(cover)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran ham seperti peristiwa g30spki yang kemudian...

36
Kajian Terhadap Omnibus Law: Investasi vs Lingkungan Hidup MM UI 2020 (COVER)

Upload: others

Post on 19-Jan-2021

38 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

Kajian Terhadap Omnibus Law: Investasi vs Lingkungan Hidup

MM UI 2020

(COVER)

Page 2: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung
Page 3: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

1

Kata Pengantar

Perjalanan 75 tahun Indonesia merdeka diwarnai banyak catatan hitam pelanggaran

Hak Azasi Manusia. Tentu sudah menjadi rahasia umum bagaimana ketidakseriusan negara

dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang

kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

Priok, Peristiwa Semanggi I dan II, pemberontakan di berbagai daerah, hingga yang terkini

maraknya pelanggaran HAM di Papua. September adalah bulan penuh catatan hitam dan duka

dalam memori penegakan HAM di Indonesia, kehadiran lembaga seperti Komnas HAM tidak

banyak memberikan dampak signifikan dalam proses pengungkapan pelanggaran HAM.

Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung sebagai pemilik pedang penegakan hukum dan

memiliki kewenangan untuk membuka kotak usang kasus pelanggaran HAM hingga saat ini

dirasa semakin jauh dari harapan masyarakat yang menuntut keadilan bagi keluarga mereka

yang menjadi korban pelanggaran HAM. September akan selalu diperingati sebagai bulan duka

gugurnya para aktivis pejuang Hak Azasi Manusia, namun jiwa dan semangat dari Munir,

Widji Thukul, Soe Hok Gie, Marsinah dan para aktivis HAM lain yang gugur akan terus hidup,

tumbuh, dan berlipat di hati masyarakat Indonesia.

Bulan duka sudah semestinya tak hanya untuk seremonial belaka, namun harus menjadi

pelecut api semangat untuk terus mengingatkan negara bahwa masih banyak catatan hitam

pelanggaran HAM yang harus diselesaikan. Tak lupa, tentu apresiasi tinggi saya berikan pada

penulis yang telah menyelesaikan kajian dengan sangat baik dan diharapkan dengan rilisnya

kajian ini menjadi refleksi, pengingat, dan berujung pada pembaharuan semangat untuk

penegakan Hukum dan HAM di Indonesia.

Tangerang, 25 September 2020

Kepala Divisi Kajian dan Penelitian Hukum

Muhammad Fadhil Pratomo

Page 4: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

2

Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan…………………………………………………………………………3

Latar Belakang…………………………………………………………………………….3

Kasus HAM di Indonesia………………………………………………………………….4

Spektrum Mancanegara dan Pelanggaran HAM Berat………………………………….. 12

Rumusan Masalah……………………………………………………………………….. 15

Bab II : Isi…………………………………………………………………………………... 16

Pemerintah, Institusi Penegak Hukum, dan Pelanggaran HAM Berat…………………... 16

Aktor Pelanggaran HAM Berat…………………………………………………………..18

Hukum Progresif dan Transparansi Sebagai Solusi……………………………………...20

Stigma Memicu Pelanggaran HAM……………………………………………………...23

Bab III : Penutup…………………………………………………………………………… 27

Kesimpulan………………………………………………………………………………. 27

Saran……………………………………………………………………………………... 27

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………. 28

Page 5: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

3

Bab I : Pendahuluan

A. Latar Belakang

Lembaga atau Institusi Penegak Hukum adalah tempat dimana ketidakadilan dan

perkara yang ada ditengah masyarakat diselesaikan. Tetapi apa yang terjadi ketika penegak

hukum sendiri tidak lagi menciptakan keadilan sebagaimana masyarakat didalam negara pada

umumnya mengekspektasikan keadilan.1 Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi salah satu tolak

ukur penegakan hukum ( law enfor cem ent ).2 Bagaimana Institusi Penegak Hukum

menegakkan keadilan melalui kebijakannya, merupakan sesuatu yang perlu dikritisi.

Pelanggaran HAM yang dilakukan secara kontras sangatlah mudah diidentifikasi seperti

pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, dan lain-lainnya. Tetapi bagaimanakah dengan

perbuatan pelanggaran ham yang sesuai dengan prosedur hukum yang merupakan kebijakan

dari Institusi Penegak hukum itu sendiri? Hobbes dan Locke adalah kedua tokoh yang

menganut ideologi yang sangat berbeda dalam memandang sifat alamiah manusia. Tetapi

keduanya memiliki pandangan yang sama mengenai keharusan adanya HAM yang jelas dalam

pemerintah atau negara.3 Sudahkah negara Indonesia menerapkan ini?

Berdasarkan doktrin hukum, Institusi Penegak Hukum ( L aw Enforcement ) merupakan

manifestasi dari hukum itu sendiri sebagai definisi sempit dari penegakan hukum.4 Institusi

Penegak Hukum berangkat dari kata Penegakan Hukum yang dijelaskan oleh Jimly

Asshiddiqie Penegakan Hukum merupakan proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas

atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.5 Penegakan

hukum di Indonesia merupakan penegakan hukum obyektif yang dilakukan dengan pimpinan

hukum itu sendiri atau dikenal dengan istilah t he rule of law , sebagaimana pada Undang-

Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia sendiri menyatakan bahwa

Negara Indonesia adalah negara hukum.6 Berbeda dengan istilah the rule of just law yang

memiliki makna berbeda dengan the rule of law yang melihat hukum sebagai alat dan fenomena

sosial. Secara konseptual the rule of just law menghasilkan pemerintahan yang dipimpin oleh

1 Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage Foundation,

New York 1975, hlm. 17-18. 2 Ismail Rumadan, P era n Lemb a g a P era d ilan S eba g a i In stitu si P en eg a k Hu ku m Da la m Men eg a kk a n

Kea d ila n B a g i Terwu ju d n ya Perd a ma ia n , Jurnal RechtsVinding, Vol. 6 No. 1, April 2017, hlm. 75. 3 Dr. Linda Rabieh, Modern Conceptions of Freedom, (Massachusetts, 2013) 4 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, P E NE GA KA N HUK UM , hlm. 2. 5 I b id , hlm. 1 6 Indonesia, Un d an g - Und a ng Da sa r 1 9 4 5 , Pasal 1 ayat (3).

Page 6: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

4

penguasa yang dianut oleh negara dengan bentuk negara machtstaat.7 Pemerintahan oleh

hukum merupakan hal yang abstrak dan diperlukan penjelasan yang konkrit dalam

pelaksanaannya. Apakah kepimpinan oleh hukum ini menciptakan pemerintahan yang kaku

dalam penegakan hukumnya? Dan bagaimana jika “hukum” ini melakukan kesalahan dan

siapakah yang berhak dalam mengadilinya? Untuk mengerti lebih dalam mengenai bagaimana

penegakan hukum yang sebenarnya kita dapat menginduksikan penegakan hukum yang

dijalankan oleh pemerintahan dengan tolak ukur umum. Tolak ukur umum yang dimaksud

disini adalah HAM sebagai salah satu hal yang dilindungi oleh penegak hukum.8

B. Kasus HAM di Indonesia

Negara Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan

humanisme yang cukup radikal. Pada pancasila kita dapat melihat sila kedua yang menyatakan

“Kemanusiaan yang adil dan beradab”9 meskipun masih sangat abstrak bagaimana

menerjemahkan adil dan beradab pada sila ini. Tetapi kita dapat melihat secara garis besar

negara Indonesia memandang krusial nilai kemanusiaan, keadilan, dan beradab yang dapat

disimpulkan pada HAM yang pertama kali diperkenalkan oleh John Locke dalam bukunya “ An

Essay C oncerning Huma n Underst anding ”10. Gagasan HAM sudahlah lama adanya tetapi baru

diunifikasi oleh PBB pada 10 Desember 1950. Keterlambatan penegakan HAM pada kancah

Internasional juga terpantulkan pada penegakan HAM di Indonesia. Terdapat beberapa kasus

HAM yang sudah cukup dikenal di masyarakat Indonesia, tetapi belum jelas penyelesaiannya

dan masih menuai kontroversi. Seperti kasus Nanggroe Aceh Darussalam/NAD

(pemberlakuan DOM serta konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Gerakan Aceh Merdeka

atau GAM), di Timor Timur (sejumlah tragedi dan perlawanan bersenjata akibat dari

referendum) dan Papua (gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka atau OPM yang

menginginkan kemerdekaan), dan kasus yang cukup terkenal di Indonesia yaitu peristiwa

Trisakti (sejumlah mahasiswa meninggal dunia dikarenakan melakukan demo terhadap

pemerintahan pada waktu itu).11 Berdasarkan sejarah aktor dari kejadian pelanggaran hukum

tersebut adalah Institusi Penegak Hukum itu sendiri dimana merekalah yang seharusnya yang

berperan dalam melindungi HAM masyarakat.

7 Bewa Ragawino, S.H., M.SI., HUKUM TATA NE GA R A , (Bandung, 2007), hlm. 45. 8 Ismail Rumadan, Op.cit. 9 Indonesia, Pancasila, sila ke-2. 10 John Locke, A n E ssa y Co n ce rn in g Hu man Un d ersta n d ing , (Inggris, 1690). 11 Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung prajarto, Ha k A sa si Ma n u sia ( HA M) d i I n do n esia : Men u ju

Dem o cra tic Go ve rn a n ce , (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume B, Nomor 3, Maret 2005), hlm. 301.

Page 7: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

5

Penanganan HAM oleh Institusi Penegak Hukum yang buruk didukung dengan teori

Democratic Governance dimana memegang faktor krusial yakni Good Governance, HAM, dan

demokrasi. Democratic governance dimana negara dianggap sudah mencapai bentuk terbaik

(Alston, 1992 dan Brinkerhoff, 2000). Pada penekanan faktor Good Governance, transparansi

dan pemaksimalan partisipasi menjadi indikator yang jelas di dalamnya. Akan tetapi, Good

Governance tidak serta merta menjadikan negara tersebut merupakan negara yang

demokratis.12 Sebagaimana dalam ilmu negara setiap negara memiliki landasan ideologi dan

bentuk negara masing-masing.13 Terlepas dari bentuk negara, Indonesia belum dapat dikatakan

sebagai negara dengan Good Governance yang merupakan faktor dari Democratic Governance.

Pada pengadilan HAM sendiri terdapat kejanggalan seperti yang pada tanggal 16 Januari 2020

ST Burhanuddin memberikan pernyataan sebagai jaksa agung bahwa tragedi semanggi I & II

bukan termasuk dari pelanggaran HAM berat.14 Dimana sebenarnya ketika keluarga dan

kerabat korban berharap suatu keadilan daripada hukum yang merupakan tujuan hukum juga.15

Sebagai jaksa agung yang sudah seharusnya mengusut kasus pelanggaran HAM dan yang

berpihak pada masyarakat, alih-alih mendukung dan menyelesaikan pelanggaran HAM.16 ST

Burhanuddin melakukan hal sebaliknya dan melawan hukum dengan tidak melaksanakan

tugasnya dan mengedepankan subyektifitasnya sebagai pribadi. Dari kasus ini kita dapat

melihat kelemahan dari Institusi Penegak Hukum terutama dalam menangani kasus

pelanggaran HAM berat.

Pada pasal 1 butir ke 6 UU No. 39 tahun 1999 dengan jelas menjelaskan bahwa

pelanggaran HAM adalah mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi

manusia seseorang atau kelompok orang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang

bahkan aparat negara.17 Definisi dari pelanggaran HAM ini juga berlaku pada penyelesaian

secara hukum jika tidak dilaksanakan dengan adil dan benar. Sebagaimana dengan pernyataan

yang dilakukan Jaksa Agung merupakan pelanggaran HAM terhadap Undang-Undang.

