cerpen balada ibu yang dibunuh

5
Balada Ibu Yang Dibunuh Ibu tua itu menggembol beban derita yang terpancar dari roman mukanya. Rasa lapar dan galau hati hendak mencari makan kemanakah malam ini, berkecamuk disekitar perut dan dada. Rengekan dan isyarat kelaparan yang diperlihatkan kedua anaknya memperhebat rasa galau yang menjalari di urat-urat kepalanya. Setengah putus asa, ia lalu rebah meringkuk membiarkan kedua bayinya menyedot puting susunya yang kempis. Tak ada air yang mengalir dari sana, namun setidaknya hal itu telah memberi kehangatan untuk sepasang anaknya itu. Musang malang itu pandangi penuh kasih bayi-bayinya. Digosok- gosok tubuh anaknya perlahan dan penuh cinta dengan moncongnya yang runcing. Ia menghela nafas panjang, menyesali penderitaan dan perjuangan hidup yang kejam yang mesti dialami generasinya itu. Ibu musang lantas mengingat kembali masa-masa lalunya yang bahagia, waktu kecil penuh gemirang. Dulu, Bukit Temiang adalah tempat yang menyenangkan. Makanan berlimpah ruah, suasana teduh, tenang dan damai. Kala itu ia tak perlu susah mencari mangsa. Di malam yang diterangi bulan, ia dapat bergelantungan dari pohon ke dahan lainnya, mencari buah- buahan. Kadang sebagai kudapan selingan, jangkrik, laba-laba, semut, lipan dan capung, mudah sekali ia tangkap. Bila dirasa perutnya tak dapat dibendung lagi, maka dengan seenaknya ia akan buang air besar dimana tempat ia suka. Biji-bijian yang keluar saat ia berak, lantas berkecambah lalu menjadi tunas dan menjelma pohon beraneka jenis yang kesemuanya itu kian membuat Bukit Temiang menjadi rimba yang nyaman, hijau, dan rimbun. Keluarga hewan dari lain jenis pun makin banyak yang bertransmigrasi kesana. Saat-saat bahagia itu putus, manakala makhluk bengis berkaki dua dan sangat cerdas mulai mengusik Bukit Temiang. Mula-mula mereka menebangi pohon-pohon besar, kemudian batang lebih kecil, lalu semuanya menjadi tak bersisa. Bahkan segala yang bernyawa di Bukit Temiang pun tak luput dari kekejamannya.beberapa kawan mereka bunuh, bakar ,dan makan. Memang kemudian tumbuh pupus-pupus baru, namun tak satu pun yang dapat ia makan. Tak ada lagi buah- buahan, hewan kecil pun langka, makhluk kejam itu telah merampas rezeki hariannya. Makhluk jahat itu lalu menguasai Bukit Temiang, terutama siang hari. Musang betina itu kembali mengambil nafas

