catatan akhir tahun pertanian indonesia 2015 … · grafik 3. jumlah penduduk miskin maret 2014...

23
CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015 1 CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015 “Kedaulatan pangan dan Reforma agraria Dibajak oleh Kekuatan Pasar” Serikat Petani Indonesia (SPI) | Aliansi Petani Indonesia (API) Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI ) Jakarta, 20 Desember 2015

Upload: vocong

Post on 01-May-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

1

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

“Kedaulatan pangan dan Reforma agraria Dibajak oleh Kekuatan Pasar”

Serikat Petani Indonesia (SPI) | Aliansi Petani Indonesia (API)

Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI)

Jakarta, 20 Desember 2015

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

2

LATAR BELAKANG

Kedaulatan pangan dan Reforma agraria saat ini telah memasuki era baru, kedaulatan pangan dan reforma agraria masuk ke dalam satu di antara sembilan cita-cita politik (nawa cita) yang harus dilaksanakan Presiden dan Wakil Presiden RI 2015-2019. Sebagai bagian dari implementasi visi politik, ekonomi dan budaya yang mengusung TRISAKTI, berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter dibidang kebudayaan.

Apakah program kedaulatan pangan pemerintahan Joko widodo dan Jusuf Kalla yakni 1.000 desa berdaulat benih dan 1.000 desa organik dapat terwujud. Kemudian sejauhmanakah penggunaan penambahan anggaran Kementerian Pertanian RI menjadi Rp. 32 triliun pada tahun 2015, mencapai sasarannya dalam membangun kedaulatan pangan di Indonesia.

Apakah Pemerintah sudah menjalankan reforma agraria 9 juta ha sesuai dengan yang dijanjikan dalam mengatasi konflik agraria yang sudah terjadi begitu lama dan ditengah 17 juta rumah tangga petani pangan yang hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 ha.

Pertanyaan berikut adalah sejauh mana pemerintahan yang ada sekarang ini sanggup menjalankan program kedaulatan pangan dan reforma agraria ditengah rezim global pangan yang berkuasa saat ini, di tengah cengkraman korporasi nasional dan global sekarang ini?. Ditengah banyak kesepakatan perdagangan internasional yang diprakarsai oleh international agency, serta negara-negara kaya melalui perjanjian-perjanjian bilateral, regional, multilateral; Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku awal tahun 2016, berbagai Free Trade Agreement (FTA), paket-paket perjanjian dalam WTO, serta rencana Indonesia untuk bergabung dengan Trans-Pacific Partnership (TPP).

Sanggupkah pemerintahan sekarang ini menghadapi tantangan kerusakan alam yang sudah begitu parah, kerusakan hutan, sungai, daerah tangkapan air, serta musim kering yang begitu panjang dan musim hujan yang begitu pendek akibat dari El Nino dan La Nina.

Sanggupkah pemerintahan ini bangkit untuk membangun kedaulatan pangan dan reforma agraria di Indonesia untuk kemandirian ekonomi dan kedaulatan politiknya?. Pertanyaan itu selanjutnya akan di jawab pada uraian secara rinci tentang Catatan Akhir Tahun Organisasi Petani Tingkat Nasional oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API) dan Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI) terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mengenai pelaksanaan kebijakan Kedaulatan pangan, Reforma agraria, Pertanian dan Pembangunan Perdesaan tahun 2015.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

3

I. TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI

a. Nilai Tukar Petani

Nilai tukar petani (NTP) sampai saat ini dijadikan salah satu indikator kesejahteraan petani oleh Pemerintah terlepas dari kelemahannya. Secara umum, NTP menggambarkan kemampuan belanja atau mencukupi kebutuhan rumah tangga petani dari hasil pertaniannya yang tentu saja dipengaruhi oleh naik turunnya baik harga penjualan produk, biaya produksi dan investasi maupun harga pembelian kebutuhan rumah tangga. Dengan kata lain NTP petani terkhusus di perdesaan dipengaruhi oleh tingkat inflasi perdesaan dan inflasi perdesaan juga bisa disebut sebagai reaksi pasar terhadap beberapa hal, diantaranya kebijakan pemerintah, peristiwa politik, masa musim, gagal panen, dan bahkan pasar

internasional.

Dalam kurun waktu Januari hingga awal Desember 2015, NTP mempunyai trend meningkat hingga Februari dan kemudian menurun hingga Mei sebelum kemudian kembali meningkat hingga awal Desember (lihat Grafik 1). Bila dilihat dari NTP per sektor, hanya sektor perkebunan rakyat yang cenderung menurun (lihat Grafik 2). Sementara dari besaran NTP, kisaran NTP semua sektor berkisar antara 100,02 hingga 102,95. Namun bila dilihat per sektor, NTP perkebunan berada level dibawah 100 dan NTP Pangan juga beberapa bulan berada dibawah nilai 100. Dalam hal ini batas bawah Nilai kesejahteraan Petani

ditunjukkan bila NTP = 100.

Grafik 1. Nilai Tukar Petani Indonesia 2015 dan Grafik 2. Nilai Tukar Petani per Sektor 2015

Dengan demikian, secara umum tingkat kesejahteraan petani meningkat selama kurun waktu 11 bulan. Meski beberapa bulan mengalami keterpurukan terkhusus pada pada sektor pangan dan apalagi pada sektor perkebunan Rakyat. Namun keterpurukan tersebut justru sekaligus menampakkan kejanggalan, ketika sektor perkebunan yang senantiasa berorientasi ekspor malah semakin membuat masa depan suram bagi petani perkebunan. Sebaliknya pada sektor pangan, ketika trend NTP semakin tinggi, justru Pemerintah mengambil keputusan impor beras. Masuknya impor jelas tentu berdampak pada penurunan harga beras petani dan lebih jauh berdampak pada penurunan kesejahteraan petani.

Grafik.2 Perkembangan NTP Pertanian dan Peternakan Jan-

Nov 2015

Sumber: BPS, diolah SPI

99,5

100

100,5

101

101,5

102

102,5

103

103,5

Jan

Feb

Mar

Apr

May Jun

Jul

Au

g

Sep

Oct

Nov

Grafik.1 Nilai Tukar Petani Nasional Jan-Nov 2015

Sumber:

BPS,

diolah

SPI

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

4

b. Garis Kemiskinan

Bila ada trilogi neoliberalisme dalam pembangunan, yakni deregulasi, privatisasi dan liberalisasi, maka dikenal juga trilogi kemiskinan dampak dari neoliberalisme tersebut, yakni: garis kemiskinan, kelaparan dan konflik Agraria, terkhusus di perdesaan. Pada bulan September 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan berita resmi tentang Kemiskinan di Indonesia sampai bulan Maret 2015. Jumlah penduduk miskin—penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan—di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen) atau bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang (10,96 persen). Garis Kemiskinan pada Maret 2015 yakni sebesar Rp. 330.776,- per bulan (lihat Grafik 3). Bila dikaitkan dengan grafik NTP di sub-bab sebelumnya peningkatan kemiskinan terjadi ketika NTP mengalami penurunan, terkhusus di sektor pangan, perkebunan dan hortikultura.

Grafik 3. Jumlah Penduduk miskin Maret 2014 –Maret 2015

Selanjutnya bila ditilik dari kawasan, penduduk miskin di perdesaan lebih tinggi dibanding penduduk miskin di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di perdesaan mencapai 17,94 juta jiwa sedangkan penduduk miskin di perkotaan sebesar 10,65 juta jiwa. Berdasarkan laporan statistik podes 2011 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan bahwa sumber penghasilan utama penduduk perdesaan sebesar 88 persen berasal dari sektor pertanian. Tentu saja hal tersebut dapat dinyatakan tragis, karena sentra produksi pertanian justru menjadi sentra kemiskinan. Krisis harga beras di awal tahun 2015 juga berkontribusi tinggi dalam peningkatan jumlah penduduk miskin—terkhusus di perdesaan—karena petani juga menjadi konsumen yang rentan dengan kenaikan harga atau inflasi perdesaan.

Lebih lanjut BPS (2015) menyatakan bahwa penyebab peningkatan kemiskinan adalah Beberapa faktor terkait bertambahnya jumlah dan persentase penduduk miskin:

a. Selama periode September 2014–Maret 2015 terjadi inflasi sebesar 4,03 persen; b. Secara nasional, rata-rata harga beras mengalami peningkatan sebesar 14,48 persen yaitu dari

Rp11.433,- per kg pada September 2014 menjadi Rp13.089,- per kg pada Maret 2015; c. Selama periode September 2014–Maret 2015, selain beras harga eceran beberapa komoditas bahan

pokok mengalami kenaikan seperti cabe rawit serta gula pasir, yaitu masing-masing naik sebesar 26,28 persen dan 1,92 persen;

d. Secara riil, rata-rata upah buruh tani per hari pada Maret 2015 turun sebesar 1,34 persen dibanding upah buruh tani September 2014, yaitu dari Rp 39.045,- menjadi Rp 38.522,-;

e. Tingkat inflasi perdesaan periode September 2014–Maret 2015 sebesar 4,40 persen.

