dekrit presiden 5 juli 1959 24

18
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekret ini adalah pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu 1955dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara 1950 keUUD 1945. A. Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituantepada 22 April 1959 yang isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak dan tetapi makanya pemungutan suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah minimum anggota yg harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa perhentian sidangparlemen; masa istirahat dari kegiatan

Upload: sacha-meliala

Post on 26-Dec-2015

152 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia

yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekret ini adalah pembubaran Badan

Konstituante hasil Pemilu 1955dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara

1950 keUUD 1945.

A. Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk

menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang

pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil

merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat

untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden

Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituantepada 22 April 1959 yang

isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante

melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara

tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak dan tetapi makanya pemungutan

suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah

minimum anggota yg harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari

separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali

dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal

mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa

perhentian sidangparlemen; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang ternyata merupakan

akhir dari upaya penyusunan UUD.

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:

1. Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik

yang telah goyah selama masa Liberal.

2. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.

3. KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan

Dekrit Presiden.

4. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk

melakanakan UUD 1945.

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

1. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.

2. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.

Page 2: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

3. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi

negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda

pembentukannya.

Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

1. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang

harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan

pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.

2. Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal

itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.

3. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer

terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin

terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.

B. Dekrit Presiden 1959

Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang

diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dari Dekret tersebut secara lengkap

adalah :

DEKRIT PRESIDENT 5 JULI 1959

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN

PERANG

Dengan ini menyatakan dengan khidmat :

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945

yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22

April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat

Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi

menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang

membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi

pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur;

Page 3: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami

sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara

Proklamasi;

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-

Undang Dasar 1945 dan adlah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi

tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN

PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante.

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagfi bagi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak

berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-

golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan

dalam waktu sesingkat-singkatnya.Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama Rakyat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

SOEKARNO

Isi dari Dekrit Presiden tersebut diatas dapat disimpulkan antara lain : 

a. Pembubaran Konstituante 

b. Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950 

c. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya

C. Kehidupan Pemerintah Sesudah Dekrit Presiden

1. Berlakunya Demokrasi Terpimpin

Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi

politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan

darurat. Hal mi diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam

Page 4: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang

mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh Presiden

Soekarno.

Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden

tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya

hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD

1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya menjadi

slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari masalah-masalah berikut ini,

Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah

MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden

menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari

tindakan presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana

menteri III dan mengangkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan

partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi

kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.

Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan

Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden

Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah

ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams

melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki

anggota-anggotanya yang duduk di MPR.

Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959

berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik

Republik Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September

1959 agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar

Haluan Negara. Inti Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar

1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan

Keperibadian Indonesia).

Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil

pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang

diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu, DPR hasil pemilu

dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong). Padahal langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 yang

menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.

Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti

PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti

golongan nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom.

Dalam pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25

Page 5: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

Juni 1960 disebutkan tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-

realisasikan Amanat Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.

Selanjutnya, untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan

lembaga-lembaga negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui

Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959.

Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk

memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI

berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya.

Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD

1945 digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan

kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi

sistem Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin

dari Presiden Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom)

mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui

Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno

tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

Pembentukan Front Nasional, Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan

Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang

memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.

Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk

menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri.

Tugas front nasional adalah sebagai berikut :

Menyelesaikan Revolusi Nasional

Melaksanakan Pembangunan

Mengembalikan Irian Barat

Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-

aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik

konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa

Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo

(New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan

kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner

(termasuk Indonesia dan negara-negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme

dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan

yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Bentuk

perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom

Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di

forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis.

Selain itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini

disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia

Page 6: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan

negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengumumkan

Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya, yaitu :

Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia

Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim

Inggris

Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin

Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke

Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia

pada masalah dalam negeri Malaysia.

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan

Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan Negara

Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi

negara berupa DPAS yang selama Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya

Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.

Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang

harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan

pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka

Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal

itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru

Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer

terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin

terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.

