contoh kasus etika dan disiplin
DESCRIPTION
ghfhgfjhgjhghjgTRANSCRIPT
TUGAS INDIVIDU IKGM II
PLANGGARAN ETIKA DAN DISIPLIN
DISUSUN OLEH:
ACHMAD ARIFIN (12-001)
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2014
Kasus Pelanggaran Etik dan Disiplin
1. Dalam hal Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
Kasus Pencabutan Gigi yang Dilakukan Tanpa Persetujuan
NOVI, 9 tahun, berangsur-angsur sembuh. Mulutnya yang mencong mulai kembali ke posisi
semula. Kelopak matanya yang terbuka sedikit ketika tidur sudah bisa mengatup. Sebelumnya
membelalak terus. Tapi Machfud, orangtua Novi, tetap mengajukan tuntutan. Kasus ini pekan
lalu dilaporkan ke Polres Cianjur, Jawa Barat. Menurut ayahnya yang pegawai PLN Cianjur itu,
Novi mengalami gangguan saraf setelah giginya dicabut. Peristiwanya terjadi November tahun
silam. Ketika itu 27 dokter gigi yang baru lulus dari Universitas Trisakti, Jakarta, mengadakan
aksi sosial di Cianjur. Seminggu mereka buka praktek memeriksa gigi cuma-cuma di Balai Desa
Cibeber. Termasuk anak yang terpikat memeriksakan giginya adalah Novi, pelajar SD Negeri
Hanjawar, Cibeber. Atas inisiatifnya sendiri, hari itu Novi datang tidak bersama orangtuanya —
dan inilah yang kemudian menimbulkan masalah. Menurut Ida Sofiah, Kepala SD Hanjawar,
Novi bukan satu satunya pelajar yang tertarik. “Mereka mau memeriksakan giginya karena
dijanjikan ada hadiah, pasta dan sikat gigi. Namanya juga anak-anak, mereka tertarik pada
hadiah gratis itu,” kata Ida.
Dalam pemeriksaan, para dokter gigi muda itu menemukan, pada rahang bawah, salah satu gigi
susu Novi sudah goyah. Selain membersihkan giginya yang kebanyakan keropos, mereka
sekaligus mencabut gigi yang goyang tadi. Sesudah itu, tidak ada peristiwa luar biasa. Dua hari
setelah pencabutan giginya, muncullah keluhan Novi. Dan yang mengejutkan orangtuanya,
bibirnya kemudian mencong. Bahkan kelopak matanya tak bisa ditutup walaupun ketika tidur.
Lalu Novi dibawa berobat pada dr. Arief di poliklinik PLN. Setelah memeriksanya, dokter ini
menganjurkan agar Novi dibawa ke RS Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani fisioterapi.
Anak itu, menurut Arief, mengalami kontraksi otot. Dalam perawatan di RS Hasan Sadikin, tiga
kali seminggu Novi mendapat pengurutan dan latihan fisioterapi. Kata dokter yang tak mau
disebut namanya yang merawatnya di sana, Novi mengalami trauma. Cuma tak ada keterangan
rinci jenis trauma apa, bahkan apakah itu berasal dari gigi yang dicabut. Perawatan sampai dua
bulan.
Bulan ketiga ayah Novi menghentikan perawatan anaknya. “Kami kehabisan dana. Perawatan
sudah menghabiskan Rp 750 ribu,” kata Machfud. Dan muncul pula penyesalannya: mengapa
pihak Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Trisakti lepas tangan. “Jangankan memberi
bantuan, menengok anak saya pun tidak,” katanya. Menurut Machfud, pada 22 Februari ia hanya
menerima surat dari drg. Hamilah D. Koesoemahardja, Dekan FKG Trisakti. Dalam surat itu,
Hamilah menolak perkiraan bahwa gangguan saraf yang diderita Novi berpangkal dari
pencabutan giginya. “Kesimpulan kami ini tidak terdapat kaitan antara pencabutan gigi susu itu
dan kelainan pada mulut dan mata Novi,” tulis Hamilah. Juga dijelaskan oleh Hamilah, pada
Februari telah diadakan pertemuan untuk membahas kasus Novi. Pertemuan dihadiri aparat
Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, dr. Arief, serta pihak FKG Trisakti. Dalam pertemuan
tersebut dr. Arief mengutarakan hasil pemeriksaannya, yang menunjukkan pada bekas gigi yang
dicabut itu telah tumbuh gigi baru. Dan di bagian itu juga tak terdapat pembengkakan. Karena
itu, Hamilah menyimpulkan, pencabutan gigi tidak menimbulkan kelainan. Sewaktu dihubungi
wartawan TEMPO, pihak FKG Trisakti menampik memberi keterangan resmi. Mereka, kata
seorang pejabat di sana, memilih bersikap diam. “Baik secara teknis maupun medis, kami tidak
melakukan kesalahan,” kata seorang pengajar yang menolak namanya disebut. “Dan para dokter
yang melakukan aksi sosial itu bisa dipertanggungjawabkan kemampuan profesionalnya. Mereka
bukan mahasiswa.” Dari keterangan yang digali, kemudian terungkap, sebelum dan sesudah
pertemuan FKG Trisakti dengan aparat Pemda dan Dinas Kesehatan Cianjur, sebenarnya pihak
FKG Trisakti sudah berusaha mendatangi keluarga Machfud. Ikhtiar ini dicegah oleh aparat
Pemda Cianjur, yang mengatakan “akan membereskan” persoalan tersebut. “Karena itu, kami
merasa sudah tidak ada masalah lagi,” ujar sebuah sumber. Ada masalah atau tidak, sering
terdengar bahwa pencabutan gigi bisa menimbulkan gangguan saraf dan kerusakannya permanen
