dari ritual menjadi festival: proses ...repository.ub.ac.id/1038/1/nuryansah wahyu utomo.pdfkata...

105
DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN DESA ALAS MALANG SEBAGAI BAGIAN DARI PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI OLEH NURYANSAH WAHYU UTOMO NIM 115110800111005 PROGRAM STUDI S1 ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Upload: others

Post on 19-Dec-2020

44 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL:

PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN DESA

ALAS MALANG SEBAGAI BAGIAN DARI

PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN

BANYUWANGI

SKRIPSI

OLEH

NURYANSAH WAHYU UTOMO

NIM 115110800111005

PROGRAM STUDI S1 ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2017

Page 2: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL:

PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN DESA ALAS

MALANG SEBAGAI BAGIAN DARI PENGEMBANGAN PARIWISATA

KABUPATEN BANYUWANGI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Brawijaya

untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

OLEH

NURYANSAH WAHYU UTOMO

NIM 115110800111005

PROGRAM STUDI S1 ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2017

Page 3: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini saya :

Nama : Nuryansah Wahyu Utomo

NIM : 115110800111005

Program Studi : Antropologi

menyatakan bahwa :

1. skripsi adalah benar benar karya saya, bukan merupakan jiplakan dari

karya orang lain, dan belum pernah digunakan sebagai syarat

mendapatkan gelar kesarjanaan dari perguruan tinggi manapun.

2. jika di kemudian hari ditemukan bahwa skripsi ini merupakan jiplakan,

saya bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang akan

diberikan.

Malang, 18 Mei 2017

(Nuryansah Wahyu Utomo)

NIM 115110800111005

Page 4: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Nuryansah Wahyu

Utomo telah disetujui oleh pembimbing untuk diujikan.

Malang, 18 Mei 2017

Pembimbing

(Siti Zurinani, M.A)

NIK. 2011 068611 072002

Page 5: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi Sarjana atas nama Nuryansah Wahyu

Utomo telah disetujui oleh Dewan penguji sebagai syarat untuk mendapatkan

gelar sarjana.

(Ary Budianto, M.A) Ketua Dewan Penguji

NIK. 2013 097201 022001

(Siti Zurinani, M.A) Anggota Dewan Penguji

NIP. 2011 068611 072002

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Antropologi Pembantu Dekan I

(Dr. Hipolitus K. Kewuel, M.Hum) (Syariful Muttaqin, M.A)

NIP. 19670803 2001 1 2 1 001 NIP. 19751101 200312 1001

Page 6: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan perlindungan

serta atas berkat rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Judul dari skripsi tersebut adalah Dari Ritual Menjadi Festival:

Proses Komodifikasi Ritual Kebo-keboan Desa Alas Malang Sebagai Bagian Dari

Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Penulisan skripsi ini diajukan

sebagai syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Antropologi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Malang.

Skripsi yang saya susun berdasarkan penelitian lapangan tentang proses

komodifikasi ritual adat kebo-keboan Suku Osing Desa Alas Malang. Khsusus

saya persembahkan kepada Ibu saya tercinta Ana Suprihatin yang dengan sabar

menunggu kepulangan anaknya. Kepada ayah saya Nursalim yang tak pernah

lelah mendidik saya hingga sampai sekarang. Adik saya Nugrahaning Widi Asani

yang selalu dapat mengalah dan mengerti saat ambisi sang kakak sedang

menggebu.

Tak lupa ucapan terimakasih saya sampaikan kepada pihak-pihak yang

telah mendukung dalam penyeleseian skripsi ini :

1. Ibu Siti Zurinani, M.A sebagai donsen pembimbing skripsi ini. Berkat

masukan serta kritikan beliau penulisan skripsi ini berjalan dengan

lancar.

Page 7: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

2. Bapak Ary Budianto, M.A yang merupakan dosen penguji skripsi ini.

Dengan peran dan pertanyaan-pertanyaan beliau penulisan skripsi ini

menjadi lebih detail.

3. Mbak Edlin sebagai pendamping akademik serta dosen pembimbing

pertama saya. Serta telah begitu bersabar dengan tikah polah saya

selama perkuliahan.

4. Semua dosen Antropologi yang memberikan ilmu dan pengalamanya,

Cak Roy, Mas sipin, Mas Hatib, Mas Dhani, Mas Iwan, Mas Irsyad,

Gus Ipul, dan Pak Hipo.

5. Seluruh kerabat Antropologi Universitas Brawijaya khususnya

angkatan 2011 yang telah berjuang bersama-sama.

6. Tom yang memberikan saran dan ide tema penulisan skripsi. Elsa,

Lina, dan Hanifati yang selalu saya repotkan.

7. Sington Muay Thai Camp, Vlavac Industry, dan Stalen Zuieger yang

merupakan keluarga baru di Malang.

8. Terima kasih sebesar-besarnya kepada para informan dan para warga

Desa Alas Malang serta para pihak yang terkait.

Penulisan skripsi ini masih saya sadari masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu saya harap adanya saran serta krtitikan yang tujuannya

membangun dan menyempurnakan tulisan ini.

Malang, 18 Mei 2017

Nuryansah Wahyu Utomo

Page 8: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

ABSTRAK

Utomo, Nuryansah Wahyu. 2017. Dari Ritual Menjadi Festival: Proses

Komodifikasi Ritual Kebo-keboan Desa Alas Malang Sebagai Bagian Dari

Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Program Studi Antropologi,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Pembimbing: Siti Zurinani, M.A.

Kata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing

Pembahasan tentang kebudayaan dalam konteks pariwisata tentunya tidak bisa

lepas dari proses komodifikasi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan merupakan

pola kebiasaan sebuah komunitas yang berada pada sebuah lingkungan tertentu.

Dalam kebudayaan tersebut terdapat nilai-nilai atau unsur yang mengarah pada

keberadaan komunitas tersebut. Terdapat keunikan tertentu yang menjadi ciri khas

dari setiap-setiap kebudayaan. Komodifikasi sering dikaitkan dengan hilangnya

makna dan nilai serta unsur-unsur utama pada saat proses tersebut berlangsung.

Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan fungsi serta tujuan dari satu budaya

berbeda dengan tujuan dari komodifikasi.

Seperti halnya kebo-keboan yang menjadi ritual adat Suku Osing yang mendiami

Desa Alas Malang. Ritual adat yang pelaksanaanya dilakukan setaun sekali ini,

bertujuan sebagai tolak bala terhadap marabahaya, sekaligus bentuk rasa syukur

masyarakat kepada sang pencipta. Sarana spiritual Suku Osing yang bersifat

supranatural dan magis. Juga sebagai sarana pendidikan moral melalui makna dan

nilai-nilai yang tersimpan pada saat prosesi ritual berlangsung. Hasil penelitian

dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan (observation)

dan wawancara mendalam (indepth interview). Merupakan metode yang lazim

digunakan pada penelitian di bidang ilmu Antropologi. Menunjukkan bahwa

terdapat simbol-simbol yang dapat menjadi indikasi keberadaan Suku Osing.

Seperti pada instrumen-instrumen ritual yang berhubungan dengan perangkat

pertanian. Dimana pertanian adalah sumber mata pencaharian utama Suku Osing

yang memang dikenal sebagai masyarakat agraris. Ciri khas atau keunikan dari

kebudayaan tersebut dijadikan modal utama komodifikasi kebo-keboan untuk

ditawarkan sebagai destinasi pariwisata Banyuwangi. Pada intinya keebo-keboan

adalah ritual serta sarana religi bagi Suku Osing dan bukan komoditi yang bisa

dperjualkan. Kehadiranya ditengah masyarakat jauh dari estetik dan syarat akan

unsur magis. Oleh sebab itu melalui proses komofiikasi yang diterapakan pada

ritual kebo-keboan. Muncul penyesuaian-penyesuaian agar kebo-keboan layak

untuk dikonsumsi publik sekaligus sebagai jawaban kebijakan pemerintah tentang

pengembangan pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Page 9: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

ABSTRACT

Utomo, Nuryansah Wahyu. 2017. Dari Ritual Menjadi Festival: Proses

Komodifikasi Ritual Kebo-keboan Desa Alas Malang Sebagai Bagian Dari

Pengembangan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Study Program of

Anthropology, Faculty of Cultural Studies, University of Brawijaya. Supervisor:

Siti Zurinani, M.A.

Keywords: Kebo-keboan, Co-modification, Tourism, Ritual, Osing tribe

Study of culture within tourism context surely cannot be separated from co-

modification processof the culture itself. Culture is a behaviour pattern of a

community itself that exists in a certain environment. Within the culture, there are

values or elements that lead to the existence of the community. There is a certain

uniqueness that becomes chaacteristic from every culture. Co-modification often

related with the lost of meaning and values, major elements during the process.

Those things can happen due to the change of function and purpose from a

different culture with co-modification purpose.

Like Kebo-keboan that became custom ritual from Osing tribe that dwells Alas

Malang village. Custom ritual in which the implementation is done once a year

has purpose to be a rejection against danger and also as a form of a vilagers’

gratitude to the Creator. Spiritual means of Osing tribe which has a supernatural

and magical meaning. Also as a moral education means through significance and

values during the ritual process. Result of the study with data gathering technique

is done by observation and in depth interview is a prevalent method used in

antropology studies. It shows that there are symbols that can become indication

for the existence of Osing tribe. As in the ritual instruments related with

agriculture tools where agriculture is a main source of livelihood of Osing tribe

which is known as agrarian society. Characteristics or uniqueness from the

culture is made as a main capitalof kebo-keboan co-modification to be offered as

Banyuwangi’s tourism destination. Basically, kebo-keboan is a ritual and

religious means for Osing tribe and not a commodity that can be sold nor bought.

Its existence among society is far from aesthetic and requirement for magical

element. Therefore, through co-modification process applied in kebo-keboan

ritual, exists adjustments in order for kebo-keboan ritual to be feasible for public

consumption as well as answer of government’spolicy regarding the development

of tourism in Banyuwangi Regency.

Page 10: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN .......................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................... iii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv

ABSTRAK ......................................................................................................... vi

ABSTRACT ....................................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5

1.3 Tujuan ................................................................................................ 6

1.4 Kajian Pustaka ................................................................................... 7

1.5 Kerangka Teori ................................................................................ 12

1.6 Metode Penelitian ............................................................................ 17

1.6.1 Lokasi penelitian ............................................................... 17

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 19

1.6.3 Informan ........................................................................... 20

1.6.4 Analisisis Data .................................................................. 22

BAB II LETAK GEOGRAFIS, EKONOMI, DAN SOSIAL BUDAYA

DESA ALAS MALANG KABUPATEN BANYUWANG............................. 24

2.1 Letak Geografis ................................................................................ 24

2.2 Ekonomi ........................................................................................... 28

2.3 Sosial Budaya: Organisasi Desa dan Lembaga Adat Kebo-

Keboan……….……………………………………………………….... 32

Page 11: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

BAB III RITUAL KEBO-KEBOAN DESA ALAS MALANG ..................... 37

3.1 Legenda Ritual Kebo-Keboan Desa Alas Malng ............................. 37

3.2 Prosesi dan Makna Perangkat Ritual Kebo-keboan ......................... 41

3.2.1 Pra Prosesi Ritual Kebo-Keboan ....................................... 42

3.2.2 Prosesi Inti Kebo-Keboan ................................................. 47

3.2.3 Instrumen dan Pelaku Ritual Kebo-Keboan ...................... 54

3.3 Kebijakan Pemerintah dan Modernisasi Ritual Kebo-Keboan Sebagai

Bentuk Komoditas Pariwisata ................................................................ 63

BAB IV PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN ............... 68

4.1 Proses Komodifikasi Ritual Adat Kebo-Keboan …......................... 68

4.2 Penyesuain dan Modernisasi Unsur Kebo-Keboan sebagai

Penerimaan Kembali Bentuk Ritual Masyarakat Suku Osing ............... 74

4.3 Komodifikasi Kebo-Keboan Desa Alas Malang ............................. 77

4.4 Dari Ritual Menjadi Festival: Refleksi Ritual Kebo-Keboan di Era

Global ……………………………………………………..…………... 84

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 86

5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 86

5.2 Saran ................................................................................................ 87

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 88

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... 90

Page 12: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Banyuwangi ...................... 25

Gambar 2.2 Peta Letak Wilayah Kecamatan Singojuruh .................................... 26

Gambar 2.3 Prosentase Mata Pencaharian Warga Desa Alas Malang ................ 28

Gambar 2.4 Prosentase Tingkat Pendidikan Usia 18-56 Tahun .......................... 31

Gambar 3.1 Sesaji Untuk Ritual ke Punden Desa Alas Malang .......................... 44

Gambar 3.2 Warga Melakukan Ritual Dengan Dipimpin Pawang Disalah Satu

punden (Watu Loso) ............................................................................................. 46

Gambar 3.3 Dewi Sri Mengusap Kepala Manusia Kerbau Sebagai Simbol

Pemberian Restu dan Berkah ............................................................................... 50

Gambar 3.4 Reog Ponorogo adalah Salah Satu Kesenian Tradisional yang

Ditampilkan Dalam Ritual Kebo-Keboan ............................................................ 53

Gambar 3.5 Bentuk Gawangan yang Ditempatkan Warga Pada Empat Penjuru

Desa yang Sekaligus Gerbang Menuju Lokasi .................................................... 55

Gambar 3.6 Pitung Tawar atau Tepung Tawar yang Dioleskan Pada Punggung

Tangan dan Bertujuan sebagai Penetral Hawa Nafsu .......................................... 58

Gambar 4.1 Rute arak-arakan Ider Bumi pada masa sekarang ……………...…. 75

Gambar 4.2 Baliho sebagai sarana atau media informasi dan promosi

kebo-keboan.......................................................................................................... 78 Gambar 4.3 Proyek pembangunan Rumah Budaya Kebo-Keboan dan Tugu

Kerbau................................................................................................................... 81

Page 13: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

Daftar Tabel

Tabel 1.1 Daftar nama infroman penelitian ....................................................... 22

Tabel 2.1 Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan .................................... 27

Tabel 2.2 Rekapitulasi Usia Penduduk .............................................................. 29

Page 14: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Biodata Penulis ............................................................................... 91

Lampiran 2 Pedoman Wawancara ..................................................................... 96

Lampiran 3 Surat Izin Penelitian dan Surat Pernyataan .................................... 98

Lampiran 4 Berita Acara Seminar Skripsi ....................................................... 100

Lampiran 5 Form Pengajuan Judul dan Perpanjangan Skripsi ........................ 102

Lampiran 6 Bimbingan Skripsi …………………………………………...… 104

Lampiran 6 Dokumentasi Kegiatan ................................................................. 107

Page 15: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebo-keboan merupakan salah satu ritual masyarakat Suku Osing yang

mendiami Desa Alas Malang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi. Ritual

berupa slametan bersih desa ini fungsinya adalah sebagai penolak bala agar tidak

terjadi bencana. Selain itu sebagai wujud rasa syukur masyarakat pada pencipta atas

hasil bumi yang mereka peroleh selama satu tahun. Masyarakat percaya jika ritual ini

tidak dilaksanakan maka akan muncul bencana yang dapat menyengsarakan

penduduk desa. Seperti wabah penyakit, bencana alam, dan yang paling utama pada

tahun-tahun berikutnya terjadi gagal panen. Mengingat masyarakat Desa Alas Malang

merupakan masayarakat agraris yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian.

Menurut Clifford Gertz dalam bukunya yang berjudul The Religion of Java

(1960), mengatakan slametan merupakan bentuk pesta komunal yang paling umum

dilakukan oleh masyarakat, merupakan bagian dari upacara keagamaan yang sedang

dianut oleh masyarakat. Gertz (1960) menyebutnya sebagai pesta komunal karena

didalam pelaksanaan slametan terdapat perayaan, seperti makan bersama-sama, kita

juga dapat melihat interaksi sosial antar individu dan juga komunitas yang

melambangkan kesatuan mistik dan sosial dari mereka yang ikut serta. Gertz (1960)

Slametan sendiri terbagi menjadi beberapa klasifikasi untuk siklus slametan yang

Page 16: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

2

diadakan di Jawa. Pertama adalah slametan yang berhubungan dengan siklus daur

hidup manusia. Kedua slametan dilaksanakan sebagai upacara atau peringatan hari

besar keagamaan. Ketiga slametan diadakan sebagai bentuk integrasi atau kesatuan

desa. Keempat atau terakhir slametan yang diadakan mengikuti kejadian-kejadian

yang dianggap tidak biasa dan waktunya tidak pasti.

Kebo-keboan sendiri sebagai bentuk dari slametan bersih desa masuk kedalam

klasifikasi nomor tiga, yaitu slametan yang diadakan sebagai bagian dari integrasi

desa, individu yang terlibat mewakili Suku Osing Desa Alas Malang. Terdapat pola

sosial-ekonomi yang dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi masyarakat saat kebo-

keboan diadakan. Kondisi sosial ekonomi ini juga yang mempengaruhi perubahan

ritual adat kebo-keboan. Perubahan yang mencolok adalah bergesernya makna

spiritual pada adat kebo-keboan menjadi bentuk seremonial, ini dikarenakan tidak

adanya relevansi antara keyakinan yang dianut pada saat ini dengan prosesi ritual adat

kebo-keboan, serta kompleksitas yang terjadi pada masyarakat saat ini jauh lebih

rumit daripada masa lampau.

Upaya pelestarian baik dari pemerintah serta lembaga adat yang ada tetap

dilakukan. Tujuannya untuk mempertahankan nilai tradisi yang ada pada Suku Osing

agar tidak tergerus jaman, serta sebagai tujuan wisata budaya Kabupaten

Banyuwangi. Niatan dari pemerintah untuk melestarikan ritual adat kebo-keboan ini

pernah diutarakan oleh Bapak Budianto melalui media cetak lokal berbahasa Osing.

Page 17: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

3

Beliau waktu itu masih menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Kabupaten banyuwangi. Bapak Budianto (Seblang, ed. 4, Jan-Feb 2007) mengatakan:

Ritual kebo-keboan merupakan salah satu budaya adat Banyuwangi selain

ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Bungkusan, Endhog-Endhogan, Barong Ider

Bumi yang sudah diagendakan secara rutin oleh pemerintah Banyuwangi.

Kebudayaan yang berdasarkan pada kebudayaan lokal yang tinggi dan

bernilai besar, yang tetap dilestarikan untuk menghadapi tatanan yang lebih

komperhensif dan suistanable sehingga bisa menggugah rasa apresiatif

terhadap nilai mulia adat tradisi.

Dari pernyataan tersebut dapat kita ketahui bahwa ritual adat Suku Osing yang ada di

Banyuwangi sudah masuk dalam program kerja pada bidang kebudayaan dan

pariwisata oleh pemerintah Banyuwangi.

Kemudian pada tahun 2013 Pemerintah Kabupaten Banyuwangi

mengikutsertakan kebo-keboan dalam acara Banyuwangi Festival yang lebih dikenal

dengan sebutan B-Fes. Festival ini diadakan untuk memperingati hari jadi Kabupaten

Banyuwangi. B-Fes atau Banyuwangi Festival merupakan rangkaian acara yang

diselenggarakan anatara bulan Oktober sampai dengan Desember pada setiap

tahunnya. Rangkaian acara festival tersebut menampilkan potensi alam, kebudayaan,

kesenian, olahraga, serta pendidikan yang ada di Banyuwangi ke ranah publik dan

dijadikan daya tarik pariwisata Banyuwangi. Banyuwangi Festival sendiri merupakan

salah satu program kerja pemerintah pada bidang kebudayaan dan pariwisata.

Program kerja pemerintah tersebut bertujuan untuk mengembangkan sektor

Page 18: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

4

pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Target utama dari program kerja tersebut adalah

meningkatkan pendapatan daerah melalui pariwisata.

Salah satu rangkaian acara pada Banyuwangi Festival adalah BEC

(Banyuwangi Ethno Carnival). Pada acara ini budaya lokal diangkat untuk dijadikan

tema dan ditampilkan dalam pawai di pusat Kabupaten Banyuwangi. Pada tahun

2013 tersebut kebo-keboan dijadikan sebagai tema dalam penyelengraan Banyuwangi

Ethno Carnival dengan judul The Legend of Kebo-keboan. Melalui Banyuwangi

Ethno Carnival kebo-keboan diangkat ke permukaan dan dikenalkan secara luas oleh

pemerintah sebagai budaya asli Banyuwangi. Masuknya kebo-keboan kedalam

rangkaian acara Banyuwangi Festival membuat upacara ritual tersebut mendapat

peyesuaian yang titik fokusnya bersifat seremonial. Bertolak belakang dengan fungsi

serta tujuan sebenarnya dari sebuah ritual. Pranata acara yang sudah baku mendapat

penyesuaian agar ritual yang ditampilkan menjadi layak sebagai hiburan. Tujuanya

sudah sangat jelas yaitu untuk menarik turis lokal maupun mancanegara.

