daftar isi -...
TRANSCRIPT
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 1
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
2 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Media Komunikasi dan Informasi Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa inimerupakan salah satu media informasi dan komunikasi antar-unit di lingkunganDepartemen Pendidikan Nasional, terutama antara PPPG Bahasa dengan PPPGlain, LPMP, Direktorat-Direktorat yang relevan, dan guru-guru bahasa.
Media Informasi dan Komunikasi ini memuat informasi tentang kebahasaan danpengajarannya serta kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan gurubahasa. Kami mengundang para pembaca untuk berperan serta menyumbangkan buahpikiran yang sesuai dengan misi media ini, berupa pendapat atau tanggapan tentangbahasa, pengajarannya, dan ulasan tulisan pada media ini serta tulisan di bidang non-pendidikan bahasa.
Kami akan memperbaiki redaksional tulisan atau meringkas naskah yang akanterbit tanpa mengubah materi pokok tulisan.
Bagi penulis yang artikel atau tulisan beritanya dimuat akan diberi honorariumyang memuaskan. [E]
Terbit setiap semester sejakJuli 2003 beredar di seluruhlingkungan DepartemenPendidikan Nasional danDinas Pendidikan seluruhIndonesia.
ISSN 1693-3826
Daftar Isi
Laporan Utama♦ Kepala PPPG Bahasa Muhammad Hatta: “… tendang lagi bolanya ke saya.…” ... 4
Artikel♦ Penulisan Nama Diri dan Nama Jenis dalam Bahasa Indonesia ... 6
♦ Analisis Gramatikal Satuan Kalimat, Klausa, Frasa, Kata, dan Morfem ... 7
♦ Pembelajaran yang Dialogis, Bermakna, dan Menyenangkan ... 15
♦ Apa itu Anglisisme? ... 19
♦ Perkembangan Linguistik Modern: Sejarah Linguistik ... 21
♦ Mengenal Lebih Dekat TOAFL dan Eligibilitasnya dalam Mengukur Kompetensi Guru
Bahasa Arab ... 30
♦ Menulis Itu Mudah? ... 3535353535
♦ Zizou dan Momentum Pemahaman Lintas Budaya ... 38
English Corner♦ Shape Poem: An Appealing Merger of Word and Form ... 41
Berita Foto ... 23
Sekilas Info♦ Lomba Kreativitas Bahasa Siswa SMA/SMK/MA Se-Jabodetabek ... 46
♦ Seminar Pengajaran, Pembelajaran, dan Riset Bahasa ... 46
♦ Kunjungan Kepala PPPG Bahasa ke SDN Cilengkrang ... 46
♦ Serah Terima Jabatan Kepala PPPG Bahasa ... 47
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 3
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
KEMBALI kali ini Ekspresi menjumpaiAnda para pembaca dengan suguhan-suguhan yang tentunya tengah dinan-tikan. Seperti biasa kami awali edisi ter-baru ini dengan sajian laporan utama.
Kali ini kami suguhkan laporan uta-ma mengenai penerapan kebijakan dilingkungan PPPG Bahasa hasil wawan-cara tim redaksi dengan Kepala PPPGBahasa, Dr. Muhammad Hatta, M.Edbeberapa waktu silam.
Para kontributor Ekspresi kembalimenyuplai kami dengan artikel-artikel-nya. Terdapat tujuh artikel menarik yangberasal dari para widyaiswara dan stafPPPG Bahasa. Hampir semua artikelmengetengahkan tema seputar kebaha-saan dalam berbagai sudut pandang.
Tidak lupa juga kami suguhkan be-ragam info mengenai kegiatan yang di-laksanakan PPPG Bahasa serta foto be-rita kegiatan, seperti diklat-diklat, ke-giatan peringatan hari kemerdekaan,lomba kreativitas siswa bidang bahasa,pemberian penghargaan kepada pegawaiPPPG Bahasa, dan kegiatan out bond pe-serta diklat.
Akhirul kata, semoga Ekspresi kali inimemberi Anda pengetahuan lebih dansemoga juga Anda pun bisa memberikami pengetahuan lebih pula lewatartikel dan laporannya.
Selamat membaca!Salam.
Redaksi
PembinaKepala PPPG BahasaMuhammad Hatta
Penanggung JawabKasi Publikasi & Pelaporan
Nurlaila SalimKasatgas Media Informasi
Harmon
Dewan RedaksiPemimpin Redaksi
Herman Kartakusuma
Ketua PenyuntingGunawan Widiyanto
Anggota PenyuntingHari WibowoWidiatmoko
Endang KurniawanSiti NurhayatiJoko Sukaton
Anisah ShoumiDedi Supriyanto
Yoshua SavitriNeneng Tsani
Rosidah
Desain SampulNeutron Afriansyah
Tata LetakYusup Nurhidayat
ReporterHerman Kartakusuma
Marike N. Palupi
Distribusi dan SirkulasiSeksi Publikasi dan Pelaporan
Alamat Redaksi:Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa
Seksi Publikasi dan PelaporanJl. Gardu, Srengseng Sawah, Jagakarsa
Jakarta Selatan 12640Kotak Pos 7706 JKS LA.
Telp. (021) 7271034, 7868570Faks. (021) 7271032
Website: www.pppgbahasa.go.idEmail: [email protected],
Salam Redaksi
4 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Laporan Utama
TANTANGAN ITU disampai-
kan Kepala Pusat Pengem-
bangan Penataran Guru
Bahasa yang baru kepada seluruh
karyawan PPPG Bahasa saat beliau
memberikan materi kebijakan
Direktorat Jenderal Peningkatan
Mutu Pendidik dan Tenaga Kepen-
didikan dalam salah satu sesi diklat
sosialisasi KTSP.
Dalam acara yang berlangsung
dari tanggal 20 Desember sampai 22
Desember 2006 dan bertempat di
Gedung Serbaguna PPPG Bahasa ini,
beliau lebih jauh menyampaikan
bagaimana institusi ini harus lebih
proaktif dalam memberikan layan-
an terbaik bagi para pendidik dan te-
naga kependidikan sekaligus mem-
bangun jaringan kerjasama erat
dengan pihak-pihak terkait.
Lebih jauh lagi, beliau mengata-
kan banyak tugas yang menunggu
untuk ditangani PPPG Bahasa seperti
ketersediaan standar model pembe-
lajaran bahasa yang bisa diterapkan
di sekolah-sekolah dan adanya ja-
ringan kuat dengan ke 11 PPPG,
LPMP, MGMP, para pengawas, para
Kepala Sekolah dan asosiasi bahasa
seperti Japan Foundation, Goethe,
British Council dan sebagainya se-
hingga nantinya akan meningkat-
kan kualitas layanan institusi ini di
bidangnya.
Kemudian, sukses atau tidaknya
pelaksanaan tugas sangat bergan-
tung pada solid tidaknya sumber
daya manusia PPPG Bahasa. Seperti
satu tim sepakbola, demikian beliau
mengandaikan, setiap "pemain", baik
itu dari staf struktural maupun staf
fungsional, harus "bermain" dengan
aktif.
"Ibarat saya sudah menendang
bola, maka tendang lagi bolanya ke
saya," demikian tantangan pria
yang mengambil program master
dan doctoral di University of
Pittsburgh, Amerika Serikat ini, kepa-
da seluruh karyawan PPPG Bahasa
dalam menciptakan berbagai pro-
gram terobosan sebagai upaya pe-
ningkatan pendidikan bahasa.
Dalam satu kesempatan wa-
wancara singkat dengan reporter
EKSPRESI, beliau menjelaskan ada
Kepala Pusat Pengembangan Penataran Guru BahasaMuhammad Hatta
“… tendang lagi bolanya ke saya.…”
Marike N. Palupi
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 5
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
empat sasaran yang harus dieks-
plorasi oleh institusi ini. Pertama,
peningkatan Sumber Daya Manusia
(capacity building) terutama widya-
iswara baik itu melalui pendidikan
formal informal maupun untuk
melaksanakan penelitian sebagai
salah satu bentuk dialog akademis
antara teori dan realitas pendidikan.
Kedua, peningkatan layanan
(services) baik itu secara akademis
maupun administratif teknis.
Ketiga, peningkatan kemampu-
an pemasaran (marketing). Hal ini
berarti PPPG Bahasa dituntut untuk
dapat mengembangkan program
agar produk-produk yang dihasilkan
termasuk didalamnya para instruk-
tur yang telah dihasilkan sejak
tahun 1990-an, marketable. Dalam
artian PPPG Bahasa harus mampu
‘menjual’ para alumninya terutama
di daerah dalam rangka peningkat-
an mutu pendidikan bahasa di se-
luruh Indonesia.
Keempat, peningkatan pola-
pola kerjasama (networking) dengan
pihak-pihak terkait seperti LPMP dan
asosiasi-asosiasi bahasa. Keempat
sasaran itu akhirnya bermuara
pada satu tujuan yaitu pencitraan
publik yang baik bagi institusi.
Saat ditanyakan tentang apa
yang dirasakan saat diangkat seba-
gai orang nomor satu di PPPG
Bahasa, bapak dua putra ini menje-
laskan bahwa yang terpenting ada-
lah kesiapan mental dan fisik. Beliau
bersyukur bahwa jabatan yang di-
duduki sebelumnya sebagai Kasubdit
Kurikulum dan Sisjian (2000-2002)
serta Kasubdit Kurikulum dan
Penilaian (2002-2006) di Direktorat
PLP memberikan pengalaman dan
pengetahuan seperti mengenai hasil
evaluasi pembelajaran dan kompe-
tensi mengajar dapat membantu
membaca permasalahan yang mun-
cul di institusi ini sekaligus meme-
takan untuk dicari solusinya.
Perbedaan yang dirasakan oleh
mantan aktivis di Senat Mahasiswa,
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Malang antara 1978-1980 ini
adalah, sebagai Kepala Pusat beliau
lebih memiliki otoritas dalam peng-
ambilan kebijakan sekaligus posisi
yang lebih menantang dibanding
saat menduduki jabatan sebelum-
nya. Tentu saja tanggung jawab
yang dipikul menjadi lebih besar.
Menjawab munculnya kritikan
bahwa diklat yang diadakan oleh
PPPG Bahasa selama ini belum men-
jawab kebutuhan konsumen di lapa-
ngan karena lebih cenderung me-
makai pendekatan one size fits all,
beliau mengakui memang ada per-
masalahan rekrutmen peserta diklat.
Untuk itu perlu dikembangkan
satu sistem analisa kebutuhan se-
perti melakukan uji kompetensi seba-
gai salah satu alat ukur. Kerjasama
yang solid dengan LPMP dan Dinas
Pendidikan setempat menjadi satu
hal yang tidak terbantahkan.
Namun, kembali pemimpin ketu-
juh yang mengepalai PPPG Bahasa,
yang mengisi waktu luang dengan
membaca buku manajemen dan ber-
olahraga tenis lapangan ini, mena-
nyakan kesiapan para akademisi
PPPG Bahasa membangun sistem
yang diharapkan.
Terakhir, memandang hubung-
an antara sekolah, LPTK, dan PPPG
Bahasa; beliau menekankan bahwa
akademisi institusi ini harus mampu
membantu guru dalam melakukan
penyesuaian (adjustment) antara
teori-teori yang didapat dari uni-
versitas dengan permasalahan yang
muncul di lapangan. [E]
BIODATA
Nama : Muhammad Hatta, Ph.D.
Tempat, Tanggal Lahir : Jereweh, NTB, 20 Juli 1955
Pendidikan :
♦ 1982—S1 Pendidikan Sosial Univ. Negeri Malang
♦ 1990—S2 Administration and Policy Studies
University of Pittsburgh, Amerika Serikat
♦ 1996 —S3 Soc. Comp. Analysis in Education
University of Pittsburgh, Amerika Serikat
Istri : Ilham Nur Putri, S.H.
Anak :
♦ Sylvan Zikri Rahman (12 tahun)
♦ Luthfan Kasyfurrahman (3 tahun)
Pengalaman Karir :
♦ 1992—Kepala Seksi Sarana Ditdikdas
♦ 1998—Kasubdit Guru Dit. Sekolah Swasta
♦ 2000—Kasubdit Kurikulum dan Sisjian Dit. SLTP
♦ 2002—Kasubdit Kurikulum dan Penilaian Dit. PLP
6 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
A. Nama Diri
Nama diri (propper name) dipakai
untuk menamai orang, tempat, atau
sesuatu, termasuk konsep atau gaga-
san. Dengan nama diri itu, orang di-
sapa atau dipanggil dan dengan na-
ma diri itu tempat atau sesuatu di-
sebut atau dikenal.
Sebuah nama diri tidak menca-
kupi atau tidak dicakupi oleh nama
diri lain. Artinya, nama diri itu tidak
memiliki superordinat (tidak ada
lagi nama diri yang ada di atas) dan
juga tidak memiliki subordinat (tidak
ada lagi nama diri di bawahnya). Se-
buah nama diri selalu berdiri sen-
diri.
Penulisan nama diri harus meng-
ikuti kaidah yang tercantum di da-
lam buku Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempur-
nakan (disingkat: Pedoman Umum
EYD). Pedoman itu selalu menulis-
kan semua contoh yang berupa
nama diri dengan huruf awal kapital.
Yang memiliki nama diri adalah
Tuhan, persona, yang berkaitan
d e n g a n k a l e n d e r , b e n d a k h a s
geografi, dan benda.
1. Nama Diri Tuhan
Tuhan memiliki nama diri. Menurut
kaidah ejaan, nama diri Tuhan, ter-
masuk unsurnya, dituliskan dengan
huruf awal kapital, seperti Allah,
Yesus Kristus, dan Sang Hyang Widi
Wasa. Keterangan di belakang nama
diri Tuhan dan kata ganti Tuhan di-
tuliskan dengan huruf awal kapital,
seperti Allah Yang Mahakuasa serta
rahmat-Mu dan kepada-Ku.
2. Nama Diri Persona
Tulisan ini memasukkan nama diri
orang, nama diri nabi dan rasul, na-
ma diri malaikat, nama diri dewa,
nama diri setan, dan nama diri iblis
(jika iblis memiliki nama) ke dalam
kelompok nama diri persona, seperti
(1) Fatimah, Nabi Muhammad, Malaikat
Israfil, Dewi Aphrodit, Rsi Sumanthu
dan Rsi Jaimini, dan Setan Ifrit.
Pedoman Umum EYD hanya men-
cantumkan kaidah penulisan yang
berkaitan dengan nama diri Tuhan,
termasuk kata ganti Tuhan, dan kitab
suci.
3. Nama Diri yang Berhubungan
dengan Kalender
Segala yang berhubungan dengan
kalender, seperti peristiwa penting,
tahun, bulan, hari, zaman, dan masa
memiliki nama diri. Nama itu,
termasuk unsurnya, dituliskan de-
ngan huruf awal kapital, seperti
(2) Perang Candu dan Revolusi
Prancis; Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia; tahun Masehi,
tahun Hijriah, tahun Gajah;
M u h a r a m , S a p a r , J a n u a r i ,
Februari; Ahad, Minggu, Kliwon;
serta zaman Jahiliyah, dan masa
Orde Baru.
4. Benda Khas Geografi
Nama diri benda khas geografi, ter-
masuk unsurnya, seperti planet,
benua, pulau, gunung, laut, selat,
lautan, teluk, sungai, danau, bukit,
dan lembah, dituliskan dengan
huruf awal kapital, seperti
(3) Benua Asia, Benua Afrika, Pulau
Sumatera, Pulau Timor; Gunung
Lompobatang, Gunung Klabat;
Selat Karimata, Selat Bali, Sungai
Batang Hari, Wai Seputih; Danau
Kelimutu, DanauTowuti; Lembah
Tidar, Lembah Baliem; Planet
Venus dan Saturnus.
5. Benda
Benda terbagi atas benda bernyawa
(termasuk benda hidup) dan benda
takbernyawa.
a) Benda Bernyawa
Yang termasuk benda bernyawa
(animate) adalah manusia dan he-
wan. Tumbuh-tumbuhan termasuk
benda bernyawa, tetapi tak dapat
Artikel
Penulisan Nama Diri dan Nama Jenisdalam Bahasa Indonesia
Dra. Junaiyah H.M., M.Hum.Mantan tenaga teknis Pusat Bahasa, Jakarta
bersambung ke halaman 43
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 7
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Latar
Secara struktural, bahasa merupakan
entitas yang dapat dipertatarkan.
Dengan kata lain, ia memiliki hierarki
(Ramlan, 1985:40). Pike dan Pike
(1977:1) menyebutkan terdapatnya
tiga hierarki dalam bahasa, yakni
hierarki referensial, hierarki fonologis,
dan hierarki gramatikal. Hierarki
gramatikal merupakan hubungan
antara satuan-satuan gramatikal,
yang satu merupakan bagian dari
yang lebih besar (Kridalaksana,
1984:66), dalam arti bahwa satu
morfem atau lebih saling bergabung
untuk membentuk kata, beberapa
kata saling bergabung untuk mem-
bentuk frasa, beberapa frasa saling
bergabung untuk membentuk klausa,
dan beberapa klausa bergabung satu
sama lain untuk membentuk kalimat.
Berkaitan dengan hierarki gra-
matikal ini, Ramlan (1985:22)
membaginya menjadi enam tingkat
yang dia sebut satuan gramatikal,
yaitu satuan morfem, kata, frasa,
klausa, kalimat, dan wacana. Satu-
an kata dan morfem dikaji dalam
morfologi; sedangkan satuan waca-
na, kalimat, klausa, dan frasa dikaji
dalam sintaksis. Selanjutnya, dalam
kajian sintaksis terdapat tiga tatar-
an sebagaimana dikemukakan oleh
Verhaar (1988:70), yaitu fungsi
sintaksis sebagai tataran atas, kate-
gori sebagai tataran menengah, dan
peran sebagai tataran bawah. Tulis-
an ini bertali-temali dengan deskripsi
hierarki gramatikal itu beserta
analisisnya.
Masalah dan Batasannya
Masalah dalam tulisan ini adalah
bagaimana wujud analisis fungsi,
kategori, dan peran itu dalam satuan
gramatikal? Untuk itu, tulisan ini
bertujuan melukiskan analisis satuan
gramatikal secara fungsional, katego-
rial, dan semantis. Selanjutnya
satuan analisisnya hanya terbatas
pada kalimat, klausa, frasa, kata, dan
morfem.
Metode
Data sekunder sebagai bahan analisis
adalah nukilan sebuah paragraf dari
harian Kedaulatan Rakyat edisi 22
April 1999. Data itu dicatat dan
selanjutnya diklasifikasikan me-
nurut satuan-satuan gramatikal-
nya, yaitu kalimat, klausa, frasa,
kata, dan morfem. Satuan grama-
tikal itu dianalisis secara fungsional,
kategorial, dan semantis (peran).
Berikut ini data paragraf dimaksud:
Analisis Gramatikal Satuan Kalimat, Klausa, Frasa,Kata, dan Morfem
Gunawan WidiyantoStaf pada Jurusan Bahasa Inggris PPPG Bahasa Jakarta
Pemilu 1999 barangkali harus
melewati rintangan demi rintangan.
Apabila rintangan demi rintangan itu bisa
dilewati, akan bisa sampai ke suatu
tujuan. Kadang rintangan itu datang
dengan sendirinya, tetapi rintangan itu
juga ada yang sengaja dibuat orang.
Tujuan rintangan yang sengaja dibuat
orang itu, antara lain untuk menggagal-
kan pemilihan umum 1999. Terlalu sulit
menduga pihak mana yang berkepen-
tingan dengan gagalnya pemilihan umum
1999 ini. Tetapi, jelas ada pihak-pihak
yang tidak senang apabila negara kita
tidak kacau. Lebih jauh lagi, ada pihak-
pihak yang tidak senang Indonesia ini
sudah berubah menjadi begini.
Teori
Analisis gramatikal dalam tulisan
ini berpijak secara aplikatif pada
teori Cook dan Ramlan. Hierarki
gramatikal (grammatical levels)
menurut Cook mencakupi lima
tingkat secara analitis, yakni tingkat
kalimat, klausa, frasa, kata, dan
morfem. Akan tetapi, dia tidak mem-
batasi analisisnya hanya pada
kelima tingkat itu. Pengenalan hie-
rarki gramatikal kepada analis baha-
sa berarti memberi ruang gerak yang
leluasa kepadanya untuk memulai-
Artikel
8 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
dangkan peran digunakan untuk
menunjuk pada gagasan makna sin-
taksis (Sudaryanto, 1983b: 270).
Yang tercakup dalam tataran kate-
gori adalah kelas-kelas gramatikal
seperti nomina, verba, preposisi,
adverbia, dan adjektiva; sedangkan
yang tercakup dalam tataran peran
adalah pelaku, penerima, aktif, pasif,
dan benefaktif (Verhaar, 1988:70-71).
Peran bersifat relasional-struktural,
dalam arti bahwa pengenalan terhadap
kejatian sesuatu peran harus dalam
kalimat yang sama (Sudaryanto, 1991:
61). Sifat itu mengisyaratkan bahwa
adanya peran yang satu tidak dapat
dibayangkan tanpa adanya peran yang
lain. Umpama kata, peran pelaku tidak
berarti tanpa adanya peran aktif. Se-
baliknya, peran aktif tidak berarti tan-
pa adanya peran pelaku. Pengenalan
dengan cara yang demikian juga
mengakibatkan bahwa peran juga
bersifat struktural. Artinya, hubung-
an antarperan semacam itu memben-
tuk struktur.
Dalam hierarki gramatikal ting-
kat frasa, yang tercakup dalam tatar-
an fungsi misalnya unsur pusat (UP),
atribut (Atr), penanda, petanda;
yang tercakup dalam tataran kate-
gori misalnya nomina, verba, adjek-
tiva, preposisi, adverbia; dan yang
tercakup dalam tataran peran, misal-
nya, penjumlahan, pemilihan, ke-
samaan, penerang, pembatas, pe-
nunjuk atau penentu, sebutan, ragam,
negatif, aspek, tingkat, dan sebagai-
nya (Ramlan, 1981:158-176; periksa
juga Ramlan, 1982: 27-117).
Bahasan
Satuan gramatikal yang dianalisis
dalam tulisan ini disusun menjadi
tingkat demi tingkat, yakni tingkat
nya dari tingkat manapun. Itu ber-
makna bahwa ia diperkenankan me-
mulai analisisnya dari tingkat kata
atau frasa, kemudian dapat dilanjut-
kan ke tingkat di atas kalimat.
Ketika menyinggung sentuh
klausa, Ramlan (1981:90) menya-
takan bahwa klausa dapat dianalisis
menurut (i) fungsi unsur-unsurnya,
(ii) kategori kata atau frasa yang
menjadi unsur-unsurnya, dan (iii)
makna unsur-unsurnya. Dalam hal
frasa, Ramlan (1981:152) menun-
jukkan dua sifat yang dimiliki
sebuah frasa, yaitu (i) merupakan
satuan gramatikal yang terdiri atas
dua kata atau lebih, dan (ii) me-
rupakan satuan yang tidak melebihi
batas fungsi unsur klausa, yaitu S,
P, O, PEL, atau KET. Lebih lanjut, dia
m e n g e m u k a k a n p a n d a n g a n n y a
bahwa berdasarkan kesamaan distri-
busi dengan golongan atau kategori
kata; frasa dapat digolongkan men-
jadi empat jenis, yaitu frasa nomi-
nal, frasa verbal, frasa bilangan, dan
frasa keterangan (c.f. Cook, 1969:
106-107).
Dalam membahas kata, Ramlan
(1985: 24-25) menyatakan bahwa
kata. merupakan salah satu satuan
gramatikal yang dapat berbentuk
tunggal maupun kompleks. Dikata-
kan berbentuk tunggal karena satu-
an gramatikal itu tidak terdiri atas
satuan yang lebih kecil lagi, dan di-
katakan berbentuk kompleks karena
satuan gramatikal itu terdiri atas
satuan-satuan yang lebih kecil lagi.
