cml

39
PROPOSAL PENELITIAN A. JUDUL PENELITIAN GAMBARAN RESPON TERAPI PEMBERIAN IMATINIB PADA PASIEN CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML) B. BIDANG ILMU Kedokteran Medik / Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Hematologi dan Onkologi Medik C. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit gangguan myeloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari sel-sel myeloid pada semua tahap maturasi (Faderl et al., 1999; Forrest et al., 2008). CML merupakan keganasan hematologi pertama yang dihubungkan dengan lesi genetik spesifik. Gen spesifik yang terdapat pada CML pertama kali diketahui pada tahun 1845. Kemudian pada tahun 1960 oleh Nowell dan Hungerford dinamakan sebagai kromosom Philadelphia (Ph) (Frazer et al., 2007). Kromosom Ph timbul dari translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22 (t[9;22][q34;q11]). Konjugasi dari gen breakpoint cluster region (Bcr) pada kromosom 22 dan gen Abelson kinase (Abl) pada kromosom 9 menciptakan onkogen Bcr-Abl, yang mengkode deregulasi tirosin kinase. Bcr-Abl mengaktivasi jalur transduksi sinyal multipel, termasuk Ras/Raf/mitogen-activated protein kinase (MAPK), phosphatidylinositol 3 kinase, STAT5/Janus kinase, dan Myc. Aktivitas Bcr-Abl akan membuat proliferasi sel yang tak terkontrol dan mereduksi apoptosis, 1

Upload: kotak3kotak

Post on 18-Jan-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penelitian untuk CML

TRANSCRIPT

Page 1: CML

PROPOSAL PENELITIAN

A. JUDUL PENELITIAN

GAMBARAN RESPON TERAPI PEMBERIAN IMATINIB PADA PASIEN

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)

B. BIDANG ILMU

Kedokteran Medik / Ilmu Penyakit Dalam / Divisi Hematologi dan Onkologi Medik

C. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Chronic myeloid leukemia (CML) adalah penyakit gangguan myeloproliferasi yang ditandai

oleh peningkatan proliferasi dari sel-sel myeloid pada semua tahap maturasi (Faderl et al., 1999; For-

rest et al., 2008). CML merupakan keganasan hematologi pertama yang dihubungkan dengan lesi

genetik spesifik. Gen spesifik yang terdapat pada CML pertama kali diketahui pada tahun 1845. Ke-

mudian pada tahun 1960 oleh Nowell dan Hungerford dinamakan sebagai kromosom Philadelphia (Ph)

(Frazer et al., 2007).

Kromosom Ph timbul dari translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 22 (t[9;22][q34;q11]).

Konjugasi dari gen breakpoint cluster region (Bcr) pada kromosom 22 dan gen Abelson kinase (Abl)

pada kromosom 9 menciptakan onkogen Bcr-Abl, yang mengkode deregulasi tirosin kinase. Bcr-Abl

mengaktivasi jalur transduksi sinyal multipel, termasuk Ras/Raf/mitogen-activated protein kinase

(MAPK), phosphatidylinositol 3 kinase, STAT5/Janus kinase, dan Myc. Aktivitas Bcr-Abl akan mem-

buat proliferasi sel yang tak terkontrol dan mereduksi apoptosis, sehingga akan menimbulkan ekspansi

malignan dari pluripotent stem cells di sumsum tulang (Jabbour et al., 2007).

Insidensi CML adalah antara 1-2 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan rasio antara laki-

laki dan perempuan 2:1. Median umur kejadian CML adalah 45-55 tahun dan kejadiannya akan

meningkat dengan semakin bertambahnya usia. CML terdapat pada 15- 20% dari seluruh kejadian

leukemia pada dewasa (Faderl et al., 1999; Frazer et al., 2007; Jabbour et al., 2008; Wetzler et al.,

2008).

Chronic myeloid leukemia dapat diklasifikasikan dalam 3 fase penyakit, yaitu fase kronik/

chronic phase (CP), fase akselerasi/accelerated phase (AP), dan fase blastik/blastic phase (BP). Diag-

nosis CML biasanya terjadi pada CP, yang gambaran kliniknya asimtomatik pada 40% pasien. Hampir

1

Page 2: CML

dua per tiga pasien pada CP akan berlanjut ke BP terminal dari CML melalui AP. Sekitar 20-25%

pasien CP berlanjut langsung menjadi BP (Jabbour et al., 2008).

Fase akselerasi biasanya ditandai adanya peningkatan derajat anemia, evolusi klonal sitogentik,

atau terdapat 10-20% blast dalam darah dan/atau sumsum tulang, basofil ≥20% dalam darah dan/atau

sumsum tulang, atau platelet <100.000/μL (Wetzler et al., 2008). Fase blastik merupakan fase yang

agresif ditandai dengan adanya paling sedikit 30% blast pada darah dan/atau sumsum tulang, atau

adanya infiltrasi ekstramedular dari sel-sel blastik leukemik. Fase ini biasanya resisten terhadap pengo-

batan dan dihubungkan dengan median sintasan 3-6 bulan (Jabbour et al., 2008; Wetzler et al., 2008).

Terapi pada CML merupakan cerita sukses dalam pengobatan molekular. Dalam sejarahnya,

kemoterapi CML pertama kali menggunakan arsenikal (cairan Fowler) pada tahun 1856. Sampai den-

gan tahun 1950an dilakukan terapi radiasi seluruh tubuh atau splenik, namun tidak memberikan pe-

rubahan sintasan secara keseluruhan. Busulfan diperkenalkan pertama kali sebagai terapi CML pada

tahun 1950an dan hidroksiurea pada tahun 1972. Namun kemoterapi ini memberikan prognosis yang

buruk. Walaupun agen-agen ini mampu mengontrol manifestasi hematologi dari penyakitnya, mereka

tidak mampu menghambat progresi penyakitnya (Faderl et al., 1999).

Splenektomi tidak memperbaiki kesintasan pada fase kronik penyakit. Tindakan ini hanya

berhasil pada beberapa pasien dengan splenomegali yang persisten atau simtomatik dan terjadinya

sitopenia yang refraktori. Splenektomi sebelum dilakukan transplantasi stem- cell akan mengurangi

waktu pemulihan sumsum tulang namun tidak berpengaruh pada prognosis jangka panjang (Faderl et

al., 1999).

Transplantasi stem-cell alogenik berpotensi kuratif pada CML. Transplantasi akan memberikan

long-term survival pada 50-80% pasien dan disease-free survival pada 30-70% pasien. Relap dapat ter-

jadi pada 15-30% pasien, dan masa platau dicapai pada 5 tahun setelah transplantasi. Penerapan trans-

plantasi ini dibatasi oleh sulitnya mendapat pendonor yang cocok dan batasan umur (Faderl et al.,

1999; Forrest et al., 2008).

Terapi CML dengan menggunakan interferon-α (IFN-α) menunjukkan kelebihan yang sig-

nifikan. Terapi ini memberikan respon hematologik dan sitogenik pada pasien fase kronik, dan

meningkatkan kesintasan dibandingkan dengan busulfan atau hidroksiurea (rerata kesintasan 5 tahun

IFN-α 57% dibanding kemoterapi 42%; P <0,00001). Kombinasi cytarabine (penghambat sintesis de-

oxynuclei acid/DNA) dengan IFN-α akan memberikan keuntungan tambahan (Jabbour et al., 2007).

Dengan diketahuinya basis molekular dari CML telah dikembangkan targeted therapy yang

sangat efektif. Agen terapi ini akan memblok aktivitas Bcr-Abl tyrosine kinase (tyrosine kinase in-

hibitor/TKI) dimana akan menghambat perjalanan proses molekular CML. Penggunaan TKI pada

CML sejauh ini menunjukkan hasil yang impresif dengan toksisitas yang minimal dan secara drastis

mengubah landscape terapi CML. Walaupun transplantasi stem-cell alogenik masih merupakan pilihan

2

Page 3: CML

terapi pada CML, namun bukti-bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa TKI lebih superior diband-

ing transplantasi untuk terapi lini pertama pada fase kronik CML (Jabbour et al., 2008; Forrest et al.,

2008).

