dasar hukum penetapan status hukum mafqud dalam...
TRANSCRIPT
DASAR HUKUM PENETAPAN STATUS HUKUM MAFQUD DALAM KEWARISAN
DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA DAN KEDIRI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum guna memenuhi persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SAIDUL ISKANDAR
NIM: 1111044200015
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
i
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 (satu) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 09 Oktober 2017
Saidul Iskandar
iv
ABSTRAK
Saidul Iskandar. NIM 1111044200025. Dasar Hukum Penetapan Status
Hukum Mafqud dalam Kewarisan di Pengadilan Agama Yogyakarta dan Kediri.
Program Studi Hukum Keluarga. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar-dasar apa yang menjadi
petimbangan Hakim dalam menetapkan status hukum subyek waris yang mafqud
dalam hal kepentingan kewarisan di Pengadilan Agama Yogyakarta dan Kediri.
Hakim menetapkan status hukum mati bagi Termohon mafqud dengan
pertimbangan aspek materil dan formil, diantaranya pertimbangan fakta hukum
yang diperoleh dan dibuktikan di persidangan serta formal acara persidangan
untuk memenuhi syarat pemanggilan Termohon mafqud, hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965. Penelitian
ini mengkaji bagaimana hakim menemukan hukum dan metode penemuan hukum
apa yang digunakan untuk memenuhi dasar pertimbangannya dalam menjatuhkan
penetapan, mengingat bahwa sumber hukum materiil dalam perkara kewarisan
mafqud sangat terbatas dan tidak diatur secara rinci dalam peraturan perundang-
undangan yang menjadi sumber hukum materiil Peradilan Agama.
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif. Metode
analisis deskriptif memberikan suatu kajian terhadap realita dalam
menggambarkan secara menyeluruh dan menginterpretasikan penanganan kasus
penetapan status hukum bagi orang yang mafqud.
Hakim mendasarkan penetapannya dengan Pasal 467 dan Pasal 468 KUH
Perdata pada Pengadilan Agama Yogyakarta dan pertimbangan daluwarsa melalui
pendekatan istishab pada Pengadilan Agama Kediri. Dilihat dari macam metode
penemuan hukum, hakim Pengadilan Agama kediri mempertimbangkan nilai
keadilan, kepastian hukum, penggunaan hierarki sumber hukum dan tujuan
kemasyarakatan sebagai batasannya untuk menemukan hukum.
Kata Kunci: Metode Penemuan Hukum, Pertimbangan Hakim, Mafqud,
Waris.
Pembimbing: Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H.
Daftar Pustaka: Tahun 1980 s/d 2015
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, setelah melalui berbagai proses dan upaya akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan izin dan karunia yang sangat
besar dari Allah SWT. dzat yang Maha Tinggi yang memberikan penulis kekuatan
dan kesempatan melewati proses yang cukup menyita waktu dan pikiran penulis.
Teriring salam serta shalawat kepada baginda Rasulullah SAW. semoga
syafaatnya senantiasa tercurah kepada kita, kaum muslimin.
Skripsi ini disusun sebagai bagian dari persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan
skripsi ini penulis memperoleh banyak dukungan dan saran yang sangat
membantu dari berbagai pihak, sehingga ucapan terimakasih penulis haturkan
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. selaku ketua Program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. selaku
dosen penasihat akademik selama penulis menjadi mahasiswa di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarih
Hidayatullah Jakarta.
vi
4. Bapak Dr. H. Kamarusdiana, S.Ag., M.H. selaku dosen pembimbing
penulisan skripsi ini yang telah banyak memberikan saran maupun
arahan secara langsung.
5. Bapak Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., M.A. selaku dosen penguji I dalam
ujian munaqasah yang telah memberikan banyak saran, arahan dan
koreksi yang positif untuk membantu penulis dalam perbaikan skripsi
ini.
6. Bapak Dr. H, Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. selaku
dosen penguji II dalam ujian munaqasah yang telah memberikan banyak
saran, arahan dan koreksi yang positif untuk membantu penulis dalam
perbaikan skripsi ini.
7. Ayahanda Drs. H. Zulkarnain Panjaitan dan Ibunda Hj. Siti Rukiah
Munthe tercinta yang telah begitu banyak mencurahkan kasih dan
sayangnya kepada penulis. Sujud dan doaku kepada Ayah dan Ibu atas
pengorbanan yang begitu besar, sungguh tidak pernah sanggup aku
membalas jasa Ayah dan Ibu.
8. Abang dan kelima adikku Salman Alfarisi, S.T., Syawal Almaududi,
Uswatun Hasanah, Said Abdul Aziz, Raudatun Hasanah dan Sabhan
Yazid Ridho teman segenerasi satu atap yang telah banyak menuliskan
kisah dan warna yang sangat berarti.
9. Sahabat-sahabat terbaikku Keluarga Besar AKI 2011. Terimakasih atas
dukungan dan doanya serta curahan pikiran yang telah banyak menjadi
inspirasi bagi Penulis.
vii
Banyak situasi dan perasaan yang dilewati selama proses penyusunan
skripsi ini, penulis sangat bersyukur akhirnya dapat menuntaskan Tugas Akhir
sebagai syarat telah selesainya melakukan studi Starata 1 pada Program Studi
Hukum Keluarga di kampus penuh sejarah dan kenangan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tercinta. Selesainya studi secara formal bukan
berarti telah selesai menggali dan menemukan pengetahuan dalam disiplin ilmu
apa pun secara khusus dalam disiplin keilmuan Hukum Perdata Islam ini. Penulis
sadar selesainya Tugas Akhir dan studi penulis pada Program Studi Hukum
Keluarga Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan tanda
bahwa penulis harus siap untuk berperan penting dalam kehidupan masyarakat
yang beradab.
Penulis berharap semoga skripsi yang telah penulis susun ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak baik itu akademisi, praktisi, maupun stakeholder
lainnya yang berhubungan dengan bahasan skripsi ini. Penulis menyadari
penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga penulis sangat
berterimakasih apabila ada kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
tercapainya perbaikan yang lebih tinggi.
Ciputat, 09 Oktober 2017
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. ...... i
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................. ...... v
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Masalah Penelitian.................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
D. Tinjauan Kajian Terdahulu .................................................... 9
E. Metode Penulisan dan Penelitian ......................................... 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................... 13
BAB II STUDI LITERATUR KEWARISAN DAN MAFQUD ........ 15
A. Definisi dan Dasar Hukum Kewarisan ................................. 15
1. Definisi Hukum Kewarisan ............................................ 16
2. Dasar Hukum Kewarisan ............................................... 17
B. Definisi dan Penjelasan tentang Mafqud .............................. 22
1. Definisi Mafqud Menurut Fikih ..................................... 22
2. Pandangan Ulama Mazhab tentang Mafqud .................. 23
3. Hukum Materiil Perkara Mafqud ................................... 26
ix
BAB III METODE PENEMUAN HUKUM........................................... 30
A. Metode Penemuan Hukum.................................................... 30
1. Metode Interpretasi......................................................... 30
2. Metode Argumentasi....................................................... 33
3. Metode Eksposisi............................................................ 35
B. Pedoman Umum Penggunaan Metode Penemuan Hukum... 36
1. Nilai Moral, Kesusilaan dan Ketertiban Umum.............. 37
2. Nilai Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan..... 37
3. Argumentasi Yuridis atau Penalaran Hukum.................. 37
4. Pendekatan Sistem.......................................................... 38
5. Hierarki Sumber Hukum................................................. 38
BAB IV KEWARISAN MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA
YOGYAKARTA DAN KEDIRI ............................................. 39
A. Kronologi Kasus di Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor
042/Pdt.P/2011/PA.Yk ......................................................... 39
1. Duduk Perkara ................................................................ 39
2. Proses Persidangan ......................................................... 41
3. Pertimbangan Hukum dan Penetapan Hakim ................. 43
B. Kronologi Kasus di Pengadilan Agama Kediri Nomor
0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr .................................................... 45
1. Duduk Perkara ................................................................ 45
2. Proses Persidangan ......................................................... 47
3. Pertimbangan Hukum dan Penetapan Hakim ................. 49
x
C. Analisis Penulis .................................................................... 51
BAB V PENUTUP ................................................................................. 57
A. Kesimpulan .......................................................................... 57
B. Rekomendasi ........................................................................ 58
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 61
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum kewarisan pada intinya adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-
siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dari
pengertian ini dapatlah diketahui bahwa substansi dari hukum kewarisan termasuk
kewarisan Islam ialah pengaturan tentang peralihan hak milik dari si mayit
(pewaris) kepada ahli warisnya. Dalam literatur fikih Islam, hukum waris Islam
dikenal dengan beberapa nama/sebutan, yakni: hukum waris, hukum faraidh, dan
hukum al-mirats.1
Kematian adalah suatu kepastian. Tidak ada yang bisa menyangkalnya,
tentu saja “kematian” menjadi akhir urusannya di dunia. Namun, tidak bagi
keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Seringkali “kematian” menimbulkan
permasalahan, khususnya yang menyangkut dengan harta. Siapakah yang berhak
memperoleh harta peninggalan orang yang meninggal? Siapa pula yang mesti
menanggung kewajiban melunasi – jika orang yang meninggal mempunyai
hutang?2
Permasalahan-permasalahan di atas dapat diselesaikan dengan
menggunakan hukum waris. Namun apabila ditinjau lebih dalam lagi dalam ilmu
kewarisan tersebut terdapat masalah lebih lanjut mengenai kematian dari pewaris
1 Muhammad Amin Suma, “Keadilan Hukum Waris Islam”, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), h., 17. 2
NM. Wahyu Kuncoro, “Waris Permasalahan dan Solusinya”, (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2015), h., 3.
2
tersebut. Sebagai bagian dari rukun waris-mewarisi yakni seorang pewaris
dinyatakan meninggal menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut:3
1. Mati Haqiqi, yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah
berujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat
dibuktikan dengan alat pembuktian.
2. Mati Hukmy, yaitu suatu kematian disebabkan adanya putusan Hakim, baik
pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam dua
kemungkinan antara hidup atau mati.
3. Mati taqdiri, yaitu suatu kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy, tetapi
berdasarkan dengan dugaan yang kuat.
Ketiga macam kematian tersebut salah satunya dapat dijadikan sebagai
bagian dari rukun pewarisan yakni matinya pewaris. Khususnya kematian bentuk
ke-dua di atas banyak pendapat ulama yang membahas tentang penyelesaiannya.
Hilangnya seseorang (mafqud) merupakan pertimbangan awal yang dapat
memunculkan suatu bentuk kematian hukmy. Mafqud menurut bahasa berarti
yang hilang, sedangkan menurut istilah fikih, yang dimaksud dengan mafqud ialah
orang yang pergi, tidak ada kabar beritanya, tidak diketahui tempat tinggalnya dan
tidak diketahui apakah orang itu masih hidup atau meninggal dunia.4
Mayoritas ulama, termasuk ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa orang
hilang yang berada dalam kedudukannya sebagai ahli waris juga dinyatakan hidup
dan haknya atas warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku disisihkan dan
3 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sianr Grafika, 2011), h., 62. 4 Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), h., 193.
3
ditangguhkan sampai ada kepastian tentang kematiannya. Sedangkan ahli waris
lain menerima hak mereka secara penuh dengan perhitungan orang hilang itu
dalam status hidup. Dalam hal ini yang ditangguhkan haknya hanyalah orang yang
hilang itu sendiri.5
Mazhab Hanbali berpendapat mengenai penentuan waktu penantian
diserahkan kepada kebijakan Hakim. Dan hal itu berbeda menurut perbedaan
orang, keadaan, tempat, dan pemerintahan. Jadi Hakimlah yang menentukan
waktu pencarian dengan memperkirakan ia masih hidup, jika memang dia hidup.
Apabila waktu pencarian tersebut habis, maka Hakim memutuskan bahwa orang
yang dicari dianggap sudah mati.6
Penyebab dia dianggap hidup kaitannya dengan hartanya adalah
memberlangsungkan status hidup yang dipunyainya sebelum dia hilang. Hukum
asalnya ialah tetapnya hukum (status) yang ada sebagaimana apa adanya sampai
statusnya jelas tidak demikian, dengan adanya dalil (istish-hab). Maka dia tidak
diwarisi, sebab syarat diperolehnya hak mewarisi adalah terealisansinya kematian
orang yang mewarisi, sementara kematiannya tidak terbukti.7
Hubungan dengan persoalan harta dan kewarisan seseorang yang hilang
(mafqud), maka yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah bagaimana
pemecahannya bila seandainya ahli waris menghendaki agar harta warisan
sesegeranya dibagi, sedangkan si mafqud yang ada kaitannya dengan harta
warisan tersebut belum bisa diputuskan status hidup atau matinya. Padahal
5 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2015), h., 134.
6 Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor: Pustaka
Ibnu Katsir, 2006), h., 237. 7 Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqh Islam Wa Adillatuhu”, Penerjemah, Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, Cetakan 1, Jilid 10), h., 481.
4
diantara persyaratan pewarisan itu adalah adanya kepastian hidup atau matinya
pewaris.8
Hakim dalam mengambil keputusan untuk menentukan status hukum
mafqud dalam haruslah mendasarkan pada sumber-sumber hukum yang valid
untuk memastikan terwujudnya peradilan yang memiliki kepastian hukum. Oleh
karena hal tersebut maka Hakim akan merujuk pada sumber-sumber hukum
materiil yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan perkara yang ditangani.
Hukum positif yang mengatur mafqud dalam kewarisan adalah Pasal 171
huruf b Kompilasi Hukum Islam dan Buku XVIII KUH Pedata yang terdiri dari
bagian 1 sampai 5 yang mengatur tentang ketidakhadiran/kealpaan. Namun yang
menjadi hukum materiil kompetensi absolut Peradilan Agama hanyalah Pasal 171
huruf b. Fakta ini menunjukkan bahwa hukum materiil yang mengatur mafqud
perihal kewarisan dalam kompentensi absolut Peradilan Agama sangatlah sedikit
dan tidak rinci yang dituangkan secara langsung dalam peraturan perundang-
undangan. Hanya saja keterbatasan tersebut dibantu oleh Penjelasan Umum butir
2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam yang memungkinkan Hakim untuk merujuk
doktrin ahli hukum atau fiqih.
Dasar hukum Kompilasi Hukum Islam adalah Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 sedangkan Inpres itu sendiri didasarkan pada Pasal 4 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Baik Instruksi Presiden, Peraturan Presiden dan
Keputusan Presiden memiliki kedudukan yang sama, pendapat ini sebagaimana
8 Murid, Akhmad Fakih dkk., Penyelesaian Perkara Mafqud di Pengadilan Agama,
(Makasar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin), 2014, h., 3-7.
5
diuraikan oleh Edi Gunawan.9 Selain didasarkan pada Pasal 4 Ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 selanjutnya dalam Pasal 7 Ayat (1) dan (4) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 menunjukkan bahwa Inpres memiliki kekuatan hukum
yang mengikat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Sedangkan dasar
hukum KUH Perdata sebagai hukum materiil dan tetap digunakan adalah Pasal 1
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Keterbatasan peraturan perundang-undangan yang mengatur perkara mafqud
kewarisan khususnya pada kompetensi absolut Peradilan Agama menimbulkan
permasalahan dan menyebabkan Hakim harus berupaya lebih keras dalam
menetapkan dasar hukum dalam Penetapan atau Putusannya sebagaimana diatur
pada Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Permasalahan
yang dimaksud adalah terjadinya dualisme hukum pada praktiknya di Peradilan
Agama khususnya dalam perkara waris. Padahal Penjelasan Umum alinea kedua
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan “...Kalimat yang terdapat
dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang menyatakan: „Para pihak sebelum beperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan‟ dinyatakan dihapus”.10
Apabila Peradilan Agama masih
menggunakan hukum materiil yang menjadi hukum positif Peradilan Umum maka
eksistensi Peradilan Agama sebagai peradilan yang dikhususkan untuk masyarakat
beragama Islam perlu dipertanyakan.
9 Edi Gunawan, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam”, Vol. 8, No. 1, 2010, h., 8.
10
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
6
Sangat perlu untuk diketahui bagaimana Hakim menemukan dan
menetapkan suatu dasar hukum dalam putusan/penetapannya mengingat peraturan
perundang-undangan yang mengatur kewarisan mafqud dalam kompetensi absolut
Peradilan Agama sangatlah sedikit dan tidak terperinci ditambah lagi terdapat
dualisme hukum yang diterapkan oleh Hakim pada praktiknya di lingkungan
Peradilan Agama. Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis ingin membahas
lebih lanjut dan mendalam ke dalam bentuk penilitian dengan judul “Dasar
Hukum Penetapan Status Hukum Mafqud dalam Kewarisan di Pengadilan
Agama Yogyakarta dan Kediri”.
B. Masalah Penelitian
1. Identifikasi Masalah
Keutamaan dalam penyelesaian permasalahan, termasuk dalam masalah
kewarisan haruslah mempertimbangkan kemaslahatan. Pengajuan penetapan
atau pun putusan yang terkait dengan kewarisan khususnya pada kasus yang
berhubungan dengan mafqud merupakan bentuk upaya dari masyarakat pencari
keadilan untuk meminta kepada Hakim secara jelas mengenai sah atau tidaknya
sesuatu perkara, mengenai status hukum atas sesuatu tersebut. Dalam hal
mafqud ini kebijakan Hakim haruslah dapat menampung kemaslahatan yang
paling tepat demi kepentingan para pihak. Namun kenyataannya berkaitan
dengan mafqud, pertimbangan Hakim masih didasarkan pada ketentuan hukum
materiil (kitab fikih) yang masih mengandung arti sangat luas. Karena
ketentuan mafqud ini masih mengandalkan pendapat ulama yang bersifat
7
klasik, padahal kita telah hidup di zaman yang berbeda, yakni di zaman dengan
teknologi yang terus maju.
Mengacu kepada permasalahan di atas, peneliti merumuskannya ke
dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Apa saja bentuk-bentuk hukum kewarisan?
b. Apa saja ketentuan dalam hukum kewarisan?
c. Bagaimana hukum kewarisan Islam dapat mencakup permasalahan yang
kompleks sebagaimana terdapat dalam kehidupan sehari-hari?
d. Apa pentingnya status hukum hidup/mati seseorang berkaitan dengan
kepentingan kewarisan/perdata?
e. Bagaimana Hakim dapat memformulasikan kebijakannya mengenai
pertimbangan waktu, keadaan, dan hukum lainnya untuk menetapkan status
hukum mafqud?
f. Bagaimana penggunaan hukum materiil kewarisan mafqud di Pengadilan
Agama?
g. Bagaimana Hakim menentukan dasar hukum untuk menjatuhkan
penetapannya?
