citra perempuan dalam novel sali: kisah seorang … · sastra merupakan gambaran kehidupan dan...
TRANSCRIPT
i
CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL SALI: KISAH SEORANG WANITA
SUKU DANI
KARYA DEWI LINGGASARI
TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Serafin Aic Priharlina
034114027
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Yang selalu ada dan memberiku kekuatan untuk terus melangkah
Yesus Kristus dan Bunda Maria
Kedua orang tuaku terkasih
Stephanus Susilaharda dan Yuliana Prihatin, A.Ma.Pd
Adik-adikku tercinta
Saferine Yunanda dan Agustinus Satria Soma Rajasa
Penyemangat hidup dan sumber inspirasiku
Krisno Bayu WSN
Yang telah menguatkan imanku dalam Kristus
Rm. R. Sapto Nugroho, Pr
Semua pihak yang bersedia membaca skripsi ini
v
Tanpa-Nya, aku bukan apa-apa,
Tanpa-Nya, aku bukan siapa-siapa,
Tanpa tangan-Nya, aku tak dapat berkarya
Tanpa jamahan kasih-Nya, hidupku ini tak akan berguna
Terimakasih kuhunjukkan pada-Mu
Atas berkat, rahmat dan anugerah yang selalu Kau beri untukku,
juga orang-orang pilihan yang kau utus untuk menemaniku
dalam setiap langkah hidupku
Jamahan tangan-Mu dalam setiap doaku memberiku kekuatan,
untuk selalu berkarya…
Terima kasih kuhunjukkan pada-Mu,
Tanpa-Mu aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa
Kumuliakan nama-Mu dalam setiap tarikkan nafasku
Bapa, Putra, dan Roh Kudus…
_Yogyakarta, 05 Mei 09_
vi
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
putra-Nya yang terkasih Yesus Kristus dan Bunda Maria atas berkat rahmat-Nya
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyusun skripsi ini
dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Sastra
Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan mempunyai
beberapa kekurangan karena keterbatasan kemampuan, pengalaman dan
pengetahuan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan dan
perbaikan dari skripsi ini.
Dalam menyusun skripsi ini penulis telah mendapat banyak bimbingan,
pengarahan, saran, kritik, serta dorongan yang bermanfaat dan mendukung
penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu S.E Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku pembimbing I yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan dukungan
serta pengarahan dengan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan pengarahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
viii
3. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum, yang telah menjadi pembimbing
akademik angkatan 2003 yang tidak pernah lelah selalu mengingatkan
anak-anaknya untuk segera menyelesaikan skripsi.
4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi
Sastra Indonesia. Pak Rahmanto, Pak Praptomo, Pak Ari, Pak San, Pak
Yapi, terima kasih atas segala ilmu yang telah dibagikan
5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia. Terutama teman-
teman Sastra Indonesia angkatan 2003. Terima kasih untuk ruang hangat
dan persahabatan yang ada.
6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf sekretariat Fakultas Sastra
untuk pelayanan dan keramahtamahannya.
7. Bapak, Ibu dan kedua adikku tercinta. Terima kasih atas dukungan serta
dorongannya selama ini. Maaf, telah membuat kalian menunggu cukup
lama.
8. Rm. R. Sapto Nugroho, Pr. Terimakasih atas penguatan iman, dukungan,
tuntunan, bantuan, dan perlindungannya selama ini sehingga penulis dapat
terus berjalan dalam jalan Kristus.
9. Krisno Bayu WSN. Terima kasih atas kasih sayang, semangat, dukungan,
dan perhatian yang selalu kau beri untukku.
10. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan
skripsi ini. Tidak ada yang sanggup menggantikan selain rasa terima kasih
yang sangat dalam.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah
diberikan.
ix
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya.
Seluruh kesalahan yang ada pada skripsi ini adalah tanggung jawab penulis. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharap kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
x
ABSTRAK
Priharlina, Serafin Aic. 2009. Citra Perempuan dalam Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani Karya Dewi Linggasari: Tinjauan Sosiologi Sastra. Skripsi S1. Yogyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitan ini mengkaji tentang citra perempuan dalam novel Sali: Kisah
Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi Linggasari. Penelitan ini bertujuan (a) mendeskripsikan struktur novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani yakni, tokoh dan penokohan, plot, dan latar atau setting, (b) mendeskripsikan citra perempuan yang terdiri dari citra diri perempuan, citra sosial perempuan, dan citra perempuan dalam budaya suku Dani di Papua. Citra diri perempuan dalam hal ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu citra fisis dan citra psikis. Citra sosial perempuan meliputi citra sosial perempuan dalam bidang domestik dan publik. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Langkah yang ditempuh adalah menganalisis struktur novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar, kemudian hasil analisis itu digunakan untuk menganalisis citra perempuan dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani.
Hasil penelitian struktur sebagai berikut. Tokoh utama protagonis adalah Liwa, tokoh antagonis adalah Ibarak, tokoh tambahan adalah Aburah, Lapina, Kugara, Wibawa Ardana, Sekar Nilasari, Anton, Hera, Trimas, Lopes, dan tokoh wirawati adalah Gayatri. Alur bersifat sorot balik atau flashback atau regresif. Jalan cerita tidak kronologis atau berurutan. Latar fisik menunjuk pada perkampungan suku Dani. Latar sosial menunjuk pada latar sosial perempuan suku Dani di Wamena, Papua dengan adat yang harus dipatuhi. Latar waktu terjadi pada sekitar tahun 1950-1999.
Hasil analisis citra diri perempuan meliputi citra fisis dan citra psikis. Citra fisis perempuan suku Dani pada waktu muda cantik dan menarik, namun setelah menikah fisiknya berubah menjadi cepat tua dan tidak menarik lagi, citra psikis perempuan suku Dani sangat menderita karena beban hidup yang harus mereka tanggung setelah menikah.
Hasil analisis citra sosial perempuan meliputi citra sosial perempuan dalam bidang domestik dan publik. Dalam bidang domestik perempuan suku Dani harus mengurus semua urusan rumah tangga dan merawat anak mereka, dalam bidang publik perempuan suku Dani sangat berperan memenuhi segala kebutuhan rumah tangga secara ekonomi.
Hasil analisis citra perempuan dalam budaya suku Dani menunjuk pada adat yang berlaku dalam suku dan harus selalu dipatuhi oleh semua perempuan suku Dani. Adat yang berlaku pada suku Dani melarang perempuan mendekati rumah adat yang berisi peralatan perang karena darah yang keluar setiap bulan dianggap dapat menghilangkan tuah pada alat tersebut, perempuan harus melahirkan sendiri di luar kampung karena darah yang keluar saat melahirkan juga dapat menghilangkan tuah pada peralatan perang, perempuan yang sudah menikah harus bertanggungjawab penuh dalam segala pekerjaan rumah tangga karena telah dibayar mahal oleh pihak laki-laki dengan puluhan ekor babi.
xi
ABSTRACT
Priharlina, Serafin Aic. 2009. Woman’s Image in Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani by Dewi Linggasari: Literary Sociologycal Approach. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Sanata Dharma University.
This research analyzes the image of woman’s image in novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani by Dewi Linggasari. This research purposed, (a) describe the structure of Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani’s novel they were character and characterization, plot, and setting, (b) describe woman’s image that consisted of self image of woman, social image of woman, and woman in Dani’s tribe culture at Papua. In this novel, the woman self image was devided into two parts, they were physical and psychical image. Social image consist of woman social image in terms of domestic and public. This research use descriptive methods. The steps of this research were analyzing the structure of novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani, they were character and characterization, plot, and setting, and then the analyzed data were used to analyze the image of woman in novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani. The result of this research were: the main protagonist character was Liwa, the antagonist character was Ibarak, additional character were Aburah, Lapina, Kugara, Wibawa Ardana, Sekar Nilasari, Anton, Hera, Trimas, Lopes, an wirawati Character was Gayatri. The plot is flashback plot or regresif. The story did not went a kronology. Physical setting were colony of dani’s tribe. Social setting was woman social background of Dani’s tribe in Wamena, Papua with an absolute traditonal rule. The time setting was set in abaot 1950 – 1999. The result of self image analysis consist of physical and psychical image. Physical image of woman in Dani’s tribe was beautiful and pretty when they were younger but their phycical image changed into old and did not pretty anymore after they married. Psychical image of woman in Dani’s tribe was in agony because of the weight of life that they must put into their shoulder after married. The result of woman social image consist of woman social image in terms of domestic and public. In domestic term, the woman in Dani’s tribe had to do all the household chores and keep their children. In public terms, the woman in Dani’s tribe played an important role in fulfilling all the household needs economically. The analysis result of woman in Dani’s tribe was depend on the rule played in the tribe and had to be obeyed by all the woman there. Custom that happen in Dani’s tribe interdict woman approache house of custom that consist of equipment’s war because blood that turn out to be body every month can disappear magic power at equipment’s war, woman must be born alone in out of village because blood that turn out to be body can disappear magic power at equipment’s war too, woman who married must be responsible in the household because already expensive pay by man with pig’s.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................... iv
MOTO ....................................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................ x
ABSTRACT ................................................................................................ xi
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitan .................................................................... 4
1.5 Tinjauan Pustaka ..................................................................... 5
1.6 Landasan Teori ........................................................................ 6
1.6.1 Teori Struktural ..................................................... 6
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan ............................... 7
1.6.1.2 Alur ........................................................... 8
1.6.1.3 Latar .......................................................... 11
xiii
1.6.2 Sosiologi Sastra ..................................................... 11
1.6.3 Citra Perempuan .................................................... 12
1.6.3.1 Citra Diri Perempuan ................................. 13
1.6.3.2 Citra Sosial Perempuan ............................. 14
1.6.4 Perempuan dalam Budaya Suku Dani di Papua..... 16
1.7 Metode Penelitian ................................................................... 17
1.7.1 Pendekatan ............................................................ 17
1.7.2 Metode Penelitan ................................................... 18
1.7.3 Teknik Penelitian .................................................. 18
1.8 Sumber Data ............................................................................ 19
1.9 Sistematika Penulisan ............................................................. 19
BAB II ANALISIS STRUKTURAL NOVEL SALI: KISAH SEORANG WANITA
SUKU DANI .................................................................................. 20
2.1 Tokoh dan Penokohan ............................................................. 20
2.2 Alur .......................................................................................... 38
2.2.1 Tahap Awal .............................................................. 39
2.2.2 Tahap Tengah ........................................................... 44
2.2.3 Tahap Akhir ............................................................. 55
2.3 Latar ........................................................................................ 57
2.3.1 Latar Fisik ................................................................ 57
2.3.2 Latar Sosial .............................................................. 58
2.3.3 Latar Waktu .............................................................. 59
2.4 Kesimpulan ............................................................................. 59
xiv
BAB III CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL SALI: KISAH SEORANG
WANITA SUKU DANI .................................................................. 63
3.1 Citra Diri Perempuan .............................................................. 64
3.1.1 Citra Fisis Perempuan .............................................. 64
3.1.2 Citra Psikis Perempuan ............................................ 67
3.2 Citra Sosial Perempuan ........................................................... 75
3.2.1 Citra Sosial Perempuan dalam Bidang Domestik ........... 75
3.2.2 Citra Sosial Perempuan dalam Bidang Publik ............... 76
3.2.2.1 Segi Ekonomi ...................................................... 76
3.2.2.2 Segi Budaya ....................................................... 76
3.4 Kesimpulan ............................................................................. 80
BAB IV KESIMPULAN .......................................................................... 84
4.1 Kesimpulan ............................................................................. 84
4.2 Saran ........................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 91
BIOGRAFI ................................................................................................ 93
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang masalah
Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Sastra
akan selalu berkaitan dengan rekondifikasi terhadap berbagai realitas atau
fenomena budaya. Artinya, realitas tersebut merupakan salah satu elemen inspirasi
dalam penciptaan sastra.
Sastra merupakan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah kehidupan yang
mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang seorang,
antar manusia dan antar peristiwa (Damono, 1979 :1).
Citra adalah gambar pikiran (Pradopo, 1987:80). Citra perempuan adalah
semua gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan
(Indonesia), yang menunjukkan “wajah” dan ciri khas perempuan sebagai
makhluk individu dan sebagai makhluk sosial (Sugihastuti, 2000:7). Oleh karena
itu, citra perempuan sangat erat hubungannya dengan sosial masyarakat yang
berlaku dalam suatu tempat atau daerah.
Salah satu karya sastra yang memiliki aspek sosiologis yang kuat dan
berkaitan dengan citra perempuan adalah novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku
Dani (selanjutnya ditulis Sali) karya Dewi Linggasari. Novel tersebut
menggambarkan kehidupan perempuan Suku Dani yang terbentur oleh adat dan
budaya yang berlaku di suku tersebut dan mengakibatkan penderitaan baik mental
2
maupun fisik bagi para perempuannya.
Kondisi sosial masyarakat yang ada dalam suku Dani sangat berpengaruh
pada citra para perempuannya. Oleh karena itu, penelitian ini mengacu pada citra
perempuan yang terdapat dalam novel Sali : Kisah Seorang Wanita Suku Dani.
Novel tersebut menceritakan kisah wanita Suku Dani yang bernama Liwa.
Setelah menikah ia tidak dapat merasakan kebebasan dalam hidup, setelah
kebebasannya ditukar dengan puluhan ekor babi. Dalam adat Dani, mahar babi
berarti perempuan yang sudah jadi istri harus tunduk kepada suami.
Liwa adalah perempuan kesekian setelah ibu tirinya, Lapina yang
mengalami nasib sama dengan dirinya. Kematian suami Lapina, Kugara,
menghantarkan Lapina kepada kebebasan. Lapina tidak mau menikah lagi
semenjak kematian suaminya karena ia telah merasakan bagaimana menderitanya
ia menghadapi biduk rumah tangga. Liwa sendiri tak mungkin mengharap
kematian Ibarak, suaminya direnggut oleh perang suku seperti pernah terjadi pada
Kugara, ayahnya. Berbeda dengan Lapina, Liwa hidup pada masa ketika
‘peradaban’ sudah memasuki pedalaman Wamena, Papua. Negara juga gereja
mengharamkan perang antar suku.
Kian lama beban hidup Liwa semakin berat karena jumlah anak yang
semakin bertambah banyak serta masuknya barang konsumsi baru dalam
kehidupan mereka. Ibarak justru sebaliknya, ia hanya duduk diam di rumah dan
hanya sesekali berburu. Perang suku telah dilarang setelah masuknya agama
sehingga menyebabkan pembagian kerja dalam rumah tangga tidak adil. Liwa
harus bekerja keras agar kebutuhan rumah tangganya terpenuhi sedangkan Ibarak
3
suaminya tidak melakukan apa-apa. Apalagi membantu Liwa mencukupi segala
kebutuhan rumah tangganya.
Sampai suatu ketika Liwa mengandung untuk kedelapan kali dan ternyata
anak yang dikandungnya terlahir kembar. Adat Suku Dani menganggap bayi yang
terlahir kembar adalah aib atau anak setan jadi harus dibunuh dengan cara
dihanyutkan ke sungai, lagi-lagi Liwa tidak sanggup berbuat apa pun. Akhirnya
ada seorang dokter muda bernama Gayatri yang menyelamatkan anaknya. Karena
beban berat yang dipikul Liwa akhirnya ia memutuskan mengakhiri hidupnya
dengan menenggelamkan dirinya di dasar sungai.
Citra perempuan dalam novel ini sangat dipengaruhi oleh sosial
masyarakat Dani yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakan adalah sosiologi sastra. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa
sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1989:46).
Citra perempuan yang dipengaruhi oleh budaya tersebut tergambar dalam
unsur-unsur novel Sali. Oleh karena itu, untuk mengungkapkan masalah sosiologi
sastra terlebih dahulu dianalisis struktur novel Sali. Dalam analisis ini yang akan
diteliti adalah unsur-unsur yang terdapat dalam novel Sali, dengan alasan bahwa
unsur-unsur tersebut yang intensif mencerminkan citra perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1.2.1 Bagaimana struktur novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya
4
Dewi Linggasari yakni, tokoh dan penokohan, alur, dan latar?
1.2.2 Bagaimanakah citra perempuan yang tergambar dalam Novel Sali: Kisah
Seorang Wanita Suku Dani ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mendeskripsikan struktur novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani
karya Dewi Linggasari yakni, tokoh dan penokohan, alur, dan latar.
1.3.2 Mendeskripsikan citra perempuan yang tergambar dalam novel Sali: Kisah
Seorang Wanita Suku Dani.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan
kritik sastra dan ilmu sastra, khususnya telaah sastra dengan pendekatan
sosiologi sastra.
1.4.2 Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah dalam
kajian studi wanita melalui novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani
karya Dewi Linggasari.
1.4.3 Penelitian ini diharapkan juga dapat menambah kajian dalam studi budaya,
terutama adat dan budaya suku pedalaman Wamena bahwa ternyata masih
jarang sekali persentuhan masyarakat Indonesia yang modern dengan
kehidupan masyarakat di belantara nusantara.
1.5 Tinjauan Pustaka
5
Sejauh pengamatan penulis, belum ada yang mengkaji novel ini sebagai
bahan skripsi. Kajian mengenai novel Sali yang penulis temukan sebatas
berbentuk resensi. Penulis menemukan tulisan kajian novel ini dalam bentuk
resensi yakni, Irma dalam website http:/eskrim.multiply.com/reviews/item/40
menceritakan kisah sedih dua orang perempuan Liwa dan Gayatri. Dua
perempuan yang berbeda kehidupan. Liwa, perempuan dari pedalaman suku Dani
yang sedari kecil ditinggal ibunya dan harus selalu mengalami penderitaan dalam
hidupnya. Gayatri, seorang dokter muda yang bertugas di pedalaman Wamena.
Seorang dokter muda dari Yogyakarta yang harus menelan pil pahit ketika sang
pacar menikah dengan sahabatnya sendiri.
De Te Fabula dalam website http:/narrator.wordpress.com, menceritakan
kehidupan perempuan suku Dani bernama Liwa yang sangat menderita karena
tuntutan adat. Beratnya beban yang ditanggungnya, membuat Liwa memutuskan
mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri ke sungai.
Ria dalam website http:/lovelyry.multiply.com, menguak misteri
perempuan suku Dani yang keberadaannya penuh dengan misteri dan tanda tanya
besar dalam lingkaran yang dinamakan adat.
Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk mengkaji novel Sali sebagai
bahan penelitian sosiologi sastra dalam penulisan skripsi juga menganalisis
struktur novel tersebut secara lebih mendalam.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Teori Struktural
6
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, semendetail dan mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua
analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh (Teeuw, 1984:135).
Pradopo mengatakan bahwa, novel merupakan sebuah struktur. Struktur di
sini dalam arti bahwa novel itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem,
yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling
menentukan, oleh karena itu unsur-unsur novel bukan hanya berupa kumpulan
atau tumpukan hal-hal yang berdiri sendiri melainkan hal yang saling terkait,
saling berkaitan dan saling bergantung (Pradopo, 1987:18).
Dengan demikian jelaslah bahwa analisis sosiologi sastra tetap tidak dapat
dipisahkan dari analisis struktural karena pada hakikatnya karya sastra adalah
sebuah struktur yang bermakna (Pradopo, 1995:108). Nurgiyantoro (1995 : 36)
memaparkan bahwa analisis struktural adalah pendekatan melalui teori struktural
terhadap karya sastra merupakan struktur yang terdiri dari bagian-bagian yang
bermakna. Struktur karya sastra menyarankan pada pengertian hubungan antar
unsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling
mempengaruhi yang bersama membentuk kesatuan yang utuh.
Dalam penelitian ini, analisis diarahkan kepada teks itu sendiri. Di dalam
teks itu terdapat unsur tokoh dan penokohan, alur, dan latar. Unsur-unsur tersebut
yang mendukung jalannya cerita novel Sali.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman (1988 : 16) tokoh adalah individu rekaan yang
7
mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Karena
tokoh tersebut merupakan rekaan pengarang dan hanya pengarang yang mengenal
mereka, maka tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap
batinnya agar wataknya dapat dikenali.
Tokoh menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 165) adalah orang-
orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Berdasarkan fungsi dalam cerita, tokoh dibagi menjadi dua macam, yakni
tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis) (Nurgiyantoro,1995:129).
Selain kriteria tokoh tersebut, Sudjiman menambahkan kriteria tokoh yang lain,
yakni tokoh bawahan.
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, secara popular sering
disebut pahlawan dan merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai ideal
bagi kita (Nurgiyantoro, 1995:129).
Tokoh utama protagonis adalah tokoh sentral yang memegang peran
pimpinan. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Kriterium yang
digunakan untuk menentukan tokoh utama adalah bukan hanya frekuensi
kemunculan tokoh itu dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam
peristiwa yang membangun cerita. Tokoh protagonis dapat juga ditentukan
dengan memperhatikan hubungan antartokoh. Protagonis berhubungan dengan
tokoh-tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua
berhubungan satu dengan yang lain (Sudjiman, 1988:17-18).
8
Tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis
atau tokoh lawan. Tokoh sentral lainnya ada wirawan atau wirawati, tokoh ini
penting dalam cerita dan kadang menggeser kedudukan tokoh utama. Wirawan
pada umumnya punya keagungan pikiran dan keluhuran budi yang tercermin di
dalam maksud dan tindakan yang mulia sebaliknya antiwirawan adalah tokoh
yang tidak memiliki nilai-nilai tokoh wirawan dan berlaku sebagai tokoh
kegagalan (Sudjiman, 1988:19).
Grimes (dalam Sudjiman, 1988:19) mengemukakan tokoh bawahan adalah
tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat
diperlukan untuk membantu pelukisan tokoh utama.
Ada tokoh tambahan yang sebenarnya sulit disebut tokoh karena ia boleh
dikatakan tidak memegang peranan didalam cerita. Tokoh ini disebut tokoh
tambahan (Sudjiman, 1988:20).
1.6.1.2 Alur
Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting dan dalam beberapa
kajian sering dianggap sebagai unsur terpenting. Stanton (dalam Nurgiyantoro,
1995:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian,
tetapi tidak selalu dalam urutan kronologis. Plot merupakan urutan kejadian yang
mempunyai aspek kausalitas, setiap kejadian dihubungkan secara sebab akibat,
satu peristiwa menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Plot sebuah cerita bagaimana pun tentulah mengandung unsur urutan
waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, dalam
sebuah cerita, sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-kejadian
9
berikutnya dan barangkali ada pula akhirnya. Namun, plot sebuah karya fiksi
sering tak menyajikanurutan peristiwa secara kronologis dan runtut, melainkan
penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian awal dan kejadian
terakhir. Dengan demikian, tahap awal cerita tidak harus berada di awal cerita
atau bagian awal teks, melainkan dapat terletak di bagian mana pun
(Nurgiyantoro, 1995: 141).
Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, unity. Antara peristiwa yang satu
dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang
kemudian, ada hubungan, ada sifat saling keterkaitan. Kaitan antara peristiwa
tersebut hendaklah jelas, logis, dapat yang mungkin di awal, tengah atau akhir
(Nurgiyantoro, 1995 : 142).
Untuk memperoleh keutuhan sebuah plot cerita, Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (midle), dan tahap akhir (end). 1. Tahap awal
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap awal merupakan tahap untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita yang muncul. Selain itu, konflik sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.
2. Tahap tengah Tahap awal cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat dan menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi antar tokoh cerita, antar tokoh (-tokoh) protagonist dan tokoh (-tokoh) antagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah inilah klimaks ditampilkan, yaitu ketika konflik (utama) telah mencapai titik intensitas tertinggi.
