cerpen
DESCRIPTION
cerpen akuTRANSCRIPT
Ragu Untuk yang Ditunggu
Banyak kendaraan di halaman sekolah pagi ini. Ada kendaraan
bermotor roda dua dan roda empat. Hari ini para wali murid siswa
siswi kelas 9 diundang datang ke sekolah untuk dikumpulkan. Karena
masalah yang penting mengenai sekolah anak-anaknya.
Menunggu kedatangan orang tua, seperti anak-anak lain yang
orang tuanya belum datang. Padahal sudah pukul 08.00, Veve duduk-
duduk bersama Asna di dekat kantor TU alias kantor Tata Usaha.
Sembari mengutak-atik telepon selularnya. Apalagi kalau bukan ‘sms’
atau akan ‘telepon’.
Tapi sepertinya murid SMP lebih senang berkirim pesan singkat yang
tarifnya lebih murah dan hemat daripada harus menggunakan jasa
telepon, walaupun sama-sama mudah. Hanya memang butuh biaya
yang lebih besar. Dengan mencari nama ayahnya di daftar nomor
telepon. Setelah ia temukan, lalu mulai lah Veve mengetik pesan
untuk ayahnya. “Pa, cepet. Udah pada dateng”.
Hanya dengan beberapa kata dan waktu yang singkat, maksud dan
tujuan sudah sampai ke orang yang dituju. Tak lama kemudian
ayahnya datang dan Veve langsung menghampiri untuk diajak masuk
ke dalam dan memasuki ruang kelasnya. Veve sangat bersemangat
untuk segera mengetahui keputusan lulus atau tidaknya dia dari
Sekolah Menengah Pertama.
Guru sudah siap setelah beberapa saat ayah Veve masuk ke
ruang yang telah ditentukan sebelumnya. Penyuluhan diberikan
sebagai pendahuluan dalam perkumpulan para orang tua itu. Tak
lama, surat keputusan pun telah diberikan. Daftar nilai, rapor dan
benda-benda lain yang berhubungan dengan pengumuman kelulusan.
Setelah keluar…
“Gimana, Pa?”
“Ya pasti lulus lah, nih nilai nya”
Dengan bahagia yang masih terpendam di dalam hati, Veve melihat
daftar nilai Ujjian Nasional yang sudah berhasil ia lewati dengan cukup
mudah. Dan ternyata hasilnya pun seperti yang diinginkan.
“Ve, mau pulang bareng Papa?”
“Nanti lah, Pa. Bareng sama Asna aja”
“Ya udah, Papapulang duluan ya”
“Iya”
“YEAHH ! Akhirnya kita bisa ngelewatin ini semua ya..haha, bahagia
banget nih!” teriak Veve sambil jingkrak-jingkrak di depan kelas.
“Yo’i.. gue juga bahagia kali ve.. nilai kita lumayan tinggi-tinggi lho.
Ckck, bangga deh pokoknya gue :)” timpal Asna yang saat itu memiliki
perasaan yang sama dengan Veve.
“Emm.. Kita jalan-jalan yok Na! hehe.. Itung-itung buat ngerayain
kelulusan kita dengan nilai yang lumayan bagus ini” ajak Veve.
“Ayok-ayok aja si.. Kemana kita?” timpal Asna.
Veve lalu berpikir untuk mencari tempat-tempat yang akan dituju
dirinya dan Asna.
“Emm.. Kita ke ‘warnet’ dulu aja, abis itu ke rumah ku, terus ke sawah.
Wedeeh, mantep ngga’ tuh?”
Veve mengajak Asna dengan mengutarakan ide-idenya dengan
semangat. Asna pun begitu, langsung menerima ajakan Veve dengan
semangat pula.
Setelah sampai, mereka langsung masuk. Komputer sudah di
depan mata, siap digunakan untuk menjelajah dunia maya (bukan
nama orang lho..hehe). Apalagi kalau bukan situs www.facebook.com,
yang sedang marak dikalangan remaja SMP atau SMA. Veve sih belum
terlalu lama bergabung dengan jejaring sosial yang biasa disebut ‘FB’
ini. Tapi kalau Asna, bisa dibilang sudah cukup lama menggunakan
‘FB’, karena dia memang seseorang yang ter’update’ kalau
berhubungan dengan internet dan jejaring sosial. Sebelumnya mereka
juga sempat mencoba ‘Friendster’. Tujuannya sama seperti ‘facebook’
atau yang lain, tapi karena adanya ‘facebook’ ini, ‘friendster’ sudah
ditinggalkan begitu saja oleh para penggunanya.
