buku+bioresources+biokomposit

Upload: tom-mots

Post on 15-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

SERAT ALAM SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI BIOKOMPOSITPotensi serat alam di IndonesiaIndonesia mempunyai kekayaan sumber daya alam serat non kayu yang melimpah dan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Serat non kayu merupakan serat yang berasal dari tanaman-tanaman serat alam (seperti sisal, rami, kenaf, nenas, dan lain-lain), bambu, serta limbah pertanian dan perkebunan. Serat non kayu belum banyak digali potensinya. Bahan baku ini mempunyai sifat-sifat yang berbeda dibandingkan kayu, sehingga memerlukan penelitian dan pengembangan mulai dari penyiapan bahan, teknologi proses sampai permesinannya. Bahan baku yang berasal dari serat alam, bambu, limbah pertanian dan perkebunan membuka peluang munculnya industri biokomposit baru yang berbeda dengan industri perkayuan konvensional yang ada. Selama ini komposit banyak dibuat dari bahan baku yang tidak terbarukan seperti serat sintetis (serat gelas, aramid, kevlar). Serat sintetis dibuat dari bahan minyak bumi yang diperkirakan akan habis dalam waktu kurang dari 50 tahun mendatang. Kebanyakan komposit dari bahan tidak terbarukan ini akan menimbulkan masalah pada lingkungan, misalnya dalam pembuangannya karena tidak bisa didegradasi oleh lingkungan. Karena itu banyak kalangan pemerintah, industri dan peneliti di dunia mengembangkan biokomposit yang lebih ramah lingkungan. Pengembangan teknologi biokomposit atau komposit hijau dengan memanfaatkan serat alam dan limbah pertanian, perkebunan akan membantu mengatasi kelangkaan bahan baku industri perkayuan sekaligus turut mencegah kerusakan lingkungan.Serat alam non kayu terdiri dari: (1) serat straw seperti jerami padi; (2) serat kulit batang (bast) seperti kenaf, rami, jute, hemp; (3) serat daun seperti sisal, nenas; (4) serat dari biji atau buah seperti sabut kelapa; (5) rumput-rumputan seperti bambu, rumput gajah.2 Indonesia merupakan penghasil serat kapok, kapas, kenaf, abaka, rami dan sisal dengan jumlah produksi yang masih sedikit (Tabel 1). Produksi utama adalah kapok sekitar 80 ribu ton/tahun, kapas 9 ribu ton/tahun, dan kenaf 6 ribu ton/tahun.3 Sisal banyak terdapat di Jawa Timur termasuk Madura, dan Jawa Tengah dengan produksi sekitar 500 ton/tahun.4 Rami dikembangkan di Wonosobo, Garut, Lampung, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Utara dengan luas sekitar 805 ha, dengan produksi 1.200 ton/tahun. Sekitar 400 ha abaka terdapat di Banyuwangi.5 Beberapa permasalahan pengembangan tanaman serat alam antara lain adalah minimnya varietas unggul, areal dan modal petani terbatas, harga rendah, pasar terbatas, teknologi pascapanen kurang, dan kebijakan pemerintah kurang mendukung.5

Tabel 1. Potensi serat alam non kayu di Indonesia.3,6,7

Jenis SeratPotensi/tahun(x1000 ton)Jenis LimbahPotensi/tahun(x1000 ton)

