bunuh diri

12
Bunuh diri Banyak sekali orang yang mengalami depresi dan orang-orang yang menderita gangguan bipolar memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Diyakin bahwa lebih dari separuh orang-orang yang mencoba bunuh diri mengalami depresi dan putus asa pada saat mereka melakukan tindakan tersebut (Henriksson dkk., 1993), dan diperkirankan sebanyak 15 persen orang-orang yang didiagnosis menderita depresi mayor akhirnya bunuh diri (Maris dkk., 1992). Meskipun demikian, sejumlah besar orang yang tidak menderita depresi juga melakukan upaya bunuh diri, beberapa di antaranya berhasil, terutama orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian ambang (Linehan, 1997). A. Perspektif Bunuh Diri Pada saat kita membayangkan tentang bunuh diri biasanya kita berpikir tentang seseorang yang penuh dengan perhitungan melakukan tindakan dramatis yang dipilih secara eksplisit untuk mengakhiri hidupnya dengan segera. Berbagai pemikiran tentang ciri-ciri dan penyebab bunuh diri dapat ditemukan di banyak tempat (Shneidman, 1987), seperti surat-surat dan catatan harian dapat memberi insight tentang fenomenologi orang-orang yang bunuh diri. Banyak motif bunuh diri yang dikemukakan (Mintz, 1968) yaitu agresi yang dibalikkan ke diri sendiri, pembalasan yang dilakukan dengan cara menimbulkan perasaan bersalah pada orang lain, upaya untuk memaksakan cinta dari orang lain, upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak dapat diterima, dan keinginan atau kebutuhuan untuk melarikan diri dari stres, kehancuran, rasa sakit atau kekosongan emosional. Banyak profesional kesehatan mental

Upload: amalliapradistha

Post on 18-Feb-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bunuh diri

TRANSCRIPT

Page 1: Bunuh diri

Bunuh diri

Banyak sekali orang yang mengalami depresi dan orang-orang yang menderita gangguan bipolar memiliki pemikiran untuk melakukan bunuh diri. Diyakin bahwa lebih dari separuh orang-orang yang mencoba bunuh diri mengalami depresi dan putus asa pada saat mereka melakukan tindakan tersebut (Henriksson dkk., 1993), dan diperkirankan sebanyak 15 persen orang-orang yang didiagnosis menderita depresi mayor akhirnya bunuh diri (Maris dkk., 1992). Meskipun demikian, sejumlah besar orang yang tidak menderita depresi juga melakukan upaya bunuh diri, beberapa di antaranya berhasil, terutama orang-orang yang mengalami gangguan kepribadian ambang (Linehan, 1997).

A. Perspektif Bunuh Diri

Pada saat kita membayangkan tentang bunuh diri biasanya kita berpikir tentang seseorang yang penuh dengan perhitungan melakukan tindakan dramatis yang dipilih secara eksplisit untuk mengakhiri hidupnya dengan segera. Berbagai pemikiran tentang ciri-ciri dan penyebab bunuh diri dapat ditemukan di banyak tempat (Shneidman, 1987), seperti surat-surat dan catatan harian dapat memberi insight tentang fenomenologi orang-orang yang bunuh diri.

Banyak motif bunuh diri yang dikemukakan (Mintz, 1968) yaitu agresi yang dibalikkan ke diri sendiri, pembalasan yang dilakukan dengan cara menimbulkan perasaan bersalah pada orang lain, upaya untuk memaksakan cinta dari orang lain, upaya untuk menyingkirkan perasaan yang tidak dapat diterima, dan keinginan atau kebutuhuan untuk melarikan diri dari stres, kehancuran, rasa sakit atau kekosongan emosional. Banyak profesional kesehatan mental kontemporer menganggap bunuh diri secara umum sebagai upaya individu untuk menyelesaikan masalah, yang dilakukan dalam kondisi stres berat dan ditandai pertimbangan atas alternatif yang sangat terbatas di mana akhirnya bunuh diri muncul sebagai solusi terbaik (Linehan & Shearin, 1988).

