desertase lengkap ujian tutup - universitas udayana · À ] 5,1*.$6$1 5hodvl .xdvd nhklgxsdq...

34
v ABSTRAK Relasi Kuasa kehidupan ekonomi masyarakat etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat adalah hubungan patron-klien antara pemilik modal dengan pekerja, biasa disebut dengan istilah punggawa-sawi. Dalam menelaah relasi kuasa antara punggawa dan sawi selama orde baru tahun 1970-an dan 1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai sekarang,topik ini di pilih karena sejak era orde baru dan orde reformasi telah terjadi perubahan dengan semakin kuat globalisasi yang diikuti dengan masuknya ideologi kapitalisme, dimana para punggawa semakin gencar membangun relasi-relasi dengan pihak-pihak lain, dalam melakukan pengelolaan hasil laut, yang tampa di sadari melahirkan hegemoni kepada kelompok sawi. Sehingga berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat etnis Bajo Ada tiga masalah dalam penelitian yaitu: (1) Bagaimana bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara (2) Apa Ideologi yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara (3) Apa implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori relasi kuasa Foucault untuk mengkaji bentuk-bentuk relasi kuasa antara pengampu kepentingan yakni punggawa (pemerintah, pengusaha) dan nelayan sawi, dan teori Kapital Bordieu untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan teknik Snowball sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Dari hasil penelitian ini dapat ditemukan adanya 3 (tiga) hal. Yang pertama Para punggawa menciptakan hubungan kerja yang bentuk aturan dan perjanjian kerja di tetapkan sepihak oleh para punggawa tanpa adanya penolakan dari para sawi, selain itu akses informasi dibangun melalui pemerintah baik itu eksekutif dan legislatif terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan ekonomi dikuasai oleh para punggawa, serta jaringan pasar melalui kerjasama dengan pedagang luar.dan membangun kerjasama dengan aparat keamanan, untuk melindungi usaha para punggawa Kedua, ideologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo Kecamatan Tiworo Utara yaitu ideologi kapitalisme, ideologi religiusitas, dan ideologi sama-bagai merupakan pembentuk hegemoni kuasa pungawa terhadap sawi melalui aspek budaya masyarakat nelayan. Ketiga relasi kuasa antara punggawa terhadap sawi berimplikasi pada ideologi dimana para sawi harus menunjukkan kepatuhan melalui sentuhan kepercayaan oleh punggawa sebagai pemilik modal, implikasi ekonomi yaitu ketidak setaraan pendapatan, implikasi politik dengan keterlibatan para punggawa dalam politik praktis, implikasi terhadap stratifikasi sosial ditandai dengan berubahnya sistem stratifikasi sosial pada msyarakat etnis Bajo. Kata Kunci : Relasi Kuasa, Punggawa-Sawi, Etnis Bajo, Ideologi, dan Kapitalis.

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • v

    ABSTRAK

    Relasi Kuasa kehidupan ekonomi masyarakat etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat adalah hubungan patron-klien antara pemilik modal dengan pekerja, biasa disebut dengan istilah punggawa-sawi. Dalam menelaah relasi kuasa antara punggawa dan sawi selama orde baru tahun 1970-an dan 1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai sekarang,topik ini di pilih karena sejak era orde baru dan orde reformasi telah terjadi perubahan dengan semakin kuat globalisasi yang diikuti dengan masuknya ideologi kapitalisme, dimana para punggawa semakin gencar membangun relasi-relasi dengan pihak-pihak lain, dalam melakukan pengelolaan hasil laut, yang tampa di sadari melahirkan hegemoni kepada kelompok sawi. Sehingga berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat etnis Bajo

    Ada tiga masalah dalam penelitian yaitu: (1) Bagaimana bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara (2) Apa Ideologi yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara (3) Apa implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan teori relasi kuasa Foucault untuk mengkaji bentuk-bentuk relasi kuasa antara pengampu kepentingan yakni punggawa (pemerintah, pengusaha) dan nelayan sawi, dan teori Kapital Bordieu untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan teknik Snowball sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.

    Dari hasil penelitian ini dapat ditemukan adanya 3 (tiga) hal. Yang pertama Para punggawa menciptakan hubungan kerja yang bentuk aturan dan perjanjian kerja di tetapkan sepihak oleh para punggawa tanpa adanya penolakan dari para sawi, selain itu akses informasi dibangun melalui pemerintah baik itu eksekutif dan legislatif terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mendorong peningkatan ekonomi dikuasai oleh para punggawa, serta jaringan pasar melalui kerjasama dengan pedagang luar.dan membangun kerjasama dengan aparat keamanan, untuk melindungi usaha para punggawa Kedua, ideologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo Kecamatan Tiworo Utara yaitu ideologi kapitalisme, ideologi religiusitas, dan ideologi sama-bagai merupakan pembentuk hegemoni kuasa pungawa terhadap sawi melalui aspek budaya masyarakat nelayan. Ketiga relasi kuasa antara punggawa terhadap sawi berimplikasi pada ideologi dimana para sawi harus menunjukkan kepatuhan melalui sentuhan kepercayaan oleh punggawa sebagai pemilik modal, implikasi ekonomi yaitu ketidak setaraan pendapatan, implikasi politik dengan keterlibatan para punggawa dalam politik praktis, implikasi terhadap stratifikasi sosial ditandai dengan berubahnya sistem stratifikasi sosial pada msyarakat etnis Bajo.

    Kata Kunci : Relasi Kuasa, Punggawa-Sawi, Etnis Bajo, Ideologi, dan Kapitalis.

  • vi

    RINGKASAN

    Relasi Kuasa kehidupan ekonomi masyarakat etnis Bajo di Tiworo

    Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat adalah hubungan

    patron-klien antara pemilik modal dengan pekerja, biasa disebut dengan istilah

    punggawa-sawi. Dalam menelaah relasi kuasa antara punggawa dan sawi selama

    orde baru tahun 1970-an dan 1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai

    sekarang dengan semakin kuatnya arus globalisasi dan kapitalisme, tidak

    sepenuhnya membuat perubahan pada kehidupan etnis Bajo. Salah satu yang masih

    sangat kental dalam kehidupan ekonomi sebagai suatu warisan budaya turun

    temurun mereka adalah hubungan patron-klien antara pemilik modal/pemimpin

    produksi dengan pekerja yang biasa disebut oleh etnis Bajo di Sulawesi Selatan dan

    Tenggara dengan sebutan punggawa-sawi.

    Kata punggawa disamakan dengan pemimpin atau bos. Istilah itu digunakan

    untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang luas antara atasan

    dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Istilah sawi adalah pelengkap

    punggawa, yang bisa ditafsirkan sebagai bawahan atau orang yang memiliki

    hubungan pribadi dengan atasan.

    Relasi Sosial antara Pungawa-Sawi pada komunitas nelayan etnis Bajo di

    Tiworo Utara membentuk ikatan patron-client. Pada awalnya hubungan punggawa

    dan sawi dalam melakukan penangkapan ikan dan pembagian hasil tangkap

    berjalan seimbang dan pembagian hasil tangkapan yang adil antara punggawa dan

    sawi. namun masuknya arus kapitalisme, para punggawa semakin gencar

    membangun relasi-relasi dengan pihak-pihak lain, dalam melakukan pengelolaan

    hasil laut, yang tampa di sadari melahirkan hegemoni kepada kelompok sawi.

    Sehingga berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat etnis Bajo

    Ada 3 (tiga) rumusan permasalah dalam penelitian yaitu: (1) Bagaimana

    bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas nelayan etnis Bajo di

    Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. (2) Apa

  • vii

    Ideologi yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di

    Tiworo Kepulauan, Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. (3) Apa

    implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Tiworo

    Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.