Imatinib mesylate (Gleevec®

/Glivec®

) merupakan agen Bcr-Abl TKI yang tersedia dalam sedi-

aan oral. Obat ini menunjukkan aktivitas yang sangat signifikan pada semua fase CML. Pada Interna-

tional Randomized Study of Interferon (IFN) and STI571 (IRIS) fase III menunjukkan bahwa imatinib

lebih superior terhadap IFN plus cytarabine (Jabbour et al., 2008). Namun dalam perkembangan telah

muncul keadaan resistensi imatinib. Ketika dimana imatinib efektif pada mayoritas pasien CML, be-

berapa pasien fase kronik dan sebagian kecil fase lainnya menunjukkan resistensi atau intoleran ter-

hadap imatinib. Resistensi ini biasanya disebabkan karena adanya mutasi Bcr-Abl. Mutasi ini terjadi

pada 35- 45% kasus resistensi imatinib. Lebih dari 30 mutasi yang telah diidentifikasi sampai saat ini

(Jabbour et al., 2008).

Saat ini telah tersedia agen TKI baru atau dalam pembuatan yang lebih poten dibanding ima-

tinib dalam menghambat Bcr-Abl dan memiliki potensi yang lebih rendah untuk terjadinya resistensi.

TKI generasi kedua ini antara lain adalah dasatinib, nilotinib, bosutinib, dan INNO-406. Kedua agen

yang terakhir masih dalam tahap pengembangan klinikal. Dengan adanya agen-agen baru ini maka

pasien-pasien yang resisten terhadap imatinib atau tidak toleran terhadap terapi imatinib tetap dapat

mencapai respon klinis yang signifikan (Jabbour et al., 2008).

2. Perumusan Masalah

a. Bagaimana respon terapi pemberian Imatinib pada pasien CML

3. Tujuan Penelitian

3.1 Tujuan Umum

Untuk melihat respon terapi pemberian Imatinib pada pasien CML

3.2 Tujuan Khusus

Untuk melihat tingkat resistensi terhadap pasien CML yang diterapi dengan Imatinib

4. Manfaat Penelitian

a. Dapat mengetahui gambaran respon terapi pemberian Imatinib pada pasien CML

b. Dapat mengetahui data pasien CML yang mengalami resistensi terhadap pemberian

Imatinib

c. Dapat merencanakan untuk pemberian obat lain bagi pasien-pasien yang mengalami

resistensi

3

Page 4: CML

D. TINJAUAN KEPUSTAKAAN

1. CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML)

CML merupakan kelainan klonal dari sel induk yang dihubungkan dengan defek pada genyang spesifik dan mempunyai gambaran darah yang khas (Bakta,. 2007).

Penyakit ini ditandai dengan

proliferasi seri granulositik pada semua tahap differensiasi. Defek pada gen berupa translokasi re-

siprokal antara kromosom 9 dan 22, membentuk fusi protein onkogen BCR-ABL. Pada kromosom 9

terdapat gen ABL (Abelson) yang terdapat pada lengan panjang (q34.1) dan pada kromosom 22 terda-

pat gen BCR (Break Cluster Region) pada lengan panjang (q11.2). Translokasi kromosom ini dapat

mempengaruhi proto-onkogen menjadi onkogen melalui potongan-potongan gen yang berpindah tem-

pat melakukan fusi dan menghasilkan protein hibrid, yaitu terbentuknya onkogen BCR-ABL, sehingga

translokasi ini mengakibatkan perubahan struktur gen dan pembentukan protein abnormal, dan men-

gakibatkan proliferasi berlebihan sel mieloid dan menurunnya apoptosis sel mieloid. Kromosom yang

mengandung protein BCR- ABL ini disebut kromosom Philadelphia (Ph) dan positif terdapat pada 90-

95% kasus CML (Ciesla et al,. 2007).

1.1 Epidemiologi

Chronic Myeloid Leukemia merupakan 15% dari seluruh leukemia, dan merupakan leukemia

kronik yang paling sering dijumpai di Indonesia. Insiden dari CML adalah 1,5 dari 100.000 orang per-

tahun, dan lebih sering pada laki-laki dibanding perempuan (2:1), dan meskipun jarang, dapat terjadi

anak-anak. Insiden CML meningkatsesuai dengan usia, dimana rata-rata pasien terdiagnosa pada usia

50-60 tahun (Reichard et al,. 2009).

1.2 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko CML adalah usia tua, laki-laki, dan paparan radiasi

(seperti terapi radiasi ). Tidak ada korelasi yang jelas dengan paparan obat sitotoksik, dan tidak ada

bukti disebabkan oleh virus (Vardiman et al,. 2009). Riwayat keluarga bukan merupakan faktor

risiko. Mutasi kromosom yang memicu CML bukan diturunkan dari orang tua, tetapi diyakini karena

dapatan, yang berarti timbul setelah kelahiran.

1.3 Klasifikasi

Klasifikasi dari Chronic Myeloid Leukemia ialah (Bakta., et al. 2007) :

1. Chronic Myeloid Leukemia, Philadelphia-positive (CML,Ph+)

2. Chronic Myeloid Leukemia, Philadelphia-negative (CML,Ph-)

3. Juvenille Chronic Myeloid Leukemia

4. Chronic Neutrophilic Leukemia

5. Eosinophilic Leukemia

6. Chronic Myelomonocytic Leukemia (CMML)

Sebagian besar (> 95%) CML tergolong sebagai CML,Ph+

4

Page 5: CML

1.4 Etiopatogeneis

Pada CML terjadi mutasi dari gen di sel darah sehingga terjadi peningkatan yang tanpa henti

dari leukosit. Karakteristik genetik dari CML adalah adanya produk gabungan gen BCR-ABL. Fusi

gen ini terjadi ketika sebagian kromosom 9 dan kromosom 22 break off dan saling bertukar tempat.

Ketika ini terjadi, region onkogen Abelson (ABL) pada kromosom 9 bergabung dengan Breakpoint

Cluster Region (BCR) pada kromosom 22, disebut sebagai translokasi resiprokal dan diekspresikan se-

bagai t(9:22). Kromosom 22 yang memiliki sekuens gen BCR-ABL ini disebut sebagai kromosom

Philadelphia (Gambar1) (Reichard et al,. 2009).

Pada individu normal, protein BCR dan ABL diekspresikan di hampir semua sel. Protein ABL

merupakan suatu Protein Tyrosin Kinase (PTK) sitoplasmik. Fungsi fisiologis protein ABL adalah

pembentukan sel-sel mieloid (myelopoeisis) dan Rearrangement sitoskletal termasuk meregulasi se-

jumlah kecil GTPase, menghambat migrasi sel dan berikatan dengan sitoskeleton aktin (Wetzler et al,.

2009).

Breakpoint dari regio gen BCR di kromosom 22 ditemukan dalam 3 regio yang telah

ditetapkan. Pertama, breakpoint yang terjadi terletak antara exon 2-3 atau exon 3-4, disebut mayor

Breakpoint Cluster Region (M-BCR). Kedua, breakpoint pada exon 1 disebut minor Breakpoint Clus-

ter Region (m-

BCR).

Ketiga, mikro

Breakpoint Cluster Region (μ-BCR) pada exon 19 atau 20. Breakpoint dari gen ABL dapat terjadi di

mana saja di segmen 300 kb atau lebih pada 5’ akhir (Deininger et al,. 2000).

5

Gambar 1. Kromosom Philadelphia sebagai translokasi ABL dan BCR(Sumber : Masonic Cancer center 203)

Page 6: CML

Berdasarkan posisi breakpoint BCR, fusion gen yang dihasilkan mengkode bentuk pro-

tein 190-, 210-, atau 230- kDa dari BCR-ABL tyrosine kinase. Karena komponen ABL dari fusi gen

sebagian besar tidak berbeda, maka ia mengikuti variabilitas fenotip penyakit yang mungkin dise-

babkan oleh sekuens protein yang dikode oleh patner translokasinya, BCR (Reichard et al,. 2009).

Suatu nomenklatur digunakan untuk menunjukkan breakpoint yang berbeda ini. Pasan-

gan alphanumeric pertama menunjukkan exon pada gen BCR yang bergabung dengan exon kedua dari

ABL. Exon pada M-bcr adalah b1 hingga b5. Exon yang digunakan pada m-bcr adalah e1, e2, e1’,dan

e2’, sedangkan μ-bcr memiliki ekson e19 dan e20.3 Junction b3a2 atau b2a2 mengkode p210 BCR-

ABL fusion protein. Junction e1a2 mengkode p190 fusion protein, dan e19a2 mengkode p230 fusion

protein (Reichard et al,. 2009).

