dekrit presiden 5 juli 1959 24
TRANSCRIPT
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia
yang pertama, Soekarno pada 5 Juli 1959. Isi dekret ini adalah pembubaran Badan
Konstituante hasil Pemilu 1955dan penggantian undang-undang dasar dari UUD Sementara
1950 keUUD 1945.
A. Latar Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk
menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota konstituante mulai bersidang
pada 10 November 1956. Namun pada kenyataannya sampai tahun 1958 belum berhasil
merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat
untuk kembali kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden
Soekarno lantas menyampaikan amanat di depan sidang Konstituantepada 22 April 1959 yang
isinya menganjurkan untuk kembali ke UUD '45. Pada 30 Mei 1959 Konstituante
melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara menyetujui UUD 1945 dan 199 suara
tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak dan tetapi makanya pemungutan
suara ini harus diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Kuorum adalah jumlah
minimum anggota yg harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya (biasanya lebih dari
separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan. Pemungutan suara kembali
dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini Konstituante juga gagal
mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante memutuskan reses (masa
perhentian sidangparlemen; masa istirahat dari kegiatan bersidang) yang ternyata merupakan
akhir dari upaya penyusunan UUD.
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
1. Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik
yang telah goyah selama masa Liberal.
2. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
3. KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan
Dekrit Presiden.
4. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk
melakanakan UUD 1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
1. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
2. Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
3. Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi
negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda
pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
1. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang
harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan
pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
2. Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal
itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
3. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer
terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin
terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
B. Dekrit Presiden 1959
Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang
diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Isi dari Dekret tersebut secara lengkap
adalah :
DEKRIT PRESIDENT 5 JULI 1959
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat :
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945
yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22
April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri siding. Konstituante tidak mungkin lagi
menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya;
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan keadaan ketatanegaraan yang
membahayakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi
pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil makmur;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Negara
Proklamasi;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-
Undang Dasar 1945 dan adlah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi
tersebut,
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante.
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagfi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini dan tidak
berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-
golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan
dalam waktu sesingkat-singkatnya.Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama Rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
SOEKARNO
Isi dari Dekrit Presiden tersebut diatas dapat disimpulkan antara lain :
a. Pembubaran Konstituante
b. Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950
c. Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
C. Kehidupan Pemerintah Sesudah Dekrit Presiden
1. Berlakunya Demokrasi Terpimpin
Ketegangan-ketegangan politik yang terjadi pasca Pemilihan Umum 1955 membuat situasi
politik tidak menentu. Kekacauan politik ini membuat keadaan negara menjadi dalam keadaan
darurat. Hal mi diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam
menyusun konstitusi baru, sehingga negara Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang
mantap. Berikut latar belakang munculnya penerapan demokrasi terpimpin oleh Presiden
Soekarno.
Tindakan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan Dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959 telah memenuhi harapan rakyat. Namun demikian, harapan itu akhirnya
hilang, karena ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD
1945 yang menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka. Hal ini terlihat dengan jelas dari masalah-masalah berikut ini,
Kedudukan Presiden Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah
MPR. Akan tetapi, pada kenyataannya MPRS tunduk kepada Presiden. Presiden
menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal ini terlihat dengan jelas dari
tindakan presiden ketika mengangkat ketua MPRS yang dirangkap oleh wakil perdana
menteri III dan mengangkat wakil-wakil ketua MPRS yang dipilih dari pimpinan
partai-partai besar (PNI, NU, dan PKI) serta wakil ABRI yang masing-masing diberi
kedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
Pembentukan MPRS Presiden Soekarno juga membentuk MPRS ber-dasarkan
Penetapan Presiden No. 2 tahun 1959. Tindakan yang dilakukan oleh Presiden
Soekarno itu bertentangan dengan UUD 1945, karena dalam UUD 1945 telah
ditetapkan bahwa pengangkatan anggota MPR sebagai lembaga tertinggi negara hams
melalui pemilihan umum, sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki
anggota-anggotanya yang duduk di MPR.
