dasar teori jalan perkotaan iiib

106
PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN B A B I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Perencanaan geometrik jalan dititik beratkan pada perencanaan fisik sehingga memenuhi fungsi dasar dari pada jalan, yaitu memberikan pelayanan yang optimum pada lalu lintas dan sebagai akses dari suatu tempat ke tempat lainnya. Dengan demikian, tujuan dari pada perencanaan geometrik jalan adalah menghasilkan infra struktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas, dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan dengan biaya pelaksanaan (Sukirman S. : 1999). Ruang, bentuk dan ukuran jalan dikatakan baik jika dapat memberikan rasa aman dan nyaman pada pemakai jalan. Didalam Undang-undang no. 13 tahun 1980 tentang jalan, sistem jaringan jalan dibedakan antara sistem jaringan jalan primer dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dan sistem jaringan jalan sekunder

Upload: ridwan-tazmaniac

Post on 03-Aug-2015

219 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

B A B I

P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Perencanaan geometrik jalan dititik beratkan pada perencanaan fisik

sehingga memenuhi fungsi dasar dari pada jalan, yaitu memberikan pelayanan

yang optimum pada lalu lintas dan sebagai akses dari suatu tempat ke tempat

lainnya. Dengan demikian, tujuan dari pada perencanaan geometrik jalan

adalah menghasilkan infra struktur yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu

lintas, dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan dengan biaya

pelaksanaan (Sukirman S. : 1999). Ruang, bentuk dan ukuran jalan dikatakan

baik jika dapat memberikan rasa aman dan nyaman pada pemakai jalan.

Didalam Undang-undang no. 13 tahun 1980 tentang jalan, sistem

jaringan jalan dibedakan antara sistem jaringan jalan primer dengan peranan

pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat

nasional dan sistem jaringan jalan sekunder dengan peranan pelayanan jas

distribusi untuk masyarakat di dalam kota. Kemudian sesuai dengan

peranannya, dikelompokkan atas jenis jalan arteri, kolektor dan lokal.

Pada peraturan pemerintah no. 26 tahun 1985 tentang jalan, diatur

mengenai persyaratan fisik dari pada jalan sesuai dengan jenisnya. Namun

demikian, permasalahan pada hampir seluruh jalan perkotaan adalah

kurangnya lahan untuk pengembangan, adanya tuntutan untuk

mempertimbangkan dampak pada lingkungan sekitarnya, dan fungsi jalan

perkotaan untuk melayani kepentingan umum lainnya.

Page 2: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka oleh Direktorat Jenderal Bina

Marga Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1988 menyusun standar

perencanaan geometrik untuk jalan perkotaan. Standar ini disusun sedemikian

rupa sehingga dapat memberikan keleluasaan yang sebesar-besarnya dalam

penerapannya dan dapat memberikan beberapa cara untuk membuat variasi

dari beberapa standar. Kriteria perencanaan diberikan dalam tiga tingkat

ketentuan/persyaratan, yaitu minimal (maksimal) yang diperlukan yaitu

digunakan pada kondisi normal, minimal (maksimal) standar yaitu digunakan

untuk sekurang-kurangnya menjamin keamanan dan kenyamanan bagi

pemakai jalan, dan minimal (maksimal) pengecualian yaitu digunakan

bilamana kondisi perencanaan memaksa perencana untuk memakainya.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari perencanaan jalan perkotaan yaitu:

Untuk mengetahui tentang survey dan kondisi jalan yang akan dibuat

menjadi jalan perkotaan.

Untuk menerapkan standar perencanaan geometrik jalan perkotaan

pada kegiatan perencanaan jalan perkotaan.

Untuk menerapkan standar untuk perencanaan bangunan pelengkap

dan komponen jalan yang ada pada sistem jalan perkotaan.

Dari maksud diatas kita dapat mengetahui tujuan dari perencanaan

jalan perkotaan ini yaitu :

Page 3: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Merencanakan jalan perkotaan dengan baik dan benar, sesuai dengan

standar perencanaan yang ada dalam aturan perencanaan jalan perkotaan.

Melaksanakan standar-standar jalan perkotaan pada daerah atau wilayah

yang akan dijadikan jalan perkotaan.

Page 4: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

B A B II

DASAR TEORI

2.1 Klasifikasi Jalan

Secara umum jaringan jalan dapat dikelompokkkan berdasarkan

struktur jaringannya atas 6 kelompok yaitu :

1. Jaringan jalan berdasarkan sistem (pelayanan penghubung)

Berdasarkan pasal 3 Undang-undang no. 13 tahun 1980 dan

peraturan pemerintah no. 26 tahun 1985, maka sistem jaringan jalan dapat

dibedakan atas :

a. Sistem jaringan jalan primer, yaitu sistem jaringan jalan dengan

pelayanan jasa distribusi untuk pengembangan semua wilayah di

tingkat nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian

berwujud kota.

Jadi sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan

pengaturan tata ruang dan struktur pengembangan wilayah tingkat

nasional, yang menghubungkan simpul-simpul jasa distribusi sebagai

berikut :

Dalam satu satuan wilayah pengembangan menghubungkan secara

menerus kota jenjang ke satu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga,

dan kota jenjang dibawahnya sampai ke persil.

Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar

satuan wilayah pengembangan.

Page 5: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

b. Sistem jaringan jalan sekunder, yaitu sistem jaringan jalan dengan

pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam kota.

Jadi sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan

pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan

yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder

kedua, ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

2. Jaringan jalan berdasarkan peranan (fungsi)

Selanjutnya pada pasal 4 UU no. 13 tersebut jalan

dikelompokkan menurut peranannya, yaitu :

a. Jalan arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri

perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk

yang dibatasi secara efisien.

b. Jalan kolektor, yaitu jalan yang melayani angkutan

pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang,

kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.

c. Jalan lokal, yaitu jalan yang melayani angkutan

pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalan jarak dekat, kecepatan

rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.

Pada peraturan pemerintah no. 26 tahun 1985 dijelaskan tentang

persyaratan-persyaratan dari pada masing-masing kelompok jalan tersebut

sebagai berikut :

Page 6: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

1) Kelompok jalan primer

a) Jalan Arteri Primer

menghubungkan kota jenjang kesatu tang terletak berdampingan

dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua

dengan kota jenjang ketiga, dengan persyaratan sebagai berikut :

Kecepatan rencana paling rendah 60 km/jam.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 9 meter.

Kapasitas jalan lebih besar dari pada volume lalu lintas rata-rata.

Lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang

alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.

Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien

dan didesain sedemikian rupa.

Persimpangan harus diatur dengan pengaturan tertentu sehingga

memenuhi ketentuan kecepatan rencana dan kapasitas jalan.

Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.

b) Jalan Kolektor Primer

Jalan kolektor primer menghubungkan kota jenjang kedua dengan

kota jenjang kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan

kota jenjang ketiga, dengan persyaratan sebagai berikut :

Kecepatan rencana paling rendah 40 km/jam.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari pada volume lalu

lintas rata-rata.

Page 7: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga

ketentuan mengenai kecepatan rencana dan kapasitas jalan

tetap terpenuhi.

Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki

kota.

c) Jalan lokal primer

Jalan lokal primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan

parsil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan parsil atau

menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota

jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, dengan persyaratan

sebagai berikut :

Kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 6 meter.

Jalan lokal primer tidak terputus walaupun memasuki desa.

2) Kelompok jalan sekunder

a) Jalan arteri sekunder

Jalan arteri sekunder menghubungkan kawasan primer dengan

kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder

kesatu dengan kawasan sekunder kesatu, atau menghubungkan

kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua, dengan

persyaratan sebagai berikut :

Kecepatan rencana paling rendah 30 km/jam.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

Page 8: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Kapasitan jalan sama atau > dari pada volume lalu lintas rata-

rata.

Lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat.

Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu sehingga

persyaratan mengenai kecepatan dan kapasitas terpenuhi.

b) Jalan kolektor sekunder

Jalan kolektor sekunder menghubungkan kawasan sekunder kedua

dengan kawasan sekunder kedua atau menghubungkan kawasan

sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga, dengan

persyaratan sebagai berikut :

Kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

c) Jalan lokal sekunder

Jalan lokal sekunder menghubungkan kawasan sekunder kesatu

dengan perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua

dengan perumahan, dan seterusnya sampai keperumahan, dengan

persyaratan sebagai berikut :

Untuk kendaraan bermotor beroda tiga atau lebih, maka :

Kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam.

Lebar badan jalan tidak kurang dari 5 meter.

Sedangkan untuk kendaraan tak bermotor persyaratan lebarnya

adalah tidak kurang dari 3,5 meter.

Page 9: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

3. Jaringan jalan berdasarkan peruntukan, dibedakan atas 2 jenis :

a. Jalan umum

Adalah jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas umum. Jalan ini dapat

dibedakan atas jalan umum biasa dan jalan umum tol. Jalan umum tol

adalah jalan yang kepada para penggunanya dikenakan kewajiban

membayar tol atau sejumlah uang tertentu untuk pemakaian jalan tol itu.

b. Jalan khusus

Adalah jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas selain dari jalan

umum, seperti jalan dalam kompleks-kompleks perkebunan, kehutanan,

pertambangan, jalan pipa, jalan irigasi, dan lain-lain.

4. Jaringan jalan berdasarkan klasifikasi teknis.

Berdasarkan klasifikasi teknis berkaitan dengan kemampuan jalan

mendukung beban lalu lintas (berat kendaraan). Dalam hal ini jalan dapat

dikategorikan menjadi jalan kelas I, II, III, IV, V, dan VI.

5. Jaringan jalan berdasarkan status dan wewenang pembinaan.

Berdasarkan status dan wewenang pembinaan, jalan diklasifikasikan atas

jalan nasional, jalan propinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.

6. Jaringan jalan berdasarkan jenis permukaan.

Jalan berdasarkan permukaan dapat dibedakan atas jalan aspal, beton PC,

kerikil, dan tanah.

Page 10: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

2.2 Istilah-istilah dalam jalan perkotaan.

Istilah-istilah teknik yang dipakai dalam buku ini didefinisikan seperti

berikut :

1. Alinyemen pada tikungan (Curved alignment) :

Seluruh bagian dari lengkung lingkaran dan lengkung peralihan.

2. Bagian lengkung (Curved section)

Bagian lengkung lingkaran.

3. Bagian peralihan (Transition section)

Bagian yang terletak antara tangen dan lengkung lingkaran atau antara

dua lengkung lingkaran yang berbeda jari-jari agar didapat keamanan

dan kenyamanan dalam mengemudikan kendaraan.

4. Bahu jalan (Shoulder)

Suatu struktur yang berdampingan dengan jalur lalu lintas untuk

melindungi perkerasan, mengamankan kebebasan samping dan

menyediakan ruang untuk tempat berhenti sementara, parkir dan pejalan

kaki.

5. Bahu kiri/bahu luar

Bahu jalan yang dibuat pada tepi kiri/luar dari jalur lalu lintas.

6. Bahu kanan/bahu dalam

Bahu jalan yang dibuat pada tepi kanan/dalam dari lalu lintas.

7. Daerah pedesaan (Rural area) : Daerah selain daerah perkotaan.

8. Daerah Perkotaan (Urban Area):

Page 11: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Daerah mantap dari suatu kota, daerah tersebar yang sudah berkembang

disekitar kota besar serta daerah yang diharapkan akan berkembang

dalam waktu 10 sampai 20 tahun mendatang yang merupakan daerah

perumahan , industri, perdagangan atau proyek-proyek pembangunan

non pertanian lainnya.

9. fasilitas jalan (road fasilities)

fasilitas seperti rambu-rambu lalu lintas, lampu lalu lintas, guardrail,

pohon, dan lain-lain yang ditempatkan dipermukaan jalan demi

keamanan, kenyamanan pemakai jalan.