Gen BCR-ABL ini mengkode protein fusi BCR-ABL yang merupakan protein abnor-

mal (Wetzler et al,. 2009). Timbulnya protein baru ini akan mempengaruhi transduksi sinyal terutama

melalui tyrosine kinase ke inti sel yang diaktifkan oleh adanya BCR sebagai benda asing pada protein

ABL. Protein BCR bertindak dengan melakukan dimerisasi onkoprotein seperti gen BCR-ABL yang

mengaktifkan tirosin kinase. Aktifitas tirosin kinase yang tidak terkendali, menggantikan fungsi fisiol-

ogis enzim ABL normal dengan berinteraksi dengan berbagai protein efektor yang menghasilkan

berbagai macam reaksi. Tiga mekanisme utama yang terjadi akibat gen BCR-ABL yaitu terjadi prolif-

erasi berlebihan pada seri mieloid (sel induk pluripoten) pada sistem hematopoeisis, dan mensupresi

apoptosis sel mieloid sehingga dapat bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal (sel gen BCR-

ABL bersifat anti-apoptosis), dan gangguan perlekatan sel leukemia pada stroma sumsum tulang

(Kohsuke et al,. 1998).

1.5 Gejala Klinis

Perjalanan penyakit CML terdiri dari 3 fase (Mayo Clinic, 2013) ,yaitu :

1. Fase kronik : merupakan fase awal dan biasanya mempunyai onset yang tidak

jelas. Fase ini dapat berlangsung selama beberapa tahun. Umumnya mempunyai re-

spon yang baik terhadap terapi.

2. Fase akselerasi : merupakan fase transisional ketika penyakit menjadi lebih aggresif.

Terjadi peningkatan blast di darah dan atau sumsum tulang (<20%) dan respon terapi

terhadap pengobatan standar berkurang.

3. Fase Blast (krisis blast) : merupakan fase yang berat, agresif yang dapat mengancam

hidup, dimana terdapat blast > 20%, atau terjadi proliferasi blast di luar sumsum tu-

lang.

Sekitar 40% pasien asimptomatik pada saat terdiagnosa dan terdiagnosa ketika terdapat

peningkatan leukosit di CBC pada pemeriksaan medik rutin. Penelitian menunjukkan bahwa dibu-

tuhkan 6 tahun sejak permulaan translokasi kromosom hingga pasien memberikan gejala. Sejak adanya

leukositosis, membutuhkan 19 bulan (range 7-24 bulan) sehingga leukosit mencapai 100.000/μL. Ke-

banyakan pasien (>80%) terdiagnosa pada fase kronik (Reichard et al,. 2009).

6

Page 7: CML

Gambaran klinis CML tergantung pada fase penyakit tersebut meliputi (Bakta,. 2007) :

A. Fase kronik :

1. Gejala yang berhubungan dengan hipermetabolisme (misalnya, berat badan menurun,

lemah, lesu, anoreksia, keringat malam)

2. Splenomegali, hampir selalu ada dan biasanya massif. Pada beberapa pasien, pembe-

saran limpa dihubungkan dengan rasa tidak nyaman, nyeri atau masalah pencernaan.

3. Gambaran anemia

4. Memar, epistaksis, menorrhagia atau perdarahan lain akibat gannguan

fungsi trombosit

5. Gout atau kerusakan ginjal akibat hiperuricemia

6. Kadang-kadang asimptomatik dan lebih dari 50% kasus terdiagnosa

secara kebetulan pada saat pemeriksaan darah rutin.

B. Fase akselerasi :

Perubahan gejala terjadi pelan-pelan dengan prodromal selama 6 bulan. Timbul keluhan

yang semakin progresif. Respon terhadap kemoterapi menurun, leukositosis meningkat,

trombosit menurun, dan akhirnya menjadi gambaran leukemia akut.

C. Krisis blast

Terjadi perubahan secara mendadak dan tanpa didahului masa prodromal.

1.6 Pemeriksaan Laboratorium

1. Tes darah lengkap (Ciesla,. 2007)

Leukositosis biasanya >50.000/ μL

Anemia normositik normokrom

Trombosit dapat meningkat (paling sering), normal, atau menurun Peningkatan

basofil

Peningkatan eosinofil

2. Apusan Darah Tepi (Ciesla,. 2007; Reichard KK,. et al 2009)

Fase kronik : 1) Leukositosis dengan adanya semua tahap maturasi seri granu-

losit

2) Blast <5%

3) Basofilia absolut

4) Anemia ringan

5) Ditemukan normoblast

6) Trombositosis

Fase akselerasi : 1) Peningkatan promielosit

2) Blast 10-19%

7

Page 8: CML

3) Anemia

4) Peningkatan sirkulasi dari normoblast

5) Trombositopenia (<100.000/μL)

Fase Blast : 1) Blast ≥ 20%

2) Peningkatan pada promielosit, basofil, dan eosinofil

3) Trombositopenia

3. Aspirasi Sumsum tulang (Reichard KK,. et al 2009)

4. Pemeriksaan sitogenetik, untuk memeriksa sel yang mempunyai kromosom Philadelphia

a) Analisis sitogenetik konvensional kromosom Philadelphia (Reichard KK,. et al 2009).

Pemeriksaan ini dapat menggunakan darah perifer ataupun dari sumsum tulang. Dengan

metode konvensional, 20 sel metafase dianalisis dan dapat digunakan sebagai metode skrining

mendeteksi anomali kromosom. Keterbatasan dengan teknik ini sensitivitas untuk mendeteksi

klon abnormal 5%, dan membutuhkan syarat sel yang viable dalam tahap pembelahan

metaphase, dan waktu yang lama. Hasil test diperoleh dalam waktu 2 minggu.

b) Analisis sitogenetik dengan Fluorescence in situ hybridization (FISH) (Reichard KK,. et al

2009).

Metode FISH menggunakan hibridisasi dari probe DNA yang berlabel fluoresens untuk

menganalisis sel yang berproliferasi/membelah (sel metaphase) dan non-proliferasi/ tidak

membelah (nukleus interfase) dengan mendeteksi lokasi sekuens asam amino yang spesifik.

Probe ini sebagai target dari lokus genetik spesifik (misal, onkogen ABL pada lengan panjang

kromosom 9). Keuntungan dari metode ini ialah hasil yang lebih cepat (24 jam), penggunaan

8

Page 9: CML

sel yang tidak membelah, sensitivitas yang lebih besar (1%) dalam mendeteksi abnormalitas

dibanding metode konvensional, dan kemampuannya mengevaluasi lebih banyak sel.

Metode FISH untuk medeteksi CML memanfaatkan metode deteksi dual-color dual-

fusion

(DC,DF)

menggunakan

probe untuk mendeteksi breakpoint ABL dan BCR. Probe BCR dilabel dengan fluorophore hijau (G)

dan ABL dengan warna merah (R). Jika terjadi overlap dari hijau dan merah, menimbulkan warna

kuning di mikroskop dan dinyatakan sebagai fusion (F). Karena itu, pada kasus CML dengan pola

FISH yang abnormal, tampak 1R1G2F. Bagian 1R1G dari pola signal masing-masing menun-

jukkan kromosom 9 dan 22 yang normal. Bagian 2F menunjukkan translokasi resiprokal antara

bagian ABL dan BCR dari genom.

Dengan menggunakan metode DC,DF probe FISH, biasanya 200-500 sel diperiksa, dan

sensitivitas untuk mendeteksi 1R1G2F sekitar 1%. Sensitivitasnya hampir 0,1% jika 6.000

nukleus diperiksa.

5. Pemeriksaan molekuler dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk memeriksa marker

genetik pada sel yang mengandung protein BCR-ABL (Reichard KK,. et al 2009).

Pemeriksaan BCR-ABL ini memeriksa bagaimana aktivitas gen BCR- ABL dalam

darah/ sumsum tulang. Pemeriksaan ini melihat berapa banyak gen yang digunakan untuk

membentuk protein (tirosin kinase). Gen BCR-ABL yang aktif membentuk lebih banyak tyro-

sine kinase, yang menyebabkan lebih banyak sel leukosit abnormal yang terbentuk dalam sum-

sum tulang. Apabila terapi yang diberikan efektif, maka aktivitas BCR- ABL akan menurun.

Teknik ini mempunyai sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi BCR-ABL mRNA.

Pemeriksaan BCR-ABL dapat mendeteksi sejumlah kecil sel leukemia yang tak dapat dideteksi

melalui pemeriksaan sitogenetik. Aktivitas BCR-ABL dapat menemukan satu sel abnormal di

9

Gambar 2. Analisis sitogenetik konvensional kromosom Philadelphia (Reichard KK,. et al 2009)

Page 10: CML

antara 100.000 sel. Kemudian rasio aktivitas gen BCR-ABL terhadap aktivitas gen normal

dihitung, dalam skala 0-100. Semakin rendah rasionya berarti semakin sedikit BCR-ABL yang

aktif, dan semakin sedikit sel leukosit yang abnormal yang dimiliki. Pemeriksaan PCR dapat

berupa pemeriksaan kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan kuantitatif ini merupakan pe-

meriksaan yang berperan penting dalam diagnosis, terapi dan monitoring respon molekuler serta

minimal residual disease.

Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dapat mendeteksi panjang

produk yang berbeda sehubungan dengan protein BCR- ABL yaitu 190, 210, dan 230 kDa,

sehingga membantu dalam membedakam CML dan ALL melaui breakpoint yang dideteksi.

Umumnya, pada kasus CML dewasa dan anak, tampak fusi protein p210. Kasus ALL Ph+

berhubungan dengan protein p190.

6. Pemeriksaan kimia darah

Kadar asam urat serum biasanya meningkat.

1.7 Diagnosis

Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO (Bakta,. 2007) :

1. Blast 10-19% dari leukosit pada darah perifer/ sumsum tulang

2. Basofil darah tepi ≥ 20%

3. Trombositopenia persisten(<100x103/μL) yang tidak berhubungan dengan terapi, atau

trombositosis (>1000x103/μL) yang tidak responsif terhadap terapi.

4. Peningkatan ukuran lien atau leukosit yang tidak responsif terhadap terapi

5. Bukti sitogenetik adanya evolusi klonal

Diagnosis CML pada fase krisis blast menurut WHO (Bakta,. 2007):

1. Blast ≥ 20% dari leukosit pada darah perifer/ sumsum tulang

2. Proliferasi blast ekstrameduler

3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang

1.8 Terapi

Target terapi CML adalah untuk memperoleh hematopoesis yang nonklonal, nonneo-

plastik, remisi jangka panjang,yang memerlukan eradikasi sel yang mengandung gen BCR-ABL

(Hoffbrand et al,. 2006).

a. Inhibitor Tirosin Kinase

Imatinib merupakan inhibitor spesifik terhadap fusion protein BCR-ABL dan

menghambat aktivitas tirosin kinase dengan berkompetisi dengan Adenosine

Triphosphate (ATP) binding site pada ABL onkogen, yang selanjutnya akan

menghambat fosforilasi tirosin pada protein substrat sehingga menekan proliferasi seri

mieloid.

10

Page 11: CML

b. Kemoterapi

Hydroxyurea dan Busulfan digunakan untuk mengontrol dan mempertahankan junmlah

leukosit pada fase kronik. Namun, saat ini penggunakan obat tersebut telah digantikan

oleh imatinib.

c. Terapi Biologikal

Digunakan untuk meningkatkan sistem imunitas tubuh dalam melawan kanker (contoh,

α-interferon)

d. Transplantasi stem sel

Transplantasi stem sel allogenik merupakan satu-satunya terapi kuratif untuk CML,

namun karena berisiko tinggi, maka hanya disarankan apabila terjadi kegagalan

inhibitor tirosin kinase.

1.9 Pemantauan Molekuler dan Minimal Residual Disease

Pemantauan Molekuler dan Minimal Residual Disease (MRD) berperan dalam penan-

ganan CML. Minimal Residual Disease (MRD) didefinisikan sebagai adanya penyakit yang ter-

deteksi secara molekuler walaupun secara morfologi tidak nampak. Pemeriksaan laboratorium

yang dilakukan untuk memeriksa MRD sama dengan yang digunakan untuk mengidentifikasi

awal gen BCR- ABL, hanya saja tingkat sensitivitas untuk masing-masing tes berbeda. Sensitivi-

tas dengan karyotiping konvensional adalah 5%, FISH 1%, dan RT- PCR <1/105. (Reichard

KK,. et al 2009)

Pemeriksaan BCR-ABL dengan quantitative PCR (Q-PCR) sebelum memulai terapi

memberikan informasi awal aktivitas gen BCR-ABL. Pemantauan terhadap respon terapi di-

lakukan untuk melihat efektifitas terapi yang diberikan dan memantau Minimal Residual Dis-

ease(MRD). Beberapa jenis respon terapi dapat dilihat pada Tabel 1.

Kriteria respon yang diharapkan terhadap pemberian terapi Imatinib berdasarkan Euro-

pean Leukemianet 2006, dapat dilihat pada gambar 3.

11

Page 12: CML

1.10 PrognosisLuaran klinis pasien CML bervariasi. Fase kronik CML mempunyai respon

yang tinggi ter-

hadap terapi. Sebelum terapi imatinib, kematian da-

pat terjadi pada 10% pasien dalam 2

tahun dan menjadi 20% pada tahun berikutnya. Rata-rata survival adalah 4 tahun (Ciesla B,.

2007). Dengan terapi imatinib, sekitar duapertiga dari pasien CML memberikan respon

yang baik dalam 12 bulan. Setelah 5 tahun terapi, hampir 90% pasien CML mengalami penu-

runan aktivitas BCR-ABL. Angka survival tanpa terapi setelah mengalami fase akselerasi bi-

asanya kurang dari 1 tahun, dan setelah krisis blast adalah dalam beberapa bulan. Pada pasien

tanpa kromosom Philadelphia, median survival adalah 1 tahun (Bakta,. 2007).

2. IMATINIB MESYLATE

Pengetahuan yang lebih maju terhadap biologi molekular telah melahirkan kelas baru

suatu agen

terapi yang menargetkan langsung pada gen supresor tumor dan/atau onkogen. Imatinib merupakan

12

Tabel 1.Respon terhadap terapi berdasarkan hasil pemeriksaan

(Sumber : Reichard KK,. et al 2009)

Gambar 3. Respon yang diharapkan untuk pemberian terapi Imatinib. (Sumber : Baccarani et al,. 2009)

Gambar 4. Mekanisme aksi imatinib mesylate. (Sumber: Mauro & Druker, 2001)

Page 13: CML

targeting therapy molekular pertama yang mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA)

Amerika Serikat. Pada Mei 2001, imatinib mesylate (Gleevec®, Glivec®, STI-571) disetujui FDA un-

tuk terapi pasien CML dalam fase krisis blastik, fase akselerasi, atau fase kronik setelah gagal dengan

terapi IFN-α. Pada bulan Februari 2002, imatinib disetujui untuk terapi pasien dengan unresectable

dan/atau metastatic malignant Gastrointestinal Stromal Tumors (GISTs) yang terekspresi oleh tyrosine

kinase receptor c-kit (Pindolia & Zarowitz, 2002).

Imatinib adalah inhibitor tirosin kinase inhibitor dari kelas 2-phenylaminopyrimidine.

Desain kimianya adalah 4-[(4-methyl-1-piperazinyl) methyl]-N-[4-methyl-3-[[4-(3- pyridinyl)-2-

pyrimidinyl] amino]-phenyl]benzamide methanesulfonate.

Imatinib merupakan Bcr-Abl TKI pertama yang menunjukkan aktivitas yang signifikan

pada semua fase CML. Targetnya adalah melawan semua Abl tirosin kinase, termasuk Bcr-Abl, v-Abl,

dan Abelson-related gene (ARG), kemudian reseptor tirosin kinase subgrup III, yaitu reseptor c-Kit,

reseptor PDGF, dan stem cells factor receptor (Pindolia & Zarowitz, 2002; Sherbenou & Druker,

2007). Selain itu, imatinib akan berkompetisi dengan ATP sebagai tempat berikatan dengan reseptor

tirosin kinase subgrup III (Pindolia & Zarowitz, 2002).

2.1 Clinical studies pada imatinib

2.1.1 Fase I

13

Page 14: CML

Penelitian-penelitian fase I pada imatinib dimulai pada Juni 1998 oleh Druker et al.

Penelitian ini didesain untuk menentukan dosis toleransi maksimal, dengan keuntungan klinis sebagai

end-

point

sekun-

dernya. Sampel penelitian diambil dari pasien CML fase kronik yang gagal terapi dengan INF-α

(Deininger et al., 2005).

2.1.1.1. Fase Kronis CML

Pada fase I dose-escalation study ini, 83 pasien dengan CML fase kronik diikutkan

dalam penelitian dan diberikan imatinib dengan dosis antara 25-1000 mg per hari. Data yang didap-

atkan menunjukkan hubungan yang sangat erat antara respon dosis dengan rerata complete hemato-

logic response (CHR) dari 38% (11/29) pasien yang mendapat imatinib dibawah 300 mg dan 98%

(53/54) pasien yang mendapat imatinib diatas 300 mg atau lebih. Kadar plasma imatinib pada 300 mg

kohort dosis berkorelasi dengan kadar yang dibutuhkan untuk mencapai target inhibisi Bcr-Abl dan

supresi pertumbuhan garis sel CML. Hubungan respon dosis ini dievaluasi lebih jauh menggunakan

model Emaks. Ketika relatif respon (persentase penurunan leukosit setelah 1 bulan terapi) di-

hubungkan dengan eksposur (ditampilkan sebagai dosis harian, area under curve (AUC), Cmin atau

Cmaks, atau waktu kadar plasma di atas 1 μM yang menyebabkan apoptosis in vitro), menunjukkan

keadaan yang dose-dependent (Sawyers & Capdeville, 2001, Deininger et al., 2005).