2. Batasan Masalah
Masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dibatasi hanya terkait
dengan penerapan hukum materiil dan penentuan dasar hukum dalam
kepentingan kewarisan mafqud di Pengadilan Agama Yogyakarta dengan
nomor perkara 042/Pdt.P/2011/PA.Yk dan Pengadilan Agama Kediri dengan
nomor perkara 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr.
8
3. Rumusan Masalah
Selannnjutnya dari kumpulan pertanyaan masalah dalam identifikasi
masalah dan telah penulis batasi dalam batasan masalah, maka secara terfokus
penulis merumuskan permasalahan yang akan didalami dalam penelitian ini ke
dalam bentuk pertanyaan berikut:
a. Bagaimana penerapan hukum materiil kewarisan mafqud di lingkungan
Peradilan Agama?
b. Apa dasar hukum yang digunakan Hakim dalam menjatuhkan penetapannya
dalam hal kewarisan mafqud?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penerapan hukum materiil kewarisan mafqud di lingkungan
Peradilan Agama.
2. Mengetahui penggunaan dasar hukum yang dipilih atau ditemukan oleh Hakim
dalam menjatuhkan penentapanya.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan kontribusi pemikiran, ide atau gagasan kepada para
akademisi untuk menambah literatur demi melengkapi kepentingan akademis.
2. Bagi penegak hukum khususnya Peradilan Agama. Semoga dapat menjadikan
penelitian ini sebagai referensi tambahan untuk mengkaji lebih lanjut
permasalahan kewarisan khususnya terkait dengan ketentuan-ketentuan
penetapan status hukum mafqud.
9
3. Manfaat bagi penulis khususnya semoga dapat menambah wawasan mengenai
hukum khususnya kewarisan, diharapkan dapat mendalami lebih lanjut melalui
penelitian ini.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Adapun kajian terdahulu yang merupakan karya ilmiah yang memiliki
keterkaitan dengan penelitian ini adalah:
1. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2010 yang berjudul “Putusan Pengadilan Agama Kota Tangerang dalam
Perkara Cerai Talak dengan Alasan Isteri Mafqud”, ditulis oleh Idham Abdul
Fatah R.. Skripsi ini membahas kasus-kasus perceraian talak yang diputuskan
oleh Pengadilan Agama Tangerang dengan dalil permohonan isteri mafqud.
Dalam kasus yang diajukan ke pengadilan tersebut pada umumnya Hakim
memutuskan dengan putusan verstek dan memberi izin kepada pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak terhadap pemohon. Perbedaan dengan penelitian ini
adalah bagaimana Hakim menetapkan Termohon yang mafqud terhadap status
hidup atau matinya dan keterkaitannya dengan hukum kewarisan.
2. Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tahun 2016 berjudul
“Analisis Yuridis tentang Tanggung Jawab Pengurusan Harta Kekayaan Orang
Hilang Menurut Hukum Islam (Studi Penetapan 137/Pdt.P/2013/Ms-Bnd)”
ditulis oleh Ika Lestari. Penelitian ini membahas kepengurusan harta yang
ditinggalkan oleh orang yang mafqud. Hal yang dibahas meliputi status
kepengurusan harta yang ditinggalkan, upaya hukum yang dapat dilakukan
pihak yang berkepentingan (berdasarkan Pasal 174 ayat 1 huruf a Kompilasi
10
Hukum Islam) dan dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan status
hukum bagi subyek mafqud dikaitkan dengan bencana alam. Perbedaan dengan
penelitian penulis adalah mengenai dasar pertimbangan hukum yang digunakan
Hakim apabila secara normatif peraturan perundang-undangan tidak mengatur
secara rinci mengenai perkara ini dan letak eksistensi kompetensi absolut
Peradilan Agama apabila sumber hukum materiilnya adalah tetap
menggunakan KUH Perdata.
3. Jurnal analisis Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin tahun 2014 yang
berjudul “Penyelesaian Perkara Mafqud di Pengadilan Agama”, ditulis oleh
Akhmad Faqih Mursid, Arfin Hamid, dan Muammar Bakry. Penelitian ini
membahas tentang ketentuan dalam pembagian warisan dalam hal subyek
waris mafqud, baik itu pewaris atau ahli waris. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan memahami penentuan status hukum bagi mafqud ditinjau dari
perspektif Hukum Islam dan penerapan status hak mafqud di Pengadilan
Agama. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah bukan hanya
memahami dan mengetahui bagaimana penentuan status hukum mafqud, tetapi
lebih mendalami pada dasar-dasar apa yang menjadi pertimbangan Hakim
untuk menetapkan status hukum mafqud. Kemudian selain daripada itu penulis
juga melakukan kajian pada ketentuan fikih dan hukum positif di Indonesia
yang menjadi sumber materiil dalam penetapan Hakim.
11
E. Metode Penulisan dan Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif-doktriner dan pendekatan empiris. Kedua pendekatan tersebut dipilih
untuk memaksimalkan keakuratan kajian yang diteliti dan proses analisa.
2. Jenis Penelitian
Corak penelitian ini mengarah pada jenis penelitian kualitatif, dimana
penulis berusaha mengupas permasalahan berdasarkan teori secara umum
kemudian memahami dan menguraikan permasalahan yang dikaji yakni
tentang dasar-dasar apa yang dijadikan pertimbangan untuk menetapkan status
hukum seseorang yang mafqud.
3. Data dan Sumber data
Data maupun informasi yang diperlukan berdasarkan sumber lapangan
dan kepustakaan. Dengan demikian demi memperoleh data sesuai kebutuhan
maka penulis akan memanfaatkan segala bantuan materi yang terdapat dalam
perpustakaan maupun luar perpustakaan (lapangan).
Data lapangan atau data empiris yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Penetapan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor
042/Pdt.P/2011/PA.Yk dan penetapan Pengadilan Agama Kediri dengan nomor
0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr. kemudian peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kewarisan mafqud. Adapun penentuan kedua pengadilan
tersebut sebagai subyek penelitian berdasarkan pertimbangan ketersediaan data
dan akses ke lokasi penelitian. Data perpustakaan yang digunakan adalah
12
Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau yang berhubungan dengan
kewarisan mafqud adalah Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam,
Penjelasan Umum butir 3 sampai 5 Kompilasi Hukum Islam, Buku XVIII
KUH Perdata bagian 1 sampai dengan 4 yang terdiri dari Pasal 463 sampai
Pasal 492 dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data empiris yaitu data yang berupa Penetapan
Pengadilan Agama Yogyakarta dan Penetapan Pengadilan Agama Kediri
dengan melakukan survey secara langsung ke Pengadilan Agama Yogyakarta
dan Pengadilan Agama Kediri. Data non-empiris atau data perpustakaan
dikumpulkan dengan observasi perpustakaan. Pengumpulan data perpustakaan
dilakukan dengan mengambil peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini sebagaimana telah disebutkan pada sub bab
Data dan Sumber Data. Data perpustakaan lainnya yang akan diambil adalah
karya ilmiah atau dokumen yang menjadi landasan doktrin hukum atau pun
teori.
5. Teknik Pengelolaan dan Metode Analisis Data
Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode analisa
data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai
sumber kepustakaan dan peristiwa lapangan (data lapangan) yang menjadi
objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunkan teori,
kaidah, maupun hukum positif terkait. Kemudian secara induktif ditarik
kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.
13
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan bertujuan untuk menggambarkan alur logis dan
struktur bangun penelitian demi mempermudah melihat pembahasan penelitian.
Maka sistematika penulisan diuraikan sebagai berikut:
Bab I, Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakag, rumusan
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, Studi Literatur tentang Kewarisan dan Mafqud. Bab ini membahas
mengenai definisi, konsep-konsep dan penyelesaian permasalahan kewarisan dan
mafqud secara klasik dan kontemporer.
Bab III, Hukum Materiil dan Metode Pemilihan Dasar Hukum Kewarisan
Mafqud. Bab ini membahas mengenai definisi, konsep-konsep dan penyelesaian
perkara mafqud khususnya dalam kewarisan sebagaimana telah diatur oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sini akan diuraikan bagaimana
Hakim menggunakan metode untuk memilih hukum materil yang berlaku atau
menemukannya.
Bab IV, Analisa Penetapan Hakim. Bab ini menguraikan kasus yang terjadi
di masyarakat, yakni penetapan Pengadilan Agama Yogyakarta dengan nomor
042/Pdt.P/2011/PA.Yk dan penetapan Pengadilan Agama Kediri dengan nomor
0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr. Pembahasan meliputi duduk perkara, proses
persidangan, pertimbangan hukum dan penetapan Hakim dalam menjatuhkan
status hukum mafqud. Selanjutnya diikuti oleh analisa penulis berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan.
14
Bab V, Penutup. Bab ini membahas kesimpulan dan saran atau rekomendasi
penelitian.
15
BAB II
STUDI LITERATUR KEWARISAN DAN MAFQUD
A. Definisi dan Dasar Hukum Kewarisan
1. Definisi Hukum Kewarisan
Hukum Kewarisan merupakan salah satu bagian dari hukum perdata
secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia,
sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan
dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal
dunia tersebut.1 Kematian seseorang dianggap sebagai sebab masa berlakunya
hukum kewarisan seseorang jika ia meninggalkan sejumlah harta miliknya dan
memiliki ahli waris.2
Literatur hukum Islam3 menyebut beberapa istilah untuk menamakan
Hukum Kewarisan Islam seperti faraidh, atau fiqh al-mawarits. Perbedaaan
dalam penamaan ini terjadi karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik
utama dalam pembahasan. Para ahli fikih mendefinisikan Hukum kewarisan
Islam sebagai suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui orang yang
1 Idris Ramulyo dalam Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif
Islam, Adat & BW”, Bandung: Refika Aditama, 2007, h., 1. 2 Sukris Sarmadi, “Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif”, Jakarta:
RajaGrafindo Pesada, 1997 h., 34. 3 Lihat Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak, “Bustanul Ahbar mukhtashar Nail
al Authar”, penerjemah, Amir Hamzah Fachrudin dan Asep Saefullah, “Ringkasan Nailul Authar”,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2006, Jilid 3), h., 339
menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, kadar yang diterima
tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya.4
Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba memberikan
rumusan mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk
batasan (definisi). Sebagai pedoman dalam upaya memahami pengertian
hukum waris secara utuh, beberapa definisi di antaranya sebagai berikut:
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan, warisan adalah soal apakah dan
bagaiamanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang
masih hidup.5
Menurut Soepomo, hukum waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immeteriele goerden) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai pada
waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi hal yang mendesak
oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu
adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya
tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta
benda dan harta bukan benda tersebut.6
4
Mukhtar Zamzami, “Perempuan & Keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam
Indonesia”, Jakarta: Kencana, 2013, h., 46. 5 Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat & BW”,
Bandung: Refika Aditama, 2007, h., 3-4. 6 Eman Suparman, “Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat & BW”,
Bandung: Refika Aditama, 2007, h., 3-4.
Menurut penulis hukum kewarisan adalah segala ketentuan yang
mengatur tata cara meneruskan hak dan kewajiban dari satu generasi ke
generasi selanjutnya, hak dan kewajiban tersebut berupa hal yang berhubungan
dengan tanggungjawab terhadap suatu benda atau pun non benda yang
sebelumnya melekat pada generasi yang mewariskan.
2. Dasar Hukum Kewarisan
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam, sebagai hukum agama
(Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah.
Ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah yang secara langsung mengatur kewarisan
yang kemudian menjadi pedoman dasar penentuan, besaran pembagian, dan
pihak-pihak yang berhak mendapatkan bagian harta warisan.
a. Ayat-ayat Al-Qur‟an
1) An-Nisa‟ (4): Ayat 7, 8, 9 dan 10
كااااناااار ر ااااما ي اااان لللار اأر ناااا لٱأ ااااو ل كااااناااار ٱلأ ر ااااما ي جاااان لرلرر
ااان ل أرن ن ااام ي انااارو لأ ااان اأ كااانااااو اأر نااا لٱأ اااو ل لإذوحضااار(٧)ٱلأ
اااك أ ق ٱلأ أ اااا ااالأ لناااول ن لان ااان اأ ر نل ان ن أ مااان مون ااا ك كاااللٱلأ م ةنللناااوٱلأقنرأ اااللٱلأ
ااان لم عأرن (٨) لأ و لااامأ اااع نااانمن واااة ر ذن ااالأ لأ اااوأ ر ناااو أ وولااا ٱٱلااال أ ااام للأ
لنااااوااااا مقن مقنااااوٱوللأ و وملأ ساااا اااان(٩)أ كاااال نلأك م ٱلأ اااا أ وووااااأ نلن ٱلاااال إ
و مر سع أ ل ولسم أ ين لأ مل نطني (٠١-٧)ولان :إيكنوأ نلن
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. Dan apabila sewaktu
pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka
berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-
orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara lalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa‟ Ayat 7, 8, 9 dan
10)
Allah menyendirikan penyebutan perempuan setelah penyebutan
laki-laki, dan tidak mengungkapkannya dengan redaksi ”lirrijaali wan
nisaa‟ nasihiibun” (bagi laki-laki dan bagi perempuan ada hak bagian),
hal ini untuk menyatakan keaslian hak mereka pada hukum ini dan
menepiskan apa yang biasa diberlakukan pada masa jahiliyah tentang
tidak adanya hak pewarisan bagi perempuan.7
Dalam Imam Asy-Syaukani,8 Abu Asy-Syaikh meriwayatkan dari
Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Dulu orang-orang jahiliyah tidak
memberikan warisan kepada anak perempuan dan tidak pula kepada
anak-anak yang masih kecil hingga mereka dewasa. Ketika
meninggalnya seorang laki-laki dari kalangan Anshar yang biasa
dipanggil Aus bin Tsabit dengan meninggalkan dua anak perempuan
dan seorang anak laki-laki yang masih kecil, dua anak pamannya yang
statusnya menjadi ashabah dari yang meninggal itu menemui
Rasulullah SAW, lalu turunlah ayat ini...”
7 Imam Asy-Syaukani, “Fathul Qadir: Al Jami‟ baina Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min
ilm Al-Tafsir” Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah, “Tafsir Fathul Qadir”
(Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid 2, 2009), h., 702-703. 8 Imam Asy-Syaukani, “Fathul Qadir: Al Jami‟ baina Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah min
ilm Al-Tafsir” Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saefullah, “Tafsir Fathul Qadir”
(Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid 2, 2009), h., 707.
Di sini, Allah SWT tidak menjelaskan berapa bagian yang akan
diperoleh laki-laki dan perempuan dari harta waris yang telah
ditinggalkan oleh kedua orang tua atau pun kerabat mereka.9 Akan
tetapi Allah telah menjelaskan hal-hal faraid (pembagian) dalam ayat
lainnya.
2) An-Nisa‟ (4): Ayat 33
ااااور ن لل نلأ ااااان ك وأ وو قاااا أ لٱلاااال و اأر ناااا لٱأ ااااو ل كااااناااار ٱلأ لل اااا ااااان جعلأ
م و ش شلأ لل نور ٱو ن إ و لأ م ن ي نلأ (٣٣)ولان :مـنن
Artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah
setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” (An-Nisa‟ Ayat 33)
Untuk setiap manusia Kami jadikan para pewaris yang akan
mewarisi harta peninggalannya. Maka kata “kulli” adalah maf‟ul kedua
yang didahulukan kepada fi‟l untuk menegaskan pencakupan. Kalimat
ini mengukuhkan kandungan redaksi kalimat sebelumnya,10
yakni:
“Hendaknya setiap orang merasa puas dengan warisan yang dibagikan
Allah kepadanya dan tidak iri hati terhadap kelebihan yang
dianugerahkan Allah kepada orang lain”.11
3) Al-Nisa‟(4): Ayat 176
ااا ا للااان نأ لااان للاااا لاااقلااامأ و ااارن ا أ ٱ إ و لاااةل مااالٱلأ نلأ ااام ون أ ٱون يقاناااو ن ااا أ أ و
كاان مل ن نياانٱ أااامأو ماان و نااول اانللااا و إلاالأ ور ن اان اا ن ل ااناار و ن اا مل ااني أ
9 Syaikh Asy-Syanqithi, “Adwa‟ Al Bayan fi Idhah Al Qur‟an bi Al Qur‟an”, Penerjemah
Fathurazi, “Tafsir Adhwa‟ul Bayan”, (Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid 1, 2006), h., 620. 10
Lihat Surat An-Nisa‟ Ayat 32. 11
Imam Asy-Syaukani, “Fathul Qadir...”, h., 825-826.
كااان ٱلالناااان نيامااامأو ٱأ حااا ر اأاااون مللااال ر ااان لي جااان ر ا ااا وإأ لإ ااانين ااار و
لملا شلأ نور لٱون و ل ض نلأ ل ٱون (٠٧١)ولان :ون مرون
Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu):
jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (An-Nisa‟
Ayat 176)
Disebutkan bahwa Rasulullah SAW. sangat mementingkan
keadaan kalalah, maka Allah SWT. Menurunkan ayat yang berkenaan
dengan kalalah pada ayat ini.12
Pada ayat di atas, Allah menyebutkan bagian warisan untuk
saudara laki-laki dan saudara perempuan yang tidak seibu, di mana
keadaan mereka terbagi menjadi tiga: Pertama, jika yang mewarisi laki-
laki semua, mereka mewarisi secara bersama-sama tanpa ketentuan
bagian yang tetap. Kedua, jika yang mewarisi perempuan dan dia
sendirian, dia akan medapatkan bagian seperdua. Sedangkan bila ahli
waris itu dua orang anak perempuan atau lebih, bagian mereka adalah
dua per tiga. Ketiga, jika yang mewarisi harta peninggalan adalah anak
12
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, “Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi Al
Qur‟an”, Penerjemah Akhmad Affandi, “Tafsir Ath-Thabari”, (Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid 8,
2008), h., 197.
laki-laki dan perempuan, mereka dapat mewarisi dengan ketetapan anak
laki-laki mendapat dua kali lipat anak perempuan.13
b. Hadits Nabi
Hadits Nabi Muhammad SAW. yang secara langsung menyebutkan
kewarisan adalah:
1) Hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari.
