cengkeh

119
PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENYULINGAN MINYAK CENGKEH DI PROVINSI MALUKU Oleh: RAJA MILYANIZA SARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Upload: erin-prstyo

Post on 22-Jan-2016

671 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: cengkeh

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENYULINGAN MINYAK CENGKEH DI PROVINSI MALUKU

Oleh: RAJA MILYANIZA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008

Page 2: cengkeh

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam

tesis saya yang berjudul :

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENYULINGAN MINYAK CENGKEH

DI PROVINSI MALUKU merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini

belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2008

Raja Milyaniza Sari NRP. A151050011

Page 3: cengkeh

ABSTRACT

RAJA MILYANIZA SARI. Business Development Prospect Of Cloves Oil Distillation In Maluku (SRI HARTOYO as Chairman, YUSMAN SYAUKAT as Member of Advisory Commitee).

Maluku is one of the provinces which have become the target region for national of business development of Clove Oil Distillation (COD), due to its considerably high potential of people’s clove plantation. The potency of the resources is only one of the determining factors for sucsess of COD business development in Maluku, therefore, study on the prospect of COD business development in Maluku based on carrying capacity of external and internal factors in holistic manner is important to be conducted. The objectives of this study were: (1) analyzing the carrying capacity of external and internal factors for developing COD business in Maluku: (2) analyzing the strategy of COD business development in Maluku based on carrying capacity of external and internal factors. Research result showed that carrying capacity of external and internal factors for COD business development in Maluku relatively high as reflected from following items: indicators value of business feasibility, competitiveness of clove oil wich was relatively high and comparison of total score of matrices internal Factors Evaluation (IFE) dan external Factors Evaluation (EFE). Business development strategy for COD which can be implemented in accordance with strategi alternatives as recommended by result linear programming analysis and mapping on matrices internal and external (I-E), was business development CODS3 or COD business by using Distillation Equipment Capacity (DEC) of 100 kilograms of stainless steel type in each regency (district) in accordance with availability of possessed resources, because this could optimize the use resources and provide the maximum profit as compared to other kinds of DEC.

Keyword: business development cloves oil distillation (COD), internal-external factors analysis, business feasibility, competitiveness, COD business development stategi, linear programming analysis and distillation equipment capacity (DEC)

Page 4: cengkeh

RINGKASAN

RAJA MILYANIZA SARI. Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku (SRI HARTOYO, sebagai Ketua dan YUSMAN SYAUKAT, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Maluku adalah salah satu provinsi yang memiliki potensi perkebunan

cengkeh yang cukup besar. Potensi sumberdaya ini merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan program pengembangan usaha PMC di Maluku, oleh karena itu kajian tentang prospek pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku berdasarkan daya dukung faktor-faktor internal dan eksternal secara holistik penting untuk dilakukan. Penelitian Ini bertujuan untuk: (1) menganalisis daya dukung faktor internal dan eksternal terhadap pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku dengan menggunakan analisis kelayakan usaha, analisis daya saing dan analisis matrik EFI dan EFE, dan (2) menganalisis strategi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku berdasarkan daya dukung faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis LP dan analisis matriks I-E.

Hasil penelitian menunjukkan daya dukung faktor internal – eksternal dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku relatif cukup tinggi berdasarkan: : (1) nilai indikator kelayakan usaha PMC pada berbagai kapasitas olah dan jenis alat suling menunjukkan NVP lebih besar dari nol, Net B/C lebih besar dari satu, IRR lebih besar SDR yang berlaku dan PBP yang lebih kecil dari umur ekonomis usaha PMC, (2) daya saing minyak cengkeh Maluku relatif tinggi ditunjukan oleh DRCR dan PCR yang lebih kecil dari satu, dan masih dapat ditingkatkan dengan pengembangan jenis dan kapasitas alat suling yang efektif dan efisien, dan (3) Total skor matriks IFE dan EFE, yang menunjukkan total skor terboboti dari semua parameter variabel kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Propinsi Maluku lebih besar dari total skor terboboti dari semua parameter variabel kelemahan (1.4:0.81), dan total skor terboboti dari semua parameter variabel peluang lebih besar dibandingkan dengan total skor terboboti dari semua parameter variabel ancaman (1.55:0.92). Adapun strategi pengembangan usaha PMC yang direkomendasikan berdasarkan analisa LP dan Matriks I-E relatif memiliki tingkat kesamaan tinggi. Analisa LP merekomendasikan Alternatif strategi pengembangan usaha PMCs3 atau usaha PMC menggunakan KAS 100 kilogram pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan bahan baku yang dimiliki, karena dapat mengoptimalkan penggunaan sumberdaya dan memberikan keuntungan yang maksimal dibandingkan penggunaan KAS lainnya. Pemetaan pada matrik I-E merekomendasikan 2 strategi yaitu: (1) strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal dapat dilakukan melalui kegiatan memperluas usaha pada lokasi yang berbeda, memperluas pasar, fasilitas produksi dan teknologi melalui joint ventures atau kemitraan, dan (2) strategi stabilitas adalah menjalankan strategi yang telah ditetapkan tanpa mengubah arah strategi.

Kata kunci: pengembangan usaha penyulingan minyak cengkeh (PMC), analisis

faktor internal dan ekternal, kelayakan usaha, daya saing, dan strategi pengembangan usaha PMC.

Page 5: cengkeh

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

Page 6: cengkeh

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA PENYULINGAN MINYAK CENGKEH DI PROVINSI MALUKU

Raja Milyaniza Sari

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008

Page 7: cengkeh

Judul Tesis : Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

Nama Mahasiswa : Raja Milyaniza Sari Nomor Pokok : A151050011 Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.EcAnggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA

3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 14 April 2008 Tanggal Lulus :

Page 8: cengkeh

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 1974 sebagai anak

keempat dari lima bersaudara pasangan R.M.K. Marpaung dengan Hj. N. Yahya.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 1 Poka Ambon pada tahun

1987, kemudian pendidikan menengah di SMPN.7 Ambon 1990 dan SMUN 3

Ambon pada tahun 1993. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan

pendidikannya di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian,

Universitas Pattimura Ambon dan meraih gelar sarjana pada tahun 1999.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Budidaya Pertanian

Program Studi Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Pattimura sejak Desember

2002. Pada tahun 2005 melanjutkan pendidikan S-2 di Program Studi Ilmu

Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui

beasiswa BPPS dari DIKTI dan di masa studi S-2 tahun 2006. Penulis menikah

dengan Djoko Murtiono SPi.

Page 9: cengkeh

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,

atas pertolongan dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis Program

Magister Sains. Tesis ini berjudul “Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan

Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku”.

Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec selaku

Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberi saran,

bimbingan dan sumbangan pemikiran dari awal penulisan proposal hingga

penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, selaku dosen penguji luar komisi. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Unpatti dan Dekan Fakultas Pertanian Unpatti atas kesempatan yang

diberikan untuk menempuh pendidikan.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Pertanian, dan seluruh dosen yang telah memberikan bimbingan dalam

menjalani perkuliahan di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah

Pascasarjana, IPB.

3. Dr. Ir. Wardis Girsang, Dr. Ir. Max Pattinama, Ir. Shelly Pattipeiluhu, Msi.,

Abdullah Sialana Spi., Suryadi, S.Sos., Mientje Lewa, S.Sos.,

Hasan Latarissa S.Sos., Saad Sanusi dan Seblun Tiwery, SH., yang telah

bersedia menjadi responden penentu faktor internal dan eksternal dalam

penelitian ini.

4. Staf dan penyuluh lapang Dinas Pertanian, Perindag dan Baristand

Kabupaten Maluku Tengah, SBB dan Provinsi Maluku, serta penyuling

Page 10: cengkeh

responden yang telah membantu penulis memperoleh data dan informasi

untuk penulisan ini.

5. Teman-teman di EPN angkatan 2005 (Mariyah, Ahmad Yousuf Kurniawan,

Wiji, Betrixia Barbara, Pini Wijayanti, Novindra, Zuraidah, Dewi Nurasih, Zais

M. Samiun, Aprilaila Sayekti, Zednita Azriani, M. Yadjid, Budi Sulistyo, Tono,

Veralianta Sebayang, Andri Meiriki, Ranthy Pancasasty dan Rumna), EPN

angkatan 2004 dan 2006 (Andi Thamrin), teman-teman sekost (mbak wati,

erna, dian dan yuanna) atas bantuan dan dorongan semangat yang

diberikan.

6. Ayahanda R.M.K. Marpaung dan Ibunda Hj.N.Yahya, kakak-kakakku (Milyan,

Milvan dan Milwan) dan adikku Dedi yang telah memberikan dukungan moril

dan do’a.

7. Pihak-pihak lain yang namanya tidak disebutkan di sini, namun telah banyak

membantu penulis dalam proses penelitian dan penulisan tesis ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan hormat

kepada suami tercinta Djoko Murtiono yang telah memberikan dukungan moril

dan materil, perhatian, kesabaran dan do’a yang tulus ikhlas sehingga penulis

dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mempersembahkan tesis ini

kepada pembaca sebagai salah satu sumber informasi dan pengetahuan yang

bermanfaat dan berguna bagi penelitian berikutnya.

Bogor, Mei 2008

Raja Milyaniza Sari

Page 11: cengkeh

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR .................................................................................. viii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. ix

I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah........................................................................ 4

1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 7

1.4. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian .................................. 7

II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 8

2.1. Tinjauan Teoritis .............................................................................. 8

2.1.1. Konsep Faktor Internal dan Eksternal.................................. 8

2.1.1.1. Konsep Kelayakan Usaha .................................... 9

2.1.1.2. Konsep Daya Saing .............................................. 11

2.1.2. Konsep Strategi Pengembangan Usaha.............................. 15

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu ..................................................... 16

2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian ...................................................... 21

III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 24

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 24

3.2. Metode Pengambilan Contoh .......................................................... 24

3.3. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 25

3.4. Metode Analisis .............................................................................. 25

3.4.1. Analisis Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku.................................................................... 26

3.4.1.1. Analisis Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh ................................................................ 26

3.4.1.2. Analisis Daya Saing Minyak Cengkeh................... 26

3.4.1.3. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Evaluasi Faktor Eksternal ..................................... 29

xi

Page 12: cengkeh

3.4.2. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh ............................................................... 31

3.4.2.1. Analisis Linier Programming.................................. 31

3.4.2.2. Analisis Matriks Internal – Eksternal ..................... 34

VI. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN............................................ 35

4.1. Kondisi Fisik Wilayah....................................................................... 35

4.2. Kondisi Penduduk............................................................................ 37

4.3. Kondisi Perekonomian .................................................................... 40

4.4. Kondisi dan Potensi Tanaman Cengkeh ........................................ 42

V. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 43

5.1. Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku .............. 44

5.1.1. Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh .............. 44

5.1.2. Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku .................................. 47

5.1.3. Faktor-faktor Strategis dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku .............. 50

5.1.3.1. Faktor Kekuatan ................................................... 51

5.1.3.1. Faktor Kelemahan ................................................ 55

5.1.3.1. Faktor Peluang ..................................................... 62

5.1.3.1. Faktor Ancaman ................................................... 66

5.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh ..... 69

5.2.1. Penentuan Prioritas Alternatif Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ... 69

5.2.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ............................................... 72

VII. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 77

7.1. Kesimpulan ...................................................................................... 77

7.2. Saran ...................................... ........................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 80

LAMPIRAN ............... ............................................................................... 83

xii

Page 13: cengkeh

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Daerah pengembangan, Potensi Tanaman Menghasilkan dan Jumlah Unit pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh...... 4

2. Jumlah Industri Kecil Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal

Provinsi Maluku Tahun 1994 – 2004 .................................................... 6 3. Perbedaan Penilaian Beberapa Unsur Dalam Analisis Ekonomi

dan Finansial ..... ................................................................................... 10 4. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya Asing ..... ........................................................... 29 5. Penilaian Skor Terbobot Faktor Internal dan Ekternal ......................... 30 6. Luas Lahan Potensial per Sub-sektor di Provinsi Maluku..... ................ 36

7. Jumlah Penduduk di Provinsi Maluku Per Kabupaten/Kota .................. 37 8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Kabupaten/Kota .............. 39 9. Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Menurut Lapangan Pekerjaan

Utama Tahun 2004 .... ........................................................................... . 39 10. Kontribusi Masing-Masing Sektor Terhadap PDRB Provinsi Maluku..... 40 11. Data Potensi Industri Kecil-Menengah Berbahan Baku Tanaman

Lokal di Provinsi Maluku Tahun 2004 ................................................... 41 12. Luas Areal, Jumlah Petani dan Produksi Tanaman Perkebunan

Rakyat di Provinsi Maluku Tahun 2004 ........... ..................................... 42 13. Potensi Perkebunan Cengkeh Provinsi Maluku Tahun 2001-2005 ....... 43 14. Karakteristik Usaha PMC....................................................................... 45

15. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMC........... ......................... 46

16. Hasil Analisis Kelayakan Finasial Usaha PMC...................................... 47

17. Hasil Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Berdasarkan Kategori ........... .................................... 49

18. Faktor Strategis Internal - Eksternal Dalam Pengembangan Usaha

Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku ........... .................... 50

xiii

Page 14: cengkeh

19. Luas Areal dan Produksi Cengkeh, dan Potensi Ketersedian Bahan Baku Minyak Cengkeh Per Kabupaten Tahun 2005 ........... ...... 52

20. Karakteristik Pengusaha PMC Maluku ........... ...................................... 56 21. Nilai per Unit Alat Suling, Nilai Bantuan per RTU dan Frekwensi

Produksi per Tahun ........... ................................................................... 61 22. Perbedaan Minyak Cengkeh Berdasarkan Jenis Alat Suling ........... .... 65 23. Perkembangan Harga Cengkeh dan Minyak Cengkeh

Tahun 1999 – 2005 ............................................................................... 66 24. Standar Mutu Minyak Daun Cengkeh Menurut SNI 1991 Dan Minyak

Cengkeh Maluku 1997 ......................................................................... 68 25. Ketersediaan Bahan Baku dan Alokasi Dana Pengembangan

Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Pada 6 Kabupaten di Provinsi Maluku........... .......................................................................... 70

26. Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis

Stainless Steel) dengan Sofware LINDO............................................... 71 27. Matriks EFI Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku................ 73 28. Matriks EFE Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku........... ... 74

xiv

Page 15: cengkeh

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor ......... 14

2. Kerangka Pemikiran Penelitian.............................................................. 23

3. Matriks I - E ........................................................................................... 34

4. Perbandingan Potensi Lahan, Lahan yang telah dimanfaatkan dan Lahan yang belum dimanfaatkan untuk Sub-sektor Perkebunan.….. ... 36 5. Matriks I – E untuk Pengembangan Agroindustri Minyak Cengkeh

di Provinsi Maluku.….. ........................................................................... 74

xv

Page 16: cengkeh

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Propinsi Maluku............................................................................. 84

2. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nontainless Steel.......................................... 85

3. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs1

(KAS 30 Kilogram Jenis Stainless Steel) ............................................. 85 4. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs2

(KAS 40 Kilogram Jenis Stainless Steel) ............................................. 86 5. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs3

(KAS 100 Kilogram Jenis Stainless Steel) ........................................... 86 6. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCns

(KAS 100 Kilogram Jenis Nontainless Steel) ........................................ 87 7. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs1

(KAS 30 Kilogram Jenis Stainless Steel) ............................................. 87 8. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs2

(KAS 40 Kilogram Jenis Stainless Steel) ............................................. 88 9. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs3

(KAS 100 Kilogram Jenis Stainless Steel) ........................................... 88 10. Nilai KURS Tengah Dollar terhadap Mata Uang Rupiah Tahun 1999 -2007..... ............................................................................ 89 11. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nonstainles Steel)............................ 90 12. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainles Steel) .................................... 90 13. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainles Steel) .................................... 91 14. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainles Steel) ..... ............................ 91 15. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nonstainles Steel)............................ 92 16. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha

PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainles Steel) .................................... 92

xvi

Page 17: cengkeh

17. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainles Steel) .................................... 93

18. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Pada

PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainles Steel) ..... ............................ 93 19. Responden Penentu Faktor Strategis Internal – Eksternal Dalam

Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Propinsi Maluku ..... ............................................................................................ 94

20. Rekapitulasi Penentuan Faktor Kekuatan dan Kelemahan Internal ..... 95 21. Rekapitulasi Penentuan Faktor Peluang dan Ancaman Eksternal . ...... 95

22. Bagan Proses Penyulingan Minyak Cengkeh ....................................... 96

23. Model Matematis dan Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis Stainless Steel) dengan Sofware LINDO..... ............ 97

24. Rekapitulasi Perhitungan Bobot Faktor Internal ..... .............................. 99 25. Rekapitulasi Peringkat Faktor Kekuatan dan Kelemahan Internal ..... .. 100 26. Rekapitulasi Perhitungan Bobot Faktor Eksternal ..... .......................... 101 27. Rekapitulasi Peringkat Faktor Peluang dan Ancaman Eksternal ......... 101

xvii

Page 18: cengkeh

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara umum potensi sumberdaya nasional dan daerah adalah agribisnis

dalam arti luas. Potensi tersebut merupakan keunggulan komparatif (comparative

advantage) dan merupakan landasan yang kuat bagi terbangunnya keunggulan

kompetitif (competitive advantage) bagi pengembangan ekonomi nasional dan

daerah. Jika potensi tersebut didayagunakan secara optimal, maka

perekonomian yang dibangun akan memiliki landasan yang kokoh pada

sumberdaya domestik, memiliki kemampuan bersaing dan berdaya-guna bagi

seluruh masyarakat (Rencana Pembangunan Pertanian, 2004).

Terkait pendayagunaan potensi nasional dan daerah dalam upaya

pengembangan ekonomi nasional dan daerah, serta menghadapi era liberalisasi

perdagangan, pembangunan sektor rill saat ini diarahkan pada tujuh sasaran

utama, yaitu: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama golongan

ekonomi lemah melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi rakyat,

(2) meningkatkan penerimaan devisa melalui peningkatan ekspor non migas,

(3) menciptakan stuktur industri yang kuat yang mampu memanfaatkan

keunggulan komparatif untuk mencapai keunggulan kompetitif, (4) menciptakan

sektor agribisnis dan agroindustri yang tangguh sebagai landasan menuju era

industrialisasi, (5) mencapai daya saing produk domestik yang tinggi melalui

peningkatan produktivitas dengan mempercepat inovasi dan diseminasi teknologi

tepat guna, (6) mencapai standar mutu yang diterima pasar global, dan

(7) menciptakan pembangunan ekonomi rakyat berkelanjutan dan ramah

lingkungan.

Salah satu potensi sumberdaya nasional dan daerah yang diidentifikasi

sangat prospektif untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut adalah Agroindustri

Page 19: cengkeh

2

Minyak Cengkeh (AMC). Penilaian ini berdasarkan ketersediaan bahan baku dan

kecenderungan peningkatan permintaan atau penggunaan minyak cengkeh di

pasar domestik maupun dunia. Minyak cengkeh (cloves oil) adalah salah satu

jenis minyak atsiri (essential oil) yang dapat diperoleh dengan mengekstrasi

bunga, gagang dan daun tumbuhan cengkeh. Minyak cengkeh yang diproduksi di

Indonesia umumnya adalah minyak cengkeh yang berasal dari daun dan gagang

tanaman cengkeh.

Pada awalnya sebagian besar produksi minyak cengkeh adalah untuk

kebutuhan ekspor, namun beberapa tahun terakhir pemakaian minyak cengkeh

domestik semakin meluas yaitu: (1) sebagai produk subtitusi bunga cengkeh

pada pabrik rokok kretek (PRK), yang mencapai 25 persen dari konsumsi bunga

cengkeh PRK dan diprediksikan akan meningkat sebesar 5 persen pertahunnya

sebagai akibat penurunan produksi dan sifat produksi tanaman cengkeh yang

fluktuatif (tidak menjamin kontinuitas jumlah suplai), dan (2) sebagai bahan baku

pestisida nabati untuk pertanian organik dan obat-obatan herbal yang beberapa

tahun belakangan tumbuh dengan pesat sebagai dampak dari tingginya

kesadaran masyarakat domestik dan dunia untuk mengkonsumsi produk-produk

bebas residu kimia, dimana kebutuhannya diperkirakan mencapai 2.49 ribu ton

pertahun dan di prediksikan akan meningkat lebih besar dari 5 persen tiap

tahunnya1. Kondisi ini menggambarkan minyak cengkeh memiliki prospek pasar

yang baik di dalam maupun diluar negeri, dan sebagai negara dengan luas areal

tanaman cengkeh terbesar dunia Indonesia berpeluang menguasai pasar minyak

cengkeh domestik maupun dunia melalui pengembangan AMC nasional.

Menurut data statistik Food and Agriculture Organization (2004), Indonesia

memiliki luas areal tanaman cengkeh terbesar di dunia yakni sekitar 241.86 ribu

1 http://www.Litbang.Deptan.Go.Id/Special/Komoditas/Files/Cengkeh.Pdf [14/09/2006] http://www.Feed Quality for Food Safety/article.php io.ppi-jepang.org.htm [04/01/2007]

Page 20: cengkeh

3

hektar atau lebih dari 70 persen dari luas areal tanaman cengkeh dunia, disusul

secara berturut-turut oleh Madagaskar, Tanzania dan Srilanka. Indonesia juga

merupakan penghasil bunga dan minyak cengkeh terbesar di dunia. Pada tahun

2000 - 2002 dari rata-rata 2.08 ribu ton minyak cengkeh yang beredar di pasar

dunia, Indonesia memasok rata-rata 1.32 ribu ton atau sebesar 63.5 persen,

dengan harga Cost Insurance Freight (CIF) berkisar antara US$ 0.77 – 7.11 per

kilogram2.

Harga ekspor minyak cengkeh Indonesia di pasar dunia relatif fluktuatif tiap

tahunnya dan sangat tergantung pada harga bunga cengkeh. Walaupun

demikian harga minyak cengkeh di pasar domestik relatif stabil, dimana pada

awal tahun 2002 harga minyak cengkeh mencapai Rp 29.5 ribu, pada tahun 2003

berfluktuasi antara Rp 23 ribu - 25 ribu per kilogram, dan cenderung stabil pada

harga Rp 29.5 ribu per kilogram pada tahun 2004. Relatif stabilnya harga minyak

cengkeh domestik adalah sebagai akibat tingginya permintaan industri domestik

terhadap produk minyak cengkeh dan turunannya3.

Penyebaran areal tanaman cengkeh dan jumlah tanaman cengkeh

perhektar di Indonesia tahun 2004, menunjukkan ada 12 Provinsi berpotensi

besar dalam pengembangan AMC nasional, seperti yang terlihat pada Tabel 1.

Berdasarkan kajian prospek pengembangan AMC Indonesia yang dilakukan oleh

BPPP Deptan (2005), ketersediaan bahan baku membuat Indonesia tetap masih

berpeluang untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Namun untuk memenuhi

target tersebut Indonesia dalam 15 tahun ke depan, paling sedikit dibutuhkan 600

unit usaha Penyulingan Minyak Cengkeh (PMC) dengan nilai investasi Rp. 158

2 http://www.Litbang.Deptan.Go.Id/Special/Komoditas/Files/Cengkeh.Pdf [14/09/2006] http://www.beritabumi.com/ beritabumi-cetak/html[04/01/2007] 3 Proses metilasi dan dimetilasi minyak cengkeh menghasilkan eugenol murni dan isoeugenol,

eugenol asetat dan vanilin sebagai bahan baku industri (industri: farmasi, makanan dan fungisida, flavor, fragance dan sebagainya) yang pada awalnya di impor, namun sejak tahun 2004 sebagian besar telah dapat diproduksi di Indonesia (Litbang Deptan, 2005 dan Hobir et al. 2003).

Page 21: cengkeh

4

juta per unit, yang ditujukan untuk meningkatkan produksi baik berupa:

(1) tambahan unit usaha PMC di daerah sentra industri dan daerah baru yang

memiliki potensi pengembangan usaha PMC, dan (2) rehabilitasi usaha PMC

yang telah ada.

Tabel 1. Daerah pengembangan, Potensi Tanaman Menghasilkan dan Jumlah Unit pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Daerah Pengembangan Usaha PMC

Areal TM (ribu ha)

Populasi TM

(pohon/ha)

Jumlah Usaha (Unit)

NAD 15.47 168 35 Lampung 3.12 77 5 Jabar dan Banten 15.37 174 40 Jateng 15.17 163 45 Jatim 17.88 76 45 Bali 15.80 66 35 Sulsel 32.51 81 80 Sulut dan Gorontalo 33.25 257 75 Sulteng 31.41 126 100 Maluku 23.57 105 40 Provinsi lain 38.31 100 Indonesia 241.86 600

Sumber : BPPP Deptan, 2005

Keseluruhan uraian di atas menunjukkan peluang pengembangan usaha

PMC dapat menjadi salah satu upaya dalam pengembangan ekonomi nasional

dan daerah. Namun agar pengembangannya dapat efektif dan efisien, sesuai

kondisi dan kebutuhan di tiap daerah yang teridentifikasi, maka prospek

pengembangan usaha PMC di tiap daerah tersebut perlu dipelajari dan dikaji

secara komprehensif.

1.2. Perumusan Masalah

Potensi ketersediaan bahan baku minyak cengkeh di Provinsi Maluku

cukup besar yaitu mencapai 127.64 ribu ton per tahun, adapun potensi yang

dimanfaatkan untuk memproduksi minyak cengkeh baru mencapai 11 persen

(Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku, 2005). Kondisi ini

menggambarkan masih cukup besar potensi bahan baku minyak cengkeh yang

Page 22: cengkeh

5

belum dimanfaatkan dalam usaha PMC ataupun usaha lainnya yaitu sebesar 89

persen dari potensi ketersediaan bahan baku yang ada.

Pada umumnya usaha PMC yang ada di Provinsi Maluku adalah

merupakan industri kecil dengan menggunakan dua jenis peralatan penyulingan

yaitu: (1) alat suling tradisional, peralatan penyulingannya terbuat dari bahan

kayu dan (2) alat suling modern, peralatan penyulingannya terbuat dari bahan

nonstainless steel dan stainless steel. Penyulingan secara tradisional telah

berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda dan pada saat ini relatif jarang

ditemui, sedangkan penyulingan modern dikenal mulai tahun 1995.

Produksi minyak cengkeh Maluku pada tahun 2004 adalah sebesar 480

ton. Sebagian besar produksi minyak cengkeh Maluku digunakan untuk

memenuhi permintaan konsumen di luar daerah Maluku, sedangkan sebagian

kecil produksi diolah dan dikemas lebih lanjut oleh beberapa perusahaan

agroindustri terkait yang berada di Provinsi Maluku dalam bentuk minyak gosok

dan dijual ke berbagai daerah dengan harga yang bervariasi.

Harga minyak cengkeh Maluku di pasar dunia relatif lebih tinggi (khususnya

dalam bentuk minyak gosok) jika dibandingkan harga minyak cengkeh dari luar

daerah Maluku, hal ini dikarenakan opini yang telah lama terbentuk yaitu:

kepulauan Maluku merupakan kawasan dimana tanaman cengkeh berasal dan

minyak cengkeh pertama kali diproduksi (Guenther, 1950 dalam Kardinan, 2005).

