buletin pokja mangrove i 2013 koreksi kedua
TRANSCRIPT
MANGROVEKULONPROGOKelompok Kerja
Pengelolaan Mangrove dan Sempadan Pantai
Newsletter 4 : I /2013
Replanting Again !Replanting :
Penanaman
Mangrove
Jangkaran
Report :
Inisiasi
KKMD
DIY
Ideas :
Konsep
baru tentang
ekoturisme
Essay :
Sampai
kapan kita
menanam ?
3 52 7
3
PRAKATA Replanting
Penanaman
Mangrove
JangkaranTeks dan Foto : Isna Bahtiar
Wakil Bupati Kulonprogo Drs. Sutedjo dan
aparat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
memimpin kegiatan penanaman 25.000 bibit
mangrove di Desa Jangkaran Kabupaten
Kulonprogo pada 7 Februari 2013
upriyono, Kepala Bagian Administrasi Perekonomian
Sekretariat Daerah sekaligus Ketua Kelompok Kerja SMangrove dan Sempadan Pantai Kabupaten Kulonprogo
menyatakan bahwa kegiatan penanaman mangrove di Desa Jangkaran
sudah mulai berlangsung sejak tahun 1989 dengan total sudah tertanam
197.100 batang. Kegiatan ini terus berlangsung hingga sekarang.Tahun 2013 harus dicatat sebagai satu prestasi penting bagi
kegiatan konservasi di Kulonprogo karena di awal tahun ini sudah terselenggara penanaman 25.000 batang bibit mangrove. Kegiatan bertajuk Gerakan Penanaman Mangrove Kabupaten Kulonprogo Tahun 2013 ini terselenggara atas kerjasama Mangrove for The Future, LSM Damar, Pokja Pengelolaan Mangrove dan Sempadan Pantai
(KKPMSP) Kab Kulonprogo, serta Kelompok Pelestari Mangrove Wana Tirta.
Dua bagian acara yang penting pada pelaksanaan penanaman ini yaitu acara seremonial penanaman dan penanaman mangrove (replanging). Seremonial kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 09.30 WIB sampai dengan 10.00 WIB yang dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Kabupaten Kulonprogo, Drs. H. Sutedjo. Konklusi dari beberapa sambutan ini diantaranya disampaikan tentang pentingnya kegiatan pelestarian ekosistem kawasan pesisir dan rencana ke dapan yang dapat dilaksanakan di Desa Jangkaran.
Pelaksanaan penanaman berada di sempadan Sungai Pasir Mendit dan satu buah kawasan hutan arboretum. Keduanya berada di Dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon. Jenis bibit yang ditanam adalah Rhizophora spp, Avicennia spp, Bruguiera spp. Rincian dari bibit tersebut adalah Tanaman Rhizophora mucronata sebanyak 9.500 batang bibit, di lapak yang berlumpur. Avicennia sp sebanyak 6000 batang bibit, di lapak lumpur berpasir. Terakhir, Bruguiera sp sebanyak 4.500 batang bibit di lapak bagian atas. Sisanya Avicennia spp sebanyak 6.000 batang. Sebagai kawasan arboretum mangrove, ditanam 28 jenis tanaman mangrove, Total jumlah 196 bt bibit dengan jarak tanam per-jenis 2x2 meter. KKPMSP
2
PRAKATA Essay
Sampai Kapan Kita Akan Menanam ?Teks dan Foto : Isna Bahtiar
Kegiatan penanaman mangrove yang
dilaksanakan mahasiswa,
kelompok masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, swasta dan aparatur pemerintah
daerah adalah satu jalan panjang upaya
konservasi ekosistem mangrove.
emua kawasan pesisir pasti akan dihadapkan pada satu persoalan konservasi di lingkungan pesisir. Salah satu Sbentuk kegiatan konservasi penting adalah penanaman
mangrove. Pertanyaan lanjutan dari kegiatan penanaman ini adalah, sampai kapan kegiatan penanaman akan dilaksanaakan ?