Satuan-satuan ber-, sepeda, ke, luar,
dan kota, merupakan bentuk tung-
gal, sedangkan bersepeda, bersepeda
ke luar kota merupakan bentuk
kompleks. Selanjutnya, untuk lebih
memahami analisis dari dimensi
fungsi, kategori, dan peran; berikut di-
uraikan penjelasan secara umum
mengenai ketiga dimensi itu.
Fungsi merupakan tataran per-
tama, tertinggi, dan paling abstrak;
kategori merupakan tataran kedua
dengan tingkat keabstrakan yang
lebih rendah daripada fungsi; dan
peran merupakan tataran yang ke-
tiga dan terendah tingkat keabstrak-
annya manakala dibandingkan dengan
kedua tataran lainnya (Sudaryanto,
1983a: 13). Fungsi merupakan tem-
pat kosong yang eksistensinya baru
ada karena ada formalisasi, yaitu
sedang digunakan sebagai tempat
oleh pengisinya.
Selain itu, fungsi itu hanya ada
secara formal dalam pemakaian
semata-mata dan dalam kaitannya
dengan pengisinya (Sudaryanto,
1983b: 272-273). Fungsi bersifat
relasional-struktural. Hal ini berarti
bahwa fungsi yang satu dapat diten-
tukan identitasnya hanya dalam
kaitannya dengan fungsi yang lain
yang sama-sama membentuk struk-
tur yang bersangkutan. Dalam hie-
rarki gramatikal tingkat kalimat
dan klausa, yang termasuk dalam
tataran fungsi meliputi subjek,
predikat, objek, pelengkap, dan ke-
terangan (Sudaryanto, 1983b: 273;
Verhaar, 1988:70).
Terdapat dua pengisi fungsi, yaitu
pengisi kategorial atau menurut
bentuk dan pengisi semantis atau me-
nurut maknanya. Pengisi kategorial
fungsi atau menurut bentuk disebut
kategori, sedangkan isi fungsi yang
bersifat semantis atau menurut mak-
nanya dilabeli dengan isti lah pe-
ran (Sudaryanto, 1983a: 15). Kate-
gori digunakan untuk menunjuk
pada gagasan bentuk sintaksis se-
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 9
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
kalimat, tingkat klausa, tingkat frasa,
tingkat kata, dan morfem. Berikut
uraiannya.
Analisis Tingkat Kalimat
Secara umum dan dipandang dari
unsur-unsurnya, ketujuh kalimat
dalam paragraf di atas merupakan
kalimat berklausa karena ketujuh
kalimat tersebut masing-masing
terdiri atas satuan yang berupa
klausa (Ramlan, 1981:27). Dipan-
dang dari fungsinya dalam hu-
bungan situasi atau tipe situasinya,
ketujuh kalimat dalam paragraf itu
merupakan kalimat berita atau
kalimat deklaratif karena hanya
berfungsi memberitahukan sesuatu
atau menyampaikan maklumat.
Dinyatakan kalimat berita karena di
dalamnya tidak terdapat kata-kata
tanya, ajakan, persilahan, dan
larangan (Ramlan, 1981:32; Cook,
1969:38-40).
Kalimat (1), yaitu Pemilu 1999
barangkali harus melewati rintangan
demi rintangan, merupakan kalimat
sederhana (simplek) karena ia
hanya terd ir i a tas satu k lausa
(Ramlan, 1996:49); dan merupakan
kalimat mayor karena secara krite-
rial ia memenuhi persyaratan seba-
gai kalimat mayor, yaitu minimal
memiliki satu klausa inti atau klausa
atasan. Kalimat (1) juga memiliki
pola intonasi kalimat berita. Dengan
demikian, kalimat (1)—mengikuti
formula Cook (1969:46-48)—terdiri
atas gatra pokok atau fungsi inti
yang diisi oleh klausa inti atau atas-
an, dan gatra atau fungsi intonasi
yang diisi oleh kontur intonasi akhir.
Istilah gatra pokok atau fungsi inti
dan gatra sampingan atau fungsi
luar inti dipinjam dari Verhaar
(1988:71-73). Kontur sebagaimana
dimaksud oleh Kridalaksana (1984:
109) merupakan pola ciri-ciri prosodi
yang terjadi dari pola nada, gerak
nada, dengan atau tanpa tekanan,
yang meliputi sebagian atau seluruh
ujaran tertentu; sedangkan kontur
intonasi merupakan pola naik turun-
nya nada yang menyertai ujaran.
Kalimat (2), yaitu Apabila rintang-
an demi rintangan itu bisa dilewati,
akan bisa sampai ke suatu tujuan,
merupakan kalimat mayor dan
kalimat luas tidak setara. Dikatakan
kalimat luas karena ia terdiri atas
dua klausa, yaitu (i) rintangan demi
rintangan itu bisa dilewati dan (ii)
(pemilu 1999) akan bisa sampai ke
suatu tujuan. Dikatakan tidak setara
karena dalam kalimat tersebut
klausa (i) merupakan bagian dari
klausa (ii). Dengan kata lain,
kedudukan klausa (i) bergantung
pada klausa (ii) sehingga klausa (i)
merupakan klausa bawahan dan
klausa (ii) merupakan klausa inti
atau atasan. Selain itu, kehadiran
klausa (i) bersifat mana suka sedang-
kan kehadiran klausa (ii) bersifat
wajib. Kedua klausa dalam kalimat
tersebut dihubungkan dengan pe-
nanda hubung tidak setara apabila,
yang menyatakan makna syarat.
Dengan demikian, mengikuti for-
mula Cook; kalimat (2) terdiri atas
gatra sampingan atau fungsi luar
inti yang diisi oleh klausa bawahan
bersifat manasuka, gatra pokok atau
fungsi inti yang diisi oleh klausa inti
atau atasan, dan gatra atau fungsi
intonasi yang diisi oleh kontur in-
tonasi akhir.
Kalimat (3), yaitu Kadang rin-
tangan itu datang dengan sendirinya,
tetapi rintangan itu juga ada yang
sengaja dibuat orang, merupakan
kalimat mayor dan kalimat luas.
Kalimat ini terdiri atas tiga klausa,
yaitu (i) kadang rintangan itu datang
dengan sendirinya dan (ii) rintangan
itu juga ada sebagai klausa inti, serta
(iii) (rintangan itu) sengaja dibuat
orang. Hubungan antara klausa (i)
dan (ii) bersifat setara karena
masing-masing berdiri sendiri seba-
gai klausa setara dan kedudukan
antarklausa tidak saling bergantung
karena keduanya merupakan klausa
inti (Ramlan, 1981: 52). Kedua
k l a u s a t e r s e b u t d i h u b u n g k a n
dengan penanda hubung setara
tetapi , yang menyatakan makna
per lawanan. Hubungan antara
klausa (ii) dan (iii) bersifat tidak
setara karena klausa ( i i i ) hanya
menjadi penjelas frasa rintangan itu
yang menjadi S klausa (ii). Dengan
demikian, kalimat (3) terdiri atas
gatra pokok atau fungsi inti yang
diisi oleh klausa inti atau atasan,
gatra atau fungsi penghubung yang
diisi oleh penanda hubungan, gatra
pokok atau fungsi inti yang diisi oleh
klausa inti atau atasan, gatra sampi-
ngan atau fungsi luar inti yang diisi
oleh klausa bawahan, dan gatra atau
fungsi intonasi yang diisi oleh kontur
intonasi akhir.
Kalimat (4), yaitu Tujuan rintang-
an yang sengaja dibuat orang itu,
antara lain untuk menggagalkan
pemilu, merupakan kalimat mayor
dan kalimat luas. Kalimat tersebut
terdiri atas dua klausa, yaitu satu
klausa inti atau atasan dan satu
klausa bawahan. Namun, klausa
bawahannya berfungsi sebagai atri-
but bagi frasa yang menjadi bagian
dari klausa inti. Klausa (i), yaitu
tujuan rintangan antara lain untuk
menggagalkan pemilihan umum 1999,
merupakan klausa inti atau atasan,
dan klausa (ii), yaitu sengaja dibuat
10 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Kalimat (6), yaitu Tetapi, jelas ada
pihak-pihak yang tidak senang apabila
negara kita tidak kacau, merupakan
kalimat luas dan menurut Cook
(1969) merupakan kalimat kompleks,
yaitu mengandung satu klausa inti
dan minimal satu klausa bawahan.
Kalimat (6) terdiri atas dua klausa,
yaitu (i) jelas ada pihak-pihak yang
tidak senang sebagai klausa inti atau
atasan, dan (ii) negara kita tidak kacau
sebagai klausa bawahan. Kedua
klausa tersebut dihubungkan oleh
penanda hubung atau kata penghu-
bung apabila, yang menyatakan
makna syarat. Dengan demikian, kali-
mat (6) terdiri atas gatra pokok atau
fungsi inti yang diisi oleh klausa inti
atau atasan, gatra sampingan atau
fungsi luar inti yang diisi oleh klausa
bawahan, dan gatra atau fungsi in-
tonasi yang diisi oleh kontur intonasi
akhir.
Kalimat (7), yaitu Lebih jauh lagi,
ada pihak-pihak yang tidak senang
Indonesia ini sudah berubah menjadi
begini, merupakan kalimat luas.
Kalimat tersebut terdiri atas dua
klausa, yaitu (i) ada pihak-pihak
yang tidak senang sebagai klausa inti
atau atasan, dan (ii) Indonesia ini
sudah berubah menjadi begini sebagai
klausa bawahan. Kedua klausa ter-
sebut tidak dihubungkan oleh pe-
nanda hubung secara eksplisit,
dalam arti bahwa di sini terjadi pe-
lesapan penanda hubung manakala
dikaitkan dengan kalimat sebelum-
nya. Penanda hubung yang dilesap-
kan itu adalah apabila. Jadi, kalimat
(7) terdiri atas gatra pokok atau
fungsi inti yang diisi oleh klausa inti
atau atasan, gatra sampingan atau
fungsi luar inti yang diisi oleh klausa
bawahan, dan gatra atau fungsi
intonasi yang diisi oleh kontur
intonasi akhir.
Analisis Tingkat Klausa
Dalam paragraf di atas, kalimat (1)
hanya mengandung satu klausa,
yaitu pemilu 1999 barangkali harus
melewati rintangan demi rintangan.
Klausa tersebut terdiri atas unsur
pemilu 1999 yang menduduki fungsi
subjek (S) berisi frasa nominal (FN)
dan bermakna pelaku (agentif),
unsur barangkali yang menduduki
fungsi keterangan (KET) berisi
adverbia (Adv) dan bermakna ke-
mungkinan, unsur harus melewati
yang menduduki fungsi predikat (P)
berisi frasa verbal (FV) dan ber-
makna perbuatan (aktif), dan unsur
rintangan demi rintangan yang
menduduki fungsi objek (O) berisi
FN dan bermakna penderita (objek-
tif). Ditinjau dari struktur internal-
nya, klausa tersebut termasuk
klausa lengkap susun biasa. Dikata-
kan lengkap karena ia sudah meme-
nuhi syarat sebagai klausa lengkap
yaitu terdiri atas S dan P dan dikata-
kan susun biasa karena S terletak di
depan P (Ramlan, 1981: 135-136).
Dipandang dari ada tidaknya pe-
nanda negatif yang secara
gramatikal menegasikan P, klausa
tersebut termasuk klausa positif ka-
rena tidak memiliki penanda nega-
tif yang secara gramatikal menega-
sikan P, klausa tersebut termasuk
klausa positif karena tidak memiliki
penanda negatif yang secara
gramatikal menegasikan P (Ramlan,
1981: 137). Dipandang dari kategori
kata atau frasa yang menduduki
fungsi P, klausa tersebut termasuk
klausa verbal aktif. Dikatakan verbal
karena P-nya terdiri atas kata atau
frasa golongan verbal (V) dan
orang merupakan klausa bawahan
yang menjadi penjelas frasa tujuan
rintangan, dihubungkan oleh kata
penghubung yang dan diikuti kata
itu sebagai penunjuk (Ramlan, 1981:
57). Klausa (ii) sebagai klausa
bawahan merupakan bagian dari
fungsi subjek klausa inti. Subjek
klausa intinya adalah tujuan rintang-
an yang sengajar dibuat orang itu dan
predikatnya adalah untuk mengga-
galkan pemilu. Dengan demikian,
kalimat (4) terdiri atas gatra pokok
atau fungsi inti yang diisi oleh klausa
inti atau atasan, gatra sampingan
atau fungsi luar inti yang diisi oleh
klausa bawahan, dan gatra atau
fungsi intonasi yang diisi oleh kontur
intonasi akhir.
Kalimat (5), yaitu Terlalu sulit
menduga pihak mana yang berke-
pentingan dengan gagalnya pemilihan
umum 1999 ini, merupakan kalimat
mayor dan kalimat luas. Kalimat
tersebut terdiri atas dua klausa,
yaitu (i) terlalu sulit menduga pihak
sebagai klausa inti atau atasan dan
(ii) (pihak) berkepentingan dengan
gagalnya pemilihan umum 1999 ini
sebagai klausa bawahan. Dalam
keberjalinannya dengan klausa (i)
sebagai klausa inti, klausa (ii)
menduduki fungsi objek klausa inti
dan hanya menjadi bagian dari fung-
si itu karena hanya menjadi penjelas
frasa pihak mana. Perlu dinyatakan
juga bahwa dalam kalimat (5) telah
terjadi pelesapan S. Dengan demi-
kian, kalimat (5) terdiri atas gatra
pokok atau fungsi inti yang diisi oleh
klausa inti atau atasan, gatra sam-
pingan atau fungsi luar inti yang
diisi oleh klausa bawahan, dan gatra
atau fungsi intonasi yang diisi oleh
kontur intonasi akhir.
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 11
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
dikatakan aktif karena P-nya yang
terdiri atas kata verbal termasuk
golongan verba transitif (Ramlan,
1981: 146).
Kalimat (2) mengandung dua
klausa , yaitu (i) rintangan demi
rintangan itu bisa dilewati dan (ii)
akan bisa sampai ke suatu tujuan.
Klausa (i) terdiri atas unsur rintang-
an demi rintangan itu yang berfungsi
sebagai S berisi FN dan bermakna
penderita dan unsur bisa dilewati
yang berfungsi sebagai P berisi FV
dan bermakna perbuatan (pasif).
Klausa (ii) terdiri atas unsur akan
bisa sampai yang berfungsi sebagai
P berisi FV dan bermakna perbuatan,
dan unsur ke suatu tujuan yang
berfungsi sebagai pelengkap (Pl)
berisi frasa preposisi (FP) dan ber-
makna tempat (lokatif). Klausa (i)
termasuk jenis klausa lengkap susun
biasa, positif, dan verbal pasif.
Dikatakan pasif karena P-nya yang
berisi FV termasuk golongan verba
pasif (Ramlan, 1981:146). Klausa (ii)
termasuk jenis klausa tidak lengkap,
positif, dan verbal intransitif.
Dikatakan tidak lengkap karena
klausa tersebut tidak ber-S sebagai
konsekuensi dari penggabungan
klausa sebelumnya, yaitu klausa (i);
dan dikatakan intransitif karena P-
nya yang berisi FV termasuk
golongan verba intransitif (Ramlan,
1981:145) .
Kalimat (3) memiliki tiga klausa,
yaitu (i) rintangan itu datang dengan
sendirinya, (ii) rintangan itu juga ada,
dan (iii) (rintangan itu) sengaja dibuat
orang. Klausa (i) terdiri atas unsur
rintangan itu yang berfungsi sebagai
S berisi FN dan bermakna pelaku,
unsur datang yang berfungsi sebagai
P berisi verba (V) dan bermakna
perbuatan aktif, dan unsur dengan
sendirinya yang berfungsi sebagai
KET berisi FP dan bermakna cara
(metodikal). Klausa (i) termasuk
jenis klausa lengkap susun biasa,
positif, dan verbal intransitif. Klausa
(ii) terdiri atas unsur rintangan itu
yang berfungsi sebagai S berisi FN
bermakna pelaku, unsur juga ada
yang berfungsi sebagai P berisi FV dan
bermakna keberadaan. Klausa ini
termasuk jenis klausa lengkap susun
biasa, positif, dan verbal intransitif.
Klausa (iii) terdiri atas unsur sengaja
dibuat yang berfungsi sebagai P berisi
FV dan bermakna perbuatan pasif,
dan unsur orang yang berfungsi
sebagai O berisi N dan bermakna
pelaku. Klausa ini termasuk jenis
klausa tak lengkap, positif , dan
verbal transitif.
Kalimat (4) mempunyai dua
klausa, yaitu (i) tujuan rintangan
untuk menggagalkan pemilihan umum
1999, dan (ii) sengaja dibuat orang.
Klausa (i) terdiri atas unsur tujuan
rintangan yang berfungsi sebagai S
bersi FN dan bermakna alat, unsur
untuk menggagalkan yang berfungsi
sebagai P berisi FP dan bermakna
tujuan atau maksud (purposif), dan
unsur pemilihan umum 1999 yang
berfungsi sebagai O berisi FN dan
bermakna penderita. Klausa ini
termasuk jenis klausa lengkap susun
biasa, positif, dan depan. Dikatakan
klausa depan karena P-nya terdiri
atas FP, yaitu frasa yang diawali oleh
preposisi sebagai penanda (Ramlan,
1981: 150). Preposisi yang dimaksud
adalah untuk. Klausa (ii) terdiri atas
unsur sengaja dibuat yang berfungsi
sebagai P berisi FV dan bermakna
perbuatan pasif, dan unsur orang
yang berfungsi sebagai O berisi N dan
bermakna pelaku.
Kalimat (5) terdiri atas dua
klausa, yaitu (i) terlalu sulit menduga
pihak dan (ii) berkepentingan dengan
gagalnya pemilihan umum 1999 ini.
Klausa (i) terdiri atas unsur terlalu
sulit menduga yang berfungsi sebagai
P berisi FV dan bermakna perbuatan
aktif dan unsur pihak yang berfungsi
sebagai O berisi N dan bermakna
penderita. Klausa ini termasuk jenis
klausa tidak lengkap, positif, dan
verbal aktif. Klausa (ii) terdiri atas
unsur berkepentingan yang berfungsi
sebagai P berisi V dan bermakna per-
buatan, dan unsur dengan gagalnya
pemilihan umum 1999 ini yang ber-
fungsi sebagai Pl berisi FP dan ber-
makna hasil.
Kalimat (6) terdiri atas dua
klausa, yaitu (i) jelas ada pihak-pihak
yang tidak senang, dan (ii) negara kita
tidak kacau. Klausa (i) terdiri atas
unsur jelas ada yang berfungsi
sebagai P berisi FV dan bermakna
keberadaan, dan unsur pihak-pihak
yang tidak senang yang berfungsi
sebagai S berisi FN dan bermakna
pelaku. Klausa ini termasuk jenis
klausa lengkap susun balik (inversi),
positif, dan verbal intransitif. Di-
katakan susun balik atau inversi
karena S-nya terletak dibelakang P
(Ramlan, 1981: 136). Klausa (ii)
terdiri atas unsur negara kita yang
berfungsi sebagai S berisi FN dan ber-
makna pengalam dan unsur tidak
kacau yang berfungsi sebagai P berisi
FV dan bermakna keadaan (statif).
Klausa ini termasuk jenis klausa
lengkap susun biasa, negatif, dan
verbal adjektif. Dikatakan negatif
karena memiliki penanda negatif
yang secara gramatikal menegasi-
kan P, yaitu kata tidak dalam frasa
tidak kacau; dan dikatakan verbal
adjektif karena P-nya yang berisi FV
12 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
termasuk golongan adjektiva atau
unsur pusatnya berupa adjektiva.
Unsur pusat yang dimaksud adalah
kacau (Ramlan, 1981: 137-145).
Demikian pula, kalimat (7) me-
miliki dua klausa, yaitu (i) ada pihak-
pihak yang tidak senang, dan (ii)
Indonesia ini sudah berubah menjadi
begini. Klausa (i) terdiri atas unsur
ada yang berfungsi sebagai P berisi V
dan bermakna keberadaan dan
unsur pihak-pihak yang tidak senang
yang berfungsi sebagai S berisi FN
dan bermakna pelaku. Klausa ini
termasuk jenis klausa lengkap susun
balik, positif, dan verbal intransitif.
Klausa (ii) terdiri atas unsur
Indonesia ini yang berfungsi sebagai
S berisi FN dan bermakna pengalam
dan unsur sudah berubah menjadi
begini yang berfungsi sebagai P berisi
FV dan bermakna proses (prosesif).
Klausa ini termasuk jenis klausa
lengkap susun biasa, positif, dan
verbal intransitif.
Analisis Tingkat Frasa
Kalimat (1) dalam paragraf di atas
hanya memiliki satu klausa. Klausa
tersebut terdiri atas tiga frasa, yaitu
dua FN dan satu FV. FN pertama,
yaitu pemilu 1999 terdiri atas unsur
pemilu yang berfungsi sebagai UP
berisi nomina (N) dan bermakna item
atau pokok; dan unsur 1999 yang
berfungsi sebagai atribut (Atr) berisi
numeralia (Num) dan bermakna
waktu (temporal). FN kedua, yaitu
rintangan demi rintangan terdiri atas
unsur rintangan yang berfungsi
sebagai UP berisi N dan bermakna
item atau pokok, unsur demi yang
berfungsi sebagai Atr berisi preposisi
(Prep) dan bermakna sesudah, dan
unsur rintangan yang berfungsi
sebagai Atr berisi kata tambah (T) dan
penanda berisi Prep dan bermakna
cara (metodikal); dan kalimat (3)
terdiri atas tiga frasa, yaitu FN
rintangan itu, FV juga ada, dan FN
yang sengaja dibuat orang. FV juga
ada terdiri atas unsur juga sebagai
Atr berisi Ket dan bermakna tambah-
an, dan unsur ada sebagai UP berisi
V dan bermakna keberadaan. FN
yang sengaja dibuat orang terdiri atas
unsur yang sebagai penanda berisi
kata penghubung dan bermakna pe-
nerang, dan unsur sengaja dibuat
orang sebagai petanda atau aksis
berisi FV, unsur sengaja sebagai Atr
berisi Ket dan bermakna kesengaja-
an, unsur dibuat sebagai UP berisi V
dan bermakna perbuatan, dan unsur
orang sebagai Ket berisi N dan
bermakna pelaku.
Kalimat (4) hanya memiliki satu
klausa. Klausa tersebut terdiri atas
dua frasa, yaitu FN tujuan rintangan
yang sengaja dibuat orang itu,dan FN
pemilihan umum 1999. FN tujuan
rintangan yang sengaja dibuat orang
itu terdiri atas unsur tujuan rintangan
yang sengaja dibuat orang sebagai UP
berisi FN dan bermakna item atau
pokok, dan unsur itu sebagai Atr ber-
isi kata penunjuk dan bermakna
penunjuk atau penentu. FN tujuan
rintangan yang sengaja dibuat orang
terdiri atas unsur tujuan sebagai UP
berisi N dan bermakna item atau
pokok, dan unsur rintangan yang
sengaja dibuat orang sebagai Atr
berisi FN dan bermakna penerang.
FN rintangan yang sengaja dibuat
terdiri atas unsur rintangan sebagai
UP bersi N dan bermakna item atau
pokok, dan unsur unsur yang sengaja
dibuat orang sebagai Atr berisi FN dan
bermakna penerang. FN pemilihan
umum 1999 terdiri atas unsur pemilih-
an umum sebagai UP berisi FN dan
bermakna keharusan; dan unsur
melewati yang berfungsi sebagai UP
berisi V dan bermakna pernyataan
(Pike & Pike, 1977:458).