لسااالل اااوو اااو اااني اااوولا ااا ااا لمأ لحقاااوول ااارو ااااو:صاااللعن
ل ن،مكن ق مألللجوذ ر
Artinya: Dari Ibnu Abbas RA, dari Nabi SAW., beliau bersabda:
“Berikanlah Faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang
berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-
laki yang terdekat”.
2) Hadits Nabi dari Abdullah bin Amr, Menurut riwayat Abu Daud dan
Ibnu Majah.
لساااالل ااااو ااااع ااااو كاااارل،سااااع اااا لمأ ولعلاااالاااااو:صااااللعن
لااانسااافذلاااقمضاااو: واااةحكاااةلسااااةان كاااةلمروضاااة ن لاااة ال اااة،
)لوه ول لو ونج(
Artinya: Dari Abdullah bin Amr, bahwasanya Rasullulah SAW.
bersabda: “Ilmu ada tiga macam, selain itu adalah tambahan, yaitu:
ayat muhkamah, atau sunnah yang berlaku, atau faraidh (pembagian
warisan) yang adil.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
13
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, “Hukum Waris”, Jakarta: Senayan
Abadi Publishing, 2004, h., 18.
3) Hadits Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Ibnu Majah dan Ad-
Daraquthni disebutkan.
لسااااالل اااااو ااااا روااااارهااااااو:ااااااوسااااالع ااااا لمأ علكاااااو:صاااااللعن
ي اااولعلااال،لاااوااااللااالشااا واااا ول ااارو ل لكااان،مني ااان
و )لوهو ونجلولواطا (
Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda:
„Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah, karena sesungguhnya faraidh
adalah setengah ilmu, ia akan dilupakan dan yang pertama kali dicabut
dari umatku.‟” (HR Ibnu Majah, dan Ad-Daraquthni).
Masih sangat banyak Hadits Nabi Muhammad SAW. yang membahas
tentang hukum kewarisan. Namun di atas penulis hanya menyertakan
beberapa hadits Nabi saja, hal ini dikarenakan ketiga Hadits di atas penulis
anggap cukup untuk menjadi dasar hukum penanganan persoalan kewarisan
dalam penelitian ini.
B. Definisi dan Penjelasan tentang Mafqud
1. Definisi Mafqud Menurut Fikih
Kata “Al-Mafqud” dalam bahasa berarti “Adl-Dlaa-i‟u” atau lenyap.
Kalimat “Faqadatis Syai-u idzaa „adamathu” yang artinya sesuatu dikatakan
hilang apabila ia tidak ada.14
Orang hilang atau dalam fikih disebut “mafqud”
adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup-matinya.
Orang ini sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah
masih hidup atau tidak.15
14
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, h.,
249. 15
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2015, h., 136.
Wahbah Az-Zuhaili dalam karyanya Fiqih Islam wa Adillatuhu
mengemukakan pengertian orang yang hilang adalah orang yang tidak ada dan
terputus beritanya. Hidup dan matinya tidak diketahui baik tempatnya
diketahui atau tidak diketahui. Hal ini tidak dianggap jika orang itu tidak
diektahui hidup atau matinya. Kalau saja dia diketahui tempatnnya, tapi tidak
diketahui hidup atau matinya maka dia adalah orang yang hilang.16
2. Pandangan Ulama Mazhab tentang Mafqud
Pandangan Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa
suami/istri orang yang hilang dan hartanya tetap menjadi suami/istrinya dan
tetap menjadi hartanya walaupun lama sekali, sehingga berat sangkaan bahwa
orang itu telah meninggal, yaitu dengan melihat kawan-kawan sebayanya
sudah meninggal semua atau sudah lewat masa yang orang-orang seperti dia
tidak hidup lagi menurut adat. Dalam menentukan lamanya ini ada beberapa
pendapat dalam kedua mazahab itu. Ada yang mengatakan 70 tahun, ada yang
mengatakan 80 tahun dan seterusnya sampai 120 tahun. Menurut suatu
pendapat di kalangan Ulama Hanafiyah, hal itu diserahkan kepada pendapat
dan ijtihad hakim. Ada yang mengatakan bahwa inilah pendapat yang
menonjol di kalangan ulama Syafi‟iyah. Maka apabila berat dugaan ia sudah
meninggal, maka diputuskanlah bahwa ia sudah meninggal dan hartanya
dibagikan kepada ahli warisnya yang ada pada waktu keputusan itu.17
16
Wahbah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, Penerjemah, Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, Cetakan 1, Jilid 10), h., 480. 17
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1995, h., 64.
Mereka tidak membedakan antara satu macam hilang dengan macam
hilang yang lain, baik hilang itu yang menurut lahirnya selamat, atau menurut
lahirnya tidak selamat, antara hilang sesudah sesuatu sebab yang biasanya tidak
selamat atau bukan, antara hilang itu di negara Islam atau di negara lainnya,
baik hilang itu di darat ataupun di laut. Semua itu hukumnya sama menurut
kedua mazhab di atas.18
Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa
apabila ada laki-laki yang hilang di Negara Islam dan terputus beritanya, maka
istrinya harus melapor kepada Hakaim, dan apabila Hakim tidak mampu untuk
mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu untuk menunggu selama 4 tahun,
dan kalau empat tahun sudah terlewati, maka istrinya ber-iddah sebagaimana
lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, dan setelah itu
diperkenankan kawin dengan laki-laki lain. Dengan riwayat tersebut berarti
sseseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah lewat waktu empat
tahun.19
Pendapat lain orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan
binasa (seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran, pesawat udara
jatuh) sementara temannya ada yang selamat, maka orang yang hilang tersebut
harus diselidiki selama empat tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka harta
sudah dapat dibagi, pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama hanabilah.
Sedangkan apabila kehilanagan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang
18
Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali Al-Sayis, Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, h., 248. 19
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1995, h., 64.
membawa kematian (seperti pergi berdagang atau merantau) ulama Hanabilah
berbeda pendapat, yaitu:
a. Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan.
b. Diserahkan kepada ijtihad Hakim
Meskipun jumhur ulama sepakat bahwa dalam posisinya sebagai pewaris
maka ia harus ditungu sampai batas waktu yang disebutkan di atas karena ia
dinyatakan tetap hidup, namun jika ia dalam posisi sebagai ahli waris yang
akan mendapat warisan, maka para ulama berbeda pendapat.20
Apabila seseorang mati dan ia mempunyai ahli waris, yang diantara ahli
waris itu ada yang hilang, maka yang hilang itu mempunyai dua keadaan:21
a. Adakalanya orang yang hilang itu menghijab orang yang bersamanya
dengan hijab hirman. Seluruh harta peninggalan disimpan. Ahli waris
dilarang untuk mengambil sedikit pun sehingga orang hilang itu jelas.
Apabila jelas ia hidup, maka ia mengambil harta seluruhnya. Apabila hakim
menetapkan matinya maka ahli waris (lainnya) mengambil harta pusaka,
menurut banyak atau sedikitnya bagian masing-masing.
b. Adakalanya ia tidak menghijab orang yang bersamanya, tetapi bersekutu
dengannya di dalam mewaris. Ahli waris mendapat bagian terkecil dari dua
bagian, yaitu bagian orang hilang yang masih hidup dan bagiannya bila mati
– seperti keadaan orang banci. Maka orang yang mewaris dalam segala
keadaan dan tidak tidak berkurang bagiannya, diberikan haknya kepadanya
20
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2015, h., 137-138. 21
Muhammad Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995, h.,
252-253.
secara sempurna, dan orang yang bagiannya bermacam-macam maka ia
diberi bagian yang lebih sedikit
3. Hukum Materiil Perkara Mafqud
Hukum materiil Peradilan Agama secara formal termuat dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991. Terhitung sejak tahun 1991, berdasarkan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi
Hukum Islam yang secara de facto maupun de jure menjadi “pegangan” utama
umumnya para hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dalam
menyelesaikan sengketa hukum kewarisan yang diajukan oleh para pencari
keadilan. Hukum kewarisan diatur dalam buku II Kompilasi Hukum Islam
yang lazim disingkat dengan sebutan KHI.22
Di dalam perundang-undangan tersebut di atas yang menyebutkan
masalah mafqud adalah KHI Pasal 96 ayat (2) yaitu: “Pembagian harta
bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama”.
Pada pasal tersebut secara eksklusif menyebutkan bahwa pernyataan
matinya seorang suami atau istri atas dasar putusan Pengadilan Agama
berkaitan dengan terjadinya putusan perkawinan karena kematian sebagaimana
dimaksud Pasal 38 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang akan
22
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, h.,99.
dijadikan dasar hukum dalam menuntut hak atas pembagian harta bersama.
Kemudian pada Pasal 171 huruf (b) KHI disebutkan bahwa “Pewaris adalah
orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan
putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan”.
Pada pasal tersebut juga terdapat kalimat “...atau dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan...”, hal ini juga dapat dikategorikan mafqud
yang berkaitan dengan tuntutan hak kewarisan mengingat masih sangat
terbatasnya hukum materil yang secara formil dimuat dalam peraturan hukum
perkara mafuqd, maka hakim perlu menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum yang berkembang dengan memperhatikan ketntuan perundang-
undangan yang telah ada serta hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab
fiqh sebagai acuan dan rujukan dalam memeriksa dan memutus perkara
mafqud.23
Kompilasi Hukum Islam khususnya pada Buku II tentang kewarisan
memang tidak secara eksplisit menyebutkan ketentuan tentang subyek waris
mafqud. Dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan mafqud
terdapat pada Pasal 116 point b yang menyatakan: “Salah satu pihak
meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain
dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya”.
Ketentuan tersebut hanya ditemukan dalam Buku I tentang perkawinan.
23
Tim Hakim Pengadilan Agama Bantul, “Kewenangan dan Penyelesaian Perkara
Mafqud di Pengadilan Agama”, (Bantul: Pengadilan Agama Bantul, 2000), h., 7-8.
Menurut Lili Rasjidi, jika tidak terdengar kabar beritanya untuk masa
lima tahun atau lebih, yakni dari jangka terakhir terdengar berita orang itu
masih hidup. Atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Agama
akan, memanggil orang yang hilang tersebut melalui selebaran umum untuk
menghadap dalam jangka waktu tiga bulan. Panggilan ini akan diulangi sampai
tiga kali, jika panggilan pertama dan kedua tidak mendapat sambutan. Setelah
itu barulah Pengadilan akan membuat suatu ketetapan yang telah dianggap
meninggalnya orang itu.24
Pendapat ini didasarkan pada Pasal 467 dan Pasal
468 KUH Perdata.
Selanjutnya menurut Subekti, jika sesudah lima tahun terhitung sejak hari
keberangkatan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan
kuasa untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, dan selama itu tidak ada
kabar yang menunjukkan ia masih hidup, maka orang yang berkepentingan
dapat meminta kepada Hakim supaya dikeluarkan suatu pernyataan yang
menerangkan bahwa orang yang meninggalkan tempatnya itu “dianggap telah
meninggal”. Sebelum Hakim mengeluarkan suatu pernyataan yang demikian
itu, harus dilakukan dahulu suatu panggilan umum (antara lain dengan memuat
panggilan itu di dalam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali
lamanya. Hakim juga akan mendengar saksi-saksi yang dianggap perlu
mengetahui duduk perkaranya dan dianggapnya perlu dapat menunda
24
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung:
Alumni, 1982 h., 292.
pengambilan putusan hingga lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan
umum.25
Namun demikian, kalaupun Kompilasi Hukum Islam tersebut sudah
diusahakan sedemikian rupa agar benar-benar sederhana, mudah dipahami,
jelas dan singkat, namun layaknya sebagai karya manusia tentunya di sana sini
masih terdapat beberapa kekurangan-kekurangan terutama sekali bila dikaitkan
dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam ketentuan syariah Islam. Untuk
itu di masa yang akan datang tentunya masih diharapkan adanya
penyempurnaan terhadap Kompilasi Hukum Islam tersebut.26
25
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h., 58. 26
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1995, h., 20.
30
BAB III
METODE PENEMUAN HUKUM
A. Metode Penemuan Hukum
Hal penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mengkualifikasikan
hukumnya terhadap peristiwa konkrit tertentu. Tidak selalu mudah untuk
menemukan hukumnya karena dalam praktik dapat saja dijumpai aturan hukum
tertulisnya ada tetapi tidak jelas, tidak lengkap atau bahkan aturan hukum
tertulisnya tidak ada sama sekali. Pada hakekatnya tidak ada perundang-undangan
yang sempurna, pasti di dalamnya ada kekurangan dan keterbatasan.
Suatu peristiwa konkrit harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan,
menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan. Menjelaskan,
menafsirkan, melengkapi dan menciptakan aturan hukumnya dilakukan agar
hukumnya dapat diketemukan. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat
beberapa metode penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal, yaitu
interpretasi (penafsiran, hermeneutika), argumentasi (penalaran, redenering,
reasoning) dan eksposisi (konstruksi hukum).1
1. Metode Interpretasi (Penafsiran)
Dalam ilmu hukum dan praktik peradilan dikenal beberapa macam metode
interpretasi yang meliputi beberapa macam, yaitu sebagai berikut.2
1 Bambang Sutiyoso, “Metode Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2012, Cetakan Keempat), h., 104-105. 2 Bambang Sutiyoso, “Metode Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2012, Cetakan Keempat), h., 111-133.
31
a. Interpretasi Subsumtif
Metode Subsumtif adalah penerapan suatu teks perundang-undangan
terhadap kasus in concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan
penalaran dan penafsiran yang lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan
silogisme.
b. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau istilah dalam
perundang-undangan sesuai kaidah bahasa yang berlaku. Interpretasi
gramatikal berarti, kita mencoba menangkap arti suatu teks/peraturan
menurut bunyi kata-katanya. Sebuah kata dapat mempunyai berbagai arti,
misal dalam bahasa hukum dapat berarti lain jika dibandingkan dengan
bahasa pergaulan.
c. Interpretasi Sistematis (Logis)
Interpretasi Sistematis adalah metode yang menafsirkan peraturan
perundang-undagan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum
atau dengan keseluruhan sistem hukum. Hukum dilihat sebagai satu
kesatuan atau sebagai sistem peraturan.
d. Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran makna undang-undang
menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya
maupun sejarah terjadinya undang-undang.
32
e. Interpretasi Teleologis (Sosiologis)
Dengan interpretasi teleologis hakim menafsirkan undang-undang
sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, sehingga tujuan lebih
diperhatikan dari bunyi kata-katanya. Terjadi apabila makna undang-undang
diterapkan beradasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan undang-undang
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Melalui
intrepretasi ini hakim dapat menyelesaikan adanya perbedaan atau
kesenjangan antara sifat positif dari hukum dengan kenyataan hukum.
f. Interpretasi Restriktif
Interpretasi ini digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-
undang di mana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi dengan bertitik tolak
pada artinya menurut bahasa. Misalnya menurut interpretasi gramatikal kata
“tetangga” dalam Pasal 666 KUH Perdata dapat diartikan setiap tetangga itu
termasuk seorang penyewa dari pekarangan di sebelahnya. Tetapi jika
dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, ini berarti hakim telah
melakukan interpretasi restriktif.
g. Interpretasi Ekstensif
Interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat
interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi
interpretasi ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-
undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi
gramatikal.
33
h. Interpretasi Otentik
Penafsiran otentik ini biasanya dilakukan oleh pembat undang-undang
sendiri dengan mencantumkan arti beberapa kata yang digunakan dalam
suatu peraturan. Dalam jenis interpretasi ini, hakim tidak diperkenankan
melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah ditentukan
pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri. Itu artinya ketentuan
Pasal “x” yang ada dalam suatu undang-undang itu sudah sangat jelas, tegas,
definitif, sehingga tidak perlu penafsiran lagi dalam penerapannya.
2. Metode Argumentasi
Proses penemuan hukum dengan metode argumentasi atau penalaran
hukum dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:3
a. Metode Analogi (Argumentum Per Analogiam)
Metode analogi berarti memperluas peraturan perundang-undnagan
yang terlalu sempit ruang lingkupnya, kemudian diterapkan terhadap
peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-
undang. Dengan metode analogi, maka peristiwa yang serupa, sejenis atau
mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Jadi
analogi ini merupakan metode penemuan hukum di mana hakim mencari
esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum
baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada
peraturannya.
3 Bambang Sutiyoso, “Metode Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2012, Cetakan Keempat), h., 134-145.
34
b. Metode A Contrario (Argumentum a Contrario)
Metode a contrario merupakan cara menjelaskan makna undang-
undang dengan didasarkan pada pengertian yang sebaliknya dari peristiwa
konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Apabila suatu peristiwa tertentu diatur dalam undang-undang, tetapi
peristiwa lainnya yang mirip tidak, maka berlaku hal sebaliknya. Pada
metode ini titik berat diletakkan pada ketidaksamaan peristiwanya. Di sini
diperlukan segi negatifnya dari undang-undang.
c. Metode Rechtvervijning (Penyempitan Hukum)
Terkadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya
terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan
terhadap peristiwa tertentu. Metode ini bertujuan untuk menyempitkan suatu
aturan hukum yang luas dan umum, supaya dapat diterapkan terhadap suatu
peristiwa tertentu.
d. Metode Fiksi Hukum
Fiksi hukum adalah sesuatu yang khayal yang digunakan di dalam
ilmu hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-istilah yang berdiri sendiri atau
dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan suatu pengertian
hukum. Bentuk fiksi hukum ini lebih banyak digunakan di dalam hukum
adat banyak memakai bentuk pepatah atau peribahasa, sedangkan hukum
perundang-undangan memakai bentuk kalimat pasal demi pasal. Sebagai
contoh menurut ajaran legisme satu-satunya sumber hukum adalah undang-
undang. Tetapi bagaimana agar hukum kebiasaan dapat dipergunakan, maka
35
kemudian difiksikan bahwa berlakunya hukum kebiasaan itu atas dasar
perintah dari undang-undang.