Kebo-keboan adalah wujud nyata sifat religius atau spiritual masyarakat

petani Desa Alas Malang. Ritual tersebut merupakan bagian dari kebudayaan lokal

yang mempunyai ciri khas tertentu dan sesuai dengan kearifan lokal yang ada pada

Desa Alas Malang. Ciri khas tersebut dianggap sebagai bentuk orisinil dari

masyarakat Suku Osing yang bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun telah

terjadi beberapa perubahan dalam pelaksanaan ritual akibat perubahan jaman. Kebo-

keboan masih dianggap mampu mempresentasikan keadaan masyarakat Suku Osing.

Page 19: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

5

Sehingga kebo-keboan dijadikan sebagai tema Banyuwangi Ethno Carnival yang

merupakan bagian dari Banyuwangi Festival dan masuk dalam agenda resmi

pemerintah Kabupaten Banyuwangi.

Ciri khas yang ada pada kebo-keboan merupakan celah yang dijadikan sebagai

daya tarik agar turis berminat untuk berkunjung. Kompleksitas dari proses

komodifikasi ini tidak hanya berhenti sampai disitu saja. Proses komodifikasi kebo-

keboan dikemas menjadi komoditi yang diperdagangkan sebagai hiburan masyarakat

luas. Sehingga tujuan dari penulisan ini adalah pada proses komodifikasi yang terjadi

pada ritual adat kebo-keboan tersebut. Makna yang ada sebelumnya tentunya akan

mengalami perubahan dan pergeseran akibat dari proses komodifikasi. Dalam hal ini

keboan-keboan tidak hanya dikaji dari segi spiritual saja tapi juga secara seremonial

dalam konteks masyarakat Desa Alas Malang.

1.2. Rumusan Masalah

Pada dasarnya permasalahan yang diangkat dalam peneletian ini adalah

tentang proses komodifikasi serta dampak lanjutan yang ditimbulkan dalam proses

tersebut. Munculnya perbedaan pemaknaan akibat proses komodifikasi tersebut

merupakan dampak-dampak yang turut dikaji penulis. Untuk itu Rumusan masalah

dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses komodifikasi yang terjadi pada ritual adat kebo-keboan di

Desa Alas Malang Kecamatan Singojujuruh Kabupaten Banyuwangi ?

Page 20: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

6

1.3. Tujuan

Tujuan umum dari penelitin lapangan saya adalah berusaha menggambarkan

kompleksitas-kompleksitas pada proses komodifikasi ritual kebo-keboan. Saat ini

kebo-keboan sudah menjadi bagian dari pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Terdapat

pola-pola yang mungkin pada dulu kala tidak ada kini muncul dipermukaan sebagai

bagian dari ritual kebo-keboan. Fungsi ganda dari kebo-keboan yang bukan hanya

sebagai ritual Suku Osing adalah salah satu faktor yang harus dijelaskan. Meskipun

fungsi dari kebo-keboan itu tetap sama yaitu demi kepuasan batin. Namun tujuan dari

kepuasan itu berbeda ketika kebo-keboan sebagai sarana ritual berbanding dengan

kebo-keboan sebagai konsumsi wisatawan.

Sedangkan tujuan empiris dari penelitian lapangan ini adalah berusaha

mengkaji permasalahan yang ada secara lebih dalam. Mencoba mengkaji pola-pola

yang ada pada kebo-keboan guna mencari titik temu atau sebuah solusi dari setiap

permasalahan. Setidaknya dapat digunakan sebagai acuan atau tindak lanjut dari

kebijakan yang sudah ada. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi sebuah

ketimpangan antara kepentingan ritual dengan kepentingan wisata. Sekaligus sebagai

bahan rekomendasi bagi lembaga adat terkait dalam menentukan sikap ketika

menghadapi kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Terkadang muncul ketimpangan

tujuan antara kebijakan pemerintah yang telah dibuat dengan tujuan utama dari ritual

sebenarnya. Meskipun kedua hal tersebut tidak memicu adanya sebuah konflik dan

sama-sama bertujuan positif.

Page 21: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

7

1.4. Kajian Pustaka

Beberapa ahli telah berupaya menggambarkan pola komodifikasi tradisi yang

terjadi akibat perubahan sosio-ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah Yamashita

Shinji ilmuan asal Jepang. Yamashita Shinji (1994) dalam salah satu artikelnya yang

berjudul Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, And

Television Among The Toraja Of Sulawesi. Shinji (1994) menulis tentang ritual

pemakaman atau pengebumian jenazah yang ada di Toraja. Manipulasi budaya yang

telah terjadi di Toraja dan mengakibatkan ritual pemakaman tersebut secara tidak

langsung juga mengalami komodifikasi. Hal tersebut merupakan konsekuensi yang

harus diterima karena adanya perubahan latar belakang masyarakat Toraja. Program

mrigasi khususnya urbanisasi yang ada di Sulawesi, mengakibatkan masyarakat

berpindah meniggalkan kebiasaan di desa dulu, kemudian berubah menyesuaikan diri

dengan kebiasaan yang ada di lingkungan baru yaitu lingkungan kota. Perubahan pola

perilaku tersebut dibarengi dengan perpindahan dari agama tradisional Toraja

menjadi Kristen. Menurut Shinji disinilah awal modernisasi terjadi pada masyarakat

Toraja.

Perubahan sosio-ekonomi yang terjadi membuat masyarakat tersebut

dijadikan tolak ukur oleh Shinji (1994) dalam melihat budaya dalam kacamata

ekonomi. Ritual pemakaman yang menjadi salah satu sarana pariwisata merupakan

bentuk dari praktek posmodernisasi yang terjadi pada era kapitalisme modern.

Perubahan terbentuk akibat siklus yang terjadi dari dalam masyarakat Toraja sendiri.

Page 22: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

8

Modernisasi menjadikan pelaksanaan ritual tersebut sebagai bagian dari penegasan

status sosial, bukan lagi sebagai penghayatan dalam ritual keagamaan, serta

pelestarian budaya sebagai bagian dari pariwisata daerah.

Jika dikaji lebih dalam lagi, faktor kunci dari perubahan tersebut adalah dari

dalam masyarakat sendiri atau pihak intern, tidak dijelaskan bagaimana pihak ekstern

atau luar sebagai faktor pendorong. Kecuali dari sudut kebijakan pemerintah yang

menerapkan sistem migrasi di Indonesia serta perpindahan keyakinan yang terjadi

seperti dijelaskan oleh Shinji (1994). Kebijakan tersebut tidak langsung

mempengaruhi tradisi tersebut tapi dampak jangka panjang dari kebijakan tersebut

menjadi pemicu dari perubahan tersebut. Berbeda dengan ritual kebo-keboan yang

menjadi studi kasus dalam penulisan skripsi ini. Pihak pemerintah melalui Dinas

Pariwisata Kabupaten Banyuwangi sebagai ekstern yang melopori ritual ini agar

dijadikan sebagai bagian dari pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Kebijakan tersebut

diikuti dengan perubahan perilaku yang terjadi pada pihak intern yaitu masyarakat

serta lembaga adat Desa Alas Malang. Penghayatan ritual menjadi terbagi dua pola,

pertama sebagai sarana spiritual, kedua sebagai bentuk seremonial warga Desa Alas

Malang. Sehingga terjadi pola timbal balik antara masyarakat dan pemerintah secara

berkesinambungan.

Sedangkan di Indonesia sendiri dari beberapa jurnal yang terbit beberapa ahli

juga mengkaji tradisi yang telah dikomodifikasi dalam tulisannya, adalah Ivan Robert

Bernadus Kaunang dan Mareike Sumilat dalam jurnal yang berjudul Kemasan Tari

Page 23: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

9

Maengket Dalam Menunjang Industri Kreatif Minahasa Sulawesi Utara Di Era

Globalisasi, terbit tahun 2015. Tari Maengket adalah kesenian tradisional Minahasa

yang memilik nilai sakral serta pementasannya di ritual-ritual adat Minahasa. Namun

seiring dengan era globalisasi tarian ini juga ikut mengalami perkembangan yang

mengarah pada komodifikasi, komersialisasi, dan turisifikasi (Kaunang-Sumilat,

2015). Menurut penulis proses komodifikasi ini terjadi seiring dengan proses kreatif

para pelaku Tari Maengket di era globalisasi agar tetap lestari. Proses kreasi ini

menjadikan Tari Mangkaet kehilangan nilai sakralnya, pola yang kaku perlahan

hilang menjadi bentuk pola baru yang kekinian, serta relevansi pementasan untuk

acara ritual atau religi sudah mulai hilang.

Kaunang-Sumilat (2015) mengatakan bahwa kemasan baru Tari Maengket

membuatnya menjadi produk yang dapat menunjang industri kreatif Minahasa. Ini

ditandai dengan adanya pola pemasaranya yang didalamya terdapat pelaku produksi,

agen distribusi, dan konsumen. Keadaan tersebut memicu munculnya sanggar-

sanggar baru yang dipelopori para pemilik modal serta muncul kolaborasi dengan-

dengan instansi pemerintah, partai politik, pengusaha, dsb. Menurut Penulis keadaan

tersebut menjadikan Tari Mangkaet memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada

sebelumnya. Pada instansi pemerintahan pementasan Tari Mangkaet ini sering

digunakan sebagai penyambutan terhadap tamu penting.

Sama halnya dengan proses komodifikasi yang telah diteliti oleh Shinji

(1994). Proses komodifikasi berawal dari pihak intern sebagai bentuk kesadaran akan

Page 24: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

10

tumbuhnya era globalisasi pada masa sekarang. Pihak intern pada kasus ini adalah

para pelaku seni tari itu sendiri. Berawal dari kesadaran akan perkembangan era

globalisasi yang saat ini terus berlangsung. Kreatifitas dalam bentuk kreasi dalam

seni Tari Mangkaet merupakan proses imajinasi yang menurut penulis menjadi modal

utama produsen dalam pembentukan kemasan Tari Mangkaet sebagai produk

pariwisata. Setelah kemasan baru atau komoditi terbentuk, diteruskan pihak luar

seperti instansi pemerintah atau partai politik berperan sebagai agen distribusi,

disinilah pihak ekstern baru mengambil peranan dalam komodifikasi Tari mangkaet

dengan tujuan menunjang industri kreatif Minahasa.

Beberapa ahli juga sudah mengkaji ritual adat kebo-keboan kedalam

tulisannya. Salah satunya adalah Hervinda Fran’s Denti dan Martinus legowo dengan

judul tulisan Makna Upacara Adat Keboan (Studi Interaksionisme Simbolik Pada

Masyarakat Desa Aliyan Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi) yang terbit

pada tahun 2015. Menurut Denti-Legowo (2015) terdapat tiga klasifikasi makna yang

dihasilkan dari interaksi simbolik ritual adat kebo-keboan dengan kondisi masyarakat

Desa Aliyan, klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pelaksanaan ritual adat kebo-keboan merupakan upaya masyarakat

untuk melestarikan warisan budaya leluhur.

2. Ritual adat kebo-keboan adalah bentuk dari rasa syukur Masyarakat

Aliyan.

3. Pelaksanaan ritual kebo-keboan merupakan bagian dari slametan desa.

Page 25: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

11

Denti-Legowo (2015) juga mengatakan bahwa perubahan yang terjadi akibat

modernisasi di berbagai aspek budaya lokal sama sekali tidak berpengaruh dengan

kehidupan masyarakat Banyuwangi. Penduduk Aliyan masih menjaga teguh adat

istiadat dengan keasliannya sebagai bentuk melestarikan warisan leluhur bernilai

budaya tinggai (Denti-Legowo 2015). Untuk itu muncul pemaknaan dari masyarakat

bahwa pelaksanaan ritual kebo-keboan merupakan wujud pelestarian budaya adat

yang ada di Banyuwangi. Berbeda dengan penulisan skripsi ini yang berfokus pada

perubahan sikap serta kondisi masyarakat akibat modernisasi yang berujung pada

proses komodifikasi pada kebo-keboan.

Ahli lain yang mengkaji kebo-keboan dalam penelitiannya dan telah

diterbitkan dalam bentuk jurnal pada tahun 2011 adalah Ahmad Kholil. Fokus dari

penulisan Kholil (2011) adalah pada pola relevansi serta korelasi antara ajaran agama

Islam dengan ritual adat kebo-keboan yang ada di Desa Alas Malang dan Aliyan.

Menurut Kholil (2011), kebo-keboan merupakan bentuk ekspresi keagamaan

masyarakat yang berada di ruang personal dan dibatasi pada ruang private. Budaya

lama yang masih terlihat sangat kental dalam ritual kebo-keboan adalah warisan

budaya yang bercita rasa islami, merupakan bagian dari nilai Islam yang

transendentalis dan humanis, serta wujud dari inklusivisme islam. Dalam tulisan

Kholil (2011) digambarkan adanya pembenaran dari kebo-keboan meskipun ritual

yang dilaksanakan tidak sesuai dengan ajaran yang ada di Islam. Namun dari segi

Page 26: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

12

keumatan atau horizontal memiliki nilai yang luhur dan tujuan permintaan berkah

adalah sama kepada Allah SWT meskipun dengan cara yang berbeda (Kholil, 2011).

1.5. Kerangka Teori

Kebudayaan memiliki sifat yang elastis dan terus mengalami perkembangan

sesuai dengan berjalannya waktu. Ketika masa perkembangan tersebut suatu

kebudayaan akan mengalami perubahan berupa penambahan, pergantian, dan

pengurangan elemen dalam budaya tersebut. Hal serupa juga terjadi pada ritual kebo-

keboan yang berada di Desa Alas Malang. Perbedaan kebutuhan antara masa lalu dan

masa sekarang pada penyelenggaraan upacara adat kebo-keboan, dimana pada masa

lalu kebo-keboan hanya digunakan sebagai sarana ritual yang berbeda pada masa

sekarang, menjadikan beberapa elemen mengalami perubahan menyesuaikan

kebutuhan dan tujuan penyelenggaraan. Karena pada masa sekarang kebo-keboan

juga dijadikan komoditi pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Tradisi yang muncul ditengah masyarakat identik dengan keseharian karena

dasar dari kemuculan tradisi tersebut berasal dari pengalaman-pengalaman yang

dijalani. Tradisi yang saya bicarakan dan saya maksud disini adalah berupa ritual,

atau upacara adat yang dijalani oleh suku Osing, terutama pada ritual kebo-keboan.

Karena tradisi atau bisa dikatakan sebagai ritual, jika dikaitkan dengan studi kasus

yang saya angkat, dapat dijadikan sebagai cermin keseharian suatu masyarakat. Pola-

pola berkesinambungan dari serangkaian pengalaman dan peristiwa-peristiwa tertentu

Page 27: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

13

akan membentuk sebuah kebudayaan pada komunitas tertentu. Namun juga perlu

digaris bawahi bahwa perkembangan zaman seiring dengan berjalannya waktu serta

sifat flexibelitas dari budaya akan berpengaruh pada tujuan dan fungsi budaya

tersebut.

Modernitas kerap membuat tradisi tertentu sulit untuk diterima ditengah

masyarakat. Hal ini dikarenakan kompleksitas yang terjadi lebih rumit daripada yang

terjadi pada masa lampau. Kemajuan jaman menuntut manusia harus lebih berpikir

dan bertindak lebih aktif serta kritis. Hukum baru bermunculan untuk mengakomodir

perkembangan jaman dan pertumbuhan jaman tersebut. Pada titik ini, kebudayaan

yang terdahulu atau yang telah tumbuh terlebih dahulu juga ikut mengalami

penyeseuaian, sesuai dengan tujuan serta kebutuhan dari masyarakat. Karena hukum

adat atau tradisi sering tidak sesuai dengan hukum baru yang ada pada era modern.

Meskipun hukum baru muncul tanpa mengesampingkan referensi dari masa lalu, tapi

tetap terasa sulit jika dihadapkan langsung pada tradisi lama yang ada, kecuali

komunitas tersebut menolak untuk mengikuti modernitas dan membentuk tatanan

sosialnya sendiri.

Esensi dari tradisi yang lama tetap dipertahankan namun ada perubahan bisa

dengan pengurangan, penambahan, atau penggantian dalam tradisi tersebut. Keadaan

tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dari tradisi pada masa sekarang dan hal

tersebut akan terus berulang sampai dengan masa yang akan datang. Pada ritual

kebo-keboan komodifikasi dilakukan dalam rangka mendukung program pariwisata

Page 28: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

14

dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Komodifikasi yang terjadi merupakan

wujud modernisasi, pada fase ini manusia mulai melihat tradisi dari fungsi praktisnya

saja, penjelasan secara teknis dan teoritis lebih masuk akal daripada pemenuhan

ideologi. Karena seperti apa yang dikatakan sebelumnya sifat budaya yang elastis

memudahkan budaya untuk dimodifikasi atau ditinggalkan sebagai akibat dari

perubahan fungsi akibat modernisasi. Meskipun konsekuensinya meninggalkan

konflik emosional yang pada setiap inovasi-inovasi yang tercipta pada budaya

tersebut.

Menurut Manuati (2004) komodifikasi merupakan merupakan tuntutan atau

trend industri pariwisata pada era modern. Sudah menjadi hal lumrah ketika terjadi

rekonstruksi tradisi lokal yang bersifat ‘primitif’ dan liar untuk tujuan komersil di

Indonesia. Seperti yang terjadi pada kebo-keboan, masyarakat dibalikan kembali pada

bentuk tradisi kebo-keboan dengan cara menguatkan unsur-unsur tardisional yang

bersifat lokal, bisa dikatakan sebagai nilai kedaerahan yang bersifat unik dan khas.

Manuati (2004) mengatakan ciri khas yang bersifat unik merupakan unsur utama pada

kebudayan yang dijual atau dipasarkan sebaga komoditi pariwisata.

Manuati (2004) mengatakan proses komodifikasi terbentuk ketika terjadi

kontras budaya antara kebudayaan modern dengan budaya tradisional pada era

globalisasi. Terjadi hubungan berkesinambungan yang bersifat komersil dalam

hubungan tersebut. Masyrakat lokal dalam konteks tradisional dan ‘primitif’ sebagai

produsen yang menyediakan produk berupa budaya atau tradisi. Sedangkan

Page 29: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

15

masyarakat ‘modern’ yang memiliki latar belakang budaya berbeda dan dianggap

lebih maju peradabannya berperan sebagai konsumen. Pemerintah sebagai lembaga

yang menaungi berperan sebagai agen mendistribusikan serta memasarkan komoditi

tersebut.

Proses komodifikasi tersebut memang menghilangkan nilai serta tujuan yang

semestinya pada praktik kebudayaan tertentu, namun proses komodifikasi tersebut

dapat menguatkan identitas bagi pelaku budaya serta komunitasnya, sehingga

memunculkan rasa cinta yang memunculkan rekonstruksi budaya (Manuati, 2004).

Proses komodifikasi yang terjadi pada kebo-keboan juga terdapat keadaan yang

seperti demikian. Pada ritual adat kebo-keboan tahapan pertama dari proses

komodifikasi adalah menghidupkan kembali ritual tersebut setelah dihentikan

pelaksanaan. Langkah selanjutnya adalah mempertahankan bentuk asli atau

originalitas dari kebo-keboan sebagai modal komodifikasi. Keunikan yang terdapat

pada ritual tersebut adalah merupakan bentuk budaya tradisional dari Suku Osing.

Keberadaan dari Suku Osing yang identik sebagai masyarakat agraris juga ditunjukan

melalui simbol-simbol yang ada pada ritual.

Kebaradaan manusia yang menjadi lakon utama juga semakin diekspose dan

dikenalkan kepada publik. Lakon tersebut merupakan simbol pertanian dan sekaligus

mata pencaharian masayarakat. Seperti yang kita tahu bahwa kerbau adalah sahabat

bagi petani. Indetifikasi budaya langsung mengarah pada masyarakat suku Osing.

Indentitas kesukuan tersebut diangkat kembali pada ranah publik sehingga perasaan

Page 30: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

16

bangga sebagai pemilik kebudayaan muncul. Ketika rasa bangga itu muncul maka

dengan sukarela dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, masyarakat akan

mendukung proses komodifikasi melalui keikutsertaan, penyebaran informasi dari

mulut ke mulut, dsb.

Keadaan demikian merupakan imbas dari dunia global dengan paket

modernisasi pada turunannya, yang menuntut adanya perubahan pada setiap elemen.

Mengingkari modernisasi pada sebuah kebudayaan membuat kebudayaan itu sendiri

akan jauh tertinggal pada keadaan global pada masa sekarang. Kebudayaan hanya

akan menjadi bentuk etnik yang hanya syarat akan sebuah tontonan dan tuntunannya

hanya sebagai cerita. Tuntunan yang ada sebuah dirasa kurang sesuai karena jaman

sudah berubah. Meskipun globalisasi pada dunia modern sendiri tidak serta merta

mebawa dampak positif, tapi setidaknya dengan adanya bentuk demikian kebudayaan

dapat diterima ditengah masyarakat. Adapaun labeling atau pemkanaan baru

merupakan paket yang dijanjikan oleh modernisasi dan sudah umum terjadi. Lewellen

(2002) sendiri mengatakan globalisasi sendiri adalah bentuk pemanfaatan dari

fasilitas mdern untuk menunjang berbagai faktor dalam meningkatkan kebudayaan itu

sendiri.