10,51 10,36 10,65

17,77 17,37 17,94

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

Mar14 Sep14 Mar15

Jumlah Penduduk Miskin Maret 14- Maret- 2015 (juta orang)

Kota DesaSumber: BPS, diolah SPI

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

5

Selanjutnya bila ditilik pula dari kedalaman kemiskinan, ternyata tingkat kedalaman kemiskinan pada bulan Maret lebih tinggi dibandingkan yang terjadi pada bulan September. Demikian juga tingkat kemiskinan di Perdesaan. Oleh karena itu jumlah penduduk miskin akan meningkat sampai akhir tahun 2015, terlihat dari harga pangan yang semakin naik. Dan karena itu pula akan semakin meningkat pula keluarga petani yang meninggalkan pertaniannya. Mengingat survey pertanian nasional BPS 2013 yang mengungkapkan bahwa sejak tahun 2003 sampai 2013, keluarga petani berkurang mencapai 5,09 juta keluarga petani. Artinya setiap tahun rata-rata terdapat 509 ribu keluarga petani yang meninggalkan lahan pertaniannya atau dalam sepuluh tahun terakhir ini setiap satu jam jumlah keluarga petani berkurang sebanyak 58 keluarga petani. Berikut Tabel 1. Tentang Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Indonesia 2015.

Tabel 1. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia Menurut Daerah, September 2014-Maret 2015.

\ c. Gizi Buruk dan Kelaparan

Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan pada Maret 2015 tercatat sebesar 73,23 persen, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2014 yaitu sebesar 73,47 persen. Kemiskinan dipengaruhi oleh kenaikan harga beras, cabe rawit dan gula pasir pada awal tahun 2015.

Sepanjang tahun 2015 kedaulatan pangan tercoreng oleh maraknya gizi buruk yang terjadi, kesejahteraan petani yang tak terjamin dan impor berbagai komoditas pertanian khususnya pangan. Sampai awal Desember 2015 dalam Pencapaian Indikator Kinerja Pembinaan Gizi Bulanan, Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa telah terjadi 11.024 kasus gizi buruk di Indonesia dan 744 diantaranya meninggal dunia. Indonesia memang sedang mengalami masalah gizi yang cukup kompleks, karena berdasarkan Global Nutrition Report tahun 2014, Indonesia termasuk di dalam 17 negara dari 117 negara yang mempunyai tiga masalah gizi, yaitu stunting, wasting dan overweight1. Pada sisi lain, Laporan FAO tentang food insecurity 2015, Indonesia menunjukkan prestasi yang baik dalam menurunkan angka kelaparan. Tentu hal tersebut perlu diperhatikan kembali terkait dengan peningkatan kedalaman kemiskikan.

1 Pencapaian Indikator Kinerja Pembinaan Gizi Bulanan, Kementerian Kesehatan RI 2015

Sumber: BPS 2015

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

6

II. PEMBARUAN AGRARIA

a. Pembaruan Agraria dan Tanah sebagai Alat Produksi

Alat produksi berupa tanah, air dan teritori menjadi hal yang sangat penting dan sensitif bagi masyarakat petani untuk berproduksi, bertahan hidup dan lebih jauh lagi menjadi satu bagian ekosistem kehidupan manusia dengan alam dan bahkan Tuhannya. Sekali kesetimbangan alam diganggu, maka akan terjadi gejolak sosial, diantaranya berupa konflik agraria. Kenyataan pahit sejarah perampasan lahan pada masa penjajahan, masa nasionalisasi lahan-lahan kolonial, hingga era privatisasi lahan hingga saat mengakibatkan ketimpangan kepemilikan lahan tidak seimbang berikut dengan konflik agraria sebagai

satu bagian dari Trilogi kemiskinan.

Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga pertanian berjumlah 26,14 juta dan 56,12% nya adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar dan indek gini ketimpangan

lahan mencapai sekitar 71,7 % (lihat Grafik 4).

Grafik 4. Penguasaan Lahan Petani dan Indeks Gini Ketimpangan Lahan

Namun demikian berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk menciptakan keadilan kepemilikan lahan, mulai dari Presiden Sukarno dengan UUD 1945 dan UUPA no.5 1960, Presiden Susilo Bambang Hudoyono hingga Presiden Joko Widodo melalui program nawacitanya, yakni pembagian lahan 9 juta hektar lahan untuk rakyat miskin dan petani kecil. Sekaligus juga sebagai jaminan dan niat baik Pemerintah untuk menyediakan lahan untuk produksi pangan berkelanjutan sebagaimana yang dimandatkan dalam UU nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan juga pemberian lahan 2 hektar untuk petani sebagai yang dimandatkan oleh UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani nomor 19 tahun 2013—berikut dengan hasil judicial review

Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014.

Namun saat ini belum jelas keberadaan lahan tersebut dan bagaimana pula metodelogi pembagiannya. Bahkan saat Presiden Jokowi menerima audiensi SPI dan API pada bulan Juli 2015 di istana, Presiden masih menimbang-nimbang metodologi pembagiaan lahan, apakah model transmigrasi atau dengan metode yang lain. Namun pada saat yang bersamaan Pemerintah membuka pintu lebar-lebar bagi Korporasi untuk berinvestasi di Indonesia sebagaimana yang diucapkan di acara-acara Internasional, seperti World Economic Forum for East Asia di Jakarta pada bulan April 2015. Selanjutnya pemberian konsesi-konsesi

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

7

lahan kepada Cargil, Monsanto, Syngenta, Nestle dan beberapa korporasi lainnya yang tergabung dalam PIS-Agro (Partnership in Sustainable Agriculture) untuk peningkatan produksi jagung, kelapa sawit dan coklat. Tidak hanya itu, konsesi lahan diberikan untuk restorasi ekosistem sebagai bagian dari penanganan perubahan iklim tanpa melihat apakah teritori atau kawasan tersebut sudah merupakan tanah garapan

petani, terkhusus di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

b. Pembaharuan Agraria dan Perbenihan

Benih sebagai salah satu alat produksi untuk memulai bertani pun tidak lepas dari aksi -aksi perampasan, sehingga petani akan dan sudah kehilangan benihnya setelah kehilangan tanahnya. Benih yang dulu dilestarikan, disimpan, diproduksi dan dipertukarkan dengan sesama petani kini sudah lepas untuk dikembangkan dengan teknologi benih yang hanya dilakukan didalam laboratorium. Seiring dengan lepasnya benih mereka, hilang juga hak petani atas benih mereka sendiri. Oleh karena hak tersebut sudah berada di tangan peneliti dan korporasi dibawah lindungan UU Sistem Budidaya Tanaman nomor 12 tahun 1992, UU Perlindungan Varietas Tanaman nomor 29 tahun 2000, UU Paten yang merupakan turunan dari UU Perbenihan Internasional, diantaranya adalah TRIPS (Trade-related Aspects of Intellectual Property Rights) WTO—yang baru selesai menyelesaikan sidangnya di Nairobi , Kenya. Hak Petani atas benih dalam Perjanjian Benih Internasional dibawah FAO melalui The International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGFRA) juga terancam akan dilibas oleh Perusahaan atas nama hak kekayaan

intelektual atas pengembangan sifat-sifat genetis benih petani.

Tetapi pada sisi lain, sebenarnya sudah ada niat baik dari Pemerintah melalui keputusan MK tentang Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) pada tahun 2013 terkait dengan ketidakadilan terhadap Petani dalam hal perbenihan. Ketidakadilan ini terjawab pada hari Kamis 18 Juli 2013 Mahkamah Konstitusi mengabulkan judicial review UU SBT yang diajukan oleh SPI, IHCS, Bina Desa, API, IPPHTI, Field Indonesia, KRKP, AGRA, Sawit Watch, SPKS, dan individu petani yakni Kunoto dan Karsinah. Keputusan menyebutkan bahwa pasal 9 ayat 3, pasal 12 dan pasal 60 dinyatakan bertententangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat

alias tidak berlaku.