12 Gedeon M. Mudacumura, Challenges to Democratic Governance in Developing Countries,

(Switzerland,2014), hlm. 19. 13 Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Dan Konstitusionalisme., (Jakarta, konstitusi press . 2006) Hal. 259 14 Yati Andriyani, P ern ya ta an Ja ksa A g u n g; P en g in g ka ra n, P en ya n gka la n d a n Tin da kan Mela wa n

Hu ku m , https://kontras.org/2020/01/17/pernyataan-jaksa-agung-pengingakaran-penyangkalan-dan-tindakan-

melawan-hukum/, diakses 7 Juli 2020. 15 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia” P ro g ra m S tu d i

P en d id ika n Kewa rg a n eg a ra an Ju ru sa n P en d id ikan Kewa rg a n eg a raa n da n Hu ku m (2015), hlm. 2. 16 Indonesia, Un d an g - Un d an g Rep u b lik In d on esia No mo r 2 6 Ta h u n 2 00 0 Ten tan g P en g ad ilan Ha k A sa si

Ma n u sia , Pasal 23 ayat (1). 17 Indonesia, Un da n g - Un d an g R ep u b lik In d on esia No mo r 3 9 Ta h u n 1 99 9 Ten tan g Ha k A sa si Ma n u sia ,

Pasal 1 ayat (1).

Page 8: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

6

Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Jaksa Agung sebagai seorang pejabat negara bukan

kali pertama dilakukan, Wiranto yang pada tanggal 30 Januari 2017 menyatakan dengan jelas

di depan pers bahwa akan membawa 7 pelanggaran HAM berat ke jalur non yudisial yang

berarti bukan melalui jalur hukum.18 Beliau yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik

Hukum dan Keamanan pada waktu itu secara implisit mengakui kebenaran bahwa 7

pelanggaran HAM (peristiwa 65/66, penembakan misterius 1982-1985. Kemudian

penghilangan paksa aktivis 1997-1998, Kerusuhan 98, tragedi Trisakti 1998, Semanggi 1 dan

2 pada 98/99, peristiwa Talangsari 1989) merupakan pelanggaran HAM berat, sebagaimana

seharusnya pelanggaran HAM berat diatur pada UU 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak

Asasi Manusia yang mengatur dengan jelas bahwa pelanggaran HAM berat harus diadakan

pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat tersebut. Dalih bahwa sulit untuk menyelesaikan

pelanggaran HAM berat karena daluwarsa yang lawas ataupun bukti yang kurang mendukung

tidak memvalidasi “menyelesaikan kasus” dengan jalur non yudisial. Terlebih lagi Jaksa

Agung yang menjabat pada waktu itu HM Prasetyo menjanjikan perkara 7 pelanggaran HAM

berat itu akan diusut tuntas pada masa pemerintahan Jokowi. Alih-alih masalah pelanggaran

HAM ini selesai pada masa itu kasus pelanggaran HAM berat ini justru berusaha “ditiadakan”

oleh Jaksa Agung yang menjabat sekarang.

Pelanggaran HAM berat berbeda adanya dengan pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran

HAM berat memiliki definisi yang lebih mengarah pada pernyataan C. De Rover bahwa

pelanggaran HAM merupakan kelalaian daripada negara dalam melindungi HAM

masyarakatnya. Pernyataan ini didukung lagi dengan doktrin hukum oleh Suparman Marzuki

yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pelanggaran HAM biasa dengan pelanggaran

HAM berat sangat berbeda dimana jenis kejahatan internasional terberat sekalipun tidak dapat

dengan mudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Bahkan dalam kancah Internasional

sekalipun terdapat hukum kebiasaan internasional yang akhirnya menghasilkan suatu

ketentuan HAM secara universal.19 Berangkat dari doktrin-doktrin ini pelanggaran HAM berat

sudah jelas merupakan tanggung jawab penuh negara yang dimanifestasikan pada Institusi

Penegak Hukum.

18 Ninik Yuniati, P en ye lesa ia n 7 Ka su s P ela n gga ra n HA M, Wira n to : No n yu d isia l ,

https://kbr.id/berita/nasional/01-

2017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html, diakses 7 Juli 2020. 19 Aulia Rosa Nasution, P en ye lesa ia n Ka su s P ela n gg a ra n HAM B era t mela lu i P en g ad ila n Na sio n a l da n

I n tern a sio n a l serta Ko misi Ke b en a ra n d a n R ek o n silia si , hlm. 109.

Page 9: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

7

“Exhaust ion of domest ic remedies ” adalah prinsip yang dianut oleh hukum

internasional dimana mewajibkan negara memaksimalkan upaya penyelesaian hukum secara

domestik sebagaimana seharusnya tanpa adanya asas jus cogens. Pada prinsip ini sudah

seyogyanya pemerintah mengupayakan yang terbaik terutama Indonesia mengakui HAM

terlebih dahulu daripada unifikasi HAM oleh negara-negara lain. Yakni pada konstitusi kita

sendiri UUD 1945 pada pembukaan negara Indonesia mengakui adanya peri kemanusiaan dan

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.20 Indonesia sudah

memiliki Undang-Undang dan regulasi yang mengatur mengenai HAM tetapi sangat

disayangkan pelanggaran HAM berat sangat dipersempit pelaksanaannya dan dipenuhi dengan

birokrasi yang mempersulit pengadilan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat.

Pengadilan HAM ad hoc adalah bentuk penyelesaian pelanggaran HAM berat yang merupakan

“Extraor dinar y C rime ” yang ketentuannya tidak diatur oleh KUHP serta merugikan secara

material dan immaterial oleh karena itu perlu pemulihan secara perlindungan HAM dan

supremasi hukum untuk menjamin ketentraman dan penegakan keadilan (Syawal Abdulajid &

Anshar, 2010). Pengadilan HAM ad hoc terhadap pelanggaran HAM berat sebelum Undang-

Undang pengadilan pelanggaran HAM dibuat sepenuhnya merupakan keputusan dari presiden

dengan pertimbangan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).21 Pelanggaran HAM berat mayoritas

berasal dari masa lampau sebelum Undang-Undang ini dibuat sehingga keputusan presiden

yang secara mutlak menentukan dimulainya suatu pengadilan tidaklah sesuai dengan bentuk

pemerintahan negara Indonesia mengakui adanya 3 (tiga) lembaga pemerintahan yang utama

dimana lembaga Yudikatif sebagai Institusi Penegak Hukum berperan menegakkan keadilan.

Lembaga eksekutif yang dipenuhi dengan kepentingan politik tidaklah tepat menjadi pusat

keputusan daripada pengadilan dimana lembaga Yudikatif memiliki wewenang terhadap hal

tersebut meskipun presiden yang merupakan kepala negara yang memutuskan ada atau

tidaknya pengadilan tersebut. Keputusan yang murni hanya dapat dilakukan oleh Presiden ini

memberikan kesan bahwa jika pelanggaran HAM lampau merugikan pemerintahan yang

sedang berjalan maka dapat dijustifikasi untuk tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat

tersebut.

Ketentuan pada pasal ini memberikan dilema pada penegakan keadilan itu sendiri dan

memberi peluang untuk pemerintah melakukan kesemenaan terhadap kebijakan dan keputusan

yang diambil. Asas “Jus C ogens ” merupakan asas yang dianut dalam menegakkan pelanggaran

20 Indonesia, Un d an g - Und a ng Da sa r 1 9 4 5 , Pembukaan. 21Indonesia, Un d a n g - Un d an g Rep u b lik I n do n esia No mo r 2 6 Ta h u n 20 0 0 Ten tan g P en ga d ilan Ha k A sa si

Ma n u sia , Pasal 43

Page 10: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

8

HAM dimana kepentingan dalam menegakkan keadilan berdiri pada posisi teratas bahkan

kepentingan negara itu sendiri karena HAM merupakan masalah kemanusiaan bukanlah bahan

konsiderasi pemerintah belaka.22 Dalam penuntutan dan penyidikan kasus pelanggaran HAM

berat dipersempit kewenangannya hanya pada Jaksa Agung tanpa ada kewenangan daripada

instansi lain sebagai pemantau atau pengawas daripada Jaksa Agung itu sendiri, secara hukum

acara Jaksa Agung dalam perihal ini sebagai pucuk dan memiliki kelemahan yang besar dalam

sistem pengadilan, Jaksa Agung dapat memanfaatkan wewenangnya yang dibenarkan oleh

Undang-Undang untuk tidak menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan alasan-alasan

tertentu. Pada Undang-Undang juga disayangkan tidak menspesifikasikan dengan jelas

bagaimana jika Institusi Penegak Hukum itu sendiri yang melakukan pelanggaran hukum dan

menindaklanjuti dari perihal tersebut juga tidak jelas. Undang-Undang 39 tahun 1999 hanya

menjelaskan bahwa orang yang mengganggu penyelesaian pelanggaran HAM merupakan

bentuk dari pelanggaran HAM.23 Penyelesaian hukum dipenuhi dengan birokrasi yang cukup

jenuh terbukti ketika KOMNAS HAM menyelesaikan berkas pelanggaran HAM berat agar

dapat ditindaklanjuti dan diselesaikan tetapi tidak dapat dengan mudah dilakukan karena harus

mendapat keputusan presiden dan konsiderasi dari DPR lalu harus diserahkan secara

sepenuhnya oleh Jaksa Agung.24 Satu-satunya cara KOMNAS HAM dapat memantau proses

dan perkembangan penyelidikan sangatlah minim bentuk pertanggungjawaban dengan

meminta keterangan tertulis dari Jaksa Agung dan kembali lagi terdapat ambiguitas dalam

penindak lanjutannya apa yang akan terjadi jika Jaksa Agung lalai dan tidak memberikan

keterangan tersebut dan dapat membela diri dengan sedang dalam proses pembuatan

keterangan karena pada Pasal 25 UU 26 tahun 2000 tidak terdapat ketentuan waktu di

dalamnya. Jalur hukum yang dapat ditempuh dalam menindaklanjuti pelanggaran ataupun

kesemenaan daripada Pejabat Institusi Penegak Hukum hanya dengan melalui PTUN

(Peradilan Tata Usaha Negara) yang sebenarnya merupakan hak umum seluruh masyarakat dan

segala jenis badan hukum perdata.25 Sangat disayangkan KOMNAS HAM yang memiliki

kapabilitas dan kompetensi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM tidak memiliki kekuasaan

22 Lee M. Caplan, S ta te I mmu n ity, Hu ma n R ig h ts, a nd Ju s Co g en s: A Cri tiq u e o f th e No rma tiv e

Hiera rch y Th eo ry , The American Journal of International Law, Oct., 2003, Vol. 97, No. 4 (Oct., 2003), pp. 741-

781, hlm. 742. 23 Indonesia, Un d a ng - Un da n g R ep u b lik I nd o n esia No mo r 3 9 Ta h u n 19 9 9 Ten ta n g Ha k A sasi Ma n u sia ,

Pasal 1 ayat (6). 24 Dian Kurniawan, Ko mna s HA M Kla im Tela h S elesa ika n 1 1 B erka s P ela n g g a ran HA M B era t ,

https://www.liputan6.com/news/read/3955980/komnas-ham-klaim-telah-selesaikan-11-berkas-pelanggaran-

ham-berat, diakses 9 Juli 2020. 25 Indonesia, Un da n g - Un d an g Rep u b lik I n do n esia No mo r 5 Ta h u n 1 98 6 Ten ta ng P era d ila n Ta ta Usa h a

Neg a ra , Pasal 53 ayat (1).

Page 11: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

9

hukum yang kuat dalam pengadilan HAM itu sendiri. Sebagaimana yang sedang terjadi pada

proses penyelesaian pelanggaran HAM berat semanggi 1 dan 2 yang sebelumnya sudah dibahas

Jaksa Agung tidak hanya menolak menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat secara implisit

tetapi juga memberi pernyataan di depan umum bahwa kasus semanggi 1 dan 2 bukanlah

pelanggaran berat dan KOMNAS HAM hanya dapat menggugat Jaksa Agung untuk

melakukan pekerjaannya.26 Sementara sudah jelas Jaksa Agung yang sedang menjabat

mengeluarkan pernyataan subjektif yang tidak mengikuti jalur hukum yang menandakan Jaksa

Agung tersebut tidak memiliki niat dalam menyelesaikan kasus semanggi dalam jalur yudisial.

Dengan wewenang yang besar sebagai Jaksa Agung dalam penyelesaian hukum dari kasus

semanggi yang merupakan pelanggaran HAM berat tidaklah tepat menempatkan seseorang

yang sudah memiliki subjektifitas terhadap kasus semanggi karena akan mendistorsi dan

menjadi batu sandungan dalam pengadilan nantinya.

