deskripsi histologis, komponen bioaktif dan … · aktivitas antioksidan terbaik mengandung 3...
TRANSCRIPT
DESKRIPSI HISTOLOGIS, KOMPONEN BIOAKTIF DAN
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN PADA DAUN MANGROVE
API -API (Avicennia marina)
RINTO
C34051036
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
RINGKASAN
RINTO. C34051036. Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktivitas
Antioksidan pada Daun Mangrove Api-api (Avicennia marina). Dibimbing oleh
AGOES MARDIONO JACOEB dan SRI PURWANINGSIH.
Daun Api-Api (Avicennia marina) merupakan salah satu jenis tanaman
mangrove yang tumbuh subur di pesisir pantai dengan tingkat toleransi terhadap
salinitas air yang tinggi. Sejak lama mangrove Api-api telah dimanfaatkan
masyarakat sebagai bahan pangan, obat-obatan, bahan untuk pengasapan ikan dan
bahan untuk pembuatan rumah dan perahu. Mengingat pemanfaatan daun Api-api
sebagai bahan pangan, maka perlu dilakukan kajian mengenai karakteristik daun
Api-api, komponen bioaktif dan aktivitas antioksidannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari anatomi, komposisi
kimiawi (kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, karbohidrat dan serat
kasar), rendemen ekstrak dari beberapa pelarut, aktivitas antioksidan, komponen
bioaktif dan menentukan konsentrasi terbaik dari ekstrak daun Api-api yang dapat
menghambat oksidasi pada emulsi minyak kelapa. Pengujian yang dilakukan
meliputi analisis histologi daun, analisis proksimat, uji aktivitas antioksidan
dengan metode DPPH, uji fitokimia dan uji bilangan peroksida.
Daun Api-api yang diteliti berasal dari Wana Buaya Wisata, Kecamatan
Belanakan, Kabupaten Subang Jawa Barat. Struktur Jaringan daun Api-api
disusun oleh kutikula, epidermis atas, hipodermis, jaringan palisade, jaringan
bunga karang, pembuluh xilem, pembuluh floem, epidermis bawah dan organ
modifikasi epidermis berupa kelenjar garam. Komposisi kimiawi daun Api-api
adalah air sebesar 68,16%, protein sebesar 3,67%, lemak sebesar 0,72%, abu
sebesar 4,45%, karbohidrat sebesar 23,00% dan serat kasar sebesar 4,12%.
Rendemen ekstrak daun Api-api tertinggi adalah ekstrak metanol sebesar
9,61%, ekstrak etil asetat hanya sebesar 1,28% dan rendemen terkecil sebesar
0,62% untuk ekstrak heksan. Aktivitas antioksidan daun Api-api diukur dari
kemampuan ekstrak dalam menghambat 50% aktivitas radikal bebas (DPPH) atau
biasa disebut sebagai IC50. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kasar
daun Api-api memiliki aktivitas antioksidan walaupun tergolong lemah, yaitu
257,58 ppm (ekstrak methanol), 182,33 ppm (ekstrak etil asetat) dan 1003,66 ppm
(ekstrak heksana). Uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak yang memiliki
aktivitas antioksidan terbaik mengandung 3 senyawa bioaktif yaitu flavonoid,
steroid dan gula pereduksi.
Aplikasi ekstrak kasar daun Api-api pada emulsi minyak kelapa dan air
menunjukkan bahwa ekstrak kasar dalam berbagai konsentrasi dapat menghambat
proses oksidasi lipid yang ditunjukkan dengan menurunnya bilangan peroksida
seiring meningkatnya konsentrasi ekstrak kasar yang ditambahkan. Konsentrasi
ekstrak 300 ppm merupakan konsentrasi terbaik yang dapat menghambat oksidasi
pada emulsi minyak kelapa. Hal ini karena bilangan peroksida pada emulsi
minyak kelapa yang ditambahkan ekstrak daun Api-api pada konsentrasi 300 ppm
paling rendah sebesar 0,42 Meq/kg dan menunjukkan penghambatan proses
oksidasi emulsi minyak kelapa tertinggi.
DESKRIPSI HISTOLOGIS, KOMPONEN BIOAKTIF DAN
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN PADA DAUN MANGROVE
API-API (Avicennia marina)
RINTO
C34051036
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
Judul : Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktifitas
Antioksidan pada Daun Mangrove Api-api (Avicennia marina)
Nama : Rinto
NRP : C34051036
Departemen : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Agoes M Jacoeb Dipl.-Biol Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si
NIP. 1959 1127 1986 01 1 0005 NIP. 1965 0713 1990 02 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil
NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus : ……………………….
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ” Deskripsi
Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Daun
Mangrove Api–Api (Avicennia marina )” adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Rinto
C34051036
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kabupaten Ogan Komering Ulu Timur,
provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 05 April 1986 dan
merupakan anak pertama dari 3 bersaudara pasangan bapak
Pujiran dan ibu Amperawati.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN VII Bukit
Mulyo OKU Timur (tahun 1993-1999), selanjutnya penulis
melanjutkan pendidikannya di SMPN 03 Martapura OKU Timur
(tahun 1999-2002) dan SMAN 2 Martapura OKU Timur. Selanjutnya, pada tahun
2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis resmi diterima
menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor.
Selama di IPB, penulis menempuh perkuliahan di Departemen Teknologi
Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan,
penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan antara lain BEM-ETOS
(tahun 2006-2008), UKM AIKIDO (tahun 2007-2009) , dan UKM TARUNG
DERAJAT (tahun 2009-2011). Penulis menerima Beasiswa ETOS Dompet
Dhuafa Republika selama periode tahun 2005-2008. Penulis juga pernah
mengikuti kejuaraan beladiri Tarung Derajat antar perguruan tinggi se-Jawa Barat
pada tahun 2011 di Universitas Parahyangan Bandung dan berhasil meraih juara I
dan mendapatkan medali Emas. Penulis juga berpartisipasi aktif menjadi asisten
praktikum beberapa matakuliah, antara lain: matakuliah Penanganan Hasil
Perairan (tahun 2007-2008 dan tahun 2009-2010), matakuliah Dasar Teknologi
Hasil Perairan tahun 2008-2009, dan matakuliah Bioteknologi Hasil Perairan
tahun 2007-2010.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis telah
melakukan penelitian berjudul ”Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan
Aktivitas Antioksidan pada Daun Api-api (Avicennia marina)” di bawah
bimbingan Dr.Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl.-Biol dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih,
M.Si
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kepada Alloh SWT, karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya lah penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif
dan Aktivitas Antioksidan pada Daun Mangrove Api-api (Avicennia marina) ” ini
dengan baik.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selama menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan
bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1) Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl.-Biol. dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan
dukungan dengan segala ketulusan dan kesabaran.
2) Roni Nugraha, S.Si, M.Sc selaku dosen penguji yang telah banyak
memberikan masukan dan arahan demi perbaikan skripsi ini.
3) Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi
Hasil Perairan.
4) Ir. Dadi Sukarsa selaku dosen pembimbing akademik yang telah mencurahkan
perhatian dan waktunya selama penulis menempuh perkuliahan.
5) Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah
mendidik dan membantu penulis selama menempuh perkuliahan dan
penyelesaian skripsi.
6) Bapak, ibu dan adik-adik serta seluruh keluargaku yang tak pernah berhenti
memberikan kasih sayang, doa dan dukungan.
7) Tri Utami Ratna Puri atas segala perhatian dan pengertiannya.
8) Bu Emma, mas Ipul dan mbak Astri yang banyak memberikan bantuan selama
ini.
v
9) Teman- teman seperjuangan: Tyas, Nazar, Jamil, Adrian, Singgih, Adho, Veri,
Fathu, Sugara, dan seluruh THPers ’42 yang tak dapat disebutkan satu-persatu
atas kekompakan, semangat, suka dan duka selama ini.
10) Teman-teman spesial di Wisma Aulia, Reza, Vabi, Anto, Juned, Husein,
Navies, Doni, Andri, Husni dan Miko atas kebersamaan dan kesamaan selama
ini.
11) Kakak-kakak THP 40 dan 41 serta adik-adik THP 43, 44 dan 45 atas
bantuannya.
12) Saudara-saudara di: Satlat Tarung Drajat IPB, Dojo KBAI IPB dan Perguruan
Kungfu Naga Mas, yang senantiasa memotivasi penulis.
13) Semua pihak yang telah banyak membantu dan tak dapat penulis sebutkan
satu persatu di sini.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa pasti terdapat banyak
kelamahan dan kekurangan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini. Oleh
sebab itu, dari lubuk hati yang terdalam penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak dalam proses penyempurnaan skripsi
ini. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-
pihak yang memerlukannya.
Bogor , Februari 2012
Rinto
C34051036
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xi
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................. 2
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tumbuhan Api-api (A. marina) ................. 4
2.2 Radikal Bebas ...................................................................................... 5
2.3 Antioksidan ......................................................................................... 6
2.3.1 Definisi antioksidan, jenis dan sumbernya ................................. 6
2.3.2 Mekanisme oksidasi lemak ........................................................ 10
2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan ..................................................... 11
2.3.4 Metode uji aktivitas antioksidan ................................................ 13
2.4 Ekstraksi Senyawa Aktif ..................................................................... 15
2.5 Komponen Bioaktif ............................................................................. 17
2.5.1 Terpenoid/steroid ....................................................................... 17
2.5.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya .................................... 19
2.5.3 Metabolit fenol ........................................................................... 20
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat .............................................................................. 23
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................... 23
3.3 Metode Penelitian ................................................................................ 24
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel ............................................ 25
3.3.2 Analisis proksimat (AOAC 1980) ............................................... 25
3.3.3 Analisis mikroskopis (Johansen 1990) ....................................... 28
3.3.4 Analisis aktivitas antioksidan (Quinn 1988 (ekstraksi), Hanani et
al.2006 (uji DPPH)) ................................................................... 31
3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1984) ................................................... 32
viii
3.3.6 Evaluasi aktivitas antioksidan ekstrak terpilih dengan penentuan
bilangan peroksida (Santoso et al. 2004) .................................... 34
3.4 Rancangan percobaan (Steel dan Torrie 1991) .................................... 35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Daun Api-api (A. marina) .............................................. 37
4.1.1 Karakteristik fisik daun Api-api (A. marina) ............................ 37
4.1.2 Morfometrik daun Api-api (A. marina) .................................... 38
4.1.3 Struktur jaringan daun Api-api (A. marina) ............................... 39
4.1.4 Komposisi kimia daun Api-api (A. marina) .............................. 43
4.2 Ekstraksi Senyawa Aktif ..................................................................... 47
4.2.1 Ekstrak kasar .............................................................................. 48
4.2.2 Hasil uji aktivitas antioksidan .................................................... 49
4.2.3 Senyawa bioaktif ekstrak kasar daun Api-api terpilih ............... 55
4.3 Evaluasi Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Api-apiTerpilih dengan
Pengukuran Bilangan Peroksida ......................................................... 60
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 65
5.2 Saran .................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya .................................... 16
2. Subklasifikasi terpenoid .................................................................. 18
3. Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lain pada tanaman ...... 20
4. Klasifikasi bagian-bagian fenolik .................................................... 21
5. Karakteristik fisik daun Api-api ...................................................... 38
6. Morfometrik daun Api-api ............................................................... 38
7. Komposisi kimia daun Api-api ........................................................ 43
8. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan ekstrak kasar
daun Api-api .................................................................................... 53
9. Hasil uji fitokimia ekstrak daun Api-api terpilih
( ekstrak etil asetat ) ........................................................................ 56
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Api-api (A. marina) .............................................................. 4
2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal
lipida ............................................................................................... 12
3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi
tinggi .............................................................................................. 12
4. Contoh mekanisme penghambatan antioksidan (tokoferol)
terhadap radikal bebas (DPPH) ..................................................... 14
5. Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid ........................................ 19
6. Beberapa penggolongan alkaloid ................................................... 20
7. Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana ................................ 22
8. Skema penelitian ............................................................................ 24
9. Bagian-bagian daun Api-api ........................................................... 29
10. Bentuk daun Api-api ...................................................................... 37
11. Anatomi bagian tangkai daun Api-api (A. marina) ....................... 39
12. Anatomi bagian pangkal daun Api-api (A. marina) ...................... 40
13. Anatomi bagian tengah daun Api-api (A. marina) ........................ 40
14. Anatomi bagian tepi daun Api-api (A. marina) ............................. 41
15. Anatomi bagian ujung daun Api-api (A. marina) .......................... 41
16. Histogram rendemen ekstrak kasar daun Api-api .......................... 43
17. Grafik hubungan antara konsentrasi BHT dan % inhibisi
terhadap DPPH .............................................................................. 50
18. Grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak daun Api-api
dengan % inhibisi terhadap DPPH ................................................ 51
19. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daun Api-api terpilih ................. 57
20. Histogram hubungan bilangan peroksida pada emulsi minyak
kelapa dengan konsentrasi ekstrak daun Api-api .......................... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Pohon mangrove Api-api (A. marina) ............................................ 73
2. Perhitungan analisis proksimat daun Api-api
(A. marina) ..................................................................................... 73
3. Data rendemen ekstrak kasar daun Api-api
(A. marina) ..................................................................................... 74
4. Perhitungan pembuatan larutan DPPH, BHT,
stok ekstrak dan pengencerannya ................................................... 75
5. Perhitungan persen inhibisi dan IC50 .............................................. 77
6. Perhitungan bilangan peroksida ekstrak terpilih ............................. 81
7. Analisis ragam pengujian bilangan peroksida ................................ 82
8. Uji Lanjut Duncan ........................................................................... 82
9. Analisa struktur anatomi daun ........................................................ 82
10. Proses ekstraksi .............................................................................. 83
11. Uji antioksidan ................................................................................ 84
12. Uji fitokimia ................................................................................... 84
13. Uji bilangan peroksida .................................................................... 85
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terbentuk radikal bebas dalam tubuh kita secara terus-menerus melalui
peristiwa metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi dan akibat
respons terhadap pengaruh dari luar tubuh misalnya polusi lingkungan, sinar
ultraviolet dan asap rokok. Lingkungan tercemar, kesalahan pola makan dan gaya
hidup, mampu merangsang tumbuhnya radikal bebas (free radical) yang dapat
merusak tubuh kita (Mega dan Swastini 2010). Radikal bebas merupakan salah
satu penyebab timbulnya penyakit degeneratif antara lain kangker, aterosklerosis,
stroke, rematik dan jantung (Steinberg 2009; Theroux dan Libby 2005).
Upaya untuk mencegah atau mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh
aktivitas radikal bebas adalah dengan mengkonsumsi makanan atau suplemen
yang mengandung antioksidan. Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas
dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas
stabil dan tidak reaktif (Lusiana 2010). Berdasarkan sumbernya, secara umum
antioksidan digolongkan dalam dua jenis, yaitu antioksidan sintetik dan
antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik yang sering digunakan masyarakat
antara lain butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT),
tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol (Irianti 2008). Keuntungan
menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti radikalnya yang sangat
kuat, namun ternyata terdapat kekurangannya. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan Wichi (1988) dan Thompson & Moldeus (1988), antioksidan sintetik
BHA dan BHT berpotensi karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan
alami sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran antioksidan sintetik. Irianti
(2008) menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya telah lama digunakan
secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan
bioaktifnya.
Mangrove (tanaman bakau) adalah tanaman yang tumbuh subur di
kawasan pesisir pantai yang memiliki potensi kandungan bioaktif yang sangat
tinggi. Indonesia dengan wilayah perairannya yang sangat luas (2/3 dari luas
wilayah) dan beriklim tropis merupakan tempat yang ideal bagi pertumbuhan
2
tanaman mangrove. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove
terluas di dunia, dengan luas hutan mangrove sekitar 3,5 juta hektar (Noor et al.
2006). Sekitar 202 jenis spesies mangrove di Indonesia telah teridentifikasi dan
dari sekian banyak tanaman mangrove yang tumbuh subur di Indonesia tersebut,
Api-api (Avicennia marina) merupakan jenis mangrove yang sangat berpotensi
untuk diteliti kandungan bioaktifnya, terutama kandungan antioksidan.
Mangrove Api-api merupakan salah satu jenis mangrove yang tersebar
diseluruh Indonesia dengan kondisi yang melimpah (Noor et al. 2006). Api-api
(A. marina) telah dikenal sejak dulu oleh masyarakat karena banyaknya manfaat
yang dimilikinya. Mahera et al. (2011) mengatakan bahwa Api-api merupakan
salah satu spesies mangrove yang sangat penting. Miles et al. (1998)
menyebutkan bahwa Api-api menunjukkan aktifitas antimalaria dan aktivitas
sitotoksik. Daun Api-api telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional
untuk pengobatan penyakit kulit, rematik, cacar, bisul dan pakan hewan di
peternakan (Fauvel et al. 1993; Bandaranayake 2002). Di Indonesia, khususnya
masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara ada yang memanfaatkan daun
tumbuhan Api-api yang masih muda sebagai bahan sayur urap, demikian pula
masyarakat pantai di Jawa Timur (Santoso et al. 2005). Potensi Api-api
(A. marina) yang begitu besar, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
karakteristiknya meliputi struktur jaringan, komposisi kimiawi, kandungan
bioaktif dan aktivitas antioksidannya, serta aplikasi senyawa antioksidan dalam
menghambat proses oksidasi pada minyak.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Mempelajari karakteristik daun tanaman mangrove Api-api (A. marina) yang
meliputi struktur jaringan dan komposisi kimiawi (karbohidrat, kadar lemak,
kadar protein, kadar abu, kadar air dan kadar serat kasar).
2) Menentukan aktivitas antioksidan dari ekstrak daun Api-api (A. marina) yang
diperoleh dari ekstraksi berbagai pelarut.