Berdasarkan putusan MK nomor 99/PUU-X/2012 menyatakan bahwa petani kecil bisa mendapatkan varietas atau benih unggul melalui pemulian tanaman sendiri. Proses pengumpulan, pencarian dan pendistribusian benih lokal dan atau plasma nutfah di komunitas petani juga bisa dilakukan—sebelumnya petani bisa dikriminalisasi apabila melakukan hal tersebut tanpa izin pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini belum jelas tindak lanjut UU SBT setelah keputusan MK tersebut. Sementara itu Presiden Jokowi pun juga mengadopsi usulan organisasi tani tentang Kedaulatan Benih berupa pembangunan 1.000 Desa berdaulat benih. Namun implementasi programnya justru melibatkan Perusahaan Benih seperti PT. Bisi—

yang notabene pernah memenjarakan petani penangkar benih di Kediri, Jawa Timur.

Kemandirian dan peran petani atas pemenuhan benih juga semakin digeser oleh korporasi dan bahkan

juga Benih yang dikuasai oleh Pemerintah. Selama 10 tahun terakhir dari 2005-2014, hanya 392 benih

padi yang dirilis oleh pemerintah, yakni: (i) Varietas benih padi hibrida 98 Varietas, (ii) Varietas benih padi

inbrida 294 varietas, (iii) Varietas benih jagung hibrida 202 varietas, dan (iv) Varietas benih padi inbrida

53 varietas. Pada tahun 2014, Hanya 35.456 ton benih padi yang masih di kontrol oleh petani dan

pemerintah, sementara 120.264 dikontrol oleh pasar dan korporasi. Sementara hanya 196 ton benih

jagung sebagai benih stock (bersertifikat) yang dikontrol oleh pemerintah, sedangkan 36.613 ton benih

yang beredar di pasar dikontrol oleh perusahaan

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

8

Berikut tersaji Tabel 2. Tentang Varietas Benih yang Diluncurkan Pemerintah sampai tahun 2014.

Sumber: Secretary Indonesia National Seed Board (18-20 August 2015)

c. Pembaruan Agraria – Sumber Daya Air

Sumber daya air juga menjadi alat produksi yang sangat penting untuk produksi pertanian dan kebutuhan rumah tangga petani. Namun hak petani atas air menjadi tidak diakui, penuhi dan terlindungi semenjak perampasan sumber daya air secara legal melalui UU nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Berbagai Korporasi mendapat angin segar untuk berbisnis air, yang akhirnya merugikan kaum tani untuk mengairi sawah, ladang dan kebunnya, serta menimbulkan konflik agraria antara Danone sebagai penguasa air di Indonesia dengan petani di beberapa Provinsi, seperti Jawa Tengah dan Banten. Lebih dari itu privatisasi air memberikan kontribusi terjadinya kekeringan ketika musim kemarau. Berbagai upaya dilakukan oleh organisasi tani dan masyarakat sipil untuk menghentikan privatisasi air, diantaranya judicial review pada tahun 2004 dan 2014. Judicial Review yang kedua ini akhirnya berbuah hasil dan ini

merupakan prestasi tersendiri bagi Pemerintahan Jokowi.

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan Undang-Undang nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), pada Rabu 18 Februari 2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Berdasarkan putusan Nomor 85/PUU-XII/2013 yang dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat UU nomor 7 Tahun 2004 ini tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Dalam pokok permohonannya, para pemohon (PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan) menjelaskan ada penyelewengan terhadap pertimbangan MK dalam

putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU SDA.

Penyelewengan norma tersebut berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para konsumen yang menikmati air siap

pakai yang sudah didistribusikan.

u/t 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

1 Paddy 211 13 3 16 31 20 26 37 16 19 392

- Hybrid 20 9 2 4 19 7 13 11 8 5 98

- Inbred 191 4 1 12 12 13 13 26 8 14 294

2. Maize 128 5 8 22 21 12 8 14 22 15 255

- Hybrid 85 4 7 22 17 12 6 14 20 15 202

- Composite 43 1 1 - 4 - 2 - 2 - 53

3. Soybean 65 - 1 7 - - 1 3 4 5 86

4. Peanut 31 - - - 1 1 - 6 1 4 44

5. Mungbean 20 - - 1 - - - - 1 2 24

6. Cassava 15 - - - - - - 1 - - 16

7. Sweet Potato 23 4 - - 4 - - - 1 3 35

8. Sorghum 18 - - - - - - - 3 4 25

9. Wheat 5 - - - - - - - 3 4 12

10. Taro - 1 - - - - - - - - 1

Total 516 23 12 46 57 33 35 61 51 56 890

No Commodity TotalYear

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

9

Dalam putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005, MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak. Jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari -hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh

langsung dari sumber air.

Selain itu, Konsep Hak Guna Pakai Air dalam UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan ( derivative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian

hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa.

Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara secara ketat. Terkait prinsip “penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya air. Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan

sumber daya air.

Pada bulan Maret, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membatalkan kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air Jakarta, yang telah mengelola layanan air minum di dua wilayah konsesi ibukota sejak 1998. Kedua keputusan Mahkamah Konstitusi dan Pengadilan Negeri membuktikan bahwa keterlibatan swasta pada prakteknya telah menjelma sebagai "swastanisasi

terselubung" dan melanggar Hak atas Air.

Akan tetapi keputusan tersebut dinodai oleh reaksi cepat dari Pemerintah yang cemas dengan ancaman terhadap sektor swasta. Karena terdapat pernyataan bahwa semua Kerjasama Pemerintah - Swasta yang ada akan tetap berlaku sementara undang-undang baru dirancang. Oleh karena itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI Basuki Hadimuljono telah merancang dua Rancangan Peraturan

Pemerintah (RPP) untuk memberikan kepastian hukum tambahan bagi swasta.

Selain itu, para tergugat dan turut tergugat (pemerintah dan swasta) dalam kasus privatisasi air Jakarta juga bersama-sama mengajukan banding, tindakan yang aneh dan mangabaikan putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini begitu kontradiktif mengingat pernyataan Presiden Jokowi sebelum terpilih yang

mengatakan “saya hanya tunduk kepada kehendak rakyat dan konstitusi”.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

10

III. PRODUKSI PANGAN DAN PERTANIAN

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 250 juta jiwa dan dengan limpahan sumber daya pertanian dan pangan yang kaya. Pemerintah Jokowi mencanangkan swasembada beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula, bawang merah dan bahkan cabai—sebagai indikator utama tercapainya kedaulatan pangan. Slogan “Kerja, Kerja dan Kerja” pun menghiasi gerak cepat Kementerian Pertanian untuk mencapai swasembada pangan strategis tersebut. Dalam laporan tahunan 2014-2015, Kementerian Pertanian RI mencatat keberhasilan peningkatan produksi komoditas pangan strategis,

diantaranya adalah:

Hasil Angka Ramalan Sementara II 2015 : Produksi padi tahun 2015 diperkirakan sebanyak 74,99 juta ton GKG atau naik 5,85 persen dibandingkan tahun 2014. Produksi jagung tahun 2015 diperkirakan sebanyak 19,83 juta ton pipilan kering atau naik 4,34 persen dibandingkan tahun 2014. Produksi kedelai tahun 2015 diperkirakan sebanyak 982,97 ribu ton biji kering atau naik 2,93 persen dibandingkan tahun 2014;

Sesuai dengan target Nawacita 2015-2019, saat ini telah direalisasikan pembangunan/rehabilitasi jaringan irigasi tersier 1,56 juta ha atau 52% dari target 3,0 juta ha; pembangunan 1.000 Desa Berdaulat Benih sudah 100% dan cetak sawah 23.000 ha;

Sementara terobosan metodologi pelaksanaan program diantaranya adalah melakukan pengawalan dan pendampingan Upaya Khusus (Upsus) secara masif, melibatkan anggota TNI AD, Penyiapan mekanisasi secara besar-besaran dan berkelanjutan;

Tahun 2015 merupakan tahun dimulainya investasi besar-besaran di sektor pertanian; dan Investasi tidak terbatas pada tebu/gula, jagung dan sapi, tetapi juga didorong untuk hilirisasi kelapa sawit dan bio-diesel berbahan baku CPO, industri kakao, industri tepung tapioka maupun di bidang hortikultura.