Kapok79,9Sekam padi13.300

Kapas8,9Jerami padi90.000

Kenaf5,9Bagas tebu2.600

Rami1,2Batang sawit16.400

Sisal0,5Pelepah sawit80.000

Abaka0,6Tandan kosong sawit37.000

Bambu550Serat sabut kelapa1.800

Parenkim kelapa3.300

Sumber bahan baku serat selanjutnya adalah limbah pertanian berupa sekam dan jerami padi, dan limbah perkebunan seperti bagas tebu, limbah kelapa sawit, dan kelapa (Tabel 1). Tanaman padi pada tahun 2010 seluas 13.244.184 ha dengan produksi padi sebanyak 66.411.469 ton, menghasilkan sekam 13,3 juta ton/tahun dan jerami 90 juta ton/tahun.6 Luas tanaman tebu di Indonesia pada tahun 2009 adalah 443.800 ha dengan produksi 2.849.769 ton tebu; akan menghasilkan 2,6 juta ton bagas.7 Luas tanaman kelapa sawit di Indonesia sebesar 8,43 juta ha, dengan produksi 19,8 juta ton. Peremajaan kelapa sawit seluruh Indonesia rata-rata 164 ribu ha per tahun, menghasilkan limbah batang 16,4 juta m3.7 Limbah lain per tahun adalah pelepah 80 juta ton, tandan kosong 37 juta ton, dan cangkang 11 juta ton. Potensi limbah industri sawit ini sangat besar sehingga bisa mendukung penyediaan bahan baku untuk berbagai industri biokomposit. Indonesia mempunyai luas tanaman kelapa (Cocos nucifera) terluas di dunia yaitu 3,8 juta ha setara 31,2% dari seluruh tanaman kelapa di dunia seluas 12,1 juta ha.7 Tanaman kelapa terutama terdapat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Produksi buah kelapa setiap tahun di Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir atau setara dengan 3 juta ton kopra; menghasilkan serat sabut kelapa 1,8 juta ton dan serbuk parenkim 3,3 juta ton setiap tahunnya. Selain itu banyak tanaman palem-paleman seperti gewang, lontar yang merupakan sumber potensi serat alam yang belum tergali.8 Selain itu Indonesia mempunyai sekitar 160 species bambu atau sekitar 10 % dari 1500 species bambu di dunia.9 Serat alam merupakan sumber selulosa yaitu polimer alam penyusun serat tanaman, selain hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan bahan organik yang terbesar ketersediaannya di muka bumi.10 Beberapa sifat serat dari serat alam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa sifat serat dari serat alam non kayu.2,9

Jenis SeratKerapatan(g/cm3)Selulosa(%)Hemise-lulosa (%)Lignin(%)Kuat tarik (MPa)