Upload: mirzania-mahya-fathia

Post on 18-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

STORY

TRANSCRIPT

Balada Ibu Yang Dibunuh

Ibu tua itu menggembol beban derita yang terpancar dari roman mukanya. Rasa lapar dan galau hati hendak mencari makan kemanakah malam ini, berkecamuk disekitar perut dan dada. Rengekan dan isyarat kelaparan yang diperlihatkan kedua anaknya memperhebat rasa galau yang menjalari di urat-urat kepalanya. Setengah putus asa, ia lalu rebah meringkuk membiarkan kedua bayinya menyedot puting susunya yang kempis. Tak ada air yang mengalir dari sana, namun setidaknya hal itu telah memberi kehangatan untuk sepasang anaknya itu.Musang malang itu pandangi penuh kasih bayi-bayinya. Digosok-gosok tubuh anaknya perlahan dan penuh cinta dengan moncongnya yang runcing. Ia menghela nafas panjang, menyesali penderitaan dan perjuangan hidup yang kejam yang mesti dialami generasinya itu. Ibu musang lantas mengingat kembali masa-masa lalunya yang bahagia, waktu kecil penuh gemirang.Dulu, Bukit Temiang adalah tempat yang menyenangkan. Makanan berlimpah ruah, suasana teduh, tenang dan damai. Kala itu ia tak perlu susah mencari mangsa. Di malam yang diterangi bulan, ia dapat bergelantungan dari pohon ke dahan lainnya, mencari buah-buahan. Kadang sebagai kudapan selingan, jangkrik, laba-laba, semut, lipan dan capung, mudah sekali ia tangkap. Bila dirasa perutnya tak dapat dibendung lagi, maka dengan seenaknya ia akan buang air besar dimana tempat ia suka. Biji-bijian yang keluar saat ia berak, lantas berkecambah lalu menjadi tunas dan menjelma pohon beraneka jenis yang kesemuanya itu kian membuat Bukit Temiang menjadi rimba yang nyaman, hijau, dan rimbun. Keluarga hewan dari lain jenis pun makin banyak yang bertransmigrasi kesana. Saat-saat bahagia itu putus, manakala makhluk bengis berkaki dua dan sangat cerdas mulai mengusik Bukit Temiang. Mula-mula mereka menebangi pohon-pohon besar, kemudian batang lebih kecil, lalu semuanya menjadi tak bersisa. Bahkan segala yang bernyawa di Bukit Temiang pun tak luput dari kekejamannya.beberapa kawan mereka bunuh, bakar ,dan makan. Memang kemudian tumbuh pupus-pupus baru, namun tak satu pun yang dapat ia makan. Tak ada lagi buah-buahan, hewan kecil pun langka, makhluk kejam itu telah merampas rezeki hariannya. Makhluk jahat itu lalu menguasai Bukit Temiang, terutama siang hari. Musang betina itu kembali mengambil nafas panjang. Rintihan lapar kedua anaknya kembali mengiris hatinya. Anak musang itu merintih-rintih setelah putus harapan sebab puting susu induknya tak setetes pun memancurkan air. Keluhan anak derita ibu.Induk musang pun merasakan hal itu. Sekadar penggembira, lantas ia menggosok-gosokkan kembali tubuh anaknya dengan kepalanya. Tak lupa menjilati penuh sayang, sebagai penegasnya. Sambil berkata penuh hiburan, Sabar nak, sabar, tenanglah kalian. Malam ini pasti ibu bawakan makanan lezat. Ibu tahu, sudah tiga hari ini pola makan kalian tak teratur. Sabar sayang, Ibu pasti mengambil sedikit rezeki dari makhluk biadab yang berumah di seberang sungai sana. Mereka-lah nak, yang membikin kita sengsara. Matanya lalu pamitan. Dipandangnya dalam-dalam kedua bayinya, sambil meyakinkan bila ia pasti pulang membawa hidangan. Ibu yang perkasa lalu keluar juga dari dalam liang. Bulan seperti sabit menggantung di langit. Angin kemarau bulan Juli mengirim dingin yang merasuk hingga bulu-bulu ekornya. Tetapi dingin dan lapar tak mampu mengalahkan rasa cinta dan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Seorang ibu yang akan melakukan apa saja demi buah hatinya, walau setiap perburuan merupakan petaruhan atas nyawanya.Tekadnya membatu. Lamat- lamat tangisan bayinya justru