Contemporary globalization is the increasing flow of trade, finance, culture,

ideas and people brought about by sophisticated technology of

communications and travel and by the worldwide spread of neoliberal

capitalism and it is the local and regional adaptations to and resistance

against these flows (Lewellen, 2002:7-8)

Page 31: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

17

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian adalan metode penelitian kualitatif.

Teknik atau metode penelitian yang lazim digunakan untuk pencarian sekaligus

analisis data pada penelitian sosial. Karena sifatnya yang naratif metode ini masih

dianggap sesuai karena mampu menggambarkan pokok bahasan yang tidak bisa

digambarkan dalam sebuah diagram. Hal ini dikarenakan pembahasan pokok

permasalahan berupa tulisan deskriptif yang tentunya tidak melupakan aspek-aspek

penting dalam metode kualitatif. Aspek tersebut meliputi ruang lingkup penelitian

yang berupa lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, pemilihan informan, dan

analisis data.

1.6.1. Lokasi penelitian

Fokus lokasi penelitian saya berada pada daerah Dusun Krajan Desa Alas

Malang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Dusun ini merupakan pusat

diadakanya kegiatan ritual adat kebo-keboan. Meskipun pada dasarnya ritual adat ini

mewakili seluruh Desa Alas Malang. Menurut mitos masyarakat di dusun ini ritual

adat kebo-keboan pertama kali dilaksanakan. Masyarakat setempat juga beranggapan

bahwa dusun ini merupakan pusat atau awal berdirinya Desa Alas Malang. Dusun

Krajan merupakan salah satu dari lima dusun yang masuk dalam wilayah Desa Alas

Malang. Lima dusun tersebut bersama Dusun Krajan adalah Dusun Garit, Garit

Wetan, Wonorekso, Karangasem.

Page 32: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

18

Secara geografis wilayah ini berada pada dataran rendah yang dialiri dengan

sungai-sungai kecil yang airnya terus mengalir sepanjang tahun. Hanya pada musim

kemarau debit air yang mengalir disungai-sungai itu akan berkurang. Biasanya hanya

sebatas mata kaki orang dewasa. Sungai-sungai inilah yang digunakan para warga

untuk mengairi sawah-sawah mereka. Sawah ini mengelilingi Dusun Krajan

sekaliagus sebagai pembatas antara dusun lainnya. Selain itu sawah ini juga

merupakan sumber mata pencaharian utama bagi mayoritas penduduk Desa Alas

Malang khusunya masyarakat Dusun Krajan. Menggarap sawah atau bekerja sebagai

petani merupakan profesi turun-temurun yang mereka kerjakan. Beserta tanah atau

sawah yang mereka garap merupakan warisan dari para pendahulu mereka.

Penduduk yang mendiami dusun ini merupakan suku asli Banyuwangi yaitu

Suku Osing. Budaya Osing dapat dilihat melalui bahasa percakapan yang mereka

gunakan sehari-hari. Bahasa Osing merupakan bahasa ibu yang sekaligus digunakan

dalam setiap kesempatan ketika dibutuhkan sarana komunikasi secara oral atau

verbal. Ciri lainnya bisa dilihat dari praktek dan kepercayaan spiritual warga yang

masih mempercayai adanya beberapa kekuatan magis yang mendiami benda tertentu.

Meskipun para warga disini sudah memeluk Agama Islam. Para penduduk ini

dipimpin oleh seorang kepala dusun yang bertanggung jawab langsung pada kepala

desa dan dibantu oleh para ketua rukun tetangga dan warga. Aturan hukum yang

digunakan para pemimpin ini berasal dari undang-undang atau kebiajakan pemerintah

serta norma yang berasal dari pranata sosial Suku Osing.

Page 33: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

19

1.6.2. Teknik Pengumpulan data

Penelitian lapangan ini menggunakan beberapa teknik dalam pengumpulan

data. Teknik pertama yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara.

Terdapat dua sesi dalam teknik wawancara ini. Sesi yang pertama adalah wawancara

yang bersifat formal. Informan akan diberikan pertanyaan-pertanyaan yang sistematis

pada waktu tertentu diluar kebiasaan sehari-hari. Ketika sesi ini sedang berlangsung

suasana cair dan hangat tetap dipertahankan. Serta pemilihan waktu yang tepat tetap

diperhatikan agar informan tidak merasa terganggu dan ketika menjawab pertanyaan

tidak terpaksa atau dipaksakan. Sesi wawancara yang kedua adalah bersifat

persahabatan. Wawancara dilakukan layaknya mengobrol antar teman dengan tetap

memperhatikan pokok bahasan dan tema wawancara. Informan digiring dengan

pertanyaan-pertanyaan deskriptif yang menarik perhatiannya. Sehingga informan

akan bercerita dengan sendirinya tentang keadaan budayanya. Obrolan tetap bisa

dilaksanakan pada saat melakukan kegiatan sehari-hari.

Teknik yang kedua adalah observasi partisipasi atau yang biasa disebut

dengan observasi partisipant. Saya akan membaur dengan masyarakat Desa Alas

Malang dengan mengikuti kebudayaan yang ada dan berlaku pada masyarakat

tersebut. Tujuannya adalah membangun relasi dan rapor agar dapat diterima oleh

warga. Serta menghilangkan rasa curiga terhadap kehadiran pendatang sehingga pada

saat interaksi nantinya bisa berjalan dengan luwes dan tidak kaku. Setelah terjalin

kedekatan baik dengan informan atau warga sekitar. Wawancara yang dilakukan

Page 34: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

20

dalam proses pencarian data diharapkan akan lebih lancar dan tidak terjadi

kecanggungan dalam prosesnya Juga sebagai bentuk adaptasi penulis terhadap

budaya yang tengah diteliti pada saat ini.

Teknik pengumpulan data yang terakhir dan ketiga adalah dokumentasi

lapangan. Pendokumentasian ini berupa foto-foto dan rekaman video kegiatan ritual

kebo-keboan. Dokumentasi dalam bentuk visual maupun audio visual ini

memudahkan dalam memberikan penjelasan tentang bentuk artefak atau simbol-

simbol tertentu. Sehingga publik atau pembaca tidak mengandai-ngandai terlalu jauh

tentang gambaran atau bentuk-bentuk artefak pendukung upacara ritual kebo-keboan.

Melalui bentuk audio visual ini juga kita dapat melihat suatu kondisi atau keadaan

sodial di lapangan yang tidak dapat dijelaskan melalui deskripsi naratif dalam bentuk

kalimat. Fungsi lainnya adalah sebagai kotak memori untuk menyimpan dan memutar

kembali ingatan pada saat pendokumentasian kegiatan terjadi. Hasil dari teknik ini

bisa dikatakan sebagai pendukung field note atau catatan lapangan. Selain itu terdapat

sumber data sekunder yang merupakan arsip-arsip desa.

1.6.3. Informan

Metode snowball digunakan dalam pemilihan informan sebagai sumber data

utama. Metode ini banyak digunakan dalam pemilihan informan pada saat penelitian

lapangan. Penggunaan metode ini merujuk pada saran-saran serta rekomendasi yang

dari informan awal yang kemudian dijadikan sebagai rujukan sumber pengumpulan

Page 35: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

21

data awal. Pada data awal tersebut akan muncul rujukan-rujukan yang mengarah pada

sumber yang lain. Sehingga data yang didapat memiliki keragamaan yang tetap

mengarah pada persoalan penelitian dan nantinya juga mengalami eliminasi.

Endraswara (2003:206) mengatakan akan muncul sumber data-data tambahan berupa

sampel maupun subyek rekomendasi, dari data atau asumsi yang muncul tersebut,

peneliti akan berlanjut meneruskan pada subyek berikutnya.

Menurut Spradley (2007:68-76) ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi

dalam memilih dan menetapkan seseorang sebagai informan dalam penelitian, yaitu

adanya enkulturasi penuh, keterlibatan langsung pada obyek penelitian, berada pada

lingkungan budaya atau suasana budaya yang tidak dikenal, dan keterlibatan dalam

rentang waktu yang cukup serta informan yang bersikap non-analitis. Kemudian

dapat dipastikan bahwa informan yang dipilih pada nantinya bukan hanya

memunculkan data yang bersifat obyektif. Akan tetapi data yang muncul juga akan

bersifat subyektif dan pada tahapan ini peran peneliti sebagai pengolah data sangat

dibutuhkan.

Berdasarkan pada apa yang mejadi kriteria informan menurut James P.

Spradley tersebut. Muncul beberapa kriteria yang menjadi dasar dalam penetapan

informan kunci. Pertama adalah berdasarkan pada latar belakang yang meliputi

profesi, asal, dan status sosial dalam masyarakat Desa Alas Malang. Kedua adalah

kemampuan atau penguasaan konsep pola ritual kebo-keboan. Termasuk didalamnya

adalah kemampuan penafsiran serta pemaknaan terhadap budaya tersebut. Ketiga

Page 36: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

22

adalah peran serta informan tersebut dalam pelaksanaan ritual kebo-keboan. Keempat

adalah informan yang berada diluar lingkup kebo-keboan. Melalui tiga kriteria

tersebut maka akan didapatkan informan kunci sebagai sumber data utama. Tanpa

mengesampingkan pendapat atau opini dari informan lain yang bisa dijadikan sebagai

sumber data tambahan dan sumber data pendukung. Pemilihan Berikut adalah nama-

nama informan yang sesuai dengan kriteria pada penelitian :

NO Nama Usia Jabatan

1. Indra Gunawan 49 Tahun Ketua Panitia

2. Pandio 37 Tahun Ketua Komunitas

3. Sutjipto 50 Tahun Sekertaris Desa

4. Ketang 68 Tahun Pawang

5. Slamet 36 Tahun Warga/Pemeran

Kebo-Keboan

6. Sudirman 35 Tahun Warga

7. Yudhi 33 Tahun Karyawan/Kuli Pak

Indra Gunawan

1.6.4. Analisis Data

Pada penelitian ini analisis data mengacu pada metode yang diungkapkan oleh

James P. Spradley (1979). Dalam metode yang ditulisnya pemaknaan sebuah budaya

bisa melalui simbol-simbol yang ada pada masyarakat. Karena simbol-simbol

tersebut merangkai kebudayaan itu sendiri. Melalui analisis simbol ini akan muncul

data-data yang akan digunakan sebagai dasar penulisan penelitian ini. Simbol-simbol

Tabel 1.1 Daftar nama informan penelitian.

Page 37: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

23

yang dimaksudkan meliputi isitilah masyarakat lokal, warna, dan objek yang ada

ditengah masyarakat serta pada saat proses ritual kebo-keboan berlangsung. Simbol

berupa istilah dapat dilihat melalui hasil wawancara dengan informan atau

percakapan ringan dengan warga lain.

Melalui metode tersebut makna-makna yang tentunya berkaitan langsung

dengan proses ritual kebo-keboan dapat diartikan. Mengingat penulisan ini bertujuan

mengidentifikasi pergeseran makna dan nilai akibat proses identifikasi. Pada proses

identifkasi tersebut akan dilakukan juga komparasi atau pembandingan antara data

yang diperoleh dari informan kunci dengan data lain. Selain itu juga dilakukan pada

makna yang dulu tumbuh pada masyarakat dengan makna yang saat ini muncul

dimasyarakat. Karena pemahaman makna sangat penting dalam proses tersebut dan

dapat memberikan pengaruh pada kehidupan masyarakat.

Page 38: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

24

BAB II

Letak Geografis, Ekonomi, dan Sosiaal Budaya Desa Alas Malang

Kabupaten Banyuwangi

Pada bab ini Desa Alas Malang sebagai latar wilayah penelitian akan

dijelaskan dalam beberapa aspek deskripsi. Pertama adalah tentang kewilayahan

berupa letak geografis Desa Alas Malang. Kedua perekonomian meliputi mata

pencaharian masyarakat serta komoditas. Ketiga adalah gambaran kondisi sosial-

budaya masyarakat yang meliputi tingkat kependudukan, pendidikan,

keorganisasian, dan agama. Deskripsi tentang lokasi penelitian berdasarkan pada

catatan profil desa tahun 2016.

2.1. Letak Geografis

Kabupaten Banyuwangi masuk kedalam wilayah administratif Provinsi

Jawa Timur dan berada pada ujung timur Pulau Jawa. Letak geografis dari

Kabupaten Banyuwangi adalah antara 7,43° - 8,46° LS dan 113,53° - 114,38° BT.

Wilayah Banyuwangi memiliki bentang topografi yang beragam, meliputi dataran

rendah, perbukitan, pegunungan, dan daerah pesisir serta pantai. Luas total

seluruh wilayah banyuwangi adalah 5.782,50 km2. Sebelah utara Banyuwangi

berbatasan dengan Kabupaten Situbondo, Selat bali di timur, Samudra Hindia di

selatan, dan Kabupaten Jember serta Kabupaten Bondowoso di Barat. Beberapa

tahun terakhir Banyuwangi dikenal dengan pariwisatanya. Baik pariwisata alam

Page 39: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

25

atau pariwisata berbasis budaya. Mayoritas penduduk adalah Suku Osing sebagai

suku asli Banyuwangi. Terdapat pula Suku Jawa, Madura, Bugis, Bali, Melayu,

Arab, dan Tionghoa. Berikut adalah peta Kabupaten Banyuwangi :

Banyuwangi memiliki 25 kecamatan, diantaranya adalah Genteng, Rogojampi,

Jajag, Singojuruh, Blimbingsari, Cluring, Banyuwangi, Bangorejo, Gambiran,

Giri, Glagah, Glenmore, Kabat, Kalibaru, Kalipuro, Licin, Muncar, Pesanggaran,

Gambar 2.1 Peta Wilayah Administratif Kabupaten Banyuwangi

Page 40: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

26

Purwoharjo, Sempu, Siliragung, Songgon, Srono, Tegaldlimo, Tegalsari, dan

Wongsorejo. Desa Alas Malang masuk dalam wilayah Kecamatan Singojuruh dan

memiliki enam wilayah dusun, yaitu Dusun Krajan, Garit, Garit Wetan,

Karangasem, Bangunrejo, dan Wanareksa. Pada bagian utara Desa Alas Malang

berbatasan dengan Lemahbang Kulon, sebelah selatan dengan Gambor, sebelah

timur dengan Benelan Kidul, dan sebelah barat dengan Singojuruh. Tipe topografi

Desa Alas Malang adalah dataran rendah yang mempunyai total luas 300.590

ha/m2. Luas persawahan memiliki luas wilayah yang paling besar dibandingkan

Gambar 2.2 Peta Letak Wilayah Kecamatan Singojuruh

Page 41: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

27

dengan luas wilayah lainnya, cukup wajar mengingat mayoritas warga mata

pencahariannya dibidang agraris. Sawah yang ada merupakan sawah irigasi dan

mengandalkan aliran air sungai dengan tipe kecil. Berikut adalah luas wilayah

menurut penggunaannya :

Tabel 2.1 Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan

Tabel penggunaan lahan tersebut sekaligus dapat dijadikan indikator mata

pencaharian penduduk Desa Alas Malang. Penggunaan lahan terluas adalah

dibidang pertanian. dapat dilihat dari luas Total 300.590 ha/m2, seluas 236.685

ha/m2 dijadikan lahan persawahan oleh warga. dari hal tersebut dapat

diindikasikan bahwa masyarakat Suku Oseng Desa Alas Malang Kecamatan

Singojuruh Kabupaten Banyuwangi Merupakan masyarakat agraris. Bisa juga

dikatakan mata pencaharian dari warga tidak jauh dari bidang agraris. Serta

menggantungkan hidupnya pada luas lahan pertanian tersebut.

No URAIAN SATUAN

1. Luas pemukiman 26.090 ha/m2

2. Luas persawahan 236.685 ha/m2

3. Luas perkebunan 11.391 ha/m2

4. Luas kuburan 3.410 ha/m2

5. Luas perkarangan 12.155 ha/m2

6. Luas taman 5.190 ha/m2

7. Perkantoran 2.149 ha/m2

8. Luas prasarana umum lainya 3.520 ha/m2

TOTAL LUAS 300.590 ha/m2

( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )

Page 42: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

28

2.2. Ekonomi

Komoditas utama dari Desa Alas Malang adalah padi sawah. Dari 236 ha

luas persawahan yang ditanami padi dapat menghasilkan 1.180 ton/ha setiap

tahunnya. Kemudian diikuti dengan ubi jalar dan cabe. Dari 12 ha tanah yang

ditanami ubi jalar menghasilkan 60 ton/ha. Sedangkan 9 ha luas tanah yang

ditanami cabe menghasilkan 97 ton/ha. Serta 3 ha ditanami pisang yang

mengahasilkan 462 tanda/ha. Tumbuhan lain yang ditanam warga adalah kacang

tanah, kacang panjang, brocoli, mentimun, dan terong. Semua tanaman tersebut

rata-rata ditanam di lahan yang luasnya tak lebih dari 1 ha. Warga selama ini

menjual hasil pertanian kepada tengkulak atau langsung mereka jual ke pasar. Jika

dilihat dari hal tersebut, cukup wajar jika petani dan buruh tani menjadi mata

pencaharian utama masyarakat, diikuti dengan beberapa profesi lain. Warga juga

memelihara ternak untuk menambah penghasilan. Beberapa hewan ternak yang

dipelihara adalah bebek, sapi, kambing, ikan mujair, ayam kampung, dan angsa.

Berikut adalah diagram prosentase pembagian mata pencaharian warga

Desa Alas Malang berdasarkan data monografi desa tahun 2016 :

Petani32%

Buruh Tani31%

PNS4%

Pengusaha Mikro

5%

Pedagang keliling

2%

Peternak3%

Pensiunan 2%

Seniman2%

Karyawan8%

Sopir3%

Tukang Batu/Kayu

5%

Lainnya Tukang Becak, Tukang

Cukur, PRT, dsb…

Gambar 2.3 Prosentase Mata Pencaharian Warga Desa Alas Malang

( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )

Page 43: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

29

Diagram prosentase tersebut menujukkan bahwa profesi sebagai petani dan buruh

tani merupakan profesi yang paling banyak dikerjakan dipilih sebagai mata

pencaharian. Dari 1.225 orang tenaga kerja yang bekerja, baik perempuan maupun

laki-laki, 391 orang memilih menjadi petani dan 383 orang menjadi buruh tani.

Selebihya terbagi menjadi beberapa profesi seperti yang sudah disebutkan dalam

diagaram diatas. Dari penjelasan diagaram diatas dapat disimpulkan bahwa mata

pencaharian utama warga Desa Alas Malang adalah sebagai petani dan buruh tani.

Jumlah keseluruhan penduduk Desa Alas Malang menurut data monografi

desa tahun 2016 adalah 4.650 orang. Dari jumlah keseluruhan tersebut terbagi

menjadi 2.244 orang berjenis kelamin laki-laki dan 2.406 berjenis kelamin

perempuan. Jumlah kepala keluarga yang ada adalah 1557 KK. Penduduk tersebut

terbagi menjadi beberapa kelompok umur atau usia. Berikut tabel rekapitulasi usia

penduduk Alas Malang :

Tabel 2.2 Rekapitulasi Usia Penduduk

No Usia Jumlah Prosentase Dari

Jumalah penduduk

1. 0-12 bulan 61 orang 1 %

2. 1-5 tahun 360 orang 7 %

3. 0-7 tahun 560 orang 12 %

4. 7-18 tahun 701 orang 14 %

5. 18-56 tahun 2543 orang 51 %

6. >56 846 orang 15 %

( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )

Page 44: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

30

Berdasarkan data rekapitulasi tersebut dapat dilihat bahwa ketersediaan

tenaga kerja sangat memadai. Dari 100% terdapat 51% usia yang secara normal

dianggap mampu untuk bekerja, atau dari 4650 orang jumlah keseluruhan warga,

terdapat 2543 orang usia kerja. Mayoritas penduduk tersebut adalah Suku Osing.

Tercatat di Desa Alas Malang jumlah penduduk Osing adalah 4.638 orang dari

4.650 orang. Selebihnya terbagi dari Etnis Batak 3 orang, bali 5 orang, dan China

4 orang. Permasalahan yang muncul adalah bukan banyaknya tenaga kerja yang

tersedia. Tetapi tingkat pendidikan dari tenaga kerja tersebut yang kebanyakan

adalah tamatan sekolah dasar. Sehingga bagi yang tidak mempunyai sawah

mereka bekerja serabutan ataupun menjadi buruh tani yang pendapatannya tidak

menentu. Beberapa dari mereka terutama para generasi muda memilih keluar desa

untuk mencari kerja dengan modal ijazah SMA atau ijazah SMP. Bagi mereka

yang tamatan SD bekerja serabutan, bisa menjadi kuli atau menjadi sopir di Bali,

membuka tambal ban di Kalimantan, dsb.