3. Metode Eksposisi (Konstruksi Hukum)
Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum, yaitu
metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum),
bukan untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah
konstruksi hukum yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun
bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah
yang baik. Menyusun di sini ialah menyatukan apa yang termasuk dalam satu
bidang yang sama, satu pengertian yang sama. Tentunya pengertian hukum
tersebut dipengaruhi oleh waktu tertentu dan masyarakat terentu serta keadaan
tertentu. Metode eksposisi atau konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim
saat dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum.4
Dalam konteks dengan sistem penemuan hukum di Indonesia pembentuk
undang-undang tidak memperioritaskan kepada salah satu metode interpretasi atau
konstruksi tertentu. Oleh karena itu para hakim bebas menentukan metode
interpretasi atau konstruksi hukum yang dianggap paling tepat, meyakinkan dan
memuaskan. Hakim dalam hal ini bersifat otonom dalam menentukan pilihannya,
bahkan dalam putusan pengadilan pun hakim tidak pernah menegaskan
argumentasi atau alasan penggunaan metode interpretasi atau konstruksi hukum
tertentu, bahkan tidak jarang digunakan metode interpretasi atau konstruksi
4 Bambang Sutiyoso, “Metode Penemuan Hukum”, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2012, Cetakan Keempat), h., 145.
36
hukum tersebut secara campur aduk dari satu jenis interpretasi atau konstruksi
hukum.5
Metode-metode yang digunakan dalam menemukan hukum tersebut tidak
boleh mengabaikan asas-asas dan prinsip hukum umum yang berlaku universal,
baik yang terkandung dalam setiap undang-undang, yurisprundensi, doktrin,
perjanjian, kebiasaan dan perilaku manusia yang berkeadilan dan beradab. Dan
tidak mengabaikan tujuan dari pembentukan undang-undang karena hal itu
merupakan jiwanya. Tanpa ini sebuah undang-undang tidak ada artinya.
B. Pedoman Umum Penggunaan Metode Penemuan Hukum
Penggunaan metode penemuan hukum seperti metode interpretasi, metode
argumentasi maupun metode eksposisi telah digunakan oleh para hakim dalam
upaya memecahkan berbagai persoalan hukum yang harus diputuskan. Meskipun
demikian, penemuan hukum tidak boleh dilakukan secara asal-asalan, tetapi tetap
harus memperhatikan kaidah dan asas hukum yang berlaku serta pendapat umum
(opinio necessitatis)/kelaziman yang ada dalam praktik peradilan.
Melihat kaidah, asas hukum serta berbagai kelaziman dalam praktik
peradilan, dapat ditarik beberapa pedoman umum dalam penggunaan metode
penemuan hukum oleh hakim. Beberapa pedoman umum tersebut adalah sebagai
berikut.6
5 Ahmad Rifa‟i, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h., 91-92. 6 Bambang Sutioso, “Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan”, (Yogyakarta: UII Press, 2012, Cetakan Keempat), h., 164-170.
37
1. Nilai Moral, Kesusilaan dan Ketertiban Umum
Apabila suatu peristiwa tidak dijumpai pengaturannya dalam peraturan
perundang-undangan, maka harus dilihat apakah peristiwa tersebut
bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai moral, kesusilaan dan ketertiban
umum. Apabila ternyata tidak bertentangan maka peristiwa tersebut semestinya
juga tidak dilarang.
2. Nilai Keadilan, Kepastian Hukum dan Kemanfaatan
Idealnya nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan harus
dapat diakomodir dalam suatu putusan secara proporsional. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan dalam praktik terjadi benturan-benturan
terutama antara nilai keadilan dan kepastian hukum. Jika terjadi benturan
antara nilai keadilan dan kepastian hukum, maka menurut pandangan beberapa
ahli lebih didahulukan nilai keadilan. Karena keadilan itulah yang menjadi
tujuan utama dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan.
3. Argumentasi Yuridis atau Penalaran Hukum
Penalaran adalah suatu proses atau kegiatan dalam akal budi manusia
yang di dalamnya berlangsung gerakan/alur dari suatu premis ke premis
lainnya untuk mencapai suatu kesimpulan/putusan tertentu. Sedangkan
penalaran hukum adalah kegiatan untuk mencari dasar dan alasan hukum yang
terdapat di balik suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan
hukum (perjanjian) atau yang merupakan kasus pelanggaran hukum dalam
menetapkan pendirian hukum yang dirumuskan dalam suatu putusan hukum.
Penaran hukum merupakan suatu proses berpikir yang terikat dengan jenis
38
hukum, sumber hukum maupun jenjang hukum. Dalam hal ini berarti selalu
berkaitan dengan pemahaman konsep hukum yang terdapat di dalam norma-
norma hukum, teori hukum dan asas-asas hukum.
4. Keterkaitan antara Satu Peraturan dengan Peraturan lainnya (Pendekatan
Sistem)
Penemuan hukum harus memperhatikan pendekatan sistem, dalam arti
melihat keterkaitan antara peraturan yang satu dengan yang lain. Sebagai
contoh dalam pengajuan Peninjauan Kembali (PK), apakah Jaksa Penuntut
Umum (JPU) dapat menggunakannya? Dalam KUHAP, penggunaan PK oleh
JPU tidak secara eksplisit diatur. Dalam hal ini dapat dilihat ketentuan KUHAP
Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 yang mengatur tentang Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap.
5. Melihat Hierarki Sumber Hukum yang Ada
Hierarki sumber hukum dalam penemuan hukum menentukan prioritas
penggunaannya, misalnya apabila ketentuan yang ada dalam hukum tertulis
berbeda dengan ketentuan dalam hukum kebiasaan maupun yurisprudensi,
maka prioritas yang digunakan terlebih dahulu adalah yang diatur dalam
hukum tertulis. Meskipun demikian, apabila ternyata justru apa yang diatur
dalam hukum tertulis bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka
hukum kebiasaan atau yurisprudensilah yang digunakan.
39
BAB IV
KEWARISAN MAFQUD DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA
DAN KEDIRI
A. Kronologi Kasus Nomor 042/Pdt.P/2011/PA.Yk di Pengadilan Agama
Yogyakarta
1. Duduk Perkara
Termohon dalam kasus ini merupakan kerabat dari para Pemohon, atau
saudara kandung yang paling muda, dalam beberapa kalimat akan disebutkan
sebagai “Anak IV”1, yang mana mereka mempunyai hubungan keperdataan
baik dalam hak maupun kewajibannya, sebagaimana yang telah diatur dalam
hukum perdata bidang keluarga.
Awal timbulnya permasalahan ini dimulai tahun 2005 atau 6 (enam)
tahun 6 (enam) bulan sebelum penetapan ini dijatuhkan oleh majelis Hakim
Pengadilan Agama Yogyakarta. Termohon pergi meninggalkan kediamannya
bersama isterinya tanpa kabar dan tidak pernah diketahui kemana perginya. Hal
penting lain yang juga ditinggalkan oleh Termohon adalah tiga orang anaknya
dan sejumlah hutang kepada suatu bank. Termohon pernah meminjam
sejumlah uang (disebutkan dalam salinan penetapan sebesar Rp. 110.000.000 –
seratus sepuluh juta rupiah) kepada bank yang dialamatkan penagihannya ke
tempat tinggal Termohon.
Setelah Termohon pergi atau mulai hilang, tiga orang anak yang
ditinggalkan Termohon di bawah pengurusan salah satu para Pemohon, dimana
1 Kata “Anak IV” digunakan dalam kasus ini karena Termohon adalah anak ke 4 dari
pewaris atau saudara ke 4 dari para Pemohon.
40
anak-anak dan salah satu Pemohon tersebut mendiami rumah yang
ditinggalkan Termohon. Hal ini terjadi karena anak-anak dan rumah tersebut
merupakan kerabat para Pemohon dan harta warisan peninggalan orang tua
para Pemohon dan Termohon.
Konsekuensinya, penagihan hutang dari bank ditanggung oleh para
Pemohon, hal ini dilakukan karena para Pemohon bermaksud untuk melunasi
hutang tersebut dan dapat mengambil kembali agunan (sertifikat jaminan). Hal
ini sebagaimana disebutkan pada posita para Pemohon dalam surat
permohonannya. Sebagai berikut ini:
“Bahwa hutang di PT. Bank atas nama Anak IV (Termohon) telah jatuh tempo
namun Anak IV dan Isteri Anak IV tidak pernah pulang serta tidak pernah ada
kabarnya, oleh karena itu pihak keluarga (Para Pemohon) bermaksud
melunasi pinjaman tersebut serta mengambil sertifikat jaminan”.
Agar agunan yang menjadi jaminan hutang pada bank tersebut dapat
diambil kembali oleh para Pemohon, maka para Pemohon mengajukan
permohonan pelunasan kepada pihak bank yang mana selanjutnya pihak bank
menerima permohonan dengan beberapa syarat yang pada pokoknya Termohon
dinyatakan meninggal secara hukum oleh pengadilan. Sebagaimana disebutkan
dalam dalil posita surat permohonan para Pemohon. Sebagai berikut ini:
“Bahwa pihak PT. Bank menerima permohonan pelunasan dari Pemohon
dengan beberapa syarat yang pada pokoknya harus ada penetapan Pengadilan
yang menetapkan Anak IV (Termohon) dengan isterinya meninggal dunia
secara hukum”.
Demi kepentingan objek waris yang menjadi barang jaminan hutang
tersebut, maka perlu bagi para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum
41
akan status ke-mafqud-an Termohon apakah dinyatakan masih hidup atau
sudah meninggal secara hukum.
Sebagaimana yang disebutkan dalam salinan penetapan bahwa pokok
permasalahan pada kasus ini adalah para Pemohon memohon agar Termohon
dinyatakan mafqud atau mati secara hukum, karena Termohon dan isterinya
telah pergi sejak bulan November tahun 2005, selama itu keduanya tidak
pernah pulang, tidak ada kabarnya dan tidak diketahui keberadaannya, para
Pemohon mempunyai kepentingan untuk menyelesaikan atau melunasi hutang
Termohon di bank yang telah jatuh tempo dan para Pemohon hendak menarik
sertifikat jaminan (agunan) di bank yang bersangkutan.
Kepentingan para Pemohon seperti yang telah disebutkan di atas
didasarkan pada objek yang hendak diurus – yang dijadikan Termohon sebagai
agunan peminjaman sejumlah dana terhadap bank – merupakan obyek waris
atau harta warisan peninggalan orang tua para Pemohon dan Termohon yang
dimohonkan.
2. Proses Persidangan
Jenis perkara yang diajukan pada kasus ini adalah voluntair. Dimana
tidak ada sengketa dan tidak ada pihak yang dilawan, yang ada hanya
permohonan dari Pemohon tentang suatu status hukum atau kepastian hukum.
Proses persidangan ini sesuai dengan salinan penetapan berdasarkan surat
permohonan tertanggal 07 Juli 2011 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 0042/Pdt.P/2011/PA.Yk., telah
mengajukan permohonan mafqud, para Pemohon adalah:
42
a. Pemohon I, usia 48 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di
Kecamatan Mergangsan kota Yogyakarta.
b. Pemohon II, usia 47 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di
kecamatan Mergangsan kota Yogyakarta.
c. Pemohon III, usia 45 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di
kecamatan Mergangsan kota Yogyakarta.
Melawan:
Anak IV2 dan Isteri Anak IV yang dalam uraian ini disebut sebagai
Termohon.
Pada hari persidangan yang telah ditentukan para Pemohon datang
menghadiri persidangan disertai kuasa hukumnya, lalu Majelis Hakim
memberikan nasihat kepada para Pemohon agar bersabar menunggu
kepulangan Termohon namun upaya tersebut tidak berhasil.
Selanjutnya dalam persidangan kuasa hukum para Pemohon
menambahkan penjelasan yang dianggap perlu untuk mendukung dalil-dalil
permohonan yang telah diajukan, sebagai berikut:
a. Asal mula tanah dan rumah yang dijadikan jaminan hutang oleh Termohon
adalah harta warisan peninggalan orang tua dari para Pemohon dan
Termohon.
b. Tanah yang merupakan objek waris tersebut dibalik nama atas nama
Termohon sendiri dengan cara memalsukan tanda tangan. Pemalsuan ini
merupakan ranah hukum pidana yang tidak dibahas secara rinci di sini.
2 Kata “Anak IV” digunakan dalam kasus ini dikarenakan Termohon adalah anak ke 4
dari pewaris. Atau saudara ke 4 dari para Pemohon.
43
Selama proses persidangan Termohon tidak pernah menghadap ke acara
persidangan dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai kuasanya untuk
menghadiri, meskipun Pengadilan Agama Yogyakarta telah melakukan
pemanggilan secara resmi dan patut menurut ketentuan Pasal 476 KUH Perdata
yaitu panggilan pertama melalui Harian Kedaulatan Rakyat yang terbit pada
hari Kamis tanggal 04 Agustus 2011 untuk sidang hari Senin tanggal 31
Oktober 2011, panggilan kedua melalui Harian Kedaulatan Rakyat yang terbit
hari Jum‟at tanggal 11 November 2011 untuk sidang hari Senin tanggal 30
Januari 2012, panggilan ketiga melalui Harian Kedaulatan Rakyat yang terbit
hari Rabu tanggal 01 Februari untuk sidang tanggal 07 Mei 2012.
Selanjutnya para Pemohon mengajukan beberapa bukti dan 2 (dua) orang
saksi untuk menguatkan dalil-dalilnya yang Majelis Hakim dapat menerima
bukti-bukti tersebut beserta keterangan saksi-saksi, sehingga Majelis Hakim
berpendapat bahwa para Pemohon telah berhasil membuktikan dalil
permohonannya.
3. Pertimbangan Hukum dan Penetapan Hakim
Pengadilan Agama Yogyakarta menyelesaikan dan menjatuhkan
penetapan perkara ini pada hari Senin 28 Mei 2012 Masehi yang bertepatan
dengan tanggal 07 Rajab 1433 Hijriyah, yakni 325 (tiga ratus dua puluh lima)
hari atau 10 (sepuluh) bulan 19 (sembian belas) hari setelah perkara ini mulai
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Yogyakarta.
Dasar hukum yang digunakan Hakim dalam melakukan pertimbangan
terhadap penetapan status mafqud dalam kasus ini adalah Pasal 467 dan Pasal
44
468 KUH Perdata. Untuk menguatkan pertimbangan hukum Majelis Hakim
menyertakan Pasal 171 dan Pasal 174 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam.
Selanjutnya untuk menguatkan penemuan hukum dan kepastian hukum
atas penetapan berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan selama
persidangan. Maka Majelis Hakim juga menyertakan Pasal 2 dan Pasal 49 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai
bentuk kekuasaan absolutnya untuk mengadili perkara ini sebagaimana berikut:
Pasal 2:
“Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”
Pasal 49 ayat (1):
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
meneyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum
Islam
c. Wakaf dan shadaqah”
Berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dilakukan, dasar hukum
yang dikemuakan saling menguatkan satu sama lainnya, maka Majelis Hakim
menetapkan:
a. Mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana telah disebutkan
para Pemohon dalam Surat Permohonannya, yakni sebagai berikut.
Pertama, mengabulkan permohonan para Pemohon. Kedua, menetapkan
45
Termohon adalah mafqud (hilang/meninggal dunia) dengan segala akibat
hukumnya. Ketiga, membebankan biaya perkara menurut hukum.
b. Menetapkan Termohon telah hilang atau meninggal dunia secara hukum
dengan segala akibat hukumnya.
c. Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar semua biaya yang
timbul akibat perkara ini.
B. Kronologi Kasus Nomor 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr di Pengadilan Agama
Kediri
1. Duduk Perkara
Termohon dalam kasus ini adalah kerabat atau saudara kandung dari para
Pemohon, dalam beberapa kalimat akan disebutkan sebagai “Saudara Para
Pemohon”. Mereka (para Pemohon dan Termohon) merupakan 8 (delapan)
orang bersaudara, yaitu anak-anak dari seorang laki-laki yang bernama Mat
Sa‟roni (Ayah) dan seorang perempuan yang bernama Kalimah (Ibu). Mereka
memiliki hubungan keperdataan baik hak maupun kewajibannnya,
sebagaimana telah diatur undang-undang keperdataan hukum keluarga.
Timbulnya kasus ini dimulai pada awal tahun 1980 atau 34 tahun 10
bulan sebelum perkara ini diajukan ke Pengadilan Agama Kediri, Termohon
pergi meninggalkan kediamannya tanpa diketahui oleh keluarganya. Kediaman
Termohon adalah rumah orang tuanya sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam
surat permohonan para Pemohon dengan nomor register perkara
0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr sebagai berikut:
“Pada awal tahun 1980 Saudara Para Pemohon (Termohon) keluar
rumah, meninggalkan kedua orang tuanya serta para Pemohon, tanpa
46
memberitahukan terlebih dahulu kepada para Pemohon maupun kepada
kedua orang tuanya dan hingga sekarang tidak pernah kembali ke
rumah, tidak memberitahukan kabar beritanya dan tidak ada kabar
beritanya”.
Perirstiwa hukum penting yang pernah terjadi dari awal kepergian atau
ke-mafqud-an Termohon sampai perkara ini diajukan ke Pengadilan adalah
telah terjadi 4 (empat) kematian dalam keluarga Termohon tersebut. Yakni:
a. Kematian orang tua (ibu) yang bernama Kalimah pada tanggal 09 Februari
1987.
b. Kematian kakak Termohon yang bernama Qomarudin pada tanggal 24
Maret 2002.
c. Kematian orang tua (ayah) yang bernama Mat Sa‟roni pada tanggal 02
Oktober 2007.
d. Kematian adik Termohon yang bernama Siti Rubiyah pada tanggal 18
Agustus 2013.
Selanjutnya orang tua (ibu) para Pemohon dan Termohon, yang bernama
Kalimah merupakan salah satu dari 4 bersaudara yang merupakan anak
kandung dari seseorang yang bernama Hedris – telah meninggal pada tahun
1950 – dan Siti Aminah – telah meninggal pada tahun 1982.