    Tujuan penelitian dilakukan adalah untuk menjawab permasalahan umum

    yang terjadi pada nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat terkait dengan relasi kuasa kelompok Punggawa dan

    kelompok Sawi. Tujuan khususnya adalah menjawab persoalan yang ada pada

    perumusan masalah.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan teori relasi kuasa Foucault untuk

    mengkaji bentuk-bentuk relasi kuasa antara pengampu kepentingan yaitu

    punggawa (pemerintah desa, pengusaha pengumpul hasil laut) dan masyarakat

    nelayan sawi dan pengaruh modernisasi terhadap ideologi kelompok Punggawa dan

    Sawi. Penelitian ini juga menggunakan teori kapital Bordieu, selain untuk melihat

    bentuk relasi kuasa, juga untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa

    Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten

    Muna Barat.

    Hasil penelitian ini dapat di uraikan sebagai berikut; Pertama, Bentuk relasi

    kuasa punggawa-sawi dalam aktivitas Nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan

    Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat, sebagai berukut:

    1. Relasi kuasa antara punggawa dan sawi

    Bentuk hubungan kerja juga terjadi antara punggawa kecil dengan sawinya.

    Punggawa kecil yaitu punggawa yang di berikan modal oleh punggawa

    besar untuk dikelola dalam hal memperluas wilayah kerjanya, dengan cara

    merekrut nelayan kecil tradisional atau menciptakan nelayan sendiri yang

    berada didaerah mereka masing-masing seperti Desa Tasipi, Desa Bero,

    Desa Tiga dan seluruh desa yang ada di Kecamatan Tiworo Utara. Hal ini

    dilakukan selain memperluas hubungan kerja juga bagaimana cara

    punggawa kecil sebagai perpanjangan tangan punggawa besar bisa

  • viii

    menghegemoni wilayah-wilayah persebaran nelayan tersebut, selain itu

    juga untuk memenuhi kebutuhan produksinya.

    Setiap punggawa sudah memiliki sawi masing-masing yang diikat oleh

    hutang piutang. Selama sawi tersebut bekerja pada salah satu punggawa

    besar maka tidak boleh berpindah punggawa sebelum melunasi hutangnya.

    Dan punggawa sendiri tidak boleh mengambil sawi dari punggawa lain jika

    tidak melunasi hutang atau tanpa kehendak dari sawi itu sendiri untuk

    pindah punggawa dan apabila dilanggar maka akan dikenai sangsi oleh

    pedagang luar yang menjadi mitra. Penyebab semakin kuatnya hegemoni

    kuasa para punggawa juga diakibatkan oleh pola hidup dari para sawi itu

    sendiri yang cenderung pragmatis dan tidak teratur karena adanya pola pikir

    mereka bahwa laut telah menyediakan kebutuhan hidup mereka.

    2. Relasi kuasa antara punggawa dan punggawa.

    Relasi yang dibangun antara punggawa dengan punggawa juga sengaja

    diciptakan oleh para punggawa yang memiliki kemampuan modal yang

    cukup besar. Punggawa yang memiliki kemampuan modal disebut sebagai

    punggawa besar, sedangkan punggawa yang di berikan modal oleh

    punggawa besar dengan tujuan untuk menguasa hasil laut yang ada di

    Tiworo Utara, sebelumnya hanyalah sawi yang sudah lama bekerja dan

    memperoleh kepercayaan, loyalitas serta masih memiliki hubungan ikatan

    kekerabatan atau ikatan keluarga dengan punggawa besar disebut

    punggawa kecil.

    Punggawa-punggawa kecil inilah yang kemudian merekrut sawi untuk

    bekerja mengumpulkan hasil laut dengan perahu-perahu kecil. Dari

    pemaparan diatas kita temukan adanya relasi kuasa antara punggawa

    dengan punggawa yang diklasifikasikan sebagai punggawa besar dan

    punggawa kecil selain itu ada pula punggawa laut yang dalam perekrutan

    sawi yang memiliki keahlian khusus ketika berada dilaut.

  • ix

    3. Relasi kuasa antara punggawa dengan pemerintah eksekutif dan legislatif.

    Kemampuan punggawa mampu mengendalikan anggotanya kemudian

    menjadi perhatian khusus baik itu pemerintah eksekutif maupun partai

    politik bahkan kelompok kepentingan lainnya. Punggawa kemudian

    dijadikan sebagai jaringan untuk membangun komunikasi dengan

    kelompok-kelompok nelayan yang dikendalikan oleh para punggawa.

    Seiring perkembangan sosio-politik didaerah, para punggawa kemudian

    berubah menjadi agen yang mengawal kebijakan pemerintah bahkan

    menjadi jaringan politik ditengah-tengah masyarakat nelayan etnis Bajo di

    Kecamatan Tiworo Utara. Para punggawa kemudian berperan bukan hanya

    sebagai pemilik modal dalam penguasaan aset-aset ekonomi tetapi mulai

    masuk dalam ranah-ranah politik sebagai basis politik untuk memudahkan

    melakukan bargaining politik untuk memperkuat eksistensinya dalam

    masyarakat dan juga untuk melindungi aset-aset ekonominya dari intervensi

    pemerintah.

    Relasi antara punggawa dan eksekutif juga sangat berkaitan dengan urusan

    perizinan dalam penangkapan ikan seperti yang tertuang dalam Peraturan

    Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2013

    Tentang Pemantau Kapal Penagkap Ikan dan Pengangkut Ikan. Pasal 2

    menjelaskan bahwa kapal penangkap ikan dengan ukuran di atas 30 gross

    tonnage (GT) yang beroperasi di WPP-NRI dan laut lepas; dan kapal yang

    beroperasi di WPP-NRI dan laut lepas. Maksud dari pasal ini adalah terkait

    dalam urusan dokumen izin penangkapan dan pengangkutan ikan yang di

    atas 30 GT maka menjadi ruang lingkup kementerian. Dengan adanya

    peraturan ini, bagi nelayan utamanya di Kecamatan Tiworo Utara sangat

    membatasi mereka dalam upaya penangkapan ikan sementara berharap bisa

    memperoleh hasil tangkapan yang sebanyak-banyaknya dengan membuat

    kapal penangkapan yang lebih besar namun enggan berurusan dengan

    pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan

    Perikanan.

  • x

    4. Relasi kuasa punggawa dengan pedagang luar

    Relasi antara punggawa dan pedagang luar dalam memasarkan hasil-hasil

    perikanan para punggawa tentunya membutuhkan relasi dengan para

    pedagang yang ada diluar Kecamatan Tiworo Utara. Banyak diantara

    mereka menjadi pedagang perantara. Hubungan perdagangan yang

    dibangun oleh punggawa dengan pedagang dari luar ini menjadi sebuah

    relasi yang kuat dan sulit untuk diputuskan mata rantainya. disebabkan

    hubungan perdagangan ini berlangsung sejak lama. Sebagai pedagang

    perantara, para punggawa ini membangun hubungan kepercayaan dengan

    pedagang yang ada diluar, sehingga para pedagang luar juga tidak tanggung-

    tanggung memberikan kepercayaan berupa bantuan modal bagi para

    punggawa untuk lebih memudahkan mereka mengumpul hasil laut

    Punggawa besar sebagai pemilik modal yang menjadi pengumpul hasil laut

    dari hasil tangkapan laut oleh para sawi secara mutlak menjadi satu-satunya

    yang memiliki akses dengan padagang yang ada diluar wilayah Kecamatan

    Tiworo Utara.Hubungan komunikasi yang terbangun antara punggawa

    besar dan sawi terputus pada punggawa kecil. Sehingga hubungan antara

    pedagang luar hanya bersama punggawa besar karena harga pasaran akan

    hasil laut diluar wilayah Kecamatan Tiworo Utara hanya dimiliki oleh para

    Punggawa untuk memainkan harga pasar untuk memperoleh keuntungan

    yang lebih besar untuk dirinya. Meskipun pada saat nilai harga dari hasil

    laut (ikan, kepiting rajungan, kerang, rumput laut dan teripang) yang

    bernilai ekspor naik, para punggawa tetap membelinya dengan harga yang

    murah dan sudah ditetapkan sebelumnya walapun para punggawa memiliki

    akses terhadap pangsa pasar namun alur perdagangan ditentukan oleh

    pedagang dari luar. Punggawa besar yang ada di Kecamatan Tiworo Utara

    tidak boleh ada monopoli dengan membangun komunikasi lebih dari satu

    pedagang dengan dua jenis usaha.