Pola-pola demikian dipengaruhi oleh kebiasaan dan budaya masyarakat

Desa Alas Malang. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa dirinya sudah

merasa cukup untuk tidak melanjutkan ke jenjang sekolah berikutnya saat dirinya

sudah siap untuk bekerja. Meskipun harus bekerja sebagai pekerja kasar atau kuli

serabutan, yang terpenting adalah bisa mendapatkan uang, serta mau bekerja

keras. Kebiasaan tersebut terus berlanjut hingga sekarang. Beberapa memang

sudah mempunyai kesadaran untuk melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi

untuk memperoleh ijazah sebagai modal usaha. Tetapi yang melanjutkan pola

tersebut lebih banyak daripada pada yang berkeinginan untuk merubahnya. Pola

Page 45: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

31

demikian terjadi karena tidak adanya panutan baik dari dalam keluarga atau luar

keluarga. Orang tua juga beranggapan bahwa anak itu sudah mandiri ketika dia

sudah mau untuk bekerja. Lingkungan tempat mereka bergaul juga mempunyai

latar belakang yang sama. Sedikit keluarga yang mendorong anaknya untuk lebih

maju. Bagi kebanyakan masyarakat, ketika ingin pekerjaan lebih maju atau

mendapat penghasilan yang lebih banyak, jalan satu-satunya adalah merantau.

Berikut adalah prosentase tingkat pendidikan warga Desa Alas Malang :

507; 14%

626; 18%

682; 19%

24; 1%

165; 5%

881; 24%

557; 16%

42; 1%6; 0%

72; 2%

Tidak Tamat SD

Tamat SD

Tidak Tamat

SLTPTamat SLTP

Tidak Tamat

SLTATamat SLTA

D-3

S-1

S-2

Tidak Pernah

Sekolah

Gambar 2.4 Prosentase Tingkat Pendidikan Usia 18-56 tahun

( Sumber: Data Monografi Desa Alas Malang Tahun 2016 )

Jiak dilihat dari prosentase diatas dapat dikatakan tingkat pendidikan

warga tergolong masih rendah. Mayoritas penduduk dari usia 18-56 tahun adalah

tamatan sekolah dasar. Padahal fasilitas pendidikan di desa cukup memadai.

Page 46: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

32

Untuk fasilitas pendidikan di Desa Alas Malang terdapat 1 TK ( Taman Kanak-

Kanak ) milik swasta dengan 6 tenaga pengajar dan 87 siswa. Terdapat pula 2

Sekolah Dasar ( SD ) milik pemerintah dengan 27 tenaga pengajar dan 448 siswa.

Bagi warga yang ingin melanjutkan ke jenjang SMP atau SMA harus keluar desa.

SMP dan SMA terdekat hanya sekitar 2 km dan tak lebih dari 20 menit jarak

tempuh. Untuk pengembangan soft skill terdapat tempat kursus atau pelatihan

komputer yang dikoordinir oleh KIM Alas Malang.

2.3. Sosial Budaya: Organisasi Desa dan Lembaga Adat Kebo-Keboan

Terdapat beberapa yayasan atau organisasi yang bergerak diberbagai

bidang di Desa Alas Malang. Yayasan yang bergerak pada bidang pendidikan

selain Dharma Wanita adalalah Anahdiyah. Warga juga aktif dalam kegiatan

kelompok masyaraka lainya. Kegiatan-kegiatan tersebut lebih banyak bergerak

dalam bidang keagamaan. Seperti tahlilan rutin setiap Kamis malam, pengajian

PKK, dan pengajian ibu-ibu muslimat. Ada juga kegiatan yang bergerak dalam

bidang pertanian yaitu GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani). Kegiatan

tersebut berupa pendampingan dalam bidang pertanian yang dikoordinir oleh

dinas terkait. Organisasi yang berkembang di masyarakat pada saat ini adalah

organisai yang juga bergerak pada bidang keagamaan yaitu NU (Nahdhlatul

Ulama), Muslimat, Ansor, Fatayat NU, serta REMAS ( Remaja Masjid ). Seperti

yang kita tahu organisi atau kelompok masyarakat tersebut memiliki dasar agama

yaitu Islam sebagai dasar pembentukannya. Keberadaan organisasi-organisasi

Page 47: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

33

tersebut juga mengindikasikan bahwa masyarakat Desa Alas Malang merupakan

masyarakat yang religius.

Menurut pencatatan atau data monografi Desa Alas Malang tahun 2016.

Pada saat ini mayoritas penduduk Desa Alas Malang memeluk Islam. Sejumlah

4.622 orang penduduk memeluk Islam, 14 orang memeluk Kristen, 13 orang

memeluk Katolik, dan 1 orang Budha. Sebenarnya selain praktek ritual

keagamaan yang dibawa oleh agama-agama tersebut. Masyarakat sudah mengenal

adanya ritual-ritual yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Seperti

contohnya keberadaan ritual kebo-keboan yang saat ini memiliki fungsi baru

sebagai bentuk wisata budaya Banyuwangi. Kebo-keboan adalah ritual

masyarakat Suku Osing yang tujuannya adalah untuk menolak bala dan sebagai

bentuk ucapan rasa syukur terhadap sang pencipta atau bentuk-bentuk kekuatan

spiritual yang mereka yakini.

Suku Osing merupakan suku asli Banyuwangi yang tersebar dan mendiami

seluruh wilayah Banyuwangi. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi

adalah bahasa ibu mereka yaitu Bahasa Osing. Ritual-ritual yang serupa fungsinya

atau hampir mirip yang pada dasarnya adalah warisan nenek moyang menyebar

pada wilayah Kabupaten Banyuwangi. Dapat dikatakan bahwa hal tersebut

merupakan bentuk religi asli dari Suku Osing. Perbedaan cara atau tuntunan pada

pelaksanaan ritual yang berbanding terbalik dengan keberadaan agama-agama

tadi, yang sekaligus dijadikan sebagai legimitasi keberadaan pemerintahan orba

pada kala itu. Memunculkan anggapan bahwa Suku Osing masih memeluk

animisme dan dinamisme, tak terkecuali bagi para penduduk Alas Malang.

Page 48: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

34

Membuat segala kegiatan budaya Suku Osing yang dibarengi dengan adanya

ritual tertentu dilarag keberadaannya. Rezim Orde Baru tidak mentolerir segala

tindakan atau kegiatan yang bertentangan program-program pemerintah.

Masyarakat diwajibkan memeluk agama-agama yang sudah disyahkan oleh

pemerintah, selebihnya adalah pelanggaran aturan dan harus dihentikan. Hal

tersebut juga yang sempat membuat ritual kebo-keboan dihentikan. Karena

keberadaanya yang diidentikan sebagai bentuk parktek animisme dan dinamisme

suku Osing.

Seiring perkembangan jaman dan dinamika yang terjadi pada masyarakat

serta pemerintahan khususnya pemerintah Banyuwangi. Keberadaan-keberadaan

budaya asli Suku Osing baik itu berupa ritual ataupun kesenian digalakan kembali

tujuannya adalah sebagai bentuk penghayatan dan pelestarian budaya leluhur.

Tujuan paling utama adalah sebagai modal pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Dimana pemerintah menawarkan pariwisata yang bersifat humanis dan edukatif

sebagai produk wisata unggulan selain potensi alam yang ada di Banyuwangi.

Oleh sebab itu Lembaga Adat Kebo-Keboan Alas Malang yang merupakan induk

dari segala kegiatan yang bertema Osing di Alas Malang dengan agenda tahunan

berupa ritual kebo-keboan dibentuk. Keberadaan lembaga ini berdiri sendiri

terlepas dari keberadaan pemerintah desa meskipun pada dasarnyan segala

kebijakan tidak boleh melangkahi intitusi desa. Layaknya institusi lembaga ini

memiliki ADRT (Anggaran Dasar Rumah Tangga) dan program kerja sendiri.

Tugas yang paling utama adalah mengakomodir segala bentuk permasalahan yang

muncul pada pelaksanaan ritual kebo-keboan.

Page 49: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

35

Seperti yang kita tahu kebo-keboan degan alasan pelestarian direvitalisasi

kembali. Perancangan revitalisasi yang paling utama adalah memperhatikan

unsur-unsur keagam aan yang ada pada kebo-keboan. Dapat dilihat dari doa-doa

atau mantra yang dibawakan pada saat ritual sudah mengalami perubahan. Mantra

yang dibawakan oleh pawang selain menggunakan Bahasa Osing juga

dikombinasikan dengan doa-doa dalam Islam. Bentuk-bentuk yamg dianggap

sensitif oleh 5 agama yang saat ini berkembang di masyarakat sudah tidak lagi

dinampakan didepan publik. Seperti contoh membawa sesaji dipunden sebagai

bentuk selamatan sudah tidak diwajibkan bagi masyarakat. Bentuk seremonial

dari kebo-keboan yang saat ini lebih ditonjolkan. Pada prakteknya kebo-keboan

diakomodir langsung oleh Lembaga Adat Kebo-Keboan yang telah disebutkan

diparagraf atas.

Lembaga adat ini daridulu kala sudah ada namun masih berupa kelompok

masyarakat saja. Baru ketika era dimana kebo-keboan ditarik sebagai bagian dari

pariwisata maka lembaga tersebut disahkan dan diperjelas dasar hukumnya. Pada

awal kemunculannya pemerintah mempunyai harapan Lembaga Adat Kebo-

Keboan beserta intitusi desa dan didukung oleh organisasi yang ada dapat saling

menyokong dan bersinergi. Pada Kenyataannya semuanya berjalan sendiri sesuai

dengan kepentingan masing-masing. Institusi desa menganggap orang-orang

lembaga adat berjalan semaunya sendiri dan tidak bisa diatur, sedangkan lembaga

adat menganggap institusi desa kurang mendukung program-program dan

terkesan berbelit dalam mengambil keputusan. Hal tersebut membuat alur kerja

Page 50: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

36

sedikit rancu dan aneh. Selama ini ketua lembaga lebih sering berdialog dan

berkoordinasi langsung ke kantor kecamatan ketimbang ke kantor desa yang ada.

Kondisi serupa juga dialami ketika berhadapan dengan organisasi

keagamaan Islam yang ada di masyarakat. Seperti ada perang dingin antara

lembaga tersebut taklim masjid Desa Alas Malang. Meskipun secara nyata tidak

tampak dan terlihat didepan umum. Hal itu dapat dilihat ketika adanya rapat yang

diadakan oleh lembaga adat, taklim masjid tidak pernah mengirimkan perwakilan

untuk ikut hadir. Jika taklim masjid mengadakan rapat juga tidak pernah

mengundang lembaga adat. Meskipun demikian masyarakat lebih simpati kepada

para tetua atau tokoh yang berada pada lembaga adat. Keadaan demikian

dikarenakan status sosial yang ada pada diri tetua ini berbeda dengan status sosial

para anggota taklim masjid serta orang-orang pemerintahan desa.

Status sosial para tetua atau tokoh adat sudah mereka dapat ketika mereka

lahir. Orang-orang tersebut masih keturunan dari Mbah Buyut Karti yang

merupakan leluhur atau nenek moyang Desa Alas Malang. Beliau adalah orang

yang paling mereka hormati sekaligus beliau pula yang memunculkan upacara dan

ritual kebo-keboan. Kebanyakan para tetua ini juga merupakan tuan tanah atau

memiliki aset persawahan yang lebih luas daripada masyarakat. Banyak dari

warga yang bekerja pada keluarga mereka. Baik sebagai buruh tani atau sekedar

menyewa tanah garapan barang sepetak atau dua petak. Faktor lain adalah

kegiatan kebo-keboan mampu menarik masa dan membuat desa jadi ramai. Hal itu

membuat masyarakat bangga akan desa dan identitasnya, sehingga masyarakat

masih dan terus berperan aktif mendukung kebedaraan ritual keboa-keboan.

Page 51: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

37

BAB III

Ritual Kebo-Keboan Desa Alas Malang

Perkembangan serta keberadaan ritual kebo-keboan di Desa Alas Malang

akan dijelaskan pada subbab-subbab yang ada di bab ini. Penjelasan dimulai dari

asal usul ritual muncul atau bisa juga dikatakan sebagai legenda ritual adat kebo-

keboan. Selanjutnya disusul dengan penjelaan tentang tata cara prosesi kebo-

keboan, instrumen,dan peran para pelaku pada ritual adat kebo-keboan. Penjelasan

yang ada pada setiap subbab pada bab ini didasarkan pada kondisi kebo-keboan

pada masa sekarang dan menggunakan kondisi masa lampau sebagai

perbandingan.

3.1. Legenda Ritual Kebo-Keboan Desa Alas Malang

Nama Desa Alas Malang pada saat ini mulai dikenal publik Banyuwangi

dan sekitarnya. Fenomena tersebut tentunya tidak lepas dari keberadaan ritual

kebo-keboan yang juga mulai naik daun. Ritual kebo-keboan yang sejatinya

merupakan upacara adat Suku Osing telah bertransformasi sebagai bagian dari

pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Ritual adat yang diselenggarakan setahun

sekali tersebut, wajib dikunjungi para wisatawan yang ingin mengenal lebih jauh

budaya Suku Osing, selain destinasi wisata bertema budaya lainnya yang ada di

Kabupaten Banyuwangi. Pemerintah Banyuwangi melalui dinas pariwisata dan

masyarakat Osing Desa Alas Malang sendiri mengklaim bahwa ritual kebo-

keboan merupakan upacara adat Suku Osing yang masih terjaga keasliannya.

Page 52: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

38

Seperti yang diungkapkan Bapak pada saat menjadi kepala Dinas Pariwisata

Kabupaten Banyuwangi. Berikut beliau mengungkapkan:

“Ritual kebo-keboan merupakan salah satu budaya adat Banyuwangi selain ritual

Seblang, Petik Laut, Rebo Bungkusan, Endhog-Endhogan, Barong Ider Bumi yang

sudah diagendakan secara rutin oleh pemerintah Banyuwangi.” (Seblang, ed. 4,

Jan-Feb 2007)

Pengakuan beliau cukup menegaskan bagaimana posisi kebo-keboan pada masa

sekarang. Pada subbab berikutnya akan dijelaskan tentang sejarah kebo-keboan,

praktek ritual, instrumen ritual, dan pelaku ritual kebo-keboan.

Keberadaan ritual kebo-keboan di Desa Alas Malang sudah ada sejak dulu

kala. Menurut legenda yang berkembang di masyarakat, jauh di masa lampau,

sekitar abad 18, masyarakat Suku Osing di Desa Alas Malang hanya

menggantungkan hidupnya pada hasil dari sawah yang mereka miliki. Pada waktu

itu petani merupakan profesi utama yang mereka geluti. Selain itu menjadi petani

merupakan profesi turun temurun dari nenek moyang. Berikut juga dengan tanah

atau sawah yang mereka garap merupakan warisan dari para pendahulu mereka.

Ketahanan pangan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sangat bergantung pada

setiap hasil panen pada setiap musimnya. Kondisi alam Desa Alas Malang

tergolong memadai jika digunakan sebagai lahan pertanian. Desa Alas Malang

berada pada dataran rendah serta luas dengan tanah yang subur. Sungai-sungai

yang menjadi irigasi utama pertanian terus mengalir sepanjang tahun. Sehingga

hasil yang didapat pada setiap musim panennya sangat menjajinkan dan dapat

mencukupi kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Kehidupan masyarakat pada

masa itu dapat dikatakan berada pada taraf sejahtera. Segala kebutuhan dan

Page 53: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

39

ketahanan pangan dapat tercukupi dari hasil panen. Cukup wajar jika petani

dijadikan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat Osing pada waktu itu.

Pak Indra Gunawan, atau yang biasa dipanggil Mas Gun, mengatakan

bahwa pada dasarnya masyarakat Osing memang merupakan masyarakat agraris.

Mereka tidak dapat hidup tanpa menggantungkan hidup dari hasil pertanian.

Meskipun pada masa sekarang anak cucu dari masyarakat Osing Desa Alas

Malang sudah mulai mencoba merubah nasib dengan cara merantau atau sekolah

setinggi mungkin agar dapat memperoleh pekerjaan lain. Pada akhirnya mereka

akan kembali di desa mereka kembali.

“Kami disini adalah para petani, mau bagaimanapun keadaan sekarang, meskipun

banyak anak-anak kami yang sekarang mencoba merubah nasin dengan tidak

menjadi petani, tapi ujung-ujungnya tetap kembali kesini menjadi petani. Buktinya

banyak wes sukses diluar akhirnya yang balik beli sawah disini lagi. Orang

dasarnya wong tani (orang tani).” (Mas Gun, 12 Oktober 2015)

Mas Gun sendiri adalah cerminan dari orang-orang yang pada akhirnya memilih

menjadi petani kembali. Selain sukses bekerja sebagai kontraktor beliau kembali

ke Desa Alas Malang untung menggarap sawah warisan dan menghidupi budaya

asli Suku Osing.

Kembali pada legenda atau asal usul ritual kebo-keboan, tanah yang subur

di Alas Malang tiba dilanda kekeringan yang sangat panjang, hujan tak juga turun.

Tumbuhan tidak lagi dapat tumbuh subur serta tanaman pokok menjadi mati.

Wabah penyakit dan hama juga mulai menyerang tanaman yang masih hidup.

Begitu pula wabah penyakit juga menyerang warga desa. Keadaan tersebut

semakin mempersulit kehidupan pada masa itu. Sebuah langkah harus diambil

untuk mengakhiri masa-masa sulit dan mengembalikan kesejahteraan warga.

Page 54: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

40

“Dulu Mbah Buyut Karti sebagai orang sakti dan seorang tetua di desa ini, semedi

mencari solusi istilahnya, itu dulu sekali paling masih masa-masa penjajah

mungkin jauh lebih lama lagi. Kemudian Buyut Karti mendapat wangsit disuruh

mengadakan upacara untuk mengusir pagebluk. Ya akhirnya ada kebo-keboan

itu.” (Mas Gun, 10 Oktober 2016)

Mbah Buyut Karti yang mempunyai nama asli Kasian, Karti atau Sukarti adalah

nama pertama putri beliau yang namanya kemudian melekat menjadi nama

panggilan beliau, mendapat wangsit untuk membuat sebuah upacara ritual untuk

mengakhiri masa pagebluk. Maka terciptalah kebo-keboan sebagai bentuk upacara

ritual tersebut.

Ada tiga poin penting sebagai tujuan dilaksanakannya ritual kebo-keboan.

Poin-poin penting tersebut adalah sebagai berikut :

1. Ritual kebo-keboan adalah sebagai sarana pemujaan terhadap Sang

Pencipta atau kekuatan yang lebih tinggi agar terlindungi dari segala

bencana serta mengakhiri pagebluk. Melalui sesaji yang diberikan pada

tempat-tempat yang dianggap suci.

2. Ritual kebo-keboan adalah sarana atau cara masyarakat berdoa memohon

hujan untuk mengakhiri paceklik yang berkepanjangan.

3. Ritual kebo-keboan adalah sarana untuk meminta berkah pada Dewi Sri,

sosok yang dipercaya oleh sebagian besar penduduk Pulau Jawa sebagai

dewi kesuburan, dengan cara memberikan sesembahan sebagai bentuk rasa

syukur serta pertunjukan agar sang dewi merasa senang dan pada akhirnya

datang memberikan berkah.

Pada pola dan proses pelaksaan ritual tujuannya bukan hanya mencondongkan

keselarasan hidup antara pencipta dengan manusia sebagai ciptaanNya saja.

Page 55: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

41

Tetapi keselarasan dengan alam tempat tinggal serta hubungan antara sesama

manusia juga sangat diperhatikan. Hal tersebut dapat kita lihat dari pra upacara,

pasca upacara, atau pada saat pelaksanaan upacara.

Seperti halnya dengan ritual adat yang dilaksanakan turun temurun hingga

sekarang bersamaan dengan pasang surutnya. Cerita tentang asal mula munculnya

ritual kebo-keboan juga turut ikut berkembang. Masyarakat Desa Alas Malang

dari segala lapisan umur dan profesi tahu akan cerita tersebut. Cerita disampaikan

secara lisan dari mulut kemulut tanpa adanya dokumentasi berupa tulisan atau

prasasti. Persis seperti ciri khas folklore yang ada pada umumnya.

“Dulu awalnya kata orang tua ya karena adanya pagebluk itu mas, terus Buyut

Karti sebagai orang sakti pada waktu itu dapat petunjuk agar ada kebo-keboan,

orang tua dulu sih gitu ceritanya.” (Sudir, 13 Oktober 2016)

Kebanyakan orang hanya mengerti legenda sebatas tersebut. Kurangnya detail

yang ada pada setiap cerita membuat waktu kejadian menjadi tersamarkan.

Mereka menggunakan patokan seperti jaman penjajahan, orba, masa gestapo, dan

tahun 1990-an untuk memberikan penjelasan tentang detail waktu pada cerita

yang mereka sampaikan.

3.2. Prosesi dan Makna Perangkat Ritual Kebo-Keboan

Prosesi ritual kebo-keboan berdasarkan pada pelaksanaan ritual pada masa

sekarang. Pelaksanaan ritual adat kebo-keboan terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu

pra prosesi ritual, prosesi inti, dan pasca prosesi inti. Pada tahap pertama atau pra

ritual, terdapat ritual pembuka yang dilakukan sebelum memasuki upacara inti

atau prosesi inti, pada tahapan ini terdapat upacara-upacara atau adab yang

Page 56: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

42

mengantarkan kita pada prosesi inti. Setelah ritual pembuka terpenuhi barulah

menginjak pada prosesi inti ritual dimana sosok manusia yang memerankan

binatang kerbau dihadirkan. Lalu kemudian penambahan item hiburan oleh warga,

sehingga sisi seremonial lebih dominan. Karena inti dari acara pasca seremonial

adalah pada pesta rakyat Desa Alas Malang.