2.1.1.2 Krisis Blastik CML

Berdasarkan hasil penelitian yang sangat menjanjikan, fase 1 ini dikembangkan pada

pasien dengan myeloid atau limfoid krisis blastik dari CML dan pasien dengan ALL Ph+ relap atau re-

fraktori (Deininger et al., 2005). Pada 58 pasien dengan krisis blastik atau leukemia Ph+ mendapat ter-

api imatinib dengan dosis antara 300-1000 mg, respon hematologi juga didapatkan pada 55% pasien

14

Gambar 5.Struktur kimia imatinib mesylate. (Sumber: De Kogel & Schellens, 2007)

Page 15: CML

dengan krisis blastik myeloid (21/38) dan 70% pasien dengan krisis blastik limfoid atau ALL Ph+

(14/20) (Sawyers & Capdeville, 2001).

Dalam beberapa kasus, remisi sitogenetik komplet juga diamati. Sayangnya, hampir se-

mua pasien dengan penyakit limfoid relap dalam 2-3 bulan. Relap juga terjadi pada 60% pasien dengan

krisis blastik myeloid dalam 6 bulan. Dari follow up yang lebih lama didapatkan data remisi menetap

pada 40% pasien, namun tidak lebih dari 1 tahun (Sawyers & Capdeville, 2001).

Pada penelitian fase I ini, imatinib secara umum ditoleransi dengan baik, dan hampir se-

mua kejadian efek samping (adverse events/AEs) non-hematologik pada derajat 1/2. Berdasarkan tok-

sisitas non-hematologik, maximum tolerated dose (MTD) tidak tercapai, dan peningkatan dosis dihen-

tikan pada 1000 mg (Sawyers & Capdeville, 2001).

2.1.2. Fase II

Penelitian fase II dimulai pada akhir 1999, menggunakan imatinib sebagai agen tunggal

pada semua fase CML. Untuk pasien pada krisis blastik dan ALL Ph+, penelitian ini menegaskan hasil

pada fase I. Pasien-pasien pada fase kronik yang gagal terapi dengan IFN-α menunjukkan hasil yang

lebih baik dari yang diharapkan, dengan rerata complete cytogenetic response (CCR) 41% dan major

cytogenetic remission (MCR) 60%. Dan yang lebih penting lagi adalah terjadi progession free survival

89,2% pada 18 bulan. Efikasi imatinib pada pasien dengan fase akselerasi adalah intermediat diantara

fase kronik dan krisis blastik (Deininger et al., 2005).

Hasil dari penelitian fase I dan II inilah yang membuat FDA menerima imatinib sebagai

agen terapi pada CML fase lanjut dan setelah gagal terapi interferon (Deininger et al., 2005).

2.1.3. Fase III: International Randomised Study of Interferon and ST1571 (IRIS)

Berdasarkan hasil yang dicapai pada fase I dan II, maka dilakukan penelitian fase III

yang dilakukan secara multicenter dan open label (IRIS atau study 106). Penelitian ini memband-

ingkan secara langsung antara imatinib dengan IFN-α plus Ara-C dosis rendah untuk terapi CML yang

baru terdiagnosis pada fase kronik (Novartis, 2007).

Total ada 1106 pasien yang dirandomisasi untuk mendapat imatinib (400 mg/hari) atau

kombinasi dari IFN-α (5 juta U/m2/hari) plus Ara-C (20 mg/m2/hari selama 10 hari setiap bulan). Se-

mua pasien dievaluasi untuk respon hematologik dan sitogenetiknya, AEs dan rerata progresinya

(Druker et al., 2005; Novartis, 2007).

Setelah 19 bulan follow-up, imatinib menunjukkan efikasi yang superior dibandingkan

dengan terapi kombinasi. CCR dicapai pada 76% pasien yang mendapat imatinib dibanding 15% pada

IFN-α plus Ara-C (P < 0,001). CHR dicapai pada 95% pasien yang mendapat imatinib dibanding 55%

pada IFN. MCR terdapat pada 85% versus 22%. Rerata 18 bulan progression free survival adalah 92%

versus 74%, dan overall survival-nya adalah 97% versus 95%. Setelah 60 bulan follow-up, event free

survival pada imatinib adalah 83% dan overall survival 89% (Jabbour et al., 20utuy08).

15

Page 16: CML

2.2. Efek samping imatinib

Imatinib secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Walaupun efek samping cukup

sering terjadi, namun biasanya ringan dan jarang menyebabkan pemutusan terapi. Efek samping lebih

sering terdapat pada fase lanjut dari CML, refleksi dari status performa yang buruk dari penderitanya.

Toksisitasnya dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu hematologik dan nonhematologik (Deininger &

Druker, 2003).

2.2.1 Toksisitas hematologikal

Myelosupresi bisa merupakan refleksi dari efek terapi dan juga bisa karena toksisitas

kepada sel-sel hemapoetik normal. Neutropenia berat dan trombositopenia biasanya terjadi pada tahap

lanjut penyakitnya, khususnya pada fase krisis blastik. Hal ini bisa terjadi karena sedikitnya jumlah

sumsum tulang Ph- residual yang masih ada untuk menghasilkan hematopoesis normal. Keadaan ini

disebut sebagai imatinib-induced myelosupresi (Deininger & Druker, 2003).

Manajemen imatinib-induced myelosupresi ini membutuhkan pengamatan yang lebih

ketat. Prinsip manajemennya adalah harus sesuai antara agresivitas terapi CML dengan agresivitas

penyakitnya. Kita masih diperbolehkan untuk melanjutkan terapi imatinib pada fase lanjut CML

walaupun terjadi myelosupresi. Sedangkan pada awal fase kronik dapat dipertimbangkan memberhen-

tikan terapi imatinib jika terjadi myelosupresi-induced myelosupresi. Myeloid growth factor dapat di-

gunakan untuk mengobati neutropenia, namun tidak berpengaruh terhadap prognosisnya (Deininger &

Druker, 2003).

2.2.2 Toksisitas nonhematologikal

a. Edema dan retensi cairan

Edema superfisial (tersering edema periorbital) terdapat pada sekitar 50% pasien yang

mendapat terapi imatinib. Pada beberapa kasus terdapat keadaan retensi cairan yang lebih berat, seperti

efusi pleura dan perikardial, edema pulmonum, asites, edema anasarka, dan edema serebral. Kejadian

efek samping yang ringan dapat diberikan diuretik, namun pada keadaan yang berat pemberian ima-

tinib harus dihentikan (Deininger & Druker, 2003).

b. Efek samping gastrointestinal

Nausea ringan, nyeri abdomen, dan diare ringan sering terjadi ketika imatinib diberikan

dalam keadaan perut kosong. Walaupun bukti yang ada menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan ab-

sorbsi ketika imatinib diberikan bersama dengan makanan. Namun direkomendasikan untuk mem-

berikan imatinib bersama dengan makan besar. Nausea dan nyeri abdomen ini disebabkan karena efek

iritasi lokal dari imatinib (Deininger & Druker, 2003).

c. Reaksi kulit

Skin rash terlihat pada sepertiga pasien yang mendapat terapi imatinib. Bentuknya bisa

dari ringan sampai berat hingga muncul sindroma Stevens-Johnson. Sebagian besar rash ini ringan dan

16

Page 17: CML

bisa sembuh sendiri atau berespon terhadap antihistamin atau steroid. Reaksi kulit ini sering meru-

pakan alasan untuk menghentikan terapi imatinib. Rash ini biasanya tidak muncul lagi ketika imatinib

dilanjutkan kembali setelah sempat dihentikan (Deininger & Druker, 2003).

Sebagai bagian dari reaksi drug-induced, urtikaria sering muncul pada awal terapi ima-

tinib pada pasien dengan angka basofil yang tinggi. Hal ini terjadi karena pelepasan histamin dari ba-

sofil. Dalam beberapa kasus terjadi perubahan pigmentasi kulit dan menggelapnya warna rambut. Ini

terjadi karena efek imatinib pada melanosit yang mengekspresikan c-Kit (Deininger & Druker, 2003).

d. Atralgia, myalgia, dan nyeri tulang

Nyeri tulang, persendian, dan otot merupakan efek samping imatinib yang sering ter-

jadi, walaupun ini tidak cukup berat sampai diperlukan penghentian terapi. Keadaan ini biasanya bere-

spon terhadap suplemen kalsium atau kuinin.