Klausa (i) kalimat (2) terdiri atas
dua frasa, yaitu FN rintangan demi
rintangan itu dan FV bisa dilewati. FN
rintangan demi rintangan itu terdiri
atas unsur rintangan demi rintangan
sebagai UP berisi FN dan bermakna
item atau pokok, dan unsur itu seba-
gai Atr berisi kata penunjuk dan ber-
makna penunjuk atau penentu. FV
bisa dilewati terdiri atas unsur bisa
sebagai Atr berisi kata tambah (T)
dan bermakna kemampuan, dan
unsur dilewati sebagai UP berisi V dan
bermakna pernyataan. Klausa (ii)
kalimat (2) terdiri atas dua frasa,
yaitu FV akan bisa sampai dan FP ke
suatu tujuan. FV akan bisa sampai
terdiri atas unsur akan sebagai Atr-1
berisi T dan bermakna keakanan,
unsur bisa sebagai Atr-2 berisi T dan
bermakna kemampuan, dan unsur
sampai sebagai UP berisi V dan
bermakna pernyataan. FP ke suatu
tujuan terdiri atas unsur ke sebagai
penanda berisi preposisi (Prep) dan
bermakna tujuan, dan unsur suatu
tujuan sebagai UP berisi FN dan
bermakna tempat (lokasional). FN
suatu tujuan terdiri atas unsur suatu
sebagai Atr berisi penentu dan ber-
makna jumlah, dan unsur tujuan se-
bagai UP berisi N dan bermakna item
atau pokok.
Klausa (i) kalimat (3) terdiri atas
dua frasa, yaitu FN rintangan itu dan
FP dengan sendirinya. FN rintangan itu
terdiri atas unsur rintangan sebagai
UP berisi N dan bermakna item atau
pokok, dan unsur itu sebagai Atr berisi
kata penunjuk dan bermakna penun-
juk atau penentu. FP dengan sendiri-
nya terdiri atas unsur dengan sebagai
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 13
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
bermakna item atau pokok , dan
unsur 1999 sebagai Atr berisi nume-
ralia (Num) dan bermakna sebagai
UP berisi N dan bermakna item atau
pokok, dan unsur umum sebagai Atr
berisi kata sifat (A) dan bermakna
penjelas.
Kalimat (5) terdiri atas satu
klausa. Klausa tersebut terdiri atas
dua frasa, yaitu FV terlalu sulit men-
duga dan FN Pihak mana yang
berkepentingan dengan gagalnya
pemilihan umum 1999 ini. FV terlalu
sulit menduga terdiri atas unsur
terelalu sulit sebagai Atr berisi frasa
adjektiva (FA) dan bermakna keada-
an, dan unsur menduga sebagai UP
berisi V dan bermakna pernyataan.
FA terlalu sulit terdiri atas unsur
terlalu sebagai Atr berisi Ket dan ber-
makna penyangat, dan unsur sulit
sebagai UP berisi adjetiva (A) dan
bermakna keadaan. FN pihak mana
yang berkepentingan dengan gagalnya
pemilihan umum 1999 ini terdiri dari
unsur pihak mana sebagai UP berisi
FN dan bermakna item atau pokok,
dan unsur yang berkepetingan dengan
gagalnya pemilihan umum 1999 ini
sebagai Atr berisi FN dan bermakna
penerang. FN yang berkepentingan
dengan gagalnya pemilihan umum
1999 ini terdiri atas unsur yang
sebagai penanda berisi konjungsi,
dan unsur berkepentingan dengan
gagalnya pemilihan umum 1999 ini
sebagai petanda berisi FV. FV berke-
pentingan dengan gagalnya pemilihan
umum 1999 ini terdiri atas unsur
berkepentingan sebagai UP berisi V
dan bermakna pernyataan, dan un-
sur dengan gagalnya pemilihan umum
1999 ini sebagai Atr berisi FP.
Klausa (i) dalam kalimat (6)
terdiri atas dua frasa , yaitu FV jelas
ada dan FN pihak-pihak yang tidak
senang. FV jelas ada terdiri atas
unsur jelas sebagai Atr berisi A dan
bermakna penerang, dan unsur ada
sebagai UP berisi V dan bermakna
keberadaan. FN pihak-pihak yang
tidak senang terdiri atas unsur pihak-
pihak sebagai UP berisi FN dan ber-
makna item atau pokok, dan unsur
yang tidak senang sebagai Atr berisi
FN dan bermakna penerang. Klausa
(ii) terdiri dari dua frasa, yaitu FN
negara kita dan FV tidak kacau. FN
negara kita terdiri atas unsur negara
sebagai UP berisi N dan bermakna
item atau pokok, dan unsur kita
sebagai Atr berisi kata ganti orang
dan bermakna pemilik (posesif). FV
tidak kacau terdiri atas unsur tidak
sebagai Atr berisi Ket dan bermakna
ingkar, dan unsur kacau sebagai UP
berisi A dan bermakna keadaan.
Klausa (i) dalam kalimat (7)
hanya terdiri atas satu frasa, yaitu
FN pihak-pihak yang tidak senang. FN
ini terdiri atas unsur pihak-pihak
sebagai UP berisi FN dan bermakna
item atau pokok, dan unsur yang
tidak senang sebagai Atr berisi FN dan
bermakna penerang. Klausa (ii)
terdiri atas dua frasa, yaitu FN
Indonesia ini dan FV sudah berubah.
FN Indonesia ini terdiri atas unsur
Indonesia sebagai UP berisi N dan
bermakna item atau pokok, dan
unsur ini sebagai Atr berisi kata
penunjuk dan bermakna penunjuk
atau penentu. FV sudah berubah ter-
diri atas unsur sudah sebagai Atr
berisi T dan bermakna kesudahan,
dan unsur berubah sebagai UP berisi
V dan bermakna pernyataan.
Analisis Tingkat Kata dan
Morfem
Kalimat (1) dalam paragraf di atas
terdiri atas kata pemilu, melewati, dan
rintangan. Kata pemilu merupakan
bentuk tunggal yang terdiri atas
unsur pemilu sebagai inti berisi N
berupa morfem bebas. Kata melewati
merupakan bentuk kompleks yang
terdiri atas unsur meN- sebagai
pembentuk V berisi morfem terikat
berupa prefiks dan bermakna per-
buatan, unsur lewat sebagai inti ber-
isi bentuk asal V, dan unsur –i seba-
gai pembentuk pokok kata berisi
morfem terikat berupa sufiks, dan
bermakna tempat. Kata rintangan
merupakan bentuk kompleks yang
terdiri atas unsur rintang sebagai inti
berisi bentuk asal V, dan unsur –an
sebagai pembentuk N berisi morfem
terikat berupa sufiks dan bermakna
sesuatu yang berhubungan dengan
perbuatan yang tersebut pada
bentuk dasarnya.
Kalimat (2) terdiri atas kata di-
lewati, sampai, dan tujuan. Kata di-
lewati merupakan bentuk kompleks
yang terdiri atas unsur di- sebagai
pembentuk V pasif berisi morfem ter-
ikat berupa prefiks, unsur lewat, dan
unsur -i . Kata sampai merupakan
bentuk tunggal yang terdiri atas
unsur sampai sebagai inti berisi
bentuk asal V intransitif. Kata tujuan
merupakan bentuk kompleks yang
terdiri atas unsur tuju sebagai inti
berisi bentuk asal V, dan unsur –an
sebagai pembentuk N berisi morfem
terikat berupa sufiks.
Kalimat (3) terdiri atas kata
datang, ada, dibuat, dan orang. Kata
datang merupakan bentuk tunggal
yang terdiri atas unsur datang se-
bagai inti berisi V intransitif. Kata
dibuat merupakan bentuk kompleks
yang terdiri atas unsur di-dan unsur
buat sebagai inti berisi bentuk asal V
transitif. Kata orang merupakan ben-
tuk tunggal yang terdiri atas unsur
14 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
orang sebagai inti berisi N berupa
morfem bebas.
Dalam kalimat (4) tercakup kata
menggagalkan, pemilihan, dan umum.
Kata menggagalkan merupakan ben-
tuk kompleks yang terdiri atas unsur
meN- sebagai pembentuk V berisi
morfem terikat berupa prefiks dan
bermakna perbuatan aktif, unsur
gagal sebagai inti berisi bentuk asal
V, dan unsur –kan sebagai pemben-
tuk pokok kata berisi morfem terikat
berupa sufiks. Kata pemilihan sebagai
inti berisi bentuk dasar V transitif,
dan unsur peN-an sebagai pembentuk
N berisi morfem terikat berupa afiks.
Kata umum merupakan bentuk
tunggal yang terdiri dari unsur
umum sebagai inti berisi kata sifat
(KS) berupa morfem bebas.
Kalimat (5) mencakupi kata sulit,
menduga, pihak , berkepentingan, dan
gagalnya. Kata sulit adalah bentuk
tunggal yang terdiri atas unsur sulit
sebagai inti berisi KS. Kata menduga
adalah bentuk kompleks yang terdiri
dari unsur meN- sebagai pembentuk
V berisi morfem terikat berupa
prefiks dan bermakna perbuatan
aktif, unsur duga sebagai inti berisi
bentuk dasar V. Kata pihak adalah
bentuk tunggal yang terdiri atas
unsur pihak sebagai inti berisi N
berupa morfem bebas. Kata berke-
pentingan adalah bentuk kompleks
yang terdiri atas unsur penting
sebagai inti berisi KS, unsur ke-an
sebagai pembentuk N berisi morfem
terikat berupa konfiks, dan unsur
ber- sebagai pembentuk V berisi
morfem terikat berupa prefiks. Kata
gagalnya adalah bentuk kompleks
yang terdiri atas unsur gagal sebagai
inti berisi V, dan unsur –nya sebagai
pembentuk N berisi klitik berupa
enklitik.
Kalimat (6) meliputi kata jelas,
ada, pihak, senang, dan negara. Kata
jelas sebagai inti berisi KS berupa
morfem bebas. Kata ada adalah
bentuk tunggal yang terdiri atas
unsur ada sebagai inti berisi V
intransitif. Kata pihak adalah bentuk
tunggal yang terdiri atas unsur pihak
sebagai inti berisi N berupa morfem
bebas. Kata senang merupakan bentuk
tunggal dan hanya mempunyai unsur
senang sebagai inti berisi KS berupa
morfem bebas. Demikian juga, kata
negara adalah bentuk tunggal dan
hanya memiliki unsur negara sebagai
inti berisi N.
Dalam kalimat (7) terkandung
kata jauh, Indonesia, berubah, dan
menjadi. Kata jauh adalah bentuk
tunggal dan hanya memiliki unsur
jauh sebagai inti berisi KS berupa
morfem bebas. Demikian pula, kata
Indonesia adalah bentuk bebas dan
hanya mempunyai unsur Indonesia
sebagai inti N berupa morfem bebas.
Kata berubah adalah bentuk kompleks
yang terdiri atas unsur ubah sebagai
inti berisi bentuk asal V, dan unsur
ber- sebagai pembentuk V berisi
morfem terikat berupa prefiks. Kata
menjadi adalah bentuk kompleks
yang terdiri atas unsur jadi sebagai
inti berisi bentuk asal V, dan unsur
meN- sebagai pembentuk V berisi
morfem terikat berupa prefiks.
Penutup
Secara generik, dimensi fungsi, ka-
tegori, dan peran memainkan peran-
an yang cukup penting dalam telaah
dan analisis hierarki kalimat, klausa
frasa, dan kata, secara gramatikal.
Dinyatakan cukup penting karena
dengan ketiga tinjauan tersebut,
struktur kalimat, klausa, frasa, dan
kata dapat sepenuhnya dikuak.
Secara spesifik, analisis satuan
kalimat melibatkan kluasa inti atau
klausa atasan (independent clause)
dan klausa bawahan (dependent
clause). Analisis satuan klausa meli-
batkan FN, FV, dan FP. Analisis satu-
an frasa membabitkan nomina,
numeralia, kata tambah, penentu,
verba, preposisi, kata penunjuk,
konjungsi, dan adverbia. Analisis
satuan kata membabitkan morfem
bebas dan morfem terikat. [E]
PUSTAKA ACUANCook, Walter A. S.J. 1969. Introduction
to Tagmemic Analysis. New York:Holt, Rinehart and Winston.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. KamusLinguistik. Jakarta: Gramedia.
Pike, Kenneth L. & Evelyn G. Pike. 1977.Grammatical Analysis. Dallas:Summer Institute of Linguistics.
Ramlan, M. 1982. Kata Depan AtauPreposisi dalam Bahasa Indonesia.Yogyakarta: Karyono.
______. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia:Sintaksis. Yogyakarta: Karyono.
______.1985. Ilmu Bahasa Indonesia:Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif.Yogyakarta: Karyono.
______. 1993. Paragraf: Alur Pikiran danKepaduannya dalam Bahasa Indonesia.Yogyakarta: Andi.
Sudaryanto. 1983a. Predikat-Objekdalam Bahasa Indonesia: KeselarasanPola Urutan. Jakarta: Djambatan.
______. 1983b. Linguistik: Esai tentangBahasa dan Pengantar ke dalam IlmuBahasa. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
______. peny. 1991. Tata Bahasa BakuBahasa Jawa. Yogyakarta: DutaWacana University Press.
Verhaar, J.W.M. 1988. PengantarLingguistik. Yogyakarta: GadjahMada University Press.
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 15
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Artikel
Kondisi pembelajaran di sekolah saat ini sangat bervariatif. Harus
diakui, masih banyak yang sangat memprihatinkan. Marilah
kita tengok ke sekolah-sekolah, terutama yang berada jauh dari
kota. Berbagai keluhan
muncul, mulai keadaan
ruang kelas dan gedung
sekolah yang rusak
parah, buku-buku pe-
gangan guru dan siswa
tidak tersedia, alat pera-
ga sangat minim, per-
pustakaan sekolah yang
hanya berisi lemari tua
dan buku-buku yang
amat terbatas.
Masih terdengar pula
gaji yang dipotong, ma-
najemen sekolah yang
amburadul, guru yang
tersedia tidak sesuai
dengan bidang yang di-
ajarkan, dan berbagai
persoalan lain. Kondisi
itu adalah cermin bagai-
mana proses pembelajar-
an mengalami reduksi yang tajam pada kualitas seadanya, benar-benar
seadanya.
Disampaikan dalam Seminar Akademik di PPPG Bahasa
Pembelajaran yang Dialogis, Bermakna,dan Menyenangkan
M. IsnainiWidyaiswara Bahasa Arab PPPG Bahasa
B. BAHASA
Proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta mem-
berikan ruang yang cukup bagi pra-
karsa, kreativitas, dan kemandirian
sesuai dengan bakat, minat, dan per-
kembangan fisik serta psikologis pe-
serta didik (PP. No. 19/2005: Standar
Nasional Pendidikan, pasal 19 ayat 1).
Pendidikan nasional berfungsi me-
ngembangkan kemampuan dan mem-
bentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka men-
cerdaskan kehidupan bangsa, bertuju-
an untuk berkembangnya potensi pe-
serta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandi-
ri, dan menjadi warga negara yang de-
mokratis serta bertanggung jawab.
Pembaharuan sistem pendidikan
memerlukan strategi tertentu. Salah
satu strategi pembangunan pendidikan
nasional yaitu melakukan proses pem-
belajaran yang mendidik dan dialogis
(Penjelasan atas UU RI No. 20/2003
tentang SISDIKNAS bagian Umum).
A. PENGANTARMutu pendidikantidak dapat dilepas-kan dari kualitasproses pembelajar-an. Secara kualitatif,kualitas pembela-jaran dapat diamatidari proses pem-
belajaran yang dialogis (demo-kratis), bermakna, dan menyenang-kan. Proses pembelajaran tersebutmendorong siswa untuk mening-katkan minat belajarnya dan meng-hasilkan keluaran banyak siswayang diserap sekolah-sekolah lanjut-an yang bagus kualitasnya.
16 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
1. Pembelajaran yang Dialogis
Pembelajaran dialogis erat kaitan-
nya dengan pembelajaran demo-
kratis yaitu pembelajaran yang di
dalamnya terdapat interaksi dua
arah antara guru dan siswa. Guru
memberikan bahan pembelajaran
dengan selalu memberi kesempatan
kepada siswa untuk aktif memberi-
kan reaksi, siswa bisa bertanya mau-
pun memberi tanggapan kritis tan-
pa ada perasaan takut. Bahkan, jika
perlu siswa diperbolehkan menyang-
gah informasi atau pendapat guru
jika memang dia mempunyai infor-
masi atau pendapat yang berbeda.
Hasil belajar pada dasarnya meru-
pakan hasil reaksi antara bahan pela-
jaran, pendapat guru, dan pengala-
man siswa sendiri.
Dalam pembelajaran, siswa
betul-betul sebagai subyek belajar.
Bukan sebagai botol kosong yang
pasrah untuk diisi dengan berbagai
ilmu oleh guru. Saat ini, rasanya
pembelajaran yang dialogis (demo-
kratis) cukup mendesak untuk diim-
plementasikan di kelas, setidaknya
berdasarkan tiga alasan.
Pertama, kenyataan bahwa guru
bukan lagi satu-satunya sumber
belajar. Dalam era globalisasi infor-
masi sekarang, tidak bisa dimung-
kiri, akses terhadap berbagai sumber
informasi menjadi begitu luas: tele-
visi, radio, buku, koran, majalah,
dan Internet. Saat berada di kelas,
siswa telah memiliki seperangkat
pengalaman, pengetahuan, dan in-
formasi yang bisa sesuai dengan
bahan pelajaran atau juga berten-
tangan. Pembelajaran yang demo-
kratis memungkinkan terjadinya
proses dialog yang berujung pada
pencapaian tujuan instruksional
yang ditetapkan. Tanpa demokrasi
di kelas, guru akan menjadi pengua-
sa tunggal yang tidak dapat digang-
gu gugat. Siswa terkekang, dan
akhirnya potensi kreativitasnya ter-
bunuh.
Kedua, kompleksnya kehidupan
yang bakal dihadapi siswa setelah
lulus. Masa depan menuntut mereka
mampu menyesuaikan diri. Prinsip
belajar yang relevan adalah belajar
bagaimana belajar (learning how to
learn). Artinya, di kelas target pem-
belajaran bukan sekadar penguasa-
an materi, melainkan siswa harus
belajar juga bagaimana belajar
(secara mandiri) untuk hal-hal lain.
Ini bisa terjadi apabila dalam ke-
giatan pembelajaran siswa telah di-
biasakan untuk berpikir mandiri,
berani berpendapat, dan berani ber-
eksperimen.
Ketiga, dalam konteks pendidikan
demokrasi dalam masyarakat. Seba-
gai bagian dari anggota masyara-
kat, siswa hendaknya sejak dini telah
dibiasakan bersikap demokratis,
bebas berpendapat tetapi tetap dalam
aturan dan norma. Ini bisa dimulai
di kelas dalam bentuk kegiatan pem-
belajaran yang menekankan ada-
nya demokrasi. Bagaimana kita bisa
berharap kelak mereka akan men-
jadi penyokong demokratisasi kalau
di sekolah tidak mendapatkan peng-
alaman berdemokrasi?
Ketiga alasan di atas tampaknya
cukup signifikan untuk memberi-
kan rekomendasi tentang perlunya
penerapan pembelajaran yang dia-
logis dan demokratis di kelas. Hanya
saja, harus diakui ada beberapa ken-
dala yang perlu diatasi.
Dari pihak guru, kendala lebih
bersifat psikologis. Bagaimanapun,
selama ini guru telah tercitrakan
sebagai orang yang serba tahu dan
serba mampu. Bahkan, ada ungkap-
an, guru itu digugu dan ditiru. Ini
menempatkan guru pada posisi
superior di atas siswa.
Guru memang harus berwibawa
baik secara akademik maupun moral,
tapi bukan berarti harus berlaku
diktator dan otoriter. Harus ada
perubahan paradigma, guru seka-
rang tidak harus serba tahu dan serba
mampu karena hal itu memang
mustahil. Yang penting, guru harus
bisa menjadi fasilitator dan motivator
sehingga siswa dapat mengembang-
kan potensinya secara optimal.
Untuk bisa mengubah paradigma ini,
guru harus menyadari bahwa wiba-
wa tidak akan lenyap dengan mem-
berikan kesempatan kepada siswa
untuk mengembangkan kreativitas-
nya. Bukankah justru wibawa guru
akan terangkat bila ia mampu me-
nampilkan performa sebagai guru
yang egaliter, bisa diajak diskusi, ter-
buka, dan demokratis?
Sementara dari pihak siswa,
kendalanya adalah belum adanya kebe-
ranian untuk berpendapat. Selama ini
mereka telah terkondisi untuk pasif,
menerima apa pun informasi dari
guru tanpa kritik. Kondisi ini harus
diubah dengan cara mendorong mere-
ka menyampaikan gagasan dan meng-
hargainya. Apa pun pendapat siswa,
guru harus bisa memberikan apresiasi
secara positif. Melalui penghargaan
dan apresiasi secara positif terhadap
siswa, diharapkan berangsur-angsur
siswa terbiasa berpikir aktif dan berani
mengemukakan pendapatnya di kelas.
2. Pembelajaran yang Bermakna
Kegiatan belajar harus terarah pada
kebermaknaan belajar sebagai u-
paya pengembangan kompetensi
anak agar memiliki daya kritis,
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 17
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
kreatif, cerdas, banyak akal, berpikir
eksploratif, sifat demokratis dan
humanistik. Selama ini ada kemung-
kinan kegiatan belajar-mengajar di
kelas cepat mendatangkan kejenuhan
dan kebosanan.
Situasi ini disebabkan oleh tidak
adanya keterlibatan emosi di dalam-
nya. Guru hanya mengikuti instruk-
si dari buku-buku yang berisi petun-
juk pengajaran dan materi yang
diajarkan secara urut. Ironisnya,
guru hanya bertindak sebagai sese-
orang yang “menjejalkan” sesuatu
kepada murid agar cepat habis sesuai
dengan petunjuk kurikulum.
Emosi sangat penting dilibatkan
dalam menjalankan kegiatan belajar-
mengajar yang bermakna. Lebih
jauh, emosi dapat membangun ka-
rakter atau akhlak pada anak didik.
Dengan emosi atau pelibatan diri
yang personal—dengan mata pela-
jaran yang akan diajarkan—dapat
membangun makna kegiatan bela-
jar-mengajar di sekolah.
Pentingnya pelibatan emosi itu
bukan asal-asalan tanpa disertai ke-
sadaran tinggi. Artinya, para guru
benar-benar terlatih dan menun-
jukkan bawa diri mereka mamang
mau dan mampu menggunakan ke-
cerdasan emosional ketika mengajar
secara sadar dan berkelanjutan.
Bahkan, emosi mampu mengubah
rutinitas menjadi kegiatan yang ber-
cabang-cabang dan mungkin meng-
hadirkan kejutan-kejutan. Bukan-
kah tak dapat kita bayangkan, apa
jadinya kehidupan tanpa sesuatu
yang tak terduga?
Kita patut mengkhawatirkan se-
kolah yang telah memisahkan anak
didik dengan kehidupan yang penuh
emosi. Mata pelajaran diajarkan tan-
pa sama sekali dikaitkan dengan pe-
rasaan seperti rasa simpati, tertawa
dan cucuran air mata. Hal ini sama
dengan membunuh emosi. Guru
hanya mengajar sesuai instruksi
kurikulum. Pokoknya materi harus
dibagi habis dalam rentang waktu
sekian dan sekian. Hanya sebatas
gugur kewajiban!
Manusia itu unik karena me-
miliki emosi. Alangkah indahnya
apabila para pengelola pendidikan di
Indonesia, sekarang ini, memper-
hatikan pentingnya kecerdasan
emosional dalam membawa keber-
maknaan dalam kegiatan belajar-
mengajar. Oleh karena itu sudah
saatnya para guru tidak hanya me-
rujuk ke kurikulum ketika meng-
ajar, namun juga merujuk ke hati,
emosi, perasaan yang sudah ada
dalam dirinya. Isilah pikiran kita
saat ini dengan gagasan tersebut
agar masa depan pendidikan menja-
di kaya warna, sebagaimana ciri
emosi yang sangat kaya warna.
3. Pembelajaran yang Menye-
nangkan
Pembelajaran yang menyenangkan
(joyful learning) diharapkan dapat
dilaksanakan pada setiap proses pem-
belajaran di kelas. Dengan suasana
belajar yang menyenangkan, para
siswa diyakini akan dapat belajar se-
cara lebih optimal.