Suatu teori tentang bunuh diri yang di dasari penelitian dalam bidang psikologi sosial dan kepribadian menyatakan bahwa beberapa tindakan bunuh diri dilakukan karena keinginan kuat untuk lari dari kesadaran diri yang menyakitkan, yaitu kesadaran yang menyakitkan atas kegagalan dan kurangnya keberhasilan yang di atribusikan orang yang bersangkutan pada dirinya (Baumeister,1990). Kesadaran ini diasumsikan menimbulkan penderitaan emosional yang berat, mungkin depresi. Ekspektasi tinggi yang tidak realistis, sehingga kemungkinan gagal memenuhi ekspektasi tersebut memegang peranan sentral dalam perspektif tentang bunuh diri ini. Melupakan kenyataan tersebut dengan kematian tampaknya lebih dapat di toleransi daripada terus-menerus dalam kesadaran yang menyakitkan kan berbagai kekurangannya. Terdapat banyak penelitian yang mendukung hipotesis ini (Baumeister, 1990).

Page 2: Bunuh diri

Beberapa perspektif lain tentang bunuh diri yang masing-masing mencoba untuk memberikan titik terang mengenai aspek yang menyedihkan dari umat manusia ini. Teori psikoanalisis Freud, pada dassarnya freud menganggap bunuh diri sebagai pembunuhan, sebuah perluasan teorinya tentang depresi. Ketika seseorang kehilangan orang yang dicintai sekaligus dibencinya dan meleburkan orang tersebut dengan dirinya sendiri, agresi diarahkan ke dalam. Jika perasaan ini cukup kuat, orang yang bersangkutan akan bunuh diri. Selanjutnya teori sosiologis Durkheim, Emile Durkheim (1897, 1951) seorang sosiolog terkenal menganalisis berbagai laporan bunuh diri dari berbagai negara dan periode sejarah dan menyimpulkan bahwa bunuh diri sendara dapat dipahami secara sosiologis. Ia membedakan bunuh diri ini menjadi tiga jenis, yang pertama bunuh diri egostik, dilakukan oleh orang –orang yang memiliki sedikit keterikatan dengan keluarga, manyarakat atau komunitas. Orang-orang ini merasa terasingkan dari orang lain, tidak memiliki dukungan sosial yang penting agar mereka dapat tetap berfungsi secara adaftif sebagai makhluk sosial. Yang kedua bunuh diri altruistik, merupakan respons terhadap berbagai tuntutan sosial. Contohnya hara-kiri dimasyarakat jepang yang dianggap sebagai satu-satunya pilihan terhormat dalam beberapa situasi tertentu. Yang terakhir adalah bunuh diri anomik, bunuh diri ini dapat dipicu oleh perubahan mendadak dalam hubungan seseorang dalam masyarakat. Contohnya seorang eksekutif sukses yang mengalami masalah keuangan berat dalam hidupnya dapat mengalami anomik, yaitu suatu perasaan disorientasi karena yang diyakininya sebagai suatu cara hidup normal tidak mungkin lagi dilakukan. Contoh lain bunuh diri anomik melibatkan bencana alam, mengenai gangguan stres pascatrauma.

