clerk maroef
DESCRIPTION
koasTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan adalah penyebab penting terhadap morbiditas
berat, yang jangka panjang akan menyebabkan kecacatan dan kematian di antara ibu
dan bayi. Di Afrika dan Asia, hampir satu sepersepuluh dari semua kematian ibu
terkait dengan hipertensi dalam kehamilan, sedangkan seperempat dari kematian ibu
di Amerika Latin telah dikaitkan dengan orang-orang komplikasi. Di antara gangguan
hipertensi yang menyulitkan kehamilan, pre-eklampsia dan eklampsia menonjol
sebagai penyebab utama ibu dan kematian perinatal dan morbiditas. Mayoritas
kematian karena pre-eklampsia dan eklampsia dapat dihindari melalui penyediaan
tepat waktu dan perawatan yang efektif untuk para wanita yang mengalami
komplikasi. Mengoptimalkan kesehatan untuk mencegah dan memperlakukan wanita
dengan gangguan hipertensi adalah langkah penting dalam mencapai Millennium
Development Goals. WHO telah mengembangkan rekomendasi-informasi bukti
dengan maksud untuk mempromosikan praktek klinis terbaik untuk pengelolaan pre-
eklampsia dan eklampsia.
Hipertensi dalam kehamilan mempengaruhi sekitar 10% dari semua wanita
hamil di seluruh dunia. Kelompok penyakit dan kondisi termasuk pre-eklampsia dan
eklampsia, kehamilan hipertensi dan hipertensi kronis. Hipertensi dalam kehamilan
adalah penyebab penting morbiditas akut parah, jangka panjang kecacatan dan
kematian di antara ibu dan bayi. Di Asia dan Afrika, hampir sepersepuluh dari semua
kematian ibu terkait dengan hipertensi gangguan kehamilan, sedangkan seperempat
dari semua kematian ibu di Amerika Latin telah dikaitkan dengan orang-orang
komplikasi. Sebagian besar kematian terkait dengan hipertensi gangguan dapat
dihindari dengan memberikan tepat waktu dan perawatan efektif untuk wanita yang
mengalami seperti komplikasi. Dengan demikian, optimalisasi kesehatan merawat
wanita selama kehamilan untuk mencegah dan mengobati gangguan hipertensi
kehamilan merupakan langkah penting menuju pencapaian tujuan pembangunan
Milenium. Pre-eklampsia berdiri di antara hipertensi dengan gangguan untuk
dampaknya pada ibu dan bayi kesehatan. Ini adalah salah satu penyebab utama ibu
dan kematian perinatal dan morbiditas di seluruh dunia. Namun, patogenesis
preeklamsia hanya sebagian dipahami dan hal itu berkaitan dengan gangguan pada
plasentasi pada awal kehamilan, diikuti oleh peradangan umum dan kerusakan
endotel progresif. Ada ketidakpastian lain juga: diagnosis, skrining dan manajemen
pre-eklampsia tetap kontroversial, seperti halnya klasifikasi beratnya. Namun, secara
umum diterima bahwa onset dari episode baru hipertensi selama kehamilan (dengan
tekanan darah diastolik terus-menerus > 90 mm Hg) dengan terjadinya substansial
proteinuria (> 0,3 g / 24 jam) dapat digunakan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi
pre-eklampsia. Meskipun patofisiologi perubahan (misalnya memadai plasentasi) ada
dari tahap awal kehamilan, hipertensi dan proteinuria biasanya menjadi jelas dalam
paruh kedua kehamilan dan hadir dalam 2% -8% dari seluruh kehamilan keseluruhan.
Obesitas, hipertensi kronis dan diabetes antara faktor-faktor risiko untuk pre-
eklampsia, yang juga mencakup nulliparity, kehamilan remaja dan kondisi yang
menyebabkan hyperplacentation dan plasenta besar (misalnya kembar kehamilan).
Preeklamsia biasanya tergolong ringan atau berat. Dalam kebanyakan pengaturan,
pre-eklampsia diklasifikasikan sebagai berat ketika salah satu dari kondisi berikut ini
hadir: hipertensi berat, proteinuria berat atau disfungsi organ ibu substansial. Awal
onset (sebelum 32-34 minggu kehamilan) dari pre-eklampsia dan morbiditas janin
yang digunakan sebagai kriteria independen untuk mengklasifikasikan pre-eklampsia
separah di beberapa bagian dunia. Ibu kematian dapat terjadi antara kasus yang parah,
tetapi perkembangan dari ringan sampai berat bisa cepat, tak terduga, dan kadang-
kadang fulminan. Primer pencegahan pre-eklampsia kontroversial dan subjek
penelitian yang aktif, terutama dengan berkaitan dengan penggunaan agen anti-
inflamasi dan mikronutrien termasuk kalsium, vitamin D dan vitamin antioksidan C
dan E suplemen. Satu-satunya pengobatan definitif untuk pre-eklampsia adalah
penghentian kehamilan / persalinan janin dan plasenta, meskipun beberapa wanita
dengan preeklamsi juga menyajikan kejengkelan transient penyakit pada periode
postpartum. Manajemen wanita dengan pre-eklampsia tujuan meminimalkan
komplikasi lebih lanjut yang berhubungan dengan kehamilan, menghindari
prematuritas tidak perlu dan memaksimalkan kelangsungan hidup ibu dan bayi.
Menunda gangguan kehamilan dapat menyebabkan untuk perkembangan pre-
eklampsia, akhirnya mengakibatkan insufisiensi plasenta dan ibu disfungsi organ.
Kondisi ini jelas terkait dengan peningkatan risiko ibu dan kematian perinatal.
Disfungsi organ ibu terkait dengan pre-eklampsia mungkin hadir dengan gambaran
klinis bervariasi, termasuk eklampsia dan sindrom HELLP (hemolisis, hati yang
tinggi enzim dan jumlah trombosit yang rendah). Eklampsia adalah ditandai dengan
terjadinya umum kejang pada wanita dengan pre-eklampsia, disediakan bahwa kejang
tonik-klonik yang tidak disebabkan penyebab lainnya (misalnya epilepsi). Seperti
pre-eklampsia, patogenesis eklampsia sebagian besar masih belum diketahui dan 5% -
8% dari perempuan dengan pre-eklampsia hadir kondisi ini di negara-negara
berkembang. Sindrom HELLP terjadi pada 10% -20% dari wanita dengan
preeklamsia berat dan berhubungan dengan substansial, kerusakan endotel luas.
eklampsia dan sindrom HELLP adalah prediktor penting dari disfungsi organ lanjut
dan kematian. Tujuan utama dari pedoman ini adalah untuk meningkatkan kualitas
pelayanan dan hasil untuk wanita hamil yang mengalami pre-eklampsia dan
komplikasi utama (misalnya eklampsia). Itu target audiens dari pedoman ini meliputi
dokter kandungan, bidan, dokter umum, manajer kesehatan dan kesehatan masyarakat
pembuat kebijakan, terutama yang di bawah sumber daya yang pengaturan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Eklampsia
Sebuah Cochrane review sistematis dari 15 RCT diselidiki efek relatif dari
magnesium sulfat dan antikonvulsan lainnya bila digunakan untuk pencegahan
eklampsia. Perbandingan penting dalam ulasan ini adalah antara magnesium sulfat
dan plasebo atau tidak ada antikonvulsan (enam percobaan, 11 444 perempuan);
fenitoin (empat percobaan, 2345 perempuan); diazepam (dua percobaan, 66 wanita);
dan nimodipin (satu percobaan, 1750 perempuan). Satu kecil trial (36 wanita)
dibandingkan magnesium sulfat dengan isosorbid, dan percobaan lain (33
perempuan) dibandingkan magnesium klorida dengan metildopa. Magnesium sulfat
dibandingkan dengan plasebo atau tidak ada antikonvulsan Enam RCT (11 444
perempuan), termasuk besar multisenter Magpie Trial (20) yang melibatkan 10 141
peserta, memberikan bukti untuk ini perbandingan. Sekitar setengah dari wanita yang
direkrut dalam persidangan telah menerima pemeliharaan rejimen magnesium sulfat
melalui intravena yang rute (1 g / h) dan setengah lainnya melalui rute intramuskular.
