definisi ilmu
TRANSCRIPT
1. Menurut 4 ahli mendefinisikan ilmu sbagai berikut :
a. ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkan dalil-dalil
tertentu menurut kaidah-kaidah umum. (Nazir, 1988)
b. konsepsi ilmu pada dasarnya mencakup tiga hal, yaitu adanya rasionalitas, dapat digeneralisasi dan dapat
disistematisasi (Shapere, 1974)
c. pengertian ilmu mencakup logika, adanya interpretasi subjektif dan konsistensi dengan realitas sosial (Schulz,
1962)
d. ilmu tidak hanya merupakan satu pengetahuan yang terhimpun secara sistematis, tetapi juga merupakan suatu
metodologi
Dari empat pengertian di atas dapatlah disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu
hal atau fenomena, baik yang menyangkut alam atau sosial (kehidupan masyarakat), yang diperoleh manusia melalui
proses berfikir. Itu artinya bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun tentang sesuatu yang menjadi objek kajian dari
ilmu terkait
Sumber: http://id.shvoong.com/books/2083263-definisi-ilmu/#ixzz1KotZhQh1Definisi ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam
suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar),
maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam).
--Mohammad Hatta--
Definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
-------Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati
panca indera manusia ------- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk
menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
--Harsojo, Guru Besar Antropolog, Universitas Pajajaran--
Definisi ilmu bergantung pada cara kerja indera-indera masing-masing individu dalam menyerap
pengetahuan dan juga cara berpikir setiap individu dalam memroses pengetahuan yang diperolehnya.
Selain itu juga, definisi ilmu bisa berlandaskan aktivitas yang dilakukan ilmu itu sendiri. Kita dapat melihat
hal itu melalui metode yang digunakannya.
Sifat-sifat ilmu
Dari definisi yang diungkapkan Mohammad Hatta dan Harjono di atas, kita dapat melihat bahwa sifat-sifat
ilmu merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang...
1. Berdiri secara satu kesatuan,
2. Tersusun secara sistematis,
3. Ada dasar pembenarannya (ada penjelasan yang dapat dipertanggung jawabkan disertai sebab-
sebabnya yang meliputi fakta dan data),
4. Mendapat legalitas bahwa ilmu tersebut hasil pengkajian atau riset.
5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat dimengerti dan dipahami
maknanya.
6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat berlaku di mana saja dan kapan saja di
seluruh alam semesta ini.
7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan-pengatahuan dan penemuan-
penemuan baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran-pemikiran yang lebih berkembang
dari sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu. Sebab,
definisi pengetahuan itu sendiri sebagai berikut: Segala sesuatu yang datang sebagai hasil dari aktivitas
panca indera untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada
keraguan terhadapnya, sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dari pengetahuan.
Mengapa ilmu hadir?
Pada hakekatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal yang ada maupun yang sedang terjadi
di sekitarnya. Sebab, banyak sekali sisi-sisi kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh
sebab itulah, timbul pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi
ilmu.
Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal
dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap
pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia.
Dengan apa manusia memperoleh, memelihara, dan meningkatkan ilmu?
Pengetahuan kaidah berpikir atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan
meningkatkan ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.
Tentang Penulis: AsianBrain.com Content Team. Asian Brain adalah pusat pendidikan Internet Marketing
PERTAMA & TERBAIK di Indonesia. Didirikan oleh Anne Ahira yang kini menjadi ICON Internet
Marketing Indonesia. kunjungi pustaka anne di sidebar/ link list
Bagaimanakah manusia mendapatkan ilmu?
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu dilengkapi dengan seperangkat akal
dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah, manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial,
ilmu pertanian, ilmu pendidikan, ilmu kesehatan, dan lain-lain. Akal dan pikiran memroses setiap
pengetahuan yang diserap oleh indera-indera yang dimiliki manusia. “Ilmu” merupakan suatu istilah
yang berasal dari Bahasa Arab, yaitu alima yang terdiri dari huruf ayn, lam dan mim. Al-Qur’an
sering menggunakan kata ini dalam berbagai sighat (pola), yaitu masdar, fi’il mudari, fi’il madi,
amr, isim fa’il,isim maful, dan isim tafdil. Antara lain, kata al-‘ilm terdapat dalam firman Allah :
Ingiatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya ; “Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak menolong kamu sedikitpun?. Wahai
bapakku, Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutlah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.