Harga minyak cengkeh curah tahun 2004 ditingkat penyuling berkisar antara Rp

25 - 35 ribu perkilogram, sedangkan harga minyak cengkeh yang telah dikemas

sebagai minyak gosok pada berat netto 100 mililiter berkisar antara Rp 10 – 12.5

ribu atau Rp 75 ribu per kemasan 1 kilogram.

Ketersediaan bahan baku, kecenderungan permintaan yang meningkat dan

kondisi harga yang relatif stabil seharusnya dapat memacu perkembangan

usaha PMC di Maluku. Namun perkembangan usaha PMC di Maluku sendiri

Page 23: cengkeh

6

relatif lambat. Berdasarkan data jumlah industri kecil menengah berbahan baku

tanaman lokal di Provinsi Maluku Tahun 1996 – 2004 (Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Maluku), diketahui bahwa dalam kurun waktu 8 tahun

pertambahan unit usaha PMC relatif kecil dibandingkan usaha industri lainnya,

seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Industri Kecil Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal Di Provinsi Maluku Tahun 1994 – 2004

Tahun

No. Kapupaten/ Jenis Industri 1994 2004

1.Maluku Tengah* Minyak Kayu Putih 1 3 Minyak Cengkeh 30 31 Minyak Atsiri* 12 32 Minyak Kelapa - 1

2.Seram Bagian Timur Gula Merah 1 1

3.Pulau Buru Minyak Kayu Putih 98 168 Gula Merah - -

4.Maluku Tenggara Barat Minyak Kayu Putih 7 27

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku, 2005 Keterangan: * tergabung Kabupaten Seram Bagian Barat yang pada saat itu masih

dalam persiapan pemekaran

Kondisi ini membuktikan bahwa prospek pengembangan usaha PMC tidak

cukup hanya dilihat dari ketersediaan bahan baku dan peluang yang terjadi

seperti peningkatan permintaan dan harga produk relatif tinggi. Oleh karena itu

kajian tentang prospek pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

berdasarkan daya dukung faktor-faktor internal dan eksternal secara holistik

penting untuk dilakukan. Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan masalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana daya dukung faktor internal dan eksternal dalam pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku ?

2. Bagaimana strategi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

berdasarkan daya dukung faktor internal dan eksternal ?

Page 24: cengkeh

7

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis daya dukung faktor internal dan eksternal terhadap

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

2. Menganalisis Strategi Pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

berdasarkan daya dukung faktor internal dan eksternal.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi tentang prospek pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku.

2. Memberikan rekomendasi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

1.5. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian tentang prospek pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku, meliputi: (1) analisa daya dukung faktor internal dan ekternal

dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku melalui tahapan: analisa

kelayakan usaha PMC , analisa daya saing minyak cengkeh Maluku dan analisis

matriks Evaluasi Faktor Internal (EFI) atau Internal Factor Evaluation (IFE) Matrix

dan matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) atau External Factor Evaluation

(EFE) Matrix, dan (2) analisa strategi pengembangan usaha PMC di Provinsi

Maluku, meliputi: analisis linier programing dan analisis matriks Internal –

External. Keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu terkait dengan minimnya data

sekunder tentang minyak cengkeh atau usaha PMC nasional maupun daerah,

maka tiap analisis yang dilakukan hanya terbatas pada data tersedia dan

informasi dapat diperoleh.

Page 25: cengkeh

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Konsep Faktor Internal dan Eksternal

Berbicara mengenai prospek pengembangan suatu usaha pada suatu

tempat berarti kita membicarakan dua hal yaitu potensi dan peluang. Potensi

sangat terkait dengan faktor-faktor mempengaruhi usaha tersebut atau faktor

internal daerah lokasi usaha yang meliputi antara lain: (1) kondisi sumber daya

alam, (2) lingkungan bisnis, (3) industri terkait dan pendukung, (4) permintaan

domestik, dan (5) faktor tenaga kerja, sedangkan peluang terkait dengan faktor

diluar faktor internal atau yang dikenal sebagai faktor eksternal yang umumnya

meliputi harga dan permintaan di pasar dunia atau di luar daerah tersebut

(Bappenas (2004) dan Joesron (2001)).

Menurut Gittinger (1986), faktor internal daerah pengembangan atau lokasi

usaha merupakan faktor dominan yang menentukan berhasil tidaknya suatu

pengembangan usaha. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan

lokasi usaha adalah faktor-faktor yang dimiliki (faktor internal) lokasi tersebut,

antara lain: keadaan geografis, iklim, ketersediaan input dan pasar output,

kegiatan industri terkait atau pendukung, infrastuktur dan aspek sosial budaya

masyarakat setempat. Tarigan (2003) juga kurang lebih mengemukakan hal yang

sama, bahwa faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi

usaha adalah ketersediaan bahan baku, upah tenaga kerja, jaminan keamanan,

infrastuktur, daya serap pasar lokal dan aksesibilitas pasar yang dituju, dan

kebijakan pemerintah setempat.

Menurut Tarigan (2005), penetapan lokasi industri sendiri terkait dengan

dua sudut pandang, yaitu: (1) sudut pandang pengusaha, yang melihat lokasi

dari segi keuntungan maksimum jangka panjang yang dapat diraih atau

Page 26: cengkeh

9

kelayakan finansial, dan (2) sudut pandang pemerintah dalam arti “good

goverment” tidak hanya melihat dari segi keuntungan semata, tetapi cenderung

pada apakah industri tersebut sesuai untuk dikembangkan pada lokasi tersebut

terkait dengan ketersediaan sumberdaya, efektif dan efisien dalam upaya

pembangunan ekonomi berkelanjutan dan apakah memberikan nilai tambah

yang optimal dari segi finansial maupun ekonomi.

Menurut Kotler (1997), pengidentifikasian faktor internal dapat memberikan

gambaran kondisi suatu daerah atau usaha. Setidaknya ada dua bagian pada

faktor internal yang dapat menentukan posisi kelayakan dan persaingan yaitu

kekuatan dan kelemahan, sedangkan analisis terhadap lingkungan eksternal

diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memberikan peluang dan

ancaman bagi pengembangan suatu usaha. Faktor eksternal berupa peluang

pasar merupakan gelanggang yang menarik untuk melakukan kegiatan industri di

mana hanya industri yang mampu bersaing yang dapat bertahan dan

berkembang. Faktor eksternal disamping memberikan peluang, juga dapat

memberikan ancaman, misalnya jika terjadi penurunan harga dan perubahan

nilai mata uang pada tingkat kondisi yang tidak diharapkan.

2.1.1.1. Konsep Kelayakan Usaha

Daya dukung faktor internal pada suatu daerah seperti ketersediaan input

produksi, kebijakan pemerintah yang mendukung dan pasar lokal sangat

berpengaruh terhadap kelayakan usaha di tempat tersebut, atau dapat dikatakan

kelayakan usaha di suatu daerah merupakan gambaran daya dukung faktor

internal daerah terhadap usaha tersebut. Umumnya ada dua jenis analisa yang

dipakai dalam menilai kelayakan suatu usaha yaitu analisa ekonomi dan analisa

finansial. Dalam analisa ekonomi yang diperhatikan adalah manfaat yang

diberikan oleh suatu usaha terhadap perekonomian secara keseluruhan

Page 27: cengkeh

10

(the social return), sedangkan dalam analisa finansial yang diperhatikan adalah

manfaat diberikan oleh suatu usaha bagi pihak-pihak terlibat langsung dalam

usaha tersebut (the privat return). Fokus analisa yang berbeda menyebabkan

kedua analisa ini juga memiliki penilaian yang berbeda terhadap beberapa unsur

yaitu: harga, subsidi, pajak, upah tenga kerja, dan bunga modal, seperti yang

terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Penilaian Beberapa Unsur dalam Analisis Ekonomi dan Finansial

Perbedaan Unsur

Analisis Ekonomis Analisis Finansial 1. Harga Harga yang dipakai adalah

harga bayangan (shadow price*)

Harga yang dipakai adalah harga pasar (market price) setempat.

2. Subsidi Subsidi merupakan biaya. Besarnya subsidi menambah manfaat usaha

3. Pajak Pajak tidak diperhitungkan dalam biaya industri.

Besarnya pajak diperhitungkan sebagai biaya usaha.

4. Bunga modal

Besarnya bunga modal biasanya tidak diperhitungkan sebagai biaya.

Bunga modal dibedakan atas: - Bunga yang dibayarkan

kreditor dianggap sebagai biaya.

- Untuk bunga modal tidak dianggap sebagai biaya

5. Upah tenaga Kerja

Upah yang digunakan adalah upah bayangan (shadow wages*)

Upah yang digunakan adalah upah yang berlaku setempat.

Sumber : Gittinger, 1985., Kadariah, 1985 dan Gray et al., 1992 Keterangan: * harga yang mencerminkan opportunity cost-nya

Menurut Gittinger (1985) dan Gray et al. (1992), cara penilaian industri

jangka panjang yang banyak diterima sehubungan dengan analisis kelayakan

ekonomi dan finansial adalah analisis aliran kas yang didiskonto atau Discounted

Cash Flow Analysis (DCF) dengan memakai kriteria investasi. Asumsi kunci yang

dipakai dalam dalam analisa DCF adalah uang yang berada sekarang lebih

berharga daripada jumlah uang yang sama di masa yang akan datang oleh

karena itu nilai uang untuk waktu akan datang dihitung dengan metode

Page 28: cengkeh

11

compounding, sedangkan untuk mengkonversi nilai uang masa depan kenilai

sekarang menggunakan metode discounting pada tingkat bunga sosial atau

Social Discount Rate (SDR) yang sama, sedangkan jenis kriteria investasi yang

umum dipakai yaitu: (1) Net Present Value (NPV), (2) Internal Rate of Return

(IRR), (3) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) dan Pay Back Period (PBP).

Menurut Aliluddin (2006), pada dasarnya kriteria investasi tersebut diatas

konsisten satu sama lain, artinya jika dievaluasi dengan kriteria NPV dan kriteria

lainnya akan menghasilkan rekomendasi yang relatif sama, tetapi informasi

spesifik yang dihasilkan akan berbeda. Oleh karena itu dalam prakteknya

masing-masing kriteria sering dipergunakan secara bersamaan dalam rangka

mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dari perilaku suatu investasi

usaha.

2.1.1.2. Konsep Daya Saing

Konsep keunggulan bersaing dalam perdagangan suatu komoditas atau

produk antar wilayah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Konsep

yang pertama dimulai dari keunggulan absolut dari Adam Smith (1776) yang

menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari

perdagangan apabila dengan faktor-faktor alamiahnya masing-masing negara

dapat mengadakan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan

memproduksinya sendiri. Dengan kata lain, suatu wilayah dapat memperoleh

keuntungan dari perdagangan apabila total biaya sumber daya untuk

memproduksi suatu barang secara absolut lebih rendah dari biaya sumber daya

untuk memproduksi barang yang sama di negara lain. Oleh karena itu, menurut

konsep tersebut, setiap negara hendaknya mengkhususkan diri untuk

memproduksi barang-barang yang paling efisien yaitu barang-barang yang

diproduksi dengan biaya paling murah (Asheghian dan Ebrahimi, 1990).

Page 29: cengkeh

12

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata dua wilayah

masih mendapatkan keuntungan dari perdagangan bahkan apabila salah satu

negara tersebut tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi semua

komoditas atau produk. Dipicu oleh realitas tersebut, kemudian muncul konsep

keunggulan komparatif dari David Ricardo (1817) yang menyatakan bahwa

apabila suatu wilayah dapat memproduksi masing-masing dua barang dengan

lebih efisien dibandingkan dengan wilayah lainnya, dan dapat memproduksi

salah satu dari kedua barang tersebut dengan lebih efisien, maka hendaknya

wilayah tersebut mengkhususnya diri dan mengekspor komoditas yang secara

komparatif lebih efisien, yaitu komoditas yang memiliki keunggulan absolut

terbesar. Sebaliknya, wilayah yang memiliki efisiensi yang lebih rendah

hendaknya mengkhususnya diri dan mengekspor komoditas yang secara

komparatif lebih rendah inefisiensinya yaitu komoditas yang paling rendah dalam

ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi, 1990).

Selanjutnya, muncul konsep keunggulan kompetitif yang merupakan

penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif. Pada konsep keunggulan

kompetitif, keunggulan suatu wilayah tidak hanya bersumber dari faktor alamiah

saja. Konsep keunggulan kompetitif yang terkenal adalah konsep yang

dicanangkan oleh Porter (1990), yang mengemukakan bahwa daya saing suatu

industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan dari empat

atribut yang dimilikinya, yaitu: (1) kondisi faktor, (2) kondisi permintaan, (3)

industri terkait dan penunjang, dan (4) strategi, struktur, dan persaingan

perusahaan, yang terkenal dengan sebutan “The Diamond of Porter”. Keempat

atribut tersebut secara bersama-sama dan ditambah dengan kesempatan, serta

kebijakan pemerintah yang kondusif untuk mempercepat keunggulan dan

koordinasi antar atribut tersebut, kesemuanya akan mempengaruhi kemampuan

bersaing suatu industri di suatu negara.

Page 30: cengkeh

13

Sinergis dengan Potter (1990), Cho (1994) mengemukakan bahwa dalam

dunia dimana bahan baku, modal dan tenaga kerja bergerak diseluruh batas

wilayah, keunggulan komparatif saja tidak menentukan daya saing internasional.

Daya saing juga tidak boleh diukur dari pangsa pasar suatu negara dalam pasar

dunia, karena suatu negara dapat saja meningkatkan pangsa pasarnya dengan

menurunkan harga misalnya melalui subsidi tetapi daya saing internasionalnya

tidak selalu menguat. Daya saing juga tidak boleh diukur berdasarkan faktor

harga atau bukan harga. Harga yang meningkat terlihat melemahkan daya saing

internasional sebuah negara, namun dalam kenyataannya negara dengan daya

saing internasional yang kuat dapat meningkatkan harga produknya. Status

kualitas, daya tahan, rancangan dan kepuasan konsumen digunakan untuk

mengevaluasi daya saing bukan harga, tetapi tidak ada bukti empiris untuk

membuktikan pengaruhnya. Faktor harga dan bukan harga bukanlah penyebab

tetapi merupakan hasil dari daya saing internasional sebuah negara.

Konsep terakhir mengenai daya saing yang dikembangkan Cho dan Moon

(2003) dapat menjelaskan mengapa tiap ahli pada zamannya dan pada lokasi

berbeda mendefinisikan daya saing secara berbeda pula, konsep ini dikenal

sebagai model sembilan faktor yang merupakan model penyempurnaan dari

model diamond yang dikemukakan oleh Potter (1990). Model sembilan faktor

mengemukaan bahwa daya saing internasional ditentukan oleh 4 faktor fisik-

sumber daya yang dianugrahkan yang keseluruhannya dimobilisasi dan

dikendalikan oleh keempat faktor manusia. Kedelapan faktor ini memainkan

peran yang berbeda dalam tahap yang berbeda dalam pembangunan

perekonomian suatu wilayah atau negara yaitu: (1) tahap awal, dimana

persaingan terbatas pada sumber daya yang dianugrahkan, dalam kondisi ini

suatu industri memperoleh potensi pertumbuhan dengan mengandalkan produk

yang memiliki biaya produksi terendah atau berharga lebih rendah, (2) tahap

Page 31: cengkeh

14

pertumbuhan, industri memerlukan politisi dan birokrat yang bersedia

mendukung bisnis secara sistematis melalui berbagai kebijakan yang

mendukung, (3) tahap kedewasaan, inovasi muncul dalam proses manufaktur,

pengembangan produk dan organisasi bisnis, dimana industri mencakup

persaingan penuh dari perusahaan domestik maupun asing dan persaingan akan

merangsang pengembangan produk dan perbaikan kualitas, dan (4) tahap

penurunan, industri yang gagal mempertahan inovasi akan memasuki tahap

penurunan, untuk memperbaiki kondisi ini diperlukan manajer yang profesional.

Daya saing internasional suatu industri diperkuat dan diperlemah oleh berbagai

peluang dan peristiwa atau faktor eksternal yang merupakan faktor ke sembilan.

Untuk lebih jelas pembagian sembilan faktor penentu daya saing dalam tahap

pembangunan perekonomian sebuah negara dapat dilihat pada Gambar 1.

Ting

kat d

aya

sain

g in

tern

asio

nal

Gambar 3. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor

Tahap

Tahap awal Tahap bertumbuh

Tahap dewasa Tahap Penurunan

4 Faktor Fisik Sumber daya Alam

Lingkungan Bisnis

Industri terkait dan Pendukung

Permintaan domestik

4 Faktor Manusia

Pekerja Politisi dan Birokrat

Para wirausahawan

Para manajer dan profesional

Faktor Eksternal

Peluang dan peristiwa

Peluang dan peristiwa

Peluang dan peristiwa

Peluang dan peristiwa

Contoh: Sebagian besar negara Afrika dan beberapa negara Asia dan Amerika latin

Thailand Filipina Indonesia

Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura, Spanyol dan Brazilia

Amerika Serikat, Jepang dan Negara-negara Eropa barat

Gambar 1. Siklus Hidup Daya Saing Industrial Berdasarkan Model 9 faktor

Page 32: cengkeh

15

Sebagian besar wilayah Indonesia berdasarkan konsep model sembilan

faktor berada pada tahap awal dan pertumbuhan, dimana daya saing masih

dominan ditentukan olah keunggulan komparatif atau sumber daya yang

dianugrahkan dan kebijakan pemerintah yang mendukung. Dalam kondisi ini

suatu industri memperoleh potensi pertumbuhan dengan mengandalkan produk

yang memiliki biaya produksi terendah atau berharga lebih rendah dan

memerlukan kebijakan pemerintah yang mendukung. Oleh karena itu pendekatan

keunggulan komparatif dan kompetitif dengan metode DRCR dan PCR masih

cukup sesuai untuk menilai daya saing produk industri Indonesia.

2.1.2. Konsep Strategi Pengembangan Usaha

Menurut Kotler (1997), hasil analisis faktor internal dan eksternal dapat

dipakai untuk mengetahui posisi dan menyusun strategi pengembangan usaha

kedepan. Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam suatu usaha

dalam kaitannya dalam tujuan jangka panjang, program tidak lanjut dan prioritas

alokasi sumberdaya (Chandler, 1962 dalam Rangkuti, 2006), selanjutnya

menurut Porter (1998), strategi adalah alat penting untuk mendapatkan

keunggulan bersaing.

Strategi pengembangan usaha yang baik berasal dari perencanaan

strategis yang baik pula, yaitu suatu proses analisis, perumusan dan evaluasi

strategi-strategi, dimana tujuan utama dari dari perencanaan strategis adalah

mencari kesesuaian aktivitas-aktivitas usaha dengan kondisi internal-eksternal

yang mempengaruhi pengembangan usaha. Jadi strategi dalam pengembangan

suatu usaha penting untuk memperoleh keunggulan bersaing dan menghasilkan

output sesuai dengan permintaan pasar dengan dukungan optimal dari

sumberdaya yang ada (Rangkuti, 2006).

Page 33: cengkeh

16

Teknik perumusan strategi yang penting menurut David (2002) dapat

dipadukan menjadi kerangka kerja pembuatan keputusan tiga tahap, yaitu: (1)

tahap input, (2) tahap mencocokkan, dan (3) tahap keputusan. Tahap input

merupakan tahap analisis lingkungan, beberapa hal yang harus diperhatikan

dalam dalam prosedur analisis lingkungan adalah: (1) menentukan relevansi

karena tidak semua faktor lngkungan berpengaruh pada suatu usaha dan (2)

menentukan tingkat relevansi dari issu strategi (strategic issue), yaitu faktor

lingkungan yang mempengaruh besar terhadap usaha. Tahap mencocokkan,

mencocokkan faktor-faktor strategis internal dan eksternal merupakan kunci

efektif menghasilkan alternatif strategi yang layak. Tahap keputusan, tahap

keputusan menjadi penting jika ada beberapa alternatif strategi dalam

pengembangan usaha. Pada umumnya strategi yang terpilih adalah strategi

memiliki peringkat tertinggi atau yang diramalkan dapat memenuhi tujuan dari

suatu usaha secara optimal.

2.2. Penelitian-Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang minyak cengkeh yang telah banyak dilakukan adalah

mengenai pengujian kualitas, teknis produksi, pemisahan unsur-unsur dalam

minyak cengkeh dan pemanfaatan minyak cengkeh untuk berbagai produk

industri, sedangkan penelitian tentang terkait dengan daya dukung faktor internal

dan eksternal dalam pengembangan UKM penyulingan minyak cengkeh dan

strategi pengembangannya masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam dalam

bagian penelitian-penelitian terdahulu ini menampilkan hasil-hasil penelitian yang

memiliki kemiripan produk dan alat analisa.

Menurut Hafsah (2004), pada umumnya permasalahan yang dihadapi

oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terkait dengan faktor internal UKM

antara lain meliputi: (1) kurangnya permodalan, (2) sumberdaya manusia (SDM)

Page 34: cengkeh

17

yang terbatas (3) sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan

merupakan usaha keluarga yang turun temurun, (4) sifat produk dengan lifetime

pendek (5) lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar,

sedangkan yang terkait dengan faktor eksternal UKM antara lain meliputi: (1)

iklim usaha belum sepenuhnya kondusif, (2) terbatasnya sarana dan prasarana

usaha, (3) implikasi otonomi daerah, dan (4) implikasi perdagangan bebas. Oleh

karena itu pengembangan UKM kedepan, perlu menggabungkan keunggulan

lokal (lingkungan internal) dan peluang pasar global, yang disinergikan dengan

era otonomi daerah dan pasar bebas, atau dengan kata lain pemgembangan

UKM perlu pemikiran dalam skala global namun implentasi tindakan yang bersifat

lokal (think globaly and act locally) dalam mengambil kebijakan yang terkait

dengan pengembangan UKM.

Penelitian yang dilakukan oleh Supriatna (2004), mengenai sistem

perencanaan model pengembangan agroindustri minyak cengkeh di Sulawesi

Utara menunjukkan ketersediaan bahan baku, kemudahan pemasaran,

kemudahan transportasi, ketersediaan tenaga kerja, adanya sarana listrik,

adanya sarana air, kemudahan investasi, iklim, tersedianya unsur penunjang dan

prospek jangka panjang merupakan faktor internal penting yang sangat

berpengaruh pada kelayakan usaha minyak cengkeh pada kapasitas

penyulingan 18 ton daun cengkeh kering per harinya dengan prediksi perolehan

minyak 504 kg/hari pada rendemen penyulingan 2,8%. Secara finansial prediksi

investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik minyak cengkeh pada

kapasitas tersebut di atas adalah Rp. 863 juta, modal investasi ini diperkirakan

akan kembali selama 0.63 tahun atau 7.56 bulan dengan titik pulang pokok

10.515 ton /tahun. Hasil analisis kelayakannya menunjukkan NPV sebesar Rp.

5.35 milyar (lebih besar dari nol), nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga

yang berlaku (18%) yaitu 49,2 % dan B/C rasionya 1.66 (lebih besar dari 1),

Page 35: cengkeh

18

sehingga dapat disimpulkan bahwa pengembangan teknologi penyulingan

minyak di Sulawesi Utara layak untuk dilaksanakan.

Selanjutnya hasil penelitian Smallfield (2004), mengatakan bahwa ukuran

kapasitas produksi dan penggunaan teknologi yang tepat sangat penting dalam

upaya pencapaian efisiensi produksi dalam destilasi minyak atsiri atau dengan

kata lain memaksimalkan rendemen yang diperoleh. Rendemen minyak yang

dihasilkan lewat proses destilasi umumnya kecil yaitu berkisar antara 0.1 – 2

persen oleh karena itu dalam pengusahaannya sebaiknya mengolah bahan baku

dari luas areal minimal sebesar 20 hektar per unit investasi agar diperoleh

kuantitas minyak dan keuntungan yang layak.

Penelitian MacTavish (2002), mengenai studi ekonomi produksi essensial

oil di UK, menunjukkan bahwa subsidi dan tingkat bunga yang rendah berhasil

meningkatkan produksi minyak atsiri, dalam hal ini akses terhadap alat

penyulingan yang baik adalah penting mengingat harga peralatan tersebut cukup

mahal. Hal ini memungkinkan dengan melibatkan lembaga riset untuk

menciptakan alat suling yang dapat meningkatkan produksi dan kualitas hasil

penyulingan, memberikan bantuan modal kepada produsen, mengembangkan

kerjasama untuk meningkatkan output dalam skala besar, perbaikan penetrasi

pasar dan posisi tawar, pengembangan infrastuktur, industri terkait, asosiasi

pengusaha dan pusat riset minyak atsiri yang baik .

Penelitian yang dilakukan oleh Maarthen (1998), mengenai aspek ekonomi

penyulingan minyak kayu putih Pulau Buru, menunjukkan produk minyak kayu

putih Maluku memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai PCR sebesar 0.4574,

dimana sebagian besar produksi minyak kayu putih Maluku adalah untuk

memenuhi kebutuhan domestik Indonesia.

Gumbira-Said et al. (2003). Pengembangan industri pengolahan sabut

kelapa layak dilaksanakan berdasarkan hasil kriteria investasi dimana di peroleh

Page 36: cengkeh

19

NPV bernilai positif, IRR diatas suku bunga komersial (22 %) dan Net B/C di atas

satu. Analisisis nilai tambah pada skala optimal menunjukkan pengolahan

mampu menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 135.65 per butir kelapa dengan

rasio nilai tambah pada proses pengolahan mencapai 75.35 persen, bagian

tenaga kerja mencapai 62.01 persen dan bagian manajemen mencapai 62.01

persen dan agar distribusi kebutuhan investasi dan modal tersebar luas, skala

optimal sebaiknya dilakukan selama 6 tahun investasi. Analisa daya dukung

faktor internal dan eksternal dengan menggunakan analisis matrix IFE dan EFE

yang dipetakan pada diagram SWOT, menunjukkan skor parameter peluang

lebih besar dari parameter ancaman dan pengembangan agroindusti pengolahan

sabut kelapa berada pada skenario optimis dan implementasi penuh merupakan

alternatif terbaik.

Hasil analisis daya saing komoditas kedelai yang dilakukan oleh Siregar

(2003) di DAS Brantas, menyimpulkan bahwa daya saing komoditas kedelai

mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya karena produsen kedelai

membayar input lebih tinggi dari harga bayangannya dan menerima harga output

yang lebih rendah dari harga bayangannya sebagai dampak dari stuktur dan

sistem pemasaran yang tidak efisien, dan kebijakan pemerintah yang tidak

memihak pada usahatani tersebut. Kondisi berdampak pada menurunnya jumlah

petani kedelai, karena tingkat penerimaan bersih yang dicapai tidak mewakili

opportunity cost atau kurang dari 20 persen dari biaya yang dikeluarkan. Selain

itu skala usaha yang tidak ekonomis (relatif sangat kecil) membuat biaya per unit

output yang tinggi sehingga tidak memenuhi kriteria keuntungan yang rasional

untuk dilaksanakan usaha tersebut.

Hasil penelitian Astana et al. (2005), terkait jenis komoditas minyak

cendana, diketahui bahwa nilai PCR minyak cendana relatif tinggi (0.76)

mengindikasikan adanya distorsi pasar, namun minyak cendana masih berdaya

Page 37: cengkeh

20

saing ekspor. Ekspor minyak cendana belum tergoncang jika harga inputnya

meningkat sampai 84 persen dan harga outputnya menurun sampai 10 persen.

