buletin pokja mangrove i 2013 koreksi kedua

8
MANGROVE KULONPROGO Kelompok Kerja Pengelolaan Mangrove dan Sempadan Pantai Newsletter 4 : I /2013 Replanting Again ! Replanting : Penanaman Mangrove Jangkaran Report : Inisiasi KKMD DIY Ideas : Konsep baru tentang ekoturisme Essay : Sampai kapan kita menanam ? 3 5 2 7

Upload: isna-bahtiar

Post on 12-Aug-2015

145 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

MANGROVEKULONPROGOKelompok Kerja

Pengelolaan Mangrove dan Sempadan Pantai

Newsletter 4 : I /2013

Replanting Again !Replanting :

Penanaman

Mangrove

Jangkaran

Report :

Inisiasi

KKMD

DIY

Ideas :

Konsep

baru tentang

ekoturisme

Essay :

Sampai

kapan kita

menanam ?

3 52 7

3

Page 2: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

PRAKATA Replanting

Penanaman

Mangrove

JangkaranTeks dan Foto : Isna Bahtiar

Wakil Bupati Kulonprogo Drs. Sutedjo dan

aparat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

memimpin kegiatan penanaman 25.000 bibit

mangrove di Desa Jangkaran Kabupaten

Kulonprogo pada 7 Februari 2013

upriyono, Kepala Bagian Administrasi Perekonomian

Sekretariat Daerah sekaligus Ketua Kelompok Kerja SMangrove dan Sempadan Pantai Kabupaten Kulonprogo

menyatakan bahwa kegiatan penanaman mangrove di Desa Jangkaran

sudah mulai berlangsung sejak tahun 1989 dengan total sudah tertanam

197.100 batang. Kegiatan ini terus berlangsung hingga sekarang.Tahun 2013 harus dicatat sebagai satu prestasi penting bagi

kegiatan konservasi di Kulonprogo karena di awal tahun ini sudah terselenggara penanaman 25.000 batang bibit mangrove. Kegiatan bertajuk Gerakan Penanaman Mangrove Kabupaten Kulonprogo Tahun 2013 ini terselenggara atas kerjasama Mangrove for The Future, LSM Damar, Pokja Pengelolaan Mangrove dan Sempadan Pantai

(KKPMSP) Kab Kulonprogo, serta Kelompok Pelestari Mangrove Wana Tirta.

Dua bagian acara yang penting pada pelaksanaan penanaman ini yaitu acara seremonial penanaman dan penanaman mangrove (replanging). Seremonial kegiatan ini dilaksanakan pada pukul 09.30 WIB sampai dengan 10.00 WIB yang dipimpin langsung oleh Wakil Bupati Kabupaten Kulonprogo, Drs. H. Sutedjo. Konklusi dari beberapa sambutan ini diantaranya disampaikan tentang pentingnya kegiatan pelestarian ekosistem kawasan pesisir dan rencana ke dapan yang dapat dilaksanakan di Desa Jangkaran.

Pelaksanaan penanaman berada di sempadan Sungai Pasir Mendit dan satu buah kawasan hutan arboretum. Keduanya berada di Dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon. Jenis bibit yang ditanam adalah Rhizophora spp, Avicennia spp, Bruguiera spp. Rincian dari bibit tersebut adalah Tanaman Rhizophora mucronata sebanyak 9.500 batang bibit, di lapak yang berlumpur. Avicennia sp sebanyak 6000 batang bibit, di lapak lumpur berpasir. Terakhir, Bruguiera sp sebanyak 4.500 batang bibit di lapak bagian atas. Sisanya Avicennia spp sebanyak 6.000 batang. Sebagai kawasan arboretum mangrove, ditanam 28 jenis tanaman mangrove, Total jumlah 196 bt bibit dengan jarak tanam per-jenis 2x2 meter. KKPMSP

2

Page 3: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

PRAKATA Essay

Sampai Kapan Kita Akan Menanam ?Teks dan Foto : Isna Bahtiar

Kegiatan penanaman mangrove yang

dilaksanakan mahasiswa,

kelompok masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat, swasta dan aparatur pemerintah

daerah adalah satu jalan panjang upaya

konservasi ekosistem mangrove.

emua kawasan pesisir pasti akan dihadapkan pada satu persoalan konservasi di lingkungan pesisir. Salah satu Sbentuk kegiatan konservasi penting adalah penanaman

mangrove. Pertanyaan lanjutan dari kegiatan penanaman ini adalah, sampai kapan kegiatan penanaman akan dilaksanaakan ?