Pertanyaannya kemudian ada-
lah apakah pembelajaran yang me-
nyenangkan itu? Apakah pembela-
jaran yang menyenangkan berarti
harus tertawa hahahihi, berlucu-
lucu, bernyanyi-nyanyi, bertepuk-
tepuk hura-hura? Kalau memang
demikian, apakah sebagian besar,
atau bahkan semua siswa menyukai
kegiatan-kegiatan tersebut, atau
apakah setiap guru mampu melucu,
bernyanyi atau menciptakan peme-
cah kebekuan (ice-breaker)? Pertanyaan-
pertanyaan ini perlu saya kemuka-
kan karena saya melihat telah ter-
jadi kecenderungan oleh banyak guru
untuk menerjemahkan pembelajaran
yang menyenangkan ke arah itu.
Kalau demikian, maka kelas akan
menjadi riuh rendah sementara efek-
tivitasnya masih perlu dipertanya-
kan. Menurut hemat saya pembela-
jaran yang menyenangkan berarti
siswa asyik terlibat dalam proses
pembelajaran karena penugasan
yang diberikan guru menantang,
sesuai kebutuhannya, serta berada
dalam dunianya. Di lain pihak siswa
merasa nyaman karena tidak per-
nah dimarahi atau dicemooh ketika
membuat kesalahan sehingga berani
berbeda dan tidak takut membuat
kesalahan.
Pendeknya, pembelajaran yang
menyenangkan adalah pembelajaran
yang bebas dari tekanan (stress-free),
menantang, dan bermakna bagi siswa.
Dan itu tidak sama dengan hura-hura.
C. KESIMPULAN
Model pembelajaran yang dibutuh-
kan saat ini adalah model pembela-
jaran yang dialogis dan demokratis,
bermakna dan menyenangkan. Sua-
sana saling menghargai antara guru
dan peserta didik, adanya kebebasan
berpendapat/berbicara, kebebasan
mengungkapkan gagasan, adanya
keterlibatan peserta didik dalam
berbagai aktivitas pembelajaran di
sekolah dan kemampuan guru da-
lam mengelola emosi peserta didik-
nya sehingga pembelajaran menjadi
bermakna. Proses pembelajaran
yang menyenangkan merupakan
salah satu syarat mutlak demi terca-
painya pembelajaran yang berhasil.
18 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Pustaka AcuanPustaka AcuanPustaka AcuanPustaka AcuanPustaka AcuanBambang Ari Sugianto, 2006. Pembelajaran Menyenangkan. (online)
(http://www.mbeproject.net/mbe79.html, diakses 5 Oktober2006).
Irfan Habibie, 2006. Agar Kegiatan Belajar-Mengajar Lebih Bermakna.(online) (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/01/kampus/buku.htm, diakses 5 Oktober 2006).
Mulyoto, 2002. Pembelajaran yang Demokratis. (online) (http://www.suaramerdeka.com/harian/0407 /12/op14.htm, diakses 2Oktober 2006).
Penjelasan atas UU RI No. 20/2003 tentang SISDIKNAS.PP. No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Untuk itu, model pembelajaran yang didominasi ke-
giatan ceramah, yang menempatkan guru sebagai figur
sentral dalam proses pembelajaran di kelas karena banyak
berbicara, sementara siswa hanya duduk manis menjadi
pendengar pasif dan mencatat apa yang diperintahkan
guru, harus segera ditinggalkan. Paling tidak dikurangi.
Sebaliknya, model pembelajaran yang memberikan pe-
luang yang lebih luas kepada peserta didik untuk terlibat
aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dan pema-
hamannya dalam proses “pemanusiaannya” mutlak
ditumbuhkembangkan. [E]
Seluruh pimpinan, staf, dan pegawai
Pusat Pengembangan Penataran Guru Bahasa
mengucapkan
Selamat Natal 2006,Selamat Idul Adha 1427 H,
dan Selamat Tahun Baru 2007.
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 19
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Artikel
Neneng TsaniStaf pada Jurusan Bahasa Perancis PPPG Bahasa Jakarta
Pernah mendengar kata
Anglisisme? Bagi mereka yang
berkecimpung di bidang bahasa,
kata tersebut tidak terdengar
asing. Karena secara etimologi,
asal-usul kata, bisa kita kaitkan
dengan Angli diambil dari kata
Anglo, yang lazim terdapat dalam
kata Anglo-saxon yaitu sebuah
peradaban Inggris (De civilisation
britannique, le petit Larousse
illustré,1999). Sedangkan kata
anglisisme itu sendiri menurut le
Multi dictionnaire yaitu:
Anglisisme adalah kata, ekspresi,
makna dan konstruksinya yang khas
terdapat pada bahasa Inggris.
Sedikit berbeda menurut
wikipedia Anglisisme adalah
sebuah kata atau ekspresi yang
dipinjam dari bahasa Inggris tanpa
proses integrasi dengan bahasa
tujuan atau dalam hal ini adalah
bahasa Prancis. Apakah mungkin
bahasa Indonesia mengalami
Anglisisme? Bisa saja, tetapi pada
artikel ini yang akan dibahas
adalah Anglisisme yang terjadi
pada kosakata bahasa Prancis.
Mengapa demikian, mungkin
karena secara geografis kedua
negara ini, Prancis dan Inggris
sama-sama berada di benua Eropa.
Dan jangan lupa pada masa
lampau wilayah Normandie di
daerah Prancis pernah dikuasai
oleh orang Inggris.
Begitu banyaknya kosakata
bahasa Ingris yang dibahasa-
pranciskan membuat le Colpron
sebuah kamus Anglisisme terbitan
Quebec, Kanada,
mengklasifikasikan
Anglisisme sebagai berikut:
1. Anglisisme semantik yaitu
pemberian makna ke dalam sebuah
kata bahasa Prancis yang berasal
dari bahasa Inggris. Dengan kata
lain terjadi penerjemahan literal/
harfiah dari bahasa Inggris.
Contoh :
• opportunité (bahasa
Prancis Anglisime: kesempatan)
berasal dari bahasa Inggris
opportunity seharusnya
occasion.
• initier (bahasa Prancis
Anglisisme : memulai ) berasal
dari bahasa Inggris initiate,
seharusmya: débuter atau
entamer.
2. Anglisisme Leksikal yaitu
kata atau ekspresi pinjaman dari
bahasa Inggris yang digunakan
dengan bentuk yang sama.
Misalnya, feedback (bahasa
Inggris) diterjemahkan langsung
menjadi rétroaction.
Contoh lain :
• walkman (bahasa Inggris,
yang berarti orang berjalan):
anglisisme ke dalam bahasa
Prancis menjadi baladeur yang
bermakna orang keluyuran.
3. Anglisisme Sintaksis yaitu
konstruksi kata jiplakan dari
bahasa Inggris.
Misalnya, in charge of (bahasa
Inggris) langsung diterjemahkan
ke dalam bahasa Prancis secara
konstruksi menjadi être chargé de
yang seharusnya dalam
konkstruksi asli bahasa Prancis
tertulis être en charge de dengan
arti yang sama, yaitu bertanggung
jawab atas.
Apa itu Anglisisme?
20 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Penggunaan Anglisisme pada
bahasa Prancis saat ini sudah
merupakan gejala kontemporer.
Kenyataannnya memang
dasawarsa terakhir ini bahasa
Inggris lebih banyak dipinjam ke
dalam bahasa Prancis ketimbang
kebalikannya. Anglisisme kini juga
lebih banyak ditemui ragamnya,
misalnya berdasarkan bidang ilmu
penggunaan bahasa tersebut.
Misalnya, Anglisisme pada dunia
Informasi Teknologi ataupun
ekonomi. Sedangkan pada bidang
zoologi atau botani, lebih banyak
penggunaan istilah Latin, dan itu
tidak termasuk Anglisisme, karena
hanya penggunaan dalam
pemberian nama sebuah spesies
hewan atau tumbuhan. Ciri lain
Anglisisme banyak ditemukan
yaitu biasanya di negara tersebut
menggunakan dwibahasa Inggris
dan Prancis sebagai bahasa
nasional, seperti di Kanada,
misalnya.
Bagaimana dengan di negeri
kita sendiri, Indonesia, adakah
Anglisme terjadi di sini ? Hal ni
bukanlah kemusykilan. Hanya
saja sejauh ini yang kita hadapi
adalah penamaan perumahaan, Jeudi, 19 Octobre 2006
Bahan RujukanKamus Perancis Indonesia, Winarsih A., & Farida S.,1991, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Le Petit Larrouse Illustré, 1999, 21, Rue du Montparnasse 75283 Paris
Cedex 06.
Le Petit Robert Dictionnaire de la Langue Française, 1993, DICOROBERT
inc, Montreal, Canada.
http://public.sogetel.net/rthibaudeau/Francais/module02e.htm.http://www.linux-france.org/prj/jargonf/A/anglicisme.html.
http://www.monpif.ca/p.aspx?p=VTkYnwQGAAfXAw.
Contoh lain:
• under control (bahasa
Inggris) menjadi est sous
contrôle seharusnya est
maîtrisé.
4. Anglisisme Morfologi yaitu
kekeliruan dalam pembentukan
kata, misalnya, saat proses
pengimbuhan, jenis kata, dan
lainnya.
Contohnya, les actifs d’une
societé.
Kata les actifs terjemahan
langsung secara morfologi dari
bahasa Inggris the assets. Proses
pembentukan kata les actifs berasal
dari kata dasar l’actif yang
bermakna harta.
5. Anglisisme Fonetik yaitu
kekeliruan atau perubahan dalam
pengucapan.
Misalanya, cent (mata uang
dolar atau euro).
Seharusnya dalam pengucapan
bahasa Prancis diucapkan dengan
/sã/ (Le Petit Robert, 1993,
Montréal, Canada). Setelah
mengalami Anglisisme pengucap-
annya menjadi /s nt/.
6. Anglisisme Grafika yaitu
penggunaan ortografi atau
tipografi bahasa Prancis yang
berasal dari Bahasa Inggris atau-
pun peradabannnya Anglo-saxon.
Misalnya, penggunaan titik
sebagai penanda desimal bukannya
koma.
• connection (bahasa Inggris)
menjadi connexion (bahasa
Prancis, berarti pertautan).
• license (bahasa Inggris)
menjadi licence (bahasa Prancis,
berarti izin).
pusat perbelanjaan bahkan kantor-
kantor profesional biasanya
menggunakan papan nama dengan
bahasa Inggris. Sebagaimana teori
Anglisisme diatas penamaan
dengan bahasa Inggris yang terjadi
di Indonesia bukanlah Anglisisme
tetapi Britanization (istilah
penulis).
Atau, menamai semua fasilitas
publik dengan bahasa Inggris
adalah penginggrisan republik ini.
Pernah dalam suatu masa sebuah
pusat perbelanjaan bernama
Citraland Mall, lalu berganti
menjadi Mal Ciputra. Ini adalah
salah satu upaya pemerintah
untuk menghindari atau paling
tidak mengurangi Britanisasi. Tapi
sebuah kata konsistensi memang
bukan kata yang mudah untuk
diejawantahkan.
Buktinya setelah pemerintah
tidak lagi gencar mengampanyekan
pengunaan papan nama berbahasa
Indonesia, kaum profesional lebih
suka menggunakan bahasa Inggris
menjadi bahasa dagangnya. Kini,
siapakah sebenarnya pemilik
republik ini? [E]
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 21
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Artikel
T R A D I S I
GRAMATIKA
S e j u m l a h t r a d i s i
linguistik telah mun-
cul pada zaman kuno,
semua itu timbul sebagai
tanggapan dari perubah-
an bahasa ( l inguist ic
change) dan kepentingan
agama (religious concerns).
Sebagai contoh:
1. Tradisi Babilonia Kuno (The Old-
Babylonian Tradition)
Ketika teks-teks linguistik disusun, bahasa Sumeria,
yang merupakan teks agama dan hukum (legal) diganti
dengan bahasa Akkadian (bahasa Semit yang punah
dari daerah Mesopotamia) Tradisi ini berlangsung pada
kira-kira tahun 1900 S.M. dan berakhir selama kurang
lebih 2500 tahu; sehingga bahasa Sumeria dapat
dipelajari dan teks-teks tersebut dapat terus dibaca. Seba-
gian besar dari teks tersebut merupakan daftar adminis-
trasi; inventaris,
kuitansi dan daf-
t a r n a m a d a n
deskripsi peker-
jaannya.
T e k s - t e k s
yang digunakan
dalam sekolah
“sekretaris” ada-
lah daftar kata
benda Sumeria
dan padanannya, bahasa Akkadian. Dari sini, analisis
gramatika berevolusi di abad ke-5 dan ke-6 S.M. Bentuk-
bentuk yang berbeda dari kata yang sama, khususnya
kata kerja, didaftar mewakili paradigma gramatika dan
dipasangkan diantara kedua bahasa tersebut. (Gregg
1995, Hovdhaugen, 1982).
2. Perubahan Bahasa (Language Change)
Perubahan bahasa juga merangsang tradisi Hindu.
Kitab Weda (The Vedas) teks agama tertetua berbahasa
Sanskerta yang dihapal, yang berlaku dari sekitar
Perkembangan LinguistikModern: Sejarah
LinguistikTaufik Nugroho
Widyaiswara Bahasa Inggris PPPG Bahasa
PENDAHULUANTidak sedikit ‘sejarah’ linguistik yang telah ditulis lebih dari 200 tahun yang lalu, dan sejaktahun 1970-an sejarah linguistik telah menjadi subbidang tertentu, dan telah mengadakan
konferensi, organisasi-organisasi profesi dan jurnal-jurnal tersendiri.Karya-karya di bidang sejarah linguistik mempunyai tujuan-tujuan tersendiri, seperti halnyauntuk mempertahankan suatu aliran pemikiran tertentu, mempromosikan nasionalisme di
berbagai negara, memfokuskan pada bahasan tertentu atau subbidang tertentu, misalnya: sejarahfonetik. Sejarah linguistik sering disalin dari berbagai karya, dan interpretasinya sering tidak
kritis dan kurang akurat; mereka juga cenderung sering melihat sejarah linguistik sebagai bidangyang berkembang secara terus-menerus dan berkembang secara kumulatif. Walaupun
sebetulnya akhir-akhir ini para ahli telah menekankan ketidakberlanjutannya.Sejarah linguistik juga telah memiliki ruang lingkup yang luas dari suatu bidang kajian.
Perkembangan awal linguistik merupakan bagian dari filsafat, retorika, logika, psikologi,biologi, kajian puisi, dan agama. Itu semua menyebabkan kesulitan untuk memisahkan sejarah
linguistik dari semua bidang tersebut. Tulisan ini akan mempresentasikan suatu tinjauanperkembangan sejarah linguistik secara garis besarnya saja.
22 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
tahun 1200 S.M. Bahasa Sanskerta,
bahasa suci, telah berubah. Akan
tetapi, dalam ritual dibutuhkan per-
formansi verbal yang pasti.
Aturan gramatika ditentukan
untuk mempelajari dan memahami
bahasa yang sudah tidak digunakan
lagi (archaic), misalnya: Panini (500
S.M.) aturan yang dirumuskan oleh
para pendahulu, suatu tradisi dari
abad ke 10 sampai ke-7 SM, berasal
dari berbagai perbandingan versus
padapata (sesuatu yang tak dapat
diubah).
3. Tradisi Gramatika Yunani
Tradisi ini dikembangkan oleh para
ahli bahasa, walaupum tradisi itu
dikenal hanya dari tulisan-tulisan
para filsuf. Karya Homer 850 S.M)
merupakan dasar-dasar dalam pen-
didikan Yunani, tapi Bangsa Yunani
dari dari abad ke-5 s.d. abad ke-3
S.M. telah mengubah secara drastis
bahwa penjelasan mengenai bahasa
pendapat Homer adalah penting dite-
rapkan pada kurikulum sekolah.
Data-data pengamatan yang di-
ambil dari gramatika sekolah ter-
dahulu ditemukan melalui karya-
karya Plato, Aristoteles dan dari
Stoics (Sekolah gramatika Yunani).
Tema-tema penting dari tradisi gra-
matika Yunani yang berkenaan
dengan sejarah linguistik adalah:
asal-usul bahasa, jenis kata (kategori
gramatika, dan hubungan antara
bahasa dan pikiran. Kontroversi
yang ada pada waktu itu adalah apa-
kah alam (nature) atau konvensi
(convention) yang menjelaskan hu-
bungan antara kata dan dan mak-
nanya, dan ini berimpilkasi pada
sejarah bahasa dan asal-usul kata.
Pendapat-pendapat sebelumya telah
dibincangkan dalam karya Plato
(427–347 S.M.) yang berjudul
Cratylus .
Permasalahan tersebut menge-
nai apakah bahasa bersal dari alam
(phusis), yang mana kata-kata per-
tamanya diduga mengikuti benda-
benda yang mereka namai, atau se-
cara konvensi (nomos atau thesis),
yakni dalam menamai apakah ber-
kenaan dengan manusia atau pene-
muan atau merupakan sintesis dari
keduanya. Aristoteles (384–322
S . M . ) d a l a m k a r y a n y a D e
interpretaione lebih mengutamakan
alam; sekolah-sekolah gramatika
Yunani menyatakan bahwa bahasa
berasal dari alam.
Bagi bangsa Yunani morfologi
merupakan hal yang banyak meme-
ngaruhi sejarah bahasa, yakni ber-
kenaan penciptaan struktur kata
(bagian dari etimologi). Sintaksis
tidak dideskripsikan secara lang-
sung, namun aspek-aspek sintaksis
diterapkan pada retorika dan logika.
Selain jenis kata, kita juga mengenal
pembagian kalimat menurut Plato,
yakni: onoma (nama) dan rhena
(ujaran) yang hanya sekadar contoh
bahwa interpretasi pada masa lalu
banyak juga mendasarkan pada pe-
m a h a m a n y a n g a d a s e k a r a n g .
Istilah-istilah yang dipakai Plato
kadang-kadang sama dengan kategori
gramatika moderen “nomina” dan
“verba”, dan kategori-kategori terse-
but secara bersamaan di bawah istilah
‘subjek” dan “predikat” dan “topik”
dan “komen”.
4. Linguistik Roman
Linguistik Roman melanjutkan
tema-tema Yunani. Karya Aelius
Donatus (abad ke-4 M) yang bertajuk
Ars minor dan Ars major dan karya
Priscian (abad ke-6 M.) Institutiones
grammaticae adalah merupakan
karya-karya yang penting di abad
pertengahan. Para tatabahasawan
Roman juga tidak mementingkan
sintaksis (melainkan jenis kata saja).
Morfologi mendominasi suatu pende-
katan yang memfokuskan deklensi
nomina dan konjugasi verba.
5. Tradisi Gramatika Arab
Tradisi ini sebetulnya berakar pada
tradisi gramatika Yunani, khusus-
nya menjejaki Aristoteles. Bagi tata-
bahasawan Arab, bahasa Arab ada-
lah suci dan tidak dapat berubah se-
bagaimana termaktub pada Al-
Qur’an. Dan karena itulah mereka
berargumen bahasa Arab adalah
sempurna. Sebagai contoh, sistem in-
fleksi akhiran bahasa Arab diper-
caya dan terbukti simetri dan sesuai
dengan logika bahasa. Alasan utama
dari kajian gramatika karena ada-
nya perubahan bahasa dan adanya
hasrat untuk memelihara integritas
bahasa suci Al-Qur’an.
Abul’l Aswad ad-Du’ali (wafat
688 M) terkenal sebagi penemu
tradisi gramatika ini, yang mulai
diterapkan dalam tulisan-tulisan al-
Khalil (wafat 791 M) dan Sibawayhi
(wafat 804).
6. Tradisi Linguistik Ibrani
Tradisi ini dimulai dengan adanya
peduli untuk membuat teks bahasa
Ibrani yang benar dari Perjanjian
Lama (Old Testament). Para tata-
bahasawan Ibrani meminjam metode-
metode deskriptif dari tradisi grama-
tika Arab dan mengembangkan suatu
sistem analisis morfologi. Antara tahun
900 s.d. 1550, 91 pengarang meng-
hasilkan 145 karya tulis mengenai
gramatika. Saadya ben Joseph al-
Fayumi (882–942) orang pertama
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 23
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Para pegawai PPPG Bahasa tampak sedangbertanding bola voli antartim pegawai (22/8)dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaanke-61 Republik Indonesia di lapangan bola voliPPPG Bahasa.
Sebagai salah satu unit di lingkungan Depdiknas,PPPG Bahasa turut pula menjadi partisipan pada
Pameran Pendidikan Nasional (PPN) 2006 di GedungA Depdiknas Senayan. Tampak dalam foto para siswa
SDN Cilengkrang Sumedang, Jawa Barat berfotobersama dengan pejabat PPPG Bahasa usai
menampilkan drama bahasa asing di panggung luarPPN 2006 (24/8).
Suasana kelas diklat bahasa Arab di PPPGBahasa (12/9) yang diikuti para guru SMAseluruh Indonesia. Tampak para peserta diklattengah menyimak materi yang disampaikansalah seorang penatar.
24 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Usai mengikuti diklat bahasa Jepang tingkat lanjut,para peserta SMA berfoto bersama (19/9) dengan
panitia, para pejabat PPPG Bahasa, dan perwakilandari The Japan Foundation di ruang Sidang
Widyaiswara PPPG Bahasa.
Salah seorang penatar dari GOETHE InstituteJakarta tengah memberikan materi kepada paraguru peserta diklat tingkat lanjut guru bahasaJerman SMA/MA di PPPG Bahasa (23/8).
Tampak para peserta diklat tingkat menengahguru bahasa Perancis sedang mengikuti
penyampaian materi diklat bertempat di salah satukelas di PPPG Bahasa (30/8).
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 25
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Pada diklat tingkat tinggi bagi guru dan multiplikatorbahasa Jerman (6/9), tampak beberapa peserta diklattengah bersiap menerima materi yang akan diberikansalah seorang penatar dari GOETHE Institute Jakarta.
Seorang peserta diklat tingkat menengah guru bahasaArab terlihat sedang meniti tambang menyeberangi
kolam dalam acara out bond (4/9) sebagai salah satumateri yang diberikan dalam diklat.
Para juara pertama lomba kreativitas siswabidang bahasa tingkat SMA/MA se-Jabodetabekberfoto bersama (11/11) usai menerimapenghargaan dan hadiah dari panitia yangdiberikan Kepala PPPG Bahasa.
26 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Kepala PPPG Bahasa Dr. Muhammad Hatta, M.Edtengah memberikan dana subsidi media pembelajaran
untuk peningkatan mutu pendidikan sekolah kepadaKepala SDN Cilengkrang Sumedang, Jawa Barat
Drs. Udek Suwandi di Sumedang (2/11).
Para pejabat dan pegawai PPPG Bahasa yang telahmenerima penghargaan Satya Lencana Kesetiaanberfoto bersama (30/10) dengan Kepala PPPG Bahasausai mengikuti upacara peringatan ke-78 hari sumpahpemuda di lapangan upacara PPPG Bahasa.
Tiga puluh guru bahasa Inggris dari sekolah modelbinaan PPPG Bahasa tampak tengah serius
mengikuti diklat Information and CommunicationTechnology (ICT) yang diselenggarakan PPPG
Bahasa 6-8 Desember 2006.
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 27
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
yang menulis gramatika dan kamus
Ibrani.
7. Kaum Kristiani Awal
Para penulis Kristen awal melongok
kembali pada tema-tema filsafat
Aristoteles dan Sekolah Gramatika
Yunani. Gramatika Latin klasik, ter-
utama Donatus Ars minor, diadaptasi
ke pendidikan gereja. Pengajaran
tatabahasawan Roman dicampur-
baurkan dengan dengan pandangan-
pandangan kedaeraham dalam ke-
rangka Kristiani.
Pada abad ke-7 dan 8 Donatus
m e n d o m i n a s i w a l a u p u n s e k i t a r
tahun 830 Institutiones mengganti-
kan Donatus sebagi gramatika dasar,
menghasilkan suatu tradisi baru
yang merupakan langkah awal dari
perubahan minat di abad ke-11 dan
12 yang melahirkan suatu gramatika
spekulatif berorientasi teori dari abad
ke-13 dan abad ke-14.
