desertase lengkap ujian tutup - universitas udayana · À ] 5,1*.$6$1 5hodvl .xdvd nhklgxsdq...
TRANSCRIPT
-
v
ABSTRAK
Relasi Kuasa kehidupan ekonomi masyarakat etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat adalah hubungan patron-klien antara pemilik modal dengan pekerja, biasa disebut dengan istilah punggawa-sawi. Dalam menelaah relasi kuasa antara punggawa dan sawi selama orde baru tahun 1970-an dan 1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai sekarang,topik ini di pilih karena sejak era orde baru dan orde reformasi telah terjadi perubahan dengan semakin kuat globalisasi yang diikuti dengan masuknya ideologi kapitalisme, dimana para punggawa semakin gencar membangun relasi-relasi dengan pihak-pihak lain, dalam melakukan pengelolaan hasil laut, yang tampa di sadari melahirkan hegemoni kepada kelompok sawi. Sehingga berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat etnis Bajo
Ada tiga masalah dalam penelitian yaitu: (1) Bagaimana bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara (2) Apa Ideologi yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara (3) Apa implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori relasi kuasa Foucault untuk mengkaji bentuk-bentuk relasi kuasa antara pengampu kepentingan yakni punggawa (pemerintah, pengusaha) dan nelayan sawi, dan teori Kapital Bordieu untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan teknik Snowball sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
Dari hasil penelitian ini dapat ditemukan adanya 3 (tiga) hal. Yang pertama Para punggawa menciptakan hubungan kerja yang bentuk aturan dan perjanjian kerja di tetapkan sepihak oleh para punggawa tanpa adanya penolakan dari para sawi, selain itu akses informasi dibangun melalui pemerintah baik itu eksekutif dan legislatif terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan ekonomi dikuasai oleh para punggawa, serta jaringan pasar melalui kerjasama dengan pedagang luar.dan membangun kerjasama dengan aparat keamanan, untuk melindungi usaha para punggawa Kedua, ideologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo Kecamatan Tiworo Utara yaitu ideologi kapitalisme, ideologi religiusitas, dan ideologi sama-bagai merupakan pembentuk hegemoni kuasa pungawa terhadap sawi melalui aspek budaya masyarakat nelayan. Ketiga relasi kuasa antara punggawa terhadap sawi berimplikasi pada ideologi dimana para sawi harus menunjukkan kepatuhan melalui sentuhan kepercayaan oleh punggawa sebagai pemilik modal, implikasi ekonomi yaitu ketidak setaraan pendapatan, implikasi politik dengan keterlibatan para punggawa dalam politik praktis, implikasi terhadap stratifikasi sosial ditandai dengan berubahnya sistem stratifikasi sosial pada msyarakat etnis Bajo.
Kata Kunci : Relasi Kuasa, Punggawa-Sawi, Etnis Bajo, Ideologi, dan Kapitalis.
-
vi
RINGKASAN
Relasi Kuasa kehidupan ekonomi masyarakat etnis Bajo di Tiworo
Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat adalah hubungan
patron-klien antara pemilik modal dengan pekerja, biasa disebut dengan istilah
punggawa-sawi. Dalam menelaah relasi kuasa antara punggawa dan sawi selama
orde baru tahun 1970-an dan 1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai
sekarang dengan semakin kuatnya arus globalisasi dan kapitalisme, tidak
sepenuhnya membuat perubahan pada kehidupan etnis Bajo. Salah satu yang masih
sangat kental dalam kehidupan ekonomi sebagai suatu warisan budaya turun
temurun mereka adalah hubungan patron-klien antara pemilik modal/pemimpin
produksi dengan pekerja yang biasa disebut oleh etnis Bajo di Sulawesi Selatan dan
Tenggara dengan sebutan punggawa-sawi.
Kata punggawa disamakan dengan pemimpin atau bos. Istilah itu digunakan
untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang luas antara atasan
dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Istilah sawi adalah pelengkap
punggawa, yang bisa ditafsirkan sebagai bawahan atau orang yang memiliki
hubungan pribadi dengan atasan.
Relasi Sosial antara Pungawa-Sawi pada komunitas nelayan etnis Bajo di
Tiworo Utara membentuk ikatan patron-client. Pada awalnya hubungan punggawa
dan sawi dalam melakukan penangkapan ikan dan pembagian hasil tangkap
berjalan seimbang dan pembagian hasil tangkapan yang adil antara punggawa dan
sawi. namun masuknya arus kapitalisme, para punggawa semakin gencar
membangun relasi-relasi dengan pihak-pihak lain, dalam melakukan pengelolaan
hasil laut, yang tampa di sadari melahirkan hegemoni kepada kelompok sawi.
Sehingga berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat etnis Bajo
Ada 3 (tiga) rumusan permasalah dalam penelitian yaitu: (1) Bagaimana
bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas nelayan etnis Bajo di
Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. (2) Apa
-
vii
Ideologi yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di
Tiworo Kepulauan, Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. (3) Apa
implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Tiworo
Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.
Tujuan penelitian dilakukan adalah untuk menjawab permasalahan umum
yang terjadi pada nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat terkait dengan relasi kuasa kelompok Punggawa dan
kelompok Sawi. Tujuan khususnya adalah menjawab persoalan yang ada pada
perumusan masalah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori relasi kuasa Foucault untuk
mengkaji bentuk-bentuk relasi kuasa antara pengampu kepentingan yaitu
punggawa (pemerintah desa, pengusaha pengumpul hasil laut) dan masyarakat
nelayan sawi dan pengaruh modernisasi terhadap ideologi kelompok Punggawa dan
Sawi. Penelitian ini juga menggunakan teori kapital Bordieu, selain untuk melihat
bentuk relasi kuasa, juga untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa
Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten
Muna Barat.
Hasil penelitian ini dapat di uraikan sebagai berikut; Pertama, Bentuk relasi
kuasa punggawa-sawi dalam aktivitas Nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan
Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat, sebagai berukut:
1. Relasi kuasa antara punggawa dan sawi
Bentuk hubungan kerja juga terjadi antara punggawa kecil dengan sawinya.
Punggawa kecil yaitu punggawa yang di berikan modal oleh punggawa
besar untuk dikelola dalam hal memperluas wilayah kerjanya, dengan cara
merekrut nelayan kecil tradisional atau menciptakan nelayan sendiri yang
berada didaerah mereka masing-masing seperti Desa Tasipi, Desa Bero,
Desa Tiga dan seluruh desa yang ada di Kecamatan Tiworo Utara. Hal ini
dilakukan selain memperluas hubungan kerja juga bagaimana cara
punggawa kecil sebagai perpanjangan tangan punggawa besar bisa
-
viii
menghegemoni wilayah-wilayah persebaran nelayan tersebut, selain itu
juga untuk memenuhi kebutuhan produksinya.
Setiap punggawa sudah memiliki sawi masing-masing yang diikat oleh
hutang piutang. Selama sawi tersebut bekerja pada salah satu punggawa
besar maka tidak boleh berpindah punggawa sebelum melunasi hutangnya.