Demi kepentingan pembagian harta warisan peninggalan Hedris dan Siti
Aminah, maka para ahli waris merasa perlu untuk mendapatkan kepastian
hukum atas status hukum mafqud salah satu ahli waris yaitu Termohon,
walaupun menurut penulis terdapat sedikit kekeliruan tentang pengertian ahli
waris pengganti di sini yaitu disebutkannya dalam surat permohonan para
Pemohon bahwa Termohon adalah ahli waris pengganti ibunya yang
47
selanjutnya menjadi ahli waris dari Hedris dan Siti Aminah (orang tua dari ibu
Termohon).3 Sebagaimana disebutkan berikut ini:
“Bahwa para ahli waris Almarhumah Siti Aminah dan Almarum Hedris
bermaksud mengadakan pembagian harta waris atan tanah milik (SHM)
No. 76 dimaksud namun salah satu ahli waris yaitu Saudara Para
Pemohon (Termohon) sebagai salah satu ahli waris pengganti
kedudukan ibunya/Almarhumah Kalimah sedang tidak ada dan telah
hilang sejak awal tahun 1980 sebagaimana uraian tersebut di atas”
Penulis tidak menguraikan lebih lanjut tentang kekeliruan penggunaan
metode (ahli waris pengganti atau munasaqah) penyelesaian kewarisan di sini
yang disebutkan sebagai ahli waris pengganti padahal semestinya dengan
metode munasaqah. Karena pembahasan tersebut akan keluar dari lingkup
analisis penelitian ini.
2. Proses Persidangan
Perkara ini mempunyai kaitan erat dengan hukum kewarisan yang mana
para pihak adalah beragama Islam, sehingga dasar hukum yang dikemukakan
dalam proses persidangan ini adalah Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaiamana telah diubah oleh Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
yang menganut asas personalitas keislaman sebagai kewenangan absolut
Peradilan Agama dalam memeriksa perkara ini.
Jenis perkara yang diajukan pada kasus ini adalah voluntair, dimana tidak
ada sengketa dan tidak ada pihak yang dilawan, yang ada hanyalah
permohonan para Pemohon tentang status hukum atau kepastian hukum.
3 Lihat Penetapan Pengadilan Agama Kediri Nomor 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr
48
Uraian proses persidangan ini sesuai dengan salinan penetapan
berdasarkan surat permohonan tertanggal 31 Oktober 2014 yang telah
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor
0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr., tanggal 03 November 2014. Para Pemohon telah
mengajukan permohonan orang hilang (mafqud) bernama Saudara Para
Pemohon, dalam uraian ini penulis menyebut Saudara Para Pemohon sebagai
Termohon. Para Pemohon adalah:
a. Pemohon 1, umur 63 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di Kota
Kediri
b. Pemohon 2, umur 54 tahun, agama Islam, dan bertempat tinggal di Kota
Kediri.
c. Pemohon 3, umur 52 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di kota
Kediri.
d. Pemohon 4, umur 48 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di
kabupaten Kediri.
e. Pemohon 5, umur 46 tahun, beragama Islam, dan bertempat tinggal di kota
Kediri.
Selanjutnya dalam hal ini Pemohon 1 sampai dengan Pemohon 5 disebut
sebagai para Pemohon.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan para Pemohon telah hadir di
persidangan, dalam hal ini telah diwakilkan oleh kuasa hukumnya. Dalam
proses persidangan tersebut pihak yang dimohonkan (Termohon) telah
49
diumumkan tentang ke-mafqud-annya melalui kantor pemerintahan kota Kediri
dalam upaya menemukan Termohon.
Untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya para Pemohon
mengajukan sejumlah bukti-bukti dan dua orang saksi, yang kemudian Majelis
Hakim memeriksa keterangan bukti dan saksi tersebut. Keterangan-keterangan
tersebut telah diterima oleh Majelis Hakim karena isinya saling bersesuaian
dan saling menguatkan, serta pihak-pihak yang terkait – para Pemohon dan
saksi-saksi – tidak melakukan pembantahan. Maka, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang telah dilakukan Majelis Hakim berpendapat bahwa para
pemohon telah dapat membuktikan dalil-dalil permohonnya.
3. Pertimbangan Hukum dan Penetapan Hakim
Pengadilan Agama Kediri menyelesaikan dan menjatuhkan penetapan
perkara ini pada tanggal 08 Januari 2015 Masehi, bertepatan dengan tanggal 17
Rabiul Awal 1436 Hijriyah, yakni 66 (enam puluh enam) hari atau 2 (dua)
bulan 5 (lima) hari setelah perkara ini mulai terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Kediri.
Hal yang dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam melakukan
penetapan ini adalah tentang pendapat ulama fikih dalam menentukan status
hukum orang yang hilang (mafqud) menggunakan metode istishab, yaitu
menetapkan hukum yang berlaku sejak semula sampai ada dalil yang
menunjukkan hukum lain. Tetapi anggapan tentang hukum yang berlaku
semula atau anggapan Termohon mafqud masih hidup tidak bisa dipertahankan
terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Para
50
ulama fikih juga telah sepakat bahwa yang berhak menetapkan status bagi
orang hilang tersebut adalah Hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang yang
hilang tersebut telah meninggal atau belum.
Selanjutnya terdapat 2 (dua) macam pertimbangan hukum yang
digunakan Majelis Hakim untuk mencari kejelasan status hukum bagi orang
yang hilang. Yaitu:
a. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang
dapat menetapkan suatu ketetapan hukum.
b. Berdasarkan tenggang waktu lamanya orang yang mafqud pergi atau
berdasarkan kadaluarsa.
Berdasarkan pertimbangan dan metode yang digunakan Majelis Hakim
dan berdasarkan bukti-bukti dan dua orang saksi yang diajukan para Pemohon
untuk menguatkan dalil permohonannya, maka Majelis Hakim menjatuhkan
penetapan terhadap kasus ini. Isi dari penetapan kasus ini adalah sebagai
berikut:
a. Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana telah
dimohonkan dalam Surat Permohonan, sebagai berikut. Pertama, menerima
dan mengabulkan permohonan para Pemohon. Kedua, menetapkan
Termohon telah wafat karena mafqud menurut hukum syar‟i. Ketiga,
membebankan segala biaya yang timbul akibat permohonan ini kepada para
Pemohon.
b. Menetapkan Termohon telah meninggal dunia menurut hukum karena
mafqud.
51
c. Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 246.000 (dua ratus empat puluh enam ribu rupiah).
C. Analisis Penulis
Peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan yang merupakan
hukum materil atau formil Peradilan Agama tidak secara rinci mengatur perihal
hukum kewarisan terlebih mengenai perkara mafqud dalam kewarisan. Walaupun
seperti yang ditulis oleh Khoiruddin Nasution bahwa salah satu fenomena sejak
awal abad ke 20 di dunia muslim dan Islam adanya usaha pembaharuan hukum
keluarga dalam bidang perkawinan, perceraian, kewarisan dan wasiat.4
Di
Indonesia, hukum materiil Peradilan Agama secara formal termuat dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991.5
Meskipun Peradilan Agama merupakan peradilan khusus yang menangani
perkara perdata untuk para pencari keadilan beragama Islam, selain memiliki
hukum materiil sendiri sebagai suatu dasar atau pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan perkara di lingkungan Peradilan Agama tersebut, dalam praktiknya
dapat dijumpai para hakim Peradilan Agama dalam menjatuhkan suatu penetapan
atau putusan mendasarkannya pada hukum materiil Perdilan Umum. Secara
khusus dalam persoalan kewarisan Penjelasan Umum alinea kedua Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 menegaskan “...Kalimat yang terdapat dalam
4 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara Studi Terhadap Perundang-
Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h.,
5-6. 5 Tim Hakim Pengadilan Agama Bantul, “Kewenangan dan Penyelesaian Perkara
Mafqud di Pengadilan Agama”, (Bantul: Pengadilan Agama Bantul, 2000), h., 7-8.
52
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang menyatakan: „Para pihak sebelum beperkara dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan‟ dinyatakan dihapus”. Dualisme hukum yang terjadi di
lingkungan Peradilan Agama akan mempertanyakan eksistensi Peradilan Agama
sebagai peradilan khusus bagi umat Islam di Indonesia.
Dasar hukum yang digunakan majelis hakim Pengadilan Agama Yogyakarta
dalam menangani perkara nomor 042/Pdt.P/2011/PA.Yk adalah Pasal 467 dan
Pasal 468 KUH Perdata, Pasal 171 dan Pasal 174 ayat (1) Kompilasi Hukum
Islam serta Pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan
dasar hukum yang digunakan majelis hakim Pengadilan Agama Kediri dalam
menangani perkara nomor 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr adalah pendapat ulama fikih
dalam menentukan status hukum orang yang hilang (mafqud) menggunakan
metode istishab, yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula sampai ada
dalil yang menunjukkan hukum lain. Selanjutnya terdapat dua macam
pertimbangan hukum yang digunakan majelis hakim Pengadilan Agama Kediri
untuk menguatkan metode istishab tersebut. Pertama, berdasarkan bukti otentik
yang dibenarkan oleh syariat yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum.
Kedua, berdasarkan tenggang waktu lamanya orang yang mafqud pergi atau
berdasarkan kadaluarsa.
53
1. Analisa Penetapan 042/Pdt.P/2011/PA.YK
Penetapan hakim Pengadilan Agama Yogyakarta mendasarkan Pasal 467
dan Pasal 468 KUH Perdata. Hal ini menjadi pedoman hakim untuk melakukan
pemanggilan sebanyak tiga kali dengan tenggang waktu masing-masing
pemanggilan selama tiga bulan. Namun, berdasarkan pedoman umum
penggunaan metode penemuan hukum yang dirumuskan oleh Bambang
Sutiyoso6 terdapat nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan hierarki sumber
hukum yang harus diperhatikan oleh hakim dalam penemuan hukum. Nilai-
nilai keadilan dan kepastian hukum harus dapat dibangun oleh hakim dengan
melihat peristiwa konkret dan pengaturan hukum yang ada. Hakim dapat
menggunakan metode penemuan hukum interpretasi, argumentasi dan metode
eksposisi untuk memberi keadilan dan kepastian hukum yang tepat.
Hakim Pengadilan Agama harus dapat mewujudkan nilai keadilan,
kepastian hukum dan memperhatikan hierarki sumber hukum, menurut penulis
hakim seharusnya menggunakan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum
materiil Peradilan Agama daripada menggunakan ketentuan yang terkandung
dalam KUH Perdata. Walaupun sampai saat ini mengenai kekuatan hukum
Kompilasi Hukum Islam sebagai suatu peraturan perundang-undangan masih
dalam perdebatan.
Dasar hukum Kompilasi Hukum Islam adalah Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 sedangkan Inpres itu sendiri didasarkan pada Pasal 4 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Baik Instruksi Presiden, Peraturan Presiden dan
6 Bambang Sutioso, “Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan”, (Yogyakarta: UII Press, 2012, Cetakan Keempat), h., 164-170.
54
Keputusan Presiden memiliki kedudukan yang sama, pendapat ini sebagaimana
diuraikan oleh Edi Gunawan.7
Selain didasarkan pada Pasal 4 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya dalam Pasal 7 Ayat (1) dan (4)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menunjukkan bahwa Inpres memiliki
kekuatan hukum yang mengikat dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan KUH Perdata sebagai hukum materiil dan tetap
digunakan didasarkan pada Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
1945. Jadi, sangatlah logis dan rasional mengutamakan penggunaan Kompilasi
Hukum Islam sebagai hukum materiil di lingukungan Peradilan Agama
daripada KUH Perdata untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, kepastian
hukum dan tujuan kemasyarakatan (Teleologis).
2. Analisa Penetapan 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr
Hakim Pengadilan Agama Kediri menggunakan pendapat ulama fikih
dalam menentukan status hukum orang yang hilang (mafqud) melalui metode
istishab, yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula sampai ada dalil
yang menunjukkan hukum lain. Selanjutnya terdapat dua macam pertimbangan
hukum yang digunakan majelis hakim Pengadilan Agama Kediri untuk
menguatkan metode istishab tersebut. Pertama, berdasarkan bukti otentik yang
dibenarkan oleh syariat yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum. Kedua,
berdasarkan tenggang waktu lamanya orang yang mafqud pergi atau
berdasarkan kadaluarsa.
7 Edi Gunawan, “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam”, Vol. 8, No. 1, 2010, h., 8.
55
Berdasarkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum, penggunaan hierarki
sumber hukum dan tujuan kemasyarakatan, hakim Pengadilan Agama Kediri
memenuhinya dengan menggunakan metode istishab dengan pertimbangan
daluwarsa. Penggunaan metode tersebut sebagaimana Penjelasan Umum butir
2, 3 dan 4 Kompilasi Hukum Islam yang memungkinkan hakim untuk merujuk
doktrin ahli hukum atau fikih. Penggunaan doktrin atau ajaran fikih tentunya
akan lebih sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadits karena fikih bersumber
dari Al-Quran dan Hadits.
Nilai keadilan, kepastian hukum dan tujuan kemasyarakatan dalam
lingkungan Peradilan Agama tentunya harus dipenuhi dengan nilai-nilai yang
sesuai dengan hukum Islam itu sendiri, bukan mengesampingkan apa yang
diatur dalam hukum Islam dan menggunakan produk hukum lain. Selain itu,
Peradilan Agama sebagai peradilan khusus memiliki hukum materiilnya sendiri
untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, tujuan kemasyarakatan (teleologis) dan
semangat dibentuknya Peradilan Agama.
Hakim dalam penemuan hukum penetapan ini menggunakan metode
otentik, historis dan teleologis. Berikut ini penjelasan metode dan
implementasinya dalam penetapan ini.
a. Metode otentik. Digunakan hakim untuk melihat ketentuan umum yang
termuat dalam Kompilasi Hukum Islam. Dengan melihat ketentuan umum
yang terkandung dalam Kompilasi Hukum Islam maka akan diketahui ruang
lingkup dan batasan Kompilasi Hukum Islam tersebut. Ketentuan Umum
56
dalam Kompilasi Hukum Islam memungkinkan hakim untuk merujuk
doktrin hukum yang dikemukakan oleh ahli fikih dalam kitab-kitab fikih.
b. Metode historis. Digunakan untuk melihat latar belakang, sejarah dan
semangat dibentuknya Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum materiil
Peradilan Agama. Degan melihat sejarah dibentuknya Kompilasi Hukum
Islam maka akan diketahui pula semangat atau tujuan dibentuknya
Kompilasi Hukum Islam itu. Kompilasi Hukum Islam dibentuk untuk
menjadi pedoman bagi hakim di lingkungan Peradilan Agama.
c. Metode Teleologis. Digunakan untuk melihat tujuan kemasyarakatan
dibentuknya Kompilasi Hukum Islam. Dengan melihat tujuan
kemasyarakatan dalam Kompilasi Hukum Islam akan mempermudah
mewujudkan keadilan yang sesuai dengan keadaan yang hidup dalam
masyarakat. Tujuan kemasyarakatan dibentuknya Kompilasi Hukum Islam
adalah untuk mewujudkan keadilan berdasarkan nilai-nilai Islam bagi para
pencari keadilan yang beragama Islam.
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis paparkan pembahasan mengenai “Dasar Hukum Penetapan
Status Hukum Mafqud dalam Kewarisan di Pengadilan Agama Yogyakarta dan
Kediri” maka penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut:
1. Penerapan hukum materiil kewarisan mafqud di lingkungan Peradilan Agama
masih belum memiliki satu kesatuan hukum yang pasti. Hal ini dapat dilihat
bahwa Pengadilan Agama Yogyakarta menggunakan hukum materiil KUH
Perdata Pasal 467 dan Pasal 468 yang notabene-nya merupakan hukum materiil
Peradilan Umum. Padahal sangat jelas bahwa Peradilan Agama merupakan
peradilan khusus dan memiliki hukum materiilnya sendiri. Walaupun pada
kenyataannya persoalan kewarisan mafqud tidak diatur secara rinci dalam pasal
atau pun ayat peraturan perundang-undangan yang menjadi hukum materiil
Peradilan Agama. Keterbatasan hukum materiil yang telah diundangkan
tersebut bukan menjadi suatu alasan untuk tidak menggali lebih dalam
ketentuan yang sesuai dengan tujuan dibentuknya Peradilan Agama. Dapat
dilihat bahwa Pengadilan Agama Kediri tetap menggunakan hukum materiil
Peradilan Agama, yakni dengan menggunakan metode penemuan hukum
istishab sebagaimana merupakan metode yang dikemukakan ahli fikih.
Merujuknya hakim kepada doktrin ahli fikih ini dapat didasarkan pada
58
Penjelasan Umum Kompilasi Hukum Islam sebagai suatu kekuatan hukum
untuk menemukan lebih lanjut hukum materiil Peradilan Agama.
2. Dasar pertimbangan Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta adalah dengan
menggunakan Pasal 467 dan 468 KUH Perdata. Penggunaan dasar hukum
tersebut didasarkan pada fakta bahwa orang yang mafqud telah hilang selama 6
tahun 6 bulan dan telah dilakukan pemanggilan sebanyak tiga kali dengan
masing-masing tenggang waktu pemanggilan tiga bulan. Penggunaan dasar
pertimbangan hukum ini tidak seperti pada ketentuan pendapat ulama atau ahli
fikih dan bertentangan dengan asas lex specialis derogat legi generali.
Sedangkan Hakim di Pengadilan Agama Kediri menggunakan dasar
pertimbangan istishab dengan pendekatan daluwarsa yang mana sesuai dengan
pendapat jumhur ulama atau ahli fikih. Hakim mempertimbangkan lama
hilangnya orang yang mafqud, usia kelayakan hidup dan keberadaan teman
sebaya si mafqud yang secara umum telah daluwarsa. Penggunaan dasar
hukum oleh Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta dan Hakim Pengadilan
Agama Kediri didasarkan pada pertimbangan fakta-fakta persidangan. Hal
utama yang menyebabkan perbedaan penggunaan dasar hukum untuk
menetapkan status hukum seseorang yang mafqud adalah dari fakta
persidangan lama hilangnya orang yang mafqud.
B. Rekomendasi
Setelah memaparkan apa yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini, maka
berikut beberapa hal yang menjadi rekomendasi dari penelitian ini. Yakni sebagai
berikut:
59
1. Disebabkan sangat sedikit dan tidak merinci tentang adanya hukum materil
atau undang-undang yang menjadi ketentuan bagi perkara mafqud khususnya
dalam hukum perdata Islam yang merupakan bagian dari kekuasaan absolut
Peradilan Agama maka penulis merekomendasikan kepada pembuat undang-
undang agar merumuskan tentang tatacara maupun ketentuan yang pasti
terhadap perkara mafqud terlebih khusus dalam bidang kewarisan. Hal ini
penting agar penanganan perkara mafqud terdapat kepastian hukum yang jelas.