Kata “al-‘ilm” dalam ayat ini pengetahuan yang berisi risalah ilahi yang diterima Ibrahim
dari Allah. Risalah itu berisikan tauhid dan ketentuan-ketentuan Allah mesti yang dipatuhi
manusia. Selain konsep ilmu, firman Allah ini juga menggambarkan tentang guna atau manfaat
suatu pengetahuan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain yaitu ia dapat.
Secara harfiah “ilmu” dapat diartikan kepada tahu atau mengetahui. Secara istilah ilmu berarti memahami hakikat sesuatu, atau memahami hukum yang berlaku atas sesuatu itu. Saliba mendefinisikan ilmu itu dengan “Memahami secara mutlak, baik tasawwur hakikat seperti yang dikutip Jihami, ilmu adalah tasawwur hakikat sesuatu dan asalnya. Berdasarkan definisi ini. Ada empat yang saling berkaitan dalam sistem perolehan ilmu yaitu subjek yang memahami, objek yang dipahami, makna atau surah (form) yang berkaitan dengan objek yang dipahami, dan berhasilnya makna atau surah (form) itu terlukis dalam jiwa subjek yang memahami. Subjek yang memahami itu adalah qalbu manusia. Ia merupakan wadah penyimpanan makna-makna (konsep) yang ada pada suatu objek yang dipelajari. Yang dimaksud dengan objek di sini adalah sesuatu yang ada, baik bersifat empiris, maupun tidak. Ketika seorang ilmuwan mempelajari system pernafasan, misalnya, segala daya (al-quwwah) yang dimilikinya – baik zahir maupun batin – secara aktif mengamati alat-alat pernafasan tersebut. Kemudian setelah menganalisis, dia mendapat suatu kesimpulan yang ditangkap dari objek yang sedang dikaji. Kesimpulan itu merupakan surah (form) atau konsep objek yang telah sampai ke dalam jiwa dan tersimpan padanya, yang selanjutnya itulah yang disebut dengan al-ma’lum (sesuatu yang diketahui Postingan Terkait Lainnya :
Secara bahasa adalah lawan dari Al Jahl (kebodohan): yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya dengan pengetahuan yang pasti.
Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifat (pengetahuan) sebagai lawan dari al jahl
(ketidaktahuan). Menurut ulama yang lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
Adapun ilmu yang kita maksud adalah ilmu syar’i, artinya adalah ilmu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya
berupa keterangan dan petunjuk. Maka ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu wahyu
yaitu ilmu yang diturunkan Allah saja. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa orang yang
dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan menajdikan dia faham tentang agamanya.”[1] Dalam hadis lainnya
beliau bersabda :” Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, hanyalah yang mereka wariskan
adalah ilmu , maka baranga siapa yang telah mengambil ilmu maka dia telah mengambil kebaikan yang banyak.”[2]
Satu hal yang sudah kita ma’lumi bahwa yang diwariskan oleh para nabi hanyalah ilmu tentang syariat Allah Azza
Wajalla dan bukan yang lainnya. Maka para nabi tidaklah mewariskan ilmu teknologi kepada manusia atau yang
berkaitan dengannya, bahkan ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam datang ke Madinah, beliau mendapatkan
bahwa manusia disana mengawinkan pohon kurma, berkatalah beliau kepada mereka bahwa hal itu tidak perlu, lalu
merekapun menurut dan tidak mengawinkannya akan tetapi pohon kurma itu rusak, maka berkatalah Nabi Shalallahu
‘Alaihi wa Salam kepada mereka : Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.”[3] Seandainya hal ini
termasuk ilmu yang terpuji maka pasti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam adalah orang yang paling mengetahui
tentang hal ini, karena orang yang paling terpuji karena ilmu dan amalnya adalah Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.
Dengan demikian maka ilmu syar’i adalah ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan bagi para
pemiliknya, akan tetapi sekalipun demikian saya tidak mengingkari bahwa ilmu yang lainnyapun mengandung faidah,
akan tetapi faidah itu memiliki dua batasan. Bila dia bisa membantu dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah dan
membela agama-Nya dan bermanfaat bagi manusia maka ilmu itu merupakan ilmu yang baik dan maslahat.