Manifesto Politik Republik Indonesia Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959
berjudul "Penemuan Kembali Revolusi Kita", dikenal dengan Manifesto Politik
Republik Indonesia. Atas usulan dari DPA yang bersidang tanggal 23-25 September
1959 agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar
Haluan Negara. Inti Manifesto Politik itu adalah USDEK (Undang Undang Dasar
1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Keperibadian Indonesia).
Pembubaran DPR hasil pemilu dan pembentukkan DPR-GR Anggota DPR hasil
pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang
diajukan oleh Presiden. Sebagai akibat dari penolakan itu, DPR hasil pemilu
dibubarkan dan diganti dengan pembentukkan DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong). Padahal langkah ini bertentangan dengan UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Keanggotaan dalam DPR-GR diduduki oleh tokoh-tokoh beberapa partai besar, seperti
PNI, NU, dan PKI. Ketiga partai ini dianggap telah mewakili seluruh golongan seperti
golongan nasionalis, agama, dan komunis yang sesuai dengan konsep Nasakom.
Dalam pidato Presiden Soekarno pada upacara pelantikan DPR-GR pada tanggal 25
Juni 1960 disebutkan tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manifesto Politik, me-
realisasikan Amanat Penderitaan Rakyat dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin.
Selanjutnya, untuk menegakkan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mendirikan
lembaga-lembaga negara lainnya, misalnya Front Nasional yang dibentuk melalui
Penetapan Presiden No. 13 tahun 1959.
Masuknya pengaruh PKI Konsep Nasakom memberi peluang kepada PKI untuk
memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI
berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang yang berusaha menghalanginya.
Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD
1945 digantikan menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan
kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI memengaruhi
sistem Demokrasi Terpimpin. Hal ini terlihat dengan jelas bahwa konsep terpimpin
dari Presiden Soekarno yang berporos nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom)
mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan PKI, D.N. Aidit. Bahkan melalui
Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno
tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
Pembentukan Front Nasional, Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan
Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang
memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.
Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk
menyukseskan pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri.
Tugas front nasional adalah sebagai berikut :
Menyelesaikan Revolusi Nasional
Melaksanakan Pembangunan
Mengembalikan Irian Barat
Arah politik luar negeri Indonesia terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas-
aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik
konfrontasi yang diarahkan pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa
Barat dan Amerika Serikat. Politik konfrontasi dilandasi oleh pandangan tentang Nefo
(New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Nefo merupakan
kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner
(termasuk Indonesia dan negara-negara kornunis umumnya) yang anti imperialisme
dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan
yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Bentuk
perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu dibentuk poros Jakarta - Phnom
Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang. Akibatnya ruang gerak diplomasi Indonesia di
forum internasional menjadi sempit, karena berkiblat ke negera-negara komunis.
Selain itu, pemerintah juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini
disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukkan negara federasi Malaysia
yang dianggap proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan
negara blok Nefo. Dalam rangka konfrontasi itu, Presiden Soekarno mengumumkan
Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964 yang isinya, yaitu :
Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia
Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim
Inggris
Pelaksanaan Dwikora itu diawali dengan pembentukan Komando Siaga dipimpin
Marsekal Omar Dani. Komando Siaga ini bertugas untuk mengirimkan sukarelawan ke
Malaysia Timur dan Barat. Hal ini menunjuk-kan adanya campur-tangan Indonesia
pada masalah dalam negeri Malaysia.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan
Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan Negara
Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi
negara berupa DPAS yang selama Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang
harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan
pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka
Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal
itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru
Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer
terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin
terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
2. Pembentukan Kabinet Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Kabinet ini dilantik pada tanggal 10 Juli 1959, dengan programnya
yang disebut Tri Program Kabinet Kerja meliputi masalah-masalah sandang pangan,
keamanan dalam negeri, dan pengembalian Irian Barat. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja
mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
Mencukupi kebutuhan sandang pangan
Menciptakan keamanan negara
Mengembalikan Irian Barat.
