratma. JB. (redaksi). (1989). Jaman Teknologi Menantang Pewartaan Iman.
Yogyakarta: Kanisius. Bergan Dianne. (2002). Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. Budiyono, A.P. (2003). Keluargaku. Yogyakarta: Kanisius. Chang, William. (2003). Menggali Butir-butir Keutamaan.Yogyakarta: Kanisius. Cooke, Bernad. (1972). Iman dan Keluarga-keluarga Kristen. Yogyakarta: Puskat. Given, K.Barbara. (2007). Brain-Based Teaching. Bandung: Kaifa. Groom Thomas. H. (1997). Shared Christian Praxis. (F.X. Heryatno Wono Wulung,
Penyadur). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. (buku asli terbitan tahun 1991).
Heuken. A. (2005). Ensiklopedi Gereja Jilid IV. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Huber, Th. (1981). Katekese Umat. Yogyakarta: Kanisius. Hurlock Elisabeth. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. _________ ( 1978). Perkembangan Anak jilid I. Jakarta: Erlangga. Irawan, Soehartono. (2004). Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. KomKat KAS. (2006). Menjadi Keluarga Basis Hidup Beriman. Semarang: Komisi
Pendamping Keluarga KAS. Konferensi Wali Gereja Indonesia. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Konsili Vatikan II. (1992). Gravissimum Educationis. (R. Hardawirjana,
Penerjemah). Jakarta: DokPen KWI. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1965).
Lalu, Yosep. (2005). Katekese Umat. Jakarta: Komisi Kateketik KWI. Lape, Alo Ch. Bernadet. (1981). Empat Lingkup Iman. Yogyakarta: Pusat Pastoral. Leks, Stefan. (2003). Tafsiran Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius. Majalah KomKel. ( 2006). Habitus Baru dalam Keluarga Kristiani. Yogyakarta:
Skolastikat MSF. _________ (2008). Anak dan Remaja Harapan Gereja. Yoyakarta: Skolastikat MSF. Nana Sudjana. (1989). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Bandung. Paus Yohanes Paulus II. (1981). Amanat Apostolik Familiaris Consortio.
(A. Widyamartaya, Penerjemah). Yogyakarta: Kanisius. _________ (1992). Catechesi Tradendae. (R. Hardawiryana, Penerjemah). Jakarta:
Departemen Dokumen dan Penerangan KWI. _________ (2006). Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: KWI. _________ (1980). Berkatekese. Jakarta: DokPen MAWI.
111
Setyakarjana. J.S. (1197). Arah Katekese di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Kateketik Yogyakarta.
Singgih Santoso. (2003). Mengatasi berbagai masalah statistik dengan SPSS versi 11. Jakarta: Gramedia. Siregar Hetty. (1987). Komunikasi untuk Martabat Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. Sumarno, Ds.M. (1999). Pendalaman Iman untuk Orang Dewasa. (seri Puskat 368).
Yogyakarta: Lembaga Pengembangan kateketik Puskat. _________ (2006). Teori PPL PAK Paroki. Diktat Mata Kuliah Pendidikan Agama
Katolik untuk Mahasiswa smester VI. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Sunarti Hastono. (1981). Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Jakarta: Erlangga. Sutrisno Hadi. (2004). Metodologi Research 3. Yogyakarta: Andi. Suwarno. (1981). Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru. Tim Pusat Pendampingan Keluarga Brayat Minulyo. (2007). Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius. Wasty Soemanto. (1999). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Wignyasumarta. (2000). Panduan Rekoleksi Keluarga. Yogyakarta: Kanisius. Wiley, John. (1996). Psychology, Mind, Brain, and Culture. New York. Zulkifli. L. (1986). Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Karya
LAMPIRAN
(1)
Lampiran 1 : SCP untuk Meningkatkan Kesadaran Orang Tua sebagai
Pendidik Iman Anak dalam Keluarga
A. Identitas
1. Tema : Dipanggil membangun keluarga seturut teladan Maria dan Yosef di
Nazaret
2. Tujuan : Bersama peserta semakin menyadari arti panggilan hidup sebagai
orang tua sehingga semakin meneladan sikap Maria dan Yosef
sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dalam keluarga
melalui sikap dan tindakan hidup sehari-hari.
3. Peserta : Bapak dan Ibu Katolik di Lingkungan Brayat Minulyo wilayah Santa
Maria Kalasan Barat
4. Tempat : Bapak Kusdim (salah satu keluarga Lingkungan).
5. Hari /tgl : Kamis, 13 Nopember 2008
6. Waktu : 19.00 – 20.30 WIB
7. Model : Shared Christian Praxis
8. Metode : Tanya jawab, sharing, informasi.
9. Sarana : - cerita
- Kitab Suci
- buku madah bakti
- Teks pertanyaan pendalaman
10. Sumber bahan:
- Lukas 2 : 41- 52
- Dianne Bergan,CSA. (2002). Tafsiran Alkitab Perjanjian Baru.
Yogyakarta: Kanisius. Hal. 120-121
- Stefan leks. (2003). Tafsiran Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius.
Hal. 97-98.
- Wignyasumarta, Ign. (2000). Panduan rekoleksi keluarga.
Yogyakarta: Kanisius. Hal. 78-87.
- Yohanes Paulus II. (1981). Familiaris Consortio. Art. 36. Jakarta.