Dan punggawa sendiri tidak boleh mengambil sawi dari punggawa lain jika
tidak melunasi hutang atau tanpa kehendak dari sawi itu sendiri untuk
pindah punggawa dan apabila dilanggar maka akan dikenai sangsi oleh
pedagang luar yang menjadi mitra. Penyebab semakin kuatnya hegemoni
kuasa para punggawa juga diakibatkan oleh pola hidup dari para sawi itu
sendiri yang cenderung pragmatis dan tidak teratur karena adanya pola pikir
mereka bahwa laut telah menyediakan kebutuhan hidup mereka.
2. Relasi kuasa antara punggawa dan punggawa.
Relasi yang dibangun antara punggawa dengan punggawa juga sengaja
diciptakan oleh para punggawa yang memiliki kemampuan modal yang
cukup besar. Punggawa yang memiliki kemampuan modal disebut sebagai
punggawa besar, sedangkan punggawa yang di berikan modal oleh
punggawa besar dengan tujuan untuk menguasa hasil laut yang ada di
Tiworo Utara, sebelumnya hanyalah sawi yang sudah lama bekerja dan
memperoleh kepercayaan, loyalitas serta masih memiliki hubungan ikatan
kekerabatan atau ikatan keluarga dengan punggawa besar disebut
punggawa kecil.
Punggawa-punggawa kecil inilah yang kemudian merekrut sawi untuk
bekerja mengumpulkan hasil laut dengan perahu-perahu kecil. Dari
pemaparan diatas kita temukan adanya relasi kuasa antara punggawa
dengan punggawa yang diklasifikasikan sebagai punggawa besar dan
punggawa kecil selain itu ada pula punggawa laut yang dalam perekrutan
sawi yang memiliki keahlian khusus ketika berada dilaut.
-
ix
3. Relasi kuasa antara punggawa dengan pemerintah eksekutif dan legislatif.
Kemampuan punggawa mampu mengendalikan anggotanya kemudian
menjadi perhatian khusus baik itu pemerintah eksekutif maupun partai
politik bahkan kelompok kepentingan lainnya. Punggawa kemudian
dijadikan sebagai jaringan untuk membangun komunikasi dengan
kelompok-kelompok nelayan yang dikendalikan oleh para punggawa.
Seiring perkembangan sosio-politik didaerah, para punggawa kemudian
berubah menjadi agen yang mengawal kebijakan pemerintah bahkan
menjadi jaringan politik ditengah-tengah masyarakat nelayan etnis Bajo di
Kecamatan Tiworo Utara. Para punggawa kemudian berperan bukan hanya
sebagai pemilik modal dalam penguasaan aset-aset ekonomi tetapi mulai
masuk dalam ranah-ranah politik sebagai basis politik untuk memudahkan
melakukan bargaining politik untuk memperkuat eksistensinya dalam
masyarakat dan juga untuk melindungi aset-aset ekonominya dari intervensi
pemerintah.
Relasi antara punggawa dan eksekutif juga sangat berkaitan dengan urusan
perizinan dalam penangkapan ikan seperti yang tertuang dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013
Tentang Pemantau Kapal Penagkap Ikan dan Pengangkut Ikan. Pasal 2
menjelaskan bahwa kapal penangkap ikan dengan ukuran di atas 30 gross
tonnage (GT) yang beroperasi di WPP-NRI dan laut lepas; dan kapal yang
beroperasi di WPP-NRI dan laut lepas. Maksud dari pasal ini adalah terkait
dalam urusan dokumen izin penangkapan dan pengangkutan ikan yang di
atas 30 GT maka menjadi ruang lingkup kementerian. Dengan adanya
peraturan ini, bagi nelayan utamanya di Kecamatan Tiworo Utara sangat
membatasi mereka dalam upaya penangkapan ikan sementara berharap bisa
memperoleh hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya dengan membuat
kapal penangkapan yang lebih besar namun enggan berurusan dengan
pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
-
x
4. Relasi kuasa punggawa dengan pedagang luar
Relasi antara punggawa dan pedagang luar dalam memasarkan hasil-hasil
perikanan para punggawa tentunya membutuhkan relasi dengan para
pedagang yang ada diluar Kecamatan Tiworo Utara. Banyak diantara
mereka menjadi pedagang perantara. Hubungan perdagangan yang
dibangun oleh punggawa dengan pedagang dari luar ini menjadi sebuah
relasi yang kuat dan sulit untuk diputuskan mata rantainya. disebabkan
hubungan perdagangan ini berlangsung sejak lama. Sebagai pedagang
perantara, para punggawa ini membangun hubungan kepercayaan dengan
pedagang yang ada diluar, sehingga para pedagang luar juga tidak tanggung-
tanggung memberikan kepercayaan berupa bantuan modal bagi para
punggawa untuk lebih memudahkan mereka mengumpul hasil laut
Punggawa besar sebagai pemilik modal yang menjadi pengumpul hasil laut
dari hasil tangkapan laut oleh para sawi secara mutlak menjadi satu-satunya
yang memiliki akses dengan padagang yang ada diluar wilayah Kecamatan
Tiworo Utara.Hubungan komunikasi yang terbangun antara punggawa
besar dan sawi terputus pada punggawa kecil. Sehingga hubungan antara
pedagang luar hanya bersama punggawa besar karena harga pasaran akan
hasil laut diluar wilayah Kecamatan Tiworo Utara hanya dimiliki oleh para
Punggawa untuk memainkan harga pasar untuk memperoleh keuntungan
yang lebih besar untuk dirinya. Meskipun pada saat nilai harga dari hasil
laut (ikan, kepiting rajungan, kerang, rumput laut dan teripang) yang
bernilai ekspor naik, para punggawa tetap membelinya dengan harga yang
murah dan sudah ditetapkan sebelumnya walapun para punggawa memiliki
akses terhadap pangsa pasar namun alur perdagangan ditentukan oleh
pedagang dari luar. Punggawa besar yang ada di Kecamatan Tiworo Utara
tidak boleh ada monopoli dengan membangun komunikasi lebih dari satu
pedagang dengan dua jenis usaha.
-
xi
5. Ralasi kuasa punggawa dengan aparat keamanan.
Punggawa sebagai pelaku bisnis ditengah-tengah masyarakat tentunya
mengaharapkan dalam menjalankan bisnis yang aman, nyaman dan tanpa
gangguan. Pada prinsipnya punggawa menginginkan jaminan keamanan
dalam menjalankan usahanya sesuai dengan yang ingin dicita-citakan, tanpa
gangguan dari orang lain. Oleh karena itu para punggawa mempercayakan
keamanan usaha bisnisnya terhadap lembaga atau institusi yang sah dari
pemerintah sehingga bagi para punggawa, aparat dari institusi kepolisian
merupakan lembaga yang paling baik dalam memastikan keamanan bisnis
mereka.
Bagi para punggawa yang ada di Kecamatan Tiworo Utara, pihak aparat
keamanan selain untuk memberikan pelayanan dan perlindungan
dimasyarakat juga dijadikan sebagai alat untuk memberikan rasa takut bagi
para sawi. Perlindungan yang diberikan kepada masyarakat justru lebih
menguntungkan para punggawa agar bisa memberikan rasa aman terhadap
bisnis mereka.