Pernyataan ST Burhanuddin tidak dapat dianggap sebagai perkara ringan karena

sebenarnya ST Burhanuddin sudah melakukan pelanggaran HAM sebagai pejabat negara dan

pelanggar HAM tidak layak untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Meletakkan

orang yang tidak berkompetensi dalam pengadilan ad hoc hanya akan mengulang kembali

sejarah seperti pengadilan ad hoc seperti pada kasus Tanjung Priok dan Timor-timur

pengadilan ad hoc yang dilakukan pada waktu itu hanya menjadi pengadilan bohongan ( sham

prosecuti on ) dimana keputusan terhadap semua pelaku adalah bebas tidak bersalah.27

Pengadilan yang dilaksanakan hanya cara pemerintah memenuhi tuntutan nasional dan

internasional, prinsip jus cogens seakan-akan hanya bahan permainan politik bagi pejabat

Institusi Penegak Hukum yang mengadakan pengadilan ad hoc .

Adapun sebenarnya kendala diluar daripada perkara pribadi pejabat meskipun tetap

terdapat hubungannya dengan pejabat itu sendiri baik langsung atau tidak, yakni : a)

kesulitan pembuktian jika penyelesaian akan dilakukan melalui jalur hukum (pengadilan) atau

disebut kesulitan teknis prosedural ; b) terdapat kekuatan politik pendukung rezim terdahulu

pada pemerintahan ; c) kendala yang berasal dari sebagian korban atau keluarga korban yang

tidak menginginkan mengungkit kembali kasus masa lalu, dengan alasan hanya membuka

luka lama.28 disamping daripada itu banyak keluarga korban yang kecewa dan tidak yakin

26 Fathiyah Wardah, Kelu a rg a Ko rb a n S ema n gg i I d a n II B erh a ra p P TUN Ka b u lka n Gu g a ta n terh a d ap

Ja ksa A g u ng , https://www.voaindonesia.com/a/keluarga-korban-semanggi-i-dan-ii-berharap-ptun-kabulkan-

gugatan-terhadap-jaksa-agung/5422394.html 27 Aulia Rosa Nasution, Op . Cit. , hlm. 103. 28 I b id .

Page 12: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

10

bahwa pemerintah serius dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat.29 Rasa kecewa ini

tumbuh dan membuat masyarakat enggan dan tidak percaya lagi kepada pemerintah ataupun

penegakkan HAM menciptakan seluruh jalur hukum yang ikonis dengan keadilan sia-sia.

Kesulitan pembuktian pun menjadi kekhawatiran karena locus dan tempus yang terdistorsi

akan waktu sudah cukup menyulitkan praktisi hukum, terlebih lagi jika ada pihak yang tidak

bertanggung jawab dengan sengaja merusak dan menghilangkan bukti daripada Pelanggaran

HAM. Dugaan-dugaan tersebut menjadi faktor yang kuat dalam tidak berjalannya pengadilan

ad hoc setidaknya hal tersebut adalah pembelaan dan validasi daripada Jaksa Agung karena

tidak adanya pengadilan ad hoc. 3 0

Bukti-bukti fisik dan forensik merupakan bukti yang dapat dipakai dalam penyelesaian

dan pembuktian materiil daripada pengadilan, tetapi terdapat kesaksian juga daripada korban

dan saksi hidup dari pelanggaran HAM berat yang dapat menentukan keputusan pengadilan.

Pada Maret 2002 seorang saksi memberikan pernyataan bahwa mereka yang merupakan saksi

dari pelanggaran HAM memerlukan jaminan.31 Yang membuat lebih ironis lagi adalah pemberi

kesaksian tersebut merupakan anggota kepolisian dimana dia mengetahui perlindungan saksi

oleh pemerintah sebagai seorang abdi negara. Pengadilan pelanggaran HAM berat yang terjadi

di Timor-Timur menjadi salah satu contoh buruknya perlindungan saksi pelanggaran HAM

berat. Secara formil KUHAP mencakup perlindungan dan hak dari saksi dan korban tapi sangat

minim kejelasannya.32 Undang-undang terkait perlindungan saksi pelanggaran HAM berat pun

demikian Pasal 34 UU No 26 Tahun 2000 pun demikian pada pasal tersebut kembali lagi tidak

terdapat kejelasan tentang bagaimana proseduralnya meski dilanjutkan pada ketentuan PP No.

2 Tahun 2002 perlindungan HAM masih sangat banyak seperti ketentuan dan definisi dalam

peraturan tersebut masih sangat abstrak dan masih menggunakan bahasa hukum yang perlu

dielaborasikan lagi sehingga berpengaruh besar pada pelaksanaannya. Tidak hanya itu

berdasarkan proses perlindungan dalam perlindungan saksi yang diatur Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban memakan waktu sampai

29Antara, Ko rb a n P ela n gga ra n HA M B era t Ta g ih Kea d ila n ke Ko mn a s HA M,

https://nasional.tempo.co/read/1281813/korban-pelanggaran-ham-berat-tagih-keadilan-ke-komnas-

ham/full&view=ok, diakses 14 Juli 2020. 30 CNN Indonesia, Ja ksa Ag u ng Un g ka p Ha mb a tan P en ye lesaia n Ka su s HA M B era t ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191107142131-12-446354/jaksa-agung-ungkap-hambatan-

penyelesaian-kasus-ham-berat, diakses 14 Juli 2020. 31 Julius Basa Bae adalah anggota Polsek (Kapospol) Wemasa, Belu, NTT. Salah seorang yang

mengetahui prosesi penguburan para korban penyerangan gereja Ave Maria Suai, Kovelima. Dia bersaksi untuk

perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk. 32 Supriyadi Widodo, Eddyono Wahyu, dan Wagiman Zainal Abidin, P erlin d un g an S a ksi da n Ko rb a n :

Ca ta ta n A ta s P en ga la ma n P en g a d ilan HA M A d Ho c Ka su s P ela ng g a ra n HA M B era t d i Timo r - Timu r , (Jakarta,

2005), hlm. 2.

Page 13: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

11

minimal 7 hari untuk seorang saksi mendapatkan perlindungan karena diperhadapkan dengan

birokrasi kembali.33 Berbeda dengan Amerika yang memiliki sistem perlindungan yang ringkas

dimana terdapat dugaan bahwa kebenaran laporan dan saksi memiliki potensi keselamatannya

terancam maka aparat kepolisian berkapasitas untuk langsung mengamankan saksi atau

korban.34 Sistem perlindungan saksi yang memakan waktu lebih lama lebih riskan untuk saksi

terancam bahaya dan kemungkinan untuk saksi menarik kembali laporannya sehingga berujung

pada kasus yang tidak terselesaikan. Perbandingan daripada sistem perlindungan tidak berhenti

disitu saja negara paman Sam itu juga memegang prinsip diskretisasi dimana kerahasiaan dari

saksi sangat dijunjung dan dijaga atas bentuk perlindungan. Indonesia memiliki jalur birokrasi

sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya membuat identitas saksi terbuka bagi beberapa

Institusi Penegak Hukum seperti LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan aparat

keamanan dengan birokrasi seperti ini dapat membuat identitas saksi terekspos atau dibocorkan

dan berbahaya bagi saksi tersebut.

Kegagalan Institusi Penegak Hukum dalam memberi jaminan dapat membuat seluruh

saksi baik masa kini dan masa yang akan datang ragu dan takut untuk bersaksi di pengadilan.

Untuk mengatasi ini setidaknya ada 7 hak yang harus diperhatikan oleh pemerintah terutama

Institusi Penegak Hukum yang sebenarnya sudah dirangkum dengan di Undang-Undang yang

berlaku, yaitu :35

1. Hak atas keamanan fisik maupun mental

2. Hak atas pendampingan

3. Hak atas penerjemah

4. Perlindungan kepada saksi yang rentan

5. Hak untuk memberikan kesaksian dengan cara tertentu

6. Hak atas penggantian biaya ketika menghadiri persidangan

7. Hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi pada korban

Ironisnya ketujuh hal tersebut merupakan hal yang sewajarnya dan sepatutnya diterima oleh

seorang saksi atau korban dalam pengadilan.

33 Artur Caecarea, P erlin d un g an Sa ksi Da n Ko rb an Da la m P ela n g ga ra n Ha m B era t, Fakultas Hukum

Universitas Mataram, (Mataram, 2014), bag. ix. 34 Patricia B. Fellner, Co md en v. S u p erio r Co u rt: Disq u a lifica tio n o f th e Testifyin g A tto rn ey , California

Law Review, Jul., 1979, Vol. 67, No. 4, The Supreme Court of California 1977-1978. Part II (Jul., 1979), pp. 824-

842, hlm. 827. 35 Supriyadi Widodo, Op Cit.

Page 14: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

12

C. Spektrum Mancanegara dan Pelanggaran HAM Berat

Kekecewaan terhadap buruknya pengadilan dan penyelesaian pelanggaran HAM berat

di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri tetapi juga dirasakan oleh

negara luar dan bahkan KOMNAS HAM PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) itu sendiri.36

Pada kancah internasional kasus pelanggaran HAM berat juga terjadi pada tanah Kashmir

bagian paling utara dari India dan berseberangan dengan Pakistan, tidak jauh berbeda dengan

kasus Timor Timur Kashmir dan Jammu adalah tanah yang merdeka dan mengalami konflik

konsesi oleh negara Pakistan dan India.37 Kashmir mendapat penengahan dari PBB

dikarenakan konflik yang tak kunjung selesai dan sudah banyak korban yang direnggut

terutama pada warga Kashmir dan resolusi yang diambil adalah plebisit atau sistem

pemungutan suara, dimana warga Kashmir menentukan nasibnya sendiri dan resolusi itu

terakhir dirapatkan 2 Desember 1957 dan kembali ditegaskan melalui Francois Guiliani

sebagai perwakilan PBB pada 26 April 1990, hingga kini resolusi itu tidaklah berjalan dan

pelanggaran HAM tetap terjadi pada Kashmir.38 Berbeda dengan Indonesia India yang

memiliki 448 pasal pada konstitusinya tidak mengakui kemerdekaan dan kebebasan sebagai

hak segala bangsa tetapi hanya tercantum implisit dan pada negara bagian yang diakui oleh

India saja.39 Tercantum pada pasal 370 sebenarnya bahwa Jammu dan Kashmir memiliki hak

untuk bebas dari segala keterikatan pada India meskipun dengan pengecualian kondisi negara

India dalam darurat yang tidak jelas dan luas makna dari darurat ini.

Pelanggaran HAM berat yang terjadi pada warga Kashmir menunjukan pelik dan

berlarutnya suatu kasus pelanggaran HAM. Akan tetapi bukan berarti kasus pelanggaran HAM

berat tidak dapat diselesaikan terbukti pada kasus KR (Khmer Rouge) yang terjadi di Kamboja

dimana pada tahun 1960 KR melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pangeran Norodom

Sihanouk, kudeta pun beralih ke kekuasaan Republik Khmer yang merupakan pihak Amerika.

Sihanouk yang sebelumnya musuh menjadi aliansi bersama dengan KR dan mendapat

dukungan dari negara komunis lainnya dan pada April tahun 1975 pemerintahan Kamboja

berubah menjadi Demokratik Kamboja. KR mengklaim bahwa keberhasilan mereka

menaklukan rezim luar merupakan keberhasilan setelah 2000 tahun petani Khmer dibawah

36 Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung prajarto, Op Cit, hlm. 297. 37 Lubna Mohiuddin, Hu man Rig h ts V io la tio n s: A Ca se S tu dy o f Ka sh mir, Pakistan Horizon, Vol. 50,

No. 2 (April 1997), pp. 75-97, hlm. 85. 38 I b id . 39 Adarsh Sein Anand, Th e Develo p men t o f th e Co n stitu tio n of Ja mmu a nd Ka sh mir (New Delhi: Light

and Life Publishers, 1980), hlm. 226.