Desa Jangkaran sebagai salah satu kawasan pesisir penting di Kabupaten Kulonprogo mungkin dapat menjadi satu pembanding untuk menjawab pertanyaan ini.

Desa Jangkaran dengan Dukuh Pasir Mendit, Pasir Kadilangu dan Pasir Ngalawang memang sudah lama menjadi daerah penting pengembangan mangrove di Kabupaten Kulonprogo. Catatan paling awal menyatakan kegiatan konservasi di daerah ini dimulai sejak akhir Tahun '80-an. Walau demikian, sampai saat ini kegiatan konservasi mangrove di sana belum dapatlah bisa dibanggakan secara gegap gempita. Mungkin, di tingkat DIY kegitan konservasi ini sudah cukup baik. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan daerah dari provinsi lain sangatlah jauh hasil kegiatan konservasi yang nampak di daerah ini.

Untuk mempermudah, dapatlah kita merujuk pada satu penelitian mangrove di Pasir Mendit pada 2012. Studi ini dilaksanakan oleh Rani Sawitri, seorang master pengelolaan lingkungan di Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Topik tesis yang dia ambil adalah Strategi Pengelolaan Lingkungan pada Ekosistem Mangrove di Muara Sungai Bogowonto Kabupaten Kulonprogo. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pengkajian keadaan mangrove dan kaitannya dengan masyarakat sekitar serta memberi strategi pengelolaan lingkungan mangrove yang ada di kawasan ini.

anak-anak, pelajar,

Bagaimanakah kondisi mangrove yang ada di Desa Jangkaran sampai saat ini ? Berapa banyak bibit mangrove yang sudah ditanam ? Berapa keberhasilan dari dari penanaman tersebut ? Seberapa tinggi pengaruh mangrove bagi kelestarian ekosistem disana ? Adakah pengaruh kegiatan penanaman mangrove dengan keberadaan biota pesisir ? Terakhir, keberadaan mangrove ini apakah mempunyai korelasi positif dengan kesejahteraan warga yang ada disana ?

Saya pikir, jawaban dari berbagai pertanyaan diatas akan rumit.

Hasil dari penelitiannya menarik. Disampaikan bahwa rerata Sonneratia sp mempunyai jumlah pohon tertinggi sedangkan spesies Rhizophora mucronata dan Avicennia marina adalah jumlah dominan pada strata pancang dan semai. Dapat diartikan, dominasi mangrove yang ada pada masa lalu sebagian besar adalah jenis bogem (nama lokal untuk Sonneratia sp.) yang dibuktikan dengan keberadaan jenis pohon yang dominan. Adapun dominasi bakau (nama populer untuk Rhizophora pada strata pancang dan api-api pada semai dimungkinkan akibat semakin intens nya kegiatan penanaman pada beberapa tahun terakhir.

Pendapat diatas turut didukung pula oleh studi faktor fisik lingkungan. Dikatakan dalam penelitiannya bahwa faktor terukur yang meliputi tekstur tanah, bahan organik, pH tanah, salinitas, arus pasang surut mendukung perkembangan mangrove jenis bogem dengan baik. Hal berbeda pada jenis bakau dan api-api dimana dinyatakan kondisi lingkungan dapat mendukung perkembangan dua spesies itu walau tidak optimal.

Ironisnya, penanaman mangrove yang dilaksanakan selama ini cenderung menggunakan jenis bakau dan api-api. Total 94.050

3

Page 4: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

batang mangrove sudah ditanam dari Tahun 1989. Apabila asumsi sistem penanaman 1x1 meter pada semua batang, maka total area yang seharusnya tertanami adalah 47.025 m² atau 4,7 ha. Dalam kenyataanya, luasan area mangrove keseluruhan di Desa Jangkaran sangat mungkin tidak seluas ini. Pengamatan lapangan terlihat lokasi mangrove dominan berada di sepanjang sempadan sungai temon dan sebagian sungai bogowonto. Selain itu, beberapa blok kawasan bakau di Pasir Mendit.