3. RESISTENSI IMATINIB MESYLATE

Ketika imatinib efektif pada sebagian besar pasien CML, beberapa pasien pada fase

kronik dan fase lanjut menunjukkan resisten atau intoleran terhadap imatinib (Jabbour et al., 2008).

Ada 3 kriteria respon terhadap terapi imatinib pada pasien CML, yaitu resisten/gagal, respon subopti -

mal, dan optimal. Kriteria ini berdasarkan pada lamanya waktu respon yang berhubungan dengan prog-

nosis penyakit (Kantarjian et al., 2007, Ramirez & DiPersio, 2008).

Terdapat 2 macam resistensi yang terjadi terhadap imatinib, yaitu resistensi primer/in-

trinsik dan sekunder/didapat. Resistensi terhadap imatinib didefinisikan oleh National Comprehensive

Cancer Network (NCCN) dan LeukemiaNet Guidelines sebagai kegagalan untuk mencapai complete

hematologic response (CHR) dalam 3 bulan, cytogenetic response (CR) dalam 6 bulan, atau major cy-

togenetic response (MCR) dalam 12 bulan. Rerata resistensi imatinib berkisar 4% per tahun pada CML

yang baru terdiagnosis, tetapi akan menurun 1-1,5% pada tahun ke 4 sampai 5. Pada pasien yang men-

capai complete cytogenetic response (CCR), rerata resistensinya adalah 1% atau kurang pada tahun ke

3 sampai 4. Namun sebaliknya, beberapa pasien pada CML fase lanjut menunjukkan resistensi ter-

hadap imatinib. Perkiraan rerata resistensi dalam 4 tahun adalah 20% pada akhir fase kronik dan 70-

90% pada fase akselarasi dan krisis blastik. Resistensi sekunder/didapat adalah hilangnya respon terapi

imatinib pada pasien yang sebelumnya berespon (Kantarjian et al.,

17

Tabel 2. Kriteria respon terapi pada imatinib.

(Sumber: Ramirez & DiPersio, 2007)

Tabel 3. Definisi respon

(Sumber: Ramirez & DiPersio, 2008)Keterangan: RT-PCR = reverse transcriptase polymerase chain reaction.

Page 18: CML

2007, Ramirez & DiPersio, 2008).

3.1 Mekanisme resistensi

3.1.1 Mekanisme resistensi Bcr-Abl dependen

Mekanisme Bcr-Abl dependent dianggap sebagai penyebab utama timbulnya resisten

terhadap imatinib. Hal ini terjadi karena adanya mutasi pada domain Abl kinase dari protein fusi Bcr-

Abl. Saat ini telah terdokumentasi sebanyak 90 titik mutasi pada 57 residu dalam Abl kinase, dan se -

cara umum dibagi dalam 4 regio domain kinase, yaitu ATP binding loop (P-loop), tempat kontak (mis -

alnya T315I dan F317), tempat ikatan SH2 (misalnya M351), dan A-loop (Ramirez & DiPersio, 2008).

Mutasi Bcr-Abl paling sering berhubungan dengan P-loop (30-40% dari seluruh mu-

tasi). Pasien CML yang mengalami mutasi P-loop memiliki prognosis yang buruk terhadap respon dan

kesintasan. Mutasi P-loop banyak terdapat pada CML fase akselerasi atau krisis blastik. Pada pemerik-

saan assay dari kinase menunjukkan bahwa mutasi P-loop memiliki sensitivitas yang lebih rendah 70-

100 kali lipat dibanding Bcr-Abl aslinya terhadap imatinib (Ramirez & DiPersio, 2008)

Mutasi yang sering terjadi lainnya adalah T315I. T315I resisten terhadap imatinib dan

sebagian besar inhibitor Bcr-Abl generasi kedua. Mutasi ini juga dihubungkan dengan resistensi ima-

tinib sekunder yang biasanya terjadi pada stadium akhir dari penyakit dan berhubungan dengan usia

lanjut, mendapat terapi interferon sebelumnya, inisiasi imatinib pada fase akselerasi atau krisis blastik,

berkembangnya evolusi klonal, skor Sokal yang tinggi pada saat terdiagnosis, dan gagal mencapai

CCR dalam 12 bulan (Ramirez & DiPersio, 2008). Mutasi Bcr-Abl pada resistensi imatinib secara ke-

seluruhan terjadi pada 42-90% pasien CML (Baccarani et al., 2006).

Mekanisme lainnya dari resistensi imatinib Bcr-Abl dependent adalah adanya pen-

ingkatan produksi Bcr-Abl. Gorre et al. (2001) menunjukkan adanya amplifikasi Bcr-Abl pada 3 dari 9

pasien CML resisten imatinib. Hochhaus et al. (2002) melaporkan adanya overekspresi dari mRNA

18

Page 19: CML

Bcr-Abl pada 4 dari 37 pasien CML resisten imatinib. Walaupun kedua studi ini menunjukkan bukti

adanya peningkatan translasi protein Bcr-Abl , namun mekanisme ini belum dapat dikonfirmasi secara

klinis (Ramirez & DiPersio, 2008).

Mediator lain dari resistensi imatinib adalah protein plasma α-1 acid glycoprotein

(AGP). AGP akan menurunkan konsentrasi intraselular imatinib dengan cara berikatan dengan ima-

tinib pada konsentrasi fisiologis in vitro, sehingga menyebabkan inhibisi kinase Abl (Ramirez &

DiPersio, 2008).

3.1.2 Mekanisme resistensi Bcr-Abl independen

Walaupun mekanisme resistensi Bcr-Abl dependen bertanggung jawab utama pada re-

sistensi sekuder/didapat pasien CML, ada beberapa mekanisme independen yang ikut terlibat dalam

proses resistensi (Ramirez & DiPersio, 2008).

Salah satu mekanisme ini adalah adanya aktivasi downstream signaling molekul-

molekul, yang dapat merupakan hasil dari aktivasi dari jalur tanpa memperhatikan inhibisi Bcr-Abl se-

hingga menimbulkan resistensi imatinib. Src family kinases (SFKs) adalah salah satu contoh dari Bcr-

Abl signaling ini. SFKs berfungsi meregulasi proliferasi dan kesintasan sel, dan juga berpengaruh pada

perkembangan dari fase akhir dari CML, seperti pada mekanisme independen. Penelitian-penelitian

preklinik menunjukkan bahwa transfeksi dari sel-sel myeloid leukemia dengan kinase-defective Hck

(sebuah SFK) mencegah perubahan aktivitas dari Bcr-Abl, dan fosforilasi region SH2-SH3 dari Bcr-

Abl oleh SFK dibutuhkan untuk aktivitas onkogenik (Ramirez & DiPersio, 2008).

Penelitian-penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa sel CML yang mengalami re-

sistensi imatinib tidak berhubungan dengan Bcr-Abl yang overexpress Lyn dan Hck. Lebih jauh lagi,

koinhibisi dari SFKs dan Bcr-Abl akan merangsang respon apoptotik yang berlebihan. Sehingga ada

rasionalitas yang kuat untuk menggunakan inhibitor ganda dari SFKs dan Bcr-Abl dalam terapi pasien

dengan CML resisten imatinib (Ramirez & DiPersio, 2008).

Kunci dalam terapi CML adalah monitoring pasien untuk mengevaluasi pencapaian su-

atu respon terapi. Parameter dan faktor prognostik independen untuk kesintasan jangka panjang pasien

CML adalah CCR dan MMR. Dalam beberapa penelitian dengan imatinib menunjukkan bahwa

lamanya overall survival dan progression-free survival lebih panjang pada pasien yang mencapai CR

pada 3 atau 6 bulan. Dilain pihak, pada pasien-pasien yang tidak dapat mencapai tujuan terapi awal ini

akan menghadapi risiko yang lebih tinggi dalam progresi penyakit dan kesempatan yang lebih sedikit

untuk mencapai CCR atau MMR kemudian (Ramirez & DiPersio, 2008).

Panduan dari NCCN menggariskan bahwa pada pasien CML yang berespon terhadap

terapi imatinib, tes sitogenetik harus dilakukan setelah 6 dan 12 bulan terapi. Jika CCR tidak tercapai

dalam 12 bulan, evaluasi sitogenetik selanjutnya harus dilakukan pada bulan ke 18. Strategi terapi al-

ternatif harus dipikirkan pada pasien yang tidak mencapai CHR pada bulan ke 3, dan CCR pada bulan

19

Page 20: CML

ke 6, 12, dan 18. Pada pasien yang berespon terhadap terapi, khususnya CCR, pengukuran berkelanju-

tan kadar transkrip Bcr-Abl dari darah tepi dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) ku-

atitatif direkomendasikan setiap 3 bulan (Ramirez & DiPersio, 2008).