10. Jalan (Roadway)

Merupakan seluruh jalur lalu lintas (perkerasan), median, pemisah luar

dan bahu jalan.

11. Jalur lalu lintas (Traveled way)

Bagian dari jalan yang direncanakan khusus untuk jalur kendaraan,

parkir atau kendaraan berhenti.

12. Jalur putaran (Turning Lane)

Jalur khusus kendaraan yang disediakan pada persimpangan, untuk

perlambatan, perpindahan jalur dan untuk menunggu pada saat berputar.

13. Jalan bebas hambatan (Free Way)

Jalan untuk lalu lintas menerus dengan jalan masuk dibatasi yang dipilih

untuk jalan lalu lintas utama yang dimaksudkan untuk memberikan

keamanan dan efisiensi gerakan lalu lintas volume tinggi, pada

kecepatan relatif tinggi.

Page 12: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

14. Jalur samping (Frontage Road)

Jalan yang dibangun sejajar sepanjang jalur lalu lintas menerus yang

dimaksudkan sebagai akses pada lahan sekitar atau jalan kolektor atau

lokal yang harus terpisah dengan jalur lalu lintas menerus oleh struktur

fisik, seperti kerb, pagar pelindung (guardrail).

15. Jalur (Lane)/ Lajur

Bagian dari jalan yang khusus ditentukan untuk dilewati satu rangkaian

kendaraan dalam satu arah.

16. Jalur tepian (Marginal Street)

Bagian dari median atau separator luar, disisi bagian yang ditinggikan,

yang sebidang dengan jalur lalu lintas, yang diperkeras dengan cara yang

sama dengan jalur lalu lintas dan disediakan untuk mengamankan ruang

bebas samping dari jalur lalu lintas.

17. Jalur percepatan atau perlambatan

Jalur yang disediakan untuk percepatan dan perlambatan kendaraan pada

saat akan masuk atau keluar jalur lalu lintas menerus.

18. Jalur Tambahan.

Merupakan jalur yang disediakan untuk belok kiri atau kanan,

perlambatan atau percepatan dan tanjakan.

19. Jalur sepeda

Bagian dari bahu kiri yang diperuntukkan untuk sepeda dan harus

ditandai dengan marka jalan.

20. Jalur sepeda/ pejalan kaki

Page 13: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Merupakan bagian dari jalan yang disediakan untuk sepeda juga pejalan

kaki, yang biasanya dibuat sejajar dengan jalur lalu lintas dan harus

terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik seperti kerb atau rel

penahan.

21. Jalan sepeda

Merupakan bagian dari jalan khusus disediakan untuk sepeda dan becak,

yang biasanya dibangun sejajar dengan jalur lalu lintas dan harus

terpisah dari jalur lalu lintas oleh struktur fisik seperti kerb dan

guardrail.

22. Jalur Parkir

Jalur khusus yang disediakan untuk parkir atau berhenti yang merupakan

bagian dari jalur lalu lintas.

23. Jalur Tanaman (planted Lane)

Bagian dari jalan yang disediakan untuk penanaman pohon yang

ditempatkan menerus sepanjang trotoar, jalan sepeda atau bahu jalan.

24. Jalur Pendakian (climbing Lane)

Jalur jalan yang disediakan pada bagian ruas jalan dengan kemiringan

besar untuk menampung kendaraan berat saat menanjak.

25. Panjang jarak pandang

Dengan ketinggian 100 cm diatas garis tengah ketitik terjauh dengan

ketinggian 10 cm diatas garis yang sama di depan, yang dapat dilihat

mata pengemudi dari tempat semula.

26. Jalur lalu lintas lambat

Page 14: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Jalur yang ditentukan khusus untuk kendaraan lambat.

27. Pulau Lalu Lintas

Bagian dari persimpangan yang ditinggalkan dengan kerb, yang

dibangun sebagai pengarah arus lalu lintas serta merupakan tempat untuk

pejalan kaki pada saat menunggu kesempatan menyebrang.

28. Jalur Lalu Lintas

29. Jalur Sepeda

30. Kanal

Merupakan bagian dari persimpangan sebidang yang khusus disediakan

untuk membeloknya kendaraan yang ditandai oleh marka jalan atau

dipisahkan oleh pulau lalu lintas.

31. Kecepatan Rencana

Kecepatan maksimum yang aman dan bisa tetap dipertahankan pada

suatu ruas jalan, apabila keadaan jalan tersebut baik dan sesuai dengan

yang ditentukan dalam perencanaa.

32. Kendaraan Rencana

Kendaraan dengan berat, dimensi dan karakteristik operasi tertentu yang

digunakan untuk perencanaan jalan agar dapat menampung kendaraan

dari tipe yang ditentukan.

33. Median

Ruang yang disediakan pada bagian tengah dari jalan untuk membagi

jalan dalam masing-masing arah serta untuk mengamankan ruang bebas

samping jalur lalu lintas.

Page 15: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

34. Panjang kritis pada tanjakan

Panjang maksimum yang ditentukan pada suatu tanjakan dimana truk

dengan muatan penuh dapat beroperasi pada batas pengurangan

kecepatan. Pengurangan kecepatan yang diizinkan ditentukan

berdasarkan kecepatan rencana dari jalan yang bersangkutan.

35. Pemisah tengah (inner separation)

Bagian dari median selain marginal strip, biasanya ditinggikan dengan

kerb untuk median sempit atau dipressed untuk median lebar.

36. Pemisah luar (outer Separation)

Ruang yang diadakan untuk memisahkan jalur samping dari jalur lalu

lintas menerus atau untuk memisahkan jalur lalu lintas lambat dari jalur

lain.

37. Pengaturan Jalan Masuk

Suatu aturan mengenai jalan masuk yang diterapkan melalui aturan dan

hak jalan masuk umum dari dan ke tempat-tempat yang berada di

sepanjang jalan

38. Penyesuaian pada Superelevasi

Panjang jalan yang diperlukan untuk mengadakan perubahan dalam

kemiringan melintang jalan (Lebar jalur perkerasan) dari bagian

poyongan normal ke bagian superelevasi (pelebaran) penuh atau

sebaliknya.

39. Ruang bebas jalan

Page 16: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Ruang pada permukaan jalan yang hanya disediakan untuk kendaraan

atau pajalan kaki, dimana pada tempat tersebut tidak boleh ada struktur,

fasilitas jalan, pohon atau benda yang tidak bergerak lainnya.

40. Separator luar

Bagian yang ditinggikan pada ruang pemisah luar, dibatasi oleh kerb

untuk mencegah kendaraan ke luar dari jalur.

41. Standar lalu lintas harian rencana

Besaran volume lalu .ontas yang digunakan sebagai dasar untuk

menentukan banyaknya jalur lalu lintas yang didapat dengan metode

yang ditentukan.

42. Volume lalu lintas rencana

Volume lalu lintas yang diperkirakan akan melalui suatu ruas jalan

tertentu dalam suatu satuan waktu.

2.3. Perencanaan Geometrik

Perencanaan Geometrik Jalan merupakan bagian dari perencanaan

jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat

memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum

pada arus lalu lintas. Dalam lingkup perencanaan geometrik tidak termasuk

perencanaan tebal perkerasan jalan, walaupun dimensi dari perkerasan

merupakan bagian dari perencanaan geometrik sebagai bagian dari

perencanaan jalan seutuhnya.

Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah sifat gerakan dan

ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak kendarannya

dan karakteristik arus lalu lintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi bahan

pertimbangan perencana sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan serta

ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan

Page 17: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

yang diharapkan. Adapun bagian-bagian dari perencanaan geometrik jalan

adalah sebagai berikut :

1. Dasar Perencanaan

a. Jenis Klasifikasi

Berdasarkan jenis hambatannya, jalan-jalan perkotaan dibagi

dalam dua tipe, yaitu :

- Tipe I : Pengaturan jalan masuk secara penuh

- Tipe II : Sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk

Tipe I, Kelas I : Adalah jalan dengan standar tertinggi dalam

melayani lalu lintas cepat antar regional atau antar

kota dengan pengaturan jalan masuk secara penuh.

Tipe I, Kelas II : Jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu

lintas cepat antar regional atau didalam melayani

lalu lintas cepat antar regional atau didalam kota

metropolitan dengan sebagian atau tanpa

pengaturan jalan masuk.

Tipe II, Kelas I : Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 4 lane

atau lebih, memberikan pelayanan angkutan cepat

bagi angkutan antara kota atau dalam kota, dengan

kontrol.

Tipe II, Kelas II : Standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 2 atau 4

lane dalam melayani angkutan cepat antar kota

dan dalam kota, terutama untuk persimpangan

tanpa lampu LL.

Tipe II, Kelas III : Standar menengah bagi jalan-jalan dengan 2 jalur

dalam melayani angkutan dalam distrik denga

kecepatan sedang, untuk persimpangan tanpa

lampu lalu lintas.

Tipe II, Kelas IV : Standar terendah bagi jalan satu arah yang

melayani hubungan dengan jalan-jalan

lingkungan.

Page 18: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Tipe I

Fungsi Kelas

PrimerArteri 1

Kolektor 2

Sekunder Arteri 2

Tabel 2.2 Klasifikasi Jalan Tipe II

Fungsi DTV ( dalam SMP ) Kelas

Primer

Arteri - 1Kolektor > 10.000

< 10.00012

Sekunder

Arteri > 20.000< 20.000

12

Kolektor > 6.000< 8.000

23

Lokal > 5.00< 5.00

34

Catatan : Dalam perhitungan perencanaan volume lalu lintas (DTV)

untuk menentukan klasifikasi perencanaan jalan, kendaraan

tak bermotor (termasuk becak/sepeda) tidak perlu ikut

diperhitungkan.

Ketentuan mengenai pengaturan jalan masuk diberikan sebagai

berikut :

- Pertemuan antara jalan-jalan tipe I haruslah sepenuhnya bebas

hambatan, keluar atau masuk dari jalur utama haruslah

mempergunakan jalur khusus.

- Pertemuan antara jalan tipe kelas I harus sekurang-kurangnya

mempergunakan lampu lalu lintas.

Page 19: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

- Pertemuan antara jalan tipe II kelas II dapat mempergunakan

lampu lalu lintas atau tanpa lampu lalu lintas. Fungsi dari pada

jalanlah yang menentukan kebutuhan akan lampu lalu lintas atau

tidak, kolektor primer atau sekunder dengan 4 jalur atau lebih

dapat mempergunakan lampu lalu lintas, sedang tipe II kelas II

pada kolektor sekunder pada umumnya tidak memerlukan lampu

lalu lintas.

- Semua jalan tipe II kelas III dan klas IV tidak memerlukan lampu

lalu lintas

b. Fungsional dan Volume lalu lintas

Daily traffic volume (DTV) pada suatu jalan dapat ditentukan

dengan terlebih dahulu mengadakan survei lalu lintas atau survei

bangkitan lalu lintas pada jalan yang akan dibangun. Perhitungan DTV

dari hasil survey lalu lintas dilakukan dengan cara sebagai berikut :

- Klasifikasi perencanaan jalan-jalan kota ditentukan terutama

oleh volume lalu-lintas rencana (DTV) yang dinyatakan dengan

SMP, yang menyatakan volume harian lalu lintas kedua arah.

- Beberapa elemen perencanaan jalan tertentu sangat tergantung

pada volume lalu lintas pada jam puncak, yang dinyatakan

dalam Volume Perjam Perencanaan (DHV).