Satu jam berlalu, keduanya masih asyik dengan kesenangan yang
didapat masing-masing dari dunia maya itu.
Sudah hampir dua jam, mereka belum juga meninggalkan
monitor yang ada di depan mata mereka. Memang terlalu sulit
menggangu orang yang sudah disuguhi pemandangan jaringan
internet, dan segala isinya. Seseorang mudah sekali lupa waktu,
seakan tak ada pekerjaan lain dalam hidupnya kecuali ‘online’.
Akhirnya setelah kurang lebih 2 jam, Veve dan Asna pulang. Sesuai
rencana mereka tadi, keduanya langsung menuju rumah Veve. Jarak
yang tidak dekat jika diukur menggunakan kilometer sekalipun.
Rumah Veve memang jauh. Tapi karena Asna sudah sering datang
kerumah Veve, dia tidak lagi merasa kalau rumah Veve berjarak 11 km
dari sekolah.
Sekitar 30 menit, angkutan kota yang mereka tumpangi merapat ke
tepi jalan. Pertanda akan menurunkan penumpang, dan itu mereka.
Denagn berjalan sedikit memasuki gang, akhirnya sampailah kedua
gadis itu di rumah salah seorang diantaranya.
Kebetulan saat itu tidak ada orang di rumah Veve. Mungkin
orang tuanya sedang bekerja. Jadi, langsung saja Asna masuk ke
kamar Veve, melepas baju seragamnya dan menikmati kasur yang
lumayan empuk. Veve lalu pergi ke dapur, melihat apakah ada
makanan yang bisa dimakan siang ini. Sepertinya cukup untuk berdua.
Akhirnya Veve dan Asna makan siang seadanya. Walaupun begitu,
rasanya enak sekali setelah perut merongrong sejak tadi. Makan
apapun jadi enak.
Setelah itu Veve shalat Dzuhur, sedangkan Asna masih bersantai di
tempat tidur setelah kekenyangan. Entah dia tidak mau atau memang
sedang berhalangan, tak pernah Veve melihat Asna shalat
dirumahnya. Veve memang tidak mengajak, tapi kalau memang itu
sudah kewajiban, seharusnya diajak atau tidak tergantung kesadaran
diri sendiri untuk melakukannya.
Veve sudah selesai shalat. Mereka pun bergegas untuk
melanjutkan rencana berikutnya, yaitu jalan-jalan ke sawah. Melihat
indahya permadani hijau dan menghirup udara yang masih cukup
bersih. Memang tak senyaman dan seenak tempat-tempat bermain
yang elit di perkotaan, tapi berjalan-jalan di alam seperti ini bersama
sahabat, bagi Veve dan Asna sangat menyenangkan! Mereka
berteman sejak kelas 2 SMP. Karena satu kelas lagi, mereka jadi makin
akrab.
Hari semakin sore saat Asna akan pamit pulang. Dia itu bisa
dibilang ‘tomboy’ karena keberaniannya yang melebihi perempuan
biasa. Dia pulang sendiri dengan angkutan umum, padahal rumahnya
tidak bisa dibilang dekat.
Setelah acara jalan-jalan itu, Veve dan Asna jarang bertemu.
Hanya sesekali jika keduanya sama-sama datang ke sekolah untuk
mengurus keperluan yang masih perlu diurus sebelum benar-benar
meninggalkan sekolah tercinta.
Tapi setelah itu, karena keduanya memiliki tujuan untuk
melanjutkan sekolah ke SMA yang sama, jadi untuk pendaftaran atau
tes seleksi, mereka masih sering bersama-sama.
Setelah seleksi berkas yang dilakukan dengan cara ‘kolektif’ oleh SMP
mereka sebelumnya, dan akhirnya lulus karena jelas-jelas nilai mereka
memuaskan. Maka dari itu mereka termasuk teman-teman yang lain,
tinggal mempersiapkan diri untuk tes seleksi.
Tes seleksi diadakan dua tahap. Yang pertama tes tertulis dan kedua
tes wawancara Bahasa Inggris. Saat itu mereka sibuk sendiri, tak lagi
memikirkan hal-hal lain seperti bermain dan sebagainya. Mereka
sama-sama berjuang keras untuk dapat masuk ke sekolah yang
mereka inginkan itu.