LAHIRNYA TATABAHASA
UNIVERSAL
Sekitar tahun 1000, suatu per-
ubahan dimulai yang mana
logika muncul mendominasi pe-
mikiran linguistik. Sebelum tahun
1100, banyak pakar percaya dengan
Donatus dan Priscian; dari abad ke-
a12 ke atas ada suatu kesadaran
kembali de-dialektika. Suatu pem-
benahan melalui tatabahasawan
Arab yang mengikuti tulisan-tulisan
Aristoteles yang hilang merupakan
hal yang penting. Para tatabahasa-
wan mengikuti pandangan Aristoteles
behwa pengetahuan ilmiah adalah
universal atau umum dan dapat di-
terapkan pada semua kajian (subject
matter) termasuk gramatika, dalam
hal ini adalah gramatika universal.
Analisis semantik (teori logika) men-
dominasi Eropa untuk empat abad
kemudian.
Dialektika karya Pierre Abailard
(1079–1142) mensistematisasikan
sebagaimana yang diungkapkan
melalui struktur bahasa jelata,
membangun paradigma Aristoteles
dan dan menempatkan logika pada
tingkat tertinggi dari pada ilmu
pengetahuan kontemporer. Robert
Kilwardby (wafat 1279) menegas-
kan konsep ciri-ciri gramatika uni-
versal, suatu konsep yang kemudian
disempurnakan oleh Roger Bacon
(1214–1294), keduanya berkebang-
saan Inggris yang mengajar di Paris.
Bacon terkenal dengan pernyata-
annya: “Gramatika secara substan-
sial adalah satu dan sama pada setiap
bahasa, walaupun tentunya berva-
riasi”. Dan beberapa pemikir lain
yang bersinggungan dengan grama-
tika universal, antara lain: 30 pe-
ngarang, yang menamakan diri
Modistae, sebagian besar dari me-
reka mempunyai hubungan dengan
Universitas Paris, memadukan
Donatus dan Priscian menjadi filsafat
skolastik (1200–1350), yakni per-
paduan antara filsafat aliran
Aristoteles kedalam teologi Katolik.
Menurut Modistae, tugas para tata-
bahasawan menjelaskan bagaimana
para cendekiawan menciptakan
suatu sistem gramatika; dalam ba-
hasa yang para tatabahasawan eks-
presikan untuk memahami dunia
dan seisinya melalui cara-cara me-
maknai.
Pada abad ke-14 pengajaran
gramar mulai berpacu dengan pan-
dangan filsafat skolastik. Pendekatan
modistic mulai luntur. Pada era ini
ada timbulnya pencerahan kembali
gramatika filsafat di abad ke-16,
yang dikomandani oleh Julius
Caesar Scaliger dengan karyanya l’
Escale (1484–1553) dan De causis
linguae latinae (1540).
Bagi Scaliger gramatika adalah
bagian dari filsafat. Dan yang lain-
nya adalah Rene Descartes (1596-
1650), dengan pandangannya ten-
tang pegertian kemanusiaan yang di-
anggap sama bagi semua orang, para
pemikir mengungkapkan suatu
bentuk pernyataan pikiran sebagai
peletakan batu pertama untuk setiap
gramatika. Pada abad ke-17 kajian-
kajian bahasa didasarkan pada teori
baru kognisi dan filsafat bahasa,
khususnya bila kita melihat karya
John Locke (1632–1704) Essay
Concerning Human Understanding
(1690).
LAHIRNYA METODE BANDINGAN
Melalui penjelajahan, penak-
lukan, perdagangan, penja-
jahan dari abad ke–16 ke atas, Eropa
menjadi terkenal dengan serbaneka
bahasa. Informasi tentang bahasa
Afrika, Asia, dan Amerika menjadi
tersedia dalam berbagi bentuk daf-
tar kata, gramatika, kamus dan teks-
teks agama dan berusaha untuk
mengklasifikasikan bahasa-bahasa
tersebut.
Dari abad ke-15 dan seterusnya,
etimologi telah berubah dari makna-
nya dalam kepurbakalaan klasik
dari makna kata yang sebenarnya
menuju suatu pencaharian sejarah
tahapan-tahapan bahasa dalam ber-
bagai bahasa dan asal kata (Robins
1990:86) Dengan demikian etimo-
logi menjadi penting dalam usaha
memapankan hubungan linguistik.
A h l i e t i m o l o g i b e r k e b a n g s a a n
Belanda, seperti Scrieckius 1614, de
Laet 1643, dan Ten Kate 1710 mem-
punyai pengaruh besar.
28 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Hipotesis Scynthian dan Gagas-
an Indo Eropa
Akhirnya l inguis t ik komparat i f
muncul berawal dari bahasa-bahasa
Indo-Eropa. Awal pengakuan dari
h u b u n g a n k e s e t a r a a n a n t a r a
bahasa-bahasa Indo-Eropa dihu-
bungkan secara intim dengan
“Sycynthian hypothesis”. Yang
tergolong ke lompok in i ada lah
Herodotus, Strabo, Justin, dan
lainnya) merupakan suatu bangsa
di atas laut di bagian utara.
Josephus dan penulis kristen
awal menganggapnya sebagai ketu-
runan Japheth (putra Nuh), yang
diasumsikan sebagai bapak orang
Eropa. Dan hipotesis linguistik
Scynthian muncul dari wawasan-
wawasan ini. Hipotesis yang ter-
kenal dari hipotesis ini adalah bahwa
di tahun 1733 Theodor Walter
(1699–1741) seorang misionaris
dari Malabar, menemukan kemiripan-
kemiripan antara bilangan-bilang-
an bahasa Sanskerta, Yunani, dan
Persia dan menjelaskannya dalam
teori Scynthian.
Sir William Jones (1746–1794)
Dia menyatakan bahwa bahasa
Sanskerta, walaupun kuno, me-
miliki struktur yang indah/luar
biasa; lebih sempurna dari bahasa
Yunani, lebih mudah disalin ke-
timbang bahasa Latin dan lain-lain.
Dengan demikian Jones dipercaya
sebagi pendahulu linguistik kom-
paratif dan menemukan hubungan
antara berbagai bahasa Indo-Eropa.
Tapi sebelum Jones ada pen-
dahulunya Edward Lhuyd (1707)
membandingkan beberapa bahasa
Indo-Eropa (Celtic, Germanic,
Slavic, Persian, dll). Dan masih
banyak lagi tatabahasawan lain di
era ini, seperti: Rasmus Rask (1787-
1832) yang terkenal dengan ke-
kerabatan bahasa bahasa Germanic
dengan bahasa Yunani dan Latin
dan ia juga yang menemukan kores-
pondensi bunyi yang kemudian
dikenal dengan Grimm’s Law;
Freidrich von Schlegel (1772–
1829), yang mengorbitkan grama-
tika komparatif menjadi fokus pada
kajian linguistik historis.
Tatabahasawan Baru (Neo-
grammarians)
Kelompok ini bermula di Jerman
pada tahun 1876 dan menjadi begi-
tu berpengaruh. Mereka ini terdiri
dari sarjana-sarjana muda yang
dinamakan Junggrammatiker yang
memproklamasikan pandangan-
pandangan mereka sendiri dan me-
nentang pemikiran-pemikiran pen-
dahununya. Mereka itu adalah Karl
Brugmann (1849–1919), Berthold
Delbruk (1842–1922) dan lain-
l a i n . D i a n t a r a p a n d a n g a n -
pandangan yang terkenal adalah:
- hukum-hukum bunyi (per-
ubahan bunyi);
- model pohon kekerabatan
(family tree model);
- Setiap kata mempunyai se-
jarahnya sendiri;
- teori gelombang yang ber-
kenaan dengan perubahan
bahasa akibat kontak dengan
bahasa-bahasa dan dialek yang
ada; dan
- kata pinjaman sebagai akibat
dari kontak bahasa.
PENDEKATAN-PENDEKATAN
FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS
Sementara tradisi tatabahasa-
wan baru mendominasi sejarah
linguistik, ada sekelompok baru
yang mempunyai orientasi yang
berpengaruh yakni pendekatan filo-
sofis dan psikologis tentang sifat dan
evolusi bahasa yang sekarang pada
umumnya terlupakan.
Pada abad ke-19 ada suatu per-
tentangan di antara pandangan
linguistik sebagai suatu ilmu fisika
(Naturwissenchraft) dan ilmu hu-
maniora (Geisteswissenschraft).
Para linguis yang terkemuka ber-
usaha menempatkan linguistik da-
lam ilmu-ilmu alam. Dan menolak
nilai-nilai orientasi sentimental dan
intelektual. Sebagaimana terlihat di
atas, Jones, Leibniz, Hervars,
Adelung, Rask dan lain-lain percaya
bahwa mereka menulis sejarah ras
dan bangsa-bangsanya melalui
karya linguistik mereka dari pada
hanya sekadar bahasa saja.
LAHIRNYA STRUKTURALISME
Sebagai gantinya orientasi
sejarah bidang linguistik yaitu
dengan penekanan kajian bahasa-
bahasa hidup dan strukturnya ber-
asal dari sejumlah ahli yang peduli
pada aliran struktur. Sebagai con-
toh gagasan-gagasan mengenai fo-
nem berkembang di berbagai tem-
pat pada waktu yang kurang lebih
sama sehingga ini memungkinkan
untuk menyebutnya sebagai suatu
aliran.
Dan tokoh-tokoh aliran ini bukan
datang dari dominasi Jerman me-
lainkan dari Swiss, de Saussure;
Rusia dengan Baudoin de Courtenay
dan dari Amerika dengan tokohnya
Boas.
Ferdinand de Saussure (1857–
1913)
Dia merupakan sarjana berkebang-
saan Swiss yang merupakan salah
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 29
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
satu dari sarjana linguistik yang
paling berpengaruh pada abad ke-
20. Bukunya yang terkenal adalah
Cours De Lingustique Generale (1916)
yang diterbitkan setelah kematian-
nya pada tahun 1913.
Saussure menekankan kajian
struktur bahasa secara sinkronik
yakni bagaimana elemen-elemen
linguistik diorganisir menjadi sistem
suatu bahasa. Teori mengenai tanda
sangat berpengaruh yakni yang
terkenal dengan signifant (penanda,
bentuk, bunyi) dan signifie (yang
ditandai, makna, fungsi; bentuk
khusus) dan makna dalam tanda-
tanda secara individual, secara ar-
bitrer berhubungan satu sama lain;
hubungannya adalah benar-benar
konvensional.
Aliran Prague dan Pendahu-
lunya
Jan Baudoin (1845–1929) lahir di
Polandia. Ia mengembangkan ide-
ide strukturalis di Universitas Kazan
di Rusia kurang lebih kurun waktu-
nya sama dengan Saussure di
Geneva. Pemikirannya adalah me-
ngenai perkembangan ide fonem
walaupun konsep yang dikembang-
kan ada pengaruhnya dari beberapa
arah-arah lain.
Kemudian, Baudoin dan mahasiswa-
mahasiswanya memberikan kontri-
busi atas istilah-istlah morfem,
grafem, fitur distinctive dan alter-
nasi. Semua istilah itu merupakan
istilah linguistik modern dan pemi-
kirannya tetap hidup diantara para
liguistik yang ia pengaruhi yang
berhubungan dengan lingkaran
linguistik Prague. Yang kemudian
Jakobson dan Trubetzdkoi menjadi
wakil yang sangat terkenal dari alir-
an linguistik Prague.
Franz Boas (1858–1942)
Dia dianggap sebagai pendiri li-
nguistik dan antropologi Amerika.
Perhatian khususnya adalah men-
dapatkan informasi tentang bahasa
dan budaya Amerika. Dan memang
ia merupakan pengumpul data-data
yang significant mengenai sejumlah
bahasa-bahasa yang sekarang sudah
mati. Misalnya, Lower Chinook,
Cathlamet, Chemakum dan lain-lain.
Metode yang diterapkan oleh
Boas dan pengikutnya adalah de-
skripsi bahasa-bahasa tersebut men-
jadi suatu dasar bagi kaum struk-
turalisme Amerika, yang meru-
pakan kekuatan dominan dalam
linguistik abad ke-20.
Edward Sapir (1884 – 1939)
Sapir (murid Boas) dikagumi selama
hidupnya dan kadang-kadang me-
rupakan seorang pahlawan bagi
banyak linguis, dia mempublika-
sikan baik linguistik maupun antro-
pologi secara besar-besaran. Yang
merupakan kajian lapangan dari
bahasa-bahasa Indian Amerika
yang memberikan kontribusi pada
sejarah linguistik (Indo-Eropa,
Semitik, dan bahasa-bahasa asli
Amerika).
Bukunya yang berjudul Language
berkenaan dengan tipologi morfo-
logi yang luas pada abad baru. Akan
tetapi, dia juga menekankan orien-
tasi psikologi dari tradisi tipologi dan
menyerahkannya pada mahasiswa-
nya Benjamin Whorf (1897–1941)
yang kemudian ditransformasikan
menjadi hipotesis Sapir-Whorf yang
menyatakan persepsi dunia pembi-
cara diorganisir oleh kategori li-
nguistik dan struktur bahasa me-
nentukan pikiran; Bagaimana se-
orang mengalami dan memandang
dunia. Dalam karya deskriptifnya
Sapir tetap beraliran mentalism dan
tidak memukul rata pendekatan
Boas.
Leonard Bloomfield (1887–1949)
Dia dipercaya meletakkan pondasi
strukturalisme Amerika yang mem-
buat linguistik menjadi kajian yang
otonomi. Perhatian utamanya me-
ngembangkan linguistik sebaga
suatu ilmu. Karyanya yang berjudul
Language dianggap sebagai karya
yang monumental di bidang linguis-
tik yang merupakan pondasi pemi-
kiran linguistik strukturalis Amerika.
Dalam bukunya, Bloomfield me-
ngutip pemikiran Saussure. Dia
juga sangat dipengaruhi oleh psiko-
logi behavioris. Dia menerima ke-
beratan pengikut Boas yang menen-
tang generalisasi tapi pada saat yang
bersamaan dia juga menolak rele-
vansi minda (mind) yakni dia me-
nentang aliran mentalisme yang
menjadi watak linguistik Amerika
yang diikuti oleh Boas, Sapir, dan
mahasiswa-mahasiswanya.
Noam Chomsky dan Teori
Linguistik sejak 1957
Arus utama linguistik sejak tahun
1957, saat Chomsky menerbitkan
bukunya yang berjudul Syntactic
Structure, telah didominasi Noam
Chomsky (1928– ). Adalah hal
yang sulit untuk memperkirakan
pengaruh Chomsky pada bidang li-
nguistik dan pemikiran secara kon-
temporer secara umum. Tidak se-
perti pengikut Bloomfield, Chomsky
beraliran mentalisme.
bersambung ke halaman 34
30 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Mengenal Lebih Dekat TOAFL danEligibilitasnya dalam MengukurKompetensi Guru Bahasa Arab
A. Rasional
Mutu adalah sesuatu
yang sekarang dicari
orang. Setiap produk
atau orang yang dika-
takan memiliki mutu
sangat baik, pasti me-
miliki parameter untuk mengukur-
nya. Begitu pula dengan guru baha-
sa asing. Bila kita berbicara TOEFL,
maka yang tergambar adalah se-
buah mutu kemampuan berbahasa
Inggris seseorang. Secara substantif,
istilah mutu itu sendiri mengandung
dua hal. Pertama sifat dan kedua
taraf. Sifat adalah suatu yang me-
nerangkan keadaan benda sedangkan
taraf menunjukkan kedudukannya
dalam suatu skala (Uwes,1999).
Dalam hubungannya dengan dunia
pendidikan khususnya pendidikan
bahasa, TOEFL dapat diasumsikan
sebagai standar kemampuan sese-
orang yang ‘siap pakai’ untuk mela-
kukan suatu pekerjaan atau pendidi-
kan di luar negeri. Apakah begitu juga
dengan TOAFL?
Sudah menjadi rahasia umum
bahwa penguasaan kemampuan
berbahasa seseorang tergambar
melalui skor yang diperoleh dari tes
kemampuan berbahasanya, walau-
pun tidak semua kemampuan dapat
tercover dalam tes tersebut. Kemam-
puan berbahasa seseorang, terutama
bahasa asing meliputi kemampuan
mendengar, berbicara, membaca,
dan menulis. Tes-tes bahasa asing
selama ini ada didominasi oleh dua
kemampuan reseptif, yakni kemam-
puan mendengar dan membaca. Tes
kedua kemampuan berbahasa terse-
but biasanya digunakan untuk meli-
hat seberapa besar kemampuan sese-
orang sehingga dapat melanjutkan
studi atau belajar ke luar negeri ba-
hasa asing dimaksud. Belakangan ini
marak kita dengar tes-tes yang dise-
lenggarakan berbagai instansi dan
lembaga pendidikan dari berbagai
bahasa asing, antara lain TOEFL
untuk bahasa Inggris, ZD untuk ba-
hasa Jerman, DELF untuk bahasa
Prancis, dan TOAFL untuk bahasa
Arab. Adapun untuk bahasa
Indonesia, juga telah diadakan tes ke-
mampuan berbahasa Indonesia yang
disebut dengan UKBI (Ujian Kema-
hiran Berbahasa Indonesia).
Untuk mengantisipasi kemajuan
zaman dan sesuai kebutuhan maka
Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN
telah mempelopori penggunaan tes
yang disebut dengan TOAFL sebagai
standar kelulusan mahasiswa S-2
dan S-3, untuk selanjutnya tes ini
dipergunakan untuk berbagai kebu-
tuhan lainnya. Bagi guru-guru ba-
hasa Arab sudah selayaknya menge-
Ahmad GhoziWidyaiswara Bahasa Arab PPPG Bahasa
tahui keberadaan Tes of Arabic Foreign
Language (TOAFL) yang memang
diperuntukkan untuk melihat se-
jauh mana kemampuan berbahasa
Arab seseorang. Yang menjadi perta-
nyaan adalah, apakah TOAFL bisa
dijadikan standar untuk mengukur
kompetensi guru bahasa Arab?
B. Apa Itu TOAFL?
1. Istilah TOAFL
Sebagaimana lazimnya sebuah is-
tilah dalam tes bahasa, bila kita per-
hatikan penggunaan nama TOAFL
terkesan agak ‘mengekor’ kepada
TOEFL. Bila dalam istilah TOEFL
kepanjangannya adalah Test of
English As a Foreign Language, maka
dalam TOAFL hanya mengganti kata
‘English’ dengan ‘Arabic’ saja
sehingga menjadi Test of Arabic As a
Foreign Language. Namun begitu,
bukan berarti dalam bahasa Arab
(sebelum pengggunaan istilah
TOAFL) tidak pernah digunakan
istilah lain. Menurut Matsna (2003)
istilah yang pernah digunakan
adalah “Al Ikhtibarat al Arabiyyah li
al Dirasat al Islamiyah li al Ajanib
(
Artikel
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 31
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
)”.
Menurutnya, karena masyarakat
kampus UIN Jakarta sudah terlanjur
mengenal TOAFL dengan ‘TOEFL‘
nya bahasa Arab, maka trademark
tersebut sudah demikian dikenal
luas daripada nama berbahasa Arab
tadi. Jadi, wajarlah bila kemudian
TOAFL yang diambil sebagai nama
untuk tes kemampuan berbahasa
Arab tersebut.
Memang selama ini belum (atau
kalaupun ada, dapat dikatakan sa-
ngat sedikit) dibuat sebuah tes stan-
dar kemampuan bahasa Arab yang
jelas sebagai sebuah standar kelulus-
an atau kelayakan. Adapun LIPIA atau
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam
dan Arab Jakarta juga telah mem-
buat tes-tes yang memang diper-
untukkan khusus untuk kelulusan
para mahasiswa yang belajar di tem-
pat tersebut yang menginduk kepa-
da Universitas Ibnu Suud Saudi Arabia.
Namun, tidak banyak tes-tes terse-
but beredar dan digunakan oleh ma-
syarakat umum.
Pusat Bahasa dan Budaya (PBB)
UIN tampaknya ingin memprakar-
sai terbentuknya sebuah tes standar
mutu kelulusan berbahasa Arab di
Indonesia tadi yang sebenarnya tes
itu juga dapat dipergunakan untuk
keperluan lainnya seperti mengeta-
hui sejauh mana seseorang dapat di-
katakan layak untuk belajar bahasa
Arab ke luar negeri. Maka disusun-
lah sebuah tes bahasa Arab standar
yang disebut dengan TOAFL pada
tahun 1998 untuk pertama kalinya
oleh sebuah tim yang dimotori oleh
Muhbib Abdul Wahab dan Suwito,
d i b a n t u o l e h C h a t i b u l U m a m ,
D.Hidayat , Akrom Mal ibar i ,
M.Matsna, dan sebagainya yang
hingga kini telah terbit 5 seri yang
telah digunakan berbagai Program
Pascasarjana seperti di IAIN
Lampung, STAIN Banjarmasin,
STAIN Mataram, dan sebagainya.
2. Tujuan TOAFL
Matsna (2003) menyatakan bahwa
tujuan diadakannya TOAFL adalah
sebagai berikut:
(a) Menumbuhkan kesadaran
peserta studi Islam terhadap
signifikansi bahasa Arab
sebagai media utama studi
Islam.
(b) Memberdayakan kemampu-
an memahami bahasa Arab
bagi peserta studi Islam.
(c) Meningkatkan penguasaan
kebahasaaraban berwawas-
an studi Islam, baik yang
klasik maupun kontemporer.
3. Karakteristik TOAFL
Materi TOAFL yang selama ini
dijadikan acuan adalah disiplin ilmu
keislaman yang terfokus pada kebu-
dayaan Islam yang meliputi bidang
pemikiran Is lam, bahasa Arab,
filsafat, tafsir, hadits, fiqh, ekonomi
Islam, sosiologi, dan sebagainya yang
mengacu pada buku-buku bahasa
Arab standar maupun kontemporer,
antara lain:
(1) Al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu,
karya Wahbah al Zuhaily.
(2) Ushul Fiqh, karya Abdul
Wahhab Khallaf.
(3) Mabahits fi Ulum al Hadits,
karya Subhi Shalih.
(4) Falsafat al Tarbiyah al
Islamiyah, karya Majid Irsan
al Kailany.
(5) Iqtishaduna, karya Muhammad
Baqir al Shadr.
Untuk mempermudah dalam pe-
ngoreksian dan penentuan skor,
maka tes TOAFL menggunakan
bentuk obyektif, antara lain:
(a) Pilihan ganda (multiple choice).
(b) Memilih kata yang salah.
(c) Memilih sinonim kata
(muradhif).
(d) Memilih antonim kata
(mudhoddat).
Sebagaimana diterangkan di atas
bahwa selama ini semua tes dalam
TOEFL dan TOAFL hanya memfokus-
kan pada kemampuan pasif saja yakni
mendengar dan membaca (termasuk
struktur). Dalam TOAFL, aspek-aspek
tersebut adalah:
1. Mendengar (Fahmu al
Masmu’)
Yang dituju dalam tes aspek men-
dengar ini meliputi:
(1 ) Kemampuan memahami
makna yang terdiri dari pengertian,
penalaran logis atau kesimpulan
dari sebuah pernyataan atau kali-
mat yang diperdengarkan.
(2) Kemampuan memahami
maksud, topik, penalaran logis, ke-
simpulan dan makna tersirat dari
dialog singkat antara dua orang.
(3) Kemampuan memahami
maksud, topik, penalaran logis, ke-
simpulan dan makna tersirat dari
dialog panjang antara dua orang atau
lebih atau berupa alinea pernyataan.
Yang perlu diperhatikan adalah soal-
soal untuk mendengar (fahmu al
masmu’) ini hanya sekali saja dibaca-
kan dan tidak ada pengulangan sama
sekali.
2. Membaca dan struktur
(Fahm al Maqru’ wa al
Qawaid)
Tes membaca dan struktur ini
terbagi menjadi dua, yaitu:
1 . Fahmu al Tarakib wa al Ibarat.