(2)
B. Pemikiran Dasar
Dalam kenyataan hidup sehari-hari kalau berbicara tentang panggilan, pada
umumnya pikiran orang langsung tertuju kepada mereka yang memilih panggilan
hidup membiara. Orang kurang memahami sepenuhnya bahwa memilih untuk hidup
berkeluarga merupakan panggilan hidup. Pemahaman seperti ini masih banyak kita
temui pada sebagian besar orang katolik. Padahal memilih hidup keluarga atau
menjadi bapak dan ibu merupakan suatu bentuk panggilan hidup, selain menjadi
biarawan/wati. Para orang tua kurang memiliki pemahaman yang tepat akan
berdampak pada fungsi dan perannya dalam membangun hidup keluarga, misalnya
masalah mendidik anak-anak. Keluarga merupakan tempat yang pertama dan utama
bagi anak-anak untuk memperoleh pendidikan. Orang tua bertanggungjawab
memperkembangkan anak menjadi pribadi yang dewasa dan beriman melalui sikap
dan tindakan hidup sehari-hari. Hal ini bisa dilaksanakan kalau para orang tua
memiliki pemahaman yang tepat tentang panggilan hidup sebagai orang tua kristiani.
Injil Lukas 2 : 41 – 52 mengisahkan kehidupan keluarga di Nazaret, terutama
peranan Maria dan Yosef mendidik Yesus dalam latar belakang budaya Yahudi.
Maria dan Yosef mendidik Yesus terhadap kewajiban menjalankan peraturan praktek
hidup beragama yakni ketaatan menjalankan hukum taurat untuk melaksanakan
ibadat di Yerusalem. Hal yang sama juga dilaksanakan oleh Maria dan Yosef ketika
Yesus berumur delapan hari dipersembahkan dalam Bait Allah. Di samping itu
mereka juga mendidik Yesus untuk hidup bermasyarakat, mengenal dan
berkomunikasi dengan orang lain. Aspek ini secara singkat pada perjalanan pulang
ke Nazaret (Stefan leks, 2003: 97-98). Maria dan Yosef menyangka Yesus berjalan
bersama-sama dengan kaum keluarga dan kenalan. Maria dan Yosef membiarkan
Yesus untuk bersosialisasi dengan orang lain. Peranan Maria dan Yosef sangat
penting dalam mendidik Yesus. Ketika mereka mengalami persoalan ketika Yesus
tinggal di Yerusalem. Maria dan Yosef berusaha mencari selama tiga hari dan
menemukan Yesus di Bait Allah. Sikap menerima dan mengerti akan pribadi Yesus
itulah yang dilakukan oleh Maria dan Yosef. Walaupun mereka tidak mengerti apa
yang dikatakan dan dilakukan oleh Yesus, dan mereka gembira kembali ke Nazaret.
(3)
Dengan pertemuan ini diharapkan peserta semakin menyadari peranan dan
fungsi orang tua kristiani sehingga semakin meneladan sikap Maria dan Yosef dalam
mendidik anak-anaknya. Dengan demikian semakin mampu menjalankan tugas dan
panggilannya sebagai orang tua dengan rasa penuh syukur demi kebahagiaan anak-
anak. Hal ini hendaknya dilaksanakan dengan penuh kesadaran bahwa menjadi orang
tua merupakan suatu bentuk panggilan hidup, dan anak adalah karunia Tuhan yang
dipercayakan padanya. Sebab dalam keluarga anak memperoleh dasar pendidikan
iman sebagai bekal dalam perkembangan pribadi menjadi orang yang dewasa dan
beriman.
C. Pengembangan Langkah
1. Langkah 0 : Pemusatan Aktivitas
a. Pengantar
Bapak/ibu yang terkasih dalam Kristus, kalau kita berbicara tentang
panggilan, mungkin pikiran kita langsung tertuju pada mereka yang memilih hidup
membiara saja. Pada hal menjadi bapak/ibu atau memilih hidup berkeluarga juga
merupakan suatu bentuk panggilan hidup. Pada kesempatan ini kita sebagai satu
keluarga Allah berusaha untuk memahami arti penggilan hidup kita sebagai orang
tua. Ditengah kesibukan memenuhi kebutuhan materi bagi keluarga, orang tua juga
perlu menyadari fungsi dan peranan sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi
anak-anak dalam keluarga. Pada kesempatan ini kita akan sharing tentang
pengalaman kita dalam mendidik anak-anak dalam keluarga selama ini. Kita bisa
bercermin pada keluarga Maria dan Yosef yang sungguh menghayati fungsi dan
peranan sebagai orang tua dalam mendidik Yesus. Maria dan Yosef selalu setia,
sabar, tabah, dan penuh pengertian selama mendidik Yesus, walaupun harus
menghadapi peristiwa yang tidak enak dan bahkan menyakitkan. Oleh karena itu
sebagai orang tua sudah selayaknya kita meneladani sikap Maria dan Yosef dalam
mengusahakan pendidikan bagi anak-anak.marilah kita awali kegiatan ini dengan
menyanyikan lagu pembuka:
Letakkanlah Alas Rumahmu dari Madah Bakti No. 223.