3.2.1. Pra Prosesi Ritual Kebo-Keboan

Suku Osing yang mendiami Desa Alas Malang percaya bahwa manusia

hidup dalam sebuah kesatuan universal di muka bumi ini. Mereka tidak hidup

sendirian dan tidak bisa hidup sendiri. Ada relasi antara manusia dengan Tuhan,

manusia dengan alam termasuk segala yang ada didalamnya, manusia dengan

manusia, dan juga manusia dengan roh-roh yang mendiami bumi ini. Relasi

tersebut terkadang diwujudakn dalam bentuk nyata dan terkadang tidak. Melalui

beragam bentuk cara dan sarana manusia menjaga hubungan tersebut tetap

harmonis dan dinamis.

Di bumi ini manusia itu membutuhkan alam, di alam itu ada hewan ada

tumbuhan, terus ada bangsa lelembut juga, kadang jaga rumah jaga desa. Itu

tadi kita hidup bareng disitu, harus sama-sama menjaga, ritual seperti itu

dimaksudkan untuk hal tersebut. Tapi tetep harus ingat Gusti Allah yang

memberi kita hidup. dalangnya kehidupan, itu yang paling penting. (Bapak

Ketang, 15 Oktober 2015)

Hubungan tersebut bersifat mutlak dan secara berkesinambungan harus dijaga

agar timbal balik tetap terjadi. Tujuan dari hal tersebut sudah cukup jelas yaitu

demi menjaga kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

Page 57: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

43

Pada tahapan pra prosesi ritual terdapat upacara yang ditujukan kepada

alam dan roh-roh yang menjaga Desa Alas Malang. Ritual ini dilaksanakan tujuh

hari sebelum prosesi inti dari kebo-keboan. Waktu yang dipilih adalah senja

kerika matahari akan terbenam. Senja dipercaya sebagai waktu yang tepat karena

peralihan hari pada Kalender Jawa dimulai pada saat matahari terbenam. Tempat

dari upacara tersebut adalah pada punden-punden yang berada pada empat penjuru

desa sekaligus tapal batas dari desa. Punden-punden tersebut dipercaya sebagai

tempat berdiamnya para roh penunggu Desa Alas Malang. Sampai pada saat ini

masyarakat masih mensucikan tempat-tempat tersebut. Roh-roh yang mendiami

punden menjaga desa dari gangguan dari luar dan melindungi masyarakat yang

ada didalam wilayah Desa Alas Malang. Pengertian dari punden sendiri adalah

bangunan atau tempat yang disucikan, biasanya terdapat makam leluhur, prasasti,

ataupun artefak yang dianggap suci oleh masyarakat sekitar.

Terdapat empat punden yang didatangi untuk diberi sesaji dan dipanjatkan

doa-doa meminta izin diadakan ritual kebo-keboan serta memohon berkah pada

Tuhan. Empat punden tersebut adalah, watu loso disebelah timur, watu gajah

disebelah barat, watu naga disebelah selatan, watu karang disebelah utara. Untuk

watu loso dan watu naga, keduanya berada diantara pohon-pohon yang besar

dipekarangan belakang rumah-rumah warga, di watu loso terdapat makam Buyut

Karti beserta anak turunnya. Sedangkan untuk watu kebo dan watu karang berada

ditengah persawahan warga. Layaknya nama dari keempat punden tersebut, watu

yang dalam Bahasa Indonesia berarti batu, keempat punden tersebut berupa batu

yang dipercaya memiliki koneksi antara satu dengan yang lainnya.

Page 58: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

44

Segala bentuk sesajian disiapkan sebelum berangkat ke punden-punden

tersebut. Sesaji tersebut adalah bunga setaman, kapur sirih, kemenyan, darah

ayam, rokok, sejumlah uang, hasil bumi, bubur merah, jajanan pasar, dan ayam

ingkung. Untuk sesaji jenis makanan, dalam proses pembuatan serta penyajiannya

kita tidak boleh mencicipi, menghirup aroma makanan atau bunga dengan sengaja

pun tidak boleh. Sesajian tersebut harus disuguhkan dulu terhadap roh penunggu

desa baru kemudian kita bisa menikmatinya. Karena ketika kita dengan sengaja

menghirup aroma atau mencicipi makanan dalam sesajian maka sesaji tersebut

sudah hilang maknanya. Saat syarat sebagai sesaji sudah hilang maka harus dibuat

baru kembali. Sesaji tersebut memang dikhususkan untuk roh penunggu desa

sebagai bentuk rasa syukur atau ucapan terimakasih. Setelah dibacakan mantera

dan disuguhkan kepada roh yang dipercaya sebagai penunggu desa. Makanan

tersebut baru boleh disantap bersama-sama.

Gambar 3.1 Sesaji untuk ritual ke punden Desa Alas Malang

Page 59: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

45

Segala persiapan untuk ritual dan awal dari pelaksanaan ritual tersebut berada

disalah satu rumah pemangku adat Suku Osing. Bagi para pemangku ritual ini

merupakan tanggung jawab dan wajib dilaksanakan demi keselamatan dan yang

palin utama kelancaran ketika pelaksanaan kebo-keboan sebagai acara inti. Bagi

warga desa biasa ritual pembuka ini tidak wajib dan sifatnya sukarela untuk

dilaksanakan. Berbeda ketika pada masa dahulu sebelum kebo-keboan vakum dan

dihidupkan kembali pada tahun 2000-an. Ritual yang identik dengan praktek

animisme dan dinamisme ini wajib dilakukan oleh seluruh warga. Praktek tersebut

hanya dikerjakan oleh beberapa warga saja. Hanya para tetua yang masih

diwajibkan untuk menggelar upacara tersebut. Keberadaannya pun tidak disoroti

didepan umum bahkan cenderung tidak dipublikasikan. Oleh karena dalam ritual

ini terdapat unsur-unsur yang bersinggungan dengan keyakinan beragama pada

masa sekarang. Faktor tersebut pula yang menjadikan kebo-keboan pernah

dihentikan pelaksanaan untuk waktu yang cukup lama.

Berawal dari rumah Pak Indra Gunawan, sebagai salah satu tokoh masyarakat

Osing Desa Alas Malang serta ketua pelaksana kebo-keboan. Runutan prosesi

ritual pembuka adalah sebagai berikut :

1. Segala persiapan sesaji dikerjakan oleh masyarakat secara sukarela.

2. Setelah sesaji siap masyarakat terutama tokoh masyarakat berkumpul

menggunakan pakaian khas Suku Osing yang dominan dengan warna

gelap. Beberapa warga yang memang berprofesi sebagai petani memakai

pakaian yang biasa digunakan untuk pergi ke sawah.

Page 60: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

46

3. Sesaji yang sudah siap diarak dengan berjalan kaki menuju watu loso

dengan dipimpin seorang pawang atau dukun desa.

4. Sesampainya dilokasi sesaji diletakkan diatas batu besar dengan

permukaan datar, batu tersebut yang disebut dengan watu loso.

5. Pawang memulai ritual dengan membakar kemenyan dilanjutkan dengan

membaca mantra dengan Bahasa Osing kemudian ditutup dengan doa-doa

yang ada pada Agama Islam.

6. Selanjutnya sesaji dalam bentuk makanan disantap bersama.

Pada saat yang hadir dalam ritual menyantap makanan. Beberapa orang secara

bersamaan pergi menuju tiga punden untuk mengulagi prosesi yang sama. Untuk

ketiga punden prosesi ritual dilaksanakan secara bersamaan. Punden watu loso

diistimewakan karena masyarakat percaya bahwa pusat dari roh pelindung adalah

di watu loso.

Gambar 3.2 Warga melakukan ritual dengan dipimpin pawang disalah satu

punden (watu loso)

Page 61: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

47

Masyarakat pada masa ini juga mempraktekan budaya ater-ater sampai

pada malam sebelum kebo-keboan digelar. Ater-ater adalah budaya saling

mengirim makanan atau sembako yang tujuan mempererat tali silaturahmi.

Makanan dikirim kepada sanak saudara yang berada di satu desa atau yang berada

diluar desa. Nantinya orang yang mendapat kiriman akan memberikan imbal balik

yang terkadang berupa makanan, sembako, atau sejumlah uang saku untuk yang

mengantar. Memang bukan sebuah kewajiban namun ada kesadaran dan tanggung

jawab yang mendarah daging untuk mempertahankan budaya tersebut.

3.2.2. Prosesi Inti Kebo-keboan.

Sehari sebelum tanggal 10 suro atau satu hari sebelum ritual kebo-keboan

digelar di punjer Desa Alas Malang. Para warga menanami jalan didepan rumah

mereka dengan berbagai tumbuhan yang menjadi tanaman di sawah atau kebun

warga. Jenis dari tanaman tersebut merupakan tanaman pangan baik untuk dijual

maupun dikonsumsi sendiri. Tujuan warga menanami jalan dengan tumbuhan

adalah agar tanaman mereka mendapatkan berkah dari Dewi Sri ketika sang dewi

turun ke bumi. Pada saat malam menjelang kebo-keboan hingga besok senja,

sebagai batas hari dalam kalender jawa, dipercaya warga sebagai waktu turunnya

Dewi Sri ke bumi. Selain itu warga juga membuat gapura-gapura dari bambu yang

dihiasi dengan tanaman palawija, palapendem, dan palagumantung. Pada tempat

yang dipercaya sebagai punjer desa hiasan berupa janur-janur sudah terpasang.

Warga percaya punjer yang dalam Bahasa Indonesia berarti pusat, berada pada

Page 62: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

48

perempatan Dusun Krajan, perempatan tersebut merupakan titik temu dari empat

penjuru pintu masuk desa.

Masih pada hari yang sama ketika matahari akan tenggelam, para warga

menggelar alas tepat dijalan didepan rumah masing-masing, ayam ingkung

lengkap dengan makanan pendampingnya disajikan diatas alas tersebut. Pada

punjer desa juga disediakan hal serupa seperti yang warga persiapkan di jalan-

jalan depan rumah mereka. Perbedaan apa yang disajikan berupa tambahan

kelengkapan sesaji yang sama persis digunakan pada saat ritual di punden tujuh

hari sebelumnya. Ketika semua warga sudah berkumpul dan para tokoh serta

pawang sudah berada di punjer desa. Sebuah ritual yang mereka sebut sebagai

selametan segera digelar. Berbeda dengan ritual yaang dilaksanakan pada tujuh

hari sebelumnya. Selametan bersifat wajib bagi setiap KK (Kepala Keluarga) atau

keluarga yang tinggal di Desa Alas Malang. Tujuan dari selametan tersebut adalah

untuk berbagi kepada sesama dan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang

Pencipta.

Pawang memulai upacara dengan membakar kemenyan dan dilanjutkan

dengan membaca mantra-mantra menggunakan Bahasa Osing. Saat asap yang

keluar dari pembakaran kemenyan semakin mengepul mantra-mantra sudah

berganti dengan bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an. Ketika doa-doa tersebut telah

selesei dilantukan para hadirin menyantap makanan yang dengan sukarela

disiapakan dan disajikan oleh para warga. Makanan tersebut memang disediakan

bukan hanya disediakan untuk warga. Tapi bagi seluruh hadirin baik warga

setempat ataupun bukan. Karena pada dasarnya tujuan dari selametan tersebut

Page 63: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

49

adalah berbagi dengan sesama. Tidak ada pengecualian semua yang harus ikut

menyantap makanan yang telah disediakan. Seperti apa yang dikatakan oleh Pak

Gun.

“Ini merupakan wujud dari kebersamaan dari masyarakat Desa Alas Malang.

Warga saling berbagi sebagai bentuk guyub rukun serta mempertahankan tali

silaturahmi. Bukan hanya warga tapi kita dapat melihat bahwa orang dari luar

juga ikut hadir.” (Mas Gun, 7 Maret 2017)

Selain para tokoh masyarakat dan adat, turut hadir pula kepala desa beserta

jajarannya, serta camat dari Kecamatan Singojuruh juga turut hadir. Sanak

saudara yang tidak tinggal dan bukan warga Desa Alas Malang ikut datang dan

menyatu dengan warga setempat. Seluruh hadirin yang datang tersebut mengikuti

selametan dengan khidmat dari awal sampai dengan akhir acara.

Pada prosesi ini terdapat runutan atau dalam Bahasa Jawa disebut dengan

pranata cara yang tetap dan terus digunakan secara berulang berulang dari masa

ke masa. Pranata cara tersebut adalah sebagai berikut :

1. Petaunan. Pada tahapan ini para tetua adat memberikan sambutan yang inti

isinya adalah ucapan terimakasih kepada pencipta, segenap masyarakat,

serta pengucapan doa-doa sebagai tanda upacara sudah dimulai. Kemudian

dilanjutkan oleh pawang dan diakhiri dengan makan tumpeng secara

bersama-sama. Seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf diatas.

2. Arak-arakan kebo-keboan. Prosesi ini sering disebut juga dengan ider

bumi oleh masyarakat setempat dan sekitarnya. Ider bumi dalam Bahasa

Indonesia berartti mengelilingi bumi, dinamakan demikian karena pada

prosesi ini manusia yang berperan sebagai kerbau diarak menuju empat

pejuru desa. Iring-iringan terdiri dari manusia kerbau, kereta tandu yang

Page 64: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

50

diatasnya terdapat sosok wanita yang berperan sebagai Dewi Sri, sebagai

pengiring Dewi Sri adalah para petani serta beberapa sosok dewi lainnya.

Selanjutnya barisan patrol yang tugasnya membunyikan peralatan musik

tradisional berupan kentongan sebagai musik pengiring. Visualisasi kebo-

keboan dapat terlihat dari para pemeran yang tubuhnya di cat hitam,

memakai rambut dengan tandut palsu, dan menggunakan celana pendek

hitam. Dewi Sri sendiri terlihat berbeda dengan memakai kostum lebih

mencolok dibanding para pengiring lain. Visualisasi dari Dewi Sri ini

merupakan simbol dari kehadiran sosok sebenarnya Dewi Sri yang turun

ke bumi untuk memberi restu dan berkah. Sedangkan para petani dapat

terlihat jelas dari pakaian yang sederhana dengan celana pendek, topi

caping, dan beberapa peralatan pertanian yang digunakan. Selama iring-

Gambar 3.3 Dewi Sri mengusap kepala manusia kerbau sebagai simbol

pemberian restu dan berkah

Page 65: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

51

iringan ini berlangsung jalanan yang dilewati arak-arakan sengaja

digenangi air sebagai tempak berkubang serta polah atau gerak para

manusia kerbau. Ketika berada di punjer desa iring-iringan berhenti dan

para manusia kerbau berbaris dan bersimpuh menundukan kepala.

Selajutnya Dewi Sri turun dari tandu untuk mengelus kepala para kerbau

satu persatu. Ini merupakan penyimbolan bahwa Dewi Sri memberikan

restu dan berkahnya kepada pertanian para warga. Pada era sekarang

terdapat tambahan barisan iring-iringan yang merupakan seni tradisional.

Seperti barong, jaranan atau jatilan, janger, reog ponorogo, balaganjur, dan

angklung paglak.

3. Goyang. Pada tahapan ini prosesi arak-arakan sudah bisa dikatakan mulai

berakhir, prosesi ini merupakan runutan terakhir dari arak-arakan kebo-

keboan. Akhir dari rute arak-arakan berada di areal persawahan milik

warga. Hal tersebut ditandai dengan Dewi Sri yang turun dari kereta tandu

dan memberikan berkah pada petani yang disimbolkan dengan benih padi

yang dibagi-bagikan untuk ditanam pada areal persawahan tersebut.

Sebelum benih ditanam pada areal tersebut, manusia kerbau akan berlaku

seperti kerbau betulan dengan membajak atau berkubang di sawah

tersebut. Tingkah polah kerbau yang bergerak secara acak inilah yang

disebut oleh masyarakat sebagai goyang. Pada prosesi ini pula, masyarakat

yang hadir juga turut berebut benih padi yang dibagikan oleh Dewi Sri.

Karena mereka percaya bahwa benih tersebut dapat menolak bala dan

membawa berkah bagi pertanian mereka. Namun saat para peserta

Page 66: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

52

mengambil benih, manusia kebo akan berusaha mengusir pengambil

benih. Sehingga tidak jarang akan terjadi pergumulan antara peserta

pengambil benih bergumul dalam lumpur dengan manusia kerbau. Tak

jarang pula para kaum muda hanya menggoda para manusia kerbau agar

dikejar tanpa niatan untuk mengambil benih tersebut.

4. Kembali ke Petaunan. Pada dasarnya inti dari acara pentauanan adalah

selamatan bagi seluruh warga desa kepada sang pencipta. Pada tahapan ini

petaunan diadakan selain sebagai selamatan juga sebagai upacara penutup.

Petaunan untuk kali ini diadakan malam hari selepas shalat isya. Para

warga menyaksikan wayang kulit yang mengisahkan Dewi Sri. Pergelaran

wayang kulit juga merupakan bagian upacara yang tidak boleh dilupakan.

Merupakan salah satu bentuk ruwatan desa dan sebagai tanda bahwa

berakhirnya upacara kebo-keboan di Desa Alas Malang.

Runutan dari prosesi tersebut yang selama ini dinikmat oleh para pengunjung

atau wisatawan sebagai suguhan wisata budaya. Sehingga beberapa item baru

sering muncul pada prosesi arak-arakan tersebut. Meskipun pada dasarnya item

tersebut hanya sebagai tempelan tanpa mengurangi esensi dari kegiatan tersebut.

Sebelum tahun 1965 arak-arakan ider bumi berjalan sampai dengan keempat

punden yang berada pada penjuru desa. Namun pada era sekarang arak-arakan

hanya berjalan menuju empat titik batas Dusun Krajan saja. Begitupun pula

dengan pengiring pada arak-arakan. Dahulu yang dipilih menjadi Dewi Sri adalah

para gadis Desa Alas Malang. Pada masa sekarang sering digantikan dengan para

mahasiswi yang sedang menjalan kuliah kerja nyata di desa tersebut. Panjang

Page 67: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

53

arak-arakan juga mengalami perubahan, terdapat sejumlah seni tradisional pada

barisan belakang, sehingga arak-arakan mirip seperti karnaval. Pak Gunawan

sebagai ketua pelaksana berpendapat sebagai berikut :

“Tambahan seperti barong itu tujuannya adalah memanjangkang durasi agar lebih

lama, selain itu masyarakat yang datang ke Alas Malang untuk melihat tidak bosan,

sehingga kemasannya sedikit diubah tidak hanya kebo-keboan yang lama,”. (Mas

Gun, 9 Maret 2017)

Dari pernyataan tersebut panitia sudah memikirkan apa yang harus dikerjakan

agar kebo-keboan mempunyai nilai estetika yang lebih agar bisa dinikmati

masyarakat luas. Acara atau item tambahan juga tidak hanya pada jalannya arak-

arakan. Tapi juga pada waktu-waktu kosong ketika menuju acara petaunan

terakhir sebagai acara penutup. Terdapat hiburan-hiburan yang sejatinya dulu

tidak pernah dihadirkan tapi sekarang dihadirkan sebagai sajian untuk menyambut

tamu. Hiburan-hiburan tersebut biasanya merupakan sumbangan-sumbangan dari

Gambar 3.4 Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian tradisional yang

ditampilkan dalam ritual kebo-keboan.

Page 68: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

54

warga yang sudah sukses. Para pemuda yang merantau terkadang juga patungan

untuk menyewa janger yang merupakan hiburan populer para anak muda

setempat, untuk dipentaskan di desa mereka.

Meskipun diluar dari acara ritual, penyeseuain konten dan konteks acara

tersebut mampu menghadirkan kemasan wisata budaya yang menarik. Sehingga

ketika kita berada di Desa Alas Malang pada waktu itu seperti berada pada festival

budaya yang acaranya berkesinambungan. Pada punjer desa terdapat acara

kendang kempul, yaitu musik dangdut dengan tambahan instrumen musik daerah

mirip dengan campursari. Sebelah timur pintu masuk desa terdapat jatilan dan

reog Ponorogo. Kemudian disebela selatan dihadirkan pergelaran janger yang

sangat digemari warga. Penjuru barat desa sudah berdiri panggung besar tempat

pergelaran wayang akan ditampilkan.

3.2.3. Instrumen dan Pelaku Ritual Kebo-Keboan

Pada ritual kebo-keboan terdapat instrumen-instrumen pendukung ritual.