Page 15: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

13

penundukan kekuatan asing.40 Sayangnya kesuksesan ini tidaklah didapatkan secara gratis

melainkan melalui pertumpahan darah sampai 1,7 juta nyawa yang merupakan seperempat

populasi Kamboja pada waktu itu adalah 7,9 juta jiwa.41 Terdapat setidaknya 3 (tiga)

pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh KR yaitu : 42

1. Pemaksaan pemindahan penduduk skala besar

2. Kerja paksa, perlakuan dan kondisi tidak manusiawi

3. Penyerangan terhadap pihak yang tidak setuju dengan revolusi

Kondisi “penaklukan” Demokratik Kamboja tidaklah diterima begitu saja oleh banyak

pihak dan mendapat perseteruan dengan perbatasan Vietnam pertumpahan darah kembali

terjadi, sampai tahun 1991 mencapai persetujuan perdamaian dan melakukan pemilu pada 1993

tetapi diboikot oleh KR yang merupakan angkatan bersenjata dan tidak menyetujui perdamaian

tersebut dan perlu diingat juga bahwa mereka merupakan kelompok pelanggar HAM berat

yang telah memakan banyak korban, jikalau tidak dikarenakan Amnesty yang diberikan oleh

pemerintah maka KR tetap melakukan gencatan senjata.43 Amnesti menjanjikan perdamaian

semu tetapi menginterupsi hukum dan nilai keadilan di Kamboja seakan memberi impunitas

pada orang yang sudah jelas-jelas salah.44 Hun Sen sebagai perdana menteri Kamboja lebih-

lebih melindungi KR dan memvalidasi alasannya dengan rasa takut akan membuka luka lama

dan memicu perang saudara. Kasus KR mengalami kesaratan dalam pembuktian materiilnya

karena mengalami interupsi politik dan harus terbukti bahwa KR melakukan genosida dengan

landasan menghapuskan suatu etnis berdasarkan sosial politik, dan diduga lebih lanjut KR

melakukan genosida dengan landasan ekonomis mereka juga. Pada 16 November 2018 Khieu

Samphan dan Nuon Chea pemimpin paling senior dari KR divonis penjara seumur hidup.

Terbukti Nuon Chea mengambil keputusan bersama Pol Pot (mantan pemimpin Demokratik

Kamboja) melakukan genosida terhadap etnis Vietnam dan kelompok muslim Cham dan Khieu

Samphan terbukti bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis vietnam.45 Berdasarkan

Pasal 7 Statuta ICC (Mahkamah Pidana Internasional) tentang kejahatan terhadap kemanusiaan

40 Malahayati, Ta n g g un g Ja wab I n d ivid u Terh ad a p Keja h a ta n Kema n u sia a n ( An a lisis K a su s K h mer

Mera h ) , hlm. 4. 41 Dunoff, Jeffrey. L, dkk. I n tern a tio n a l La w: No rms, A cto rs, P ro ce ss: a P ro b lem Orien ted A p p roa ch ,

2nd Ed. (New York: Aspen Publisher, 2006) Hlm. 611. 42 Malahayati, Op Cit, hlm. 5. 43 Sovann MAM, B ey o n d th e Kh mer R o u g e Trib u n a l: A d dressin g a La ck o f R ec o n cilia tio n a t th e

Co mmu n ity Leve l , Swisspeace (2019), hlm. 18. 44 I b id . 45 Maria Rita Hasugian, Du a P emimp in Kh mer Mera h d i Ka mb o ja Terb u kti Mela ku kan Gen o sid a ,

https://dunia.tempo.co/read/1147030/dua-pemimpin-khmer-merah-di-kamboja-terbukti-melakukan-

genosida/full&view=ok, diakses 22 Juli 2020.

Page 16: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

14

pemimpin KR Khieu Samphan dan Nuon Chea berhak dijatuhi hukuman.46 Peradilan yang

diadakan di Phnom Penh, Kamboja ini adalah peradilan Hybrid dimana peradilan gabungan

antara peradilan ad hoc nasional dan internasional digabung untuk mengatasi kelemahan

masing-masing peradilan.47

Masalah yang dihadapi oleh Kamboja tidak berbeda jauh dengan masalah yang

dihadapi oleh Indonesia dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat. Alasan mengapa

Kamboja mengalami kesulitan penyelesaian pelanggaran HAM berat adalah intervensi politik

dimana pemerintah menghalang-halangi penyelesaian kasus dengan berbagai alasan, meskipun

alasan yang dipakai sedikit berbeda tetapi alasan aparatur negara Indonesia dan negara

Kamboja memiliki kesamaan yakni tidak adanya validasi dalam pernyataan untuk tidak segera

menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.48 Hun Sen menyatakan bahwa akan ada

munculnya instabilitas negara jika kasus KR tetap diusut, akan tetapi nyatanya masyarakat

Kamboja hanya ingin pengakuan dan rekonsiliasi terhadap pelaku kasus KR.49 Sama halnya

dengan pemerintah Indonesia dengan alasan bahwa pembuktian sangatlah sulit, bahkan petugas

Institusi Penegak Hukum pun turut serta dalam menguatkan pernyataan tersebut.50 Aparatur

negara tidak pernah menunjukan dengan jelas pada pembuktian spesifik apa dan bagian mana

yang tidak dapat diperoleh oleh penyidik, alih-alih aparatur negara hanya memberi pernyataan

yang abstrak dan selalu sama. Meskipun peradilan Hybrid mengalami kegagalan dan

berlangsung mengecewakan di Timor Timur, tetapi telah terbukti di negara-negara lain dan

berangsur membaik dan mengeliminasi seluruh keburukan yang dialami di peradilan dan dapat

dilihat peradilan Hybrid dapat menyelesaikan kasus KR yang larat selama 40 tahun lebih.

Berdasarkan pembuktian seharusnya kasus KR tidak dapat terselesaikan, jika dicerminkan

pada peradilan di Indonesia.

"Memang kita masih memiliki beban pelanggaran HAM berat masa lalu, tak mudah

menyelesaikannya. Masalah pembuktian dan waktu terlalu jauh. Harusnya ini selesai setelah

itu terjadi,"51 Berdasarkan kutipan kata-kata Jokowi yang sekarang menjabat sebagai presiden

memvalidasi kondisi penyelesaian pelanggaran HAM berat yang “alot” karena waktu harusnya

kasus seperti KR tidak dapat terselesaikan karena jika dibandingkan daluwarsanya kasus KR

46 U.N. Doc. A/CONF.183/9 (1998) 47 Aulia Rosa Nasution, Op . Cit. , hlm. 120. 48 Sovann MAM, Op Cit, hlm. 18. 49 I b id , hlm. 26. 50 Adi Briantika, P en ye les a ia n P ela ng g a ra n HA M B era t P a p u a S ep erti Mereb u s B a tu ,

https://tirto.id/penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-papua-seperti-merebus-batu-fJzT, diakses 22 Juli 2020. 51 Bagus Prihantoro Nugroho, Jo ko wi B ila n g S u lit S elesa ika n Ka su s HA M Ma sa La lu , B en a rka h ? ,

https://news.detik.com/berita/d-4389482/jokowi-bilang-sulit-selesaikan-kasus-ham-masa-lalu-benarkah, diakses

22 Juli 2020.

Page 17: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

15

lebih berumur dibandingkan kasus pelanggaran HAM berat yang sudah lampau terjadi di

Indonesia. Seperti kasus tahun ‘98, GAM, kasus pelanggaran HAM di Papua, dan kasus lainnya

tidak sampai 40 tahun. Berdasarkan penyelesaian kasus KR tidaklah menutup kemungkinan

untuk Indonesia menggandeng PBB untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM-nya

ju’a.

D. Rumusan Masalah

Yang menjadi bahasan dari kajian ini adalah berangkat dari beberapa masalah dan

pertanyaan yang muncul di benak pemikiran penulis. Apakah kebijakan dari pemerintah yang

sesuai dengan prosedural hukum jika menyalahi kepentingan umum termasuk dalam

pelanggaran HAM? Apa yang dimaksud dengan Institusi Penegak Hukum dan bentuk konkrit

badan pemerintahannya? Sejauh apa wewenang yang dimiliki institusi penegak hukum dalam

menegakkan hukum ketika terkait HAM suatu Individu? Upaya apa yang bisa seseorang

lakukan dalam mempertahankan HAM nya ketika institusi penegak hukum yang

melanggarnya? Sudah adakah bentuk pengawasan yang jelas di dalam institusi penegak hukum

untuk mengantisipasi terjadinya pelanggaran HAM ? dari pertanyaan-pertanyaan ini timbul

untuk dikaji berdasarkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dan

bagaimana institusi penegak hukum menindak lanjuti kasus-kasus tersebut.

Page 18: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

16

Bab II: Isi

A. Pemerintah, Institusi Penegak Hukum, dan Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM berat sudah menjadi peer (Pekerjaan Rumah) pemerintah semenjak

dulu dan bahkan terdapat pola dimana kasus pelanggaran HAM berat yang sensitif menjadi

bahan komoditas politik.52 Tetapi ketika keinginan politik suatu golongan politik sudah

terpuaskan dan menjabat sebagai penguasa isu pelanggaran HAM tenggelam seperti tidak

pernah ada dan hanya isu 5 (lima) tahunan belaka.53 Negara betul adanya memiliki pengaruh

politik dan sebagai landasan penggerak daripada jalannya roda pemerintah dan dibenarkan

adanya secara implisit dalam UUD 1945.54 Meskipun mendapat justifikasi secara implisit tetapi

terdapat pasal yang lebih jelas dalam UUD 1945 yakni pada Pasal 1 Ayat (3) yang tercantum

“Negara Indonesia adalah negara hukum” dimana berarti supremasi hukum berada di dalam

roda pemerintahan negara Indonesia. Pelanggaran HAM berat bukanlah perkara politik yang

dapat dijadikan agenda atau bahkan kampanye politik, melainkan ranah hukum. Terlepas dari

pemerintahan politik siapapun, perkara hukum tetap harus diselesaikan dan bukanlah hal yang

perlu diumbar karena sudah jelas sistematika penyelesaiannya tidak seperti kebijakan politik

yang berbeda pemerintahan dapat berubah, hukum tidaklah demikian. Justru isu pelanggaran

HAM berat yang menjadi janji para aktor politik menjadi bahan cemoohan bagi hukum yang

berlaku di Indonesia. Lantaran isu pelanggaran HAM berat yang “dijanjikan” oleh aktor politik

mengimplisitkan bahwa pemerintahan sebelumnya tidak dapat menyelesaikan dan hanya di

masa aktor politik ini isu pelanggaran HAM berat dapat terselesaikan. Rendahnya kualitas

penyelesaian hukum di Indonesia dapat dilihat dari sini dimana seharusnya keadilan berdiri

paling tegak pun tidak dapat menjanjikan keadilan itu sendiri.

Seperti tiada habisnya alasan para pejabat untuk mengulur waktu. Menggunakan alasan

yang sama setiap dilayangkan pertanyaan terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Dengan menggunakan alasan sulit mendatangkan bukti dan saksi.55 Tetapi apakah begitu

52 CNN Indonesia, Ko n tra S : I su HA M J a d i Ko mo d ita s P o litik Ca p res S etia p P emilu ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181210164105-32-352513/kontras-isu-ham-jadi-komoditas-politik-

capres-setiap-pemilu, diakses 16 Juli 2020. 53 Egi Adyatama, Ra p o r Mera h P en a ga ka n HA M d i E ra P eme rin ta h an Jo ko Wid o d o ,

https://nasional.kompas.com/read/2019/08/15/15503951/jokowi-didesak-selesaikan-kasus-pelanggaran-ham-

berat, diakses 16 Juli 2020. 54 Prof. Dr. Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan Tesis,

Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), (Jakarta, 2008), hlm. 13. 55 Yugo Hindarto, Ja ksa A g u ng A ku i Kesu lita n Usu t Ka su s P ela n g g a ra n HA M ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180615192012-12-306414/jaksa-agung-akui-kesulitan-usut-kasus-

pelanggaran-ham?, diakses 16 Juli 2020.