3. Tahap akhir Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. (via Nurgiyantoro, 1995:142-146)
Ada tahapan lain selain rincian tahapan plot di atas, yakni rincian tahapan plot yang dikemukakan oleh Tasrif. Tasrif membedakan plot menjadi lima bagian. Kelima
10
tahapan itu adalah sebagai berikut. 1. Tahap situation:tahap penyituasian 2. Tahap generatingcircumstances: tahap pemunculan konflik 3. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik 4. Tahap climax: tahap klimaks 5. Tahap denouement: tahap penyelesaian (via Nurgiyantoro, 1995:149-150)
Nurgiyantoro (1995 : 153) mengemukakan bahwa pembedaan plot
berdasarkan kriteria urutan waktu, secara teoritis dapat dibedakan plot ke dalam
dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Yang pertama disebut sebagai plot
lurus maju, atau dapat juga dinamakan progresif, sedang yang kedua adalah sorot-
balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut regresif.
Plot di dalam novel disebut progresif jika peristiwa-peristiwa yang
dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh
(atau: menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau, secara
runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan pemunculan
konflik), tengah (konflik, meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian),
sedangkan uruan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot tidak
bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar
merupakan awal cerita secara logika), melainkan mungkin dari tahap tengah atau
bahkan akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 1995
:154).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh
Aristoteles via Nurgiyantoro, yakni menganalisis alur dengan membedakan alur
menjadi tiga tahap yaitu tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir.
11
1.6.1.3 Latar
Latar adalah tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar befungsi memberi pijakan cerita
secara konkret dan jelas sehingga realitas yang diangkat dapat teralami kembali
dengan segala partikularitasnya terutama jika latar mampu menciptakan suasana,
mengangkat warna lokal lengkap dengan perwatakannya ke dalam cerita
(Nurgiyantoro, 1995: 216-217).
Jenis-jenis latar menurut Hudson terdiri dari latar fisik dan latar sosial.
Latar sosial meliputi penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok
sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Sedangkan latar fisik meliputi tempat dalam ujud fisiknya, yaitu
bangunan, daerah dan sebagainya dan waktu cerita. Latar fisik yang menimbulkan
dugaan atau tautan pemikiran tertentu disebut latar spriritual (Sudjiman, 1992:44-
45).
Fungsi latar antara lain, latar memberikan informasi tentang situasi (ruang
dan tempat) sebagaimana adanya. Selain itu, ada latar yag berfungsi sebagai
proyeksi keadaan batin para tokoh; latar menjadi metafor dari keadaan emosional
dan spiritual tokoh (Sudjiman, 1988:46).
Dalam penelitian, ini penulis menganalisis latar dengan membagi latar
menjadi latar fisik, latar sosial, dan latar waktu yang terdapat dalam novel Sali.
1.6.2 Sosiologi Sastra
Pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini
oleh beberapa ahli disebut sebagai sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak
12
berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan
sosiostruktural terhadap sastra (Damono, 1979:2).
Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologi sastra menurut
Damono. Yang pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa
sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak
dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga
pada hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa
dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan
epiphenomenon (gejala kedua). Kedua pendekatan yang mengutamakan teks
sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang dipergunakan dalam sosiologi
sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian
dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra
(Damono, 1979:2).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sosiologi menurut pengertian
yang kedua yakni, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelaahannya dan menggunakan metode analisis teks untuk mengetahui
strukturnya dan kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala
sosial yang di luar sastra.
1.6.3 Citra Perempuan
Altenbernd (dalam Pradopo, 1987:80) mengemukakan citraan ialah
gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedang
setiap gambar pikiran disebut citra atau imagi (image).
13
Sugihastuti (2000:45) mengemukakan bahwa citra artinya rupa, gambaran,
dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi sistem kerja
mental (bayangan) visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat
dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.
Citra perempuan yang dimaksud dalam hal ini ialah semua gambaran
mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan (Indonesia), yang
menunjukkan “wajah” dan ciri khas perempuan sebagai makhluk individu dan
sebagai makhluk sosial (Sugihastuti, 2000:7). Dengan demikian, perempuan
dicitrakan sebagai makhluk individu yang beraspek keluarga dan masyarakat
(Sugihastuti, 2000:46).
Dalam penelitian ini, citra perempuan yang akan di analisis meliputi citra
diri perempuan baik secara fisis maupun psikis, citra sosial perempuan dalam
hubungannya dengan keluarga dan masyarakan, serta perempuan dalam budaya
Suku Dani di Papua.
1.6.3.1 Citra Diri Perempuan
Citra diri perempuan terwujud sebagai sosok individu yang mempunyai
pendirian dan pilihan sendiri atas berbagai aktivitasnya. Perempuan mempunyai
kemampuan untuk berkembang dan membangun dirinya berdasarkan pada pola
pilihannya sendiri. Perempuan bertanggung jawab atas potensi diri sendiri sebagai
makhluk individu. Citra diri perempuan memperlihatkan bahwa apa yang
dipandang sebagai perilaku wanita bergantung pada bagaimana aspek fisis dan
psikis diasosiasikan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat
(Sugihastuti, 2000:113).
14
Citra diri perempuan itu diabstraksikan dan diklasifikasikan sebagai citra
fisis dan citra psikis perempuan. Dalam aspek fisis, citra perempuan itu khas
dilihat melalui pengalaman-pengalaman tertentu yang hanya dialaminya dan tidak
dialami oleh pria misalnya melahirkan dan merawat anak (Sugihastuti, 2000:112).
Citra fisis perempuan yang tergambar adalah citra perempuan dewasa, perempuan
yang sudah berumah tangga. Selain itu, masa perkawinan dapat mengisyaratkan
bahwa secara fisis, perempuan ditunjukkan sebagai perempuan dewasa
(Sugihastuti, 2000:85).
Dalam aspek psikis, kejiwaan perempuan dewasa ditandai oleh sikap
pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, nasib sendiri, dan pembentukan
diri sendiri (Kartono via Sugihastuti, 2000:100).
Penelitian citra diri perempuan baik secara fisis mau pun psikis berfungsi
memaparkan dan membongkar citra diri tokoh perempuan yang terdapat dalam
novel ini.
1.6.3.2 Citra Sosial Perempuan
Pada dasarnya citra perempuan sosial merupakan citra perempuan yang
erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat tempat perempuan menjadi anggota dan berhasrat
mengadakan hubungan antar manusia. Kelompok masyarakat itu adalah kelompk
keluarga dan kelompok masyarakat luas (Sugihastuti, 2000:143).
Dalam aspek keluarga, citra sosial perempuan berhubungan dengan
peranannya sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang semuanya
menimbulkan konsekuensi sikap sosial yang saling berhubungan antara satu
15
dengan yang lainnya. Citra sosial perempuan dalam sikap sosialnya terbentuk
karena pengalaman pribadi, pengalaman budaya dan pengalaman sosialnya
(Sugihastuti, 2000:xvi).
Raharjo (dalam Hermawati, 2007: 21) mengemukakan Citra, peran dan
status sebagai perempuan, telah diciptakan oleh budaya. Citra bagi seorang
perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya, antara lain, lemah lembut,
penurut, tidak membantah, tidak boleh “melebihi” laki-laki. Peran yang diidealkan
seperti pengelola rumah tangga, sebagai pendukung karir suami, istri yang penurut
dan ibu yang mrantasi. Citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, “serba tahu”,
sebagai panutan harus “lebih” dari perempuan, rasional, agresif. Peran laki-laki
yang ideal adalah sebagai pencari nafkah keluarga, pelindung, “mengayomi”,
sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga.
Menurut Abdullah (dalam Hermawati, 2007: 21) Perempuan masih
dianggap the second class yang sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang
keberadaannya tidak begitu diperhitungkan. Implikasi dari konsep dan common
sense tentang pemosisian yang tidak seimbang telah menjadi kekuatan di dalam
pemisahan sektor kehidupan ke dalam sektor “domestik” dan sektor “publik”, di
mana perempuan dianggap orang yang berkiprah dalam sektor domestik
sementara laki-laki ditempatkan dalam sektor publik. Ideologi semacam ini telah
disyahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang ini kemudian menjadi
fakta sosial tentang status dan peran yang dimainkan oleh perempuan.
Dalam penelitian ini dipaparkan citra sosial perempuan dalam masyarakat
(publik) dan keluarga (domestik). Peran perempuan dalam aspek keluarga pada
16
penelitian ini sangatlah penting. Perempuan tidak hanya merawat anak dan
mengurus rumah tangga saja tetapi berperan dalam segala hal. Sedangkan dalam
masyarakat, meski perempuan dianggap sebagai “warga kelas dua” menurut
Abdullah tetapi dalam penelitian ini tergambar bahwa peran perempuan dalam
sektor publik pun cukup penting, yakni mencari nafkah yang secara otomatis
harus berhubungan dengan masyarakat luar.
1.6.4 Perempuan dalam Budaya Suku Dani di Papua
Dalam budaya Suku Dani, seorang perempuan yang sudah menikah dan
secara adat resmi menjadi seorang istri harus mentaati segala adat yang berlaku.
Hal tersebut dikarenakan sebelum menikah seorang pria harus membayarkan
mahar yang berupa puluhan ekor babi untuk dapat memperistri perempuan Suku
Dani tersebut. Babi merupakan binatang yang memiliki harga yang tinggi dan
dapat memperlihatkan status sosial pria tersebut. Oleh karena itu, pria atau suami
berhak memperlakukan perempuan atau istrinya tersebut sekehendak hatinya
(www.google.com).
Pembagian kerja dalam lingkup keluarga inti atau luas berdasarkan seks.
Istri atau perempuan di Suku Dani lebih berperan dalam bidang logistik,
sedangkan suami atau pria lebih berperan dalam bidang pertanahan. Peranan
berdasarkan seks ini ternyata dilatar belakangi oleh adanya tradisi “perang” di
masa lalu. Ketika kini, tradisi perang itu sudah hilang, pembagian kerja itu masih
tampak dalam kehidupan mereka (Melalatoa, 1995:222).
Dalam pertanian ladang, ternak dan pekerjaan dalam rumah tangga, porsi
17
pekerjaan istri atau perempuan tampak lebih besar dari suami atau pria. Kaum pria
sekarang yang tidak lagi berhubungan dengan tradisi perang lebih banyak
menganggur (Melalatoa, 1995:222).
Keadaan di atas ini menyebabkan kaum wanita merasakan bebannya
terlalu berat. Ia tidak mampu mengasuh anak dalam jumlah besar. Itulah sebabnya
para ibu hamil sering melakukan aborsi dengan cara-cara tradisional yang
merusak kesehatan. Akibatnya kondisi fisiknya semakin lemah. Ada pula dugaan,
bahwa beban yang berat itu seolah-olah menjadi alasan bagi istri untuk
membenarkan atau mengharapkan suaminya kawin lagi. Dengan demikian beban
yang berat tadi terbagi kepada istri-istri yang lain (Melalatoa, 1995:222-223).
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian di sini adalah pendekatan
sosiologi sastra. Sosiologi sastra memandang karya sastra sebagai hasil interaksi
pengarang dengan masyarakat, sebagai kesadaran kolektif (Nyoman, 2003:13).
Sosiologi sastra dapat juga diartikan telaah yang objektif dan ilmiah
tentang manusia dan masyarakat, sosiologi sastra mencoba mencari tahu
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana
ia tetap ada (Damono, 2002:8)
Pendekatan ini diawali dengan melakukan analisis struktural terhadap novel
Sali karya Dewi Linggasari. Hasil analisis struktural tersebut digunakan sebagai
dasar untuk menganalisis sosiologi sastra pada novel ini, yaitu citra perempuan
18
dalam novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani.
1.7.2 Metode Penelitan
Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara,
strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan
rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode
berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk
dipecahkan dan dipahami (Nyoman, 2004:34).
Metode yang digunakan dalam paenelitian ini menggunakan metode
gabungan, yakni metode derkriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah
metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian
disusul dengan analisis (Nyoman, 2004:53). Metode ini digunakan untuk
menganalisis unsur alur, tokoh dan penokohan, latar atau setting dalam novel Sali
: Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi Linggasari. Penulis menentukan
citra perempuan dalam novel Sali. Setelah itu, penulis memaparkan dan
melaporkan hasil penelitian.
1.7.3 Teknik Penelitian
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan meliputi dua hal, yakni teknik
simak dan teknik catat. Teknik simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa
(Sudaryanto, 1993:133). Teknik simak dipergunakan untuk menyimak teks sastra
yang telah dipilih sebagai bahan penelitian.Teknik catat adalah tekhnik menjaring
data dengan mencatat hasil penyimakan data pada kartu data (Mastoyo, 2007 :
45). Teknik catat dipergunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan
mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik catat
19
merupakan tindak lanjut teknik simak.
1.8 Sumber Data
Judul : Sali : Kisah Seorang Wanita Suku Dani
Pengarang : Dewi Linggasari
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : Kunci Ilmu
Tebal : 252 halaman
Ukuran : 11 x 18 cm
1.9 Sistematika Penulisan
Bab I merupakan gambaran awal penelitian yang terdiri dari latar belakang
masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan
Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II merupakan analisis struktural dalam novel Sali : Kisah Seorang Wanita
Suku Dani yang meliputi tokoh dan penokohan, plot, dan latar atau setting.
Bab III merupakan analisis tentang citra perempuan dalam novel Sali : Kisah
Seorang Wanita Suku Dani.
Bab IV berupa kesimpulan.
20
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL NOVEL SALI : KISAH SEORANG WANITA
SUKU DANI
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti dan semendalam keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan
aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,
1984 : 135).
Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,
mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi
yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995 : 37). Dalam penelitian ini, peneliti akan
menganalisis unsur yang mendukung penelitian ini, yakni tokoh dan penokohan,
plot dan latar atau setting.
2.1 Tokoh dan Penokohan
Menurut Sudjiman (1988 : 16) tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. Karena
tokoh tersebut merupakan rekaan pengarang dan hanya pengarang yang mengenal
mereka, maka tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir dan sifat serta sikap
batinnya agar wataknya dapat dikenali.
Berdasarkan fungsi dalam cerita, tokoh dibagi menjadi dua macam, yakni
tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis) (Nurgiyantoro,1995:129).
Selain kriteria tokoh tersebut, Sudjiman menambahkan kriteria tokoh yang lain,
yakni tokoh bawahan.
21
Tokoh dan penokohan dalam novel Sali adalah sebagai berikut.
2.1.1 Liwa
Liwa adalah tokoh utama dalam novel ini. Liwa adalah sosok
perempuan Suku Dani yang dalam hidupnya selalu menderita. Penderitaan
itu dialaminya semenjak ia masih anak-anak. Ibunya, Aburah sakit-sakitan
dan dengan setia Liwa kecil menemani dan membuatkan ibunya makanan.
Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
“Mama....” Sebuah suara halus menyadarkan Aburah dari lamunannya. Ia menatap Liwa, anak perempuannya dengan sayu. Anak itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar dengan tangannya yang mungil (Linggasari, 2007 : 5).
“Mama, makanlah”, Liwa menyuapkan ubi manis ke mulut ibunya, tapi
Aburah tampak tak berselera (Linggasar, 2007 : 7). Ibunya tidak kuat memahan sakit dan akhirnya meninggal. Saat itu
Liwa berada di sisi ibunya. Liwa merasakan kesedihan yang amat
mendalam saat ibunya meninggal. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini
:
“Mama bangunlah....”, Liwa mengguncang-guncang tubuh Aburah, tapi Aburah telah menembus alam lain (Linggasari, 2007 : 8).
“Mama....”, Liwa terus mengguncang-guncang bahu Aburah. Ia tak
memiliki siapa pun di dunia ini kiecuali ibunya. Aburahlah yang menjaga sejak kecil, membaringkannya di dalam noken dan memikulnya kemana pun pergi. Aburah selalu memberi makan berjenis-jenis hasil kebun dan binatang hutan serta buah-buahan. Dan ia pun terus tumbuh dan berkembang. Wanita yang menjadi pelindungnya kini terbaring, tanpa gerak dan suara. Hati kecil gadis itu membisikkan sesuatu yang menakutkan. Liwa terus memandangi Aburah dalam risau dan gelisah yang tak bisa dikendalikan (Lnggasari, 2007 : 8-9).
Liwa kemudian diasuh oleh adik kandung ibunya, Lapina yang
kemudian menjadi ibu tirinya.
“Mama Aburah…” suara Liwa merintih. “Mama Aburah telah pergi, tak usah kau bersedih, ada saya, mama adik akan menjagamu”, Lapina mencoba menghibur Liwa, ia mencoba menatap mata
22
gadis itu dekat-dekat. Hatinya teriris ketika mendapati ruangan kosong pada sepasang mata keponakannya. Liwa tak banyak bicara, kecuali memanggil-manggil nama Aburah, tetapi matanya yang kosong sudah dapat membahasakan kehancuran hatinya (Linggasari, 2007 : 15).
Kutipan di atas menggambarkan keadaan Liwa ketika ibunya
meninggal, tergambar jelas betapa ia begitu menderita kehilangan ibunya.
Meski ada adik ibunya yang menjaga Liwa, tetapi itu belum bisa
mengobati luka hati Liwa begitu saja. Liwa merasa kehidupan menjadi
berbeda setelah ibunya meninggal. Dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Liwa melangkah dalam diam, ia merasa ada sesuatu yang aneh di seputar tempat tinggalnya. Semak belukar dan hijau belantara adalah suatu hal yang biasa, demikian juga dengan suasana sepi yang terpecah oleh suara binatang hutan. Suasana ini telah menyatu dalam hidupnya. Tetapi Liwa merasa seolah-olah hutan menjadi lebih sunyi, ia tak sedang berjalan dengan wanita yang telah melahirkan dan kemudian membesarkannya, tetapi dengan wanita yang menjadi saudara Aburah (Linggasari, 2007 : 19).
Setelah masa berkabung Aburah selesai dan upacara bakar batu
pun digelar, Liwa sudah lebih bisa menerima keadaan bahwa ibunya telah
meninggal. Ia pun mulai bisa mendekatkan diri kepada Lapina.
Liwa tak lagi menampakkan tanda duka dengan berlebihan, ia selalu menempel kepada Lapina untuk mendapatkan kembali bayang-bayang mamaknya, sehingga hatinya yang gundah dapat kembali kepada rasa tenang (Linggasari, 2007 : 25).
Dari kecil, Liwa mengalami semua diskriminasi atas nama adat
yang secara nalar tidak bisa ia terima dan tidak bisa ia tolak. Ketika
ayahnya meninggal akibat perang suku, Liwa harus merelakan ruas jarinya
dipotong karena menurut adat hal tersebut untuk menghormati arwah
ayahnya. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Pada hari berikut setelah kematian itu, maka Liwa harus kembali menjadi pelaku adat. Adat yang menakutkan dan menggenapkan kesakitannya. Lapina mengetahui akan hal itu, ia memeluk Liwa dengan segala rasa kasih, air matanya mengucur.
23
“Aku selalu menyayanginya, tetapi aku tidak mau kehilangan ruas jariku”, Liwa memeluk Lapina semakin erat, seakan ia tengah kehilangan separuh kesadarannya (Linggasari, 2007 : 50-51).
Liwa tumbuh menjadi seorang gadis dewasa yang menarik. Liwa
pun mulai merasakan rasanya jatuh cinta dan ia pun mulai menjalin
hubungan dengan seorang pemuda dari kampung lain secara diam-diam.
Liwa tidak menyadari bahwa Lapina mengetahuinya. Liwa pun mendapat
teguran dari Lapina. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:
“Jadi ini yang kau lakukan selama ini? Sejak kapan ada seorang pemuda dapat menyentuh gadis tanpa terlebih dahulu membayarnya dengan babi dan memintanya secara adat kepada orang tuanya?” Lapina menyampaikan teguran, matanya menatap tajam kepada Liwa, seolah kilatan pisau yang siap menyayat-nyayat. Liwa terperangah, mulutnya terkunci, matanya yang berbinar seketika menjadi padam, ia tersadar akan kesalahannya (Linggasari, 2007 : 65-66).
“Kalau sekali lagi engkau berani melakukan hal seperti itu, maka aku tak
segan-segan akan memukulmu. Kau mengerti Liwa? Aku bukan hanya ibumu, tapi juga bapakmu. Jangan kira aku begitu mudah membesarkanmu hingga engkau menjadi seorang gadis dan seorang laki-laki dapat tertarik kepadamu. Ingat akan hal itu Liwa!” Lapina terus menatap Liwa tapi kemarahannya masih terkendali, setelah itu ia berlalu pergi menuju sungai, meninggalkan Liwa mematung seorang diri (Linggasari, 2007 : 66).
Meski Lapina telah menegur dan memperingatkan Liwa dengan
tegas namun Liwa tetap melanggar. Liwa tetap bertemu dengan pemuda
pujaan hatinya dan tanpa ia ketahui Lapina terus mengawasinya.
Liwa benar-benar terlena, ia tak sadar, bahwa Lapina terus mengawasinya. Suatu hari, ketika Liwa dan Ibarak tengah berbaring saling merapat di bawah sebatang pohon yang rindang, menatap kabut putih yang berarak perlahan, tiba-tiba Lapina telah berdiri di depannya. Wanita itu datang tanpa suara seakan hantu disiang bolong.
“Kau masih juga keras kepala Liwa!” Lapina setengah berteriak. Liwa terperanjat, ia tak percaya, bahwa Lapina dapat menemukan tempat persembunyiannya. Wajah Liwa seketika memucat, ia tahu betul perangai Lapina apabila sedang dilanda amarah. “Sudah kukatakan, jangan pernah ada seorang laki-laki pun yang menyentuhmu sebelum ia meminta kepadaku secara adatdan membayarmu dengan babi-babi. Engkau harus sadar siapa atau engkau harus menghargai dirimu sendiri!” mata Lapina menatap Liwa dengan berapi-api, dan “Plak!!” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Liwa (Linggasari, 2007 : 67-68).
24
Liwa akhirnya meminta kekasihnya, Ibarak untuk melamar dan
meminta kepada Lapina menurut adat dengan membayar babi-babi.
Akhirnya Liwa dan Ibarak menikah setelah melewati berbagai macam
halangan. Liwa berpikir dengan menikah penderitaannya akan berkurang,
namun ia salah. Ketika menikah Ibarak telah membayarnya dengan
puluhan ekor babi sehingga Ibarak berhak memperlakukan Liwa sesuka
hati. Meskipun Liwa dalam keadaan sakit, namun jika ia masih kuat untuk
berdiri maka Liwa harus tetap menjalankan kewajibannya dalam mengurus
rumah tangga, yakni mencari makan, mengolah kebun, merawat dan
memberi makan babi-babi, mengurus anak-anak dan seluruh urusan rumah
tangga yang lain. Sedangkan suaminya tak berbuat apa-apa karena saat itu
perang antar suku telah dilarang. Kutipan di bawah ini menggambarkan
situasi yang dialami Liwa.
Liwa pernah berbaring seharian di dalam honai, karena kandungan yang kian membesar, tetapi ketika persediaan ubi manis telah habis, maka Ibarak menegurnya.
“Engkau harus kembali kepada tugasmu, atau kita akan kelaparan”. “Tidakkah kau tahu akan keadaanku?” Liwa membela diri. “Aku tahu, tapi inilah adat dalam keluarga. Bukankah aku telah
membayarmu dengan harga mahal? Engkau tak bisa mengelak dari tanggung jawab. Dan aku tak mau terus menerus memarahimu”. Ibarak berkata seolah Liwa adalah wanita sehat yang dapat melakukan segalanya (Linggasari, 2007 : 77-78).
Dalam kehidupan rumah tangganya dengan Ibarak, Liwa harus
memikul beban yang begitu berat. Selain harus mengerjakan seluruh tugas
dan pekerjaan dalam keluarga, ia harus mengurus anak-anak yang terus
bertambah. Liwa harus mengandung untuk kedelapan kalinya dan tidak
bisa ia tolak. Anak kedelapannya terlahir kembar dan salah satunya harus
25
dibuang ke sungai karena menurut adat Suku Dani dianggap sebagai anak
setan. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini :
”Dalam adat kami, bayi kembar yang lahir sebagai adik dianggap sebagai anak setan. Mereka harus berpisah tak bisa dibesarkan bersama-sama. Bila tidak dipisah, maka salah satu diantara keduanya akan mati”, Liwa memejamkan mata. ”Anak itu harus dihanyutkan di sungai, apabila ada yang mengambilnya, ia akan selamat. Bila tidak, ia kan kembali kepada alam” (Linggasari, 2007 : 175).