Fokus yang dituju pada bagian
aspek ini meliputi:
32 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SIa . Kemampuan melengkapi
kalimat dengan ungkapan
atau struktur baku.
b. Kemampuan memahami
dan menganalisis penggu-
naan kata, ungkapan atau
struktur yang salah dalam
kalimat.
2 . Fahmu al Mufradat wa al nash
al Maktub wa al Qawaid. Fo-
kus yang dituju pada aspek ini
meliputi:
a . Kemampuan memahami
sinonim (muradif) atau
kedekatan makna sesuatu
yang digaris bawahi sesuai
dengan konteks kalimat.
b. Kemampuan memahmi
isi, topik dan makna ter-
sirat dalam bebarapa para-
graf atau wacana.
c. Kemampuan memahami
penggunaan, kedudukan
suatu kata dalam kalimat
(i’rab), perubahan kata,
bentuk kata dan istilah-
istilah nahwu, sharaf, dan
balaghah.
4. Penskoran
Skor dalam TOAFL tak jauh beda
dengan skor yang diberlakukan
dalam TOEFL. Melalui adaptasi dari
skoring TOEFL yang diambil dari
karya Pamela J.Sharpe, Barron’s
How to Prepare for The TOEFL.
E. Kompetensi Guru Bahasa
Arab dan TOAFL
Kompetensi merupakan suatu istilah
yang sering diperbincangkan setelah
diperkenalkannya Kurikulum Ber-
basis kompetensi atau KBK (sekarang
telah berubah kembali menjadi Kuri-
kulum Tingkat Satuan Pendidikan
atau KTSP). Dalam KBK dan KTSP
yang berbeda dengan kurikulum se-
belumnya adalah penekanan kompe-
tensi siswa yang lebih dikembang-
kan dan pemberian kesempatan
seluas-luasnya kepada guru dan
pihak-pihak terkait untuk meran-
cang kurikulum berdasarkan ting-
kat satuan pendidikan siswa dan ka-
rakteristik daerah masing-masing.
Terkait dengan kompetensi, maka
pengetahuan, keterampilan dan peng-
alaman yang banyak dan luas sangat
dibutuhkan oleh guru bahasa Arab
untuk mendukung kompetensinya
dalam merancang Kurikulum Ting-
kat Satuan Pendidikan khususnya
mata pelajaran bahasa Arab.
Dalam Standar Kompetensi Guru
Bahasa Asing yang dikeluarkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), bahwa salah satu kompeten-
si inti yang harus dimiliki oleh guru
adalah “menguasai materi, struktur,
konsep, dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran/bidang
pengembangan yang diampu”. Pen-
jabaran selanjutnya, standar kom-
petensi guru bahasa asing (bahasa
Arab, Jerman, Jepang, Prancis, dan
Mandarin), yaitu:
a . Memiliki kompetensi linguis-
tik bahasa Asing.
b. Memiliki kompetensi wacana
bahasa Asing.
c. Memiliki kompetensi sosio-
linguistik bagi kepentingan
pemilihan materi pelajaran
baik yang umum maupun
yang khusus.
d. Memiliki kompetensi strategi
komunikasi.
Berdasarkan kompetensi yang di-
persyaratkan, TOAFL sebenarnya
tidak cukup untuk mengukur selu-
ruh kompetensi guru bahasa Arab,
karena hanya mengukur kemampu-
an mendengar dan membaca teks
bahasa Arab saja. Akan tetapi, TOAFL
merupakan sebuah perangkat tes
agar para guru khususnya dapat me-
ngerti dengan baik sebuah dialog
atau komunikasi dalam berbagai ba-
hasa. Begitu pun dalam konteks keba-
hasaan, kemampuan menggunakan
pola kalimat yang sesuai konteks men-
jadi suatu hal yang niscaya yang
harus dimiliki guru bahasa Arab agar
dapat mengantarkan siswanya men-
jadi bagian masyarakat yang memi-
liki kecakapan hidup.
B. Eligibilitas TOAFL
Dalam bidang pendidikan pada
umumnya dan bidang pembelajaran
pada khususnya, tes diartikan seba-
gai alat, prosedur atau rangkaian
kegiatan yang digunakan untuk
memperoleh contoh tingkah laku se-
seorang yang memberikan gambar-
an tentang kemampuannya dalam
suatu bidang tertentu (Djiwandono,
1996). Melalui tes tersebut diharap-
kan diperoleh informasi tentang
seberapa banyak dan seberapa men-
dalam kemampuan yang dimiliki se-
seorang maupun siswa. Dalam bi-
dang bahasa, tes semacam itu dike-
nal dengan tes bahasa yang sasaran
pokoknya ialah tingkat kemampuan
berbahasa.
Kemampuan berbahasa meng-
acu pada kemampuan yang berhu-
bungan dengan penggunaan bahasa
dalam komunikasi sehari-hari. Da-
lam konteks pendidikan di Indonesia,
bahasa disebut sebagai alat komuni-
kasi (Diknas,2003a). Dengan ke-
mampuan berbahasa, seseorang da-
pat mengungkapkan pikiran dan isi
hatinya kepada orang lain, yang me-
rupakan tujuan pokok penggunaan
bahas sebagai suatu bentuk ber-
komunikasi.
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 33
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Sebagai bagian dari kajian keba-
hasaan, tes bahasa dapat saja disebut
tes kebahasaan. Karena sasaran po-
koknya adalah kemampuan berba-
hasa, bukan pengetahuan tentang
bahasa, tes bahasa dapat juga meli-
puti meliputi tes kompetensi berba-
hasa, dan tes keterampilan bahasa.
Namun, dalam praktik sehari-hari,
istilah yang lazim digunakan adalah
tes bahasa, yang dapat merujuk ke-
pada kemampuan berbahasa yang
sifatnya umum, atau kompetensi
berbahasa dan keterampilan berba-
hasa. Berbagai model kompetensi ko-
munikatif yang digagas para ahli ba-
hasa, menurut Saukah (2004) pada
dasarnya memiliki kesamaan konsep
yang mencakup 4 kompetensi uta-
ma, yakni (1) kompetensi grama-
tikal atau linguistik, (2) kompetensi
strategis, (3) kompetensi sosio-
linguistik, dan (4) kompetensi
wacana.
Kompetensi gramatikal ada-
lah kompetensi yang terkait dengan
pengetahuan tentang bahasa (kosa
kata, morfologi, sintaksis, dan
fonologi). Kompetensi gramatikal ini
ditunjukkan buka dengan menye-
butkan aturan, tetapi dalam bentuk
menggunakan aturan gramatikal
tersebut dalam berkomunikasi.
Kompetensi Sosiolinguistik
adalah kompetensi yang terkait
dengan pemahaman tentang peng-
gunaan bahasa yang memperhati-
kan tatakrama pergaulan sosial-
budaya (pemilihan kata, gaya
bahasa, sopan santun, dan sebagai-
nya). Kompetensi sosiolinguistik ini
ditunjukkan dalam bentuk peng-
gunaan bahasa yang sesuai atau ber-
terima dalam situasi dan konteks
budaya dimana komunikasi berlang-
sung, dengan memperhatikan pera-
nan orang-orang yang terlibat da-
lam komunikasi, isi serta fungsi
penggunaan bahasa dalam komu-
nikasi tersebut.
Kompetensi wacana adalah
kompetensi yang terkait dengan
kemampuan untuk menyusun atau
memahami berbagai aturan bahasa
dalam bentuk teks yang kohesif
(pidato, surat, artikel, cerita, dan
sebagainya. Kompetensi wacana ini
ditunjukkan dalam bentuk kemam-
puan menyusun atau menafsirkan
serangkaian klimat atau ungkapan
sehingga membentuk makna yang
utuh berdasarkan konteks tertentu.
Adapun kompetensi strategis
adalah kompetensi yang terkait erat
dngan pengetahuan tentang ber-
bagai strategi komunikasi verbal
dan non verbal yang dapat mendu-
kung efisiensi komunikasi, dan juga
dapat membantu pengguna bahasa
untuk mengatasi kesulitan jika ter-
jadi kemacetan komunikasi, misal-
nya dengan mengulangi lagi atau
mengganti dengan kata lain (Ibid.)
Kemampuan berbahasa dapat
juga dikaitkan dengan penguasaan
terhadap komponen bahasa seperti
dimaksudkan dalam ilmu bahasa
struktural. Sebagaimana diketahui,
bahwa dalam ilmu bahasa struk-
tural, bahasa dianggap terdiri dari
bagian-bagian yang dikenal sebagai
komponen bahasa itu, yakni terdiri
dari bunyi bahasa, kosakata, dan tata
bahasa. Penguasaan atas komponen-
komponen bahasa tersebut dianggap
merupakan bagian dari kemampu-
an berbahasa. Karena itu tes bahasa
yang tujuannya adalah kemampuan
berbahasa, ruang lingkupnya me-
liputi pula tes bunyi bahasa, tes kosa
kata, dan tes tata bahasa.
Dengan demikian lingkup tes
kompetensi guru bahasa secara kese-
luruhan tidak hanya meliputi kom-
petensi kebahasaan atau linguistik
saja, namun lebih dari itu meliputi
kompetensi sosiolinguistik, wacana
dan strategis. Lebih jauh dari itu,
guru bahasa Arab harus memiliki 4
kompetensi yaitu, kompetensi ke-
pribadian, kompetensi sosial, kom-
petensi professional, dan kompetensi
pedagogis.
Dari paparan di atas, penulis me-
nyimpulkan bahwa TOAFL tidak
eligibel untuk dijadikan sebagai
standar dalam mengukur kompeten-
si guru bahasa Arab, karena beberapa
faktor sebagai berikut:
1. TOAFL hanya mengukur salah
satu kompetensi guru, bahkan ha-
nya kemampuan reseptif saja.
2. Isi tes TOAFL cenderung kepa-
da masalah pengetahuan agama,
bukan pada bagaimana guru bahasa
Arab memahami teks-teks bahasa
Arab yang terkait dengan pembe-
lajaran.
3. Selain itu penyusunan TOAFL
ditujukan untuk menentukan kelu-
lusan mahasiswa yang mendalami
ilmu agama Islam dan bahasa Arab
di lingkungan IAIN dan STAIN saja,
khususnya di lingkungan pasca-
sarjana.
4. Sepengetahuan penulis bahwa
hingga saat ini buku TOAFL tidak
disebar atau diperjualbelikan se-
hingga sulit bagi guru bahasa Arab
untuk mempelajari atau mempre-
diksi model-model soal yang akan
muncul saat tes. Andaikata ada yang
memiliki, itupun hanya di kalang-
an terbatas saja yang memiliki hu-
bungan dengan pihak terkait.
Adapun dalam upaya mengukur
kemampuan linguistik guru bahasa
34 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
DAFTAR PUSTAKABadan Standar Nasional Pendidik-
an. 2006. Standar Kompetensi GuruBahasa Asing. Jakarta: Depdiknas.
Djiwandono, M.Soenardji. 1996. TesBahasa dalam Pengajaran,Bandung: ITB Press.
Matsna, Moh., 2003. TOAFL, Jakarta:Pusat Bahasa dan Budaya UINJakarta.
Arab, kiranya sah-sah saja bila skor
TOAFL dijadikan salah satu unsur
dalam mengukur kemampuan guru
bahasa Arab, namun tidak untuk
menentukan dalam kelulusan atau
predikat yang akan disandang se-
orang guru bahasa Arab.
Melalui paparan ini, penulis
menyarankan agar lembaga atau
organisasi yang menaungi profesi
guru bahasa Arab, dalam hal ini
Departemen Agama dan Departemen
Pendidikan Nasional bekerja sama
dengan Ikatan Guru bahasa Arab
Saukah, Ali. 2004. PengembanganSistem Penilaian di Bidang Bahasa,Yogyakarta: Himpunan Evaluasipendidikan Indonesia.
Sharpe, Pamela J., 1986, Barron’s Howto Prepare for the TOEFL, New York:Barron’s Educational Series Inc.
Tim Depdiknas. 2003. Kurikulum2004 Mata Pelajaran Bahasa ArabUntuk SMA dan MA, Jakarta:Depdiknas.
Tim PBB UIN Jakarta. 2000. Tes-tesTOAFL, Jakarta: Pusat Bahasadan Budaya UIN Jakarta.
Uwes, Sanusi. 1999. ManajemenPengembangan Mutu Dosen,Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Baginya tujuan suatu gramatika
adalah untuk menjelaskan kompe-
tensi pembicara secara alami yang
didefinisikan sebagai pengetahuan
tentang bahasa. Karena pembicara
mengetahui bagaimana untuk
menghasilkan sejumlah kalimat
yang tak terbatas yang mana keba-
nyakan baru dan belum pernah
dihasilkan sebelumnya.
Gramatikal dilihat sebagai teori
suatu bahasa yang mempunyai
kendala dan dievaluasi sebagaimana
teori ilmu yang lain. Tidak seperti
pendahulunya Chomsky memfo-
kuskan pada sintaksis dan mem-
berikan suatu peranan pada linguis-
tik sebagai tujuan untuk mengene-
ralisir dan berusaha untuk menen-
tukan bahasa apa yang digunakan
secara umum untuk membangun
suatu teori bahasa manusia yang
kaya. Pendekatan Chomsky ini
sering dikenal dengan generative
grammar atau transformational
generative grammar.
TIPOLOGI
Suatu orientasi linguistik yang
berlawanan dengan pendekatan
generativist adalah typologist, yang
kadang-kadang dikenal dengan
functional typoligical atau pendekatan
Greenbergian. Tipologi merupakan
klasifikasi bahasa menurut panda-
ngan lingustik dan perbandingan
pola-pola/struktur-struktur lintas
bahasa.
Pendekatan tipologi berusaha un-
tuk menjelaskan pola-pola melalui
daya tarik fungsi bahasa dalam per-
bandingan lintas bahasa. Bahasa-
bahasa dapat ditipologikan menurut
hampir semua pandangan linguistik
apapun dan memang klasifikasi ter-
sebut berdasar berbagai atribut
yang telah diusulkan dalam sejarah
linguistik.
Sebagai contohnya Wilhem Wundt
(1832–1920) meneliti dua belas
lawan kata (oposisi) atau tipe-tipe
yang termasuk awalan dan akhiran
suatu bahasa, susunan bahasa yang
bebas dan terikat, dan bahasa-
bahasa yang mempunyai piranti
kata kerja yang luas dengan kata-
kata benda yang lebih rinci. Tipologi-
tipologi tersebut merupakan suatu
tradisi yang berkembang sejak abad
ke-18 dan ke-19 yang diwakili oleh
Schlegel, Bopp, Humboldt, dan lain-
lain. Dan beberapa konsepnya pada
pendekatan-pendekatan modern
berasal dari aliran Prague. [E]
sambungan dari halaman 29
Indonesia (yang dikenal dengan
IMLA) atau lembaga terkait lainnya
(LIPIA, UIN, dan sebagainya) untuk
merancang tes kompetensi guru
bahasa Arab yang komprehensif,
eligible, dan terpercaya. Semoga. [E]
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 35
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Menulis memang bukanlah
pekerjaan yang sulit bagi
para penulis dan bukanlah sekadar
membalikkan telapak tangan bagi
mereka yang baru akan mulai
menulis. Sah-sah saja bila penulis,
seperti Wendo, mengatakan bahwa
Mengarang Itu Gampang. Dalam
buku itu diuraikan dengan gaya
dialog atau wawancara seputar
menulis karya fiksi. Jika kita balik
halaman per halaman buku itu,
Wendo dengan lugas menjawab
pertanyaan tentang bagaimana
menulis fiksi yang sangat menarik
pembaca. Namun ada syaratnya,
yaitu punya minat dan ambisi
terus-menerus. Dan, lebih
sederhananya lagi bisa membaca
dan menulis.
Dimulai dari membaca
menurut Hernowo, salah seorang
penulis yang produktif di Mizan,
bisa dijadikan modal untuk
menulis. Karena menulis itu
Hari WibowoStaf pada Jurusan Bahasa Indonesia
PPPG Bahasa
Artikel
hanyalah pemaknaan dari apa
yang kita baca, seperti munculnya
buku Mengikat Makna. Buku ini
merupakan tawaran konsep
bagaimana memparaprasekan ide-
ide baru dari apa yang baca.
“Kegairahan menulis yang luar
biasa itu bisa hadir, karena saya
diilhami dari perkataan Ali bin Abi
Thalib r.a. bahwa ikatlah ilmu
dengan menuliskannya. Juga
beberapa penulis yang ber-
pengaruh, seperti J.K. Rowling,
Bobby D.P.,” akunya di sebuah
diklat guru se-Aceh di PPPG
Bahasa.
Sementara menurut saya,
menulis bisa dianalogikan dengan
belajar naik sepeda. Tidak ada
orang mahir secara tiba-tiba
mengendarai sepeda. Awalnya
juga sempoyongan, jatuh bangun
terus jatuh lagi, menabrak pohon,
tembok, bahkan ada yang kecebur
got. Bisa-bisa lutut, siku berdarah,
dan tangan terkilir. Belum
sembuh, sudah menabrak lagi.
Belum lagi kalau menabrak orang,
mungkin kita dapat voucher:
bentakan dan cacian.
Tidak ada kata “menyerah”
dalam kamus seorang penulis.
Karena tradisi atau etos menulis
itulah yang mesti ditumbuh-
kembangkan, walau jatuh bangun.
Etos itu akan muncul ketika
seseorang sudah terbiasa
membaca. Membaca apa saja dan
kapan saja. Dengan catatan bahwa
buku yang akan dibaca ini
bermanfaat bagiku (Model AMBaK,
Bobby DePotter, Quantum
Learning). Dengan begitu, kita
Menulis Itu Mudah?
Judul terinspirasi dari sebuahbuku Mengarang itu
Gampang karya ArswendoAtmowiloto. Buku ini—
lewat judulnya pun—tentusangat menggugah para
calon penulis.
36 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
akan menghindari buku-buku
yang kurang bermanfaat.
Masalah membaca mungkin
semua orang bisa, tetapi bagai-
mana cara membaca itu supaya
enak. Menurut Hernowo, buku-
buku yang ada di rak-rak
perpustakan adalah makanan
kesukaan kita. Apa jadinya? Tentu
akan kita lahap membacanya.
Dalam buku Andaikan Buku Itu
Sepotong Pizza, Hernowo menawar-
kan gaya membaca yang meng-
ibaratkan buku bak makanan.
Bagaimana caranya?
Menganggap buku sebagai
“makanan” ada langkah-
langkahnya. Pertama-tama, untuk
memasuki dunia buku, kita perlu
mengubah paradigma (atau
kacamata) dalam memandang
buku. Buku sama saja dengan
makanan, yaitu makanan untuk
ruhani kita. Pilihlah buku-buku
yang memang kita sukai,
sebagaimana Anda memilih
makanan yang Anda gemari.
Kedua, cicipilah “kelezatan”
sebuah buku sebelum membaca
semua halaman. Anda dapat
mengenali lebih dulu siapa
pengarang buku tersebut. Atau
Mintalah kepada seseorang yang
tahu untuk menunjukkan lebih
dulu hal-hal menarik yang ada di
buku itu.
Ketiga, bacalah buku secara
ngemil (sedikit demi sedikit,
laiknya Anda memakan kacang
goreng). Apabila Anda bertemu
dengan buku ilmiah setebal 300
halaman, ingatlah bahwa tidak
semua halaman buku itu harus
dibaca. Cari saja halaman-
halaman yang menarik dan
bermanfaat. Anda dapat ngemil
membaca di pagi hari sebanyak 5
halaman. Nanti, di sore hari,
tambah 10 halaman.
Dengan gaya ini kita bisa lebih
santai dan bisa berpindah dari satu
buku ke buku lainnya. Wawasan
kita juga akan lebih kaya karena
banyak buku yang dibaca,
meskipun sedikit demi sedikit.
Bila banyak membaca buku,
kita akan merasakan perubahan
dalam diri. Karena salah satu
fungsi buku adalah mampu
mempengaruhi orang-orang yang
membacanya. Kalau sekadar
membaca, tetapi tidak mengubah
diri, secara afektif, kognitif,
ataupun psikomotorik, ya percuma
saja. Artinya, orang tersebut tidak
butuh dengan apa yang dia baca.
Membaca buku seharusnya bisa
mempengaruhi dan atau mengubah
pola pikir dan pola tindak seseorang.
Seseorang sudah bisa dikatakan
pembaca yang ‘’berhasil’’, bila
terjadi perubahan dalam dirinya.
Perubahan itu mengarahkan
seseorang menjadi penulis. Jadi,
tinggal selangkah lagi.
Menjadi penulis mungkin tidak
disangka akan kita raih. Betapa
tidak. Seorang widyaiswara yang
artikelnya dimuat media massa
mungkin akan mendapat “poin”
kredit. Ditambah lagi nilai “koin’’-
nya yang terbilang lumayan—
karena sama dengan mengajar 10
jam. Padahal artikel itu hanya
dikerjakandalam dua atau tiga
jam. Bukan cuma itu, enaknya
menjadi penulis, bisa bekerja di
mana saja dan kapan saja. Tidak
terikat oleh waktu dan tempat.
Hanya modal ngerental
komputer—asal punya ide kuat lalu
bisa menuliskan—itu sudah men-
jadi awal yang baik untuk jadi
penulis. Karena banyak orang
yang punya ide bagus, namun
amat sangat sayang bila hanya
diejewantahkan lewat lisan. Lebih
sayang lagi, bila hanya disimpan
di otaknya alias tidak dituangkan.
Alangkah baiknya, jika ide tadi
kita keluarkan lewat saluran yang
namanya "tulisan”.
Tulisan mempunyai sifat bukan
sekadar permanen, namun juga
sebagai bukti otentik keilmiahan
seseorang. Buktinya seseorang
belum bisa dikatakan sarjana,
master, atau doktor bila belum
menyelesaikan skripsi, tesis, atau
disertasinya. Bahkan, hal itu
merupakan prasyarat mutlaknya.
Yaitu, karya ilmiah berupa buku
yang dipublikasikan oleh kampus
di perpustakan atau jurnal.
Sangat sayang jika tulisan atau
buku kita hanya dipublikasikan
untuk kalangan terbatas. Karena
menulis buku yang dipublikasikan
oleh sebuah penerbit nilainya jauh
lebih tinggi dibandingkan hanya di
kampus. Bukan sekadar koin atau
royalty yang kita dapatkan, namun
juga khalayak atau pembacanya
yang jauh lebih luas. Hal itu juga
bisa menjadi warisan budaya
generasi ke depan. Secara amal, itu
tidak akan ada habisnya. Sekali
menulis, pahalanya pun terus
mengalir hingga hari Akhir.
Tentu ada keinginan, bila
tulisan kita dapat dipublikasikan
media. kita harus pandai-pandai
memahami media atau penerbit
yang kita tuju. Dalam dunia
penerbitan—selain buku—kita
mengenal media massa, seperti
majalah, koran, atau tabloid. Jenis
atau karakter media massa itu
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 37
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
tentunya juga berbeda-beda.
Untuk itu, berbagai tulisan yang
diajukan hendaknya bisa
disesuaikan dengan misi lembaga
atau penerbitan yang dituju.
Namun, yang jelas ada standarnya:
berbagai tulisan itu hendaknya
merujuk dengan perkembangan
berita yang ada. Juga halaman
yang tersedia. Kejelian membaca
peluang, dari berbagai disiplin
ilmu, pastilah bisa dimanfaatkan
seoptimal mungkin guna
menembus sekat-sekat yang ada di
majalah atau koran.
Ada beberapa tahapan yang harus
kita miliki untuk bisa melayangkan
tulisan kita ke media massa.
Pertama, sebelum menulis kita
membutuhkan bahan dasar.
Bahan dasar itu berupa ide yang
kuat, fokus pada masalah, cara
berpikir sistematis, dan data yang
akurat. Bahan dasar ini, bila diolah
dengan baik akan menjadi adonan
kue yang lezat dan siap untuk
untuk dimasak. Bagaimana
caranya? Tentu ada prosesnya.