3. Sentralisasi Pemerintahan
Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden Soekarno berusaha menyatukan paham-
paham yang berkembang dalam masyarakat. Paham ini dikenal sebagai Nasakom
(Nasionalisme, agama, dan komunis). Untuk menggalang persatuan, Presiden Soekarno juga
mengemukakan ajaran Resopim (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional).
Sementara itu, di bidang militer TNI dan Polridisatukan menjadi ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia). ABRI juga diakui sebagai golongan fungsional (karya) yang berdasarkan
ketentuan dalam UUD1945 mempunyai wakil di MPRS. Presiden mengambil alih secara
langsung pimpinantertinggi ABRI dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (Koti).
Masing-masing angkatan (AD, AL, AU, dan Polri) berdiri sendiri-sendiri dan dipimpin
seorangmenteri/panglima yang langsung berada di bawahPresiden Soekarno.
D. Penyimpangan Politik Luar Negeri Bebas Aktif
1. Oldefo dan Nefo
Oldefo (The Old Established Forces), yaitu dunia lama yang sudah mapan
ekonominya, khususnya negara-negara Barat yang kapitalis. Nefo (The New Emerging
Forces), yaitu negara baru. Indonesia menjauhkan diri dari negara kapitalis (blok oldefo) dan
menjalin kerja sama dengan negara-negara komunis (blok nefo). Hal ini terlihat dengan
terbentuknya Poros Jakarta – Peking (Indonesia – Cina) dan Poros Jakarta – Pnom Penh –
Hanoi – Peking – Pyongyang ( Indonesia – Kamboja – Vietnam Utara - Cina – Korea Utara).
2. Konfrontasi Dengan Malaysia
Rencana pembentukan negara Federasi Malaysia diprakarsai Inggris menimbulkan
persoalan baru negara yang berdampingan, seperti Indonesia, Filipina, dan Malaya. Indonesia
secara tegas menentang pembentukan Federasi Malaysia. Indonesia menganggap
pembentukan Federasi Malaysia adalah proyek neokolonialis Inggris yang membahayakan
revolusi Indonesia. Satu pangkalan militer asing yang ditujukan antara lain untuk menentang
Indonesia dan juga menentang New Emerging Forces di Asia Tenggara. Oleh karena itu,
pembentukan federasi itu harus digagalkan. Pemerintah Indonesia, Malaya, dan Philipina
mengadakan beberapa kali pertemuan untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Perundingan
dilaksanakan dari bulan April – September 1963. Berikut ini adalah rangkaian pertemuan
ketiga negara yang membahas masalah pembentukan negara federasi Malaysia.
Tanggal 9–17 April 1963. Di Philipina, para menteri luar negeri ketiga negara bertemu
untuk membicarakan masalah pembentukan Federasi Malaysia, kerja sama antarketiga negara,
dan mempersiapkan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
1 Juni 1963. Presiden Soekarno (Indonesia) dan PM Tengku Abdul Rachman (Malaya)
mengadakan pertemuan di Tokyo, Jepang. PM Malaya menyatakan kesediaannya
untuk membicarakan masalah yang sedang dihadapi dengan Presiden RI dan Presiden
Filipina, baik mengenai masalah-masalah yang menyangkut daerah Asia Tenggara
maupun rencana pembentukan Federasi Malaysia.
Tanggal 7–11 Juni 1963. Menteri luar negeri Malaya, Indonesia, dan Philipina bertemu
di Manila untuk membicarakan persiapan rencana pertemuan 3 kepala pemerintahan.
Tanggal 9 Juli 1963. Perdana Menteri Tengku Abdul Rachman menandatangani
dokumen pembentukan Negara Federasi Malaysia di London. Tindakan ini membuat
negara Filipina dan Indonesia bersitegang dengan Malaysia.