Keberadaan instrumen tersebut selain sebagai syarat keberlangsungan ritual, juga

memiliki makna sebagai bahan pendidikan dan penyampaian budaya kepada

generasi muda. Keberadaan artefak tersebut merupakan simbol yang mewakili

unsur-unsur kebudayaan masyarakat Osing Desa Alas Malang. Instrumen atau

artefak pendukung upacara adat kebo-keboan adalah sebagai berikut :

1. Gawangan

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bentuk dari gawangan adalah

seperti gapura dan ditempatkan pada empat penjuru desa. Penempatan

Page 69: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

55

gawangan ini berada pada pintu masuk menuju punjer desa. Gawangan

pun dihias dengan hasil bumi masyarakat Desa Alas Malang. Berupa pala

gumantung atau pala gantung yang diantaranya adalah pepaya, mangga,

kelapa, labu, terong, dsb. Tidak lupa pula tanaman pala pendem juga ikut

digantung pada gawangan. Pala pendem tersebut terdiri dari ubi kayu, ubi

jalar, talas, kacang tanah, dsb. Jumlah dari gawangan adalah 11 buah dan

jumlah tersebut menyesuaikan jumlah RT setempat. Sudah dijelaskan

sebelumnya bahwa tujuan dari pemasangan gawangan yang dihiasi dengan

hasil pertanian tersebut adalah agar mendapat berkah dari Dewi Sri ketika

sang dewi memasuki lokasi ritual. Selain itu juga sebagai simbol pertanian

Desa Alas Malang yang subur kepada peserta yang datang dan sudah

barang tentu masuk ke lokasi melewati gawangan tersebut.

Gambar 3.5 Bentuk gawangan yang ditempatkan warga pada empat penjuru

desa yang sekaligus sebagai gerbang menuju lokasi.

Page 70: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

56

2. Peralatan pertanian

Peralatan pertanian berupa bajak tradisional, teter, sabit, pecut, cangkul,

dan cingkek, dibawa oleh para pemeran petani pada saat arak-arakan ider

bumi berlangsung. Peralatan-peralatan pertanian yang dihadirkan tersebut

merupakan simbol dunia agraris yang digeluti oleh masyarakat Desa Alas

Malang sebagai mata pencaharian.

3. Kereta atau Tandu Tempat Dewi Sri

Keberadaan kereta atau tandu tersebut dikhususkan untuk pemeran Dewi

Sri pada saat ider bumi berlangsung. Hal tersebut merupakan simbol

bentuk penghormatan kepada junjungan yang lebih tinggi, dengan

menempatkan jujungan tersebut pada posisi yang lebih tinggi, serta lebih

nyaman. Dapat dikatakan sebagai bentuk pemisahan antara hamba dengan

hal-hal yang sosoknya dianggap lebih suci.

4. Songsong

Artefak ini berbentuk payung besar yang digunakan para pengiring untuk

memayungi Dewi Sri agar tidak kepanasan atau kehujanan. Ini juga

merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat kepada dewi Sri.

5. Ancak

Merupakan tempat ada wadah yang atasnya adalah tumpeng dan dengan

sukarela disediakan oleh warga. Keberadaaan tumpeng ini terlepas dari

keberadaan sesaji untuk upacara. tumpeng-tumpeng tersebut memang

dikhususkan untuk makan bersama sebagai wujud gotong royong dan

guyub rukun. Terdapat dua tipe ancak pada upacara kebo-keboan, yang

Page 71: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

57

pertama adalah ancak yang berisi tumpeng agung dan ditempatkan di

punjer desa tempat pusat ritual. Jumlah dari ancak tersebut selalu ganjil

sebagai syarat ritual. Ancak yang kedua adalah yang berada didepan

rumah masing-masing warga. Jumlahnya mengikuti jumlah kepala

keluarga yang ada. Setiap kepala keluarga mengeluarkan satu ancak.

Nantinya tumpeng yang berada diancak tersebut akan dimakan bersama-

sama setelah pawang selesei membacakan doa-doa.

6. Beras kuning

Merupakan penangkal dari roh-roh jahat, kekuatan magis berupa teluh atau

santet, serta niat buruk tertentu yang bertujuan menggangu keselamatan

warga. Beras kuning tersebut dibuat oleh pawang dengan menjalankan

persyaratan-persyaratan seperti berpuasa, menekan hawa nafsu, dan

menghindarkan diri dari perilaku buruk. Bahan dari pembuatan beras

kuning ini adalah bulir beras biasa direndam dengan air perasaan kunir.

Beras kuning ini oleh para pawang akan ditabur pada tempat tertentu saat

upacara tengah berlangsung.

7. Pitung Tawar

Bahan pembuatan pitung tawar atau yang biasa dikenal orang dengan

sebutan tepung tawar, adalah tepung beras yang direndam dengan air kunir

dan bunga setaman serta daun sirih agar harum. Pitung tawar biasanya

dioleskan dikening atau punggung tangan sebagai penetral nafsu yang

menggebu manusia agar menjadi damai dan tenteram.

Page 72: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

58

8. Pari Jawa

Pari atau padi jika dalam Bahasa Indonesia, merupakan tanaman pokok

masyarakat Alas Malang, baik untuk dijual atau untuk memenuhi

kebutuhan keluarga sendiri. Keberadaan pari jawa pada ritual kebo-

keboan adalah sebagai simbol benih yang akan ditanam oleh para petani.

Benih padi yang akan disemai menjadi bibit padi tersebut nantinya akan

mendapat berkah dari Dewi Sri.

9. Papan dan Menyan

Asap menyan yang dibakar diatas papan oleh pawang, berbau harum dan

terus membubung tinggi serta menyebar kesegala arah, adalah media

penyampaian doa-doa yang dibaca pawang tersebut. Oleh sebab itu

keberadaan menyan dan pawang adalah kesatuan yang tidak bisa

dipisahkan serta tidak boleh ditinggalkan. Selama upacara pawang akan

Gambar 3.6 Pitung tawar atau tepung tawar yang dioleskan pada punggung

tangan dan bertujuan sebagai penetral hawa nafsu

Page 73: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

59

ikut iring-iringan dengan membawa papan atau tempat berisi menyan yang

dibakar.

10. Sesaji

Merupakan aspek dan syarat mutlak penyelenggaraan upacara adat kebo-

keboan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sesaji hadir pada

setiap prosesi sebagai syarat sah pelaksanaan ritual. Pada dasarnya sesaji

merupakan bentuk penghormatan, pengucapan rasa syukur, dan wujud

berbagi kepada kekuatan yang lebih tinggi. Terdapat beberapa item atau

kelengkapan sesaji yang tentunya tidak boleh dilupakan. Kelengkapan

tersebut memiliki makna dan arti masing-masing. Makna yang

disimbolkan pada bentuk sesaji berhubungan dengan kehidupan sosial

masyarakat. Item dalam perangkat sesaji diantaranya adalah bunga

setaman yang digunakan sebagai aroma wewangian untuk media makan

para roh suci atau penunggu. Darah ayam menyimbolkan kepasrahan atau

berserahnya diri pada sang pencipta. Kemenyan sebagai media untuk

penghantar doa. Kapur sirih dan rokok digunakan sebagai umborambe

agar roh-roh tersebut mau datang. Sejumlah uang dan hasil bumi

menyimbolkan persembahan sekaligus bentuk rasa syukur atas apa yang

telah diraih. Ayam ingkung adalah persimbolan sifat buruk yang harus

dihindari atau tidak boleh ditiru oleh manusia, karena itu sosok ayam jago

dijadikan sebagai pengorbanan dalam sesaji. Jajanan pasar merupakan

simbol dari keramaian yang menjadi satu seperti guyub rukun para warga.

Page 74: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

60

Bubur merah atau jenang sengkolo berfungsi sebagai tolak bala agar tidak

terjaadi malapetaka bagi warga desa.

Selain intrumen-intrumen ritual yang telah disebutkan diatas, terdapat pula

peran-peran yang dijalankan oleh pelaku ritual layaknya lakon dalam pergelaran

drama. Peran tersebut selalu ada pada setiap pelaksanaan ritual kebo-keboan.

Kehadiran para lakon merupakan hal yang penting dalam perhelatan tahunan

tersebut. Para pelaku tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pranata cara

Para tetua adat berperan sebagai pemandu acara juga sebagai pengarah

jalannya ider bumi. Peran tersebut diambil alih langsung oleh ketua

lembaga adat Suku Osing Alas Malang atau ketua pelaksana upacara adat

kebo-keboan. Mereka adalah para tetua atau tokoh adat yang mendapat

posisi penting di masyarakat. Tata acara pada ritual kebo-keboan pada

masa sekarang juga tersisipi protokoler pemerintah menyangkut kehadiran

pejabat pemerintah tingkat kabupaten. Seperti kehadiran bupati atau

MUSPIDA (Musyawarah Pimpinan Daerah).

2. Pawang

Pawang adalah orang yang dipercaya sebagai pemimpin ritual-ritual yang

dilaksanakan warga. Seorang pawang merupakan keturunan atau pewaris

ilmu dari Mbah Buyut Karti serta dipercaya memiliki kemampuan khsusus

dalam hal supranatural. Seiring perkembangan zaman, pemimpin upacara

ritual bukan hanya seorang pawang, namun juga tokoh keagamaan juga

didapuk untuk membacakan doa-doa sesuai kepercayaan umat Islam pada

Page 75: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

61

saat ritual berlangsung. Pawang juga berperan untuk menyembuhkan para

manusia kerbau ketika mengalami kesurupan.

3. Penjelmaan Dewi Sri

Pemeran penjelmaan Dewi Sri adalah gadis yang belum pernah menikah

atau gadis perawan warga asli. Gadis yang nantinya memerankan Dewi Sri

dalam kesehariannya juga harus memiliki perilaku yang baik. Sosok Dewi

Sri adalah sosok yang disucikan sehingga pemerannya juga harus lulus

dalam persyaratan tersebut. Calon gadis juga dipilih dari garis keturunan

Mbah Buyut Karti. Saat ini syarat tersebut sedikit dilonggarkan karena

mulai kaburnya garis keturunan Mbah Buyut Karti. Syarat mutlak yang

masih berlaku sampai sekarang adalah gadis yang terpilih belum pernah

menikah sama sekali.

4. Dayang Pengiring Dewi Sri

Kriteria dan persyaratan yang sama seperti memilih penjelmaan Dewi Sri

juga diterapkan dalam pemilihan dayang-dayang ini. Dayang terdiri empat

sampai dengan enam orang tidak lebih. Tugas utama para dayang adalah

mengiringi kereta atau tandu Dewi Sri. Selain itu para dayang juga

membawa sesajian untuk keperluan ritual ider bumi.

5. Barisan para petani

Untuk barisan para petani diperankan oleh warga asli Desa Alas Malang

yang kesehariannya memang berprofesi sebagai petani. Menggunakan

pakaian sederhana berwarna gelap, celana pendek, baju tidak dikancing

dan beberapa bertelanjang dada, serta tak lupa topi caping sebagai penutup

Page 76: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

62

kepala. Para petani ini juga membawa perlatan pertanian mereka pada saat

berlangsungnya ider bumi.

6. Buldrah

Tokoh buldrah adalah sosok yang memimpin barisan pada kirab ider bumi.

Buldrah merupakan sosok yang dpercaya memiliki keahlian lebih dibidang

pertanian. Dalam kesehariannya buldrah adalah pemimpin kelompok tani

desa. Bisa juga penggerak pertanian di desa setempat.

7. Modin Banyu

Tugas utama dari modin banyu adalah mengatur sistem irigasi pertanian

warga. Modin banyu mempunyai tanggung jawab mengalirkan air ke

persawawahan warga secara adil dan merata.

8. Manusia Kerbau

Manusia kerbau atau kebo-keboan adalah peran penting sekaligus maskot

dalam perhelatan tahunan ini. Kerbau sebagai sahabat petani diwujudkan

pada sosok manusia yang bertumbuh gempal pada kirab ider bumi.

Seluruh tubuh pemeran kerbau dilumuri warna hitam dan bagian sekitar

mata kerbau diberi warna merah. hal tersebut melambangkan sosok kerbau

yang berang dan kuat. Rambut palsu serta tanduk palsu diikatkan pada

kepala mereka sebagai penegas sosok kerbau yang mereka perankan.

Jumlah dari kebo-keboan ini adalah lima sampai dengan sepuluh pasang.

Kerbau-kerbau ini diikat dan dijalankan oleh seorang pengendali. Ketika

manusia kerbau ini mulai keserupan, pengendali inilah yang nantinya

Page 77: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

63

bertanggung mengendalikan kerbau. Kini pemeran kebo-keboan hanya

bertingkah seolah sedang kesurupan.

Pada awal kemunculan ritual kebo-keboan di Desa Alas Malang, yang

bertanggung jawab sebagi pelaku ritual adalah anak keturunan Mbah Buyut Karti,

beserta para murid yang mengabdi pada Buyut Karti. Seiring berkembangnya

jaman dan melajunya pertumbuhan penduduk. Pelaku kebo-keboan sudah mulai

beragam tidak hanya keturunan atau murid dari Buyut Karti. Penonton yang hadir

juga berasal dari berbagai desa diluar Desa Alas Malang. Para mahasiswa yang

sedang menjalankan pengabdian masyarakat juga sering terlibat didalam ritual

kebo-keboan ini. Sehingga pada masa sekarang segenap lapisan masyarakat dapat

berperan sebagai kerbau ataupun Dewi Sri dan juga peran-peran lainnya.

3.3. Kebijakan Pemerintah dan Modernisasi Ritual Kebo-Keboan Sebagai

Bentuk Komoditas Pariwisata

Pada awalnya kebo-keboan tidak dipandang sebagai sesuatu yang tidak

berharga untuk dipasarkan. Pelaksanaanya yang sebagai wujud dari sebuah ritual

membuat unsur serta bentuk estetika kurang diperhatikan. Keberadaannya pun

sempat dihentikan oleh pemerintah karena tidak sesuai dengan unsur-unsur

kenegaraan Bangsa Indonesia. Khususnya ketika menyangkut tentang keagamaan

yang pada rezim Orde Baru merupakan bentuk legitimasi mutlak pemerintah

selain keberadaan militer. Terlebih sebelum masa orde baru kebo-keboan juga

terlibat dengan Partai Komunis Indonesai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa

Indonesia pernah mengalami masa kelam yang pemicunya adalah pemberontakan

Page 78: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

64

oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Keberadaan PKI (Partai Komunis

Indonesia) dapat dilihat dari segala aspek kehidupan masyarakat. Terutama pada

basis-basis masyarakat agraris seperti warga Desa Alas Malang, PKI (Partai

Komunis Indonesia) sangat digandrungi keberadaanya. Hal ini disebabkan

ideologi dari partai tersebut yang memihak kepada rakyat bawah yang sebagaian

besar adalah buruh tani dan bersifat equality.

Salah satu informan menuturkan pengalamannya dengan PKI (Partai

Komunis Indonesia), Sudirman atau Sudir (35 Tahun) :

“Ini kuburan bapak saya, yang sebelahnya adalah makam Mbah saya (menunjuk

sebuah makam), kata orang bapak itu PKI, Mbah juga PKI, sering mengajak

orang-orang untuk naik truk pergi ke alon-alon untuk lihat Aidit, jadi

kuburannya disini bareng orang-orang PKI lain, dulu depan pager situ isinya

kepala orang ditusuk mas” (Wawancara: 5 Maret 2017)

Sekilas seperti itu cerita Sudir ketika saya ikut dia mencari umpan untuk

memancing. Sudir tidak tahu persis tentang keberadaan PKI (Partai Komunis

Indonesia) di desanya. Pengetahuan tentang partai tersebut didapatnya dari cerita-

cerita neneknya dulu ketika masih hidup. Setiap kali Sudir jarang pulang karena

nongkrong atau mancing, neneknya akan bercerita tentang masa muda bapaknya

yang juga jarang pulang dan terlibat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Makam dari bapaknya memang berada diseberang makam desa. Disitu pula

dimakamkan para mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Berbicara

tentang partai tersebut di Alas Malang seperti membuka luka lama warga.

Sektor-sektor yang berdekatan langsung dengan rakyat serta dapat

menyimbolkan identitas dari kerakyatan tersebut. Beberapa organisasi dibawah

Page 79: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

65

PKI (Partai Komunis Indonesia) dibentuk, seperti LEKRA (Lembaga Kesenian

Rakyat), BTI (Barisan Tani Indonesi), dsb. Pada masa itu kebo-keboan dalam

pelaksanaannya diambil alih oleh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat). Kebo-

Keboan dianggap sebagai salah satu bentuk tontonan yang mampu menyedot

masa yang banyak. Kita melihat adanya usaha penyatuan anatara PKI (Partai

Komunis Indonesia) dengan kebo-keboan sebagai unsur lokal. Tujuannya sudah

jelas agar keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat. Dari sini juga dapat kita

simpulkan bahwa pada masa dahulu kebo-keboan tidak hanya dilihat dalam

sebuah bentuk ritual saja, tapi ada nilai lain dari barang sekedar ritual.

Pasca pemberontakan yang dilancarkan PKI (Partai Komunis Indonesia)

pada 30 September 1965. Segala unsur yang berbau partai tersebut yang ada di

Banyuwangi dibekukan bahkan dihilangkan oleh pemerintah. Menurut Makmur

dan Taufik (2016), pemerintah Orde Baru melakukan kontrol kebudayaan Suku

Osing dengan cara menekan Pemerintah Banyuwangi pada masa Bupati Djoko

Supaat Slamet untuk menerbitkan sebuah peraturan perundanga. Maka terbitlah

Surat Keputusan SK No. um/1698/50 tertanggal 19 Mei 1970 yang isinya

mewajibkan masyarakat mendaftarkan segala unsur kebudayaan dan kesenian

pada dinas terkait. Cukup wajar karena banyak sekali unsur kebudayaan yang

melekat dengan citra PKI (Partai Komunis Indonesia). Seperti contoh lagu daerah

Genjer-Genjer dan tak terkecuali dengan keberadaan ritual kebo-keboan. Oleh

sebab salah satu faktor sempat dihentikannya praktek ritual ini adalah adanya

afiliasi dengan partai tersebut dan tidak sesuainya dengan tuntunan ajaran agama

yang diakui oleh pemerintah.

Page 80: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

66

Pada masa sekarang muncul PP No. 38 Tahun 2007 yang didalamnya

menyatakan bahwa penyerahan wewenang kebudayaan dari pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah, sehingga pemerintah daerah mempunyai kewenangan

penuh untuk mengolah potensi yang ada didaerahnya. Maka munculah dinamika

tentang kebijakan-kebijakan yang dituntut mampu menghadirkan kemandirian

ekonomi dan kekuatan fiskal suatu daerah. Pemerintah Banyuwangi mulai melirik

potensi-potensi etnik yang sebagai sumber peningkatan anggaran daerah.

Beberapa bentuk etnik yang sebenarnya bukan merupakan komoditi dilirik untuk

dikemas dan mulai dipasarkan keranah publik sebagai bentuk wisata humanis dan

edukatif. Hal yang sama juga terjadi pada ritual kebo-keboan alas malang. Kebo-

keboan direvitalisasi menjadi bentuk yang lebih memiliki nilai estetika ketimbang

pada bentuk ritual. Makna dan nilai spiritual sebenarnya masih tetap ada dan tidak

hilang sesuai dengan wujud aslinya. Bahkan ini menjadi modal utama ketika kita

ingin melakukan sebuah revitalisasi pada sebuah kebudayaan dan tidak menutup

kemungkinan untuk dilakukan komodifikasi pada langkah berikutnya. Seperti

yang terjadi pada kebo-keboan, ada tindakan dimana warga memaknai kembali

keberadaan ritual tersebut dimasyarakat.

Bentuk modern dari kebo-keboan pada masa sekarang dimaknai

masyarakat sekitar sebagai pesta rakyat Suku Osing Desa Alas Malang. Kebo-

keboan adalah bentuk seremonial atas panen yang melimpah dari warga. Lalu

kemudian kebo-keboan dimaknai sebagai ritual tolak bala. Atas dasar tersebut

pelaksanaan dari kebo-keboan haruslah dilaksanakan dengan sangat meriah dan

penuh suka cita. Tidak boleh ada duka dan semua warga harus ceria. Bagi warga

Page 81: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

67

yang merantau juga berlaku demikian sesuai dengan makna yang saat ini

berkembang. Mereka menyempatkan untuk pulang kampung untuk merayakan

hari raya Desa Alas malang. Pada akhirnya muncul anggapan seperti ini :

“Alas Malang itu hari rayanya ada 3, Idul Fitri, Idul Adha, kebo-keboan, tapi

yang paling meriah pas kebo-keboan lhoh kalo gak percoyo sampean kesini aja

pas hari raya hahaha” (Pandio, wawancara: 4 Maret 2017)

Apa yang terjadi pada masa sekarang sudah berbanding dengan apa yang terjadi

masa lampau. Kemunculam awal dari kebo-keboan adalah sebagai laku prihatin

para warga karena wabah yang menyerang desa. bentuk seremonial merupakan

persembahan kepada sang pencipta agar merasa senang dan wabah dihilangkan.

Munculnya fungsi baru pada kebo-keboan juga mendukung pemaknaan

tersebut. Saat ini ritual tersebut juga dikemas menjadi bentuk komoditas yang

layak untuk dipasarkan. Penyesuaian bukan hanya terjadi pada doa-doa yang telah

sering disebutkan. Penyesuaian juga terjadi pada bentuk dan tampilan kebo-

keboan agar pantas untuk dinikmati. Pelaksanaan kebo-keboan modern

mengusung konsep festival dalam pelaksanaannya. Dimana menghadirkan banyak

unsur-unsur kesenian lokal dan menempatkan kebo-keboan sebagai sajian utama

pertunjukan tersebut. Seperti muncul adanya pawai barong dan estetika dari musik

pengiring sudah mulai diperhatikan. Masuk-masuknya kesenian-kesenian lain

dalam pelaksanaan kebo-keboan merupakan elemen pendukung agar suasana

menjadi meriah dan durasi menjadi lebih panjang. Para peserta atau penonton

yang hadir tidak akan merasa bosan dengan segala pertunjukan yang ada. Oleh

sebab itu muncul anggapan kalo tidak meriah ya bukan kebo-keboan.