Volume kendaraan dinyatakan dalam Satuan Mobil Penumpang

(SMP), nilai perbandingan untuk berbagao jenis kendaraan pada

kondisi jalan pada daerah datar adalah sebagai berikut :

- Kendaraan penumpang/kendaraan bermotor roda tiga/sepeda

motor : 1,0

- Truk kecil (berat < 5 ton) / bus-mikro : 2,5

- Truk sedang (berat > 5 ton) : 2,5

- Bus : 3,0

- Truk berat (berat > 10 ton) : 3,0

Page 20: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Pada terrain berbukit/gunung faktor koefisien diatas dapat

diperbesar. Kendaraan tak bermotor seperti : sepeda, becak dan

kendaraan yang ditarik hewan tidak dapat diberikan koefisien seperti

diatas karena pengaruhnya terhadap lalu lintas sangat dipengaruhi oleh

jumlah volume kendaraan sesaat.

c. Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk

keperluan perencanaan setiap bagian jalan seperti tikungan,

kemiringan jalan, jarak pandang, dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih

tersebut adalah kecepatan yang tertinggi menerus dimana kendaraan

dapat berjalan dengan aman.

Faktor yang mempengaruhi besarnya kecepatan rencana :

1) Keadaan terrain, apakah datar (kemiringan melintang 0 – <10 %),

bukit (kemiringan melintang 10 - <25 %) atau gunung (kemiringan

> 25 %).

2) Sifat dan tingkat penggunaan daerah, yaitu jalan luar kota atau

jalan dalam kota.

Tabel 2.3 Kecepatan Rencana sesuai dengan Tipe dan Kelas Jalan

Tipe Jalan Kelas JalanKecepatan rencana

( km/jam )

Tipe IKelas 1Kelas 2

100,80*80,60*

Tipe II

Kelas 1Kelas 2Kelas 3Kelas 4

6060,50*40,30*30,20*

d. Kendaraan Rencana

Kendaraan rencana dikelompokkan kedalam kelompok Mobil

Penumpang, Bus/Truk, Semi Trailer, dan Trailer. Ukuran kendaraan rencana

masing-masing kelompok adalah ukuran terbesar yang mewakili

kelompoknya.

Kendaraan renacana yang dipilih sebagai dasar perencanaan

geometrik ditentukan oleh fungsi jalan dan jenis kendaraan dominan yang

Page 21: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

memakai jalan tersebut. Pertimbangan biaya tentu ikut menentukan kendaraan

rencana yang dipilih sebagai kriteria perencanaan.

Tabel 2.4 Dimensi Kendaraan Rencana

JenisKendaraan

Panjangtotal

Lebartotal

tinggiDepan

tergantungJarak

gandarBlkg

tergantungRadius

Putar min

KendaraanPenumpang

4,7 1,7 2,0 0,8 2,7 1,2 6

Truk/BusTanpa

Gandengan12,0 2,5 4,5 1,5 6,5 4,0 12

kombinasi 16,5 2,5 4,0 1,3

4,0depan

9,0blkg

2,2 12

Sumber :Latief (2003 : 22)

Gambar 2.1. Kendaraan rencana

Ketentuan pemakaian kendaraan rencana tergantung pada tipe

dan kelas jalan. Ketentuan tersebut diberikan sebagai berikut :

- Pada perencanaan jalan tipe I, tipe II kelas I dan kelas II, semi

trailer dan mobil penumpang digunakan untuk menentukan

dimensi fasilitas jalan.

- Pada perencanaan jalan tipe II kelas III, truk/bus tanpa gandengan

dan mobil penumpang digunakan untuk menentukan dimensi

fasilitas jalan.

- Pada perencanaan jalan tipe II kelas IV, mobil penumpang dipakai

untuk menentukan dimensi jalan. Truk/bus tanpa gandengan dapat

Page 22: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

juga dipakai tergantung pada lokasi atau faktor-faktor perencanaan

jalan lainnya.

2. Komponen melintang jalan

1. Jalur lalu lintas

Jalur lalu lintas terdiri atas 2 komposisi sbb :

- Jalur lalu lintas pada jalan type I dan type II kecuali jalan kelas IV

terdiri dari jalur-jalur, jalur belok, jalur tanjakan, jalur

percepatan/perlambatan dan atau jalur parkir.

Jalur lalu lintas pada jalan type II kelas IV merupakan bagian jalur

kendaraaan dimana arus lalu lintas ke2 arah diperkenankan

- Selain jalur-jalur tersebut diatas badan jalan juga memiliki bagian jalan

yang diperkeras untuk memenuhi keperluan :

1.) Persimpangan jalan

2.) Bukaan median

3.) Taper untuk jalur tanjakan , jalur belok dan jalur percepatan/

perlambatan

4.) Perhentian bus dan perhentian darurat

Jumlah jalur jalan yang diberikan haruslah mengikuti ketentuan sbb :

- Jika volume lalu lintas rencana (DTV) yang lebih kecil dari nilai pada

table 2.5 (standar perencanaan lalu lintas harian) sebaiknya digunakan 2

jalur selain jalur belok dan jalur percepatan/perlambatan.

Tabel 2.5 Syarat batas volume lalu lintas untuk dua jalur

Klasifikasi perencanaanStandar perencanaan lalu

Lintas harian dalam SMP

Tipe IKelas 1 20.000

Kelas 2 20.000

Tipe II

Kelas 1 18.000

Kelas 2 15.000

Kelas 3 13.000

Page 23: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

- Untuk jalan dengan volume lalu lintas yang lebih besar, jumlah jalur

sebaiknya empat jalur atau lebih. Junlah jalan haruslah ditentukan oleh

perbandingan antara volume kendaraan untuk perencanaan (DVT) dengan

standar perencanaan LHR perjalur pada table 2.6

Tabel 2.6 Standar rencana lalu lintas harian perjalur

Kelas perencanaanStandar rencana lalu lintas harian perjalur

(SMP)

Tipe IKelas 1 15.000

Kelas 2 15.000

Tipe II

Kelas 1 13.000

Kelas 2 13.000

Kelas 3 12.000

- Pada umumnya jumlah jalur jalan adalah genap, namun jumlah jalur ganjil

dapat saja terjadi,misalnya bila dibutuhkan tambahan jalur tanjakan untuk

kendaraan berat atau dalam hal ini kapasitas kemampuan jalan dianggap

sama dengan jumlah jalur tanpa jalur tambahan.

Lebar jalur untuk berbagai klasifikasi perencanaan sebaiknya

sesuai dengan table 2.7 sedangkan untuk jalan lokal (type II kelas 4)

digunakan sebaiknya 4 meter.

Tabel 2.7 Lebar jalur lalu lintas

Kelas Perencanaan Lebar Jalur LL (m)

Type I Kelas I

Kelas II

Type II Kelas I

Kelas II

Kelas III

3,5

3,5

3,5

3,25

3,25 ,3,0

Page 24: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

2. Median

Median jalan merupakan ruangan yang terdiri dari pemisah tengah

(inner separator ) dan kedua jalur tepian disisinya.

Table 2.8 lebar minimum median

Kelas Perencanaan Lebar Minimum Standar (m) Lebar Min. Khusus

Tipe IKelas 1 2,50 2,50

Kelas 2 2,0 2,0

Tipe II

Kelas 1 2,0 1,0

Kelas 2 2,0 1,0

Kelas 3 1,5 1,0

Catatan : Lebar minimum khusus ini digunakan pada jembatan dengan

bentang 50 m atau lebih atau pada terowongan dengan ROW

sangat terbatas.

Tabel 2.9 Lebar Jalur Tepian

Kelas perencanaan Lebar garis tepi median (m)

Tipe I Kelas 1 0,75

Kelas 2 0,50

Tipe II Kelas 1 0,25

Kelas 2 0,25

Kelas 3 0,25

3. Bahu jalan

Jalur lalu lintas hendaknya dilengkapi dengan bahu jalan, namun bila

jalur lalu lintas telah dilengkapi dengan median, jalur pemisah atau jalur

parkir, maka bahu jalan tidak diperlukan lagi.

Page 25: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Tabel 2.10 Lebar minimum bahu kiri / Luar jalan

Klasifikasi

perencanaan

Lebar bahu kiri / luar (m)

Tidak ada trotoarAda trotoar

Standar minimum Pengecualian min.

Tipe I Kelas 1 2,0 1,75

Kelas 2 2,0 1,75

Tipe II Kelas 1 2,0 1,50 0,5

Kelas 2 2,0 1,50 0,5

Kelas 3 2,0 1,50 0,5

Kelas 4 0,5 0,50 0,5

Tabel 2.11 Lebar bahu dalam / kanan

Kelas perencanaan Lebar bahu jalan (m)

Tipe I Kelas 1 1,00

Kelas 2 0,75

Tipe II Kelas 1 0,5

Kelas 2 0,5

Kelas 3 0,5

4. Jalur parkir

Jalur parkir pada umumnya disediakan pada sisi kiri untuk jalur lalu

lintas untuk jalan-jalan tipe II, kecuali pada jalan-jalan tipe II, kelas 4 bila

kebutuhan akan parkir atau berhenti di sepanjang jalan cukup tinggi,

sehingga kendaraan yang berhenti dikhawatirkan akan mengganggu

kelancaran lalu lintas pada jalan tersebut.

Lebar standar dari jalur parkir adalah 2,5 m. Kecuali bila

perbandingan jumlah kendaraan berat terhadap jumlah total kendaraan yang

lewat cukup rendah, maka lebar jalur parkir boleh dikurangi sampai lebar

minimumnya 2,0 m..

Page 26: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

5. Jalur tanaman / jalur hijau

Jalan Tipe II sebaiknya dilengkapi dengan jalur tanaman, tergantung

dari kebutuhan untuk melestarikan nilai estetis lingkungan sekitar jalan

tersebut. Lebar standar untuk jalur hijau adalah 2,0 m.

6. Jalur samping (Frontage Road)

Frontage road adalah jalur jalan yang dibangun sejajar sepanjang jalur

lalu lintas menerus yang dimaksudkan sebagai akses pada lahan di sekitar

atau jalan kolektor/lokal yang harus terpisah oleh jalur lalu lintas menerus

oleh struktur fisik seperti kerb, pagar pelindung (guard rail).

7 Jalur pemisah luar (outer separation)

Jalur pemisah luar sebaiknya diberikan bila diperlukan untuk

memishkan kendaraan lambat dari kendaraan cepat atau memisahkan lalu

lintas yang masuk/keluar ke jalur utama / menerus.

8 Trotoar (side walk)

Pada umumnya jalan tipe II kelas 1, kelas II dan kelas III dilengkapi

dengan trotoar kecuali jalan kelas I seperti misalnya jalan pintas dimana

memang tidak disediakan akses samping. Pada daerah pinggiran kota

dimana volume pejalan kaki lebih dari 300 orang /12 jam dan volume

kendaraan melebihi 1000 kendaraan/12jam maka perlu disediakan trotoar

Tabel 2.12 Lebar minimum trotoarKlasifikasi Rencana Standar Minimum Lebar Minimum

pengecualian (m)Tipe II Kelas 1 3,0 1,5

Kelas 2 3,0 1,5Kelas 3 1,5 1,0

9 Jalur sepeda

Beberapa ketentuan mengenai pengadaan jalur sepeda diberikan

berikut ini :

Page 27: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

- Bila volime sepeda melebihi 500 kend/jam dan volume lalu lintas

melebihi 2000/ kend/jam, maka sebaiknya disediakan jalur khusus

untuk sepeda atau pejalan kaki. Dalam hal ini, terdapat pejalan kaki

dengan volume melebihi 1000 orang/jam, maka sebaiknya jalur pejalan

kaki dan jalur sepeda dipisahkan.

- Bila volume sepeda melebihi 200 kend/jam dan volume lalu lintas

melebihi 2000 kend/jam, sebaiknya disediakan jalur khusus untuk

sepeda.

- Dalam merencanakan jalur sepeda harus sudah mencakup asal dan

tujuan dari rute sepeda tersebut.

- Untuk jalan tipe II kelas1 seperi misalnya jalan pintas ( by pass) dimana

tidak ada akses masuknya maka pengadaan jalur sepeda tergantung dari

keperluan.