Kedua, adanya pembiasaan
menulis, meski itu hanya sebuah
buku harian. Satu lembar, sepuluh
menit dalam sehari. Mungkin ini
yang agak sulit dibentuk. Karena
kebiasaan baru merupakan sebuah
“paksaan” kepada kita dari sesuatu
yang belum biasa. Padahal suatu
kebiasan baru itu bisa dimulai dari
yang paling sederhana asalkan
rutin. Maksudnya, kebiasaan
menulis itu bisa kita tumbuh dan
kembangkan dari kebiasaan
mencatat di buku harian.
Buku harian yang kita tulis
materinya bisa apa saja. Bisa
kejadian yang dialami, dilihat,
maupun didengar, pokoknya
ditulis dalam catatan buku harian.
Catatan itu bisa pendek, bisa juga
panjang. Bisa pula berupa
renungan. Catatan-catatan
tersebut, suatu hari akan
bermanfaat. Lihat misalnya
wartawan kawakan Gunawan
Muhammad, dengan Caping-nya
(baca: Catatan Pinggir) yang amat
tebal bisa merefleksikan keadaan
negeri ini. Dengan catatan-
catatannya, dia bisa mengulas
masa lalu, kini, dan esok, dengan
amat memukau. Ini terlihat dalam
artikel kolomnya yang menyebar
di berbagai surat kabar dan
majalah.
Selain buku harian, kita juga
bisa menulis surat. Mengapa surat?
Karena seseorang akan lebih
leluasa, bergaya bebas, dan bisa
berimprovisasi. Apalagi, bila kita
menulis surat untuk sang kekasih,
tentu ada keinginan kita untuk
bisa lebih ekspresif dalam
mengungkapkannya. Sehingga
tulisan kita menjadi lebih
berbunga-bunga—walaupun tanpa
mawar merah—yang aromanya
tercium menebar wangi.
Bisa juga bila kita suka meringkas
buku dan ingin berkomentar tentang
buku yang kita baca, coba buat
resensinya. Atau bila menyukai
dunia sastra, torehkan saja lewat
puisi-puisi atau cerpen-cerpen
sederhana sebagai kesan terhadap
seseorang atau sesuatu.
Jadi, bahan dasar ditambah
dengan pembisaan menulis adalah
sebuah kolaborasi yang hebat.
Namun, bila hanya salah satunya
saja akan menjadi percuma.
Misalnya, bila seseorang akan
membuat kue brownies yang lezat,
tentu dia akan mengolah bahan
dasar berkali-kali sehingga
menjadi terbiasa. Karena jika
hanya sekali, maka kemungkinan
besar akan ada kekurangan di sana
sini. Baik rasa, aroma dan
sebagainya. Apalagi bila tanpa
mengolahnya sama sekali, apakah
bisa jadi kue? Walaupun dia sudah
melihat resep dan petunjuk
bagaimana membuatnya?
Cara terbaiknya adalah dengan
mengolahnya secara berulang-
ulang dan meminta orang lain
untuk mencicipinya. Artinya,
bahan dasar yang bagus, trik, dan
teknik yang baik itu akan
percuma, bila tidak dibarengi
dengan mengolahnya secara
berulang-ulang hingga
mendapatkan rasa yang
dinginkan. Untuk itu, kita perlu
menulis dan menulis lagi. Karena
paradigma menulis sekarang bukan
suatu keterpaksaan, tetapi sudah
menjadi kebutuhan. [E]
Referensi
Atmowiloto, Arswendo. 1991.
Mengarang itu Gampang.
Jakarta: Gramedia
DePotter, Bobby. 1999. Quantum
Learning. Jakarta: Kaifa
Hernowo. 2002. Andaikan Buku Itu
Sepotong Pizza. Jakarta: MLC.
——————, 2001. Mengikat Makna.
Jakarta: MLC.
Mohammad, Herry. 2001. Yuk
Menulis, Yuk. www. mizan.com
Jonru. 2005. Tips Sederhana
Penulisan Artikel Nonfiksi. www.
penulislepas.com
Wibowo, Hari. Membaca adalah
Belajar, Menulis adalah Bekerja.
Wijayakusuma Thn. ke-2 ed.4
38 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Pourquoi Zidane? Mengapa
Zidane? Pertanyaan itu
masih terus dilontarkan
publik meski gebyar Piala Dunia
2006 telah berlalu. Rasa penasaran
juga terus menghantui benak penulis
yang notabene—hanya seorang ibu
rumah tangga—yang tidak mampu
menikmati permainan sepakbola
seheboh apapun. Rasa ingin tahu
akhirnya memaksa penulis untuk
membongkar kembali “tumpukan
file” yang telah mengendap di pojok
memori, kali ini selaku pembelajar
bahasa Perancis. Tentu saja tulisan
ini tidak difokuskan pada hebohnya
permainan Zidane, Thuram, atau
Barthez yang berakhir tragis, namun
dalam kesempatan ini penulis ber-
maksud mendiskusikan insiden Zizou
vs bek tengah Italia Marco Matterazi
dari sudut budaya (dalam kerangka
pengajaran bahasa Perancis). Pema-
haman budaya Perancis seakan me-
nemukan momentum sejak tim les
Bleus lolos ke babak final Piala Dunia
2006.
Lantas, apa hubungan insiden
Zidane dengan pemahaman lintas
budaya? Sederhana saja. Jika kita
mengetahui latar belakang ungkapan-
ungkapan (para pekerja media
menyebutnya dengan umpatan)
Matterazi sebelum diseruduk Zidane
kita akan lebih memahami dan me-
maklumi reaksi Zidane. Surat kabar
The Sun mempublikasikan peng-
amatan ahli pembaca gerak bibir
Marianne Frere yang menyebutkan
bahwa Materrazi memprovokasi
Zidane dengan ucapan anak pelacur
teroris. Mengapa Zizou begitu emosi-
onal kalau hanya dikatakan teroris?
Media Prancis bahkan berspekulasi
Materrazi kemungkinan mengata-
kan sesuatu yang buruk tentang
Zidane dan keluarganya, yakni ung-
kapan harkis, son of harkis! Apa
makna kata itu sebenarnya sehingga
Zidane bereaksi keras? Ditinjau dari
pengajaran bahasa, perlawanan ber-
buah masalah tersebut didasarkan
oleh nilai, sikap, dan budaya yang
terkait dengan pribadi Zidane.
Meminjam pernyataan Sadtono
(2003) bahwa pemahaman lintas
budaya merupakan komunikasi
a n t a r b a n g s a
atau antarkelom-
pok etnis atau
antarsuku yang
dipengaruhi nilai-
nilai, sikap, dan
perilaku budaya
yang bersangku-
tan.
Lantas, mung-
kinkah kita bela-
jar bahasa tanpa
mempelajari bu-
daya? Le Cadre
e u r é p o é e n
c o m m u n d e
référence pour les
langue menegas-
kan la conscience interculturelle fait
partie des compétences générales que
l’apprenant d’une langue étrangère doit
acquérir (bahwa pengetahuan lintas
budaya merupakan bagian dari
kompetensi yang harus dimiliki se-
Artikel
Zizou dan MomentumPemahaman Lintas Budaya
Siti NurhayatiWidyaiswara Bahasa Perancis PPPG Bahasa
Sumber: Surat kabar Le monde. Arti Zidane pensiun lewat sundulan kep
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 39
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
orang pengajar bahasa asing adalah
mutlak adanya).
Kemampuan itu tidak saja diper-
lukan dalam kerangka komunikasi
(baca pengajaran bahasa) tetapi
juga dalam rangka memecah kebe-
kuan xenofobia (rasa benci terhadap
orang asing), etnosentris, dan dis-
kriminasi. Keniscayaan ini bahkan
ditegaskan Myriam Denis, menurut-
nya le cours de langue constitue un
moment privilégié qui permet à
l’apprenant de découvrir d’autres
perceptions et classifications de la
réalité, d’autres valeurs, d’autres
modes de vie…. Bref, apprendre une
langue étrangère, cela signifie entrer
en contact avec une nouvelle culture
(Pendeknya, belajar bahasa adalah
momen istimewa bagi siswa untuk
mengenal realita lain di luar diri-
nya, nilai yang berbeda serta gaya
hidup yang ber-
beda pula. Bela-
jar bahasa asing
berarti bersen-
tuhan dengan
budaya yang
baru).
Tentu saja
interaksi baru
tersebut bukan
berarti mem-
b u a n g n i l a i -
nilai yang sudah
d i m i l i k i . M e -
mang, bahasa
bukanlah seka-
dar sarana seder-
hana untuk ber-
tukar informasi. Bahasa, bahkan
merupakan penghubung komunika-
si budaya asal. Untuk menjadi se-
orang pembelajar yang mahir, ha-
rus pula memahami budaya, barang-
kali lebih tepat praktik-praktik bu-
daya, asal budaya itu.
Pertanyaan selanjutnya, apa
makna dan latar belakang kata
harkis dalam budaya Prancis? Jika
melihat sejarah (politis) Zidane ber-
sama ayahnya masuk dan bermu-
kim di Prancis, terlebih sosok ayah-
nya begitu kuat dan mempengaruhi
kejiwaannya, tampaknya ungkapan
Materrazi berbau rasial sehingga
Zidane berbalik melakukan per-
lawanan.
Zinedine Zidane atau Zinedine
Yazid Zidane atau Zin ad-Din Zidan
lahir di Marseille (kota kecil di bagian
selatan Prancis) 23 Juni 1972. Ejaan
nama pertamanya berarti hiasan
kepercayaan dan kata kedua
namanya tumbuhnya kepercayaan.
Ayah Zidane adalah keturunan
Afrika Utara bernama Kabyles,
seorang muslim non-Arab dari seme-
nanjung Aljazair yakni kampung
Aguemoune. Mereka bermigrasi ke
Prancis dan ia tumbuh dengan nama
panggilan Yazid. Pelatihnya, Roland
Curbis di Bordeaux memanggilnya
Yaz. Lama kelamaan ia dipanggil
dengan nama Zizou sehingga terasa
lebih Prancis.
Pada awalnya dia tidak suka
politik. Namun, karena politik rasial
menjadi debat nasional di Prancis
dalam beberapa tahun, Zidane ter-
panggil ikut dalam panggung po-
litik. Ia lebih cinta pada Prancis libe-
ral ketika berbicara tentang rasialis-
me Partai Front Nasional Jean-Marie
Le Pen saat terjadi perdebatan menu-
ju kursi kepresidenan tahun 2002.
Prancis liberal suka menggunakan
kebesaran popularitas Zidane seba-
gai simbol bahwa negara menjadi
terbuka dan semakin cerah terhadap
kaum minoritas. Di ajang Piala
Dunia 2006 pun kita dapat menyak-
sikan di antara negara Eropa lain-
nya mungkin hanya tim Prancis-lah
yang dipenuhi pemain berkulit
hitam. Para penggemar sepakbola
mungkin bertanya-tanya bagai-
mana mereka menciptakan gaya
sepakbola yang atraktif dengan ke-
mampuan individu yang begitu me-
nonjol?
Penjelasan paling masuk akal
dari semua hal menakjubkan ten-
tang timnas Prancis tidak bisa dile-
paskan dari sejarah negara itu sen-
diri. Prancis adalah salah satu nega-
ra yang pernah menguasai separuh
dunia. Bersama Inggris dan Portugal
(dulu Portugis), mereka menancap-
kan imperium di seantero dunia.
Prancis yang memiliki slogan liberté,
égalité, fraternité (kebebasan,
keadilan, persaudaraan) ini adalah
negara yang memiliki wilayah teri-
torial di benua lain. Terbanyak, ne-
gara berpenduduk 60,876 juta jiwa
itu memiliki wilayah di Afrika, juga
di Antartika bernama Terre Adelie.
Nama Prancis mewarisi nama se-
buah kerajaan Jermanik yang
wilayahnya pernah mencakup dae-
rah tersebut setelah runtuhnya ke-
kaisaran Romawi, yaitu kerajaan
Franka. Warga bekas jajahan inilah
yang kemudian berdatangan ke
Prancis dan menjadikan darah skuad
timnas Prancis mengalir berbagai
macam talenta sepakbola. Maka
muncullah gaya khas Prancis. Ada
talenta Afrika yang eksplosif, gaya
Amerika Selatan yang atraktif, gaya
Asia yang lincah, atau gaya Eropa
yang ulet dan penuh dedikasi.
Sebanyak 70% skuad inti adalah
warga imigran yang berasal dari
bekas koloni Prancis. Beberapa di
antaranya adalah Zidane yang ber-
kata-kata (melalui permainan bunyi):pala!
40 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
darah Aljazair, Vieira (Senegal),
Wiltord (Guadeloupe) dan Makalele
(Kongo). Di bidang lain, banyak pula
warga imigran dari Aljazair (dikenal
dengan Pieds-Noirs (Black Feet) yang
ikut mengharumkan nama Prancis,
di antaranya Albert Camus (sastra-
wan tekemuka, peraih Nobel Sastra
tahun 1957), Paul Robert (ahli
bahasa), Paul Belmondo (pema-
tung), Claude Cohen Tannoudji (pe-
raih Nobel Fisika tahun 1997), Yves
Saint-Laurent (perancang busana),
dan masih banyak lagi.
Memang, negara memberikan
peluang khususnya pada bekas
koloni Prancis untuk bermigrasi ke
negeri pusat mode tersebut. Zidane
amat setuju dengan faham itu dan
layaknya sebagai generasi kedua,
kalangan muslim Prancis pun amat
setuju dengan keterbukaan terhadap
kaum minoritas. Filosofi Prancis
tentang imigran selalu berintegrasi
dengan negara alih-alih bersifat
multikultural, artinya semua yang
datang ke Prancis harus bertindak
seperti orang Prancis, tidak lagi ber-
gantung kepada nilai asli leluhur di
negara mereka.
Dalam hal ini, Zidane sebagai
muslim dari Afrika Utara, yang tum-
buh di Prancis sebagai personifikasi
gaya Gallic, dianggap sebagai poster
seorang pemuda Prancis yang ter-
integrasi dalam bentuk model. Ada
juga yang menganggap Zidane seba-
gai Paman Tom. Kebaikan Prancis
terhadap Aljazair di Paris berbalik
menjadi mimpi buruk bagi Zidane,
ketika elemen dukungan Aljazair
berbalik dengan adanya ucapan dan
tulisan yang berbunyi Zidane-Harki.
Kata harki atau harka berasal dari
bahasa Arab haraka yang berarti
bergerak. Cacian yang menyebut
DAFTAR PUSTAKA
Akhmad Sya’bi. Kamus An-Nur Arab-
Indonesia Indonesia Arab.
Penerbit Halim Surabaya :1997
E. Sadtono. Setan Bahasa dan
Pemahaman Lintas Budaya.
Penerbit Mascomm Media.
Semarang: 2003
http//www. wikipedia.org diakses
Juli 2006
http//www.detiksport.com diakses
Juli 2006
http//www.yyuana blogsome.com
diakses Juli 2006
Zizou sebagai son of Harkis merujuk
pada istilah yang disandangkan ke-
pada para kolaborator dalam perang
kemerdekaan Aljazair melawan
Prancis. Harki adalah muslim
Aljazair yang bertempur membela
Prancis dalam masa perang tahun
1954-1962 dan dianggap para
nasionalis Aljazair sebagai peng-
khianat rendahan. Seperti diketahui
sejak tahun 1830, Aljazair menjadi
daerah koloni Prancis hingga mer-
deka pada 3 Juli 1962. Orangtua
Zidane sempat dituduh harkis dan
mendapat ancaman pembunuhan.
Suatu kali, Zidane pernah membuat
pernyataan untuk membantah se-
mua tuduhan tersebut, lantaran tu-
duhan itu berimplikasi bahwa ayah-
nya adalah seorang harki yang sudah
berkhianat terhadap agamanya,
berkelahi melawan bangsanya sen-
diri, bertempur melawan saudara-
nya sendiri kemudian melarikan diri
dan hidup di tengah orang yang di-
dukungnya.
Slogan tersebut sebenarnya
sudah sering dilontarkan publik
Aljazair. Menanggapi hal tersebut
Zidane mengatakan, "Ayah saya
bukan seorang harki. Ayah saya se-
orang Aljazair, dia bangga dengan
itu dan saya bangga dengan ayah
saya. Saya bangga dengan Aljazair.
Yang terpenting, ayah saya tidak
pernah bertempur dengan orang
senegaranya."
Pembelaan itu tampaknya lebih
sering diucapkan Zidane melalui
sepakbola dan dia meneriakannya
melalui gol-gol yang diciptakan pada
final Piala Dunia 1998, Liga
Champion 2002 dan 2004 serta ter-
akhir, Piala Dunia 2006. Penam-
pilan dan gol-gol yang diciptakan-
nya merupakan jawaban abadi ten-
tang kebenaran tuduhan orang ter-
hadap keluarganya.
Akhirnya, dari arena Piala Dunia
2006 kita memperoleh pengetahuan
tentang lintas budaya, bahwa (1)
bahasa adalah ekspresi budaya sese-
orang, dalam hal ini budaya Aljazair
dan Prancis yang tertanam pada
sosok Zizou, (2) dengan mengetahui
akar budaya Prancis kita mampu
memahami pikiran, perkataan dan
perbuatan (reaksi) Zizou, (3) melalui
tindakannya sesungguhnya Zizou
sedang berkomunikasi dengan juta-
an pemirsa perihal nilai, sikap dan
budaya yang dianutnya, dan (4)
bagi pengajar bahasa Prancis, penge-
tahuan sejarah dan budaya Prancis
akan menjadi wahana agar bahasa
(susah) yang satu ini lebih mem-
bumi dan memotivasi siswa untuk
mempelajarinya. [E]
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 41
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Too difficult and irrelevant to
the need of English as Foreign
Language (EFL) learners would
mostly be the answers of EFL
teachers, when they are asked
whether or not they use poem as
authentic material in EFL classroom.
Most of them, apparently, looks
literature particularly poem or
poetry as the untouchable object.
Surprisingly, the regretful opinion
on literature (particularly poem) not
only comes from EFL teachers but also
arise from the writer’s colleagues—
widyaiswara bahasa Inggris (English
Teacher Trainer) The myth toward
literature (poem) clouds the true
color of the poem as authentic
material which should benefit the
EFL learning process in Indonesia.
As the literature dilettante, the
writer possesses great determination
to uncover the myth. It is undeniably
an arduous task to be carried out.
However, it is also challenging. One
action that already has been done is
by presenting this issue to the reader
EKSPRESI of PPPG Bahasa (Language
Teacher Training Development
Center). The aim of this article is to
introduce SHAPE POEM as one of the
types of poem.
Shape poem began its journey in
1950’s when some poet in
Switzerland, Sweden and Brazil
independently develop ‘concrete
poetry’. This kind of poem offers the
different arrangement of words and
phrases which lead to the
interpretation of poem’s meaning.
Some famous poets who have made
such great work on collaborating the
form or appearance with the words
and phrases are Ezra Pound,
Stephane Mallarme, Lewis Carol and
George Herbert.Later, concrete
poetry or visual poetry is also known
as shape poem.
Kenneth Koch in the www.
baymoon.com provides some
characteristics of shape poem:
1. If you remove the form of the
poem, you will weaken the poem
(not only the meaning but also the
total beauty of the poem). In some
shape poems (though not all), the
form has significant meaning to
the poem that removing the form
means destroying the poem.
2. Shape poem has the arrangement
of letters, words and phrases that
create an image leading to the
meaning visually.
3. The white space of the page can
contribute significant part of the
poem.
4. Shape poem can include a
combination of lexical and
pictorial element
5. The physical arrangement in
shape poem or concrete poem can
provide a cohesion that the actual
words lack. This allows a poem to
ignore standard syntax and logical
sequencing.
In Shape poem the visual
represents and symbolizes the
Shape Poem:An Appealing Merger of Word and Form
Marike Nawang PalupiEnglish Teacher Trainer at PPPG Bahasa
English Corner
42 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
meaning and perhaps the subject of
the poem. The form further
contributes the content construction
of the poem.The following is an
example of shape poems entitled A
Simple Tree by Marie Summers
(2003):
The visualization of tree leads to
the meanings as the reader read. It
helps the reader to reaveal the
content of the poem and also
strengthens effect of words used by
the poet such as root, trunk and soil.
Another two simple examples of
shape poem are Broken Car by
Jonathan Sluder (2001):
and Coffee by Sally Ann Roberts
(2001)—which is Shape poem as well
as Acrostic Poem (poem where the
first letter of each line spells a word,
usually using the same words as in
the title).
Both poems talk about common
objects (car and coffee) that people
often take for granted.The poets
express their feelings (by describing
object and daily experiences) about
car and coffee and try constructing
meaning through visual (the image
of car and a cup).
To bring shape Poem into EFL
classroom will be a good way
introducing literature to secondary
students. It does not mean EFL
teachers should discuss rhyme, verse
or any complicated technical terms
in their classroom with the students,
but simply use the poem as auhentic
material. For lower and upper
secondary students, shape poem will
not be too difficult as long as the
choice of theme is contextual. The
best theme can be talking about the
surrounding object the students
meet. The EFL teachers can provide
the examples or explain how to
compose a shape poem first. Kenneth
Koch in www.baymoon.com suggests
ways:
1. It might be easiest to outline
the shape first and then erase it,
leaving a faint hint of the shape to
guide you.
2. The shape can be anything you
want, as long as it has something to
do with what your poem is about.
From the above suggestion, EFL
teachers can ask their students to
choose- for example- a very special
object the student possess.Teachers
give questions for students to answer,
such as:
1. What does it look like ? Describe
it as best as you can-for example
smooth, white, small, can be placed
in child’s hand.
2. How did you get it ?given as
birthday present by parents. When?
A four year ago. Where? In suburb of
Jakarta.
3. What does it mean to you ? It
became my friend ever.
Based on the answers, students
can start to compose their own poem.
The next activity, students can show
their shape poem to the class and
read the poem aloud. In small group,
students can also discuss each other
poems and try to guess the story
‘behind’ the poems.
To conclude,shape poem is the
alternative authentic material for
EFL teachers to use in EFL class-
room.Not only significant to explore
the receptive skill (listening and
reading) and productive skill (speak-
ing and writing) but also appealing
to accommodate students/learners
need to express their feeling. [E]
References
Maley, Alan and Sandra Moulding
(1995). Poem into Poem. Cambridge
University Press
w w w . b a y m o o n . c o m
w w w . s h a d o w p o e t r y . c o m
www.teachingenglish.org.uk
And life began From a simple tree
Starting from roots They spread beneath
The earth nourishing soil Growing bigger
Its trunk widensStrengthening
It begins to Stand
On Its
Own And the roots keeping reaching far beyond the ground…
What can I do with a car that doesn’t go can I find some way to fix it How long will it be before I can go again Can the car even be fixed or is it hopeless I can’t take a bus to work they aren’t around
Stranded No MoneyDamned Things
Coffee, mild, but dark as toast. O..Oh healthy cup, of robust roast, F…..Fresh the smell, of perking pot, F…..Flavors senses, while it’s hot. E……Everlasting, in every way, E…Every morning, every day.
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 43
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
berpindah sendiri. Baik manusia,
hewan, maupun tumbuhan dapat
memiliki nama diri.
Nama diri orang amat bergan-
tung pada maksud, tujuan, tradisi,
atau adat budaya pemberian nama di
tempat itu. Ada budaya yang meng-
haruskan orang memiliki nama ke-
cil dan nama dewasa, tetapi ada
yang tidak. Ada orang yang nama-
nya panjang, ada yang namanya
pendek, ada nama yang berbentuk
perulangan, dan ada juga yang me-
ngikuti kelaziman tertentu lainnya.
Nama diri orang, termasuk unsur-
nya, dituliskan dengan huruf awal ka-
pital, seperti Atiya dan Anna Kurniati.