Hasil penelitian Nurasa dan Supriatna (2005), menyimpulkan bahwa

komoditi perkebunan rakyat memiliki kelemahan mendasar, yaitu: (1) kualitas,

kuantitas dan kontinueitas pasokan hasil tidak selalu dapat mencukupi

permintaan pasar, (2) lokasi, kapasitas dan teknologi pengolahan hasil yang tidak

sesuai dengan kualitas maupun kuantitas bahan baku yang tersedia dan

permintaan pasar terhadap hasil olahan, dan (3) sistem pemasaran hasil kurang

efisien. Kelemahan ini menimbulkan beberapa implikasi yaitu: (1) sistem

agribisnis menjadi tidak efisien, biaya produk per satuan output menjadi tinggi

sehingga keunggulan komparatif menjadi rendah, dan (2) rendahnya kualitas dan

kontinuitas pasokan menyebabkan tingkat kepercayaan pembeli luar negeri

berkurang sehingga keunggulan kompetitif menjadi rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Darmawansyah (2003) mengenai

maksimisasi sektor ekonomi unggulan untuk menunjang peningkatan

penerimaan daerah (studi kasus di Kabupaten Takalar) dengan menggunakan

metode linier programming untuk mencari solusi optimal dalam alokasi

pemanfaatan lahan dan sumber daya yang sifatnya terbatas yang pada akhirnya

akan mengoptimalkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dan PAD,

menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor unggulan yang mampu

memberikan kontribusi tertinggi yaitu sebesar 22.15 persen terhadap PAD dan

PDRB. Di mana kondisi ini dapat dicapai jika penggunaan lahan di optimalkan

untuk komoditas yang memiliki tingkat produktivitas serta nilai ekonomis tinggi

dan memiliki potensi untuk dikembangkan di Takalar adalah padi, jagung, kacang

ijo, kelapa, jambu mete, udang, bandeng dan sapi.

Page 38: cengkeh

21

2.3. Kerangka Pemikiran Penelitian

Analisis daya dukung faktor internal dan eksternal terhadap

pengembangan usaha PMC dalam penelitian ini menggunakan 2 pendekatan

yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam analisis dengan pendekatan

kuantitatif digunakan analisis kelayakan usaha dan analisis daya saing,

sedangkan dalam analisis dengan pendekatan kualitatif digunakan analisis

pengidentifikasian faktor internal dan eksternal.

Analisis kelayakan usaha secara umum sering dipakai dalam menentukan

layak dan tidak layaknya suatu usaha untuk dikembangkan. Suatu usaha

dikatakan layak untuk dilaksanakan jika hasil analisis kelayakannya yaitu berupa

nilai kriteria investasi yang meliputi nilai NPV, Net B/C, IRR dan Pay Back Period,

memenuhi syarat kelayakan. Namun seiring era liberalisasi perdagangan

kemudian ditemui bahwa kriteria kelayakan usaha ternyata tidak dapat memberi

informasi yang cukup dalam upaya pengembangan usaha terkait peluang dan

ancaman yang dapat diraih dan dihadapi, dalam kasus ini analisis daya saing

memegang peranan penting.

Dalam analisis daya saing suatu produk khususnya pada daerah yang

dikelompokan berada antara tahap awal dan pertumbuhan pembangunan

ekonomi, unsur harga seringkali diasumsikan identik dengan hasil dari daya

saing. Terkait fenomena tersebut ada 2 pendekatan yang dapat digunakan untuk

mengukur daya saing yaitu pendekatan keunggulan komparatif dengan metode

Domestic Resources Cost Coeficient (k) dan keunggulan kompetitif dengan

metode Privat Cost Ratio (PCR).

Jika hasil kelayakan dan daya saing cukup memuaskan seharusnya usaha

akan menunjukkan trend perkembangan yang baik, namun jika yang terjadi

sebaliknya maka pengidentifikasian faktor internal dan eksternal menjadi penting

untuk dilakukan karena dapat memberikan informasi yang lebih komprehensif

Page 39: cengkeh

22

sebagai jawaban dari ketidaksesuaian. Analisis pengidentifikasian faktor internal

dan ekternal dapat menjelaskan fenomena yang ditidak dapat dijelaskan secara

kuantitatif. Analisis pengidentifikasian faktor internal dapat memberikan

gambaran kondisi suatu daerah atau usaha secara deskriptif, dimana ada dua

bagian pada faktor internal yang dapat menentukan posisi kelayakan dan

persaingan yaitu kekuatan dan kelemahan, sedangkan analisis terhadap

lingkungan eksternal diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat

memberikan peluang dan ancaman bagi pengembangan suatu usaha.

Upaya pengembangan usaha PMC yang efektif dan efisien sangat

memerlukan strategi pengembangan yang kompeten, dimana strategi ini hanya

dapat diperoleh melalui proses analisa, perumusan dan evaluasi dari faktor

internal dan eksternal yang dimiliki suatu wilayah dan strategi-strategi yang telah

dan belum dijalankan. Dengan kata lain hasil dari analisis daya dukung faktor

internal dan eksternal terhadap pengembangan usaha PMC dapat dipakai dalam

merumuskan dan mengevaluasi strategi-strategi yang dapat dijalankan dalam

upaya pengembangan usaha. Dalam kasus ini ada 2 analisa yang dipakai yaitu

(1) analisis linier programing, untuk mencari strategi yang dapat mengoptimali

penggunaan sumberdaya dan (2) analisis matriks I-E untuk menilai dan

menentukan strategi yang dapat dijalankan dalam program pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku, dimana skema keterkaitan berbagai faktor dan

alat analisa dapat dilihat pada Gambar 2.

Page 40: cengkeh

23

Analisis Daya Dukung Lingkungan Internal-Eksternal dengan Tahapan: 1. Analisis Kelayakan Usaha 2. Analisis Daya Saing 3. Analisis Matriks IFE-EFE

Target Pengembangan Usaha PMC Nasional

Potensi Perkebunan Cengkeh Provinsi Maluku

Pengembangan Usaha PMC

Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku

Kelayakan Usaha PMC Maluku

Faktor Internal – Eksternal Pengembangan Usaha PMC

di Provinsi Maluku

Strategi Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Prioritas Strategi Pengembangan Usaha PMC

Analisis Strategi Pengembangan denganTahapan: 1. Analisis Linier Programming 2. Analisis Maktriks I - E

Masalah: Permintaaan Penurunan Ekspor (pangsa pasar) Permintaan domestik meningkat Perkembangan industri lanjutan Perkembangan Usaha PMC lambat

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian Prospek Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

Page 41: cengkeh

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian berlokasi di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) dan Kabupaten

Seram Bagian Barat (SBB) Provinsi Maluku. Pemilihan lokasi dilakukan secara

sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan Provinsi Maluku merupakan

salah satu daerah sasaran pengembangan usaha PMC nasional, sedangkan

Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat merupakan kabupaten yang

memiliki potensi tanaman cengkeh terbesar di Provinsi Maluku. Pelaksanaan

Pengumpulan data untuk keperluan penelitian ini dilakukan pada bulan Juli

sampai dengan Oktober 2007.

3.2. Metode Pengambilan Contoh

Pada penelitian ini pengambilan contoh pada tingkat kecamatan,

responden penentu faktor internal dan eksternal dan responden pengusaha PMC

dengan alat suling nonstainless dilakukan secara purposive sampling.

Kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Leihitu, Salahutu dan Amahai pada

Kabupaten Maluku Tengah dan Kecamatan Kairatu dan Taniwel pada Kabupaten

Seram Bagian Barat karena memiliki usaha PMC terbanyak. Pengambilan

responden penentu faktor internal dan eksternal adalah sebanyak 9 (sembilan

orang) yang dianggap ahli/paham tentang permasalahan yang akan dikaji yaitu

dari kalangan akademis, LSM, instansi terkait dan salah satu pengusaha PMC.

Pengambilan contoh untuk pengusaha PMC dengan jenis alat nonstainless

(usaha PMCns) sebanyak 5 RTU dengan KAS 100 kilogram, sedangkan

pengambilan contoh pengusaha PMC dengan jenis alat suling stainless (usaha

PMCs) dilakukan secara stratified random sampling dimana penyuling dibedakan

berdasarkan KAS yaitu 30, 40, dan 100 kilogram masing-masing sebanyak 5

Page 42: cengkeh

25

kelompok usaha dimana masing-masing kelompok terdiri dari 5 rumah tangga

usaha (RTU).

3.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data kerat lintang (cross section) berupa

data kualitatif dan kuantitatif. Untuk sumber data yang digunakan adalah data

primer (primary data sources) dan data sekunder (secondary data sources). Data

primer diperoleh dari pengamatan langsung dan wawancara dengan responden

terpilih, sedangkan data sekunder diperoleh melalui telaahan pustaka dan data

yang bersumber dari lembaga/instansi terkait dengan kajian ini.

3.4. Metode Analisis

Data yang dikumpulkan akan diolah, dianalisis dan disajikan dalam bentuk

tabulasi. Adapun metoda analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

analisis daya dukung faktor internal dan ekternal dan analisis strategi dalam

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

3.4.1. Analisis Daya Dukung Faktor Internal dan Eksternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku

Untuk menelaah dan mengidentifikasi daya dukung faktor internal dan

ekternal dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku dilakukan

beberapa tahapan analisis yaitu:

3.4.1.1. Analisis Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Untuk menelaah kinerja ekonomi dan finasial usaha PMC dilakukan

Analisis DCF dengan 4 metode penilaian investasi yaitu: NPV, IRR, Net B/C dan

PBP pada SDR sebesar 13.5 persen, dengan persamaan sebagai berikut :

………………………………………. ….. (3.1) NPV =

(1+i)t

n t =0

Bt - Ct

Page 43: cengkeh

26

dimana:

NPV = Net Present Value B/C = Benefit Cost ratio IRR = Internal Return Rate Bt = penerimaan proyek pada tahun t. Ct = biaya proyek pada tahun t. n = umur ekonomis proyek. i = social opportunity cost of capital yang digunakan sebagai social

discount rate t = tahun pelaksanaan proyek k(PBP) = periode pengembalian CFt = cash flow periode ke t

dengan kriteria pengambilan keputusan:

NPV > 0, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

B/C > 1, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

IRR > i, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

k ≤ n, usaha PMC layak untuk dilaksanakan

3.4.1.2. Analisis Daya Saing Minyak Cengkeh

Daya saing komoditas di pasar dunia dapat diukur dengan menggunakan

pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif, sebagai berikut:

1. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif suatu komoditas dapat dihitung dengan

menggunakan metode Domestic Resource Cost (DRC). Secara formal DRC

Net B/C = (1+i)t

Bt - Ct n t=0

untuk Bt - Ct > 0

n t=0

Ct - Bt

(1+ i)t

untuk Bt - Ct < 0 ………….... (3.2)

= 0 n t=0

Bt - Ct

(1+ IRR)t.......…………….......................….......….. (3.3)

k(PBP) =

n t=0

CFt ≥ 0 .......……………...................... ...…......….. (3.4)

Page 44: cengkeh

27

didefinisikan sebagai rasio antara biaya faktor produksi domestik dengan selisih

antara border price of output dan biaya faktor produksi tradeable. Suatu komoditi

dikatakan memiliki keunggulan komparatif jika memiliki koefisien DRC (k) atau

rasio antara DRC dan nilai tukar implisitnya lebih besar dari satu (Kasryno, 1990

dalam Astana, 2004 ). Adapun rumus DRC dan k adalah sebagai berikut:

)( TPDDRC −= , p

DRCk = ........................................................ (3.3)

dimana:

DRC = nilai ekonomi biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit devisa (Rp)

D = nilai ekonomi faktor produksi domestik yang dikorbankan untuk memproduksi satu unit output (Rp)

P = nilai ekonomi (harga internasional) satu unit output (US$) T = nilai ekonomi faktor produksi tradeable yang digunakan untuk

memproduksi satu unit output (US$) k = koefisien DRC p = nilai tukar Rp terhadap US$.

Untuk menghitung DRC diperlukan analisis harga bayangan (shadow

price). Harga bayangan didefinisikan sebagai suatu harga yang terbentuk dalam

pasar persaingan sempurna. Analisis harga bayangan diperlukan untuk

mengoreksi kemungkinan penyimpangan harga akibat adanya kebijakan

pemerintah seperti subsidi, pajak dan kebijakan harga, yang menyebabkan harga

tidak mencerminkan kelangkaan sumberdaya yang sebenarnya. Adapun

penentuan harga bayangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Harga Bayangan Output

Harga banyangan output minyak cengkeh yang digunakan dalam penelitian

ini adalah harga batas (border price) yaitu harga free on board (fob).

2. Harga Bayangan Bahan Baku

Bahan baku (daun dan gagang cengkeh) adalah barang yang belum masuk

aktivitas perdagangan internasional, oleh karena itu harga bayangan bahan

baku diasumsikan sama dengan harga faktualnya dengan pertimbangan tidak

Page 45: cengkeh

28

ada kebijakan pemerintah yang mengatur harga bahan baku secara

langsung.

3. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu diantaranya yang dilakukan oleh

Martheen (1998) dan Astana et al. (2004), harga bayangan tenaga kerja

umumnya sebesar 80 persen dari upah yang berlaku. Dalam penelitian ini

harga bayangan tenaga kerja diasumsikan sama dengan upah faktual tenaga

kerja, dengan pertimbangangan bahwa upah tenaga kerja pada lokasi

penelitian jauh dibawah UMR dan dapat dianggap mendekati harga

ekonominya.

4. Harga Bayangan Bangunan

Bangunan yang digunakan dalam usaha PMC adalah bangunan yang dibuat

dari bahan bangunan yang diperoleh secara lokal, oleh karena itu harga

bayangan bangunan diasumsikan sama dengan harga faktualnya

5. Harga Bayangan Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penyulingan minyak cengkeh adalah

peralatan yang memiliki komponen domestik dan tradeable, namun

diproduksi dalam negeri. Berdasarkan informasi dari Barinstand harga yang

ekonomi yang ditawarkan mendekati harga finansialnya.

6. Harga Bayangan Nilai Tukar

Harga bayangan nilai tukar uang yang dipakai dalam penelitian ini adalah

nilai tukar implisit rata-rata tahun 2006-2007 rupiah terhadap dollar USA.

2. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif dapat dilihat melalui ukuran sederhana yaitu Private

Cost Ratio (PCR). PCR adalah perbandingan biaya privat faktor domestik dan

nilai tambah privat yang merupakan selisih antara nilai privat output dan biaya

Page 46: cengkeh

29

privat input tradeable. Suatu komoditi dikatakan memiliki keunggulan kompetitif

jika nilai PCR lebih kecil dari satu (Pearson et all, 2005). Adapun rumus PCR

adalah sebagai berikut:

IR

GPCR−

= ........................................................................................ (3.4)

dimana:

PCR = rasio nilai finansial biaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit output.

G = nilai finansial biaya faktor produksi domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit output (Rp).

R = nilai finansial satu unit output (Rp). I = nilai finansial biaya faktor produksi tradeable yang digunakan

untuk memproduksi satu unit output (Rp).

Dalam pengalokasian biaya domestik dan tradeable dalam perhitungan

koefisien DRC dan PCR sebagian besar penelitian terdahulu menggunakan

menggunakan pendekatan total. Pendekatan total adalah pendekatan yang

membagi tiap komponen biaya dalam komponen biaya domestik dan tradeable.

Dalam penelitian ini pendekatan total juga digunakan dalam pengalokasian

komponen biaya mengikuti pengalokasian biaya yang telah dilakukan oleh

penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Alokasi Biaya Produksi Berdasarkan Komponen Biaya Domestik dan Komponen Biaya asing

Persentasi Komponen Biaya No. Jenis Biaya Domestik Asing

1 2 3 4 5

Tenaga kerja Bahan baku Bangunan Peralatan Bahan lainnya

100 100 100

50 50

0 0 0

50 50

Sumber: Suryana (1981), Wahyudi (1989), Soemodihardjo (1993) dalam Astana et al (2004)

3.4.1.3. Analisis Matriks Evaluasi Faktor Internal dan Evaluasi Faktor Eksternal

Matriks evaluasi faktor internal digunakan untuk meringkas dan

mengevaluasi kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan usaha PMC di

Page 47: cengkeh

30

Provinsi Maluku, sedangkan matriks evaluasi faktor eksternal digunakan untuk

meringkas dan mengevaluasi peluang dan ancaman pengembangan usaha PMC

di Provinsi Maluku, yang mana keduanya dilakukan melalui pembobotan seperti

yang terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Penilaian Skor Terbobot Faktor Internal dan Eksternal

Faktor Internal /Eksternal

(Horisontal)

Faktor Internal/Eksternal

(Vertikal) a b … k

Total

Bobot

Rating

Skor Terbobot

(1) (2) (3) (4) (5) (6 = 4 x 5) a xi xi xi n1 b1 1 b1

b xi xi xi n2 b2 2 2b2….. xi xi xi …. …. …. …. k xi xi xi nk bi N nbi

Total ∑n ∑bi ∑nbi

Sumber : Rangkuti, 2006

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam evaluasi faktor internal dan

eksternal yaitu:

1. mengidentifikasi dan menentukan faktor internal – eksternal yang

mempengaruhi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, kemudian

mengkelompokkannya dalam faktor kekuatan-kelemahan internal dan faktor

peluang-ancaman eksternal.

2. Menentukan bobot dari faktor-faktor tersebut, pembobotan adalah metode

untuk mengkuantitatifkan penilaian yang diberikan pada suatu variabel relatif

terhadap variabel lain dengan menggunakan metode paired comparisson

(Rangkuti, 2006). Penentuan skala digunakan untuk memberikan nilai bobot.

Skala yang digunakan tersebut dibagi menjadi: (1) Skala 1, jika variabel

horisontal kurang penting terhadap variabel vertikal, (2) Skala 2, jika variabel

horisontal sama penting terhadap variabel vertikal, dan (3) Skala 3, jika

variabel horisontal lebih penting terhadap variabel vertikal. Bobot setiap

variabel diperoleh dengan membagi nilai setiap variabel terhadap kumulatif

variabel dengan menggunakan rumus berikut:

Page 48: cengkeh

31

∑=

= n

ii

ii

X

Xb

1

………………..…………………………………........ . (3.5)

dimana :

bi = bobot variabel ke-i Xi = nilai variabel ke i i = 1,2,3,…,n n = jumlah variabel 3. Setelah dihitung nilai bobot setiap variabel kemudian setiap variabel diberi

nilai rating berdasar pentingnya pengaruh yang ditimbulkan. Pemberian nilai

peringkat yaitu: (1) nilai 1, jika faktor tersebut tidak berpengaruh, (2) nilai 2,

jika faktor tersebut cukup berpengaruh; (3) nilai 3, jika faktor tersebut

berpengaruh, dan (4) nilai 4, jika faktor tersebut sangat berpengaruh dalam

mengembangkan UPMC.

4. Menentukan skor terbobot dengan mengalikan nilai bobot dengan ratingnya

(David, 2002).

3.4.2. Analisis Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Untuk menilai dan menentukan strategi pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku, dilakukan analisis sebagai berikut:

3.4.2.1. Analisis Linier Programmming

Pada hakikatnya program linier merupakan suatu teknik perencanaan yang

bersifat analitis yang analisis-analisisnya memakai model matematika, dengan

tujuan menemukan beberapa kombinasi alternatif pemecahan masalah,

khususnya dalam menyusun strategi kebijakan terkait dengan alokasi

sumberdaya dan dana yang terbatas guna mencapai tujuan dan sasaran yang

optimal. Artinya alternatif yang terpilih sebagai strategi kebijakan telah melalui

analisis yang mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas alternatif tersebut atau

merupakan alternatif dengan alokasi optimal, yaitu yang memaksimumkan atau

Page 49: cengkeh

32

meminimumkan fungsi tujuan dengan memenuhi syarat ikat (kendala) dalam

bentuk model ketidaksamaan linier (Nasendi dan Anwar, 1998).

Dalam penyusunan model ketidaksaman linier untuk strategi

pengembangan usaha PMC terkait dengan kapasitas alat suling (KAS)

digunakan beberapa asumsi untuk mendekatkan model yang dibangun dengan

fenomena yang terjadi, antara lain:

1. Resources oriented, karena sifat bahan baku yang kamba dan tersebar

cenderung membutuhkan biaya tranportasi tinggi maka alokasi investasi

pada usaha PMC berorientasi sumberdaya dalam kasus ini didasarkan pada

potensi riil ketersediaan bahan baku.

2. Program pengembangan usaha PMC merupakan insentif pemerintah,

sehingga sangat diharapkan implemetasi program dapat merata di tiap

kabupaten sebagai inovasi teknologi dalam pengembangan usaha di

Provinsi Maluku. Oleh karena itu alokasi investasi sesuai potensi riil bahan

baku menjadi pertimbangan utama.

3. Salah satu tujuan program adalah memberikan insentif bagi penyuling untuk

mengembangkan usahanya, salah satu insentif yang menarik bagi

pengusaha selain subsidi adalah keuntungan usaha yang maksimal.

Berdasarkan 3 asumsi diatas model matematis dalam analisis LP untuk

mencari strategi pengembangan ukuran kapasitas alat suling yag efektif dan

efisien dalam program pengembangan usaha PMC adalah sebagai berikut:

Maksimum Keuntungan:

Z = c1X11 + c1X12 + c1X13 + c1X14 + c1X15+ c1X16 +

c2X21 + c2X22 + c2X23 + c2X24 + c2X25+ c2X26 +

c3X31 + c3X32 + c3X33 + c3X34 + c3X35+ c3X36 ....................... (3.6)

Kendala :

Page 50: cengkeh

33

a11X11 + a12X21+ a13X31 ≤ B11 ................................................. (3.7)

a11X12 + a12X22+ a13X32 ≤ B12 ................................................. (3.8)

a11X13 + a12X23+ a13X33 ≤ B13 ................................................. (3.9)

a11X14 + a12X24+ a13X34 ≤ B14 ................................................. (3.10)

a11X15 + a12X25+ a13X35 ≤ B15 ................................................. (3.11)

a11X16 + a12X26+ a13X36 ≤ B16 ................................................. (3.12)

a21X11 + a22X21+ a23X31 ≤ B21 ................................................. (3.13)

a21X12 + a22X22+ a23X32 ≤ B22 ................................................. (3.14)

a21X13 + a22X23+ a23X33 ≤ B23 ................................................. (3.15)

a21X14 + a22X24+ a23X34 ≤ B24 ................................................. (3.16)

a21X15 + a22X25+ a23X35 ≤ B25 ................................................. (3.17)

a21X16 + a22X26+ a23X36 ≤ B26 ................................................. (3.18)

a31X11 + a32X21+ a33X31 +a31X12 + a32X22+ a33X32 +

a31X13 + a32X23+ a33X33 + a31X14 + a32X24+ a33X34 +

a31X15 + a32X25+ a33X35 + a31X16 + a32X26+ a33X36 ≤ B3 .......... (3.19)

Xij ≥ 0 .................................................................................... (3.20)

dimana:

Xij = jumlah usaha PMCs dengan alat suling kapasitas i = 1, 2 dan 3 (30, 40 dan 100 kilogram, pada lokasi j = 1 s/d 6 kabupaten (1= Kab. Maluku Tenggara, 2 = Maluku Tengah, 3 = Pulau Buru, 4 = Seram Bagian Barat, 5 = Seram Bagian Timur dan 6 = Ambon)

cj = koefisien fungsi keuntungan pada alat suling kapasitas i a1i = koefisien kapasitas olah alat suling kapasitas i dalam kendala

bahan baku pada lokasi j a2i = koefisien biaya investasi alat suling kapasitas i dalam kendala total

biaya investasi a3i = koefisien produksi alat suling kapasitas i dalam kendala total

target produksi BB1j = Ketersediaan bahan baku pada lokasi j BB2j = Biaya Investasi pada lokasi j BB3 = Total Target produksi

Page 51: cengkeh

34

3.4.2.2. Analisis Matriks Internal - Ekternal

Matriks I-E didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu total nilai IFE yang

diberi bobot pada sumbu-x dan total nilai EFE yang diberi bobot pada sumbu-y.

Dari Sumbu-x total nilai IFE dibagi menjadi tiga kelompok berdasar skornya.

Skor 1.0 sampai 1.99 menunjukkan posisi yang lemah. Skor 2.0 sampai 2.99

menunjukkan posisi yang sedang, dan skor 3.0 sampai 4.0 menunjukkan posisi

yang kuat. Demikian pula pada sumbu-y total nilai EFE dibagi menjadi tiga

kelompok berdasar skornya, yaitu: skor 1.0 sampai 1.99 menunjukkan posisi

yang lemah. Skor 2.0 sampai 2.99 menunjukkan posisi yang sedang, dan skor

3.0 sampai 4.0 menunjukkan posisi yang tinggi, penjelasan secara visual tentang

matriks I-E disajikan pada Gambar 3.

Kuat 3.0 - 4.0

Rata-rata2.0

Lemah 1.0 - 1.99 3.0 1.0 2.04.0 – 2.99

I Pertumbuhan

(Konsentrasi melalui integrasi vertikal)

II Pertumbuhan

(Konsentrasi melalui integrasi horisontal)

III Penciutan

Tinggi

3.0 - 4.0

3.0 IV

Stabilitas

V Pertumbuhan

(Konsentrasi melalui integrasi horisontal)

Stabilitas

VI Penciutan

VII

Pertumbuhan

VIII

Pertumbuhan (Diversifisikasi)

Sedang 2.0 – 2.99

2.0

IX Likuiditas Rendah

1.0 - 1.99

1.0

Gambar 3. Matriks I-E

Formulasi strategi yang dihasilkan didasarkan pada pembagian Matriks I-E

mengidentifikasi 9 sel strategi yang dapat dikelompokan menjadi tiga strategi

utama. Pertama, strategi pertumbuhan yang merupakan pertumbuhan usaha itu

sendiri (sel 1, 2 dan 5) atau upaya diversifikasi (sel 7 dan 8). Kedua, stabilitas

strategi yaitu tidak merubah arah strategi yang telah ditetapkan. Ketiga, strategi

penciutan (sel 3, 6 dan 9) adalah usaha memperkecil atau mengurangi usaha.

Page 52: cengkeh

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Fisik Wilayah

Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 559 pulau.

Secara astronomis wilayah Provinsi Maluku terletak antara 2.30º - 9º Lintang

Selatan dan 124º - 136º Bujur Timur, dengan wilayah yang membatasi yaitu: Laut

Seram disebelah utara, Samudra Indonesia dan Laut Arafura disebelah selatan,

Provinsi Papua disebelah timur dan Laut Sulawesi disebelah barat (Lampiran 1).

Luas wilayah Provinsi Maluku adalah 581.38 ribu km2, terdiri dari luas lautan

527.19 ribu km2 dan daratan 54.18 ribu km2. Sesuai UU RI No. 40 Tahun 2003

tentang pembentukan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Seram Bagian

Barat (SBB) dan Kepulauan Aru, maka secara administratif Provinsi Maluku

terbagi atas 8 Kabupaten/Kota, 57 Kecamatan, 843 Desa dan 30 Kelurahan.

Daratan Provinsi Maluku seluas 54.18 ribu km2 atau 5.42 juta hektar terdiri

dari tiga bagian yakni: (1) tanah datar sebesar 14.6 persen, (2) tanah berombak

sebesar 28.2 persen dan (3) tanah bukit dan pegunungan sebesar 57.2 persen.