3) Menentukan secara kualitatif senyawa bioaktif melalui uji fitokimia ekstrak
daun Api-api (A. marina)
3
4) Menentukan kemampuan ekstrak daun Api-api (A. marina) dalam
menghambat oksidasi pada emulsi minyak kelapa melalui bilangan peroksida
yang terbentuk.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tumbuhan Api-Api (A. marina)
Ekosistem mangrove merupakan sumber alami tannin dan kayu yang
bernilai tinggi. Sebagai contoh, batang kayu rizhopora yang keras digunakan
untuk pembuatan kapal tahan rayap dan organisme laut (Rao 1994). Tanaman
mangrove dipakai sebagai obat masyarakat untuk mengobati beragam penyakit
selama berabad-abad. Beberapa tanaman mangrove telah ditapis beberapa
aktivitasnya, yaitu antiviral, antibakteri, antibisul, dan antiinflamasi
(Agoramoorthy et al. 2008)
Tumbuhan A. marina merupakan salah satu jenis mangrove yang sudah
lama dikenal oleh penduduk di Indonesia, mereka mengenalnya dengan nama
yang berbeda-beda tergantung pada daerah masing-masing. Di Pulau Jawa
tumbuhan ini dikenal dengan nama pohon Api-api, di Pulau Bali dikenal dengan
nama pohon Prapat dan di Sumatera Selatan dikenal dengan nama kayu Api-api
betina (Yusuf 2010). Bentuk dan morfologi daun Api-api dapat dilihat pada
Gambar 1. Klasifikasi A. marina menurut Duke et al. (2008) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Filum : Thacheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Avicenniaceae
Genus : Avicennia
Spesies : Avicennia marina (Forsk.) Vierh
Gambar 1 Daun Api-api (A. marina) (Sumber: Borkar et al. 2011)
5
Tanaman Api-api (A. marina) termasuk pepohonan semak hingga medium
dengan ketinggian 2-5 meter (Peng dan Xin-men 1983). Spesies ini ditemukan
dari daerah hilir hingga pertengahan perairan payau di semua kawasan pasang
surut (Robertson dan Alongi 1992). Menurut Peng dan Xin-men (1983) A. marina
ditemukan di mulut sungai atau di area pasang terendah dan toleran terhadap
salinitas maksimum air payau, yaitu 85 ppt (part per thousand). Pertumbuhan
optimal terdapat pada salinitas 0-30 ppt (Robertson dan Alongi 1992).
Supriharyono (2002) menyatakan bahwa A. marina merupakan salah satu jenis
penyusun magrove yang dapat bertahan pada tempat-tempat yang bersalinitas
hingga lebih dari 90 ‰.
Tanaman Api-api (A. marina) memiliki banyak sekali manfaat dan
kegunaan, baik dalam bidang pangan, pakan, perumahan, farmasi dan lain
sebagainya. Yusuf (2010) menyebutkan, tumbuhan kayu Api-api (A. marina)
dapat digunakan untuk kayu bakar, perabot rumah tangga, mengasapi ikan, juga
dapat digunakan untuk membuat lumpang padi. Kulit batangnya dapat
dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional misalnya obat sakit gigi, dan
menurut Yusuf (2010) kulit batangnya mempunyai khasiat terhadap penurunan
produksi hormon seksual (afrodisiaka) dan sering digunakan sebagai antifertilitas.
Buahnya dapat dimakan dengan merebusnya terlebih dahulu, kemudian direndam
semalam lalu dibersihkan dari kotorannya. Api-api (A. marina) secara tradisional
telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan untuk rematik, cacar air, borok/bisul dan
penyakit ringan lainnya (Bandaranayake 2002). Tariq et al. (2007) menyatakan
bahwa A. marina melepaskan senyawa- senyawa yang bersifat toksik terhadap
nematoda yaitu phenol, tannin, azadirachtin dan ricinin.
2.2 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul
tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul
atau sel lain. Beberapa contoh senyawa Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang
ditemukan pada organisme hidup adalah superoksida (O2*), hidroksil (OH*),
peroksil (RO2*), alkoksil (RO*) dan hidroperoksil (HO2*). Nitrit oksida dan
nitrogen oksida (*NO2) adalah dua radikal bebas nitrogen. Radikal bebas oksigen
dan nitrogen dapat dikonversi menjadi spesies reaktif non radikal lain, misalnya
6
hidrogen peroksida, asam hipoklorit (HOCl), asam hipobromous (HOBr), dan
peroksinitrit (ONOO-). Reactive Oxygen Spesies (ROS), Reactive Nitrogen
Spesies (RNS) diproduksi di dalam tubuh manusia secara fisiologis dan patologis
(Fang et al. 2002).
Radikal bebas dapat menyebabkan oksidasi DNA, sehingga DNA
termutasi dan menimbulkan kanker (Muchtadi 2000). Radikal bebas merupakan
penyebab timbulnya penyakit jantung koroner. Hal ini dikarenakan molekul besar
lemak yang disebut LDL atau low density lipoprotein teroksidasi oleh radikal
bebas akan mengendap di pembuluh darah jantung sehingga menjadi sempit dan
aliran darah terganggu sehingga sebagian sel-sel jantung tidak cukup makanan dan
mati. Selain itu, kerusakan protein akibat elektronnya diambil oleh radikal bebas
dapat mengakibatkan sel-sel jaringan tempat protein berada menjadi rusak dan
banyak terjadi pada lensa mata sehingga menyebabkan penyakit katarak
(Kumalaningsih 2006).
2.3 Antioksidan
2.3.1 Definisi antioksidan, jenis dan sumbernya
Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat
menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus,
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi
oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochar dan Rossell 1990). Sauriasari
(2006) menyatakan bahwa antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh
bahaya radikal bebas atau Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang terbentuk sebagai
hasil dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi- reaksi kimia dan proses
metabolik yang terjadi di dalam tubuh.
Antioksidan merupakan garis depan pertahanan kita untuk melawan
kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Kebutuhan antioksidan bahkan menjadi
lebih kritis seiring meningkatnya kehadiran radikal bebas (Percival 1998).
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk
mempertahankan mutu pangan produk. Berbagai kerusakan misalnya ketengikan,
perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada
produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan (Trilaksani 2003).
7
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya
antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan
yang diperoleh dari hasil sintesis kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil
ekstraksi bahan alami) (Trilaksani 2003)
1) Antioksidan sintetik
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk
makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar di
seluruh dunia, yaitu Butylated Hidroxy Anisol (BHA), Butylated Hidroxy Toluen
(BHT), propil galat, Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) dan tokoferol.
Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara
sintesis untuk tujuan komersial (Buck 1991)
Butilated Hidroxy Anisole memiliki kemampuan antioksidan yang baik
pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif
pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk
padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga
berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck 1991; Coppen 1983)
Antioksidan BHT memiliki sifat serupa BHA, dan akan memberikan efek
sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat putih dan
digunakan secara luas karena relatif murah (Sherwin 1990). Antioksidan propil
galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148 oC, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Propil galat berbentuk kristal padat putih,
sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA
dan BHT (Buck 1991). Rahardjo & Hernani (2006) menyatakan bahwa kedua
senyawa antioksidan (BHT dan BHA) tersebut banyak dimanfaatkan dalam
industri makanan dan minuman, namun beberapa hasil penelitian yang dilakukan
oleh para ilmuwan telah membuktikan bahwa antioksidan tersebut mempunyai
efek samping yang tidak diinginkan, yaitu berpotensi sebagai karsinogenik
terhadap efek reproduksi dan metabolisme, bahkan dalam jangka waktu lama tidak
terjamin keamanannya.
Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) dikenal sebagai antioksidan
paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena
8
memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah
pada pembakaran. Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) direkomendasikan
dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada
pemanggangan, maka akan memberikan kegunaan yang lebih luas. Antioksidan
TBHQ berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup
pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu
tetapi dapat berubah menjadi warna merah jambu dengan adanya basa (Buck
1991). Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan pada
hampir di setiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara
kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut
dalam lipida karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari
tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.
Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung α->β->γ->δ-
tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ->γ->β-> α-tokoferol
(Belitz et al. 2009). Tetapi menurut Sherwin (1990), urutan tersebut terkadang
bervariasi tergantung pada substrat dan kondisi lain.
2) Antioksidan alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi- reaksi selama proses pengolahan, (c)
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan (Pratt 1992). Senyawa antioksidan alami
diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, β- karoten, vitamin E (tokoferol),
vitamin C, asam urat, bilirubin dan albumin (Gheldof et al. 2002). Zat-zat gizi
mineral misalnya mangan, seng, tembaga dan selenium juga berperan sebagai
antioksidan (Mega dan Swastini 2010).
Antioksidan berdasarkan aktivitasnya dapat dibedakan menjadi antioksidan
primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat
menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepas atom hidrogen.
Zat- zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan
misalnya tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, asam askorbat, BHA, BHT
PG (Propylgalate), dan NDGA (NorDihidro Guaioretic Acid) (Winarno 1980).
9
Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja
prooksidan sehingga dapat digolongkan secara sinergik. Beberapa asam organik
tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam
(sequestran). Contoh lain antioksidan sekunder antara lain turunan-turunan asam
fosfat, senyawa karoten, sterol, fosfolipid, dan produk-produk reaksi Maillard.
Tujuan dasar dari antioksidan sekunder adalah mencegah terjadinya radikal yang
paling berbahaya yaitu radikal hidroksil (BlueFame Forums 2008)
Ketaren (1986) menyatakan bahwa umumnya antioksidan memiliki
struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai
gugus hidroksil atau asam amino. Antioksidan berdasarkan gugus fungsinya
dibagi atas tiga golongan, yaitu golongan fenol, amin dan aminfenol. Adapun
penggolongan antioksidan menurut Ketaren (1986), adalah sebagai berikut:
1) antioksidan golongan fenol
Antioksidan yang termasuk golongan ini biasannya memiliki ciri intensitas
warna yang rendah atau tidak berwarna sama sekali dan banyak digunakan karena
beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang
dihasilkan alam dan sejumlah kecil antioksidan sintesis. Beberapa contoh
antioksidan yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon, gosipol, katekol,
resorsiol, dan eugenol.
2) antioksidan golongan amin
Antioksidan yang mengandung gugus amino dan diamino yang terikat
pada cincin benzene berpotensi tinggi sebagai antioksidan, namun beracun dan
biasanya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi atau bereaksi dengan
ion logam, selain itu umumnya stabil pada suhu panas dan ekstrasi dengan
kaustik. Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini adalah N,N difenilen
diamin, difenilhidrasin, difenil guanidine dan difenil amin.
3) antioksidan golongan aminfenol
Antioksidan golongan aminfenol biasanya mengandung gugus fenolat dan
amino sebagai gugus fungsional penyebab aktivitas antioksidan. Golongan
aminfenol banyak digunakan dalam industri petroleum, untuk mencegah
terbentuknya gum dalam gasolin, contohnya N-butil-p-amino-fenol dan N-
sikloheksil-p-amino-fenol. Adanya gugus hidroksil (-OH) dan amino (-NH2) yang
10
terikat pada cincin aromatis memegang peranan penting dalam aktivitas
antioksidan. Potensi antioksidan tersebut diperbesar oleh adanya substitusi gugus
lain yang terikat pada cincin aromatis.
2.3.2 Mekanisme Oksidasi Lemak
Meyer (1973) dan Hamilton (1983) menyebutkan bahwa autooksidasi
lipida berlangsung dalam dua tahap. Selama tahap pertama autooksidasi berjalan
lambat dengan laju kecepatan seragam. Tahap pertama ini sering disebut periode
induksi. Oksidasi periode induksi ini berlangsung beberapa waktu sampai pada
waktu titik tertentu dimana reaksi memasuki tahap kedua yang mempunyai laju
oksidasi dipercepat. Laju pada oksidasi tahap kedua beberapa kali lebih cepat dari
laju oksidasi tahap pertama. Umumnya lemak dan minyak mulai terasa tengik
pada awal tahap kedua. Asam lemak yang memiliki ikatan rangkap lebih banyak
(misalnya asam linoleat) bereaksi lebih cepat dibanding yang berikatan rangkap
lebih sedikit (asam oleat) sehingga periode induksinya lebih pendek.
Mekanisme oksidasi lipida tidak jenuh dimulai dengan tahap inisiasi, yaitu
terbentuknya radikal bebas (R*) bila lipida kontak dengan panas, cahaya, ion
metal dan oksigen. Reaksi ini terjadi pada group metilen yang berdekatan dengan
ikatan rangkap –C=C- (Buck 1991). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gordon
(1990) bahwa tahap inisiasi terjadi karena bantuan sumber energi eksternal
misalnya panas, cahaya atau energi tinggi dari radiasi, inisiasi kimia dengan
terlarutnya ion logam dan metaloprotein misalnya haem.
Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana autooksidasi berawal
ketika radikal lipida (R*) hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk
radikal peroksida (ROO*). Reaksi oksigenasi ini terjadi sangat cepat dengan
energi aktivitas hampir nol sehingga konsentrasi ROO* yang terbentuk jauh lebih
besar dari konsentrasi R* dalam system makanan dimana oksigen berada (Gordon
1990). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion hidrogen dari
lipida lain (R1H) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan molekul radikal lipida
baru (R1*). Selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga
merupakan reaksi berantai.
Tahap terakhir oksidasi lipida adalah tahap terminasi, dimana
hidroperoksida yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik
11
berantai pendek yaitu aldehid, keton, alkohol dan asam (Trilaksani 2003). Buch
(1991) menyebutkan faktor-faktor dan kondisi yang dapat ikut berperan pada
oksidasi lipida antara lain (a) panas, setiap peningkatan suhu sebesar 10 oC laju
kecepatan meningkat dua kali lipat, (b) cahaya, terutama ultraviolet yang
merupakan inisiator dan katalisator kuat, (c) logam berat, logam terlarut misalnya
Fe, Cu merupakan katalisator kuat meski dalam jumlah kecil, (d) kondisi alkali,
kondisi basa, ion alkali merangsang radikal bebas, (e) tingkat ketidakjenuhan,
jumlah dan posisi ikatan rangkap pada molekul lipida berhubungan langsung
dengan kerentanan terhadap oksidasi, sebagai contoh asam linoleat lebih rentan
dibanding asam oleat, dan (f) ketersediaan oksigen.
2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan
Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat
ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding
radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu
memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme
pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih
stabil (Gordon 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi. Radikal- radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi
tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi
dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru. Menurut Hamilton
(1983) radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non
radikal. Mekanisme penghambatan antioksidan primer dapat dilihat pada
Gambar 2.
12
Gambar 2 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida
(Gordon 1990)
Besarnya konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh
pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik
sering lenyap, bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah
konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan
sampel yang akan diuji.
AH + O2 ----------------------------- A* + HOO*
AH + ROOH ----------------------------- RO* + H2O + A*
Gambar 3 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi
(Gordon 1990)
Trilaksani (2003) berpendapat bahwa penghambatan oksidasi lipida oleh
antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan
sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan tersebut
yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c) penambahan lipida pada
cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan kompleks antara lipida dan cincin
aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa ketika atom
hidrogen labil pada suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium,
antioksidan tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa
mekanisme penghambatan dengan pemberian atom hidrogen lebih baik dibanding
pemberian elektron. Beberapa peneliti percaya bahwa pemberian hidrogen atau
elektron merupakan mekanisme utama. Sementara pembentukan kompleks antara
antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi sekunder.
Antioksidan sekunder, misalnya asam sitrat, asam askorbat, dan esternya,
sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan
antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat memberi efek sinergis sehingga
Inisiasi ; R* + AH --------------------------RH + A*
Radikal lipida Antioksidan
Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A*
13
menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja
dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada
medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan lama, (c) mengkelat atau
mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d) menangkap oksigen, (e)
mengikat singlet osigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Gordon
1990)
Trilaksani (2003) menegaskan bahwa antioksidan sebaiknya ditambahkan
ke lipida seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen
(1983), antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal
mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipida
terjadi, dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam.
2.3.4 Metode uji aktifitas antioksidan
Pengujian anti radikal bebas senyawa-senyawa bahan alam atau sintesis
dapat dilakukan secara reaksi kimia dengan menggunakan 1,1-Di Phenyl-2-Picryl
Hydrazyl (DPPH) sebagai senyawa radikal bebas yang stabil dengan melihat
proses penghambatan panjang gelombang maksimumnya pada spektrofotometer
UV-Vis. Molyneux (2004) mengemukakan bahwa metode uji DPPH merupakan
salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi
kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan. Hannani et al. (2005)
juga menambahkan bahwa metode DPPH dipilih karena sederhana, murah, cepat
dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel.
1,1-Di Phenyl-2-Picryl Hydrazyl ( DPPH ) merupakan radikal bebas yang
stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas
antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Prinsip dari uji aktivitas
antioksidan dengan DPPH adalah DPPH yang menerima elektron atau radikal
hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan
dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH,
akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron radikal
bebas pada DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu
tua menjadi kuning terang dan arbsorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan
hilang (Suratmo 2009).
14
Penghambatan warna ungu merah (absorbansi pada 517 ± 20 nm)
dikaitkan dengan kemampuan sebagai anti radikal bebas (free radical scavenger)
(Mega dan Swastini 2006). Molyneux (2004) mengatakan bahwa DPPH adalah
radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokalisasi
elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif
sebagaimana radikal bebas lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan
adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi
dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm.
Adapun reaksi penghambatan DPPH dengan senyawa anti radikal bebas
dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Contoh mekanisme penghambatan antioksidan (tokoferol) terhadap
radikal bebas (DPPH) (Mega dan Swastini 2010)
Gugus- gugus fungsi yang diduga terlibat pada reaksi antara senyawa
antiradikal bebas adalah gugus –OH dan ikatan rangkap dua (-C=C-). Kapasitas
aniradikal bebas DPPH diukur dari penghambatan warna ungu merah dari DPPH
pada panjang gelombang 517 ± 20 nm (Mega dan Swastini 2010).
15
2.4 Ekstraksi Senyawa Aktif
Khopkar (2003) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses
penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan
satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber
komponennya. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah
lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu fase air dan fase organik. Fase air dilakukan dengan
menggunakan pelarut air dan fase organik merupakan ekstraksi yang dilakukan
dengan menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973). Hal yang harus
diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan adalah daya
melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif
terhadap peralatan ekstraksi.