Page 82: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

68

BAB IV

PROSES KOMODIFIKASI RITUAL KEBO-KEBOAN

Ritual adat kebo-keboan dapat dijadikan simbol keberadaan Suku Osing

yang merupakan suku warga asli Kabupaten Banyuwangi khususnya Desa Alas

Malang. Kebo-keboan mengalami pasang surut dimulai dari awal kemunculnya

hingga pada masa sekarang. Seiring perkembangan jaman dan perubahan budaya

yang ada di masyarakat, kompleksitas kebo-keboan juga semakin meningkat. Pada

saat ini kebo-keboan bukan hanya sebagai bentuk ritual dari masyarakat. Fungsi

lain merupakan bagian dari komoditi pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Proses

dari ritual menjadi komoditi pariwisata atau yang disebut dengan proses

komodifikasi akan dijelaskan pada bab ini.

4.1. Proses Komodifikasi Ritual Adat Kebo-Keboan

Proses komodifikasi kebudayaan menjadi tujuan wisata pada suatu daerah

diidentikan dengan hilangnya makna dan nilai dari budaya tersebut. Hal ini

disebabkan adanya penyesuaian unsur-unsur etnik agar bisa diterima pada

kebudayaan modern. Alih-alih sebagai gerakan reviltalisasi budaya, beberapa

kebudayaan yang bersifat ritual dan identik dengan unsur spiritual, disajikan

dalam bentuk seremonial dengan alasan agar bisa ditermia kembali ditengah

masyarkat. Revitalisasi sendiri menurut Anthony Wallace (dalam Eller, 2007:172-

175) adalah gerakan atau upaya yang dengan sengaja dan dikoordinir untuk

membangun kembali kebudayaan kearah yang lebih memuaskan.

Page 83: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

69

Berbeda dengan beberapa kasus pada kebudayaan lain yang telah

terkomodifikasi. Kebo-keboan justru dikembalikan pada bentuk original sebagai

kemasan yang khas dan unik. Gerakan atau pola demikian dikenal dengan gerakan

postmoderism. Rossenau (dalam Piliang, 2005:256) mengatakan bahwa

posmoderism adalah tindakan yang cenderung mengembangkan unsur-unsur

keagaamaan non institusi melalui spirit dalam spiritualitas alternatif. Dalam hal

ini kebo-keboan tidak masuk dalam unsur-unsur keagamaan yang disahkan oleh

Pemerintah Indonesia.

Pada proses komodifikasi kebo-keboan sendiri memang terdapat proses-

proses yang telah disebutkan diatas. Proses-proses tersebut terdapat pada tahapan

proses komodifikasi dan penyesuain serta penambahan unsur baru pada kebo-

keboan. Proses komodifikasi dan penyesuain unsur kebo-keboan akan dijelaskan

pada sub-bab berikutnya. Poin penting dari proses tersebut adalah agar kebo-

keboan tidak hanya diterima masyarakat dari segi spiritualnya saja, tapi juga

bagian dari bentuk seremonial agar bisa dinikmati oleh masyarakat luas. Hal

tersebut sekaligus sebagai tindak lanjut dari program pariwisata yang telah

ditetapkan oleh Pemerintah Banyuwangi.

Menurut legenda awal kemunculan ritual adat kebo-keboan adalah pada

abad 18 masehi. Pada rentang waktu antara abad 18 masehi hingga masa sekarang

pada abad 21 masehi, kebo-keboan telah mengalami pasang surut yang

diakibatkan oleh berbagai hal. Sifat kebudayaan yang elastis sangat berpengaruh

pada posisi ritual kebo-keboan di masyarakat. Esensi dari keberadaan kebo-

Page 84: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

70

keboan ditengah masyarakat sebagai ritual tetap dipertahankan, namun terdapat

unsur dan fungsi lain yang berjalan bersama dengan tujuan utama ritual.

Pada awal kemunculannya, kebo-keboan adalah bentuk ritual masyarakat

yang bersifat sakral dan mistis. Dalam pelaksanaannya unsur-unsur supranatural

sangat jelas terlihat. Seperti contoh manusia kerbau yang mengalami kesurupan

dan para peserta ritual yang ikut kesurupan jika menyentuh perangkat ritual.

Bergeser pada tahun 1960-an, pada era pergantian rezim orde lama ke orde baru,

kebo-keboan mulai dijadikan alat oleh Partai Komunis Indonesia untuk menarik

masa. Hal tersebut adalah imbas dari masuknya paham-paham komunis melalui

kader-kader Partai Komunis Indonesia yang ada di Desa Alas Malang. Simbol-

simbol Partai Komunis Indonesia mulai dimunculkan pada saat ritual kebo-keboan

berlangsung.

Pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terjadi pada sekitaran

tahun 1965 menuntut militer Indonesia mengambil tindakan tegas. Berbagai unsur

yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia di berbagai sektor kehidupan

dinetralkan kembal. Termasuk kebo-keboan yang sebelumnya juga ditunggangi

oleh Partai Komunis Indonesia. Setelah berakhirnya tahun 1965 dan memasuki

era orde baru, kebo-keboan juga ikut berbenah membersihkan diri dari segala

unsur yang berbau dan berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Kebo-

keboan dikembalikan pada jalurnya yaitu sebagai salah satu ritual tahunan Suku

Osing yang mendiami Desa Alas Malang. Kembalinya kebo-keboan sebagai

bentuk murni dari ritual tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya

pemerintahan orde baru, kebo-keboan dianggap menyalahi praktek atau tata cara

Page 85: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

71

peribadatan lima agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Budha, Hindu,

Kristen Protestan dan Katolik. Sehingga kemudian praktek kebo-keboan

dihentikan dan dilarang keberadaannya untuk dilaksanakan.

Awal tahun 2000-an atas inisiatif para pemuda yang dikoordinir Pak

Gunawan, salah satu keturunan Mbah Buyut Karti, kebo-keboan kembali

dilaksanakan kembali. Langkah pertama yang dilakukan para panitia agar kebo-

keboan kembali bisa diterima kembali adalah memasukkan unsur-unsur Islam

dalam doa-doa ritual. Sisi estetika pada kirab ider bumi semakin ditonjolkan.

Caranya adalah menambahkan unsur-unsur kesenian tradisional pada saat kirab

berlangsung. Rute ritual sudah tidak lagi menuju punden-punden desa. Pada saat

ritual berlangsung, pawang ditemani oleh kiai pada saat pembacaan doa. Hal-hal

tersebut dilakukan tanpa mengubah pakem ritual yang sebelumnya sudah ada.

Dalam artian persyaratan, tata aturan, dana urutan ritual tetap dikerjakan sesuai

pakem. Penyesuaian hanya terjadi pada perubahan doa dan tujuan penyampaian

doa. Sudah tidak lagi kepada roh penunggu tapi langsung kepada Tuhan Yang

Maha Esa.

Tahun 2006 ritual adat kebo-keboan menjadi pemenang dalam acara

Anugrah Wisata Jawa Timur yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Jawa

Timur. Kebo-keboan dinilai memiliki keunikan dan ciri khas yang mampu

mencerminkan kehidupan Suku Osing yang mendiami wilayah Banyuwangi.

Selanjutnya Dinas Pariwisata mulai berkomitmen untuk menggandeng kebo-

keboan sebagai salah satu ikon budaya dan tujuan wisata Banyuwangi. Komitmen

tersebut diwujudkan dalam bentuk promosi melalui radio-radio atau majalah lokal

Page 86: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

72

yang ada di Kapubaten Banyuwangi. Selanjutnya lembaga adat sebagai induk dari

kegiatan kebo-keboan mulai dibentuk. Tugas dari lembaga adat tersebut adalah

mengakomodir segala kegiatan yang berhubungan dengan ritual kebo-keboan.

Masa-masa berikutnya pemerintah Kabupanten Banyuwangi dibawah

kepemimpinan Bupati Anas, menyusun program pariwisata yang berpegang pada

potensi alam, budaya, dan pendidikan. Tersusunlah agenda pariwisata yang

disebut dengan B-Fes atau kepanjangannya adalah Banyuwangi Festival. Program

tersebubut memiliki program turunan yang diberi nama BEC (Banyuwangi Ethno

Carnival). Merupakan rangkaian festival yang menghadirkan ikon-ikon budaya

dan wisata kabupaten Banyuwangi. Pada tahun 2013 kebo-keboan

diselenggarakan sebanyak dua kali. Penyelenggaran pertama tetap sebagai

pemenuhan kebutuhan ritual. Kedua ditampilkan tanpa pakem yang selama ini

dijalankan sebagai bagian dari Banyuwangi Ethno Carnival. Ritual Kebo-keboan

ditampilkan pada pawai yang bertempat di alon-alon Kabupaten Banyuwangi.

Hanya manusia kerbau dan kirab ider bumi yang ditampilkan pada acara tersebut.

Sifatnya pun adalah seremonial bukan sebagai ritual. Kala itu juga kebo-keboan

didapuk sebagai maskot dan tema Banyuwangi Ethno Carnival. Sehingga judul

dari Banyuwangi Ethno Carnival pada waktu itu adalah The Legend of Kebo-

Keboan.

Selepas dari acara tersebut, keberadaan dari ritual kebo-keboan semakin

dikenal luas oleh publik. Penguatan identitas kebo-keboan di Desa Alas Malang

semakin gencar dilakukan. Salah satunya adalah pendirian patung atau monumen

kebo-keboan yang berada pada jalan besar menuju Desa Alas Malang. Proyek

Page 87: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

73

selanjutnya adalah pembangunan rumah adat kebo-keboan yang pembangunanya

dimulai pada Maret Tahun 2017. Keberadaan rumah adat ini nantinya adalah

sebagai galeri sekaligus museum dan tempat pembelajaran adat suku Osing.

Khususnya segala hal yang berhubungan dengan ritual kebo-keboan. Proyek

pembangunan tersebut diprakarsai oleh Pak Gunawan. Sebagai wujud tindak

lanjut dari MUSPIDA yang menginginkan tempat edukasi bagi masyarakat luar

Suku Osing. Tujuan jangka panjang dari pemerintah lainnya adalah menjadikan

Desa Alas Malang sebagai desa wisata yang berbasis kebudayaan.

Kemasan dari kebo-keboan pada masa sekarang masih dipertahankan

originalitasnya. Penguatan nilai-nilai dan simbo-simbol kedaerahan Suku Osing

sangat diperhatikan. Terutama pada saat prosesi kirab ider bumi berlangsung.

Karena pada saat kirab ider bumi, ratusan orang datang untuk melihat ritual kebo-

keboan berlangsung. Mulai dari pakaian adat yang dikenakan para tetua adat,

panitia, dan tamu undangan. Pakem ritual yang masih dijaga meskipun beberapa

doa telah diganti dengan doa-doa berbahasa Arab menurut Islam. Disamping sisi

spiritual yang ditonjolkan juga terdapat sisi seremonial yang identik dengan pesta

rakyat Desa Alas Malang.

Promosi juga gencar dilakukan melalui siaran keliling wilayah Kabupaten

Banyuwangi dengan menggunakan pengeras suara. Melalui radio kebo-keboan

juga membuat iklan dan jigle yang tujuan sebagai pengingat kapan ritual akan

dilaksanakan. Panitia juga menyiapkan baliho-baliho dan memasang baliho pada

titik atau pusat keramaian. Pelaksaan kebo-keboan pada saat ini bukan hanya

Page 88: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

74

sebagai pemenuhan ritual adat, tapi juga sebagai bentuk pelestarian budaya yang

menjadi warisan dari nenek moyang Suku Osing.

4.2. Penyesuain dan Modernisasi Unsur Kebo-Keboan sebagai Penerimaan

Kembali Bentuk Ritual Masyarakat Suku Osing

Proses ini adalah sebagai langkah awal para pemuda Desa Alas malang

untuk menghidupkan kembali kebo-keboan yang sebelumnya dilarang oleh

pemerintah. Bisa dikatan tahapan ini adalah proses dari revitalisasi ritual kebo-

keboan. Langkah tersebut adalah sebagai berikut :

a. Menghilangnya ritual dipunden dari muka umum. Sebelum era 1965 ritual

pada punden desa yang dilaksanakan sepuluh hari atau tujuh hari menuju

kirab ider bumi, wajib dilaksanakan oleh warga yang mendiami Desa Alas

Malang. Pada saat ritual kembali dimunculkan setelah dilarang oleh

pemerintah. Ritual ini tetap dikerjakan namun pelaksanaan hanya

dilakukan oleh tetua adat. Tujuan dari doa-doa yang diucapkan bukan lagi

kepada roh penunggu yang mendiami batu atau pohon-pohon disekitar

punden. Doa ditujukan kepada Allah SWT sebagai pencipta alam semesta.

b. Adanya doa-doa islami dalam ritual. Mantra yang dulu diucapkan pawang

pada saat memimpin upacara bukannlah doa pamungkas. Pawang

membaca mantra tesebut hanyalah sebagai pengantar menuju doa-doa

Islam. Seperti pembacaan surat-surat pendek yang ada pada kitab suci Al-

Qur’an.

Page 89: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

75

c. Terdapat dua pemimpin ritual dalam kirab ider bumi. Pawang tidak hadir

sendiri dalam memimpin selamatan yang dilaksanakan. Pada saat upacara

ritual berlangsung pawang didampingi oleh kiai atau tokoh agama sebagai

juru doa.

d. Manusia kerbau sudah tidak lagi kesurupan. Dahulu kesurupan pada saat

berlangsungnya kirab ider bumi sudah menjadi hal yang lumrah.

Kesurupan atau trance dianggap sebagai salah bentuk jembatan antara

alam dunia dengan alam roh. Sekaligus sebagai titik puncak spiritual pada

saat terjadi ritual. Karena hal-hal tersebut dianggap haram oleh Agama

Islam maka pemeran kerbau hanya berakting seolah mengalami

kesurupan.

e. Rute arak-arakan sudah tidak sampai pada keempat punden. Pada saat

kirab ider bumi berlangsung rute dipersingkat. Hal ini ditujukan agar acara

tersebut tidak identik dengan keberadaan punden desa dan lebih kepada

pesta rakyat. Berikut adalah rute arak-arakan yang saat ini digunakan :

Gambar 4.1 Rute arak-arakan Ider Bumi pada masa sekarang

Page 90: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

76

f. Penampilan seni-seni tradisional atau lokal pada kirab ider bumi dan pasca

kirab. Kehadiran kesenian tersebut pada pakem sebenarnya tidak ada.

Ritual kebo-keboan adalah bentuk sarana spiritual tanpa mempedulikan

kesan estetika. Sedangkan tambahan tersebut merupakan bingkai baru

sehingga kebo-keboan memiliki nilai estetika dan patut untuk dipentaskan.

g. Pelaksanaan upacara megikuti hari libur. Hari yang tepat untuk

melaksanakan ritual kebo-keboan adalah pada tangal 10 bulan Suro.

mengikuti penanggalan pada kalender Jawa. Pada tanggal-tanggal itu

Dewi Sri diyakini turun ke bumi untuk memberikan berkahnya. Sistem

penanggalan kalender jawa tersebut mengikuti perputaran bulan dalam

metode penghitungannya. Berbanding terbalik dengan kalender masehi

yang umum digunakan pada masa sekarang. Hal tersebut menyebabkan

pelaksanaan kebo-keboan tidak selalu bertepatan dengan hari libur

nasional. Sehingga untuk menarik antusias masyarakat agar hadir, maka

penyelenggaraan disesuaikan dengan hari libur tapi tetap masih pada

sekitaran bulan Suro pada kalender Jawa.

Meskipun terdapat unsur-unsur baru pada ritual kebo-keboan. Ketika

pelaksanaan urutan pada prosesi tetap mengacu pada pakem yang telah ada,

unsur-unsur yang tidak berbau keagamaan dihilangkan dan diganti dengan unsur

baru agar dapat diterima kembali. Sifat-sifat lama yang dianggap masih berbau

etnik masih dipertahankan untuk menjaga ciri khas dari ritual kebo-keboan.

Nantinya keunikan tersebutlah menjadi modal komodifikasi kebo-keboan. Selain

Page 91: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

77

itu identitas Suku Osing sendiri akan terus terjaga dengan adanya keunikan yang

terus dipertahankan dan tidak hilang pada masa sekarang.

4.3. Komodifikasi Kebo-Keboan Desa Alas Malang

Menurut Manuati (2004) komodifikasi pada pada sebuah kebudayaan

terjadi karena adanya kontras budaya antara kebudayaan modern dengan budaya

tradisional pada era globalisasi. Masyarakat modern menganggap pola-pola yang

terjadi pada kebudayaan tardisional memiliki keunikan yang khas. Hal tersebut

sangat sulit ditemui pada kebudayaan masyarakat yang hidup di era global pada

masa sekarang. Kebudayaan yang ada saat ini cenderung terlihat sama dan

seragam. Keadaan tersebut disebabkan karena adanya perkembangan teknologi

yang terkesan mereduksi batas-batas kewilayahan dari sebuah kebudayaan.

Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa kemajuan dunia global pada masa

sekarang, memudahkan pengenalan budaya lokal yang bersifat tradisional pada

ranah yang luas. Appadurai (1990:35) melalui konsep mediascapes mengatakan

bahwa hadirnya teknologi elektronik yang mempunyai kemampuan untuk

menghasilkan dan menyebarkan informasi sangat berpengaruh pada terbentuknya

pola pikir masyarakat pada saat ini.

Pada perkembangnya kebo-keboan juga memanfaatkan teknologi dalam

penyebaran informasi. Melalui media cetak dan elektronik promosi gencar

dilaksanakan ketika kebo-keboan akan diselenggarakan. Baliho atau spanduk-

spanduk besar sebagai pemberitahuan jadwal pelaksaan juga dipasang pada pusat-

pusat keramaian. Kebo-keboan ditawarkan pada masyarakat sebagai paket wisata

Page 92: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

78

kebudayaan yang edukatif dan humanis. Untuk mencapai hal tersebut sisi

seremonial yang ada pada ritual kirab ider bumi semakin ditonjolkan sebagai

tontonan yang pantas. Simbol-simbol masyarakat petani dipertahankan

keberadaannya dan bentuk ritual lama seperti adanya trance tetap dipertahankan.

Akan tetapi pelaku hanya berakting seolah-olah memang terjadi trance.

Penambahan parade kesenian lokal dan pementasan seni tradisi lokal pasca kirab

ider bumi merupakan bagian dari bentuk hiburan yang dulunya tidak pernah ada.

Tujuannya adalah untuk memanjangkan durasi sekaligus memberikan hiburan

pada masyarakat tidak jenuh dan betah berada pada lokasi upacara kebo-keboan.

Kemasan seperti ini umum terjadi pada perhelatan sebuah festival bukan pada

pelaksanaan ritual. Sehingga banyak kalangan menyebut upacara adat kebo-

keboan adalah ‘pesta rakyatnya’ Alas Malang.

Gambar 4.2 Baliho sebagai sarana atau media informasi dan promosi kebo-

keboan

Page 93: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

79

Pada dasarnya setiap ritual keagamaan memiliki ciri dan kekhasan masing-

masing yang bersifat baku serta kaku. Namun tak jarang beberapa ritual yang ada

dimasyarakat Indonesia khususnya di Jawa Timur, pola-pola ritual keagamaan

saling beradaptasi dan membentuk kekhasan baru. Seperti yang terjadi pada ritual

adat kebo-keboan Desa Alas Malang. Manuati (2004) mengatakan ciri khas yang

bersifat unik merupakan unsur utama pada kebudayan yang dijual atau dipasarkan

sebaga komoditi pariwisata. Ritual adat kebo-keboan mempertahankan keaslian

sebagai modal utama dengan cara memperkuat simbol-simbol Suku Osing yang

identik dengan wujud ‘primitif’ dan liar. Kirab ider bumi yang menjadi magnet

utama dari ritual kebo-keboan digarap secara serius dengan mempertahankan

originalitas unsur-unsur tadi. Manusia kerbau yang menjadi ikon sekaligus

primadona dituntut harus maksimal dalam memerankan perannya. Karena

manusia kerbau inilah nantinya yang menjadi pusat perhatian utama pada saat ider

bumi berlangsung. Menurut Manuati (2004) menguatkan unsur ‘primitif’ yang

cenderung liar dalam konsep rekontruksi budaya menuju sisi komersil merupakan

hal lumrah terjadi.