Kedua, Ada tiga ideologi dominan yang memengaruhi relasi kuasa antara
punggawa dan sawi pada etnis Bajo di Tiworo Utara. Ketiga ideologi
tersebut adalah : ideologi kapitaslisme, ideologi religiusitas, ideologi sama
dan bagai, Adapun ideologi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kapitalisme
Perkembangan sistem ekonomi bergerak tak bisa dilepaskan dari suatu
corak kebiasaan atau kebudayaan manuasia dalam upaya memenuhi
kebutuhan hidup dan bermasyarakat. Artinya ada pola-pola ekonomi yang
dipraktekkan masyarakat dari masa ke masa, seperti sistem mata
pencaharian, pola-pola ekonomi itu terus bertumbuh dari waktu ke waktu.
Ketika mata rantai ekonomi itu berkembang, masyarakat itu melakukan
berbagai tindak transaksi, begitu pula halnya pada masyarakat Bajo di
Kecamatan Tiworo Utara yang telah mengenal sistem kapitalisme. Ideologi
kapitalisme bermain dalam arena kepemilikan modal dan penguasaan alat-
-
xii
alat produksi dengan semakin meningkatnya kebutuhan pokok dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.
Faktor utama yang menjadi kendala bagi para sawi dalam hal mau memulai
usahanya adalah faktor modal. Karena ketika mau memulai usaha sebagai
nelayan modal yang dibutuhkan tergolong sangat besar.Sehingga tidak ada
cara lain yang mereka harus lakukan untuk memulai usaha tersebut selain
harus terlibat utang tampa anggunan fisik dengan meminjam kepada para
punggawa sebagai pemilik modal. sebab meminjam pada punggawa tidak
memiliki sarat anggunan seperti yang berlaku pada bank tetapi hanya
bermodalkan kepercayaan dan semangat mau mencari serta komitmen yang
telah disepakat
Pembayaran pinjaman para sawi tidak pernah dibatasi oleh waktu yang
ditentukan oleh punggawa, dimana semakin lama mereka bisa melunasi
pinjamannya justru memberikan keuntungan tersendiri buat para punggawa
sebab kontrak pinjaman para sawi dengan para punggawa berdasarkan cepat
tidaknya para sawi melunasi pinjaman sendiri. Pembayaran pinjaman
dilakukan dengan cara dicicil dari setiap penjualan hasil tanggkapan yang
diperoleh para sawi yang mereka jual kepada punggawa nanti dari hasil
tersebut baru dilakukan pemotongan pinjaman sesuai kesepakatan dari sawi
itu sendiri. Jika para sawi menginkan pinjaman modalnya cepat lunas maka
akan dilakukan pemotongan yang tergolong besar begitupun sebaliknya.
Namun terkadang punggawa tidak melakukan pemotongan pinjaman jika
hasil yang diperoleh sedikit.
Walaupun hal tersebut sebenarnya merupakan bagian dari strategi
punggawa untuk membuat kesan baik kepada sawi sehingga sawi
mempunyai simpati tersendiri kepada punggawa. Padahal sebalaiknya hal
ini dilakukan agar waktu pinjaman para sawi semakin lama sehingga
ketergantungan terhadap punggawa juga terus berjalan terutama penjualan
hasil tangkapan.
-
xiii
2. Religiusitas
Keyakinan masyarakat Bajo boleh dikatakan semuanya menganut ajaran
agama islam, namun mereka juga masih memiliki kebiasaan tradisional
yaitu mempunyai keyakinan terhadap animisme seperti kepercayaan
terhadap makhluk gaib. Orang Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten
Muna Barat meyakini bahwa laut hadir dengan berbagai macam aturan
dalam proses menjalaninya. Dalam keyakinan mereka laut dihuni oleh
kekuatan-kekuatan roh yang berbentuk makhluk-makhluk gaib. Keberadaan
makhluk-makhluk itu selalu hidup berdampingan dalam segala aktivitas
mereka di laut, sehingga ketika ada musibah atau kecelakan. Roh-roh laut
itu dapat dimintai pertolongan. Sebaliknya bila ada perlakuan-perlakuan
yang menyimpang, maka roh-roh gaib itu akan hadir dan menghukumnya
baik dalam bentuk penyakit ataupun kesialan berupa musibah atau bencana
saat mereka di laut.
Keyakinan etnis Bajo terhadap kepercayaan kepada mahluk yang dipercaya
menguasai laut, hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan kekhawatiran
bagi orang Bajo itu sendiri disaat akan melakukan aktivitas melaut. Mereka
justru mengagungkan ‘penghuni’ laut yang biasa mereka sebut nenek yang
berada di laut Bombonga Ma Dilao, Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo
Dunggah) penyebutan nama yang selalu mereka samarkan dengan sebutan
nenek karena kesakralannya. Aktivitas apapun yang mereka akan lakukan
di laut selalu didahului dengan berbagai ritual, baik sebelum saat melaut dan
sesudah melaut.
Salah satu manfaat dari kepercayaan tersebut adalah terkontrolnya sikap dan
perilaku-perilaku masyarakat etnis Bajo ketika melakukan aktivitas di laut.
Perlakuan semena-mena terhadap laut dipercaya dapat mendatangkan
berbagai musibah bagi kehidupan mereka akibat hukuman dari para
penunggu laut. Idiologi religiusitas menyangkut kepercayaan terhadap
penunggu lautan, ikut mempengaruhi relasi punggawa terhadap sawinya, ini
disebabkan oleh mengagungan dan meyakini penjaga laut, berarti harus taat
terhadap perintah sandro (pemimpin ritual) di tengah pemimpin ritual
-
xiv
adalah para kerabat atau orang yang dipilih dan sudah ditentukan oleh
punggawa. Biasanya pemilihan sandro berdasarkan kecocokan dengan sang
punggawa seperti dalam hal memperoleh rizki dan keselamatan dari setiap
doa-doa yang dipanjatkan oleh sandro saat berlangsungnya ritual tersebut,
karena apabila mereka tidak memiliki kecocokan dengan sandro tersebut
seperti kurang memperoleh rizki, sering ada kerusakan peralatan, sering
tertimpa musibah dengan demikian pada saat bulan berikutnya punggawa
akan menggantinya dengan sandro lainnya. Karena otoritas menentukan
sandro merupakan hak progratif punggawa.
3. Sama dan bagai.
Laut dan pinggiran pantai menyediakan berbagai sumberdaya bagi
masyarakat khususnya bagi masyarakat yang bermukim pulau dan di
sepanjang pantai maupun wilayah sekitarnya. Sehingga ketersediaan
sumberdaya alam menjadi ruang hidup dan kehidupan bagi Orang Bajo.
Sejak turun-temurun, mereka telah hidup di sepanjang pantai bahkan dilaut.
Laut menyediakan masyarakat Bajo dengan sumber makanan utama
mereka,dimana laut sudah dianggap ladang atau kebun.
