cedera kepala bab 1 - 2 bab 3 dan dafpus.docx

28
BAB I PENDAHULUAN Cedera kepala merupakan suatu kejadian yang membahayakan karena dapat menyebabkan kecacatan permanen, gangguan mental, bahkan kematian. 1 Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. 2 Namun sayangnya cedera kepala cukup sering ditemukan dalam praktek keseharian, bahkan dikatakan bahwa lebih dari 80 persen penderita cedera yang datang ke ruang gawat darurat selalu disertai dengan cedera kepala. 3 Sebagian besar cedera kepala menurut CDC (Centers for Disease Control and prevention) diakibatkan karena terjatuh (35%), kecelakaan lalu lintas (17%), tertimpuk (17%), dan trauma akibat penyerangan (10%). 4 Cedera kepala umumnya diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS). Kebanyakan cedera kepala yang terjadi diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan dan sekitar 8-10 % diklasifikasikan sebagai cedera kepala sedang dan berat. Meskipun pasien kembali bekerja setelah menderita cedera kepala ringan, sekitar 50% pasien menderita kelumpuhan sedang atau berat dinilai dengan Glasgow Outcome Scale (GOS). Untuk pasien dengan cedera kepala berat prognosisnya lebih buruk. Sekitar 30% pasien dengan skor CGS kurang dari13 akan meninggal. Mortalitas untuk pasien dengan CGS kurang dari 8 setelah resusitasi adalah sekitar 50%. Sedangkan pasien dengan skor 1

Upload: otty-mitha-octriza

Post on 29-Sep-2015

43 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

b

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Cederakepalamerupakan suatu kejadian yangmembahayakan karena dapat menyebabkan kecacatan permanen, gangguan mental, bahkan kematian.1 Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma.2 Namun sayangnya cedera kepala cukup sering ditemukan dalam praktek keseharian, bahkan dikatakan bahwa lebih dari 80 persen penderita cedera yang datang ke ruang gawat darurat selalu disertai dengan cedera kepala.3 Sebagian besar cedera kepala menurut CDC (Centers for Disease Control and prevention) diakibatkan karena terjatuh (35%), kecelakaan lalu lintas (17%), tertimpuk (17%), dan trauma akibat penyerangan (10%).4Cedera kepala umumnya diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS). Kebanyakan cedera kepala yang terjadi diklasifikasikan sebagai cedera kepala ringan dan sekitar 8-10 % diklasifikasikan sebagai cedera kepala sedang dan berat. Meskipun pasien kembali bekerja setelah menderita cedera kepala ringan, sekitar 50% pasien menderita kelumpuhan sedang atau berat dinilai dengan Glasgow Outcome Scale (GOS). Untuk pasien dengan cedera kepala berat prognosisnya lebih buruk. Sekitar 30% pasien dengan skor CGS kurang dari13 akan meninggal. Mortalitas untuk pasien dengan CGS kurang dari 8 setelah resusitasi adalah sekitar 50%. Sedangkan pasien dengan skor CGS kurang dari 12 sekitar 8% akan meninggal dalam 6 jam pertama dan 2% dalam 1 jam pertama. 5 Dikarenakan kasusnya yang cukup sering terjadi membawa akibat yang serius, maka penting bagi seluruh petugas kesehatan terutama dokter untuk melakukan diagnosis dan tata laksana yang tepat dalam pengelolaan cedera kepala agar dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan cedera kepala.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefinisiCedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidaklangsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.6 Sedangkan menurut menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.7 Pada bidang ilmu penyakit saraf, cedera kepala lebih dititik beratkan pada cedera terhadap otak, selaput otak, dan pembuluh darahnya.8 Gambar 1 mengilustrasikan gambaran cedera kepala.

Gambar 1. Cedera Kepala9

2.2 EpidemiologiDi Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Sementara untuk pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).10 Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.11 Data epidemiologi cedera kepala di Indonesia belum ada, namun data dari RS Cipto Mangunkusumo untuk penderita rawat inap terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.12Sebagian besar cedera kepala menurut CDC (centers for disease control and prevention) diakibatkan karena terjatuh (35%), kecelakaan lalu lintas (17%), tertimpuk (17%), dan trauma akibat penyerangan (10%).42.3 Patologi Cedera KepalaPada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.13,14Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.13 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).15 Gambar 2 dan Gambar 3 menerangkan lesi coup dan contrecoup.

Gambar.2 Coup dan contrecoup depan-belakang

Gambar.3 Coup dan contrecoup sampingCedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.15 Pada cedera sekunder, kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

CPP = MAP ICPCPP : CerebralPerfusionPressureMAP : Mean Arterial PressureICP : Intra Cranial PressurePenurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

2.4 Pembagian Cedera KepalaCedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasarkan mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala, serta morfologi. Gambar. 4 menerangkan klasifikasi cedera kepala dalam bentuk tabel. Gambar. 4 Klasifikasi Cedera Kepala

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atascedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.16

Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai keparahan atau derajat kegawatan pada cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflex refleks.17 Gambar. 5 memperlihatkan perhitungan Glasgow coma scale.

Gambar. 5 Glasgow coma scalePembagian cedera kepala berdasarkam tingkat beratnya cedera kepala :a. Simple Head InjuryTrauma kepala tanpa penurunan kesadaran maupun defisit neurologis.b. Cedera Kepala Ringan (Komosio Serebri)GCS 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak maupun hematom.

c. Cedera Kepala Sedang (Kontusio Serebri)GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograde lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.d. Cedera Kepala BeratGCS 8, kehilangan kesadaran dan/atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Kemungkinan perdarahan intracranial lebih besar.