Namun ada beberapa catatan terkait dengan kinerja Kementerian Pertanian RI tersebut, yakni (1) mobilisasi dan intensifikasi produksi di atas tidak ubahnya seperti dan merupakan penerapan revolusi hijau dengan penggunaan pupuk kimia dan pestisida; (2) Petani terlepas apakah petani penggarap atau buruh tani diberlakukan sebagai buruh di bawah ‘pengawasan’ TNI seolah problem utama pangan adalah ketidakdisplinan petani; (3) program peningkatan produksi secara kimiawi sudah melenceng dari Konsep Kedaulatan pangan yang dipromosikan oleh La Via Campesina dan sudah dimandatkan kepada Jokowi saat Rapat Seknas Tani awal September 2014. Sementara pada satu sisi ada program 1.000 desa organik atau agroekologi; (4) Pengerahan Korporasi sebagai investor dengan model contract farming untuk peningkatan produksi pangan juga melenceng dari konsep Kedaulatan pangan. Hal ini terlihat dari program-program PIS-Agro. (6) Produksi CPO untuk bio fuel justru melanggar prinsip kedaulatan pangan dan bahkan memicu perubahan iklim; (7) Akhirnya bahwa kebijakan produksi melupakan kebijakan di alat produksi, sehingga Kementerian Pertanian lebih memilih pemberian alat dan mesin pertanian (Alsintan) serta input pertanian daripada mengusahakan tanah kepada petani sebagaimana yang sudah dijanjikan oleh Presiden Jokowi. Terkait dengan Program Peningkatan Produksi PaJaLe (Padi, Jagung dan Kedelai), benih yang digunakan menggunakan benih hibrida dan produksi korporasi pertanian. Dalam upaya meningkatkan produksi jagung misalnya, pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) bekerjasama dengan perusahaan trans national corporation Monsanto dan Cargill memberikan kredit dan kemudahan kepada petani. Pada kenyataan skema itu terbukti membuat petani tidak mandiri dan akan terjangkit ketergantungan yang akut. Sudah tiga tahun skema kemitraan seperti ini menggoyahkan pertanian berkelanjutan dengan konsep agroekologi. Terutama ditandai dengan adanya PIS-AGRI (Partnership for Indonesia's Sustainable Agriculture) yang menjadikan petani seolah-olah sebagai mitra bagi korporasi.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

11

Padahal pada prakteknya petani dijadikan buruh untuk meningkatkan produksi , sehingga bahan baku perusahaan senantiasa selalu tersedia. Terlebih orientasi kerjasama ini diperuntukan bagi pasar luar negeri bukan pasar nasional. PIS Agro menggunakan pertanian berkelanjutan yang semu karena masih menggunakan benih dan pupuk yang berasal dari perusahaan. Target pengurangan emisi 20% kerana skema PIS Agro ini diduga tidak akan tercapai karena emisi akan tetap keluar dari perusahaan-perusahaan mitra PIS Agro yang mengolah produk pertanian hasil petani mitra.

Berdasarkan itu, keserakahan dan pengerusakan tata kehidupan yang dilakukan korporasi menjadikan semangat agroekologi membutuhkan perjuangan yang besar. Kemauan politik dari Pemerintah untuk kemajuan pertanian yang berkelanjutan belum terlihat di tahun 2015. Pada hakikatnya keberpihak an kepada rakyat akan terukur di tahun-tahun yang mendatang.

Sementara itu Indonesia juga siap-siap untuk meluncurkan benih transgenik atau GMO berupa Jagung GMO RR NK 603 sebagai terobosan untuk peningkatan produksi pangan. Tentu hal ini lebih melenceng dari konsep kedaulatan pangan. Dengan penggunaan GMO, ketergantungan petani akan bertambah setelah ketergantungan petani dengan pupuk kimia dan pestisida.

Pemanfaatan benih GMO akan menghilangkan benih lokal dan para petani penangkar benih. Kelompok petani penangkar selanjutnya akan diganti dengan buruh ekslusif ‘penangkar’ GMO di laboratoriun -laboratorium benih industri korporasi. Dengan demikian hilang satu mata rantai produksi benih dari tangan petani. Dan sistem perbenihan rakyat—yang mendapatkan angin segar dari hasil keputusan MK terhadap judicial review atas UU Sistem Budidaya Tanaman menyangkut perbenihan—bakal mengalami kelesuan nantinya bila pasar GMO diizinkan.

Dari segi aspek keamanan pangan (food safety), pemerintah dalam hal ini Komisi Keamanan hayati Produk Rekayasa Genetika semakin hati-hati dalam pengambilan keputusan tentang keamanan pangan GMO. Prinsip kehati-hatian (precautionary) dalam keamanan pangan harus diutamakan. Terlebih Pemerintah sudah mengimplementasikan Convention on Biological Diversity dan Protokol Cartagena, yang selanjutnya diadopsi dalam UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan juga UU Pangan nomor 12 tahun 2012 terkhusus mengenai label dan iklan, serta PP nomor 69 tahun 1999 yang di dalamnya mengatur pelabelan pada pangan hasil rekayasa genetika.

Gambar 1. Korporasi memantapkan diri pada sektor produksi melalui Contract Farming

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

12

Pada sisi lain, Pemerintah juga memberikan reaksi positif dalam hal investasi asing di sektor perbeni han hortikultura. Mahkamah konstitusi mengambil keputusan untuk menolak Judicial Review korporasi terkait dengan pembatasan modal asing dalam UU Hortikultura. Pasal 100 ayat 3 UU nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura menyatakan bahwa ‘Besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen)’. Sekaligus hal ini menjadi sinyal positif bagi petani untuk menguatkan sistem perbenihan petani sendiri.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

13

IV. DISTRIBUSI DAN PASAR BEBAS Kebijakan produksi yang berorientasi baik pada penjualan maupun pasar tidak akan berhasil bila kebijakan distribusi dan pasar tidak tepat karena tidak mudah untuk mengontrol pasar. Sebaliknya yang terjadi malah pasar yang mengontrol. Dan inilah yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun ini. Sebagai contoh: gonjang-ganjing problem pasar sudah terjadi pada awal-awal tahun 2015, terkhusus ketika harga beras yang naik, sehingga Pemerintah berdasarkan Intruksi Presiden nomor 5 tahun 2015 menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan juga operasi pasar melalui Bulog. Sementara laporan kinerja satu tahun Kementerian Pertanian menyebut program-program terimplementasi dengan sukses berupa tidak ada impor beras sehingga terjadi penghematan devisa sebesar Rp. 52 triliun. Keberhasilan ini tentu melalui kebijakan pengendalian rekomendasi impor dan mendorong ekspor. Begitupun dengan kisah sukses surplus produksi beras pada tahun 2014 dan ramalan 2015.

Namun sebaliknya yang terjadi Kementerian Pertanian RI justru mencatat sampai pada bulan September 2015 Indonesia mengimpor beras sebanyak 229.628 kg. Target produksi padi pada tahun 2015 sebesar 73,4 juta ton Gabah Kering Giling (GKG)—setara dengan 46,15 juta ton beras. Berdasarkan terget tersebut, Bulog menetapkan target pengadaan pada tahun 2015 sebesar 3 juta ton beras atau sekitar 6,5 persen dari target produksi beras 2015. Adapun rasio serapan Bulog terhadap produksi selama lima tahun terakhir (2010-2014) paling besar hanya terjadi pada 2012 yakni 8,4 persen dari produksi beras nasional. Artinya selain tahun 2012, Bulog hanya mampu menyerap 5-7 persen saja. Kisruh perberasan kian mengemuka ketika pada bulan September 2015 stok Bulog baru mencapai 1,7 juta ton. Persediaan itu diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sampai musim paceklik awal tahun 2016. Wakil Presiden RI, Menteri Perdagangan RI dan Birut Bulog menyatakan impor beras sedangkan Presiden RI dan Menteri Pertanian menyatakan tidak perlu mengimpor karena produksi cukup. Polemik ini kemudian semakin terbuka pada awal Oktober 2015, saat media Vietnam The Saigon Times menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menyepakati kontrak untuk memasok beras sebanyak 1 juta ton dari Vietnam. Demikian Pemerintah dikalahkan oleh Mafia Pangan.

Sementara itu sampai September 2015, Indonesia telah mengimpor gandum sebesar 5.563.700 ton dan menghabiskan US$ 1,6 milyar. Pada tahun 2014, impor gandum Indonesia bahkan mencapai 7,5 juta ton2. Jika tidak melakukan koreksi dan perubahan pola konsumsi, maka lima tahun mendatang Indonesia diprediksi akan menjadi negara utama pengimpor gandum di dunia. Posisi kedua volume importasi pangan Indonesia yakni kedelai. Sampai bulan September 2015 volume impor kedelai sebesar 4.673.757 ton. Besarnya impor kedelai menunjukan bahwa pada tahun pertama program peningkatan produksi kedelai yang dilakukan pemerintah tidak berjalan optimal. Ancaman kepada kedelai lokal diperparah dengan kebijakan Paket Ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada Oktober 2015. Paket itu berimbas pada penurunan harga kedelai impor sekitar Rp. 200,- ke level Rp. 7.100,- per kg pada Oktober 2015.