Tanah dataran tinggi hampir tidak ada, topografi Provinsi Maluku terlihat seperti

deretan pegunungan yang membentang di tengah-tengah pulau dengan

ketinggian mencapai 3.06 ribu meter. Oleh karena itu kondisi wilayah Maluku

cenderung memiliki banyak lereng, dengan demikian dapat dipastikan bahwa

tanaman perkebunan sangat sesuai untuk diusahakan pada kondisi topografi

seperti itu, karena selain berfungsi sebagai tananaman budidaya juga berfungsi

hidrologis sebagai pencegah erosi.

Wilayah Provinsi Maluku dipengaruhi oleh iklim tropis dan iklim musim,

karena terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi oleh lautan yang luas. Ditinjau dari

segi iklim, Provinsi Maluku tergolong pada tipe curah hujan 61, 63 dan 64 dengan

Page 53: cengkeh

36

curah hujan cukup tinggi khususnya di Pulau Seram dan Ambon (Alfons, 1992.,

seperti dikutip Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1998). Pada tahun 2005 rata-

rata jumlah hari hujan di Provinsi Maluku sebanyak 20.2 hari, dengan temperatur

berkisar antara 22.2ºC - 31.5ºC. Kondisi ini sesuai untuk pengembangan usaha

pertanian khususnya tanaman perkebunan.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya luas daratan Provinsi Maluku

adalah 5.42 juta hektar, lahan tersebut sebagian besar masih berupa lahan

potensial. Luas lahan potensial yang tersedia untuk sub-sektor kehutanan

sebesar 2.28 juta hektar, untuk sub-sektor perkebunan sebesar 1 393 juta hektar

dan seterusnya seperti yang terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Luas Lahan Potensial per Sub-sektor di Provinsi Maluku

Luas Sub-sektor Hektar (ribu) Persentase (%)

Kehutanan 2 274.49 47.84 Perkebunan 1 392.71 29.29 Wanatani 129.14 2.72 Tanaman pangan lahan kering 718.47 15.11 Tanaman pangan lahan basah 57.12 1.20 Perikanan Tambak 146.42 3.08 Hutan Pantai 36.21 0.76 Total 4 754.55 100.00

Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Maluku, 2005

Kondisi tofografi Provinsi Maluku yang relatif bergunung merupakan salah

satu faktor mengapa tanaman perkebunan sangat berpotensi untuk

dikembangkan. Menurut Dinas Badan Pertanahan Nasional Provinsi Maluku

(2005), luas pencadangan lahan untuk pertanian dan perkebunan di Provinsi

Maluku adalah sebesar 2.2 juta hektar di mana sebagian besar lahan tersebut

sangat sesuai untuk tanaman perkebunan. Pada tahun 2004 pemanfaatan lahan

potensial untuk tanaman perkebunan mencapai 168.93 ribu hektar dari lahan

potensial yang tersedia. Ini berarti masih ada sebesar 89 persen lahan yang

potensial untuk perkebunan yang belum dimanfaatkan, seperti yang terlihat pada

Gambar 4.

Page 54: cengkeh

37

1392.71

168.925

1223.79

0.00

200.00

400.00

600.00

800.00

1000.00

1200.00

1400.00

1600.00

LahanPotensial

Lahan yangtelah

dimanfaatkan

Lahan yangbelum

dimanfaatkan

Luas

laha

n

Gambar 4. Perbandingan Potensi Lahan, Lahan yang telah dimanfaatkan dan Lahan yang belum dimanfaatkan untuk Sub-sektor Perkebunan.

4.2. Kondisi Penduduk

Penduduk merupakan komponen yang penting bahkan menjadi pusat

pertimbangan dalam setiap kegiatan pembangunan. Berdasarkan hasil registrasi

penduduk yang tersebar pada 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku,

pertambahan penduduk pada tahun 2005 sedikit meningkat dengan angka

pertumbuhan sebesar 2.38 persen. Hal ini karena kondisi keamanan di daerah ini

sudah mulai kondusif mengakibatkan arus masuk penduduk menjadi bertambah.

Walaupun demikian secara trend laju pertumbuhan penduduk terus menurun.

pada periode tahun sensus, seperti yang terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jumlah Penduduk di Provinsi Maluku Per Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota 1980 1)

(ribu) 19901)

(ribu) 20001)

(ribu) 20042) (ribu)

20052) (ribu)

Maluku Tenggara Barat 166.16 129.99 149.79 158.79 160.06 Maluku Tenggara 128.88 158.25 192.95 141.19 147.18 Maluku tengah 379.99 495.00 562.01 328.65 341.83 Buru 64.01 97.67 125.09 133.40 136.38 Kepulauan Aru *) *) *) 70.47 73.51 Seram Bagian Barat **) **) **) 144.00 148.78 Seram Bagian Timur **) **) **) 78.73 79.42 Ambon 208.89 276.95 206.21 257.77 262.96 Maluku 879.95 1 157.87 1 200.06 1 313.02 1 350.15

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku, 2006 Catatan: *) Termasuk dalam Kabupaten Maluku Utara **) Termasuk dalam Kabupaten Maluku Tengah 1) Berdasarkan Sensus Penduduk 2) Berdasarkan Registrasi Penduduk 2003

Page 55: cengkeh

38

Jumlah penduduk Provinsi Maluku pada tahun 2005 mencapai 1.35 juta

jiwa yang mendiami wilayah seluas 54.18 ribu Km2, dengan kepadatan penduduk

per Km2 sekitar 25 orang. Angka pertumbuhan penduduk pada 8 Kabupaten/Kota

sangat bervariasi. Laju pertumbuhan Kabupaten Buru dan Maluku Tenggara

mengalami penurunan selama tahun 2000-2005, sementara Kabupaten Maluku

Tengah, Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Ambon, laju pertumbuhannya

meningkat, Selain angka pertumbuhan yang bervariasi, penyebaran penduduk di

Provinsi Maluku juga sangat tidak merata, berdasarkan hasil registrasi penduduk

tahun 2005 penyebaran penduduk Kabupaten Maluku Tengah tercatat lebih

tinggi dibanding Kabupaten yang lain yaitu sebesar 25.31 persen, sementara

Kabupaten Aru hanya mencapai 5.44 persen.

Secara umum Provinsi Maluku masih dikatakan sebagai daerah yang

jarang penduduknya, namun untuk daerah Kota Ambon angka kepadatannya

tertinggi yaitu mencapai 697 orang tiap Km2 dan kepadatan terendah adalah

Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Aru yaitu 11 orang tiap Km2.

Rasio jenis kelamin (Sex Ratio) baik dari hasil Sensus penduduk 1971- 2000,

maupun Registrasi Penduduk 2005 mencapai 103.18 Hal ini menunjukkan bahwa

penduduk laki-laki lebih banyak daripada penduduk perempuan.

Salah satu ukuran yang sering digunakan untuk mengetahui keadaan

ekonomi penduduk adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Ukuran ini

biasanya digunakan untuk mengetahui persediaan tenaga kerja. Gambaran

TPAK di Provinsi Maluku selama 4 tahun terakhir relatif terus meningkat, karena

kondisi daerah yang mulai membaik. Pada tahun 2004 angka TPAK untuk

daerah Kabupaten/Kota bervariasi, tiga Kabupaten/Kota yaitu Maluku Tengah,

Buru dan Ambon memiliki TPAK di bawah angka Provinsi, sedangkan 2 (dua)

Kabupaten kota lainnya yaitu Maluku Tenggara Barat dan Maluku Tenggara

memiliki TPAK di atas angka Provinsi, seperti yang terlihat pada Tabel 8.

Page 56: cengkeh

39

Tabel 8. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Menurut Kabupaten Kota

Kabupaten/Kota 2001*) 2002*) 2003*) 2004*) Maluku Tenggara Barat 60.73 79.69 62.71 70.00 Maluku Tenggara 52.25 73.74 61.05 65.53 Maluku tengah 38.87 69.75 50.28 57.74 Buru 37.40 79.60 51.24 60.83 Ambon 44.16 58.52 53.28 60.84 Maluku 44.44 70.42 54.00 61.43

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku, 2006 Catatan : *) Penduduk Usia 10 tahun ke atas

Penyerapan tenaga kerja pada tiap sektor merupakan gambaran

pentingnya sektor tersebut dalam aktivitas ekonomi. Penyerapan tenaga kerja

menurut lapangan usaha menunjukan sektor pertanian masih dominan yaitu

sebesar 60.99 persen, diikuti sektor jasa-jasa sebesar 14.55 persen, sektor

perdagangan, hotel dan restoran sebesar 8.31 persen, sektor pengangkutan dan

komunikasi sebesar 6.51 persen, dan sektor industri sebesar 5.48 persen.

sedangkan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertambangan dan galian,

listrik dan air minum, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor

lainnya masing-masing kurang dari 1 persen, seperti yang terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Penduduk Usia 15 Tahun ke atas Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2004

Lapangan Pekerjaan Utama Jumlah (ribu) Persentase (%)

1. Pertanian 254.65 60.99 2. Pertambangan & galian 2.17 0.52 3. Industri Pengolahan 22.88 5.48 4. Listrik dan air minum 1.14 0.27 5. Bangunan 10.15 2.43 6. Perdagangan, hotel dan restoran 34.71 8.31 7. Pengangkutan dan kominikasi 27.20 6.51 8. Keuangan, Persewaan dan jasa

perusahaan 3.26 0.78

9. Jasa-jasa 60.75 14.55 10. Lainnya 0.63 0.15

417.55 100.00 Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku, 2006

Penyerapan tenaga kerja di sektor industri pengolahan dapat dikatakan

relatif kecil jika dibandingkan dengan sektor pendukungnya. Sektor industri

pengolahan lambat berkembang karena berbagai faktor, salah satunya yaitu

minimnya investasi sebagai akibat dari opini yang terbentuk tentang kondisi

Page 57: cengkeh

40

politik dan keamanan di Provinsi Maluku yang tidak kondusif. Walaupun untuk

saat ini kondisi politik dan keamanan di Provinsi Maluku dapat dikatakan 100

persen pulih namun minat investor untuk beraktivitas di Provinsi Maluku masih

tetap rendah.

4.3. Kondisi Perekonomian

Perkembangan perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari

perkembangan Pendapatan Domestik Bruto (PDRB). PDRB Provinsi Maluku

atas dasar harga konstan tahun 2000 periode 2001 – 2005 menunjukan sektor

pertanian kontribusi terbesar dari tahun ke tahun yaitu rata-rata sebesar 35

persen, diikuti sektor perdagangan sebesar 24.14 persen, sektor jasa sebesar

19.31 persen, sektor angkutan dan komunikasi sebesar 8.66 persen, sektor

keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 5.57 persen dan sektor

industri pengolahan sebesar 4.83 persen, seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kontribusi Masing-masing Sektor terhadap PDRB Provinsi Maluku (%)

Sektor 2001 2002 2003 2004 2005 1. Pertanian 36.12 36.46 34.66 34.12 33.65 2. Pertambangan & galian 0.85 0.86 0.85 0.84 0.83 3. Industri Pengolahan 5.03 4.90 4.79 4.74 4.68 4. Listrik dan air minum 0.62 0.51 0.54 0.55 0.56 5. Bangunan 1.21 1.24 1.26 1.27 1.28 6. Perdagangan, hotel dan

restoran 23.67 23.99 24.23 24.41 24.62

7. Pengangkutan dan kominikasi 7.62 7.94 8.66 9.29 9.78 8. Keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan 5.41 5.57 5.68 5.63 5.57

9. Jasa-jasa 19.47 19.54 19.35 19.15 19.04 PDRB (Rp Trillyun) 2.77 2.85 2.97 3.10 3.26

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku, 2006

Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB relatif rendah jika

dibandingkan dengan sektor lainnya kecuali sektor bangunan, listrik dan air

minum. Realita angka penyerapan tenaga kerja dan kontribusi sektor industri

pengolahan terhadap PDRB yang relatif rendah ini menunjukan bahwa sebagian

besar hasil pertanian Provinsi Maluku masih dijual dalam bentuk mentah atau

Page 58: cengkeh

41

raw material, sehingga nilai tambah baik dalam segi penyerapan tenaga kerja

maupun nilai produk relatif kecil.

Industri pengolahan yang relatif dominan berkembang di Provinsi Maluku

adalah industri pengolahan yang menghasilkan produk-produk lokal tertentu

khususnya industri pengolahan yang bahan bakunya merupakan bahan baku

lokal dan belum diperdagangkan (non tradeable) antar region seperti minyak

atsiri (minyak kayu putih, cengkeh, lawang dan lain-lain) dan gula merah.

Perkembangan industri pengolahan jenis ini pun relatif masih rendah jika

dibandingkan dengan ketersediaan bahan bakunya. Industri pengolahan minyak

atsiri merupakan salah satu industri pengolahan yang cukup baik

perkembangannya di Provinsi Maluku. Pada tahun 2005 teridentifikasi ada

kurang lebih 241 usaha penyulingan minyak atsiri di Provinsi Maluku. Industri

penyulingan minyak atsiri jenis minyak kayu putih adalah jenis industri minyak

atsiri yang paling dominan perkembangannya dibandingkan jenis minyak atsiri

lainnya, sepertinya yang terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Data Potensi Industri Kecil Menengah Berbahan Baku Tanaman Lokal di Provinsi Maluku Tahun 2004

No. Kapupaten/ Jenis Industri

Unit Usaha

TK (org)

Investasi (juta)

Produksi (ribu

kg/tahun)

Nilai Produksi (juta)

1.Maluku Tengah* Minyak Kayu Putih 3 13 67.50 7.50 16.20 Minyak Cengkeh 31 711 7.50 480.00 19.50 Minyak Atsiri* 32 76 33.75 3.90 990.06 Minyak Kelapa 1 16 200.00 15.96 87.50

2.Seram Bagian Timur Gula Merah 1 3 5.00 14.40

3.Pulau Buru Minyak Kayu Putih 168 1 441 749.00 - - Gula Merah - - - - -

4.Maluku Tenggara Barat Minyak Kayu Putih 27 357 260.65 40.25 kg 1 876.68

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Maluku, 2005 Keterangan: *tergabung Kabupaten Seram Bagian Barat yang pada saat itu masih dalam

persiapan pemekaran

Page 59: cengkeh

42

4.4. Kondisi dan Potensi Tanaman Cengkeh di Provinsi Maluku

Tanaman cengkeh merupakan salah satu komoditi unggulan dan komoditi

strategis yang memberikan sumber penghasilan bagi penduduk dan diharapkan

dalam pengembangannya dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan

daerah di Provinsi Maluku. Pengusahaan tanaman cengkeh di Provinsi Maluku

sebahagian besar didominasi oleh rumahtangga usahatani (RTU). Secara

regional tanaman cengkeh menduduki urutan kedua tanaman perkebunan terluas

yang diusahakan dengan luas areal tanam sebesar 35.18 ribu hektar, seperti

yang terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Luas Areal, Jumlah Petani dan Produksi Tanaman Perkebunan Rakyat di Provinsi Maluku Tahun 2001-2005

Tahun Komoditas 2001 2002 2003 2004 2005

1. Kelapa : Luas areal (ribu Ha) 90.89 98.55 90.27 90.27 91.26 Jumlah petani (ribu KK) 59.17 59.17 83.47 83.47 83.47 Produksi (ribu ton) 69.06 62.96 69.20 69.20 69.20

2. Cengkeh : Luas areal (ribu Ha) 24.43 20.16 35.63 35.13 35.18 Jumlah petani (ribu KK) 32.67 35.26 44.24 44.24 44.24 Produksi (ribu ton) 5.00 37.28 12.67 12.67 12.77

3. Coklat : Luas areal (ribu Ha) 7.67 10.48 15.20 11.60 11.74 Jumlah petani (ribu KK) 12.71 19.33 22.74 17.52 17.54 Produksi (ribu ton) 1.31 2.93 4.01 4.09 4.19

4. Pala : Luas areal (ribu Ha) 8.47 7.45 9.92 9.92 9.95 Jumlah petani (ribu KK) 12.87 12.09 16.71 16.71 15.01 Produksi (ribu ton) 1.58 1.43 1.91 1.92 2.00 Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku, 2005. Provinsi Maluku adalah salah satu daerah yang memiliki potensi cukup

besar dalam pengembangan penyulingan minyak cengkeh. Bahan baku

utamanya pembuatan minyak cengkeh di Maluku adalah daun dan gagang dari

bunga cengkeh kering. Ketersediaan bahan baku daun cukup besar, jika menurut

Guenther (1972) dalam Supriatna (2004) dari tanaman cengkeh yang berumur

lebih dari 20 tahun setiap minggunya dapat terkumpul daun kering rata-rata 0,96

kg/pohon, sedangkan tanaman yang berumur kurang dari 20 tahun dapat

terkumpul sebanyak 0,46 kg/pohon atau rata-rata produksi daun cengkeh 0.72

Page 60: cengkeh

43

kilogram per pohon per minggu. Ini berarti dengan luas areal tanam sebesar

35.18 ribu ha dengan rata-rata kepadatan 105 pohon per hektar maka dalam 1

tahun jumlah bahan baku daun yang tersedia adalah sebesar 127.66 ribu ton,

sedangkan ketersediaan gagang cengkeh kering rata-rata hanya sebesar 30

persen dari produksi cengkeh tiap tahunnya yaitu sebesar 3.83 ribu ton per

tahun. Kedua jenis bahan baku ini kemudian disuling, biasanya penyulingan

dilakukan tidak terpisah, namun ada beberapa penyuling yang melakukan

penyulingan secara terpisah jika gagang kering yang terkumpul cukup banyak.

Produksi minyak cengkeh Provinsi Maluku tahun 2004 mencapai 480 ton atau 17

persen dari total produksi nasional, seperti yang terlihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Potensi Perkebunan Cengkih Provinsi Maluku Tahun 2001-2005

Tahun Uraian

2001 2002 2003 2004 2005 Luas areal ( ribu Ha) 24.43 20.17 35.63 35.13 35.18 - Tanaman Belum Menghasilkan 3.74 2.81 4.81 4.94 4.76 - Tanaman Menghasilkan 16.15 16.95 23.88 23.39 23.57 - Tanaman Rusak 4.54 3.86 6.95 6.80 6.85 Jumlah petani ( ribu KK) 32.67 35.24 44.24 44.24 44.24 Produksi Bunga Cengkeh (ribu ton) 5.00 37.27 12.66 12.66 12.77 Ketersedian bahan baku daun (ribu ton) 88.65 73.19 129.92 127.48 127.66 Ketersedian bahan baku gagang (ribu ton) 1.50 11.18 3.80 3.80 3.83 Produksi Minyak Cengkeh (ton) - - - 480.00 472.00

Sumber:BPS dan Deperindag, 2005. Diolah Keterangan : * yang terdata - belum ada data

Page 61: cengkeh

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Daya Dukung Faktor Internal dan Ekternal Dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku

Menurut Kotler (1997) daya dukung faktor internal – eksternal akan

menentukan posisi kelayakan, persaingan, peluang dan ancaman dalam

pengembangan suatu usaha pada suatu lokasi, dengan demikian dapat

dikatakan pendapat ini menegaskan bahwa kondisi kelayakan usaha

Penyulingan Minyak Cengkeh (PMC) dan daya saing minyak cengkeh Maluku

dapat menggambarkan daya dukung faktor internal dan eksternal Provinsi

Maluku terhadap pengembangan usaha PMC. Oleh karena itu analisis kelayakan

usaha PMC dan daya saing minyak cengkeh Maluku penting untuk dilakukan.

5.1.1. Kelayakan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

Untuk mengukur kelayakan usaha PMC di Provinsi Maluku dilakukan 2

analisis yaitu analisis kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial. Analisis

kelayakan ekonomi didasarkan pada harga ekonomi dan opportunity cost yang

harus diterima dan dikeluarkan dalam aktivitas usaha PMC, sedangkan analisis

kelayakan finansial didasarkan pada harga dan biaya faktual yang diterima dan

dikeluarkan dalam aktivitas usaha PMC. Analisis kelayakan usaha dalam

penelitian ini dilakukan pada 4 kategori usaha PMC yaitu: usaha PMC yang

menggunakan jenis alat suling nonstainless steel (PMCns) dengan 1 ukuran

Kapasitas Alat Suling (KAS) yaitu KAS 100 kilogram dan usaha PMC yang

menggunakan jenis alat suling stainless steel (PMCs1-3) dengan 3 ukuran KAS

yaitu 30, 40 dan 100 kilogram. Usaha PMCns dominan ditemui di Provinsi

Maluku sebelum implementasi tahap I program pengembangan usaha PMC

memperkenalkan usaha PMCs1-3. Adapun karakteristik dari keempat kategori

usaha PMC tersebut, seperti yang terlihat pada Tabel 14.

Page 62: cengkeh

45

Tabel 14. Karakteristik Usaha PMC

Karakteristik Unsur

Usaha PMCns Usaha PMCs1-3

1. KAS (kilogram) 100 30, 40, dan 100

2. Jenis Alat Nonstainless steel Stainless steel

3. Status kepemilikan Perorangan Kolektif

4. Sistem Bagi hasil Iuran Kelompok

5. Frekwensi produksi/RTU/Tahun 120 kali 120 kali 6. Frekwensi produksi/KAS/Tahun 120 kali 120 kali 7. Pasar produk Pedagang pengumpul Pedagang pengumpul 8. Warna minyak cengkeh Hitam Jernih agak kekuningan 9. Harga produk aktual (Rp.ribu/kg) Relatif lebih rendah Relatif lebih tinggi

Sumber: Analisis data primer, 2008 Hasil analisis kelayakan ekonomi usaha PMC pada siklus umur ekonomis

10 tahun dan tingkat suku bunga atau social discount rate (SDR) sebesar 13.5

persen, menunjukkan bahwa semua kategori usaha PMC layak untuk dilakukan.

Berdasarkan Tabel 15, diketahui NPV usaha PMCns lebih kecil dari NPV usaha

PMCs, dimana selisih NPV atau incremental benefit usaha PMCns dengan usaha

PMCs berkisar antara Rp. 3.17 – 28.59 juta. Nilai Net B/C usaha PMCns juga

lebih kecil dibandingkan dengan dan Net B/C usaha PMCs, ini berarti tingkat

keuntungan investasi pada usaha PMCns lebih kecil yaitu hanya sebesar Rp.

2.68 dari tiap Rp 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut, sedangkan tingkat

keuntungan investasi pada usaha PMCs lebih besar yaitu mencapai Rp. 5.30 –

9.46 dari tiap Rp 1 yang diinvestasikan pada usaha tersebut. Nilai Net B/C

tertinggi diberikan oleh usaha PMCs1 atau usaha PMC yang menggunakan KAS

100 kilogram jenis stainless. Nilai tingkat pengembalian maksimum atas

pemakaian modal atau Internal Rate of Return (IRR) dan masa pengembalian

atas pemakaian modal atau Pay Back Period (PBP) usaha PMCns juga

menunjukkan kondisi yang relatif sama, dimana nilai IRR usaha PMCns lebih

kecil dari nilai IRR usaha PMCs, dan PBP usaha PMCns relatif lebih lama

dibandingkan PBP usaha PMCs. Perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan

Page 63: cengkeh

46

oleh perbedaan harga produk dan biaya produksi dari masing-masing KAS.

Harga produk minyak cengkeh sangat dipengaruhi oleh warna produk, dimana

harga produk berwarna hitam (dari usaha PMCns) relatif lebih rendah dari harga

produk berwarna jernih (dari usaha PMCs). Adapun biaya produksi per kilogram

minyak cengkeh dipengaruhi oleh ukuran KAS, makin besar KAS maka makin

kecil biaya produksi per kilogram produk.

Tabel 15. Hasil Analisis Kelayakan Ekonomi usaha PMC

Tahun Rns Cns BBns Rs1 Cs1 BBs1 Rs2 Cs2 BBs2 Rs3 Cs3 BBs3

0 0.00 2.27 -2.27 0.00 1.81 -1.81 0.00 2.06 -2.06 0.00 3.93 -3.931 10.18 8.78 1.39 3.89 2.46 1.42 5.18 2.91 2.27 12.95 7.73 5.222 9.59 8.28 1.31 3.66 2.32 1.34 4.88 2.75 2.14 12.21 7.28 4.933 8.79 8.04 0.75 3.45 2.32 1.14 4.60 2.72 1.89 11.51 7.00 4.514 8.04 7.36 0.68 3.26 2.06 1.19 4.34 2.44 1.90 10.85 6.47 4.385 7.35 7.82 -0.47 3.07 2.06 1.01 4.09 2.41 1.68 10.23 6.22 4.016 7.58 6.54 1.04 2.81 1.83 0.98 3.75 2.17 1.58 9.37 5.75 3.617 7.14 6.35 0.79 2.57 1.83 0.74 3.43 2.15 1.28 8.57 5.53 3.058 6.54 5.81 0.73 2.35 1.63 0.72 3.13 1.93 1.21 7.84 5.11 2.729 5.99 5.64 0.34 2.15 1.63 0.52 2.86 1.91 0.96 7.39 4.91 2.4810 5.47 5.17 0.31 1.96 1.45 0.51 2.61 1.71 0.90 6.75 4.54 2.20

Total 76.66 72.06 4.61 29.16 21.40 7.77 38.89 25.15 13.74 97.67 64.47 33.19NPV 4.60 7.77 13.74 33.19 Net B/C 2.68 5.30 7.69 9.46 IRR (%) 41.25 70.74 103.32 126.73 PBP (Tahun) 1.63 1.28 0.91 0.75

Sumber: Analisis data primer, 2008 Keterangan: R... = Penerimaan usaha PMC tahun ke t (Rp.juta) C... = Biaya usaha PMC tahun ke t (Rp.juta) B... = Keuntungan usaha PMC tahun ke t (Rp.juta) ns = usaha PMCns, s1=usaha PMCs1, s2 = usaha PMCs2, s3 = usaha PMCs2 Hasil analisis kelayakan finansial usaha PMC juga menunjukan kondisi

yang relatif sama dengan hasil analisis kelayakan ekonomi, dimana usaha

PMCns memiliki NPV dan Net B/C yang relatif lebih kecil dari NPV dan Net B/C

usaha PMCs, adapun selisih NPV atau inremental benefit usaha PMCns dengan

usaha PMCs secara finansial berkisar antara Rp. 1.22 – 30.34. Berdasarkan

Tabel 16, diketahui bahwa NPV usaha PMCs1, mengalami penurunan hal ini

disebabkan adanya keharusan membayar iuran kelompok sebesar Rp 5 ribu per

penyulingan, walaupun pada usaha PMCs2 dan PMCs3 juga berlaku yang sama

Page 64: cengkeh

47

namun dengan tingkat biaya produksi yang relatif sama kecuali untuk pemakaian

bahan baku, namun tingkat produksi atau penerimaan usaha PMCs2 dan PMC3

yang lebih besar menyebabkan NPV usaha PMCs1 menjadi relatif lebih kecil.