  • xi

    5. Ralasi kuasa punggawa dengan aparat keamanan.

    Punggawa sebagai pelaku bisnis ditengah-tengah masyarakat tentunya

    mengaharapkan dalam menjalankan bisnis yang aman, nyaman dan tanpa

    gangguan. Pada prinsipnya punggawa menginginkan jaminan keamanan

    dalam menjalankan usahanya sesuai dengan yang ingin dicita-citakan, tanpa

    gangguan dari orang lain. Oleh karena itu para punggawa mempercayakan

    keamanan usaha bisnisnya terhadap lembaga atau institusi yang sah dari

    pemerintah sehingga bagi para punggawa, aparat dari institusi kepolisian

    merupakan lembaga yang paling baik dalam memastikan keamanan bisnis

    mereka.

    Bagi para punggawa yang ada di Kecamatan Tiworo Utara, pihak aparat

    keamanan selain untuk memberikan pelayanan dan perlindungan

    dimasyarakat juga dijadikan sebagai alat untuk memberikan rasa takut bagi

    para sawi. Perlindungan yang diberikan kepada masyarakat justru lebih

    menguntungkan para punggawa agar bisa memberikan rasa aman terhadap

    bisnis mereka.

    Kedua, Ada tiga ideologi dominan yang memengaruhi relasi kuasa antara

    punggawa dan sawi pada etnis Bajo di Tiworo Utara. Ketiga ideologi

    tersebut adalah : ideologi kapitaslisme, ideologi religiusitas, ideologi sama

    dan bagai, Adapun ideologi tersebut adalah sebagai berikut:

    1. Kapitalisme

    Perkembangan sistem ekonomi bergerak tak bisa dilepaskan dari suatu

    corak kebiasaan atau kebudayaan manuasia dalam upaya memenuhi

    kebutuhan hidup dan bermasyarakat. Artinya ada pola-pola ekonomi yang

    dipraktekkan masyarakat dari masa ke masa, seperti sistem mata

    pencaharian, pola-pola ekonomi itu terus bertumbuh dari waktu ke waktu.

    Ketika mata rantai ekonomi itu berkembang, masyarakat itu melakukan

    berbagai tindak transaksi, begitu pula halnya pada masyarakat Bajo di

    Kecamatan Tiworo Utara yang telah mengenal sistem kapitalisme. Ideologi

    kapitalisme bermain dalam arena kepemilikan modal dan penguasaan alat-

  • xii

    alat produksi dengan semakin meningkatnya kebutuhan pokok dalam

    memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

    Faktor utama yang menjadi kendala bagi para sawi dalam hal mau memulai

    usahanya adalah faktor modal. Karena ketika mau memulai usaha sebagai

    nelayan modal yang dibutuhkan tergolong sangat besar.Sehingga tidak ada

    cara lain yang mereka harus lakukan untuk memulai usaha tersebut selain

    harus terlibat utang tampa anggunan fisik dengan meminjam kepada para

    punggawa sebagai pemilik modal. sebab meminjam pada punggawa tidak

    memiliki sarat anggunan seperti yang berlaku pada bank tetapi hanya

    bermodalkan kepercayaan dan semangat mau mencari serta komitmen yang

    telah disepakat

    Pembayaran pinjaman para sawi tidak pernah dibatasi oleh waktu yang

    ditentukan oleh punggawa, dimana semakin lama mereka bisa melunasi

    pinjamannya justru memberikan keuntungan tersendiri buat para punggawa

    sebab kontrak pinjaman para sawi dengan para punggawa berdasarkan cepat

    tidaknya para sawi melunasi pinjaman sendiri. Pembayaran pinjaman

    dilakukan dengan cara dicicil dari setiap penjualan hasil tanggkapan yang

    diperoleh para sawi yang mereka jual kepada punggawa nanti dari hasil

    tersebut baru dilakukan pemotongan pinjaman sesuai kesepakatan dari sawi

    itu sendiri. Jika para sawi menginkan pinjaman modalnya cepat lunas maka

    akan dilakukan pemotongan yang tergolong besar begitupun sebaliknya.

    Namun terkadang punggawa tidak melakukan pemotongan pinjaman jika

    hasil yang diperoleh sedikit.

    Walaupun hal tersebut sebenarnya merupakan bagian dari strategi

    punggawa untuk membuat kesan baik kepada sawi sehingga sawi

    mempunyai simpati tersendiri kepada punggawa. Padahal sebalaiknya hal

    ini dilakukan agar waktu pinjaman para sawi semakin lama sehingga

    ketergantungan terhadap punggawa juga terus berjalan terutama penjualan

    hasil tangkapan.

  • xiii

    2. Religiusitas

    Keyakinan masyarakat Bajo boleh dikatakan semuanya menganut ajaran

    agama islam, namun mereka juga masih memiliki kebiasaan tradisional

    yaitu mempunyai keyakinan terhadap animisme seperti kepercayaan

    terhadap makhluk gaib. Orang Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten

    Muna Barat meyakini bahwa laut hadir dengan berbagai macam aturan

    dalam proses menjalaninya. Dalam keyakinan mereka laut dihuni oleh

    kekuatan-kekuatan roh yang berbentuk makhluk-makhluk gaib. Keberadaan

    makhluk-makhluk itu selalu hidup berdampingan dalam segala aktivitas

    mereka di laut, sehingga ketika ada musibah atau kecelakan. Roh-roh laut

    itu dapat dimintai pertolongan. Sebaliknya bila ada perlakuan-perlakuan

    yang menyimpang, maka roh-roh gaib itu akan hadir dan menghukumnya

    baik dalam bentuk penyakit ataupun kesialan berupa musibah atau bencana

    saat mereka di laut.

    Keyakinan etnis Bajo terhadap kepercayaan kepada mahluk yang dipercaya

    menguasai laut, hal tersebut sama sekali tidak menimbulkan kekhawatiran

    bagi orang Bajo itu sendiri disaat akan melakukan aktivitas melaut. Mereka

    justru mengagungkan ‘penghuni’ laut yang biasa mereka sebut nenek yang

    berada di laut Bombonga Ma Dilao, Mbo Janggo, Mbo Tambirah, Mbo

    Dunggah) penyebutan nama yang selalu mereka samarkan dengan sebutan

    nenek karena kesakralannya. Aktivitas apapun yang mereka akan lakukan

    di laut selalu didahului dengan berbagai ritual, baik sebelum saat melaut dan

    sesudah melaut.

    Salah satu manfaat dari kepercayaan tersebut adalah terkontrolnya sikap dan

    perilaku-perilaku masyarakat etnis Bajo ketika melakukan aktivitas di laut.

    Perlakuan semena-mena terhadap laut dipercaya dapat mendatangkan

    berbagai musibah bagi kehidupan mereka akibat hukuman dari para

    penunggu laut. Idiologi religiusitas menyangkut kepercayaan terhadap

    penunggu lautan, ikut mempengaruhi relasi punggawa terhadap sawinya, ini

    disebabkan oleh mengagungan dan meyakini penjaga laut, berarti harus taat

    terhadap perintah sandro (pemimpin ritual) di tengah pemimpin ritual

  • xiv

    adalah para kerabat atau orang yang dipilih dan sudah ditentukan oleh

    punggawa. Biasanya pemilihan sandro berdasarkan kecocokan dengan sang

    punggawa seperti dalam hal memperoleh rizki dan keselamatan dari setiap

    doa-doa yang dipanjatkan oleh sandro saat berlangsungnya ritual tersebut,

    karena apabila mereka tidak memiliki kecocokan dengan sandro tersebut

    seperti kurang memperoleh rizki, sering ada kerusakan peralatan, sering

    tertimpa musibah dengan demikian pada saat bulan berikutnya punggawa

    akan menggantinya dengan sandro lainnya. Karena otoritas menentukan

    sandro merupakan hak progratif punggawa.