Bahkan pada Desember 2015 harga kedelai impor turun menjadi Rp. 5.300 per kg. Oleh karena itu, kedelai lokal pun ikut terkoreksi turun secara drastis dari harga beli petani yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp. 7.700 per kg menjadi hanya 5.500 per kg. Harga tersebut dinilai tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan petani kedelai. Volume impor jagung hingga September 2015 yakni sebesar 2.735.469 ton. Angka ini lebih tinggi dibandingkan impor jagung pada Oktober 2014 sebesar 2,6 juta ton. Kendala penyerapan jagung nasional untuk industri pengolahan menjadi dasar impor jagung meningkat. Disisi lain produktifitas jagung belum mampu memenuhi seluruh permintaan. Salah satu permasalahannya seperti penyimpanan jagung hasil panen untuk menjaga kualitas belum tersedia.

2 Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian RI 2015

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

14

Adapun perkembangan impor pangan Indonesia tahun 2015 dapat ditinjau melalui Grafik 5. Berikut ini.

Grafik 5. Volume Impor Pangan Indonesia Jan-Sep 2015

Fluktuasi harga pasar pangan domestik juga dipengaruhi oleh produk-produk impor merupakan konsekuensi yang diterima rakyat Indonesia, setelah Pemerintah sudah banyak menandatangani perjanjian bebas mulai dari bilateral dan regional, seperti FTA dengan ASEAN, ASEAN China, ASEAN Australia untuk menyebut beberapa contoh; serta multilateral seperti WTO yang baru saja menyelesaikan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-10 di Nairobi pada 15-18 Desember 2015. Dalam sidang ini, beberapa negara berkembang bertahan untuk menyubsidi petani dan rakyat miskin. Sementara usulan negara maju adalah untuk menghapus subsidi tersebut, pun mereka diberi akses te rus untuk ekspor produk pertanian mereka ke seluruh penjuru dunia.

WTO bagi kami telah gagal selama 20 tahun dalam menyejahterakan rakyat. Hal ini karena setiap perundingan yang dilaksanakan WTO berjjalan tidak demokratis, praktik yang kerap terjadi di ruang tertutup dan hanya melibatkan negara tertentu. Begitupun dengan hak atas pangan dan pertanian, karena WTO memaksa akses pasar negara miskin dan berkembang harus terbuka melalui Trade Facilitation. KTM-10 terbukti bertolak belakang dengan pembangunan sebab agenda pembangunan dalam putaran Doha tidak dibahas sampai KTM Nairobi ditutup. Padahal agenda putaran Doha menjadi andalan negara-negara miskin dan berkembang.

Berbagai ragam perjanjian internasional yang sedianya akan ditinjau kembali. Namun sebelum terlaksana, Presiden Jokowi sudah mengeluarkan pernyataan untuk ikut Trans-Pacific Partnership (TPP). Hal ini disampaikan oleh Jokowi setelah setelah bertemu Presiden Obama. Presiden Jokowi mengatakan bahwa dengan jumlah penduduk 250 juta Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara. 2015 Indonesia bersikap hanya akan bergabung ketika kesepakatan TPP telah jelas menguntungkan negara. Jika bergabung, Indonesia harus mengikuti aturan main yang ditetapkan TPP seperti investor bisa menyeret Pemerintah ke pengadilan, termasuk tarif murah dan tidak mengistimewakan badan usaha milik negara (BUMN). Sementara pada tahun depan Indonesia dihadapkan dengan pasar tunggal ASEAN (Masyarakat Ekonomi Asean).

Potensial dampak negatif atas pasar bebas sudah dapat diprediksi, setidaknya dari kondisi saat ini ketika pasar unggulan perkebunan sudah tidak menguntungkan Indonesia. Dari perkembangan NTP perkebunan yang rendah selama kurun waktu 2015 pada poin sebelumnya, bagaimana harga CPO dan karet terpuruk di pasar internasional sehingga juga berdampak merugikan petani, disamping korporasi itu sendiri. Tapi tentunya dampak nyata pada keluarga petani, karena mereka relatif tidak punya penghasilan lain. Oleh karena itu sudah selayaknya Pemerintah untuk melindungi petani dan me mperbaiki secara nyata pasar domestik sendiri.

229.628

5.563.700

2.735.469

4.673.757

Beras (ton) Gandum (ton) Jagung (ton) Kedelai (ton)

Sumber: Pusdatin Kementan, diolah SPI

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

15

Berikut tabel ragam perjanjian internasional yang sudah disepakati oleh pemerintah:

Tabel 3. Free Trade and Economic Partnership Negotiations.

Berkenaan dengan sistem distribusi dan cadangan pangan, maka Bulog menjadi kelembagaan pangan yang bisa mengontrol cadangan dan distribusi pangan. Akibat gonjang-ganjing harga beras pada kwartal pertama tahun 2015 yang tidak terselesaikan, Jokowi mengganti Dirut Bulog. Untuk itu, kelembagaan pangan sudah seharusnya segera dibentuk sesuai dengan mandat UU Pangan. Hal ini sangat penting karena sampai saat ini ketiga lembaga pemerintah, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Bulog sendiri tidak selamanya berkoordinasi dengan baik dalam mengambil keputusan impor pangan, meski UU Pangan secara tegas memperketat kebijakan impor pangan.

Kebijakan perberasan masih menggunakan skema harga pembelian pemerintah (HPP) tunggal dimana dianggap tidak efektif menstimulasi petani untuk memperbaiki mutu produksi. Jika ditilik dari sudut pandang kompetisi produk maka kualitas produk beras nasional dapat terancam dalam medan pasar terbuka, dimana Indonesia juga akan ambil bagian pada awal tahun 2016. Selain itu, jika skema HPP tetap tidak mempertimbangkan kualitas (baik berdasarkan varietas, musim dll) maka juga akan berdampak mempersulit Pemerintah untuk melakukan proses penyerapan, dimana juga akan berdampak pada keadaan perberasan hingga dapat memberi jalan mulus bagi impor.

Selain itu terlalu banyak lembaga yang terkait dalam kaitan penentuan HPP ini, salah satunya berakibat pada berbagai kebuntuan regulasi. Ditambah lagi data yang berbeda-beda sebagai acuan kebijakan (misalnya data BPS, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dll.) yang menjadikannya seringkali tidak secara akurat mampu memperbaiki struktur perberasan maupun pangan secara umum di Indonesia. Keadaan ini memantik gagasan untuk merubah skema HPP menjadi HPB (harga pembelian Bulog) agar kontrol pangan lebih difokuskan pada fungsi kerja Bulog.

Sumber: Jakarta Post (19/3/2015)

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

16

V. KEKERINGAN DAN KEBAKARAN

Program tata kelola pra sarana pertanian dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 tercantum tentang pembangunan dan peningkatan layanan jaringan irigasi seluas 1 juta hektar, pelaksanaan rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi, pengoperasian dan terpeliharanya jaringan irigasi 7,3 juta ha, pembangunan 115 ribu hektar jaringan tata air tambak serta pendirian 49 waduk baru.

Walaupun demikian, sepanjang tahun 2015 ini tata kelola pendukung utama sektor pertanian berupa saluran irigasi dan penampung cadangan air terbukti tak berhasil diwujudkan. Hal ini terbukti sepanjang tahun 2015 petani mengalami kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan karena dampak El Nino. Selanjutnya juga sebagian besar petani di Sumatera dan Kalimantan mengalami kerugian dari dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Kebakaran hutan dan lahan paling parah terjadi di tujuh Provinsi di Indonesia yakni Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), El Nino adalah gejala penyimpangan kondisi meningkatnya suhu permukaan laut yang signifikan di Samudera Pasifik sekitar ekuator khususnya dibagian tengah dan timur3. Hal itu berdampak pada pengurangan jumlah curah hujan yang signifikan di Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI pada 2 Agustus 2015 untuk pertanaman padi sudah mengalami kekeringan seluas 495.318 ha4. Angka ini diprediksi akan terus bertambah sampai akhir tahun 2015 mengingat dampak El Nino mencapai puncak pada Oktober-November 2015. Kemudian kekeringan pertanaman komoditas lain misalnya pada produksi kakao yang diperkirakan turun hingga 13% menjadi 325.000 ton dibandingkan tahun 2014.