Desa Jangkaran sebagai salah satu kawasan pesisir penting di Kabupaten Kulonprogo mungkin dapat menjadi satu pembanding untuk menjawab pertanyaan ini.
Desa Jangkaran dengan Dukuh Pasir Mendit, Pasir Kadilangu dan Pasir Ngalawang memang sudah lama menjadi daerah penting pengembangan mangrove di Kabupaten Kulonprogo. Catatan paling awal menyatakan kegiatan konservasi di daerah ini dimulai sejak akhir Tahun '80-an. Walau demikian, sampai saat ini kegiatan konservasi mangrove di sana belum dapatlah bisa dibanggakan secara gegap gempita. Mungkin, di tingkat DIY kegitan konservasi ini sudah cukup baik. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan daerah dari provinsi lain sangatlah jauh hasil kegiatan konservasi yang nampak di daerah ini.
Untuk mempermudah, dapatlah kita merujuk pada satu penelitian mangrove di Pasir Mendit pada 2012. Studi ini dilaksanakan oleh Rani Sawitri, seorang master pengelolaan lingkungan di Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Topik tesis yang dia ambil adalah Strategi Pengelolaan Lingkungan pada Ekosistem Mangrove di Muara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulonprogo. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pengkajian keadaan mangrove dan kaitannya dengan masyarakat sekitar serta memberi strategi pengelolaan lingkungan mangrove yang ada di kawasan ini.
anak-anak, pelajar,
Bagaimanakah kondisi mangrove yang ada di Desa Jangkaran sampai saat ini ? Berapa banyak bibit mangrove yang sudah ditanam ? Berapa keberhasilan dari dari penanaman tersebut ? Seberapa tinggi pengaruh mangrove bagi kelestarian ekosistem disana ? Adakah pengaruh kegiatan penanaman mangrove dengan keberadaan biota pesisir ? Terakhir, keberadaan mangrove ini apakah mempunyai korelasi positif dengan kesejahteraan warga yang ada disana ?
Saya pikir, jawaban dari berbagai pertanyaan diatas akan rumit.
Hasil dari penelitiannya menarik. Disampaikan bahwa rerata Sonneratia sp mempunyai jumlah pohon tertinggi sedangkan spesies Rhizophora mucronata dan Avicennia marina adalah jumlah dominan pada strata pancang dan semai. Dapat diartikan, dominasi mangrove yang ada pada masa lalu sebagian besar adalah jenis bogem (nama lokal untuk Sonneratia sp.) yang dibuktikan dengan keberadaan jenis pohon yang dominan. Adapun dominasi bakau (nama populer untuk Rhizophora pada strata pancang dan api-api pada semai dimungkinkan akibat semakin intens nya kegiatan penanaman pada beberapa tahun terakhir.
Pendapat diatas turut didukung pula oleh studi faktor fisik lingkungan. Dikatakan dalam penelitiannya bahwa faktor terukur yang meliputi tekstur tanah, bahan organik, pH tanah, salinitas, arus pasang surut mendukung perkembangan mangrove jenis bogem dengan baik. Hal berbeda pada jenis bakau dan api-api dimana dinyatakan kondisi lingkungan dapat mendukung perkembangan dua spesies itu walau tidak optimal.
Ironisnya, penanaman mangrove yang dilaksanakan selama ini cenderung menggunakan jenis bakau dan api-api. Total 94.050
3
batang mangrove sudah ditanam dari Tahun 1989. Apabila asumsi sistem penanaman 1x1 meter pada semua batang, maka total area yang seharusnya tertanami adalah 47.025 m² atau 4,7 ha. Dalam kenyataanya, luasan area mangrove keseluruhan di Desa Jangkaran sangat mungkin tidak seluas ini. Pengamatan lapangan terlihat lokasi mangrove dominan berada di sepanjang sempadan sungai temon dan sebagian sungai bogowonto. Selain itu, beberapa blok kawasan bakau di Pasir Mendit.