Setelah melewati semua tahap seleksi, tibalah waktu pengumuman.
Mereka kembali mendapat kebahagiaan, ternyata memang tak sia-sia
perjuangan mereka.
“Gimana Ve? Udah liat?” Asna langsung menghampiri Veve yang
masih kelelahan karena berdesak-desakan dengan banyak orang.
Mukanya terlihat lesu. Tapi saat Asna melemparkan pertanyaan itu ke
Veve. Dia kembali terlihat bersemangat.
“Udah Na! Kita berdua keterima kok”. Dengan senyum lebarnya, ia
menyampaikan berita bahagia itu kepada Asna.
“Iya tah? Beneran? Urutan ke berapa loe? Gue juga urutan ke
berapa?”
Pertanyaan demi pertanyaan dilemparkan Asna kepada Veve, seakan-
akan dia memang sangat penasaran.
“Ngga tau, kalau aku urutan kelima. Kalau kamu ngga tau Na. Liat aja
sendiri lho, biar puas”.
Akhirnya Asna melihat papan pengumuman itu sendiri. Masih dengan
kondisi yang tidak jauh beda dengan Veve tadi. Berdesak-desakan
dengan banyak orang. Apalagi papan pengumuman itu tepat di bawah
sinar matahari.
Tak lebih dari dua bulan para siswa baru sudah mulai berangkat
ke sekolah baru mereka. Seperti di sekolah-sekolah pada umumnya,
hari pertama hanya perkenalan tentang sekolah tersebut dan
diberikan sedilit ilmu oleh bapak ibu guru baru tentang ‘Wawasan
Wyatamandala’. Sepertinya hari pertama ini masih sangat dinikmati
oleh para siswa baru.
Besoknya, pengumuman tentang akan dilaksanakannya Masa
Orientasi Siswa.
Veve terlihat kurang begitu senang. Entah kenapa dia tidak suka
dengan kegiatan seperti itu. Padahal dalam kegiatan itulah siswa baru
tidak hanya dapat mengenal sekolah barunya, juga mengenal
lingkungan sekitarnya, kakak kelas, serta guru-guru.
Selama proses orientasi ini, Veve tidak begitu menikmati. Tapi dia
mencoba untuk bisa menggunakan kesempatan orientasi ini sebaik
mungkin. Akhir-akhir ini dia jarang sekali melihat Asna. Intensitas
pertemuannya dengan Asna semakin berkurang. Apalagi semenjak
pembagian kelas yang akan jadi kelas tetap selama satu tahun di
kelas sepuluh ini.
Mereka tidak sekelas lagi. Bisa jadi mereka tidak lagi menjadi sahabat
dekat seperti dulu. Beberapa bulan berjalan. Belajar dengan suasana
baru, teman-teman baru dan guru baru pula tentunya.
Awalnya Veve sangat tidak yakin bisa nyaman di kelas itu. Karena dia
pikir yang menjadi teman sekelasnya adalah orang-orang yang tidak
dia inginkan.
Tapi tenyata, dugaannya salah. Pertama kali dikumpulkan, dia
sudah mendapat sambutan hangat dari salah seorang diantara
sesama anggota kelas X.edelweis. Walaupun itu tidak secara
langsung, tapi Veve merasa bahwa itu awal yang baik.
Cepat sekali anggota kelas tersebut dapat berbaur satu sama
lain. Veve pun sekarang merasa nyaman ada disana. Teman-teman
barunya mudah untuk diajak akrab. Perkembangan yang baik pikirnya.
Kelas tersebut bukanlah kelas unggulan atau kelas terbaik.
Kemampuan tiap siswanya berbeda-beda. Tapi semuanya berbaur
satu sama lain.
Setelah beberapa kali melaksankan ulangan harian ataupun ujian blok
1, rasa kekeluargaan sudah dirasakan Veve dan teman-teman
sekelasnya. Apalagi jika ada perlombaan atau acara-acara tertentu
yang mungkin bisa menjadi kenangan untuk anggota kelas Veve.
Veve sudah mendapatkan teman baru yang lumayan asik untuk
dijadikan sahabat. Dia sering bertukar pikiran dan membahas
pelajaran atau hanya sekedar berbincang-bincang dengan teman
barunya itu. Tapi Veve adalah orang yang tidak bisa ‘akrab’ dengan
satu orang saja di dalam kelasnya. Dia mencoba untuk bisa menjadi
sahabat dimata semua teman-temannya. Memang hal yang sulit, tapi
tidak untuk Veve. Hanya dengan beberapa bulan itu, dia sudah
mampu mengenal seluruh anggota kelas. Walaupun ada sebagian
kecil yang memang sulit untuk bersosialisasi dengan orang baru.