Beban Liwa sangatlah berat dan penderitaannya bertambah ketika
ia harus menghadapi kenyataan bahwa seluruh anak laki-lakinya
meninggal akibat kebakaran di honai laki-laki.
Liwa memandang kobaran api dengan kalap, dalam mimpi paling buruk sekalipun ia tak pernah melihat kejadian seperti ini. Ia telah melahirkan kemudian membesarkan anak-anaknya. Kini mereka mengakhiri hidup dengan sia-sia, hangus dalam jilatan lidah api, karena kelalaian. Liwa ingin menyeruak ke dalam kobaran api, tetapi tangan-tangan kuat menahannya. Wanita itu terus berteriak dan memberontak, tetapi tangan-tangan itu terlalu kuat, sedangkan tenaganya hanyalah keputusasaan. Liwa sungguh merasa bahwa hidupnya telah berakhir, ia seakan terbawa serta dalam suatu proses kematian yang menyakitkan. Keinginan untuk bertahan hidup hanya tinggal serbuk abu tak berbentuk (Linggasari, 2007 : 221).
Kutipan di atas menggambarkan penderitaan Liwa ketika
kehilangan seluruh anak laki-lakinya akibat kebakaran di honai laki-laki.
Terlihat jelas betapa hancur hati Liwa menghadapi kenyataan yang pahit
itu.
Liwa akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan
menenggelamkan diri di sungai dan meninggalkan sali (pakaian
tradisional wanita suku Dani) terakhir yang ia kenakan di atas batu. Ia
tidak kuat memikul seluruh beban hidup yang begitu berat.
Di atas bebatuan tersangkut sali – pakaian tradisional wanita suku Dani yang terakhir dikenakan Liwa melambai-lambai dihembus angin. Gayatri merasa jarum jam tak lagi bergerak, waktu pun terhenti. Sali itu sudah mengatakan semuanya, ia tak perlu lagi jawaban dan tak perlu lagi bertanya-tanya (Linggasari, 2007 : 1).
26
Kutipan di atas merupakan perjalanan terakhir hidup Liwa yang
berakhir sedih. Beban hidup yang berat membuat Liwa mengambil
keputusan untuk mengakhiri hidupnya.
2.1.2 Ibarak
Ibarak adalah tokoh antagonis dalam novel ini. Ibarak adalah suami
Liwa. Dalam kehidupan berumah tangga Ibarak selalu bertindak semena-
mena terhadap Liwa. Ia memperlakukan Liwa seperti budak. Ia tak peduli
apa pun keadaan Liwa, karena yang terpenting dalam hidupnya adalah
makan dan menghisap tembakau. Dan semua itu harus ada sebelum ia
memintanya. Jika tidak ia akan marah dan mengamuk, bahkan tak segan
mamukul Liwa. Hal tersebut ia lakukan karena ia merasa telah membayar
Liwa dengan puluhan ekor babi ketika menikahi Liwa. Perilaku Ibarak
yang semena-mena terhadap Liwa dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
“Berani benar engkau Liwa!” tangan Ibarak terayun dengan sangat kuat, mendarat di pipi Liwa. Perempuan itu merasa sakit, rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh, mengobarkan kemarahan. Selama ini ia selalu mengalah dengan setiap perlakuan Ibarak, tapi kali ini kesabarannya telah musnah. Liwa harus melakukan sesuatu, ia pun menerjang Ibarak dengan membabi buta dan mencakar-cakar Ibarak dengan kukunya yang tajam. Ibarak terkejut dengan serangan Liwa, ia tak menyangka bahwa perempuan itu akan dapat menyerangnya (Linggasari, 2007 : 84). Perilaku Ibarak pun sangat kasar dan bisa dikatakan cukup kejam.
Ibarak tak segan-segan mengancam untuk membunuh Liwa apabila Liwa
terus melawannya. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
”Kalau masih berani melawanku, aku akan membunuhmu!” Ibarak mengancam (Linggasari, 2007 : 85). Hal buruk lain yang Ibarak lakukan kepada Liwa adalah ia
27
menyuruh Liwa untuk menggoda seorang pria bernama Lopes karena ia
tahu bahwa Lopes menyukai Liwa. Hal tersebut ia lakukan agar secara
adat ia dapat menuntut babi-babi kepada Lopes dan bertambah banyaklah
kekayaannya. Tetapi Liwa menolak sehingga Ibarak pun memukuli Liwa
tanpa ampun.
“Aku ingin babi-babi. Babi-babi itu akan membuatku menjadi orang kaya di kampung ini”.
“Kau sudah gila Ibarak”. “Kau tidak boleh begitu. Aku telah membayarmu dengan puluhan ekor
babi. Kau harus menuruti semua permintaanku. Bujuklah Lopes, supaya aku dapat menangkap basah kalian dan dapat kiranya menuntut denda babi” (Linggasari, 2007 : 201-202).
Kutipan percakapan di atas merupakan percakapan antara Ibarak
dan Liwa ketika Ibarak membujuk Liwa untuk menggoda Lopes demi
babi-babi yang ia inginkan.
Ibarak sangat marah dan kecewa atas pembangkangan yang
dilakukan Liwa terhadapnya. Akhirnya ia mencari cara untuk mengatasi
rasa marahnya terhadap Liwa yakni dengan menikah lagi. Hal tersebut
Ibarak lakukan untuk membuktikan kepada Liwa bahwa perlawanan Liwa
selama ini kepadanya tak ada artinya sama sekali. Dapat dilihat pada
kutipan di bawah ini :
Ibarak terlalu jengkel dan jenuh dengan segala pembangkangan yang dilakukan Liwa, ia harus mencari jalan keluar bagi kejengkelan dan kejenuhan itu. Ia akan menikahi seorang gadis – seorang gadis yang berlemak – membayarnya dengan babi kemudian memperkerjakannya sebagai seorang istri. Dengan cara seperti itu Liwa pasti akan menyadari, bahwa pembangkangannya tidak berarti apa-apa (Linggasari, 2007 : 213).
Perkawinan yang dilakukan Ibarak membuat ia kehilangan banyak
babi. Ia pun merasa bahwa ia tak lagi kaya. Oleh karena itu, ia kembali
28
membujuk Liwa agar mau menggoda Lopes sehingga ia dapat menuntut
babi-babi kepada Lopes dan ia akan menjadi kaya kembali. Dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini :
”Liwa, kau tahu bukan? Babi-babiku banyak yang berkurang?” Ibarak mengalihkan pembicaraan. Liwa mengerutkan keningnya, ia tak tahu kemana arah pembicaraan suaminya.
”Kalau kurang kenapa Ibarak?” ”Aku ingin mendapatkannya kembali” ”Nanti, babi itu juga akan beranak pinak”. ”Aku tak sabar Liwa”. ”Terus, apa maumu?” Suasana di dalam honai tiba-tiba menjadi hening, Liwa bisa mendengar
hembusan napas Ibarak yang berat dan ia merasakan kerisauannya. ”Kau pasti masih teringat akan Lopes?” (Linggasari, 2007 : 225).
Penderitaan Liwa akibat dari karakter Ibarak menempatkannya
sebagai tokoh antagonis.
2.1 3 Lapina
Adik dari ibu kandung Liwa. Sebelum Aburah, ibu kandung Liwa
meninggal, Lapina telah berjanji kepada Aburah untuk menjaga Liwa. Dan
Lapina harus menepati janjinya tersebut setelah Aburah meninggal. Hal
tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut ini.
Lapina terlalu galau dengan kata-kata Aburah, sehingga ia hanya diam terpakumanatap saudara tuanya dengan segala tanda tanya. “Kau mendengar kata-kataku Lapina?”Aburah bertanya.
“Saya mendengar”, Lapina menjawab singkat, kemudian keduanya bertatapan. Aburah segera memejamkan mata dengan sebuah helaan nafas lega, ketika dari tatapan matanya, Lapina telah mengiyakan kata-katanya. Lapina tak menghendaki kematian itu, tapi siapa pula yang dapat menolak takdir-Nya? Kini Lapina harus menepati janji, meluluskan permintaan dari orang yang telah tiada. Yah!Ia harus menjaga bocah kecil itu, Liwa (Linggasari, 2007 : 16-17) .
Setelah Aburah meninggal secara adat ayah Liwa berhak
mengawini Lapina karena ia adik kandung istrinya. Agar garis kekerabatan
29
dari ibu Liwa tidak putus. Lapina mengalami hal yang sama seperti Liwa.
Bahkan jauh sebelum Liwa mengalami hal tersebut.
Beban kerja Lapina semakin bertambah berat, ia harus bangun pagi, menyediakan makanan bagi Kugara, pergi ke kebun sambil menjaga Liwa, memberi makan babi-babi, dan bersikap sebagai layaknya istri. Berbulan kemudian Lapina merasa dirinya semakin lemah dan sakit-sakitan. Meski demikian ia harus tetap pergi ke kebun demi babi-babi dan makanan sehari-hari (Linggasari, 2007 : 32).
Ketika suatu hari Lapina pulang dengan membawa sedikit hasil kebun,
Kugara suaminya memarahinya dan tidak peduli bahwa saat itu Lapina sedang sakit. Kugara hanya tahu bahwa ia telah membayar Lapina dengan babi dan Lapina harus bekerja untuknya.
”Engkau selalu sehariann berada di kebun, tetapi mengapa ubi manis yang kau bawa hanya sedikit?”kugara menegur Lapina.
”tidakkah engaku melihat, badanku kian hari kian lemah?” Lapina balik bertanya.
”Aku telah membayarmu dengan babi, kau harus bekerja untukku dan untuk babi-babi itu”, Kugara memberi tekanan pada suaranya, tampak sekali bahwa ia tidak senang.
”Memang betul, tetapi babi-babi itu tidak membuatku kuat”, Lapina menghempaskan bobot noken ke lantai honai dania pun sibuk menyalakan kayu bakar. Ubi manis harus masak, bila tidak Kugara akan mengomel dan bukan tidak mungkin akan memukulnya (Linggasari, 2007 : 33-34).
Kutipan di atas merupakan penderitaan yang dialami Lapina
setelah ia menikah dengan Kugara.
Tetapi Lapina tidaklah lama mengalami segala bentuk penderitaan
karena Kugara (suami dan ayah Liwa) tewas dalam perang suku kala itu.
Pada akhirnya Lapina memutuskan untuk tidak menikah lagi karena ia
tidak ingin mengulang penderitaan yang sama ketika ia menikah dengan
Kugara.
Setelah kematian Kugara, Lapina memilih hidup sendiri, ia tak mau menerima lamaran dari pihak laki-laki, karena ia merasa telah cukup pahit ketika hidup dengan kugara. Babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat hidupnya menjadi budak (Linggasari, 2007 : 87).
Kutipan di atas merupakan pilihan hidup Lapina setelah kematian
30
suaminya, Kugara. Ia tak mau lagi hidup menderita akibat kesewenang-
wenangan laki-laki. Dalam novel ini Lapina termasuk dalam tokoh
bawahan.
2.1.4 Aburah
Aburah adalah ibu kandung Liwa. Tokoh Aburah merupakan tokoh
perempuan Dani pertama dalam novel Sali yang mengalami penderitaan
karena adat dan ia tak punya pilihan atas hidup yang ia jalani. Dapat
dilihat pada kutipan di bawah ini :
Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita suku Dani adalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu masak sebagai bahan makanan. Bila tidak ada makanan, maka Kugara suaminya akan mengamuk dan memukulnya (Linggasari, 2007 : 6-7).
Dalam keadaan sakit, Aburah masih memiliki mimpi dalam
hidupnya untuk Liwa. Meski mimpi itu tak mungkin menjadi kenyataan.
Kutipan yang menggambarkan tokoh Aburah dapat dilihat di bawah ini :
Tak ada yang lebih berharga dari kehidupan seorang ibu, kecuali bayi yang telah dilahirkan kemudian dibesarkan. Demikian pula dengan Aburah. Ia masih memiliki sisa keinginan untuk membesarkan Liwa hingga dewasa kemudian menikahkan dalam upacara adat yang ramai oleh pemberian babi dari pihak laki-laki. Tapi Aburah terlalu lemah untuk memenuhi keinginan itu. Ia teringat pada saudara tua Liwa yang telah tiada, karena malaria, kemudian pada bayi yang dikandungnya. Mata Aburah menjadi basah. Ia tak pernah menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ia tak pernah punya pilihan lain dalam hidupnya (Linggasari, 2007 : 6).
Beban hidup yang sangat berat membuat Aburah jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia. Ia meninggalkan Liwa ketika masih kecil.
Dilain pihak Aburah merasa kesadarannya semakin menjauh, badannya
31
seakan melayang seperti kabut putih yang mengapung di dalam ruangan hampa. Ia tak lagi merasakan sakit karena beban hidup sehari-hari yang terus menindih. Ia merasa begitu ringan seolah gumpalan kapas yang melayang diterbangkan angin musim. Ketika tiba-tiba sebuah kekuatan dahsyat menyedot badan halus yang berkuasa akan seluruh hidupnya, nafas wanita itu pun tersengal-sengal. Hanya beberapa saat, sebab Aburah segera melihat tubuhnya terbaring lemah di lantai honai, sementara ia tengah melayang-layang di lantai rendah. Aburah mencoba membujuk Liwa supaya anak kecil itu menghentikan tangisannya, tapi suaranya tidak dapat didengar. Ia telah hidup di alam laindan tak mampu lagi berbicara dengan orang-orang yang ditinggalkannya. Ia telah mati (Linggasari, 2007 : 9). Kutipan di atas merupakan gambaran tokoh Aburah saat ia
meninggal karena menderita sakit. Tokoh Aburah termasuk tokoh
tambahan.
2.1.5 Kugara
Kugara adalah ayah kandung Liwa. Setelah istrinya, Aburah
meninggal ia menikahi adik kandung istrinya yakni Lapina. Sikapnya tidak
jauh beda dengan pria Dani kebanyakan, yakni memperlakukan istrinya
semena-mena karena merasa telah membayar puluhan ekor babi ketika
menikah. Kugara tewas dalam peperangan antar suku. Tokoh Kugara dapat
dilihat pada kutipan percakapan antara Kugara dan Lapina berikut ini :
“Aku telah membayarmu dengan babi, kau harus bekerja untukku dan untuk babi-babi itu”, Kugara memberi tekanan pada suaranya, tampak sekali bahwa ia tidak senang.
“Memang betul, tetapi babi-babi itu tidak membuatku kuat”, Lapina menghempaskan seluruh bobot noken ke lantai honai dan ia pun mulai sibuk menyalakan kayu bakar. Ubi manis harus masak, bila tidak Kugara akan mengomel dan bukan tidak mungkin akan memukulnya.
“Aku tidak mau tahu, besok kau harus pulang dengan hasil kebun yang lebih banyak, bila tidak kau akan tahu akibatnya!” Kugara mengancam (Linggasari, 2007 : 33-34).
Kugara juga tidak mau tahu meski Lapina baru saja melahirkan.
Lapina harus tetap bekerja mencari makan. Baginya bekerja di kebun
32
adalah urusan perempuan jadi Kugara sama sekali tidak mau membantu.
”Aku tahu kau baru saja melahirkan Lapina, tapi coba kau lihat persediaan makanan kita sudah menipis. Kalau kita tak pergi ke kebun kita akan kelaparan”, Kugara membuka pembicaraan. ”Bekerja di kebun dan mencari makan adalah urusanmu. Maaf sekali, aku tak dapat menggantikanmu. Kalau kau tak segera pergi ke kebun untuk mencari makanan, kau akan tahu akibatnya”, Kugara menyatakan ancaman (Linggasari, 2007 : 37-38).
Kutipan di atas merupakan gambaran tokoh Kugara yang semena-
mena terhadap Lapina ia sama ssekali tidak peduli dengan keadaan Lapina.
Salah satu pemuda dalam kampung Kugara telah terbunuh karena
perkelahian dengan kampung lain. Kampung Kugara menyatakan
peperangan terhadap kampung tersebut untuk menuntut balas. Kugara
menjadi salah satu orang yang ikut dalam peperangan itu. Sebelum
berangkat ia berpamitan kepada Lapina dan Liwa.
Kugara pergi dengan mulut terkunci, ada sesuatu yang aneh pada kepergian Kugara kali ini. Wajah laki-laki itu tampak sedemikian pucat, sementara sepasang matanya telah kehilangan cahaya (Linggasari, 2007 : 45). Kugara akhirnya tewas dalam peperangan tersebut. Dapat dilihat
pada kutipan berikut.
Kugara datang dalam keadaan digotong beramai-ramai dengan luka menganga bekas ujung tombak, tepat di dadanya. Darah masih mengucur, masih hangat, mata kugara terpejam, wajahnya pucat pasi, kaki dan tangannya tak dapat lagi digerakkan. Daya hidup yang mampu menggerakkan badan kasarnya telah tercabut. Laki-laki itu telah gugur di medan perang sebagai prajurit yang menuntut bayar darah atas kematian Jiwika (Linggasari, 2007 : 46). Dalam novel Sali ini, tokoh Kugara termasuk tokoh tambahan.
2.1.6 Gayatri
Gayatri, seorang perempuan muda, dokter muda dari Yogyakarta
yang memutuskan mengambil praktik untuk dokter pemula di daerah
33
pedalaman Wamena setelah rencana pernikahan dengan lelaki pujaan
hatinya gagal oleh pengkhianatan sahabatnya sendiri.
Gayatri sangat mengenal nama itu, Sekar Nilasari adalah sahabatnya yang sejati, sedangkan Wibawa Ardana adalah dokter muda yang seharusnya datang melamar menjadi pengantinnya. Tapi undangan ini? Gayatri membuka sampul undangan dengan harapan yang sangat tipis bahwa isi dalam undangan itu akan menyatakan hal-hal lain, tapi harapan itu sirna, ketika Gayatri membaca nama keluarga yang mengundang dan alamatnya. Jadi… (Linggasari, 2007 : 100).
Kutipan di atas merupakan gambaran tokoh Gayatri ketika
menghadapi pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabat dan kekasihnya
sendiri. Gayatri tidak menyangka jika sahabat sejatinya akan
mengkhianatinya, menikah dengan kekasihnya.
Pengabdian dokter muda ini sangat berkesan dan dipenuhi dengan
banyak hal yang kelak akan menambah kematangan pribadinya. Di
Wamena ia dihadapkan dengan kasus yang cukup rumit, ia harus
menangani seorang ibu hamil yang siap melahirkan bernama Liwa.
Kondisi Liwa sangat memprihatinkan dan butuh penanganan khusus.
Wanita itu tampak sedemikian lemah dengan perut terlalu besar. Wajahnya menguning, bibirnya pucat, badannya menggigil dalam demam yang tinggi. Gayatri terdiam menatap wanita itu dalam jarak dekat, ia tak melihat ada kekuatan tersisa, pandangan matanya dingin dan hampa.
”ini anak keberapa mama?” Gayatri bertanya. ”Delapan”, jawab wanita itu singkat ”Nama mama?” ”Liwa” ”Mama harus beristirahat total, tidak boleh bekerja sama sekali, coba
periksa darah, barangkali malaria. Dan lebih baik mama beristirahat di ruang rawat”, Gayatri berniat meninggalkan ruang periksa untuk kembali ke ruang kerja, tapi tatapan wanita itu seakan menahannya (Linggasari, 2007 : 138-139).
Kutipan di atas merupakan awal pertemuan Gayatri dengan Liwa.
Lewat pertemuan itu, Gayatri merasakan seolah ada sesuatu yang
tersimpan pada diri Liwa. Ketika memandang Liwa, Gayatri merasakan
34
bahwa Liwa sangat menderita. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Gayatri seolah tengah menatap sepasang mata pada zaman yang telah beratus tahunberlalu, mata yang menimbun penderitaan hidup tak terkatakan. Ia dan pasien yang tengah dirawat kini sama-sama wanita, tapi dalam jarak yang dekat, pada ruang dan waktu yang sama, keduanya seolah terpisahkan situasi yang jauh berbeda dan tak akan pernah disatukan (Linggasari, 2007 : 139).
Tapi aneh, ia tak sedikitpun dapat mengusir bayang-bayang Liwa dalam benaknya. Ada sesuatu yang mengiris dalam garis wajah wanita itu. Tiba-tiba Gayatri terdorong rasa ingin tahu. Ada apa dibalik wajah duka pasien itu? Ia ingin melakukan sesuatu (Linggasari, 2007 : 141).
Gayatri sangat bersimpati kepada Liwa dan berkeputusan untuk
memantau sendiri kondisi Liwa hingga saat melahirkan tiba.
Ia berkeputusan memantau keadaan pasien itu hingga kelahirannya. Gayatri merasa ada sebuah dorongan kuat untuk memenuhi permintaan Liwa, bahwa ia harus menyelamatkan wanita itu ketika melahirkan bayinya. Ia pasti akan menolong Liwa dengan semua kemampuan yang ada (Linggasari, 2007 : 144-145). Gayatri membantu persalinan Liwa melalui operasi caecar. Gayatri
pun lega akhirnya Liwa dapat melahirkan bayinya dengan selamat.
”Mama melahirkan dua anak peremuan yang manis-manis”, Gayatri tersenyum, ia telah melakukan operasi caecar dengan sukses. Dua orang bayi perempuan yang mungil kini berada dalam inkubator, tertidur di bawah cahaya lampu (Linggasari, 2007 : 174). Kutipan di atas merupakan gambaran tokoh Gayatri yang gembira
dengan kelahiran bayi Liwa. Tetapi kegembiraannya tak berlangsung
lama, berganti dengan perasaan kaget dan tak percaya ketika Liwa
menyatakan bahwa adat yang berlaku dalam sukunya menganggap bayi
yang terlahir kembar adalah anak setan dan harus dibuang. Dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini :
”Dalam adat kami, bayi kembar yang lahir sebagai adik dianggap sebagai anak setan. Mereka harus berpisah tak bisa dibesarkan sama-sama. Bila tidak dipisah, maka salah satu diantara keduanya akan mati”, Liwa memejamkan mata. ”anak itu harus dihanyutkan di sungai, apabila ada yang mengambilnya, ia akan selamat. Bila tidak, ia akan kembali kepada alam” (Linggasari, 2007 : 175).
35
Gayatri sangat kaget dengan pernyataan yang dilontarkan Liwa.
Lewat kejadian tersebut membuat Gayatri begitu berani mengambil suatu
keputusan yang berat, yakni mengambil salah satu anak kembar Liwa yang
dalam adat Dani harus dihanyutkan ke sungai. Dapat dilihat pada kutipan
berikut.
Gayatri terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi yang tak bersalah tergulung arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedi. Tidak! Hal itu tak boleh terjadi. Ia telah berjuang demi kelahiran bayi itu, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam waktu yang lama sebelum akhirnya ia berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam sungai, biar saya yang akan mengambilnya” (Linggasari, 2007 : 175-176).
Akhirnya Gayatri mengambil salah satu anak kembar Liwa dan
memberinya nama Kelila Sari. Cinta kasihnya tertumpah pada Kelila Sari.
Meski bukan merupakan tokoh utama dalam novel ini, tetapi tokoh
Gayatri memiliki peranan penting dalam jalannya cerita, sehingga tokoh
ini dapat disebut sebagai wirawati.
2.1.7 Wibawa Ardana
Wibawa Ardana adalah kekasih Gayatri ketika sama-sama kuliah
di Yogyakarta. Ardana dan Gayatri berencana untuk melangsungkan
pernikahan dan sama-sama akan mengambil PTT di pedalaman Wamena,
tetapi semua itu dibatalkan secara sepihak oleh Ardana. Ardana lebih
memilih Nilasari sahabat Gayatri karena kekayaan dan posisi tinggi yang
dijanjikan Nilasari padanya tanpa ia harus berusah payah menjalankan
praktik dokter di daerah yang jauh. Ia pun tak harus bersusah payah
membiayai adiknya yang tunadaksa. Tokoh Ardana dapat dilihat pada
36
kutipan di bawah ini :
Ketika pada suatu malam di musim penghujan Nilasari datang menjemput di tempat kostnya yang lembab dan membawanya menuju istana kecil yang hangat dan silau oleh cahaya, Ardana terkesima. Ia hanya seorang anak petani dusun kecil dengan pondokannya yang sederhana. Kini ia menjadi tamu undangan sebuah kediaman mewah dan hanya dapat disaksikan di layar kaca (Linggasari, 2007 : 106-107).