    3. Sama dan bagai.

    Laut dan pinggiran pantai menyediakan berbagai sumberdaya bagi

    masyarakat khususnya bagi masyarakat yang bermukim pulau dan di

    sepanjang pantai maupun wilayah sekitarnya. Sehingga ketersediaan

    sumberdaya alam menjadi ruang hidup dan kehidupan bagi Orang Bajo.

    Sejak turun-temurun, mereka telah hidup di sepanjang pantai bahkan dilaut.

    Laut menyediakan masyarakat Bajo dengan sumber makanan utama

    mereka,dimana laut sudah dianggap ladang atau kebun.

    Dahulu orang-orang Bajo dalam hal membangun hubungan sosial dengan

    masyarakat darat dengan melakukan aktifitas pertukaran barang dalam hal

    memenuhi kebutuhan hidup mereka dimana mereka menukarkan (barter)

    siselo dengan apa yang menjadi kebutuhan orang darat seperti ikan dan

    biota laut lainnya dengan kebutuhan sehari-hari mereka seperti beras,ubu-

    ubian, sayur-sayuran bahkan buah-buahan. Dengan situasi seperti itu,

    menjadikan orang Bajo yang ingin mempertahankan identitasnya sebagai

    orang Bajo yang dimana ketergantungan akan kehidupannya di laut menjadi

    sulit ketika diperhadapkan dengan pengaruh kebutuhan lain yang dibawa

    orang darat bagai.

    Pada tahap ini ketergantungan mereka dengan penduduk darat, sama saja

    dengan tahap sebelumnya, sebab diketahui bahwa orang Bajo hanya dapat

    menangkap ikan dan hasil-hasil laut lainnya, sedangkan bahan pangan

    seperti, beras, jagung dan ubi-ubian tetap diperoleh dari penduduk yang

  • xv

    bermukim di darat. Untuk mendapatkan kebutuhan makanan mereka,

    dilakukan dengan cara tukar-menukar barang (selo), yaitu ikan atau hasil

    laut lainnya yang mereka punya mereka pertukarkan dengan bahan makanan

    yang dibawa oleh penduduk darat sedangkan orang darat mempunyai

    kebutuhan akan hasil laut tersebut. Selain kebutuhan terhadap kebutuhan

    makanan air juga menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat Bajo mengingat

    daerah Bajo tidak memiliki sumber air bersih yang mana dalam

    pemenuhannya mereka mengambilnya di daratan. Keadaan ini

    menyebabkan interaksi sosial mereka dengan penduduk darat sering terjadi

    Sehingga hubungan sosial antara kedua kelompok ini menjadi sesuatu hal

    yang tidak mungkin bisa dihindari.

    Ketika ekonomi mulai berkembang dimana uang sudah menjadi alat

    transaksioanal dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari hal tersebut sangat

    berpengaruh dalam kehidupan suku Bajo dimana mereka tidak terbiasa

    menggunakan uang, Intensitas pertemuannya tidak lagi hanya terjadi di

    pantai dalam kaitannya dengan sistim barter selo terhadap hasil

    tangkapannya, tetapi orang Bajo telah menjangkau aktivitas perdagangan di

    pasar, baik untuk kepentingan menjual hasil tangkapannya maupun untuk

    memenuhi berbagai kebutuhannya maka untuk mendapatkan bahan

    kebutuhan hidup mereka yang bersumber dari penduduk darat atau untuk

    menjual hasil yang mereka peroleh sudah dilakukan dengan proses jual beli

    juga dengan menggunakan uang sebagai alat pembayan, tetapi model

    transaksi awal (selo) masih bisa kita dapat jumpai pula, seperti pada musim-

    musim tertentu terutama untuk hasil-hasil pertanian seperti buah-buahan

    dan sayur-sayuran. Proses ini menimbulkan saling ketergantungan antara

    kedua belah pihak, dimana penduduk darat dalam hal ini bagai

    menyediakan bahan makanan, sedangkan suku Bajo menyediakan

    kebutuhan akan ikan dan hasil laut lainnya.

  • xvi

    GLOSARIUM

    Abal : arus dasar laut, arus yang memiliki kekuatan dan di anggap

    berbahaya

    anaq-anaq : panggilan untuk anak guru , anak murid atau pengikut

    ana : panggilan untuk anak kandung

    athati : adat istiadat yang menjadi pedoman hidup

    athoa : panggilan untuk orang yang lebih tua

    aya : saudara perempuan dari ibu atau ayah

    bagai : sebutan untuk orang dari luar etnis bajo

    bajau : suku laut atau suku bajo.

    Bantaang : ritual tujuh bulanan bagi wanita bajo yang tengah

    mengandung

    bombonga di lao : penguasa laut/raja laut bagi masyarakat bajo

    bua : sebutan untuk segala jenis buah-buahan

    buas : beras

    bubu/rakkang : alat penangkap ikan dan kepiting yang terbuat dari rotan

    atau bambu

    busae : alat yang digunakan untuk mendayung perahu.

    cera leppa : ritual yang diadakan ketika hendak menggunakan perahu

    baru.

    danakang : sebutan umum untuk menyebut saudara bukan hubungan

    darah antara sesama etnis bajo.

    dapuran : ruangan tempat untuk memasak

    dayah lure : ikan teri

    dayah panajang : ikan terbang

    dayah ruruma : ikan ruma-ruma

    gagaras : karang kecil di dasar laut

    gangah : sebutan untuk semua jenis sayur-sayuran

    garas : karang besar yang timbul kepermukaan laut.

    ikha : sebutan umum untuk yang sedikit lebih tua usianya.

  • xvii

    ikha dinde : sebutan untuk kakak kandung perempuan.

    ikha lella : sebutan kakak kandung laki-laki.

    indhi : sebutan umum untuk orang yang lebih muda usianya.

    indhi dinde : sebutan untuk adik kandung perempuan

    indhi lilla : sebutan untuk adik kandung laki-laki

    ipah dinda : saudara perempuan dari suami atau istri/saudara ipar

    perempuan

    ipah : saudara laki-laki dari suami atau istri/saudara par laki-laki

    iwwa : sebutan untuk orang tau laki-laki/ayah

    jagoh : tanaman jagung, yang biasa di dapat sama orang darat

    kallo : burung bangau

    kandora : tanaman ubi jalar

    kondo kayu : tanaman ubi kayu

    langga : batang kayu tempat dudukan perahu atau kapal saat

    dilakukan perawatan

    lappas idul adha : hari raya idhul adha, hari raya agama islam

    lappas idul fitri : hari raya idhul fitri, hari raya agama islam

    leppa : perahu yang berukuran kecil dengan kapasitas 1-3 orang

    yang biasa digunakan untuk alat transportasi disekitar

    lingkungan tempat tinggal atau pemukiman.

    lolo bajo : sebutan bangsawan bajo

    lontah : ruangan tamu

    maca-maca : matra yang diucapkan saat melaksanakan ritual

    mappabatte : hubungan kekerabatan melaluai hubungan perkawinan

    mataoa lella : orang tua laki-laki dari istri/suami

    matoa dinda : orang tua perempuan dari istri atau suami/mertua

    perempuan

    mbo baliang : sebutan lain Petta sidangpelae

    pamakitalo : sebutan untuk mahluk halus

    pamali : pantangan atau larangan untuk dilakukan

    papaleppe ade : sukuran dalam rangka melepas hajat

  • xviii

    papu : sebutan untuk tuhan yang maha esa

    patidurang : ruangan untuk tempat atau kamar tidur

    petta sidangpelae : sebutan lain nama raja laut

    pitoto simuhamma : cerita rakyat bajo tentang nabi muhammad s.a.w

    punggawa : sebutan untuk bos / mandor / nelayan besar

    puto : saudara laki-laki dari ayah atau ibu

    ritual tullak bala : upacara menolak bala/musibah

    sama danakang : sebutan saudara sesama orang bajo

    sandro : dukun, orang yang di anggap sakral dan memiliki

    kesaktian dalam mengabati penyakit dan mampu

    berkomunokasi dengan alam gaib sapa wasamlia,sapa

    bullu mbotangkari,sapa kutta : lokasi penangkapan ikan

    sawi : anak buah/ pengikut / nelayan kecil

    sehe : panggilan untuk kawan

    selo : cara tukar menukar barang

    sesehe : sebutan untuk masyarakat biasa dalam kasta

    siselo : kegiatan pertukaran barang

    sisipau : angin yang berhembus tidak terlalu kencang.

