cda makalah

19
1 Critical Discourse Analysis [Analisa Wacana Kritis] Sumbangannya dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya Oleh Haryatmoko Critical Discourse Analysis (Analisa wacana kritis) dilihat sebagai penerapan analisa kritis terhadap bahasa yang terinsipirasi oleh Marxisme ketika menyoroti aspek-aspek budaya dalam kehidupan sosial, yaitu ketika dominasi dan eksploitasi dipertahankan melalui budaya dan ideologi (Wetherell, 2001: 232). Maka perspektif hegemoni Gramsci besar pengaruhnya terhadap CDA karena mau menggambarkan tentang kekuasaan dan perjuangan kekuasaan yang mengandalkan pada persetujuan dari pada koersi, artinya bentuk pengorganisasian konsensus yang merupakan proses subordinasi kesadaran yang dibangun tanpa kekerasan (koersi), tapi dengan melandaskan pada budaya dan persuasi intelektual. Maka bahasa dan wacana sangat berperan. Sementara Althusser melihat ideologi bukan sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi bagian dari kegiatan kongkrit atau praksis sosial. Ideologi dipandang sebagai cara orang memposisikan diri dalam cara tertentu sebagai subyek sosial. Maka bahasa menjadi tumpuan karena bahasa dilihat dari perspektif ideologi, artinya bahasa dilihat dalam konstruksi ideologis subyek (Wetherell, 2001: 233). Mikhail Bakhtin mengatakan bahwa tanda-tanda linguistik merupakan materi ideologi. Gagasan tentang “kritis” diambil dari perspektif Mashab Frankfurt, yaitu bahwa proses budaya berdampak pada kehidupan sosial dan merupakan lingkup perjuangan melawan dominasi dan ketidakadilan untuk emansipasi. Habermas mengembangkan versi teori kritis dengan komunikasi yang meletakkan dasar normatif untuk mengkritisi bentuk- bentuk komunikasi yang secara sistematis telah dimanipulasi. Sumbangan besar yang tidak bisa diabaikan adalah konsep wacana menurut Michel Foucault. Baginya, wacana merupakan sistem pengetahuan yang memberi informasi tentang teknologi sosial dan teknologi memerintah yang merupakan bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern. Para pioner CDA (Critical Discourse Analysis) seperti N. Fairclough, T. A. van Dijk, T.van Leeuwen, R. Wodak mendapat inspirasi dari gagasan Foucault tentang hubungan pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran yang bertumpu pada wacana. Wacana dilihat sebagai bahasa dalam praksis sosial, atau bahasa yang menjadi peristiwa sosial. Jadi wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan (cara untuk merepresentasikan pengetahuan) tentang topik khusus pada periode

Upload: dimas-bagus-cahyaningrat-w

Post on 13-Sep-2015

98 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

1

Critical Discourse Analysis

[Analisa Wacana Kritis]

Sumbangannya dalam Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan BudayaOleh HaryatmokoCritical Discourse Analysis (Analisa wacana kritis) dilihat sebagai penerapan analisa kritis terhadap bahasa yang terinsipirasi oleh Marxisme ketika menyoroti aspek-aspek budaya dalam kehidupan sosial, yaitu ketika dominasi dan eksploitasi dipertahankan melalui budaya dan ideologi (Wetherell, 2001: 232). Maka perspektif hegemoni Gramsci besar pengaruhnya terhadap CDA karena mau menggambarkan tentang kekuasaan dan perjuangan kekuasaan yang mengandalkan pada persetujuan dari pada koersi, artinya bentuk pengorganisasian konsensus yang merupakan proses subordinasi kesadaran yang dibangun tanpa kekerasan (koersi), tapi dengan melandaskan pada budaya dan persuasi intelektual. Maka bahasa dan wacana sangat berperan. Sementara Althusser melihat ideologi bukan sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi bagian dari kegiatan kongkrit atau praksis sosial. Ideologi dipandang sebagai cara orang memposisikan diri dalam cara tertentu sebagai subyek sosial. Maka bahasa menjadi tumpuan karena bahasa dilihat dari perspektif ideologi, artinya bahasa dilihat dalam konstruksi ideologis subyek (Wetherell, 2001: 233). Mikhail Bakhtin mengatakan bahwa tanda-tanda linguistik merupakan materi ideologi. Gagasan tentang kritis diambil dari perspektif Mashab Frankfurt, yaitu bahwa proses budaya berdampak pada kehidupan sosial dan merupakan lingkup perjuangan melawan dominasi dan ketidakadilan untuk emansipasi. Habermas mengembangkan versi teori kritis dengan komunikasi yang meletakkan dasar normatif untuk mengkritisi bentuk-bentuk komunikasi yang secara sistematis telah dimanipulasi. Sumbangan besar yang tidak bisa diabaikan adalah konsep wacana menurut Michel Foucault. Baginya, wacana merupakan sistem pengetahuan yang memberi informasi tentang teknologi sosial dan teknologi memerintah yang merupakan bentuk kekuasaan dalam masyarakat modern.Para pioner CDA (Critical Discourse Analysis) seperti N. Fairclough, T. A. van Dijk, T.van Leeuwen, R. Wodak mendapat inspirasi dari gagasan Foucault tentang hubungan pengetahuan, kekuasaan dan kebenaran yang bertumpu pada wacana. Wacana dilihat sebagai bahasa dalam praksis sosial, atau bahasa yang menjadi peristiwa sosial. Jadi wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan (cara untuk merepresentasikan pengetahuan) tentang topik khusus pada periode sejarah tertentu. Foucault tertarik pada wacana lebih sebagai aturan-aturan dan praktik-praktik wacana yang menghasilkan masalah-masalah yang bermakna dan diatur sesuai dengan periode sejarah, artinya ada struktur pemaknaan yang menentukan pada suatu periode serajah tertentu. Filsuf post-strukturalis Prancis ini menggunakan istilah pistem untuk menunjuk struktur pemaknaan yang dominan pada suatu jaman. Bagaimana memahami logika Foucault ini bahwa kekuasaan, kebenaran dan pengetahuan tidak bisa lepas dari wacana. Praksis sosial memerlukan makna dan makna tidak bisa lepas dari bahasa, sedangkan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana.Bahasa biasa dipahami sebagai alat untuk komunikasi. Namun bukan hanya berhenti menggunakan bahasa untuk komunikasi, bahasa juga dipakai untuk melakukan sesuatu (M.Wetherell, 2001:3). Bahkan bahasa oleh Pierre Bourdieu dilihat sebagai instrumen kekuasaan (Bourdieu, 1982: 60) Hubungan sosial pada dasarnya adalah hubungan dominasi. Dan sebagai interaksi simbolis, hubungan komunikasi mengimplikasikan adanya hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Dengan demikian hubungan komunikasi ditandai oleh pertukaran wacana sebagai hubungan kekuasaan simbolis. Wacana Mengarahkan Tindakan