Terkadang mempelajarinya menjadi wajib dalam kondisi tertentu apabila hal itu termasuk dalam firman Allah :” Dan
hendaklah kalian mempersiapkan kekuatan dalam menghadapi mereka semampu kalian berupa pasukan
berkuda….. “ (Al Anfal : 60).
Banyak ulama yang menerangkan bahwa mempelajari teknologi merupakan fardhu kifayah, hal itu disebabkan
karena manusia pasti mempunyai peralatan memasak, minum dan yang lainnya yang bermanfaat bagi mereka. Maka
apabila tidak ada orang yang menggarap industri di bidamg ini maka mempelajarinya jadi fardhu kifayah. Ini adalah
materi yang diperdebatkan oleh para ulama. Sekalipun demikian maka saya ingin katakan bahwa ilmu yang di
dalamnya terkandung pujian dan sanjungan adalah ilmu syar’i yang merupakan pemahaman tentang kitab Allah dan
sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, adapun ilmu selain itu bisa menjadi alat kebaikan atau alat
kejelekan,maka hukumnya sesuai dengan pemanfaatannya.
Disalin dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin
Penerjemah Abu Haidar
Footnote
———————————————-
[1] Al Bukhari, kitab ilmu, bab : siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah. Muslim, kitab zakat,bab larangan
meminta.
[2] Abu Dawud, kitab ilmu, bab dorongan mencari ilmu. At Tirmidzi, kitab ilmu, bab penjelasan tentang keutamaan
ilmu dari ibadah
[2] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab Al Fadhail, bab wajibnya melaksanakan apa yang beliau katakan berupa syariat
tanpa diteranghkan oleh beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentyang kehidupan dunia berdasarkan ro’yu.
Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-unsur pokok dari
ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu
yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan
hendaknya bukan sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mem-pelajari hal-hal yang dilakukan untuk
mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki kearifan, kebenaran,
etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan
hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan
teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang
tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan berkembangnya paradigma baru
yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh
kembangnya teori dan pergeseran paradigma adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang.
Berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu dimana
terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori atom, teori pewarisan sifat dan
penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan
paradigma baru. Tetapi, yang harus dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai
kebenaran. · Perkembangan teori atom Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6 SM):
materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran sangat kecil (atom). Atom
merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi, bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut
John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran
paradigma terjadi ketika ternyata dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J.
Thomson,1856–1940) dan proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu
mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan kismisnya, dimana elektron
dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford (1871-1937) disimpulkan bahwa elektron
mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang
terdiri dari nuklei, dan elektron-elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr
yang mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus disempurnakan.
Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada. Murray Gell-Mann (1964) mengatakan,
proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark. · Perkembangan teori pewarisan sifat Pemikiran tentang
pewarisan sifat sudah ada sejak jaman dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang
merupakan bayangan dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.
Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan apa yang
mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan rata-rata dari sifat induknya. Sifat-
sifat hereditas konti-nyu dan bercampur, anak adalah rata-rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada.
Sementara menurut Darwin, keragamanlah yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan
mengapa keragaman tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan
yang dimasukkan ke dalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika gemmule dibentuk dan
dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi, perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel
selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah. Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan
varietas yang berbeda, mulus dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang
diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur. Teori inilah yang
selanjutnya digunakan sebagai dasar pe-ngembangan teori pewarisan sifat. · Perkembangan teori tata surya Prediksi
peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi
Yunani (4SM) menyatakan bumi pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus
(1473-1543) yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak mengelinginya
dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi lan-dasan awal pengembangan ilmu tentang tata surya. Seorang
ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge).
Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu
hendak-lah mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau kenyataan yang
dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan Kajian filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental.
Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang
disodorkannya. Seorang ilmuwan juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar
terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada mayarakat
awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa mempengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari. Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau
(bibit unggul, pestisida, pupuk kimia) dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimi-liki.
Tetapi, ketika akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya aplikasi
tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita perlu mempertanyakan
kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif
pemecahan ma-salahnya? Apakah alternatif yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah?