Masa depan telah terpampang pada sebuah rumah sakit ternama
dan adiknya yang tunadaksa akan menjadi pasien istimewa tanpa ia
bersusah payah mencari biaya (Linggasari, 2007 :107)
Wibawa Ardana digolongkan sebagai tokoh bawahan.
2.1.8 Sekar Nilasari
Sekar Nilasari atau Nilasari adalah sahabat sejati Gayatri. Nilasari
seorang gadis yang tak menarik seperti Gayatri. Tapi satu hal yang tidak
dimiliki oleh siapa pun diantara teman seangkatan dalam kuliah. Nilasari
anak tunggal dari sebuah keluarga yang ternama. Ibunya adalah pengusaha
kosmetik dan ayahnya adalah dokter senior yang memiliki yayasan yang
mengelola sebuah rumah sakit swasta ternama. Nilasari bukanlah
perempuan yang mempesona bila dibandingkan dengan Gayatri, tetapi ia
memiliki segalanya, harta dan kemuliaan yang tak terhingga. Apa pun
dapat ia beli dengan uang, bahkan untuk sebuah cinta. Dengan mudah ia
dapat melakukannya dan merebut Ardana dari sisi Gayatri dengan
memanfaatkan kedekatannya dengan Gayatri. Tokoh Nilasari dapat dilihat
pada kutipan di bawah ini:
Nilasari termasuk mahasiswa yang memperhatikan Ardana, tetapi ia adalah pribadi yang tertutup. Ketika tahun-tahun terus berjalan, dan Ardana tak
37
juga memberikan tanggapan, Nilasari masih bersabar. Ketika Ardana menentukan pilihan pada Gayatri, Nilasari sadar betula akn kehancuran hatinya. Gadis itu masih cukup pandai menyembunyikannya, ia tak berhenti sampai di sini. Hubungannya yang dekat dengan Gayatri memudahkan Nilasari mengenali Ardana. Semakin hari Nilasari tambah jatuh hati (Linggasari, 2007 : 103).
Nilasari ibarat seorang putri raja, tak pernah ada keinginan yang tak
dapat dicapainya, karena ia selalu dapat ”membeli” segalanya. Otak gadis itu cerdas mencari celah untuk “membeli” sebuah perkawinan. Dan selembar surat undangan yang elegan telah sampai ke tangan Gayatri (Linggasari, 2007 : 104).
Tokoh Nilasari digolongkan sebagai tokoh bawahan dalam novel
ini.
2.1.9 Anton, Hera, dan Trimas
Mereka bertiga adalah teman-teman Gayatri yang sama-sama
berjuang di pedalaman Wamena.
Keempat orang itu tak punya pilihan lain, Trimas membuka meja pendaftaran di bagian teras, Gayatri dan Hera di ruang darurat pemeriksaan, dan Anton membagikan obat-obatan (Linggasari, 2007 : 149).
Kutipan di atas merupakan kegiatan yang dilakukan Gayatri dan
teman-temannya ketika menolong orang-orang Kobakma yang terkena
wabah diare.
2.1.10 Lopes
Lopes adalah laki-laki satu kampung dengan Liwa. Ia menyukai
Liwa tetapi ia tak dapat mendekati Liwa karena kekerasan hati wanita
itu. Kugara mengetahui hal itu dan ia terus membujuk Liwa untuk
menggoda Lopes agar ia bisa menuntut babi-babi kepada Lopes secara
adat. Tetapi Liwa menolak.
38
Lopes tidak segera pergi, ia duduk di dekat Liwa sambil terus mengamat-amati wanita itu. Suasana hening telah membuat Lopes menjadi berani, ia mulai membujuk Liwa, tapi wanita itu seolah telah tuli telinganya, dan tak mendengar suara apa-apa. Ketika Lopes mencoba memegangi tangan Liwa, maka wanita itu menjadi marah (Linggasari, 2007 : 215). Kutipan di atas merupakan gambaran tokoh Lopes ketika ia
mencoba merayu Liwa. Dan dengan sengit Liwa menolaknya. Tokoh
Lopes termasuk tokoh bawahan.
2.2 Alur
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang
yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara unsur fiksi yang lain.
Tinjauan struktural terhadap karya fiksi pun sering lebih ditekankan pada
pembicaraan plot, walau mungkin mempergunakan istilah lain (Nurgiyantoro,
1995 : 110).
Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, unity. Antara peristiwa yang satu
dengan yang lain, antara peristiwa yang diceritakan lebih dahulu dengan yang
kemudian, ada hubungan, ada sifat salin keterkaitan. Kaitan antara peristiwa
tersebut hendaklah jelas, logis, dapat yang mungkin di awal, tengah atau akhir
(Nurgiyantoro, 1995 : 142).
Struktur alur atau plot secara umum dibagi menjadi tiga tahapan yaitu :
awal, tengah, dan akhir. Tahap awal biasanya disebut sebagai tahap perkenalan
yang berisi perkenalan tokoh dan situasi latar. Tahap tengah yang juga disebut
tahap pertikaian, menampilakan pertentangan dan atau konflik antar tokoh yang
mulai memuncak. Tahap akhir yang juga disebut sebagai tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks, bersi kesudahan cerita, atau
39
menyarankan bagaimana akhir sebuah cerita (via Nurgiyantoro, 1995 : 142 - 146).
2.2.1 Tahap Awal
Alur dalam novel Sali bersifat sorot balik atau flashback atau regresif.
Urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak
bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar
merupakan awal cerita secara logika),melainkan mungkin dari tahap tengah atau
akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 1995 : 154).
Gayatri terpaku dalam udara Lembah Baliem yang membeku. Matanya menatap lurus ke depan dengan pandangan hampa. Ia tengah menyaksikan tragedi kehidupan, akhir dari sebuah peristiwa ketika seorang wanita terjebak ke dalam mata rantai persoalan, kalah dan putus asa. Gayatri tak tahu dengan pasti, berapa lama ia berdiri di tepi jurang dengan air sungai yang sangat dalam. Di atas bebatuan tersangkut sali – pakaian tradisional wanita suku Dani yang terakhir dikenakan Liwa – melambai-lambai dihembus angin. Gayatri merasa jarum jam tak lagi bergerak, waktupun terhenti. Sali itu sudah mengatakan semuanya, ia tak perlu lagi jawaban dan tak perlu lagi bertanya-tanya. Segalanya sudah selesai. Tapi, apakah kenangan terhadap wanita yang dikasihinya itu berakhir (Linggasari, 2007 : 1).
Kutipan di atas merupakan tahap akhir dari novel Sali, namun bagian ini
dijadikan awal cerita, serta pengenalan salah satu tokoh yang mendukung cerita
novel Sali, yakni tokoh seorang dokter muda bernama Gayatri.
Karya yang berplot jenis ini, dengan demikian, langsung menyuguhkan
adegan-adegan konflik, bahkan barangkali konflik yang telah meruncing
(Nurgiyantoro, 1995 : 154).
Dokter muda itu berlutut, meraih Sali, mendekap ke dada, bahunya terguncang. Ia seakan tengah menembus lorong waktu, kembali ke masa lampau, pada suatu masa yang sangat jauh. Jauh sekali…..(Linggasari, 2007 : 2).
Kutipan di atas menampilkan konflik internal atau konflik batin yang di
alami tokoh dalam menghadapi suatu peristiwa yang menyeduihkan baginya.
40
Tahap awal pada novel Sali diawali dengan plot yang berkaitan dengan
deskripsi latar, dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Perkampungan suku Dani adalah sekelompok silimo yang berjauhan satu sama lain. Silimo itu berpagar kayu dengan humus yang berfungsi sebagai pelindung pada ujung-ujungnya. Di dalamnya terdapat pilamo-honai laki-laki – ebe ai – honai perempuan – honai adat yang terletak lurus dengan pintu masuk. Di dalam honai tersimpan benda-benda berupa senjata dan perlengkapan perang yang harus dijauhkan dari jangkauan tangan wanita. Konon, darah kotor wanita yang datang setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu kehilangan tuah, dan tak dapat dimanfaatkan untuk mengalahkan lawan dalam sebuah pertarungan. Sebab itu wanita Dani tak di ijinkan untuk mendekat, terlebih menyentuh perlengkapan perang itu. Adapun bangunan lain dalam bentuk sederhana yang terdapat di dalam silimo adalah dapur, dan kandang babi. Honai adalah rumah adat suku Dani yang berbentuk seperti jamur dengan dinding kayu dan atap ilalang. Dari kejauhan perkampungan itu tampak seperti sekumpulan cendawan pada musim penghujan yang tumbuh di sela-sela perdu (Linggasari, 2007 : 3-4).
Kutipan di atas menggambarkan suasana suku Dani dengan rumah adatnya
dan segala peraturan yang berlaku pada lingkungan tersebut yang membatasi
ruang gerak untuk para wanitanya.
Tahap awal pada novel Sali yang berkaitan dengan pengenalan tokoh
Aburah, yakni ibu dari Liwa tokoh utama novel ini yang mengalami penderitaan
dan akhirnya meninggal dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Tiba-tiba Aburah mendapatkan kembali sebuah kekuatan, bibir yang pucat itu tersenyum. Hanya sekejab, tangan Aburah terlalu lemah untuk menerima pemberian itu. Ia hanya dapat menatap mata bening milik Liwa, sedemikian dekat, sehingga ia dapat melihat bayangan diri yang tak berdaya pada sepasang orang-orangan mata anaknya (Linggasari, 2007 : 6).
Setelah bekerja seberat itu Aburah merasa lelah tak terkira, tulang-tulang ngilu, badannya menggigil dan ia tak dapat berdiri lagi. Dalam keadaan seperti ini, ia baru dapat dinyatakan sakit dan diperbolehkan untuk beristirahat. Sungguhpun ia merasa lemah, tetapi selama ini ia masih mampu berdiri, maka ia masih dianggap sehat dan harus tetap bekerja (Linggasari, 2007 :7).
Di lain pihak Aburah merasa kesadarannya semakin jauh, badannya
seakan melayang seperti kabut putih yang mengapung dalam dunia hampa. Ia tak lagi merasakan sakit, karena beban hidup sehari-hari yang terus menindih. Ia merasa begitu ringan seolah gumpalan kapas yang melayang diterbangkan angin
41
musim. Ketika tiba-tiba sebuah kekuatan dahsyat menyedot badan halus yang berkuasa akan seluruh hidupnya, nafas wanita itupun tersengal-sengal. Hanya beberapa saat, sebab Aburah segera melihat tubuhnya terbaring lemah di lantai honai, sementara ia ia tengah melayang-layang di langit rendah. Aburah mencoba membujuk Liwa supaya anak kecil itu menghentikan tangisannya, tapi suaranya tak dapat lagi didengar. Ia telah hidup di alam lain dan tak mampu lagi berbicara dengan orang-orang yang ditinggalkannya. Ia telah mati (Linggasari, 2007 : 9-10).
Ketiga kutipan di atas menggambarkan tokoh Aburah. Beban hidup yang
ia jalani tiap hari membuatnya tak kuat lagi menahan segala beban. Aburah
meninggal dalam keadaan sakit dan meninggalkan anak yang dikasihinya, Liwa.
Pada tahap awal, pengenalan tokoh utama dalam novel Sali yakni Liwa
belum begitu ditonjolkan. Tokoh Liwa pada awal cerita hanya menampilkan atau
memperkenalkan tokoh Liwa kecil ketika harus menghadapi kematian Aburah,
ibunya. Penggambaran tokoh Liwa di atas dapat dilihat pada kutipan novel di
bawah ini :
Liwa memeluk erat jenasah Aburah, ketika wanita yang dicintainya digotong beramai-ramai menuju tumpukan kayu yang siap menyala-nyala. Ia tak sanggup ditinggalkan, tangisnya meledak-ledak seakan bilah-bilah bambu yang terus digesek secara bersama-sama, memekakkan gendang telinga. Liwa kehilangan tempat berpijak dan keseimbangan hidupnya bergoyang. Ketika jenasah Aburah dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar, kemudian kayu dinyalakan, semakin lama semakin besar dan asap menjadi tebal. Gadis kecil itu pun menangis semakin keras sehingga ia merasakan sakit di tenggorokan dan kering suara. Pembakaran jenasah Aburah telah menghapuskan pula masa kanak-kanak dan nalar kebocahannya. “Mama jangan pergi mama…!” jeritan Liwa tenggelam dalam tangis yang meraung (Linggasari, 2007 : 12-13).
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana tokoh Liwa harus kehilangan
ibu yang sangat ia cintai serta menggambarkan bagaimana situasi konflik batin
yang dialami Liwa.
Pengenalan tokoh lain yang melengkapi jalan cerita dalam novel Sali
adalah Lapina. Lapina adalah adik kandung Aburah, ibu kandung Liwa. Setelah
Aburah meninggal secara tidak langsung ia memegang tanggung jawab mengasuh
42
Liwa.
Lapina, adik perempuan Aburah segera merangkul tubuh mungil Liwa. Ia merasa iba kepada Liwa yang ditinggal mati ibunya. Dengan kematian itu, maka Lapina memegang tanggung jawab mengasuh Liwa. Tergesa Lapina membawa Liwa ke honai dan membaringkannya di dekat perapian. Wanita itu mengurut-urut seluruh tubuh Liwa hingga gadis kecil itu tersadar (Linggasari, 2007 : 15).
Sebelum meninggal Aburah telah menitipkan Liwa kepada Lapina. Hal
tersebut menyebabkan adanya konflik batin dalam diri Lapina.
Lapina menyandarkan punggung ke dinding honai, matanya terus mengamati gadis kecil yang terbaring damai dalam dunia mimpi. Ia teringat akan kata-kata Aburah, “Kalau terjadi apa-apa denganku, kutitipkan Liwa kepadamu. Engkau ikut menjaganya selagi ia masih berda di dalam kandungan, kemudian menimangnya ketika dilahirkan. Aku tak punya siapa-siapa lagi untuk menjaga anakku, kecuali dirimu”.
Lapina terlalu galau dengan kata-kata Aburah, sehingga ia hanya diam terpakumanatap saudara tuanya dengan segala tanda tanya. “Kau mendengar kata-kataku Lapina?”Aburah bertanya.
“Saya mendengar”, Lapina menjawab singkat, kemudian keduanya bertatapan. Aburah segera memejamkan mata dengan sebuah helaan nafas lega, ketika dari tatapan matanya, Lapina telah mengiyakan kata-katanya. Lapina tak menghendaki kematian itu, tapi siapa pula yang dapat menolak takdir-Nya? Kini Lapina harus menepati janji, meluluskan permintaan dari orang yang telah tiada. Yah!Ia harus menjaga bocah kecil itu, Liwa (Linggasari, 2007 : 16-17) .
Lapina pun tak kuasa menolak dan bersikap pasrah ketika Kugara, suami
kakaknya memintanya untuk dijadikan isteri sebagai pengganti Aburah. Karena
jika ia menolak, sama saja ia telah melanggar adat yang berlaku di kampungnya
Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan percakapan di bawah ini :
Kugara menunggu suasana menjadi sunyi, ketika ia melihat Lapina duduk seorang diri, maka ia segera datang mendekati.
“Lapina”, kugara duduk berhadapan dengan Lapina, ia dapat menyaksikan keremajaan Lapina sedemikian rupa, seolah buah segar yang dapat dikunyah-kunyah.
“Kenapa Kugara?” Lapina menjawab, matanya yang bening terus menatap laki-laki di depannya seolah ia ingin menjenguk isi hatinya.
“Kau pasti tahu, bahwa kini aku adalah seorang duda. Isteriku telah tiada, anakku tak punya ibu, kau juga tahu, bahwa sebagai laki-laki aku tak bisa mengasuhnya. Masa berkabung telah selesai. Tak dapat selamanya aku hidup tanpa isteri dan menderita begini”, Kugara mulai berbicara.
“Apa maksudmu Kugara?” Lapina bertanya, hati kecilnya mengatakan, bahwa Kugara menginginkan sesuatu yang sangat penting dari dirinya.
43
“Adat kita membenarkan seorang laki-laki yang kehilangan isterinya, menikah dengan adik kandungnya. Hal itu berarti, dapatkah kiranya aku menikah denganmu dan Liwa dapat pula menjadi anak tirimu”, Kugara menantap Lapina dengan penuh permohonan.
“Ingat, engkau tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, bapa ibumu sudah tiada. Saudara-saudara pun engkau tak punya. Kau hanya memiliki aku dan Liwa”, Kugara bicara dengan hati-hati, ia sedapat mungkin untuk tidak menerjang Lapina dan memperlakukan sebagai isterinya.
“Aku mengerti akan hal itu Kugara”, Lapina menjawab perlahan, pandangan matanya menatap jauh pada barisan perbukitan yang tampak berlapis-lapis di dalam kabut. Ia adalah bagian dari adat di kampung ini. Ia juga mengasihi Liwa, tetapi menjadi isteri Kugara? Lapina tak pernah bermimpi.
“Jadi, kau memenuhi permintaanku?” Kugara semakin mendekat, memegangi tangan Lapina erat-erat.
“Aku tidak tahu Kugara”, Lapina menjadi bingung, ia tampak seakan seekor kelinci yang terdesak dalam sebuah sudut, menunggu beberapa detik sebelum pemburu menangkap dan mencincangnya.
“Tidak usah kau bingung, kau harus tunduk kepada adat. Aku akan membayarmu dengan babi. Bila engkau menolak, maka masyarakat yang tunduk pada adat akan mengucilkanmu”, Kugara tampak girang, ia yakin telah memenangkan kehendaknya, karena adat pasti membelanya. Ia terus menempel pada gdis muda yang tak berdaya itu, sehingga Lapina tak kuasa lagi menolaknya (Linggasari, 2007 : 28-30).
Tokoh lain yang mendukung jalannya awal cerita adalah tokoh Kugara.
Kugara adalah suami Aburah dan ayah kandung Liwa. Sepeninggal Aburah ia
merasa kesepian dan risau sampai suatu kali ia melihat Lapina begitu akrab
dengan Liwa ketika upacara bakar batu. Dalam hati ia harus segera melakukan
sesuatu untuk Lapina, yakni mengawininya. Hal tersebut ia lakukan karena adat di
kampungnya membenarkan seorang duda mengawini adik kandung almarhum
isterinya.
Perilaku Liwa dan Lapina tak lepas dari pengamatan Kugara. Mata laki-laki itu selalu memandang dalam jarak yang dekat maupun jauh dan Kugara segera dapat memperoleh jawaban dari kerisauan hatinya, karena kematian Aburah. Lapina telah bersikap seolah-olah Liwa adalah anak kandungnya, kasih sayang terhadap anak itu tampak begitu nyata. Hal itu berarti ada satu perkara yang harus dilakukan untuk mengesahkan hubungan, yaitu mengawini Lapina (Linggasari, 2007 : 25)
Kugara masih memperhatikan Lapina dengan dada telanjang. Ia harus
melakukan sesuatu bagi gadis yang menjadi adik kandung almarhum isterinya itu. Adat di kampung ini membenarkan seorang duda menikahi saudara perempuan
44
isterinya setelah ia tiada, sungguhpun gadis itu masih belia (Linggasari, 2007 : 26).
Tokoh lain yang ada pada alur cerita novel Sali bernama Ibarak. Ibarak
adalah kekasih Liwa. Saat pergi berdua dengan Liwa, Lapina mengetahuinya dan
menuntutnya untuk membayarkan babi-babi secara adat kepadanya untuk mahar
perkawinan jika dia memang serius ingin memiliki Liwa.
Ibarak berdiri dalam diam, ia masih mencoba memahami kejadian yang baru saja berlalu dengan pikirannya yang sederhana. Pemuda itu sungguh-sungguh tak menyangka, bahwa Lapina akan mengetahui segala perbuatannya bersama Liwa, melayangkan tangan dan mendaratkan dengan keras pada pipi anak gadisnya, dan mengancamnya dengan sebuah tuntutan. Membayar babi pada seorang gadis secara adat kepada orang tuanya berarti menikahinya. Dahi pemuda itu berkerut, menikahi seorang gadis bukanlah perkara mudah, ia harus berbicara sebagai laki-laki dewasa, meminta kesediaan kerabatnya, dan babi-babi itu…(Linggasari, 2007 : 69 - 70). Liwa akhirnya memutuskan untuk tidak bertemu dengan Ibarak jika
Ibarak tidak membayarkan dengan babi-babi dan meminta kepada orang tuanya.
Ibarak menjadi bingung, sampai akhirnya ia memutuskan untuk melakukan hal itu
karena ia tak tahan berpisah jauh dengan Liwa.
Ibarak masih bertahan untuk tidak menemui Liwa, karena ia bimbang dengan permintaannya. Tapi makin hari bayangan gadis itu makin menggoda. Pemuda itu tak mampu lagi menguasai dorongan yang begitu kuat yang mengusik ketenangannya.
Setelah mempertimbangkan dengan matang akhirnya Ibarak menyatakan keinginan untuk melamar Liwa kepada seluruh anggota kerabatnya. Ibarak tak segera memperoleh jawaban, ia harus menunggu berhari-hari, hingga akhirnya seluruh kerabat memutuskan mengumpulkan babi yang ada untuk melamar Liwa.
Setelah melalui perdebatan keluarga, penantian keputusan, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang juga, Liwa dan Ibarak dinikahkan secara adat (Linggasari, 2007 : 75-76).
2.2.2 Tahap Tengah
Nurgiyantoro (1995 : 145) mengemukakan tahap tengah cerita yang
dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau
konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin
45
meningkat, semakin menegangkan.
Liwa dan Ibarak akhirnya menikah. Awal pernikahan Liwa masih
melakukan segala pekerjaan rumah tangga dengan senang hati, sampai kemudian
Liwa menyadari bahwa dirinya hamil. Dari situlah konflik yang lebih meningkat
dari tahap sebelumya muncul.
Liwa merasakan tubuhnya demikian letih dan lunglai, tapi ia tak berhak akan istirahat, karena hal itu berarti tak ada hasil kebun yang dapat dimakan. Liwa teringat akan nasib yang menimpa Lapina ia pun menghela nafas, menyadari beban hidup yang mulai berat, karena perkawinan. Ia telah dibayar dengan mas kawin yang amat mahal. Kini, ia kembali kepada adat sebagai perempuan, maka tugasnya adalah menyiapkan makanan (Linggasari, 2007 : 77)
Kutipan di atas menggambarkan konflik internal yang terjadi dalam diri
tokoh Liwa. Adat menyebabkan ia tak bisa apa-apa, meskipun dalam keadaan
sakit ia harus tetap bekerja. Liwa menyesali hal itu terjadi tetapi ia tak bisa
berbuat apa pun.
Konflik eksternal juga terjadi antara Ibarak dan Liwa. Ibarak merasa ia
telah membeli Liwa dengan harga mahal saat perkawinan mereka, jadi ia merasa
berhak memperlakukan Liwa sekehendak hatinya. Ibarak pun tak peduli dengan
kondisi Liwa, sehat atau pun sakit, yang penting baginya makanan harus selalu
tersedia.
Liwa pernah berbaring seharian di dalam honai, karena kandungan yang kian membesar, tetapi ketika persediaan ubi manis telah habis, maka Ibarak menegurnya.
“Engkau harus kembali kepada tugasmu, atau kita akan kelaparan”. “Tidakkah kau tahu akan keadaanku?” Liwa membela diri. “Aku tahu, tapi inilah adat dalam keluarga. Bukankah aku telah
membayarmu dengan harga mahal? Engkau tak bisa mengelak dari tanggung jawab. Dan aku tak mau terus menerus memarahimu”. Ibarak berkata seolah Liwa adalah wanita sehat yang dapat melakukan segalanya (Linggasari, 2007 : 77-78).
Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal dan konflik
46
eksternal. Konflik internal adalah konflik yang terjadi dalam diri seorang tokoh.
Konflik eksternal adalah konflik atau pertentangan yang terjadi antar tokoh cerita,
antar tokoh (-tokoh) protagonis dengan tokoh (-tokoh; dan kekuatan) antagonis,
atau keduanya sekaligus (Nurgiyantoro, 1995 : 145).
Konflik antara Liwa dan Ibarak terus terjadi. Ibarak semakin bersikap
semaunya sendiri, dan bertindak semena-mena terhadap Liwa. Ibarak bahkan
tidak memikirkan anak-anaknya padahal salah satu anaknya sedang sakit. Yang ia
pikirkan adalah kesenangannya sendiri yakni menghisap tembakau. Tembakau
harus ada jika saat dia meminta, jika tidak ia akan marah. Konflik antara Ibarak
dan Liwa dapat dilihat pada kutipan percakapan berikut ini :
“Mana tembakau?” Ibarak lenuntut ketika Liwa baru saja duduk melepas lelah dekat honai.
“Tak ada” “Bukankah engkau baru saja menjual hasil kebun ke pasar?” Ibarak
tampak tidak senang. “Betul” “Terus kemana hasilnya? Mana tembakau buatku?” Ibarak menatap Liwa
dengan tajam. “Apakah engkau tidak melihat, bahwa anakmu sakit-sakitan? Ia
memerlukan pakaian buat pelindung”, Liwa mulai tampak ketakutan, tapi benar, ia harus menganggap pakaian itu lebih penting dari pada tembakau. Mestinya Ibarak tahu juga akan hal itu, bukankah ia juga orang tuanya? (Linggasari, 2007 : 83).
Konflik yang terjadi antara Liwa dan Ibarak semakin memuncak karena
Ibarak mendengar kata-kata Liwa yang membuatnya marah dan menganggap
Liwa tidak mematuhinya. Dan pada akhirnya Ibarak memukuli Liwa setelah Liwa
menantangnya lebih dulu. Peristiwa tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah
ini :
Ibarak terhenyak, ia tak menyangka, bahwa suatu saat setelah ia membayar dengan babi-babi, maka Liwa dapat melawan dengan cara seperti ini.
“He perempuan! Kau sudah berani bicara rupanya. Tak sekali-sekali engkau dapat menantangku, karena memang benar aku telah membayarmu. Jadi,
47
mana tembakau buatku?” Ibarak menadahkan tangan. “Engkau lebih memikirkan tembakau dari pada anakmu? Bukankah
engkau bisa pergi ke kota, menjual gendewa dan anak panah untuk harga rokokmu?”
“Berani benar engkau Liwa!” tangan Ibarak terayun dengan sangat kuat, mendarat di pipi Liwa. Perempuan itu merasa sakit, rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh, mengobarkan kemarahan. Selama ini ia selalu mengalah dengan setiap perlakuan Ibarak, tapi kali ini kesabarannya telah musnah. Liwa harus melakukan sesuatu, ia pun menerjang Ibarak dengan membabi buta dan mencakar-cakar Ibarak dengan kukunya yang tajam. Ibarak terkejut dengan serangan Liwa, ia tak menyangka bahwa perempuan itu akan dapat menyerangnya.
Dengan sekali tolak Liwa terjatuh ke tanah, Ibarak langsung menyepaknya. Ia mengira Liwa akan ketakutan dan melolong-lolong karenanya. Ternyata tidak, dengan kalap Liwa menyabar kayu bakar dan menghantam tengkuk Ibarak keras-keras. Laki-laki itupun tersungkur ke tanah. Ibarak tak bergerak hingga beberapa saat lamanya. Liwa terpaku ketika melihat Ibarak tak bergerak-gerak, wanita itu telah dikuasai amarah.
Tapi Ibarak tak terdiam lama, ia segera bangkit dan menatap Liwa dengan geram. Ibarak tak berpikir lebih lama lagi, ia menghajar Liwa dan Liwa pun tak mau mengalah. Keduanya saling memukul hingga darah mengucur dan orang-orang datang melerai. Ibarak seakan tak percaya, bahwa Liwa berani menyerangnya, wanita itu kini dipenuhi memar dan cucuran darah. Dan sebaliknya, Ibarak pun mengalami hal yang sama.
“Kalau kau masih berani melawanku, aku akan membunumu!” Ibarak mengancam.
“Aku tidak takut mati”, jawab Liwa, wanita itu melepaskan diri dari banyak orang dan pergi dengan langkah pasti meninggalkan silimo (Linggasari, 2007 : 84-85).
Kutipan di atas juga memperlihatkan bagaimana sikap Ibarak yang
semena-mena tehadap Liwa. Bagi Ibarak, perempuan atau isteri sama sekali tidak
boleh menantang laki-laki atau suaminya karena pada awal pernikahan Ibarak
telah membayarnya dengan puluhan ekor babi.
Pada tahap tengah alur cerita novel Sali, tokoh Gayatri, seorang dokter
muda yang melakukan praktik dokter di pedalaman Wamena dimunculkan. Pada
bagian ini dimunculkan konflik internal yang dialami Gayatri sebelum ia
memutuskan untuk pergi ke Wamena. Hal tersebut disebabkan karena
pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabatnya sendiri yakni Sekar Nilasari dan
kekasihnya Wibawa Ardana.
48
Gayatri terpaku. Ia telah menjalani seluruh hidupnya dengan cemerlang dan sebuah rencana perkawinan. Namun undangan itu telah menamparnya. Ia seperti bocah kecil yang terus bermimpi tak menyadari kenyataan di sekitarnya. Dokter wanita itu terpaku, nalarnya sebagai seorang dokter bahkan tak mampu menganalisis persoalan yang harus ia hadapi. Gayatri masih terpaku dengan pandangan kosong, kesadarannya bergoyang pada garis batas yang mencemaskan, wajahnya seketika memucat (Linggasari, 2007 : 100-101).
Dari kutipan di atas tergambar jelas bagaimana konflik internal yang
dialami Gayatri ketika ia menerima sebuah undangan pernikahan. Sekar Nilasari
adalah sahabat dekat Gayatri ketika mereka berdua sama-sama menempuh bangku
kuliah di fakultas kedokteran dan duduk di kelas yang sama pula. Tetapi
persahabatannya telah dikhianati oleh Nilasari. Wibawa Ardana, seorang dokter
muda yang seharusnya menikah dengan Gayatri direbut oleh sahabatnya sendiri,
Nilasari.
Rasa sakit yang mendalam dialami oleh Gayatri. Ia tak percaya sahabatnya
tega melakukan hal tersebut, juga kekasih yang amat ia cintai tega melakukan
pengkhianatan itu. Gayatri seperti kehilangan nyawanya.
Gayatri terbenam dalam kesunyian, ia telah kehilangan separuh kepercayaan dirinya, tubuhnya mengecil, matanya cekung, wajahnya pias. Dokter muda itu tak mengingat lagi hari dan tanggal, ia ingin melewatkan semua tanpa reaksi apapun, kecuali diam. Ia bertahan dengan sisa tenaga untuk melampaui hari-hari yang paling menyakitkan (Linggasari, 2007 : 109).
Konflik juga terjadi antara Gayatri dengan orang tuanya ketika Gayatri
memutuskan untuk melakukan praktik untuk dokter pemula di daerah pedalaman
Wamena. Orang tua Gayatri sebenarnya menentang keputusan anaknya tersebut
tetapi Gayatri tetap bersikukuh untuk pergi. Hal tersebut Gayatri lakukan bukan
karena pengkhianatan yang dilakukan oleh sahabatnya tetapi karena sudah sekian
lama Gayatri mempunyai cita-cita pergi ke sana.
“Saya pernah berencana untuk mengambil PTT di wilayah timur, saya
49
kira rencana itu akan saya teruskan”. “ke mana Gay?” Alya, ibunya tampak mengerutkan sepasang alisnya
yang berbentuk bulan sabit, wanita itu tengah menerka-nerka jalan pikiran anaknya.
“Ke Wamena” Jawaban itu terlalu singkat, tapi Gayatri segera mendengar ibunya
tersedak kemudian terbatuk-batuk, ayahnya meletakkan sendok garpu secara tiba-tiba, adiknya memandang bengong seolah tak percaya. “Saya sudah memutuskan, surat-surat akan diproses, itu tidak susah, karena saya sudah membaca peluang yang ada. Untuk sementara saya tidak mungkin bisa bertahan di tempat ini, PTT bukan untuk selamanya. Bapak dan ibu tahu keadaan saya. Saya ingin melihat dunia luar”, Gayatri memberi penjelasan dengan tenang.
“Tempat itu jauh sekali sayangku”, Alya mencoba membujuk, tapi jauh dalam hati kecil ia tahu, gadisnya telah menjadi seorang dokter yang keras kepala.
“Engkau belum pernah sekalipun pergi ke tempat itu”, Kadarisman menimpali.
“Saya mohon doa restu. Apabila terus menetap di tempat ini, saya bahkan tak dapat mengerjakan apa-apa lagi dan hal itu sama saja, mati!” pandangan Gayatri membeku, keputusan itu sudah bulat, ia ingin pergi ketempat jauh dan sunyi, untuk menempuh keinginan baru (Linggasari, 2007 : 121-122).
Kutipan percakapan di atas merupakan percakapan antara Gayatri dengan
kedua orangtuanya, sekaligus merupakan konflik eksternal yang terjadi pada
tokoh Gayatri.
Secara tidak langsung orang tua Gayatri sangat menentang keinginannya.
Apalagi ayahnya yang begitu menyayanginya seperti tidak rela bila Gayatri pergi
sejauh itu. Ayahnya begitu mencemaskan nasib Gayatri. Namun, keinginan
Gayatri sudah bulat.
“Bagaimana nanti kami dapat mengunjungimu? Bagaimana nanti bapak harus selalu menghibur ibumu? Urip iki mung mampir ngombe, hidup ini hanya sekedar menumpang minum. Bersabarlah”, Kadarisman tak dapat menyembunyikan kecemasan.
“Benar bapak, hidup hanya sekedar menumpang minum, tapi yang namanya menumpang minum, dalam situasi tertentu ternyata bisa menjadi lama sekali. PTT ke Wamena bukan berarti saya telah kehilangan kesabaran. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Semua orang di kota ini seakan terus membicarakan saya, karena Ardana menikahi orang lain dan orang lain itu adalah sahabat saya sendiri. Saya tak dapat membungkam mulut mereka, mungkin juga semua salah saya. Perkawinan itu terjadi tepat ketika saya merencanakannya. Saya meninggalkan tempat ini bukan karena lari dari kenyataan hidup, tetapi sudah sejak lama, bahkan sebelum mengenal Ardana saya memang sudah ingin
50
pergi kesana. Saya pergi bukan karena dikhianati, tapi karena cita-cita. Kebetulan saja situasinya seperti ini”.
“Gay….” “Saya mohon bapak” (Linggasari, 2007 : 122-123).
Konflik internal terjadi lagi dalam diri Gayatri ketika ia sudah berada di
Wamena. Di tempat itu ia bertemu dengan ibu hamil yang siap melahirkan, tetapi
kondisinya sangat buruk. Ibu siap melahirkan itu tak lain adalah Liwa. Liwa akan
melahirkan bayinya yang kedelapan, tetapi kondisinya sangatlah memprihatinkan.
Akan tetapi di daerah Kobakma terjadi wabah diare dan membutuhkan tenaga
medis dengan segera. Gayatri harus menghadapi dua hal yang sama-sama berat
untuk ia tinggalkan.
Gayatri tak pernah merasa terbebani ke tempat tugas yang paling terpencil sekalipun. Ia hanya merasa bimbang, karena harus meninggalkan Liwa pasien siap partus yang telah merebut simpatinya. Gayatri tak pernah menduga, bahwa ia akan menangani kasus seperti ini di tempat yang telah dipilihnya untuk bertugas (Linggasari, 2007 : 145).
Setelah tugas di Kobakma selesai, Gayatri segera kembali ke Wamena
untuk menolong persalinan Liwa. Persalinan dilakukan dengan jalan operasi
karena kondisi Liwa yang tidak memungkinkan untuk persalinan normal. Liwa
melahirkan anak kembar. Tetapi betapa kagetnya Gayatri ketika mengetahui adat
dalam suku Dani bahwa anak yang terlahir kembar adalah anak setan untuk bayi
yang terakhir dilahirkan. Jadi bayi itu harus dihanyutkan ke sungai. Akhirnya
Gayatri mengambil keputusan yang sangat berat dengan begitu berani. Gayatri
memutuskan mengambil salah satu bayi Liwa lewat sebuah skenario yang telah
direncanakan, bayi itu dihanyutkan ke sungai dan Gayatri mengambilnya.
Akhirnya salah satu bayi Liwa diambil anak oleh Gayatri.
Gayatri terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi yang tak bersalah tergulung arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedi.
51
Tidak! Hal itu tak boleh terjadi. Ia telah berjuang demi kelahiran bayi itu, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam waktu yang lama sebelum akhirnya ia berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam sungai, biar saya yang akan mengambilnya” (Linggasari, 2007 : 175-176).
Akhirnya Gayatri memutuskan untuk mengambil salah satu anak Liwa
sebagai anaknya, setelah pergulatan dalam batinnya.
Konflik antara Liwa dan Ibarak belumlah berakhir. Pasca melahirkan,
Liwa dan Ibarak masih sering terlibat konflik. Liwa mengalami konflik internal
yang semakin mendalam. Dalam kesehariaannya ia masih harus mengerjakan
tugasnya yang kian hari kian bertambah berat. Ditambah lagi ia masih harus
memberi makan kedelapan anaknya, juga harus selalu menuruti tuntutan Ibarak
akan tembakau. Dilain pihak Ibarak sama sekali tak pernah meringankan beban
hidupnya itu.
Liwa terbangun dari tidurnya dengan lesu, ia membetulkan letak Sali yang tercerai berai. Ibarak masih tertidur, ia memandang laki-laki itu dengan pandangan yang sukar dilukiskan, antara kebencian dan putus asa. Sejak harga di pasar melambung tinggi, Liwa harus bekerja lebih berat. Delapan orang anak harus diberi makan setiap hari, dan Ibarak melepaskan semua beban hidup, ia bahkan menambah beban dengan segala macam tuntutan, khususnya tembakau setiap hari. Diam-diam Liwa merasa sudah tak mampu, tubuhnya terlalu cepat tua, tak ada waktu istirahat, ia harus bekerja dan bekerja. Tanpa sadar Liwa mulai membenci kehidupan yang dijalani, ia tak berminat kepada apa-apa lagi. Ada kebencian yang menggumpal manakala ia harus berhadapan denagn Ibarak. Laki-laki itu telah menjadi mimpi buruk. Kalaulah ia dapat pergi menjauh dari sosok yang menakutkan itu (Linggasari, 2007 : 197 – 198).
Konflik kembali memuncak ketika Ibarak meminta Liwa untuk mendekati
Lopes, laki-laki yang sudah lama menyukai Liwa. Ibarak melakukan hal tersebut
agar dapat menuntut babi-babi secara adat kepada Lopes dan kian banyaklah
kekayaan yang ia miliki. Tetapi sayang, Liwa menolak mentah-mentah
permintaan Ibarak dan terjadilah perseteruan antara keduanya.
Di ruangan yang sempit dan rendah itu kini tinggal Ibarak dan Liwa.
52
“Kau harus melakukannya”, Ibarak membuka pembicaraan. “Melakukan apa?” “Kau cukup berlemak, kau menarik bagi laki-laki lain”. “Kalau menarik kenapa?” “Aku sering melihat Lopes sedang mengamat-amatimu, agaknya ia
tertarik”. “Apa sebenarnya maumu?” “Aku ingin babi-babi. Babi-babi itu akan membuatku menjadi orang kaya
di kampung ini”. “Kau sudah gila Ibarak”. “Kau tidak boleh begitu. Aku telah membayarmu dengan puluhan ekor
babi. Kau harus menuruti semua permintaanku. Bujuklah Lopes, supaya aku dapat menangkap basah kalian dan dapat kiranya menuntut denda babi”.
“Ibarak, tidakkah kau sadari, bahwa perbuatan itu melampaui batas?” “Kau tidak bisa melawan perintahku”. “Aku tidak bisa dan tidak akan pernah melakukan, aku lebih senang
kalau engkau membunuhku daripada melakukan perbuatan terkutuk itu”. “Apa katamu?!” Ibarak merasa darahnya seketika mendidih. Ia telah siap
mengayunkan tangan, tapi dengan benci Liwa menatapnya. “Kau selalu menjadikan alasan bayar babi untuk memperdayakanku. Perlu kau ketahui, bahwa ranpa membunuhku, sudah lama aku mati. Aku tak takut apa-apa lagi”, dalam keputusasaan Liwa menyatakan sikapnya, dan sebelum Ibarak mendaratkan pukulan wanita itu berlalu pergi (Linggasari, 2007 : 201-202).
Kutipan di atas merupakan konflik eksternal antara Liwa dan Ibarak.
Konflik tersebut terjadi karena Liwa menolak permintaan Ibarak Intuk menggoda
laki-laki lagi hanya karena Ibarak menginginkan babi untuk memperkaya dirinya
sendiri.
Ibarak tak pernah menyerah membujuk Liwa untuk menggoda Lopes demi
babi-babi yang ia inginkan. Dan konflik tersebut berujung dengan saling memukul
antara keduanya. Peristiwa tersebut dapat di lihat pada kutipan di bawah ini :
Ibarak sudah tak tahan lagi menahan kesabaran, ketika Liwa terus membangkang tak mau menggoda Lopes, tak sekalipun wanita itu dapat menolak kehendaknya. “Kau harus menuruti kehendakku, jika tidak aku pasti akan memukulmu”, Ibarak mulai mengancam.
“Kehendak yang mana?” “Lopes, kau harus menjebaknya demi babi-babi itu”. “Sudah kukatakan, bahwa aku lebih baik mati daripada menuruti
kehendakmu. Engkau telah gila!”. “Baiklah kalau engkau lebih suka mati”, Ibarak mengayunkan tangan.
Gerakan itu terlalu cepat, sehingga Liwa tak sempat menghindar. Sebuah teriakan bergema ketika tangan Ibarak mendarat di pipi Liwa.
53
“Apakah engkau lebih suka mati?” “Betul”, Liwa merasa sakit, tapi belum kehilangan kesadaran. Ia
menyambar kayu bakar menghujam keras-keras ke dada Ibarak. Laki-laki itupun tersungkur tak bergerak lagi (Linggasari, 2007 : 209).
Penderitaan yang dialami Liwa kian lama kian bertambah berat. Sampai
suatu ketika terjadi kebakaran di silimo laki-laki yang menyebabkan seluruh anak
laki-lakinya meninggal.
Liwa memandang kobaran api dengan kalap, dalam mimpi paling buruk sekalipun ia tak pernah melihat kejadian seperti ini. Ia telah melahirkan kemudian membesarkan anak-anaknya. Kini mereka mengakhiri hidup dengan sia-sia, hangus dalam jilatan lidah api, karena kelalaian. Liwa ingin menyeruak kedalam kobaran api, tetapi tangan-tangan kuat menahannya. Wanita itu terus berteriak dan memberontak, tetapi tangan-tangan itu terlalu kuat, sedangkan tenaganya hanyalah keputusasaan. Liwa sungguh merasa bahwa hidupnya telah berakhir, ia seakan terbawa serta dalam suatu proses kematian yang menyakitkan. Keinginan untuk bertahan hidup hanya tinggal serbuk abu tak berbentuk. Panas api seakan menyeret Liwa kedalam sebuah terowongan dengan cahaya menyilaukan, mata wanita itupun terpejam. Terpejam. Sebuah godam menghentak dada Liwa berulang kali. Daya tahan wanita itu sudah sampai pada batasnya, iapun terkulai (Linggasari, 2007 : 221).
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana menderitanya hidup Liwa
karena kehilangan seluruh anak laki-lakinya. Liwa sangat terpukul, mengapa
anak-anaknya harus meninggal dengan jalan seperti itu.
Belum lagi kesedihan Liwa sembuh karena musibah yang dialami anak-
anaknya, Ibarak mulai membuat ulah lagi. Hal tersebut dikarenakan Ibarak tidak
mempunyai banyak babi seperti dulu, dia mulai merasa tidak sekaya dulu.
Sementara anak perempuannya masih bocah dan belum saatnya menerima
lamaran dari seorang laki-laki. Gagasan gilanya mulai muncul kembali dan ia
mulai membujuk Liwa secara pelan-pelan untuk menuruti kehendaknya.
“Liwa, kau harus makan yang banyak, masa berkabung sudah lewat” suatu hari Ibarak mengunjungi Liwa di dalam honai dan memulai pembicaraan.
“Aku tak enak makan Ibarak”. “Kau tak boleh begitu, makanlah yang banyak supaya tubuhmu kembali
berlemak”.
54
Liwa tak menanggapi kata-kata Ibarak, ia menjauhkan ubi yang ditawarkan kepadanya. “Nantu juga aku makan sendiri”.
“Liwa, kau tahu bukan? Babi-babiku banyak berkurang?” Ibarak mengalihkan pembicaraan. Liwa mengerutkan keningnya, ia tak tahu kemana arah pembicaraan suaminya.
“Kalau kurang kenapa Ibarak?” “Aku ingin mendapatkannya kembali” “Nanti, babi itu juga akan beranak pinak”. “Aku tak sabar Liwa”. “Terus, apa maumu?” Suasana di dalam honai tiba-tiba menjadi hening, Liwa bisa mendengar
hembusan nafas Ibarak yang berat dan merasakan kerisauannya. “Kau pasti masih teringat akan Lopes?” (Linggasari, 2007 : 224-225).
Kutipan di atas merupakan kesekian konflik yang terjadi antara Liwa dan
Ibarak setelah kematian anak-anak Liwa. Liwa tak menyangka Ibarak tega
melakukan hal tersebut kepada dirinya saat hatinya masih dirundung duka.
Konflik pun memuncak dan inilah konflik terakhir antara Liwa dan Ibarak.
Seketika Liwa membelalakkan mata, ia mengerti, mengerti bahwa hidupnya kini benar-benar sudah tak ada arti. Tak ada lagi yang tersisa untuk mempertahankan, segalanya telah berkeping-keping tak berbentuk. Hati wanita itu mengeras, ia harus memukul Ibarak dengan kata-kata telak, alibat apapun yang harus dipikul selalu lebih baik. Liwa tidaklah terlalu tolol untuk sekedar memahami kemana arah pembicaraan Ibarak. “tentu aku masih teringat, seorang laki-laki yang tertarik akan diriku. Aku tahu kemana arah pembicaraanmu Ibarak, tetapi sebelum kau lanjutkan, harus kau ketahui. Bahwa aku tak takut denga ancamanmu, kalaulah aku mesti melawan kehendakmu. Aku menyesal pernah memohonmu untuk melamarku dengan babi-babi kala kita masih muda. Ternyata menjadi alasan bagimu untuk memperdayakanku. Kalau anak-anakku seluruhnya masih hidup, aku akan bertahan bagi penderitaan itu, karena mereka adalah kekuatan mutlak bagiku….”
“Liwa mengertilah…” Ibarak bermaksud meneruskan kata-katanya, tapi lidahnya seketika menjadi kelu (Linggasari, 2007 : 225-226).
Konflik internal mulai dialami oleh Ibarak ketika ia berhadapan dengan
Liwa. Ketika Ibarak ingin meneruskan kata-katanya, ia seperti tidak mengenal
Liwa. Ibarak pun begitu takut melihat kondisi istrinya.