Wacana sering dipahami sebagai interaksi simbolis dalam berbagai bentuk seperti pembicaraan, tulisan, kial, gambar, diagram, film atau musik. (M. Bloor, 2007:1-2). Analisa Wacana Kritis (CDA) tertarik pada cara bagaimana bahasa dan wacana digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, termasuk untuk pemeliharaan kohesi sosial atau perubahan-perubahan sosial. Peran bahasa dan wacana ini bisa dipahami karena bahasa mampu mendefinisikan dan menghasilkan obyek pengetahuan tertentu, misalnya, definisi psikologi tentang kedewasaan yang mengacu pada sifat orang yang terbuka, bisa kerjasama, mampu mendengarkan, bertanggungjawab. Maka psikolog akan diminta untuk membantu menyeleksi calon pimpinan yang memiliki ciri-ciri kedewasaan seperti itu. Pengetahuan ini akan mempengaruhi bagaimana gagasan-gagasan itu dipraktikkan dan digunakan untuk mengatur perilaku. Penerimaan karyawan, seleksi pimpinan, syarat masuk perguruan tinggi akan bertumpu pada kriteria yang sudah ditetapkan ilmu psikologi itu. Wacana ilmiah ini akan mengatur cara membahas sesuatu, mendefinisikan, cara bicara, menulis, dan bertindak. Itulah artinya wacana merupakan praktik sosial.Dalam definisi Ricoeur, waacana meliputi empat unsur, yaitu pertama, ada subyek yang menyatakan; kedua, kepada siapa disampaikan; ketiga, dunia atau wahana yang mau direpresentasikan; dan keempat, temporalitas atau konteks waktu. Pemahaman unsur-unsur wacana Ricoeur ini bisa membantu menjelaskan mengapa oleh Foucault dan Wetherell, wacana dilihat sebagai praksis sosial. Perbedaan Konsep Wacana

menurut Foucault, Wetherell dan Ricoeur

M. FoucaultM.WetherellP.Ricoeur

Definisi

Praksi SosialDasar PengetahuanWacana: 1)cara menyediakan bahasa utk membuat pernyataan (cara merepresentasikan pengetahuan) ttg topik khusus pd periode sejarah tertentu 2)praktik yg terorganisir dan mengorganisir, mengubah konstelasi sosial dan menghasilkan sesuatu

-Praksis sosial memerlukan makna yg mempertajam & mempengaruhi apa yg dilakukan. Jadi semua praktik sosial mengandung dimensi wacana -Tempat berlangsung kekuasaan: tempat pembentukan & perkembangan pengetahuan. Subyek yg dipersonifikasi membuka pengetahuan macam apa?-Semua pengetahuan menjamin beroperasinya kekuasaan. Ingin tahu: proses dominasi thd obyek & orang. -Bahasa dalam penggunaannya: bagaimana orang berkomunikasi dan menggunakan bahasa untuk melakukan sesuatu-Bagaimana memproduksi makna dlm kehidupan sosial . -Praksis sosial selalu diskursif, diorganisir oleh nilai, representasi kebutuhan, estetika -Praksis sosial diorganisir sesuai dengan sejarah pemaknaan manusia. -Praksis sosial ( praksis wacana -Analisa Wacana membawa ke debat tentang pendasaran pengetahuan, pembentukan subyektivitas dan pengaturan masyarakat. -Ada subyek yang menyatakan-Kepada siapa disampaikan-Dunia/wahana yg mau direpresentasik-Temporalitas atau konteks waktu

-Memahami diri lebih baik

-Melalui mediasi tanda, simbol, teks -Mimesis

Asumsi dasar CDA ialah bahwa bahasa digunakan untuk beragam fungsi dan bahasa mempunyai berbagai konsekuensi. Bisa untuk memerintah, mempengaruhi, mendeskripsi, mengiba, memanipulasi menggerakkan kelompok atau membujuk. Setiap penggunaan bahasa mengandung konsekuensi-konsekuensi baik yang bisa diramalkan maupun yang tidak diharapkan. Maka sangat tergantung pada pemaknaannya, padahal pemaknaan diarahkan oleh unsur-unsur sintaksisnya. Hanya berbeda dari dekonstruksi Derrida atau strukturalisme Greimas, menurut Bourdieu, makna bahasa juga berasal dari luar bahasa. Misalnya pada jaman Orde Baru, orang mengucapkan akhiran -kan berbunyi -ken hanya karena Presiden Soeharto, melakukannya. Karena orang nomor satu di Indonesia jaman itu, memiliki kapital simbolik, ia mempengaruhi cara kebanyakan orang berbicara atau bertindak. Oleh karena itu, bahasa sekaligus dikonstruksi dan mengonstruksi. Wacana: Hasil Strategi Konstruksi