Dosis pemeliharaan diberikan secara ketat oleh intravena yang rute dalam empat
percobaan dan rute intramuskular di satu percobaan. Untuk sebagian besar uji coba,
pemantauan klinis untuk efek samping yang potensial dilaporkan dan tidak ada dari
enam percobaan melaporkan menggunakan pemantauan serum magnesium sulfat.
Bila dibandingkan dengan plasebo atau tanpa antikonvulsan, magnesium sulfat
dikaitkan dengan pengurangan statistik dan klinis yang signifikan dalam risiko
eklampsia sebesar 59% (enam percobaan, 11 444 perempuan; RR 0,41, 95% CI 0,29-
0,58). Efek ini konsisten untuk wanita yang antepartum pada awal percobaan (enam
percobaan, 10 109 perempuan; RR 0,40, 95% CI 0,27-0,57) tetapi tidak signifikan
bagi mereka yang berada postpartum di pengadilan entri (satu percobaan, 1335, RR
0,54, 95% CI 0,16-1,80). Efeknya juga konsisten dan lebih menonjol di antara wanita
yang 34 atau lebih minggu hamil (dua percobaan, 6498 perempuan; RR 0,37, 95% CI
0,24-0,59) dan orang-orang yang tidak menerima antikonvulsan sebelum entri
percobaan (tiga percobaan, 10 086 perempuan; RR 0,33, 95% CI 0,22-0,48). Itu
konsisten terlepas dari rute administrasi untuk pemeliharaan magnesium sulfat. Tidak
ada perbedaan signifikan secara statistik yang diamati antara magnesium sulfat dan
plasebo mengenai risiko kematian ibu (Dua percobaan, 10 795 perempuan; RR 0,54,
95% CI 0,26-1,10), setiap morbiditas ibu serius (dua uji coba 10 332 perempuan; RR
1,08, 95% CI 0,89-1,32), pernapasan (satu percobaan, 10 110 perempuan; RR 2,50,
95% CI 0,49-12,88) dan toksisitas seperti yang ditunjukkan oleh depresi pernafasan
dan tendon absen refleks (tiga percobaan, 10 899 perempuan; refleks (tiga percobaan,
10 899 perempuan; RR 5,96, 95% CI 0,72-49,40) dan kalsium administrasi glukonat
(dua percobaan, 10 795 perempuan; RR 1,35, 95% CI 0,63-2,88). Apa saja Efek
samping yang dilaporkan secara signifikan lebih sering terjadi pada wanita yang
diobati dengan magnesium sulfat daripada plasebo (satu percobaan, 9992 perempuan;
RR 5,26, 95% CI 4,59-6,03). Untuk bayi, ada perbedaan yang jelas diamati dalam
risiko bayi lahir mati atau kematian neonatal (tiga uji coba, 9961 bayi; RR 1,04, 95%
CI 0,93-1,15), masuk ke unit perawatan khusus bayi (RR 1,01, 95% CI 0,96-1,06)
dan skor Apgar kurang dari tujuh pada 5 menit (satu percobaan, 8260 perempuan; RR
1,02, 95% CI 0,85-1,22). Magnesium sulfat terhadap fenitoin Magnesium sulfat
dibandingkan dengan fenitoin untuk pencegahan eklampsia dalam empat RCT (2343
perempuan). Dibandingkan dengan fenitoin, magnesium sulfat secara signifikan
mengurangi risiko eklampsia (Tiga percobaan, 2291 perempuan; RR 0,08, 95% CI
0,01-0,60). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik diamati antara kedua
kelompok dalam hal lahir mati (RR 0,62, 95% CI 0,27-1,41), kematian neonatal (RR
0,26, 95% CI 0,03-2,31), Apgar skor kurang dari tujuh pada 5 menit (RR 0,58, 95%
CI 0,26-1,30) dan masuk ke perawatan neonatal (RR 1,00, 95% CI 0,63-1,59).
Magnesium sulfat terhadap diazepam Sebuah percobaan kecil yang melibatkan 66
perempuan dibandingkan magnesium sulfat dan diazepam untuk pencegahan
eklampsia. Ukuran sampel dan peristiwa direkam terlalu kecil untuk menarik
terpercaya kesimpulan.
Magnesium sulfat dibandingkan nimodipin. Magnesium sulfat dibandingkan
dengan nimodipin dalam satu percobaan (1650 wanita). Ada sedikit kasus eklampsia
di antara perempuan yang dialokasikan sulfat magnesium dibandingkan dengan
nimodipin (RR 0,33, 95% CI 0,14-0,77). Pengobatan eklampsia Magnesium sulfat
dibandingkan diazepam untuk wanita dengan eklampsia Sebuah Cochrane review
sistematis tujuh RCT melibatkan 1.396 wanita memberikan bukti yang pada efek
diferensial magnesium sulfat bila dibandingkan dengan diazepam untuk perawatan
wanita dengan eklampsia. Kebanyakan wanita di percobaan memiliki eklampsia baik
sebelum atau setelah melahirkan dan sekitar setengah dari mereka menerima
antikonvulsan sebelum masuk pengadilan. Semua rejimen yang digunakan dalam
percobaan untuk kedua magnesium sulfat dan diazepam bongkar pemeliharaan dosis
disertakan. Magnesium sulfat bernasib lebih baik daripada diazepam mengenai hasil
ibu kritis kematian (Tujuh percobaan, 1396 perempuan, RR 0,59, 95% CI 0,38-0,92)
dan kekambuhan kejang (Tujuh percobaan, 1390 perempuan, RR 0,43, 95% CI 0,33-
0,55). Tidak ada perbedaan statistik antara dua obat untuk serius maternal morbiditas
(dua percobaan, 956 perempuan; RR 0,88, 95% CI 0,64-1,19) atau proxy nya dibahas
dalam perbandingan ini.
Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tibatiba
yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang
menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand mal dan
bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.5 Istilah eklampsia berasal dari bahasa
Yunani yang berarti halilintar. Kata-kata tersebut dipergunakan karena seolah-olah
gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului tanda-tanda lain.9
Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum (antepartum), eklampsia
partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale (postpartum), berdasarkan saat
timbulnya serangan. Eklampsia banyak terjadi pada trimester terakhir dan semakin
meningkat saat mendekati kelahiran.5,8 Pada kasus yang jarang, eklampsia terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar 75% kejang eklampsia terjadi
sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama setelah melahirkan, tetapi kejang juga
dapat timbul setelah 6 minggu postpartum.18 Sesuai dengan batasan dari National
Institutes of Health (NIH) Working Group on Blood Pressure in Pregnancy
preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai dengan proteinuria pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu atau segera setelah persalinan. Saat ini edema pada
wanita hamil dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak spesifik dalam diagnosis
preeklampsia. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg. Proteinuria adalah adanya protein
dalam urin dalam jumlah ≥300 mg/dl dalam urin tampung 24 jam atau ≥ 30 mg/dl
dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi saluran kencing.
Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia
dibagi menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau lebih
tanda dibawah ini :
1) Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg atau
lebih
2) Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan kualitatif
3) Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam
4) Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium
5) Edema paru atau sianosis.
Pada umumnya serangan kejang didahului dengan memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual
keras, nyeri di daerah epigastrium, dan hiperrefleksia. Menurut Sibai terdapat
beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan gejala sebelum timbulnya
kejang, adalah sakit kepala yang berat dan menetap, perubahan mental sementara,
pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas, nyeri epigastrik, mual, muntah. Namun,
hanya sekitar 50% penderita yang mengalami gejala ini. Prosentase gejala sebelum
timbulnya kejang eklampsia adaah sakit kepala yang berat dan menetap (50-70%),
gangguan penglihatan (20-30%), nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%),
perubahan mental sementara (5- 10%). 20 Tanpa memandang waktu dari onset
kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di
daerah wajah. Beberapa saat kemuadian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi
otot yang menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang
bersamaan rahang akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan
terjadi pada kelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot
mengalami kontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat.
Keadaan ini kadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan penderita
terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat tergigit oleh
karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai satu menit,
kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah dan jarang dan
pada akhirnya penderita tak bergerak.5 Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan
pernapasan berhenti. Selama beberapa detik penderita seperti meninggal karena henti
napas, namun kemudian penderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya
pernapasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini
akan diikuti dengan kejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan
sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.5 Setelah kejang
berhenti, penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma setelah
kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya
segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun, pada kasus-kasus yang
berat, keadaan koma belangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian
tanpa sempat pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya
sekali namun dapat diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.5 Frekuensi
pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50 kali
per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia dampai asidosis laktat, tergantung
derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat ditemukan sianosis. Demam tinggi
merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla hal tersebut terjadi maka penyebabnya
adalah perdarahan pada susunan saraf pusat.5 Proteinuria hampir selalu didapatkan,
produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya
terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini
merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema
menghilang dalam waktu beberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila
keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat
penyakit vaskuler kronis.5 3.3 Insiden dan Faktor Risiko Insiden eklampsia bervariasi
antara 0,2% - 0,5% dari seluruh persalinan dan lebih banyak ditemukan di negara
berkembang (0,3%-0,7%) dibandingkan negara maju (0,05%-0,1%).8-9 Insiden yang
bervariasi dipengaruhi antara lain oleh paritas, gravida, obesitas, ras, etnis, geografi,
faktor genetik dan faktor lingkungan yang merupakan faktor risikonya.5-6,8-10 Di
RSUP Dr. Kariadi tahun 1997 disebutkan angka kejadian preeklampsia sebesar 3,7%
dan eklampsia 0,9% dengan angka kematian perinatal 3,1%.11 Eklampsia termasuk
dari tiga besar penyebab kematian ibu di Indonesia. Menurut laporan KIA Provinsi
tahun2011, jumlah kematian ibu yang dilaporkan sebanyak 5.118 jiwa. Penyebab
kematian ibu terbanyak masih didominasi Perdarahan (32%), disusul hipertensi dalam
kehamilan (25%), infeksi (5%), partus lama (5%) dan abortus (1%). Penyebab lain –
lain (32%) cukup besar, termasuk di dalamnya penyebab penyakit non obstetrik.26
Sumber : facsheet upaya percepatan penurunan AKI Kemenkes.26 Gambar 1.
Distribusi penyebab kematian ibu melahirkan berdasarkan laporan KIA Provinsi
2011. Sedangkan di RSUP Dr. Kariadi Semarang kematian ibu melahirkan terbanyak
disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia. Pada tahun 1996 di RSUP Dr. Kariadi
Semarang di dapatkan data penyebab utama kematian maternal yaitu preeklampsia
dan eklampsia (40%) diikuti infeksi (26,6%) dan perdarahan (24,4%). Pada tahun
1996 – 1998 kematian maternal oleh preeklampsia dan eklampsia 48%, perdarahan
24% dan infeksi 14%.13 Sedangkan pada tahun 1999-2000 preeklampsia dan
eklampsia juga penyebab utama kematian maternal (52,9%) diikuti perdarahan
(26,5%) dan infeksi (14,7%).12-14 Praktisi kesehatan diharapkan dapat
mengidentifikasi faktor risiko preeklampsia dan eklampsia dan mengontrolnya,
sehingga memungkinkan dilakukan pencegahan primer. Dari beberapa studi
dikumpulkan ada beberapa fakto risiko preeklampsia, yaitu :23 1) Usia Duckitt
melaporkan peningkatan risiko preeklampsia dan eklampsia hampir dua kali lipat
pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih pada primipara maupun multipara.
Usia muda tidak meningkatkan risiko secara bermakna (Evidence II, 2004). Robillard
dkk melaporkan bahwa risiko preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan kedua
meningkat dengan peningkatan usia ibu.23Choudhary P dalam penelitiannya
menemukan bahwa eklampsia lebih banyak (46,8%) terjadi pada ibu dengan usia
kurang dari 19 tahun.27 2) Nulipara Hipertensi gestasional lebih sering terjadi pada
wanita nulipara.8 Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir tiga kali lipat
(RR 2,91, 95% CI 1,28 – 6,61) (Evidence II, 2004).23 3) Kehamilan pertama oleh
pasangan baru Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor
risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendar terhadap sperma. 4) Jarak antar kehamilan Studi melibatkan 760.901
wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak
kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia dan
eklampsia hampir sama dengan nulipara.23 Robillard dkk melaporkan bahwa ririko
preeklampsia dan eklampsia semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval
dengan kehamilan pertama (1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua; p
<0,0001 5) Riwayat preeklampsia eklampsia sebelumnya Riwayat preeklampsia pada
kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko utama. Menurut Duckitt risiko
meningkat hingga tujuh kali lipat (RR 7,19 95% CI 5,85-8,83). Kehamilan pada
wanita dengan riwayat preeklampsia dan eklampsia sebelumnya berkaitan dengan
tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dinin dan dampak
perinatal yang buruk.23 6) Riwayat keluarga preeklampsia eklampsia Riwayat
preeklampsia dan eklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir tiga kali
lipat. Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3,6 kali
lipat.23 7) Kehamilan multifetus Studi melibatkan 53.028 wanita hamil
menunjukkan, kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir tiga kali
lipat.
Analisa lebih lanjut menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir tiga kal
lipat dibandingkan kehamilan duplet. Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan
ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi untuk menjadi preeklamsia
dibandingkan kehamilan normal.23 selain itu, wanita dengan kehamilan multifetus
dan kelainan hipertensi saat hamil memiliki luaran neonatal yang lebih buruk
daripada kehamilan monofetus.8 8) Donor oosit, donor sperma dan donor embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oossit atau donor embrio juga
dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab preeklampsia
adalah lajadaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari paparan sperma masih
belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia
setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi pada
kehamilan remaja, serta makin mengecilkan kemungkinan terjadinya preeklampsia
pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka waktu yang lebih lama.
Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan pertama,
frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya apabila
kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek protektif dari
multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Robillard dkk melaporkan adanya
peningkatan risiko preeklamspia 17 sebanyak dua kali pada wanita dengan pasangan
yang pernah memiliki isteri dengan riwayat preeklampsia.23 9) Diabetes Melitus
Terganung Insulin (DM tipe I) Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir empat
kali lipat bila diabetes terjadi sebelum hamil.23 Anna dkk juga menyebutkan bahwa
diabetres melitus dan hipertensi keduanya berasosiasi kuat dengan indeks masa tubuh
dan kenaikannya secara relevan sebagai faktor risiko eklampsia di United State.29
10) Penyakit ginjal Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia
meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan penyakit
ginjal.23 11) Sindrom antifosfolipid Dari dua studi kasus kontrol yang diulas oleh
Duckitt menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi antikardiolipin,
antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali
lipat.23 12) Hipertensi kronik Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi
kronik, didapatkan insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n-180) dan
hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (35 dibandingkan dengan IMT
19-27 memiliki risiko preeklampsia empat kali lipat.23 Pada studi kohort yang
dilakukan oleh Conde-Agudelao dan Belizan pada 878.680 kehamilan, ditemukan
fakta bahwa frekuensi preeklampsia pada kehamilan di populasi wanita yang kurus
(IMT< 19,8) adalah 2,6% dibandingkan 10,1% pada populasi wanita yang gemuk
(IMT> 29,0).23 14) Kondisi sosioekonomi Faktor lingkungan memiliki peran
terhadap terjadinya hipertensi pada kehamilan. Pada wanita dengan sosioekonomi
baik memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami preeklampsia.8 Kondisi
sosioekonomi pasien di RS dapat dilihat melalui sistem pembayarannya. 15)
Frekuensi ANC Pal A dkk menyebutkan bahwa eklampsia banyak terjadi pada ibu
yang kurang mendapatkan pelayanan ANC yaitu sebesar 6,14% 19 dibandingkan
dengan yang mendapatkan ANC sebesar 1,97%.28 Studi case control di Kendal
menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu terbesar (51,8%) adalah perdarahan dan
eklampsia. Kedua penyebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pelayanan antenatal
yang memadai atau pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah
ditetapkan.29 3.4 Etiologi dan Patofisiologi Eklampsia 3.4.1 Etiologi dan
Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan Hingga saat ini etiologi dan patogenesis
dari hipertensi dalam kehamilan masih belum diketahui dengan pasti. Telah banyak
hipotesis yang diajukan untuk mencari etiologi dan patogenesis dari hipertensi dalam
kehamilan namun hingga kini belum memuaskan sehinggan Zweifel menyebut
preeklampsia dan eklampsia sebagai “the disease of theory”.20 Adapun hipotesis
yang diajukan diantaranya adalah : 1) Genetik Terdapat suatu kecenderungan bahwa
faktor keturunan turut berperanan dalam patogenesis preeklampsia dan eklampsia.
Telah dilaporkan adanya peningkatan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia
pada wanita yang dilahirkan oleh ibu yang menderita preeklampsia preeklampsia dan
eklampsia. 21 Bukti yang mendukung berperannya faktor genetik pada kejadian
preeklampsia dan eklampsia adalah peningkatan Human Leukocyte Antigene (HLA)
pada penderita preeklampsia. Beberapa 20 peneliti melaporkan hubungan antara
histokompatibilitas antigen HLADR4 dan proteinuri hipertensi. Diduga ibu-ibu
dengan HLA haplotipe A 23/29, B 44 dan DR 7 memiliki resiko lebih tinggi terhadap
perkembangan preeklampsia eklampsia dan intra uterin growth restricted (IUGR)
daripada ibu-ibu tanpa haplotipe tersebut. Peneliti lain menyatakan kemungkinan
preeklampsia eklampsia berhubungan dengan gen resesif tunggal.21 Meningkatnya
prevalensi preeklampsia eklampsia pada anak perempuan yang lahir dari ibu yang
menderita preeklampsia eklampsia mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus
terhadap kejadian preeklampsia. Walaupun faktor genetik nampaknya berperan pada
preeklampsia eklampsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara jelas belum
dapat diterangkan. 2) Iskemia Plasenta Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas
akan menginvasi desidua dan miometrium dalam dua tahap. Pertama, sel-sel trofoblas
endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak
jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri serta
mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir
trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada deciduomyometrial
junction. 22 Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi tahap kedua dari sel
trofoblas di mana sel-sel trofoblas tersebut akan menginvasi arteri spiralis lebih dalam
hingga kedalaman miometrium. Selanjutnya 21 terjadi proses seperti tahap pertama
yaitu penggantian endotel, perusakan jaringan muskulo-elastis serta perubahan
material fibrionid dinding arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang
berdinding tipis, lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadi
dilatasi secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang
meningkat pada kehamilan.22 Pada preeklampsia, proses plasentasi tersebut tidak
berjalan sebagaimana mestinya disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) tidak semua arteri
spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas; (2) pada arteri spiralis yang
mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel trofoblas secara normal tetapi
invasi tahap kedua tidak berlangsung sehingga bagian arteri spiralis yang berada
dalam miometrium tetapi mempunyai dinding muskulo-elastis yang reaktif yang
berarti masih terdapat resistensi vaskuler. 22 Gambar 2. Perbedaan arteri spiralis pada
kehamilan normotensi (atas) dan hipertensi (bawah). Sel sitotrofoblas menginvasi
dengan baik pada kehamilan normotensi.8 Disamping itu juga terjadi arterosis akut
(lesi seperti atherosklerosis) pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri
bertambah kecil atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan
penurunan aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark
pada plasenta.22 Pada preeklampsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskuler disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke arteri spiralis
pada tahap kedua. Akibatnya, terjadi 23 gangguan aliran darah di daerah intervilli
yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke plasenta. 21-22 Hal ini dapat
menimbulkan iskemi dan hipoksia di plasenta yang berakibat terganggunya
pertumbuhan bayi intra uterin (IUGR) hingga kematian bayi. 3) Prostasiklin-
tromboksan Prostasiklin merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel
endotel yang berasal dari asam arakidonat di mana dalam pembuatannya dikatalisis
oleh enzim sikooksigenase. Prostasiklin akan meningkatkan cAMP intraselular pada
sel otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit.21 Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam arakidonat
dengan bantuan enzim siklooksigenase. Tromboksan memiliki efek vasikonstriktor
dan agregasi trombosit prostasiklin dan tromboksan A2 mempunyai efek yang
berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi antara trombosit dan dinding
pembuluh darah.21 24 Gambar 3. Mekanisme pembentukan Tromboksan A2 dan
Prostasiklin. Pada kehamilan normal terjadi kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu,
plasenta dan janin. Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan produksi
prostasiklin dan kenaikan tromboksan A2 sehingga terjadi peningkatan rasio
tromboksan A2 : prostasiklin.21 Pada preeklampsia terjadi kerusakan sel endotel akan
mengakibatkan menurunnya produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat
pembentuknya prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai
kompensasi tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklampsia berhubungan
dengan adanya vasospasme dan aktivasi sistem koagulasi hemostasis. Perubahan
aktivitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini di mana hal ini
sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara tromboksan dan
