cerita air mata (cerpen).doc

4
Cerita Air Mata “Bangun, bangun!” terdengar suara Ibunda Milton dari lantai bawah. Hampir setengah jam lagi bel sekolah berbunyi, sementara Milton masih tertidur pulas di atas kasurnya yang tebal. Di dalam sebuah kamar yang sangat nyaman untuk ukuran seorang anak berusia 15 tahun. Hampir tidak ada kekurangan, mulai dari air conditioner, playstation, komputer, hingga televisi flat yang sama sekali tidak bisa disebut murah. Milton terbangun ketika seberkas sinar matahari mengarah tepat ke wajahnya melalui lubang udara kamarnya. Teriak, hal pertama yang dilakukannya setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00. Sekitar lima belas menit sebelum waktu masuk sekolah. Segera ia mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi yang berada dalam kamar pribadinya. Makanan-makanan lezat di atas meja makan yang telah disiapkan oleh Bi Sumi tidak sempat ia santap, bahkan dilirikpun tidak. Yang ada di benaknya hanya wajah guru piket yang tidak ia harapkan sedang berada di depan pintu gerbang sekolah. Ya, guru itu memang sangat galak dan keras, apalagi terhadap siswa-siswa yang melanggar tata tertib. Milton berangkat bersama supirnya dari rumah pukul 07.10. Padahal jarak sekolah dari rumahnya sekitar 15 kilometer. Suatu keajaiban apabila ia dapat tiba di sekolahnya hanya dalam waktu 5 menit. Tetapi hatinya tidak berhenti mengharapkan keajaiban itu. Tidak ada yang dapat ia lakukan dalam mobil untuk membuatnya aman dari hukuman sekolah. Dia hanya merasa gelisah, menggetarkan kedua kakinya dengan tempo cepat tanpa henti, hingga tiba-tiba seseorang di atas sepeda motor berteriak, “Ban kiri bocor!” Segera Pak supir menghentikan mobil di sisi jalan. Ban cadangan yang selalu ada, tiba-tiba hilang. Bukan karena sebuah sihir, tetapi karena Tony, adik Milton, yang meminta supirnya mengeluarkan ban itu, untuk bermain. Rasa kesal Milton sudah tidak bisa ditahan lagi. Dengan kuatnya dia menendang ban yang bocor tadi. Malangnya, tendangannya meleset dan mengenai velg Veilsyde antiknya. Kakinya seketika tidak terasa baik.

Upload: muhammad-arief

Post on 23-Oct-2015

65 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

cerita yang dapat menghasilkan air mata (ceritanya)

TRANSCRIPT

Page 1: Cerita Air Mata (Cerpen).doc

Cerita Air Mata

“Bangun, bangun!” terdengar suara Ibunda Milton dari lantai bawah. Hampir setengah jam lagi bel sekolah berbunyi, sementara Milton masih tertidur pulas di atas kasurnya yang tebal. Di dalam sebuah kamar yang sangat nyaman untuk ukuran seorang anak berusia 15 tahun. Hampir tidak ada kekurangan, mulai dari air conditioner, playstation, komputer, hingga televisi flat yang sama sekali tidak bisa disebut murah.

Milton terbangun ketika seberkas sinar matahari mengarah tepat ke wajahnya melalui lubang udara kamarnya. Teriak, hal pertama yang dilakukannya setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul 07.00. Sekitar lima belas menit sebelum waktu masuk sekolah. Segera ia mengambil handuk dan langsung menuju kamar mandi yang berada dalam kamar pribadinya.

Makanan-makanan lezat di atas meja makan yang telah disiapkan oleh Bi Sumi tidak sempat ia santap, bahkan dilirikpun tidak. Yang ada di benaknya hanya wajah guru piket yang tidak ia harapkan sedang berada di depan pintu gerbang sekolah. Ya, guru itu memang sangat galak dan keras, apalagi terhadap siswa-siswa yang melanggar tata tertib.