Untuk menanggulangi gagal panen pertanaman padi, Kementerian Pertanian RI mencoba skema asuransi pertanian sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian nomor 40 tahun 2015. Premi yang harus dibayarkan untuk tiap musim tanam sebesar Rp. 180.000,- per hektar. Petani selama masa percobaan hanya membayar premi sebesar Rp. 36.000,- per hektar pada setiap musim tanam karena pemerintah telah memberikan subsidi hingga 80 persen dari APBN Perubahan 2015. Akan tetapi ketika subsidi dicabut, petani harus memenuhi sendiri premi asuransi pertanian tersebut.

Oleh karena itu, organisasi Tani menilai bahwa asuransi pertanian belum tepat sasaran karena hanya petani yang memiliki akses dan mampu membayar premi saja yang diasuransikan. Padahal Pasal 33 UU 19/2013 menjamin Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk ganti rugi karena gagal panen. Hingga 9 September 2015, kami mencatat luas areal lahan yang terbakar dari perkebunan pelepasan hutan dan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional di Sumatera dan Kalimantan yaitu seluas 140.471 ha. Kemungkinan luas areal ini terus bertambah sampai akhir tahun 2015 karena proses penyidikan masih terus berlangsung.

Adapun laporan perusahaan yang terkena sanksi sampai 4 November 2015 tersaji pada Tabel. 4 berikut ini.

Tabel 4. Daftar Perusahaan Terkena Sanksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI

3 Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika RI 2015, “Fenomena El Nino/La Nina dan Dampaknya di Wilayah Indonesia” 4 Luas Kekeringan Pada Pertanaman Padi, 2 Agustus 2015, Direktorat Tanaman Pangan Kementan RI

NO PERUSAHAAN IZIN LOKASI KONSESI SANKSI

1. PT. Hutani Sola Lestari IUUPHK-HTI Riau Pencabutan Izin Usaha

2. PT. Mega Alam Sentosa IUUPHK-HTI Kalbar Pencabutan Izin

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

17

Berdasarkan tabel di atas, aktor utama kebakaran hutan dan lahan ialah perusahaan—bukan petani. Dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, kesalahan terbesar pemerintah adalah mengizinkan hutan dan gambut di eksploitasi. Padahal pada hakikatnya hutan dan gambut harus di lindungi bersama masyarakat adat dan para petani kawasan hutan.

3. PT. Dyara Hutan Lestari IUUPHK-HTI Jambi Pencabutan Izin

4. PT. Langgam Inti Hibrido Perkebunan Riau Pembekuan Izin

5. PT. Waringin Agro Jaya IUUPHK-HTI Sumsel Pembekuan Izin

6. PT. Termpirai Palm Resources Perkebunan Sumsel Pembekuan Izin

7. PT. SBAWI IUUPHK-HTI Sumsel Pembekuan Izin

8. PT. Pesona Belantara Persada IUUPHK-HTI Jambi Pembekuan Izin

9. PT. Daya Mandiri Lestari IUUPHK-HTI Kaltim Pembekuan Izin

10. PT. Russelindo Putra Prima Perkebunan Sumsel Pembekuan Izin

11. PT. BSS Perkebunan Kalbar Paksaan Pemerintah

12. PT. KU Perkebunan Jambi Paksaan Pemerintah

13. PT. IHM IUUPHK-HTI Kaltim Paksaan Pemerintah

14. PT. WS IUUPHK-HTI Jambi Paksaan Pemerintah

Sumber: Kementerian LHK dan Polri

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

18

VI. KELEMBAGAAN PETANI DAN PEMBANGUNAN PERDESAAN

Kelembagaan petani menjadi hal yang krusial dalam proses perjuangan petani, baik dari segi sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya. Adalah hal yang positif karena Pemerintah dan petani sudah mempunyai referensi yang sama tentang kelembagaan petani sebagaimana yang dimandatkan dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani UU nomor 19 tahun 2013, terlebih setelah UU tersebut diamandemen pada tahun 2014 melalui putusan MK yang mengakui Organisasi Tani diakui sebagai salah satu kelembagaan petani. Termasuk juga dalam kelembagaan ini adalah kelembagaan koperasi petani.

Hasil amandemen UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani nomor 19 tahun 2013 melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014 secara lengkap menyatakan, pertama frasa ‘hak sewa’ dalam pasal 59 UU nomor 19 tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebab hubungan sewa menyewa tanah yang dilakukan oleh negara merupakan praktek feodal dimasa kolonial Hindia Belanda dan sudah semestinya dihentikan. Kedua, pasal 70 ayat 1 mengenai kelembagaan petani dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani’. Dengan demikian, tidak hanya Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian dan Dewan Komoditas Pe rtanian Nasional saja yang diakui oleh negara, namun juga organisasi atau kelompok tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani juga harus diakui.

Ketiga, pasal 71 tentang kata ‘berkewajiban’ juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi pasal tersebut kemudian selengkapnya menjadi ‘petani bergabung dan berperan aktif dalam kelembagaan petani sebagaimana dimkasud dalam pasal 70 ayat 1’. Oleh karena itu, petani tidak berkewajiban untuk ikut dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani, dan boleh menjadi anggota organisasi tani yang dibentuk dan didirikan oleh petani sendiri. Akan tetapi menjelang tahun 2015 ditutup, putusan MK diatas belum disesuaikan dengan peraturan turunan. Misalnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani tak kunjung direvisi. Alhasil petani masih mendapatkan diskrimanasi terutama bagi anggota organisasi petani diluar kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Sehingga akses program dan bantuan hanya dirasakan oleh kelompok tani dan gabungan kelompok tani saja.

Kenyataan yang terjadi, alat dan mesin pertanian berupa traktor dan pompa air tidak diterima oleh petani yang benar-benar membutuhkan dan cenderung tidak tepat sasaran. Karena petani penerima bantuan hanya yang menjadi anggota kelompok tani, padahal petani yang tergabung dalam organisasi yang didirikan sendiri oleh petani banyak yang lebih membutuhkan dan jumlahnya lebih banyak. Selanjutnya dalam kontek program Nawacita terkait dengan program agribisnis kerakyatan, maka koperasi menjadi pilihan yang tepat. Namun sayangnya Pemerintah Jokowi lebih mengutamakan Korporasi dalam peningkatan produksi dan rantai pasok hasil -hasil pertanian. Termasuk dalam hal ini adalah usaha pengadaan pangan oleh Bulog yang lebih memprioritaskan mitra bulog berupa perusahaan ketimbang koperasi petani. Tetapi pada satu sisi sampai saat ini petani masih dihadapkan persoalan birokrasi untuk membentuk koperasi sebagaimana yang diatur dalam UU Koperasi.

Baik koperasi maupun organisasi petani selanjutnya berperan penting dalam pembangunan perdesaan. Dengan adanya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, maka dua kelembagaan tersebut berpeluang dalam menata sistem pertanian, sosial ekonomi, sosial budaya dan sosial politik melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa. Lebih dari itu, kedua lembaga tersebut akan mampu mencegah kompetisi lahan untuk pangan, pakan, energi dan perlindungan hutan untuk perubahan iklim, serta lebih jauh untuk infrastruktur perdesaan. Namun sampai saat ini Pemerintah masih belum jelas dalam implementasi UU Desa tersebut.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

19

VII. KONFLIK AGRARIA

Konflik Agraria merupakan bagian dari Trilogi Kemiskinan Petani, sementara dua yang lain adalah garis kemiskinan dan kelaparan. Tercatat jumlah konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai 231 kasus. Angka ini bertambah sekitar 60% dibanding konflik agraria yang terjadi pada tahun 2014 sebesar 143 kasus.

Konflik tersebar diseluruh wilayah di Indonesia dengan total luas lahan konflik agraria seluas 770.341 ha. Dari luasan itu menyebabkan 3 petani tewas, 194 petani menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminalisasi dan lebih dari 2.700 kepala keluarga petani harus tergusur dari lahan pertanian. Angka pelanggaran Hak Asasi Petani yang tinggi mencerminkan hak petani untuk mendapatkan akses terhadap keadilan belum mampu dipenuhi dan diwujudkan pada tahun 2015 ini.

Tabel 5. Konflik Agraria Indonesia 2015

Jumlah Konflik

Total Luas Lahan Konflik

Korban Tewas

Korban Kekerasan

Korban Kriminalisasi

Korban Tergusur

231 770.341 ha 3 orang 194 orang 65 orang 2.700 kk

Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI

Konflik agraria terjadi diseluruh pulau di Indonesia. Berdasarkan data, Pulau Sumatera adalah pulau dengan sumber konflik agraria yang tertinggi selama tahun 2015. Untuk data selengkapnya disajikan dalam Tabel. 6 berikut ini.