Bahasa dikonstruksi karena makna bahasa dibangun dari unsur-unsur sintaksisnya, tetapi juga pemaknaannya juga ditentukan oleh tiga aspek bahasa, yaitu locutionary, illocutionary dan perlocutionary (Austin, 1975). Aspek locutionary bahasa dimaksudkan bahwa obyek analisa wacana terkait dengan maksud dan makna wacana. Aspek illocutionary bahasa mau menjelaskan bahwa setiap pernyataan memiliki implikasi subyek terhadap pewicara (memerintah, meminta, membujuk, menuduh, berjanji). Sedangkan aspek perlocutionary bahasa memperhatikan efek terhadap lawan bicara, pendengar, pembaca, pemirsa (sedih, terharu, semangat), dan kemampuan wacana menciptakan realita. Atas dasar aspek yang ke tiga ini, teks mempunyai dampak atau konsekuensi sosial, politik, kognitif, moral dan material. Akibatnya, fenomen yang sama bisa dideskripsikan dengan beragam cara sehingga banyak terdapat variasi dalam membuat laporan atau cerita.Analisa wacana kritis mendasarkan asumsi bahwa proses mental itu konstruktif. Representasi mental berasal dari membaca teks, bukan hanya mengkopi teks atau maknanya. Maka wacana adalah hasil proses strategis konstruksi atau memberi makna yang menggunakan unsur-unsur teks. Dan unsur-unsur itu diketahui pengguna bahasa dalam kaitannya dengan konteks. Konstruksi ini menyangkut dunia sosial. Peran teks dalam konstruksi dunia sosial cenderung lebih idealis dari pada realis karena sifat tekstualnya. Bisa dikatakan realis bila aspek dunia sosial seperti institusi secara sosial dikonstruksi, begitu dikonstruksi institusi menjadi realitas yang berdampak dan membatasi konstruksi tekstual sosial. Secara tekstual, dunia sosial bisa dikonstruksi, namun representasi itu akan mengubah konstruksinya tergantung pada banyak faktor kontekstualnya. Konteks ini terkait juga dengan budaya masyarakat.Oleh karena itu dalam wacana selalu sudah ada unsur-unsur kepercayaan yang sudah dimiliki sebelum mulai komunikasi yang tergantung pada budayanya (habitus, pra-pemahaman). Jadi habitus dan pra-pemahaman menentukan sikap pewacana yang hadir di dalam pemaknaan. Bila obyek yang dianalisa adalah sikap, apakah mungkin membuat deskripsi netral? CDA berperan juga mengungkapkan situasi mental responden karena yang terakhir ini dilibatkan dalam memproduksi rumusan bahasa yang disesuaikan dengan konteks. Dari perspektif CDA, memberi pemaknaan atau konteks berbeda akan menghasilkan sikap yang berbeda pula. Jadi sikap yang terungkap di suatu kesempatan, akan berbeda bila konteksnya lain. Maka tidak mudah memilah secara ketat perbedaan berbagai laporan atau cerita.Tidak ada cara mudah untuk menyaring beragam cerita atau laporan, apalagi ada beragam bentuk harafiah, fiksi, atau representasi. Dalam suatu pernyataan, cerita atau laporan, selalu ada retorika dan penyesatan. Melalui CDA, beragamnya wacana itu mau dibuka kedoknya karena rekayasa dan kepentingan bisa bersembunyi. Tujuan akhir CDA sampai pada membongkar bentuk-bentuk dominasi yang tersembunyi, diskriminasi atau prasangka yang merugikan. Peran bahasa sangat menentukan, maka harus dianalisis dan dibongkar kepentingan, nilai atau ideologi di baliknya. Tipe tindakan atau wacana yang sangat rentan terhadap ideologi dapat ditelusuri dari tipe-tipe wacana yang dibentuk dari dua porosnya, yaitu penggunaan pragmatisnya dan mode penggunaan tanda. TIPE-TIPE WACANA UTAMA MENURUT MORRIS PENGGUNAAN

MODEINFORMATIFPENILAIANDORONGANSISTEMIK

DESIGNATIFIlmiahFiktifLegalKosmologis

APPRAISIFMistisPuitisMoralKritis

PRESKRIPTIFTeknologisPolitisReligiusPropaganda

FORMATIFLogika-MatematikRetorikaGramatikaMetafisik

Contoh tipe-tipe utama wacana menurut Morris (dalam W.Nth, Handbook of Semiotics, 1995: 55)

Di satu sisi, Morris membedakan tiga cara pemaknaan secara pragmatis dengan memberi contoh, dering bel di asrama pada jam tertentu bisa memiliki makna (Nth, 1995: 55): pertama, menunjuk pada (designatif) makanan; kedua, diapresiasi (apraisif) secara positif karena akan memuaskan rasa lapar; ketiga, menganjurkan (preskriptif) suatu response untuk bertindak sesuatu (pergi ke ruang makan). Ketiga cara ini terlibat dalam suatu proses semiosis: yaitu pernyataan bersifat menunjuk (designatif), penilaian bersifat positif (apraisif), dan imperatif ditandai dengan anjuran (preskriptif).Di sisi lain, dimensi penggunaan tanda memfokuskan pada aspek pragmatik semiosis. Tujuan membuat tanda ditafsirkan oleh organisme lain. Ada empat penggunaan tanda: pertama, informatif ketika tanda digunakan untuk memberi informasi tentang sesuatu; kedua, valuatif apabila tanda membantu dalam pilihan menyeleksi obyek; ketiga, tanda bersifat mendorong pada saat tanda mendorong ke serangkaian response; dan akhirnya keempat, tanda mengorganisir perilaku yang dihasilkan oleh tanda-tanda. Tujuan cara penggunaan itu tercapai bila informasi itu meyakinkan; valuatif itu berhasil bila efektif; dorongan itu mencapai tujuannya bila bersifat persuasif; dan sistemik bila sistemnya benar. Jadi tipe-tipe wacana bisa dikenali dari penggunaannya dan pemaknaan pragmatisnya. Dengan demikian kedua aspek ini membantu CDA membongkar ideologi yang melekat pada bahasa.Obyek CDA adalah semua sumber data, bisa berupa dokumen, kertas diskusi, perdebatan parlemen, pidato, kartun, foto, koran atau sumber media lain, termasuk risalah politik dan pamflet. Dalam CDA, analisa teks tidak hanya berhenti pada obyek analisa di depannya,namun harus diperhitungkan juga analisa kontra-wacana dan bentuk-bentuk ungkapan perlawanan lainnya. Teks sebagai fakta sosial mengandung unsur peristiwa sosial yang bisa menjadi penyebab perubahan dalam pengetahuan, kepercayaan, sikap, dan nilai. Maka CDA melihat teks sebagai fakta yang bisa mempertajam identitas masyarakat baik sebagai konsumen, maupun dalam identitas gendernya, misalnya melalui iklan. Teks bisa memicu konflik, mengubah pendidikan, atau hubungan industri.Kekhasan CDA dan Tujuannya

Dalam analisa wacana, ada pretensi analis mengambil jarak, hubungan dengan teks obyektif, tidak melibatkan diri atau mengambil posisi. Sedangkan dalam CDA, analis mengambil posisi, berpihak dan membongkar, mendemistifikasi bentuk-bentuk dominasi melalui analisa wacana. Jadi dalam CDA terkandung tanggung jawab moral dan politik. Maka fokus pada masalah sosial menjadi relevan. Analisa dan deskripsi teori berperan untuk mengkritisi ketidakadilan biasanya atas dasar gender, etnis, kelas, agama, atau bahasa.Tujuan akhir yang mau dicapai oleh CDA bersifat ilmiah dan terutama untuk perubahan sosial dan politik. Maka analis CDA diharapkan menjadi agent of change dan solider dengan mereka yang membutuhkan perubahan. Jadi CDA sangat berbeda dari sekedar analisa wacana yang berpretensi obyektif.Perbedaan Critical Discourse Analysis dan Analisa Wacana ObyektifAnalisa Wacana(Obyektif)Critical Discourse Analysis(CDA)

1.Struktur Pengetahuan

2.Kerangka Acuan3.Tujuan

-Deskripsi tentang fakta dengan ambisi bebas nilai; obyektif

-Tidak mau condong ke nilai atau politik tertentu; mengambil jarak; untuk menjelaskan, kontrol dan prediksi .