b. Doa Pembuka
(4)
Ya Bapa yang Maha Kasih, kami bersyukur atas rahmat keselamatan yang
Engkau limpahkan pada kami sampai pada saat ini. Teristimewa kami boleh
berkumpul bersama dalam ikatan persaudaraan sebagai satu anggota keluarga umat
Allah. Pada kesempatan ini kami berusaha untuk mensharingkan dan merefleksikan
pengalaman hidup bagaimana kami menghayati panggilan hidup sebagai orang tua
kristiani, misalnya dalam mendidik anak-anak yang Engkau percayakan kepada
kami. Berkatilah dan bimbinglah kami agar hari demi hari kami semakin mampu
membangun keluarga seturut keluarga Kudus di Nazaret. Demi Kristus Tuhan dan
pengantara kami, Amin
2. Langkah I : pengungkapan Praxis faktual.
a. Pengungkapan pengalaman:
Pendamping membagikan teks kisah pengalaman “Keluarga Pak Beny” dan
memberi kesempatan kepada peserta untuk membaca serta mempelajari sendiri-
sendiri.
b. Penceritaan kembali kisah: pedamping meminta salah seorang peserta untuk
menceritakan kembali kisah Keluarga Pak Beny.
c. Intisari kisah Keluarga Pak Beny sebagai berikut:
Keluarga Pak Beny dan Bu Sari adalah pasangan suami isteri katolik yang
dianugerahi dua orang anak putera dan puteri. Pak Beny adalah direktur utama
sebuah perusahaan swasta di kota Surabaya. Sedangkan Bu Sari mengelola sebuah
restoran. Kesibukan pekerjaan Pak Beny dan Bu Sari telah menyita hampir seluruh
waktunya sepanjang hari. Oleh karena itu putra dan putrinya yang sudah mulai
remaja dituntut untuk mandiri, mengatur waktu untuk belajar, sekolah dan bekerja di
rumah. Kebutuhan materi anak-anak dipenuhi. Selain itu Pak Beny menuntut anak-
anaknya disiplin, menjalankan tugas-tugasnya dengan penuh kuasa akan
menghukum anaknya yang melanggar tata tertib peraturan yang ia ciptakan. Semua
pembicaraan dan aturan yang dibuat oleh Pak Beny, anak-anak tidak boleh
membantah. Anak putranya merasa terkungkung di penjara rumahnya. Suatu hari
kedua anak Pak Beny pergi menonton film dan pulang larut malam. Tanpa ampun
mereka dikurung dalam kamar dan tidak diberi makan selama seharian. Anak gadis
(5)
yang sulung diharuskan untuk kuliah di fakultas kedokteran meskipun tidak berminat
dan berbakat menjadi dokter. Bu Sari tak berdaya melawan kemauan suaminya.
Karena kesibukan Bu Sari mengurus restoran akibatnya ia tidak punya cukup waktu
untuk mengurus anak-anaknya. Akibatnya anak-anak yang tampak taat itu ternyarta
sudah akrab dengan obat-obatan terlarang. Sekarang Pak Beny dan Bu Sari bingung
mau memperbaiki keluarga dan anak-anaknya.
d. Pengungkapan pengalaman: peserta diajak untuk mengungkapkan pengalaman
dengan tuntunan pertanyaan untuk pendalaman kisah “Keluarga Pak Beny sebagai
berikut :
1) Apa saja yang dilakukan Pak Beny dan Bu Sari dalam usaha menghayati hidup
berkeluarga khususnya dalam mendidik anak?
2) Apakah bapak/ibu pernah mengalami mengalami kesulitan-kesulitan dalam
mendidik anak-anak dalam kelurga?
e. Rangkuman dari pendamping
Dalam kisah pengalaman Pak Beny tersebut kita melihat ada dua cara
pendidikan yang sangat berbeda. Pak Beny dan Bu Sari sama-sama sibuk dengan
pekerjaan untuk mencari nafkah. Dalam kehidupan sehari-hari keperluan sekolah dan
kebutuhan materi anak-anak terjamin. Pak Beny dan Bu Sari sungguh melaksanakan
tanggung jawabnya dalam mencukupi kebutuhan materi bagi anak-anaknya. Akan
tetapi di satu sisi Pak Beny dan Bu Sari lupa akan peranan dan fungsinya sebagai
pendidikan iman bagi anak yang pertama dan utama dalam keluarga kristiani. Pak
Beny adalah tipe orang tua yang otoriter yang mana mengartikan sikap disiplin sama
dengan patuh dan taat. Sebab itu peraturan diberlakukan secara ketat pada anak-
anaknya. Untuk menutupi kekurangan sebagai orang tua yang jarang meluangkan
waktu khusus demi kebersamaan dengan anak, Pak Beny menetapkan sejumlah
aturan yang memagari gerak anak dari pengaruh luar yang negatif. Tetapi akibatnya
justru mematikan kreativitas anak dan menimbulkan prilaku negatif seperti
pemberontakan, protes-protes dan keberandalan. Bu Sari adalah seorang yang
mementingkan karier. Akibatnya kurang perhatian terhadap kebutuhan rohani anak
(6)
dan tidak terwujudnya kondisi yang memungkinkan perkembangan yang baik bagi
anaknya.
Bapak/ibu yang terkasih begitupun dalam pengalaman kita dalam mendidik
anak-anak. Karena kita terlalu menginginkan atau mencita-citakan agar anak kita
menjadi orang yang paling baik, baik dalam tingkah laku maupun dalam karier.