Tabel 6. Sebaran Konflik Agraria Indonesia 2015 Berdasarkan Pulau

PULAU LUAS LAHAN (HA) PERSENTASE (%) Bali 325 0,042%

Jawa 81.347 10,560%

Kalimantan 18.664 2,423%

Nusa Tenggara 7.019 0,911% Maluku 11.000 1,428%

Papua 2.800 0,363% Sulawesi 67.927 8,818%

Sumatera 581.259 75,455% Total 770.341 100%

Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI

Berdasarkan tebel di atas, konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai luas sekitar 770.341 ha. Pulau Sumatera yang merupakan sentra dari perkebunan menjadi paling dominan yaitu sebesar 75% dari total persentase nasional untuk konflik agraria pada tahun 2015. Selanjutnya diikuti oleh Pulau Jawa yang memiliki persentase lebih dari 10%. Pulau Sulawesi menempati posisi ketiga dalam sebaran konflik agraria yaitu sebesar 8,8%. Sedangkan pulau lainnya seperti Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan dan Papua persentasenya dibawah dari 2%. Konflik agraria terkonsestrasi penuh di pulau Sumatera, mekarnya industrialisasi perkebunan di Sumatera diduga akan terus memiliki dampak konflik agraria yang berkepanjangan. Hal ini dibuktikan pada Tabel. 7 di bawah ini.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

20

Tabel 7. Sebaran Konflik Agraria Indonesia 2015 Berdasarkan Sektor

SEKTOR LUAS LAHAN (HA) PERSENTASE (%) Perkebunan 549.651 71,352%

Kehutanan 142.771 18,533%

Pertambangan 44.958 5,836%

Infrastruktur 29.237 3,795%

Dan Lain-Lain (Perorangan, Pendidikan, Keamanan) 3.724 0,483% Total 770.341 100%

Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI

Berdasarkan Tabel. 7 diatas, perkebunan menempati sektor yang memiliki potensi paling tinggi memicu konflik agraria. 71,3% konflik agraria sepanjang tahun 2015 terjadi di sektor perkebunan. Selanjutnya sektor kehutanan menyumbang 18,5% luas konflik atau sebanyak 24 kasus agraria. Kemudian sektor lain seperti pertambangan dan infrastruktur juga turut menyumbangkan persentase masing-masing sebesar 5,8% dan 3,8%. Adapun sebaran luas sektor lain seperti pendidikan, keamanan dan sengketa perorangan pada tahun 2015 ini berjumlah kurang dari 1%. Konflik agraria yang terjadi di multi sektoral tentunya melibatkan banyak pihak. Pihak yang terlibat konflik agraria dengan petani dapat dibedakan menjadi dua yakni pihak dari pemerintah dan swasta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Grafik. 8 berikut ini.

Grafik 8. Pihak yang Terlibat Konflik Agraria dengan Petani Tahun 2015

Sumber: dari berbagai sumber, diolah SPI

Berdasarkan grafik tersebut dapat dijelaskan bahwa kasus-kasus konflik agraria yang terjadi pada tahun 2015, sebesar 69% nya terjadi antara petani dengan swasta. Lalu sebesar 31% terjadi antara Pemerintah dengan petani. Hal tersebut menerangkan bahwa antara pemerintah melalui BUMN atau lembaga pemerintah lainnya memiliki potensi untuk merebut tanah yang seharusnya didistribusikan kepada petani. Walaupun dominasi dibelakang konflik agraria dilakukan oleh swasta sebesar 69%. Kondisi ini diperparah dengan keterlibatan dan keberpihakan aparat penegak hukum kepada kedua kekuatan yang memegang kendali konflik agraria selama ini.

Maka dari pada itu, reforma agraria 9 juta ha harus segera dijalankan oleh Pemerintah sehingga pemerataan distribusi tanah berpihak pada prinsip keadilan. Sesuai Pasal 58 Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mengamanahkan pemberian paling luas 2 ha tanah negara kepada petani. Dengan dijalankan reforma agraria, rakyat khususnya petani merasakan betul keberpihakan pemerintah dalam penyelesaian konflik agraria. Pada hakikatnya angka-angka diatas belum dapat merangkumkan kejadian sesungguhnya mengenai sebaran luas lahan yang menjadi persengketaan selama ini. Akan tetapi data ini setidaknya dapat mencerminkan begitu kronis konflik agraria di Indonesia.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

21

VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

a. Kesimpulan

i. Kesejahteraan petani pada tahun 2015 tidak menunjukan kemajuan yang berarti. Begitupun dengan trilogi kemiskinan. Nilai Tukar Petani (NTP) semua sektor berkisar antara 100,02 hingga 102,95. Walaupun bila dilihat per sektor, NTP perkebunan berada level dibawah 100 dan NTP Pangan juga beberapa bulan berada dibawah nilai 100. Dalam hal ini batas bawah nilai kesejahteraan petani ditunjukkan bila NTP = 100. Ketika terjadi penurunan NTP, kondisi ini menyebabkan peningkatan kemiskinan terkhusus di sektor pangan, perkebunan dan hortikultura. Jumlah penduduk miskin—terkhusus di perdesaan—pada Maret 2015 mencapai 17,94 juta jiwa, angka ini diprediksi akan naik sampai tahun 2015 berakhir. Hal ini dikarenakan pada satu sisi petani adalah produsen dan disisi lainnya petani juga menjadi konsumen yang rentan dengan kenaikan harga atau inflasi perdesaan. Sepanjang tahun 2015 kedaulatan pangan juga tercoreng oleh maraknya gizi buruk yang terjadi, sampai awal Desember 2015 dalam Pencapaian Indikator Kinerja Pembinaan Gizi Bulanan, Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa telah terjadi 11.024 kasus gizi buruk di Indonesia dan 744 diantaranya meninggal dunia;

ii. Pembaruan agraria terkait dengan program redistribusi lahan 9 juta hektar lahan sampai tahun 2015 masih belum dilaksanakan oleh Pemerintahan Jokowi. Sebaliknya yang terjadi adalah pemberian konsesi lahan kepada korporasi untuk peningkatan produksi pangan dan perkebunan yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Padahal berdasarkan Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga pertanian berjumlah 26,14 juta dan 56,12% nya adalah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar dan indek gini ketimpangan lahan mencapai sekitar 71,7 %;

iii. Pembaruan agraria terkait dengan sumber daya air sebagai alat produksi dapat dikatakan mengalami kemajuan setelah adanya keputusan MK untuk membatalkan UU Sumber Daya Air nomor 7 tahun 2004. Namun mandat tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Pemerintah Jokowi . Terbukti dengan sikap Pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi atas putusan sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang membatalkan kontrak kerjasama antara PAM Jaya dengan PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan Aetra Air Jakarta. Lebih jauh dari itu, Pemerintah juga sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menyelamatkan swasta sebagai pengganti UU SDA yang sudah tidak berlaku;

iv. Permbaruan agraria terkait dengan benih sebagai alat produksi sebetulnya mendapat angin segar dengan adanya keputusan MK nomor 99/PUU-X/2012 menyatakan bahwa petani kecil bisa mendapatkan varietas atau benih unggul melalui pemulian tanaman sendiri. Namun cengkeraman dominasi korporasi benih dibawah perjanjian benih internasional, keputusan tersebut belum diterapkan. Bahkan Pemerintah sudah memasrahkan pengadaan benih untuk produksi pangan dan pakan kepada korporasi. Tidak terkecuali GMO, yang sebentar lagi akan mendapatkan lampu hijau untuk diproduksi dan dipasarkan berupa Jagung GMO RR NK 603;

v. Pemerintah masih menerapkan revolusi hijau untuk mengejar target swasembada pangan strategis dan bahkan dinyatakan telah mencapai surplus produksi diantaranya untuk Padi, Jagung dan Kedelai. Mekanisme peningkatan produksi masih diserahkan kepada perusahaan untuk menyuplai benih, pupuk dan pestisida kepada petani. Kegiatan ini dilegalisasi melalui program Kementerian Pertanian RI. Kondisi ini diperparah melalui skema kemitraan antar korporasi dengan petani seperti PIS-Agro, Monanto-BRI-Cargill dan yang lainnya. Situasi diperburuk dengan keterlibatan tentara—layaknya masa orde baru—untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Walaupun demikian, sedikit titik cerah terdapat pada putusan MK untuk UU Hortikultura yang menyatakan investasi bagi penanaman modal asing tetap dibatasi paling banyak sebesar 30%.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