menjadi tenaga berlimpah ruah. Dengan gagah, ibu musang menerobos semak dan ilalang yang mengering, melintasi jalan setapak yang dibuat makhluk berkaki dua, menyeberangi Sungai Pegaduhan, menuju rumah-rumah musuh utamanya. Ia kini lebih sabar dan waspada. Ibu perkasa itu masih berdiri dalam keremangan di belakang kandang ayam. Aroma lezat yang berasal dari dalam kandang, menusuk-nusuk lubang hidungnya. Malam penuh angin yang diam. Ketika dirasa suasana cukup aman, sang musang berjalan perlahan menuju kandang.Beberapa kali ia mengitari kandang, mencari celah. Tetapi ia lalu memutuskan masuk secara paksa, ketika tak didapatinya sedikitpun kesempatan masuk secara baik-baik. Kemudian musang bergigi tajam mematahkan bilah bambu paling rapuh. Terdengar bunyi krak,..krak selanjutnya kembali sunyi. Ia melongokkan kepalanya ke dalam, bau gurih kian mengganggu, yang oleh sebab itu andrinalinnya mengalir lebih deras. Burung Kolik mencium kehadirannya. Dibawa rasa hati-hati dan waspada, ia tak segera masuk ke dalam. Rasa gamang dan trauma kini menjalari. Kedua rasa itu justru mengingatkan ia pada saat saat tragis perburuan bersama suaminya, tiga hari lalu.Pak, sudahlah, Burung Kolik mengabarkan dendam panas warga desa kepada kita. Cepat keluar, abaikan saja mangsa di dalam ituTenanglah Bu, Cuma butuh waktu beberapa detik saja aku melakukannya. Kondisi seperti ini bukanlah pertama kali kita hadapi. Rileks saja, tenang, selama ini kita yang menjadi pemenang. Musang jantan menentramkan hati betinanya.Matanya tajam hujani ayam betina yang tengah terkantuk-kantuk di sudut kandang. Lalu sang musang jantan menerkam. Terjadi sedikit kegaduhan, kemudian kembali seperti semula. Pada saat yang sama, Burung Kolik riuh berteriak-teriak di atas dahan. Dari kejauhan dan semakin mendekat, sambaran sinar lampu baterai dan langkah kaki yang tergesa-gesa tengah menuju kandang. Musang betina gusar bukan kepalang.Suamiku,..ceparlah keluar, keadaan kian memburuk. Makhluk bengis itu sedang menuju kemari. Keras ia menasihati lakinya.Sang jantan yang tengah di puncak kenikmatan, tak hirau pada peringatan bininya. Dengan rakus ia lahap dada si korban. Terbius kelezatan, kewaspadaannya kian kendur. Ia makin asyik di dalam kandang. Musang betina menyadari bila ia mesti berjuang sendiri. Si betina sengaja menunggu musuhnya lebih dekat, untuk memecah perhatian. Manakala sinar senter menelanjangi dirinya, barulah ia meloncat ke kanan menuju rerimbunan pohon lengkuas.Musang,!!! Tangkap..!! Bunuh!!! suara makhluk bengis mengejutkan musang jantan. Beberapa dari mereka mengejar si betina, sedang sisanya mengepung kandang. Dalam kepanikan si istri terus berlari menjauhi palagan, sementara dari arah sana, samar-samar terdengar jeritan suaminya yang menyayat penuh diliputi rasa kesakitan.Membayangkan tragedi tiga hari lalu, membuat bulu-bulu ibu musang itu berdiri. Rasa takut dan trauma terus menjalari hingga ujung-ujung ekor dan telinga. Tapi dikibasnya juga rasa itu, bilamana ia menyadari nyawa kedua oroknya lebih berharga.Perlahan ia masuk kandang. Sekali lirik, tahulah ia bila sang mangsa sedang nangkring di para-para. Ayam jantan itu terjaga dan merasakan adanya bahaya. Tetapi terlambat, sebuah lompatan manis membuatnya terjerembab. Si korban melakukan perlawanan, namun sia-sia. Perlawanan itu menimbulkan kegaduhan sementara. Bergegas ia menyeret korbannya melalui celah yang ia buat tadi. Namun perlu bersusah payah, sebab ayam jago itu bertubuh gemuk. Hal ini memerlukan waktu yang agak lama. Dan saat korban telah berada di moncongnya di luar kandang, bersamaan dengan hal itu, sinar lampu senter yang sangat terang tertuju pada mukanya.Musang!!! Ini Si pencuri!!! Bunuh..!!! teriak