Kapok0,03433213-15-

Kapas1,50-1,6088-963-61-2285-595

Kenaf1,4731-5722-2315-19479-1600

Rami1,5168-915-170,6-0,7220-938

Sisal1,33-1,5047-7810-247-11400-700

Abaka1,35-1,5056-6815-205-9980

Bambu0,60-0,9045-5016-2120-30480

Teknologi pemanfaatan serat alam untuk biokomposit Biokomposit adalah generasi baru dari material komposit yaitu merupakan suatu material yang dibentuk dari sebuah matriks yang diperkuat dengan serat alam atau matriks bahan alam diperkuat serat sintetis. Dikatakan sebagai komposit hijau seratus persen jika terbuat dari matriks yang berasal dari bahan alam yang diperkuat dengan serat alam. Pemanfaatan serat untuk penguat biokomposit bisa berupa serat dengan ukuran seperti aslinya (makro), atau serat yang telah diproses sehingga diameternya berukuran mikro bahkan perkembangan terakhir berukuran nano (10-9 meter atau seper 80 ribu rambut manusia). Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan dengan serat sintetis antara lain adalah: sumber bisa diperbarui dan berkelanjutan, dapat didaur ulang, lebih ringan, energi yang diperlukan untuk memproduksi lebih rendah, tersedia dalam jumlah banyak dan lebih murah.10,11 Dari aspek teknis, serat alam mudah didegradasi, kekuatan spesifik lebih baik, mengurangi abrasi pada alat, sifat akustik dan termal baik. Serat kayu, bambu, kenaf, sisal, rami dan lain-lain yang kita lihat merupakan kumpulan dari serat-serat yang berdiameter lebih kecil (10~40 mikro meter) atau disebut serat tunggal. Serat tunggal ini kalau diuraikan lebih lanjut akan berupa mikrofibril selulosa dengan diameter 4~10 nano meter.12 Penelitian mikrofibril selulosa pertama kali dilakukan oleh Turbak pada tahun 1983.13 Kekuatan mikrofibril selulosa yang berukuran nano sangat tinggi yaitu modulus elastisitasnya 138 GPa.10 Penemuan serat nano ini membuka peluang diciptakannya nanokomposit fungsional yang ramah lingkungan, ringan, sangat kuat, dan bahkan bisa dibuat transparan untuk kegunaan komponen elektronik, komponen otomotif, komponen pesawat terbang.14,15,16,17,18,19Papan partikel dengan bahan baku non kayu dikembangkan karena semakin berkurangnya bahan baku kayu seperti tercermin dari banyaknya pabrik papan partikel di Indonesia yang tutup pada dekade terakhir ini. Papan partikel dibuat dengan perekat jenis termoseting (urea formaldehida, penol formaldehida, melamin formaldehida) maupun perekat semen. Bahan baku non kayu yang telah diteliti di UPT BPP Biomaterial LIPI untuk papan partikel dengan perekat termoseting antara lain adalah bambu27,28, sabut kelapa29, tandan kosong sawit30, serat abaka31,32, sisal33, gewang34, kulit kayu akasia35, sekam padi36. Sedangkan papan partikel semen yang sudah diteliti antara lain dari bambu37,38, tandan kosong sawit39, abaka40, dan sisal.41 Berbeda dengan kayu, pemanfaatan serat alam, limbah pertanian dan limbah perkebunan memerlukan penyiapan bahan dan perlakuan tertentu sebelum siap untuk bahan baku papan partikel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa papan partikel yang dibuat dari serat alam kualitasnya sudah memenuhi standar SNI. Proses penyiapan serat, teknologi proses pembuatan, sampai studi kelayakan sudah dilakukan; sehingga siap untuk dibuat industrinya.Perekat pada industri papan partikel merupakan faktor utama yang menentukan besarnya biaya produksi. Karena itu sebagai alternatif perekat berbasis formaldehida yang mengeluarkan emisi gas formaldehida telah dilakukan penelitian perekat berbahan alam seperti tanin dari kulit kayu akasia, lateks, kitosan dan pati yang lebih ramah lingkungan dan murah.42,43,44,45 Hasil penelitian menunjukkan bahwa perekat bahan alam bisa digunakan sebagai perekat komposit seperti papan partikel yang memenuhi standar JIS dan SNI.Biokomposit dengan perekat jenis termoseting dan semen banyak digunakan untuk bahan bangunan. Untuk penggunaan yang lebih maju seperti komponen elektronik/otomotif telah dikembangkan komposit serat alam dengan matriks polimer. Komposit jenis ini biasanya diperkuat dengan serat sintetis seperti serat gelas yang tidak dapat diperbarui. Serat alam diteliti untuk menggantikan serat sintetis sehingga komposit yang dihasilkan lebih ramah lingkungan. Penelitian komposit serat alam dengan matriks polimer menjadi topik yang hangat dan banyak diminati akhir-akhir ini.Untuk dapat mencampur sempurna dengan matriks polimer, serat alam harus diuraikan sehingga menjadi serat-serat yang sangat kecil dengan diameter serat berukuran mikro bahkan nano. Karena itu telah banyak diteliti proses pembuatan serat menjadi bagian serat yang terkecil yaitu mikrofibril selulosa, kemudian dibuat kompositnya.61,62 Komposit yang dihasilkan dari matriks polimer yang diperkuat serat mikro atau nano mempunyai keunggulan antara lain sangat kuat (setara dengan magnesium alloy), ringan, mempunyai ekspansi termal yang rendah, dan dapat dibuat transparan. Kedepan penemuan bionanokomposit ini membuka peluang-peluang pengembangan material baru dari bahan selulosa tanaman yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dua masalah penting dalam pengembangan bionanokomposit adalah pertama mendapatkan proses pemisahan selulosa menjadi serat nano dengan harga yang wajar tanpa merusaknya, dan kedua mendapatkan pencampuran mikrofibril selulosa dalam matriks polimer yang baik14. Sampai saat ini proses pembuatan serat nano masih terus diteliti di dunia untuk mendapatkan proses yang lebih cepat, hemat energi, murah dan bisa menghasilkan serat nano dalam jumlah yang besar sehingga layak untuk dibuat industrinya. Penelitian biokomposit dari serat alam-matrik polimer yang dilakukan di UPT BPP Biomaterial LIPI antara lain dengan bahan baku serat bambu, sisal, tandan kosong sawit, bagas, dan kayu akasia. Pembuatan biokomposit ini didahului dengan pembuatan serat dengan diameter mikro dan nano melalui proses pembuatan pulp, fibrilasi dengan refiner, ultra turrax, dan homogenizer.63,64,65 Proses pembuatan serat berukuran nano ini telah kami patenkan. Serat mikro atau nano ini kemudian dicampur dengan plastik polipropilena (PP) atau poliasam laktat (PLA) dan dicetak dengan pres panas atau sistim injeksi. Penelitian ini menghasilkan biokomposit yang ringan, kuat dan ramah lingkungan, terutama ditujukan untuk komponen otomotif.66,67,68,69,70 Hasil penelitian ini (Tabel 4), sudah dipatenkan oleh UPT BPP Biomaterial-LIPI. Tabel 4. Sifat mekanis biokomposit dari serat alam/polimer.

No.BiokompositKuat Patah(MPa)Modulus Elastisitas(GPa)

1Serat Bambu/PP47,522,78

2Serat Sisal/PP57,053,36

3Tandan kosong sawit/PP51,052,05

4Serat Kenaf/PP51,003,50

5PP murni27,521,18

6Serat Bambu/PLA105,237,06

7Serat Sisal/PLA100,428,07

8Serat Kenaf/PLA77,006,80

9PLA murni70,363,17

Ket.: rasio serat/polimer= 40/60, proses pres panas.