Page 19: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

17

adanya pada saat pengadilan ad hoc Timor-Timur pada Maret 2002? Seperti yang sudah

dipaparkan sebelumnya pada latar belakang pada 7 (tujuh) poin yang harus diperhatikan

pemerintah dalam mengadakan pengadilan ad hoc , poin ke-6 mengenai hak atas penggantian

biaya ketika menghadiri persidangan menjadi alasan kendala paling jelas dihadapi oleh para

saksi yang dipanggil oleh Institusi Penegak Hukum biaya untuk kompensasi menghadiri

pengadilan tidak dijamin.56 Uniknya adalah jaminan kompensasi sebenarnya bisa dijamin

dengan penyerahan tuntutan kepada hakim bersamaan dengan tuntutan kompensasi, restitusi,

dan rehabilitasi dalam bentuk material misalnya, yang dapat dilakukan oleh Jaksa Agung

sebagai penuntut umum. Akan tetapi Jaksa Agung tidak mencantumkan permintaan

kompensasi ini menurut hakim yang menerima berkas daripada Jaksa Agung, sehingga hakim

tidak dapat memutuskan diluar daripada apa yang dituntut.57 Kurang jelas landasan ataupun

motif dari Jaksa tidak mencantumkan dan memberi jaminan kepada saksi atau setidaknya

berupaya untuk memberi suatu motivasi kepada saksi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran

HAM berat, tetapi yang jelas adalah pengadilan Timor Timur merupakan yang sangat buruk

kualitas dan jauh dari ekspektasi.58 Adapun hakim memberi solusi yaitu melalui

T eleconferenc e dimana memberi solusi jarak, biaya, dan masalah fisik lainnya. Akan tetapi

solusi ini menghadapi kendala yuridis normatif dimana kuasa hukum dapat dengan mudah

menuntut bahwa penggunaan T eleconfer enc e tidaklah sesuai dengan tata cara beracara yang

ditentukan dalam KUHAP dan UU 26 tahun 2000 kedua aturan ini dipakai sebagai tameng

pihak terdakwa untuk mengelak pemakaian saksi T e leconference. Mencari kepastian hukum

disini sangatlah sulit karena sebenarnya sudah pernah ada pemakaian T ele conferenc e sebagai

medium pengadilan yaitu dengan munculnya Putusan Majelis Hakim dalam perkara

pelanggaran HAM berat dengan Terdakwa M. Noer Muis, tanggal 12 Maret 2003 dengan

landasan Pasal 4 poin (c) PP No. 2 Tahun 2002 dimana tertulis “pemberian keterangan pada

saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka” yang jika

diperluas maknanya mengijinkan T eleconferenc e untuk dipakai dalam berjalannya pengadilan.

Akan tetapi sanggahan T eleconferen ce tidak mengikuti tata beracara yang ditentukan UU dan

KUHAP masih saja diterima di pengadilan.

Belasan tahun sudah berjalan setelah pengadilan a d hoc untuk pelanggaran HAM berat

tetapi tidak juga ada pembaruan dalam UU yang mengatur tentang pelanggaran HAM berat.

56 Supriyadi Widodo, Eddyono Wahyu, dan Wagiman Zainal Abidin, Op Cit. hal. 13. 57 I b id . 58 Ahmad Hambali, Edwin Partogi, Eko Dahana, Ikravany Hilman, Indria Alphasonny, M.

Islah, Munarman, Munir, Sri Suparyati dan Victor da Costa, S a kra lisa si I d eo lo g i Mema ka n Ko rb a n , (KontraS

Jakarta, 2003) hal. 5.

Page 20: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

18

Dalihan, sanggahan, alasan, dan masalah yang dihadapi masih saja sama, dengan pesatnya

perkembangan apakah adagium “hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal” benar

adanya atau aktor daripada Institusi Penegak Hukum yang membuatnya demikian.

B. Aktor Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM baik ringan maupun berat merupakan kejahatan dan pelanggaran

terhadap kemanusiaan dan seluruh masyarakat sudah seharusnya turut serta dalam mengawal

dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM terlebih dalam kasus pelanggaran HAM berat,

dimana berdasarkan sejarah pelanggaran HAM berat yang terjadi banyak dilakukan oleh

pemerintah dengan bentuk operasi militer maupun angkatan bersenjata di Papua saja korban

pembunuhan di luar hukum akibat operasi militer mencapai 10.000 dari tahun 1963 sampai

1998.59 Setidaknya ada 69 kasus yang tercatat mengenai dugaan pembunuhan di luar hukum

dan ironisnya lagi yang mencatat ini adalah organisasi diluar badan negara dan pelaku dari

kasus tersebut adalah aparat keamanan yang seharusnya menjamin keamanan bukan yang

meneror keamanan itu sendiri.60 dari 25 kasus tidak mendapat perhatian ataupun dilakukan

investigasi lanjutan oleh pihak berwajib, 26 kasus dilakukan investigasi tetapi tidak ada

kelanjutannya ataupun pemberitahuan pada publik bagaiman kasus tersebut diselesaikan,

hanya 6 kasus yang mendapat penyelesaian melalui pengadilan militer dan beberapa kasus

lainnya aparat hanya mendapat tindakan pendisiplinan dan penyelesaian kasus pelanggaran

HAM banyak diselesaikan melalui pendekatan non yuridis dan kultural seperti penggantian

rugi dengan uang ataupun dengan babi.61 Pemerintah sering berdalih bahwa pelanggaran HAM

yang terjadi di tanah Papua bukanlah pelanggaran HAM berat dan seakan hal tersebut

merupakan validasi untuk cuci tangan dari kasus pelanggaran HAM yang ada di Papua.62

Terlebih lagi Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menjabat pada waktu itu mengajak

masyarakat untuk melihat secara subyektif kasus Paniai yang mengakibatkan 4 (empat) orang

meninggal dunia dan 21 (dua puluh satu) orang luka-luka. Dimana Moeldoko menyetir opini

publik untuk melihat bukan sebagai pelanggaran HAM berat ataupun pelanggaran HAM sama

sekali, dengan validasi bahwa akan merugikan banyak pihak padahal sudah jelas terdapat

59 Tim penilaian Zona Militer Papua Komnas HAM, Gro ss V i o la tio n o f H u ma n R igh ts in P a p u a 1 96 3 ï

1 9 9 8 , catatan kaki No. XX, hal. 180 & 181. 60 Amnesty International Indonesia, "S u d a h , Ka si Tin g g a l Dia Ma ti": P emb un u ha n d a n Imp u n ita s Di

P a p u a , (Jakarta, 2018), hlm. 14. 61 I b id . 62 CNN Indonesia, I sta n a B a n ta h Ka su s P a n ia i P a p u a P elan g ga ra n HA M B era t ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200217151444-32-475390/istana-bantah-kasus-paniai-papua-

pelanggaran-ham-berat, diakses 17 Juli 2020.

Page 21: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

19

kesemenaan kekuatan oleh aparat keamanan. Terlepas daripada para korban menyerang

terlebih dahulu, terlihat jelas kesetimpangan dalam kekuatan dimana aparat memiliki kekuatan

senjata api dan pelatihan bela diri yang jelas dibandingkan para pengunjuk rasa. Dalam KUHP

pun terdapat ketentuan N oodw eer Ex cess (pembelaan diri yang berlebihan) yang diatur pada

Pasal 49 ayat (2), N oodweer Exc ess hanya dapat dijustifikasi jika terdapat alasan ‘goncangan

jiwa’. Apakah benar seorang aparat keamanan yang sudah mendapat pelatihan fisik dan mental

dimana kondisi dia harus menegakkan keamanan? Dengan seluruh kemampuan yang dimiliki

oleh aparat keamanan menghilangkan 4 orang nyawa adalah "Menurut saya, apa yang

dilakukan satuan pengamanan itu tindakan kaget, tiba-tiba karena diserang masyarakat. Tidak

ada upaya sistematis," sebagaimana dikutip daripada Moeldoko Kepala Staf Presiden pada

waktu itu dan merupakan mantan Panglima TNI proyeksi nilai subyektif Moeldoko sangat

terlihat kontras, baik dikarenakan latar belakangnya ataupun pengalamannya sendiri sebagai

militer yang merupakan aparat keamanan.

Tidak hanya satu dua kasus terjadi pertumpahan darah oleh aparat keamanan dilakukan

di Indonesia terutama Papua setiap tahunnya terdapat pelanggaran HAM.63 Seakan-akan

negara melindungi para pelaku pelanggaran HAM berat ini dan berusaha menenggelamkan

kasusnya dan terus berupaya melakukan penyelesaian kasus dengan non-yuridis di negara

hukum. Adanya politik militer pun menjadi dugaan alasan terjadinya “impunitas buatan” di

tanah gemah ripah loh jinaw i (makmur dan subur)64, baik secara ekonomi ataupun keamanan

negara pola pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan terutama militer dapat

dijelaskan dengan adanya politik militer. Ekonomi dikarenakan ada kemungkinan pihak militer

dan aktor politik di negara Indonesia bekerja sama untuk meraup untung material masing-

masing pihak.65 Turunan daripada rezim lama pada masa Orde Baru membuat ketergantungan

pemerintahan terhadap tenaga militer.66 Militer memiliki penilaian sendiri terhadap konflik,

aparat keamanan memiliki pandangan bahwa konflik merupakan potensi naik pangkat, meraup

finansial, dan keuntungan lainnya dan aparat keamanan terutama militer memiliki konsep

ideologi yang berbeda mengenai demokrasi karena mereka dilatih untuk mengenal konsep

kesatuan dan birokrasi komando.67 Baik pemerintah ataupun militer sebenarnya memiliki

63 Amnesty International Indonesia, I b id , hlm. 15. 64 KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gemah, diakses 17 Juli 2020. 65 Evan A. Laksmana, Dina mika P o litik Militer I n d o n esia , Panduan Media dan Reformasi Sektor

Keamanan, eds. Beni Sukadis and Aditya Batara. Jakarta: Indonesian Institute Defense and Strategic Studies and

Geneva Center for the Democratic Control of the Armed Forces, pp. 91 – 111, hlm. 101. 66 Imparsial, R eg ion a l B ud g et for TNI : A Th rea t fo r Civ ilia n C o n tro l o ve r th e Milita ry , Catatan Imparsial

1 (2004). 67 International Crisis Group, Aceh: Why Military Force Wonôt Bring Lasting Peace, ICG Asia Report

17 (2001): hal. 12.

Page 22: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

20

alasan kuat secara ekonomi untuk mengeksploitasi tanah yang kaya mineral seperti Papua

terbukti banyak proyek dengan sejumlah dana yang besar sedang berjalan di Papua.68

Pemerintah akan berupaya sebaik mungkin untuk mempertahankan Papua, sehingga dapat

terbentuk hubungan mutualisme dengan tenaga militer. Tidaklah aneh jika ditemukan angkatan

militer dengan sengaja “memelihara” atau membuat konflik berangkat dari pembahasan

sebelumnya.69 Dalam aspek keamanan negara Politik Militer muncul dikarenakan terdapat

pemerintahan Pasca-Otoriter dalam kasus negara Indonesia yaitu masa Orde Baru, yang salah

satu indikasi dan kekhawatirannya adalah tenaga militer melebih-lebihkan ancaman

kestabilitasan atau kedaulatan negara.70 kekhawatiran ini muncul pada bentuk pelanggaran

HAM di Papua, aparat keamanan terbukti menggunakan validasi perlindungan diri atas

pelanggaran HAM berat pada para aktivis ataupun korban yang ada di Papua. Pemerintah sudah

gagal dalam menjamin HAM masyarakatnya sendiri dan bahkan tidak bisa mendapatkan

keamanan penuh dari aparat keamanan sendiri. Dengan alasan-alasan yang ada dapat kita tarik

kesimpulan sendiri mengapa pelanggar HAM berat memiliki “impunitas buatan”.

C. Hukum Progresif dan Transparansi Sebagai Solusi

Menurut A. M Mujahidin praktik hukum Indonesia mengalami keterpurukan karena

sikap praktisi hukum yang koruptif dan terlalu terpaku pada legalistik-positivistik.71 Untuk

mengatasi ini terutama sifat legalistik-positivistik hukum di Indonesia, terdapat Hukum

Progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo.72 Berangkat daripada keterpurukan ini

Hukum Progresif menekankan “hukum teruntuk kemanusiaan dan bukan sebaliknya manusia

untuk hukum”, “hukum secara substansif”, dan “hukum secara holistik, tidak skeletonik”.73

dapat kita maknai bahwa hukum menegakkan keadilan tidak semata-mata memperdulikan

formil tata cara beracara hukum ataupun batasan-batasan yang tidak bisa ditembus karena tidak

diatur dalam Undang-Undang. Seperti yang dialami pada berjalannya pengadilan ad hoc

68 Achmad Dwi Afriyadi, Ku n ju n g i P a pu a , R in i R esmika n 1 6 P ro ye k S tra teg is R p 2 T ,

https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4180695/kunjungi-papua-rini-resmikan-16-proyek-strategis-rp-2-t,

diakses 17 Juli 2020. 69 George J. Aditjondro, Guns, P a mp h lets a n d Ha n d ie - Ta lkies: Ho w th e Milita ry E xp lo ited Lo ca l E th n o -

R elig io u s Ten sio n s in Ma lu ku to P reserve Th eir P o litica l and E con o mic P rivileg es , dalam Violence in Indonesia,

ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer (Hamburg: Abera, 2001), 100-128. 70 Douglas Bland, A Un ified Th eo ry o f Civil - Milita ry R ela tio n s , Armed Forces and Society, Vol. 26, No.