Bagaimana kajian keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap
kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari dan dijawab oleh
ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu masalah. Sehingga tidak terjadi kasus
dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia,
lingkungan, sosial ataupun aspek lain dari kehidupan masyarakat.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1787020-perkembangan-ilmu-pengetahuan/#ixzz1KoxFHotM
Pengetahuan telah berkembang sejak adanya manusia. Tetapi pengorganisasian ilmu oleh bangsa Yunani dengan pendekatan silogistik merintis perkembangan ilmu secara sistematis, sekurang-kurangnya, sebelum masa Renaissance yang ditandai oleh Galileo Galilei dengan teropong bintangnya. Sampai dengan saat ini, logika deduktif mengembangkan teori-teori yang terlepas dari pengalaman empirik. Bahkan Aristoteles pun tak terhindar dari kesalahan ketika ia menyatakan beberapa perkiraan yang mengandalkan logika belaka, dan kemudian ternyata salah.
Francis Bacon pada permulaan abad XVII memelopori penggunaan metode induktif karena menurutnya alam jauh lebih misterius dibandingkan kepelikan argumen. Galileo, Lavoiser dan Darwin menggunakan bukti-bukti empirik sekadar untuk menguji kebenaran hipotesis mereka. Tetapi pengumpulan keterangan yang cukup mengenai sesuatu tanpa hipotesis terlebih dulu sekadar untuk mempertahankan kesempurnaan obyektivitas sungguh tidak efisien maupun efektif. Tanpa hipotesis sebelumnya, seorang peneliti akan cenderung tidak selektif dalam mengumpulkan data. Perumusan masalah dan kejelasan formulasinya akan membuahkan hipotesis yang membuat langkah pengumpulan data dan eksplorasinya tepat guna. Tetapi metode induktif pun tidak memuaskan pada tingkat kemajuan ilmu sebagaimana diragukan oleh Albert Einstein. Menurut dia, tak ada metode induktif yang mampu menuju pada konsep fundamental dari ilmu alam.
Dengan menggabungkan metode deduktif Aristoteles dan metode induktif Bacon, Charles Darwin dapat dipandang sebagai pelopor metode keilmuan modern. Metode deduktif dan induktif yang digunakan secara komplementer dalam langkah-langkah pencarian kebenaran ilmiah telah menjadi pilihan cerdas untuk pengembangan ilmu ynag kini semakin pesat kemajuannya. Ilmuwan modern pada umumnya menggunakan metode induktif untuk mengembangkan hipotesis dari pengalaman. Dalam kajiannya, ia memanfaatkan pengetahuan yang telah ada untuk menguji hipotesisnya. Fakta dan teori dijadikan alat konfirmasi terhadap hipotesis sehingga ia memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang masalah yang dihadapinya. Pendekatan ganda ini menjadikan kegiatan keilmuan bersifat efisien dan efektif, sesuai peribahasa “Virtus stat in medio” (Kebijaksanaan berdiri di tengah-tengah).
George J. Mouly membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis. Pembagiannya ini mengingatkan kita pada tahap perkembangan kebudayaan yang dikemukakan oleh van Peursen: tahap mistis, tahap ontologis, tahap fungsional. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pandangan mistis itu hingga kini masih berlangsung juga, bahkan di negara-negara yang peradabannya telah sangat maju.
Observasi sistematis dan kritis yang kemudian dilakukan telah mengembangkan pengetahuan manusia ke tahap ilmu empiris. Manusia mulai mengambil jarak dari obyek di sekitarnya dan mulai menelaah obyek-obyek itu. Langkah paling penting yang menandai permulaan ilmu sebagai suatu pendekatan sistematis dalam pemecahan masalah terjadi pada tahap ini, yakni ketika manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan melalui telaah sebab-musabab alamiah.
Penemuan yang semula terpisah-pisah mulai diintegrasikan ke dalam suatu struktur yang utuh dengan menguji hipotesis-hipotesis dalam kondisi yang terkontrol. Proses ini oleh Mouly dibagi menjadi dua tahap perkembangan yang saling bertautan:
<!--[if !supportLists]-->1) <!--[endif]-->tingkat empiris: ilmu terdiri dari hubungan empiris yang ditemukan dalam berbagai gejala dalam bentuk pernyataan serupa “X menyebabkan Y” tanpa mengetahui alasan mengapa hal itu terjadi;
<!--[if !supportLists]-->2) <!--[endif]-->tingkat teoritis: penjelasan yang mengembangkan suatu struktur teoritis yang bukan hanya menerangkan hubungan empiris yang terpisah-pisah, tetapi juga mulai mengintegrasikannya menjadi suatu pola yang berarti.