Mungkin kita keliru dalam menetapkan segala sesuatu termasuk aturan-aturan yang
harus ditaati oleh anak-anak. Mungkin kita kurang meluangkan waktu khusus untuk
kebersamaan dengan anak. Mungkin kita juga terlalu sibuk dengan tugas atau karier
kita, sehingga kita lupa mendampingi anak-anak kita yang saat ini sangat
membutuhkan pendampingan kita, dan bahkan kita terlalu berprasangka yang kurang
baik terhadap pengaruh-pengaruh yang datang dari luar diri (keluarga) kita. Dan
mungkin kita tidak mengerti maksud dan kemauan anak-anak kita, perkembangan
pribadinya, masalah-masalah dan kesulitanya. Mungkin juga kita kurang sabar untuk
memahami masalah anak dan seringkali langsung memarahinya, tanpa ada
komunikasi yang baik yang harus dibangun.
3. Langkah II : Refleksi Kritis atas Pengungkapan Praxis Faktual
a. Pengantar
Bapak/ibu yang terkasih dalam Kristus, kita telah menggali pengalaman dari
kisah pengalaman “Keluarga Pak Beny” maupun pengalaman kita sehari-hari.
Menghayati panggilan hidup berkeluarga dapat kita wujudkan melalui sikap dan
tindakan hidup sehari-hari pada anak-anak misalnya menegur, mengarahkan,
berkomunikasi yang akrab dan terbuka dengan anak.
b. Peserta diajak untuk merefleksikan sharing pengalamannya dengan bantuan
pertanyaan berikut:
1) Bagaimana tanggapan bapak/ibu mengenai pendidikan yang dilakukan oleh
keluarga Pak Beny dan Bu Sari?
2) Cara-cara manakah yang bapak/ibu gunakan dalam menghadapi kesulitan-
kesulitan dalam mendidik anak-anaknya?
(7)
3) Pendamping dapat memberi rangkuman singkat atas dasar pertanyaan-pertanyaan
tersebut sebagai berikut.
Sebagai orang tua yang baik dan sebagai pendidik yang pertama dan utama
bagi anak-anak di keluarga, haruslah mampu mengarahkan, mengantar anak-anak
pada sikap-sikap yang baik dan berguna untuk bekal hidup selanjutnya. Orang tua
hendaknya selalu mengingat perannya sebagai pendidik yang pertama dan utama.
Dalam mendidik anak-anak haruslah dibangun suatu kesadaran yang dapat
menghantar anak-anak semakin menyadari akan tugas-tugas dan tanggung jawabnya
di kemudian hari. Hal ini sangat penting karena anak-anak tidak selamanya hidup
bersama-sama dengan orang tuanya.
4. Langkah III : Mengusahakan agar Visi dan Tradisi Kristiani Terjangkau
a. Salah seorang perserta diminta bantuannya untuk membaca teks Kitab Suci dari
Injil Luk 2 : 41 – 52.
b. Pendamping memberikan kesempatan kepada peserta untuk hening sejenak dan
secara pribadi merenungkan dan menanggapi isi teks Kitab Suci dengan tuntutan
pertanyaan berikut :
1) Makna pendidikan macam apa yang dapat dipetik dari perikop tersebut ?
2) Sikap-sikap mana yang ingin disampaikan oleh penginjil Lukas dalam kitab suci,
sehubungan dengan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak?
3) Pendamping memberi interpretasi dari bacaan Kitab Suci Luk 2 : 41-52.
Kisah tentang Yesus pada umur 12 tahun berada di Bait Allah merupakan
salah satu bagian dari perjalanan hidup keluarga Nazaret. Kisah ini juga mirip
dengan kisah Yesus pada usia 8 hari di persembahkan dalam Bait Allah. Kisah ini
sangat khas dalam latar belakang Yahudi yang taat pada hukum taurat. Hukum
taurat mewajibkan semua orang khususnya laki-laki setiap tahun harus datang ke
Yerusalem pada hari raya Paskah, Pentekosta dan Pondok Daun. Bagi mereka yang
tinggal jauh dari Yerusalem hukum taurat memberi keringanan kecuali pada hari raya
Paskah. Kepergian Maria, Yosef dan Yesus dari Nazaret ke Yerusalem dalam
rangka merayakan hari raya Paskah seperti yang diwajibkan oleh hukum taurat. Hal
(8)
yang menarik dari perikop ini adalah pengarang injil Lukas menguraikan tentang
tugas dan tanggung jawab Maria dan Yosef dalam usia mendidik Yesus.