-Memberdayakan bentuk-bentuk kehidupan sosial agar bisa bekerja lebih efektif dan efisien tanpa merasa terlibat dalam masalah moral dan politik

-Pengembangan dari tradisi ilmu sosial kritis; tidak bebas nilai; subyek harus ikut terlibat

-Dimotivasi oleh tujuannya memberi dasar ilmiah bagi pertanyaan kritis thd kehidupan sosial dlm rangka moral, politik, keadilan sosial & kekuasaan (berpihak)

-Menumbuhkan kesadaran kritis

-Membongkar bentuk-bentuk dominasi yg disembunyikan (menjadi agent of change -Menghasilkan pengetahuan untuk melawan cara memerintah yang dominan

-Menantang kebebasan untuk membuka kemungkinan bertindak kreatif

Tujuan yang mau dicapai CDA: Pertama, menganalisa praktik wacana yang mencerminkan atau mengkonstruksi masalah sosial; kedua, meneliti bagaimana ideologi dibekukan dalam bahasa dan menemukan cara bagaimana mencairkan ideologi yang mengikat bahasa atau kata; ketiga, meningkatkan kesadaran agar peka terhadap ketidakadilan, diskriminasi, prasangka dan bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Maka dibutuhkan pembongkaran hubungan antara bahasa dan ideologi dengan cara menunjukkan pemaknaan bahasa di dalam hubungan kekuasaan dan hubungan sosial. Upaya ini mengandaikan ada penelitian tentang bagaimana makna diciptakan di dalam konteks tertentu, termasuk meneliti peran tujuan pembicara atau penulis atau posisi pengarang dalam konstruksi wacana.Prinsip-Prinsip CDA menurut van Dijk

Prinsip-prinsip analisa wacana kritis menurut van Dijk ada dua belas (penulis terjemahkan dengan beberapa perubahan dari Discourse as Structure and Process, 1997: 29-31): 1.Teks atau pembicaraan sungguh terjadi; 2.Melihat Konteks; 3. Wacana adalah bentuk pembicaraan; 4.Wacana merupakan praktek sosial; 5. Sebaiknya kategori-kategori analis dihindari; 6. Sequensialitas; 7. Konstruktivitas; 8.Tingkat dan Dimensi 9. Makna dan Fungsi; 10. Aturan interaksi; 11. Strategi; dan 12. Kognisi Sosial.Pertama, teks atau pembicaraan memang sungguh terjadi. Maka studi tentang wacana memfokuskan pada pembicaraan atau teks yang memang pernah berlangsung, bukan dibuat-buat atau hanya dari contoh yang dikonstruksi seperti fiksi atau dramatisasi. Obyeknya harus merupakan data yang diambil dari realitas, bisa berupa tape, video yang merekam pembicaraan atau peristiwa, atau teks yang digunakan dalam media massa atau pendidikan. Data pada prinsipnya tidak atau belum diedit, tapi dipelajari seperti adanya, sedekat mungkin dengan munculnya, atau digunakan dalam konteks orisinal.Kedua, melihat konteks berarti bahwa wacana dipelajari sebagai bagian dari yang melekat dengan konteks lokal dan global, atau sosial dan budaya. Teks dan pembicaraan menunjukkan relevansi kontekstualnya. Lalu konteks strukturnya perlu diamati dan dianalisa secara mendetil. Konsekuensi-konsekuensi wacana mungkin bisa berupa setting, partisipan dan peran komunikatif dan sosial, tujuan, pengetahuan sosial yang relevan, norma, nilai, struktur institusi dan organisasi.

Ketiga, wacana adalah pembicaraan. Kecenderungan studi wacana dewasa ini fokus pada interaksi verbal dalam pembicaraan informal, atau lebih formal atau dialog institusional. Pembicaraan lisan sering dianggap sebagai bentuk wacana yang paling asali, meskipun hierarki yang menempatkan lisan lebih tinggi dari tulisaan ini sangat dikritik oleh Derrida.Ke empat, wacana merupakan praksis sosial. Wacana tertulis maupun lisan merupakan bentuk praktik sosial dalam konteks sosio-budaya tertentu. Pengguna bahasa terlibat dalam wacana bukan hanya sebagai pribadi, tapi sebagai anggota kelompok, wakil dari institusi atau representasi budaya. Melalui wacana, pengguna bahasa melakukan, meneguhkan, menantang atau mengubah struktur-struktur serta institusi sosial dan politik secara lebih menyeluruh.Kelima, masalah yang terkait dengan kategori-kategori, dalam analisa wacana, diharapkan untuk menghindari mau memaksakan pengertian-pengertian dan kategori-kategori analis. Perlu memperhatikan dan menghormati cara anggota-anggota masyarakat itu sendiri menafsirkan, mengarahkan dan mengkategorisasi ciri-ciri dunia sosial dan perilaku mereka, termasuk wacana itu. Bukan berarti analis tidak boleh melampaui kategori common-sense pengguna bahasa atau menggunakan teori-teori, tetapi kedekatan dengan fenomena sosial mempengaruhi hasil analisa. Pertimbangan ini tidak lepas dari asumsi bahwa CDA tidak bebas nilai.Ke enam, pemenuhan atau pelaksanaan wacana dianggap linear dan berurutan (sekuensial), artinya urutan tatanan itu terjadi baik dalam produksi maupun pemahaman wacana yang berupa pembicaraan ataupun teks. Implikasinya di semua tingkat, unit struktural (kalimat, proposisi, atau tindakan) harus dideskripsi atau ditafsirkan sesuai dengan yang mendahuluinya. Hubungan wacana seperti ini mengutamakan fungsi, artinya unsur berikutnya punya fungsi dalam kaitannya dengan yang mendahului. Maka unsur intertekstualitas harus diperhitungkan. Pengguna bahasa mengoperasikan seperti melakukan suatu bentuk percobaan dengan cara menafsirkan kembali atau memperbaiki pemahaman atau tindakan yang terdahulu.Ke tujuh, CDA mengandaikan konstruktivitas, maksudnya wacana merupakan hasil konstruksi. unit-unit yang pokok secara fungsional digunakan, dipahami atau dianalisa sebagai unsur-unsur yang lebih luas, yang juga menciptakan struktur-struktur hirarki. Unsur ini diterapkan untuk membentuk makna dan interaksi. Aspek konstruksi ini menunjukkan bahwa orang menggunakan bahasa untuk membangun versi dunia sosialnya. Dan sifat konstruksi ini terkait dengan fungsinya, artinya analisa fungsi bahasa tidak hanya masalah jenis wacana, tetapi juga tergantung pada penganalisa, pembaca, dan konteksnya. Maka wacana diarahkan oleh fungsinya, yaitu memeriksa bahasa dalam beragam variasinya. Cerita atau laporan berbeda sesuai denga fungsinya, tujuan wicara, perasaan orang yang mendeskripsikan.Ke delapan, tingkat dan dimensi mau menunjukkan bahwa analisa wacana secara teoritis memilah wacana dalam berbagai tingkat, dimensi dan lapisan sekaligus saling berhubungan. Tingkat-tingkat itu merupakan tipe-tipe fenomena berbeda yang terlibat dalam wacana seperti suara, bentuk, makna, tindakan. Pengguna bahasa secara strategis mengatur beberapa tingkat dan dimensi sekaligus.