Menurut Harborne (1984) hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas,
kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut. Jenis dan mutu pelarut yang
digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi, pelarut yang
digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih
yang rendah, murah, tidak toksik dan tidak mudah terbakar (Ketaren 1986). Nur
dan Adijuwana (1989) menyatakan bahwa sifat penting yang harus diperhatikan
dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus
polarnya (misal gugus OH, COOH). Derajat polaritas tergantung pada konstanta
dielektrik, makin besar konstanta dielektrik semakin polar pelarut tersebut.
Beberapa pelarut organik dan sifat-sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Pelarut Rumus
molekul
Titik didih
(oC)
Titik beku
(oC)
Konstanta
dielektrik
(Debye)
Masa molar
(g/mol)
Heksana C6H14 69 -94 1,8 32,0
Etil asetat C4H8O2 77 -84 6,0 86,2
Metanol CH4O 65 -98 32,6 88,1
Air H2O 100 0 80,2 18,0
Sumber: Pramadhany (2006)
16
Pelarut non polar merupakan salah satu pelarut yang dikenal efektif
terhadap alkaloid dalam bentuk basa dan terpenoid dari bahan. Pelarut nonpolar
juga mengekstrak senyawa kimia misalnya lilin, lemak, dan minyak yang mudah
menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid,
alkaloid, aglikon dan glikosida. Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak
senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam
amino dan glikosida (Harbone 1987).
Metode ekstraksi dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana
dan ekstraksi khusus (Harborne 1984). Ekstraksi sederhana antara lain terdiri atas
maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi dan diakolasi. Ekstraksi sederhana
menurut Harbone (1984) adalah sebagai berikut:
a) maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut
dengan atau tanpa pengadukan;
b) perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;
c) reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk melarutkan
sampel di dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan;
d) evakolasi, yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara;
e) diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Metode ekstraksi khusus antara lain soxhletasi, arus balik, dan ultrasonik.
Ekstraksi khusus menurut Harbone (1984) antara lain:
a) soxhletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan
sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;
b) arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan
pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan;
c) ultrasonik, yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan
frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.
Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap penghancuran
bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan, dan pemisahan.
Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan
dengan pelarutnya pada saat proses pelarutan. Bahan ditimbang untuk mengetahui
berat awal bahan sehingga dapat dihitung rendemen yang dihasilkan. Bahan yang
telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang sesuai. Proses
17
perendaman yang dilakukan disebut maserasi. Tahap selanjutnya adalah tahap
pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan
untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung senyawa
bioaktif. Pemisahan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan
dengan evaporasi sehingga pelarut akan menguap dan diperoleh senyawa hasil
ekstraksi. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor
antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995)
2.5 Komponen Bioaktif
Bentuk metabolit sekunder menunjukkan sejumlah molekul yang sedikit
penting terhadap tanaman dan memiliki peranan utama dalam perlindungan
tanaman dari tekanan lingkungan atau dalam pengontrolan pertumbuhan tanaman
(Harborne 1999).
2.5.1 Terpenoid/steroid
Terpenoid atau isoprenoid dicirikan dengan biosintesis dari isopentenil dan
dimetilalil pirofosfat dan sifatnya yang secara umum lipofilik. Terpenoid adanya
di kelenjar trikoma daun, di pucuk exudates dan kayu damar. Secara kimia,
terpenoid pada dasarnya hidrokarbon tidak jenuh siklik, dengan derajat keragaman
oksigenasi dalam kelompok pengganti yang dilekatkan terhadap kerangka karbon
utama. Terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah 5-atom karbon (C5)
(Harborne 1999). Monomer aktif dari isoprenoid adalah isopentenilpirofosfat
(IPP) yang digunakan untuk membangun monoterpen (C10), sesquiterpen (C15),
dan diterpen (C20) (Edwards dan Gatehouse 1999).
Terpenoid memiliki potensi anti-inflamasi tidak hanya in-vivo pada sel
hewan, tetapi juga ex-vivo. Beberapa terpenoid bertindak sebagai hormon
tanaman yang mengatur fungsi fisiologis yang berbeda dan metabolit sekunder
lainnya berperan dalam pertahanan dan perlindungan tumbuhan/hewan dari
patogen (Heras et al. 2003). Subklasifikasi terpenoid dapat dilihat pada Tabel 2.
18
Tabel 2 Subklasifikasi terpenoid
Kelas terpenoid Deskripsi
Monoterpenoid Volatil, unsur minyak esensial
Iridoid Lakton yang berasa pahit, biasanya dalam bentuk
glikosidik
Sesquiterpenoid
Sesquiterpen lakton
Diterpenoid
Triterpenoid saponin
Steroid saponin
Kardenolid dan bufadienolid
Fitosterol
Cucurbitacin
Nortriterpenoid
Triterpenoid lainnya
Karotenoid
Unsur minyak esensial yang tinggi titik didihnya
Karakteristik dari famili Compositae
Asam dammar dan giberelin
Glikosida hemolitik
Glikosida hemolitik
Racun bagi jantung dan toxin
Unsur-unsur membran
Pahit, terutama Cucurbitaceae
Limonoid dan Quassinoid
Lupanes, hapanes, ursanes, dsb
Pigmen kuning hingga merah
Sumber : Harborne (1999)
Komponen terpenoid yang menunjukkan aktivitas insektisidal adalah
steroid. Bentuk steroid dapat berupa komponen kardenolid dan saponin yang
dapat melawan herbivora mamalia. Kardenolid berasa pahit dan sangat beracun
serta dapat menyebabkan penyakit jantung. Saponin merupakan komponen yang
dapat larut di dalam air dan lemak, serta memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008).
Struktur beberapa terpenoida dapat dilihat pada Gambar 5.
19
Gambar 5 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid (Robinson 1995)
2.5.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya
Alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom
nitrogen sebagai bagian dari srukturnya, biasanya terkait ke dalam suatu sistem
siklik lima atau enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat
tinggi, sekitar 20 % dari spesies angiospermae. Metabolit-nitrogen juga terbatas
di alam. Keterbatasan distribusi metabolit ini disebabkan oleh ketersediaan unsur
dari metabolit ini juga terbatas. Metabolit-nitrogen merupakan turunan dari satu
atau lebih asam amino protein (Harborne 1999).
Metabolit-nitrogen lainnya yang berperan penting adalah glukosinolat,
cianogenik glikosida, dan asam amino non-protein. Bentuk lebih lanjut dari
metabolit-nitrogen adalah betalain, pigmen tanaman. Asam amino lisin, ornitin,
fenilalanin, tirosin, triptofan, dan histidin merupakan sumber N dari mayoritas
alkaloid pada tanaman (Edwards dan Gatehouse 1999).
Alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang
bersifat asam lemah (HCl 1M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan
dengan amoniak pekat. Pemurnian selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi
pelarut (ekstraksi cair-cair). Adanya alkaloid pada ekstrak nisbi kasar dapat diuji
dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid (Harborne 1987). Klasifikasi
alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya dapat dilihat Tabel 3.
20
Tabel 3 Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman
Metabolit Metabolit
Alkaloid: 11. Pirolizidin
1) Amaryllidaceae 12. Quinolin
2) Betalain 13. Quinolizidin
3) Diterpenoid (kadang beracun) 14. Steroidal
4) Indol 15. Tropana
5) Isoquinolin (kelompok terbesar alkaloid) Asam amino non-protein
6) Likopodium Amina
7) Monoterpen Cianogenik glikosida
8) Sesquiterpen Glukosinolat
9) Peptida Purin dan Pirimidin (termasuk
kafein pada kopi dan teh)
10) Pirolidin dan piperidin
Sumber : Harborne (1999)
Struktur beberapa senyawa alkaloid (Robinson 1995) dapat dilihat pada
Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Beberapa penggolongan alkaloid (Robinson 1995)
2.5.3 Metabolit fenol
Komponen fenol merupakan metabolit sekunder dengan molekul dasar dari
beragam jenis senyawa adalah struktur fenol yang merupakan kelompok hidroksil
pada sebuah cincin aromatik. Komponen fenol menunjukkan beragam fungsi bagi
21
tanaman termasuk pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan cahaya,
penarik pollinator, penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing, dan simbiosis
dengan bakteri penyedia nitrogen (Wildman 2001).
Fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu
dari tiga asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur
shikimate. Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi
dan p-hidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam
kelas dari fenol tanaman (Harborne 1999).
Flavonoid merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki
rangka karbon yang sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari
4000 struktur. Flavonoid dapat ditemukan di sebagian besar tanaman dan sama
dengan struktur fenilpropanoid dan asam hidroksibenzoat (Harborne 1999).
Flavonoid adalah turunan dari chalcones yang dibentuk dari shikimate dan
prekursor asetat (Edwards dan Gatehouse 1999).
Sebagian besar karakteristik dari fenolik adalah kemampuan untuk
mengionisasi. Beberapa polifenol memiliki kelompok catechol dan karena itu
memiliki kemampuan untuk mengkelat ion logam divalen atau trivalen. Beberapa
antosianin menjadi pengkelat terhadap magnesium atau besi. Fenol dengan
substitusi o- atau p-dihidroksi dapat teroksidasi sesuai dengan quinon dan
beberapa p-quinon (Harborne 1999). Klasifikasi bagian-bagian fenolik dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Klasifikasi bagian-bagian fenolik
Subkelas Deskripsi Subkelas Deskripsi
Antosianin Pigmen merah hingga
biru pada bunga Lignan
Umumnya ada
pada kayu dan
kulit kayu
Antoklors
Pigmen kuning pada
bunga: chalcones dan
aurones
Fenol dan asam
fenolik
Beberapa asam
yang umum pada
tanaman
Benzofuran Ada pada tumbuhan
tingkat tinggi Fenolik keton
Ada pada buah
hop dan pakis
22
Tabel 4 lanjutan
Chromones Kelompok kecil dari
zat pengobatan Fenilpropanoid
Strukturnya
banyak, tersebar
luas
Kumarin
Lebih dari 700
struktur, tersebar luas
pada tanaman
Quinonoid
Benzoquinon,
naphthoquinon
dan anthraquinon
Minoritas
flavonoid
Flavanon dan
dihidroflavonol Stilbenoid
Termasuk
dihidrofenantrin
Flavon dan
flavonol
Struktur banyak,
terutama dalam
kombinasi glikosidik
Tanin Kental dan dapat
dihidrolisis
Sumber : Harborne (1999)
Struktur dari beberapa metabolit fenolik di tanaman (Robinson 1995) dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana (Robinson 1995)
3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011-Juni 2011. Sampel
berupa daun tanaman mangrove Api-api (A. marina) diambil dari daerah
Belanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian bertempat di Laboratorium
Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 1,
Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2, Laboratorium Mikrobiologi Hasil
Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Proling
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Laboratorium Mikroteknik Departemen Biologi Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Mikrobiologi Terpadu Fakultas
Kedokteran Hewan.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan utama yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah daun tanaman
mangrove Api-api (A. marina). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis
proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat,
asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl
red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0,0947 N, pelarut lemak (n-heksana
p.a.), larutan HCl 10% dan larutan AgNO3 0,10 N. Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk analisis histologi daun meliputi daun Api-api, larutan FAA
(Formaldehida, Asam asetat glasial dan Alkohol), etanol absolut, TBA (Tertier
Butil Alkohol), minyak parafin, parafin, xilol, larutan Gifford, etanol 95%, etanol
70%, etanol 50%, etanol 30%, akuades, safranin 2%, dan fast green 0,5%, aniline
blue, entellan. Bahan-bahan yang diperlukan dalam proses ekstraksi dan
evaporasi sampel meliputi pelarut methanol (p.a), etil asetat (p.a) dan heksana
(p.a). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak
kasar daun Api-api dari 3 jenis pelarut, kristal 1,1-Diphenil-2-picryl hydrazil
(DPPH), metanol p.a., BHT (butylated hydroxytoluena) sebagai kontrol positif.
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner
pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff, kloroform, anhidrat asetat, asam sulfat
pekat, serbuk magnesium, amil alkohol, air panas, larutan HCl 2 N, etanol 70%,
24
Daun Api-api (A. marina)
1. Pengambilan
dan preparasi
sampel,
pengukuran
morfometrik
2. Analisis
Histologi daun
(ujung, tengah,
tepi dan pangkal
daun)
3. Analisis kimia
a. kadar air
b. protein
c. lemak
d. kadar abu
e. kadar serat
f. karbohidrat
4. ekstraksi tunggal 3 pelarut:
Methanol, etil asetat dan heksan
5. uji antioksidan (DPPH
scavenging activity)
6. uji fitokimia
7. uji bilangan
peroksida
larutan FeCl3 5%, peraksi Molisch, asam sulfat pekat, pereaksi Benedict, pereaksi
Biuret dan larutan Ninhidrin 0,10%. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk
pengujian bilangan peroksida yaitu asam asetat glasial, kloroform, minyak kelapa,
kalium iodida, natrium tiosulfat dan indikator pati.
Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi jangka sorong,
pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, botol film dan botol kaca kecil,
holder, kotak blok, pinset, kuas, oven, mikrotom Yamato RV-240, hot plate,
gelas obyek, rak pewarna, mikroskop cahaya Olympus tipe CH20 dan kamera
mikroskop Olympus DP12, alumunium foil, gegep, desikator, oven, kompor
listrik, tanur pengabuan, kertas saring Whatman 42 bebas abu, kapas bebas lemak,
labu lemak, kondensator, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator,
labu Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, pipet tetes, gelas ukur,
grindmill, orbital shaker, rotary vacuum evaporator, corong kaca, botol gelas,
gelas piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS, inkubator dan vortex.
3.3 Metode Penelitian
Rangkaian penelitian ini mengikuti skema yang tertera pada Gambar 8 di
bawah ini.
Gambar 8 Skema penelitian
25
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel
Sampel daun mangrove api-api diambil di daerah Belanakan, Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengumpulkan daun
mangrove api-api dari beberapa titik pada lokasi tersebut. Daun dimasukkan ke
dalam wadah plastik berwarna gelap dan dilakukan identifikasi dan pengukuran
morfometrik yang meliputi panjang, lebar dan tebal daun. Sejumlah sampel
disimpan dalam wadah tertutup yang berisi larutan etanol 70%, sampel ini akan
digunakan untuk analisis histologis.
Daun mangrove api-api kemudian dibagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama untuk uji kadar air, protein, lemak, abu dan abu tidak larut asam. Bagian
kedua dikeringkan dan dipergunakan untuk uji aktivitas antioksidan, bilangan
peroksida dan fitokimia.
3.3.2 Analisis proksimat
Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk
mengetahui komposisi kimia yang terkandung dalam suatu bahan, termasuk di
dalamnya analisis kadar air, protein, lemak, abu dan abu tidak larut asam.
1) Analisis kadar air (AOAC, 2005)
Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau
jumlah kadar air yang terdapat dalam suatu bahan. Tahap pertama untuk
menganalisis kadar air yaitu mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu
105 oC selama 1 jam. Cawan kemudian diletakkan ke dalam desikator selama
kurang lebih 15 menit dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan
tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sampel sebanyak 1 gram
dimasukkan ke dalam cawan setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil. Cawan
tersebut lalu dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150 oC selama 8 jam atau
hingga beratnya konstan. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Kadar air dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:
Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)
% Kadar air (berat basah) = Kehilangan berat (gram)
X 100 % Berat sampel awal (gram)
26
2) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Daun mangrove api-api seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas
saring yang telah dibuat menjadi bentuk selongsong (thimble) dan kedua
ujungnya ditutup dengan kapas. Sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke
dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2). Pelarut lemak (n-
heksan) dituangkan ke dalam labu lemak kemudian labu lemak dihubungkan
dengan soxhlet dan direfluks selama 6 jam. Sampel dikeluarkan, labu lemak dan
soxhlet dipasang kembali lalu didestilasi hingga pelarut lemak yang ada dalam
labu lemak menguap. Setelah itu, labu lemak dan soxhlet diangkat dan pelarut
dikeluarkan. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama satu
jam. Labu kemudian didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).
Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus berikut:
% Kadar lemak = W3 – W2
X 100 % W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (gram)
W2 = Berat labu lemak kosong (gram)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Prinsip dari analisis protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein
kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam
analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu dekstruksi, destilasi dan titrasi.
Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl.
(a) Tahap destruksi
Daun mangrove api-api ditimbang sebanyak 1 gram kemudian
dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Selenium 0,25 gram dimasukkan ke dalam
tabung tersebut dan ditambahkan 3 mL H2SO4 p.a 98%. Tabung yang berisi
larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 400 oC selama 1
jam. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi /jernih/ bening.
(b) Tahap destilasi
Hasil destruksi yang telah dingin selanjutnya diencerkan dengan 50 mL
akuades dan 20 mL NaOH 40% lalu didestilasi. Hasil detilasi ditampung dalam
labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 mL H3BO3 2% dan 2 tetes indikator
27
Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil
tampungan (destilat) menjadi 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, proses destilasi
dihentikan dan selanjutnya destilat ditritasi.
(c) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi
perubahan warna menjadi merah (warna asam borat semula). Kadar protein
dihitung dengan rumus sebagai berikut:
%N = (mL HCL A. marina – mL blanko) x N HCl x 14, 007
x 100 % mg contoh x faktor koreksi alat
Keterangan :
% Kadar Protein = %N x faktor konversi (6,25)
4) Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang
terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis.
Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC,
kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga
didapatkan berat yang konstan. Sampel daun sebanyak 1 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap
lagi. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan
suhu 600 oC selama 2 jam. Cawan didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang
hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus
berikut:
% Kadar abu (berat basah) = Berat abu (gram)
X 100 % Berat sampel awal (gram)
Keterangan:
Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g)
5) Kadar serat kasar (AOAC 2005)
Serat kasar diukur dengan menguji sebanyak 1 gram sampel dilarutkan
dengan 100 H2SO4 1,25%, kemudian dipanaskan hingga mendidih dan
selanjutnya dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit. Hasil destruksi
selanjutnya disaring dengan kertas saring dan dengan bantuan corong Buchner.