Dalam Tafsiran Injil Lukas (Stefan leks, 2003 : 87-88) dikatakan bahwa
Lukas memberikan gambaran yang ideal tentang kehidupan keluarga Kudus di
Nazaret, yang pesannya sangat relevan bagi kehidupan keluarga kristiani di zaman
modern ini. Beberapa hal yang perlu kita perhatikan berkaitan dengan fungsi dan
peranan Maria dan Yosef dalam usaha mendidik Yesus sebagai berikut:
a) Ketaatan dalam hidup beragama : tiap-tiap tahun mereka pergi ke Yerusalem
untuk merayakan ibadat seperti yang diwajibkan oleh hukum taurat. Mereka
mengajak dan membiasakan Yesus untuk hidup dalam aturan taurat.
b) Bersosialisasi dalam masyarakat : tidak diceritakan oleh penulis apakah waktu
pergi ke Yerusalem mereka bersama-sama dengan orang sekampung (Nazaret),
tetapi ketika kembali dari Yerusalem mereka membiarkan Yesus untuk berjalan
bersama-sama dengan orang lain (kaum keluarga dan kenalan). Ada nilai
kebebasan yang ditanamkan disini. Sebenarnya mereka bisa saja mengajak Yesus
supaya jalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi mereka tidak melakukan itu,
mereka mendidik Yesus untuk bisa mengenal dan berkomunikasi dengan orang
lain.
c) Kesabaran, kesetiaan, pengorbanan : hal ini jelas ketika mencari Yesus yang
masih tertinggal di Yerusalem. Dengan sabar dan setia selama tiga hari berjalan
untuk mencari Yesus. Akhirnya Maria dan Yosef menemukan Yesus sementara
mengajar di dalam Bait Allah. Ada peristiwa yang menggembirakan dan
mengecewakan. Mereka gembira sebab berhasil menemukan kembali anaknya.
Namun mungkin mengecewakan mendengar jawaban dari anaknya Yesus,
“mengapa kamu mencari Aku?” Bagaimana perasaan Maria dan Yosef yang
sudah beberapa hari berjalan kaki mencari-Nya, tetapi ketika bertemu, sang anak
menjawab mengapa mencari Aku? Maria dan Yosef menerima dengan sabar atas
ucapan Yesus walaupun mereka tidak mengerti sesungguhnya apa maksud
dibalik ucapan Yesus. Akhirnya dengan senang hati mereka kembali ke Nazaret,
dan Yesus tetap hidup dalam asuhan Maria dan Yosef. Nilai-nilai hakiki dalam
keluarga ditanamkan oleh Maria dan Yosef melalui keteladanan hidup sehari-
(9)
hari. Sikap Maria dan Yosef yang terungkap dalam perikop ini menggambarkan
sikap orang tua yang memperhatikan penuh kasih, bertanggungjawab dalam
mendidik anak dengan teladan hidup dalam mengasuh dan membesarkan Yesus.
Cara menghayati panggilan hidup sebagai orang tua yang dikakukan Maria dan
Yosef, mengajak kita sebagai orang tua kristiani untuk mengembangkan dan
membangun hidup tidak hanya mengutamakan pemenuhan materi saja.
Keteladanan dalam sikap dan tindakan hidup orang tua baik dalam hidup
beragama, bersosialisasi dalam masyarakat serta penanaman nilai-nilai hakiki
seperti keadilan, kesabaran, setia dan pengorbanan penting untuk diperhatikan.
Tugas mendidik anak itu berakar pada panggilan utama suami-isteri dalam karya
penciptaan Allah. Konsili Vatikan II mengingatkan kita bahwa orang tua telah
menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, maka terikat kewajiban untuk
mndidik anak-anak mereka. Oleh karena itu, orang tualah yang harus diakui
sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Peran orang tua dalam
pendidikan ”tidak tergantikan dan tidak dapat diambil alih” dan karena itu tidak
dapat diserahkan sepenuhnya kepada orang lain.
Anjuran Apostolik dari Sri Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa memang
orang tualah yang pertama dan utama menjadi pelaku pendampingan bagi anak-
anaknya. Orang tua tidak dapat lepas tangan dari tanggung jawab ini, betapapun
sibuknya bekerja dan betapapun beraneka macam kegiatan di masyarakat
maupun di gereja. ”Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka
pada masa tuanya pun ia tidak menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6).
5. Langkah IV: Interpretasi antar praksis, visi dan tradisi kristiani dengan visi dan
tradisi peserta/ menerapkan iman kristiani dalam sitiasi peserta konkret
a. Pengantar
Bapak/ibu yang terkasih, setelah kita sharing, membaca dan merenungkan
Kitab suci, kita menemukan nilai-nilai dan cara yang dilakukan oleh Maria dan
Yosef dalam menghayati dan melaksanakan fungsi dan peran sebagai orang tua
dalam mendidik dan membesarkan Yesus. Bertolak dari cara hidup Maria dan Yosef,
kita sebagai orang tua kristiani dipanggil untuk meneladani sikap dari Maria dan
(10)
Yosef dalam membangun keluarga kristiani. Meskipun dalam kenyataan membangun
hidup keluarga kita sering kali merasa tidak mampu karena kurang waktu untuk
berkumpul bersama keluarga akibat kesibukan pekerjaan maupun urusan dan
kegiatan dalam hidup bermasyarakat. Pada kesempatan yang istimewa ini kita
disadarkan kembali melalui firman Tuhan akan panggilan kita sebagai orang tua
kristiani. Sebab sebagai orang tua kita memiliki kewajiban untuk mendidik anak
dengan meneladan kehidupan keluarga kudus di Nazaret.
Sebagai bahan refleksi bagi kita untuk semakin menghayati dan
menyandarkan diri pada Allah sebagai satu-satunya pedoman bagi langkah hidup kita
dalam membangun hidup berkeluarga, kita mencoba merenungkan pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut :
1) Apakah dengan pertemuan ini, bapak/ibu merasa semakin disadarkan, diteguhkan
akan panggilan hidup sebagai orang tua? Dalam mendidik anak-anak apakah kita
sudah melaksanakan sesuai dengan teladan Maria dan Yosef?