Seraya mengatakan bahwa kemungkinan pada 90% orang-orang yang bunuh diri dapat ditegakkan suatu diagnosis DSM, Shneidman (1987) mengingatkan kita bahwa mayoritas orang yang menderita skizofrenia dan gangguan mood tidak melakukan tindakan bunuh diri. Ia berpendapat bahwa pikiran yang penuh kecemasan yang menurutnya merupakan ciri utama seseorang yang bunuh diri bukanlah penyakit mental. Neurokimia dan bunuh diri, seperti halnya kadar serotonin ternyata berhubungan dengan depresi, penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara serotonin, bunuh diri dan impulsifitas. Rendahnya kadar metabolit utama serotonin yaitu 5-HIAA, ditemukan pada orang-orang pada beberapa kategori diagnostik, depresi, skizofrenia dan berbagai gangguan kepribadian yang menggunakan tindakan bunuh diri (Brown & Goowdin, 1986; van Praag, Plutchik & Apter, 1990) studi terhadap otak orang-orang yang tewas karena bunuh diri mengungkapkan adanya peningkatan dan pengikatan oleh berbagai reseptor serotonin (diduga merupakan respons terhadap keturunan kadar serotonin) (Turecki dkk., 1999). Keterkaitan antara kadar 5-HIAA yang rendah dan bunuh diri sangat menyakin dalam kasus-kasus bunuh diri yang mengenaskan dan implusif (Roy, 1994; Traskman dkk., 1981; Winchel, Stanley dan Stenley,

Page 3: Bunuh diri

1990) terakhir kadar 5-HIAA berkorelasi negatif dengan pengukuran kuesioner mengenai agresi dan implusifitas (Brown & Goodwin, 1986).

B. Fakta-fakta tentang Bunuh Diri

Beberapa fakta tentang bunuh diri, yaitu :

1. Berdasarkan statistik, setiap dua puluh menit seseorang melakukan tindakan bunuh diri di Amerika Serikat. Angka tersebut dikalkulasi menjadi sekitar 31.000 tindakan bunuh diri dalam setahun, kemungkinan merupakan perkiraan kasar di bawah angka sebenarnya. Angka bunuh diri secara keseluruhan di Amerika Serikat adalah sekitar 12 per 100.00 penduduk. Angka tersebut meningkat di kalangan manula, berusia antara 75-84 tahun angka tersebut mencapai 24 per 100.000 penduduk.

2. Secara gender, perempuan lebih berupaya untuk bunuh diri, namun orang-orang yang berhasil bunuh itu mayoritasnya laki-laki karena memiliki metode bunuh diri yang lebih keras, seperti melompat atau dengan menggunakan senjata api, sedangkan perempuan lebih ringan, seperti menggunakan pil dan memotong urat nadi.

3. Bunuh diri terjadi di semua tingkat sosial dan ekonomi, namun umum terjadi di kalangan psikiater, dokter, pengacara, dan psikolog. Bahkan lebih umum lagi bila mereka perempuan. Orang yang juga berisiko lebih tinggi adalah para petugas penegak hukum, musisi, dan dokter gigi.

4. Bunuh diri menempati urutan kesembilan penyebab kematian pada orang dewasa di Amerika Serikat secara umum.

5. Senjata api merupakan alat yang paling umum digunakan untuk bunuh diri di Amerika Serikat, sekitar 60 persen dari angka bunuh diri secara keseluruhan.

6. Penyakit fisik, contohnya AIDS atau Multiple Sclerosis merupakan faktor yang berkontribusi dalam separuh dari semua tindakan bunuh diri.

7. Kaum remaja gay dan lesbian berisiko lebih tinggi untuk bunuh diri dibanding para remaja heteroseksual.

8. Mereka yang selamat dari pemerkosaan semakin meningkat risikonya untuk bunuh diri, dan mereka khususnya lebih mungkin untuk memikirkannya secara serius.

9. Angka bunuh diri di Hungaria tertinggi di seluruh dunia. Republik Ceko, Finlandia, Austria, dan Swiss juga memiliki insiden tinggi. Negara-negara yang memiliki angka bunuh diri terendah adalah Yunani, Meksiko, Belanda, dan Inggris.