Nama diri hewan tidak berkaitan
dengan nama jenis hewan, tetapi da-
pat berupa epitet, seperti si Rimbun
(karena pohon berdaun rimbun), si
Belang (karena hewan berbulu be-
lang), atau berupa tiruan bunyi, se-
perti si Meong dan si Embek. Bahkan,
ada yang menamainya dengan nama
orang, seperti nama hewan atau tum-
buhan di tempat-tempat sirkus.
b) Benda Takbernyawa
Yang termasuk benda takbernyawa,
misalnya agama, kitab suci, dan
aliran kepercayaan, dokumen,
majalah, surat kabar, nama pro-
gram, pertemuan, tempat dan/atau
fasilitas umum, lembaga, organisasi,
perkumpulan, bangsa, suku bangsa,
bahasa, desa, kota, wilayah dsb., keraja-
an, dan negara. Benda takbernyawa
dapat memiliki nama diri, seperti
(4) Islam, Alquran, dan Injil; Program
Studi Linguistik Universitas
Indonesia; Rumah Sakit Umum
Daerah Lampung Timur; bangsa
Indonesia, suku Lampung, bahasa
Wolio, desa Tanah Baru, kota
Banda Aceh, Wilayah Jakarta 2,
Kerajaan Sriwijaya, dan Republik
Indonesia nama surat kabar,
nama majalah, nama partai),
nama toko, dan nama apotek.
B. Nama Jenis
Memang agak sulit membedakan
nama jenis (nomenclature) dan nama
diri dengan baik, terutama yang tidak
mempelajari taksonomi, seperti yang
terdapat pada dunia hewan (animal
kingdom) dan dunia tumbuh-tumbuhan
(vegetable kingdom). Padahal, pema-
haman akan nama diri dan nama
jenis menjadi penting sebab hal itu
berimplikasi pada penulisannya.
Di dalam produk hukum dan
surat-surat resmi, misalnya, ejaan
nama jenis sering rancu dengan eja-
an nama diri. Ada kecenderungan se-
suatu yang dianggap bernilai, kha-
rismatis, dipuja, dihormati dsb.
dituliskan dengan huruf awal kapi-
tal. Padahal, ejaan tidak berkaitan de-
ngan anggapan. Lihat contoh berikut.
(1) a. undang-undang dan keputusan
menteri (nama jenis).
b. Undang-Undang tentang Pe-
nyiaran dan Keputusan Menteri
Pertanian RI (nama diri).
Hewan atau tumbuhan dapat di-
kelompokkan secara hierarkis ber-
dasarkan kesamaan sifat dan/atau
ciri. Sejumlah hewan dengan sifat
dan/atau ciri yang sama dimasuk-
kan ke dalam satu kelompok (spe-
sies), kemudian sejumlah spesies
dimasukkan ke dalam kelompok
yang lebih besar (genus), sejumlah
genus dimasukkan ke dalam kelom-
pok yang lebih besar lagi (subkelas),
dan sejumlah subkelas dimasukkan
ke dalam satu kelas (dan seterusnya
ke atas). Misalnya, spesies mangga
dan embacang dimasukkan ke dalam
genus Mangga; sejumlah spesies
badak jawa dan badak air (kuda nil)
dimasukkan ke dalam genus Badak.
Nama jenis adalah kata benda (no-
mina) yang menunjuk sembarang
anggota dalam kelas maujud bernya-
wa (seperti hewan) atau maujud
hidup (tumbuh-tumbuhan), atau
dalam kelas maujud takbernyawa,
serta maujud takbernyawa (benda
dan gagasan). Sebagai anggota dari
satu kelas maujud, sebuah nama jenis
pasti merupakan salah satu anggota
dari kelasnya itu. Misalnya, mawar
(nama jenis, kata khusus) menjadi
anggota dari nama yang lebih luas
cakupannya, bunga (kata umum),
yang menjadi superordinatnya.
Nama diri tidak menjadi bagian
(anggota) dari nama diri lain. Misal-
nya, nama diri orang (Eka) tidak
menjadi bagian dari nama diri orang
lain karena nama diri itu tidak ditu-
runkan dari nama diri yang lebih luas
cakupannya. Jadi, tidak ada nama diri
umum. Lagi pula, manusia yang satu
tidak menjadi subordinat dan yang
lain bukan superordinatnya.
Nama jenis dapat dimiliki oleh
semua benda asalkan benda itu dapat
diklasifikasi secara bersistem menu-
rut kriteria tertentu. Benda dapat
dibagi atas dua kelompok besar, yaitu
a. benda bernyawa (termasuk
benda hidup); dan
b. benda takbernyawa.
sambungan dari halaman 6
Penulisan Nama Diri dan Nama Jenis ...
44 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Benda bernyawa terdiri atas he-
wan dan manusia, sedangkan benda
hidup terdiri atas tumbuhan (hanya
hidup vegetatif, tidak dapat berpin-
dah sendiri).
Nama jenis hewan atau tumbuhan
didasarkan pada sifat dan/atau ciri
yang sama, misalnya mawar, anggrek,
dan tulip (genus Bunga); bebek dan
angsa (kelas Unggas, genus: burung
berenang); camar dan rajawali (kelas
Unggas, genus: burung terbang).
Nama jenis hewan dan nama
jenis tumbuhan ada yang menyerta-
kan nama tempat atau nama khas
geografi, tetapi ada juga yang tidak,
seperti gajah afrika dan gajah
sumatera (genus Gajah atau
Elephantus), tetapi jambu batu dan
jambu air.
Nama jenis dalam bahasa Indonesia
dapat dibagi atas nama jenis benda alami
(hewan, tumbuhan, penyakit) dan
nama jenis benda olahan. Menurut
contoh yang terdapat pada Pedoman
Umum EYD, nama jenis benda alami
dituliskan seperti berikut
a. menurut sistem binomial, seperti
Tamarindus indica, Elephans
maxima, dan Filariasis timori;
b. mengikuti kaidah Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan,
seperti mawar, melati, dan anggrek
(tanpa disertai nama tempat atau
nama khas geografi); dan
c. mengikuti kaidah Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan,
seperti kambing ettawa, sapi
benggala, jeruk bali, pisang ambon,
dan dengue afrika (nama tempat
termasuk nama jenis).
Nama jenis benda olahan dapat
dibagi menjadi:
a. nama jenis tidak menyertakan
nama tempat (dituliskan dengan
huruf awal kecil), seperti asinan
kedondong, mie rebus, ayam bakar,
es teler, dan pempek ikan;
b. nama jenis menyertakan nama
tempat, seperti
(6) asinan (dari/khas) Bogor, teri
kering (dari/khas) Medan, dodol
(dari/khas) Garut, rendang (dari/
khas) Padang, bagea (dari/khas)
Ambon, sambal (dari/khas)
Lampung, coto (dari/khas) Makasar,
gudeg (dari/khas) Yogya, brem
(dari/khas) Bali; batik (dari/khas)
Solo, emas (dari/asal) Kendari,
kain tenun (dari/khas) Timor,
sarung sutera (asal) Bugis, mutiara
(asal) Maluku, dan pempek ikan
(dari/khas) Palembang.
c. nama jenis menyertakan nama
orang, seperti
(7) ayam goreng (buatan) Ibu A; soto
Betawi (buatan) Pak B.
Nama tempat atau nama orang
untuk menunjukkan asal atau ciri
khas olahan, bukan termasuk nama
jenis. Karena itu, nama tempat atau
nama orang dituliskan dengan huruf
awal kapital.
Nama jenis benda bukan alami
(benda takbernyawa), misalnya
a. nama jenis jabatan (lurah, camat,
bupati, direktur);
b. nama jenis pangkat (lektor, sersan,
pengatur muda);
c. nama jenis gelar, misalnya, gelar
adat (pengiran, raden, suttan),
gelar keagamaan (haji), dan gelar
akademis (sarjana, magister,
doktor);
d. nama jenis profesi (guru, bidan,
dokter, wartawan);
e. nama jenis pekerja berdasarkan
jenis pekerjaan (tukang becak,
petani, nelayan, penjaga);
f. nama jenis alat pertukangan kayu
(gergaji, palu, serut), perbengkelan
(kunci pas, kunci inggris, dongkrak);
g. nama jenis alat musik (gitar, bas,
saksofon); nama jenis alat tulis
(pensil, kertas, penghapus);
h. nama jenis bumbu dapur olahan
(garam, gula, kecap, pewangi);
i. nama jenis bumbu dapur alami
(kunyit, bawang, ketumbar);
j. nama jenis rumah (arsitektur
modern, arsitektur klasik).
Pembagian jenis benda olahan
dapat berdasarkan kriteria tertentu.
Makanan, misalnya, dapat berdasar-
kan bahan dasar yang dominan,
cara mengerjakan, rasa, atau suhu
makanan ketika disajikan dsb. Ber-
dasarkan cara memasak, dapat di-
peroleh ayam bakar, pisang bakar,
ayam goreng, telur goreng, ubi rebus,
jagung rebus, kedelai sangrai, kang-
kung tumis, roti panggang, ikan pang-
gang, petai sembam, pisang jemur
(pisang selai), dan nasi tanak. Berda-
sarkan bahan dasar dominan, misal-
nya opor ayam, opor itik, rendang
daging, dan rendang ayam. Berdasar-
kan suhu makanan ketika dihidang-
kan, misalnya teh dingin dan kopi panas.
Baju dapat dibedakan menjadi,
misalnya baju lengan panjang (lengan
pendek) atau baju kerah rebah (kerah
tegak), baju renang, baju pesta, baju
kerja, dan baju tidur.
Sebuah benda dapat diolah menurut
cara khas tempat, daerah, suku, atau
cara khas orang tertentu, misalnya
(1) rendang Padang, masakan Sunda,
atau soto Betawi Pak A, es cendol
Bang B, dan sate Madura Ibu C.
Nama tempat, daerah, suku, atau
nama orang yang disertakan di bela-
kang nama benda olahan tidak ter-
masuk nama jenis.
Merek dagang tertentu dapat
menjadi nama jenis. Hal itu terjadi
mungkin karena merek dagang itu
amat dikenal atau yang pertama kali
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 45
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
dikenal luas oleh masyarakat di tem-
pat itu, seperti merek dagang yang
digunakan untuk menyebut nama
pompa air, nama pasta gigi, atau na-
ma air mineral. Misalnya,
(2) a. Tolong belikan saya air minum
... (nama merek dagang air
mineral).
b. Untuk menyedot air dari dalam
tanah air, kami menggunakan
.... (nama merek mesin air
yang terkenal). [E]
DAFTAR BACAANAbraham S. dan S. Kiefer. 1966. A
Theory of Semantics. The Hague:Mouton .
Alwi, Hasan. 2003. Kamus BesarBahasa Indonesia. Jakarta: BalaiP u s t a k a .
Benenson, Abram S. (Ed.) 1987.Control of Communicable Diseasein Man. 14th Edition. New York:American Public HealthAssociat ion.
Berlin, Brent et al., 1973. “GeneralPriciple of Classification andNomenclature in Folk Biology”dalam The American Anthropo-logyst. Vol. 75. Number i.
Cruse, D. 1986. Lexical Semantics.C a m b r i d g e : C a m b r i d g eUniversity Press.
Departemen Pendidikan danKebudayaan. 1997. PedomanUmum Ejaan Bahasa Indonesiayang Disempurnakan. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa.
Kempson, Ruth M. 1979. SemanticsTheory. Cambridge: UniversityPress .
Quirk, Randolph dan SidneyGreenbaum. 1973. A UniversityGrammar of English. London:L o n g m a n .
TTTTTujuh Pujuh Pujuh Pujuh Pujuh Purnamaurnamaurnamaurnamaurnama
Tujuh purnama kini terasa begitulamaHampir kering air mata iniHampir tumbang raga iniMenahan segala dera ombakkerinduan Sedikit titik yang mengingatkanKupadaMuKan membuat mendungKu berubahHilang menetes tak terkiraHingga habis tenaga di jiwa Lagu sendu yang mengalunBerceritakan kerinduanKan membuat Ku tertunduk danterpakuMembatu tanpa tau mengapa Tujuh purnama kini terasa begitulamaKuhitung detik demi detik yangberjalanJarum jam itu seperti tak mauberkawanBahkan kadang Kumerasa diamendiam Sering terpikirkanInginKu menghilangBerlari kembali ke pelukan
Sajak Erlia Novita
Sajak-Sajak Hanifa Hairuli
Orang-orang tercintaNamun, sering pula terpikirkanMasa depan yang membentangSaat semua telah usaiBahagia pasti Kujelang Tapi, semua ini tak mungkin kanKulaluiTanpa semangat dariMu sahabatTanpa Doa dariMu sahabatTanpa genggam tanganMu Sahabat(walau di angan)Tanpa Rindumu SahabatTanpa curahan hatiMu Sahabat AdaMu membuat Ku tergerakDoaMu membuat Ku tersadarPenantianMu membuatKu Nyata Terima Kasih SahabatAtas adanya DiriMuSelalu..... UntukKu.....
FreundeFreundeFreundeFreundeFreunde
Wenn unsere Freundschaft nur kurzlichverbundenWäre besser, wieder recht ordentlichmachenWahrscheinlich sind auch die Herzenverloren
Tianjin, 3 Desember 2006, 23.44
Mit all diesen wegenDenn die beeindrückende Freundschaftist schwerAuszuschalten
So ist das LSo ist das LSo ist das LSo ist das LSo ist das Lebenebenebenebeneben
Einmal ist mir hart zu glauben,Dass ich alter gewordenMein Alter geht immer zurückMit aller hartigen AnspruchBin ja so…….Hätte ja nie FreundeDie die Ruhe immer begrüssen; SteinWie Menschen seinEinerseits sind wir LeicheAnderer halten wir VerantwortungEinerseits sind wir ErdeUnd anderer sind die AusgangpunktEinerseits sind wir besorgtAndererseits sind die BeruhigungsmittelAlle ist verbundenBis das Vertraven an siehtDass das Leben nur beschichte ist
EK
SP
RE
SI
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 45
46 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Sekilas Info
Lomba KreativitasSiswa SMA/SMK/MA
Se-Jabodetabek
KEMBALI PPPG Bahasa meng
adakan lomba kreativitas siswa
di tahun 2006 dengan mengambil
tema “Raih Dunia dengan Bahasa”.
Bila tahun kemarin lomba kreati-
vitas siswa hanya diperuntukkan
untuk bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia, tahun ini lomba dibuka
untuk enam jurusan bahasa yang
ada di PPPG Bahasa, yaitu Bahasa
Indonesia, Inggris, Jerman, Jepang,
Perancis, dan Arab kecuali bahasa
Mandarin.
T u j u a n
d i a d a k a n
lomba yang
berlangsung
dari tanggal
1 0 – 1 2
November 2006 ini selain untuk
menegaskan kembali eksistensi PPPG
Bahasa di masyarakat luas, juga seba-
gai ajang mempromosikan model
pembelajaran bahasa alternatif yang
bisa diterapkan di kelas. Model-model
pembelajaran tersebut berorientasi
pada eksplorasi integrasi empat kete-
rampilan berbahasa seperti menyimak
(listening), berbicara (speaking), membaca
(reading) dan menulis (writing).
Lomba ini mengambil tempat di
kampus kompleks PPPG Bahasa dan
diikuti lebih kurang sekitar 120
siswa dari berbagai sekolah di wi-
layah Jabodetabek. Hasil lomba
sebagai berikut:
Bahasa Indonesia-Monolog: Juara
I Yulia Dewi (SMAN 2 Depok), Juara
II Mery Damai E (SMAN 26 Jakarta),
Juara III Gabriella Bintang (SMAN 81
Jakarta).
Bahasa Inggris-ICT Based English
Competition: Juara I Lutfi Prayogi
(SMAN I Depok), Juara II Nadya Veirizka
(SMAN 28 Jakarta), dan Juara III Galih
Prakasa (SMAN 1 Bogor).
Bahasa Jerman-Lernen Mit Spielen
(Belajar dengan Bermain): Juara I
Tera Hikmah Nurhani (SMAN 31
Jakarta), Juara II Ajeng Irdhani
(SMKN 27 Jakarta), dan Juara III
Alfadi Akbar (SMAN 67 Jakarta).
Bahasa Jepang-Lomba membaca
dan Menulis: Juara I Metha Vania
(SMAN 81 Jakarta), Juara II Budi
Utami Hanjani (SMU Lab School
Jakarta), dan Juara III Aldila N.
Pratiwi (MAN 4 Model Jakarta).
Bahasa Arab-Lomba Mengarang
dan Presentasi : Juara I Hilda Rizqi
(MAN 7 Jakarta), Juara II Syahir
Hadi (MA Darun Najah), dan Juara
III Akbar Saputra (MAN 4 Jakarta).
Bahasa Perancis-Lomba Membaca
berita: Juara I Nur Wahida Z (SMAN
70 Jakarta), Juara II Nur Fajarwati
(SMAN 70 Jakarta), dan Juara III
Anita Purbandari (SMAN 34
Jakarta). [marike-E]
SEBAGAI institusi pemerintah
yang memiliki visi menjadi
lembaga pendidikan dan pelatihan
bahasa yang profesional dan kom-
petitif, PPPG Bahasa berusaha men-
ciptakan program-program efektif
untuk mewujudkan visi ke dalam
bentuk nyata. Salah satu program
setiap tahun adalah seminar.
Bertempat di Gedung F PPPG
Bahasa, seminar kebahasaan pada
tahun 2006 ini mengambil tema
Seminar Pengajaran,Pembelajaran, dan
Riset Bahasa
Kunjungan KepalaPPPG Bahasa
ke SDN Cilengkrang
HINGGA saat ini, Pusat Pe-
ngembangan Penataran Guru
(PPPG) Bahasa telah memiliki tiga
puluh sekolah model untuk bahasa
Inggris. Ketiga puluh sekolah model
ini tersebar di seluruh Indonesia.
Salah satunya SDN Cilengkrang di
besar Bahasa dan Riset sebagai
Sarana untuk menghasilkan karya
Kreatif dan Inovatif. Selama 2 hari
( 2 4 – 2 5
N o v e m b e r
2006) pe-
serta semi-
nar yang ter-
diri atas 97
orang guru di seluruh wilayah
Jabodetabek mengikuti dengan
tekun sajian dari tujuh narasumber.
Ketujuh narasumber tersebut me-
rupakan para praktisi lapangan,
widyaiswara, dan dosen senior per-
guruan tinggi.
Selengkapnya tema-tema yang
diulas dalam seminar sebagai
berikut: Membaca Sastra: Sebuah
Apresiasi Kritis (Dra. Nyoman Elly S),
Methodology in Language Teaching
(Itje Chodijah, M.A), Lintas Budaya
Dalam Pengajaran Bahasa Asing
(Widiyatmoko, M.Pd), Analisis
Bahasa dengan Menggunakan Kom-
puter (Dr. Sugiyono), Penanaman
Konsep sebagai Implementasi dalam
P e m b e l a j a r a n B a h a s a ( D r a .
Supraptiningsih, M.Ed), Analisis
Wacana (Prof. Dr. Achmad HP), dan
Pemelajaran Bahasa dengan Kuri-
kulum Tingkat Satuan Pendidikan
(Ariantoni, Puskur). [marike-E]
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 47
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
Edisi 8 Tahun IV Desember 2006 - 47
Sekilas Info
Kabupaten Sumedang. Tepatnya
beralamat di Jalan Panyingkiran
101 Kota Kaler, Sumedang Utara,
Sumedang, Jawa Barat.
Sebagai satu dari kelas model
pembelajaran binaan PPPG Bahasa,
SDN Cilengkrang telah menjalin
hubungan baik dan ikut serta dalam
kegiatan yang diikuti PPPG Bahasa.
Pada bulan Agustus 2006, SDN
Cilengkrang mengirimkan para mu-
ridnya untuk mewakili PPPG Bahasa
pada acara Pameran Pendidikan
Nasional (PPN) 2006 di Gedung A
Depdiknas Senayan. Mereka memen-
taskan drama berbahasa Inggris
yang mengisahkan sulitnya ber-
komunikasi bagi tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di luar negeri
karena minimnya kemampuan ber-
bahasa Inggris.
Karenanya, untuk menjaga hu-
bungan baik ini agar bisa terus be-
kerja sama, Kamis, 2 November
2006, pihak PPPG Bahasa yang
diwakili langsung oleh Kepala PPPG
Bahasa Dr. Muhammad Hatta, M.Ed,
Kepala Bidang Pelayanan Teknis
PPPG Bahasa pada saat itu Drs. Agus
Suhardono, M.Si, dan Kepala Seksi
Publikasi dan Pelaporan Dra.
Nurlaila Salim, berkunjung ke SDN
Cilengkrang.
Kunjungan ini adalah kunjung-
an kedua pihak PPPG Bahasa ke SDN
Cilengkrang. Sebelumnya pihak
PPPG Bahasa yang ketika itu masih
dipimpin Drs. H. Achmad Dasuki,
M.M, M.Pd, telah pula berkunjung
ke sekolah model ini. Dalam kun-
jungan yang kedua kali ini, selain
untuk menjaga dan membina hu-
bungan baik, Kepala PPPG Bahasa
Dr. Muhammad Hatta, M.Ed, seka-
ligus memberikan dana bantuan ke-
pada pihak SDN Cilengkrang.
Bantuan yang diberikan adalah
bantuan dana subsidi pembelajaran
untuk peningkatan mutu pendidik-
an yang diterima oleh Kepala Seko-
lah SDN Cilengkrang Drs. Udek
Suwandi dengan diketahui Ketua
Dewan Sekolah Drs. Asep Sumpena.
Subsidi senilai 10 juta rupiah ini
berasal dari Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah (Ditjen Mandikdasmen).
Dalam amanatnya, Kepala PPPG
Bahasa berpesan kepada pihak se-
kolah tersebut untuk menggunakan
dana subsidi dengan tepat guna.
Beliau menambahkan dana itu su-
dah semestinya dialokasikan menu-
rut kebutuhan yang ada dan sesuai
dengan tujuan diberikannya dana
subsidi yaitu untuk meningkatkan
mutu pendidikan lewat media pem-
belajarannya. [yusup—E]
Serah Terima JabatanKepala PPPG Bahasa
DIREKTUR Pembinaan Pendi-
dikan dan Pelatihan (Dir.
Bindiklat), Ditjen PMPTK, Sumarna
Surapranata, P.hd. menyaksikan
serah terima jabatan Kepala PPPG
Bahasa dari pejabat lama, Drs. Achmad
Dasuki, M.M., M.Pd. kepada penggan-
tinya, Dr. Muhammad Hatta, M.Ed.
Pejabat lama selanjutnya mendu-
duki jabatan Kepala PPPG Teknologi
Bandung. Sedangkan Dr. Muhammad
Hatta, M.Ed. sebelumnya menjabat
sebagai Kepala Sub Direktorat Kuri-
kulum dan Penilaian, Direktorat
Pendidikan Lanjutan Pertama,
Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Dalam kata sambutannya
Sumarna Surapranata, P.hd. mene-
rangkan, “Pergantian jabatan, pro-
mosi, atau rotasi adalah hal biasa da-
lam suatu organisasi. Di mana jabat-
an adalah merupakan kepentingan
suatu organisasi. Dan siapa pun orang-
nya atau pejabatnya akan menga-
lami hal yang sama. Maka tolong ja-
ngan ada persepsi atau tanggapan yang
macam-macam, karena ini sudah
lumrah di kalangan para pejabat. Ini
adalah suatu amanah, dan tolong di-
jaga dengan sebaik-baiknya, juga
ucapan terma kasih kepada pejabat
lama, Drs. Achmad Dasuki, M.M.,
M.Pd. yang sudah mengabdikan
baktinya di PPPG Bahasa, semoga di
tempat yang baru, mendapat keba-
hagiaan, keberkahan, dan selamat.”
Dalam kesempatan tersebut Dir.
Bindiklat juga mengatakan disiplin
adalah contoh buat bawahan sebab
itu merupakan cermin keterbukaan,
dan tolong ciptakan kebersamaan,
dan kekeluargaan jangan mencipta-
kan konflik, tegasnya.
Serah terima jabatan Kepala
PPPG Bahasa yang berlangsung di
Gedung Serba Guna PPPG Bahasa ini
selain dihadiri oleh Direktur Bindiklat,
juga dihadiri Camat Jagakarsa, Lurah
Lenteng Agung, para pejabat di ling-
kungan PPPG Bahasa, dan seluruh
pegawai PPPG Bahasa. [herman—E]
48 - Edisi 8 Tahun IV Desember 2006
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI
EK
SP
RE
SI