Ternyata setelah dijalani Veve menemukan sesuatu yang berharga di
dalam kelompok ini. Rasa kebersamaan dan tak pandang bulu.
Apalagi setelah dia memperhatikan sosok yang tidak begitu spesial,
tapi cukup unik untuk ditelusuri kepribadiannya.
SMA yang dalam pikirannya tak seenak di SMP dulu, kini sirna.
Nuraninya sudah dapat merasa, merasakan sesuatu yang indah dan
hanya sang nuranilah yang bisa mengatakan itu. Dia pikir itu sama
seperti dulu yang ia rasakan selama SMP. Tapi ternyata sangat
berbeda dengan yang ini.
Pagi ini terasa cerah sekali. Veve semangat untuk berangkat
sekolah. Ada rencana bahagia yang akan dia lakukan bersama dengan
teman-temannya. Hari ini mereka semua berencana mengadakan
acara makan-makan di salah satu tempat makan yang lumayan
mengasyikan. Baik tempatnya maupun makanannya. Tak sabar
masing-masing dari mereka semua menikmati ‘momen’ bahagia itu.
Hari sudah menjelang sore, langit agak mendung, tapi hujan masih
segan untuk membasahi bumi. Seperti ingin mendukung kegiatan
yang dilakukan kelas X.edelweis kali ini.
Sekitar pukul lima sore, anak-anak sudah datang ke tempat yang
direncanakan, termasuk Veve. Dia terlihat begitu gembira dengan
rencana ini. Tak begitu lama menunggu, mereka semua sudah
berkumpul dan akan segera memulai acara.
Acara diwali dengan makan bersama, setelah itu foto-foto, dan
berjalan-jalan ke sekitar pekarangan tempat makan tersebut, yang
juga termasuk tempat wisata.
Setelah menjelang malam, waktunya acara kembang api dan bakar
ikan.
Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Veve. Tapi karena sesuatu hal,
mereka tidak bisa melanjutkan kesenangan mereka di tempat itu lagi.
Akhirnya mereka ke tempat lain yang juga tak kalah asyik.
Dalam perjalanan kesana, Veve kembali mendapat keberuntungan.
Odi, seseorang yang sedang ia selidiki kepribadiannya memberikan
tumpangan kepadanya. Saat itu sang nurani belum banyak bicara,
sekedar degup-degup kecil yang mengiringi perjalanan ke tempat
kedua itu.
Setelah sampai, mereka melanjutkan acara seperti yang sudah
direncanakan tadi.
Kebahagiaan mereka terenggut oleh dinginnya kabut malam dan
keramahan bulan kepada bumi.
Malam sudah semakin larut, satu per satu pulang ke rumah masing-
masing. Dan membawa sejuta perasaan senang, bahagia, serta
keharuan indahnya bersama.
Semakin hari ternyata Veve tak bisa menahan gejolak di
dadanya. Sekedar untuk menyelidiki kepribadian seseorang tumbuh
jadi perasaan yang tak menentu. Banyak sekali daftar pertanyaan
yang seakan sudah dipersiapkan untuk suatu wawancara. Dia belum
mengerti apa maksud semua itu.
Sampai akhirnya, dia terhanyut ke dalam sejuknya udara kasih yang
diberikan kepadanya. Tapi bukan dari seseorang yang mungkin
sebenarnya bukan pilihan nurani. Bukan dia! Bukan Odi.
Tapi seakan Veve tak sanggup memberikan ketegasan yang
berlebihan. Seseorang yang lain, teman lamanya seakan jadi
pengganggu, tapi Veve tak bisa menolak dengan sesuatu yang dapat
menenangkan dirinya walaupun untuk sesaat. Dan dia tak bisa
menunggu sesuatu yang tidak pasti. Begitu pikirnya, pada saat dia
sendiri, merenungi apa yang sebenarnya terjadi di alam bawah
sadarnya. Butuh ilmu yang tidak bisa didapat dari pendidikan biasa
untuk mengerti semua itu.
Saat itu terjadi, Veve teringat Asna. Dia ingin kembali membagi
kisahnya kepada sahabat lamanya itu. Tak hanya Asna sebenarnya.
