dampak globalisasi dalam aspek lingkungan hidup

5
Dampak Globalisasi dalam Aspek Lingkungan Hidup Aspek lingkungan hidup yang pemahamannya berakar dari disiplin Ilmu Alam Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional pada dekade belakangan ini kerap diangkat dalam berbagai forum dan kajian kerjasama internasional. Isu lingkungan hidup menjadi salah satu kajian yang dapat diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong aktor atau unit internasional lain untuk ikut terlibat dalam penyelesaian dan penanganannya, hal ini dikarenakan masalah lingkungan dianggap bersifat implikatif yang menimbulkan chain reaction atau reaksi berantai terhadap pihak lain, begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah lingkungan hidup hingga mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan menjadikannya menjadi komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum internasional. Isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada tahun 1970-an, hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia yang lebih dikenal dengan Stockholm Conference. Konferensi yang diadakan oleh PBB ini merupakan jawaban terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan dan semakin meningkatnya concern masyarakat dunia pada saat itu, dan juga atas kekhawatiran banyak kalangan pemerhati lingkungan di Eropa, selain itu pada saat itu juga terbit buku riset kajian Club of Rome, yang berjudul The Limits to Growth, Club of Rome merupakan kelompok think thank berpengaruh di Eropa yang dalam buku tersebut memaparkan bahwa seiring kemajuan pesat indutri dan pertumbuhan penduduk dunia sumber daya alam di bumi semakin menipis, dimana perkara ini kemudian diasumsikan menjadi penyebab negatif yang merusak tata lingkungan global secara masif, yang kelak jika keadaan seperti ini terus dibiarkan akan berefek buruk dan menciptakan krisis pangan dan krisis sumber daya secara global. Konferensi lingkungan hidup PBB yang berlangsung di Stockholm tersebut kemudian menghasilkan sebuah resolusi mengenai pembentukan United Nations Environmental Program (UNEP), dapat

Upload: okky-oktafiani

Post on 22-Nov-2015

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pkn

TRANSCRIPT

Dampak Globalisasi dalam Aspek Lingkungan Hidup

Aspek lingkungan hidup yang pemahamannya berakar dari disiplin Ilmu Alam Hayati yang dijadikan menjadi isu internasional pada dekade belakangan ini kerap diangkat dalam berbagai forum dan kajian kerjasama internasional. Isu lingkungan hidup menjadi salah satu kajian yang dapat diklasifikasikan dalam kajian yang keberadaannya dapat mendorong aktor atau unit internasional lain untuk ikut terlibat dalam penyelesaian dan penanganannya, hal ini dikarenakan masalah lingkungan dianggap bersifat implikatif yang menimbulkan chain reaction atau reaksi berantai terhadap pihak lain, begitu penting dan tingginya tingkat urgensi masalah lingkungan hidup hingga mendorong banyak pihak untuk mengangkat dan menjadikannya menjadi komoditas isu hangat dalam setiap pertemuan forum internasional.

Isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai sebagai salah satu agenda dalam pertemuan negara-negara dalam ranah hubungan internasional pada tahun 1970-an, hal ini ditandai dengan diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia yang lebih dikenal dengan Stockholm Conference. Konferensi yang diadakan oleh PBB ini merupakan jawaban terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan dan semakin meningkatnya concern masyarakat dunia pada saat itu, dan juga atas kekhawatiran banyak kalangan pemerhati lingkungan di Eropa, selain itu pada saat itu juga terbit buku riset kajian Club of Rome, yang berjudul The Limits to Growth, Club of Rome merupakan kelompok think thank berpengaruh di Eropa yang dalam buku tersebut memaparkan bahwa seiring kemajuan pesat indutri dan pertumbuhan penduduk dunia sumber daya alam di bumi semakin menipis, dimana perkara ini kemudian diasumsikan menjadi penyebab negatif yang merusak tata lingkungan global secara masif, yang kelak jika keadaan seperti ini terus dibiarkan akan berefek buruk dan menciptakan krisis pangan dan krisis sumber daya secara global.

Konferensi lingkungan hidup PBB yang berlangsung di Stockholm tersebut kemudian menghasilkan sebuah resolusi mengenai pembentukan United Nations Environmental Program (UNEP), dapat dikatakan bahwa UNEP merupakan motor awal pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dalam hubungan kerjasama antar negara, yang kemudian melahirkan gagasan dari pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dengan pertemuan-pertemuan serta pembahasan yang berkesinambungan, dan diangkat secara global dalam forum dan konferensi internasional.

pertemuan antar negara-negara dalam membahas masalah lingkungan hidup terangkum dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change), dimana hasil dari salah satu pertemuan UNFCCC yang diadakan yaitu mengenai kesepakatan negara-negara pada tahun 1997 untuk membuat konsensus penanganan lingkungan yang dirangkum dalam suatu protokol yang disebut Protocol Kyoto, dimana protokol ini mengatur mengenai pembatasan kadar emisi karbon suatu negara yang telah meratifikasinya.