Page 4: Bunuh diri

C. Memprediksi Bunuh Diri dengan Tes Psikologi

Akan sangat memiliki nilai teoritis dan praktis bila dapat memprediksi bunuh diri dengan menggunakan tes psikologi, dan beberapa upaya telah dilakukan dalam hal ini. Ditemukan suatu korelasi signifikan antara niat bunuh diri dan keputusasaan. Temuan Aaron Beck, berdasarkan data perspektif, bahwa keputusasaan merupakan prediktor kuat tindakan bunuh diri (Beck, 1986; Beck dkk., 1985, 1990) bahkan lebih kuat dari pada depresi (Beck, Kovacs, & Weissman, 1975). Ekspektasi bahwa pada satu titik dimasa mendatang situasi dan kondisinya tidak akan lebih baik dari saat ini-yang secara pasti, merupakan bagian fenomena depresi, namun juga dapat ditemukan pada orang-orang yang tidak mengalami depresi- tampaknya lebih berpengaruh dibanding depresi itu sendiri dalam mendorong seseorang untuk mengambil nyawanya sendiri.

Faktor lain yang diteliti adalah kepuasan hidup. Suatu studi prospektif menemukan hubungan signifikan antara suatu pengukuran kuesioner mengenai kepuasan hidup dan perilaku bunuh diri hinggan 20 tahun kemudian. Orang-orang yang menunjukkan kadar ketidakpuasan yang relatif tinggi terhadap kehidupan mereka pada awal studi secara signifikan lebih mungkin untuk mencoba atau melakukan bunuh diri bertahun-tahun kemudian. Sejumlah penelitian lain memfokuskan pada karakteristik kognitif orang-orang yang mencoba bunuh diri. Dikemukan bahwa orang-orang yang berpikir untuk bunuh diri memilikipendekatan yang lebih kaku terhadap berbagai masalah (a.l., Neuringer, 1964) dan memiliki pemikiran yang kurang fleksibel (Levenson, 1972). Pemikiran yang terbatas dapat berperan dalam ketidakmampuan yang nyata untuk mempertimbangkan berbagai solusi terhadap berbagai masalah hidup selain menghilangkan nyawanya sendiri (Linehan dkk., 1987). Penelitian menegaskan hipotesis bahwa orang-orang yang mencoba bunuh diri lebih kaku dibanding yang lain, dan hal ini mendukung berbagai observasi klinis yang dilakukan Shneidman dan yang lain bahwa orang-orang yang mencoba bunuh diri tampaknya tidak mampu memikirkan berbagai alternatif solusi terhadap berbagai masalah sehingga dapat cenderung memutuskan bunuh diri sebagai satu-satunya jalan keluar.

Sangat sulit untuk memprediksi bunuh diri berdasarkan jenis pendekatan karakteristik yang menjadi ciri upaya penelitian tersebut. Seperti kita ketahui bahwa perilaku sangat dipengaruhi oleh lingkungan, dan lingkungan mencakup berbagai peristiwa penuh stres yang sulit diprediksi. Contohnya, kita hampir tidak bisa mengetahui apakah orang tertentu akan kehilangan pekerjaannya, mengalami masalah perkawinan yang serius, menderita karena kehilangan seseorang yang dicintainya, atau mengalami kecelakaan serius. Selain itu, dari sudut pandang yang sangat statistik sulit untuk memprediksi secara akurat suatu kejadian yang jarang terjadi seperti bunuh diri meskipun dengan menggunakan tes yang sangat reliabel (Fremouw dkk., 1990; Roy, 1995).

Page 5: Bunuh diri

D. Mencegah Tindakan Bunuh Diri

Salah satu cara untuk melakukan pencegahan tindakan bunuh diri adalah dengan mengecamkan dalam pikiran bahwa sebagian besar orang yang mencoba bunuh diri menderita gangguan mental yang dapat ditangani, seperti depresi, skizofrenia, penyalahgunaan zat, atau gangguan kepribadian ambang. Dengan demikian, bila seseorang yang menggunakan pendekatan kognitif Beck berhasil mengurangi depresi yang dialami pasien, resiko bunuh diri pada pasien tersebut berkurang; seperti halnya dalam terapi perilaku dialektikal Marsha Linehan (1993), yang terapinya bagi pasien ambang.

