demokrasi gagal

7
Demokrasi Gagal Yasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan Kebudayaan Sumber : KOMPAS, 27 Juni 2012 Hasil survei lembaga riset The Fund for Peace 2012, yang menempatkan Indonesia sebagai negara gagal, telah membuat gerah pemerintah. Dengan indikator tekanan demografi, protes kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM), Indonesia dianggap gagal dalam aspek pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Terpuruknya Indonesia di peringkat negara gagal bertentangan dengan cita-cita reformasi dan demokratisasi, karena implisit dalam indikator yang digunakan dalam penilaian adalah indikator tentang demokratisasi: kebebasan, toleransi, keadilan, HAM, hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Artinya, terpuruknya Indonesia menjadi negara gagal sama artinya dengan gagalnya proses demokratisasi, menghasilkan ”demokrasi gagal”. Kegagalan demokratisasi karena tak ada pemahaman, kesadaran, dan penghayatan memadai soal prinsip demokrasi. Demokrasi

Upload: faturokhman-eka-nugraha

Post on 17-Sep-2015

8 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

asdfasf

TRANSCRIPT

Demokrasi GagalYasraf Amir Piliang ; Pemikir Sosial dan KebudayaanSumber : KOMPAS, 27 Juni 2012

Hasil survei lembaga riset The Fund for Peace 2012, yang menempatkan Indonesia sebagai negara gagal, telah membuat gerah pemerintah.

Dengan indikator tekanan demografi, protes kelompok minoritas dan hak asasi manusia (HAM), Indonesia dianggap gagal dalam aspek pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.

Terpuruknya Indonesia di peringkat negara gagal bertentangan dengan cita-cita reformasi dan demokratisasi, karena implisit dalam indikator yang digunakan dalam penilaian adalah indikator tentang demokratisasi: kebebasan, toleransi, keadilan, HAM, hak atas pendidikan dan layanan kesehatan. Artinya, terpuruknya Indonesia menjadi negara gagal sama artinya dengan gagalnya proses demokratisasi, menghasilkan demokrasi gagal.

Kegagalan demokratisasi karena tak ada pemahaman, kesadaran, dan penghayatan memadai soal prinsip demokrasi. Demokrasi sekadar prosedur yang ditunjukkan melalui pemilu langsung, atau melalui kebebasan terdistorsi, sehingga nyaris tak berbeda dari anarkisme, tecermin dari kekerasan horizontal, kekerasan antar-aparat, kekerasan vertikal, serta merebaknya ormas anarkis, dalam kondisi absen dan lemahnya negara.

Mafia Demokrasi

Gagalnya demokrasi karena dalam tubuhnya tumbuh parasit, berupa elemen para-demokrasi: mafia (anggaran, pajak, hukum, politik), geng (motor), preman (pasar, pengadilan), calo (anggaran, pemilu), dan para-militer (ormas anarkis). Akibatnya, ruang demokrasi jadi semacam kamar gelap, di mana begitu banyak transaksi gelap, konsensus jahat, pertukaran ilegal dalam pasar gelap politik.

Kekuatan para-demokrasi dan mafioso ini menciptakan relasi kekuasaan tak transparan, kabur, dan tak tersentuh, karena kekuasaan nyata bukan di tangan otoritas (aparat negara), tetapi di tangan semacam kekuatan tak tampak. Inilah kekuatan rahasia, yang dalam ketaktampakkannya melakukan aneka konspirasi, persekongkolan, komplotan, konsensus jahat, bahkan coup detat (Bobbio, 1987).

Kekuatan tak tampak ini menyebabkan pemberantasan korupsi gagal total, karena lembaga hukum sendiri tersandera kekuatan ini, sehingga terkesan tak independen dan menangani kasus korupsi sesuai pesanan. Lembaga penegak hukum ini juga seakan menghadapi sebuah tembok besar korupsi, yaitu korupsi dalam skala masif, berjemaah dan berjejaring, yang sulit diurai ujung pangkalnya, yang aktornya bersembunyi di dalam jejaring.

Merebaknya kekerasan, mafia, dan korupsi menunjukkan belum terbangunnya rezim kebenaran sebagai syarat mutlak demokrasi, yaitu karakteristik perilaku, pola, atau prosedur dan aparatus dalam menghasilkan kebenaran. Rusaknya aparatus rezim kebenaran ditandai mandulnya perangkat hukum, macetnya penegakan hukum, dan apatisme terhadap hukum. Hukum yang bertugas mengungkap kebenaran justru jadi aparatus manipulasi kebenaran (Foucault, 2007).