Tanggal 3 Juli – 5 Agustus 1963. Kepala pemerintahan Malaysia, Filipina, dan
Indonesia mengadakan pertemuan di Manila. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi
Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama. Dalam Persetujuan Manila
antara lain dikatakan bahwa Indonesia dan Filipina akan menyambut baik
pembentukan Federasi Malaysia apabila dukungan rakyat di daerah Borneo diselidiki
oleh otoritas yang bebas dan tidak memihak, yaitu Sekretaris Jenderal PBB atau
wakilnya.
Tanggal 16 September 1963. Negara Federasi Malaysia diresmikan, tanpa menunggu
hasil penyelidikan dari misi PBB. Pemerintah Indonesia menuduh Malaysia telah
melanggar DeklarasiBersama.
Tanggal 17 September 1963. Masyarakat di Jakarta mengadakan demonstrasi di
Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Tindakan tersebut dibalas masyarakat Malaysia
dengan melakukan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia.
Hubungan diplomatic Indonesia dan Malaysia putus tanggal 17 September 1963.
Sejak itu hubungan Indonesia dan Malaysia semakin memanas. Pada tanggal 3 Mei
1964, Presiden Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dan kepala negara berpidato
mengenai Dwikora. Isi pidato itu antara lain sebagai berikut.
Perhebat revolusi Indonesia.
Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei
untuk membubarkan Negara Boneka Malaysia. Untuk menggagalkan pembentukan
Negara Federasi Malaysia itu pemerintah melakukan beberapa tindakan, antara lain:
Pemerintah mengadakan konfrontasi senjata dengan Malaysia;
Pembentukan sukarelawan yang terdiri dari ABRI dan masyarakat; dan
Mengirimkan sukarelawan ke Singapura dan Kalimantan Utara, wilayah
Malaysia, melalui Kalimantan untuk melancarkan operasi terhadap Angkatan
Perang Persemakmuran Inggris
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia membawa beberapa akibat berikut.
Timbulnya politik Poros Jakarta—Peking.
Hilangnya simpati rakyat Malaysia terhadap Indonesia.
Kerugian materi yang sudah dikeluarkan untuk biaya konfrontasi.
3. Ekonomi Terpimpin
Pada masa demokrasi terpimpin, inflasi juga cukup besar. Untuk mengatasi masalah
ini dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 tahun 1959 yang
mulai berlaku tanggal 25 Agustus 1959. Peraturan itu ditujukan untuk mengurangi banyaknya
uangyang beredar. Selain itu dilakukan pula pembekuansebagian simpanan di Bank.
Tindakan-tindakan moneter ini tidak mencapai sasarannyakarena pemerintah tidak
mempunyai kemauan kuat untukmenahan diri dalam melaksanakan proyekproyek raksasa,
seperti Ganefo dan Conefo (Games of New Emerging Forces dan Conference of The
New Emerging Forces).
Pada dasarnya tujuan pemerintah Indonesia menjalankan prinsip ekonomi terpimpin
ialah mewujudkan masyarakat sosialis Indonesia. Dalam pelaksanaannya kebijakan ekonomi
terpimpin berubah menjadi sistem yang bernama “Sistem Lisensi”. Dalam sistem ini orang-
orang yang dapat melaksanakan kegiatan perekonomian, terutama impor hanyalah orang-
orang yang mendapat Lisensi atau ijin khusus dari pemerintah. Untuk mengatasi “Sistem
Lisensi “ presiden mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (DEKON) pada tanggal 23 Maret 1963.
Dari deklarasi ini dikeluarkannya peraturan tentang ekspor-impor dan masalah penetapan
harga. Akhirnya DEKON juga tidak berdaya mengatasi kesulitan ekonomi Indonesia.