Kepada Hakim yang merupakan salah satu penegak hukum dan merupakan
benteng terakhir dalam penegakan hukum agar melakukan hak ijtihadnya untuk
memutuskan perkara dengan sumber pertimbangan dasar hukum undang-
undang yang menjadi kekuasan absolut Peradilan Agama atau pun ketentuan
fikih yang merupakan interpretasi sumber dasar hukum Islam yaitu Al-Quran
dan Hadits, daripada menggunakan dasar hukum yang seharusnya digunakan
oleh Peradilan Negeri.
2. Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta menetapkan status hukum mafqud
dalam persoalan kewarisan masih merujuk kepada ketentuan hukum materil
yang merupakan produk di luar undang-undang kekuasaan absolut Peradilan
Agama yakni KUH Perdata. Maka, penulis merekomendasikan kepada Hakim
untuk menjadikan ketentuan hukum syar‟i sebagai pertimbangan utama, baik
itu undang-undang yang dikhususkan untuk mendukung kekuasaan absolut
Peradilan Agama atau pun ketentuan fikih yang merupakan interpretasi sumber
utama hukum Islam yakni Al-Quran dan Hadits daripada hukum positif atau
undang-undang yang seharusnya menjadi kekuasaan kehakiman Peradilan
60
Negeri. Walaupun kenyataannya bahwa pasal atau pun ayat dalam peraturan
perundang-undangan Peradilan Agama tidak secara rinci mengatur persoalan
kewarisan mafqud. Namun, Hakim selain daripada penegak hukum juga dapat
memanfaatkan wewenangnya untuk menemukan dan membuat hukum dengan
menggunakan metode-metode penemuan hukum yang ada.
61
DAFTAR PUSTAKA
„Utsaimin, Muhammad bin Shalih Al-. Panduan Praktis Hukum Waris. Bogor:
Pustaka Ibnu Katsir. 2006.
Al-Qur‟an dan Terjemahan Departemen Agama RI.
Gunawan, Edi. “Eksistensi Kompilasi Hukum Islam”. Vol. 8. No. 1. 2010.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar. “Hukum Waris”. Jakarta: Senayan
Abadi Publishing. 2004.
Kompilasi Hukum Islam.
Kuncoro, NM. Wahyu. “Waris Permasalahan dan Solusinya”. Jakarta: Raih Asa
Sukses. 2015.
Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam. Jakarta: Sinar
Grafika. 1995.
Mubarak, Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu. “Bustanul Ahbar mukhtashar Nail
al Authar”. Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin dan Asep Saefullah.
“Ringkasan Nailul Authar”. Jakarta: Pustaka Azzam. 2006. Jilid 3.
Muhibbin, Moh. dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Mursid, Akhmad Fakih dkk.. Penyelesaian Perkara Mafqud di Pengadilan
Agama. Makasar: Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. 2014.
Nasution, Amin Husein. Hukum Kewarisan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Penetapan Pengadilan Agama Kediri nomor 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr.
Penetapan Pengadilan Agama Yogyakarta nomor 042/Pdt.P/2011/PA.Yk.
Rasjidi, Lili. “Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia”.
Bandung: Alumni. 1982.
Rifai, Ahmad. “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progressif”. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
Sarmadi, Sukris. “Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif”.
Jakarta: RajaGrafindo Pesada. 1997.
62
Shabuniy, Muhammad Ali Ash. Hukum Waris Islam, Surabaya: Al-Ikhlas. 1995.
Sopyan, Yayan. “Pengantar Metode Penelitian”. Ciputat: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Suma, Muhammad Amin. “Keadilan Hukum Waris Islam”. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2013.
Suparman, Eman. “Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat &
BW”. Bandung: Refika Aditama. 2007.
Sutiyoso, Bambang. “Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan”. Yogyakarta: UII Press. 2012. Cetakan Keempat.
Syaltout, Mahmoud dan Syaikh M. Ali Al-Sayis. Perbandingan Mazhab dalam
Masalah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
Syanqithi, Syaikh Asy-. “Adwa‟ Al Bayan fi Idhah Al Qur‟an bi Al Qur‟an”.
Penerjemah Fathurazi. “Tafsir Adhwa‟ul Bayan”. Jakarta: Pustaka
Azzam. Jilid 1. 2006.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana. 2015.
Syaukani, Imam Asy-. “Fathul Qadir: Al Jami‟ baina Ar-Riwayah wa Ad-Dirayah
min ilm Al-Tafsir”. Penerjemah Amir Hamzah Fachruddin dan Asep
Saefullah. “Tafsir Fathul Qadir”. Jakarta: Pustaka Azzam. Jilid 2. 2009.
Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-. “Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi Al
Qur‟an”. Penerjemah Akhmad Affandi. “Tafsir Ath-Thabari”. Jakarta:
Pustaka Azzam. Jilid 8. 2008).
Tim Hakim Pengadilan Agama Bantul. “Kewenangan dan Penyelesaian Perkara
Mafqud di Pengadilan Agama”. Bantul: Pengadilan Agama Bantul. 2000.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradian Agama.
63
Zamzami, Mukhtar. “Perempuan & Keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam
Indonesia”. Jakarta: Kencana. 2013.
Zuhaili, Wahbah Az-. “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”. Penerjemah. Abdul Hayyie
al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani. Cetakan 1. Jilid 10.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
TRANSKRIP HASIL WAWANCARA TERHADAP HAKIM PENGADILAN
AGAMA YOGYAKARTA TERKAIT PENETAPAN NOMOR
0042/Pdt.P/2011/PA.Yk
Wawancara dengan : Dra. Hj. Maria Ulfah, M.H.
Hari/Tanggal : Rabu, 23 November 2016
Tempat : Pengadilan Agama Yogyakarta
No Bentuk Pertanyaan Jawaban Hakim
1 Apa yang dimaksud dengan
permohonan status hukum mafqud
menurut pandangan Hakim?
Penetapan status hukum mafqud
itu yakni penjelasan terhadap
keadaan status hukum seseorang.
Apakah dia dinyatakan sudah
mati atau belum. Jadi intinya
untuk memberi kejelasaan
terhadap keadaan seseorang (yang
dimohonkan).
2 Apa saja yang menjadi alasan
permohonan status hukum mafqud di
Pengadilan Agama Yogyakarta?
Pengadilan tidak boleh menolak
perkara yang diajukan dengan
alasan hukum tidak ada atau
kurang jelas. Kita harus mengadili
seperti apa (pun) orang yang akan
dimohonkan mafqud dengan
alasan-alasan dan pertimbangan
3 Menurut Hakim apakah setiap
permohonan status hukum mafqud
terhadap seorang yang dimohonkan
dapat dikabulkan khususnya demi
kepentingan kewarisan?
Permohonan status hukum tidak
mesti dikabulkan. Ini melihat
kepentingannya. Dapat juga
melihat alasan-alasan dan
pertimbangannya. Itu nanti
banyak pertimbangan-
pertimbangan yang menentukan.
4 Kenapa Hakim menetapkan status
hukum mafqud berdasarkan Pasal 467
dan Pasal 468 KUH Perdata terhadap
orang yang dimohonkan?
Namanya mafqud itu sifatnya
persangkaan namun dengan
ijtihad kami. Dapat dengan
pertimbangan ukuran usia
maupun kawan sebayanya. Tapi
tentunya sebagai hakim. Untuk
menyatakan orang itu telah
meninggal tentunya dengan
melakukan pengumuman
sebanyak tiga kali seperti dalam
pasal 467 tersebut. Di sini pun
hakim memakai landasan syar‟i
maupun hukum positif. Tidak
nyata-nyata mafqud itu seperti
apa. Apabila sudah yakin maka
ditetapkan tentang status
hukumnya.
5 Apabila melihat ketentuan dalam Pasal
467 dan Pasal 468 KUH Perdata maka
terdapat ketentuan yang berbeda
dengan hukum Syar‟i walaupun dalam
bentuk kasus yang sama. Bagaimana
Hakim mempertimbangkan dasar
hukum mana yang dapat digunakan
untuk menjatuhkan penetapan status
mafqud terhadap orang yang
dimohonkan status hukumnya?
Kita tidak lepas dua-duanya
(hukum syari‟i dan hukum positif
konvensional), hukum syar‟i iya
kita pakai, hukum positifnya
(dengan ketentuan pemanggilan
seperti dalam kasus ini). Kita
tetap berpijak terhadap hukum
materil dan formil. Apalagi kita di
sini hukum keluarga, untuk aturan
dalam perkara perdata tertentu
kita menggunakan aturan hukum
keluarga.
6 Apa pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan penetapan terhadap
perkara mafqud khususnya dalam
kewarisan?
Kalau soal kewarisan tidak ada
masalah. Kalau dinyatakan
mafqud misalkan yang mafqud
adalah seorang suami maka
otomatis pembagiannya akan
mengikuti saja. Jadi untuk
warisan dengan mafqud
sebetulnya tidak ada perbedaan
antara orang yang ada maupun
orang yang mafqud. Mafqud itu
hanya (membutuhkan) kejelasan
statusnya.
7 Hilang atau mafqud yang seperti apa
yang terjadi terhadap orang yang
dimohonkan sehingga dapat ditetapkan
status hukumnya menjadi mati secara
hukum?
Dia itu pergi, pergi tanpa pamit.
Sudah tidak ada kabar beritanya,
sudah lama tidak pulang.
(Namun) tidak pulang kalau
masih ada berita belum bisa
dinyatakan mafqud.
Kemungkinan sudah meningal
karena sudah beberapa tahun.
Dalam hal ini ada masalah
hutang, ada kemungkinan dia itu
dibunuh karena ada ancaman-
ancaman seperti itu. (Keterangan)
saksi-saksi sebagai faktor
pendukung dijadikan
pertimbangan. Awal
penghitungan mafqud sejak tidak
ada (kabar) sama sekali dan
komunikasi terputus.
8 Apakah kasus seperti ini sering terjadi
di Pengadilan Agama Yogyakarta?
Jarang. Ada sih ada. Tapi
kebetulan ada ini (kasus ini). Tapi
persentasenya kecil.
9 Apakah penetapan ini sudah
mendatangkan maslahah bagi para
pihak?
Otomatis dengan dinyatakan
mafqud/mati kan kemaslahatan
ada, harta warisnya tidak gantung
langsung dibagi. Soalnya itu mau
membiayai tiga orang anaknya
itu. Jadi untuk kepentingan
anaknya itu, juga untuk melunasi
hutangnya. Insya Allah akan
membawa manfaat atau
maslahahnya.
10 Apakah undang-undang atau Kompilasi
Hukum Islam dalam kasus ini dijadikan
rujukan utama atau tidak?
Iya ada (digunakan).
11 Teori hukum apa yang digunakan
Hakim untuk menetapkan status hukum
mafqud bagi pihak yang dimohonkan?
Kita itu dengan alasan maslahah
tadi yang penting ini membawa
manfaat. Karena pada dasarnya
baik dinyatakan sebagai pewaris
atau ahli waris (tujuannya) untuk
mengetahui kejelasan dan
hartanya tidak terkatung-katung.
Jadi kemaslahatan.
TRANSKRIP HASIL WAWANCARA TERHADAP HAKIM PENGADILAN
AGAMA KEDIRI TERKAIT PENETAPAN NOMOR 0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr
Wawancara dengan : Drs. Miswan, S.H.
Hari/Tanggal : Rabu, 16 November 2016
Tempat : Pengadilan Agama Kediri
No Bentuk Pertanyaan Jawaban Hakim
1 Apa yang dimaksud dengan
permohonan status hukum mafqud
menurut pandangan Hakim?
Para pihak meminta kepada
Pengadilan Agama untuk
menetapkan status seseorang yang
sudah lama tidak diketahui
alamatnya dan tidak diketahui
apakah dia (orang yang
dimohonkan) itu masih hidup atau
meninggal.
2 Apa saja yang menjadi alasan
permohonan status hukum mafqud di
Pengadilan Agama Kediri?
Biasanya hal seperti ini ya bisa
jadi berkaitan dengan pembagian
warisan. Karena apapun kalau
namanya harta warisan ketika
pewaris sudah meninggal dunia,
agama memerintahkan untuk
secepatnya dibagi. Kalau salah
satu atau beberapa dari ahli waris
yang kebetulan mereka itu
mafqud ini kan menjadi kendala.
3 Menurut Hakim apakah setiap
permohonan status hukum mafqud
terhadap seorang yang dimohonkan
dapat dikabulkan khususnya demi
kepentingan kewarisan?
Berbicara mesti dikabulkan atau
tidak itu tergantung, tergantung
dari pembuktian. Orang (yang)
meminta status mafqud seseorang.
Hakim sendiri harus
mempertimbangkan fakta-fakta
yang muncul di persidangan.
Kalau memang itu bukti-buktinya
sudah mendukung ya bisa jadi
(dikabulkan). Tapi, kalau tidak
bisa membuktikan para pihak kita
(Majelis Hakim) tidak bisa
mengabulkan tanpa bukti yang
akurat.
4 Kenapa Hakim menetapkan status
hukum mafqud berdasarkan
pertimbangan kondisi lingkungan
dan/atau alam terhadap orang yang
dimohonkan?
Pertimbangan alam bisa dijadikan
pertimbangan. Karena tidak
diketahui keberadaannya.
Misalkan, seseorang pun yang
pergi (dari Kediri) ke daerah
Aceh, meskipun Kediri (tempat
asalnya) dalam keadaan aman tapi
tempat tujuannya terjadi bencana,
itu bisa saja dijadikan
pertimbangan.
5 Jika penetapan dijatuhkan berdasarkan
kondisi alam atau pun kondisi
lingkungan dan berdasarkan
kadaluarsa. Kenapa penetapan tersebut
tidak dikuatkan oleh sesuatu ketentuan
hukum materil yang ditulis dalam
penetapan?
Hakim itu kan tugasnya
mengadili. Hakim juga tidak
boleh menolak terhadap perkara
yang diajukan dengan dasar
undang-undang atau aturan tidak
ada. Kemudian Hakim
berkewajiban berijtihad untuk
menggali hukumnya. Jadi, bisa
saja meskipun undang-undang
tidak mengatur secara khusus
mengenai ini, bisa saja kita
(Majelis Hakim)
mempertimbangkan maslahat dan
madharatnya terhadap penetapan
yang dijatuhkan dengan
mempertimbangkan kondisi-
kondisi alam dengan
mempertimbangkan bukti-bukti
dari para pihak.
6 Apa pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan penetapan terhadap
perkara mafqud khususnya dalam
kewarisan?
Setelah semua kewajiban-
kewajiban ahli waris kepada
pewaris selesai. Harta warisan ini
kan harus secepatnya dibagi.
Kalau nanti kita menunggu orang
yang mafqud untuk kembali. Kita
kan tidak mengetahui dia (orang
yang mafqud) akan kembali.
Kalau tidak secepatnya
diputuskan tentu terhadap harta-
harta si pewaris tidak bisa segera
dimanfaatkan oleh para ahli waris
yang lain. Jadi, tentu kita
mempertimbangkan untuk
maslahatnya terhadap ahli waris
yang ada dan juga terhadap harta
si pewaris itu.
7 Hilang atau mafqud yang seperti apa
yang terjadi terhadap orang yang
dimohonkan sehingga dapat ditetapkan
status hukumnya menjadi mati secara
hukum?
Disamping dari bukti-bukti yang
sudah ada. Kita juga bisa kembali
kepada pendapat-pendapat ulama
fikih. Seperti Imam Malik mapun
Imam Syafi‟i. Tapi, kalau Imam
Syafi‟i dan beberapa imam yang
lain menetapkan bahwa
mafqudnya seseorang itu dilihat
dari orang yang sebaya seusia
dengan orang yang mau
dimafqudkan itu masih hidup atau
tidak. Jadi, kalau berbicara
mafqud yang kayak apa ya
mafqud yang sudah tidak
diketahui beritanya mafqud yang
sudah tidak diketahui tempat
tinggalnya tidak diketahui masih
hidup atau meninggal dunia.
8 Apakah penetapan ini sudah
mendatangkan maslahah bagi para
pihak?
Pertanyaan itu tentu pertanyaan
kepada para pihak. Kita kan hanya
diminta untuk menetapkan sudah
ditetapkan.
9 Apakah undang-undang atau Kompilasi
Hukum Islam dalam kasus ini dijadikan
rujukan utama atau tidak?
Hakim berkewajiban untuk
menggali hukum berijtihad untuk
menemukan suatu hukum. Jadi,
meskipun kita tidak menggunakan
Kompilasi Hukum Islam saya kira
itu tidak menjadi masalah
SALINAN PENETAPAN
Nomor 0098/Pdt.P/2014PA.Kdr.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Kediri yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu, dalam persidangan Majelis telah menjatuhkan penetapan dalam perkara
permohonan “Penetapan Orang Hilang (Mafqud)”, yang diajukan oleh :
1. PEMOHON 1, umur 63 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta,
bertempat tinggal di Kota Kediri, selanjutnya disebut
sebagai Pemohon 1;
2. PEMOHON 2, umur 54 tahun. agama Islam pekerjaan wiraswasta, bertempat
tinggal di Kota Kediri, selanjutnya disebut sebagai
Pemohon 2.
3. PEMOHON 3, umur 52 tahun. agama Islam, pekerjaan pedagang, bertempat
tinggal di Kota Kediri, selanjutnya disebut sebagai
Pemohon 3.
4. PEMOHON 4, umur 48 tahun, agama Islam, pekerjaan mengurus rumah
tangga, bertempat tinggal di Kabupaten Kediri, selanjutnya
disebut sebagai Pemohon 4.