Ke sembilan, makna dan fungsi dimaksudkan bahwa pengguna bahasa dan analis ada di belakang makna. Dalam pemahaman dan analisa, mereka bertanya Apa yang dimaksud di sini? Bagaimana ini bermakna dalam konteks sekarang?. Prinsip seperti ini ada implikasi fungsional dan penjelasan seperti pertanyaan Mengapa ini dikatakan atau dimaksudkan di sini?

Ke sepuluh, aturan interaksi mengandaikan bahwa bahasa, komunikasi, seperti wacana, ada aturannya. Teks dan pembicaraan dianalisa sebagai manifestasi atau tindakan gramatika, tekstual, aturan-aturan komunikasi atau interaksi yang secara sosial dialami. Studi wacana aktual juga fokus pada bagaimana aturan-aturan itu bisa dilanggar, diabaikan, diganti dan apa fungsi wacana atau konteks dengan pelanggaran yang semu atau real seperti itu.Ke sebelas, ada strategi, artinya pengguna bahasa mengetahui dan menerapkan strategi interaksi dalam pemahaman yang efektif dan pewujudan tujuan-tujuan komunikasi dan sosial. Relevansi strategi bisa dibandingan dengan permainan catur. Pemain catur perlu mengetahui aturan-aturan supaya bisa bermain dengan taktik yang efektif, misalnya, bagaimana menentukan permulaan gerak yang menguntungkan, dan langkah khusus dalam keseluruhan strategi untuk bertahan atau menang.

Ke duabelas, peran kognisi sosial. Peran ini terkait dengan proses mental dan representasi dalam produksi dan pemahaman teks serta pembicaraan. Aspek-aspek wacana (makna, koherensi, aksi) dapat dipahami dan dijelaskan secara tepat tanpa harus mengacu kepada pikiran pengguna bahasa. Selain ingatan pribadi dan pengalaman kejadian, representasi sosio-budaya pengguna bahasa yang sama (pengetahuan, sikap, ideologi, norma, nilai) sebagai kelompok berperan dalam wacana, juga sebagai deskripsi dan penjelasan. Kognisi merupakan sisi sama dari dua lingkup, yaitu wacana dan masyarakat.Metodologi CDA, Intertekstualitas dan FramingMetode CDA memungkinkan menggunakan berbagai cara. Pertama, bisa melakukan analisa konteks; kedua, bisa menggunakan teknik pengamatan atau wawancara yang menekankan cara merekam dan menerjemahkan bahasa alamiah; ketiga, dengan model pengamatan partisipatoris yang menuntut peneliti berperan di komunitas sehingga bisa mempelajari proses wacana; ke empat, menggunakan informan atau pakar untuk menjelaskan atau menerjemahkan apa yang terjadi di komunitas dengan tetap menghormati praktik wacana; kelima, bisa menggunakan metode framing.Metode sangat menentukan dalam konstruksi makna, maka harus diperhitungkan siapa yang terlibat dalam produksi teks seperti produktor, pengarang, pembicara, atau penulis. Pada tataran teks sendiri, harus dilakukan analisa struktural atau tingkat relasi. Sedangkan yang ketiga adalah masalah penerimaan teks. Penerimaan ini menyangkut tafsir, pembaca atau pendengar. Tekanan pada produktor yang memperhitungkan intensi dan identitas pengarang, dan teks sendiri, perlu memperhatikan tiga unsur, yaitu pertama, posisi institusional, kepentingan, nilai, intensi, hasrat dari produktor; kedua, hubungan berbagai tingkat dalam teks; dan ketiga, posisi institusional, pengetahuan, maksud, nilai, dan kepentingan penerima.Agar CDA semakin tajam, orang perlu menganalisa pula hubungan dengan luar teks yang meliputi dua hal, yaitu pertama, analisa hubungan dengan unsur lain peristiwa sosial (praktik sosial dan struktur sosial), termasuk aksi, identifikasi dan representasi. Kedua, dimensi lain hubungan luar teks membahas juga hubungan antara teks dan teks lain atau sering disebut intertekstualitas. Analisa ini membahas bagaimana unsur lain secara intertekstual terkait dengan teks; dan bagaimana suara-suara lain termuat dalam teks; akhirnya, bagaimana teks lain disinggung, diasumsikan, atau didialogkan. Intertekstualitas ini bisa nampak dalam dua bentuk: pertama, kehadiran unsur-unsur dari teks lain dalam suatu teks yang bisa berupa kutipan, acuan, atau isi; kedua, dalam laporan pembicaraan, tulisan atau pikiran, bukan hanya kutipan yang kita jumpai, namun bisa juga ringkasan. Maka teks selalu memiliki asumsi.