Dahulu orang-orang Bajo dalam hal membangun hubungan sosial dengan
masyarakat darat dengan melakukan aktifitas pertukaran barang dalam hal
memenuhi kebutuhan hidup mereka dimana mereka menukarkan (barter)
siselo dengan apa yang menjadi kebutuhan orang darat seperti ikan dan
biota laut lainnya dengan kebutuhan sehari-hari mereka seperti beras,ubu-
ubian, sayur-sayuran bahkan buah-buahan. Dengan situasi seperti itu,
menjadikan orang Bajo yang ingin mempertahankan identitasnya sebagai
orang Bajo yang dimana ketergantungan akan kehidupannya di laut menjadi
sulit ketika diperhadapkan dengan pengaruh kebutuhan lain yang dibawa
orang darat bagai.
Pada tahap ini ketergantungan mereka dengan penduduk darat, sama saja
dengan tahap sebelumnya, sebab diketahui bahwa orang Bajo hanya dapat
menangkap ikan dan hasil-hasil laut lainnya, sedangkan bahan pangan
seperti, beras, jagung dan ubi-ubian tetap diperoleh dari penduduk yang
-
xv
bermukim di darat. Untuk mendapatkan kebutuhan makanan mereka,
dilakukan dengan cara tukar-menukar barang (selo), yaitu ikan atau hasil
laut lainnya yang mereka punya mereka pertukarkan dengan bahan makanan
yang dibawa oleh penduduk darat sedangkan orang darat mempunyai
kebutuhan akan hasil laut tersebut. Selain kebutuhan terhadap kebutuhan
makanan air juga menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat Bajo mengingat
daerah Bajo tidak memiliki sumber air bersih yang mana dalam
pemenuhannya mereka mengambilnya di daratan. Keadaan ini
menyebabkan interaksi sosial mereka dengan penduduk darat sering terjadi
Sehingga hubungan sosial antara kedua kelompok ini menjadi sesuatu hal
yang tidak mungkin bisa dihindari.
Ketika ekonomi mulai berkembang dimana uang sudah menjadi alat
transaksioanal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari hal tersebut sangat
berpengaruh dalam kehidupan suku Bajo dimana mereka tidak terbiasa
menggunakan uang, Intensitas pertemuannya tidak lagi hanya terjadi di
pantai dalam kaitannya dengan sistim barter selo terhadap hasil
tangkapannya, tetapi orang Bajo telah menjangkau aktivitas perdagangan di
pasar, baik untuk kepentingan menjual hasil tangkapannya maupun untuk
memenuhi berbagai kebutuhannya maka untuk mendapatkan bahan
kebutuhan hidup mereka yang bersumber dari penduduk darat atau untuk
menjual hasil yang mereka peroleh sudah dilakukan dengan proses jual beli
juga dengan menggunakan uang sebagai alat pembayan, tetapi model
transaksi awal (selo) masih bisa kita dapat jumpai pula, seperti pada musim-
musim tertentu terutama untuk hasil-hasil pertanian seperti buah-buahan
dan sayur-sayuran. Proses ini menimbulkan saling ketergantungan antara
kedua belah pihak, dimana penduduk darat dalam hal ini bagai
menyediakan bahan makanan, sedangkan suku Bajo menyediakan
kebutuhan akan ikan dan hasil laut lainnya.
-
xvi
GLOSARIUM
Abal : arus dasar laut, arus yang memiliki kekuatan dan di anggap
berbahaya
anaq-anaq : panggilan untuk anak guru , anak murid atau pengikut
ana : panggilan untuk anak kandung
athati : adat istiadat yang menjadi pedoman hidup
athoa : panggilan untuk orang yang lebih tua
aya : saudara perempuan dari ibu atau ayah
bagai : sebutan untuk orang dari luar etnis bajo
bajau : suku laut atau suku bajo.
Bantaang : ritual tujuh bulanan bagi wanita bajo yang tengah
mengandung
bombonga di lao : penguasa laut/raja laut bagi masyarakat bajo
bua : sebutan untuk segala jenis buah-buahan
buas : beras
bubu/rakkang : alat penangkap ikan dan kepiting yang terbuat dari rotan
atau bambu
busae : alat yang digunakan untuk mendayung perahu.
cera leppa : ritual yang diadakan ketika hendak menggunakan perahu
baru.
danakang : sebutan umum untuk menyebut saudara bukan hubungan
darah antara sesama etnis bajo.
dapuran : ruangan tempat untuk memasak
dayah lure : ikan teri
dayah panajang : ikan terbang
dayah ruruma : ikan ruma-ruma
gagaras : karang kecil di dasar laut
gangah : sebutan untuk semua jenis sayur-sayuran
garas : karang besar yang timbul kepermukaan laut.
ikha : sebutan umum untuk yang sedikit lebih tua usianya.
-
xvii
ikha dinde : sebutan untuk kakak kandung perempuan.
ikha lella : sebutan kakak kandung laki-laki.
indhi : sebutan umum untuk orang yang lebih muda usianya.
indhi dinde : sebutan untuk adik kandung perempuan
indhi lilla : sebutan untuk adik kandung laki-laki
ipah dinda : saudara perempuan dari suami atau istri/saudara ipar
perempuan
ipah : saudara laki-laki dari suami atau istri/saudara par laki-laki
iwwa : sebutan untuk orang tau laki-laki/ayah
jagoh : tanaman jagung, yang biasa di dapat sama orang darat
kallo : burung bangau
kandora : tanaman ubi jalar
kondo kayu : tanaman ubi kayu
langga : batang kayu tempat dudukan perahu atau kapal saat
dilakukan perawatan
lappas idul adha : hari raya idhul adha, hari raya agama islam
lappas idul fitri : hari raya idhul fitri, hari raya agama islam
leppa : perahu yang berukuran kecil dengan kapasitas 1-3 orang
yang biasa digunakan untuk alat transportasi disekitar
lingkungan tempat tinggal atau pemukiman.
lolo bajo : sebutan bangsawan bajo
lontah : ruangan tamu
maca-maca : matra yang diucapkan saat melaksanakan ritual
mappabatte : hubungan kekerabatan melaluai hubungan perkawinan
mataoa lella : orang tua laki-laki dari istri/suami
matoa dinda : orang tua perempuan dari istri atau suami/mertua
perempuan
mbo baliang : sebutan lain Petta sidangpelae
pamakitalo : sebutan untuk mahluk halus
pamali : pantangan atau larangan untuk dilakukan
papaleppe ade : sukuran dalam rangka melepas hajat
-
xviii
papu : sebutan untuk tuhan yang maha esa
patidurang : ruangan untuk tempat atau kamar tidur
petta sidangpelae : sebutan lain nama raja laut
pitoto simuhamma : cerita rakyat bajo tentang nabi muhammad s.a.w
punggawa : sebutan untuk bos / mandor / nelayan besar
puto : saudara laki-laki dari ayah atau ibu
ritual tullak bala : upacara menolak bala/musibah
sama danakang : sebutan saudara sesama orang bajo
sandro : dukun, orang yang di anggap sakral dan memiliki
kesaktian dalam mengabati penyakit dan mampu
berkomunokasi dengan alam gaib sapa wasamlia,sapa
bullu mbotangkari,sapa kutta : lokasi penangkapan ikan
sawi : anak buah/ pengikut / nelayan kecil
sehe : panggilan untuk kawan
selo : cara tukar menukar barang
sesehe : sebutan untuk masyarakat biasa dalam kasta
siselo : kegiatan pertukaran barang
sisipau : angin yang berhembus tidak terlalu kencang.