Dimensi sepeda untuk perencanaan jalur sepeda dinyatakan pada tabel

2.13

Lebar kemudi

Ruang pengemudi

Tinggi sepeda

Tinggi untuk pengemudi

Panjang sepeda

Tinggi sepeda

0,6 meter

1,0 meter

1,0 meter

2,25 meter

1,9 meter

0,05 meter

Kapasitas maksimum perencanaan jalur sepeda untuk 2 jalur 2 arah adalah

1600 sepeda/jam dan kecepatan rencana sepeda pada jalur sepeda adalah 15

km/jam.

Page 28: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

3. Jarak Pandang

a. Jarak Pandang Henti

Jarak pandang henti minimum harus selalu diberikan pada setiap

bagian jalan. Jarak pandang henti ini dinyatakan dalam tabel 2.13

Tabel 2.13 Jarak Pandang Henti Minimum

Rencana(Km/jam)

Jarak Pandang Henti(m)

100806050403020

1651107555403020

b. Jarak Pandang Menyiap

Ketentuan pandang menyiap harus ditentukan pada bagian jalan

yang dipilih, pada jalan dua jalur dua arah. Jarak pandang menyiap

standar dan minimum dinyatakan dalam tabel 2.14.

Tabel 2.14. Jarak Pandang Menyiap

Kecepatan Rencana(km/jam)

JPM Standar(m)

JPM Minimum(m)

806050403020

550350250200150100

35025020015010070

Disarankan untuk senantiasa menyediakan jarak pandang

menyiap yang cukup dalam merencanakan jalan dua jalur. Tetapi oleh

karena adanya kendala-kendala dalam memenuhi kondisi tersebut,

Page 29: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

menimbang besar biaya pembangunannya, hanya bagian-bagian jalan

tertentu yang disebut berikut ini, harus mempunyai jarak pandang

yang cukup.

1.) Untuk jalan tipe I dan II, persentasi panjang dengan jarak

pandang lebih besar daripada jarak pandang menyiap standar

sebaiknya lebih besar 30%.

2.) Untuk jalan tipe II kelas II, persentasi panjang dengan jarak

pandang lebih besar daripada jarak pandang menyiap minimum

sebaiknya lebih besar 30%.

3.) Untuk jalan tipe II kelas III, persentasi panjang dengan jarak

pandang lebih besar daripada jarak pandang menyiap minimum

sebaiknya lebih besar 10%.

Jarak pandang diukur dari tinggi pandangan mata ke puncak

sebuah objek. Untuk jarak pandang henti, tinggi mata 100 cm dan

tinggi objek 10 cm, untuk jarak pandang menyiap, tinggi mata 100 cm

dan tinggi objek 100 cm.

4. Alinyemen Horizontal

Alinyemen horizontal pada jalan perkotaan (urban road) harus diatur

sedemikian rupa tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan teknik dasar

semata, yang akan menyatakan pada paragraf berikut, juga untuk

menyiapkan tempat yang cukup bagi lalu lintas dari para pemakai jalan.

Antara lain pertimbangan yang tepat hendaknya diberikan kepada hal-hal

berikut dalam merencanakan jalan perkotaan adalah :

(1) Disesuaikan dengan keadaan topografi dan geografi daerah

sekitarnya

(2) Kemantapan alinyemen

(3) Koordinasi antara alinyemen horizontal dan vertikal

(4) Perspektif yang dapat disetujui

(5) Keamanan dan kenyamanan bagi pengemudi penumpang dan pejalan

kaki

(6) Keterbatasan-keterbatasan pada pelaksanaan pembangunannya

Page 30: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

Rc

Ts

PH

TC

Es

M

Lc CT

θs

Rc

θs

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

(7) Keterbatasan anggaran pembangunan dan pemeliharaannya

Kemungkinan tahapan pembangunannya harus dipertimbangkan,

peningkatan perkerasan, perbaikan alinyemen, vertikal atau horizontal yang

mungkin diperlukan pada masa mendatang, hendaknya dapat dilaksanakan

dengan penambahan biaya seminimum mungkin.

a. Penentuan Jenis Tikungan

Trase terdiri dari bagian lurus yang disebut tangent dan bagian

lengkung yang disebut tikungan. Untuk mendapatkan sambungan

yang mulus antara bagian lurus dan bagian tikungan maka pada

bagian-bagian tersebut diperlukan suatu bagian lengkung peralihan

yang disebut spiral.

Dalam suatu perencanaan alinyement horizontal ada 3 macam

bentuk lengkung peralihan, yaitu :

1) Full Circle

Full circle adalah jenis tikungan yang terbaik dimana mempunyai

jari-jari besar dengan sudut yang kecil. Pada pemakaian bentuk

lingkaran penuh, batas besaran R minimum ditetapkan sesuai dengan

Tabel. 2.24 Jari-Jari Minimum Lengkungan yang Tidak Memerlukan

bagian Peralihan.

Page 31: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Gambar 2.2 Lengkung Full Circle

Keterangan gambar :

PH = Perpotongan Horizontal

Rc = Jari-jari tikungan (m)

∆ = Sudut tangent (0)

TC = Tangen Circle

CT = Circle Tangen

Ts = Jarak antara TC dan PH

Lc = Panjang bagian tikungan

Es = Jarak PH ke lengkung peralihan

~ Perhitungan Data Kurva :

Ls = 0

Es =

RcCosθs

xRc………………………………… pers.1

Ts = R x tan 1∕2 β…………………………….... pers.2

Lc =

Δ360

x2 π Rc…………………………......... pers.3

~ Syarat Pemakaian :

Tergantung dari harga :

Vr → Rc

∆c = 0

L = 20

2) Spiral – Circle – Spiral (S-C-S)

Lengkung spiral pada tikungan jenis S-C-S ini adalah

peralihan dari bagian tangen ke bagian tikungan dengan

panjangnya diperhitungkan perubahan gaya sentrifugal.

Adapun jari-jari yang diambil adalah sesuai dengan kecepatan

rencana yang ada pada daftar I perencanaan geometrik jalan raya.

Page 32: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

Ts

PH

TS

Es

H

k

ST

kH SC CS

Xs

Rc

θs θc θs ∆/2 ∆/2

Spiral

Busur Lingkaran

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Gambar 2.3 Lengkung Spiral-Circle-Spiral

Keterangan gambar :

TS = Titik perubahan dari tangent ke spiral

ST = Titik perubahan dari spiral ke tangent

L = Panjang bagian spiral ke tengah

Ls = Panjang total spiral dari TS sampai ST

∆ = Sudut lengkungan

Rc = Jari-jari tikungan

Ts = Panjang tangent total yaitu jarak antara PH dan TS

Es = Jarak eksternal total yaitu jarak antara PH dan titik

tangen busur Lingkaran

~ Perhitungan data kurva :

Dari Tabel Konstruksi Jalan Raya diperoleh nilai e dan ls.

Ls min = 0,022

Vr3

RcxC−2 , 727

VrxeC ……………pers. 4

Page 33: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

θs =

90 Lsπ Rc

=28 ,648 LsRc ………………….pers. 5

∆c = ∆ - 2 θs………………………………pers. 6

Lc =

Δc360

x2 π Rc…………………………..pers. 7

p = Ls.p* =

Ls2

6 Rc−Rc(1−cosθs )

……….pers. 8

k = Ls.k* = Ls -

Ls3

40 Rc2−Rc sinθs

…….pers. 9

Ts = (Rc + p) tan θs + k………………….pers. 10

Es =

( Rc+ p )Cos θs

−Rc……………………...pers. 11

~ Syarat Pemakaian :

Ls min ≤ Ls…………………………………..pers. 12

Apabila Rc untuk circle tidak memenuhi untuk kecepatan

rencana tertentu, maka :

∆c > 0

Lc > 20 m

L = 2 Ls + Lc < 2 Ts…………………….pers. 13

Catatan :

Untuk mendapatkan nilai p* dan k* dapat dilihat pada

lampiran Tabel Konstruksi Jalan Raya berdasarkan nilai

θs yang didapatkan.

Nilai cadalah nilai untuk perubahan kecepatan pada

tikungan = 0,4 m/detik.

3) Spiral – Spiral (S – S)

Penggunaan lengkung spiral-spiral apabila hasil

perhitungan pada bagian lengkung S – C – S tidak memenuhi

Page 34: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

Rc Rc Rc

Ts Ts

kTs

Es

SC = CS P P

θs θs

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

syarat yang telah ditentukan. Bentuk tikungan ini

dipergunakan pada tikungan yang tajam.

Gambar 2.4 Lengkung Spiral – Spiral

~ Perhitungan data kurva :

∆c = 0

θs = 1

2 ∆ …………………………………… pers. 14

Ls =

θs . π . Rc90 =

θs .Rc28 ,648 ………………………pers. 15

L = 2 Ls……………………………………pers. 16

P = Ls.p* =

Ls2

6 Rc - Rc (1 – cos θs)…………..pers. 17

K = Ls.k* = Ls -

Ls3

40 Rc2 - Rc sin θs…………pers. 18

Ts = (Rc + p) tan θs + k………………………pers. 19

Es =

Rc+ pcosθs

−Rc…………………………….pers. 20

~ Syarat Pemakaian :

Kontrol perhitungan 2 Ls < 2 Ts………………….pers. 21

Page 35: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

a. Jari-jari Tikungan

Jari-jari minimum pada jalan perkotaan sebaiknya seperti yang

tercantum dalam tabel 2.15. kolom yang di tengah menunjukkan jari-

jari minimum yang diizinkan untuk jalan tipe I dan kolom paling kanan

jari-jari minimum yang dapat dipakai untuk jalan tipe II.

Namun demikian, penggunaan tabel 2.15 hanya bilamana kondisi

perencanaan alinyemen mempunyai keterbatasan yang ekstrim. Untuk

kondisi yang memungkinkan, sebaiknya jari-jari tikungan yang

digunakan minimum seperti yang tertera pada tabel 2.16.

Sebuah tikungan dengan jari-jari yang panjang tidak memerlukan

superelevasi sampai dicapai suatu nilai jari-jari tertentu. Jari-jari

minimum untuk bagian jalan dengan kamiringan normal, sebaiknya

seperti yang dicantumkan pada tabel 2.17 sesuai dengan angka

kemiringannya. Namun, di daerah perkotaan yang sudah mantap

dimana dianggap kurang tepat mengadakan superelevasi yang

disebabkan oleh kondisi geografis dan topografi. Hal ini dikarenakan

perlunya memberikan kemudahan-kemudahan untuk jalan masuk pada

kegiatan-kegiatan di sepanjang jalan dan menyediakan sistem drainase

yang mantap. Jari-jari minimum untuk jalan tersebut sebaiknya seperti

yang tercantum dalam tabel 2.18.

Tabel 2.15 Jari-Jari Minimum

Kecepatan Rencana(km/jam)

Jari-jari minimum (m)

Jalan type I Jalan type II

100 460 38080 280 23060 150 12050 100 8040 60 -30 30 -20 15 -

Page 36: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Tabel 2.16 Jari-Jari Tikungan yang Disarankan

Kecepatan Rencana(km/jam)

Jari-jari minimum yang disarankan (m)

100 70080 40060 20050 15040 10030 6520 30

Tabel 2.17 Jari-jari Minimum untuk Bagian Jalan dengan Kemiringan

Normal

Kecepatan Rencana(km/jam)

Jari-jari minimum pada kemiringan normal (m)

i = 2,0 % i = 1,5 %

100 5000 400080 3500 250060 2000 150050 1300 100040 800 60030 500 35020 200 150

Tabel 2.18 Jari-Jari Minimum untuk Jalan dengan Kemiringan

Normal

Kecepatan Rencana(km/jam)

Jari-jari minimum (m)

60 22050 15040 10030 5520 25

b. Panjang Tikungan

Untuk sudut = 7 derajat, panjang as jalur tikungan minimum

sebaiknya yang dinyatakan pada tabel 2.19 kolom kedua. Dalam hal ini

Page 37: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

adanya kendala-kendala yag tidak dapat dihindari, seperti keadaan

topografi atau terbatasnya ruang kerja, maka panjang as jalur minimum

dapat dikurangi sampai suiatu harga yang dinyatakan pada tabel 2.19

kolom ketiga sesuai dengan kecepatan rencananya. Panjang as sebuah

jalur jalan pada tikungan sebaiknya dua kali panjang bagian

transisi/peralihan.