— seperti mulut mencong. “Dalam literatur memang ada,” kata drg. Ayu Astuti, ahli bedah
rahang RS Hasan Sadikin. Akibatnya juga bisa berlangsung lama. Hanya, peristiwa semacam ini
jarang terjadi. “Selama berpraktek, saya belum pernah menemukan kasus semacam itu,” ujar
Astuti. Kemungkinan penyebab terjadinya gangguan saraf, tambah Astuti, adalah kesalahan
menyuntik ketika melakukan pengebalan. Atau saat pencabutan dilakukan ada saraf yang
terkena. Dan gangguan ini lazim terjadi langsung setelah penyuntikan atau pencabutan. Dari segi
medis, memang banyak yang masih harus diperdebatkan. Sedangkan menurut Machfud,
“Masalahnya bukan cuma itu saja.” Tuntutannya juga didasarkan karena gigi anaknya dicabut
tanpa meminta izin padanya. “Izin itu memang diperlukan,” kata dr. Budi Sayuto, wakil direktur
pelayanan medik RS Hasan Sadikin. Karena pencabutan itu termasuk tindakan invasif, orangtua
Novi perlu mendapat penjelasan tentang akibatnya. Setelah menerima penjelasan, orangtuanya
harus memberikan persetujuan dengan menandatangani surat pernyataan. Ini prosedur resminya.
“Tapi kalau pencabutan gigi tidak diperlukan izin tertulis,” kata Budi Sayuto.
2. Malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi tertinggi.
Gas Medik yang Tertukar
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana
layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan
oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang
(orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas.
Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan
hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif
dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan.
Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah
tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas
anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang
diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada
pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses
oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini
sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan
ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas
yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus
memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya
dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya
warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur
tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan
ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat
diketahui siapa yang bertanggung jawab.
Dalam kasus ini jelas terjadi melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau
dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga
dapat menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
3. Pelanggaran Etika Kedokteran Gigi
Seorang ibu membawa anaknya berusia 2 tahun dengan keluhan kedua gigi insicivus mandibula
patah dan mengalami perdarahan yang tak kunjung henti. Karena tidak sabar melihat pasien yang
tak kunjung berhenti menganis, drg. Rina akhirnya memberikan surat rujukan rontgen fhoto
dengan alasan pasien belum bisa ditangani. Ibu pasien akhirnya merasa kecewa.
Fraktur pada gigi anak di defenisikan sebagai suatu kejadian yang tidak terduga atau suatu
penyebab sakit karena kontak yang keras dengan suatu benda. Tingkah laku psikis anak yang
sangat aktif dapat menyebabkan fraktur pada gigi terutama pada gigi anterior. Fraktur pada gigi
anak sering terjadi karena sensor motorik anak sedang bertumbuh pesat sehingga sering
melakukan gerakan yang tidak terduga.
Tindakan preventif yang harus dilakukan adalah tetap membersihkan gigi tersebut dengan
perlahan-lahan, walaupun anak pasti akan mengeluh sakit. Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan infeksi. Jika anak terlihat bersedia atau menerima perawatan dokter gigi
selanjutnya, maka dokter gigi akan melakukan perawatan dengan melakukan devitalisasi pada
gigi tersebut (membuat gigi tersebut mati) sehingga kemungkinan infeksi dan keluhan sakit akan
sangat berkurang. Sisa gigi tersebut kemungkinan besar akan tetap digantikan oleh gigi
permanen, selama gigi permanen tidak mengalami trauma akibat rusaknya gigi desidui.
Namun, dalam kasus ini dokter gigi di anggap telah lalai dan melanggar etika kedokteran gigi
karena tidak memberikan perawatan maupun pengobatan pada anak melainkan memberikan
surat rujukan untuk dilakukan rontgen fhoto. Para dokter gigi mutlak harus mengutamakan
kepentingan masyarakat yang membutuhkan pertolongan, terutama saat mereka menghadapi
persoalan gigi ataupun rongga mulut.