taimuni : ari-ari bayi yang baru lahir
tilla bulang : musim terang bulan atau bulan purnama
titirah : burung camar, burung laut
turo : musim gelap bulan atau misim penangkapan
ula-ula : bendera bajo yang digunakan sebagai identitas atau
simbol etnis bajo
umbo dinda : orang tua perempuan dari ayah atau ibu/nenek
umbo lella : orang tua laki-laki dari ayah atau ibu / kakek
umbo : sebutan umum nenek atau kakek
umma : sebutan untuk orang tua perempuan kandung/ibu
umpu dinda : sebutan untuk cucu perempuan
umpu lilla : sebutan untuk cucu laki-laki
umpu : sebutan umum untuk cucu
-
xix
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................ ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................... iii
ABSTRAK ....................................................................................... iv
RINGKASAN .................................................................................. v
GLOSARIUM ................................................................................ xix
DAFTAR ISI ................................................................................... xxii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xxvi
DAFTAR TABEL ........................................................................... xxvii
BAB. I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 11
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 12
1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................... 12
1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................ 12
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 13
BAB. II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL
2.1 Kajian Pustaka ......................................................................... 15
2.2 Konsep .................................................................................... 26
2.2.1 Punggawa sawi ........................................................................ 27
2.2.2 Patron client ............................................................................ 29
2.2.3 Ideologi ................................................................................... 31
2.2.4 Hegemoni ................................................................................ 35
2.3 Landasan Teori ........................................................................ 38
2.3.1 Teori Relasi Kuasa ................................................................... 38
2.3.3 Teori Kapital ........................................................................... 46
-
xx
2.4 Model Penelitian ...................................................................... 51
2.5 Bagan Pikir .............................................................................. 52
2.6 Keterangan Bagan Pikir ........................................................... 53
BAB. III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ............................................................... 55
3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................... 57
3.3 Jenis Data dan Sumber Data .................................................... 58
3.4 Teknik Penentuan Informan ..................................................... 60
3.5 Instrumen Penelitian ................................................................ 61
3.6 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 61
3.7 Teknik Analisis Data ............................................................... 65
3.8 Teknik Penyajian Analisis Data ............................................... 66
BAB. IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Lokasi Penelitian ...................................................................... 69
4.2 Asal Usul Etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara .................... 72
4.3 Kondisi Geografis Kecamatan Tiworo Utara ............................ 77
4.4 Kondisi Demografis dan Jumlah Penduduk .............................. 78
4.5 Pendidikan ............................................................................... 79
4.6 Mata Pencaharian dan Teknologi Perikanan ............................. 82
4.7 Sistem Kekerabatan Etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara ..... 86
4.8 Aspek Budaya dan Stratifikasi Sosial ....................................... 89
4.9 Pola Pemukiman ...................................................................... 98
4.10 Agama dan Sistem Kepercayaan .............................................. 101
4.11 Tradisi Ritual ........................................................................... 111
4.12 Klasifikasi Punggawa Berdasarkan Jenis Usaha
Di Kecamatan Tiworo Utara. .................................................... 120
-
xxi
BAB V BENTUK RELASI KUASA PUNGGAWA-SAWI DALAM
AKTIVITAS NELAYAN ETNIS BAJO DI TIWORO
KEPULAUAN KECAMATANTIWORO UTARA
KABUPATEN MUNA BARAT
5.1 Relasi Kuasa Punggawa dan Sawi ............................................ 126
5.2 Relasi Kuasa antara Punggawa dan Punggawa ......................... 153
5.3 Relasi Kuasa Punggawa dengan Pemerintah
Eksekutif dan Legislatif ............................................................ 162
5.4 Relasi Kuasa Punggawa dan Pedagang Luar. ............................ 172
5.5 Relasi Kuasa Antara Punggawa dan Pihak Keamanan. ............. 180
BAB VI IDEOLOGI YANG ADA DALAM RELASI KUASA
PUNGGAWA-SAWI PADA NELAYAN ETNIS BAJO
DI TIWORO KEPULAUAN, KECAMATAN TIWORO
UTARA KABUPATEN MUNA BARAT
6.1 Kapitalisme .............................................................................. 185
6.2 Religiusitas .............................................................................. 198
6.4 Sama dan Bagai ....................................................................... 223
BAB VII IMPLIKASI DARI RELASI KUASA PUNGGAWA-SAWI
PADA NELAYAN ETNIS BAJO DI TIWORO
KEPULAUAN KECAMATAN TIWORO
UTARA KABUPATEN MUNA BARAT
7.1 Ideologi .................................................................................... 246
7.2 Ekonomi .................................................................................. 255
7.3 Politik ................................................................................... 276
7.4 Stratifikasi Sosial ..................................................................... 290
-
xxii
BAB VII PENUTUP
8.1 Simpulan .................................................................................. 305
8.2 Temuan Penelitian .................................................................... 308
8.3 Saran ...................................................................................... 312
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 315
LAMPIRAN .................................................................................... 324
Lampiran 1 : Peta Lokasi Penelitian ............................................. 324
Lampiran 2 : Pedoman Daftar Pertanyaan ................................... 325
Lampiran 3 : Daftar Informaan ..................................................... 334
-
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Muna Barat sebagai lokasi
penelitian ..................................................................... 57
Gambar 4.1 Jembatan titian masyarakat Kecamatan Tiworo Utara .. 99
Gambar 4.2 Program PNPM Mandiri Perdesaan, pembuatan
titian jalan .................................................................... 99
Gambar 4.3 Salah satu bentuk pemukiman suku Bajo
Di Kecamatan Tiworo Utara ........................................ 100
Gambar 5.1 Kapal (gae) penangkap ikan Punggawa dan Sawi
di Kecamatan Tiworo Utara ......................................... 130
Gambar 5.2 H.Nurdin Punggawa besar (tengah) beserta Punggawa
Kecilnya saat melakukan umroh. Sumber H.Nurdin ..... 136
Gambar 5.3 Perbedaan Rumah Punggawa dan Sawi. ....................... 138
Gambar 5.4 Istri dan kerabat para sawi yang bekerja pada
punggawa ................................................................... 139
Gambar 5.5 Struktur Punggawa di Kecamatan Tiworo Utara ........... 146
Gambar 5.6 Jamal Usi Kepala Desa Santiri ..................................... 163
Gambar 5.7 Penyerahan bantuan perikanan oleh
Bupati Muna Barat ....................................................... 165
Gambar 5.8 Alur komunikasi sawi, punggawa dan pedagang luar ... 175
Gambar 5.9 Jalur Perdagangan ........................................................ 176
Gambar 7.1 Sawi memperbaiki alat tangkap tradisional. ................. 256
Gambar 7.2 Sarana dan alat tangkap modern ................................... 257
Gambar 7.3 Kampanye Pilkada Calon Bupati di Kecamatan
Tiworo Utara. .............................................................. 285
Gambar 7.4 Implikasi dalam stratifikasi sosial etnis bajo. ................ 301
-
xxiv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kabupaten Muna Barat berdasarkan
Kecamatan Tahun 2016 ..................................................... 69
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut
Kecamatan di Kabupaten Muna Barat, 2016 ...................... 70
Tabel 4.3 Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan, Luas
Wilayah dan Kepadatan Tahun 2016 ................................. 71
Tabel 4.4 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rasio
berdasarkan Desa/Kelurahan, 2016 .................................... 78
Tabel 4.5 Luas wilayah, jumlah penduduk dan persebaran
penduduk Kecamatan Tiworo Utara 2016 .......................... 79
Tabel4.6 Jumlah sekolah, murid dan guru serta rasio murid/guru
Kecamatan Tiworo Utara tahun 2016 ................................. 81
Tabel 4.7 Banyaknya Alat Tangkap Ikan di Tiworo Utara
Tahun 2013-2016. .............................................................. 83
Tabel 4.8 Jumlah Produksi Pengolahan Ikan dari Tahun
2013-2016 di Kecamatan Tiworo Utara. ............................ 84
Tabel 4.9 Jumlah Perahu di Kecamatan Tiworo Utara, 2015-2016 ..... 85
Tabel 4.10 Daftar dan Jumlah Punggawa dan jenis usaha
di Kecamatan Tiworo Utara 2016 ...................................... 121
Tabel 5.1 Pembagian tugas punggawa laut dan sawi saat melaut. ...... 128
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan
yang luas (±70%), dibanding dengan daratan dan memiliki ribuan pulau besar
maupun kecil yang dihuni oleh berbagai macam suku bangsa yang menyebar dan
menetap pada pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Mereka
mendiami wilayah-wilayah tersebut secara turun-temurun dengan kebudayaan,
kelembagaan, serta sistem sosial dan ekonomi masing-masing, sehingga disebut
sebagai negara bahari. Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya memiliki satu
laut utama atau heart of sea, tetapi terdapat tiga laut utama yang membentuk
Indonesia sebagai suatu sea system, yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda
(Houben, 1992: 8).