2. Pembentukan Kabinet Kerja

Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden

diangkatlah Ir. Juanda. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959, dengan programnya

yang disebut Tri Program Kabinet Kerja meliputi masalah-masalah sandang pangan,

keamanan dalam negeri, dan pengembalian Irian Barat. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja

mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.

Mencukupi kebutuhan sandang pangan

Menciptakan keamanan negara

Mengembalikan Irian Barat.

Page 7: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

3. Sentralisasi Pemerintahan

Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden Soekarno berusaha menyatukan paham-

paham yang berkembang dalam masyarakat. Paham ini dikenal sebagai Nasakom

(Nasionalisme, agama, dan komunis). Untuk menggalang persatuan, Presiden Soekarno juga

mengemukakan ajaran Resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional).

Sementara itu, di bidang militer TNI dan Polridisatukan menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia). ABRI juga diakui sebagai golongan fungsional (karya) yang berdasarkan

ketentuan dalam UUD1945 mempunyai wakil di MPRS. Presiden mengambil alih secara

langsung pimpinantertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (Koti).

Masing-masing angkatan (AD, AL, AU, dan Polri) berdiri sendiri-sendiri dan dipimpin

seorangmenteri/panglima yang langsung berada di bawahPresiden Soekarno.

D. Penyimpangan Politik Luar Negeri Bebas Aktif

1. Oldefo dan Nefo

Oldefo (The Old Established Forces), yaitu dunia lama yang sudah mapan

ekonominya, khususnya negara-negara Barat yang kapitalis. Nefo (The New Emerging

Forces), yaitu negara baru. Indonesia menjauhkan diri dari negara kapitalis (blok oldefo) dan

menjalin kerja sama dengan negara-negara komunis (blok nefo). Hal ini terlihat dengan

terbentuknya Poros Jakarta – Peking (Indonesia – Cina) dan Poros Jakarta – Pnom Penh –

Hanoi – Peking – Pyongyang ( Indonesia – Kamboja – Vietnam Utara - Cina – Korea Utara). 

2. Konfrontasi Dengan Malaysia

Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia diprakarsai Inggris menimbulkan

persoalan baru negara yang berdampingan, seperti Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia

secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap

pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan

revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang

Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu,

pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina

mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan

dilaksanakan dari bulan April – September 1963. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan

ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara federasi Malaysia.

Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu

untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara,

dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.

Page 8: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya)

mengadakan pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya

untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden

Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara

maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.

Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu

di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.

Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani

dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat

negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.

Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan

Indonesia mengadakan pertemuan di Manila. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi

Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Persetujuan Manila

antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik

pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki

oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau

wakilnya.

Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu

hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah

melanggar DeklarasiBersama.

Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di

Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas masyarakat Malaysia

dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia.

Hubungan diplomatic Indonesia dan Malaysia putus tanggal 17 September 1963.

Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei

1964, Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato

mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.

Perhebat revolusi Indonesia.

Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei

untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan

Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:

Pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;

Pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan

Mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah

Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan

Perang Persemakmuran Inggris

Page 9: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.

Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.

Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.

Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.

3. Ekonomi Terpimpin

Pada masa demokrasi terpimpin, inflasi juga cukup besar. Untuk mengatasi masalah

ini dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 tahun 1959 yang

mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu ditujukan untuk mengurangi banyaknya

uangyang beredar. Selain itu dilakukan pula pembekuansebagian simpanan di Bank.

Tindakan-tindakan moneter ini tidak mencapai sasarannyakarena pemerintah tidak

mempunyai kemauan kuat untukmenahan diri dalam melaksanakan proyekproyek raksasa,

seperti Ganefo dan Conefo (Games of New Emerging Forces dan Conference of The

New Emerging Forces).

Pada dasarnya tujuan pemerintah Indonesia menjalankan prinsip ekonomi terpimpin

ialah mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia. Dalam pelaksanaannya kebijakan ekonomi

terpimpin berubah menjadi sistem yang bernama “Sistem Lisensi”. Dalam sistem ini orang-

orang yang dapat melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama impor hanyalah orang-

orang yang mendapat Lisensi atau ijin khusus dari pemerintah. Untuk mengatasi “Sistem

Lisensi “ presiden mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) pada tanggal 23 Maret 1963.