Proses komodifikasi tersebut memang menghilangkan nilai serta tujuan

yang semestinya pada praktik kebudayaan tertentu, namun proses komodifikasi

tersebut dapat menguatkan identitas bagi pelaku budaya serta komunitasnya,

sehingga memunculkan rasa cinta yang memunculkan rekonstruksi budaya

(Manuati, 2004). Hal tersebut seperti membangkitkan kembali memori dan

membuat seseorang untuk bernostalgia yang tujuan adalah meningkatkan nilai

spiritual masyarakat. Kebo-keboan yang kini hadir bukan hanya mengusung sisi

Page 94: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

80

spiritual. Sisi seremonial yang dihadirkan melalui estetikan keunikan ritual juga

ditonjolkan. Rasa nostalgia sebagai bagian bentuk dari penghayatan kebudayaan

dan pelestarian kebudayaan terus ditumbuhkan pada proses ini. Pemaknaan akan

nilai tradisi juga akan ikut terbawa dan tersampaikan pada proses tersebut. Oleh

sebab itu dilakukan penyesuain agar kebo-keboan dapat diterima kembali oleh

masyarakat sebagaimana fungsinya pada masa sekarang.

Simbol keberadaan kebo-keboan dan identitas keberadaan masyarakat

Suku Osing di Desa Alas Malang sudah dapat kita lihat dari keberadaan patung

kerbau di pintu masuk desa. Saat ini sedang berlangsung proyek pembangunan

yang diberi nama Rumah Budaya Kebo-Keboan. Nantinya ketika proyek tersebut

selesei, tempat tersebut akan dijadikan sebagai sanggar dan dibuka untuk umum.

Pengetahuan tentang budaya Suku Osing dan khususnya tentang kebo-keboan

akan diberikan ditempat tersebut. Pembangunan ini berdasarkan sponsor dari

Indra Gunawan atau Mas Gun. Salah satu tetua adat atau tokoh masyarakat yang

menjabat sebagai ketua panitia pada setiap tahunnya. Proyek Rumah Budaya

Kebo-Keboan sekaligus jawaban atas permintaan pemerintahan untuk

menyediakan galeri atau sanggar yang dapat dijadikan sebagai wadah kegiatan.

Keberadaan tugu dan rumah budaya tersebut merupakan bentuk artefak

yang dihasilkan oleh budaya warga Alas Malang pada saat ini. Sekaligus sebagai

bentuk atau wujud pengakuan bahwa kebo-keboan adalah milik mereka. Dapat

dikatakan bahwa hal tersebut seperti prasasti pada masa kerajaan dahulu. Hal

tersebut adalah pola komodifikasi yang diterapkan pemerintah selain dengan

promosi dan pemaknaan kembali terhadap ritual kebo-keboan. Adanya sarana

Page 95: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

81

berupa ruang berkumpul sebagai tempat edukasi merupakan strategi lanjutan agar

proses pemasaran terus berlanjut. Paket wisata kebo-keboan tidak hanya

berlangsung dan terhenti pada saat pelaksaannya yang hanya sekali pada satu

tahun saja. Terbangunnya sebuah galeri budaya seperti Rumah Budaya Kebo-

Keboan mengisyaratkan munculnya pola baru dalam komodifikasi tersebut.

Seperti halnya sebuah museum rumah adat tersebut akan menghadirkan

diorama-diorama kebo-keboan Alas Malang. Kehadiran pola ekonomi yang terus

berlanjut pada kebudayaan ini bisa jadi akan benar-benar menghancurkan nilai

yang sudah terbentuk. Lambat laun masyarakat benar-benar akan memaknai kebo-

keboan sebagai komoditi yang mendatangkan uang. Lindsay (1995), menyatakan

bahwa kebijakan saat ini telah mengubah dan merusak budaya, tradisi seni-seni,

akibat dari campur tangan yang berlebihan menyangkut kebijakan komodifikasi,

Gambar 4.3 Proyek pembangunan Rumah Budaya Kebo-Keboan dan

Tugu Kerbau

Page 96: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

82

dan tidak perhatian yang diberikan oleh pemerintah dalam konteks substansi

budaya tersebut.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan Pemerintah Banyuwangi tentang

pariwisata diatur dalam Peraturan Daerah No.13 Tahun 2002 yang isinya tentang

pemanfaatan potensi alam dan budaya sebagai sumber daya pariwisata. Kebijakan

tersebut dapat berjalan dengan lancar terutama pada kasus komodifikasi kebo-

keboan, dikarenakan pemerintah mempunyai tangan panjang di desa sebagai

pelaksana lapangan atau teknis. Orang-orang atau organisasi yang ada pada

masyarakat sebagai tangan panjang pemerintah ini memiliki citra yang baik.

Selain ini juga memiliki power atau kekuasaan sehingga dapat menggerakan

segenap lapisan masyarakat. Citra dan power tersebut dapat dilihat dari status

sosial yang disandang oleh pihak atau agen tersebut. Sehingga negoisasi yang

antara pemerintah dan masyarakat dapat berjalan baik.

Kebijakan pemerintah Benyuwangi dikemas melalui simbol-simbol

tertentu seperti keberadaan kekuatan bahasa, lambang-lambang fisik,

pembentukan kelembagaan tertentu, dan wacana kebudayaan. Hal ini dapat kita

lihat dari bentuk patung yang berwujud orang menari gandrung yang tersebar di

wilayah Banyuwangi serta jargon-jargon yang muncul seperti The Sunrisse of

Java. Kebijakan berjalan atau bekerja dibarengi atau akibat adanya proses

manipulasi citra sosial, simbol, dan bahasa, begitulah yang dikatakan oleh

Gaventa (1980). Lembaga Adat Kebo-Keboan sendiri merupakan tangan panjang

pemerintah dimana didalamnya terdapat orang-orang yang dipandang oleh

masyarakat. Dapat dikatakan Mas Gun adalah salah satu agen pemerintah

Page 97: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

83

tersebut. Beliau dikenal sebagai penggerak anak muda setempat, beliau juga dekat

pemerintah karena proyek-proyek pembangunan yang dijalankannya. Sehingga

dengan arahan beliau komodifikasi ini dapat berjalan dengan lancar. Meskipun

ada pihak yang kontra, masyarakat tetap memihak lembaga adat dan pro dengan

segala keputusan lembaga adat.

Jika dilihat dari pernyataan tersebut ada kepentingan-kepentingan ekonomi

yang sebenarnya sudah terjadi dan tanpa disadari. Shinji (1994), menulis tentang

ritual pemakaman atau pengebumian jenazah yang ada di Toraja. Manipulasi

budaya yang telah terjadi di Toraja dan mengakibatkan ritual pemakaman tersebut

secara tidak langsung juga mengalami komodifikasi. Hal tersebut merupakan

konsekuensi yang harus diterima karena adanya perubahan latar belakang

masyarakat Toraja. Kebijakan Pemerintah seringkali tidak sesuai dengan apa yang

menjadi tujuan masyarakat untuk merevitalisasi budaya. Peningkatan ekonomi

daerah dan kesejahteraan masyarakat sering menjadi kambing hitam dari

permasalahan-permasalahan tersebut. Pada masyarakat Toraja kebudayaan

langsung disajikan dalam bentuk komoditi. Kemasan tersebut langsung membuat

masyarakat langsung sadar untuk memaknai kebudayaan tersebut berdasarkan

motif ekonomi.

Berbeda dengan pola-pola komodifikasi yang terjadi pada ritual kebo-

keboan Desa Alas Malang. Kesadaran masyarakat dalam memaknai ritual tersebut

menjadi sebuah komoditi berjalan cukup lambat. Kebijakan-kebijakan yang

ditawarkan oleh pemerintah dan dibawa oleh agen kepada masyarakat pada

awalnya memang bukan untuk komodifikasi. Pemerintah melalui agen-agen yang

Page 98: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

84

ada memberi bentuk penawaran berupa revitalisasi yang tujuannya adalah

pelestarian serta penghayatan warisan nenek moyang. Kesadaran masyarakat itu

muncul ketika lambat laun ritual kebo-keboan sudah mulai mengalami perubahan,

dan pemaknaan ulang yang merupakan bentuk revitalisasi lebih menonjol

ketimbang makna asli.

4.4 Dari Ritual Menjadi Festival: Refleksi Ritual Kebo-Keboan di Era Global

Konsep globalisasi pada dunia modern sekarang menuntut adanya adaptasi

oleh segenap masyarakat beserta kebudayaanya. Adaptasi tersebut secara umum

bertujuan positif, namun tak jarang berbagai dampak negatif juga mengikuti dari

proses adaptasi tersebut. Lewellen (2002) memberikan pengertian tentang

globalisasi yang saat ini sedang berlangsung.

Contemporary globalization is the increasing flow of trade, finance,

culture, ideas and people brought about by sophisticated technology of

communications and travel and by the worldwide spread of neoliberal

capitalism and it is the local and regional adaptations to and resistance

against these flows (Lewellen, 2002:7-8)

Kurang lebih jika dalam Bahasa Indonesia Lewellen (2002), mengatakan bahwa

globalisasi ditandai dengan adanya peningkatan pada arus ide, budaya, keuangan,

perdagangan dan orang-orang yang dibawa oleh teknologi komunikasi canggih

melalui penyebaran kapitalisme neoliberal diseluruh dunia dan adanya adaptasi

lokal-regional dan resistensi menentang terhadap arus ini. Jika dicermati lebih

dalam, pemahaman yang disampaikan oleh Lewellen (2002) tersebut juga

mengisyaratkan faktor penarik, objek-sebjek, dan penghambat modernisasi

kebudayaan.

Page 99: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

85

Modernisasi sebagai bentuk adaptasi kebudayaan di era global merupakan

jalan keluar yang lazim dilakukan. Hal tersebut dapat dilakukan ketika kondisi

budaya masih bertahanan dilingkungan masyarakat. Lalu bagi kebudayaan yang

sudah mulai pudar atau mati suri yang disebabkan oleh faktor tertentu.

Masyarakat sudah mulai jenuh karena tidak ada relevansinya dengan budaya dan

pola perilaku modern. Bisa juga karena adanya etika agama baru yang tidak

sesuai, serta banyak lagi faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Revitalisasi

adalah jalan keluar paling efisien untuk mengatasi masalah tersebut. Tujuan awal

dilkukannya revitalisasi adalah wujud dari pelestarian dan cara untuk

mempertahankan warisan budaya leluhur. Lazimnya yang terjadi pada saat ini

perilaku lanjutan dari revitalisasi adalah muncul komodifikasi.

Apa yang terjadi pada ritual adat kebo-keboan adalah refleksi atau

cerminan dari kondisi tersebut. Kebo-keboan adalah budaya traditional suku

Osing yang kini mempunyai fungsi ganda selain sebagai ritual juga sebagai

komoditi pariwisata Banyuwangi. Produk komodifikasi yang saat ini lazim terjadi

diberbagai kebudayaan di Indonesia. Benturan budaya modern dan tradisional

membuat unsur etnik yang adad pada kebo-keboan terlihat menarik serta unik.

Rekonstruksi makna yang terjadi pada proses revitalisasi sengaja digiring kearah

komodifikasi. Penempatan dan pemilihan agen ditengah masyarakat menjadi titik

paling vital pada proses ini. Agen ini bertimdak sebagai negosiator pemerintah

serta roda penggerak kebijakan yang menggiring kebo-keboan pada ranah

komodifikasi budaya. Antara masyarakat dengan agen yang terpilih memiliki

keterikatan, terutama dalam bidang ekonomi.

Page 100: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

86

Dalam strukur pemerintahan desa para agen tidak menempati jabatan

apapun, namun secara status sosial masyarakat keluarga serta sanak mereka

memiliki tempat yang terhormat. Menjadi tuan tanah dikalangan Suku Osing

selain sebagai anugrah juga mengemban tugas layaknya priyayi Jawa pada

umumnya. Secara tidak langsung mereka mempunyai tanggung jawab

mensejahterakan lingkungan dengan cara memberi mata pencaharian kepada

masyarakat. Hal tersebut juga mempunyai sisi lain untuk mempertahankan posisi

mereka ditengah masyarakat. Keluarga-keluarga ini secara garis keturunan

merupakan penerus para tetua adat pada masa lampau yang memang dijadikan

rujukan oleh masyarakat. Sudah dapat ditebak, pada akhirnya masyarakat akan

lebih menurut pada para agen daripada dengan institusi-institusi lain, seperti

contohnya pemerintah desa.

Pada dasarnya keberadaan kebo-keboan merupakan wujud dari perilaku

religius masyarakat. Juga sebagai gambaran bahwa masyarakat Suku Osing sudah

mengenal adanya kepercayaan. Beberapa kalangan menganggap bahwa suku

Osing khususnya yang mendiami Desa Alas Malang memiliki praktek

kepercayaan lebih condong pada Hindu. Jika dikaji lebih dalam dan diamati

secara detail pada setiap proses atau rangkaian upacara, dapat dilihat praktek

animisme dan dinamisme masih kental dilakukan. Pelaku ritual tidak pernah

menjelaskan secara pasti nama Dewa dalam Hindu atau Tuhan dalam agama

lainya. Mereka hanya mengagungkan sosok Dewi Sri, cukup wajar karena mereka

adalah masyarakat agraris, ini juga hanya dilakukan pada proses ider bumi.

Page 101: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

87

Prosesi-prosesi lain sosok Tuhan sifatnya universal tidak condong pada satu

agama, meskipun sudah digunakannya doa-doa dalam Agama Islam.

Persoalan tentang agama ini pula yang mempenaruhi keadaan kebo-keboan

pada masa sekarang. Perlu diingat pula faktor-faktor lain seperti kondisi sosial-

politik juga sangat berpengaruh pada kebo-keboan. Pada bab-bab sebelumnya

sudah sering disinggung serta dijelaskan tentang kondisi demikian. Pasang surut

yang terjadi ini membuat kebo-keboan selalu memiliki wajah baru ditengah

masyarakat luas. Saat ini kebo-keban hadir sebagai bagian dari wisata edukasi

atau wisata budaya yang ada di Banyuwangi. Kebo-keboan adalah warisan budaya

leluhur yang syarat akan makna luluhur dan patut untuk dipertahankan

keberadaannya, merupakan tujuan mulia dan dasar yang baik untuk digunakan

sebagai tujuan revitalisasi.

Kenyataan sekarang masyarakat memaknai kebo-keboan adalah bagian

dari pesta masyarakat yang menghadirkan kesenangan. Sisi lain masyarakat

setempat juga memaknai kebo-keboan adalah pesta rakyat yang mampu

mendatangkan pundi-pundi uang. Dalam sebuah ritual atau upacara adat terdapat

dua sisi yang saling terikat. Selalu ada sisi tuntunan dan tontonan. Tuntunan

disampaikan lewat sebuah tontonan dan pemaknaan penonton digiring melalui

tuntunan yang luhur. Pada kebo-keboan sisi tontonan digarap terlalu serius

sehingga mengkaburkan sisi tuntunanya. Cukup wajar ketika pemaknaan terhadap

kebo-keboan adalah sebagai pesta rakyat bukan sebagai upacara ritual, meskipun

kata ritual terebut digaungka berulang-ulang kali.

Page 102: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

86

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Upacara adat kebo-keboan merupakan salah satu ritual yang dilaksanakan

oleh masyarakat Suku Osing Desa Alas Malang Kabupaten Banyuwangi. Tujuan

dari pelaksanaan ritual tersebut adalah sebagai selametan desa agar warga selalu

mendapat kesejahteraan, berkah, dan keselamatan. Selain itu sebagai bentuk atau

wujud nyata dari rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta atas segala apa

yang mereka peroleh selama satu tahun. Upacara yang dilaksanakan pada setiap

satu tahun sekali ini sering juga disebut sebagai ruwatan Desa Alas Malang. Juga

sering disebut oleh masyarakat sekitar sebagai pesta rakyat Desa Alas Malang.

Keberadaan kebo-keboan sebagai bentuk upacara adat atau ritual Suku

Osing mengalami pasang surut. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh oknum-oknum

yang ingin menjadikan kebo-keboan sebagai alat atau sarana untuk pencapaian

tertentu. Saat ini kebo-keboan menjelma menjadi salah satu ikon dan destinasi

wisata Kabupaten Banyuwangi. Proses komodifikasi dari sebuah ritual menjadi

komoditi pariwisata yang terjadi pada kebo-keboan tidak serta merta mereduksi

seluruh nilai dan makna ritual. Beberapa aspek cenderung semakin menguatkan

sisi spiritual dari masyarakat melalui bentuk-bentuk tradisi yang dipertahankan.

Tidak dapat dipungkiri pula masyarakat hanya mendapat kesan seremonial saja

karena keberadaan dari kebo-keboan menjadi multitafsir. Seperti halnya sebuah

seni setiap orang yang menikmati bebas menilai apa yang mereka rasakan.

Page 103: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

87

Proses komodifikasi yang terjadi semakin menguatkan identitas dan

keberadaan Suku Osing yang mendiami Desa Alas Malang. Komodifikasi

kebudayaan yang cenderung dan identik dengan hilanngnya makna atau nilai pada

budaya itu sendiri, pada prosesnya menghadirkan sisi dan segi positif tersendiri.

Kebo-keboan sudah tidak lagi murni sebagai ritual saja tapi juga sebagai bentuk

seremonial. Karena kemasan dari kebo-keboan yang dibentuk agar bisa go-publik.

Pola-pola tersebut yang tanpa meninggalkan unsur tradisi dari masyarakat Osing,

mampu menghadirkan rasa cinta dan bangga ketika kebudayaan mereka dianggap

patut untuk disejajarkan dengan budaya lain. Sehingga rasa bangga dan cinta

tersebut membuat masyarakat semakin menegaskan keberadaanya.

5.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya tentang keberadaan upacara adat keboan-

keboan sebagai bagian dari pariwisata Kabupaten Banyuwangi. lebih ditekankan

atau dititik beratkan pada makna dan nilai yang terkandung pada ritual tersebut.

Penelitian tetap mengkaji aspen kesejarahan sebagai bahan komparasi atau

pembanding nilai dan makna original, dengan nilai dan makna yang muncul pada

masa sekarang. Proses komodifikasi itu sendiri mash berlangsung hingga sekarang

dan perubahan model penjualan akan terus mengalami perkembangan. Bentuk-

bentuk baru untuk sebagai pola komodifikasi akan terus ditemukan. Oleh sebab

itu perlu ada kajian lanjut tentang kebudayaan Suku Osing, khususnya adalah

upacara adat kebo-keboan

Page 104: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

88

DAFTAR PUSTAKA

Appadurai, Arjun. (1990). Modernity at Large. Cultural Dimentions of

Globalization. Minneapolis: University Minnesota Press.

Denti, Hervinda Fran’s dan Martinus Legowo. (2015). Makna Upacara Adat

Keboan (Studi Interaksionisme Simbolik Pada Masyarakat Desa Aliyan

Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Paradigma. Volume

03 Nomor 02. Universitas Negeri Surabaya.

Eller, Jack David. (2007). Introducing Anthropology of Religion Culture to the

Ultimate. New York: Routledge.

Endraswara, Suwardi. (2003). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Gaventa, John. (1980). Power And Powerlessness; Quiescene And Rebellion In

Appalachian Valley. Oxford: Clarendon Press

Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. Illinois: Massachusetts Institute of

Technology.

Kaunang, Ivan Robert Bernadus dan Mareike Sumilat. (2015). Kemasan Tari

Maengket Dalam Menunjang Industri Kreatif Minahasa Sulawesi Utara Di

Era Globalisasi. Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum. Volume 2 Nomor

1. Universtas Samratulangi Manado.

Kholil, Ahmad. (2011). Kebo-Keboan Dan Ider Bumi Suku Using: Potret

Inklusivisme Islam di Masyarakat Using Banyuwangi. Jurnal El-Harakah.

Volume 13 Nomor 2. UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Lewellen, Ted. C. (2002). The Anthropology Of Globalization. Cultural

Anthropology Enter 21st Century. London: Bergin & Garvey.

Page 105: DARI RITUAL MENJADI FESTIVAL: PROSES ...repository.ub.ac.id/1038/1/NURYANSAH WAHYU UTOMO.pdfKata Kunci: Kebo-keboan, Komodifikasi, Pariwisata, Ritual, Suku Osing Pembahasan tentang

89

Lindsay, Jennifer. (1995). “Cultural Policy And The Performing Arts In South

East Asia”. Pada http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/

viewFile/ 1735/2496. Diakses pada 10 Maret 2017.

Makmur, Muhammad Hadi dan Akhmad Taufiq. (2016). Kebudayaan Using:

Konstruksi, Identitas, Dan Pengembanganya. Jember: Pusat Penelitian

Budaya Etnik dan Komunitas, Lembaga Penelitian Universitas Jember

Kerjasama Penerbit Ombak.

Manuati, Yekti. (2004). Identitas Dayak : Komodifikasi dan Politik Kebudayaan.

Yogyakarta: LKiS.

Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-

Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

Shinji, Yamashita. (1994). Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral

Ceremony, Tourism, And Television Among The Toraja Of Sulawesi.

Journal Southest Asia Program Publications 58, 69-82. Cornell University.

Spradley, James P. (1979). The Ethnographic Interview. California: Wadsworth

Publishing Company, Belmont.

Majalah Bahas Osing Seblang. (2007). Edisi 4, Januari-Februari. Ritual Adat

Kebo-keboan. Banyuwangi: Dinas Kesenian Blambangan.