Demokrasi mensyaratkan terbangunnya subyektivitas, yaitu individu-individu yang mengidentifikasi diri pada bahasa, gagasan, atau ideologi, yang diikat spirit toleransi dan penghargaan sang liyan (other), yang di atasnya ide kebebasan dimanifestasikan. Dalam sistem demokrasi kita kebebasan individu (liberalisme) bertabrakan dengan kebebasan komunitas (komunitarianisme), tanpa fondasi toleransi, yang memicu lingkaran konflik horizontal tak berujung.

Demokrasi memberi ruang hidup bagi komunitas politik, berupa partai, ormas, gerakan sosial, atau organisasi keagamaan, untuk memperjuangkan yang politik (the political). Namun, di antara komunitas itu mesti dibangun relasi adversari (adversary), di mana keyakinan lawan kita tolak, tapi eksistensi mereka kita terima, bukan relasi musuh, yang keyakinan dan eksistensinya kita tolak. Dalam tubuh demokrasi kita, relasi adversari ini gagal dibangun (Mouffe, 1993).

Akibatnya, konflik dan kekerasan horizontal terus merebak, tanpa ada yang dapat menghentikan: tawuran pelajar, kekerasan mahasiswa, pertarungan geng, perang suku, kekerasan antarkelompok agama, kekerasan lintas partai, atau kekerasan antar-aparat. Dalam kondisi demikian, negara seperti absen dan tak berdaya. Upaya penyelesaian konflik justru diserahkan kepada pemuka adat, suku, atau agama, karena negara sudah tak dipercaya.

Demokrasi Lipstik

Demokrasi juga dianggap gagal karena ia hanya demokrasi permukaan, demokrasi kulit luar, yang ditunjukkan oleh dominasi citra dan pencitraan, tetapi gagal membangun hal-hal substansial: keadilan, kemanusiaan, toleransi, kejujuran, ketepercayaan, kebenaran, pengetahuan, dan intelektualitas.

Demokrasi layaknya gadis manja penuh aroma lipstik dan parfum, tapi tak punya kecakapan dan kecerdasan. Demokrasi substansial terdistorsi demokrasi prosedural atau demokrasi pencitraan, di mana peran citra dan pencitraan yang mestinya sekunder justru primer. Akibatnya, elemen-elemen hiburan, seduksi, retorika, permainan bahasa, permainan tanda, sensualisme, dan selebritas kini menjadi esensial. Ada proses esensialisme yang banal di dalam ruang demokrasi. Hanyut dalam strategi citra banal, para elite politik lupa tugas-tugas esensial demokrasi (Zi?ek, 2008).

Pikiran, kesadaran, dan energi para elite politik terserap melayani hasrat citra dan pencitraan, yang tanpa disadari jadi sebuah ekses sekaligus perangkap demokrasi berbahaya. Ini karena demokrasi pencitraan perlu dana sangat besar, yang harus diadakan untuk dapat merawat konstituen dan memenangi suara rakyat. Demokrasi pencitraan berbiaya tinggi ini jadi bumerang karena ia mendorong individu dan partai mencari dana ilegal, terutama korupsi.

Ketika demokrasi gagal secara substansial, mestinya ada kekuatan pendorong lain. Kekuatan demokrasi tandingan, yaitu kekuatan kelompok masyarakat, dengan fungsi surveillance, yaitu secara permanen mengawasi, memonitor, menyelidiki setiap gerak-gerik penguasa, sambil memberikan tekanan permanen berupa demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif untuk menegakkan kekuasaan rakyat (Rosanvallon, 2008).

Dalam jerat intoleransi, kekerasan horizontal, kemiskinan, pengangguran, inhumanitas, banalitas demokrasi, rusaknya lingkungan, terancamnya kesehatan, rakyat justru terlupakan, sementara negara absen. Elite eksekutif tampak tak profesional, elite legislatif asyik dengan diri sendiri, sementara elite yudikatif sibuk cari uang saku. Tak ada yang mengurus infrastruktur, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

Negara gagal karena demokrasi gagal. Demokrasi gagal karena negara-bangsa tak mampu membangun fondasi penting demokrasi, yaitu keadaban. Adalah keadaban yang mendorong individu atau kelompok membangun budaya publik yang sehat, tempat ia berbuat jujur, santun, dan toleran; yang mengetahui bagaimana menghargai pihak lain sebagai adversari; yang tahu bagaimana mendengarkan orang atau kelompok lain; yang empati terhadap orang-orang tak beruntung; dan yang mendorong nilai-nilai kebaikan bersama (common good).

Ironisnya, arsitektur demokrasi kita ditopang ego individu, sentimen kelompok dan spirit sektarian yang kokoh. Demokrasi tanpa spirit kebaikan bersamayaitu kebaikan bangsadidominasi hasrat kekuasaan individu atau kelompok melalui pesta demokrasi pencitraan, di mana mereka sibuk mencari uang untuk membiayai strategi pencitraan berbiaya tinggi, dan tak punya waktu mengurusi kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kesejahteraaninilah demokrasi gagal