2) Apakah bapak/ibu sudah melaksanakan cara mendidik anak sesuai dengan
teladan Maria dan Yosef?
3) Sikap-sikap manakah yang bisa bapak/ibu perjuangkan agar semakin menyadari
dan menghayati panggilan hidup sebagai orang tua sesuai daya yang diteladankan
Maria dan Yosef?
b. Masukan dari pendamping
Orang tua yang baik adalah orang tua yang mampu mengarahkan,
menghantar dan mendidik anak-anak pada sikap yang baik dan berguna untuk bekal
hidup selanjutnya. Peraturan yang dibuat oleh orang tua hanya sebagai control.
Pelaksanaan aturan tidak terlalu ketat ataupun terlalu longgar. Dialog dimungkinkan
bila ada yang kurang pas dengan konsesus yang dibuat antara orang tua dan anak.
Bila ada kesalahan masih ada toleransi dalam menyelesaikan masalah. Orang tua
perlu menyadari fungsi dan peranannya dalam membangun keluarga kristiani. Kisah
kehidupan keluarga Kudus di Nazaret telah banyak menawarkan nilai-nilai serta cara
terbaik yang berguna bagi orang tua untuk menghayati fungsi dan perannya sebagai
pendidik yang pertama dan utama. Marilah kita menyadari fungsi dan peranan kita
terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak kita, seraya berani mengakui
(11)
kelemahan-kelemahan yang selama ini pernah kita terapkan pada anak-anak kita.
Kita mohon bantuan dan rahmat Tuhan untuk mengubahnya menjadi daya bagi kita.
Tidak mudah menjadi orang tua seperti diteladankan oleh Maria dan Yosef, yang
dengan tekun, setia, tabah, penuh kasih sayang dan penuh pengertian kepada Yesus
anak mereka. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai dan membimbing kita,
sehingga kita semakin dimampukan untuk mendidik anak-anak yang dipercayakan
kepada kita.
6. Langkah V : Keterlibatan baru demi terwujudnya Kerajaan Allah
a. Pengantar
Bapak/ibu yang terkasih dalam Kristus, setelah kita bersama-sama menggali
dan menemukan pengalaman hidup dalam mendidik anak-anak melalui sarana cerita
”keluarga Pak Beny”dimana kurang memberikan waktu untuk bersama dengan anak
dan cara mendidik anak yang otoriter. Melalui certa tersebut kita mendapat masukan
serta menemukan cara-cara pendidikan yang tepat, sehingga bisa menghantar anak
bertumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab. Perbedaan dalam
mendidik anak-anak dapat menimbulkan ketegangan dalam keluarga, yang berakhir
dengan pelarian anak-anak pada obat-obat terlarang seperti Narkoba dll.
Dalam hidup berkeluarga, kadang kala kita juga mengalami kesulitan untuk
mendidik anak-anak. Mungkin terjadi perbedaan pandangan antara suami-isteri atau
antara orang tua dan anak-anak dalam pendidikan di keluarga. Memanjakan anak
secara berlebihan dan selalu menuruti keinginan mereka, maka anak-anak bertumbuh
menjadi orang malas, boros, egois dan kurang bertanggungjawab. Sebaliknya kalau
kita menerapkan cara-cara pendidikan yang baik, sehinga mereka bertumbuh menjadi
manusia yang dewasa dan bertanggungjawab, kita kadangkala disalahkan, dianggap
orang tua yang tidak mencintai dan menyanyangi anak-anak.
Dalam kitab suci, kita dapat melihat bersama cara-cara yang dilakukan oleh
Maria dan Yosef dalam mendidik Yesus. Mereka sungguh menyadari tugas
panggilannya sebagai orang tua dalam mengembankan tugas dan tanggug jawabnya
dalam membesarkan Yesus yang dipercayakan Allah pada mereka. Keteladan Maria
dan Yosef ini kiranya menjadi inspirasi dan contoh bagi kita dalam menjawab
(12)
panggilan hidup kita sebagai orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak-
anak.
Bapak/ibu yang terkasih, setelah kita bersama-sama menggali pengalaman
kita dalam mendidik anak-anak serta mempertemukan dengan pandangan kitab suci
yaitu tentang keluarga kudus Nazaret, selanjutnya kita kita mendapat masukan baru,
kemauan untuk mengusahakan pendidikan yang lebih baik, lebih tepat bagi anak-
anak kita dalam hidup sehari-hari. Maka marilah kita mengucap syukur atas
kesempatan yang istimewa ini, bahwa kita boleh berkumpul disini untuk bersama-
sama sharing sekaligus mencoba untuk memahami panggilan hidup kita sebagai
orang tua dalam mengemban tugas dan tanggung jawab terhadap pendidikan anak-
anak di keluarga kita.
Marilah kita memikirkan/merencanakan niat-niat dan bentuk keterlibatan kita
yang baru, baik sebagi pribadi maupun sebagai kelompok untuk secara lebih dan
sadar mengusahakan cara-cara pendidikan yang baik kepada anak-anak melalui sikap
dan tindak hidup sehari-hari seturut keluarga kudus di Nazaret.
b. Pendamping memberi kesempatan pada peserta untuk refleksi dan membuat niat-
niat pribadi yang akan dilakukan, dengan pertanyan penuntun sebagai berikut:
1) Niat apa yang dapat saya lakukan untuk semakin mengusahakan pendidikan yang
baik dalam keluarga kita masing-masing.