Penapisan mutasi domain Abl kinase perlu dilakukan pada pasien CML fase kronik

yang mengalami respon awal inadekuat terhadap terapi imatinib, dan pada pasien yang

mengindikasikan adanya kehilangan respon. Penapisan ini dapat dilakukan setiap 3 bulan tergantung

respon terapi (Ramirez & DiPersio, 2008).

4. PILIHAN TEPARI PADA PASIEN DENGAN RESISTENSI IMATINIB

4.1 Imatinib dosis tinggi

Pendekatan terapi ini secara rasional dapat dilakukan pada pasien CML dengan re-

sistensi imatinib. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa beberapa mutasi Bcr-Abl memiliki sensitiv-

itas yang rendah terhadap imatinib, namun bukan resistensi komplet. Amplifikasi dan over-ekspresi

Bcr-Abl juga dapat menimbulkan resistensi. Dalam kasus resistensi seperti ini, dihipotesiskan bahwa

dosis imatinib yang lebih besar dapat efektif digunakan (Ramirez & DiPersio, 2008).

Kantarjian et al. (2003) melakukan kasus serial pada 34 pasien CML fase kronik dengan

resistensi sitogenetik atau relap ketika mendapat imatinib 400 mg. Setelah diberikan 600 atau 800

mg/hari dapat memberikan CR pada 19 dari 34 pasien ini.

4.2 Transplantasi hematopoeietic stem cell

Allogeneic stem cell transplantation (SCT) merupakan prosedur baku yang menawarkan

kemampuan kuratif dan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi lini kedua. Rerata kesintasan 5

tahun SCT dapat mencapai >70% jika dilakukan pada pasien yang berusia <50 tahun, dan mendapat

transplan <1 tahun setelah didiagnosis. Namun aplikasi dari prosedur ini dibatasi oleh ketersediaan

donor yang cocok dan toksisitasnya pada pasien usia lanjut serta luarannya semakin memburuk sesuai

dengan durasi penyakitnya (Ramirez & DiPersio, 2008).

Panduan NCCN menegaskan bahwa SCT merupakan pilihan terapi untuk pasien yang

mendapat imatinib namun tidak dapat mencapai CHR dalam 3 bulan terapi atau CCR dalam 12 bulan,

atau yang mengalami fase akselerasi atau krisis blastik (Ramirez & DiPersio, 2008).

4.3 Dasatinib

Dasatinib (Sprycel®) adalah inhibitor Bcr-Abl/Src kinase ganda yang poten dan meru-

pakan TKI pertama yang diterima di Amerika Serikat dan Eropa sebagai terapi pasien resisten imatinib

dan intoleran imatinib dari semua fase CML dan Ph+ acute lymphoblastic leukemia (Ph+ ALL).

Walaupun targetnya adalah Bcr-Abl, dasatinib secara struktural tidak mirip dengan imatinib dan

20

Page 21: CML

berikatan dengan bermacam konformasi dari domain Abl kinase (Kantarjian et al., 2007; Ramirez &

DiPersio, 2008).

Secara in vitro dasatinib menunjukkan aktivitas 325 lipat lebih kuat dalam melawan

Bcr-Abl nativ dibandingkan dengan imatinib, dan menunjukkan efikasi yang lebih baik melawan se-

mua mutasi Bcr-Abl resisten imatinib dengan perkecualian pada T315I. Dasatinib juga aktif melawan

SFKs, c-Kit, PDGFR, dan reseptor ephrin A (Ramirez & DiPersio, 2008).

Penelitian fase I dari dasatinib (Talpaz, et al., 2006) menunjukkan bukti bahwa imatinib

efektif pada pasien yang intoleran atau resistensi terhadap imatinib dengan durasi respon yang baik dan

memiliki profil keselamatan yang baik juga.

Evaluasi klinis dari penggunaan dasatinib lebih jauh dilakukan dalam program Src/Abl

Tyrosine kinase inhibition Activity: Research Trials of dasatinib (START) yang terdiri dari 5 bagian,

yaitu START-A, -B, -C, dan –L, serta START-R. Empat START yang pertama merupakan penelitian

besar, multisenter, single-arm, open label pada pasien CML resisten atau intoleran imatinib fase kro-

nik, fase akselerasi, krisis blastik, dan ALL Ph+. Dan START-R merupakan penelitian randomisasi

yang mengevaluasi pemberian dasatinib 70 mg 2 kali sehari dan imatinib dosis tinggi pada pasien-

pasien yang sebelumnya tercatat sebagai resisten terhadap imatinib (Kantarjian et al., 2007; Ramirez &

DiPersio, 2008).

Secara umum program START menunjukkan respon hematologik dan CR yang lama

pada pasien-pasien yang gagal terhadap terapi imatinib dengan alasan adanya resistensi atau intoler-

ansi. START-C mengevaluasi 288 pasien resisten imatinib dan 99 pasien intoleran imatinib pada CML

fase kronik. Respon yang dicapai tidak berkaitan dengan adanya dan lokasi mutasi Bcr-Abl. Hal ter-

penting yang terlihat adalah aktivitas dasatinib tak terbatas hanya pada subgrupnya, termasuk juga

pada pasien dengan mutasi P-loop. Rerata 15 bulan progression-free survival-nya adalah 88%

(Ramirez & DiPersio, 2008).

Program START juga menunjukkan bahwa dasatinib memiliki profil keamanan yang

baik. Neutropenia dan trombositopenia memang sering terjadi namun biasanya reversibel dan dapat di-

tangani secara efektif dengan interupsi atau reduksi dosisnya. Tosisitas non- hematologik yang terjadi

adalah gejala-gejala gastrointestinal yang ringan sampai sedang (misalnya nausea dan vomitus) dan

retensi cairan. Kejadian efek samping non-hematologik derajat 3 dan 4 terjadi pada ≤5% pasien. Efusi

pleura hanya sering terjadi pada pasien dengan fase lanjut dibanding fase kronik (17% versus 0%), dan

dapat ditangani dengan pengurangan dosis, dan jika perlu dapat diberikan diuretik dan/atau steroid.

Yang lebih penting lagi adalah tidak ada intoleransi silang antara dasatinib dan imatinib (Ramirez &

DiPersio, 2008).

Penelitian besar lainnya yang mengevaluasi dasatinib pada pasien CML fase kronik

adalah penelitian 034. Penelitian ini membandingkan pemberian dasatinib 100 mg/hari, 50 mg 2 kali/

21

Page 22: CML

hari, 140 mg/hari, dan 70 mg 2 kali/hari. Hasilnya adalah semua rejimen dasatinib dengan dosis seperti

diatas menunjukkan efikasi yang sama. Rejimen 100 mg/hari berhubungan dengan rendahnya kejadian

efusi pleura yang signifikan (7% versus 16%) dan sitopenia derajat 3 atau 4 (33% versus 42%) jika

dibandingkan dengan rejimen 70 mg 2 kali/hari. Hasil penelitian ini menyebabkan perubahan

rekomendasi dosis harian untuk pasien CML fase kronik dar 70 mg 2 kali/hari menjadi 100 mg sekali

sehari (Ramirez & DiPersio, 2008).

Dari hasil-hasil penelitian di atas mengindikasikan bahwa pada pasien-pasien yang re-

sisten atau intoleran terhadap imatinib, penggunaan TKI generasi kedua seperti dasatinib dapat diper-

timbangkan sebagai pilihan terapi ketika SCT tidak dapat dilakukan (Ramirez & DiPersio, 2008)

4.4 Nilotinib

Nilotinib (Tasigna®) merupakan multi target TKI sebagai terapi lini kedua pada CML

yang memiliki pola yang berbeda dari selektivitas kinase, farmakokinetik, sel serapan dan sifat peng-

habisan, sehingga pasien dapat merespon kegagalan. Nilotinib disetujui untuk pengobatan pasien den-

gan fase kronik (CP) dan fase dipercepat (AP) pada CML dengan resistensi atau intoleransi imatinib

(Giles, et al., 2010).