Pembagian terakhir cedera kepala adalah berdasarkan morfologi. Cedera kepala dibagi menjadi fraktur tengkorak dan perdarahan intracranial. a. Fraktura Tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.18 Gambar. 6 menggambarkan fraktur linear dan depressed.

Gambar. 6 Fraktur tulang kepala

Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.18 Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior.19 Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior. Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek. Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera. Gambar. 7 memperlihatkan raccoon eyes dan battles sign. Gambar.7 raccoon eyes dan battles signb. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, hematoma subarachnoid dan hematoma intraserebral. Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. b.1 Lesi Fokalb.1.1. Hematoma Epidural Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningea media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Gejalaklinishematomepidural yaitu lucid interval, hemiparesis, dan dilatasi pupil ipsilateral.19 Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.18

Gambar.8 Epidural Hematomb.1.2 Hematoma SubduralHematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging Antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Gejala klinisnya antara lain : sakit kepala, penurunan kesadaran dan gejala yang timbul tidakkhas yang merupakan manifestasi dari peningkatan tekanan intracranial seperti; mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan nervus III, epilepsy, pupilanisokor, dan defisit neurologis lainnya. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.18

Gambar.9 Subdural Hematom

Gambar. 10 Variasi Subduralb.1.3 Hematoma subarachnoidSubarachnoid hematoma (SAH). Perdarahan ini paling seringditemukan padacedera kepala, umumnyamenyertai lesi lain. Perdarahan terletak di antara arakhnoid dan piamater mengisi ruang subarakhnoid. Adanya darah dalam ruang subarakhnoid ini dapat menyebabkan hidrosefalus. Biasa digambarkan penderita sebagai sakit kepala terburuk. Gambar. 11 Subarachnoid Hematomb.1.4 Hematoma intraserebral. Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.18Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

Gambar. 12 Perdarahan intraserebral

b.2 Diffuse Injury (kerusakanmenyeluruh)Merupakantipeciderayangpalingseringditemukan.Diartikansebagaisuatukeadaan patologispenderita koma tanpa gambaran space occupying lesion (SOL).

Gambar. 13 Diffuse Injury

2.5 Pemeriksaan FisikHal terpenting yang pertama kali dinilai adalah fungsi vital dan status kesadaran pasien.Yang dinilai dalam status fungsi vital adalah:16-18 Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury). Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot, hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran. Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intracranial.

Cara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik.19Pemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis.19Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.19

2.6 Pemeriksaan PenunjangFoto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.17Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui CT Scan kepala. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis krani dan kejang.18

2.7 Penatalaksanaan1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ABC) a. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.b. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif.c. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.2. Mengurangi edema otak dengan cara : Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg. Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit. Pada 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 1500-2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piracetam dan citicholine dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.4. Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini .5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin ; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intracranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1 250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberikan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan.

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain : 1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak8. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

2.8 PrognosisPasien dengan cedera kepala dapat menyebabkan kematian atau bahkan penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

BAB IIIPENUTUP

Cederakepalamerupakan suatu kejadian yangmembahayakan karena dapat menyebabkan kecacatan permanen, gangguan mental, bahkan kematian. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berdasarkan mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala, serta morfologi. Pasien dengan cedera kepala dapat menyebabkan kematian atau bahkan penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

1.American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI, 2004. 2. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam : Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.3. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996.4. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins, 2003.5. Arif, et al, , Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta. 20006. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta. , 19977. Heegaard WG, Biros MH, Head injury. In: Marx JA, Hockberger RS, Walls RM, et al., eds. Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 8th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Mosby; 2013:chap 41.8. Landry GL. Head and neck injuries. In: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme JW III, et al., eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 680.9. Traumatic brain injury: Hope through research. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/detail_tbi.htm. Accessed 31 march, 2015.10. Traumatic brain injury (TBI). American Speech-Language-Hearing Association. http://www.asha.org/public/speech/disorders/tbi/. Accessed 31 march, 2015.11. Goldman L, et al. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, Pa.: Saunders Elsevier; 2012. 12. Traumatic brain injury. Alzheimer's Association. http://www.alz.org/dementia/traumatic-brain-injury-head-trauma-symptoms.asp. Accessed 1 april, 2015.13. Longo DL, et al. Harrison's. 18th ed. New York, N.Y.: The McGraw-Hill Companies; 2012. 14. Hemphill JC. Epidemiology, classification, and pathophysiology. http://www.uptodate.com/home. Accessed 1 april, 2015.15. Weinhouse GL. Hypoxic-ischemic brain injury: Evaluation and prognosis. http://www.uptodate.com/home. Accessed 1 april, 2015.16. McCrory P, et al. Consensus statement on concussion in sport: The 4th International Conference on Concussion in Sport held in Zurich, November 2012. British Journal of Sports Medicine. 2013;47:250.17. Adams JG. Emergency Medicine. 2nd ed. Philadelphia, Pa.: Saunders Elsevier; 2013. 18. Hemphill JC. Management of acute severe traumatic brain injury. http://www.uptodate.com/home. Accessed 1 april, 2015.19. What can I do to help prevent traumatic brain injury? Centers for Disease Control and Prevention. http://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/prevention.html. Accessed 1 april, 2015.

20