    taimuni : ari-ari bayi yang baru lahir

    tilla bulang : musim terang bulan atau bulan purnama

    titirah : burung camar, burung laut

    turo : musim gelap bulan atau misim penangkapan

    ula-ula : bendera bajo yang digunakan sebagai identitas atau

    simbol etnis bajo

    umbo dinda : orang tua perempuan dari ayah atau ibu/nenek

    umbo lella : orang tua laki-laki dari ayah atau ibu / kakek

    umbo : sebutan umum nenek atau kakek

    umma : sebutan untuk orang tua perempuan kandung/ibu

    umpu dinda : sebutan untuk cucu perempuan

    umpu lilla : sebutan untuk cucu laki-laki

    umpu : sebutan umum untuk cucu

  • xix

    DAFTAR ISI

    JUDUL ........................................................................................... i

    HALAMAN PENGESAHAN ........................................................ ii

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................... iii

    ABSTRAK ....................................................................................... iv

    RINGKASAN .................................................................................. v

    GLOSARIUM ................................................................................ xix

    DAFTAR ISI ................................................................................... xxii

    DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xxvi

    DAFTAR TABEL ........................................................................... xxvii

    BAB. I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1

    1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 11

    1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 12

    1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................... 12

    1.4.2 Manfaat Praktis ........................................................................ 12

    1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................ 13

    BAB. II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL

    2.1 Kajian Pustaka ......................................................................... 15

    2.2 Konsep .................................................................................... 26

    2.2.1 Punggawa sawi ........................................................................ 27

    2.2.2 Patron client ............................................................................ 29

    2.2.3 Ideologi ................................................................................... 31

    2.2.4 Hegemoni ................................................................................ 35

    2.3 Landasan Teori ........................................................................ 38

    2.3.1 Teori Relasi Kuasa ................................................................... 38

    2.3.3 Teori Kapital ........................................................................... 46

  • xx

    2.4 Model Penelitian ...................................................................... 51

    2.5 Bagan Pikir .............................................................................. 52

    2.6 Keterangan Bagan Pikir ........................................................... 53

    BAB. III METODE PENELITIAN

    3.1 Rancangan Penelitian ............................................................... 55

    3.2 Lokasi Penelitian ..................................................................... 57

    3.3 Jenis Data dan Sumber Data .................................................... 58

    3.4 Teknik Penentuan Informan ..................................................... 60

    3.5 Instrumen Penelitian ................................................................ 61

    3.6 Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 61

    3.7 Teknik Analisis Data ............................................................... 65

    3.8 Teknik Penyajian Analisis Data ............................................... 66

    BAB. IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

    4.1 Lokasi Penelitian ...................................................................... 69

    4.2 Asal Usul Etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara .................... 72

    4.3 Kondisi Geografis Kecamatan Tiworo Utara ............................ 77

    4.4 Kondisi Demografis dan Jumlah Penduduk .............................. 78

    4.5 Pendidikan ............................................................................... 79

    4.6 Mata Pencaharian dan Teknologi Perikanan ............................. 82

    4.7 Sistem Kekerabatan Etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara ..... 86

    4.8 Aspek Budaya dan Stratifikasi Sosial ....................................... 89

    4.9 Pola Pemukiman ...................................................................... 98

    4.10 Agama dan Sistem Kepercayaan .............................................. 101

    4.11 Tradisi Ritual ........................................................................... 111

    4.12 Klasifikasi Punggawa Berdasarkan Jenis Usaha

    Di Kecamatan Tiworo Utara. .................................................... 120

  • xxi

    BAB V BENTUK RELASI KUASA PUNGGAWA-SAWI DALAM

    AKTIVITAS NELAYAN ETNIS BAJO DI TIWORO

    KEPULAUAN KECAMATANTIWORO UTARA

    KABUPATEN MUNA BARAT

    5.1 Relasi Kuasa Punggawa dan Sawi ............................................ 126

    5.2 Relasi Kuasa antara Punggawa dan Punggawa ......................... 153

    5.3 Relasi Kuasa Punggawa dengan Pemerintah

    Eksekutif dan Legislatif ............................................................ 162

    5.4 Relasi Kuasa Punggawa dan Pedagang Luar. ............................ 172

    5.5 Relasi Kuasa Antara Punggawa dan Pihak Keamanan. ............. 180

    BAB VI IDEOLOGI YANG ADA DALAM RELASI KUASA

    PUNGGAWA-SAWI PADA NELAYAN ETNIS BAJO

    DI TIWORO KEPULAUAN, KECAMATAN TIWORO

    UTARA KABUPATEN MUNA BARAT

    6.1 Kapitalisme .............................................................................. 185

    6.2 Religiusitas .............................................................................. 198

    6.4 Sama dan Bagai ....................................................................... 223

    BAB VII IMPLIKASI DARI RELASI KUASA PUNGGAWA-SAWI

    PADA NELAYAN ETNIS BAJO DI TIWORO

    KEPULAUAN KECAMATAN TIWORO

    UTARA KABUPATEN MUNA BARAT

    7.1 Ideologi .................................................................................... 246

    7.2 Ekonomi .................................................................................. 255

    7.3 Politik ................................................................................... 276

    7.4 Stratifikasi Sosial ..................................................................... 290

  • xxii

    BAB VII PENUTUP

    8.1 Simpulan .................................................................................. 305

    8.2 Temuan Penelitian .................................................................... 308

    8.3 Saran ...................................................................................... 312

    DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 315

    LAMPIRAN .................................................................................... 324

    Lampiran 1 : Peta Lokasi Penelitian ............................................. 324

    Lampiran 2 : Pedoman Daftar Pertanyaan ................................... 325

    Lampiran 3 : Daftar Informaan ..................................................... 334

  • xxiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 3.1 Peta Kabupaten Muna Barat sebagai lokasi

    penelitian ..................................................................... 57

    Gambar 4.1 Jembatan titian masyarakat Kecamatan Tiworo Utara .. 99

    Gambar 4.2 Program PNPM Mandiri Perdesaan, pembuatan

    titian jalan .................................................................... 99

    Gambar 4.3 Salah satu bentuk pemukiman suku Bajo

    Di Kecamatan Tiworo Utara ........................................ 100

    Gambar 5.1 Kapal (gae) penangkap ikan Punggawa dan Sawi

    di Kecamatan Tiworo Utara ......................................... 130

    Gambar 5.2 H.Nurdin Punggawa besar (tengah) beserta Punggawa

    Kecilnya saat melakukan umroh. Sumber H.Nurdin ..... 136

    Gambar 5.3 Perbedaan Rumah Punggawa dan Sawi. ....................... 138

    Gambar 5.4 Istri dan kerabat para sawi yang bekerja pada

    punggawa ................................................................... 139

    Gambar 5.5 Struktur Punggawa di Kecamatan Tiworo Utara ........... 146

    Gambar 5.6 Jamal Usi Kepala Desa Santiri ..................................... 163

    Gambar 5.7 Penyerahan bantuan perikanan oleh

    Bupati Muna Barat ....................................................... 165

    Gambar 5.8 Alur komunikasi sawi, punggawa dan pedagang luar ... 175

    Gambar 5.9 Jalur Perdagangan ........................................................ 176

    Gambar 7.1 Sawi memperbaiki alat tangkap tradisional. ................. 256

    Gambar 7.2 Sarana dan alat tangkap modern ................................... 257