1 (1999): hal. 9-13. 71 Hwian Christianto, P en a fsir a n Hu ku m P ro g resif d a la m P erka ra P id a n a , Mimbar Hukum, 23, 3,

(2011), hlm. 480. 72 Satjipto Rahardjo, P en eg akan Hu ku m S ua tu Tin ja u an S osio lo g is, (Yogyakarta: Genta Publishing,

2009), hlm. 1. 73 Aulia, Hu ku m P ro g resif d a ri S a tjip to R ah a rd jo , hlm. 166-171.

Page 23: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

21

banyak sekali kendala yang sifatnya legalistik-positivistik dan membuat keadilan tidak

tercapai. Legal-positivistik lahir dari positivists yang dikemukakan oleh Auguste Comte

dimana hukum secara sak lek diberlakukan dan tidak diakuinya moral metayuridis menciptakan

ketidakadilan terjadi.74 Legal-positivistik juga membuat hukum merupakan komoditas

ekonomi karena membuat praktisi hukum hanya menggodo k pasal-pasal yang ada tanpa

berpikir untuk memperbaruinya dan terlebih kepastian hukum hanyalah tujuan yang ingin

dicapai sehingga enggan ju’a untuk menciptakan terobosan peraturan baru untuk mencapai

suatu tujuan atau nilai di masyarakat yang lebih abstrak.75 Secara esensial Satjipto Rahardjo

ingin mengembalikan hukum sebagai bentuk dari nilai-nilai moral, etika dan akhlak dan

mengritisi peraturan yang ada sehingga terbentuk suatu bentuk progresif dalam hukum

Indonesia. Sifat formal-rasional dari hukum membuat hukum menjadi hal yang bukan berada

ditengah masyarakat melainkan diatasnya tidak meberi kesejahteraan dan kebahagiaan.

Satjipto memberi nama zaman sekarang dengan era pasca liberal dimana rakyat lebih berharap

hukum memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat tidak hanya sebagai night w atcher

(penjaga kemerdekaan dan individu).76

“Recht ist was dem volke nutzt”, hukum adalah apa yang berguna bagi rakyat.77 Istilah

Jerman ini dapat kita dalami dalam pelaksanaannya hukum itu sendiri. Kritik dari Satjipto

mengenai hukum modern adalah menstrukturisasi dan memformalisasi nilai-nilai dan tatanan

dari hukum terdahulu, hukum modern membuat semua jenis hukum kaku adanya sehingga

tidak mungkin meraih keadilan dalam bentuk pelaksanaan hukum sekarang yaitu hukum

modern.78 Dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat sangat dirasakan legal-positivistik dari

hukum di Indonesia yang padahal sudah jelas hasil yang diinginkan dalam penyelesaian

pelanggaran HAM berat adalah keadilan, seperti yang dibahas sebelumnya bahkan ketika untuk

memberi kompensasi atau bentuk restitusi harus melalui penyertaan dalam tuntutan yang

diajukan oleh jaksa, hakim juga harus mengalah dengan dalihan T eleconf erence tidak sesuai

dengan KUHAP dan ketentuan UU, Jarak waktu yang panjang untuk memeriksa saksi,

birokrasi Institusi Penegak Hukum, lemahnya kekuatan hukum KOMNAS HAM dan komisi

lainnya yang mumpuni dalam bidangnya untuk mengawasi kinerja Institusi Penegak Hukum,

74 M. Yasin al Arif, P eneg a ka n Hu ku m da la m P ersp ek tif Hu kum P ro g resif, Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Raden Intan, Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak) Vol. 2 No. 1 (2019): 169-

192, DOI: 10.22437/ujh.2.1.169-192, hlm. 181. 75 Ifdhal Kasim, Mela mp a u i Orto d o ksi F o rma lisme Ka jia n Hu ku m P ro g resif d a la m P ers p ek tif S tu d i

Hu ku m Kritis , Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, ed. Myrna A. Syafitri, Awaluddi

Marwan, dan Yance Arizona (Jakarta: Epistema dan HuMa, 2011), hlm. 82. 76 Satjipto Rahardjo, Memb ed ah Hu ku m P ro g resif, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 10. 77 Suhardin, P era n an Hu ku m d ala m Mewu ju d ka n Keseja h tera a n , hlm. 273. 78 M. Yasin al Arif, Op Cit, hlm. 184.

Page 24: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

22

sulitnya memperbarui Undang-Undang yang ada, dan masih banyak lagi masalah yang

dihadapi dalam menempuh jalur hukum dan justru dapat merugikan orang yang seharusnya

mendapat keadilan.

Jepang adalah negara yang jelas berhasil menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan

mereka sendiri yang jika dilihat dari sekilas adalah kedisiplinan, sementara sebenarnya terdapat

nilai yang lebih dalam (Metayuridis) daripada disiplin belaka. Kedisiplinan ini lahir dari nilai

spiritualisme aliran Zen, Konfusianisme, dan tradisi Samurai (Bushido). ñAnata no kokoro,

anata no utsukushisaò (hatimu kecantikanmu) secara konseptual orang Jepang memerdulikan

apa yang ada dihati dan membuat mereka memproyeksikan hanya kebaikan saja sebagaimana

seorang individu menginginkan keindahan di hatinya. Pemisahan yang jelas masalah tat emane

(di luar hukum positif) dan mengutamakan hone (di dalam, hati nurani, spiritisme) membuat

orang Jepang tidak terkungkung dalam kacamata hukum modern karena mereka telah secara

tidak langsung menjalankan hukum progresif.79 Sangat disayangkan Indonesia yang memiliki

nilai-nilai kebangsaan sendiri dan bahkan menjadi landasan idiil negara yaitu Pancasila

berserah diri pada pelaksanaan hukum modern yang bahkan tidak menguntungkan dan lebih-

lebih bukanlah identitas bangsa Indonesia.

Ghambir Bhatta sebagaimana dikutip Sedarmayanti mengungkapkan unsur – unsur

utama governance salah satunya adalah transparansi ( T ranspar enc y ).80 Dikutip dari Buku

Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pemerintah Daerah transparansi adalah prinsip

yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang

penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan

pelaksanaanya serta hasil – hasil yang dicapai.81 Dapat kita tarik dari sini transparansi adalah

hal yang esensial dan aman untuk mengambil kesimpulan bahwa transparansi menciptakan

hori zont al accountabi li ty (akuntabilitas pemerintah). Pada penyelesaian pelanggaran HAM

berat transparansi dapat menjadi jawaban untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh

pemerintah atau Institusi Penegak Hukum karena yang sebelumnya sudah dipaparkan

pelanggaran HAM merupakan urusan seluruh umat, maka dari itu tidaklah salah masyarakat

dan semua golongan baik swasta maupun pemerintah itu sendiri bahu-membahu

menyelesaikan masalah pelanggaran HAM baik berat maupun ringan. Dengan adanya

79 Satjipto Rahardjo, Hu ku m P ro g resif: S eb ua h S in tesa Hu ku m I nd o n esia , (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009), hlm. 102. 80 Sedarmayanti, Go od Go ve rn a n ce ( Kep eme rin ta h a n Yan g B a ik) , Membangun Sistem Manajemen

Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas menuju Good Governance , Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 43. 81 Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan Depdagri

2002, hal.18

Page 25: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

23

transparansi maka akan muncul feedback (tanggapan/masukan) dari semua kalangan untuk

menyelesaikan masalah yang dihadapi Institusi Penegak Hukum sebagaimana yang menjadi

alasan para pejabat Institusi Penegak Hukum menghadapi kendala pada pembuktian materiil.

Dihubungkan dengan hukum progresif transparansi hukum dapat berkembang mengikuti

zaman dan kebutuhan dengan mudah karena tidak terkekang dengan sifat formalitas yang

dipegang teguh oleh hukum modern. Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan bantuan

banyak pihak seluruh masalah yang dihadapi oleh pengadilan ad hoc dapat diselesaikan,

misalnya saksi bisa melakukan T ele conferen c e dalam bersaksi di pengadilan, Jaksa

melampirkan laporan atau tuntutan kepada publik melalui medium media massa, website, dan

media sosial sekaligus sehingga terdapat transparansi yang jelas dalam berjalannya

penyelesaian kasus pelanggaran HAM, perlindungan terhadap saksi lebih dapat dijamin dengan

hukum progresif karena Institusi Penegak Hukum dapat menjamin kerahasiaan identitas saksi

dari lembaga lainnya karena biasanya saksi berasal dari afiliasi lembaga pemerintahan yang

memiliki akses terhadap identitas saksi tersebut dan celakanya lagi saksi memiliki pangkat

yang lebih rendah dari terdakwa dan sangat riskan akan tekanan hirarki yang memiliki pangkat

lebih tinggi. Dengan adanya permulaan transparansi membuat negara Indonesia lebih maju

karena pejabat lebih terekspos dan dapat membuat abdi negara fokus pada pengabdian dan

bukan melakukan hal lain diluar itu yang merugikan seperti korupsi dan berpolitik yang tidak

sehat.

D. Stigma Memicu Pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor negara atau pemerintah itu sendiri

tidak serta merta melakukan pelanggaran HAM karena keinginan mereka sendiri, melainkan

refleksi dari masyarakat itu sendiri. Lantaran masyarakat sendiri masih memiliki penilaian

buruk tentang negara atau masyarakatnya sendiri, masih banyak banyak stigma buruk yang

memicu pelanggaran HAM, terutama diskriminasi.82 Pada orang papua masih didapati rasisme

etnis terhadap mereka bahkan pelaku dari rasisme tersebut adalah akademisi. Seorang tenaga

didik menyatakan pertanyaan kepada pelajarnya secara gamblang “Kenapa mahasiswa Papua

bau dan dekil”.83 Lebih parah lagi orang Papua pernah mendapat pernyataan yang menyamakan

82 Muhammad Saleh Nuwa, Stefanus Mendes Kiik, dan Antonius Rino Vanchapo, P en a n ga n an

Terh a d a p S tig ma Ma sya ra ka t ten ta ng Ora n g Den ga n HI V /AI DS ( ODHA ) d i Ko mu n ita s , Jurnal Penelitian

Kesehatan Suara Forikes, Volume 10 Nomor 1, Januari 2019 p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778, hlm. 53. 83 BBC Indonesia, Ma h a siswa P a p u a b ica ra so a l ra sia lisme: 'D ih in a b a u , to lo n g ha rg a i ka mi seb a g a i

ma n u sia ' , https://www.bbc.com/indonesia/media-49445587, diakses 21 Juli 2020.

Page 26: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

24

mereka dengan binatang monyet.84 Mirisnya orang Indonesia banyak yang peduli dengan kasus

rasisme yang terjadi di negara Amerika yang merenggut nyawa George Floyd, karena faktor

rasisme terhadap korban polisi yang bertugas menangkap Floyd melampaui batas yang

seharusnya sehingga merenggut nyawa korban,85 tetapi tidak memperhatikan kasus

pelanggaran HAM yang serupa di Indonesia.86 Ada banyak latar belakang mengapa

diskriminasi akan ras kulit hitam kerap terjadi. Salah satunya adalah Eurocentri c Beauty

Standar d dimana kecantikan distandarisasi dengan bentuk atau rupa orang Eropa pada

umumnya.87 Meskipun dikatakan kecantikan adalah Unitas Mult ipl ex (kesatuan dari banyak

lapisan unsur) orang memiliki kecenderungan dalam mendefinisikan kecantikan dengan unsur

dasar yakni tampilan seperti halnya kulit putih, kekontrasan warna kulit menciptakan juga

definisi keburukan atau definisi dari “buruk rupa”.88 Dimana warna kulit putih diterima sebagai

standar kecantikan, menciptakan definisi semakin gelap warna kulit maka semakin tidak

cantiklah dia. Hal ini terjadi dari jaman ke jaman dan diantara bangsa-bangsa dan membentuk

menjadi stigma bahwa kecantikan adalah warna kulit yang berlaku pada semua etnis. Akan

tetapi bukan berarti menjadi alasan bagi orang untuk mendiskriminasi orang berdasarkan warna

kulitnya belaka. Terutama oleh negara yang menganut Bhineka T unggal Ika sebagai pedoman

negara.