Milton berangkat bersama supirnya dari rumah pukul 07.10. Padahal jarak sekolah dari rumahnya sekitar 15 kilometer. Suatu keajaiban apabila ia dapat tiba di sekolahnya hanya dalam waktu 5 menit. Tetapi hatinya tidak berhenti mengharapkan keajaiban itu.

Tidak ada yang dapat ia lakukan dalam mobil untuk membuatnya aman dari hukuman sekolah. Dia hanya merasa gelisah, menggetarkan kedua kakinya dengan tempo cepat tanpa henti, hingga tiba-tiba seseorang di atas sepeda motor berteriak, “Ban kiri bocor!” Segera Pak supir menghentikan mobil di sisi jalan. Ban cadangan yang selalu ada, tiba-tiba hilang. Bukan karena sebuah sihir, tetapi karena Tony, adik Milton, yang meminta supirnya mengeluarkan ban itu, untuk bermain.

Rasa kesal Milton sudah tidak bisa ditahan lagi. Dengan kuatnya dia menendang ban yang bocor tadi. Malangnya, tendangannya meleset dan mengenai velg Veilsyde antiknya. Kakinya seketika tidak terasa baik. Keinginannya untuk duduk sejenak tertahan oleh jarum menit yang sudah menyentuh angka tiga. Tanpa menghiraukan supir yang sedang sibuk, ia langsung berlari seperti orang pincang menuju pangkalan ojek yang dekat sekali dengan tempat mobilnya berhenti.

“Mas, ke SMP 3, tiga menit bisa?” tanya Milton dengan nafas yang terengah-engah.

“De, sama si Rossi juga ngga bakal kesampean. Apalagi saya, udah tua begini.” jawab si tukang ojek dengan senyum menjengkelkan, disertai tawaan teman-temannya.

“Ya udah, bisanya berapa menit? Saya bayar berapa ajalah!” tanya Milton dengan sedikit memaksa.

“Sepuluh menit De lah, dua puluh ribu ya?” tawar si tukang ojek, kali ini dengan senyum yang mencurigakan.

“Iya.” Milton menjawab dengan nada lemas dan terpaksa, dan langsung naik ke sepeda motor tukang ojek tersebut.

Page 2: Cerita Air Mata (Cerpen).doc

Ketika tiba di depan sekolahnya, dari kejauhan ia melihat sosok yang menyeramkan telah berdiri tegak tepat di depan pintu gerbang sekolah. Milton berjalan menuju sosok itu. Ingin cepat-cepat, tetapi serasa ada yang menariknya, yaitu rasa takut. Yang lebih membuatnya jatuh mental, tidak ada satupun siswa yang terlambat selain dia.

Akhirnya, langkah pincang Milton memijak tanah tepat di depan Pak guru yang tidak berhenti membelalakkan matanya.

“Heh! Kamu mau sekolah atau apa? Jam segini baru muncul? Sekolah di pinggiran saja kamu kalau begini!” bentak Pak guru killer itu dengan tampang yang sangat menakutkan.

Milton tidak dapat bicara, seakan-akan mulutnya terkunci rapat. Hanya gelengan kepala sebagai respon.

Dua seri push up dan sit up diberikan. Dengan kakinya yang masih terasa sangat linu, ia terpaksa melakukannya. Bahkan tidak boleh berhenti ketika beberapa temannya melihat dan menertawainya.

Di kelas, Milton termasuk anak yang pendiam. Karena terlambat datang ia harus duduk di pojok, sendirian. Pelajaranpun semakin sulit ia cerna karena rasa sakit pada kakinya, rasa letih dan keringat tubuhnya, juga rasa kesal bercampur menyesal. Ia hanya menggerutu dalam hati, sama sekali tidak mendengar apa yang dikatkan oleh gurunya di depan kelas. Hingga akhirnya gurunya sadar dan memberikan sebuah pertanyaan yang terbilang sangat mudah untuk siswa yang mendengarkan materi hari itu. Milton hanya diam karena tidak tahu sedikitpun. Terpaksa ia dikeluarkan dari kelas hingga waktu istirahat tiba.