Titik tolak ilmu adalah pengalaman. Ilmu mulai dengan suatu observasi dan menggabungkannya dengan observasi-observasi lain sehingga diperoleh suatu kesamaan atau perbedaan untuk menyusun prinsip-prinsip dasar yang dapat digunakan untuk menerangkan terjadi atau tidak terjadinya serangkaian pengalaman. Jumlah dan ragam pengalaman yang terpisah-pisah itu harus direduksi sedemikian rupa hingga menjadi prinsip-prinsip dasar yang kokoh untuk menyatukan semua pengalaman yang bersifat lebih umum dan dapat diterapkan secara lebih luas.
Maka, prosedur yang paling dasar untuk mengubah data terpisah menjadi dasar yang fungsional adalah klasifikasi. Dengan mengetahui kelas suatu gejala lewat identifikasi sifat-sifatnya yang spesifik menurut tujuan penelitian, kemungkinan terjadinya penumpukan koleksi data tanpa makna dapat diminimalisasi. Tetapi observasi kualitatif saja kurang memadai. Kuantifikasi dapat memberikan ketelitian yang diperlukan bagi klasifikasi yang matang. Melalui klasifikasi yang demikian itu dapat diketahui adanya hubungan fungsional tertentu antara aspek-aspek komponennya. Hubungan fungsional antara berbagai gejala dapat diobservasi antara lain lewat klasifikasi maupun urutan kejadian. Namun pencarian hubungan-hubungan itu perlu dilaksanakan secara teliti karena adanya faktor kebetulan. Maka analisis terhadap suatu hal atau peristiwa harus memperhatikan unsur-unsur fundamental untuk menentukan secara lebih jelas hubungan-hubungan dari berbagai aspek. Dengan cara itulah diperoleh perkiraan kebenaran yang cukup untuk mendukung tujuan penelitian.
Tingkat yang paling akhir dari ilmu adalah ilmu teoritis yang menerangkan hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat dicapai. Kelebihan ilmu teoritis dibandingkan ilmu empiris dapat dilihat dengan memperhatikan keterbatasan ilmu empiris yang canggung, tidak mudah diterapkan karena obyek/ subyek penelitian merupakan gejala yang terpisah-pisah. Ilmu empiris sangat terbatas terutama dalam peramalan dan kontrol yang merupakan tujuan terakhir dari ilmu. Ilmu teoritis dapat memperpendek proses untuk sampai pada pemecahan masalah. Kelebihan ilmu teoritis nyata dalam merangsang penelitian dan dalam memberikan hipotesis yang berharga sebagaimana terdapat pada ilmu fisika. Bom atom tidak dibuat secara empiris kemudian diterangkan, melainkan sebaliknya. Einstein dan para sejawatnya lebih dulu mengembangkannya secara teoritis dan mengujinya secara empiris sekadar untuk meminimalisasi kekurangan dalam pengoperasiannya.
Peralihan dari ilmu empiris ke ilmu teoritis adalah langkah yang sukar. Menemukan jawaban tentang apa yang terjadi relatif lebih mudah dibandingkan harus menjawab mengapa hal itu terjadi. Hingga kini ilmu empiris gagal menyusun kerangka teoritis yang merupakan sintesis dari serangkaian penemuan empiris (khususnya di bidang/ kajian ilmu sosial). Hal itu terjadi karena ilmu-ilmu sosial terlalu menitikberatkan aspek empiris dan melalaikan aspek teoritis. Padahal empirisme merupakan tahap keilmuan yang belum lengkap dan memerlukan orientasi yang lebih besar teradap teori.
Hampir seluruh ilmu pendidikan merupakan ilmu empiris. Namun kenyataannya kita masih harus menemukan lebih banyak lagi hubungan empiris yang terdapat dalam kelas. Pada ilmu-ilmu sosial masih sulit ditemukan penjelasan secara keilmuan untuk sebagian besar masalah dari hal-hal yang paling elementer apa yang yang terjadi ketika seorang anak belajar. Dalam psikologi, misalnya, telah dikembangkan berbagai teori yang menerangkan sejumlah gejala psikologis, namun tak satu pun dari teori-teori itu yang dapat diterima oleh semua orang dan tak seorang pun mampu memberikan keterangan mengenai seluruh aspek kelakuan manusia.