Tidak hanya terhadap etnis Papua tetapi kasus pelanggaran HAM terjadi pada suatu

kelompok masyarakat yang berbeda pendapat, kondisi fisik, kepercayaan, dan yang tergolong

minoritas mendapat perlakuan buruk.89 Banyak bentuk implisit dimana negara dan masyarakat

mayoritas tidak menyadari telah setuju melakukan diskriminasi dan pelanggaran HAM. Pada

kolom agama di KTP mempersulit dan tidak memberi kebebasan beragama yang merupakan

HAM yang diakui di Pasal 55 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dan pada Pasal 29 ayat (2)

pada Undang-Undang Dasar 1945. Diskriminasi tidak hanya berhenti disitu tetapi warga yang

84 BBC Indonesia, Ma n o kwa ri ru su h : 'Ka mi o ra ng P a p ua d ika ta ka n seb a g ai mo n ye t' ,

https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008, diakses 21 Juli 2020. 85 Jorge Fitz-Gibbon, Here’s everything we know about the death of George Floyd,

https://nypost.com/2020/05/28/everything-we-know-about-the-death-of-george-floyd/, diakses 21 Juli 2020. 86 Ferry Noviandi dan Evi Ariska, Du ku n g Ka su s Geo rg e F lo yd , P rilly La tu co n sin a In g a tka n R a sisme d i

I n d on esia ,https://www.suara.com/entertainment/2020/06/03/134500/dukung-kasus-george-floyd-prilly-

latuconsina-ingatkan-rasisme-di-indonesia, diakses 21 Juli 2020. 87 Dia Sekayi, A esth etic R e sis ta n ce to Co mme rcia l I n flu en ce s: Th e I mp a ct o f th e E u ro ce n tric B ea u ty

S ta n d a rd on B la ck Co lleg e Wo men , The Journal of Negro Education, Autumn, 2003, Vol. 72, No. 4,

Commercialism in the Lives of Children and Youth of Color: Education and Other Socialization Contexts

(Autumn, 2003), pp. 467-477, hlm. 467. 88 Mariagrazia Portera, Wh y Do Hu ma n P e rce p tio n s o f B ea u ty Ch a n g e? Th e Co n stru ctio n o f th e A esth etic

Nich e , RCC Perspectives, No. 5, MOLDING THE PLANET: Human Niche Construction at Work (2016), pp.

41-48, hlm. 41. 89 Human Rights Watch, A ta s Na ma A g a ma : P ela n gg a ra n terh a d a p Min o rita s A g a ma d i I n d o n esia ,

(United States of America: Human Right Watch), hlm. 50.

Page 27: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

25

merupakan agama atau kepercayaan minoritas tidak dapat beribadah karena tidak diijinkan

mendirikan rumah ibadah dan bahkan rumah ibadah dirusak atau didemo warga sekitar yang

merupakan beda agama atau kepercayaan.90 Pada orang yang mengidap HIV/AIDS pun

demikian mereka mendapat perlakuan berbeda di tengah masyarakat, terbentuk stigma di

masyarakat bahwa pengidap HIV/AIDS merupakan pelanggar norma-norma dan sampah

masyarakat.91 Masyarakat bahkan sampai bertindak ekstrim seperti meneror dan menghina

para korban HIV/AIDS.92 Seakan-akan karena kondisi seseorang berbeda menjustifikasi kaum

mayoritas untuk melecehkan dan mendiskriminasi kaum minoritas.

Diskriminasi yang merupakan hasil dari stigma ini tidak disadari oleh masyarakat

mendukung dan membuat pemerintah melakukan kesemenaan dan berakibatkan terjadinya

pelanggaran HAM berat. Sebagaimana yang sebelumnya yang sudah dibahas bahwa

pelanggaran HAM berat adalah kelalaian negara atau negara sendiri yang berperan dalam

pelanggaran HAM diinduksikan dari ini pelanggaran HAM ringan yang merupakan antonim

dari pelanggaran HAM berat adalah pelanggaran HAM yang dilakukan sepihak dan bukan oleh

negara.93 Meskipun pelanggaran HAM ringan itu sendiri tidak mendapat definisi yang jelas

dalam Undang-Undang yang mengatur, tetapi pada UU No 39 Tahun 1999 dinyatakan dengan

jelas bahwa suatu perbuatan yang “secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,

membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang” merupakan

pelanggaran HAM. Dapat ditarik kesimpulan dari ini bahwa pelanggaran HAM baik ringan

maupun berat adalah sama posisinya sebagai pelanggaran HAM dan bukanlah perkara yang

dapat diremehkan. Meskipun ada beberapa kasus yang sebelumnya dibahas ditolak oleh pejabat

sebagai kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Paniai dan Semanggi I dan II. Kedua kasus

tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM karena terbukti terdapat pencederaan terhadap

HAM suatu kelompok orang sekaligus. Yang menjadi pertanyaan adalah kasus seperti Paniai

dan Semanggi merupakan kasus apa jikalau bukan pelanggaran HAM berat. Tidaklah tepat

untuk mengkategorikan kasus Paniai dan Semanggi yang jelas adanya pertumpahan darah

sebagi pelanggaran HAM ringan dimana salah satu doktrinnya adalah pelanggaran yang tidak

mengakibatkan kehilangan nyawa.94 Pada implementasi pengadilan pun tidak didapati

pengadilan teruntuk pelanggaran HAM ringan karena telah dimanifestasi dengan hukum

90 I b id , hlm. 61. 91 Muhammad Saleh Nuwa, Stefanus Mendes Kiik, dan Antonius Rino Vanchapo, Op . Cit, hlm. 53. 92 I b id . 93 Smith, Rohna K.M., Hu ku m Ha k A sa si Ma n u sia . Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia

Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) (Yogyakarta, 2008). 94 Leslie A. Pal, Co mp etin g Para d ig ms in P o licy Disco u rse: Th e Ca se o f I n tern a tion a l Huma n R ig h ts ,

Policy Sciences, May, 1995, Vol. 28, No. 2, Policy Interpretation (May, 1995), pp. 185-207, hlm. 197.

Page 28: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

26

pidana, kejahatan pelanggaran HAM ringan memiliki kesamaan dan implikasi tumpang tindih

di dalam substansinya. Sehingga kembali lagi ketika aparatur negara menolak kasus

pelangggaran HAM sebagai pelanggaran HAM berat, maka penyelesaian apa yang diharapkan

oleh negara?

Page 29: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

27

Bab III : Penutup

A. Kesimpulan

Pelanggaran HAM berat merupakan kasus yang pelik dan tidak luput dari negara

manapun. Tak terkecuali Indonesia yang bahkan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan

yang radikal. Tapi sangat disayangkan negara yang mengakui dirinya sebagai negara hukum

enggan menjalani dan memiliki banyak kekurangan dalam jalur hukum. Masih banyak

ketidakpastian, kurang jelas dan terlalu abstraknya makna pada Undang-Undang dan

kurangnya kompetensi Institusi Penegak Hukum yang merupakan lembaga peradilan dan

penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Terdapat banyak solusi yang bisa dilalui bangsa

Indonesia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam peradilan pelanggaran HAM

berat mulai dari menggandeng pihak Internasional sampai merombak hukum itu sendiri.

Penyelesaian pelanggaran HAM tidaklah hanya perkara merestitusi para korban pelanggaran

HAM tetapi merupakan bagaimana keadilan ditegakkan di Indonesia. Pelanggaran HAM berat

benar adanya merupakan tanggung jawab negara sebagai pelaku pelanggaran HAM berat.

Tetapi tidak serta merta masyarakat tidak berperan dalam melakukan pelanggaran HAM baik

secara sadar maupun tidak sadar dengan stigma sebagai landasan utamanya.

B. Saran

Untuk mengatasi beberapa masalah yang dihadapi peradilan ad hoc Institusi Penegak

Hukum dapat memperbarui Undang-Undang yang berlaku dengan memperkuat posisi

KOMNAS HAM dan lembaga lainnya yang berkapasitas sebagai penyidik kasus pelanggaran

HAM di mata hukum agar mereka dapat membantu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM

terutama pelanggaran HAM berat yang sarat penyelesaiannya. Membuka ruang untuk

teknologi didalam tata acara peradilan seperti memperbolehkan T ele co nference sebagai

medium untuk peradilan ad ho c. Memberikan kepastian jaminan dan restitusi kepada para

saksi dan korban. Mempersempit ruang birokrasi dalam berjalannya peradilan. Menggandeng

pihak internasional juga dapat menjadi opsi pertama karena dalam penyelesaian pelanggaran

HAM baik melalui peradilan Hybrid ataupun kasasi internasional juga dapat menjadi

konsiderasi karena menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM

dan lebih bebas dari kepentingan politik nasional.

Page 30: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

28

DAFTAR PUSTAKA

Lawrence M.Friedman, The Legal System : A Social Science Perspective, Rusell Sage

Foundation, New York 1975, hlm. 17-18.

Ismail Rumadan, Peran L embaga Peradi lan Sebagai Instit usi Penegak Hukum Dalam

Menegak kan K eadil an B agi T erw ujudnya Perdamaian , Jurnal RechtsVinding, Vol. 6

No. 1, April 2017, hlm. 75.

Dr. Linda Rabieh, Modern Conceptions of Freedom, (Massachusetts, 2013)

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PENEGAK AN HUKUM , hlm. 2.

Indonesia, Undang - Und ang Dasar 1945 , Pasal 1 ayat (3).

Bewa Ragawino, S.H., M.SI., HUK U M T AT A NEGARA, (Bandung, 2007), hlm. 45.

Indonesia, Pancasila, sila ke-2.

John Locke, An Essay C oncerning Human Und erst anding , (Inggris, 1690).

Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung prajarto, Hak Asasi Manusi a (HAM) di Indonesia :

Menuju Demo crati c Gov ernance , (Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu politik Volume B, Nomor

3, Maret 2005), hlm. 301.

Gedeon M. Mudacumura, Challenges to Democratic Governance in Developing Countries,

(Switzerland,2014), hlm. 19.

Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Dan Konstitusionalisme., (Jakarta, konstitusi press . 2006) hlm.

259

Yati Andriyani, Pernya taan Jaksa Agung; Pe ngingkaran, P enyangkal an dan T indakan

Melaw an Hukum , https://kontras.org/2020/01/17/pernyataan-jaksa-agung-

pengingakaran-penyangkalan-dan-tindakan-melawan-hukum/,diakses 7 Juli 2020.

Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia”

Program Studi Pendidi k an K ew arganegaraan Ju rusan Pendidi kan K ew a rganegaraan

dan Hukum (2015), hlm. 2.

Page 31: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

29

Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indon esia N omor 26 T ahun 2000 T entang Pengadil an

Hak Asasi Manusi a , Pasal 23 ayat (1).

Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indonesia N omor 39 T ahun 1999 T entang Hak Asasi

Manusi a , Pasal 1 ayat (1).

Ninik Yuniati, Peny el esaian 7 K asus Pela nggaran HAM, Wirant o: N onyudisi al ,

https://kbr.id/berita/nasional/01-

2017/penyelesaian_7_kasus_pelanggaran_ham__wiranto__nonyudisial/88431.html,

diakses 7 Juli 2020.

Aulia Rosa Nasution, P enyelesaian K asus P ela nggaran HAM B erat m elal ui Pengadil an

N asion al dan Internasi onal serta K omisi K ebenaran dan Rekonsi li asi , hlm. 109.

Indonesia, Undang - Unda ng Dasar 1945 , Pembukaan.

Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indonesia N omor 26 T ahun 2000 Tentang Pengadil an

Hak Asasi Manusi a , Pasal 43

Lee M. Caplan, Stat e I m munity, Human Right s, and Jus C ogens: A C rit ique of the N ormati ve

Hierarchy T heory , The American Journal of International Law, Oct., 2003, Vol. 97, No.

4 (Oct., 2003), pp. 741-781, hlm. 742.

Indonesia, Undang - Und ang Republi k Indonesia N omor 39 T ahun 1999 T entang Hak Asasi

Manusi a , Pasal 1 ayat (6).