5. PEMOHON 5, umur 46 tahun. agama Islam, pekerjaan wiraswasta,
bertempat tinggal di Kota Kediri, selanjutnya disebut
sebagai Pemohon 5. Pemohon 1 s/d Pemohon 5,
Selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon, dalam hal ini
Para Pemohon telah memberi kuasa kepada Advokad,
berkantor di – Kabupaten Kediri, Telp. 479850,
erdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 18 Oktober
2014;
- Pengadilan Agama tersebut ;
- Telah memeriksa dan mempelajari berkas perkara yang bersangkutan ;
- Telah mendengar keterangan Para Pemohon serta para saksi di
persidangan ;
DUDUK PERKARA
Bahwa, Para Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 31
Oktober 2014 telah mengajukan permohonan penetepan orang hilang (Maafqud)
bernama SAUDARA PARA PEMOHON dan permohonan tersebut telah terdaftar
di Kepaniteraan Pengadilan Agama Kediri dengan Register perkara Nomor
0098/Pdt.P/2014/PA.Kdr., tanggal 03 Nopember 2014 dengan perubahan
olehnya sendiri tanggal 3 Desember 2014, yang isi pokoknya adalah sebagai
berikut :
1. Bahwa, SAUDARA PARA PEMOHON adalah saudara kandung Para
Pemohon dari 8 saudara yang merupakan anak-anak dari seorang laki-laki
yang bernama Mat Sa’roni (ayah) dengan seorang perempuan yang bernama
Kalimah (ibu);
2. Bahwa, dari 8 saudara tersebut, hingga saat ini, 2 orang telah meninggal
dunia, 1 orang hilang (SAUDARA PARA PEMOHON ) dan 5 orang masih
hidup (Para Pemohon);
3. Bahwa, SAUDARA PARA PEMOHON sejak kecil bertempat tinggal bersama
dengan orang tua beserta Para Pemohon di Kota Kediri;
4. Bahwa, SAUDARA PARA PEMOHON hidup dan berkembang dalam
keluarga yang sederhana, anak yang paling disayangi orang tuanya laki-laki,
sering meninggalkan rumah tanpa memberitahukan kepada anggota keluarga
yang ada, dan pendidikan SAUDARA PARA PEMOHON tidak Tamat Sekolah
Dasar;
5. Bahwa layaknya pemuda lainya, SAUDARA PARA PEMOHON sering kali
meninggalkan rumah tanpa memberitahukan kepada keluarga yang ada
namun ia kembali pulang ke rumah lagi (tidak sampai bermalam di luar
rumah) dan Para Pemohon maupun keluarga tidak tahu tentang aktifitas
kesehariannya yang dilakukan oleh SAUDARA PARA PEMOHON di luar
rumah namun dalam lingkungan keluarga, SAUDARA PARA PEMOHON
sering melakukan penipuan kepada orang tuanya sendiri dan kepada Para
Pemohon. Dalam lingkungan masyarakat maupun di lingkungan teman-
temannya SAUDARA PARA PEMOHON dikenal sebagai “Anak nakal” karena
sering terdengar ulah SAUDARA PARA PEMOHON kerap kali merugikan
orang lain, masyarakat sering mendengar bahwa SAUDARA PARA
PEMOHON kerap kali melakukan penipuan terhadap banyak orang, tetangga
sekitarnya dan bahkan Kepala Dusun dan Sekretaris Kelurahan setempat juga
pernah menjadi korban penipuan SAUDARA PARA PEMOHON ;
6. Bahwa, pada awal tahun 1980 SAUDARA PARA PEMOHON keluar rumah,
meninggalkan kedua orang tuanya serta Para Pemohon, tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepada Para Pemohon maupun kepada
kedua orang tuanya dan hingga sekarang tidak pernah kembali ke rumah,
tidak memberitahukan kabar beritanya dan tidak ada kabar beritanya;
7. Bahwa, SAUDARA PARA PEMOHON bertempat tinggal terakhir di Kota
Kediri dan meninggalkan tempat kediamannya sejak awal tahun 1980 (umur +
25 tahun) tanpa diketahui keluarganya dan atau tanpa pamit hingga sekarang
sudah selama kurang lebih 34 tahun 10 bulan, tidak pernah pulang sama
sekali, tidak pernah memberi kabar berita kepada keluarga atau kepada Para
Pemohon tentang kabar beritanya serta tidak ada berita tentang dia hingga
sampai saat ini;
8. Bahwa, status SAUDARA PARA PEMOHON ketika meninggalkan tempat
kediamannya pada awal tahun 1980 yang hingga kini tidak pernah kembali
adalah belum menikah/bujang dan tidak mempunyai pekerjaan. setiap harinya
kegiatan SAUDARA PARA PEMOHON seringkali keluar rumah untuk
keperluan apa baik orang tua Termohon maupun Para Pemohon tidak
mengetahuinya;
9. Bahwa, sejak SAUDARA PARA PEMOHON tidak pulang
rumah/meninggalkan tempat tinggalnya, orang tua SAUDARA PARA
PEMOHON dan Para Pemohon telah berusaha mencari keberadaan
SAUDARA PARA PEMOHON serta mencari berita tentang SAUDARA PARA
PEMOHON namun tidak membuahkan hasil sama sekali;
10. Bahwa, Pencarian terus dilakukan oleh Para Pemohon dan keluarganya
namun hingga sampai saat ini, selama kurang lebih 34 tahun 10 bulan berita
keberadaan SAUDARA PARA PEMOHON maupun beritanya tidak pernah
ada;
11. Bahwa, sejak kepergian SAUDARA PARA PEMOHON hingga sampai saat
ini, dalam keluarganya telah mengalami 4 peristiwa kematian (meninggal
dunia), yaitu :
11.1. kematian orang tua (Ibu/Kalimah) pada tanggal 09-02-1987.
11.2. kematian kakak SAUDARA PARA PEMOHON (Qomarudin) pada
tanggal 24-03-2002.
11.3. kematian orang tua (Ayah/Mat Sa’roni) pada tanggal 02-10-2007.
11.4. kematian adik SAUDARA PARA PEMOHON (Siti Rubiyah) pada
tanggal 18-08-2013.
12. Bahwa Ibu Para Pemohon dan SAUDARA PARA PEMOHON (Almarhum
Kalimah) adalah salah satu dari 4 bersaudara yang merupakan anak kandung
dan sekaligus sebagai ahli waris dari Almarhumah Siti Aminah (telah
meninggal dunia pada tahun 1982) dengan Hedris (telah meninggal dunia
pada tahun 1950);
13. Bahwa, almarhumah Siti Aminah dan almarhum Hedris selain meninggalkan 4
orang anak juga meninggalkan harta/Tanah yang yang belum dibagi waris
yaitu tanah hak milik (SHM) No. 76 Ds. Manisrenggo NIB.12.04.02.15.00175
surat ukur sementara tanggal 8 Desember 1981 No.1164/1981 Luas 3.330 M2
Nama Pemegang Hak tertulis : SITI AMINAH B. HEDRIS;
14. Bahwa Para Ahli waris Almh. Siti Aminah dan almarhum Hedris bermaksud
mengadakan pembagian harta waris atas tanah tanah hak milik (SHM) No. 76
dimaksud namun salah satu ahli waris yaitu SAUDARA PARA PEMOHON
sebagai salah satu ahli waris pengganti kedudukan ibunya/Almarhum Kalimah
sedang tidak ada dan telah hilang sejak awal tahun 1980 sebagaimana uraian
tersebut diatas;
15. Bahwa, dengan belum diketemukan SAUDARA PARA PEMOHON , maka
akan menyulitkan bagi Para Pemohon sebagai ahli waris Pengganti
kedudukan Ibunya/Almarhum Kalimah beserta Para ahli waris lainnya untuk
mengadakan pembagian harta waris terhadap harta peninggalan
Almarhumah Siti Aminah dan almarhum Hedris yaitu tanah sertifikat hak milik
(SHM) No.76 Ds. Manisrenggo NIB.12.04.02.15.00175 surat ukur sementara
tanggal 8 Desember 1981 No.1164/1981 Luas 3.330 M2 Nama Pemegang
Hak tertulis : SITI AMINAH B. HEDRIS;
16. Bahwa, ulama Fiqh dan menurut hukum Syar’iyah menentukan apabila orang
hilang itu telah ditempuh masa 4 (empat) tahun sejak keberangkatannya,
mengingat banyak kejadian-kejadian yang luar biasa yang menimbulkan
banyak korban jiwa selama 4 tahun misalnya karena bencana alam, pertikaian
etnis, wabah penyakit dan lain sebagainya, maka Hakim diberikan hak dan
kewenangan untuk melakukan Istishab menetapkan status hukum orang
hilang tersebut.
17. Bahwa kepergian SAUDARA PARA PEMOHON sudah berlangsung selama
kurang lebih 34 tahun 10 bulan secara terus menerus, tidak pernah pulang,
tidak pernah memberi kabar serta tidak ada kabar beritanya dan selama kurun
waktu 34 tahun 10 bulan sejak kepergian SAUDARA PARA PEMOHON telah
banyak sekali kejadian-kejadian luar biasa yang menimbulkan banyak korban
jiwa misalnya karena bencana alam (peristiwa tsunami, gempa bumi, gunung
meletus, dll), karena pertikaian etnis (peristiwa sampit, sampang, dll), wabah
penyakit dan masih banyak lainnya. Oleh karenanya sangatlah mungkin dan
dapatlah ditetapkan bahwa SAUDARA PARA PEMOHON telah wafat karena
Mafqud sejak awal tahun 1980 yang hingga permohonan ini diajukan Para
Pemohon telah mencapai kurang lebih selama 34 tahun 10 bulan.
18. Bahwa, untuk keperluan mengadakan pembagian waris terhadap harta
Peninggalan Almarhumah Siti Aminah dan almarhum Hedris, maka sangatlah
beralasan hukum bahwa Para Pemohon mengajukan Permohonan Penetapan
Orang Hilang (Mafqud) ini ke Pengadilan Agama Kediri untuk mendapat
kepastian status hukum bahwasanya SAUDARA PARA PEMOHON telah
wafat akibat hilang (Mafqud).
Berdasarkan dalil dan alasan Permohonan Para Pemohon tersebut di atas,
selanjutnya Para Pemohon mohon kepada Pengadilan Agama Kediri untuk
menetapkan Majelis Hakim guna memeriksa dan mengadili Permohonan ini dalam
suatu persidangan yang khusus ditentukan untuk itu serta menetapkan demi
hukum sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan Permohonan Para Pemohon;
2. Menetapkan SAUDARA PARA PEMOHON telah wafat karena Mafqud
menurut hukum syarak;
3. Membebankan segala biaya yang timbul akibat Permohonan ini kepada Para
Pemohon;
Atau :
Apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama Kediri berpendapat lain, mohon
Penetapan yang seadil – adilnya (ex aequo et bono) berdasarkan hukum.
Bahwa, pada hari persidangan yang telah ditetapkan, Para
Pemohon diwakili kuasanya telah datang menghadap dipersidangan;
Bahwa, Majelis Hakim telah mengumumkan tentang mafkudnya
SAUDARA PARA PEMOHON sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku;
Bahwa, setelah Majelis Hakim memeriksa identitas Para Pemohon
kemudian dibacakan surat permohonan Para Pemohon dengan perubahan
olehnya sendiri dan ternyata isinya tetap dipertahankan oleh Para Pemohon;
Bahwa, untuk meneguhkan dalil/ alasan-alasan tersebut, Para
Pemohon telah mengajukan bukti surat berupa :
1. Fotokopi Surat Keterangan Ketua Rt. Kota Kediri tentang tempat tinggal
terakhir Achasin, telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.1) ;
2. Fotokcopi Turunan Surat Kematian atas nama Kalimah Nomor:
470/10/419/70.16/2013, tanggal 28 Januari 2013 yang dikeluarkan oleh
Kepala Kelurahan Kota Kediri, telah bermaterai cukup dan sesuai dengan
aslinya (P.2);
3. Fotokopi Turunan Surat Kematian atas nama Mat. Sa’roni Nomor:
470/10/419/70.16/2013, tanggal 28 Januari 2013 yang dikeluarkan oleh
Kepala Kelurahan Kota Kediri, telah bermaterai cukup dan sesuai dengan
aslinya (P.3);
4. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Ali Rifai (Pemohon 1),
NIK.3571022812510002, tanggal 26 Oktober 2011 yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah
bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.4);
5. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Ali Rifai No.
3571021305061042, tanggal 25 Oktober 2011 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah bermeterai
cukup dan sesui aslinya (P.5) ;
6. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Mudjib (Pemohon 2),
NIK.3571022706600002, tanggal 18 Juli 2012 yang dikeluarkan oleh
Pemerintahan Kota kedir, talah bermeterai cukup dan sesuai aslinyai (P.6) ;
7. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Mudjib No.
3571021405066829, tanggal 25 Oktober 2011 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya (P.7) ;
8. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Miftahul Huda (Pemohon 3),
NIK.3571023012620001, tanggal 25 Juli 2012 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, bermeterai cukup dan
sesuai aslinya (P.8) ;
9. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Miftahul Huda Nomor
3571022104080028, tanggal 12 Oktober 2010 tanggal 25 Oktober 2011,
yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Kediri, bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.9) ;
10. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Rufi’atin (Pemohon 4),
NIK.3506184909660001, tanggal 30 Mei 2012 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya (P.10) ;
11. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Nur Wahid No.
3506141412103424, tanggal 25 Agustus 2011 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kediri, telah
bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.11) ;
12. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Imrodah (Pemohon V1),
NIK.3571025204690005, tanggal 12 Juli 2011 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya (P.12) ;
13. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Suparmanto No.
3571021005070136, tanggal 2 April 2008 yang dikeluarkan oleh Camat Kota
Kediri, telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.13) ;
14. Fotokopi Kutipan Surat Kematian atas nama Qomarudin No.
474.3/43/419.71/2012, tanggal 18 Oktober 2012 yang dikeluarkan oleh
Kepala Kelurahan , Kota Kediri, telah bermaterai cukup dan sesuai dengan
aslinya (P.14) ;
15. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Moh. Anwar Kalimosodo
No.3571021906070509, tanggal 22 Juni 2008 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya (P.15) ;
16. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Mustaqfirin
No.3506051512110004, tanggal 21 September 2012 yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah
bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.16) ;
17. Fotokopi Surat Kematian atas nama Siti Rubiyah No. 475/109/418.02/2013,
tanggal 1 Agustus 2013 yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Jatirejo
Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri, telah bermaterai cukup dan sesuai
dengan aslinya (P.17) ;
18. Fotokopi Surat Keterangan Waris yang ditanda tangani ahli waris
almarhumah SITI RUBIYAH, tanggal 16 September 2013 yang diketahui oleh
Kepala Kabupaten Kediri, telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.18) ;
19. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Tugiono
No.9271011103080149, tanggal 6 Januari 2010 yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri telah
bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.19) ;
20. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Supiyan No.
3506223011102541, tanggal 26 Juni 2012 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya (P.20) ;
21. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Sulistyono No.
3506220112100057, tanggal 3 Juli 2012 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri telah bermeterai cukup dan
sesuai aslinya (P.21);
22. Fotokopi Kartu Keluarga, kepala keluarga atas nama Muhammad Ansori No.
9204010708120003, tanggal 13 Agustus 2012 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Kediri, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.22) ;
23. Fotokopi Sertifikat (tanda bukti hak) Hak Milik atas nama Siti Aminah
B.Hedris No.76 Surat Ukur Sementara No.1164 Tahun 1981 yang
dikeluarkan oleh Kantor Agraria Kotamadya Kediri, telah bermeterai cukup
dan sesuai aslinya (P.23) ;
24. Fotokopi Surat Pernyataan yang ditanda tangani oleh Siti Rumawiyah dan Siti
Rukayah telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.24) ;
25. Fotokopi Surat Pernyataan yang ditanda tangani oleh Dwi Ernawati dan
Sulistyono, telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.25) ;
26. Fotokopi Surat Keterangan Nomor 145/500/419.70.16/2014, tanggal 12
Desember 2014 yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Kota Kediri, telah
bermeterai cukup dan sesuai aslinya (P.26) ;
27. Fotokopi Surat Keterangan Mafqud Nomor SKET/28/I/2015, tanggal 04
Januari 2015 yang dikeluarkan oleh Polsek Kediri Kota, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya (P.27) ;
28. Asli Silsilah Keluarga yang dibuat oleh ahli waris Alm.Hedris dan Almh.Siti
Aminah, tanpa tanggal bulan Desember 2014 yang diketahui oleh Kepala
Kelurahan Kota Kediri, telah bermeterai cukup (P.28) ;
Bahwa, selain mengajukan bukti surat-surat tersebut diatas, Para
Pemohon dalam persidangan juga telah menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang
secara terpisah telah didengar keterangannya dibawah sumpah, masing-masing
sebagai berikut :
1. Saksi I. , umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, bertempat tinggal di
Kabupaten Kediri ;
- Bahwa saksi kenal dengan Para Pemohon dan SAUDARA PARA
PEMOHON , karena saksi adalah saudara sepupu Para Pemohon dan
SAUDARA PARA PEMOHON ;
- Bahwa saksi tahu silsilah Para Pemohon, yaitu : Hedris menikah dengan
Siti Aminah dikaruniai 4 (empat) orang anak yaitu : 1. Ridwan (Bapak
saksi),2. Basuni, 3.Halimah dan 4. Aisyah. Anak yang ketiga bernama
Halimah menikah dengan Mat Sya’roni dikaruniai 8 (delapan) orang anak
yaitu: 1. Ali Rifa’i 2. Qomarudin 3. SAUDARA PARA PEMOHON
(mafqud) 4. Siti Rubiyah 5. Mudjib 6. Miftahul Huda 7. Rofi’atun 8.
Imrodah. Sedangkan Qomarudin meninggal dunia dengan meninggalkan
2 (dua) orang anak yaitu Siti Rumawiyah dan Siti Rukayah. Siti Rubiyah
telah meninggal dunia dengan meninggalkan 4 (empat) orang anak yaitu:
Anshori, Sulis, Dwi dan Wulan;
- Bahwa saksi mengetahui maksud dan tujuan Para Pemohon datang ke
Pengadilan Agama yaitu mengajukan penetapan orang hilang bernama
SAUDARA PARA PEMOHON saudara Para Pemohon untuk membagi
tanah waris dari Siti Aminah ibu kandung Kalimah (ibu kandung Para
Pemohon);
- Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON pergi meninggalkan rumah kurang
lebih umur 25 tahun. Usia saksi dengan SAUDARA PARA PEMOHON
kurang lebih selisih 7 tahun lebih tua SAUDARA PARA PEMOHON ;
- Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON memang terkenal nakal, suka pergi
dari rumah, setelah 2 sampai 3 hari baru pulang ke rumah bahkan sampai
1 minggu;
- Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON saat pergi belum menikah, setelah
ia pergi keluarga sudah berusaha mencari keberadaan SAUDARA PARA
PEMOHON bahkan sudah dilaporkan ke kantor polisi setempat namun
surat dari kepolisian belum jadi;
- Bahwa saksi menerangkan sudah cukup;
1. Saksi II. umur 66 tahun, agama Islam, pekerjaan mantan kepala Dusun
Kelurahan Manisrenggo, bertempat tinggal di Kota Kediri;
- Bahwa saksi kenal Para Pemohon, karena saksi adalah tetangga dekat
orang tua Para Pemohon dan SAUDARA PARA PEMOHON ;
- Bahwa saksi tahu silsilah Para Pemohon, yaitu : Hedris menikah dengan
Siti Aminah dikaruniai 4 (empat) orang anak yaitu : 1. Ridwan (Bapak
saksi),2. Basuni, 3.Halimah dan 4. Aisyah. Anak yang ketiga bernama
Halimah menikah dengan Mat Sya’roni dikaruniai 8 (delapan) orang anak
yaitu: 1. Ali Rifa’i 2. Qomarudin 3. SAUDARA PARA PEMOHON
(mafqud) 4. Siti Rubiyah 5. Mudjib 6. Miftahul Huda 7. Rofi’atun 8.