Tabel 16. Hasil Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMC Tahun Rnp Cnp BBnp Rp1 Cp1 BBp1 Rp2 Cp2 BBp2 Rp3 Cp3 BBp3

0 0.00 1.00 -1.00 0.00 0.67 -0.67 0.00 0.67 -0.67 0.00 1.30 -1.301 8.33 7.35 0.98 3.33 2.44 0.89 4.44 1.19 3.25 11.10 3.67 7.432 7.85 6.93 0.92 3.14 2.26 0.88 4.19 2.61 1.58 10.47 6.47 3.993 7.19 6.52 0.67 2.96 2.23 0.73 3.95 2.55 1.39 9.87 6.34 3.534 6.58 6.14 0.44 2.79 1.96 0.83 3.72 2.25 1.47 9.30 5.65 3.655 6.01 5.78 0.24 2.63 1.94 0.69 3.51 2.21 1.29 8.77 5.57 3.196 6.20 5.47 0.73 2.41 1.70 0.71 3.31 1.95 1.35 8.27 4.94 3.337 5.84 5.16 0.68 2.20 1.69 0.52 3.12 1.92 1.19 7.79 4.91 2.888 5.35 4.86 0.50 2.02 1.48 0.53 2.94 1.70 1.24 7.35 4.32 3.029 4.90 4.57 0.33 1.84 1.47 0.37 2.77 1.68 1.09 6.93 4.41 2.5210 4.48 4.30 0.18 1.68 1.29 0.39 2.61 1.48 1.13 6.53 3.79 2.73

Total 62.73 58.08 4.65 25.0019.13 5.87 34.55 20.21 14.33 86.36 51.38 34.99NPV 4.65 5.87 14.33 34.99 Net B/C 5.65 9.82 22.56 28.02 Sumber: Analisis data primer, 2008

Jika kedua hasil analisis kelayakan dibandingkan, dapat diketahui bahwa

NPV dan Net B/C kelayakan ekonomi relatif lebih kecil dari NVP dan Net B/C

kelayakan finansial, walaupun harga ekonomi minyak cengkeh lebih tinggi dari

harga faktualnya. Kondisi ini dikarenakan secara faktual pengusaha PMC tidak

dibebani biaya pemasaran sebagai kompensasi dari penetapan harga minyak

cengkeh yang rendah ditingkat pedagang pengumpul, dengan demikian dapat

dikatakan sistem pemasaran minyak cengkeh secara faktual cukup efisien

karena dapat meningkatkankan pangsa yang diperoleh pengusaha PMC.

5.1.2. Daya Saing Minyak Cengkeh Maluku

Salah satu unsur lingkungan strategis dalam pengembangan suatu

komoditas yang diperlu diperhatikan terkait dengan liberalisasi perdagangan

yang memberikan peluang dan ancaman adalah daya saing komoditas tersebut,

dalam hal ini minyak cengkeh Maluku. Untuk melihat daya saing minyak

Page 65: cengkeh

48

cengkeh Maluku digunakan analisis keunggulan komparatif dan keunggulan

kompetitif.

Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan komparatif apabila

memiliki koefisien DRC (DRCR) atau k <1, artinya untuk menghasilkan nilai

tambah pada harga sosial, diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Hasil

perhitungan faktor produksi domestik (D), faktor produksi tradeable (T) dan BSD

(DRC) minyak cengkeh pada ukuran KAS dan jenis alat suling yang berbeda,

menunjukan bahwa nilai ekonomi faktor produksi domestik yang digunakan untuk

memproduksi 1 kilogram minyak cengkeh berkisar antara Rp 17.61 – 20.62 ribu.

Nilai ekonomi faktor produksi tradeable minyak cengkeh berkisar antara US$

0.35 – 0.62, dengan memakai harga jual ekspor sebesar US$ 2.91 - 3.83 per

kilogram dan nilai tukar rupiah sebesar Rp. 9.45 ribu per US$, diketahui nilai

DRC minyak cengkeh Maluku berkisar antara Rp 5.36 – 8.27 ribu/US$ atau k

(koefisien DRC) < 1 yaitu berkisar antara 0.57 – 0.87, ini menunjukkan bahwa

minyak cengkeh Maluku memiliki keunggulan komparatif (Tabel 17). Ini berarti

minyak cengkeh Maluku memiliki prospek yang baik saat ini dan dimasa yang

akan datang, karena dengan nilai DRCR yang berkisar antara 0.57 – 0.87 berarti

masih ada rentang sekitar 0.13 – 0.43 untuk menjadikan DRCR bernilai 1 (tidak

memiliki keunggulan komparatif). Jika faktor biaya produksi dan nilai tukar

Rupiah terhadap US$ tetap, maka keunggulan komparatif minyak cengkeh

Maluku akan hilang pada harga jual dibawah US$ 2.63 per kilogram untuk produk

minyak cengkeh dari usaha PMCns dan US$ 2.55 per kilogram untuk produk

minyak cengkeh dari usaha PMCs1, US$ 2.25 per kilogram untuk produk minyak

cengkeh dari usaha PMCs2 dan US$ 2.34 per kilogram untuk produk minyak

cengkeh dari usaha PMCs3.

Page 66: cengkeh

49

Tabel 17. Hasil Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Minyak Cengkeh Maluku Berdasarkan Kategori Usaha PMC

PMC KAS (kg) D P T DRC p k G R I PCR

Ns 100 18.96 2.91 0.62 8.27 9.45 0.87 16.10 22.50 2.99 0.83 s1 30 20.62 3.70 0.37 6.19 9.45 0.66 17.91 30.00 0.80 0.61 s2 40 17.95 3.70 0.35 5.36 9.45 0.57 15.25 30.00 0.64 0.52 s3 100 17.61 3.70 0.48 5.46 9.45 0.58 14.94 30.00 1.82 0.53

Sumber : Analisis data primer, 2008 Keterangan : D = nilai ekonomi faktor produksi domestik yang dikorbankan untuk memproduksi

satu unit output (Rp.000) P = nilai ekonomi satu unit output (US$), T = nilai ekonomi faktor produksi tradeable yang digunakan untuk memproduksi satu

unit output (US$) DRC = D/(P-T), nilai ekonomi biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk

menghasilkan satu unit devisa(Rp.000) p = Nilai tukar Rupiah 9.45 ribu/US$, rata-rata nilai tukar Rp./US$ tahun 2006-2007

(Lampiran 10.) k = DRC/p, koefisien DRC (DRCR) G = nilai finansial biaya faktor produksi domestik yang digunakan untuk

menghasilkan satu unit output (Rp.000). R = nilai finansial satu unit output (Rp.000). I = nilai finansial biaya faktor produksi tradeable yang digunakan untuk

memproduksi satu unit output (Rp.000). PCR = G/(R-I) rasio nilai finansial biaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan

satu unit output.

Suatu komoditas dikatakan memiliki keunggulan kompetitif apabila memiliki

koefisien PCR <1, artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga aktual,

diperlukan tambahan biaya lebih kecil dari satu. Hasil perhitungan PCR minyak

cengkeh berdasarkan nilai faktor produksi domestik (G), faktor produksi tradeable

(I) pada Tabel 21, menunjukkan bahwa PCR minyak cengkeh Maluku berkisar

antara 0.52 – 0.83. Kondisi ini berarti masih ada rentang sekitar 0.17 – 0.48

untuk menjadikan PCR bernilai 1 (minyak cengkeh Maluku tidak memiliki

keunggulan kompetitif). Jika diasumsikan faktor biaya produksi dan nilai tukar

Rupiah terhadap US$ tetap, maka keunggulan kompetitif minyak cengkeh

Maluku akan hilang pada harga jual dibawah Rp. 19.09 ribu per kilogram untuk

produk minyak cengkeh dari usaha PMCns, Rp. 18.71 ribu per kilogram untuk

produk minyak cengkeh dari usaha PMCs1, Rp. 15.89 ribu per kilogram untuk

Page 67: cengkeh

50

produk minyak cengkeh dari usaha PMCs2 dan Rp. 16.58 per kilogram untuk

produk minyak cengkeh dari usaha PMCs3.

5.1.3. Faktor-faktor Strategis dalam Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

Analisis matriks evaluasi faktor internal dan faktor ekternal adalah analisis

yang umum digunakan untuk mengetahui faktor-faktor strategis internal dan

eksternal apa saja yang menjadi daya dukung pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku. Langkah awal dari analisis matriks ini adalah mengidentifikasi

faktor berdasarkan kajian pustaka, analisis kelayakan usaha PMC dan daya

saing minyak cengkeh yang disertakan dalam isian kusioner dan wawancara,

dengan beberapa tokoh (responden penentu faktor strategis internal dan

eksternal) yang dianggap mengetahui tentang karakteristik usaha PMC dan

terlibat langsung dalam kegiatan pengembangan usaha PMC di Maluku, dimana

dari hasil identifikasi diperoleh 10 faktor strategis internal yang menjadi faktor

kekuatan dan kelemahan, dan 8 faktor strategis eksternal yang menjadi faktor

peluang dan ancaman dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku,

seperti yang terlihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Faktor Strategis Internal - Eksternal Dalam Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Faktor Internal Faktor Eksternal Faktor Kekuatan Faktor Peluang 1. Ketersediaan bahan baku 1. Daya Saing dan Potensi pasar 2. Dukungan Non pribumi 2. Kesempatan bermitra 3. Tingkat Keuntungan Usaha 3. Ketersediaan Teknologi 4. Ketersediaan infrastruktur 4. Tingkat suku bunga turun dan skim

kredit UKM tersedia Faktor Kelemahan Faktor Ancaman 1. Sifat Bahan baku dan topografi daerah 1. Fluktuasi harga produk 2. Sumberdaya Manusia 2. Produk sejenis dari lain daerah 3. Sosial budaya masyarakat 3. Politik dan Keamanan (Opini) 4. Modal Usaha 4. Standar mutu dan kuantitas produk 5. Kebijakan Pemerintah Daerah 6. Kelembagaan

Sumber: Analisis data primer, 2008

Page 68: cengkeh

51

5.1.3.1. Faktor Kekuatan

Faktor kekuatan adalah faktor strategis internal yang menjadi kekuatan

dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, oleh karena itu faktor-

faktor ini harus dapat dipergunakan seoptimal mungkin dalam upaya

pengembangan usaha PMC. Ada 4 faktor strategis internal yang menjadi

kekuatan dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku meliputi:

1. Ketersedian bahan baku

Jenis bahan baku yang dominan digunakan oleh pengusaha PMC di

Provinsi Maluku adalah daun beserta ranting cengkeh kering, jika ada persediaan

gagang cengkeh kering maka ketiga bahan baku ini biasanya akan di suling

secara bersamaan, namun ada juga yang menyuling secara terpisah jika gagang

cengkeh yang terkumpul cukup banyak. Walaupun demikian hampir sebagian

besar penyuling mengaku bahwa produk yang mereka hasilkan adalah minyak

berbahan baku gagang. Hal ini mungkin dikarenakan harga minyak gagang yang

relatif lebih tinggi dari minyak berbahan baku daun. Namun setelah diklarifikasi

lebih lanjut rata-rata penyuling menjual produk mereka dengan harga minyak

daun, maka dapat dipastikan bahwa minyak yang dihasilkan adalah dominan

minyak berbahan daun atau berbahan baku campuran (gagang dan daun).

Kondisi ini sesuai dengan yang dikemukakan Guenther (1990), bahwa

perbedaan minyak gagang dan minyak daun tidak dapat digambarkan secara

tajam, seringkali gagang dan daun cengkeh disuling secara bersama-sama untuk

menghasilkan minyak cengkeh. Namun berdasarkan ketersediaan bahan

bakunya dapat dipastikan hampir 80 persen minyak cengkeh yang dihasilkan di

daerah-daerah sentra produksinya adalah minyak yang berasal dari daun dan

hanya 15 – 20 persen yang merupakan minyak gagang.

Potensi ketersediaan bahan baku minyak cengkeh di Provinsi Maluku

cukup besar, jika rata-rata setiap pohon cengkeh dapat menghasilkan daun

Page 69: cengkeh

52

kering sebesar 0.72 kg per minggu (Guenther 1990), maka dalam satu tahun

potensi bahan baku daun yang dapat dihasilkan dari luas areal tanam sebesar

35.18 ribu hektar dengan kepadatan 105 pohon per hektar akan mencapai

127.64 ribu ton, sedangkan tersediaan bahan baku gagang cengkeh kurang lebih

setara 30 persen produksi bunga cengkeh per tahunnya yaitu mencapai 3.83

ribu ton pada tahun 2005. Pada saat ini dengan kapasitas produksi 480 ton

minyak cengkeh per tahun maka baru 11 persen bahan baku yang diolah

menjadi minyak cengkeh, seperti yang terlihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Luas Areal dan Produksi Cengkeh, Potensi Ketersedian Bahan Baku Minyak Cengkeh Per Kabupaten Tahun 2005.

Potensi Ketersediaan

Bahan Baku Minyak CengkehKabupaten Luas Areal

Tanaman Cengceh (ribu ha)

Produksi Cengkeh (ribu ton daun

(ribu ton) Gagang (ribu ton)

1 Maluku Tenggara 1.60 0.30 5.81 0.09 2 Maluku Tengah 10.07 4.58 36.54 1.37 3 Pulau Buru 6.71 1.93 24.36 0.58 4 Seram Bagian Barat 6.05 1.26 21.95 0.38 5 Seram Bagian Timur 8.33 4.38 30.24 1.31 6 Ambon 2.41 0.32 8.76 0.10 Total 35.18 12.77 127.64 3.83

Sumber: BPS, 2005 (diolah)

Walaupun potensi bahan baku minyak cengkeh yang dapat dihasilkan

cukup besar namun ketersediaan bahan baku pembuatan minyak cengkeh

hanya terbatas pada waktu panen. Kondisi tersebut dikarenakan setelah panen

cengkeh usai ketersedian tenaga kerja pengumpul relatif sangat rendah karena

beberapa faktor antara lain: (1) sifat bahan baku yang kamba dan tersebar pada

topografi pengunungan membutuhkan waktu dan biaya yang cukup besar, (2)

harga bahan baku yang dianggap relatif rendah, (3) budaya pertanian yang tidak

pernah melakukan perawatan tanaman secara rutin, dimana sebagian besar

petani cengkeh hanya datang ke kebun mereka pada saat panen saja dan

alternatif pekerjaan lain yang dianggap lebih mudah dan menguntungkan. Faktor-

faktor tersebut menyebabkan pengumpulan bahan baku dominan dilakukan

Page 70: cengkeh

53

bersamaan dengan panen bunga cengkeh karena dianggap lebih ekonomis.

Berdasarkan informasi di lapangan untuk 1 kg cengkeh dapat dikumpulkan

minimal 3 kg kering bahan baku untuk pembuatan minyak cengkeh. Ini berarti

probabilitas ketersediaan bahan baku minyak cengkeh riil di lapangan adalah

sebesar 38.31 ribu ton dan baru 36 persen dari jumlah tersebut yang

dimanfaatkan untuk memproduksi minyak cengkeh.

2. Dukungan non pribumi

Bahan baku minyak cengkeh berdasarkan jenis tanaman dan lokasi tanam

relatif membutuhkan waktu dan tenaga kerja yang cukup besar dalam

pengumpulannya. Terkait dengan hal ini ketersediaan tenaga kerja pribumi relatif

rendah karena pilihan kegiatan pertanian lain yang memiliki nilai ekonomi lebih

tinggi ataupun karena faktor budaya.

Keberadaan penduduk non pribumi yang relatif cukup banyak sangat

membantu kegiatan produksi minyak cengkeh, karena hampir 70 persen tenaga

kerja panen cengkeh di Maluku adalah penduduk non pribumi khususnya dari

Suku Buton. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan usaha PMC yang

kontinu berproduksi, relatif diusahakan oleh non pribumi atau pendatang.

Pengusaha non pribumi umumnya tidak memiliki tanaman cengkeh atau

tanaman perkebunan lainnya, mereka memperoleh bahan baku dengan cara

membeli dari penduduk sekitar tempat usaha yang sebagian besar juga bukan

pemilik tanaman cengkeh. Kondisi ini memungkinkan pengusaha PMC non

pribumi lebih dapat berkonsentrasi pada usaha PMCnya.

3. Tingkat keuntungan usaha

Tingkat keuntungan usaha merupakan pertimbangan dalam melaksanakan

usaha baik secara ekonomi maupun finansial. Berdasarkan hasil analisis

kelayakan usaha PMC pada siklus umur ekonomis, diketahui tingkat keuntungan

ekomomi usaha PMC berkisar antara Rp 4.61-33.19 juta, sedangkan tingkat

Page 71: cengkeh

54

keuntungan finansial usaha PMC berkisar antara Rp.4.65 – 34.99 juta. Tingkat

keuntungan usaha terkecil diberikan oleh usaha PMCns, sedangkan tingkat

keuntungan usaha terbesar diberikan oleh usaha PMCs3.

Dalam analisa benefit – cost yang selalu digunakan dalam acuan adalah

keuntungan yang diperoleh sebagai akibat investasi, dimana kriteria Net B/C

secara umum digunakan sebagai dasar penilaiannya (Kadariah et al .,1999).

Tingkat keuntungan investasi usaha PMC berkisar antara Rp. 2.68 – 9.46 untuk

Rp. 1 yang diinvestasikan pada usaha PMC, sedangkan berdasarkan analisa

kelayakan finansial usaha PMC diketahui bahwa tingkat keuntungan investasi

usaha PMC berkisar antara Rp. 5.65 – 28.02 untuk Rp. 1 yang diinvestasikan

pada usaha tersebut. Keuntungan akibat investasi terbesar diberikan oleh usaha

PMCs3 atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram dengan jenis alat

suling stainless, sedangkan keuntungan akibat investasi terkecil diberikan oleh

usaha PMCns atau usaha PMC yang menggunakan KAS 100 kilogram dengan

jenis alat suling nonstainless.

4. Ketersediaan infrastruktur

Ketersediaan infrastruktur berupa: jalan, pelabuhan dan alat transportasi

merupakan faktor penting dalam kegiatan pengembangan ekonomi, khususnya

dalam pertimbangan keputusan lokasi produksi karena ketersediaan infastuktur

akan mampu memperlancar proses produksi (Gumbira Said, 2001). Proses

produksi dalam industri pertanian meliputi berbagai aktivitas, mulai dari

pengadaan bahan baku sampai distribusi hasil relatif sangat memerlukan

dukungan infrastuktur yang baik, kondisi ini juga berlaku dalam pengembangan

usaha PMC. Keadaan infrastruktur di Provinsi Maluku saat ini semakin baik, ini

terlihat dari kondisi jalan ditiap desa, pelabuhan dan alat transportasi yang

tersedia. Walaupun demikian, karena kepadatan dan mobilitas penduduk yang

Page 72: cengkeh

55

relatif rendah pada daerah-daerah pedesaan menyebabkan aktivitas transportasi

relatif lebih rendah.

5.1.3.2. Faktor Kelemahan

Faktor kelemahan adalah bagian dari faktor strategis internal yang menjadi

kelemahan karena merupakan kendala dalam pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku. Faktor kelemahan yang teridentifikasi menjadi kendala dalam

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku, meliputi:

1. Sifat bahan baku dan topografi daerah

Produk pertanian umumnya memiliki sifat kamba dan tersebar, kondisi ini

menyebabkan biaya tinggi dalam penanganannya khususnya dalam biaya

tranportasi, tenaga kerja, penyimpanan dan lainnya (Gumbira Said, 2001).

Bahan baku minyak cengkeh juga memiliki sifat kamba dan tersebar pada

topografi pegunungan yang menyebabkan biaya tinggi dalam pengadaan dan

penanganannya, khususnya dalam biaya tenaga kerja, transportasi dan

penyimpanan.

Sebagian besar penduduk disekitar usaha PMC menganggap pekerjaan

pengumpulan bahan baku minyak cengkeh hanya akan menguntungkan jika

dilakukan bersamaan dengan panen cengkeh, karena dapat memberikan

penghasilan tambahan selain penghasilan dari panen cengkeh itu sendiri.

Pengumpulan bahan baku minyak cengkeh diluar masa panen cengkeh relatif

sangat minim, hal ini dikarenakan harga bahan baku minyak cengkeh yang relatif

rendah, faktor ini juga yang menyebabkan penyimpanan bahan baku untuk

jangka waktu yang lama tidak dilakukan karena biaya penyimpanannya relatif

lebih tinggi dari penerimaan yang diperoleh dari penjualan bahan tersebut.

Kondisi ini juga yang meyebabkan ketersediaan bahan baku minyak cengkeh

terbatas pada saat panen cengkeh.

Page 73: cengkeh

56

2. Sumberdaya manusia (SDM)

Keberhasilan dari suatu pengembangan kegiatan ekonomi sangat

tergantung dari SDM yang tersedia baik dari kuantitas dan kualitas, atau dapat

dikatakan bahwa karakteristik SDM pada usaha, terlebih untuk usaha kecil

sangat menentukan karakter dan perkembangan usaha tersebut. Karakteristik

SDM pada usaha PMC di Provinsi Maluku secara umum karekteristik pengusaha

PMC meliputi: umur, pendidikan formal, jumlah anggota keluarga dan luas

penguasaan lahan/tanaman, seperti yang terlihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Karakteristik Pengusaha PMC Maluku

No. Karakteristik Pengusaha PMC Rata-rata 1. 2. 3. 4. 5.

Pengalaman usaha Umur Responden (tahun) Pendidikan formal Jumlah anggota keluarga (orang) Luas penguasaan lahan/tanaman (Ha)

1 – 13 25 – 45

SMP 2 – 8

0.25 – 7.00 Sumber: Analisis data primer, 2008

Pengalaman usaha responden berkisar antara 3 – 13 tahun, dimana ada

responden yang telah melalui tahapan penyulingan dengan alat suling yang

terbuat dari kayu, dari drum (nonstainless) sampai yang terbuat dari stainless.

Lamanya pengalaman usaha merupakan faktor pendukung utama dalam

melakukan proses produksi dan pengenalan mutu produk. Rata-rata pengusaha

dengan pengalaman usaha diatas 3 tahun, mengetahui kiat mendapatkan mutu

minyak cengkeh yang baik dan dapat membedakan kualitas minyak cengkeh

secara fisik, seperti tinggi-rendahnya kandungan air dalam minyak cengkeh yang

dihasilkan, namun untuk penguasaan teknologi penyulingan terbaru relatif masih

sangat terbatas.

Umur merupakan variabel yang perlu diketahui karena berhubungan erat

dengan kekuatan fisik, pengalaman, ketrampilan, dan sikap positif terhadap

inovasi. Semakin muda umur responden diasumsikan lebih kuat, lebih kreatif dan

terbuka terhadap masuknya ide-ide baru dibandingkan dengan yang berumur

Page 74: cengkeh

57

tua, sehingga lebih mudah meningkatkan ketrampilan dalam merencanakan dan

melaksanakan kegiatan produksi.

Tingkat pendidikan formal secara relatif juga berhubungan dengan

kemampuan dalam adopsi inovasi atau pun mengakses kemajuan teknologi.

Rata-rata tingkat pendidikan responden penyuling minyak cengkeh berada di

jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), rendahnya tingkat pendidikan

responden dan jauhnya lokasi tempat tinggal dari pusat kota, menyebabkan

terbatasnya akses mereka terhadap informasi dan iptek.

Jumlah anggota keluarga dalam persepsi petani atau pengusaha berbasis

rumahtangga seringkali dihubungkan dengan harapan untuk memperoleh tenaga

kerja, rata-rata jumlah anggota keluarga responden 4 - 5 orang. Lazim seperti

usaha rumahtangga lainnya usaha PMC di Provinsi Maluku juga dominan

menggunakan tenaga kerja keluarga. Adapun luas penguasaan lahan atau

tanaman cengkeh relatif tidak begitu mempengaruhi produksi minyak cengkeh,

faktor yang sangat berpengaruh adalah luas areal tanaman cengkeh secara

keseluruhan pada satu daerah, besarnya produksi cengkeh, dan ketersediaan

tenaga kerja untuk mengumpulkan bahan baku yang sifatnya kamba dan

tersebar dan musim yang sedang berlangsung. Dari segi kuantitas ketersediaan

tenaga kerja pengumpul bahan baku terlihat masih terbatas sangat terbatas ini

terlihat dari selisih antara potensi (125.9 ribu ton) dan probabilitas ketersediaan

bahan baku minyak cengkeh (38.31 ribu ton) yang mencapai 87.68 ribu ton.

3. Sosial budaya masyarakat

Budaya pertanian masyarakat Maluku yang berbasis pada perkebunan

multikomoditi dengan tingkat pendapatan yang relatif cukup tinggi per tahunnya

menyebabkan petani selektif dalam pemilihan kegiatan ekonomi dan cenderung

puas dengan apa yang mereka peroleh dari kegiatan perkebunan yang

dilakukan. Disisi lain penilaian sosial yang rendah terhadap pemanfaatan limbah

Page 75: cengkeh

58

cukup dominan dimana pengumpulan bahan baku daun cengkeh kering

dianggap sebagai pekerjaan rendah dan relatif kurang diminati bahkan oleh

petani cengkeh itu sendiri.

4. Modal usaha

Modal usaha merupakan salah satu kendala dalam pengembangan

usaha, jika modal yang dibutuhkan untuk usaha relatif besar maka agak sulit

usaha tersebut dapat berkembang khususnya dikalangan petani yang

berpendapatan rendah (Soekartawi et al., 1986). Kebutuhan modal usaha dapat

diperoleh dari berbagai sumber, pengusaha ekonomi lemah umumnya

menggunakan 2 sumber modal yaitu yang berasal dari lembaga formal maupun

nonformal (Ibrahim, 1998). Pada usaha PMCns modal usaha sebagian besar

berasal dari pemilik alat suling yang dalam kasus ini merangkap sebagai

pedagang pengumpul khususnya terkait pengadaan peralatan penyulingan.

Sistem pengembalian atas pemakaian modal pada usaha PMCns secara

finansial dikenal dengan sistem bagi hasil, yaitu sebesar 5 persen dari total

penerimaan. Adapun pada usaha PMCs modal usaha sebagian besar berasal

dari pemerintah khususnya terkait pengadaan peralatan penyulingan, dimana

sistem pengembalian atas pemakaian modal berbentuk iuran kelompok untuk

menjamin kelangsungan produksi dalam hal ini ketersediaan alat, yang besarnya

berkisar antara Rp. 5 – 10 ribu per produksi.

Pada usaha PMC, besarnya modal usaha yang dibutuhkan relatif sangat

tergantung pada KAS dan jenis alat suling. Sebenarnya kendala ini dapat diatasi,

dengan pendapatan dari panen cengkeh namun karena pertimbangan pemilihan

kegiatan ekonomi, faktor sosial budaya, harapan untuk mendapatkan bantuan

usaha cuma-cuma dari pemerintah, belum terbinanya kemitraan dalam berusaha,

minat berinvestasi pada usaha PMC yang relatif rendah, membuat modal usaha

tetap menjadi kendala dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

Page 76: cengkeh

59

5. Kebijakan pemerintah daerah

Kebijakan adalah intervensi pemerintah untuk merubah prilaku produsen

dan konsumen, dimana secara umum tujuan dari kebijakan pemerintah adalah

tercapainya efisiensi, pemerataan dan ketahanan. Efisiensi tercapai apabila

alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan

yang maksimum, alokasi barang dan jasa dapat menghasilkan tingkat kepuasan

konsumen yang tinggi, pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan yang

lebih merata, dan ketahanan diartikan sebagai ketersediaan kebutuhan pada

tingkat harga yang stabil dan terjangkau (Pearson et al., 2005).

Kebijakan pemerintah terkait pengembangan usaha PMC adalah program

pengembangan usaha PMC yang merupakan bagian dari program

pengembangan Agroindustri Minyak Cengkeh (AMC) nasional, dimana Provinsi

Maluku menjadi salah satu provinsi sasaran pengembangan usaha PMC karena

dianggap berpotensi besar dalam ketersediaan bahan baku. Berdasarkan hasil

wawancara dengan responden terkait diketahui bahwa program yang sedang

berjalan adalah tahap I program dalam rangka mencari strategi terbaik dalam

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

Implementasi program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

dikelola oleh dinas departermen perindustrian dan perdagangan (Deperindag)

dengan 3 tujuan utama yaitu: (1) meningkatkan pendapatan masyarakat melalui

usaha penyulingan minyak cengkeh, (2) meningkatkan produksi dan mutu

minyak cengkeh melalui pengenalan dan distribusi teknologi baru, dan (3)

memberikan insentif bagi penyuling untuk mengembangkan usahanya.