Tentu, banyak hal yang berpengaruh pada tidak sesuainya perencanaan penanaman dengan tutupan area mangrove di Desa Jangkaran. Faktor lingkungan merupakan salah satu sebab dari kesuksesan penanaman. Cuaca juga menjadi satu faktor penting. Lebih jauh faktor kesadaran masyarakat menjadi satu poin penting dalam kesuksesannya. Hasil pengamatan Sawitri Rani sendiri menyatakan kurang berhasilnya rehabilitasi mangrove di Desa Jangkaran disebabkan minimnya kegiatan pemeliharaan pada ekosistem mangrove oleh masyarakat sekitar.
Tentang kurangnya kesadaran ini tentu menjadi satu perhatian
penting karena di sisi yang lain masyarakat sudah mempunyai pengetahuan terhadap fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Persepsi kegagalan rehabilitasi mangrove karena tertutupnya muara Sungai Bogowonto juga sudah diketahui dengan baik oleh masyarakat Desa Jangkaran.
Kesimpulan dari judul sampai kapan kita akan memananam seharusnya tidak berkaitan dengan tutupan mangrove dan berapa luasan lahan yang ada, tetapi lebih mengarah kepada sampai kapan masyarakat mempunyai karakter yang peduli dengan lingkungan sekitarnya. KKPMSP
4
PRAKATA Report
Lokakarya
Pembentukan
Kelompok
Kerja
Mangrove
tingkat DI
YogyakartaTeks : Isna Bahtiar
Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD)
merupakan satu forum dalam usaha
pengelolaan mangrove yang lebih baik. Forum
ini diharapkan terdapat di tingkatan nasional,
pemerintah dan kabupaten.
pada tanggal 27 Desember 2012, Balai Pengelolaan Hutan
Mangrove (BPHM) Wilayah I Denpasar bekerjasama Kdengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Lokakarya Persiapan
Pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) DIY.
Beberapa pihak yang diundang pada kegiatan ini adalah SKPD dari
Gunungkidul, Bantul dan Kulonprogo (diantaranya Dinas Kehutanan,
Lingkungan Hidup, Kelautan dan Perikanan), perguruan tinggi,
Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Kehutanan.
Saya kira tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai “cuci otak”
peserta lokakarya sehingga akan terbentuk KKMD tingkat provinsi ini.
Diluar lokakarya untuk persiapan KKMD ini, pembentukan KKMD
merupakan hal yang penting. Dan memang, hasil akhir dari pertemuan
ini adalah tersusunnya tim formatur pembentukan dan rencana KKMD
DIY. Walau demikian, pemaparan materi dan pelaksanaan diskusi
pada lokakarya pada acara ini tidak kalah penting. Dua hal yang
menjadi titik penting dalam pemaparan materinya yaitu konsep
pengelolaan mangrove dan kaitannya dengan peraturan perundangan.
Kedua, mangrove DIY sebagai peluang unik pengembangan pesisir
DIY. Menarik, karena banyak pendapat baru baik mendukung
kegiatan konservasi atau bahkan menolak konservasi mangrove di
pesisir Yogyakarta. Bertentangan atau saling mendukung.
Materi dan diskusi kali ini sekali lagi membahas tentang kaitan
antara rencana tata ruang, peraturan perundangan, keberadaan
mangrove, aktivitas perusakan mangrove, alih fungi dan sanksi
pelanggaran tata ruang. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa
pesisir merupakan satu susunan kompleks dari berbagai kegiatan dan
ekosistem. Mangrove merupakan satu hal yang tidak dapat dilupakan
karena dalam konteks pengelolaan tata ruang, maka kawasan
mangrove termasuk pula didalamnya.