Imrodah. Sedangkan Qomarudin meninggal dunia dengan meninggalkan
2 (dua) orang anak yaitu Siti Rumawiyah dan Siti Rukayah. Siti Rubiyah
telah meninggal dunia dengan meninggalkan 4 (empat) orang anak yaitu:
Anshori, Sulis, Dwi dan Wulan;
- Bahwa saksi mengetahui maksud dan tujuan Para Pemohon datang ke
Pengadilan Agama yaitu mengajukan penetapan orang hilang bernama
SAUDARA PARA PEMOHON saudara Para Pemohon untuk membagi
tanah waris dari Siti Aminah ibu kandung Kalimah (ibu kandung Para
Pemohon);
- Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON pergi meninggalkan rumah kurang
lebih umur 25 tahun. Usia saksi dengan SAUDARA PARA PEMOHON
kurang lebih selisih 7 tahun lebih tua SAUDARA PARA PEMOHON ;
- Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON memang terkenal nakal, suka pergi
dari rumah, setelah 2 sampai 3 hari baru pulang ke rumah bahkan sampai
1 minggu;
- Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON saat pergi belum menikah, setelah
ia pergi keluarga sudah berusaha mencari keberadaan SAUDARA PARA
PEMOHON bahkan sudah dilaporkan ke kantor polisi setempat namun
surat dari kepolisian belum jadi;
Bahwa saksi menerangkan sudah cukup;
Bahwa, atas keterangan saksi-saksi tersebut, Para Pemohon
membenarkan dan menerimanya;
Bahwa, untuk mempersingkat uraian penetapan ini, Majelis Hakim telah
menunjuk berita acara sidang perkara ini sebagi bagian yang tak terpisahkan
dengan penetapan ini ;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Para Pemohon adalah
sebagaimana terurai di atas;
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Para
Pemohon diwakili kuasa hukumnya telah hadir di persidangan ;
Menimbang, bahwa SAUDARA PARA PEMOHON telah diumumkan
melalui Kantor Pemerintahan Kota Kediri, namun tetap tidak diketemukan;
Menimbang, bahwa kemudian dibacakan surat permohonan Para
Pemohon tersebut dengan tanbahan olehnya sendiri yang seluruh isinya telah
dipertahankan oleh Para Pemohon;
Menimbang, bahwa perkara ini mempunyai kaitan erat dengan masalah
kewarisan yang nota bene Para Pemohon adalah orang-orang islam, maka
berdasarkan pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama yang telah
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU no. 50
Tahun 2009, yang menganut asas personalitas keislaman diantaranya dalam
bidang kewarisan maka perkara a quo menjadi kewenangan absolut Pengadilan
Agama;
Menimbang, bahwa pada pokoknya Para Pemohon mendalilkan bahwa
saudara Para Pemohon yang bernama SAUDARA PARA PEMOHON kurang
lebih sejak awal tahun 1980 telah pergi meninggalkan rumah sampai sekarang
(34 tahun 10 bulan) tidak pernah pulang dan tidak ada kabar beritanya meskipun
keluarga telah berusaha semaksimal mungkin mencarinya bahkan sudah
melaporkan ke Kantor Polisi setempat namun tidak berhasil, sedangkan Para
Pemohon perlu mendapat kepastian dan keberadaan SAUDARA PARA
PEMOHON guna pembagian harta warisan yang berasal dari neneknya yang
bernama Alm.Hedris dan Almh. Siti Aminah;
Menimbang, bahwa orang hilang atau dalam fiqih disebut “mafqud”
adalah orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak
diketahui domisilinya, dan tidak diketahui hidup-matinya. Dalam faraid dijelaskan
diantara persyaratan ahli waris ialah orang/ahli waris yang hidup pada saat
kematian pewaris, dan diantara syarat pewaris ialah orang/pewaris dipastikan
telah meninggal baik secara hakiki maupun secara hukmi (berdasar putusan
pengadilan/hakim). Penetapan mafqud bagi orang yang hilang sangat penting
karena untuk mengetahui posisi mafqud dalam memperoleh hak dan kewajiban
dalam kewarisan yaitu menyangkut dalam dua hal yaitu pertama dalam posisi
sebagai pewaris berkaitan dengan peralihan hartanya kepada ahli waris, yang
kedua dalam posisi sebagai ahli waris berkaitan dengan peralihan harta pewaris
kepadanya secara legal;
Menimbang, bahwa tentang orang yang mafqud Para Fuqoha cenderung
memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu
masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang menyakinkan
bahwa ia telah meninggal. Sikap yang diambil Ulama Fiqih ini berdasarkan
kaidah Istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula sampai ada
dalil yang menunjukan hukum lain/sebaliknya. Akan tetapi anggapan masih hidup
tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian
bagi orang lain. Oleh karena itu harus digunakan suatu pertimbangan hukum
untuk mencari kejelasan status hukum bagi oyang yang mafqud. Para Fuqoha
telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang
tersebut adalah Hakim/Pengadilan Agama, baik untuk menetapkan bahwa orang
hilang tersebut telah meninggal atau belum;
Menimbang, bahwa ada 2 (dua) macam pertimbangan hukum yang dapat
digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi orang yang hilang, yaitu:
a. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat
menetapkan suatu ketetapan hukum, b. Berdasarkan tenggang waktu lamanya
orang yang mafqud pergi atau berdasarkan kedaluarsa;
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil permohonannya Para
Pemohon telah mengajukan bukti P.1 s/d P.28 dan 2 (dua) orang saksi yang
telah disumpah, Majelis Hakim mempertimbangkan, sebagai berikut :
1. Bahwa bukti P.1,P.4,P.5,P.6,P.7,P.8,P.9,P.10,P.11,P.12,P.13 adalah fotokopi
surat-surat yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, telah bermeterai
cukup dan sesuai aslinya, dan alat-alat bukti tersebut diajukan untuk
memperkuat dalil permohonan Para Pemohon tentang domisili Para
Pemohon dan SAUDARA PARA PEMOHON , oleh karenanya bukti-bukti
tersebut patut diterima sebagai bukti dalam perkara ini sesuai ketentuan
pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH Perdata, dengan demikian telah terbukti
bahwa Para Pemohon dan SAUDARA PARA PEMOHON bin Mat Sya’roni
secara mayoritas berdomisili di Jl. S. Suharmaji Gg.VII Rt/Rw.001/006
Kelurahan Kota Kediri termasuk Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama
Kediri, sehingga pengajuan permohonan Para Pemohon pada Pengadilan
Agama Kediri patut dinilai sudah tepat dan benar sesuai dengan ketentuan
peraturan perudang- undangan yang berlaku. Oleh karenaya permohonan
Para Pemohon tersebut patut untuk diterima dan patut dipertimbangkan;
2. Bahwa bukti P.2,P.3,P.14,P.17 adalah fotokopi surat-surat yang dikeluarkan
oleh Pejabat yang berwenang, telah bermeterai cukup dan sesuai aslinya,
dan alat-alat bukti tersebut diajukan untuk memperkuat dalil permohonan
Para Pemohon tentang telah meninggalnya Kalimah, Mat Sa’roni, Qomarudin
dan Siti Rubiyah, oleh karenanya bukti-bukti tersebut patut diterima sebagai
bukti dalam perkara ini sesuai ketentuan pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH
Perdata, dengan demikian telah terbukti bahwa Kalimah, Mat Sa’roni,
Qomarudin dan Siti Rubiyah telah meninggal dunia;
3. Bahwa bukti P.15,P.16, P.18,P.19,P.20,P.21,P.22 adalah fotokopi surat-surat
yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, telah bermeterai cukup dan
sesuai aslinya, dan alat-alat bukti tersebut diajukan untuk memperkuat dalil
permohonan Para Pemohon tentang ahli waris dari Alm. Qomarudin dan
Almh. Siti Rubiyah, oleh karenanya bukti-bukti tersebut patut diterima sebagai
bukti dalam perkara ini sesuai ketentuan pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH
Perdata, dengan demikian telah terbukti bahwa Suparmanto, Moh. Anwar
Kalimosodo, Mustaqfirin, Tugiono, Supiyan, SulistyonoMuhaam Ansori
adalah ahli waris dari Alm. Qomarudin dan Almh. Siti Rubiyah ;
4. Bahwa bukti P.23 adalah fotokopi SHM 76 atas nama Siti Aminah, surat yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang telah bermeterai cukup dan sesuai
aslinya, dan alat-alat bukti tersebut diajukan untuk memperkuat dalil
permohonan Para Pemohon tentang harta warisan Siti Aminah yang belum
dibagi waris, oleh karenanya bukti tersebut patut diterima sebagai bukti
dalam perkara ini sesuai ketentuan pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH
Perdata, dengan demikian telah terbukti bahwa masih harta Almh. Siti
Aminah dan Alm. Hedris belum dibagi atau belum dituntaskan
pembagiannya;
5. Bahwa bukti P.24,P.25,P.26,P.28 adalah fotokopi surat-surat yang
dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang, telah bermeterai cukup dan
sesuai aslinya, dan alat bukti tersebut diajukan untuk memperkuat dalil
permohonan Para Pemohon tentang mafqudnya SAUDARA PARA
PEMOHON , oleh karenanya bukti-bukti tersebut patut diterima sebagai bukti
dalam perkara ini sesuai ketentuan pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH
Perdata, dengan demikian telah terbukti bahwa SAUDARA PARA
PEMOHON adalah telah pergi meninggalkan rumah sejak tahun 1980
sampai sekarang tanpa alamt yang jelas dan pasti;
6. Bahwa bukti P.27 adalah fotokopi surat yang buat oleh para ahli waris yang
diketahui oleh Kepala Kelurahan Kota Kediri yang, telah bermeterai cukup
dan sesuai aslinya, dan alat bukti tersebut diajukan untuk memperkuat dalil
permohonan Para Pemohon tentang silsilah Alm. Hedris dan Almh. Siti
Aminah, dan silsilah ahli waris Alm. Mat Sa’roni dan Almh. Kalimah, oleh
karenanya bukti tersebut patut diterima sebagai bukti dalam perkara ini
sesuai ketentuan pasal 165 HIR jo pasal 1867 KUH Perdata, dengan
demikian telah terbukti bahwa SAUDARA PARA PEMOHON mereka adalah
ahli waris Alm. Mat Sa’roni dan Almh. Kalimah sekaligus ahli waris Alm.
Hedris dan Almh. Siti Aminah;
Menimbang, bahwa saksi-saksi bernama Abdul Rosyd dan Ahmad Ja’is
dibawah sumpahnya telah menerangkan bahwa, Alm. Mat Sa’roni dan Almh.
Kalimah adalah suami istri yang telah dikarunia 8 (delapan) anak 8 (delapan)
anak yaitu Para Pemohon dan SAUDARA PARA PEMOHON serta 2 (dua) orang
telah meninggal dunia. SAUDARA PARA PEMOHON ketika menginjak usia
remaja (umur 18 tahun) sering pergi meningalkan rumah dan sejak tahun 1980
sampai sekarang tidak pernah pulang dan keluarganya telah mencari namun
tidak diketemukan. Dengan demikian bahwa bukti P.1 s/d P.28 dan keterangan
para saksi bersesuaian dan saling menguatkan, oleh karenanya patut untuk
dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1 s/d P.28 dan keterangan
para saksi Majelis Hakim telah ditemukan fakta sebagai berikut:
1. Bahwa Alm. Hedris dan Almh. Siti Aminah telah menikah dan dikaruniai 4
(empat) orang anak, yaitu: Basuni, Ridwan, Kalimah dan Siti Ngaisah.
Sedangkan Almh. Kalimah menikah dengan Alm. Mat Sa’roni telah dikarunia
8 (delapan) anak yaitu Para Pemohon dan SAUDARA PARA PEMOHON
(mafqud) serta 2 (dua) orang telah meninggal dunia yaitu Qomarudin dan Siti
Rubiyah;
2. Bahwa SAUDARA PARA PEMOHON berstatus jejak sejak awal tahun 1980
sampai sekarang kurang lebih 35 tahun tanpa memberitahu keluarga telah
pergi meninggalkan rumah tidak diketahui secara pasti keberadaannya
meskipun telah dicari oleh keluarganya secara maksimal, tempat tinggal
terakhir di Kota Kediri ;
3. Bahwa ahli waris dari Alm. Siti Aminah dan Alm. Hedris akan melakukan
pembagian harta warisan yang belum dibagi atau belum dituntaskan yaitu
beruapa sebidang tanah sebagaimana dalam SHM 76 Desa Manisrenggo,
diantara ahli warisnya adalah SAUDARA PARA PEMOHON cucu dari Almh.
Siti Aminah dan Alm. Hedris;
Menimbang, bahwa tentang petitum 2 permohonan Para Pemohon, maka
berdasarkan dalil-dalil permohonan Para Pemohon yang telah dikuatkan oleh
bukti P.1 s/d P.28 dan keterangan saksi-saksi, maka Majelis Hakim berpendapat
bahwa seseorang/SAUDARA PARA PEMOHON yang telah pergi meninggalkan
rumah tanpa pemberitahuan, tanpa alamat yang jelas dan pasti apalagi
kepergiannya tersebut sudah dalam waktu kurun yang sangat lama yaitu kurang
lebih 35 tahun dan telah diupayakan pencarian secara maksimal, maka
berdasarkan pertimbangan tersebut diatas SAUDARA PARA PEMOHON patut
untuk dinyatakan mafqud;
Menimbang, bahwa dalam perkara a quo, SAUDARA PARA PEMOHON
berstatus ganda yaitu sebagai ahli waris dari Alm. Hedris dan Almh. Siti Aminah
dan sekaligus sebagai pewaris dari harta yang menjadi bagiannya tersebut,
Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menyederhanakan permasalahan
dalam perkara a quo perlu adanya kepastian hukum yang terpenting adalah
untuk menentukan apakah SAUDARA PARA PEMOHON masih hidup atau
sudah meninggal bukan apakah ia kedudukan sebagai ahli waris atau sebagai
pewaris karena tujuannya adalah sama yaitu bahwa SAUDARA PARA
PEMOHON perlu diberikan porsi/bagian atau tidak, dalam hal ini perlu adanya
penetapan Pengadilan/Hakim untuk memastikan apakah SAUDARA PARA
PEMOHON bin Mat Syaroni masih hidup atau sudah meninggal;
Menimbang, bahwa selama bepergian SAUDARA PARA PEMOHON
dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut telah banyak kejadian-kejadian
yang luar biasa yang menimbulkan banyak korban jiwa misalnya karena bencana
alam (peristiwa tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang dll)
karena pertikaian etnis (peristiwa sampit, sampang dll) wabah penyakit dan
masih banyak lainnya, hal mana merupakan indikasi akan terjadinya
kemungkinan-kemungkinan bagi seseorang termasuk SAUDARA PARA
PEMOHON yang pergi yang tidak diketahui alamatnya apalagi diera global
sekarang ini dengan tehnologi yang serba canggih (alat trnsportasi, handphone
dll.) sangat mudah untuk berkomunikasi dengan orang lain/keluarga, disamping
itu dalam masalah ini juga agar tidak merugikan orang/ahli waris yang lain, maka
dengan demikian telah terpenuhi syarat-syarat menurut syari’ bagi seseorang
yang dianggap telah meninggal dunia secara hukum, oleh karenanya patut
kiranya SAUDARA PARA PEMOHON dianggap secara hukum telah meninggal
dunia;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa, Para Pemohon telah dapat
membuktikan dalil-dalil permohonannya, oleh karenanya permohonan Para
Pemohon patut untuk dikabulkan;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini merupakan perkara voluntair
maka seluruh biaya perkara yang timbul dari perkara ini patut untuk dibebankan
kepada Para Pemohon;
Mengingat segala peraturan perundang- undangan yang berlaku serta
hukum yang berkaitan dengan perkara ini ;
M E N G A D I L I
1. Mengabulkan Permohonan Para Pemohon;
2. Menetapkan SAUDARA PARA PEMOHON telah meninggal dunia menurut
hukum karena Mafqud;
3. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 246.000,- (dua ratus empat puluh enam ribu rupiah) ;
Demikian Penetapan ini dijatuhkan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim pada hari Kamis, tanggal 8 Januari 2015 M. bertepatan dengan tanggal
17 Rabiul Awal 1436 H. yang terdiri Drs. H.Imam Syafi’i,S.H.,M.H., sebagai
Ketua Majelis, Drs. Moh. Muchsin dan Moemahad Fathnan,S.Ag.,M.H.I masing-
masing sebagai Hakim Anggota, penetapan mana pada hari Kamis, tanggal 8
Januari 2015 M. bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awal 1436 H. dibacakan
dalam persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis
tersebut dengan dihadiri oleh Hakim dan dibantu oleh Meftakhul Huda,S.Ag.,MH.
sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa Para Pemohon ;
Ketua Majelis
Ttd
Drs. H.Imam Syafi’i,SH.,MH.
Hakim Anggota Hakim Anggota
Ttd Ttd.
Drs. Moh. Muchsin Moehamad Fathnan,S.Ag.,M.H.I
Panitera Pengganti
Ttd
Meftakhul Huda, S.Ag.,MH.
Rincian Biaya Perkara :
1. Biaya Pendaftaran = Rp. 30.000,-
2. Biaya Proses = Rp. 50.000,-
3. Biaya Panggilan = Rp. 155.000,-
3. Biaya Redaksi =Rp. 5.000,-
4. Biaya Materai = Rp. 6.000,-
Jumlah = Rp. 246.000,-
(dua ratus empat puluh enam ribu rupiah)
Untuk Salinan yang sama bunyinya
oleh
Panitera Pengadilan Agama Kediri,
Drs. H.DULLOH, SH., MH.