dalam ilmu politik moderen terdapat konsep divided government (perubahan ilmu politik)

2
Dalam ilmu politik moderen terdapat konsep divided government, atau pemerintahan terbelah. Ini terjadi manakala eksekutif dikuasai partai politik atau koalisi partai politik yang tidak menguasai legislatif. Peta politik seperti itu membuat pemerintahan tidak berkembang. Sebab, setiap rancangan kebijakan yang diajukan oleh eksekutif selalu ditentang atau ditolak legislatif. Pemerintahan pun lumpuh, tidak efektif. Divided government hanya terjadi di negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem pemerintahan parlementer, tidak terjadi karena eksekutif selalu didukung legislatif. Mengapa? Ya karena partai politik atau koalisi partai politik yang menguasai mayoritas kursi parlemen-lah yang membentuk pemerintahan. Maka dari itu disebut pemerintahan parlementer, karena pemerintah atau eksekutif berada di parlemen. Perdana menteri dan anggota kabinet adalah anggota parlemen. Menyatunya eksekutif dalam parlemen inilah yang menyebabkan sistem pemerintahan parlementer paling stabil dan efektif di dunia dibandingkan jenis pemerintahan lain. Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan daerah merupakan duplikasinya dalam ukuran yang lebih sempit. Presidensialisme di daerah itu, antara lain ditandai adanya pilkada untuk memilih eksekutif, dan pemilu legislatif untuk memilih anggota DPRD. Terjadilah divided government di hampir semua daerah, karena pilkada diselenggarakan secara berbeda waktu dengan pemilu DPRD. Dalam konteks inilah bisa kita pahami bagaimana hubungan Jokowi-Ahok dengan DPRD DKI Jakarta. Jokowi-Ahok jelas menghadapi masalah yang lebih besar dan kompleks ketika memimpin Jakarta. Bukan karena Jakarta lebih besar dari Surakarta dan Belitung Timur, juga bukan karena Jakarta lebih beragam masalahnya, tetapi lebih karena peta politik yang beda jauh. Di Solo, DPRD dikuasai PDIP, partainya Jokowi. Sedangkan di Belitung Timur, Ahok yang dicalonkan dua partai kecil, PIB dan PNBK, punya pengalaman menghadapi DPRD yang dikuasai PBB dkk. Tapi di Jakarta, lebih dari 2/3 kursi DPRD diduduki Partai Demokrat, PKS, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dll, yang tidak mendukung pencalonan Jokowi-Ahok. Pasangan dari

Upload: aditya-zulmi-rahmawan

Post on 27-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Dalam Ilmu Politik Moderen Terdapat Konsep Divided Government. perubahan dalam ilmu politik dan gejala-gejalanya merupakan hal biasa di ilmu politik, karena ilmu ini terus berkembang dalam perkembangan dunia. Semua bakalan akan berubah mengikuti era globalisasi

TRANSCRIPT

Page 1: Dalam Ilmu Politik Moderen Terdapat Konsep Divided Government (perubahan ilmu politik)

Dalam ilmu politik moderen terdapat konsep divided government, atau pemerintahan terbelah.Ini terjadi manakala eksekutif dikuasai partai politik atau koalisi partai politik yang tidakmenguasai legislatif. Peta politik seperti itu membuat pemerintahan tidak berkembang. Sebab,setiap rancangan kebijakan yang diajukan oleh eksekutif selalu ditentang atau ditolak legislatif.Pemerintahan pun lumpuh, tidak efektif.

Divided government hanya terjadi di negara yang menggunakan sistem pemerintahanpresidensial. Dalam sistem pemerintahan parlementer, tidak terjadi karena eksekutif selaludidukung legislatif. Mengapa? Ya karena partai politik atau koalisi partai politik yang menguasaimayoritas kursi parlemen-lah yang membentuk pemerintahan.

Maka dari itu disebut pemerintahan parlementer, karena pemerintah atau eksekutif berada diparlemen.

Perdana menteri dan anggota kabinet adalah anggota parlemen. Menyatunya eksekutif dalamparlemen inilah yang menyebabkan sistem pemerintahan parlementer paling stabil dan efektif didunia dibandingkan jenis pemerintahan lain.

Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan daerahmerupakan duplikasinya dalam ukuran yang lebih sempit. Presidensialisme di daerah itu, antaralain ditandai adanya pilkada untuk memilih eksekutif, dan pemilu legislatif untuk memilihanggota DPRD.

Terjadilah divided government di hampir semua daerah, karena pilkada diselenggarakan secaraberbeda waktu dengan pemilu DPRD.

Dalam konteks inilah bisa kita pahami bagaimana hubungan Jokowi-Ahok dengan DPRD DKIJakarta.

Jokowi-Ahok jelas menghadapi masalah yang lebih besar dan kompleks ketika memimpinJakarta. Bukan karena Jakarta lebih besar dari Surakarta dan Belitung Timur, juga bukan karenaJakarta lebih beragam masalahnya, tetapi lebih karena peta politik yang beda jauh. Di Solo,DPRD dikuasai PDIP, partainya Jokowi. Sedangkan di Belitung Timur, Ahok yang dicalonkandua partai kecil, PIB dan PNBK, punya pengalaman menghadapi DPRD yang dikuasai PBB dkk.

Tapi di Jakarta, lebih dari 2/3 kursi DPRD diduduki Partai Demokrat, PKS, Partai Golkar, PartaiPersatuan Pembangunan, dll, yang tidak mendukung pencalonan Jokowi-Ahok. Pasangan dari

Page 2: Dalam Ilmu Politik Moderen Terdapat Konsep Divided Government (perubahan ilmu politik)

'dusun' ini hanya didukung oleh PDIP dan Partai Gerindra, yang masing-masing memiliki hanya11 kursi dan 6 kursi dari 94 kursi DPRD DKI Jakarta.

Dalam kondisi divided government seperti itu, secara politik pemerintahan Jokowi-Ahok takkanefektif. Perhatikan saja, pada saat pembahasan RAPBD, DPRD tampak enggan segera memberipersetujuan. Untuk meminta persetujuan wali kota Jakarta Barat, butuh waktu berbulan-bulan.Yang terakhir, DPRD berencana mengajukan hak interpelasi kepada Jokowi-Ahok atas masalahKartu Jakarta Sehat (KJS).

Apa yang dialami Jokowi-Ahok sebetulnya juga terjadi di daerah lain. Sekali lagi,penyelenggaraan pilkada dan pemilu DPRD yang tidak berbarengan, hampir pasti menyebabkandivided government. Masalahnya adalah cara menghadapinya.

Di banyak daerah, divided government selalu menghasilkan politik transaksional. Ini memangjalan paling gampang agar pemerintahan jalan.

Eksekutif dan legislatif bagi-bagi anggaran, izin tambang, tender proyek, dan dana sosial.Bahkan jabatan di lingkungan pemda pun juga dijatah.

Akibatnya APBD banyak dikorupsi, jabatan publik diduduki orang tidak kompeten. Kinerjapemerintahan pun buruk, sebagian kepala daerah dan anggota DPRD masuk bui tertangkapkorupsi.

Jokowi-Ahok bisa saja terjebak dengan politik transaksional itu, sebab peta politik DPRD samasekali tidak mendukungnya. Bahkan dalam isu-isu sensitif, PDIP dan Partai Gerinda di DPRDpun diam saja. Namun pasangan ini punya dukungan publik yang kuat. Inilah yang membuatDPRD keder.

Mereka tak berani main-main dengan Jokowi-Ahok, karena akan menghadapi opini kuat kaumsimpatisan dan pendukungnya. Mereka bergerak aktif di sosial media dan forum-forum terbuka.

Jangankan anggota DPRD yang asal jeplak, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso pun tidakkuasa menghadapi tekanan mereka. Inilah kelebihan Jokowi-Ahok, dukungan publik yang kuat.Kesungguhan, kejujuran, dan keikhlasan adalah modal mereka dalam memimpin Jakarta. Hinggakini, sebagian besar rakyat Jakarta percaya, Jokowi-Ahok tidak punya pamrih apa-apa, kecualimembuat rakyat Jakarta lebih sejahtera.

Jokowi tak mempan diiming-imingi jabatan presiden, Ahok juga tak frustrasi oleh aksi-aksidiskriminasi. Keteguhan ini yang membuat simpati dan dukungan terus menguat, hingga merekabisa mengatasi peta politik DPRD yang tidak menguntungkannya.