Dalam asumsi, kelihatan apa yang dikatakan dalam teks apakah dimaksudkan mendukung atau melawan, maka asumsi merupakan latar belakang dari apa yang tidak dikatakan, namun dianggap ada. Seperti intertekstualitas, asumsi menghubungkan satu teks dengan yang lain. Hanya asumsi tidak langsung dikaitkan dengan teks tertentu. Ada hubungan antara teks dan apa yang dikatakan, ditulis, dipikirkan di suatu tempat. Intertekstualitas dan asumsi bisa dilihat dalam kerangka klaim pengarang. Apakah yang dilaporkan sungguh dikatakan? Yang diasumsikan sungguh dikatakan atau ditulis di suatu tempat, atau yang pernah didengar atau dibaca oleh audience, lawan bicara.Intertekstualitas dan asumsi mengandaikan sejarah teks dan pemaknaan. Maka keduanya semakin mempertajam analisa karena bukan hanya pemaknaan harafiah, tetapi membantu membongkar ideologi atau kepentingan yang sudah dibekukan dalam bahasa. Kedok ideologis semakin terkuak ketika arah analisanya jelas. Arah analisa bisa diketahui dari jawaban atas beberapa pertanyaan pengarah, seperti Apa yang terjadi dalam suatu peristiwa? Lalu, apakah kejadian itu mempertahankan struktur sosial yang ada, mengubahnya atau memperbaikinya? Keberpihakkan analis nampak ketika CDA berusaha mengidentifikasi ketidakadilan, bahaya, penderitaan, diskriminasi atau prasangka. Dalam proses identifikasi ini tentu penuh dengan ketegangan atau konflik. Namun melalui prosedur semacam itu, bisa dikuak bahwa masalah sosial muncul dari ketidakbijaksanaan dalam penggunaan bahasa atau bentuk lain komunikasi. Dengan demikian CDA berfungsi sebagai instrumen untuk meningkatkan kesadaran dan menunjukkan masyarakat ke arah perubahan yang lebih adil.

Fairclough menawarkan empat tahap metodologi CDA (2010: 235): pertama, memfokuskan pada suatu ketidakberesan sosial, dalam aspek semiotiknya. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosialitu. Ketiga, mempertimbangkan apakah tatanan sosial itu membutuhkan ketidakberesan sosial tersebut; keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin mengatasi hambatan-hambatanPertama, fokus pada ketidakberesan sosial dalam aspek semiotiknya Ketidakberesan sosial dipahami sebagai aspek-aspek sistem sosial, bentuk dan tatanan yang merugikan atau merusak kesejahteraan bersama, yang bisa diperbaiki meski harus melalui perubahan-perubahan radikal dari sistem. Ketidakberesan sosial itu meliputi kemiskinan, ketidaksetaran, diskriminasi, kurangnya kebebasan atau rasisme. Pemahaman tentang ketidakberesan sosial juga sudah menjadi obyek perdebatan, maka CDA memperhitungkannya dalam adu argumen. Dua langkah dalam fokus ketidakberesan sosial ini:Pilihlah sebuah topik penelitian tentang ketidakberesan sosial yang dapat secara produktif didekati dengan pendekatan lintas ilmu dengan fokus relasi dialektik antara semiotika dan momen lain (Fairclough, 2010: 235). Misalnya: TKI, terorisme, globalisasi, diskriminasi (agama, gender). Topik biasanya belum merupakan obyek penelitian yang koheren, maka butuh menerjemahkan topik itu menjadi obyek dengan kerangka teori tertentu.Mengonstruksi obyek penelitian dengan menteoritisasi topik penelitian lintas ilmu. Misalnya, topik penelitian yang dipilih: tentang rendahnya upah buruh harus dilihat baik dalamkerangka ekonomi global, maupun pada strategi mikro-ekonomi dan persoalan daya tawar rendah dari pihak buruh. Sebagai topik penelitian sosial kritis nampak masuk akal: keprihatinan utama pemerintah dewasa ini adalah menyesuaikan dengan ekonomi global, dan proses ini sangat berimplikasi terhadap kesejahteraan buruh. Kesempatan untuk makmur bagi sebagian orang, tapi berakibat penderitaan dan ketidakpastian bagi yang terpinggir. Mengonstruksi obyek penelitian untuk topik ini harus menggunakan teori yang relevan baik politik maupun ekonomi yang menteoritisasi dan menganalisa ekonomi global dan mengambil posisi apa dan bagaimana yang merupakan lingkup keniscayaan suatu fakta kehidupan. Teori yang membahas tentang realitas dan wacana ekonomi global dan dampaknya, implikasinya dan percabangannya (Fairclough, 2010: 237).Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan untuk menangani ketidakberesan sosial. Pada tahap ini, pendekatan terhadap ketidakberesan sosial ditempuh dengan cara tidak langsung, yaitu dengan menanyakan cara bagaimana kehidupan sosial diorganisir dan distruktur sehingga mencegahnya dari upaya menanganinya. Hal ini butuh analisa tatanan sosial dan satu titik masuk ke analisa menjadi semiotik. Maka perlu menyeleksi dan menganalisa teks-teks yang relevan dan membahas hubungan dialektik antara semiosis dan unsur-unsur sosial lainnya.Ada tiga tahap pada tingkat ke dua ini: pertama, analisa hubungan-hubungan dialektik antara semiosis dan unsur-unsur sosial lainnya: antara tatanan wacana dan unsur-unsur praktik sosial lain, antara teks dan unsur-unsur kejadian. Kedua, memilih teks, dan fokus dan kategori untuk analisa di bawah terang dan harus sesuai dengan pembentukan obyek penelitian; ketiga, melakukan analisa teks, baik analisa interdiskursif maupun analisa linguistik dan semiotik. Tujuannya mengembangkan titik untuk masuk ke obyek penelitian yang khas semiotik yang dibentuk di dalam cara lintas ilmu, melalui dialog antara berbagai teori. Analisa interdiskursif membandingkan genres, wacana dan styles yang diartikulasikan bersama di dalam suatu teks sebagai bagian khas peristiwa, dan di dalam tatanan wacana yang lebih stabil sebagai bagian jaringan praktik, yang merupakan obyek analisa berbagai bentuk sosial (Fairclough,2010: 238).Ketiga, mengidentifikasi apakah tatanan sosial membutuhkan ketidakberesan sosial. Apakah ketidakberesan sosial melekat pada tatanan sosial, apakah dapat ditangani dalam sistem tersebut, atau hanya bisa ditangani bila diubah. Ini adalah cara menghubungkan antara yang faktual dan yang seharusnya: jika suatu tatanan sosial dapat ditunjukkan menghasilkan ketidakberesan sosial yang besar, maka menjadi alasan untuk memikirkan agar diubah. Hal ini terkait dengan masalah ideologi: wacana selalu ideologis sejauh menyumbang untuk mendukung hubungan kekuasaan dan dominasi tertentu.Keempat, mengidentifikasi cara-cara yang mungkin untuk mengatasi hambatan-hambatan. Analisa pada tahap ini mau mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan dalam proses sosial yang ada untuk mengatasi hambatan-hambatan menangani ketidakberesan sosial. Hal ini menyangkut mengembangkan penelitian agar hambatan-hambatan itu dites, ditantang dan ditolak, baik di dalam kelompok sosial atau politik yang terorganisir atau gerakan atau secara lebih informal oleh masyarakat di dalam keseharian hidup pekerjaan, sosial dan keluarga. Fokus semiotik meliputi cara-cara wacana dominan direaksi, dilawan, dikritisi atau dibantah (dalam argumentasi, dalam representasi dunia, dalam representasi identitas sosial)