Penetapan tiga tujuan utama program pengembangan usaha PMC di Propinsi

Maluku adalah berdasarkan hasil survei industri kecil-menengah berbahan baku

tanaman lokal di Provinsi Maluku tahun 2004, dimana diketahui bahwa rata-rata

produk minyak cengkeh Maluku berwarna hitam (akibat penggunaan alat suling

Page 77: cengkeh

60

nonstainless) dan memiliki harga jual yang relatif rendah. Berdasarkan kondisi

ini program pengembangan usaha PMC yang dianggap sesuai adalah

pengembangan teknologi penyulingan dengan jenis alat suling stainless steel

yang menghasilkan minyak cengkeh dengan warna jernih.

Total investasi pemerintah pusat dalam program pengembangan usaha

PMC di Provinsi Maluku adalah sebesar Rp. 1.25 milyar, dengan ketentuan dana

tahap I program sebesar 20 persen dari total investasi pemerintah pusat

merupakan dana cost sharing dari Pemerintah Daerah Propinsi Maluku yang

bersumber dari dana APBD. Investasi pemerintah pusat akan dicairkan setelah

1-3 tahun setelah pelaksanaan tahap I program dan sangat tergantung dari hasil

evaluasi pelaksanaan tahap I program tersebut.

Bekerja sama dengan Baristand sebagai instansi yang dianggap kompeten,

pelaksanaan kegiatan tahap I program pengembangan usaha PMC ditekankan

pada pelatihan penyulingan melalui pengenalan teknologi penyulingan dengan

jenis alat suling stainlees. Dalam implementasinya ada 3 ukuran kapasitas alat

suling (KAS) yang akan dievaluasi kinerjanya dalam pencapaian tujuan program

yaitu KAS 30, 40 dan 100 kilogram per produksi masing-masing sebangyak 10

unit yang didistribusikan ke 30 kelompok usaha PMC atau 150 RTU PMC. KAS

30 dan 40 kilogram merupakan ukuran yang digunakan masing-masing oleh

lembaga Japan International Coorporation Agency (JICA) dan United Nation

Industrial Development Organization (UNIDO) dalam pegembangan usaha

penyulingan minyak kayu putih di Pulau Ambon karena memiliki tingkat

mobilisasi tinggi dan dinilai sesuai dengan kondisi fisik geografi Propinsi Maluku,

sedangkan KAS 100 kilogram merupakan ukuran yang mengikuti ukuran alat

suling nonstainless steel (terbuat drum) yang dominan digunakan oleh

pengusaha PMC di Propinsi Maluku.

Page 78: cengkeh

61

Pemberian bantuan dalam tahap I program pengembangan usaha PMC

dilakukan secara kolektif atau kelompok adalah sebagai upaya memperkecil

dana bantuan per RTU, mempermudah pembinaan dan membina kerjasama

antar anggota kelompok, dan merupakan hanya merupakan insentif bagi

pengusaha PMC untuk mandiri. Berdasarkan nilai alat suling yang berkisar

antara Rp 1.14 – 2.63 juta, maka bantuan langsung per RTU hanya berkisar

antara Rp 228 – 526 ribu , seperti yang terlihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Nilai per Unit Alat Suling, Nilai Bantuan per RTU dan Frekwensi Produksi per Tahun

KAS (kg)

Nilai Alat/ unit (Rp. juta)

Nilai Bantuan/ RTU (Rp.juta)

Frekwensi Produksi/RTU/tahun*

30 1.14 0.228 24 40 1.39 0.278 24

100 2.63 0.526 24 Sumber : Analisa data primer , 2008 Keterangan : * dalam 1 tahun masa produksi = 6 bulan

Setelah program berjalan 1 tahun tidak banyak informasi yang dapat

diperoleh dari instansi terkait, karena data pelaksanaan program tidak

terarsipkan pada intansi terkait dan evaluasi untuk melihat keberhasilan program

dilapangan belum dilakukan dengan alasan keterbatasan dana. Disisi lain

sebagian besar kelompok binaan mengeluh sulitnya membangun koordinasi dan

komunikasi dengan lembaga-lembaga pemberi bantuan usai pelaksanaan

program, terkait upaya memperoleh pelatihan dan hasil standarisasi atas produk,

yang telah dijanjikan karena tiap instansi saling melepaskan tanggung jawab.

Kondisi diatas mengindikasikan bahwa pelaksanaan tahap I program

pengembangan usaha PMC tidak berjalan sebagaimana mestinya dapat dilihat

dari: (1) paket bantuan alat yang terdiri dari: bantuan alat suling, pengetahuan

teknis pengoperasian alat, teknis produksi dan pasca produksi umumnya tidak

dilakukan secara menyeluruh, bahkan sebagian besar implementasi program

sebatas distribusi alat, (2) tidak tersedianya data pada instansi terkait

Page 79: cengkeh

62

implementasi program dan tindak lanjut yang akan dilakukan padahal program

yang dijalankan merupakan program dengan sistem tahapan, (3) kebijakan antar

instansi tidak terkait dan tidak saling mendukung menyebabkan besarnya biaya

program, walaupun masing-masing instansi memiliki program yang hampir sama

tidak ada kerjasama sehingga menimbulkan kesan tumpang tindih, dan jika ada

kerja sama masing-masing instansi saling melimpahkan tanggungjawab, dan

(4) kelemahan kebijakan pemerintah lainnya adalah dalam pemberian bantuan

tidak disertai dengan sistem yang menjamin keberlanjutan program atau usaha

PMC yang diintroduksi, seperti penghimpunan dana dari anggota kelompok untuk

menjamin ketersediaan alat suling atau pengembangan usaha PMC lebih lanjut.

6. Kelembagaan

Keberadaan kelembagan pendukung sangat penting dalam menciptakan

integritas usaha dalam mewujudkan tujuan pengembangan usaha. Kelembagaan

seperti asosiasi pengusaha PMC, kelompok usaha PMC, pemerintah, koperasi,

lembaga pembiayaan, litbang dan lainnnya di desa relatif terbatas dan perannya

sangat minim. Terbatasnya transfer pengetahuan antar anggota kelompok dan

akses pada pendanaan biaya investasi dan operasional menjadi penyebab

kurang berkembangnya usaha PMC di Provinsi Maluku. Pada saat ini sebagian

besar kelompok usaha PMC adalah merupakan kelompok usaha yang dibentuk

oleh dinas terkait sehubungan dengan program yang akan mereka jalankan dan

pengusaha PMC relatif masih sulit mengakses kebutuhan mereka dalam

pengembangan usaha melalui lembaga-lembaga pendukung terkait.

5.1.3.3. Faktor Peluang

Faktor yang dianggap sebagai peluang adalah faktor yang bisa

dimanfaatkan dalam upaya pencapaian tujuan. Dari hasil wawancara dengan

Page 80: cengkeh

63

responden teridentifikasi 4 faktor yang menjadi peluang dalam pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu:

1. Daya saing dan Potensi pasar

Berdasarkan nilai koefisien DRC yang berkisar antara 0.52 – 0.84 dan nilai

PCR 0.54 – 0.93, dapat dikatakan bahwa minyak cengkeh Maluku memiliki

prospek pasar yang baik saat ini dan dimasa yang akan datang. Disisi lain

peningkatan daya saing minyak cengkeh Maluku masih dapat dilakukan dengan

pengembangan teknologi dan kapasitas alat suling yang tepat. Berdasarkan

hasil analisis kelayakan usaha diketahui usaha PMC menggunakan KAS 40

dan100 kilogram jenis stainless steel dapat menghasilkan produk minyak

cengkeh dengan daya saing tinggi hal ini ditunjukkan nilai koefisien DRC masing-

masing sebesar 0.52 dan 0.53, dan PCR masing-masing sebesar 0.57 dan

0.58).

Sebagian besar pengusaha PMC di lokasi penelitian menjual produk

mereka ke pedagang pengumpul setempat, pedagang pengumpul yang datang

dan produsen minyak gosok terdekat (seperti UD Yala Karya di Tamilow atau

Perusahaan Jamu Toko Sinar Baru, Mutiara dan lainnya di Kota Ambon).

Penjualan produk umumnya dilakukan setelah 1 – 2 bulan produksi atau sangat

tergantung pada kebutuhan RTU PMC, dengan demikian jumlah produk yang

dijual relatif kecil. Kondisi ini menyebabkan pengusaha PMC menganggap

menjual produk ke pedagang pengumpul merupakan alternatif sebagai upaya

memperkecil biaya pemasaran yang harus mereka keluarkan terkait lokasi

produksi yang jauh dari pusat pasar minyak cengkeh. Saat ini Pasar minyak

cengkeh sebagian besar (80%) diserap di dalam negeri sebagai dampak dari

permintaan domestik yang cenderung meningkat dimana kondisi ini

menyebabkan tingkat harga minyak cengkeh domestik relatif stabil, adapun

Page 81: cengkeh

64

pemain (konsumen) utamanya adalah PT. Indesso Aroma dengan kebutuhan 20

ton/hari.

2. Kesempatan bermitra

Permintaan minyak cengkeh yang tinggi baik di tingkat dunia maupun

nasional dapat menciptakan kesempatan bermitra diberbagai kalangan yaitu

petani cengkeh sebagai pemasok bahan baku bagi pelaku usaha PMC, industri

teknologi penyulingan dengan pelaku usaha PMC, industri berbahan baku

minyak cengkeh dengan pelaku usaha PMC, investor yang tertarik pada usaha

PMC, pemerintah dan pihak terkait lainnya. Kemitraan yang telah ada saat yaitu

kemitraan antara pengusaha PMC dengan pedagang pengumpul yang

merangkap sebagai pemilik alat suling khususnya untuk jenis alat suling

nonstainlees dengan sistem bagi hasil, sedangkan untuk jenis alat suling

stainlees kemitraan yang terbentuk dengan pedagang pengumpul hanya sebatas

penjual dan pembeli tetap.

Peluang bermitra dengan lembaga keuangan sebenarnya cukup besar

dengan adanya Inpres No.6 tahun 2005 tentang dana bergulir bagi UKM yang

pada tahun 2008 mencapai Rp. 403 Milyar, namun peluang ini belum dapat

digunakan dengan optimal oleh pelaku usaha PMC di Provinsi Maluku karena

aksesibilitas mereka yang rendah terhadap lembaga keuangan formal baik

karena keterbatasan pendidikan maupun informasi. Peluang bermitra antara

instansi pemerintah ataupun non pemerintah juga cukup besar, karena masing-

masing instansi memiliki spesialisasi pada bidang masing-masing yang

terkadang saling terkait satu dengan lainnya, misalnya instansi Baristand

memiliki spesialisasi keahlian dalam teknologi produksi dapat bekerja sama

dengan instansi dinas perindag dalam mengembangkan industri tertentu dengan

menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh pihak Baristand terkait potensi

yang dimiliki suatu wilayah. Jika pada tingkat penyuling peluang kemitraan belum

Page 82: cengkeh

65

dapat dimanfaatkan dengan baik karena keterbatasan pendidikan dan informasi,

maka pada tingkat lembaga atau instansi peluang kemitraan seringkali belum

dimanfaatkan karena tidak adanya koordinasi, faktor belum adanya kepercayaan

dan gap yang terjadi antara lembaga atau intansi sehingga tiap program yang

dijalankan walaupun saling terkait namun masih dilakukan secara terpisah.

3. Ketersediaan teknologi

Teknologi penyulingan minyak cengkih berupa alat dan prosedur

pembuatan minyak cengkeh dengan tingkat produksi dan mutu yang relatif lebih

baik telah tersedia pada dinas Baristand Provinsi Maluku. Teknologi penyulingan

minyak cengkeh relatif sederhana dan mudah dipelajari, dengan satu unsur

penting yang harus diperhatikan yaitu jenis alat suling yang dipakai yang

menyebabkan perbesaan warna produk, seperti yang terlihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Perbedaan Minyak Cengkeh Berdasarkan Jenis Alat Suling

Jenis Alat Suling * Non stainlees Komponen

perbandingan Kayu Besi (Drum) Stainlees

1. Warna Keruh coklat Hitam Jernih kekuningan 2. Proses Produksi 12 jam 8-9 6-7 3. Rendemen <3% 3 – 4% 3 – 4% 4. Umur Ekonomis 5 <5 10

Sumber: Balai Industri dan Standarisasi Provinsi Maluku, 2007 Proses penyulingan minyak cengkeh diawali dengan sortasi bahan baku,

dimana selama proses penyulingan sistem pemanasannya harus dikontrol agar

tetap stabil sebagai upaya untuk mendapatkan rendemen yang tinggi. Setelah

proses penyulingan limbah bahan baku ini dikeringkan dan kemudian dipakai

sebagai bahan bakar pada proses penyulingan selanjutnya (Lampiran 22).

4. Tingkat suku bunga dan skim kredit tersedia bagi UKM

Dalam upaya menggerakkan sektor riil pemerintah mengambil kebijakan

menurunkan tingkat suku bunga komersil dan menyediakan skim kredit untuk

UKM. Tingkat suku bunga komersil sebelumnya 21 persen turun menjadi 13.5

Page 83: cengkeh

66

persen, sedangkan kredit lunak untuk UMKM telah mencapai angka 6 persen.

Namun peluang ini belum dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha PMC untuk

mengembangkan usahanya ataupun masyarakat lain yang ingin membangun

usaha PMC baru karena keterbatasan informasi ataupun karena faktor birokasi

kembaga pembiayaan yang sulit untuk diakses.

5.1.3.4. Faktor Ancaman

Faktor ancaman adalah faktor yang dapat menghambat pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui ada 4

faktor ancaman bagi pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu:

1. Fluktuasi harga

Harga minyak cengkeh dalam kurun waktu 1999 – 2005 di pasar dunia

relatif fluktuatif, harga minyak cengkeh dunia terendah terjadi pada tahun 2000

yaitu sebesar US$ 0.77 (US$ 1 = Rp 10.27 ribu) per kilogram dan tertinggi pada

tahun 2001 yaitu sebesar US$ 7.11 (US$ 1 = Rp 9.26 ribu). Harga minyak

cengkeh nasional relatif lebih stabil yaitu kisaran harga Rp 35 – 50 ribu per

kilogram, dengan harga tertinggi sebesar Rp 60 ribu pada tahun 2001, harga

minyak cengkeh di pasar lokal Maluku juga relatif stabil pada kisaran harga

Rp 30 – 45 ribu per kilogram, seperti yang terlihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Perkembangan Harga Cengkeh dan Minyak Cengkeh Tahun 1999 – 2005

Ekspor (USD$/Kg) Nasional (Rp.000/Kg) Maluku (Rp.000/Kg)

Tahun Cengkeh Minyak

cengkeh Cengkeh Minyak cengkeh Cengkeh Minyak

cengkeh 1999 15.81 2.98 123.46 50 104.94 45.00 2000 3.86 0.77 32.95 50 28.01 45.00 2001 5.62 7.11 57.70 60 49.05 50.00 2002 6.95 5,42 64.32 40 54.67 30.70 2003 1.46 1.85 12.50 35 10.63 32.50 2004 3.90 4.30 35.00 42 29.75 35.50 2005 4.63 5.00 45.00 47 38.25 41.00

Sumber: Departemen pertanian RI 2006, BPS Propinsi Maluku 2006, PT Jasulawangi dan PT. Indesso Aroma, 2006 (diolah)

Page 84: cengkeh

67

Harga komoditi minyak cengkeh di pasar dunia relatif fluktuatif mengikuti

kondisi perdagangan cengkeh dunia, namun penurunan harga minyak cengkeh

relatif tidak setajam penurunan harga bunga cengkeh. Selama kurun waktu 3

tahun terakhir berdasarkan data harga ekspor PT Jasulawangi penurunan harga

ekspor tidak lebih dari 10 persen, jika pun melewati angka 10 persen relatif cepat

kembali ke harga sebelumnya.

2. Produk sejenis dari daerah lain

Berdasarkan kajian tentang Agribisnis Cengkeh oleh Departemen

Pertanian (2005), diketahui ada 12 Provinsi yang potensial dalam menghasilkan

minyak cengkeh termasuk Provinsi Maluku. Jika harga yang ditawarkan daerah

penghasil lain lebih rendah pada standar mutu yang sama maka hal ini

merupakan ancaman bagi keberlangsungan usaha PMC Maluku, namun untuk

saat ini harga minyak cengkeh hitam Maluku relatif bersaing dengan disparitas

harga yang cukup besar untuk dari harga produk minyak cengkeh hitam pada

daerah Pabrik Rokok Kretek yaitu mencapai Rp. 7.5 – 10 ribu per kilogramnya

melampaui disparitas harga produk minyak cengkeh hitam dan jernih pada

daerah PRK yang hanya berkisar Rp 1.5 – 2 ribu.

3. Politik dan keamanan

Kondisi politik dan keamanan yang stabil sangat dibutuhkan dalam

kegiatan ekonomi khususnya investasi. Terkait dengan peristiwa konflik sosial

yang terjadi di Propinsi Maluku tahun 1998 – 2002, minat investasi swasta hingga

saat ini relatif rendah. Saat ini kondisi politik dan keamanan di Maluku dapat

dikatakan 100 persen telah pulih, oleh karena itu opini tentang kondisi politik dan

keamanan Maluku yang tidak kondusif harus segera diubah.

4. Standar mutu dan kuantitas hasil

Standar mutu dan kuantitas sering menjadi kendala dalam pemasaran

produk minyak cengkeh. Menurut Mangunwidjaja (2002), standar mutu dapat

Page 85: cengkeh

68

bersifat nasional maupun internasional, di Indonesia standar baku mutu harus

memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan oleh Dewan

Standarisasi Nasional (DSN) sejak tahun 1994. Berdasarkan hasil penelitian

Baristand (1997) minyak cengkeh Maluku sudah memenuhi kualifikasi SNI,

seperti yang terlihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Standar Mutu Minyak Daun Cengkeh Menurut SNI 1991 dan Minyak Cengkeh Maluku 1997

Parameter Uji Karakteristik SNI Karakteristik Minyak Cengkeh Maluku

1. Berat Jenis pada 15oC 1,03 - 1,06 1. 05 2. Putaran Optik (ad) - 1o 35 - 2o 5 3. Indeks Refraksi pd 20oC (nd20) 1,52 - 1,54 1.532 4. Kadar eugenol (%) 78 - 93 % 80 % 5. Minyak pelikan Negatif Negatif 6. Minyak lemak Negatif Negatif 7. Kelarutan dalam Alkohol 70% Dalam dua volume dalam dua volume

Sumber : Baristand Provinsi Maluku, 1997

Berdasarkan standar mutu (Tabel 24), diketahui warna minyak cengkeh

tidak termasuk sebagai salah satu parameter uji, namun pada kenyataan warna

produk juga mempengaruhi tingkat permintaan dan harga, baik di pasar lokal

maupun non lokal, dimana semakin jernih warna minyak cengkeh maka harga

jualnya relatif semakin tinggi. Penjernihan minyak cengkeh hitam sebagian besar

dilakukan oleh para eksportir, penjernihan di tingkat penyuling jarang ditemui baik

karena keterbatasan teknologi, pertimbangan waktu, rendemen hasil yang akan

menurun dan biaya yang dibutuhkan. Sebagian besar produk minyak cengkeh

yang dihasilkan di Provinsi Maluku berwarna hitam, minyak cengkeh dengan

warna jernih agak kekuningan baru dihasilkan pada tahun 2006, melalui tahap I

program pengembangan usaha PMC tetapi jumlahnya masih sangat kecil dan

belum mendapatkan sertifikasi standarisasi dari lembaga yang kompeten.

Jumlah produksi total minyak cengkeh Provinsi Maluku masih relatif kecil

jika dibandingkan dengan ketersediaan bahan bakunya. Disisi lain usaha PMC di

Provinsi Maluku tersebar dengan skala produksi yang relatif kecil. Kondisi ini

Page 86: cengkeh

69

menjadi kendala bagi para pelaku usaha PMC sulit menjalin kemitraan dengan

konsumen luar daerah yang kuantitas permintaannya besar.

5.3. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh

5.3.1. Penentuan Prioritas Alternatif Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh Di Provinsi Maluku

Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha PMC dan identifikasi faktor

internal dan eksternal dilakukan analisis lanjutan untuk menyusun strategi

kebijakan terkait dengan alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas guna

mencapai tujuan dan sasaran yang optimal dengan menggunakan analisis linier

programing. Penentuan prioritas strategi pengembangan usaha PMC efektif dan

efisien dalam analisa LP ditujukan pada keuntungan yang optimal yang dapat

diperoleh melalui program pengembangan KAS secara lebih merata di tiap

kabupaten dengan kendala antara lain:

1. Kendala ketersediaan bahan baku

Sifat bahan baku dan topografi daerah Maluku memerlukan biaya

penanganan yang cukup besar dalam penyediaannya, agar efsiensi produksi

dapat tercapai maka pengembangan usaha PMC harus berorientasi sumberdaya

karena semakin kecil ruang mobilisasi bahan baku diharapkan biaya pengadaan

bahan baku akan semakin kecil. Oleh karena itu, kendala bahan baku yang

digunakankan adalah kendala ketersediaan bahan baku di tiap kabupaten upaya

ini juga diarahkan untuk pengdistribusian bantuan yang lebih merata.

2. Kendala alokasi biaya investasi

Alokasi investasi pemerintah dalam kegiatan pengembangan usaha PMC

terbatas yaitu hanya sebesar Rp 1.25 Milyar. Untuk menjamin tercapai tujuan

pemerataan maka dana tersebut akan dialokasikan ke tiap kabupaten sesuai

dengan perkiraan ketersediaan bahan baku yang dimiliki. Jika diasumsikan

implementasi penggunaan dana dalam program pengembangan usaha PMC di

Page 87: cengkeh

70

Provinsi Maluku akan mengikuti ketentuan Program Nasional Pemberdayaan

Masyarakat (PNPM), maka alokasi dana harus memenuhi ketentuan yaitu: 90

persen berbentuk bantuan langsung fisik dan 10 persen untuk kegiatan

operasional, seperti yang terlihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Ketersediaan Bahan Baku dan Alokasi Dana Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh pada Enam Kabupaten di Provinsi Maluku.

Alokasi Dana Pengembangan

(Rp juta) Kabupaten Ketersediaan Bahan

Baku riil (ribu ton) Fisik Opersional

Maluku Tenggara Maluku Tengah Pulau Buru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Ambon

0.90 13.72

5.79 3.78

13.14 0.95

51.17 322.04 214.67 193.46 266.48

77.17

2.93 44.80 18.91 12.33 42.90

3.22 Total 38.30 1124.99 125.00

Sumber: Analisis data primer, 2008

3. Kendala target produksi

Produksi minyak cengkeh dengan mutu produk yang lebih baik

diperkirakan akan lebih kecil dari jumlah produksi minyak cengkeh hitam yang

mencapai 480 ton per tahun karena keterbatasan dana investasi pemerintah

untuk program pengembangan usaha tersebut.

Berdasarkan hasil analisis kelayakan ekonomi dan sesuai kendala yang

ada telah diuraikan diatas, langkah awal dalam analisis ini adalah menyusun

model matematematis ketidaksamaan program linier sesuai fenomena dan

kendala yang ada. Selanjutnya model analisis yang telah disusun diolah dengan

menggunakan software LINDO untuk memperoleh solusi optimal dari

penggunaan sumberdaya (Lampiran 23).

Hasil analisis LP menunjukkan bahwa usaha PMCs3 atau usaha PMC

yang menggunakan KAS 100 kilogram jenis stainless steel merupakan alternatif

strategi pengembangan usaha PMC prioritas utama dalam program

pengembangan usaha PMC di Propinsi Maluku, dimana masing-masing

Page 88: cengkeh

71

kabupaten memperoleh jumlah yang berbeda sesuai dengan keterbatasan

sumberdaya yang dimiliki. Berdasarkan Tabel 25, diketahui konsentrasi usaha

PMCs3 tertinggi pada Kabupaten Maluku Tengah dan terendah pada Kabupaten

Maluku Tenggara. Kondisi ini jika dikaitkan dengan realita di lapangan adalah

sesuai karena berdasarkan Tabel 25, diketahui bahwa Kabupaten Maluku

Tengah memiliki ketersediaan bahan baku minyak cengkeh paling besar dan

Kabupaten Maluku Tenggara memiliki ketersediaan bahan baku minyak cengkeh

paling kecil dibandingkan dengan kabupaten lainya.

Tabel 26. Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis Stainless Steel) dengan Sofware LINDO

XiLokasi

j Kabupaten X1 X2 X3

1 2 3 4 5 6

Maluku Tenggara Maluku Tengah Pulau Buru Seram Bagian Barat Seram Bagian Timur Ambon

1 2 2 0 0 2

0 0 0 0 0 0

16 122

82 71 99 29

Total (Unit) 7 0 419 Total Keuntungan (Rp. Milyar) 1.396

Sumber: Analisis data primer, 2008 Keterangan: X1 = Jumlah usaha PMCs1 X2 = Jumlah usaha PMCs2

X3 = Jumlah usaha PMCs3

Selain memiliki tingkat keuntungan investasi yang tinggi dibandingkan

usaha PMC lainnya (Tabel 15), usaha PMCs3 juga relatif lebih dapat diterima

oleh perserta tahap I program pengembangan usaha PMC walaupun memiliki

tingkat mobilisasi yang rendah dibandingkan usaha PMCs1 dan usaha PMCs2.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa alternatif usaha PMCs1 dan

PMCs2 diikutkan sebagai alternatif pengembangan KAS karena dianggap

memiliki tingkat mobilisasi tinggi yang sesuai dengan kondisi perkebunan

cengkeh di Provinsi Maluku, namun dari hasil pengamatan dilapangan diketahui

bahwa penyulingan minyak cengkeh selalu dilakukan pada suatu tempat,

Page 89: cengkeh

72

khususnya pada lokasi yang dekat dengan sumber mata air atau dekat tempat

tinggal pengusaha PMC (penyuling). Hal ini dikarenakan sebagian besar

penyuling beranggapan relatif lebih mudah dan tidak berisiko memobilisasi bahan

baku daripada memobilisasi alat suling. Pelaku usaha PMCs1 dan PMCs2 juga

sering mengeluhkan kecilnya KAS stainless steel bantuan yang mereka terima

dari tahap I program pengembangan usaha PMC dibandingkan dengan KAS

nonstainless steel yang dulu mereka digunakan, padahal waktu produksi ketiga

alat tersebut relatif sama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program

pengembangan usaha PMC dengan introduksi teknologi melalui pengembangan

KAS 100 kilogram jenis alat suling stainless steel (usaha PMCs3) relatif cukup

efektif dan efisien dibandingkan introduksi lainnya.

5.3.2. Strategi Pengembangan Usaha Penyulingan Minyak Cengkeh di Provinsi Maluku

Analisis matriks internal-ekternal (I-E) dapat digunakan untuk mencari

strategi umum (grand strategy) dalam pengembangan usaha PMC ataupun

menilai strategi yang telah dijalankan dalam pengembangan usaha PMC di

Provinsi Maluku. Matriks I-E didasarkan pada dua dimensi kunci yaitu skor total

Evaluasi Faktor Internal (EFI) pada sumbu x dan skor total Evaluasi Faktor

Eksternal (EFE) pada sumbu y.