Tentu, banyak hal yang berpengaruh pada tidak sesuainya perencanaan penanaman dengan tutupan area mangrove di Desa Jangkaran. Faktor lingkungan merupakan salah satu sebab dari kesuksesan penanaman. Cuaca juga menjadi satu faktor penting. Lebih jauh faktor kesadaran masyarakat menjadi satu poin penting dalam kesuksesannya. Hasil pengamatan Sawitri Rani sendiri menyatakan kurang berhasilnya rehabilitasi mangrove di Desa Jangkaran disebabkan minimnya kegiatan pemeliharaan pada ekosistem mangrove oleh masyarakat sekitar.

Tentang kurangnya kesadaran ini tentu menjadi satu perhatian

penting karena di sisi yang lain masyarakat sudah mempunyai pengetahuan terhadap fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Persepsi kegagalan rehabilitasi mangrove karena tertutupnya muara Sungai Bogowonto juga sudah diketahui dengan baik oleh masyarakat Desa Jangkaran.

Kesimpulan dari judul sampai kapan kita akan memananam seharusnya tidak berkaitan dengan tutupan mangrove dan berapa luasan lahan yang ada, tetapi lebih mengarah kepada sampai kapan masyarakat mempunyai karakter yang peduli dengan lingkungan sekitarnya. KKPMSP

4

Page 5: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

PRAKATA Report

Lokakarya

Pembentukan

Kelompok

Kerja

Mangrove

tingkat DI

YogyakartaTeks : Isna Bahtiar

Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD)

merupakan satu forum dalam usaha

pengelolaan mangrove yang lebih baik. Forum

ini diharapkan terdapat di tingkatan nasional,

pemerintah dan kabupaten.

pada tanggal 27 Desember 2012, Balai Pengelolaan Hutan

Mangrove (BPHM) Wilayah I Denpasar bekerjasama Kdengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Lokakarya Persiapan

Pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) DIY.

Beberapa pihak yang diundang pada kegiatan ini adalah SKPD dari

Gunungkidul, Bantul dan Kulonprogo (diantaranya Dinas Kehutanan,

Lingkungan Hidup, Kelautan dan Perikanan), perguruan tinggi,

Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Kehutanan.

Saya kira tujuan dari kegiatan ini adalah sebagai “cuci otak”

peserta lokakarya sehingga akan terbentuk KKMD tingkat provinsi ini.

Diluar lokakarya untuk persiapan KKMD ini, pembentukan KKMD

merupakan hal yang penting. Dan memang, hasil akhir dari pertemuan

ini adalah tersusunnya tim formatur pembentukan dan rencana KKMD

DIY. Walau demikian, pemaparan materi dan pelaksanaan diskusi

pada lokakarya pada acara ini tidak kalah penting. Dua hal yang

menjadi titik penting dalam pemaparan materinya yaitu konsep

pengelolaan mangrove dan kaitannya dengan peraturan perundangan.

Kedua, mangrove DIY sebagai peluang unik pengembangan pesisir

DIY. Menarik, karena banyak pendapat baru baik mendukung

kegiatan konservasi atau bahkan menolak konservasi mangrove di

pesisir Yogyakarta. Bertentangan atau saling mendukung.

Materi dan diskusi kali ini sekali lagi membahas tentang kaitan

antara rencana tata ruang, peraturan perundangan, keberadaan

mangrove, aktivitas perusakan mangrove, alih fungi dan sanksi

pelanggaran tata ruang. Bukan hal baru untuk menyatakan bahwa

pesisir merupakan satu susunan kompleks dari berbagai kegiatan dan

ekosistem. Mangrove merupakan satu hal yang tidak dapat dilupakan

karena dalam konteks pengelolaan tata ruang, maka kawasan

mangrove termasuk pula didalamnya.