Sebagai negara maritim, Indonesia masih dijumpai beberapa suku bangsa
yang masih menerapkan pola budaya maritim dalam setiap sendi kehidupan. Salah
satu etnis yang sangat terkenal sebagai pendukung kebudayaan maritim yaitu etnis
Bajo. Bajo merupakan suku bangsa yang hidup bebas mengembara di lautan luas
sehingga sering dikenal sebagai pengembara laut (sea nomads). Pada beberapa
literatur, etnis Bajo bahkan diidentikan dengan berbagai julukan diantaranya
sebagai manusia perahu atau sea gypsy. Suku Bajo banyak tersebar di perairan Selat
Makassar, Teluk Bone, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini,
Maluku Utara dan peraian laut Sulawesi.
-
2
Etnis Bajo tersebar di berbagai tempat di Indonesia, juga di negara luar
seperti Malaysia,Thailand dan Australia dan Filipina. Meski demikian, bahasa yang
digunakan tetap sama yaitu bahasa Bajo. Ada dua versi sejarah suku Bajo, pertama
ada yang berpendapat dari Johor, tapi ada juga yang mengatakan berasal dari
Palopo, Sulawesi Selatan. Sementara jika dilihat dari segi bahasa, terdapat
kesamaan yang digunakan yakni bahasa tagalog, di Filipina, Malaysia, dan
Australia (Tahara, 2013: 41). Di pihak lain, (Sopher, 1971) telah mengumpulkan
toponim yang bernama Bajo (Bajau) dan menggambarkannya dalam sebuah peta.
Jangkauan penyebaran orang Bajo meliputi seluruh perairan Indonesia dan seluruh
penjuru wilayah semenjak abad XVI.
Selanjutnya, menurut (Lapian, 1987 : 12) pada kawasan Sulawesi di abad
XIX. Sama halnya dengan etnis lain, etnis Bajo merupakan kelompok masyarakat
yang hidup dengan memerlukan gerakan bebas. Hanya saja, mereka hidup bebas di
alam laut dan terus-menerus hidup di atas perahu. Secara alami, mereka telah
menyatukan dirinya dengan kehidupan laut. Selaras dengan sumber daya alamnya
dan menjadi bagian dari laut dalam segala aspek, baik di ligkungan alam, sosial,
maupun budaya yang tidak mudah dipisahkan dari kelangsungan hidup mereka,
Sebagai tipe ideal, orang laut, berdasarkan tipologi sederhana ini, dimaksudkan
Lapian sebagai semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak mengenal
bentuk organisasi kerajaan atau negara, umumnya hidup berkelompok dalam
perkampungan perahu dengan sifat mobile (hingga kerap disebut sea-nomads atau
sea-gypsies). Raja laut dimaksudkan sebagai “kapal dan perahu yang merupakan
kekuatan laut raja-raja di Asia Tenggara yang melakukan tugasnya sebagai pelayar
-
3
di perairan kerajaan,” dan mempunyai semacam “wenang-wenang” untuk
melakukan kekerasan terhadap siapa saja yang memasuki wilayahnya.
Lebih dari itu, etnis Bajo mengenali laut sebagaimana mengenali diri
mereka sendiri. Mereka mencintai laut sebab dianggap sebagai bagian dari hidup
mereka sehingga tidak dapat dipisahkan dari laut. Salah satu alasan paling mendasar
dari hal tersebut adalah, keyakinan bahwa leluhur mereka berasal dari laut, hidup
di laut, dan sebagai penguasa laut (mbombonga di lao). Dengan demikian, maka
laut yang memberi rezeki, kebaikan, kesehatan, penyakit dan laut jugalah yang
melindungi mereka dari bencana (Trisnadi, 2002).
Keyakian tentang laut adalah milik bersama menjadikan setiap orang Bajo
bebas melakukan pengembaraan. Keyakinan tersebut menjadikan mobilitas yang
tinggi dilakukan oleh masyarakat Bajo. Dapat dilihat dari kecendrungan suka
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain
dengan menggunakan perahu (leppa), sehingga kelompok mereka ini disebut juga
sebagai sea gypsies atau sea nomads (Sopher, 1971 : 43).
Seiring perkembangan zaman, etnis Bajo yang sebelumnya hidup
mengembara (nomaden) menjadi tinggal menetap di wilayah pesisir laut. Sudah
banyak etnis Bajo yang menyebar di sepanjang pantai dan membuat rumah
permanen sebagai tempat tinggal. Beberapa permukiman etnis Bajo yang telah
menetap dengan jumlah populasi yang cukup besar salah satunya ditemukan di
sepanjang gugusan kepulauan dan pesisir pantai Sulawesi baik Sulawesi Selatan,
Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawsi
Tenggara.
-
4
Menurut (Suyuti, 2009: 2), sejarah suku Bajo yang ada di Sulawesi
Tenggara berasal dari Bugis, Bone, Sulawesi Selatan. Mereka adalah orang-orang
yang ditugaskan oleh seorang raja Bone yang bernama Sultan Mahmud, untuk
mencari putrinya yang hilang, tetapi mereka tidak berhasil menemukannya.