Dian Kurniawan, K omna s HAM K lai m T elah Sel e saikan 11 Berkas Pelang garan HAM B e rat ,

https://www.liputan6.com/news/read/3955980/komnas-ham-klaim-telah-selesaikan-11-

berkas-pelanggaran-ham-berat, diakses 9 Juli 2020.

Indonesia, Undang - Unda ng Republi k Indonesia N omor 5 T ahun 1986 T ent ang Peradi lan T ata

Usaha Negara , Pasal 53 ayat (1).

Fathiyah Wardah, K elua rga K orban Semanggi I dan II Berharap PT UN K abulkan Gugatan

terhadap Jaksa Agung , https://www.voaindonesia.com/a/keluarga-korban-semanggi-i-

dan-ii-berharap-ptun-kabulkan-gugatan-terhadap-jaksa-agung/5422394.html

Page 32: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

30

Antara, K orban P ela nggaran HAM B erat T agih K eadil an ke K omnas HAM,

https://nasional.tempo.co/read/1281813/korban-pelanggaran-ham-berat-tagih-keadilan-

ke-komnas-ham/full&view=ok, diakses 14 Juli 2020.

CNN Indonesia, Jaksa Agung Ungkap Ha m batan Penyelesaian K asus HAM Berat ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191107142131-12-446354/jaksa-agung-

ungkap-hambatan-penyelesaian-kasus-ham-berat, diakses 14 Juli 2020.

Julius Basa Bae adalah anggota Polsek (Kapospol) Wemasa, Belu, NTT. Salah seorang

yang mengetahui prosesi penguburan para korban penyerangan gereja Ave Maria Suai,

Kovelima. Dia bersaksi untuk perkara dengan terdakwa Herman Sedyono, dkk.

Supriyadi Widodo, Eddyono Wahyu, dan Wagiman Zainal Abidin, Perli ndungan Saksi dan

K orban : C atat an Atas Pengalaman Pengadil an H AM Ad Hoc K asus Pelan ggaran HAM

Berat di T imor - T imur , (Jakarta, 2005), hlm. 2.

Artur Caecarea, Perli ndu ngan Saksi Dan K orban Dalam Pelanggar an Ham Berat, Fakultas

Hukum Universitas Mataram, (Mataram, 2014), bag. Ix.

Patricia B. Fellner, C om den v. Superior C ourt : Disqual if ication of the T esti fying Attor ney,

California Law Review, Jul., 1979, Vol. 67, No. 4, The Supreme Court of California

1977-1978. Part II (Jul., 1979), pp. 824-842, hlm. 827.

Lubna Mohiuddin, Huma n Right s Viol ati ons: A C ase Study of K ashmir, Pakistan Horizon, Vol.

50, No. 2 (April 1997), pp. 75-97, hlm. 85.

Adarsh Sein Anand, T he Developm ent of the C onst it uti on of Jammu and K ashmir (New Delhi:

Light and Life Publishers, 1980), hlm. 226.

Malahayati, T anggung Jaw ab Individu T erhada p K ejahat an K emanusiaan (Anali sis K asus

K hmer Merah) , hlm. 4. Dunoff, Jeffrey. L, dkk. Internat iona l L aw : Norms, Actors ,

Process: a Problem Ori ented Approach , 2nd Ed. (New York: Aspen Publisher, 2006)

Hlm. 611.

Sovann MAM, Beyond the K hmer Rouge T ribun al: Addressi ng a L ack of Reconcil iat ion at the

C ommunit y L evel , Swisspeace (2019), hlm. 18.

Page 33: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

31

Maria Rita Hasugian, Dua Pemimpin K hmer Merah di K amboja Terbukti Melakukan

Genosi da, https://dunia.tempo.co/read/1147030/dua-pemimpin-khmer-merah-di-

kamboja-terbukti-melakukan-genosida/full&view=ok, diakses 22 Juli 2020.

U.N. Doc. A/CONF.183/9 (1998)

Adi Briantika, Penyel e saian Pelanggar an HAM Berat Papua Seper ti Merebus Batu,

https://tirto.id/penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-papua-seperti-merebus-batu-fJzT,

diakses 22 Juli 2020.

Bagus Prihantoro Nugroho, Jokow i Bilan g Suli t Selesaikan K asus HAM M asaL alu, Benarkah?,

https://news.detik.com/berita/d-4389482/jokowi-bilang-sulit-selesaikan-kasus-ham-

masa-lalu-benarkah, diakses 22 Juli 2020.

CNN Indonesia, K ontr aS: Isu HAM Jadi K omoditas Polit ik C apres Seti ap Pemilu,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181210164105-32-352513/kontras-isu-ham-

jadi-komoditas-politik-capres-setiap-pemilu, diakses 16 Juli 2020.

Egi Adyatama, Rapor Merah P enagakan H AM di Era P emerint a han Joko Widodo ,

https://nasional.kompas.com/read/2019/08/15/15503951/jokowi-didesak-selesaikan-

kasus-pelanggaran-ham-berat, diakses 16 Juli 2020.

Prof. Dr. Thomas Meyer, Peran Partai Politik dalam Sebuah Sistem Demokrasi: Sembilan

Tesis, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES), (Jakarta, 2008), hlm. 13.

Yugo Hindarto, Jaks a Agung Akui K esuli tan Usut K asus Pelanggar an HAM ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180615192012-12-306414/jaksa-agung-

akui-kesulitan-usut-kasus-pelanggaran-ham?, diakses 16 Juli 2020.

Ahmad Hambali, Edwin Partogi, Eko Dahana, Ikravany Hilman, Indria Alphasonny, M. Islah,

Munarman, Munir, Sri Suparyati dan Victor da Costa, Sakrali sasi Ideologi Memakan

K orban, (KontraS Jakarta, 2003) hal. 5.

Tim penilaian Zona Militer Papua Komnas HAM, Gross Viol ati on of Huma n Right s in Papua

1963 ï 1998 , catatan kaki No. XX, hal. 180 & 181.

Amnesty International Indonesia, "Sudah, K asi T inggal Dia Mati ": Pembunuhan dan

Impunit as Di Papua ,(Jakarta, 2018), hlm. 14.

Page 34: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

32

CNN Indonesia, Istana Bantah K asus Pania i Papua Pelanggar an HAM Berat ,

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200217151444-32-475390/istana-bantah-

kasus-paniai-papua-pelanggaran-ham-berat, diakses 17 Juli 2020.

KBBI Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gemah, diakses 17 Juli 2020.

Evan A. Laksmana, Dina mika Polit ik Mil it er Indonesia , Panduan Media dan Reformasi Sektor

Keamanan, eds. Beni Sukadis and Aditya Batara. Jakarta: Indonesian Institute Defense

and Strategic Studies and Geneva Center for the Democratic Control of the Armed

Forces, pp. 91 – 111, hlm. 101.

Imparsial, Regional Budget for T N I: A T hreat for C ivili an C ontro l over the Mil it ary , Catatan

Imparsial 1 (2004).

International Crisis Group, Aceh: Why Military Force Wonôt Bring Lasting Peace, ICG Asia

Report 17 (2001): hal. 12.

Achmad Dwi Afriyadi, K unjungi Papua, Rini Resmikan 16 Proyek Strat egis Rp 2 T ,

https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4180695/kunjungi-papua-rini-resmikan-16-

proyek-strategis-rp-2-t, diakses 17 Juli 2020.

George J. Aditjondro, Guns, Pamphlets and Handie - T alkies: How the Mil it ary Exploi ted L ocal

Ethno - Reli gious T ensions in Maluku to Preserve T heir Polit ical and Economi c

Priv il eges , dalam Violence in Indonesia, ed. Ingrid Wessel and Georgia Wimhöfer

(Hamburg: Abera, 2001), 100-128.

Douglas Bland, A Unif ied T heory of Civil - Mil it ary Relat ions , Armed Forces and Society, Vol.

26, No. 1 (1999): hal. 9-13.

Hwian Christianto, Penafsi ran Hukum Progresif dalam Perkara Pidana , Mimbar Hukum, 23,

3, (2011), hlm. 480.

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu T inj auan Sosi ologi s, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009), hlm. 1.

Aulia, Hukum Progresif dari Satj ipt o Rahardjo , hlm. 166-171.

Page 35: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

33

M. Yasin al Arif, Pen ega kan Huku m dalam Persp ekti f Hukum Progresif , Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Raden Intan,

Undang: Jurnal Hukum ISSN 2598-7933 (online); 2598-7941 (cetak) Vol. 2 No. 1 (2019): 169-

192, DOI: 10.22437/ujh.2.1.169-192, hlm. 181.

Ifdhal Kasim, Melampau i Ortodoksi Formalis me K aji an Hukum Progresif dalam Perspekti f

Studi Hukum K rit is , Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif Urgensi dan Kritik, ed.

Myrna A. Syafitri, Awaluddi Marwan, dan Yance Arizona (Jakarta: Epistema dan HuMa,

2011), hlm. 82.

Satjipto Rahardjo, Memb edah Hukum Progr esif , (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 10.

Suhardin, Peranan Huku m dalam Mew ujudkan K esejaht eraan , hlm. 273.

Satjipto Rahardjo, Huku m Progresif : S ebuah Sin tesa Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009), hlm. 102.

Sedarmayanti, Good Governanc e (Kep emerin tahan Y ang Baik) , Membangun Sistem

Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas menuju Good Governance ,

Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 43.

Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah, Bappenas dan

Depdagri 2002, hal.18

Muhammad Saleh Nuwa, Stefanus Mendes Kiik, dan Antonius Rino Vanchapo, Penanganan

T erhadap Sti gma Masya rakat tentang Orang Den gan HIV/AIDS (ODHA ) d i K omunitas ,

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Volume 10 Nomor 1, Januari 2019 p-ISSN

2086-3098 e-ISSN 2502-7778, hlm. 53.

BBC Indonesia, Mahasi s w a Papua bicara soal rasial isme: 'Dihina bau, tol ong hargai kami

sebagai manusia' , https://www.bbc.com/indonesia/media-49445587, diakses 21 Juli

2020.

BBC Indonesia, Manok w ari rusuh : 'K ami orang Papua dikatakan sebagai monyet' ,

https://www.bbc.com/indonesia/media-49399008, diakses 21 Juli 2020.

Page 36: (COVER)...dalam mengungkap kasus-kasus besar pelanggaran HAM seperti peristiwa G30SPKI yang kemudian dilanjutkan pembersihan anggota dan keturunan PKI oleh ABRI, Peristiwa Tanjung

34

Jorge Fitz-Gibbon, Here’s everything we know about the death of George Floyd,

https://nypost.com/2020/05/28/everything-we-know-about-the-death-of-george-floyd/,

diakses 21 Juli 2020.

Ferry Noviandi dan Evi Ariska, Du kung K asus George Flo yd, Pril ly L a tuconsina Ingatkan

Rasis me di

Indonesia ,https://www.suara.com/entertainment/2020/06/03/134500/dukung-kasus-

george-floyd-prilly-latuconsina-ingatkan-rasisme-di-indonesia, diakses 21 Juli 2020.

Dia Sekayi, Aesthetic Resis tance to C ommercial Influences: T he Impact of the Eurocentri c

Beauty Standar d on Black C oll ege Women , The Journal of Negro Education, Autumn,

2003, Vol. 72, No. 4, Commercialism in the Lives of Children and Youth of Color:

Education and Other Socialization Contexts (Autumn, 2003), pp. 467-477, hlm. 467.

Mariagrazia Portera, Wh y Do Hu man Per cepti ons of Beauty Change? T he C onst ructi on of t he

Aesthetic N iche , RCC Perspectives, No. 5, MOLDING THE PLANET: Human Niche

Construction at Work (2016), pp. 41-48, hlm. 41.

Human Rights Watch, Atas N ama Agama: Pelanggar an terhada p Minori tas Agama di

Indonesia , (United States of America: Human Right Watch), hlm. 50.

Smith, Rohna K.M., Hukum Hak Asasi Manusi a . Yogyakarta : Pusat Studi Hak Asasi Manusia

Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) (Yogyakarta, 2008).

Leslie A. Pal, C ompeti ng Paradigms in Policy Discourse: T he C ase of Internati onal Human

Right s , Policy Sciences, May, 1995, Vol. 28, No. 2, Policy Interpretation (May, 1995),

pp. 185-207, hlm. 197.