    Gambar 7.3 Kampanye Pilkada Calon Bupati di Kecamatan

    Tiworo Utara. .............................................................. 285

    Gambar 7.4 Implikasi dalam stratifikasi sosial etnis bajo. ................ 301

  • xxiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel 4.1 Luas Wilayah Kabupaten Muna Barat berdasarkan

    Kecamatan Tahun 2016 ..................................................... 69

    Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin Menurut

    Kecamatan di Kabupaten Muna Barat, 2016 ...................... 70

    Tabel 4.3 Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan, Luas

    Wilayah dan Kepadatan Tahun 2016 ................................. 71

    Tabel 4.4 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rasio

    berdasarkan Desa/Kelurahan, 2016 .................................... 78

    Tabel 4.5 Luas wilayah, jumlah penduduk dan persebaran

    penduduk Kecamatan Tiworo Utara 2016 .......................... 79

    Tabel4.6 Jumlah sekolah, murid dan guru serta rasio murid/guru

    Kecamatan Tiworo Utara tahun 2016 ................................. 81

    Tabel 4.7 Banyaknya Alat Tangkap Ikan di Tiworo Utara

    Tahun 2013-2016. .............................................................. 83

    Tabel 4.8 Jumlah Produksi Pengolahan Ikan dari Tahun

    2013-2016 di Kecamatan Tiworo Utara. ............................ 84

    Tabel 4.9 Jumlah Perahu di Kecamatan Tiworo Utara, 2015-2016 ..... 85

    Tabel 4.10 Daftar dan Jumlah Punggawa dan jenis usaha

    di Kecamatan Tiworo Utara 2016 ...................................... 121

    Tabel 5.1 Pembagian tugas punggawa laut dan sawi saat melaut. ...... 128

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Indonesia dikenal sebagai negara maritim yang memiliki wilayah perairan

    yang luas (±70%), dibanding dengan daratan dan memiliki ribuan pulau besar

    maupun kecil yang dihuni oleh berbagai macam suku bangsa yang menyebar dan

    menetap pada pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Mereka

    mendiami wilayah-wilayah tersebut secara turun-temurun dengan kebudayaan,

    kelembagaan, serta sistem sosial dan ekonomi masing-masing, sehingga disebut

    sebagai negara bahari. Sebagai negara bahari, Indonesia tidak hanya memiliki satu

    laut utama atau heart of sea, tetapi terdapat tiga laut utama yang membentuk

    Indonesia sebagai suatu sea system, yaitu Laut Jawa, Laut Flores, dan Laut Banda

    (Houben, 1992: 8).

    Sebagai negara maritim, Indonesia masih dijumpai beberapa suku bangsa

    yang masih menerapkan pola budaya maritim dalam setiap sendi kehidupan. Salah

    satu etnis yang sangat terkenal sebagai pendukung kebudayaan maritim yaitu etnis

    Bajo. Bajo merupakan suku bangsa yang hidup bebas mengembara di lautan luas

    sehingga sering dikenal sebagai pengembara laut (sea nomads). Pada beberapa

    literatur, etnis Bajo bahkan diidentikan dengan berbagai julukan diantaranya

    sebagai manusia perahu atau sea gypsy. Suku Bajo banyak tersebar di perairan Selat

    Makassar, Teluk Bone, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Banggai, Teluk Tomini,

    Maluku Utara dan peraian laut Sulawesi.

  • 2

    Etnis Bajo tersebar di berbagai tempat di Indonesia, juga di negara luar

    seperti Malaysia,Thailand dan Australia dan Filipina. Meski demikian, bahasa yang

    digunakan tetap sama yaitu bahasa Bajo. Ada dua versi sejarah suku Bajo, pertama

    ada yang berpendapat dari Johor, tapi ada juga yang mengatakan berasal dari

    Palopo, Sulawesi Selatan. Sementara jika dilihat dari segi bahasa, terdapat

    kesamaan yang digunakan yakni bahasa tagalog, di Filipina, Malaysia, dan

    Australia (Tahara, 2013: 41). Di pihak lain, (Sopher, 1971) telah mengumpulkan

    toponim yang bernama Bajo (Bajau) dan menggambarkannya dalam sebuah peta.

    Jangkauan penyebaran orang Bajo meliputi seluruh perairan Indonesia dan seluruh

    penjuru wilayah semenjak abad XVI.

    Selanjutnya, menurut (Lapian, 1987 : 12) pada kawasan Sulawesi di abad

    XIX. Sama halnya dengan etnis lain, etnis Bajo merupakan kelompok masyarakat

    yang hidup dengan memerlukan gerakan bebas. Hanya saja, mereka hidup bebas di

    alam laut dan terus-menerus hidup di atas perahu. Secara alami, mereka telah

    menyatukan dirinya dengan kehidupan laut. Selaras dengan sumber daya alamnya

    dan menjadi bagian dari laut dalam segala aspek, baik di ligkungan alam, sosial,

    maupun budaya yang tidak mudah dipisahkan dari kelangsungan hidup mereka,

    Sebagai tipe ideal, orang laut, berdasarkan tipologi sederhana ini, dimaksudkan

    Lapian sebagai semua kelompok masyarakat yang belum atau tidak mengenal

    bentuk organisasi kerajaan atau negara, umumnya hidup berkelompok dalam

    perkampungan perahu dengan sifat mobile (hingga kerap disebut sea-nomads atau

    sea-gypsies). Raja laut dimaksudkan sebagai “kapal dan perahu yang merupakan

    kekuatan laut raja-raja di Asia Tenggara yang melakukan tugasnya sebagai pelayar

  • 3

    di perairan kerajaan,” dan mempunyai semacam “wenang-wenang” untuk

    melakukan kekerasan terhadap siapa saja yang memasuki wilayahnya.

    Lebih dari itu, etnis Bajo mengenali laut sebagaimana mengenali diri

    mereka sendiri. Mereka mencintai laut sebab dianggap sebagai bagian dari hidup

    mereka sehingga tidak dapat dipisahkan dari laut. Salah satu alasan paling mendasar

    dari hal tersebut adalah, keyakinan bahwa leluhur mereka berasal dari laut, hidup

    di laut, dan sebagai penguasa laut (mbombonga di lao). Dengan demikian, maka

    laut yang memberi rezeki, kebaikan, kesehatan, penyakit dan laut jugalah yang

    melindungi mereka dari bencana (Trisnadi, 2002).

    Keyakian tentang laut adalah milik bersama menjadikan setiap orang Bajo

    bebas melakukan pengembaraan. Keyakinan tersebut menjadikan mobilitas yang

    tinggi dilakukan oleh masyarakat Bajo. Dapat dilihat dari kecendrungan suka

    berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu pulau ke pulau lain

    dengan menggunakan perahu (leppa), sehingga kelompok mereka ini disebut juga

    sebagai sea gypsies atau sea nomads (Sopher, 1971 : 43).

    Seiring perkembangan zaman, etnis Bajo yang sebelumnya hidup

    mengembara (nomaden) menjadi tinggal menetap di wilayah pesisir laut. Sudah

    banyak etnis Bajo yang menyebar di sepanjang pantai dan membuat rumah

    permanen sebagai tempat tinggal. Beberapa permukiman etnis Bajo yang telah

    menetap dengan jumlah populasi yang cukup besar salah satunya ditemukan di

    sepanjang gugusan kepulauan dan pesisir pantai Sulawesi baik Sulawesi Selatan,

    Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawsi

    Tenggara.

  • 4

    Menurut (Suyuti, 2009: 2), sejarah suku Bajo yang ada di Sulawesi

    Tenggara berasal dari Bugis, Bone, Sulawesi Selatan. Mereka adalah orang-orang

    yang ditugaskan oleh seorang raja Bone yang bernama Sultan Mahmud, untuk

    mencari putrinya yang hilang, tetapi mereka tidak berhasil menemukannya.