Sehingga mereka tidak berani lagi kembali ke daratan, kemudian mereka berpencar
menelusuri pantai-pantai sambil mencari makanan agar mereka dapat tetap hidup
dalam perjalanan. Sebagian dari mereka ada yang berlayar sampai dibeberapa
kepulauan seperti di Kabupaten Muna, Buton, dan Kendari. Kemudian Etnis Bajo
mendirikan rumah di pulau-pulau dan pesisir pantai dan mulai tinggal menetap,
menyebabkan jumlah etnis Bajo yang menggantungkan hidupnya diperahu-perahu
kayu mulai berkurang. Hal ini merupakan dinamika perkembangan dan arus
globalisasi yang membawa perubahan-perubahan secara sosial, ekonomi dan
budaya pada kehidupan etnis Bajo.
Perkembangan zaman dari masa penjajahan, awal kemerdekaan 1945, masa
orde baru 1970-an dan 1980-an serta orde reformasi awal tahun 1998 dengan arus
globalisasi yang terjadi, tidak sepenuhnya membuat perubahan pada kehidupan
etnis Bajo. Salah satu yang masih sangat kental dalam kehidupan ekonomi sebagai
suatu warisan budaya turun-temurun mereka adalah hubungan patron-klien antara
pemilik modal/pemimpin produksi dengan pekerja yang biasa disebut oleh etnis
Bajo di Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan sebutan Punggawa-Sawi. Bentuk
hubungan patron-klien ini dapat berupa pertukaran material dan jasa (Lampe,
1990).
-
5
Sejalan dengan hal itu, (Scott, 1993: 91-92) menyebutkan bahwa hubungan
patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa dalam berbagai
bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, dan pihak yang
menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas pemberian
tersebut.
Kata Punggawa dapat disamakan dengan pemimpin atau bos. Istilah
tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang
luas antara atasan dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Sementara
Sawi adalah pelengkap Punggawa, yang dapat ditafsirkan sebagai bawahan atau
orang yang memiliki hubungan pribadi dengan atasan. Dan karena adanya
hubungan pribadi, maka Punggawa kerap merujuk kepada Sawi mereka sebagai
anaq-anaq (anak), anaq guru (murid atau pengikut) atau tau (orang) (Pelras,
2009:52-53).
Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan satu
wilayah heterogen yang dihuni oleh beberapa etnis, yang hidup di darat maupun di
pulau-pulau dan pesisir pantai. Berdasarkan Sensus Ekonomi Kependudukan tahun
2010, jumlah populasi penduduk Kabupaten Muna Barat adalah sebanyak 83.364
jiwa, dengan kepadatan mencapai 81,5 jiwa/km2. Etnis utama yang mendiami
daerah ini adalah etnis Muna dan etnis Bajo. Selain itu, terdapat pula penduduk
transmigran yang berasal dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tiap-tiap etnis yang
tersebar di wilayah Muna Barat memiliki unsur-unsur yang khas dan memiliki
bahasa daerah yang berbeda-beda pula.
-
6
Tiworo Utara adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Muna
Barat yang penduduknya rata-rata Etnis Bajo. Jumlah penduduk sebanyak 5.195
jiwa yang tersebar di tujuh desa, yakni Desa Tondasi, Desa Bero, Desa Mandike,
Desa Santigi, Desa Santiri, Desa Tasipi, dan Desa Tiga. Semua warga di tujuh desa
di Kecamatan Tiworo Utara tersebut rata-rata masih menggantungkan hidupnya di
laut dengan bekerja sebagai nelayan dan pengumpul hasil-hasil laut.
Kehidupan sehari-hari Etnis Bajo di Tiworo Utara dalam hubungannya
dengan sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang masih sangat tradisional. Sistem-
sistem tradisional yang terbentuk sebagian besar bergantung dari aturan atau norma
hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya
bahwa sistem tradisional masih banyak yang dipertahankan, salah satunya relasi
sosial Punggawa dan Sawi. Relasi sosial antara Pungawa-Sawi pada komunitas
nelayan etnis Bajo di Tiworo Utara membentuk ikatan patron-client yang pada
mulanya hubungan Punggawa dan Sawi dalam melakukan penangkapan ikan dan
pembagian hasil tangkap berjalan seimbang dan pembagian hasil tangkapan yang
adil antara Punggawa dan Sawi.
Seiring perkembangan zaman sejak masa orde baru tahun 1970-an dan
1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai sekarang, dimana semakin
kuatnya arus globalisasi, para punggawa sudah mengenal sistem perdagangan
dengan pedagang dari luar etnis bajo, serta kebutuhan Etnis Bajo di Tiworo Utara
juga semakin kompleks dalam penataan proses kehidupan ekonomi. Para
Punggawa menuntut kepatuhan kelompok Sawi sehingga sering kali memunculkan
perbedaan pendapat antara kelompok Punggawa dengan Sawi. Punggawa yang
-
7
menjalankan praktek-praktek kapitalis dan kekuasaan, membangun relasi-relasi di
luar etnis Bajo. Di sisi lain kelompok Sawi adalah anggota masyarakat Bajo yang
dipekerjakan oleh kelompok Punggawa, dimana kelompok Sawi harus mematuhi
peraturan terkait kewenangan yang dimiliki punggawa. Dimana Punggawa sebagai
pemilik modal dan kekuasaan, berupaya memengaruhi etnis Bajo sawi untuk
mendapatkan ke untungan yang lebih besar, yang juga sebagai nelayan dalam hal
ini kelompok Sawi di Kecamatan Tiworo Utara, di tuntut untuk mengikuti dan patuh
terhadap aturan yang telah ditetapkan, yang tanpa disadari merugikan kelompok
Sawi.
Penetrasi budaya kapitalisme melalui pertukaran ekonomi mengubah
orientasi produksi nelayan Bajo di Kecamatan Tiworo Utara. Perubahan mulai
terjadi. yang semula hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kini
meningkat dengan memikirkan kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh
keuntungan. Tidak hanya menangkap ikan tetapi juga melakukan diversifikasi
usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan seiring sistem
kapitalisme yang berlaku. Kapitalisme etnis Bajo di Tiworo Utara semakin
menggeliat didukung oleh masuknya teknologi pengelolaan dan pengolahan ikan.
dalam teknologi pengolahan hasil perikanan, nelayan memiliki jenis kapal purse
seine dan kapal motor berbobot 30 GT1.
Peran kapitalis bagi etnis Bajo di Tiworo Utara telah mengubah hubungan-
hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja yang dilakukan oleh
kelompok Punggawa dan menggunakan kelompok Sawi sebagai buruh upahan
seperti dalam sistem perniagaan ikan, teripang, kepiting, dan mutiara yang dikelola
-
8
nelayan etnis Bajo di Tiworo Utara yang berskala ekspor dengan jaringan
perdagangan yang luas seperti Pulau Jawa, Bali hingga ke wilayah singapura dan
Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan. Jika kelompok Sawi tidak
maksimal dalam bekerja maka kelompok keluarganya pun diperbantukan.
Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat etnis Bajo di Kecamatan
Tiworo Utara mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi usaha ke arah
produksi modern dengan mempraktekkan cara-cara kapitaslime antara etnis bajo
piunggawa dan sawi.
Keadaan tersebut di atas sejalan dengan yang dikatakan oleh (Kumbara,
dkk. 2016 : 3) bahwa di tengah arus globalisasi dan modernisasi menyebabkan
ideologi kapitalisme dan rasinalisme materialistik keseluruh dunia telah
menimbulkan transformasi tidak hanya dalam aspek sosial budaya dan ekonomi,
tetapi juga dalam keberagaman.