prostasiklin.21-22 25 Kerusakan endotel vaskuler pada preeklampsia menyebabkan
penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregaasi trombosit dan
fibrinolisis yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin. Trombin akan
mengkonsumsi antitrombin III shingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit
menyababkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonin sehingga akan terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel. 4) Imunologis Beberapa penelitian menyatakan
kemungkinan maladaptasi imunologis sebagai patofisiologi dari preeklampsia. Pada
penderita preeklampsia terjadi penurunan proporsi T-helper dibandingkan dengan
penderita yang normotensi yang dimulai sejak awal trimester II. Antibodi yang
melawan sel endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan
pada kontrol hanya terdapat 15%.22 Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan
invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan
disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan pelepasan sitokin (TNF-α dan
IL-1), enzim proteolitik dan radikal bebas oleh desidua.22 Sitokin TNF-α dan IL-1
berperanan dalam stress oksidatif yang berhubungan dengan preeklampsia. Di dalam
mitokondria, TNF-α akan merubah sebagian aliran elektron untuk melepaskan radikal
bebasoksigen yang selanjutkan akan membentuk lipid peroksida dimana hal ini
dihambat oleh antioksidan.21 26 Gambar 4. Mekanisme patofisiologi preeklampsia
eklampsia. Gambar 5. Sistem imun dalam patofisiologi preeklampsia. Radikal bebas
yang dilepaskan oleh sel desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal
bebas-oksigen dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang akan membuat
radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan 27 menyebabkan
gangguan produksi nitrit oksida oleh endotel vaskuler yang akan mempengaruhi
keseimbangan prostasiklin dan tromboksan di mana terjadi peningkatan produksi
tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi prostasiklin dari endotel vaskuler.21
Akibat dari stress oksidatif akan meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden,
aktivasi dari faktor koagulasi mikrovaskuler (trombositopenia) serta peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler (oedem dan proteinuria).21 Antioksidan merupakan
kelompok besar zat yang ditunjukan untuk mencegah terjadinya overproduksi dan
kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Telah dikenal beberapa antioksidan
yang poten terhadap efek buruk dari radikal bebas diantaranya vitamin E (α-
tokoferol), vitamin C dan β-caroten.21 Zat antioksidan ini dapat digunakan untuk
melawan perusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklampsia. 28 Gambar
6. Patofisiologi terjadinya gangguan hipertensi dalam kehamilan. 3.4.2 Etiologi dan
Patofisiologi Kejang Eklamptik Patofisiologi kejang eklamptik belum diketahui
secara pasti. Kejang eklamptik dapat disebabkan oleh hipoksia karena vasokonstriksi
lokal otak, dan fokus perdarahan di korteks otak.18 Kejang juga sebagai manifestasi
tekanan pada pusat motorik di daerah lobus frontalis.10 Beberapa mekanisme yang
diduga sebagai etiologi kejang adalah sebagai berikut :8 a) Edema serebral b)
Perdarahan serebral c) Infark serebral d) Vasospasme serebral e) Pertukaran ion
antara intra dan ekstra seluler 29 f) Koagulopati intravaskuler serebral g) Ensefalopati
hipertensi
Berdasarkan waktu terjadinya eklampsia dapat di bagi :
1. Eklampsia gravidarum
· Kejadian 50% sampai 60 %
· Serangan terjadi dalam keadaan hamil
2. Eklampsia parturientum
· Kejadian sekitar 30 % sampai 50 %
· Saat sedang inpartu
· Batas dengan eklampsia gravidarum sukar di tentukan terutama saat mulai
inpartu
3. Eklampsia puerperium
· Kejadian jarang 10 %
· Terjadi serangan kejang atau koma seletah persalinan berakhir
Kejang – kejang pada eklampsia terdiri dari 4 tingkat :
1. Tingkat awal atau aura
· Berlangsung 30 – 35 detik
· Tangan dan kelopak mata gemetar
· Mata terbuka dengan pandangan kosong
· Kepala di putar ke kanan atau ke kiri
2. Tingkat kejang tonik
· Berlangsung sekitar 30 detik
· Seluruh tubuh kaku : wajah kaku, pernafasan berhenti, dapat diikuti sianosis,
tangan menggenggam, kaki di putar kedalam, lidah dapat tergigit.
3. Tingkat kejang klonik
· Berlangsung 1 sampai 2 menit
· Kejang tonik berubah menjadi kejang klonik
· Konsentrasi otot berlangsung cepat
· Mulut terbuka tertutup dan lidah dapat tergigit sampai putus
· Mata melotot
· Mulut berbuih
· Muka terjadi kongesti dan tampak sianosis
· Penderita dapat jatuh, menimbulkan trauma tambahan
4. Tingkat koma
· Setelah kejang klonik berhenti penderita menarik nafas
· Diikuti,yang lamanya bervariasi
Selama terjadi kejang – kejang dapat terjadi suhu naik mencapai 40 ˚c, nadi
bertambah cepat, dan tekanan darah meningkat.
Kejang dapat menimbulkan komplikasi pada ibu dan janin.
1. Komplikasi ibu :
· Dapat menimbulkan sianosis
· Aspirasi air ludah menambah gangguan fungsi paru
· Tekanan darah meningkat menimbulkan perdarahan otak dan kegagalan
jantung mendadak
· Lidah dapat tergigit
· Jatuh dari tempat tidur menyebabkan fraktura dan luka – luka
· Gangguan fungsi ginjal
· Perdarahan
· Gangguan fungsi hati dan menimbulkan ikhterus
2. Komplikasi janin dalam rahim :
· Asfiksia mendadak
· Solusio plasenta
· Persalinan prematuritas
Berbagai faktor yang mempengaruhi eklampsia :
· Jumlah primigravida terutama primigravida muda
· Distensi rahim berlebihan yaitu hidramnoin, hamil ganda dan mola hidatosa
· Adanya penyakit yang menyertai kehamilan yaitu diabetes mellitus,
kegemukan
· Jumlah umur ibu di atas 35 tahun
B. Etiologi eklampsia
Dengan penyebab kematian ibu adalah perdarahan otak, payah jantung atau payah
ginjal, dan aspirasi cairan lambung atau edema paru – paru. Sedangkan penyebab
kematian bayi adalah asfiksia intrauterine dan persalinan prematuritas.
Mekanisme kematian janin dalam rahim pada penderita eklampsia :
a. Akibat kekurangan O2 menyebabkan perubahan metabolisme ke arah lemak
dan protein dapat menimbulkan badan keton
b. Meransang dan mengubah keseimbangan nervus simfatis dan nervus vagus
yang menyebabkan :
· Perubahan denyut jantung janin menjadi takikardi dan dilanjutkan menjadi
bradikardi serta irama yang tidak teratur
· Peristaltis usus bertambah dan sfingter ani terbuka sehingga di keluarkannya
mekonium yang akan masuk ke dalam paru – paru pada saat pertama kalinya
neonatus aspirasi.
c. Sehingga bila kekurangan O2 dapat terus berlangsung keadaan akan bertambah
gawat sampai terjadinya kematian dalam rahim maupun di luar rahim .
Oleh sebab itu perlu memperhatikan komplikasi dan tingginya angka kematian ibu
dan bayi. Maka usaha utama adalah mencegah pre eklampsia menjadi eklampsia
perlu diketahui bidan dan selanjutnya melakukan rujukan ke rumah sakit.
C. Patofisiologi eklampsia
Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan penimbunan cairan yang
berlebihan dalam ruang interstitial. Bahwa pada eklampsia dijumpai kadar aldosteron
yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi dari pada kehamilan normal.
Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air
dan natrium. Serta pada eklampsia permeabilitas pembuluh darah terhadap protein
meningkat.
Pada plasenta dan uterus terjadi penurunan aliran darah ke plasenta mengakibatkan
gangguan fungsi plasenta. Pada hipertensi pertumbuhan janin terganggu sehingga
terjadi gawat-janin sampai menyebabkan kematian karena kekurangan oksigenisasi.
Kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering terjadi pada
eklampsia, sehingga mudah terjadi partus prematurus.
Perubahan pada ginjal disebabkan oleh aliran darah ke dalam ginjal menurun,
sehingga menyebabkan filtrasi glomerulus berkurang. Kelainan pada ginjal yang
penting ialah dalam hubungan dengan proteinuria dan mungkin dengan retensi garam
dan air. Mekanisme retensi garam dan air akibat perubahan dalam perbandingan
antara tingkat filtrasi glomelurus dan tingkat penyerapan kembali oleh tubulus. Pada
kehamilan normal penyerapan ini meningkat sesuai dengan kenaikan filtrasi
glomerulus. Penurunan filtrasi glomelurus akibat spasmus arteriolus ginjal
menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan
retensi garam dan retensi air. Filtrasi glomerulus dapat turun sampai 50% dari
normal, sehingga menyebabkan diuresis turun pada keadaan lanjut dapat terjadi
oliguria atau anuria.