Tabel 2.19 Panjang Tikungan Minimum

Kecepatan Rencana(km/jam)

Panjang Tikungan Minimum (m)

standard Keadaan terpaksa

100 1200/a 17080 1000/a 14060 700/a 10050 600/a 8040 500/a 7030 350/a 5020 280/a 40

Catatan :

a = sudut perpotongan (derajat), dimana jika = 2 derajat,

untuk perhitungan pada kolom kedua diambil a = 2.

c. Lereng Melintang Tikungan (Superelevasi)

Tikungan pada jalan-jalan yang ramai dilalui, bahu-bahu jalan

yang ditepinya diperkeras, dan jalur tepi dimana jari-jari lengkungnya

lebih kecil daripada yang dinyatakan dalam tabel 2.19 sebaiknya diberi

superelevasi. Harga superelevasi sebaiknya seperti yang dinyatakan

dalam tabel 2.20 sesuai dengan kecepatan rencana dan jari-jari

tikungannya. Superelevasi maksimum sebaiknya seperti yang

dinyatakan sebagai berikut:

Jalan tipe I superelevasi Maksimum 10 %

Jalan tipe II superelevasi Maksimum 6 %

Mengabaikan ketentuan diatas, jalan-jalan tipe II di daerah

perkotaan yang sudah mapan, bisa tidak diberikan superelevasi dalam

hal kemiringan normal memang diperlukan untuk memberikan

kemudahan dan hubungannya dengan jalan-jalan lain. Lepas dari harga-

Page 38: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

harga yang tercantum dalam tabel 2.20 untuk jalan-jalan dengan

kecepatan rencana 30 km/jam atau 20 km/jam, harga superelevasi dapat

ditetapkan berdasarkan karakteristik kendaraan yang melewatinya, dan

kondisi geografi di daerah tersebut.

Tabel 2.20 Kemiringan Tikungan Kasus I (Kemiringan Standar = 2,0 %)

Superelevasi (%)

Jari-jari Lengkungan (m)100km/jam

80km/jam

60km/jam

50km/jam

40km/jam

30km/jam

20km/jam

10380 R

430230 R

280120 R

15080 R

10050 R

65- -

9430

480280

330150

190100

13065

80- -

8480

550330

380190

230130

16080

10030

4015

20

7550

640380

450230

270160

200100

13040

6020

30

6640

760450

540270

330200

240130

16060

8030

40

5760

930540

670330

420240

310160

12080

11040

50

4930

1200670

870420

560310

410120

280110

15050

70

31210

1700870

1240560

800410

590280

400150

22070

100

21700

50001240

3500800

2000590

1300400

800220

500100

200Kasus II (Standard Kemiringan = 1,5 %)

Superelevasi (%)

Jari-jari Lengkungan (m)100km/jam

80km/jam

60km/jam

50km/jam

40km/jam

30km/jam

20km/jam

21700 R

2130

1240 R

2100

800 R1370

590 R1000

400 R600

220 R350

100 R150

1,52130

40002100

25001370

1500- - - -

Untuk tikungan dimana jari-jari lebih besar daripada jari-jari yang

sesuai dengan superelevasi 2% atau 1,5% dalam tabel 2.21,

Page 39: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

perencanaan dengan kemiringan normal dapat diterapkan atau dengan

perkataan lain tidak diperlukan superelevasi.

Untuk jalan di daerah yang sudah mantap, pemakaian superelevasi

yang di jelaskan pada paragraf sebelumnya mungkin tidak dapat

diterapkan oleh karena keperluan untuk persimpangan dengan jalan-

jalan yang lain, perawatan saluran dan jalan masuk ke tanah yang

berbatasan. Dalam hal demikian harga-harga pengecualian yang

dinyatakan dalam tabel 2.21 dapat dipakai. Penerapan harga-harga

pengecualian dalam merencanakan jalan-jalan perkotaan konsistensi

alinyemen sebaiknya ditekankan pada keamanan.

Tabel 2.21 Pengecualian Superelevasi di Dalam Daerah Mantap

Superelevasi (%)

Jari-jari Lengkungan (m)60

km/jam50

km/jam40

km/jam30

km/jam20

km/jam

6 - -60<R<

63

30R<

35

15<

16

5 -100<R<

105

63

65

35

37

16

17

4150<R< 105 65 37 17

3160

160165

110110

115

7070

74

4040

42

1818

19S

2165

220

115

150

74

100

42

55

19

25

Kasus II (Kemiringan Standard 1,5%)

Superelevasi (%)

Jari-jari Lengkungan (m)60

km/jam50

km/jam40

km/jam30

km/jam20

km/jam

2165

170

115

120

74

76

42

43

19

201,5 170 120 76 43 20

Page 40: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

¾ Ls TC ¼ Ls

I II III

-e max

-e max

Kanan

Kiri

Bagian lurus Bagian lengkung Bagian lurus

+en -en 0% -en e max

Potongan I Potongan II Potongan III

I II III

-e max

-e max

Kanan

Kiri

Potongan I Potongan II Potongan III

Gambar 3.11 Diagram Superelevasi Pada Jenis Tikungan S-C-S

Ls Lc Ls

-e max

TS SC ST

Kanan + e% Sumbu jalan - e% kiri

LS LS

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

220 150 110 55 25

Sedangkan bentuk-bentuk dari diagram superelevasi adalah

sebagai berikut :

Gambar 2.5 Diagram Superelevasi Pada Jenis Tikungan

F-C

Gambar 2.6 Diagram Superelevasi Pada Jenis Tikungan S-C-

S

Page 41: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Gambar 2.7 Diagram Superelevasi Pada Jenis Tikungan S - S

d. Bagian Peralihan

Bagian peralihan pada prinsipnya harus disediakan antara bagian

lurus dan curva lingkaran. Panjang minimum bagian peralihan harus

seperti yang tertera dalam tabel 2.22 sesuai engan kecepatan rencana

jalan tersebut.

Tabel 2.22 Panjang Minimum Bagian Peralihan

Kecepatan Rencana(km/jam)

Panjang minimum (m)

100 8580 7060 5050 4040 3530 2520 20

Bagian peralihan dapat diabaikan dalam hal jari-jari tikungan

tidak kurang dari harga-harga yang tertera dalam tabel 2.23 sesuai

dengan kecepatan rencana jalan tersebut. Namun demikian, untuk

kenyamanan dan estetika, tikungan dengan jari-jari sampai dengan dua

kali jari-jari minimum tersebut sebaiknya diberikan bagian peralihan.

Tabel. 2.23 Jari-Jari Minimum Lengkungan yang Tidak Memerlukan

Bagian Peralihan

Kecepatan Rencana(km/jam)

Jari-jari minimum (m)

100 150080 100060 60050 40040 25030 15020 60

e. Pelebaran Tikungan

Page 42: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Jalur lalu lintas sebaiknya dilebarkan pada bagian tikungannya

sesuai dengan tipe jalan, kelas dan jari-jari tikungannya. Harga-harga

pelebaran sebaiknya seperti yang tercantum pada tabel 2.24. Akan

tetapi, untuk jalan tipe II untuk kondisi tertentu, dapat dipakai harga-

harga yang lebih kecil.

Tabel 2.24 Pelebaran Jalur

Jari-Jari Tikungan (m)Pelebaran per Jalur

(m)Tipe IKelas II, Kelas I

Jalan-Jalan Lainnya

280 – 150 160 – 90 0.25150 – 100 90 – 60 0.50100 – 70 60 – 45 0.7570 – 50 45 – 32 1.00

32 – 26 1.2526 – 21 1.5021 – 19 1.7019 – 16 2.0016 – 15 2.25

Catatan : Jari-jari sepanjang tabel tersebut diukur sepanjang as jalan

Pada jalan berjalur banyak pelebaran sebaiknya diberikan setiap

jalur. Untuk jalan dengan median yang berjalur 6 atau lebih, pelebaran

4 jalur mungkin sudah cukup tergantung pada kondisi lalu lintasnya.

Untuk jalan-jalan tipe II, bila pelebaran secara normal begitu

susahnya, yang disebabkan oleh keadaan topografi maupun kondisi-

kondisi khusus, maka lebar pada tikungan dapat disamakan dengan

lebar jalur.

f. Aliran Superelevasi

Superelevasi dan pelebaran pada jalan yang sering dilewati

sebaiknya dialirkan dalam bagian peralihan. Aliran superelevasi adalah

panjang jalan yang diperlukan untuk menyempurnakan perubahan pada

kemiringan melintang dari bagian dengan kemiringan normal hingga

kebagian dengan superelevasi maksimum dan sebaliknya. Apabila

panjang yang diperlukan untuk aliran superelevasi atau pelebaran lebih

Page 43: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

besar daripada harga-harga yang disebutkan pada paragraf sebelumnya

tabel 2.21 akan dianggap sebagai bagian minimum. Dalam hal tangen

section dihubungkan dengan sebuah circular section tanpa bagian

peralihan, sebaiknya diberikan setengahnya ke tangen section dan

setengahnya lagi diberikan ke circular section.

Aliran superelevasi pada perkerasan dengan dua jalur sebaiknya

ditentukan sedemikian rupa sehingga kemiringan relatif permukaan

maksimum antara tepi dan as perkerasan lebih kecil daripada harga-

harga yang tertera dalam tabel 2.25. Dalam aliran superelevasi yang

diperoleh dengan cara yang telah dijelaskan sebelumnya ternyata lebih

kecil daripada harga-harga pada tabel 2.21 untuk masing-masing

kecepatan rencananya, harga-harga dalam tabel 2.21 sebaiknya dipakai

sebagai aliran superelevasi minimum.

Panjang aliran superelevasi unruk perkerasan yang lebih lebar

daripada 2 jalur sebaiknya sebagai berikut :

1) Perkerasan 3 jalur, 1,2 kali panjang aliran superelevasi pada

jalan dengan 2 jalur yang sesuai.

2) Perkerasan 4 jalur dengan median, 1,5 kali panjang aliran

superelevasi pada jalan dengan 2 jalur yang sesuai.

3) Perkerasan 6 jalur tanpa median, 2,0 kali panjang aliran

superelevasi pada jalan dengan 2 jalur yang sesuai.

Tabel 2.25 Kemiringan Permukaan Relaif Maksimum

Antara Tepi dan As jalan dengan Perkerasan 2 jalur

Kecepatan Rencana(km/jam)

Kemiringan Relatif

100 1/22580 1/20060 1/17550 1/15040 1/12530 1/10020 1/75

Page 44: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

g. Kemiringan Melintang

Jalur lalu lintas bahu jalan, jalur batas, trotoar dan jalur sepeda

pada bagian tangen dari suatu jalan harus diberi kemiringan melintang

sesuai dengan klasifikasi perencanaan jalan dan jenis permukaannya.

Untuk jalan tipe I, 2 jalur 2 arah, kemiringan melintang perkerasan

sebaiknya 1,5%

Untuk jalan tipe I selain tersebut di atas, kemiringan melintang

perkerasan 2,0%.

Untuk jalan tipe II, perkerasan beton semen atau jenis aspal beton

sebaiknya mempunyai kemiringan melintang 2,0%.

Untuk jalan jenis II, selain tersebut di atas, perkerasan diberikan

kemiringan melintang 3 – 5%.

Bahu jalan yang lunak disisi perkerasan tanpa trotoar sebaiknya

diberikan kemiringan melintang lebih besar daripada kemiringan

perkerasannya sampai 6%, tergantung jenis permukaan, intensitas

hujan dan kemungkinan penggunaan bahu jalan.

Trotoar dan jalan jalur sepeda diberi kemiringan melintang 2-4%.