Untuk mencapai tujuan itu, metode framing sering dianggap sangat membantu. Framing merupakan perspektif teoritis tentang bagaimana orang, kelompok dan masyarakat mengorganisir, mempersepsi atau mengomunikasikan realitas. Jadi frame berbentuk konstruksi tentang fenomena sosial oleh sumber media massa, gerakan politik atau sosial, pemimpin politik, aktor atau organisasi. Dalam metode framing, kelihatan bagaimana liputan media menentukan atau mempengaruhi opini publik. Jadi frame bisa dipahami dalam dua bentuk, pertama, skemata yang ada di pikiran kita, yang berarti representasi mental, interpretasi atau penyederhanaan realitas. Kedua, frame yang ada dalam komunikasi, yaitu komunikasi frame antara para aktornya.Sedangkan hasilnya, framing memiliki dua pola, yaitu equivalence frame, yang mau merepresentasikan potret, mewakili dengan cara lain; dan emphasis frames, yang mau menyederhanakan realitas dengan memfokuskan pada salah satu bagian atau aspek dari suatu situasi atau masalah. Jadi dalam framing, sebetulnya orang mendefinisikan dan menggunakan seperangkat unsur retorika sedemikian rupa untuk mendorong penafsiran tertentu atau menghindari cara penafsiran yang lain.Menurut Dietram A. Scheufele (1999: 115), ada berbagai frame media yang saling bersaing untuk menentukan frame tertentu agar digunakan untuk memahami suatu masalah. Akhirnya hanya satu frame akan berpengaruh karena lebih bergema dengan budaya masyarakat, atau karena sesuai dengan praktek media dan didukung oleh elite. Ada tiga unsur Frame Building: norma journalis, aktor politik, dan konteks budaya. Terkait dengan norma jurnalis, dalam produksi berita, ada 5 aspek yang menentukan bagaimana jurnalis mem-frame masalah: (i) nilai dan norma masyarakat yang lebih luas; (ii) tekanan organisasi; (iii) tekanan kelompok kepentingan dan pembuat kebijakan; (iv) rutinitas professional; dan (v) orientasi ideologi dan politik para jurnalis. Sedangkan yang terkait dengan aktor politii, mereka yang dianggap potensial mempengaruhi frame building: elites, termasuk kelompok kepentingan, birokrasi pemerintah dan aktor politik dan korporasi. Akhirnya, konteks budaya masyarakat sangat menentukan frame karena makna suatu frame punya akar budaya. Dengan kata lain, frame media akan efektif bila merupakan gema budaya atau ungkapan kesetiaan naratif komunitas.Ketika sudah berhadapan dengan frame berita yang baru, tahap framing selanjutnya adalah mengatur agar orang menerima konstruksi yang diterapkan pada suatu masalah atau disebut frame setting (Scheufele, 1999: 116). Pada tataran ini, ada beragam tingkat dan tipe pengaruh frame. Biasanya pakar media akan fokus pada perubahan sikap dan perilaku audience dengan memperhitungkan bagaimana suatu masalah dipersepsi, bagaimana keputusan diambil melalui voting dan pembentukan opini (applicability effect). Aspek lain yang perlu diperhatikan juga adalah proses psikologinya, artinya berita tentang masalah sosial dianggap akan mempengaruhi dalam menentukan siapa bertanggungjawab terhadap sebabnya dan treatment apa yang harus dilakukan. Lalu dampak yang diamati dari response dan evaluasi pemimpin politik, atau pakar yang dilihat dalam dampak framing terhadap gaya proses evaluasi penerima dan kompleksitas pemikiran audience tentang masalah itu.Sumbangan CDA bagi Penelitian dalam Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya

Ketika manusia menjadi pusat perhatian pengetahuan, fakta yang dialami dianggap tidak menjelaskan dirinya sendiri, tapi mengacu ke hal lain karena kata-kata merumuskan sesuatu atau mendeskripsikan mental manusia. Fakta manusia tidak bisa langsung dipahami sebagai tanda begitu saja. Pemahaman masih menuntut lagi suatu integrasi acuan ke keseluruhan virtualitas yang tidak bisa direduksi hanya sebagai sistem sebab-akibat. Misalnya, kial manusia dipahami sebagai ungkapan maksud seseorang, atau suatu istitusi dikaitkan dengan kepentingan masyarakat tertentu.

Model merupakan bentuk konstruksi dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya. Konsep konstruksi menjadi penting. Teks-teks ilmiah merupakan hasil proses konstruksi simbolis di mana berlangsung kerja penalaran dari berbagai macam bentuk, berulangkali sampai pada kematangan gagasan yang mengantar ke publikasi (Gardin, dalam Berthelot, 2001: 407). Istilah konstruksi menunjuk pada hasil akhir penalaran-penalaran tersebut, artinya teks yang dihasilkan pada akhir proses dan bukan proses itu sendiri. Model menjadi pilihan para peneliti yang menganggapnya memiliki kelebihan kognitif karena posisi ilmu-ilmu alam. Maka bahasa matematika atau logika, rumusan sistematis atau informatika menjadi alat utama bagi kemajuan yang mengarah ke keilmiahan yang semakin canggih (Gardin, dalam Berthelot, 2001: 408). Peneliti-peneliti lain lebih memilih kisah sebagai bentuk utama konstruksi yang khas ilmu-ilmu manusia. Mayoritas teks biasanya ada dalam bentuk kisah; sedangkan modelisasi baru dipakai karena adanya hubungan kekuasaan yang menekan kisah.