Pada retina tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh pada beberapa
arteri jarang terlihat perdarahan atau eksudat. Pelepasan retina disebabkan oleh edema
intraokuler dan merupakan indikasi untuk pengakhiran kehamilan . Setelah persalinan
berakhir, retina melekat lagi dalam 2 hari sampai 2 bulan. Skotoma, diplopia, dan
ambiliopia merupakan gejala yang menunjukkan akan terjadinya eklampsia. Keadaan
ini disebabkan oleh perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri
atau dalam retina.
Edema paru-paru merupakan sebab utama kematian penderita eklampsia. Komplikasi
disebabkan oleh dekompensasio kordis kiri. Perubahan pada otak bahwa resistensi
pembuluh darah dalam otak pada hipertensi dalam kehamilan lebih tinggi pada
eklampsia. Sehingga aliran darah ke otak dan pemakaian oksigen pada eklampsia
akan menurun.
Metabaolisme dan elektrolit yaitu hemokonsentrasi yang menyertai eklampsia
sebabnya terjadi pergeseran cairan dan ruang intravaskuler ke ruang interstisial.
Kejadian ini, diikuti oleh kenaikan hematokrit, peningkatan protein serum, dan
bertambahnya edema, menyebabkan volume darah berkurang, viskositet darah
meningkat, waktu peredaran darah tepi lebih lama. Karena itu, aliran darah ke
jaringan diberbagai bagian tubuh berkurang akibatnya hipoksia. Dengan perbaikan
keadaan, hemokonsentrasi berkurang, sehingga turunnya hematokrit dapat dipakai
sebagai ukuran perbaikan keadaan penyakit dan berhasilnya pengobatan.
Pada eklampsia, kejang dapat menyebabkan kadar gula darah naik untuk sementara.
Asidum laktikum dan asam organik lain naik, dan bikarbonas natrikus, sehingga
menyebabkan cadangan alkali turun. Setelah kejang, zat organik dioksidasi sehingga
natrium dilepaskan untuk dapat bereaksi dengan asam karbonik menjadi bikarbaonas
natrikus. Dengan demikian, cadangan alkali dapat pulih kembali. Pada kehamilan
cukup bulan kadar fibrinogen meningkat. Waktu pembekuan lebih pendek dan
kadang-kadang ditemukan kurang dari 1 menit pada eklampsia.
D. Diagnosis eklampsia
Eklampsia selalu didahului oleh pre eklampsia. Perawatan prenatal untuk kehamilan
dengan predisposisi pre eklampsia perlu ketat dilakukan agar dapat dideteksi sedini
mungkin gejala – gejala eklampsia. Sering di jumpai perempuan hamil yang tampak
sehat mendadak menjadi kejang – kejang eklampsia karena tidak terdeteksi adanya
pre eklampsia sebelumnya.
Eklampsia harus dibedakan dari epilepsy ; dalam anamnesis diketahui adanya
serangan sebelum hamil atau pada hamil muda dengan tanda pre eklampsia tidak ada,
kejang akibat obat anastesi, koma karena sebab lain.
E. Komplikasi eklampsia
Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin, usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre eklampsia berat dan
eklampsia :
1. Solusio plasenta
Karena adanya takanan darah tinggi, maka pembuluh darah dapat mudah pecah,
sehingga terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta
dapat terlepas.
2. Hipofibrinogenemia
Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah , biasanya di bawah 100 mg
persen. Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus secara berkala.
3. Hemolisis
Kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena gangguan integritas membran
sel darahmerah yang menyebabkan pelepasan hemoglobin. Menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal pada penderita
eklampsia.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan tanda gawat akan
terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru – paru
7. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol
umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama
penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP
Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda : hemolisis, peningkatan
enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel sistemik.
Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai
beberapa hari setelah melahirkan.
9. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat
timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Kopmlikasi lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat
kejang - kejang pneumonia aspirasi, dan DIC.
11. Prematuritas, dismaturitas, dan kematian janin intra uterin.
F. Prognosa eklampsia
Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit pada kehamilan yang meminta
korban besar dari ibu dan bayi ( Hanifa dalam Prawiroharjo, 2005 ).
Diurese dapat dipegang untuk prognosa ; jika diurese lebih dari 800 cc dalam 24 jam
atau 200 cc tiap 6 jam makan prognosa agak baik. Sebaliknya oliguri dan anuri
merupakan gejala yang buruk.
Gejala – gejala lain memperberat prognosa dikemukakan oleh Eden ialah ; koma
yang lama, nadi di atas 120 x / menit, suhu di atas 39 ˚c, tekanan darah di atas 200
mmHg, proteinuria 10 gram sehari atau lebih, tidak adanya edema, edema paru – paru
dan apoplexy merupakan keadaan yang biasanya mendahului kematian.
G. Pencegahan eklampsia
Pada umumnya timbulnya eklampsia dapat dicegah atau frekuensinyadi kurangi.
Usaha – usaha untuk menurunkan eklampsia terdiri atas meningkatkan jumlah balai
pemeriksaan antenatal dan mengusahakan agar semua wanita haiml memeriksa diri
sejak hamil muda, mencari pada tiap pemeriksaan tanda – tanda pre eklampsia dan
mengobatinya segera apabila ditemukan, mengakhiri kehamilan sedapatnya pada
kehamilan 37 minggu ke atas apabila dirawat tanda – tanda pre eklampsia tidak juga
dapat hilang. ( Hanifa dalam Prawiroharjo, 2005 )
H. Penanganan eklampsia
Tujuan utama penanganan eklampsia adalah menghentikan berulangnya serangan
kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan
ibu mengizinkan. Penanganan yang dilakukan :
· Beri obat anti konvulsan
· Perlengkapan untuk penanganan kejang
· Lindungi pasien dari kemungkinan trauma
· aspirasi mulut dan tenggorokan
· baringkan pasien pada sisi kiri
· posisikan secar trandelenburg untuk mengurangi resiko aspirasi
· berikan oksigen 4 – 6 liter / menit.
I. Pengobatan eklampsia
Eklampsia merupakan gawat darurat kebidanan yang memerlukan pengobatan di
rumah sakit untuk memberikan pertolongan yang adekuat.
Konsep pengobatannya :
a. Menghindari terjadinya :
· Kejang berulang
· Mengurangi koma
· Meningkatkan jumlah dieresis
b. Perjalanan kerumah sakit dapat diberikan :
· Obat penenang dengan injeksikan 20 mgr valium
· Pasang infuse glukosa 5 % dan dapat di tambah dengan valium 10 sampai 20
mgr
c. Sertai petugas untuk memberikan pertolongan:
· Hindari gigitan lidah dengan memasang spatel pada lidah
· Lakukan resusitasi untuk melapangkan nafas dan berikan O2
· Hindari terjadinya trauma tambahan
Perawatan kolaborasi yang dilaksanakan dirumah sakit sebagai berikut :
1. Kamar isolasi
- Hindari rangsangan dari luar sinar dan keributan
- Kurangi penerimaan kunjungan untuk pasien
- Perawat pasien dengan jumlahnya terbatas
2. Pengobatan medis
Banyak pengobatan untuk menghindari kejang yang berkelanjutan dan meningkatkan
vitalitas janin dalam kandungan. Dengan pemberian :
- Sistem stroganof
- Sodium pentothal dapat menghilangkan kejang
- Magnesium sulfat dengan efek menurunkan tekanan darah , mengurangi sensitivitas
saraf pada sinapsis, meningkatkan deuresis dan mematahkan sirkulasi iskemia
plasenta sehingga menurunkan gejala klinis eklampsia.