28
Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 mL air mendidih dan dengan 24 mL
air sebanyak 3 kali.
Residu didestruksi kembali dengan NaOH 1,25 % selama 30 menit, lalu
disaring dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan dibilas berturut-turut
dengan 25 mL H2SO4 1,25% mendidih dan 25 mL air sebanyak tiga kali dan 25
mL alkhohol. Residu dan kertas saring dipindahkan ke cawan porselen dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 130 oC selama 2 jam. Residu yang sudah
dingin bersama cawan porselen ditimbang (A), kemudian dimasukkan ke dalam
tanur pada suhu 600 oC selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B).
Bobot serat kasar dihitung dengan persamaan berikut:
% Kadar serat kasar = Bobot serat kasar (gram)
X 100% Bobot sampel (gram)
Keterangan: Bobot serat kasar = W – Wo
W = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur
= A - (bobot kertas saring+cawan) : A : bobot residu + kertas saring + cawan
Wo = bobot residu setelah dibakar dalam tanur
= B – (bobot cawan): B : (bobot residu + cawan)
3.3.3 Analisis mikroskopis (Johansen 1940)
Pengamatan jaringan tanaman diawali dengan pembuatan preparat daun
mangrove Api-api (A. marina) kemudian pengambilan gambar objek pada
mikroskop. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode paraffin. Tahapannya
terdiri atas fiksasi, pencucian, dehidrasi dan penjernihan, infiltrasi, penanaman
dalam blok, penyayatan, perekatan, dan pewarnaan. Bagian daun mangrove Api-
api yang diambil adalah ujung daun, tengah daun, tepi daun, pangkal daun dan
tangkai daun (dapat dilihat pada Gambar 9).
29
Gambar 9 Bagian-bagian daun ( keterangan: TKD = tangkai daun, PKD =
pangkal daun, TPD = tepi daun, TGD = tengah daun, UD= ujung daun )
Fiksasi dilakukan selama 5 hari dalam larutan FAA, setelah itu larutan
fiksasi dibuang dan sampel dicuci dengan etanol 50% sebanyak 4 kali dengan
waktu penggantian masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan
dehidrasi dan penjernihan secara bertahap melalui perendaman dalam larutan seri
Johansen I-VII pada suhu ruang dengan perincian :
1. Johansen I selama 2 jam
2. Johansen II selama 24 jam
3. Johansen III selama 2 jam
4. Johansen IV selama 2 jam
5. Johansen V selama 2 jam
6. Johansen VI (TBA murni) selama 24 jam
7. Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam
8. Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam
9. Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam
10. Johansen VII selama 4 jam
Proses infiltrasi dimulai dari perendaman sampel dalam Johansen VII
(TBA : minyak paraffin 1:1) dan 1/3 parafin beku dan disimpan pada suhu kamar
selama 4 jam yang dilanjutkan pengovenan pada suhu 58 ˚C selama 18 jam.
Kemudian pergantian paraffin dilakukan setiap 5 jam sekali sebanyak 4 kali
pergantian. Proses penanaman dilakukan dengan cara sampel dari tahap infilrasi
dimasukkan ke dalam blok kotak yang berisi paraffin cair dan disimpan pada
suhu ruang hingga benar-benar membeku. Proses penyayatan dilakukan dengan
menggunakan mikrotom putar setebal 10 μm. Blok paraffin terlebih dahulu
dipotong dan dirapihkan kemudian ditempelkan pada holder lalu disayat. Hasil
TKD
PKD
D
UD
TPD
TGD
TPD
30
sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan
ditetesi air. Gelas berisi pita parafin kemudian dipanaskan pada hot plate dengan
suhu 45 ºC selama 3-5 jam.
Proses pewarnaan dilakukan dengan safranin 2% dalam air dan fast green
0,5% dalam etanol 95% serta safranin 2% dan aniline blue dalam alkohol 88%.
Pewarnaan diawali dengan perendaman gelas obyek ke dalam larutan xilol 1 dan
2 masing-masing selama 15 menit, dilanjutkan perendaman dalam etanol absolut
(100%), 95%, 70%, 50%, dan 30% masing-masing selama 3 menit. Setelah itu,
obyek dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam safranin 2% selama 2
hari. Selanjutnya, gelas obyek dibilas ke dalam akuades dan dimasukkan ke
dalam etanol 30%, 50%, 70%, 95%, dan absolut masing-masing selama 3 menit.
Kemudian obyek dimasukkan ke dalam pewarna fast green 0,5% selama 10 menit
lalu etanol absolut 1 dan 2 selama 3 menit. Gelas obyek kemudian direndam
dalam xilol 1 dan xilol 2 selama 10 menit. Pewarnaan dengan aniline blue
dilakukan sebagai pengganti fast green. Gelas obyek dimasukkan ke dalam
aniline blue + alkohol 88% selama 10 menit, setelah etanol 70%. Kemudian
obyek dimasukkan ke dalam etanol 95% + HCl 2 tetes selama beberapa detik dan
dilanjutkan ke dalam etanol 95% selama 3 menit, seterusnya.
Proses selanjutnya adalah penutupan dengan pemberian entellan atau
Canada balsam pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup. Proses
pengambilan gambar dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus CH20 dan
kamera digital merek Olympus DP12.
3.3.4 Analisis aktivitas antioksidan
1) Ekstraksi bahan aktif daun mangrove Api-api (Quinn 1988 dalam Darusman
et al. 1995, yang telah dimodifikasi)
Tahap ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan
ekstraksi bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daun mangrove Api-api yang
telah diambil dari daerah Belanakan, Subang segera dikeringkan dengan panas
matahari. Daun mangrove api-api yang telah dikeringkan tersebut kemudian
dihancurkan dengan Grindmill sehingga didapat serbuk yang halus. Tujuan
penghancuran sampel adalah untuk memperluas permukaan sampel yang
bersentuhan dengan pelarut, sehingga rendemen ekstrak akan lebih besar.
31
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi. Metode ekstraksi yang digunakan
adalah metode ekstraksi tunggal (Quinn 1988 dalam Darusman et al. 1995) yang
telah dimodifikasi. Ekstraksi dilakukan dengan 3 jenis pelarut dengan tingkat
kepolaran yang berbeda, yaitu methanol p.a (polar), etil asetat p.a (semi polar)
dan heksana p.a (non polar).
Sampel daun mangrove Api-api yang telah dihancurkan ditimbang
sebanyak 25 gram dan dimaserasi dengan masing-masing pelarut sebanyak
150 mL selama 24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring
dengan kertas saring Whattman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Filtrat
yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan
rotary vacuum evaporator pada suhu ± 50 oC. Berdasarkan proses ini maka akan
diperoleh ekstrak metanol (EM), ekstrak etil asetat (EEA) dan ekstrak heksana
(EH).
Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dihitung persentase rendemennya
dengan rumus:
Rendemen (%) = Berat ekstrak (g)
X 100% Berat sampel awal (g)
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam Hanani et al. 2005, yang
dimodifikasi)
Ekstrak kasar daun mangrove Api-api dari hasil ekstraksi tunggal dengan
menggunakan 3 jenis pelarut selanjutnya dilarutkan dalam methanol p.a dengan
konsentrasi 50, 100, 150, 200 dan 300 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan
dibuat dengan menggunakan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan
konsentrasi 1 mM. Hal ini karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH
(Molyneux 2004) dan lebih bersifat fleksibel, yakni ekstrak yang bersifat semi
polar dan non polar pun dapat larut. Menurut Molyneux (2004) mengenai pelarut
yang dipakai dalam metode DPPH, uji berkerja dengan baik jika menggunakan
metanol atau etanol yang tidak mengganggu jalannya reaksi. Proses pembuatan
larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari
cahaya matahari.
32
Kontrol positif antioksidan yang digunakan dalam uji ini adalah
antioksidan sintetik yaitu Butylated Hydroxy Toluene (BHT). Herawati dan
Akhlus (2006) menyatakan bahwa selain memiliki aktifitas yang baik terhadap
radikal , BHT juga cukup tahan terhadap proses pemanasan. Konsentrasi BHT
yang digunakan dalam uji ini adalah 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm dan 8 ppm.
Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah
dibuat, masing-masing diambil 4,5 mL dan direaksikan dengan 500 µL larutan
DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda yang telah diberi label.
Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan
diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 517 nm. Absorbansi larutan blanko juga diukur untuk
menghitung persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,5 mL
pelarut metanol dengan 500 µL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi.
Larutan blanko dibuat hanya satu kali ulangan saja. Setelah itu, aktivitas
antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT
dinyatakan dengan persen inhibisi yang dihitung dengan rumus berikut:
% Inhibisi = Absorbansi blanko – absorbansi sampel
X 100 % Absorbansi blanko
Nilai konsentrasi sampel (ekstrak maupun antioksidan pembanding BHT)
dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan
regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan
y = a + bx digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50%) dari
masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang
akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan
sampel (ekstrak maupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk
mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.
3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1984)
Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponen-
komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar daun mangrove Api-api yang
memiliki aktivitas antioksidan terbaik. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji
33
steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict,
Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984).
a) Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat (H2SO4)
2 N. Pengujian menggunakan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff,
pereaksi Meyer dan pereaksi Wagner.
Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismutsubnitrat
ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur
dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 mL air. Sebelum
dihunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume asam asetat
glasial dan 100 mL air. Pereaksi ini berwarna jingga.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl2
dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi
100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna.
Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades ditambahkan 2,5
gram iodine dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades
menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.
Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Dragendorff terbentuk
endapan merah hingga jingga, endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer
dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner.
b) Steroid / triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Setelah itu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam
sulfat pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna
merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.
c) Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan 0,1 mg serbuk magnesium dan 0,4 mL
amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang
sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok. Adanya flavonoid
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan
amil alkohol.
34
d) Saponin (uji busa)
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang
stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N
menunjukkan adanya saponin.
e) Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sampel sebanyak 1 gram diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan
yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan
FeCl3 5%. Adanya senyawa fenol dalam bahan ditunjukkan dengan terbentuknya
warna hijau atau hijau biru.
f) Uji Molisch
Larutan sampel sebanyak 1 mL diberi 2 tetes pereaksi Molisch dan 1 mL
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai dengan terbentuknya kompleks warna ungu diantara 2
lapisan cairan.
g) Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 mL pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Adanya gula
pereduksi ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau, kuning atau endapan
merah bata.
h) Uji Biuret
Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambahkan 4 mL pereaksi Biuret. Campuran
dikocok dengan seksama. Hasil uji positif adanya peptida ditunjukkan dengan
terbentuknya larutan berwarna ungu.
i) Uji Ninhidrin
Larutan sampel sebanyak 2 mL ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin
0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Reaksi positif
terhadap adanya asam amino ditunjukkan dengan larutan berwarna biru.
3.3.6 Evaluasi aktivitas antioksidan (penentuan bilangan peroksida) (Santoso et
al. 2004)
Penentuan aktivitas antioksidan dari ekstrak daun mangrove Api-api
(ekstrak yang terbaik) diterapkan pada emulsi minyak. Antioksidan berfungsi
untuk menghambat pembentukan peroksida pada minyak. Pengujian ini dilakukan
35
melalui pembuatan minyak kelapa dan sistem emulsinya yang dilanjutkan dengan
evaluasi aktivitas antioksidan dengan penentuan bilangan peroksida.
1) Pembuatan minyak kelapa dan sistem emulsinya
Minyak yang digunakan dalam penelitian dibuat dari parutan kelapa yang
diperas untuk diambil santan kentalnya. Santan kental tersebut dipanaskan
dengan cara direbus untuk memisahkan komponen minyak yang terkandung di
dalamnya, kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan minyak dan
ampas parutan kelapa. Filtrat yang dihasilkan kemudian disaring lagi dengan
kertas Whatman agar diperoleh minyak kelapa yang bening. Sistem emulsi
minyak dibuat dengan mengacu pada metode Santoso et al. (2004) yang
dimodifikasi, yaitu dengan menghomogenkan 3% minyak kelapa dan 97% air
yang mengandung 0,3% Tween 20.
2) Penentuan bilangan peroksida
Sistem emulsi lemak ditambahkan ekstrak daun mangrove Api-api terbaik
dari tahap sebelumnya sebanyak 0 ppm (tanpa penambahan ekstrak), 50 ppm, 100
ppm, 200 ppm dan 300 ppm yang selanjutnya disebut sampel minyak. Sampel
minyak selanjutnya disimpan selama tujuh hari dalam inkubator bersuhu 37 oC
untuk mempercepat oksidasi. Sampel minyak kemudian ditimbang sebanyak 5
gram di dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 30 mL pelarut yang terdiri
dari 60% asam asetat glasial dan 40% kloroform. Minyak yang telah larut
ditambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh dan didiamkan 15 menit dalam ruang gelap
sambil dikocok. Iod yang terbentuk dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,01 N
dengan indikator pati 1%. Titrasi dihentikan saat larutan sampel menjadi tidak
berwarna. Hasil pengurangan volume akhir terhadap volume awal larutan
Na2S2O3 0,01 N yang ditunjukkan oleh skala pada buret merupakan volume total
larutan Na2S2O3 0,01 N yang digunakan untuk titrasi sampel. Cara yang sama
dibuat juga untuk penerapan blanko. Nilai bilangan peroksida dinyatakan dengan
miliequivalen per 1 kg minyak atau lemak yaitu dengan rumus:
Miliequivalen/Kg bahan = (a-b) x N x 1000
x 100% g
36
Keterangan:
a = jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi sampel
b = jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi blanko
N = normalitas larutan Na2S2O3
g = berat sampel (gram)
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1991)
Analisis data dilakukan terhadap hasil pada tahap aplikasi terhadap emulsi
minyak. Tahapan aplikasi terhadap emulsi minyak bertujuan untuk menentukan
seberapa besar konsentrasi ekstrak terpilih yang mampu menghambat
pembentukan peroksida dalam emulsi minyak. Faktor yang digunakan adalah
konsentrasi ekstrak dengan lima taraf yaitu 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm
dan 300 ppm. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan model:
Yij = µ + αi + Ɛij
Keterangan:
Yij = respon pengaruh konsentrasi pada taraf i ulangan ke-j
µ = pengaruh rata-rata umum
αi = pengaruh konsentrasi pada taraf i
Ɛij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j
i = 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm ( penentuan
konsentrasi ekstrak terpilih )
Hipotesis untuk penentuan konsentrasi ekstrak terpilih:
Ho = Konsentrasi ekstrak tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan ekstrak daun
mangrove api-api
H1 = Konsentrasi ekstrak mempengaruhi aktivitas antioksidan ekstrak daun
mangrove api-api.
Jika hasil dari pengujian menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda
nyata pada selang 95% (α=0,05) maka dilakukan uji lanjut Duncan. Rumus uji
Duncan adalah:
37
Keterangan:
Rp = Nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan
p = Perlakuan
dbs = Derajat bebas
kts = Jumlah kuadrat tengah
r = Ulangan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Daun Api-api (A. marina)
Sampel daun Api-api yang diambil dari daerah Belanakan, kabupaten
Subang, Jawa Barat dipreparasi untuk mempermudah proses penelitian. Sampel
daun yang diambil selanjutnya dipilih yang baik dan dibersihkan dari kotoran-
kotoran yang menempel. Sampel daun selanjutnya dibagi menjadi 3 bagian,
yaitu: bagian segar, bagian yang diawetkan dan bagian yang dikeringkan. Bagian
segar digunakan untuk analisa proksimat, bagian yang diawetkan digunakan
untuk analisa struktur jaringan dan bagian yang dikeringkan untuk pengujian
aktivitas antioksidan.
4.1.1 Karakteristik Fisik daun Api-api (A. marina)
Tahap pertama yang dilakukan setelah mempreparasi sampel daun adalah
karakterisasi secara fisik (meliputi morfologi luar, morfometrik dan struktur
jaringan daun) dan secara kimiawi. Bentuk morfologi luar daun Api-api dapat
dilihat pada Gambar 10. Hasil pengamatan karakteristik fisik daun Api-api
disajikan pada Tabel 5.
Gambar 10 Bentuk daun Api-api, A = tampak atas, B = tampak bawah
A B
39
Tabel 5 Karakteristik fisik daun Api-api
No Karakteristik fisik Keterangan
1 Warna daun Bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian
bawah berwarna hijau kekuningan dengan beberapa
bagian terlihat putih
2 Bentuk daun Daun berbentuk oval dengan ujung runcing
membundar, tepi daun rata
3 Permukaan daun Daun memiliki tekstur halus pada bagian atas dan
agak kasar pada bagian bawah
Sampel daun yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik
fisik antara lain warna daun yang berbeda antara bagian permukaan atas dengan
bagian bawah, dimana bagian permukaan daun berwarna hijau, semakin tua daun
maka warnanya semakin hijau, sedangkan bagian bawah daun berwarna hijau
kekuningan dan semakin tua berberapa bagian memutih. Ciri fisik lainnya adalah
bentuk daun oval/bulat telur panjang dengan ujung yang membulat runcing.
Daun Api-api memiliki permukaan daun yang berbeda antara bagian atas dengan
bagian bawah, permukaan atas daun memiliki tekstur licin halus, sedangkan
permukaan bawah memiliki tekstur yang lebih kasar.
4.1.2 Morfometrik daun Api-api (A. marina)
Morfometrik daun Api-api meliputi panjang, lebar dan tebal daun. Hasil
pengukuran morfometrik daun Api-api sebanyak 30 sampel dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6 Morfometrik daun Api-api
Parameter Rata – rata (mm)
Panjang daun 69,36 ± 5,12
Lebar daun 36,29 ± 3,39
Tebal daun 0,77 ± 0,11
Keterangan: Data diperoleh dari 30 sampel daun Api-api (A. marina)
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel daun Api-api yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki panjang daun rata-rata sebesar 69,36 mm, lebar daun rata-
40
rata sebesar 36,29 mm dan tebal daun rata-rata sebesar 0,77 mm. Ukuran tersebut
tidak jauh berbeda dengan ukuran daun Api-api yang diteliti oleh Noor et al.