Peraturan pertama dalam rangka pengelolaan kawasan pesisir

adalah Undang-undang No 26 Tahun 2006 tentang pengelolaan tata

ruang dan Undang-undang 27/2007 tentang pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Keduanya adalah

peraturan yang berbeda tetapi dengan roh yang sama. Perbedaan

hanya pada tataran wilayah pengelolaan dengan lingkup UU 27/2007

terbatas pada wilayah pesisir dan pulau kecil. Di tingkat daerah

keduanya adalah dwitunggal pengelolaan pesisir berupa Rencana

Tata Ruang Daerah dan Rencana Strategis Rencana Zonasi Pesisir

dan Pulau - Pulau Kecil. Tentu, pengelolaan kawasan mangrove tidak

cukup hanya dengan peraturan tata ruang yang mengatur dalam

rangka tata keruangannya saja. Berbagai peraturan perundangan turut

dilakukan dalam rangka pengelolaan kawasan ini, baik secara

langsung atau tidak.

Salah satu yang tidak langsung tersebut adalah adalah Undang-

undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Daerah Aliran

Sungai (DAS). Turut pula Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang

kewenangan pemerintahan yang mengatur kewenangan pengelola

kegiatan berkaitan dengan jenis kegiatan yang sangat berkaitan erat

dengan UU 32 /2004 dan Peraturan Pemrerintah Nomor 7/2008.

Termasuk pula Peraturan Pemerintah Nomor 76/2008 tentang

rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur pembautan RTk RHL

DAS, RPRHL dan RTnRHL. Selain itu, adanya Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor 17 / 2008 tentang kawasan konservasi

wilayah pesisir dan pulau kecil adalah satu peraturan tidak langsung

dalam tataran pemanfaatan pengelolaan mangrove. Tentu masih

banyak peraturan perundangan lainnya.

Secara langsung, setidaknya terdapat tiga peraturan peraturan

perundangan yang sangat berkaitan dengan pengelolaan manrove.

Peraturan perudangan tersebut diantaranya adalah Keputusan

5

Page 6: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

Presiden Nomor 32/1990 tentang pengelolaan kawasan lindung.

Dikatakan dalam peratauran ini bahwa ekosistem mangrove

merupakan kawasan lindung. Turut diatur didalamnya adalah kriteria

sempadan pantai (Pasal 14) dan kawasan pantai berhutan bakau (Pasal

27). Selanjutnya adalah Perpres 121/2012 tentang rehabilitasi pesisir.

Peraturan hasil inisiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan ini

mengatur kriteria kerusakan ekosistem, tahapan rehabilitasi,

monitoring, peran serta dan pembiayaan kegiatan rehabilitasi.

Perpres 73/2012 tentang Strategi Pengelolaan Ekosistem

Mangrove (SPEM). Peraturan ini bertujuan membentuk kebijakan dan

program untuk mencapai tujuan terwujudnya pengelolaan ekosistem

mangrove lestari dan masyarakat sejahtera berkelanjutan berdasarkan

sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari sistem

perencanaan pembangunan nasional

Tidak cukup disitu, dalam rencana kedepan, akan disusun pula

Baku Mutu Kerusakan yang berisi kriteria kerusakan ekosistem dari

Kementerian Lingkungan Hidup, Rencana Strategi Mangrove dan

Gambut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Petunjuk

teknis Pengelolaan Mangrove Tingkat Kabupaten oleh masing-masing

kabupaten.

Harus diakui, di satu pihak berbagai peraturan ini mewajibkan

stakeholder berjuang ekstra dalam upaya mengelola kawasan

mangrove. Di sisi lain, mereka harus mempertimbangkan berbagai

kepentingan di mangrove dan kelanjutan ekosistem dengan berbagai

problem yang ada. Dalam banyak peraturan, kepentingan dan

kelestarian kawasan mangrove ini, maka satu pendapat tentang urgensi

pembentukan satu forum tunggal untuk mempertemukan berbagai

kepentingan mucul. Forum ini disebut dengan nama kelompok kerja

mangrove.

Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN) merupakan tim

kerja lintas sektor/instansi/lembaga swadaya masyarakat pemerhati

mangrove yang dibentuk sebagai jembatan penghubung sebelum

pembentukan Tim Kerja Koordinasi (Tim Koordinasi Nasional) yang

diamanatkan dalam Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem

Mangrove. Kelompok Kerja Mangrove (KKM) dibentuk di tingkatan

nasional (KKMD), provinsi (KKMD Provinsi) dan kabupaten/kota

(KKMD Kabupaten/Kota). Motor penggerak pada KKM adalah

Kementerian Dalam Negeri, Kehutanan, Kelautan dan Perikanan,

Badan Informasi Geospasial, Akademisi Perguruan Tinggi dan

Lembaga Non Pemerintah seperti Wetlands International Indonesia

Program. Saat ini, ketua di tingkat nasional adalah Kementerian

Kehutanan dengan wakil ketua Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Di tingkat Provinsi, sudah terbentuk 23 KKMD Prov dari 33 dan 16

kabupaten yang sudah terbentuk KKMD dari total 400-an di seluruh

Indonesia. KKPMSP

6

Page 7: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

PRAKATA Ideas

Mangrove

Jogja : Satu

Interpretasi

Konsep

Humanosphere

Prof Sukrisno

Sukardjo Teks dan Foto : Isna Bahtiar

Prof Dr. Sukristijono Sukarjo Dsc. adalah

seorang peneliti LIPI, alumni IPB dan aktif di

organisasi Mangrove For the Future (MFF).

Beliau merupakan satu pemikir mangrove

garda terdepan di Indonesia. Konsep

pengembangan ekoturisme mangrove di pesisir

jogja.

Tulisan saya berikut ini tentu hanya sebatas

intepretasi saya pribadi dalam luasnya

pemahaman Prof tentang konsep pengelolaan

mangrove secara luas. Tentu, oleh karena

keterbatasan pola pikir saya pribadi, sangat

dimungkinkan pendapat murni dari Prof bisa

bias dan terbelokkan. Kemungkinan

“penyelewengan” ini tentu bukan maksud saya

menulis disini.

7

Page 8: Buletin Pokja Mangrove I 2013 Koreksi Kedua

uasan mangrove di Pemerintah Daerah Istimewa

Yogyakarta (Pemda DIY) tidaklah sampai dalam kisaran Lberhektar-hektar kilometer. Hanya sedikit titik keberadaan

mangrove yang ada di DIY yaitu di Desa Jangkaran Kabupaten

Kulonprogo dan Desa Baros Kabupaten Bantul. Juga di Kabupaten

Gunungkidul dengan beberapa spesies di kawasan konservasi

Wediombo di ujung selatan – timur kabupaten.

Keberadaan tiga spot mangrove di tiga kabupaten karena

ketiganya berada di muara sungai. Bogowonoto, Opak dan Wediombo.

Luas kawasan mangrove klaim dari masing-masing kabupaten adalah

seluas 4 ha di Kulonprogo dan Bantul. Dengan kecilnya skala

mangrove di DIY ini, beberapa ahli menyatakan mangrove yang ada

disini tidak membentuk ekosistem. Bahkan, dinyatakan mangrove

yang ada di tiga kabupaten ini belum mempunyai fungsi dan perananan

penting pada pesisir. Hanya sebatas spesies mangrove.

Faktor karakteristik pesisir DIY, sedikitnya mangrove yang ada

dan kemanfaatan yang kurang ini oleh beberapa pihak dianggap

sebagai bukti mangrove di DIY tidak sesuai dengan fitrah

kepesisirannya. Setiap penanaman mangrove membutuhkan banyak

usaha dalam usaha adaptasi dengan keadaan pesisir yang ada. Ikutan

teknologi ini merupakan bukti keadaan alam di DIY sebenarnya tidak

sesuai dengan karakterisitik mangrove sendiri.

Namun demikian, beberapa pendapat lain menyatakan kecilnya

luasan mangrove di Jangkaran, Baros dan Wediombo bukanlah satu

kelemahan pada pengembangan mangrove di DIY. Walau masih kecil,

keberadaan mangrove tentu akan memberi manfaat bagi

perkembangan pesisir di DIY sekecil apapun itu. Lebih jauh, peluang

mangrove jogja sebagai satu sisi penting pengelolaan pesisir

disampaikan oleh Prof. Dr. Sukristijono Sukarjo Dsc.