- Diazepam atau valium
- Litik koktil
3. Pemilihan metode persalinan
Pilihan pervaginam diutamakan :
- Dapat didahului dengan induksi persalinan
- Bahaya persalinan ringan
- Bila memenuhi syarat dapat dilakukan dengan memecahkan ketuban,
mempercepat pembukaan, dan tindakan curam untuk mempercepat kala pengeluaran.
- Persalinan plasenta dapat dipercepat dengan manual
- Menghindari perdarahan dengan diberikan uterotonika
Pertimbangan seksio sesarea :
- Gagal induksi persalinan pervaginam
- Gagal pengobatan konservatif
BAB III
KONSEP MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN
Proses manajemen kebidanan merupakan proses pemecahan masalah agar
pelayanan yang komprehensif dapat tercapai. Proses manajemen terdiri dari tujuh
langkah disempurnakan secara periodik. Proses dimulai dari pengumpulan data dasar
yang berakhir dengan evaluasi. Kutujuh langkah tersebut membentuk kerangka
lengkap yang dapat diaplikasikan dalam semua situasi. Akan tetapi, setiap langkah-
langkah dapat dipecah menjadi langkah-langkah tertentu dan bisa berubah sesuai
dengan bagaimana keadaan pasien.
A. Langkah I (Pengkajian)
1. DATA SUBJEKTIF
a. Biodata atau identitas pasien
a) Istri
· Nama
Untuk mengetahui agar tidak keliru bila ada kesamaan nama dengan klien dan
sebagai pengenal.
· Umur
Untuk mengetahui pengaruh umur terhadap permasalahan kesehatan pasien/klien.
· Alamat
Untuk mempermudah hubungan bila diperlukan saat keadaan mendesak.
Dengan diketahuinya alamat tersebut, bidan dapat mengetahui tempat tinggal
pasien/klien dan lingkungannya. Dengan tujuan untuk memudahkan menghubungi
keluarganya, menjaga kemungkinan bila ada nama ibu yang sama, untuk dijadikan
petunjuk saat kunjungan rumah.
· Pekerjaan
Untuk mengetahui kemungkinan pengaruh pekerjaan terhadap permasalahan
kesehatan pasien/klien. Dengan mengetahui pekerjaan pasien/klien, bidan dapat
mengetahui bagaimana taraf hidup dan sosial ekonominya agar nasehat bidan sesuai
dan tidak mempengaruhi pada pekerjaanya.
· Agama
Untuk mengetahui kemungkinan pengaruhnya terhadap kesehatan pasien yang
dipengaruhi oleh kebiasaan dan kebudayaan. Dengan diketahuinya agama
pasien/klien, akan memudahkan bidan melakukan pendekatan di dalam melaksanakan
asuhan kebidanan.
· Pendidikan
Untuk mengetahui tingkat intelektualnya. Tingkat pendidikan mempengaruhi sikap
perilaku kesehatan seseorang.
· Status Perkawinan
Untuk mengetahui kemungkinan pengaruh status perkawinan terhadap masalah
kesehatan. Bila diperlukan ditanyakan tentang perkawinan keberapa kalinya.
· Suku/Ras
Untuk mengetahui kemungkinan pengaruhnya terhadap kebiasaan kesehatan
pasien/klien. Dengan diketahuinya suku/ras pasien/klien, akan memudahkan bidan
melakukan pendekatan di dalam melaksanakan asuhan kebidanan.
Karakteristik yaitu pada pengaruh umur ibu terhadap permasalahan kesehatan
pasien/klien. Dalam kurun waktu reproduksi sehat, bahwa usia produksi baik untuk
kehamilan dan persalinan adalah 20-35 tahun. Karena merupakan faktor predisposisi
terjadinya eklamsia.
b) Suami
· Nama
· Umur
· Alamat
· Pekerjaan
· Agama
· Pendidikan
· Suku/Ras
b. Keluhan utama
Merupakan alasan utama pasien untuk datang ke tempat pelayanan kesehatan dan apa
saja yang dirasakan pasien. Yang umumnya pasien datang dengan keluhan nyeri
kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri di epigastrium dan
hiperrefleksia.
c. Riwayat perkawinan
Untuk mengetahui status perkawinan, umur saat kawin, berapa lama kawin baru
hamil dan mengetahui keadaan psikologis pasien.
d. Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui kapan terjadinya menarche, siklus haid, banyaknya haid, lamanya
haid, apakah ada nyeri pada saat haid.
e. Riwayat obstetric yang lalu
Riwayat kehamilan , persalinan, dan nifas yang lalu apakah ibu juga mengalami tanda
– tanda eklampsia.
f. Riwayat kehamilan sekarang
Untuk mengetahui tuanya kehamilan dan tafsiran persalinan ibu dan keluhan yang
dirasakan ibu selama kehamilannya.
g. Riwayat kesehatan sekarang dan lalu
Untuk mengetahui faktor-faktor penyakit yang telah diderita ibu yang berkaitan
dengan arah Predisposisi eklamsia yaitu hipertensi.
h. Riwayat kesehatan keluarga
Mengetahui mengenai penyakit keturunan seperti hipertensi dan DM, jantung,
asma, dll. Dan yang paling mencakup pada eklampsia dengan hipertensi.
i. Riwayat psikososial
Untuk mengetahui keadaan psikososial pasien atau klien perlu ditanyakan antara
lain : Jumlah anggota keluarga, dukungan materil dan moril yang didapat dari
keluarga, kebiasaan-kebiasaan yang menguntungkan kesehatan,kebiasaan yang
merugikan kesehatan.
2. DATA OBJEKTIF
Dikumpulkan melalui pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus.
a. Pemeriksaan umum :
1. Tekanan darah
Dimana kenaikan tekanan darah pada ibu penderita eklampsia meningkat lebih dari
140 / 90 mmHg.
2. Berat badan
Pada pemeriksaan awal maupun ulang untuk mengevaluasi kenaikan BB yaitu bila
kenaikan berat badan ½ kg per minggu dinyatakan normal, sedang berat badan dalam
1 minggu naik 1 kg sampai beberapa kali, ini perlu diwaspadai.
b. Pemeriksaan khusus
Inspeksi
pemeriksaan yang dilakukan dengan cara melihat/memandang dari kepala sampai
ujung kaki.
Yang dinilai bentuk tubuh yang normal, kebersihan kulit, rambut, muka, conjunctiva,
sklera, hidung dan telinga, mulut, leher , payudara, keadaan putting susu menonjol
atau tidak, colostrums ada atau tidak, perut membesar sesuai dengan tua kehamilan,
apakah ada bekas luka operasi, vulva apakah bersih, ada varises atau tidak, oedema
dan pengeluaran dari vagina. Anus apakah ada haemorhoid, extremitas atas dan
bawah apakah ada kelainan.
Muka, ekstremitas atas dan bawah :
Akan terjadi edema karena penimbunan cairan umum dan berlebihan dalam jaringan
tubuh yang dijumpai pada muka, kaki maupun jari tangan yang tidak hilang setelah
istirahat.
Palpasi
pemeriksaan yangdilihat dengan cara meraba.
Dengan cara menggunakan cara Leopold, kemungkinan yang ditemukan ialah :
Leopold I : untuk mengetahui TFU, usia kehamilan dan mengetahui bagian
janin yang berada di fundus.