5. Alinyemen Vertikal

Alinyemen vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan

bidang permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan untuk jalan 2

lajur 2 arah atau melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan

dengan median. Seringkali disebut juga sebagai penampang memanjang

jalan.

Perencanaan alinyemen vertical dipengaruhi oleh besarnya biaya

pembangunan yang tersedia. Alinyemen vertical yang mengikuti muka

tanah asli akan mengurangi pekerjaan tanah, tetapi mungkin saja akan

mengakibatkan jalan itu terlalu banyak mempunyai tikungan. Tentu saja

hal ini belum tentu sesuai dengan persyaratan yang diberikan sehubungan

dengan fungsi jalannya.

Page 45: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

a. Landai Maksimum

Landai maksimum yang diizinkan pada kondisi normal tercantum

dalam tabel 2.26.

Tabel 2.26 Landai Maksimum

Kecepatan Rencana(km/jam)

Landai Maksimum (%)

100 380 460 550 640 730 820 9

b. Panjang Landai Kritis

Kelandaian yang lebih besar dari kemiringan maksimum yang

disebutkan dalam paragraf di atas dapat digunakan, apabila panjang

kelandaian lebih kecil daripada panjang kritis yang ditetapkan dalam

tabel 2.27 sesuai dengan kecepatan rencana.

Tabel 2.27 Panjang Kritis pada Kelandaian

Kecepatan Rencana(km/jam)

Kelandaian (%)

Panjang kritis dari kelandaian (m)

100456

700500400

80567

600500400

60678

500400300

50789

500490300

40 89

400300

Page 46: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

10 200

Catatan : apabila disediakan jalur tanjakan panjang kelandaian dapat

melebihi panjang kelandaian kritis di atas.

c. Jalur Pendakian

Pada bagian tanjakan dengan landai 5% atau lebih (3% atau lebih

untuk jalan yang kecepatan rencana 100 km/jam atau lebih. Jalur

pendakian untuk kendaraan berat hendaknya disediakan, tergantung

pada panjang dan karakteristik lalu lintas. Lebar jalur tanjakan pada

umumnya 3,0 m.

d. Lengkung Vertikal

Pada setiap perubahan kelandaian dapat diberikan lengkung

vertikal. Lengkung vertikal hendaknya merupakan lengkung parabola

yang sederhana.

Standar minimum jari-jari lengkung vertikal pada lengkung

cembung dan lengkung cekung yang ditetapkan dalam tabel 2.28

(kolom 3) sesuai dengan kecepatan rencana. Untuk kenyamanan dan

keamanan pengemudi, pemakaian standar jari-jari minimum dalam

merencanakan dibatasi oleh masalah-masalah pelik. Sebagai ganti

standar jari-jari minimum, besar nilai-nilai pada kolom 4 tabel 2.28

dapat digunakan dalam perencanaan pada kondisi normal.

Tabel 2.28 Radius Minimum Lengkung Vertikal

Kecepatan Rencana(km/jam)

Lengkung Cembung

dan Cekung

Standar Minimum

(m)

Rencana Radius Minimum Lengkung

Vertikal (m)

100CembungCekung

65003000

100004000

80CembungCekung

30002000

45003000

60CembungCekung

14001000

20001500

50CembungCekung

800700

12001000

40CembungCekung

450450

700700

Page 47: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

30CembungCekung

250250

400400

20CembungCekung

100100

200200

Standar panjang minimum lengkung vertikal seperti yang tertera pada

tabel 2.9 sesuai dengan kecepatan rencana.

Tabel 2.29 Standar Panjang Minimum Lengkung Vertikal

Kecepatan Rencana(km/jam)

Standar PanjangMinimum Lengkung

Vertikal (m)100 8580 7060 5050 4040 3530 2520 20

Adapun lengkung vertikal yang digunakan adalah lengkung

parabola sederhana seperti pada gambar berikut :

1) Lengkung vertikal cembung

Page 48: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

½ LV ½ LV

½ LV ½ LV

½ LV½ LV ½ LV

½ LV ½ LV

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Gambar 2.8 Lengkung Vertikal Cembung

2) Lengkung vertikal cekung

Gambar 2.9 Lengkung Vertikal Cekung

Pada lengkung vertikal cembung mempunyai tanda positif (+)

pada persamaannya dan lengkung vertikal cekung mempunyai tanda

negative (-) pada persamaannya.

Page 49: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PTVPLV ¼ LV ¾ LVPVI

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Rumus yang digunakan pada perencanaan lengkung vertikal ini

yaitu :

Diketahui :

Vr = kecepatan rencana (km/jam)

Sta. PVI = jarak yang ditinjau (m)

Elev. PV = ketinggian tanah (m)

A = perbedaan kelandaian (%)

= G1 – G2

Ev =

AxLv800 …………………………………….pers. 22

Lv ditentukan dari tabel panjang lengkung vertikal cembung /

cekung, berdasarkan nilai Vr dan A. Terdapat pada lampiran.

Peninjauan titik :

x = ½ Lv………………………………………………….pers. 23

y =

A . x2

200 Lv ……………………………………………….pers. 24

Dengan cara seperti di atas didapatkan nilai sebagai berikut :

X = ½ Lv……………………………………………........ pers. 25

Y = ¼ y………………………………………………….. pers.

26

Sta PLV = Sta PVI – ½ Lv…………………………... pers. 27

Elev PLV = Elev PVI – (G1 % x ½ Lv)…………… .....pers. 28

Sta ¼ Lv = Sta PLV – ¼ Lv…………………………...pers. 29

Elev ¼ Lv = Elev PLV – (G1 % x ¼ Lv) – Y…………...pers. 30

Sta PVI = Sta yang ditinjau

Elev PVI = Elev PV – Ev……………………………….pers. 31

Sta PTV = Sta PVI + ½ Lv……………………………..pers. 32

Elev PTV = Elev PVI + (G2 % x ½ Lv)…………………pers. 33

Sta ¾ Lv = Sta PVI + ¼ Lv……………………………..pers. 34

Elev ¾ Lv = Elev PVI + (G2 % x ¼ Lv) – Y…………….pers. 35

Page 50: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PLV ¼ LV ¾ LVPVI

Gambar 2.10 Alinyemen Vertikal

PTV

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan

1. Uraian Umum

Perkerasan jalan adalah bagian dari jalur lalu lintas, yang bila kita

perhatikan secara strukturil pada penampang melintang jalan, merupakan

penampang struktur dalam kedudukan yang paling sentral dalam suatu

badan jalan (Saodang, Hamirhan 2005:1). Perkerasan jalan terdiri dari

beberapa elemen struktur perkerasan yang dipilih dan dikerjakan menurut

persyaratan tertentu sesuai dengan macamnya dan fungsinya untuk

menyebarkan beban roda kendaraan sedemikian rupa sehingga dapat

ditahan oleh tanah dasar dan batas daya dukungnya.

Perkerasan jalan dalam hal ini konstruksi perkerasan lentur (flexible

pavement), yaitu perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan

pengikat. Lapisan elemen strukturnya terdiri dari tanah dasar (sub

grade), lapis pondasi bawah (sub base course), lapis pondasi atas (base

course), dan lapis permukaan (surface course) (Saodang, Hamirhan

2005:33). Lapisan-lapisan perkerasan tersebut bersifat memikul dan

Page 51: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

Lapisan Pondasi bawah

Tanah Dasar

Lapisan Permukaan

Lapisan Pondasi Atas

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. perkerasan lentur terdiri

dari beberapa lapisan

Bagian perkerasan jalan umumnya meliputi : lapis pondasi

bawah (sub base), lapis pondasi (base), dan lapis permukaan (surface

course).

Di bawah ini adalah susunan lapis konstruksi jalan :

Gambar 2.11Lapisan struktur jalan

a. Tanah Dasar

Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan

jika tanah aslinya baik atau tanah yang didatangkan dari tempat lain

dan dipadatkan.

b. Lapisan Pondasi Bawah (LPB)

Lapisan pondai bawah adalah lapisan perkerasan yang terletak

di antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar.

Lapisan pondasi bawah berfungsi sebagai berikut :

sebagai bagian dari struktur perkerasan untuk mendukung dan

menyebarkan beban roda

mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah

agar lapisan-lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya

untuk mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapisan pondasi

sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan lancar.

Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung

tanah dasar terhadap roda-roda alat-alat besar atau karena

Page 52: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

kondisi lapisan yang memaksa harus segera menutup tanah

dasar dari pengaruh cuaca.

c. Lapisan Pondasi Atas (LPA)

Lapisan pondasi atas adalah lapisan perkerasan yang terletak di

antara lapisan lapisan pondasi bawah dan lapisan permukaan.

Lapisan pondasi atas berfungsi sebagai berikut :

~ sebagai lapisan perkerasan yang menahan beban roda

~ sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi umumnya harus cukup kuat

dan awet sehingga dapat menahan beban-beban roda. Sebelum

menentukan suatu bahan untuk digunakan sebagai bahan pondasi

hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan sebaik-baiknya

sehubungan dengan persyaratan teknik. Bahan alam yang dapat

digunakan sebagai bahan pondasi antara lain : batu pecah, kerikil

pecah, stabilisasi tanah dengan semen kapur.

d. Lapisan Permukaan

Lapisan permukaan berfungsi sebagai berikut :

sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda

sebagai lapisan rapat air untuk melindungi badan jalan dari

kerusakan akibat cuaca

sebagai lapisan aus.

Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan

untuk lapis pondasi, dengan persyaratan yang lebih tinggi.

Penggunaan bahan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap

air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan tegangan

tarik yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan beban roda lalu

lintas.

2. Penentuan Besaran Rencana

a. Persentase Kendaraan Pada Jalur Rencana

Page 53: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas

jalan raya yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak

memiliki tanda batas jalur maka jumlah jalur ditentukan dari lebar

perkerasan menurut tabel di bawah ini :

Tabel 2.30 Jumlah Jalur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Lebar Perkerasan (L) Jumlah Jalur (n)L < 5,50 m 1 jalur

5,50 m ≤ L < 8,25 m 2 jalur8,25 m ≤ L < 11,25 m 3 jalur11,25 m ≤ L < 15,00 m 4 jalur15,00 m ≤ L < 18,75 m 5 jalur18,75 m ≤ L < 22,00 m 6 jalur

Koefisien distribusi (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang lewat

pada jalur rencana ditentukan menurut tabel di bawah ini :

Tabel 2.31 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Jumlah Jalur Kendaraan ringan * 1 arah 2 arah

Kendaraan berat ** 1 arah 2 arah

1 jalur 1,00 1,00 1,00 1,002 jalur 0,60 0,50 0,70 0,503 jalur 0,40 0,40 0,50 0,4754 jalur -0,3 0,30 0,3 0,455 jalur - 0,25 0,3 0,4256 jalur - 0,20 0,3 0,40

* berat total < 5 ton, mis : mobil penumpang, pick up

** berat total ≥ 5 ton, mis : bus, truk, traktor, semi trailer, trailer

b. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) dan Lintas Ekuivalen

1) Lalu lintas harian rata-rata

Lalu lintas harian rata-rata (LHR) adalah jumlah rata-rata

lalu lintas kendaraan bermotor beroda empat atau lebih yang dicatat

selama 24 jam sehari untuk kedua jurusan. Untuk setiap jenis

kendaraan ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk

Page 54: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

dua arah pada jalan tanpa median atau masing-masing arah pada

jalan dengan median.

Lalu lintas harian rata-rata awal umur rencana adalah LHR

pada saat jalan sudah selesai dikerjakan atau mulai berfungsi,

kemungkinan akan lebih besar sesuai dengan tingkat perkembangan

lalu lintas (1%per tahun).