Di luar kelas ia menunggu, sambil sembunyi-sembunyi mengelap air mata yang sesekali keluar karena rasa sakit yang tidak dapat ia tahan, lahir dan batin. Untunglah, suara pengumuman dari ruang guru terdengar. Siswa dibubarkan karena akan diadakan rapat guru insidentil. Sedikit Milton terhibur walaupun rasa sakitnya jelas tidak hilang. Iapun segera mengambil tasnya ketika semua siswa dan semua tas telah tidak ada di kelas. Ya, tas Milton pun tidak ada di kelas. Satu lagi masalah yang membuatnya terlihat hampir gila. Anehnya, tidak satupun ia jumpai teman sekelasnya.

Berputus asa, Milton berjalan keluar gedung sekolah. Mobil yang biasanya selalu siap menjemput, tidak tampak. Bahkan setelah jalan mulai sepi. Tidak ada yang menjawab telepon, tidak ada yang menelepon. Milton duduk lemas di atas sebuah tumpukan kayu tua, merenungi nasibnya yang sangat menyedihkan. Langit yang cerah di tengah siang terlihat gelap dan mendung di matanya. Suara kendaraan dan musik yang keras dari toko di seberang jalan tidak membuat suasana hatinya ramai, yang terasa hanya hampa dan kelam. Bahkan secarik kertas tertiup angin yang menempel di wajahnya tidak ia rasakan, tidak menghentikan lamunannya, ketidaksadarannya.

Akhirnya, untuk pertama kalinya Milton menggunakan Angkutan Kota untuk pulang. Baru ia rasakan betapa panas dan tidak nyamannya, dibandingkan dengan mobil-mobil mewahnya. Mukanya merah, keringat mengucur dari badannya. Hanya bisa menarik sedikit nafas karena tidak biasa dengan bau jalanan. Apalagi perjalanan ke rumahnya tidak dekat.

Satu jam kemudian ia sampai di depan komplek perumahan tempatnya tinggal. Berjalan masih seperti orang pincang, ia menyusuri jalan lebar menuju rumah. Terasa sangat jauh dan menyiksa. Pagar rumahnya belum juga terlihat. Tetapi tubuhnya sudah sangat lelah seakan ingin terlentang di tengah jalan.

Page 3: Cerita Air Mata (Cerpen).doc

Ketika sampai di depan rumahnya, ia membuka pagar yang terasa sangat berat. Dengan pelan-pelan memasuki istananya yang terlihat sangat sepi. Tidak ada yang menyambut ketika dia membuka pintu. Padahal biasanya Ibunya selalu menyambut dengan senyum dan segelas air putih. Tetapi kali ini, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumanya. Seperti telah ditinggal beberapa puluh tahun. Milton tidak kuasa lagi, bahkan hanya untuk berpikir sedang di mana para penghuni rumah. Masih dalam kesadaran, ia tergeletak di lantai. Segala tekanan mental dan fisik sangat terasa di situ. Badannya seperti dipukuli, hatinya seperti terobek. Pejaman matanya sedikit mengurangi rasa sakit.

Tidak lama kemudian, dari dapur terdengar suara agak mencurigakan. Milton membuka matanya, dan seketika muncul sosok Ayahnya yang telah lama berada di luar negeri, dengan sebuah kue besar di tangannya, memakai tas gendong yang hilang di kelas. Disusul dengan Ibunya yang membawa sebuah bingkisan kado yang terlihat sangat menarik. Tidak hanya mereka berdua, muncullah semua teman kelas dengan senyum lebar sambil bernyanyi, “Happy birthday to you, happy birthday to ypu, happy birthday, happy birthday, happy birthday to you.”

Tidak ada tanggapan yang terlihat dari setiap anggota tubuh Milton. Hanya beberapa tetes air mata yang keluar. Ayah dan Ibunya memeluknya dengan erat. Seakan-akan penderitaan yang telah ia rasakan hari itu hilang, terlupakan. Bahagia tak terkira sangat terlukis di matanya yang masih berlinang air mata.