Ia merasa keheningan yang tak lazim di dalam honai tempatnya tinggal. Darahnya tersirap ketika pandangan matanya bertatapan dengan Liwa, tiba-tiba ia merasa asing dan ketakutan dengan wanita yang menjadi isterinya. Garis wajah itu mengeras dengan sorot mata yang padam, ketakutan agaknya telah melampaui ambang batas sehingga wanita itu tak dapat lagi merasa apa yang disebut takut.
55
Atau sebaliknya Ibarak sedang berhadapan dengan seorang wanita yang berputus asa dan bertahan dengan sisa kekuatan yang masih dimiliki, keinginan untuk melawan tipu daya (Linggasari, 2007 : 227).
Ibarak akhirnya tersadar telah berbuat semena-mena terhadap Liwa.
Sampai-sampai Liwa berbicara sendiri memanggil-manggil roh nenek moyang
dan nama anak-anaknya yang telah meninggal dalam kebakaran. Ibarak begitu
terpojok dan hatinya mulai diliputi rasa yang sulit dia terjemahkan sendiri.
Sementara ratapan Liwa yang melolong berkepanjangan telah menyodok kalbu Ibarak dan membawanya pada sebuah pengertian. Benar, ia telah berbuat semena-mena tehadap wanita ini, karena babi-babi yang telah dibayarkan. Ia menuntut pula suatu tipu daya, bahkan ketika Liwa belum mampu menguasai duka hati, karena kematian ank-anaknya. Tanpa terasa bulu kuduk Ibarak berdiri. Ia ingin menggapai Liwa dengan suatu alasan yang tak dapat dimengerti, tapi tangannya mendadak kaku dan gemetar. Wanita itu tiba-tiba menjadi sosok yang menakutkan. Untuk sekali dalam hidup, Ibarak kehilangan kuasa diri atas Liwa. Ternyata ia bukan apa-apa, karena makhluk lemah seperti Liwa masih cukup mampu melawan kehendaknya. Perlahan-lahan Ibarak undur diri, ia meninggalkan honai dengan gerakan hati-hati dan berlalu dengan kepala menunduk. Ada perasaan aneh yang mengancam yang tak bisa dikendalikan dan tak dapat pula diterjemahkan (Linggasari, 2007 : 227-228).
Kutipan di atas merupakan klimaks dari sekian konflik yang ada dalam
novel Sali. Akhirnya Ibarak menyadari bahwa dirinya telah salah kepada Liwa,
sikapnya selama ini yang semena-mena adalah suatu kesalahan yang berat, Ibarak
pun tak menyangka bahwa Liwa dapat melawan semua kehendaknya hingga
Ibarak tak dapat menyakalnya lagi.
2.2.3 Tahap Akhir
Tahap akhir novel Sali telah diceritakan pada awal cerita. Alur novel Sali
termasuk alur atau plot sorot balik atau flashback. Cerita dalam novel Sali dimulai
dari tahap akhir yakni saat Gayatri menemukan Sali milik Liwa tersangkut pada
bebatuan di pinggir sungai. Liwa telah memutuskan mengakhiri hidupnya dengan
menenggelamkan diri di dasar sungai. Liwa tak tahan lagi dengan beban hidup
56
yang ia alami. Bahkan ketika berpamitan dengan Gayatri, dokter yang telah
mengasuh salah satu anak kembarnya Liwa tidak memberitahu kemana ia akan
pergi.
“Saya sudah serahkan Kelila kepada anak dokter dan saya akan relakan selamanya. Mestinya saya harus mengunjungi setiap waktu, tapi esok tiada lagi. Saya harus pergi”, suara Liwa terdengar lirih sekali.
“Mama mau pergi kemana?” Gayatri bertanya, tiba-tiba ia dicekam rasa takut.
“Saya datang untuk mengucapkan terimakasih kepada anak dokter untuk semua kebaikan ini. Jangan anak dokter bertanya dan jangan pula anak dokter mencari ”, sekali lagi Liwa memeluk Kelila, menatapnya dengan segala rasa kasih, isaknya tertahan ketika ia membalikkan badan dan pergi berlalu tanpa pernah menoleh lagi (Linggasari, 2007 : 230-231).
Kutipan di atas adalah percakapan terakhir antara Gayatri dan Liwa.
Sampai akhirnya Gayatri tersadar setelah tiga hari berlalu dan Ibarak mencari
Liwa di rumahnya karena sudah beberapa hari tidak pulang ke rumah. Ia ingat
kata-kata Pak Bupati tentang sebuah daerah bernama Fugima, di situ terdapat
sungai yang amat dalam dan wanita suku Dani yang sudah tidak kuat menanggung
beban hidup yang begitu berat dan sudah pada titik keputus asaan akan pergi ke
tempat itu, meninggalkan sali (pakaian wanita suku Dani) terakhir yang dipakai di
atas batu dan kemudian menenggelamkan diri ke dalam sungai.
Kepanikan Gayatri segera sampai pada puncaknya, ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang dan nafasnya memburu. Kaki dokter itu gemetar ketika melangkah, ia tahu kemana harus mencari jejak Liwa. Gayatri tak berkata-kata lagi, ia mengkonsentrasikan diri pada sebuah tujuan, Fugima. Gayatri mengendarai ambulance, menyusuri ruas jalan, pandangan matanya seakan mengabur. Ada satu keinginan dalam diri gadis itu untuk menyangkal suara hati, tapi segalanya telah terjadi.
Gayatri tak tahu dengan pasti, berapa lama ia berdiri di tepi jurang dengan air sungai yang sangat dalam. Di atas bebatuan tersangkut sali – pakaian adat yang terakhir dikenakan Liwa – melambai-lambai dihembus angin. Gayatri merasa jarum jam tak lagi bergerak, waktupun terhenti. Sali itu sudah mengatakan semuanya, ia tak memerlukan lagi jawaban, dan tak perlu lagi bertanya-tanya. Segalanya telah selesai. Tapi, adakah kenangan terhadap wanita yang dikasihinya itu berakhir? (Linggasari, 2007 : 233-234).
57
Kutipan di atas merupakan tahap akhir dari novel Sali. Akhir cerita
termasuk kedalam kategori Sad endding atau berakhir dengan kesedihan.
2.3 Latar
Latar adalah tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 1995 : 216).
Jenis-jenis latar menurut Hudson terdiri dari latar fisik dan latar sosial.
Latar sosial meliputi penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok
sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa dan lain-lain yang melatari
peristiwa. Sedangkan latar fisik meliputi tempat dalam ujud fisiknya, yaitu
bangunan, daerah dan sebagainya dan waktu cerita. Latar fisik yang menimbulkan
dugaan atau tautan pemikiran tertentu disebut latar spriritual (Sudjiman, 1992:44-
45).
2.3.1 Latar Fisik
Latar fisik dalam novel Sali mengambil latar kehidupan suku Dani di
pedalaman Wamena, Papua. Rumah adat suku Dani disebut honai. Honai dibagi
menjadi dua yakni honai untuk laki-laki yang disebut pilamo dan honai
perempuan yang disebut ebe ai.
Perkampungan suku Dani adalah sekelompok silimo yang berjauhan satu sama lain. Silimo itu berpagar kayu dengan humus yang berfungsi sebagai pelindung pada ujung-ujungnya. Di dalamnya terdapat pilamo-haonai laki-laki – ebe ai – honai perempuan – honai adat yang terletak lurus dengan pintu masuk (Linggasari, 2007 : 3 – 4).
Adapun bangunan lain dalam bentuk sederhana yang terdapat di dalam
silimo adalah dapur, dan kandang babi. Honai adalah rumah adat suku Dani yang berbentuk seperti jamur dengan dinding kayu dan atap ilalang. Dari kejauhan perkampungan itu tampak seperti sekumpulan cendawan pada musim penghujan yang tumbuh di sela-sela perdu (Linggasari, 2007 : 4).
58
Kutipan di atas menggambarkan situasi perkampungan suku Dani dalam
novel Sali.
2.3.2 Latar Sosial
Latar sosial dalam novel Sali menggunakan keadaan sosial masyarakat
Papua, terutama masyarakat suku Dani di pedalaman Wamena. Cerita diawali
dengan pemaparan latar fisik masyarakat suku Dani. Latar sosial dalam novel ini
menampilkan adat yang berlaku dalam suku Dani dan berlaku untuk perempuan
suku Dani. Latar sosial dalam novel Sali dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Di dalam honai tersimpan benda-benda berupa senjata dan perlengkapan perang yang harus dijauhkan dari jangkauan tangan wanita. Konon, darah kotor wanita yang datang setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu kehilangan tuah, dan tak dapat dimanfaatkan untuk mengalahkan lawan dalam sebuah pertarungan. Sebab itu wanita Dani tak diijinkan untuk mendekat, terlebih menyentuh perlengkapan perang itu (Linggasari, 2007 : 4). Kutipan di atas memaparkan adanya diskriminasi terhadap kaum
perempuan suku Dani. Adat melarang perempuan suku Dani untuk mendekati
honai yang berisi perlengkapan perang.
Dalam adat suku Dani perempuan yang telah dibayar dengan babi ketika
menikah harus melakukan segala pekerjaan dalam rumah tangga. Meskipun dalam
keadaan sakit, tetapi selagi masih bisa berdiri semua pekerjaan harus tetap
dilakukan.
Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita suku Dani hanyalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu masak sebagai bahan makanan (Linggasari, 2007 : 6-7).
Kutipan di atas merupakan latar sosial yang terjadi di suku Dani.
59
Perempuan suku Dani harus melakukan segala pekerjaan setelah dibayar dengan
puluhan ekor babi ketika menikah. Mereka tidak diperbolehkan menuntut karena
adat yang berlaku dalam suku.
Adat suku Dani juga memperbolehkan seorang duda menikahi adik
perempuan istrinya jika sang istri meninggal. Dan anaknya menjadi anak tiri dari
saudara kandung istrinya itu. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Adat di kampung ini membenarkan seorang duda yang kehilangan istri, karena kematian, untuk menikah dengan saudara perempuan almarhum istrinya. Dengan demikian, maka ikatan keluarga dengan pihak istri dapat diteruskan. Sementara anaknya akan menjadi anak tiri dari saudara kandung istrinya sendiri (Linggasari, 2007 : 8).
2.3.3 Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Sali mengambil rentang waktu pada sekitar tahun
1950-1999. Pangsa pasar juga mulai memasuki damainya pedalaman Wamena
yang menyebabkan banyak perubahan di tempat itu. Turis asing maupun domestik
mulai berdatangan, memaksakan orang-orang Dani ikut dalam arus perubahan.
2.4 Kesimpulan
Dalam penelitian ini tokoh dan penokohan dibedakan menjadi tokoh
utama protagonis, tokoh antagonis, tokoh tambahan dan wirawati. Dalam novel
Sali, tokoh utama protagonis adalah Liwa. Tokoh antagonis adalah Ibarak. Tokoh
tambahan adalah Aburah, Lapina, Kugara, Wibawa Ardana, Sekar Nilasari,
Anton, Hera, Trimas, dan Lopes. Tokoh wirawati adalah Gayatri.
Liwa sebagai tokoh utama merupakan perempuan suku Dani yang
mengalami diskriminasi atas nama adat. Setelah menikah dan dibayar dengan
puluhan ekor babi, ia harus melakukan segala pekerjaan rumah tangga sedangkan
60
suaminya tidak melakukan pekerjaan apa-apa. Dari mencari makan, mengurus
kebun dan ternak sampai mengurus anak-anaknya. Liwa juga tidak boleh
menuntut dan harus mematuhi segala yang diminta oleh suaminya. Jika ia
menolak maka suaminya akan marah dan tak segan memukulnya.
Tokoh Ibarak adalah suami Liwa yang selalu bertindak semena-mena
terhadap Liwa. Hal tersebut ia lakukan karena ia merasa telah membayar mahal
Liwa dengan puluhan ekor babi ketika menikah.
Tokoh Aburah adalah ibu kandung Liwa yang meninggal dalam keadaan
sakit karena tidak kuat menahan beban hidup yang terlalu berat.
Tokoh Lapina adalah adik kandung Aburah. Setelah Aburah meninggal ia
harus menikah dengan suami Aburah menurut adat. Mengalami berbagai
penderitaan setelah menikah. Ia pun tak kuasa menolak karena adat yang begitu
kuat. Memutuskan untuk tidak menikah lagi ketika suaminya meninggal akibat
perang suku karena tidak ingin mengulang beban hidup yang pernah ia pikul.
Tokoh Kugara adalah ayah kandung Liwa. Setelah istrinya, Aburah
meninggal ia menikahi Lapina. Kugara meninggal karena perang suku.
Tokoh Gayatri adalah seorang dokter muda dari Yogyakarta yang telah
dikhianati oleh kekasih dan sahabatnya. Memutuskan menjalankan praktik dokter
di Wamena demi menggapai cita-citanya. Gayatri bertemu dengan Liwa dan
menolong persalinan anak kembar Liwa. Ia pun berani mengambil keputusan yang
berat dengan mengambil salah satu bayi kembar Liwa yang dianggap sebagai anak
setan menurut budaya suku Dani.
Tokoh Wibawa Ardana adalah kekasih Gayatri yang mengkhianatinya
61
dengan menikahi sahabat Gayatri karena kekayaan dan posisi dalam pekerjaan
yang menjanjikan tanpa harus bekerja keras.
Tokoh Sekar Nilasari adalah sahabat Gayatri. Ia memanfaatkan
kepercayaan Gayatri kepadanya sebagai sahabat untuk merebut Ardana dari sisi
Gayatri. Kekayaan dan pengaruhnya yang besar membuatnya berhasil mengambil
Ardana untuk menjadi pendamping hidupnya.
Tokoh Anton, Hera dan Trimas merupakan teman seperjuangan Gayatri
dalam menolong penduduk di pedalaman Wamena yang sakit.
Tokoh Lopes merupakan tokoh yang menyukai Liwa dan bermaksud
menggoda Liwa tetapi ditolak mentah-mentah oleh Liwa.
Plot dalam novel Sali dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap awal, tengah,
dan akhir. Alur cerita bersifat sorot balik atau flashback atau regresif. Jalan cerita
yang disuguhkan tidak kronologis atau tidak berurutan. Tahap awalnya
merupakan tahap akhir cerita yakni penemuan Sali (pakaian adat wanita suku
Dani) milik Liwa oleh Gayatri di atas batu di tepi sungai. Hal tersebut
menandakan bahwa Liwa telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di sungai
tersebut. Kemudian disusul dengan pengenalan tokoh yang ada dalam novel Sali
dan pengenalan keadaan latar yang ada dalam novel. Tahap tengah merupakan
konflik cerita, dimana terjadi berbagai macam konflik antar tokoh atau dalam diri
tokoh itu sendiri. Tahap akhir merupakan klimaks dari konflik serta penyelesaian
cerita yang berakhir dengan Sad Endding atau berakhir sedih.
Latar fisik menunjuk pada perkampungan suku Dani serta bangunan
rumah adatnya. Latar sosial menunjuk pada latar sosial perempuan suku Dani di
62
Wamena, Papua dengan adat yang berlaku dan harus dipatuhi. Latar waktu dalam
novel Sali terjadi sekitar tahun 1950-1999.
Dari analisis Bab II tersebut, tergambar adanya citra perempuan dalam
novel Sali. Citra perempuan tersebut, secara mendalam akan dianalisis pada Bab
III.
63
BAB III
CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL SALI : KISAH SEORANG
WANITA SUKU DANI
Sugihastuti (2007 : 46) mengemukakan citra adalah deskripsi yang dapat
menunjuk ke sesuatu yang nyata atau mewakili sesuatu yang tidak nyata. Citra
dapat menampilkan kaitan pikiran dan emosi dalam waktu sekejap dan merupakan
penggabungan ide-ide.
Altenbernd (dalam Pradopo, 1987:80) mengemukakan citraan ialah
gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya, sedang
setiap gambar pikiran disebut citra atau imagi (image).
Citra perempuan adalah pandangan-pandangan atau ide-ide tentang
perempuan, bagaimana posisi dan perannya dalam masyarakat dan potensinya di
tengah kekuasaan patriarki (Sugihastuti, 2007 : 46).
Citra perempuan yang dimaksud dalam hal ini ialah semua gambaran
mental spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan (Indonesia), yang
menunjukkan “wajah” dan ciri khas perempuan sebagai makhluk individu dan
sebagai makhluk sosial (Sugihastuti, 2000:7). Dengan demikian, perempuan
dicitrakan sebagai makhluk individu yang beraspek keluarga dan masyarakat
(Sugihastuti, 2000:46).
Citra perempuan dalam hal ini erat hubungannya dengan citra perempuan
dalam budaya suku Dani. Budaya suku Dani menjadikan seorang perempuan pada
posisi yang sangat diskriminatif. Perempuan dianggap sebagai pelaku adat yang
64
mau tidak mau harus mematuhi adat yang berlaku tanpa boleh melawan. Meski
penderitaan itu terjadi pada diri perempuan.
3.1 Citra Diri Perempuan
Citra diri perempuan memperlihatkan bahwa apa yang dipandang sebagai
perilaku wanita bergantung pada bagaimana aspek fisis dan psikis diasosiasikan
dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Sugihastuti, 2000:113).
3.1.1 Citra Fisis Perempuan
Citra fisis perempuan yang tergambar adalah citra perempuan dewasa,
perempuan yang sudah berumah tangga. Selain itu, masa perkawinan dapat
mengisyaratkan bahwa secara fisis, perempuan ditunjukkan sebagai perempuan
dewasa (Sugihastuti, 2000:85).
Citra fisis perempuan dalam penelitian ini memaparkan citra fisis tokoh
Liwa, Lapina, Aburah, dan Gayatri. Liwa, Lapina, dan Aburah merupakan
perempuan dari suku Dani sedangkan Gayatri berasal dari luar suku Dani.
Liwa merupakan tokoh utama dalam novel Sali. Ia adalah seorang gadis
remaja yang lugu. Liwa tidak bersekolah karena ketika missionaris datang ke
wamena, Liwa terlalu dewasa untuk duduk pada bangku sekolah dasar. Citra fisik
Liwa dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Liwa terus tumbuh sebagai gadis remaja dengan pinggang yang kian ramping, dada membukit dan wajah yang lugu (Linggasari, 2007 : 57).
Pada hari minggu Lapina membawa Liwa beribadah ke gereja. Ia mencermati khotbah dengan pemahaman yang sederhana. Sekolah pun kemudian dibangun, tapi sudah terlambat bagi Liwa, ia sudah terlalu dewasa untuk duduk di bangku sekolah dasar. Liwapun tumbuh sesuai bakat alam, hingga tibalah saat untuk meninggalakan keremajaan dan memulai babak baru, yaitu memasuki
65
kehidupan perkawinan (Linggasari, 2007 : 58).
Liwa menikah dengan Ibarak, kekasihnya. Ibarak membayarnya dengan
puluhan ekor babi pada saat pernikahan. Setelah menikah Liwa pindah ke tempat
tinggal Ibarak dan melakukan tugas mengurus rumah tangga. Tugasnya semakin
berat dan mengakibatkan tubuhnya menjadi lemah.s
Liwa merasa tubuhnya demikian letih dan lunglai, tapi ia tak berhak akan istirahat, karena hal itu tak ada hasil kebun yang dapat dimakan (Linggasari, 2007 : 77).
Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa secara fisis.
Setiap tahun Liwa melahirkan anak hasil perkawinannya dengan Ibarak.
Dan tak terasa sudah tujuh anak yang ia lahirkan. Hal tersebut membuat Liwa
berubah secara fisik dan tak sesuai dengan usianya. Dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini :
Ketika berkaca di permukaan air, Liwa seakan tak mengenali lagi akan dirinya. Tak ada daya tarik yang tersisa dari masa mudanya ketika Ibarak begitu tergila-gila padanya dan memutuskan untuk menikahi dengan membayar babi-babi. Liwa telah menjadi seorang perempuan tua dengan tujuh orang anak yang harus diberi makan setiap hari (Linggasari, 2007 : 79).
Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa setelah menikah secara fisis.
Tubuhnya cepat berubah karena beban hidup yang ia alami.
Lapina adalah adik kandung Aburah, ibu kandung dari Liwa. Lapina masih
sangat muda, ia belumlah mengalami segala kekerasan hidup yang dijalani oleh
para perempuan suku Dani yang telah menikah. Dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini :
Wanita itu mengenakan Sali yang masih baru tanpa penutup dada, sehingga sepasang bukit kembar itu tampak telanjang, seakan sebuah tantangan ketika menjadi berkilat-kilat oleh keringat. Wajah Lapina masih sangat muda, ia belum sepenuhnya terjamah oleh kekerasan hidup (Linggasari, 2007 : 20).
Kutipan di atas merupakan citra diri Lapina secara fisis. Wajahnya yang
66
muda dan fisiknya yang remaja menjadi daya tarik tersendiri bagi Kugara, ayah
Liwa. Lapina membuat Kugara memiliki semangat baru setelah kematian istrinya,
Aburah. Keremajaan Lapina membuat Kugara ingin memilikinya. Hal tersebut
dapat dilihat pada kutipan berikut ini :
Kugara masih memperhatikan Lapina dengan dadanya yang telanjang. Wajahnya yang muda remaja, sungguh merupakan daya tarik yang tiada tara. Sepasang bukit kembar yang mencuat dengan Sali melilit pada pinggangnya yang rampin dan pemandangan di balik sali itu, Kugara menelan ludah. Ia harus melakukan sesuatu pada gadis yang menjadi adik kandung almarhum istrinya itu. Adat di kampung ini membenarkan seorang duda menikahi saudara perempuan istrinya setelah ia tiada, sungguhpun gadis itu masih belia. Tiba-tiba Kugara merasa seluruh kepedihan akan kematian Aburah terobati. Lapina! (Linggasari, 2007 : 26).
Perkawinan antara Lapina dan Kugara berlangsung. Meski Lapina sama
sekali tidak menginginkannya. Adat membuat ia terpaksa melakukan hal itu. Tak
berapa lama fisik Lapina berubah karena beban hidup yang harus ia tanggung.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama Lapina segera berubah, ia bukan lagi setangkai bunga liar yang meliuk-liuk dalam hembusan angin lembah. Ia hanyalah sebatang tangkai yang telah patah. Wajah pucat dan sorot matanya yang muram telah cukup sebagai bahasa (Linggasari, 2007 : 31-32).
Lapina telah tampak sebagai perempuan tua, sudah berulang kali orang
tertarik berniat melamarnya, tetapi Lapina selalu menolaknya, ia tak ingin mengulang kehidupannya seperti dengan Kugara. Segalanya telah cukup baginya. Rambut Lapina cepat memutih bila dibandingkan dengan usia yang sebenarnya dan keinginan untuk hidup bersama dengan seorang laki-laki, telah kandas sama sekali (Linggasari, 2007 : 64).
Kutipan di atas merupakan gambaran citra diri Lapina secara fisik setelah
ia menikah. Ia tak lagi seorang gadis muda belia yang menarik. Beban hidup
membuat fisiknya berubah secara cepat.
Aburah adalah tokoh perempuan pertama dalam novel Sali yang
mengalami penderitaan hidup karena adat. Ia mengalami tekanan fisik maupun
psikis. Aburah adalah ibu kandung Liwa, karena beratnya beban hidup yang harus
67
ia tanggung ia menderita sakit. Liwa adalah satu-satunya kekuatan baginya.
Gambaran tokoh Aburah secara fisis dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Ia menatap Liwa, anak perempuannya dengan sayu. Anak itu mengulurkan ubi manis yang telah dibakar dengan tangannya yang mungil. Tiba-tiba Aburah mendapatkan kembali sebuah kekuatan, bibir yang pucat itu pun tersenyum. Hanya sekejab, tangan Aburah terlalu lemah untuk menerima pemberian itu. Ia hanya dapat menatap sepasang mata bening milik Liwa, sedemikian dekat, sehingga ia dapat melihat bayangan diri yang tak berdaya pada sepasang orang-orangan mata anaknya (Linggasari, 2007 : 5-6).
Aburah sakit karena ia tidak kuat menahan penderitaan fisik yang harus ia
alami dan ia pikul sendiri.