Dari deklarasi ini dikeluarkannya peraturan tentang ekspor-impor dan masalah penetapan

harga. Akhirnya DEKON juga tidak berdaya mengatasi kesulitan ekonomi Indonesia.

Pada masa Kabinet Djuanda pada tahun 1958, pemerintah membuat sebuah undang-

undang perencanaan untuk membentuk badan perekonomian untuk meningkatkan taraf

ekonomi bangsa. Badan ini dinamakan Dewan Perancang Nasional yang dipimpin oleh

Mohammad Yamin sebagai wakil kepala menteri. Tugas Dewan Perancang Nasional adalah :

Mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Indonesia yang

berencana dan bertahap.

Mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan tersebut.

Tugas dan bidang kerja badan ini secara tegas ditetapkan dalam Undang-Undang No.

80/1958, 19 Januari 1958, serta Peraturan Pemerintah No.2/1958. Pada 26 Juli 1960

dikeluarkanlah sebuah susunan kebijakan perekonomian yang dinamakan Rancangan Dasar

Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencan Tahapan tahun 1961-1969.

Rancangan kebijakan ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui TAP No. 2/MPRS/1960.

Page 10: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

Tahun 1959 Indonesia mengalami tingkat inflasi yang sangat tinggi.  Pemerintah

secara bereaksi dengan mengeluarkan kebijakan perekonomian. Beberapa kebijakan itu, yaitu:

Mengurangi jumlah peredaran uang dalam negeri. Kebijakan itu mengarah pada

praktik devaluasi dari Rp. 1000 menjadi Rp. 100.

Pembekuan sebagian dari seluruh simpanan uang di bank-bank di seluruh Indonesia.

Peraturan ini bertujuan untuk mengurangi banyaknya jumlah uang yang beredar di

masyarakat.

Uang kertas Rp. 1000 dan Rp.500 yang telah diubah menjadi Rp.100 dan Rp. 50 harus

dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959.

Kemunduran perekonomian Republik Indnesia  tampak dari meningginya kembali

nilai peredaran uang rupiah adanya proyek mercusuar Gabefo (Games of the New

Emerging Forces) pada tahun 1962 juga menjadi penghambat pembangunan ekonomi

dan moneter Indonesia.

Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional berubah wujud menjadi Badan

Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan dipimpin langsung oleh Presiden

Soekarno, badan ini mempunyai tugas untuk menysun rencana perekonomian dan moneter

jangka panjang tahunan baik dalam taraf nasional maupun daerah, serta mempersiapkan dan

menilai mandataris untuk MPRS.

Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga menangani krisis moneter dengan

mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan perekonomian, yang antara lain sebagai berikut:

Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk

menyediakan wadah bagi arus perputaran sirkulasi antarbank, baik bank sentral

maupun bank umum.

Pengeluaran uang baru yang nilainya 1000 kali dari uang  rupiah lama. Kebijakan ini

mengakibatkan kemunduran ekonomi dan moneter Indonesia karena nilai rupiah baru

dan lama memiliki perbandingan 10:1 jumlah pengeluaran pemerintah pun turut

meningkat dari Rp. 3 miliar menjadi Rp. 30 milar.

Kebijakan-kebijakan perekonomian yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa

demokrasi terpimpin memiliki pertentangan dengan kebijakan dan peraturan-peraturan lain

yang dikeluarkan presiden. Hal ini disebabkan oleh adanya kewenangan presiden dalam

membuat peraturan lain yang setingkat dengan undang-undang. Kondisi perekonomian

Indonesia semakin menunjukkan kemunduran hingga tahun 1966.

Page 11: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

TUGAS SEJARAH

DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

DISUSUN OLEH :WINDA VERONICA PASARIBU

YEREMIA SINAGAANNA THERESIA SIMANJUNTAK

PETRUS ALEXANDER S. R. AROEAN

YOHANES SINAGAWILLY NAIBAHOKELAS : IX – D

Page 12: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 24

SMP KATOLIK TRI SAKTI 1 MEDAN

T . A : 2014 / 2015