    Sehingga mereka tidak berani lagi kembali ke daratan, kemudian mereka berpencar

    menelusuri pantai-pantai sambil mencari makanan agar mereka dapat tetap hidup

    dalam perjalanan. Sebagian dari mereka ada yang berlayar sampai dibeberapa

    kepulauan seperti di Kabupaten Muna, Buton, dan Kendari. Kemudian Etnis Bajo

    mendirikan rumah di pulau-pulau dan pesisir pantai dan mulai tinggal menetap,

    menyebabkan jumlah etnis Bajo yang menggantungkan hidupnya diperahu-perahu

    kayu mulai berkurang. Hal ini merupakan dinamika perkembangan dan arus

    globalisasi yang membawa perubahan-perubahan secara sosial, ekonomi dan

    budaya pada kehidupan etnis Bajo.

    Perkembangan zaman dari masa penjajahan, awal kemerdekaan 1945, masa

    orde baru 1970-an dan 1980-an serta orde reformasi awal tahun 1998 dengan arus

    globalisasi yang terjadi, tidak sepenuhnya membuat perubahan pada kehidupan

    etnis Bajo. Salah satu yang masih sangat kental dalam kehidupan ekonomi sebagai

    suatu warisan budaya turun-temurun mereka adalah hubungan patron-klien antara

    pemilik modal/pemimpin produksi dengan pekerja yang biasa disebut oleh etnis

    Bajo di Sulawesi Selatan dan Tenggara dengan sebutan Punggawa-Sawi. Bentuk

    hubungan patron-klien ini dapat berupa pertukaran material dan jasa (Lampe,

    1990).

  • 5

    Sejalan dengan hal itu, (Scott, 1993: 91-92) menyebutkan bahwa hubungan

    patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa dalam berbagai

    bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, dan pihak yang

    menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas pemberian

    tersebut.

    Kata Punggawa dapat disamakan dengan pemimpin atau bos. Istilah

    tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang

    luas antara atasan dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Sementara

    Sawi adalah pelengkap Punggawa, yang dapat ditafsirkan sebagai bawahan atau

    orang yang memiliki hubungan pribadi dengan atasan. Dan karena adanya

    hubungan pribadi, maka Punggawa kerap merujuk kepada Sawi mereka sebagai

    anaq-anaq (anak), anaq guru (murid atau pengikut) atau tau (orang) (Pelras,

    2009:52-53).

    Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan satu

    wilayah heterogen yang dihuni oleh beberapa etnis, yang hidup di darat maupun di

    pulau-pulau dan pesisir pantai. Berdasarkan Sensus Ekonomi Kependudukan tahun

    2010, jumlah populasi penduduk Kabupaten Muna Barat adalah sebanyak 83.364

    jiwa, dengan kepadatan mencapai 81,5 jiwa/km2. Etnis utama yang mendiami

    daerah ini adalah etnis Muna dan etnis Bajo. Selain itu, terdapat pula penduduk

    transmigran yang berasal dari Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tiap-tiap etnis yang

    tersebar di wilayah Muna Barat memiliki unsur-unsur yang khas dan memiliki

    bahasa daerah yang berbeda-beda pula.

  • 6

    Tiworo Utara adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Muna

    Barat yang penduduknya rata-rata Etnis Bajo. Jumlah penduduk sebanyak 5.195

    jiwa yang tersebar di tujuh desa, yakni Desa Tondasi, Desa Bero, Desa Mandike,

    Desa Santigi, Desa Santiri, Desa Tasipi, dan Desa Tiga. Semua warga di tujuh desa

    di Kecamatan Tiworo Utara tersebut rata-rata masih menggantungkan hidupnya di

    laut dengan bekerja sebagai nelayan dan pengumpul hasil-hasil laut.

    Kehidupan sehari-hari Etnis Bajo di Tiworo Utara dalam hubungannya

    dengan sistem sosial, ekonomi, dan budaya yang masih sangat tradisional. Sistem-

    sistem tradisional yang terbentuk sebagian besar bergantung dari aturan atau norma

    hubungan sosial, budaya, dan ekonomi. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya

    bahwa sistem tradisional masih banyak yang dipertahankan, salah satunya relasi

    sosial Punggawa dan Sawi. Relasi sosial antara Pungawa-Sawi pada komunitas

    nelayan etnis Bajo di Tiworo Utara membentuk ikatan patron-client yang pada

    mulanya hubungan Punggawa dan Sawi dalam melakukan penangkapan ikan dan

    pembagian hasil tangkap berjalan seimbang dan pembagian hasil tangkapan yang

    adil antara Punggawa dan Sawi.

    Seiring perkembangan zaman sejak masa orde baru tahun 1970-an dan

    1980-an serta masuknya orde reformasi 1998-sampai sekarang, dimana semakin

    kuatnya arus globalisasi, para punggawa sudah mengenal sistem perdagangan

    dengan pedagang dari luar etnis bajo, serta kebutuhan Etnis Bajo di Tiworo Utara

    juga semakin kompleks dalam penataan proses kehidupan ekonomi. Para

    Punggawa menuntut kepatuhan kelompok Sawi sehingga sering kali memunculkan

    perbedaan pendapat antara kelompok Punggawa dengan Sawi. Punggawa yang

  • 7

    menjalankan praktek-praktek kapitalis dan kekuasaan, membangun relasi-relasi di

    luar etnis Bajo. Di sisi lain kelompok Sawi adalah anggota masyarakat Bajo yang

    dipekerjakan oleh kelompok Punggawa, dimana kelompok Sawi harus mematuhi

    peraturan terkait kewenangan yang dimiliki punggawa. Dimana Punggawa sebagai

    pemilik modal dan kekuasaan, berupaya memengaruhi etnis Bajo sawi untuk

    mendapatkan ke untungan yang lebih besar, yang juga sebagai nelayan dalam hal

    ini kelompok Sawi di Kecamatan Tiworo Utara, di tuntut untuk mengikuti dan patuh

    terhadap aturan yang telah ditetapkan, yang tanpa disadari merugikan kelompok

    Sawi.

    Penetrasi budaya kapitalisme melalui pertukaran ekonomi mengubah

    orientasi produksi nelayan Bajo di Kecamatan Tiworo Utara. Perubahan mulai

    terjadi. yang semula hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kini

    meningkat dengan memikirkan kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh

    keuntungan. Tidak hanya menangkap ikan tetapi juga melakukan diversifikasi

    usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan seiring sistem

    kapitalisme yang berlaku. Kapitalisme etnis Bajo di Tiworo Utara semakin

    menggeliat didukung oleh masuknya teknologi pengelolaan dan pengolahan ikan.

    dalam teknologi pengolahan hasil perikanan, nelayan memiliki jenis kapal purse

    seine dan kapal motor berbobot 30 GT1.

    Peran kapitalis bagi etnis Bajo di Tiworo Utara telah mengubah hubungan-

    hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja yang dilakukan oleh

    kelompok Punggawa dan menggunakan kelompok Sawi sebagai buruh upahan

    seperti dalam sistem perniagaan ikan, teripang, kepiting, dan mutiara yang dikelola

  • 8

    nelayan etnis Bajo di Tiworo Utara yang berskala ekspor dengan jaringan

    perdagangan yang luas seperti Pulau Jawa, Bali hingga ke wilayah singapura dan

    Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan. Jika kelompok Sawi tidak

    maksimal dalam bekerja maka kelompok keluarganya pun diperbantukan.

    Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat etnis Bajo di Kecamatan

    Tiworo Utara mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi usaha ke arah

    produksi modern dengan mempraktekkan cara-cara kapitaslime antara etnis bajo

    piunggawa dan sawi.

    Keadaan tersebut di atas sejalan dengan yang dikatakan oleh (Kumbara,

    dkk. 2016 : 3) bahwa di tengah arus globalisasi dan modernisasi menyebabkan

    ideologi kapitalisme dan rasinalisme materialistik keseluruh dunia telah

    menimbulkan transformasi tidak hanya dalam aspek sosial budaya dan ekonomi,

    tetapi juga dalam keberagaman.