2) Hal apa saja yang perlu saya perhatikan baik sebagai pribadi maupun sebagai
kelompok dalam mewujudkan niat-niat tersebut.
Kesempatan (suami-isteri) berdiskusi untuk membuat niat-niat kelompok dan
keluarga. Peserta diajak untuk hening sejenak dengan diiringi musik instrumental
dari kaset suara
c. Penutup
1) Doa umat : peserta diajak untuk mempersembahkan niat-niatnya dalam doa
bersama, memohon rahmat dan kekuatan dari Tuhan. Doa umat ini diawali oleh
pendamping selanjutnya kesempatan diberikan kepada peserta untuk berdoa
secara sepontan.
(13)
2) Akhir doa umat ditutup dengan doa penutup dari pendamping yang merangkum
seluruh langkah yang sudah dilaksanakan.
d. Doa penutup
Ya Bapa yang baik, kami bersyukur atas rahmat istimewa yang boleh kami
alami pada kesempatan ini. Kami bersyukur pula atas sapaan-Mu yang menyadarkan
kami agar semakin menyadari dan menghayati fungsi dan peranan sebagai pendidik
yang pertama dan utama bagi anak dalam keluarga kristiani. Ya Bapa yang murah
hati, selama ini sebagai orang tua kami kurang bisa menjalankan tugas dan panggilan
kami. Hal ini disebabkan karena kelalaian kami yang terlalu sibuk dengan pekerjaan
dan juga karena ketidaktahuan kami dalam membangun keluarga seturut keluarga
Kudus Nazaret. Bimbinglah dan sertailah kami selalu agar niat-niat yang kami buat
dapat kami laksanakan melalui teladan hidup kami yang baik dalam mendidik anak-
anak. Demi Kristus Tuhan dan Juru Selamat kami, Amin.
e. Lagu Penutup : Tingkat karya serta karsa: MB. No. 533.
(14)
Lampiran 2 : Cerita Pendalaman katekese
KELUARGA PAK BENY
Pak Beny dan Bu Sari adalah pasangan suami-isteri Katolik yang
dianugerahi dua orang anak putra dan seorang anak putri. Pak Beny adalah direktur
utama sebuah perusahaan swasta di kota Surabaya. Sedangkan Bu Sari mengelola
sebuah restoran. Kesibukan Pak Beny dan Bu Sari telah menyita hampir seluruh
waktunya sepanjang hari. Karena itu putera-putrinya yang sudah mulai remaja
dituntut untuk mandiri : mengatur waktu untuk belajar, sekolah, bekerja di rumah,
dan sebagainya. Kebutuhan hidup dan sekolah mereka dipenuhi. Selain itu, Pak Beny
menuntut agar anak-anaknya disiplin menjalankan tugas-tugasnya dan dengan penuh
kuasa akan menghukum anaknya yang melanggar tata tertib peraturan yang ia
ciptakan. Bila sudah bicara dan membuat keputusan, Pak Beny tak boleh dibantah
atau dijawab ”tidak”. Kedua anaknya yang putera merasa terkungkung di penjara
rumahnya. Pada suatu hari, mereka nonton film dan pulangnya tengah malam.
Dengan tanpa ampun, mereka dihukum kurung di kamar dan seharian tak diberi
makan. Anaknya yang sulung, gadis, diharuskan kuliah di fakultas kedokteran. Ibu
Sari tak berdaya melawan kemauan suaminya. Tetapi karena kesibukannya
mengurusi restoran, iapun tak cukup waktu untuk memperhatikan putera-puterinya.
Akibatnya, anak-anak yang tampak taat-taat itu ternyata sudah akrab dengan obat
bius, narkoba, morfin, dan sebagainya. Sekarang Pak Beny dan Bu Sari bingung mau
memperbaiki keluarga dan anak-anaknya?
(15)
Lampiran 3 : Kuesioner tentang kesadaran orang tua dalam pendidikan iman
anak
Bapak / Ibu
Bapak/ibu yang terkasih, saya sangat mengharapkan bantuan dari bapak/ibu
untuk berkenan mengisi kuesioner ini dengan sungguh-sungguh dan jujur sesuai
dengan pengalaman bapak/ibu sendiri. Jawaban dari bapak/ibu merupakan sesuatu
yang sangat berharga bagi saya dan juga bagi para orang tua lainnya. Maka
bapak/ibu tidak perlu mencantumkan namanya hanya ditulis bapak (kalau seorang
bapak yang mengisi) atau ibu (kalau seorang ibu yang mengisi) dengan mencoret
bapak/ibu yang sudah tersedia di bagian kanan atas.
Atas perhatian, bantuan, kesediaan dan kerjasamanya dalam mengisi
kuesioner ini saya mengucapkan terimakasih.
Petunjuk soal
1. Jawablah Pertanyaan di bawah ini.
2. Untuk nomor No. 2 sampai 11 jawaban sudah tersedia, bapak/ibu hanya memberi
centang (√ ) pada kolom angka yang sudah tersedia (bapak/ibu menilai diri
sendiri dengan angka 5,4,3,2,1).