Perkembangan akhir-akhir ini tentang material maju yaitu material cerdas dan fungsional mendorong dilakukannya penelitian serat karbon dari serat alam untuk aplikasi beton cerdas.71 Beton cerdas dapat berfungsi sebagai sensor beban atau sensor kerusakan sehingga dapat mendeteksi beban dan kerusakan dini. Beton cerdas ini dapat diaplikasikan misalnya pada jalan (gorong-gorong), jembatan timbang, jembatan beton, dan bangunan gedung. Untuk Indonesia yang mempunyai banyak daerah rawan gempa, aplikasi beton cerdas ini sangat diperlukan. Beton cerdas selama ini dikembangkan dari beton dengan serat karbon komersial dari residu minyak bumi yang harganya mahal dan tidak terbarukan.72,73 Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa serat karbon dari bambu dan sabut kelapa suhu 800 C mempunyai konduktifitas listrik yang memadai untuk keperluan sensor pada beton cerdas dan harganya lebih murah.74,75 Beton cerdas dengan serat karbon bambu dan sabut kelapa mempunyai konduktifitas listrik 0,063 S.m-1 dan 0,013 S.m-1; dengan kuat tekan 13 MPa dan 24 MPa.71

Peluang pemanfaatan biokomposit dari serat alamSelama ini serat alam telah dimanfaatkan untuk bahan tekstil, tali, kerajinan, kertas, bahan konstruksi bangunan, komponen otomotif, dan penggunaan lainnya. Pemanfaatan serat alam bisa digolongkan menjadi dua golongan besar menurut ukurannya, yaitu serat makro seperti serat asalnya, dan serat yang telah diproses menjadi ukuran diameter serat mikro dan nano meter.Pemanfaatan serat alam terutama berasal dari kayu untuk industri biokomposit konvensional seperti kayu lapis, papan partikel, papan serat telah berkembang di Indonesia, meskipun akhir-akhir ini mengalami penurunan. Produk-produk biokomposit ini digunakan untuk bahan bangunan, mebel, lantai, panel dinding. Dengan semakin langkanya kayu; peluang serat alam, bambu, limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan baku pengganti kayu untuk industri-industri tersebut sangat besar. Untuk industri-industri tertentu memang diperlukan tambahan proses penyiapan bahan dan modifikasi permesinan sesuai dengan karakter bahan yang baru ini. Sebagai contoh kerjasama UPT BPP Biomaterial-LIPI dengan salah satu perusahaan daerah untuk membuat pabrik papan partikel dari bahan limbah industri kelapa sawit seperti tandan kosong dan pelepah sawit sedang dilakukan. Demikian juga papan bambu komposit untuk penggunaan seperti kayu lapis dan balok telah dipromosikan ke Belanda untuk penggunaan di luar ruangan seperti pembatas kanal air dan pagar kebun, atau untuk penggunaan di dalam ruangan seperti mebel, lantai. Bambu komposit dengan harga sekitar 500-800 euro per meter kubik cukup menarik bagi industri. Sementara itu batang sawit bisa dimanfaatkan untuk kayu lapis, kayu lamina (laminated veneer lumber), atau papan partikel. Serat dari sabut kelapa atau tandan kosong sawit bisa digunakan untuk membuat produk geotekstil untuk keperluan menahan laju erosi pada tanah-tanah miring, dan memperkuat struktur badan jalan.76 Pemanfaatan serat alam skala makro yang lain adalah untuk pembuatan matras, jok mobil, karpet, tali, dan barang kerajinan.Peluang pemanfaatan serat alam ukuran diameter mikro dan nanometer dengan matriks plastik antara lain adalah komponen elektronik, bahan pengemas, komponen otomotif, komponen gerbong kereta api, komponen pesawat terbang.77,78,79 Komposit dari bahan polimer termoplastis dan termoset yang diperkuat dengan serat gelas sangat populer untuk produksi gitar, alat olahraga (raket tenis), komponen mobil, komponen elektronik, dan sebagainya, dan merupakan bisnis multi milyar dolar. Hasil penelitian dan pengembangan menunjukkan bahwa serat alam bisa menggantikan serat gelas sebagai penguat komposit, dan hal ini sudah diterapkan di industri. Industri otomotif di Jepang, Eropa, dan Amerika telah menggunakan serat alam sebagai penguat komposit untuk sebagian komponen mobil.78 Beberapa industri otomotif yang telah menggunakan komposit serat alam antara lain adalah Audi, BMW, DaimlerChrysler, Fiat, Ford, Mitsubishi, Peugot, Renault, Rover, Saab, Volkswagen, Volvo. Penggunaan biokomposit ini untuk komponen interior maupun eksterior. Mercedes S class telah menggunakan komposit serat alam pada 27 bagian interiornya.79 Faktor utama yang mendorong pemanfaatan serat alam adalah dampaknya terhadap lingkungan, bisa