(2006), daun Api-api memiliki panjang 90 mm dan lebar 45 mm.
Metusalach (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu biota
dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu habitat, musim,
suhu perairan, jenis makanan yang tersedia dan faktor lingkungan lainnya,
sedangkan faktor internalnya yaitu umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan
dan faktor biologis lainnya.
4.1.2 Struktur jaringan daun Api-api (A. marina )
Daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan umumnya tiap
tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun (Tjitrosoepomo 2007). Pernyataan
lain menerangkan bahwa daun termasuk organ pokok pada tubuh tumbuhan.
Umumnya berbentuk pipih bilateral, berwarna hijau dan merupakan tempat
terjadinya proses fotosintesis. Secara umum jaringan daun tersusun atas jaringan
epidermis, palisade, bunga karang dan jaringan pengangkut (Nugroho et al.
2006).
Berdasarkan jumlah daun yang ada di setiap aksis/tangkai daun, daun Api-
api termasuk daun tunggal. Hal ini karena pada tanaman mangrove Api-api,
setiap aksis/tangkai daun hanya menyokong satu helai daun saja. Menurut
Nugroho et al. (2006) daun tunggal adalah daun yang pada satu aksisnya (tangkai
daunnya) hanya mendukung satu helaian daun dengan ciri khasnya adalah daun
tidak terbentuk bersamaan dan gugur dari urutan tua ke muda.
Daun Api-api juga tergolong daun tak lengkap, karena daun Api-api hanya
memiliki tangkai dan helai daun (lamina) saja. Daun dikatakan lengkap jika daun
memiliki pelepah daun (sheat), tangkai daun (petiole) dan helain daun (lamina),
sedangkan daun tak lengkap adalah daun yang tidak memiliki salah satu atau
bagian utama tersebut (Nugroho et al. 2006) Tjitrosoepomo (2007) menyatakan
daun yang hanya terdiri atas tangkai dan helaian saja; lazimnya disebut sebagai
daun bertangkai. Susunan daun yang demikian itulah yang paling banyak
ditemukan.
41
A. Tangkai daun Api-api (petiole)
Tangkai daun adalah bagian daun yang berbentuk silindris sebagai
perantara antara upih atau batang dengan helaian daun. Tangkai daun memiliki
sejumlah berkas pengangkut. Struktur anatomi tangkai daun Api-api dapat dilihat
pada Gambar 11.
Gambar 11 Anatomi bagian tangkai daun Api-api (A. marina), A (perbesaran
4 x 10), B (perbesaran 10 x 10), a = kutikula dan epidermis atas,
b = parenkim, c = sklerenkim, d = xilem, e = floem, f = parenkim sentral,
g = epidermis bawah, h = kelenjar garam
Potongan melintang tangkai daun Api-api memperlihatkan adanya
jaringan epidermis, korteks, floem, xilem dan parenkim sentral. Tampak pada
Gambar 11, sel sel epidermis pada sisi atas tangkai daun Api-api saling
berhubungan dan secara keseluruhan terlihat lebih rata dibandingkan dengan
rangkaian sel-sel epidermis bagian bawah tangkai daun.
Sel epidermis atas tangkai daun Api-api terlihat lebih kecil dibandingkan
dengan sel-sel di bawahnya, dinding tangensial atas relatif lebih tebal
dibandingkan dinding tangensial bawahnya. Berbeda dengan sel epidermis atas,
sel-sel epidermis bawah tangkai daun Api-api lebih memiliki bentuk dan ukuran
yang berbeda, dan sebagian terdiferensiasi menjadi trikoma dan kelenjar garam
(extrude salt gland).
Jaringan parenkim ditemukan setelah jaringan epidermis dan menuju ke
arah pusat, sel parenkim terlihat semakin besar ukurannya dan semakin tidak
beraturan bentuknya. Pada jaringan ini belum bisa dibedakan antara jaringan
B
a
b
c
d
e
f
g A
h
42
hipodermis dan parenkim korteks. Tampak pada Gambar 11d beberapa sel pada
jaringan parenkim korteks mengalami penebalan dinding sekunder dan berubah
bentuk menjadi sel-sel sklerenkim yang terlihat berwarna lebih terang jika dilihat
menggunakan mikroskop. Dinding sel sklerenkim terlihat berwarna merah bila
diwarnai dengan larutan Safranin.
Jaringan pengangkut dijumpai pada pusat jaringan dan pada kedua tepi
jaringan tangkai daun Api-api. Jaringan pengangkut terdiri dari parenkim xilem
dan sklerenkim floem. Sel sklerenkim xilem tersusun berdampingan mengarah ke
parenkim sentral dan terlihat berdinding lebih tebal bila dibandingkan dinding sel
di sekitarnya. Sel – sel parenkim xilem terlihat lebih besar dibandingkan sel-sel
floem. Terdapat dua berkas jaringan pengangkut pada bagian tepi jaringan
tangkai daun Api-api yang secara keseluruhan lebih kecil daripada jaringan
pengangkut utama.
B. Helaian daun Api-api (lamina)
Helaian daun (lamina atau blade) merupakan bagian daun yang berbentuk
pipih dorsoventral, berwarna hijau, berupa daging daun (interfenium) dan urat
daun serta berguna untuk fotosintesis. Daun memiliki bentuk helaian, pangkal,
tepi, ujung dan pertulangan yang beragam.
Bentuk helaian daun sangat menentukan bentuk daun, sedangkan tangkai
dan upih daun tidak ikut menentukan bentuk daun. Bentuk helaian daun dibagi
menjadi empat seri atau pola pokok yaitu seri elips, seri bulat telur, seri bulat telur
terbalik, dan seri garis (Nugroho et al. 2006).
Berdasarkan perbandingan antara panjang dan lebar daun yang ada pada
Tabel 6, helaian daun Api-api termasuk seri elips dengan bentuk jorong (ovalis;
elipticus), hal ini karena perbandingan panjang dan lebar daun Api-api adalah
1,9 : 1. Helaian daun dikatakan berbentuk jorong jika perbandingan panjang dan
lebar adalah 1,5 - 2 : 1 (Tjitrosoepomo 2007). Struktur anatomi helaian daun
Api-api dapat dilihat pada Gambar 12-15.
Berdasarkan Gambar 12 hingga Gambar 15 diketahui bahwa helaian daun
Api-api (A. marina) tersusun atas kutikula, jaringan epidermis atas, parenkim
korteks, jaringan palisade, jaringan bunga karang, sklerenkim, jaringan
pengangkut, epidermis bawah dan trikoma berupa kelenjar garam.
43
Gambar 12 Anatomi bagian pangkal daun Api-api (A. marina), A (perbesaran
10 x 10), B (perbesaran 20 x 10), a = kutikula, dan epidermis,
b = palisade, c = bunga karang, d = sklerenkim, e = xilem, f = floem,
g = epidermis bawah, h = kelenjar garam. h = hipodermis
Gambar 13 Anatomi bagian tengah daun Api-api (A. marina), A (perbesaran
20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula dan epidermis atas,
b = hipodermis, c = palisade, d = sklerenkim, e = xilem, f = floem,
g= bunga karang, h= kelenjar garam, i = epidermis bawah.
A B
A B
b a c
h
e f
d
g
a
g
d b
e
f h
c
j
i
44
Gambar 14 Anatomi bagian tepi daun Api-api (A. marina), A (perbesaran
20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula, dan epidermis atas,
b = hipodermis, c = palisade, d = bunga karang, e = epidermis bawah,
f = kelenjar garam
Gambar 15 Anatomi bagian ujung daun Api-api (A. marina), A (perbesaran
20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula dan epidermis atas,
b = hipodermis, c = palisade, d = bunga karang, e = korteks,
f = epidermis bawah, g = kelenjar garam
Daun Api-api bertipe dorsiventral, mengingat daun Api-api hanya
memiliki jaringan palisade (tiang) pada sisi bagian atas daun saja. Daun
dikatakan mempunyai tipe dorsiventral apabila jaringan palisade hanya terdapat
pada sisi atas daun (Nugroho et al. 2006). Daun yang bertipe dorsiventral
A B
b
c
a
f
d
e
A B
a
b
c
d f
e
g
45
biasanya memiliki permukaan atas yang lebih berwarna (biasanya lebih berwarna
hijau) dibandingkan bagian bawah, karena kandungan kloroplas lebih banyak
pada jaringan palisade sehingga warna hijau lebih terlihat pada permukaan atas
daun dibandingkan permukaan bawah daun. Hal ini terbukti, daun Api-api
memiliki perbedaan penampakan bagian atas dan bawah, bagian atas berwarna
hijau cerah sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan.
Helaian daun Api-api memiliki dua lapis jaringan epidermis, yaitu
epidermis atas dan epidermis bawah. Jaringan epidermis atas daun Api-api
tersusun atas 1 lapis sel tipis yang dilapisi kutikula. Jaringan epidermis bawah
disusun oleh 1 lapis sel tipis yang terdiferensiasi membentuk organ tambahan
berupa kelenjar garam (salt extruding gland). Hipodermis daun Api-api disusun
atas sel-sel yang lebih besar daripada sel penyusun, jaringan epidermis atas.
Borkar et al. (2011) menyatakan hipodermis pada helaian daun Api-api berfungsi
sebagai tempat penyimpan air
Jaringan mesofil helaian daun Api-api yang terlihat pada Gambar 12
sampai Gambar 15 terdiri dari jaringan palisade dan jaringan bunga karang.
Umumnya pada tumbuhan Dicotyledoneae, jaringan mesofil berdiferensiasi
menjadi jaringan palisade dan bunga karang (Nugroho et al. 2006). Palisade pada
daun Api-api disusun atas 2 sampai 3 lapis sel yang memanjang vertikal dibawah
hipodermis. Jaringan bunga karang pada daun Api-api disusun oleh 2 sampai 3
sel tipis di bawah jaringan palisade dan tersusun secara tidak beraturan, sehingga
membentuk rongga udara. Jaringan berkas pengangkut pada helaian daun Api-api
dapat dilihat pada semua gambar anatomi bagian-bagian daun Api-api.
Gambar 12 menunjukkan bahwa berkas pengangkut daun Api-api terdiri atas
pembuluh xilem pada bagian dalam dan floem pada bagian luar. Berkas
pengangkut pada daun Api-api termasuk dalam tipe kolateral terbuka, karena
xilem dan floem terletak berdampingan dan dibatasi oleh kambium.
Struktur yang membedakan anatomi daun Api-api dengan daun pada
tanaman yang lain adalah adanya kelenjar garam. Berdasarkan Gambar 12
sampai Gambar 15 dapat dilihat adanya struktur tambahan yang berada di bawah
epidermis bawah yaitu kelenjar garam (salt extruding gland). Kelenjar garam
merupakan organ yang berasal dari modifikasi sel epidermis bawah yang terjadi
46
akibat adaptasi terhadap kelebihan garam pada daun. Setiap kelenjar garam pada
daun Api-api terdiri atas 2 sampai 4 kumpulan sel, 1 sel batang dan 8-12 sel
ekskresi. Kelenjar garam yang ada pada daun Api-api juga mengalami adaptasi
sesuai dengan habitatnya. Menurut Borkar et al. (2011) pada salinitas yang lebih
rendah kelenjar garam akan lebih pendek sedangkan pada salinitas yang lebih
tinggi kelenjar garam akan lebih panjang. Adanya kelenjar garam dan
kemampuan kelenjar garam beradaptasi terhadap lingkungan yang memiliki
salinitas berbeda membuat mangrove Api-api dapat hidup di habitat yang
salinitasnya rendah maupun ekstrim.
4.1.3 Komposisi kimia daun Api-api (A. marina)
Daun Api-api (A. marina) yang masih muda oleh sebagian masyarakat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan dalam bentuk sayur urap. Sangatlah penting
untuk diketahui kandungan gizi atau komposisi kimia yang terdapat di dalamnya
agar lebih jelas. Komposisi kimia daun Api-api dapat diketahui melalui analisis
proksimat. Analisis proksimat merupakan cara untuk melihat kandungan atau
komposisi kimia suatu bahan pangan secara kasar. Komposisi kimia daun Api-
api dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Komposisi kimia daun Api-api (% berat basah)
Komposisi kimia Api-api
(A. marina)
Ceriops
decandra
(Griff)*
Bruguiera
parviflora
(Roxb.)*
Rhizopora
mucronata
(Poir)*
Kadar air 68,16 52,51 51,75 46,63
Kadar protein 3,67 2,00 2,08 1,96
Kadar lemak 0,72 0,35 0,12 0,41
Kadar abu 4,45 1,82 1,38 1,25
Karbohidrat 23,00 19,06 22,14 22,29
Serat kasar 4,12 - - -
Keterangan: n = 2
(*) = Bunyapraphatsara et.al (2002)
47
1) Kadar air
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan
fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan
komponen penting dalam bahan makanan (Winarno 2008)
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan.
Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan
pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada
bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan
daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya
bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi
perubahan pada bahan pangan yang dapat mempercepat pembusukkan (Winarno
2008).
Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan daun Api-api
mengandung kadar air sebesar 68,16%. Kadar air daun Api-api lebih besar jika
dibandingkan dengan kadar air daun mangrove lainnya. Secara umum nilai kadar
air pada daun mangrove relatif kecil. Hal ini mungkin disebabkan habitat
mangrove yang bersalinitas tinggi dan suhu habitat yang tinggi karena pengaruh
transfer panas dari laut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Krzynowek dan
Murphy (1987) bahwa kadar lemak dan kadar air untuk beberapa spesies
berfluktuasi tergantung dengan musim dan lokasi pengambilan.
2) Kadar protein
Potein berperan penting dalam proses metabolisme tanaman, hewan dan
manusia. Protein berfungsi sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan,
pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh, media perambatan
impuls syaraf dan pengendalian pertumbuhan (Winarno 2008).
Berdasarkan hasil analisa proksimat pada Tabel 7 kadar protein kasar
daun Api-api sebesar 3,67%. Kandungan protein daun Api-api lebih besar jika
dibandingkan dengan kadar protein daun mangrove lainnya. Hasil penelitian
Wibowo et al. (2009) menunjukkan bahwa daun Api-api (Avicennia sp.)
mengandung asam amino esensial yang cukup lengkap, yaitu sebanyak 9 asam
amino esensial.
48
3) Kadar lemak
Beberapa lemak berkerja sebagai bahan pembangun dalam pembentukan
membran biologis yang ada di sekitar sel dan partikel subseluler. Lemak terdapat
pada semua bahan pangan, namun jumlahnya seringkali kurang dari 2%
(Belitz et al. 2009).
Lemak dapat digolongkan sebagai sumber energi yang lebih efektif
dibandingkan karbohidrat dan protein, karena 1 gram lemak dapat menghasilkan
9 kkal. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu sebesar 4 kkal
(Winarno 2008).
Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api
memiliki kandungan lemak sebesar 0,72%. Kandungan lemak ini sangat rendah
jika dibandingkan dengan senyawa yang lain, namun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kadar lemak daun mangrove lainnya. Menurut Yunizal
et al. (1998) bahwa kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin
tinggi jumlah kadar air dalam bahan maka kadar lemaknya akan semakin rendah.
4) Kadar abu
Kadar abu menunjukkan estimasi kadar total mineral bahan pangan.
Metode pengukuran kadar abu pada bahan pangan tertentu atau kelompok bahan
pangan diterangkan dalam panduan resmi. Mineral-mineral yang terdapat dalam
abu berbentuk metal oksida, sulfat, fosfat, nitrat, klorida, dan kelompok halida
lainnya ( Fennema 1996 ).
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral
yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Dalam proses pembakaran, bahan-
bahan organik akan terbakar, tetapi komponen anorganiknya tidak
(Winarno 2008)
Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api
memiliki kadar abu sebesar 4,45%. Kadar abu yang dimiliki daun Api-api jauh
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu yang ada pada daun tanaman
mangrove lainnya. Perbedaan kadar abu/mineral pada tanaman dipengaruhi
banyak faktor, antara lain kesuburan tanah, genetika tanaman, dan lingkungan
dimana tanaman itu tumbuh (Fennema 1996).
49
5) Kadar serat kasar
Serat pada bahan pangan merupakan komponen jaringan tanaman yang
tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat
banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Secara kimia,
dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat
misalnya polimer lignin, beberapa gum dan mucilage ( Winarno 2008 ). Sumber
serat terpenting adalah sereal dan legum, sedangkan pada sayur dan buah
kandungan seratnya relatif lebih kecil (Belitz et al. 2009).
Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan daun Api-api memiliki
kadar serat kasar yang cukup tinggi, yaitu 4,12%. Nilai ini jauh berbeda jika
dibandingkan dengan kadar serat kasar pada daun mangrove Canavalia maritima
dan Canavalia catharthica. Hasil penelitian yang dilakukan Seena & Sridhar
(2005) menunjukkan bahwa kedua daun tanaman mangrove tersebut
mengandung kadar serat yang lebih rendah sebesar 2,23% dan 2,83%.
6) Karbohidrat
Karbohidrat menyusun lebih dari 90% bahan kering dari tanaman.
Jumlahnya sangat banyak, mudah didapat dan tidak mahal. Karbohidrat
merupakan komponen umum dari bahan pangan, baik sebagai komponen alami
atau sebagai bahan yang ditambahkan dalam pangan (Fennema 1996).
Karbohidrat daun Api-api dihitung dengan metode by different, artinya
kadar karbohidrat didapatkan dengan mengurangi total bahan dengan persentase
setiap kandungan bahan selain karbohidrat. Hasil perhitungan pada Tabel 7
menunjukkan bahwa daun Api-api mengandung karbohidrat sebesar 23,00%.
Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat yang ada
pada daun tanaman terseterial yang lain, misalnya selada air. Kandungan
karbohidrat pada daun selada air sebesar 1,90% (Permatasari 2011). Kadar
karbohidrat daun Api-api jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat pada daun
tanaman mangrove lainnya, kadar karbohidrat daun Api-api tidak jauh berbeda.