makhluk kejam penuh kegeraman.Si tersangka sembunyi di rerimbunan pohon kunyit. Tapi makhluk sadis yang cerdas itu segera tahu keberadaannya. Upaya musang membuyarkan konsentrasi dengan mengeluarkan bau pandan yang sangat tajam dari tubuhnya itu, justru menjadi bumerang. Dengan emosi dan kemarahan yang meluap-luap, mahluk itu menebas-nebas daun dan batang kunyit. Sang musang ngacir secepat kilat, namun ikhtiarnya masih tertangkap mata musuhnya.Sebatang kayu melintas di depannya, hal itu memicu semangat musang berlari kian kencang. Makhluk kejam segera berlari menyebar, mengepung sang korban. Sebuah bongkah batu tepat mengenai pinggulnya, menjadikan ibu pejuang itu jatuh dan benda di mulutnya terlepas. Rasa sakit segera berduyun-duyun merayapi tubuhnya, tapi tak dihiraukan juga rasa itu. Ia kembali bangkit, kembali berlari sebelum musuhnya berhasil menangkapnya. Langkahnya kini tak cepat lagi, dan benda yang berada di mulutnya itu memperlambat gerakannya.Kondisi fisik yang merosot tajam tak jua mematahkan semangat juang. Tak ada yang ia pikirnya selain fokus agar cepat sampai di rumah dan memberi kebahagiaan pada anak-anaknya. Hewan kecil itu tak sebanding kepintarannya dengan makhluk kejam yang memburunya. Tepi Sungai Pegaduhan kian dekat, sang musang kian bersemangat. Tapi naas, sebuah sabetan sabit menghujam di perutnya. Dari koyakan itu, segeralah berbondong-bondong darah keluar dari sana. Darah itu menyebar, sebagian berkumpul di bulu-bulunya, sisanya menetes-netes di rerumputan, membentuk garis merah di atas warna yang hijau. Pejuang betina itu memang gagah, dihindarinya sang pemburu dengan menyusup-nyusup perdu-perdu dan rerumputan dalam upaya menuju bibir sungai.Kala tubuhnya bersentuhan dengan air Sungai Pegaduhan, rasa sakit dan nyeri langsung menyambutnya. Rasa itu berbaur dengan rasa letih, lelah dan gemetar, bergabung menusuk-nusuk badannya. Kemalang ibu perkasa belum berakhir di situ. Kala tubuhnya telah sampai di tengah sungai, para pemburunya masih tega melemparinya dengan batu dan potongan kayu. Beberapa benda itu tak mengenainya, beberapa yang lain tepat membentur kepalanya, yang dengan hal itu lebih memperburuk kebugaran dirinya.Ibu perkasa yang malang, sampai jua di tepian seberang. Tubuh kuyup itu menggigil karena dingin dan demam. Tertatih dan merangkak ia paksakan diri menuju lubang. Perjuangan memberi makan anak-anaknya sampailah pada saat pengakhiran. Ditembusnya malam, semak, rerumputan, ranting dan onak dengan tenaga penghabisan. Raganya tak mampu lagi menanggung luka disekujur badan. Pejuang tua itu Cuma mampu mengantarkan bangkai ayam sampai di mulut liang..Anakku, lihat dan rasakan, hidangan lezat yang ibu janjikan. Segeralah nak, cepat,raih manakan ini dan seret ke dalam. Ini menu yang cukup buat bertahan seminggu. Anakku, ..dengarlah ibu. Induk musang itu berkata dalam hati. Ditariknya nafas penghabisan, lalu melayanglah nyawanya dalam sepi. Ibu yang baik, matinya pun baik. Pada bangkainya berguguran daun-daun bungur tanda bela sungkawa.Aroma nikmat yang dikirim angin pagi, masuk juga ke dalam liang. Terpengaruh bau anyir darah segar yang kini kian dirasa lebih tegas keberadaannya, anak-anak musang merangkak menuju ke sumber aroma. Bersamaan anak-anak musang melakukan hal itu, dari kejauhan, sepasang mata ular sanca tajam membidik mulut lubang di bawah pohon bungur tua itu. Lidahnya yang merah menjulur-julur penuh gairah.

Sukadana, 21 Oktober 2008Penulis : Suheri Suheri belajar menulis esai, artikel, puisi, cerpen, yang dipublikasikan di Majalah Horison, Majalahj Guruku, Lampung Post, Radar Lampung, Media Lampung Timur.Guru SMAN 1 Sukadana lampung Timur.Ketua PCM Sukadana Lampung Timur