Tidak demikian dengan ilmu-ilmu alam yang tampak lebih maju. Kendati tak satu pun dari ilmu-ilmu itu memiliki kesamaan pendapat dalam keseluruhan aspeknya, tetapi dalam fisika, misalnya, gejala cahaya dapat dijelaskan dengan dua buah teori yang bertentangan: teori gelombang dan teori partikel.
Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan iPERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUANoleh: anin Pengarang : Elvira Syamsir
Summary rating: 2 stars (213 Tinjauan)
Kunjungan : 17742
kata:900
More About : perkembangan ilmu
PERKEMBANGAN
Ilmuwan yang berpikir filsafati, diharapkan bisa memahami filosofi kehidupan, mendalami unsur-
unsur pokok dari ilmu yang ditekuninya secara menyeluruh sehingga lebih arif dalam
memahami sumber, hakikat dan tujuan dari ilmu yang ditekuninya, termasuk pemanfaatannya
bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, maka proses pendidikan hendaknya bukan
sekedar untuk mencapai suatu tujuan akhir tapi juga mem-pelajari hal-hal yang dilakukan untuk
mencapai tujuan akhir tersebut. Sehingga, ilmuwan selain sebagai orang berilmu juga memiliki
kearifan, kebenaran, etika dan estetika. Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi
dengan pertumbuhan, pergan-tian dan penyerapan teori. Kemunculan teori baru yang
menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah
yang tidak bisa dise-lesaikan oleh paradigma yang menjadi referensi riset, menyebabkan
berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset
berikutnya (mela-hirkan revolusi sains). Tumbuh kembangnya teori dan pergeseran paradigma
adalah po-la perkembangan yang biasa dari sains yang telah matang. Berkembangnya
peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu. Contoh epistemologi ilmu
dimana terjadi perubahan teori dan pergeseran paradigma terlihat pada perkembangan teori
atom, teori pewarisan sifat dan penemuan alam semesta. Dalam perkembangan ilmu, suatu
kekeliruan mungkin terjadi terutama saat pembentukan paradigma baru. Tetapi, yang harus
dihindari adalah melakukan kesalahan yang lalu ditutupi dan diakui sebagai kebenaran. ·
Perkembangan teori atom Konsep atom dicetuskan oleh Leucippus dan Democritus (abad ke-6
SM): materi (segala sesuatu di alam) secara fisik disusun oleh sejumlah benda berukuran
sangat kecil (atom). Atom merupakan partikel yang sangat kecil, padat dan tidak bisa dibagi,
bergerak dalam ruang dan bersifat abadi. Menurut John Dalton (1766–1844) setiap unsur kimia
dibentuk oleh partikel yang tak bisa diurai (atom). Pergeseran paradigma terjadi ketika ternyata
dibuktikan bahwa atom masih bisa dibagi dan memiliki elektron (J.J. Thomson,1856–1940) dan
proton (E. Goldstein, 1886). Pengetahuan bahwa atom bisa dibagi membuat ilmuwan lalu
mereka-reka struktur atom. Thomson, menganalogikan atom seperti roti tawar dengan
kismisnya, dimana elektron dan partikel positif terdistribusi merata. Dari penelitian E. Rutherford
(1871-1937) disimpulkan bahwa elektron mengorbit mengelilingi nukleus. Postulat ini diperbaiki
oleh J. Chadwick (1891–1974): atom memiliki sebuah inti yang terdiri dari nuklei, dan elektron-
elektron yang mengorbit mengelilinginya; dan lalu disempurnakan oleh Niels Bohr yang
mempertimbangkan efek kuantisasi energi atom. Teori-teori atom dan strukturnya masih terus
disempurnakan. Saat ini mulai terjadi anomali yang menggugat paradigma yang sudah ada.
Murray Gell-Mann (1964) mengatakan, proton dan netron masih bisa dibagi menjadi quark. ·
Perkembangan teori pewarisan sifat Pemikiran tentang pewarisan sifat sudah ada sejak jaman
dulu. Plato dengan paham esensialismenya menjelaskan, setiap orang merupakan bayangan
dari tipe ideal. Esensinya, manusia adalah sama dan keragaman di dunia tidak ada artinya.
