cbl tatalaksana pneumonia in the elderly

5

Click here to load reader

Upload: devina-ciayadi

Post on 21-Jan-2018

268 views

Category:

Health & Medicine


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cbl tatalaksana pneumonia in the elderly

Pneumonia in the Elderly

Tanda dan gejala pneumonia:

- Batuk (productif-purulen, mukopurulen, atau sputum “rust-colored ”

- Demam

- Menggigil

- Nyeri dada pleuritik

- Extrapulmoner: mual, muntah, diare

- Pada PF ditemukan crackles atau rales pada paru, perkusi redup, peningkatan fremitus taktil dan vocal, napas bronchial, dan gesekan friksi pleura.

http://emedicine.medscape.com/article/300157-treatment

Bagi anggota keluarga penderita dengan risiko tinggi, dapat dilakukan pencegahan dengan

vaksinasi. PPSV23(pneumococcal polysaccharide vaccine / Pneumovax 23). dianjurkan untuk orang berusia di atas 65 atau di atas 2 tahun. Bagi dewasa berusia 19-65 tahun dengan kondisi

khusus seperti diabetes, penyakit jantung, ataupun ginjal, pecandu alcohol, penyakit paru ataupun sirosis juga disarankan untuk menerima PPSV23. Vaksin PCV13(pneumococcal conjugate vaccine / Prevnar) dianjurkan untuk dewasa dan anak kecil yang belum menerima

vaksin sebelumnya dan orang dewasa dengan imunodefisiensi ataupun dengan factor risiko lainnya. Kedua vaksin ini digunakan untuk mencegah pneumococcal pneumonia. )

http://cid.oxfordjournals.org/content/31/4/1066.full

Pneumonia pada lansia biasanya diikuti oleh sedikit gejala pernapasan dan bermanifestasi sebagai delirium, kebingungan kronis, dan risiko terjatuh.

Beberapa variable kunci dalam menentukan terapi terbaik untuk Community Acquired Pneumonia adalah tempat perawatan, pemeriksaan diagnostic, terapi antimicrobial empiris, kapan mengganti terapi antibiotic dari IV menjadi oral, kondisi untuk memulangkan pasien, dan

follow up. Keputusan terpenting dapat berupa perlu atau tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. Pasien dapat dirawat jalan, bangsal perawatan, ataupun medical intensive care unit (ICU).

Sebagai salah satu cara dalam menentukan tingkat mortalitas dan perawatan pasien, dapat digunakan pneumonia severity index (PSI).

Tempat perawatan

1. Nursing home

Page 2: Cbl tatalaksana pneumonia in the elderly

2. Intensive care unit Bila:

memiliki 2 dari 3 kriteria minor (tekanan parsial O2 arteri/fraksi inspirasi O2 <250 mm Hg; keterlibatan multilobar; tekanan darah sistol ⩽90 mm Hg) ditambah 1 atau 2 kriteria

mayor (septic shock atau ventilasi mekanis).

Diagnostic workup.

1. Pada pasien lansia, dengan sering memiliki komorbid, perlu dilakukan pemeriksaan hitung sel darah lengkap, pengukuran elektrolit, dan serum kreatinin.

2. Semua pasien dengan perawatan rumah sakit harus melakukan foto torak (chest radiography). Keterbatasan foto torak pada diagnosis pneumonia lansia juga perlu disertakan. Biasanya yang dapat dilakukan adalah film portable anteroposterior film

dengan kualitas suboptimal. 3. Perlu juga dilakukan kultur darah, meski hanya 6%–10% pasien CAP akan

bakteremik. Alasan rekomendasi ini adalah karena kultur darah positif patogen adalah bukti pasti mikroorganisme pneumonia. Hal ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi resistensi antimicrobial sehingga terapi dapat lebih spesifik.

4. Pemeriksaan gram dari specimen sputum (<10 sel squamous epithelial tiap low-powered field; >25 WBCs tiap low-powered field) digunakan untuk terapi antibiotic.

Misalnya, specimen dengan gram-positif diplokokus menyatakan diagnosis pneumococcal pneumonia sehingga terapi antibiotic lebih spesifik. Selain itu, terdapat keterbatasan dari pemeriksaan sputum yang dibatukkan, terutama pada lansia dimana

kolonisasi orofaring dengan bakteri aerobik basil gram negatif sering terjadi sehingga membedakan kolonisasi dari infeksi sering kali menjadi sulit.

5. Bronchoscopy sering dilakukan pada pasien ICU, misalnya untuk pengambilan secret saluran napas bawah. Open-lung biopsy jarang diperlukan.

6. Tes serologis tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin, kecuali bila agen

penyebabnya adalah Coxiella burnetii, M. pneumoniae, C. pneumoniae, atau virus, tes serologis dapat membantu diagnosis. Sayangnya hasilnya baru dapat diperoleh 3–4

minggu sehingga hasil pemeriksaan hanya untuk tujuan kesehatan masyarakat saat wabah.

7. Spesimen urine untuk mendeteksi antigen Legionella pada kasus pneumonia parah

8. PCR untuk amplifikasi DNA pathogen dari sampel nasofaring, jaringan paru, dan sel darah putih. Saat ini, PCR tidak digunakan dalam pemeriksaan rutin.