Penafsiran ditawarkan oleh ilmu-ilmu sosial dan budaya, dan filsafat bahasa. Semua bahasa dianggap sebagai ungkapan bagian dari dunia yang beragam sesuai dengan budaya, jaman dan evolusi pengetahuan atau kepentingan khas masing masing. Manusia cenderung menggunakan model sebagai cara berpikir, dalam arti sekaligus penemu dan dikondisikan oleh kerangka berpikir, situasi mental, fisik dan sosial. Maka semua tindakan manusia dan hasilnya mengacu secara tersirat ke model-model (Gardin, dalam Berthelot, 2001: 408). Kegiatan ilmiah melibatkan proses modelisasi yang terpateri dalam teks yang mengungkapnya dan memberi pembenaran. Salah satu tanda yang mencolok ialah penggunaan konsep dan hubungan yang dipinjam dari bahasa alamiah, tetapi juga penggunaan bahasa simbol di dalam penghitungan baik dalam statistik dan mekanik dalam pengertian Lvi-Strauss yang diterapkan dalam model struktural (Gardin, dalam Berthelot 2001: 409).

Banyak bidang ilmu sosial dan budaya yang dewasa ini memakai model penghitungan sehingga perlu memeriksa secara lebih seksama makna model tersebut. Pengertian sistem representasi mempunyai makna dalam representasi dan pengolahan pengetahuan sebagai penalaran artifisial. Representasi adalah seluruh istilah atau variabel yang digunakan oleh peneliti untuk mendeskripsikan obyek penelitian; dan sistem menampakkan diri melalui hubungan semantik dan sintaksis yang ditetapkan antara istilah-istilah tersebut (Gardin, dalam Berthelot, 2001: 409). Hubungan sintaksis dan semantik itu mau memberi makna praksis sosial.Praksis sosial adalah diskursif karena praksis sosial tidak bisa lepas dari wacana. Padahal wacana selalu diorganisir menurut nilai-nilai, representasi kebutuhan manusia, dan estetika. Praksis sosial diorganisir sesuai dengan sejarah pemaknaan. Maka sangat masuk akal bahwa ilmu sosial dan budaya perlu bantuan analisa wacana. Selain alasan sifat diskursif wacana sosial, ada alasan metodologi bagi ilmu pengetahuan sosial dan budaya mengapa membutuhkan CDA karena data pada dasarnya berupa wacana. Sedangkan alasan epistemologinya terletak pada jawaban atas pertanyaan bagaimana pengetahuan terbentuk. Dalam CDA, sebagai kelanjutan dari permasalahan yang sudah dilontarkan Foucault, muncul juga perdebatan tentang pendasaran pengetahuan, pembentukan subyektivitas dan pengaturan masyarakat dengan fokusnya pada hakikat makna Alasan epistemologi ini, seperti semua teori post-strukturalis, akan memfokuskan pada bagaimana pengetahuan terbentuk (aspek kesejarahan). Studi analisa wacana dan perkembangan teori bahasa skeptis terhadap permasalahan grand narrative. Post-modernisme menerima kontingensi, ketidakpastian, ambiguitas karena menentang modernisme yang terlalu menekankan kebenaran, kemajuan, kepastian, kontrol diri dan masyarakat rasional. Jadi dari perspektif analisa wacana, bukan hanya bahasa menetapkan makna, namun aspek di luar bahasa juga ikut menentukan makna. Akhirnya, alasan metodologi mengapa CDA bisa memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi penelitian ilmu-ilmu sosial dan budaya ialah karena data ilmu-ilmu sosial dan budaya pada dasarnya berupa wacana. Penelitian dalam ilmu sosial memakai beragam pendekatan, bisa berupa pengamatan dengan jajak pendapat, kuestioner, teknik statistik (baik prosentase, grafik, angka, maupun tabel). Semua pendekatan itu merupakan transformasi wacana yang dijadikan representasi suatu masalah, dan rumusan jawaban dalam bentuk simbol-simbol yang diterima.D A F T A R P U S T A K AAltman, Rick, 2001: A Theory of Narrative, Oxford: Blackwell

Austin, J.L., 1975: How to do things with words, Oxford: Oxford University Press

Berthelot, Jean-Michel, 2001, Epistmologie des sciences sociales, Paris: PUFBourdieu, P., 1982: Ce que parler veut dire: Lconomie des changes linguistiques, Paris: Fayard

Bloor, Meriel & Thomas, 2007: The Practice of Critical Discourse Analysis.

An Introduction, London: Holder Education

Fairclough, N., 2003, Analysing Discourse. Textual analysis for social research, New York: Routledge

-------------------,2010, Critical Discourse Analysis. The Critical Study of Language. Edinburg: Longman

Foucault, Michel, 1969: Larchologie du savoir, Paris: Gallimard.--------------------, 1975: Surveiller et punir. Naissance de la prison, Paris: Gallimard.

--------------------, 1976:Histoire de la sexualit I. La volont du savoir, Paris: Gallimard--------------------, 1980: Power and Knowledge, edited by C.Gordon, Brighton: The Harvester Press

Fowler, Roger, 1991: Language in the News, Discourse and Ideology in the Press, London: Routledge

------------------, 2009: Linguistic Criticism, Oxford: Oxford University Press

Gee, J.P., 2011, How to do Discourse Analysis, New York: Routledge

-----------, 2005, An Introduction to Discourse Anlysis, theory and Method, New York: Routledge

Howarth, David, 2010: Discourse, Berkshire: Open University Press Johnstone, Barbara, 2008, Discourse Analysis, Oxford: Blackwell

Meyer, Michael & Ruth Wodak, 2009: Methods of Critical Discourse Analysis, London: Sage Ricoeur, Paul,1986: Du texte laction. Essais dhermneutique II, Paris: Esprit-Seuil.---------------, 1990: Soi-meme comme un autre, Paris: Esprit-SeuilScheufele, Dietram A., Framing as a Theory of Media Effects, Journal of Communication, Winter 1999, published by International Communication Association.

Van Dijk, Teun A., 1997: Discourse as Structure and Process, London: Sage

Van Leeuwen, Theo, 2008: Discourse and Practice. New Tools for Critical Discourse Anlysis, Oxford: Oxford University Press Wetherell, Margaret, 2001: Discourse as Data, Milton Keynes: The Open University

-------------------------, 2001: Discourse Theory and Practice. A Reader, London: Sage