Peraturan pertama dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir
adalah Undang-undang No 26 Tahun 2006 tentang pengelolaan tata
ruang dan Undang-undang 27/2007 tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Keduanya adalah
peraturan yang berbeda tetapi dengan roh yang sama. Perbedaan
hanya pada tataran wilayah pengelolaan dengan lingkup UU 27/2007
terbatas pada wilayah pesisir dan pulau kecil. Di tingkat daerah
keduanya adalah dwitunggal pengelolaan pesisir berupa Rencana
Tata Ruang Daerah dan Rencana Strategis Rencana Zonasi Pesisir
dan Pulau - Pulau Kecil. Tentu, pengelolaan kawasan mangrove tidak
cukup hanya dengan peraturan tata ruang yang mengatur dalam
rangka tata keruangannya saja. Berbagai peraturan perundangan turut
dilakukan dalam rangka pengelolaan kawasan ini, baik secara
langsung atau tidak.
Salah satu yang tidak langsung tersebut adalah adalah Undang-
undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Daerah Aliran
Sungai (DAS). Turut pula Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang
kewenangan pemerintahan yang mengatur kewenangan pengelola
kegiatan berkaitan dengan jenis kegiatan yang sangat berkaitan erat
dengan UU 32 /2004 dan Peraturan Pemrerintah Nomor 7/2008.
Termasuk pula Peraturan Pemerintah Nomor 76/2008 tentang
rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur pembautan RTk RHL
DAS, RPRHL dan RTnRHL. Selain itu, adanya Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 17 / 2008 tentang kawasan konservasi
wilayah pesisir dan pulau kecil adalah satu peraturan tidak langsung
dalam tataran pemanfaatan pengelolaan mangrove. Tentu masih
banyak peraturan perundangan lainnya.
Secara langsung, setidaknya terdapat tiga peraturan peraturan
perundangan yang sangat berkaitan dengan pengelolaan manrove.
Peraturan perudangan tersebut diantaranya adalah Keputusan
5
Presiden Nomor 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung.
Dikatakan dalam peratauran ini bahwa ekosistem mangrove
merupakan kawasan lindung. Turut diatur didalamnya adalah kriteria
sempadan pantai (Pasal 14) dan kawasan pantai berhutan bakau (Pasal
27). Selanjutnya adalah Perpres 121/2012 tentang rehabilitasi pesisir.
Peraturan hasil inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan ini
mengatur kriteria kerusakan ekosistem, tahapan rehabilitasi,
monitoring, peran serta dan pembiayaan kegiatan rehabilitasi.
Perpres 73/2012 tentang Strategi Pengelolaan Ekosistem
Mangrove (SPEM). Peraturan ini bertujuan membentuk kebijakan dan
program untuk mencapai tujuan terwujudnya pengelolaan ekosistem
mangrove lestari dan masyarakat sejahtera berkelanjutan berdasarkan
sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari sistem
perencanaan pembangunan nasional
Tidak cukup disitu, dalam rencana kedepan, akan disusun pula
Baku Mutu Kerusakan yang berisi kriteria kerusakan ekosistem dari
Kementerian Lingkungan Hidup, Rencana Strategi Mangrove dan
Gambut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Petunjuk
teknis Pengelolaan Mangrove Tingkat Kabupaten oleh masing-masing
kabupaten.
Harus diakui, di satu pihak berbagai peraturan ini mewajibkan
stakeholder berjuang ekstra dalam upaya mengelola kawasan
mangrove. Di sisi lain, mereka harus mempertimbangkan berbagai
kepentingan di mangrove dan kelanjutan ekosistem dengan berbagai
problem yang ada. Dalam banyak peraturan, kepentingan dan
kelestarian kawasan mangrove ini, maka satu pendapat tentang urgensi
pembentukan satu forum tunggal untuk mempertemukan berbagai
kepentingan mucul. Forum ini disebut dengan nama kelompok kerja
mangrove.
Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) merupakan tim
kerja lintas sektor/instansi/lembaga swadaya masyarakat pemerhati
mangrove yang dibentuk sebagai jembatan penghubung sebelum
pembentukan Tim Kerja Koordinasi (Tim Koordinasi Nasional) yang
diamanatkan dalam Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Kelompok Kerja Mangrove (KKM) dibentuk di tingkatan
nasional (KKMD), provinsi (KKMD Provinsi) dan kabupaten/kota
(KKMD Kabupaten/Kota). Motor penggerak pada KKM adalah
Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan,
Badan Informasi Geospasial, Akademisi Perguruan Tinggi dan
Lembaga Non Pemerintah seperti Wetlands International Indonesia
Program. Saat ini, ketua di tingkat nasional adalah Kementerian
Kehutanan dengan wakil ketua Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Di tingkat Provinsi, sudah terbentuk 23 KKMD Prov dari 33 dan 16
kabupaten yang sudah terbentuk KKMD dari total 400-an di seluruh
Indonesia. KKPMSP
6
PRAKATA Ideas
Mangrove
Jogja : Satu
Interpretasi
Konsep
Humanosphere
Prof Sukrisno
Sukardjo Teks dan Foto : Isna Bahtiar
Prof Dr. Sukristijono Sukarjo Dsc. adalah
seorang peneliti LIPI, alumni IPB dan aktif di
organisasi Mangrove For the Future (MFF).
Beliau merupakan satu pemikir mangrove
garda terdepan di Indonesia. Konsep
pengembangan ekoturisme mangrove di pesisir
jogja.
Tulisan saya berikut ini tentu hanya sebatas
intepretasi saya pribadi dalam luasnya
pemahaman Prof tentang konsep pengelolaan
mangrove secara luas. Tentu, oleh karena
keterbatasan pola pikir saya pribadi, sangat
dimungkinkan pendapat murni dari Prof bisa
bias dan terbelokkan. Kemungkinan
“penyelewengan” ini tentu bukan maksud saya
menulis disini.
7
uasan mangrove di Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta (Pemda DIY) tidaklah sampai dalam kisaran Lberhektar-hektar kilometer. Hanya sedikit titik keberadaan
mangrove yang ada di DIY yaitu di Desa Jangkaran Kabupaten
Kulonprogo dan Desa Baros Kabupaten Bantul. Juga di Kabupaten
Gunungkidul dengan beberapa spesies di kawasan konservasi
Wediombo di ujung selatan – timur kabupaten.
Keberadaan tiga spot mangrove di tiga kabupaten karena
ketiganya berada di muara sungai. Bogowonoto, Opak dan Wediombo.
Luas kawasan mangrove klaim dari masing-masing kabupaten adalah
seluas 4 ha di Kulonprogo dan Bantul. Dengan kecilnya skala
mangrove di DIY ini, beberapa ahli menyatakan mangrove yang ada
disini tidak membentuk ekosistem. Bahkan, dinyatakan mangrove
yang ada di tiga kabupaten ini belum mempunyai fungsi dan perananan
penting pada pesisir. Hanya sebatas spesies mangrove.
Faktor karakteristik pesisir DIY, sedikitnya mangrove yang ada
dan kemanfaatan yang kurang ini oleh beberapa pihak dianggap
sebagai bukti mangrove di DIY tidak sesuai dengan fitrah
kepesisirannya. Setiap penanaman mangrove membutuhkan banyak
usaha dalam usaha adaptasi dengan keadaan pesisir yang ada. Ikutan
teknologi ini merupakan bukti keadaan alam di DIY sebenarnya tidak
sesuai dengan karakterisitik mangrove sendiri.
Namun demikian, beberapa pendapat lain menyatakan kecilnya
luasan mangrove di Jangkaran, Baros dan Wediombo bukanlah satu
kelemahan pada pengembangan mangrove di DIY. Walau masih kecil,
keberadaan mangrove tentu akan memberi manfaat bagi
perkembangan pesisir di DIY sekecil apapun itu. Lebih jauh, peluang
mangrove jogja sebagai satu sisi penting pengelolaan pesisir
disampaikan oleh Prof. Dr. Sukristijono Sukarjo Dsc.
Homesphere adalah satu isitilah baru yang saya dapat dari beliau
yang merujuk pada kesatuan pandangan dan pengertian yang
terkoordinasi oleh sistem ekosistem. Konsep ini jika dipersempit
dalam konsep pengelolaan kawasan mangrove, terdapat empat bingkai
konsep yaitu tradisi, sosioetnografi, kemaritiman dan new frontier.