Tingginya karbohidrat terlihat dari tingginya nilai kadar serat yang terukur, kadar
serat daun Api-api lebih besar dibandingkan kadar serat pada daun tanaman
mangrove lainnya. Hasil analisis struktur anatomi jaringan juga menunjukkan
50
bahwa pada jaringan daun banyak terdapat senyawa polisakarida yang tampak
berwarna merah saat diberi pewarna Safranin.
4.2 Ekstraksi Senyawa Aktif
Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari
suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan
yang merupakan sumber komponennya (Khopkar 2003). Pendapat lainnya
menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran
beberapa zat menjadi komponen-komponen terpisah. Ekstraksi bertujuan untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung
komponen-komponen aktif (Winarno et al. 1973).
Proses ekstraksi daun Api-api meliputi pengeringan sampel,
penghancuran/ penggilingan, maserasi, filtrasi dan evaporasi. Hasil akhir dari
proses ekstraksi adalah ekstrak kasar berupa pasta kental dengan tingkat
kepolaran dan warna yang berbeda- beda. Metode ekstraksi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode ekstraksi tunggal dengan berbagai jenis
pelarut yang berbeda kepolarannya.
4.2.1 Ekstrak kasar
Hasil ekstraksi yang diperoleh memiliki karakteristik yang berbeda sesuai
dengan jenis pelarut yang digunakan. Ekstrak metanol berbentuk cairan berwarna
hijau pekat, ekstrak etil asetat berbentuk pasta agak kental berwarna hijau
kecoklatan, sedangkan ekstrak heksana berbentuk pasta pekat berwarna kuning
tua. Perbedaaan hasil ekstraksi tidak hanya dari sisi warna dan bentuk, namun
dari segi persentase rendemen juga terdapat perbedaan. Perbedaan persentase
rendemen ekstrak daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 16.
51
Gambar 16 Rendemen ekstrak kasar daun Api-api
Ekstraksi dengan metanol menghasilkan rendemen sebesar 9,61%,
ekstraksi dengan etil asetat sebesar 1,28% dan ekstraksi dengan heksan
menghasilkan rendemen 0,62%. Kepolaran senyawa aktif dari berbagai bahan
berbeda-beda dan komponen aktif hanya akan terekstrak oleh pelarut yang
tingkat kepolarannya sama dengan kepolaran komponen aktif tersebut. Hal ini
diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Salamah et al. (2008),
rendemen ekstrak hasil maserasi dengan pelarut yang berbeda menghasilkan
persentase rendemen yang berbeda pula. Secara umum senyawa aktif yang
terkandung di dalam daun Api-api bersifat polar. Persentase rendemen ekstrak
terbesar adalah rendemen ekstrak metanol yang merupakan pelarut polar.
Metanol yang merupakan pelarut polar mampu mengekstrak banyak sekali
komponen aktif suatu bahan, menurut Harborne (1987) pelarut yang bersifat polar
mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid,
tannin, gula, asam amino dan glikosida. Besarnya rendemen ekstrak metanol
diduga dipengaruhi oleh keberadaan klorofil yang ikut terekstrak, klorofil
merupakan komponen yang keberadaanya cukup besar pada daun, sedangkan
metanol merupakan salah satu pelarut terbaik yang dapat mengekstrak klorofil.
Wasmund et.al (2006) menyatakan bahwa klorofil merupakan zat warna hijau
yang banyak terdapat pada daun. Klorofil dapat diekstrak dengan pelarut polar,
seperti metanol, aseton, dan etanol.
52
4.2.2 Hasil uji aktivitas antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya radikal
bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari
metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik
yang terjadi di dalam tubuh (Saurisari 2006). Percival (1998) menyatakan bahwa
antioksidan merupakan garis depan pertahanan kita untuk melawan kerusakan
yang disebabkan radikal bebas. Kebutuhan antioksidan menjadi lebih penting
seiring dengan meningkatnya kehadiran radikal bebas.
Aktivitas antioksidan suatu bahan dapat diketahui dengan berbagai cara
antara lain, metode Nitro Blue Tetrazolium (NBT), metode Tiosianat, metode
carotene bleaching, dan metode DPPH. Umumnya dari sekian banyak metode uji
aktivitas antioksidan, metode DPPH yang dipilih. Hal ini dikarenakan selain
lebih mudah dan murah, efektivitas dan efisiensi waktu untuk mengetahui
besarnya aktivitas antioksidan suatu bahan lebih cepat.
Indikasi umum secara kualitatif suatu bahan dinyatakan memiliki aktivitas
antioksidan adalah kemampuan ekstrak bahan mengubah warna larutan DPPH
yang berwarna ungu tua menjadi warna kuning yang dapat dilihat secara kasat
mata. Perubahan intensitas warna DPPH sebelum dan setelah ditambahkan
ekstrak bahan dapat diketahui dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
517 nm. Apabila telah didapatkan nilai absorbansi setiap sampel yang diukur,
maka akan didapatkan persen (%) inhibisi dan IC50 (Inhibitor Concentration 50).
Semakin kecil nilai IC50 yang dimiliki suatu bahan maka dapat dikatakan
bahan tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang semakin kuat dan berlaku
sebaliknya. Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kecil konsentrasi yang
dibutuhkan untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas dan semakin sedikit
bahan yang dibutuhkan. Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Molyneux
(2004) yang menyatakan bahwa semakin kecil nilai IC50 berarti aktivitas
antioksidannya semakin tinggi.
Kontrol positif antioksidan yang digunakan dalam uji ini adalah
antioksidan sintetik yaitu Butylated Hydroxy Toluene (BHT). Herawati & Akhlus
(2006) menyatakan bahwa selain memiliki aktifitas yang baik terhadap radikal,
BHT juga cukup tahan terhadap proses pemanasan. Perhitungan persen inhibisi
53
dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 5. Hubungan antara konsentrasi BHT,
konsentrasi ekstrak daun Api-api dan persen inhibisi terhadap DPPH dapat dilihat
pada Gambar 17 dan Gambar 18.
Gambar 17 Grafik hubungan antara konsentrasi BHT dan % inhibisi terhadap
DPPH
Gambar 18 Grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak daun Api-api dengan %
inhibisi terhadap DPPH. Keterangan: = Etil asetat = Metanol = Heksan
Hasil uji aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa semua ekstrak daun
Api-api dan BHT memiliki aktivitas antioksidan. Indikasi yang menunjukkan
54
kuat dan lemahnya aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak daun Api-api dan
BHT tergantung dari besarnya persen inhibisi dan nilai IC50 yang diperoleh.
Persen inhibisi merupakan persentase daya hambat suatu bahan terhadap
aktivitas radikal berdasarkan besar konsentrasi bahan yang ditambahkan.
Berdasarkan Gambar 17 dan 18 di atas aktivitas penghambatan radikal DPPH
yang dimiliki BHT (kontrol positif) dan masing-masing ekstrak daun Api-api
meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi yang diuji. Semakin besar
konsentrasi BHT dan ekstrak daun Api-api yang ditambahkan ke dalam larutan
DPPH, persen inhibisi (penghambatan) semakin besar, mengingat semakin tinggi
konsentrasi sampel yang ditambahkan, maka semakin banyak senyawa
antioksidan yang mendonorkan elektron pada radikal bebas, sehingga semakin
banyak molekul radikal bebas yang tidak reaktif dan stabil, sehingga aktivitas
oksidasinya menurun. Kerja senyawa antioksidan adalah mendonorkan atom
hidrogennya kepada radikal bebas yang kehilangan elektron. Pendapat ini
diperkuat oleh Andayani et al. (2008) yang menyatakan bahwa pengujian
aktivitas antioksidan pada berbagai konsentrasi, ternyata pada konsentrasi yang
tertinggi menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi
Berdasarkan grafik persen inhibisi pada Gambar 17 dan Gambar 18
terlihat perbedaan antara konsentrasi BHT dan ekstrak daun Api-api yang
diujikan. Konsentrasi BHT jauh lebih kecil dibandingkan konsentrasi ekstrak
daun Api-api. Hal ini karena BHT merupakan senyawa antioksidan sintetik yang
telah dimurnikan sedangkan ekstrak daun Api-api masih berbentuk ekstrak kasar.
Antioksidan sintetik BHT bekerja dengan cara mendeaktivasi senyawa
radikal. Butilated Hidroxy Toluene (BHT) memiliki aktivitas yang kuat terhadap
radikal, BHT memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu antioksidan
alternatif (Herawati & Akhlus 2006). Sangat disayangkan penggunaan
antioksidan sintetik BHT secara terus menerus dalam produk makanan dapat
menyebabkan kanker dan mutasi gen; penggunaanya mulai dilarang di Jepang
dan negara-negara Eropa misalnya Rumania, Swedia dan Australia (Rita et al.
2009). Hal inilah yang menjadi dasar acuan untuk mendorong para peneliti
menemukan bahan -bahan alami yang memiliki aktivitas antioksidan yang sama
55
atau hampir mendekati kemampuan BHT agar dapat menjadi senyawa
antioksidan alternatif yang lebih aman.
Mengukur besarnya aktivitas antioksidan dari BHT dan ekstrak kasar daun
Api-api tidak cukup hanya dengan melihat persen inhibisinya saja, oleh karena itu
setelah didapatkan persen inhibisi maka tahap selanjutnya adalah menghitung
besarnya Inhibition Concentration 50 (IC50) dari larutan BHT dan ekstrak kasar
daun Api-api. Hasil perhitungan Inhibition Concentration 50 dari BHT dan
ekstrak kasar daun Api-api dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan ekstrak kasar daun Api-api
Jenis sampel Persamaan Regresi Nilai R2 IC50 (ppm)
Larutan BHT y = 8,839x - 1,755 0,944 5,85
Ekstrak methanol y = 0,153x + 10,59 0,992 257,58
Ekstrak etil asetat y = 0,206x + 12,44 0,976 182,33
Ekstrak heksan y = 0,050x - 0,183 0,967 1003,66
Molyneux (2004) menyatakan bahwa Inhibitor Concentration 50 (IC50)
merupakan parameter kuantitatif yang dipakai untuk menunjukkan besarnya
aktivitas antioksidan suatu bahan. IC50 didefinisikan sebagai konsentrasi substrat
yang dapat menyebabkan hilangnya 50 % aktivitas DPPH. Berdasarkan hasil
perhitungan IC50 yang ditampilkan pada Tabel 8 larutan BHT memiliki IC50
5,85 ppm, IC50 ekstrak metanol sebesar 257,58 ppm, ekstrak etil asetat sebesar
182,33 ppm dan ekstrak heksan sebesar 1003,66 ppm.
Berdasarkan data IC50 pada Tabel 8 diketahui bahwa larutan BHT
memiliki nilai IC50 terkecil dibandingkan ketiga jenis ekstrak kasar daun Api-api.
Nilai IC50 BHT sebesar 5,85 ppm, hal ini berarti hanya dibutuhkan larutan BHT
sebanyak 5,85 ppm untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas (DPPH). Nilai
ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriandi
(2011), nilai IC50 BHT yang diuji sebesar 4,91 ppm. Data tersebut menunjukkan
56
bahwa BHT merupakan antioksidan sangat kuat, karena nilai IC50 kurang dari
50 ppm.
Penelitian yang dilakukan Herawati & Akhlus (2006) juga memperkuat
pendapat bahwa BHT adalah senyawa antioksidan yang sangat kuat, karena BHT
merupakan senyawa penangkap radikal yang lebih efektif dibandingkan dengan
antioksidan yang digunakan dalam penelitian tersebut, karena lebih mampu
menghambat peningkatan bilangan peroksida minyak sawit lebih baik
dibandingkan β-karoten dan β-tokoferol.
Tabel 8 juga menunjukkan kemampuan penghambatan yang dimiliki
ekstrak daun Api-api berdasarkan jenis pelarut yang digunakan. Besarnya nilai
IC50 yang dimiliki masing-masing ekstrak berbeda antara satu sama lain.
Berdasarkan data pada Tabel 8 dan Gambar 18 diketahui ekstrak kasar daun
Api-api yang diekstrak dengan pelarut etil asetat memiliki aktivitas
penghambatan tertinggi dengan nilai IC50 terendah di antara yang lain yaitu
sebesar 182,33 ppm. Ekstrak kasar daun Api-api yang diekstrak dengan metanol
dan heksana berturut-turut memiliki nilai IC50 sebesar 257,58 ppm dan
1003,66 ppm. Tingginya aktivitas penghambatan radikal bebas ekstrak etil asetat
yang ditandai dengan rendahnya nilai IC50 dikarenakan sifat etil asetat yang semi
polar sehingga menyebabkan etil asetat dapat mengekstrak senyawa antioksidan
yang bersifat polar maupun senyawa antioksidan yang bersifat nonpolar, sehingga
terdapat beragam jenis senyawa antoksidan yang terekstrak walaupun rendemen
ekstrak yang dihasilkan etil asetat lebih kecil. Menurut Tensiska et al. (2007)
pelarut etil asetat bersifat semi polar, sehingga hasil ekstraksi mungkin
mengandung lebih banyak komponen isoflavon baik nonpolar (aglikon) maupun
polar (glikon). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tensiska et al. (2007)
menunjukkan bahwa dari dua parameter yang digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan ekstrak kasar isoflavon ampas tahu yaitu bilangan peroksida dan
kadar diene terkonjugasi, ekstrak etil asetat memberikan hasil terbaik
dibandingkan dengan ekstrak etanol dan ekstrak heksan.
Ekstrak kasar metanol memiliki rendemen ekstrak yang paling tinggi,
namun hal ini tidak diimbangi dengan aktivitas antioksidannya. Berdasarkan data
pada Tabel 8, nilai IC50 ekstrak metanol sebesar 257,58 ppm. Hal ini mungkin
57
disebabkan oleh banyaknya komponen senyawa yang tidak memiliki aktivitas
antioksidan yang ikut terekstrak sehingga hanya menambah jumlah ekstrak tetapi
tidak meningkatkan aktivitas antioksidannya. Nilai IC50 ekstrak metanol masih
jauh lebih baik jika dibandingkan dengan IC50 ekstrak kasar daun Api-api yang
diekstrak dengan heksan yang hanya memiliki IC50 sebesar 1003,66 ppm.
Aktivitas antioksidan ekstrak heksan sangat kecil mungkin dikarenakan
komponen yang terekstrak bukanlah senyawa antioksidan yang kuat. Penelitian
yang dilakukan Suratmo (2009) pada ekstrak daun sirih menunjukkan bahwa pada
fraksi ekstrak n-heksana tidak menunjukkan aktivitas antioksidan, karena
dimungkinkan hanya mengandung senyawa non-polar, misalnya minyak atsiri,
lemak dan minyak
Tabel 8 menunjukkan ketiga ekstrak kasar daun Api-api memiliki aktivitas
antioksidan, namun jika dibandingkan dengan besarnya aktivitas antioksidan
BHT, nilai tersebut sangat jauh berbeda. Aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat
tergolong antioksidan lemah karena IC50 ekstrak etil asetat sebesar 182,33 ppm
masuk dalam kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu 150 ppm-200 ppm.
Aktivitas antioksidan ekstrak metanol tergolong antioksidan sangat lemah karena
IC50 ekstrak methanol 257,58 ppm lebih besar dari kisaran kelompok antioksidan
lemah yaitu lebih besar dari selang 150 -200 ppm. Ekstrak heksan juga tergolong
ke dalam kelompok antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC50 sebesar
1003,66 ppm jauh melebihi kisaran kelompok antioksidan lemah (150-200 ppm).
Menurut Blois (1958) suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat
apabila nilai IC50 < 0.05 mg/L (50 ppm), kuat apabila nilai IC50 antara 0,05 mg/L-
0,10 mg/L (50 ppm-100 ppm), sedang apabila nilai IC50 berkisar antara
0,10mg/L-0,15 mg/L (100 ppm -150 ppm) dan lemah apabila nilai IC50 berkisar
antara 0,15mg/L-0,20 mg/L (150 ppm-200 ppm).
Kecilnya aktivitas antioksidan ketiga ekstrak daun Api-api karena ekstrak
masih berbentuk ekstrak kasar, sehingga kemungkinan ada senyawa-senyawa non
antioksidan yang ikut terekstrak yang tidak memiliki atau bahkan bersifat
menghambat aktivitas antioksidan senyawa yang di dalam ekstrak. Tahap uji
yang lebih mendalam yaitu proses purifikasi ekstrak diperlukan, sehingga yang
58
didapatkan adalah ekstrak yang benar-benar hanya mengandung senyawa
antioksidan.
4.2.3 Senyawa bioaktif ekstrak kasar daun Api-api terpilih
Ekstrak kasar daun Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan paling
tinggi selanjutnya diuji kandungan senyawa bioaktifnya, dalam hal ini ekstrak etil
asetat yang diuji.
Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa
organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur
kimia, biosintesa, perubahan metabolisme, penyebarannya secara alamiah dan
fungsi biologisnya (Harbone 1987). Uji fitokimia dipilih karena dapat
mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder
saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis
fungsional, seperti protein dan peptid (Kannan et al. 2009).