Gayatri adalah seorang dokter muda yang penuh pesona, cantik dan pintar.
Citra diri tokoh Gayatri dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Pada bayangan cermin, Gayatri mendapatkan seraut wajah dengan garis muka yang halus, sepasang mata berbinar memancarkan kecerdasan, bibir yang mungil bak buah delima. Selebihnya adalah citra diri yang mempesona (Linggasari, 2007 : 96).
Dari citra fisis Gayatri di atas memperlihatkan bahwa ia bukanlah
perempuan suku Dani.
3.1.2 Citra Psikis Perempuan
Dalam aspek psikis, kejiwaan perempuan dewasa ditandai oleh sikap
pertanggungjawaban penuh terhadap diri sendiri, nasib sendiri, dan pembentukan
diri sendiri (Kartono via Sugihastuti, 2000 : 100).
Liwa mengalami beban hidup yang sangat berat secara psikis. Ia pun tak
bisa melawan semua itu karena ia telah di bayar dengan babi-babi pada waktu
menikah. Oleh sebab itu ia harus bertanggung jawab penuh dalam mengurus
rumah tangga. Ia begitu tertekan dan ada penyesalan dalam hatinya karena semua
68
hal tersebut. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Liwa teringat pada hari-hari yang telah lampau, ketika ia pernah memohon kepada Ibarak supaya datang memintanya dengan membayar babi. Permohonan itu ternyata telah menghancurkan hidupnya sendiri. Babi-babi itu telah membuatnya menjadi benda mati, sehingga Ibarak dapat memperlakukannya dengan sesuka hati. Sementara tujuh orang anaknya harus diberi makan dan tak pernah berhenti berselisih sepanjang hari. Liwa selalu bekerja keras tapi ia tak memperoleh hak dan waktu bagi dirinya sendiri (Linggasari, 2002 : 86).
Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa secara psikis, ia harus
bertanggung jawab penuh akan dirinya sendiri dan akan jalan hidup yang ia pilih.
Liwa harus menanggung semuanya karena pilihannya itu.
Setelah menikah ia bertanggung jawab penuh pada urusan rumahtangga,
seperti mencari makan dan menyiapkannya. Ia pun harus merawat kebun agar
hasil makanan ada. Meski lemah tetapi ia tidak diperbolehkan beristirahat.
Liwa teringat akan nasib yang menimpa Lapina, iapun menghela nafas, menyadari beban hidup yang mulai berat, karena perkawinan. Ia telah dibayar dengan mas kawin yang amat mahal. Kini ia kembali kepada adat, sebagai perempuan, maka tugasnya adalah menyiapkan makanan (Linggasari, 2007 : 77).
Meski dalam keadaan sakit, perempuan suku Dani tetap harus
melaksanakan tugasnya mengurus rumah tangga begitu juga Liwa. Selain bekerja
keras, Liwa juga harus mematuhi suaminya. Apa pun yang suaminya minta, Liwa
harus menurutinya karena jika tidak suaminya akan marah.
“Setiap hari saya harus bekerja di kebun, saya tidak bisa istirahat, karena anak-anak harus makan. Saya sudah capek melahirkan, tapi kehamilan ini tak dapat saya hindari. Kalau saya tidak mengikuti kemauan Ibarak, suami saya, ia akan marah dan memukul saya. Saya hanyalah budak yang telah dibayar dengan babi, tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Mungkin lebih baik saya mati supaya tidak melakukan apa-apa lagi ” (Linggasari, 2007 : 143).
Kutipan di atas memperlihatkan betapa menderitanya hidup Liwa.
Sampai-sampai ia berpikir untuk mati agar beban hidup yang ia pikul dapat
berakhir.
69
Liwa mulai membenci hidup yang ia jalani. Penderitaan dan beban yang
harus ia pikul terlalu berat. Tidak ada seorang pun yang membantu meringankan
pekerjaannya. Ibarak suaminya hanya bisa menambah bebannya saja tanpa
membantu apa pun. Citra diri Liwa secara psikis ini dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini :
Delapan orang anak harus diberi makan setiap hari, dan Ibarak melepaskan semua beban hidup, ia bahkan menambah beban dengan segala macam tuntutan, khususnya tembakau setiap hari diam-diam Liwa merasa sudah tak mampu, tubuhnya terlalu cepat menjadi tua, tak ada waktu istirahat, ia harus bekerja dan bekerja. Tanpa sadar Liwa mulai membenci kehidupan yang ia jalani, ia tak berminat kepada apa-apa lagi (Linggasari, 2007 : 197).
Suatu kali Ibarak meminta Liwa untuk menggoda seorang laki-laki yang
diketahui Ibarak telah lama menaruh hati pada Liwa. Hal tersebut Ibarak Lakukan
karena ia menginginkan babi-babi yang dapat ia tuntut pada laki-laki yang
bernama Lopes, sehingga kekayaannya bertambah. Tetapi Liwa menolak dengan
keras dan berniat menentang keinginan Ibarak. Dapat dilihat pada kutipan di
bawah ini :
Ia merasa kebencian yang menggumpal bila teringat kembali kepada keinginan Ibarak. Tak akan ia biarkan seorang pun menyentuhnya, hanya karena sebuah jebakan untuk menuntut denda babi. Ia memang dungu tapi tak sebodoh itu. Sekali ini ia pasti menentang Ibarak., meski laki-laki itu mungkin akan mengakhiri hidupnya. Ia tak akan membiarkan siapa pun menghinanya sedemikian rupa, meskipun dirinya bukan apa-apa (Linggasari,2007 : 206).
Ketika suatu ketika Liwa bertemu dengan Lopes, dan Lopes hendak
mendekatinya Liwa menolak mentah-mentah.
Ketika Lopes mencoba memegangi tangan Liwa, maka wanita itu menjadi marah. Dengan kasar Liwa menepis tangan tangan Lopes, kemudian berjalan terpincang-pincang, menuju arah yang berlawanan. Tak sedikit pun keinginan hati Liwa untuk menuruti kehendak laki-laki itu, ia cukup tahu bahaya yang dapat terjadi. Wanita itu memilih jalan selamat, kembali ke silimo (Linggasari, 2007 : 215).
70
Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa secara psikis, ia bertanggung
jawab terhadap nasib yang akan terjadi jika ia menuruti apa yang dikehendaki
oleh Lopes.
Semakin lama Liwa tak dapat lagi memikul beban hidup yang semakin
berat. Apalagi Ibarak suaminya terus saja memperlakukan Liwa dengan semena-
mena. Liwa memutuskan mengakhiri hidupnya. Sebelumnya ia berpamitan
kepada Gayatri seorang dokter yang membantu persalinan anak kembarnya,
anaknya yang kedelapan dan mengambil salah satu dari anak kembarnya tersebut.
Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
“Saya datang untuk mengucapkan terima kasih kepada anak dokter untuk semua kebaikan ini. Jangan anak dokter bertanya dan jangan pula anak dokter mencari”, sekali lagi Liwa memeluk Kelila, menetapnya dengan rasa kasih, isaknya tertahan ketika ia membalikkan badan dan pergi berlalu tanpa pernah menoleh lagi (Linggasari, 2007 : 231).
Kutipan di atas merupakan citra diri Liwa, ia memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya karena tak tahan lagi menanggung segala penderitaan dan
beban hidup yang tiada akhir.
Citra psikis Lapina digambarkan ketika Kugara meminta Lapina untuk
dijadikan istrinya. Lapina tak bisa menolaknya karena jika ia tidak patuh maka ia
telah melanggar adat dan itu akan membuatnya tersingkir dari masyarakat adat. Ia
hanya bisa pasrah menghadapi semuanya. Lapina yang muda remaja membuat ia
memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum laki-laki.
Ketika akhirnya Kugara membayarnya dengan puluhan ekor babi, lapina hanya terdiam. Ia tak bersuara bukan karena menjadi bersuka cita dengan pemberian itu. Tetapi ia telah limbung, ada suara yang memerintahkannya untuk berontak, tetapi ia terlalu belia bagi pemberontakan terhadap adat yang sudah berlaku sejak jaman purba. Ia tak memiliki kekuatan apa-apa, daya tarik sebagai gadis belia menjadi bumerang, ia harus menikah dengan laki-laki yang tak dikehendakinya. Lapina tak pernah bisa mengerti, mengapa adat dapat berlaku
71
seperti itu dan mengapa pula ia mesti menjalaninya (Linggasari, 2007 : 30). Ia tak pernah merasa sebagai suami istri, ia hanyalah pelaku adat. Pelaku
yang kehilangan sukma dan akhirnya tampil sebagai patung hidup (Linggasari, 2007 : 31).
Kedua kutipan di atas merupakan gambaran citra diri Lapina secara psikis.
Hatinya berontak, tetapi ia masih terlalu muda untuk melakukan perlawanan
terlebih melawan adat yang telah berlaku sekian lama.
Kugara meninggal dalam perang adat, Lapina pun menjadi janda. Tetapi ia
sama sekali tidak mau untuk menikah lagi. Ia memilih tetap menjanda. Lamaran
dari laki-laki yang datang padanya ia tolak. Lapina tidak ingin mengulang
penderitaan yang ia alami sewaktu menikah dengan Kugara.
Setelah kematian Kugara, Lapina memilih hidup sendiri, ia tak mau menerima lamaran dari pihak laki-laki, karena ia merasa telah cukup pahit ketika hidup dengan Kugara. Babi-babi yang dibayarkan pada hari perkawinan telah membuat hidupnya menjadi budak (Linggasari, 2007 : 87).
Kutipan di atas merupakan citra diri Lapina baik secara psikis setelah
kematian Kugara, suaminya. Citra diri Lapina pada kutipan di atas merupakan
sikap pertanggungjawaban dia terhadap dirinya.
Citra diri Aburah secara psikis dalam novel Sali tergambar ketika ia harus
menghadapi aturan adat yang membuat Aburah tak bisa berkutik. Aburah adalah
salah satu pelaku adat yang harus selalu mematuhi adat tanpa bisa melawan.
Bahkan dalam keadaan sakit pun ia harus tetap bekerja selagi ia masih bisa
berdiri. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita suku Dani adalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu masak sebagai bahan makanan. Bila tidak ada makanan, maka Kugara suaminya
72
akan mengamuk dan memukulnya (Linggasari, 2007 : 6-7). Setelah bekerja seberat itu Aburah merasa lelah tak terkira, tulang-tulang
ngilu, badannya menggigil dan ia tak dapat berdiri lagi. Dalam keadaan seperti ini, ia baru dapat dinyatakan sakit dan diperbolehkan untuk beristirahat. Sungguhpun ia merasa lemah, tetapi selama ini ia masih mampu berdiri, maka ia masih dianggap sehat dan harus tetap bekerja (Linggasari, 2007 :7).
Kedua kutipan di atas merupakan gambaran citra diri tokoh Aburah secara
psikis. Perempuan yang menikah dan telah dibayar dengan puluhan babi oleh
pihak laki-laki harus selalu mengerjakan semua tugas dalam rumah tangga. Jika
tidak seperti itu maka makian bahkan pukulan yang ia terima dari suaminya.
Tokoh perempuan Gayatri secara psikis adalah sosok yang teguh dan
memiliki keinginan yang kuat. Terutama dalam memilih pasangan hidup. Meski
orang tuanya telah memilki pilihan untuk Gayatri, tetapi ia mempunyai pilihan
sendiri. Gayatri juga tidak ingin orang lain turut campur dalam menentukan jalan
hidupnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Gayatri merasa telah hidup pada zaman yang berbeda, bukan lagi zaman ketika seorang wanita tak berhak untuk memilih teman hidupnya. Gayatri sadar dan merasa yakin, dengan cinta yang amat kuat. Gayatri menolak calon lain bukan karena sosok itu tidak memenuhi syarat, tetapi karena ia tidak ingin orang lain ikut campur menentukan jalan hidupnya, meskipun orang itu adalah ibunya sendiri (Linggasari, 2007 : 97 – 98) Tetapi sayang keinginan Gayatri untuk menjalinn hidup dengan laki-laki
pujaan hatinya kandas karena sebuah pengkhianatan yang dilakukan sahabatnya
sendiri. Nilasari, sahabat sejatinya telah merebut calon suaminya, Ardana. Lewat
sebuah undangan yang datang padanya, hidup Gayatri hancur seketika. Impiannya
runtuh sudah. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Gayatri terpaku. Ia telah menjalani seluruh hidupnya dengan cemerlang dan sebuah rencana perkawinan. Namun undangan itu telah menamparnya. Ia seperti bocah kecil yang terus bermimpi tak menyadari kenyataan di sekitarnya. Dokter wanita itu tetap terpaku, nalarnya sebagai dokter bahkan tak mampu menganalisis persoalan yang harus dihadapi. Gayatri masih terpaku dengan
73
pandangan kosong, kesadarannya bergoyang pada garis batas yang mencemaskan, wajahnya seketika memucat (Linggasari, 2007 : 100-101).
Gayatri bukanlah sosok perempuan yang terus hanyut dalam masalah yang
dia hadapi. Dengan cepat ia mulai bangkit lagi untuk menghadapi kehidupan yang
baru. Rencana-rencana yang telah ia buat harus terlaksana, termasuk menjalankan
praktik dokter ke wilayah timur. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah
ini :
Gayatri bukan pribadi yang hanyut dalam persoalan yang menyedihkan, sungguhpun perkawinan itu telah mengubur seluruh harapan dan rencananya. Gadis itu mulai berbenah, merapikan seisi kamar, mencuci rambut, dan seluruh tubuhnya, mendirikan sembayang, dan berdoa dengan satu kesadaran, bahwa hari depan masih panjang (Linggasari, 2007 : 111).
Gadis itu juga teringat dengan rencana PTT di wilayah timur Indonesia,
sebuah tempat yang belum pernah sekalipun dikunjungi. Mengapa tak melakukan sesuatu untuk keluar dari persoalan ini? (Linggasari, 2007 : 119-120).
Meski orang tuanya keberatan dengan keputusannya tersebut, tetapi ia
tetap harus menjalankannya. Gayatri ingin menyelamatkan hidupnya.
Perkawinannya dengan Ardana yang gagal membuat Gayatri menjadi buah bibir
di kotanya. Tetapi bukan itu alasan mengapa Gayatri memutuskan mengambil
praktik dokter pertamanya di wilayah timur Indonesia. Sudah sejak lama Gayatri
memiliki cita-cita pergi ke sana. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
“PTT di Wamena bukan berarti saya kehilangan kesadaran. Saya harus menyelamatkan hidup saya. Semua orang di kota ini seakan terus membicarakan saya, karena Ardana menikahi orang lain, dan orang lain itu adalah sahabat saya sendiri. Saya tak dapat membungkam mulut mereka, mungkin semua juga salah saya. Perkawinan itu terjadi, tepat ketika saya sedang merencanakannya. Saya meninggalkan tempat ini bukan karena lari dari kenyataan hidup, tetapi sudah sejak lama, bahkan sebelum mengenal Ardana saya sudah memang ingin pergi ke sana. Saya pergi bukan karena dikhianati, tapi karena cita-cita. Kebetulan saja situasinya seperti ini” (Linggasari, 2007 : 122-123).
Kutipan di atas merupakan citra diri Gayatri secara psikis dan merupakan
pertanggung jawaban penuh atas diri sendiri dan nasib sendiri yang dialaminya.
74
Citra diri Gayatri secara psikis juga terlihat ketika ia menangani kasus
Liwa. Ketika itu Liwa akan melahirkan anaknya yang kedelapan dan Gayatrilah
yang menolong Liwa melahirkan. Liwa melahirkan bayi kembar. Dalam adat suku
Dani bayi kembar yang terlahir terakhir adalah anak setan dan harus dihanyutkan
di sungai. Bila ada yang mengambilnya ia akan selamat tetapi jika tidak ia akan
kembali ke alam atau mati. Gayatri sangat kaget mengetahui hal itu. Ia harus
melakukan sesuatu meski itu berat. Akhirnya Gayatri memutuskan mengambil
salah satu bayi Liwa. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Gayatri terhenyak, dalam pandangannya segera tampak seorang bayi yang tak bersalah tergulung arus sungai dan menghilang sebagai suatu tragedi. Tidak! Hal itu tak boleh terjadi. Ia telah berjuang demi kelahiran bayi itu, ia harus bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Dokter itu terdiam dalam waktu yang lama sebelum akhirnya ia berkata. “Hanyutkan bayi itu dalam sungai, biar saya yang akan mengambilnya” (Linggasari, 2007 : 175-176).
Salah satu anak kembar Liwa yang diambil oleh Gayatri diberi nama
Kelila. Gayatri sangat menyayanginya. Ketika itu keamanan di Papua memburuk
dan Gayatri pun memutuskan kembali ke kampung halamannya setelah tugas
praktik dokter berakhir. Ia membawa serta Kelila. Dalam benaknya ia akan mulai
meniti karir untuk hari depan dan berjuang untuk Kelila. Dapat dilihat pada
kutipan berikut ini :
Setelah mempertimbangkan berhari-hari, akhirnya Gayatri memutuskan untuk kembali ke Yogya. Situasi kian memanas. Sementara PTT telah berakhir, telah cukup syarat untuk membangun karir di kemudian hari (Linggasari, 2007 : 247).
Tentu, ia tak meninggalkan Wamena seorang diri, karena Kelila telah
menjadi tanggung jawabnya. Ia akan membawa bocah ini menuju peradaban, pada sebuah kehidupan yang dapat memberinya segala hak dan membebaskan dirinya dari bermacam-macam bentuk penindasan. Ia harus melakukan sesuatu untuk merubah jalan hidup Kelila, sehingga bocah itu tak mudah diperdaya dan akan menjadi manusia yang merdeka (Linggasari, 2007 : 247-248).
75
Kedua kutipan di atas merupakan citra diri Gayatri. Ia telah mempunyai
tanggung jawab dengan apa yang ia jalani dan putuskan. Ia membawa Kelila
keluar dari adat yang kelak bisa membuat Kelila menderita seperti ibunya, Liwa.
Gayatri telah membawa Kelila pada perubahan dan menjauhkannya dari
penderitaan fisis mau pun psikis yang dialami oleh kebanyakan perempuan suku
Dani.
3.2 Citra Sosial Perempuan
Pada dasarnya citra perempuan sosial merupakan citra perempuan yang
erat hubungannya dengan norma dan sistem nilai yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat tempat perempuan menjadi anggota dan berhasrat
mengadakan hubungan antar manusia. Kelompok masyarakat itu adalah kelompok
keluarga dan kelompok masyarakat luas (Sugihastuti, 2000:143).
Dalam aspek keluarga, citra sosial perempuan berhubungan dengan
peranannya sebagai istri, ibu dan sebagai anggota keluarga yang semuanya
menimbulkan konsekuensi sikap sosial yang saling berhubungan antara satu
dengan yang lainnya. Citra sosial perempuan dalam sikap sosialnya terbentuk
karena pengalaman pribadi, pengalaman budaya dan pengalaman sosialnya
(Sugihastuti, 2000:xvi).
3.2.1 Citra Sosial Perempuan dalam Bidang Domestik
Dalam novel Sali, citra sosial perempuan dalam bidang domestik atau
dalam keluarga sangatlah berpengaruh. Perempuan memegang peran penting
dalam keluarga, seperti mengurus rumah tangga, mencari makan sampai
76
mengurus anak-anak mereka. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Beban kerja Lapina semakin bertambah berat, ia harus bangun pagi, menyediakan makanan bagi Kugara, pergi ke kebun sambil menjaga Liwa, memberi makan babi-babi, dan bersikap sebagai layaknya istri. Berbulan kemudian Lapina merasa dirinya semakin lemah dan sakit-sakitan. Meski demikian ia harus tetap pergi ke kebun demi babi-babi dan makanan sehari-hari (Linggasari, 2007 : 32).
Kutipan di atas merupakan gambaran citra sosial perempuan dalam bidang
domestik atau keluarga dalam novel Sali.
3.2.2 Citra Sosial Perempuan dalam Bidang Publik
3.2.2.1 Segi Ekonomi
Dalam sistem perekonomian, perempuan juga memegang peran yang
penting untuk menghidupi keluarga. Dalam novel Sali, semenjak modernisasi
masuk dalam peradaban suku Dani dan uang diperkenalkan sebagai alat tukar jual
beli barang, maka para penduduk lokal harus ikut dalam arus modernisasi. Selain
pergi ke kebun para perempuan juga harus bekerja menjual hasil kebun ke pasar
untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga juga untuk merawat dan
menghidupi anak-anak mereka. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Liwa mengambil noken yang penuh dengan hasil kebun sebagai barang jualan. Ia hendak pergi ke Pasar Nayak. Matahari semakin tinggi ketika Liwa sampai di Pasar Nayak, ia segera menggelar barang jualan kemudian berdiam diri menunggu pembeli datang sambil merajut noken (Linggasari, 2007 : 210). Liwa hanya sebagian kecil dari arus perubahan itu, ia harus membesarkan tujuh orang anaknya dan tugas rutin sehari-hari yang melelahkan (Linggasari, 2007 : 85). 3.2.2.1 Segi Budaya Dalam novel Sali, citra sosial perempuan digambarkan sebagai perempuan
yang harus patuh terhadap adat dan aturan yang berlaku dalam masyarakat adat.
Kelompok masyarakat pun dibagi dalam dua tempat tinggal, yakni rumah adat
77
untuk laki-laki dan rumah adat untuk perempuan. Dengan kata lain laki-laki
berkumpul dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Di situ juga ada
pendeskriminasian terhadap perempuan, yakni perempuan tidak boleh mendekati
rumah adat yang digunakan untuk menyimpan peralatan perang dengan alasan
bahwa darah yang keluar dari tubuh perempuan setiap bulannya dapat
menyebabkan peralatan tersebut kehilangan tuah.
Gambaran citra sosial perempuan seperti di atas dapat dilihat pada kutipan
di bawah ini :
Di dalam honai tersimpan benda-benda berupa senjata dan perlengkapan perang yang harus dijauhkan dari jangkauan tangan wanita. Konon, darah kotor wanita yang datang setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu kehilangan tuah, dan tak dapat dimanfaatkan untuk mengalahkan lawan dalam sebuah pertarungan. Sebab itu wanita Dani tak diijinkan untuk mendekat, terlebih menyentuh perlengkapan perang itu (Linggasari, 2007 : 4)
Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa kaum perempuan tidak
mempunyai tempat dalam kehidupan adat terutama dalam hal ikut berperang.
Perempuan masih dianggap the second class yang sering disebut sebagai
“warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan (Abdullah via
Hermawati, 2007 : 21).
Dalam novel Sali digambarkan bagaimana posisi laki-laki ditempatkan
pada tempat yang paling atas dan harus dihormati. Termasuk dalam hal
pembagian makanan. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Makanan yang tampak berukuran besar dibagikan kepada pihak laki-laki, sedangkan yang berukuran kecil diberikan kepada perempuan dan anak-anak. Adat selalu menempatkan laki-laki sebagai pihak yang harus dihormati, sehingga mereka selalu mendapatkan makanan yang terbaik (Linggasari, 2007 : 27).
Dalam adat suku Dani, perempuan yang telah menikah dan telah dibayar
dengan mahar yang sangat mahal yakni puluhan ekor babi mempunyai kewajiban
78
untuk mengurus rumah tangga. Adat suku Dani sangatlah kuat sehingga para
perempuannya sama sekali tidak bisa melawan. Kutipan di bawah ini merupakan
gambaran perempuan suku Dani yang telah menikah yang diceritakan dalam
novel Sali :
Hidup ini adalah kekalahan, bahkan setelah ia memberikan segalanya bagi perkawinannya. Setelah dibayar dengan babi-babi pada hari perkawinan itu, maka seorang wanita suku Dani adalah budak. Ia harus bekerja sepanjang hari untuk memenuhi kebutuhan makan. Tak ada waktu istirahat, demikian pula ketika ia berada dalam keadaan lemah, karena kehamilan. Ia harus tetap bekerja di kebun, membelah kayu bakar, sehingga bara api menyala dan ubi manis itu masak sebagai bahan makanan (Linggasari, 2007 : 6-7).