Terapi antimicrobial

Page 3: Cbl tatalaksana pneumonia in the elderly

Terapi suportif

Beberapa terapi suportif yang dapat dilakukan adalah:

Analgesik dan antipiretik

Fisioterapi dada

Cairan intravena, atau sebaliknya, diuretic

Monitoring – Pulse oximetry dengan atau tanpa control kardiak

Page 4: Cbl tatalaksana pneumonia in the elderly

Suplementasi Oxygen

Posisikan pasien untuk mengurangi risiko aspirasi

Terapi respirasi, termasuk bronkodilator dan N -acetylcysteine

Suction dan bronchial hygiene – suction secret, fisioterapi toraks, pengaturan posisi untuk

drainase, dan spirometri insentif untuk meningkatkan eliminasi sputum purulen dan mencegah atelektasis.

Bila pernapasan pasien dengan volume tidal rendah (6 mL/kg dengan berat badan ideal)

membutuhkan ventilasi mekanis terhadap pneumonia bilateral atau acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Terapi suportif sistemik seperti hidrasi yang cukup, nutrisi, dan gerak yang cukup untuk membuat pasien lebih segar untuk melawan infeksi dan mempercepat penyembuhan. Pergerakan dini pada pasien, dengan dukungan untuk duduk, berdiri, dan berjalan pada

batas tertentu dapat mempercepat penyembuhan.

Menganti terapi IV menjadi oral dan durasi terapi. Ramirez membuat kriteria untuk peralihan

antibiotik IV menjadi oral: (1) 2 pembacaan temperatur normal pada dua kali pengukuran dengan selisih waktu 8 jam

pada pasien demam sebelumnya (2) hitung WBC kembali normal (3) berkurangnya batuk subjektif

(4) berkurangnya sesak napas subjektif Lama terapi antibiotik optimal yang untuk CAP belum dapat dipastikan. Perlu studi lebih

lanjut untuk menentukan apakah durasi terapi pada lansia lebih panjang. Durasi terapi yang umum saat ini adalah 10–14 hari. Pada penyakit Legionnaires perlu 21 hari, layaknya pneumonia karena Pneumocystis carinii.

Memulangkan pasien

Halm et al. meneliti waktu pasien dirawat hingga stabil. Waktu rata-rata yang diperoleh sekitar 2 hari dengan denyut nadi (⩽100 detak/menit) dan tekanan darah sistolik (⩾90

mmHg). Bila respiratory rate ⩽24 kali/menit, tingkat saturasi oksigen ⩾90%, dan temperatur

⩽37.2°C dibutuhkan 3 hari. Pasien lansia biasanya dirawat lebih dari waktu tersebut untuk mencapai stabilitas fisik untuk mengembalikan fungsi normalnya yang menurun selama masa

sakit akut,

Follow-up. Semua pasien lansia dengan CAP perlu dilakukan radiografi toraks sebagai follow-up untuk memastikan resolusi pneumonia. Pada sebuah studi, resolusi radiografi terjadi dalam ⩾12 minggu pada pasien bakteremik pneumococcal pneumonia dengan usia

>50 tahun, PPOK, dan alkoholik

Page 5: Cbl tatalaksana pneumonia in the elderly

Issues that Are Especially Significant When Treating Elderly Patients with Pneumonia

- Pemeriksaan fungsional. Perlu dilakukan pengukuran tingkat fungsional lansia dengan menggunakan Barthel's index dan pemeriksaan hierarki keseimbangan dan mobilitas. Pada BI ditinjau 15 faktor yang dinyatakan berdasarkan penilaian individual ( nilai 0 tergantung

total – 100 mandiri). Pemeriksaan hierarki keseimbangan dan mobilitas dibagi 3 kategori – mobilitas, perpindahan tempat, dan keseimbangan.

- Rujukan ke tim pemeriksaan geriatri dan perawatan restoratif. Pasien usia lanjut yang secara fungsional terganggu (lansia rentan yang lemah) harus dirujuk untuk pemeriksaan geriatri.

Beberapa pasien ini mungkin perli masuk ke pusat rehabilitasi geriatrik setelah pneumonia pulih. Penelitian menunjukkan bahwa tim pemeriksaan geriatri yang meningkatkan

perawatan lansia, sehingga terjadi penurunan jumlah pasien yang membutuhkan institusi perawatan jangka panjang

- Pemeriksaan nutrisi. Pada usia 30 hingga 80 tahun terjadi penurunana 1/3 pemakaian energy, namun tidak diikuti penurunan kebutuhan protein. Malnutrisi merupakan factor risiko CAP

pada lansia. Kualitas makan populasi lansia dipengaruhi oleh factor fisik seperti gigi yang buruk, perubahan pengecapan, mobilitas terbatas, dan polifarmasi dan factor fisiologis seperti

depresi, demensia, dan motivasi kurang. Factor sosial seperti tinggal sendiri, isolasi, dan pendidikan rendah juga berpengaruh. Hal ini juga diperberat dengan factor ekonomi seperti pendapatan kurang, memasak yang tidak layak, dan biaya perawatan kesehatan. Penting

untuk mengidentifikasi risiko nutrisi pada pasien CAP lansia. Kehilangan berat badan >10% dinyatakan tingkat mortalitas tinggi dan signifikan, 5%–10% berpotensi, dan <5% dinyatakan

tidak signifikan

- Fungsi hati dan ginjal buruk. Pada kondisi ini, dokter harus memperhatikan dosis dan interaksi obat.

- Pencegahan episode lanjutan pneumonia. Pasien dengan risiko aspirasi perlu diposisikan sudut 45° ketika makan dan perlu diberi makanan bubur. Vaksin influenza dan pneumococcal

terbukti bermanfaat dalam pencegahan pneumonia pada lansia.