mengenai Bali Road Map yang di hasilkan dari pertemuan UNFCCC ke-13 pada tahun 2008 di Bali, Indonesia, yang kemudian berlanjut dalam pertemuan di Coppenhagen, Denmark pada tahun 2009, lalu pertemuan di Cancun, Meksiko pada tahun 2010, dan beberapa pertemuan yang akan digelar pada tahun-tahun berikutnya, dalam pertemuan tersebut esensinya dibahas mengenai kelanjutan dari Protokol Kyoto yang masa berlakunya akan segera habis pada tahun 2012, sehingga oleh banyak pihak dianggap pentingnya sebuah kebijakan baru dalam melanjutkan Protokol Kyoto. Dalam pertemuan tersebut juga muncul gagasan mengenai program sistem kredit karbon yang disebut sebagai program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation), yaitu suatu pengaturan untuk mengurangi tingkat emisi karbon dengan sistem dimana negara industri maju yang dianggap menjadi penghasil karbon yang telah merusak atmosfer diharuskan membayar secara finansial kepada negara-negara pemilik hutan yang menyerap karbon, dan dana tersebut akan digunakan negara pemilik hutan sebagai dana untuk pelestarian hutan dan penanggulangan deforestasi dan degradasi hutan, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) atau ilmuwan antar negara yang merupakan besutan PBB di bawah UNFCCC sebagai pihak yang mengusulkan ide program tersebut berpendapat, bahwa dengan dilaksanakannya program REDD maka akan menciptakan suatu keseimbangan karbon yang disebut Carbon Neutral, dan adanya sistem yang berkeadilan antara negara industri maju dan negara berkembang pemilik hutan dalam penanganan masalah lingkungan hidup.

Pengeluaran emisi karbon yang dianggap sebagai penyebab utama masalah pemanasan global tidak lain adalah senyawa gas Karbondioksida, namun karbon disini adalah karbon yang dihasilkan dari pembuangan akhir bahan bakar fosil, sejatinya karbondioksida merupakan gas non toksik yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa, sangat penting bagi semua kehidupan di bumi. Semua tumbuh-tumbuhan hijau memerlukan karbondioksida untuk proses fotosintesis. Secara ilmiah dengan meningkatnya karbondioksida maka kecepatan pertumbuhan tanaman juga akan meningkat. Namun oleh para ilmuwan senyawa karbondioksida juga ditengarai menjadi penyebab meningkatnya suhu bumi akibat berkumpulnya konsentrasi karbon yang berlebihan di atmosfer khususnya pada periode 1970-2000 pasca meningkatnya aktivitas industri dan penggunaan bahan bakar fosil secara global.

Selain laporan dari IPCC mengenai penelitian penyebab terjadinya pemanasan global, juga muncul laporan dari sebuah film dokumenter lingkungan besutan Al Gore yang berjudul An Inconvenient Truth pada tahun 2007, yang menghantarkan Al Gore menjadi penerima hadiah Nobel Perdamaian di tahun yang sama, dimana dalam film dokumenter tersebut dipaparkan mengenai peningkatan kadar karbondioksida di atmosfer yang telah berakibat dalam meningkatkan suhu bumi secara global, serta menyebabkan berkurangnya glasier es di kutub yang semakin berkurang akibat pemanasan di kutub, yang berakibat juga pada kenaikan permukaan air laut yang di asumsikan akan naik setinggi 20 kaki (6,09 meter), dimana dengan kenaikan setinggi itu akan dapat mengancam kehidupan bahkan menenggelamkan negara-negara kepulauan di Pasifik dan juga akan menenggelamkan kota-kota besar negara dunia yang kebanyakan berada di pesisir pantai, berkorelasi dengan fakta diatas film ini juga mengungkapkan mengenai populasi beruang kutub yang berada dalam ambang kepunahan, dimana Al Gore beserta ilmuwan dalam pembuatan film tersebut juga berpendapat bahwa aktivitas industri manusialah penyebab semua fenomena ini.

Dari kelompok penentang teori pemanasan global akibat manusia berpendapat bahwa pemanasan global yang terjadi saat ini tidak ada hubungannya dengan kadar emisi karbon berleb ihan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia, perihal suhu bumi yang memanas adalah sebuah kejadian siklus alami dari bumi, yang kadang memanas dan kadang mendingin, para ilmuwan ini mengaitkannya dengan Ice Age atau zaman es yang terjadi pada masa lampau, dimana pemanasan bumi yang masif setelah zaman es terjadi secara alami tanpa campur tangan aktivitas manusia pula, selain fakta historis pada era lampau catatan satelit cuaca NOAA mempublikasikan bahwa tahun 1998 adalah tahun dengan suhu terpanas di abad ini, yang kemudian setelah itu suhu iklim menurun sesuai dengan siklus alami.

Dalam KTT Coppenhagen, Denmark pada tahun 2009, negara-negara berusaha untuk mencegah suhu bumi naik 2 derajat celcius. Rekomendasi IPCC berpendapat bahwa peningkatan sebesar 2 derajat celcius akan membawa dampak yang berbahaya bagi umat manusia, Namun negara-negara yang tergabung dalam implementasi KTT Kopenhagen lupa bahwa pada abad ke-9 hingga abad ke-13 suhu bumi pernah lebih panas 4 derajat celcius dibanding saat ini, periode pemanasan ini disebut Medieval Warm Period, padahal saat itu belum ada produksi karbon besar-besaran seperti sekarang, yang kelak gas karbon dituduhkan sebagai dalang dalam penaikan suhu bumi. Medieval Warm Period tersebut kemudian berakhir pada tahun 1300 dan bumi mulai mendingin secara drastis, periode dingin ini disebut Little Ice Age dan berlangsung selama 500 tahun, dan pada tahun 1850 suhu bumi kembali naik, yang oleh ilmuwan penentang beranggapan bahwa intinya semua penaikan dan penurun suhu tersebut terjadi dengan sendirinya sesuai dengan siklus bumi.

Nama: Okky OktafianiKelas: XII ipa 1No: 24