Adanya perubahan atau pergeseran terhadap pola hubungan patron-klien
antara Punggawa dan Sawi pada masyarakat Bajo di Kecamatan Tiworo Utara,
berpotensi menimbulkan beberapa masalah. Misalnya pendistribusian modal dan
pendapatan yang tidak merata, kemiskinan yang terus-menerus, bahkan berpotensi
menimbulkan konflik diantara kelompok yang berkepentingan. Apabila dibiarkan,
maka akan menimbulkan disharmoni antara kelompok etnis Bajo Punggawa dan
kelompok Sawi.
Hal ini sejalan dengan penyataan, (Mattulada, 1986), menyatakan bahwa
melihat hubungan patron-klien (Punggawa-Sawi) masa lalu sebagai institusi yang
berfungsi mempertahankan tatanan kolektivitas dan jaminan sosial-ekonomi bagi
-
9
para anggotanya. Dalam kehidupan di perahu sehari-hari, menurutnya tidak tampak
jelas perbedaan status dan peran di antara Punggawa dan Sawi. Namun terjadinya
arus modernisasi perikanan sejak paruh kedua dasawarsa 1970-an, menciptakan
diferensiasi peran kerja dalam organisasi kerja sama, memperkuat jiwa kapitalisme,
perbedaan peruntukkan dalam sistem bagi hasil yang pada gilirannya
mempengaruhi berkurangnya bagian pendapatan setiap anggota kelompok
Punggawa dan Sawi.
Sejalan dengan Mattulada, (Scott, 1993: 7-8) mengemukakan bahwa
hubungan patron-klient merupakan pertukaran hubungan antara kedua peran yang
dapat dinyatakan secara khusus sebagai ikatan persahabatan. Artinya, seorang
individu dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh
dan sumber daya untuk menyediakan perlindungan serta keuntungan-keuntungan
bagi seorang dengan status yang lebih rendah (klient). Kajian relasi patron-client
dalam Punggawa dan Sawi yang melihat kelembagaan masyarakat nelayan sebagai
mekanisme penjaminan sosial ekonomi tradisional (traditional socio-economic
security).
Relasi antara Punggawa dan Sawi dapat dikategorikan sebagai hubungan
yang tidak seimbang atau tidak adil dalam kondisi pendistribusian pendapatan.
Pengikat hubungan norma ini lebih banyak ditentukan oleh fungsi atau peran
Punggawa sebagai figur utama untuk semua Sawi yang dipekerjakan. Bukan hanya
itu, tetapi termasuk pinjaman keuangan, barang-barang rumah tangga, dan
perlindungan atau kesediaan menyiapkan bantuan pada saat dibutuhkan.
-
10
Karakteristik dan prilaku hubungan norma sosial Punggawa dan Sawi,
akhirnya menentukan tingkatan hubungan diantara etnis Bajo di Kecamatan Tiworo
Utara. Hubungan kekerabatan sesama etnis Bajo merupakan unsur yang berperan
dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumber daya ekonomi
dan sosial seperti perekrutan Sawi oleh para Punggawa. Perekrutan Sawi sesama
etnis Bajo di Tiworo Utara sendiri didasarkan pada pertimbangan ketenangan dan
ketentraman dalam bekerja. Selain itu juga untuk membantu sanak keluarga yang
belum bekerja.
Sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus
diperintah oleh orang lain. Namun tidak disadari bahwa “spirit of capitalism” oleh
kelompok Punggawa akan merugikan kelompok sawi secara ekonomi.
Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan kekerabatan (kinship) terkait
erat dengan kelangsungan kehidupan etnis Bajo di Tiworo Utara.
Hubungan harmonisasi yang selalu terjaga diantara sesame etnis Bajo
dipersatukan dengan kultur dan budaya yang sama dimanapun etnis Bajo berada.
Masuknya Era globalisasi tidak memudarkan ikatan yang sudah lama terbangun
walapun pada kenyataannya dengan masuknya ideologi kapitelisme yang
menciptakan relasi kuasa bisa memicu terjadinya konflik diantara sesama
masyarakat etnis Bajo.
Dari uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini mengangkat judul
“Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada Nelayan Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan
Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara”.
-
11
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas
nelayan Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat?
2. Ideologi apa yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan
etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna
Barat?
3. Apa implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di
Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji, memahami, dan
mendeskripsikan relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Tiworo
Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi
Tenggara, tentang bentuk relasi kuasa etnis Bajo, dan juga untuk menganalis dan
memaparkan tentang ideologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada
nelayan etnis Bajo, serta memaparkan implikasi yang ada dalam hubungan relasi
kuasa nelayan etnis Bajo Kabupaten Muna Barat pada khususnya dan Provinsi
Sulawesi Tenggara pada umumnya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara
khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.
-
12
1. Untuk mengungkap bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi pada
nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat?
2. Untuk menganalisis idiologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi
pada nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat?
3. Untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi
pada nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat?
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti
dalam berbagai bidang. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan sumbangan
teoretis dan praktis. Lebih rinci, manfaat teoritis dan praktis penelitian ini dapat
dilihat pada penjabaran berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dari perspektif teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan dan penggunaan teori relasi kuasa, teori hegemoni, dan praktik
sosial. Hasil penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat tentang penguatan
konsep dan cakupan kajian budaya. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan penjernihan dan penguatan mengenai pentingnya kajian budaya
dalam penelusuran dan pembahasan isu-isu dalam kehidupan masyarakat,
khususnya pada nelayan etnis Bajo.
1.4.2 Manfaat Praktis
-
13
Selain memiliki manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki sejumlah
manfaat praktis, di antaranya sebagai berikut.
1. Menjelaskan tentang relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam konteks kehidupan
nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara yang
diharapkan berdampak pada peningkatan kesadaran dan solidaritas kehidupan
bersama dalam masyarakat tersebut.
2. Memberikan konstribusi pemikiran yang dapat disumbangkan dalam rangka
mengatasi dan menyelesaikan segala permasalahan, khususnya pada etnis
nelayan Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara.
3. Memberikan motivasi dan kontribusi secara keilmuan bagi akademisi dalam
melakukan penelitian yang relevan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian difokuskan pada bentuk-bentuk relasi kuasa, ideologi yang
terdapat dalam relasi kuasa, serta implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa
Punggawa-Sawi pada kehidupan nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan
Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Faktor-faktor yang dianalisis
dalam penelitian ini adalah relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam kehidupan nelayan
Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.
Terkait dengan ideologi yang terdapat dalam relasi kuasa pada nelayan etnis
Bajo, akan digambarkan tentang implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Bajo baik
bagi kehidupan, pandangan etnis Bajo, maupun etnis lain yang terdapat di sekitar
lingkungan Bajo yang terdapat di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat. Selain itu, akan digambarkan pula impliasi ekonomi,
-
14
politik, dan budaya dalam kehidupan nelayan etnis Bajo, serta implikasinya bagi
kebijakan pemerintah baik itu implikasi positif maupun negatifnya.