mengurangi berat kendaraan sampai 30%, dan harganya murah. Uni Eropa Directive End of Life Vehicles mensyaratkan pada tahun 2015 semua mobil baru 95% bahannya harus bisa didaur ulang.77 Pasar untuk produk biokomposit-plastik seluruh Eropa dan Amerika Utara mencapai 685 ribu ton dengan nilai $ 775 juta pada tahun 2002. Khusus untuk pemanfaatan sebagai komponen otomotif telah terjadi peningkatan jumlah yang sangat tajam, misalnya di Jerman meningkat dari 4 ribu ton pada tahun 1996 menjadi 18 ribu ton pada tahun 2003.79 Kecenderungan ini diperkirakan akan terus berlanjut, misalnya di Eropa pada tahun 2005 penggunaan serat alam untuk otomotif mencapai 70 ribu ton dan diperkirakan akan meningkat menjadi 100 ribu ton pada tahun 2010.Beberapa hambatan pengembangan industri biokomposit antara lain dapat berasal dari sisi serat alam, teknologi proses, maupun sisi ekonomisnya. Serat alam memiliki keterbatasan antara lain kualitasnya tidak seragam, sumber bahan baku yang tidak kontinyu, mempunyai sifat hydrophilic yang menyebabkan sulit berikatan dengan polimer yang bersifat hydrophobic, penyerapan air yang tinggi, serta mempunyai sifat kekuatan thoughness dan impact yang rendah.11 Tetapi kemajuan teknologi di bidang budi daya tanaman bisa mengatasi masalah kualitas dan kontinuitas bahan baku. Sedangkan untuk masalah teknis, pengembangan teknologi proses diperkirakan dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan tersebut. Dari sisi ekonomis, pembuatan biokomposit dengan polimer dari bahan alam seperti poliasam laktat (PLA) terkendala dari mahalnya harga polimer jenis ini. Demikian juga serat berukuran nano sebagai bahan penguat, produksinya dalam skala besar masih membutuhkan biaya tinggi. Namun demikian perkembangan penelitian akhir-akhir ini memberikan harapan untuk mendapatkan polimer alam dan pemrosesan serat yang lebih ekonomis. Dengan memanfaatkan bahan baku non kayu seperti serat alam, bambu dan limbah pertanian dan perkebunan; peluang industri biokomposit di Indonesia ke depan masih menjanjikan. Baik untuk industri biokomposit untuk bahan bangunan dan mebel seperti papan partikel, papan serat, papan bambu maupun untuk industri biokomposit baru seperti komponen otomotif. Produksi mobil di Indonesia diperkirakan akan menembus angka satu juta unit per tahun, sehingga peluang biokomposit untuk komponen interior saja akan sangat besar. Kesimpulan dan SaranSetiap tahun setidaknya tersedia serat kenaf 6.000 ton, rami 1.200 ton, abaka 600 ton, sisal 500 ton, sekam padi 13 juta ton, bagas tebu 2,6 juta ton, pelepah sawit 80 juta ton, tandan kosong sawit 37 juta ton, batang sawit 16,4 juta ton. Pemanfaatan sumber bahan baku alternatif ini akan menumbuhkan produk dan industri baru. Produk baru biokomposit yang ramah lingkungan untuk aplikasi bahan bangunan, komponen otomotif, prasarana transportasi bisa dikembangkan dari bahan baku tersebut. Diversifikasi produk dari produk konvensional (seperti kayu lapis, papan partikel, papan serat) menjadi produk yang lebih unggul seperti bionanokomposit yang ringan tetapi kuat untuk material maju (komponen otomotif bahkan badan pesawat terbang) sangat memungkinkan. Dengan membuat mikrofibril selulosa berukuran nano maka hal ini bukan hal yang tidak mungkin dicapai berdasarkan penelitian yang telah dilakukan. Industri baru biokomposit akan meningkatkan ekonomi rakyat, menciptakan lapangan kerja, sekaligus mendukung program pelestarian lingkungan hidup.Beberapa saran kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk pengembangan biokomposit atau komposit hijau diantaranya sebagai berikut: (1). Membuat peraturan kebijakan dalam penataan dan pemanfaatan bahan baku berasal dari limbah pertanian dan perkebunan terutama limbah kelapa sawit, bambu, dan serat-serat alam sehingga dapat digunakan oleh industri, (2). Mendorong dan memberikan insentif bagi industri yang memanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan, (3). Memberikan dukungan dalam penelitian dan pengembangan serat alam untuk produk biokomposit, mulai dari penyiapan bahan baku seperti penelitian budi daya (varietas unggul, pascapanen) sampai dengan pengembangan teknologi pembuatan biokomposit (proses, permesinan). Selain itu perlu dilakukan kerjasama yang terpadu antara berbagai institusi penelitian di bidang serat alam dan biokomposit.