Hal ini diterapkan pada pasien dewasa dengan Ph+ CML di CP atau AP yang memiliki

resistensi imatinib atau intoleransi dan juga gagal untuk terapi dasatinib. Pasien diberi dosis awal 400

mg dan diminum 2 kali sehari dalam perut kosong. Untuk pasien CML-CP, titik akhir primer adalah

respon sitogenetika utama (MCyR), didefinisikan sebagai (CCyR, 0% Ph+ sel metaphase) dan parsial

(PCyR, <Ph35%+sel). Untuk pasien dengan CML-AP, titik akhir primer, dikonfirmasikan dengan re-

spon respon hematologi lengkap (CHR, jumlah darah normal tanpa spleenomegali) atau tidak ada bukti

leukemia (NEL) atau kembali ke fase kronik (RTC) (Giles, et al., 2010).

22

Page 23: CML

E. METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di poliklinik rawat jalan dan rawat inap di RSHAM dengan persetujuan

Komisi Etik Penelitian FK USU, dilaksanakan mulai bulan Oktober 2013 - April 2014, atau hingga

subjek penelitian ini tecukupi

3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah seluruh pasien chronic myeloid leukemia. Sampel adalah semua populasi pen-

derita chronic myeloid leukemia di poliklinik rawat jalan dan rawat inap di RSHAM

4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

5. 1. Kriteria inklusi

1. Subjek dengan usia diatas 17 tahun baik pria maupun wanita

2. Subjek merupakan pasien chronic myeloid leukemia telah di BMP dengan Bcr-Abl +

23

Gambar 6. Algoritme pilihan terapi pada pasien CML resisten imatinib. (Sumber: Mauro, 2006)

Page 24: CML

3. Subjek menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian secara

sukarela dan tertulis (informed concent).

5.2. Kriteria Eksklusi

1. Subjek usia dibawah 17 tahun

2. Tidak bersedia ikut dalam penelitian.

5. Cara Kerja dan Alur Penelitian

Terhadap sejumlah subjek dilakukan penjelasan dan diminta memberikan persetujuan tertulis (in-

formed consent) untuk mengikuti penelitian. Kemudian dilakukan anamnese dan pemeriksaan sebagai

berikut :

A. Dilakukan anamnesis untuk mendapatkan data : umur, jenis kelamin, dan data pribadi lainnya,

riwayat lamanya menderita chronic myeloid leukemia serta pemeriksaan laboratorium sebelumnya

B. Pada pasien dilakukan peengambilan sampel darah

C. Dilakukan pemberian imatinib.

D. Setelah pemberian imatinib diperiksa kembali darah rutin dan morfologi darah tepi

6. Definisi Operasional

1. Usia : berdasarkan yang tertera rekam medis dengan satuan tahun

2. Jenis Kelamin : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan hasil pria atau

wanita

3. Subjek Penelitian : pasien chronic myeloid leukemia di poliklinik rawat jalan dan rawat inap

di

RS HAM Medan

4. Chronic myeloid leukemia adalah penyakit sel induk (stem cells) hematopoietik yang di-

tandai oleh adanya leukositosis yang disertai imaturitas seri granilosit, basofilia, anemia, trom-

bositosis dan splenomegali.

24

Page 25: CML

7. Kerangka operasional

DAFTAR KEPUSTAKAAN

25

CHRONIC MYELOID LEUKEMIA

Inklusi :

Pasien Usia > 17 tahun

Menyetujui inform consent

- Pemberian Imatinib

Eksklusi :

Pasien Usia > 17 tahun

Tidak menyetujui inform consent

Pemeriksaan darah lengkap

Morfologi darah tepi

Respon hematologik Tidak respon

Page 26: CML

Baccarani, M., Saglio, G., Goldman, J., Hochhaus, A., Simonsson, B., et al. 2006. Evolving concepts in the management of chronic myeloid leukemia: recommendations from an expert

panel on behalf of the European LeukemiaNet. Blood, 108(6):1809-1820.Bakta.IM. 2007. Leukemia dan Penyakit Mieloproliferatif dalam Hematologi Klinik Ringkas. EGC.

Hal.137-44. Ciesla B. 2007. Chronic Myeloproliferative Disorders. In : Hematology in Practice. FA Davis

Company. P.189-91. Deininger, M.W.N. & Druker B.J. 2003. Spesific Targeted Therapy of Chronic Myelogenous Leukemia with Imatinib. Pharmacol Rev, 55:401-423.Deininger, M., Buchdunger, E., Druker, B.J. 2005. The Development of Imatinib as a Therapeutic

Agent for Chronic Myeloid Leukemia. Blood, 105(7):2640-2653. Druker, B.J., Guihot, F., O’Brien, S.G., Gathman, I., Kantarjian, H., et al., and IRIS investigators.

2006. Five-Year Follow-up of Patients Receiving Imatinib for Chronic Myeloid Leukemia. N Engl J Med, 355:2408-2417.Giles, Francis J., Elisabetta Abruzzese, et al. 2010. Nilotinib is active in chronic and accelerated

phase chronic myeloid leukemia following failure of imatinib and dasatinib therapy. National Institute of Health Public Access. Volume 24 : 1299-1301.

Faderl, S., Talpaz, M., Estrov, Z., Kantarjian, H. 1999a. Chronic Myelogenous Leukemia: Biology and Therapy. Ann Intern Med, 131:207-219.

Forrest, D.L., Jiang, X., Eaves, C.J., Smith, C.L. 2008. An approach to the management of chronic myeloid leukemia in British Columbia. Current Oncology, 15(2):90-97.

Frazer, R., Irvine, A.E., McMullin, M.F. 2007. Chronic Myeloid Leukaemia in The 21st Century. Ulster Med J, 76(1):8-17.

Hoffbrand AV, Moss PAH, Petit JE. 2006. Chronic Myeloid Leaukemia. In : Essential Haematology. Fifth Edition. Blackwell Publishing. p.174-9.

Jabbour, E., Cortes, J.E., Giles, F.J., O’Brien, S., Kantarijan H.M. 2007. Current and Emerging Treatment Option in Chronic Myeloid Leukemia. American Cancer Society, 109(11): 2171-2181.

Jabbour, E., Cortes, J.E., Ghanem, H., O’Brien, S., Kantarjian, H.M. 2008. Targeted Therapy in Chronic Myeloid Leukemia. Expert Rev Anticancer Ther, 8(1):99-110.

Kantarjian, H.M, Talpaz, M, O’Brien, S. 2003. Dose Escalation of Imatinib Mesylate Can Overcome Resistance to Standard-Dose Therapy in Patients with Chronic Myelogenous Leukemia.

Blood, 101:473– 475.Kantarjian, H.M., Giles, F., Cardama, A.Q., Cortes, J. 2007. Important Therapeuitic Targets in Chronic

Myelogenous Leukemia. Clin Cancer Res, 13(4):1089-1097.Kohsuke Y. 1998 Suppression of Cell Proliferation and Ekspression of BCR-ABL Fusion Gene and

Apoptotic Cell Death in a New Human Myelogenous Leukemia Cell Line, KT-1, by interferon-α. Bloodjournal.hematology;vol 91;2:641-8.

Masonic Cancer center. 2013. Chronic Myelogenous Leukemia Treatment. Available at : www. cancer.umn.edu.

Mayo clinic staff. 2013 .Chronic Myelogenous Leukemia. Available at www. mayo clinic.com.Novartis. 2007. CML Clinical Monograph. http://www.glivec.com.Pindolia, V.K. & Zarowitz, B.J. 2002. Imatinib Mesylate, the First Molecularly Targeted Gene

Suppressor. Pharmacotherapy, 22(10):1249-1265.Ramirez, P. & DiPersio, J.F. 2008. Therapy Options in Imatinib Failures. The Oncologist, 13:424-434.Reichard KK, Larson RS, Rabinowitz I. 2009. Chronic Myeloid Leukemia. In : Wintrobe Clinical

Hematology. 12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. p. 7739-68. Sawyers, C.L. & Capdeville, R. 2001. Clinical Development of STI571 in Chronic Myelogenous

Leukemia. Am Soc Hem, 87-98.

26

Page 27: CML

Sherbenou, D.W. & Druker, B.J. 2007. Appling the Discovery of the Philadelphia Chromosome. The Journal of Clin Invest, 117(8):2067-2074.

Talpaz, M., Shah, N.P., Kantarjian, H.M., Donato, N., Nicoll, J., et al. 2006. Dasatinib in Imatinib-Re-sistant Philadelphia Chromosome–Positive Leukemias. N Engl J Med, 354:2531-2541.

Vardiman JW. 2009. Chronic Myelogenous Leukemia, BCR-ABL1+. American Journal of Clinical Pathology;132:250-60.

Wetzler M, Byrd JC, Bloomfield CD. 2009. Acute and Chronic Myeloid Leukemia. In : Harrison’s hematology and Oncology. Mc Graw Hill. P.175-7.

27