1. Menurut Bapak/ Ibu siapa yang memiliki peran pertama dan utama dalam
pendidikan iman anak? Mengapa?
2. Apa saja yang telah bapak/ibu lakukan dalam rangka mendukung pendidikan
iman anak?
(16)
No Pernyataan Alternatif jawaban
5 4 3 2 1
1 Doa bersama dalam keluarga. Selalu Tidak
pernah
2 Mendengarkan keluhan anak. Menyenang
kan
menyedih
kan
3 Menyiapkan buku bacaan rohani
untuk anak.
Mudah Sulit
4 Membantu anak saat anak
mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugasnya.
Selalu Tidak
pernah
5 Memaafkan anak di kala anak
melakukan kesalahan.
Mudah Sulit
(17)
Lampiran 4. Data Sebelum SCP No Nama 1 2 4 8 9 11 Jml 2-11 Total
1 A 1 3 1 2 3 5 14 142 B 2 1 3 3 3 3 13 133 C 1 3 5 2 3 5 18 184 D 2 3 2 3 5 5 18 185 E 3 3 4 4 4 5 20 206 F 2 3 2 3 5 4 17 177 G 2 4 3 2 4 5 18 188 H 2 3 3 1 5 5 17 179 I 2 3 4 2 4 3 16 1610 J 1 3 3 3 5 5 19 1911 K 1 2 3 2 2 1 10 1012 L 1 3 5 2 5 5 20 2013 M 3 2 1 2 1 5 11 1114 N 3 3 5 3 2 3 16 1615 O 2 2 3 2 5 5 17 1716 P 2 2 3 2 4 4 15 1517 Q 2 3 4 3 3 4 17 1718 R 3 3 1 3 2 5 14 1419 S 3 4 3 2 5 5 19 1920 T 3 2 2 3 4 5 16 1621 U 2 3 1 1 2 4 11 1122 V 2 3 4 1 1 5 14 1423 W 1 1 2 3 5 5 16 1624 X 1 3 1 2 5 5 16 1625 Y 1 2 1 3 1 1 8 826 Z 1 3 4 2 4 5 18 1827 AA 2 1 3 1 5 5 15 1528 BB 3 3 5 1 2 5 16 1629 CC 3 1 5 1 4 4 15 1530 DD 3 3 1 1 1 5 11 1131 EE 1 2 5 3 2 5 17 1732 FF 3 3 2 2 1 1 9 933 GG 2 1 2 2 4 4 13 1334 HH 2 2 1 1 1 4 9 935 II 2 2 1 1 3 1 8 836 JJ 2 2 3 4 2 2 13 1337 KK 2 1 2 4 2 2 11 1138 LL 1 3 1 1 1 1 7 739 MM 2 2 1 1 3 4 11 1140 NN 1 3 2 3 3 3 14 14
78 99 107 87 126 158 577 577 corel 0.09 0.347 0.634 0.297 0.729 0.719 1 0.312 tdk valid valid valid valid valid
(18)
Var 0.562 0.666 1.969 0.866 2.131 1.997 12.46 5 4 1 7.629
Rel 0.484
Lampiran 5. Data Sesudah SCP No Nama 1 2 4 8 9 11 Jml 2-11 Total
1 A 5 4 4 3 5 5 21 262 B 5 4 4 4 5 5 22 273 C 5 4 5 3 4 4 20 254 D 5 4 5 3 5 5 22 275 E 5 4 5 2 5 5 21 266 F 5 3 3 3 5 5 19 247 G 5 4 4 3 5 5 21 268 H 5 4 5 3 5 5 22 279 I 5 4 5 3 5 5 22 2710 J 5 4 5 3 5 5 22 2711 K 5 5 5 3 5 5 23 2812 L 5 5 5 3 5 5 23 2813 M 5 5 5 3 5 5 23 2814 N 5 4 5 3 5 5 22 2715 O 5 4 5 3 5 5 22 2716 P 5 4 5 3 5 5 22 2717 Q 5 4 5 3 5 5 22 2718 R 5 4 5 3 5 5 22 2719 S 5 4 5 3 5 5 22 2720 T 5 4 5 2 5 5 21 2621 U 5 3 5 2 5 5 20 2522 V 5 3 5 2 5 5 20 2523 W 4 3 5 2 5 5 20 2424 X 5 5 5 2 5 5 22 2725 Y 5 4 5 2 5 5 21 2626 Z 5 5 5 3 5 5 23 2827 AA 5 3 5 3 5 5 21 2628 BB 5 4 5 3 5 5 22 2729 CC 5 3 5 3 5 5 21 2630 DD 5 4 5 3 5 5 22 2731 EE 5 4 5 3 5 5 22 2732 FF 5 5 5 3 5 5 23 2833 GG 5 5 5 3 5 5 23 2834 HH 5 5 5 3 5 5 23 2835 II 5 5 5 3 5 5 23 2836 JJ 5 4 5 3 5 5 22 2737 KK 5 4 5 3 5 5 22 2738 LL 5 3 5 3 5 5 21 2639 MM 5 3 5 3 5 5 21 2640 NN 5 5 5 4 5 5 24 29
jml 199 162 195 115 199 199 870 1069 corel 0.398 0.838 0.379 0.53 0.252 0.252 0.312
(19)
var 0.025 0.459 0.163 0.215 0.025 0.025 1.23 11 10 1 0.912
rel 0.284