LHR Awal Umur Rencana = (1 + i)n x LHR saat survey

Dimana :

i = perkembangan lalu lintas

n = umur rencana

Lalu lintas harian rata-rata akhir umur rencana lalu lintas

adalah jumlah waktu dalam tahun dihitung sejak jalan tersebut

dibuka sampai saat diperlukan perbaikan berat atau dianggap perlu

untuk diberi lapis permukaan yang baru.

LHR Akhir Umur Rencana = (1 + i)ur x LHR awal umur rencana .......pers. 36

2) Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP)

Lintas ekuivalen permulaan adalah jumlah lintas harian

rata-rata dari sumbu tunggal sebesar 8,16 ton pada jalur rencana

yang diduga terjadi pada permulaan rencana

Berdasarkan Sukirman, Silvia (1992) LEP dihitung dengan rumus

sebagai berikut :

AE18KSAL = LEP x 365 x N.......................................pers. 37

LEP = AE18KSAL ……………………………………pers. 38

365 x N

Dimana :

AE18KSAL = accumulative 18 Kips Single Axle Load (1,5 x 106)

365 = Jumlah hari dalam setahun

LEP = Lintas ekivalen awal umur rencana

N = Faktor umur rencana yang sudah disesuaikan degan

perkembagan lalu lintas.

Tabel 2.32 Nilai N untuk Perhitungan AE18KSAL

Page 55: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

r % 2 % 4 % 5 % 6 % 8 % 10 %

n (thn)

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

15

20

1,01

2,04

3,09

4,16

5,25

6,37

7,51

8,70

9,85

11,05

17,45

24,55

1,02

2,08

3,18

4,33

5,53

6,77

8,06

9,51

10,79

12,25

20,25

30,40

1,02

2,10

3,23

4,42

5,66

6,97

8,35

9,62

11,30

12,90

22,15

33,90

1,03

2,12

3,30

4,51

5,80

7,18

8,65

10,20

11,84

13,60

23,90

37,95

1,04

2,16

3,38

4,69

6,10

7,63

9,28

11,05

12,99

15,05

28,30

47,70

1,05

2,21

3,48

4,87

6,41

8,10

9,96

12,00

14,26

16,73

33,36

60,20

3) Lintas Ekuivalen Akhir (LEA)

Lintas ekuivalen akhir adalah jumlah lintas ekuivalen

harian rata-rata dari sumbu tunggal sebesar 8,16 ton pada jalur

rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana.

Dihitung dengan rumus sebagai berikut :

LEA = LEP (1 + r ) n ………………………………….pers. 39

Dimana :

LEA = Lintas Ekuivalen Akhir

r = Faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana

n = Umur rencana jalan.

4) Lintas Ekuivalen Tengah (LET)

Lintas ekuivalen tengah adalah jumlah lintas ekuivalen

harian rata-rata dari sumbu ekuivalen pada jalur rencana pada

pertengahan umur rencana.

Dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Page 56: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

LET =

LEP+LEA2 ………………………………………pers. 40

5) Lintas Ekuivalen Rencana (LER)

Lintas ekuivalen rencana adalah suatu besaran yang dipakai

dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan

jumlah lintas ekuivalen pada umur rencana.

Dihitung dengan rumus sebagai berikut :

LER = LET x n / 10……………………………………... pers. 41

Dimana :

n = umur rencana

c. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan CBR

Daya dukung tanah dasar (DDT) adalah suatu skala yang

dipakai dalam nomogram penetapan tebal perkerasan untuk

menyatakan kekuatan tanah dasar. Daya dukung tanah dasar ditetapkan

berdasarkan grafik korelasi dengan harga CBR (CBR lapangan atau

CBR laboratorium). Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya

dukung tanah hanya pada pengukuran nilai CBR.

Untuk mendapatkan nilai CBR rata-rata yang tidak terlalu

merugikan maka disarankan agar dalam merencanakan perkerasan

suatu ruas jalan perlu dibuat segmen–segmen dimana beda atau variasi

CBR dari suatu segmen tidak besar.

d. Faktor Regional

Faktor regional adalah faktor koreksi perbedaan kondisi antara

kondisi lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan

pembebanan, daya dukung tanah dasar dan perkerasan. Dalam

penentuan tebal perkerasan faktor regional hanya dipengaruhi oleh

bentuk alinyement (kelandaian dan tikungan), persentase kendaraan

berat dan yang berhenti serta iklim atau curah hujan.

Page 57: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Tabel 2.33 Faktor Regional (FR)

Kelandaian I (< 6 %)

Kelandaian II (6-10 %)

Kelandaian III (>10 %)

% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat

≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %

Curah Hujan I(≤900 mm/thn)

0,5 1,0 -1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5

Curah Hujan II(>900 mm/thn)

1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5

Catatan : Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan,

pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari < 30 m) nilai FR ditambah

dengan 0,5, sedangkan pada daerah rawa-rawa nilai FR ditambah

dengan 1,0.

e. Indeks Permukaan

Indeks permukaan dalam perencanaan perkerasan dipergunakan

sebagai ukuran dasar dalam menentukan nilai perkerasan ditinjau dari

kepentingan lalu lintas. Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari

kerataan / kehalusan serta kekokohan permukaan yang berhubungan

dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.

Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana

(IP) perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan

dan jumlah lintas ekuivalen rencana (LER) menurut tabel di bawah ini:

Tabel 2.34 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP)

LERLintas Ekuivalen

Rencana

Klasifikasi JalanLokal Kolektor Arteri Tol

< 10 1,0 – 1,5 1,5 1,5 – 2,0 -

Page 58: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

10 – 100 1,5 1,5 – 2,0 2,0 -100 – 1000 1,5 – 2,0 2,0 2,0 – 2,5 -

> 1000 - 2,0 – 2,5 2,5 2,5

Catatan :

Pada proyek penunjangan jalan,JAPAT (jalan murah), atau jalan darurat, nilai IPt

dapat diambil 1,0.

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana

(IPo), perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan pada awal umur

rencana menurut tabel di bawah :

Tabel 2.35 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)

Jenis Lapis Permukaan Ipo Roughness (mm/km)Laston

Lasbutag

HRA

BurdaBurtuLapen

LatabunBurasLatasir

Jalan TanahJalan Kerikil

≥ 43,9 – 3,53,9 – 3,53,4 – 3,03,9 – 3,53,4 – 3,03,9 – 3,53,4 – 3,03,4 – 3,02,9 – 2,52,9 – 2,52,9 – 2,52,9 – 2,5

≤ 2,4≤ 2,4

≥ 1000> 1000≤ 2000> 2000≤ 2000> 2000< 2000< 2000≤ 3000< 3000

3. Penentuan Tebal Perkerasan

Page 59: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

a. Indeks Tebal Perkerasan

ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3…………………………………….pers. 42

Dimana :

a1a2a3 = koefisien kekuatan relatif bahan-bahan perkerasan

D1D2D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan

Angka-angka 1, 2, dan 3 masing-masing berarti lapis permukaan, lapis

pondasi atas, dan lapis pondasi bawah.

b. Koefisien Kekuatan Relatif

Koefisien kekuatan relatif masing-masing bahan dan

kegunaannya sebagai lapis permukaan, pondasi atas, dan pondasi

bawah ditentukan secara korelasi sesuai dengan Marshall Test, kuat

tekan atau CBR. Dibawah ini menunjukkan nilai koefisien relatif dari

tiap-tiap lapisan :

Tabel 2.36 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien Kekuatan Relatif

Kekuatan BahanJenis Lapisan PerkerasanSM

(kg)Kt

(kg/cm2)CBR

%a1 a2 a3

Page 60: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

0,400,350,320,300,350,310,280,260,300,260,250,20

0,280,260,240,230,190,150,130,150,130,140,120,140,130,12

0,130,120,110,10

744590454340744590454340340340

590545340

22182218

10060100806070503020

Laston

Asbuton

Hot Rolled AsphaltAspal MacadamLapen (mekanis)Lapen (manual)

Laston Atas

Lapen (mekanis)Lapen (manual)

Stabilitas tanah dengan semen

Stabilitas tanah dengan kapur

Pondasi Macadam (basah)Pondasi Macadam (kering)

Batu pecah (kelas A)Batu pecah (kelas B)Batu pecah (kelas C)Sirtu/pitrun (kelas A)Sirtu/pitrun (kelas B)Sirtu/pitrun (kelas C)

Tanah . lempung kepasiran

c. Persyaratan Tebal Lapisan Perkerasan Minimum

Tabel 2.37 Persyaratan Tebal Lapisan Perkerasan Minimum

Page 61: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

ITP Tebal Minimum

(cm)

Bahan

1. Lapis Permukaan

< 3,003,00 – 6,706,71 – 7,497,50 – 9,99

≥ 10,00

5,05,07,57,5

10,00

Lapisan pelindung (buras,burtu,burda)Lapen/aspal macadam,HRA,lasbutag,lastonLapen/aspal macadam,HRA,lasbutag,lastonLasbutag, lastonLaston

2. Lapis Pondasi

< 3,003,00 – 7,49

7,50 – 9,99

10 – 12,24

≥ 12,25

1520*)1020

1520

25

Batu pecah,stabilisasi tanah dengan semen/ kapurBatu pecah,stabilisasi tanah dengan semen/kapurLaston AtasBatu pecah,stabilisasi tanah dengan semen atau kapur,pondasi macadamLaston AtasBatu pecah,stabilisasi tanah dengan semen/kapur, pondasi macadam, lapen, laston atasBatu pecah,stabilisasi tanah dengan semen/kapur, pondasi macadam, lapen, laston atas

3.Lapis Pondasi Bawah

Untuk setiap nilai ITP, bila digunakan lapis pondasi bawah, tebal minimum 10 cm.

Catatan : *) batas 20 cm tersebut dapat diturunkan menjadi 15 cm bila

untuk lapis pondasi bawah digunakan material berbutir kasar.

Page 62: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

BAB III

PERENCANAAN

3.1 Data dan Analisis

3.1.1 Hasil Pengukuran Geometrik

Pengukuran Geometrik meliputi pengukuran situasi, Poligon, elevasi

dan potongan melintang jalan. Adapun panjang ruas jalan Beru-Beru adalah

2 KM, namun panjang ruas jalan yang akan direncanakan adalah 550 M.

Hasil pengukuran geometrik tertera pada Tabel 3.1 untuk koordinat dan

elevasi arah memanjang. Adapun data-data pengukuran terdapat pada

lampiran (i)

3.1.2 Hasil Survey CBR

Data CBR tanah dasar diperoleh dari konsultan perencana C.V.

Tolisindo disajikan pada table 3.2

Hasil perhitungan nilai CBR untuk STA 0 + 150 – STA 0 + 700

adalah 8,57. Adapun data CBR tanah dasar tertera pada Tabel 3.2 Data

CBR tanah dasar dan berikut ini adalah analisa perhitungannya

Analisa Perhitungan CBR

(Sta. 0 + 150 – 0 + 700 )

CBR Rata-rata

=

Nilai CBRSta (0 + 150) + (0 + 218) + (0 + 300) + (0 + 400) + (0

+ 500) + (0 + 600) + (0 + 700)

7

=10+8+9+8+11+7+7

7

Page 63: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

= 8,57

Jadi CBR Rata-rata adalah 8,57

CBR Minimum adalah Pada Sta. 0 + 700 yakni senilai 7

CBR Maksimum adalah Pada Sta. 0 + 500 yakni senilai 11

CBR :

Nilai R untuk 7 titik = 2.83

CBR = CBR rata-rata - (CBR Maks - CBR Min)

R

=

8.57 – ( 11 - 7)

2.83

= 7,15

Page 64: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Tabel 3.1 Koordinat dan elevasi arah memanjang

    KOORDINATELEVASI

CLNo. Patok X Y

    (m) (m)

1 BM 5000000 5000000 30,000

         

2 0+000 5006376 5011099 29,817

         

3 PI1 5020640 5083711 29,621

         

4 PI2 4866050 5091768 29,149

         

5 0+300 4857954 5008159 29,879

         

6 0+500 4659364 5031864 29,299

         

7 0+700 4457530 5053592 29,018

         

8 0+900 4237541 5074705 28,183

         

9 1+050 4085963 5086024 27,603

         

10 1+200 3930984 5094308 27,406

         

11 1+350 3783030 5097982 26,976

         

12 1+450 3679272 5084736 27,125

         

13 PI 11 3537799 5072514 26,633

         

14 1+800 3316377 5019843 26,641

         

15 1+950 3184652 5091596 26,776

Page 65: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Tabel 3.2 Data CBR tanah dasar

   

STA CBR

   

   0+150 10

 0+218 8

0+300 9

0+400 8 

0+500 11 

0+600 7 

0+700 7   

3.1.3 Perhitungan Data Volume Lalu Lintas

Data volume lalu lintas yang diperoleh dari konsultan perencana

C.V. Tolisindo disajikan pada table 3.3 Data Volume lalu lintas.