Pada masa Kabinet Djuanda pada tahun 1958, pemerintah membuat sebuah undang-
undang perencanaan untuk membentuk badan perekonomian untuk meningkatkan taraf
ekonomi bangsa. Badan ini dinamakan Dewan Perancang Nasional yang dipimpin oleh
Mohammad Yamin sebagai wakil kepala menteri. Tugas Dewan Perancang Nasional adalah :
Mempersiapkan rancangan Undang-Undang Pembangunan Nasional Indonesia yang
berencana dan bertahap.
Mengawasi dan menilai penyelenggaraan proses pembangunan tersebut.
Tugas dan bidang kerja badan ini secara tegas ditetapkan dalam Undang-Undang No.
80/1958, 19 Januari 1958, serta Peraturan Pemerintah No.2/1958. Pada 26 Juli 1960
dikeluarkanlah sebuah susunan kebijakan perekonomian yang dinamakan Rancangan Dasar
Undang-Undang Pembangunan Nasional Sementara Berencan Tahapan tahun 1961-1969.
Rancangan kebijakan ini kemudian disetujui oleh MPRS melalui TAP No. 2/MPRS/1960.
Tahun 1959 Indonesia mengalami tingkat inflasi yang sangat tinggi. Pemerintah
secara bereaksi dengan mengeluarkan kebijakan perekonomian. Beberapa kebijakan itu, yaitu:
Mengurangi jumlah peredaran uang dalam negeri. Kebijakan itu mengarah pada
praktik devaluasi dari Rp. 1000 menjadi Rp. 100.
Pembekuan sebagian dari seluruh simpanan uang di bank-bank di seluruh Indonesia.
Peraturan ini bertujuan untuk mengurangi banyaknya jumlah uang yang beredar di
masyarakat.
Uang kertas Rp. 1000 dan Rp.500 yang telah diubah menjadi Rp.100 dan Rp. 50 harus
dengan uang kertas yang baru sebelum 1 Januari 1959.
Kemunduran perekonomian Republik Indnesia tampak dari meningginya kembali
nilai peredaran uang rupiah adanya proyek mercusuar Gabefo (Games of the New
Emerging Forces) pada tahun 1962 juga menjadi penghambat pembangunan ekonomi
dan moneter Indonesia.
Pada tahun 1963, Dewan Perancang Nasional berubah wujud menjadi Badan
Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan dipimpin langsung oleh Presiden
Soekarno, badan ini mempunyai tugas untuk menysun rencana perekonomian dan moneter
jangka panjang tahunan baik dalam taraf nasional maupun daerah, serta mempersiapkan dan
menilai mandataris untuk MPRS.
Selain membentuk Bappenas, pemerintah juga menangani krisis moneter dengan
mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan perekonomian, yang antara lain sebagai berikut:
Pendirian Bank Tunggal Milik Negara. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk
menyediakan wadah bagi arus perputaran sirkulasi antarbank, baik bank sentral
maupun bank umum.
Pengeluaran uang baru yang nilainya 1000 kali dari uang rupiah lama. Kebijakan ini
mengakibatkan kemunduran ekonomi dan moneter Indonesia karena nilai rupiah baru
dan lama memiliki perbandingan 10:1 jumlah pengeluaran pemerintah pun turut
meningkat dari Rp. 3 miliar menjadi Rp. 30 milar.
Kebijakan-kebijakan perekonomian yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa
demokrasi terpimpin memiliki pertentangan dengan kebijakan dan peraturan-peraturan lain
yang dikeluarkan presiden. Hal ini disebabkan oleh adanya kewenangan presiden dalam
membuat peraturan lain yang setingkat dengan undang-undang. Kondisi perekonomian
Indonesia semakin menunjukkan kemunduran hingga tahun 1966.
TUGAS SEJARAH
DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
DISUSUN OLEH :WINDA VERONICA PASARIBU
YEREMIA SINAGAANNA THERESIA SIMANJUNTAK
PETRUS ALEXANDER S. R. AROEAN
YOHANES SINAGAWILLY NAIBAHOKELAS : IX – D
SMP KATOLIK TRI SAKTI 1 MEDAN
T . A : 2014 / 2015