Seorang wanita telah dibayar dengan babi, ia harus menyalakan api
supaya ubi masak dan orang yang telah membayar dengan babi dapat menyantap jerih payahnya. Demikian Lapina harus terus bekerja sampai akhirnya ia menyadari, ada makhluk kecil tak berdosa telah hidup di dalam rahimnya (Linggasari, 2007 : 35).
Kedua kutipan di atas merupakan gambaran citra perempuan suku Dani
yang telah menikah dan harus melaksanakan seluruh tanggung jawabnya karena
ketika menikah mereka telah dibayar dengan babi-babi secara adat. Oleh karena
itu mereka harus mematuhi adat yang berlaku dalam suku.
Dalam pertanian ladang, ternak dan pekerjaan dalam rumah tangga, porsi
pekerjaan istri atau perempuan tampak lebih besar dari suami atau pria. Kaum pria
sekarang yang tidak lagi berhubungan dengan tradisi perang lebih banyak
menganggur (Melalatoa, 1995:222).
Keadaan tersebut membuat perempuan suku Dani merasakan beban dan
penderitaan yang cukup berat. Dalam novel Sali diceritakan bagaimana keadaan
perempuan suku Dani yang harus bekerja sedemikian berat serta mengurus anak-
anak, sedangkan suaminya atau laki-laki tidak melakukan apa pun, tetapi malah
menuntut bermacam keinginan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah
79
ini ketika tokoh Ibarak meminta tembakau kepada Liwa, istrinya :
”Jadi kenapa? Kau juga orang tua dari anak yang kulahirkan, mestinya kau harus ikut pula bertanggung jawab atas anak itu. Benar engkau telah membayarku dengan babi, tapi lihatlah, aku bekerja sepanjang hari seperti budak. Aku telah tujuh kali mengandung dan melahirkan kemudian membesarkan anak-anak, aku meratap memberi makan anak-anakku. Lalu engkau? Apa yang dapat kau lakukan sepanjang hidup bertahun-tahun denganku? Engkau tak perlu lagi menyambung nyawa pergi berperang. Seharusnya engkau mengerti akan penderitaanku!” (Linggasari, 2007 : 83).
Kutipan di atas merupakan perkataan Liwa, seorang wanita suku Dani
kepada suaminya. Terlihat jelas bagaimana beratnya beban hidup yang dipikul
Liwa sementara suaminya tidak melakukan pekerjaan apa pun.
Dalam hal tempat tinggal dalam perkampungan adat, antara laki-laki dan
perempuan dipisah. Laki-laki tinggal dengan laki-laki dan perempuan dengan
perempuan. Dan ada satu rumah khusus untuk peralatan perang. Perempuan tidak
di perbolehkan mendekati honai atau rumah tersebut karena darah yang
dikeluarkan oleh perempuan tiap bulannya dapat menghilangkan tuah yang
terdapat dalam peralatan perang tersebut.
Perkampungan suku Dani adalah sekelompok silimo yang berjauhan satu sama lain. Silimo itu berpagar kayu dengan humus yang berfungsi sebagai pelindung pada ujung-ujungnya. Di dalamnya terdapat pilamo-honai laki-laki – ebe ai – honai perempuan – honai adat yang terletak lurus dengan pintu masuk. Di dalam honai tersimpan benda-benda berupa senjata dan perlengkapan perang yang harus dijauhkan dari jangkauan tangan wanita. Konon, darah kotor wanita yang datang setiap bulan dapat menyebabkan perlengkapan perang itu kehilangan tuah, dan tak dapat dimanfaatkan untuk mengalahkan lawan dalam sebuah pertarungan. Sebab itu wanita Dani tak diijinkan untuk mendekat, terlebih menyentuh perlengkapan perang itu (Linggasari, 2007 : 3-4).
Dalam adat suku Dani, perempuan yang hamil tidak boleh melahirkan di
lingkungan suku atau kampung. Para perempuan harus melahirkan sendirian jauh
dari kampung. Hal tersebut karena di dalam adat suku Dani darah kotor yang
keluar saat melahirkan juga akan melunturkan tuah yang ada pada alat-alat perang
80
seperti darah kotor yang keluar tiap bulannya. Gambaran citra perempuan dalam
adat suku Dani seperti hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Lapina sendiri di pinggir hutan, peluh membasahi seluruh tubuhnya. Dengan lolongan yang sangat panjang rasa sakit itu terpecah sudah. Seorang bayi laki-laki terlahir, darah menyembur. Konon darah yang mengalir dari rahim seorang ibu yang melahirkan, dapat menghilangkan tuah dari alat-alat perang yang tersimpan di honai adat. Sebab itu Lapina harus melahirkan seorang diri jauh dari silimo (Linggasari, 2007 : 36).
Adat suku Dani juga memperbolehkan seorang duda menikah dengan adik
kandung istrinya jika sang istri meninggal. Hal tersebut dilakukan tokoh Kugara
dalam novel Sali. setelah istrinya meninggal ia menikahi adik kandung istrinya
yang bernama Lapina. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini :
Adat di kampung ini membenarkan seorang duda menikahi saudara perempuan istrinya setelah ia tiada, sungguhpun gadis itu masih belia (Linggasari, 2007 : 26).
Ada pula dugaan, bahwa beban yang berat itu seolah-olah menjadi alasan
bagi istri untuk membenarkan atau mengharapkan suaminya kawin lagi. Dengan
demikian beban yang berat tadi terbagi kepada istri-istri yang lain (Melalatoa,
1995:222-223).
Dalam novel Sali diceritakan tokoh Ibarak menikah lagi dengan seorang
gadis bernama Jija. Jija membantu pekerjaan Liwa yang semula ia kerjakan
sendiri. Dapat dilihat pada kutipan di bawah :
Pekerjaannya memang menjadi lebih ringan, karena ia tidak menyelesaikannya seorang diri. Setelah malam-malam pengantin berlalu, Jijapun harus melakukan pekerjaan rutin seperti Liwa (Linggasari, 2007 : 219).
3.4 Kesimpulan
Hasil analisis citra perempuan dalam novel Sali memaparkan citra diri
perempuan, citra sosial perempuan dan citra perempuan dalam budaya suku Dani
81
di Papua. Citra diri perempuan memaparkan citra diri secara fisis dan psikis tokoh
dalam novel Sali yakni, Liwa, Lapina, Aburah dan Gayatri. Liwa, Lapina, dan
Aburah adalah perempuan suku Dani sedangkan Gayatri berasal dari luar suku
Dani.
Kesimpulan hasil analisis citra diri perempuan secara fisis memaparkan
Keadaan fisis Liwa ketika masih muda adalah seorang perempuan menarik
dengan pinggang yang ramping dan dada yang membukit. Namun, ketika ia telah
menikah tubuhnya berubah menjadi cepat tua dibanding dengan umur yang
sebenarnya karena beban hidup yang ia tanggung. Citra diri Lapina secara fisis
yang menarik bagi kaum laki-laki. Namun, setelah menikah Lapina bukan lagi
gadis muda belia yang menarik tetapi telah menjadi wanita tua. Citra diri Aburah
secara fisis memaparkan citra fisis Aburah yang seorang perempuan. Ia
mengalami sakit yang berat karena penderitaan fisik yang harus ia alami dan
akhirnya meninggal. Citra fisis Gayatri memaparkan Gayatri adalah seorang
perempuan yang cantik dan mempesona. Gayatri bukanlah perempuan suku Dani,
tergambar dari garis muka yang halus dan bibir yang berwarna merah delima.
Kesimpulan citra diri secara Psikis memaparkan citra pskis Liwa yang
sangat menderita karena harus menanggung beban hidup yang begitu berat dalam
keluarganya. Liwa pun mendapatkan pelecehan seksual dari Ibarak, suaminya dan
Lopes, orang yang menyukainya. Penderitaan yang Liwa alami membuatnya
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di sungai.
Citra psikis Lapina tidak bisa menolak ketika harus menikah dengan Kugara
karena adat yang berlaku dalam suku. Ketika perang suku merengut nyawa
82
Kugara, Lapina memutuskan untuk tetap menjanda. Ia tak mau menikah lagi
karena tidak ingin mengulang penderitaan yang ia alami saat menikah. Citra psikis
Aburah adalah seorang perempuan yang harus mengerjakan seluruh tugas dalam
rumah tangga karena ketika menikah ia telah dibayar dengan harga yang mahal.
Citra psikis Gayatri merupakan sosok perempuan yang pintar dan punya pendirian
serta kemauan yang kuat. Ia berani mengambil keputusan untuk praktik dokter di
pedalaman Wamena setelah pengkhianatan yang dilakukan kekasih dan
sahabatnya. Gayatri mengambil salah satu anak kembar Liwa yang menurut adat
harus dihanyutkan ke sungai karena dianggap sebagai anak setan dan
membawanya kepada suatu perubahan, keluar dari kungkungan adat yang dapat
mengikat anak tersebut.
Citra sosial perempuan dalam novel Sali menunjukkan bahwa perempuan
sangat berperan penting terutama dalam bidang domestik dan publik. Dalam
bidang domestik seorang perempuan harus mengurusi segala urusan rumah
tangga. Tidak hanya itu, mereka pun harus pergi ke kebun dan mencari makan.
Dalam bidang publik perempuan juga sangat berperan. Untuk memenuhi segala
kebutuhan terutama kebutuhan rumah tangga mereka harus menjual hasil kebun
ke pasar sehingga mereka dapat membeli segala kebutuhan untuk rumah tangga.
Dalam budaya suku Dani, perempuan yang menikah dan telah dibayar
dengan puluhan ekor babi mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga. Meski
perang suku telah dilarang, namun porsi pekerjaan antara perempuan dan laki-laki
tidak seimbang.
Laki-laki lebih banyak menganggur daripada perempuannya. Hal tersebut
83
karena kaum laki-laki merasa telah membayar perempuan ketika menikah dengan
harga yang begitu mahal sehingga mereka berhak memperlakukan perempuan
sesuka hati.
Adat melarang para perempuan suku Dani mendekati rumah adat yang
berisi peralatan perang. Darah kotor yang keluar setiap bulannya dipercaya dapat
menghilangkan tuah pada alat-alat perang tersebut. Darah seorang ibu hamilyang
keluar saat melahirkan juga dianggap dapat melunturkan tuah yang ada pada
peralatan perang. Oleh karena itu, perempuan suku Dani yang hamil tidak boleh
melahirkan dalam perkampungan dan harus melahirkan seorang diri di luar
perkampungan.
84
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dalam bab IV penulis akan mengemukakan dua hal, yaitu kesimpulan
hasil analisis dan saran bagi penelitian selanjutnya. Berikut akan dipaparkan
kesimpulan hasil analisis struktural novel Sali yang meliputi tokoh dan
penokohan, alur, dan latar. Kemudian akan dipaparkan hasil analisis citra
perempuan dalam novel Sali dan diakhir dengan saran dari penulis.
Kesimpulan analisis tokoh dan penokohan yang terdapat dalam novel Sali
meliputi pembedaan tokoh berdasar peran dalam perkembangan plot dan karakter
penokohannya.
Tokoh berdasar peran dalam perkembangan alur atau plot dan karakter
penokohannya dbedakan menjadi beberapa jenis tokoh yakni, tokoh utama
protagonis, tokoh antagonis, tokoh tambahan, dan wirawati. Tokoh utama
protagonis adalah Liwa. Tokoh tambahan adalah Aburah, Lapina, Kugara,
Wibawa Ardana, Sekar Nilasari, Anton, Hera, Trimas, dan Lopes. Tokoh
wirawati adalah Gayatri.
Liwa sebagai tokoh utama merupakan perempuan suku Dani yang
mengalami diskriminasi atas nama adat. Mahar babi yang dibayarkan kepadanya
waktu menikah membuat hidupnya menderita tanpa bisa melawan atau pun
menuntut. Liwa harus melakukan segala pekerjaan rumah tangga dari mencari
makan, mengurus kebun dan ternak sampai mengurus anak-anaknya. Sedangkan
85
Ibarak, suaminya tidak melakukan apa pun.
Tokoh Ibarak adalah suami Liwa. Ibarak sering bertindak kasar dan
semena-mena terhadap Liwa. Ia merasa telah membayar Liwa dengan mahal saat
mereka menikah jadi ia berhak memperlakukan Liwa semaunya sendiri.
Tokoh Aburah adalah ibu kandung Liwa yang meninggal dalam keadaan
sakit. Aburah tidak kuat menahan segala beban baik fisik maupun Psikis yang ia
alami.
Tokoh Lapina adalah adik kandung Aburah. Lapina harus menikah dengan
Kugara, suami Aburah. Ia tak bisa menolak karena adat yang berlaku begitu keras
aturannya. Lapina harus mengalami berbagai penderitaan setelah menikah.
Kugara, suaminya meninggal dalam perang suku. Lapina memutuskan untuk
tetap menjanda karena tidak ingin mengulang penderitaan yang sama.
Tokoh Kugara adalah ayah kandung Liwa. Ia menikahi Lapina, adik
kandung Aburah setelah Aburah, istrinya tersebut meninggal. Kugara meninggal
karena perang suku.
Tokoh Gayatri adalah seorang dokter muda dari Yogyakarta. Kekasih dan
sahabatnya mengkhianatinya ketika rencana-rencana yang telah ia buat akan
berjalan. Gayatri memilih menjalankan praktik dokternya di Wamena bukan
karena lari dari pengkhianatan yang ia alami tetapi untuk mewujudkan cita-
citanya dari dulu yakni, pergi ke pedalaman Wamena. Ia bertemu dengan Liwa
dan menolong persalinan anak kembar Liwa. Gayatri pun berani mengambil
keputusan yang berat dengan mengambil salah satu bayi kembar Liwa yang
dianggap sebagai anak setan menurut budaya suku Dani dan mengangkatnya
86
sebagai anak.
Tokoh Wibawa Ardana adalah kekasih Gayatri yang mengkhianatinya
dengan menikahi sahabat Gayatri karena kekayaan dan posisi dalam pekerjaan
yang menjanjikan tanpa harus bekerja keras. Ia pun dapat merawat dan mengobati
adiknya yang cacat tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Tokoh Sekar Nilasari adalah sahabat Gayatri. Nilasari juga menyukai
Ardana. Ia memanfaatkan kepercayaan Gayatri sebagai sahabatnya untuk merebut
Ardana dari sisi Gayatri. Kekayaan dan pengaruhnya yang besar membuatnya
berhasil mengambil Ardana untuk menjadi pendamping hidupnya tanpa harus
bersusah payah.
Tokoh Anton, Hera dan Trimas merupakan teman seperjuangan Gayatri
dalam menolong penduduk di pedalaman Wamena yang terkena wabah diare saat
itu.
Tokoh Lopes merupakan tokoh yang menyukai Liwa dan bermaksud
menggoda Liwa tetapi ditolak oleh Liwa.
Alur novel Sali dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap awal, tengah, dan
akhir. Alur cerita bersifat sorot balik atau flashback atau regresif. Jalan cerita
yang disuguhkan tidak kronologis atau tidak berurutan. Tahap awalnya
merupakan tahap akhir cerita baru kemudian disusul dengan pengenalan tokoh.
Tahap tengah merupakan konflik cerita dan tahap akhir merupakan klimaks dari
konflik serta penyelesaian cerita yang berakhi dengan sedih atau Sad Endding.
Latar fisik menunjuk pada perkampungan suku Dani serta bangunan
rumah adatnya. Latar sosial menunjuk pada latar sosial perempuan suku Dani di
87
Wamena, Papua dengan adat yang berlaku dan harus dipatuhi tanpa bisa
menuntut sedikitpun. Latar waktu dalam novel Sali terjadi ketika masa orde baru
berkuasa.
Kesimpulan hasil analisis citra perempuan meliputi hasil analisis citra diri
perempuan, citra sosial perempuan dan citra perempuan dalam budaya suku Dani
di Papua. Citra diri perempuan memaparkan citra diri secara fisis dan psikis tokoh
dalam novel Sali yakni, Liwa, Lapina, Aburah dan Gayatri. Liwa, Lapina, dan
Aburah adalah perempuan suku Dani sedangkan Gayatri berasal dari luar suku
Dani.
Kesimpulan hasil analisis citra diri perempuan secara fisis memaparkan
Keadaan fisis Liwa ketika masih muda adalah seorang perempuan menarik
dengan pinggang yang ramping dan dada yang membukit. Namun, ketika ia telah
menikah tubuhnya berubah menjadi cepat tua dibanding dengan umur yang
sebenarnya karena beban hidup yang ia tanggung. Citra diri Lapina secara fisis
yang menarik bagi kaum laki-laki. Namun, setelah menikah Lapina bukan lagi
gadis muda belia yang menarik tetapi telah menjadi wanita tua. Citra diri Aburah
secara fisis memaparkan citra fisis Aburah yang seorang perempuan. Ia
mengalami sakit yang berat karena penderitaan fisik yang harus ia alami dan
akhirnya meninggal. Citra fisis Gayatri memaparkan Gayatri adalah seorang
perempuan yang cantik dan mempesona. Gayatri bukanlah perempuan suku Dani,
tergambar dari garis muka yang halus dan bibir yang berwarna merah delima.
Kesimpulan citra diri secara Psikis memaparkan citra pskis Liwa yang
sangat menderita karena harus menanggung beban hidup yang begitu berat dalam
88
keluarganya. Liwa pun mendapatkan pelecehan seksual dari Ibarak, suaminya dan
Lopes, orang yang menyukainya. Penderitaan yang Liwa alami membuatnya
memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggelamkan diri di sungai.
Citra psikis Lapina tidak bisa menolak ketika harus menikah dengan Kugara
karena adat yang berlaku dalam suku. Ketika perang suku merengut nyawa
Kugara, Lapina memutuskan untuk tetap menjanda. Ia tak mau menikah lagi
karena tidak ingin mengulang penderitaan yang ia alami saat menikah. Citra psikis
Aburah adalah seorang perempuan yang harus mengerjakan seluruh tugas dalam
rumah tangga karena ketika menikah ia telah dibayar dengan harga yang mahal.
Citra psikis Gayatri merupakan sosok perempuan yang pintar dan punya pendirian
serta kemauan yang kuat. Ia berani mengambil keputusan untuk praktik dokter di
pedalaman Wamena setelah pengkhianatan yang dilakukan kekasih dan
sahabatnya. Gayatri mengambil salah satu anak kembar Liwa yang menurut adat
harus dihanyutkan ke sungai karena dianggap sebagai anak setan dan
membawanya kepada suatu perubahan, keluar dari kungkungan adat yang dapat
mengikat anak tersebut.
Citra sosial perempuan dalam novel Sali menunjukkan bahwa perempuan
sangat berperan penting terutama dalam bidang domestik dan publik. Dalam
bidang domestik seorang perempuan harus mengurusi segala urusan rumah tangga
dan mengurus anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka pun harus pergi ke
kebun dan mencari makan. Dalam bidang publik perempuan juga sangat berperan.
Untuk memenuhi segala kebutuhan terutama kebutuhan rumah tangga mereka
harus menjual hasil kebun ke pasar sehingga mereka dapat membeli segala
89
kebutuhan untuk rumah tangga.
Dalam budaya suku Dani, perempuan yang menikah dan telah dibayar
dengan puluhan ekor babi mempunyai kewajiban mengurus rumah tangga. Segala
pekerjaan harus dilakukan dan tidak boleh menolak apalagi menuntut. Menuntut
dan melawan berarti mereka telah melanggar peraturan adat yang berlaku dalam
suku tersebut. Hal tersebut menyebabkan adanya diskriminasi atas nama adat yang
dialami oleh perempuan suku Dani.
Meski perang suku telah dilarang, namun porsi pekerjaan antara
perempuan dan laki-laki tidak seimbang. Laki-laki lebih banyak menganggur
daripada perempuannya. Hal tersebut karena kaum laki-laki merasa telah
membayar perempuan ketika menikah dengan harga yang begitu mahal sehingga
mereka berhak memperlakukan perempuan sesuka hati. Bahkan, pihak laki-laki
atau suami berhak memukul pihak perempuan atau istrinya jika si istri dengan
melawan atau menolak apa yang dikehendaki suaminya tersebut.
Adat melarang para perempuan suku Dani mendekati rumah adat yang
berisi peralatan perang. Mereka menganggap darah kotor yang keluar setiap
bulannya dapat menghilangkan tuah pada alat-alat perang tersebut. Darah kotor
yang keluar ketika seorang ibu hamil melahirkan juga dipercaya dapat
melunturkan tuah yang ada pada peralatan perang. Oleh karena itu, perempuan
suku Dani yang hamil tidak boleh melahirkan dalam perkampungan dan harus
melahirkan seorang diri di luar perkampungan.
4.2 Saran
Novel Sali : Kisah Seorang Wanita Suku Dani merupakan sebuah novel
90
etnografis. Novel ini berisi cerita yang menggambarkan keadaan suku Dani di
pedalaman Wamena, Papua. Dalam novel Sali ini sangat jelas tergambar adanya
diskriminasi terhadap kaum perempuan atas nama adat yang berlaku dalam suku.
Dalam adat suku Dani, perempuan yang telah menikah dan dibayar dengan
puluhan ekor babi oleh pihak laki-laki harus mengerjakan seluruh pekerjaan
rumah tangga, menuruti semua hal yang dikehendaki suami dan sama sekali tidak
boleh menuntut karena jika menuntut sama saja dengan melanggar adat yang
berlaku.
Penulis menyadari bahwa masih banyak hal yang bisa dipelajari dan
diteliti dari novel Sali : Kisah Seorang Wanita Suku Dani. Citra perempuan
adalah salah satu pengetahuan yang dapat diambil dari novel tersebut. Akan
sangat baik jika dilakukan analisis mengenai keadaan suku Dani secara etnografis
di pedalaman Wamena di tengah arus perubahan jaman yang mulai memasuki
damainya lembah Baliem-Wamena. Hal tersebut dapat dilakukan karena
penelitian tersebut dapat menghasilkan suatu pengetahuan yang baru mengenai
kehidupan suku pedalaman di Indonesia.
91
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
De Te Fabula Narratur. “Resensi Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani”.
www.google.com. http:/narator.wordpress.com. Download 11 Septrember 2008.
Hermawati, Tanti. 2007. Budaya Jawa dan Kesetaraan Gender. Jurnal
Komunikasi Massa Vol. 1, No.1, hal 18-24. www.google.com. Download 28 september 2008
Irma. 2008. “Resensi Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani”.
www.google.com.http:/eskrim.multiply.com/reviews/item.40. Download 11 September 2008.
Linggasari, Dewi. 2007. Sali : Kisah Seorang Wanita Suku Dani. Yogyakarta:
Kunci Ilmu. Mastoyo, Tri. 2007. Pengantar Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta :
Carasvatibooks. Melalatoa, M Yunus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia. Jakarta : CV Eka
Putra Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada. _______ . 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode, Kritik dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ria, 2008. “Resensi Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani”.
www.google.com. http:/lovelyry.multiply.com. Download 7 Oktober 2008.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
92
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Tekhnik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana Univesity Press.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Sugihastuti. 2000. Wanita di Mata Wanita : Perspektif Sajak-sajak Toety Heraty.
Bandung: Nuansa. Sugihastuti dan Sastriyani. 2007. Glosarium Seks dan Gender. Yogyakarta :
Carasvati Books. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya. www.google.com
93
BIOGRAFI PENULIS
Serafin Aic Priharlina lahir di Magelang, 25 Juni 1985.
Menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Podosoko
III, Sawangan, Magelang (1991-1997), pendidikan sekolah
lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri I Mungkid, Magelang
(1997-2000), pendidikan sekolah menengah umum di SMU
Santa Maria, Yogyakarta (2000-2003). Meraih gelar sarjana sastra dari
Universitas Sanata Dharma pada tahun 2009 dengan skripsi yang berjudul Citra
Perempuan dalam Novel Sali: Kisah Seorang Wanita Suku Dani Karya Dewi
Linggasari Tinjauan Sosiologi Sastra.