Homesphere adalah satu isitilah baru yang saya dapat dari beliau

yang merujuk pada kesatuan pandangan dan pengertian yang

terkoordinasi oleh sistem ekosistem. Konsep ini jika dipersempit

dalam konsep pengelolaan kawasan mangrove, terdapat empat bingkai

konsep yaitu tradisi, sosioetnografi, kemaritiman dan new frontier.

Dengan keempatnya, pola pikir pengelolaan mangrove di DIY

disampaikan oleh paparan beliau..

Konsep tradisi berkaitan dengan ikatan saling mendukung yang

erat. Belum terdapat satu pola pada masyarakat pesisir DIY tentang

pentingnya mangrove di kehidupan sehari-hari mereka. Mangrove

belum menjadi satu urat nadi kehidupan masyarakat dan belum

Memang,

kondisi geografis pesisir di Yogyakarta dapat dikatakan tidak terlalu

mendukung perkembangan ekosistem mangrove. Pantai di Bantul dan

Kulonprogo didominasi oleh pasir sedangkan Gunungkidul dengan

batuan karang yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang mangrove.

terbentuk satu hubungan yang membentuk kultur sosial

kemasyarakatan. Beliau memberi contoh tradisi mangrove ini

Meskipun demikian, kaitan antara masyarakat Jogja dengan

keberadaan mangrove tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali.

Tradisi dan Sosioetnografi mulai terbentuk di DIY. Buktinya adalah

persepsi sebagaian besar masyarakat pesisir yang mengangggap

penting keberadaan mangrove dan fungsinya sebagai green barrier

penting pada kebencanaan pesisir. Pesisir DIY sebagai daerah rawan

bencana tsunami, angin kencang, pasang dan abrasi sudah banyak

dipahami masyarakat dengan aksi tindak lanjut masyarakat yang

secara aktif berswadaya menanam mangrove dan vegetasi pantai

lainnya dalam rangka perlindungan alami. Mereka cenderung faham

fungsi dan pemahaman hal ini.

Dalam hal mangrove dan fungsi dalam kebencanaan ini pula

konsep kemaritiman mangrove dan pesisir berada. Mangrove dan

vegetasi pantai lain adalah satu kaitan erat dengan keadaan lautnya.

Tambak di Jangkaran, pertanian di Baros, atau abrasi pantai di Trisik

dan Kuwaru. Ombak, pantai dan vegetasinya adalah satu kesatuan

yang saling mempengaruhi.

Konsep mangrove sebagai new frontier terutama dalam

fungsinya sebagai penyimpan karbon, kelestarian daur hidup,

penemuan keanekaragaman hayati, rehabilitasi dan ekosturisme.

Dalam konsep ekoturisme pula agaknya mangrove di DIY

mendapat tempat yang strategis. Proses pengkayaan yang dilakukan

masyarakat, swasta, lembaga non pemerintah dan pemerintah telah

meningkatkan kualitas mangrove dan sosial ethic-nya. Keadaan DIY

dengan karakter pesisir yang berbeda dengan daerah lain akan

meningkatkan keunikan mangrove yang ada di pesisir DIY.

Keberadaan tambak, pertanian, pertambangan, kawasan ekonomi

penting, daerah lindung dan pariwisata menambah keunikan dari

masing-masing kawasan di tiga kabupaten. Di sisi lain, latar belakang

akademis dan keberadaan Keraton Ngayogyakarta adalah nilai

tambah penting bagi pengembangan mangrove di sini.

Dalam dalam konsep mangrove DIY, keberadaan mangrove di

Indonesia akan mendapat satu nilai khas. Mangrove disini akan

dianggap sebagai kegiatan konstruktif per hari yang dapat diamati

proses pelestariannya.

Proses ini lah yang merupakan nilai jual dari mangrove di Jogja.

Karena ekoturisme bukan berarti wisata pada satu kawasan yang baik,

tetapi bahkan kegiatan penanaman mangrove merupakan satu atraksi

wisata yang menarik. Ekoturisme dengan konsep ini lah yang akan

membangun satu sistem humanosphere bagi perkembangan

mangrove di pesisir Jogja. KKPMSP

dengan daerah lain dengan kondisi mangrove sangat baik seperti di

Papua, Kalimantan, Pantura atau daerah lain.

8