Uji fitokimia ekstrak etil asetat meliputi uji alkaloid (Dragendorf, Meyer
dan Wegner), uji steroid, uji flavonoid, uji saponin, uji fenol hidrokuinon, uji
Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Hasil uji fitokimia ekstrak etil
asetat dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 19
Tabel 9 Hasil uji fitokimia ekstrak daun Api-api terpilih (ekstrak etil asetat)
Uji Hasil uji Standar acuan ( perubahan warna
atau endapan)
Alkaloid:
a. Dragendorf - Endapan merah atau jingga
b. Meyer - Endapan putih kekuningan
c. Wegner - Endapan coklat
Steroid + Perubahan dari merah menjadi
biru/hijau
Flavonoid + Lapisan amil alkohol berwarna
merah/kuning/hijau
Saponin - Terbentuk busa
Fenol hidroquinon - Warna hijau atau hijau biru
Molisch - Warna ungu antara 2 lapisan
59
a b k j i h g f e d c
Tabel 9 lanjutan
Benedict + Warna hijau/kuning/endapan
merah bata
Biuret - Warna ungu
Ninhidrin - Warna biru Keterangan: Tanda (+) = terdeteksi
Tanda (-) = tidak terdeteksi
Prinsip uji fitokimia cukup sederhana, uji dilakukan dengan mereaksikan
ekstrak etil asetat yang akan diuji dengan pereaksi-pereaksi yang sesuai untuk
masing – masing komponen bioaktif yang ingin diketahui dan hasilnya akan
segera diketahui. Parameter umum yang biasanya menjadi acuan adalah
perubahan warna larutan dan terbentuknya endapan tertentu selama proses uji
berlangsung. Hasil uji fitokimia pada menunjukkan ekstrak kasar daun Api-api
yang telah diekstrak dengan etil asetat mengandung komponen bioaktif berupa
flavonoid, steroid dan gula pereduksi. Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kasar
daun Api-api terpilih dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daun Api-api terpilih Keterangan: a = Uji Dragendorf f = Uji Fenol hidroquinon k = Uji Biuret
b = Uji Meyer g = Uji Molisch
c = Uji Wagner h = Uji Benedict
d = Uji Steroid i = Uji Saponin
e = Uji Flavonoid j = Uji Ninhidrin
Berdasarkan hasil uji fitokimia yang ada pada Tabel 9 ekstrak etil asetat
terdeteksi mengandung flavonoid, hal ini terlihat dengan adanya lapisan amil
60
alkohol berwarna merah jingga. Waji dan Sugrani (2009) menyatakan bahwa
flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman
hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat
tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida,
isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon dengan C-
dan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron O-
glikosida dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon,
isoflavon dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya.
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di
alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan
sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Belitz
et al. (2009) menambahkan bahwa pada tanaman pangan, ratusan polifenol telah
diidentifikasi dengan mengklasifikasikannya menurut jumlah cincin fenol dan
jenis ikatannya. Dari semua jenis senyawa fenol, flavonoid menunjukkan
keragaman yang paling besar.
Besarnya aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak etil asetat
dibandingkan dengan ekstrak daun Api-api yang lain kemungkin disebabkan oleh
adanya komponen flavonoid di dalamnya. Menurut Percival (1998), senyawa
fenolik seperti flavonoid dapat ditemukan hampir pada semua jenis tanaman,
sekitar 3000 jenis flavonoid telah dijelaskan. Dalam tanaman, flavonoid
bertindak sebagai pelindung terhadap tekanan yang berasal dari lingkungan,
sedangkan pada manusia, flavonoid berfungsi sebagai pengatur respon biologis
(biological response modifier). Flavonoid telah menunjukkan aktivitas
antiinflamasi, anti alergenik, antiviral, anti penuaan, dan anti karsinogenik. Efek
farmakologis flavonoid yang lebih luas dapat dikaitkan dengan karakter flavonoid
sebagai antioksidan. Sebagai tambahan dari efek antioksidan, senyawa flavonoid
dapat melindungi manusia dari serangan jantung melalui penghambatan aktivitas
enzim siklooksigenase dan lipoksigenase pada sel platelet dan makrofag.
Menurut Waji & Sugrani (2009) mekanisme penghambatan radikal bebas
oleh flavonoid adalah ketika flavonoid bereaksi dengan radikal bebas, flavonoid
mendonorkan protonnya dan menjadi senyawa radikal, tapi elektron tidak
berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi oleh resonansi, hal ini membuat
61
senyawa flavonoid radikal memiliki energi yang sangat rendah untuk menjadi
radikal yang reaktif. Menurut Prasad et al. (2009) flavonoid sebagai salah satu
kelompok senyawa alami yang paling beragam dan tersebar luas merupakan
senyawa fenol paling penting. Senyawa ini memiliki spektrum aktivitas kimiawi
dan biologi yang luas termasuk aktivitas penangkapan radikal bebas. Meenakshi
dan Gnanambigai (2009) menambahkan bahwa kapasitas flavonoid sebagai
antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi grup hidroksil dan ciri-
ciri struktur kimia lainnya pada flavonoid sangat berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidan dan penangkapan radikal bebas
Komponen bioaktif lainnya yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat adalah
steroid dan gula pereduksi. Steroid dianalisa dengan reaksi Liebermann-Buchard.
Adanya steroid pada ekstrak ditandai dengan perubahan warna larutan yang
semula berwarna merah kemudian menjadi biru dan hijau.
Steroid adalah bagian dari lemak yang dapat dimakan (edible fat) yang
berisi sekumpulan triterpen siklik yang memiliki struktur yang saling
berhubungan. Rangka steroid terbuat dari 4 cincin padat yaitu; A, B, C dan D.
Tiga cincin pertama konformasinya dalam bentuk kursi sedangkan cincin D
biasanya berbentuk planar (Belitz et al. 2009). Steroid merupakan golongan
triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene.
Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi
hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu dan lain
sebagainya), akan tetapi ternyata steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan
(Harborne 1984).
Sterol dan stanol (produk hidrogenasi sterol) yang terdapat pada tanaman
dikenal sebagai fitosterol. Fitosterol menarik perhatian dari sudut pandang nutrisi
dan fisiologis karena dapat menurunkan konsentrasi kolesterol dan low density
lipoprotein (LDL) dalam plasma darah. Efek penghambatan absorbsi kolesterol
yang signifikan dalam tubuh dapat diperoleh dengan mengkonsumsi fitosterol 1
gr/hari. Steroid yang mengandung gugus etiliden misalnya avenasterol, terbukti
memiliki aktivitas oksidatif pada temperatur yang digunakan untuk deep frying
karena pada kondisi ini radikal peroksil dapat memisahkan atom H dari gugusnya
(Belitz et al. 2009). Penelitian lain membuktikan sejumlah produk triterpenoid/
62
steroid alami telah menunjukkan aktivitas antitumor yang potensial dengan
menghambat enzim topoisomerase II. Molekul inhibitor enzim ini tidak
berbentuk planar dan secara nyata tidak ikut menginterkalasi topoisomerase II
dalam membentuk kompleks stabil yang dapat dipotong (Setzer 2008). Hasil
penelitian Kurniawati et al. (2005) menunjukkan senyawa triterpenoid/ steroid
terdapat dalam jumlah yang tinggi (sekitar 9 jenis triterpenoid ) pada tanaman
pegagan sebagai bahan obat.
Gula pereduksi diuji keberadaannya dengan menggunakan uji Benedict.
Adanya gula pereduksi pada ekstrak etil asetat ditandai dengan terbentuknya
endapan merah nbata pada larutan. Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula
lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksidasi (senyawa penerima elektron).
Gula pereduksi akan dioksidasi pada gugus karbonilnya, dan senyawa
pengoksidasi menjadi tereduksi (Lehninger 1982). Sifat pereduksi dari suatu
molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang
reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak
pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif
karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas
pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008).
Gula pereduksi juga menunjukkan aktivitas antioksidan yaitu dengan
mereduksi tembaga (II) ( yang mengoksidasi aldosa menjadi aldonat) menjadi
tembaga (I). Saat proses oksidasi kelompok aldehid dari aldosa menjadi garam
kelompok asam karboksilat, agen oksidasi direduksi, oleh karena itu aldosa
disebut gula pereduksi. Ketosa juga dikatakan sebagai gula pereduksi karena
dibawah kondisi alkali uji Fehling, ketosa diisomerasi menjadi aldosa. Gula
pereduksi yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat kemungkinan besar adalah gula
aldosa, karena dengan pereaksi Benedict yang tidak alkali, pereaksi akan bereaksi
dengan aldosa tetapi tidak dengan ketosa (Fennema 1996)
Semua komponen bioaktif yang terdeteksi masih merupakan senyawa
yang masih bercampur dengan senyawa-senyawa lain dan uji fitokimia yang
dilakukan pada penelitan ini hanya secara kualitatif. Perlu dilakukan proses
purifikasi dan uji secara kuantitatif, sehingga diketahui dengan jelas seberapa
besar aktifitas dan jumlah kandungan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak.
63
4.3 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Terpilih
Ekstrak kasar daun Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi
diuji dengan mengaplikasikan ekstrak tersebut ke dalam emulsi minyak kelapa.
Uji ini bertujuan untuk mengukur tingkat penghambatan ekstrak dalam
menghambat atau memperlambat terbentuknya bilangan peroksida (peroxide
value) yang terbentuk akibat proses oksidasi yang terjadi pada minyak selama
masa inkubasi.
Terbentuknya peroksida berkaitan dengan peristiwa oksidasi yang terjadi
pada lemak atau minyak. Oksidasi minyak/lemak merupakan salah satu penyebab
utama kerusakan pada makanan. Hal ini menjadi perhatian bagi industri makanan
dari sisi ekonomis, karena oksidasi lemak memicu rusaknya citarasa dan bau
pada makanan yang mengandung lemak dan biasa disebut sebagai ketengikan.
Ketengikan membuat penerimaan terhadap makanan menurun, selain itu reaksi
oksidasi menurunkan kualitas nutrisi makanan dan oksidasi pada produk tertentu
dapat berpotensi menghasilkan racun. Proses oksidasi lipid pada kondisi tertentu
dengan derajat yang dibatasi justru diharapkan terjadi, seperti pada penyimpanan
keju dan beberapa makanan yang digoreng (Fennema 1996)
Peroksida merupakan produk awal utama dari proses autooksidasi.
Peroksida dapat diukur dengan teknik yang berdasarkan pada kemampuannya
untuk membebaskan iodin dari potasium iodida (iodimetri) atau mengoksidasi
ferrous menjadi ion ferric (metode tiosianat). Bilangan peroksida biasanya
dinyatakan dalam miliequivalen oksigen/kilogram (Meq/Kg) lemak (Fennema
1996).
Santoso et al. (2004) menyatakan penambahan zat antioksidan dalam
emulsi minyak akan menghambat pembentukan peroksida. Hasil uji bilangan
peroksida pada emulsi minyak kelapa yang ditambah dengan ekstrak kasar daun
Api-api terpilih (ekstrak etil asetat) menunjukkan bahwa ekstrak dapat
menghambat proses oksidasi yang terjadi pada emulsi minyak kelapa. Emulsi
minyak kelapa (sampel 0 ppm) memiliki bilangan peroksida sebesar
2,72 Meq/ Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar daun Api-api terpilih pada
konsentrasi 50 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 1,33 Meq/Kg. Emulsi
yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 100 ppm memiliki bilangan
64
peroksida sebesar 0,84 Meq/Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada
konsentrasi 200 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 0,64 Meq/Kg dan
emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 300 ppm memiliki
bilangan peroksida sebesar 0,42 Meq/Kg. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak
yang ditambahkan, semakin rendah bilangan peroksida yang terbentuk, dan hal
ini berarti semakin besar aktivitas antioksidannya. Rendahnya nilai bilangan
peroksida yang terbentuk seiring tingginya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan
karena semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan menyebabkan semakin
banyak senyawa antioksidan yang menghambat aktivitas agen oksidasi.
Hasil uji bilangan peroksida emulsi minyak kelapa dengan penambahan
ekstrak kasar daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Diagram hubungan bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa
dengan konsentrasi ekstrak daun Api-api Keterangan: Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf berbeda pada
konsentrasi ekstrak yang digunakan menunjukkan beda nyata (p < 0,05)
Nilai bilangan peroksida pada emulsi minyak menunjukkan telah terjadi
proses oksidasi selama emulsi minyak diinkubasi. Berdasarkan besarnya nilai
bilangan peroksida yang diperoleh, dapat dinyatakan bahwa walaupun minyak
telah teroksidasi, mutu minyak masih bagus. Menurut Syah (2005) bilangan
peroksida maksimum 2 disarankan bagi minyak kelapa mentah berkualitas tinggi,
sedangkan Codex memberi batas maksimum sampai nilai 10. Herawati &Akhlus
(2006) juga menyebutkan bahwa batasan mutu bilangan peroksida pada minyak
65
RBD (refining, bleaching and deodorizing) adalah 2 Meq/kg. Nilai bilangan
peroksida pada emulsi minyak kelapa (sampel) rendah meskipun telah diinkubasi
selama 7 hari karena minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh yang tinggi,
berupa asam lemak jenuh rantai sedang misalnya asam laurat (lauric acid) dan
asam kaprat (capric acid). Asam laurat di dalam minyak kelapa murni cukup
tinggi, mencapai 53%, selain itu, juga diketahui bahwa minyak kelapa murni juga
mengandung capric acid yang berantai sedang dengan jumlah karbon 10
(Rindengan & Novarianto 2005). Tingginya kadar asam lemak jenuh dalam
minyak kelapa, membuat minyak kelapa memiliki kestabilan yang tinggi terhadap
oksidasi atau bentuk-bentuk degradasi lainnya. Lemak takjenuh atau
polyunsaturated yang mempunyai ikatan rangkap pada atom C-nya mudah sekali
dioksidasi atau terserang peroksidasi lipid membentuk peroksida lipid. Makanan
yang banyak mengandung lemak tak jenuh antara lain salad dan mayones akan
mudah sekali terserang radikal bebas (Kumalaningsih 2007)
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak
etil asetat yang ditambahkan ke dalam emulsi minyak kelapa memberikan
pengaruh nyata (α=0,05) terhadap jumlah bilangan peroksida yang terbentuk
dalam emulsi minyak. Uji Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa konsentrasi
sebesar 0 ppm berbeda nyata dengan semua sampel yang ditambahkan ekstrak
daun Api-api. Emulsi minyak dengan konsentrasi ekstrak 300 ppm juga berbeda
nyata dengan sampel yang lain. Sampel emulsi dengan konsentrasi ekstrak
200 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi ekstrak 100 ppm dan 300 ppm.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daun selada air sebesar
200 ppm tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan dengan konsentrasi
100 ppm dan 300 ppm. Konsentrasi ekstrak 300 ppm merupakan konsentrasi
yang memiliki aktivitas penghambatan terbaik terhadap pembentukan peroksida,
karena mampu menghasilkan bilangan peroksida terkecil sebesar 0,42 Meq/Kg.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan
Daun mangrove Api-api (A. marina) yang diambil dari daerah Belanakan
Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat memiliki ciri fisik berdaun agak keras,
berwarna hijau pada bagian atas, berwarna hijau kekuningan dan cenderung pucat
pada bagian bawah, dan memiliki tekstur permukaan yang halus. Daun Api –api
yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang rata-rata 69,36 ± 5,12 mm,
lebar rata-rata 36,29 ± 3,39 mm dan tebal rata-rata 0,77 ± 0,11 mm. Struktur
anatomi daun mangrove Api-api (A. marina) relatif sama dengan struktur anatomi
daun dikotil lainnya, yang membedakannya adalah adanya organ tambahan berupa
kelenjar garam. Daun Api-api bertipe dorsiventral dan termasuk golongan daun
tak lengkap.
Daun Api-api (A. marina) mengandung kadar air sebanyak 68,16%, kadar
protein 3,67%, kadar lemak 0,72%, kadar abu 4,45% , karbohidrat (by difference)
23,00% dan serat kasar sebesar 4,12%.
Ekstrak kasar daun Api-api memiliki kemampuan menangkal radikal
bebas. Ekstrak Etil asetat memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi
dibandingkan yang lain, namun masih tergolong lemah karena nilai IC50-nya
sebesar 182,33 ppm berada pada kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu
150 ppm-200 ppm. Hasil uji fitokimia menunjukkan di dalam ekstrak etil asetat
terkandung komponen bioaktif berupa flavonoid, steroid/ triterpenoid dan gula
pereduksi.
Konsentrasi ekstrak yang memiliki daya hambat terbaik terhadap
pembentukan peroksida pada minyak adalah pada konsentrasi 300 ppm yang
memiliki bilangan peroksida sebesar 0,42 Meq/Kg.
5. 2 Saran
Perlu dilakukan pemurnian senyawa antioksidan dari ekstrak daun Api-api.
Pengujian secara in vivo juga perlu dilakukan untuk melihat bioavailibilitas
ekstrak murni daun Api-api (A. marina) menjadi sumber senyawa antioksidan
alami yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington:
The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
Agoramoorthy G, Chen F, Venkatesalu V, Kuo DH, Shea, PC. 2008. Evaluation
of antioxidant polyphenols from selected mangrove plants of India. Asian
Journal of Chemistry 20(2):1311-1322.
Andayani R, Lisawati Y, Maimunah. 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar
fenolat total dan likopen pada buah tomat (Solanum lycopersium L.).
Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi 13(1):1-9.
Apriandi A. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-
ipong (Fasciolaria salmo). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bandaranayake. 2002. Bioactivities, bioactive compounds and chemical
constituents of mangrove plants. Wetlands Ecology Management 10:421-
452.
Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry, 4th
revised and
extended edition. Berlin: Springer-Verlag, Heidelberg.
BlueFame Forums. 2008. Anodonta. http://www.bluefame.com/t85130.html. [20
Agustus 2011].
Borkar MU, Athalye RP, Goldin Q. 2011. Salinity induced changes in the leaf
anatomy of the mangrove Avicennia marina along the anthropogenically
stressed tropical creek. Journal of Coastal Development 14(3):191-201.
Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s
Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow.
Bunyapraphatsara N, Srisukh V, Jutiviboonsuk A, Sornlek P, Thongbainoi W,
Chuakut W, Fong HHS, Pezzuto JM, Kosmeder J. 2002. Vegetables from
the mangrove areas. Thai Journal of Phytopharmacy 9(1):1-12.
Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Product of The Malaya
Peninsula. London : Mill Bank .
Coppen PP 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton,
editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers.
Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Naskah Seminar:
Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan,
bunga karang dan ganggang laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu.
68
Buletin Kimia. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Duke N, Kathiresan K, Salmo III SG, Fernando ES, Peras JR, Sukardjo S,
Miyagi T, Ellison J, Koedam NE, Wang Y, Primavera J, Jin Eong O,
Wan-Hong Yong J, Ngoc Nam V. 2008. Avicennia marina. Di dalam:
IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Versi 2010.4.