Salah satu jenis pendekatan ini yang paling terkenal adalah yang dikembangkan oleh Edwin Shneidman, seorang pelopor studi mengenai bunuh diri dan pencegahannya. Edwin Shneidman menggembangkan strategi umum dalam pencegahan bunuh diri (1985, 1987) yang mencakup tiga hal sebagai berikut:

1. Mengurangi penderitaan dan rasa sakit psikologis yang mendalam.2. Membuka pandangan, yaitu memperluas pandangan yang terbatas dengan

membantu individu melihat berbagai pilihan selain pilihan ekstrem dengan membiarkan penderitaan dan ketiadaan terus berlangsung.

3. Mendorong orang yang bersangkutan untuk mundur meskipun hanya selangkah dari tindakan yang menghancurkan diri sendiri.

Pasien yang mengalami masalah kepribadian ambang sangat sulit untuk membangun dan mempertahankan kepercayaan sehingga menghambat hubungan terapeutik. Pasien berubah dari mengidealkan menjadi merendahkan terapis, pada suatu saat menuntut perhatian dan pertimbangan yang istimewa, misalnya sesi-sesi terapi pada jam-jam yang tidak biasa dan sangat sering menelepon ketika mengalami krisis tertentu dan pada saat berikutnya menolak untuk memenuhi jadwal pertemuan, meminta pengertian dan dukungan, namun memaksa bahwa beberapa topik tertentu dilarang untuk dibicarakan.

Bunuh diri selalu menjadi risiko serius, namun sering kali sulit bagi terapis untuk menilai apakah telepon penuh kepanikan pada pukul 2 dini hari merupakan permintaan tolong atau tindakan manipulatif yang dirancang untuk mengetahui seberapa istimewa pasien di mata terapis dan sejauh mana terapis bersedia memenuhi kebutuhan pasien pada saat itu. Rawat inap di rumah sakit sering kali diperlukan bila perilaku pasien tidak dapat lagi di kendalikan dengan rawat jalan atau bila perilaku pasien tidak dapat lagi dikendalikan dengan rawat jalan atau bila kemungkinan bunuh diri yang tidak dapat ditangani tanpa pengawasan lebih ketat yang hanya mungkin dilakukan dalam lingkungan rumah sakit jiwa yang terkendali.

Sejumlah obat-obatan telah diujicobakan dalam farmakoterapi untuk gangguan kepribadian ambang, terutama antidepresan dan antipsikotik. Terdapat beberapa bukti bahwa fluoksetin (Prozac) cukup mengurangi agresivitas dan

Page 6: Bunuh diri

depresi yang sering kali dialami para pasien GKA(Gangguan Kepribadian Ambang) (Coccaro & Kavoussi, 1995), dan lithium dapat mengurangi sifat mudah tersinggung, kemarahan, dan pikiran untuk bunuh diri (Links dkk., 1990). Antipsikotik memberikan sedikit efek pada kecemasan, pikiran bunuh diri, dan simtom-simtom psikotik pasien ambang (Bendetti dkk., 1998; Gitlin, 1993; Koenigsberg dkk., 2002). Karena pasien gangguan tersebut sering kali menyalahgunakan obat-obatan dan berisiko bunuh diri, maka kehati-hatian ekstrem harus dipraktikkan dalam pemberian setiap terapi obat (Waldenger & Frank, 1989).

Terapi perilaku dialektikal (Dialectical Behavior Therapy-DBT), sebuah pendekatan yang mengombinasikan empati dan penerimaan yang terpusat pada klien dengan penyelesaian masalah kognitif behavioral dan pelatihan keterampilan sosial diperkenalkan oleh Marsha Linehan (1987). Pendekatan yang disebutnya terapi perilaku dialektikan memiliki tiga tujuan menyuluruh bagi para individu ambang:

1. Mengajari mereka untuk mengubah dan mengendalikan emosionalitas dan perilaku ekstrem mereka.

2. Mengajari mereka untuk menoleransi perasaan tertekan.3. Membantu mereka mempercayai pikiran dan emosi mereka sendiri.

Bedasarkan berbagai laporan klinis dari para praktisi dan berdasarkan penemuan dari sedikit peneliti, Rudd, Joiner, dan Rajab (2001), mengajukan beberapa hal inti dalam pencegahan bunuh diri sebagai berikut:

1. Penyelesaian masalah biasanya dalam kerangka kognitif-behavioral yang juga mencakup pelatihan asersi dan panduan lain dalam keterampilan sosial.