Daftar Pustaka

2Mohanty, A.K., Misra, M., Drzal, L.T. 2002. Sustainable Bio-composites from Renewable Resources: Opportunities and Challenges in the Green Materials World. Journal Polymers and the Environment, 10 (1/2): 19-26.3Brink, M., Escobin, R.P. 2003. Plant Resources of South-East Asia No. 17. Fibre Plants. Prosea Foundation. Bogor, Indonesia, 456 pp.4Sastrosupadi, A., Sudjindro, Hariyono, B., Nurheru, Santoso, B., Tirtosuprobo, S., Bahagio, S. 2004. Konservasi Sumber Daya Lahan dengan Tanaman Sisal (Agave sisalana Perrine) di Bendungan Karangkates Malang. Laporan Proyek. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Badan Litbang Pertanian. 36 pp.5Sudjindro. 2007. Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Tanaman Serat Alam sebagai Bahan Baku Tekstil di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Kapas dan Rami. Pusat Litbang Perkebunan. pp. 157-166.6Biro Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.7Kementerian Pertanian. 2011. Statistik Perkebunan 2009-2011. Kementerian Pertanian, Jakarta.8Subyakto, Prasetiyo, K. W., Subiyanto, B., Naiola, B.P. 2005. Potential Biomass of Gewang (Corypha utan Lamk.) for Biocomposites. Proceedings of the 6th International Wood Science Symposium: Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest Resources. Bali, Indonesia. p. 58.9Dransfield, S., Widjaja, E.A. 1995. Plant Resources of South-East Asia No.7. Bamboos. Backhuys Publishers, Leiden. 189pp.10Nishino, T. 2004. Natural Fiber Sources. In: Baillie (Ed.): Green Composites: Polymer Composites and the Environment. Woodhead Publishing Ltd. pp. 49-80.11Baillie, C. 2004. Why Green Composites?. In: Baillie (Ed.): Green Composites: Polymer Composites and the Environment Woodhead Publishing Ltd. pp. 1-8.12Abe, K., Iwamoto, S., Yano, H. 2007. Obtaining Cellulose Nanofibers with a Uniform Width of 15 nm from Wood. Biomacromolecules 8:3276-3278.13Turbak, A.F., Snyder, F.W., Sandberg, K.R. 1983. Microfibrillated Cellulose, a New Cellulose Product: Properties, Uses, and Commercial Potential. J Appl Polym Sci: Appl Polym Symp. 37: 815-827.14Berglund, L.A. 2004. Cellulose Based Nanocomposites. In: Mohanty (Ed.): Natural Fibers, Biopolymers and Their Biocomposites. CRC Press LCC. pp.807-832.15Zimmermann, T., Pohler, E., Geiger, T. 2004. Cellulose Fibrils for Polymer Reinforcement. Advanced Engineering Materials 6 (9): 754-761.16Nakagaito, A., Yano, H. 2005. Novel High-Strength Biocomposites Based on Microfibrillated Cellulose Having Nano-order-unit Web-like Network Structure. Applied Physics A 80: 155-159.17Iwamoto, S., Nakagaito, N.A., Yano, H., Nogi, M. 2005. Optically Transparent Composites Reinforced with Plant Fiber-Based Nanofibers. Applied Physics A 81: 1109-1112.18Ndazi, N., Tesha, J.V., Bisanda, E.T.N. 2006. Some Opportunities and Challenges of Producing Bio-Composites from Non-Wood Residues. Journal Material Science 41:6984-6990.19Scarponi, C. 2009. Industrial Applications for Natural Fibre Reinforced Composites. JEC Magazine January-February 2009. 5pp.27Subyakto, Subiyanto, B., Sudijono. 1996. Pembuatan Papan Partikel Tahan Api dari Bambu Tali dan Kayu Karet. Prosiding Seminar Material96, Serpong 18-19 Maret, 1996. pp.27-38.28Sudijono, Subyakto. 2002. Bending and Shear Properties of Low Density Particleboard Laminated with Zephyr of Tali Bamboo. Proceedings of The Fourth International Wood Science Symposium, Serpong, Indonesia, 2-3 September 2002. pp. 219-222.29Sudijono, Subyakto. 2003. Pemanfaatan Sabut Kelapa untuk Papan Partikel Berkerapatan Rendah dengan Perekat Phenol Formaldehida. Prosiding Seminar Nasional VI Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Fahutan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Padang. pp. 281-286.30Subiyanto, B., Subyakto, Sudijono, Gopar, M., Munawar, S.S. 2004. Pemanfaatan Limbah Tandan Kosong dari Industri Pengolahan Kelapa Sawit untuk Papan Partikel dengan Perekat Phenol Formaldehyde. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 2 (2): 99-102.31Syamani, F.A., Budiman, I., Subyakto, Subiyanto, B. 2005. Panel Product from Long Fibers of Abaca (Musa textiles Nee). Proceedings of the 6th International Wood Science Symposium: Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest Resources. Bali, Indonesia. p. 47.32Subyakto, Munawar, S.S., Gopar, M., Syamani, F.A., Budiman, I., Subiyanto, B. 2005. Development of Biocomposites from Abaca Fiber Glued with Urea or Phenol Formaldehydes. Proceedings International Symposium on Wood Science and Technology. IAWPS2005. Yokohama, Japan. pp. 124-125.33Syamani, F.A., Prasetiyo, K.W, Budiman, I., Subyakto, Subiyanto, B. 2008. Sifat Fisis Mekanis Papan Partikel dari Serat Sisal atau Abaka Setelah Perlakuan Uap. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 6(2):56-62.34Subyakto, Prasetiyo, K.W., Subiyanto, B., Naiola, B.P. 2006. Penelitian Papan Partikel dari Batang Gewang (Corypha utan Lamk). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia ke IX. Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru, 11-13 Agustus 2006. pp.313-317.35Subyakto, Suryanegara, L., Gopar, M., Prasetiyo, K.W. 2005. Pemanfaatan Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) untuk Papan Partikel dengan Kadar Fenol-Formaldehida Rendah. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 3(2): 64-67.36Subyakto, Astari, L., Ismadi. 2011. Rice Husk Particleboard: Effects of Particle Size and Layer Positions on the Board Properties. Proceedings The First International Symposium on Sustainable Humanosphere. Ambon, October 3, 2011. pp.125-127.37Subiyanto, B., Subyakto. 1995. Teknologi Pembuatan Papan Partikel Bambu-Semen I. Pengukuran Temperatur Hidrasi dan Pembuatan Papan Partikel Bambu-Semen dengan Kempa Injeksi Uap. Prosiding Seminar Nasional Fisika Jakarta 1995, Jakarta 9 Oktober, 1995. pp. 253-268.38Gopar, M., Subiyanto, B., Subyakto. 2000. Effects of Cutting Time of Bamboo on Hydration Behavior and Compression Strength of Bamboo-Cement Composite. Proceedings of The Third International Wood Science Symposium, Kyoto, Japan, November 1-2, 2000. pp. 83-89.39Subiyanto, B., Subyakto, Hermiati, E., Yusuf, S., Gopar, M., Sudijono. 2001. Penelitian Pembuatan Papan Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Perekat Semen. Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia, Samarinda, 6-9 Agustus 2001. pp. IV.24-IV.31.40Budiman, I., Syamani, F.A., Subyakto, Subiyanto, B. 2005. Pemanfaatan Serat Abaca (Musa textiles Nee) untuk Komposit Papan Serat dengan Perekat Semen. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia ke VIII. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Tenggarong, 3-5 September 2005. pp.B-66-71.41Budiman, I., Gopar, M., Subyakto, Subiyanto, B. 2009. Pengaruh Lama Perlakuan Uap pada Serat terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Papan Semen Serat Sisal. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 7(1):27-33.42Subyakto, Prasetya, B., Subiyanto, B. 1997. Pembuatan Perekat Tanin dari Limbah HTI untuk Papan Partikel. Prosiding Seminar Material97, Serpong, 19-20 Agustus 1997. pp. 253-267.43Prasetya, B., Subyakto, Ruhendi, S. 1998. Utilization of Bark Extract of Acacia mangium Wild for Adhesives in the Wood Composite: Influence of Water Glass on the Gluing Quality of Plywood. Proceedings of the Fourth Pacific Rim Bio-Based Composites Sumposium, Bogor, 2-5 November 1998. pp.27-35.44Subyakto, Prasetya, B. 2003. Pemanfaatan Langsung Serbuk Kulit Kayu Akasia sebagai Perekat Papan Partikel. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 1(1):20-25.45Prasetiyo, K.W., Subyakto, Falah, F. 2005. Combination of Chitosan and Starch as Natural Wood Adhesive. Proceedings of the 6th International Wood Science Symposium: Towards Ecology and Economy Harmonization of Tropical Forest Resources. Bali, Indonesia. pp. 211-214.61Yano, H., Nakahara, S. 2003. Bio-Composites Produced from Plant Microfiber Bundles with a Nanometer Unit Web-like Network. Journal Materials Science 39:1635-1638.62Oksman, K., Sain, M. 2006. Cellulose Nanocomposites: Processing, Characterization, and Properties. American Chemical Society. 256pp.63Subyakto, Hermiati, E., Yanto, D.H.Y., Fitria, Budiman, I., Ismadi, Masruchin, N., Subiyanto, B. 2009. Proses Pembuatan Serat Selulosa Berukuran Nano dari Sisal (Agave sisalana) and Bambu Betung (Dendrocalamus asper). Berita Selulosa 44(2): 57-65.64Kusumaningrum, W., Astari, L., Subyakto. 2010. Pengembangan Proses Fibrilasi dari Sisal (Agave sisalana) yang Telah Diputihkan. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia XIII, Bali 10-11 November 2010. pp.353-360.65Syamani, F.A., Astari, L.A., Subyakto. 2010. Technology of Producing Cellulose Nanofibers from Acacia mangium. Proceedings The Second International Symposium of Indonesian Wood Research Society, Bali 12-13 November 2010. pp. 31-3866Subyakto, Hermiati, E., Yanto, D.H.Y, Masruchin, N., Fitria, Prasetiyo, K.W., Ismadi. 2009. Biocomposites of Polypropylene or Polylactic Acid Reinforced with Sisal or Bamboo Micro Fibers. Proceedings The First International Symposium of Indonesian Wood Research Society, Bogor 2-3 November 2009. pp. 106-110. 67Kusumaningrum, W.B., Syamani, F.A., Subyakto. 2010. Papan Komposit Sisal (Agave sisalana Perr.) dan Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schultes f) Backer ex. Heyne). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia XII Bandung, 23-25 Juli 2009. pp. 332-339.68Masruchin, N., Munawar, S.S., Subyakto. 2011. Mechanical and Thermal Properties of Poly(lactid acid) and Bamboo Fiber Composites. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 9(1): 1-8.69Masruchin, N., W.B. Kusumaningrum, Ismadi, Subyakto. 2010. Characteristics of Sugarcane Bagasse Fiber (Saccharum officinale) Reinforced Polypropylene Composites. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 8(1): 55-67.70Subyakto, Hermiati, E., Masruchin, N., Ismadi, Prasetiyo, K.W., Kusumaningrum, W.B., Subiyanto, B. 2011. Injection Molded of Bio-Micro-Composites from Natural Fibers and Polylactic Acid. Wood Research Journal 2(1):21-26.71Budiman, I., Maddu, A., Pari, G., Subyakto. 2011. Development of Cement-Coir Carbon Fiber Composites with Self-Detection Capability. Wood Research Journal (submitted).72Yao, W., Chen, B., Wu, K. 2003. Smart Behavior of Carbon Fiber Reinforced Cement-Based Composite. Journal Material Science Technology 19 (3): 239-242.73Wen, S., Chung, D.D.L. 2007. Electrical-Resistance-Based Damage Self-Sensing in Carbon Fiber Reinforced Cement. Carbon 45:710-716.74Budiman, I., Maddu, A., Pari, G., Subyakto. 2010. Pembuatan Serat Karbon dari Serabut Kelapa: Analisis Derajat Kristalinitas dan Struktur Permukaan Serat Karbon Menggunakan X-Ray Diffraction dan Scanning Electron Microscope. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia XIII, Bali 10-11 November 2010. pp.519-528.75Subyakto, Budiman, I., Pari, G. 2011. Carbon Structure of Betung Bamboo (Dendrocalamus asper): Effects of Temperature and Time of Carbonization. Paper presented at The Third International Symposium of Indonesian Wood Research Society, Yogyakarta 2-3 November 2011. 76Iyer, T.S.R. 2005. Diversified Types of Coir Geotextiles. Kerala Calling Magazine, April 2005. pp. 20-21.77Marsh, G. 2003. Next Step for Automotive Materials. Materialstoday, April 2003, Elsevier Science Ltd. pp. 36-43.78Suddell, B.C. and Evans, W.J. 2005. Natural Fiber Composites in Automotive Applications. In: Mohanty, Misra, Drzal (Eds.): Natural Fibers, Biopolymers, and Biocomposites. CRC Press. pp. 231-260.79Bledzki, A.K., Faruk, O., Sperber, V.E. 2006. Cars from Bio-Fibers. Macromolecular Materials Engineering 291: 449-457.