Dengan keempatnya, pola pikir pengelolaan mangrove di DIY
disampaikan oleh paparan beliau..
Konsep tradisi berkaitan dengan ikatan saling mendukung yang
erat. Belum terdapat satu pola pada masyarakat pesisir DIY tentang
pentingnya mangrove di kehidupan sehari-hari mereka. Mangrove
belum menjadi satu urat nadi kehidupan masyarakat dan belum
Memang,
kondisi geografis pesisir di Yogyakarta dapat dikatakan tidak terlalu
mendukung perkembangan ekosistem mangrove. Pantai di Bantul dan
Kulonprogo didominasi oleh pasir sedangkan Gunungkidul dengan
batuan karang yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang mangrove.
terbentuk satu hubungan yang membentuk kultur sosial
kemasyarakatan. Beliau memberi contoh tradisi mangrove ini
Meskipun demikian, kaitan antara masyarakat Jogja dengan
keberadaan mangrove tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali.
Tradisi dan Sosioetnografi mulai terbentuk di DIY. Buktinya adalah
persepsi sebagaian besar masyarakat pesisir yang mengangggap
penting keberadaan mangrove dan fungsinya sebagai green barrier
penting pada kebencanaan pesisir. Pesisir DIY sebagai daerah rawan
bencana tsunami, angin kencang, pasang dan abrasi sudah banyak
dipahami masyarakat dengan aksi tindak lanjut masyarakat yang
secara aktif berswadaya menanam mangrove dan vegetasi pantai
lainnya dalam rangka perlindungan alami. Mereka cenderung faham
fungsi dan pemahaman hal ini.
Dalam hal mangrove dan fungsi dalam kebencanaan ini pula
konsep kemaritiman mangrove dan pesisir berada. Mangrove dan
vegetasi pantai lain adalah satu kaitan erat dengan keadaan lautnya.
Tambak di Jangkaran, pertanian di Baros, atau abrasi pantai di Trisik
dan Kuwaru. Ombak, pantai dan vegetasinya adalah satu kesatuan
yang saling mempengaruhi.
Konsep mangrove sebagai new frontier terutama dalam
fungsinya sebagai penyimpan karbon, kelestarian daur hidup,
penemuan keanekaragaman hayati, rehabilitasi dan ekosturisme.
Dalam konsep ekoturisme pula agaknya mangrove di DIY
mendapat tempat yang strategis. Proses pengkayaan yang dilakukan
masyarakat, swasta, lembaga non pemerintah dan pemerintah telah
meningkatkan kualitas mangrove dan sosial ethic-nya. Keadaan DIY
dengan karakter pesisir yang berbeda dengan daerah lain akan
meningkatkan keunikan mangrove yang ada di pesisir DIY.
Keberadaan tambak, pertanian, pertambangan, kawasan ekonomi
penting, daerah lindung dan pariwisata menambah keunikan dari
masing-masing kawasan di tiga kabupaten. Di sisi lain, latar belakang
akademis dan keberadaan Keraton Ngayogyakarta adalah nilai
tambah penting bagi pengembangan mangrove di sini.
Dalam dalam konsep mangrove DIY, keberadaan mangrove di
Indonesia akan mendapat satu nilai khas. Mangrove disini akan
dianggap sebagai kegiatan konstruktif per hari yang dapat diamati
proses pelestariannya.
Proses ini lah yang merupakan nilai jual dari mangrove di Jogja.
Karena ekoturisme bukan berarti wisata pada satu kawasan yang baik,
tetapi bahkan kegiatan penanaman mangrove merupakan satu atraksi
wisata yang menarik. Ekoturisme dengan konsep ini lah yang akan
membangun satu sistem humanosphere bagi perkembangan
mangrove di pesisir Jogja. KKPMSP
dengan daerah lain dengan kondisi mangrove sangat baik seperti di
Papua, Kalimantan, Pantura atau daerah lain.
8