Data volume total lalu lintas yang diperoleh sangat kecil, yaitu 255

smp/hari. Berdasarkan hasil perhitungan, volume LHRT untuk umur

rencana 10 tahun adalah 457 smp/hari. Akan tetapi permintaan pemerintah

daerah Kab. Mamuju menginginkan komponen jalan yang lengkap, maka

LHRT yang dipergunakan adalah 15000 SMP/hari. Data Volume lalu

lintas tertera pada Tabel 3.3, dan berikut ini adalah analisa perhitungan

LHRT (lalu lintas harian rata-rata).

Diketahui :

Umur rencana (n) = 10 Tahun

Perkembangan lalu lintas per tahun (i) = 6 %

Volume total = 255 smp/hari

Prekdiksi LHRT 10 tahun kedepan

Page 66: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

LHRT = Volume Total (1+i)n

= 255 (1+0,06) 10 = 457 smp/hari

Tabel 3.3 Data Volume Lalu LintasMOBIL   TRUK TRUK SEPEDA

URAIAN PENUMPANG BUS 2 AS 3 AS MOTOR

(KEND) (KEND) (KEND) (KEND) (KEND)

         

JUMLAH 50 20 10 10 100

         

KOEF. EMP 1,0 2,5 2,5 3,0 1,0

VOLUME        

(SMP) 50 50 25 30 100

VOLUME TOTAL (SMP/HARI) 255

3.1.4 Faktor Regional

Kemiringan medan pada lokasi perencanaan umumnya memiliki

kelandaian < 6 % dengan presentase kendaraan berat < 30 %.

Secara umum Sulawesi Barat beriklim tropis dengan rata-rata curah

hujan berkisar antara 1500 sampai 4500 millimeter pertahun

(www.bdg.lapan.go.id)

3.1.5 Data Material dan Bahan

Bahan Material yang ditemukan disekitar lokasi pekerjaan jalan ini

adalah berupa batu gunung kapur. Kualitas material secara visual cukup

baik dan dapat digunakan untuk pekerjaan pasangan batu ataupun untuk

perkerasan telford. Lokasi quarry tepat berada di sepanjang sisi jalan Beru-

Beru Data Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat.

Bahan timbunan badan jalan dapat diperoleh dari sekitar jalan

Trans Sulawesi, dengan jarak lebih kurang 1 kilometer dari lokasi

pekerjaan. Jenis bahan timbunan berupa tanah lempung berpasir, sehingga

cocok digunakan sebagai bahan timbunan tanah biasa (common

embankment).

Harga material dan bahan diperoleh dari data Dinas Pekerjaan

Umum Kabupaten Mamuju.

Page 67: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

3.2 Klasifikasi jalan

3.2.1 Sistem jalan pada Jalan Beru-Beru Kabupaten Mamuju akan difungsikan

untuk pelayanan jasa distribusi masyarakat di dalam kota. Berdasarkan

Spesifikasi perencanaan jalan kota untuk fungsi tersebut maka system

jalan (pelayanan penghubung) termasuk sistem jalan sekunder.

3.2.2 Peranan Jalan pada Jalan Beru-Beru Kabupaten Mamuju yaitu sebagai

jalan yang melayani angkutan pengumpulan/pembagian ke jalan utama

(Trans Sulawesi). Sesuai dengan Spesifikasi perencanaan geometrik

jalan perkotaan berdasarkan fungsi /peranannya jalan tersebut

merupakan jalan kolektor.

3.2.3 Persimpangan jalan tidak diatur secara penuh, oleh karena itu Sesuai

dengan Spesifikasi perencanaan geometrik jalan perkotaan perencanaan

jalan pada Jalan Beru-Beru Kabupaten Mamuju termasuk jalan Type 2.

3.2.4 Berdasarkan perhit. LHRT maka kelas jalan adalah Kelas 4 dengan

volume lalu lintas yang ada lebih kecil dari 500 smp/ hari, namun

pemerintah Kabupaten Mamuju menginginkan komponen jalan

lengkap. Oleh karena itu jalan tersebut dijadikan Jalan Kelas 3 dengan

volume lalu lintas rencana 15.000 smp.

3.3 Perencanaan Geometrik Jalan

3.3.1 Komponen melintang jalan

1. Jalur

DTV = 255 smp dipergunakan 15.000 smp

Syarat batas volume lalu lintas untuk 2 jalur tipe II kelas III = 13.000

smp

Syarat volume lalu lintas perjalur = 12.000 smp

Jumlah Lajur = 2 + (15000 – 13000) = 2.17 = 3 Lajur

12000

Page 68: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

Pada umumnya jalur yang disarankan adalah genap maka jumlah lajur

yang dipergunakan adalah 4 lajur. lebar lajur yang digunakan sesuai

tabel 2.7 yaitu 3.0 meter

Jadi kebutuhan Lebar Jalur lalulintas adalah 4 x 3,0 meter = 12 meter

2. Median

Median jalan merupakan ruangan yang terdiri dari pemisah tengah (inner

separator ) dan kedua jalur tepian disisinya. Dari tabel 2.8 untuk jalan

Tipe II kelas III lebar mediannya 1,5 m, untuk jalur tepiannya

berdasarkan tabel 2.9 yaitu 0,25 m. Sehingga lebar inner separatornya

1,5 – (0, 25+0,25) = 1,0 m.

3. Bahu jalan (tidak perlu)

4. Jalur parkir

Lebar standar dari jalur parkir adalah 2,5 m. Kecuali bila perbandingan

jumlah kendaraan berat terhadap jumlah total kendaraan yang lewat

cukup rendah, maka lebar jalur parkir boleh dikurangi sampai lebar

minimumnya 2,0 m.

5. Jalur tanaman / Jalur hijau

Jalan Tipe II sebaiknya dilengkapi dengan jalur tanaman, tergantung dari

kebutuhan untuk melestarikan nilai estetis lingkungan sekitar jalan

tersebut. Lebar standar untuk jalur hijau adalah 2,0 m.

6. Jalur samping (tidak perlu)

7. Jalur pemisah (tidak perlu)

8. Trotoar

Untuk penentuan trotoar sebaiknya yang tercantum dalam tabel 2.12

lebar minimum trotoar sesuai dengan klasifikasi jalan :

Standar minimum = 1,5

Lebar minimum pengecualian = 1,0 m

9. Jalur sepeda

Dalam perencanaan ini lebar jalur sepeda yang disediakan 1.5 meter

Page 69: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

3.3.2 Alinement Horisontal

Tabel 3.4 hasil Perhitungan Tikungan Spiral – Cicle – Spiral ( SCS )

PI SUDUT Vr R Ls θS θc Lc L e p k Ts Es

D (Km/Jam) (m) (m) (o) (o) (m) (m) (o) (m) (m) (m) (m)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

02 87.00 20 30 40 38.197 10.605 5.550 85.550 0.047 2.465 19.671 50.480 14.757

03 91.00 20 30 40 38.197 14.605 7.643 87.643 0.034 2.465 19.671 52.708 16.319

Tabel 3.5 Hasil Perhitungan Stasioning Perhitungan Tikungan

PISTA T Ls STA. TS STA. SC STA. CS STA. ST KET

1 2 3 4 5 6 7 8 9

01 218 39 20 179 199 237 257 SCS

02 300 41 20 259 279 321 341 SCS

Page 70: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

3.3.3 Alinement Vertikal

Tidak ada perhitungan kurva vertikal oleh karena A < 4 % .

3.4. Perencanaan Tebal Perkerasan

a. Data Perencanaan

Umur rencana (n) = 10 tahun

Klasifikasi Jalan = Jalan Kolektor

Perkembangan lalu lintas pertahun = 6 % pertahun

Curah hujan = 1500 mm/tahun

Kelandaian wilayah < 6 % (datar)

Rencana bahan perkerasan

1) Lapis permukaan = Laston

2) Lapis Pondasi Atas = Batu pecah kelas A

3) Lapis Pondasi Bawah = Sirtu kelas B

b. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

LEP = AE18KSAL

365 x N

= 1,5 x 10 6 .

365 x 13,60

= 302,18

AE18KSAL = Accumulative 18 Kips Single Axle Load (1,5 x 10 6)

365 = Jumlah hari dalam setahun

N = Faktor umur rencana yang sudah disesuaikan dengan

perkembangan lalu lintas (Tabel 2.32)

c. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

LEA = LEP ( 1 + r ) n

= 302,18 ( 1 + 6 %) 10

= 541,16

Page 71: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

r = Lintas Ekivalen Permulaan

n = Umur Rencana

d. Lintas Ekivalen Tengan (LET)

LET = ½ (LEA + LEP)

= ½ (541,16+ 302,18)

= 421,67

e. Lintas Ekivalen Rencana (LER)

LER = LET x FP

FP = n / 10

= 10

10

= 1

LER = 421,67 x 1

= 421,67

f. Indeks Tebal Perkerasan

1) Nilai DDT

Nilai CBR = 7,15

Nilai DDT

= 4,3 Log CBR + 1,7

= 4,3 Log 7,15 + 1,7

= 5,37

2) Faktor Regional

Curah hujan = 1500 mm/tahun > 900 mm/tahun

Kelandaiaan wilayah < 5 %

% berat kendaraan < 30 %

Nilai FR berdasarkan Tebel 2.33 = 1,5

3) Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo)

Jenis lapis permukaan = Laston

Nilai IPo berdasarkan Tabel 2.35 = 3,9 – 3,5

Page 72: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

LPB = 21 cm

Tanah Dasar

Lapis Permukaan = 7,5 cm

LPA = 20 cm

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN

4) Indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt)

LER = 421,67

Klasifikasi jalan = Kolektor

Nilai IPt berdasarkan Tabel 2.34 = 2,0

5) Indeks tebal perkerasan (ITP)

LER = 421,67

FR = 1,5

Nilai DDT = 5,37

IPo = 3,9 - 3.5

IPt = 2,0

Nilai ITP berdasarkan nomogram 4 = 8,3

g. Tebal Perkerasan

Koefisien Tebal Perkerasan berdasarkan Tabel 2.36 sebagai berikut :

Lapis permukaan Laston (a1) = 0,4

Lapis pondasi atas Batu Pecah Kelas A (a2) = 0,14

Lapis pondasi bawah Sirtu kelas B (a3) = 0,12

Persyaratan tebal lapis perkerasan minimum (D) berdasarkan Tabel

2.37 sebagai berikut :

Lapis permukaan Laston (D1) = 7,5 cm

Lapis pondasi atas Batu Pecah Kelas A (D2) = 20 cm

Lapis pondasi bawah Sirtu kelas B (D3) = …… cm

ITP = a1 x D1 + a2 x D2 + a3 x D3

8,3 = 0,4 x 7,5 + 0,14 x 20 + 0,12 x D3

D3 = 20,83 cm dipakai 21 cm

Gambar 3.1 Desain Rencana Tebal Perkerasan

Page 73: Dasar Teori Jalan Perkotaan Iiib

PERENCANAAN JALAN PERKOTAAN