2. Panduan dalam mengendalikan emosi, terutama kemarahan serta mentoleransi penderitaan.

3. Menciptakan hubungan terapeutik yang kuat dan empatik, membangun kepercayaan dan harapan meskipun bila hal itu berarti mendorong orang yang berpikir untuk bunuh diri menjadi sangat tergantung kepada terapis selama kurun waktu tertentu.

Pendekatan yang paling menjanjikan terhadap pencegahan bunuh diri tampaknya adalah yang berciri kognitif-behavioral yang menitikberatkan penyelesaian masalah dalam hubungan sosial (Linehan dkk., 1991; Atha & Storer, 1990). Penderitaan dan keputusaan yang dirasakan orang-orang yang berpikir untuk bunuh diri dapat membuatnya melihat bunuh diri sebagai satu-satunya solusi, satu-satunya jalan keluar dari eksistensi yang tidak tertanggungkan. Terapis mendorong untuk mempertimbangkan cara lain mengatasi distress dengan menganggap masalah sebagai suatu yang dapat diselesaikan kemudian menciptakan berbagai strategi yang pro kehidupan dalam mengatasi masalah tersebut.

Page 7: Bunuh diri

E. Isu Klinis dan Etis dalam Mengatasi Bunuh Diri

Berbagai organisasi profesional seperti American Psychiatric Association, National Association of Social Workers, dan American Psychological Association mewajibkan para anggotanya untuk mencegah seseorang membahayakan dirinya sendiri meskipun dalam melakukan hal tersebut harus melanggar aturan kerahasiaan dalam hubungan terapis-pasien. Tindakan bunuh diri yang dilakukan pasien sering kali berbuntut tuntutan malpraktik, dan terapis memiliki kemungkinan untuk kalah dalam persidangan jika pengacara keluarga pasien dapat membuktikan adanya pengabaian untuk melakukan pengukuran yang memadai dalam mengambil tindakan pencegahan yang masuk akal berdasarkan standar penanganan bagi pencegahan bunuh diri yang diterima secara umu (Fremouw dkk., 1990; Roy, 1995).

Bunuh diri dengan bantuan dokter, bunuh diri dengan bantuan dokter selama beberapa tahun telah menjadi isu yang sangat emosional. Isu ini mengemuka pada awal tahun 1990-an ketika seorang dokter asal Michigan, Jack Kevorkian, membantu perempuan asal Oregon berusia 54 tahun yang menderita penyakit Alzheimer tahap awal, suatu penyakit otak degeneratif dan fatalm melakukan tindakan bunuh diri. Dalam kondisi belum mengalami kerusakan fisik serius, ia dibantu Kevorkian untuk menyuntikkan potasium klorida yang menghentikan denyut jantungnya (Egan, 1990). Pada tahun 1997, Oregon menjadi negara bagian pertama yang memiliki undang-undang-Death with Dignity Act, yang pada awalnya telah disetujui oleh para pemilih pada tahun 1994 dan dikukuhkan kembali dengan jumlah pemilih yang lebih besar pada tahun 1997- yang mengesahkan tindakan bunuh diri dengan bantuan dokter. Undang-undang ini mengizinkan pasien yang oleh dua dokter didiagnosis hanya akan bertahan hidup kurang dari enam bulan untuk meminta dokter memberikan resep dosis obat tidur yang mematikan. Namun, undang-undang tersebut juga mengharuskan dokter yang memberikan resep untuk memastikan bahwa pasien tidak menderita depresi atau penyakit mental lainnya dan harus ada periode menunggu selama 15 hari sebelum resep tersebut dapat diambil.