    Adanya perubahan atau pergeseran terhadap pola hubungan patron-klien

    antara Punggawa dan Sawi pada masyarakat Bajo di Kecamatan Tiworo Utara,

    berpotensi menimbulkan beberapa masalah. Misalnya pendistribusian modal dan

    pendapatan yang tidak merata, kemiskinan yang terus-menerus, bahkan berpotensi

    menimbulkan konflik diantara kelompok yang berkepentingan. Apabila dibiarkan,

    maka akan menimbulkan disharmoni antara kelompok etnis Bajo Punggawa dan

    kelompok Sawi.

    Hal ini sejalan dengan penyataan, (Mattulada, 1986), menyatakan bahwa

    melihat hubungan patron-klien (Punggawa-Sawi) masa lalu sebagai institusi yang

    berfungsi mempertahankan tatanan kolektivitas dan jaminan sosial-ekonomi bagi

  • 9

    para anggotanya. Dalam kehidupan di perahu sehari-hari, menurutnya tidak tampak

    jelas perbedaan status dan peran di antara Punggawa dan Sawi. Namun terjadinya

    arus modernisasi perikanan sejak paruh kedua dasawarsa 1970-an, menciptakan

    diferensiasi peran kerja dalam organisasi kerja sama, memperkuat jiwa kapitalisme,

    perbedaan peruntukkan dalam sistem bagi hasil yang pada gilirannya

    mempengaruhi berkurangnya bagian pendapatan setiap anggota kelompok

    Punggawa dan Sawi.

    Sejalan dengan Mattulada, (Scott, 1993: 7-8) mengemukakan bahwa

    hubungan patron-klient merupakan pertukaran hubungan antara kedua peran yang

    dapat dinyatakan secara khusus sebagai ikatan persahabatan. Artinya, seorang

    individu dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh

    dan sumber daya untuk menyediakan perlindungan serta keuntungan-keuntungan

    bagi seorang dengan status yang lebih rendah (klient). Kajian relasi patron-client

    dalam Punggawa dan Sawi yang melihat kelembagaan masyarakat nelayan sebagai

    mekanisme penjaminan sosial ekonomi tradisional (traditional socio-economic

    security).

    Relasi antara Punggawa dan Sawi dapat dikategorikan sebagai hubungan

    yang tidak seimbang atau tidak adil dalam kondisi pendistribusian pendapatan.

    Pengikat hubungan norma ini lebih banyak ditentukan oleh fungsi atau peran

    Punggawa sebagai figur utama untuk semua Sawi yang dipekerjakan. Bukan hanya

    itu, tetapi termasuk pinjaman keuangan, barang-barang rumah tangga, dan

    perlindungan atau kesediaan menyiapkan bantuan pada saat dibutuhkan.

  • 10

    Karakteristik dan prilaku hubungan norma sosial Punggawa dan Sawi,

    akhirnya menentukan tingkatan hubungan diantara etnis Bajo di Kecamatan Tiworo

    Utara. Hubungan kekerabatan sesama etnis Bajo merupakan unsur yang berperan

    dalam mempermudah akses seseorang terhadap peluang atau sumber daya ekonomi

    dan sosial seperti perekrutan Sawi oleh para Punggawa. Perekrutan Sawi sesama

    etnis Bajo di Tiworo Utara sendiri didasarkan pada pertimbangan ketenangan dan

    ketentraman dalam bekerja. Selain itu juga untuk membantu sanak keluarga yang

    belum bekerja.

    Sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus

    diperintah oleh orang lain. Namun tidak disadari bahwa “spirit of capitalism” oleh

    kelompok Punggawa akan merugikan kelompok sawi secara ekonomi.

    Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan kekerabatan (kinship) terkait

    erat dengan kelangsungan kehidupan etnis Bajo di Tiworo Utara.

    Hubungan harmonisasi yang selalu terjaga diantara sesame etnis Bajo

    dipersatukan dengan kultur dan budaya yang sama dimanapun etnis Bajo berada.

    Masuknya Era globalisasi tidak memudarkan ikatan yang sudah lama terbangun

    walapun pada kenyataannya dengan masuknya ideologi kapitelisme yang

    menciptakan relasi kuasa bisa memicu terjadinya konflik diantara sesama

    masyarakat etnis Bajo.

    Dari uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini mengangkat judul

    “Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada Nelayan Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan

    Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara”.

  • 11

    1.2 Rumusan masalah

    Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

    1. Bagaimana bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam aktivitas

    nelayan Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat?

    2. Ideologi apa yang ada dalam Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan

    etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna

    Barat?

    3. Apa implikasi dari relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di

    Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji, memahami, dan

    mendeskripsikan relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo di Tiworo

    Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi

    Tenggara, tentang bentuk relasi kuasa etnis Bajo, dan juga untuk menganalis dan

    memaparkan tentang ideologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi pada

    nelayan etnis Bajo, serta memaparkan implikasi yang ada dalam hubungan relasi

    kuasa nelayan etnis Bajo Kabupaten Muna Barat pada khususnya dan Provinsi

    Sulawesi Tenggara pada umumnya.

    1.3.2 Tujuan Khusus

    Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara

    khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

  • 12

    1. Untuk mengungkap bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi pada

    nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat?

    2. Untuk menganalisis idiologi yang ada dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi

    pada nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat?

    3. Untuk mengkaji implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Punggawa-Sawi

    pada nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat?

    1.4 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang sangat berarti

    dalam berbagai bidang. Selain itu, diharapkan pula dapat memberikan sumbangan

    teoretis dan praktis. Lebih rinci, manfaat teoritis dan praktis penelitian ini dapat

    dilihat pada penjabaran berikut.

    1.4.1 Manfaat Teoritis

    Dari perspektif teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

    pengembangan dan penggunaan teori relasi kuasa, teori hegemoni, dan praktik

    sosial. Hasil penelitian ini setidaknya dapat memberikan manfaat tentang penguatan

    konsep dan cakupan kajian budaya. Disamping itu hasil penelitian ini diharapkan

    dapat memberikan penjernihan dan penguatan mengenai pentingnya kajian budaya

    dalam penelusuran dan pembahasan isu-isu dalam kehidupan masyarakat,

    khususnya pada nelayan etnis Bajo.

    1.4.2 Manfaat Praktis

  • 13

    Selain memiliki manfaat teoritis, penelitian ini juga memiliki sejumlah

    manfaat praktis, di antaranya sebagai berikut.

    1. Menjelaskan tentang relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam konteks kehidupan

    nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara yang

    diharapkan berdampak pada peningkatan kesadaran dan solidaritas kehidupan

    bersama dalam masyarakat tersebut.

    2. Memberikan konstribusi pemikiran yang dapat disumbangkan dalam rangka

    mengatasi dan menyelesaikan segala permasalahan, khususnya pada etnis

    nelayan Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara.

    3. Memberikan motivasi dan kontribusi secara keilmuan bagi akademisi dalam

    melakukan penelitian yang relevan.

    1.5 Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian difokuskan pada bentuk-bentuk relasi kuasa, ideologi yang

    terdapat dalam relasi kuasa, serta implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa

    Punggawa-Sawi pada kehidupan nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan

    Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. Faktor-faktor yang dianalisis

    dalam penelitian ini adalah relasi kuasa Punggawa-Sawi dalam kehidupan nelayan

    Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.

    Terkait dengan ideologi yang terdapat dalam relasi kuasa pada nelayan etnis

    Bajo, akan digambarkan tentang implikasi yang terjadi dalam relasi kuasa Bajo baik

    bagi kehidupan, pandangan etnis Bajo, maupun etnis lain yang terdapat di sekitar

    lingkungan Bajo yang terdapat di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara

    Kabupaten Muna Barat. Selain itu, akan digambarkan pula impliasi ekonomi,

  • 14

    politik, dan budaya dalam kehidupan nelayan etnis Bajo, serta implikasinya bagi

    kebijakan pemerintah baik itu implikasi positif maupun negatifnya.