Leopold II : untuk mengetahui punggung dan ekstremitas janin.
Leopold III : menentukan apa yang terdapat di bagian bawah perut ibu apakah
sudah masuk PAP / belum.
Leopold IV : menentukan bagian bawah janin dan berapa bagian terbawah
janin yang masuk ke dalam rongga panggul
Auskultasi
Untuk dapat mendengar bunyi jantung janin, frekuensinya, teratur atau tidak dan di
periksa pada posisi puctum maksimum. Serta mengetahui adanya keadaan janin
didalam kandungan dalam mendeteksi gawat janin / tidak.
Perkusi
Untuk mengetahui refleks patella kiri dan kanan positif / negative.
· Pemeriksaan panggul
Untuk mengetahui normal atau tidaknya ukuran panggul dengan pengukuran jangka
panggul.
3. DATA PENUNJANG
· Laboratorium
Darah : Hb, Haematokrit, dan golongan darah.
Urine : Kemungkinan ditemukan protein dalam urine 10 gram sehari atau lebih.
USG : Untuk mengetahui keadaan janin baik tunggal atau tidak dan baik
intrauterine atau tidak.
A. Langkah II ( interpretasi data )
Diagnosa kebidanan
Ibu hamil ,G….P….A…H…., usia kehamilan, janin hidup / tidak, tunggal / kembar,
intrauterine / ekstrauterin, letkep / letsu,keadaan jalan lahir, KU ibu dan janin baik
atau tidak.
Dasar :
Melalui anamnesa tanda pasti hamil : pergerakan janin pertama kali dirasakan ibu,
terdengar DJJ saat pemeriksaan auskultasi oleh bidan, foto rontgen tampak jelas
organ janin. Usia kehamilan melalui HPHT dan TFU, janin tunggal dengan teraba
satu bagian keras dan dua bagian tonjolan kecil, intrauterin dengan saat pemeriksaan
palpasi terasa kontraksi dan ibu tidak merasakan nyeri, bagian terbawah janin dengan
letak kepala, pu – ka / pu – ki, sesuai dengan keadaan jalan lahir normal, KU ibu dan
janin baik / tidak .
Masalah yang kemungkinan terjadi :
Melalui anamnesa ibu mengeluhkan nyeri kepala di daerah frontal, gangguan
penglihatan, mual, nyeri epigastrium, dan hiperrefleksia yang dengan adanya tanda
eklampsia. apabila tidak di atasi maka dapat menimbulkan kejang sampai koma pada
ibu.
B. Langkah III ( mengidentifikasi masalah atau masalah potensial )
Masalah potensial ditentukan berdasarkan masalah dan diagnosa yang sudah
diidentifikasikan. Kemungkinan yang timbul : solusio plasenta, hipofibrinogenemia,
hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema paru – paru, nekrosis hati,
sindroma HELLP, kelainan ginjal, gangguan pernafasan, kejang sampai koma,
prematuritas, dismaturitas, kematian janin intrauterine dan kematian ibu.
C. Langkah IV ( Tindakan segera )
Bebaskan jalan nafas, dengan memasang spatel pada mulut ibu agar lidah
tidak tergigit dan jalan nafas bisa terbuka.
Baringkan pasien pada sisi kiri dengan posisi trendelenbrug untuk
mengurangi resiko aspirasi
Beri O2 4 sampai 6 liter / menit
Pasang infus glukosa 5 % di tambah dengan valium 10 – 20 mgr
Kontrol KU pasien
Hindari terjadinya trauma tambahan sebab pasien dapat terjatuh dari tempat
tidurnya saat terjadinya kejang.
Kolaborasi dengan dokter Sp,OG dan segera rujuk untuk penanganan
selanjutnya
D. Langkah V ( Perencanaan atau intervensi )
Memberitahukan kepada keluarga hasil pemeriksaan ibu
Menganjurkan keluarga untuk mengatur posisi ibu dengan kaki sedikit lebih
tinggi dari pada kepala
Memantau perkembangan KU secara adekuat
Memberikan keluarga motivasi berupa dukungan dan semangat emosional
Membuat informed consent
Menyiapkan BAKSOKUDA
Melakukan kolaborasi dengan dokter Sp, Og untuk pemberian therapy dan
penanganan selanjutnya
Lakukan rujukan segera
2.2 KEHAMILAN POST DATE
WHO mendefinisikan kehamilan lewat waktu sebagai kehamilan usia ≥ 42
minggu penuh (294 hari) terhitung sejak hari pertama haid terakhir.
Epidemiologi Insidensi kehamilan lewat waktu berkisar antara 4-19 % •
Diperkirakan 6 % dari 4 juta bayi yang lahir di Amerika Serikat selama 2006 lahir
pada usia kehamilan 42 minggu atau lebih.
Faktor resiko dari kehamilan post term antara lain: 1. Primiparitas 2.
Riwayat kehamilan post term sebelumnya 3. Anensephali janin 4. Jenis kelamin bayi
adalah laki-laki 5. Predisposisi genetik
Diagnosis • USG di trimester pertama untuk menentukan usia kehamilan •
Jika tidak ada USG, maka lakukan anamnesis yang baik untuk menentukan hari
pertama haid terakhir • Pada beberapa penelitian, penentuan usia kehamilan dengan
tanggal HPHT tidak akurat • Penentuan dengan USG menunjukan proporsi usia
kehamilan yang lebih rendah dengan USG dibandingkan dengan HPHT • Semakin
dini dilakukan pemeriksaan USG (12 minggu atau kurang) makin rendah insidensi
kehamilan post term
Pemeriksaan Penunjang • Pemeriksaan USG untuk menentukan berat janin,
posisi janin, air ketuban, dan usia kehamilan • Usia kehamilan paling baik ditentukan
melalui USG di usia kehamilan 12 minggu atau kurang • Pemeriksaan CTG untuk
menilai kesejahteraan janin • Oligohidramnion digambarkan pada USG melalui
Indeks Cairan Amnion (AFI) ≤ 5
Penatalaksanaan • Berdasarkan ACOG, jika dalam 41 minggu tanpa
komplikasi pantau kesejahteraan janin 42 minggu diperiksa apakah ada
komplikasi atau tidak • Jika ada (ganggunan janin dan oligohidramnion) induksi •
Jika tidak ada, pantau kesejahteraan janin dan induksi (terutama dengan pematangan
serviks) • Belum ada penelitian yang membedakan persalinan pada 41 dan 42 minggu
kematian perinatal 0,7% dan 3 % per 1000 kehamilan pada 41 dan 42 minggu
konsep intervensi pada 41 minggu
Prognosis • Kehamilan lewat waktu menyebabkan komplikasi pada janin •
Bayi yang dilahirkan lebih dari 42 minggu atau lebih akan beresiko mengalami
ensepalopati neonatal yang dapat menyebabkan Cerebral palsy • Distosia bahu dan
trauma pada kehamilan akan meningkat pada kehamilan lewat waktu •
Oligohidramnion dan hipoksia janin • Makrosomia juga menjadi salah satu
komplikasi pada kehamilan post term akibat pertumbuhan janin yang terus terjadi
meskipun melewati 37 minggu
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, dkk. Williams Obstetric, ed. 23. McGraw-Hill; 2010
Patricia Crowley. Prolonged pregnancy in Dewhurst's Textbook of Obstetrics and
Gynaecology 7th Edition. Blackwell Publishing
Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013
Matthew J. Neff. ACOG Releases Guidelines on Management of Postterm
Pregnancy. Am Fam Physician. 2004 Dec 1;70(11):2221-2225.