Hasil analisis matriks EFI menunjukkan bahwa total skor faktor internal

sebesar 2.21, dimana total skor terboboti variabel faktor kekuatan lebih besar

dibandingkan skor terboboti variabel faktor kelemahan (1.40>0.81). Faktor yang

menjadi kekuatan utama dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

yaitu faktor ketersediaan bahan baku dan dukungan non pribumi ini ditunjukan

oleh rating faktor tersebut sebesar 4, sedangkan faktor yang menjadi kekuatan

kecil adalah faktor tingkat keuntungan usaha dan ketersediaan infrastruktur.

Pada kelompok faktor kelemahan hanya 2 faktor yang menjadi kelemahan kecil

Page 90: cengkeh

73

yaitu memiliki rating 2, yakni sifat bahan baku dan topografi daerah, dan

sumberdaya manusia sedangkan 4 faktor lainnya merupakan faktor kelemahan

utama, seperti yang terlihat pada Tabel 27.

Tabel 27. Matriks EFI Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Faktor Internal Bobot Rating Nilai Terbobot Kekuatan 1 Ketersediaan bahan baku 0.09 4 0.37 2 Dukungan Non pribumi 0.13 4 0.50 3 Tingkat Keuntungan Usaha 0.07 3 0.22 4 ketersediaan infrastruktur 0.10 3 0.30 Jumlah 0.39 1.40 Kelemahan 1 Sifat Bahan baku dan topografi daerah 0.11 2 0.22 2 Sumberdaya Manusia 0.10 2 0.19 3 Sosial budaya masyarakat 0.10 1 0.10 4 Modal Usaha 0.09 1 0.09 5 Kebijakan Pemerintah Daerah 0.09 1 0.09 6 Kelembagaan 0.13 1 0.13 Jumlah 0.61 0.81

Total 1.00 2.21 Sumber : Analisis data primer, 2008

Hasil analisis matriks EFE menunjukkan bahwa total skor faktor eksternal

sebesar 2.21, dimana total skor terboboti variabel faktor peluang lebih besar

dibandingkan skor terboboti variabel faktor ancaman (1.55 >0.92). Pada faktor

peluang, potensi pasar dan dan ketersediaan teknologi direspon sangat baik,

sedangkan 2 faktor lainnya yaitu kesempatan bermitra dan tingkat suku bunga

turun dan skim kredit untuk UKM tersedia direspon agak baik. Faktor ancaman

juga terdiri atas 4 faktor, dimana faktor fluktuasi harga dan politik dan keamanan

masing-masing memiliki pengaruh kuat dan sangat kuat dalam pengembangan

usaha PMC di Provinsi Maluku terlihat dari nilai ratingnya sebesar 3 dan 4,

sedangkan 2 faktor lainnya yaitu produk sejenis dari daerah lain dan standar

mutu dan kualitas kurang kuat pengaruhnya terhadap pengembangan usaha

PMC, seperti yang terlihat pada Tabel 28.

Page 91: cengkeh

74

Tabel 28. Matriks EFE Pengembangan Usaha PMC

Faktor Eksternal Bobot Peringkat Nilai Terbobot

Peluang 1 Daya Saing dan Potensi pasar 0.11 4 0.44 2 Kesempatan bermitra 0.15 2 0.30 3 Ketersediaan Teknologi 0.14 4 0.58 4 Tingkat suku bunga turun dan skim

kredit UKM tersedia 0.12 2 0.23

Jumlah 0.52 1.55

Ancaman 1 Fluktuasi harga produk 0.12 3 0.35 2 Produk sejenis dari lain daerah 0.17 1 0.17 3 Politik dan Keamanan (Opini) 0.07 4 0.27 4 Standar mutu dan kuantitas produk 0.13 1 0.13

Jumlah 0.48 0.92

Total 1.00 2.47 Sumber : Analisis data primer, 2008

Berdasarkan perhitungan matrik IFE dan EFE pada Tabel 27 dan 28,

diketahui skor total IFE dan EFE masing-masing sebesar 2.21 dan 2.46, yang

jika dipetakan pada matrik IE maka posisi strategi usaha pengembangan PMC

Maluku berada pada zona V. Posisi strategi pada zona V berarti usaha PMC di

Provinsi Maluku dalam posisi strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal

dan stabilitas, seperti yang terlihat pada Gambar 5.

Kuat 3.0 - 4.0

Rata-rata2.0 – 2.99

Lemah 1.0 - 1.99 4.0 3.0 2.0 1.0

I

II

III

IV

IFE = 2.21 V

EFE = 2.47

VI

VII

VIII

IX

3.0

Rendah

2.0

1.0 - 1.99

Sedang 2.0 – 2.99

Tinggi 3.0 - 4.0

1.0

Gambar 5. Matriks I – E untuk Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku

Page 92: cengkeh

75

Menurut Rangkuti (2006), strategi pertumbuhan melalui integrasi horisontal

dapat dilakukan melalui kegiatan memperluas usaha pada lokasi yang berbeda,

memperluas pasar, fasilitas produksi dan teknologi melalui joint ventures atau

kemitraan, sedangkan strategi stabilitas adalah menjalankan strategi yang telah

ditetapkan tanpa mengubah arah strategi. Jika dikaitkan dengan tujuan program

pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku yaitu: (1) meningkatkan

pendapatan masyarakat melalui usaha penyulingan minyak cengkeh, (2)

meningkatkan produksi dan mutu minyak cengkeh melalui pengenalan dan

distribusi teknologi baru, dan (3) memberikan insentif bagi penyuling untuk

mengembangkan usahanya, maka strategi memperbaiki mutu minyak cengkeh

melalui introduksi teknologi dalam hal ini pengembangan usaha PMCs3 pada tiap

kabupaten sesuai ketersediaan bahan baku yang dimiliki relatif cukup efektif.

Wujud dari strategi memperluas usaha pada lokasi yang berbeda adalah

strategi pengembangan usaha PMC pada tiap kabupaten sesuai ketersediaan

bahan baku, karena berdasarkan data jumlah usaha PMC (Tabel 2), diketahui

usaha PMC saat ini masih terkonsentrasi pada Kabupaten Maluku Tengah dan

Seram Bagian Barat. Adapun strategi memperbaiki mutu produk minyak cengkeh

merupakan salah satu bentuk dari strategi memperluas pasar, selama ini

produksi minyak cengkeh Maluku hanya terbatas untuk memenuhi permintaan

pasar domestik dengan penggunaan yang terbatas yaitu dominan sebagai

produk subtitusi bunga cengkeh pada PRK karena tidak memenuhi syarat untuk

penggunaan lainnya seperti untuk aroma terapi, kosmetik dan obat-obatan

karena mengandung unsur Fe yang tinggi (terlihat dari produk yang berwarna

hitam) dan tidak mampu menembus pasar ekspor, sedangkan produk minyak

cengkeh berwarna jernih memiliki pasar yang relatif lebih luas. Disisi lain

perbaikan mutu produk minyak cengkeh juga berdampak pada peningkatan

Page 93: cengkeh

76

pendapatan pengusaha PMC yang merupakan insentif bagi pengusaha untuk

mengembangkan usahanya lebih lanjut.

Walaupun strategi yang diambil dinilai relatif cukup efektif, namun

keefektifannya hanya berlaku dalam jangka panjang karena memerlukan waktu

dalam implementasi, sedangkan strategi jangka pendek yang diterapkan untuk

mengatasi masalah yang dihadapi oleh usaha PMC dengan produk minyak

cengkeh hitam dalam masa peralihan teknologi belum terlihat, seperti

memperkecil disparitas harga produk antara daerah Pabrik Rokok Kretek (PRK)

dan bukan daerah PRK belum dilakukan padahal peluang tersebut cukup besar.

Seperti yang diketahui bahwa pasar minyak cengkeh hitam sebagian besar

adalah untuk Pabrik Rokok Kretek, dan Provinsi Maluku juga merupakan daerah

pasar rokok kretek yang potensial ini terlihat dengan adanya agen pemasaran

produk rokok yang meliputi lokasi Maluku – Papua yang bertempat di kota

Ambon, dengan kondisi ini seharusnya pemerintah dapat membangun pola

kemitraan antara Pengusaha PMC dengan Pengusaha PRK khususnya untuk

memperkecil disparitas harga produk yang terjadi. Oleh karena itu strategi

membangun pola koordinasi dan kemitraan antara berbagai lembaga terkait

menjadi penting disamping strategi lainnya karena dengan strategi koordinasi

dan kemitraan efektivitas, efisiensi dan pemerataan pengembangan usaha PMC

di Provinsi Maluku akan memiliki tingkat keberhasilan yang besar.

Page 94: cengkeh

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan pada prospek pengembangan AMC di

Propinsi Maluku dan berpedoman pada tujuan penelitian, maka ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Daya dukung faktor internal – eksternal dalam pengembangan usaha PMC di

Propinsi Maluku berdasarkan hasil analisis kuantitatif yaitu analisa kelayakan

usaha dan daya saing relatif cukup tinggi ini tercermin dari: (1) nilai indikator

kelayakan usaha PMC pada berbagai kapasitas olah dan jenis alat suling

menunjukkan NVP lebih besar dari nol, Net B/C lebih besar dari satu, IRR

lebih besar SDR yang berlaku dan PBP yang lebih kecil dari umur ekonomis

usaha PMC, dan (2) daya saing minyak cengkeh Maluku relatif tinggi

ditunjukan oleh DRCR dan PCR yang lebih kecil dari satu. Adapun

berdasarkan analisis kualitatif yaitu: (1) identifikasi faktor internal diketahui

bahwa kondisi sosial budaya, modal usaha, implementasi kebijakan dan

kelembagaan merupakan kelemahan utama, dan (2) identifikasi faktor

eksternal diketahui bahwa harga minyak cengkeh di pasar dunia yang relatif

fluktuatif dan opini belum stabilnya kondisi politik dan keamanan di Provinsi

Maluku merupakan ancaman utama, yang harus segera diatasi dalam upaya

mengsukseskan pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku.

2. Implementasi tahap I program pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku

relatif tidak berjalan baik karena memiliki banyak kelemahan sebagai akibat

besarnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana

program, rendahnya tingkat koordinasi program antar berbagai dinas terkait

dan rendah kemitraan yang dibangun antar lembaga-lembaga terkait, jika

Page 95: cengkeh

78

kondisi ini tidak dibenahi maka implementasi tahap selanjutnyta dapat

dipastikan akan mengalami kondisi yang sama

3. Alternatif strategi pengembangan usaha PMCs3 yang merata sesuai

ketersediaan bahan baku di tiap kabupaten berdasarkan analisis LP atau

analisis alokasi sumberdaya optimal mampu memberikan keuntungan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan usaha PMCs lainnya. Adapun strategi yang

bisa diterapkan berdasarkan pemetaan pada matriks I-E yaitu: (1) strategi

pertumbuhan melalui integrasi horisontal, yang dapat dilakukan melalui

kegiatan memperluas usaha pada lokasi yang berbeda, memperluas pasar,

fasilitas produksi dan teknologi melalui joint ventures atau kemitraan, dan (2)

strategi stabilitas adalah menjalankan strategi yang telah ditetapkan tanpa

mengubah arah strategi. Jika ditelaah lebih lanjut dapat dikatakan bahwa

strategi kebijakan pengembangan usaha PMC yang sementara dilakukan

oleh pemerintah Provinsi Maluku yaitu strategi peningkatan produksi minyak

cengkeh bermutu baik melalui introduksi teknologi adalah merupakan bentuk

dari strategi pertumbuhan, namun strategi tersebut masih memerlukan

penyempurnaan agar pencapaian tujuan menjadi lebih optimal.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil kajian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh

pemerintah dan lembaga terkait lainnya yaitu:

1. Perlu dibangunnya pola strategi kebijakan yang dapat membangun

koordinasi dan memanfaatkan peluang kemitraan dengan berbagai pihak

terkait, khususnya menyangkut keselarasan program antar instansi,

peningkatan pengetahuan dan ketrampilan produksi, pembiayaan usaha dan

pemasaran produk melalui kemitraan agar proses pencapaian tujuan

pengembangan usaha PMC dapat berjalan dengan baik.

Page 96: cengkeh

79

2. Terkait sifat bahan baku dan topografi daerah, Provinsi Maluku memerlukan

jumlah alat suling yang relatif banyak dan tersebar, oleh karena itu bantuan

sebaiknya diberikan dalam bentuk dana bergulir, (baik perguliran di dalam

kelompok maupun antar kelompok) dengan cara pengembalian dan

perguliran yang disepakati bersama, dan pelaksanaan program sebaiknya di

evaluasi intensif baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk

menjamin keberlangsungan dan perkembangan program pengembangan

usaha PMC yang dijalankan,

3. Alternatif pengembangan jenis usaha PMCs3 (penyulingan minyak cengkeh

dengan KAS 100 kilogram jenis stainless steel) dapat digunakan sebagai

strategi dalam pengembangan usaha PMC di Provinsi Maluku dalam jangka

panjang, dimana penyebarannya harus memperhatikan daya dukung dari

tiap kabupaten khususnya pada faktor-faktor yang terkait dengan

ketersediaan bahan baku dan SDM baik dari sisi kualitas atau skill yang

dimiliki dan kuantitas ketersediaannya.

4. Dalam jangka pendek sebaiknya pemerintah lebih fokus pada masalah-

masalah yang dihadapi oleh pelaku usaha PMC saat ini seperti disparitas

harga produk yang tinggi dengan mutu yang relatif sama antara daerah

Pabrik Rokok Kretek (PRK) dan Maluku yang sebenarnya dapat diperkecil

dengan membangun kemitraan antara pengusaha PMC dengan Pengusaha

Rokok Kretek, seperti dengan menetapkan aturan bahwa pengusaha rokok

kretek harus membeli produk minyak cengkeh sebanding dengan jumlah

minyak cengkeh yang dipakai untuk memproduksi produk rokok yang disuplai

ke Provinsi Maluku pada tingkat harga yang wajar atau membantu

pengembangan usaha PMC yang menghasilkan produk yang berdayasaing

tinggi.

Page 97: cengkeh

DAFTAR PUSTAKA

Asheghian, P. and B. Ebrahimi. 1990. International Business. Harper and Row, Publishers Inc., New York.

Astana, S. dan Z. M. Muttaqin. 2005. Daya Saing Ekspor Hasil Hutan Andalan Setempat. Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 2(1): 27 -37.

Astana, S., Z. M. Muttaqin dan E. Rachman. 2005. Sistem Tataniaga dan Ketergantungan Penduduk Lokal dan Ekonomi Lokal dan Ekonomi Daerah pada Hasil Hutan Andalan Setempat. Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 2(1): 39-59.

Astana, S., Z. M. Muttaqin dan T.J. Yuhono. 2004. Keunggulan Komparatif Hasil Hutan Bukan Kayu dari Hutan Tanaman. Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 1(1): 31-44.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Cengkeh. http://www.Litbang. Special/Komoditas/Files/00-Cengkeh.Pdf. Diakses: 14 September 2006.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Kajian Strategi Pengembangan Kawasan Dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Jakarta.

Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku. 2005. Maluku dalam Angka 2005/2006. Badan Pusat Statistik, Propinsi Maluku, Ambon.

Cho, S. D. dan C. H. Moon. 2003. From Adam Smith to Michael Porter : Evolusi Teori Daya Saing. Penerjemah : Erly Suandy. Salemba Emban Patria, Jakarta.

Darmawansyah, 2003. Maksimisasi Sektor Unggulan untuk Menunjang Peningkatan Penerimaan Daerah: Kasus Kabupaten Takalar. Jurnal Analisis, 1(1): 1-8.

David F. R. 2002. Manajemen Strategis: Konsep. Penerjemah: Widyantoro A. Prenhallindo, Jakarta.

Departemen Pertanian. 2004. Rencana Pembangunan Pertanian 2004. http://www.Deptan.go.id.Pdf. Diakses: 14 September 2006

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Maluku. 2004. Data Potensi Industri Kecil per Kabupaten di Provinsi Maluku Tahun 2004. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Maluku, Ambon.

. 2005. Laporan Hasil Identifikasi Sumber Daya Alam dan Perkembangan Industri di Provinsi Maluku. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Maluku, Ambon.

Page 98: cengkeh

81

Giatman, M. 2006. Ekonomi Teknik. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Gittinger, P. J. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Universitas

Indonesia Press, Jakarta.

Gray, C., P. Simanjuntak, K. L. Sabur, L. F. P. Maspaitella dan G. C. R. Varley. 1992. Pengantar Evaluasi Proyek. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Guenther, E. 1990. Minyak Atsiri. Jilid IV B. Penerjemah: Ketaren S. Universitas Indonesia, Jakarta.

Gumbira-Said, E. dan I. A. Harizt. 2001. Manajemen Agribisnis. Ghalia Indonesia – MMA IPB, Bogor.

Gumbira-Said, E., I. A. Harizt dan I. T. Saptono. 2003. Strategi Pengembangan Industri Pengolahan Sabut Kelapa Nasional. Jurnal Manajemen Agribisnis, 1(1): 42– 54.

Hafsah, J. M. 2004. Upaya Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Jurnal Infokop, 20 (25) : 40-44.

Hobir dan Y. Nuryani. 2004. Plasma Nutfah Tanaman Atsiri. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Jurnal Perkembangan Teknologi TRO, 16(1): 17-26.

Ibrahim, Y. M. H. 1998. Studi Kelayakan Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta.

Joesron, S. T. 2001. Investment Project Feasibility dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Makalah Disampaikan pada: Seminar Sosialisasi Badan Promosi dan Penanaman Modal Daerah Jawa-Barat. Fakultas Ekonomi - Universitas Padjadjaran, April 2001.

Kadariah. 1985. Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Kardinan, A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Kotler, P. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi,

dan Kontrol. Prenhallindo, Jakarta.

Maartheen, N. 1998. Aspek Ekonomi Pengolahan Minyak Kayu Putih di Propinsi Maluku. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

MacTavish H. dan D. Harris. 2002. An Economic Study of Essential Oil Production in the UK: A Case Study Comparing Non-UK Lavender/ Lavandin Production and Peppermint/Spearmint Production with UK Production Techniques and Costs. Report to Government-Industry Forum on Non Food Uses of Crops DEFRA, London.

Nasendi, D.B. dan A. Anwar. 1985. Program Linier dan Variasinya. Gramedia,

Jakarta.

Page 99: cengkeh

82

Nurasa, T dan Supriatna. 2005. Analisis Pemasaran Komoditi Panili: Studi Kasus di Propinsi Sulawesi Utara. Jurnal SOCA, 5(3): 277-282.

Pearson S., C. Gostsch dan S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Porter, M. E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press,

A Division of Macmillan, Inc., New York.

Rangkuti, F. 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Siregar, M. dan Sumaryanto. 2003. Analisis Daya Saing Usahatani Kedelai di DAS Brantas. Jurnal Agroekonomi, 21(1): 50-71.

Smallfield, B. 2001. Introducing to Growing Herb for Essential Oils, Medical and Culinary Purpose. Crop and Food Research (Broad Sheet) Number 45 March 2001. New Zealand Institute Crop and Food Research Ltd., A Crawn Research Institute, New Zealand.

Soekartawi, A. Soeharjo, J. L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Supriatna, A., N. Rambitan, D. Sumangat dan N. Nurdjannah. 2004. Analisis Sistem Perencanaan Model Pengembangan Agroindustri Minyak Daun Cengkeh: Studi Kasus di Sulawesi Utara. Buletin TRO, 15(1): 1-18.

Tarigan R. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Bumi Aksara, Jakarta.

Umar H. 2003. Studi Kelayakan Bisnis: Teknik Menganalisis Kelayakan Rencana Bisnis Secara Komprehensif. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 100: cengkeh

LAMPIRAN

Page 101: cengkeh

84

Lampiran 1. Peta Provinsi Maluku

Lokasi Penelitian

Page 102: cengkeh

85

Lampiran 2. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nontainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 11.55 12.36 12.85 13.34 13.84 16.20 17.33 18.02 18.71 19.41 2 Total Biaya 2.27 9.97 10.67 11.75 12.21 14.73 13.98 15.40 16.01 17.64 18.33

Biaya Investasi 2.27 0.00 0.00 0.34 0.00 1.66 0.00 0.44 0.00 0.51 0.00 Biaya Operasional 0.00 7.87 8.42 9.01 9.64 10.32 11.04 11.81 12.64 13.52 14.47 Biaya Pemasaran 0.00 2.10 2.25 2.40 2.57 2.75 2.95 3.15 3.37 3.61 3.86

3 Keuntungan Bersih -2.27 1.58 1.69 1.09 1.13 -0.88 2.22 1.93 2.01 1.07 1.08 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 10.18 9.59 8.79 8.04 7.35 7.58 7.14 6.54 5.99 5.47 6 PV Cost (Biaya) 2.27 8.78 8.28 8.04 7.36 7.82 6.54 6.35 5.81 5.64 5.17 7 PV Net Benefit -2.27 1.39 1.31 0.75 0.68 -0.47 1.04 0.79 0.73 0.34 0.31 8 NPV Kumulatif -2.27 -0.88 0.44 1.18 1.86 1.39 2.43 3.22 3.95 4.30 4.60 9 NPV 4.60

10 Internal Rate of Return (IRR) 41.25% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 2.68 12 Pay Back Period (PBP) 1.63 Tahun Catatan: Jenis alat suling non stainlees Steel kapasitas, sistem bagi hasil Kapasitas Alat Suling 100 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 0.97 juta per unit Kapasitas Olah 12 Ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna hitam Frekwensi Produksi = 120 kali/tahun

Lampiran 3. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 4.41 4.72 5.05 5.40 5.78 6.01 6.24 6.47 6.71 6.95 2 Total Biaya 1.81 2.80 2.99 3.39 3.42 3.88 3.92 4.44 4.49 5.09 5.14

Biaya Investasi 1.81 0.00 0.00 0.19 0.00 0.22 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 Biaya Operasional 0.00 2.17 2.32 2.48 2.65 2.84 3.04 3.25 3.48 3.72 3.98 Biaya Pemasaran 0.00 0.63 0.67 0.72 0.77 0.83 0.88 0.95 1.01 1.08 1.16

3 Keuntungan Bersih -1.81 1.62 1.73 1.66 1.98 1.90 2.09 1.80 1.99 1.63 1.81 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 3.89 3.66 3.45 3.26 3.07 2.81 2.57 2.35 2.15 1.96 6 PV Cost (Biaya) 1.81 2.46 2.32 2.32 2.06 2.06 1.83 1.83 1.63 1.63 1.45 7 PV Net Benefit -1.81 1.42 1.34 1.14 1.19 1.01 0.98 0.74 0.72 0.52 0.51 8 NPV Kumulatif -1.81 -0.38 0.96 2.09 3.29 4.30 5.27 6.01 6.74 7.26 7.77 9 NPV 7.77

10 Internal Rate of Return (IRR) 70.74% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 5.30 12 Pay Back Period (PBP) 1.28 Tahun Catatan: Lokasi Desa Rumakay, Latu dan Hualoy Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat Jenis alat suling stainlees steel, merupakan bantuan Dinas Deperindag Kabupaten Seram Bagian Barat Kapasitas Alat Suling 30 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 1.14 juta per unit Kapasitas Olah 3.6 Ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna jernih agak kekuningan Frekwensi Produksi =120 kali/tahun

Page 103: cengkeh

86

Lampiran 4. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 5.88 6.29 6.73 7.20 7.71 8.01 8.32 8.63 8.95 9.27 2 Total Biaya 2.06 3.31 3.54 3.97 4.05 4.55 4.64 5.21 5.31 5.96 6.08

Biaya Investasi 2.06 0.00 0.00 0.19 0.00 0.22 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 Biaya Operasional 0.00 2.47 2.64 2.82 3.02 3.23 3.46 3.70 3.96 4.24 4.53 Biaya Pemasaran 0.00 0.84 0.90 0.96 1.03 1.10 1.18 1.26 1.35 1.44 1.54

3 Keuntungan Bersih -2.06 2.58 2.76 2.76 3.15 3.16 3.38 3.11 3.33 2.99 3.19 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 5.18 4.88 4.60 4.34 4.09 3.75 3.43 3.13 2.86 2.61 6 PV Cost (Biaya) 2.06 2.91 2.75 2.72 2.44 2.41 2.17 2.15 1.93 1.91 1.71 7 PV Net Benefit -2.06 2.27 2.14 1.89 1.90 1.68 1.58 1.28 1.21 0.96 0.90 8 NPV Kumulatif -2.06 0.21 2.35 4.24 6.14 7.82 9.40 10.68 11.89 12.84 13.74 9 NPV 13.74

10 Internal Rate of Return (IRR) 103.32% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 7.69 12 Pay Back Period (PBP) 0.91 Tahun Catatan: Lokasi Desa Buria, Nuruwe dan Taniwel Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat Jenis alat suling stainlees Steel kapasitas, merupakan bantuan Dinas Deperindag Kabupaten Seram Bagian Barat Kapasitas Alat Suling 40 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 1.39 juta per unit Kapasitas Olah 4.8 ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna jernih agak kekuningan Frekwensi Produksi = 120 kali/tahun (6 bulan)

Lampiran 5. Analisis Kelayakan Ekonomi Usaha PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 14.70 15.73 16.83 18.01 19.27 20.03 20.80 21.58 23.09 23.94 2 Total Biaya 3.93 8.77 9.38 10.23 10.74 11.71 12.30 13.41 14.08 15.35 16.12

Biaya Investasi 3.93 0.00 0.00 0.19 0.00 0.22 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 Biaya Operasional 0.00 6.67 7.14 7.64 8.17 8.74 9.36 10.01 10.71 11.46 12.26 Biaya Pemasaran 0.00 2.10 2.25 2.40 2.57 2.75 2.95 3.15 3.37 3.61 3.86

3 Keuntungan Bersih -3.93 5.93 6.35 6.60 7.26 7.56 7.73 7.39 7.50 7.74 7.81 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 12.95 12.21 11.51 10.85 10.23 9.37 8.57 7.84 7.39 6.75 6 PV Cost (Biaya) 3.93 7.73 7.28 7.00 6.47 6.22 5.75 5.53 5.11 4.91 4.54 7 PV Net Benefit -3.93 5.22 4.93 4.51 4.38 4.01 3.61 3.05 2.72 2.48 2.20 8 NPV Kumulatif -3.93 1.30 6.23 10.74 15.12 19.13 22.74 25.79 28.51 30.99 33.19 9 NPV 33.19

10 Internal Rate of Return (IRR) 126.73% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 9.5 12 Pay Back Period (PBP) 0.75 Tahun Catatan: Lokasi Desa Tulehu dan Suli Kecamatan Salahutu, Desa Tamilow Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah Jenis alat suling stainlees Steel kapasitas, merupakan bantuan Dinas Deperindag Kabupaten Maluku Tengah Kapasitas Alat Suling 100 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 2.63 juta per unit Kapasitas Olah 12 Ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna jernih agak kekuningan Frekwensi Produksi = 120 kali/tahun

Page 104: cengkeh

87

Lampiran 6. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nontainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 12.48 10.11 10.51 10.92 11.33 13.25 14.18 14.74 15.31 15.88 2 Total Biaya 1.00 8.34 8.93 9.54 10.19 10.88 11.70 12.52 13.37 14.29 15.26