22

vi. Dalam kerangka distribusi dan pasar bebas, Pemerintah masih belum memiliki identitas yang jelas. Terlihat dari berbagai program pemerintah dangan implementasi dilapangan yang kontradiktif. Oleh karena itu Kelembagaan Pangan sudah seharusnya segera dibentuk sesuai dengan mandat UU Pangan. Hal ini sangat penting karena sampai saat ini ketiga lembaga Pemerintah, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan Bulog sendiri tidak selamanya berkoordinasi dengan baik dalam mengambil keputusan produksi, penyimpanan dan pemasaran—terutama dalam hal impor pangan. Meski UU Pangan secara tegas memperketat kebijakan impor pangan. Akhirnya impor pangan tak terhindarkan pada tahun 2015 ini. Pada bulan September 2015 Indonesia tercatat telah mengimpor beras sebanyak 229.628 kg dan pada awal Oktober 2015 Pemerintah Indonesia menyepakati kontrak untuk memasok beras sebanyak 1 juta ton dari Vietnam. Sementara itu sampai September 2015, Indonesia telah mengimpor gandum sebesar 5.563.700 ton dan menghabiskan biaya US$ 1,6 milyar. Volume importasi pangan Indonesia selanjutnya yakni kedelai. Sampai bulan September 2015 volume impor kedelai sebesar 4.673.757 ton. Kemudian volume impor jagung hingga September 2015 yakni sebesar 2.735.469 ton. Kondisi akan diperburuk dengan berbagai macam FTA yang akan berlaku pada tahun 2016 nanti. Seperti hasil KTM-10 WTO Nairobi dan rencana Indonesia yang akan bergabung ke TPP.

vii. Sepanjang tahun 2015, tata kelola pendukung utama sektor pertanian berupa saluran irigasi dan penampung cadangan air tak berhasil diwujudkan. Buktinya sepanjang tahun 2015 ini petani mengalami kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan karena dampak El Nino. Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI pada 2 Agustus 2015 untuk pertanaman padi sudah mengalami kekeringan seluas 495.318 ha. Selanjutnya juga sebagian besar petani di Sumatera dan Kalimantan mengalami kerugian dari dampak kebakaran hutan dan lahan yang terjadi. Kebakaran hutan dan lahan paling parah terjadi di tujuh Provinsi antara lain Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kali mantan Timur. Hingga 9 September 2015, kami mencatat luas areal lahan yang terbakar dari perkebunan pelepasan hutan dan bidang tanah Badan Pertanahan Nasional di Sumatera dan Kalimantan yaitu seluas 140.471 ha. Aktor utama kebakaran hutan dan lahan ialah perusahaan—bukan petani. Hal ini terbukti dengan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kepolisian Republik Indonesia yang sudah menetapkan 14 perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan per 4 November 2015. Dari peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun, kesalahan terbesar pemerintah adalah mengizinkan hutan dan gambut di eksploitasi. Pada hakikatnya hutan dan gambut harus di lindungi bersama masyarakat adat dan para petani kawasan hutan.

viii. Kelembagaan petani menjadi hal yang krusial dalam proses perjuangan petani, baik dari segi sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya. Saat ini Organisasi Tani diakui sebagai salah satu kelembagaan petani berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014 hasil uji materi UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani nomor 19 tahun 2013. Termasuk juga dalam kelembagaan ini adalah kelembagaan koperasi petani. Akan tetapi menjelang tahun 2015 ditutup, putusan MK diatas belum disesuaikan dengan peraturan turunan. Misalnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani tak kunjung direvisi. Alhasil petani masih mendapatkan diskrimanasi terutama bagi anggota organisasi petani diluar kelompok tani dan gabungan kelompok tani. Sehingga akses program dan bantuan hanya dirasakan oleh kelompok tani dan gabungan kelompok tani saja. Begitupun dengan kelembagaan koperasi yang berperan penting dalam pembangunan perdesaan berdasarkan adanya UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa. Lebih dari itu, kedua lembaga tersebut akan mampu mencegah kompetisi lahan untuk pangan, pakan, energi dan perlindungan hutan untuk perubahan iklim, serta lebih jauh untuk infrastruktur perdesaan. Namun sampai saat ini Pemerintah masih belum jelas dalam implementasi UU Desa tersebut.

CATATAN AKHIR TAHUN PERTANIAN INDONESIA 2015

23

ix. Konflik agraria di Indonesia pada tahun 2015 terjadi sebanyak 231 kasus dengan total luas lahan konflik agraria seluas 770.341 ha. Dari luasan konflik itu menyebabkan 3 petani tewas, 194 petani menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminalisasi dan lebih dari 2.700 kepala keluarga petani harus tergusur dari lahan pertanian. Dari total tersebut sekitar 71,3% konflik terjadi di sektor perkebunan dan 18,5% diantaranya terjadi di sektor kehutanan. Kemudian sebesar 69% konflik agraria terjadi antara petani dengan swasta dan 31% terjadi antara pemerintah dengan petani.

b. Rekomendasi

1. Pemerintah perlu membuat rencana tata ruang yang menempatkan pertanian untuk kedaulatan pangan dan penyelematan hutan. Luas hutan di Jawa harus ditambah, berasal dari eks tanah perkebunan, Perhutani, dan tanah perusahaan perkebunan. Keberadaan Perhutani harus ditinjau, sebaiknya tanah yang dikuasai Perhutani didistribusikan untuk tanaman pangan dan hutan abadi.

2. Pemerintah harus mengubah orientasi produksi pertanian Indonesia untuk kepentingan nasional bukan untuk kepentingan ekspor. Sampai hari ini belum ada perubahan orientasi tersebut. Seharusnya, perkebunan kelapa sawit yang sudah terlampau luas dan kelebihan produksi harus dikurangi. Tanah perkebunan kelapa sawit harus di konversi menjadi tanaman pangan, dan hutan serta padang gembala. Harus dicatat luas perkebunan kelapa sawit Indonesia dua kali lipat dari Malaysia, namun produksinya hampir sama. Kemudian untuk pulau Jawa sudah tidak boleh lagi ada perkebunan kelapa sawit dan karet;

3. Penggunaan pupuk organik harus diperluas. Keberlangsungan pabrik pupuk kimia harus dikurangi.

Subsidi yang begitu besar untuk pupuk harus secara perlahan dihentikan, dan digantikan dengan

subsidi ke pupuk organik. Saat ini pemerintah belum melakukan perubahan dalam penggunaan

pupuk, malah masih terus memperbesar subsidi terhadap pupuk kimia.

4. Harus dilakukan upaya yang luas untuk mengubah sistem pertanian yang ada sekarang menjadi pertanian yang agroekologis, yang ramah lingkungan. Pemerintahan sekarang tidak menempatkan perubahan sistem pertanian karena masih meneruskan sistem pertanian yang lama, yakni Revolusi Hijau yang masih menggunakan pupuk kimia dan obat-obatan kimia.

5. Kelembagaan petani yang ada sekarang harus ditinjau sesuai UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tahun 2013 dan hasil sidang MK. Karena kelompok tani (poktan) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) yang ada sekarang ini sudah tak memadai. Banyak bantuan pemerintah yang salah sasaran dan tak sampai ke sasaran. Selain itu, pemerintah sekarang juga belum melakukan perombakan kelembagaan petani sesuai putusan MK.

6. Memfungsikan koperasi dan usaha-usaha bersama petani yang bekerjasama dengan Bulog dalam pengadaan stok pangan. Tidak seperti yang sekarang ini terjadi, Bulog umumnya bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta beras. Sehingga Bulog yang tergantung ke perusahaan-perusahaan itu.

7. Kampanye untuk mengkonsumsi pangan lokal dan beragam haruslah lebih dimasifkan, tidak boleh membiarkan rakyat terus mengkonsumsi gandum dalam jumlah besar, dan hanya mengkonsumsi beras sebagai sumber karbohidrat. Indonesia bisa memproduksi pisang, singkong, talas, dan sagu, serta berbagai sumber karbohidrat lainnya. Kampanye konsumsi pangan lokal tidak di lakukan secara sungguh-sungguh, hanya sesaat saja, ketika pemerintahan di mulai, selanjutnya di lupakan.

8. Impor pangan harus dihentikan secara total, tidak boleh ditawar-tawar, walau dalam kondisi yang bagaimanapun. Karena sumber pangan di Indonesia sebenarnya sangat banyak sekali, dan rakyat bisa memproduksinya. Rencana impor pangan yang sekarang di proses harus di hentikan. Rakyat Indonesia harus di ajak saling bahu membahu untuk menghadapi kekurangan pangan seandainya terjadi akibat El Nino yang berkepanjangan.