Perkembangan teori ini diawali dengan dilema yang dihadapi Darwin: apa penyebab variasi dan
apa yang mempertahankan variasi? Menurut F. Galton, setiap anak menuju kecenderungan
rata-rata dari sifat induknya. Sifat-sifat hereditas konti-nyu dan bercampur, anak adalah rata-
rata dari kedua orang tua, maka variasi tidak ada. Sementara menurut Darwin, keragamanlah
yang penting, bukan rata-rata tetapi Darwin belum bisa menjelaskan mengapa keragaman
tersebut bisa terjadi. Hipotesa sementaranya menjelaskan bahwa kopi sel dari setiap jaringan
yang dimasukkan ke dalam darah (gemmules)-lah yang memproduksi keragaman ketika
gemmule dibentuk dan dikonversi kembali menjadi sel tubuh pada saat reproduksi. Tapi,
perjalanan sejarah ilmu perkembangan sel selanjutnya membuktikan bahwa hipotesis ini salah.
Mendell yang melakukan persilangan kacang dan menghasilkan varietas yang berbeda, mulus
dan keriput tapi tidak ada yang di tengah-tengah, menyimpulkan bahwa sifat-sifat yang
diturunkan bersifat diskrit, ada yang dominan dan ada yang resesif, tapi tidak bisa bercampur.
Teori inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar pe-ngembangan teori pewarisan sifat. ·
Perkembangan teori tata surya Prediksi peredaran matahari, bintang, bulan dan gerhana sudah
dilakukan bangsa Baylonia, 4000 tahun yang lalu. Kosmologi Yunani (4SM) menyatakan bumi
pusat dan semua benda langit mengitari bumi. Konsep ini dipatahkan Copernicus (1473-1543)
yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat sistem tata surya dan bumi bergerak
mengelinginya dalam orbit lingkaran. Teori Copernicus menjadi lan-dasan awal pengembangan
ilmu tentang tata surya. Seorang ilmuwan berada pada posisi dimana dia memiliki pengetahuan
yang berdasarkan pada fakta (factual knowledge). Tetapi, fakta itu tidak berarti walaupun bisa
menjadi instrumen jika tidak diaplikasikan. Aplikasi dari suatu kajian ilmu hendak-lah
mempunyai nilai kegunaan (aksiologis) yang memberi makna terhadap kebenaran atau ke-
nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan Kajian filsafat berkenaan dengan
pencarian kebenaran fundamental. Seorang ilmuwan, hendaklah mengkaji kebenaran
fundamental dari suatu alternatif pemecahan masalah yang disodorkannya. Seorang ilmuwan
juga memiliki tanggung jawab sosial untuk memberi perspektif yang benar terhadap suatu
masalah yang sedang dihadapi dan alternatif pemecahannya secara keilmuan kepada
mayarakat awam. Dengan penguasaan ilmunya, seorang ilmuwan juga hendaknya bisa
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seharusnya mereka sadari.
Sebagai contoh, kajian ilmu bioteknologi, revolusi hijau (bibit unggul, pestisida, pupuk kimia)
dan tanaman transgenik telah meningkatkan factual knowledge yang dimi-liki. Tetapi, ketika
akan diaplikasikan ke masyarakat sebagai alternatif untuk mengatasi masalah, misalnya
aplikasi tanaman transgenik untuk mengatasi produksi pangan yang terus menurun, maka kita
perlu mempertanyakan kebenaran fundamental yang ada dibelakangnya. Apa penyebab
masalah yang sebenarnya? Apa saja alternatif pemecahan ma-salahnya? Apakah alternatif
yang diajukan memang alternatif terbaik untuk mengatasi masalah? Bagaimana kajian
keuntungan dan resiko dari alternatif yang dipilih ini? Bagaimana dampaknya terhadap
kemanusiaan, lingkungan, ekonomi dan sistim sosial masyarakat? Hal-hal ini harus dipelajari
dan dijawab oleh ilmuwan sebelum alternatif ini benar-benar dipilih untuk mengatasi suatu
masalah. Sehingga tidak terjadi kasus dimana aplikasi dari suatu factual knowledge ternyata
pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi manusia, lingkungan, sosial ataupun aspek
lain dari kehidupan masyarakat.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1787020-perkembangan-ilmu-pengetahuan/#ixzz1Kp3DfWiN
nduk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Karena objek
material fils
sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam Klasik
sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam KlasikM. Nagib 04-07-2005
Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur'an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-'ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT.
Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-'Alim dan 'Alim, yang artinya "Yang Mengetahui" atau "Yang Maha Tahu." Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.
Keterangan tafsir sering kali ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur'an yang paling
pertama diwahyukan (QS.96:l-5), antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat
keilmuan pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi SAW tentang
ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini ialah memperoleh ilmu tersebut.
Dalam hubungan ini, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat
cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi
di mana mereka hidup, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan ini, ge-
nerasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh
Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat itu baru menampakkan dampak yang
amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada
generasi pertama sebagai pimpinan dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-
persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunnya wahyu
sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya ke dalam diri mereka, menilai situasi yang
mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru
yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit tabiin (tabi'at-tabi'in)
karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian
metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah
metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks hadis yang sifatnya
langsung, jelas, dan merujuk pada situasi yang dihadapi, atau mencari teks yang cukup dekat
dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang
lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.
Menurut pendekatan ini, pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh dalam
Islam. Munculnya sejumlah hadist yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di samping
ayat-ayat Al-Qur'an, menjadikan hadist pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri.
Dengan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul
menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa
kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin menegaskan dirinya
sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran
filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu
keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakinan Islam.
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi ketika kaum muslimin bertemu dengan
kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan.
Perkembangan tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan
abad ke-8. Pemindahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad
yang berada di lingkungan Persia yang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah
mengenal ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan
yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga
ilmu pengetahuan baik aqli ( rasional ) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat
pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku
karangan bangsa-bangsa terdahulu, seperti bangsa yunani, romawi, dan persia, serta berbagai
sumber naskah yang ada di timur tengah dan afrika, seperti mesopotamia dan mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah
kelompok Mawali atau orang-orang non arab, seperti orang persia. Pada masa itu, pusat kajian
ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid ini terdapat kelompok studi
yang disebut Halaqat Al Jadl, Halaqad Al Fiqh, Halaqad Al Tafsir wal Hadist, Halaqad Al Riyadiyat,
Halaqad lil Syi’ri wal adab, dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang ke
pertemuan ini. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti
sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Ma’ahid. Baru pada
masa pemerintahan Harun Al Rasyid didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah
yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak
melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah
dan umat islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin
menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya.
Pada mulanya, suatu karya diterjemahkan dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya, ilmu
kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan
kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat
secara akurat. Akan tetapi, motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada
perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas
untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luas,
misalnya, untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, ilmu yang diserap itu ditambah
dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan
mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fikih, ilmu
kalam, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu usul fikih, ilmu tasawuf, yang biasa pula disebut sebagai bidang
ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur'an dan hadis. Adapun dalam bidang ilmu
'aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi,
ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung, dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun muslim
non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar
muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lainnya yang tidak beragama Islam. Muhammad bin
Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-
Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban
at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, di samping Abubakar Muhammad ar-Razi
(wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah "bapak" ilmu
kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di
bidang ilmu optik. Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas'udi (wafat 956M), dan Yakut bin
Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu
Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi
pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-abad
yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan
ditulis dalam bahasa Eropa, tetapi juga pada pengakuan yang diberikan oleh dan dari berbagai
kalangan ilmuwan. Zaman Kebangkitan atau Zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah
melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir tanpa andil yang sangat besar dari
pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan muslim pada masa itu.
sumber rujukan : -Qardhawi, Yusuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah- Murodi, dkk. 2003.Sejarah Kebudayaan Islam. PT. Toha Putra: Semarang
afat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu
membutuhkan objek khusus. Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu
dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu
memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan
ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang
dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di
antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang
pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di
sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu.
Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu
pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang
luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak
masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah
apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu
dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan
yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-
ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah
(Siswomihardjo, 2003).
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang
sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari
ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi. Dalam taraf
peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah
menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan
filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah
menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam
konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan
untuk dikaji dan didalami (Bakhtiar, 2005).
Diposkan oleh Monalia Sakwati di 04:51
Label: Tugas Kuliah