(www.iucnredlist.org). [28 March 2011].
Edwards R, Gatehouse JA. 1999. Secondary metabolism. Di dalam: Lea PJ dan
Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology. England:
John Wiley & Sons Ltd. Hlm. 193-218.
Fauvel MT, Bousquet M, Moulis A, Gleye CJ, Jensen SR. 1993. Iridoid
glycosydes from Avicennia germinans. Journal of Phytochemistry 23:93-
97.
Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker,
Inc.
Gheldof N, Hong WX, Engeseth NJ. 2002. Identification and quantification of
antioxidant components of honeys from various floral sources. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 50:5870-5877.
Gordon MH. 1990. The mechanism of antioxidants action in vitro. Di dalam:
Hudson BJF, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier Applied
Science.
Hamilton RJ. 1983. The chemistry of rancidity in foods. Di dalam: J.C. Allen dan
R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied science
Publishers.
Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam
spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu
Kefarmasian 2(3):127-133.
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Padmawinata K, penerjemah. Edisi kedua. Bandung: Institut
Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Harborne JB. 1999. Classes and function of secondary products from plants. Di
dalam: Walton NJ dan Brown DE, editor. Chemicals from Plants:
perspectives on plant secondary products. London: Imperial College
Press. Hlm.1-26.
Harborne JB. 1984. Phytochemical Methods. Ed ke-2. New York: Chapman and
Hall.
69
Heras BDL, Rodriguez B, Bosca L, Villar AM. 2003. Terpenoids: source,
structure elucidation and therapeutic potential in inflammation. Journal of
Medicinal Chemistry 3(2):171-185.
Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT Sebagai Antioksidan Minyak Sawit
pada Perlindungan Terhadap Oksidasi Oksigen Singlet. Akta Kimindo
2(1):1-8.
Hernani, Rahardjo M. 2006. Tanaman Berkhasiat Antioksidan: berbagai jenis
tanaman penangkal racun. Jakarta: Penebar Swadaya.
Irianti A. 2008. Aplikasi ekstrak daun sirih dalam menghambat oksidasi lemak
jambal patin. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York: McGraw-Hill Book
Company Inc.
Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer
effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open
Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20.
Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI
Press.
Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press.
Kochar SP, Rossell B. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants
in food system. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants.
Elvisier Applied Science. London.
Krzynowek J, Murphy J. 1987. Proximate Composition, Energy, Fatty Acid,
Sodium, and Cholesterol Content of Finfish, Shellfish, and their Products.
NOAA Technical Report NMFS 55. United of State: Departement of
Commerce.
Kumalaningsih S. 2007. Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana.
Kurniawati A, Darusman LK, Rachmawaty RY. 2005. Pertumbuhan, produksi
dan kandungan triterpenoid dua jenis pegagan (Centella asiatica L
(Urban)) sebagai bahan obat pada berbagai tingkat naungan. Buletin
Agronomi 33(3):62-67.
Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry.
Lusiana. 2010. Kemampuan antioksidan asal tanaman obat dalam modulasi
apoptosis sel khamir (Saccharomyces cerevisiae). [tesis]. Bogor:Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
70
Mahera SA, Ahmad VU, Saifullah SM, Mohammad FV, Ambreen K. 2011.
Steroids and triterpenoids from grey mangrove Avicennia marina.
Pakistan Journal of Botany 43(2):1417-1422
Meenakshi S, Gnanambigai DM, Mozhi ST, Arumugam M, Balasubramanian T.
2009. Total flavanoid and in-vitro antioxidant activity of two seaweeds of
rameshwaram coast. Global Journal of Pharmacology 3(2):59-62.
Mega IM, Swastini DA. 2010. Skrining fitokimia dan aktivitas antiradikal bebas
ekstrak metanol daun gaharu (Gyrinops versteegii). Jurnal Kimia 4(2):
187-192.
Meyer LH. 1973. Food Chemistry. New Delhi: Affiliated East-West Press PVT
Ltd.
Miles DH, Kokpol U, Chittawong V, Tip-Pyang S, Tunsuwan K, Nguyen C.
1999. Mangrove forest: The importance of conservation as a bioresource
for ecosystem diversity and utilization as a source of chemical constituents
with potential medicinal and agricultural value. 1999 IUPAC 70(11):1-9.
Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH)
for estimating antioxidant activity. Songklanakarin Journal Science of
Technology 26(2):211-219.
Muchtadi D. 2000. Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan: Mencegah
penyakit Degeneratif. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove
di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor:
Ditjen PHKA.
Nugroho LH, Purnomo, Sumardi I. 2006. Struktur dan Perkembangan
Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nur MA, Adijuwana HA. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi.
Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor.
Peng L, Xin-men W. 1983. Ecological notes on the mangroves of Fujian, China:
Biology and ecology of mangroves. Boston: Dr W. Junk Publishers.
Percival M. 1998. Antioxidants. Clinical Nutrition Insights 31(10):1-4.
Permatasari E. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Selada
air (Nasturtium officinale L. R. Br). [skripsi]. Bogor: Program Studi
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Pramadhany WW. 2006. Penapisan Komponen Antibakteri dari Spons asal Pulau
Bonerate Sulawesi Selatan. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi
71
Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Prasad KN, Yang B, Dong X, Jiang G, Zhang H, Xie H, Jiang Y. 2009. Flavonoid
contents and antioxidant activities from Cinnamomum species. Innovative
Food Science and Emerging Technologies 10:627–632.
Pratt DE. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and
Their Effects on Health H. Washington DC: American Society.
Rao AN. 1994. Economic Importance of Mangrove, Conservation of Mangrove
Forest Genetic Resources: A Training Manual. ITTO-CRSARD Project.
Madras: M.S. Swaminathan Research Foundation, India.
Rindengan B, Novarianto H. 2005. Minyak Kelapa Murni; Pembuatan dan
Pemanfaatan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari
daun simpur (Dillenia indica) menggunakan metode ekstraksi tekanan
tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI 2009. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober 2009.
Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8.
Robertson AI, Alongi DM. 1992. Tropical mangrove ecosystems, coastal and
estuarine series. Bowman MJ, Barber RT, Mooers CNK dan Raven JA,
329 Washington : American Geophysical Union.
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Kosasih Padmawinata:
penerjemah. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari: The Organic
Constituens of Higher Plant 6th
edition.
Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen
bioaktif dari kijing Taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa
antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132.
Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T. 2004. Antioxidant activity of methanol extract
from Indonesian seaweeds in an oil emulsion model. Journal of Fish
Science 70:183-188.
Santoso N, Nurcahya BC, Siregar AF, Farida I. 2005. Resep Makanan Berbahan
Baku Magrove dan Pemanfaatan Nipah. Jakarta: LPP Mangrove.
Sauriasari R. 2006. Mengenal dan menangkal radikal bebas.
http://www.beritaiptek.com [16 Mei 2011].
Scott P. 2008. Physiology and Behavior of Plants. England: John Wiley & Sons
Ltd.
72
Seena S, Sridhar KR. 2005. Physicochemical, functional and cooking properties
of under explored legumes, Canavalia of the southwest coast of India.
Food Research International 38:803-804.
Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a
molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal 1:13-
17.
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan
Biometrik Edisi ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Steinberg D. 2009. The LDL modification hypothesis of atherogenesis. Journal
of Lipid Research 50:376-381.
Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah
Pesisir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai
antioksidan. Jurnal Penelitian 205(1):1-5.
Syah. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
Tariq M, Dawar S, Mehdi FS, Zaki MJ. 2007. Use of Avicennia marina (Forsk.)
Vierh in the control of root knot nematode Meloidogyne javanica (Treub)
chitwood on okra and mash bean. Turkish Journal Biology 31:225-230.
Tensiska, Marsetio, Yudiastuti SON. 2007. Pengaruh jenis pelarut terhadap
aktivitas antioksidan ekstrak kasar isoflavon dari ampas tahu. [hasil
penelitian]. Bandung: Jurusan Teknologi Industri Pangan, Universitas
Padjajaran.
Theroux P, Libby P. 2005. Pathophysiology of coronary artery disease.
Circulation 111: 3481-3488.
Thompson D, Moldeus P. 1988. Cytotoxicity of butylated hydroxyanisole and
butylated hydroxytoluene in isolated rat hepatocytes. Biochemistry and
Pharmacology 37:2201-2207.
Tjitrosoepomo G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Yoyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Trilaksani W. 2003. Antioksidan: jenis, sumber, mekanisme kerja dan peran
terhadap kesehatan [makalah]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: Flavonoid
(Quercetin). [makalah]. Makasar: Program Pascasarjana Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin
73
Wasmund N, Topp I, Schories D. 2006. Optimising the storage and extraction of
chlorophyll samples. Oceanologia 48(1):125–144.
Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan
pohon mangrove api-api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan obat.
Di dalam: Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009 Buku 1:
bidang pangan dan energi. Bogor: LPPM-IPB.
Wildman REC. 2001. Classifying nutraceuticals. Di dalam: Wildman REC,editor.
Handbook of Neutraceuticals and Functional Foods. New York: CRC
press. Hlm 13-30.
Winarno F.G, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan
Elektroforesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta:
PT Gramedia.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press.
Wichi HP. 1988. Enhanced tumour development by butylated hydroxytoluene
(BHT) from the properties of effect on fure stomach and esophageal
aquamoua epithelium. Food Chemical Toxicology 26:723-727.
Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998.
Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-hasil
Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.
Yusuf S. 2010. Isolasi dan penentuan struktur molekul senyawa triterpenoid dari
kulit batang kayu api-api betina (Avicennia marina Neesh). Jurnal
Penelitian Sains 13(2):23-27.
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Pohon mangrove Api-api (Avicennia marina)
Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat daun Api-api (Avicennia
marina)
a. Kadar air
% Kadar air U1 =
% Kadar air U2 =
Kadar air rata-rata =
b. Kadar lemak
% Kadar lemak U1 =
% Kadar lemak U2 =
Kadar lemak rata-rata =
c. Kadar protein
% Kadar protein U1 =
% Kadar protein U2 =
Kadar protein rata-rata =
75
d. Kadar abu
% Kadar abu U1 =
% Kadar abu U2 =
Kadar abu rata-rata =
e. Kadar serat kasar
% Kadar serat kasar U1 =
% Kadar serat kasar U2 =
Kadar serat kasar rata-rata =
Lampiran 3 Data rendemen ekstrak kasar daun Api-api (Avicennia marina)
Jenis
pelarut Ulangan
Berat Sampel
Kering (g)
Berat Ekstrak
(g)
Rendemen
(%)
Rata-rata
(%)
Metanol 1 25,01 2,7108 10,8389
9,6116 2 25,02 2,0978 8,3845
Etil asetat 1 25,01 0,3466 1,3858
1,2755 2 25,01 0,2914 1,1651
Heksan 1 25,02 0,1335 0,5336
0,6183 2 25,02 0,1759 0,7030
a. Ekstrak Metanol
% Rendemen ekstrak U1 =
% Rendemen ekstrak U2 =
Rendemen rata-rata =
b. Ekstrak Etil asetat
% Rendemen ekstrak U1 =
% Rendemen ekstrak U2 =
Rendemen rata-rata =
76
c. Ekstrak Heksan
% Rendemen ekstrak U1 =
% Rendemen ekstrak U2 =
Rendemen rata-rata =
Lampiran 4 Perhitungan pembuatan larutan DPPH, BHT, stok ekstrak dan
pengencerannya
a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol)
Konsentrasi =
0,001 M =
berat DPPH =
DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml
Stok BHT 250 ppm =
= 12,5 mg = 0,0125 g
BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
BHT 2 ppm =
=
=
0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 4 ppm =
=
=
0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
77
BHT 6 ppm =
=
=
0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 8 ppm =
=
=
0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml
Stok ekstrak 1000 ppm =
= 50 mg
= 0,05 g
Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
Ekstrak 50 ppm =
=
=
0,5 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 100 ppm =
=
=
1 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 150 ppm =
=
=
1,5 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 200 ppm =
78
=
=
2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml
Ekstrak 300 ppm =
=
=
3 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Lampiran 5 Perhitungan persen inhibisi dan IC50
a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT
Sampel Konsentrasi
(ppm) Abs 1 Abs 2
Rata- rata
absorbansi % inhibisi
Blanko1 0 0,905 0, 911
Blanko2 0 0,917
BHT 2 0,709 0,819 0,814 10,65
4 0,551 0,531 0,541 40,61
6 0,425 0,431 0,419 54,06
8 0,397 0,323 0,315 65,42
Persen inhibisi
2 ppm =
4 ppm =
6 ppm =
8 ppm =
Persamaan regresi linear : y = 8,839x - 1,755
IC50
y = 8,839x - 1,755
50 = 8,839x - 1,755
51,755 = 8,839x
x = 5,8553 ppm
IC50 untuk BHT adalah 5,8553 ppm.
79
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daun Api-api (Avicennia marina)
Sampel Konsentrasi
(ppm) Abs 1 Abs 2
Rataan
absorbansi
%
inhibisi
Blanko1 0 0,905 0,911
Blanko2 0 0,917
Metanol 50 0,760 0,761 0,761 16,47
100 0,668 0,661 0,664 27,10
150 0,591 0,596 0,594 37,48
200 0,515 0,543 0,529 41,93
300 0,410 0,397 0,400 56,09
Persen inhibisi
50 ppm =
200 ppm =
150 ppm =
200 ppm =
300 ppm =
Persamaan regresi linear : y = 0,153x + 10,59
IC50
y = 0,153x + 10,59
50 = 0,153x + 10,59
39,41 = 0,153x
x = 257,5817 ppm
IC50 untuk ekstrak metanol daun Api-api adalah 257,5817 ppm
80
c. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daun Api-api (Avicennia marina)
Sampel Konsentrasi
(ppm) Abs 1 Abs 2
Rataan
absorbansi
%
inhibisi
Blanko1 0 0,905 0,911
Blanko2 0 0,917
Etil asetat 50 0,741 0,728 0,734 19,43
100 0,602 0,600 0,601 34,03
150 0,491 0,497 0,494 45,77
200 0,398 0,385 0,392 56,97
300 0,257 0,264 0,261 71,35
Persen inhibisi
50 ppm =
200 ppm =
150 ppm =
200 ppm =
300 ppm =
Persamaan regresi linear : y = 0,206x + 12,44
IC50
y = 0,206x + 12,44
50 = 0,206x + 12,44
37,56 = 0,206x
x = 182,3301 ppm
IC50 untuk ekstrak etil asetat daun Api-api adalah 182,3301 ppm
81
d Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daun Api-api (Avicennia marina)
Sampel Konsentrasi
(ppm) Abs 1 Abs 2
Rataan
absorbansi
%
inhibisi
Blanko1 0 0,968 0,965
Blanko2 0 0,962
Heksan 50 0,942 0,928 0,935 3,1088
100 0,910 0,923 0,917 4,8186
150 0,904 0,907 0,911 5,8549
200 0,860 0,874 0,867 10,1554
300 0,808 0,827 0,818 15,2849
Persen inhibisi
50 ppm =
200 ppm =
150 ppm =
200 ppm =
300 ppm =
Persamaan regresi linear : y = 0,050x - 0,183
IC50
y = 0,050x - 0,183
50 = 0,050x - 0,183
50,183 = 0,050x
x = 1003,6600 ppm
IC50 untuk ekstrak heksan daun Api-api adalah 1003,6600 ppm
82
Lampiran 6 Perhitungan bilangan peroksida ekstrak terpilih
Sampel kons Ulanga
n
Berat
bahan
(gram)
Vol tio
(ml)
Bil
perox
Rata-rata
Blanko 0,20
Emulsi
minyak 0 1 5,00 1,40 2,40 2,72 2 5,00 1,63 2,86
3 5,00 1,65 2,90
50 1 5,00 0,85 1,30
1.33 2 5,00 1,00 1,60
3 5,00 0,75 1,10
100 1 5,00 0,63 0,86
0,84 2 5,00 0,63 0,86
3 5,00 0,60 0,80
200 1 5,00 0,53 0,66
0,64 2 5,00 0,50 0,60
3 5,00 0,53 0,66
300 1 5,00 0,40 0,4
0,42 2 5,00 0,43 0,46
3 5,00 0,40 0,4
Contoh perhitungan:
Emulsi minyak
Konsentrasi ekstrak = 0 ppm
Ulangan = 1
Bilangan peoksida =
Rata-rata pada tabel merupakan rata-rata dari masing-masing bilangan peroksida
Contoh:
Konsentrasi ekstrak = 0 ppm
Ulangan = 1, 2 dan 3
Rata-rata =
83
Lampiran 7 Analisis ragam pengujian bilangan peroksida emulsi minyak
Jumlah
kuadrat
Derajat
bebas
Kuadrat
rata - rata
F hitung signifikan
Bilangan
peroksida
Perlakuan 10,138 4 2,535 87,922 ,000
Galat
,288 10 ,029
Total
10,426 14
Lampiran 8 Uji Lanjut Duncan
A B C D
300 ppm ,4200
200 ppm ,6400 ,6400
100 ppm ,8400
50 ppm 1,3333
0 ppm 2,7200
Lampiran 9 Analisa struktur anatomi daun
Pemotretan preparat awetan
84
Lampiran 10 Gambar-gambar selama proses ekstraksi
Daun Api-api (Avicennia marina) Preparasi sampel
Bubuk daun Api-api Maserasi sampel dengan orbital shaker
Hasil maserasi 24 jam Hasil Filtrasi
85
Lampiran 11 Uji antioksidan
Larutan DPPH + Ekstrak
Lampiran 12 Uji fitokimia
Hasil uji fitokimia
(kiri-kanan: uji Dragendorf, uji Meyer, uji Wagner, uji steroid, uji flavonoid, uji
fenol hidrokuinon)
Hasil uji fitokimia
(kiri-kanan: uji Molisch, uji Benedict, uji saponin, uji ninhidrin, uji Biuret)
86
Lampiran 13 Uji bilangan peroksida
Emulsi minyak kelapa dan ekstrak daun Api-api dengan berbagai konsentrasi