Adin dan Ulfi adalah dua sahabatnya lagi, tapi mereka tidak terlalu
dekat, karena laki-laki. Apalagi mereka tidak satu sekolah dengan
Veve dan Asna. Mereka berempat bersahabat mulai SMP.
Suatu saat, Veve mengajak semua sahabatnya itu untuk berkumpul,
menghilangkan ‘stres’ dan menceritakan semua yang sudah terjadi,
kecuali satu hal yang belum pasti.
Veve bahagia mempunyai sahabat seperti mereka. Walaupun mereka
tidak selalu mengerti perasaan Veve, tapi Asna, Adin, dan Ulfi bisa
membuatnya tersenyum dan tertawa selebar-lebarnya.
Setidaknya, beban sudah berkurang dan tidak terlalu berat untuk
Veve.
Sekian lama berlalu, nuraninya semakin mantap! Tapi bukan
pada kenyataan. Nurani menginginkan yang lain!
Veve sudah mulai merasakan sesuatu yang ganjil, antara dia dan Odi.
Teman baru di kelas X. Edelweis. Tapi Veve tahu, itu seakan haram.
Tak patut untuk dilakukan olehnya. Tapi ini keinginan nurani yang kata
orang tidak bisa dipaksakan.
Veve semakin merasa diinginkan, setiap permasalahan Veve selalu
dibutuhkan. Kecuali yang tidak pernah Odi ceritakan, masalah
perasaannya. Memang Veve pernah tahu, bahwa Odi tak terlalu
memikirkan hal seperti itu. Tapi, tetap saja, sebagai seorang yang
normal, pasti dia membutuhkan itu.
Karena sudah tidak tahan dengan pembangkangan nurani ini,
Veve akhirnya mau berbagi cerita dengan teman sekelasnya. Dia
meluapkan segalanya kepada Ulan. Seorang gadis yang menurut Veve
dapat dipercaya.
Tapi setelah menceritakan semuanya, ternyata Ulan sependapat
dengan nurani Veve.
“Jangan dipaksain juga lho Ve. Kalau menjalani nya aja mgga ikhlas,
kasian hati kamu, harus nahan sakit”.
“Iya sih Lan, cuma aku ngga bisa gitu aja pergi dari kenyataan ini,
butuh proses yang ngga gampang menurutku”.
Panjang lebar Veve dan Ulan berbicara lewat telepon selular. Sampai-
sampai radiasi elektromagnetik yang ditempelkan di telinga mereka
semakin meningkat. Tapi Veve sepertinya tidak memperhatikan itu.
Radiasi yang dipancarkan nuraninya tak sebanding dengan radiasi
elektromagnetiik itu. Sepuluh kali lipat lebih besar.
Veve tak tahan lagi, akhirnya dia harus merelakan kenyataan
indah tapi pahit untuk nuraninya. Tapi bukan sesuatu yang buruk
untuk diceritakan. Dia mengakhiri semua dengan seseorang disana,
yang mungkin keputusan yang menyakitkan.
Sekarang, tak ada penghalang untuk nurani melakukan apapun yang
diinginkan.
Semakin hari, bukan hanya nurani, tapi Veve sudah sangat
terpengaruh. Dia menginginkan kenyataan yang dapat mengubah
segalanya. Tapi dia tahu, sangat sulit.
Sinar terang selalu membayangi Veve, dimanapun dia berada.
Dia hanya ingin sinar itu, untuknya saja, tidak dibagi kepada orang
lain.
Sinar yang mungkin bisa menenangkan nurani, atau malah
mengacaukan nurani yang sedang tenang.
Hanya suatu kenyataan lah yang dapat memberikan segalanya. Veve
merenung, jika memang sinar itu bukan sinar yang paling terang yang
akan dia jumpai, “tak apalah..” desisnya.
Setelah satu tahun ini, banyak sekali kejadian yang tidak bisa
memisahkan semua anggota X.edelweis dari belenggu kasih sayang
yang sudah akan dipanen. Mungkin mereka memang akan berpisah
satu sama lain saat di tingkat berikutnya. Tapi itu bukanlah akhir dari
segalanya. Justru awal dari belenggu itu untuk terus merambah hati
mereka dan semakin erat.
Dalam kenyataan ini Veve dan nuraninya masih menunggu. Dan Asna,
belum boleh tahu.