Biaya Investasi 1.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Biaya Operasional 0.00 8.34 8.93 9.54 10.19 10.88 11.70 12.52 13.37 14.29 15.26 Bagi hasil 0.00 0.47 0.51 0.53 0.55 0.57 0.66 0.71 0.74 0.77 0.79

3 Keuntungan Bersih -1.00 1.11 1.19 0.97 0.73 0.44 1.55 1.66 1.37 1.02 0.62 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 8.33 7.85 7.19 6.58 6.01 6.20 5.84 5.35 4.90 4.48 6 PV Cost (Biaya) 1.00 7.35 6.93 6.52 6.14 5.78 5.47 5.16 4.86 4.57 4.30 7 PV Net Benefit -1.00 0.98 0.92 0.67 0.44 0.24 0.73 0.68 0.50 0.33 0.18 8 NPV Kumulatif -1.00 -0.02 0.90 1.56 2.00 2.24 2.96 3.65 4.14 4.47 4.65 9 NPV 4.65

10 Internal Rate of Return (IRR) 83.2% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 8.9 12 Pay Back Period (PBP) 1.0 Tahun Catatan: *Jenis alat suling non stainlees Steel kapasitas, sistem bagi hasil Kapasitas Alat Suling 100 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 0.97 juta per unit Kapasitas Olah 12 Ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna hitam Frekwensi Produksi = 120 kali/tahun

Lampiran 7. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 3.98 4.04 4.33 4.63 4.95 5.15 5.35 5.55 5.75 5.96 2 Total Biaya 0.67 2.77 2.92 3.27 3.25 3.65 3.64 4.10 4.08 4.60 4.58

Biaya Investasi 0.67 0.00 0.00 0.19 0.00 0.22 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 Biaya Operasional 0.00 2.77 2.92 3.08 3.25 3.44 3.64 3.85 4.08 4.32 4.58 Iuran Pokpen 0.00 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60 0.60

3 Keuntungan Bersih -0.67 1.02 1.13 1.06 1.38 1.30 1.51 1.25 1.47 1.15 1.38 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 3.33 3.14 2.96 2.79 2.63 2.41 2.20 2.02 1.84 1.68 6 PV Cost (Biaya) 0.67 2.44 2.26 2.23 1.96 1.94 1.70 1.69 1.48 1.47 1.29 7 PV Net Benefit -0.67 0.89 0.88 0.73 0.83 0.69 0.71 0.52 0.53 0.37 0.39 8 NPV Kumulatif -0.67 0.23 1.10 1.83 2.66 3.35 4.06 4.58 5.11 5.48 5.87 9 NPV 5.87

10 Internal Rate of Return (IRR) 129.3% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 9.8 12 Pay Back Period (PBP) 0.7 Tahun Catatan: Lokasi Desa Rumakay, Latu dan Hualoy Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat Jenis alat suling stainlees steel, merupakan bantuan Dinas Deperindag Kabupaten Seram Bagian Barat Kapasitas Alat Suling 30 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 1.14 juta per unit Kapasitas Olah 3.6 Ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna jernih agak kekuningan Frekwensi Produksi =120 kali/tahun

Page 105: cengkeh

88

Lampiran 8. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 5.49 5.39 5.77 6.17 6.61 7.07 7.56 8.09 8.66 9.27 2 Total Biaya 0.67 1.35 3.36 3.73 3.74 4.17 4.18 4.67 4.68 5.24 5.25

Biaya Investasi 0.67 0.00 0.00 0.19 0.00 0.22 0.00 0.25 0.00 0.28 0.00 Biaya Operasional 0.00 1.35 3.36 3.54 3.74 3.95 4.18 4.42 4.68 4.96 5.25 Iuran Pokpen 0.00 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72 0.72

3 Keuntungan Bersih -0.67 3.69 2.04 2.04 2.43 2.44 2.89 2.90 3.41 3.42 4.01 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 4.44 4.19 3.95 3.72 3.51 3.31 3.12 2.94 2.77 2.61 6 PV Cost (Biaya) 0.67 1.19 2.61 2.55 2.25 2.21 1.95 1.92 1.70 1.68 1.48 7 PV Net Benefit -0.67 3.25 1.58 1.39 1.47 1.29 1.35 1.19 1.24 1.09 1.13 8 NPV Kumulatif -0.67 2.59 4.17 5.56 7.03 8.32 9.68 10.87 12.11 13.20 14.33 9 NPV 14.33

10 Internal Rate of Return (IRR) 441.6% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 22.56 12 Pay Back Period (PBP) 0.1 Tahun Catatan: Lokasi Desa Buria, Nuruwe dan Taniwel Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat Jenis alat suling stainlees Steel kapasitas, merupakan bantuan Dinas Deperindag Kabupaten Seram Bagian Barat Kapasitas Alat Suling 40 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 1.39 juta per unit Kapasitas Olah 4.8 ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna jernih agak kekuningan Frekwensi Produksi = 120 kali/tahun (6 bulan)

Lampiran 9. Analisis Kelayakan Finansial Usaha PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainless) Komponen Penerimaan dan Biaya Tahun

(Rp.juta) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 Penerimaan 0.00 13.68 13.48 14.43 15.44 16.52 17.67 18.91 20.23 21.65 23.16 2 Total Biaya 1.30 4.17 8.34 9.27 9.37 10.50 10.56 11.93 11.91 13.78 13.46

Biaya Investasi 1.30 0.00 0.00 0.43 0.00 0.56 0.00 0.72 0.00 1.12 0.00 Biaya Operasional 0.00 4.17 8.34 8.84 9.37 9.94 10.56 11.21 11.91 12.66 13.46 Iuran Pokpen 0.00 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20 1.20

3 Keuntungan Bersih -1.30 8.44 5.15 5.16 6.06 6.02 7.12 6.98 8.32 7.87 9.70 4 Discount Factor (13.5) 1.00 0.88 0.78 0.68 0.60 0.53 0.47 0.41 0.36 0.32 0.28 5 PV Revenue (Penerimaan) 0.00 11.10 10.47 9.87 9.30 8.77 8.27 7.79 7.35 6.93 6.53 6 PV Cost (Biaya) 1.30 3.67 6.47 6.34 5.65 5.57 4.94 4.91 4.32 4.41 3.79 7 PV Net Benefit -1.30 7.43 3.99 3.53 3.65 3.19 3.33 2.88 3.02 2.52 2.73 8 NPV Kumulatif -1.30 6.14 10.13 13.66 17.31 20.51 23.84 26.71 29.74 32.25 34.99 9 NPV 34.99

10 Internal Rate of Return (IRR) 530.9% 11 Benefit Cost Ratio (BCR) 28.0 12 Pay Back Period (PBP) 0.2 Tahun Catatan: Lokasi Desa Tulehu dan Suli Kecamatan Salahutu, Desa Tamilow Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah Jenis alat suling stainlees Steel kapasitas, merupakan bantuan Dinas Deperindag Kabupaten Maluku Tengah Kapasitas Alat Suling 100 kg per produksi, dengan nilai @ Rp. 2.63 juta per unit Kapasitas Olah 12 Ton per Tahun Bahan baku (gagang + daun + ranting) Rendemen = 0.035, Berwarna jernih agak kekuningan Frekwensi Produksi = 120 kali/tahun

Page 106: cengkeh

Lampiran 10. Nilai KURS Tengah Dollar terhadap Mata Uang Rupiah Tahun 1999 -2007 (Rp/US$)

Tahun No. Bulan 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1 Januari 8 950 7 425 9 450 10 320 8 876 8 441 9 165 9 390 9 846 2 Februari 8 730 7 505 9 835 10 189 8 905 8 447 9 260 9 190 9 771 3 Maret 8 685 7 590 10 400 9 655 8 908 8 587 9 480 9 065 9 816 4 April 8 260 7 945 11 675 9 316 8 675 8 661 9 570 8 805 9 854 5 Mei 8 105 8 620 11 058 8 785 8 279 9 210 9 495 9 254 10 138 6 Juni 6 726 8 735 11 440 8 730 8 285 9 415 9 713 9 263 9 885 7 Juli 6 875 9 003 9 525 9 108 8 505 9 168 9 819 9 068 9 743 8 Agustus 7 565 8 290 8 865 8 867 8 535 9 328 9 985 9 098 9 511 9 September 8 386 8 780 9 675 9 015 8 389 9 170 10 290 9 215 9 795

10 Oktober 6 900 9 395 10 435 9 233 8 495 9 090 10 120 9 107 9 832 11 November 7 425 9 530 10 430 8 976 8 537 9 018 10 035 9 165 9 546 12 Desember 7 100 9 595 10 400 8 940 8 465 9 290 9 795 9 003 9 502

rata-rata 7 809 8 534 10 266 9 261 8 571 8 985 9 727 9 135 9 770 rata-rata nilai KURS tengah dollar terhadap mata uang rupiah tahun 2006 - 2007 9 453 Sumber : Bank Indonesia, 2007

89

Page 107: cengkeh

90

Lampiran 11. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nonstainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya D T per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (US$/Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 27500 2 Biaya (Rp./kg) 24791 Alat Suling(Rp./kg) 463 50% 232 50% 0.025 Bangunan (Rp./kg) 238 100% 238 0% 0.000 Peralatan lain(Rp./kg) 351 50% 176 50% 0.019 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0.000 Bahan bakar(Rp./kg) 24 100% 24 0% 0.000 Biaya Lain(Rp./kg) 143 50% 71 50% 0.008 Tranportasi (Rp./kg) 5714 50% 2857 50% 0.302 Tenaga kerja(Rp./kg) 5714 100% 5714 0% 0.000 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 0 100% 0 0% 0.000 Biaya Pemasaran(Rp./kg) 5000 50% 2500 50% 0.264 Total 18955 0.617 P(US$./kg) 2.91 BSD = D/(P-T) 8267.49 p (US$) 9453.00 k = BSD/p 0.87 Lampiran 12. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya D T per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (US$/Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 35000 2 Biaya (Rp./kg) 24139 Alat Suling(Rp./kg) 905 50% 452 50% 0.048 Bangunan (Rp./kg) 397 100% 397 0% 0.000 Peralatan lain(Rp./kg) 655 50% 327 50% 0.035 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0.000 Bahan bakar(Rp./kg) 40 100% 40 0% 0.000 Biaya Lain(Rp./kg) 476 50% 238 50% 0.025 Tranportasi (Rp./kg) 0 50% 0 50% 0.000 Tenaga kerja(Rp./kg) 9524 100% 9524 0% 0.000 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 0 100% 0 0% 0.000 Biaya Pemasaran(Rp./kg) 5000 50% 2500 50% 0.264 Total 20621 0.372 P(US$./kg) 3.83 BSD = D/(P-T) 5961.08 p (US$) 9453.00 k = BSD/p 0.63

Page 108: cengkeh

91

Lampiran 13. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya D T per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (US$/Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 35000 2 Biaya (Rp./kg) 21289 Alat Suling(Rp./kg) 827 50% 414 50% 0.044 Bangunan (Rp./kg) 298 100% 298 0% 0.000 Peralatan lain(Rp./kg) 491 50% 246 50% 0.026 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0.000 Bahan bakar(Rp./kg) 30 100% 30 0% 0.000 Biaya Lain(Rp./kg) 357 50% 179 50% 0.019 Tranportasi (Rp./kg) 0 50% 0 50% 0.000 Tenaga kerja(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0.000 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 0 100% 0 0% 0.000 Biaya Pemasaran(Rp./kg) 5000 50% 2500 50% 0.264 Total 17951 0.353 P(US$./kg) 3.70 BSD = D/(P-T) 5357.50 p (US$) 9453.00 k = BSD/p 0.57 Lampiran 14. Analisis Keunggulan Komparatif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya D T per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (US$/Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 35000 2 Biaya (Rp./kg) 22096 Alat Suling(Rp./kg) 626 50% 313 50% 0.033 Bangunan (Rp./kg) 238 100% 238 0% 0.000 Peralatan lain(Rp./kg) 351 50% 176 50% 0.019 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0.000 Bahan bakar(Rp./kg) 24 100% 24 0% 0.000 Biaya Lain(Rp./kg) 143 50% 71 50% 0.008 Tranportasi (Rp./kg) 2857 50% 1429 50% 0.151 Tenaga kerja(Rp./kg) 5714 100% 5714 0% 0.000 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 0 100% 0 0% 0.000 Biaya Pemasaran(Rp./kg) 5000 50% 2500 50% 0.264 Total 17608 0.475 P(US$./kg) 3.70 BSD = D/(P-T) 5453.24 p (US$) 9453.00 k = BSD/p 0.58

Page 109: cengkeh

92

Lampiran 15. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCns (KAS 100 Kilogram Jenis Nonstainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya G I per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (Rp./Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 22500 2 Biaya (Rp./kg) 19089 Alat Suling(Rp./kg) 0 50% 0 50% 0 Bangunan (Rp./kg) 238 100% 238 0% 0 Peralatan lain(Rp./kg) 0 50% 0 50% 0 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0 Bahan bakar(Rp./kg) 24 100% 24 0% 0 Biaya Lain(Rp./kg) 143 50% 71 50% 71 Tranportasi 5714 50% 2857 50% 2857 Tenaga kerja(Rp./kg) 5714 100% 5714 0% 0 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 113 50% 56 50% 56 Total 16104 2985 R (Rp./kg) 22500 PCR = G/(R - I) 0.83 Lampiran 16. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs1 (KAS 30 Kilogram Jenis Stainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya G I per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (Rp./Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 30000 2 Biaya (Rp./kg) 18710 Alat Suling(Rp./kg) 0 50% 0 50% 0 Bangunan (Rp./kg) 397 100% 397 0% 0 Peralatan lain(Rp./kg) 655 50% 327 50% 327 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0 Bahan bakar(Rp./kg) 40 100% 40 0% 0 Biaya Lain(Rp./kg) 476 50% 238 50% 238 Tranportasi 0 50% 0 50% 0 Tenaga kerja(Rp./kg) 9524 100% 9524 0% 0 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 476 50% 238 50% 238 Total 17907 804 R (Rp./kg) 30000 PCR = G/(R - I) 0.61

Page 110: cengkeh

93

Lampiran 17. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs2 (KAS 40 Kilogram Jenis Stainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya G I per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (Rp./Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 30000 2 Biaya (Rp./kg) 15890 Alat Suling(Rp./kg) 0 50% 0 50% 0 Bangunan (Rp./kg) 298 100% 298 0% 0 Peralatan lain(Rp./kg) 491 50% 246 50% 246 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0 Bahan bakar(Rp./kg) 30 100% 30 0% 0 Biaya Lain(Rp./kg) 357 50% 179 50% 179 Tranportasi 0 50% 0 50% 0 Tenaga kerja(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 429 50% 214 50% 214 Total 15251 638 R (Rp./kg) 30000 PCR = G/(R - I) 0.52 Lampiran 18. Analisis Keunggulan Kompetitif Minyak Cengkeh Pada Usaha PMCs3 (KAS 100 Kilogram Jenis Stainless)

Komponen Penerimaan dan Biaya G I per kilogram minyak cengkeh Share (Rp./Kg) Share (Rp./Kg)

1 Penerimaan (Rp./kg) 30000 2 Biaya (Rp./kg) 16756 Alat Suling(Rp./kg) 0 50% 0 50% 0 Bangunan (Rp./kg) 238 100% 238 0% 0 Peralatan lain(Rp./kg) 351 50% 176 50% 176 Bahan baku(Rp./kg) 7143 100% 7143 0% 0 Bahan bakar(Rp./kg) 24 100% 24 0% 0 Biaya Lain(Rp./kg) 143 50% 71 50% 71 Tranportasi 2857 50% 1429 50% 1429 Tenaga kerja(Rp./kg) 5714 100% 5714 0% 0 Bunga dan pengembalian pinjaman (Rp./kg) 286 50% 143 50% 143 Total 14938 1818 R (Rp./kg) 30000 PCR = G/(R - I) 0.53

Page 111: cengkeh

90

Lampiran 19. Responden Penentu Faktor Strategis Internal-Eksternal Dalam Pengembangan Usaha PMC di Provinsi Maluku Renponde

n Nama Alamat Jabatan 1 Dr.Ir. Wardis Girsang Kompleks BTN Wayame No 45/ Dosen Fak. Pertanian Universitas Pattimura, Kepala Lab. Sosek, Kampus Faperta - Ambon Konsultan JICA & UNIDO Maluku

2 Dr.Ir. Max Pattinama Jln. Inatuni VII No.20/ Dosen Fak. Pertanian Universitas Pattimura Kampus Faperta - Ambon Konsultan JICA & UNIDO Maluku

3 Ir. Shelly Pattipeiluhu, Msi Jln. Sultan Hairun No 1/ Dosen Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura

Kampus Faperik - Ambon Program Officer Economy JICA Maluku 4 Abdullah Sialana Spi Jln. Wolter Mongonsidi No 2 Passo -Ambon Manager UNIDO

Jln. Kebun Cengkeh Kompleks BTN Kanawa Batumerah - Ambon

Anggota Badan Pengembangan sagu dan minyak nabati Pemda Propinsi Maluku

5 Suryadi, S.Sos Jln. BTN Kebun Cengkeh Blok A/34 Batumerah/ Kasie Program dan Pendataan Dinas Pertanian Propinsi Maluku Jln WR. Supratman Tanah Tinggi - Ambon

6 Mientje Lewa, S.Sos Jln. Kebun Cengkeh Kantor Baristand -Ambon Penyulih Madya Baristand Maluku 7 Hasan Latarissa S.Sos Desa Sohoku RT/RW: 13/05 Amahai Malteng Kasie Perindustian dan Iklim Usaha Kabupaten Malteng 8 Saad Sanusi Desa Tamilow Pengusaha AMC 9 Seblun Tiwery, SH Jln. Dr. Malaiholo SK 55/33 Air Salobar - Ambon Konsultan Manajemen Program Pengembangan Kecamatan Kabupaten Seram Bagian Barat

94

Page 112: cengkeh

91

Lampiran 20. Rekapitulasi Penentuan Faktor Kekuatan dan Kelemahan Internal

Responden Faktor Internal (Vertikal) 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jumlah Keputusan

A Ketersediaan (kelimpahan) bahan baku 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 S B Sifat Bahan baku dan tofografi daerah -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -9 W C Sumberdaya Manusia 1 1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -3 W D Sosial budaya masyarakat -1 1 1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -3 W E Dukungan Non pribumi 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 S F Modal Usaha 1 -1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -5 W G Tingkat Keuntungan Usaha 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 S H Ketersediaan infrastruktur 1 1 1 -1 1 1 -1 -1 -1 1 S I Kebijakan Pemerintah Daerah -1 1 1 -1 -1 -1 -1 1 -1 -3 W J Kelembagaan -1 -1 1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -7 W

Lampiran 21. Rekapitulasi Penentuan Faktor Peluang dan Ancaman Eksternal

Responden Jumlah Faktor Eksternal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Keputusan

A Potensi Pasar non lokal 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 O B Kesempatan bermitra 1 -1 1 1 1 1 1 1 -1 5 O C Fluktuasi harga produk 1 1 -1 -1 -1 1 -1 1 -1 -1 T D Produk sejenis dari daerah lain -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -9 T E Politik dan Keamanan -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -9 T F Ketersediaan teknologi 1 1 1 -1 -1 1 1 1 -1 3 O

G Tingkat suku bunga turun dan skim kredit UKM tersedia 1 1 1 1 1 1 1 1 1 9 O

H Standar mutu dan kuantitas hasil -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -1 -9 T 95

Page 113: cengkeh

96

Lampiran 22. Bagan Proses Penyulingan Minyak Cengkeh `

Penyiapan Bahan Baku: Daun, Gagang, ranting

Uap Air + Minyak cengkeh

Penyulingan/Destilation

Bahan Bakar

Air distilat/ Distilated water

Minyak

Kondensasi /Condensation

Limbah

Pengeringan

Air/Water

Pemurnian/Refening

Minyak cengkeh

Bahan Baku

Bahan Bakar

Pupuk

Page 114: cengkeh

97

Lampiran 23. Model Matematis dan Hasil Analisis Optimalisasi Keuntungan Usaha PMCs (KAS Jenis Stainless Steel) dengan Sofware LINDO

Max: Tujuan memaksimalkan keuntungan 0.777X11+0.777X12+0.777X13+0.777X14+0.777X15+0.777X16+ 1.374X21+1.374X22+1.374X23+1.374X24+1.374X25+1.374X26+ 3.319X31+3.319X32+3.319X33+3.319X34+3.319X35+3.319X36 St: Kendala Ketersediaan Bahan baku 3.6X11+4.8X21+12X31<900 3.6X12+4.8X22+12X32<13725 3.6X13+4.8X23+12X33<5796 3.6X14+4.8X24+12X34<3777 3.6X15+4.8X25+12X35<13143 3.6X16+4.8X26+12X36<954 Kendala Biaya Investasi 1.45X11+1.95X21+3.15X31<51.17 1.091X12+1.591X22+2.63X32<322.04 1.06X13+1.56X23+2.587X33<214.67 1.14X14+1.64X24+2.69X34<193.46 1.14X15+1.64X25+2.69X35<266.48 1.05X16+1.55X26+2.573X36<77.17 Kendala Target Produksi 0.1206X11+0.1206X12+0.1206X13+0.1206X14+0.1206X15+ 0.1206X16+0.1608X21+0.1608X22+0.1608X23+0.1608X24+ 0.1608X25+0.1608X26+0.402X31+0.402X32+0.402X33+ 0.402X34+0.402X35+0.402X36<480 END GIN X11 GIN X12 GIN X13 GIN X14 GIN X15 GIN X16 GIN X21 GIN X22 GIN X23 GIN X24 GIN X25 GIN X26 GIN X31 GIN X32 GIN X33 GIN X34 GIN X35 GIN X36

Page 115: cengkeh

98

LAST INTEGER SOLUTION IS THE BEST FOUND RE-INSTALLING BEST SOLUTION... OBJECTIVE FUNCTION VALUE 1) 1396.100 VARIABLE VALUE REDUCED COST X11 0.000000 -0.777000 X12 1.000000 -0.777000 X13 2.000000 -0.777000 X14 2.000000 -0.777000 X15 0.000000 -0.777000 X16 2.000000 -0.777000 X21 0.000000 -1.374000 X22 0.000000 -1.374000 X23 0.000000 -1.374000 X24 0.000000 -1.374000 X25 0.000000 -1.374000 X26 0.000000 -1.374000 X31 16.000000 -3.319000 X32 122.000000 -3.319000 X33 82.000000 -3.319000 X34 71.000000 -3.319000 X35 99.000000 -3.319000 X36 29.000000 -3.319000 ROW SLACK OR SURPLUS DUAL PRICES 2) 708.000000 0.000000 3) 12257.400391 0.000000 4) 4804.799805 0.000000 5) 2917.800049 0.000000 6) 11955.000000 0.000000 7) 598.799988 0.000000 8) 0.769998 0.000000 9) 0.088986 0.000000 10) 0.416009 0.000000 11) 0.189996 0.000000 12) 0.169994 0.000000 13) 0.453001 0.000000 14) 310.717804 0.000000 NO. ITERATIONS= 631 BRANCHES= 298 DETERM.= 1.000E 0

Page 116: cengkeh

99

Lampiran 24. Rekapitulasi Perhitungan Bobot Faktor Internal

Responden Faktor Internal (Vertikal) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Bobot

A Ketersediaan bahan baku 0.11 0.11 0.11 0.08 0.09 0.08 0.09 0.08 0.09 0.84 0.09

B Sifat Bahan baku dan topografi daerah 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.11 0.12 0.09 0.98 0.11

C Sumberdaya Manusia 0.09 0.11 0.12 0.08 0.10 0.08 0.09 0.09 0.09 0.86 0.10

D Sosial budaya masyarakat 0.09 0.09 0.11 0.11 0.11 0.11 0.09 0.09 0.09 0.89 0.10

E Dukungan Non pribumi 0.10 0.09 0.11 0.13 0.13 0.14 0.14 0.14 0.13 1.13 0.13

F Modal usaha 0.11 0.09 0.07 0.09 0.08 0.08 0.07 0.08 0.09 0.77 0.09

G Tingkat Keuntungan Usaha 0.08 0.05 0.08 0.07 0.07 0.09 0.09 0.07 0.07 0.66 0.07

H ketersediaan infrastruktur 0.08 0.11 0.09 0.11 0.09 0.11 0.10 0.09 0.12 0.91 0.10

I Kebijakan Pemerintah Daerah 0.10 0.10 0.07 0.09 0.09 0.08 0.09 0.10 0.11 0.83 0.09

J Kelembagaan 0.13 0.13 0.13 0.13 0.13 0.12 0.12 0.12 0.12 1.13 0.13

Total 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 9.00 1.00

99

Page 117: cengkeh

90

Lampiran 25. Rekapitulasi Peringkat Faktor Kekuatan dan Kelemahan Internal

Responden Faktor Internal

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Median

Kekuatan A Ketersediaan bahan baku 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 B Dukungan Non pribumi 4 4 4 3 3 3 4 3 4 4 C Tingkat Keuntungan Usaha 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 D ketersediaan infrastruktur 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3

Kelemahan E Sifat Bahan baku dan tofografi daerah 2 2 2 2 1 2 1 1 1 2 F Sumberdaya Manusia 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 G Sosial budaya masyarakat 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 H Modal Usaha 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 I Kebijakan Pemerintah Daerah 1 1 1 1 2 2 2 2 1 1

M Kelembagaan 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1

100

Page 118: cengkeh

90

Lampiran 26. Rekapitulasi Perhitungan Bobot Faktor Eksternal

Responden Faktor Eksternal (Vertikal) 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Jumlah Bobot

A Potensi Pasar non lokal 0.13 0.12 0.12 0.09 0.10 0.12 0.11 0.11 0.12 0.99 0.11 B Kesempatan bermitra 0.14 0.14 0.14 0.16 0.15 0.15 0.15 0.14 0.15 1.34 0.15 C Fluktuasi harga produk 0.13 0.12 0.12 0.12 0.13 0.11 0.12 0.13 0.10 1.05 0.12 D Produk sejenis dari daerah lain 0.15 0.16 0.16 0.16 0.18 0.18 0.18 0.18 0.18 1.53 0.17 E Politik dan Keamanan 0.07 0.07 0.07 0.06 0.06 0.08 0.06 0.06 0.06 0.61 0.07 F Ketersediaan teknologi 0.14 0.14 0.14 0.14 0.15 0.14 0.15 0.14 0.13 1.29 0.14 G Tingkat suku bunga turun dan skim kredit UKM tersedia 0.11 0.12 0.11 0.13 0.12 0.11 0.12 0.12 0.13 1.05 0.12 H Standar mutu dan kuantitas hasil 0.13 0.13 0.14 0.13 0.12 0.12 0.12 0.12 0.13 1.13 0.13 Total 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 9.00 1.00 Lampiran 27. Rekapitulasi Peringkat Faktor Peluang dan Ancaman Eksternal

Responden Faktor Eksternal 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Median

Peluang A Potensi pasar 2 4 4 4 4 4 4 3 3 4 B Kesempatan bermitra 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 C Ketersediaan Teknologi 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 D Tingkat suku bunga turun dan skim kredit UKM tersedia 2 2 2 2 3 3 3 3 2 2

Ancaman E Fluktuasi harga produk 3 3 3 3 3 2 2 2 2 3 F Produk sejenis dari lain daerah 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 G Politik dan Keamanan (Opini) 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 H Standar mutu dan kuantitas produk 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1

101

Page 119: cengkeh

102